Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Bagian 3
Hee In Hong benar-benar telah keluarkan enampuluh
empat jurus dari Kimpwee Kamsan-too, ia mendesak
hingga goloknya jadi berkilau-kilau. Tapi juga Auwyang
Cu Him keluarkan seratus duapuluh tiga gerakan dari
poankoan-pit, ia malahan tidak kuatirkan gempuran,
karena ruyung istimewa itu terbikin seanteronya dari besi
terisi, kuat dan antap. Coba golok bukan ada di
tangannya itu satu ahli, sangat sukar untuk golok itu
tandingi sepasang ruyung luar biasa ini.
Gerakan yang cepat dengan gesit juga menyebabkan
lewatnya duapuluh jurus lebih dan dua-dua kelihatan
masih sama tangguh dan uletnya.
"Pantas ia jumawa sekali," pikir Hee In Hong yang
mesti kagumi musuh tangguh itu. Terpaksa ia mendesak,
sekarang dengan serangan-serangan dari duabelas
gerakan Lianhoan Capjie-chiu Tuihun-too, ialah gerakan
dari "Duabelas tangan dari golok yang mengubar roh".
Dengan jalan ini ia tidak mau kasih ketika lagi kepada
musuh. Mula-mula sambil membungkuk, dari samping Hee In
Hong majukan diri sambil membacok. Itu ada gerakan
Cheecoa kuitong atau "Ular hijau pulang ke guha".
Bacokan menuju ke jurusan bawah.
Guna luputkan diri dari bahaya, Auwyang Cu Him enjot
tubuhnya, akan lewat sampai empat kaki, tetapi "
seperti telah dibilang, serangannya In Hong ada
beruntun-runtun, maka yang pertama tidak memberi
hasil, segera menyusul yang kedua, Giokbong hoansin
atau "Ular kuma-lajumpalitan" dan Pekhong koanjit atau
"Bianglala putih mengalingi matahari". Golok kimpweetoo
menyambar pundak kiri.
Dengan tunduki kepala berikut tubuhnya, Auwyang Cu
Him biarkan golok itu lewat, lalu ia membarengi sambar
lengan kanan lawan dengan poankoan-pit-nya.
Dengan Yauwcu hoansin atau "Alap-alap jumpalitan",
Hee In Hong jauhkan diri dari bahaya, tetapi berbareng
ia bacok pundak kanan orang.
Auwyang Cu Him berkelit ke kiri, dari situ, senjatanya
menyam-pok ke kanan, guna tangkis golok musuh, tapi
Hee In Hong dengan kesehatan luar biasa sudah tarik
pulang goloknya, guna dengan satu runtunan lain,
dengan Tokcoa cimhiat atau "Ular berbisa mencari
lubangnya" menusuk pada perut lawan.
Syukur bagi Auwyang Cu Him, sebelumnya tusukan
sampai, ia telah mendahului menutup dua poankoan-pitnya,
maka tusukan itu segera ditarik pulang, hingga
kesudahannya mereka berdua ada sama tangguhnya.
Lim Siauw Chong lantas saja samperkan Hee In Hong
serta berkata, "Hee loosu, kau telah tandingkan golokmu
dengan sepasang poankoan-pit, itu adalah suatu
timpalan sejati, maka di mana kedua pihak sama-sama
tidak unjuk kelemahannya, ini ada suatu kesudahan yang
harus dihargakan! Mari, loosu, kalau kau hendak lanjuti
pertempuran, baik tunggu sampai sebentar lagi!"
Mukanya Hee In Hong menjadi merah, karena ia tahu,
kendati mereka belum dapat kepastian kalah atau
menang tetapi sudah terang, Auwyang Cu Him ada
terlebih licin dan dengan mendahului menutup sepasang
senjatanya, ketua dari Tonglouw-pang mengunjukkan
kesehatannya yang melebihi yang lain-lain.
"Lim loosu," ia menyahut, "meski secara terang aku
tidak kalah, toh sudah pasti yang aku telah gagal dengan
golokku ini, yang telah duapuluh tahun lebih berada di
dalam tanganku. Aku harus mengaku takluk kepada
Auwyang loosu yang di Giokliong-giam ini telah bikin aku
tak berdaya...."
Sementara itu, sambil bersenyum Auwyang Hie-in Sian
le berbangkit dan bertindak masuk ke dalam kalangan,
maka, menampak padanya, Lim Siauw Chong lekas-lekas
persilakan Hee In Hong duduk dan ia papaki orang tua
itu, dan berkata padanya, "Sian loosu, kau telah unjuk
muka terang pada kita dengan kesudianmu datang ke
Giokliong-giam ini, maka kedatanganmu saja sudah
cukup! Kepandaianmu di kalangan Sungai Telaga semua
orang telah menghargai, maka di sini segala apa kau
baiklah serahkan padaku saja...."
Tetapi jago tua itu bersenyum dengan manis.
"Bukannya begitu, loosu," ia menjawab. "Aku si
tuabangka telah saksikan sekalian sahabat baik
munculkan diri, dari itu, aku pun tidak bisa datang
kemari dengan tidak berbuat apa-apa, aku merasa
kecewa. Di sini ada banyak suhu yang termasyhur, yang
di kalangan Sungai Telaga jarang ada ketika untuk
diketemui, dari itu aku ingin turut mohon pengajaran,
supaya aku si tua bangka dapat tambah pengalaman... "
Setelah kata begitu, ia kiongchiu terhadap Englok-pang,
"Cuwie coanpang siunia, aku Sian le telah datang kemari,
melihat cuwie telah pertunjukkan masing-masing
kepandaian, tidak peduli buruknya kebisaanku, aku juga
ingin turut ambil bagian, supaya dari cuwie aku bisa
terima pengajaran. Tapi aku tidak mau adu kepandaian
seperti cuwie barusan, aku sudah tua, melihat itu saja,
mataku sudah kabur, kepalaku sudah pusing. Aku tidak
mau adu kepandaian secara begitu, apabila aku salah
tangan, apa aku bisa tidak jadi mati basah" Aku pernah
pelajari beberapa macam permainan, yang mengandal
pada tipu daya, dari itu, apabila aku turun piebu, kita
hanya mencari tahu saja kepandaian siapa yang terlebih
sempurna. Dengan ini kita tidak usah sampai saling
melukai. Cuwie suhu, kita orang tidak pernah
bermusuhan, maka aku percaya, kau orang niscaya
setujui usulku ini. Kalau nanti main-main sudah sampai di
akhirnya, kita orang boleh bubaran sambil tertawa Satu
hal hanya aku hendak jelaskan. Meski aku majukan usul
ini, aku hendak kasih tahu, aku kuatir, karena tidak dapat
ketika, aku takut tidak bisa perhatikan pihak yang
menjadi lawan, untuk usulku ini, segala apa bisa diatur
dengan sederhana, aku tidak usah sampai membikin
berabe pada kedua cuncu dan pangcu...."
--ooo0dw0ooo- V Mendengar demikian, pihak Englok-pang diam saja,
mengawasi Mereka percaya, kendati omongannya
merendah dan halus, tetapi karena melitnya Sian le
mestinya bakal majukan usul yang sukar.
Akhirnya, Han Kak dari Hangciu-pang majukan diri.
"Sian loosu," berkata ia. "Kau ada jago tua yang
ternama sekali di kalangan Sungai Telaga dan sebagai
pemimpin di kalangan Hiapgie Too-bun, maka kita
merasa beruntung sekali yang malam ini kau sudi datang
kemari untuk berikan pelajaran pada kita. Kita memang
ketahui loosu ada punya kepandaian yang tinggi,
sekarang silakan loosu jelaskan usulmu itu. Baik
diterangkan terlebih dulu, kita akan melayani sebegitu
lama kita sanggup. Umpama kita semua roboh di tangan
loosu, kita orang akan roboh dengan merasa puas,
karena pantas kita menyerah pada loosu."
Sian le pandang orang yang bicara itu, yang ia
kenalkan, ia tertawa.
"Han loosu, jangan kau angkat aku terlalu tinggi," ia
bilang. "Semakin tinggi aku diangkat, semakin parah
akhirnya apabila aku kena dibikin roboh. Siapa sudah
datang kemari, apakah ia mau pulang dengan tangan
kosong" Siapa sudah datang kemari, perlu baginya untuk
mempertunjukkan kepandaiannya. Ketika aku ada di atas
Hengsan, untuk ajarkan murid ilmu entengi tubuh, aku
biasa gunakan golok bambu sebagai gantinya tangan
kosong. Ini ada pelajaran yang berfaedah, yang
bahayanya tidak ada. Dengan ini juga, kemajuan jadi
gampang didapat. Cuwie loosu ada orang-orang
ternama, semua ada berkepandaian tinggi, permainan
macam ini pasti tidak berharga di mata loosu sekalian.
Tapi bagiku si tua bangka ini ada penting, karena aku
sudah tua, tenagaku sudah habis. Untuk kebaikanku, aku
sengaja pikirkan ini macam permainan, yang aku sering
latih sendiri, maka sekarang aku undang cuwie loosu,
atau siapa saja, satu di antaranya, sudi main-main
dengan aku untuk beberapaju-rus saja. Bukankah ini ada
bagus?" Sehabisnya kata begitu, dengan tidak tunggu jawaban
dari pihak kawan, Sian le menoleh pada Tan Tay Yong,
yang sedari tadi terus diam saja.
"Tan cuncu, tempatmu ini bukannya tempat yang
terlalu makmur, dari itu aku tidak ingin minta barang
aneka warna kepada kau," ia berkata. "Aku tidak ingin
bikin berabe padamu! Bukankah setiap rumah
mempunyai sebatang golok" Sekarang aku minta kau
sediakan tigapuluh enam batang golok semacam itu.
Karena di sini ada banyak orang, aku mau minta kau
tolong perintahkan supaya semua golok itu digalikan
lubang dan dipendam, sedikitnya setengah kaki
dalamnya. Aku minta golok dipendam dengan hati-hati,
kalau tidak kuat dan kakiku yang tua berlaku ayal atau
alpa sedikit saja, jiwa bangkotan dari aku tentu tidak
bakal tertolong lagi dan kau bakal mengganti kerugian!
Sekarang, cuncu, silakan kau perintahkan orangmu
bekerja dengan lekas, agar tamu kita bisa menggunakan
dengan tidak usah jadi tidak sabaran!"
Sian le bicara dengan sabar dan secara main-main
tetapi permintaannya itu, atau pun titahnya itu telah
bikin Tan Tay Yong menjadi kaget.
Cuncu ini ketahui Kengsin-sut atau ilmu membikin
enteng tubuh, tetapi ia belum pernah dengar ada
Bweehoa-ciang yang pelatoknya terdiri dari ujung golok
yang tajam. Meski begitu, ia lantas saja bekerja, karena
ia bisa menduga maksud orang.
Dengan tidak pedulikan bagaimana anggapan musuh
dan dengan tidak ambil tahu pihak lawan atau kawan
tercengang, Sian Ie sendiri sudah lantas berikan tandatanda
di mana setiap golok harus dipendam. Empat
nelayan muda dengan tombak telah gali lubang. Maka
kapan golok telah dibawa datang, golok itu bisa segera
dipendam. Begitu lekas semua pelatok sudah dipasang rapi,
Hengyang Hie-in lantas hadapi pula Tiathong-Iiong Pian
Siu Hoo sembari kiongchiu, ia bertanya, "Aku Sian Ie
telah majukan usul ini, entah bagaimana dengan Pian
loosu, kau sudi mengiringi aku atau tidak?"
Semua orang mengawasi ketua dari Kangsan-pang.
Mereka yang mengerti Bweehoa-ciang telah mengerti
dengan baik bahwa Bweehoa-ciang istimewa ini"yang
sebenarnya dipanggil Kimtoo-tin atau "Barisan golok
emas", ada jauh terlebih berbahaya, sebab siapa
injakannya berat sedikit, sepatunya bakal tertusuk
tembus dan kakinya celaka! Dan siapa yang Kengsin-sutnya
tidak liehay, ia pasti tidak akan berani bersilat di atas
pelatok-pelatok golok itu.
Tapi ketua dari Kangsan-pang sambil balas
menghormat, menjawab, "Aku yang rendah suka sekali
menerima pengajaran dari Sian tay-hiap...."
"Pian loosu sudah sudi memberikan pengajaran
kepadaku, itu saja sudah satu kehormatan besar,"
berkata pula Sian Ie. "Pian loosu, persilakan!"
Berbareng dengan ucapan "persilakan" itu, tubuhnya
Sian Ie telah mencelat ke atas Kimtoo-tin, berdiri atas
satu pelatok. Perbuatan ini telah lantas diturut oleh Pian Siu Hoo,
siapa loncat naik dan berdiri atas satu pelatok dengan
kaki kiri dan kaki kanan terangkat, hingga ia merupakan
Kim-kee toklip atau "Ayam emas berdiri atas satu kaki".
Sampai di situ, kedua pihak tidak bisa bicara lagi,
karena masing-masing mesti kendalikan semangat dan
tubuh mereka, siapa bicara, ilmu Kengsin-sut-nya lantas
jadi gugur sendirinya.
Pian Siu Hoo sekarang geser kaki kanan ke kanan, ke
pelatok lain, tubuhnya mengikut pindah. Karena ini, Sian
Ie lalu geser tubuhnya ke depan akan maju, sembari
maju ia mendek sedikit, tangan kiri di depan, tangan
kanan seperti menyusun di sebelah belakang. Ia
bergerak, dari selatan, ke barat utara.
Dua-dua jago ini ada bertubuh tinggi dan besar, tetapi
untuk dapat lihat mereka terlebih nyata, penonton dari
kedua pihak lantas maju sedikit, hingga lapangan jadi
terkurung. Semua mata ditujukan kepada mereka
berdua. Kedua pihak sudah lantas jalan setelah memutari
semua pelatok, dengan itu, mereka masing-masing cari
tahu kekuatannya pelatok itu, supaya jangan ada yang
pendeman-nya kurang sempurna. Dari sini pun orang
bisa lihat, mereka benar-benar mengerti baik Kengsinsut.
Sesudah yang satu pergi ke barat utara dan yang lain
ke timur selatan, lantas mereka berkumpul di tengah,
akan segera mulai dengan pertempuran mereka. Pian Siu
Hoo berlaku gesit, sekali loncat, ia telah lewati tiga
pelatok. Tapi Sian le pun berlaku cepat, akan papaki
lawan itu hingga sekarang mereka berpisah hanya antara
satu pelatok. Dengan tiba-tiba Pian Siu Hoo loncat ke pelatok
sebelah kiri, kedua tangannya dibuka dalam sikap Taypeng
thiancie atau "Garuda pentang sayap". Dengan
tangan kanan, ia serang iga kirinya Sian le.
Hengyang Hie-in tidak loncat menyingkir, ia hanya
egos sedikit tubuhnya ke belakang, kapan bencana sudah
lewat, dengan tangan kanan ia coba sontek naik tangan
musuh, dengan tangan kiri ia totok nadi musuh itu.
Lekas-lekas Pian Siu Hoo tarik pulang tangannya.
Dengan menukar kaki kanan ke kiri, ia maju, akan kaki
kirinya dimajui terlebih jauh. Saking cepatnya, ia jadi
berada di samping lawan, akan terus hajar pada
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakangnya. Kalau pukulan ini mengenai sasarannya,
pihak lawan pasti bakal jatuh ngusruk.
Tapi dengan tidak kalah gesitnya, Sian le putar
tubuhnya selagi serangan musuh jatuh di tempat kosong,
ia sendiri sudah lantas hadapi musuh itu depan
berdepan. Dengan tidak sia-siakan ketika lagi, dengan
dua-dua tangannya ia serang bagian dada.
Pian Siu Hoo tidak takuti itu macam serangan, dengan
dua tangannya juga yang ia angkat ke depan dadanya, ia
buka serangan itu. Ia bersedia akan tangkis kekerasan
dengan kekerasan. Tapi Sian le tidak mau adu tenaga, di
saat berbahaya itu, yang bisa memberi putusan, dengan
tiba-tiba ia tarik pulang kedua tangannya. Ia tidak
menarik habis, ia buka kepelannya untuk masing-masing
dengan dua jari menotok nadi musuh.
Untuk tolong dirinya, Pian Siu Hoo lekas-lekas loncat
ke kanan, melewati tiga pelatok.
Setelah kedua pihak terpisah cukup jauh, mereka
sekarang mulai jalan mutar, sama-sama pasang mata,
sama-sama mencari lowongan untuk mulai dengan
penyerangan baru. Dengan satu dari barat, yang lain dari
timur, mereka mulai merangsek pula, untuk datang dekat
satu dengan lain.
Sampai di situ, Tiathong-liong Pian Siu Hoo telah
dapat kenyataan yang Kengsin-sut Hengyang Hie-in itu
telah sampai di batas kesempurnaan, dan bugee-nya
benar lie-hay, maka ia mengerti, jika ia tidak adu jiwa,
sangat sukar untuk ia merebut kemenangan. Karena ini,
ia telah maju mendekati dengan hati telah memikir tetap.
Dengan Kim-liong tamjiauw atau "Naga emas
menyodorkan cengkeraman", ialah dengan lima jari yang
menyengkeram, ia menyerang ke jurusan dada yang
dinamai hoahay-hiat.
Begitu melihat serangan yang ia kenalkan dengan
baik, Sian Ie lantas mengerti yang pihak lawan hendak
rebut kemenangan. Siapa terkena cengkereman ini, akan
tak terluput dari bahaya sekalipun ia mengerti ilmu
kuatkan tubuh yang dipanggil CapshaThaypoHenglian
Kanghu. Daya untuk tolong dirinya adalah mendahului
serang musuh agar musuh batalkan serangannya itu,
atau serangan itu berlanjut tetapi bahayanya telah
menjadi kurang. Dan daya ini telah diambil oleh
Hengyang Hie-in.
Sian Ie angkat naik kaki kirinya, kaki kanan tetap di
pelatok, hingga tubuhnya jadi seperti terangkat,
berbareng dengan mana, dengan pundak terangkat,
tangan kanannya dipakai menekan ke bawah, tangan
kirinya ikut menyusul.
Kedua pihak telah bergerak dengan gesit sekali.
Tangannya Pian Siu Hoo tidak lagi bisa menuju pada
hoakay-hiat hanya ke lain anggota, ialah pahanya Sian le,
tangannya telah menempel kepada lawan ketika ia
terperanjat oleh karena tangan lawan juga sudah
mengancam kedua lengannya. Dua lengan itu akan
celaka jikalau tidak lekas ditarik pulang, sedang
serangannya pasti jadi tidak hebat lagi. Maka itu, untuk
lindungi lengan sendiri, terpaksa ia segera batalkan
penyerangannya sambil loncat mundur sampai tiga
pelatok jauhnya. Di lain pihak, Hengyang Hie-in juga,
karena gerakannya itu, untuk bikin tetap tubuhnya
segera loncat mundur juga, tetapi ia hanya pindah satu
pelatok. Gerakannya Pian Siu Hoo ada terpaksa, imbangan
tubuhnya kena terganggu, tubuhnya menjadi berat
sendirinya. Inilah ada berbahaya untuk kakinya yang
injak pelatok golok. Dari itu, sambil gunai ilmu melesat
Yahok chiongthian atau "Burung ho hutan menerjang
langit" ia terus loncat turun ke tanah.
Sian le tidak menghadapi bahaya, akan tetapi melihat
lawannya turun dengan terpaksa, ia juga segera turut
bikin gerakan akan loncat ke tanah, tetapi karena ia terus
menghadapi ketua dari Kangsan-pang, ia bisa lantas
angkat kedua tangannya dan memberi hormat, la terus
berkata, "Pian loosu, tanganmu benar-benar liehay, aku
si orang she Sian menyerah."
Mukanya Pian Siu Hoo menjadi merah, karena jengah
sendirinya, la merasa malu yang ia telah dikalahkan
dengan cara demikian. Ia terkenal di kalangan Sungai
Telaga, bu-gee-nya liehay, maka itu di Hu-cun-kang,
orang angkat ia menjadi bengcu atau ketua dari
kalangan coanpang. Malahan lain golongan coanpang
juga malui padanya. Ia turut datang ke Giokliong-giam
atas undangannya Na Thian Hong, karena ia malu hati
terhadap Auwyang Cu Him dari Tonglouw-pang. la
datang untuk membantu, siapa tahu sekarang,
kesudahannya, ia sebaliknya jadi mendatangkan malu
bagi pihak yang akan dibantu itu, melulu gara-gara
kekalahannya ini. Karena itu, dalam sekejap saja
pikirannya menjadi tersesat.
"Baiklah aku adu jiwaku, biar namaku ludas di
Giokliong-giam ini!" demikian ia dapat pikiran. "Aku tidak
bisa berlalu dari sini dengan membawa malu besar!...."
Begitulah ia segera membalas hormatnya Sian le dan
berkata, "Sian tayhiap, kepandaianmu sungguh
mengagumkan! Malam ini aku Pian Siu Hoo baru
mengalami dan berkenalan dengan kepandaian yang
tinggi luar biasa. Kau begitu baik hati, tidak mau kasih
aku menderita malu terlebih hebat, untuk itu aku
bersyukur sekali. Tapi sekarang adalah ketika baik yang
sukar dicari, maka aku pikir baiklah ketika ini aku dapat
mengakhiri cara hidupku di kalangan Sungai Telaga. Sian
tayhiap, aku sekarang hendak minta pengajaran terlebih
jauh. Aku tidak punya lain kepandaian lagi kecuali dua
rupa senjata rahasia, mengenai itu sekarang, di hadapan
sekalian ahli silat, aku mau minta pengajaran dari kau.
Aku dengar tayhiap pandai menggunakan senjata rahasia
dibarengi dengan kepandaian entengi tubuh, katanya
tayhiap pandai segala macam senjata, maka itu di
hadapan kau, aku hanya main-main. Aku percaya tayhiap
akan sudi penuhkan pengharapanku, dengan begitu
tidakkah sia-sia yang aku telah datang ke Giokliong-giam
ini...." Mendengar demikian, Souwpo-su Cukat Pok dan ketua
Kiushe Hiekee Lim Siauw Chong menjadi kaget
berbareng mendongkol. Dengan segera mereka bisa
membade maksud buruk dari ketua Kangsan-pang itu,
yang rupanya niat adu jiwa secara tidak jujur. Mereka
tahu Tiathong-liong si Naga Besi ini ada mempunyai dua
senjata rahasia, yaitu Wan-yoh-piauw dan jarum beracun
Bweehoa Touwkut-ciam, dan yang belakangan adalah
yang paling liehay. Jarum ini panjangnya dua dim
setengah, sukar ditangkis atau dikelit, kalau mengenai
sasaran, racunnya segera bekerja secara hebat, untung
kalau orang tidak terkena hebat, namun lukanya tetap
parah, sedang ketika untuk binasa ada besar sekali.
Kalau Sian le ketahui itu, masih mending, Nelayan
Tersembunyi dari Hengyang ini bisa berlaku waspada,
jikalau tidak, ia boleh dikata harus serahkan jiwanya.
Sian le tertawa mendengar tantangan lawan itu.
"Pian loo-suhu," ia berkata. "Kepandaianmu
mengentengi tubuh aku telah saksikan, aku merasa
kagum karena kau berbeda dengan yang lain-lain!
Karena kita ternyata ada berimbang, aku pikir, baiklah
pertandingan kita dibikin habis saja. Kenapa kita mesti
adu kepandaian lagi dengan menggunakan alat-alat
senjata yang dapat merampas jiwa orang"...."
Belum habis Hengyang Hie-in tutup omongannya, atau
Lim Siauw Chong telah putuskan pembicaraan itu. Tetua
dari Kiushe Hiekee majukan diri serta berkata, "Sian
loosu, janganlah kau menolak! Pian loo-suhu punya
jarum rahasia Bwee-hoa Touwkut-ciam telah tersohor
lama dalam kalangan Rimba Persilatan, sekarang ia
hendak gunai ketika ini akan pertunjukkan itu di
Giokliong-giam, inilah bagus, karena kita orang jadi dapat
turut menyaksikan. Jiewie, hayolah, jangan kamu
menunda lama-lama, biarkanlah kita orang yang menjadi
penggemar-penggemar dapat menambah
pemandangan!"
Kapan Pian Siu Hoo mendengar ucapan itu, ia
menoleh pada Lim Siauw Chong dengan sorot mata
penuh kegusaran, sementara orang yang diawasi,
berpura-pura memandang pada Sian le. Ia ketahui
dengan baik, dengan ucapannya itu ketua dari Kiushe
Hiekee telah peringatkan Hengyang Hie-in untuk jarum
rahasianya yang liehay, justru dengan jarum ini ia
hendak bikin lawannya terluka atau binasa. Oleh karena
kegusaran ini, ia jadi terlebih keras maksudnya ingin
rampas jiwa orang she Sian itu. Lantas ia berkata, "Lootayhiap,
kita orang baik jangan bertanding di daratan
sini. Dengan menggunakan senjata rahasia di darat, kita
orang kurang leluasa bergerak. Aku tahu bahwa aku
tidak mampu melukai kau, tetapi karena senjata rahasia
tidak ada matanya, aku kuatir akan ada orang-orang dari
kedua pihak yang kena senjata nya-sar. Aku malu
terhadap Tan cuncu andaikata ada saudara-saudara dari
pihak Giokliong-giam yang mendapat bencana.
Lootayhiap, di sana, di muka sungai ada banyak perahu,
maka marilah kita orang main-main di atas tiang-tiang
layar! Semua anak-anak perahu boleh diperintah
mendarat, agar mereka tidak menjadi rintangan bagi kita
orang, hingga kita orang dapat bergerak dengan
merdeka. Bagaimana, lootayhiap?"
Sian le manggut.
"Pikiranmu cocok dengan kemauanku, loo-suhu,
baiklah diatur demikian!" ia jawab.
Lantas Hengyang Hie-in balik ke kursinya akan buka
bajunya yang panjang dan letaki itu di situ, sedang
kantong piauw-nya ia cantel di pundaknya.
Di lain pihak, Pian Siu Hoo juga sudah lantas bersiap.
Kemudian Sian le minta Tan Tay Yong beritahukan
semua anak buah perahu, agar mereka mendarat, tidak
kecuali anak buah dari tiga perahu tamu. Mereka semua
mendarat dengan cepat dan berdiri di pinggiran, sedang
yang lain-lain juga pergi ke gili-gili untuk menyaksikan.
Pian Siu Hoo dan Sian le pergi ke tepi sungai dengan
sama-sama unjuk senyuman, yang satu puas karena
tantangannya diterima, yang lain karena ketahui pihak
lawan mengandung maksud buruk. Mereka tidak ingat
lagi yang orang-orang dari pihaknya masing-masing berkuatir
bagi keselamatan mereka berdua, karena orangorang
itu insyaf bahwa pertempuran mesti membawa
kesudahan hebat.
"Pian loosu," Sian le berkata sembari berjalan, "aku
harap sangat jarum Bweehoa Touwkut-ciam-mu bisa
ingat sedikit pada persahabatan di kalangan Sungai
Telaga, agar ia tidak benar-benar menginginkan jiwa
bangkotanku ini, supaya dengan begitu kita pun tidak
sampai orang tertawakan...."
"Loo-hiapkek, perkataanmu ini aku si orang she Pian
tidak sanggup jawab," sahut Pian Siu Hoo dengan tawar.
"Bweehoa Touwkut-ciam benar liehay akan tetapi harus
dilihat terhadap siapa ia dipersembahkannya. Bagi orang
dengan kepandaian sebagai loo-hiapkek, apakah artinya
jarum itu" Andaikata loo-hiapkek terus dengan katakatamu
hendak mendesak aku, baiklah kita batalkan saja
pertandingan ini!"
Sian le tertawa.
"Pian loosu," ia berkata, "aku omong main-main,
kenapa kau anggap dengan sesungguhnya" Kami akan
andalkan kepandaian masing-masing, hidup atau mati, ia
harus sesalkan kepada nasibnya sendiri! Nah, Pian loosu,
silakanlah!"
Dengan ucapan "silakanlah" dari mulutnya, Hengyang
Hie-in segera enjot tubuhnya lompat naik ke perahu
besar dari Englok-pang. Perbuatannya sudah lantas
diturut oleh ketua Kangsan-pang yang lompat naik ke
perahu kedua Tapi ia bergerak terus dengan pentang
dua tangannya, dengan gerakan Ithoo chiongthian atau
"Seekor burung hoo terbang ke langit" ia mencelat ke
atas tiang layar yang tingginya kira-kira enam tombak, di
atas itu ia berdiri diam dengan gerakan Tay-peng
thiancie atau "Burung garuda pentang sayap".
Pian Siu Hoo turut dengan lompatan tinggi Yauwcu
coanthian atau "Burung alap-alap tembusi langit", dan
kapan ia telah sampai di atas tiang layar, sikapnya
berobah menjadi sikap dari Kimkee toklip atau "Ayam
emas berdiri dengan sebelah kaki", kemudian dengan
gerakan Wie To pangcu atau "Malae-kat Wie To angkat
toya" ia berbalik pada lawan akan unjuk hormatnya.
Sian le membalas hormat, setelah mana ia terus
lompat ke perahu ketiga.
Setiap tiang layarnya perahu ada sebuah lentera
merah. Lentera itu tidak dipancar di ujung tiang layar,
hanya di sebelah, kira-kira satu kaki lebih. Cahayanya
lentera ada guram
Karena tiap-tiap perahu tidak teratur rapi, bisa
dimengerti yang letaknya satu dengan lain tidak
ketentuan, ada yang dekat, ada yang jauh, ada yang
tinggi, ada yang pendek, hingga jangka itu dapat
menyukar-kan kedua orang yang sedang mengadu
kepandaian. Untuk lompat pindah dari satu perahu ke
yang lain, mereka harus tahu benar imbangan tenaga
masing-masing, siapa alpa, ia pasti akan tampak
kegagalan. Sian le lompat terus sampai lima atau enam tiang
layar, dan Pian Siu Hoo selalu turuti ia, karena masingmasing
ingin berlatih dulu sebentaran dan menunggu
ketika. Kapan Pian Siu Hoo telah lompat dari perahu
keempat di sebelah utara, ia bisa datang dekat pada
Hengyang Hie-in, hanya dua tombak lebih jauhnya.
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nelayan itu kebetulan lagi berada di sebuah perahu kecil.
Gesit sekali, ia lepas sebatang piauw menjuju dengkul
kanannya pihak lawan. Dengan ini ia mau paksa lawan
berkelit, agar selagi orang berkelit atau lompat ia hendak
memberondong dengan piauw-nya.
Sian le benar-benar berkelit dengan melompat ke atas
kiri di mana ada sebuah perahu besar dari pihak
Giokliong-giam, dan benar-benar ia segera diserang lagi
berulang-ulang, tetapi setiap serangan ia dapat
punahkan dengan egosi diri atau ketok itu.
Setelah berikan ketika untuk sang lawan menyerang ia
dengan empat batang piauw, Hengyang Hie-in lantas
bikin pembalasan. Tangan kirinya terayun dan dua butir
peluru Lankin-wan sudah lantas menyambar ke jurusan
kedua pundaknya Pian Siu Hoo.
Ketua Kangsan-pang melihat datangnya dua peluru
itu, ia lekas mendek, hingga serangan melewati
kupingnya. Ia telah siap dan menunggu ketika untuk
kirim serangannya terlebih jauh. Ia menduga,
sesudahnya menyerang, lawan itu akan menyingkir ke
lain tiang layar guna menghindarkan serangan
pembalasan. Dugaannya hampir jitu. Benar saja Sian Ie
gerakkan kaki kirinya, siapa tahu, kaki kanannya tetap
nyantel di tiang layar, dan berbareng dengan itu, tangan
kirinya terayun, atas mana bukan dua hanya tiga butir
peluru yang melesat menyambar, mengarah dada kirikanan
dan perut! Tipu daya dari Hengyang Hie-in ada di luar dugaannya
Tiathong-liong, tidak heran ia menjadi kelabakan tatkala
tahu-tahu senjata rahasia datang selagi ia sendiri, yang
berniat, belum sempat membalas menyerang. Karena
sudah terdesak, terpaksa ia buang dirinya ke belakang,
cantelan kakinya terlepas, hingga ia turun ke wuwungan
perahu. Ia tidak bisa tancep kaki dengan sempurna di
atas perahu, maka kapan kedua kakinya menapak,
perahu lantas jadi bergoyang keras, sampai tenteranya
turut bergoyang-goyang!
Ketika jago dari Hucun-kang ini memandang pada
pihak lawan, ia lihat Sian Ie sedang lompat ke tiang layar
dari perahu sebelah kiri, tubuhnya seperti terputar,
disebabkan bergeraknya kedua kaki yang tadi dilepaskan
sebelah dan dicantelkan sebelah. Tiba-tiba ia dapat
pikiran jahat, terutama karena ia malu yang ia telah bikin
keok dengan tipu yang sederhana sekali. Cepat sekali ia
lompat naik, ke tiang layar dari perahu besar ketiga dari
pihak Englok-pang dengan gerakan Yancu coan-in atau
"Walet tembusi mega".
Selama itu Sian Ie yang tidak berdiam saja, dari
perahunya pihak Giokliong-giam sudah loncat ke perahu
kesatu dari Englok-pang, selagi kakinya mencari tiang
layar, mendadak Pian Siu Hoo serang padanya dengan
melepaskan sepasang wan-yoh-piauw sambil berseru,
"Awas!" Itu ada piauw semengga-mengganya. Sasaran
ada kedua dengkul jago tua dari Hengyang.
Kendati juga ia telah dibokong, Sian Ie toh tidak mau
berkelit dari serangan sang lawan itu. Karena kakinya
sudah mengenai tiang layar, ia bisa gunakan kedua
tangannya, akan lagi-lagi tepak kedua piauw jatuh ke kiri
dan kanan. Di lain pihak, cepat luar biasa. Tiathong-liong telah
siap dengan jarum rahasianya yang berada di
genggaman tangan kanan, kapan ia lihat tubuh lawan
bergeming, dengan telengaskan hati, tangan kirinya
bekerja akan memutar pesawat dari bungbung jarum
beracun itu. Pada saat itu dari sampingnya ia mendengar
seruan yang bikin ia heran, "Awas!" Dan seruan ini
dibarengi dengan menyambarnya dua peluru Tiattanwan,
yang sebutir menjurus ke belakang tangan
kanannya, yang sebutir lagi mengarah tempilingannya!
Karena datangnya kedua peluru itu secara tak terduga
dan cepat luar biasa, Pian Siu Hoo dalam kagetnya harus
membatalkan penyerangannya sambil berbareng
menyingkirkan diri dari bahaya. Ia mendekam dengan
kepala berikut tubuhnya, maka kedua peluru lewat
dengan ia sendiri tidak kurang suatu apa. la segera dapat
tahu bahwa orang yang melepas peluru itu mestinya
liehay melulu dengan lihat caranya peluru itu
menyambar. Di sebelah timur, dari tiang layar tertampak dua
bayangan berkelebat. Cepat sekali kedua bayangan itu
telah sampai dan turun di antara Hengyang Hie-in dan
Tiathong-liong, di sebuah perahu yang memisahkan
kedua lawan itu satu dengan lain.
Dalam kaget dan herannya, Pian Siu Hoo pandang dua
bayangan itu, jarumnya ia masih genggam. Ia sangat
mendongkol karena orang telah rintangi niatannya untuk
bikin celaka Sian Ie.
Hengyang Hie-in sendiri tidak kurang heran dan
terperanjatnya, begitupun semua orang di darat, karena
datangnya dua bayangan itu ada di luar sangkaan siapa
juga. Sebelumnya itu, orang tidak ketahui bahwa di
antara kedua pihak ada sembunyi pihak ketiga
Apabila kedua bayangan telah berdiam tetap di tiang
layar dari perahu di tengah-tengah itu, mereka sekarang
bisa tertampak dengan nyata. Mereka ada satu nyonya
setengah tua dan satu nona, rupanya ibu dan anak
gadisnya. Si nyonya pakai pakaian hijau dengan kepala
dibungkus pelangi hijau juga, dan si nona berpakaian
serba biru. Di belakang mereka ada tergondol pedang.
"Siapa kau?" Pian Siu Hoo segera menegur. "Kenapa
kamu berani berlaku begini kurang ajar?"
Atas itu, si nyonya berikan jawabannya, katanya, "Pian
Siu Hoo, apakah kau telah lupakan kita ibu dan anak" Di
Ouwlam Selatan kita telah menerima budimu yang
sangat besar, maka sekarang kita, ibu janda dan anak
piatu dari keluarga Yan datang untuk membikin beres
perhitungan lama!"
Tiathong-liong kaget sampai air mukanya berobah. Ia
enjot kakinya, akan lompat mundur ke satu perahu lain.
Begitu ia telah tancap kaki kirinya, ia buka suaranya.
"Ya, ini adalah ketika baik yang sukar dicari! Memang
selama yang belakangan ini aku Pian Siu Hoo tidak bisa
lupakan kau ibu dan anak, dengan segala daya aku telah
selidiki tentang kamu berdua, tetapi aku tidak berhasil!
Maka adalah bagus yang sekarang kamu berdua berada
di sini! Aku tidak memikir untuk hutang seumur hidupku,
baiklah di Giokliong-giam Hiecun ini kita orang membikin
perhitungan!"
Pihak Giokliong-giam telah menjadi semakin heran
kapan mereka " terutama Tan Tay Yong dan Lim Siauw
Chong " ketahui bahwa dua bayangan itu adalah ibu
dan anak dara dari keluarga Yan, yang tadinya mereka
sangat curigakan.
Sementara itu ketua Englok-pang, Na Thian Hong,
sudah lantas menegur dengan tajam, "Oh, orang-orang
yang tidak pegang kepercayaan!" demikian suaranya.
"Selagi kedua loo-enghiong bertempur, kenapa kamu
sembunyikan kawan-kawan yang pandai" Kenapa Pian
loo-suhu hendak dicurangi" Apakah ini artinya
pertempuran secara persahabatan" Hei, orang-orang
yang baru datang, silakan kamu turun, aku si orang she
Na ingin belajar kenal untuk ketahui siapa adanya kamu
berdua!...."
"Na Thian Hong, jangan kau banyak tingkah!" begitu
terdengar suaranya si ibu dan anak hampir berbareng.
"Kita orang ada punya perhitungan lama, itu tidak ada
sangkutannya dengan kau. Tidak ada halangannya untuk
kita orang bicara di bawah!"
Ibu dan anak itu bikin gerakan yang mengagumkan,
ialah dari tiang layar mereka lompat turun ke darat, ke
gili-gili di mana orang banyak sedang berkumpul.
Sampai di situ, Pian Siu Hoo simpan jarumnya dan
terus lompat turun.
Sian le juga lantas turut lompat turun, karena ia tahu,
pertandingan mesti ditunda. Ia menduga pasti ada
dendaman di antara kedua pihak itu.
Nyonya Yan dan anaknya terus hampirkan Lim Siauw
Chong dan Tan Tay Yong akan unjuk hormat pada
mereka. "Tan cuncu, Lim loo-suhu, kita harap kamu sudi
maafkan kita ibu dan anak," berkata si nyonya. "Kita
mempunyai sebab-sebab kenapa kita telah menumpang
tinggal di daerah Hiecun ini secara luar biasa Kita
sebenarnya lagi mencari musuh besar kami. Di luar
dugaan kita, iblis telah kirim rombongan Englok-pang
datang kemari! Permusuhan kita sudah ditanam
duapuluh tahun lamanya, maka itu kendati kita ketahui
bahwa kita tidak berhak akan campur tahu urusan di
antara Hiecun dan Englok-pang. Dengan sebenarnya
kami tidak boleh datang menggerecok, tetapi kita
terpaksa menyelak juga dan mengadu biru. Sebab dari
kelakuan kita ini"yang sangat terpaksa " karena kita
tidak ingin kasih ketika untuk musuh kita angkat kaki dari
sini! Jikalau musuh itu sampai bisa kabur dan sembunyi,
sia-sialah yang kita bertahun-tahun lamanya telah
menderita untuk mencari padanya. Maka, Tan cuncu, Lim
loo-suhu, sudilah kau orang mengerti kesukaran kita dan
memberi maaf...."
Lim Siauw Chong balas hormatnya dua orang itu. la
bersenyum. "Kiranya jiwie berdua berdiam di Hiecun ini karena ada
urusan hebat itu," ia berkata. "Urusan di antara kita
kaum Sungai Telaga, memang sudah seharusnya dibikin
beres di hadapan kita orang juga, di muka umum akan
dapat diketahui siapa benar dan siapa salah. Aku percaya
Na loo-suhu dari Englok-pang pasti tidak berkeberatan
jika kau tuturkan peristiwa dendaman itu...."
Justru itu Pian Siu Hoo telah bertindak mendekati
mereka, maka Lim Siauw Chong segera memberi hormat
pada ketua dari Englok-pang serta terus berkata, "Na
loo-suhu, silakan duduk! Mari kita orang omong dengan
sabar. Kita ada sobat-obat di kalangan Sungai Telaga,
dari itu dalam segala, hal mengenai kita, kita semua
berhak untuk minta sobat-sobat maju di tengah, supaya
dengan jalan yang adil dan pantas, urusan bisa dibikin
beres. Ganjalan apa yang tersimpan di antara kedua
pihak aku masih belum mendapat tahu, maka silakan Na
loo-suhu duduk. Aku percaya, urusan bagaimana besar
juga, akan dapat diselesaikan...."
Pian Siu Hoo harus kendalikan diri, akan tahan hawa
kemendongkolannya Sebisa-bisa ia coba unjuk
senyuman, seperti juga ia menganggap urusan ada kecil.
Atas undangannya Lim Siauw Chong, orang semua
kembali ke tempat duduk yang tadi. Dua buah kursi
segera ditambah untuk si nyonya dan anak daranya.
"Tan cuncu, Lim loo-suhu," berkata nyonya Yan
setelah mereka sudah duduk rapi, "kita ibu dan anak
merasa sangat bersyukur yang kita orang telah dapat
menumpang tinggal di daerah Hiecun, karena kita tidak
diusir, kendati kita telah datang menumpang dengan
tidak minta perkenan lagi ataupun hanya memberi tahu
saja. Jiewie, kita berbuat lancang demikian adalah karena
sangat terpaksa. Di antara pihak Kiushe Hiekee dan
keluargaku sebenarnya ada hubungannya. Keluarga dari
pihak ibuku ada Wan dan di Hucun-kang pernah kepalai
juga serombongan nelayan, dan di daerah Liongyu
rombongan ini pernah berdiam untuk banyak tahun.
Barulah belakangan, rombongan itu pindah ke dekat
Hangciu. Suamiku hidup di kalangan air akan tetapi ia
bukannya nelayan, ia hanya mengurus pengangkutan, di
daerah Hangciu ia pun ada terkenal. Ia bernama Yan Bun
Kiam, di Hangciu ia menjadi pemimpin pusat
pengangkutan, daerah pekerjaannya adalah daerah
Ciatkang dan Kangsouw. Di luar dugaan, dalam
pekerjaan itu suamiku telah kebentrok dengan Pian loosuhu,
yang ketika itu menjadi ketua Kangsan-pang. Dan
Pian loo-suhu telah berlaku begitu kejam, dengan tidak
ingat persahabatan di kalangan Sungai Telaga, ia telah
turun tangan membinasakan suamiku. Ia pun telah
bubarkan coanpang orang yang terdiri lebih daripada
duapuluh buah perahu besar, yang separahnya ia telah
bakar musnah dan separoh lagi ia rampas. Sejak itu di
teluk Hangciu tidak ada lagi lain orang yang berani
kepalai pengangkutan, semuanya ia yang kangkangi,
apabila ada orang yang berani menerima pengangkutan,
ia lalu mengganggu tengah jalan. Tatkala itu kita berdua
ibu dan anak kabur dengan sebuah perahu kecil dan
telah ditolong oleh satu nelayan yang tidak masuk
rombongan siapa juga, hingga kita bisa lari ke darat dan
luput dari bahaya kematian. Kita tidak punya tempat ke
mana kita bisa pergi akan tumpangi diri. Tidak ada
saudagar yang berani menerima kedatangan kita. Orang
hendak menolong tetapi keberanian tidak ada. Akhirnya
kita menyingkir ke rumah ayahku yang pengaruhnya
kecil, sedang sebagai anggota dari Kiushe Hiekee, ia
berkeberatan, karena di kalangan itu, satu kali anak
perempuannya menikah, ia lantas lepas tangan. Aku ada
anak satu-satunya, dapat dimengerti yang ayah sayang
padaku, kendati demikian, nyata aku berada dalam
kesukaran, ayah membikin pembalasan. Maka itu ayah
hanya dapat bekerja sendirian secara diam-diam. Ayah
juga mengerti bugee, ia telah cari ketua Kangsan-pang
yang tersohor itu. Apa mau, laksana seekor kambing
yang menghampirkan seekor harimau, pada suatu malam
ayah kena dilukai, sehingga hampir ia binasa di dalam
kalangan, baiknya ia telah dapat ditolong dan dibawa
pulang, kendati begitu, obat tidak sanggup melindungi
jiwanya. Sebelum tarik napasnya yang penghabisan,
ayah pesan kita ibu dan anak agar kita jangan siarkan hal
perbuatan ayah, karena ia telah menolong kami dengan
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentangi aturan dari Kiushe Hiekee. Untuk pembalasan
sakit hati, ayah perintah kita lekas menyingkir dari
Hucun-kang dan pergi ke Go-houw-san di Kangsay, dan
di sana cari satu niekouw yang berdiam di Cietiok-am di
bukit Thongthian-nia. Niekouw itu ada satu ahli silat,
hanya sedikit orang ketahui hal ikhwalnya. Ayah bilang,
asal kita bisa diterima menjadi murid, dalam tempo tiga
sampai lima tahun, pelajaran kita sudah cukup untuk
mencari balas. Begitu lekas telah ucapkan pesanannya
itu, ayah menutup mata untuk selama-lamanya. Kami
berdua harus urus jenazah orang tua itu secara lekas dan
sederhana sekali. Setelah upacara penguburan, kita
segera berangkat ke Kangsay. Kami berhasil tiba di
Thongthian-nia dan telah berjumpa dengan niekouw itu,
ialah Hui Sian Taysu. Apa celaka, Hui Sian Taysu
menyangkal bahwa ia mengerti bugee dan ia menolak
akan terima kita menjadi muridnya untuk belajar silat. Ia
hanya perkenankan kita tinggal untuk bersujut pada
agama. Terpaksa kita tinggal di samping kelenteng,
dalam sebuah gubuk yang kami berdirikan sendiri. Kami
tidak berniat meninggalkan lagi Thongthian-nia. Dapatlah
dimengerti bagaimana sengsaranya hidup waktu itu
untuk lewatkan hari, bulan dan tahun. Lama-lama
pikirannya Hui Sian Taysu rupanya telah berobah juga. Ia
rupanya telah cari tahu hal kita. Kami sangat bergembira
karena pada suatu hari ia pang-gil kita berdua dan
beritahukan bahwa ia hendak ajarkan kami ilmu silat.
Lima tahun lamanya kami ikuti Hui Sian Taysu dan pada
tahun keenam ia diserang penyakit sampai tidak dapat
bangun pula, hingga ia menyesal yang ia belum keburu
wariskan semua kepandaiannya, tapi ia masih tinggalkan
pengajaran yang berupa peta dan catatan, untuk kita
yakinkan sendiri. Suhu menutup mata dengan tinggalkan
satu murid yang tidak mengerti ilmu silat, meski murid ini
telah ikut ia belasan tahun lamanya. Murid ini hanya
mengerti urusan agama. Sejak itu, kita berdua tidak
dapat terdiam lebih lama pula di Cietiok-am, kita beli
sebuah perahu kecil dan terus hidup berduaan di muka
air. Kita pergi ke mana kita suka, kita mendarat jika kita
dapati tempat yang kita setujui untuk tinggal di darat
sekian lama, guna fahamkan pelajaran pesanan dari suhu
almarhum. Peryakinan ini meminta tempo lama. Telah
lima tahun kami berdua hidup tidak ketentuan, paling
akhir kita sampai di Giokliong-giam ini di mana kita
menumpang tinggal dengan tak minta ijin dari ketua
kampung. Dengan gampang kita dapat cari tahu asalusulnya
rombongan Giokliong-giam Hiecun yang kita
pandang sebagai sesama sendiri, karena kita berdua
sama-sama berasal dari Hucun-kang. Di sini kami
berdiam dengan tidak ingin sembarangan perlihatkan
diri, kesatu karena latihan kita belum sempurna, kedua
karena musuh ada liehay dan kita kuatir nanti disatroni
selagi kita belum bersiap. Dulu saja musuh sudah liehay,
apapula sekarang! Kita sebenarnya berniat tinggal dulu
sampai lama di sini, siapa nyana, keinginan kita itu dapat
tentangan, karena apamau Hiecun dapat perkara dan
telah disatroni. Tadinya kita kandung maksud untuk
lantas perkenalkan diri dan memberikan bantuan, tapi
maksud ini kita tunda kapan kita kemudian dapat tahu,
pihak Englok-pang tidak datang sendiri hanya datang
bersama-sama banyak kawan, di antaranya ada musuh
kita. Musuh itu adalah Pian Siu Hoo dari Kangsan-pang.
Akhirnya kita ambil putusan untuk terlebih dulu
bekerja dengan diam-diam, di saat terakhir baru kita
berdua memperlihatkan diri. Tidak kecewa kita hidup
sengsara belasan tahun, sekarang kita dapat berbuat
apa-apa untuk Giokliong-giam Hiecun."
Semua orang agaknya heran akan dengar lelakon
permusuhan itu, tetapi Pian Siu Hoo unjuk sikap biasa
saja, agaknya ia dapat kuatkan hati dan kendalikan diri.
Adalah Na Thian Hong dari Englok-pang yang tidak
dapat menahan sabar, ia berbangkit dan hadapi Yan Toa
Nio dan gadisnya.
"Yan toanio, kau ada asal coanpang, seharusnya kau
mengerti aturan di kalangan kita!" ia menegur.
"Sekarang kedua pihak Englok-pang dan Giokliong-giam
Hiecun lagi kebentrok, kita sedang hadapi saat mati atau
hidup, karena urusan ini ada menyangkut dengan mangkok
nasinya beberapa ratus keluarga nelayan dari
Englok-kang, adalah tidak pantas untuk lain orang nyelak
dan bikin kacau urusan kita ini. Kau mempunyai sakit hati
dan hendak membalas, itu ada hakmu, kau boleh
lakukan itu, tetapi tidak sekarang, pada malam ini. Kau
harus mengerti, Giokliong-giam bukannya tempat di
mana kau dapat mencari balas! Kau pun harus mengerti,
si orang she Pian adalah orang undanganku, ia akan
pertaruhkan jiwanya untuk urusanku, maka andaikata ia
jual jiwanya untuk kita, tidak akan kita lupakan
kebaikannya itu. Yan toanio, aku si orang she Na tidak
dapat ijinkan kau mencari balas di sini!"
Mendengar ucapan itu, Yan Leng In berbangkit.
"Na pangcu, kita mengerti maksudmu," ia berkata,
"tetapi kendati demikian aku harap kau juga suka
mengerti maksud kita. Sudah sepuluh tahun kami berdua
terumbang-ambing, baru hari ini kita bertemu dengan
musuh, maka kenapa ketika yang baik ini harus dikasih
lewat" Dengan sebenarnya, Na pangcu, kami berdua
tidak dapat menanti terlebih lama pula! Kau hendak
cegah kita, kau melarang, apa kau berani menanggung
jawab?" "Jikalau di luar Englok-kang, aku si orang she Na tidak
akan campur-campur, tetapi di sini ada tanggunganku!"
sahut Na Thian Hong dengan jumawa.
"Na Thian Hong, hak apa kau mempunyai akan
rintangi kita?" ia tegaskan. "Aku pikir baiklah kau jangan
campur tahu urusan kita ini!"
Tapi Na Thian Hong tertawa dingin.
"Nelayan perempuan!" ia membentak, "Na pangcu
bicara dengan baik padamu, itu disebabkan aku masih
pandang memandang, maka kenapa kau begini tidak
tahu diri" Aku melarang padamu untuk berkelahi di sini,
apa yang kau hendak bikin?"
Ketua dari Englok-pang benar-benar unjuk sikap
menantang. Yan Toa Nio sangat gusar, tetapi ia masih bisa tertawa
dengan tawar. "Na Thian Hong, aku kuatir kau tidak sanggup urus
urusan kita ini!" ia bilang. "Kalau tetap kau hendak
merintangi kita dan mau menanggung jawab, tidak dapat
lain, kita harus hadapi kau sendiri untuk membikin beres
perhitungan kita yang sudah lama!"
Na Thian Hong maju dua tindak, jarinya diangkat pada
hidungnya akan memperdengarkan suara menghina.
"Jikalau kau mampu menangkan si orang she Na, kau
merdeka untuk cari Pian pangcu untuk bikin
perhitungan!" ia kata secara jumawa. "Jikalau kau tidak
mampu singkirkan si orang she Na dari sini, maka kamu
berdua ibu dan anak baiklah lekas-lekas angkat kaki dari
sini!" Yan Leng In menjadi murka hingga ia loncat sampai di
sampingnya Thian Hong.
"Na Thian Hong, kau ada tua bangka yang andali
kebangkotanmu!" ia berteriak. "Kau mempunyai
kepandaian apa maka kau menjadi begini congkak"
Nonamu ingin sekali belajar kenal dengan kau!"
Pian Siu Hoo berbangkit untuk mencegah Na Thian
Hong, tetapi ketua Englok-pang tidak dapat dibujuk. Ia
malu bahwa orang ganggu tamunya dan ia ingin
membela tamu itu sambil membela juga kehormatannya
sendiri. "Budak perempuan, hayolah kau maju!" ia menantang
nona Yan. "Na pangcu nanti berikan ajaran padamu!"
Yan Leng In tidak mampu kendalikan diri lagi, ia
lompat lagi sekali sambil kirim serangannya ke arah dada
orang. Na Thian Hong kelit ke samping, tangan kanannya ia
angkat akan menangkis sambil ketok nadinya nona Yan.
Nona Yan lekas tarik pulang tangannya itu, tetapi
kapan sebelah kakinya menggeser ke samping, sebelah
tangannya lagi-lagi maju akan gempur iga orang.
Dengan cepat Na Thian Hong putar tubuhnya untuk
kelit serangan itu, tetapi ia berputar terus hingga kembali
ia hadapi si nona. Tangan kirinya dengan berbareng
memukul pundak kanan.
Dengan mendeki tubuhnya, Yan Leng In bikin kepalan
musuh pukul tempat kosong, dan ia majukan kakinya
sampai di sebelah kiri dari musuh itu, lantas dengan
Hekhouw toh-sim atau "Macan hitam menyambar hati",
ia serang ulu hatinya Na Thian Hong. Atas ini Na Thian
Hong terpaksa loncat mundur.
Dari situ, apabila keduanya telah maju pula satu
dengan lain, pertempuran sudah lantas dimulai pula.
Na Thian Hong mempunyai tenaga yang besar sekali,
ia memangnya kejam, dalam kemurkaan yang ia hendak
bikin luber, ia menyerang dengan tidak sungkan-sungkan
lagi. Ia tidak kenal kasihan, ia mendesak, maksudnya
adalah untuk ambil jiwanya anak dara itu.
Meskipun musuh ganas, Yan Leng In tidak takut dan ia
tidak mau kasih dirinya didesak. Ia juga sangat gusar
dan umbar kegusarannya, maka dengan sama nekatnya,
ia layani ketua dari Englok-pang.
Yan Toa Nio telah pasang mata, sebagai satu ahli silat
ia dapat membedakan caranya orang berkelahi, dari itu
tidak heran kalau ia pun menjadi gusar dan sengit
apabila ia saksikan ketelengasan musuh itu, hingga ia
memikir untuk tidak tinggal diam saja. Ia pun kuatir,
karena terus menerus didesak, anaknya nanti salah
tangan. Ia tidak menunggu lama, segera ia lompat ke
tengah lapangan.
"Manusia tidak kenal aturan, kau terlalu menghina
aku!" ia berteriak. Kemudian ia terus bentak anaknya,
"Budak perempuan, lekas mundur!"
Yan Leng In turut perkataan ibunya, mukanya telah
menjadi merah, karena desakan musuh ada terlalu hebat
dan ia telah mengeluarkan terlalu banyak tenaga untuk
menangkis dan balas menyerang musuh. Dalam
imbangan, ia kalah tanding.
Na Thian Hong kasih lihat senyuman ewah apabila ia
lihat orang telah saling bertukaran, tetapi karena Yan
Toan Nio sudah maju, ia tidak mau banyak bicara, ia
sambut serangan musuh ini.
Sekarang barulah tertampak tandingan yang setimpal,
karena kendati si nyonya ada seorang perempuan,
tenaga dan gerakannya tidak kalah hebatnya daripada
ketua Englok-pang. Malahan Na Thian Hong lantas
didesak. Yan Toa Nio merangsek untuk bikin repot pada
musuhnya. Na Thian Hong tangkis tujuh sampai delapan
serangan, setelah itu ia ambil kesempatan akan balas
menyerang, dengan dua-dua tangannya bergerak
berbareng. Nyonya Yan bisa lihat datangnya dua tangan musuh,
mendadak ia angkat kedua tangannya dan buka dengan
gentakan, dengan itu ia bikin kedua tangan musuh kena
ditangkis dan disampok terbuka. Tapi berbareng dengan
ini, tangannya sendiri pun turut terpentang.
Menghadapi keadaan lawan begitu rupa, Na Thian
Hong pikir ia dapat merebut kemenangan selagi musuh
anggap pihaknya menang di atas angin. Ia tarik pulang
kedua tangannya secara cepat sekali, lalu tangan kirinya
dipakai menyambar dari bawah ke atas, pada tangan
kirinya si nyonya. Kaki kanannya maju berbareng dengan
gerakan tangan kiri itu, disusul dengan tangan kanan
dengan tidak kurang cepatnya. Tangan kanan ini dengan
Yap-tee tamhoa atau "Di kolong daun memungut bunga"
menyerang ke arah dada.
Nyonya Yan bisa lihat gerakan musuh dan ia mengerti
juga kehendak musuh itu ia merasa puas. Dengan sabar
tetapi gesit, ia pun bikin gerakan. Dengan ancaman ia
geraki kedua tangannya, satu untuk menyingkir dari
musuh, yang lainnya untuk menangkis. Tapi karena itu
ada ancaman belaka, tubuhnya terus ikut berputar.
Dengan begini dua-dua serangan musuh menjadi punah.
Tapi ia tidak berhenti karena gagalnya serangan musuh.
Ia segera membarengi dan mendek sedikit, tangannya
yang kiri melayang ke depan, seperti hendak menyerang,
justru musuh bergerak untuk menangkis, tangannya
yang kanan maju menyusul, menjurus ke arah dada. Ia
telah gunakan tipu silat Sweepa-chiu atau "Tangan
melempar ciopay", ialah ilmu pukulan dari Cietiok-am.
Na Thian Hong tidak berdaya terhadap serangan yang
luar biasa cepat. Berbareng dengan satu suara keras
pada dadanya, ia keluarkan jeritan tertahan yang disusul
dengan terlempar mundur tubuhnya sampai empat kaki
jauhnya di mana ia roboh celentang dan terbanting,
kedua matanya tertutup rapat, mulutnya terpentang dan
dari situ menyemburkan darah!
Semua orang menjadi kaget apa-pula, mereka yang
termasuk pemimpin, lebih-lebih pihak Englok-kang;
mereka segera lari memburu akan menghampirkan dan
mereka tercengang menampak ketua itu rebah dengan
tidak bergerak.
Pian Siu Hoo segera berjongkok dan buka kancing
bajunya Na Thian Hong untuk raba dadanya. Hatinya
menjadi sedikit lega kapan ia rasai memukulnya jantung,
suatu tanda bahwa jiwanya Thian Hong masih belum
putus. Ia menoleh pada kawan-kawannya dan
beritahukan itu, bahwa meskipun demikian, bahaya
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih belum lewat.
Rombongan dari Englok-pang segera terpencar
menjadi dua, masing-masing sudah lantas raba
senjatanya. Ketua dari Tonglouw-pay, Auwyang Cu Him segera
hadapi Yan Toa Nio.
"Perempuan nelayan, kenapa kau berani turunkan
tangan jahat?" ia menegur. "Kenapa kau lakukan ini
macam penyerangan untuk bikin hilang jiwanya Na
pangcu" Oh, kau terlalu kejam! Baiklah, aku ingin belajar
kenal dengan tangan jahatmu itu!"
Yan Leng In telah hunus pedangnya apabila ia tampak
sikap mengancam dari banyak orang itu, akan tetapi Yan
Toa Nio berkata pada anaknya, "Simpan senjatamu!"
Kemudian nyonya ini bersenyum dingin apabila ia
dengar suaranya Auwyang Cu Him.
"Ciongwie suhu, jikalau kami sekalian ingin turun
tangan, aku persilakan!" ia berkata dengan sabar tetapi
secara menantang. "Kita ibu dan anak telah datang
kemari, itu adalah tanda bahwa kita orang tidak takut!
Tetapi di kalangan Sungai Telaga orang harus memakai
aturan dan pri-keadilan, andaikata kamu melulu hendak
andalkan tenaga kepandaian untuk menghina, baik,
segala apa juga tidak usah dibicarakan lagi. Tetapi satu
kali aku hendak tegaskan: Dengan si orang she Na ini,
aku ibu dan anak tidak mempunyai sangkutan apa juga,
kami berdua datang kemari hanya untuk cari Pian Siu
Hoo, ketua dari Kangsan-pang, tapi si orang she Na telah
berlaku kurang ajar terhadap kita, ia telah desak dan
paksa kita menggerakkan tangan, hingga terpaksa kita
menyambut tantangannya. Begitulah ia telah terima
bahagiannya! Sekarang tidak bisa lain, siapa bunuh
orang, ia harus membayar dengan jiwa, siapa punya
hutang, ia harus membayar dengan uang! Cukup sampai
di sini, apa juga, tidak usah ditimbulkan lagi!"
Auwyang Cu Him menjadi terlebih gusar, hingga ia
membentak, "Nelayan perempuan, kau ada mempunyai
kepandaian bagaimana liehay sehingga kau berani bicara
takabur seperti ini" Apakah kau sangka di antara kita
orang tidak ada yang berani tempur padamu?"
Setelah kata begitu, ia lantas menyerang.
Tetua dari Kiushe Hiekee, Lim Siauw Chong, ada salah
satu orang dari pihak tuan rumah yang telah hampirkan
Na Thian Hong, ia lihat mukanya dan periksa nadinya,
selama itu ia telah dengar perbantahan mulut itu, akan
tetapi kapan ia saksikan ketua dari Tonglouw-pay naik
darah begitu hebat hingga tidak mampu lagi kendalikan
diri, ia lekas-lekas berbangkit dan menyelak sama
tengah. "Auwyang loosu, harap sabar," ia berkata. "Kalau
sampai pertarungan dilakukan ada sukar untuk
mencegah bahaya terlebih jauh. Na pangcu terluka
hebat, menurut aku adalah paling benar akan terlebih
dulu tolong padanya. Perkara gampang diurus, tidak
peduli perkara besar atau kecil, itu masih dapat ditunda
setengah sampai satu jam dengan tidak ada
halangannya. Aku ada sedia obat luka, baiklah Na
pangcu segera diobatkan, kemudian kita orang nanti
bicara pula."
Mendengar pembicaraan itu, Pian Siu Hoo majukan
diri. "Tidak usah Lim loosu capekan diri," ia berkata, yang
menolak bantuan orang, "kita orang juga masih mampu
obati pada Na pangcu. Sekarang aku hendak bicara dulu
dengan orang she Yan ini, dua patah saja!"
Dengan tidak berayal lagi, Yan Toa Nio maju
mendekati. "Pian pangcu, ada urusan apa?" ia tanya. "Silakan kau
bicara!" "Perhitungan kita yang lama belum diselesaikan atau
sekarang harus ditambah dengan yang baru," berkata
orang she Pian itu. "Meski demikian, aku hendak minta
pada kau agar perhitungan yang akan dibereskan malam
ini ditunda dahulu untuk sementara waktu, karena
terlebih dahulu aku harus melakukan kewajibanku
sebagai satu sahabat, untuk mengatur keselamatannya
Na pangcu. Urusan di antara Englok-pang dan Gioklionggiam
juga urusanku si orang she Pian dengan kau ibu
dan anak, dalam tempo tiga hari aku yang akan urus dan
tanggung sendiri! Kau boleh percaya bahwa aku adalah
sahabat di kalangan Sungai Telaga, dengan segera kita
akan undurkan diri dari dalam muara ini! Tetapi,
umpama kata kau anggap bahwa urusan tidak dapat
ditunda hingga lain waktu, hanya mesti dibereskan pada
saat ini juga, baiklah, kau boleh hunus senjatamu, aku si
orang she Pian bersedia akan mengiringkan!"
Atas ucapan congkak itu, Yan Toa Nio tertawa ewah.
"Orang she Pian, aku percaya kau ada satu laki-laki
sejati, pembicaraanmu pasti bukan obrolan belaka!" ia
jawab. "Baiklah, dalam tempo tiga hari, aku ibu dan anak
akan tunggu padamu!"
Lim Siauw Chong lihat tidak ada lain jalan, ia turut
bicara. "Pian loosu, kita ada sama-sama orang terhormat,
pembicaraan rasanya sudah cukup," ia berkata. "Pian
loosu, persilakan!"
Pian Siu Hoo manggut, segera bersama-sama
Auwyang Cu Him ia hadapi kawan-kawannya dan berkata
pada mereka itu, "Ciongwie loo-suhu, mari kita orang
undurkan diri! Biar bagaimana besar duduknya perkara
dengan Giokliong-giam, dalam tempo tiga hari, aku yang
nanti tanggung! Mari kita orang berangkat!"
Setelah berkata begitu, Pian Siu Hoo minta beberapa
orang pondong Na Thian Hong untuk dibawa ke perahu
mereka, ia sendiri memberi hormat pada pihak tuan
rumah untuk pamitan. Tapi Tan Tay Yong telah antar
sekalian tamunya sampai mereka itu telah keluar dari
mulut muara, setelah mana mulut muara itu oleh Lim
Siauw Chong diperintah untuk ditutup serta titah-titah
atau pesanan telah diberikan untuk jaga itu baik-baik.
Sementara itu Tan Giok Kouw sudah lantas samperkan
Yan Toa Nio dan gadis untuk undang mereka ini pulang,
bukan lagi ke gubuk mereka, hanya ke rumahnya.
Karena sekarang telah ternyata, ibu dan anak itu adalah
kawan mereka. Lim Siauw Chong di lain pihak ajak semua kawannya
berkumpul di Cun kongso ialah kantor ketua Gioklionggiam
untuk bicarakan dan menduga-duga apa yang pihak
Englok-pang akan lakukan lagi tiga hari. Yan Toa Nio
dan gadisnya turut hadir.
"Tidak peduli apa yang Pian Siu Hoo atur, jikalau di
hari kedua Seantero hari ia tidak muncul, aku dan
anakku akan pergi cari padanya," berkata nyonya Yan.
Setelah itu, ibu dan anak pamitan untuk pulang ke
gubuknya, tapi Giok Kouw mencegah mereka pulang,
hanya mereka diajak masuk ke pendalaman. Kecuali
kawan, mereka masih termasuk pada golongan Kiushe
Hiekee. Atas ajakan itu, Yan Toa Nio dan anaknya tidak
menampik. Hengyang Hie-in dan kawannya semua berdiam di
kongso. Setelah pembicaraan, Tan Tay Yong pergi keluar untuk
bikin penilikan pada orang-orangnya, dan sekalian
lakukan pengawasan terhadap musuh, sampai terang
tanah baru ia kembali akan memberi laporan kepada Lim
Siauw Chong. Menurut ia, pada pihak Englok-pang di
waktu malam tidak tertampak gerakan apa juga, hanya
setelah terang tanah, semua perahu yang tadinya
dipersatukan, lalu terpecah menjadi duabelas
rombongan, tetapi setelah itu mereka diam sirap.
Sampai tengah hari lalu menyusul laporan kedua, tapi
juga kali ini laporan itu memberitahu bahwa perahuperahu
musuh tetap diam anteng, kelihatannya mereka
tidak berniat angkat kaki.
Sampai sebegitu jauh pengawasan dilakukan dari
jauh-jauh saja. Ketika sudah sore, Tan Tay Yong datang
dengan laporan yang tidak berbeda.
Hengyang Hie-in Sian le, Souw-posu Cukat Pok,
Kimpwee Kam-san-too Hee In Hong dan tetua dari
Kiushe Hiekee Lim Siauw Chong tetap berkumpul
bersama-sama. Ketiga tamu itu tidak ingin pamitan,
karena urusan masih belum ada keputusannya. Sore itu
mereka berkumpul dengan Yan Toa Nio dan gadisnya
pun turut hadir. Mereka juga setiap waktu terima laporan
dengan perantaraan Tan Giok Kouw.
"Na Thian Hong telah terluka, umpama kata jiwanya
tertolong, ia tidak akan lekas-lekas dapat pulang
kesehatannya," kata nyonya Yan, "atau ada
kemungkinan kesehatannya tidak akan kembali seperti
sediakala. Ia ada menjadi kepala, ia terluka, tetapi
sekarang ia masih tidak mau berlalu dari daerah
Giokliong-giam, sudah terang benar-benar Pian Siu Hoo
tidak memberi kabar apa-apa pada kita, aku percaya ia
sedang mengatur daya upaya untuk hadapi kita. Pihak
Englok-pang aku tidak takuti, hanya aku berkuatir untuk
kawan-kawan undangannya. Aku merasa bahwa mereka
juga tidak ingin secara mentah-mentah berlalu dari sini!
Maka itu, tidak dapat aku berdiam saja, menantikan
hingga mereka datang mencari aku, untuk membalas
sakit hatinya Na Thian Hong! Perselisihan kedua pihak
sebenarnya dapat diselesaikan pada malam itu, apamau
aku telah datang sama tengah dan mendatangkan
kekeruhan, hingga urusan jadi terlambat. Aku merasa,
apabila kita diam saja, kita bakal kena terpedaya dan
keadaan kita ada terancam. Dari itu kita berdua sudah
ambil putusan, sebentar malam kita niat pergi bikin
penyelidikan, guna sekalian cari Pian Siu Hoo supaya
urusan kita, dapat segera dibikin beres!"
"Yan toanio, aku minta jangan kau ambil tindakan
demikian," Hengyang Hie-in mencegah. "Benar seperti
kata-katamu barusan, urusan Giokliong-giam dan Englokpang
dapat dibikin pada malam itu, meski demikian,
keputusan masih harus disangsikan. Kau lihat sendiri,
aku Sian le hampir-hampir roboh di tangan musuh. Maka
aku pikir, kedatangan kamu berdua ibu dan anak
bukannya berarti menggerecok hanya merupakan suatu
bantuan besar bagi kita. Memang benar pihak Englokpang
dan kawan-kawannya tidak puas, mereka pun
berlalu dari sini karena terpaksa. Aku pikir baik kita lihat
malam ini, tindakan apa mereka akan ambil. Umpama
kata sampai besok mereka tetap belum datang atau
memberi kabar, sambil di satu pihak kita harus terus
tutup dan jaga mulut muara, di lain pihak kita orang
harus ambil tindakan dengan tidak usah sungkanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sungkan lagi. Tegasnya, kita orang harus ambil putusan
di muka air untuk mencegah bencana di belakang hari!"
"Menurut dugaanku, mungkin malam ini akan terjadi
perobahan," Cukat Pok utarakan perasaan hatinya.
"Siapa tahu" Maka aku pikir, baiklah malam ini penjagaan
diperhebat. Cuwie loosu ketahui sendiri, di mulut mereka
bicara perihal kehormatan atau persahabatan di kalangan
Sungai Telaga, di dalam hati mereka tentu pikir lain. Aku
percaya, segala macam kejahatan mereka berani
lakukan!" Lim Siauw Chong manggut.
"Apa yang kau bilang, Cukat Pok, ada hal yang benar,"
ia membenarkan. "Kemarin ini saja Auwyang Cu Him,
ketua dari Tonglouw-pang, sudah hendak mengambil
tindakan di luar garis. Aku pikir baik segera dibikin
penilikan dan perobahan pada penjagaan kita, dengan
tak ada persiapan, kita orang tidak nanti bisa tidur
dengan nyenyak. Mari kita pergi berpisahan untuk
lakukan penilikan, kemudian baru kita orang pikir terlebih
jauh." Pernyataan ini dapat persetujuan, maka Lim Siauw
Chong segera perintah Tan Tay Yong pergi kumpulkan
semua tauwbak di muka kampung, supaya mereka
diberikan pengertian dan diperintahkan melakukan
penjagaan dengan sangat hati-hati, kemudian ia sendiri
bersama kawan-kawannya pergi ke air akan naik ke
perahu masing-masing dan melakukan penilikan sendiri.
Kecuali di mulut muara, di mana ada empat buah
perahu dengan masing-masing lentera yang terpasang
terang-terang, di lain-lain bagian semua gelap gulita,
melainkan pihak Giokliong-giam sendiri yang ketahui di
mana adanya penjagaan.
Lim Siauw Chong bersama-sama Yan Toa Nio dan
Leng In pergi ke sebelah kiri, mereka naik ke tempat
tinggi yang merupakan seperti puncak di mulut muara,
dari situ mereka dapat memandang jauh ke udik Englokkang.
Rombongan Hengyang Hie-in Sian Ie bersama-sama
Souwposu Cukat Pok, Hee In Hong dan cuncu Tan Tay
Yong mendarat di sebelah kanan mulut muara, akan
mengawasi dari tempat tinggi.
Semua perahu-perahu dari pihak Englok-kang berbaris
dengan rapi di luar mulut muara. Mereka juga terbenam
dalam kesunyian. Hanya dari lima perahu besar, yang
terpisah dua atau tigapuluh tombak jauhnya satu dengan
lain, ada terdapat cahaya api, dan di situ orang mundarmandir
tak ada putusnya.
"Melihat demikian, nyata mereka tidak pikir untuk
undurkan diri," berkata Lim Siauw Chong pada Yan Toa
Nio. "'Aku merasa pasti yang mereka akan lakukan suatu
tindakan terhadap kita. Tentang Na Thian Hong belum
diketahui hidup atau mati, aku ingin sekali pergi mencari
tahu dan sekalian menyelidiki maksud mereka...."
"Lihat di sana, loo-cianpwee," berkata Yan Leng In,
serta tangannya menunjuk. "Di depannya lima perahu
besar ada lagi belasan perahu kecil, dua antaranya
sedang bergerak. Apakah maksud mereka" Baiklah kita
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdamai dulu dengan Sian loo-cianpwee, kemudian baru
mengatur orang akan bikin penyelidikan."
Selagi mereka bicara, dua perahu kecil yang diunjuk
sudah pisahkan diri dari lima perahu besar, lajunya pesat
sekali, menuju ke tengah sungai, kemudian semua
perahu tertampak bergerak, merupakan suatu pusat.
Semua api segera dipadamkan, kecuali di sebuah perahu
besar. "Kita harus lihat, muslihat apa Pian Siu Hoo akan
mainkan!" berkata Yan Toa Nio.
Justru itu Cukat Pok datang dan senggol Lim Siauw
Chong. Tetua Kiushe Hiekee mengerti tanda itu.
"Toa Nio berdua baik jangan sembarangan bergerak,"
Siauw Chong lantas berkata. "Tempat ini ada penting,
aku harap kamu berdua sudi menggantikan aku
mengawasi musuh...."
"Kita cari Pian Siu Hoo, ia diketemukan di sini, kita
pasti tidak akan tinggalkan padanya dan tidak ijinkan ia
kabur juga," sahut si nyonya.
"Baiklah," berkata Siauw Chong. "Kita tidak sedia
pakaian mandi tapi jika perlu kita akan nyebur juga.
Karena perahu-perahu kita tidak dapat dimajukan secara
terang-terangan, terpaksa kita harus maju dari darat,
sampai di tempat yang dekat sekali dengan perahuperahu
mereka. Ada terlebih baik jika kita maju secara
menggelap."
"Baik," menjawab Yan Toa Nio. "Kita bekerja dengan
terpisah, supaya masing-masing bisa bergerak dengan
leluasa." "Tetapi ingat," Cukat Pok turut bicara, "kita orang
pergi untuk lakukan penyelidikan belaka, sekali-kali kita
tidak boleh sembarangan layani musuh bertempur.
Dengan tempur musuh, kita juga jadi sudah melanggar
aturan kaum Sungai Telaga."
Karena mereka sudah bermufakatan, lantas mereka
berpisahan. Mereka tidak turun ke air, hanya naik terus
ke tempat yang tingginya dua atau tigapuluh tombak.
Mereka telah datang semakin dekat pada musuh tapi
dirinya masing-masing semakin tersembunyi. Mereka
percaya bahwa musuh tidak akan mencurigai.
Lim Siauw Chong menuju ke utara, ia mutar hingga
sepuluh tombak lebih, di satu tikungan ia umpati diri di
lamping bukit. Di depan ia lihat enambelas perahu besar
serta tujuh atau delapan perahu kecil yang memutari
perahu-perahu besar itu. Ia berasal dari Hucun-kang, ia
bisa kenalkan perahu-perahu dari sesuatu rombongan.
Yang tertampak di depannya ini ada dari Liongyu-pang.
Apa yang aneh, bukan saja tidak terlihat cahaya api di
dalam perahu, bahkan seorang anak buahnya pun tidak
tertampak. Maka tidak bisa jadi jika semua pengisi
perahu kabur dengan jalan berenang dan selulup. Untuk
kabur pun tidak ada alasan.
Siauw Chong jumput sepotong batu kecil, dengan itu
ia menyambit bagian belakang dari sebuah perahu kecil
itu. Suaranya batu kecemplung di air terdengar dengan
nyata, tetapi di perahu tetap tenang.
"Pasti sekali di dalam perahu tidak ada orangnya,"
pikir Lim Siauw Chong. Maka dengan berani ia maju
mendekati perahu kecil itu, dengan satu enjotan ia bikin
tubuhnya berada di atas perahu. Ia sengaja bikin
tubuhnya berat, hingga perahu jadi bergerak. Jika ada
orang, meskipun sedang tidur, gerakan perahu akan
bikin orang itu mendusin. Tetapi perahu itu tetap sunyi,
maka nyatalah bahwa perahu itu kosong. Maka itu,
Siauw Chong loncat terus ke sebuah perahu besar yang
letaknya paling dekat. Dari buntut perahu ia
menghampirkan gubuk akan pasang kuping.
Juga perahu besar ini ada sebuah perahu kosong.
"Heran!" pikir tetua Kiushe Hiekee, setelah ia periksa
empat perahu dan semua tidak ada anak buahnya.
"Semua anak buah perahu ada tukang-tukang berenang,
mereka pasti telah berlalu ke lain tempat. Ke mana?"
Segera Siauw Chong samperkan dua perahu lain, yang
satu kosong, tetapi di perahu yang kedua, di mana
dengan bergerak sembarangan, hingga perahu jadi
bergerak, ia segera dengar suara orang menanya.
"Han A Su, coba dengar!" demikian suara itu. "Di atas
gubuk perahu ada suara apakah itu" Mari kita
periksa!...."
Siauw Chong terperanjat, lekas-lekas ia lompat
menyingkir ke belakang perahu akan umpeti diri.
Segera terdengar tindakan kaki dan kelihatan dua
orang keluar dari gubuk perahu. Mereka adalah anak
buah perahu yang hendak memeriksa seputar
perahunya, tetapi karena tidak terdapat apa-apa, mereka
telah lantas balik kembali ke dalam perahu.
Dengan hati-hati Siauw Chong keluar dari tempat
sembunyinya, ia hampirkan pula gubuk perahu itu, di
jendela sebelah kiri ia pasang kuping dan kebetulan ia
dapat dengar orang bicara.
"Lauw Yo, kau memang biasa main gila," begitu
terdengar suara, mungkin dari seorang muda. "Tidak ada
apa-apa, kau bilang ada suara di atas gubuk perahu! Aku
sendiri tidak dengar apa juga! Hati-hati kau, kalau
dipersalahkan oleh ketua kita, sungguh penasaran! Mari
kita tidur! Kita tidak diberikan pekerjaan, malahan
disuruh menjaga tangsi, nyata kita diperlakukan sebagai
soldadu bangkotan, maka kalau sampai terjadi apa-apa,
itu semua tidak ada sangkutannya dengan kita! Kita
jangan bodoh! Kita tinggal di sini, dilarang pasang api,
dilarang keluar, dilarang bicara, tapi kita diharuskan
menjaga perahu di antara sekitar bukit! Jangan tolol,
mari kita tidur, kecuali perahu-perahu terbakar habis, kita
jangan menyingkir! Sayang ketua kita, Sun sionia, di
Liongyu ia ada sangat terkenal dan dimalui, apamau ia
dapat diundang datang kemari! Urusan di sini bukannya
urusan kita tetapi kita harus berkelahi! Kemarin ini di
Giokliong-giam telah terjadi pertempuran, benar itu tidak
memutuskan, tetapi dengan itu nyata kita sudah jatuh
pamor! Kepala bencana ada Na pangcu, ia mati tidak,
hidup pun tidak, tetapi ia masih belum ingin berhenti dan
masih mengharap bantuannya orang. Ia masih berikan
titah-titah hingga ketua kita jadi mirip dengan satu
soldadu saja! Kenapa ketua kita kesudian diperintahperintah
oleh pihak Kangsan-pang" Inilah aku tidak
mengerti! Bukankah bagi kita lebih baik pulang, makan
dan tidur saja di tempat kita" Kalau malam ini kembali
kita kalah, apa ketua kita masih ada muka akan hidup
terlebih lama dalam dunia ini" Hayo, Lauw Yo, kita tidur,
jangan pedulikan apa-apa lagi!...."
"Han A Su, kau salah," berkata suara yang kedua,
rupanya dari orang she Yo, yang dipanggil Lauw Yo itu.
"Dalam segala hal, kita orang harus utamakan
persahabatan, apa-pula dalam kalangan coanpang.
Bukankah ketua kita telah perlakukan baik sekali pada
kita" Kita telah sampai di sini, kita harus lakukan apa-apa
untuk sahabat kita. Ketua dari Kangsan-pang ada sangat
liehay, kau jangan pandang enteng padanya. Lihatlah
caranya ia mengatur pada malam ini, dirinya sendiri ia
majukan di muka. Maka mau atau tidak, kita harus adu
jiwa dengan pihak Giokliong-giam! Menurut dugaan,
barangkali malam ini kita orang dapat merampas tempat
musuh! Maka kita harus jaga baik-baik perahu-perahu
kita Saudara-saudara yang malam ini keluar, semuanya
seperti sudah jual jiwanya, jika mereka berhasil, kita
semua akan angkat kepala, tapi andaikata mereka gagal,
terpaksa kita orang harus tunduki kepala kita.... Pihak
Kangsan-pang telah menyatakan, mereka tidak suka ada
perahunya yang ketinggalan, supaya kita semua bisa
lihat, apakah mereka ada sahabat sejati atau bukan!
Sahabatku, mari kita jaga perahu-perahu, kalau terpaksa
harus mundur, kita harus bisa mundur dengan utuh,
supaya tenaga pihak kita Liongyu-pang dapat dilindungi.
Benar begitu, bukan?"
Tapi orang yang dipanggil Han A Su itu menjawab,
"Menurut aku, malam ini ada lebih banyak bahayanya
daripada kebaikannya, maka kalau nanti semua sudah
celaka, barulah belakangan datang penyesalan...."
Sampai di situ, pembicaraan sirap. Tapi pembicaraan
itu sudah cukup bagai Lim Siauw Chong. Ia telah dapat
kabar penting. Ia melihat ke sekitarnya, ia lihat Yan Toa
Nio dan Cukat Pok ada di dua perahu lain, dengan ulapulapkan
tangan, ia memberi tanda pada mereka itu. Ia
girang, yang mereka berdua pun telah sampai di situ.
Lantas juga Lim Siauw Chong gunai kepandaiannya
lari di muka air, menuju ke perahu pertama dari lima
perahu paling besar. Ketika ia sampai, ia lihat di perahu
besar ketiga ada orang lain. Ia berlaku hati-hati. Ia lihat
satu anak buah keluar dari gubuk dan pergi ke belakang,
sesudahnya meniliki, dia itu balik kembali ke dalam.
Di perahu ketiga itu adalah Yan Toa Nio, yang dari
tiang layar loncat turun ke atas gubuk.
Siauw Chong pergi ke perahu yang ketiga, dengan
entengi tubuh ia samperi pintu gubuk perahu, ke mana
tadi si anak buah menghilang. Ia lantas pasang kuping
dan dengar dua orang sedang bicara dengan perlahan.
Untuk melihat mereka itu, ia maju lebih dekat ke jendela.
Di pintu perahu ada dipasangkan layar. Di kepala
perahu ada satu lentera merah. Perahu itu ada besar,
dari kepala sampai ke pintu gubuk, enam atau tujuh kaki
jauhnya. Siauw Chong berada di sampingnya dan bisa
mengintip dengan leluasa
Dua orang di dalam perahu sedang berpakaian untuk
bersiap. Mereka adalah le Tong, ketua dari Lankie-pang,
bersama Sun Po Sin, ketua dari Liongyu-pang. Mereka
berdua berpakaian ringkas dengan sedia senjata dan
senjata rahasia.
"Aku rasa malam ini kita bakal berhasil," kata le Tong
pada kawannya. "Kita orang menyerang dengan
mendadak, walaupun pihak Giokliong-giam menjaga
keras, tidak nanti mereka dapat menduga bahwa kita
pun berbareng menyerang dari atas dan belakang
mereka! Di belakang, jika satu orang saja bisa terlolos
dan bunyikan ledakan sebagai pertandaan, pihak Hiecun
akan kalut sendirinya dengan tidak bertempur lagi. Apa
mereka dapat lakukan jika mereka diserang dari depan,
belakang dan tengah-tengah" Di sana ada banyak orang
pandai, tetapi mereka tentu tidak mampu lindungkan
semua orang dari pihaknya. Kita pun harus gempur dulu
pasukan perahunya, supaya mereka kalut dan bubar,
setelah itu tentu mereka akan lari keluar ke mulut muara
Dengan jalan ini kita orang bisa bikin terang mukanya
Englok-pang. Melihat pengaturannya Pian pangcu, kita
sebenarnya harus mengaku kalah. Sekarang sudah tidak
siang lagi, hayo kita pergi pada Pian pangcu, ia tentu
sedang tunggui kita untuk berangkat bersama-sama.
Pasukan untuk rebut mulut muara telah disiapkan, kita
orang tidak boleh alpa dan terlambat, begitu pertandaan
berbunyi, kita harus adu jiwa! Pendeknya, malam ini kita
harus dapat rampas Giokliong-giam untuk cuci malu!"
Setelah itu, mereka berdua keluar dari dalam gubuk
perahu. Sun Po Sin jalan belakangan. Siauw Chong
menyingkir untuk umpetkan diri. Syukur baginya, musuh
tidak dapat lihat padanya Mereka pergi ke perahu-perahu
kedua, terus ke perahu ketiga
Lima perahu besar kumpul menjadi satu, tetapi tidak
rapat satu dengan lain, hanya masing-masing terpisah
satu tombak lebih.
Setelah mereka lewat, Siauw Chong muncul pula Ia
terperanjat bila ia tampak bayangan berkelebat di
atasannya, ia menduga pada musuh, maka ia putar
tubuhnya untuk siap untuk sesuatu penyerangan. Tapi
yang datang adalah Cukat Pok, sebagaimana ia segera
kenalkan Souwposu, si Pembalasan Cepat.
Mereka tidak berani bicara sebelum berdekatan satu
dengan lain, hingga mereka bisa berbisik.
"Lim suheng, sungguh berbahaya!" demikian Cukat
Pok. "Kita harus lekas kembali."
Siauw Chong manggut.
"Aku pun telah dengar semua," ia pun berbisik.
"Mereka ada jahat dan hendak bokong kita secara hebat.
Jikalau aku biarkan si tua bangka Pian Siu Hoo berhasil,
dapat dikatakan sia-sia saja aku hidup dalam dunia! Di
mana Yan toanio?"
"Ia sedang selidiki perahu keempat," Cukat Pok
beritahukan. "Pasukan perahu mereka yang akan serang
mulut muara adalah rombongan Hangciu-pang dari Han
Kak." Lim Siauw Chong manggut.
"Marilah!" katanya, yang tidak ingin ayal-ayalan pula.
Ia tetap berlaku hati-hati, supaya kedatangan mereka
tidak dapat diketahui oleh musuh.
Mereka hampirkan perahu besar yang berada di
tengah. Cukat Pok pernahkan diri di samping. Lim Siauw
Chong langsung pergi ke jendela kiri sambil sembunyikan
diri, agar orang sukar lihat ia. Ia mengintip ke dalam
jendela yang teraling dengan gordijn tetapi orang toh
dapat melihat ke dalam.
Pian Siu Hoo kelihatan berdiri di tengah-tengah, di kiri
dan kanan berduduk pemimpin-pemimpin coanpang,
yang sedang terima perintah-perintah.
Sun Po Sin dari Liongyu-pang dan le Tong dari Lankiepang,
bersama-sama dengan enambelas anak buah
pilihan, diperintah siap untuk merampas mulut muara,
begitu lekas mereka sudah dengar pertandaan. Mereka
ini masing-masing kepalai delapan orang. Untuk
membuka jalan, senjata yang dipakai adalah panah api.
Mereka akan menyerang dari atas dari kiri dan kanan.
Api akan lantas digunai, untuk menangkan pengaruh,
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian enambelas anak buah itu diperintah serang
perahu-perahu Giokliong-giam, agar setiap perahu
segera terbakar. Dua ketua coanpang itu dipesan wantiwanti
agar bergerak jangan kecepatan dan jangan ke
belakang, supaya tepat, guna bikin musuh bingung
hingga mereka tidak tahu bagaimana harus bikin
perlawanan. Setelah terima perintah, dua ketua itu lantas berlalu.
Cia Kiu Jie diminta bawa sepasukan perahu, untuk
menerjang masuk begitu lekas mulut muara sudah dapat
dipecahkan dan dirampas.
Di dalam perahu itu tidak tertampak Auwyang Cu Him
dan Cui Cu le, tetapi sebagai gantinya, ada empat orang
lain, yang romannya gagah, yang kemarin ini tidak turut
hadir di Giokliong-giam.
"Pui loosu, Tan loosu," terdengar Pian Siu Hoo berkata
pula, "aku minta kamu dua saudara sudi ikuti Cia loosu,
masing-masing boleh bawa empat perahu kecil. Kamu
mesti nyerbu terus, dengan tidak usah pedulikan
pertempuran di kedua pinggiran. Karena perahu-perahu
ada enteng dan laju, kamu mesti bisa serbu bagian
dalam dari Giokliong-giam Hiecun. Untuk membakar
Hiecun di empat penjuru, aku sudah sediakan orangorangnya,
supaya Hiecun habis musnah. Untuk layani
pemimpin-pemimpin musuh, serahkan itu pada aku
bersama-sama Auwyang loosu, Cui loosu, Thian loosu
dan In loosu. Begitu lekas api sudah berkobar-kobar,
pihak kita mesti berteriak-teriak. Mulut muara tidak boleh
ditutup terlalu keras, mereka semua pandai selulup dan
berenang, asal mereka tidak berkelahi nekat, biarkan
mereka mencoba molos dan kabur. Asal kita dapat
rampas Giokliong-giam, itu sudah berarti pembalasan
sakit hati bagi Englok-pang."
Tiga orang itu berlalu dengan lantas.
Lim Siauw Chong dan Cukat Pok lekas-lekas
menyingkir ke belakang perahu, dari situ mereka
menyingkir terlebih jauh, dan terus kembali ke darat, ke
atas bukit. Maksud mereka untuk segera balik ke
Giokliong-giam, karena umpama ancaman kebakaran, api
sudah mulai disulut.
--ooo0dw0ooo-- VI Tatkala dua orang ini sampai di tempat pertemuan,
mereka dapatkan Yan Toa Nio sudah kembali terlebih
dulu dan nyonya itu, dengan cepat luar biasa, telah
beritahukan Sian le, Hee In Hong dan Tan Tay Yong,
tentang bahaya yang mengancam, dan kemudian ia
minta Hee In Hong bersama Leng In dengan bawa
belasan orang segera pergi ke atas Giokliong-giam, guna
pegat dan rintangi musuh yang bakal nerobos dari atas
bukit, sebab dikuatirkan lambatnya cegahan, akan bikin
segala apa sudah kasep. Tan Tay Yong pun telah diminta
lekas pulang ke Hiecun, guna kumpulkan semua orang di
mulut muara. Melihat caranya Yan Toa Nio mengatur, dan
menampak nyonya ini tetap tenang, kendati suasana ada
demikian genting, Siauw Chong dan Cukat Pok menjadi
kagum. Tapi Siauw Chong lantas perintah dua orang
pergi susul Tan Tay Yong, guna perintahkan cuncu itu
segera kumpulkan juga semua orang perempuan, anakanak
dan orang-orang tua, agar mereka lantas
menyingkir dari rumah mereka, akan mundur jauh dari
Hiecun. Semua penduduk itu dipesan untuk jangan
pikirkan lagi harta dan benda mereka. Kemudian, dengan
perahu, mereka mesti diangkut ke pedalaman Gioklionggiam,
guna singkirkan dan umpatkan diri di tempat yang
airnya dalam dan sunyi. Tan Giok Kouw diharuskan
tanggung jawab untuk pengungsian itu. Semua orang
dikasih tahu supaya jangan kaget atau bingung, mereka
dilarang menangis atau bikin berisik, agar musuh tidak
ketahui mereka menyingkir ke mana. Siapa yang bandel,
diancam akan diceburkan ke air.
"Lim loosu, aku tidak mengerti betul maksudnya Pian
Siu Hoo," berkata Hengyang Hie-in pada Lim Siauw
Chong. "Ia tidak dapat mundur lagi, ia mengerti bahaya,
ia rupanya telah ambil putusan akan mati bersama-sama
Giokliong-giam. Ia sudah atur pembokongan dari
belakang, ia pun mau menyerang dari depan, guna jepit
kita dari dua jurusan. Andalan apa ia punyakan maka ia
merasa pasti bakal menang" Apakah ia telah tidak
sediakan daya lain lagi, yang terlebih busuk?"
Ketua dari Kiushe Hiekee manggut-manggut.
"Ya, sikapnya memang luar biasa," ia kata. "Apa yang
aku tahu pasti, ia bakal menyerang di depan dengan
gunakan api."
Sian le keluarkan suara dari hidungnya. Ia pandang
Siauw Chong dan Souwposu. Akhirnya ia tertawa dingin
seorang diri. "Jikalau sampai perahu mereka dapat menerjang
masuk, sebuah saja, lantas Pian Siu Hoo akan anggap
kita sebagai gentong arak dan bakul nasi!" ia kata
dengan sengit. "Malam ini kita mesti keluarkan masingmasing
kepandaian kita, siapa terlebih liehay, dialah yang
akan binasakan lawannya! Aku pikir, tidak peduli apa
dayanya Pian Siu Hoo, baik kita siap di atas. Lim loosu,
silakan kau perintahkan duapuluh orang naik kedua atas
jurang, di sana mereka mesti tumpuk batu yang beratnya
lima atau enampuluh kati, guna kasih rasa pada musuh
beratnya balok-balok batu itu. Lim loosu, pekerjaan ini
mari kita berdua yang tanggung! Dan kau, Yan toanio,
bersama dengan Cukat loosu, minta kau sukalah usir
balik orang-orang mereka yang berani nerobos di atas
kedua jurang. Pian Siu Hoo tentu tidak mau ketinggalan,
biarkan ia masuk, sesampainya di dalam, mari kita samasama
bikin beres padanya!"
"Satu hal aku hendak minta," berkata Yan Toa Nio.
"Umpama benar Pian Siu Hoo bisa dipancing masuk
kemari, sesudah ia berada di dalam, baiklah cuwie loosu
serahkan ia padaku, guna aku yang layani sendiri! Cuwie
loosu harus mengerti, sesudah menderita duapuluh
tahun, yang kita ibu dan anak harapi adalah satu hari
seperti ini! Kalau nanti sudah ternyata kita ibu dan anak
tidak berdaya, waktu itu baharulah aku minta cuwie
loosu bantu kita!...."
Hengyang Hie-in setuju dengan usul itu.
"Itu adalah permintaan yang pantas sekali," ia bilang.
"Untuk lindungi Giokliong-giam, setelah jalan menjadi
buntu begini, kita memang tidak bisa tidak turunkan
tangan jahat seperti mereka itu! Baiklah, toanio, kita
akan berdaya supaya kau dapat wujutkan
pengharapanmu!"
Setelah itu, lantas Hengyang Hie-in minta Lim Siauw
Chong lantas bekerja menitahkan mengumpul batu, yang
mesti ditumpuk sampai tiga kaki, agar orang dapat
bekerja dengan merdeka. Juga dikumpulkan batu yang
bisa dipakai menimpuk.
Hee In Hong bersama Yan Leng In telah bekerja di
belakang Giokliong-giam, mereka atur bayhok, sesudah
itu Yan Leng In pergi cari Tan Giok Kouw, guna bantu
nona Tan atur pengungsian. Tapi ia tidak membantu
terus-terusan, ia balik pula ke depan, karena seperti
ibunya, ia berkeinginan keras mencari balas. Ibu dan
anak ini mengerti, ini ada ketika mereka yang paling
baik, kalau sampai Pian Siu Hoo dapat balik ke Hucunkang,
tenaganya Kangsan-pang bakal jadi terlebih besar
lagi, di sana Pian Siu Hoo ada merdeka, kalangannya
lebih luas, sobatnya ada banyak.
Pihak Hiecun telah bekerja dengan cepat dan rapi,
seluruh dusun ada gelap dan sunyi.
Sesudah mengatur dan menilik, Tan Tay Yong pergi
cari Hee In Hong, akan bantui Kimpwee Kam-san-too. Di
mulut muara, di atas jurang, Cukat Pok umpati diri
bersama-sama Yan Toa Nio. Hengyang Hie-in dan Lim
Siauw Chong, yang jaga mulut muara, juga mengawasi
bagaimana musuh akan turun tangan.
Orang tidak usah menunggu terlalu lama atau di muka
air sudah mulai ada gerakan, yang dimulai dengan suara
suitan berulang-ulang ke mulut muara.
Segera dua barisan perahu-perahu kecil mulai
menerjang dengan perlahan-lahan.
Kapan rombongan penjaga ketahui datangnya musuh,
mereka lantas perdengarkan tanda dari suitan bambu,
guna kasih tahu agar orang jangan maju terus. Tetapi
tanda cegahan ini tidak digubris, dua baris perahu maju
terus. Panah lantas dilepas, guna mencegah. Mendadak
di perahu-perahu kecil api menyala, yang cepat sekali
berkobar menjadi besar. Sekarang terlihat nyata, semua
perahu kecil itu tidak ada orangnya, semua perahu terisi
umpan api. Hingga menjadi terang, dua barisan itu bisa
maju karena anak buahnya mendorong dari dalam air!
Perahu-perahu penjaga mulut muara jadi berlaku
lambat, begitu lekas mereka kena diterjang, api lantas
pindah merembet, hingga perahu-perahu itu jadi turut
terbakar. Inilah hebat! Dengan terbakarnya perahuperahu
itu, anak buahnya mesti menyingkir. Dan
kesudahannya" Mulut muara dobol penjagaannya!
Menampak cara penyerangannya musuh, Lim Siauw
Chong mendongkol bukan main.
"Lekas perintahkan mundur!" ia menitah mengasih
tanda. "Yang sudah terbakar, antap terbakar terus, anak
buahnya mesti menyingkir!"
Perintah itu tentu saja diturut, karena lebih dulu dari
itu, sudah ada anak-anak buah yang tinggalkan
perahunya, yang jadi lautan api. Dengan berenang,
mereka masuk ke sebelah dalam.
Yan Toa Nio dan Cukat Pok telah perhatikan cara
penyerangan musuh, mereka kagumi dan benci Pian Siu
Hoo dengan berbareng, oleh karena penyerangan itu
benar liehay tetapi terang kejam.
"Maju! Gunai batu!" mereka berikan titah.
Penyerangan itu tidak memberikan hasil sebagaimana
diharap. Perahu-perahu yang ketimpa batu bisa terbalik
dan karem, akan tetapi api terus menyala dan malah
melulahan, sebab bahan api tetap mengambang bersama
apinya yang berkobar-kobar. Yang lebih celaka lagi, air
sedang pasang, maka air jadi mengalir ke dalam
Giokliong-giam! Di muka air, enam atau tujuh tombak
lebarnya, hanya api yang merajalela.
Selagi api bekerja, di sebelah luar sekarang terdengar
suitan berulang-ulang. Suitan itu datangnya dari delapan
buah perahu besar musuh, yang disiapkan untuk
menerjang belakangan, yang dipimpin oleh Han Kak dari
Hangciu-pang. Di kiri dan kanan barisan penyerang ini
ada Ie Tong dan Sun Po Sin, yang maju dengan panah
api, menyerang ke atas jurang.
Dengan gunai panah dan batu, pihak Giokliong-giam
sudah tangkis penyerangan itu, beberapa musuh rubuh
terguling, tetapi diantar oleh panah api, toh enam atau
tujuh orang bisa memaksa manjat naik.
Melihat demikian, Yan Toa Nio terpaksa maju sendiri,
akan pukul rubuh beberapa anak buah musuh yang
dapat naik itu.
Adalah di waktu itu, Ie Tong dari Lankie-pang telah
loncat naik. Mendapatkan pemimpin musuh, Yan Toa Nio lantas
menyambut. "Hei, orang yang bantu Hee Kiat berbuat jahat, kau
berani pandang hina pada kami si orang perempuan!" ia
menegur seraya terus menyerang.
Ie Tong bersenjata pedang, menampak serangan pada
mukanya, ia kelit ke samping dengan geser kakinya yang
kanan, tangannya menyabet ke atas, guna tabas
tangannya di betulan nadi. Tapi Yan Toa Nio hanya
mengancam, akan pancing tangkisan musuh. Selama itu,
mereka telah datang semakin rapat, justru musuh mau
tabas ia, Yan Toa Nio barengi dengan penyerangan.
Dengan lompatan Yauwcu hoansin, ia bikin tubuhnya
berada di samping musuh, lalu dengan tipu silat Yanhoan
kaychiu-ciang atau "Perobahan tangan seperti walet
jumpalitan," tangannya menyerang.
Ie Tong kaget, ia lekas putar tubuh, akan hadapi
musuh. Tapi ia terlambat, kendati ia sudah bergerak
sebat sekali, malah pedangnya, ia tidak keburu kasih
bekerja. Tangannya si nyonya mengenai dada kirinya,
tidak tempo lagi, berbareng dengan suara tangan
mengenai dada, ia menjerit dan jatuh kembali ke bawah.
Tapi selagi si nyonya layani ketua dari Lankie-pang,
orang-orangnya kembali sudah ada yang bisa manjat
naik, karena mereka tidak pedulikan rintangan dari
beberapa orang dari pihak Giokliong-giam. Maka Yan Toa
Nio terpaksa maju lagi, akan hajar mereka itu.
Dua orang telah dapat kesempatan memanah Yan Toa
Nio dengan panah api. Itulah hebat! Untuk selamatkan
diri, nyonya itu terpaksa enjot tubuhnya akan loncat
tinggi sampai dua tombak lebih, maka ketika ia turun
injak tanah, ia terpisah dari musuh tiga tombak jauhnya.
Ia telah loncat dengan tipu silat Ithoo chiongthian, atau
"Seekor burung hoo menerjang langit."
Nyonya Yan jadi sangat gusar, dengan lekas loncat
balik. Maka sebagai kesudahan, empat musuh lagi dapat
dibikin terlempar jatuh ke bawah.
Di pihak lain, dengan gunai panah api, Sun Po Sin dari
Liongyu-pang dapat naik ke atas, ia bersenjata golok,
dengan itu ia telah lukai enam atau tujuh nelayan. Ia
masih merangsek terus.
Cukat Pok, yang sangat gusar seperti Yan Toa Nio,
telah rintangi musuh yang menyerbu ke jurusannya. Ia
mengerti Pian Siu Hoo rupanya hendak musnahkan
Giokliong-giam, baik, dengan jalan dirampas, baik
dibakar dengan api, supaya musnah tanpa sebab, karena
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, ia juga jadi tidak main kasihan-kasihan lagi. Maka
yang harus dikasihani adalah orang-orang coan-pang,
yang membantui Na Thian Hong, yang mesti binasa atau
terluka untuk orang lain.
Han Kak telah maju terus dengan delapan buah
perahu yang besar, ia tidak pedulikan api yang
melulahan, di muka air, yang ia perintah orangnya
menyingkir. Ia pun tidak takuti serangan batu besar dari
atas, meski juga dua perahu telah karam dengan cepat.
Enam perahu lainnya telah nerobos di mulut muara.
Penjaga di sebelah dalam ada Lim Siong Siu dan Ho
Jin, mereka insyaf pada bahaya. Paling dulu mereka
titahkan bunyikan tanda, untuk minta bantuan. Jumlah
orang mereka telah kurang separuh sebab sebagian
sudah ditarik ke belakang. Tetapi mereka ini berani,
sambil menunggu bantuan, mereka rangsek musuh, guna
cegah masuknya. Maka perkelahian jadi hebat luar biasa.
Hingga di dua-dua pihak, meminta banyak korban jiwa
dan luka. Karena ini, majunya enam perahu besar jadi
terhambat. Pian Siu Hoo berada dalam rombongan dari
pasukannya Han Kak, ia naik atas sebuah perahu dengan
bersendirian"perahu yang laju pesat. Tapi ia tidak
berada di kepala perahu, hanya, di luar tahu orangnya
sendiri, ia telah nyangtel di atas tiang layar. Sambil maju
ia telah pesan orang-orangnya, katanya, "Kau harus
paksa perahu noblos ke sebelah dalam. Jangan pedulikan
perahu ketimpa batu atau kebakar, gunai saja panah api,
aku rintangi tangkis musuh. Kalau nanti perahu sudah
masuk, kau boleh terjun ke air, akan menyingkir dari
serangan musuh terlebih jauh. Baik kau selulup masuk ke
sebelah dalam, akan persatukan diri dengan rombongan
Hangciu-pang. Jangan kau pikirkan aku, aku bisa nerobos
sendiri!" Tiathong-liong telah buktikan ucapannya itu. Begitu
lekas perahunya sudah maju dan orang-orangnya pada
terjun ke air, ia juga tinggalkan perahunya itu. Dengan
loncatan istimewa, ia pergi ke tiang layar dari perahunya
Hangciu-pang yang berada di paling belakang.
Kedatangannya ini dapat menolong pada Han Kak, yang
tadinya tidak sempat menyerang maju, hanya ia repot
kepalai dan anjurkan orang-orangnya sendiri, agar
mereka itu tidak kalah hati.
Pian Siu Hoo maju terus, korbannya yang pertama
adalah Lim Siong Siu, yang ia hajar hingga terjungkal ke
dalam air, kemudian menyusul enam atau tujuh korban
lain. Karena ini, Han Kak dapat kemajuan, dua perahunya
telah berhasil menoblos.
Adalah waktu itu, Sun Po Sin dari Liongyu-pang juga
turut merangsek.
Cukat Pok lihat perahu musuh bisa tobloskan mulut
muara, ia mengerti bahaya mengancam hebat. Tetapi ia
tidak lihat Pian Siu Hoo, ia hanya tampak Sun Po Sin.
Orang she Sun itu sudah loncat naik ke sebuah perahu
Hangciu-pang. Maka ia lantas menyusul ketua dari
Liongyu-pang itu. Dengan gerakan Yancu coanlian atau
"Walet tembuskan layar," ia mencelat ke perahu di mana
Sun Po Sin berada.
"Kawanan tikus!" ia membentak. "Malam ini Gioklionggiam
Hiecun akan jadi tempat buronmu. Lihat, ke mana
kau hendak menyingkir!"
Dengan ucapan itu, dengan gunai Souwcu-chie,
Souwposu serang musuhnya.
Sun Po Sin dengar suara orang, ia lihat senjata
datang, sambil lompat berkelit, ia membabat dengan
goloknya, pada senjata musuh.
Dengan putar tangannya, atau lebih benar senjatanya,
seraya geraki kaki kanannya, Cukat Pok maju menyerang
untuk kedua kalinya. Gerakannya luar biasa cepat,
sedang senjatanya ada senjata istimewa, ialah tombak
yang lemas. Ia dapat bergerak dengan leluasa, kendati di
atas perahu yang kurang lega.
Untuk loloskan diri, Sun Po Sin lompat naik ke atas
gubuk perahu, dengan begitu, serangannya Souwposu
mengenai tempat kosong.
Selagi Sun Po Sin loncat naik, dari lain perahu, ada
satu orang justru loncat turun ke gubuk perahunya itu.
Dia ini ada Hengyang Hie-in Sian Ie, yang baru saja
muncul dan lantas dapat lihat pertempuran di atas
perahu itu. Ia kenali ketua dari Liongyu-pang. Ia pun
sependapat dengan Cukat Pok, ialah dalam keadaan
seperti itu, orang tidak dapat main pandang-pandang
lagi. Maka justru ia bersomplokan dengan Sun Po Sin, ia
memapaki dengan sikap Benghouw hokciang atau
"Harimau galak mendekam di pelatok." Sambil mendek,
ia angkat kedua tangannya di depan dadanya, sesudah
itu, cepat luar basa, ia menyerang dengan Paysan
unciang, atau "Tangan yang mengatur gunung."
Sun Po Sin kaget bukan main, oleh karena tidak ada
jalan lain, terpaksa ia egos tubuhnya ke samping. Ia tahu
kalau ia lompat mundur, Cukat Pok akan terjang ia dari
belakang, karena itu musuh juga sudah geraki tubuh,
akan susul ia. Hengyang Hie-in menyerang dengan tidak ada
hasilnya, karena serangannya ini, iajadi datang terlebih
dekat kepada musuh, karena itu, Sun Po Sin segera
gunai ketika, untuk balas menyerang. Ia membacok
dengan tipu Twiechong bonggoat, atau "Menolak jendela
untuk memandang rembulan." Bacokan ini mengarah
tubuhnya antara lain pundak dan lengan atas.
Sian Ie dapat lihat gerakan musuh, untuk loloskan diri
dari bahaya, ia geser kaki kiri ke kiri dan tubuhnya ikut
bergerak ke jurusan itu. Tapi ia berlaku sebat hampir
berbareng dengan kelitannya itu, yang bikin golok
nyasar, ia serang iga kanan orang dengan pukulan
Henghoan pahouw, atau "Memukul harimau sambil
nyamping."
Sun Po Sin jadi sangat terdesak. Untuk menangkis
sudah tidak keburu begitupun untuk egos tubuh. Tidak
ada jalan lain, dengan kagok ia jejak kakinya dan terus
loncat ke perahu besar, ke bagian belakang dari perahu
itu. Cukat Pok, yang hendak susul musuh, sudah terhalang
oleh datangnya dua anak buah perahu musuh hingga
mereka ini jadi menggantikan ketua dari Liongyu-pang
itu. Mereka ada bangsa tidak punya guna, menghadapi
Cukat Pok, lekas sekali yang satu kena dibikin rebah di
lantai perahu, yang lain tersampok terlempar ke air.
Meski begini, Souwposu tidak sia-siakan banyak tempo,
justru Sun Po Sin loncat ke perahu lain, dan ia sudah
siap. "Ke mana kau hendak lari?" demikian ia bentak ketua
dari Liongyu-pang sembari ia pun loncat ke depan, akan
memburu, sementara souwcu-chio dibarengi dikasih
bekerja. Oleh karena ini, orang dan senjata telah sampai
dengan berbareng.
Baru saja Sun Po Sin injak perahu ke mana ia
menyingkir atau ujung tombak lemas telah menyambar
bebokongnya, hingga tubuhnya jadi limbung, hingga
tidak tempo lagi, ia mesti terpelanting jatuh ke air!
Sementara itu, di sebelah depan, pertempuran lain
sudah terjadi. Yan Toa Nio dapat kenyataan yang mulut muara
sudah tidak dapat dilindungi lagi, ia terpaksa loncat turun
ke perahu, untuk berikan bantuannya pada kawankawannya
yang sudah terjun lebih dulu dalam
pertempuran. Ia lihat bagaimana perahu-perahu musuh
telah mendesak, hingga serangan dengan batu dari atas
jurang tidak memberikan hasil, hingga pihak GiokJionggiam
mesti mundur. Ia tidak ketahui bahwa antara
pemimpin musuh, yang kepalai penyerangan, ada musuh
besarnya. Pian Siu Hoo telah maju dengan loncat dari satu
perahu ke lain perahu, begitulah ia lihat Han Kak, ketua
dari Hangciu-pang, sedang dirintangi oleh Lim Siauw
Chong. Ia tidak mau berlaku secara laki-laki di sini,
karena ia tidak mampu kendalikan lagi hawa amarahnya
dan pikirannya yang sesat. Maka ketika ia sudah datang
dekat, dengan Ko-lauw-pian atau "Ruyung
Tengkoraknya," ia membokong dari belakang!
Adalah di saat itu, Yan Toa Nio juga sampai di perahu
besar itu, bukan saja ia lihat pertempuran antara Lim
Siauw Chong dan Han Kak, ia pun tampak berkelebatnya
Tiat-hong-liong. Menghadapi musuh besar, hawa
amarahnya segera meluap, sekarang ia lihat musuh ini
berlaku curang, dapatlah dimengerti bahwa ia jadi gusar
bukan kepalang.
"Pian Siu Hoo!" ia segera membentak. "Beginilah
kelakuannya satu sobat yang terhormat! Cara bagaimana
kau berani bokong Giokliong-giam, dengan menyalahi
janji" Mari sekarang kita tetapkan mati atau hidup di
antara kita!"
Karena Pian Siu Hoo sudah serang Lim Siauw Chong
dan ia sendiri berada di sebelah belakang orang she Pian
ini, Yan Toa Nio tidak bisa cegah serangan itu dengan
tangkisan, terpaksa ia ambil jalan satu-satunya, yaitu ia
pun segera menyerang dari belakang. Dengan Ouwliong
tamjiauw, atau "Naga hitam menyengkeram," ia serang
bebokongnya lawan dengan tangannya yang liehay.
Pian Siu Hoo dengar datangnya musuh meski
ruyungnya sudah hampir mengenakan Lim Siauw Chong,
ia toh mesti tarik pulang itu, untuk tolong diri sendiri. Ia
egos diri ke kiri, sambil putar tubuhnya, dengan Kolauwpian
ia menyerang dari kiri.
Yan Toa Nio lihat serangannya tidak berhasil dan
senjata musuh menyambar ke jurusan kepalanya, untuk
kelit, ia mendek sambil kaki kanannya ia tekuk. Kendati
begitu, karena kedua tangannya merdeka, ia barengi
menyerang dengan tangan kanan. Ia menyerang dengan
tipu pukulan Kimtiauw thiancie atau "Garuda mas
pentang sayap." Ia pun menyerang dengan luar biasa
serunya. Tiathong-liong lihat serangannya tidak mengenai
sasaran dan sebaliknya tangan musuh mengancam ia,
untuk selamatkan diri, ia enjot tubuhnya, loncat ke
perahu besar di sebelah kiri di mana ia jatuhkan diri di
atas gubuk perahu.
"Ke mana kau hendak lari?" Yan Toa Nio membentak
pula. la jejak kaki kirinya dan lompat mencelat ke perahu
besar itu, akan menyusul. Ia terus bertangan kosong,
dengan tidak pedulikan musuh ada bergenggaman.
Baru saja kakinya Pian Siu Hoo menginjak wuwungan
gubuk atau ia telah balik tubuhnya dan tangannya
melayang dengan cepat sekali.
"Awas!" ia berseru.
Dua barang berkeredepan, seperti bintang,
menyambar ke jurusan dadanya si nyonya.
Yan Toa Nio sedang lompat maju, ia tidak dapat tahan
tubuhnya atau kelit ke samping, keadaannya sangat
berbahaya sekali. Tapi sebelum ia sempat geraki
tangannya, akan coba ketok jatuh dua Wan-yoh-piauw,
dari sebuah perahu Giok-liong-giam ada seruan, "Awas!"
yang dibarengi dengan menyambarnya sebatang
Samleng Socu-piauw.
Di antara suara nyaring dari beradunya dua senjata,
Wan-yoh-piauw kelihatan jatuh bersama-sama Samleng
Socu-piauw. Itu ada piauw yang satu, yang sebelah
kanan, dan piauw yang satunya lagi, yang sebelah kiri,
tidak dapat cegahan suatu apa. Dan piauw ini yang
merdeka, sudah terus sambar nyonya Yan. Percuma saja
nyonya ini hendak tolong diri, piauw telah tembusi
bajunya di sebawahan katek dan kulit, berikut dagingnya,
kena dibikin luka. Meski begitu, loncatannya tidak
terintang anteronya, ia masih dapat mengubar terus.
Berbareng dengan itu, dari perahu sebelah, mencelat
satu bayangan orang, yang, apabila sudah sampai,
ternyata ada Yan Leng In. Dan si nona ini, dengan
pedangnya, segera menusuk pada Pian Siu Hoo. Tusukan
ini ada tusukan dari kematian, oleh karena, selainnya
benci, si nona juga gusar karena dilepaskannya dua
piauw barusan dari ketua dari Kangsan-pang itu.
Tetapi Tiathong-liong bukannya seorang yang lemah.
Tusukan pedang tidak mampu mengenai tubuhnya yang
dengan cepat ia kelit ke kiri, dari mana, dengan
membarengi, ia balas menghajar dengan Kolauw-pian,
untuk bikin terlepas pedang dari tangannya si nona itu.
Yan Leng In ketahui dengan baik, serangannya yang
tidak mengenai sasaran mesti akan hadapi bahaya,
dengan tidak tunggu sampai pedangnya kena
dikemplang, ia mendahului tarik pulang itu. Tapi ia tidak
menarik pulang untuk berdiam, tidak, sebaliknya,
dengannya ia putar terus, hingga sekarang ujung pedang
menikam pula pada mukanya orang itu.
Pian Siu Hoo lihat serangannya gagal dan pedang
datang untuk kedua kalinya, tetapi, sebelum ia sempat
berdaya, Yan Toa dari samping sudah lompat menerjang
ia dengan Houwpok atau "Tubrukan harimau" dan yang
jadi sasaran ada bawahan pundak kirinya. Itulah hebat,
karena ia diserang dari dua jurusan. Tapi ia tidak menjadi
gugup. Dengan egos kepalanya, ia bikin pedang lewat di
samping kuping kiri. Karena kakinya ikut bergerak ke kiri,
tubuhnya pun ikut minggir. Ia berada di pinggiran, ia
dapat kejeblos ke air. Tapi ia ada satu ahli silat. Dengan
kakinya sebelah, ia dapat pertahankan diri. Dan selagi
serangannya si nyonya lewat, ia barengi menyerang iga
kirinya nyonya itu!
Yan Leng In telah datang menyerang pula selagi
ibunya terancam bahaya. Ia pegang pedang di tangan
kiri dan kanan, tetapi, dengan imbangi tubuh, ia
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang menusuk dengan pedang kanan, pedang kiri
dipakai sebagai imbangan. Itu ada gerakan Ouwliong
kianbwee atau "Naga hitam melindungi ekor."
Kolauw-kiam dan pedang bergerak dengan berbareng:
ruyung menyerang Yan Toa Nio, dan pedang menerjang
si pemegang ruyung!
Yan Toa Nio tidak mau kasih dirinya dirubuhkan secara
mentah-mentah, ia tidak mau lompat jauh kendati
ruyung mengancam hebat, ia hanya kelit ke kanan.
Dengan ini ruyungnya jadi lewatkan tubuhnya.
Pian Siu Hoo juga dapat singkirkan ujung pedang. Ia
tahu ia diserang, maka sambil geraki terus ruyungnya
terhadap si nyonya, ia turut maju ke depan. Ia bergerak
dengan kaki kiri, tubuhnya hampir terputar.
Yan Toa Nio tidak mau mengerti. Justru ia lihat
pedang gadisnya tidak mengenai sasaran, ia lalu balas
menyerang. Ia sekarang gunai tangan kanannya. Lebih
dulu daripada itu, tubuhnya yang miring ia telah perbaiki.
Pian Siu Hoo berniat putar tubuh dengan Uyliong
coansin atau "Naga kuning berbalik," guna balas serang
Yan Leng In, tetapi kapan ia lihat datangnya Yan Toa
Nio, ia mesti batalkan niatnya itu. Serangannya si nyonya
cepat luar biasa. Lima jari kanan dari si nyonya sudah
tertekuk rapi dan menjurus pada bebokong. Siapa
terkena serangan itu, jangan harap dirinya dapat
selamat. Si nyonya menyerang dengan tidak kenal
kasihan lagi. Mengerti betul yang ia lagi hadapi bahaya, sedang
untuk berkelit sudah tidak ada ketikanya, tidak ada
tempat, sementara untuk terjun ke air ia sungkan "
karena ia pun penasaran dan tidak mau menyerah kalah
" Pian Siu Hoo ambil jalan yang terakhir. Ia empos
semangatnya, ia angkat tubuhnya, ia bersiap, tangannya
si nyonya sudah sampai. Ia segera barengi mengeluarkan
seruan. Meskipun terkaman ada hebat, tenaga jari Yan Toa
Nio toh menjadi buyar, karena musuh tangkis ia dengan
tenaga di dalam tubuh.
Pian Siu Hoo telah mesti geraki tenaga luar biasa,
tidak heran kalau kakinya sudah menjejak papan perahu
sampai papan itu menerbitkan suara dan pecah, hingga
ia jadi sangat kaget, la mengerti, satu kali ia terbebas di
dalam lantai perahu, ia tidak akan mampu bergerak lagi
dengan leluasa, umpama kata si nyonya dan si nona
serang ia dengan berbareng, ia mesti hadapi bahaya
maut. Oleh karena itu, terpaksa ia enjot tubuhnya, akan
menyingkir dari bahaya itu. Ia berhasil enjot naik
tubuhnya, ia telah lakukan itu dengan tidak pilih tempat
lagi, maka kesudahannya ia telah nyemplung ke air di
mana tubuhnya tenggelam lenyap berbareng busa air
muncrat ke sekitarnya!
"In-jie, lekas!" berseru Yan Toa Nio pada anaknya.
"Lekas kejar ia, jangan kasih ia lolos!"
Yan Leng In lihat yang serangan ibunya tidak
mengenai pada musuh ia pun mengerti yang musuh tidak
boleh dikasih lolos. Ia sebenarnya tidak pakai pakaian
mandi, maka itu untuk lompat ia mesti singsetkan dulu
pakaiannya, sesudah itu, dengan Yancu liangpo, atau
"Walet menyambar air," ia terjun. Sekejap saja, ia sudah
menghilang dari muka air. Yan Toa Nio tidak berdiri diam
akan tunggui gadisnya itu. Ia tahu Pian Siu Hoo mesti
berniat kabur dan jalanan kabur hanya dari mulut muara,
maka dengan berlari-lari, dengan loncati sebuah perahu,
ia segera menuju ke depan.
Nyonya Yan ini, kendati ia hidup di muka air bersama
gadisnya, ia tidak pandai berenang dan selulup. Jika ia
berani main di air, salah satu sebabnya ia andalkan
kepandaian bikin enteng tubuhnya. Asal ada tempat injak
kaki, ia berani main di sungai seperti di darat, kalau
tidak, tentulah dia sendiri yang sudah kejar musuhnya
itu. Begitulah, ia mesti berlari-lari ke depan.
Sementara Yan Toa Nio dan Yan Leng In kepung Pian
Siu Hoo, penyerangan musuh tidak menjadi kurangan.
Itulah disebabkan delapan perahu telah dapat nerobos
masuk, walaupun dua antaranya sudah karam. Enam
perahu pertama ini, dalam kekalutan, sudah disusul oleh
belasan kawannya, yang disiapkan untuk bantu menoblos
penjagaan. Setelah ternyata Pian Siu Hoo kecebur di air,
perobahan segera terjadi. Karena, seperti umumnya, ular
tanpa kepala, tidak dapat jalan!
Dua-dua Sun Po Sin dan Ie Tong juga sudah
nyemplung di air.
Anak buah dari rombongan Eng-lok-pang ada tukangtukang
berenang yang pandai, tetapi kepandaian silat
mereka tidak punyakan, ini ada suatu kelemahan bagi
mereka, maka dengan tidak ada lagi yang pimpin,
mereka jadi ambruk semangat sendirinya, tatkala
Giokliong-giam serang mereka secara hebat, mereka jadi
kalut sendirinya dan mundur, masing-masing pada
berdaya akan tolong diri sendiri.
Rombongan perahu dari Englok-pang dan Hangciupang,
sekalian perahu itu tidak dapat dikasih mundur
dengan cepat, sudah begitu, sesampainya di mulut
muara, mereka tidak dapat mundur terlebih jauh, karena
mulut muara ada sempit dan perahu-perahu
mengambang kalang kabutan. Untuk tolong diri, anak
buahnya semua lantas tinggalkan perahu mereka,
mereka sendiri pada terjun ke air, akan kabur sambil
selulup dan berenang.
Dalam keadaan seperti itu, Hengyang Hie-in dan Lim
Siauw Chong masih dapat dengan lekas atur pula
penjagaan di mulut muara dan perahu yang malang
melintang diperintah dibereskan, ditarik mundur dan ke
pinggir. Kemudian Tan Tay Yong juga datang dengan
serombongan perahu yang merupakan bala bantuan.
Dengan datangnya itu, Tan Tay Yong juga membawa
kabar bahwa penyerangan.musuh dari belakang, ada
hebat, dan Hiecun telah terbakar musnah separahnya.
Syukur, barisan penyerang belakang itu tidak dapat bala
bantuan, maka pihak Giokliong-giam, yang rata-rata
membela mati-matian dapat bikin perlawanan nekat
sampai musuh dapat dipukul mundur. Lebih dari
duapuluh musuh kena ditangkap, yang lain-lain, pada
terjun ke air dari mana mereka itu pada melarikan diri.
Terang mereka itu noblos dari atas, mereka telah
membokong. "Berhubung di sana ada Hee In Hong loo-suhu, yang
dapat atur perlawanan dengan sempurna," Tay Yong
terangkan lebih jauh. "Musuh dipimpin oleh guru silat
dari Ouw-lam yang terkenal, yaitu busu Cui Cu Ie, serta
ketua dari Tong-louw-pang Auwyang Cu Him, tetapi duadua
mereka dapat dibikin mundur. Sebab lain dari hasil
kita itu adalah pihak kita ketahui baik keadaan tempat,
hingga musuh dapat diserang dan sana-sini, hingga
mereka jadi bingung dan kewalahan."
Selagi Tan Tay Yong berikan laporannya itu, anak
buahnya Hie-cun, yang pada terjun ke air, untuk kejar
musuh, pada timbul di muka air dan naik ke perahu,
akan beritahukan yang musuh telah kabur semuanya dan
perahu-perahu mereka pun tidak ada lagi yang berada di
mulut muara. Cuma, di pihak mereka, Yan Toa Nio dan gadisnya
yang tidak tertampak di antara mereka, karena mereka
ini, yang kejar Pian Siu Hoo, masih belum kembali.
Lim Siauw Chong tidak merasa puas, ia minta sebuah
perahu kecil, dengan itu ia pergi ke luar mulut muara,
akan menyusul, dan mencari. Tapi ia belum pergi jauh
ketika dari sebelah kiri, dari atas jurang, ada suara
teguran, "Apakah itu Lim loo-suhu" Ke mana loo-suhu
hendak pergi?"
Lim Siauw Chong kenali suaranya Yan Toa Nio.
"Tahan!" ia perintah anak buahnya. Kemudian, sambil
dongak ke atas, ia tanya, "Apa di sana Yan toa-nio?"
"Benar!" demikian jawaban dari atas.
"Musuh telah mundur semua, Toa Nio dan gadismu
Pendekar Pengejar Nyawa 5 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Perjodohan Busur Kumala 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama