Ceritasilat Novel Online

Kaki Tiga Menjangan 21

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Bagian 21


mereka untuk minum bersama, mendadak seorang pria yang mengenakan baju buru itu
mengeluarkan kata-kata. "Untuk kepalaku akulah yang akan memberikan taruhan padamu, Aku tak sudi
kepalaku menjadi taruhan kalian...!"
Sang ketua lalu menolak karena mereka sebelumnya sudah berjanji untuk hidup dan
mati bersama, itulah janji kaum Ong Ok Pay. Pria itu tetap berkeras tidak menyetujui
taruhan itu, Lalu ketua mereka memutuskan untuk mengeluarkan pria itu dari
anggotanya dan dinyatakan sebagai penghianat kaum Ong Ok Pay.
Mendengar jawaban tersebut si Imam merasa tak puas ia lalu menambahkan katakatanya.
"Adik kita telah mengadu dadu dan mendapatkan angka tiga! Mengapa kau baru
berbicara sekarang" Dalam kaum Ong Ok Pay tidak ada orang yang sepertimu...!" kata
si Imam. "Susiok Ong Ho, jika aku tak menjadi murid Ong Ok Pay toh aku tak kurang suatu
apa pun!" jawab pria itu.
"Tadi jendral muda itu mengajak kita untuk bertaruh satu lawan satu, tetapi kau
menyanggupi menjadikan perwakilan saja, sekarang aku bertanya, kalian setuju atau
tidak dengan perjanjian seperti ini. Aku tahu kalian tadi tidak semuanya memberikan
jawaban!" kata orang muda itu pada kawan-kawannya.
Siau Po talu mengetengahkan lagi dia bersedia menjadikan pertandingan itu menjadi
dua babak. Selesai minum arak Siau Po melanjutkan pertandingan dan ia berkata dalam hatinya.
"Sebenarnya bagiku tidak sulit untuk mempermainkan dadu-dadu ini aku tinggal
memilih angka berapa yang aku inginkan, Tetapi sekarang aku sudah lama tidak
bermain lagi, maka agak sulit buatku untuk mempermainkan dadu-dadu ini, Jika aku
salah angka, nona ini akan ikut mati bersama kawan-kawannya."
Selesai dadu-dadu itu diputar Siau Po lalu memastikan dengan jari kirinya angka
berapa yang akan ke luar, ia lalu mempermainkan lagi dadu itu. Dan setelah
mendapatkan kepastian, bahwa si nona dan kawan-kawannya itu dapat memenangkan
pertandingan itu ia lalu membukanya.
"Kalian yang menang, ambillah ini dan pergi! Mengapa kalian masih diam saja,
apakah kalian akan bertaruh lebih jauh lagi denganku.,.?" tanya Siau Po pada mereka.
"Uang itu tak dapat aku terima, ternyata kata-katamu itu dapat dipegang!" kata si
ketua itu. "Eh, eh tunggu! Kalian telah memenangkan permainan itu. Bukankah dengan kau
tidak mau menerima uang ini berarti kau tidak menghormatiku?" kata Siau Po dengan
cepat. "Baiklah kalau itu sudah menjadi keinginanmu," kata si pemuda yang menjadi
pimpinan mereka. Semua orang itu lalu meraup uang yang ada pada meja dan pergi meninggalkan
arena itu. Siau Po terus mengawasi si nona cilik itu sewaktu ia mengambil uang mata mereka
bertemu pandang, Dan hati keduanya berdebar-debar. Si nona itu merasa malu sambil
berkata, "Terima kasih."
Begitu menutup mulut si nona lalu membalikkan tubuhnya, Setelah beberapa langkah
mereka berjalan, si nona memutar tubuhnya dan berkata.
"Jendral kecil, dapatkah aku meminta dadu-dadu itu?" Sambil berkata dengan malumalu.
"Tentu dapat mengapa tidak, apakah kau akan bermain dengan kawan-kawanmu di
sana?" tanya Siau Po dengan mantap.
"Bukan, aku akan menyimpannya, tadi ada peringatan bagiku, Aku sangat kaget
dengan peristiwa itu," katanya malu.
Siau Po lalu mengambil dadu-dadu untuk diberikan pada nona yang cantik itu. Nona
itu pun sudah menyodorkan tangannya.
Goan Gie Hong menyaksikan semua kejadian itu dan sewaktu ia hendak pergi
mengikuti yang lainnya Siau Po lalu menahannya.
"Bukankah aku belum bertarung denganmu?" kata nya.
"Dasar aku yang salah, kalau aku tahu ia pandai memainkan dadu-dadu itu aku tak
mungkin jadi manusia seperti ini. Memang aku manusia yang rendah!" pikirnya dalam
hati. Dan ia lalu berkata. "Bukankah kau sudah tak memiliki dadu lagi" Aku menyangka kau tak akan bertaruh
lagi denganku!" katanya,
"Apapun dapat dijadikan sebagai alat untuk bertaruh, kita dapat menggunakan jari
tangan kita atau dengan uang itu. Coba kau terka jumlah uang itu ada berapa...?" Siau
Po balik bertanya. "Mana dapat aku menerka!" jawabnya dengan nada menghina.
"Bandit ini kurang ajar! Seret dia dan penggal lehernya!" kata Siau Po.
Mendengar itu beberapa orang Sie Wie lalu mendekati orang tersebut dan
membawanya. "Tunggu dulu! sekarang aku akan bertanya dan kau harus menjawab dengan benar,
Jika kau berdusta aku akan memenggal lehermu!" ancam Siau Po.
Siau Po lalu mencari tahu tentang kaum Ong Ok Pay. Siapa ketuanya" Di mana
markasnya dan mereka itu siapa serta berapa jumlah mereka semuanya"
Sambil diikatkan kaki dan tangannya orang itu menghadapi Siau Po yang terus
bertanya. Ketika pertanyaan sudah dimulai Kong Lian yang mencatat semua jawabannya.
"Sejarah bermula pada waktu itu. Gou sam Kui ditugaskan untuk melindungi Kota
San Hay Kam, ia telah menolak penyerbuan angkatan perang Bon Cu yang telah
memasuki wilayah kota Tiongguan. Ketika berperang itulah Suto Pek Lui mempunyai
banyak jasa, Dan takkala lawan menyerbu dan mematahkan Kota Bakia, barulah ia
mengajak angkatan Bung Cu untuk membantu menumpas pemberontakan Pek Lui
yang lebih dulu datang, maka ia yang membebaskan kota itu.
Ketika itu Pek Lui beranggapan kalau pasukan itu hanya akan menumpas
pemberontakan saja, untuk membalas sakit hati rajanya, Siapa tahu dia datang hanya
akan membalas dan merampas Kota Tionggoan. Kedatangan pasukan itu dibiarkannya,
dan mulai saat itu orang Sie Gau yang semula mencintai kerajaan berbalik
menghianatinya. Pek Lui gusar dan ia meletakkan jabatannya lalu pergi ke gunung tempat sekarang
dijadikan markas mereka itu, ia memang sangat lihay dalam ilmu silat, dalam beberapa
saat saja ia mengalami kemajuan.
Dalam hidup menyendiri itu bukanlah berarti ia sendiri Orang yang simpatik padanya
pun ikut, bersamanya dan juga berlatih ilmu silat, pemuda yang memimpinnya tadi
adalah putra nomor tiga dari Pek Lui.
Dan yang lainnya adalah murid-muridnya, sedangkan si nona yang cantik itu
bernama Can Jiu. Dialah putri salah seorang sebawahannya, Paman tua dan yang
muda itu Pee Hu dan Siok Hu. Waktu ayah si nona akan meninggal dunia ia
menitipkannya pada bekas pemimpinnya dan sekarang nona itu telah menjadi
muridnya. Dia mendapat keterangan bahwa rombongan Gou Eng Him telah meninggalkan Kota
Pakia, Maka segera memerintahkan putranya untuk menemui Eng Him. Di tengah
perjalanan ini ia menemui pasukan Siau Po, putra Pek Lui Seng dan ia mengajak
beberapa orang untuk menyelusup masuk ke daIam. ia melihat ada yang sedang
berjudi Maka dia bukannya ingin berjudi Tetapi ia sangat benci pada suku Bou Cu, yang
telah mengubah kerajaan dan seluruh Tiong Goan, Akhirnya mereka bertemu dengan
Siau Po dan tak jadi membunuh Gou Sam Kui.
Gio Hong tidak berkelit dan Siau Po lalu menendangnya.
"Hamba meskipun berada dalam suatu wilayah orang-orang jahat tetapi hamba
masih mencintai negara. Hamba hanya membutuhkan bantuan Tuan, Dan hamba sudi
dijadikan budak Tuan. Hamba akan setia pada Tuan!" katanya sambil merasakan
dadanya sakit terkena tendangan itu.
"Lalu berapa jumlah mereka itu?" tanya Siau Po.
"Jumlah mereka kira-kira tiga puluh ribu orang berikut keluarganya." jawabnya.
"Jumlahmu tiga puluh ribu orang dan semuanya pandai bermain silat Dan apakah
masih banyak yang anak-anaknya pandai bermain silat?"
"Banyak benar yang pandai bermain silat!" jawabnya.
"Mengapa kau tidak langsung ke sana dan menanyakannya, Apa alasannya ia tak
mau langsung menemuinya, jawab?" tanya Siau Po.
"Hamba tidak mengetahuinya!" jawabnya.
"Di mana tempat gunung itu..?" tanya Siau Po.
"Gunung Ong Ok San terletak di Kecamatan Ce Goan, di dalam propinsi Hoolam!"
"Bagus, kamu kaum pemberontak Bagaimana mungkin kamu dapat menempatkan
pasukanmu di dekat Pakia, Apakah kau akan menyerang secara tiba-tiba pada kota
raja, Lalu kau akan memenangkannya ?" tanya Siau Po.
"ltulah taktik pemberontak, Hamba tak bersangkut paut dengan mereka!" jawabnya.
"Dalam partai kamu ada berapa yang menjadi bawahan Gou Sam Kui" jelaskan satu
persatu!" tanya Siau Po.
Bagian 43 "Jumlahnya sangatlah banyak!" jawabnya, yang terus menyebutkan namanya satu
persatu. "Sekarang, catatlah satu persatu nama dan pangkat mereka semasa ia bekerja pada
Gouw Sam Kui..." perintah Siau Po.
"Sekarang hamba sudah tak mengenali mereka" katanya lalu memandang Siau Po.
"Banyak di antara mereka yang sudah hamba lupa!"
"Kalau kau tak ingat mudah saja kau harus dipukul dahulu baru kau dapat
mengingatnya lagi...!" ujar Siau Po dengan tenang.
"Jangan... jangan...! Sekarang.... sekarang hamba sudah mulai mengingatnya,"
jawabnya dengan gemetar. Seorang serdadu lalu mengambilkan pen untuk menulis nama dan pangkat orang
yang dimaksud itu. Siau Po menanti Gi Hong, tapi tak sabaran, lalu berkata.
"Aku meminta catatan orang itu, awas jika aku bertanya kau menjawabnya dengan
tidak sungguh-sungguh, kepalamu menjadi taruhannya, kau akan kehilangan kepalamu
itu!" katanya. Setelah selesai Siau Po memerintahkan agar membawa pergi tawanan itu.
Setelah tawanan dibawa pergi Siau Po memanggil empat orang perwiranya dan ia
berkata. "Saudara-saudara sekalian, kita telah mengetahui bahwa akan ada pemberontakan.
Untuk itu pasti kita akan mendapatkan hadiah yang sangat besar!" kata Siau Po.
"Kalian jangan takut, semua akan mendapatkan bagian yang sesuai!" kata Siau Po.
"Katanya Peng See Ong akan mengadakan pemberontakan apakah bukti-bukti kita
sudah cukup?" tanya Ci Hian.
Kawanan Ong Ok Sam ingin memberontak, itu sudah merupakan bukti untuk apa
mereka mengadakan pertemuan jika tak ingin mengadakan suatu masalah yang sangat
penting!" kata Siau Po.
"Mereka berkata bahwa mereka ingin menculik anak Gouw Sam Kui. Hal itu
dilakukan untuk memaksa Gouw Sam Kui, agar mau bergabung dengan mereka untuk
berontak...!" kata Kong Lian.
"Tio Toako, kau mempunyai banyak hubungan dengan istana Peng See Ong dan kau
mengetahui banyak tentang mereka itu" Bukankah jika mereka berhasil dalam
pemberontakan itu yang menjadi raja adalah Gouw Sam Kui sendiri." tanya Siau Po.
Mendengar perkataan Siau Po, Kong Lian kaget sekali.
Tak ada seorang pun yang aku kenal dalam istana itu, Tou Tong Tay Jin. ia seorang
pendurhaka dan kita harus secepatnya melaporkan kejadian ini pada raja...!" katanya
cepat. Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Sekarang kalian menemui Su Ya untuk memberikan laporan pada raja..." kata Siau
Po. Kong Lian menurut dan mereka lalu pergi untuk menemui Su Ya. Dan tak lama
kemudian mereka sudah kembali dengan membawa Su Ya dari Tiong Kun. Dengan
rencana yang sudah dituliskannya, ia lalu membacakan laporannya pada Siau Po.
Mendengar demikian Ci Hian bertiga berkata dengan serempak.
"Oh, dengan dimerdekakannya kedelapan belas orang itu merupakan rencana raja!"
serunya. "Aku masih muda, mana mungkin aku dapat secerdik ini bila tak ada rencana dari
baginda, Dan mana mungkin rencana ini dapat terbongkar dengan tuntas!" kata Siau
Po. Akal muslihat Siau Po ini didapat dari Kaisar Kong Hi takkala ia ingin memerdekakan
beberapa budak, guna menyelidiki rombongan Bhok yang menyelusup dan menyerbu
ke dalam istana, Kong Lian dan kawan-kawannya tidak mengetahui akal bulus Siau Po,
makanya ia sangat senang dan gembira karena Siau Po telah berjasa.
Sudah merupakan suatu peraturan jika panglima sedang menjalankan tugasnya ia
tak boleh kembali ke kota raja. Maka untuk itu ia mengutus beberapa Sie Wie untuk
menyampaikan berita itu pada raja dan tahanan yang tertangkap itu pun dibawa serta.
Besok paginya mereka berangkat secara perlahan-lahan, magrib mereka beristirahat
para serdadu yang diperintahkan untuk menyampaikan kabar itu telah sampai dan
bergabung kembali. "Ada surat rahasia dari baginda!" kata salah seorang Sie Wie yang diutus tersebut.
Siau Po gembira sekali, tetapi setelah ia mengetahui kalau isi surat itu sangatlah
mengejutkan yang hadir Siau Po dan kawan perwira itu menjadi pucat.
Utusan yang membawa surat perintah itu lalu mendekat pada Siau Po yang lalu
berkata secara perlahan-lahan.
"Sri Baginda memerintahkan agar dalam segala hal tuanku harus selalu berhatihati.,.!"
katanya. "Ya, aku mengerti. Terima kasih pada Sri Baginda." kata Siau Po yang lalu
mengambil uang seribu tail untuk mereka.
Sambil berpikir Siau Po berkata dalam hati.
"Mungkinkah tawanan itu telah memutar balikkan keterangan itu sehingga baginda
raja tak percaya dengan keteranganku...!"
Sesampainya di Kuil Siau Lim Sie mereka disambut dengan gembira, penyambutan
itu langsung dipimpin oleh kepala pendeta. Lalu Siau Po diundangnya masuk ke kuil. Di
sana dibacakan isi surat raja, Di situ disebutkan bahwa raja sangat memuji pendeta itu
dan ia pun menyampaikan hadiah untuk para pendeta yang baik. Dan setelah itu, ia
mendapatkan ucapan terima kasih dari para pendeta itu.
Pada akhir suratnya di situ disebutkan
"Wie Siau Po, aku hadiahkan baju Na Wa kuning untuk menjadi pendeta di Siau Lim
Sie, agar ia mempelajari kitab-kitab suci untuk dapat menyebarkan agama Buddha, Dan
kepadanya telah dihadiahkan untuk keperluan suci dan kepalanya harus dibotakkan...!"
Mendengar kata terakhir dari surat itu Siau Po menjadi pucat memang sebelumnya ia
berjanji bersedia menjadi biksu tetapi di Gunung Ngo Tay san. ia menjadi bingung tidak
karuan. "Wie Tay jin mewakili raja untuk bersuci, itu merupakan suatu kehormatan bagi kuil
kami," kata Hui Cong.
Tak lama kemudian Siau Po mulai dicukur gundul dan mulailah ia menggunakan baju
pemberian raja. Siau Po banyak mendapatkan kata selamat dari para biksu dan para pendeta.
Setelah dicukur dan diberi kata selamat dari para pendeta itu Siau Po lalu menangis.
Selesai para biksu itu mendoakan, Siau Po diberitahu dari keturunan mana Su Ci dan
para pendeta Siau Lim Sie ialah delapan hurup Tay Kay Koan Hay teng Ceng Hoa
Giam. Setelah mendapatkan keterangan itu Siau Po lalu diberitahu, bahwa ia sekarang
sebagai paman guru jadi dengan kepala pendeta itu adalah sebagai adik seperguruan.
Siau Po ingat Song Ji. ia adalah wanita jadi dia tak dapat berada dalam kuil itu.
Segera ia memberikan uang lima ratus tail pada Kong Lian, agar ia mencarikan rumah
sewaan untuk Song Jie. Karena dia sebagai pengganti kaisar maka ia mendapatkan kedudukan yang sangat
enak dan juga memiliki empat orang kacung,
"Su Te, dalam kuil ini kau bebas, Kau boleh melakukan apa saja asalkan jangan
melakukan yang lima larangan ini, yaitu minum arak, membunuh, jinah, dusta dan
mencuri..!" pesan Hui Tong,
"Keempat-empatnya mungkin dapat aku laksanakan tetapi untuk tidak berbicara
dusta rasanya aku su!it!" katanya dalam hati.
Siau Po lalu bertanya. "Bagaimana kalau berjudi, apakah itu juga merupakan tantangan" Dalam kuil ini?"
tanyanya. "Apakah itu berjudi.,.?" tanya si pendeta,
"Judi adalah mengadu keuntungan baik dengan dadu atau pun dengan kartu.,.!" Siau
Po memberikan keterangan Hui tong itu lalu tersenyum.
Hm dalam lima tantangan itu tak terdapat judi, untuk itu jika orang lain ingin
membatasi diri, Su Te sendiri terserah!" jawabnya,
"Sri Baginda mengutus aku menjadi pendeta hanya karena aku akan ditugaskan
menjaga raja yang tua itu. Tetapi mengapa di sini bukan di Ngo Tay san, mengapa!"
katanya dalam hati. Selesai berkata demikian Siau Po lalu berjalan-jalan mengitari kuil itu, ia dapat
melihat ada beberapa orang yang sedang berlatih silat ia menjadi sangat tertarik.
Melihat kedatangan Siau Po, mereka langsung menjura memberi hormat Hal itu
membuat Siau Po menjadi risih.
"Sering aku mendengar bahwa ilmu silat di kuil ini begitu dahsyat Apakah itu yang
dimaksud oleh baginda raja" Agar aku berlatih silat yang nantinya untuk menjaga ayah
raja itu.-.?" kata Siau Po dalam hati.


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, aku mengerti sekarang, Ketua di sini mengangkat aku sebagai adik
seperguruannya, dengan demikian aku sudah tak mempunyai guru lagi sebab guru itu
sudah lama meninggal Sungguh licik dia... tetapi aku menjadi orang kepercayaan raja.
Atau mungkin ia sungkan untuk mengajarkan aku ilmu silat. Kalau memang demikian
aku toh dapat belajar sendiri dengan melihat mereka berlatih aku dapat menirunya..."
kata Siau Po dalam hatinya.
Beberapa bulan telah berlalu semenjak Siau Po berada di tempat ini. Musim dingin
telah berlalu dan berganti dengan musim semi, tetapi ilmu silat yang dia miliki belum
seberapa, Hanya pada pergaulan Siau Po sangat disenangi oleh para pendeta, hal itu
dikarenakan Siau Po dapat bergaul dengan siapa saja.
Pada suatu hari Siau Po merasakan tubuhnya sangatlah nyaman, Lalu ia pergi tanpa
diketahui para pendeta yang lain. Dia terus saja berjalan, Siau Po ingat akan Song Cie.
Dengan siapa dia tinggal dan bagaimana keadaannya.
Selagi Siau Po berjalan ia mendengar keributan dari orang yang sedang mengadu
mulut Melihat itu Siau Po tersenyum. Siau Po lalu bergegas ingin cepat sampai dan
bertemu dengan Song Cu, wanita yang selalu menyebarnya itu.
Belum jauh Siau Po melangkah terdengar lagi suara ribut-ribut, Setelah mengetahui
kedatangan Siau Po para biksu muda itu lalu menghampiri dan bertanya padanya.
Siau Po mengetahuinya kalau biksu muda itu tadi sedang bertengkar mengadu mulut
dengan seorang wanita yang memiliki wajah cantik dan manis pula.
Mendengar Siau Po datang dan dipanggil paman guru, si wanita itu lalu tertawa
berbarengan sambil mengejeknya.
Melihat nona-nona yang cantik itu hati Siau Po jadi tak menentu, pikirannya
melayang-layang dan berhayal jika saja ia dapat menjadikan nona itu sebagai istrinya
dia bersedia menukar dengan kedudukannya.
Keempat biksu dan kedua wanita itu heran melihat Siau Po yang terdiam mematung
itu. "Susiok Cou.... Susiok Cou.,.!" para biksu itu memanggil-manggil Siau Po.
Siau Po tetap saja diam. "Susiok Cou.... Susiok Cou.,.!" panggilnya lagi.
Dan masih tetap Siau Po diam saja, hal ini yang membuat biksu dan juga wanita itu
menjadi bingung. "Apakah pendeta cilik ini Susiok Cou kalian?" tanya si nona yang mengenakan baju
biru. "Nona harap, nona berbicara dengan sedikit sopan!" tegur salah seorang biksu itu
pada si nona yang pakaian baju biru.
"Biksu ini berderajat tinggi, Dia juga salah seorang pemimpin kami. Dialah adik
seperguruan dari ketua kami yang sekarang memegang tempuk pimpinan pada wihara
kami.,.!" jawab biksu itu.
Lalu si nona yang mengenakan baju hijau tertawa dan berkata pada kawannya.
"Kakak dia mencoba mendustai kita. Dia kira kita dapat percaya begitu saja! Coba
pikir biksu semuda ini sudah mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi.,.?"
"Eh, apakah benar kau berderajat tinggi dari Siau Lim Sie?" tanyanya dengan suara
mengejek. "Pendeta ya tetap pendeta tak usah ditambah dengan kata-kata tinggi. Kau lihat aku,
bukankah aku si pendeta kate?" kata Siau Po dengan nada merendah.
Alis si nona terangkat dan berkata.
"Paman guru kami mengatakan bahwa Siau Lim Sie menjadi pusat ilmu silat sejagat
ini. Kami kakak beradik datang ke mari, siapa sangka ilmu silatnya sama saja, Bahkan
pendeta-pendetanya tak dapat menjaga mulutnya, Lihat dia, Omongannya sama saja
dengan para laki-laki hidung belang yang ada di mana-mana! Hingga membuat orang
hilang harapan. Adikku mari kita pulang...!" kata si kakak.
"Sie Cue, kau telah datang ke tempat kami dan kau telah melakukan sesuatu yaitu
telah memukul orang. Andaikata kau akan pergi sedikitnya kau harus memberitahu
nama yang mulya gurumu!"
Siau Po berpikir kalau saja biksu-biksu itu telah tertampar oleh tangan si nona berarti
si nona itu memiliki kepandaian yang tidak dapat dianggap enteng."
"Semua pendeta Siau Lim Sie kepandaiannya sangat tinggi, tetapi mereka sekarang
kena hajar. itu bertanda kalau kedua nona itu memiliki kepandaian silat yang cukup
tinggi!" kata Siau Po dalam hati,
Lalu si nona yang berbaju biru itu berkata.
"Dengan ilmu silat yang dimiliki kalian, masihkah kalian menghendaki kami
meninggalkan nama besar guru kami" Lalu apakah kalian pantas untuk mengetahui
nama besar guru kami?"
"Nona, tugas kami hanya menjemput nona-nona dan tugas itu sudah kami lakukan,
Kami diharuskan untuk selalu sopan, sabar, dan ramah. Karenanya mana mungkin kami
dapat dengan lancang menyerang nona" jikalau nona-nona ingin menguji ilmu silat
kami datanglah atau silahkan nona menanti sebentar Kami akan memanggil beberapa
paman guru kami supaya nona dapat bertemu dan berbicara dengan beliau...."
Habis berkata begitu sang biksu lalu membalikkan tubuhnya untuk memanggil
beberapa paman gurunya. Baru saja beberapa langkah, nona itu sudah langsung menyerangnya dan serangan
itu berhasil dengan baik.
Ceng Ci gusar dan ia lalu berlompat untuk bangun dan langsung menyerang si nona
itu dengan tipu silat. Nona itu menangkis dengan cepat, lalu ia memutar tangan biksu tersebut.
Tiga biksu itu kaget dan gusar Mereka lalu menyerang si nona dengan serempak.
Tetapi dengan satu gebrakan si nona dapat melumpuhkan ketiga biksu tersebut.
Siau Po kaget sekali, sehingga ia diam saja tahu-tahu ia dikagetkan dengan orang
yang telah memukul punggungnya dan tenaganya langsung hiIang, Rupanya ia sudah
ditotok jalan darahnya. Oleh karena itu di depannya terlihat si nona dengan baju biru tengah berdiri, maka
Siau Po tahu bahwa orang yang menotok si nona yang berbaju hijau.
Ia menjadi girang sekali, hingga ia berseru.
"Bagus, bagus.,.!" ia pikir, tak kecewa orang yang mengakalinnya itu. Ditendang pun
ia akan merasa puas lalu ia pun berkata.
"Harum.... Harum.,.!" Sebab hidungnya mencium bau yang harum!
"Ini kepala gundul cilik ini busuk sekali, Adik tebaslah batang hidungnya.,.!" kata si
nona berbaju biru. "Baik, lebih dahulu aku akan mengorek kedua biji matanya!"
Siau Po kaget Lalu ia merasakan jari tangan yang lembut merayap ke mata kirinya.
"Perlahan-Iahan mengoreknya, jangan terlalu cepat-cepat!" kata Siau Po.
"Kenapa begitu?" tanya si nona yang berbaju hijau.
"Sebab lebih baik kau cekik saja, Kau lebih baik cekik saja seperti ini!" kata Siau Po.
"Oh, biksu cilik!" berseru si nona.
"Jiwamu bakal melayang, kau masih berani bicara gila padaku.,.!"
Siau Po kaget sekali, Mata kanannya terasa nyeri, Terang si nona mengorek
matanya itu, Siau Po tidak menjerit tetapi ia tertunduk, ia takut sekali, hingga ia
melupakan tipu silat yang diajarkan Hu Jin, Bagaimana cara membebaskan cekalan
Iawan. ia juga membawa tangan Siau Po kebelakang buat mencoba melepaskan diri
dari tangan si nona. Tapi ia telah ditotok jalan darahnya hingga tenaganya sudah tidak
ada, Tak berdaya ia melepaskan diri.
"Aduh!" Demikian ia malah berteriak merasakan nyeri, itu disebabkan si nona
menghajar punggungnya. "Aduh emak.,!" ia meronta dengan mencoba menggerakkan kedua tangannya.
Tiba-tiba ia menyentuh sesuatu yang lembut! Kiranya itulah buah dada si nona.
"Kurang ajar!" berseru nona itu.
Dia menjadi malu berbarengan gusar sekali.
kembali Siau Po menjerit kesakitan, Kali ini si nona menggerakkan kedua tangannya
pada kedua tangan Siau Po, membuatnya patah tulang atau salah urat, itulah tipu silat
"Leng Yan Kui Cau," artinya walet pulang sarang dari si nona.
"Aduh!" Siau Po menjerit untuk kesekian kalinya, dan kali ini kakinya terkait sehingga
tubuhnya roboh terbanting, ia habis daya bagaimana ia bagaikan benda apa saja waktu
tubuhnya itu didupak si nona yang sedang kalap itu.
Karena begitu gusarnya, si nona lalu mengambil golok dan bersiap untuk
membunuhnya. Siau Po menjadi tersentak ia lalu berguling beberapa kali membuat
golok itu nyaris mengenai lantai.
Dengan satu tendangan susulan membuat Siau Po terguling ke lantai
"Adik jangan bunuh dia!" Tiba-tiba nona yang berbaju biru itu berseru.
Si nona yang berbaju hijau seperti tak mendengarkan apa-apa terus menghajar tubuh
Siau Po. Tiba-tiba si nona menghajar dua kali, untunglah Siau Po menggunakan pakaian
wasiat itu, Melihat Siau Po tidak mati-mati, si nona menjadi kesal.
Crang.-.! Si nona yang berbaju biru itu lalu menangkis pedang kawannya yang sedang kalap
itu dengan pedangnya sendiri hingga senjata mereka beradu dan mengeluarkan suara
yang sangat nyaring. "Pendeta itu tak mungkin dapat hidup dengan lama, dan mari kita menyingkir...!"
Si nona yang berbaju biru itu beranggapan kalau mereka membunuh anggota Siau
Lim Sie adalah cara yang kurang baik.
Nona yang berbaju hijau tidak lagi menyerang lebih jauh, sebaliknya ia menangis
kemudian mengangkat sebelah tangannya yang menggenggam pedang untuk
membabat leher sendiri. Lalu nona yang berbaju biru menangkis tangan kawannya yang hendak membunuh
dirinya itu, Tetapi tak ayal, golok itu telah mengiris sedikit lehernya dan darah pun
menetes. Nona yang berbaju hijau itu lalu ambruk tak sadarkan diri ia lalu melepaskan
pedangnya dan menolong kawannya yang sedang sekarat.
"Amitabha Buddhaf" Tiba-tiba terdengar suara dari balik si nona yang datang dari
arah belakangmu Suara itu sangatlah lembut terdengar.
"la, harus cepat ditolong.-!" katanya,
"Dia.... Dia tak tertolong lagi...!" kata si nona.
Segera saja si nona menyingkir dan memberikan peluang pada biksu itu, Lalu ia
menotok jalan darah pada leher dan di sekitar luka si nona itu.
Orang itu lalu menyobek bajunya dan membalut luka di leher si nona itu. Dan lalu
mengangkat tubuh itu. Pendeta itu berlari membawa nona itu ke wihara.
Siau Po lalu ke luar dari kolong meja itu dan ternyata kedua tangannya sudah tak
dapat digerakkan. "Ah, si adik itu sangat lihay! ia juga berhati keras" Kenapa dia hendak membunuh
dirinya" Bagaimana dia benar-benar mati paling baik aku menghindar dari tempat ini.-.!"
kata Siau Po dalam hati. Maka, dengan dahi yang banyak mengeluarkan keringat ia terus mendaki gunung itu.
Tangannya yang patah itu sulit baginya untuk berlari Namun untung saja ada beberapa
biksu yang lalu menolongnya.
Tiba di kuil itu ia lalu diobati dan untunglah pada kuil itu terdapat orang yang pandai
mengobati luka. "Meski aku menengok mereka!" pikirnya dalam hati.
Di tengah perjalanan ia berpapasan dengan delapan orang biksu yang semuanya
memegang golok Kay Too. Mereka ternyata bertugas di ruang Kat Lut Ih."
"Susiok Cou diundang Bapak Ketua segera!" kata salah seorang biksu yang
sebelumnya memberikan hormat pada Siau Po.
"Baik, sekarang aku hendak melihat dahulu kedua nona itu apakah ia dapat ditolong
atau tidak?" kata Siau Po.
Tiba di kamar ia lalu menanyakan tentang nona itu dapat ditolong atau tidak pada
biksu yang menjaganya. "Sekarang Siau Ceng yang menanganinya, dan semoga dapat tertolong jiwanya!"
kata biksu itu pada Siau Po.
"Semua ini gara-gara biksu cilik itu!" kata si nona yang berbaju biru itu.
Siau Po setelah melihat nona itu ia lalu menghadiri undangan dari sang ketua.
Betapa kagetnya Siau Po sesampainya di ruang pertemuan itu. Ternyata semuanya
sudah ada di tempat itu, menjadikan tempat itu semacam akan diadakan sidang umum
saja. "Su Te, silahkan menghormat pada Jie Lay kita!" kata Hu Cong.
Siau Po lalu menuruti perintah itu.
"Sekarang Su Te, ceritakan duduk perkaranya agar Jie Lay dapat mengetahui duduk
persoalannya!" katanya pula.
"Aku mendengar ada suara ribut-ribut lalu aku mendekat dan ingin mengetahui apa
yang terjadi, Tetapi peristiwa tengah terjadi, aku tak mengetahui sebab-sebabnya, Nah,
Ceng Ci sebaiknya kau saja yang menceritakannya!" kata Siau Po.
"Baiklah, aku mendengar akan kedatangan nona-nona itu lalu aku menjemputnya.
Dan aku menerangkan bahwa di kuil kami tak menerima pengawal wanita, Lalu yang
lebih tua itu mengatakan bahwa Siau Lim Sie adalah pusat ilmu silat yang di jaman ini
tanpa tanding, maka itu mereka datang untuk mencoba ilmu kita."
"Lalu kami menjelaskan bahwa kami tak berani mengatakan hal yang demikian Dan
pun kami menjelaskan bahwa ilmu silat di lain partaipun mempunyai keistimewaan
masing-masing!" katanya.
"Atas penjelasanku itu Sie Ju tertawa dingin, lalu nona itu berkata, bahwa nama Siau
Lim Sie adalah nama kosong dan kepandaian Siau Lim Sie adalah kepandaian kucing
kaki tiga yang harus ditertawakan" Lalu kami bertanya mereka berasal dari mana dan
siapa nama guru mereka!"
"Kau benar dan ternyata si nona hendak mengacau, dan memandang kita dengan
sebelah mata, pasti mereka dari orang yang tak sembarangan. Untuk itu kita memang
harus mengetahui nama guru dan dari partai mana mereka berasal!" kata Hui Cong.
"Karena pertanyaanku itu ia lalu menampar muka Le Cu dan Ceng Ceng kami tak
menyangka akan adanya serangan itu. Lalu Su Te Ceng Ceng bertanya mengapa nona
itu begitu kasar, aku jawab itu karena pertanyaanku tentang pertanyaanku itu."
Selesai sidang Siau Po lalu berkata.
"Menurut apa yang aku tahu ilmu silat Siau Lim Pay hanya begini saja. Terbukti
dengan beberapa gebrakan saja orang partai kita sudah pada kocar-kacir!" katanya.
"Buktinya Ceng Ceng yang sudah belajar lebih dari dua puluh tahun dibuat tak
berdaya.,." sambungnya.
Mendengar kata-kata itu memang sangat tidak enak didengar tetapi memang itulah
kenyataannya. Mereka lalu pergi ke ruang di mana terdapat nona-nona itu yang sedang dirawat.
Siau Po lalu bertanya pada kakak seperguruannya.
"Apakah ia akan dapat disembuhkan?" tanyanya.
"Kelihatannya dia akan dapat disembuhkan...!" jawab si biksu.
Si nona yang berbaju hijau itu terbaring dengan mata tertutup dan terlihat seperti
pucat. Lehernya dibalut dengan kain putih dan tangannya sangat bagus.
Hati Siau Po sangat sedih dan hatinya tak tenang melihat tangan si nona yang
tergeletak itu Siau Po lalu memegangi tangan itu dan lalu ia berkata.
"Apakah nadinya masih bekerja?" tanyanya.
Si nona yang satunya, sejak Siau Po masuk ia sudah panas hatinya dan sewaktu
Siau Po memegangi tangan itu Siau Po lalu dibentaknya.
"Jangan raba-raba tangan adikku!" kata si nona.
Mendengarkan hal itu Siau Po lalu menarik tangannya.
Teng Koan lalu mengurut tangan si nona itu dan membebaskan totokannya sambil
berkata. "Jurusmu itu jurus tangkapan tangan Kim Na Chiu, dari keluarga Hek Shoasay!"
katanya. Melihat itu si nona lalu menarik tangan yang sedang diobati itu dan Teng Koan
kembali menyentil tangan nona yang angkuh itu dan kali ini mengarah pada jalan
darahnya. Si nona lalu menyerang dengan tangan kirinya dan kembali tangan itu disentilnya.
Melihat itu si nona lalu mundur beberapa langkah, dan karena penasaran ia lalu
menyerang dengan kedua tangannya, Maksudnya agar ia tak dapat menyentilnya.
Melihat itu semua biksu itu tertawa sambil berkata. "Bagus.... Bagus.,.!" katanya.
Selesai berkata si biksu lalu meladeni serangan itu, Anehnya tangan-tangan itu
masih dapat ditotoknya meskipun dengan kedua tangannya, Kali ini biksu itu langsung
mengarah pada jalan darah si nona yang membuat dia gusar.
"Oh, biksu apakah kau mau mampus!" dampratnya.
"Aku masih hidup, Kalau aku mati tak mungkin aku dapat menyentil tanganmu!" kata
biksu dengan tenang. "Sekarang kau hidup besok kau akan mati!" jawabnya.
"Hai, Nona! Bagaimana kau akan tahu kalau aku akan mati besok apakah kau pandai
ilmu nujum..?" tanyanya.
Nona itu sangat jengkel dan ia tahu kalau orang yang ada dihadapannya itu adalah
orang pandai juga. "Pergi keluar jangan kau ganggu yang sedang sakit itu!" pinta si nona.
Sewaktu Teng Koan mengajak Siau Po pergi ia tak mendengarnya karena ia sedang
memandang tubuh yang tergeletak itu. Dan ketika nona yang satu itu mendekati dan
langsung menendangnya untuk keluar dari kamar itu Siau Po sangat kaget.
Melihat hal itu Teng Koan lalu mendekati Siau Po yang sedang terjatuh itu dan
berkata. "Siau Susiok, pukulan Nona itu terdiri dari tiga belas jurus dan jika kau tak sudi
untuk melayaninya ada enam cara untuk menghindarinya, Kau dapat menyerangnya dengan
mengkaitkan tangannya, sambil menyentuh sikunya atau menyentilnya, menotok, dan
mencekuk tangannya. Atau kau dapat dengan menendangnya! Semua itu dapat


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digunakan untuk menghindarinya!"
Karena Siau Po sedang merasakan nyeri maka ia berkata, "Baru sekarang kau
mengatakannya, itu percuma!" katanya.
"Susiok benar! Memang Susiok yang salah, coba aku memberitahukannya siang tadi
tentulah Susiok tak akan jatuh tersungkur di tanah seperti itu!"
Mendengar kata-kata itu Siau Po lalu berkata.
"Nona-nona yang di dalam itu galak-galak, jika nanti aku bertemu ia di luar pasti nanti
aku akan dihajarnya Aku harus dapat menghindar darinya tetapi biksu tua ini tahu ilmu
silat nona-nona itu dengan tangannya ternyata dia dapat melumpuhkan nona-nona itu.
Agar aku dapat menikah dengan dia aku harus menjadikannya sebagai pengawalku!
Tapi ia sudah tua dan kemungkinan dalam beberapa hari lagi ia akan meninggalkan
dunia ini. Dan jika biksu ini telah mati apakah aku akan dapat selamat dari ancaman
nona-nona ini!" tanyanya dalam hati.
"Hanya dengan sentilan tanganmu saja kau dapat menaklukkan nona itu, apakah
nama ilmumu itu!" tanya Siau Po.
"ltuIah ilmu Tan Cie San Kang, apakah kau tak mengetahui ilmu itu!" tanya si biksu.
"Aku tak mengerti Lebih baik kau ajari aku ilmu itu!"
"Asalkan kau perintahkan tak berani aku menolaknya dan ilmu itu tak sukar untuk
dipelajari Cukup dengan kita mengetahui jalan darah serta tepat juga sentilan atau
totokan itu!" kata biksu itu.
Mendengar semua itu Siau Po menjadi girang.
"Jika tak sukar untuk dipelajari sebaiknya kau cepat ajari aku tentang ilmu itu!"
"Siau Susiok kau mempelajari Ie Tin Keng sudah sampai mana dan sebaiknya
Susiok belajar menyentil terlebih dahulu!"
"Bagaimana aku harus menyentilnya?" tanya Siau Po.
Setelah memberi contoh biksu itu meminta Siau Po untuk memperagakannya, Dari
hasil percobaan itu biksu dapat mengetahuinya kalau Siau Po belum pernah
mempelajari Ie Tin Keng. Dan ia menyarankan agar Siau Po mempelajari ilmu Ie Tin
Keng terlebih dahulu dan barulah ia dapat mempelajari ilmu yang dimintanya.
"Poan Jiak Ciang aku pun tak dapat!" katanya.
"ltu tak apa. Mari, kita coba ilmu Cam Hoa Kim Na Ciu!" ajak biksu itu pada Siau Po.
"llmu apa itu, aku belum pernah mendengarnya!" kata Siau Po.
Teng Koan menunjukkan muka yang sangat kecewa karena sulit bagi dia untuk
menerangkannya. "Sekarang, marilah kita mencoba dengan ilmu yang lebih ringan yaitu Kongkong Sin
Ciam apakah ilmu itu juga kau tidak tahu?" tanya biksu itu.
Sang paman menggeleng kepala
"Bagaimana kalau kita coba dengan ilmu yang sangat mudah yaitu Polobit Cu?"
Kembali Siau Po menggeleng kepala, Si keponakan murid berbicara terus tetapi
tetap saja pamannya menggeleng kepalanya Kewalahan juga ia. Namun dengan
demikian biksu tua itu memiliki seratus kesabaran, ia tak berkecil hati dan berkata.
"Kita kaum Siau Lim Pay pelajaran kita menanjak menurut urutannya dari yang
rendah menanjak terus sampai pada yang tinggi, Dengan demikian kita akan
mendapatkan tenaga yang sangat dahsyat. Baru nanti ilmu Wieto Ciang, ilmu ini harus
dipelajari selama lima tahun dan jika ia cerdas dapat sekalian mempelajari San Hoa
Ciang sehingga ia dapat menandingi partai lain,.,!"
Mendengar keterangan itu Siau Po menarik napas berat Dia menjadi sangsi pada
dirinya. "Tadi kau katakan bahwa Tan Cie Sin Kang tak sukar untuk mempelajarinya. Tetapi
mengapa aku harus mempelajarinya dari yang paling dasar Harus memakan waktu
berapa tahun aku mempelajari ini semua?" tanya Siau Po.
"Untuk mendapatkan ilmu-ilmu itu kita memerlukan waktu yang cukup lama!"
jawabnya. Mendengar jawaban itu Siau Po lalu tertawa, Teng Kong menganggukkan kepalanya
sambil tersenyum dan berkata.
"Waktu empat puluh tahun adalah waktu yang sangat cepat, selama seribu tahun, Su
Tit yang berhasil mempelajari ilmu menyentil atau menotok itu. Namun tenaga
dalamnya masih tergolong biasa saja!" kata si biksu menjelaskan pada Siau Po.
Memikirkan hal itu Siau Po menjadi bingung sendiri ia lalu mencari akal bagaimana
caranya agar ia dapat mempelajari ilmu itu dalam waktu yang singkat.
Dalam hati Siau Po berkata. "Aku harus memancing agar ia panas hatinya."
Lalu Siau Po mendapat akal maka ia lalu berkata.
"Kau menjadi ketua poan Cik Tong, jika kau tak mencari jalan untuk mempercepat
waktu belajar dan berlatih, apakah kau tak merasa malu pada leluhur Siam Lim Sie,
yang telah ribuan tahun Iebih. seandainya kau mati dan bertemu oleh leluhurmu dan
kau akan ditanya apa yang telah kau perbuat untuk partai kita" Bagaimana kalau ia
mengatakan kalau kau hanya pandai makan dan minum saja. Dan kau tidak
memperdulikan apa-apa yang ada di sekitarmu, terutama kau tak memikirkan untuk
kemajuan Siau Lim Sie" Apakah kau tak merasa malu?" tanya Siau Po pada biksu itu.
Mendapat pertanyaan demikian muka biksu itu menjadi merah karena menahan rasa
malu. "Susiok benar, baiklah aku akan mencari cara yang paling cepat untuk dapat
menguasai ilmu silat tersebut!" katanya.
Siau Po merasa senang mendengar jawaban itu.
"Memang jika kau tak berhasil lebih baik kita jangan muncul ke muka umum dan lebih
baik kita meminta pada nona itu untuk menjadi ketua di kuil ini. Aku nanti akan meminta
padanya diajari ilmu silat agar kita dapat cepat menjadi pandai." kata Siau Po
memanaskan biksu itu. Ternyata siasat Siau Po berhasil terbukti biksu itu menjadi pucat mukanya dan panas
hatinya. Baru saja ia ingin berlalu Siau Po memanggil biksu itu dan mengatakan.
"Tunggu dulu," katanya menahan biksu itu. "Kau harus dapat merahasiakan terlebih
dahulu usaha kita ini jangan langsung kita menyebarkannya. Ingat, lain orang tak boleh
ada yang mengetahui rencana kita!" pesan Siau Po.
"Mengapa demikian?" tanyanya tak mengerti
"Orang akan tidak menaruh kepercayaan pada kita, sebab kita belum tentu dapat
berhasil. Bukankah si nona itu masih berada di kuil kita" Dan hati kita semua belum ada
yang tenang!" katanya.
Teng Koan mengangguk. "Susiok benar, memang urusan ini untuk kepentingan partai tetapi rahasia tak dapat
langsung saja dibuka!"
Besok paginya sewaktu Siau Po bangun dari tidurnya ia lalu pergi ke kamar si nona.
ia bertemu dengan biksu yang bertugas merawat si nona yang sedang sakit.
"Selamat pagi, Susiok!" Demikian biksu itu memberikan hormat pada Siau Po.
"Bagaimana luka si nona apakah ada perkembangan atau mulai membaik?" tanya
Siau Po pada biksu tua itu.
"Kira-kira tengah malam tadi nona itu siuman, dan setelah diketahui kalau ia berada
di kuil kita ia lalu meronta dan meminta saudaranya untuk memapahnya ke luar dari kuil
ini. Ketika aku membujuknya ia mengatakan tidak ingin mati di kuil ini!" kata si biksu.
Siau Po melihat orang itu yang berbicara tak lancar ia lalu menerka kalau si nona
sewaktu sadar tadi mungkin ia telah mencarinya.
"Lalu bagaimana...?" tanya Siau Po.
"Sutit masih membujuknya, dan ia tampaknya masih penasaran ia dibantu kakaknya
keluar dari kuil ini, sia-sia Sutit mencegahnya dan akhirnya dibiarkannya pergi dengan
luka-luka itu. Dan aku lalu melaporkan hal itu pada ketua!" jawabnya.
Tiba di kamar biksu itu ia mendapatkan si biksu sedang duduk bersila, Di depannya
sudah banyak tergeletak buku-buku dan matanya pun cekung, pertanda bahwa
semalam ia tak tidur. Dengan perlahan Siau Po meninggalkan kamar itu sebab ia tak ingin mengganggu
konsentrasi biksu itu dan biksu itu pun tidak melihat akan kedatangannya.
Satu bulan sudah berlalu, Pada suatu hari Hui Beng ingin menyegarkan tubuhnya ia
lalu melewati kamar Teng Koan, ia sangat heran mengapa akhir-akhir ini Teng Koan
sangat kurus dan matanya sangat cekung jika ia berlatih silat hanya sebentar ia
melakukannya lalu ia pun terduduk bagaikan orang yang tak bertulang.
Tak ada minat untuk hidup lebih lama juga semangat hidup pun pudar Melihat
keadaan itu Hui Beng sangat kasihan.
Demikianlah pada suatu hari ia membawa uang yang cukup banyak, ia ingin sekali
bermain judi maka ia lalu pergi turun gunung,
"Sekarang aku akan mencari rumah judi aku akan berjudi dengan sepuas hatiku!"
katanya dalam hati. Karena menerka rumah perjudian itu berada dalam gang maka ia lalu pergi ke ganggang
yang ada di sekitar kuil itu.
Itulah rumah yang ditujunya itu.
Saking girangnya ia lalu berlari mendekati rumah itu, Tengah ia mendorong pintu itu
ia dihadang beberapa orang yang ditugaskan sebagai penjaga.
Siau Po bukanlah anak yang tidak memiliki pengalaman dalam hal seperti itu, ia lalu
merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa uang.
"Aku ingin mengalahkan beberapa uangku untuk berjudi sebab tanganku sudah
sangat gatal.!" kata Siau Po.
"Tapi anak kecil, ini bukan tempat judi! ini tempat orang bermain wanita.,.!" kata si
penjaga. "Kau tolong carikan aku pelayan untuk menemaniku minum dan berbicara...!" kata
Siau Po yang lalu mengeluarkan uang untuk diberikan pada penjaga itu.
Pria itu sangat senang sekali ia mendapatkan uang yang begitu banyak dan ia
berkali-kali mengucapkan kata terima kasih.
"Terima kasih, Tuan.,.!" ucapnya.
"Anak itu pasti anak orang yang sangat kaya, ia lalu mencuri uang ayahnya itu untuk
digunakan berpoya-poya, sebaiknya aku meladeni dia agar dapat mengeluarkan
uangnya dan aku mendapatkan uang yang banyak!" kata Nyonya pemilik rumah itu.
Menyambut tamu yang masih muda itu si nyonya lalu tertawa dan ia memperlihatkan
para wanita yang ada di sana.
"Kalau kau ingin menemui nona kami terlebih dahulu kau harus membayar uang
buka mulut pada-ku!" katanya.
"Apakah kau menghina aku karena kau melihat aku masih kecil ini jangan kau lihat
aku dari keciInya. Di kampung halamanku aku justru memiliki tempat itu!" kata Siau Po
dengan penuh semangat "Sekarang kau kumpulkan nona-mu aku akan memilihnya sebagai teman berbicara!"
kata Siau Po. Orang yang disuruh mengumpulkan itu lalu pergi dengan memberikan kabar itu pada
para wanita itu, Dan dalam waktu yang singkat dia sudah berhasil mengumpulkan orang
yang dimaksud itu. Siau Po sangat senang walaupun tidak ada yang menarik hatinya yang sedang
dilanda kekangenan wanita itu. Lalu Siau Po menarik salah seorang wanita yang akan
dijadikannya sebagai teman bicara dan tanpa malu-malu lagi ia mencium wanita-wanita
itu. Sewaktu orang sedang ramai-ramai berbicara dan bercanda maka kamar tersingkap
tanpa ada yang mengetahuinya.
"Kedua adik mari aku cium!" kata Siau Po tanpa menoleh.
Kedua nona itu adalah nona-nona yang diharap oleh Siau Po Siang dan malam.
Kedua nya berbaju merah dan hijau.
"Selekas kau meninggalkan desa aku terus mengikuti kau, aku akan mengetahui apa
yang akan kau lakukan!" kata si nona yang berbaju biru sambil tertawa.
Punggung Siau Po mengeluarkan keringat, dan tetapi ia berusaha untuk dapat
menguasai diri. "Nona-nona bagaimana dengan luka-luka yang ada di leher kau apakah itu sudah
sembuh?" tanya Siau Po.
"Kami berdua kakak beradik setiap hari kami selalu mengikutimu dari kejauhan aku
berniat akan menghukum mati kau, Aku akan membalas sakit hati adikku dan ternyata
Tuhan telah mencabut nyawamu melalui diriku!"
Siau Po mengeluh dalam hati yang sedang berhadapan dengan gadis-gadis cantik
itu. "Sebenarnya aku tak terlalu bersalah terhadapmu karena saat itu aku tak bermaksud
menyentuhnya, Apakah itu aku bersalah.,.?" tanya Siau Po pada gadis-gadis itu.
Mendengar jawaban itu si nona yang menggunakan baju biru timbul murkanya.
"Apa kau bilang?" tegurnya dengan bengis.
"Ah, maaf Nona! Tadinya aku menyangka nona-nona dari tempat ini aku mengaku
bersalah!" kata-nya.
"Ah, Kakak mengapa kau berbicara terus dengan manusia seperti dia. Dialah si
kepala gundul yang jahat, Untuk itu hukumannya ia harus mati.!" kata nona yang
berbaju hijau. Gadis itu lalu menebaskan pedangnya diarahkan pada Siau Po dengan sangat cepat.
Siau Po menjerit sambil menunduk Dan tak ayal lagi topinya habis terbabat dan
terlihatlah kepala yang gundul.
Yang hadir di situ kaget dan semuanya pada berlarian
"Pembunuhan.... Pembunuhan...!" Demikian teriak mereka.
Siau Po lalu bersembunyi pada orang yang dituju sebagai tukang pukul dan ia
berkata. "Eh, ini rumah hina siapa yang masuk ke tempat ini berarti ia seorang pelacur Hayo,
kamu berdua pergi dari sini kalau kau tidak mau apa yang dikatakan orang-orang itu!"
katanya. Nona-nona itu lalu mempermainkan senjatanya karena ia tak berani membacok
orang yang ada di sana. "Kamu masih belum mau juga pergi. Apakah kau ingin membukakan bajuku atau kau
ingin membukakan celanaku.,.?" tanya Siau Po.
Kedua nona itu menjadi gusar ia khawatir jika orang itu benar-benar membuka baju
dan celananya. Dan kedua nona itu lalu berlarian keluar, hingga hampir saja menubruk
orang yang ada di sana. Hati Siau Po menjadi agak aman tetapi ia masih merasakan kekhawatirannya itu. ia
khawatir nona itu menungguinya di luar.
"Kamu semua jangan berisik, kalian jangan ada yang takut aku akan membagikan
padamu uang...!" kata Siau Po pada wanita itu.
"Lekas kau pergi membeli seekor kuda dan kau tunggu aku di sana, Nanti aku akan
pergi segera!" kata Siau Po setelah itu ia pun menyerahkan uangnya untuk membeli
kuda, "lni uang dua puluh tail untukmu dan kau buka pakaianmu aku akan menggunakan
pakaianmu untuk pulang.,.!" pinta Siau Po.
"Mereka itu adalah istri dan gundikku dan mereka yang mencukur rambutku hingga
aku sampai begini, Dan ia pun melarang aku untuk pergi ke tempat seperti ini.,.!" jawab
Siau Po pada mereka, "Oh, begitu!" jawab mereka,
Ternyata keterangan Siau Po dapat dipercaya, lalu ada juga yang tertawa
mendengar istri yang menggunduli kepala suaminya.
Siau Po berdandan dengan cepat hal itu membuat nona-nona yang ada di sana
semuanya tertawa, maka mereka membantu Siau Po menggunakan bedak.
"Tuan, kuda sudah tersedia, hanya tuan harus berhati-hati sebab istri dan gundik
tuan menjaga di sana!" kata orang yang disuruh membeli kuda itu.
"Celaka, dasar wanita-wanita galak!" kata Siau Po dalam hati.
Sebelum keluar Siau Po mengatur siasatnya. Bahkan mereka lalu diminta
mengalihkan perhatian si nona sedangkan yang lainnya menerobos ke luar bersama
dengan dia. Si nona yang berbaju biru melihat kejadian itu lalu ia mengejar tetapi di gang itu
penuh sesak dengan nona yang menggunakan kesempatan itu untuk kabur, Lalu ia
berteriak akan menyingkirkan nona-nona itu.
"Hay harimau betina, jantanmu sudah menunggang kuda dan kabur! Mana kau dapat
mengejarnya.,.!" Ejek yang lainnya.
Nona itu gusar dan hampir saja mengamuk dengan golok yang sudah siap mencari
darah. Ternyata nona-nona itu tak menyerang mereka, hanya mengomel.
"Hay perempuan jahat, perempuan galak!" katanya.
Sebelum sampai ke kuil Siau Po terlebih dahulu membersihkan diri lalu ia memasuki
kuil itu. Diam-diam Siau Po masuk lewat pintu samping.
"Jika mereka datang dan mengatakan hal itu pada pendeta aku akan
menyangkaInya...!" katanya dalam hati.
Sampai malam tiba ia tidak menemui si nona yang tadi mengejarnya dan
keesokannya ia kembali memikirkan nona yang menggunakan baju biru.
"Bagaimana aku dapat melihatnya barang satu kali saja!" katanya dalam hati.
"Susiok Cau, selama beberapa hari ini jangan ke luar Karena suasana di sana sangat
tidak enak.,.!" kata seorang biksu.
"Ada kejadian apa di luar sana!" tanya Siau Po.
"Tadi tukang masak memberitahukan aku sewaktu ia pergi ke pintu belakang, ia
melihat nona-nona itu membawa golok dan menanyakan tentang dirimu padanya!" kata
si biksu. "Mereka menanyakan apakah dia mengenalmu, biasanya ia pergi jam berapa dan ke
mana perginya" Aku melihat mereka itu mempunyai maksud jahat pada mu. Asalkan
kau tak pergi ke luar pasti mereka tak berani masuk ke mari!" katanya.
Siau Po menggaruk-garuk kepalanya,
"Benar, benar dia wanita jahat." katanya.
"Memang ketika tukang masak itu berkata, dia tidak mengenalmu, dia lalu
menghajarnya hingga tukang masak itu luka-luka, dia pun berkata jika ia menceritakan
hal ini pada yang lain ia akan memotong lidahnya, Sungguh gila dia beraninya datang


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada Siau Lim Sie. Memangnya mereka memakan nyali harimau?" tanyanya.
"Memang, kita orang-orang Siau Lim Sie tak berani padanya, Terbukti kita semua tak
berani keluar dari kuil ini." kata Siau Po.
Biksu itu menjelaskan bahwa dalam hidup kita harus berdamai dan hal itu sudah
dilaporkan pada ketua pendeta kuil itu.
Mendengar penjelasan itu, Siau Po menganggukkan kepalanya, ia menunggu agar
orang yang ada di hadapannya itu berlalu, sebab ia pikir lebih baik aku menemui Teng
Koan untuk membicarakan hal itu kepadanya.
Sesampainya Siau Po ke kamar Teng Koan, ia mendapatkan biksu itu sedang
berjalan bolak-balik sambil mulutnya tidak mau diam.
"Melihat hal itu, Siau Po tak ingin mengganggunya. ia menunggu, tetapi sudah lama
biksu itu masih seperti itu.
Siau Po pura-pura terbatuk karena kedatangannya tak dihiraukan oleh biksu itu.
Hingga habis kesabarannya dan lalu mendekati biksu itu. Namun biksu itu masih tetap
diam saja. Siau Po lalu menepuk punggung biksu itu, tetapi biksu itu malah terpental ke dinding
hingga ia terduduk. Siau Po sangat kaget, begitu juga biksu itu.
"Oh Susiok, Sutit bersalah, Sutit akan menerima hukuman dari mu. Aku harus mati..."
kata Teng Koan. "Silahkan bangun, jangan pakai adat segala! Aku yang bersalah, bukan kau!" kata
Siau Po setelah hatinya mendapatkan ketenangan.
Teng Koan tetap berlutut dan tak henti-hentinya minta maaf.
"Ilmu apa yang kau gunakan hingga kau berakibat seburuk ini?" tanya Siau Po.
"Inilah ilmu Hu Tie Sin Kang dari Poan Ciak Ciang yaitu ilmu membela diri." jawab si
biksu. "Bagaimana apakah kau sudah berhasil mencari jalan untuk dapat belajar lebih
cepat?" tanyanya. "Aku sudah memikirkannya, tetapi tanpa kita mempelajari dari awal, tak mungkin
dapat aku menurunkan ilmu yang kau maksud." kata Teng Koan penuh kecewa.
"Kita harus memerlukan waktu yang cukup lama kira-kira tiga puluh tahun atau lebih."
lanjutnya, "Dan itu pun aku masih khawatir, takut itu masih belum cukup." jawabnya.
"Baiklah kau tunggu saja, nanti aku akan memikirkan cara yang mudah. Aku akan
mencoba dengan ilmu -.:\vi dari Ci"ii Ciu Kim Na Ciu." kata si biksu untuk memberikan
semangat. Siau Po lalu berpikir, biksu itu tentunya telah bekerja dengan keras.
"Loo Su Tit kedua orang itu berusia sangat muda tetapi mereka telah mendapatkan
ilmu silat yang cukup tinggi!" katanya.
"Orang lain dapat melakukan pelajaran dengan tidak mengikuti aturan urutan ilmu
silat." kata Siau Po.
"Karena itu mengapa kita harus mati-matian menuruti aturan, Dan mereka pun tak
mempunyai aturan juga namun ilmu silat mereka itu menjadi tangguh dan itu terbukti
bahwa kita tak berani ke luar menghadapinya."
Teng Koan tersentak kaget mendengar ucapan itu.
"Belajar silat tanpa pokok dasar, itu sama saja dengan ilmu silat yang sesat Peng
Bun Co To..." jawab si biksu itu.
"Kedua nona itu bukannya Peng Bun Co To, mereka dari Bu Bun Buto, maka itu
menghadapi mereka kita dapat menggunakan ilmu silat yang serupa." kata Siau Po.
"Aku tak mengerti Bu Bun Bu To.,." katanya,
Siau Po tertawa. "Jika kau tak mengerti, baiklah akan kuajarkan pada kau tentang
ilmu itu." kata Siau Po.
Teng Koan memberi hormat.
"Silahkan Susiok mengajari aku!" katanya, Biar bagaimana biksu itu akan mencoba
ilmu paman gurunya yang tidak mengetahui ilmu tenaga dalam.
"Bukankah kau katakan ilmu silat itu dari partai Kun Ley Pay atau Ngo Bay Pay"
Bukankah ilmu kepandaian mereka itu dari ilmu campuran" Jadi kalau ilmu itu dipadu
dengan ilmu Siau Lim Pay kita, yang mana lebih lihay?" tanya biksu itu.
"Mungkin dari pihak kita yang lebih lihay atau sedikitnya kita ada kelemahan." kata
biksu. "Kalau demikian mudah, berarti tidak membutuhkan tenaga dalam, kita gunakan saja
salah satu jurus kita dan kita akan menang."
Teng Koan merapatkan alis matanya.
"Tanpa dasar tenaga dalam semua jurus itu tak ada gunanya. Kalau kita menghadapi
lawan yang tangguh mudah saja kita dirobohkan olehnya, hingga tulang bisa patah dan
otot bisa putus." kata biksu.
Siau Po tertawa. "Habis kedua nona itu apakah sempurna tenaga dalam mereka?"
"Tidak ..." "Habis apa yang membuat kau khawatir?"
"Perbedaan ilmu silat kita dengan yang lain, pada ilmu silat kita terdapat beraneka
ragam, dan banyak jurusnya, jumlah semua macam itu ada seribu, Karena itu meskipun
tak membutuhkan tenaga, tetapi kita masih membutuhkan waktu yang lama." kata Teng
Koan. -- Hwesio tua ini benar-benar kukuh dan kolot pendiriannya, -- Kata Siau Po dalam
hati, Kemudian dia tertawa dan berkata, "Untuk apa kita harus mempelajari semua ini"
Cukup asal kita tahu apa kepandaian nona itu, lalu dengan jalan yang sama kita
menghadapinya, seperti serdadu datang, perwira menghadang, Air datang, tanggul
menampung. Kalau nona itu mengerahkan sebuah jurus, kau gunakan sejurus lainnya,
Pasti dia akan lari terbirit-birit." Teng Koan menganggukkan kepalanya berkali-kaIi,
pikirannya mulai terbuka.
"Bukankah kau mengatakan nona itu menggunakan jurus "Kang Ho Jit Hi" dari Lau
San Pai" Tentang hal itu, kau mengatakan ada enam atau tujuh cara untuk
memecahkannya, Untuk apa repot-repot" Yang utama, kau harus mengerti satu jurus
saja untuk memecahkan ilmunya itu. Yang lainnya tidak perlu kau pusingkan." kata Siau
Po kembali. Tampaknya Teng Koan gembira sekali mendengar usul itu.
"Benar!" serunya. Ketika si nona mematahkan tangan-tangan Susiok serta Ceng Ci
berempat, dia menggunakan jurus Hun Kin Co Kut Hoat. Jurus itu merupakan jurus
campuran dari enam partai persilatan. Memang kita bisa menggunakan salah satu saja
untuk memecahkannya. Begitu"
Teng Kong langsung memasang kuda-kuda, kaki dan tangannya digerakkan.
Pertama-tama dia menjalankan jurus si nona, kemudian menjalankan jurus
pemecahannya, semuanya dilakukan dengan baik agar Siau Po dapat melihat dengan
tegas. Siau Po sendiri merasa kagum terhadap daya ingat si hwesio.
Setelah selesai, Teng Koan mengulanginya sekali lagi, Kemudian dia menyuruh Siau
Po mencoba menjalankannya.
Siau Po mencoba, tapi dia mendapat kesulitan untuk mengingat semuanya dengan
baik, Dia merasa pelajaran itu terlalu rumit. Karena itu dia minta cara pemecahan yang
lebih sederhana. Teng Koan menurut, dia menunjukkan beberapa jurus ilmu yang dapat memecahkan
pukulan si nona, Asal si bocah tanggung itu menggelengkan kepalanya, dia segera
menggantikannya dengan yang lain.
Demikianlah sampai berulang kali, akhirnya sang paman guru mengerti juga
beberapa jurus tipu untuk memecahkan "Hun Kin Co Kut Hoat" kedua nona tersebut
seandainya si nona menyerangnya kembali dengan jurus yang sama, pasti dia dapat
menghadapinya bahkan menggagalkan serangan itu.
Teng Koan juga merasa kagum terhadap kecerdasan si paman guru kecil yang dapat
belajar dengan cepat itu. Jurus-jurus itu memang tidak sama dengan Tan Ci Sin Kang,
tapi lumayanlah untuk digunakan menghadapi nona-nona itu.
Ketika keduanya sedang bergembira, tiba-tiba si hwesio menarik nafas panjang dan
berkata. "Sayang! Sayang!"
Siau Po merasa heran, dia memperhatikan keponakan muridnya lekat-lekat.
"Berbahaya! Sungguh berbahaya!" Kembali Teng Koan menggumam seorang diri,
dia juga menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apanya yang sayang?" tanya Siau Po. "Apanya yang berbahaya?"
"Begini, Susiok." sahut si hwesio tua, "Seandainya Susiok beserta Ceng Ci berlima
menghadapi si nona lagi, bagaimana kalau Susiok ternyata berhasil dikalahkannya
bahkan mendapat luka yang lebih parah dan cacad untuk seumur hidup" Bukankah hal
itu harus disayangkan" Andaikata kedua nona itu berwatak kejam dan membunuh
Susiok sekalian, bukankah hal itu berbahaya sekali?"
"Mengapa kita harus menghadapi mereka dengan berbarengan?" tanya Siau Po.
"Untuk menguji kedua nona itu," sahut Teng Koan, "Siapa tahu mereka masih
memiliki ilmu lain yang lebih lihay. Aku yakin kepandaian mereka bukan hanya
beberapa jurus itu saja, Kalau Susiok berlima tidak dapat memecahkan jurus mereka
yang lainnya, bukankah berbahaya sekali" Sebaliknya, kalau Susiok hanya
menghadapi mereka seorang diri, mana mungkin kita bisa tahu ilmu mereka yang
lainnya?" Mendengar keterangan itu, Siau Po tertawa.
"Kalau itu yang menjadi kekhawatiran sutit, masih ada jalan untuk menghindarinya,"
katanya, "Kau sendiri saja yang melawannya, dengan demikian, bukankah tidak ada hal
yang perlu disayangkan atau membahayakan keselamatanku?"
Bagian 44 Teng Koan tertegun, Tampaknya dia merasa serba salah.
"Aku seorang yang sudah menyucikan diri sehingga tidak boleh mengeluh maupun
gusar." sahutnya, "Mana mungkin tanpa sebab musabab aku bertarung dengan kedua
nona itu" perbuatan demikian sungguh tidak pantas!"
"Ada jalannya untuk itu, jangan khawatir" kata Siau Po. "Begini, kita pergi ke luar
kuil. Syukur kalau kedua Li sicu itu sudah pergi, jadi kita bisa berpegang pada semboyan,
"Orang tidak mengganggu kita, kita pun tidak boleh mengganggu orang lain." Dengan
demikian, perduli amat berapa banyak pun jurus yang mereka kuasai, kita toh tidak
perlu menghadapi mereka."
"Benar! Benar!" kata si hwesio, "Tapi, biasanya... sutit tidak pernah ke luar kuil,
sekarang sulit harus ke luar dengan niat menimbulkan keonaran pula, ini sungguh tidak
layak, Sama artinya kita mengandung niat buruk."
"Kita juga tidak perlu ke luar sampai jauh-jauh," kata Siau Po. Dia berusaha
membujuk keponakan muridnya itu. "Kita berjalan-jalan di sekitar kuil saja, Lebih bagus
lagi kalau kita tidak bertemu dengan mereka."
Teng Koan segera memuji sang Buddha.
"ltu memang yang paling baik dan paling bagus." sahutnya, "Kalau Susiok berniat
melakukan sesuatu hal yang mengandung kebaikan, suka sekali sutit menirunya."
Di dalam hatinya Siau Po tertawa, Kena hwesio tua ini diakalinya,
"Mari!" ajaknya kemudian Dia mencekal tangan hwesio itu dan menariknya, Mereka
meninggalkan Poan Jian Tong kemudian ke luar dari pintu samping sehingga sekejap
saja mereka sudah berada di luar kuil.
Teng Koan belum pernah ke luar dari kuil itu, karena itu dia menjadi kagum sekali,
Dia melihat banyak sekali pohon cemara yang daunnya hijau segar pemandangannya
juga indah sekali. "Aneh sekali pohon-pohon cemara itu bisa tumbuh menjadi satu." katanya, "Di dalam
halaman Poan JianTong hanya ada dua batang."
Baru selesai ucapan si hwesio, dari arah belakangnya sudah terdengar suara yang
halus dan nyaring. "Di sini rupanya si bangsat gundul!" Menyusul itu, terlihat sesosok bayangan
berkelebatan, disertai dengan membiasnya cahaya putih dari sebatang golok yang
meluncur ke arah Siau Po.
"Inilah jurus Beng Hou Hi San dari ilmu Ngo Hou Toan Bun To!" seru si hwesio yang
merasa terkejut juga heran. Tetapi dia tetap cukup gesit untuk melihat gerakan tangan
orang yang menyerang itu sehingga dia tahu itulah jurus yang dinamakan "Macan turun
gunung", Dia langsung mengangkat tangannya untuk menyambut serangan tersebut dengan
jurus Cian Kim Na Jiu. Tetapi mendadak dia menarik tangannya kembali dan berkata.
"Aih, tidak boleh!" Dia merasa perlawanannya itu kurang sopan.
Ternyata penyerang itu si nona berbaju biru, Dia melihat Teng Koan menarik kembali
serangannya, segera memutar goloknya untuk ditebaskan ke pinggang Teng Koan.
Bertepatan dengan itu, si nona berbaju hijau melompat ke luar dari sela-sela
pepohonan dan terus menyerang Siau Po dengan satu bacokan.
Siau Po sempat menghindarkan diri, dan langsung berlari ke belakang Teng Koan
untuk menyembunyikan diri.
Si nona menjadi penasaran Dia maju dan menebas lagi, Karena Siau Po terhalang,
goloknya jadi mengincar bahu kiri si hwesio tua.
Teng Koan sempat melihat datangnya serangan itu. "inilah jurus Thay Kek To!"
serunya, "Serangan ini dapat dielakkan dengan jurus yang sederhana saja!" Dia
langsung mengelakkan tubuhnya sehingga terbebas dari ancaman bacokan.
Kedua nona itu maju kembali Kali ini Teng Koan berkaok-kaok semakin keras.
"Susiok, hebat, hebat sekali!" katanya, "Gerakan kedua Li sicu ini terlalu cepat
sehingga aku tidak sempat memikirkan jurus pemecahannya, Karena itu, cepat kau
minta kedua nona ini jangan bersikap terlalu keras!"
Panas hatinya si nona berbaju biru, Beberapa kali serangannya mengalami
kegagalan, sekarang dia mendengar ucapan si hwesio itu yang dianggapnya sebagai
ejekan, Hatinya semakin panas, dia menyerang lebih hebat lagi.
Siau Po berada di tempat yang aman, dia tertawa terbahak-bahak dan berkata
dengan suara lantang. "Eh, nona-nona sekalian! Keponakan muridku ini menyuruh kalian jangan menyerang
terlalu keras. sebaiknya kalian tidak perlu terburu-buru. Perlahan-lahan saja!"
"lya, iya!" sambung Teng Koan. "lya, jangan terlalu keras, otakku ini kurang cerdas,
dalam waktu yang sesingkat ini aku tidak dapat menemukan jurus untuk memecahkan
serangan kalian!" Si nona berbaju hijau gusar sekali terhadap Siau Po. Karena itu, setelah beberapa
kali gagal menyerang si hwesio tua, dia mulai menyerang si hwesio muda.
Melihat keadaan itu, Teng Koan segera menggerakkan tangan kirinya untuk
menangkis. "Jangan, Li sicu!" teriaknya, "Paman guruku ini belum pernah belajar ilmu silat, Kau
jangan membacoknya."
Si nona semakin kesal Dia memperhebat serangannya.
"Jangan, Li sicu!" teriak Teng Koan kembali. "sebaiknya kau tunggu sampai dia
sudah mempelajarinya dan sanggup melayanimu, baru kau boleh membacoknya! Aih,
Susiok! Semua jurusku tidak ada hasilnya, Tidak ada satu pun yang dapat kugunakan
dengan baik, Karena itu, nanti saja kita mempelajarinya perlahan-lahan!"
Walaupun mulutnya berkoar-koar, tangan si hwesio tua tetap bergerak untuk
menyingkirkan bahaya yang mengancam Siau Po. Dan perbuatannya itu selalu
membuahkan hasil sehingga kedua nona itu bagai terkurung oleh tangkisannya dan
tidak sanggup mendekati Siau Po.
Kalau tadinya Siau Po merasa khawatir, sekarang dia dapat tertawa-tawa, Dia
melihat dirinya sudah tidak terancam bahaya lagi. Kedua nona itu tidak berdaya
menghadapi keponakan muridnya yang demikian polos serta jujur sehingga mirip
dengan orang tolol. "Ha ha ha ha!" Dia terus tertawa sambil memperhatikan si nona berbaju hijau yang
menarik perhatiannya itu, Dia dapat menontoni kecantikan si nona dengan leluasa
sebab sekarang dia sudah berhasil menyembunyikan diri di balik sebatang pohon yang
besar. Si baju hijau mengira hwesio muda itu sudah melarikan diri. Tetapi suatu kali, ketika
dia menolehkan kepalanya, dia sempat melihat sinar mata pemuda itu sehingga hatinya
semakin kesal. Dia segera meninggalkan Teng Koan dan menerjang ke arah orang
yang dibencinya itu. Sedangkan pada saat itu, Teng Koan sedang meluncurkan tangannya, Dia tidak
menyangka nona itu akan meninggalkan dengan cara mendadak seperti itu, Tanpa
ampun lagi, jari tangannya langsung menyentuh sasarannya yakni iga si gadis berbaju
hijau. "Aduh!" jerit si nona yang langsung rubuh di atas tanah.
"Oh!" seru si hwesio tua terkejut "Maaf, maaf! sebenarnya totokanku ini, Ciau Ci
Thian Lam tidak terlalu hebat dan membahayakan Asal nona menangkisnya dengan
jurus Ok Hou Lan Lou dari Ngo Hou Toan Bun to, kau sudah bisa menghadapinya, Si
nona berbaju biru tadi sudah melakukannya, aku kira kau juga bisa, tidak tahunya...
maaf! Maaf!" Sementara itu, hati si baju biru semakin gusar.
Kembaii dia menyerang hwesio tua itu, Tetapi dia tidak berdaya, seranganserangannya
selalu mengalami kegagalan.
Ketika kedua orang itu bertarung, tidak lebih tepat dikatakan seorang menyerang,
lainnya menangkis, Siau Po pun ke luar dari tempat persembunyiannya, Dia
menghampiri si nona berbaju hijau.
"Nona cantik seperti kau ini, di dalam dunia ini pasti hanya ada satu." katanya, "Kau
benar-benar membuat semangatku terbang sampai ke luar angkasa." Si pemuda
tanggung yang nakal ini pun mengulurkan tangannya untuk mengelus-elus pipi si nona
yang putih dan halus. Nona itu dalam keadaan sadar, namun tidak berdaya, Karena itu, dia menjadi gusar
sekaligus mendongkol Setelah menatap Siau Po dengan mata mendelik, tiba-tiba dia
jatuh tidak sadarkan diri.
"Aih!" seru Siau Po. Dia terkejut setengah mati, tapi sesaat kemudian dia tahu nona
itu hanya pingsan, sehingga dia tidak merasa khawatir lagi.


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu dia menoleh kepada Teng Koan dan berkata dengan nyaring.
"Sutit Teng Koan, cepat kau kemari! Nona ini telah tertotok olehmu, sebaiknya kau
tanyakan saja kepadanya agar dia dapat menjelaskan kepadamu jurus-jurus yang
dikuasainya, Kita harus hidup rukun, tidak boleh bermusuhan dengan sesama kita"
Teng Koan merasa ragu-ragu, dia tidak langsung menjawab permintaan Susioknya.
Sementara itu, hati si nona berbaju biru semakin gusar, Tapi dia tidak berdaya,
Tampaknya dia juga khawatir akan dirobohkan seperti rekannya, Apabila itu sampai
terjadi, pasti mereka kehilangan akal.
Karenanya, dia hendak menyingkir dulu, Dia pikir kawannya itu tidak mungkin
dicelakai itulah sebabnya dia langsung berkata dengan suara lantang.
"Jangan kau celakai adikku! Awas kalau kalian ganggu selembar rambutnya pun,
Kalau tidak, aku akan membakar seluruh Siau Lim Sie ini sampai ludes rata dengan
tanah!" Berkata demikian, si nona mencelat untuk menyingkir dari Teng Koan.
Teng Koan dapat mendengar setiap patah kata si nona dengan jelas, dia sampai
tertegun karena ancaman nona itu hebat sekali.
"Sebetulnya, mana berani aku mengganggu nona ini?" katanya, "Tapi bagaimana
kalau rambutnya rontok sendiri satu lembar saja" Apakah kau tetap akan membakar
kuilku?" Nona itu melompat lebih jauh lagi, kemudian dia mendamprat
"Bangsat gundul tua, lidahmu tajam juga! Dan kau, bangsat gundul cilik...."
Hampir saja si nona menggunakan kata-kata yang kotor, tapi untung saja dia insaf,
karena itu dia membatalkan nya dan lari memasuki hutan.
Siau Po hanya melihat saja nona itu pergi, kemudian dia menoleh kembali kepada si
gadis berbaju hijau yang masih terkulai di atas tanah, Dia memperhatikan wajahnya
yang cantik dan tangannya yang indah, dia seakan melihat Dewi Kuan Im sehingga
untuk sesaat dia terpana.
Pada saat itu, Teng Koan sudah mengham-pirinya,
"Li sicu, kakakmu sudah pergi," katanya kepada si nona berbaju hijau, "Sebaiknya
kau juga pergi saja, jaga rambutmu agar jangan sampai rontok selembar juga, Kakakmu
tadi sudah mengancam akan membakar ludes kuil kami."
Sementara itu, Siau Po berkata dalam hati.
- Ini merupakan kesempatan yang baik, aku tidak boleh menghilangkannya, Si cantik
sudah terjatuh ke dalam tanganku, dia tidak boleh dibiarkan lolos, Biar bagaimana, aku
tidak boleh membebaskannya, -Membawa pikiran demikian, paman guru ini menoleh kepada Teng Koan, Dia
merangkapkan sepasang tangannya dan memuji
"Amitabha! Kita telah dilindungi oleh Nya! ilmu Siau Lim Sie akan maju pesat,
Namanya yang sudah harum akan terus berlangsung sampai ribuan tahun, Sutit, kau
benar-benar seorang menteri setia dari partai kita!"
Teng Koan menatap si paman guru, Dia merasa heran.
"Eh, Susiok," katanya, "Mengapa kau berkata demikian?"
Siau Po segera menjalankan siasatnya.
"Sebenarnya pikiran kita sekarang sedang kusut memikirkan ilmu silat kedua nona
ini," katanya, "Di lain pihak, kita masih belum tahu apakah mereka masih memiliki
ilmuilmu lainnya" Karena itu, syukurlah Sang Buddha kita sangat welas asih sehingga
kedua nona ini seperti sengaja dikirim ke mari agar mereka dapat memperlihatkan
kepandaiannya, Sekarang, sutit, sebaiknya kita cepat-cepat pulang."
Sembari berkata, dia tidak menunggu jawaban Teng Koan, Siau Po langsung
membungkukkan tubuhnya untuk memondong tubuh si nona.
Teng Koan menjadi bingung, Dia merasa perbuatannya kurang tepat, tapi semuanya
telah terjadi Apa lagi yang dapat dilakukannya" Tetapi dia tetap berkata.
"Tidak pantas rasanya kita minta Li sicu ini masuk ke dalam kuil kita."
"Untuk apa membicarakan soal pantas atau tidak?" kata Siau Po. "Bukankah dia
sudah pernah masuk sebelumnya" Ketika dia datang, apakah Hong Tio tidak
mengetahuinya" Bukankah kepala bagian Kay Lut Ih juga mengetahuinya" Bukankah
Hong Tio dan kepala Kay Lut Ih juga tidak mengatakan apa-apa" Karena itu, perbuatan
kita ini tidak bisa dikatakan kurang pantas, bukan?"
Teng Koan menganggukkan kepalanya, Dia kalah bicara sehingga dia diam saja dan
berjalan mengikuti paman gurunya itu dari belakang.
Siau Po cerdik sekali Dia segera membuka bajunya untuk membungkus si nona.
Setelah itu dia menggendongnya ke dalam, jalan yang diambil tetap pintu samping jalan
mereka ke luar tadi. Siau Po berjalan sambil menundukkan kepalanya. Tampaknya otak si pemuda
tanggung itu sedang berputar keras.
Sebetulnya hati Siau Po sedang berdebar-debar. Dia takut perbuatan mereka akan
kepergok oleh yang lainnya, Memang si nona sudah dibungkus rapat-rapat dengan
jubahnya, tapi apabila bertemu dengan hwesio lainnya, mereka pasti curiga.
Dia tidak mengharapkan hal itu sampai terjadi Dia berjalan dengan cepat. Hatinya
cemas sekaligus senang, sekarang dia dapat menggendong si nona cantik.
Setibanya di dalam Poan Jian Tong, ada hwesio Cip Su ceng yang menyambutnya.
Dia melihat ketuanya itu dan memberi hormat tapi tidak menanyakan apa-apa.
Sampai di dalam kamar Teng Koan, si nona masih belum sadar juga, sementara itu,
tangan Siau Po basah oleh keringat dingin karena kekhawatirannya.
"Bagus!" serunya sambil menarik nafas lega.
"Apakah nona ini akan ditempatkan dalam kamarku?" tanya Teng Koan ragu-ragu.
"Benar!" sahut Siau Po. "lni kan bukan untuk pertama kalinya dia ada dalam kuil kita,
Ketika yang pertama kali, lehernya terluka dan ia ditempatkan di kamar sebelah timur,
bukan?" Sang keponakan murid itu menganggukkan kepalanya.
"Tapi waktu itu dia sedang terluka, kita harus mengobatinya untuk menyelamatkan
jiwanya. Karena itu... kita harus memberikan kelonggaran kepada nya."
"Urusan ini mudah." kata Siau Po kembali Dia langsung mengeluarkan pisau
belatinya yang tajam. "Cukup asal kita tikam dia satu kali supaya jiwanya terancam
bahaya lagi Dengan demikian, dia akan mendapatkan kelonggaran untuk berdiam di
sini." Selesai berkata, Siau Po langsung menghampiri si nona, Dia mengangkat tangannya
yang menggenggam pisau belati itu seakan siap ditikamkan.
"Ja... ngan!" cegah Teng Koan, "Ti., dak perlu kita melakukan hal itu."
"Tapi," kata Siau Po. "Seperti yang kau katakan tadi, tanpa terluka, tidak leluasa dia
ditempatkan di sini Bagaimana kalau hal ini diketahui oleh Hong Tio dan Teng Cit
suheng" Bukankah kita akan disalahkan nanti" Aku rasa, sebaiknya kita tikam atau
bacok dia beberapa kali agar ia terluka. Yang penting jiwanya tidak terancam bahaya
kematian Kau toh tahu kalau pisauku ini tajam sekaIi...."
Mendadak Siau Po menebas ujung meja sehingga gompal.
"Ja... ngan... jangan kau lukai dia!" seru Teng Koan yang hatinya lemah.
"Lalu bagaimana?" tanya Siau Po. "Melukainya tidak boleh, membiarkannya di sini
pun tidak boleh!" "Akan kuatur!" kata Teng Koan.
"Kalau begitu, baik." sahut Siau Po. "Kuserahkan saja kepadamu. Bagiku, yang
penting, tidak ada orang yang tahu tentang kehadiran nona ini. Kita juga akan
membebaskannya setelah dia menjelaskan semua jurus silatnya kepada kita, agar kau
dapat memecahkannya, Kita akan keluarkan dia secara diam-diam Kalau tidak
sebaiknya dia dilukai saja...."
"Jangan khawatir," kata Teng Koan, "Nanti aku akan menyimpan rahasia."
Teng Koan sudah tua, tetapi terpaksa dia harus menunduk kepada paman gurunya
yang jauh lebih muda, Dia kalah cerdik, Dia juga berpikir urusan ini tidak akan bocor
kalau dia menuruti apa yang dikatakan oleh paman gurunya.
Siau Po segera berkata kembali
"Li sicu ini wataknya keras kepala, Kau dengar sendiri, dia hendak merebut
kedudukan Poan Jiak tong. Oleh karena itu, aku harus dapat membujuknya baik-baik."
Si hwesio tua ini memang aneh, mendengar ucapan paman gurunya, dia malah
berkata. "Kalau memang dia mau menjadi ketua di sini, biarkan saja...."
Siau Po tertegun Tidak disangka hwesio ini demikian polos dan baik hati.
"Dia kan bukan hwesio di sini?" katanya kemudian "Kalau dia berhasil merebut
kedudukan ketua Poan Jik Tong, kemana muka kita kaum Siau Lim Sie harus ditaruh"
Tidak bisa! Lagipula, kalau kau mengijinkannya, malah kau telah berbuat dosa besar
terhadap Siau Lim Sie."
Berkata demikian, Siau Po menunjukkan wajah bersungguh-sungguh. sikapnya
menjadi penuh wibawa, Keponakan muridnya sampai terkejut melihatnya.
"Iya... iya.,." katanya ketakutan.
Siau Po segera berkata kembali.
"Sebentar kalau si nona sudah siuman, aku akan menasehatinya, Ketika itu mungkin
dia akan gusar dan menyerang aku. Sebagai pendeta, bukankah kita harus bermurah
hati terhadap sesamanya" Kalau dia bersikap kasar, mana boleh aku membunuhnya
atau melukainya bukan?"
Teng Koan menganggukkan kepalanya.
"Benar, benar." katanya, "Kita harus mengasihi sesamanya, itu memang tujuan suci
Sang Buddha kita." Siau Po pun ikut mengangguk.
"Sekarang begini," katanya, "Kau ajari dulu aku beberapa jurus ilmu Kim Na Jiu.
Dengan demikian, kalau dia menyerang aku, aku bisa menolong diriku sendiri atau
menotok jalan darahnya agar tidak bisa melukai aku, Dengan demikian, di dalam
ruangan Poan Jiak tong ini tidak akan terjadi pertumpahan darah. Kalau hal ini sampai
terjadi, celakalah Siau Lim Sie. Apa kata orang apabila seorang gadis muda berhasil
menghajar seorang hwesio angkatan Hui dari Siau Lim Sie" Bukankah itu merupakan
hal yang buruk sekali" Sebaliknya, juga merupakan hal yang buruk kalau seorang
hwesio Siau Lim Sie sembarangan menghajar seorang nona, bukan?"
"Benar." sahut Teng Koan yang kembali menganggukkan kepalanya.
Tapi dia masih sempat ragu-ragu sejenak, kemudian baru mengajarkan tiga jurus
ilmunya itu. Siau Po belajar dengan bersungguh-sungguh.
Sementara itu, tampak tubuh si nona berbaju hijau mulai bergerak-gerak sedikit Siau
Po sempat melihatnya dan dia tahu nona itu mulai mendusin, Karena itu, dia segera
menutupi wajah si gadis dengan jubahnya, Setelah itu dia kembali berlatih, Dia tidak
mau si nona melihatnya dalam keadaan berlatih.
Dalam mempelajari ketiga jurus tersebut, Siau Po mengalami sedikit kesulitan, sebab
dia mempunyai kelemahan yakni belum pernah mempelajari ilmu tenaga dalam.
Untunglah, tenaga dalam si nona juga belum terlalu berarti. Karena itu, dia dapat
mengimbangi si nona, itulah sebabnya dia harus menghapal ketiga jurus itu baik-baik.
Ada baiknya selama dalam istana, Hay Kong Kong pernah mengajarinya ilmu Kim Na
Jiu tersebut dan dia pun sering berlatih dengan raja cilik. Karena itu, sekarang ini
dia belum terlalu membutuhkan tenaga dalam.
"Mari kita coba!" ajak Siau Po setelah merasa sudah hafal, Dia mengajak Teng Koan
berlatih dengannya. "llmu itu tidak bisa kau coba atas diriku, Susiok," kata Teng Koan. "Kau tidak
mengerti tenaga dalam, Kalau kau coba atas diriku, mungkin kau sendiri yang akan
terpental mundur atau roboh, dan kemungkinan lenganmu bisa.,, bisa.,.,"
Siau Po tertawa. "Lenganku bisa patah?" tanyanya.
Teng Koan menganggukkan kepalanya, "Kira-kira begituIah," sahutnya. Tentu saja
sutit tidak berani berbuat demikian."
Siau Po tersenyum. "Baiklah." katanya, "Sekarang silahkan kau ke luar dulu, Si. nona sudah siuman, Aku
ingin menasehatinya...."
"lya," sahut Teng Koan yang langsung memberi hormat kepada paman gurunya
kemudian pergi ke luar lalu merapatkan pintunya kembali.
Siau Po langsung menyingkapkan jubah yang digunakannya untuk menutupi wajah si
nona, Gadis itu bermaksud membuka mulutnya memaki, tapi hal itu dibatalkannya
karena dia melihat pisau belati yang tajam mengancam di depan hidungnya, muIutnya
yang mungil hanya sanggup melongo saja.
Siau Po tertawa. "Nona kecil," katanya, "Kalau kau menurut kepadaku, tidak mungkin aku
mengganggumu walaupun hanya seujung rambut saja, Sebaliknya, kalau terpaksa, aku
akan menebas hidungmu setelah itu aku baru membebaskanmu dan mengusirmu dari
kuil ini. Siapa yang sudah kehilangan hidungnya, dia hanya dapat mencium bau yang
busuk. Tentunya kau tidak ingin hal ini sampai terjadi, bukan?"
Nona itu gusar sekali, Dia juga merasa mendongkol Namun dia tetap membungkam.
wajahnya tampak pucat pasi seakan tidak mengandung darah setitik pun.
"Nah, apakah kau mau mendengar perkataanku ?" tanya Siau Po.
"Lekas kau bunuh saja aku!" teriak si nona dalam murkanya.
Siau Po menarik nafas daIam-daIam.
"Kau begini cantik sehingga mirip dengan bunga dan rembulan, Mana mungkin aku
tega membunuhmu?" katanya, "Tapi kalau aku melepaskanmu, tentu siang dan malam
aku akan memikirkanmu, Mungkin aku akan mati tercekam perasaan rinduku padamu,
Bukankah hal itu buruk sekali dan bertentangan dengan kehendak Thian Yang Maha
Kuasa?" Dari pucat, wajah si nona berubah menjadi merah. Namun sekejap kemudian
berubah lagi, Tapi dia tetap membungkam.
Siau Po menatap wajah si gadis lekat-lekat.
"Ada satu jalan," katanya kemudian, "Kalau aku menebas putus hidungmu, tentu
wajahmu tidak akan cantik lagi dan aku pun tidak akan merindukanmu pula."
Nona itu memejamkan matanya rapat-rapat. tapi dari sela bulu matanya tampak air
mata mengucur dengan deras, melihat keadaan itu, hati Siau Po jadi lemas.
"Jangan menangis!" katanya, "Asal kau mau mendengarkan kata-kataku, aku lebih
suka memotong hidungku sendiri ketimbang melukaimu Bolehkah aku mengetahui
namamu?" Nona itu menggelengkan kepalanya. Air matanya masih terus mengalir.
"Oh, rupanya kau bernama Yau Tau Miau (Kucing yang menggelengkan kepalanya)."
kata Siau Po. "Tapi nama itu kurang enak didengar.,,."
Nona itu membuka matanya dan menatap Siau Po dengan pandangan tajam.
"Siapa yang mengatakan aku bernama Yau Tau Miau?" katanya sengit, Dia masih
menangis sesenggukan. "Kaulah si Yau Tau Miau."
Mendengar kata-kata si nona, hati Siau Po justru girang sekali, Selain dapat
mendengar suaranya yang merdu, berarti dia juga sudah berhasil memancing si nona
membuka mulutnya, Dia langsung tertawa lebar.
"Baik, baik!" katanya, "Akulah si Yau Tau Miau. Lalu, bagaimana aku harus
memanggilmu?" Kembali si nona menggelengkan kepalanya dengan air mata masih bercucuran.
"Aku tidak akan memberitahukannya kepadamu " bentaknya.
"Kalau kau tidak mau memberitahukannya, terpaksa aku harus mencari nama
untukmu." kata Siau Po. "Mungkin sebaiknya aku memanggilmu Apa Miau (Si kucing
gagu)." "Ngaco!" bentak si nona kembali, "Aku toh tidak gagu."
Siau Po memperhatikan si gadis dengan seksama, Dia mendapat kenyataan
Meskipun sedang gusar atau menangis, wajahnya tetap cantik dan menarik.
"Oh, nona yang baik!" katanya. "Siapakah she dan namamu yang mulia?"
"Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak sudi memberitahukannya kepadamu."
teriak si nona, "Aku tidak mau bicara."
"Jangan begitu, nona manis." kata Siau Po yang tidak memperdulikan kemarahan si
nona, "Sebenarnya ada yang hendak ku bicarakan denganmu, Kalau kau tidak
mempunyai she atau pun nama, bukankah pembicaraan kita menjadi canggung" Kalau
kau tetap tidak mau mengatakannya, baiklah, Aku terpaksa mencarikan nama untukmu,
Oh, nama apa ya kira-kira yang indah dan enak didengar?"
"Tidak! Tidak!" teriak si nona, "Aku tidak mau!"
"Oh, ada." kata Siau Po. Dia memang jahil dan tidak memperdulikan protes orang,
"Sebaiknya aku panggil kau Wi-bun Yau Si."
Nona itu tertegun. "Aneh!" sahutnya, "Aku toh bukan dari keluarga Wi."
Wi-bun Yau Si artinya si tukang menggeleng kepala dari keluarga Wi.
Kembali Siau Po menatap si nona, Kali ini dia berkata dengan serius.
"Raja langit di atas, Ratu bumi di bawah, dengan ini aku berjanji apa pun yang akan
terjadi, baik di atas gunung golok, atau pun dalam kuali minyak, atau dihukum mati
seluruh keluarga, biar bagaimana pun aku harus mengambil kau sebagai istriku, Iya,
tidak boleh tidak!" Nona itu terkejut setengah mati, Dia sampai terpaku, Sumpah itu hebat sekali, Dan
kata-kata Siau Po yang terakhir membuatnya mendongkol.
"Cis!" Dia meludah dan wajahnya menjadi merah padam
Siau Po juga mendelikkan matanya seraya berkata dengan nada ngotot,
"Aku she Wi." katanya, "Karena kau telah ditakdirkan menjadi jodohku, maka kau pun
terhitung kelurga Wi. Aku tidak tahu siapa she dan namamu karena kau hanya
menggelengkan kepala kalau ditanya, itulah sebabnya aku memanggilmu Wi-bun Yau
Si." Nona itu memejamkan matanya.
"Kau gila." katanya sengit, "Di dalam dunia ini, aku belum pernah mendengar
seorang hwesio berbicara dengan kata-kata seperti itu. Kau mengoceh yang tidak-tidak,
Kau toh orang yang sudah menyucikan diri, mengapa kau selalu bicara tentang
pernikahan" Apakah kau tidak takut mendapat hukuman dari Pou Sat yang Agung"
Kalau kau mati, pasti kau akan dimasukkan ke dalam neraka yang ada delapan belas


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lapisannya." Siau Po merangkapkan sepasang tangannya dan menjatuhkan diri berlutut.
Si nona mendengar suara seakan ada orang yang menggabruk terjatuh, Dia merasa
heran, karenanya dia membuka mata, Dia melihat Siau Po sedang berlutut menghadap
ke jendela dan kemudian dia mendengar si bocah berkata.
"Buddha kami, Ji Lay Hud, Koan Si Im Pou Sat, Giok Hong Tayte, Bun Cu Pou Sat,
Pou Hian Pou Sat, keempat Kim Kong Agung, Hakim Giam Ong, para hantu kecil Bu
Siang, mohon dengarkan! Aku Wi Siau Po harus menikahi nona ini, tidak boleh tidak,
Meskipun aku harus dimasukkan ke dalam neraka delapan belas lapis, dipotong
hidungku, digorok leherku, dicabut lidahku, atau tidak dapat menitis lagi untuk laksaan
kali, aku tidak perduli semua itu. Di masa hidup, tidak ada hal apa pun yang aku
takuti, kalau sudah mati juga sama saja, pokoknya, aku harus mengambil nona ini menjadi
istriku." Tiba-tiba saja timbul perasaan takut dalam hati si nona, karena dia melihat Siau Po
demikian bersungguh-sungguh, bukan bergurau atau bermain -main lagi seperti
sebelumnya. "Sudah, sudah!" katanya beruIang-uIang, Kemudian dia menambahkan dengan nada
penasaran. "Kau boleh bunuh aku, Kau boleh hajar aku setiap hari, Pendek kata,
walaupun aku harus mati penasaran aku tetap tidak sudi menikah denganmu."
Siau Po berdiri. "Baiklah." kata Siau Po. "Tidak apa-apa kalau kau menolak sekarang, Bagiku,
sekarang atau pun delapan puluh tahun kemudian, sama saja, Aku tetap akan
menikahimu Kalau sampai akhirnya aku tetap tidak berhasil mengambil kau menjadi
istri, aku akan mati penasaran, mataku tidak bisa terpejamkan."
"Aih! Kau benar-benar celaka!" seru si nona, "Mengapa kau menghina aku
sedemikian rupa" Lihat saja! Pasti ada kesempatan bagiku untuk membunuhmu Iya,
aku akan membunuhmu terlebih dahulu, kemudian aku baru membunuh diri."
"BoIeh saja kau membunuh aku." sahut Siau Po seenaknya, "ltu yang dinamakan istri
membunuh suami, Kau tahu, kalau aku tidak menjadi suamimu aku tidak akan mati
dengan cara demikian." Ketika mengucapkan kata-katanya yang terakhir, suara Siau Po
agak bergetar dan urat-urat di dahinya menonjol.
Si nona menjadi ketakutan, cepat-cepat dia memejamkan matanya dan tidak berani
melihat lagi. Siau Po maju menghampirinya beberapa tindak, Tiba-tiba dia merasa tubuhnya
menjadi lemas, kaki dan tangannya gemetar MuIutnya dibuka seakan ingin mengatakan
sesuatu, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang sanggup diucapkannya, suaranya lebih
mirip dengan rintihan binatang.
Dia mengulurkan kedua tangannya seprti hendak menyentuh si nona, matanya
menatap tajam. Nona itu semakin takut melihat tampang Siau Po. Tanpa sadar dia menjerit perlahan.
Siau Po sendiri kelihatannya juga terkejut Dia menyurut mundur dua tindak,
kemudian terkulai di atas tanah, tapi pikirannya masih sadar.
-- Ketika berada dalam istana, aku sering menyebut Pui Ie dan Kiam Peng sebagai
istriku. Ketika itu hatiku bangga sekali dan aku selalu tertawa senang, Rasanya aku
bebas dan leluasa sekali, Aku bisa memeluk mereka bahkan mencium mereka kalau
aku mau. Tapi wanita ini, aneh sekali.,., Bukankah dia dalam keadaan tertotok dan tidak
berdaya" Mengapa aku merasa jeri terhadapnya" Mengapa aku merasa sungkan"
Sampai-sampai tangannya pun tidak berani kusentuh. Sungguh gila! --, demikian
pikirnya dalam hati, Tanpa sadar dia menjerit "Edan!"
Nona itu heran mendengar suara Siau Po sehingga dia membuka matanya dan
menatap dengan tajam. Wajah Siau Po menjadi merah padam saking jengahnya.
"Aku memaki diriku sendiri yang seperti hantu cilik tanpa nyali, Aku bukan mencaci
engkau.,,." "Nyalimu kecil, aku justru merasa nyalimu terlalu besar sehingga kau selalu lancang
melakukan hal apa pun tanpa dipikirkan lagi. Kalau orang seperti engkau dikatakan
bernyali kecil, maka langit bisa ambruk dan terjadi gempa bumi yang dahsyat"
Mendengar kata-katanya, tiba-tiba Siau Po berjingkrak bangun.
"Baik." teriaknya, "Aku memang bernyali besar Aku akan membuktikannya dengan
membuka pakaianmu sehingga kau menjadi telanjang bulat."
Nona itu terkejut setengah mati, Hampir saja dia semaput mendengar ucapan Siau
Po. Kembali Siau Po menghampirinya, Dia menatap gadis itu lekat-lekat dan melihat
sinar matanya yang mengandung kekhawatiran serta ketakutan.
"Sudahlah! Sudahlah!" katanya kemudian, "Biar jadi apa pun, aku suka mengalah
terhadapmu" Dia batal mewujudkan ancamannya, Malah dia berkata dengan nada
sabar. "Seumur hidup, aku paling takut istri, karena itu, sebaiknya aku bebaskan saja
kau...." Nona itu memperhatikan dengan tajam, Hilang sudah rasa takutnya, yang tertinggal
hanya rasa marah. "Kau,., kau...." Ketika di kota, apa saja yang kau bicarakan dengan para wanita busuk
itu" Bukankah kau mengatakan bahwa kau dan kakakku orang-orang entah apamu"
Bukankah kau hendak menawan aku dan membawaku pulang ke rumahmu" Kau
benar-benar manusia busuk!"
Siau Po tertawa terbahak-bahak.
"Segala wanita busuk itu, apakah yang mereka ketahui?" katanya, "Kelak kalau aku
sudah menikah denganmu, biarpun laksaan pelacur itu berbaris di hadapanku, tidak
akan aku Wi Siau Po meliriknya walau sekilas pun. pokoknya sepanjang hari, selama
dua puluh empat jam, aku hanya memperhatikan kau seorang yang aku sayangi."
Nona itu tampak cemas kembali.
"Lagi-Iagi... kau memanggiI... aku sebagai istri." teriaknya marah. "Untuk
selamalamanya aku tidak sudi berbicara lagi denganmu."
Siau Po malah senang mendengar kata-katanya.
"Baik, baik!" katanya cepat, "Aku tidak akan menyebutnya lagi, Aku hanya akan
mengingatnya saja dalam hati."
"Di dalam hati sekali pun aku larang kau menyebutnya." kata si nona.
Si bocah iseng jadi tertawa.
"Kalau aku menyebutkan dalam hati, mana kau bisa tahu?"
"Mengapa aku tidak tahu" Dari mimik wajahmu yang luar biasa anehnya itu saja, aku
pasti bisa mengetahuinya."
"Tentang wajahku ini, asalnya memang sudah begini. Mungkin ketika baru dilahirkan
saja, aku sudah tahu kelak akan menikah denganmu." sahut Siau Po sambil tersenyum
cengengesan. Nona itu memejamkan matanya kembali Tidak sudi dia melayani Siau Po berbicara
lebih jauh. "Eh, aku toh tidak memanggilmu istriku lagi?" kata Siau Po. "Mengapa kau malah
membungkam?" "Huh kau masih berani menyangkal" teriak si nona, "Baru saja kau mengatakan kau
sudah mengetahui kelak akan,., ah! Pokoknya kau tahu sendiri apa yang telah aku
katakan." "Baik, baik!" kata si bocah iseng, "Aku tidak akan menyebutnya lagi, Aku hanya ingin
mengatakan bahwa kelak aku akan menjadi suamimu."
Nona itu gusar seka!i. Tetapi dia tidak memberikan komentar apa-apa. Bahkan
selanjutnya, apa pun yang dikatakan Siau Po untuk menggodanya, ia tetap
membungkam. Kewalahan juga si pemuda iseng itu, pernah terlintas dalam benaknya untuk berkata
"Kalau kau tetap membungkam, aku akan mencium pipimu yang halus." Tetapi
kemudian dia mengurungkan pikiran itu. Dia menarik nafas panjang dan berkata dengan
nada perlahan. "Aku hanya ingin mengetahui nama dan she mu. Setelah itu aku akan
membebaskanmu." "Kau bohong." kata si nona. "Kau hanya ingin memperdayai aku."
"Di kolong langit ini, Semua orang dapat aku tipu, tapi engkau tidak." sahut Siau Po.
"Kata-kataku ini ibarat pepatah "Sekali diucapkan, seekor kuda pun sukar
mengejarnya." Malah kalau istriku yang manis tidak sudi bicara, jangan kata kuda mati,
kuda hidup pun sulit menyusulnya."
Kata-kata yang diucapkan Siau Po memang selalu aneh-aneh, pepatah apa pun
yang pernah didengarnya selalu diubahnya seenaknya sendiri Dan si nona pun menjadi
tertegun karenanya. "Apa artinya kuda mati sukar mengejarnya dan kuda hidup pun sulit menyusulnya?"
"Itulah ujaran yang diajarkan pihak Siau Lim Pay kami," sahut Siau Po. "Pokoknya
aku tidak mendustaimu, Coba kau bayangkan saja, satu-satunya pikiran yang ada
dalam hatiku ini hanya mengharap cucumu kelak akan memanggil kakek kepadaku
Kalau hari ini aku membohongimu, mungkin anakmu saja tidak mau memanggil aku
sebagai ayah, apalagi cucumu."
MuIa-mula si nona bingung mendengar ucapan Siau Po yang aneh itu. Namun
akhirnya dia sadar, pulang pergi, Siau Po tetap menyebutnya sebagai istri. Hanya dia
menyatakannya dengan cara yang tidak langsung saja.
"Aku juga tidak berharap kau membebaskan aku, kau sudah mempermalukan aku
sedemikian rupa, aku tidak ingin hidup lebih lama lagi, Kalau kau memang bersedia
berbuat kebaikan, bunuh saja aku."
Siau Po memperhatikan batang leher. di sana ada tanda merah bekas luka senjata
tajam, Dia jadi tidak enak hati, Karena itu, dia langsung menjauhkan dirinya berlutut
dan menyembah sebanyak empat kali di hadapan si nona, Setiap kali dahinya sampai
membentur lantai. "Maaf, nona!" katanya, "Aku telah memperlakukan engkau dengan buruk."
Tidak cukup hanya dengan berlutut serta menganggukkan kepalanya, Siau Po malah
menampar pipi kiri dan kanannya sendiri berulang kali sehingga terdengar suara yang
keras dan kedua belah pipinya menjadi merah serta bengap.
"Jangan bersusah hati, nona!" katanya kemudian. "Aku memang anak yang kurang
ajar, aku patut dihajar"
Selesai berkata, Siau Po berdiri, Kemudian dia pergi ke ambang pintu dan berkata
dengan lantang. "Eh, keponakan muridku, aku ingin membebaskan totokan nona ini, ToIong kau
katakan jalan darah mana yang harus ku totok!"
Sejak tadi Teng Koan memang terus berdiri menunggu di depan pintu, Dia memiliki
tenaga dalam yang hebat Meskipun Siau Po dan si nona selalu bicara dengan perlahan,
tapi dia dapat mendengar semuanya dengan jelas, karena itu dia percaya paman
gurunya itu memang pandai membujuk si nona.
Bahkan kemungkinan paman guru yang kecil itu masih mempunyai kepandaian lain
yang kelak akan berharga baginya, Ketika mendengar pertanyaan Siau Po, dia segera
menjawab. "Nona itu tertotok pada jalan darah Thian Ki di kakinya," sahutnya cepat "Karena itu
kau harus menotok dua jalan darah di pahanya, yakni jalan darah Ki bun dan Hiat Hay.
Asal kedua jalan darah itu diurut, nona itu akan segera terbebas dari totokannya."
"Di mana letaknya kedua jalan darah Ki Bun dan Hiat Hay?" tanyanya, "Di sini," sahut
Teng Koan sambil menunjukkan jalan darah yang dimaksud sekaligus mengajarkan
cara mengurutnya, "Susiok tidak mengerti ilmu totokan, usaha Susiok itu akan berjalan
lambat, tapi asal kau mengurutnya perlahan, nanti jalan darah nona itu pasti akan bebas
juga." Siau Po mengangguk, kemudian dia kembali ke dalam kamar.
"Tidak perlu kau membebaskan jalan darahku," kata si nona yang dapat mendengar
jelas penjelasan Teng Koan tadi. "Aku larang kau menyentuh tubuhku." Terang si nona
tidak sudi dirinya disentuh oleh Siau Po, meskipun hanya bagian kakinya saja.
Siau Po pikir memang kurang pantas kalau dia menyentuh bagian kaki si nona
apalagi mengurutnya, Dia yakin, meskipun tujuannya baik, nona itu tetap akan
mencurigainya dan menganggapnya ceriwis .
-- Akan tetapi, dia perlu dibebaskan, --, pikirnya kemudian -- Aku juga tidak boleh
kehilangan kesempatan yang baik ini, tapi si nona ini berhati keras, Aku ingin
membebaskannya, tapi bagaimana kalau setelah bebas, dia membenarkan kepalanya
ke dinding" Aku tentu tidak dapat mencegahnya. Dengan demikian, hilang pula
keturunan anak serta cucuku! -"Kecuali dengan urutan, apakah ada cara lain?" tanyanya kemudian kepada Teng
Koan. "Banyak jalannya," sahut hwesio yang ditanya.
"Umpamanya dengan kibasan lengan baju untuk menotok dari jarak jauh, Tapi
Susiok tidak mengerti ilmu Tan Ci Sin Kang, tentu sulit melakukannya, Coba tunggu
sebentar, Sutit akan memikirkan cara yang lainnya lagi...."
Sebenarnya, asal dia sendiri yang mengibaskan lengan bajunya dan menotoknya
dari jauh, tentu totokan nona itu akan terbebaskan Tapi hwesio yang satu ini memang
aneh, sedangkan paman gurunya terus mendesaknya, Dia merasa merupakan
kewajiban baginya untuk menjawab pertanyaan paman gurunya itu.
Sedangkan kalau paman gurunya itu harus belajar ilmu menotok dulu, Mungkin akan
memerlukan waktu satu tahun baru cukup mahir menggunakan nya.
Siau Po memperhatikan keponakan muridnya, dia heran sekali, Teng Koan berdiam
diri cukup lama untuk berpikir Karena itu, dia menggunakan kesempatan itu untuk
menatap si nona. Dia merasa aneh mengapa dia harus merasa segan terhadap gadis
yang satu ini. Kening nona itu tampak berkerut, tampaknya dia sedang merasa sedih, wajahnya
mendatangkan perasaan haru serta kasihan
Dengan membawa kayu Bok Gi (Biasa digunakan untuk membaca doa sambil
diketuk-ketukkan), Siau Po menghampiri nona itu dan berkata.
"Rupanya pada penitisan yang terdahulu, aku Wi Siau Po pernah berhutang budi
kepadamu, mungkin itulah sebabnya aku menjadi penakut di depanmu, sekarang aku
ingin menyatakan bahwa aku takluk kepadamu, Aku ingin membebaskan totokanmu,
tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak berniat mengambil keuntungan darimu dalam
hal ini." Sembari berkata, dia membuka jubahnya untuk digunakan sebagai penutup kaki si
nona lalu, mengetuknya perlahan-lahan sebanyak beberapa kali.
Nona itu menatap Siau Po dengan tajam, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.
"Bagaimana?" tanya Siau Po setelah mengetuk-ngetuk, "Apakah sudah ada rasa nya
?" Si nona tidak menjawab pertanyaan Siau Po. Dia malah memakinya.
"Kau.,, kau... hanya pandai menggunakan kata-kata busuk seperti buaya darat."
dampratnya, "Hal lainnya kau tidak sanggup sama sekali."
Mendongkol juga hati Siau Po mendengar makian si nona, Dia tidak mengerti tenaga
dalam Meskipun totokannya sudah tepat, tapi hasilnya tidak berupa kenyataan itulah
sebabnya si nona mengejeknya, dia mengira Siau Po hanya pandai membual Dalam
keadaan sengit, Siau Po menotok lagi beberapa kali dengan keras.
"Aduh!" jerit si nona. "Aduh!"
"Kenapa?" tanya Siau Po kaget, "Sakit?"
"Aku... aku.,." kata nona itu terus berdiam diri lagi.
Siau Po menotoknya kembali Kali ini perlahan-lahan. Tampak tubuh si nona bergerak
sedikit, seperti orang yang menggigil kedinginan.
Melihat hal itu, senang sekali hati Siau Po.
"Bagus!" serunya, "Berhasil! Siau Lim Pay memiliki tujuh puluh dua macam ilmu yang
istimewa, tapi dengan ditambahnya ilmu totokanku ini, jumlahnya menjadi tujuh puluh
tiga macam, ilmu ini merupakan ciptaan Hui Beng Sian Su dan dinamakan Bok Gi Tui
Kay Hiat Sui Kang (Totokan dengan kayu Bok gi sehingga bebas merdeka)
"Hmm!" Puas sekali hati si anak muda sehingga dia mengeluarkan kata-katanya
barusan, Tepat pada saat itulah dia merasa pinggangnya sakit lalu tubuhnya tidak bisa
digerakkan lagi sehingga dia hanya berdiri terpaku.
Sebaliknya si nona sudah berjingkrak bangun, Setelah itu dia merampas pisau belati
dari tangan Siau Po lalu digerakkannya ke arah dada si anak muda.
Bukan main terkejutnya hati Siau Po melihat keadaan itu.
"Aduh!" jeritnya, "Kau membunuh suamimu!" Dan dia roboh terkulai di atas tanah.
Nona itu menjejakkan kakinya dan melompat ke ambang pintu.
"Li sicu!" teriak Teng Koan yang sempat melihat dan mendengar semuanya dengan
jelas, "Kau membunuh paman guruku?"
Nona itu tidak memberi kesempatan kepada hwesio itu untuk menghadang atau
menghalangi jalannya, Baru saja Teng Koan bermaksud menghadangnya, dia sudah
menyerangnya dengan gencar Golok Liu Yap To yang ada di tangan kirinya sudah
dipindahkan ke tangan kanan.
Teng Koan menghindarkan diri, dia menangkis dengan kibasan lengan bajunya,
Nona itu langsung merasa kakinya menjadi lemas kemudian roboh di atas lantai.
Teng Koan sendiri langsung menghambur ke dalam kamar untuk melihat keadaan
paman gurunya. Ternyata pisau belati Siau Po sendiri sudah menancap di dada kanan
si anak muda, Tanpa menunda waktu lagi, dia segera melancarkan beberapa totokan
untuk menghentikan pendarahannya.
"Terima kasih kepada Sang Buddha!" puji hwesio itu sambil mencabut pisau belati
tersebut. Darah pun bermuncratan seketika dari luka Siau Po. untung tidak terlalu
banyak karena jalan darahnya sudah ditutup oleh Teng Koan.
Hwesio itu langsung membuka pakaian si anak muda, Diperiksanya luka Siau Po
yang tidak seberapa Iebar, sedangkan dalamnya hanya satu dim. Kembali dia
mengucapkan puji syukurnya,
Siau Po mengenakan baju mustika, seandainya pisau belatinya itu tidak tajam sekali,
tentu dia tidak akan terluka, itulah sebabnya mengapa dia tidak tertuka parah hanya
darahnya mengalir dan sakit saja, Tapi dia menyangka jiwanya masih terancam bahaya


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga kembali dia berkoar-koar.
"Mencoba membunuh suami sendiri! Mencoba membunuh suami sendiri! Aduh!"
Si nona rebah tidak berdaya, air matanya sudah mengalir dengan deras membasahi
pipinya. "Hwesio tua, aku telah membunuhnya." kata-nya. "Cepatlah kau bunuh aku untuk
membalaskan sakit hatinya agar aku dapat menggantikan selembar jiwanya."
"Aih. Li sicu!" kata Teng Koan, Dia merasa menyesal sekali atas kejadian itu
sehingga dia menarik nafas panjang, "Paman guruku ini baik sekali hatinya, Dia ingin
menolongmu, tapi kau tidak menyadarinya, kau telah tersesat, mengapa kau
membunuh orang" Oh, kau sungguh keterlaluan!"
"Aku... aku akan mati...." Terdengar suara keluhan Siau Po. "Ah! Dia tega sekali
membunuh suaminya sendiri."
Teng Koan terkejut setengah mati, Tapi dia segera tersadar Cepat-cepat dia lari ke
luar untuk mengambil obat dan sekejap kemudian dia sudah mengobati luka pamannya
itu. "Jangan khawatir, Susiok!" kata nya. "Kau bermurah hati, Dari bahaya kau akan
memperoleh keselamatan Buddha kami bermata tajam, tidak mungkin kau dibiarkan
mati muda." Siau Po menarik nafas panjang.
"Kau... kau lepaskan dia!" katanya seperti mengucapkan pesan terakhir "Dia sangat
membenci aku, benci sampai mati."
"Bebaskan dia?" tanya Teng Koan heran, "Tapi, bagaimana kalau luka Susiok sukar
disembuhkan atau sampai menutup mata?"
Siau Po sangat cerdas, mendadak dia mendapat pikiran baru.
"Kesinikan telingamu!" katanya perlahan sembari memberi isyarat, lalu dia menjerit.
"Aduh! Mati aku! Mati aku!"
Teng Koan menghampiri paman gurunya sampai dekat sekali untuk memasang
telinganya. "Kau bebaskan dia!" kata Siau Po dengan berbisik "Tapi jangan biarkan dia ke luar
dari kamar ini. Kau harus berhadapan dengannya sampai ia mengeluarkan seluruh
kepandaiannya, baru... baru.,.,"
"Baru bagaimana?" tanya Teng Koan,
"Baru,., baru,.." sahut si paman guru yang merasa tenaganya menjadi lemah sekali
dan nafasnya kembang kempis, "Kau turuti saja pesanku, Cepat!"
Melihat keadaan sang paman guru yang demikian mendesak, meskipun Teng Koan
masih belum mengerti sepenuhnya maksud si bocah, tapi dia toh menuruti pesan nya.
Dia segera menoleh kepada si nona dan dengan sekali kibasan lengan baju dia
membebaskan totokan nona itu.
Sementara itu, si nona berpikir keras, Dia melihat Siau Po berkasak-kusuk dengan si
hwesio tua. Dia menerka, di saat menjelang kematian, anak muda itu pasti akan menggunakan
akal busuk untuk menghadapinya, Kalau tidak mengapa dia dibebaskan Dia ingin
melompat bangun tapi ternyata tidak ada kemampuan nya. Dia hanya bergerak satu kali
kemudian roboh kembali Hal ini karena darahnya belum dapat berjalan dengan lancar.
Teng Koan menatap si gadis dengan mulut berkomat-kamit membaca doa. Nona itu
takut sekali jadinya. "Lekas kau pukul aku saja sampai mati!" katanya takut tapi nekat "Menyiksa orang
dengan cara demikian bukanlah perbuatan orang gagah."
Kembali Teng Koan mengucapkan pujiannya.
"Paman guruku mengatakan bahwa sekarang bukan saatnya untuk melepaskan kau
pergi." katanya. "Dengan demikian, aku pun tidak boleh mem-bunuhmu."
Nona itu kebingungan wajahnya pun jadi merah padam. Hatinya juga dilanda
ketakutan Dia ingat apa yang dikatakan Siau Po.
- Hwesio cilik ini jahat sekali, Dia pernah mengatakan, biar bagaimana pun dia akan
mengambil aku sebagai istrinya, Kalau tidak, dia akan mati penasaran Mungkinkah,.,
sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, dia ingin menikah denganku"
Dengan demikian, bukankah aku telah menjadi istrinya" -Diam-diam si nona memperhatikan keadaan disekitarnya, kemudian dengan
perlahan-lahan dan hati-hati dia mengambil goloknya lalu langsung ditebaskan ke
lehernya sendiri. Gerakan si nona sangat cepat, tapi Teng Koan memang lihay, Dia sempat melihat
kenekatan si nona, dia langsung mengibaskan lengan baju kanannya serta
mengebutkan lengan bajunya yang satu lagi ke arah wajah si nona dalam waktu yang
bersamaan Si nona terkejut sehingga tanpa sadar mencelat ke belakang, sedangkan
goloknya terlepas dari genggaman dan terpental sehingga menancap di tiang penglari,
Teng Koan mendongakkan kepalanya melihat ke arah golok tersebut.
Si nona segera menggunakan kesempatan baik di saat orang mendongakkan
kepalanya, Dia segera mencelat untuk menghambur ke luar ruangan itu.
Teng Koan segera mengulurkan tangannya untuk mencegah, tapi si nona sudah
langsung menyerangnya dengan kelima jari tangannya yang membentuk seperti cakar
Tapi masih sempat si hwesio menangkap tangan nona itu sambil berkata.
"ln Yan Kwe Gan (Gumpalan asap lewat di depan mata)! inilah ilmu keluarga Cio dari
Kang Lam." Nona itu tidak menghiraukan kata-kata orang, dia hanya mengangkat kakinya untuk
menendang perut orang di hadapannya itu.
Teng koan mengempiskan perutnya, tubuhnya membungkuk sedikit Dengan
demikian dia berhasil menyelamatkan dirinya, Bahkan sembari meIakukannya, dia
berkata. "Khong Kok Ciok Im (Lembah kosong menggaungkan suara)! ilmu ini berasal dari Cin
Yang di Shoa Say, Entah Si To Jin masih mempunyai sebutan lainnya tidak, lolap yang
sudah tua kurang banyak pendengarannya, Nona, tolong kau jelaskan, Tahu-kah kau
nama ilmu itu yang sebenarnya?"
Nona itu tidak sudi melayani orang bicara, Kembali dia menyerang. Tangan dan
kakinya digerakkan, dia ingin membuat hwesio itu kerepotan.
Kewalahan juga Teng Koan dibuatnya, Dia sampai tidak sempat menyebutkan setiap
jurusnya, dia hanya sempat mengelakkan diri atau menangkis. Tapi disamping itu, dia
mengingat setiap jurusnya baik-baik.
Semua serangannya mengalami kegagalan Dia jadi mendongkol pikirannya menjadi
kacau, Akhir-nya, bukan menyerang, namun malah terkulai lemas dan tidak sadarkan
diri lagi. "Aih! Nona ini benar-benar tamak akan ilmu silat." kata Teng Koan, "Dia telah
mempelajari tipu-tipu silat dari banyak partai, Tapi dia tidak mengerti ilmu tenaga
dalam, Dengan demikian, dia tidak akan bertahan lama apabila menghadapi Iawan. Nona, kau
harus belajar dari awal lagi, Kau telah kehabisan tenaga, sekarang apabila aku
menyadarkan dirimu dan kau mengajak aku berkelahi lagi, kau bisa terluka dalam, Hal
ini berbahayasekali, Karena itu, sebaiknya kau beristirahat saja, Bagaimana pikiranmu,
Li sicu" Harap kau jangan salah paham, jangan anggap aku si hwesio tua sengaja
membiarkanmu dalam keadaan pingsan, Ha ha ha ha! Nona, dasar aku, si hwesio tua
ini sudah pikun, Bukankah kau sedang tidak sadarkan diri" Bagaimana kau bisa
mendengarkan kata-kataku" Dasar tolol, dari tadi aku bicara terus!"
Setelah itu, Teng Koan meninggalkan si nona untuk menghampiri Siau Po. Di sisi
Kisah Dua Naga Di Pasundan 3 Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long Si Tangan Sakti 8

Cari Blog Ini