Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 45

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 45


belum diketemukan." "Apakah yang dilakukan oleh Kebo Kanigara?"
"Kami tidak tahu. Tetapi Kakang Kebo Kanigara itu
mencarinya hampir setiap saat. Hanya p ada malam harinya
saja kakang Kebo Kanigara pulang ke rumah Ki Ageng.
Bahkan malam hari pun kadang-kadang kakang Kebo
Kanigara tidak pulang."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Apalagi setelah ia
mendengar bahwa di halaman Banyubiru pun telah
dikejutkan oleh sebuah bayangan yang tak dapat ditangkap
oleh Arya Salaka. ----------o-dwkzOarema-o---------Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 29 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Berita tentang hilangnya Endang Widuri telah benarbenar menggoncangkan perasaan Mahesa Jenar. Bagaimana ia akan dapat menikmati hari-hari seterusnya,
apabila disadarinya betapa pedih hati Arya Salaka dan
orang-orang lain di Banyubiru. Orang-orang yang selama ini
berada di dalam suatu lingkungan yang seakan-akan
mengalami semua nasib, suka dan duka, manis pahit
bersama-sama. Apakah kini ia mampu menutup perasaannya, dan beristirahat dengan tenang sambil
menunggu hari-hari yang berbahagia itu" Sedangkan Kebo
Kanigara, Arya Salaka, Gajah Sora dan orang-orang lain di
Banyubiru sedang berprihatin.
Timbullah kemudian persoalan tersendiri di dalam hati
Mahesa Jenar. Persoalan yang amat rumit. Kedatangannya
di Gunungkidul merupakan permulaan dan hari-hari yang
cerah bagi Rara Wilis sebagai seorang gadis yang
merindukan hidup tentram dan wajar. Tiba-tiba kini mereka
dikejar lagi oleh suatu persoalan yang tak pernah mereka
sangka-sangka akan terjadi.
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu pun bertanya kepada
Bantaran. "Bantaran, apakah setiap orang di Banyubiru
yakin bahwa Widuri benar-benar hilang?"
"Ya. Semua orang menganggap demikian." sahut
Bantaran. "Apakah Widuri tidak sedang merajuk, karena ia tidak
diperbolehkan ikut ke Gunungkidul?" bertanya Mahesa
Jenar lagi. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ada juga dugaan demikian," jawab Bantaran. "Tetapi
ternyata tidak. Seorang gadis melihat Widuri berkelahi, dan
seorang laki-laki yang tak dikenal telah menculiknya di
belumbang selagi Widuri sedang hendak mencuci pakaiannya." "Bukan main" desis Mahesa Jenar. "Widuri adalah
seorang gadis yang kuat. Kalau seseorang berhasil
menculiknya, maka orang itu pun pasti orang yang lebih
kuat pula." Bantaran mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan kata-kata Mahesa Jenar itu, kata-kata
serupa pernah juga didengarnya di Banyubiru.
Pendapa itu pun kemudian menjadi sepi. Masing-masing
hanyut dalam arus perasaan sendiri. Mahesa Jenar menjadi
gelisah karenanya. Sekilas ditatapnya wajah Rara Wilis. Dan
terasa dada Mahesa Jenar berdesir. Dilihatnya gadis itu
menundukkan wajahnya yang muram. Mahesa Jenar tidak
dapat meraba, apakah sebenarnya yang sedang dipikirkan
oleh Rara Wilis. Apakah ia sedang berpikir dan berduka
karena hilangnya Widuri ataukah ia sedang mencemaskan
dirinya, bahwa kebahagiaan yang ditunggu-tunggunya itu
akan mengalami gangguan pula.
Tetapi sudah pasti bahwa Mahesa Jenar tidak akan dapat
berdiam diri mendengar hal itu. Meskipun Bantaran
kemudian menjelaskan, bahwa kedatangannya hanyalah
sekadar memberitahukan, namun pemberitahuan atas
permintaan Arya Salaka itu sudah pasti mempunyai nilai
tersendiri di dalam hatinya. Arya Salaka adalah muridnya.
Pada saat nyawa anak itu terancam oleh bahaya maut dari
setiap penjuru. Pada saat anak itu ditinggalkan oleh
ayahnya yang dikasihinya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lima enam tahun ia mengolah anak itu supaya ia dapat
memenuhi permintaan ayahnya menjadikan anak itu anak
yang kuat lahir dan batinnya, mempersiapkan anak itu
untuk kedudukannya yang akan datang. Bukan, bukan itu
saja yang mendorongnya menempa Arya Salaka, tetapi rasa
keadilannya memang menuntut demikian. Kini, setelah
pekerjaan itu selesai, apakah ia tega melihat anak itu
berduka karena sebuah persoalan yang sangat pokok
baginya. Persoalan kegairahan hidup di masa depan.
Mahesa Jenar tahu benar perasaan yang bergolak di
dalam hati muridnya itu. Apabila Endang Widuri tidak dapat
diketemukan, maka Arya Salaka akan kehilangan sebagian
dari masa depannya pula. Demikianlah, ketika kemudian Bantaran itu beristirahat
bersama-sama kawan-kawannya, maka di gandok kulon,
Mahesa Jenar memerlukan duduk bersama dengan Rara
Wilis. Mahesa Jenar ingin mencoba menyatakan perasaannya kepada gadis itu, dan ia mengharap mudahmudahan Rara Wilis akan mengetahui dan mengertinya
pula. Namun karena itulah maka ia menjadi gelisah. Apalagi
ketika dilihatnya Rara Wilis selalu menundukkan wajahnya
yang suram. Maka kebimbangan yang tajam telah melanda
dada Mahesa Jenar. Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu.
Apakah yang sebaiknya dilakukan" Apakah ia akan
membiarkan Widuri hilang dan Arya Salaka menyesali
peristiwa itu sepanjang hidupnya"
Betapa pun sulitnya, namun kemudian Mahesa Jenar itu
pun berkata pula. "Wilis, bagaimanakah tanggapanmu atas
berita yang dibawa oleh Bantaran?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menjadi semakin berdebar-debar ketika
Rara Wilis sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Namun
meskipun demikian gadis itu menjawab, "Kasihan anak
itu." "Ya. Kasihan Widuri, dan kasihan pula Arya Salaka,"
sahut Mahesa Jenar. Rara Wilis hanya menganggukkan
kepalanya. Dan ia tidak lagi berkata apa-apa.
Mahesa Jenar menjadi semakin bimbang. Dengan hatihati dicobanya untuk menuntun pembicaraan ke arah yang
dikehendaki, katanya, "Tetapi bagaimana pun juga anak itu
harus diketemukan." "Ya" sahut Rara Wilis.
Sebenarnya hati Rara Wilis pun terganggu pula oleh
peristiwa itu. Endang Widuri yang nakal itu tak pernah
dapat dilupakan. Setiap kali wajah anak itu terbayang di
dalam rongga matanya. Kenakalan dan kelincahan serta
sifat kanak-kanakannya yang jujur kadang-kadang menimbulkan rasa rindunya untuk segera bertemu dengan
anak itu. Namun tiba-tiba anak itu hilang. Karena itulah
maka mau tidak mau terbersit pula suatu perasaan yang
dalam di dalam hatinya. Tetapi ia sendiri sedang menghadapi persoalan yang
sangat penting dari segenap umurnya. Hari-hari yang
diharapkannya akan segera datang. Ia mengharap
kedatangan beberapa tamu, terutama dari Karang
Tumaritis. Namun tamu itu pasti tidak akan segera datang.
Rara Wilis itu pun menarik nafas dalam-dalam.
Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada
mengatakan maksudnya. Maksud itu memang harus
dikatakannya. Nanti atau sekarang. Sebab ia tidak dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menghindari kejaran perasaan tentang hilangnya Endang
Widuri. Karena itu, maka dengan susah payah ia pun berkata.
"Wilis, apakah kau akan sependapat seandainya aku pergi
ke Banyubiru untuk membantu mencari anak yang hilang
itu?" Rara Wilis sudah tahu sebelumnya bahwa Mahesa Jenar
akan berkata demikian. Bahwa Mahesa Jenar akan
meninggalkan lagi untuk waktu yang tidak dapat
ditentukan. Rara Wilis tidak segera dapat menjawab.
Meskipun pertanyaan itu sudah diduganya, namun hatinya
berdesir juga mendengar pertanyaan itu diucapkan. Dan
sebenarnyalah ia menjadi bersedih. Hari-hari yang
dinantikannya itu seakan-akan menjadi semakin jauh
daripadanya. Kalau mula-mula ia merasa bahwa hari-hari
yang dinantikan itu telah berada di ambang pintu, maka kini
pintu itu tiba-tiba tertutup kembali.
Tetapi Rara Wilis tidak akan dapat menyalahkan siapasiapa. Mahesa Jenar tidak bersalah. Sejak semula ia
mengenal laki-laki itu sebagai seorang yang lebih pasrah
pada tanggungjawab atas kewajibannya, serta pengabdian
terhadap kemanusiaan daripada keperluan-keperluan dirinya sendiri, maka seharusnya ia dapat mengertinya.
Arya Salaka juga tidak dapat dipersalahkannya. Ia telah
menderita pula karena hilangnya gadis itu. Dan sama sekali
bukanlah kehendaknya, bahwa Widuri harus hilang supaya
Mahesa Jenar datang kembali ke Banyubiru. Gajah Sora,
Lembu Sora, dan Sora Dipayana juga tidak. Widuri pun
tidak. Ia akan mengalami ketakutan dan kecemasan selama
ia berada di tangan orang yang tidak dikenal itu. Lalu siapa"
Orang yang menculiknya itu" Orang itu sama sekali tidak
bersangkut paut dengan Mahesa Jenar. Tetapi itulah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
penyebab dari kedukaannya kali ini. Lalu bagaimanakah
dengan Kebo Kanigara" Kebo Kanigara adalah seorang yang
sakti. Bahkan lebih matang dari Mahesa Jenar sendiri.
Tetapi kenapa ia tidak mampu menemukannya" Apalagi
Mahesa Jenar. Mahesa Jenar melihat pergolakan di dasar hati Rara Wilis
itu. Meskipun di usahakannya untuk membayangkan
pergolakan itu, namun wajahnya yang mendung adalah
pernyataan yang tidak dapat disembunyikan.
"Rara Wilis" desis Mahesa Jenar kemudian, "Aku harap
kau dapat mengerti."
Rara Wilis terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga
dengan demikian ia mengangkat wajahnya. Dengan
tajamnya dipandangnya wajah Mahesa Jenar. Katanya,
"Apakah aku tidak dapat mengerti persoalan yang sedang
kau hadapi kakang?" Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata dirinya
sendirilah yang tidak dapat mengerti perasaan Rara Wilis
itu. Karena itu maka segera ia berkata, "Maaf Wilis.
Maksudku, apakah kau menyetujuinya?"
Kembali Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam.
Hilangnya Widuri benar-benar telah menggoncangkan
ketentramannya. Sesaat kemudian maka Rara Wilis itu pun menjawab.
"Kakang, aku sama sekali tidak akan bermaksud
menghalangi pekerjaan kakang. Tetapi aku berkata
demikian kakang, bukan perasaanku. Kalau aku berkata
demikian kakang, bukan berarti aku tidak menyetujui
kakang untuk pergi ke Banyubiru. Pergilah kakang. Aku pun
merasa kehilangan pula. Tetapi jangan menganggap
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kepedihan ini karena aku terlalu mementingkan diriku
sendiri." Mahesa Jenar memalingkan wajahnya. Ia tidak mau
menatap wajah Rara Wilis terlalu lama. Ia melihat air di
dalam mata yang buram. Dan ia tidak tahan melihatnya.
Dilemparkannya pandangan matanya jauh-jauh ke luar,
menorobos sela-sela pintu yang tidak terkatup rapat.
Dilihatnya daun-daun di halaman berguncang disentuh
angin yang bertiup dari lautan. Suaranya semiut seperti
sebuah lagu yang rawan. Sesaat mereka berdiam diri dalam keheningan. Tetapi
Mahesa Jenar tidak mendengar Rara Wilis terisak-isak.
Perlahan-lahan ia berpaling, dan dilihatnya Wilis masih
duduk dalam sikapnya. Tetapi ia tidak menangis.
Mahesa Jenar itu pun kemudian berkata, "Wilis. Aku
dapat mengerti pula perasaanmu seperti kau dapat


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerti perasaanku. Kini kau sedang mulai menghayati
ketentraman hidup dalam keluarga yang wajar. Tetapi baru
saja kau menikmati ketenangan ini setelah bertahan-tahun
lamanya kau terguncang-guncang oleh arus yang tak kau
ketahui ujung pangkalnya, maka kembali kau diganggu oleh
peristiwa-peristiwa yang sama sekali tidak bersangkut-paut
dengan masa depan sendiri. Tetapi aku berjanji Wilis,
bahwa kali ini adalah kali terakhir."
"Jangan berjanji kakang", potong Rara Wilis. "Aku tidak
ingin mendengar janji apapun daripadamu. Marilah kita
jalani jalan kita dengan janji di dalam hati. Sebab bagiku,
janji bukanlah satu-satunya tempat untuk menyangkutkan
harapan. Tetapi apa yang akan kita lakukan akan
mengatakan kepada kita masing-masing, janji yang
tersimpan di dalam hati itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
dapat mengerti kata-kata Rara Wilis itu. Dan ia adalah
orang yang mantap pada janjinya. Janji yang terpateri di
dalam hati. Ia tidak pernah berjanji kepada Baginda Sultan
Trenggana untuk menemukan keris-keris Nagasasra dan
Sabuk Inten, tetapi janji itu dipenuhinya. Janji yang
disimpannya di dalam dadanya. Dan kini ia telah
mengucapkan janji itu pula di dalam hatinya itu. Janji
pribadi. Akhirnya Mahesa Jenar telah mengambil keputusan
untuk pergi ke Banyubiru besok bersama Bantaran.
Keputusan yang sangat berat, namun harus dilakukan
menurut panggilan hatinya. Sekali lagi ia terpaksa
mengorbankan kepentingannya sendiri. Kepentingan yang
sangat berharga bagi hidupnya. Dan sekali lagi ia
mengorbankan perasaan seorang gadis yang dicintainya.
Meskipun Rara Wilis itu dapat mengerti sepenuhnya. Tetapi
ia kecewa. Kecewa terhadap keadaan. Keadaan yang belum
memungkinkan menikmati ketentraman dan ketenangan
hidup. Lebih-lebih lagi hidup dalam lingkungan keluarga
yang diimpikan. Ki Ageng Pandan Alas melihat pula kerisauan di dalam
hati cucunya. Ia pun menjadi kecewa seperti kekecewaan
Rara Wilis sendiri. Orang tua itu benar-benar ingin melihat
keturunannya tidak lenyap sama sekali. Karena itu,
alangkah rindunya ia akan keluarga cucunya itu. Namun
tiba-tiba ia tidak dapat menentang keadaan yang tiba-tiba
saja dihadapkannya kepadanya, kepada cucunya dan
kepada cita-citanya. Karena itu maka ketika Mahesa Jenar
bermohon diri kepadanya, maka katanya serta merta, "Aku
turut dengan angger ke Banyubiru."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Juga
Rara Wilis terkejut. Namun orang tua itu kemudian berkata
pula dengan wajah yang suram. "Wilis, aku akan berbuat
untukmu. Aku tidak tahu, apakah tenagaku yang tua ini
akan berguna, namun aku ingin membantu mencari yang
hilang itu. Betapa kecil arti usahaku, tetapi aku percaya
semakin banyak orang yang berusaha mencari, maka
semakin cepatlah cucu Widuri itu akan diketemukan.
Dengan demikian, maka angger Mahesa Jenar pun akan
semakin cepat selesai pula dengan pekerjaannya."
Kata-kata itu berdenyut di dalam dada Rara Wilis dan
Mahesa Jenar. Terasa betapa orang tua itu menjadi sedih
karena keadaan. Tetapi orang tua yang penuh dengan
pengertian itu, tidak saja hanya meratap, namun ia berbuat
sesuatu untuk mempercepat penyelesaian.
Karena itu, maka tiba-tiba Rara Wilis pun berkata. "Aku
juga ikut kakang." Mahesa Jenar terkejut mendengar permintaan itu.
Karena itu maka dengan serta merta ia berkata, "Jangan.
Jangan Wilis." "Aku tidak akan dapat menunggu dalam kesepian di
Gunungkidul ini." Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah
Ki Ageng Pandan Alas, seakan-akan ia menyerahkan setiap
persoalan kepadanya. Namun Ki Ageng Pandan Alas pun
menundukkan wajahnya. Ketika kemudian mereka berdiam diri, maka ruangan itu
pun menjadi sunyi. Mereka mengangkat wajah-wajah
mereka ketika terdengar suara di belakang. "Kakang
Demang, kuda kakang telah disiapkan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Baik" sahut suara yang lain, suara Demang Sarayuda.
"Aku akan pergi ke banjar sebentar."
Kemudian terdengarlah langkah keduanya lewat disebelah dinding dan hilang ke pendapa.
Dada Rara Wilis berdentang mendengar langkah itu,
mendengar suara Rati dan mendengar suara Sarayuda.
Mereka telah berhasil membangun suatu ikatan keluarga
yang bahagia. Kalau ia tinggal sendiri di kademangan itu,
maka setiap kali ia melihat kebahagiaan itu, maka hatinya
akan menjadi semakin kesepian. "Apakah aku menjadi
cemburu." katanya di dalam hati. "atau iri hati?"
Rara Wilis itu pun kemudian mendesak pula. "Kakang,
aku akan ikut ke Banyubiru."
Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang telah banyak
mengenyam pahit manisnya kehidupan. Tidak saja sebagai
seorang pengembara yang harus bertempur dengan lawanlawannya, dengan penjahat-penjahat dan dengan penyamun-penyamun, namun ia pernah juga merasakan
duka derita hidup kekeluargaan. Orang tua itu pernah
melihat anaknya menjadi korban yang menyedihkan. Ia
melihat betapa seorang perempuan yang hidupnya penuh
kepahitan apabila ia ditinggalkan oleh suaminya yang
dicintainya, tetapi ia pernah juga mendengar, seorang lakilaki yang jalan hidupnya dihancurkannya sendiri, karena ia
merasa kehilangan isterinya. Meskipun kemudian ternyata
bahwa ia hanya berprasangka, seperti Lawa Ijo.
Karena itu, orang tua itu mengerti perasaan yang
tersimpan di dalam hati Rara Wilis. Sehingga kemudian ia
menjawab, "Angger Mahesa Jenar. Bila berkenan di hati
angger, biarlah Wilis ikut serta ke Banyubiru."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Hem" desah Mahesa Jenar di dalam hatinya. "Apakah
arti perjalanan ke Gunungkidul ini?"
Pertanyaan itu pun terdengar pula di dalam hati Rara
Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas. Namun mereka mempunyai
jawabannya. "Ternyata Mahesa Jenar masih sanggup
mengorbankan kepentingan pribadinya untuk panggilan
rasa keadilannya yang tersentuh. Penculikan atas Endang
Widuri adalah kejahatan. Dan Mahesa Jenar ingin
melenyapkan kejahatan. Meskipun dalam batas-batas
kemampuan yang ada padanya."
Mahesa Jenar itu pun kemudian terpaksa menerima
permintaan Rara Wilis itu. Ia kemudian menganggap
kedatangannya ke Gunungkidul sebagai suatu kunjungan
yang menyenangkan untuk mempersiapkan masa-masa
yang dinanti-nantikannya bersama Rara Wilis.
Demikianlah maka di suatu pagi yang cerah, bersiaplah
sebuah rombongan di halaman Kademangan Gunungkidul.
Meskipun Sarayuda dan beberapa orang tetua Kademangan
itu menjadi kecewa, namun mereka terpaksa melepaskan
rombongan itu pergi. Beberapa orang telah mendengar
pula, apa yang terjadi di Banyubiru. Bahkan Sarayuda
menyesal pula, kenapa Widuri itu dahulu tidak dibawanya
sekali sehingga dengan demikian, maka tidak ada
kemungkinan untuk menculiknya. Tetapi beberapa orang
yang lain tidak mendengar berita tentang hilangnya seorang
gadis di Banyubiru, sehingga karena itu timbullah berbagai
pertanyaan di dalam hati mereka.
Beberapa orang tua-tua yang melihat Ki Ageng Pandan
Alas ikut juga dalam rombongan itu, dengan berkelakar
berkata, "Ki Sentanu, hati-hatilah. Jangan sampai terjadi
bahwa kuda itu nanti yang menaikimu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ki Ageng Pandan Alas yang dikenal bernama Ki Sentanu
itu tertawa. "Mudah- mudahan," jawabnya.
Pagi itu Mahesa Jenar beserta rombongan meninggalkan
Gunungkidul dengan hati yang bimbang. Kehadirannya di
daerah yang berbukit-bukit itu benar-benar seperti sebuah
mimpi saja. Namun mimpi yang menumbuhkan harapan di
dalam hatinya. Bahwa suatu ketika ia akan dapat
mengulangi mimpi yang pasti akan lebih indah lagi.
Ketika mereka sampai di alun-alun kecil di muka rumah
Kademangan itu maka sekali mereka berpaling, dada
Mahesa Jenar dan Rara Wilis berdesir karenanya. Mereka
melihat Demang Sarayuda dalam pakaian yang indah berdiri
disamping Rati isterinya. Mereka melambaikan tangan
mereka sambil tersenyum. Tetapi senyum itu seakan-akan
sama sekali tidak ditujukan kepada mereka. Senyum itu
adalah senyum kebahagiaan mereka sendiri.
Rati yang berdiri disamping Sarayuda itu tampak
kepucat-pucatan. Ia tidak tahan berdiri terlalu lama, karena
itu, maka segera ia masuk kembali ke halaman.
Mahesa Jenar yang melihat Rati itu dengan tergesa-gesa,
masuk kembali berkata tanpa sesadarnya, "Apakah Nyai
Demang itu sakit?" Rara Wilis menundukkan wajahnya sambil menggeleng.
"Ia tidak sakit," jawabnya.
"Tetapi ia terlalu pucat dan hampir sehari-harian berada
dipembaringannya." "Anak itu sedang ngidam. Ia telah mengandung tiga
bulan." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Oh" Mahesa Jenar tidak bertanya lagi. Tanpa disengaja
ia telah menyentuh hati Rara Wilis pula. Karena itu sekali ia
menarik nafas dalam-dalam. Dan kemudian diangkatnya
wajahnya, memandang jalan-jalan di depannya. Jalan yang
keras kemerah-merahan karena tanah yang liat. Dikejauhan
dilihatnya bukit-bukit kapur yang kering. Namun di arah
yang lain tampaklah sawah-sawah yang menghijau segar.
Gunungkidul adalah suatu daerah yang bercampur baur.
Ketika kemudian mereka telah melintasi perbatasan
induk Kademangan, maka kuda- kuda itu mulai dipacu. Ki
Sentanu kini bukan lagi seorang tua yang ketakutan duduk
di atas punggung kuda, namun tiba-tiba wajah menjadi
bersungguh-sungguh dan katanya perlahan-lahan. "Marilah,
mumpung masih pagi."
Bantaran yang berkuda dipaling depan, mempercepat
kudanya pula. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak di
atas tanah yang kering. Debu yang putih mengepul tinggi di
udara, menakbiri daerah yang mereka tinggalkan. Daerah
yang meskipun hanya sekelumit, namun telah menyentuh
hati Mahesa Jenar sedemikian dalamnya.
Kini mereka menghadapi jalan yang terbentang
memanjang. Seperti sebuah jalur- jalur yang tak terkira
panjangnya, membelit lereng-lereng bukit, menghujam
lurah-lurah dan mendaki tebing. Sekali-kali menghilang
dibalik puntuk-puntuk yang menjorok dihadapan mereka,
untuk kemudian timbul kembali, seakan-akan dari dalam
tanah. Jalan-jalan itulah yang akan mereka lalui. Jalan-jalan
yang dilalui beberapa hari yang lampau dalam arah yang
berlawanan. Namun alangkah jauh bedanya perasaan
mereka. Pada saat mereka datang dan pada saat mereka
meninggalkan daerah yang baru sebentar saja disinggahi
sepanjang hidupnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Betapa pun panjang jalan yang harus ditempuh itu,
namun setapak demi setapak dilampauinya pula. Seperti
sebuah benang yang digulung disebelah ujungnya, maka
kuda-kuda itu akhirnya akan sampai juga ke ujung yang
lain, setelah dilampauinya jurang dan ngarai, ditembusnya
hutan-hutan yang lebat pepat, padang-padang rumput dan
dilampauinya jarak yang memisahkan Gunungkidul dan
Banyubiru. Dan jarak itu tidak terlalu pendek.
Setelah mereka menempuh jarak yang panjang itu,
setelah mereka melampaui jalan yang jauh, maka mereka
kemudian melihat, tanah perdikan Banyubiru yang seakanakan terbentang di lereng bukit Telamaya itu pun muncul di
hadapan mereka. Demikian Mahesa Jenar melihat daerah itu, maka hatinya
menjadi berdebar-debar. Daerah itu adalah daerah yang
sudah dikenalnya dengan baik. Tidak saja liku- liku jalanjalan kota Banyubiru, namun lekuk-liku sifat dan watak
penduduknya. Penduduk yang rajin bekerja tanpa banyak
berteriak-teriak tentang kemampuan diri sendiri. Namun
dengan demikian, mereka dapat menikmati hasil usaha
mereka itu. Dan mereka akan dapat mewariskan hasil jerih
payahnya kepada anak cucu mereka.
Tapi kini tiba-tiba Banyubiru itu serasa asing baginya.
Baru beberapa hari ia berada di Gunungkidul, namun
kedatangannya di Banyubiru kali ini seolah-olah benarbenar seperti orang baru. Terasa Banyubiru itu tidak seperti
Banyubiru yang ditinggalkannya beberapa hari yang
lampau. Sepi dan penuh rahasia. Banyubiru bagi Mahesa
Jenar, seperti menyimpan persoalan-persoalan yang tidak
wajar di dalamnya. Warna-warna hijau segar di lereng
bukit, tampaknya sebagai sebuah takbir yang membayangi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
daerah di lereng bukit itu, sebagai sebuah tabir yang
menyimpan berbagai persoalan.
Ketika Mahesa Jenar melampaui

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daerah-daerah perbatasan kota, dilihatnya beberapa orang sedang
berjaga-jaga. Gardu-gardu perondan kini telah dipenuhi lagi
oleh orang-orang yang sedang bertugas seperti dalam saatsaat Banyubiru sedang berperang. Mereka mendapat tugas
untuk mengawasi kemungkinan orang yang menculik Widuri
lolos dari Banyubiru atau sengaja membawa Widuri keluar
untuk disembunyikan. Namun penjaga-penjaga itu seakanakan sama sekali tidak berarti. Widuri masih belum
diketemukan, seperti lenyap ditelan lereng-lereng bukit.
Kepada para penjaga itu Bantaran bertanya, "Apakah kau
sudah mendengar kabar tentang hilangnya gadis itu?"
Penjaga Itu menggeleng. Jawabnya, "Belum. Masih
belum ada tanda-tanda apa pun tentang gadis itu."
Bantaran tidak berkata lagi. Mereka berpacu semakin
kencang, seakan-akan takut terlambat. Namun dalam pada
itu Mahesa Jenar berkata kepada Bantaran. "Bagaimana?"
"Gelap," sahut Bantaran.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia
dapat berbuat sesuatu yang dapat menyingkap takbir
kegelapan itu, sedang Kebo Kanigara sendiri tidak" Apakah
yang dapat dilakukannya, seorang diri atau berdua, dan
bahkan bertiga dengan Ki Ageng Pandan Alas dan Rara
Wilis di antara ratusan orang Banyubiru sendiri, termasuk
orang-orang seperti Ki Ageng Gajah Sora, Lembu Sora,
mungkin Ki Ageng Sora Dipayana pula, Arya Salaka dan
lain-lainnya. Mungkin mereka tidak dapat bertempur
setangkas Kebo Kanigara, namun mereka akan lebih
mengenal daerah Banyubiru seperti mereka mengenal
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
semua ruang di dalam rumah mereka sendiri, seperti
mereka mengenal halaman mereka sendiri. Mereka
mengenal setiap penduduk Banyubiru seperti mereka
mengenal istri dan anak-anak mereka sendiri.
Dan ternyata mereka itu tidak berhasil menemukan
Endang Widuri. Lalu apakah kedatangannya akan berarti.
Tetapi betapa ia menjadi bimbang akan usahanya, namun
ia tidak akan dapat berdiam diri tanpa berbuat sesuatu. Ia
harus berbuat, apakah berhasil apakah tidak berhasil,
adalah masalah yang tak dapat dipecahkannya. Tetapi ia
tidak boleh berputus asa, apalagi sebelum ia berbuat
sesuatu. Namun Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan kesan
yang menggores dihatinya, bahwa ada sesuatu yang tidak
wajar telah terjadi. Sesuatu yang tidak dapat diperhitungkannya dan dirabanya.
Rombongan itu pun meluncur di antara sawah-sawah
dan ladang di dataran yang terbentang di hadapan bukit
Telamaya itu. Namun terasa pula, seakan-akan batangbatang padi yang tumbuh di sawah, serta palawija yang
menghijau di ladang-ladang memandangi rombongan itu
dengan penuh prasangka. Seakan-akan mereka sama sekali
membisu atas kedatangan itu. Bahkan seakan-akan batangbatang padi dan palawija itu telah menyembunyikan rahasia
yang tak boleh diketahui oleh Mahesa Jenar dan
rombongannya. Bahwa seolah-olah Endang Widuri yang
hilang itu telah disembunyikan pula disana.
Tetapi rombongan itu berpacu terus. Beberapa orang
petani memandangi mereka dengan wajah yang kosong.
Hanya satu-satu di antara mereka berbisik. "Mahesa Jenar
telah datang pula untuk menemukan gadis yang hilang itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi kembali mulut-mulut mereka terkatup rapat-rapat
kala rombongan itu lewat dihadapan mereka.
Beberapa orang yang melihat rombongan itu merayapi
tebing bukit Telamaya segera menyampaikan kepada Ki
Ageng Gajah Sora. Arya yang mendengar pula laporan itu
bertanya dengan serta merta. "Bantaran telah kembali?"
"Ya", jawab orang itu.
"Sendiri?" "Tidak. Beberapa orang itu bersamanya."
"Paman Mahesa Jenar" desis Arya Salaka. Karena itu
segera ia menyiapkan diri untuk menjemput gurunya itu.
Tiba-tiba timbullah kembali harapan di dalam dadanya.
Harapan yang selama ini hampir padam. Tetapi sebelum
Arya Sempat meloncat ke punggung kudanya, maka derap
kuda rombongan yang datang itu sudah sedemikian
dekatnya, sehingga sesaat kemudian, mereka melihat
rombongan itu masuk ke halaman.
Ketika kuda-kuda itu berhenti, maka para penunggangnya segera berloncatan turun. Arya Salaka
yang melihat Mahesa Jenar, tidak dapat menahan hatinya
lagi. Segera ia berlari kepadanya dan seperti seorang anak
yang menyambut kedatangan ayahnya, Arya itu pun segera
menyambut tangan gurunya sambil berdesis. "Selamat
datang paman. Aku menjadi sangat gelisah, seandainya
paman tidak datang ke Banyubiru."
Mahesa Jenar menepuk punggung Arya Salaka sambil
berkata, "Aku ikut prihatin Arya."
"Terima kasih paman. Aku percaya bahwa paman pasti
akan datang." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Rombongan itu pun kemudian berjalan ke pendapa
disambut langsung oleh Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng
Lembu Sora dan bahkan Ki Ageng Soradipayana pun ada
pula di pendapa itu. Di antara mereka berdiri dengan
pandangan yang kosong Kebo Kanigara.
Mereka menyambut kedatangan Mahesa Jenar dengan
penuh gairah. Seakan-akan mereka, orang-orang yang
menentukan jalan perputaran roda Banyubiru itu menggantungkan harapan mereka kepada Mahesa Jenar.
Wajah-wajah yang ramah dan penuh harapan memenuhi
pendapa itu. Ucapan selamat datang yang tulus dan sapa
atas keselamatannya dengan penuh kesungguhan, seakanakan mereka telah bertahun- tahun berpisah.
Dan sambutan itulah yang menjadikan Mahesa Jenar
semakin merasa dirinya asing pada keadaan disekitarnya.
Seakan-akan Mahesa Jenar melihat suatu daerah yang
ketakutan karena berbagai ancaman. Ia merasa bahwa saat
itu dirinya telah menjadi pusat perhatian dan bahkan
seakan-akan menjadi tempat untuk mengadukan nasib
mereka. Tetapi dada Mahesa Jenar itu pun berdesir karenanya,
ketika ia melihat wajah Rara Wilis yang muram. Gadis itu
menundukkan wajahnya sembil bermain-main dengan
ujung kainnya. Dalam kegairahan orang-orang Banyubiru
menyambut kedatangan Mahesa Jenar itu terasa betapa
kesepian telah melanda dada Rara Wilis. Sebagai seorang
gadis ia merasa, bahwa kali ini ia sama sekali tidak
diperlukan.Seolah-olah tak seorang pun lagi yang ingat
bahwa ia hadir pula di pendapa itu selain beberapa sapa
dan subasita, mempersilahkannya duduk. Namun kemudian
perhatian mereka terampas oleh persoalan-persoalan yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
telah menggemparkan Banyubiru itu. Tak seorang pun lagi
yang menanyakan, apakah ia bergembira datang kembali ke
Banyubiru. Apakah ia telah merencanakan kapan hari yang
ditunggu-tunggu itu akan datang. Tidak. Tidak ada yang
menanyakan itu kepadanya. Mahesa Jenar pun tidak lagi
ingat akan kehadirannya. Tetapi gadis itu tiba-tiba menggeleng lemah. Dicobanya
mengatasi gelora di dalam hatinya itu. "Ach, aku terlalu
mementingkan diriku sendiri. Disini, Banyubiru kini, sedang
dihadapkan pada suatu persoalan yang harus mendapat
pemecahan. Kenapa aku tidak sanggup untuk melupakan
persoalanku sendiri seperti masa-masa yang telah lampau"
Kenapa kini aku terikat kepada kepentingan diri ini?"
Dengan susah payah akhirnya Rara Wilis berhasil
mengatasi kesepian itu. Namun terasa ia menjadi pening. Ia
sama sekali tidak dapat turut bercakap-cakap dengan
orang-orang lain seperti masa-masa yang lampau. Bahkan
dengan Mahesa Jenar pun seakan-akan tak ada persoalan
yang dapat dipecahkan meskipun hanya untuk berpantaspantas. Tetapi kini ia sudah tidak lagi mengeluh, bahwa
percakapan mereka hanya semata-mata berkisar kepada
persoalan Widuri yang hilang itu.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak dapat melupakan
kesan itu. Kesan kesepian yang memancar dari wajah Rara
Wilis. Sehingga kemudian terloncatlah pertanyaannya
kepada Ki Ageng Gajah Sora. "Ki Ageng, apakah Nyai ada di
rumah." "Oh, ada. Ada" sahut Gajah Sora terbata-bata. Ia tidak
segera mengerti maksud pertanyaan itu. Sehingga Mahesa
Jenar itu pun berkata kepada Rara Wilis. "Wilis, ternyata
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Nyai Ageng ada pula di belakang. Barangkali kau akan
dapat membantunya." "Oh. Tidak perlu. Tidak perlu adi. Biarlah adi Wilis duduk
saja disini." Rara Wilis menarik nafas. Ia merasa bahwa ternyata
Mahesa Jenar masih juga mengingat dirinya.
Karena itu segera ia menyahut. "Baiklah kakang. Lebih
baik aku kebelakang."
Rara Wilis tidak menunggu jawaban dari siapa pun.
Segera ia bergeser, dan turun ke halaman, membebaskan
dirinya dari kesepian di dalam keriuhan persoalan hilangnya
Widuri, meskipun ternyata di sudut terpendam rasa
rindunya terhadap gadis yang nakal itu. "Gadis itu harus
diketemukan", desisnya seorang diri.
----------o-dwkzOarema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Di hari pertama itu Mahesa Jenar mendapat banyak
bahan yang didengarnya mengenai hilangnya Widuri. Arya
Salaka berceritera tidak ada habisnya tentang soal itu. Di
dengarnya pula dari mulut gadis yang melihat hilangnya
Widuri, bagaimana seorang laki-laki telah mencukungnya
menghilang ke dalam semak-semak.
Persoalan itu menjadi semakin rumit di dalam hati
Mahesa Jenar. Arya Salaka ternyata lebih mencemaskan
nasib Endang Widuri dari yang lain-lain. Dan Mahesa Jenar
pun dapat mengerti pula, kenapa demikian. Tetapi yang
mengherankan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara sendiri
tampaknya tidak berusaha sungguh-sungguh untuk mencari
anaknya yang hilang itu. Sudah beberapa hari Endang
Widuri tidak dapat diketemukan, namun Kebo Kanigara itu
masih saja berada di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Hanya
kadang-kadang ia pergi untuk mencoba mencari Widuri
namun sebenarnya kemudian ia telah kembali. Kadangkadang malam hari ia pergi, namun di pagi harinya Kebo
Kanigara telah berada di biliknya pula.
Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat menanyakannya
langsung kepada Kebo Kanigara. Meskipun kadang-kadang
pertanyaan itu sedemikian mengganggunya, namun ia
selalu berusaha untuk menekannya rapat-rapat di dalam
lubuk hatinya. Namun tiba-tiba kembali Banyubiru menjadi gempar.
Ketika hampir semua orang berputus asa, maka
terjadilah suatu peristiwa yang membakar kemarahan
rakyat Banyubiru. Ternyata hilangnya Widuri akan
membawa akibat yang berkepanjangan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dua hari setelah Mahesa Jenar berada di Banyubiru,
maka tiba-tiba salah sebuah gardu peronda pada malam
hari melihat sesosok tubuh yang menimbulkan kecurigaan
mereka. Ketika orang itu disapa oleh para peronda, maka
tiba-tiba orang itu cepat-cepat berjalan menjauh. Sudah
tentu, para peronda tidak akan membiarkannya pergi,
sebelum didapatnya penjelasan siapakah orang itu dan
apakah keperluannya. Namun orang itu benar-benar tidak
mau mendekat, bahkan ketika beberapa orang berusaha
mendekatinya, orang itu pun mencoba berlari.
Dengan sigapnya para peronda itu mengejarnya.
Beberapa orang mendahuluinya dan mencegahnya, sehingga orang yang mencurigakan itu segera terkepung
rapat-rapat. "Siapakah kau?" desak penjaga itu.
Sesaat orang itu tidak menjawab. Dipandanginya orangorang yang berdiri mengelilinginya. Lima orang.
"Siapa" desak penjaga itu.
Jawaban orang itu benar-benar mengejutkan. Katanya,
"Apakah kepentinganmu dengan namaku?"
Para penjaga itu benar-benar keheranan sehingga sesaat
mereka berdiam. Namun kemudian salah seorang
diantaranya bertanya pula. "Ki Sanak. Kami adalah para
peronda dari Banyubiru. Kami mempunyai wewenang untuk


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui, setiap orang yang berada didalam wilayah
perondaan kami. Karena itu, maka katakanlah siapakah Ki
Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak."
Kembali para penjaga itu terkejut. Orang yang tak
mereka kenal itu tertawa perlahan-lahan. Jawabnya,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Baiklah kalau kau ingin mengenal namaku. Orang
memanggil aku, Mas Karebet."
Para penjaga itu mengerutkan keningnya. Nama itu asing
bagi mereka. Karena itu maka salah seorang bertanya pula.
"Darimanakah asal Ki Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak
di malam hari begini?"
"Tidak apa-apa", jawab orang yang ternyata bernama
Karebet itu. "Aneh. Tetapi biarlah kau jawab, darimanakah asalmu?"
"Aku berasal dari jauh. Apa pedulimu?"
Para penjaga itu menjadi semakin curiga. Sehingga
kemudian salah seorang daripadanya membentak. "Jangan
mempersulit pekerjaan kami. Katakanlah, apakah keperluanmu. Kalau kau berkunjung ke salah seorang
penduduk Banyubiru, siapakah yang telah kau kunjungi
itu." Karebet mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertolak
pinggang dan berkata lantang. "Jangan ganggu aku. Biarlah
aku berbuat sesuka hatiku."
"Tidak mungkin Ki Sanak. Tidak mungkin seseorang akan
dapat berbuat sekehendak sendiri. Di tanah perdikan ini ada
peraturan-peraturan yang harus ditaati."
"Taatilah siapa yang mau mentaati. Aku tidak."
"Jangan berkeras kepala, Karebet" bentak seorang
penjaga yang kehilangan kesabaran. "Kau mencoba
memancing kemarahan kami. Apakah sebenarnya kepentinganmu." "Jangan bertanya-tanya lagi. Aku akan pergi, minggir."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Jangan berbuat seperti orang alasan. Taatilah peraturan
kami. Kami adalah alat-alat untuk menegakkan peraturan
itu." "Tidak ada peraturan yang dapat mengikat aku," sahut
Karebet lantang. "Peraturan bagiku adalah ikatan-ikatan
yang tak berarti. Aturan bagiku adalah keduabelah tangan
dan keduabelah kakiku, pedang dilambungku dan
taruhannya adalah nyawaku."
Para penjaga itu benar-benar menjadi heran. Apakah
orang itu orang gila ataukah orang yang tak waras. Namun
menilik sikapnya, maka orang itu benar-benar berbahaya
bagi mereka, sehingga karena itu maka mereka segera
mempersiapkan diri. Karebet yang melihat para penjaga itu bersiap, berkata
pula. "He, apakah yang akan kalian lakukan?"
"Kami hanya sekadar melakukan kewajiban kami, Ki
Sanak harus menyebutkan nama yang sebenarnya,
keperluan yang sebenarnya dan darimanakah Ki Sanak yang
sebenarnya. Kalau tidak, kami terpaksa menangkapmu dan
membawa kerumah Kepala Daerah Tanah Perdikan ini."
Karebet itu tiba-tiba tertawa. Jawabnya, "Apakah kalian
berkata sebenarnya?"
"Tentu" "Bagus. Cobalah tangkap aku. Sudah aku katakan,
bahwa peraturan bagiku adalah keduabelah tangan dan
kakiku serta pedang dilambungku."
Para penjaga itu serentak bergerak maju. Tetapi
Karebetpun sudah bersiaga, bahkan tiba-tiba ia telah mulai
dengan sebuah serangan yang benar-benar tidak disangkasangka. Tangannya bergerak dengan cepatnya menyambar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
salah seorang dari kelima penjaga itu, sehingga tiba-tiba
orang itu terdorong beberapa langkah dan terbanting jatuh.
Terdengar ia mengerang kesakitan dan berusaha dengan
tertatih-tatih tegak kembali. Namun terasa punggungnya
menjadi sakit, sehingga karena itu, maka tenaganya sudah
jauh berkurang. Keempat kawannya tidak menunggu lebih lama lagi.
Segera mereka menyerang bersama-sama. Tetapi, ternyata
mereka berhadapan dengan Mas Karebet. Seorang anak
yang aneh dan mengagumkan. Karena itulah maka mereka
tidak dapat berbuat banyak. Mas Karebet itu mampu
bergerak secepat burung sikatan, dan menyambar-nyambar
dengan garangnya, seperti burung rajawali. Benar-benar
suatu gabungan kecakapan yang tiada taranya.
Tetapi keempat orang laskar Banyubiru dan seorang lagi
yang telah hampir tak berdaya itu pun sama sekali bukan
pengecut. Meskipun mereka terkejut melihat lawannya
mampu bergerak dengan cepatnya, bahkan di luar dugaan
mereka, namun mereka kini sedang melakukan tugas
mereka, sehingga bagaimana pun juga, mereka berjuang
sekuat-kuat tangan dan kaki mereka, maka mereka pun
pasti masih akan tetap bertempur.
Sehingga dengan demikian perkelahian itu menjadi
semakin seru. Seorang diantara mereka berusaha untuk
meninggalkan perkelahian itu untuk memberitahukannya
kepada mereka yang masih berada di gardu penjagaan.
Namun tiba-tiba Mas Karebet itu meloncat seperti seekor
kijang, dan orang itu pun terpelanting pula beberapa
langkah sehingga kemudian jatuh berguling di tanah.
Alangkah marahnya para peronda itu. Namun tidak
banyaklah yang dapat mereka lakukan selain mencoba
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bertahan atas serangan-serangan Karebet yang sedemikian
lincahnya. Tetapi ternyata Karebet bukanlah lawan mereka. Satu
demi satu mereka jatuh berguling dan betapa sulitnya untuk
bangun kembali.Punggung-punggung
mereka terasa menjadi nyeri, dan dada mereka menjadi serasa sesak.
Betapa pun mereka berusaha, namun tenaga mereka
benar-benar terbatas jauh di bawah kemampuan Mas
Karebet itu. Akhirnya para peronda itu menjadi benar-benar hampir
tidak berdaya. Meskipun mereka masih berusaha untuk
berdiri, namun mereka sudah tidak mampu lagi untuk tegak
ditempatnya. Sekali-kali mereka terhuyung-huyung dan
bahkan hampir-hampir mereka tidak kuat lagi menahan
tubuhnya sendiri. Karebet itu berdiri bertolak pinggang. Ditatapnya wajah
para peronda itu satu demi satu. Kemudian terdengar ia
tertawa nyaring. Katanya disela-sela suara tertawanya, "He,
katakan sekarang kepadaku. Apakah aku masih harus
mentaati peraturanmu?"
Jawab peronda itu mengejutkan Mas Karebet. Singkat
namun penuh ketegasan. "Ya"
Tetapi kembali terdengar suara Karebet itu tertawa
berkepanjangan. Katanya pula, "Sekarang kau lihat, bahwa
peraturan itu tidak berlaku bagiku. Yang berlaku bagiku
adalah tenagaku. Kalau kalian mampu mengalahkan aku,
barulah aku akan tunduk kepada kalian."
"Mungkin kau mampu mengalahkan kami" sahut salah
seorang peronda itu, "Tetapi kau tak akan mampu
menghapus peraturan yang berlaku di daerah ini. Mungkin
kau kali ini dapat menghindarkan diri atas berlakunya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
peraturan itu. Namun tidak untuk selamanya. Kau pasti
akan dihadapkan pada satu pilihan, mentaati peraturan
yang berlaku di Banyubiru atau pergi meninggalkan
Banyubiru." "Omong kosong" sahut Karebet. "Kau tidak mau
mengakui kekalahanmu. Kau masih akan mencari-cari
kebanggaan pada persoalan yang lain. Lebih baik kalian
mengaku atas kekalahan ini. Hati kalian akan menjadi
lapang. Dan kalian akan segera melupakannya."
"Tidak" sahut peronda yang lain. "Kami tidak akan dapat
melupakan. Meskipun kali ini ada seorang yang dapat
meloloskan diri dari keharusan yang berlaku, tetapi di lain
kali tidak akan terulang kembali."
Karebet itu pun tertawa pula. "Kalian adalah laskar yang
baik" katanya, "Selagi kalian berhadapan dengan maut pun
kalian masih tetap dalam tugas kalian. Nah, bagus. Karena
itu maka Banyubiru menjadi kuat."
"Jangan terlalu sombong."
"Aku tidak sombong. Aku berkata sebenarnya. Dan kau
pun berkata sebenarnya. Aku orang yang tidak mempunyai
tempat tinggal yang mengikat aku, sehingga aku pun tidak
terikat pada peraturan di daerah mana pun juga. Aku akan
berbuat apa saja yang aku kehendaki. Termasuk gadis yang
hilang itu." "He" para peronda itu terkejut seperti disengat labahlabah biru. Betapa pun mereka menjadi lemah, namun
mereka melangkah pula maju sambil berkata. "Apakah yang
kau katakan tadi. Gadis yang hilang beberapa hari yang
lampau yang kau maksudkan?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya" sahut Karebet. "Gadis yang hilang itu telah aku
ambil." "Setan" terdengar salah seorang peronda itu mengumpat. "Sekarang kau tidak akan dapat meninggalkan
tempat ini." "Apakah kau ingin bertempur lagi?"
"Kami belum benar-benar kau lumpuhkan" sahut peronda
itu. Dan tiba-tiba terdengar gemerincing pedangnya. Dan
pedang itu pun kini telah berada di dalam genggamannya.
Kawan-kawannya pun segera menarik senjata-senjata
mereka pula. Berkata pula peronda itu. "Kami tidak bisa
mempergunakan senjata kami apabila tidak terpaksa. Kini
kami melihat, bahwa seandainya kami melukai dan bahkan
apabila terpaksa membunuhmu, bukan salah kami. Kami
tidak biasa berbuat demikian dalam keadaan yang damai
seperti sekarang. Namun keadaan ini pun keadaan yang
tidak bisa pula." Karebet mundur selangkah. Katanya, "Jangan menjadi
gila karena kekalahan kalian. Jangan bermain-main dengan
senjata. Siapa yang bermain-main dengan pedang, maka ia
akan sampai pada kemungkinan dilukai dengan pedang
pula." "Kami berpijak pada kewajiban kami."
"Bagus. Sudah aku katakan, kalian adalah laskar
Banyubiru yang baik. Tapi bagaimanakah kalau kita
hindarkan pertempuran ini?"
"Hanya ada satu kemungkinan" sahut peronda itu.
"Serahkan Endang Widuri."
"Syaratmu terlalu berat"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tidak ada syarat yang lain"
"Kalau begitu, baiklah aku melawan dengan pedang
pula." Sebelum para peronda itu menjawab, maka Karebet itu
pun telah menggenggam sebilah pedang pula. Pedang yang
tidak terlalu panjang, namun benar-benar telah menggetarkan hati para peronda itu. A palagi ketika Karebet
itu berkata. "Kalian sudah tidak dapat berdiri tegak lagi.
Apakah kalian masih mampu mengayunkan pedang?"
Para peronda itu tidak menjawab. Kembali mereka
mendesak maju. Namun kembali mereka terkejut ketika
mereka melihat tiba-tiba saja Karebet telah meloncat sambil
memutar pedangnya. Dalam satu gerakan yang sangat
cepat dan berganda, maka dengan getar kemarahan yang
meluap-luap di dalam dada, mereka melihat duabilah
pedang dari kelima pedang itu telah terlempar jatuh.
"Kenapa kau letakkan pedang-pedang itu?" ejek
Karebet. Mereka menjadi semakin marah. Dengan serta mereka
ketiga kawannya menyerang bersama-sama. Tetapi Karebet
tidak melawannya. Ia bergeser mundur sambil berkata,
"Kalian terlalu payah. Seandainya aku berlari-larian tanpa
melawan sekali pun, maka kalian akan jatuh dan mati
kelelahan. Nah, apakah yang akan kalian lakukan
kemudian?" Para peronda itu menggeram. Namun kata-kata itu dapat
dimengertinya. Mereka tidak akan mampu lagi berlari-larian
mengejar Karebet yang dengan sombongnya berloncatan di
antara batu padas di lereng bukit Telamaya itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Akhirnya, para peronda itupun berhenti dengans
endirinya. Meskipun kelimanya kini menggenggam pedang
di tangannya, namun mereka benar-benar menjadi bingung
melawan seorang anak muda yang aneh itu.
"He para peronda yang baik" berkata Karebet itu
kemudian. "Jangan mengejar-ngejar aku lagi. Kalian akan
menjadi pingsan karenanya. Lebih baik kalian kembali ke
rumah Daerah Tanah Perdikan Banyubiru. Katakanlah
kepadanya, bahwa Endang Widuri yang hilang itu telah aku


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawa. Namaku Karebet, berasal dari daerah Pengging.
Katakan kepadanya bahwa gadis itu telah aku sembunyikan.
Nanti beberapa hari lagi, apabila purnama naik, maka
Baginda Sultan Trenggana akan berburu di hutan Prawata.
Pada saat itulah gadis itu akan aku serahkan kepada
Baginda untuk puteranya, Pangeran Timur. Kalau Arya
Salaka tidak merelakannya, maka aku akan tunggu di hutan
itu. Suruhlah ia datang dengan pasukan segelar sapapan.
Maka kedatangannya akan aku sambut dengan gembira.
Sebenarnya aku adalah Lurah Wira Tamtama yang
terpercaya. Pasukanku telah sedia untuk mengamankan
perbuatanku ini." Para peronda mendengar kata-kata itu dengan tubuh
yang gemetar. Gemetar karena marah, heran, dendam dan
kecewa. Tetapi mereka kini merasa, wajarlah bahwa
mereka tidak mampu melawan anak muda yang bernama
Karebet itu, sebab ia adalah Lurah Wira Tamtama. Tetapi
mereka menjadi heran dan kecewa, apakah kekuatan itu
sudah seharusnya dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang aneh-aneh. Apakah dengan demikian, maka
Karebet benar-benar telah berbuat sebaik-baiknya sebagai
seorang Wira Tamtama"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi para peronda itu benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya mampu melihat Karebet itu kemudian meloncat diatas sebuah batu
padas sambil menengadahkan dadanya. "Inilah Karebet yang teguh
timbul. He para peronda, sampaikanlah kata-kataku kepada Arya Salaka yang berbangga hati memiliki Sasra Birawa. Nah, selamat
malam, aku tunggu anak muda itu di hutan Prawata nanti pada saat purnama naik.
Sebagai Kebo-Danu Banyubiru yang perkasa."
Bukan main marah para peronda itu, sehingga salah
seorang dari padanya yang tidak tahan lagi mendengar
kesombongan Karebet itu dengan serta merta melontarkan
pedangnya. Tetapi dengan tawa yang menyakitkan hati,
pedang itu disentuh oleh Mas Karebet dengan pedangnya
pula. Suara gemerincing di lereng bukit itu, memberitahukan bahwa pedang yang dilontarkan itu
terlempar jatuh ke dalam lereng yang terjal.
"Lihatlah bulan yang hampir bulat di langit. Meskipun
bulan itu sudah hampir tenggelam. Itu adalah pertanda
bahwa saat purnama tidak akan terlalu lama lagi."
Sebelum para peronda itu berbuat sesuatu, maka
bayangan anak muda yang berdiri di atas batu karang itu
seakan-akan melayang yang hilang di balik batu itu. Para
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
peronda itu masih berusaha untuk mengejarnya, tetapi
mereka sudah tidak menemukan lagi. Jejaknya pun tidak.
Berbagai perasaan bergolak di dalam dada para peronda
itu. Sudah sekian lama mereka mencari seorang gadis yang
hilang. Dan sudah sekian lama mereka tidak dapat
menemukan jejaknya. Kini tiba-tiba mereka mendengar
langsung, bahwa gadis itu telah dilarikan oleh anak muda
yang bernama Karebet. Dengan suara parau peronda itu
berkata, "Pantas. Kalau bukan anak muda itu, maka sudah
pasti Endang Widuri tidak akan berhasil dikalahkannya.
Bukankah anak gadis itu sendiri mampu bertempur
melampaui kita masing-masing. Bahkan kita berlima
sekaligus." Yang lain-lain menganggukkan kepala mereka. Tetapi
mereka tidak dapat tinggal diam dengan penuh kekaguman.
Tiba-tiba mereka sadar, bahwa apa yang mereka lihat dan
mereka dengar itu harus mereka sampaikan kepada Kepala
Daerah Perdikan mereka. Karena itulah maka dengan
tergesa-gesa mereka berjalan kembali ke gardu mereka.
Menceriterakan kepada kawan-kawan mereka yang mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman.
"Kami akan pergi ke rumah Ki Ageng" berkata peronda
itu. "Kenapa kalian tidak memberi tahukan kepada kami"
Mungkin kami akan dapat membantu menangkap orang itu,
apabila kami datang bersama-sama."
"Sudah kami usahakan, tetapi kami tidak sempat
melakukan." Kelima orang itu pun segera meninggalkan gardu
mereka, dan dengan tergesa-gesa pergi ke rumah Ki Ageng
Gajah Sora. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kedatangan mereka benar-benar mengejutkan. Para
penjaga di rumah Ki Ageng itu pun terkejut pula. Dengan
serta merta mereka bertanya, "Ada apa digardumu?"
"Penting sekali" jawab yang ditanya. "Kami menghadap
Ki Ageng." "Malam-malam begini" tidak besok pagi?"
"Terlalu penting."
"Soal apa?" "Gadis yang hilang itu."
"He" penjaga itu terkejut. "Kau menemukannya."
"Akan aku beritahukan kepada Ki Ageng."
"Ya. Tetapi apakah sudah kau ketemukan?"
"Berilah kesempatan aku bertemu Ki Ageng. Tergesagesa sekali." "Oh" penjaga itu pun sadar, bahwa ia harus
membangunkan Ki Ageng. Karena itu, maka cepat-cepat ia
pergi ke samping rumah dan perlahan-lahan mengetuk
dinding ditentang pembaringan Ki Ageng.
"Siapa?" terdengar sapa dari dalam.
"Kami, para penjaga Ki Ageng."
"Ada apa?" "Seseorang peronda melaporkan tentang gadis yang
hilang itu." "He" Ki Ageng Gajah Sora terkejut sehingga ia terloncat
dari pembaringannya. Penjaga yang membangunkan itu
mendengar pembaringan Ki Ageng berderak dan SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
didengarnya langkah tergesa-gesa keluar dari dalam
biliknya. Sesaat kemudian didengarnya pintu pringgitan terbuka,
dan Ki A geng muncul di ambang pintu.
"Siapa yang membangunkan aku?"
Penjaga itu telah berdiri disamping tangga pendapa.
Sehingga dari sana ia menjawab, "Aku Ki Ageng."
"Kemari. Kemarilah. Katakan apa yang kau ketahui
tentang gadis itu." Penjaga-penjaga itu pun membawa kelima orang
peronda yang bertemu dengan Karebet, naik ke pendapa. Ki
Ageng Gajah Sora pun segera menerima mereka.
"Penting sekali?" bertanya Ki A geng.
"Ya, Ki Ageng" jawab salah seorang dari mereka.
"Apakah kalian menemukan jejaknya," bertanya Ki
Ageng. "Ya" jawab peronda itu.
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian berkatalah ia kepada penjaga rumahnya,
"Bangunkan tamu-tamu kita. Mereka sebaiknya mendengar
juga tentang hal ini."
Para penjaga itu pun segera membangunkan tamu-tamu
Ki Ageng Gajah Sora yang berada di dalam gandok-gandok
rumah itu. Ki Ageng Gajah Sora sendiri membangunkan
Arya Salaka. Sehingga sesaat kemudian pendapa Banyubiru
itu telah terjadi suatu pertemuan yang lengkap. Ki Ageng
Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana
dan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya
Salaka dan Kebo Kanigara beserta beberapa orang lain.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar duduk dengan dada berdebar-debar. Hampir
tidak sabar Arya Salaka bertanya dengan suara parau
sambil mengusap matanya yang masih agak kemerahmerahan. "Cepat, katakan, apa yang kau lihat."
Peronda itu menarik nafas. Ia menjadi berdebar-debar
pula setelah ia duduk bersama dengan orang-orang yang
dikaguminya itu. Tidak hanya seorang tetapi beberapa
orang. Bagaimanakah seandainya mereka bersama-sama
maju bertempur. Di kenangnya kata-kata Mas Karebet itu.
"Suruhlah ia datang segelar sapapan."
Tiba-tiba dada peronda itu seakan-akan mengembang.
Dihadapannya duduk orang-orang sakti yang tidak kalah
saktinya dengan Mas Karebet.
"He. Kenapa kau malah tertidur." bentak Arya Salaka.
Orang itu terkejut. Dan dengan serta merta ia berkata,
"Tidak. Aku tidak tertidur."
"Katakanlah" Salah seorang dari peronda itu pun kemudian mulai
dengan ceritanya. Ditemuinya seorang yang mencurigakan.
Dan diketahui kemudian apa yang telah dilakukan. Orang
itulah yang menculik Endang Widuri.
"Hem" geram Arya Salaka. "Kalian berlima tidak dapat
menangkapnya." "Tidak" jawabnya.
"Apakah kau dapat mengira-irakan bentuk atau ciri-ciri
orang itu?" desak Arya tidak sabar.
"Orang itu menyebut namanya"
"He" bukan main terkejut Arya Salaka, dan bahkan
semua yang ada di pendapa itu "Orang itu berani menyebut
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
namanya," suara Arya benar-benar meluapkan kemarahan
tiada taranya. Meskipun ia sadar, bahwa orang itu pasti
seorang yang perkasa. Bahkan ia menyadari pula bahwa
orang itu pasti terlalu percaya kepada diri sendiri. "Siapakah
nama orang itu?" Peronda itu menarik nafas. Tiba-tiba ia menjadi raguragu. Apakah nama itu nama sebenarnya" Kalau tidak,
maka akan sia-sialah laporannya ini. Atau kalau nama itu
nama sebenarnya sekalipun, apakah orang-orang yang
berada di pendapa ini telah pernah mengenalnya"
Karena ia tidak segera menjawab, maka Arya Salaka
menjadi jengkel, sehingga ia berteriak. "Siapa namanya
he?" Kembali peronda itu terkejut, dan dengan serta merta
pula ia mengucapkan nama itu, katanya. "Ia menyebut
namanya sendiri Karebet."
"Karebet" tanpa disengaja Arya Salaka mengulangi nama
itu dengan kerasnya. Bahkan sekali ia bergeser maju dan
mengguncang tubuh peronda itu sambil berteriak. "Karebet
kau bilang." Peronda itu mengangguk. "Ya"
Jawaban itu benar-benar mengejutkan seisi pendapa.
Benar-benar tak mereka sangka bahwa yang mengambil
Endang Widuri adalah Mas Karebet. Beberapa orang yang
belum pernah mendengar nama itu, belum dapat
mengambil kesimpulan apa pun. Tetapi Arya Salaka,
Mahesa Jenar dan Rara Wilis serentak berpaling ke arah
Kebo Kanigara. Dan terdengar Mahesa Jenar menggeram
perlahan. "Karebet."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Paman" tiba-tiba Arya Salaka itu berteriak. "Paman Kebo
Kanigara. Bagaimanakah itu" Kenapa yang berbuat curang
itu justru Karebet. Kenapa?"
Mahesa Jenar terpaksa bergeser pula maju. dengan
sabarnya ia berkata. "Arya. Tenanglah. Tenanglah sedikit.
Marilah kita berbicara dengan hati yang lapang."
"Tetapi bukankah Karebet itu kemanakan paman Kebo
Kanigara?" "Ya. Karebet itu memang kemanakan pamanmu Kebo
Kanigara," sahut Mahesa Jenar, masih setenang semula.
"Tetapi ingatlah. Yang hilang itu adalah anak pamanmu itu
pula." "Oh" Arya Salaka menekan dadanya. Dada itu serasa
akan pecah karenanya. Tetapi kini ia menundukkan
wajahnya. Endang Widuri adalah puteri Kebo Kanigara.
Sehingga dengan demikian, maka seharusnya Kebo


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kanigaralah yang akan lebih dahulu marah daripada
dirinya. Kebo Kanigara menjadi gelisah pula karenanya. dengan
wajah yang suram ia berkata, "Ya. Karebet adalah
kemenakanku." Sesaat pendapa itu menjadi sepi. Angin yang dingin telah
menyentuh tubuh-tubuh mereka yang hangat karena hati
mereka yang terbakar oleh perasaan yang pelik ini.
Dalam keheningan itu kembali terdengar Suara Arya
Salaka gemetar. "Sekarang dimanakah Karebet itu?"
"Anak muda itu telah menghilang."
"Hem" Arya Salaka menggeram penuh kemarahan.
"Apakah kita akan dapat menemukannya?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya" sahut peronda itu.
"He. Apakah yang kau katakan" Arya Salaka menjadi
semakin gelisah. "Kau katakan bahwa ada kemungkinan
untuk menemukannya?"
"Ya" sahut orang itu. "Bahkan orang itu mengharap
kedatangan kita. Orang-orang Banyubiru."
"Gila" teriak Arya. "Atau kaukah yang gila itu?"
"Tidak. Benar-benar dikatakannya. Nanti saat purnama
naik, Baginda Sultan Tranggana akan berburu ke hutan
Prawata." "Gila. Kau yang benar-benar telah gila. Aku bertanya
tentang Karebet. Bukan tentang Sultan Tranggana,"
"Ini adalah kelanjutan dari peristiwa itu" sahut orang itu.
"Nanti pada saat purnama naik, Baginda akan pergi
berburu." "Itu sudah kau katakan."
"Ya. ya," peronda itu menjadi gugup. Dan karenanya
maka kata-katanya menjadi kurang teratur. "Diperburuan
itu, maka Karebet akan menyerahkan Endang Widuri
kepada Baginda untuk puteranda Pangeran Timur."
"Kau berkata sebenarnya?" potong Arya tergagap.
"Ya. Dan dikatakan oleh Karebet itu, bahwa seandainya
Arya Salaka yang membanggakan Sasra Birawa itu tidak
merelakannya, maka dipersilakan ia datang dengan
pasukan segelar sapapan. Karebet yang katanya lurah Wira
Tamtama akan menyambutnya dengan senang hati."
"Begitu katanya?" teriak Arya.
"Ya" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kembali Arya Salaka kehilangan pengamatan diri. Sambil
mengguncangkan tubuh peronda itu ia berteriak. "Dimana
kau temui Karebet itu?"
"Diperbatasan, di Sendang Muncul."
Arya Salaka tidak menjawab. Tiba-tiba ia meloncat berlari
ke belakang. Semua terkejut melihat tingkahnya. Namun
Mahesa Jenar dan ayahnya, Gajah Sora yang mengenal
tabiat anak itu, segera mengetahui, bahwa Arya Salaka
berlari untuk mengambil kudanya. Karena itu maka
keduanya hampir bersamaan memanggilnya. "Arya. Arya
Salaka." Tetapi Arya Salaka tidak mendengarnya. Ia berlari terus
ke kandang kudanya. Dengan tergesa-gesa dipasangnya
pelana kudanya dan ditariknya kuda itu keluar kandang.
Sesaat kemudian terdengarlah derap kuda itu perpacu
keluar halaman rumah Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi sesaat
kemudian menyusul dua ekor kuda berlari seperti angin ke
arah yang bersamaan. Mereka adalah Mahesa Jenar dan Ki
Ageng Gajah Sora sendiri yang tidak sampai hati melepas
Arya Salaka yang sedang kebingungan itu. Apalagi Mahesa
Jenar yang menyadari, bahwa tingkat ilmu Arya Salaka
masih belum dapat disejajarkan dengan ilmu Mas Karebet
yang aneh itu. Sehingga dengan demikian, seandainya
mereka benar-benar bertemu, maka nasib Arya Salaka
terlalu mencemaskan. Mereka yang tinggal di pendapa rumah itu duduk
membeku dalam kesuraman sinar pelita. Nyala api yang
kemerah-merahan bergerak-gerak ditiup angin yang lemah.
Daun-daun sawo di halaman bergoyang-goyang seperti
sedang menarikan sebuah tarian yang pedih.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Ada sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tampaklah
membayang di matanya kegelisahan dan kecemasan.
Kadang-kadang ia menarik nafas dalam-dalam, dan kadangkadang ia memejamkan matanya. Sesuatu yang maha berat
sedang menghimpit hatinya, namun hatinya itu berdoa
kepada Yang Maha Agung, semoga semuanya dapat selesai
dengan sebaik-baiknya. Arya Salaka yang berpacu di dalam gelap itu, benarbenar seperti orang yang mabuk. ia tidak ingat lagi bahaya
yang dapat menerkamnya. Jurang-jurang yang terjal
dipinggir jalan atau apapun yang dapat membahayakan
perjalanannya. Yang ada dikepalanya hanyalah seorang
anak muda yang bernama Karebet, seorang yang pernah
dikagumi dan bahkan mereka pernah bergaul dengan
rapatnya sebagai dua orang sahabat yang akrab.
"Kenapa kakang Karebet itu sampai hati berbuat
demikian" desah Arya Salaka didalam hatinya. "Tetapi,
apapun yang pernah terjadi, sikap yang baik dan
persahabatan yang akrab, namun bukan salahku kalau
persahabatan itu kini pecah. Kenapa kakang Karang
Tunggal tidak saja berkata terus terang dan membicarakannya dengan orang tua-tua."
Semakin diangan-angankannya, maka darah Arya
semakin meluap-luap. A rya Salaka seakan-akan tidak sabar
lagi menunggu sampai di perbatasan arah Sendang
Muncul. Tetapi akhirnya ia sampai juga ke tempat itu. Tempat
yang sepi senyap. Dilihatnya beberapa onggok batu karang
berserak-serakan di antara gerumbul-gerumbul yang
bertebaran disana-sini. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka yang marah itu menghentikan kudanya.
Dengan nanar ia memandang berkeliling. Diamatinya
relung-relung hitam diantara batu-batu karang dan di
bawah rimbunnya gerumbul-gerumbul yang ada disekitarnya. Tetapi Arya Salaka tidak mendengar suara
apapun juga, seakan-akan daerah itu daerah pekuburan
yang mengerikan. Tetapi Arya Salaka tidak puas dengan
tajam matanya. Segera ia meloncat turun, dan dengan hati
yang melonjak-lonjak ia berlari-lari mengelilingi daerah itu.
Disasaknya gerumbul-gerumbul yang rimbun dan ditembusnya kegelapan malam di sela-sela batu karang.
Tetapi yang dicarinya tidak diketemukannya.
Arya Salaka itu seakan-akan telah benar-benar kehilangan kesadaran diri .Tiba-tiba ia meloncat naik ke
atas batu karang sambil berteriak keras-keras. "He Karebet.
Jangan menunggu Purnama naik. Inilah Arya Salaka dari
Banyubiru. Kita selesaikan persoalan kita tanpa menundanunda. Buat apa kau lakukan perbuatan terkutuk itu. He.
Karebet. Karebet........."
Suara Arya Salaka menggeletar memukul tebing-tebing
pegunungan. Suara gemanya bersahut-sahutan mengumandang di lereng bukit Telamaya. Namun suara itu
menggeletar tanpa arti. Tak seorang pun yang menyahut.
Arya Salaka menjadi semakin marah. Sekali lagi ia
berteriak. "Karebet. Dengan mengumpankan gadis itu,
apakah kau akan diangkat menjadi Adipati. He. Marilah kita
berhadapan sebagai jantan sejati. Tidak perlu dengan
pasukan segelar sapapan. Karebet......"
Suara itu pun menggelepar di kesunyian malam.
Gemerisik angin pegunungan membawa udara yang dingin
sejuk. Helai-helai daun yang kuning berguguran satu-satu di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tanah yang lembab oleh embun. Namun suara Arya Salaka
itu hilang saja disapu hembusan angin.
Arya Salaka mengangkat wajahnya ketika ia mendengar
suara telapak kuda mendekat. Ia tahu betul, bahwa mereka
itu adalah orang-orang Banyubiru. Mungkin ayahnya,
mungkin orang lain. Tetapi ia tidak mempedulikannya. Ia
masih saja tegak di atas batu karang. Bulan yang hampir
bulat telah melekat di ujung pepohonan. Sinarnya telah
memerah dan hampir tenggelam. Namun cahayanya yang
dipantulkan oleh wajah Rawa Pening, masih tampak kuning
kemerahan, berkilat-kilat.
"Arya" terdengar suara lembut dari bawah batu karang
itu. Arya yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu, masih
juga mendengar suara itu. Suara yang telah dikenalnya
baik-baik, melampaui ayahnya sendiri. Suara itu adalah
suara gurunya. Meskipun demikian untuk sesaat ia masih
berdiam diri di atas batu karang itu. Gelora kemarahannya
yang menghentak dadanya belum juga dapat ditenangkannya. "Arya" suara itu didengarnya kembali. Betapa ia
dihanyutkan oleh kemarahannya, namun suara itu benarbenar berpengaruh padanya. Karena itu maka Arya itu pun
berpaling. Dilihatnya di dalam keremangan malam, dua
orang yang masih duduk di atas punggung kuda. Gurunya,
Mahesa, dan ayahnya Gajah Sora.
"Arya" kali ini ia mendengar suara ayahnya. "Turunlah."
Arya masih berdiri di atas batu karang itu. Sekali tatapan
matanya menyangkut pada bulan yang telah hampir lenyap
di balik pepohonan yang tumbuh di lereng bukit. Tiba-tiba
ia berkata nyaring. "Lihatlah ayah. Bulan hampir purnama.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Aku harus segera bersiap untuk menyambut Karebet di
hutan Prawata." "Sabarlah Arya" desis Mahesa Jenar. "Turunlah, marilah
kita bicarakan soalmu ini."
Arya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang tidak
dapat berbuat apa-apa di atas batu karang itu. Di atas batu
karang itu tidak ditemuinya Karebet dan juga akan
ditemuinya gadis yang hilang. Karena itu maka segera ia
pun meloncat turun. "Sebaiknya kau tenangkan hatimu Arya," berkata Mahesa
Jenar. Arya Salaka tidak menjawab. Dipandang wajah ayahnya
yang duduk diam di atas punggung kudanya. Tetapi di
dalam malam yang remang ia tidak mendapat sesuatu
kesan dalam wajah itu. Selain, tegang.
"Marilah kita pulang dahulu," ajak Mahesa Jenar.
Arya Salaka tidak menjawab. Ia masih mencoba
memandang tempat-tempat yang gelap disekelilingnya.
"Anak itu sudah pergi," desis ayahnya.
Arya menggeretakkan giginya. Namun perlahan-lahan ia
menuju kekudanya. "Naiklah. Biarlah kita bicarakan semuanya ini di rumah,"
berkata ayahnya mendesak.
Arya Salaka itu kemudian menjadi seakan-akan
kehilangan segala-galanya. Ia menjadi bingung, cemas,
marah dan tanggapan yang simpang siur atas perbuatan
Karebet itu. Dengan hati yang kosong ia meloncat ke atas
punggung kudanya, dan dengan lesunya ia mendorong
kudanya berjalan kembali ke rumahnya. Rumah yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seakan-akan menjadi terlalu sunyi. Lebih sunyi dari tempat
ini. Perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke rumah Gajah
Sora. Arya Salaka tidak mampu lagi melecut kudanya dan
melarikannya. Ia lebih tenang berjalan perlahan-lahan
dalam malam yang semakin gelap karena bulan kini telah
benar-benar tenggelam. Tetapi dikejauhan telah terdengar
kokok ayam jantan untuk ketiga kalinya.
Arya Salaka menengadahkan wajahnya. Betapa pun juga
ia tidak dapat melupakan kewajibannya. Karena itu ia
mempercepat langkah kudanya, sebelum ia terlambat untuk
melakukan sembahyang subuh. Mahesa Jenar dan Gajah
Sora yang berkuda dibelakangnya, tak sepatah kata pun
terloncat dari bibir mereka. Mereka seakan-akan onggokan
benda-benda mati yang terikat erat-erat di atas punggung
kuda. ----------o-dwkzOarema-o----------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Ketika matahari mulai melemparkan cahayanya yang
pertama, menyentuh ujung-ujung pepohonan, Mahesa
Jenar telah dikejutkan oleh ringkik-ringkik kuda di
halaman. Dengan

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tergesa-gesa Mahesa Jenar menghampirinya dan bertanya kepadanya. "Akan kemanakah Ki A geng sepagi ini?"
"Aku akan kembali ke Pamingit," jawab Ki Ageng Lembu
Sora. "Oh" Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Namun
betapa pun juga timbul pula prasangkanya. Dalam
kesibukan yang semakin memuncak ini justru Ki Ageng
Lembu Sora akan kembali ke Pamingit. Karena itu maka ia
bertanya pula. "Apakah ada sesuatu keperluan yang
mendesak?" KI Ageng Lembu Sora lah yang kini memandang Mahesa
Jenar dengan heran. Apakah Mahesa Jenar belum tahu apa
yang akan dilakukan oleh Arya Salaka" Meskipun demikian
ia menjawab juga. "Saat purnama naik hanya tinggal
beberapa hari lagi. Aku tidak akan dapat tinggal diam.
Pasukan Pamingit akan membantu Arya Salaka menghadapi
Karebet di hutan Prawata."
"He" Mahesa Jenar benar-benar terkejut seperti disambar
petir melesat. Jadi Arya Salaka telah mengambil keputusan
yang berbahaya itu" Tubuh Mahesa Jenar itu pun menjadi
gemetar karenanya, sehingga sesaat ia tidak dapat berkata
apa-apa. Ditatapnya saja wajah Ki Ageng Lembu Sora yang
bersungguh-sungguh itu. Baru kemudian ia berhasil
menenangkan hatinya, dan berkata, "Ki Ageng apakah itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
merupakan keputusan Ki Ageng Gajah Sora dan Ki Ageng
Sora Dipayana pula?"
"Kakang Gajah Sora dan ayah Sora Dipayana tak berhasil
mencegah Arya Salaka. Dan bukankah ini soal kehormatan
pula" Kehormatan Banyubiru dan seluruh tanah perdikan
Pangrantunan lama termasuk Pamingit" Arya telah
membantu dan membebaskan Pamingit dari genggaman
orang-orang golongan hitam beberapa waktu lampau.
Apakah sekarang, aku harus membiarkan kehormatan Arya
Salaka diinjak-injak orang lain?"
"Hem" Mahesa Jenar menarik nafas. Ki Ageng Lembu
Sora masih juga kejangkitan penyakitnya yang lama,
meskipun dalam persoalan yang lain. Harga diri yang
berlebih-lebihan dan nafsu untuk memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Tetapi kali ini Ki Ageng
Lembu Sora tidak mutlak bersalah seperti apa yang dahulu
pernah dilakukan. Bahkan kini ia merasa berkuwajiban
untuk membalas kebaikan hati Arya Salaka. Karena itu
maka Mahesa Jenar itu pun berkata, "Baiklah aku mencoba
menemui kakang Gajah Sora".
Ki Ageng Lembu Sora memandangi Mahesa Jenar dengan
pandangan yang aneh. Apakah guru Arya Salaka itu tidak
sependapat seandainya Arya Salaka memenuhi tantangan
Karebet" Tetapi Lembu Sora itu pun kemudian tidak
menghiraukannya lagi. Kembali ia mempersiapkan dirinya
untuk segera berangkat ke Pamingit, memilih orang-orang
yang paling dipercaya untuk ikut berangkat ke hutan
Prawata nanti pada saat purnama naik beberapa hari lagi.
Dengan demikian, maka sebelumnya pasukannya harus siap
pula di Banyubiru. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar mencari Ki Ageng
Gajah Sora yang duduk diserambi belakang rumahnya
bersama-sama dengan Arya Salaka. Wajah anak muda itu
tampak merah membara sedang tangannya menggenggam
tangkai sebuah pisau belati panjang yang berwarna kuning
berkilat-kilat, Kiai Suluh.
Ketika mereka melihat Mahesa Jenar mendatangi
mereka, maka Ki Ageng Gajah Sora itu pun mempersilakannya duduk bersama mereka. Ketika terpandang oleh Arya Salaka wajah gurunya yang tenang
dalam, terasa hatinya bergetar dahsyat. Tanpa disengaja ia
menundukkan wajahnya. "Kakang" berkata Mahesa Jenar kepada Ki Ageng Gajah
Sora. "Agaknya Ki Ageng Lembu Sora segera akan kembali
ke Pamingit." Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya" sahutnya pendek.
"Dari Ki Ageng Lembu Sora aku mendengar segalagalanya tentang keputusan Arya Salaka."
Kembali Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Apakah Ki Ageng Gajah Sora berpendapat demikian?"
bertanya Mahesa Jenar kemudian.
Ki Ageng Gajah Sora itu diam mematung. Ditatapnya
pohon-pohon nyiur yang tumbuh di halaman belakang
rumahnya. Sekali-kali daunnya bergerak ditiup angin pagi
dan cahaya matahari yang bermain-main di halaman
menjadi bergerak-gerak pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesaat Ki Ageng tidak tahu, bagaimana ia harus
menjawab. Namun kemudian terdengar suaranya serak.
"Ya. Apa boleh buat."
Mahesa Jenar menarik keningnya. Tampak beberapa
kerut-kerut tumbuh didahinya. Perlahan-lahan ia berkata,
"Sudahkah kakang mempertimbangkannya masak-masak."
Mendengar pertanyaan itu Arya Salaka mengangkat
wajahnya. Dipandangnya wajah gurunya dengan penuh
pertanyaan. Apakah gurunya tidak sependapat dengan
keputusan itu?" Arya kemudian melihat ayahnya menundukkan wajahnya.
Pertanyaan Mahesa Jenar benar-benar telah menggoncangkan jantungnya. "Ya, apakah keputusan itu
sudah sebaik-baiknya?" Pertanyaan itu timbul pula didalam
hatinya. Tetapi ketika dipandanginya wajah anaknya yang
merah padam, timbul pula kasihan di dalam dirinya. Anak
satu-satunya yang dengan gigih telah berjuang untuk
kepentingan tanah perdikan ini. Bahkan, ia dibawah asuhan
Mahesa Jenar itu sendiri"
Ketika Gajah Sora tidak segera menjawab, maka Mahesa
Jenar itu pun kemudian langsung bertanya kepada Arya
Salaka, katanya, "Arya. Apakah kau telah membayangkan
apa saja yang kira-kira dapat terjadi dengan keputusan
itu?" Arya Salaka ragu-ragu sejenak. Tetapi dorongan yang
kuat di dalam hatinya memaksakan menjawab. "Tak ada
pilihan lain paman."
Mahesa Jenar menarik nafas. Katanya, "Apakah kau telah
mencobanya?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya mengerutkan alisnya. Desisnya, "Apa yang dapat
dicoba?" "Arya" berkata Mahesa Jenar. "Dalam persoalan ini masih
harus dicari sumber yang menyebabkannya. Kalau ternyata
Karebet berbuat demikian atas perintah Baginda, maka
soalnya menjadi jelas. Namun kalau perbuatan itu
dilakukannya atas kehendak sendiri untuk mendapatkan
hadiah atau pangkat atau apapun, maka akan ternyata
bahwa kau terlalu tergesa-gesa. Mungkin Baginda sendiri
akan menolak persembahan itu. Dan masih ada seribu satu
macam kemungkinan yang lain."
"Tidak paman", jawab Arya tegas. Mahesa Jenar terkejut
mendengar jawaban itu. Belum pernah Arya bersikap
demikian kerasnya kepadanya. Dan ternyata Arya itu
berkata terus. "Sudah jelas dikatakannya, bahwa Karebet
mengambil Widuri untuk Pangeran Timur. Kalau perintah itu
tidak turun dari istana, apakah Karebet berani mempersembahkan seorang yang hanya diambilnya dari
pegunungan" Apakah itu bukan merupakan penghinaan
bagi Pangeran Timur dan Baginda sendiri" Tetapi hal itu
pasti sudah menjadi pilihan Pangeran Timur. Paman,
seandainya hal itu dilakukan baik-baik, maka hatiku tidak
akan merasa dihinakan."
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat
ketidakwajaran dalam persoalan ini. Hampir-hampir ia
berkata, bahwa apakah hak Arya Salaka untuk marah"
Hanya karena penghinaan yang dilontarkan oleh Karebet
itu" Dan kenapa Karebet itu sengaja memancing kemarahan
Arya Salaka" Tetapi Mahesa Jenar tidak mengatakannya. Disadarinya
bahwa hati Arya Salaka benar-benar sedang gelap. Dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar pun dapat memahami kegelapan hati itu.
Dikenangnya kemudian, ketika ia kehilangan Rara Wilis di
Pliridan beberapa tahun yang lalu. Seorang yang tidak tahu
sebab musababnya, Sagotra, hampir-hampir dicekiknya
sampai mati. Namun kini Arya Salaka menghadapi
persoalan itu tidak seorang diri seperti dirinya pada saat itu.
Tetapi di belakangnya akan terlibat beratus-ratus orang.
Mahesa Jenar itu pun hanya dapat merenung. Ia tidak
dapat mencegah muridnya dalam keadaan itu, kalau ia tidak
ingin kehilangan kewibawaan atas muridnya itu. Sebab
hampir pasti, bahwa Arya Salaka tidak akan mendengarnya.
Tetapi sudah tentu bahwa hatinya akan menjadi hancur
pula, apabila ia harus menyaksikan pertentangan yang
pecah antara Banyubiru dan Demak. Beberapa tahun yang
lampau ia berusaha mati-matian untuk menghindarkan
pertentangan itu. Pertentangan yang timbul karena
persoalan yang bagi Demak jauh lebih bernilai. Persoalan
yang ditimbulkan karena keris-keris Nagasasra dan Sabuk
Inten, meskipun ternyata hanya karena kesalahpahaman
saja. Kini soal itu adalah soal seorang gadis. Tetapi bagi
Arya Salaka persoalan ini adalah persoalan harga diri,
kehormatan dan yang lebih penting adalah gairah bagi
masa depannya. Mahesa Jenar itu pun kemudian meninggalkan serambi
belakang rumah Ki Ageng Gajah Sora. Arya Salaka pun
kemudian pergi pula menemui beberapa orang pimpinan
Banyubiru untuk menyiapkan laskarnya.
Sedang untuk beberapa saat Ki Ageng Gajah Sora masih
duduk merenung ditempatnya. Terbayanglah apa yang
pernah dilakukannya sendiri pada saat itu. Justru pada saat
dirinya akan ditangkap oleh prajurit-prajurit Demak. Pada
saat ia mendapat tuduhan menyembunyikan keris-keris
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pusaka istana Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Pada
saat itu ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika ia melihat
kibaran panji-panji Gula Kelapa diantara sepasukan
Manggala pati. Bendera yang melambangkan kebesaran
Demak. Lebih dari itu, bendera yang melambangkan
persatuan dan kesatuan. Apakah sekarang ia akan
membiarkan anaknya melawan Demak. Melawan persatuan
dan kesatuan itu. Hati Gajah Sora itu pun tiba-tiba menjadi
hancur. Hancur seperti yang pernah dialaminya beberapa
tahun yang lalu. Tetapi ia kini tidak mampu mencegah
anaknya berbuat demikian.
Tiba-tiba ia tersadar ketika Ki Ageng Lembu Sora masuk
menemuinya. Adiknya itu segera akan minta diri untuk
kembali ke Pamingit. Menyiapkan pasukannya untuk
membantu Arya Salaka memaksa Baginda Sultan Trenggana
mengurungkan niatnya, mengambil Endang Widuri untuk
puteranya. Semuanya kemudian berjalan di luar kemauan Ki Ageng
Gajah Sora. Beberapa kali ia berusaha mencegah anaknya
melanjutkan niatnya, namun ia tidak juga berhasil. Bukan
saja Ki Ageng Gajah Sora, tetapi Mahesa Jenar dan Ki
Ageng Sora Dipayana. Namun Arya Salaka tetap pada
pendiriannya. Merebut Endang Widuri dengan segala
akibatnya. Sedang Gajah Sora yang merasa seolah-olah
Arya Salakalah yang telah mempertahankan kedudukannya
di Banyubiru, baik dari tangan Lembu Sora maupun dari
tangan golongan hitam, maka ia tidak sampai hati untuk
mempergunakan kekuasaan mencegah laskar Banyubiru
untuk mengambil bagian dalam kemarahan Arya Salaka itu.
Tetapi Mahesa Jenar tidak segera berputus asa.
Dibiarkannya Arya Salaka mempersiapkan dirinya. Mempersiapkan laskarnya dan bahkan dengan laskar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pamingit sekalipun. Namun ia masih berusaha untuk


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari jalan keluar. Diotak-atiknya persoalan itu.
Direntang-digulung, diurai-dilipatnya. Dihubung- hubungkannya setiap persoalan dan setiap sikap dari orangorang yang berkepentingan. Dan akhirnya Mahesa Jenar
mengambil suatu sikap, betapa pun berat hatinya untuk
melakukannya. Menemui Kebo Kanigara seorang diri.
Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya.
Ditemuinya Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam
bilik yang disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara
melihat kehadiran Mahesa Jenar, maka tampaklah ia
terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mempersilakan Mahesa
Jenar masuk ke dalam bilik itu.
Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya.
Ditemuinya Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam
bilik yang disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara
melihat kehadiran Mahesa Jenar, maka tampaklah ia
terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mempersilakan Mahesa
Jenar masuk ke dalam bilik itu.
"Terima kasih kakang", sahut Mahesa Jenar sambil duduk
dipembaringan Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berkumpul dalam
waktu yang lama. Setiap kali mereka bertemu dan
bercakap-cakap. Setiap kali mereka mempersoalkan
berbagai masalah yang paling ringan sampai yang paling
berat. Setiap kali mereka berbuat bersama-sama dan
mereka pun ternyata memiliki unsur kekuatan yang sama.
Mereka bersama-sama adalah tetesan dari sumber kekuatan
Ki Ageng Pengging Sepuh. Tetapi pertemuan mereka kali ini terasa amatlah
canggungnya. Mereka berdua tidak segera menyadari
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
apakah sebabnya dari kecanggungan itu, namun terasa ada
sesuatu yang diantara mereka yang kurang sewajarnya.
Setelah mencobanya menenangkan hatinya, maka
Mahesa Jenar mencoba mulai dengan persoalannya.
Katanya, "Kakang. Apakah kakang tidak ingin melihat
persiapan Arya Salaka yang akan membantu kakang
mengambil kembali Widuri dari tangan Karebet?"
Kebo Kanigara menarik alisnya. Ditatapnya keheningan
malam di luar pintu biliknya. Di samping dinding
didengarnya jengkerik seolah-olah lagi menangis. Menangisi
mereka yang tak akan dapat dijumpainya.
Dalam kesenyapan itu terdengar Kebo Kanigara berkata,
"Aku akan mengucapkan terima kasih atas kesediaan Arya
Salaka, Mahesa Jenar."
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Semua berjalan dengan baik, kakang. Laskarnya memiliki tekad yang tinggi. Mereka berniat
mempertahankan kehormatan nama kakang Kebo Kanigara
dan Arya Salaka. Bahkan laskar Pamingit pun akan segera
datang dan membantu Arya Salaka pula."
Kebo Kanigara terdiam. Wajahnya menjadi tegang. Dan
punggungnya menjadi basah oleh keringat.
"Nanti pada saat purnama naik, Arya sudah bersedia
mengepung Baginda yang sedang berburu. Aku tidak tahu,
apakah Baginda menyadari hal itu. Apakah Baginda
menyangka bahwa Arya Salaka dan laskar Banyubiru tidak
akan berani berbuat demikian sehingga Baginda tidak
mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Namun menilik
kata-kata Karebet, maka Baginda pasti telah menyiapkan
Wira Tamtama dan bahkan mungkin kesatuan-kesatuan
yang lain". SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kebo Kanigara masih berdiam diri. Keringatnya semakin
banyak mengaliri punggungnya. Dan kembali terdengar
Mahesa Jenar berkata, "Kakang, kalau terjadi pertempuran
antara kedua pasukan itu, maka alangkah ramainya. Kalau
Baginda telah siap menghadapi Arya Salaka, maka laskar
Banyubiru pasti akan tumpas. Beratus-ratus orang
Banyubiru dan Pamingit akan menjadi korban. Tetapi kalau
Baginda tidak mempersiapkan dirinya, maka laskar
Demaklah yang akan binasa. Baginda akan terancam
jiwanya karena kemarahan yang meluap-luap. Dan Arya
Salaka untuk seterusnya akan bergelar seorang pemberontak yang baik, yang telah berhasil membunuh
rajanya sendiri." "Sudahlah Mahesa Jenar," potong Kebo Kanigara.
Suaranya perlahan-lahan dan parau. "Aku sudah menyangka bahwa hal-hal yang demikian dapat terjadi."
"Ya. Aku juga menganggap bahwa kakang sudah dapat
membayangkannya. Lalu bagaimana dengan kita kakang"
Apakah sebaiknya kita ikut juga dalam pertempuran itu?"
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa
dadanya bergelora. Namun ia tidak dapat menjawab
pertanyaan itu. Sesaat bilik itu menjadi sunyi. Mereka berdua duduk
mematung. Namun ternyata bahwa wajah-wajah mereka
menjadi tegang. Yang mula-mula berkata di antara mereka adalah
Mahesa Jenar. Dengan penuh tekanan ia berkata.
"Bagaimanakah sebaiknya kakang, apakah kita juga akan
berada dalam pasukan itu?"
"Mahesa Jenar," jawab Kebo Kanigara "aku sedang
bersedih karena kehilangan Widuri. Karena itu, aku tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dapat berpikir, jalan manakah yang sebaiknya aku tempuh
untuk menemukannya. Apabila kemudian kita ketahui
bahwa anak itu dibawa oleh Karebet dan akan dibawanya
ke Hutan Prawata, maka bagiku tidak ada pilihan lain dari
pada datang merebutnya."
"Dengan kekerasan?"
"Kalau itu kemungkinan satu-satunya."
"Kakang" berkata Mahesa Jenar ber-sungguh-sungguh,
"kakang masih mempunyai kesempatan untuk menghindarkan pertumpahan darah itu. Bukankah kakang Kebo
Kanigara putera Pangeran Handayaningrat. Bukankah
kakang Kebo Kanigara dapat menghadap Baginda dan
menjelaskan persoalannya kepada Baginda" Dan bukankah
kakang berhak untuk mengambil puteri kakang itu sendiri"
"Mahesa Jenar. Sultan Trenggana adalah seorang yang
keras hati. Kalau sudah terkandung maksud oleh Baginda,
maka tak seorang pun akan dapat merubahnya."
"Tetapi Karebet itu adalah kemanakan kakang. Karebet
sedemikian takutnya kepada kakang Kebo Kanigara. Apakah
kakang tidak dapat memaksanya untuk menyerahkan
Widuri itu kepada kakang?"
"Karebet memang takut kepadaku, Mahesa Jenar. Namun
ternyata bahwa di belakangnya kini berada satu kekuatan
yanq akan dapat melawan aku. Mungkin karena itulah ia
berani berbuat sedemikian atas Widuri itu."
"Tetapi, bukankah Karebet itu dapat berbuat lain dari
yang dilakukannya itu" Mungkin ia dapat datang kepada
kakang Kebo Kanigara dan minta kepada kakang untuk
menghadap Baginda, sedang Baginda akan dapat langsung
mengambil Widuri dari kakang Kebo Kanigara. Dan apakah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keuntungan Karebet dengan menghinakan Arya Salaka dan
menantangnya untuk mengambil Widuri di hutan Prawata
nanti pada saat Purnama naik?"
Kebo Kanigara itu pun terdiam. Dan kembali Mahesa
Jenar berkata "Apakah karena Karebet ingin melihat
pertumpahan darah di antara sesama rakyat Demak atau
barangkali Karebet ingin menunjukkan kejantanannya di hadapan Sultan Trenggana" A tau apa?"
"Jangan menambah aku menjadi bingung Mahesa Jenar."
"Kakang, baiklah aku berterus terang. Apakah kakang
cukup berduka atas hilangnya Widuri, satu-satunya anak
yang kakang kasihi selama ini" Apakah kakang cukup
menunjukkan usaha untuk menemukannya sampai saat ini
" Kakang, sekali lagi, baiklah aku berterus terang, supaya
tidak terjadi salah tangkap dari segala perbuatan kakang
itu. Apakah kakang telah berusaha melepaskan Widuri dari
kemungkinarn hubungan yang lebih erat dengan Arya
Salaka dengan alat Karebet itu?"
"Mahesa Jenar." potong Kebo Kanigara. Tetapi Kebo
Kanigara tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sesaat ya
menundukkan wajahnya. Diluar malam menjadi semakin
kelam. Dan malam yang kelam itu benar-benar mendebarkan. Di antara gemerisik angin malam, kembali terdengar
suara Mahesa Jenar yang berat "Kakang. Maafkanlah. aku
kakang, tetapi sebaiknya aku tidak menyirnpan pertanyaanpertanyaan itu di hatiku. Lebih daripada yang telah aku
katakan, kakang. Sebenarnya aku tidak dapat mengerti,
kenapa kakang masih saja bersikap acuh tak acuh atas
hilangnya Widuri." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kebo Kanigara mengangkat wajahnya. Wajah yang tibatiba menjadi sedemikian tegangnya. Perlahan-lahan
terdengar ia bergumam, "Mahesa Jenar, apakah kau
berprasanqka buruk terhadapku?"
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Bahkan terjadilah
beberapa persoalan di dalam dirinya. Menurut kata-kata
Kebo Kanigara, maka betapa Kebo Kanigara itu menjadi
sedemikian bingungnya sehingga ia sudah tidak dapat lagi
berpikir wajar. Namun apakah seorang Kebo Kanigara dapat
menjadi sedemikian kehilangan segala macam pertimbangan" Betapa ia menyayangi anaknya itu, namun
sudah pasti bahwa Kebo Kanigara akan tetap dalam
keseimbangan. Ia pasti akan
berusaha mencari anaknya.
lebih dari yang telah dilakukannya sekarang. Tidaklah mungkin kalau Kebo Kanigara hanya akan sekedar menunggu bantuan Arya Salaka dengan laskarnya. Bahkan membiarkan pertentangan yang akan semakin memuncak antara Banyu Biru dan Demak karena anak puterinya yang hilang
dibawa oleh Karebet, "Aneh"
gumam Mahesa Jenar di dalam dirinya. Sehingga karena
itulah maka ia menjawab pertanyaan Kebo Kanigara
"Kakang, sebenarnyalah aku menjadi sangat heran. Aku
tidak tahu apa sebenarnya yang telah kakang lakukan.
Namun dalam tangkapan perasaanku, kakang telah berbuat
diluar kewajaran." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Hem" Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam.
"apakah yang seharusnya aku lakukan, Mahesa Jenar?"
"Menyelesaikan persoalan ini tanpa pertumpahan darah.
Tanpa memberikan kemungkinan yang pahit itu. Tanpa
memungkinkan kebinasaan baik laskar Banyubiru, maupun
Demak." "Apakah aku mampu berbuat demikian?"
"Tentu," jawab Mahesa Jenar. "Kakang tentu mampu.
Seharusnya kakang sudah berhasil mencari Karebet dan
memaksanya mengembalikan Widuri. Atau kalau Widuri
benar-benar dikehendaki oleh Pangeran Timur, maka
kakang dapat menjelaskan persoalannya."
"Sulit bagiku Mahesa Jenar."
"Kakang," wajah Mahesa Jenar menjadi tegang pula.
"Maafkan aku kakang. Sebenarnya aku sedang menduga,
apakah sebenarnya kakang hendak menjauhkan Widuri dari
Arya Salaka" Atau kakang sebenarnya sedang mengangkat
sebuah neraca antara Arya Salaka dan Pangeran Timur.
Namun, kakang tidak sampai hati memberitahukannya


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada keluarga Arya Salaka?"
"Mahesa Jenar" potong Kebo Kanigara. "Jangan kau
katakan itu. Aku bukan orang gila. Aku masih sehat dan
dapat berpikir sebaik-baiknya."
"Tetapi apa yang kakang lakukan benar-benar menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hatiku. Apakah kakang
sengaja memancing pertentangan dan membinasakan Arya
Salaka untuk menyelesaikan persoalan ini."
"Cukup. Cukup Mahesa Jenar."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Beri aku penjelasan kakang. Beri aku penjelasan supaya
aku dapat mengerti jalan pikiran kakang. Apakah kakang
Kebo Kanigara akan mempergunakan Arya Salaka untuk
membinasakan Sultan Trenggana karena dendam kakang
atas runtuhnya keluarga kakang dan lenyapnya kesempatan
bagi trah Handayaningrat, apalagi dengan terusirnya
Karebet dari istana Demak?"
Wajah Kebo Kanigara itu tiba-tiba menjadi suram.
Demikian suramnya sehingga Mahesa Jenar terhenti dengan
sendirinya. Ia mengharap Kebo Kanigara membela diri dan
menyatakan alasan-alasan yang sebenarnya. Tetapi Kebo
Kanigara itu berkata. "Sampai hati kau menuduh aku
demikian Mahesa Jenar?"
Mahesa Jenar pun kini terdiam sesaat. Hatinya menjadi
sedemikian risaunya sehingga terpaksa ia mengeluh
pula. "Alangkah rumitnya persoalan kali ini. Kakang, jadi
kakang telah bertekad dan membiarkan Arya membuat
penyelesaian menurut caranya?"
Kebo Kanigara masih menundukkan wajahnya. Terasa
benar pada wajahnya yang suram itu pergolakan di dalam
hatinya. Hati yang selama ini selalu tenang dan tenteram.
Namun hati itu kini bergelora seperti lautan yang dilanda
angin lautan yang dahsyat.
Perlahan-lahan Kebo Kanigara itu menjawab. "Untuk
sementara, Mahesa Jenar. Sebelum aku menemukan cara
yang lain." Mahesa Jenar menarik nafas. Ia tidak akan berhasil
untuk mengubah pendirian Kebo Kanigara yang aneh dan
tidak dapat dimengertinya. Tetapi ia yakin seyakinyakinnya, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.
Namun betapapun juga alasannya, apakah ia akan dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
melihat bentrokan yang terjadi antara Banyubiru dan
Demak di hutan Prawata nanti" Apakah ia akan dapat
melihat laskar Banyubiru binasa" Laskar yang telah berhasil
melepaskan diri dari satu ujian yang maha berat,
membebaskan diri merekadari orang-orang golongan hitam.
Dankini mereka akan terperosok ke dalam kehancuran yang
mutlak" Sedang apabila Sultan tidak berprasangka akan
datangnya bahaya itu, apakah ia juga akan dapat melihat
bagian kecil dari laskar Demak dan mungkin Sultan sendiri
binasa" Mahesa Jenar itu menggeram. Dadanya serasa benarbenar akan pecah. Namun sementara itu, ia pun tidak akan
dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka dengan nada
yang dalam ia minta diri kepada Kebo Kanigara itu, katanya
"Baiklah kakang. Biarkan kakang beristirahat malam ini.
Mungkin pekerjaan kakang akan menjadi semakin banyak
besok." Kebo Kanigara menggigit bibirnya. Jawabnya lemah.
"Baiklah Mahesa Jenar."
Mahesa Jenar itu pun kemudian segera meninggalkan
bilik Kebo Kanigara. Dihalaman ia mendengar kentongan
dikejauhan dalam nada dara muluk.
"Tengah malam" gumamnya. Dan sesaat kemudian para
penjaga di halaman itu pun memukul kentongannya pula
dalam nada yang sama. Ketika Mahesa Jenar kemudian
menengarahkan wajahnya, maka dadanya berdesir.
Dilihatnya bulan yang hampir bulat mengapung di langit
dengan tenangnya. Sehelai-helai awan yang tipis terbang
menyapu wajah bulan itu. Di langit yang biru, kelelawar
berterbangan berkejar-kejaran seperti sedang bergurau.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tidak tertarik pada
kelelawar, pada awan dan bintang-bintang di langit. Yang
sangat menarik perhatiannya adalah bulan yang hampir
penuh itu. Sehingga perlahan-lahan ia bergumam sendiri.
"Empat hari lagi purnama penuh akan naik. Pada saat itu,
Sultan Trenggana akan membuat perkemahan di hutan
Prawata. Pada saat itu Arya Salaka akan mengepungnya
dan menuntut Widuri kembali. Kalau mereka tidak
menemukan kata sepakat, maka keduanya akan bertempur
dan akan saling membinasakan."
Kembali Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam.
Udara yang dingin menyentuh dadanya dan terdengar ia
berdesah perlahan-lahan. Telah terbayang dimatanya,
mayat yang bergelimpangan. Mayat kawan dan mayat
lawan. Bukan. Sama sekali bukan lawan. Keduanya adalah
kawan. Sebab keduanya adalah isi dari kerajaan yang
seharusnya berada dalam persatuan dan kesatuan yang
bulat. Tetapi sudah hampir pasti bahwa mereka tidak akan
pernah menemukan kata sepakat. Seandainya benar
Baginda menerima Endang Widuri, maka Baginda sudah
tentu tidak akan bersedia menyerahkan apabila dihadapannya telah mengancam sepasukan laskar. Tetapi
mungkin Baginda akan bersedia apabila ayah gadis itu
sendiri datang kepadanya dan menjelaskan persoalannya
dengan baik. Tetapi Kebo Kanigara tetap dalam pendiriannya. "Aneh" sekali lagi ia bergumam. "Aneh, dan
tidak wajar." Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dada Mahesa
Jenar itu. Ia dengan tiba-tiba saja teringat, bahwa masih
ada seorang yang dapat mempengaruhi pendapat Kebo
Kanigara. Kalau orang itu dapat mengerti persoalannya, dan
bersedia memanggil Kebo Kanigara, maka persoalannya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
masih mungkin dipecahkan. Karena itu, maka timbullah
kembali harapan di dalam dada Mahesa Jenar. Dengan
langkah yang tetap ia kemudian masuk ke dalam biliknya
untuk beristirahat. Mudah-mudahan ia akan dapat
menyelesaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Tetapi malam itu Mahesa Jenar tidak dapat beristirahat
sama sekali. Kalau ia sesaat dapat memejamkan matanya
dan lupa diri, maka seakan-akan sesuatu yang berat
menghimpit dadanya, sehingga tergagap ia bangun
kembali. Berulang-ulang dan bahkan kadang-kadang
tubuhnya serasa menjadi kejang. Meskipun ia menyadari
dirinya bahwa ia tidak sedang bermimpi, namun untuk
beberapa lama ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya.
"Hem" Mahesa Jenar itu menggeram. Sebagai seorang
yang terlatih, maka ia mampu menguasai tubuhnya dengan
sebaik-baiknya. Namun dalam kerisauan ini, Mahesa Jenar
seakan-akan benar-benar menjadi terganggu lahir dan
batinnya. Ketika ia bangkit dari pembaringannya di pagi-pagi
benar, maka dilihatnya Rara Wilis sedang membantu Nyai
Ageng menghidangkan minuman kepada mereka yang
berada di dalam rumah itu, kepada Ki Ageng Gajah Sora
sendiri dan tamu-tamunya. Ketika Rara Wilis itu masuk ke
dalam bilik Mahesa Jenar, tampaklah gadis itu terkejut. Dan
tanpa sesadarnya ia menyapa. "Kakang, apakah kakang
sedang sakit?" Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Tidak
Wilis. Aku tidak sedang sakit. Kenapa?"
"Kakang pucat sekali."
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin benar kata Rara Wilis, bahwa ia pucat sekali.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sambil menggosok wajahnya Mahesa Jenar itu berkata,
"Wilis duduklah sebentar. Ada yang ingin aku katakan
kepadamu." Rara Wilis itu pun segera duduk di samping Mahesa
Jenar. Wajahnya pun memancarkan berbagai pertanyaan.
Karena itu tidak hampir sabar ia menunggu Mahesa Jenar
berkata, "Wilis. Nanti aku antar kau pulang ke
Gunungkidul". Rara Wilis terkejut bukan kepalang. Sesaat ia
terbungkam dan wajahnya menjadi pucat. Ia sama sekali
tidak tahu maksud Mahesa Jenar itu.
"Jangan terkejut Wilis," sambung Mahesa Jenar. "Aku
tidak berkata sebenarnya. Tetapi aku hanya ingin kau
membantuku menyelesaikan persoalan ini."
"Oh" Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. "Kakang
mengejutkan aku." "Tetapi kau harus menjawab demikian kepada siapa pun
juga, bahwa aku hari ini akan mengantarkan kau pulang ke
Gunungkidul." Rara Wilis itu mengangguk kosong. Namun sama sekali
tidak tahu maksud Mahesa Jenar itu.
"Pergilah ke Ki Ageng Pandan Alas. Kau harus mohon diri
pula kepada semua orang disini. Katakan bahwa kau ingin
sekali segera kembali."
Sekali lagi Rara Wilis itu mengangguk. Dan setelah
Mahesa Jenar memberinya beberapa pesan, maka mulailah
Rara Wilis menyampaikan maksud itu kepada Nyai Ageng
Gajah Sora beserta keluarganya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tentu saja semuanya yang mendengar keinginan itu
terkejut bukan kepalang. Ki Ageng Gajah Sora, Arya Salaka
dan orang-orang lain. Bahkan Kebo Kanigara hampir tak
dapat berkata apapun mendengar maksud itu. Dengan
penuh harapan mereka mencegah maksudnya itu. Namun,
Rara Wilis dan Mahesa Jenar tidak dapat diminta untuk
menunda kepergian itu. Bahkan Arya Salaka yang dengan
penuh permintaan mengharap gurunya mengurungkan
niatnya, namun Mahesa Jenar tetap pada pendiriannya.
Katanya kepada Arya Salaka. "Aku dapat menempuh
perjalanan itu empat hari pulang-balik. Aku akan kembali
tepat pada saat Purnama naik, atau bahkan sebelumnya.
Aku akan ikut ke hutan Prawata dan aku akan menyaksikan
apa yang terjadi". Ki Ageng Pandan Alas yang tenang-tenang saja
melepaskan Mahesa Jenar dan Rara Wilis pergi. Rara Wilis
telah mengatakan apa yang didengarnya dari Mahesa Jenar.
Namun bahwa orang tua itu tidak ikut serta, adalah
merupakan suatu pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh
orang-orang Banyubiru. Mahesa Jenar dan Rara Wilis pagi itu benar-benar pergi
meninggalkan Banyubiru. Mereka sama sekali tidak
membawa bekal apapun selain senjata-senjata mereka,
busur dan beberapa anak panah untuk berburu di
perjalanan. Di regol halaman, Kebo Kanigara berbisik perlahan
kepada Mahesa Jenar, "Mahesa Jenar, apakah sebenarnya
yang akan kau lakukan?"
"Aku benar-benar akan mengantar Rara Wilis kakang,"
sahut Mahesa Jenar lemah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku menjadi ragu-ragu atas kepergianmu ini," berkata
Kebo Kanigara pula. "Jangan ragu-ragu kakang. Aku sedang mengungsikan
Rara Wilis, supaya seandainya Sultan benar-benar marah
kepada Arya Salaka, dan menyerang Banyubiru, gadis ini
sudah aku selamatkan."
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa
sindiran itu tepat mengenai jantungnya. Namun ia berkata
pula, "Adakah sesuatu yang tersembunyi?"
"Dada kita kini sudah tidak terbuka lagi, kakang ada yang
tersembunyi di dalam dada kakang Kebo Kanigara, dan ada
yang tersembunyi di dalam dadaku."
"Hem," Kebo Kanigara itu pun berdesah. Dan mereka,
yang tinggal di halaman itu terpaksa melepaskan Mahesa
Jenar dan Rara Wilis pergi meninggalkan Banyubiru dengan
beribu-ribu pertanyaan mengiringi kepergian itu.
Sepasang kuda yang dinaiki oleh Mahesa Jenar dan Rara
Wilis berpacu dengan kencangnya, berderap-derap di jalan
yang berbatu-batu. Debu yang putih melontar di belakang
kaki-kaki kuda itu, namun sebentar kemudian lenyap disapu
angin pagi yang berhembus dari pegunungan.
Ketika mereka telah melampaui batas kota Banyubiru,
maka Rara Wilis sudah tidak dapat lagi menyimpan
pertanyaan dihatinya. Karena itu maka dengan ragu-ragu ia
bertanya. "Kakang, apakah sebenarnya yang akan kita
lakukan?" Mahesa Jenar berpaling. Dilihatnya wajah Rara Wilis yang
gelisah. Karena itu maka segera ia memperlambat kudanya
sambil menjawab, "Kita pergi bertamasya Wilis."
"He?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar tersenyum. Dan karena itu Rara Wilis
menjadi semakin heran. Dalam kesibukan yang hampirhampir tidak memberikan kesempatan beristirahat kepada
Mahesa Jenar itu, tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar
tersenyum sambil berkata kepadanya, bahwa mereka
sedang bertamasya. Mahesa Jenar melihat kebimbangan di hati Rara Wilis.
Karena itu, maka ia tidak mau membingungkan gadis itu
lebih lama lagi. Maka jawabnya, "Aku akan pergi ke Karang
Tumaritis, menghadap Panembahan Ismaya."
"Oh" Rara Wilis menarik nafas. "Apakah Panembahan
akan kakang minta turut menyelesaikan persoalan ini?"


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Panembahan mempunyai pengaruh yang kuat atas
kakang Kebo Kanigara. Mudah-mudahan Panembahan
dapat memberinya beberapa petunjuk, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang pahit akan dapat dihindarkan." Rara Wilis mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah
dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Ia sudah
melihat persiapan yang tergesa-gesa di Banyubiru dan ia
juga mendengar bahwa Lembu Sora telah kembali ke
Pamingit untuk mengambil pasukannya.
Sepeninggalan Mahesa Jenar dan Rara Wilis, Kebo
Kanigara benar-benar menjadi gelisah. Disadarinya bahwa
Mahesa Jenar bukanlah anak-anak lagi seperti Arya Salaka,
atau seorang ayah yang sangat merasa berhutang budi
kepada anaknya seperti Ki Ageng Gajah Sora dan
pamannya Ki Ageng Lembu Sora, sehingga hampir-hampir
mereka sendiri tidak sempat berpikir. Namun Mahesa Jenar
adalah seorang yang berotak tenang.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kebo Kanigara itu pun kemudian mencoba menemui Ki
Ageng Pandan Alas. Dengan hati-hati dicobanya bertanya,
"Ki Ageng, kemanakah Mahesa Jenar itu sebenarnya akan
pergi?" Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan keningnya.
Jawabnya sambil tersenyum, "Bukankah sudah dikatakan,
bahwa Mahesa Jenar akan mengantarkan Wilis pulang ke
Gunungkidul" "Kenapa Ki Ageng tidak ikut serta ?" bertanya Kebo
Kanigara. "Aku sudah tua. Aku akan terlalu payah untuk pergi
berkuda kesana kemari. Lebih baik aku beristirahat disini
sambil menunggu Mahesa Jenar kembali."
"Kenapa bukan Ki Ageng saja yang mengantarkannya?"
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Kebo Kanigara agaknya
benar-benar gelisah, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang
terlontar dari bibirnya terlalu sederhana dan tergesa-gesa.
Meskipun demikian Ki Ageng itu menjawab. "Ah. Pertanyaan
yang aneh. Wilis pasti lebih senang diantar oleh Mahesa
Jenar daripada aku antarkan."
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Jawaban itu
dapat dimengertinya. Namun persoalannya yang belum
dapat juga dimengerti. Meskipun demikian ia tidak bertanya
lagi. Kebo Kanigara itu kembali ke dalam biliknya.
Dicobanya mengotak-atik, namun pertanyaan-pertanyaan
yang bergelut di dalam hatinya tidak juga dapat
dijawabnya. ----------o-dwkzOarema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV PANEMBAHAN Ismaya terkejut ketika seorang cantrik
datang kepadanya, menyampaikan kabar, bahwa Mahesa
Jenar dan Rara Wilis datang ke bukit itu. Dengan tergopohgopoh Panembahan tua itu menyambut sendiri kedatangan
tamunya. Sambil membungkuk hormat Mahesa Jenar dan Rara
Wilis melangkah masuk ke Pondok Panembahan Ismaya.
Pondok yang dikenalnya baik-baik. Pondok yang masih juga
seperti dahulu. Sejuk dan tenang. Beberapa buah topeng
masih juga tergantung pada tiang-tiang dan dinding.
Mereka terkejut ketika mereka melihat sebuah topeng yang
jelek dan kasar tergantung di antara beberapa buah topeng
yang lain. Apakah topeng itu sudah tidak pernah dipakai
lagi oleh Panembahan tua itu" Tetapi Mahesa Jenar tidak
ingin menanyakannya. Dengan ramahnya Panembahan Ismaya itu mempersilakan tamu-tamunya duduk dan dengan ramahnya
maka Panembahan tua itu menyapa keselamatan mereka.
"Demikianlah Panembahan" jawab Mahesa Jenar. "Tuhan
melindungi hamba dan keselamatan. Mudah-mudahan
Panembahan pun demikian pula hendaknya."
"Syukurlah ngger." sahut Panembahan Ismaya.
Sehingga sesaat kemudian maka pembicaraan mereka
menjadi semakin akrab. Panembahan Ismaya bertanya dari
satu soal ke soal lain, dari satu masalah ke masalah yang
lain. Sehingga akhirnya Panembahan itu berkata, "Aku
menjadi berdebar-debar akan kedatangan angger berdua.
Aku merasa mempunyai hutang kepada kalian. Bukankah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
aku sanggup datang ke Gunungkidul untuk mewakili orang
tua Mahesa Jenar. Nah, sekarang kalian telah datang untuk
menagih janji. Tentu akan segera aku penuhi. Kapan saja
aku akan berangkat bersama angger berdua ke
Gunungkidul." Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Sedang wajah
Rara Wiils menjadi merah padam. Namun terdengar Mahesa
Jenar menjawab. "Terima kasih Panembahan. Memang
yang pertama kali, kedatanganku sengaja mengingatkan
Panembahan akan hal itu."
"Aku tidak pernah lupa ngger." sahut Panembahan.
"Maksudku, aku ingin mempercepat waktu."
"Ah. Aku memang sudah terlalu tua, sehingga aku agak
lambat berbuat sesuatu."
Mahesa Jenar itu menjadi gelisah ketika ia sampai pada
maksud kedatangannya. Karena itu dengan hati-hati ia ingin
berkisar dari pembicaraan tentang dirinya kepada persoalan
yang sebenarnya dibawanya. Katanya, "Panembahan,
sebenarnya disamping persoalanku pribadi itu, aku
membawa persoalan lain, yang aku kira cukup penting
untuk aku sampaikan kepada Panembahan."
Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya, "Ah, apakah masih ada persoalan penting bagiku
selain persoalan angger berdua" Aku kira tidak. Aku tidak
akan mampu untuk memikirkan persoalan-persoalan lain."
"Panembahan" berkata Mahesa Jenar, "Kali ini tidak ada
orang lain yang dapat memecahkannya selain Panembahan." Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Tetapi tibatiba ia berkata, "Baiklah ngger. Baiklah kau simpan dahulu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
persoalan-persoalan itu. Sekarang beristirahatlah. Bukankah
masih ada waktu nanti, besok atau lusa?"
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika
ia ingin berkata lagi, dilihatnya beberapa orang cantrik
masuk ke dalam ruangan itu sambil membawa hidangan.
Sehingga karena itu, maka ia menjadi terdiam.
Yang berkata kemudian adalah Panembahan Ismaya.
"Marilah ngger. Mungkin angger sudah lama tidak
merasakan makanan pegunungan. Air daun sere, nasi
jagung dan sambal wijen."
Sebenarnyalah bahwa Mahesa Jenar dan Rara Wilis
sedang lapar. Karena itu, maka mereka tidak berkeberatan
ketika Panembahan itu membawa mereka, menikmati
hidangan para cantrik itu.
Tetapi kembali Mahesa Jenar menjadi kecewa. Meskipun
kemudian mereka telah selesai makan, namun Panembahan
Cinta Bernoda Darah 3 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 3

Cari Blog Ini