Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Pedang Sinar Emas (Kim Kong Kiam) Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Sumber DJVU : BBSC Convert & Editor : Rif Zyr (thanks)
Final edit & pdf Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi-info/
Jilid I "ANG BI TIN".! Ang bi tin".!"
Terdengar seruan berkali kali di dalam kota Tong seng kwan pada suatu senja yang sunyi. Ketika seruan ini terdengar untuk pertama kali, keadaan menjadi geger. Orang orang berlarian dengan wajah pucat, pergi menyembunyikan diri, seperti anak anak ayam mendengar suara burung rajawali terbang di atas kepala. Tak lama kemudian, kota Tun seng kwan menjadi sunyi dan mati, seakan akan tiada seorangpun penghuninya. Pintu pintu rumah tertutup rapat, bahkan banyak toko warung tidak sempat ditutup dan dibiarkan begitu snja, ditinggalkan oleh pemiliknya masing masing. Dari rumah rumah yang ada anak kecilnya, tiap kali terdengar tangis anak anak, segera disusul oleh suara orang tua. "Sst, diam... suara ini terdengar amat gelisah dan mulut anak kecil itu lalu ditutup dengan tangan oleh orang tuanya.
"Ang bi tin?" kini sebutan ini hanya terdengar dalam bisikan saja seolah olah orang merasa takut kalau kalau menyebutnya saja akan mendatangkan bencana. Apa dan siapakah Ang bi tin"
Ang bi tin berarti Barisan Alis Merah yang pada masa cerita ini terjadi, merupakan segerombolan manusia iblis yang amat ditakuti.
"Ang bi tin, mereka muncul lagi. Kini siapakah yang hendak mereka jadikan korban ?" Terdengar suara orang bicara di dalam suasana yang sunyi mencekam itu. Suara ini diucapkan dengan tenang oleh seorang laki laki yang berdiri di depan pintu rumahnya, ia berusia tigapuluh tahun lebih, berwajah sederhana dan tampan, beralis tebal dan hitam dan sepasang matanya menyatakan bahwa ia memiliki keberanian dan berhati juiur. Inilah Song Hak Gi, bekas perwira yang kini telah mengundurkan diri setelah pemerintah boneka Goan tiauw berdiri. Dalam Keadaan amat miskin, Song Hai Gi kini tinggal di kota Tong Seng kwan bersama isterinya dan seorang putranya yang baru berusia enam tahun. Tadi ketika ia mendengar di sebtnya Ang bi tin oleh orang orang yang berlari larian, ia segera menyuruh isteri dan puterapya masuk ke dalam rumah. Akan tetapi dia sendiri tidak bersembunyi, bahkan lalu diam diam menyiapkan peadangnya disembunyikan di bawah bajunya yang penuh tambalan. Dengan tenang akan tetapi agak pucat, bekas perwira she Song ini lalu berdiri di depan pintu rumahnya yang buruk dan kecil. Ia tidak akan merasa aneh apabila gerombolan Ang bi tin ini datang untuk menyerangnya. Sudah banyak bekas perwira yang benar benar berjiwa patriot yang tidak mau menjadi tentara boneka dari Kerajaan Goan tiauw yang tunggangi oleh Bangsa Mongol, dibunuh oleh gerombolan manusia iblis ini.
Song Hak Gi adalah orang gagah, ia tidak sudi untuk bersembunyi memperlihatkan rasa takutnya terhadap Ang bi tin yang diketahuinya terdiri orang orang Mongol dan kaki tangannya itu. Pula, ia juga sudah cukup maklum akan kelihaian Ang bi tin, bahwa gerombolan ini disokong sepenuhnya oleh pemerintah dan mempunyai banyak sekali kaki tangan dan mata mata. Biarpun ia bersembunyi, tetap saja mereka akan dapat mengetahui di mana tempat tinggalnya.
"Seandainya mereke benar datang mencariku, aku lebih suka mati dengan pedang di tangan dari pada mati disembelih seperti seekor babi, demikian bekas perwira yang gagah perkasa ini berkata di dalam hatinya.
Suasana yang amat sunyi itu lebih menggelisahkan hati daripada kalau ia benar benar melihat gerombolan itu muncul dengan golok besar mereka yang amat terkenal.
"Ibu, biarkan aku keluar," tiba tiba ia mendengar suara puteranya yang bening dan nyaring suaranya. Song Hak Gi tersenyum. Putera tunggal nya Song Bun Sam, amat disayanginya dan ia merasa bangga melihat puteranya memiliki keberanian.
"Jangan. Sam ji, ada Ang bi tin " tidak takutkah kau?" bisik ibunya yang terdengar juga oleh bekas perwira itu.
"Aku tidak takut, bersama ayah aku tidak takut siapan pun juga," Bun Sam menjawab dengan tegas dan larilah anak itu keluar menyusul ayahnya.
"Sam ji?" ibunya memanggil dan menyusul pula keluar.
Pada saat itu juga, Song Hak Gi mendengar suara bertiup keras dibarengi berkelebatnya tiga sinar putih ke arahnya.
"Bun Sam cepat kau masuk ke dalam bersama ibumu!" Pererwira ini masih sempat berteriak kepada putranya yang sudah muncul di ambang pintu dan secepat kilat ia lalu mengelak ke kiri sambil mencabut pedangnya. Tiga sinar putih itu seperti yang diduganya, adalah tiga batang piauw (senjata rahasia) yang melayang dengan cepat sekali ke arah nya. Hak Gi menggerakkan pedangnya.
"Traang".!" Sebatang piauw yang tadi nya melayang ke arah rumahnya di mana puteranya masih berdiri, terkena tangkisan dan terlempar jauh.
"Sam ji, cepat bawa ibumu lari dari pintu belakang!" Song Hak Gi kembali berseru kepada puteranya. Sebelum Bun Sam dapat menjawab, ibu nya telah menarik tangan anak itu dan dibawa lari masuk ke dalam kamar lagi. Muka nyonya muda ini pucat dan tubuhnya menggigil ia menahan isaknya ketika mendengar suara senjata beradu di luar rumah.
"Sam ji, kau berdiam di sini saja aku hendak membantu ayahmu," kata nyonya muda ini. Sebenarnya dia hanya mengerti sedikit saja ilmu silat, akan tetapi melihat suaminya agaknya diserang oleh gerombolan Ang bi tin, nyonya muda ini menjadi nekat. Dengan sebatang pedang di tangan, berlarilah ia keluar dari rumahnya yang kecil.
Sementara itu, sebagaimana telah diduga oleh Hak Gi, pelempar senjata rahasia tadi setelah melihat serangan gelap mereka gagal, lalu melompat keluar. Mereka ini terdiri dari tujuh orang. Bermacam macam pakaian mereka, ada pakaian orang Mongol, ada orang berpakaian seperti orang Han akan tetapi alis mereka semua dicat merah.
"Ha, ha, ha, Song ciangkun, marilah kau kami angkat menjadi perwira di kerajaam Giam lo Ong. Ha, ha, ha!" terdengar seorang di antara mereka berseru sambil tertawa tawa.
"Anjing penjilat Bangsa Mongo! Kalian kira aku Song Hak Gi takut menghadapi anjing anjing hina dina seperti kau ini?" bentak Hak Gi yang segera memutar pedangnya, maju menyerang orang yang bicara tadi. Akan tetapi tujuh batang golok berkelebat dan sebentar saja ia dikurung oleh tujuh orang lawannya itu.
Song Hak Gi bertempur dengan hati gelisah, ia bukan merasa takut dan mengkhawatirkan keadaan diri sendiri, akan tetapi ia merasa gelisah kalau memikirkan putera dan isterinya. Ternyata bahwa tujuh orang manusia iblis itu memilik ilmu golok yang amat kuat. Kepandaian silat mereka ini ternyata tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya dan ia maklun bahwa mereka masih mempunyai banyak kawan kawan yang belum muncul. Kalau sampai ia roboh, bagaimanakah nasib anak isterinya "
Tiba tiba terdengar teriakan sengit dan isterinya melompat maju dengan pedang di tangan! Hak Gi merasa terkejut dan terharu, akan terapi tentu saja gerakan isterinya ini bahkan mengganggu pertahanannya. Kini ia harus melindungi dua orang dari sambaran golok golok yang lihai itu.
Tak lama kemudian, selagi Hak Gi dengan mati matian membela diri dan melidungi isterinya, terdengar pekik pekik mengerikan dan rumah lain di barengi suara tertawa gelak yang amat menyeramkan. Hak Gi menggigit bibirnya ia maklum bahwa suara itu tentu keluar dari rumah seorang kawannya, yakni Oey ciangkun yang tinggal tak jauh dari situ, Oey ciangkun yang sudah tua itu dan yang hania tinggal berdua dengan isterinya, tentu menjadi korban pula. Ia menggigit bibir dan melakukan perlawanan makin cepat. Akan tetapi, segera datang lima orang lagi anggota Ang bi tin dan sambil tertatwa tawa mereka ini menyerbu pula. Bahkan ada tiga orang di antara mereka yang menyerbu ke arah pintu, hendak masuk ke dalam. Hak Gi ingat kepada puteranya dan dengan amat khawatir ia lalu melompat maju, memutar pedang menghalangi tiga orang itu memasuki rumah.
Kesempatan ini tidak disia siakan oleh para pengeroyoknya. Ketika Hak Gi menyerbu ke arah tiga orang angota Ang bi tin yang hendak masuk ke dalam rumah dan berhasil melukai pundak seorang di antara mereka, beberapa batang golok sekaligus menerjangnya dari belakang. Hak Gi mencoba untuk menangkis, akan tetapi kurang cepat dan sebatang gelok menancap di punggungnya.
Berbareng dengan robohnya tubuh Hak Gi, terdengar jerit isterinya yang mengerikan. Nyonya muda ini maklum bahwa nasibnya akan lebih mengerikan daripada maut apabila ia sampai tertawan hidup hidup oleh gerombolan Alis Merah ini, maka begitu melihat suaminya roboh mandi darah, nyonya muda ini lalu mengangkat pedangnya dan dengan satu bacokan kearah leher sendiri, nyonya ini roboh dengan leher hampir putus.
Bun Sam, putera tunggal keluarga Song yang telah berusia enam tahun, memandang dengan mata terbelalak dari celah celah pintu betapa ayahnya roboh mandi darah dan ibunyapun telah menggorok leher sendiri.
"Ayah"!!" Tak terasa lagi ia menjerit ngeri, tetapi segera ia mendekap mulutnya sendiri dengan tangan karena jeritamya ini membuat beberapa orang anggauta Ang bi tin cepat menengok dan berlari menuju ke pintu rumah. Perasaan takut lebih besar daripada perasaan sedih dan ngeri di dalam hati Bun Sam. Melihat tiga orang Mongol tinggi besar dengan alis merah itu mengangkat golok dan menerjang ke arah pintu rumahnya, ia cepat melompat ke dalam dan terus berlari ke belakang. Dalam kegugupannya ia menendang bangku dan jatuh tersungkur. Akan tetapi ia bangun lagi dan tanpa memperdulikan lututnya yang berdarah karena jatuh tadi, ia berlari lagi, keluar dan pintu belakang dan terus lari ke dalam gelap. Memang, pada saat itu senja telah berganti malam dan cuaca sudah mulai gelap.
"Kejar! Kejar dan bunuh sekalian!" Terdengar teriakan seorang anggauta Ang bi tin dan sebentar saja ada lima orang anggauta manusia iblis itu yang melakukan pengejaran terhadap Bun Sam.
Bun San merasa bahwa ia takkan dapat membebaskan diri lagi dari kekejaman gerombolan Ang bi tin itu. Ngeri ia membayangkan keadaan ayah bundanya dan perasaan takutnya ini membuat sepasang kakinya seakan akan tumbuh sayap. Perlumbaan antara Bun Sam dengan lima orang pengejarnya untuk memperebutkan nyawanya ini terjadi dengan diam diam. Agaknya lima orang pengejar itu sengaja tidak mau lari cepat dan hanya membayangi anak itu saja. Diam diam mereka menikmati ketakutan anak yang mereka kejar dan sengaja hendak mempermainkan Bun Sam. Kalau anak itu sudah kehabisan tenaga saking lelah dan takutnya barulah mereka akan turun tangan. Mereka memiliki watak seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus kecil.
Bun Sam berlari lari di sepanjang jalan di kota Tong seng kwan yang nampak seperti kota mati itu. Orang orang tadi bersembunyi, belum ada yang berani memperlihatkan diri. Bahkan mereka menjadi makin ketakutan setelah mendengar teriakan teriakan dan jeritan jeritan. Kini mereka mendengar kaki berlari lari maka tahulah mereka bahwa gerombolan liar itu masih berada di dalam kota dan keadaan masih belum aman.
Bun Sam berlari dengan napas makin lama makin terengah engah. Kepalanya berdenyut keras, dadanya terasa panas sekali sakit seperi mau meledak, kedua kakinya lemas dan gemetar. Ia mendengar dengan jelas betapa di sebelah belakangnya beberapa orang penjahat terus mengejar.
"Ayah" ibu...!" berkali kali Bun Sam mengeluh dan bersambat menyebut ayah bundanya, akan tetapi untuk kesekian kalinya keluhannya ini ditutup dengan isak tangis karena teringat bahwa orang tua yang ia sambati itu telah tewas dalam keadaan yang amat mengerikam. Teringat kepada ayah bundanya yang sudah menjadi korban keganasan Ang bi tin ini, makin besarlah perasaan takut yang menyelubungi hatinya dan makin kuat ia berusaha untuk melarikan diri secepat mungkin. Akhirnya setelah ke mana saja ia lari bertemu dengan orang orang beralis merah yang berkeliaran di kota itu ia lalu membelok dan berlari ke luar kota, melalui pintu gerbang sebelah selatan.
"Ha, ha, ha, anjing kecil, kau hendak lari ke mana?" seorang di antara para pengejar mengejek sambil tertawa tawa dan menyabet nyabetkan golok nya sehinggs terdengar bunyi angin bersiutan amat mengerikan hati. "Anjing kecil, jantungmu yang berdenyut denyut penuh darah segar tentu enak sekali di makan dengan arak. Ha, ha, ha!"
Bukan main ngeri dan takutnya hati Bun Sam mendengar ancaman ini. Saking takutnya ia menjadi demikian gugup, sehingga seketika kakinya tersandung akar pohon yang melintang di jalan tergulinglah dia dan rebah tertelungkup di atas tanah tanpa dapat bangun lagi.
"Ha, ha, ha, anjing kecil, akhirnya kau kehabisan napas juga, terdengar suara di belakangnya dan pengejar yang terdepan segera mengangkat golok dan diayunkan ke arah leher Bun Sam.
"Trang!" anggauta Ang bi tin itu terkejut ketika goloknya terpental kembali, tertangkis oleh sebatang toya yang digerakkan oleh tenaga yang amat kuat. Cepat ia memandang dan ternyata bahwa yang menolong nyawa Bun Sam tadi adalah seorang laki laki setengah tua, berusia paling banyak empatpuluhan tahun, berpakaian sebagai seorang guru silat yang miskin.
"Orang orang Ang bi tin, kalian benar benar iblis iblis bermuka manusia!" seru guru silat ini dengan suara menyatakan keheranan yang ditahan tahan. "Terhadap seorang anak anakpun kalian tidak bisa memberi ampun!"
Seorang di antara gerombolan Alis Mereh yang berjenggot kaku dan kacau balau, bermuka hitam melompat ke depan menghadapi guru silat itu.
"Hm, Can kausu (guru silat Can) kau ini orang apakah berani sekali mencampuri urusan Ang bi tin" Mengapa kau tidak tinggal saja di rumah dan hidup aman, sebaliknya, berkelieran dan berani mengganggu kami" Sudah bosan hidupkah kau!"
Sebentar saja guru silat she Can ini telah dikurung oleh tujuh prajurit anggota Ang bi tin yang berwajah menyeramkan.
Can Goan adalah seorang guru silat di kota Tong seng kwan yang terkenal jujur dan gagah. Dia adalah sahabat baik dari Song Hak Gi. Biarpun ia sudah tahu akan pengeruh besar dan kekuasaan orang orang Ang bi tin dengan segala keganasan mereka, namun kali ini mendengar bahwa sahabat baiknya menjadi korban, ia tidak dapat tinggal diam lagi. Cepat ia datang ke rumah sahabatnya dan alangkah remuk hatinya menyaksikan sahabatnya itu menggeletak tak bernyawa bersama isterinya. Ia mendengar pula tentang Bun Sam yang dikejar kejar oleh barisan siluman itu, maka cepat ia lalu melakukan pengejaran dan dapat menolong nyawa Bun Sam pada saat yang tepat sekali.
Ketika Can Goan mendengar ucapan si brewok anggota Ang bi tin itu, ia menjadi heran karena orang itu ternyata telah mengenalnya dan iapun seperti pernah mendengar suara orang ini. Ia lalu memandang tajam dan mencoba untuk mengenal wajah yang kini beralis merah itu. Akhirnya ia teringat dan marahlah ia, "Ah, kiranya Toa to Hek mo (Setan Hitam Bergolok Besar) yang kini menjadi iblis alis merah! Pantas saja Ang bi tin terkenal ganas dan kejam, tidak tahunya anggota anggotanya terdiri dari penjahat penjahat besar. Tadinya aku merasa heran mendengar betapa orang orang gagah Bangsa Han ada yang menjadi anggota Ang bi tin akan tetapi sekarang setelah melihat mukamu, tahulah aku bahwa yang menjadi pengkhianat pengkhianat bangsa tidak lain adalah sampah sampah semacam ini!"
"Orang she Can, tutup mulutmu yang sombong!" teriak si brewok itu dan secepat kilat ia lalu mengayunkan golok besarnya ke arah kepala Can Goan. Tentu saja guru silat ini tidak mau kepalanya dibacok begitu saja dan secepat kilat iapun lalu menggerakkan toya panjangnya untuk menangkis. Kembali terdengar suara nyaring bunga api berpijar ketika dua senjata ini beradu.
Toa to Hek mo pernah merasai kelihaian Can Goan, yakni dulu ketika Can Goan masih menjadi piauwsu (pengantar barang ekspedisi) dan dia masih menjadi kepala rampok, maka kini menghadapi Can Goan, ia merasa jerih. Ia bersiul memberi tanda rahasia kepada kawan kawannya yang segera maju mengeroyok. Bagaikan seekor harimau terluka, Gan Goan memutar toyanya ke empat penjuru dan mengamuk. Tidak percuma ia mendapat julukan Dewa Toya, karena permaiaan toyanya benar benar hebat sekali. Toa to Hek mo sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mendekatinya dan tiap kali sebuah di antara tujuh batang golok yang mengeroyoknya itu terbentur toya, tangan pe megangnya merasa perih dan sakit, tanda bahwa tenaga dari Dewa Toya ini benar benar hebat. Beberapa jurus kemudian ujung toya bahkan berhasil menyambar tulang kering seorang pengeroyok sehigga orang itu memekik kesakitan dan roboh dengan tulang kering kakinya patah patah!
Melihat hal ini, Bun Sam yang kini sudah berdiri di bawah pohon menjadi girang sekali. Hampir saja ia bersorak dan anak ini lupa untuk berlari atau menyembunyikan diri. Ia kenal baik kepada Cau kauwsu ini yang sering datang mengobrol dengan ayahnya.
"Bagus! Can pekhu, bagus! Pukul mampus orang orang jahat ini!" teriaknya dengan girang sekali. Can Goan terkejut sekali ketika mendengar suara ini.
"Eh Bun Sam, kau masih di sini! Lekas kau lari!" Guru silat ini menjadi gelisah sekali. Tak disangkanya bahwa anak itu masih berada di situ.
Pada saat itu, tiba tiba enam orang anggota Ang bi tin masih mengeroyok Can kauwsu melompat mundur untuk memberi jalan pada seorang yang baru datang. Orang ini tinggi kurus alisnya dicat merah mata dan hidungnya yang seperti burung betet itu menyembul tertarik menjeling.
Can Goan kaget bukan main melihat orang ini. Biarpun ia bisa melupakan wajah orang ini yang sekarang sudah memakai hiasan alis merah, namun ia tak dapat melupakan ___ ___ Lui Hai Siong, seorang tokoh kang ouw yang berjuluk Ngo jiauw eng (Garuda Cakar Lima). Bagaimana orang inipun bisa menjadi anggota Ang bi tin, bahkan agaknya menjadi kepala"
"Can Goan, kau jangan menjual lagak disini!" kata orang tinggi kurus yang baru datang ini. Berbareng dengan ucapannya ini tangan kirinya bergerak cepat sekali merupakan cakar garuda diserangkan ke arah muka Can Goan. Can kauwsu cepat mengerakkan toya menangkis tangan yang tidak di duga amat lihai itu. Akan tetapi, sambil mengeluarkan ringkikan seperti seekor kuda Ngo jiauw eng Lui Hai Siong menangkap toya itu dan sekali ia menbetot, terlepaslah toya itu dari pegangan Can Goan.
Can kauwsu amat terkejut, akan tetapi tiba tiba ia merasa pundaknya telah tercengkeram oleh tangan kanan lawannya dan sekali dorong ia tak dapat bertahan lagi dan roboh tertelungkup. Lui Hai Song tertawa terbahak bahak sambil menginjak punggung Can Goan dengan kaki kirinya.
"Ha, ha, ha, orang she Can. Baru memiliki kepandaian sebegini saja kau sudah berani menghadapi Ang bi tin. Sungguh menggelikan!"
Can Goan maklum bahwa nyawa nya tak dapat ditolong lagi. Kaki yang menginjak punggungnya dirasakan amat berat bagaikan gunung yang menggencetnya.
"Bun San" lari...! Bawalah Sian Hwa... lari!" Can kauwsu dalam saat terakhir masih dapat berseru keras.
Bun San yang tadi kegirangan melihat betapa pembelanya dapat merobohkan seorang pengeroyok, kini menjadi pucat sekali. Ia memandang kepada mata Lui Hai Siong yang berhidung ekek itu dengan ketakutan, kemudian setelah mendengar seruan terakhir dari Can Goan anak ini lalu melarikan diri.
"Aku disuruh membawa Sian Hwa..." pikirnya dengan bingug, karena Sian Hwa adalah anak tunggal dari Can kauwsu dan kalau ia harus membawa lari Sian Hwa, berarti ia harus kembali lagi ke dalam kota. Ia takut sekali untuk kembali ke dalam kota akan tetapi bagaimana ia bisa menyia nyiakan pesanan terakhir dari penolongnya"
Can Goan benar saja tak dapat menolong nyawanya lagi. Sekali si hidung ekek itu mengerahkan tenaga kakinya, terdengar suara "krak!!" dan patahlah tulang tulang punggung dan iga dari guru silat itu. Can kauwu tewas tanpa dapat mengeluarkan suara dan sampai mati ia tidak dapat menduga bahwa sebenarnya Lui Hai Siong inipun baru menjadi pemimpin rendah saja dari barisan Ang bi tin.
Dengan kedatangan Ngo jiauw eng Lui Hai siong, para anggauta Ang bi tin tidak berani berlaku sesuka hatinya sendiri, maka mereka ini lupa kepada Bun Sam yang telah melarikan diri. Tanpa perintah dari Lui Hai Siong setelah pemimpin regu ini hadir, mereka tidak berani bertindak dan di bawah pimpinan Lui Hai Siong, kembalilah rambongan itu ke dalam kota yang masih sunyi.
"Kurang ajar sekali guru silat she Can itu," kata Lui Hai Siong yang masih marah, "mari kita periksa rumahnya, siapa tahu di sana masih bersembunyi pemberontak pemberontak lainnya."
Akan tetapi ketika mereka melewati pintu gerbang, tiba tiba seorang di antara mereka menunjuk ke depam. "Itu adalah anak yang tadi."
"Anak siapa?" tanya Lui Hai Siong.
"Dia putera tunggal dari Song ciangkun yang telah kami tewaskan," jawab seorang anggauta.
"Hei, membasmi rumput harus dengan akar akarnya. Tangkap dan bunuh anak itu!" Sambil berkata demikian, Lui Hai Siong mengayunkan tangan kanannya dan sebatang jarum melayang cepat sekali kearah bayagan anak yang sedang berlarian itu. Bun San, bayangan itu. berteriak dan tubuhnya terguling. Jarum itu dengan amat jitu telah menancap di pundaknya, tepat mengenai jalan darahnya.
Lima orang anggota Ang bi tin mengejar dengar golok terangkat, siap untuk memenggal leher anak yang sudah rebah tidak berdaya itu. Tahu tahu seperti seekor burung bersayap, anak itu dapat mumbul seperti terbang ke udara dan menghilang di dalam gerombolan daun daun pobon yang hijau dan gemuk.
Tentu saja lima orang anggota gerombolan Ang bi tin itu menjadi bengong dan berdiri terpaku di bawah pohon yang tinggi dan besar itu. Tidak salahkah pandangan matanya" Betul betulkah tubuh anak kecil itu dapat mumbul dan lenyap dari depan mereka tanpa sebab" Benar benar aneh! Mereka berlima hanya berdiri menengadah dan mencari cari dengan pandangan mata, akan tetapi malam itu gelap dan daun daun pohon itu hanya nampak hitam dan gelap saja.
Ngo jiauw eng Lui Hai Siong yang dari jauh melihat betapa lima orang anak buahnya berdiri bengong tak bergerak, menjadi terheran. Ia masih belum tahu bahwa anak yang tadi telah dirobohkan dengan jarumnya yang lihai yakni semacam senjata rahasia kecil yang disebut bwe hwa ciam (Jarum Bunga Bwe), telah lenyap dengan secara amat rahasia. Dengan beberapa kali lompatan, Si Garuda Cakar Lima ini telah tiba di bawah pohon.
"Mana anak itu ?" tanyanya, baru sekarang ia melihat kehilangan itu.
"Lenyap, ke sana?" serorang di antara anak buahnya berkata dan jari telunjuknya menuding ke atas.
Untuk sesaat Lui Hai Siong memandang heran, kemudian tersenyum, "Hm, ada pula yang berani main gila, ya" Turunlah!" Seruan ini diucapkan dengan keras dan tiba tiba kedua tangannya bergerak, diayunkan ke arah pohon itu. Beberapa batang jarum yang berbahaya melayang ke arah pohon.
Terdengar daun daun pohon bergeresekan, di barengi cabang cabang pohon itu bergoyang goyang dan tiba tiba sesosok bayangan yang tinggi sekali melayang turun. Tangan kiri bayangan itu memeluk tubuh Bun Sam dan tangan kanannya memegang sebuah ranting pohon yang masih penuh dengan daun. Sekali ia putar ranting itu semua jarum yang dilepaskan oleh Lui Hai Siong terpukul runtuh dan tiba tiba bayangan yang melompat turun itu, sebelum kedua kakinya tiba di tanah, ia mengeluarkan suara melengking yang aneh, setengah tangis setengah tertawa dan ranting di tangan kanannya digerakkan keras. Daun daun yang tadi melekat pada ranting itu tiba tiba rontok dan melayang cepat menyerang kepada Lui Hai Siong dan beberapa kawan kawannya.
Jerit kesakitan susul menyusul ketika anak anak buah Ang bi tin itu terpukul oleh daun daun ini. Ada yang terkena pipinya, pundaknya akan tetapi bagian tubuh mana saja yang terkena sambaran daun ini, terasa pedas dan sakit sekali. Hanya Lui Hai Siong seorang yang siap menyampok jatuh dua daun yang melayang ke arah dadanya.
Akan tetapi orang orang itu tidak hanya terkejut karena rasa sakit yang ditimbulkan oleh daun daun itu, terutama sekali mereka terkejut dan ngeri ketika melihat muka bayangau orang yang telah menolong anak itu. Ketika bayangan itu melompat turun biarpun hanya sejenak, semua orang dapat melihat betapa bayangan yang tinggi kurus itu mempunyai muka seperti tengkorak. Pakaiannya yang hitam membuat wajahnya nampak lebih menyeramkan lagi. Maka bukan main kaget dan ngerinya semua orang bahkan Lui Hui Siong sendiri saking kaget dan herannya sampai berdiri terpukau, lupa untuk mengejar ketika bayangan itu melompat dan menghilang ke dalam gelap.
"Kejar".!" Lui Hai Siong berteriak setelah orang bermuka tengkorak itu sudah tidak nampak bayangannya lagi. Semua orang mengejar akan tetapi di mana mana sunyi saja, tidak terlihat bayangan seorang manusiapun.
"Kurang ajar, itu tentulah seorang kawan dari Song ciangkun atau Can kauwsu yung sudah mampus. Biarlah, tak perlu kita mencarinya. Yang perlu sekarang cepat menyerbu ke rumah Can kauwsu."
Baru saja mereka hendak bergerak menuju ke rumah Can kauwsu, tiba tiba bertiup angin keras dibarengi oleh suara berkerincing yang ramai dan entah dari mana datangnya, tahu tahu seorang Mongol yang bertubuh kate dan gemuk telah berdiri di depan Lui Hai Song. Garuda Cakar Lima itu terkejut melihat siapa yang berdiri di depannya, cepat cepat memberi hormat dengar menjura rendah sekali. Juga semua kawan kawannya anggota anggota Alis Merah, memberi hormat dengan sikap yang amat merendah.
"Taijin (orang besar), semua tugas telah dilakukan dengan baik!" Kata katanya yang merupakan laporan ini menunjukkan bahwa orang Mongol yang pendek ini adalah seorang kepala yang lebih tinggi kedudukannya daripadanya. Memang orang ini adalah Bucuci. seorang Mongol yang mempunyai pengaruh besar sekali dan juga amat lihai ilmu silatnya. Pakaiannya mewah dan bentuk pakaian seperti pakaian perang, akan tetapi di tiap sudut dipasangi kerincingan kuningan yang selalu berbunyi ramai setiap kali ia bergerak. Akan tetapi, di waktu ia berkelahi, kalau dikehendakinya, Bucuci dapat bersilat sedemikian ringan dan cepatnya hingga tak sebuah pun kerincingan di pakaiannya itu berbunyi. Bucuci merupakan tokoh tingkat dua dalam barisan gerombolan Ang bi tin yang amat terkenal ini.
"Aku tidak tanya tentang tugasmu, yang penting apakah kalian tadi melihat manusia bermuka tengkorak, berbaju hitam ?" tanya Bucuci dengan angkuh sekali, tanpa memperdulikan kepada Lui Hai Siong. Jelas sekali bahwa Bucuci amat memandang rendah kepada Lui Hai Siong. Akan tetapi manusia penjilat ini dengan sikap merendah sekali berkata,
"Betul, taijin, baru saja kami mengejar seorang bermuka tengkorak yang menolong dan membawa lari putera Song ciangkum ." Kemudian dengan singkat Lui Hai Song menceritakan yang dilihat nya tadi.
Bucuci nampak tak puas. "Sayang sekali kalian tadi tidak memberi tanda sehingga setan tengkorak itu dapat meloloskan diri. Bagaimanakah putera orang she Song itu sampai dapat terhindar dari kematian" Ia kelak akan dapat mendatangkan kesulitan saja."
"Semua itu karena salahnya Can Goan si guru silat yang telah kami bunuh itu, taijin", kata Lui Hai Song, yang lalu menceritakan betapa Bun Sam anak kecil itu tertolong oleh Can kauwsu. Sungguh menggelikan melihat sikap Lui Hai Siong terhadap orang Mongol itu, bagaikan seekor anjing menjilat jilat sepatu majikannya yang berdebu. Baru sebutan "taijin" saja sudah amat menggelikan, karena sebutan ini sesungguhnya biasanya hanya diucapkan terhadap seorang pembesar saja.
Ketika Bucuci mendengar laporan itu, iapun menjadi marah.
"Kalau begitu, seisi rumah guru silai she Can itu harus dibasmi habis. Ayo, antarkan aku ke sana."
Dengan tindakan kaki lebar, Bucuci lalu diantarkan oleh rombongan Ang bi tin inni menuju ke rumah Can Goan yang sudah tewas.
Siapakah yang berada di dalam rumah Can Kauwsu ini" Sesungguhnya Can Goan hanya hidup berdua dengan seorang anak perempuannya yang ______ Can Sian Hwa _______ tahun yang lalu dari ______puterinya. Can Goan ____ menikah lagi. Ia mendidik puterinya ini dengan penuh kasih sayang, akan tetapi siapa kira, baru saja anaknya berusia empat tahun ia telah tewas dalam tangan kawanan Alis merah yang amat kejam.Ayah ___ ini tadi masih ingat kepada puterinya dan member pesan kepada Bun Sam yang sudah kenal Sian Hwa, untuk mengajak puterinya itu lari bersama, akan tetapi ia tidak tahu bahwa Bun Sam sendiri hamper saja tewas dalam tangan Ang bi tin kalau saja tidak keburu tertolong oleh seorang manusia gaib yang bermuka tengkorak itu.
Sian Hwa ketika ditinggalkan oleh ayahnya ia diam duduk saja di dalam kamar seorang diri. Ia masih terlalu kecil untuk mengetahui apakah dan siapakah sebenarnya Ang bi tin yang ditakuti itu. Apa lagi ayahnya selalu menjaga agar anak ini tidak menjadi seorang penakut, maka boleh dibilang Sian Hwa tidak kenal nama Ang bi tin yang oleh anak lain dikenal sebagai sesuatu yang amat menyeramkan. Setelah terlalu lama ayahnya tidak datang, anak ini mulai menjadi kesal can tertidurlah ia di atas pembaringan di mana biasanya ia tidur bersama ayahnya.
Tiba tiba Sian Hwa terkejut dan bangun dari tidurnya, ia mendengar suara keras sekali di depan. Ternyata bahwa daun pintu rumahnya telah ditendang roboh oleh kaki kanan Lui Hai Siong yang kuat dan Bacuci sendiri lalu melompat masuk sambil memandang ke kanan kiri dengan sikapnya yang tenang menakutkan. Tiba tiba terdengar gelak dua ekor aajng, yakni anjing peliharaan Can kauwsu. Sian Hwa dari dalam kamarnya mendengar betapa dua ekor anjingnya itu meraung raung dan menyalak nyalak akan tetapi tiba tiba terdengar kedua binatang ini menguik keras lalu keadaan menjadi sunyi lagi. Sian Hwa tentu saja tidak tahu betapa Bucuci dengan sekali tendang dan sekali pukul sudah berhasil membuat dua ekor anjing itu remuk kepalanya.
Tiba tiba, sedikit sinar penerangan dari dian yang menyala di dalam kamar di mana Sian Hwa berada, padam. Ternyata bahwa Sian Hwa, anak umur empat tahun itu, sudah mempunyai kecerdikan dan ketabahan. Mendengar suara di luar, anak ini cepat meniup padam lampu di atas meja kamarnya sehingga keadaan di dalam kamar menjadi luar biasa gelapnya. Sebaliknya ia yang berada di dalam kamar, dapat melihat ke arah pintu karena dari luar rumah terdapat sinar lampu depan rumah yang menerangi pintu itu.
"Siapa di dalam kamar" Ayoh keluar!" bentak suara Bucuci yang parau dan menyeramkan. Tidak ada jawaban.
Sian Kwa mulai takut. Itu bukan suara ayah nya! Dengan perlahan ia turun dari pembaringan. Biarpun kakinya telanjang dan kulit telapak kakinya yang hakus itu hampir tidak bersuara ketika diturunkan ke atas lantai, namun masih cukup dapat tertangkap oleh pondengaran telinga Bucuci yang luar biasa.
"Siapa itu" Ayoh keluar!"
Berbareng dengan bentakan itu, Sian Hwa yang amat terkejut itu menyusup ke bawah pembaringan bagaikan seekor tikus kecil yang bersembunyi di dalam lobang, takut kepada kucing yang menanti di luar lobang, anak perempuan ini dengan napas empas empis saking menahan getaran jantungnya, diam tak berani bergerak sedikitpun juga. Matanya menatap ke arah pintu kamar yang tertutup oleh kain tirai.
"Kau tidak mau keluar" Baiklah, aku akan menyeret mayatmu keluar!" terdengar pula suara bentakan yang penuh ancaman itu dan tiba tiba Sian Hwa dari kolong pembaringan melihat betapa tirai kain itu bergoyang dan tiba tiba "brett!" tirai itu telah direnggutkan orang, sehingga putus dan kini pintu itu merupakan lobang besar. Terdengar derap sepasang kaki memasuki kamar dan Sian Hwa merasa betapa ada angin menyambar nyambar yang membuat meja terguling dan dinding kamar bergetar bagaikan ada lindu! Ia hanya melihat bayangan orang bergerak gerak sama sekali tidak tahu bahwa Bucuci sedang melakukan serangan ke sekitar sudut kamar dengan pukulan pukulan tangan penuh tenaga lweekang dan khikang semacam pukulan Pek lek jiu (Pukulan Tangan Geledek) yang akan merobohkan dan membinasakan orang dari jarak jauh.
Setelah melakukan pukulan pukulan dan merasa yakin bahwa tak seorangpun akan dapat menyelamatkan diri kalau ada orang di dalam kamar itu, Bucuci berdiri diam sambil mendengarkan. Matanya yang tajam hanya dapat memandagg remang remang saja dalam kamar yang gelap itu. Dan ia terheran. Ternyata di situ tidak ada orang sama sekali dan pembaringan yang berada di sudut kamar juga kosong. Selagi ia merasa kecele dan mendongkol lalu hendak meninggalkan kamar itu, tiba tiba terdengar suara "Hacih"! Hacih"!"
Bucuci cepat membalikkan tubuhnya. Itu adalah suara anak kecil berbangkis, pikirnya! Memang betul, tadi ketika ada angin menyambar nyambar Sian Hwa demikian takut, sehingga ia menelungkup dan bertiarap di bawah pembaringan. Debu yang mengebul dari dinding yang tergetar karena pukulan Bucuci, membuat ia merasa hidungnya gatal gatal dan tak dapat tertahan lagi ia berbangkis dua kali.
Bucuci menjadi merah mukanya. Ternyata ia telah berlaku terlalu ketakutan dan terlalu hati hati di dalam kamar yang ternyata hanya didiami oleh seorang anak kecil. Dengan gerakan tiba tiba ia melompat ke arah pembaringan itu. Sekali renggut saja dengan tangan kiri, pembaringan itu telah terlempar jauh dan nampaklah kini Sian Hwa meringkuk di atas lantai.
Bucuci tertawa gelak gelak dan ketika tangan kanannya menyambar Sian Hwa telah dijambak rambutnya dan diangkatnyalah anak itu dengan rambut dijambak ke atas. Lalu orang Mongol itu melangkah lebar kelaur dari rumah, anak perempuan itu meronta ronta berusuha melepaskan rambutnya yang dijambak pedas itu, Sian Hwa sama sekali tidak mengeluarkan teriakan, hanya air matanya saja turun amat derasnya dan kedua tangatnya memukul mukul ke atas untuk memaksa tangan yang menjambaknya itu melepaskan rambutnya, ia seperti seekor kelinci yang tertangkap telinganya dan di gantung. Bucuci masih tertawa tawa ketika ia membawa anak perempuan yang baru berusia empat tahun itu keluar dari rumah kecil itu dan memperlihatkan anak itu dengan muka lucu kepada kawan kawannya.
"Hanya ada tikus kecil ini," katanya kepada para angota Ang bi tin, kemudian disambungnya dengan suara bengis. "Bakar rumah ini!"
Segera Lui Hai Siong sendiri turun tangan untuk membakar rumah itu dan sebentar saja rumah dari keluarga Can ini dimakan api. Bicuci semenjak tadi merasa heran dan juga kagum sekali melihat anak pempuan yang masih dipegang pada rambutnya yang panjang itu sama sekali tidak menangis. Bagaimana ada anak kecil sekeras ini hatinya" Ketika rumah itu terbakar, ia hendak melemparkan Sian Hwa ke dalam lautan api, akan tetapi cahaya api yang membakar rumah itu menerangi segala apa di sekitarnya dan tanpa disengaja Bucuci memandang muka anak kecil itu. Tertegunlah ia dan kalau tadinya ia hendak melemparkan anak itu kedalam api, sebaliknya kini melepaskan jambakannya dan memondong anak itu, sambil menatap wajahnya dengan penuh perhatian. Hatinya berdebar keras temudian ia berkata kepada Lui Hai Siong.
"Besok bikin laporan kepada Liem gonswe, aku hendak pulang lebih dulu." Setelah berkata demikian, sekali ia menggerakkan tubuhnya orang Mongol yang pendek gemuk ini lenyap dari pandangan mata sambil memondong anak perempuan kecil itu!
Mengapa Bucuci tidak jadi membunuh Sian Hwa" Apakah tiba tiba di dalam dada orang kejam ini timbul perasaan kasihan" Tidak, agaknya tidak mungkin seorang seperti Bucuci dapat menaruh hati kasihan kepada orang lain, kecuali untuk diri sendiri atau untuk orang orang yang disukainya. Sesungguhnya ketika tadi cahaya api yang membakar rumah kecil itu menerangi wajah Sian Hwa dan Bucuci memandang wajah gadis cilik ini, ia tertegun meilhat persamaan raut muka anak ini dengan Kui Eng isterinya yang baru, yang benar benar benar amat di cintainya. Telah berkali kali semenjak orang orang Mongol berhasil membobolkan pertahanan orang orang Han dan memegang kekuasaan di Tiongkok, Bucuci telah berkali kali bertukar isteri. Akhir akhir ini, kira kira tiga bulan yang lalu, kembali ia dapat merampas seorang wanita muda, setelah membunuh suami dan seorang anak dari wanita ini. Wanita ini adalah Kui Eng yang dulu tinggal di kota Heng sian di selatan. Kui Eng atau lengkapnya Ciok Kui Eng, adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik sekali. Dia isteri seorang bekas perwira Han yang terbunuh oleh Bucuci dan anak perempuannya yang baru berusia tiga tahun telah terbunuh pula oleh kaki tangan Bucuci, anggota anggota Ang bi tin yang amat ganas dan keji. Kemudian, tetarik oleh kecantikan nyonya muda ini, Bucuci tidak membunuhnya melainkan menculik dan membawa pulang isterinya, juga seorang Han yang dulu dirampasnya pada saat itu juga ia "berikan" kepada seorang sahabatnya untuk dijadikan selir, lalu ia menempatkan Kui Eng di dalam gedungnya sebagai isterinya. Akan tetapi, sungguh amat mengecewakan hatinya, Kui Eng tak sudi berlaku manis kepadanya, bahkan nyonya muda yang cantik jelita ini selalu marah marah dan bahkan ada tanda tanda bahwa ingatan nyonya ini berubah. Setiap saat memanggil manggil anaknya saja. Bahkan di dalam keadaan pikiran tidak sehat Kui Eng berjanji kepada Bucuci bahwa suami paksaan ini dapat membawa pulang anaknya, ia akan suka menjadi isterinya dalam arti yang sebenarnya, bukan isteri paksa.
Ketika menculik Kui Eng Bucuci pernah melihat anak kecil yang di__ oleh anak buahnya itu. Maka setelah melihat wajah Sian Hwa yang hampir sama dengan wajah Kui Eng dan anaknya, timbul pikiran baik dalam benaknya. Ia hendak membawa Sian Hwa pulang, hendak diberikan kepada Kui Eng, siapa tahu kalau isterinya itu akan terhibur hatinya. Memang cinta itu amat aneh dan berkuasa besar. Sejahat jahatnya hati orang apabila ia telah dikuasai oleh rasa cinta, akan timbul kelembutan yang amat mesra, akan timbul kebajikan tertinggi dalam perikemanusiaan, yakni kehendak untuk menyenangkan hati lain orang. Tentu saja dalam hal ini, hati orang yang dicintainya.
"Kui eng, manisku, bergiranglah engkau, aku telah datang membawa pulang anakmu..." berkali kali Bucuci berbisik seorang diri sambil berlari cepat sekali, sehingga kali ini Sian Hwa menjadi ketakutan dan meramkan matanya, Bucuci membayangkan betapa bibir Kui Eng yang manis itu kini akan dapat tersenyum dan hatinya menjadi besar. Tak terasa lagi ia lalu mendekap tubuh anak itu dan menyelimutinya dengan baju luarnya karena malam itu amat dingin, apalagi ia mempergunakan ilmu ilmu lari cepat, sehingga angin berdesir meniup anak itu yang menggigil kedinginan. Ia harus merawat anak ini baik baik, karena siapa tahu kalau kalau kebahagiaannya datang karena adanya anak ini.
Peristiwa di atas itu terjadi di abad ke dua belas, pada waktu itu pemerintah yang menguasai Tiongkok adalah pemerintah Goan tiauw. Pemerintah ini sebenarnya tidak lebih hanyalah sebuah pemerintah boneka yang bekerja di bawah injakan kaki Bangsa Mongol. Setelah bala tentara Mongol yang amat kuat di bawah pimpinan Jengis khan, kemudian dilanjutkan oleh pimpinan yang amat kuat dari Mancu yang disebut Raja besar dan setelah raja besar ini tewas dalam peperangan lalu diganti oleh Kubilai khan lalu mengalahkan seluruh raja raja kecil di Tiongkok seperti Kerajaan Hsia, Kin dan Song, maka Kubilai khan lalu mendirikan Kerajaan Goan tiauw.
Pemerintah Mongol ini amt kuat dan pandai melumpuhkan semangat perlawanan rakyat Tiongkok. Rakyat dibagi menjadi empat tingkat, yakni yang pertantama tentu saja orang orang Mongol sendiri, ke dua adalah orang orang Semu (yang bermata bitu atau coklat) ke tiga orang orang Han dan ke empat adalah orang orang Selatan. Tentu saja yang memegang kekuasaan adalah orang orang Mongol, dibantu oleh orang Semu. Banyak juga orang orang Han yang menduduki pangkat tinggi, akan tetapi dapat dipastikan bahwa orang orang Han ini adalah orang orang yang berhati pengecut dan penjilat, yang tidak segan segan untuk menindas bahkan memfitnah secara keji kepada bangsa sendiri hanya untuk menjilat telapak kaki orang orang Mongol agar mereka mendapatkan kedudukan baik.
Orang orang Han dan orang selatan, amat dihina dan ditindas. Contohnya mereka ini tidak boleh membawa bawa senjata tajam, tidak boleh memelihara kuda, tidak boleh berburu binatang dan tidak boleh lagi main silat. Siapa saja yang berani melakukan pelanggaran ini, langsung dicap sebagai pemberontak dan dibunuh! Oleh karena itu, orang orang Han menjadi ketakutan dan hidup penuh penderitaan. Mereka ini dikumpulkan dan setiap duapuluh orang keluarga disatukan dan dibentuklah sekelompok yang disebut "cia", yakni sekelompok rakyat terdiri dari duapuluh keluarga itu lalu setiap cia ini dikepalai oleh seorang Mongol yang biasanya lalu memeras dan mengancam mereka, mengganggu anak bini mereka secara kurang ajar sekali.
Masih banyak contoh contoh pemerasan dan penindasan yang tidak saja mendirikan bulu tengkuk saking ngerinya, akan tetapi juga mendirikan semangat perlawanan dalam dada setiap putera Han yang menjadi marah sekali. Akan tetapi apa daya mereka" Pemerintah Goan tiauw amat kuat dan selain perwira perwira Mongol amat pandai dan tinggi ilmu kepandaiannya, juga banyak orang orang Han yang berkepandaian tinggi kini menjadi kaki tangan mereka. Contoh perbedaaan yang amat menyolok dapat dilihat di pengadilan. Orang orang Mongol dan Semu yang melakukan kejahatan diperiksa oleh pengadilan istimewa. Apabila seorang memukul atau memaki seorang Han atau selatan orang Han ini tidak membalas pukulan atau makian itu. Kalau seorang Han atau selatan memukul atau memaki seorang Mongol, maka ia akan dihukum berat bahkan mungkin dihukum mati. Sebaliknya kalau seorang Mongol atau Semu membunuh seorang Han hukumannya hanyalah sebuah dendaan yang ringan saja!
Dan di dalam keadaan yang kacau balau dan amat sengsara bagi rakyat ini, timbullah barisan Ang bi tin yang lebih lebih merupakan tindasan hebat bagi rakyat jelata. Nama Ang bi tin atau Barisan Alis Merah ini sebetulnya hanya dikenal hampir tiga belas abad yang lalu. Memang pernah ada bala tentara Alis Merah yang amat terkenal di masa itu, yakni barisan pemberontak yang dipimpin oleh Fan Cung dan barisan Alis Merah ini demikian hebat sepak terjangnya, sehingga terkenal sekali di dalam sejarah. Pada masa itu, para anggota pemberontak mengecat merah alis mereka hanya dengan maksud agar dapat saling mengetahui.
Akan tetapi, Ang bi tin yang sekarang merajalela, yang dipimpin oleh orang orang Mongol yang berkepandaian tinggi itu mempunyai latar belakang yang___ sama sekali dengan Ang bi tin tiga belas abad yang lalu. Ang bi tin yang sekarang ini sebetulnya ______ dendam dan sakit hati bangsa Mongol ___ orang orang gagah Bangsa Han.
Beberapa ___ yang lalu, ketika peperangan yang timbul dari penyerbuan bala tentara Mongol masih sedang berkobar, seorang jenderal Bangsa Mongol keturunan Semu, yakni seorang Mongol bermata biru dan rambutnya kemerahan erbunuh oleh orang Han yang gagah perkasa, jenderal Mongol yang berambut merah dan beralis merah ini terkenal gagah berani dan amt dicintai serta dihargai oleh orang orang Mongol, maka tentu saja kematiannya menimbulkan kegemparan besar. Terutama sekali putera jenderal yang bernama Salinga, ia bersumpah untuk menghancurkan semua orang Han yang pernah menjadi perwira atau yang disebut orang kang ouw yang memiliki kepandaian silat. Salinga juga pandai ilmu silat seperti ayahnya, akan tetapi matanya tidak sebiru mata ayahnya, rambut dan alisnya tidak semerah rambut dan alis ayahya karena ia menurun dari ibunya seorang Mongol tulen. Di dalam sumpahnya ini, Salinga mencat alisnya menjadi merah dan sebelum semua orang gagah bangsa Han ditumpasnya, ia tidak mau membuang warna merah pada alisnya itu.
Salinga amat kaya raya dan juga berpengaruh, maka banyak sekali pengikutnya. Ia membentuk Ang bi tin atau Barisan Alis Merah dan beberapa tahun kemudian, agaknya Ang bi tin ini menjadi populer di kalangan Mongol dan dianggap sebagai semacam "hobby" atau olah raga! Bagi mereka, memburu dan membasmi orang orang Han yang dicurigai dan dianggap seorang ahli silat berbahaya sama halnya dengan memburu dan membunuh binatang ganas!
Demikianlah, makin lama gerakan Ang bi tin ini makin nyasar dari sebab semula. Kini banyak anggota Ang bi tin yang tidak tahu apa artinya alis yang dimerah merahkan itu. Orang orang Mongol yang menjadi anggota hanya senang memburu orang Han saja sedangkan orang orang Han seperti Lui Hai Siong dan lain lain yang ikut masuk menjadi anggota, tentu tadinya adalah golongan buaya buaya darat dan kini ingin menjilat pantat orang orang Mongol. Banyak sekali jumlahnya orang orang gagah dan bekas bekas perwira Bangsa Han yang menjadi korban keganasan Ang bi tin ini. Tidak saja orang orang gagah dan bekas bekas perwira, bahkan rakyat jelata juga ikut diganggu. Pendeknya Ang bi tin sudah berubah dari sepasukan orang orang yang hendak membalas dendam, menjadi gerombolan peajahat yang kejam, ganas dan ditakuti oleh seluruh rakyat, dari yang tua sampai yang masih anak anak!
Bun Sam, putera tunggal dari perwira Song yang terbunuh mati oleh gerombolan Ang bi tin dan yang dilukai oleh jarum bwe hoa ciam dari Lui Hai Siong ____ dibagian ____ sakit, panas dan pe_____ dan dapat melihat dengan baik apa yang terjadi dengan dirinya. Ketika ia roboh terkena jarum bwe hoa ciam yang dilepaskan oleh penjilat she Lui itu, tiba tiba ia merasa ditarik ke atas oleh orang berpakaian hitam dan di pondong oleh orang itu yang duduk di atas cabang pohon, tinggi sekali. Bun Sam terheran heran dan merasa seolah olah ia sedang berada dalam mimpi. Apalagi ketika kemudian ia dibawa melompat turun dan di dalam pondongan orang itu, Bun Sam merasa seakan akan dibawa terbang oleh seekor burung yang besar. Malam itu gelap sekali, maka ia tidak dapat melihat wajah penolongnya dan pundaknya terasa demikian sakitnya, sehingga ia mengeluh.
"Aduh" panas"."
Orang yang memondongnya itu berhenti berlari. Ternyata mereka telah berada jauh sekali dari kota Tong Seng kwan, berada di dalam sebuah hutan yang amat gelap. Hanya cahaya cahaya redup dari ribuan bintang di langit hitam memberi sedikit penerangan. Orang itu tanpa berkata sesuatu lalu menurunkan anak yang tubuhnya terasa panas sekali itu di atas rumput. Kemudian orang itu meraba raba pundak Bun Sam yang terkena jarum.
"Aduh".!" anak itu menjerit lalu pingsan saking hebatnya rast sakit menyerang dadanya.
Orang aneh itu mengeluarkan suara haha huhu seperti biasa dikeluarkan oleh mulut seorang gagu kemudian ia lalu mencabut sebatang pedang yang disembunyikan di balik bajunya yang panjang. Sekali ia membacokkan pedang itu pada batu karang, berpijarlah banyak bunga api. Tak lama kemudian ia telah berhasil membuat api unggun yang cukup besar. Dengan pertolongan sinar api unggun, ia lalu membuka baju Bun Sam dan memeriksa pundak yang terluka. Jarum Bwe hwa ciam yang menancap pada pundak anak itu ternyata mendatangkan warna hitam kebiruan di sekitar luka dan jarum itu telah masuk setengahnya lebih.
Kembali orang itu mengeluarkan suara haha huhu menyatakan kemarahannya. Ia menjepit jarum itu dengan dua jari tangan dan mencabutnya dengan cepat. Darah hitam menitik keluar dari luka, darah yang hampir mengental. Orang aneh itu lalu mendekatkan mulutnya pada luka di pundak Bun Sam dan disedotlah luka itu dengan mulutnya, sambil kedua tangatnya memencet mencet pundak itu untuk mengeluarkan darah yang telah terkena racun. Berkali kali ia menyedot dan meludahkan darah hitam akhirnya racun di pundak Bun Sam telah bersih. Dengan amat cekatan, orang ___ merobek pinggir baju Bun Sam dan ___ pundak ini dengan erat. Terdengar Bun Sam mengerang perlahan dan orang itu lalu memberinya minum arak hangat dari sebuah guci yang tengantung di pinggangnya. Setelah minum dua teguk arak, tanpa mambuka matanya Bun Sam lalu jatuh tertidur. Orang itu membiarkannya saja, membuka jubah luarnya dan menyelimutkannya di atas tubuh anak itu, kemudian ia duduk merenung di depan api unggun. Entah apa yang dilihatnya di dalam api yang bernyala nyala itu, akan tetapi ia nampak tertarik sekali dan terus duduk tak bergerak sampai pagi. Bahkan air mata yang mengalir turun membasahi pipinya entah ___ karena matanya pedas atau mengantuk, entah, karena memang ada yang disusahkan sama sekali tidak pernah dihapusnya.
Pagi hari itu Bun Sam dibangunkan oleh kicau burung di atas kepalanya, ia membuka kedua matanya dan menarik napas panjang, akan tetapi tiba tiba ia terkejut dan cepat cepat bangun duduk. Tadinya ia mengira bahwa ia telah bemimpi yang amat hebat buruknya, akan tatapi ternyata semua itu bukan impian, ia merasa pundaknya sakit dan ketika matanya terbuka terang, ternyata ia berada di tempat yang sama sekali asing baginya, ia telah tentidur di atas rumput yang kini menjadi agak basah, di bawah sebatang pohon besar dalam hutan yang liar, ia mendengar suara api bernyala. Dengan hati ngeri karena teringat kepada peristiwa semalam, ia menengok ke belakang ke arah suara api. Makin kagetlah ia ketika melihat seorang laki laki duduk tak bergerak di dekat api unggun, hanya tangannya saja kadang kadang bergerak untuk menambah kayu kering ke dalam api uggun.
Muka Bun Sam yang sudah pucat menjadi makin pucat ketika ia melihat wajah orang itu. Kedua matanya lebar dan cekung seakan akan hanya merupakan dua lobang yang kosong dan hitam. Kulit mukanya berkerut kerut dan rusak sama sekali, sedikitpun tidak ada dagingnya lagi sehingga ia benar benar menyerupai seperti seorang tengkorak hidup. Kepala orang itu tertutup sama sekali oleh pengikat kepala dari kain hitam __ demikian pula pakaiannya semua berwarna hitam terbuat dan kain kasar. Tiba tiba Bun Sam melihat jubah luar warna hitam pula yang menyelimuti tubuhnya. Ia menggigil, setengah kedinginan, setengah ketakutan,
Akan tetapi, tiba tiba saja pikirannya teringat kembali akan keadaan ayah bundanya dan tidak mempunyai harapan untuk hidup lagi, orang aneh atau tengkorak hidup inilah yang menolongnya. Dan tengkorak hidup ini telah membawanya lari seperti terbang cepatnya. Bun Sam adalah putera seorang bekas perwira dan ayahnya, Song Hak Gi adalah seorang yang memiliki ilmu silat cukup tinggi. Tidak jarang ayah yang mencintai anaknya ini sambil memberi pelajaran dasar ilmu silat, menceritakan bahwa di dunia ini banyak sekali hiapkek hiapkek (pendekar pendekar silat) yang tinggi kepandaiannya. Tengkorak hidup ini dapat berlari cepat seperti terbang, apakah dia bukan seorang hiapkek" Demikianlah, pikiran ini membuat Bun Sam yang baru berusia enam tahun itu memutar otaknya. Karena dia memang cerdik, diusirnya rasa takut yang timbul karena melihat muka yang menyeramkan itu dan desngan perlahan ia berdiri lalu menghampiri tengkorak hidup yang masih duduk termenung di depan api unggun itu.
Dengan amat hormat ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu sambil menempelkan jidat pada tanah dan berkata, "Inkong (tuan penolong) yang budiman, saya menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan in kong yang lelah menyelamatkan nyawa saya dari kematian. Akan tetapi apakah artinya pertolongan inkong itu" Ayah bundaku telah dibunuh orang, saya sendiri dikejar kejar oleh gerombolan Ang bi tin, agaknya mereka hendak membunuhku pula. Untuk apa inkong menolong saya" Untuk apa saya dibiarkan hidup lebih lama lagi, hidup seorang diri dan tidak berdaya?" Setelah berkata demikian, tak tertahan lagi Bun Sam mengucurkan air mata.
Semenjak anak itu menjatuhkan diri berlutut, orang aneh itu telah menatap wajahnya. Agaknya baru sekarang orang ini melihat wajah Bun Sam dan sepasang matanya yang lebar dan cekung itu nampak berkilat. Bun Sam memang seorang anak yang menyenangkan hati orang yang memandangnya. Kepalanya yang gundul nampak bersih dan bundar, sepasang matanya jeli dari lebar dengan manik mata yang bening alisnya hitam dan tebal memanjang dan mudah sekali diduga bahwa anak dengan wajah seperti ini kelak tentu akan menjadi seorang yang berhati jujur dan budiman. Ketika Bun Sam mengucapkan kata katanya yang penuh keluh kesah dan sesalan, tengkorak hidup ini hanya memandangnya saja tanpa menjawab. Kemudian setelah Bun Sam selesai bicara, ia lalu memegang pundak anak itu, membuka balutannya dan memeriksa lukanya. Bun Sam neringis kesakitan ketika balut itu dibuka, karene sebagian kain pembalut telah melekat pada lukanya. Akan tetapi, ia menggigit bibirnya ketika orang itu memaksa dan membuka kain pembalut itu sehingga luka pada pundaknya berdarah.
Karena muka orang itu kini amat dekat dengan dia, Bun Sam dapat memandang dengan amat teliti dan ia kini dapat melihat bahwa orang ini bukanlah seorang tengkorak, melainkan seorang manusia biasa. Seorang manusia yang mukanya telah rusak kulitnya, entah kenapa. Sepasang mata yang bersembunyi di dalam dua lobang gua itu ternyata amat tajam, sehingga Bun Sam tidak berani beradu pandang lama lama. Orang itu memeriksa lukanya, kemudian mengangguk angguk, mengeluarkan suara haha huhu, lalu meninggalkan Bun Sam. Tak lama kemudian ia datang lagi membawa beberapa batang ranting penuh daun daun hijau yang basah oleh embun. Dengan daun daun basah itu ia mencuci luka di pundak Bun Sam dan dengan beberapa helai daun muda yang hijau kekuningan yang amat halusnya, ia menutup llka itu yang lalu dibalutnya kembali.
"Inkong, kau baik sekali. Akan tetapi, siapakah Inkong ini dan saya hendak dibawa kemanakah?" Tanya Bun Sam pula sambil memandang penuh perhatian, kini rasa takutnya lenyap sama sekali, berganti rasa kagum, berterima kasih dan juga kasihan. Ya, di dalam hati anak ini timbul perasaan kasihan melihat muka orang yang menolongnya ini.
Akan tetapi si muka tengkorak itu tidak menjawab, hanya memandangnya dengan bibir bergerak mengarah senyum. Kemudian ia menudingkan telunjuknya ke arah dada Bun Sam, kemudian kepada dadanya sendiri, lalu ia menuding ke timur, agaknya ke arah puncak sebuah bukit yang nampak samar samar dari tempat itu.
"Inkong hendak membawaku ke bukit yang tinggi dan jauh itu" Ke tempat siapa dan mau apa?"
Akan tetapi orang itu hanya menggelengkan kepala kemudian menaruh telunjuknya di depan bibirnya. Bun Sam mengerti bahwa penolongnya tidak bisa bicara dan agaknya tidak mau memberi penerangan, bahkan minta kepadanya supaya menutup mulut seperti yang diisyaratkannya, maka ia pun diam saja. Tidak ada jalan lain baginya tidak ada pilihan lain. Orang aneh ini telah menolongnya dan tentu telah mempunyai rencana untuk dirinya. Betapapua juga rencana tentang hidupnya di tangan orang aneh ini, sudah pasti akan jauh lebih baik dan aman apabila dibandingkan dengan keadaan hidupnya jika tidak ditolong oleh orang ini. Maka ia menerima nasib dan menananti saja ke mana orang ini akan membawanya.
Si muka tengkorak itu tidak segera berangkat, melainkan menangkap seekor kelinci lebih dulu yang dipanggang dagingnya, kemudian ia bagi daging kelinci itu dengan Bun Sam. Melihat cara orang aneh itu menangkap kelinci, makin yakinlah hati anak itu bahwa penolongnya tentulah seorang hiapkek yang berkepandaian tinggi. Amat luar biasa dan mudah dia menangkap kelinci yang gemuk itu. Bun Sam sendiri tidak pernah menduga bahwa di dalam sebuah rumpun terdapat seekor kelinci yang gemuk sekali. Tiba tiba saja si muka tengkorak itu memungut sebutir batu dan dilemparkatnya batu itu ke dalam semak belukar. Seekor kelinci yang ketakutan karena sambitan batu itu melompat keluar dan hendak melarikan diri. Akan tetapi si muka tengkorak itu mengeluarkan seruan aneh dan tangan kanannya dengan jari terbuka dipukulkan ke depan ke arah kelinci itu dan aneh, kelinci itu tenguling seperti lumpuh kakinya. Dengan enaknya orang aneh itu lalu memegang telinga binatang itu dan menggunakan, kuku jarinya yang panjang untuk memotong leher kelinci dan mengulitinya. Benar benar mengherankan. Hanya dengan menggunakan kuku yang panjang, leher itu disembelihnya kemudian dengan guratan kuku pula, kulit binatang itu dapat dikupasnya semua. Tulang tulang kaki yang dibuang, ___ dengan sekali renggutsaja, seakan akan ___ kelinci itu ___ dari pada lidi.
Setelah selesai makan tanpa banyak membuang waktu lagi, orang aneh itu lalu memondong tubuh Bun Sam dan dibawa lari cepat menuju ke timur, simana sebuah bukit menjulang tinggi dengan puncaknya menyundul awan dan lenyap dikurung mendung. Orang aneh itu sengaja memilih jalan melalui hutan hutan dan tempat yang sunyi tidak ada manusia. Agaknya ia takut atau malu kalau kalau bersua dengan orang tentu akan menjadi kaget dan mengira bahwa dia seorang siluman yang menculik seorang anak kecil.
Satu hari penuh orang itu berlari tiada hentinya. Bun Sam merasa heran sekali, heran melihat kekuatan orang ini yang berlari terus tanpa mengaso, lupa lelah lupa lapar. Juga ia merasa heran mengapa bukit yang sudah kelihatan itu, setelah orang ini berlari cepat sehari lamanya, masih juga kelihatan menjulang tinggi, kebiru biruan. Ia merasa lapar sekali. Denga kelinci yang pagi tadi memasuki perutnya sudah tidak ada bekasnya lagi.
"Turunkan saya, inkong!" katanya, akan tetapi orang itu agaknya tidak mendengarnya atau tidak mau mendengarnya.
"Inkong, kau sudah sehari menggendongku, dari pagi buta sampai senja hari. Kau tentu lelah, turunkan saya, inkong!" Akan tetapi, orang ini hanya memandangnya sambil menggelengkan kepala satu kali, seakan akan hendak menyatakan bahwa ia tidak lelah sama sekali.
"Inkong, turunkanlah saya! Saya" lelah dan lapar!" kata Bun Sam pula dan berbareng dengan ucapan itu, perutnya berkeruyuk keras. Kini orang aneh itu agaknya menaruh perhatian. Mereka berada di luar sebuah dusun yang amat miskin. Pohon pohon yang tumbuh di luar dusun pada gundul agaknya segala macam tumbuh tumbuhan yang masih muda sudah diambil orang. Janganlah terlihat kelinci liar di tempat itu atau binatang lain, bahkan seekor ayam peliharaanpun tidak nampak. Alangkah miskinnya dusun ini.
Orang itu kelihatan bingung. Anak itu lapar dan ia harus mencarikan sesuatu yang dapat dimakan. Akan tetapi di manakah ia bisa mendapatkan makanan" Ia memandang ke sana ke mari dan wajahnya yang seperti kedok itu nampak tidak berubah sama sekali, Bun Sam yaqg cerdik dapat menduga pikiran orang aneh itu.
"Inkong, kalau di sini tidak ada makanan, mengapa kita tidak masuk saja ke dalam kampung itu untuk membeli atau minta kalau inkong tidak punya uang, kita dapat minta makanan pada orang didusun." Sambil berkata demikian Bun Sam melangkah menuju ke kampung itu. Penolongnya yang aneh itu tidak menaruh keberatan dan sambil memegang tangan Bun Sam, ia juga berjalan bersama anak itu menuju ke kampung.
Seperti sebagin besar dusun dusun lain di masa itu, dusun ini amat miskin. Begtu luar biasa miskinnya, sehingga gubuk yang kelihatan di dalam dusun itupun nampaknya lebih kotor dan buruk dari pada kandang kuda. Hampir semua hasil sawah ladang diperas habis oleh kepala kampung, seorang kaki tangan pemerintahan Mongol yang merupakan raja kecil di dusun itu.
Tidak nampak sebuahpun warung nasi di situ. Bahkan sebagian besar pintu piatu rumah telah ditutup pada waktu senja hari itu, seakan akan penghuninya ingin siang siang tidur agar perutnya yang kosong tidak terlalu mengganggu. Beberapa kali Bun Sam mengetok pintu rumah orang dan dibuka oleh orang orang bertubuh kurus dan bermuka pucat.
"Maaf, lopek. Kami berdua adalah orang orang pengembara yang menderita kelaparan. Di manakah kami dapat membeli makanan untuk mengisi perut di tempat ini?"
Tiap kali ia bertanya, yang ditanya memandang penuh keheraaan dan menjawab lesu, "Kau mengimpi, nak dan kau benar benar sial datang ke dusun ini. Jangankan untuk dijual, untuk dimakan sendiri saja masih kurang banyak. Setiap hari ada orang mati kelaparan di sini maka jangan kau datang membawa berita bahwa kau kelaparan." Setelah melihat wajah orang aneh yang berdiri agak jauh, orang itu menjadi makin kaget, dan tanpa banyak cakap lalu membanting daun pintu di depan hidung Bun Sam.
Bun Sam menjadi bingung dan juga penasan. Ia memandang penolongnya yang memberi tanda dengan tangannya agar supaya Bun Sam menunggu di tempat itu, yakni di depan rumah gubuk yang menutup pintunya terhadap mereka Di depan rumah itu terdapat sebuah bangku kayu dan anak ini lalu duduk di situ. Setelah memberi tanda dengan tangan bahwa ia hendak mencari makanan, si muka tengkorak itu lalu menggerakkan kedua kakinya dan bagaikan seekor burung rajawali, ia melayang naik ke atas dan lenyap di pohon pohon.
Bun Sam menjadi kagum bukan main. Ayah nya juga pandai melompat ke atas genteng akan tetapi tidak secepat orang aneh ini. Alangkah akan senang hatinya kalau ia dapat memiliki kepandaian seperti penolongnya yang aneh itu. Ah, ia akan mencari gerombolan Ang bi tin dan hendak dibasminya semua sebagai pembalasan dendam atas kematian ayah bundanya.
Sementara itu, bagaikan seekor kucing, si muka tengkorak itu berlari lari di atas genteng, mencari rumah yang paling besar dan bagus. Sebentar saja ia bisa mendapatkan rumah ini karena di tengah tengah kampung itu di antara rumah rumah kecil pendek macam gubuk di sawah menjulang tinggi sebuah bangunan rumah gedung sehingga nampak menyolok dan ganjil sekali. Rumah ini gentengnya pun tebal dan kuning, bangunannya tinggi dari tembok tebal pula diri cahaya penerangan yang keluar dari celah celah genteng dan jendela, amat terang.
Rumah ini adalah milik dari kepala kampung she Cia. seorang pemeras rakyat, penjilat pembesar atasan. Malam hari itu, seorang diri ia sedang duduk di kamar kerjanya dan biarpun berkali kali dan benganti ganti lima orang isteri dan selirnya datang membujuknya untuk pengi tidur, ia menolak dengan keras. Apakah yang menahan orang ini, sehingga ia sanggup menolak bujukan selir selirnya yang muda dan cantik" Tak lain tak bukan satu satunya benda yang dapat mengalahkan keserakahannya terhadap wanita cantik, hanya uang! Ia sedang menghitung uang emas dan peraknya yang di tumpuk di atas meja, sambil mengakurkannya dengan catatan di bukunya. Ada selisih beberapa tail perak dan bagi seorang hartawan atau lebih tepat bagi sebagian besar orang orang hartawan termasuk Cia thungcu (kepala kampung she Cia) ini, uang merupakan nyawanya dan beberapa tail perak atau bahkan beberapa potong uang tembaga merupakan sebagian daripada nyawanya itu. Kehilangan sedikit uang tembaga mendatangkan kemarahan kepadanya, kehilangan beberapa banyak uang perak mendatangkan kesedihan, kehilangan lebih banyak dapat mendatangkan penyakit dan kalau seandainya semua uangnya lenyap, sama halnya dengan nyawanya yang lenyap dan dapat mendatangkan maut!
Pada saat Cia thungcu sekali lagi menghitung uang peraknya, tiba tiba matanya terbelalak kaget dan heran kini tumpukan uang peraknya yang tadinya ada tujuh tumpuk, kini tinggal lima tumpuk lagi! Bagaikan seorang ibu muda kehilangan anak bayinya, lurah Cia itu mencari ke sana ke mari dengan muka pucat, ia sampai sampai menjenguk ke bawah meja dan membalik balik bukunya yang tadi diisi catatan catatan, lupa bahwa tak mungkin sekali dua tumpuk uang itu dapat terselip di antara lembaran lembaran bukunya. Ketika ia mengangkat kepalanya lagi dan memandang ke atas meja, ia kini tidak hanya membuka kedua matanya, akan tetapi juga membuka mulutnya lebar lebar. Sekarang tumpukan uang emasnya sebanyak tiga tumpuk itupun lenyap sama sekali.
"Ce"la"ka?" ia bermaksud menjerit, akan tetapi tidak ada suara keluar dari tenggorokannya, karena pada saat itu sesosok bayangan hitam bagaikan setan telah menerjang dari belakang dan menotok lehernya sehingga lurah itu tak dapat berteriak atau bengerak sama sekali. Dengan mata melotot, Cia thungcu hanya dapat memandang ke depan di mana kini terlihat seorang yang berpakaian hitam dan bermuka seperti tengkorak. Cia thungcu merasa seakan akan jantungnya hendak copot saking takut dan ngerinya. Yang berada di depannya ini tak mungkin manusia.
Bayangan hitam itu mengambil pena diatas meja, mencelupkannya di dalam bak tinta lalu ia mencorat coret di dalam lembaran kertas yang terbuka. Di situ ia menulis beberapa huruf besar yang gagah dan indah dan berbunyi : ATUR BAIK BAIK KEHIDUPAN RAKYAT, KALAU TIDAK, LAIN KALI AKU DATANG MENGAMBIL KEPALAMU!
Setelah menuliskan ini, orang itu berkelebat keluar dari jendela. Lurah she Cia itu masih saja duduk seperti patung dan menjelang tengah malam ketika seorang selir mudanya datang, selir ini menjerit dan gegerlah seisi rumah.
Akan tetapi di luar rumah lurah itu terjadi hal hal yang lebih aneh dan menggemparkan lagi. Kepala pengawal lurah Cia, yang dianggap jagoan paling kejam di dalam dusun itu, yang menjadi tukang pukul lurah Cia, ketika sedang berjaga dengan kawan kawannya dan main kartu, tiba tiba kehilangan dua lembar daun telinganya dan meja kursi di mana mereka bermain kartu, beterbangan sendiri menghantam para pengawal, sehingga tak seorangpun di antara mereka yang selamat. Semua babak belur dan benjol benjol matang bitu.
Ini masih belum hebat. Di ujung dusun itu terdapat sebuah rumah besar juga yang sudah amat kuno dan seram sekali. Rumah ini sekelilingnya penuh dengan alang alang yang tinggi. Dilihat dari luar, rumah ini seperti tidak ada penghuninya, akan tetapi sebetulnya di situ terdapat penghuninya yang disegani orang karena dianggap gila. Orang gila ini bernama Gan Kiat dan sudah duda, hanya tinggal berdua dengan seorang anak laki lakinya yang baru berusia enam tahun. Akan tetapi semenjak pemerintah Mongol menguasai Tiongkok dan rakyat hidup amat sengsara, orang she Gan ini tiba tiba menjadi gila dan tidak mau bergaul dengan orang lain. Untuk makan dia dan anaknya, ia menjual semua perabot rumah dan barang barang miliknya satu demi satu, sehingga akhirnya rumah yang besar itu menjadi kosong seperti gua yang seram. Malam hari ia tak pernah menyalakan penerangan dan rumah itu nampak gelap dan hitam. Juga sudah setahun lebih orang orang tidak melihat anaknya yang bernama Gan Kui To.
Pada malam hari terjadinya serangan atas diri lurah Cia dan para pengawalnya itu, terdengarlah jerit mengerikan di dalam rumah besar milik keluarga Gan yang kini disebut rumah setan itu. Orang orang yang mendengar jeritan ini, segera memburu keluar dan berdiri di depen rumah, ingin tahu apa yang terjadi. Nampak oleh mereka Gan Kiat yang sudah setengah tua dan kurus kering itu berlari ke luar terhuyung huyung dan di belakangnya nampak seorang anak mengejarnya dan memukulinya dengan sepotong besi. Anak itu ternyata adalah Gan Ku To yang berusia enam tahun, akan tetapi alangkah mengerikan keadaan anak itu. Mukanya dan seluruh tubuhnya kotor, matanya merah, mulutnya berbusa dan berdarah seperti seorang iblis kecil menyeramkan sekali.
Dengan pukulan bertubi tubi akhirnya Gan Kiat menggeletak dan tak bergerak lagi. Semua orang memburu dan berhasil merampas besi, dan menangkap anak kecil itu dan barulah mereka tahu bahwa anak itu telah gila.
"Aku bunuh kau! Orang tua gila. Aku bunuh kau!" berkali kali Kui To berteriak teriak dengan marah dan mencoba untuk meronya ronta.
Orang orang menghampiri Gan Kiat yang masih dapat merintih rintih. Ketika ia melihat orang orang mendekatinya, ia berbisik ___ sendiri kenapa dia tidak kubunuh dalam setahun kukurung di " di dalam kamar gelap hanya kuberi makan kalau aku ingat saja" akan tetapi" setan itu tidak mau mampus." Ternyata bahwa dalam gilanya, Gan Kiat telah mengurung anaknya sendiri sampni setahun lamanya di dalam gelap, hanya diberi makan kalau ia teringat saja. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan anak itu dan agaknya keadaan yang sedemikian hebatnya itu telah merubah jiwa anak ini dan ketika pada senja hari itu ayahnya membuka pintu kamarnya tiba tiba ia menyerang ayahnya sendiri dengan pukulan, tendangan, gigitan dan dengan nekad sekali. Ayahnya yang masih lemah dan juga pikirannya terganggu, melarikan diri dan dikejar kejar nya terus. Anak itu memungut sepotong besi dan memukuli ayahnya sampai ayahnya menggeletak di halaman depan dan ia ditangkap oleh penduduk ___
_____ dengan lemah. Gan Kiat ____ nafas terakhir. Orang orang ____ jadi marah sekali.
"Anak ini sudah gila! bunuh saja, kalau dilepas, ia akan nencari korban lain! Bunuh saja dan kita kubur bersama ayahnya! Bakar rumah setan itu!"
Mereka menyeret Gan Kui To yang kini sudah nampak lepas dan tak berdaya. Pergumulan nya dengan ayahaya tadi telah menghabiskan tenaganya dan ia menjadi lemah sekali, ia tak melawan dan beberapa pukulan tangan orang orang dusun yang marah itu sudah membuat hidung dan bibir nya berdarah dan kepalanya benjol benjol.
Akan tetapi, tiba tiba anak itu lenyap dari tengah tengah orang orang dusun yang mengeroyok nya. Tentu saja semua orang menjadi terkejut sekali. Bagaimana anak yang sudah hampir pingsan itu tiba tiba saja bisa lenyap"
"Setan" setan"! Ini tentu perbuatan setan?" dan bubarlah orang orang itu, berlari kembali ke rumah masing masing dan biarpun orang orang di rumah lurah Cia ribut rebut, mereka tidak berani keluar, menanti sampai besok pagi.
Adapun Gan Kui To, anak yang dikeram ayah nya sendiri sampai menjadi nekat dan membunuh ayahnya itu, kini telah dipondong dan dibawa lari oleh si muka tengkorak dan dibawa ke tempat di mana Bun Sam menanti kedatangannya. Anak itu masih saja duduk di tempat tadi dan nampaknya mengantuk sekali.
Memang penolongnya pergi amat lama. Orang aneh ini setelah mendatangi rumah Cia thungcu dan mengganggu para pengawal, lalu membagi bagikan uang kepada rumah rumah penduduk, ia telah mengambil tiga tumpuk uang emas dan dua tumpuk uang perak dan kini setiap rumah ia datangi, ia buka gentengnya dan ia lemparkan beberapa potong uang perak dan emas ke dlam rumah itu. Hal ini baru pada keesokan harinya menimbulkan kegemparan karena ketika orang aneh ini melakukan perbuatan itu, tak seorangpun dapat melihat atau mendengarnya.
"Ah, mengapa begitu lama, inkong ?" tanya Bun San kepada penolongnya, akan tetapi ia menahan pertanyaan selanjutnya dan memandang heran ketika melihat bahwa penolongnya itu telah memondong seorang anak laki laki yang kepala dan mukanya luka luka. Tanpa berkata sesuatu, orang aneh itu mengeluarkan bungkusan dari sakunya dan memberikan bungkusan itu kepada. Ternyata itu adalah sebungkus kue terigu yang cukup banyak. Saking heran dan ingin tahunya, Bun Sun hanya sedikit saja makan kue itu. Dan penolongnya juga segera memegang tangannya dan menariknya pergi dari dusun itu.
Pertiwa yang terjadi seperti yang dituturkan di atas itu, yakni tentang keluarga Gan yang menjadi gila kembali adalah akibat dari pada penggantian pemerintahan. Tentu saja memang harus diakui bahwa akal yang lemah dari Gan Kiat juga merupakan sebab yang amat utama.
Gan Kiat dahulunya adalah seorang pembesar sipil berpangkat pembantu tikoan di kota Kun tong. Ia adalah seorang pembesar yang korup dan di dalam pekerjaannya ia hanya mengenal satu tujuan, yakni mengumpulkan uang dan harta sebanyak banyaknya dengan jalan yang paling nudah. Tentu saja, sesuai dengan pekerjaannya di kantor peradilan, usaha mengumpulkan uang ini dengan mudah ia dapatkan dengan jalan menerima uang sogokan dari mereka yang ingin dimenangkan dalam perkaranya, tidak perduli ia yang bersalah. Uang sogokan dari mereka yang ingin melihat keluarga atau sanaknya di perlakukan baik baik di dalam penjara, tidak perduli sanak itu adalah seorang penjahat besar. Pendeknya, segala hal akan dapat terjadi dan akan dilakukan berakt "bantuan" dari pembesar she Gan ini asal saja, orang berani memberi "tanda mata" atau tanda jasa.
Akan tetapi ketika pemerintah Goan tiauw berdiri, bintang orang she Gan ini mulai menyuram. Isterinya terserang penyakit panas sampai meninggal dunia. Hai ini amat dalam menggores hatinya karena Gan Kiat amat mencintai isterinya. Kini ia hidup berdua dengan putera tunggalnya, ialah Gan Kui To. Rupa rupanya nasibnya masih makin menurun. Bala tentara Mongol yang melakukan gedoran dan perampokan di sana sini juga mengganggu rumah nya dan menghabiskan harta benda Gan Kiat. Lebih berat lagi, Gan Kiat tidak berhasil menguasai pangkat lagi setelah ia terpaksa berhenti karena pemerintah lama telah bangkrut.
Terpaksa ia menjual semua barang barangnya yang masih ada dan pindah ke dusun di kaki Gunung Oei san. Di sini ia memang memiliki sebuah rumah gedung kuno peninggalan orang tuanya, Bersama anaknya, ia tinggal di rumah kuno ini dan saking sedihnya, akhirnya otaknya tenganggu dan ia seperi orang gila. Keadaannya yang tadinya kaya raya berobah menjadi miskin dan makan dari barang barang yang dijualnya membuat Gan Kiat tidak dapat menahan lagi dan ia lalu mengeram puteranya di dalam kamar.
Demikianlah sedikit riwayat singkat dari Gan Kui To yang telah membunuh ayahnya sendiri. Akan tetapi hal itu tidak diketahui penolongnya. Yang diketahtinya hanya bahwa ____ itu sedang dikeroyok dan hendak dibunuh oleh orang orang dusun yang kelaparan.
Pada keesokan harinya, nampak tiga orang itu, seorang setengah tua yang sukar ditaksir berapa usianya, dengan muka seperti tengkorak dan pakaian hitam, bersama dua orang anak laki laki yang sebaya, kurang lebih enam tahun, mendaki bukit yang tinggi dan penuh dengan hutan hutan liar dan pohon pohon indah, yakni Bukit Oei san yang tersohor.
Gunung Oei san memang benar benar indah dan megah. Tidak saja puncak puncaknya menjulang tinggi menembus mega, juga di situ pemandangan amat aneh dan menarik. Pohon pohon tusam yang berwarna hijau dan berbentuk artistik, batu batu karang, yang amat aneh bentuknya seakan akan sengaja diukir oleh tangan alam yang perkasa, awan yang melaut biru dan dihias awan awan putih dan hitam gelap di sana sini, sungguh merupakan tamasya alam yang jarang terlihat di tempat lain.
Terutama sekali pohon pohon tusam yang tumbuh di gunung itu benar benar ajaib, baik bentuk cabang cabang dan daunnya, maupun letak tumbuh nya. Pohon pohon ini dapat tumbuh di tempat tempat yang sama sekali tidak disangka orang. Di atas tebing tebing yang curam, di atas puncak puncak yang berkabut, di antara batu batu karang dan di atas tanah yang keras berbatu batu seakan akan pohon pohon itu tidak menghiraukan kebutuhan akar akarnya akan air. Bahkan ada pohon tusam yang tumbuh di atas batu karang. Hal ini tentu saja merupakan keanehan yang tak masuk di akal, akan tetapi kalau kita mendekati batu karang itu, kita akan melihat bahwa batu karang itu telah pecah dan di antara retakan itulah, maka dapat tumbuh pohon aneh itu, keadaan di gunung itu awan yang menghalangi matahari, batu batu karang tinggi yang mengapit pohon, angin gunung yang selalu bertiup, hawa yang amat dingin, pendeknya keadaan gunung yang hebat inilah yang membentuk pohon pohon tusam, sehingga merupakan pemandangan yang ___. Banyak pohon tusam di dunia ini, akan tetapi tidak ada yang seindah, seaneh dan semenarik pohon pohon tusam di Gunuag Oei san.
Setelah jalan mendaki gunung itu mulai sukar terhalang oleh batu batu karang yang tinggi serta jurang jurang yang dalam, orang tak aneh itu lalu memeluk pinggang Bun Sam dan Kui To dengan ke dua tangannya dan secepat burung terbang, ia melompati batu batu karang dan jurang jurang, mendaki dengan amat cepatnya.
Siapakah sebetulnya orang aneh yang mukanya mengerikan seperti tengkorak ini" Tak seorangpun yang mengetahui akan hal ini dan sebaiknya kita pun mengikuti saja perjalanannya, karena kelak tentu akan tiba masanya rahasianya terbuka. Hanya dapat diceritakan di situ bahwa ilmu kepandaian orang ini benar benar hebat. Cara ia melompat lompat naik ke atas gunung Oei san sambil mengempit dua orang anak itu, benar benar menunjukkan bahwa ia telah memiliki ginkang yang sempurna.
Bun Sam adalah seorang anak yang tabah dan ia sama sakali tdak memperlihatkan rasa takut melihat betapa tubuhnya melayang di atas jurang jurang yang dalam sekali. Sekali saja penolongnya ini merasa lelah dan kempitannya terlepas, tubuhnya akan jatuh ke dalam jurang dan akan hancur menerpa batu batu karang yang runcing merupakan mulut naga ternganga penuh gigi yang runcing dan tajam, itu. Akan tetapi, agaknya ketabahan hati Bun Sam masih kalah oleh Gan Kui To, anak yang tadinya disangka gila itu, setelah tertolong oleh si muka tengkorak, Kui To jatuh pingsan dan baru siuman setelah melakukan perjalanan setengah hari. Ia sadar seperti orang baru bangun dari tidur dan dari mimpi buruk, ia hanya merintih sedikit, akan tetapi setelah membuka matanya dan melihat Bun Sam, ia menggigit bibir, tidak pernah ia mengeluh lagi. Tanpa mengeluarkan ucapan sesuatu, ia lalu ikut berjalan dan tak pernah bertanya kemana si muka tengkorak akan membawanya. Juga kepada Bun Sam ia tidak pernah bicara sepatah katapun.
Akan tetapi setelah si muka tengkorak itu membawa mereka melompati batu batu karang dan jurang, Kui To tak dapat menahan kegirangan dan kegembiraan hatinya. Tadinya ia hanya diam saja, karena ia masih merasa terharu, menyesal, bingung, juga sedih dan ngeri mengingat keaadaan ayahnya yang dibunuhnya sendiri. Akan tetapi ingatan bahwa laki laki yang dibunuhnya itu ayahnya, sudah merupakan ingatan yang suram. Selama setahun dikeram ia menganggap laki laki itu sebagai musuh yang harus dibunuh nya, seperti tikus tikus yang dibunuhnya di dalam kamar tahanannya. Setahun ia tidak bicara dan biarpun di dalam otaknya ia masih dapat bicara, namun mulutnya tidak kuasa mengeluarkan kata kata.
"Bagus"! Bagus"!" hanya dua kali ia berteriak bagus dan tiba tiba mendengar suaranya sendiri, Kui To menjerit dan terus pingsan dalam kempitan si muka tengkorak itu Bun Sam dapat melihat betapa kepala. tangan dan kaki anak itu terkulai dengan lemas, maka ia cepat berkata,
"Inkong. dia pingsan". dia sakit?"
Akan tetsapi, orang aneh itu tidak menjawab dan tidak mengurangi larinya yang cepat. Mereka telah tiba di lereng dan kini bahkan berlari lebih cepat lagi, menuju ke puncai yang tertutup oleh halimun yang putih keruh, membuat pandangan mata menjadi gelap. Bun Sam tidak dapat melihat apa apa lagi, kecuali uap putih yang membuat matanya terasa pedas dan seluruh tubuhnya terasa dingin sekali.
Si muka tengkorak terus saja berlari. Mereka telah melewati dua buah puncak yang tinggi dan akhirnya, setelah Bun Sam hampir membuka mulut menyatakan tidak kuat lagi, sampailah mereka di sebuaah puncak. Bun Sam diturunkan dari kempitan, akan tetapi Kui To masih dipondong, karena anak ini masih pingsan.
Ketika Bun Sam ___ hampir ia berteriak saking kagum dan heran. Puncak ini ternyata paling tinggi di antara semua puncak di Pegunungan Oei san, akan tetapi aneh dan ajaib. Kalau puncak yang lain, yang iebih rendah daripada puncak ini, tertutup oleh halimun yang merupakan awan awan putih, adalah puncak tertinggi ini amat bersih dan mendapat penerangan matahari yang kuning keemasan. Pohon pohon tusam yang luar biasa anehnya tumbuh di puncak ini dan puncak ini dikelilingi oleh batu batu karang, jurang jurang yang semua terbentang di bawah.
Jilid II "Bukan main indahnya"." Bun Sam berseru dan lupalah ia akan kelaparan perutnya, kelelahan tubuhnya dan kesedihan hatinya. Ia tentu akan berdiri di situ terus, memutar mutar tubuh memandang ke sekeliling puncak, kalau saja si muka tengkorak tidak memegang tangannya dan mengajaknya melanjutkan perjalanan, menuju kesebuah hutan kecil dari pohon pohon tusam yang berada di tempat paling tinggi.
Di hutan yang indah, penuh dengan pohon pohon tusam yang tua dan bunga bunga beraneka warna ini, terdapat pula banyak sekali batu batu karang besar yang bentuknya bermacam macam, ada yang seperti mulut naga, ada pula yang berbentuk empat segi dan bundar.
Dan di tengah tengah hutan kecil ini, terdapat sebuah pondok bambu yang sederhana dan bersih. Ketika mereka berjalan menuju ke pondok itu, seorang kakek ke luar dari pintu pondok yang tidak berdaun pintu. Kakek ini sudah tua sekali, berpakaian kuning dan membiarkan rambutnya yang putih dan panjang tarurai di punggungnya.
"Yap Bouw, kau baru datang?" terdengar suara kakek itu berkata dengan halus akan tetapi di dalam kehalusan suaranya ini mengandung sesuatu tenaga yang menggetarkan hati Bun Sam.
Si muka tengkorak ketika melihat kakek ini lalu menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu, lalu menggerak gerakkan kedua tangannya. Sepuluh buah jari tangannya bergerak gerak seperti seorang penari dan kakek itu memandang dengan penuh perhatian. Ternyata bahwa dengan bahasa gerak jari, si muka tengkorak itu sedang menceritakan kepada kakek ini tentang kedua orang anak yang dibawanya.
Bun Sam adalah anak yang cerdik. Melihat sikap penolongnya terhadap kakek yang lemah lembut ini, tahulah ia bahwa kakek ini tentu bukan orang sembarangan. Kalau penolongnya yang demikian gagah perkasa masih memperlihatkan penghormatan sebesar itu, tentulah kakek ini seorang sakti yang sering kali didongengkan oleh ayahnya sebagai pertapa pertapa yang sudah menjadi manusia setengah dewa. Oleh karena itu, tanpa ragu ragu lagi ketika kakek itu memandangnya, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan berkata, "Teecu (murid) bernama Song Bun Sam, ayah bunda teecu terbunuh oleh gerombolan Ang bi tin dan kalau teecu tidak tertolong inkong (tuan penolong) ini, entah bagaimana jadinya dengan diri teecu"
"Aku tahu, aku tahu... Yap Bouw sudah menceritakan padaku tentang keadaanmu. Sudahlah, Bun Sam, tak perlu kau memikirkan hal hal yang sudah lalu, tak perlu kau mengingat ingat peristiwa yang terjadi. Paling baik kau memandang ke depan ke masa mendatang. Kau tentu tidak mempunyai keluarga lagi, bukan?"
Bun Sam menggelengkan kepalanya "Keluarga ayah dan ibu memang ada, akan tetapi teecu tidak tahu lagi di mana tempat tinggal mereka."
"Kalau begitu, sukakalah kau tinggal di sini bersama aku dan Yap Bouw dan Siauw liong (Naga Kecil)! Aku disebut orang Kim Kong Taisu dan kau boleh belajar apa saja tang kau sukai di tempat ini."
Bun Sam cepat mengangguk anggukkan kepalanya dan berkata, "Kalau suhu dan inkong sudi memberi tempat kepada teecu, teecu akan suka sekali tinggal di sini. Biarpun dijadikan pelayan, teecu akan menerima dengan penuh perasaan terima kasih." Sambil berkata demikian, Bun Sam diam diam mengerling ke arah pondok kecil itu. Karena tadi kakek ini menyebut nama Siauw liong, tidak tahu siapa dan apakah Siauw liong itu" Kalau orang, tentulah seorang anak karena sebutan siauw (kecil) itu biasanya dipergunakan untuk seorang anak anak. Akan tetapi tidak ada sesuatu yang muncul dari gubuk itu.
Pada saat itu. Gan Kui To, siluman kembali dari pingsannya. Tadi ketika ia mengeluarkan seruan "bagus" sampai dua kali, ia merasa terkejut mendengar suaranya sendiri dan suaranya inilah yang mengembalikan ingatannya. Ia teringat akan ayahnya yang telah dibunuhnya, ingat akan pengeroyokan orang orang dusun yang hampir menewaskannya. Semua terbayang dalam ingatannya dan demikian mengerikan, sehingga ia menjadi pingsan.
Kini, setelah ia mengerang dan membuka mata, ia memandang kepada si muka tengkorak, kepada kakek itu dan kemudian melirik ke arah Bun Sam. Kui To biarpun memiliki wajah yang tampan, akan tetapi matanya terlalu sipit sehingga hanya merupakan garis yang kecil melintang di antara telinganya. Kemudian ia menangis keras, tersedu sedu dan menyembunyikan mukanya di dalam kedua tangannya.
Kakek itu mengerutkan keningnya. Agaknya ada sesuatu yang pengganjal hatinya akan tetapi ia kasihan juga melihat Kui To yang menangis terisak isak itu.
"Diamlah, nak. Tak perlu air mata dihamburkan menyesali hal yang sudah lalu, yang tak dapat diperbaiki lagi. Kau anak siapakah, di mana orang tuamu dan mengapa kau sampai dikeroyok dan akan dibunuh oleh orang orang dusun" Apa salahmu?" Kui To biarpun baru berusia enam tahun, namun iapun memiliki kecerdikan yang luar biasa. Kecerdikan ini diperolehnya ketika setahun lamanya ia di keram dalam kamar. Ia biasa mempergunakan otaknya dengan diam diam dan kini mendengar pertanyaan kakek ini, legalah hatinya. Ternyata bahwa orang orang ini tidak tahu bahwa ia telah membunuh ayahnya! "Aku" aku kelaparan dan mencuri makanan.... ketahuan oleh pemiliknya lalu dikeroyok...." katanya di antara isak tangisnya.
Kembali kakek itu menarik napas panjang sambil mengerutkan keningnya. Pandang matanya kepada Kui To amat tajam dan Bun Sam amat terkejut melihat betapa sinar kilat bercahaya dalam manik mata orang tua itu. Juga Yap Bouw dengan cepat menggerak gerakkan kedua tangannya seakan akan ia menceritakan sesuatu. Memang sesungguhnya Yap Bouw menceritakan kepada Kim Kong Tahu bahwa ia mendengar orang orang dusun menyebut anak itu gila.
Kakek itu mengangguk angguk dan nampak sabar lagi. "Betapapun juga, kau patut dikasihani dan memang tidak salah Yap Bouw menolong dan membawamu ke sini. Siapa namamu dan di mana orang tuamu"
Sebelum menjawab, Kui To mengeringkan air matanya dengan gerakan yang dapat menimbulkan kasihan.
Aku bernama Gan Kui To, kedua orang tua ku telah meninggal dunia. Aku seorang yatim piatu yang hidup sebatatng kara, mohon kau orang tua suka menolongku...." Memang sungguh mengherankan juga bagi Kui To sendiri, mengapa sekarang ia dapat bicara amat lancarnya, padahal tadi nya, sering kali di dalam kamar tahanan ia meragukan apakah ia bisa bicara pula selelah setahun lebih tak pernah bicara itu, kini ternyata bahwa suaranya amat nyaring dan bening, penuh tenaga dan semangat, sungguhpun dibuka untuk mengucapkan kata kata sedih.
"Hm, Kui To, sukakah kau tinggal di sini menjadi muridku, seperti Bun Sam ini?"
Kui To melirik kepada Bun Sam. Ia tidak tahu asal usul pemuda cilik ini dan tadinya ia mengira bahwa anak ini tentulah kawan dari penolongnya yang bermuka tengkorak itu. Kini mendengar pernyataan kakek itu, ia dapat menduga bahwa anak inipun seorang yang baru datang.
"Pelajaran apakah yang hendak kau berikan kepadaku, maka aku harus menjadi muridmu?"
Bun Sam yang mendengar gaya bahasa dari Kui To yang diucapkan terhadap suhunya, amat mendongkol. Akan tetapi, tidak demikian dengan Kim Kong Taisu. ia tersenyum dan berkata, "Tergantung dari bakatmu sendiri. Tidak ada guru yang lebih pandai daripada watak dan bakat sendiri, guru luar hanya memberi petunjuk dan bimbingan belaka."
Sesungguhnya, di dalam hatinya, Kui To tidak suka tinggal di tempat yang sunyi dan tidak menarik hatinya ini. Akan tetapi ketika ia mengerling ke arah Bun Sam, timbul rasa hatinya yang tidak mau kalah oleh anak ini. Kalau anak itu dapat belajar di sini, mengapa aku tidak" Dan kalau tidak mau hendak pergi ke mana" Maka iapun lalu berlutut dan berkata,
"Baiklah, suhu. Teecu mau tinggal di sini menjadi murid dari suhu."
Demikianlah, Bun Sam dan Kui To semenjak hari itu tinggal di puncak Gunung Oel san dan menjadi murid Kim Kong Taisu. Pada malam hari itu, Bun Sam yang disuruh bermalam bersama Kui To di dalam pondok sedangkan Kim Kong Taisu dan Yap Bouw tidak diketahuinya di mana bermalamnya, dengan diam diam keluar dari biliknya dan menuju ke tempat terbuka di depan pondok. Langit penuh dengan bintang bintang, mendatangkan pemandangan yang luar biasa sekali. Karena tempat di mana ia berdiri itu memang tinggi sekali, kini ia dapat melihat betapa langit di atasnya amat luas. Bun Sam berdiri tak bergerak, merasa heran mengapa makin jauh, bintang bintang itu nampaknya makin rendah. Melihat bintang bintang itu tak terasa pula air mata menitik turun dari kedua matanya. Baru beberapa malam yang lalu, ia bersama ibunya juga melihat bintang bintang di langit. Ibunya pernah mempelajari ilmu perbintangan dan sering kali ibunya mendongeng tentang bintang bintang di langit.
"Bintang kita amat suram, Sam ji," kata ibunya pada malam itu. "Bukan hanya bintang kita, melainkan bintang semua rakyat dan bangsa kita. Entah apa yang akan terjadi dengan nasib kita sekalian rakyat Tiongkok...."
Teringat akan ini semua, Bun Sam terbayang betapa ayah bundanya roboh mandi darah di depan ramah mereka. Hanya dengan mencekik lehernya sendiri Bun Sam dapat mencegah suara tangisnya.
"Ayah" ibu" aku bersumpah, disaksikan oleh semua bintang di langit, bahwa kelak anakmu Bun Sam pasti akan dapat membasmi semua pembunuhmu...." Setelah berkata demikian, Bun Sam lalu berlutut dan melakukan penghormatan pai kwi (berlutut sambil mengangguk anggukkan kepalanya) sebanyak puluhan kali. Saking sedih dan terharunya ia tidak mau berhenti henti melakukan penghormatan yang ditujukan kepada arwah ayah bundanya. Semua perbuatan ini ia lakukan sambil bercucuran air mata.
"Eh, eh, eh, kau sedang apa apaan ini?" tiba tiba di belakang Bun Sam sudah berdiri Kui To yang menegurnya dengan suara ejekan.
Bun Sam sadar dari hikmat yang mempersonakan seluruh ingatannya tadi. Ia berhenti mengangguk anggukkan kepalanya, membuka kedua mata yang semenjak tadi ditutupnya lalu berbisik.
"Ayah.... ibu" dengarlah semua doaku tadi." Kemudian ia bangkit dan bangun menghadapi Kui To.
"Kau belum tidur?" tanyanya karena memang pertanyaan Kui To tadi tidak didengarnya jelas hanya cukup keras untuk menyadarkan nya.
"Tentu saja belum, kalau sudah sudah tidur engkau mana bisa berada di sini" Eh, Bun Sam kau sedang melakukan apakah tadi?" Kedua orang anak ini sebelum tidur tadi telah saling berkenalan dan biarpun mereka tidak merasa cocok satu kepada yang lain, akan tetapi kehadiran masing masing merupakan hiburan juga dan mereka telah saling mengenal nama.
"Aku sedang melihat bintang bintang di langit!" jawab Bun Sam.
"Bohong! Masa melihat bintang di langit sambil berlutut dan bersembahyang?"
Bun Sam kewalahan terpaksa mengaku. "Aku sedang bersembahyang kepada ayah bundaku," suaranya tercekik karena keharuan memenuhi lehernya.
Tiba tiba Kui To tertawa terbahak, sehingga Bun Sam memandang dengan heran sekali.
"Kenapa kau tertawa?"
Akan tetapi Kui To masih saja tertawa seakan akan merasa gembira dan geli hati sekali, kemudian ia berhasil juga menekan suara ketawanya dan berkata, "Aku girang karena nasib kita sama. Akupun tidak punya ayah ibu lagi! Bagaimana ayah ibumu bisa mati?"
Bun Sam mendongkol sekali. Alangkah anehnya tabiat kawan ini.
"Biarpun kau girang karena nasib kita sama, tidak perlu kau mentertawakan aku yang sedang teringat kepada orang tuaku. Kau tidak tahu, Kui to, ayah bundaku telah terbunuh dengan amat kejam oleh gerombolan Ang bi tin! Bahkan Can pekhu yang hendak menolongku telah terbunuh pula. Aku bersumpah hendak belajar ilmu silat dan hendak kubasmi semua Gerombolan Alis Merah itu!"
Kembali Kui To tertawa. Suara ketawanya nyaring dan kerat sekali, sehingga bergema di bawah gunung.
"Eh, Kui To, apakah kau gila" Mengapa kau tertawa terus?" Bun Sam benar benar menjadi gemas.
"Bagaimana aku tidak tertawa" Kau....yang bertubuh kurus dan bermuka pucat ini hendak membasmi Ang bi tin" Ha, ha, ha! Seperti cacing hendak menantang ayam! Aku sih tidak benci kepada Ang bi tin dan tidak akan memusuhi mereka!"
Bun Sam menjadi panas hatinya. "Tentu saja aku akan belajar ilmu kepandaian dulu. Aku akan belajar dari suhu dan akan belajar dari Yap suheng. Yap Suheng yang menjadi murid suhu, biarpun gagu memiliki kepandaian tinggi. Kalau aku sudah belajar sampai tamat, mengapa aku takkan dapat membasmi gerombolan siluman jahat itu?"
"Kau lupa kepadaku?".
"Kau...." "Ya, aku! Apa kau kira hanya kau sendiri yang akan dapat memiliki ilmu kepandaian" Dengan adanya aku di Ang bi tin, kau tak mungkin aka dapat membasmi mereka!"
"Kau di Ang bi tin...?"" Bun Sam benar benar tertegun dan memandang dengan mata terbelalak.
"Mengapa tidak" Mereka bukan musuh musuh ku dan kalau kau boleh memusuhi mereka dan hendak menghancurkan mereka, akupun bebas untuk memihak dan membantu mereka. Kenapa, apakah kau takut kepadaku" Ha, ha, ha!" Kembali anak ini tertawa gelak gelak dan matanya yang sipit itu makin mengecil. Giginya nampak berkilat tertimpa cahaya bintang bintang yang suram.
"Manusia jahat!" Bun Sam tiba tiba menjadi benci sekali dan ia memukul muka bermata sipit itu. Kui To terguling, akan tetapi ia cepat bangun kembali.
"Eh, kau berani memukulku?" Dan anak ini lalu menerkam Bun Sam seperti seekor binatang buas, mempergunakan kedua tangan, kedua kaki, bahkan giginya ikut pula menyerang!
Bun Sam pernah mendapat latihan ilmu silat dari ayahnya yang menjadi bekas perwira, maka melihat serangan ini, ia cepat dapat mengatur langkah dan mundur dua tindak dan ketika Kui To mendesak terus, ia mengirim tendangan yang tepat mengenai dada anak itu. Kembali Kui To terguling dan mengaduh ketika kepalanya terbentur karang. Akan tetapi semangat perlawanan anak ini benar benar luar biasa sekali. Biarpun mulutnya mengeluarkan keluhan, namun ia bangkit lagi dengan cepat sekali dan kembali ia menerjang Bun Sam, bahkan jauh lebih ganas daripada tadi.
"Kubunuh kau" kubunuh kau....." desis nya sambil menyerang.
Biarpun Bun Sam sudah pernah mempelajari ilmu silat dan mempunyai dasar dasar gerakan yang teratur dan teguh, namun mengadapi serangan membabi buta dan nekat ini, ia tidak berdaya. Akhirnya Kui To berhasil menangkapnya dan bergumullah dua orang anak ini di atas tanah. Bun Sam lebih sehat tubuhnya dan lebih besar tenaganya, juga kedua tangannya terlatih dan lebih kuat. Akan tetapi ia kalah nekat, maka pergumulan itu amat seru dan ramai.
Tiba tiba terdengar suara perlahan, "Siauw liong (Naga Kecil), kau pisahkan dua orang anak nakal itu!"
Bun Sam dan Kui To mendengar suara ini dan Bun Sam yang mengenal suara Kim Kong Taisu segera melepaskan kedua tangannya yang tadi mencengkeraman pundek Kui To. Akan tetapi, Kui To yang juga mengenal suara kakek itu tidak mau berhenti bergumul, bahkan ia mempergunakan kesempatan ketika Bun Sam melepaskan kedua tangannya untuk secepat kilat mencekik leher Bun Sam. Cekikan ini kuat sekali dan Bun Sam berusaha melepaskannya dengan sia sia.
Akan tetapi pada saat itu, Kui To merasa betapa pinggangnya dipegang oleh sesuatu yang amat kuat dan sekali renggut saja tubuhnya telah terlepas dari Bun Sam. Hampir ia berteriak saking kagetnya ketika ia melihat bahwa yang "memegangnya" itu adalah ekor dari seekor ular yang amat besar. Juga Bun Sam menjadi pucat ketakutan ketika melihat kepala Seekor ular yang besar mengerikan berada dekat dengannya. Ia cepat melompat bangun dan berlari ke arah Kim Kong Taisu kemudian ia menjatuhkan diri berlutut tanpa berani mengangkat mukanya.
"Siauw liong, kau lepaskan dia!" kembali terdengar suara halus kakek itu. Seperti mengerti maksud ucapan kakek itu, ular yang tadi membelitkan ekornya pada pinggang Kui To, lalu melepaskan belitannya, sehingga tubuh Kui To terguling dan jatuh di atas tanah. Akan tetapi keberanian anak ini benar benar luar biasa sekali. Bukan hanya karena keberaniannya, akan tetapi juga oleh karena ia memiliki kecerdikan dan kelicikan yang hebat, maka begitu ia dilepaskan oleh ular itu ia lalu menerjang ular itu, menendang dan memukul tubuh ular yang besarnya lebih sepelukan lengannya.
Ular itu mendesis marah dan menggerakkan kepalanya ke arah Kui To, akan tetapi kembali Kim Kong Taisu mencegahnya, "Siauw liong, jangan melayani dia dan kembalilah ke gua!" Ular bernama Siauw liong (Naga Kecil) itu lalu merayap pergi dan tubuhnya yang berlenggak lenggok itu nampak berkilau tertimpa sinar bintang bintang di langit yang kini tampak makin gemilang karena langit di belakangnya menjadi makin hitam. Memang Kui To amat cerdik, ia tadi sudah mendengar betapa ular besar itu dapat diperintah oleh Kim Kong Taisu, maka dengan adanya kakek itu di situ, ia menjadi berani, ia dapat menduga bahwa kalau ular itu hendak mengganggunya, tentu akan dicegah oleh Kim Kong Taisu yang telah menjadi suhunya dan ternyata benar dugaannya itu.
Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian ini mengapa tidak pergi tidur, sebaliknya bergumul di sini?" kakek ini menegur dengan suara keras.
"Suhu, Bun Sam memukul lebih dulu kepada teecu," kais Kui To yang kini andai berlutut juga.
Kim Kong Taisu memandang tajam kepada Kui To, kemudian ia menengok ke arah Bun Sam yang masih menundukkan mukanya.
"Benarkan, Bun Sam?"
"Benar, suhu. Memang teecu yang memukulnya lebih dulu!"
"Hm, sudahlah, kalian pergi tidur. Lain kali tidak boleh berkelahi dan lupakan perkara yang sudah sudah." Setelah berkata demikian, Kim Kang Taisu berlalu dan lenyap di balik pohon tusam kembar yang tumbuh di situ.
"Kui To maafkan aku."....Bun Sam berkata kepada tawannya.
"Maaf..........." Ha, ha, ha! Perlu apa mesti maaf memaafkan! Aku sudah lupa lagi, seperti perintah suhu tadi. Ayoh tidur!" Bun Sam kembali tertegun dan memandang kepada Kui To yang berlenggang masuk ke arah pondok yang mereka tinggali. Orang macam apakah yang menjadi kawannya ini" Demikian aneh wataknya.
Luka di pundak Bun Sam dan juga bekas bekas pukulan orang dusun di seluruh tubuh Kui To belum sembuh benar. Ditambah pula oleh pergumulan malam tadi, tidak mengherankan apabila pada keesokan harinya ketika mereka bangun tidur, keduanya merasa seluruh tubuhnya sakit sakit.
Hari masih pagi sekali dan di dalam bilik mereka masih gelap dan dingin. Agaknya matahari belum muncul. Sayup sayup terdenyur bunyi ayam ayam hutan berkeruyuk, akan tetap di luar pondok telah ramai kicau burung pagi yang tadi membangunkan dua anak itu.
"Bangun, Kui To. Suhu kemarin memesan supaya kita bangun pagi pagi dan mengisi kolam itu dengan air dari air terjun di bawah lereng."
"Aku masih mengantuk..... tubuhku terasa penat penat dan sakit sakit...." Kui To menggeliat geliat beberapa kali. Kasihan juga. Bun Sam melihat keadaan kawannya ini. Betapapun ganjil watak kawan ini, akan tetapi pada waktu itu, hanya Kui To seoranglah kawannya, kawan senasib, kawan seperguruan.
"Kalau begitu, biarlah aku sendiri yang mengisi kolam, Kui To. Dan kalau suhu tahu, biarlah kukatakan bahwa kau masih sakit sakit tubuhmu dan belum kuat mengambil air."
Ucapan ini membuat Kui To melompat turun cepat sekali.
"Apa" Kau mau bikin aku malu kepada Suhu" Biar aku dianggap anak malas tidak mau bekerja" Tidak!"
Sekali lagi Bun Sam melengak menyaksikan tabiat yang aneh ini mudah tersinggung dan juga mudah sekali melupakannya kembali.
"Sesukamulah maksudku hanya menolongmu," katanya sambil berjala keluar, ke dalam hawa pagi yang sejuk dan dingin. Sambil mengomel panjang pendek, Kui To juga melompat turun dan mengikutinya menuju ke bawah lereng sebelah selatan di mana terdapat air terjun. Sebelum berangkat, Bun Sam mengambil pikulan yang digantungi dua tempat air dari kayu. Di situ terdapat dua buah pikulan dan sengaja Bun Sam mengambil pikulan yang paling besar. Sambil bersungut sungut Kui To mengambil pikulan yang kecil dan mengikuti Bun Sam tanpa bercakap cakap lagi.
Tempat air mancur itu jauhnya ada dua li dari pondok dan dua buah kolam yang harus diisi cukup besar, sehingga kalau mereka berdua mempergunakan dua pikulan itu diisi penuh, agaknya kolam kolam itu tidak akan penuh dengan duapuluh kali isian! Ketika berangkat ke air terjun itu memang tidak berat selain jalannya turun, pikulannya kosong, juga badan belum lelah. Akan tetapi setelah tong tong air itu diisi dan pikulan dipanggul, terasalah beratnya. Baik Bun Sam yang memikul tong besar maupun Kui To yang memanggul tong lebih kecil, kuat memikulnya. Akan tetali setelah mereka mulai mendaki jalan yang berbatu batu dan naik meninggi makin lama langkah mereka makin berat dan tulang pundak serasa hendak patah patah. Terpaksa air di dalam tong dikurangi, dibuang sebagian dan demikianlah, makin meninggi, makin berkurang isi tong, sehingga ketika mereka tiba di kolam, air di dalam tong tong yang dipikul itu tinggal seperempat bagian saja.
Kedua anak itu tentu saja menderita sekali dan dari sikap mereka menghadapi pekerjaan berat ini, mudah saja dilihat watak mereka. Kalau Bun Sam bekerja dengan diam saja dan mengerahkan seluruh tenaga dan ketekunannya, sebaliknya Kui To mengeluh panjang pendek dan segala apa disumpahinya. Dari air terjun, sampai pikulan dan tong kolam, batu batu karang yang tajam dan melukai telapak kakinya, semuanya dimaki maki sepanjang jalan. Akan tetapi, ia tidak berhenti bekerja, bukan saja takut terhadap Kim Kong Taisu, terutama sekali malu hati dan tidak mau kalah melihat betapa Bun Sam masih melanjutkan pekerjaan!
Patung Emas Kaki Tunggal 11 Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama