Ceritasilat Novel Online

Beruang Salju 1

Beruang Salju Karya Sin Liong Bagian 1


BERUANG SALJU SIN LIONG Kata Pendahuluan Kisah Beruang Salju ini merupakan cerita
lanjutan dari kisah-kisah Hoa San Lun
Kiam, Lima Jago Luar Biasa, Sia Tiauw
Eng Hiong, Sin Tiauw Hiap Lu dan Sin
Tiauw Thian Lam, yang semuanya itu
merupakan hasil karya Chin Yung.
Di dalam kisah "Beruang Salju" ini para pembaca akan bertemu
dengan seorang tokoh dengan bermacam perangai yang anehaneh dan kepandaian yang luar biasa, para pembaca juga masih
bisa bertemu dengan tokoh-tokoh lama, seperti Kwee Ceng, Oey
Yok Su, dan lain-lainnya.
Tetapi secara keseluruhannya, Kisah Beruang Salju ini merupakan
cerita yang benar-benar menarik, di mana walaupun sebagai
kelanjutan dari cerita Sin Tiauw Thian Lam, akan tetapi bisa dibaca
tersendiri. Nah, silahkan para pembaca mengikuti cerita ini.
Penulis 1 Pohon-pohon yang kering kerontang dengan tanah yang tandus, di
mana tidak terlihat kehidupan pada alam di sekitar perkampungan
Lung-cie yang terpisah empatratus lie dari kota Siang-yang, di
mana angin tidak berhembus, beku dan seperti mati. Dan juga terik
kemarau itu menambah keresahan untuk setiap makhluk yang
berada di sekitar daerah tersebut, merupakan suasana yang tidak
menarik sekali. Daerah tersebut merupakan daerah yang pernah dilanda oleh
suatu peperangan yang panjang dan ganas sekali sehingga
perkampungan Lung-cie merupakan daerah yang termasuk daerah
bekas korban peperangan, termasuk penduduknya yang banyak
mengalami kerusakan harta benda maupun jiwa dan raga. Banyak
yang berjatuhan sebagai korban peperangan, membuang jiwa
terbinasa oleh peperangan antara dua, Mongolia yang menyerbu
untuk merebut Siang-yang dan kekuatan tentara Song yang
bertahan di Siang-yang. Kerusakan hebat yang dialami oleh penduduk perkampungan
Lung-cie justru rumah mereka umumnya menjadi hancur porak
poranda rata dengan bumi, malah yang lebih menderita lagi adalah
kaum wanita penduduk perkampungan tersebut. Setiap wanita
yang memiliki paras cukup cantik telah menjadi korban keganasan
dari para tentara Mongolia yang menculik dan memperkosa
mereka sehingga tercerai berai dari suami isteri dan keluarga
maupun anak-anak mereka. Itulah peristiwa yang menyedihkan sekali, korban dari peperangan
merupakan sesuatu yang mengerikan dan dikutuk, walaupun
dengannya peperangan pasti akan membawa korban untuk
2 penduduk di tempat terjadinya peperangan tersebut. Segala
keganasan dan kebiadaban terjadi dalam pergolakan setiap
peperangan di mana saja. Lebih celaka lagi setelah Siang-yang terjatuh di tangan Kublai
Khan, dan Kaisar Mongolia tersebut berkuasa di daratan Tionggoan, dengan kerajaannya yang bernama Boan-ciu tersebut,
musim kemarau melanda daratan Tiong-goan.
Kemiskinan akibat peperangan yang telah mencekam dan
menyiksa penduduk di sekitar daerah ini, justru hebat akibat musim
kemarau yang berkepanjangan. Dan rupanya penduduk di daerah
tersebut belum juga habis menderita di mana mereka beruntun
harus mengalami penderitaan yang tidak berkesudahan.
Sebelum pecahnya peperangan antara pasukan tentara Mongolia
dengan pasukan tentara kerajaan Song di Siang-yang, jumlah
penduduk di perkampungan Lung-cie tersebut kurang lebih seribu
keluarga. Tetapi setelah usainya peperangan, dan diterjang musim
kemarau yang berkepanjangan, maka jumlah penduduk
perkampungan Lung-cie tidak lebih dari seratus keluarga.
Perkampungan yang dulunya indah dan ramai kini menjadi
perkampungan yang mati, tiada terlihat kegiatan pada penduduk
perkampungan Lung-cie tersebut. Wajah-wajah yang suram, tiada
kegiatan apapun pada penduduk perkampungan tersebut, dan
juga keresahan di samping kelesuan, telah meliputi seluruh
penduduk kampung Lung-cie tersebut.
Mereka merupakan sisa-sisa dari manusia-manusia yang menjadi
korban peperangan, dan yang masih tabah untuk melanjutkan
3 hidup mereka di daerah tersebut. Namun justru keadaan alam yang
beku dan mati, dengan tanah yang kering tandus dan juga
kemiskinan yang mereka hadapi, mereka tidak ada bergairah untuk
bekerja. Jika sebelumnya di perkampungan tersebut cukup banyak
bangunan gedung yang bertingkat tiga dan megah, sekarang
semua itu telah menjadi reruntuhan yang memuakkan, disamping
itu juga gubuk-gubuk reyot yang memenuhi perkampungan
tersebut, telah banyak yang rusak di sana sininya, dengan atapnya
yang terbuat dari daun-daunan dan bilik yang terbuat sederhana
dari kayu-kayu pohon. Segala apa yang terlihat pada saat itu di
perkampungan Lung-cie memang menyedihkan. Terlebih lagi jika
melihat keadaan penduduknya, yang umumnya memiliki tubuh
yang kurus kerempeng dan tidak terdapat semangat hidup, lesu
dan tidak jauh beda dengan sekeliling mereka.
Kesulitan dalam penghidupan yang diderita oleh penduduk Lungcie memang kian hari kian berat juga, di mana mereka mengalami
derita yang tidak berkeputusan. Banyak yang bersyukur jika dalam
seharinya mereka bisa makan tiga kali, mengisi perut yang lapar,
karena sebagian besar dari mereka justru terdapat yang hanya
makan pagi tetapi tidak untuk sore, makan sore tidak mengisi perut
di pagi hari. Dan keadaan yang diliputi kemiskinan seperti itu membuat
sebagian penduduk Lung-cie mengungsi ke perkampungan lain,
harapan mereka akan bisa membina hidup baru dengan keadaan
yang jauh lebih baik dari pada jika mereka berdiam terus di
4 perkampungan Lung-cie. Dengan begitu jumlah penduduk
perkampungan Lung-cie, semakin lama semakin sedikit saja.
Setiap hari, yang sering terlihat hanyalah tentara-tentara Mongolia
yang mondar mandir melakukan pemeriksaan di sekitar daerah
tersebut, tetapi merekapun umumnya memperlihatkan sikap yang
telah jemu melihat keadaan sekeliling mereka yang serba mati.
Manusia-manusianya yang tidak memiliki kegairahan dalam
menghadapi hidup, perkampungan yang miskin dan melarat,
dengan keadaan alam di sekitarnya yang kering mati, beku dan
tidak memiliki lagi suatu rangsangan untuk memperoleh suatu
kegembiraan. Dan jika pasukan tentara Mongolia yang melakukan pemeriksaan
setiap harinya di sekitar daerah tersebut masih melaksanakan
tugas mereka, itupun disebabkan kewajiban dari tugas mereka,
guna menjaga sebaik mungkin kota Siang-yang yang telah berhasil
direbut dengan bersusah payah tersebut. Kemenangan yang telah
diperoleh Kublai Khan dengan berhasil menerobos terus ke
pedalaman daratan Tiong-goan, menjatuhkan kerajaan Song, dan
lalu mendirikan kerajaan Boan-ciu, merupakan suatu kemenangan
mutlak. Namun di daerah perbatasan tersebut, yang diliputi kemiskinan,
belum memperoleh perhatian dari pemerintahan yang baru saja
berdiri itu. Dan para penduduk yang terdapat di sekitar daerah yang
berdekatan dengan kota Siang-yang belum pula pulih dari tekanan
perasaan takut dan sikap tidak acuh mereka.
5 Pagi itu, angin tidak berhembus, beku dan kering sekali, dan di
sekitar permukaan dari perkampungan Lung-cie, hanya tampak
beberapa ekor ayam dan anjing yang kurus. Jumlah binatangbinatang tersebut pun bisa dihitung dengan jari tangan.
Dari arah utara pintu perkampungan tersebut, tampak berjalan
seorang pria berusia tigapuluh tahun lebih, memakai baju yang
longgar berwarna kuning gading. Ikat pinggangnya terjuntai
panjang berwarna merah daging, dengan kopiah yang melesak
agak dalam menutupi keningnya. Bahan pakaiannya itu terdiri dari
bahan pakaian yang tidak mahal, namun jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan pakaian dari para penduduk perkampungan
tersebut. Debu yang memenuhi pakaian dan kopiahnya yang lusuh
itu, menunjukkan bahwa pria itu telah melakukan perjalanan yang
cukup panjang di daerah yang kering dan tandus ini.
Ketika memasuki pintu perkampungan Lung-cie, pria tersebut
memandang sekitarnya, dan sepasang alisnya telah mengkerut
dalam-dalam waktu melihat kemiskinan yang begitu parah meliputi
perkampungan itu. Terlebih lagi ia melihat beberapa orang
penduduk perkampungan tersebut yang umumnya berpakaian
tidak keruan dengan wajah yang pucat kurus, dengan tubuh yang
kerempeng. Disamping itu juga sikap mereka yang acuh tak acuh,
duduk terkulai menyandar di permukaan rumah mereka masingmasing, yang merupakan rumah-rumah yang tidak mirip lagi
disebut sebagai rumah, karena telah reyot dan rusak di sana
sininya dan lebih mirip dengan bangunan sebuah kandang
binatang, dan juga tidak memiliki perabotan rumah tangga. Benarbenar merupakan pemandangan yang menyedihkan sekali.
6 Kaum wanitanya, yang juga bertubuh kurus kering dan kenyang
ditelan oleh penderitaan, hanya duduk atau berdiam diri dengan
tak acuh pula, karena mereka tidak mengetahui apa yang perlu
dilakukan mereka, memasak ataupun melakukan tugas sebagai
seorang ibu rumah tangga. Tiada pekerjaan yang bisa mereka
lakukan. Pria asing yang baru datang di perkampungan tersebut telah
menghela napas dalam-dalam waktu menyaksikan pemandangan
yang menyedihkan seperti itu.
"Inilah korban peperangan yang tak mengenal kasihan kepada
makhluk yang berada di tempat terjadinya peperangan tersebut,
laknat dan jahat sekali....... korban-korban peperangan yang patut
dikasihani......!" dan setelah menggumam begitu, pria asing
tersebut menghela napas lagi dalam-dalam.
Ia menghampiri sebuah rumah gubuk yang terdapat tidak jauh dari
tempatnya berdiri tadi, dan di depan pintu rumah itu, tampak
seorang lelaki tua dengan kumis dan jenggot tak teratur dan
pakaian yang compang camping telah lusuh, di saat mana tengah
memainkan sebatang rumput kering yang ujungnya digigit-gigitnya
dengan sikapnya yang tak acuh. Wajah yang pucat seperti seraut
wajah mayat, dan matanya yang telah tidak memiliki sinar itu hanya
melirik sekejap saja pada pria asing yang tengah menghampirinya.
Pria asing itu telah merangkapkan tangannya, memberi hormat,
sambil katanya dengan suara yang ramah: "Lopeh (paman),
bolehkah aku bertanya sesuatu?"
7 Lelaki tua yang bertubuh kurus kering itu telah melirik lagi dengan
sinar matanya yang tidak bersemangat sekali, ia mengeluh
perlahan dan membenarkan letak duduknya dengan sikap acuh tak
acuh, ia berkata perlahan: "Apa hendak kau tanyakan, anak
muda?" "Siauwte tengah mencari seseorang, mungkin Lopeh kenal
padanya," kata pria asing tersebut. "Sengaja Siauwte telah
berkunjung ke perkampungan Lung-cie ini, untuk mcncari Lie Tiang
An. Dan menurut kabar yang Siauwte terima, belakangan ini Lie
Tiang An masih berdiam di perkampungan Lung-cie ini."
Tetapi orang tua bertubuh kurus kering tersebut telah menggeleng
perlahan, dengan lesu ia berkata: "Sayang sekali orang yang
engkau cari itu telah tiada......"
"Telah tiada Lopeh?" tanya pria asing tersebut memperlihatkan
wajah yang terkejut. Orang tua itu telah mengangguk perlahan dengan tidak
bersemangat ia menyahuti: "Ya, empat bulan yang lalu ia
meninggal karena suatu serangan penyakit yang dideritanya......!"
"Tetapi...... tetapi keluarganya masih berdiam di perkampungan ini,
Lopeh?" tanya Pria asing itu lagi.
Orang tua tersebut telah mengangguk, ia memutar duduknya ke
arah kanan kemudian tangan kanannya menunjuk ke arah sebuah
rumah yang terpisah kurang lebih empat buah rumah lainnya.
"Mereka tinggal disana.....!" katanya dan kemudian duduk
menyandar dengan lesu. 8 Pria asing tersebut telah memandang ke arah rumah yang ditunjuk
orang tua, tangannya merogoh sakunya, mengeluarkan dua tail
perak, yang diangsurkan kepada orang tua itu.
"Lopeh, terima kasih atas keterangan yang kau berikan, terimalah
sekedarnya hadiah dariku ini......!" kata pria asing itu.
Orang tua itu memandang ke arah uang di tangan pria asing itu,
kemudian tersenyum sinis dengan sikap tak acuh ia berkata:
"Uang" Kukira di perkampungan Lung-cie ini, uang tidak
memegang peranan yang terlalu berarti!"
"Kenapa begitu, Lopeh?" tanya pria asing tersebut terkejut dan
heran. Orang tua tersebut dengan sikap tak acuh telah menyahuti:
"Walaupun kita memiliki uang yang banyak, tetapi tidak ada
sesuatu yang bisa dibeli di perkampungan yang miskin seperti
ini...... yang terpenting buat kami adalah makanan dan barangbarang kebutuhan yang kami perlukan. Tanpa adanya barang
makanan dan barang-barang lainnya yang kami butuhkan,
walaupun kita memilki uang yang banyak, tidak ada artinya, tidak
bisa kita pergunakan. Simpanlah kembali uangmu itu, anak
muda...... mungkin engkau lebih memerlukannya!"
Pria asing itu menghela napas dalam-dalam, ia sudah tidak ingin
berbantahan dengan orang tua tersebut, dimasukkan kembali
uangnya ke dalam sakunya. Iapun telah melihatnya bahwa
perkampungan Lung-cie merupakan perkampungan yang terlalu
miskin dan melarat, dengan demikian di situ pun tidak ada toko
ataupun orang-orang yang berjualan. Penduduk perkampungan
9 tersebut hanya melewati hari-hari dengan seadanya yang masih
bisa dimakan. Memang uang tidak memiliki arti yang banyak dalam
perkampungan yang serba kering dan juga miskin tersebut.
Di musim kemarau tersebut, di mana panen mereka telah tiga
musim mengalami paceklik, dan juga sudah tidak bisa menanam
sesuatu di tanah yang kering dan tandus tersebut, menyebabkan
mereka lebih mementingkan menyimpan barang makanan dari
pada uang. Itulah sebabnya, jangankan ada orang yang dagang
menjual belikan barang-barang keperluan pokok, seperti beras dan
lain-lainnya, buat memakainya sendiri saja sudah sulit dan tidak
cukup. Setelah mengucapkan terima kasihnya sekali lagi, pria asing
tersebut meninggalkan orang tua yang kurus kerempeng itu, yang
tengah duduk merenungi nasibnya dan membayangkan
bagaimana hari-harinya mendatang besok.
Waktu sampai di muka rumah gubuk yang tadi ditunjuk oleh orang
tua itu, pria asing itu melihat betapa rumah itu sudah tidak bisa
disebut sebagai rumah lagi. Segalanya sudah rusak dan tak
keruan, genteng juga tak ada sebagian. Tiang-tiang bangunan
yang terbuat dari bambu dan batang kayu banyak yang rubuh dan


Beruang Salju Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah itu reyot sekali. Daun pintu rumah tersebut telah miring, karena sebagian pakunya
telah terlepas, begitu pula lantai rumah tersebut yang terdiri dari
tanah belaka, kotor sekali, penuh oleh barang-barang rongsokan
yang tidak terpakai. Dari celah-celah pintu yang memang
10 tergantung tidak bisa tertutup itu, pria asing itu melihatnya tidak ada
satu barang apapun yang masih utuh di dalam rumah tersebut.
Dengan langkah yang perlahan dan agak ragu, pria asing tersebut
telah menghampiri daun pintu. Ia mendorongnya. Daun pintu
terbuka menimbulkan suara "krekkk!" yang panjang, dan pria asing
itu melangkah masuk. Dua tindak dia melangkah memasuki pintu tersebut, ia jadi berdiri
terbelalak dengan sepasang mata yang terpentang lebar-lebar.
Apa yang dilihatnya memang mengenaskan sekali, sesosok tubuh
wanita menggeletak tidak bernapas lagi. Tubuh yang kurus kering
sehingga seperti tinggal kerangka saja, seperti tulang dibungkus
kulit saja menggeletak mati dengan pakaian yang sudah tidak bisa
disebut pakaian lagi, selain compang camping, juga sudah kotor
bukan main. Wajah wanita yang telah menjadi mayat tersebut juga
kotor sekali, mukanya begitu kurus dan cekung hanya tulang
pipinya yang menonjol. Sepasang mata mayat tersebut juga
cekung dalam sekali, mulutnya yang tipis menyeringai
memperlihatkan baris-baris giginya, menyedihkan sekali keadaan
mayat tersebut. Setelah menghela napas beberapa kali pria asing tersebut
melangkahi mayat wanita itu dan ia menuju ke bagian dalam dari
rumah tersebut. Di sebelah ruang dalam, adalah sebuah ruangan
sempit yang hanya berbatas dengan selapis dinding yang terbuat
dari anyaman kulit kayu. Ruang itu juga sempit sekali tidak terdapat
sepotong barangpun. Sebuah pembaringan juga tidak berada di
tempat itu. 11 Tetapi pria asing tersebut tertarik melihat sesosok tubuh kecil yang
kurus kering, sama halnya seperti wanita yang menggeletak
menjadi mayat di ruang depan itu, tengah meringkuk dengan
pakaian yang tak keruan, dan yang telah robek di sana sininya.
Tetapi sosok tubuh kecil yang ternyata seorang anak lelaki berusia
enam atau tujuh tahun itu, belum menjadi mayat. Terlihat napasnya
masih berjalan satu-satu, di mana dadanya yang tipis dan seperti
jaga tulang-tulang pai-kut (tulang dada) yang dibungkus oleh kulit
itu, bergerak-gerak lemah sekali.
Cepat-cepat pria asing tersebut berjongkok memeriksa keadaan
anak itu. Ia menghela napas. Waktu memperoleh kenyataan anak
lelaki tersebut masih hidup dan walaupun bernapas lemah sekali,
namun anak lelaki itu tidak dalam keadaan yang menguatirkan.
Hanya saja keadaannya yang lemas tidak bisa bergerak dan
meringkuk di tempat tersebut mungkin disebabkan telah beberapa
hari tidak makan, membuat anak tersebut jadi lemah dan tidak
bertenaga. Waktu tubuhnya diperiksa oleh pria asing tersebut, anak lelaki itu
telah membuka matanya, bola matanya yang guram tidak
bercahaya itu, bergerak-gerak lemah, bagaikan heran dan kaget
melihat orang asing di dekatnya. Bibirnya yang kering itu telah
bergerak perlahan: "Mama...... Mama......!" suaranya serak dan
terlampau lirih sekali hampir tidak terdengar jelas.
Pria asing tersebut bersenyum penuh kasih sayang dengan hati
yang teriris pedih melihat keadaan anak tersebut. Iapun telah
berkata lembut sekali: "Anak, tenanglah! Engkau akan segera
sehat kembali...... tenanglah......!" dan cepat-cepat pria asing
12 tersebut merogoh sakunya, ia mengeluarkan sebungkusan barang
yang agak besar, yang terbungkus oleh sehelai kain berwarna
hijau. Ia mengeluarkan beberapa bolu kecil di mana ia juga telah
mengeluarkan kurang lebih delapan butir pil berwarna-warni.
Dengan sabar ia memasukkan sebutir demi sebutir ke mulut anak
itu, sambil menuangkan juga air ke mulut anak kecil itu dari kantong
airnya. Pil tersebut merupakan ramuan obat untuk menyehatkan tubuh.
Karena keadaan tubuh anak tersebut telah lemah sekali, jika ia
tidak segera ditolong dengan diberikan pertolongan obat-obatan
tersebut, tentu akan menyebabkan kesehatan anak itu sulit pulih.
Dan juga, dalam keadaan menderita lapar dan haus seperti itu,
anak itupun tidak boleh segera diberikan makanan karena bisa
mengganggu pencernaan perutnya, yang bisa membahayakannya. Setelah memberikan pil-pil tersebut memang anak lelaki itu
merasakan tubuhnya agak segar, terlebih lagi iapun telah diberi
minum air sedikit-sedikit, sehingga waktu ia bicara, suaranya jauh
lebih terang dan jelas: "Paman...... siapakah paman...... di
manakah Mamaku......?"
Pria asing itu tersenyum dengan sabar, katanya: "Nanti akan
paman jelaskan, sekarang kau makanlah perlahan-lahan makanan
kering ini......!" sambil berkata begitu, pria asing tersebut telah
membuka buntalannya, yang tadi diletakkan disampingnya, dari
dalam buntalannya itu, ia mengeluarkan bungkus makanan kering.
Diangsurkannya kepada anak tersebut, sepotong daging kering, di
mana anak itu telah memakannya dengan lahap dan terburu-buru.
13 "Makanlah perlahan-lahan!" kata pria asing tersebut dengan hati
yang terharu melihat betapa anak ita makan dengan lahap dan
terburu-buru. "Lagi paman......!" minta anak lelaki tersebut sambil menjilatkan
bibirnya. "Ya, aku akan memberikan makanan kepadamu nak, lebih banyak
dari ini," kata lelaki asing itu, "tapi engkau harus makan...... sedikitsedikit dulu sampai nanti pencernaanmu yang telah kosong itu,
bisa bekerja kembali dengan baik. Nah, habiskanlah yang
sepotong ini lagi......!" dan setelah berkata begitu, pria asing
tersebut telah mengangsurkan sepotong daging lagi, kemudian
dua potong kuwe kering. Setelah menghabiskan kedua potong kuwe kering itu, anak lelaki
tersebut rupanya masih merasa lapar, ia telah memintanya pula.
Namun lelaki asing tersebut telah menggeleng sambil tersenyum.
"Sekarang engkau tidak boleh makan terlalu kenyang dulu, nanti
paman akan memberikan lagi. Nah, sekarang engkau ikut dengan
paman untuk meninggalkan tempat ini......!"
Anak lelaki itu telah memandang kepada pria asing tersebut
beberapa saat lamanya, kemudian dengan suara ragu-ragu ia
berkata: "Paman..... di mana..... di mana Mamaku......?"
"Nanti paman akan menceritakannya, mari engkau ikut dengan
paman......!" kata pria asing tersebut setelah merapihkan
buntalannya yang dibungkus kembali dengan rapih dan
14 digemblokkan pada punggungnya. "Engkau akan paman ajak ke
suatu tempat yang menyenangkan.....!"
Sambil berkata begitu, pria asing itu telah mengulurkan tangannya
bermaksud akan menggendong anak lelaki tersebut. Namun
bersamaan dengan itu, terdengar suara tapak kaki kuda yang
cukup ramai, menunjukkan bahwa tempat tersebut telah datang
cukup banyak penunggang kuda.
Muka pria asing itu telah berobah, dia diam sejenak
memperdengarkan. Dan didengar suara tapak kaki kuda itu
berhenti, lalu terdengar suara seseorang berkata dengan suara
yang dalam: "Menurut laporan yang kuterima tadi pria asing itu
memasuki perkampungan ini......!"
Setelah mendengari sampai di situ, lelaki asing itu cepat
menggendong anak lelaki itu ia membawa melompat ke pojok
ruangan. Namun gerakannya itu rupanya sudah terlambat, karena
dua orang lelaki bertubuh tinggi besar, berpakaian sebagai tentara
Mongolia, telah melangkah masuk dengan kasar mendorong daun
pintu sampai terlepas dan rubuh terbanting di lantai tanah itu.
Menimbulkan suara yang berisik.
"Hei kau......!" teriak salah seorang dari kedua orang tentara
Mongolia itu. "Ke mari kau.....!"
Mengetahui dirinya bersama anak lelaki itu tak dapat bersembunyi
maka lelaki tersebut telah memutar tubuhnya. Sambil tersenyum
lebar dia menghampiri ke arah kedua tentara Mongolia itu lalu
berkata: "Rupanya tuan-tuan memiliki keperluan denganku?"
15 Kedua tentara. Mongolia itu mengawasi lelaki asing tersebut
dengan sorot mata yang tajam. Salah seorang di antara mereka
yang memelihara jenggot dan kumis yang tebal, telah tertawa
keras. Sambil menggerakkan cemeti di tangannya. "Tarrr......!"
suara cemeti itu menggeletar di tengah udara. "Engkau orang asing
telah datang ke kampung ini, tentunya ada sesuatu yang hendak
kaulakukan, heh?" Lelaki asing itu tertawa dengan sikap yang tenang, katanya:
"Kebetulan saja aku melewati daerah ini dan singgah di
perkampungan ini, maka aku telah menemui seorang anak yang
dalam keadaan mengenaskan seperti ini. Sama sekali tidak ada
sesuatu yang hendak kulakukan. Harap tuan-tuan jangan terlalu
mencurigaiku. Bukankah nasib anak ini, yang dalam keadaan
sekarat ini, harus dikasihani?"
Bola mata dari kedua tentara Mongolia itu mencelak berputar.
Mereka memperhatikan dari kepala sampai ke ujung kaki pria asing
tersebut, lalu yang berkumis dan berjenggot balik berkata garang:
"Siapa kau" agaknya engkau bukan manusia baik-baik tidak
mematuhi anjuran pemerintah, untuk mengepang rambutmu......!"
Lelaki asing tersebut tertawa sabar sekali, lalu ia membungkukkan
tubuhnya memberi hormat: "Aku bukan hendak membangkang
perintah dan peraturan pemerintah, namun sungguh, aku tidak
mengetahuinya hal peraturan yang baru dikeluarkan oleh
pemerintah......!" 16 Mendengar perkataan lelaki asing tersebut, kedua tentara
Mongolia tersebut telah mendengus perlahan, dan yang seorang
lagi telah berkata dengan bengis, "Aku bertanya, siapa kamu?"
"Aku she Lie dan bernama Su Han," menyahuti lelaki itu. "Apakah
ada sesuatu yang tidak beres tuan-tuan?"
Baru saja Lie Su Han, lelaki asing tersebut berkata sampai di situ,
dari luar telah menerobos masuk tiga orang tentara Mongolia
lainnya yang semuanya memiliki potungan tubuh yang tegap dan
wajah yang angker mengerikan.
Tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot itu telah tertawa
dingin, ia berkata dengan suara yang bengis: "Engkau tidak cepatcepat menghormat tuan besarmu?"
"Kukira aku cukup hormat menghadapi tuan-tuan..... dan......!"
Tetapi belum lagi Lie Su Han menjelesaikan perkataannya itu,
justru tentara Mongolia yang seorang itu telah menggerakkan
cemeti di tangannya sehingga suara "tarrr!" yang keras
memecahkan udara lagi. "Berlutut! Cepat berlutut! Jika kau membangkang, hemm, hemm,
batok kepalamu itu akan kami pisahkan dari batang lehermu......!"
Mendengar perkataan terakhir dari tentara Mongolia tersebut Lie
Su Han mengerutkan sepasang alisnya.
17 "Sesungguhnya apa yang dikehendaki oleh tuan-tuan?" tanya Lie
Su Han mulai memperlihatkan sikap tidak senang, karena ia
merasakan betapa tentara-tentara Mongolia ini keterlaluan sekali.
"Mengapa engkau masih banyak rewel" Cepat berlutut!" bentak
tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot itu. "Cepat
berlutut!" "Hei!" katanya, "Baiklah!" kata Lie Su Han sambil membenarkan
letak tubuh anak lelaki yang ada dalam gendongannya. Ia
melangkah tiga tindak ke depan, mendekati para tentara Mongolia
tersebut. Tubuhnya dibungkukkan sedikit, seperti juga hendak
berlutut, tiba-tiba tangan kanannya telah disampokkan ke arah
atas, ke dada dari tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot
tersebut. "Dukkkkk!" telapak tangan Lie Su Han telah menghantam dengan
kuat dada tentara Mongolia tersebut. Dan luar biasa sekali, tubuh
tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot tersebut, telah
terlempar dari tempatnya, menubruk ke arah salah seorang
temannya, sehingga kedua-duanya telah terlempar keluar dari
dalam rumah itu dan terbanting keras di atas tanah.
Ketiga tentara Mongolia yang lainnya terkejut menyaksikan
peristiwa yang tidak disangka semuanya oleh mereka. Mereka
tertegun sejenak, tetapi kemudian waktu mereka tersadar dan
hendak mencabut golok mereka masing-masing yang tersoren di
pinggang. Waktu itu Lie Su Han sudah tidak tinggal diam. Ia mengebutkan
tangan kanannya lagi, maka tubuh ke tiga orang tentara Mongolia
18 tersebut terpental kembali dengan kuat, dan terbanting pula di atas
tanah di luar rumah. Ke lima tentara Mongolia tersebut terkejut berbareng kesakitan
namun cepat sekali mereka melompat berdiri sambil mencabut
goloknya masing-masing. Namun Lie Su Han tidak jeri, ia mengeluarkan suara tertawa dingin.
Dan kemudian ia melangkah menghampiri ke lima tentara
Mongolia tersebut, berani sekali sikapnya.
Ke lima tentara Mongolia tersebut memisahkan diri, mereka
mengurung Lie Su Han. Malah tentara Mongolia yang berkumis
dan berjenggot itu, telah mengeluarkan suara bentakan bengis
mengandung kemarahan, goloknya telah digerakan untuk
membacok ke arah batang leher Lie Su Han dan bacokan itu
menimbulkan angin serangan "wuttt!" yang keras sekali.
Lie Su Han memperdengarkan suara tertawa dingin, tahu-tahu
tubuhnya telah mandek ke bawah. Dan membarengi dengan itu,
telunjuk dari tangan kanannya telah menyentil.
"Tringgg......!" golok tentara Mongolia yang tengah membacok
tersebut telah disentilnya, sehingga golok tersebut terpental dan
terlepas dari cekalan tangan pemiliknya. Dan belum lagi tentara
Mongolia yang seorang itu mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu
ia merasakan dadanya sakit sekali.
Ternyata Lie Su Han setelah menyentil, ia telah membarengi
mengulurkan tangan kanannya itu, mencengkeram dada si tentara
tersebut kemudian menghentaknya dengan kuat sekali sehingga
19 tubuh tentara Mongolia yang seorang itu terpental ke tengah udara,
lalu meluncur jatuh terbanting di atas tanah dengan keras. Tentara
Mongolia tersebut hanya bisa mengeluarkan, suara erangan
perlahan mengandung kesakitan yang sangat. Kemudian
kepalanya terkulai lemah, ia telah pingsan.
Ke empat kawan dari tentara Mongolia tersebut kaget bukan
kepalang, mereka tertegun sejenak, lalu tersadar dengan murka.
Sambil mengeluarkan suara gerengan yang menyeramkan,


Beruang Salju Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka berempat telah melompat sambil menggerakkan goloknya
membacok serentak ke berbagai bagian tubuh dari Lie Sun Han.
Namun Lie Su Han rupanya memang bukan salah seorang pria
yang sembarangan, ia memiliki kepandaian silat yang tinggi.
Karena begitu melihat menyambarnya ke empat batang golok
tersebut, ia telah mengeluarkan suara tertawa dingin, sambil
menggumam: "Hemm, kalian mencari penyakit sendiri!" dan tahutahu tubuhnya telah berkelebat-kelebat seperti juga bayangan,
dengan tangan kanannya ia telah berhasil merampas ke empat
batang golok dari ke empat orang tentara Mongolia tersebut.
Ketika ke empat tentara Mongol yang kehilangan senjata mereka
tengah tertegun kaget, Lie Su Han telah melontarkan ke empat
batang golok itu telah meluncur cepat menyambar ke arah
sebatang pohon yang kering, tumbuh tidak jauh dari tempat itu.
Kuat sekali ke empat batang golok itu menancap di batang pohon
tersebut, dan dalam juga menancapnya, lalu badan keempat golok
tersebut telah bergoyang memperdengarkan suara mendengung.
20 Dan tanpa membuang waktu lagi, tubuh Lie Su Han juga telah
berlompatan ke sana ke mari, tahu-tahu terdengar empat kali suara
jeritan yang beruntun, disusul dengan tubuh ke empat tentara
Mongolia yang telah terpental dan terbanting bertumpuk di atas
tanah! Kepala mereka jadi pusing dengan mata berkunangkunang. Setelah mengeluarkan suara keluhan, ke empat tentara
Mongolia itu tidak sadarkan diri. Pingsan.
Lie Su Han telah mengebul pakaiannya dengan jari tangan
kanannya. Ia memperdengarkan suara tertawa dingin memandang
sinis kepada ke lima tentara Mongolia yang menggeletak pingsan,
tubuhnya kemudian mencelat ringan sekali ke atas punggung
salah seekor kuda milik ke lima tentara mongol itu. Ketika ia
menghentak tali les kuda tunggangan itu, kuda tunggangan
tersebut telah mementang kaki mereka, berlari dengan cepat
sekali, meninggalkan kampung Lung-cie......
"Y" Lie Sun Han sesungguhnya merupakan seorang ahli silat yang
cukup ternama di dalam rimba persilatan tapi akibat pecahnya
peperangan antara tentara Mongolia dengan tentara Song, telah
menimbulkan kekacauan yang sangat di daratan Tiong-goan.
Seperti juga hal dengan para orang-orang gagah yang yang
mencintai negeri, Lie Su Han telah mendaftarkan diri di kantor Tiehu di kota Bun-cung, di mana dia bermaksud ingin ikut berjuang.
Tetapi betapa kecewanya Lie Su Han melihat kenyataan bahwa
tentara Song dan juga kerajaan Song akhirnya runtuh, di mana
Kublai Khan telah berhasil merebut daratan Tiong-goan dan
21 pemerintah dengan nama kerajaan Boan-ciu. Dengan demikian,
untuk mengurangi kekecewaan hatinya, Lie Su Han telah
mengembara. Di saat suasana tenang mulai terasa di daratan Tiong-goan, di
mana pemerintah Boan-ciu mulai berjalan lancar dengan Kubilai
Khan mengeluarkan beberapa peraturan untuk mengamankan
negeri, di waktu itulah Lie Su Han teringat kepada kakaknya yaitu
Lie Tiang An. Perasaan rindunya telah menyebabkan Lie Su Han
menuju ke perkampungan Lung-cie, untuk menengoki kakaknya
tersebut. Berbeda dengan Lie Su Han yang sejak kecil memang senang
sekali dengan ilmu silat, yang telah melatih diri giat sekali berbagai
ilmu silat dari beberapa cabang pintu perguruan, tetapi Lie Tiang
An justru seorang kutu buku, yang setiap hari menghabiskan
waktunya untuk membaca buku, karena Lie Tiang An memang
lebih senang memilih Bun (sastera) daripada ilmu Bu (silat).
Tetapi di saat negeri dalam keadaan perang seperti itu, di mana
selalu timbul kekacauan, maka kekuatan dari seseorang sangat
diperlukan sekali, maka ilmu silat memegang peranan tidak kecil.
Jika Lie Su Han bisa menjaga keselamatan dirinya dengan
mengandalkan kepandaian silatnya, tetapi Lie Tiang An justru
merupakan manusia yang lemah dan tak berdaya. Ketika timbul
peperangan, ia menjadi salah seorang korban perang. Di mana
keluarganya, ia bersama anak dan isterinya, telah ditimpa kesulitan
dan kemelaratan. Lie Tiang An hanya bisa menerima nasib saja,
ketika perkampungan Lung-cie dilanda paceklik setelah usainya
peperangan. 22 Lie Tiang An juga tidak berdaya apa-apa, terlebih lagi Lie Tiang An
telah terserang oleh semacam penyakit menular akibat
kekurangan makan yang mengandung zat-zat penguat tubuh.
Disamping itu ia pun sangat berduka dan kecewa melihat negeri
Song telah porak poranda oleh serbuan tentara Mongolia,
membuat Lie Tiang An mati melas.
Isterinya ketika melihat kematian suaminya yang begitu
mengenaskan, telah semakin tidak bersemangat menghadapi
hidup di hari-hari selanjutnya. Jika ia masih bertahan hidup dalam
kemiskinan seperti itu, hanya disebabkan anaknya belaka yang
bernama Lie Ko Tie, yang waktu itu berusia enam tahun. Tetapi
tekanan perasaan dan juga kemelaratan dari penghidupan ibu dan
anak ini, di mana setiap harinya mereka hanya bisa makan
semangkok bubur yang encer, telah menyebabkan nyonya
tersebut menghembuskan napasnya yang terakhir, tidak berdaya
untuk menjagai terus anaknya menjadi dewasa.
Untung saja di saat elmaut belum merenggut nyawa Lie Ko Tie, di
waktu itu Lie Su Han tiba di perkampungan Lung-cie, sehingga jiwa
keponakannya itu bisa diselamatkan oleh Lie Su Han.
Dengan mempergunakan kuda rampasannya dari tentara-tentara
Mongolia itu, Lie Su Han melarikan terus binatang tunggangan itu
menuju ke Siang-yang, dengan Lie Ko Tie berada dalam
gendongannya. Jarak antara perkampungan Lung-cie dengan kota Siang-yang
terpisah empatratus lie. Dan setelah melakukan perjalanan hampir
dua hari, barulah Lie Su Han tiba di kota Siang-yang. Berbeda
23 dengan keadaan di perkampungan Lung-cie. Walaupun cukup
banyak bekas bangunan yang telah tinggal menjadi puing-puing
reruntuhan, namun kota Siang-yang cukup ramai, dan kehidupan
pendudukan kota tersebut mulai berjalan normal. Dengan begitu,
beberapa buah rumah penginapan yang selamat menjadi puingpuing akibat peperangan beberapa saat yang lalu, mulai dengan
usahanya tersebut, menerima tamu-tamunya kembali, jumlah
tamu-tamu yang berkunjung sedikit sekali, jika tidak ingin disebut
tidak ada sama sekali. Setiap harinya, rumah-rumah penginapan tersebut lebih banyak
dikunjungi oleh para tentara Mongolia yang menguasai kota Siangyang. Untuk berpesta pora, di mana mereka makan minum dan
menginap, lalu membayar sekehendak hati mereka. Tapi para
pengusaha rumah penginapan di kota Siang-yang tersebut
memang tidak berdaya, karena mereka menyadarinya bahwa kini
mereka menjadi rakyat jajahan belaka.
Tidak terlalu mengherankan, jika rumah penginapan yang masih
ada itu, tidak keruan juga kotor tidak terurus dengan baik.
Waktu Lie Su Han tiba di kota Siang-yang, ia melihat orang-orang
yang berdagang pun sedikit sekali, di samping barang dagangan
mereka yang tidak berarti sama sekali, serba sedikit.
Setelah melakukan perjalanan dua hari dua malam seperti itu, Lie
Su Han merasa letih, karena sepanjang perjalanannya ia jarang
beristirahat. Sedangkan Lie Ko Tie yang berada dalam
gendongannya, memang bisa tidur dengan baik, namun
kesehatannya masih lemah sekali, dan tentunya perjalanan dua
24 hari dua malam itu, bisa mengganggu kesehatannya anak
tersebut. Maka begitu tiba di kota Siang-yang segera Lie-Su Han
menghampiri sebuah rumah penginapan, yang memasang merek
"Gu-an-tiam" di mana rumah penginapan tersebut rupanya
merangkap membuka rumah makan.
Seorang pelayan yang berpakaian kumal telah menyambut
kedatangan Lie Su Han, dan menyambuti kuda tunggangan sang
tamu. Sambil menggendong Lie Ko Tie, Lie Su Han telah
melangkah ke dalam ruangan makan penginapan tersebut. Ia juga
telah memesan sebuah kamar untuk mereka berdua, kemudian
mengajak Lie Ko Tie untuk bersantap.
Sejak menerima beberapa butir pil obat yang diberikan oleh Lie Su
Han kekuatan tubuh anak kecil itu mengalami kemajuan yang
pesat sekali. Dan begitu juga selama dalam perjalanan dua hari
dua malam itu. Lie Su Han telah beberapa kali memberikan pil
obatnya tersebut kepada Lie Ko Tie, di samping memberinya
makan dengan makanan kering yang berada dalam
persediaannya. Sekarang selain letih, Lie Ko Tie boleh dibilang
telah sehat. Begitulah, dengan bernafsu keponakan dan sang paman itu telah
bersantap makanan yang di pesan. Memang di rumah penginapan
tersebut tak bisa dipesan masakan yang istimewa. Karena dalam
keadaan yang belum aman benar dan juga masih agak kacau oleh
korban peperangan di kota tersebut, hanya masakan yang
sederhana belaka yang dapat disajikan oleh pemilik rumah
penginapan itu. 25 Tetapi buat Lie Ko Tie anak lelaki tersebut, yang sebelumnya selain
hanya dapat memakan bubur encer, masakan yang dihadapinya
merupakan masakan yang paling lezat.
Setelah puas bersantap, keponakan dan paman itu masuk ke
dalam kamar mereka untuk istirahat.
Dengan berada di kota Siang-yang, Lie Su Han bisa merawat
kesehatan keponakannya itu sampai pulih benar. Berangsurangsur tubuh Lie Ko Tie mulai gemuk berisi kembali. Mukanya
yang semula kurus cekung dan hanya terlihat tulang pipi saja yang
pucat pias itu, perlahan-lahan telah berangsur memerah berisi
kembali. Lie Su Han juga telah membeli beberapa perangkat pakaian untuk
Lie Ko Tie. Setelah berdiam sebulan lebih, kesehatan Lie Ko Tie
memang berangsur-angsur pulih kembali. Anak itu menjadi
seorang anak yang sehat dan lincah, dengan tubuh yang montok
dan memiliki tubuh yang padat berisi. Lie Su Han yang melihat
perkembangan kesehatan keponakannya tersebut, jadi girang dan
bersyukur sekali kepada Thian, karena keponakannya itu rupanya
masih dipayungi oleh Thian.
Tetapi rupanya segala apapun tidak bisa selalu berjalan dengan
licin, sewaktu-waktu akan tiba saatnya mengalami sesuatu yang di
luar dugaan. Seperti halnya Lie Su Han dan Lie Ko Tie, yang
selama sebulan lebih berdiam di kota Siang-yang dengan tenang
tenteram, pada suatu hari telah menemui suatu peristiwa yang
akhirnya akan menyeret diri mereka terlibat dalam suatu kancah
pergolakan yang dahyat, yang terjadi di dalam kalangan Kang-ouw
26 di mana mereka akhirnya harus mengalami banyak peristiwa yang
aneh-aneh dan menakjubkan sekali.
Awal dari peristiwa tersebut berpangkal pada pagi hari itu, di saat
mana Lie Su Han dan Lie Ko Tie tengah bersantap di ruang makan
rumah makan tersebut dan di waktu itu Lie Ko Tie tengah
mendengar cerita dari Lie Su Han, bagaimana keadaan dalam
rimba persilatan. Memang Lie Su Han senang menceritakan
segala pengalamannya, terutama sekali pengalamannya ketika ia
ikut berperang melawan pasukan tentara Mongolia.
Lie Su Han memang telah bertekad untuk membawa Lie Ko Tie,
keponakannya tersebut menemui gurunya, yaitu Bu Siang Siansu,
seorang pendeta aneh yang hidup menyendiri di pegunungan yang
memiliki kepandaian tinggi sekali. Namun ada suatu keanehan
pada tabiat dari pendeta tersebut, ia mempelajari ilmu silat untuk
mengisi kegemarannya belaka, tetapi tidak mau mempergunakannya untuk bertempur. Dan juga Bu Siang Siansu
selalu hidup menyendiri, tidak pernah memamerkan kepandaiannya. Jika orang tidak mengenalnya, tentu tidak akan
mengetahuinya bahwa pendeta tersebut sesungguhnya
merupakan seorang pendeta sakti yang memiliki ilmu tinggi sekali.
Lie Su Han menjadi murid Bu Siang Siansu itupun terjadi secara
kebetulan sekali. Lie Su Han seorang pemuda yang baru
meningkat usia enambelas tahun pada waktu bertemu Bu Siang
Siansu. Pada suatu hari ia berkelahi dengan belasan orang
perampok dan di waktu itu, Lie Su Han memberikan perlawanan
gigih walaupun sekujur tubuhnya telah terdapat banyak luka.
27 Ketika Lie Su Han menghadapi bahaya yang bisa membahayakan
keselamatan dirinya, di mana tubuhnya mulai terhuyung-huyung
tidak bisa berdiri tetap dan juga napasnya telah tersengal-sengal
kehabisan tenaga, di saat itulah Bu Siang Siansu telah muncul dan
memberikan pertolongannya. Hanya dua kali menggerakkan
tangannya saja, Bu Siang Siansu berhasil merubuhkan belasan
orang perampok itu, yang telah lari tunggang langgang.
Di saat itulah Lie Su Han telah berlutut dan memohon agar ia
diterima menjadi murid Bu Siang Siansu. Dan Bu Siang Siansu
yang melihat bahwa Lie Su Han merupakan seorang pemuda yang
memiliki kemauan yang keras dan hati baja disamping itu juga jujur
maka ia menerimanya menjadi muridnya dengan perjanjian Bu
Siang Siansu akan menurunkan separuh dari kepandaiannya
kepada pemuda tersebut dan ilmu itu akan dipergunakan oleh Lie
Su Han untuk dipergunakan melakukan perbuatan mulia dan adil.
Separuh lagi dari kepandaian Bu Siang Siansu akan diturunkan lagi
pada Lie Su Han, setelah Lie Su Han berusia empatpuluh tahun.
Di waktu itu tentunya Lie Su Han telah menjadi seorang yang
berhati sabar dan memiliki pemikiran yang matang dan tidak
mungkin melakukan perbuatan-perbuatan dan tindakan yang
ceroboh yang bisa membahayakan jiwa orang lain.
Menurut Bu Siang Siansu jika saat itu ia mewarisi seluruh
kepandainnya kepada Lie Su Han dan pemuda tersebut yang
memang masih memiliki jiwa muda yang mungkin juga cepat naik
darah, hal itu akan membahayakan sekali keselamatan orang lain.
Dengan begitu, ia memutuskan akan mewarisi separuh
kepandaiannya setelah Lie Su Han memperlihatkan bahwa ia
28 mempergunakan kepandaian Bu Siang Siansu yang separuh itu
untuk melakukan perbuatan baik, bukan untuk kejahatan.
Itulah sebabnya Lie Su Han telah memutuskan untuk mengajak Lie
Ko Tie menemui gurunya tersebut. Ia berharap semoga saja Lie Ko
Tie diterima menjadi murid Bu Siang Siansu. Keponakannya
tersebut, yang telah kehilangan kedua orang tuanya, dan hidup
sebagai anak yatim piatu, memang benar-benar harus dikasihani
nasib dan keadaannya, di mana Lie Su Han harus memikirkan
bagaimana agar anak yatim ini bisa berdiri sendiri kelak, dan bisa
hidup di kalangan masyarakat dengan layak.


Beruang Salju Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selesai bersantap, seperti biasanya Lie Su Han hendak mengajak
Lie Ko Tie untuk mengelilingi kota Siang-yang melihat-lihat tempat
yang penting di mana dulu sebelum pecahnya peperangan dan
sebelum Siang-yang terjatuh ke tangan Mongolia merupakan
tempat dari pasukan tentara Song menghimpun kekuatan. Dan
juga Lie Su Han sering mengajak Lie Ko Tie mendatangi tempattempat di mana dulu para orang-orang gagah seperti Yo Ko, Kwee
Ceng, Ciu Pek Thong, It Teng Taysu dan jago-jago ternama lainnya
itu berkumpul ikut membantu perjuangan para tentara kerajaan
Song. Tetapi baru saja Lie Su Han membayar harga makanan yang telah
disantap oleh mereka, dan baru saja ingin bangkit dari duduknya
di saat itulah terdengar suara langkah kaki yang ramai di bagian
ruang depan rumah penginapan tersebut. Juga terdengar
ramainya suara orang yang tengah bercakap-cakap.
29 Lie Su Han telah menoleh, ia melihat dua orang tojin yang di tangan
masing-masing membawa sebatang hud-tim tengah melangkah
masuk ke ruang makan tersebut. Di belakangnya tampak delapan
atau sembilan orang tentara Mongolia, yang sambil melangkah
mengikuti kedua tojin tersebut memasuki ruang makan itu, tertawatawa dan bercakap-cakap ramai sekali.
Tetapi mata Lie Su Han yang tajam, segera dapat mengenali, di
antara tentara Mongolia yang mengikuti di belakang kedua tojin itu
terdapat dua orang tentara Mongolia yang pernah dihajarnya di
perkampungan Lung-cie. Dari kelima tentara mongolia rupanya
yang dua orang ini telah kembali ke Siang-yang.
Cepat-cepat Lie Su Han menundukkan kepalanya. Ia batal untuk
berlalu, dan duduk sambil menarik tangan Lie Ko Tie.
"Jangan memandang ke arah mereka," bisik Lie Su Han dengan
suara yang perlahan. "Tundukkan kepalamu."
Lie Ko Tie walaupun heran, tetapi telah menuruti perintah
pamannya, ia telah menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Sedangkan kedua tojin dan tentara-tentara Mongolia itu, yang
keseluruhannya ternyata berjumlah sembilan orang, telah
menghampiri sebuah meja yang besar yang letaknya di seberang
meja Lie Su Han. Mereka bercakap-cakap ramai sekali, dan dilihat dari sikap para
tentara Mongolia tersebut, mereka sangat menghormati kedua tojin
itu. Mereka bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan suara
yang ramai. Seorang pelayan telah segera melayani mereka.
30 Waktu salah seorang tojin itu tengah memesan makanan yang
dikehendakinya, tiba-tiba salah seorang di antara kedua tentara
Mongolia yang pernah dihajar pingsan oleh Lie Su Han, telah
melihat Lie Su Han dan Lie Ko Tie. Mukanya seketika berobah
pucat, tetapi cepat sekali pulih kembali sambil melirik kepada
kedua tojin itu. Rupanya ia sangat mengandalkan kedua tojin
tersebut, sehingga perasaan terkejutnya waktu melihat Lie Su Han
segera lenyap, malah ia tertawa dingin.
Dengan suara yang perlahan ia telah membisiki kawannya yang
seorang. Lalu berbisik-bisik lagi dengan tujuh orang tentara
Mongolia lainnya. Mereka semuanya telah memandang tajam
kepada Lie Su Han dan Lie Ko Tie. Dan tidak selang lama, tentara
Mongolia yang seorang itu, dari kedua orang yang pernah dihajar
pingsan oleh Lie Su Han, yang memiliki kumis dan jenggot tebal
telah berdiri dari duduknya, melangkah dengan langkah yang lebar
langsung menghampiri meja Lie Su Han.
Dengan wajah yang garang dan bengis, ia berkata dengan suara
yang besar: "Sahabat, sepertinya kita berjodoh bertemu kembali
disini!" Melihat dirinya bersama Lie Ko Tie sudah tidak bisa menyingkirkan
diri, Lie Su Han mengangkat kepalanya, tertawa lebar, iapun telah
mengangguk. "Benar tuan...... siapa sangka kita bisa bertemu lagi disini!"
menyahuti Lie Su Han. Lenyap tertawanya tentara berkumis dan berjenggot tebal itu,
mukanya garang sekali diiringi bentakannya: "Berdiri!"
31 "He, berdiri" Untuk apa?" tanya Lie Su Han, tetap duduk tenang di
tempatnya. Tentara Mongolia yang seorang ini telah melirik ke arah
rombongan kawannya, yang waktu itu tengah tertawa-tawa
mengawasi ke arahnya dan Lie Su Han bersama Lie Ko Tie. Muka
tentara Mongolia yang seorang itu jadi berobah merah padam dan
ia malu jika ia memang kalah gertak dengan Lie Su Han, maka ia
maju, menepuk meja dengan kuat dan keras.
"Telah kukatakan, mengguntur. berdiri kau!" bentaknya dengan suara Lie Su Han tersenyum, sikapnya sabar sekali dan ia membetulkan
dua cawan yang terbalik akibat tepukan tangan tentara Mongolia
yang telah menepuk dengan keras.
"Jangan tuan, jangan garang-garang seperti itu!" kata Lie Su Han
sambil tetap tersenyum di wajahnya, sama sekali tidak
memperlihatkan rasa jeri. Ia berkata dengan suara yang sabar dan
tenang: "Dan, kukira peraturan pemerintah yang ada, tentu tidak
terdapat peraturan yang mengharuskan rakyat mesti berdiri jika
menghadapi seorang tentara seperti tuan......!"
Muka tentara Mongolia itu jadi berobah merah padam, ia
mendongkol bukan main. Dengan muka yang tetap garang, ia
memegang gagang goloknya: "Rupanya engkau ingin merasai
tajamnya golokku ini heh!"
Lie Su Han tersenyum dingin, katanya: "Hemmm, apakah tuan
tidak kapok hendak main-main dengan senjata tajam seperti itu?"
32 Tetapi tentara Mongolia tersebut rupanya sudah habis sabarnya,
cepat sekali dia mencabut keluar goloknya, dan membacok ke arah
salah satu ujung meja, sehingga ujung meja itu seketika sempal
karenanya terbacok oleh golok tersebut.
Lie Su Han tetap duduk tenang di tempatnya, tidak memperlihatkan
perobahan apapun pada wajahnya. Sedangkan Lie Ko Tie jadi
ketakutan dan tubuhnya merengket ketika melihat kegarangan
tentara Mongolia itu. "Tuan, engkau datang ke tempat ini marah-marah dan merusak
barang milik rumah makan ini. Apakah engkau memang merasa
bahwa rumah makan ini milikmu?"
Ditanggapi dengan ejekan seperti itu oleh Lie Su Han, wajah
tentara Mongolia yang seorang itu telah berobah semakin merah
padam. Ia mengeluarkan suara dengusan dengan mata yang
terpentang lebar melotot kepada Lie Su Han, goloknya telah
bergerak cepat sekali. Melihat menyambarnya golok ke arah pundaknya. Lie Su Han kini
tidak berani tinggal diam. Dia mengulurkan tangan kanannya
menyentil golok itu terdengar suara "triinggg......!" golok tersebut
telah berhasil disentilnya dan terpental. Hampir saja punggung
golok menghantam mukanya si tentara Mongolia tersebut, untung
saja dia masih keburu memiringkan kepalanya, sehingga mukanya
itu selamat dari terjangan punggung goloknya.
Lie Su Han tidak berhenti sampai di situ saja secepat kilat ia
mengulurkan tangan kanan, dan telah menghantam perut tentara
33 Mongolia itu pula. Tidak ampun lagi tubuh tentara Mongolia itu
telah terjungkal rubuh di lantai.
Namun bersamaan dengan itu sesosok tubuh telah berkelebat
gesit sekali, salah satu tangannya telah diulurkan untuk mencekal
baju di punggung tentara Mongolia tersebut, iapun berkata, "Longgie-cu, mundur kau.....!"
Ternyata orang yang telah menolongi si Mongolia agar tidak
sampai perlu terbanting menggelinding terlalu lama di lantai rumah
makan, adalah salah seorang dari kedua imam yang datang
bersama dengan para tentara Mongolia tersebut. Ia merupakan
seorang tojin yang berusia enampuluh tahun, dengan kumis dan
jenggot yang tumbuh tipis panjang. Pandangan matanya tajam dan
sipit sekali, memancarkan sinar yang licik, wajahnya juga kurus
berpotongan tirus seperti tikus, memperlihatkan tojin tersebut
memiliki watak yang tidak begitu baik. Dengan melihat gerakan
tubuhnya yang ringan dan juga dapat menyambar tubuh dari si
tentara Mongolia yang terhajar rubuh oleh Lie Su Han,
memperlihatkan tojin ini memang memiliki kepandaian yang tinggi.
Lie Su Han hanya berdiam diri saja di tempatnya dan iapun heran
dalam hatinya ia membathin. "Hemm tampaknya kedua tojin ini
merupakan anjing peliharaan Kubilai Khan..... Kepandaian mereka
miliki juga tinggi, aku harus hati-hati dan berusaha menyelamatkan
keponakanku...... Tie-jie harus diselamatkan dari tempat ini, karena
jika terjadi pertempuran, tentu para tentara Mongolia tersebut,
dengan kedua tojin itu, tidak akan segan-segan untuk mengeroyok
diriku!" 34 Karena berpikir begitu, Lie Su Han telah menoleh kepada Lie Ko
Tie, katanya: "Ti-jie (anak Ti) kembalilah dulu ke kamar......!"
Lie Ko Tie tidak mengerti mengapa dirinya diperintahkan untuk
kembali ke kamarnya, tetapi ia tidak berani bertanya kepada
pamannya itu, hanya mengiyakan mengangguk dan meninggalkan
ruangan itu untuk pergi ke kamarnya.
Waktu itu tojin yang telah menolongi si tentara Mongolia yang
seorang itu, mengawasi Lie Su Han, katanya dengan suara yang
dingin. "Pemuda kurang ajar, begitukah caranya menghadapi
hamba negara?" Lie Su Han telah tersenyum sambil bangkit.
"Totiang! Sesungguhnya aku tidak memiliki urusan apa-apa
dengan para tentara kerajaan Mongolia itu...... tetapi mereka selalu
mencari urusan denganku!"
"Tentara kerajaan Mongolia" Hu, hu, sekarang ini terdapat berapa
banyaknya tentara kerajaan lainnya" Apakah disamping Khan
yang agung Kublai Khan, masih terdapat Kaisar lainnya" Apakah
engkau masih bermimpi akan terbangunnya kembali kerajaan
Song" Hemm, pemberontak rupanya engkau harus ditangkap
untuk menerima hukuman yang setimpal!"
Sambil berkata begitu, tojin tersebut tidak berdiam diri. Dengan
hud-timnya, ia mengebut ke arah dada sebelah kiri Lie Su Han,
yaitu akan menotok jalan darah Bun-ciang-hiat nya orang she Lie.
35 Cara mengebut dari tojin tersebut merupakan kebutan yang aneh
dan juga hebat. Aneh, karena bulu hud-timnya itu telah berkumpul
menjadi satu sehingga seperti bulu pit (pena Tiong-hoa), dan juga
ujung dari gabungan bulu hud-tim itu.
Lie Su Han menyadari apa artinya dari totokan tersebut jika sampai
terkena pada sasarannya, yaitu bahaya yang tidak kecil tentu akan
menerjang dirinya, akan membuat dia bercacad untuk seumur
hidup. Sebab jika jalan darah bun-ciang-hiat tersebut tertotok,
tenaga murni di tubuh Lie Su Han akan buyar. Dan setidaknya
tenaga lweekangnya, yang telah dilatihnya belasan tahun, akan
buyar punah, berarti untuk selanjutnya ia menjadi manusia
bercacad. Tetapi Lie Su Han juga memiliki kepandaian yang cukup tinggi,
mana mau dirinya dibiarkan terserang seperti itu" Cepat sekali
tangan kirinya telah bergerak menyambar cawan minuman di
depannya, yang diangkatnya untuk menyanggapi ujung hud-tim
lawan. Kemudian membarengi dengan itu tangan kanannya akan
menotok jalan darah Tu-lie-hiat di ketiak si tojin.
Gerakan yang dilakukan oleh Lie Su Han sangat cepat sekali,
karena begitu dia mengangkat cawan minumannya, segera dia
menerima serangan ujung hud-tim tojin tersebut yang
menimbulkan suara nyaring.
"Treengg......!" cawan tersebut membentur keras sekali oleh ujung
hud-tim tersebut, dan benturan itu bukan benturan sembarangan,
sebab pada waktu itu ujung dari hud-tim telah diselubungi oleh
kekuatan lweekang si tojin.
36 Namun Lie Su Han juga bukan menangkis begitu saja, sebab
cawan di tangannya itu jika hanya dipergunakan begitu saja untuk
menangkis, cawan tersebut akan pecah berantakan.
Justru Lie Su Han sambil mencekal cawan tersebut, telah
mengerahkan lweekangnya yang tersalurkan melindungi cawan
itu, hal mana membuat cawan itu jadi kuat dan keras melebihi besi.
Itulah sebabnya, walaupun telah dibentur oleh ujung Hud-tim yang
mengandung kekuatan lweekang dari si tojin, tokh cawan tersebut
tidak menjadi pecah karenanya.
Tojin itu mengeluarkan seruan suara tertahan, dan lebih kaget lagi
waktu melihat tangan kanan Lie Su Han telah menyambar akan
menotok jalan darah di ketiaknya.
Cepat-cepat tojin tersebut menarik pulang hud-timnya, dan
melangkah mundur dua tindak ia memiringkan tubuhnya sedikit ke
kiri, dan di waktu tangan Lie Su Han menyambar lewat, ia telah
menggerakkan hud-timnya dengan menyalurkan tenaga Im, yaitu
tenaga lunak, di mana bulu-bulu hud-tim itu telah menjadi lemas
dan akan melibat pergelangan tangan Lie Su Han.
Tetapi Lie Su Han cepat-cepat membatalkan serangannya itu, ia
menarik pulang tangannya, totokannya yang batal membuat bulubulu hud-tim si tojin menyambar tempat kosong. Bersamaan
dengan itulah, kedua tangan Lie Su Han memegang tepian meja,
dibarengi dengan suara bentakannya yang nyaring, dia melompat
berdiri sambil kedua tangannya mendorong dan mengangkat
tepian meja itu. Dengan cepat meja tersebut terdorong dan
terangkat terbalik kepada si tojin.
37 Tojin itu mengeluarkan suara kaget dan telah melompat ke
belakang. Gerakan tojin ini memang gesit, ia berhasil meloloskan diri dari
samberan meja yang diterbalikkan oleh Lie Su Han. Di saat itulah,
tubuh si tojin juga tidak tinggal diam, ia telah mengeluarkan suara
seruan nyaring lagi, tubuhnya seperti seekor harimau, telah
menerjang kepada Lie Su Han, melompat sambil menggerakkan
hud-timnya, untuk melancarkan totokan beruntun beberapa kali, ke
bagian yang mematikan di tubuh Lie Su Han.
Tetapi Lie Su Han telah bersiap sedia, ia berkelit dari kebutan hudtim tojin itu, lalu ia mengulurkan tangannya dan cepat luar biasa ia
berhasil menangkap ujung hud-tim tojin itu dan waktu itulah segera
terlihat mereka saling menarik mengadu kekuatan tenaga.
Di saat Lie Su Han dan tojin saling mengadu kekuatan tenaga lewat
hud-tim si tojin tersebut, tiba-tiba tojin yang seorangnya lagi yang
berusia lebih muda, telah melompat dari tempat duduknya,
tubuhnya meluncur ke samping Lie Su Han, ia berkata: "Pinto Po
San Cinjin ingin minta pengajaran dari kau juga......!"
Dan tanpa menanti selesainya perkataannya itu, terlihat kedua
tangan Po San Cinjin telah melayang akan menghantam batok
kepala Lie Su Han. Walaupun saat itu Lie Su Han tengah mengerahkan tenaganya
saling menarik hud-tim dengan tojin yang seorang itu, namun ia
tidak gentar menghadapi pukulan telapak tangan dari Po San


Beruang Salju Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cinjin. 38 Sambil berkelit begitu, kaki kanan dari Lie Su Han telah bekerja,
menggaet kaki kirinya si tojin yang mengaku bergelar Po San
Cinjin. Tidak ampun lagi tubuh Po San Cinjin terjerunuk ke
samping. Harus diketahui bahwa saat itu Po San Cinjin menepuk
dengan telapak tangannya dengan kekuatan tenaga lweekangnya
yang penuh maka di waktu ia kehilangan sasarannya, tubuhnya
jadi doyong ke depan, dan bersamaan dengan itu kakinya kena
digaet. Maka hilanglah keseimbangan tubuhnya dan dia terjerunuk
menubruk sebuah meja yang berada tak jauh dari tempat berada.
Tidak ampun lagi meja tersebut menjadi pecah berantakan terkena
pukulan telapak tangan Po San Cinjin, yang mengandung
kekuatan lweekang itu. Suara berisik dari hancurnya meja tersebut
juga terdengar bising sekali.
Tojin yang seorangnya yang lagi mengadu kekuatan dengan Lie
Su Han dengan menarik hud-timnya, menjadi kaget melihat
kawannya itu terguling begitu rupa. Baru saja ia ingin berkata, tojin
yang berusia lebih muda darinya itu, Po San Cinjin, telah melompat
berdiri dengan muka yang merah padam mengandung kegusaran
yang bukan main. Dari mulutnya juga terdengar suara bentakan
yang bengis: "Pemberontak, jika hari ini engkau tidak dibekuk, tentunya itu akan
merepotkan negara Boan-ciu dan juga bisa mendatangkan celaka
untuk kaum Boan-ciu!"
Selesai berkata, ia telah melompat lagi, mempergunakan hudtimnya di tangan kiri untuk meyerang, tangan kanannya juga
menghantam dengan kekuatan lweekang. Dengan cara
39 menyerangnya seperti itu benar-benar membuat Lie Su Han
terkurung oleh tenaga kekuatan dari tiga macam gempuran kedua
tojin tersebut. Waktu itu Lie Su Han tengah memusatkan tenaga lweekangnya
untuk menarik hud-tim tojin yang lebih tua usianya itu. Tetapi justru
kini telah datang serangan dari Po San Cinjin sehingga membuat
ia jadi terkepung sedemikian rupa. Namun Lie Su Han tidak habis
daya, ia mengeluarkan suara tawa, tiba-tiba cekalannya pada
ujung bulu hud-tim tojin, yang tahu-tahu kehilangan tenaga
menariknya dan tubuhnya terhuyung ke belakang hilang
keseimbangan tubuhnya, akhirnya ia terjengkang ke belakang.
Mempergunakan kesempatan seperti itu. Lie Su Han telah
menggerakkan kedua tangannya dibarengi dengan kedua kakinya
yang ditekuk, sehingga tubuhnya berjongkok rendah, dan cepat
luar biasa, dari kedua telapak tangan Lie Su Han telah menyambar
kekuatan lweekang yang sangat dahsyat.
"Dukkkkk, Bukkkkk'!" terdengar dua kali suara benturan.
Ternyata dua serangan dari Po San Cinjin telah berhasil
ditangkisnya dengan mempergunakan tenaga lweekangnya,
dengan demikian, segera juga tubuh mereka berdua tergoncang
keras. Muka Po San Cinjin juga berobah pucat waktu ia telah
berdiri kembali di lantai.
"Tangkap pemberontak ini!" teriak Po San Cinjin setelah mengatur
jalan pernapasannya. Teriakannya itu ditujukan kepada para
tentara Mongolia itu. 40 Segera juga sembilan tentara Mongolia tersebut termasuk Long-gicu mengurung Lie Su Han, mereka juga telah mencabut goloknya
masing-masing. Melihat dirinya dikurung demikian banyak tentara Mongolia, yang
umumnya memiliki bentuk tubuh tinggi tegap dan juga dengan ikut
sertanya dua orang tojin yang masing-masing memiliki kepandaian
tinggi tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya. membuat Lie
Su Han jadi mengeluh. Tetapi para tentara Mongolia tersebut sama sekali tidak mau
memberikan kesempatan kepada Lie Su Han. Sembilan batang
golok telah menyambar cepat sekali, meluncur ke berbagai bagian
anggota tubuh Lie Su Han.
Sedangkan Po San Cinjin dan tojin yang seorangnya lagi, yang
bergelar Bo Liang Cinjin, tidak berdiam diri saja. Mereka berdua
juga telah menyerbu maju dengan mempergunakan hud-timnya
menyerang Lie Su Han. Lie Su Han telah dikepung dari berbagai jurusan, dan hal ini
memaksa dia harus berusaha menghadapi sebaik mungkin. Tiada
jalan lain baginya, ia telah mencabut keluar pedang dari balik
bajunya. Dan dengan pedang pendek tersebut, yang diputarnya
cepat sekali, Lie Su Han melindungi dirinya dari setiap serangan
lawan-lawannya. Tubuh Lie Su Han berkelebat-kelebat cepat bagaikan bayangan
saja di antara para pengepungnya itu. Segera terlihat, tentara
Mongolia yang memang hanya mengerti cara bertempur di medan
perang, tetapi tidak memiliki ilmu silat yang berarti telah terdesak
41 mundur karena setiap kali golok mereka terbentur dengan pedang
Lie Su Han, justu mereka merasakan telapak tangan mereka sakit
dan pedih, sebab tenaga lweekang Lie Su Han yang menyelubungi
tubuh pedangnya itu, membuat setiap serangan tentara Mongolia
tersebut tidak berarti apa-apa buatnya.
Yang diperhatikan sekali oleh Lie Su Han adalah kedua tojin itu,
yaitu Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin. Kedua tojin tersebut
dengan kedua hud-timnya, yang memang telah diselubungi oleh
kekuatan tenaga dalamnya, benar-benar merupakan tandingan
yang cukup berat buat Lie Su Han. Karena itulah berulang kali Lie
Su Han telah berusaha untuk berkelit dari senjata lawan-lawannya
itu. Namun Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin selalu mendesak dengan
keras kepada Lie Su Han, terutama sekali mereka juga menerima
bantuan dari ke sembilan tentara Mongolia itu walaupun ke
sembilan tentara Mongolia tersebut tidak memiliki arti yang banyak
dalam hal bantuannya, setidak-tidaknya bisa memecahkan
perhatian Lie Su Han. Dan itu merupakan suatu keuntungan yang
tidak kecil buat Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin.
Lie Su Han kewalahan juga menerima terjangan kedua tojin itu
dengan sembilan tentara Mongolia. Terlebih lagi tidak lama
kemudian Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin telah mencabut keluar
pedang mereka masing-masing, yang semula tergemblok di
punggung mereka. Dua sinar putih berkelebat-kelebat mengurung Lie Su Han, di mana
kedua batang pedang kedua tojin tersebut seperti juga dua ekor
42 naga yang tengah melingkar-lingkar menyambar di berbagai
tempat dari anggota tubuh Lie Su Han yang mematikan.
Lie Su Han mengeluh juga, walaupun bagaimana tidak mungkin ia
bisa menerobos kepungan itu, karena memang kepandaian kedua
tojin tersebut tidak berada di sebelah bawah dari kepandaiannya.
Pertempuran itu berlangsung dengan seru, namun semakin lama
tampak Lie Su Han telah semakin terdesak dan membuat Lie Su
Han sering mengeluh. Dan sekali waktu pundaknya telah kena
diserempet oleh tebasan pedang Bo Liang Cinjin, untung saja
lukanya itu tidak telalu dalam dan parah.
Melihat lawannya telah terluka, semangat bertempur dari Bo Liang
Cinjin dan Po San Cinjin jadi terbangun, seketika itu juga mereka
menambah kekuatan lweekang mereka untuk melancarkan
serangan dengan sepasang pedang mereka, yang terus juga
berkelebat-kelebat cepat bukan main.
Dengan terluka seperti itu, bukannya takut malah Lie Su Han
semakin berani, dengan nekad ia telah mernpergunakan pedang
pendeknya untuk melakukan tikaman dan tabasan maut yang
berulang kali. Iapun telah berhasil melukai tiga orang tentara
Mongolia, di mana mereka telah dilukai oleh tikaman pedangnya
pada lengan masing-masing, sehingga darah mengucur deras
sekali. Tetapi ke sembilan tentara Mongolia tersebut masih juga terus
menyerang dengan golok masing-masing.
43 Keringat telah membasahi pakaian Lie Su Han, dan ia berusaha
memberikan perlawanan terus, sehingga benturan senjata tajam
terdengar ramai sekali. Di waktu pelayan dan pemilik rumah makan, serta dua atau tiga
orang tamu yang berada di tempat tersebut ketakutan dan
bersembunyi di kolong meja, justru dari arah luar telah terdengar
suara: "ting-tong ting-tong" yang cukup nyaring, disusul dengan
kata-kata: "Aha, ha, ha, ha, rupanya ada pertunjukan yang menarik
disini.....!" Dan dari luar, melangkah masuk seorang pendeta yang bertubuh
gemuk, dengan kepala yang licin pelontos. Hwesio tersebut
mungkin berusia limapuluh tahun pakaiannya terbuat dari pada
bahan cita yang kasar berwarna kuning gading, dan pada
tangannya terdapat kayu bok-hie bersama ketukkannya yang
terbuat dari besi. Dan waktu itu ketukan bok-hie tersebut bukannya
mengetuk kayu bok-hie itu, malah telah mengetuk pinggiran tepi
kayu bok-hie, yang terlapiskan oleh besi, sehingga terdengar suara
ting-tong ting-tong tidak hentinya.
Lie Su Han tengah sibuk sekali mengadakan perlawanan atas
serangan lawan-lawannya itu, maka kedatangan hwesio tersebut
tidak membuatnya menoleh, karena jika dia menoleh, tentu akan
membuat pecah perhatiannya dan ia bisa menerima bahaya yang
hebat. Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin telah melirik sejenak, dan waktu
melihat orang yang datang tersebut tidak lain dari seorang hwesio,
mereka memperlihatkan wajah mengejek dan telah meneruskan
44 pula penyerangannya pada Lie Su Han malah sekarang lebih
gencar lagi, dan juga tenaga lweekang yang mereka pergunakan
itu jauh lebih kuat. Ke sembilan tentara Mongolia yang sebagian dari mereka telah
terluka oleh tikaman maupun tabasan pedang Lie Su Han,
membuat mereka sengit melakukan penyerangan dengan senjata
mereka jauh lebih garang dari semula. Mereka rupanya bermaksud
untuk membinasakan Lie Su Han, jika memang mereka tidak
berhasil menangkapnya. Dengan demikian si hwesio seperti juga tidak menerima layanan,
apa lagi memang pelayan rumah penginapan tersebut, bersama
pemiliknya tengah bersembunyi di kolong meja ketakutan bukan
main. Si pendeta berkepala botak pelontos tersebut tertawa lebar waktu
melihat jalannya pertempuran itu, iapun telah mengetuk-ngetuk
terus pinggiran dari tepian kayu bok-hie itu, sehingga suara tingtong ting-tong terdengar semakin jelas dan nyaring, seperti
mengiringi jalannya pertempuran tersebut.
Tetapi waktu melihat beberapa kali tubuh Lie Su Han terhuyung
seperti akan rubuh si hwesio mengeluarkan suara seruan yang
tiada henti-hentinya: "Sayang, sayang..... seorang diri, melawan
tikus-tikus besar yang berjumlah begitu banyak. Inilah tidak pantas!
Inilah tidak pantas! Tidak sedap dilihat!" dan setelah berkata begitu,
segera Hwesio mengetuk kayu bok-hienya itu lebih gencar,
sehingga terdengar suara, "ting-tong, ting-tong, ting-tok, ting-tok!"
Ramainya suara dari terketuknya kayu bok-hie tersebut, yang
45 sekali-sekali diselingi dengan terketuknya pembalut tepian kayu
bok-hie itu, ramai sekali memenuhi ruangan tersebut, sehingga
pertempuran yang tengah berlangsung itu seperti juga merupakan
suatu pertunjukan yang benar-benar menarik hati.
Lie Su Han rupanya memang telah terdesak hebat sekali, dan juga
tampaknya tenaganya mulai berkurang banyak, sehingga ia
berulang kali harus terhuyung-huyung akan rubuh dan terdesak
keras oleh lawan-lawannya.
Namun Lie Su Han juga memiliki latihan yang cukup matang pada
ilmu silatnya, sehingga sejauh itu ia masih bisa mempertahankan
diri, walaupun dengan luka-luka yang mulai memenuhi di beberapa
bagian anggota tubuhnya. Satu kali tampak Lie Su Han mengeluarkan seruan kaget, karena
mata pedang dari Bo Liang Cinjin telah menyambar dekat sekali
dadanya sebelah kiri hanya terpisah kurang lebih empat dim, dan
jika mata pedang itu berhasil menembusi dadanya tentu akan
menembus langsung ke jantung! Hal itu tentu saja berarti kematian
untuk Lie Su Han. Dengan demikian Lie Su Han jadi agak gugup juga, ia mengangkat
pedang pendeknya dan mempergunakan untuk menyampok,
dengan jurus Menyingkap Awan Melihat Langit, di mana
pedangnya itu berhasil menangkis pedangnya Bo Liang Cinjin.
Namun pendeta dari agama To tersebut rupanya tidak menyerang
sampai di situ saja, ia telah membarengi dengan kebutan-kebutan
hud-timnya pada kepala Lie Su Han, di mana bulu kebutan hud46 timnya telah berkumpul menjadi satu dan menyambar akan
menghantam hebat kepada sasarannya.
Po San Cinjin juga telah mempergunakan pedangnya menikam ke
arah pinggang Lie Su Han diiringi juga dengan kebutan Hud-timnya
ke arah lutut Lie Su Han, di mana bulu-bulu hud-tim itu tidak
berkumpul malah berpencar satu dengan lainnya, mekar seperti
sekuntum bunga. Itulah serangan yang berbahaya, karena ujung dari bulu-bulu hudtim itu seperti juga mata jarum. Bila mengenai sasarannya, jelas
akan membuat jalan darah yang terletak di sekitar lutut Lie Su Han
akan tertotok. Belum lagi tikaman pedang dari Po San Cinjin pada
pinggangnya. Benar-benar keadaan Lie Su Han terjepit menghadapi serangan
lawan-lawannya itu, ke sembilan golok dari para tentara Mongolia
juga telah menyambar kilat ke berbagai tubuhnya. Tiada jalan
mundur atau berkelit bagi Lie Su Han di mana membuat ia jadi
mengeluh sendirinya. "Habislah aku kali ini.......," teriak Lie Su Han di dalam hatinya.
Kini hwesio gemuk itu sudah tidak bisa tertawa lagi waktu melihat
keadaan Lie Su Han terjepit seperti itu. Ketukan pada kayu bok-hie
juga berhenti. Walaupun tubuhnya gemuk. Namun gerakan si hwesio ternyata
lincah dan gesit sekali, karena begitu dia menjejakkan kakinya,
tubuhnya seperti sebuah bola yang melambung di tengah udara.
Dan di saat itu kayu bok-hie di tangannya, berikut pemukulnya juga
47 telah dimasukkan ke dalam jubahnya, di mana kemudian waktu
tubuhnya meluncur di dekat gelanggang pertempuran itu, si hwesio
telah menggerakkan kedua telapak tangannya dengan cepat.
"Aduuuh!" terdengar suara jerit kesakitan, lalu disusul dengan
suara jeritan lainnya lagi. Saling susul tampak sembilan tubuh telah
terpental berjumpalitan dan kemudian membentur keras sekali
dinding ruangan itu. Rupanya ke sembilan tentara Mongolia itu
telah dapat dibikin terpental satu demi satu oleh si hwesio gemuk
tersebut, sehingga begitu mereka membentur dinding, tubuh
mereka terkulai rubuh di lantai dalam keadaan pingsan tidak
sadarkan diri. Sesungguhnya Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin tengah dalam
kegembiraan yang melihat bahwa lawan mereka dalam beberapa
saat lagi akan berhasil mereka rubuhkan, karena mereka melihat


Beruang Salju Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa Lie Su Han memang sudah tidak memiliki jalan mundur lagi
untuk menyelamatkan dirinya.
Namun betapa terkejutnya mereka waktu melihat kejadian yang
tidak pernah mereka sangka, yaitu ke sembilan dari tentara
Mongolia itu, masing-masing telah berhasil dibuat terpental begitu
rupa oleh si hwesio gemuk tersebut. Karena kedua tojin itu terkejut
maka mereka menahan sedikit serangan mereka yang merandek
beberapa detik. Mempergunakan kesempatan itulah si hwesio gemuk tersebut
telah mengulurkan tangan kanannya mencengkeram baju di
punggung Lie Su Han, dan menghentaknya, menarik dengan
cepat, sehingga tubuh Lie Su Han bisa diselamatkan dari serangan
48 kedua tojin itu. Bukan main marahnya Bo Liang Cinjin dan Po San
Cinjin, mereka telah mengawasi si hwesio dengan sorot mata yang
tajam bengis. "Kerbau..... siapa kau yang begitu lancang tangan berani
mencampuri urusan kami?" bentak Bo Liang Cinjin kemudian
dengan suara bengis mengandung kemarahan yang sangat.
"Ya, kau rupanya mencari mampus, kerbau gundul!" teriak Po San
Cinjin dengan suara yang tidak kalah bengisnya.
Si hwesio gemuk tertawa bergelak, ia melepaskan cekalannya
pada pakaian Lie Su Han, yang waktu itu telah merasa bersyukur,
karena dirinya telah diselamatkan oleh si hwesio.
"Aku si pendeta miskin yang tidak bernama...... Kebetulan aku
menyaksikan pertandingan yang tidak sedap dipandang, sehingga
Siauw-ceng terpaksa ikut mencampurinya.......!" menyahuti hwesio
tersebut dengan sikapnya yang tetap riang. "Siauw-ceng hanya
menghendaki kalian bertempur dengan cara yang adil, seorang
demi seorang, tidak seperti tadi, main meluruk begitu......!" dan si
pendeta tersebut telah tertawa bergelak.
Bo Liang Cinjin dari Po San Cinjin membuka mata lebar-lebar dan
membentak mengandung kemarahan yang sangat: "Engkaukah
yang bergelar Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu?" tanya Bo Liang
Cinjin kemudian. Si pendeta tertawa sambil mengangguk. Memang gelarannya
adalah Sung Ceng Siansu. Tetapi disebabkan ia gemar sekali
tersenyum dan tertawa tidak henti-hentinya setiap menghadapi
49 lawan bicaranya, maka pendeta ini telah diberikan julukan lainnya,
yaitu Bi-lek-hud, si Buddha tertawa.
"Memang tidak salah, rupanya Totiang berdua memiliki mata yang
sangat tajam......!" kata Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu. Dan
sekarang apakah totiang berdua akan meneruskan main-main
dengan senjata tajam itu dengan tuan ini?" sambil berkata begitu,
si Bi-lek-hud telah menunjuk kepada Lie Su Han, yang waktu itu
berdiri di sampingnya. Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin berdua sesungguhnya telah
cukup lama dan sering mendengar nama Bi-lek-hud Sung Ceng
Siansu, yang merupakan seorang hwesio yang memiliki
kepandaian tinggi dan disegani oleh jago-jago rimba persilatan.
Tetapi walaupun begitu Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin juga
merupakan dua orang tojin dari pintu perguruan Kun-lun-pay yang
memiliki kepandaian tinggi. Mereka juga merupakan dua orang
murid tingkat ketiga, dengan demikian mereka memiliki nama dan
tingkat derajat yang tinggi dalam bilangan pintu perguruan Kun-lunpay.
Sekarang, dalam keadaan marah seperti itu, walaupun mereka
telah mengetahui bahwa hwesio gemuk tersebut adalah Bi-lek-hud
Sung Ceng Siansu yang kesohor namanya di dalam kalangan
Kang-ouw, tokh mereka tidak merasa gentar.
"Kami tidak akan memperdulikan dulu pemberontak itu. Jika
memang Taysu bisa merubuhkan kami berdua, maka pemberontak
itu akan kami ijinkan untuk pergi bebas kemana dia mau.....!"
50 Hebat kata-katanya yang diucapkan oleh Bo Liang Cinjin, karena
itulah sebuah tantangan untuk Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu.
Tetapi Sung Ceng Siansu tidak melawan kata-kata tantangan itu
dengan sikap mendongkol atau marah, ia malah tertawa. Sama
seperti julukannya, yaitu Bi-lek-hud, ia telah memperlihatkan
sikapnya yang selalu riang.
"Lucu sekali," kata Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu kemudian. "Kalian
membawa sikap seperti anak kecil. Jika boleh siauw-ceng ingin
sekali mengetahui gelaran yang mulia dari Jie-wie totiang......!"
"Pinto Bo Liang Cinjin dan ini adikku Po San Cinjin," kata Bo Liang
Cinjin, suaranya tetap memperlihatkan perasaan tidak senang dan
membenci kepada Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu. "Dan kami justru
hendak meminta petunjuk dari Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu yang
begitu terkenal namanya di kalangan Kang-ouw!"
"Hahaha," tertawa pendeta yang selalu riang itu sambil mengusapusap perutnya yang memang membuncit, dan kemudian ia
berkata, "Benar-benar lucu! Rupanya hari ini Siauw-ceng berjodoh
bertemu dengan dua orang tokoh Kun-lun-pay yang memiliki nama
begitu menggetarkan rimba persilatan! Inilah namanya suatu rejeki
yang besar dan keberuntungan yang tidak pernah siauw-ceng
berani harapkan sebelumnya! Apa lagi sekarang, jie-wie totiang
hendak mengajak siauw-ceng main-main, dengan begini, itulah
suatu penghormatan yang besar untuk siauw-ceng. mana berani
siauw-ceng untuk menampiknya?"
Sambil berkata, tangan kanan Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu telah
mengusap-usap perutnya yang memang sangat buncit itu.
51 Mendengar bahwa tantangan mereka itu diterima dengan cara
seperti itu, Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin tidak membuangbuang waktu pula. Bo Liang Cinjin menggerakkan pedangnya di
tangan kanannya menikam ke arah perut si hwesio, gerakannya
cepat sekali. Dan juga Hud-tim nya telah dikebutkan ke kepala si
hwesio. Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu mengeluarkan suara teriakan kaget
diiringi tawanya, "Celaka....." serunya, dan tangan kanannya
mengusap perutnya yang buncit lebih cepat, tangan kirinya
menutupi kepalanya yang gundul itu, seperti takut kena
dikemplang. Dan sambil berbuat dengan tingkah laku yang lucu seperti itu, ia
juga telah mencelat ke samping, gerakannya begitu ringan dan
cepat sekali. Dan gerakan dari Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu
tersebut telah membuat tikaman dan kejaran hud-tim Bo Liang
Cinjin jatuh di tempat kosong.
Sedangkan Po San Cinjin yang melihat tikaman dan kemplangan
hud-tim dari saudara seperguruannya tidak berhasil mengenai
sasarannya, jadi mengeluarkan suara seruan nyaring sambil
menggerakkan pedang dan hud-timnya juga menikam dari
mengebut kepada Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu. Gerakan yang
dilakukannya itu disertai oleh kerahan tenaga lweekang sembilan
bagian. Hal ini disebabkan Po San Cinjin menyadari bahwa orang
yang tengah dihadapinya ini adalah seorang lawan yang memiliki
kepandaian yang tinggi sekali dengan demikian telah membuat ia
melakukan tikaman dan kebutan hud-timnya itu dengan
mempergunakan tenaga lweekang yang tidak kepalang tanggung.
52 Tetapi seperti tadi, Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu telah mengulapulapkan tangannya, sambil berkata: "Celaka perutku......! Celaka
perutku! Habislah kepalaku! Ohhh, celaka! Sungguh celaka!"
Walaupun Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu berbuat tingkah laku yang
jenaka seperti itu, tokh kenyataannya gerakan tubuhnya cepat dan
gesit sekali, sama sekali serangan yang dilakukan Po San Cinjin
tidak berhasil mengenai sasarannya, karena pedang dan hudtimnya telah menyerang ke tempat kosong.
Dengan begitu Po San Cinjin dan Bo Liang Cinjin penasaran bukan
main, dan mereka telah berbareng mengeluarkan suara bentakan
sambil menggerakkan senjata mereka, yaitu sepasang pedang dan
sepasang hud-tim saling samber cepat sekali dari empat jurusan
kepada Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu.
Tetapi Sung Ceng Siansu telah melompat ke sana ke mari dengan
gerakan tubuh yang ringan sekali, di mana ia pula acap kali
berteriak-teriak, "Celakalah aku! celakalah aku.....! Ooh perutku
tersayang, akan robeklah engkau dicium pedang totiang ini......!
Sungguh celaka kalau sampai kepalaku yang gundul ini kena
dibelai oleh bulu-bulu dari totiang-totiang itu.....!" dan tubuhnya
telah melejit ke sana ke mari.
Memang cukup menakjubkan, walaupun bentuk tubuhnya gemuk
bundar seperti itu, kenyataannya Sung Ceng Siansu bisa bergerak
begitu gesit dan lincah. Malah sering sekali ia berteriak-teriak
seperti orang ketakutan, tidak lupa ia menyelingi dengan suara
tertawanya. 53 Setelah lewat sepuluh jurus, semakin lama Bo Liang Cinjin dan Po
San Cinjin semakin panas hatinya. Keduanya telah mengerahkan
seluruh kekuatan lweekang mereka dan telah menikam dan
mengebut dengan hud-tim dan pedang mereka gencar sekali.
Kenyataannya, kedua tojin tersebut tetap mendesak Sung Ceng
Siansu. Malah setelah lewat sepuluh jurus pula di saat mana Bo Liang
Cinjin dan Po San Cinjin tetap tidak berhasil untuk melukai Sung
Ceng Siansu. Bahkan mendesak si hwesio saja mereka tidak bisa,
di saat itulah Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu telah berkata dengan
suara yang sangat nyaring:
"Aha haha haha, rupanya sekarang giliran aku si gemuk untuk
memperlihatkan betapa tebalnya perutku ini, dan betapa atosnya
kulit kepalaku...... hihihihi, hahahaha.....!" dan sambil tertawa
begitu, tahu-tahu Sung Ceng Siansu sambil berkelit mengelakkan
tikaman dari Bo Liang Cinjin yang menggerakkan pedangnya ke
arah pahanya. Tubuh pendeta gemuk itu telah melambung ke atas
setombak lebih, kedua kakinya ditekuk. dan kedua tangannya
dilibatkan pada kedua kakinya di mana tubuhnya yang gemuk itu
benar-benar jadi bulat seperti juga sebuah bola. Dan tubuh dari
Sung Ceng Siansu berputaran di tengah udara. Lalu kepalanya itu
menyeruduk kepada Bo Liang Cinjin, di saat tubuh hwesio tersebut
meluncur turun dengan cepat.
Bo Liang Cinjin yang, menyaksikan cara menyerang Bi-lek-hud
Sung Ceng Siansu yang aneh dan luar biasa ini, tertegun sejenak,
karena ia tidak mengerti, bahwa hwesio ini benar-benar
54 membuktikan ancamannya, bahwa ia akan memperlihatkan
kekedotan dan keatosan kulit kepalanya.
Namun Bo-liang tidak bisa berlaku ayal, karena tubuh Bi-lek-hud
Sung Ceng Siansu telah meluncur cepat sekali dan kepalanya
yang gundul itu hanya terpisah tiga dim dari dada Bo Liang Cinjin.
Mati-matian Bo Liang Cinjin telah menjengkangkan tubuhnya ke
belakang, dengan gerakan "Tiat-pan-ko" atau jembatan besi,
sehingga walaupun tubuhnya terjengkang ke belakang, ia masih
bisa berdiri di atas kedua kakinya yang tertekuk dalam-dalam itu.
Sikap yang diperlihatkan pada gerakannya benar-benar mirip
dengan Jembatan Besi, seperti nama dari jurus itu.
Karena tidak mengenai sasarannya, maka serudukan Sung Ceng
Siansu mengenai dinding, ia tidak bisa menahan meluncurnya
tubuhnya yang berputar seperti bola itu, maka kepalanya yang
gundul plontos menghantam kuat sekali dinding ruangan sebelah
kanan. Terdengarlah suara menggelegar yang sangat keras sekali,
dan dinding itu jadi jebol berlobang, karena dinding itu seperti
dihantam oleh sesuatu benda yang keras dan kuat sekali.
Sedangkan Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu sendiri sambil tertawa,
"Hahaha!" telah berdiri dengan kedua kakinya, sedikitpun tidak
terlihat mabok atau pusing akibat benturan kepalanya itu dengan
dinding tersebut yang jadi berantakan batunya, meluruk hancur di
kaki tembok. Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin jadi berdiri kaku kaget dan heran,
mereka tidak mengerti betapa kuatnya kepala botaknya si Buddha
tertawa itu, Sung Ceng Siansu.
55 Sambil tertawa hahahaha tidak hentinya, Bi-lek-hud Sung Ceng
Siansu telah melangkah mendekati Bo Liang Cinjin dan Po San
Cinjin! Tiba-tiba hwesio gemuk ini duduk di lantai sambil tertawa
tergelak-gelak tiada hentinya, kedua tangannya mengusap-usap
perutnya yang buncit. "Lucu sekali..... lucu sekali......!" kata hwesio gemuk tersebut terus
menerus dengan tertawanya yang terpingkal. "Seperti itu, sungguh
menggelikan...... hahaha...... sungguh lucu!"
Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin yang telah tersadar dari
tertegunnya dan berkurang perasaan kaget mereka, ketika melihat
tingkah laku hwesio jenaka tersebut yang seperti juga mengejek
diri mereka. Keduanya jadi memandang benci dan Bo Liang Cinjin
telah bertanya dengan suara membentak, "Apanya yang lucu?"
"Kalian berdua, lucu sekali......!" menyahuti Sung Ceng Siansu
sambil terus tertawa keras terpingkal-pingkal.
"Ada apa pada kami yang lucu?" bentak Po San Cinjin, yang jadi
mendongkol bukan main. "Kalian berdua merupakan tojin-tojin yang tidak punya guna.....
lucu sekali, seperti anak kecil yang takut menghadapi kodok......
mengapa kalian tidak menangkis terjanganku tadi dan melainkan
kalian hanya berusaha menyingkir menyembunyikan ekor?"
menyahuti Sung Ceng Siansu dengan diselingi suara tertawanya
yang bergelak-gelak. 56 Muka Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin jadi berobah merah
padam, mereka gusar dan penasaran bukan main, keduanya
menahan kemarahan mereka sampai tubuh mereka menggigil.
"Baiklah," kata Bo Liang Cinjin dengan suara yang keras. "Pinto
ingin melihat sampai berapa tinggi kepandaian dari Bi-lek-hud
Sung Ceng Siansu yang dipuji-puji orang rimba persilatan....." dan
membarengi perkataannya tampak Bo Liang Cinjin telah
mengebutkan hud-timnya ke samping, lalu pedang di tangan
kanannya menyambar ke arah Sung Ceng Siansu, yang masih
tetap duduk di tempatnya tanpa bergerak.
Po San Cinjin juga rupanya tidak mau berdiam diri. Ia pun
penasaran karena dengan maju berbareng berdua seperti itu,
biasanya mereka merupakan jago yang sulit sekali ditundukkan
oleh siapapun juga. Namun sekarang malah hwesio berkepala
gundul yang jenaka ini bagaikan tidak memandang sebelah mata
pada mereka. Dengan demikian, perasaan penasaran telah
meliputi kedua tojin, sekarang turun tangan mereka melakukan
tikaman dengan pedang masing-masing, juga melancarkan
kebutan dengan hud-tim mereka. Kedua tojin itu melakukan
dengan bersungguh-sungguh dengan mempergunakan jurus ilmu
pedang Kun-lun-kiam-hoat.
Ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat terdiri dari delapanpuluh enam
jurus. Dan setiap jurus dipecah menjadi dua gerakan, dengan
demikian, jumlah seluruh gerakan dari Ilmu pedang itu menjadi
seratus tujuhpuluh bagian. Ilmu pedang Kun-lun juga memiliki
banyak perubahan, antara jurus satu dengan jurus lainnya selalu
memiliki hubungan yang erat. Jika serangan pertama gagal maka
57 jurus selanjutnya akan segera menambal kekurangan yang
terdapat pada jurus yang terdahulu itu. Dengan begitu, ilmu pedang
tersebut bagaikan memiliki rangkaian yang erat dan selalu


Beruang Salju Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beruntun sekali jurus demi jurus mengepung lawannya.
Terlebih lagi sekarang Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin
melakukan serangan kepada si pendeta jenaka itu dengan
berbareng, sekaligus maju berdua, dan juga mereka memainkan
ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat dengan bersungguh-sungguh.
Dengan demikian, telah menyebabkan setiap jurus yang mereka
pergunakan memiliki kekuatan yang bisa mematikan.
Tetapi Sung Ceng Siansu sama sekali tidak jeri untuk berurusan
dengan kedua tojin Kun-lun-pay tersebut, ia masih tetap duduk di
tempatnya dengan tertawanya yang bergelak-gelak tidak hentinya.
Waktu dilihatnya kedua batang pedang Bo Liang Cinjin dan Po San
Cinjin itu menyambar ke arah perut dan pundaknya, Sung Ceng
Siansu tetap tertawa malah iapun berseru: "Ohh, bisa celaka aku!
Sungguh berbahaya.....!"
Lalu tubuhnya seperti bola bundar telah menggelinding di lantai,
dan kemudian telah duduk pula di bagian lainnya. Dengan
demikian sambaran kedua batang pedang Bo Liang Cinjin dan Po
San Cinjin mengenai tempat kosong.
"Ayo kita bermain petak......!" kata hwesio jenaka tersebut. "Aku
gembira sekali bisa bermain-main dengan kalian berdua, jie-wi
Totiang!" Muka Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin jadi berobah merah,
karena mereka benar-benar penasaran sekali. Tidak disangka oleh
58 mereka sama sekali, bahwa kini justru mereka seperti juga
dipermainkan oleh pendeta gundul yang jenaka itu, dan seperti
juga ilmu pedang mereka yang sesungguhnya telah dilatih mahir,
bagaikan tidak memiliki arti apa-apa lagi buat si pendeta berkepala
botak tersebut. "Baiklah lihat serangan....." Bo Liang Cinjin telah membentak,
sambil melompat pedang di tangannya digetarkan sekaligus
melancarkan tikaman ke tiga bagian di tubuh anggota bagian
pendeta gundul tersebut yaitu lengan, dada dan perut.
Po San Cinjin juga rupanya tak mau ketinggalan, ia maju
mendekati si hwesio jenaka itu dari arah samping kanan,
pedangnya digerakkan menabas ke arah pinggang si hwesio.
Tetapi Sung Ceng Siansu tergelak-gelak tiada hentinya. Kini ia
tidak menggelinding di lantai seperti biasanya tetapi tetap duduk di
tempatnya, kedua tangannya telah digerakkan yang tangan kiri
diulurkan untuk menjepit pedang Bo Liang Cinjin dengan jari
telunjuk dengan jari tengahnya, kemudian tangan satunya lagi
digerakkan untuk menjepit pedang Po San Cinjin.
Kedua tojin tersebut melihat gerakan Sung Ceng Siansu, dan
mereka juga mengetahui maksud dari pendeta jenaka itu yang
hendak menjepit pedang mereka. Namun mereka tidak berdaya
untuk mengelakkan pedang mereka dari jepitan si hwesio, karena
gerakan yang dilakukan oleh Sung Ceng Siansu sangat cepat,
sehingga mereka hanya bisa melihat meluncurnya kedua tangan
Sung Ceng Siansu. 59 Tahu-tahu mereka telah kena dipermainkan oleh hwesio jenaka itu,
di mana ketika pedang mereka masing-masing kena dijepit oleh jari
tangan Sung Ceng Siansu, tahu-tahu Bo Liang Cinjin dan Po San
Cinjin merasakan tubuh mereka terangkat terapung di tengah
udara, berputar-putar tidak hentinya. Karena dengan menjepit
pedang kedua lawannya itu, Sung Ceng Siansu telah
mengerahkan lweekangnya, dan kemudian lewat ke dua badan
pedang itu, ia mengangkat naik kedua tubuh tojin itu.
Kedua tojin itu kaget bukan kepalang, mereka mengeluarkan suara
seruan nyaring, berusaha memberatkan tubuh mereka guna turun
ke lantai pula. Namun mereka seperti tidak berdaya lagi, tubuh
mereka tetap melayang terapung di tengah udara.
Kedua tojin itu menyadari, mereka baru bisa menghindarkan diri
dari libatan tenaga lweekang Sung Ceng Siansu, jika saja mereka
melepaskan pedang masing-masing. Namun dengan melepaskan
pedang, berarti mereka telah menampar muka sendiri, karena bagi
orang-orang persilatan, senjata sama dengan jiwa mereka.
Dengan terlepasnya senjata mereka, berarti pamor dan nama baik
mereka runtuh dengan sendirinya, dan sulit untuk mengangkat
kepala lagi. Itulah sebabnya. Untuk beberapa saat lamanya Bo Liang Cinjin dan
Po San Cinjin jadi ragu-ragu dan bimbang untuk melepaskan
senjata mereka. Berulang kali hud-tim mereka berusaha
menghantam ke arah kepala dan pundak si hwesio jenaka itu.
Namun Sung Ceng Siansu sambil tertawa hahahahaha tidak
hentinya menggerakkan dua tangannya itu, yang jari tangannya
60 menjepit pedang kedua lawannya itu. Kepalanya yang gundul
pelontos telah digerakkan miring ke kiri dan ke kanan cepat sekali,
menghindari dengan mudah setiap kali kebutan hud-tim dari kedua
tojin muda itu tiba. Memang terdapat kesulitan yang tidak kecil buat Bo Liang Cinjin
dan Po San Cinjin. Pedang mereka berukuran panjang, dengan
begitu hud-tim mereka yang berukuran lebih pendek dari pedang
mereka, jadi selalu gagal mencapai sasaran yang mereka
kehendaki. Lie Su Han yang menyaksikan dari jarak tiga tombak lebih,
merasakan berkesiuran angin dari meluncurnya ke dua tubuh tojin
itu, yang tetap melayang-layang terapung di tengah udara. Betapa
kagumnya Lie Su Han, sehingga ia memuji tidak hentinya.
Kepandaian yang telah diperlihatkan oleh Sung Ceng Siansu
memang menakjubkan, dan menurut Lie Su Han mungkin hanya
gurunya, yaitu Bu Siang Siansu yang dapat menandinginya.
Sung Ceng Siansu rupanya menganggap bahwa telah cukup
mempermainkan ke dua tojin itu karena setelah memutar tubuh ke
dua tojin itu beberapa saat lamanya pula, tahu-tahu Sung Ceng
Siansu telah menghentak ke dua tangannya. Pedang Bo Liang
Cinjin patah tiga, dan pedang Po San Cinjin patah dua. Tubuh
mereka terlempar ke tengah udara.
Mati-matian Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin berusaha
menguasai tubuh mereka, sehingga mereka jatuh tanpa terbanting,
ke dua kaki mereka terlebih dulu tiba di lantai. Namun karena
disebabkan mereka tadi telah diputar-putar, sehingga mereka
61 merasa pening, mata mereka juga berkunang-kunang. Begitu kaki
mereka menginjak lantai, tubuh mereka terhuyung-huyung lama,
sampai akhirnya ke dua tojin itu bisa menguasai tubuh mereka
tidak terhuyung lagi. Ke sembilan tentara Mongolia yang tadi telah pingsan dibanting
oleh Sung Ceng Siansu, kini telah tersadar dan berdiri di samping
dengan hati yang kecut. Nyali mereka telah pecah karena mereka
menyadari jika mereka maju lagi, niscaya mereka akan menderita
siksaan yang jauh lebih hebat lagi dari hwesio yang kepandaiannya
tinggi itu. Buktinya ke dua tojin yang berkepandaian sangat tinggi
yang mereka andalkan, telah berhasil dipermainkan oleh hwesio
tersebut. Sung Ceng Siansu telah melompat berdiri, tetapi tidak hentinya
tertawa. "Apakah kalian masih hendak main-main dengan Siauw-ceng?"
tanya pendeta itu. Muka Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin berobah merah, mereka
penasaran dan marah sekali, tetapi mereka juga dapat melihat
keadaan. Walaupun mereka penasaran, tokh disebabkan mereka
menyadari tidak akan dapat melayani pendeta tersebut, mereka
memutuskan untuk menyudahi pertempuran itu. Segera Bo Liang
Cinjin berkata: "Baiklah, kali ini kami dirubuhkan olehmu, tetapi kelak Pinto berdua
akan mencarimu untuk meminta petunjuk pula......!" dan setelah
berkata begitu, Bo Liang Cinjin melirik kepada Po San Cinjin,
memberikan isyarat kepada kakak seperguruannya itu guna
62 berlalu. Begitu juga ke dua tojin ini telah mengangkat tangannya
untuk memberi tanda kepada sembilan tentara Mongolia yang tadi
datang bersama mereka, untuk berlalu meninggalkan tempat
tersebut. Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu tertawa bergelak-gelak dengan
sikapnya yang jenaka, ia menoleh kepada Lie Su Han waktu Bo
Liang Cinjin dan kawan-kawannya itu berlalu dari ruangan makan
rumah penginapan tersebut.
"Anak muda, apakah engkau tidak mengalami cidera di dalam
tubuh....?" tanya Sung Ceng Siansu di antara suara tertawanya itu.
Lie Su Han cepat-cepat merangkapkan ke dua tangannya memberi
hormat, dan ia berkata dengan sikap sangat berterima kasih:
"Terima kasih atas pertolongan yang diberikan Taysu.... Siauwte
hanya terluka luar saja. Luka yang tidak begitu berarti dan nanti
setelah diobati, tentu akan sembuh dengan cepat....."
"Bagus!" kata Sung Ceng Siansu kemudian dengan suara yang
nyaring. Lalu mengeluarkan kayu bok-hienya yang kemudian
diketuk-ketuk, "kukira akupun harus berlalu......!"
Lie Su Han nenyatakan terima kasihnya lagi dan ia mengantarkan
Sung Ceng Siansu sampai di muka pintu rumah penginapan
tersebut. Tetapi waktu pendeta jenaka itu hendak berlalu sambil
mengetukkan terus kayu bok-hienya terdengar suara jeritan
tertahan dari seorang anak kecil.
63 Cepat sekali Lie Su Han dan Sung Ceng Siansu menoleh mereka
melihat sosok tubuh melompat ke jendela dan lenyap di luar. Sosok
tubuh itu yang berpakaian berwarna jingga, tangannya mengempit
sesosok tubuh kecil lainnya. Tetapi mata Sung Ceng Siansu dan
Lie Su Han yang tajam seketika mengenal bahwa anak kecil yang
berada dalam kempitan orang berpakaian jingga itu adalah Lie Ko
Tie keponakan Lie Su Han.
Bukan main kagetnya Lie Su Han, gesit sekali ia melompat
menyusul ke arah jendela itu di mana ia melompat keluar untuk
menggejar orang yang menculik Lie Ko Tie.
Sung Ceng Siansu yang batal pergi meninggalkan tempat itu telah
melayang melompat juga ke jendela itu dan ia telah melayang
dengan ringan sekali. Empat kali menjejakkan kakinya di lantai
seketika itu juga ia berhasil melampaui Lie Su Han.
Orang yang berpakaian baju warna jingga itu ternyata memiliki
ginkang yang tinggi sekali. Walaupun di tangan kanannya
mengempit Lie Ko Tie tetapi ia bisa bergerak dengan ringan sekali
di mana ia telah melompat ke genting rumah penduduk lainnya.
Sung Ceng Siansu boleh memiliki ginkang yang mahir tetapi
kenyataan ia tidak bisa mengejarnya dengan segera, jarak mereka
masih terpisah cukup jauh.
Lie Su Han yang memiliki ginkang di bawah ginkang Bi-lek-hud
Sung Ceng Siansu tertinggal jauh sekali.
Bukan main berkuatirnya Lie Su Han, ia sampai mengucurkan
keringat dingin, dan juga di waktu itu ia seperti melupakan luka64
luka yang terdapat di sekujur tubuhnya. Dengan mengerahkan
seluruh tenaga yang ada padanya, ia berlari cepat sekali. Dan
beberapa kali, karena tergesa-gesa seperti itu, keseimbangan
berat ke dua kakinya sering tidak terkendalikan dan menginjak
pecah beberapa genting rumah penduduk.
Sung Ceng Siansu yang dijuluki orang rimba persilatan sebagai Bilek-hud, si Buddha tertawa itu, sekarang ini jadi tidak bisa tertawa.
Ia heran dan kaget juga di dalam hatinya melihat orang yang
menculik Lie Ko Tie ternyata tidak berhasil dicandaknya dengan
segera. Karena penasaran, Sung Ceng Siansu mengempos
semangatnya dan telah mengerahkan tenaganya, tubuhnya yang
bulat gemuk itu berlari secepat terbang.
Orang yang berpakaian jingga itu berlari menuju ke arah pintu Gomay. Ia berlari begitu cepat sekali, sehingga setibanya di pintu kota
tersebut, di mana ada belasan orang tentara Mongolia yang
menjaga pintu kota tersebut hendak menegurnya. Tapi tubuh lelaki
berpakaian jingga tersebut telah melesat melewati mereka dengan
ringan, sehingga belasan penjaga itu hanya berdiri tertegun saja,
dengan hati bertanya-tanya apakah mereka bertemu hantu di siang
hari bolong seperti itu. Dan belum lagi lenyap heran mereka, waktu itu telah berkelebat
pula sesosok tubuh yang gemuk dan telah lenyap dari pandangan
mata mereka dalam waktu yang singkat. Itulah Sung Ceng Siansu
yang juga mengejar lelaki berpakaian jingga keluar dari kota Siangyang.
65 Lie Su Han yang memiliki ginkang tidak setinggi Sung Ceng Siansu
tidak bisa melewati barisan penjaga kota tersebut begitu saja,
karena diapun tengah dalam keadaan terluka napasnya juga
memburu keras sekali. Belasan penjaga pintu kota itu telah
menghadangnya. Lie Su Han mengeluh, karena jika ia melayani belasan penjaga
pintu tersebut, tentu akan membuang waktu saja, dan berarti juga
ia akan semakin tertinggal oleh penculik Lie Ko Ti dan Sung Ceng
Siansu. Tetapi sekarang belasan penjaga pintu kota itu telah
menghadangnya, dengan demikian Lie Su Han mau atau tidak
harus berusaha melewati mereka, karena jika tidak tentu banyak
kerewelan. Untuk mengambil jalan memutar lewat pintu kota
lainnya tentu akan membuang waktu.
"Berhenti......!" bentak beberapa tentara penjaga pintu kota
tersebut ketika melihat Lie Su Han berlari semakin dekat.
Lie Su Han tidak mengurangi kecepatan berlarinya, ia terus juga
berlari dengan gesit sekali. Hanya diam-diam Lie Su Han telah
menyalurkan kekuatan lweekangnya pada ke dua tangannya. Dan
waktu tiba di hadapan para penjaga pintu kota tersebut, tangannya
beruntun bergerak, maka terlemparlah lima orang dari tentara
penjaga pintu kota tersebut, sisanya terkejut. Tetapi sewaktu
mereka hendak mengangkat tombak dan golok mereka waktu itu
Lie Su Han telah menggerakkan pula ke dua tangannya. Empat
orang lagi dari tentara Mongolia penjaga pintu kota tersebut
terlempar ke udara. Sisanya dua orang, mereka semua ciut
66 nyalinya dan tidak berani menghalangi Lie Su Han pula. Maka
cepat sekali Lie Su Han telah melewati mereka dan berlari terus
keluar kota Siang-yang. Penculik Lie Ko Tie yang memiliki ginkang mahir itu, masih terus
berlari cepat sekali, dalam waktu sekejap mata saja telah limapuluh
lie lebih dilewatinya, namun Sung Ceng Siansu yang penasaran
melihat ia masih belum bisa mengejarnya. Suatu kali di waktu jarak
mereka terpisah belasan tombak, Sung Ceng Siansu
mengayunkan tangan kanannya, maka melesatlah besi pengetuk
kayu bok-hienya. Lemparan besi pengetuk kayu bok-hie itu disertai dengan kekuatan
lweekang yang hebat, hal mana bagaikan sebatang anak panah
yang terlepas dari busurnya, maka besi pengetuk kayu itu
menyambar ke arah punggung lelaki berpakaian jingga itu.
Penculik Lie Ko Tie tidak menghentikan larinya, hanya tangan
kirinya telah dikebutkan ke belakang. Gerakan yang dilakukannya
itu luar biasa kuatnya, karena batang besi pengetuk kayu bok-hie
tersebut bisa disampoknya terpental ke samping kanan.
Namun disebabkan gerakannya itu, membuat larinya penculik


Beruang Salju Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersebut terlambat beberapa detik saja. Dan juga pada waktu yang
lainnya beberapa detik itu justru telah dapat dipergunakan sebaik
mungkin oleh Sung Ceng Siansu. Karena waktu itu si pendeta yang
digelari orang rimba persilatan dengan julukan Bi-lek-hud tersebut,
telah menjejakkan kakinya, tubuhnya melompat cepat sekali dan
berada di dekat penculik itu, hanya terpisah dua tombak lebih.
67 Penculik Lie Ko Tie masih berusaha melarikan diri, tetapi justru di
waktu itulah Sung Ceng Siansu telah menggerakkan tangan
kanannya menghantam kepada penculik itu dengan pukulan Pekkong-ciang. Sehingga walaupun mereka terpisah masih dua
tombak lebih, tokh angin pukulan itu bisa menghancurkan batu,
apalagi hanya punggung manusia. Penculik Lie Ko Tie terpaksa
harus mengelakkan gempuran itu dengan memandekkan
tubuhnya, yang dibungkukkan dan dimiringkan juga ke kiri.
Dengan demikian ia bisa menghindarkan diri dari terjangan tenaga
gempuran Sung Ceng Siansu. Namun akibat berkelitnya dia,
kesempatan itu dipergunakan Sung Ceng Siansu untuk melompat
ke hadapan penculik tersebut menghadang jalan larinya.
"Hahahahaha......!" pendeta jenaka ini tertawa keras bergelakgelak, kini ia baru bisa tertawa karena telah berhasil mengejar
penculik tersebut. "Rupanya engkau akhirnya harus mengakui
juga, bahwa aku Sung Ceng Siansu masih lebih menang di
atasmu....." Sambil berkata begitu, Sung Ceng Siansu mengawasi si penculik.
Ternyata dia seorang lelaki yang wajahnya kurus panjang, dengan
kumis dan jenggot yang tipis pendek, dan mata yang terbuka besar
menclos agak keluar, seperti juga mata ikan koki, mulutnya kecil,
monyong seperti mului tikus. Usianya mungkin sudah limapuluh
tahun. Waktu itu si penculik tersebut telah berkata dengan marah:
"Pendeta gundul, kau mencari mampus heh?"
Dan penculik berpakaian jingga tersebut juga bukan hanya berkata
begitu saja, dengan tangan kirinya ia telah mendorong kepada
68 Sung Ceng Siansu, ke arah dada pendeta tersebut. Dorongan itu
mengandung tenaga yang kuat sekali, menerjang seperti
datangnya gelombang laut yang saling susul.
Sung Ceng Siansu tertawa keras, tubuhnya yang bulat itu telah
melompat ke tengah udara, ke dua kakinya ditekuk, dan ke dua
tangannya memeluk ke dua kakinya tersebut, dan seperti bola
bundar, tubuh si pendeta yang gemuk itu telah berputar di tengah
udara, tahu-tahu meluncur menyambar ke arah dada si penculik.
Penculik tersebut terkejut. Ia mengetahui hebatnya cara
menyerang Sung Ceng Siansu, maka ia tidak bisa
meremehkannya. Tetapi waktu itu ia sudah tidak memiliki waktu
yang banyak guna menghindarkan diri. Dan jalan satu-satunya, ia
mengangkat tubuh Lie Ko Tie yang telah dalam keadaan tertotok
tidak bisa bargerak, untuk diangsurkan menerima terjangan kepala
gundulnya Sung Ceng Siansu.
Kaget bukan main Sung Ceng Siansu.
"Perbuatan licik......!" berseru Sung Ceng Siansu dengan gusar,
tetapi ia tidak bisa membendung meluncur tubuhnya, yang
kepalanya akan menerjang penculik itu. Hanya jalan satu satunya
si pendeta memusatkan kekuatan lweekangnya untuk
memiringkan tubuhnya, yang segera merobah arah terjangannya,
melewati sisi tubuh penculik tersebut dan meluncur terus di mana
kepalanya kemudian menghantam batang pohon yang sebesar
mulut mangkok sehingga menimbulkan suara yang nyaring sekali,
dan yang luar biasa batang pohon tersebut segera patah dan
tumbang. Sedangkan Sung Ceng Siansu sendiri seperti tidak
69 mengalami sesuatu apapun juga, telah berdiri. Penculik Lie Ko Tie
yang melihat kesempatan itu telah mengempit Lie Ko Tie dan
bermaksud hendak melarikan diri lagi.
Tetapi Sung Ceng Siansu telah mengeluarkan suara tertawa
bergelak-gelak, sambil katanya: "Aduh anak manis..... aduh anak
manis...... jangan pergi dulu. Kepalaku yang alot dan atos ini belum
lagi mencium tubuhmu......!" sambil berseru Sung Ceng Siansu
telah menjejakkan kaki, tubuhnya telah melompat pula dengan
sikap seperti tadi. Yaitu ke dua kaki ditekuknya dan ke dua tangan
memeluk ke dua kaki tersebut, tubuhnya yang berputar di tengah
udara seperti sebuah bola itu telah meluncur menyerudukkan
kepalanya ke arah punggung penculik Lie Ko Tie.
Penculik Lie Ko Tie rupanya jadi mendongkol juga karena didesak
terus menerus seperti itu. Tahu-tahu ia telah melemparkan tubuh
Lie Ko Tie dari gendongannya, di mana tubuh Lie Ko Tie memang
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 12 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Naga Dari Selatan 13

Cari Blog Ini