Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 44

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 44


derap kakinya menggeletar, memecah kesepian tanah yang
damai itu. Seseorang yang sedang bekerja disawah melihat
rombongan itu merayap-rayap menyelusur jalan-jalan
dilembah, mendaki Bukit Telamaya. Terasa sesuatu berdesir
didalam dadanya. Rombongan itu sama sekali bukan
rombongan dari Pamingit. Dipaling depan tampaklah
seorang dalam pakaian yang mewah, beludru berkilat-kilat.
Sebuah pedang panjang tersangkut dilambungnya. Pedang
dengan sebuah wrangka yang putih berkilau. Pedang yang
jarang-jarang dimiliki oleh orang biasa.
Orang itu sama sekali bukan Ki Ageng Lembu Sora. Dan
para pengiringnya sama sekali bukan orang Pamingit.
Petani itu berpikir didalam hatinya. Masih terbayang apa
saja yang telah terjadi beberapa waktu yang lampau.
Terbayangllah laskar-laskar dari golongan hitam yang
bersama-sama menyerang Banyubiru, kemudian terbayang
pula kekacauan yang timbul didaerah perdikan itu setelah
laskar Pamingit mendudukinya.
Tetapi petani itu tidak tahu, apa yang akan dilakukan
untuk mengetahui siapakah para pendatang itu. Karena itu
maka segera ia berlari pulang, dan menyampaikan apa yang
dilihatnya kepada anaknya.
"Bapak melihat rombongan itu sebenarnya?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya, aku melihat dan mataku masih cukup baik."
Anaknya yang sudah cukup dewasa berpikir sejenak.
Kemudian katanya kepada ayahnya, "Biarlah aku sampaikan
kepada kakang Bantaran."
Anaknya tidak menunggu jawaban ayahnya. Cepat-cepat
ia berlari kekandang, melepaskan kudanya dan dipacunya
kerumah Bantaran. Mendengar laporan itu, Bantaran mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Apakah tidak ada tandatanda pada mereka itu?"
"Aku tidak tahu", jawab anak muda itu.
"Marilah ikut aku", sahut Bantaran.
Keduanya kemudian memacu kuda mereka, mendaki
tebing yang menghadap ke Barat. Sebenarnyalah, mereka
melihat serombongan orang-orang berkuda sudah semakin
dekat. Serombongan orang-orang berkuda yang lengkap
dengan senjata-senjata mereka.
"Dua puluh orang kira-kira", gumam Bantaran.
"Apakah maksud mereka?" bertanya anak petani itu.
Bantaran menggelang. Jawabnya, "Apapun maksud
mereka, tetapi mereka aku kira tidak akan berbuat
kerusuhan disini. Mereka datang disiang hari, lewat jalan
yang sewajarnya dan hanya dua puluh orang. Meskipun
demikian, datanglah ke gardu penjagaan pertama.
Beritahukan bahwa ada serombongan orang berkuda akan
lewat. Sebentar lagi aku akan datang ke gardu itu."
Anak petani itu tidak menjawab. Segera ia melarikan
kudanya ke gardu pertama memberitahukan apa yang telah
dilihatnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pemimpin gardu itu menghela nafasnya. Kemudian katakatanya, "Kedatangan kakang Bantaran kami tunggu."
Anak petani itupun kemudian kembali ke tempat
Bantaran mengawasi orang-orang berkuda itu. Mereka
sudah tampak lebih jelas lagi. Tetapi karena jalan
melingkar-lingkar, maka jarak yang harus dilaluinya masih
cukup panjang. Kemudian Bantaran itupun berkata kepada anak petani
itu. "Kembalilah, sampaikan pesan ini kepada kakang
Penjawi, bahwa berita tentang kedatangan orang-orang
berkuda itu supaya dilaporkan kepada paman Wanamerta."
Sepeninggalan anak petani itu, segera Bantaran pergi ke
gardu pertama. Gardu yang masih ditempati oleh beberapa
orang penjaga. Meskipun Banyubiru seakan-akan sudah
tenang, namun peperangan yang baru saja terjadi masih
mengharuskan mereka berhati-hati.
Di gardu penjagaan itu, Bantaran melihat beberapa
orang telah bersiaga. Namun kemudian Bantaran berkata
"Jangan terlalu berprasangka. Orang-orang itu pasti tidak
akan berbuat jahat."
Meskipun demikian, beberapa orang di gardu itu telah
menggantungkan pedang-pedang mereka dilambung, dan
yang lain menyandarkan tombak-tombak mereka disamping
mereka berdiri. Sesaat kemudian gemeretak kaki kuda itu telah
terdengar. "Ha, itulah mereka" gumam Bantaran.
Tetapi mereka masih menunggu cukup lama. Jalan yang
melingkar dan berbelit-belit itu agaknya telah memperpanjang jarak perjalanan orang-orang berkuda itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Meskipun demikian, akhirnya muncullah dari tikungan
beberapa orang berkuda. Sebenarnyalah bahwa yang paling
depan dari mereka adalah seorang yang berpakaian sangat
bagus. Baju beludru, kain lurik yang berwarna kemerahmerahan. Sebuah pedang yang bagus berjuntai disisi
kudanya. Orang itu terkejut ketika dilihatnya beberapa orang yang
berdiri dipinggir jalan berseberangan. Segera orang itu
menyadari, bahwa kedatangannya telah mengejutkan
beberapa orang penjaga. Karena itu maka segera orangorang berkuda itu memperlambat kuda-kuda mereka, dan
berhenti beberapa langkah
dari Bantaran. Wanamerta yang telah mendengar laporan Penjawi,
menjadi gelisah juga. Segera
ia pergi ke rumah Ki Ageng
Gajah Sora, dan memberitahukan tentang apa
yang didengarnya dari Penjawi. Namun seperti apa
yang didengarnya, maka katanya, "Tetapi menurut
Bantaran, orang-orang itu
pasti tidak akan berbuat huru-hara disini, sebab mereka hanya kira-kira duapuluh orang." Meskipun demikian berita itu telah menimbulkan
berbagai pertanyaan di hati mereka yang sedang duduk
dipendapa itu. Ki Ageng dan Nyai Ageng Gajah Sora,
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Endang Widuri. Mereka mencoba menerka, siapakah kirakira yang datang dalam rombongan itu. Namun mereka
tidak dapat menemukan jawaban.
Kemudian terdengar Ki Ageng Gajah Sora bertanya,
"Dimanakah Penjawi sekarang?"
"Penjawi sedang pergi menyusul Bantaran. Anak itu tidak
dapat membiarkan seandainya orang-orang itu berbuat
sesuatu. Namun mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa
diantara mereka." Ki Ageng Gajah Sora menarik nafasnya. Dan sebelum
mereka dapat berbuat apapun, maka terdengarlah
seseorang penjaga berkata, "Sebuah rombongan berkuda."
Salah seorang dari mereka segera memberitahukannya
kepada Ki Ageng Gajah Sora, dan sambil menganggukangguk Ki Ageng berkata, "Baik. Kembalilah ketempatmu."
Orang itu pun segera berjalan ke gardunya, sedang
beberapa orang yang lain, segera berdiri pula sambil
berjaga-jaga. Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wilis, Arya
Salaka dan Endang Widuri segera turun ke halaman.
Mereka berusaha menjemput orang-orang berkuda itu
sebelum mereka memasuki regol halaman.
Tetapi langkah mereka segera tertegun. Yang mula-mula
masuk ke halaman justru adalah Bantaran dan Penjawi.
Karena itu maka Ki Ageng Gajah Sora itu segera bertanya.
"Siapakah mereka?"
Sebelum Bantaran menjawab, maka muncullah orang
yang pertama. Seorang yang gagah tampan dengan baju
beludru dan sebuah pedang yang indah di lambungnya.
Demikian orang itu melihat Mahesa Jenar dan Kebo
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kanigara segera ia berseru. "Mahesa Jenar, aku datang
menjemputmu." Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Arya Salaka dan Endang
Widuri terkejut melihat orang itu. Lebih-lebih adalah Rara
Wilis. Karena itu sesaat mereka diam mematung. Sehingga
terdengar kembali orang itu berkata. "Apakah kau lupa
kepadaku?" Mahesa Jenar seakan-akan tersadar dari mimpinya yang
aneh. Karena cepat-cepat ia menjawab. "Tidak. Aku tidak
melupakan kau, Sarayuda."
Sarayuda, orang yang baru datang itu tertawa, wajahnya
cerah secerah warna pakaiannya. Sambil meloncat turun
dari kudanya ia berkata. "Aku datang atas perintah Ki
Ageng Pandan Alas untuk menjemput kalian berdua."
Wajah Rara Wilis segera menjadi kemerah-merahan. Ia
tidak dapat melupakan, apakah yang telah terjadi antara
mereka bertiga, Mahesa Jenar, Sarayuda dan dirinya.
Karena itu, maka segera ditundukkannya wajahnya dalamdalam. Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar, "Terima
kasih Sarayuda. Tetapi marilah, perkenalkanlah dahulu
dengan Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyubiru, Ki Ageng
Gajah Sora." Sarayuda tersadar akan kehadirannya di Banyubiru.
Karena itu maka segera ia berkata. "O, maafkan. Aku terlalu
bernafsu untuk menyampaikan maksud kedatanganku,
sehingga aku lupa suba-sita."
"Marilah Ki Sanak", Ki Ageng Gajah Sora mempersilakan,
"Marilah, aku mempersilakan kalian untuk naik kependapa."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka seluruh rombongan itu pun kemudian memperkenalkan diri. Sarayuda adalah Demang yang kaya
raya, yang menguasai suatu daerah yang luas di daerah
Pegunungan Kidul. Sedang Ki Ageng Gajah Sora adalah
seorang Kepala Daerah Tanah Perdikan yang kuat dan
subur dilereng bukit Telamaya. Keduanya adalah orangorang yang bertanggungjawab atas wilayahnya dan akan
rakyatnya. Karena itu, maka segera mereka dapat
menyesuaikan dirinya dalam perkenalan yang akrab,
meskipun ada beberapa perbedaan sifat diantara mereka.
Sarayuda adalah seorang yang menyadari kekayaannya,
meskipun tidak berlebih-lebihan, sehingga caranya berpakaian pun telah menunjukkan keadaannya, sedang Ki
Ageng Gajah Sora adalah seorang yang sederhana.
Segera pembicaraan mereka berkisar kepada maksud
kedatangan Sarayuda. Berkata Demang itu kemudian,
"Kakang Gajah Sora, kedatanganku kemari adalah karena
perintah guruku, Ki Ageng Pandan Alas untuk menjemput
Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Setiap orang di Gunungkidul
telah mendengar berita itu. Berita tentang akan kehadiran
Rangga Tohjaya didaerah mereka. Karena itu, maka
Gunungkidul sedang dihinggapi oleh perasaan yang
melonjak-lonjak, mengharap agar orang yang ditunggutunggu itu segera datang. Rara Wilis adalah seorang gadis
yang cukup mereka kenal, karena daerah itu adalah daerah
masa kanak-kanaknya. Banyak kawan-kawannya bermain
ingin melihat mereka, seorang anak gadis dari daerah
mereka yang pernah memakai nama Pudak Wangi dan telah
berhasil membinasakan seorang perempuan yang dahulu
pernah menggemparkan daerah itu, yang kemudian
bernama Nyai Sima Rodra."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu, sedang
Rara Wilis semakin menundukkan wajahnya. Pipinya
menjadi kemerah-merahan dan karena itulah maka sepatah
kata pun dapat diucapkan. Widuri yang mendengar katakata itu dengan seksama, tersenyum-senyum kecil. Dengan
nakalnya ia berkata. "Ah. Apakah paman Mahesa Jenar dan
Bibi Wilis akan menjadi tamu paman Demang Sarayuda?"
"Ya tentu" jawab Sarayuda, "Aku dan rakyatku akan
menyambutnya." "Bukan main. Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi tamu Agung." sahut Widuri. "Apakah aku boleh ikut
serta?" "Tentu" jawab Sarayuda. "Aku dan setiap orang yang
hadir di dalam pendapa ini untuk pergi ke Gunungkidul.
Menyaksikan bukit-bukit gundul dan bukit-bukit kapur
diantara lembah-lembah hijau. Sangat berbeda dengan
pemandangan di Bukit Telamaya ini."
Wajah Endang Widuri itu pun kemudian menjadi cerah.
Dengan serta merta ia berkata, "Bagus sekali. A ku akan ikut
dengan Bibi Wilis. Boleh bukan bibi?"
Rara Wilis tidak segera dapat menjawab. Sekali
dipandangnya wajah Kebo Kanigara. Ia tidak dapat berkata
apapun tentang gadis itu sebelum ayahnya memberikan
persetujuan. Widuri melihat keragu-raguan Rara Wilis. Karena itu
segera ia berkata kepada ayahnya. "Ayah, bukankah kita
akan ikut ke Gunungkidul."
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
terdengar ia berkata perlahan-lahan. "Sayang Widuri kita
tidak dapat ikut serta."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kecerahan wajah Widuri segera larut, seperti bulan
disaput awan yang sedemikian kelam. "Kenapa?"
"Ada sesuatu yang harus kita kerjakan disini."
"Apakah yang harus dikerjakan?"
"Aku Widuri. Aku mempunyai banyak pekerjaan di sini.
Dan agaknya kita telah terlalu lama tidak kembali ke Karang
Tumaritis." "Aku tidak mau. Aku tidak mau." berkata Widuri itu.
Kebo Kanigara tersenyum. Kemudian kepada Sarayuda
itu berkata. "Sayang adi. Sungguh sayang. Sebenarnya aku
juga ingin mengantarkan Widuri ikut serta mengunjungi
daerah adi. Namun ternyata ada persoalan-persoalan yang
harus aku selesaikan. Dan aku harus segera kembali ke
Karang Tumaritis." Sarayuda menarik nafas. "Ya sayang."
Yang menyahut kemudian adalah Endang Widuri, "Kalau
ayah mempunyai pekerjaan di sini atau di Karang Tumaritis,
biarlah aku ikut bersama Bibi Wilis. Nanti kalau ayah sudah
selesai, biarlah ayah menjemput aku."
Kebo Kanigara itu tersenyum pula. Namun senyumnya
membayangkan sesuatu yang tak dapat diraba. Katanya,
"Tidak Widuri. Jangan pergi sekarang. Besok apabila sampai
waktunya, biarlah kau aku antarkan kesana. Kalau sampai
saatnya Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan
mengarungi hidup baru mereka."
"Emoh" seru gadis itu. "Aku akan pergi bersama bibi
Wilis." "Bukankah sama saja bagimu Widuri", berkata ayahnya.
"Besok atau sekarang."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tidak" sahut Widuri. "Aku ingin melihat, bagaimana
rakyat Gunungkidul menyambut paman Mahesa Jenar."
"Tetapi kau tidak akan melihat, bagaimana pamanmu
dan bibi Wilis dipersandingan."
"Biar. A ku akan ikut bersama bibi Wilis."
Rara Wilis menjadi iba melihat Endang Widuri. Tetapi ia
tidak berani berkata apapun. Itu sepenuhnya adalah
wewenang ayahnya. Karena itu, Rara Wilis hanya dapat
memandangnya dengan senyum yang hambar.
Sarayuda agaknya dapat menempatkan dirinya. Ia tidak
mau mengecewakan Kebo Kanigara. Maka katanya,
"Begitulah angger Widuri. Seperti kata ayah angger itu.
Biarlah besok aku menyuruh beberapa orang menjemput ke
mari apabila sudah tiba waktunya. Kalau angger sudah
kembali ke Karang Tumaritis, biarlah kelak di jemput pula
ke sana. Bukankah begitu" Kelak angger bisa pergi bersama
ayah." Widuri kemudian menjadi bersungut-sungut. Bahkan
tampaklah matanya menjadi basah. Ia menjadi sangat
kecewa. Katanya kemudian, "Aku tidak mau dijemput oleh
sembarang orang." Demang Sarayuda tersenyum. Jawabnya, "Baiklah, besok
aku sendiri akan menjemput angger. Begitu?"
Widuri tidak menjawab. Namun tiba-tiba ia berdiri dan
berlari masuk ke dalam biliknya. Alangkah kecewa hatinya,
bahwa ia tidak dapat turut serta dengan Rara Wilis.
Meskipun mereka berdua bukan sanak bukan kadang,
namun perpisahan di antara mereka benar-benar tidak
menyenangkan. Pergaulan mereka yang ditandai dengan
berbagai kesulitan, benar-benar telah mengikat mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dalam suatu ikatan yang sangat erat. Tidak saja Widuri
yang menjadi sedih akan perpisahan itu, tetapi Rara Wilis
pun merasakan, bahwa ia akan menjadi kesepian tanpa
gadis yang nakal itu. Tetapi Kebo Kanigara benar-benar berhalangan untuk
turut serta pergi ke Gunungkidul. Masih ada suatu
pekerjaan yang mengikatnya di Banyubiru. Pekerjaan yang
ditimbulkan oleh kemenakannya yang nakal.
Mahesa Jenar pun menjadi kecewa. Tetapi ia dapat
mengerti keberatan Kebo Kanigara. Meskipun demikian
Mahesa Jenar itu berkata, "Kakang. Sebenarnya aku sangat
mengharap kakang untuk ikut serta bersama kami."
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya katanya. "Aku juga menyesal sekali Mahesa Jenar. Tetapi
barangkali kau dapat mengerti apa yang akan aku lakukan.
Karena itu biarlah lain kali aku menyusul ke Gunungkidul
bersama Widuri." Sesaat mereka pun berdiam diri. Arya Salaka
menundukkan kepalanya. Semula ia ingin juga turut pergi
ke Gunungkidul mengantarkan gurunya. Tetapi ketika ia
mengetahui, bahwa Endang Widuri tidak diperbolehkan oleh
ayahnya ikut dalam rombongan itu, maka ia menjadi
bimbang. Keinginannya untuk turut pun terlalu besar,
namun terasa sesuatu yang menahannya untuk tinggal di
rumah. Karena itu, anak muda itu bahkan menjadi bingung.
Sehingga akhirnya Arya pun hanya berdiam diri saja.
"Ah, terserah apa yang akan aku lakukan nanti," desisnya
di dalam hati. "Kalau tiba-tiba aku ingin berangkat biarlah
aku berangkat. Kalau aku ingin tinggal, biarlah aku tinggal."
"Tetapi", berkata pula hatinya. "Bagaimana kalau guru
mengajakku?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Entahlah", jawabnya sendiri di dalam hati.
Malam itu Sarayuda dan para pengiringnya bermalam di
rumah itu pula. Karena tempatnya yang terbatas, maka
para tamu itu dipersilakan tidur di pendapa, di atas tikar
pandan yang dirangkap supaya tidak terlalu dingin.
Dalam pada itu Mahesa Jenar dan Rara Wilis pun segera
mempersiapkan dirinya. Tetapi tidak banyaklah yang
mereka punyai. Mereka tidak sempat berbuat untuk diri
mereka sendiri selama ini. Karena itu, apa yang dimilikinya
pun hampir tidak ada. Hanya beberapa lembar pakaian
yang sudah lungset tanpa perhiasan apapun bagi Mahesa
Jenar hal itu hampir tak berpengaruh pada perasaannya.Tetapi bagi Rara Wilis, terasa sekali alangkah
miskinnya. Ia sama sekali tidak memiliki perhiasan apapun
sebagai seorang gadis. Bahkan yang dimilikinya adalah
sebilah pedang. Pedang tipis yang telah dikotori dengan
darah. Mahesa Jenar terkejut ketika tiba-tiba dilihatnya wajah
Rara Wilis menjadi suram. Karena itu dengan dada yang
berdebar-debar mencoba bertanya. "Wilis. Adakah sesuatu
yang mengganggu perasaanmu?"
Rara Wilis terkejut mendengar pertanyaan itu. Segera
dicobanya untuk menguasai perasaannya. Dengan sebuah
senyuman yang dipaksakan ia menjawab, "Kenapa" Aku
tidak apa-apa kakang. Aku sedang berpikir tentang hari-hari
yang akan datang." "Oh" Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia tidak membantah. Namun ketika dilihatnya sekali lagi
Rara Wilis merenungi kainnya yang hampir-hampir sudah
kehilangan warnanya, maka hatinya pun berdesir.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Hem " desahnya di dalam hati. "Ternyata aku tidak
menyadari, bahwa tekanan perasaan Wilis sudah terlampau
padat. Agaknya dalam ketegangan kewajiban yang aku
hadari, gadis itu tidak sempat memperhatikan keadaan
dirinya sendiri. Namun dalam kesempatan seperti ini,
barulah disadarinya perasaan itu. Perasaan seorang gadis."
Tetapi Mahesa Jenar tidak berkata apapun. Ia masih
belum tahu, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan
kebutuhan-kebutuhan yang wajar bagi sebuah keluarga.
Apapun yang dilakukannya, maka apabila sampai saatnya,
maka hal itu tidak akan mungkin dapat diabaikan.Ia tidak
dapat membutakan matanya, seandainya pada suatu saat ia
dikejar-kejar oleh keperluan-keperluan tetek bengek itu.
"Itu merupakan suatu kewajiban", desahnya.
Mahesa Jenar itu pun kemudian berjalan keluar bilik Rara
Wilis, dan ke halaman. Dilihatnya beberapa orang sudah
berbaring-baring di pendapa, sedang beberapa orang lagi
masih duduk-duduk di antara mereka. Bahkan ada juga
yang masih berjalan-jalan di luar regol halaman.
Ketika Mahesa Jenar pergi keluar regol pula, maka
orang-orang dari Gunungkidul itu bertanya-tanya tentang
beberapa hal kepadanya. "Tanah ini cukup subur" berkata salah seorang dari
mereka, "Tanah yang akan memberikan apa saja yang
diharapkan oleh penggarapnya."
"Demikianlah" sahut Mahesa Jenar, "Tanah yang telah
dipertahankan dengan banyak pengorbanan."
Tamu dari Gunungkidul itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, "Tanah kami adalah tanah
yang bercampur-baur. Ada yang subur sesubur tanah ini.
Ada yang menggantungkan airnya dari air hujan melulu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bahkan ada yang hanya dapat dijadikan padang-padang
rumput untuk peternakan. Bahkan ada yang batu melulu."
Mahesa Jenar mengangguk lemah. Tanah ini adalah
tanah yang subur, yang telah dipertahankan dengan darah
dan air mata. Dirinya sendiri pun telah ikut serta memeras
keringat untuk kepentingan tanah ini. Tanah yang subur,
yang akan dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat dan penduduknya. Bahkan siapa
yang bekerja keras, pasti akan dapat segera menikmati
hasil dari jerih payahnya itu.
"Tetapi aku tidak dapat ikut serta" desis Mahesa Jenar
didalam hati. Timbullah didalam hatinya sesuatu yang tak pernah
dipikirkannya. Kalau ia nanti akan membangun rumah
tangga yang kuat, maka ia harus membuat tiang-tiangnya
kuat pula. Diantaranya, bagaimana ia harus hidup
sekeluarganya. Karena itu, maka sampailah Mahesa Jenar
pada suatu kesimpulan. "Bekerja".
"Ah" kembali ia berdesah di dalam hati, "Akhirnya aku
sampai pada persoalan itu. Persoalan yang sangat pribadi.
Persoalan yang hampir tak ada sangkut pautnya dengan
pengabdian yang selama ini dilakukannya. Tetapi apakah
dengan demikian maka segenap pengabdian harus
terhenti?" "Tidak" pertanyaan itu dijawabnya sendiri. "Aku akan
dapat dan harus dapat melakukan kedua-duanya sekaligus.
Mudah-mudahan Wilis akan dapat mengerti pula."
Tiba-tiba teringatlah Mahesa Jenar itu kepada masamasa lampaunya, masa-masa ia tinggal di istana Demak
sebagai seorang prajurit. Dikenangnya pula beberapa orang
kawan-kawannya yang pada saat itu telah berkeluarga pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Katanya didalam hati, "Mereka dapat melakukan keduaduanya. Pengabdian dan keluarga."
"Tetapi tidak hanya didalam istana, atau didalam bidangbidang itu kedua-duanya dapat dilakukannya sekaligus",
katanya pula. "Disini, aku lihat rakyat Banyubiru
melakukannya pula. Bekerja untuk keluarganya, namun
mereka melakukan pengabdiannya untuk
tanahnya. Membangun tanah ini. Tempat-tempat ibadah, banjarbanjar desa dan surau-surau tempat pendidikan lahir dan
batin. Bekerja keras untuk kesejahteraan keluarganya dan
kesejahteraan bersama."
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu teringat pada ceritera
Wanamerta tentang seorang bahu yang pernah mencoba
menyuapnya dengan timang emas bertretes berlian. "Bukan
itu", desah Mahesa Jenar di dalam hatinya, "Bukan seperti
bahu itu. Ia bekerja untuk diri sendiri, tetapi bukan untuk
sebuah pengabdian. Justru ia menghisap hidup disekitarnya
untuk kepentingannya. Dibiarkannya orang-orang disekitarnya kering, namun dirinya sendiri menimbun
kekayaan tanpa batas."
Namun bagaimana pun juga, Mahesa Jenar dihadapkan
pada suatu kewajiban yang baru. Kuwajiban atas sebuah
keluarga yang bakal disusunnya. Kuwajiban yang tidak


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalah sucinya dari kuwajiban yang telah dilakukannya
selama ini. Sebab dengan keluarga yang baik Yang Maha
Esa telah mempergunakan untuk menangkar-lipatkan
jumlah manusia di dunia untuk memelihara dan
memanfaatkan ciptaan-Nya dengan baik.
Demikianlah, rombongan Sarayuda itu tinggal di
Banyubiru untuk dua hari lamanya. Selama itu mereka telah
melihat-lihat Banyubiru dengan baik. Apa yang dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dilakukan di daerah Demang yang kaya raya itu, telah
mereka pelajari, sedang apa yang baik bagi Banyubiru telah
disarankannya pula. Sehingga sampailah pada saatnya mereka meninggalkan
Banyubiru. Dua hari kemudian, maka bersiaplah rombongan
itu meninggalkan Banyubiru beserta Mahesa Jenar dan Rara
Wilis. Ki Ageng Gajah Sora dengan menyesal tak dapat ikut
serta bersama mereka pergi ke Gunungkidul karena
keadaan daerahnya yang masih harus mendapat pengawasannya. Kebo Kanigara terikat pada suatu
kuwajiban yang tak dapat ditinggalkannya pula. Sedang
Endang Widuri dengan penuh penyesalan terpaksa tidak
dapat mengikuti Rara Wilis ke Gunungkidul. Pada saat-saat
terakhir itu pun kemudian Arya Salaka memutuskan untuk
tidak turut bersama gurunya, meskipun ada juga keinginan
yang melonjak-lonjak. Dalam kesempatan itu Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki
Ageng Lembu Sora pun telah memerlukan datang ke
Banyubiru untuk menyampaikan ucapan selamat jalan
kepada Mahesa Jenar. Orang yang aneh didalam
tanggapannya. Orang yang hampir tak dapat dimengertinya, apakah yang telah menjadikannya seorang
yang memiliki jiwa pengabdian yang sedemikian besarnya.
Sebelum matahari sepenggalah, maka rombongan itu
telah bersiap untuk berangkat. Ternyata Mahesa Jenar dan
Rara Wilis tidak hanya memerlukan dua ekor kuda untuk
mereka. Seekor kuda yang lain, tanpa sepengetahuan
mereka telah dipisahkan oleh Ki Ageng Gajah Sora.
Dipunggung kuda itu terdapat sebuah beban yang tak
diketahui isinya. Beban yang telah diatur oleh Nyi Ageng
Gajah Sora bersama Nyi Ageng Lembu Sora.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terharu juga Mahesa Jenar melihat kuda yang seekor itu
tentu saja ia tidak dapat menolak untuk tidak menyakiti hati
Ki Ageng Gajah Sora kakak beradik.
Perpisahan itu merupakan perpisahan yang mengharukan. Meskipun mereka tahu, bahwa suatu ketika
Mahesa Jenar akan kembali pula, namun seakan-akan
mereka bertemu pada saat itu untuk terakhir kalinya.
Apalagi Endang Widuri. Ketika kemudian Sarayuda minta
diri dengan serta merta gadis itu berlari menghambur
memeluk Rara Wilis. Sambil menangis Widuri berkata, "Bibi,
jangan pergi terlalu lama."
Rara Wilis pun seorang gadis pula. Karena itu maka ia
pun tidak dapat menahan air matanya. Apalagi ketika
dilihatnya Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu
Sora pun menjadi berlinang-linang. Teringat pula oleh
mereka berdua, pada saat-saat mereka berhadapan dengan
Galunggung yang sedang dihinggapi oleh kegilaannya
tentang pangkat dan kekayaan, sehingga hampir saja
mereka berdua dibunuhnya. Untunglah pada saat itu Rara
Wilis hadir diantara mereka, sehingga sebenarnyalah gadis
itulah yang telah menyambung umurnya.
"Widuri" berkata Rara Wilis itu kemudian. "Perpisahan ini
tidak akan terlalu lama. Bukankah kau segera akan
menyusul kami ke Gunungkidul?"
Endang Widuri mengangguk perlahan. Dipalingkannya
wajahnya kepada ayahnya seakan-akan ia minta ketegasan
daripadanya. Sebenarnya Kebo Kanigara merasa kasihan juga kepada
putrinya itu. Tetapi terpaksa ia tidak dapat mengijinkannya,
karena ia sendiri tidak dapat pergi. Anak itu adalah anak
yang sangat nakal, sehingga betapapun juga, maka Kebo
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kanigara itu tidak sampai hati melepaskannya tanpa
pengawasannya. Apalagi nanti Mahesa Jenar dan Rara Wilis
sedang disibukkan oleh persoalan mereka sendiri, maka
Widuri akan sangat mengganggu mereka, dan kadangkadang pasti akan lepas dari pengawasan.
Karena itu, betapa pun juga, maka Kebo Kanigara
berusaha untuk tetap melarang anaknya ikut serta.
Ketika anaknya itu berpaling kepadanya, maka katanya,
"Ya Widuri. Segera kita akan menyusul ke Gunungkidul.
Kemarin aku sudah mendapat ancar-ancar, kemana kita
nanti harus pergi. Jalan mana yang harus kita tempuh, dari
pamanmu Sarayuda. Kalau kau bersabar sedikit bukankah
pamanmu Sarayuda bersedia untuk menjemputmu?"
Akhirnya Rara Wilis itupun dilepaskannya juga, meskipun
tangisnya mash saja menyesakkan dadanya, sementara
Mahesa Jenar menepuk punggung muridnya. "Kau sudah
menjelang dewasa penuh Arya. Sudah seharusnya kau
menyadari keadaanmu itu. Bekerja keras membantu
ayahmu. Tak ada orang lain yang diharapkannya selain
daripadamu." Arya mengangguk sambil menjawab, "Ya paman".
Maka kemudian sampailah saatnya rombongan itu
berangkat. Perpisahan yang mengesankan. Rara Wilis masih
melihat Endang Widuri berlari masuk ke gandok kulon,
sedang kemudian Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng
Lembu Sora menyusulnya. Sebuah salam yang erat sebagai
tanda terima kasih yang tak ada batasnya, telah diberikan
oleh Ki Ageng Sora Dipayana. Orang tua itu justru hampir
tak mampu lagi mengucapkan kata-kata terima aksihnya.
Terima kasih atas segenap bantuan yang telah diberikan
oleh Mahesa Jenar langsung, namun lebih daripada itu,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar telah membentuk Arya Salaka menjadi
harapan bagi masa datang.
Satu demi satu, maka kemudian keluarlah mereka dari
halaman di atas punggung kuda masing-masing. Bagi
Mahesa Jenar dan Rara Wilis perjalanan yang akan
ditempuh itu terasa aneh. Perjalanan yang jauh berbeda
dengan semua perjalanan yang pernah mereka lakukan.
Kalau pada masa lampau mereka berjalan dengan penuh
keprihatinan, maka perjalanan kali ini adalah perjalanan
menunju ke hari-hari yang cerah. Namun karena itulah
maka dada mereka menjadi berdebar-debar.
Setelah mereka meninggalkan halaman itu maka
mulailah kuda mereka berjalan agak cepat. Beberapa orang
melihat rombongan itu menganggukkan kepala mereka.
Mereka memberikan hormat setulus-tulusnya kepada
Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Bahkan Ki Wanamerta,
Jaladri, Bantaran dan Penjawi telah ikut serta dengan
rombongan itu, mengantarkan sampai ke perbatasan kota.
Bukan hanya mereka. Beberapa orang lain pun telah ikut
pula, sehingga rombongan itu menjadi semakin panjang.
Di perbatasan kota mereka berhenti sesaat. Wanamerta
yang tua itu memerlukan mengucapkan selamat jalan,
mengucapkan terima kasih atas nama segenap rakyat
Banyubiru dan ternyata orang tua yang telah menjadi
hampir bulat kembali itu meneteskan air mata.
"Selamat tinggal paman" berkata Mahesa Jenar
kemudian. Wanamerta mengangguk. Ingin ia menjawab, namun
suaranya tersangkut dikerongkongan.
Yang terdengar kemudian hanyalah sebuah jawaban
pendek, "Ya, ya angger."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar itu pun kemudian meneruskan perjalanannya. Dimuka sendiri Demang Sarayuda mulai
mempercepat jalan kudanya. Perjalanan mereka adalah
perjalanan yang panjang. Namun mereka tidak usah takut
terhadap siapa pun sehingga mereka tidak perlu memilih
jalan-jalan yang tersembunyi. Atau mereka pun sama sekali
tidak berkepentingan dengan apapun selama perjalanan
mereka. Karena itulah maka perjalanan itu akan tidak
terganggu. Disepanjang jalan itu Rara Wilis telah mulai menganyam
angan-angannya menjelang masa-masa yang akan datang.
Hal yang lumrah bagi gadis-gadis yang akan menginjak
masa-masa yang telah lama mereka tunggu-tunggu. Rara
Wilis pun adalah seorang gadis biasa. Meskipun kadangkadang dilambungnya tersangkut sebilah pedang, dan
bahkan pedang yang telah berbekas darah, namun dalam
saat-saat yang demikian ia adalah seorang gadis. Tidak
lebih daripada itu. Karena itulah maka ia mendambakan
masa yang berbahagia, masa yang bagi Rara Wilis
sebenarnya telah terlalu lambat.
Sepeninggal Mahesa Jenar dan Rara Wilis terasa rumah
Ki Ageng Gajah Sora menjadi sepi. Apalagi ketika Ki Ageng
Lembu Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana telah kembali ke
Pamingit. Namun meskipun demikian, kehadiran Endang
Widuri di Banyubiru, masih dapat menyejukkan suasana
rumah Ki Ageng Gajah Sora itu.
Untuk menghilangkan kejemuannya Endang Widuri
bekerja apa saja yang dapat dilakukannya. Menanami
halaman, yang seakan-akan halamannya sendiri. Ikut
menanam padi disawah. Menyiangi dan pekerjaanpekerjaan lain. Sebagai seorang gadis Widuri senang juga
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
membantu Nyai Ageng Gajah Sora didapur. Menyiapkan
makan dan minuman. Ki Ageng Gajah Sora pun masih mempunyai kawan
bercakap-cakap. Kebo Kanigara, meskipun pada saat-saat
terakhir Kebo Kanigara sering meninggalkan rumah, dan tak
pernah ia berkata tentang apapun juga kepada putrinya.
Widuri pun menyadari keadaanya. Ia merasa masih terlalu
kecil untuk berbicara tentang masalah-masalah yang berat
dengan ayahnya. Karena itu, maka jarang sekali Widuri
bertanya-tanya tentang pekerjaan ayahnya. Gadis itu lebih
senang bercakap-cakap dengan Arya Salaka di pendapa
atau dengan Nyai Ageng Lembu Sora di belakang.
Meskipun demikian gadis itu tidak melupakan ilmu yang
pernah dipelajarinya. Di saat-saat tertentu ia berlatih
bersama Arya Salaka. Mereka berdua memiliki sumber ilmu
yang sama. Ilmu yang dipancarkan dari perguruan
Pengging. Namun sekali-kali gadis itu teringat pula kepada Rara
Wilis. Karena itu, maka sekali-kali ia bertanya pula kepada
ayahnya. "Ayah, apakah pekerjaan ayah masih belum
selesai?" Kebo Kanigara menggeleng, "Belum Widuri."
"Kapan kita menyusul bibi Wilis?"
"Sebentar lagi", sahut ayahnya. "Sebentar lagi aku akan
pergi ke Karang Tumaritis. Pamanmu Mahesa Jenar
berpesan kepadaku, untuk atas namanya, mohon diri
kepada Panembahan. Bukankah Panembahan telah berjanji
untuk pergi ke Gunungkidul" Kau dengar juga bukan" Nah.
Kalau demikian, sebaiknya kita pergi bersama dengan
Panembahan kelak." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan kesanggupan itu hati Widuri terhibur pula sedikit.
Tetapi dalam pada itu, ia heran juga, apa sajakah yang
dilakukan oleh ayahnya di Banyubiru"
Namun Kebo Kanigara tak pernah menyebut-nyebutnya.
Dan Widuripun tidak bertanya-tanya pula.
----------o-dwkzOarema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV. WIDURI HILANG Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang menggemparkan Banyubiru yang belum beberapa lama
mengalami ketenangan kini telah diguncangkan kembali
dengan suatu peristiwa yang tak disangka-sangka sama
sekali. Pada hari itu, segenap kentongan tanda bahaya
menggema di lerang bukit Telamaya. Tanda bahaya yang
benar-benar mengejutkan setiap orang. Mereka tidak
melihat tanda-tanda apapun yang terjadi, namun tiba-tiba
mereka mendengar tanda bahaya itu.
Sesaat kemudian mereka melihat, beberapa orang
penunggang kuda berlari-lari memacu kudanya kesegenap
penjuru. Bahkan Arya Salaka sendiri seperti orang yang
menjadi gila. Gajah Sora, Kebo Kani gara, Wanamerta,
Bantaran, Penjawi, Jaladri dan semua laskar di Banyubiru
memencar di atas kuda masing-masing.
"Apakah yang terjadi?" bertanya seseorang.
Orang yang ditanyanya menggelengkan kepalanya.


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun demikian wajahnya menjadi pucat pula.
"Entahlah." Baru sesaat kemudian, ketika mereka melihat seorang
berkuda berlari dihadapan mereka, maka berteriaklah
mereka itu, "Ada apa?"
"Endang Widuri hilang."
"He", tetapi orang berkuda itu telah jauh. Dua orang
yang lain menyusul pula dibelakang orang berkuda yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pertama. Tetapi kepada orang itu pun mereka tidak sempat
bertanya apa-apa. Nyai A geng Gajah Sora pada saat itu menangis di dalam
biliknya. Gadis itu bukan anaknya, tetapi benar-benar
seperti anak gadis yang telah dilahirkannya sendiri. Gadis
itu memang nakal, tetapi menyenangkan. Banyak hal-hal
yang menarik dilakukan oleh gadis itu. Apabila tak seorang
pun yang ada, pada saat Nyai Ageng membutuhkan
beberapa butir kelapa, maka dengan tangkasnya gadis itu
memanjatnya. Bahkan sampai batang yang paling tinggi
sekalipun. Namun gadis itu pandai juga memasak dan
bercerita. Pandai menjahit dan pandai juga berdendang.
Namun tiba-tiba gadis itu hilang.
Di hadapan Nyai Ageng Gajah Sora itu duduk bersimpuh
seorang gadis pula. Gadis itu juga menangis seperti Nyai
Ageng. Dan dari gadis itulah Banyubiru mendengar berita
tentang hilangnya Widuri.
Nyai Ageng Gajah Sora, sambil mengusap air matanya
berkata, "Apakah tak ada orang lain di belumbang itu?"
Gadis itu menggeleng, "Tidak Nyai Ageng. Waktu aku
datang, aku sempat mendengar ceritanya. Ketika aku
berlari-lari menengoknya, aku hanya melihat bayangan
seorang anak muda memapahnya berlari masuk ke dalam
semak-semak." Nyai A geng Gajah Sora termenung sejenak. Adalah aneh
sekali, bahwa hal itu dapat terjadi. Widuri bukanlah gadis
biasa seperti gadis yang bersimpuh di hadapannya itu.
Widuri adalah seorang gadis yang memiliki beberapa
macam keanehan. Gadis itu mampu berkelahi seperti lakilaki. Bahkan melampaui kemampuan seorang laskar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pamingit yang dapat dianggap kuat, Galunggung. Kenapa ia
tidak memukul saja anak muda yang menculiknya itu"
Berbagai persoalan melingkar-lingkar didalam dadanya.
Heran, kecewa menyesal dan berpuluh-puluh persoalan
yang lain. "Apakah kau dapat mengira-irakan, kemana Endang
Widuri itu dibawa?" bertanya Nyai Ageng itu pula.
Gadis itu menggeleng, "Aku tidak tahu Nyai. Namun aku
melihat mereka menyusup ke arah Timur. Tetapi untuk
seterusnya aku tidak tahu, sebab aku langsung berlari
memberitahukannya kemari."
Nyai Ageng Gajah Sora menarik nafasnya. Dalam
kegelapan nalar Nyai Ageng hanya dapat menangis.
Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi marah bukan buatan.
Gadis itu hilang di dalam wilayahnya. Endang Widuri
baginya adalah seorang tamu. Karena itu, maka ia merasa
bertanggungjawab pula atas kehilangan itu. Dengan
menggeratakkan giginya, Ki Ageng Gajah Sora memacu
kudanya pergi ke belumbang yang sebenarnya tidak begitu
jauh. Demikian ia sampai di belumbang, demikian ia
meloncat turun, di ikuti oleh Arya Salaka dan Kebo Kanigara
sendiri, disamping beberapa orang lain. Tanpa mendapat
perintah segera mereka memencar diri, mengamat-amati
setiap pertanda yang mungkin dapat dijadikan alasan untuk
mengetahui, siapakah yang telah melakukan perbuatan itu.
Di belumbang itu masih tinggal beberapa potong pakaian
Endang Widuri yang belum sempat dicucinya. Beberapa
helai telah dicelupkannya ke dalam air, sedang beberapa
helai yang lain masih kering terletak di tepian.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Anak itu tidak banyak mendapat kesempatan," desis
Gajah Sora. Kebo Kanigara memandangi pakaian anaknya dengan
mata yang suram. Namun mulutnya terkatub rapat-rapat.
Tak sepatah kata pun yang diucapkannya. Dengan tangan
yang gemetar ia berjongkok, meraih pakaian-pakaian
anaknya itu, dan kemudian dimasukkannya kedalam bakul.
Perlahan-lahan kemudian terdengar ia bergumam, "Biarlah
pakaian Widuri ini aku simpan baik-baik. Aku yakin, pada
suatu saat ia akan kembali lagi kepadaku."
Mendengar kata-kata Kebo Kanigara itu Gajah Sora
hanya dapat menarik nafas. Namun terucapkan janji
didalam hatinya, bahwa kekuatan yang ada di Banyubiru
harus mampu menyerahkan anak itu kembali kepada
ayahnya. Arya Salaka kemudian tidak mau merenung-renung lebih
lama di tepi belumbang itu. Ia telah mendengar pula,
bahwa Widuri di bawa menyusup ke arah timur. Karena itu,
maka ia pun mencoba melihat arah yang dikatakan itu. Di
amat-amatinya setiap jengkal tanah, mungkin ia akan dapat
menemukan jejak. Hati Arya Salaka terlonjak ketika benar-benar ditemukannya jejak itu. Jejak yang benar-benar masuk ke
dalam gerumbul ke arah Timur. Karena itu dengan hati-hati
ia mengikuti jejak itu. Namun alangkah kecewanya anak
muda putera Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyubiru itu.
Jejak itu hanya dapat di ikuti beberapa langkah. Kemudian
hilang di atas rerumputan yang liar. Betapa pun Arya Salaka
mencoba mencarinya, namun sia-sia saja.
Arya Salaka itu pun kemudian menyusup lebih dalam
lagi. Ia kini mencari jejak pada ranting-ranting di sekitarnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sekali ia melihat sebuah ranting yang patah. Namun
kembali ia kehilangan kesempatan untuk mengikutinya.
"Setan", desis Arya Salaka yang benar-benar menjadi
gemetar karena marah. Namun ia tidak tahu, bagaimana ia
akan menumpahkan kemarahannya. Karena itu, direnggutnya setiap dahan, ranting dan apa saja yang
teraba oleh tangannya. Ketika Arya Salaka itu sudah yakin, bahwa tidak akan
diketemukan tanda-tanda yang dapat menunjukkan jalan
kemana mereka harus mencari, maka segera Arya
meninggalkan belumbang itu langsung meloncat di atas
kudanya. Dengan kecepatan penuh, Arya berpacu ke arah timur.
Tetapi ia tidak tahu pasti, kemana ia harus pergi. Ia pergi
demikian saja karena gelora di dalam dadanya, tanpa
diketahuinya arah yang pasti.
Demikian juga para pemimpin dan laskar Banyubiru yang
lain. Mereka berpacu ke segenap arah. Namun mereka pun
hanya sekadar mencoba mencari kemungkinan untuk
melihat atau menemukan gadis yang hilang tanpa
pegangan yang pasti. Mereka itu sedang berusaha mencari
yang hilang tanpa petunjuk-petunjuk sama sekali.
Karena itu alangkah sulitnya. Sehari itu, seluruh daerah
Banyubiru telah di aduk oleh laskar Banyubiru. Hampir
setiap orang turut serta dalam pencaharian itu. Namun
Endang Widuri tidak dapat diketemukan. Gadis itu seakanakan hilang di telan oleh retak tanah perdikan Banyubiru.
Bahkan tidak saja kota Banyubiru, namun para
penunggang kuda telah jauh menjorok ke segenap arah.
Namun usaha mereka sia-sia belaka. Arya Salaka sendiri
bersama beberapa orang telah sampai ke daerah Rawa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pening. Di obrak-abriknya daerah bekas sarang Uling Putih
dan Uling Kuning, seandainya ada sisa-sisa gerombolan itu
yang sengaja membuat Banyubiru kacau. Namun Endang
Widuri tidak ada di sana, dan tak diketemukannya pertanda,
bahwa tempat itu masih didiami orang.
Malam itu, para pemimpin Banyubiru berkumpul di
pendapa rumah Ki Ageng Gajah Sora. Peristiwa hilangnya
Widuri bagi Banyubiru tidak dapat di anggap sebagai suatu
persoalan yang kecil. Pesoalan itu sama besarnya dengan
hadirnya golongan hitam di tanah mereka. Karena itu maka
setiap kekuatan yang ada harus dikerahkan untuk
memecahkan peristiwa itu.
Namun tak seorang pun yang dapat mengemukakan
pendapat mereka tentang hilangnya Endang Widuri. Mereka
diliputi oleh suasana yang gelap pekat. Tak ada setitik api
pun yang dapat memberi petunjuk kepada mereka, tentang
persoalan yang menggemparkan itu.
Dalam ketegangan itu terdengar Arya Salaka berdesis,
"Peristiwa ini benar-benar memalukan tanah perdikan ini
ayah. Karena itu, maka Endang Widuri harus diketemukan
segera." Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gajah Sora
dan bahkan beberapa orang lain mengetahui bahwa Arya
Salaka tidak saja tersinggung kehormatan atas hilangnya
tamunya itu, namun jauh lebih daripada itu. Hampir setiap
orang di pendapa itu mengetahuinya, bahwa Arya Salaka
dan Endang Widuri agaknya telah masuk ke dalam suatu
ikatan tanpa ssadar mereka itu. Ikatan yang tidak dapat
dikatakan dan tidak dapat dirumuskan oleh mereka yang
mengalaminya. Karena itu, maka adalah wajar sekali kalau
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka benar-benar menjadi sangat marah dan
bingung. "Aku sependapat dengan kau Arya", jawab ayahnya. "Kini
kita sedang mencari setiap kemungkinan untuk itu."
"Apa pun yang akan terjadi, kita harus menemukannya
kembali." sahut Arya pula.
"Ya. Tentu," berkata ayahnya pula. Namun terbayang di
wajahnya Ki Ageng Gajah Sora keragu-raguan yang
menggelisahkan. Kemana harus dicari anak itu" Sejak pagi,
Ki Ageng Gajah Sora telah memerintahkan beberapa orang
yang pergi ke Pamingit. Memberitahukan kehilangan itu
kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana.
Dan ternyata, Pamingit pun telah menjadi gelisah pula.
Senja itu telah datang utusan Ki Ageng Lembu Sora untuk
menanyakan apakah Endang Widuri sudah diketemukan.
Dan utusan itu pun kembali dengan membawa berita,
bahwa persoalan Widuri masih gelap.
Dalam kegelapan pikiran, tiba-tiba Arya Salaka teringat
kepada gurunya, Mahesa Jenar. Meskipun ia kini telah
berhadapan dengan berpuluh-puluh orang, dan bahkan ada
di antara mereka, ayahnya dan Kebo Kanigara, ayah gadis
itu, namun ada sesuatu yang menyentuh perasaannya,
bahwa gurunya akan dapat membantunya. Mahesa Jenar
bagi Arya Salaka merupakan tempat untuk berlindung
hampir enam tahun lamanya. Tempat Arya Salaka
menggantungkan hidup matinya dalam masa-masa yang
berbahaya. Karena itu, hampir dalam semua kesulitan, Arya
selalu teringat kepada gurunya itu. Demikian juga kali ini.
Maka tiba-tiba saja ia berkata, "Ayah, aku akan berusaha
memberitahukan kehilangan ini kepada paman Mahesa
Jenar." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ki Ageng Gajah Sora mengangkat wajahnya. Dilihatnya
Kebo Kanigara pun terkejut mendengar kata-kata Arya itu,
sehingga kemudian katanya, "Jangan Arya. Jangan
mengganggu pamanmu itu."
Ki Ageng Gajah Sora ternyata sependapat pula dengan
Kebo Kanigara. Karena itu maka ia berkata pula, "Ya, Arya.
Biarlah pamanmu Mahesa Jenar beristirahat. Selama ini
hampir-hampir seluruh hidupnya telah dicurahkan untuk
kepentingan orang lain. Kepentingan kita. Karena itu, maka
biarlah kali ini pamanmu Mahesa Jenar tidak terganggu.
Biarlah kita yang berada di Banyubiru ini berusaha sekuatkuat tenaga kita. Tetapi kita sudah berjanji kepada diri
sendiri bahwa Endang Widuri harus diketemukan."
Arya Salaka menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak puas
dengan jawaban-jawaban itu. Betapa pun juga, maka dalam
kesulitan ini, ia akan merasa lebih tenang apabila gurunya
ada disampingnya. Kebo Kanigara melihat perasaan yang tergores di hati
Arya Salaka. Maka katanya, "Arya. Marilah kita mencoba
menyelesaikan masalah ini. Sebenarnya aku sendiri sangat
gelisah atas hilangnya Endang Widuri. Tetapi kita bukanlah
orang-orang yang hanya dapat meratap. Aku sendiri sudah
tentu akan berusaha untuk menemukan anak itu. Dan aku
akan berterima kasih seandainya Ki Ageng Gajah Sora,
beserta kekuatan-kekuatan yang ada di Banyubiru untuk
membantunya. Namun dengan sepenuh hati aku tidak
pernah meletakkan kesalahan ini kepada orang lain. A palagi
kepada Banyubiru sebab hal yang demikian itu akan dapat
terjadi, kapan saja dan dimana saja. Karena itu, jangan
terlalu menyalahkan diri sendiri dan Banyubiru."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka masih belum menjawab. Dicobanya untuk
mencari alasan yang sebaik-baiknya, agar orang-orang lain
tidak mau mengerti, kenapa ia berkepentingan akan
hadirnya Mahesa Jenar. Sebenarnya Arya Salaka pun
menyadari, apa yang dapat dilakukan oleh gurunya itu.
Gurunya tidak melihat pada saat Endang Widuri itu hilang.
Kalau Kebo Kanigara, ayah gadis itu sendiri yang sedang
berada di Banyubiru, tidak segera dapat menemukannya,
apalagi Mahesa Jenar. Arya Salaka itu tahu pasti, bahwa
tingkat kesaktian gurunya tidak akan dapat melampaui
Kebo Kanigara itu. Meskipun demikian, perasaannya selalu
mendesaknya supaya memberitahukan peristiwa itu kepada
gurunya.

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendapa Banyubiru itu sesaat menjadi hening sepi. Angin
malam yang lembut menggerakkan daun-daun sawo di
halaman. Dikejauhan terdengar lamat-lamat suara anjing
liar di lereng-lereng bukit sedang berjuang berebut
makanan. Melihat daun-daun sawo itu yang bergerak-gerak itu,
tiba-tiba bulu kuduk Wanamerta berdiri. Meskipun ia tidak
takut, namun apabila teringat bahwa ia pernah melihat
daun-daun itu bergetar, dan kemudian terjunlah seseorang
yang menamakan dirinya Wadas Gunung, hatinya masih
saja berdesir. Untunglah bahwa kekuasaan Yang Maha
Kuasa ternyata telah menyelamatkan Banyubiru.
Dalam keheningan itulah kemudian terdengar Arya
Salaka berkata perlahan-lahan, namun jelas terdengar kata
demi kata. "Ayah. Aku tidak ingin mengganggu paman
Mahesa Jenar. Aku sudah cukup menerima perlindungan
dan bahkan apa saja yang ada pada paman Mahesa Jenar
itu. Ilmunya dan ajaran-ajaran yang sangat berguna. Tetapi
karena itulah barangkali yang telah mengikat aku dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
satu sikap, seakan-akan semuanya tergantung kepada
paman Mahesa Jenar. Kalau kali ini aku masih akan
memberitahukan hilangnya Endang Widuri kepada paman
Mahesa Jenar, maka hal itu pasti juga karena terpengaruh
oleh perasaanku itu. Tetapi seandainya demikian,
seandainya aku masih harus mengganggu guru, mudahmudahan kali ini untuk yang terakhir kalinya. Dan biarlah
aku hanya sekadar memberitahukan akan kehilangan itu.
Kalau paman Mahesa Jenar masih belum sempat berbuat
sesuatu, biarlah guru tidak usah datang ke Banyubiru."
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. Ia
dapat merasakan apa yang sedang bergolak didalam dada
anak itu. A nak itu pasti akan merasa bersalah kelak, apabila
gurunya bertanya kepadanya, kenapa hal itu tidak
diberitahukannya. Karena itu, maka akhirnya Ki Ageng
Gajah Sora itu berkata. "Arya. Kalau kau akan
memberitahukan kepada pamanmu, baiklah. Tetapi ingat,
hanya sekadar memberitahukan. Jangan sekali-kali kau
mengharap pamanmu itu datang kemari apabila tidak atas
kehendaknya sendiri."
Arya kemudian mengangkat wajahnya. Ia menjadi
bergembira mendengar jawaban ayahnya. Dengan gurunya
setidak-tidaknya nasehatnya, Arya merasa, bahwa kekuatannya akan bertambah. Namun di samping itu timbul
pula perasaan malunya, bagaimana nanti kalau gurunya itu
menganggap bahwa ia masih saja tidak mampu berbuat
sendiri. Tetapi kali ini ia memandang kejadian itu sangat
pentingnya. Endang Widuri telah melakukan banyak hal
dalam lingkungan bersama dengan gurunya dan Rara Wilis.
Maka mau tidak mau, pasti ada sesuatu ikatan yang
menghubungkan mereka. Sehingga tidaklah akan SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berlebihan apabila hal itu diberitahukannya kepada
gurunya. Namun Kebo Kanigara agaknya menjadi kecewa atas
keputusan Ki Ageng Sora Dipayana. Dengan nada yang
rendah ia berkata, "Ki Ageng, aku akan sangat berterima
kasih atas segala susah payah yang telah Ki A geng lakukan.
Tidak saja pada saat-saat anakku satu-satunya itu hilang.
Tetapi selama ini, aku telah mendapat tempat yang sangat
baik di Banyubiru. Karena itu tidak sewajarnya kalau aku
akan selalu terus menerus membebani Ki Ageng dengan
persoalan-persoalanku. Kini persoalan hilangnya Widuri.
Juga terhadap Mahesa Jenar yang selama ini hampir tidak
pernah dapat menikmati hari-hari yang tenang. Karena itu,
biarlah aku mencoba untuk mencarinya. Tanpa mengurangi
penghargaan atas segala bantuan Ki Ageng, namun adalah
menjadi bubuhanku bahwa Endang Widuri harus diketemukan." "Tidak paman," tiba-tiba Arya menyahut. "Tidak saja
paman, tetapi kami, kita semua kebubuhan mencarinya.
Juga paman Mahesa Jenar, wajib diberitahu atas peristiwa
ini." Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora menyambung, "Arya
benar, kakang Kebo Kanigara. Apa yang kami lakukan
adalah kewajiban, disamping sebagai pernyataan terima
kasih atas apa saja yang pernah kakang lakukan di
Banyubiru dan Pamingit. Dan apa yang pernah dilakukan
oleh Endang Widuri sendiri."
Kebo Kanigara sudah barang tentu tidak dapat menolak
uluran tangan itu. Maka jawabnya, "Terima kasih Ki A geng."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sekali lagi pendapa itu diterkam oleh kesepian. Sekali-kali
Wanamerta melihat daun-daun sawo bergoyang-goyang.
Dan sekali lagi dadanya berdesir karenanya. Tetapi ketika ia
melihat daun-daun yang lain pun bergoyang pula, maka
katanya di dalam hati, "Hem. Angin yang nakal telah
menggodaku." Dalam keheningan itu tiba-tiba mereka mendengar derap
kuda di antara desir angin malam. Beberapa orang yang
mendengar suara itu segera mengangkat wajah mereka.
Dan mereka sependapat bahwa suara itu adalah suara
serombongan orang-orang berkuda yang telah memasuki
alun-alun. Namun karena mereka tidak mendengar suara
kentongan dan tanda-tanda yang lain, maka suasana di
pendapa itu masih tetap dalam ketenangan.
Beberapa saat kemudian, para penjaga regol telah
menghentikan beberapa ekor kuda yang akan memasuki
halaman. Namun ketika mereka melihat para penumpangnya, maka mereka segera menganggukkan
kepalanya sambil mempersilakan para penunggang kuda itu
untuk masuk. "Siapa?" terdengar Ki A geng Gajah Sora bertanya.
"Ki Ageng Lembu Sora beserta beberapa orang
pengiringnya," sahut orang yang berdiri di dalam gardu.
"Oh", desis Ki Ageng. Dan orang-orang yang berada di
pendapa itu pun segera berdiri menyambut kedatangan
tamu-tamu mereka. Sebelum duduk, Ki Ageng Lembu Sora sudah bertanya,
"Bagaimana dengan Endang Widuri?"
Ki Ageng Gajah Sora menggeleng, "Belum kami
ketemukan." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Hem" terdengar seseorang menggeram. Ketika Ki Ageng
Gajah Sora berpaling kepada orang itu, maka dilihatnya
Wulungan menggigit bibirnya. Bahkan kemudian ia
berguman, "Angger Widuri telah menyelamatkan aku.
Ketika Adi Galunggung menjadi gila dan menaburkan pasir
kemataku pada saat kami berkelahi, maka nyawaku telah
berada di ujung pedangnya. Namun untunglah, angger
Widuri berhasil mencegahnya, sehingga akhirnya aku pun
selamat." Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan dipersilakan tamunya duduk di pendapa itu pula.
Pembicaraan tentang Widuri menjadi semakin riuh.
Semua orang di pendapa bertekad untuk menemukannya.
Bahkan Ki Ageng Lembu Sora berkata, "Aku dapat
mengerahkan setiap orang di Pamingit untuk ikut serta
mencarinya, kakang."
"Terima kasih" jawab Ki A geng Gajah Sora.
Tetapi Kebo Kanigara masih saja menundukkan
kepalanya. Pembicaraan yang didengarnya tentang anaknya
benar-benar telah mengharukannya, sehingga malahan ia
tidak dapat berkata apa-apa tentang itu.
Beberapa orang yang sempat menatap wajahnya
menjadi terharu pula. Widuri adalah satu-satunya kawan
hidupnya. Bahkan hidupnya sendiri agaknya tidak
sedemikian menarik dibanding dengan hidup anaknya itu.
Anak satu-satunya yang akan dapat menjadi penyambung
masa depannya. Namun tiba-tiba anak itu hilang. Hilang
seperti tenggelam dalam kekelaman malam.
Malam itu orang-orang yang berkumpul di pendapa
Banyubiru, sama sekali tidak dapat menarik kesimpulan apa
pun tentang hilangnya Endang Widuri. Namun mereka tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dapat menolak, bahwa besok Arya Salaka akan mengirim
utusan ke Gunungkidul untuk memberitahukan hilangnya
Endang Widuri dari Banyubiru.
Malam itu pun berjalan menurut ketentuannya sendiri,
sama sekali tidak menghiraukan kerisauan hati Arya Salaka
yang berputar-putar di dalam biliknya. Betapa hatinya
menjadi gelisah, marah dan bermacam perasaan lagi
bercampur baur di dalam dadanya. Karena itu, maka ia
sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Anganangannya hilir mudik tidak tentu arah. Siapakah yang akan
dipersalahkan atas hilangnya Widuri. "Seandainya aku tahu
siapa yang mengambilnya, maka baginya tak ada ampun
lagi. Aku bunuh dengan tanganku." Anak muda itu menjerit
di dalam hatinya. Tapi tak seorang pun yang dapat
memberitahukan kepadanya, siapakah yang telah mengambil Endang Widuri. Akhirnya Arya Salaka itu tidak betah lagi tersekap di
dalam biliknya. Perlahan-lahan ia berjalan keluar. Lewat
longkangan gandok kulon Arya muncul di pintu butulan.
Tiba-tiba Arya Salaka itu berdesir. Dilihatnya sesosok
bayangan bergerak di halaman belakang rumahnya. Cepat
seperti kilat anak muda itu meloncat memburu ke arah
bayangan itu. Namun sesaat ia kehilangan jejaknya. Tetapi
Arya Salaka adalah seorang anak muda yang terlatih dalam
menghadapi segala macam persoalan. Cepat ia berjongkok
dan memasang telinganya baik-baik. Namun ia masih belum
mendengar sesuatu. Alangkah terkejutnya hati anak muda itu, ketika tiba-tiba
ia melihat bayangan yang dikejarnya, telah meloncat pagar
halamannya yang cukup tinggi itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Gila" desisnya. Terdengarlah giginya gemeretak karena
marah. Tetapi ia tidak mau kehilangan bayangan itu,
meskipun disadarinya, bahwa tidak semua orang dapat
berbuat serupa itu. Meloncat pagar yang sedemikian
tingginya hampir tanpa bersuara adalah suatu pekerjaan
yang sulit. Karena itu, maka segera ia pun berlari ke arah
bayangan itu dan meloncat pula ke atas dinding. Ia masih
melihat bayangan itu berlari sepanjang dinding halaman
dan kemudian masuk menyuruk ke dalam rimbunnya
semak-semak. Meskipun demikian Arya pun berlari menyusulnya. Sesaat
ia masih dapat mengikutinya dituntun oleh suara desah
langkah bayangan itu serta batang-batang yang terdengar.
Bahkan akhirnya Arya sempat melihat orang itu meloncati
parit dan berlari ke tengah-tengah rumpun bambu.
Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, maka
Arya mempercepat larinya. Diterobosnya rimbunnya
rumpun-rumpun bambu itu tanpa menghiraukan apa saja
yang dapat terjadi atasnya. Tetapi kali ini ia gagal.
Bayangan itu seakan-akan lenyap begitu saja di tengahtengah rumpun bambu itu. Dengan penuh kemarahan Arya
mencarinya, menghentak-hentakkan setiap batangnya,
bahkan beberapa batang telah dipatahkannya dengan suara
yang berderak-derak. Namun bayangan itu benar-benar
telah hilang. Suara berderak bambu-bambu patah itu, telah mengejutkan beberapa orang disekitarnya. Bahkan ada pula
di antara mereka yang keluar rumah dengan obor-obor di
tangan. Ketika Arya Salaka melihat obor-obor itu, maka
terdengarlah ia berteriak. "Bawa obor itu kemari."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Siapa kau?" orang yang membawa obor itu bertanya.
"Arya Salaka" sahut Arya.
"Oh, kaukah itu ngger"
Orang yang membawa obor itu kemudian berlari-lari ke
arah suara Arya Salaka. Orang itu terkejut melihat Arya
berada di tengah-tengah rumpun bambu-bambu di malam
yang gelap. Karena itu maka dengan serta merta orang itu
bertanya. "Hem ngger. Kenapa angger berada di dalam
rumpun bambu di malam buta" Apakah angger tadi di
gondol wewe?" Arya menggeram, "Omong kosong. Aku tidak dicuri oleh
kunthilanak itu. Aku sedang mencari seseorang. Berikan
obormu itu."

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu ragu-ragu sejenak. Apakah betul Arya Salaka
yang berdiri di tengah-tengah rumpun bambu itu."
Karena orang itu tidak mau mendekat, maka dengan
jengkelnya Arya Salaka meloncat dari rumpun itu dan
merampas obor yang masih menyala-nyala sambil berkata,
"Aku bukan anak gendruwo. Aku Arya Salaka."
Kemudian tidak hanya orang itu saja yang keluar dari
rumahnya. Suara Arya Salaka mengumandang dari rumah
yang satu menyusup ke dinding rumah yang lain. Karena
itulah maka di bawah rumpun bambu itu kemudian menjadi
ribut. Beberapa orang bertanya-tanya, apakah yang sedang
dicarinya. "Orang" jawab Arya. "Aku mengejar seseorang yang
memasuki halaman rumahku. Ia bersembunyi di dalam
rumpun bambu ini. Tetapi tiba-tiba orang itu hilang."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Beberapa orang kemudian mengucapkan kata-kata yang
tidak jelas di dalam mulutnya sambil gemetar. Bahkan salah
seorang berbisik, "Itu adalah Kiai Jenggot ngger. Jangan
dicari lagi." "Bohong. Aku melihatnya di halaman rumahku. Bukan
Kiai Jenggot. Tetapi seseorang."
Berita itu pun kemudian menjalar sampai ke gardu
penjagaan regol rumah Arya Salaka, dan penjaga gardu itu
melaporkannya ke Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi yang
terbangun kemudian tidak saja Ki Ageng Gajah Sora,
namun juga Ki Ageng Lembu Sora, beberapa orang
pengiringnya dan Kebo Kanigara. Mereka bersama-sama
pergi, ke rumpun bambu di mana orang yang dikejar oleh
Arya Salaka itu melenyapkan dirinya.
Sesaat kemudian di bawah rumpun bambu itu telah
menyala lebih dari sepuluh buah obor. Semua orang
berusaha untuk ikut mencari orang yang telah bersembunyi
di bawah rumpun bambu itu. Tetapi orang itu tidak dapat
diketemukan. "Aneh" desis Arya Salaka. "Aku telah mengejarnya,
sedang jarak kita menjadi semakin dekat. Aku pasti, bahwa
orang itu menyusup ke dalam rumpun ini, namun tiba-tiba
ia telah hilang." Semua orang menjadi tegang. Apakah perisitwa ini ada
hubungannya dengan hilangnya Widuri" Tetapi kalau
demikian, maka apalagi yang akan dicarinya di rumah Ki
Ageng Gajah Sora" Tanpa mereka sengaja maka sebagian dari mereka
segera menghubungkan peristiwa itu dengan hal-hal yang
gaib, yang tidak dapat dikupas dengan nalar. Tetapi Ki
Ageng Gajah Sora, Lembu Sora, Wanamerta segera
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menghubungkannya dengan keris-keris Kiai Nagasasra dan
Kiai Sabuk Inten. "Apakah masih ada yang menyangka bahwa keris-keris
itu berada di Banyubiru?" berkata mereka di dalam hati
mereka. "Seandainya demikian, siapakah yang masih akan
mencoba mencurinya?"
Yang paling mungkin adalah mereka, sisa-sisa dari
gerombolan hitam yang masih belum punah benar. Tetapi
di antara mereka, sudah tidak ada seorang pun yang akan
mampu mengganti kedudukan pemimpin-pemimpin mereka.
Kecuali apabila ada pendatang-pendatang baru yang akan
merebut kedudukan golongan itu.
Setelah puas mereka mencari, dan ternyata mereka tidak
menemukan apa-apa, maka segera mereka kembali ke
rumah Ki Ageng Gajah Sora. Sedang beberapa orang di
sekitarnya kembali pula ke rumah-rumah masing-masing
sambil bergumam. "Hem, Kiai Jenggot itu kini mengganggu
lagi." Kembali di pendapa Banyubiru, beberapa orang
berkumpul membicarakan keanehan yang baru saja di lihat
oleh Arya Salaka. Dalam kesibukan pembicaraan itu, maka
berkatalah Ki Ageng Gajah Sora. "Arya, apakah kau benarbenar melihat seseorang, atau hanya karena hatimu yang
sedang gelap itu saja, maka kau seolah-olah melihat
seseorang di halaman ini?"
"Aku melihat sebenarnya ayah", jawab Arya. Namun tibatiba ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ia merasa bahwa ia
melihat seseorang. Melihat keragu-raguan itu, maka berkatalah Ki Ageng
Gajah Sora, "Atau sebuah mimpi yang buruk?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya menggigit bibirnya. Namun kemudian ia berkata.
"Marilah kita lihat."
Arya tidak menunggu jawaban dari siapa pun. Segera ia
turun ke halaman dan menyuruh beberapa orang penjaga
menyalakan obornya. Ayahnya, pamannya, Kebo Kanigara
dan orang-orang lain segera mengikutinya. Mereka pergi ke
halaman belakang dengan obor di tangan.
Beberapa saat kemudian terdengar Arya itu berteriak.
"Inilah ayah. Lihatlah bekas-bekasnya. Apakah hanya bekas
kakiku sendiri?" Semua orang kemudian mendekatinya. Di bawah dinding
mereka melihat beberapa berkas bekas kaki. Seberkas
adalah kaki Arya Salaka, sedang beberapa langkah di
sampingnya diketemukan pula seberkas telapak kaki. Salah
satu dari berkas-berkas itu adalah kaki orang yang
dikejarnya. Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka
kini percaya bahwa seseorang telah memasuki halaman ini
tanpa diketahui, meskipun Gajah Sora untuk sementara
masih perlu menempatkan beberapa orang penjaga di
sekitar rumahnya. "Aneh" gumam mereka. Dan sebenarnyalah bahwa hal
itu sangat mengherankan beberapa orang penjaga di
sekitar rumahnya. Malam itu, kemudian hampir tak seorang pun dari
mereka yang berada di pendapa, sempat untuk pergi tidur.
Mereka mondar-mandir saja kesana kemari. Meskipun
kemudian Lembu Sora masuk juga ke gandok wetan, namu
orang itu tidak juga dapat tidur. Sedang Kebo Kanigara
masih belum beranjak dari tempatnya di pendapa
Banyubiru. Hanya kini ia duduk bersandar tiang. Pandangan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
matanya jauh menyusup ke dalam gelapnya malam,
menyentuh ujung pepohonan di kejauhan. Gelap. Malam itu
semakin gelapnya. Ketika ia melihat Arya Salaka naik ke pendapa dan duduk
di sampingnya, maka terdengar Kebo Kanigara itu bertanya
lirih. "Kenapa kau tidak membangunkan seorang pun Arya."
Arya duduk dengan gelisahnya. Kemudian jawabnya,
"Aku tergesa-gesa paman. Aku lupa segala-galanya. Aku
hanya mengharap untuk dapat menangkapnya."
"Orang itu bukan orang kebanyakan. Sangat berbahaya
bagimu Arya. Siapa tahu ia memiliki sesuatu yang lebih
berbahaya dari Sasra Birawa."
Arya menundukkan kepalanya. Kata-kata Kebo Kanigara
ittu dapat dimengertinya. Namun ia benar-benar tidak
mendapat kesempatan untuk berbuat banyak.
Demikianlah malam itu Banyubiru diliputi oleh suasana
yang aneh. Mirip dengan suasana yang pernah mereka
alami sebelum Arya Salaka hilang dari lingkungan rakyat
Banyubiru. Demikian pula suasana di rumah Ki A geng Gajah
Sora. Dahulu mereka juga berjaga di pendapa itu. Dahulu
mereka duduk dengan kesiagaan penuh di pendapa, di luar
pendapa bahkan beberapa orang berjaga-jaga di halaman
belakang. Namun keris-keris yang mereka simpan ternyata
lenyap pula. Gajah Sora menarik nafas. "Hem", desahnya "Waktu itu
ternyata Panembahan Ismaya berusaha menyelamatkan
pusaka-pusaka itu. Tetapi sekarang siapa" Apakah
Panembahan itu pula?"
Gajah Sora itu menggeleng dengan sendirinya Panembahan Ismaya tidak akan membuat mereka menjadi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bingung lagi tanpa maksud-maksud tertentu yang tidak
mereka mengerti sebelumnya. "Apakah kali ini juga
terkandung maksud seperti itu?"
Namun tak seorang pun yang dapat duduk dengan
tenang. Wanamerta pun menjadi gelisah. Bantaran,
Penjawi, Jaladri berjalan hilir mudik di halaman dengan
pedang di pinggang masing-masing. Bahkan Jaladri tidak
lupa pula membawa senjatanya yang aneh, canggah,
tombakbermata dua. Halaman rumah Ki Ageng Gajah Sora benar-benar di
kuasai oleh ketegangan. Suasananya mirip benar dengan
suasana peperangan. Tetapi mereka tidak tahu pasti
siapakah musuh yang harus mereka hadapi.
Malam itu pun semakin lama menjadi semakin tipis.
Ketika di timur telah membayang warna merah, maka
terdengarlah ayam jantan berkokok bersahut-sahutan untuk
yang terakhir kalinya. Kabut yang tebal turun membawakan
udara yang sangat dingin. Sehingga kepekatan malam itu
pun kemudian disusul dengan kabut yang keputih-putihan
memagari pandangan. Meskipun malam telah hampir
lenyap, namun lereng Telamaya itu kini seakan-akan
berselimut dengan kabut yang tebal, seperti seorang
raksasa yang berbaring kedinginan.
Tetapi malam itu telah dilampauinya tanpa terjadi
sesuatu yang menggoncangkan suasana. Mereka memasuki
hari mendatang dengan nafas lega. Meskipun demikian, apa
yang terjadi pada malam itu sangat mempengaruhi
ketentraman hati para pemimpin Banyubiru.
Pagi itu Arya Salaka telah mengutus tiga orang untuk
menyampaikan kabar tentang hilangnya Endang Widuri ke
Gunungkidul. Arya telah berpesan dengan sungguhSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sungguh, bahwa mereka hanya menyampaikan pemberitahuan saja. Segala sesuatunya kemudian terserah
kepada Mahesa Jenar sendiri, meskipun di dalam hati Arya
mengharap agar gurunya itu mengambil keputusan untuk
datang ke Banyubiru. Arya yang masih muda itu sama
sekali tidak dapat mempertimbangkan persoalan-persoalan
lain yang menyangkut kehidupan gurunya.
Demikianlah maka ketiga orang itu, yang dipimpin oleh
Bantaran berpacu menunju ke Gunungkidul. Suara kaki-kaki
kuda berderak-derak memecah kesunyian pagi. Beberapa
orang melihat Bantaran memacu kudanya secepat angin.
Maka timbullah beberapa pertanyaan di hati mereka. Ke
manakah Bantaran sepagi ini"
Sepeninggalan Bantaran orang-orang di Banyubiru masih
meneruskan usaha mereka mencari Endang Widuri. Arya
Salaka sendiri menjelajahi segenap sudut Banyubiru.
Namun Endang Widuri benar-benar lenyap. Karena itu,
maka Arya Salaka menjadi gelisah, cemas dan marah yang
meluap-luap. Ia tidak akan menjadi sedemikian gelisah, seandainya ia
harus mencari apa-apa yang hilang, bahkan pusaka
Banyubiru sekalipun. Sebab ia akan dapat mempergunakan
waktu yang panjang. Seminggu, sebulan bahkan setahun
dua tahun sebelum benda itu diketemukan. Namun tidak
akan dapat terjadi demikian dengan Endang Widuri. Ia tidak
dapat menunggu sebulan, dua bulan atau lebih. Sebab
dengan demikian banyak hal yang akan dapat terjadi
dengan gadis itu. Hal-hal yang tidak akan dapat terjadi
dengan pusaka-pusaka atau benda-benda lain. Sebenarnyalah bahwa Endang Widuri bukanlah bendabenda itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam keadaan yang demikian itulah, maka terasa sekali
pada A rya Salaka, bahwa ia tidak sekadar kehilangan tamu
atau kawan bermain baginya. Tetapi, bahwa dengan
hilangnya Endang Widuri, terasa ada sesuatu yang hilang
pula dari hatinya. Sesuatu yang tidak jelas dapat
dikatakannya. Namun dapat dirasakannya.
Ibunya, Nyai Ageng Gajah Sora menjadi sangat
bersedih pula. Bukan saja karena Widuri sudah menjadi
sangat cumbu padanya. Namun sebagai seorang ibu,
segera ia dapat melihat, luka yang tergores di hati anaknya.
Nyai Ageng sangat iba melihat Arya Salaka kadang-kadang
merenungi titik-titik di kejauhan, namun kadang-kadang ia
menjadi sangat gelisah. Bahkan anak muda itu sering sekali
dengan serta merta meloncat di atas punggung kudanya
dan berlari menghambur ke tempat yang tak diketahuinya,
apabila perasaannya mendesaknya untuk segera menemukan Endang Widuri. Namun kemudian Arya Salaka
kembali pulang dengan wajah yang pedih.Widuri belum
diketemukan. Tidak saja Arya Salaka yang mencarinya hampir
sepanjang hari di setiap hari. Namun Kebo Kanigara pun
kemudian jarang-jarang tampak di rumah Ki Ageng Gajah
Sora. Hampir setiap hari apabila matahari telah terbit ke
Timur, Kebo Kanigara segera minta diri untuk mencari
anaknya. Dengan seekor kuda yang dipinjamnya dari
Banyubiru, Kebo Kanigara berputar ke segenap penjuru.
Tetapi seperti Arya Salaka, maka Kebo Kanigara itu pun


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian pulang seorang diri.
Sehingga akhirnya, Kebo Kanigara itu berkata kepada Ki
Ageng Gajah Sora, "Ki Ageng. Apabila Endang Widuri tidak
segera dapat aku ketemukan, maka aku akan mohon diri
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
untuk mencarinya. Aku tidak akan dapat mengatakan,
berapa lama waktu yang akan aku pergunakan untuk itu."
Ki Ageng Gajah Sora menjadi gelisah pula. Namun
jawabnya, "Jangan tergesa-gesa meninggalkan Banyubiru
kakang. Kita disini masih berharap untuk menemukannya."
"Tetapi bagaimanakah kalau Widuri telah di bawa orang
meninggalkan Banyubiru."
Ki Ageng Gajah Sora tidak dapat menjawab pertanyaan
itu. Sebenarnya akan sangat menggelisahkan apabila
diketahui bahwa Endang Widuri sudah tidak berada di
Banyubiru lagi. Tetapi bagaimana"
Bahkan kemudian Ki Ageng Gajah Sora itu telah sampai
pada suatu keputusan, untuk menyebar orang-orangnya
jauh ke luar Banyubiru, di samping para pengawas yang
telah di tempatkan di setiap pintu kota, dan di garis batas.
Mungkin Endang Widuri berada di D emak, di Pajang, Jipang
atau Bergota. Namun ia masih menunggu, apakah yang
akan dikatakan oleh Bantaran setelah ia kembali dari
Gunungkidul. "Biarlah aku menunggu Bantaran itu pulang Ki Ageng"
berkata Kebo Kanigara. "Mudah-mudahan tidak terlalu
lama, sehingga aku tidak akan terlambat."
Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia mencoba ikut merasakan apa yang menyebabkan Kebo
Kanigara menjadi sangat murung dan pendiam. Apalagi
kalau Ki A geng itu melihat Arya Salaka menjadi seperti anak
yang kehilangan sikap. Sekali-kali ia berbaring dibiliknya,
namun tiba-tiba ia berlari keluar untuk hanya sekedar
duduk di bawah pohon sawo sambil bertopang dagu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bantaran yang mendapat tugas untuk pergi ke
Gunungkidul, berusaha melakukan pekerjaannya sebaikbaiknya. Dengan kecepatan yang sebesar-besarnya ia
memacu kudanya di atas jalan berbatu-batu. Di turuninya
lereng bukit Telamaya, dan kemudian di atas jalan-jalan
ngarai ia menerobos hutan-hutan rindang menempuh jalan
yang telah di ancar-ancarkan. Namun Bantaran itu
menyadari, bahwa perjalanannya bukan perjalanan yang
ringan. Sekali-kali ia harus menempuh belukar yang pepat
dan jarang-jarang dilewati orang. Karena itulah maka di sisi
kudanya tersangkut pula sebuah busur dan endong yang
penuh dengan anak panah. Apabila keadaan memaksa,
maka dengan senjata itu ia dapat mempertahankan dirinya
dalam jarak yang jauh sambil berkuda. Namun yang
penting baginya apabila mereka harus bermalam di
perjalanan senjata itu akan dapat dipakainya untuk berburu
binatang. Selain panah-panah itu, dilambungnya tersangkut pula
sebilah pedang panjang. Senjatanya itu hampir tak pernah
berpisah dari tubuhnya sejak ia menyingkir ke Gedong
Sanga. ----------o-dwkzOarema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
V Sementara itu, Mahesa Jenar dan Rara Wilis telah sampai
ke Gunungkidul. Perjalanan yang mereka tempuh adalah benar-benar
perjalanan yang mengasyikkan. Apabila sebelumnya mereka
selalu berada dalam perjalanan yang diliputi oleh
ketegangan-ketegangan yang mendebarkan, maka perjalanan kali ini selalu diliputi oleh sendau gurau yang
riang. Meskipun dapat di tempuh jalan lain yang lebih baik,
seperti yang telah diberitahukan oleh Sarayuda kepada
Kebo Kanigara apabila ia akan menyusul kelak, namun kali
ini Sarayuda sengaja menempuh jalan yang lain. Jalan yang
sangat sulit. Tetapi kesulitan itu benar-benar tidak terasa
oleh Rara Wilis. Karena itu, maka perjalanan mereka kali ini
melewati daerah-daerah yang sukar. Mereka ternyata
memasuki hutan-hutan yang pepat. Bahkan kemudian
mereka melewati daerah Gelangan dan menjelujur di kaki
bukit Tidar. Mahesa Jenar yang pernah bertempur di atas bukit itu
melawan Ki Ageng Gajah Sora memandangi bukit kecil itu
dengan kesan yang aneh. Sebuah kenangan telah
menggores di dadanya. Seandainya pada saat itu, Aji Sasra
Birawa yang ada padanya tidak seimbang dengan Aji Lebur
Saketi yang dimiliki oleh Ki Ageng Gajah Sora, maka
entahlah apa yang terjadi. Namun agaknya Ki Ageng Sora
Dipayana benar-benar telah mengukur kekuatan yang
tersimpan di dalam dirinya waktu itu, dan kekuatankekuatan yang tersimpan di dalam diri anaknya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi saat ini Sarayuda tidak mengambil jalan ke arah
Pangrantunan, namun perjalanan itu mengarah terus ke
selatan. Setelah bermalam diperjalanan, sampailah mereka ke
hutan yang cukup lebat. Mentaok.
"Apakah kita akan ke hutan ini Sarayuda?" bertanya
Mahesa Jenar. "Ya" sahut Sarayuda "Jalan yang paling dekat".
Mahesa Jenar meragukan jawaban itu. Tetapi ia tidak
menjawab. Diikutinya saja Sarayuda yang berkuda lewat
jalur jalan yang dahulu pernah dilalui. Mereka akhirnya
sampai juga di Pliridan dan tanpa setahu Mahesa Jenar,
tiba-tiba mereka sudah berada di depan sebuah goa.
Mahesa Jenar terkejut melihat goa itu. Goa yang pernah
ditinggal oleh Ki Ageng Pandan Alas.
"Apakah kau pernah melihat goa itu Mahesa Jenar?"
Mahesa Jenar tersenyum. Kemudian katanya, "Entahlah,
bertanyalah kepada Wilis."
Rara Wilis hanya dapat menundukkan wajahnya.
Kenangan itu tiba-tiba telah menerkam hatinya. Tetapi ia
adalah seorang gadis. Tanggapannya atas kenangan itu
tidak seperti Mahesa Jenar. Karenanya tiba-tiba matanya
terasa sangat panas. Dan setetes air mata jatuh
dipangkuannya. Sarayuda dan Mahesa Jenar kemudian berdiam diri.
Tetapi mereka tidak menjadi cemas, meskipun mereka
melihat Rara Wilis itu menangis. Sebab mereka tahu, bahwa
gadis itu sedang di ganggu oleh sebuah kenangan.
Kenangan yang menakutkan seperti terjadi saja di dalam
mimpi. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebenarnya memang Rara Wilis sedang mengenangkan
masa-masa lampaunya. Di hutan inilah ia dahulu hampir
saja membunuh dirinya, seandainya tidak ada seorang yang
bernama Mahesa Jenar itu, yang sekarang ini berada di
dekatnya sebagai seorang yang telah merampas segenap
hatinya. Di hutan ini pula ia bertemu dengan kakeknya, Ki
Ageng Pandan Alas. Dan di hutan ini pula ia hampir di
terkam Ular Laut yang mengerikan. Tetapi semuanya itu
sudah lampau. Semua pahit getir penghidupan telah
dialami. Bahaya yang dilampauinya tidak saja di hutan
Mentaok ini, namun kemudian nyawanya pun telah
diserahkannya untuk merebut kembali ayahnya dari tangan
Harimau betina di Gunung Tidar. Namun ayahnya itu telah
mati pula. Kini ia tinggallah seorang gadis yatim piatu.
Di hutan itu, di daerah Pliridan yang sepi itulah mereka
bermalam kembali. Daerah yang pernah memberi mereka
suatu kenangan yang pahit.
Tetapi pada malam itu, mereka dikejutkan oleh kehadiran
beberapa orang yang bertubuh besar dan bengis. Mereka
dengan serta merta mengancungkan senjata- senjata
mereka kepada rombongan itu.
"Apakah kehendakmu?" bertanya Sarayuda kepada
pemimpin mereka. "Harta atau nyawa?" gertak mereka.
Sarayuda tertawa. Jawabnya, "Kenallah kalian kepada
kami?" Orang itu menarik alisnya. Kemudian geramnya,
"Persetan dengan kalian. Aku tidak pernah bertanya,
siapakah korbanku kali ini. Semua pedagang yang lewat di
daerah ini adalah hidangan buat kami."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kami telah membawa beberapa orang pengantar yang
akan dapat melawan kalian."
"Hem, aku sudah tahu. Kalian pasti membawa beberapa
orang pengantar. Nah sekarang biarlah kami bertempur.
Pekerjaan ini sudah kami lakukan bertahun- tahun."
Sekali lagi Sarayuda tertawa. Karena itulah maka
pemimpin mereka membentak. "Jangan tertawa. Ayo,
apakah kau pemimpin dari para pengawal."
Sarayuda maju selangkah. Kemudian katanya, "Berapa
orangkah jumlah kalian?"
"Lima belas orang" sahut
orang itu. "Kalau kami memberi tanda, maka akan datang lagi lima belas orang
pula." Tiba-tiba sebelum Sarayuda menjawab, maka Mahesa Jenar telah melangkah maju pula. Dengan tenangnya ia berkata. "Jangan membual.
Apakah kau sekarang bergabung dengan sisa anak
buah Lawa Ijo?" Pemimpin rombongan itu terkejut. Diamat-amatinya
Mahesa Jenar dengan seksama. Kemudian katanya,
"Siapakah kau?"
"Sakayon" jawab Mahesa Jenar.
"He?" mata orang itu terbelalak. "Darimana kau tahu
namaku?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku Sakayon dari Gunung Tidar. Dahulu aku adalah
anak buah Sima Rodra."
Orang itu menjadi semakin heran. Namun ketika
terpandang olehnya wajah Mahesa Jenar yang semakin
lama menjadi semakin jelas, maka terdengar suaranya
parau, "Apakah kau Mahesa Jenar?"
Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya "Kau masih
mengenal aku" Kapankah kau melihat wajahku?"
Sakayon pernah melihat Mahesa Jenar beberapa kali. Ia
ikut dengan Sima Rodra ke Gedangan, ia turut pula
mencegat laskar Demak di Gunung Telamaya, dan ia
melihat Mahesa Jenar bertempur melawan beberapa orang
tokoh hitam. Karena itu, setelah Sakayon itu yakin, bahawa yang
berdiri dihadapannya itu Mahesa Jenar, maka katanya
terbata-bata. "Mahesa Jenar, kami tidak tahu, bahwa
rombongan ini adalah rombonganmu. Karena itu, maka aku
mencegatnya. Aku sangka bahwa rombongan ini adalah
rombongan para pedagang yang akan menyeberangi hutan
ini." "Hem. Jadi perbuatan-perbuatan yang demikian itu masih
saja kalian lakukan setelah lurahmu mati?"
Sakayon tidak menjawab, tetapi kepalanya ditundukkannya. "Sakayon, apakah kau percaya, bahwa rombonganku
akan dapat menumpas rombonganmu sekarang ini?"
Wajah Sakayon menjadi pucat. Sekali ia berpaling.
Dilihatnya beberapa anak buahnya menjadi heran. Tetapi
ada di antaranya yang pernah melihat Mahesa Jenar. Bekas
anak buah Sima Rodra dan bekas anak buah Lawa Ijo yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bergabung itu, kini diliputi oleh ketegangan. Namun mereka
yang baru dalam pekerjaannya, mencoba untuk masih
menunjukkan kegarangannya. "Siapakah orang itu kakang
Sakayon?" "Mahesa Jenar" jawab Sakayon gemetar.
"Apakah orang itu anak gendruwo, sehingga kita takut
kepadanya." "Bukan saja anak gendruwo" jawab salah seorang di
antara mereka bekas anak buah Lawa Ijo. "Tetapi anak
malaekat." Orang baru itu menjadi heran. Apalagi ketika ia
mendengar Sakayon menjawab. "Aku percaya Mahesa
Jenar. Aku minta maaf."
"Lihatlah, di antara orang-orang ini adalah prajuritprajurit pilihan." berkata Mahesa Jenar menakut-nakuti.
"Kami mendapat tugas untuk memusnahkan gerombolangerombolan yang masih saja mengacau di hutan Mentaok
ini. Kami harus membersihkan hutan Mentaok, Tambak
Baya dan daerah-daerah Beringan dan Pacetokan,


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seluruhnya." "Ampun. Kami minta ampun," tiba-tiba suara Sakayon
menjadi semakin gemetar dan cemas.
"Kami akan mengampuni kalian, tetapi ada syaratsyaratnya!" Sakayon terdiam. Ia tidak tahu, syarat apakah yang akan
dituntut oleh Mahesa Jenar itu. Karena itu, maka ia
menunggu Mahesa Jenar berkata, "Sakayon. Kami
mendapat tugas untuk memberantas kejahatan di hutan ini.
Kalau kalian berjanji untuk menghentikan kejahatan ini,
maka kalian akan aku ampuni. Namun kalau tidak, maka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
jangan mengharap kalian hidup lebih lama lagi. Kemana
saja kalian bersembunyi, maka kami pasti akan dapat
menemukan. Kami bawa kalian ke Demak dan kalian akan
kami adu melawan harimau di alun-alun sebagai tontonan."
Sakayon dan beberapa orang di dalam gerombolan itu
tahu benar siapa Mahesa Jenar itu. Karena itu maka
katanya, "Baiklah Mahesa Jenar. A ku terima syarat itu."
Mahesa Jenar tertawa. Katanya, "Aku sudah mengenal
watak kalian. Kalian berjanji hanya apabila kalian
menghadapi bahaya. Meskipun demikian aku percaya
padamu kali ini. Kembalilah kerumahmu masing-masing,
dan cobalah hidup seperti orang-orang lain. Mereka tidak
perlu mengalami kegelisahan seperti yang selalu kau alami.
Dengan demikian maka kau akan dapat hidup tenteram."
Sakayon menggeleng. Jawabnya, "Aku sudah tidak
mempunyai rumah dan tempat tinggal. Aku adalah seorang
layang kabur kanginan."
Mahesa Jenar menarik nafas. Namun kemudian ia
berkata, "Sakayon. Daerah ini adalah daerah yang subur.
Dahulu Pliridan adalah daerah yang ditinggali oleh beberapa
orang petani. Kau dapat mengusahakan tanah ini. Dengan
tekad yang baik, kau akan dapat berhubungan dengan
orang-orang lain untuk mengadakan tukar menukar hasil
tanah ini dan mungkin hasil hutan yang dapat kau
usahakan." Sakayon mengangguk-anggukkan kepalanya. Terjadilah
suatu pergolakan di dalam hatinya. Kata-kata Mahesa Jenar
itu tanpa sesadarnya telah direnungkannya, dan dicernakannya di dalam hatinya, sehingga akhirnya
terdengar kata-kata di dalam hatinya, "Mahesa Jenar
berkata sebenarnya." Ditambah lagi dengan rasa takutnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
atas ancaman Mahesa Jenar untuk membawanya ke Demak
dan mengadunya dengan harimau di alun-alun. Sedang ia
percaya sepenuhnya, bahwa Mahesa Jenar itu pasti akan
dapat berbuat demikian. Menangkapnya kemana saja ia
bersembunyi. Karena itu maka katanya. "Mahesa Jenar. Aku berterima
kasih atas segala nasehatmu. Akan aku coba untuk
mengusahakan tanah ini. Dan aku coba untuk menghubungi
keluarga kami dengan tekad yang baik. Mudah-mudahan
aku berhasil." Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
tersenyum. Kemudian ia maju selangkah menepuk bahu
Sakayon sambil berkata. "Sarungkan senjatamu."
Sakayon tidak dapat berbuat lain daripada menyarungkan goloknya sambil menundukkan kepalanya.
Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika di dengarnya seorang
daripada anak buahnya, seorang anak muda yang bertubuh
tinggi tegap, setegap raksasa kerdil, berkata dengan
lantang. "He, kakang Sakayon. Sejak kapan kau menjadi
seorang perempuan cengeng."
Sakayon mengangkat wajahnya. Jawabnya. "Jangan
melawan Gendon. Tak ada gunanya. Lebih baik kau
dengarkan nasihatnya."
Anak muda yang bernama Gendon itu sama sekali tidak
puas. Di samping Sakayon ia merasa orang yang paling
penting di dalam gerombolan itu. Karena itu, maka ia
melangkah maju sambil menunjuk wajah Mahesa Jenar. "He
apakah kau memiliki guna-guna dan menenung kakang
Sakayon sehingga ia menjadi tunduk kepada kemauanmu?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menggeleng. "Tidak. Aku tidak dapat
merenungnya. Tetapi ia dalah sahabat lamaku."
Gendon menjadi heran. Sekali ia memandang wajah
Sakayon, namun betapa pun juga ia tidak yakin akan kata
Mahesa Jenar. Maka dengan lantangnya ia berkata, "Kalau kau tidak ikut
kakang Sakayon. Maka biarlah aku selesaikan pekerjaan ini
sendiri. Ayo, siapa ikut aku?"
Beberapa orang di antara mereka melangkah maju.
Namun mereka menjadi heran, justru orang-orang lama,
anak buah Sakayon sendiri dan bekas anak buah Lawa Ijo
yang mereka bangga-banggakan sama sekali tidak
bergerak. Bahkan diantaranya berkata. "Jangan".
Tetapi Gendon yang merasa usahanya selama ini selalu
berhasil tidak memperdulikannya. Dengan goloknya ia
menunjuk wajah Mahesa Jenar. "Ayo, berikan semua harta
bendamu." Mahesa Jenar memandang anak muda itu dengan sedih.
Anak itu memiliki tubuh yang kokoh kuat dan memiliki sikap
yang meyakinkan. Namun sayang. Ia terperosok dalam
lingkungan yang kelam. Karena Mahesa Jenar tidak segera menjawab, maka
terdengar anak itu membentak kembali. "Ayo. Cepat".
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Sambil menunjuk
Sarayuda ia berkata. "Lihatlah. Kawanku itu berpedang pula
di lambungnya. Kau tahu gunanya pedang?"
Gendon ragu-ragu sejenak. Kemudian teriaknya. "Tidak
peduli. Serahkan harta benda yang kau bawa."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menggigit bibirnya. Ketika ia berpaling,
masih dilihatnya beberapa orang kawan-kawan Sarayuda
duduk dengan tenangnya. Mereka sama sekali hampir tidak
tertarik pada gerombolan itu. Sebab mereka yakin benar,
apa yang akan dapat dilakukan oleh Sarayuda dan Mahesa
Jenar, meskipun ia tidak kehilangan kewaspadaan. Bahkan
beberapa di antara mereka telah meraba hulu pedang
mereka. Hanya Rara Wilis lah yang kemudian bangkit
berdiri sambil berkata. "Sakayon. Apakah kau tidak mau
membawa orang-orangmu pergi."
"Oh" Sakayon tergagap.
Namun Gendon itu berteriak. "Ha. Ternyata ada seorang
gadis pula di antara mereka. Agaknya gadis itu tak kurang
cantiknya. Ayo, menyerahlah. Dan serahkan gadis itu
kepadaku." Tiba-tiba Mahesa Jenar membungkukkan badannya.
Katanya, "Baiklah ambillah gadis itu kalau mau. Tetapi
jangan ganggu rombongan ini."
"Ah" desah Rara Wilis. Ia tahu Mahesa Jenar akan
menunjukkan kepada anak muda itu, bahwa ia sedang
berhadapan dengan orang-orang yang tak akan mungkin
dikalahkannya. Gendon ragu-ragu sesaat. Namun kemudian ia berkata.
"Baiklah, ayo ikut aku. Aku tidak akan mengganggu kalian,
asalkan, kecuali gadis ini, semua harta bendamu aku bawa
pula." Rara Wilis maju beberapa langkah. Tiba-tiba ditariknya
pedang dari lambung Sarayuda. Dengan lantang gadis itu
berkata. "Pergilah anak muda. Pergilah."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gendon terkejut. Tiba-tiba ia meloncat mundur.
Dilihatnya Rara Wilis itu maju lagi sambil mengacungkan
pedangnya. "Pergilah."
Gendon diam sesaat. Namun yang terdengar suara
Mahesa Jenar. "Anak itu bukan Jaka Soka Wilis."
"Ah" kembali Rara Wilis mendesah.
Tetapi Gendon belum mengenal Rara Wilis. Ia menjadi
rikuh kepada kawan-kawannya. Ternyata gadis ini akan
melawannya. Sarayuda yang membiarkan pedangnya ditarik oleh Rara
Wilis tertawa saja sambil bertolak pinggang. Agaknya Rara
Wilis yang paling tidak senang melihat gerombolan itu,
sebab ingatannya tentang gerombolan semacam itu, benarbenar mendirikan bulu romanya. Karena itu maka segera ia
berusaha untuk mengusirnya.
Tetapi ketika Gendon menyadari keadaannya, ia menjadi
sangat marah. Karena itu dengan serta merta ia menyerang
Rara Wilis dengan garangnya, meskipun ia hanya
bermaksud untuk menakut-nakuti. Tetapi terjadilah hal
yang tak di sangka-sangka. Tiba-tiba Rara Wilis
menggerakkan pedangnya dalam putaran untuk melibat
golok lawannya. Alangkah terkejutnya Gendon itu. Pedang
Rara Wilis itu seakan-akan melilit goloknya dan sebuah
tekanan yang kuat telah melemparkan goloknya beberapa
langkah. Sebelum ia mampu berbuat sesuatu terasa ujung
pedang Rara Wilis melekat di dadanya.
Tubuh Gendon itu pun kemudian menjadi gemetar.
Terasa bahwa nyawanya tiba-tiba saja telah bergerak
keubun-ubunnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebelum Rara Wilis berkata sepatah kata pun, maka
terdengar Mahesa Jenar mendahului, "Bagaimana" Apakah
kau benar-benar ingin membawa gadis itu?"
"Tidak-tidak" suara Gendon menjadi gemetar seperti
tubuhnya. Sakayon hampir tak dapat menahan tawanya. Namun
kemudian ia berkata, "Aku minta ampun untuknya, Mahesa
Jenar." "Pergi, pergi" berkata Rara Wilis lantang. Ia menjadi
muak melihat orang-orang yang kasar dan bengis itu berdiri
saja dimukanya. "Baiklah" sahut Sakayon, "Kami akan pergi. Dan kami
akan mencoba melakukan nasihat-nasihatmu, Mahesa
Jenar." "Cobalah" sahut Mahesa Jenar. "Hari depanmu masih
cukup panjang untuk menghapus noda-noda yang melekat
pada tubuh dan jiwamu."
Sakayon itu pun kemudian mengajak kawan-kawannya
pergi. Gendon berjalan paling belakang sambil menundukkan wajahnya. Ia tidak dapat mengerti, kenapa ia
berjumpa dengan seorang gadis garang itu. Namun
akhirnya ia mendengar seluruhnya dari Sakayon. Siapasiapa saja yang berada di dalam rombongan itu. Terutama
Mahesa Jenar dan Rara Wilis.
Ketika kemudian malam itu telah lampau, dan matahari
pergi dengan cerahnya menjengukkan dirinya dari balik kaki
langit, maka rombongan itu berangkat pula meneruskan
perjalanan mereka. Namun kini mereka tidak melintas
hutan Tambak Baya, tetapi mereka menempuh jalan lain,
agak ke selatan terus ke Gunungkidul.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Di iringi oleh angin pagi, dan kicau burung-burung liar,
mereka berjalan dengan hati yang terang seperti terangnya
matahari. Langit yang biru bersih sekali membayang di selasela dedaunan di hutan yang semakin lama menjadi
semakin tipis. Sehingga akhirnya, mereka menempuh jalan
di antara padang-padang rumput dan gerumbul-gerumbul
rindang. Setelah mereka berjalan sehari penuh, maka
mulailah mereka sampai pada lembah-lembah yang subur di
daerah Gunungkidul. "Kami tidak akan bermalam lagi" berkata Sarayuda.
"Meskipun malam, kami harus memasuki induk Kademangan malam ini juga."
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Di
pandanginya lembah-lembah yang hijau di penuhi oleh
tanaman-tanaman padi yang subur. Di sana-sini, dalam
jarak yang cukup jauh, dilihatnya beberapa buah pedesaan
seperti pulau yang terapung di tengah-tengah lautan yang
hijau. "Daerah yang luas dan terpencar-pencar." berkata
Sarayuda ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang
bersungguh-sungguh. "Ya" sahut Mahesa Jenar. "Dimanakah induk Kademanganmu." Sarayuda tertawa. "Masih jauh," jawabnya. "Kami harus
mendaki bukit di hadapan kita itu. Nah, disanalah aku
tinggal." "Kenapa tidak di lembah yang subur ini?"
"Dari bukit ini aku dapat melihat, hampir seluruh tanahtanah ngarang yang terbentang di bawah kaki bukit.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bukankah Ki Ageng Gajah Sora membuat rumahnya di


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lereng Telamaya pula" Tidak di ngarai?"
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya kembali. Dari segi-segi yang lain, agaknya rumah di atas
bukit benar-benar menguntungkan. Seandainya rumah di
atas bukit benar-benar menguntungkan. Seandainya harus
dilakukan perlawanan atas penyerangan-penyerangan yang
kuat, maka kedudukan mereka yang berada di lereng
menjadi lebih baik. Sebenarnyalah malam itu mereka memasuki induk desa
Kademangan Gunungkidul. Demikian mereka mendekati
pedesaan itu, maka seorang dari para pengikut Sarayuda
harus berpacu lebih dahulu menyampaikan kabar kedatangan mereka kepada Ki Ageng Pandan Alas.
Sungguh di luar dugaan. Tiba-tiba mereka mendengar
kentongan berbunyi bertalu-talu. Kentongan yang agaknya
memberi tanda kehadiran Mahesa Jenar dan Rara Wilis di
Kademangan Gunungkidul. "Orang-orang di Gunungkidul telah berpesan kepadaku,
apabila kelak aku datang bersama Mahesa Jenar dan Rara
Wilis, maka mereka minta supaya mereka diberitahukan.
Kentongan itu adalah tanda untuk itu."
"Hem. Terlalu berlebih-lebihan" gumam Mahesa Jenar.
"Bukan maksudku. Mereka menganggap bahwa Mahesa
Jenar adalah seorang yang aneh. Lebih-lebih lagi adalah
Rara Wilis. Setiap orang di Gunungkidul telah mendengar,
bahwa Rara Wilis telah berhasil membinasakan Harimau
Betina yang pernah merobek-robek hati ibunya."
Mahesa Jenar tidak menjawab. Namun ia menjadi
terharu ketika tiba-tiba di dengarnya Rara Wilis mengeluh.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Betapa pun gadis itu berusaha menahan hatinya, namun
sambutan yang berlebih-lebihan itu benar-benar telah
meneteskan air matanya. Suara kentongan dan kata-kata
Sarayuda telah membangkitkan perasaan yang melonjaklonjak di dalam hatinya. Tanah yang terbentang di
hadapannya benar telah menumbuhkan berbagai kenangan.
Kenangan tentang dirinya di masa-masa kanak-kanak,
tentang ibunya dan tentang ayahnya. Di kenangnya betapa
perempuan yang cantik namun berhati ganas telah
merampas ayahnya. Di kenangnya ketika ia mencoba
memanggil ayahnya di rumah perempuan itu pada saat
ibunya sakit. Namun bukan main marah ayahnya
kepadanya. Dan di usirnya seperti anjing di iringi oleh derai
tertawa perempuan iblis itu. Tetapi perempuan itu telah
mati. Mati karena ujung pedang yang diterimanya dari
kakeknya, Ki Pandan Alas, yang oleh penduduk sedesanya
dikenal dengan nama Ki Santanu.
Dan kini, setelah bertahun-tahun ia meninggalkan
kampung halaman yang penuh dengan kenangan pahit itu,
ia akan kembali pulang. Dikenangnya, bahwa pada saat ia
meninggalkan tanah itu, tak seorang pun yang dipamitinya.
Tak seorang pun yang melambaikan tangannya sebagai
ucapan selamat jalan. Ia pergi saja seperti ia memang
harus pergi. Tetapi ketika kini ia kembali, maka hampir seluruh
penduduk induk Kademangan itu mengelu-elukannya.
Menyambutnya sebagai seorang yang sedemikian penting di
Kademangan itu. "Alangkah bahagianya seandainya ibuku menyaksikan
sambutan untukku ini," desah di dalam hatinya. "Tetapi ibu
itu telah meninggal dalam keadaan yang pedih."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Air mata Rara Wilis itu masih menetes terus. Dan karena
itu maka Mahesa Jenar dan Sarayuda sama sekali tidak
berkata sepatah kata pun juga.
Akhirnya, mereka melihat berpuluh-puluh obor keluar
dari induk desa dihadapan mereka. Obor-obor itu
berkumpul di sebuah lapangan, seperti sebuah alun-alun
kecil di muka rumah Sarayuda. Rumah yang besar dan
berhalaman luas. Rumah seorang Demang yang kaya raya.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis itu menjadi berdebar-debar
karenanya. Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan
bahwa mereka akan mengalami sambutan yang demikian
meriahnya. Sambutan yang menurut mereka adalah
berlebih-lebihan. Tetapi Sarayuda memang menyambut Rara Wilis dan
Mahesa Jenar itu dengan caranya. Ia ingin melenyapkan
kesan tentang luka yang pernah terpahat di hatinya. Luka
yang sebenarnya tak akan dapat disembuhkannya. Namun
dengan jujur Sarayuda telah berusaha. Ia benar-benar
melepaskan Rara Wilis dengan hati yang ikhlas. Dan gadis
itu kini tidak lebih daripada adik seperguruannya.
Demikian mereka memasuki halaman rumah Sarayuda,
maka demikian hati Mahesa Jenar dan Rara Wilis berdesir.
Di pendapa Kademangan itu telah dibentangkan tikar
pandan. Beberapa orang tua-tua telah menunggu mereka di
pendapa. Karena itu, demikian mereka melihat rombongan
itu memasuki halaman, demikian mereka serentak berdiri
dan turun ke halaman. Rara Wilis tertegun ketika ia melihat seorang perempuan
muda datang menyambutnya. Seorang yang pernah
dikenalnya dimasa kanak-kanaknya sebagai kawannya
bermain. Kini perempuan itu benar-benar menjadi seorang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
perempuan yang cantik, apalagi dalam pakaian yang cukup
baik. "Kau Rati" sapa Wilis.
Perempuan itu tersenyum sambil memegang kedua
lengan Rara Wilis dengan eratnya. "Kau tidak lupa
kepadaku, Wilis." "Tentu tidak" sahut Wilis. "Kita sama-sama mengalami
masa-masa yang pahit pada masa kanak-kanak kita. Kau
tahu bahwa hari ini aku akan datang?"
Perempuan yang bernama Rati itu berpaling ke arah
Sarayuda. Katanya, "Kakang Sarayuda memberitahukan
kepadaku." "Wilis," berkata Sarayuda. "Rati kini adalah istriku."
"Oh" suara Wilis terputus. Tiba-tiba terasa sesuatu yang
tak dimengertinya bergolak di dalam dadanya. Dengan
cepatnya melintas di dalam angan-angannya, betapa
Sarayuda pernah menjadi hampir gila karenanya. Hampir
saja Sarayuda binasa dalam perkelahian di Karang Tumaritis
karenanya pula. Kini setelah Sarayuda itu melepaskan niatnya dengan
ikhlas, maka dihadapannya berdiri Rati, kawannya bermain
di masa kanak-kanaknya, sebagai istri Sarayuda itu. Karena
itu maka tiba-tiba ia menjadi terharu. Dan dengan serta
merta dipeluknya perempuan itu erat-erat.
"Rati. Aku mengucapkan selamat kepadamu. Mudahmudahan kau akan menemukan kebahagiaan untuk
seterusnya." Rati pernah mendengar, apa yang terjadi atas kawannya
itu. Ia pernah mendengar dari Sarayuda sendiri, yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berkata dengan jujur tentang hari-hari lampaunya. Dan Rati
sama sekali tidak berkeberatan atas masa lampau itu.
Tetapi yang penting baginya, masa lampau adalah sumber
perhitungan buat masa depan. Namun masa depan itu
sendirilah yang terlebih penting baginya. Dan ia percaya
bahwa Sarayuda benar-benar telah melepaskan semua
hasratnya terhadap gadis cucu gurunya itu.
Rati itu pun menangis pula ketika Rara Wilis menangis
sambil memeluknya. Betapa pun garangnya gadis yang
bernama Rara Wilis itu, namun ia adalah seorang gadis.
Gadis yang dipengaruhi oleh segala macam keadaan di
masa kanak-kanaknya, sehingga Rara Wilis benar-benar
menjadi seorang gadis perasa. Seorang gadis yang mudah
meruntuhkan keharuan. Namun sejenak kemudian pendapa Kademangan Gunungkidul itu menjadi sangat meriah. Hampir-hampir
menyerupai sebuah perhelatan. Meskipun segala macam
persiapan dilakukan dengan tergesa-gesa, namun bagi
Mahesa Jenar dan Rara Wilis, sambutan itu benar-benar
telah mendebarkan jantung mereka. Sambutan yang sama
sekali tak disangka-sangkanya.
Ki Santanu sendiri bahkan hampir tak dapat berkata apa
pun dalam penyambutan itu. Di lingkungan sanak kadang,
maka seakan-akan lenyaplah sifat anehnya, sifat-sifat
Pandan Alasnya. Ia tidak lebih dari orang-orang tua yang
lain, yang duduk berjajar sambil berkelakar. Namun Ki
Santanu benar-benar menjadi terharu, ketika ia melihat,
bahwa seorang keturunannya akan mendapat tempat yang
baik di dalam perjalanan hidupnya. "Mudah-mudahan Wilis
dapat menyambung darah keturunan Pandan Alas" katanya
di dalam hati. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah maka sejak hari itu, Mahesa Jenar dan Rara
Wilis hidup dalam lingkungan keluarga Sarayuda. Mereka
tidak boleh meninggalkan rumah, meskipun rumah rumah
Rara Wilis yang dahulu masih juga ada, ditunggui oleh
beberapa orang keluarganya meskipun sudah jauh. Namun
Sarayuda minta kepada mereka untuk tinggal bersamanya.
"Rumahku cukup luas Mahesa Jenar," berkata Sarayuda.
"Biarlah Wilis tinggal di dalam bersama Rati dan biarlah kau
tinggal digandok kulon."
"Terima kasih Sarayuda," sahut Mahesa Jenar namun
terasa sesuatu berdesir di dadanya. Rumah itu bukan
rumahnya sendiri. Apakah kelak kalau ia telah berkeluarga, ia akan tinggal
di rumah orang lain pula" tidak dirumah sendiri" Suatu
persoalan yang selama ini belum pernah dipikirkannya.
Tetapi Mahesa Jenar tidak menyesal, bahwa selama ini ia
telah menyerahkan hampir segala-galanya kepada suatu
pengabdian. Pengabdian yang luhur dan ikhlas. Karena itu,
maka Mahesa Jenar pun dengan mantap memandang ke
depan, ke hari yang akan datang. Teringatlah ia akan katakata Rara Wilis, bahwa perkawinan bukanlah pertanda
bahwa segalanya telah selesai, namun perkawinan juga
merupakan pertanda akan mulainya persoalan-persoalan
baru yang tidak kurang rumitnya.
Dalam pada itu, Rara Wilis sebagai seorang gadis tidak
dapat melupakan sejenak pun akan hari-hari yang
dijelangnya. Dari Rati ia mendengar, betapa hari-hari
permulaan benar-benar memberinya kebahagiaan. Dan
Rara Wilis pun merindukan hari-hari itu. Karena itu, maka
hampir setiap saat gadis itu telah mereka-reka apa saja
yang harus dilakukan sebagai seorang istri. KewajibanSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kewajiban rumah tangga yang pasti akan jauh berbeda dari
yang penah dilakukannya. Tangan yang kecil itu tidak harus
lagi bermain-main dengan pedang, namun harus digenggamnya sebilah pisau dapur untuk menyiapkan
masakannya. Tetapi tiba-tiba angan-angan itu digetarkan oleh
peristiwa yang benar-benar mengejutkan. Dengan tergesagesa seseorang memberitahu, bahwa ada tiga orang tamu
yang ingin menemui Mahesa Jenar dan Rara Wilis.
Ketika Mahesa Jenar mendengar berita itu, dadanya pun
tergetar pula. Karena itu maka segera ia ingin tahu,
siapakah yang datang itu.
"Tiga orang berkuda dari Banyubiru" sahut orang itu.
Mahesa Jenar menjadi semakin berdebar-debar. Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu telah terjadi. Tetapi
sebagai seorang tamu, ia tidak dapat menerima orang itu
tanpa setahu Sarayuda. Namun Sarayuda segera berkata,
"Marilah. Persilahkan mereka kemari. Dimanakah mereka
sekarang?" "Mereka masih di alun-alun," jawab orang itu. "Seorang
anak muda yang sedang bekerja di sawah telah membawa
mereka sebagai penunjuk."
Orang itu pun kemudian mempersilakan tamu-tamu itu
masuk ke halaman Kademangan. Demikian orang itu
memasuki halaman, desir dada Mahesa Jenar menjadi
semakin keras. "Bantaran." desisnya.
Setelah mereka dipersilakan duduk di pendapa Kademangan, maka dengan ramahnya Demang Sarayuda
bertanya-tanya tentang keselamatan mereka, perjalanan
mereka dan yang mereka tinggalkan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Semuanya baik Ki Demang," sahut

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bantaran. "Perjalananku baik, dan yang berada di Banyubiru pun
baik." "Syukurlah" sahut Demang itu. Namun Mahesa Jenar
melihat sesuatu yang menggelisahkan diwajah Bantaran.
Sehingga setelah mereka bercakap-cakap sejenak, maka
Mahesa Jenar yang segera ingin tahu persoalan yang
dibawanya itu bertanya. "Apakah ada sesuatu yang perlu
kau sampaikan kepadaku Bantaran, atau kau hanya sekadar
melihat jalan yang harus ditempuh, apabila kelak beberapa
orang dari Banyubiru akan berkunjung kemari?"
Bantaran menarik nafas panjang. Kemudian setelah ia
bergeser sedikit, mulailah ia berbicara tentang keperluannya. Katanya, "Kedatanganku yang pertama-tama
memang hanya sekadar melihat, bagaimanakah jalan yang
kira-kira akan ditempuh, apabila nanti beberapa orang dari
Banyubiru akan berkunjung kemari." Bantaran itu berhenti
sejenak. Namun Mahesa Jenar menangkap sesuatu di balik katakata itu. Meskipun demikian dibiarkannya Bantaran berkata
terus. "Tetapi di samping itu" berkata Bantaran itu. "Aku
mendapat pesan dari angger Arya Salaka yang harus aku
sampaikan kepada kakang Mahesa Jenar di sini."
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Apakah pesan itu?"
"Lupakanlah dahulu pesan itu, Adi Bantaran. Tinggallah
disini dua atau tiga hari. Baru kau sampaikan pesan itu,"
potong Sarayuda. Namun Bantaran itu tersenyum. Katanya, "Sebenarnya
aku ingin berbuat demikian. Tetapi biarlah aku SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyampaikan pesan itu. Kalau kemudian aku harus tinggal
di sini untuk sementara, aku akan sangat bersenang hati."
"Baiklah" sahut Mahesa Jenar, "Sarayuda pasti tidak akan
berkeberatan." Sarayuda itu pun tertawa. "Silakanlah. Mungkin Mahesa
Jenar segera ingin mendengarnya. Tetapi dengan syarat,
bahwa pesan itu tidak akan memberinya rangsang yang
menggelisahkan." "Entahlah" jawab Bantaran, "Mudah-mudahan tidak."
"Nah. Katakanlah" Mahesa Jenar menjadi tidak sabar.
Bantaran berdiam diri sesaat. Di aturnya detak
jantungnya supaya ia dapat mengatakannya dengan baik
dan jelas. "Kakang Mahesa Jenar," berkata Bantaran itu.
"Pesan itu sangat pendek. Dan mudah-mudahan benarbenar tidak menggelisahkan kakang," kembali Bantaran
berhenti, sedang Mahesa Jenar menjadi semakin tidak
sabar. Baru sesaat kemudian Bantaran itu meneruskan.
"Sepeninggal kakang dari Banyubiru, ternyata Endang
Widuri telah hilang."
"He?" alangkah terkejutnya Mahesa Jenar mendengar
berita itu. Bukan saja Mahesa Jenar, tetapi juga Sarayuda
dan Rara Wilis. Berita itu benar-benar seperti bunyi guruh
yang meledak di atas kepala mereka. Sehingga dengan
serta merta Rara Wilis bertanya, "Endang Widuri puteri
Kakang Kebo Kanigara maksudmu?"
"Ya" sahut Bantaran.
Tiba-tiba semuanya jadi terbungkam. Berita itu benarbenar merupakan hal yang tidak pernah mereka sangka
akan dapat terjadi. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesaat kemudian berkatalah Mahesa Jenar, "Apakah
kakang Kebo Kanigara sudah pulang ke Karang Tumaritis
tanpa Widuri?" "Belum" jawab Bantaran.
"Belum?" ulang Mahesa Jenar seakan-akan tidak
percaya. "Ya belum." Hal ini pun merupakan suatu keanehan bagi Mahesa
Jenar. Kebo Kanigara masih berada di Banyubiru. "Kenapa
anak gadisnya itu dapat hilang dan sampai beberapa waktu
tidak segera dapat diketemukan?"
Karena itu maka Mahesa Jenar itu bertanya, "Apakah
yang sudah dilakukan di Banyubiru?"
"Semua orang telah mencoba untuk mencarinya. Ki
Ageng Gajah Sora, Kakang Kebo Kanigara sendiri, Arya
Salaka dan bahkan Ki Ageng Lembu Sora datang juga ke
Banyubiru. Semua orang telah berusaha mencari hampir di setiap
sudut Banyubiru. Semua jalan keluar telah dijaga segera
setelah diketahui Endang Widuri hilang. Bahkan beberapa
orang telah dikirim keluar Banyubiru. Namun Endang Widuri
Dendam Empu Bharada 41 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Pedang Berkarat Pena Beraksara 10

Cari Blog Ini