Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bloon 4

Pendekar Bloon Karya S D Liong Bagian 4


muka dan jatuh mengusur ke tanah, "Hai . . ," kembali ia
menjerit kaget ketika mukanya seperti dijilati sebuah lidah
yang berair. Cepat ia melonjak bangun. Ah . . . ternyata yang menjilati
mukanya itu seekor anjing yang besar. Tetapi anjing itu tak
dapat bergerak leluasa. Ternyata dia diikat dengan rantai dan
ujung rantai dilekatkan pada dinding guha.
Anjing menyalak-nyalak lalu beringsut-ingsut mendekam
seraya mencawatkan ekor. Persis seperti tingkah anjing yang
ketakutan dan minta pertolongan.
Blo'on kasihan. Dibukanya tali pengikat anjing itu. Tetapi
serentak dengan itu, terdengar dua buah suara yang aneh.
Suara burung menguak dan suara monyet mencuit - cuit.
Setelah beberapa saat, mata Blo"onpun sudah terbiasa
dengan tempat itu. Segera ia dapat melihat seekor monyet
dan seekor burung rajawali terikat dengan rantai. Monyet itu
tak henti-hentinya melonjak-lonjak kegirangan ketika melihat
Blo'on. Anjing besar yang sudah terlepas dari rantai ikatannya
itupun mulai menggigit kakinya dan menarik-nariknya
ketempat monyet dan burung.
"Setan," gumam Blo'on, "tak perlu engkau tarik-tarik, aku
memang hendak melepaskan mereka."
Monyet dan burung rajawali segera dibebaskan dari rantai
yang mengikat kaki mereka pada dinding. Setelah bebas,
monyet terus loncat keatas kepala Blo'on dan menampar nampar kepalanya yang gundul. Sedang burung rajawalipun
terus terbang lalu hinggap diatas bahunya.
"Edan !" Blo'on menjerit seraya menyiak monyet itu
ketanah, "masakan kepala manusia dibuat keplakan, eh . .
setan, engkau anggap bahuku ini sebatang dahan pohon ?" ia
berpaling menegur burung rajawali. Namun burung itu diam
saja. Dan karena tidak menganggunya, Blo'on pun
membiarkan saja burung itu hinggap dibah-nya.
Blo'on memandang dan memeriksa keadaan guha itu. TibaTiba ia menjerit kaget ketika melihat sesosok tubuh harimau
menggeletak ditanah. Cepat ia menghampiri : "Hai, aneh,
badannya harimau tetapi mengapa kepalanya orang . , . hus
eh, seperti aku, mengapa meniru seperti aku ?"
Blo'on teringat kalau ia masih memakai kulit harimau. Dan
keadaan orang yang menggeletak ditanah itupun serupa
dengan dirinya. "Hai, mengapa engkau diam saja" Hayo, bangun !"
disepaknya pantat orang itu. Tetapi orang itu tetap diam tak
bergerak. "Kurang ajar, apa engkau suruh aku memondongmu " Huh,
anjing, gigitlah hidungnya !" karena marah, Blo'on menyuruh
anjing itu. Entah bagaimana, anjing itu seperti mengerti
perintah BIo' on. Ia terus menghampiri muka orang itu lalu
menggigit hidungnya. "Hai, kurang ajar, mengapa hidungnya engkau gigit sampai
putus ?" teriak Blo'on lalu hendak memukul anjing. Anjing
merebah ketanah dan bercawat ekor, pertanda ketakutan.
"Celaka, kalau dia minta ganti hidungnya, kemana aku
harus mencarikan ?" Blo'on mengomel uring-uringan, "oh,
benar, "ia berpaling ke arah anjing yang masih mendekam di
tanah, lalu menudingnya, "anjing, kalau dia minta ganti
hidungnya, hidungmu akan kuambil dan kuberikan
kepadanya!" Anjing itu tak menyahut melainkan mengopat-apitkan
ekornya. Blo'on membungkuk tubuh memeriksa muka orang itu.
Tiba-Tiba ia berseru kaget : "Hai, apa engkau mati " Kalau
tidak mati, mengapa matamu meram saja ?" ia ulurkan
merabah hidung orang itu dan serentak menjeritlah ia : "Hai,
sudah tak bernapas . . . !"
"Celaka!" Blo'on tiba-tiba melonjak bangun dan terus lari
keluar, "kalau diketahui orang, aku tentu dituduh yang
membunuh lagi. Ketua Hoa-san-pay, aku yang dituduh
membunuhnya. Kakek Hoa-san-pay juga aku yang dituduh
menjadi pembunuhi nya. Lalu orang ini, tentu aku juga yang
akan dituduh sebagai pembunuhnya !"
Beberapa puluh langkah dari guha, tiba-tiba Blo' on
berhenti. Dan saat itu anjing, monyet dan rajawalipun
mengikutinya. "Hai, mengapa kalian ikut aku?" hardiknya. Namun ketiga
binatang itu tak mengacuhkan. Mereka diam saja, "hem, sial.
Aku sendiri sukar cari makan, mengapa kalian ikut aku."
Ia terus lanjutkan langkah dan ketiga binatang itupun tetap
mengikutinya. Kalau ia berhenti, merekapun berhenti.
Akhirnya ia kewalahan: "Hm, kalau kalian mau ikut aku, boleh
saja. Tetapi harus cari makan sendiri, mau ?"
Anjing menyalak, monyet menguik dan burung rajawalipun
berkaok. Rupanya mereka menyetujui syarat yang dikatakan
Blo'on. "Bagus, mari kita jalan," seru Blo'on.
Tiba dimulut desa, beberapa penduduk sudah tampak
menyambut: "Mana harimau gadungan itu"
"Ha, apa maksud kalian?" Blo'on terbelalak.
"Hal, bukankah engkau sudah berjanji akan membunuh
harimau gadungan dan menyeret mayatnya kemari ?" teriak
beberapa penduduk. "Ho, benar, benar ! Aku lupa membawa ma yatnya kemari,"
seru Blo'on, "tetapi ..."
"Tetapi bagaimana ?" seru penduduk.
"Tetapi bukankah kalian takkan menuduh aku sebagai
pembunuh ?" "Gila," seru mereka, "justeru kami minta engkau
membunuhnya ?" "0, aku tak bersalah kalau membunuhnya?" masih Blo'on
menegas. "Siapa bilang salah! Justeru harimau gadungan yang jahat
itu harus dibunuh !"
"Awas, kalau engkau tak dapat membunuhnya engkau
sendiri yang akan kami bunuh!" teriak salah seorang
penduduk. "Ya, engkau sendirilah macan gadungan itu" seru pula
seorang lain. "Tutup mulutmu " Blo'on terus berputar tubuh dan lari
kembali ke lembah. Beberapa langkah jauhnya, ia berhenti,
berpaling dan berseru : "Hai, tunggu saja, tentu akan kubawa
mayatnya kemari! Ia terus lari lagi tetapi beberapa langkah jauhnya, ia
kembali berhenti dan berseru keras-keras : "Hai, jangan lupa
sediakan makanan dan minuman lagi untukku!"
Blo'on dengan diiring oleh anjing kuning monyet dan
burung rajawali, kembali ke lembah.' Mayat orang yang
menyaru jadi harimau itu lalui dipanggulnya dan dibawa turun
ke desa lagi. Gemparlah sekalian penduduk kampung itu ketika melihat
penjahat yang menyaru jadi macan.. Rupanya penjahat itu
banyak sekali menimbulkan kerugian pada penduduk, maka
untuk melampiaskan kemarahannya, merekapun memakimaki.
menyepak dan menggebuk mayat penjahat itu.
Karena sampai sekian saat belum juga penduduk itu
mengurus dirinya, Blo'on berteriak: "Sudahlah, sudahlah!
Orang mati masa digebuki terun menerus. Dia sudah mati,
kubur atau lempar saja mayatnya ke jurang supaya dimakan
burung. Tetapi jangan terus menerus disiksa begitu rupa.
Jangan mengurus yang sudah mati, tetapi aku yans masih
hidup ini harus kalian urus !"
Pendudukpun dapat menerima nasehat Blo'on. Mayat itu
lalu dikubur. Kemudian mereka mengurus Blo'on dianggap
sebagai pahlawan yang berja sa telah membebaskan desa itu
dari gangguan penjahat. Blo'on sendiri tak merasa telah
membunuh penjahat itu karena begitu tiba di guha, ia terus
terantuk pada tubuh si penjahat yang sudah rebah menjadi
mayat ditanah. Siapa yang membunuhnya ia sendiri tak tahu
dan memang menganggiap tak perlu tahu. Ia girang karena
dirinya tak dituduh sebagai pembunuh.
Blo'on dipestakan lagi, dijamu dengan makanan dan
minuman yang lezat. Demikian pula dengan ketiga binatang
pengikutnya. Selesai makan, Blo"on minta pakaian. Kulit
harimau dilipat dan disimpan dalam sebuah bungkusan Pikir
blo' on, kelak hendak ia kembalikan kepada si pemburu Him
Pa. Keesokan harinya, setelah mendapat keterangan dan
penduduk. Blo"onpun melanjutkan perjalanan menuju ke kota
Song-hian-koan untuk mencari sinshe yang menurut Him Pa
pandai mengobati orang yang terserang penyakit syarat.
Hoa-san merupakan salah sebuah dari Lima Gunung besar
di negeri Tiongkok (Cina). Disebut Lima Besar karena letaknya
arah. Hoa-san disebut Se-gak atau Gunung Barat. Thay-san
disebut Tang-gak atau Gunung Timur. Jong- san itu Lam-gak
atau Gunung Selatan dan Heng-san sebagai Pak-gak atau
Gunung Utara. Sedangkan Tiong-gak atau Gunung Tengah
ialah Ko-san, gunung yang menjadi pangkalan dari gereja
Siau-lim-si. Hoa-san terletak dikota Hoa-im-koan wilayah Siamsay.
Seterusnya dari kaki gunung, Blo'on terus menuju keutara.
Menjelang petang, tibalah ia disebuah kota. Langsung ia
bertanya pada seorang penduduk tentang sinshe yang pandai
itu. "O, engkau mencari Gan Kui sinshe?" tanya orang itu.
"Entah," sahut Blo'on. Orang itu terbeliak : "Entah " Apakah
engkau tak tahu nama sinshe itu '?"
"Tolol engkau ini !" Blo'on deliki mata, "kalau tahu masa
aku tanya kepadamu ?"
Orang itu tak senang karena dirinya dimaki sebagai orang
tolol. Ia hendak memberi tahu, malah dibentak dan dimaki.
Tanpa berkata ia berputar tubuh lalu ayunkan langkah.
"Hai, kemana engkau !" Blo'on cepat memburu dan
mencekal lengan orang itu. Orang itu hendak meronta tetapi
tak mampu lepaskan tangannya dari cekalan Blo"on.
"Kurang ajar, engkau hendak membunuh aku ?" orang itu
ayunkan kakinya menendang.
Mendengar kata-kata 'membunuh', Blo'on kaget dan
lepaskan tangannya. "Aku tidak membunuhmu ! Jangan menuduh
sembarangan!" teriaknya.
Setelah bebas, orang itu terus lanjutkan langkah, tak
menghiraukan si Blo'on lagi. Blo"on terlongong-longong. TibaTiba anjing kuning, monyet dan burung rajawali serempak
memburu orang itu. Anjing menggigit celananya, monyet
loncat menerkam tengkuk dan rajawali mencengkeram kepala
orang itu. "Tolong ! Tolongngng . . . !" orang itu menjerit-menjerit
ketakutan tetapi tak dapat terlepas dari sergapan ketiga
binatang itu. Blo'on tertawa lalu menghampirinya : "Aku mau
menolongmu asal engkau mau memberi keterangan tentang
sinshe itu, mau ?" Karena tak ada lain jalan, terpaksa orang itu setuju. Blo'on
lalu menyuruh ketiga binatang itu menyingkir. Setelah itu ia
berkata pula : "Aku memang tak tahu nama sinshe itu. Kalau
dia bernama Gan Kui, ya Gan Kui. Pokok dia dapat mengobati
penyakitku. Eh, apakah artinya nama itu ?"
Setelah mendapat penjelasan, rupanya orang itupun
bersikap baik. sahutnya : "Gan Kui artinya si Mata Setan.
Entah siapa namanya yang aseli. Karena pandai mengusir
setan dan mengobati orang dengan dipandang saja maka
orang-orang memberi julukan sinshe Gan Kui kepadanya."
"Dimana tinggalnya ?" tanya Blo'on.
"Dari sini engkau jalan keutara sampai hampir keluar kota.
Dia tinggal diujung kota. Asal engkau melihat sebuah
bangunan yang mirip dengan sebuah biara, itulah rumahnya."
Blo'on menghaturkan tetima kasih lalu meneruskan
perjalanan. Tiba diujung kota, memang ia melihat sebuah rumah bercat
merah yang bentuknya mirip dengan sebuah biara. Diruang
luar tampak beberapa orang sedang duduk, la masuk dan
bertanya kepada orang-orang itu. Ternyata mereka juga
orang-orang yang hendak mengobatkan sakitnya.
Setelah mereka satu demi satu dipanggil, akhirnya tiba
giliran Blo'on. Dia berhadapan dengan seorang tua bertubuh
gemuk, memakai kopiah hitam, berkumis panjang dan
mencekal sebatang pipa huncwe dari perak. Dia segera
menanyai Blo' on apa keperluannya datang kesitu.
"Sinshe aku menderita penyakit aneh," kata Blo'on, "ialah
aku merasa seperti kehilangan ingatanku. Aku tak ingat lagi
siapa diriku siapa namaku dan dari mana asalku . . ."
"O, barangkali engkau gila!" tukas sinshe itu.
"Tidak, aku tidak gila," bantah Blo'on, ''aku masih suka
makan, masih kenal orang, masih tahu kalau sinshe ini
berwajah seperti setan."
Tabib atau sinshe itu terbeliak : "Eh, rupanya engkau
memang benar-benar gila. Kalau tidak masakan orang sakit
berani mengatakan seorang tabib berwajah seperti setan .'"
"Ho, kalau begitu aku keliru masuk ke sini," seru Blo'on,
"bukankah nama sinshe ini Gan Kui?"
"Ya." "Bukankah arti dari kata Gan Kui itu si Mata Setan ?"
Tabib itu terbeliak. "Kalau yang mempunyai mata setan, tentulah bangsa setan.
Salahkah kalau kukatakan sinshe ini berwajah seperti setan ?"
Sitabib Gan Kui merah wajahnya. Tetapi cepat ia
menghapus kemarahannya dengan tertawa: "Ya, ya memang
namaku Gan Kui tetapi itu hanya nama gelaran sedang aku
sendiri tetap seorang manusia seperti engkau."
"O," Blo'on mendesuh.
"Siapa namamu ?" tanya Gan Kui.
"Itu justeru yang ingin kuketahui karena aku lupa. Seorang
nona memberi nama baru kepadaku si Blo'on."
"Tepat sekali," seru tabib Gan Kui, "memang engkau
searang pemuda blo'on. Lalu penyakit apakah yang
sesungguhnya engkau derita ?"
"Sudah kukatakan tadi, aku kehilangan ingatanku tentang
masa yang lampau. Tulunglah sinshe memeriksa dan memberi
obat." "O, baiklah," kata Gan Kui, "mari ikut aku kekamar periksa."


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Blo'on mengikuti tabib itu masuk kedalam rumah belakang.
Ternyata gedung itu mempunyai beberapa belas kamar. Blo'on
dibawa kekamar paling belakang sendiri. Sinshe itu menuju
keujung ruang lalu memutar sebuah tombol. Dinding terbuka
dan tampaklah sebuah titian batu yang menurun kebawah
"Mari," kata tabib Gan Kui seraya menuruni titian. Blo'on
meragu sejenak lalu mengikuti.
Ternyata dibawah titian itu merupakan sebuah bangunan
dibawah tanah yang mempunyai beberapa kamar. Blo'on
dibawa masuk kedalam sebuah kamar gelap. Kamar itu hanya
diterangi sebatang lilin. Dari sebuah almari yang terdapat di
kamar itu, sinshe Gan Kui mengambil seperangkat jubah hitam
dan suruh Blo'on memakai.
"Untuk apa ?" tanya Blo'on.
"Agar dapat kuperiksa apakah dalam tubuhmu terdapat
penyakit biasa atau memang kemasukan setan," kata sitabib.
Blo'on menurut. Ternyata bagian muka dari jubah itu
digambari tulang kerangka manusia dengan cat putih. Begitu
dipakai, seketika Blo'on berobah menjadi sesosok tengkorak.
"Sekarang engkau harus menyebut 'omito-hud' sampai tiga
kali," perintah sitabib. Blo'onpun melakukan perintah itu.
"Bagus," kata Gan Kui, "sekarang julurkan lidahmu."
Blo'onpun menjulurkan lidahnya. Tiba-Tiba tangan tabib itu
mencekal lidah Blo'on terus ditarik.
"Auhhh, aduh . . . !" Blo'on menjerit, "mengapa engkau
hendak menarik lidahku ?"
"Diam!" bentak Gan Kui, "kalau engkau tak suka silahkan
keluar !" Karena ingin sembuh, terpaksa Blo'on menahan sabar. TibaTiba sinshe itu memegang kedua telinga Blo'on lalu dijiwir
sekeras-kerasnya. "Aduhhh !" kembali Blo'on menjerit kesakitan, "awas, kalau
daun telingaku sampai putus, engkau harus mengganti !"
"Engkau tak mengandung penyakit apa-apa, "kata Gan Kui,
"manakah yang engkau rasakan sakit"
"Aku tak sakit, hanya ingatanku yang hilang."
"O, kepalamu akan kuperiksa. Menunjuklah," seru sinshe
itu. Blo'onpun menunduk. Tabib itu mengambil sebuah palu kayu lalu dipukulkan ke
kepala Blo'on, tuk . . . "Aduh .. " Blo'on menjerit kesakitan tetapi sinshe itu tak
menghiraukan. Ia memukul gundul Blo'on sampai duabelas
kali. "Aneh," gumam tabib itu.
"Apa yang aneh ?" tanya Blo'on. "Urat-Urat kepalamu masih
berjalan baik. Buktinya, setiap kali kupukul tentu membenjul.
Itu tandanya masih hidup."
Blo'on meringis. Ia memaki dalam hati: "Setan, kalau
kepalamu kupukul dengan palu, tentu akan benjul juga."
"Kalau begitu terpaksa aku harus memeriksa rohmu," kata
sinshe itu seraya menghampiri almari. Menyimpan palu kayu
mengambil sebuah cermin besar berbentuk segi-delapan.
"Bukalah pakaianmu !"
Blo'onpun menanggalkan jubah hitam dari tabib itu.
"Semua" "Hai, semua" Apa engkau suruh aku telanjang"
"Ya, agar dapat kulihat apakah rohmu Mu masih ada di
dalam tubuhmu. Dengan kaca wasiat Peneropong-roh ini,
tentu dapat kuketahui keadaan rohmu yang sebenarnya."
"Ah, malu ..." "Mengapa malu " Aku orang lelaki dan engkaupun anak
lelaki. Dan lagi disini tak ada lain orang kecuali kita berdua.
Mengapa harus malu?"
"Malu ya malu !" sahut Blo'on kaku.
"Kalau malu ya sudah, silahkan pulang saja. aku tak dapat
mengobati," kata si tabib juga jengkel.
"Ya, sudahlah," kata Blo'on lalu melepas baju dan celananya
sehingga dia telanjang bulat.
"Berdiri tegak kearahku, angkat kedua tanganmu keatas,"
seru tabib itu pula. Blo'on mendongkol sekali. Tetapi apa boleh buat, terpaksa
ia melakukan perintah itu.
Si tabib pun lalu mengacai seluruh tubuh Blo'on dengan
cermin sesi-delapan. Tiba-Tiba ia hentikan kacanya pada alat
kelamin Blo'on. "Hai, mengapa engkau memandang begitu lama ?" Blo'on
malu dan mendongkol sekali.
Tabib itu tertawa : "Ho, kiranya engkau masih perjaka,
bukan ?" "Perjaka bagaimana ?"
"Belum pernah kawin."
"Ya," Blo'on mendengus, "lalu engkau mau apa kalau aku
masih perjaka." Tabib tak mau meladeni. Ia mengacai dada si Blo'on,
setelah itu ia berkata : "Ah, benar, benar. Tak heran kalau
ingatanmu hilang, bung."
"Kenapa ?" Blo'on kerutkan alis.
"Roh-mu telah diambil orang karenanya ingatanmupun ikut
hilang. Tanpa roh, orang tak dapat berpikir.
"Kurang ajar !" Blo'on melengking, "makanya pikiranku
serasa hampa. Lalu siapakah yang mencuri rohku itu ?"
"Itu harus dicari dulu," sahut Gan Kui. .
"Bagaimana mencarinya ?"
"Itu urusanku, engkau tak perlu tahu. Aku dapat mencari
siapa pencurinya lalu kuambil rohmu dan kukembalikan
kedalam tubuhmu." "O, terima kasih, terima kasih, sinshe, "seru Blo'on gembira
ria dan memberi hormat. Sinshe itu terlongong: "Pengobatan disini bukan
pertolongan cuma-cuma. Bukan hanya dibayar dengan terima
kasih tetapi harus dengan uang."
"Ya, ya, tak apa. Pokok aku sembuh, uang itu gampang."
"Berapa engkau sanggup membayar ?"
"Berapa engkau minta ?" balas Blo'on.
"Berapa banyak uang yang engkau bawa ?"
"Uang " O, aku belum membawa. Tetapi begitu sembuh,
aku akan pulang mengambil uang, jangan kuatir."
"Ngaco !" bentak tabib itu, "aku bukan anak kecil yang
dapat engkau permainkan. Ada uang, engkau kuobati. Tidak
punya uang, silahkan pulang !"
Bio'on melongo. '"Eh, bung, apa isi buntalan yang engkau bawa itu?" tibatiba
si tabib berseru sambil memandang bungkusan yang
tersanggul di punggung Blo'on"
"Ini" O, kulit harimau'' jawab Blo'on, "apakah engkau mau
kubayar dengan kulit harimau ini?" ia terus menurunkan
buntalan dan membuka isinya, "jangan kuatir, ambil dulu kulit
harimau ini, setelah sembuh aku segera pulang mengambil,
uang dan kutebus kulit harimau ini. Terus terang,! ini bukan
milikku sendiri." Gan Kui tertegun ketika melihat kulit harimau yang masih
utuh. Tanyanya: "Dari mana engkau memperoleh kulit
harimau itu ?" "Dan seorang pemburu."
"Pemiliknya tentu engkau bunuh, bukan ?" tabib Gan Kui
menegas. "Tidak dia masih hidup. Eh, apa " Engkau bilang aku
membunuh " Tidak, tidak Dia sudah mati sendiri !"
Tabib Gan Kui melongo. Ia tak mengerti ucapan Blo'on yang
simpang siur itu. Semula bilang orang itu masih hidup,
kemudian mengatakan kalau sudah mati.
"Eh, bung," tegurnya, "kalau bicara supaya yang jelas.
Siapa yang masih hidup dan siapa yang sudah mati ?"
"Yang masih hidup, pemburu harimau. Yang sudah mati
manusia harimau. Jelas ?" seru Blo'on dengan garang.
"Apa" Manusia harimau?" Gan Kui terbeliak "Ya, seorang
manusia yang menyaru jadi harimau, tinggalnya dalam guha di
lembah karang." "Setan, engkau yang membunuhnya ?" tabib, itu merah
matanya. "Bukan, aku tak membunuhnya. Dia mati sendiri," kata
Blo'on. "Bagaimana engkau tahu kalau dia mati sendiri?"
"Karena ketika aku masuk kedalam guha, kakiku terantuk
mayatnya yang membujur di tanah dengan tak bernyawa ..."
"Bohong !" tiba-tiba tabib itu mencekik leher Blo'on,
"engkau tentu yang membunuhnya !"
Karena dicekik, Blo'on mendelik matanya. Ia meronta-ronta
hendak menyiak tangan tabib itu. Tetapi gagal. Karena
kesakitan, kaki Blo'on menendang perut si tabib, plak . . .
tabib itu menjerit dan terpelanting jatuh ke belakang.
Kepalanya membentur lantai hingga membenjul.
"Eh, sinshe, mengapa engkau mencekik leherku" Apakah
engkau hendak membunuh aku ?" kata Blo'on seraya
mengangkat bangun tabib itu.
Rupanya tabib itu menyadari bahwa pemuda yang blo"on itu
ternyata memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Tendangannya
tadi benar-benar hebat sekali. Diam-Diam ia mengatur siasat.
"Ah, karena tegang, aku sampai lupa mencekik lehermu,"
katanya dengan nada berobah ramah, "lalu manusia harimau
itu sudah mati ?" "Sudah kubawa kedesa dibawah gunung dan setelah
digebuki penduduk lalu dikubur," kata Blo"on.
"O, bagus! Memang pengganggu rakyat itu harus dibunuh,"
kata tabib Gan Kui, "mengingati engkau telah berjasa kepada
rakyat, maka akupun dapat memberi kelonggaran kepadamu.
Engkau akan kuobati sampai sembuh, setelah itu engkau
pulang mengambil uang. Engkau tentu sungguh akan kembali
kesini, bukan ?" "Tentu," sahut Blo'on, "aku tak pernah bohong"
"Tetapi engkau harus tinggal disini cukup lama. Apakah
engkau sanggup ?" "Berapa lama ?"
"Tergantung dari usahaku merebut rohmu dari pencuri itu.
Untuk mencari si pencuri, memakan waktu tujuh hari. Syukur
kalau bisa lebih cepat. Hal itu tergantung dari tingkat
kesaktian si pencuri. Kemudian untuk mengambil dan
mengembalikan rohmu kedalam tubuhmu, juga akan waktu
tujuh hari. Jadi paling tidak engkau harus tinggal disini
setengah bulan." "Bagaimana kalau aku turut padamu mencari si pencuri.
Apabila ketemu, ambil saja roh itu terus masukkan ke dalam
tubuhku. Bukankah itu dapat lebih cepat daripada aku harus
menunggu disini ?" kata Blo'on.
"Ho, engkau kira aku pergi mencari pencuri itu kemanamana?"
kata sitabib, "ketahuilah. Dalam waktu tujuh hari itu
akan mengadakan sembahyangan untuk memanggil roh dari
sipencuri. Itu-pun tidak-mudah. Kalau dia tak mau datang,
terpaksa aku harus memaksanya. Dan kalau dia lebih sakti
ilmunya, kemungkinan aku juga bisa kalah. Maka engkau
harus tinggal disini agar engkau tidak mengalami gangguan
yang lebih hebat lagi."
Habis berkata tabib itu mengambil secarik kertas kuning lalu
menulis coretan-coretan, ditempelkan di pintu kamar.
"Inilah hu atau jimat penolak setan. Karena rohmu kosong,
engkau mudah dimasuki setan, "kata sitabib lalu menutup
pintu dan terus ngeloyor pergi.
Blo'on seorang diri tinggal dalam kamar yang hanya
diterangi lilin. Jelas ia tahu bahwa kamar itu berada dibawah
tanah Tiba-Tiba ia mendengar dari lain kamar, suara wanita
menangis dan suara seorang lelaki yang tertawa-tawa.
Heran, mengapa ditempat semacam ini terdapat orang
perempuan" ia mulai tak enak. Ketika seorang pelayan kecil
datang mengantar makanan iapun bertanya: "Hai, bung kecil,
kemana sinshe?" "Sinshe berada diatas, masih sibuk menerima tetamu,"
sahut kacung kecil itu. "Tempat apakah ini ?" tanya Blo'on. "Tempat orang sakit
yang perlu dirawat lama."
"Lalu siapakah orang perempuan yang menangis dan lelaki
yang tertawa dilain kamar itu ?"
"Kata sinshe, perempuan itu menderita penyakit kemasukan
setan dan lelaki itu suaminya."
"Engkau bawa apa itu?"
"Makanan dan minuman," kata kacung kecil, lalu berbisik,
"untunglah masih ada untuk tuan. Tadi makanan dan
minuman yang diperuntukkan tuan. karena gelap, telah
kujatuhkan. Terpaksa ku ambilkan lagi yang baru. persediaan
untuk sinshe. Tetapi harap tuan jangan bilang pada sinshe.
Kalau dia tahu, aku tentu dipukuli."
Setelah kacung itu pergi, tanpa banyak pikir, Blo'on terus
melahap makanan itu sampai habis. Setelah kenyang iapun
terus tidur. Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba ia terkejut
mendengar suara orang masuk ketempat itu, dan berhenti
dimuka pintu kamar Blo'on.
"Ah, sebenarnya aku memerlukan sekali pada anak itu. Dia
masih perjaka. Sari perjakanya itu itu kubutuhkan untuk
ramuan obat panjang umur" kata salah seorang yang berada
diluar pintu," tetapi apa boleh buat, karena lotiang yang
meminta, akupun terpaksa rnemberikan."
Blo'on terkejut, la kenal suara itu sebagai nada tabib Gan
Kui. "Huh, setan, dia tabib jahat !" gumam Blo'on dalam hati.
"Ah, engkau masih bisa mendapat lain pemuda. Tetapi bagi
Hoa-san-pay dia penting sekali artinya. Dia berani mengacau
markas kami dan membunuh Beruang-sakti Han-Tiong, salah
seorang tianglo Hoa-san-pay. Maka dia harus kubawa ke
anarkas untuk disembelih dan disembahyangkan di depan
makam Han sute," kata orang yang seorang,
Mendengar itu Blo'on hampir menjerit kaget Ternyata yang
datang itu salah seorang tianglo Hoa-san-pay yang akan
menangkapnya. Celaka.....
"Tetapi bagaimana lotiang dapat mengetahui kalau anak itu
datang kesini ?" tanya Gan Kui. .
"Seorang pemburu bernama Him Pa yang tinggal didaerah
gunung Hoa-san, memberitahukan kepadaku bahwa anak itu
hendak berobat kemari."
"Keparat si Him Pa itu Dialah kiranya yang memberi tahu
kepada kakek Hoa-san-pay ini, "damprat Blo'on.


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lotiang," kata si tabib, "maaf, tetapi karena terpaksa maka
aku memberanikan diri untuk mengatakan hal ini kepada
lotiang. Dalam membuka usaha pengobatan disini, apa yang
kuterima dari orang-orang yang minta obat, tidaklah memadai
dengan ongkos-ongkos yang harus kukeluarkan. Bahkan
sering aku harus memberi obat cuma-cuma kepada orang
miskin. Karena itu aku mohon totiang suka memberi uang
pengganti untuk diri anak itu."
"Hm, berapa engkau minta ?" dengus Naga-besi Pui Kian.
"Tak banyak, cukup seratus tail perak saja."
"Terlalu banyak. Aku hanya membawa dua puluh tail perak,
terimalah," kata tetua kesatu dari Hoa-san-pay seraya
mengeluarkan sekantong perak, hancur dan diserahkan
kepada si tabib. Apa boleh buat, terpaksa Gan Kui menerima Ia tahu bahwa
orangtua dari Hoa-san pay itu amat sakti. Kalau sampai
menimbulkan kemarahannya, tentu runyam. Masih untung
kakek itu mau memberi uang, kalau dia meminta anak itu
dengan paksa, iapun juga tak dapat berbuat apa-apa.
Gan Kui mendebur pintu tetapi tiada penyahutan. Sambil
mengeluarkan seuntai anak kunci, tabib itu berkata : "Anak itu
tentu sudah pingsan. Makanan yang diberikan kepadanya,
kusuruh mencampuri obat bius."
Pintu terbuka dan tabib itu dengan lenggang melangkah
masuk. Ia heran mengapa ruangan itu gelap gelita. Tetapi ia
tak peduli dan langsung menghampiri ketempat tidur. Memang
dilihat sesosok benda terlentang di atas pembaringan.
Ketika tiba di muka pembaringan ia terus ulurkan tangan
hendak menjamah benda itu. Tiba-Tiba tengkuknya dicekik
keras dan mulutnya didekap orang. Sedemikian keras cekikan
itu sehingga ia tak dapat bernapas ....
"Hm, mengapa dia tak keluar lagi ?" gumam Naga-besi Pui
Kian yang masih menunggu diluar pintu, "hai, Gin Kui,
mengapa tak lekas membawanya keluar ?"
Tetapi tiada penyahutan. Waktu Gan Kui minta uang tebusan, Naga-besi Han Tiong
sudah mempunyai kesan tak baik terhadap tabib itu. Dan
setelah masuk kedalam kamar Gan Kui tak keluar lagi, Han
Tiong makin curiga. Ia duga tabib itu hendak main gila.
Mungkin didalam kamar terdapat pintu rahasia untuk
meloloskan diri. Bukankah tabib itu sesungguhnya merasa
sayang untuk melepas anak itu "
"Hm, kalau berani main gila dengan aku," ia terus
melangkah masuk. Kamar gelap dan sesaat ia tak dapat melihat jelas keadaan
dalam kamar itu. Baru berapa langkah ia melalui pintu, tibatiba
punggungnya terasa dilanda oleh segelombang angin
keras. Cepat ia berputar diri seraya menghantam, prak ... Ia
terkejut karena merasa telah menghantam batok kepala orang
sehingga tangannya basah dengan air.
"Darah . . ," serunya makin kaget. Cepat ia menyulut korek
dan astaga . . . Gan Kui terkapar di lantai dengan kepala
pecah ! Kakek Hoa-san-pay menyuluhi kamar tetapi tak melihat
Blo'on. Segera ia tersadar apa yang telah terjadi. Ia duga
waktu masuk kedalam ruang, Gan Kui tentu kena diringkus si
Blo'on. Dan ketika ia masuk, pemuda itu tentu sudah siap
melemparkan tubuh Gan Kui, lalu menyelinap keluar.
"Hm, setan itu dapat mempermainkan aku lagi," secepat
kilat tetua nomor satu dari Hoa-san pay itu terus melesat
keluar, mengejar si Blo'on. Ternyata pintu masuk kedalam
ruangan di bawah tanah itu telah tertutup. Tentulah ditutup si
Blo'on. Pintu itu terbuat dari papan besi.
Darrr . . . dengan kemarahan menyala-nyala kakek dari
Hoa-san-pay itu Kerahkan tenaga-dalam menghantam pintu
penutup. Daun pintu besi itupun mencelat dan terbukalah
lubang diatas titian. Sekali ayun, tubuh kakek Hoa-san-pay
itupun sudah melayang ke atas lalu melesat keluar dari rumah
sitabib. Saat itu rembulan terang. Dengan matanya yang tajam,
dapatlah si Naga-besi Pui Kian melihat jejak si Blo'on yang lari.
Walaupun sudah jauh dan pula pada waktu tengah malam,
namun karena sosok tubuh pemuda itu diikuti oleh tiga ekor
binatang yakni anjing, monyet dan burung rajawali, dapatlah
kakek Hoa-san-pay itu mengenalinya.
Dengan gunakan ilmu gin-kang, berlarilah Naga-besi Pui
Kian mengejar Blo'on. Ternyata Blo'on pemuda itu lari
menurut si pembawa kakinya. Ia tak tahu kemana arah
larinya. Pokok lari kencang, makin jauh makin baik.
Tetapi apabila ia berhenti sebentar dan berpaling ke
belakang, darahnya mendebur keras lagi. Dari sinar rembulan
yang menerangi bumi, dapatlah ia melihat jelas sesosok tubuh
orang yang berlari sepesat angin menyusup jalan yang telah
dilaluinya. Ya, tak salah lagi, tentulah orang itu kakek Hoasanpay. Blo'on tancap gas lagi, lari te kuat-kuatnya.
Angin malam terasa menderu-deru, menampar muka dan
mendesing telinganya. Ia tak menyadairi bahwa sesungguhnya
ia dapat berlari dengan pesat tak kalah dengan orang
persilatan yang memiliki ilmu gin-kang. Itulah sebabnya maka
sampai beberapa waktu, ia dapat mempertahankan jarak
tertentu dengan Naga-besi Pui Kian.
Anjing kuning tetap lari dibelakangnya. Sedangkan monyet
kecil naik di punggung rajawali pun terbang mengikuti jejak
Blo'on. Setelah melintasi sebuah hutan, ia seperti berlari keatas
sebuah puncak gunung. Entah apa nama gunung itu. Sebuah
pegunungan karang. "Hai . . . " Blo'on tiba-tiba menjerit kaget ketika jalan yang
ditempuhnya itu ternyata sebuah jalan buntu., yang menjurus
kesebuah jurang. Menyadari tak mungkin dapat melanjutkan
lari ke muka Blo'on terus berputar diri hendak lari balik. Tetapi
tiba-tiba kakek Hoa-san-pay sudah tiba dihadapannya.
"Ho, hendak lari kemana engkau sekarang?" Naga-besi Pui
Kian menyeringai seraya melangkah maju menghampiri'
"Lo-cianpwe, harap percaya padaku.. Aku tak membunuh
ketua Hoa-san-pay dan kakek yang seorang itu ... .
"Mengapa engkau masih banyak mulut" Kalau aku percaya,
masakan aku mengejarmu sampai disini
"Lalu dengan cara bagaimana aku dapat membuat locianpwe
percaya ?" seru Blo'on.
"Menyerahkan dirimu !" ,
"Akan disembelih ?"
"Ya," sahut Naga-besi Pui Kian seraya tetap maju
menghampiri. Melihat itu Blo'onpun mundur.
"Aku tak mau !" seru Blo'on.
"Boleh," jawab Naga-besi Pui Kian, "asal , engkau mampu
melawan aku sampai lima jurus."
Blo'on gemetar. "Dapat kuringankan lagi asal engkau mau menjawab dua
buah pertanyaanku. Dimana Walet- kuning Hong-ing, murid
perempuan perguruaan Hoa-san-pay itu ?"
"Entah, aku tak tahu karena aku sendiri tergelincir ke dalam
telaga ..." "Siapa yang membunuh Beruang-sakti Han Tiong ?"
"Entah, karena ketika aku memeriksanya, dia memang
sudah mati." "Baiklah," kata tetua nomor satu dari Hoa-san-pay itu,"
sekalipun tak dapat kuberikan keringanan tetapi masih dapat
kuberikan kesempatan kepadamu. Engkau boleh memakai
senjatamu dan melawan aku."
"Tidak, aku tak punya senjata. Kulau cian pwe hendak
menggunakan senjata, silahkan "
Kata-Kata Blo'on itu membangkitkan keangkuhan Naga-besi
Pui Kian, dengusnya : "Hm, engkau kira aku ini orang apa "
Baik, kalau engkau tak punya senjata, akupun akan memakai
tangan kosong untuk mencabut nyawamu !"
"Ih, mengapa engkau berkeras hendak mengambil jiwaku ?"
gerutu Blo'on. "Engkau lebih muda, silahkan engkau menyerang lebih
dulu," seru Naga-besi Pui Kian.
"Tidak mau !" bantah Blo'on, "aku tak mau berkelahi. Kalau
engkau hendak membunuh aku, terserah . . . . "
Naga-besi Pui Kian tahu kalau anak itu memang blo'on.
Percuma saja ia berbanyak kata, Maka ia terus saja membuka
serangan dengan sebuah gerak Rajawali-menerkam-kelinci.
Loncat ambil menerkam. Blo'on ketakutan dan cepat loncat kesamping. Sekalipun
terhindar tetapi tubuhnya teihuyung juga karena deru angin
gerakan tangan kakek itu. Sebelum ia dapat berdiri tegak
Naga besi Pui Kianpun sudah menyusuli dengan sebuah
pukulan Biat-gong-ciang atau pukulan Pembelah-angkasa yang
dahsyat. Naga-besi Pui Kian menganggap Blo'on memiliki ilmu silat
yang tinggi Maka pukulan Biat-gong ciang yang dilancarkan itu
diisi dengan delapan bagian tenaga-dalam. Dan pukulan itu
dapat menghancurkan batu karang pada jarak beberapa
meter. Blo"on tak berdaya lagi
menghadapi pukulan itu. Luas pengaruh pukulan itu
sampai mencapai sepuluh meter keliling. Kemanapun
ia hendak lari tentu tetap
termakan pukul itu. Tiba-Tiba sepercik angin tajam melanda dari belakang. Tajam sekali. Serempak menyusul teriakan seseorang: "Hai,
berhenti dulu. Mengapa seorang kakek tak tahu malu hendak membunuh seorang anak tanggung . , . !"
Sebuah benda warna hitam melayang-layang kearah
punggung Naga-besi. Sebagai seorang tokoh persilatan sakti
sudah tentu Naga-besi Pui Kian dapat mengetahui serangan
gelap itu ditujukan kepadanya.
"Jahanam, mengapa menyerang orang secara begitu
pengecut," Pui Kian menghindar. Dia dapat terlepas dari benda
hitam itu tetapi tidak si Blo'on. Karena menghindar ke
samping, benda hitam itu terus meluncur maju dan tepat
mengenai bahu muka si Blo'on.
"Aduh ..." Blo'on menjerit dan lebih kaget, pula ketika bahu
dadanya tertabur sebuah benda yang amat kuat tenaganya.
Blo'on dapat terhindar dari pukulan Biat-gong-ciang tetapi tak
urung tubuhnya terdorong ke belakang dan, ah ... . tubuh si
Blo"on terdorong ke belakang jatuh ke dalam lembah.
Naga-besi Pui Kian kaget dan cepat berpaling ke belakang.
Demi dilihat yang muncul itu seorang pengemis tua, iapun
menggeram : "Ho, pengemis tua, mengapa engkau berani
lancang menyerang tawananku ?"
Yang muncul itu memang Hoa Sin, pengemis aneh yang
memimpin perguruan Kay-pang.
"Sama sekali tidak," sahut pengemis sakti itu, "aku hendak
mencegah cianpwe karena kulihat tak pantas seorang cianpwe
yang begitu dihormati, ternyata sampai hati juga untuk
membunuh seorang anak yang tak mengerti apa-apa.
Kutimpuk dengan kayu tetapi luput. Yang kena anak itu
sendiri. Sampai anak itu terlempar jatuh ke dalam jurang ....
"Ho, rupanya engkau habis makan hati macan," seru Nagabesi
Pui Kian, "sehingga engkau lancang tangan hendak
mencegah tindakanku."
"Jangan salah faham totiang," sahut Hoa Sin, "aku hanya
hendak mencegah totiang membunuh seorang anak. Karena
totiang dapat menghindari, timpukanku kayu mengenai bahu
anak ini dan diapun terus meluncur kedalam jurang. Aku
benar-benar heran melihat seorang tua bertempur dengan
seorang anak. Aku tak tahu kalau yang bertempur itu totiang.
Maksudku hanya mencegah dan tak menyangka kalau anak itu
terkena kayu yang kutimpukkan dan terjebur kedalam jurang.
Ah, dia tentu binasa ..."
Tanpa menghiraukan Naga-besi Pui Kian yang masih marah,
ketua Partai Pengemis itu terus menghampiri tepi jurang dan
melongok ke bawah. Bergidikiah buluromanya ketika melihat
betapa curam jurang itu sehingga tak kelihatan dasarnya . . .
"Hoa pangcu," tiba-tiba Naga-besi Pui Kian berseru bengis,
"mustahil seorang tokoh berilmu tinggi seperti engkau tak
dapat melihat bahwa yang bertempur itu aku, orangtua dari
Hoa-san-pay yang bernama Pui Kian. Bukankah maksudmu
hendak menolong anak itu ?"
"Pui totiang," sahut Hoa Sin si Pengemis" sakti-jari-enam.
"hari begini malam dan aku masih berada jauh ketika melihat
totiang lepaskan pukulan biat-gong-ciang kepada anak itu. Aku
benar-benar tak tahu kalau totiang . , . "
"Engkau bohong, Hoa paogcu," tukas Naga besi Pui
Kian."bersikaplah sebagai seorang ketua perguruan yang
berwibawa bahwa engkau memang benar-benar hendak
melepaskan anak itu dari tanganku."
"Totiang," jawab Pengemis-sakti Hoa-Sin, "sama sekali aku
tak kenal siapa anak itu, bajai mana totiang mengatakan aku
hendak menolongnya " Eh apa sebab totiang hendak
menangkap anak itu ?"
"Hm, dia telah mengacau markas Hoa-san-pay dan
membunuh salah seorang sute ku. Beruang sakti Han Tiong'!"
"Hai" Hoa Sin melonjak kaget, "benarkah itu" Ah, masakan
seorang anak begitu macam mampu membunuh seorang
tiang-lo Hoa-san-pay yang sakti ?"
"Aku tak membutuhkan kepercayaanmu tetapi tanggung
jawabmu melepaskan anak itu dari tanganku !" tukas Nagabesi
Pui Kian. Pengemis-sakti Hoa Sin terbeliak: "Eh, bukan kah anak itu
sudah binasa didalam jurang Mengapa totiang masih akan
meminta pertanggungan jawabku lagi ?"
Naga-besi Pui Kian mendengus: "Hm, memang anak itu
sudah mati di dasar jurang tetapi kematiannya bukan
disebabkan dari tanganku melainkan dari perbuatanmu. Dan
perbuatanmu itupun sebenarnya bukan hendak membunuhnya
melainkan hendak menolongnya. Dengan begitu jelas engkau
hendak menghina kami orang Hoa-san-pay !"


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, tidak," seru Hoa Sin, "sama sekali aku tak
mengandung maksud begitu. Harap totiang jangan salah
mengerti. Aku hendak mencegah karena ingin tahu
persoalannya. Setelah tahu dia memang bersalah, tentu akan
kupersilahkan totiang membunuhnya. Bahkan kalau perlu,
totiang boleh menitahkann aku membunuh anak itu."
Naga-besi Pui Kian tertawa mengerontang, serunya :
"Memang pada masa akhir ini nama Hoa-san-pay tampak
pudar di mata orang persilatan. Hoa-san-pay selalu menjadi
buah ejekan dunia persilatan ..."
"Ah, tidak, totiang," kata Hoa Sin, "Hoa-san-pay tetap kami
indahkan sebagai salah sebuah dari Tujuh Partai Besar di
dunia persilatan." Pui Kian tertawa dingin: "Itu hanya kata-kata kosong untuk
menghibur hati. Buktinya, saat ini Hoa pangcu telah menghina
Hoa-san-pay ..." "Pui totiang . . . !"
"Naga-besi Pui Kian yang sudah tua, akan mencuci bersih
hinaan itu '." "Ah, totiang, mengapa engkau ..."
"Hoa pangcu, jangan banyak bicara. Mari kita selesaikan
urusan ini secara ksatrya !"
"Totiang ..." "Hoa Sin. sambutlah seranganku ini!" bentak Naga-besi Pui
Kian seraya menghantam.....
---oo0dw0ooo--- Jilid 6 Kate dan Bungkuk. Sebenarnya Pengemis-sakti Hoa Sin sedang dalam
perjalanan mencari jejak putera Kim Thian cong yang hilang.
Hari itu ia tiba di Kabupaten Hoa-im-koan wilayah Siamsay.
Karena sudah tiba di daerah itu, pikirnya sekalian ia datang
saja ke Hoa-san. Sekedar kunjungan persahabatan dan
sekalian menanyakan tentang keadaan ketua Hoa-san-pay
yang tak dapat datang pada upacara pemakaman jenazah Kim
Thian-cong. Pada saat tiba di sebuah bukit, hari pun sudah malam. Dan
ketika mendaki di lereng, ia melihat seorang kakek tua sedang
menyerang seorang anak muda. Dan sebagai seorang tokoh
persilatan yang tajam pandangan, cepat ia dapat melihat kalau
anak muda itu terancam bahaya maut. Mau segera ia
timpukkan sepotong kayu untuk mencegah tindakan si kakek.
Tetapi kakek itu pun sakti. Cepat ia dapat mendengar
kesiur angin yang melanda punggungnya. Dan segera ia pun
menghindar ke samping. Akibatnya si Blo'on yang terdampar
ke dalam jurang. Memang diantara ketujuh Partai Persilatan besar di dunia
persilatan, dewasa itu Hoa-san-pay sedang mengalami masa
kemunduran. Perguruan itu tak mempunyai murid yang
menonjol kepandaiannya dan ketuanya, Kam Sian-hong, pun
lesu semangat. Lebih banyak menyekap diri di dalam gua
pertapaannya daripada turun ke dunia persilatan.
Entah apa yang menjadikan sebabnya, orang luar tak dapat
mengetahui. Apa yang orang dengar, entah apa sebabnya
yang menjadi ketua Hoa-san-pay mengganti Tiang Bi lojin
yang meninggal dunia, adalah Kam Sian-hong murid yang
kedua, bukan Pang To-tik murid yang pertama. Dan sejak itu
Pang To-tik pun tak mau menampakkan diri lagi di dunia
persilatan. Demikian pula dengan sikap Kam Sian-hong yang
tampaknya kurang gairah. Orang hanya dapat menduga-duga, tetapi tak dapat
mengetahui persoalannya yang sesungguhnya. Dengan
adanya peristiwa dalam tubuh perguruan itu maka Hoa-sanpay
pun makin mundur. Banyak desas desus dan ejek
cemoohan dilontarkan orang kepada alamat perguruan Hoasanpay. Tetapi selama itu, fihak Hoa-san-pay tak
mengadakan suatu reaksi apa-apa.
Sebagai tetua dari Hoa-san-pay sudah tentu Naga-besi Pui
Kian ikut prihatin akan keadaan perguruan itu. Dan karena
dikuasai oleh rasa prihatin itu, kakek itu pun mudah sekali
tersinggung perasaannya. Walau pun Hoa Sin sebagai ketua Partai Pengemis sudah
minta maaf dan memberi penjelasan tetapi Naga-besi Pui Kian
tetap merasa terhina. Ia merangkaikan tindakan Hoa Sin itu
sebagai sikap menghina perguruan Hoa-san-pay.
Naga-besi Pui Kian menyerang ketua Partai Pengemis
dengan hebat. Tetapi Hoa Sin tak mau meladeni. Ia tetap
berusaha untuk menghindar.
"Pui totiang, harap berhenti dulu," katanya meminta kepada
kakek yang marah itu. Namun Naga-besi sudah seperti kemasukan setan, la tak
mau menghiraukan kata-kata ketua Partai Pengemis. Bahkan
sambil melancarkan serangan yang makin dahsyat, ia
menghambur ejekan: "Hm, kiranya hanya begitu sajakah
kepandaian dari pangcu Kay-pang itu " Main mundur macam
kura-kura menyurutkan kepala, tak berani menghadapi
lawan!" Setelah menyelinap dari pukulan kakek Hoa-san-pay, tibatiba
Hoa Sin berdiri tegak dan berseru dengan nada bengis :
"Pui Kian, dengarkan. Aku mengalah bukan karena aku takut
kepadamu. Tetapi demi memandang persahabatan antara
Hoa-san-pay dengan Kay-pang. Kita sama-sama partai
sahabat dan sehaluan. Mengapa kita harus saling berhantam
sendiri?" "Lebih baik tak bersahabat daripada bersahabat menderita
hinaan !" Naga besi Pui Kian menutup kata-kata dengan
lepaskan sebuah pukulan Thi-an-lui-oiang atau pukulan
Geledek-menyambar, bum.. Balu karang meledak pecah, tanah dan pasir berhamburan
ke sekeliling penjuru hingga sekitar tempat itu sampai gelap.
Ketika gulungan debu te bal itu hilang, tampaklah dua
pemandangan yang mengejutkan.
Pengemis-sakti Hoa Sin lenyap, Naga-besi Pui Kian duduk di
tanah pejamkan mata . , Apakah yang terjadi "
Ternyata ketika Pui Kian bergerak memukul, Hoa Sin sudah
menduga. Serentak la pun menghantam tanah sehingga debu
berhamburan memenuhi sekeliling tempat itu. Ketika angin
pukulan kakek Hoa-san-pay melanda, Hoa Sin pun sudah
melambung ke udara. Sambil berjumpalitan melayang turun,
ia menimpuk dengan biji tiok-ki atau catur ke arah lutut Pui
Kian. Pui Kian terkejut ketika lututnya terasa terpukul benda kecil
yang keras. Ia menyadari kalau dirinya diserang benda rahasia
oleh ketua Partai Pengemis. Tak mau ia mengerang kesakitan
karena lebih penting mengerahkan tenaga dalam untuk
mempertahankan keseimbangan kakinya yang kena timpukan
itu. Namun lututnya terasa lunglai sekali sehingga tak kuat
menahan tegak tubuhnya. Akhirnya jatuhlah ia terduduk di
tanah. "Hm, jalan darah lututku tentu tertutuk," diam-diam ia
menduga seraya kerahkan tenaga dalam untuk berusaha
membukanya kembali. Demikian keadaan tempat di tepi pegunungan bukit karang
itu segera sunyi senyap lagi. Angin malam berhembus makin
dingin. Tak berapa lama Naga-besi Pui Kian pun ber bangkit.
Memandang ke sekeliling ia tak melihat ketua Partai Pengemis
itu lagi. Ia pun segera ayunkan langkah hendak pulang ke markas
Hoa-san-pay. Tiba-Tiba matanya tertumbuk pada gunduk batu
yang terletak di tepi jalan. Pada batu itu terdapat gurat-gurat
tulisan yang berbunyi : Pengemis Hoa Sin menghaturkan maaf kepada Pui totiang.
Lain hari akan menghadap ke Hoa-san untuk menerima
hukuman. Geram sekali kakek Hoa-san-pay itu. Tetapi diam-diam ia
mengagumi kesaktian ketua Partai Pengemis. Tulisan pada
batu itu dibuat dengan guratan jari tangan! Suatu pertanda
betapa hebat ilmu tenaga dalam pengemis sakti itu.
Naga-besi Pui Kian menghela napas, tundukkan kepala dan
lanjutkan langkah . Bukit karang itu disebut Hek hou-san atau gunung Macan
Hitam. Disebut bukit Macan Hitam karena memang di daerah
pegunungan itu banyak dihuni kawanan macan hitam yang
bersarang di dalam guha-guha karang yang banyak terdapat
di pegunungan itu. Diantara yang paling terkenal menyeramkan ialah lembah
Hek-hou-ko atau lembah Macan Hitam. Sebuah lembah yang
menyerupai jurang. Mulut jurang tidak berapa luas. tetapi
dalamnya sampai mencapai ratusan meter sehingga apabila
orang berdiri ditepi jurang dan melongok ke bawah, hanya
seperti sebuah kawah hitam yang tak kelihatan apa-apa.
Memang jarang dan boleh dikata tak ada seorang penduduk
yang berani turun kedalam jurang lembah Macan Hitam itu.
Kecuali menjadi sarang harimau hitam, pun banyak juga
terdapat bangsa ular beracun.
Tetapi sebenarnya jurang Macan Hitam itu mempunyai
seorang penghuni manusia. Seorang kakek yang amat tua
renta, umurnya sudah lebih dari seratus tahun. Tubuhnya
pendek sekali, tingginya hanya satu meter lebih sedikit. Yang
aneh. kakek pendek itu rambut kepala, kumis dan jenggotnya
masih hitam. Sejak lima hari yang lalu, kakek jenggot hitam itu menerima
kedatangan seorang tetamu. Juga seorang kakek tua renta
yang usianya sebaya dengan kakek pendek,
Diantara kedua kakek itu terdapat hal yang menyolok sekali
bedanya. Kalau tuan rumah seorang kakek yang bertubuh kate
dan berambut hitam adalah tetamunya seorang kakek yang
berpunggung bungkuk. Sebuah benjolan daging bundar besar
hinggap di punggungnya. Rambut kepala dan kumis serta
jenggotnya putih semua. Kakek bungkuk itu tinggal di gunung Hok-gu san atau
gunung Kerbau Mendekam. Dan tempat itu memang sesuai
dengan penghuninya. Sepintas pandang, kakek bungkuk itu
memang menyerupai seekor kerbau yang tengah mendekam
di tanah. Ah, biasanya orang yang datang berkunjung ke rumah
orang, tentulah karena bersahabat. Kakek dari lembah Macan
Hitam dan kakek dari lembah Kerbau Mendekam, memang
sering kunjung mengunjungi. Tiap tahun mereka bergantian
saling mengunjungi. Tahun yang lalu kakek Macan Hitam yang
berkunjung ke lembah Kerbau Mendekam. Tahun ini kakek
lembah Kerbau Mendekam yang datang ke lembah Macan
Hitam. Ah, sungguh manis sekali hubungan kedua kakek itu.
Mereka tentu sahabat yang kental dan rukun. Tetapi apabila
anda menyangka demikian, itu salah.
Kedua kakek yang tampaknya begitu rukun dan karib
ternyata bukan bersahabat tetapi saling bermusuhan. Musuh
bebuyutan. Ya, memang aneh tetapi nyata.
Sudah berpuluh-puluh tahun mereka melangsungkan
permusuhan bebuyutan itu. Tiap tahun mereka bergantian
datang berkunjung untuk melangsungkan adu kepandaian.
Adu kepandaian itu berlangsung sampai beberapa hari.
Setelah sama mengakui bahwa kepandaian mereka
berimbang, yang satu tak dapat mengalahkan yang lain,
barulah mereka berjabat tangan. Duduk minum arak, makan
enak. Setelah itu baru berpisah. Suatu perpisahan dari dua
orang sahabat yang tampaknya mesra dan karib sekali.
Dunia ini memang penuh dengan manusia-manusia aneh.
Diantaranya ialah kedua kakek itu. Mereka sudah tua renta
tetapi pikiran, ulah tingkah dan bicaranya masih seperti anak
kecil. Mungkin karena usianya yang sudah kelewat tua,
mereka berobah menjadi anak lagi.
"Hai, sahabat Kerbau Putih." seru kakek pendek, sudah
empat hari kita adu kepandaian. Ternyata tangan kita sama
kuatnya, kaki juga sama kuat, mulut sama kuat Sekarang hari
kelima, hari terakhir Kita adu kepala. Kalau masih sama kuat,
bubar. Aku menyediakan arak istimewa untukmu. Lain tahun
kita adu kepandaian lagi. Setuju bukan "
"Ho, ho. Macan Hitam. Tahun ini aku sebagai tetamu.
Sudah tentu aku menurut saja apa kehendakmu. Lain tahun
kalau aku yang jadi tuan rumah, engkau harus menurut
peraturanku." "Tentu, tentu" sahut kakek Macan Hitam, "pokok yang
penting, kita jangan mengingkari janji Mati yang telah kita
buat dengan darah itu."
"Jangan kuatir, Macan Hitam," seru kakek berambut putih,
"takkan kulupa Perjanjian Mati itu."
"Bagus engkau. Kerbau Putih," seru " kakek Macan Hitam,
"sekarang mari kita langsungkan pertandingan hari kelima
atau hari terakhir ini. Kepalaku akan beradu kekuatan dengan
daging bundar di punggungmu itu. Tahun yang lalu, kepalaku
pusing sampai aku jatuh. Tetapi punggungmu juga kesakitan
sehingga engkau pun rebah mencium tanah, bukan ?"
"Ya, benar," sahut kakek Kerbau Putih, "tetapi dalam
setahun ini, daging benjolan punggungku sudah kuperbaiki
dan kuperkokoh dengan tenaga dalam yang lebih hebat.
Apakah kepalamu juga sudah engkau tambah kuat " Kalau
tidak, tentu pecah. Dengan begitu berarti engkau menambah
beban padaku !" "Jangan kuatir, Kerbau Putih," seru kakek Macan Hitam
seraya menampar-nampar kepalanya "cukup keras. Pernah
kucoba dengan batu karang, batu karang yang remuk."
"Ah, sebenarnya aku tak mau berlatih tenaga dalam lagi,
biar daging benjol yang mengeram di punggungku selama
berpuluh-puluh tahun itu hancur saja. Ya, biar dihancurkan
oleh kepala mu" "Manusia licik, engkau ini !" teriak kakek Macan Hitam
seraya deliki mata menuding kakek berambut putih, "engkau
mau cari enak dan hendak mencelakai aku, ya ! Kalau engkau
mati, tentu aku yang harus mengubur mayatmu. Itu saja
masih tak apa. Tetapi kalau engkau mati, lalu siapakah
tetamuku lagi " Bukankah aku akan kesepian tak punya
tetamu " Lalu siapa kawanku bicara " Siapa kawanku
bertanding kepandaian " Ho, kakek Kerbau Putih, jangan
engkau cari enak sendiri, ya !"
Memang kedua kakek aneh itu telah membuat perjanjian.
Perjanjian itu disebut perjanjian Mati. Barangsiapa mati dalam


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertandingan tiap tahun itu, yang hidup harus menguburnya.
Perjanjian Mati itu diteguhkan dengan saling minum darah.
Kakek Macan Hitam minum darah kakek Kerbau Putih, kakek
Kerbau Putih juga minum darah kakek Macan Hitam.
Tiba-Tiba kakek Kerbau Putih melonjak bangun dan balas
memaki : "Ho, engkau kakek tak tahu kebaikan orang !"
Kakek Macan Hitam melongo: "Kebaikan siapa Kebaikanku,
sudah tentu!" teriak kakek Kerbau Putih.
"Kebaikanmu" Aneh, mengapa aku tak merasa, kakek
Macan Hitam garuk-garuk kepala, "kapan engkau antar
kebaikanmu itu kemari ?"
Jika orang biasa, tentu sudah kaku perut atau paling tidak
tentu sudah muntah karena mendengar omongan yang tak
genah dari kakek itu. Tetapi karena keduanya itu memang
kakek yang linglung, yang sinting, yang aneh, yang bego ....
Mereka bicara menurut apa yang dipikirkan sendiri, menurut
gerak lidahnya Tak peduli lain orang yang mendengarkan,
apakah akan tersinggung hatinya, apakah akan merah
mukanya, apakah akan panas telinganya apakah akan
meringis, marah. "Edan," pekik kakek Kerbau Putih." masakan engkau tak
merasa ?" "Huh, kalau merasa, masakan aku bilang tidak !"
"O, benar," kata kakek Kerbau Putih, "tetapi mengapa aku
merasa sudah berbuat baik kepadamu
"Bagaimana kebaikanmu itu ?" seru kakek Macan Hitam.
"Pikir-Pikir, aku kasihan juga kepadamu. Kalau aku mati,
engkau harus mengubur. Engkau tak punya kawan bicara
lagi. Oleh karena itu aku pun lalu berlatih lagi, agar aku
jangan sampai kalah dalam pertandingan tahun ini.
"Ho, jangan sombong engkau, Kerbau Putih, teriak kakek
Macan Hitam, "betapa pun engkau berlatih sampai setengah
mati, tak mungkin engkau mampu mengalahkan kesaktian
kepalaku ini." "Uh, sombong engkau. Macan Hitam," kata kakek berambut
putih, "coba sajalah nanti berapa.
"Setan engkau!" bentak kakek Macan Hitam, "mengapa
terhadap seorang sahabat, engkau tetap mau menyimpan
rahasia ?" Kakek berambut putih mendelik. Ia merasa akan bertanding
kepandaian dengan kakek Macan Hitam, tetapi ia pun merasa
apa yang dikatakan kakek Macan Hitam itu benar. Kakek
Macan Hitam itu memang seorang sahabat. Ah, ia bingung
memikirkan. "'Eh, Macan Hitam, coba engkau bilang, kita ini musuh atau
sahabat?" akhirnya ia bertanya.
"Musuh bersahabat, Sahabat bermusuhan," sahut kakek
Macan Hitam. "Musuh bersahabat, sahabat bermusuhan . . ." kakek
berambut putih mengulang lalu merenung, "o, benar, benar,
tetapi eh, apakah maksudnya itu" Mengapa aku tak
mengerti?" "Tak perlu mengerti, cukup asal engkau mendengar saja !"
kata kakek Macan Hitam. "Lho, orang mendengar tentu harus mengerti" bantah
kakek berambut putih. "Tolol !" damprat kakek Macan Hitam, "coba kutanya
kepadamu. Engkau pernah mendengar kerbau menguak ?"
"Pernah " "Lalu apakah engkau harus mengerti apa arti dari suara
kerbau itu ?" Kakek berambut putih merenung diam. Tiba-Tiba berseru:
"Tidak bisa! Aku orang, mana bisa mengerti suara kerbau ?"
"Itulah," seru kakek Macan Hitam, "engkau cukup
mendengar tak perlu mengerti. Nah, sekarang engkau
dengarkan lagi. Baru-Baru ini aku mengeluarkan dua guci arak
simpanan selama seratus tahun. Coba bilang arak itu enak
atau tidak ?" "Arak makin disimpan lama, makin enak. Orang makin
disimpan lama, makin tua. tidak enak"
"Ho, ho, ho . . . " tiba-tiba kakek Macan Hitam tertawa
gelak-gelak, "bagus, bagus. Sekarang engkau pandai bersajak
juga. Penyair, ya ?"
"Entah apa jadinya," sahut kakek berambut putih.
"Eh, engkau belum belang. Engkau ingin minum arak
simpanan seratus tahun itu atau tidak ?" "Semua !"
Kakek Macan Hitam mendelik : "Ho, dasar kerbau, tentu
rakus. Kalau engkau minum semua, lalu aku minum apa?"
"Tak perlu minum, cukup asal membau baunya.
"Ho, mana bisa " Orang membau, harus minum dong !"
bantah kakek Macan Hitam.
"Gila" seru kakek berambut putih, "sekarang aku yang
bertanya, engkau yang menjawab. Kalau aku kencing, engkau
membau tidak ?" "Belum tentu " kakek Macan Hitam masih ngotot
membantah. "Kalau aku kentut disini, engkau membau atau tidak "'"
Kakek Macan Hitam berdiam sejenak lalu berseru : "Belum
tentu. Harus lihat-lihat anginnya. Kalau aku duduk di sebelah
timur dan angin meniup ke barat, aku tentu takkan membau
kentutmu."- .?"Hm, kalau aku berak disini, engkau tentu membau,
bukan ?" "Kurang ajar ! Tentu saja bau !" teriak kakek Macan Hitam.
"Apakah kalau membau, engkau harus meminum
kotoranku?" "Cabul!" teriak kakek Macan Hitam seraya loncat mundur
dan mendekap hidungnya kencang-kencang "hayo, enyah dari
sini, kakek cabul !"
Kakek Kerbau Putih melongo : "Aku tidak berak sungguh,
hanya bertanya, kalau aku berak apakah engkau tak mencium
baunya. Setan, mengapa engkau mendekap hidungmu" Apa
engkau kira aku berbau busuk ?"
Kakek Macan Hitam lepaskan hidungnya.
Demikian pembicaraan apabila kedua kakek linglung itu
saling bertemu. Setiap persoalan, tentu berlarut
berkepanjangan sehingga apa yang ditanyakan, sering kabur
dengan lain soal. "Eh, Kerbau Putih, karena engkau mengoceh panjang lebar,
aku sampai lupa apa yang hendak kutanyakan kepadamu itu.
Hayo, sekarang engkau harus bertanggung jawab,
memberitahu kepadaku apa yang hendak kukatakan
kepadamu tadi !" Kakek rambut putih terkesiap, kerutkan jidat, merenung.
Tetapi dia lupa. "Ho, goblok benar engkau Kerbau Putih," seru kakek Macan
Hitam, "masakan soal begitu mudah saja engkau lupa ?"
"Ya, memang aku lupa. Cobalah engkau beri tahu
kepadaku, agar aku dapat, mengingatkan hal itu kepadamu."
"Aku tadi bertanya soal arak ..."
"O, benar. Sekarang aku pun akan memberi-tahu apa yang
engkau bilang kepadaku tadi. Ya, engkau bertanya kepadaku
soal arak." "Benar, ah, mengapa aku lupa," seru kakek Macan Hitam.
Pada hal dialah yang ingat soal itu lalu memberitahu kepada
kakek Kerbau Putih. Kakek itu segera memberitahu kepada
kakek Macan Hitam. "Belum cukup !" seru kakek Macan Hitam.
"Kalau begitu, engkau harus memberitahu lagi kepadaku
agar akan dapat menyampaikan kepadamu."
"Huh. aku juga lupa!" seru kakek Macan Hitam "Celaka !
Kalau engkau sendiri lupa, bagaimana aku bisa ingat ?" kakek
Kerbau Putih menggerutu .
"Ah, siapa bilang aku lupa ?" kakek Macan Hitam
menyeringai, "bukankah engkau bilang kalau berhasil
mempelajari ilmu tenaga dalam gaya baru "
"Benar!" seru kakek Kerbau Putih, memang ilmu tenaga
dalam yang kuyakinkan itu luar biasa".
"Engkau harus memberitahu kepadaku apa yang disebut
ilmu tenaga dalam gaya baru itu. Atau arak itu takkan
kusuguhkan kepadamu, akan kuminum sendiri ..."
"Engkau licik, Macan Hitam ! Masakan musuh minta
keterangan tentang kekuatan lawannya. Tetapi, benarkah arak
itu arak simpanan seratus tahun yang lalu, engkau tidak
bohong ?" "Ha, ha," kakek Macan Hitam tertawa bangga, "diseluruh
jagad ini tak ada arak yang lebih hebat dari arak buatanku.
Coba engkau dengarkan, arak-arak yang kubuat itu. Engkau
tentu akan mendelik keheranan. Arak itu .... "
"Bohong ! Bohong !" teriak kakek Kerbau Putih seraya
mendekap telinganya, "tak usah banyak omong, lekas
sebutkan macam arak yang engkau buat itu"
"Hou-thau-ciu, arak Kepala-macan."
"Heh, apa itu ?"
"Kepala harimau direndam arak sampai puluhan tahun.
Khasiatnya minum arak itu, Ukiran terang, ingatan jernih. Nih,
lihatlah aku. Walau pun sudah tua sekali tetapi aku tidak
simpai linglung ..."
"Lalu ?" "Hou gan-ciu atau arak Mata-macan. Minum arak itu, mata
menjadi tajam dan terang sekali"
"Ha.." "Hou-si-ciu atau arak Kumis-macan. Dapat menyuburkan
tumbuhnya rambut Lihat, walau pun umurku sudah se . . . eh,
tua sekali, tetapi rambutku tetap tumbuh subur dan hitam."
Sebenarnya kakek itu hendak mengatakan kalau umurnya
sudah seratus tahun lebih. Tetapi tiba-tiba saja ia teringat
bahwa karena rebutan umur, rebutan lebih tua, dengan kakek
Kerbau Putih, mereka sampai menjadi musuh bebuyutan.
"Ho ..." "Hou-kut-ciu arak Tulang macan, menguatkan tulangtulang,
gigi dan kuku." "Hi..." "Hou-sin-ciu atau arak Ginjal-macan. Minum arak itu, orang
tentu menjadi muda kembali, ingin kawin dengan gadis-gadis
cantik. Kakek tua semacam engkau, dilarang minum arak itu !"
"Heh . . . apa engkau sering minum sendiri ?"
"Berbahaya! Lalu Hou-si m-ciu, arak Hati macan. Minum
arak itu, nyali akan bertambah besar, segala apa tidak takut."
"Hih.." "Dan terakhir, yang paling hebat sendiri, Hou hiat-ciu. arak
Darah-macan. Minum arak itu, darah akan mendidih, tenaga
bertambah kuat berlipat ganda."
"Amboi . . . !"
"Sekarang engkau boleh pilih mau minum arak yang mana,
bung?" Kerbau Putih tak lekas menyahut melainkan merenung
diam. Beberapa jenak kemudian baru berkata : "Aku ingin arak
Hou-sin-ciu saja." "Hai, goblok benar engkau!" teriak kakek Ma can Hitam,
"arak itu arak Kumis-macan, khasiatnya hanya menumbuhkan
dan menghitamkan rambut"
"Memang aku ingin rambutku yang putih ini jadi hitam
kembali." "Mengapa engkau tak minta arak Hati-macan atau Darahmacan
yang dapat menambah tenaga kekuatanmu ?" seru
kakek Macan Hitam. "Tidak perlu," sahut kakek Kerbau Putih, "aku sudah
mendapat ilmu tenaga dalam gaya baru. Tak perlu mencari
tambahan tenaga lagi."
"Kurang ajar, hayo, lekas engkau beritahukan rahasia ilmu
tenaga dalam gaya baru itu. Kalau tak mau, pergilah engkau
dari sini, jangan minta arak kepadaku !"
Kerbau Putih melongo. Untung dia itu juga seorang kakek
linglung hingga tak menyadari kata-kata kakek Macan Hitam
yang gila. Ia malah marah juga : "Setan tua, engkau hendak
mengusir aku " Jangan main-main engkau! Kalau engkau tak
mau memberikan arak itu, sarangmu ini tentu kubakar !"
"Ya, ya, akan kuberi arak itu tetapi sahabatku yang baik,
engkau pun harus memberitahu tentang ilmumu tenaga dalam
gaya baru itu," tiba-tiba kakek Macan Hitam berganti nada
ramah. Mendengar itu kakek Kerbau Putih pun tenang juga : "O,
baiklah, sahabat yang manis. Dengarkanlah Sebenarnya
secara tak sengaja aku telah menemukan cara menimbulkan
tenaga dalam gaya baru itu . . . "
Kakek Macan Hitam makin gelisah tak sabar. Ia berdiri lalu
duduk, berdiri lagi dan duduk pula.
?"Ketika itu aku sakit hampir mati. Dan kukira memang
tentu mati. Aku sampai tak dapat bangun ..."
"Hai, mengapa engkau tak memberitahu kepadaku " Tentu
aku akan datang menolongmu !" kakek Macan Hitam memutus
omongan orang. "Engkau edan !" damprat kakek Kerbau Putih, "sedang
bergerak bangun saja tidak bisa, mana aku dapat
memberitahu kepadamu !"
"O, benar, benar," kata kakek Macan Hitam sambil
menampar-nampar kepala. "Perutku sakit sekali, terpaksa aku paksakan diri merangkak
keluar guha untuk buang air. Tiba di muka guha aku sudah tak
tahan dan berak terus menerus sampai kotoran habis hanya
tinggal berak air. Tetapi tetap tak berhentinya. Sehari terus
berak-berak saja, aku sampai lemas sekali dan rubuh pingsan
di muka guha ..." "O. kasihan benar," kembali kakek Macan Hitam
menyelutuk. "Entah berapa lama aku terhampar pingsan, ketika
membuka mata mukaku basah kuyup dan perutku
melembung. Ah, ternyata karena rebah dengan kepala
menghadap ke atas dan mulut menganga, hujan yang turun
malam itu telah masuk ke dalam perutku. Buru-Buru aku
masuk ke dalam guha lalu duduk menjalankan pernapasan.
Peredaran darah kuhentikan, kusalurkan saja air itu ke seluruh
tubuh, untuk mencuci bersih kotoran-kotoran dalam tubuh Isi
daging benjolan pada punggungku pun kucuci. Eh, di dalam
menjalankan peredaran air itu, aku menemukan sesuatu yang
belum pernah kualami. Kekuatanku bertambah, semangatku
penuh. Kucoba untuk menghantam karang. Eh, mudah juga,
tak kalah dengan pengerahan tenaga-dalam. Lama kelamaan
baru kusadari bahwa selain tenaga dalam yang berasal dari


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengerahan hawa dan darah dalam tubuh, ternyata air dalam
tubuh manusia itu pun dapat dikerahkan dan dibentuk
menjadi suatu kekuatan yang tak kalah hebatnya. Maka
kusebutnya sebagai tenaga dalam gaya baru. Tidak
menggunakan hawa dan darah tetapi dari air dalam badan
manusia ini." "O, hebat," seru kakek Macan Hitam, "tetapi masakan dapat
menyamai kehebatan ilmu tenaga dalam yang biasa ?"
"Nanti engkau dapat merasakan sendiri " kata kakek Kerbau
putih, "Cui-sin-kang atau Tenaga-air-sakti, demikian
kunamakan ilmu itu."
"Huh, jangan berlagak sok, engkau !" tiba-tiba kakek Macan
Hitam marah, "aku pun hendak melatih ilmu itu, tentu dapat
menyamai kepandaianmu."
"Bangsat, engkau hendak mencuri ilmuku " Aku yang jerih
payah dan menderita kesakitan baru dapat menemukan ilmu
itu, sekarang enak-enak saja engkau terus hendak
menjiplaknya !" ''Siapa menjiplaknya " Aku toh belajar sendiri " Aku toh
tidak mencuri ilmumu ?"
Tiba-Tiba kakek Macan Hitam berseru kaget : "Hai, Macan
Hitam, jangan, janganlah engkau belajar ilmu itu. Percuma
dan sia-sia sajalah !"
Kakek Macan Hitam melongo kemudian deliki mata : "Huh,
apa engkau kira aku tak dapat meyakinkan ilmu itu" Lihat saja
besok lain tahun !" "Ha, ha, ha . . . !" tiba-tiba pula kakek Kerbau Putih tertawa
gelak-gelak dan panjang. "Setan, mengapa engkau tertawa ?" seru kakek Macan
Hitam terlongong. "Karena tak mungkin engkau dapat melatih ilmu itu !"
"Mengapa?" seru kakek Macan Hitam makin heran.
"Karena hanya orang yang punggungnya tumbuh benjolan
daging seperti aku ini, baru dapat melatih ilmu tenaga Cui-sinkang
!" "Bohong!" "Aku bicara dengan sungguh, terserah engkau mau percaya
atau tidak !" "Sekarang keluarkan dulu arakmu itu !" seru kakek Kerbau
Putih. "Hai !" tiba-tiba kakek Macan Hitam menjerit dan melonjak,
"celaka, celaka engkau Kerbau Putih!"
Sudah tentu kakek Kerbau Putih melongo. Tanpa sebab
apa-apa, mengapa mendadak sontak Macan Hitam menjerit
dan mengerang seperti orang kebakaran jenggot.
"Engkau gila barangkali. Mengapa engkau menjerit-jerit
seperti orang edan ?" seru Kerbau Putih.
"Lihatlah keluar itu," seru kakek Macan Hitam seraya
menunjuk ke dasar lembah yang merupakan sebuah tanah
datar, "bukankah disana tampak terang benderang " Itulah,
matahari sudah berada di tengah langit, hari sudah tengah
hari !" Kakek Kerbau Putih menurut arah yang ditunjuk kakek
rambut hitam, serunya : "O, lalu maksudmu ?"
"Mengapa engkau masih mengajak aku bicara begitu
bertele-tele saja " Bukankah kita harus menyelesaikan
pertempuran yang terakhir " Atau apakah memang engkau
sudah mengaku kalah ?"'
"Setan tua, siapa bilang aku kalah dengan engkau "
Bukankah engkau sendiri yang terus menerus mengoceh tak
keruan" Hayo, kita mulai saja pertempuran itu !" sahut kakek
Kerbau Putih yang sudah lupa untuk menagih arak kepada
tuan rumah. Memang hampir setengah hari mereka bertele-tele berdebat
dan ngotot tak keruan. Setelah matahari naik di tengah,
barulah kakek Macan Hitam itu kelabakan.
"Hayo," katanya seraya melangkah keluar menuju ke tanah
datar yang letaknya tepat di dasar jurang yang menjurus ke
atas sehingga sinar matahari langsung menimpa kesitu.
Setelah saling mengambil kedudukan mereka lalu saling
merapat. Macan Hitam menundukkan kepalanya. Kerbau Putih
berputar tubuh membelakangi dan songsongkan daging
bundar di punggungnya ke kepala lawan. Sesaat terjadilah
pemandangan yang lucu. Kakek Macan Hitam menunduk,
sorongkan kepalanya ke daging benjol di punggung kakek
Kerbau Putih. Sepintas pandang kepala kakek Macan Hitam itu
seperti menyorong sebuah bantal daging.
Demikian adu kepandaian yang aneh dari dua orang kakek
yang aneh. Pertandingan itu mereka sebut adu tenaga kepala.
Dan sesungguhnya, walau pun orang linglung tetapi kedua
kakek itu memiliki kepandaian yang sakti sekali. Mereka
termasuk tokoh-tokoh luar biasa. Adu tenaga kepala itu
diiambari dengan tenaga dalam yang hebat. Dengan
kepalanya itu, kakek Macan hitam dapat menyorong hancur
batu karang. Demikian pun dengan kakek Kerbau Pulih.
Daging benjol pada punggungnya itu mampu mendorong
rubuh pohon besar. Ternyata kesaktian kedua kakek itu berimbang. Sudah
empat hari lamanya mereka adu kepandaian. Hari pertama
mereka adu tangan. Hantam menghantam, pukul memukul,
cengkam mencengkam dan dorong mendorong dengan
tenaga-dalam. Tetapi sampai malam rembulan tepat berada di
atas mulut jurang, barulah pertandingan itu berhenti tanpa
ada kesudahannya. Demikian pun dengan hari kedua, ketiga
dan keempat. Hari itu adalah hari kelima, yaitu hari yang terakhir.
Menurut perjanjian yang telah disepakati berpuluh-puluh
tahun, pertandingan itu hanya dilangsungkan selama lima hari.
Setelah itu dibubarkan. "Aduh, kurang ajar engkau Kerbau Putih," tiba-tiba kakek
Macan Hitam berseru, "mengapa daging punggungmu
berobah sedingin gumpalan es ?"
"Ha. ha, itulah yang namanya Cui-sin-kang, sahut kakek
Kerbau Pulih, "dalam waktu beberapa jam saja kepalamu tentu
beku dan keras seperti es !"
"Gila," teriak Macan Hitam, "kalau engkau tetap
menggunakan Cui-sin-kang, aku bisa mati !"
"Ha, ha, ha," seru kakek Kerbau Putih, "ka lau memang tak
tahan, bilang saja kalah. Nanti tentu segera kuhentikan Cuisinkang ..." "Kalah " Ho, bukankah kalau kalah aku harus mencium
kakiku dan menyebutmu 'ayah'" Tidak tidak, aku tak sudi.
Masakan aku yang lebih tua harus menyebut ayah kepadamu!"
"Siapa bilang engkau lebih tua ! Pantasnya engkau ini
cucuku. Karena sejak aku lahir, aku tak pernah melihat engkau
hidup. Baru setelah aku menjadi kakek setua ini, engkau
muncul di dunia !" bantah kakek Kerbau Putih.
Demikian kedua kakek yang linglung itu mengadu
kepandaian tenaga dalam sambil berbantah. Sekali pun begitu,
tenaga dalam yang dipancarkan dari kepala dan daging benjol
di punggung kakek Kerbau Putih, bukan kepalang
dahsyatnya. Tampak kakek Macan Hitam itu makin gemetar tubuhnya
Rupanya ia mulai kedinginan menerima serangan Cui-sin-kang
atau Tenaga-dalam-air-sakti yang memancarkan hawa
sedingin es. Berjam-jam lamanya kakek Macan-Hitam itu menggigil
kedinginan. Dan matahari pun sudah silam ke balik gunung,
hari mulai gelap. Tiba-Tiba kakek Macan Hitam menggembor
keras lalu menarik-narik rambutnya, kumis dan jenggotnya.
Berulang kali ia melakukan hal itu.
"Hai, hangat, hangat!" teriak kakek Kerbau Putih, "mengapa
kepalamu mulai hangat?"
Kakek Macan Hitam tak menghiraukan. Ia terus menarik
rambutnya kencang-kencang dan menggerung seperti macan.
Tubuhnya yang menggigil itu pun mulai tenang kembali.
"Kurang ajar, mengapa kepalamu makin panas?" beberapa
saat kemudian kakek Kerbau Putih berteriak kaget.
"Ho, ho, ho," kakek Macan Hitam tertawa meloroh,
"sekarang rasakanlah pembalasanku. Memang Hou-hwat-sinkang
itu baru mau memancar apabila matahari sudah silam."
"Hou-hwat-sin-kang " Apakah itu ?" tanya Kerbau Putih.
"Hou-hwat-sin-kang ialah tenaga dalam sakti dari Rambutharimau.
Jangan kira rambutku yang hitam ini tidak ada
gunanya. Ada, ada gunanya, bung ! Apabila matahari sudah
silam, rambutku itu dapat kutarik khasiatnya yalah
memancarkan tenaga dalam yang kekuatannya seperti tenaga
harimau." "O," desus kakek Kerbau Putih, "mengapa saat matahari
silam baru dapat memancarkan tenaga-dalam."
"Karena sesuai dengan namanya Hou-hwat a-atau rambut
macan, haruslah malam hari dapat digunakan. Bukankah
macan hitam itu baru berkeliaran dan unjuk kekuatan pada
waktu malam hari?" "Kurang ajar, engkau Macan Hitam," teriak kakek Kerbau
Putih, "mengapa engkau diam saja" Bukankah engkau hendak
mengelabui aku" Kapan engkau mendapatkan ilmu semacam
itu ?"' "Baru dalam tahun ini," sahut kakek Macan Hitam, "tetapi
aku lupa bilang. Sekali-kali aku tak bermaksud mengelabuhi
engkau." "Hm, setan tua engkau !" damprat kakek Kerbau Putih lalu
berdiam diri. Jika tadi setengah hari, dari tengah hari sampai petang,
kakek Macan Hitam yang menggigil kedinginan: Sekarang dari
saat matahari terbenam sampai tengah- malam, kakek Kerbau
Putih yang mengerenyut muka karena kepanasan. Kiranya
tenaga dalam yang memancar dari Hou-hwat-sin-kang si
kakek Macan Hitam itu mengandung hawa panas.
Berjam-jam lamanya kakek Kerbau Putih harus menahan
panas sehingga tubuhnya mandi keringat. Memang pada
hakekatnya, tenaga-sakti dari ilmu Hou-hwat-sin-kang itu lebih
unggul sedikit dari Cui-sin-kang.
Tiba-Tiba rembulan tampak menjulang di tengah angkasa,
wajahnya pun tepat terlihat di bawah dasar lembah sehingga
sinarnya dapat mencapai tempat kedua kakek itu bertempur.
Sekonyong-konyong kakek Kerbau Putih menguak-nguak
tak henti-hentinya. Dan beberapa saat kemudian, kakek
Macan Hitam menjerit: "Hai, mengapa tenaga-dalamku
menyurut balik ?" Namun kakek Kerbau Putih tak mau menyahut. Dia tetap
diam saja. "Kerbau Putih, ilmu apa yang engkau keluarkan sekarang
ini?" teriak kakek Macan Hitam pula. Tubuhnya mulai gemetar,
kepalanya agak pusing. "Jawab dulu," sahut kakek Kerbau Putih, "bagaimana
rasanya kepalamu ?" "Pusing, huh, kalau terus begini, kepalaku bisa berputarputar
mengelilingi dunia ..."
"Ha, ha, ha . . ," kakek Kerbau Putih tertawa girang,
"rasakanlah sekarang pembalasanku. Rembulan sudah berada
di tengah, kerbau yang sesat di jalan tak dapat pulang
kandang, tentu akan marah, bukan ?"
"Ya" "Nah, itulah yang dinamakan ilmu Hong-gu-sin-kang atau
tenaga dalam Kerbau-gila. Kepalamu dalam beberapa kejab
lagi tentu akan berputar-putar dan setelah itu engkau tentu
akan jatuh mencium kakiku !"
"Keparat !" kakek Macan Hitam mendamprat lalu ulurkan
kedua tangannya kemuka dan berulang-ulang mencakar.
Bukan mencakar punggung lawan tetapi mencakar tempat
kosong. "Uh, uh," sesaat kemudian kakek Kerbau Putih mendesuhdesuh,
"setan tua, hebat sekali tenaga-dalammu yang
menghalau tenaga dalamku."
"Hou-jiau-sin-kang !"
"Apa " Hou-jiau-sin-kang ?"
"Ya, engkau boleh rasakan betapa kekuatan dari ilmu
tenaga dalam Macan-mencakar itu."
Demikian silih berganti kedua kakek itu mengeluarkan ilmu
tenaga dalam yang aneh-aneh. Ilmu tenaga dalam yang hanya
dimiliki oleh mereka berdua. Dalam dunia persilatan memang
tak terdapat ilmu tenaga dalam yang seaneh itu. Karena ilmuilmu
itu adalah hasil ciptaan mereka sendiri.
Rembulan makin merebah ke barat dan malam pun makin
larut. Tengah kedua kakek itu bertempur mati-matian,
sekonyong-konyong mereka di kejutkan oleh sesosok tubuh
yang menimpa tepat di atas kepala yang melekat rapat
dengan daging panggung. Bluk ....
Yang jatuh itu bukan lain adalah si Blo'on. Karena tertimpuk
banggol kayu oleh Pengemis-sak-ti Hoa Sin, anak itu terlempar
jatuh ke dalam jurang. Dasar
belum takdirnya mati. Saat itu
di dasar lembah sedang berlangsung pertempuran antara kakek Macan Hitam dengan kakek Kerbau Putih.
Dan jatuhnya Blo'on tepat
duduk di atas kepala kakek
Macan Hitam dan daging benjul kakek Kerbau putih.
"Aduh . ." Blo'on menjerit
karena paha kanan menduduki kepala kakak Macan Hitam yang keras. Tetapi paha yang kiri menduduki
daging benjul kakek Kerbau Putih tak terasa sakit.
Kedua kakek linglung itu tidak merasa bahwa ada tubuh
orang yang menduduki kepala dan daging punggung mereka.
Dan mereka pun tak menyangka kalau ada manusia yang
datang kesitu. "Kerbau Putih, ho, engkau hendak menekan kepalaku
supaya pecah, bukan" Jangan ngimpi, rasakan seranganku,"
kakek Macan Hitam menjerit dan memaki-maki. Lalu kerahkan
tenaga dalam untuk menyerang.
"Aduhhh . . . panas sekali !" teriak Blo'on ketika rasakan
paha kanannya dialiri hawa yang amat panas. Ia hendak
mengangkat pahanya tetapi tak dapat. Paha itu seolah-oleh
melekat pada kepala kakek Macan Hitam.
Dari paha kanan, aliran hawa panas itu menyalur ke paha
kiri. Deras seperti arus sungai.


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aduhhh . . . dingin sekali !'" sesaat kemudian Blo'on
menjerit lagi ketika paha kirinya dialiri hawa yang amat dingin,
sedingin es. Ternyata aliran hawa dingin itu berasal dari pancaran
tenaga dalam kakek Kerbau Putih untuk menolak serangan
hawa panas dari kakek Macan Hitam.
Dua buah tenaga dalam yang berlawanan jenis, panas dan
dingin, segera berhamburan mengalir ke paha Blo'on. Paha
yang kanan dilanda arus panas, paha kiri dibanjiri arus dingin.
Kedua jenis tenaga dalam aneh itu berbenturan di tengah lalu
meluap ke perut Blo'on. "Aduh perutku panas ..." Blo'on mendekap perut sebelah
kanan, "aduh yang kiri . . " ia mendekap perutnya bagian kiri.
Blo'on peringisan. Perutnya seperti digodok dan dibenam
es. "Aduh, mati aku . . tiba-tiba Blo'on beralih
"Hola ..." Blo'on menjerit kaget ketika ia jatuh terduduk di
atas kepala kakek Macan Hitam dan hahu kakek Kerbau Putih
yang sedang bertempur mati-matian itu ....mendekap tangan
kiri ke dada kirinya, "dadaku beku . . . !"
"Mampus engkau, setan tua!" tiba-tiba terdengar kakek
rambut putih berteriak girang. Rupanya kakek itu menyangka
kalau yang menjerit kesakitan tadi, lawannya kakek Macan
Hitam. "Aduh, mati lagi aku . . !" sesaat kemudian Blo'on menjerit
dan mendekapkan tangan kanannya ke dada kanan," dadaku
terbakar ..." "Ho, rasakan pembalasanku, Kerbau Putih," teriak kakek
Macan Hitam yang mengira kalau jeritan Blo'on itu berasal dari
kakek Kerbau Putih. Memang kedua kakek itu linglung dan sinting. Mereka tak
merasa kalau kepalanya dan daging punggungnya diduduki
orang. pun mereka tak mau memperhatikan kalau yang
menjerit kesakitan itu bukan lawannya melainkan lain orang.
"Aduh, minta ampun . . kepalaku panas . . mau pecah . . ,"
tiba-tiba Blo'on menjerit kesakitan dan mendekap kepalanya
yang sisih kanan. "Biar pecah . . eh, engkau sudah minta ampun" Mau
mengaku kalah ?" tiba-tiba pula kakek Macan Hitam berteriak.
Dia mengira kakek Kerbau Putih yang menjerit dan minta am
pun. "Aduh, mak, ampun. . kepalaku beku . ." Blo'on berteriak
lagi dan mendekap kepalanya sebelah kiri.
"Setan tua, siapa yang minta ampun" Uh, kurang ajar, aku
orang lelaki mengapa engkau menyebut emak kepadaku "
Kurang ajar, siapa yang kalah! Kalau tak tahan, jangan malu.
Bilang saja, tentu kuampuni . . . ," teriak kakek Kerbau Putih
yang mengadakan serangan tenaga dalam makin hebat.
Kasihan si Blo'on. Dia telah menjadi bulan-bulan sasaran
kedua kakek linglung yang sakti itu. Tubuhnya telah dialiri dua
macam tenaga-dalam, panas dan dingin. Separoh tubuhnya
yang kanan, panas seperti dibakar api. Separoh tubuh yang
kiri dingin seperti direndam es. Untunglah secara tak disadari,
dia telah makan rumput mustika Li-ong-si-jau rumput Kumisnaga
Rumput itu hanya mengeluarkan bunga tiap seribu
tahun. Dengan memakan bunga rumput Liong-si-jau, secara
tak disadari Blo'on telah memiliki tenaga dalam yang hebat,
setingkat dengan tokoh persilatan kelas satu
Tenaga dalam Blo'on mengalami gemblengan yang hebat.
Yang berada di dalam separoh tubuhnya sebelah kanan,
digodok dengan tenaga dalam si kakek Macan Hitam yang
panas. Sedang tenaga dalam Blo'on yang berada ditubuhnya
sebelah kiri, seperti direndam es dari kutub utara.
"Aduh, dadaku beku . . aduh dadaku terbakar . . " Blo'on
menjerit dan berteriak ketika kedua jenis tenaga dalam panas
dan dingin itu turun membanjiri dadanya.
"Mati sungguh aku sekarang . . " Bloon mengerang jerit
terakhir, kemudian ia terkulai rubuh tengkurap di atas kepala
dan daging punggung kedua kakek aneh itu.
Kedua kakek itu tetap tak menyadari bahwa kepala dan
punggungnya dimuati seorang manusia Mereka tetap
menyalurkan tenaga dalam sekuat-kuatnya. Tetapi mereka
pun merasakan sesuatu yang aneh.
Tenaga dalam yang dipancarkan kakek Macan Hitam mau
pun kakek Kerbau Putih, tak pernah kembali. Begitu
memancar keluar, terus hilang. Dengan demikian, perlahan
tetapi tentu, tenaga dalam mereka pun mulai berkurang,
makin habis. Menjelang terang tanah, tenaga dalam kedua kakek itu
benar-benar habis. Bluk. bluk, bluk . . . terdengar tiga buah
suara dan tubuh manusia yang jatuh ketanah. Kedua kakek itu
karena tenaga-dalamnya habis, terjerembab jatuh terduduk
ditanah. Sedang karena kedua kakek itu lepaskan kepala dan
punggungnya maka Blo"on pun jatuh rebah di atas tanah.
Kedua kakek duduk pejamkan mata, menyalurkan
pernapasan dan mengembalikan tenaganya. Blo"on
menggeletak tak ingat diri.
Beberapa waktu lamanya, kedua kakek itu serempak
membuka mata. Demi melihat sesosok tubuh manusia rebah di
hadapan mereka, kakek Macan Hitam melonjak bangun : "Hai,
harimau . . !" la terus mencengkeram Blo'on.
"Kerbauku ..." teriak kakek Kerbau Putih terus menubruk
kaki Blo"on. "Setan tua. lepaskan. Ini harimauku," teriak kakek Macan
Hitam seraya menarik kepala Blo'on.
"Bukan, ini kerbauku!" kakek Kerbau Putih pun menarik
kaki anak itu. Blo'on dijadikan barang tarikan. Kepalanya ditarik kakek
Macan Hitam, kakinya ditarik kakek Kerbau Putih.
Karena ditarik sana dibetot sini, Blo'on tersadar. Ia terkejut
dan kesakitan karena dirinya ditarik sana ditarik sini. Saat itu
tangannya masih bebas. Karena tak tahan rasa sakitnya.
Blo'on ayunkan tangan kanan menghantam kebelakang dan
tamparkan tangan kiri kearah kaki kearah kakinya
Duk . . duk . . bluk . . terdengar suara tubuh jatuh ke tanah
disusul dengan jerit kesakitan.
Karena pukulan Blo'on, kakek Macan Hitam mencelat ke
belakang, membentur karang dan rubuh terduduk ditanah.
pun kakek Kerbau Putih juga terlempar beberapa langkah,
membentur karang dan jatuh terduduk. Tetapi karena dilepas
oleh kedua kakek itu, tubuh Blo"on pun jatuh terbanting
ditanah. Kembali kedua kakek itu pejamkan mata, menyalurkan
peredaran darahnya yang bergolak-golak. Pukulan Blo'on
bukan main hebatnya. Baik kakek Macan Hitam mau pun
Kerbau Putih rasakan dadanya seperti dihantam pukul besi.
Blo'on bergeliat bangun. Ia heran mendapatkan dirinya
berada dalam sebuah tempat yang sempit. Sekelilingnya
penuh dengan dinding karang yang menjulang tinggi.
"Hai, setan ... !" ia melonjak kaget ketika matanya
tertumbuk pada seorang kakek berambut hitam yang tengah
duduk meramkan mata. Ia ber paling ke kiri dan . . "Hai, setan
lagi . . !" ia menjerit kaget seperti disengat tawon. Dilihatnya
seorang kakek berambut putih tengah duduk pejamkan mata.
Beberapa saat kemudian, ia mulai tenang. Ke dua kakek
yang dianggapnya setan itu masih duduk meram. Timbullah
nyali Blo'on. Ia berindap-indap menghampiri kakek berambut
hitam. Memandangnya dengan teliti.
'"Aneh ..." gumamnya, "kalau setan mengapa mukanya
manusia. Kalau manusia mengapa begitu pendek sekali
tubuhnya. Menurut kerut wajahnya, dia seorang kakek tua
tetapi mengapa rambutnya masih hitam ..."
Ia maju lebih rapat lagi. Dijulurkannya tangannya untuk
meraba muka kakek berambut hitam itu.
"Uh, daging manusia," gumamnya, "kalau begitu dia
seorang manusia, bukan bangsa setan. Tetapi mengapa diam
saja . . " Tangan Blo'on merayap disepanjang muka kakek itu
singgah ke lubang hidung orang. Maksudnya hendak
memeriksa pernapasan si kakek. Tetapi karena gelap, jari
Blo'on keliru menyasar masuk ke dalam lubang hidung orang,
"Haaaajingng . . . ", karena lubang hidung digelitik jari,
kakek Macan Hitam berbangkis sekuat-sekuatnya.
Karena kaget dan karena kuatnya semburan mulut kakek
Macan Hitam. Blo'on sampai terlempar dan berguling-guling
ketanah. Pada waktu ia bangun, ia pun berteriak kaget : "Hai,
engkau ! Mengapa tiba-tiba rambutmu sudah putih " Kemana
rambutmu yang hitam tadi ?"
Kakek linglung, anak itu pun Blo'on. Ia berguling-guling
sampai ketempat kakek Kerbau Putih. Dan ketika membuka
mata, ia kaget karena mengira kalau kakek Kerbau Putih itu
kakek Macan Hitam tadi. Tetapi kakek Kerbau Putih pun diam saja. Rupanya dia
masih menjalankan peredaran napas dan darah untuk
mengembalikan tenaganya yang habis.
Karena heran, Blo'on maju mendekati lalu ulurkan tangan
meraba rambut kepala kakek Kerbau Putih : "Aneh, mengapa
rambutmu menjadi putih, setan ..."
Setelah rambut kepala, tangan Blo'on pun turun meraba
kumis kakek Kerbau Putih. Tak disengaja ujung kukunya
menusuk ke dalam lubang hidung si kakek dan berbangkislah
kakek itu berbangkis sekuat-kuatnya . . .
Untuk yang kedua kalinya, Blo'on terkejut dan mencelat
beberapa langkah, berguling-guling ketempat kakek Macan
Hitam. "Hai, engkau . . . , " ia menjerit kaget, "rambutmu hitam
lagi, bagus !" Blo'on memang blo'on. Ia tak menyadari kalau di dalam
dasar jurang itu terdapat dua orang kakek. Ia heran mengapa
kakek itu, dapat berobah-robah, sebentar rambutnya hitam,
sebentar putih Karena heran, Blo'on meraba-raba lagi muka kakek pendek
itu. Tiba-Tiba ia meraba kelopak mata si kakek terus disiakkan
supaya terbuka. Sudah tentu kakek Macan Hitam itu
mendongkol. Mati-matian ia pertahankan kelopak matanya
supaya tertutup. Tetapi kalah kuat dengan tangan Blo'on.
Akhirnya kelopak mata kakek Macan Hitam itu pun terbuka.
"Ih, ngeri . . . "Blo'on menjerit kaget karena biji mata kakek
itu melotot. Karena muka dan matanya dibuat mainan, kakek
Macan Hitam itu marah sekali. Dengan menggerung keras, ia
menandukkan kepalanya ke dada Blo'on, duk . . .
Blo'on yang duduk merapat didepan si kakek tak dapat
menghindar lagi. Dadanya tertumbuk kepala si kakek dan
terlemparlah ia ke belakang Bluk . . . tiba-tiba kakek Kerbau
Putih memutar tubuh dan menyambut Blo'on dengan daging
benjolan punggungnya, duk . . .
"Uh . . . ," kembali Blo'on terpental balik ketempat kakek
Macan Hitam Kakek itu menandukkan dengan kepalanya lagi,
duk . . . Demikian Blo'on dibuat bulan-bulan, ditanduk dengan
kepala dan dipentalkan dengan daging benjol punggung.
Untunglah karena anak itu telah memiliki tenaga dalam yang
kokoh, ia tak sampai menderita luka.
Akhirnya karena dibuat bal-balan, Blo'on marah juga. Ketika
kakek Macan Hitam menanduk. Blo'on menampar kepalanya
dan ketika kakek Kerbau Putih hendak mendorong dengan
punggung, anak itu pun menghantam daging benjol
punggung Kakek itu. Prak, bluk . . . kakek Macan Hitam terkapar dan kakek
Kerbau Putih pun menyusur tanah. Keduanya tak ingat diri.
Mereka kehabisan tenaga dalam, tenaga dalam keduanya
telah disalurkan ke dalam tubuh Blo'on semua. Ditambah pula
anak itu sudah makan bunga rumput Liong-si-jau. Maka
tampaknya hebat sekali akibatnya. Kedua kakek itu pingsan !
"Aneh, dimanakah aku berada ?" Blo'on mulai bingung
bertanya-tanya," dan siapakah kedua manusia tua itu ?"
Tiba-Tiba melayanglah seekor burung rajawali yang
punggungnya membawa monyet hitam. Langsung burung itu
hinggap di bahu Blo'on dan monyet pun loncat ke atas kepala
anak itu, "Turun !" teriak Blo'on seraya mendorong monyet dan
burung rajawali. Kedua binatang itu- pun loncat turun.
Kedengaran lolong anjing berkepanjangan. Rupanya anjing
kawan dari kedua binatang itu masih menunggu di tepi jurang
sebelah atas. Anjing itu tak berani menuruni jurang yang
begitu landai. Blo'on menghampiri kakek Macan Hitam, Diamatinya kakek
itu beberapa saat : "O, dia seorang manusia juga. Tetapi
mengapa tubuhnya pendek sekali ?"
Kemudian dia menghampiri kakek Kerbau Putih
memeriksanya : "Uh, ini juga seorang manusia. Rambutnya
putih, tentu sudah tua. Hai, mengapa punggungnya
bersusun?" Dipegangnya daging benjol pada punggung kakek Kerbau
Putih itu : "Uh, keras sekali ..."
Diguncang-guncangnya kakek itu supaya bangun tetapi
mereka tetap meram. Blo'on tak tahu kalau kedua kakek itu
pingsan. Akhirnya ia mengkal dan dibiarkan saja mereka
menggeletak. "Celaka!" ia berteriak, "jangan-jangan mereka mati dan aku
lagi yang dituduh orang membunuhnya!"
Karena beberapa kali ia selalu berada di dekat orang mati
dan selalu dituduh pembunuh, Blo'on menjadi jera. Ia mulai
bingung untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi ketika
memandang ke sekeliling ternyata dinding karang menjulang
lurus ke atas dengan tinggi sekali.
"Celaka, tak mungkin aku memanjat ke atas" ia mulai sibuk
lari kian kemari mencari jalan.
Akhirnya ia menemukan sebuah terowongan, ia masuk dan
dapatkan dirinya berada dalam sebuah guha yang cukup luas.
Perlengkapan yang terdapat dalam guha itu menyerupai
sebuah bilik rumah. Sebuah meja, dua buah kursi, sebuah
balai-balai yang kesemuanya terbuat dari batu. Sebuah pelita
yang masih menyala terletak di atas meja. Dengan demikian
dapatlah ia melihat keadaan dalam ruang guha itu.
Dan yang lebih menggirangkan, ternyata di-atas meja batu
itu masih terdapat beberapa makanan. Nasi kering dan daging
bakar yang menusuk hidung baunya.
Seketika timbullah rasa lapar Blo'on. Tak peduli apa-apa
lagi, ia terus duduk dan melahap makanan itu sampai habis


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian ia berbangkit mencari minuman. Setelah mencari
sekian saat. ia menemukan di bawah balai-balai batu itu
sebuah lubang yang ditimbuni rumput kering. Ketika timbunan
rumput diambil, ia menjerit girang.
"Oho, arak ..." ia pun segera mengambil sebuah guci terus
dibawa ke meja. Dicarinya sebuah cawan lalu dituangnya guci
itu. Arak berwarna merah, baunya agak sedap-sedap anyir.
Blo'on terus menghabiskan arak seguci itu. Tiba-Tiba ia
rasakan kepalanya pening dan berat.
Kemudian ia rasakan badannya panas dan makin panas.
Rasanya seperti dibakar api. Karena tak kuat menahan rasa
panas itu, ia tumpahkan pada meja batu. Dipegangnya meja
itu lalu digulingkannya, uh, uh . . meja batu itu ternyata berat
sekali. Tetapi Blo'on sudah seperti orang kemasukan setan.
Didorongnya meja itu sekuat-kuatnya.
Tiba-Tiba terdengar suara berderak-derak ketika meja batu
itu mengisar ke samping. Blo'on tetap mendorongnya
sehingga keringat bercucuran seperti orang mandi. Hanya
dengan berbuat begitu, ia rasakan kepala dan tubuhnya agak
ringan, panasnya mulai berkurang.
Ternyata dia secara tak sengaja telah minum arak Hou-hiatciu
atau Darah Macan Arak dari darah macan yang diawetkan
dengan ramuan daun-daun obat dan disimpan selama
berpuluh-puluh tahun oleh kakek Macan Hitam. Arak itulah
yang dibanggakan kakek Macan Hitam sebagai arak yang
mempunyai daya khasiat menambah kekuatan.
Setelah minum arak itu, berkembanglah tenaga Blo'on
Makan bunga rumput Liong-si-jau, diberi saluran tenaga dalam
oleh kedua kakek aneh dan kini minum arak Darah Macan.
Meja batu yang beratnya beberapa ratus kati itu dapat
didorongnya ke samping dan kini terbukalah sebuah lubang
terowongan. Untuk turun ke bawah, terdapat titian batu.
Tanpa banyak pikir, Blo'on terus turun ke-bawah. Burung
rajawali dan monyet pun mengikuti di belakangnya.
Entah berapa lama ia berjalan menyusur lorong terowongan
itu. Akhirnya terowongan itu buntu, pecah menjadi dua lorong
yang menjurus ke kanan dan kiri.. Yang menjurus ke kiri terdapat sebuah huruf berbunyi Si (mati). Sedang lorong yang
menjurus ke samping kanan terdapat sebuah Seng (hidup).
Blo'on tak memperhatikan huruf itu. Pokok karena melihat
lorong yang menjurus ke kiri itu agak lebar, ia terus saja
membelok ke kiri. Berjalan tak berapa lama, tibalah ia di sebuah ruangan yang
besar. Ruangan itu mempunyai empat buah pintu.
Blo'on terkejut melihat suasana ruangan itu tidak segelap
lorong terowongan tadi. Di tengah ruangan terdapat lampu
yang masih menyala. Sedang empat sudut ruangan dihias
dengan empat butir mutiara sebesar telur ayam. Karena
ditimpa sinar lampu, mutiara itu memantulkan cahaya yang
redup tetapi cukup terang.
Mutiara itu disebut Ya-beng-cu atau Mutiara yang dapat
menerangi malam hari. Tergolong mutiara yang jarang
terdapat di dunia. Tetapi Blo'on tak tahu. la tak mempedulikan
benda berharga itu. Perhatian Blo'on tertumpah pada keempat pintu yang
terletak di empat penjuru, utara, timur selatan dan barat.
Pintu utara bercat merah, pintu timur bercat kuning emas.
pintu selatan bercat biru dan pintu barat bercat putih.
Blo'on tertarik pada pintu bercat merah. Ia menghampiri
dan terus membuka pintu itu. Begitu melangkah masuk, ia
menjerit dan terus lari keluar lagi.
"Huh, ngeri ..." katanya sambil mengibas kibaskan kepala,
"itu manusia atau bukan ?"
la tegak termenung lalu berjalan mondar-mandir. Beberapa
saat kemudian, ia membuka pintu merah itu dan melangkah
masuk lagi. Ternyata di dalam pintu terdapat suatu pemandangan yang
benar-benar menyeramkan. Duduk numprah di tanah, tampak
seorang manusia yang luar biasa tingginya. Sepintas
menyerupai seorang raksasa. Rambutnya panjang terurai,
menutupi bahu dan sebagian mukanya. Alisnya pun menjulai
panjang, demikian pula dengan kumis dan rambut jenggotnya
yang sudah putih, menjulai panjang menutupi dadanya.
Orang itu tak berbaju sehingga tulang-tulang rusuknya
tampak menonjol karena kurusnya sehingga tubuhnya seperti
tulang terbungkus kulit saja.
"Hm, mengapa sampai begini siang baru mengantarkan
makanan, Lo Kun," seru orang itu dengan suara yang
menyeramkan bulu roma. Blo'on celingukan kian kemari. Ia kira raksasa itu sedang
bicara dengan lain orang ternyata tidak ada orang kecuali dia.
"Lekas bawa kemari makanan itu !" bentak raksasa itu pula.
Blo'on tercengang. Akhirnya ia merasa kalau raksasa itu
berkata kepadanya : "Makanan apa ?"
"Jangan menggoda aku kakek kate!" raksasa itu
menggeram. "Siapa kakek kate " Aku bukan kakek dan bukan kate ..."
"Lo Kun bangsat ! Engkau berani mempermainkan aku!"
damprat orang itu pula. Serempak terdengar bunyi
bergerontang yang dahsyat sekali sehingga Blo'on buru-buru
mendekap telinganya. Beberapa saat kemudian, barulah Blo'on mengetahui bahwa
raksasa itu berada dalam sebuah kerangkeng besi. Begitu pula
tangan dan kakinya diikat dengan rantai yang besar dan
panjang, la dapat bergerak kian kemari tetapi tak dapat keluar
dari kerangkeng itu. Melihat itu, timbullah rasa kasihan pada hati Blo'on. Ia maju
menghampiri dan berdiri kira-kira lima langkah dari
kerangkeng. "Kakek, aku bukan kakek kate. Aku seorang anak laki,"
katanya dengan perlahan. Raksasa itu picing-picingkan mata dan membelalak lebarlebar
seperti hendak mengamati Blo'on,
"Ho, engkau manusia baru rupanya?" Blo'on mengiakan.
"Mana kakek kate itu?" seru orang itu pula
"Dia tidur." "Bedebah!" orang itu memaki, "perutku sudah sangat lapar,
mengapa dia masih tidur. Lekas panggil dia kemari !"
"Siapa ?" Blo'on melongo.
"Kakek kate itu !"
"O, baiklah ..." Blo'on terus ayunkan langkah hendak keluar.
"Tunggu!" tiba-tiba orang itu berteriak pula. Blo"on pun
berhenti dan menghampiri.
"Siapa engkau ?" tanya orang itu.
"Ya, benar aku ini."
"Siapa namaku ?"
"Entah, aku sendiri juga sedang mencari keterangan."
"Hai ! Apakah engkau anak gila ?"
"Tidak! Aku hanya kehilangan ingatan. Aku tak tahu siapa
namaku, dari mana tempatku"
"Aneh," gumam orang itu, "kakek itu linglung, sekarang
ternyata engkau lebih gila lagi Masakan namamu sendiri
engkau tak tahu." "Apa engkau tahu siapa namaku?" tanya Blo'on
Orang itu rentangkan kedua mata lebar-lebar, serunya:
"Kenal saja baru sekarang, eh . . . cobalah engkau mendekat
kemari. Mataku kurang terang, eh kau ini apa bukan ..." tiba-tiba ia
menyambar lengan Blo'on terus ditarik ke dekatnya
tetapi tertahan terali besi.
"Lepaskan!" Blo'on
berteriak dan meronta sekuat-kuatnya Ia merasa sakit sekali karena dicengkeram. Walau pun tangannya tinggal tulang terbungkus kulit, tetapi orang itu masih bertenaga
kuat sekali. Tiba-Tiba kepala Blo'on dipegang oleh tangan orang itu lagi
terus diputar ke belakang, menghadap kepadanya.
"Ho, benar, benar . . . engkau pangeran Sun Ti . . ha, ha,
ho, ho .. " orang itu tertawa gembira
Karena berhadapan muka hampir merapat, ludah orang itu
menyembur keluar ketika dia tertawa. Bau mulutnya hampir
membuat Blo'on muntah "Pangeran " Apa itu pangeran ?" teriak Blo'on kaget.
"Pangeran adalah putera raja. Ya, engkau memang
pangeran Sun Ti putera baginda Ing Lokl!"
"Aku anak raja" Namaku Sun Ti Benarkah itu"
"Benar!" teriak orang aneh itu pula.
"Kalau begitu lepaskanlah tanganmu"
"Lepaskan" Ha, ha, ha . . ," orang aneh itu tertawa keras,
"berpuluh-puluh tahun aku dipenjarakan disini oleh ayahmu.
Sekarang engkau sendiri datang mengantar dirimu menjadi
tawananku . . " "Tidak, tidak!" Blo'on berontak sekuat-kuat-nya. Tetapi
karena lengan kanannya dicengkeram dan kepalanya juga
dipegang tangan orang itu, Blo'on tak dapat berkutik.
"Kalau engkau meronta, lehermu tentu putus," seru orang
itu. Burung rajawali dan monyet kecil melonjak! kaget. Rajawali
terbang menyambar muka orang itu, tetapi orang itu
menyemburkan mulutnya dan burung itu pun terdampar
beberapa langkah. Semburan mulut orang aneh itu seperti
angin puyuh dahsyatnya. Monyet kecil melonjak-lonjak dan berkuik-kuik. Tangannya
melambai-lambai burung rajawali. Rupanya burung itu
mengerti. Dia terus meluncur ketanah dan hinggap didepan
monyet. Monyet cepat meloncat ke punggung burung.
Setelah itu burung pun terbang keluar.
Ternyata burung rajawali dan monyet itu serta anjing
kuning adalah binatang peliharaan Blo'on! Mereka terlatih baik
sekali sehingga mengerti apa! perintah tuannya. Sejak
kehilangan ingatan, Blo"on! tak mengenali lagi ketiga binatang
peliharaannya! itu. Namun ketiga binatang itu tetapi setia
mengikuti. Burung rajawali terbang kembali ke ruang guha kediaman
kakek Macan Hitam. Ternyata kakek! itu sudah sadar dan
masuk ke dalam guhanya. Demi melihat burung dan monyet,
kakek itu terkejut.! Lebih terkejut pula ketika melihat meja
batu telah berkisar dan kedua binatang itu keluar. Melihat si
kakek, kera pun melonjak-lonjak lalu turun lagi ke lubang
bawah meja itu. Kakek Macan Hitam terkejut karena melihat meja batu telah
berkisar kesamping dan seekor burung serta seekor monyet
masuk ke bawah. Cepat ia mengejar.
Tiba di ruang besar, kakek itu terkejut karena melihat pintu
merah terbuka. Cepat ia memburu masuk dan : "Hai . . Mali,
mengapa engkau!" "Ho, engkau kakek kate !" seru raksasa itu dengan riang,
"lihatlah, yang kutunggu akhirnya datang juga!"
Kakek Macan Hitam makin terkejut ketika melihat si Bloon
tak dapat berkutik di dalam cengkeraman raksasa yang
dipanggil Mali itu. Melihat kedatangan kakek Macan Hitam,
Blo'on meronta. "Jangan, jangan !" teriak kakek Macan Hitam mencegah,
"jangan meronta atau lehermu bisa putus nanti !"
Blo'on rasakan tengkuk lehernya seperti dijepit tangan besi
yang amat kuat. Apabila ia nekad meronta, memang
kemungkinan batang lehernya bisa copot. Ia hendak
menghantamkan tangannya kebelakang tetapi terali besi
kerangkeng itu, amat kokoh sekali. Terpaksa ia menurut
seruan kakek Macan Hitam.
"Mali, engkau mau apa?" kakek Macan Hitam maju
menghampiri, "siapa yang engkau cekik itu " Lepaskanlah ..."
"Setan kate, apa katamu" Melepaskannya " Ha, ha, tidak,
tidak, setan kate ! Allah telah mengirim anak jadah ini
kepadaku ..." "Siapakah anak itu?" seru kakek Macan Hitam
"Dia Sun Ti, putera dari raja Ing Lok yang menghukum aku
disini. Ha, ha, sayang aku belum dapat menerkammu, setan
kate, kalau dapat kutangkap, badanmu akan kurobek-robek,
darahmu kuminum ..."
"Bangsat engkau Mali," kakek Macan Hitam marah,
"berpuluh-puluh tahun aku memberi makan dan mengantar
minuman kepadamu. Masakan engkau tetap hendak
membunuh aku ..." "O, benar, Lo Kun, benar." tiba-tiba raksasa itu berganti
nada ramah, "engkau menghidupi aku tetapi mengapa engkau
tak mau melepaskan aku dari kerangkeng besi ini ?"
Kakek Macan Hitam melonjak kaget: "Haram! Khianat!
Terkutuk! Aku sudah disumpah oleh baginda Ing Lok, jangan
sekali-kali membuka rantai borgolanmu dan melepaskan
engkau dari kerangkeng besi. Kalau aku melanggar, aku tentu
disambar geledek, tahu"
"Kakek edan. mengapa engkau percaya pada segala
sumpah kosong ?" teriak raksasa itu.
"Biar, tak perlu engkau turut campur!" bentak kakek Macan
Hitam, "kalau aku mati disambar geledek, bukankah engkau
juga mati karena tak ada yang mengantar makanan ?"
"O . . . " "Bukankah lebih baik begini. Engkau tetap hidup dan aku
pun tetap bernyawa. Tiap hari kuantarkan engkau makanan
dan arak ..." "Hai, setan tua, mana hidangan dan arak untukku !" tibatiba
raksasa itu memekik. "Huh. masih di dalam gua," kakek itu terus lari hendak
keluar tetapi tiba-tiba ia berhenti, berputar tubuh dan maju
menghampiri ke tempat kerangkeng, "hai, Mali, kulihat
semalam rembulan sudah menampakkan diri di atas mulut
jurang untuk yang keseribu kalinya. Sudah tiba waktunya aku
harus membongkar arak simpanan. Arak Hou-hiat-cil yang
lezat dan hebat khasiatnya. Maukah engkau
"Mau, mau !" teriak raksasa seraya melonjak lonjak seperti
anak kecil yang akan diberi permen.
"Aduh . . . ad . . uh . . " karena dibawa melonjak, leher
Blo'on seperti hendak dicabut dari; batang tubuhnya. Ia


Pendekar Bloon Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjerit-jerit kesakitan.
"Diam '" bentak kakek Macan Hitam menghentikan gerakan
raksasa itu", kalau engkau melonjak-lonjak, takkan kuberi
arak" Raksasa itu menurut. "Akan kuberimu seguci penuh tetapi engkau harus memberi
tebusan," kata kakek Macan Hitam
"Apa tebusannya ?"
'Lepaskan anak itu !"
"Ya, ya," raksasa itu terus lepaskan cekikannya tetapi
sebelum Blo'on sempat menghela napas, lehernya sudah
dicekik lagi kencang-kencang.
"Hai, mengapa engkau cekik lagi ?" teriak kakek Macan
Hitam. "Tidak bisa," seru orang itu, "bawa arak itu kemari,
kuminum habis baru kulepaskan anak ini."
Tiba-Tiba sesosok tubuh melesat masuk, loncat ke arah
kerangkeng terus menghantam raksasa itu. Krak . . .
pendatang itu terpental beberapa langkah ke belakang. Untuk
cepat disambut oleh kakek Macan Hitam sehingga tak sampai
rubuh. "Setan tua, lepaskan !" pendatang itu meronta dan deliki
mata kepada kakek Macan Hitam, "mengapa engkau malah
menangkap aku" Bukankah seharusnya engkau menghajar
raksasa ?" Kakek Macan Hitam melongo. Rupanya ia lupa kalau
tindakannya itu karena hendak menolong si pendatang supaya
jangan jatuh. "O, benar, benar," seru kakek Macan Hitam "ya, seharusnya
engkau menyerang, aku pun ikut menyerang. Kerbau Putih,
engkau lebih pintar dari aku."
"Ho, memang sebenarnya aku lebih tua dari engkau!" kata
pendatang itu atau kakek Kerbau Putih. Setelah tersadar ia
mencari kakek Macan Hitam di dalam guha. Melihat lubang di
bawah lantai, ia terus menyusup turun dan akhirnya tiba di
tempat kakek Macan Hitam sedang ribut-ribut dengan si orang
raksasa. Kakek Kerbau Putih marah karena melihat orang tinggi itu
tak pegang janji, Ia terus loncat menyerang. Tetapi ternyata
orang raksasa itu tangkas sekali. Tangannya yang
rnencengkeram lengan Blo'on cepat digerakkan sehingga
tangan Blo'on yang menangkis pukulan kakek Kerbau Putih.
Karena sedang menahan kesakitan, Blo"on pun kerahkan
tenaga. Secara tak disadari tenaga-dalamnya memancar ke
lengan. Tangkisannya itu membuat kakek Kerbau Putih
terpental beberapa langkah dan hampir rubuh.
"Jangan . . . menyerang . . aku yang dijadikan alat . .
menangkis !" teriak Blo'on.
Kedua kakek itu tertegun dan tak jadi menyerang. Tanya
kakek Kerbau Putih : "Siapakah raksasa dan anak itu ?"
Rupanya kedua kakek itu sudah tak bermusuhan lagi.
Setelah janji bertanding selama lima hari selesai, kini mereka
kembali seperti seorang sahabat lagi.
"Si raksasa itu bernama Somali. Dahulu dia menjadi
pengawal istana raja Ing Lok. Karena dia berani main gila
dengan seorang selir raja, dia di buang dan dipenjarakan
disini," kata kakek Ma can Hitam.
"Menilik kulitnya yang hitam dan penuh rambut, dia tentu
bukan bangsa Tionghoa," kata kakek Kerbau Putih.
"Ya, dia memang bukan orang Tionghoa. Pemberian raja
Persia kepada laksamana Ceng Ho ketika berlayar tiba di
negeri itu. Dia amat sakti, pernah diadu dengan para si-wi
(pengawal keraton) oleh baginda Ing Lok, ternyata menang
maka oleh baginda dia diangkat menjadi penjaga istana . . "
"Hai, Lo Kun, kalau tak lekas membawa arak dan makanan
kemari, pangeran ini tentu kupatahkan lehernya!" tiba-tiba
orang aneh itu berteriak Lo Kun atau si kakek Macan Hitam melonjak kaget,
serunya: "Ya, ya, segera akan kuambilkan" ia terus lari keluar
meninggalkan kakek Kerbau Putih yang terlongong-longong.
Sesaat kemudian kakek Kerbau Putih itu menghampiri ke
dekat kerangkeng : "Hat, Somali, mengapa engkau hendak
menganiaya anak itu ?"
"Tua bangka, enyah engkau dari sini" Somali mengaum
dengan buas. "Kakek, jangan dekat-dekat padaku," tiba Blo'on berseru,
"manusia ini amat buas."
"Ho, makin buas aku makin senang. Akan kucoba sampai di
mana kekuatannya . . , " ia terus hendak maju mendekati
"Berhenti!" sekonyong-konyong kakek Macan Hitam muncul
dan berteriak, "jangan mengganggu dia!"
"Manusia semacam dia tak perlu diberi hidup!" bantah
kakek Kerbau Putih. "Kerbau Putih ingat," kata kakek Macan Hitam dengan
bengis, "kalau berani mengganggunya, engkau tentu akan
berurusan dengan aku. Dia sudah cukup menderita, jangan
engkau ganggu lagi!"
Tanpa menghiraukan si kakek Kerbau Putih, kakek Macan
Hitam itu terus menyodorkan sebuah penampan batu yang
berisi sebuah guci arak dan sepiring daging, semangkuk nasi."
"Sayang dendeng daging macan habis, entah dimakan
siapa. Yang ini tinggal dendeng ular. Dan arak Hou-hiat-ciu,"
kata kakek Macan Hitam. "Bagus . . ," seru Somali tetapi tiba-tiba ia bingung. Kalau
makan hidangan itu, ia harus melepaskan tangan kanan atau
tangan kirinya. Berarti lengan atau leher anak itu akan bebas,
"berbahaya .. " gumamnya seorang diri.
"Mengapa berbahaya ?" seru Blo'on.
"Kalau kulepas tangan kananku, lenganmu tentu bebas,
mungkin engkau dapat memukul aku. Kalau kulepas tangan
kiriku, lehermu bebas, mungkin engkau dapat menggigit
tanganku ..." "Jangan kuatir," seru Blo'on, "kalau mau makan saja. Aku
takkan lari !" "Sungguh ?" Somali menegas.
"Huh, aku seorang putera raja, masakan aku ingkar janji
Seorang putera raja, eh . . benarkah aku ini pangeran Sun Ti,
putera raja Ing Lok ?"
"Benar, tak mungkin aku salah. Engkau memang pangeran
Sun Ti." sahut Somali.
"O, kalau begitu aku harus bersikap agung. Tak mau
mencelakai orang secara pengecut seperti dikau ! Lepaskan
tanganmu dan makananmu aku tetap menunggumu !"
"O, engkau benar-benar seorang pangeran yang jempol.
Kalau engkau bukan putera dari raja Ing Lok, ku tentu mau
berhamba padamu ..." Somali terus lepaskan kedua tangannya
dan menyambar nampan. Dengan lahap ia minum arak,
melalap habis nasi dan daging ular lalu meneguk guci arak
sampai kering. "Wah, sedap . . ," katanya seraya mengusap usap mulut
dengan tangannya. Setelah itu ia mencekal lengan dan leher
Blo'on lagi. Selama orang itu makan, Blo'on memang tak mau
berkisar dari tempatnya. "Sekarang engkau mau apa ?" tanya Bloon
"Engkau harus menemani aku disini," kata orang itu.
Blo'on mengerut dahi, serunya: "Salah, mengapa aku harus
menemani engkau disini " Bukankah aku ini anak raja ?"
"Benar." sahut Somali.
"Nah, yang benar engkau harus ikut aku, keluar dari tempat
ini, mengerti !" kata Blo'on dengan suara garang.
Somali terdiam beberapa saat lalu serunya : "Kembali ke
istana Ing-lok-kiong ?"
"Ya." tanpa banyak pikir Blo'on menyahut sekenanya, "eh,
mana istana itu ?" "Jangan kuatir, nanti aku yang mengantar," sahut Somali.
"Baik," kata Blo'on, "mari kita berangkat."
"Uh, tidak, tidak jadi !"
"Mengapa ?" Blo'on heran.
"Engkau hanya pangeran, bukan raja. Kalau baginda Ing
Lok melihat aku keluar, tentu akan ditangkap dan dilempar ke
sini lagi." Blo'on busungkan dada : "Jangan kuatir, aku yang
tanggung semua !" "Hm, baik . . eh, tidak bisa !"
"Mengapa tak bisa lagi ?"
"Lihatlah, tangan dan kakiku diborgol dengan rantai,
bagaimana aku dapat keluar ?"'
"Kurang ajar engkau Somali !" teriak Blo'on, "bagaimana
Jodoh Rajawali 33 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Peristiwa Bulu Merak 3

Cari Blog Ini