Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pulau Es 5

Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


Akan tetapi, kulihat kepandaianmu tidak di sebelah bawah tingkat suci, kenapa engkau menjadi muridnya. Benarkah engkau tidak mempunyai perasaan suka dan cinta terhadap suci?"
"Tidak sama sekali, Su-i. Aku suka menjadi muridnya mempelajari ilmu totokan, karena selain aku memang suka mempelajari segala macam ilmu, juga subo telah memperlihatkan kemahirannya dengan mengalahkan aku, yaitu dengan totokan itu."
"Untung engkau tidak mencintanya, kalau engkau mencintanya berarti engkau harus mati di tangannya. Jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada orang-orang seperti kami, karena itu merupakan keputusan hukuman mati bagimu."
"Aku.... aku tidak beran....!" kata Keng Han ngeri akan tetapi dia tidak dapat membohongi dirinya bahwa berbeda dengan perasaan hatinya terhadap Nio-cu, terhadap nona berpakaian putih ini lain lagi. Hatinya amat tertarik dan dia ingin mengenalnya lebih dekat lagi.
"Nah, sekarang kita harus berpisah di sini, Keng Han." kata Souw Cu In.
"Su-i, setelah aku menyebutmu bibi guru sungguh tidak masuk akal kalau aku tidak mengetahui namamu?"
"Namaku Souw Cu In. Sudahlah, aku harus pergi sekarang!"
"Su-i, sungguh berbahaya pergi se-karang. Hari sudah hampir gelap, tentu engkau akan kegelapan dalam perjalanan. Dan itu berbahaya sekali. Bagaimana kalau kedua orang kakek iblis tadi masih berada di sekitar tempat ini?"
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
161 Gadis itu nampak membelalakkan matanya dan memandang ke depan, lalu alisnya berkerut.
"Lalu bagaimana baik?"
"Yang paling baik adalah melewatkan malam di gua ini, Su-i. Di sini aman, tidak terganggu angin malam yang dingin dan kita dapat membuat api unggun. Selain itu, apakah Su-i tidak merasa lapar?"
Souw Cu In termenung. Baru terasa olehnya betapa perutnya memang lapar sekali.
"Begitupun baik, akan tetapi di tempat seperti ini bagaimana kita bisa mendapatkan makanan?"
"Jangan khawatir, Bibi Guru yang baik. Aku akan mencari binatang buruan untuk kita panggang dagingnya. Dan tentang minuman, sayang aku tidak punya "
"Aku masih memiliki seguci arak, kata Souw Cu In sambil melepaskan buntalan pakaiannya.
"Kalau begitu, sungguh beruntung kita. Nah, aku pergi sebentar untuk mencari binatang buruan, Su-i!" Setelah berkata demikian, Keng Han melompat pergi dengan cepat. Dia harus cepat mendapatkan binatang buruan karena sebentar lagi malam tiba dan sukar baginya untuk memperoleh binatang buruan. Senja menjelang malam itu menjadi waktu bagi burung-burung untuk terbang kembali ke sarangnya dan inilah yang menarik perhatian Keng Han. Dia pergi ke sebatang pohon besar di mana nampak banyak burung terbang berputaran. Dengan beberapa buah batu dia menyambit dan berhasil mengenai empat ekor burung yang berjatuhan ke bawah. Dia girang sekali. Burung ini cukup besar sehingga seorang makan dua ekor saja tentu sudah kenyang.
Cepat dia berlari kembali ke gua tadi dan melihat betapa Cu In sudah membuat api unggun.
"Ini hasil buruanku, Su-i!" katanya bangga memperlihatkan empat ekor burung yang sudah mati itu. Dengan pedang bengkoknya dia membersihkan burung itu, membuang isi perut dan semua bulunya, lalu menusuknya dengan bambu dan siap memanggangnya di api unggun.
"Bagaimana mungkin makan panggang burung tanpa dibumbui" Tentu tidak enak rasanya. "
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
162 Aku membawa bumbu untuk itu!" kata Cu In dan ia mengeluarkan dari buntalan pakaiannya beberapa bungkusan terisi bumbu seperti garam, mrica, bawang dan lain-lainnya. Keng Han merasa girang sekali dan mereka bekerja menaruh bumbu pada daging burung yang lalu dipanggangnya Tercium bau sedap ketika daging burung itu terpanggang. Tentu saja yang membuat daging itu mengeluarkan bau sedap adalah bumbunya,terutama bawangnya.
Sebentar saja empat ekor daging burung itu matang dan mereka lalu makan. Ketika Keng Han memandang untuk mencuri lihat wajah yang tertutup kedok itu, dia kecelik. Gadis itu makan daging burung tanpa memperlihatkan mulutnya. Tangannya yang membawa daging itu ke balik to-peng sutera dan yang kelihatan hanya kain itu bergerak-gerak ketika mulutnya makan. Keng Han merasa penasaran sekali. Dia yakin bahwa gadis ini tentu berwajah cantik jelita luar biasa. Baru dilihat dari rambutnya yang hitam panjang dan ikal mayang, melihat sinom (anak rambut) yang melingkar-lingkar di dahi dan pelipisnya, dahi yang halus dan putih mulus alis yang seperti dilukis seorang pelukis pandai, melengkung dan kecil hitam, mata yang bagaikan sepasang bintang kejora, tulang pipi yang agak menonjol dan selalu kemerahan bukan oleh pemerah muka, itu saja sudah menunjukkan kecantikan yang luar biasa. Hidung dan mulutnya tidak nampak, juga dagunya, akan tetapi Keng Han berani bertaruh bahwa hidung dan mulut itu tentu indah sekali.
Setelah makan daging burung pang-gang, Cui In mengeluarkan seguci anggur. Ia lalu membawa mulut guci ke balik topengnya dan menengadah, minum anggur itu langsung dari mulut guci ke mulutnya. Kemudian ia menyerahkan guci itu kepada Keng Han."Nah, kau minumlah. Anggur ini tidak keras, hanya se-bagai penyegar setelah makan."
Keng Han tertegun. "Tapi.... mana cawannya, Su-i?"
"Cawan" Untuk apa" Aku tidak mempunyai cawan."
"Untuk minum tentu saja. Kalau tidak ada cawannya, bagaimana aku dapat minum?"
"Bodoh! Minum saja dari mulut guci, apa sukarnya?"
Jantung dalam dada Keng Han berdebar. Mulut guci itu baru saja beradu dengan mulut nona itu, dan sekarang nona itu menyuruh dia minum dari mulut guci pula!
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
163 "Akan tetapi, mana aku berani" Bukankah guci anggur ini milikmu, Su-i" Bagaimana aku berani mengotori dengan minum dari mulut guci?"
Gadis tu memandang heran, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api unggun. "Engkau ini kenapa" Apakah mulut-mu mengandung penyakit" Apakah engkau sedang menderita sakit batuk yang parah?"
"Tidak, Su-i." "Nah, kalau begitu minumlah dari mulut guci!"
Kalau gadis itu merasa heran melihat kesungkanan Keng Han yang agaknya terlalu sopan santun itu, sebaliknya Keng Han terheran-heran melihat keterbukaan nona itu yang wataknya begitu polos dan bersih! Maka dia lalu menenggak anggur, itu dari mulut guci dan memang rasanya segar sekali. Setelah merasa cukup dia mengembalikan guci kepada pemiliknya dan Cu In menutupkan kembali mulut guci, menyimpannya dalam buntalannya seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang janggal,
Kemudian Keng Han teringat. Bibi gurunya itu perlu beristirahat dan tempat itu demikian kotor. Dia segera mencari daun-daun kering untuk membersihkan dan menyapu lantai gua yang paling rata. Kemudan dia mempersilakan Cu In un-tuk duduk atau cebah di situ.
"Silakan Bibi Guru mengaso di sini, tempat ini sudah bersih. Aku akan menjaga di luar gua sambil menjaga agar api unggun tidak padam.
Cu In mengikuti pekerjaan Keng Han dengan penuh perhatian, kemudian ketika dipersilakan mengaso, ia mengangguk, bangkit dan melangkah ke dalam gua. Langkahnya! Demikian indah lenggangnya, seperti seekor harimau betina me-langkah, demikian lemah gemulai akan tetapi juga demikian kokoh kuat! Cu In duduk di tempat yang sudah dibersihkan itu, lalu merebahkan diri miring berbantalkan buntalan pakaiannya. Sebentar saja gadis itu sudah pulas. Hal ini diketahui oleh Keng Han dari pernapasannya yang lembut dan teratur.
Keng Han merasa berbahagia sekali. Dia sendiri merasa heran. Pernah dia merasakan kebahagiaan seperti ini, yaitu ketika dia bertemu dengan Kwi Hong. Dia juga merasa tertarik Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
164 dan suka se-kali kepada dara itu, akan tetapi semen-jak dia mengetahui bahwa Kwi Hong bermarga Tao, puteri Pangeran Mahkota, masih saudara sepupunya sendiri, hatinya terasa perih dan dia mencoba melupakan gadis itu. Kemudian dia melakukan per-jalanan bersama Bi-kiam Nio-cu. Harus diakuinya bahwa dia juga suka sekali kepada Nio-cu, akan tetapi rasa sukanya itu sekadar bersahahat, bahkan dia menjadi muridnya. Maka ketika Nio-cu bertanya tentang cinta, terus terang dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Nio-cu sebagai seorang pria mencinta wanita, melainkan sebagai murid men-cinta guru atau seorang sahabat men-cinta sahabatnya. Dan kini.... perasaannya lain lagi. Dia tertarik kepada Souw Cu In, tertarik oleh kepribadiannya dan dia merasa amat berbahagia dapat bersama dengan gadis itu walaupun hanya semalam!
Keng Han termenung memandangi api unggun dan menambah kayu pada api unggun. Dia sama sekali tidak tahu betapa Cu In juga kini membuka matanya memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Gadis ini merasa gelisah sekali ketika ia merasa bahwa hatinya tertarik kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang lain sekali daripada pemuda lain. Kaum lelaki yang dijumpainya, selalu ingin membuka kedoknya, selalu memujinya cantik dan selalu mengeluarkan cumbu rayu seribu satu macam untuk menarik perhatiannya. Akan tetapi Keng Han sama sekali tidak! Bahkan ketika disuruh minum anggur dari mulut guci, jelas pemuda itu merasa rikuh sekali. Pemuda ini sungguh sopan dan pandai membawa diri. Di samping itu, juga pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Tadi sudah dibuktikannya ketika dia melawan Swat-hai Lo-kwi. Pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya dan ilmu silatnya juga aneh sekali. Namun, sikapnya demikian biasa, bahwa begitu rendah hati seolah dia seorang pemuda yang lemah dan bodoh sehingga mau mempelajari ilmu totok dari sucinya! Dan wajahnya! Sungguh tampan dan gagah.
Tiba-tiba Souw Cu In memejamkan matanya kuat-kuat untuk mengusir perhatiannya terhadap pemuda itu.
Tidak! ia tidak ingin tertarik kepada pemuda itu. Ia tidak ingin harus membunuh pemuda itu.
Dan ia menghela napas panjang. Ia dan sucinya sudah bersumpah kepada subo mereka untuk tidak jatuh cinta, dan kalau ada pria yang jatuh cinta kepada mereka harus mereka bunuh!
"Semua lelaki jahat," demikian subo mereka selalu menekankan ke dalam hati mereka.
"Semua lelaki itu jahat dan palsu, bagaikan kumbang yang selalu mendekati kembang dengan suaranya yang merayu-rayu. Akan tetapi setelah dia memghisap madu kembang itu sampai habis, lalu ditinggalkannya kembang itu begitu saja!"
Dan, kalau menurut keterangan gurunya itu, tidak ada laki-laki yang baik. Berarti Keng Han juga bukan seorang yang baik. Mungkin sikapnya yang baik itu pun hanya merupakan akal untuk merayunya belaka! Tidak, ia tidak boleh tertarik kepadanya!
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
165 Lewat tengah malam, Souw Cu In terbangun dari tidurnya. ia menggeliat karena tubuhnya terasa kaku tidur di lantai yang kasar itu, lalu menutupi mulut dari luar topeng untuk menahan luapnya, dan ia bangkit berdiri. Dihampiri-nya Keng Han dan ia berkata dengan suara yang kasar.
"Sekarang engkau boleh mengaso dan tidur, giliranku berjaga." katanya.
Keng Han merasa heran sekali mendengar ucapan yang bernada ketus itu. Dia memandang dan berkata. "Tidak perlu, Su-i. Su-i mengaso dan tidurlah, biar aku berjaga di sini sampai malam lewat.
"Tidak!" suara Cu In membentak karena dalam perasaannya, sikap baik pemuda ini hanya akal untuk merayunya saja. "Kaukira aku ini orang macam apa" Engkau sudah berjaga setengah malam, maka setengah malam yang lain menjadi bagianku untuk berjaga!"
Melihat sikap gadis itu demikian galak dan tegas, Keng Han merasa heran sekali. "Kalau bagitu, biarlah aku juga berjaga di sini saja. Aku tidak merasa mengantuk.
Cu In duduk di dekat api unggun berhadapan dengan pemuda itu terhalang api unggun.
Mereka saling pandang dan Keng Han tak dapat menyembunyikan perasaan kagumnya.
Wajah yang biarpun hanya kelihatan bagian atasnya saja itu demikian indahnya tertimpa sinar api unggun, kemerahan dan begitu halusnya dahi itu. Ditambah lagi anak rambut yang berjuntai melingkar-lingkar itu. Begitu manisnya!
"Kau melihat apa?" bentak gadis itu dan Keng Han baru menyadari bahwa terlalu lama dia menatap wajah itu.
"Tidak apa-apa, Su-i. Hanya aku heran mengapa Su-i tidak tidur saja mengaso. Malam sudah larut dan biarkan aku yang berjaga di sini.
"Tidak, aku tidak mau tidur."
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
166 "Kalau begitu, kita berdua tidak tidur." kata Keng Han bersikeras.
"Engkau bandel!"
"Bukan cuma aku bandel."
Keduanya diam dan terasa amat heningnya malam itu. Yang terdengar hanya suara api makan kayu kering.
Keng Han maklum bahwa gadis ini berwatak aneh sekali. Bukankah Nio-cu pernah berkata betapa sumoinya ini.lebih kejam darinya" Akan tetapi dia tidak percaya. Seorang gadis dengan sinar mata selembut itu tidak mungkin kejam.
"Engkau berasal dari mana?" tiba-tiba gadis itu bertanya dan nada suaranya sambil lalu saja, seolah pertanyaan itu hanya untuk mengisi kesepian.
Terhadap Souw Cu In, entah bagaimana, Keng Han tidak ingin menyembu-nyikan
rahasianya. "Aku berasal dari daerah Khitan."
"Engkau orang Khitan?"
"Peranakan Khitan. Ibuku orang Khi-tan, ayahku orang Han." Dia masih belum berani mengakui ayahnya sebagai seorang pangeran Mancu.
"Pantas. Aku sudah menduga bahwa engkau seorang peranakan. Di mana orang tuamu sekarang?"
"Ibuku masih di Khitan bersama kakekku akan tetapi ayahku...."
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
167 "Bagaimana dengan ayahmu" Sudah matikah?"
Keng Han menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. "Aku belum pernah melihat ayahku. Semenjak aku dalam kandungan ibu, ayah telah pergi meninggalkan ibu dan sejak itu tidak pernah kembali."
Souw Cu In melempar sepotong kayu di api unggun sehingga bunta-bunga api membubung ke atas. "Huh!" katanya gemas. "Benar juga kata subo. Lelaki adalah mahluk yang palsu dan kejam!"
"Akan tetapi aku memang sedang mencari ayahku, Su-i. Dia harus menjelaskan mengapa dia tidak pernah pulang menengok ibu. Kalau memang benar dia telah melupakannya dan mengkhianatinya, aku sendiri yang akan menghajarnya!"
"Hemmm, apalagi yang terjadi kalau bukan ayahmu bertemu dengan wanita lain yang lebih cantik lalu ayahmu mengawini wanita itu dan melupakan ibumu?"
"Belum tentu. Kurasa ayahku tidak sejahat itu! Akan tetapi, aku ingin mencarinya sampai dapat! Dan engkau sendiri, Su-i. Maukah engkau bercerita tentang dirimu" Dari Nio-cu aku sudah tahu bahwa engkau juga murid Ang Hwa Nio-cu, dan bawa engkau mempunyai pendirian yang sama dengan Bi-kiam Nio-cu tentang pria. Selain itu, aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Maukah engkau bercerita?"
"Hemmm, untuk apa bercerita tentang diriku padamu?" Sepasang mata itu menatap tajam penuh selidik.
Keng Han menghela napas panjang. "Bukan apa-apa, Su-i. Akan tetapi engkau adalah bibi guruku, dengan adanya hubungan ini, tidak pantaskah kalau aku mengenalmu lebih baik lagi"
Agar engkau tidak menjadi seperti orang asing lagi bagiku."
"Engkau sudah mengetahui namaku."
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
168 "Ya, aku masih ingat. Nama Su-i adalah Souw Cu In, hanya itu yang kuketahui."
"Aku juga seperti engkau. Hidup keluargaku tidak berbahagia. Ayah ibuku telah meninggal dunia, terbunuh musuh. Ketika itu aku baru berusia lima tahun, lalu aku diambil murid oleh subo. Nah, hanya begitu saja riwayatku dan aku pun sedang mencari-cari seseorang untuk membalas kematian ayah ibuku."
"Musuh besar yang membunuh ayah ibumu itu?"
"Benar. Ah, sudahlah. Kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu?" Ia seperti menegur diri sendiri. "O ya, ke mana engkau hendak mencari ayahmu itu, Keng Han?"
Mendengar gadis itu tiba-tiba membelokkan percakapan, tahulah Keng Han bahwa gadis itu tidak mau lagi bercerita tentang dirinya, dan dia pun menjawab sejujurnya, "Aku hendak mencari ayahku di kota raja."
"Ahhh....!" "Kenapa Su-i terkejut mendengar itu?"
"Tujuan perjalananku juga ke kota raja!"
Bukan main girangnya hati Keng Han mendengar ini. "Kalau begitu kebetulan sekali, Su-i.
Kita dapat melakukan perjalanan bersama."
"Tidak! Besok pagi kita harus berpisah, melakukan perjalanan sendiri-sendiri. Kalau subo mengetahui, baru malam ini saja kita berada di sini berdua, sudah cukup bagi subo untuk menuduh yang tidak-tidak dan membunuhku!"
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
169 "Gurumu amat kejam terhadap laki-laki, Su-i!" Keng Han memrotes."Tidak! Guruku sudah adil. Engkau tidak tahu betapa hatinya telah dihancurkan, kehidupannya telah dilumatkan, oleh kaum pria! Ia hanya membalas dendam! Aku mencari musuh besarku itu, juga untuk mencari musuh besar yang telah menghancurkan kebahagiaan hidup guruku. Orangnya sama!"
"Ahhh....!" Keng Han bukan hanya terkejut mendengar ucapan itu, melainkan juga terkejut mendengar suara lain, suara gerakan orang-orang di sekitar mereka! Akan tetapi karena malam itu gelap sekali dan api unggun itu tidak terlalu besar, dia tidak melihat apa-apa.
"Engkau dengar tadi?" Souw Cu In bertanya. Keng Han mengangguk dan keduanya waspada.
Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras di sekitar mereka. Mereka terkejut dan meloncat berdiri, tidak tahu harus berbuat apa karena musuh tidak nampak dan ledakan-ledakan masih terjadi di sekeliling mereka. Agaknya musuh menyerang mereka dengan bahan ledakan yang mengeluarkan asap tebal. Kedua orang itu tidak berani sembarang ber-gerak karena khawatir kalau-kalau di-serang musuh yang tidak kelihatan. Akan tetapi tiba-tiba keduanya mencium bau keras sekali dan Souw Cu In berseru. "Tahan napas....!" Akan tetapi sudah ter-lambat.
Keduanya sudah menghisap asap terlalu banyak dan mereka terbatuk-batuk roboh terkulai, pingsan. Kiranya bahan peledak itu mengandung racun pembius yang kuat sekali.
Tubuh Keng Han memang sudah kebal terhadap racun, berkat dia makan daging ular merah.
Akan tetapi yang kebal adalah tubuhnya sehingga andaikata dia terkena makan racun atau dilukai oleh racun, tentu hawa beracun dalam tubuhnya menolak dan membuatnya kebal.
Akan tetapi sekali ini dia terkena racun pembius berupa asap yang memasuki paru-parunya, maka dia pun tidak dapat bertahan dan roboh pingsan seperti Souw Cu In.
Beberapa bayangan orang yang memakai kedok tebal berkelebatan memasuki tabir asap itu dan menghampiri kedua orang yang sudah pingsan itu. Akan tetapi ketika empat orang itu menghampiri Keng Han dan Cu In, Cu In melompat dan dua orang roboh tewas seketika ter-kena pukulan Tok-ciang (Tangan Beracun). Kiranya Cu In belum pingsan seperti keadaan Keng Han. Ketika wanita ini tahu bahwa ada musuh menggunakan asap beracun, ia meneriaki Keng Han, akan tetapi Keng Han yang terlambat. Ia sendiri baru sedikit menghisap asap beracun dan untuk menyelamatkan diri, ia menjatuhkan diri agar tidak terpengaruh asap yang membubung ke atas. Setelah ada empat orang datang, Ia cepat menyerang dan setelah merobohkan dua orang, ia pun melompat jauh keluar dari tabir asap itu. Dua orang berkedok lain menggotong Keng Han membawanya pergi dari situ.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
170 Souw Cu In merasa khawatir sekali, akan tetapi tidak dapat mencegah dengan adanya tabir asap pembius yang menghalanginya. Setelah tabir asap menipis dan mulai menghilang, barulah ia melakukan pengejaran, akan tetapi dia tidak menemukan jejak mereka, apalagi malam itu gelap sekali dan api unggun yang mereka buat malam tadi sudah hampir padam.
Terpaksa ia duduk kembali dekat api unggun dan menambahkan kayu bakar sehingga api unggun itu membesar kembali. Akan tetapi ia sudah tidak mungkin dapat tidur lagi dan sambil menanti lewatnya malam, ia duduk bersila, dekat api unggun dan memperhatikan sekelilingnya dengan pendengarannya.
Hatinya gelisah bukan main memikirkan Keng Han dan menduga-duga siapa yang
menangkap pemuda itu dan apa alasannya. Juga ia mengingat-ingat siapa tokoh dunia kangouw yang suka mempergunakan alat peledak yang mengandung racun pembius itu. Ia lalu teringat kepada seorang datuk sesat dari selatan yang berjuluk Ban-tok Kwi-ong (Raja Iblis Selaksa Racun). Datuk inikah yang melakukannya" Akan tetapi rasanya tidak mungkin.
Seorang datuk seperti dia itu biasanya memiliki ketinggian hati, tidak mungkin kalau hanya hendak menangkap seorang pemuda saja harus menggunakan peledak racun pembius.
Siapapun yang menangkap pemuda itu, Keng Han berada dalam bahaya dan dia harus menolong pemuda itu.
*** Keng Han merasa seperti dalam mimpi. Tahu-tahu setelah dia sadar kembali, dia sudah terbelenggu kaki tangannya, rebah di atas sebuah dipan dan tubuhnya dalam keadaan tertotok.
Semua itu tidak merisaukan hatinya, akan tetapi yang membuat dia khawatir adalah kepalanya. Kepala itu pening sekali dan masih pening sehingga sukar dia berpikir. Dia membuka sedikit matanya dan melihat bahwa dirinya berada dalam sebuah kamar, seperti kamar tahanan karena pintunya dari besi dan ada jeruji besi pula di atas pintu. Di luar kamar itu, dia dapat melihat beberapa orang melalui jeruji besi dan agaknya mereka melakukan penjagaan. Perlahan-lahan dia pun teringat. Dia sedang duduk menghadapi api unggun bersama Souw Cu In dan tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan dan asap mengepul tebal lalu dia tidak ingat apa-apa lagi dan tahu-tahu telah berada di tempat ini dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Dia merasa bahwa belenggu itu tidak sukar dipatahkan, juga totokan itu dapat dengan mudah dia punahkan. Akan tetapi kepeningan kepalanya masih terasa, maka dia pun diam saja rebah berbaring menanti perkembangan lebih lanjut sambil memberi waktu kepada kepalanya agar bebas dari kepeningan akibat asap racun pembius itu.
Tidak terlalu lama dia menanti. Dia mendengar daun pintu besi dibuka orang dan nampak tiga orang memasuki tempat tahanan itu. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang segera di-kenalnya. Kakek Itu adalah Toat-beng Kiam-sian yang pernah bentrok dengan dia.
Dia menegur kakek yang terlalu kejam menghukum tiga orang anak buahnya dan karena itu kakek ini marah sekali kepadanya. Dia diberi waktu untuk menghadapinya selama sepuluh jurus dan kalau selama itu dia tidak roboh, dia akan dibebaskan. Dan dia berhasil bertahan Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
171 sampai sepuluh jurus. Ketika kakek itu merasa penasaran hendak menggunakan tongkat yang sekarang dipegangnya itu, Bi-kiam Nio-cu menegurnya dan mengingatkan akan janjinya dan kakek itu lalu pergi. Sekarang kakek itu agaknya yang menyuruh anak buahnya menawannya.
Entah apa yang hendak dilakukan atas dirinya. Dia pura-pura masih pingsan akan tetapi memperhatikan mereka bertiga dengan telinganya.
"Nah, inilah pemuda itu. Bagaimana pendapatmu, Siu Lan?"
Gadis yang datang bersamanya itu memandang wajah Keng Han penuh perhatian. Gadis ini cukup cantik, dengan pakaiannya yang mewah.
"Dia kelihatan seperti seorang dusun, Ayah." kata gadis itu setelah mengamati Keng Han.
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa. "Jangan melihat pakaiannya, Siu Lan. Lihatlah wajahnya.
Bukankah dia tampan dan gagah" Dan tentang ilmu silat, sudah kukatakan bahwa dia lihai juga dan pantas untuk menjadi jodohmu."
"Suhu, saya tidak percaya bahwa dia mampu melawan Sumoi" kata pemuda yang datang bersama mereka. Pemuda ini bertubuh tinggi besar, berwajah gagah namun pandang matanya membayangkan kecongkakan hati. Jelas dia memandang rendah kepada Keng Han yang meng-geletak tidak berdaya di atas dipan itu. "Dia tidak pantas untuk melawan Sumoi.
Biarlah dia melawan saya lebih dulu. Kalau dia mampu menandingi saya, baru Sumoi boleh mencobanya!"
Toat-beng Kiam-sian tertawa dan mengangguk-angguk. "Hmmm, pikiran yang baik itu.
Boleh engkau mencobanya dulu, Bu Tong."
"Biar saya bebaskan dulu dia dari totokan dan belenggunya!" kata pemuda itu yang bernama Gan Bu Tong.
Akan tetapi ketika dia menghampiri dipan, Keng Han mengerahkan tenaganya dan totokan itu pun sudah punah, lalu sekali dia menggerakkan kaki tangannya, ikatan itu pun putus semua! Keng Han lalu bangkit dan meloncat berdiri menghadapi tiga orang itu.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
172 "Mengapa kalian menangkap aku" Aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, mengapa kalian berbuat begini?" tegurnya.
Toat-beng Kiam-sian Lo Cit, puterinya yang bernama Lo Siu Lan dan muridnya itu terkejut bukan main melihat betapa pemuda itu telah terbebas dari totokan dan dengan mudahnya mematahkan semua belenggu.
Toat-beng Kiam-sian maju dan tertawa. "Ha-ha-ha, tempo hari engkau dapat menahan sepuluh jurus seranganku, maka hatiku tertarik untuk mengujimu, orang muda. Sekarang lawanlah muridku ini, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!"
"Aku tidak ingin bertanding dengan siapapun tanpa sebab. Di antara kita tidak ada urusan, mengapa kita harus bertanding?"
"Hemmm, bocah sombong. Ada atau tidak ada urusan, aku akan menandingimu. Kalau engkau takut, engkau boleh berlutut dan mencium kaki, guru sambil meminta ampun, baru kami akan melepaskanmu." kata Bu Tong yang memandang rendah.
Keng Han mengerutkan alisnya. "Aku tidak bersalah apa pun, mengapa harus minta ampun"
Aku tidak sudi melakukannya, jangan engkau menghinaku!"
"Aku memang sengaja menghinamu, habis kau mau apa" Aku menantangmu untuk mengadu kepandaian, kalau engkau menolak berarti engkau takut?"
Panas juga rasa hati Keng Han. Dia ditangkap tanpa sebab, kemudian ditantang dan dianggap pengecut kalau tidak berani. Tentu saja dia berani.
"Siapa takut kepada kalian" Aku tidak bersalah apa pun, maka tentu saja aku tidak takut!"
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
173 "Ha-ha-ha, bagus. Itu suara seorang laki-laki sejati. Orang muda, marilah kita ke lian-bu-thia dan di sana kita melihat sampai di mana kepandaianmu." kata Toat-beng Kiam-sian. Makin senang hati-nya menyaksikan kegagahan sikap Keng Han. Sebetulnya, pangcu dari Kwi-kiam-pang ini sudah tertarik sekali kepada Keng Han ketika Keng Han mampu menahan sepuluh jurus serangannya, bahkan mampu menangkis Pukulan Halilintar darinya. Karena itu, ketika melihat Keng Han bersama Souw Cu In, dia lalu menyuruh para anggauta Kwi-kiam-pang menggunakan obat peledak dan pembius untuk menangkapnya. Dia bermaksud untuk menjodohkan pemuda ini dengan puterinya, Lo Siu Lan yang selalu menolak pinangan para pemuda karena di antara mereka tidak ada yang mampu menandinginya. Memang kepandaian Siu Lan sudah hebat sekali. Bahkan suhengnya, Gan Bu Tong juga tidak dapat
menandinginya! Keng Han menjadi penasaran sekali. Karena ditantang, maka dia mengikuti mereka menuju ke sebuah ruangan yang luas dan ini merupakan tempat para anggauta Kwi-kiam-pang berlatih silat. Juga dia melihat bahwa anggauta perkumpulan itu banyak sekali, tidak kurang dari lima puluh orang! Agaknya sulit baginya untuk meloloskan diri menggunakan kekerasan karena selain harus menghadapi tiga orang itu, juga harus menghadapi para anggauta Kwi-kiam-pang. Maka dia hendak menebus kebebasannya dalam per-tandingannya itu.
Setelah tiba di lian-bu-thia (tempat berlatih silat), Keng Han telah dihadapi oleh Bu Tong yang bersikap angkuh. "Nah, bersiaplah engkau untuk melawan aku!" kata Bu Tong.
"Nanti dulu." kata Keng Han lalu menoleh kepada Toat-beng Kiam-sian. "Locianpwe adalah seorang yang berkedudukan tinggi, apakah ucapannya da-pat dipercaya?"
Lo Cit membelalakkan matanya, ka-kek yang kakinya timpang ini marah sekali mendengar pertanyaan itu. "Bocah sombong, tentu saja ucapanku dapat dipercaya!"
"Heh, nanti dulu. Kalau engkau mampu mengalahkan muridku, engkau harus dapat mengalahkan pula puteriku ini, dan selanjutnya harus mampu bertahan menghadapi aku sampai lima puluh jurus. Kalau sudah begitu barulah engkau tidak akan diganggu lagi bahkan akan kunikahkan dengan puteriku ini. Ha-ha-ha-ha-ha!"
"Nah, kalau begitu, setelah aku dapat mengalahkan pemuda muridmu ini, apakah aku akan dibebaskan dan dibiarkan pergi tanpa diganggu?"
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
174 Bukan main kagetnya hati Keng Han mendengar ucapan itu. Dia hendak dinikahkan dengan gadis cantik itu" Sungguh keterlaluan sekali peraturan kakek itu. Dia sendiri tidak ditanya apakah dia suka atau tidak!
"Aku tidak ingin menikah dengan siapapun juga. Aku hanya minta agar aku dibebaskan dan tidak diganggu lagi.
"Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Hayo Bu Tong, mulailah dengan seranganmu!" kata Lo Cit sambil tertawa senang.
Gan Bu Tong sudah mencabut pedangnya. "Sobat, sebutkan dulu namamu agar engkau jangan mati tanpa nama."
"Namaku Si Keng Han dan aku tidak akan mati melawanmu."
"Nah, di sudut itu ada rak senjata. Boleh engkau pilih untuk menghadapi pedangku!"
Hmmm, pemuda ini memiliki watak yang gagah juga dan tidak curang, pikir Keng Han.
Agaknya mereka ini bukan orang-orang jahat, akan tetapi orang-orang yang suka membawa dan mempertahankan kehendak sendiri.
"Aku tidak membutuhkan senjata-senjata itu. Bahkan aku sendiri juga memiliki sebatang pedang, akan tetapi tidak akan kupergunakan untuk melawanmu. Tangan kakiku sudah cukup untuk kupakai membela diri." katanya sambil memperlihatkan pedang bengkoknya yang berada di pinggangnya.
"Si Keng Han, engkau sombong, akan tetapi engkau sendiri yang menentukan. Jangan anggap aku keterlaluan melawanmu dengan pedangku!" kata Bu Tong penasaran dan marah karena dia menganggap pemuda itu memandang rendah kepadanya.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
175 Tiba-tiba Lo Siu Lan mencabut pedangnya dan melemparkan pedang itu kepada Keng Han.
"Si Keng Han, pedang Suhengku merupakan senjata ampuh. Semua senjata di rak itu akan patah apabila bertemu dengan pedangnya, maka pakailah pedangku ini!"
Melihat pedang itu melayang ke arahnya, Keng Han menyambutnya, akan tetapi dia berkata kepada gadis itu. "Terima kasih, Nona. Akan tetapi sungguh aku tidak membutuhkan pedang!" Dan dia melemparkan kembali pedang itu kepada Siu Lan, lalu menghadapi Bu Tong sambil berseru. "Aku sudah siap menghadapi seranganmu!"
Gan Bu Tong semakin marah. Perbuatan sumoinya tadi dianggapnya sebagai pukulan baginya. Sumoinya agaknya berpihak kepada pemuda ini!
"Lihat serangan pedangku!" bentaknya dan dia pun mulai manyerang dengan bacokan pedangnya. Akan tetapi dengan gesitnya Keng Han mengelak. Bacokan dan tusukan susul-menyusul menghujam ke arah tubuh Keng Han, namun dengan ilmu Hong-in Bun-hoat Keng Han selalu dapat mengelak dengan cepat sekali. Setelah belasan jurus mengeliak, barulah dia membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan tangannya yang ampuh. Ketika pedang lawan menyambar ke arah kepalanya, dia malah maju mendekat dan sekali jari tangannya menyentil pedang, pedang itu terlepas dari tangan Bu Tong, mengeluarkan suara nyaring berdenting ketika jatuh ke atas lantai. Kalau Keng Han menghendaki, saat yang baik itu tentu dapat dia pergunakan untuk merobohkan lawan. Akan tetapi dia tidak mau berbuat demikian, melainkan dia mencokel pedang itu dengan kakinya dan pedang itu melayang ke arah pemiliknya. Bu Tong menangkap pedangnya dan dengan muka merah sekali dia
mengundurkan diri karena setelah pedangnya terlepas dia maklum bahwa dia tidak mampu menandingi Keng Han.
Lo Siu Lan gembira sekali melihat betapa Keng Han dapat mengalahkan suhengnya. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan dan ia berhadapan dengan Keng Han.
Sejenak gadis itu mengamati Keng Han dari atas sampai ke bawah seperti orang menaksir seekor kuda yang hendak dibelinya. Hal ini tentu saja membuat Keng Han tersipu dan dia cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada gadis itu.
"Nona, di antara kita tidak ada permusuhan, harap suka menghabiskan urusan ini dan biarkan aku pergi dengan aman. Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan kalian.
Lo Siu Lan menjawab dengan suaranya yang merdu, "Siapa yang hendak bermusuhan" Kami hanya ingin membuktikan sendiri sampai di mana kelihaianmu dan ternyata engkau mampu mengalahkan suheng Gan Bu Tong. Maka, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
176 perkumpulan kami disebut Kwi-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan), maka aku pun hanya bisa memainkan pedang. Kalau engkau tetap bertangan kosong, sungguh amat tidak enak bagiku."
Kembali diam-diam Keng Han memuji. Gadis ini pun selain tidak curang, juga tidak tinggi hati seperti suhengnya. "No-na, sudah kukatakan tadi bahwa kalau tidak terpaksa sekali aku tidak pernah menggunakan pedangku, cukup dengan tangan kakiku saja. Maka kalau Nona memaksaku untuk bertanding pergunakanlah pedangmu, aku akan membela diri dengan kedua kaki tanganku saja."
"Bagus, engkau memang seorang pemuda yang berani. Nah, sambutlah pedangku ini, Sobat!"
Lu Siu Lan sudah mencabut pedangnya dan nampak sinar menyambar. Begitu ia melakukan penyerangan terdengar bunyi pedang berdesing dan sinar kilat menusuk ke arah dada Keng Han. Baru gebrakan pertama saja tahulah Keng Han bahwa gadis ini memang lebih lihai dibandingkan suhengnya. Akan tetapi gerakan yang cepat itu tidak membuat Keng Han bingung karena baginya kecepatan gerakan gadis itu masih belum hebat. Dengan mudahnya dia mengelak dari sambaran pedang. Gadis itu mendesak terus dan pedangnya berkelebatan, kadang menyerang leher, kadang dada dan ada kalanya menyabet ke arah kedua kaki Keng Han. Pemuda ini memperlihatkan kegesitannya. Sampai sepuluh jurus dia mengelak terus, baru pada jurus ke sebelas dia membalas.
Ketika itu pedang di tangan Siu Lan menyembar ke arah dada dengan tusukan kilat. Keng Han miringkan tubuhnya dan menggunakan dua jari tangan kirinya untuk menjepit pedang itu.
Siu Lan terkejut bukan main karena pedangnya seperti dijepit jepitan baja saja. Biarpun ia berusaha untuk menariknya, namun pedang itu tidak dapat terlepas dari dua jari tangan Keng Han. Gadis itu menjadi penasarap dan tangan kirinya sudah meluncur untuk menghantam dada lawan.
Keng Han juga menggerakkan tangan kanannya. Dia maklum bahwa gadis ini menggunakan pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat, maka dia pun mengerahkan sinkangnya sehingga dari tangan kanannya itu keluar hawa yang sangat panas. Demikian pula pukulan tangan kiri Siu Lan mengandung hawa panas karena gadis ihi telah menyerang dengan pukulan Halilintar.
"Desssss....!" Dua telapak tangan bertemu dan tubuh Siu Lan terhuyung ke belakang karena pada saat itu juga Keng Han melepaskan jepitan jari tangannya dari pedang lawan. Siu Lah cepat mengambil napas panjang untuk menjaga agar dalam dadanya tidak terluka. Akan tetapi ia tahu bahwa dirinya kalah maka ia pun cepat bersembunyi di balik tubuh ayahnya dan mukanya menjadi merah tersipu dan mulutnya tersenyum malu-malu.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
177 Melihat tingkah puterinya, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, sekarang engkau baru percaya kepada omongan ayahmu" Si Keng Han, engkau telah mengalahkan anakku Siu Lan, maka mulai sekarang engkau harus menjadi suaminya!"
Keng Han terkejut sekali dan memandang kepada kakek timpang itu dengan alis berkerut.
"Apa maksud Locianpwe" Saya tidak akan menikah dengan siapapun juga!"
"Hemmm, dengarlah Si Keng Han. Anakku menolak semua lamaran orang karena ia sudah bersumpah untuk menikah dengan pria yang dapat mengalahkannya dan engkaulah yang sekarang mengalahkannya."
"Akan tetapi sejak semula aku tidak menghendaki pertandingan ini. Aku dipaksa. Aku sama sekali bukan bertanding untuk memperoleh kemenangan dan untuk memperoleh jodoh. Maaf, Locian-pwe, aku tidak dapat menerimanya. Dan sekarang, harap kalian suka membiarkan aku pergi dari sini!"
"Ho-ho-ho, tidak demikian mudah, orang muda! Kalau engkau menolak berjodoh dengan puteriku, hal itu berarti engkau telah menghinaku! Dan siapa menghinaku harus mampus!
Akan tetapi karena aku menyukaimu, engkau tidak akan kubunuh. Bersiaplah untuk menahan seranganku sampai lima puluh jurus. Kalau selama lima puluh jurus engkau mampu menahan pedang tongkatku, barulah engkau boleh pergi dari tempat ini!"
Tiba-tiba terdengar bentakan, halus. "Toat-beng Kiam-sian Lo Cit sungguh tidak tahu malu dan mau menghina yang muda!"
Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata, tanpa dapat diketahui para anak buah Kwi-kiam-pang, Souw Cu In telah muncul di situ. Toat-beng Kiam-sian, puterinya dan para muridnya tentu saja terkejut dan terheran. Hanya Keng Han yang menjadi girang bukan main.
"Bibi guru telah datang! Kalian tidak akan memaksaku untuk kawin!" katanya dan dia menghampiri Cu In. Toat-beng Kiam-sian Lo Cit memandang penuh perhatian dan semakin heran mendengar Keng Han menyebut bibi guru, kepada seorang gadis yang berpakaian putih dan mukanya bagian bawah tertutup sutera putih! Teringatlah dia kepada Bi-kiam Nio-cu Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
178 yang dahulu disebut subo oleh pemuda ini. Tahulah dia bahwa gadis bercadar putih ini pun merupakan se-orang murid dari Ang Hwa Nio-nio atau sumoi dari Bi-kiam Nio-cu.
"Nona, apakah engkau murid Ang Hwa Nio-nio?" tanyanya.
"Tidak salah, Pangcu. Aku adalah murid subo Ang Hwa Nio-nio dan Si Keng Han ini adalah murid suci-ku, jadi dia masih murid keponakanku sendiri. Sungguh tidak pantas sekali kalau Pangcu (ketua) hendak memaksanya menikah dengan puterimu. Mana ada paksaan kepada seorang pria untuk menikah" Dan engkau telah menantangnya untuk bertanding selama lima puluh jurus. Bukankah ini namanya menghina yang muda" Apakah engkau tidak akan malu kalau hal ini terdengar oleh dunia kang-ouw?"
Wajah Lo Cit menjadi merah sekali. Tak disangkanya bahwa wanita bercadar itu telah mengetahui dan agaknya telah mendengar semua percakapan tadi. Hal ini saja menunjukkan kehebatan ilmu sinkangnya sehingga tak seorang pun tahu akan kehadirannya.
"Bocah bermulut lancang! Siapakah namamu, yang berani bicara seperti Itu kepadaku?" Lo Cit mencoba mengangkat namanya.
"Namaku Souw Cu In, dan memang aku orang biasa saja. Akan tetapi apa yang kau lakukan ini memang memalukan sekali, Pangcu. Pertama, engkau menggunakan bahan peledak yang mengandung racun pembius untuk menangkap Si Keng Han. Kemudian engkau memaksanya menikah dengan puterimu dan yang terakhir engkau baru mau membebaskannya kalau sudah bertanding denganmu selama lima puluh jurus! Sungguh memalukan!"
"Memang sungguh memalukan!" Keng Han ikut-ikutan bicara. "Mana aku mampu menahan serangannya sampai lima puluh jurus" Ini sama saja dengan memaksaku tinggal di sini dan mengawini puterinya yang tidak kucinta. Mana ada aturan begitu, ya, Bibi Guru?"
"Memang tidak ada aturan seperti itu di dunia kang-ouw, kecuali dunianya orang-orang sesat.
Tentu Kwi-kiam Pang-cu tidak akan suka disebut orang sesat!" kata lagi Souw Cu In.
Lo Siu Lan menjadi marah sekali. Ia marah karena melihat hubungan yang akrab antara Keng Han dan Cu In. Biar-pun mereka mengaku sebagai bibi guru dan murid keponakan, akan Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
179 tetapi keduanya masih muda dan wanita bercadar itu nampak cantik jelita dan tubuhnya begitu ramping seperti batang pohon liu. Ia merasa cemburu sekali!
"Perempuan hina! Buka cadarmu dan perlihatkan mukamu! Engkau telah berani mencampuri urusan kami!" Berkata demi-kian, Lo Siu Lan telah mencabut pedang-nya.
Souw Cu In mendengus seperti orang mengejek. "Dan engkau, sungguh tidak malu hendak memaksa seseorang menjadi suamimu!"
"Keparat!" Lo Siu Lan menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi bagaikan bayangan saja, tubuh Souw Cu In telah meloncat ke samping dan tiba-tiba ada sinar putih mencuat dan tahu-tahu pedang di tangan Siu Lan terlibat dan terampas! Siu Lan terkejut dan melompat mundur.
Cu In mengambil pedang itu dan melemparkannya kembali kepada Siu Lan.
"Siapa yang keparat masih patut diselidiki!" kata Cu In. Biarpun marah sekali, Siu Lan tidak berani sembarangan lagi bergerak. Dalam segebrakan saja pedangnya telah terampas!
Lo Cit juga kaget melihat hal ini. Gadis bercadar itu lihai bukan main.
"Siapa yang sudah masuk ke sini tidak boleh sembarangan keluar. Kalau Si Keng Han ingin membebaskan diri, dia harus melalui pertandingan denganku. Tidak usah sampai lima puluh jurus, melihat dia masih muda biarlah kuberi waktu...."
"Sepuluh jurus!" kata Keng Han. "Sepuluh jurus sudah merupakan waktu yang lama, melihat aku yang masih begini muda harus melawan Pangcu yang tua dan berpengalaman!"
Toat-beng Kiam-sian tertegun. Dulu pernah dia menyerang pemuda ini sampai sepuluh jurus dan ternyata dia tidak dapat merobohkan. Akan tetapi ketika itu dia tidak menggunakan pedang tong-katnya. Kalau dia menggunakan pedang tongkatnya, mungkin dalam satu atau dua jurus saja dia sudah mampu mengalahkan pemuda itu.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
180 "Keng Han, sepuluh jurus pun sudah terlalu lama. Engkau tidak akan dapat bertahan menghadapi pedangnya walau hanya lima jurus saja!" Ucapan ini bernada sungguh-sungguh penuh kekhawatiran, padahal sebenarnya merupakan pancingan yang amat cerdik dari Souw Cu In. Gadis ini sudah melihat kelihaian Keng Han yang dapat menandingi seorang datuk besar seperti Swat-hai Lo-kwi. Kalau pemuda itu mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi, maka menghadapi Toat-beng Kiam-sian dalam sepuluh jurus saja tidak mungkin dia dikalahkan, apalagi dalam lima jurus. Bahkan mungkin sampai puluhan jurus akan mampu bertahan.
Mendengar ucapan dan melihat sikap Souw Cu In, Toat-beng Kiam-sian mem-bentak,
"Baiklah, sepuluh jurus! Kalau pedangku selama sepuluh jurus belum mampu
mengalahkanmu, engkau boleh pergi dari sini tanpa diganggu!"
"Keng Han, berhati-hatilah. Pedang tongkat itu amat lihai sekali!" Kembali Souw Cu In berseru.
"Hayo, orang muda. Kau boleh menggunakan senjata apa pun, boleh kau pilih dari rak senjata itu untuk menghadapi pedangku!" kata kakek itu sambil mengangkat tongkat di tangannya yang dalamnya terisi pedang.
"Lo-pangcu! Keng Han tidak pernah menggunakan senjata, maka kalau kau menggunakan pedang, itu licik sekali namanya!"
"Dia boleh memilih senjata yang di-sukainya! Aku tidak peduli, dia mau ber-senjata atau tidak!" '
"Jangan khawatir, Bibi Guru. Aku memiliki pedangku ini!" Keng Han mencabut pedang bengkoknya yang selama ini belum pernah dia pakai untuk berkelahi. Akan tetapi, mendengar nasihat Souw Cu In, dia tahu bahwa tentu ilmu pedang kakek timpang itu hebat dan dahsyat, maka kini dia menggunakan pedang pemberian ibunya atau pedang peninggalan ayah kandungnya.
Melihat pemuda itu memegang sebatang pedang bengkok, Gan Bu Tong tertawa. "Ha-ha-ha, dia memegang sebatang pisau pemotong ayam!" Dia mengejek.
"Diam, Suheng! Engkau sudah dikalahkannya dengan mudah!" kata Lo Siu Lan ketus.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
181 Akan tetapi Toat-beng Kiam-sian memandang rendah pedang bengkok itu. "Orang muda, bersiaplah menghadapi seranganku!" bentaknya dan pedangnya sudah menyambar bagaikan kilat cepatnya.
"Singgggg....!" Keng Han terkejut bukan main. Dahsyat sekali pedang itu menyambar, beberapa kali lipat lebih cepat dan kuat daripada pedang yang dimainkan Lo Siu Lan tadi.
Akan tetapi dia sudah siap, dengan gerakan tangkas dia mengelak sambil memutar pedang bengkoknya menangkis.
"Tranggg....!" Nampak bunga api berpercikan dan keduanya merasa betapa tangan yang memegang pedang menjadi panas den tergetar.


Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jurus pertama....!" Souw Cu In menghitung dengan suara nyaring sekali.
Lo Cit merasa penasaran dan mulailah dia mengayun pedangnya dan menyerang dari segala jurusan dan dengan kecepatan kilat. Memang tidak kosong saja julukannya Dewa Pedang karena memang hebat sekali ilmu pedangnya. Namun, Keng Han juga memiliki ilmu Hong-in Bun-hoat yang sakti. Dengan berloncatan ke sana-sini dan pedang bengkoknya mencorat-coret menuliskan huruf-huruf, dia dapat menghindarkan diri dari semua serangan kakek itu.
"Jurus ke dua.... ke tiga....ke em-pat....!" Souw Cu In menghitung terus jurus-jurus yang dimainkan oleh kakek itu.
Pada jurus ke enam, Keng Han sama sekali belum tersentuh pedang lawan, bahkan kini dia mampu membalas dengan gerakan corat-coretnya yang membingungkan lawan.
"Jurus ke delapan....!"
Toat-beng Kiam-sian menjadi marah bukan main. Sudah delapan jurus lewat dan lawannya masih mampu menandinginya, bahkan mampu membalas serangan-nya. Dan dia sendiri tidak mengenal ilmu silat pedang lawan yang seperti corat-coret menuliskan huruf itu. Dia Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
182 membentak keras sambil berjongkok dan menyabetkan pedangnya untuk membabat kedua kaki lawan.
"Hyaaaaattttt....!"
Keng Han meloncat ke atas dengan gerakan ringan seperti seekor buruhg terbang sehingga babatan itu hanya lewat di bawah kedua kakinya.
"Jurus ke sembilan....!" Cu In berseru girang, akan tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi pucat dan ia memandang, dengan hati cemas ketika melihat serangan jurus ke sepuluh. Kini Lo Cit menggerakkan pedangnya ke atas, menyambut tubuh Keng Han yang melompat turun dan bukan pedangnya saja yang menyerang, akan tetapi juga tangan kirinya menghantam dengan ilmu pukulan Halilintar! Bukan main hebatnya pukulan dan tusukan pedang ini dan tubuh Keng Han masih berada di udara.
Sementara itu, melihat serangan lawan yang nekat dan berbahaya, Keng Han menggerakkan pedang bengkoknya untuk menangkis dan tangan kirinya juga dihantamkan ke depan menyambut pukul-an Halilintar lawan.
"Tranggg.... desss....!" Hebat bukan main pertemuan kedua pedang itu, akan tetapi lebih dahsyat lagi pertemuan kedua telapak tangan. Akibatnya, tubuh Lo Cit terdorong sehingga dia terhuyung ke belakang, sedangkan Keng Han turun ke bawah dengan selamat.
Jurus ke sepuluh!" bentak Cu In.
Akan tetapi agaknya Lo Cit tidak mempedulikan teriakan itu dan kini bahkan menyerang lagi dengan lebih dahsyat ke arah Keng Han. Dan bersama dengan majunya Lo Cit, kini beberapa orang murid, di antaranya Gan Bu Tong juga hendak melakukan pengeroyokan. Melihat gelagat yang tidak baik ini, Cu In sudah meluncurkan sabuk suteranya yang berubah menjadi sinar putih menyerang kearah Lo Siu Lan. Siu Lan terkejut akan tetapi tidak sempat mengelak dan tahu-tahu pinggangnya telah terlibat ujung sabuk dan sekali Cu In menarik, tubuh Siu Lan terdorong ke arahnya dan ia sudah menangkap gadis itu dan menodongkan jari-jari tangan kirinya ke atas ubun-ubun kepala Siu Lan.
"Tahan semua senjata atau aku akan membunuh Siu Lan!" teriak Cu In dengan suara nyaring.
Toat-beng Kiam-sian Lo Cit menengok dan wajahnya berubah ketika dia melihat puterinya Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
183 telah berada dalam ancaman tangan Cu In. Dia maklum bahwa sekali menggerakkan tangan itu ke arah ubun-ubun kepala anaknya, gadis itu tentu akan tewas!
"Tahan semua senjata dan mundur!" bentaknya kepada para muridnya. Semua mundur dan memandang ke arah Cu In yang masih mengancam Siu Lan.
"Keng Han, mari kita pergi dari sini. Awas, jangan ada yang mengikuti kami kalau ingin gadis ini selamat!" kembali Cu In membentak dan ia mendorong Siu Lan berjalan di depan sedangkan ia dan Keng Han berjalan di belakangnya. Dengan cara ini mereka dapat keluar dari sarang Kwi-kiam-pang tanpa ada yang berani menghalangi.
Setelah tiba di luar, Cu In menotok Siu Lan sehingga gadis ini menjadi lemas dan roboh tak berdaya, kemudian mereka berdua berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Belasan li mereka berlari meninggalkan tempat itu sampai mereka memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Mereka berhenti melepas lelah dan Keng Han berkata dengan nada suara menegur, "Su-i, kenapa menggunakan cara yang curang itu untuk menyelamatkan diri?"
"Curang katamu" Bagaimana dengan Toat-beng Kiam-sian itu" Sudah sepuluh jurus engkau bertahan terhadap serangannya, ehhh, dia malah menyerang lagi dan maju mengeroyok.
Mereka demikian banyak, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka" Kalau aku tidak menggunakan akal itu, apa kaukira kita bisa keluar dengan selamat.
Keng Han menundukkan mukanya, harus mengaku kebenaran ucapan gadis itu. "Ah, mengapa di dunia ini banyak orang yang tidak sungkan berlaku curang seperti ketua Kwi-kiam-pang tadi?"
"Itulah! Merupakan pelajaran pertama bagimu kalau engkau memasuki dunia kang-ouw, yaitu, jangan mudah percaya kepada siapapun juga atau engkau akan tertipu. Lebih banyak orang yang curang daripada yang jujur, lebih banyak yang jahat daripada yang baik. Nah, sekarang tiba saatnya kita harus berpisah mengambil jalan masing-masing.
"Su-i," kata Keng Han dengan suara sungguh-sungguh. "Kalau perjalanan kita sama, menuju ke satu jurusan, yaitu kota raja, kenapa kita tidak melakukan perjalanan bersama saja?"
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
184 "Tidak pantas seorang pemuda melakukan perjalanan bersama seorang gadis!"
"Aih, Su-i, bukankah engkau ini bibi guruku" Kenapa tidak pantas" Yang penting kita tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas. Pula, agaknya memang sudah semestinya kita melakukan perjalanan bersama sehingga dapat saling melindungi. Bayangkan saja, kalau kita tidak melakukan perjalanan bersama, engkau sudah celaka di tangan Tung-hai Lo-mo dan aku sudah celaka di tangan Toat-beng Kiam-sian! Dengan berdua, kita dapat mengatasi semua bahaya itu."
Souw Cu In termenung, agaknya melihat kebenaran dalam ucapan pemuda itu dan ia mempertimbangkan. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan bertanya. "Keng Han, apakah engkau murid keluarga Pulau Es?"
"Bukan, Su-i. Bahkan aku selama hidup belum pernah bertemu dengan mereka."
"Akan tetapi ilmu silatmu itu.... aku pernah mendengar subo bercerita tentang ilmu-ilmu keluarga itu. Katanya ada ilmu yang sifatnya seperti mencorat-coret dengan tangan atau pedang, yang disebut Hong-in Bun-hoat, dan tadi engkau menggunakan ilmu itu, bukan?"
Terhadap gadis ini Keng Han tidak ingin berbohong. "Memang sesungguhnya aku tadi memainkan ilmu Hong-in Bun-hoat."
"Dan kau bilang bukan murid Pulau Es?"
"Bukan, Su-i. Aku tidak berbohong. Kudapatkan ilmu ini di sebuah gua di Pulau Hantu, bersama ilmu-ilmu lain."
"Ilmu apa saja" Ah, kau tidak perlu mengaku kalau hendak merahasiakannya."
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
185 "Kepadamu aku tidak ingin menyembunyikan apa-apa, Su-i. Selain Hong-in Bun-hoat, aku juga menemukan pelajaran ilmu silat Toat-beng Bian-kun, ilmu tenaga sakti Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sin-kang."
Gadis itu terbelalak dan Keng Han terpesona. Sepasang mata itu demikian indahnya ketika terbelalak, seperti bin-tang kembar yang bercahaya terang. "Tapi semua itu adalah ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!"
"Entahlah, Su-i. Aku hanya menemukannya di Pulau Hantu dan telah kupelajari semua itu selama lima tahun."
"Pantas saja engkau mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi dan Toat-beng Kiam-sian. Dan suci telah mengangkatmu sebagai murid! Betapa lucunya. Padahal suci sendiri tak mungkin mampu menandingimu. Bahkan subo sendiri belum tentu mampu. Engkau telah menguasai ilmu-ilmu langka yang sakti, Keng Han."
Keng Han tersipu. "Aih, Bibi Guru terlalu memuji. Aku hanya seperti seekor burung yang baru belajar terbang dan baru saja meninggalkan sarangnya. Aku tidak mempunyai pengalaman apa-apa, maka kalau Su-i sudi melakukan perjalanan bersamaku, aku dapat belajar banyak."
"Tidak bisa! Kalau subo mengetahui aku melakukan perjalanan dengan seorang pemuda, tentu ia akan marah sekali dan aku harus membunuhmu! Nah, pergilah!"
"Akan tetapi, Su-i.... Suara Keng Han penuh permohonan dan penuh kekecewaan.
"Tidak ada tapi-tapian, Keng Han. Kita harus berpisah. Pergilah, atau aku akan marah kepadamu!"
"Su-i....!" kata Keng Han, akan tetapi melihat sinar mata itu mencorong marah, dia lalu memberi hormat dan berkata, "Baiklah, Su-i, aku tidak berani membantah. Harap Su-i berhati-hati di jalan dan jagalah dirimu baik-baik, Su-i." Dengan wajah sedih sekali Keng Han lalu memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan gadis itu. Dia merasa tubuhnya menjadi lemas dan segala sesuatu nampak buruk baginya. Dia merasa kesepian, merasa ditinggalkan Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
186 oleh sesuatu yang amat berharga baginya. Kalau tadinya, segala hal nampak menyenangkan, kini menjadi menyedihkan. Dia menengok dan tidak melihat lagi bayangan Cu In. Kesedihan dan kesepian melanda dirinya sehingga Keng Han tidak mampu melangkah lagi. Dia menjatuhkan dirinya duduk di atas batu dan termenung. Hidupnya terasa hampa. Kerinduan kepada Cu In begitu mencengkeram hatinya. Membayangkan bahwa dia tidak akan dapat bertemu lagi dengan gadis itu, membuat matanya menjadi basah dan hampir saja dia menangis seperti anak kecil kalau tidak ditahan-tahannya.
Tiba-tiba dia, menyadari keadaannya dan menepuk kepalanya sendiri. "Huh! Kenapa engkau menjadi cengeng seperti itu?" Dia merasa malu kepada diri sendiri, malu kepada Souw Cu In.
Kalau bibi gurunya itu melihat keadaannya, tentu ia akan menegurnya.
"Tolol! Cengeng!" Keng Han memaki diri sendiri sambil bangkit berdiri dan dengan langkah tegap dia melanjutkan perjalanannya menuju ke timur, ke kota raja! Dia masih memiliki tugas yang teramat penting. Mencari ayah kandungnya.
*** Souw Cu In sendiri merasa kesepian dan hatinya terasa berat harus berpisah dari Keng Han.
Gadis ini merasa heran sekali. Belum pernah ia merasa kehilangan seperti ini! Apalagi kehilangan seorang sahabat, seorang pria. Tekanan yang diberikan subonya sejak ia masih kecil membuat ia menganggap setiap orang pria itu palsu dan jahat. Apalagi setelah ia melihat sendiri betapa kaum pria selalu bersikap menjemukan kalau bertemu dengannya di manapun.
Pria semua mata keranjang dan ingin menggoda kalau bertemu dengannya. Akan tetapi kini ia bertemu Keng Han yang sama sekali berlainan dengan pria yang seringkali ia bayangkan dan yang pernah ia temukan. Keng Han sama sekali tidak kurang ajar, bahkan amat sopan dan bersikap baik sekali kepadanya. Maka, begitu Keng Han meninggalkannya dengan sikap demikian kecewa dan sedih, ia merasa kasihan sekali dan ikut pula berduka dan kehilangan.
Baru sekarang ia merasa kesepian melanda hatinya.
Akan tetapi gadis yang dididik menjadi keras hati ini dapat menekan perasaannya dan ia pun melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat sekali. Pada suatu hari tibalah ia di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Bahkan ia menemukan sebuah kedai makan di dusun itu.
Karena perutnya sudah lapar Souw Cu In memasuki kedai itu dan memesan makanan dan minuman teh. Kedai teh itu sudah banyak tamu yang sedang makan. Seperti biasa dialami Cu In, begitu ia memasuki kedai makan itu, banyak mata memandang dan banyak kepala menengok lalu terdengar suara berbisik-bisik dan tawa yang dibuat-buat. Namun ia tidak mempedulikan,itu semua dan memesan makanannya kepada pela-yan yang menghampirinya.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
187 Tiga orang pria yang duduk di meja sebelahnya, menghentikan makan mereka ketika melihat Cu In. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang berpakaian, gagah, berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun. Seorang di antara mereka, yang berusia tiga puluh tahun, agaknya menjadi pemimpin mereka.
"Sayang ia bercadar sehingga kita tidak dapat melihat. mukanya," kata seorang di antara mereka yang berusia hampir empat puluhan tahun.
"Aku yakin ia cantik seperti bidadari," kata orang kedua yang usianya empat puluhan tahun.
"Sudahlah, lanjutkan makan kalian dan jangan pedulikan orang lain." kata pemuda yang berusia tiga puluhan tahun. Dia itu bertubuh tinggi besar dan nampak gagah dan tampan, mukanya bundar dan sepasang matanya lebar sehingga wajah itu nampak asing.
"Akan tetapi, Kongcu, yang ini berbeda dengan wanita biasa. Kami berani bertaruh bahwa ia seorang yang luar biasa sekali, penuh rahasia karena muka itu bercadar." kata orang pertama.
Orang yang disebut kongcu itu mencela, "Kalau orang menutupi mukanya, apalagi kalau ia wanita, tentu itu cacat. Sudahlah, mari kita cepat selesaikan makan, kita harus melanjutkan perjalanan!"
Mereka melanjutkan makan minum dan karena Cu In makan cepat dan tidak banyak, gadis ini lebih dulu selesai dan segera membayar makanan dan pergi meninggalkan kedai makanan itu tanpa mempedulikan orang lain. Tiga orang itu juga sudah selesai makan dan mereka juga cepat-cepat meninggalkan kedai.
Ketika Cu In berjalan keluar dari dusun itu, ia pun tahu bahwa tiga orang itu membayanginya. Ia pura-pura tidak tahu dan melangkah terus. Akan tetapi setelah tiba di jalan yang sepi, tiga orang ini berlari cepat menyusulnya.
"Tahan dulu, Nona!" terdengar suara pria pertama yang berkumis dan berjenggot seperti kambing.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
188 Cu In berhenti dan menghadapi tiga orang itu. Ia melihat bahwa dua, diantara mereka memandangnya dengan mulut menyeringai, akan tetapi pemuda berusia tiga puluhan tahun yang berwajah tam-pan dan gagah itu bersikap acuh tak acuh.
"Nona, tadi kita melihatmu di rumah makan." kata orang kedua yang hidungnya pesek.
"Lalu, mengapa kalian mengejarku?" tanya Cu In dengan ketus.
"Begini, Nona. Aku dan temanku ini bertaruh. Aku yakin bahwa wajahmu cantik seperti bidadari, sebaliknya dia yakin bahwa wajahmu cacat dan buruk. Nah, karena itu kami harap Nona suka membuka cadar Nona itu sebentar saja agar kami dapat melihatnya dan menen-tukan siapa yang menang bertaruh."
"Aku tidak peduli kalian bertaruh atau tidak, akan tetapi aku tidak akan membuka cadarku!"
kata Cu In dengan suara ketus dan marah.
"Aih, Nona. Mengap Nona begitu pelit" Memperlihatkan muka sebentar saja, apa keberatan.
Nah, kalau begitu biarlah aku yang membuka dan menying-kap cadar itu!" kata si jenggot kambing dan tangannya meraih ke arah cadar di muka Cu In. Gadis ini mengelak mundur dan sambaran tangan itu luput.
"Siapa berani membuka cadarku dia akan mati!" kata Cu In dengan suara membentak.
Akan tetapi agaknya si jenggot kambing dan si hidung pesek menganggap kosong gertakan Cu In ini. Bahkan si hidung pesek tertawa, "Ha-ha-ha, Thian-ko. Mari kita bertaruh lagi, siapa di antara kita yang lebih dulu dapat mem-buka cadar Nona ini!"
Si jenggot kambing tertawa. "Ha-ha-ha, baik sekali! Jadi taruhan kita ada dua, mengenai muka gadis ini dan siapa yang lebih dulu menyingkap cadar!" Keduanya lalu menerjang maju dan tangan mereka meraih untuk menyambar cadar putih yang menutupi muka Cu In. Laki-laki ketiga yang berwajah tampan itu masih memandang dengan tidak peduli.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
189 Marah sekali hati Cu In. Cepat ia mengelak sambil berloncatan dari serangan kedua orang yang hendak merenggut cadarnya dan ia pun menampar dengan pukulan Tangan Beracun.
Akan tetapi kagetlah ia melihat betapa dua orang itu pun mampu mengelak dengan cepat. Kini keadaannya berubah. Dua orang itu bukan berebutan membuka cadar melainkan mengeroyok gadis itu. Terjadilah perkelahian yang seru.
Akan tetapi, dua orang itu kecelik karena kini mereka bertemu batunya. Ternyata gadis bercadar itu lihai bukan main dan mereka terdesak hebat oleh pukulan dan tendangan Cu In.
Padahal, kedua orang itu mengira bahwa mereka adalah orang-orang lihai yang jarang bertemu tanding! Melihat ini, sepasang mata lebar dari pemuda tampan itu bersinar-sinar.
"Kalian mundurlah!" bentaknya, dan kini dia sendiri yang maju melawan Cu In. Dua orang kawannya menaati perintahnya dan mundur menjadi penonton.
Cu In terkejut setengah mati. Pemuda itu ternyata lihai bukan main, berani menangkis Tangan Beracunnya dan setiap kali tertangkis ia merasa lengannya tergetar hebat. Pemuda itu memiliki ilmu silat yang aneh dan juga memiliki tenaga sinkang amat kuatnya.
Cu In yang maklum bahwa kawannya tangguh, segera melolos sabuk suteranya yang menjadi senjatanya yang ampuh, dan mulai menyerang dengan sabuk su-teranya. Akan tetapi pemuda itu dapat mengelak atau menangkis sambil men-coba untuk menangkap ujung sabuk sutera putih itu. Akan tetapi usahanya selalu gagal. Sabuk sutera itu seolah hidup di tangan Cu In, bergerak seperti seekor ular dan setiap kali ditangkap dapat melesat cepat menghindar lalu menyerang lagi dengan patukan yang mengarah jalan darah karena sesungguhnya senjata lemas itu dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah.
Selagi ramai-ramainya kedua orang ini bertanding, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar suara Keng Han, "Bibi guru harap minggir biar aku yang menghadapinya?"
Bagaimana Keng Han dapat tiba di situ! Perjalanannya dengan Cui In memang searah, sama-sama ke timur sehingga tidak aneh kalau dia juga lewat di situ. Ketika dari jauh melihat perkelahian itu, jantungnya berdebar penuh kegembiraan dan ketegangan karena seorang wanita yang berpakaian putih bersenjata sabuk sutera putih itu siapa lagi kalau bukan Souw Cu In" Melihat orang yang dirindukannya ini hatinya merasa girang sekali, akan tetapi juga tegang melihat betapa lawan bibi gurunya itu amat tangguh. Apalagi setelah dekat dia mengenal pemuda itu sebagai Gulam Sang yang pernah ditandinginya! Gulam Sang, putera mendiang gurunya! Bahkan gurunya sebelum meninggal dunia berpesan agar dia bekerja sama dengan puteranya itu. Maka cepat dia meloncat datang dan menyuruh bibi gurunya minggir.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
190 Gulam Sang juga mengenal Keng Han sebagai pemuda tangguh yang pernah dilawannya. Dia menjadi penasaran karena tadi belum sempat mengalahkan Cu In yang sudah didesaknya.
"Siapakah engkau yang mencampuri urusan kami?" bentaknya dan dia memandang kepada Keng Han dengan mata yang lebar itu mencorong.
"Bukankah namamu Gulam Sang dan engkau adalah putera dari Gosang Lama?" tanya Keng Han sambil membalas pan-dang mata mencorong itu.
Gulam Sang nampak terkejut dan melangkah mundur setindak mendengar pertanyaan itu.
"siapa engkau" Apa hubunganmu dengan Gosang Lama?" Keng Han melihat betapa
kekejutan pemuda tinggi besar itu dibuat-buat karena suaranya Masih biasa saja, hanya tadi seolah sengaja melangkah mundur.
"Aku adalah muridnya. Sebelum suhu Gosang Lama meninggal dunia, dia berpesan kepadaku agar dapat bekerja sama denganmu. Akan, tetapi kenapa engkau bertempur melawan bibi guruku ini" Ia adalah bibi guruku dan mustahil ia melakukan kesalahan sehingga engkau turun tangan bertempur dengannya."
Wajah Gulam Sang berubah kemerahan dan dia menoleh kepada dua orang kawannya.
"Kawan-kawanku ini yang usil maka terjadi perkelahian. Mereka hendak menyingkap tabir yang menutupi wajah Nona ini."
Keng Han mengerti mengapa mereka berkelahi. Tentu saja bibi gurunya tidak sudi dibuka cadarnya dan masih beruntung mereka berdua itu tidak sampai dipukul mati.
"Kalian sudah bertindak lancang. Mengingat engkau putera suhu Gosang Lama, biarlah aku mintakan ampun kepada bibi guruku." kata Keng Han sambil menoleh. Akan tetapi ternyata Cui In sudah tidak nampak, sudah pergi dari tempat itu tanpa pamit. Ketika tadi Keng Han muncul, Cu In juga merasa berbahagia sekali. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda tinggi besar itu putera guru Keng Han, Cu In menjadi marah dan pergi tanpa pamit.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
191 "Eh, ke mana bibi guru?"
Si jenggot kambing yang menjawab. "Ia sudah pergi sejak tadi."
Keng Han memandang kepada si jenggot kambing dan si hidung pesek dengan marah.
"Kalian berdua telah melakukan kesalahan, hayo cepat minta maaf kepadaku dan aku akan memaafkan atas nama bibi guruku!"
Kedua orang itu memandang kepada Gulam Sang yang mengangguk. Keduanya lalu
mengangkat kedua tangan di depan dada, memberi hormat kepada Keng Han, "Harap sampaikan maaf kami kepada nona tadi."
"Saudara yang baik, siapakah namamu dan sejak kapan engkau menjadi murid ayahku?"
"Namaku Si Keng dan sejak berusia sepuluh tahun aku menjadi murid Gosang Lama selama lima tahun."
"Kalau begitu engkau masih saudaraku sendiri walaupun aku sendiri sejak kecil tidak pernah bertemu dengan mendiang ayahku. Apa saja yang dipesankan ayah kepadamu sebelum dia meninggal?"
"Dia berpesan agar aku bekerja sama denganmu, saling bantu."
"Bagus sekali! Mari kita kembali ke dusun dan mencari penginapan agar kita leluasa bicara."
Keng Han tidak menolak, karena percuma saja andaikata dia akan mengejar Cu In yang pergi tanpa pamit . Dan dia pun ingin mengenal lebih baik putera suhunya ini yang berkepandaian tinggi dan yang menurut Dalai Lama pernah menjadi murid Dalai lama yang sakti. Mereka kembali ke dusun dan menyewa kamar, kemudian bercakap-cakap berdua saja di kamar yang disewa Keng Han.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
192 "Nah, sekarang katakan apa yang hendak kaubicarakan, Gulam Sang. Kerja sama yang bagaimana yang dapat kita bersama lakukan."
"Nanti dulu, Keng Han. Aku ingin tahu siapakah orang tuamu dan sekarang ini engkau hendak ke mana" Kita harus terbuka dan menceritakan keadaan masing-masing, baru kita dapat bekerja sama, bukan?"
Keng Han mengangguk-angguk. Dia belum percaya kepada pemuda tinggi besar ini, akan tetapi bagaimanapun juga, pemuda ini adalah putera Gosang Lama yang pernah menjadi gurunya yang baik. "Terus terang saja, saudara Golam Sang. Ibuku adalah seorang wanita Khitan, puteri seorang kepada suku di sana dan ayahku...." Ia berhenti dan meragu. Ha-rus dikatakankah rahasia tentang ayah-nya"
"Dan ayahmu tentu bukan orang Khi-tan!" kala Golam Sang.
"Engkau benar. Ayahku adalah seorang pangeran kerajaan Ceng."
"Ahhh....!" Gulam Sang nampak ter-kejut. "Siapa nama ayahmu yang pangeran itu?"
"Nama ayahku adalah Tao Seng, jadi aku she Tao Keng Han."
"Ahhh....!" kembali Golam Sang terkejut. "Apakah Pangeran Tao Seng yang dihukum buang itu?"
"Agaknya engkau mengetahui banyak hal tentang ayahku, saudara Golam Sang."
"Aku hanya mendengar saja bahwa ada dua orang pangeran yang dihukum buang."
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
193 "Dan tahukah engkau di mana ayahku itu sekarang?"
"Aku tidak tahu, mungkin di kota raja, mungkin masih di tempat pembuangannya, di Barat.
Akan tetapi engkau tentu dapat mencari keterangan di kota raja. Kebetulan aku mengenal seorang pensiunan pejabat tinggi yang dahulu berhubungan erat dengan ayahmu. Kau carilah dia di kota raja dan dia pasti akan dapat memberitahu di mana ayahmu. Namanya Ji Soan dan dikenal dengan sebutan Ji-wangwe (hartawan Ji) karena sekarang dia telah menjadi seorang saudagar yang kaya raya. Kau tanyakan kepada siapa saja di mana ru-mahnya Ji-wangwe dan tentu engkau akan dapat menemukannya."
Ah, terima kasih, Gulam Sang. Ke-teranganmu ini penting sekali bagiku. Besok pagi-pagi aku akan langsung menuju ke kota raja untuk mencari Ji-wangwe itu."
"Kabarnya, ayahmu itu difitnah dan dia dihukum dalam keadaan penasaran sekali."
"Difitnah?" tanya Keng Han, ingin sekali tahu.
"Ya, kabarnya yang melakukan fitnah adalah seorang pangeran lain yang kini menjadi Pangeran Mahkota."
"Aku mendengar dari ibuku bahwa ayahku itu adalah Pangeran Mahkota."
"Mungkin benar demikian. Mungkin karena dia seorang Pangeran Mahkota, ada pangeran lain yang iri hati dan melakukan fitnah sehingga dia dihukum buang."
"Siapakah pangeran jahat itu?"
"Dia adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Akan tetapi urusan itu aku pun tidak tahu banyak.
Yang lebih mengetahui adalah Hartawan Ji itulah. Bagaimanapun juga, Pangeran Tao Kuang dan Kaisar Cia Cing itu adalah musuh be-sarmu karena merekalah yang mencelakakan dan menghukum ayahmu."
"Kalau benar ayah terhukum dengan penasaran, aku akan membalas dendam!" kata Keng Han dengan hati panas.
"Bagus! Dalam hal ini, kita dapat bekerja sama. Kita sama-sama berjuang menggulingkan pemerintahan Ceng yang dipegang oleh Cia Cing dan kelak di-pegang oleh Pangeran Tao Kuang itu!. Kita bekerja sama dengan teman-teman seperjuangan."
"Hemmm, kau maksudkan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang dulu kaubantu mengeroyok kami itu" Mereka itu bukan orang-orang baik. Aku sudah mendengar sepak terjang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai itu. Mereka adalah orang-orang jahat yang berkedok perjuangan. Bagaimana kita dapat bekerja sama de-ngan mereka?"
"Nah, di sini letaknya kesalah-pahaman itu. Engkau berpikiran seperti ketua Thian-li-pang itu.
Kalau kita benar-benar hendak berjuang menentang pemerintahan, kita harus mempersatukan semua tenaga dari pihak manapun. Kita harus bersatu padu tanpa mempedulikan watak masing-masing, untuk bersama-sama mengadapi pasukan pemerintah yang kuat. Aku lebih condong menyetujui pendapat ketua Bu-tong-pai!"
"Ah, engkau juga hadir ketika ada rapat besar itu?"
"Tentu saja. Aku hadir sebagai pendengar saja. Nah, bagaimana pendapatmu?"
Keng Han meragu. "Agaknya engkau benar. Aku harus membalas dendam atas kematian ayahku kalau benar dia sudah mati secara penasaran dan difitnah. Aku suka bekerja sama denganmu, Gulam Sang."
Gulam Sang menjabat tangan Keng Han. "Bagus, kita akan bekerja sama kelak. Kau tunggu saja di rumah Hartawan Ji, karena dia pun telah menjadi sekutu kami untuk melakukan Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
194 pemberon-takan. Pergilah engkau ke sana, cari keterangan tentang ayahmu dan katakan kepada Ji-wangwe bahwa engkau adalah sahabat dan sekutuku yang suka untuk bekerja sama."
Demikianlah, Keng Han yang masih hijau dalam pengalamannya itu percaya sepenuhnya kepada Gulam Sang karena orang ini adalah putera gurunya yang sudah meninggalkan pesan agar dia be-kerja sama dengan Gulam Sang.
*** Yo Han dan Tan Sian Li tidak dapat membantah atau melarang lagi ketika Yo Han Li menyatakan pendapatnya bahwa ia ingin merantau untuk mencari pengalaman.
"Bukankah Ibu dahulu ketika masih muda juga suka merantau mencari pe-ngalaman di dunia kang-ouw sehingga Ibu dijuluki Si Bangau Merah di dunia kang-ouw" Juga Ayah mendapat julukan Pen-dekar Tangan Sakti karena perantauannya di dunia kang-ouw. Saya hanya ingin merantau dan meluaskan pengalaman saja. Saya tidak ingin mendapatkan nama julukan dan saya akan selalu berhati-hati agar jangan terpancing dalam per-musuhan." Demikian ucapan Yo Han Li yang membuat ayah ibunya tidak dapat membantah lagi dan terpaksa memberi ijin kepada puterinya untuk merantau. Siapa tahu dalam perantauannya itu pu-teri mereka akan bertemu dengan jodoh-nya. Mereka tidak perlu khawatir karena sekarang Han Li sudah memiliki tingkat kepandaian yang sebanding dengan ting-kat ibunya, sudah cukup kuat untuk men-jaga diri.
"Baiklah, kami mengijinkan engkau untuk pergi merantau meluaskan pengalaman. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan pergi lebih lama dari setahun. Dalam waktu setahun engkau harus sudah pulang." kata Yo Han. "Di dunia kang--ouw sedang kacau karena partai besar seperti Bu-tong-pai hendak memberontak dan mengajak partai-partai sesat untuk bekerja sama. Engkau jangan terpikat oleh mereka itu. Perjuangan kita lain sifatnya. Kita pantang bekerja sama dengan penjahat dan kita bergerak me-lihat suasana."
"Aku berjanji, Ayah." kata Han Li.
"Hati-hatilah, anakku," kata Tan Sian Li. "Jangan engkau mencari permusuhan dengan siapapun. Biarpun engkau harus membela kebenaran dan keadilan, mem-bela yang tertindas dan menentang yang jahat, namun kalau tidak terpaksa sekali jangan engkau membunuh orang. Dan yang harus kau ingat benar, jangan sekali-kali percaya begitu saja kepada mulut manis seseorang, karena di dunia kang-ouw banyak sekali penjahat yang bermuka dan bermulut manis. Engkau harus pandai menjaga harga dirimu, walaupun tidak perlu tinggi hati.
Kalau sekiranya ada bahaya mengancam, sebut nama julukan ayahmu dan nama julukanku, mungkin dapat menolongmu."
"Baik, Ibu. Aku akan selalu ingat akan nasihat Ayah dan Ibu."
Tiga hari kemudian, Yo Han Li berangkat meninggalkan Thian-li-pang yang berpusat di Bukit Naga itu dan turun gunung untuk memulai dengan perantau-annya. Ia membawa sebuah buntalan pakaian dan sekantung uang. Tidak lupa ia membawa pula sebatang pedang pemberian ayahnya yang selalu dipakainya untuk berlatih silat pedang.
Ayah dan ibunya mengantar puteri mereka sampai keluar pintu gerbang. Bagaimanapun juga, kedua orang tua ini mengkhawatirkan puteri mereka yang merupakan anak tunggal. Mereka tahu bahwa justeru kecantikan gadis itu yang akan banyak mendatangkan gangguan pada puteri mereka.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
195 Yo Han Li yang berusia delapan belas tahun itu memang cantik. Wajahnya mirip dengan ibunya. Mukanya bulat telur kulitnya putih mulus, mata agak lebar dan hidungnya mancung, mulutnya selalu tersenyum agak menengejek dan dihias lesung pipit di pipi kiri. Tubuhnya sedang dan ramping. Ia berpakaian sederhana, dari sutera berwarna biru dan kuning, sepatunya dari kulit berwarna hitam. Ia membawa pedang di pinggangnya dan buntalan pakaiannya berada di punggungnya.Apa yang dikhawatirkan ayah ibu gadis itu ternyata terbukti, bahkan baru sehari setelah gadis itu meninggalkan rumahnya. Sore itu tibalah ia di sebuah bukit yang masih bertetangga dengan Bukit Naga. Dari bukit itu, kalau ia menoleh, ia akan melihat Bukit Naga yang dari situ nampak memanjang dan berlekuk-lekuk, seperti tubuh seekor naga dan karena bentuknya itulah maka bukit itu disebut Bukit Naga.
Ketika Han Li sedang melangkah maju dengan cepat untuk mencari dusun di mana ia boleh melewatkan malam, tiba-tiba muncul dua belas orang laki-laki yang kelihatan kasar. Pakaian mereka tidak karuan dan sikap mereka kasar sekali, mata mereka liar dan bengis, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang muka codet, yaitu terdapat cacat bekas goresan senjata pada pipi kirinya. Melihat seorang gadis berjalan seorang diri, dua belas orang itu tertawa senang dan si muka codet itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, sungguh tidak kusangka di tempat sesunyi ini terdapat seorang nona yang cantiknya seperti bidadari! Eh, Manis, engkau siapakah dan hendak pergi ke mana?"
Han Li belum pernah bertemu dengan orang-orang macam itu, akan tetapi ia sudah mendengar banyak cerita tentang orang-orang kasar yang biasanya menjadi perampok dari ibu dan ayahnya. Maka kini ia pun dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan segerombolan perampok.
"Aku seorang gadis perantau yang hendak mencari dusun di depan sana. Harap kalian tidak menghalangiku pergi."
"Ha-ha-ha, untuk apa mencari dusun" Kalau hanya hendak melewatkan malam, ikutilah bersama kami dan kita ber-senang-senang. Kami mempunyai banyak arak dan kami telah menangkap beberapa ekor lembu dari dusun yang kami lewati. Kita berpesta pora. Mari, Nona!" katanya dan tangan si codet itu sudah dijulurkan ke depan untuk merangkul pinggang yang ramping itu. Dengan cepat Han Li sudah menangkah mundur. Pandang matanya mencorong ketika ia berkata, suaranya masih lembut namun mengandung ancaman.
"Sudah kukatakan, harap jangan halangi dan ganggu aku atau kalian akan menyesal nanti!"
"Ehhh" Engkau mengancam kami" Ho-ho-ho-ha-ha, agaknya karena engkau membawa
pedang engkau dapat mengancam kami" Menyerahlah, Nona, dan aku akan bersikap manis padamu. Kalau eng-kau berkeras, terpaksa aku akan meng-gunakan kekerasan
menangkapmu!" "Hemmm, sombongnya! Boleh kaucoba kalau engkau mampu menangkap aku!" kata Han Li dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap untuk menghadapi penyerangan lawan.
"Heiii, kalian dengar, kawan-kawan" Ia menantangku, ha-ha-ha!"
Semua anak buah juga tertawa. "Jangan sampai ia terluka, sayang kalau sampai terluka, Toako!"
"Jangan sampai kulit yang putih mulus itu lecet!"
"Ha-ha-ha, sekali ringkus saja ia pun akan berada dalam pelukanku. Kalian lihat saja!"
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
196 Tiba-tiba si codet menubruk dengan amat cepatnya, kedua lengan yang panjang
dikembangkan dan jari-jari kedua tangannya menyambar ke depan untuk menerkam Han Li.
Namun dengan lincah dan mudah saja Han Li menyelinap dan mengelak dari terkaman itu. Ia melihat bahwa lawannya itu hanya seorang yang mengandalkan kekuatan otot saja dan gerakannya terlalu lamban baginya. Be-gitu mengelak, ia sudah menyelinap ke belakang si codet dan sekali kaki kirinya bergerak, sepatu hitamnya sudah menen-dang pantat si codet sehingga tubuh tinggi besar itu jatuh tersungkur!
Semua anak buah kaget bukan main melihat betapa pimpinan mereka terten-dang roboh oleh gadis itu hanya dalam se-gebrakan saja. Akan tetapi si codet menjadi penasaran dan marah sekali karena malu. Dia merangkak bangun kemudian menghadapi Han Li dengan muka bengis dan kemerahan, kedua tangannya dibuka seperti cakar harimau dan tanpa banyak cakap lagi kini dia menyerang dengan pukulan dan tamparan. Sepak terjangnya ganas dan liar seperti seekor harimau. Namun bagi Han Li gerakan itu terasa amat lambat sehingga amat mudah baginya untuk mengelak ke kanan kiri dan setelah mendapatkan kesempatan, tangan kirinya menampar, kini mengenai leher si codet yang kembali terpelanting roboh dan sekali ini agak lambat dapat bantuan. Kepalanya terasa pening dan lehernya terasa seperti patah!
Akan tetapi hajaran kedua kali itu agaknya tidak membuat kepala gerombolan perampok itu jera. Dia bahkan mencabut golok besarnya dari pinggang dan memutar-mutar golok itu di atas kepala dengan sikap mengancam. Dia tidak lagi menyayang gadis cantik itu dan kalau perlu akan disembelihnya untuk meredakan kemarahannya.
Melihat cara orang mencabut golok dan memutar-mutar di atas kepalanya, tahulah Han Li bahwa orang ini hanya memiliki ilmu silat biasa saja, maka ia pun tidak mau mencabut pedangnya. Ia siap menghadapi serbuan orang bergolok itu dengan tangan kosong saja.
"Bocah setan, mampuslah kau seka-rang!" bentak si codet dan dia sudah menyerang dengan ganasnya. Goloknya berayun dari kanan ke kiri membabat ke arah leher Han Li. Dengan menunduk-kan kepala Han Li sudah mengelak. Go-lok lewat menyambar di atas kepalanya, lalu membalik menyambar dari kiri ke kanan membabat pinggangnya! Dengan geseran kaki ke belakang kembali Han Li membiarkan golok itu lewat.
Setelah dua kali tacokannya dapat dielakkan lawan, si codet menjadi semakin penasaran.
"Hyaaaaattt....!" Dia berteriak nyaring dan kini goloknya menusuk ke arah perut gadis itu.
Han Li menggeser kaki ke kiri dan ketika golok itu lewat dekat perutnya, ia melangkah maju dan secepat kilat tangannya menampar, kini dengan tenaga lebih dan tamparan tangannya menghantam bawah leher kepala perampok itu.
"Plakkk.... ughhhhh....!" Tubuh itu terbanting keras dan tidak dapat bangun kembali.
Tamparan tadi amat hebatnya dan membuat kepalanya seperti remuk, bumi berputar dan matanya menjadi juling.
Sebelas orang anak buahnya melihat betapa pimpinan mereka roboh segera mencabut golok masing-masing dan de-ngan teriakan-teriak dahsyat mereka menyerbu dan mengeroyok Han Li yang bertangan kosong dari berbagai jurusan. Akan tetapi mereka terkejut bukan main.
Gadis yang tadi berada di tengah-tengah mereka tiba-tiba melayang ke atas dan sudah berada di belakang mereka. Mereka membalik, akan tetapi dua kali kaki Han Li melayang dan dua orang di antara mereka roboh. Han Li mengamuk di antara pengeroyokan gerombolan itu dan membagi-bagi tendangan dan tamparan tangannya yang ampuh. Dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah jatuh bangun dan akhirnya, dipimpin oleh si codet, mereka melarikan diri seperti sekawanan monyet melihat singa betina mengamuk.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
197 Han Li tersenyum geli dan mengibas-ngibaskan kedua tangannya, mengebutkan pakaiannya agar bebas dari kotoran debu, kemudian ia pun melanjutkan perjalanan seperti tak pernah terjadi sesuatu. Ia sudah mendapatkan pengalaman yang menarik dan ia sudah memenuhi pesan ayah ibunya, yaitu menentang kejahatan dan tidak sembarangan membunuh orang.
Kalau ia menghendaki, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh semua lawan tadi.
Han Li melanjutkan perjalanannya. Yang dituju adalah ke kota raja. Ia sudah mendapat keterangan dari ayah ibunya di manakah adanya kota raja, dan ia ingin sekali melihat kota yang besar dan indah itu. Sudah banyak ia mende-ngar tentang keindahan kota raja, namun belum pernah ia melihatnya. Dengan cepat ia menuruni lereng bukit itu menuju ke sebuah dusun yang dilihatnya dari lereng bukit tadi dan mencari tempat untuk bermalam di dusun itu.
Sepasang suami isteri petani yang sederhana de-ngan senang hati memberikan kamar mereka untuk Han Li yang menyewanya.
*** Beberapa pekan telah lewat tanpa ada halangan sesuatu yang mengganggu perjalanan Yo Han Li. Pada suatu pagi tibalah ia di tepi Sungai Kuning di daerah Propinsi Shansi. Niatnya akan pergi ke kota Tai-goan dan dari sana terus ke kota Peking. Ia berjalan menyusuri sungai besar itu untuk mencari tumpangan perahu yang akan dapat menyeberangkannya. Akan tetapi tepi di mana ia tiba itu sunyi, tidak ada dusun nelayan di situ. dan perahu-perahu yang sedang berlayar itu berada di tengah sungai sehingga ia tidak dapat menghubungi mereka.
Tiba-tiba ia melihat seorang kakek sedang memancing ikan. Kakek itu duduk di atas sebongkah batu di tepi sungai dan memegangi tangkai pancing dari batang bambu kecil, matanya penuh perhatian memandang joran pancingnya. Memang itulah nikmatnya seorang pemancing ikan. Memperhatikan joran pancingnya dengan penuh harapan dan begitu joran pancingnya bergerak, begitu tangan yang memegang tangkai pancing itu merasakan sentakan, itu tandanya umpan disambar ikan dan pada saat yang tepat menggerakkan tangkai pancingnya ke atas agar pancing dapat menusuk mulut ikan!
Han Li tidak mengerti tentang seni memancing ikan. Kalau pemancing ikan sedang mencurahkan segenap perhatian kepada joran pancingnya, dia sama sekali tidak boleh ditegur atau diganggu. Karena tidak tahu, Han Li menghampiri kakek itu dari belakang dan bertanya, gKakek yang baik, tahukah engkau di mana aku bisa menyewa perahu untuk
menyeberangkan aku" h Kakek yang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada joran pancingnya dan melupakan segala yang berada di sekelilingnya itu terkejut dan marah.
gApakah engkau tidak melihat bahwa aku sedang memancing"
h bentaknya tanpa menoleh. Han Li terkejut. gMaafkan kalau aku mengganggu. Kalau engkau dapat memberi
keterangan padaku di mana aku dapat menyewa perahu, biarlah aku beri sedikit uang agar engkau dapat membeli ikan, daripada susah payah memancing.
h Tapi kakek itu menjadi lebih marah lagi.
gAku butuh ikannya! Aku membutuhkan
ketenangan memancingnya. Kalau aku ingin ikan, tidak usah beli dan menangkap ikan apa sih sukarnya" Kaulihat!
h Tiba-tiba kakek itu menggerakkan ujung tangkai pancingnya ke
dalam air seperti orang menusuk dengan tombak dan ketika dia mengangkat tangkai pancing Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
198 itu.... di ujung tangkai dari bambu itu sudah tertusuk seekor ikan besar yang menggelepar-gelepar.
Han Li terkejut sekali. Ia maklum bahwa kakek ini seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia memberi hormat dan berkata,
gHarap Locianpwe suka memaafkan kalau aku sudah
mengganggu ketenangan Locianpwe.
h gEnak saja mengganggu ketenangan, engkau bahkan sudah menghilangkan seleraku mancing!
h Kakek itu melemparkan ikan dan tangkai pancingnya ke air lalu membalikkan
tubuhnya sambil melompat berdiri. Ternyata kakek itu gemuk dan pendek sekali masih kalah tinggi dibandingkan Han Li. Wajahnya seperti kanak-kanak, telinganya lebar dan matanya kemerahan. Wajah itu mendatangkan rasa ngeri dalam hati Han Li.
Ketika kakek itu melihat Han Li, matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai.
gAha, kiranya yang menggangguku adalah seorang gadis yang cantik jelita. Nona, engkau ini manusia ataukah penunggu sungai ini"
h Dalam ucapan dan pandang mata itu terkandung keceriwisan seorang yang mata keranjang, maka Han Li lalu memutar tubuhnya hendak pergi dari situ tanpa menjawab pertanyaan tadi.
Akan tetapi ketika ia memutar tubuh dan melangkah, tiba-tiba ada bayangan orang melewatinya dan tahu-tahu kakek itu telah berdiri di depannya.
h gHo-ho-ho, nanti dulu, Nona. Engkau sudah menggangguku dan hendak pergi begitu saja.
Tidak bisa, tidak boleh! Engkau harus dihukum untuk gangguanmu tadi.
h gLocianpwe, atas kesalahan itu aku telah minta maaf dan bersedia mengganti kerugianmu.


Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Harap Locianpwe tidak menghalangiku dan biarkan aku melanjutkan perjalananku.
h gHa-ha-ha, enak saja! Orang yang sudah menggangguku selagi memancing, seharusnya dihukum mati. Akan tetapi melihat engkau begini cantik, biarlah hukuman itu kuubah.
Engkau tidak akan kuhukum mati, melainkan harus menjadi pelayanku selama satu minggu!
h gEngkau keterlaluan, Locianpwe. Aku tidak mau menjadi pelayanmu walau hanya sehari, apalagi seminggu.
h gHemmm, keputusan hukumanmu tidak dapat diubah lagi. Mau atau tidak engkau harus menjadi pelayanku selama semingu.
h Aku tidak sudi dan harap jangan halangi aku pergi!
h kata Han Li dengan marah dan ia lalu
membalikkan tubuh lagi untuk meninggalkan kakek pendek gemuk itu. Akan tetapi kembali ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu telah berada di depannya lagi, mengembangkan kedua tengannya sambil menyeringai.
Engkau tidak boleh pergi sebelum aku membebaskanmu! katanya.
Han Li menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya ia mendorong pundak kakek itu sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tangannya bertemu dengan pundak yang sekokoh baja dan tubuh itu sama sekali tidak tergoyangkan Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
199 dorongannya! Ha-ha-ha, mana bisa engkau menyuruhku pergi! Kakek itu mengejek.
Dalam kemerahannya, Han Li lalu menggunakan tangan kanannya untuk menampar dada kakek itu. Tamparannya ini kuat sekali karena ia mengerahkan, tenaga sin-kang.
Wuuuuuttt....plakkk! Untuk kedua kalinya ia terkejut dan merasa heran. Tamparannya tadi sedemikian kuatnya sehingga akan mampu menghancurkan sebongkah batu. Akan tetapi ketika mengenai dada kakek itu, pukulannya tidak berarti sama sekali, tenaga sinkangnya seperti tenggelam dan hilang sendiri. Ini hebat! Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek sakti yang agaknya berniat jahat terhadap dirinya, Han Li lalu menyerang dengan ilmu silat Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah) yang dipelajari dari ibunya!
Kakek itu pun mengeluarkan seruan heran dan tubuhnya demikian cepatnya mengelak ke sana sini, lalu dia berseru sambil meloncat ke belakang. Hei, bukankah ini Ang-ho Sin-kun" Apa hubunganmu dengan Si Bangau Merah"
Han Li merasa bangga bahwa kakek ini mengenal ilmu silat ibunya. Beliau adalah ibu kandungku!
Ho-ho-ho, kebetulan sekali, tidak dapat menghajar ibunya, anaknya pun boleh mewakilinya.
Nah, sekarang hukumanmu ditambah lagi. Engkau harus menjadi pelayanku selama satu bulan penuh. Tidak boleh ditawar-tawar lagi dan kelak engkau boleh bercerita kepada Si Bangau Merah bahwa engkau pernah menjadi pelayanku selama satu bulan! Ha-ha-ha!
h Kakek yang sesat! Kalau ayahku mengetahui hal ini, engkau tentu akan dihajar sampai setengah mampus! Ayah kandungku adalah Pendekar Tangan Sakti Yo Han!
Ha-ha-ha, aku sudah tahu karena aku mendengar bahwa Si Bangau Merah telah menikah dengan Si Tangan Sakti. Karena itu, sampai hari ini perasaan penasaran di hatiku kupendam saja. Dan sekarang engkau muncul tanpa kusangka-sangka.
Biarlah rasa penasaran ini kutumpahkan kepadamu!
Apa kesalahan ibuku sehingga engkau hendak membalas dendam melalui penghinaan atas diriku" Dulu, di waktu mudanya, Si Bangau Merah pernah mencampuri urusanku dan membikin malu sehingga belasan tahun aku tidak ada muka untuk muncul di dunia kang-ouw.
Akan tetapi sekarang, ha-ha-ha, biar ia dibantu suaminya, aku tidak akan merasa gentar. Nah, hayo cepat berlutut dan beri hormat kepada majikanmu!
Aku tidak sudi! jawab Han Li.
Kalau begitu aku akan memaksamu berlutut! Kakek itu lalu menggerakkan tangan kirinya ke arah pundak Han Li. Han Li cepat mengelak, akan tetapi tetap saja merasa pundaknya dilanda angin yang mengandung hawa panas. Ia meloncat ke belakang dan cepat mencabut pedangnya.
gKalau engkau tidak menghentikan perbuatanmu, terpaksa pedangku ikut
bicara! h gHa-ha-ha, pedang mainan kanak-kanak itu kaupakai untuk menakut-nakuti aku" Ha-ha-ha-ho-ho!
h Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
200 Han Li maklum bahwa kakek ini sudah nekat, maka ia lalu memainkan ilmu silat Koai-liong-kiamsut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang ia pelajari dari ibunya pula. ilmu pedang ini hebat bukan main, ketika ia menggerakkan pedangnya, pedang itu mengaum-aum seperti seekor singa marah. Pedangnya berkelebatan dan membentuk gulungan sinar pedang yang dahsyat.
Ilmu pedang ini berasal dari Lembah Naga Siluman yang dikuasai oleh Kam Hong. Kam Hong mengajarkan kepada puterinya, Kam Bi Eng dan Kam Bi Eng menurunkan kepada Tan Sian Li Si Bangau Merah. Kini Tan Sian Li menurunkan kepada puterinya, Yo Han Li.
Sebetulnya, ilmu pedang ini merupakan gabungan ilmu pedang dan ilmu silat suling dan biasanya Tan Sian Li memainkannya dengan sebatang suling berselaput emas. Akan tetapi Yo Han Li tidak suka menggunakan suling maka oleh ibunya lalu diganti pedang. Biarpun dengan pe dang ilmu itu menjadi Ilmu Pedang Naga Siluman namun unsur-unsur ilmu Suling Emas masih terkandung di dalamnya, maka kehebatannya luar biasa.
Kakek itu berilmu tinggi karena sesungguhnya dia adalah seorang tokoh datuk selatan yang berjuluk Lam-hai Koai-jin (Orang Aneh Laut Selatan). Biarpun usianya sudah enam puluh tahun namun wajahnya seperti kanak-kanak dan wataknya keras, bahkan dia mempunyai watak mata keranjang pula. Melihat Han Li yang demikian cantiknya, timbul nafsunya dan ingin dia mempermainkan gadis itu. Apalagi ketika mendengar bahwa gadis itu puteri Si Bangau Merah, nafsunya makin menjadi. Dahulu, dua puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih bertualang di selatan, pernah dia bertemu dengan Si Bangau Merah dan hendak mempermainkannya, akan tetapi dia dikalahkan oleh pendekar wanita itu. Maka, kini dia hendak membalas dendamnya kepada puteri musuh besarnya itu.
Namun, menghadapi permainan pedang Han Li, kakek itu menjadi sibuk dan kewalahan juga.
Setelah berloncatan mundur dan ke kanan kiri untuk mengelak, akhirnya dia menyambar tangkai pancingnya dan dengan senjata istimewa ini dia melakukan perlawanan. Tangkai pancing dari bambu itu bersiutan menyambar-nyambar dan dapat dipergunakan untuk menangkis pedang lawan tanpa khawatir patah atau putus. Juga tangkai pancing itu lebih panjang dari pedang sehingga kakek itu lebih leluasa menyerang Han Li.
Gadis ini terkejut bukan main. Ia memang sudah menduga bahwa kakek itu lihai sekali, akan tetapi sama sekali tidak mengira, bahwa dengan tangkai pancing bambu seperti itu kakek itu mampu melawan bahkan mendesaknya! Ujung tangkai itu kini menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darahnya. Selain itu, juga tangkai pancing itu berputar-putar seperti dayung lebar dan ujungnya seperti seekor lebah yang mengancam kepala dan lehernya.
Pada saat yang amat gawat bagi Han Li, tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh-kekeh, Heh-heh-heh, datuk Lam-hai Koai-jin sekarang telah menjadi seorang pengecut yang menyerang seorang gadis yang pantas menjadi cucunya!
Mendengar suara tawa ini, kakek itu menahan gerakan tangkai pancingnya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Han Li yang sudah terdesak itu untuk melompat ke belakang. Ternyata yang datang dan tertawa itu adalah seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi kurus seperti orang kurang makan, pakaiannya juga penuh tambalan walaupun bersih dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu. Dari pakaiannya saja sudah dapat diduga bahwa kakek ini seorang pengemis. Rambutnya sudah putih semua dibiarkan tergantung di sekeliling pundak dan lehernya.
Melihat pengemis tua ini, Lam-hai Koai-jin terkejut. dan segera mengenalnya. Lu Tong Ki, Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
201 gembel tua bangka busuk, mau apa engkau mencampuri urusanku" Gadis ini telah mengganggu aku yang sedang enak-enak memancing ikan,maka perlu kuberi hukuman.
Bukankah itu sudah adil" Memang adil, heh-heh-heh. Akan tetapi bagaimana caranya gadis ini mengganggumu dan hukuman apa yang hendak kauberikan kepadanya"
Ia mengganggu ketenanganku memancing ikan.
Dia bohong, Kek Han Li cepat berkata. Aku hanya menghampiri dia dan bertanya di mana aku bisa mendapatkan tukang perahu untuk menyeberangkan aku ke seberang sana. Tahu-tahu dia marah dan menyerangku!
Heh-heh-heh, dan hukuman apa yang akan kauberikan kepada Nona ini, Koai-jin"
Aku hanya minta agar ia menjadi pelayanku selama beberapa hari....
Tidak begitu, Kek. Dia minta aku berlutut di depannya sebagai majikanku dan dia hendak menjadikan aku pelayannya selama satu bulan! kata pula Han Li dengan suara nyaring.
Wah-wah-wah, ini sudah keterlaluan sekali namanya. Tidak malukah engkau, Koai-jin, menghina dan mengganggu seorang gadis muda seperti itu"
Kai-ong (Raja Pengemis), jangan engkau usil dan mencampuri urusanku atau terpaksa aku harus menghajarmu pula!
Kakek yang bernama Lu Tong Ki yang berjuluk Kai-ong itu tertawa panjang. Heh-heh-heh-heh-heh! Engkau hendak menghajarku" Sejak kapan engkau berani mengeluarkan
kesombongan seperti itu" Dan bagaimana engkau hendak menghajarku" Dengan apa"
Dengan ini! Lam-hai Koai-jin berteriak marah sambil menggerakkan tangkai pancingnya.
Kalau tadi ketika melawan Han Li dia menggenggam pancingnya sehingga pancing itu tidak akan melukai Han Li, sekarang dia melepaskan pancingnya sehingga ketika dia menyerang, pancing berupa kaitan besi kecil menyambar dahsyat ke arah muka Kai-ong. Akan tetapi Lu Tong Ki bersikap tenang sekali. Begitu pancing itu menyambar dekat, tongkat bambu di tangannya bergerak.
Trakkk! Pancing itu terpental ketika tertangkis tongkat bambu itu dan selanjutnya kedua kakek itu saling menyerang dan tubuh mereka berkelebatan dengan cepat sekali. Bagi orang biasa yang melihatnya, tentu tidak akan mampu mengikuti gerakan, mereka karena dua orang itu seperti berubah menjadi bayang-bayang saja. Akan tetapi Han Li sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat maka ia dapat mengikuti gerakan mereka dan ia merasa kagum bukan main. Kedua orang kakek itu mempergunakan kecepatan gerakan mereka untuk memperoleh kemenangan dan agaknya dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) keduanya seimbang.
Sinar tongkat bergumul dengan sinar tangkai pancing sedangkan pancingnya sendiri sudah sejak tadi putus talinya. Karena tidak mampu menang dalam hal kecepatan gerakan, Lam-hai Koai-jin lalu memperlambat gerakannya dan kini dia menggerakkan tangkai pancingnya dan juga menggerakkan tangan kirinya yang terisi penuh tenaga sin-kang. Melihat ini, Lu Tong Ki juga mengimbangi lawan dan dia pun mengerahkan tenaga sin-kang untuk menandingi pukulan Koai-jin. Mereka ini saling pukul dan suara pukulan mereka menderu-deru, membuat pohon-pohon di sekeliling mereka bergoyang dan daunnya runtuh berguguran. Dengan penasaran sekali Koai-jin melempar tangkai pancingnya dan kini tubuhnya berjongkok.
Tubuh yang pendek itu berjongkok sampai pantatnya hampir menyentuh tanah dan dalam keadaan berjongkok itu dia memukulkan kedua tangannya yang terbuka ke depan, dan dari dalam mulutnya terdengar suara
gkok-kok-kok! h nyaring sekali. Han Li merasa geli
karena sikap dan suara Koai-jin seperti seekor katak besar yang menggembung perutnya.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
202 Akan tetapi agaknya Kai-ong tidak memandang rendah serangan seperti katak besar ini. Dia pun menancapkan tongkatnya ke atas tanah, menekuk kedua lututnya dan dia juga mendorongkan kedua tangannya untuk menyambut serangan lawan.
Jarak di antara mereka ada dua meter, akan tetapi ketika dua tenaga dahsyat itu bertemu, Han Li merasa ada getaran hebat melanda dirinya sehingga ia cepat duduk bersila dan mengarahkan sin-kang agar jangan sampai terluka. Ia melihat betapa kedua orang kakek itu tergetar, akan tetapi tubuh Koai-jin terpental dan bergulingan ke belakang sedangkan tubuh Kai-ong hanya bergoyanggoyang saja.
Lam-hai Koai-jin terpental masuk ke dalam sungai. Terdengar suara berjebur dan tubuhnya lenyap ditelah air. Han Li cepat berlari ke tepi sungai dan melihat. Ternyata tubuh itu tidak tersembul kembali.
Ah, dia mati Kek...." tanyanya kepada Kai-ong yang juga sudah berdiri di dekatnya memandang ke air sungai yang dalam itu.
Heh-heh-heh, dia mati" Hemmm, agaknya engkau belum mengenal siapa Lam-hai Koai-jin.
Dia datuk besar Laut Selatan, bagaimana bisa mati tercebur ke dalam sungai" Tidak, saat ini dia pasti sudah muncul jauh dari sini, entah berapa jauhnya karena ketika tercebur tadi, dia menyelam. Dia memang seekor katak buduk besar yang lihai!
Ahhh....!Gadis itu berseru kagum. Akan tetapi engkau telah dapat mengalahkannya, Locianpwe! Han Li menyebut locianpwe untuk menghormati kakek pengemis yang ternyata amat sakti itu. Heh-heh-heh, jangan sebut aku Locianpwe atau aku tidak akan sudi bicara denganmu. Namaku Lu Tong Ki, sebut saja aku kakek atau Kai-ong karena memang itu julukanku jelek-jelek aku ini raja lho, walaupun hanya raja pengemis, heh-heh-heh!
Baiklah, aku akan menyebutmu Kakek atau Kai-ong. Aku berterima kasih sekali kepadamu, Kakek, karena kalau engkau tidak datang mengusir Katak Buduk itu, entah apa jadinya dengan diriku.
Kai-ong menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya mengeluarkan suara tak, tak, tak, engkau tentu akan celaka sekali! Katak Buduk itu memang jahat, orang yang paling jahat di selatan dan sampai tua tetap saja dia mata keranjang dan jahat sekali. Akan tetapi aku melihat ilmu pedangmu hebat sekali, dan ilmu pedang seperti itu setahuku hanyalah Koai-liong-kiamsut. Benarkah demikian"
Pandanganmu tajam sekali, Kek. Memang benar aku tadi memainkan Koai-liong Kiam-sut.
Aha! Kalau begitu, apa hubungannya dengan Lembah Naga Siluman" Bukankah ilmu itu milik Pendekar Suling Emas dan Naga Siluman, Locianpwe Kam Hong"
Beliau adalah kakek buyutku, Kek.
Raja Pengemis itu nampak girang bukan main. Kalau begitu engkau tentu puteri Si Bangau Merah dan Pendekar Tangan Sakti, bukan"
Benar sekali. Heh-heh-heh, pantas saja Katak Buduk tadi hendak menghinamu karena aku mendengar dia Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
203 pernah dikalahkan ibumu. Dia juga mengatakan demikian tadi, Kek. Engkau hendak ke manakah dan siapa pula namamu"
Namaku Yo Han Li, dan aku sedang dalam perjalanan menuju ke kota raja. Aku tadi mencari tukang perahu untuk menyewa perahunya menyeberangi sungai ini.
Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Aku pun hendak ke kota raja, sudah terlalu lama aku tidak menikmati masakan di dapur istana. Dan aku mempunyai sebuah perahu kecil. Tuh di sana perahuku. Han Li, maukah engkau menyeberang bersamaku dan melakukan perjalanan bersamaku ke kota raja"
Tentu saja aku mau, Kek. Akan tetapi.... Ia memandang pakaian kakek itu. Aku tidak mau kalau kau ajak mengemis. Aku membawa bekal uang cukup banyak.
"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Biarpun pengemis, aku ini rajanya, tahu" Mana ada seorang raja mengemis!
Akan tetapi pakaianmu itu, Kek. Penuh tambalan. Biar nanti kubelikan pakaian yang lebih pantas untukmu.
Oho, kau kira yang kupakai ini pakaian apa" Ini adalah pakaian kebesaranku sebagai Raja Pengemis, tahukah engkau" Biar ditukar dengan pakaian kaisar sekalipun, aku tidak akan mau. Dan di dalam buntalan ini masih ada beberapa stel pakaian kebesaran. Jangan khawatir, aku setiap hari mandi dan bertukar pakaian. Biar pengemis, aku bukan pengemis busuk, heh-heh-heh!
h Wajah Han Li berubah kemerahan. Aku pun tidak mengatakan engkau demikian,
Kek. Akan tetapi, orang melakukan perjalanan harus ada hubungannya. Sedangkan aku tidak mempunyai hubungan apa pun denganmu. Bagaimana kalau aku menyebut suhu dan menjadi muridmu" Sebagai suhu dan muridnya, tentu tidak aneh melakukan perjalanan bersama.
Kakek itu tertawa dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Han Li. Gadis cerdik, engkau ingin aku mengajarkan ilmu silat kepadamu" Bagaimana kalau kelak Pendekar Tangan Sakti dan Si Bangau Merah mengetahui" Tentu mereka akan menjadi marah kepadaku.
Tidak, aku jamin. Kalau orang tuaku bertanya, aku akan mengaku bahwa akulah yang ingin menjadi muridmu, bukan engkau yang minta aku menjadi muridmu.
Heh-heh-heh, engkau memang cerdik sekali.
Melihat kakek itu tidak membantah lagi, Yo Han Li lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek iti sambil menyebut suhu. Lu Tong Ki segera membangunkan Han Li.
Sudahlah, tidak perlu banyak memakai peradatan. Aku memang suka menerimamu menjadi murid. Engkau puteri sepasang pendekar besar dan engkau berbakat sekali. Akan tetapi, yang dapat menandingi ilmu-ilmumu hanya sebuah saja padaku, yaitu Ta-kwi-tung (Tongkat Pemukul Iblis). Itulah yang akan kuajarkan kepadamu sambil melakukan perjalanan ke kota raja.
"Terima kasih, Suhu.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
204 gNah, sekarang mari kita seberangi sungai ini, Han Li.
h kata kakek itu sambil meloncat
ke dalam sebuah perahu kecil yang berada di pantai. Kiranya kakek itu tadi datang berperahu.
Han Li juga menyusul Lu Tong Ki meloncat kedalam perahu. Kalau tadi ketika kakek itu meloncat, perahu sama sekali tidak bergoyang seolah yang hinggap di perahu itu hanya seekor burung. Akan tetapi ketika Han Li meloncat, perahu itu bergoyang sedikit. Ini saja menunjukkan bahwa dalam hal gin-kang, kakek itu telah memiliki ilmu yang tinggi sekali.
Karena perahu itu hanya mempunyai sebuah dayung, Han Li lalu meminta dayung itu dari gurunya dan sebagai seorang murid yang baik, ialah yang mendayung perahu itu menyeberang ke pantai timur. Lu Tong Ki tidak membantah dan membiarkan muridnya mendayung perahu itu. Perahu meluncur dengan cepatnya karena Han Li mengerahkan sinkang untuk mendayung perahu itu.
Jejak Di Balik Kabut 2 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Pangeran Perkasa 5

Cari Blog Ini