Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Karena sentakannya ini tidak terduga duga, perwira itu memekik dan tubuhnya terbawa tarikan, terguling dari atas kuda. Bun Sam tidak mau berhenti sampai di situ saja. Ia hendak melihat siapa orangnya di dalam kereta itu. Kalau pengawalnya saja sudah sesombong ini, tentu majikannya lebih sombong lagi. Hendak ia memberi peringatan agar rombongan ini tidak menghina rakyat.
Bun Sam melompat ke depan kereta dan memegang tiang yang berada di antara dua kuda terdepan. Ia mengerahkan tenaganya dan empat ekor kuda itu meringkik ringkik sambil mengangkat kedua kaki depan, karena mereka direm secara tiba tiba oleh tenaga yang kuat sekali.
"He, apakah kau perampok?" teriak seorang perwira yang segera menyerang dengan goloknya.
Bun Sam dengan lincah sekali mengelak dan sekali ia menendang, kuda yang ditunggangi oleh perwira ini terguling dan perwira itu sendiri terjungkal dari atas kudanya. Kini duabelas orang perwira itu semua sudah melompat turun dari kuda dan mengurung Bun Sam.
"Majulah! Keroyoklah! Kalian ini tikus tikus kalau tidak diberi rasa, akan makin kurang ajar saja," seru Bun Sam dan tubuhnya menerjang ke kanan kiri. Tiap kali ia menggerakkan tangan atau kakinya, melayanglah sebatang golok dan pemegangnya teraduh aduh sambil menekan nekan bagian tubuh yang terpukul. Keadaan menjadi kacau balau dan duabelas orang perwira itu mundur teratur.
Pada saat itu, tenda kereta dibuka oleh sebuah tangan yang putih halus dan ketika disingkapkan, nampaklah muka yang cantik sekali. Bun Sam memandang dan pandangan matanya bertemu dengan sepasang mata yang kebiru biruan.
"Kau....Song Bun Sam....?""
Bun Sam cepat maju dan memberi hormat dengan sopannya.
"Aduh tidak tahunya nona Luilee. Mohon maaf sebanyak banyaknya. Kukira tadinya seorang pembesar yang suka berlaku sewenang wenang dan yang membiarkan pengawal pengawalnya berlaku kasar kepada rakyat miskin. Tidak tahunya kau, nona. Maafkan aku banyak banyak."
Luilee tersenyum manis dan melompat turun dari keretanya.
"Hai, kalian jangan kurang ajar. Tidak tahukah kalian sedang berhadapan dengan siapa" Dia ini Song taihiap yang mengembalikan pedang kerajaan Pek lek kiam! Jangankan baru kalian duabelas orang, biarpun ditambah lima lusin lagi semua tentu akan dihajar habis habisan oleh Song taihiap. Ayoh minta maaf padanya!"
Mendengar seruan nona puteri yang mereka kawal itu. semua orang perwira menjadi terkejut dan buru buru mengangkat kedua tangan memberi hormat dan minta maaf.
"Tidak apa," kata Bun Sam, "asal lain kali jangan berlaku kasar kepada petani. Kalau tidak ada petani, kita semua ini akan makan apakah?"
Para perwira itu menjadi merah mukanya dan Puteri Luilee tertawa geli. "Bisa saja kau bicara, taihiap. Eh, mengapa kau berada di sini dan.... bagaimana keadaanmu menjadi begini buruk" Kau kurus sekali, taihiap dan pakaianmu.... ah, apakah yang sudah terjadi denganmu?"
Bun Sam merasa hatinya tertusuk, akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan menggeleng kepalanya. "Tidak apa apa, nona."
"Apakah kau sudah bertemu dengan Sian Hwa, kekasihmu itu?" tiba tiba Luilee bertanya dan seketika itu juga, terbangun semangat Bun Sam mendengar nama kekasihnya.
"Belum dan inilah yang membuat aku merasa sengsara. Entah di mana aku dapat menemukan, agaknya di akhirat!"
"Hush, seorang gagah tak boleh putus asa!" kata Luilee. "Memang kekasihmu itu berada di sorga...."
"Apa...." "Akan tetapi sorga yang terdapat di dunia ini dan kau boleh menjumpainya. Aku memiliki ilmu hoatsut (sihir) yang akan dapat membawamu kepadanya, taihiap."
"Betul betulkah" Jangan kau main main, nona. Aku benar benar hampir bosan hidup kalau tidak bertemu dengan Sian Hwa. Kau tidak tahu akan kesengsaraanku." Bun Sam mengeluh.
"Siapa main main" Aku Luilee tak pernah main main dan biar aku disambar petir di siang hari panas kalau aku main main." Mau tak mau Bun Sam tersenyum juga. Watak Luilee ini mengingatkan dia akan watak Lan Giok yang suka sekali bergurau. Mana ada petir menyambar di siang hari panas"
Luilee memberi isyarat kepada para pengawal untuk mengaso dan iapun lalu mengajak Bun Sam duduk di bawah pohon untuk bercakap cakap.
"Sekarang kauceritakanlah mengapa kau begini sengsara, kemudian akulah yang akan mengobatinya dan yang akan mempertemukan kau dengan kekasihmu itu."
Pada waktu itu, Bun Sam merasa hidup terasing, seorang diri dan tidak ada siapa siapa lagi di dunia ini kecuali kekasihnya, Sian Hwa. Akan tetapi ia tidak tahu Sian Hwa berada di mana maka sekarang menghadapi Luilee yang agaknya dapat mempertemukan dia dengan Sian Hwa, tidak heran apabila hatinya tergerak dan ia mencurahkan isi hatinya kepada puteri Bangsa Semu yang cantik ini.
Ia menuturkan kepada Luilee betapa ia akan dipaksa menikah dengan Lan Giok dan betapa guru gurunya menjadi marah sekali, sehingga ia diusir dan tidak diakui. Ketika menuturkan pengalamannya sampai di sini, tak terasa pula mata Bun Sam menjadi basah.
"Aduh, kasihan sekali kau, Bun taihiap," kata Luilee sambil menghapus air matanya sendiri dengan saputangan sutera yang berwarna hijau dan berbau harum. "Mereka itu keterlaluan sekali. Keterlaluan dan kejam!" serunya.
"Nona Luilee, bagi bangsa kami, yakni orang orang Han, yang terpenting adalah memegang aturan. Dan semua guru guruku itu hanya menggunakan aturan inilah, mereka tidak bisa dipersalahkan. Akulah seorang yang bersalah, memang aku seorang tak ingat budi, seorang murid murtad dan seorang yang paling tidak berharga !"
"Tidak bisa begitu," Luilee membantah. "Peraturan memang harus dijalankan, tetapi harus disesuaikan dengan keadaan dan perasaan. Kalian ini orang orang Han memang kadang kadang terlampau kukuh dengan aturan aturanmu, sehingga kalian merupakan kerbau buta yang dituntun hidungnya tidak mempunyai pendirian sendiri. Contohnya tentang bakti. Kau hendak berbakti kepada orang tuamu kalau misalnya ayahmu seorang perampok jahat, apakah kaupun hendak berbakti kepadanya dan mengikuti jejaknya sebagai seorang penjahat pula, hanya untuk menjaga agar kau disebut berbakti dan tahu aturan?"
Dalam keadaan seperti itu, Bun Sam tidak ada nafsu untuk berdebat, sungguhpun di dalam hatinya ia tidak setuju dengan tuduhan nona Bangsa Semu ini.
"Sudahlah, nona Luilee. Aku sudah menceritakan pengalaman dan penderitaanku. Sekarang mana obat itu dan apa yang akan kau ceritakan padaku mengenai diri Sian Hwa?"
Luilee tersenyum lagi dan timbul lagi kegembiraannya. Bun Sam diam diam harus mengakui bahwa nona ini benar benar cantik sekali dan bahwa matanya yang kebiru biruan itu mudah sekali berganti warna. Pantas saja Pangeran Kian Tiong jatuh hati, pikirnya. Akan tetapi kalau ia membayangkan wajah Sian Hwa, nona Semu ini tidak menarik hati lagi !
"Baik, Bun taihiap. Aku bukan pembohong. Dalam tiga hari kau akan bertemu dengan kekasihmu itu. Tetapi kau harus menurut segala pesanku."
Bun Sam terheran heran, tetapi ia girang sekali sehingga matanya yang tadinya layu kini menjadi segar. "Tentu saja, aku akan menurut segala pesanmu, biarpun harus menceburkan diri dalam lautan api sekalipun !"
Luilee tertawa. "Ah, tidak demikian berat, taihiap. Kau pergilah ke utara, kalau sudah tiba di sebuah sungai, kau menyeberang lalu membelok ke kiri. Di dalam sebuah dusun di lereng bukit yang kelihatan seperti burung merak, yang disebut Kong ciak san (Gunung Merak), di situ kau akan melihat sebuah pesta pernikahan. Datangilah tempat pesta itu dan selanjutnya kau akan mengalami petunjuk petunjuk yang akan mempertemukan kau dengan kekasihmu. Dan pesanku, kalau kau sudah melihat kekasihmu jangan terburu nafsu, bukalah suratku dan baca dulu dengan tenang, baru kau boleh bertindak menurut suratku itu!"
Bun Sam mengangguk angguk dengan hati penuh gairah. Entah mengapa, biarpun mata nona itu berseri seri dan bersinar sinar seperti seorang tengah bergurau, ia percaya betul kepada Luilee! Ia tahu bahwa biarpun lincah dan nakal, nona ini memiliki hati yang mulia dan tak mungkin akan menipunya.
"Mana suratnya?" tanyanya mendesak.
Luilee mengerling tajam lalu mengomel,
"Nah, itulah salahnya dengan laki laki, selalu tergesa gesa! Kalau kau ingin berhasil dengan wanita, berlakulah sabar dan jangan tergesa gesa!" Bun Sam tahu bahwa nona ini memang suka sekali menggoda orang, tetapi ia tidak perduli, bahkan makin mendesak, "Nona Luilee yang baik, lekaslah kau buat surat itu. Aku ingin sekarang juga terbang ke dusun itu!"
"Kau akan menemui kekasihmu dalam pakaian seperti ini" Ah, benar benar tidak beres!" Ia menggapaikan tangannya yang berkulit putih halus itu kepada seorang perwira yang segera berlari mendatangi.
"Ambil alat tulis dan kertas, kemudian kau sediakan se stel pakaian bersih untuk Bun taihiap!" Perwira itu memberi hormat dan pergi ke kereta. Tak lama kemudian ia datang kembali membawa alat tulis dan menyerahkan pakaian kepada Bun Sam. Akan tetapi setelah perwira itu menjauhkan diri lagi dan Luilee mulai menulis, Bun Sam meletakkan pakaian itu di atas batu dan tidak memakainya.
Luilee menulis dengan aksi dibuat buat. Lidahnya yang kemerahan dan berujung lancip itu keluar sedikit di ujung bibirnya dan keningnya berkerut seakan akan ia sedang membuat sebuah karangan yang amat sukar! Bun Sam makin gemas karena ia hendak segera membawa surat itu.
Akhirnya selesai juga Luilee membuat surat itu. Dilipatnya kertas itu dan diserahkannya kepada Bun Sam. Akan tetapi ia melihat Bun Sara masih belum berganti pakaian, maka katanya kaget,
"He?" Mengapa kau belum tukar pakaian"
"Tak usah nona."
"Sian Hwa akan jijik melihatmu."
"Cinta murni tidak dipengaruhi oleh pakaian indah dan muka elok. Aku tak perlu berganti pakaian."
Luilee mengerutkan keningnya mendengar ini dan mengangkat bahu lalu berdiri tegak.
"Anak muda," katanya dengan lagak seperti seorang sudah banyak pengalaman, "kau tahu apakah tentang cinta" Kalau kau bilang cinta murni tidak mengenal keindahan, baik pakaian maupun wajah, habis cinta yang mengenal keindahan kau sebut apa?"
"Itu hanya cinta nafsu semata! Cinta berahi yang terdorong oleh nafsu, tidak mendalam sampai di hati !" kata Bun Sam.
"Haya.... sombongnya ! Pandirnya ! Tololnya ! Eh, anak muda yang gagah perkasa, ahli filsafat muda yang bisa jatuh cinta! Apakah kau betul betul mencinta Sian Hwa?"
"Aku mencintainya dengan suci murni, bukan berdasarkan nafsu semata."
"Phuah....! Khayal seorang pelamun ! Kalau kau betul mencintai Sian Hwa, bagaimana pandanganmu tentang dia itu" Cantikkah dia, atau burukkah mukanya?"
"Dia cantik secantik cantiknya. Tiada bidadari di sorga yang dapat menandingi kecantikannya."
Luilee meruncingkan bibirnya yang manis, cemberut.
"Jadi kalau dalam pandanganmu dia itu buruk rupa, kau takkan dapat jatuh cinta kepadanya?" Bun Sam menjadi bingung. Pertanyaan ini sekaligus memukul hancur semua teorinya tentang cinta.
"Ini....kalau begitu....eh, aku tidak tahu."
Luilee tertawa terpingkal pingkal, sehingga keluar air matanya.
"Pendekar pandir, ahli filsafat tolol yang kemintar! Cinta dan keindahan tak dapat dipisah pisahkan, tahu" Tanpa keindahan, takkan ada cinta! Cinta itu indah. Kau tentu tahu pula bahwa berdasarkan hukum ini, dalam pandangan mata Sian Hwa, kau tentu seorang pemuda yang paling ganteng dan paling tampan. Kalau tidak begitu Sian Hwa takkan mencintaimu, tahu" Siapa orangnya dapat mencintai sesuatu yang dalam pandangan matanya kelihatan buruk" Hanya orang yang miring otaknya barangkali!"
Mata Bun Sam melirik ke kanan kiri. Ia merasa betul betul bodoh dan dangkal pengetahuannya dalam memperbincangkan soal cinta dengan Luilee dan diam diam ia mengaku kalah.
"Mungkin betul pandanganmu itu, nona Luilee."
"Memang betul. Kalau betul, mana bisa salah lagi" Sekarang sudah jelas bahwa Sian Hwa menganggap kau tampan dan ganteng. Memang dalam hal ini, aku tidak salahkan Sian Hwa, karena kau memang tampan dan ganteng, biarpun tidak seganteng pangeranku."
"Terima kasih, nona. Terus terang saja, kaupun amat cantik jelita dan manis dan agaknya.... kalau di sana tidak ada Sian Hwa, dalam pandangan mataku kau akan lebih cantik dan lebih manis dari pada sekarang ini."
Luilee tersenyum. "Memang begitulah dan terima kasih kembali. Sekarang kau sudah tahu bahwa Sian Hwa menganggapmu tampan, kalau sekarang kau memelihara ketampananmu, bukankah itu berarti bahwa kau menghormat dan memelihara perasaan kekasihmu itu" Apakah kau begitu kejam untuk mencemarkan katampananmu yang begitu dikagumi oleh kekasihmu?"
Bun Sam melengak. Hal ini sama sekali tak pernah dipikirkannya, agaknya sampai ia matipun takkan pernah ada filsafat tentang cinta macam ini kalau saja ia tidak bertemu dengan gadis yang aneh ini! Sambil berkata demikian, dengan lirikan tajam dan senyum mengejek Luilee menyerahkan suratnya tadi. Bun Sam menerimanya, membungkuk memberi hormat dan menghaturkan terima kasihnya, kemudian ia berkata,
"Betapapun juga, aku ingin Sian Hwa melihat kesengsaraanku dalam usahaku mencarinya!" Lalu ia melompat pergi cepat sekali.
Luilee tertawa geli dan berkata seorang diri, "Siapa lebih palsu dalam cinta, laki laki ataa wanita" Laki lakilah yang lebih palsu dan gila, seperti badut beraksi...." akan tetapi, kata katanya ini disambungnya pula, "Semoga dia dan kekasihnya berbahagia....!" Puteri Semu ini lalu menghampiri keretanya, masuk ke dalam kendaraan dan memberi tanda kepada para pengawalnya untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja.
Bun Sam berlari cepat sekali. Dua hari kemudian barulah ia tiba di sungai yang disebutkan oleh Luilee itu. Ia cepat menggunakan perahu nelayan menyeberang, kemudian setelah tiba di seberang utara sungai itu, ia lalu membelok ke kiri dan berlari lagi. Dari jauh dilihatnya sebuah bukit menjulang tinggi dan melihat bentuk bukit itu, berdebarlah hatinya. Tak salah lagi, itulah Kong ciak san, Bukit Burung Merak karena memang bentuknya seperti burung merak membuka sayapnya.
Di daerah ini hanya tinggal orang orang Mongol dan Semu, ada pula orang orang Han, tetapi mereka itu kalau bukan pedagang keliling, tentu kuli kuli kasar atau budak budak belian !
Biarpun kelihatan dekat, tetapi setelah dijalani, sehari barulah Bun Sam tiba di lereng bukit itu dan tibalah ia di dusun yang dimaksudkan oleh Luilee. Dusun ini cukup besar dan ramai dan kerena ia memasuki dusun ini pada malam hari, tidak ada orang yang memperhatikannya. Kalau masuknya siang hari, setidaknya tentu ia akan menimbulkan kecurigaan dan disangka seorang pengemis muda Bangsa Han yang kesasar di situ.
Mudah saja bagi Bun Sam untuk mencari tempat pesta itu, karena dari jauh ia sudah mendengar gembreng, tambur dan terompet dibunyikan orang. Ia segera berlari menuju ke tempat itu dan melihat sebuah gedung besar dihias indah sekali. Lampu lampu Teng yang besar besar dan beraneka ragam dan warna, dipasang di depan dan memenuhi ruang tamu yang penuh dengan para tamu. Agaknya yang merayakan pesta adalah seorang pembesar tinggi yang kaya raya, pikir Bun Sam. Ia menyelinap di antara orang banyak yang berjubelan di luar sebagai penonton. Ternyata bahwa pesta itu diadakan untuk merayakan sebuah pernikahan ! Bun Sam berdebar dan matanya mencari cari. Apakah maksud dari Luilee" Ia disuruh datang ke tempat ini dan semuanya ternyata cocok dan tepat sekali seperti yang diceritakan oleh puteri Semu itu. Memang benar ia melihat sebuah pesta, akan tetapi bagaimana selanjutnya" Luilee bilang bahwa di situ ia akan mendapat petunjuk selanjutnya, maka Bun Sam berdiri saja di antara para penonton dan memasang mata penuh perhatian ke dalam rumah itu.
Para tamu sudah penuh berkumpul di ruang yang luas itu, terpisah menjadi dua bagian, bagian laki laki dan bagian wanita. Sejak tadi Bun Sam menandang ke arah para tamu wanita itu penuh perhatian, kalau kalau ia melihat Sian Hwa di situ. Akan tetapi mana mungkin" Wanita wanita yang berada di situ semua adalah Bangsa Mongol dan semuanya bermata biru seperti mata Luilee.
Tiba tiba semua tamu bersorak dan musik dibunyikan keras. Dari dalam keluar sepasang mempelai yang hendak menjalankan upacara di ruang tamu itu, di depan meja leluhur dan disaksikan oleh semua tamu, Bun Sam tertegun. Mempelai pria adalah seorang laki laki bertubuh tinggi kecil yang usianya sudah lanjut, sedikitnya ada limapuluh tahun! Biarpun wajahnya kelihatan sabar dan masih tampan, lemah lembut dan kelihatannya terpelajar, namun karena rambutnya sudah banyak uban dan kulitnya sudah mulai kisut, ia nampak tidak serasi dalam baju pengantin. Adapun mempelai wanitanya, biarpun mukanya ditutup oleh hiasan kepala yang digantungi untaian mutiara menutupi mukanya, mudah saja dilihat bahwa mempelai wanitanya masih muda sekali, kentara dari bentuk tubuhnya.
"Hm, satu lagi contoh korban harta dan pangkat." Bun Sam berkata seorang diri, akan tetapi ia tidak mau ambil pusing semua keganjilan ini. Matanya tetap awas memandang segala sesuatu menanti nanti petunjuk tentang Sian Hwa sebagaimana yang dikatakan oleh Luilee akan didapatkan nya di tempat ini. Petunjuk apakah yang akan kudapat dan lihat" Demikian Bun Sam berpikir pikir dengan hati ragu ragu.
Dan datanglah petunjuk itu yang membikin wajah pemuda ini menjadi pucat seakan akan seluruh darah dalam tubuhnya lenyap sama sekali!
Sebelum upacara dimulai, mempelai laki laki mengangkat hiasan kepala mempelai wanita, sehingga wajah mempelai wanita kelihatan. Dan apa yang dilihat oleh Bun Sam" Wajah ayu yang pucat dan tunduk, dengan air mata membanjir turun membasahi kedua pipi itu, bukan lain adalah wajah.... Sian Hwa!!
"Sian Hwa....!" teriak Bun Sam, sehingga semua orang terkejut. Pemuda ini melompat dan sekali lompat saja ia telah berada di depan Sian Hwa, mempelai wanita itu.
Mempelai wanita itn bagaikan disambar petir. Dengan mata terbelalak ia memandang dan bibirnya bergerak gerak seperti orang menangis namun tak sedikitpun suara keluar dari mulutnya. Akhirnya dapat juga ia berseru, "Bun Sam....?"" Seruan ini terdengar sebagai pertanyaan, karena sesungguhnya Sian Hwa tidak percaya kalau laki laki yang berdiri di depannya itu adalah Bun Sam.
Orang orang menjadi geger. Mempelai laki laki dengan muka merah, akan tetapi tidak kehilangan ketenangan dan sikapnya yang agung, berdiri dani bertanya.
"Apakah artinya ini" Siapakah kau, pemuda yang gagah?"
Tadinya Bun Sam hendak mengamuk dan hendak memukul pecah kepala orang tua yang mengawini kekasihnya ini, akan tetapi mendengar suara dan melihat sikap mempelai pria ini, ia tidak melanjutkan nafsu marahnya. Ia menyambar pinggang Sian Hwa dengan lengan kanannya, kemudian ia berkata kepada mempelai pria, "Tuan, kau tidak bisa mengawini dia, karena dia adalah kekasihku!" Sambil berkata demikian, ia lalu membawa Sian Hwa melompat keluar dari ruang itu dan ketika beberapa orang dengan mirah mengejarnya, ternyata Bun Sam dan mempelai wanita itu telah lenyap dari pandangan mata, menghilang di dalam gelap!
Bun Sam berlari terus sambil memondong tubuh kekasihnya, tidak perduli Sian Hwa berteriak teriak dan menangis.
"Bun Sam...., kembalikan aku kepada suami ku....! Bun Sam.... kasihanilah aku, kembalikan aku kepada suamiku....!"
Mendengar keluhan keluhan ini, makin panaslah hati Bun Sam dan ia bahkan makin mempercepat larinya. Bagaikan terbang ia berlari di malam buta, melalui pegunungan itu, melompati jurang jurang tanpa menghiraukan bahaya terpeleset jatuh, bahkan di sudut hatinya, ia mengharapkan agar ia bersama Sian Hwa terpeleset saja dan jatuh ke dalam jurang, hancur binasa!
"Bun Sam, kau.... kau kejam.... kau tidak kasihan kepada Lan Giok.... tidak kasihan kepadaku dan kepada suamiku!" berkali kali Sian Hwa mencela, menuduh dan menangis, tetapi Bun Sam menoleh pun tidak. Tetap saja pemuda ini berlari, makin lama makin cepat.
"Bun Sam.... kembalilah kau kepada isterimu, Lan Giok."
Mendengar ini, Bun Sam menghentikan larinya. Mereka telah jauh dari Bukit Kong ciak san dan malam telah berganti pagi. Ternyata bahwa Bun Sam telah lari setengah malam tanpa berhenti!
Setelah menurunkan tubuh Sian Hwa dari pondongannya, Bun Sam memegang kedua pundak gadis itu dengan kasar dan menatap wajahnya dengan pandangan mata menyeramkan.
Sian Hwa memandang pula, terapi melihat sinar mata pemuda itu, ia mengeluh dan berkata, "Bun Sam, jangan memandang aku seperti itu.... jangan kau memandangku seperti itu...." lalu ia menangis terisak isak sambil menundukkan mukanya.
"Kau"! Kau....!" Bun Sam berkata terengah engah sambil mengguncang guncangkan kedua pundak gadis itu. "Kau rela menikah dengan monyet tua itu....?" Alangkah rendahnya!"
"Bun Sam...." "Sian Hwa, dulu kau menolak pinangan Liem Swee, rela menjadi nikouw, rela terlunta lunta, kukira kau setia dan tetap mencintaiku seperti aku cinta padamu. Tadinya kukira cintamu sama murninya dengan cintaku kepadamu, tetapi sekarang...."
"Bun Sam, dengar...."
"Tidak tahunya sakarang kau rela menjadi isteri seorang monyet tua, hanya karena dia terpelajar, berkedudukan dan kaya raya!"
"Bun Sam....!" "Kalau aku tahu begini, Sian Hwa, aku lebih suka melihat kau menjadi isteri Liem Swee, atau menjadi nikouw sekalipun.... Ah, alangkah mudahnya kau lupa kepadaku, lupa kepada janji kita, lupa akan cinta kasih yang menjadi permainanmu semata dan....!"
"Bun Sam, tidak....!" Sian Hwa meronta dan berhasil melepaskan kedua tangannya. Ia lalu menggunakan tangannya untuk menutup mulut pemuda itu.
"Tutup mulutmu, kau....! Telan kembali kata katamu.... kau laki laki kejam....!" Dan....tiba tiba, Sian Hwa telah roboh pingsan di kedua lengan Bun Sam !
Setelah melihat gadis itu menjadi pucat seperti mayat dan tubuhnya dingin sekali, barulah Bun Sam tersadar dari pada nafsu yang tadi menguasai hati dan pikirannya.
"Sian Hwa". memang aku kejam...." ia berkata perlahan dan mengangkat tubuh gadis itu, dibawa ke bawah sebatang pohon dan membaringkannya di atas rumput. "Sian Hwa, betapapun juga, mengapa kau melakukan semua ini" Mengapa kau menjauhi aku hanya untuk menikah dengan seorang monyet tua....?" Akan tetapi Sian Hwa tak mendengar, karena gadis ini masih pingsan.
Bun Sam teringat akan surat yang ditulis oleh Luilee, maka terkejutlah dia. Dia menghadapi malapetaka ini apakah bukan karena ia melalaikan pesan Luilee" Bukanknh pesan puteri Semu itu, bahwa begitu melihat Sian Hwa, ia harus membaca dulu surat itu dan jangan melakukan segala sesuatu menurutkan nafsu hatinya" Ia menjadi berdebar dan cepat ia mengambil surat itu dari dalam sakunya. Tulisan nona Semu itu ternyata bagus sekali, halus dan guratannya seperti rumput rumput hijau di musim semi.
Song taihiap. Kau melihat Sian Hwa di samping mempelai pria yang sudah tua ! Jangan kaget, mempelai prianya itu adalah ayahku, bekas raja dari Bangsa Semu! Kau marah" Jangan, karena Sian Hwa mau menjalani pernikahan ini karena bujukanku! Di samping itu, Sian Hwa amat berterima kasih kepada ayahku yang sudah menolong nyawanya. Hal ini kau akan mendengar sendiri dari Sian Hwa, Dia telah ceritakan tentang persoalannya dengan kau, maka aku tahu segalanya dan aku pula yang sengaja mengabarkan bahwa kau sudah menikah dengan tunanganmu !
Kau tahu mengapa aku membujuknya agar ia suka menikah dengan ayahku yang sudah menjadi duda tak lain tak bukan, untuk menolongnya dari kejaran Panglima Bucuci dan Pat jiu Giam ong ! Kalau sudah menjadi isteri ayahku, mereka takkan berani menggunakan kekerasan. Kaukira ayahku bandot tua yang ingin makan daun muda " Bukan, taihiap. Ketahuilah, bahwa semenjak ibuku meninggal dunia, ayah telah bersumpah takkan menikah lagi dan telah menjadi seorang wadat.
Nah, terserah kepadamu sekarang!
Luilee Setelah membaca isi surat ini, Bun Sam melirik ke arah Sian Hwa. Hatinya seperti diiris iris dan ia merasa betapa ia tadi telah, mengeluarkan kata kata yang sama sekali tidak adil terhadap gadis ini.
"Sian Hwa....ampunkan aku," bisiknya dan segera ia mengurut ngurut jalan darah pada leher dan pundak gadis itu.
Tak lama kemudian Sian Hwa siuman kembali dan biarpun wajahnya masih kepucatan namun ia telah sembuh dari serangan batin yang hebat tadi.
"Sian Hwa.... aku memang buta, buta dan bodoh. Ampunkan semua kata kataku tadi," kata Bun Sam sambil memegang kedua tangan gadis itu.
"Bun Sam, betul betulkah kau belum menikah dengan adik Lan Giok" Bagaimana dengan dia?" tanya Sian Hwa, sama sekali tidak menaruh hati marah karena sikap Bun Sam tadi.
Bun Sam menggelengkan kepalanya. "Aku menolaknya, Sian Hwa. Bagaimana aku bisa menerima ikatan jodoh itu kalau aku sudah terikat dalam hatiku dengan engkau" Aku menolak, Mo bin Sin kun marah, demikian juga suhu, aku di usir dan tidak diakui...."
"Bun Sam....!" "Biarlah, biar orang orang sedunia membenciku, aku rela, asal saja kau tidak membenciku, Sian Hwa."
Bukan main terharunya hati gadis itu mendengar pernyataan cinta kasih yang demikian besarnya.
"Bun Sam, aku sungguh tidak berharga untuk pengorbanan yang begitu besarnya."
"Cahaya hatiku, hanya kau seoranglah yang masih memungkinkan aku hidup di dunia ini," kata Bun Sam sambil memeluknya.
Untuk beberapa lama mereka tak bicara dan tidak bergerak, hanya Sian Hwa yang terisak perlahan di dada Bun Sam yang memeluknya.
"Bun Sam, bagaimana kau bisa menyusulku ke bukit Kong ciak san?"
"Aku bertemu dengan Puteri Luilee."
"Ahh, sudah kuduga begitu. Dia benar benar seorang yang budiman dan cerdik sekali. Ayahnya telah menolong nyawaku dan dia telah berusaha, sehingga kita saling bertemu, ah, besar sekali budi yang dia curahkan kepadaku."
"Nanti dulu, kauceritakanlah yang jelas, Sian Hwa. Aku masih bingung sekali. Tadi aku marah marah seperti orang gila karena melihat kau melakukan upacara pernikahan dengan orang lain. Hati siapa takkan panas dan sakit" Kemudian, aku membaca surat yang ditulis oleh Luilee dan aku menjadi makin bingung." Ia lalu menyerahkan surat yang tadi dibacanya kepada Sian Hwa. Gadis itu membacanya, kemudian ia menghela napas dan tersenyum.
Girang bukan main hati Bun Sam melihat kekasihnya sudah mau tersenyum. Ia memandang dan dua pasang mata saling pandang penuh perasaan, mesra dan saling mengerti.
"Bun Sam, kau kurus sekali dan pakaianmu tak terpelihara," kata Sian Hwa dengan mulut masih tersenyum, tetapi matanya basah dan dikejap kejapkan.
Bun Sam menjadi kikuk sekali menghadapi perhatian yang mesra ini dan ia menunduk, memandang pakaian dan tubuhnya sendiri.
"Sesungguhnyakah" Ah, mungkin karena aku tidak memperhatikan makan dan pakaian."
"Kasihan kau, Bun Sam...." Sian Hwa mendekat dan menyentuh bagian yang robek dari baju pemuda itu, "nanti kujahitkan yang robek robek."
Melihat betapa ketika mengucapkan kata kata ini, bibir Sian Hwa digigit seakan akan menahan tangis, Bun Sam merasa hatinya tertusuk dan dipeluknya lagi kekasihnya itu. Keduanya mengucurkan air mata tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Seluruh perasaan dan kerinduan dicurahkan dalam pelukan ini.
"Sian, ceritakanlah sekarang kepadaku semua pengalamanmu, agar aku ikut pula mengetahui betapa besar budi yang telah kauterima dari Luilee dan ayahnya Mereka duduk lagi berhadapan dan Sian Hwa menuturkan pengalamannya dengan singkat. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, gadis ini sengaja melarikan diri, menjauhi Bun Sara karena ia merasa tidak berhak merebut pemuda itu dari tangan Lan Giok yang sudah ditunangkan Bun Sam. Biarpun hatinya perih dan terluka, namun gadis ini terus melakukan perjalanannya, secepat dan sejauh mungkin dari Bun San, dari Bucuci dan yang lain lain. Ia berlari terus menuju ke utara dan akhirnya ia tiba di perkampungan orang Semu. Karena ia gagah, maka biarpun mengalami banyak rintangan, ia dapat menjaga diri dengan baik. Akan tetapi, pada suatu hari ia bertemu dengan serombongan orang orang Semu yang gagah dan memiliki kepandaian tinggi. Melihat seorang gadis Han berada di daerah mereka, orang orang Semu ini tertarik sekali dan dikeroyoklah Sian Hwa. Akhirnya karena lelah, gadis ini tertangkap dan tentu dia akan celaka dalam tangan orang orang kasar itu kalau saja tidak keburu ketahuan oleh Ta Ji khan, bekas raja orang orang Semu atau ayah dari Luilee.
Ta Ji khan adalah seorang Semu yang terpelajar dan melibat betapa seorang gadis Han yang cantik dan gagah tertawan, ia lalu menyuruh orang orangnya melepaskan gadis itu dan memperlakukannya dengan baik sekali. Celakanya, karena mendapat luka luka dalam pertempuran itu, Sian Hwa jatuh sakit panas yang hebat sekali. Akan tetapi selama itu, Ta Ji khan memeliharanya dengan penuh kesabaran dan kesayangan, sebagai seorang ayah terhadap puterinya. Tentu saja Sian Hwa merasa berterima kasih sekali. Tadinya ia mengira bahwa raja orang Semu yang tua ini tentu akan berlaku kurang ajar kepadanya dan ia sudah mengambil keputusan bahwa kalau dugaannya itu betul, ia akan membunuh bekas raja ini kemudian akan mengamuk sampai terbinasa di situ. Tidak tahunya, bekas raja ini amat baiknya dan bersikap penuh sopan santun.
Kemudian datanglah Luilee mengunjungi ayahnya untuk mengabarkan tentang perhubungannya dengan Pangeran Kian Tiong. Pertemuan antara Sian Hwa dan Luilee mengakibatkan perhubungan yang amat akrab. Apalagi ketika Luilee mendengar dari Sian Hwa bahwa gadis inilah yang menjadi kekasih dari Bun Sam, maka sikap puteri ini lebih baik lagi.
Luilee yang memberi nasehat kepada Sian Hwa untuk menikah saja dengan ayahnya yang sudah tua, pernikahan hanya untuk menutup mata dan untuk melindungi keselamatan gadis itu saja. Pertama tama kalau sudah menjadi isteri Ta Ji khan, tak seorangpun pemuda Semu berani main main dan mengganggunya. Ke dua, kalau sampai Bucuci dan Pat jiu Giam ong mendapatkannya, juga mereka tak mungkin berani merampas gadis yang sudah menjadi isteri Ta Ji khan. Dan ke tiga, kalau memang Sian Hwa mencintai Bun Sam, demikian kata Luilee, lebih baik Sian Hwa menikah, sehingga pemuda itu kalau mendengar, tentu akan lebih mudah melupakannya dan pemuda itu dapat menikah dengan gadis lain dengan hati ringan!
"Demikianlah, Bun Sam, mengapa kau melihat aku melakukan upacara pernikahan dengan Ta Ji khan."
Bun Sam mendengarkan penuturan Sian Hwa dengan hati terharu sekali.
"Sian moi, kau sebatangkara akupun yatim piatu. Tiada orang menjadi walimu maupun waliku. Semua guruku tidak mengaku aku lagi sebagai murid. Lalu bagaimana dengan kita....?"
Sian Hwa mengerti akan maksud kekasihnya. Ia menarik napas panjang. "Koko katanya perlahan dan sebutan "koko" atau kanda untuk pertama kali ini membuat hati Bun Sara berdebar, "agaknya Thian Yang Maha Kuasa sudah menakdirkan kepada kita untuk saling mendatangkan kesusahan. Kalau tidak ada aku orang sengsara, kau takkan mengalami semua kesusahan itu, koko. Kau tentu akan menikah dengan Lan Giok, hidup berbahagia, tidak mendapat marah dari orang orang tua dan guru gurumu."
"Cukup, Sian moi. Kau tidak katakan bahwa kaupun kalau tidak ada aku orang hina, tentu tidak akan keluar dari rumah gedung di mana kau hidup makmur. Temu kau sudah menjadi isteri putera seorang jenderal. Memang, Thian sudah menakdirkan kepada kita untuk menjadi jodoh masing masing, itu lebih tepat!"
"Bagaimana mungkin, koko" Kita tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai wali, bagaimana kau bisa bicara tentang perjodohan?"
"Jangan khawatir, adikku. Biarpun orang lain tidak menyetujui, kalau kita sudah saling mencinta, mau apalagi" Untuk meresmikan perjodohan kita, dapat kita minta kepada para nikouw di kelenteng Sun pok thian untuk menolong dan menjadi wali kita."
"Di Kin an mui"
Bun Sam mengangguk sambil tersenyum. Akan tetapi Sian Hwa nampak gelisah.
"Tempat itu dekat dengan kota raja" bagaimana kalau sampai diketahui oleh mereka?"
"Siapa takut, jangan kau gelisah, adikku. Dengan adanya aku di sampingmu, Bucuci dan Pat jiu Giam ong takkan dapat mengganggumu. Pula, aku memang hendak ke kota raja dan akan mendatangi ayah angkatmu itu, untuk dengan terus terang minta perkenannya."
"Mana bisa" Tentu ia menolak keras!"
"Terserah kepadanya. Kalau ia menerima, itu lebih baik. Sebaliknya kalau menolak, aku hanya menghadap untuk memenuhi kewajibanku karena ia adalah ayah angkatmu. Penolakannya tak ada pengaruhnya dengan perjodohan kita."
"Terserahlah, koko. Aku hanya menggantungkan nasibku kepadamu seorang."
Maka berangkatlah sepasang orang muda ini menuju ke kota raja dengan hati penuh kebulatan tekad. Setelah berkumpul mereka tidak takut apa apa dan merasa berbahagia sekali. Jangankan baru bahaya dari Bucuci atau Pat jiu Giam ong, biarpun harus menghadapi maut, asalkan bersama, mereka akan menentangnya dengan gembira dan tabah!
Dengan muka masih merah saking marahnya, Mo bin Sin kun naik ke gunung Sian hwa san dan disambut oleh Yap Bouw isterinya dan kedua orang muridnya, yaitu Lan Giok dan Thian Giok.
Dua orang muda itu lalu menuturkan tentang tugas mereka.
"Keadaan mereka kuat sekali," kata Lan Giok menuturkan tentang Hiat jiu pai. "Selain Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo, mereka masih dibantu pula oleh Koai kauw jit him dan Sam thouw hud yang berkepandaian tinggi."
"Tidak apa, betapapun juga, aku akan datang dan mencoba kepandaian mereka !" kata Mo bin Sin kun gemas, karena wanita perkasa ini masih mendongkol dan marah sekali mengingat akan penolakan Bun Sam.
"Hal itu tidaklah penting. Yang penting adalah berita tentang Bun Sam, pemuda kurang ajar dan tak kenal budi itu!"
Semua orang terkejut. Lan Giok menjadi pucat, bahkan Yap Bouw yang gagu setelah mendengar ini, cepat menggerakkan jari tangannya bertanya, "Apa" Mengapa?"
Adapun nyonya Yap Bouw bertanya cepat, "Apakah Kim Kong Taisu tidak menyetujui?"
Mo bin Sin kun menggeleng gelengkan kepalanya, "Kim Kong Taisu setuju dan menerima dengan gembira. Tiba tiba Bun Sam datang ketika kami sedang membicarakan urusan itu dan pemuda kurang ajar itu dengan tegas menolak perjodohan ini !"
Ucapan ini tentu saja diterima bagaikan geluduk menyambar di siang hari, terutama sekali oleh Lan Giok yang menjadi makin pucat.
"Mengapa" Mengapa Bun Sam menolaknya" Sungguh sukar untuk dapat dipercaya!" kata Yap Bouw dengan bahasa gerak jarinya.
"Anak kurang ajar itu menolak dan berani mati sekali mengajukan alasan bahwa dia telah.... mencintai gadis lain !"
Terdengar sedu sedan dan Lan Giok menutup mukanya dengan kedua tangannya, lalu gadis ini melompat dan berlari masuk ke dalam kamarnya.
Suasana menjadi hening. Yap Bouw duduk termenung, tak bergerak bagaikan patung. Nyonya Yap Bouw menggunakan saputangan untuk menyusut air matanya. Thian Giok berdiri diam mengertakkan giginya.
"Memalukan!" katanya perlahan. "Memalukan kalau sampai keluarga kita ditolak mentah mentah oleh seorang pemuda seperti dia !"
Yap Bouw menegur puteranya dengan pandangan matanya. Mo bin Sin kun menghela napas. "Tak perlu dibicarakan lagi urusan ini. Tiga hari lagi aku akan ke kota raja dan menuntut pembubaran Hiat jiu pai. Kalau perlu aku akan mengadu nyawa dengan tua tua bangka Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo!" Setelah berkata demikian, Mo bin Sin kun lalu bertindak memasuki kamarnya. Adapun Thian Giok diam diam telah pergi pula dari situ.
Tinggal Yap Bouw dan isterinya duduk berhadapan dan ketika mereka saling memandang, tak tertahan lagi keduanya meruntuhkan air mata. Melihat wajah suaminya yang buruk itu nampak demikian pucat dan berduka, nyonya Yap menangis terisak isak. Memang Yap Bouw telah menerima pukulan batin yang hebat sekali. Semenjak Bun Sam masih kecil, pemuda itu dipeliharanya, dididiknya seperti puteranya sendiri. Dan sekarang, justeru Bun Sam yang mendatangkan kedukaan dan rasa malu.
Tiba tiba terdengar suara keras dan Yap Bouw telah memukul meja di depannya, sehingga meja itu pecah papannya. Dia teringat akan pengalamannya dahulu bersama Bun Sam di taman Panglima Bucuci. Tanpa mengatakan sesuatu, ia lalu melompat dan pergi turun gunung.
Nyonya Yap terkejut dan khawatir sekali. Tadi ketika suaminya memukul meja, ia terkejut melihat sinar kejam terbayang di wajah suaminya. Kini melihat Yap Bouw berlari tanpa berkata sesuatu, ia cepat berlari masuk dan membuka pintu kamar Lan Giok. Ia melihat gadisnya itu tengah berbaring, menangis.
"Lan Giok, lekas kau kejar ayahmu!"
Lan Giok mengangkat mukanya dan memandang kepada ibunya dengan muka pucat dan air mata mengalir di sepanjang pipinya. Diam diam nyonya Yap merasa kasihan sekali, tetapi pada saat itu, kekhawatirannya terhadap Yap Bouw lebih besar.
"Lan Giok, lupakanlah kekecewaanmu sebentar. Aku melihat ayahmu berlari turun gunung dan pada mukanya membayangkan ancaman hebat. Aku khawatir ia mencari Bun Sam dan membunuhnya."
Mendengar ini, Lan Giok menyambar senjatanya dan cepat berlari pula keluar kamarnya, mengejar ayahnya turun gunung. Ayahnya tidak boleh memaksa Bun Sam, pikirnya. Ia tak perlu dipaksa paksakan kepada orang, si apapun juga orang itu. Itu terlampau hina dan rendah.
Ilmu lari cepat dari Lan Giok sudah jauh lebih tinggi daripada tingkat ayahnya, maka tak lama kemudian ia dapat menyusul Yap Bouw.
"Ayah....!" seru Lan Giok.
Yap Bouw berhenti dan berpaling kepada anaknya.
"Ayah hendak ke manakah?" tanya Lan Giok dan untuk menghibur ayahnya, anak ini memaksa tersenyum. Akan tetapi, karena hatinya terasa perih, senyumnya ini bahkan menyedihkan hati Yap Bouw.
Tanpa menyatakan sesuatu, orang gagu ini lalu maju dan memeluk puterinya. Lan Giok tak dapat menahan lagi kedukaannya dan ia menangis sepuas puasnya di dada ayahnya. Yap Bouw hanya mengelus elus rambut puterinya itu, hatinya pilu bukan main.
Kemudian, perlahan lahan Yap Bouw melepaskan pelukannya dan dengan gerak jari tangannya ia berkata.
"Lan Giok, anakku yang manis. Jangan kau bersedih. Bun Sam tidak berharga menjadi suamimu, dia ternyata telah melakukan hal yang amat memalukan. Aku tahu siapa orang yang telah memikat hatinya !"
"Siapa ayah?" "Kau tidak perlu tahu, nak."
"Ayah, katakan. Siapa gadis itu" Aku tidak apa apa, tidak iri hati, hanya ingin sekali tahu gadis macam apakah yang telah dapat menjatuhkan hatinya?"
"Dia gadis seorang bangsawan yang jahat. Dia anak perempuan dari Bucuci. Bun Sam tak tahu malu, biar aku mencarinya dan memakinya. Belum puas hatiku kalau belum menghina anak itu!"
Akan tetapi, Lan Giok mengeluh. "Aduh, jadi enci Sian Hwa malah orangnya" Ah, nasib .....!" Ia teringat akan cerita Sian Hwa tentang orang yang dicintanya dan demikian besar cinta Sian Hwa kepada orang itu, sehingga Sian Hwa rela meninggalkan gedung, rela menjadi nikouw! Dan ternyata orang itu Bun Sam sendiri adanya. Dan Sian Hwa malah mendoakan agar ia hidup berbahagia di samping Bun Sam. Alangkah mulianya hati Sian Hwa. Mengingat sampai di sini, Lan Giok menggigit bibirnya.
"Ayah, jangan mencari Bun Sam. Tidak ada gunanya. Bahkan aku akan memperlihatkan bahwa aku tidak merasa iri hati sama sekali. Aku tidak menyesal, bahkan aku yang hendak menjadikan perjodohan Bun Sam dengan nona yang dicintainya itu."
Yap Bouw melenggong dan tidak mengerti akan maksud puterinya.
"Ayah, aku hendak menemui Panglima Bucuci. Dia telah melarang puterinya berjodoh dengan Bun Sam. Sekarang aku yang hendak memaksanya agar ia melanjutkan perjodohan itu."
Yap Bouw memandang kepada anaknya ini dengan mata terbelalak. Biarpun ia menjadi ayahnya, namun pada saat itu ia tidak mengerti akan sikap Lan Giok ini. Gadis itu yang melihat pandangan mata ayahnya, berkata,
"Ayah, dulu pernah guruku Mo bin Sin kun memberi pelajaran yang menandaskan bahwa seorang gagah tidak boleh mengingat dan mementingkan akan kesenangan diri sendiri. Enci Sian Hwa telah kuketehui benar benar amat mencintai Bun Sam, sehingga ia rela hidup sengsara, menolak pinangan putera Pat jiu Giam ong dan rela menghadapi bahaya bahaya maut. Adapun Bun Sam...." sampai di sini Lan Giok menekan perasaan hatinya yang menjadi perih dan sakit, "sudah jelas diapun cinta kepada enci Sian Hwa sebelum perjodohan dengan aku diberitahukan. Kalau demikian, bukankah berarti aku yang menjadi penghalaag perjodohan mereka" Ayah, aku tidak mau menjadi seorang penghalang kebahagiaan orang orang lain dan oleh karena itu, aku harus membuktikan perasaan hatiku ini."
Bukan main terharunya hati Yap Bouw mendengar ini. Ia terharu dan juga bangga. Lan Giok benar benar seorang gadis yang berhati mulia gagah dan rela berkorban perasaan untuk orang lain.
"Anakku, aku tak dapat melarang niatmu itu, bahkan aku akan membantu usahamu yang mulia. Mari kita pergi menemui Bucuci."
Demikianlah, ayah dan anak yang berjiwa besar dan berwatak gagah ini lalu berlari cepat menuju ke kota raja.
Di rumah Panglima Bucuci, para pelayan sedang sibuk melayani beberapa orang tamu penting. Panglima Bucuci ini menjadi tuan rumah dari Pat jiu Giam ong Liem Po Coan atau Jenderal Liem, Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu dan muridnya yaitu Gan Kui To, Liem Swee putera Pat jiu Giam ong, ketujuh Koai kauw jit him dan Sam thouw hud tokoh dari Tibet. Mereka ini menjadi tulang punggung dari Hiat jiu pai dan yang mereka bicarakan adalah tentang maksud mereka mengadakan pibu melawan Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun.
"Sayang sekali aku tidak tahu di mana adanya Bu tek Kiam ong. Dengan kekuatan kita sekarang, Hiat jiu pai kita tak usah takut menghadapi Bu tek Kiam ong. Kalau sebulan lagi diadakan pibu di lembah maut di Lok yang akan kita perlihatkan kelihaian Hiat jiu pai dan membasmi mereka itu," kata Pat jiu Giam ong.
"Menghadapi Kim Kong Taisu si tua bangka, aku tidak takut sama sekali, kata Lam hai Lo mo menyombong sambil menyikat hidangan di atas meja, sehingga ketika bicara, mulurnya masih penuh makanan. "Akan tetapi, aku sangsi menghadapi Mo bin Sin kun. Orang ini penuh rahasia, kita hanya tahu bahwa dia seorang wanita, akan tetapi tidak tahu siapa dia sebetulnya! Rahasia itulah yang menggelisahkan hati selalu."
"Biarpun ia penuh rahasia, apakah yang kita takutkan" Yang ia andalkan hanyalah ilmu pukulan Soan hong Pek lek jiu hwat," kata Pat jiu Giam ong menghibur suhengnya.
"Bukan kepandaiannya yang kugelisahkan, melainkan rahasianya itulah," kata Lam hai Lo mo sambil memandang kepada sutenya penuh arti.
"Aku tetap saja masih menyangsikan apakah Mo bin Sin kun itu bukan dia....?" Merah muka Pat jiu Giam ong mendengar ini.
"Ah suheng. Tak mungkin, dia sudah terang mati di depan kaki kita, mengapa kau memikirkan orang yang sudah mati?"
Lam hai Lo mo untuk sejenak bermuram durja kemudian ia lalu minum arak dari cawannya dan tertawa terkekeh kekeh.
"Kau benar, sute. Andaikata dia, sekarangpun sudah tua dan buruk, untuk apa kita takut" Ha, ha, ha."
Semua orang yang berada di situ, kecuali Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo, tidak tahu dan tidak mengerti akan maksud pembicaraan ini.
Sesungguhnya, dahulu ketika kakak beradik seperguruan ini masih muda, pernah terjadi peristiwa yang hebat dan yang tak mudah mereka lupakan. Peristiwa ini mengenai diri seorang gadis pendekar yang gagah perkasa, gadis pendekar yang cantik jelita dan yang membuat mereka berdua tergila gila. Mereka berlomba untuk merebut hati gadis itu, akan tetapi gadis itu bersikap dingin.
(Bersambung jilid ke XV.)
Seri ke 1 Pedang Sinar Emas
Pedang Sinar Emas (Kim Kong Kiam) Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Sumber DJVU : BBSC Convert & Editor : Rif Zyr (thanks)
Fnal edit & pdf Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://cerita-silat.co.cc/ http://ebook-dewikz.com
Jilid XV BETAPAPUN juga, Lam hai Lo mo tak kekurangan akal dan mulailah dia mempergunakan ilmu hitam, yakni memasang guna guna untuk memikat hati gadis itu. Celakanya setelah guna guna itu mengena, gadis itu tidak mendekati dia sebaliknya menjatuhkan cintanya yang terdorong oleh pengaruh ilmu hitam itu kepada Pat jiu Giam ong, sutenya. Di antara mereka sendiri sampai terjadi pertengkaran dan akhirnya Pat jiu Giam ong mengalah dan berjanji kepada suhengnya untuk memberikan gadis itu kepada Lam hai Lo mo apabila kelak sudah masuk perangkapnya.
Demikianlah, secara singkat dapat diceritakan di sini bahwa gadis perkasa itu masuk perangkap dan dalam keadaan tak sadar oleh pengaruh ilmu hitam yang dipasang oleh Lam hai Lo mo, ia di permainkan oleh dua orang kakak beradik seperguruan ini.
Akhirnya setelah sadar daripada pengaruh ilmu hitam, gadis ini mengamuk dan kedua kakak beradik itu tidak dapat mengalahkan gadis perkasa itu, sehingga mereka berdua menderita luka luka tetapi dapat melarikan diri. Adapun gadis itu, saking marah dan menyesal, lalu membunuh diri dengan menerjunkan diri ke dalam jurang.
Demikianlah, sekarang, Lam hai Lo mo teringat kepada gadis itu dan biarpun ia dan sutenya sudah melihat adanya mayat gadis itu yang menggeletak di dasar jurang, tetapi sekarang ia menyangka bahwa Mo bin Sin kun adalah gadis itu !
Waktu yang dijanjikan untuk mengadakan pibu memang tinggal sebulan lagi dan mereka telah bersiap siap untuk mengalahkan Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun dua orang yang mereka anggap menjadi musuh besarnya.
Tiba tiba seorang pelayan datang menghadap Bucuci dan menyatakan bahwa di luar ada dua orang tamu minta bicara, "Aah, segala macam tamu, tahu tidak aturan!" kata Pat jiu Giam ong mencela.
"Mengapa di waktu begini datang menggangu. Suruh saja mereka pergi untuk datang lain kali."
"Mereka katakan bahwa mereka datang untuk bicara tentang siocia (nona), karena itu hamba menganggap amat penting dan melaporkan." kata pelayan itu dengan sikap merendahkan diri.
Mendengar ini, semua orang tertegun.
"Kalau begitu, suruh mereka masuk saja ke sini !" kata Pat jiu Giam ong dan dari sikap jenderal ini saja dapat diketahui betapa besar pengaruh Pat jiu Giam ong. Yang kedatangan tamu dan yang menjadi tuan rumah adalah Bucuci, akan tetapi ia berani memberi keputusan begitu saja tanpa menghiraukan Bucuci!
"Suruh mereka masuk !" kata Bucuci pula kepada pelayannya itu.
Pelayan itu keluar dan tak lama kemudian ia datang lagi diikuti oleh dua orang yang membuat semua orang yang sedang mengelilingi meja ini terkejut sekali. Dua orang tamu itu tak lain adalah Yap Bouw dan Lan Giok!
Pat jiu Giam ong dan lain lain orang duduk saja, tak bergerak dari bangku. Akan tetapi ketika melihat nona ini, Kui To lalu bangun berdiri dan sambil tersenyum senyum ia berkata, "Ah, kiranya kau, nona manis. Silahkan duduk!"
Akan tetapi Lan Giok tidak menghiraukanaya, bahkan menengokpun tidak. Sebaliknya nona ini dengan tabah sekali lalu menghampiri Bucuci dan berkata, "Aku datang untuk bertemu dan bicara dengan tuan rumah."
Bucuci menjadi serba salah dan hanya dapat menoleh kepada Pat jiu Giam ong untuk minta keputusan.
"Nona, kau murid Mo bin Sin kun, datang ke sini apakah atas perintah gurumu" Kau sudah mengenal kami semua, kalau ada keperluan bicara sajalah," kata jenderal itu.
Lan Giok memandang kepada Bucuci. "Apakah aku boleh bicara di depan mereka semua ini?" tanyanya.
Bucuci berdiri dan mengangguk sambil berkata, "Kau duduklah dan bicaralah."
"Apa maksud kedatangan kalian berdua ini?"
Akan tetapi Lan Giok tidak mau duduk. Dengan tenang ia lalu berkata, "Kami datang untuk meminang anak angkatmu, yaitu enci Sian Hwa."
Bucuci menjadi merah mukanya. "Aku tidak mempunyai anak angkat lagi!"
"Eh, nanti dulu, jangan terburu nafsu, orang tua.." kata Liem goanswe, yang lalu menghadapi Lan Giok.
"Kau hendak meminang Sian Hwa" Untuk kakakmu itu?"
Lan Giok memandang kepada jenderal itu dengan sikap angkuh.
"Aku tidak bicara dengan orang lain, kecuali dengan tuan rumah. Bucuci ciangkun, kau jawablah."
Lam hai Lo mo gelak tertawa.
"Ha, ha, ha, anak ini mempunyai nyali besar!"
Sebaliknya, Pat jiu Giam ong menjadi merah mukanya. Ia marah sekali, akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan" Terpaksa ia menenggak araknya lagi dan tak mau bicara lagi.
Bucuci bertanya, hanya merupakan pertanyaan ke dua saja seperti yang dilakukan oleh Liem goanswe tadi, "Kau melamar Sian Hwa untuk kakakmu dahulu itu?"
"Bukan! Ayah datang ini untuk melamar puteri angkatmu itu yang akan dijodohkan dengan Song Bun Sam."
"Bocah lancang!" Pat jiu Giam ong berseru lagi karena tak dapat menahan marahnya.
"Sian Hwa adalah muridku dan ia sudah dijodohkan dengan puteraku. Apakah kau datang sengaja hendak mengacau seperti dulu?"
"Bohong ! Kau sudah tidak mengakui enci Sian Hwa sebagai murid dan juga Bucuci bukan ayahnya sendiri ! Kami datang secara baik baik dan hendak mengajukan pinangan. Kalau kalian tidak setuju, kamipun tidak perduli karena enci Sian Hwa tidak terikat lagi dengan kalian! Akan tetapi aku melarang kalian mengganggu enci Sian Hwa dan menghalangi perjodohannya dengan Bun Sam!"
Hening sejenak karena semua orang membelalakkan mata mereka mendengar ini. Sikap gadis yang gagah ini benar benar membikin mereka terheran heran dan melongo. Kemudian pecahlah suara ketawa, bahkan Bucuci sendiri pun ikut tertawa.
"Eh, bocah setan. Apakah otakmu sudah miring" Dengan apa kau hendak melarangku berbuat apa yang kusukai terhadap anak angkatku sendiri?" tanya Bucuci.
"Dengan ini!" kata Lan Giok dan dalam sekejap mata saja di tangannya telah nampak Gin san Kim ciam sepasang senjatanya yang istimewa, yakni Kipas Perak dan Jarum Emas. Sebelum semua orang tahu akan maksud gadis ini, Lan Giok yang sudah marah sekali dan menganggap bahwa Bucucilah satu satunya orang yang mengganggu Sian Hwa sebagai anak angkatnya, secepat kilat telah maju menubruk dan menyerang dengan sepasang senjatanya ke arah Bucuci.
Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Panglima Bucuci memiliki kepandaian tinggi dan pengalamannya sudah banyak sekali, tetapi tingkat kepandaiannya masih kalah jauh oleh Lan Giok. Biarpun ia cepat mengelak, tetap saja pundaknya terkena jarum emas dan baju perangnya ternyata kurang kuat menghadapi tusukan Lan Giok sehingga terobek dan kulitnya terluka.
"Anak gila!" Pat jiu Giam ong berseru dan dari tempat duduknya ia melancarkan pukulan lweekang yang berat ke arah Lan Giok. Gadis ini mengagumkan sekali karena ketika ia mendengar sambaran angin dari kanan, ia cepat memiringkan tubuhnya sambil mengerahkan lweekang ke arah kipasnya, mengebut ke kanan, sehingga hawa pukulan dari Pat jiu Giam ong terkena tangkisannya dan tidak melukainya.
Pat jiu Giam ong marah sekali dan melompat berdiri, akan tetapi ketika ia mendorongkan kedua tangannya dengan sekuat tenaga ke arah Lan Giok, Yap Bouw melompat dan menangkis pukulan ini. Mana bisa Yap Bouw menandingi Pat jiu Giam ong, maka ketika lengannya beradu dengan lengan Liem goanswe, ia terhuyung huyung dan merasa lengannya sakit sekali.
Pada saat itu, Lan Giok menubruk lagi dan kali ini kipasnya bergerak cepat sehingga sebelum dapat mengelak, kepala Bucuci telah kena totokan kipas sedemikian hebatnya, akhirnya Bucuci memekik ngeri dan roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi.
"Celaka !" seru Pat jiu Giem ong dan sekali jenderal besar ini menyerang, Yap Bouw terkena pukulannya pada dadanya, sehingga bekas jenderal ini terlempar ke belakang dan dadanya terpukul hebat sekali. Beberapa tulang iganya patah patah dan Yap Bouw juga menghembuskan napas terakhir tanpa dapat berteriak lagi!
Lan Giok marah sekali. "Pat jiu Giam ong, biar aku mengadu nyawa dengan kau!" Ia lalu menyerang dengan dahsyatnya, tidak memperdulikan keselamatan dirinya sendiri. Kipasnya menyambar nyambar menyerang Pat jiu Giam ong, mengancam tubuh bagian atas sedangkan jarum emasnya menyerang ke arah tubuh bagian bawah. Selain gerakannya cepat, juga ia mengerahkan tenaganya, sehingga setiap serangan merupakan bahaya maut bagi seorang tokoh besar seperti Pat jiu Giam ong sekalipun!
Jenderal ini menjadi terkejut dan cepat ia melakukan perlawanan dengan ilmu silat Pat kwa jiu hwat yang dimainkan dengar kedua ujung lengan bajunya. Untuk jurus jurus pertama memang dalam kenekatannya, Lan Giok berhasil mendesak lawannya. Akan tetapi, tingkat ilmu silatnya kalah jauh. Pat jiu Giam ong mempunyai tingkat yang setaraf dengan Mo bin Sin kun, maka sebentar saja keadaannya berubah sama sekali. Lan Giok mulai terdesak hebat. Sepasang senjatanya kini hanya dipergunakan untuk menangkis saja, sama sekali tidak berkesempatan untuk membalas serangan lawan. Tiap kali senjatanya menangkis, selalu senjatanya terpental oleh ujung lengan baju jenderal itu dan telapak tangannya terasa panas dan sakit. Beberapa belas jurus kemudian, kedua telapak tangan gadis itu telah pecah pecah kulitnya dan berdarah, tetapi sambil menggigit bibirnya, Lan Giok melawan terus dan tidak mau melepaskan kedua senjatanya.
Pat jiu Giam ong merasa penasaran sekali. Sudah empatpuluh jurus mereka berkelahi, tetapi belum juga ia dapat mengalahkan Lan Giok. Ia mengerahkan tenaganya dan gadis itu makin terdesak, namun masih saja melakukan perlawanan mati matian. Memang harus dipuji ketabahan hati gadis ini. Sedikit iapun tidak merasa jerih, biarpun ia sudah tahu bahwa ia takkan dapat menang.
"Susiok, jangan bunuh dia".!" berkali kali Kui To berseru karena ia tertarik oleh kecantikan gadis ini dan merasa tidak tega melihat gadis ini tewas.
"Ayah, bunuh saja dia. Kalau tidak, ia akan selalu menghalangi perjodohanku dengan sumoi!" Liem Swee berkata.
Pat jiu Giam ong ragu ragu karena sesungguhnya ia merasa malu kalau harus menewaskan seorang gadis muda yang tidak setingkat dengan dia.
Sebaliknya, Lam hai Lo mo merasa kurang senang melihat muridnya agak tergila gila kepada gadis ini, maka sambil tertawa ia berkata, "Sute, menghadapi muridnya saja kau tidak dapat merobohkan apalagi menghadapi gurunya! Ha, ha, ha !"
Panas juga perut Pat jiu Giam ong mendengar ejekan suhengnya ini. Ia mengeluarkan seruan keras dan sepasang ujung lengan bajunya menyambar nyambar bagaikan halilintar. Lan Giok tidak kuat menghadapi serangan hebat ini. Ia tetap menangkis, akan tetapi kipasnya patah dan ujung lengan baju jenderal itu menghantam lehernya dengan tepat sekali pada jalan darah yang penting di dekat lubang pernapasannya.
Tanpa mengeluarkan suara, tubuh gadis perkasa ini terkulai dan ia roboh dengan gagang kipas dan jarum emas masih tergenggam erat erat. Nyawanya telah meninggalkan tubuhnya!
Kui To menubruk dan pemuda ini menangis!
"Siauw niauw....! Siauw niauw...." keluhnya sambil memeluk dan menciumi muka Lan Giok yang sudah tak bernapas itu, tetapi masih hangat.
"Kui To, mundur!" seru Lam hai Lo mo dengan muka merah. "Bodoh benar kau! Apakah kau mau mengikat diri terhadap seorang perempuan ini saja" Banyak wanita cantik di dunia ini dan seorang wanita yang sudah tidak bernyawa, apa gunanya?"
Tadinya, Kui To hendak marah kepada susiok nya dan ia telah memandang kapada susioknya dengan mata merah. Akan tetapi ia takut kepada suhunya, maka ia lalu mengundurkan diri dan berdiri dengan muka sebentar merah sebentar pucat, ia melirik kepada Liem Swee dan kebencian mulai bersemi di dalam hatinya, karena ia menganggap bahwa Liem Swee yang menyebabkan kematian Lan Giok. Kalau Liem Swee tidak ingin menikah dengan Sian Hwa Lan Giok tidak akan datang dan binasa di tempat itu dan kalau tadi Liem Swee tidak minta kepada ayahnya untuk membunuh gadis itu, belum tentu Pat jiu Giam ong mau membunuh Lan Giok!
Liem goanswe menyuruh orang orangnya mengurus tiga jenazah itu, yaitu jenazah Bucuci, Yap Bouw dan anaknya Lan Giok, kemudian ia menyiarkan bahwa Yap Bouw dan Lan Giok datang untuk mengacau dan menyerang mereka, sehingga mengalami kematian.
Gemparlah semua orang mendengar bahwa ada dua orang gagah berani menyerang tokoh tokoh pimpinan Hiat jiu pai dan sebentar saja, berita tentang kematian Yap Bouw dan puterinya telah tersiar luas.
Tiga hari kemudian, ketika Pat jiu Giam ong dan kawan kawannya sedang duduk bercakap cakap di dalam gedungnya, tiba tiba di ruangan gedung itu muncul Mo bin Sin kun dan Thian Giok. Seperti biasa, Mo bin Sin kun memakai kedok, hingga wajahnya kelihatan buruk dan menyeramkan sekali. Apalagi pada saat itu ia sedang marah besar, sehingga sepasang matanya yang bening memancarkan cahaya mengerikan. Juga Thian Giok berdiri dengan muka pucat dan membayangkan kemarahan besar, sedangkan senjata Pek giok joan pian telah berada di tangannya. Jelas terlihat bahwa pemuda ini telah bersiap siap untuk bertempur.
Kedatangan Mo bin Sin kun ini mengagetkan semua orang, karena Mo bin Sin kun melompat turun dari atas genteng dengan ginkangnya yang luar biasa, sehingga tidak terdengar oleh mereka.
"Mo bin Sin kun...." kata Pat jiu Giam ong perlahan sambil bangun berdiri dari tempat duduknya. Juga Lam hai Lo mo bangun berdiri menyambut.
"Pat jiu Giam ong, manusia tak tahu malu. Marilah kita bertempur seribu jurus sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa di tempat ini!" kata Mo bin Sin kun dengan suaranya yang kedengaran menarik, halus akan tetapi menyeramkan.
"Mo bin Sin kun, sabarlah! Muridmu tewas karena dia sendiri yang memaksa kami, dia bahkan membunuh Panglima Bucuci...."
"Tak perlu banyak cakap! Kau telah berlaku kejam membunuh seorang anak anak, sekarang tak usah banyak mulut memutar lidah, mari kita bertanding tua sama tua! Hendak kulihat sampai di manakah kepandaianmu sekarang?" Sambil berkata demikian, Mo bin Sin kun menggerakkan tangan ke pinggang dan tahu tahu tangan kirinya sudah memegang sehelai sabuk merah yang panjang sedangkan tangan kanannya memegang sebuah cermin berbentuk bulat dengan gagangnya dari perak.
Melihat sepasang senjata ini, baik Pat jiu Giam ong maupun Lam hai Lo mo berseru heran dan terkejut. "Kau...." Mo bin Sin kun, buka kedokmu! Perlihatkan dirimu yang sebenarnya, siapakah kau?" tanya Pat jiu Giam ong dan suaranya agak gemetar.
"Bangsat tua bangka, siapa yang sudi melayani kau bercakap cakap. Bersiaplah kau dengan senjatamu agar kita dapat bertanding untuk menentukan siapa yang harus menggeletak dan mampus!" Pat jiu Giam ong tak dapat menjawab. Melihat sikap wanita berkedok ini, ia merasa ngeri juga. Sungguhpun sukar untuk dikatakan bahwa dia takut, Pat jiu Giam ong tak kenal arti takut dalam menghadapi lawan, hanya senjata senjata di tangan Mo bin Sin kun ini mengingatkan ia akan seorang wanita pada puluhan tahun yang lalu....!
Tiba tiba terdengar orang tertawa terkekeh kekeh seperti ringkikan kuda dan Sam thouw hud, pendeta Buddha dari Tibet itu, telah berdiri menghadapi Mo bin Sin kun.
"Liem goanswe, untuk apa melayani setan perempuan yang menjijikkan ini" Pegang dan lempar dia keluar, habis perkara! Melihat wajahnya membuat aku kehilangan nafsu minumku."
Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo mengejapkan mata kepada hwesio yang lancang mulut ini, tetapi terlambat. Terdengar seruan nyaring dan berkelebat bayangan merah ke arah Sam thouw hud (Buddha Kepala Tiga).
Hwesio murtad ini terkejut sekali dan cepat ia menangkis dengan lengan kirinya.
Sebenarnya, kalau Sam thouw hud sudah tahu akan kelihaian sabuk merah ini, ia tentu tidak akan berlaku sembrono menangkis dengan lengannya. Akan tetapi karena ia terlalu sombong dan memandang rendah, ia menangkis untuk memegang sabuk itu dan merampasnya. Tidak tahunya, begitu ia memegang sabuk merah itu, ujung sabuk itu bagaikan seekor ular telah melingkar dan membelit lengannya dan pada saat itu juga, lilitan sabuk itu makin bertambah erat dan kuatnya, sehingga terdengar suara kain robek karena lengan bajunya telah robek dan sabuk itu mencekik kulit lengannya, sehingga terasa sakit sekali.
Ini masih belum hebat, kemudian Mo bin Sin kun lalu melompat maju dan menggerakkan cermin itu ke arah muka Sam thouw hud dalam serangan yang hebat sekali. Cermin ini merupakan senjata luar biasa, karena bingkainya terbuat daripada perak keras, demikianpun gagangnya dan punggung cermin. Adapun kaca cermin itu amat berbahaya karena dapat membuat lawan menjadi silau matanya.
Demikian pula Sam thouw hud. Dengan lweekangnya, pendeta Tibet ini telah dapat meloloskan lengannya dari lilitan sabuk, akan tetapi tiba tiba ia terpaksa harus memeramkan matanya sebentar, ketika cermin itu berkelebat di depan mukanya, karena cahaya dari cermin itu menyilaukan matanya. Ia masih dapat mendengar sambaran angin pukulan cermin, maka cepat ia mengelak ke kiri. Tidak tahunya, cermin itu digerakkan secara aneh dan cepat, kini meluncur tak terduga sekali dan menyerang lehernya.
"Celaka....!" seru Sam thouw hud dan untuk menjaga diri, tidak ada lain jalan baginya kecuali mengadu nyawa. Ia mengangkat kaki dan menendang, tendangan maut ke depan. Akalnya ini berhasil karena Mo bin Sin kun tidak dapat melanjutkan serangannya karena tentu tendangan itu akan mengenainya juga dan ini berbahaya sekali. Ia menaksir bahwa tendangan pendeta Tibet ini sedikitnya bertenaga seribu kati. Maka ia pun lalu mengelak ke belakang dan menggerakkan cermin dan sabuknya hendak menyerang lagi,
"Tahan, Mo bin Siu kun!" Tiba tiba Lam hai Lo mo melompat maju dan memalangkan tongkatnya.
"Aku datang hendak menuntut balas kepada Pat jiu Giam ong! Apa kau tua bangka hendak turun tangan pula?" Mo bin Sin kun membentak marah, adapun Sam thouw hud yang mukanya menjadi agak pucat itu telah mundur dengan hati lega. Tak disangkanya bahwa Mo bin Sin kun demikian lihai, sehingga dalam dua jurus saja ia hampir mampus.
"Bukan begitu Mo bin Sin kun. Kau seorang tokoh besar ternyata kini bersepak terjang seperti seorang tukang silat kampungan saja!" kata Lam hai Lo mo yang selain lihai ilmu silat dan ilmu sihir, juga lihai sekali lidahnya.
"Ular belang tua bangka, kalau ada maksud bicara saja, jangan sembarang menyebar bisa!" Mo bin Sin kun memaki.
Lam hai Lo mo tertawa cekikikan.
"Dengar, Mo bin Sin kun. Kau tadi hampir saja membunuh Sam thouw hud, hanya karena dorongan kemarahanmu. Demikian pula sute, karena melihat muridmu membunuh Bucuci secara tidak tahu aturan sama sekali, maka ia lalu menegur dan hasilnya pertempuran itu membuat muridmu dan ayahnya tewas. Apakah yang aneh dalam hal ini" Kita sudah berjanji, beberapa hari lagi akan bertemu di lembah maut di Lok yang, apakah kau sekarang hendak merusak janji itu dan menjilat ludah sendiri" Atau kau barangkali tidak berani menghadapi kami di sana, maka sekarang hendak turun tangan lebih dulu?"
"Bangsat tua bangka! Kalau aku takut, apa kau kira aku berani datang ke tempat ini" Kalian semua boleh maju mengeroyokku, aku tidak takut mati. Aku datang sekarang karena aku khawatir kalau kalau kalian tidak berani muncul di lembah maut."
"Mo bin Sin kun, akupun seorang laki laki! Kalau memang kau berkepandaian, bersabarlah sampai datang saatnya kita berhadapan di lembah maut. Di sana kita boleh mengadu kepandaian."
"Aku ulangi tantanganku, beranikah kau mengadu kepandaian di sana!" kata Pat jiu Giam ong. "Aku tidak sudi dianggap pengecut dan membunuhmu di rumahku sendiri. Kalau kau nekat dan hendak menyerang kami, seranglah! Kami takkan melawan, coba hendak kami lihat apakah Mo bin Sin kun sudi berlaku serendah itu, menyerang orang orang yang tidak melawan di rumah orang orang itu sendiri?"
Mo bin Sin kun menjadi kewalahan dan kalah aturan. Ia menggigit bibir, kemudian dengan senyum sindir ia berkata, "Tidak apa, biar kalian hidup beberapa hari lagi. Akupun tidak takut kalian tidak datang pada waktunya, karena di manapun juga kalian berada, akan kucari sampai dapat dan untuk menghancurkan kepalamu. Ayoh, Thian Giok, kita pergi dari tempat busuk ini!" ajaknya kepada muridnya. Ketika mereka melompat keluar, Mo bin Sin kun masih sempat berkata kepada Sam thouw hud, "Dan kau, iblis berpakaian dewa, jangan lupa, ikutlah datang di lembah maut kalau ingin merasai kerasnya tanganku!"
Sebentar saja, Mo bin Sin kun dan muridnya lenyap dari situ.
"Hebat dan ganas sekali....!" teriak Biauw Ta, orang pertama dari Koai kauw jit him yang memecahkan kesunyian yang mencekam ruangan itu seperginya Mo bin Sin kun.
Mo bin Sin kun langsung ke Sian hwa san di mana ia hendak berlatih untuk menghadapi pertempuran mati matian dan hebat itu. Ia maklum bahwa musuh musuhnya berkepandaian tinggi, maka ia hendak mengumpulkan tenaga dan melatih ilmu silat yang paling lihai yang pernah ia pelajari. Adapun Thian Giok yang diam diam merasa tak puas dengan sikap gurunya yang menangguhkan pembalasan dendam itu, diam diam lalu ia pergi lagi ke kota raja untuk menyelidiki gerakan fihak musuh!
Nyonya Yap hanya dapat menangis sedih saja dan ia memperhebat samadhi dan sembahyangnya untuk mohon kekuatan batin dari Yang Maha Kuasa, agar ia dapat menahan pukulan batin yang hebat itu.
"Tentu saja, Sian Hwa, Pinni sekalian akan merasa bahagia sekali untuk menjadi walimu dan meresmikan upacara pernikahanmu dengan Song taihiap," kata ketua nikouw dari kelenteng Sun pok thian ketika Bun Sam dan Sian Hwa menghadap dan mohon pertolongan mereka.
Dapat dibayangkan betapa gembira hati Sian Hwa dan Bun Sam mendengar ucapan dari nikouw tua. Mereka berlutut dan menghaturkan terima kasih mereka.
Peralatan pernikahan disiapkan oleh para nikouw dan pada keesokan harinya, Bun Sam dan Sian Hwa dalam pakaian pengantin menghadapi meja sembahyang.
Baru saja upacara sembahyang selesai dilakukan, tiba tiba dari luar menyerbu seorang pemuda yang langsung menyerang Bun Sam dengan memaki keras, "Bangsat, bersedialah untuk mati!"
Ketika itu, Bun Sam dan Sian Hwa masih berlutut di depan meja sembahyang, yakni sedang mohon berkah daripada arwah arwah orang tua mereka berdua. Ketika mendengar sambaran angin serangan dari belakang, Bun Sam bergerak ke kanan dan tahu tahu tubuhnya telah melompat sambil memondong isterinya! Memang luar biasa gerakan Bun Sam ini dan membuktikan bahwa kepandaiannya benar benar telah hebat sekali.
Terdengar suara hiruk pikuk dan pemuda itu menendangi semua meja dan bangku dalam amukannya.
Senjatanya menyambar nyambar dan menghancurkan perkakas yang berada di dekatnya.
"Thian Giok....!" Bun Sam dan Sian Hwa ber seru hampir berbareng.
Memang betul, yang datang mengamuk itu adalah Thian Giok.
Pemuda ini dalam penyelidikannya di kota raja, telah teringat kepada Sian Hwa yang menyebabkan kematian ayah dan saudaranya. Kalau tidak karena Sian Hwa, tak mungkin sampai terjadi peristiwa yang menyedihkan itu.
Maka di luar kehendaknya sendiri, ia menuju ke kelenteng itu untuk mencari kalau kalau Sian Hwa sudah kembali ke kelenteng itu. Dan kebetulan sekali ia menyaksikan upacara sederhana dari pernikahan Sian Hwa dan Bun Sam. Tentu saja melihat Bun Sam, naik darahnya dan ia menyerang kalang kabut.
"Thian Giok, apakah kau tiba tiba menjadi gila ?"
"Mengapa kau menyerangku?" tanya Bun Sam dengan mata terbelalak heran.
"Bangsat keji. Kau telah membunuh ayah dan adikku, ingin banyak cakap lagi" Cabut senjatamu dan mari kita menetapkan siapa yang harus menyusul ayah dan Lan Giok lebih dulu."
"Apa katamu" Adik Lan Giok....?" Sian Hwa berseru dan mukanya menjadi pucat ketika ia melompat menghadapi Thian Giok.
Thian Giok mengangguk. "Adikku Lan Giok dan juga ayah telah tewas, semua karena gara gara.... suamimu ini," kata kata ini membuat Sian Hwa dan Bun Sam makin terheran.
"Bun Sam, apa artinya ini?" tanya Sian Hwa kepada suaminya.
"Sian moi, siapa tahu apa maksudnya?"
"Eh, Thian Giok, sebetulnya apakah yang terjadi, maka kau berlaku seganjil ini" Apa yang telah terjadi dengan suheng dan Lan Giok?"
Akan tetapi, sebagai jawaban, Thian Giok melompat dan menyerang lagi, kini dengan Pek giok joan pian, senjatanya yang lihai.
Bun Sam terkejut dan penasaran sekali. Ketika joan pian itu menyambar ke arah kepalanya, ia mengulurkan tangannya dan sekali tangannya bergerak, joan pian yang lihai itu telan tertangkap olehnya dan dibetot sedikit saja senjata itu sudah berpindah tangan.
Diam diam Thian Giok merasa terkejut sekali melihat kelihaian ini. Hampir ia tidak percaya. Bagaimana Bun Sam bisa merampas senjatanya hanya dengan sekali tangkis saja"
Memang Bun Sam sengaja mengeluarkan kepandaian simpanannya yang ia pelajari dari Bu tek Kiam ong. Ilmu silat dari Bu tek Kiam ong Si Raja Pedang, memang khusus diciptakan oleh orang sakti itu untuk menghadapi semua ilmu silat dari Empat Besar yang lain, maka kini menghadapi serangan dari Thian Giok yang berasal dari ilmu silat Mo bin Sin kun, ia dapat menggunakan ilmu silatnya itu dengan baik dan tepat sekali. Selain itu, tenaga lweekang dari Bun Sam kini telah bertambah berlipat ganda.
"Thian Giok, berlakulah tenang dan adil. Bagaimana kau yang berjiwa gagah dapat menyerang orang tanpa alasan dan tanpa memberitahukan sebab sebabnya lebih dulu" Ceritakanlah yang jelas, baru kita nanti pikir pikir lagi apakah patut kau menyerangku secara demikian ganas."
Thian Giok menutup mukanya dengan kedua tangannya ketika ia berkata dengan suara gemetar, "Ayah dan Lan Giok telah tewas. Mereka pergi ke kota raja untuk meminang nona Sian Hwa guna engkau."
"Apa....." Mengapa begitu" Apa artinya ini?" tanya Bun Sam dan Sian Hwa membelalakkan matanya yang bagus.
Thian Giok menurunkan tangannya dan nampak mata pemuda ini basah.
"Kau manusia kejam. Tidak dapatkah kau membayangkan betapa hebat akibat daripada penolakanmu terhadap adikku?"
"Setelah mendengar dari suthai bahwa kau menolaknya, Lan Giok dan ayah lalu diam diam pergi ke kota raja untuk melamarkan Sian Hwa buat engkau! Kemudian agaknya terjadi pertengkaran dan adikku serta ayahku terbunuh dalam tangan Pat jiu Giam ong."
Pucat bukan main muka Bun Sam dan Sian Hwa. Mereka saling memandang dan Sian Hwa menggigit bibir menahan hatinya yang telah menjerit jerit.
"Mengapa Lan Giok berbuat hal yang aneh itu" Mengapa ia melamarkan Sian Hwa untukku....?" tanya Bun Sam dengan suara terputus putus.
"Tak dapatkah kau menyelami jiwanya" Dia tidak mau dianggap penghalang bagi perjodohan mu dengan nona Sian Hwa. Adikku terlampau berbudi untuk bersikap kokau (egoisme) dan ia rela berkorban nyawa untuk.... kalian.... !"
"Lan Giok....!" Sian Hwa tak dapat menahan lagi keharuannya dan gadis ini menangis tersedu sedu sambil menutupi mukanya dengan sapu tangan.
"Lan Giok...." keluh Bun Sam. Keluhan yang keluar dari lubuk hatinya dan pemuda ini menggeleng gelengkan kepalanya sambil menarik napas panjang. Lalu Bun Sam menghampiri Sian Hwa dan menoleh kepada Thian Giok sambil berkata, "Thian Giok, sekarang tahulah aku mengapa kau hendak membunuhku. Nah lakukanlah itu, aku takkan melawan. Kalau Lan Giok berani berkorban demi kebahagiaan kami, apa kaukira kamipun takut mati" Inilah kami berdua, orang orang yang telah menjadi sebab kematian ayah dan adikmu. Bunuhlah kami !"
Sambil berkata demikian, Bun Sam melemparkan senjata Pek giok joan pian yang tadi dirampasnya kepada Thian Giok. Pemuda ini menerima senjatanya, memandang kepada dua orang yang berdiri di depannya itu dengan penuh kebencian, akan tetapi ia tidak mau menyerang. Sebaliknya ia berkata, "Aku bukan pengecut yang menyerang orang yang tak mau melawan!" Kemudian ia melompat keluar dan berlari pergi.
Para nikouw yang tadinya lari bersembunyi sejak pemuda itu datang mengamuk, kini keluar lagi dan memberes bereskan tempat yang diobrak abrik tadi oleh Thian Giok. Akan tetapi, Bun Sam dan Sian Hwa, tanpa bicara sesuatu, melompat keluar dan keduanya tahu ke mana mereka harus pergi, biarpun keduanya tidak mengeluarkan sepatah katapun. Ke rumah gedung Pat jiu Giam ong Liem Po Coan!
"Biarpun dia bekas guruku, aku harus mengadu nyawa dengan dia!" berkata Sian Hwa perlahan ketika mereka berdua berlari cepat menuju ke kota raja.
"Bukan kau lawannya. Serahkanlah dia kepada suamimu." kata Bun Sam.
"Mana bisa kita menjadi suami isteri....?" kata Sian Hwa.
Bun Sam berhenti berlari dan menyambar lengan isterinya. Keduanya saling pandang dan biarpun Sian Hwa tidak berkata apa apa, Bun Sam seakan akan dapat membaca suara hati dan pendirian Sian Hwa.
"Kau benar, Sian moi, habislah semua, tiada artinya lagi hidup ini...."
"Jangan berkata begitu, koko. Setelah apa yang terjadi dengan Lan Giok, memang tak mungkin kita menjadi suami isteri dalam arti sedalam dalamnya."
"Namun, kita sudah melakukan upacara sembahyang dan kita sudah menjadi suami isteri dalam arti umum. Kita takkan berpisah sampai mati dan dapat menjadi suami isteri dalam batin saja."
Bun Sam memeluk isterinya sambil memejamkan matanya.
"Kau benar lagi, isteriku. Kau benar, semoga Thian memberi kekuatan kepadaku, semoga nafsu berahi tidak mengotorkan hatiku. Aku mengerti maksudmu. Kita tak dapat menjadi suami isteri sebelum Lan Giok memaafkan kita...."
"Ya, sebelum Lan Giok memberi ampun kepada kita yang telah menjadi sebab kematiannya."
"Akan tetapi, Lan Giok sudah meninggal dunia, karena itu...." Sian Hwa tak dapat melanjutkan kata katanya saking terharu dan duka.
"Karena itu, setelah selesai tugas kita, kita akan bertapa di tempat sunyi. Kita berdua akan pergi diri dunia ramai untuk bersama sama mencapai Nirwana," Bun Sam menyambung dan Sian Hwa mengangguk.
Mereka dua orang suami isteri yang aneh ini lalu melanjutkan perjalanan ke kota raja. Karena merasa berdosa kepada Lan Giok, baik Bun Sam maupun Sian Hwa menganggap bahwa mereka tidak berhak untuk menjadi suami isteri dalam arti sebenarnya dan rela berkorban perasaan dan menjadi suami isteri dalam batin saja.
Benar benar luar biasa dan sukarlah ditemukan orang orang yang memiliki pribudi tinggi seperti mereka ini.
Ketika Bun Sam dan Sian Hwa tiba di kota raja, mereka menjadi kecewa karena Pat jiu Giam ong dan semua pimpinan Hiat jiu pai telah berangkat menuju ke Lok yang.
Bun Sam tidak tahu tentang tantangan mengadu kepandaian, maka ia tidak mengerti pula mengapa semua orang itu pergi ke lembah Sungai Huang ho itu.
Akan tetapi, ia tidak ambil pusing dan segera mengajak Sian Hwa untuk mengejar.
Agar dapat melakukan perjalanan cepat, ia memondong isterinya itu dan mempergunakan ilmu lari cepatnya yang luar biasa!
Lembah Sungai Huang ho di dekat Lok yang disebut Lembah Maut memang amat berbahaya. Boleh dibilang tidak ada manusia yang berani mencoba untuk naik di lembah yang tinggi dan penuh batu karang ini. Selain batu batu karang di situ runcing dan tajam seperti tombak dan pedang, juga tempat itu licin dan curam sekali. Sekali saja orang terpeleset, kalau tidak tubuhnya akan pecah pecah kulitnya terkena batu batu karang, juga ia boleh jadi hancur terjungkal ke bawah dan menimpa batu batu di pinggir sungai, atau hanyut oleh air Sungai Huang ho, atau disambar oleh ikan ikan besar.
Pada siang hari itu, dua sosok bayangan orang tengah duduk berhadapan di atas batu karang yang bentuknya seperti bangku. Mereka duduk tak bergerak, tetapi mereka bicara perlahan.
"Kim Kong, adakah kau melihat perbedaan antara Lan Giok dan Cui Kim?"
Kakek yang duduk di hadapan Mo bin Sin kun menggeleng kepalanya. "Memang, seperti juga Cui Kim yang hingga kini tetap kukagumi, Lan Giok adalah seorang gadis yang berhati mulia, bersih, dan gagah berani."
"Dan semua itu karena kesalahan Bun Sam, bukan" Seperti juga dahulu dalam persoalan Cui Kim, semua adalah karena kesalahan Han Kong, bukan?" tanya Mo bin Sin kun.
Kim Kong Taisu menarik napas panjang.
"Kalian orang orang wanita selalu mau dimenangkan dalam urusan cinta."
"Yaaah, memang demikianlah seharusnya karena wanita terbelenggu oleh kesetiaan dan kesusilaan, sudah menjadi haknya untuk menjadi ratu yang tersuci dalam soal cinta dan perjodohan. Aku tak dapat berkata sesuatu tentang Bun Sam, karena dia telah kuusir dan tidak kuakui sebagal murid lagi!"
Kim Kong Taisu nampak berduka sekali ketika ia mengucapkan kata kata ini.
Pada saat itu, dari jauh datang serombongan orang ke arah lembah maut. Baik Kim Kong Taisu maupun Mo bin Sia kun yang duduk bercakap cakap, tahu akan hal ini dan tahu pula bahwa yang datang itu adalah rombongan fihak musuh yang jumlahnya belasan orang. Akan tetapi mereka tidak takut dan tidak menghiraukan.
Kemudian setelah empat orang dari rombongan itu berlompat lompatan di atas batu batu karang dengan gerakan lincah sekali, sedangkan yang lain lain menanti di bawah, tiba tiba Mo bin Sin kun menjadi pucat dan bangkit berdiri.
"Thian Giok! Mereka menawan muridku !" katanya.
Ternyata memang betul, yang datang itu adalah Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu, Pat jiu Giam ong Liem Po Coan, dan Sam thouw hud. Adapun orang ke empat adalah Thian Giok yang dipegang lengannya oleh Lam hai Lo mo dan dibawa berlompat lompatan.
Setelah berada di bawah batu karang di mana Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu berdiri, Lam hai Lo mo dan kawan kawannya berhenti lain berkata,
"Ha, ha, ha, dua orang tua bangka sudah menanti di atas" Bagus, bagus!"
"Hm dengarlah kalian Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu. Kalian lihat siapa yang telah kami tawan ini."
"Siluman curang tak tahu malu, Lam hai Lo mo! Tidak malukah kau" Tidak merahkah mukamu melakukan hal yang amat rendah ini" Kau dan kawan kawanmu bukan orang orang gagah, melainkan ular ular jahat yang curang. Kalau kau sudah berani menantang pibu, mengapa sekarang kau berlaku curang dan menawan seorang anak anak" Lepaskan dia dan naiklah ke sini untuk mengadu kepandaian kalau memang bukan seorang siauwjin (orang rendah) yang berjiwa pengecut!" Mo bin Sin kun memaki maki marah.
Lam hai Lo mo tertawa mengikik.
"Sudah menjadi lazim bagi manusia untuk mencela orang lain tanpa melihat cacad cela dirinya sendiri dan agaknya kaupun mempunyai kebiasaan macam itu juga Mo bin Sin kun! Dengarlah kau, buka telingamu baik baik! Muridmu ini telah menyebabkan muridku Gan Kui To dan keponakanku Liem Swee tewas, oleh karena itu ia kutangkap dan kubawa ke sini. Akan tetapi, aku bukanlah orang macam kau yang meributkan soal mati dan hidup. Kalau kau dan Kim Kong Taisu mau mengaku kalah terhadap aku dan mau menjadi anggota Hiat jiu pai dan bersumpah di sini, aku akan melepaskan muridmu dan mengampuninya. Nah, jawablah!"
Mendengar bahwa Thian Giok sudah menyebabkan kematian dua orang pemuda itu, bukan main kagetnya Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu. Dua orang gagah ini tahu bahwa kepandaian Thian Giok biarpun tidak rendah dan belum tentu kalah oleh murid murid Lam hai Lo mo dan Pat jiu Giam ong, namun tak mungkin Thian Giok dapat membunuh dua orang muda itu di hadapan tokoh tokoh besar ini!
Oleh karena itu, Mo bin Sin kun merasa ragu ragu dia tidak percaya akan omongan Lam hai Lo mo, karena ia sudah tahu akan kelicikan dan kecurangan kakek itu. Maka ia lalu menoleh kepada Pat jiu Giam ong dan bertanya, "Jenderal, betulkah apa yang dikatakan oleh suhengmu itu?"
Dengan muka merah saking marahnya, Pat jiu Giam ong mengangguk.
"Memang puteraku tewas karena muridmu!"
"Aku masih ragu ragu. Coba kanceritakan apa yang telah terjadi." kata Mo bin Sin kun.
Pat jiu Giam ong tahu bahwa Mo bin Sin kun tidak mau percaya kepada Lam hai Lo mo, maka ia lalu menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi.
Ternyata bahwa setelah gagal menyerang Bun Sam di kelenteng dan bahkan terpukul hatinya melihat Bun Sam dan Sian Hwa menyerahkan mati hidup mereka di tangannya, Thian Giok lalu cepat pergi mencari Pat jiu Giam ong dengan maksud hendak mengadu nyawa. Akan tetapi baru saja rombongan Pat jiu Giam ong berangkat, maka ia cepat mengejar.
Karena ia melakukan perjalanan cepat, sedangkan rombongan Pat jiu Giam ong tidak tergesa gesa, akhirnya ia dapat menyusul dan melihat Liem Swee dalam rombongan itu, naiklah amarah dalam hati Thian Giok. Kalau tidak ada Liem Swee yang memaksa Sian Hwa menjadi isterinya, agaknya takkan pernah terjadi hal hal yang amat menyedihkan itu, yakni kematian adik dan ayahnya.
Maka tanpa banyak cakap lagi ia menyerang Liem Swee. Baiknya ada Pat jiu Giam ong yang dengan mudah merobohkannya. Liem Swee mencabut kim siang to (sepasang golok emas) dan hendak membunuh Thian Giok.
Akan tetapi, tiba tiba Kui To mencegahnya. Kui To melihat persamaan Thian Giok dengan adiknya, yakni Lan Giok yang dicintainya, tidak tega membiarkan Thian Giok, sehingga kebenciannya terhadap Liem Swee menjadi jadi. Ia lain menggunakan kekerasan, sehingga golok di tangan Liem Swee terpental. Hal ini menimbulkan kemarahan dalam hati Liem Swee yang segera menyerang Kui To.
Pertempuran terjadi, akan tetapi mana Liem Swee dapat melawan Kui To! Kepandaian murid Lam hai Lo mo ini lebih tinggi dan sebentar saja, Liem Swee menggeletak tak bernyawa lagi terkena pukulan tongkat di tangan Kui To. Hal ini terjadi cepat sekali sehingga orang orang tua yang berada di situ tak tempat mencegahnya.
Melihat puteranya binasa, tentu saja Pat jiu Giam ong menjadi marah sekali, sehingga sekali serang saja ia membikin kepala Kui To pecah! Lam hai Lo mo hendak membela dan hampir saja kedua orang kakak beradik seperguruan ini baku hantam sendiri. Baiknya ada Sam thouw hud yang memberi ingat kepada mereka dan akhirnya kedua orang ini lalu membawa Thian Giok, melanjutkan perjalanan ke lembah maut setelah mengubur jenazah Liem Swee dan Kui To.
Adapun Thian Giok yang melihat kematian Liem Swee dan Kui To, menjadi puas sekali dan di sepanjang jalan pemuda ini tertawa dan mengejek musuh musuhnya! Tentu saja Pat jiu Giam ong tidak menceritakan sejelas jelasnya kepada Mo bin Sin kun, hanya menceritakan bahwa Thian Giok telah datang mengacau dan berlaku curang, sehingga dua orang muda itu telah mengalami kemarahan dan saling bunuh!
Setelah mendengar penuturan Pat jiu Giam ong yang lebih jujur dan dapat dipercaya daripada Lam hai Lo mo, Mo bin Sin kun lalu berkata, "Kau menghendaki kami masuk menjadi anggauta Hiat jiu pai" Hah, kalian ini mengira kami orang orang macam apakah" Lebih baik kau melepaskan Thian Giok dan aku mau membikin habis perkara kematian Lan Giok, karena kalian berdua juga sudah kehilangan murid dan anak. Hatiku puas sudah!"
Tiba tiba Lam hai Lo mo tertawa tawa.
"Ha, ha, kau menghendaki supaya aku melepaskan muridmu ini" Nah, kau lihatlah!" sambil berkata demikian Lam hai Lo mo lalu melemparkan tubuh Thian Giok ke bawah! Batu batu karang yang runcing dan tajam menyambut tubuh pemuda itu dari tempat yang amat tinggi den dalam keadaan tertotok, maka tentu saja pemuda ini tak dapat menyelamatkan dirinya lagi!
"Bangsat tua....!" Mo bin Sin kun memekik marah dan sekali renggut saja ia telah melepaskan kedoknya dan mengeluarkan sepasang senjatanya, yakni cermin dan sabuk merah. "Kalau hari ini aku tidak membunuhmu, matipun aku tidak dapat meram!" Dari tempat yang begitu tinggi, Mo bin Sin kun lalu melompat ke bawah. Sungguh ginkang yang amat mengagumkan sekali.
Kim Kong Taisu tidak tinggal diam dan menyusul kawannya, melompat turun, sehingga kini dua orang ini telah berhadapan dengan Lam hai Lo mo dan kawan kawannya.
Melihat Mo bin Sin kun tanpa kedok, Lam hai Lo mo dan Pat jiu Giam ong tertegun dan menjadi pucat. Ternyata bahwa dugaan Lam hai Lo mo dahulu tidak salah. Yang berdiri di hadapan mereka, masih tetap nampak cantik jelita, adalah gadis gagah perkasa yang dulu mereka lihat sudah menggeletak tak bernyawa di dasar jurang! Gadis yang dulu mereka permainkan dengan pertolongan ilmu hitam dari Lam hai Lo mo!
"Cui Kim.......!" Lam hai Lo mo dan Pat jiu Giam ong menyebut nama kecil Mo bin Sin kun hampir berbareng dan keduanya lupa bahwa mereka menghadapi lawan lawan yang amat lihai.
"Ya, aku Cui Kim dan sekarang majulah kalian. Kita bertempur seorang lawan seorang dalam sebuah pibu yang jujur. Setan tua, kau boleh pula mempergunakan ilmu hitammu kalau kau mau, aku tidak takut!" kata Mo bin Sin kun kepada Lam hai Lo mo yang memandang pucat.
"Sute, kau majulah menghadapinya, biar aku menghadapi Kim Kong Taisu!" kata Lam hai Lo mo dan dari kata katanya, mudah didengar bahwa kakek yang selamanya tidak mengenal takut ini, sekarang merasa ngeri kalau harus menghadapi Mo bin Sin kun!
"Suheng, kaulah yang menghadapinya. Kau yang bertanggung jawab penuh untuk menghadapi Cui Kim!" kata Pat jiu Giam ong Liem Po Coan, sehingga terdengar aneh pula karena jenderal yang tinggi besar dan kosen inipun memperlihatkan sikap takut takut!
Kim Kong Taisu tertawa geli.
"Ah, benar benar lucu. Kini kalian dua orang tua bangka ketakutan seperti anak kecil melihat setan! Siapa menanam pohon, dia sendiri memetik buahnya. Apakah benar benar kalian dua orang yang berhati kejam dan keras takut menghadapi Cui Kim?"
"Kakek sombong, siapa takut" Akulah yang akan menghadapinya," tiba tiba Sam thouw hud melompat maju menghadapi Mo bin Sin kun dan kedua tangannya telah memegang kebutan dan Kim liong pang.
Kini setelah bersiap sedia dan memegang senjata, hwesio Tibet ini tidak merasa jerih kepada Mo bin Sin kun, apalagi setelah Mo bin Sin kun melepaskan kedoknya sehingga tidak kelihatan menyeramkan seperti biasanya, bahkan kelihatan cantik dan bersih.
"Sam thouw hud, kau sudah ingin mati" Baik, majulah!" Mo bin Sin kun menggerakkan cerminnya di depan dada sambil memasang kuda kuda.
Sebelum kedua orang gagah ini menggerakkan senjata masing masing, tiba tiba dari bawah batu karang itu melompat keluar sesosok bayangan yang lincah sekali dan tahu tahu seorang pemuda telah berdiri di situ. Pemuda ini bukan lain adalah.... Thian Giok.
Tentu saja semua orang membelalakkan mata mereka dengan penuh keheranan. Bagaimana Thian Giok yang tadi dilemparkan ke dalam jurang yang demikian tingginya mendadak bisa hidup kembali dan melompat naik"
Jawabannya segera terdapat dengan munculnya bayangan lain yang gerakannya demikian cepat dan luar biasa, yang melompat dari bawah batu karang itu sambil memondong seorang gadis. Orang ini bukan lain adalah Bun Sam yang memondong Sian Hwa. Pemuda perkasa inilah yang dengan kebetulan sekali sudah tiba di bawah batu karang ketika ia melihat tubuh seorang pemuda terlempar dari atas. Dengan cepat Bun Sam melompat dan menyambar tubuh pemuda itu dan alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa pemuda itu adalah Thian Giok yang berada dalam keadaan lumpuh tertotok.
Cepat ia memulihkan jalan darah pemuda ini dan mendengar apa yang terjadi di atas batu karang, yakni Lembah Maut.
Setelah keadaan Thian Giok sehat kembali, dengan pertolongan Bun Sam, Thian Giok dibawa melompat ke atas dan setelah hampir tiba di atas batu karang Bun Sam melemparkannya dengan tenaga luar biasa, sehingga Thian Giok dapat tiba di atas dengan selamat. Kemudian Bun Sam melompat turun dan naik lagi ke atas sambil memondong Sian Hwa yang tadi ditinggalkan di bawah ketika ia menolong Thian Giok melompat ke atas.
Melihat Lam hai Lo mo, Pat jiu Giam ong dan Sam thouw hud, Bun Sam tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia maju berlutut di depan Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu yang hanya memandang dengan mata terharu, tetapi tidak mengeluarkan sepatah katapun. AdapunMo bin Sin kun bahkan membuang muka.
Akan tetapi Bun Sam tidak merasa tersinggung, bahkan dengan tenang pemuda ini berdiri lagi lalu menghadapi tiga orang lawan itu. Sambil tersenyum menyindir Bun Sam berkata,
"Hiat jiu pai benar benar berdarah tangannya. Orang orang tua budiman dan mulia dari Oei san dan Sian hwa san terlampau tinggi untuk beradu tangan dengan tangan kalian yang berdarah. Marilah hadapi aku, kita sama sama bertangan darah," katanya dengan suara tenang dan tabah.
Melihat munculnya pemuda ini, Pat jiu Giam ong merasa terkejut dan juga gelisah. Pemuda ini telah memiliki kepandaian hebat, terbukti pula dari caranya tadi melompat ke atas sambil memondong puteri Bucuci atau bekas muridnya itu dan ternyata bahwa pemuda itu telah dapat menolong Thian Giok pula.
"Orang muda she Song. Kau tak berhak datang ke tempat ini. Ini adalah pertemuan pibu antara Lima Besar dan kau bukan seorang murid dari kelimanya. Kau orang luar mana boleh mencampuri urusan kami" Kau pergilah, kelak kalau urusan ini sudah beres, boleh saja kau datang kepada kami untuk menantang pibu!"
Bun Sam tertawa. "Justeru dalam hal inilah kau salah besar, Liem goanswe. Kau keliru kalau bilang bahwa aku adalah orang luar, karena aku datang mewakili suhu."
Mau tak mau, Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu memandang ke arah pemuda itu. Kedua orang tua ini tahu bahwa Bun Sam kini nampak maju kepandaiannya, tetapi bagaimana pemuda ini akan sanggup menghadapi seorang di antara tiga lawan yang lebih tinggi tingkatnya itu?"
"Siapa suhumu?"
"Siapa saja yang mau mengaku murid padaku," jawab Bun Sam sambil mengerling ke arah Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu.
Pat jiu Giam ong hendak bertanya kepada Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu, karena ia pun telah mendengar bahwa Bun Sam tidak diakui lagi oleh kedua orang gurunya ini. Ia mendengar dari para penyelidiknya yang mempunyai banyak sekali kaki tangannya di mana mana.
Akan tetapi sebelum ia membuka mulut, ia telah didahului oleh Sam thouw hud. Hwesio dari Tibet ini melihat kesempatan baik.
Sebetulnya, untuk menghadapi Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun, ia tidak takut. Akan tetapi setelah sekarang bertambah seorang lawan yang menantang, mengapa ia tidak memilih yang paling lemah" Kalau dibandingkan dengan Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu tentu saja pemuda ini jauh lebih ringan untuk dihadapi.
"Liem goanswe, biarlah aku yang menghadapi bocah hijau ini! Kalau tidak diberi rasa, dia akan menjadi besar kepala dan tidak baik untuk anak muda jika berkepala besar !" Sambil berkata demikian, Sam thouw hud menyerang Bun Sam dengan Kim liong pang. Toya yang panjang dan berat ini mengeluarkan suara angin menyambar, ketika me mukul ke arah kepala Bun Sam. Kalau mengenai kepala, tak dapat disangsikan lagi tentu akan remuk, karena dalam pukulan ini terkandung tenaga cukup keras dan kuat dapat menghancurkan batu karang !
"Hati hati, koko!" Sian Hwa berseru dan gadis ini berdiri agak jauh dari pertempuran itu.
"Jangan khawatir, moi moi!" kata Bun Sam sambil mengelak dengan seketika, menggerakkan kepalanya, sehingga toya itu menyambar lewat.
Serangan toya itu disusul dengan sambaran kebutan yang ujungnya menotok jalan darah di iga kanan Bun Sam, akan tetapi pemuda ini tanpa mengelak lalu menyentil dengan jari telunjuknya ke arah ujung kebutan itu.
"Cring!" terdengar suara nyaring seakan akan orang memetik senar yang kim (semacam alat musik bersenar) dan bukan main kagetnya Sam thouw hud ketika melihat ujung kebutannya telah putus! Bun Sam ternyata mempergunakan Ilmu Silat Tee coan liok kun hwat yang gerakannya demikian aneh dan lihai, sehingga semua tokoh yang berada di situ tidak dapat mengenal ilmu silat apakah yang dipergunakan oleh pemuda itu!
Pertempuran berjalan makin hebat dan biarpun Sam thouw hud memegang dua macam senjata, namun menghadapi pemuda ini yang bersilat tangan kosong dengan cara yang amat luar biasa, ia menjadi pening juga. Tubuhnya terlalu tinggi dan gemuk, sehingga gerakannya yang harus cepat untuk mengimbangi gerakan Bun Sam itu membuatnya lekas merasa lelah.
Makin lama, gerakan toyanya menjadi makin lambat dan tiba tiba sambil berseru keras, Bun Sam berhasil merampas kebutannya! Pemuda ini lalu memainkan kebutannya seperti orang memainkan pedang dan hasilnya luar biasa sekali!
Hudtim (kebutan) itu menyambar dan mengeluarkan cahaya mengurung gerakan toya dari lawannya. Sam thouw hud merasa seakan akan ia dikurung oleh enam orang yang memainkan hudtim sama lihai dan sama anehnya!
Inilah Ilmu Silat Enam Ilmu Pedang Lingkaran Bumi yang dipelajari oleh Bun Sam dari Bu tek Kiam ong!
"Menggelindinglah kau turun!" tiba tiba terdengar suara Bun Sam dari dalam gulungan sinar kebutan dan disusul oleh pekik kesakitan dari Sam thouw hud.
Kemudian nampak tubuhnya yang gemuk itu betul saja menggelinding turun dari batu karang itu. Orang orang yang berada di bawah segera menyambut dan menolongnya dan hwesio gemuk itu hanya dapat mengaduh aduh, karena biarpun ia tidak terluka hebat yang membahayakan nyawanya, akan tetapi tendangan dari Bun Sam tadi tepat sekali mengenai sambungan lututnya, sehingga sambungan itu terlepas. Juga kepalanya yang gundul beradu dengan batu batu karang, sehingga biarpun ia kebal, namun tetap saja kulitnya rusak dan berdarah.
Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun saling memandaug dengan heran.
Bagaimana bekas murid mereka itu bisa begitu lihai" Adapun Bun Sam kini menghadapi Lam hai Lo mo dan Pat jiu Giam ong sambil tersenyum.
"Sekarang, giliran siapakah yang hendak memamerkan kepadaiannya di sini?" tantangnya.
Pada saat itu, udara yang tadinya cerah tiba tiba menjadi gelap dan mendung berkumpul menutupi matahari. Juga pada waktu itu, musim hujan telah tiba dan di bagian barat telah turun hujan lebat berhari hari lamanya. Udara yang mulai mendung ini disusul oleh suara bergemuruh dan nampak orang orang yang berada di bawah, yakni Koai kauw jit him dan beberapa orang anggota Hiat jiu pai berteriak teriak ketakutan dan semua berlari naik ke atas batu karang.
Ketika semua orang memandang, ternyata bahwa dari sebelah hulu sungai air mengalir dengan dahsyatnya, datang bergelombang besar sekali. Air bah mulai datang.
Keadaan menjadi kalang kabut.
"Tangkap dua orang muda itu !" Seng jin Siansu memberi perintah dan Koai kauw jit him bersama kawan kawannya lalu menubruk maju dan mengeroyok Sian Hwi dan Thian Giok yang berdiri agak bawah dari batu karang itu. Kedua orang muda ini melawan, akan tetapi mereka bukan tandingan Koai kauw jit him dan kawan kawannya, maka sebentar saja mereka berdua terdesak hebat.
Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu berseru keras dan tubuh mereka menyambar ke arah para pengeroyok itu. Terdengar teriakan teriakan keras dan beberapa orang pengeroyok terlempar masuk ke dalam sungai, ditelan ombak yang sudah bergulung gulung datang. Yang lain melihat ini, mundur dan turun kembali, akan tetapi mereka disambut oleh air yang mulai meningkat naik dan merendam batu karang di bagian bawah.
Mereka menjadi serba salah dan saking gugupnya, banyak yang terpeleset di atas batu karang licin itu dan terjebur ke dalam sungai.
Makin hebat datangnya air dan batu karang itu diterjang sampai bergoyang goyang dan beberapa orang yang masih kebingungan itu tak dapat mempertahankan kedua kakinya, lalu terlempar dan jatuh pula ditelan ombak.
Bun Sam melompat cepat dan sekali tangkap saja ia sudah dapat memondong tubuh Sian Hwa.
"Koko, kau tolong Thian Giok.... !" tiba tiba Sian Hwa berkata. Ternyata bahwa biarpun telah memiliki kepandaian tinggi, Thian Giok tak dapat mempertahankan diri di atas batu karang licin yang bergoyang goyang dan iapun terjungkal. Akan tetapi, pemuda ini masih sempat memegangi pinggiran jurang batu karang dan tubuhnya tergantung di pinggir jurang. Bun Sam cepat melepaskan Sian Hwa dan menyuruh gadis itu berjongkok agar tidak terlempar, lalu ia merayap di atas batu karang yang licin sekali mendekati jurang.
Sian Hwa memandang dengan hati berdebar. Ia maklum bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh Bun Sam itu berbahaya sekali, karena sekali saja terpeleset, tentu pemuda ini akan tercebur dalam sungai pula dan kalau hal itu terjadi, jangan harap Bun Sam akan dapat menyelamatkan diri.
"Koko, kau hati hatilah...." katanya dan suara ini membuat Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu menjadi pilu. Mereka juga terbaru sekali melihat pembelaan Bun Sam kepada Thian Giok dan sedikit demi sedikit kemarahan mereka terhadap Bun Sam menipis.
Akhirnya Bun Sam berhasil memegang tangan Thian Giok yang telah berdarah karena batu batu karang yang tajam itu melukai kulit telapak tangannya, lalu Bun Sam menarik tubuh pemuda itu ke atas.
"Berpeganglah erat erat, Thian Giok !" katanya dan setelah tubuh pemuda yang ditolongnya itu berada di atas, ia lalu memondongnya dan melompat ke tengah batu karang yang kini sudah miring.
"Terima kasih, Bun Sam. Dua kali kau menyelamatkan jiwaku," kata Thian Giok terharu.
"Belum cukup untuk menebus dosaku terhadap adik dan ayahmu," jawab Bun Sam.
Pada saat itu, Sian Hwa memekik. Dari belakang menyambar sebatang tongkat dan ternyata secara curang sekali Lam hai Lo mo telah menyerang Bun Sam yang berdiri membelakanginya!
"Curang kau, bangsat tua!" Kim Kong Taisu memaki sambil melompat dan menangkis sambaran tongkat itu dengan pedang Kim Kong kiam yang sudah dipegangnya!
"Traang!" Kim Kong Taisu merasakan tangannya tergetar dan hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan. Dalam hal tenaga, ia tidak kalah oleh Lam hai Lo mo, akan tetapi kedudukannya tadi kalah oleh lawannya dan ia menangkis dalam keadaan miring, maka tentu saja ia hampir mendapat celaka. Sementara itu, Pat jiu Giam ong juga tidak tinggal diam dan mengirim pukulan dengan tangannya yang didorongkan ke arah punggung Kim Kong Taisu.
Kim Kong Taisu terkejut sekali merasakan datangnya sambaran angin pukulan yang dahsyat, ia cepat sekali menangkis dengan mengebutkan ujung lengan bajunya. Akan tetapi, masih saja ia terdorong dan kakek ini jatuh terguling!
Baiknya Mo bin Sin kun melihat keadaan yang berbahaya ini, cepat melompat lalu menyambar lengan Kim Kong Taisu yang segera melompat berdiri lagi dengan wajah merah.
"Tua bangka curang!" Bun Sam telah melompat menghadapi Lam hai Lo mo dan Pat jiu Giam ong, "Tidak malukah kalian" Kalau memang kalian ada kepandaian, ayoh hadapi aku. Aku tantang kalian. Dengar baik baik! Aku Song Bun Sam, orang yang tidak ternama, yang masih bodoh dan hijau, aku menantang pibu kepada Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu dan Pat jiu Giam ong Liem Po Coan! Beranikah kalian, atau takutkah menghadapi aku?""
Bukan main marahnya kedua orang kakek itu mendengar tantangan hebat ini. Wajah mereka sampai menjadi pucat saking menahan marahnya.
"Bocah sombong! Kaukira kepandaianmu sudah paling tinggi?" Lam hai Lo mo membentak.
"Hem, aku tidak mau membunuh seorang tidak ternama. Kau bukan murid Kim kong Taisu, tidak diakui pula oleh Mo bin Sin kun. Kan tidak berhak mencampuri pibu ini!" cela Pat jin Giam ong.
"Bodoh!" Bun Sam berkata. "Tak dapat mendugakah kau, Liem goanswe. Ternyata kau hanya pandai mengatur siasat perang untuk menipu barisan musuh yang lebih kuat secara curang saja! Ketahuilah, aku datang sebagai wakil dari Bu tek Kiam ong, karena aku adalah muridnya. Tahu?""
Mendengar ini, semua orang melengak terheran heran. Pantas saja anak ini demikian gagah dan lihai! Karena tiada waktu lagi untuk banyak bertanya tentang Bu tek Kiam ong, maka Pat jiu Giam ong yang cerdik segera berkata, "Aha, tidak tahunya orang gila itu masih ada dan telah mengirim muridnya. Bagus, kau tadi menantang pibu" Baik, turunlah kita mencoba ilmu tangan kosong. Beranikah kau menyambutnya?" Memang Pat jiu Giam ong cerdik. Ia tahu bahwa kelihatan Bu tek Kiam ong, seperti dapat dimengerti dari julukannya yang berarti Raja Pedang Tanpa Tandingan, adalah dalam ilmu pedang. Maka sengaja ia mengajak bertanding dengan tangan kosong, karena ia mempunyai ilmu pukulan Tiat mo kang yang lihai, yang dapat merobohkan lawan dengan angin pukulannya dari jarak jauh!
"Tentu saja berani, siapa takut kepadamu?" jawab Bun Sam, Pat jiu Giam ong lalu memasang kuda kuda dan karena ia ingin cepat cepat merobohkan lawannya yang muda ini, begitu bergebrak ia telah menjalankan pukulan Tiat mo kang!
Kim Kong Taisu dan Mo bin Sin kun terkejut sekali. Dua orang ini mengerti akan muslihat dari Pat jiu Giam ong, maka mereka memandang dengan penuh kekhawatiran.
Akan tetapi, Mo bin Sin kun berbisik kepada Kim Kong Taisu, Tak perlu khawatir, dia telah mempelajari Soan hong pek lek jiu dari aku dan ditambah dengan kepandaiannya Thai lek Kim kong jiu dari mu, kurasa dia takkan kalah."
Kim Kong Taisu mengangguk angguk menyatakan setuju dan ia menjadi agak lega. Keduanya memandang dengan penuh perhatian, juga bersiap siap untuk mencegah. Lam hai Lo mo menggunakan kecurangan. Adapun Thian Giok dan Sian Hwa memandang ke arah Bun Sam. Thian Giok dengan penuh kekaguman, Sian Hwa dengan bangga dan juga khawatir.
Akan tetapi setelah pertempuran dimulai, tidak saja Sian Hwa yang menjadi khawatir, bahkan Mo bin Sin kun dan Kim Kong Taisu menjadi gelisah sekali. Ternyata bahwa Bun Sam sama sekali tidak mempergunakan ilmu pukulan Soan hong pek lek jiu atau Thai lek Kim kong jiu untuk menghadapi serangan serangan Thiat mo kang dari Pat jiu Giam ong.
Malaikat Maut Tangan Delapan ini mulai penyerangannya dengan pukulan Thiat mo kang, dengan tubuh agak direndahkan kemudian kedua tangannya mendorong ke depan sambil mengeluarkan seruan keras.
Biarpun Sian Hwa dan Thian Giok berdiri jauh, masih juga dua orang muda ini merasai angin pukulan, sehingga mereka cepat mengerahkan lweekang untuk menahan angin ini. Bun Sam menghadapi pukulan maut ini dengan menggunakan kelincahan ginkangnya yang luar biasa. Iapun membalas serangan lawan, tetapi ia menggunakan ilmu pukulan yang ia pelajari dari Bu tek Kiam ong. Mana bisa ia menghadapi lawan yang menggunakan ilmu pukulan lweekang dari jauh dengan ilmu silat ini, karena sebelum pukulannya mendekat lawannya kembali telah melancarkan pukulan hebat dari Thiat mo kang.
Keris Pusaka Sang Megatantra 10 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Tugas Rahasia 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama