Makam Bunga Mawar Karya Opa Bagian 33
mana pun juga. Suasana di puncak gunung Tay pek hong
untuk sesaat menjadi sunyi senyap. Semua mata dari orangorang yang hadir disitu ditujukan kepada dua jago wanita itu
dengan tidak berkedip. Beberapa saat kemudian, pada wajah Pek-kut Sian-cu dan
Tang Siang Siang benar saja perlahan-lahan terjadi
perobahan. Lebih dulu wajah dua orang itu dalam waktu yang
bersamaan berubah menjadi merah, kulit-kulit mereka yang
sudah mulai keriputan juga perlahan-lahan menjadi halus
kembali, rambut-rambut putih di kepala mereka perlahanlahan lenyap. Selanjutnya rambut-rambut putih tadi perlahanlahan berobah menjadi hitam sama sekali.
Tidak sampai setengah jam Pek-kut Sian-cu dan Tang
Siang Siang pada membuka mata untuk menyaksikan
keadaan lawannya. Tampak dua jago wanita tadi yang duduk berhadapan, kini
sudah berubah menjadi dua wanita cantik berusia tiga
puluhan. Dua orang itu saling pandang beberapa saat lamanya.
Ternyata satupun tidak ada yang menunjukkan senyum.
Sebaliknya mereka seperti dalam mimpi. Seperti merasa
terharu mengenangkan masa-masa yang sudah silam. Di
ujung mata masing-masing nampak berkaca-kaca dan dalam
waktu hampir bersamaan sama-sama pada mengeluarkan
elahan napas perlahan. Setelah elahan napas itu berhenti, apa yang tertampak di
hadapan mata elah terjadi pula perlahan. Baik Pek-kut Sian-cu
maupun Tang Siang Siang dalam waktu sekejap mata sudah
pulih kembali dalam keadaannya seperti semula yang pada
keriputan wajahnya. Tang Siang Siang lebih dulu membuka suara sambil
menghela napas : "Rambut hitam sekarang tinggal bayangannya saja. Wajah
merah bagaimana pun juga tidak akan kembali lagi. Sian-cu,
kita tadi apakah sedang mimpi ?"
Pek-kut Sian-cu juga seperti bangun dari mimpinya,
mungkin tidak di dengarnya kata-kata Tang Siang Siang tadi.
Berkata sambil menghela napas panjang :
"Semua kejadian yang telah lalu, sekarang sudah menjadi
kosong. Kita seperti dalam mimpi saja. Tang toyu, aku hendak
minta sedikit keterangan darimu. Kita tadi sebetulnya sadar
atau baru bangun dari mimpi ?"
Tang Siang Siang dengan lekas menjawab sambil tertawa :
"Sadar atau baru bangun dari mimpi, tergantung pada
pikiran Sian-cu sendiri. Tentu saja orang lain tidak dapat
merasakan !" Pek-kut Sian-cu lalu memejamkan matanya rapat-rapat.
Sesaat kemudian, baru perlahan-lahan membuka kembali
matanya. Dengan sikap sangat tenang sekali, berkata kepada Tang
Siang Siang sambil tersenyum :
"Aku sudah dapat menyadari filsafat kehidupan dalam
waktu sekejap mata. Aku sekarang tahu bagaimana akan
menjadi orang dalam mimpi lagi. Aku kira mimpiku yang buruk
selama beberapa puluh tahun yang seperti selalu mengejarngejar nama dan kedudukan, sekarang sudah waktunya harus
lenyap sama sekali !"
Kiu thian Mo lie Tang Siang Siang sebenarnya tidak pernah
menduga kalau Pek-kut Sian-cu akan insyaf atas semua
kesalahannya dalam waktu begitu lekas. Maka saat itu ia
merasa sangat girang sekali, katanya sambil tersenyum :
"Kalau benar Sian-cu sudah tawar terhadap nama dan
kedudukan, maka sisa dua pertandingan ini kurasa tidak perlu
dilanjutkan saja, bagaimana ?"
"Pertandingan kepandaian dengan adu ilmu boleh tidak
usah kita langsungkan. Tetapi kita tak boleh tidak harus
meninggalkan sedikit tanda peringatan ! Sahabat Tang, mari
kita berbuat sedapat mungkin dengan menggunakan arak
beracun yang kita minum tadi, meninggalkan sedikit tanda
peringatan di dinding batu puncak gunung ini. Bagaimana
sahabat pikir ?" Kiu thian Mo lie Tang Siang Siang mengangguk-anggukkan
kepala dan berkata sambil tertawa :
"Usul Sian-cu ini sangat baik. Penyair jaman dahulu pernah
menulis demikian : Penghidupan bagaikan mimpi, bekas
cawan arak masih tertingal di tepi sungai ! Sekarang mari kita
robah bunyi syair itu menjadi : Penghidupan bagaikan mimpi,
bekas-bekas tanda jari masih tertinggal di lamping gunung."
Sehabis berkata demikian kedua-duanya di dalam waktu
yang bersamaan pada mengacungkan jari telunjuk kanan
masing-masing. Dari situ meluncur arak sangat harum yang langsung
menuju batu di atas lamping gunung.
Setelah dua berkas arak itu meluncur, di atas dinding lalu
dapat terbaca tulisan-tulisan yang berbunyi :
Penghidupan bagaikan mimpi dan Bekas-bekas tanda jari tangan masih
tertinggal di lamping gunung.
Setelah itu, Pek-kut Sian-cu tidak kembali lagi ke
rombongannya. Ia memberi hormat sambil tersenyum kepada
Kiu thian Mo lie kemudian lompat turun dari puncak gunung.
Dalam sekejap mata telah lenyap dari pandangan orang
banyak. Sejak dimulai pertandingan antara kedua jago wanita yang
masing-masing mempergunakan ilmu kekuatan tenaga dalam
melakukan pertandingan yang sangat gaib sehingga meninggalkan bekas tulisan di lamping batu gunung, suasana
masih tetap sepi sunyi. Sampai Pek-kut Sian-cu berlalu, juga
tidak ada yang mengeluarkan suara.
Sebab dalam hati setiap orang diliputi oleh perasaan yang
sangat mengharukan. Begitu Pek-kut Sian-cu berlalu, Tiong sun Seng segera
bangkit dan berkata kepada Pat-bo Yao-ong :
"Hian Wan Liat ong, pujangga jaman dahulu pernah
menulis begini : Penghidupan manusia bagaikan impian. Perlu
apa sicu mencari nama yang tidak karuan " Ada pula yang
mengatakan nama baik atau nama besar. Pada akhirnya toh
kesunyian juga yang mendampingi kita. . . . ."
Belum lagi habis ucapannya, Pat-bo Yao-ong sudah
berkata sambil menggoyang-goyangkan tangannya dan
tertawa : "Tiong sun tayhiap jangan berbicara soal pelajaran ilmu
kebathinan lagi segala, bisakah kau " Bagi kami saat ini masih
belum waktunya untuk sadar. Maka ucapan tayhiap ini kurasa
akan tersia-sia belaka. Pertemuan besar di puncak gunung ini
baru saja dimulai, masih belum waktunya untuk
mengakhirinya. Aku minta lagi, janganlah kau mengucapkan
lagi kata-kata yang tidak menggembirakan hati orang seperti
tadi." Tiong sun Seng tahu bahwa pertemuan besar ini tidak
mungkin dapat diselesaikan dengan damai tetapi tidak boleh
tidak ia toh masih harus berusaha sedapat mungkin mencari
waktu yang baik buat mengucapkan beberapa patah kata
untuk menyadarkan Pat-bo Yao-ong supaya dapat
menghindarkan bencana. Kini setelah mendengar ucapan Pat-bo Yao-ong, ia tahu
bahwa takdir sudah tak dapat dielakkan lagi. Rasanya
bencana sudah tak dapat dihindarkan lagi. Maka banyak
bicara pun sudah tidak ada gunanya. Oleh karena itu, ia
terpaksa balik kembali ke rombongannya.
Sementera itu, Pat-bo Yao-ong menoleh ke kanan ke kiri,
kemudian berkata kepada Khie Tay Cao :
"Khie ciangbunjin tadi sudah menetapkan suatu ketentuan
dengan orang pihak sana dengan pertandingan sepuluh jurus
untuk menetapkan siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Kini pertandingan sudah berlangsung dua babak, tetapi
berakhir seri. Siapa lagi yang hendak turun ke lapangan untuk
menjumpai jago-jago daerah Tiong goan ?"
Pan Pek Giok, si cantik yang tinggal satu lengan tangannya
sudah majukan diri. Ia berkata sambil memberi hormat :
"Teecu ingin turun ke lapangan untuk menjumpai jago-jago
daerah Tiong goan, bagaimana pikiran Liat ong ?"
Pat-bo Yao-ong tahu bahwa Pan Pek Giok ini meskipun
pernah terluka parah sehingga lengannya tinggal satu tetapi
kepandaian ilmu silatnya masih jauh lebih tinggi dari pada tiga
manusia kerdil dari negara timur dan empat Ciancun dari
daerah barat atau sepasang manusia beracun. Maka ia lalu
berkata sambil menganggukkan kepala dan tertawa.
"Kalau Pek jie hendak turun ke lapangan, baik juga. Tetapi
kau harus berlaku sangat hati-hati. Kau harus tahu bahwa
semua orang yang hari ini berada di puncak Tay pek hong ini
terdiri dari jago-jago daerah Tiong goan yang sudha
kenamaan. Maka kalau kau menghendaki orang-orang seperti
mereka, janganlah berlaku sombong !"
Pan Pek Giok menganggukkan kepala, perlahan-lahan ia
berjalan masuk ke lapangan.
Hee Thian Siang yang melihat Pan Pek Giok jalan ke
lapangan, lalu berkata kepada Tiong sun Hui Kheng dengan
suara perlahan : "Enci Kheng, sekarang tibalah giliranmu yang harus turun
ke lapangan !" Tiong sun Hui Kheng terkejut. Tanyanya :
"Adik Siang, dia adalah sahabat barumu enci Pek.
Mengapa kau tidak mau turun sendiri untuk bercakap-cakap
dengannya, sebaliknya suruh aku yang menghadapi ?"
"Aku tak suka kelibat dia lagi. Sebaiknya enci saja turun
tangan, usirlah perempuan cantik berbisa itu !"
Mendengar Hee Thian Siang berkata demikian, Tiong sun
Hui Kheng lalu berkata pada ayahnya :
"Ayah, biarlah anak yang turun ke lapangan untuk
menghadapi Pan Pek Giok ini. Bagaimana ayah pikir ?"
"Pan Pek Giok ini meskipun sudah kehilangan satu lengan
tangannya tetapi semangatnya masih menyala-nyala. Jelas ia
ada memiliki kepandaian ilmu tinggi sekali. Kalau anak benarbenar sudah hendak turun ke lapangan, kunasehatkan
janganlah kau memandang ringak kepadanya."
Tiong sun Hui Kheng menerima baik pesan ayahnya.
Selagi hendak turun ke lapangan, Hee Thian Siang tiba-tiba
berkata lagi kepadanya dengan suara sangat perlahan :
"Enci Kheng, sebelum kau melakukan pertandingan dengan
Pan Pek Giok, ada tiga hal harap kau tanyakan lebih dulu
kepadanya !" "Aku tahu perhatianmu terhadap enci Pek ini besar sekali.
Di dalam tiga hal itu, satu diantaranya pasti hendak
menanyakan apa sebabnya sampai terputus sebuah lengan
tangannya !" kata Tiong sun Hui Kheng sambil menatap wajah
Hee Thian Siang. Wajah Hee Thian Siang kemerah-merahan, katanya sambil
tertawa : "Tiga soal itu ada hubungan satu sama lain. Yaitu ialah
menanyakan padanya apa sebab ia sampai terkutung sebelah
lengan tangannya. Kedua tanyakan kepadanya tentang diri
orang tua berbaju kuning Hee kouw Soan, sudah pernah
datang ke Pat bo atau tidak dan bagaimana akhirnya."
"Adik Siang tak usah khawatir. Aku ingat. Sekarang kuminta
kau supaya menjaga di pinggir lapangan !"
Hee Thian Siang tertawa dan berkata sambil
menggelengkan kepalanya :
"Meskipun Pan Pek Giok ini sudah mendapat warisan ilmu
kepandaian Pat-bo Yao-ong sendiri hingga ilmunya tidak
lemah tetapi kepandaian ilmu enci Kheng untuk menghadapi
padanya sudah lebih dari pada cukup. Apalagi ia sekarang
sudah kehilangan sebelah tangannya. . . . "
Tanpa menantikan Hee Thian Siang mengucapkan habis
kata-katanya, Tiong sun Hui Kheng sudah lekas memotong :
"Adik Siang, adapun sebabnya kenapa sampai aku minta
kau berjaga di pinggir lapangan bukan hanya untuk
memperhatikan dan berjaga-jaga terhadap Pan Pek Giok
semata tentunya." Hee Thian Siang heran, tanyanya :
"Enci Kheng, kau bertanding dengan Pak Pek Giok, suruh
aku perhatikan siapa ?"
"Bagi orang-orang rimba persilatan, mempunyai kebiasaan
memperhatikan keadaan disekitarnya. Apakah adik Siang
belum memperhatikan Bo Cu Keng, Siang Biauw Yan dan
lain-lainnya yang menunjukkan senyumnya yang penuh
mengandung maksud kejam " Di balik senyum mereka itu
barangkali ada terkandung siasat yang sangat jahat yang
mungkin akan segera dilaksanakan !"
Hee Thian Siang alihkan pandangan matanya kepada Bo
Cu Keng dan lain-lainnya, katanya :
"Bom Kian thian pek lek sudah dicuri kembali oleh Oe tie
locianpwe, apa lagi yang hendak mereka perbuat ?"
"Sejak adik In mengeluarkan pedang pusakanya Liu yap
bian sie kiam, orang-orang itu semua tentunya sudah
mengetahui bahwa benda-benda yang berada dalam sakunya
sudah hilang semua. Namun mereka masih bersikap sangat
tenang dan berdiam disini, tidak mau berlalu. Di sini kita bisa
menduga pasti bahwa mereka ada mempunyai rencana yang
sangat kejam ! Adik Siang jangan agulkan diri sendiri.
Sebaiknya dengarlah ucapanku. Perhatikanlah gerak gerik
mereka. Itulah yang paling baik !"
Mendengar Tiong sun Hui Kheng memberi pesan demikian
wanti-wanti, maka ia lalu mulai memperhatikan gerak gerik Bo
Cu Keng dan lain-lainnya.
Setelah Tiong sun Hui Kheng memberi pesan kepada Hee
Thian Siang, ia lalu turun ke lapangan dan berkata kepada
Pan Pek Giok sambil tersenyum :
"Nona Pan, sudah lama kita baru ketemu kembali sejak
perpisahan kita digunung Liok tiauw san."
"Bagaimana kau. . . . "
Pan Pek Giok tahu, Tiong sun Hui Kheng tentunya hendak
menanyakan apa sebab ia kehilangan sebelah tangannya.
Maka tidak menantikan pertanyaan selanjutnya, sudah berkata
lebih dulu sambil tertawa :
"Enci Tiong sun jangan heran. Sebelah tanganku ini
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terputus di tangan seorang jago rimba persilatan yang sangat
hebat sekali kepandaiannya !"
Tiong sun Hui Kheng tahu siapa yang dimaksud dengan
jago itu, namun ia masih pura-pura bertanya sambil tersenyum:
"Siapakah jago rimba persilatan yang sangat hebat
kepandaiannya seperti yang nona Pan maksudkan " Apakah
dia bukan orang tua berbaju kuning Hee kouw Soan ?"
Sepasang mata Pan Pek Giok membelalak, lama sekali ia
menatap wajah Tiong sun Huii Kheng. Kemudian balas
bertanya : "Nona Tiong sun, kenalkah kau dengan orang tua she Heekouw itu ?" "Orang tua Hee kouw Soan itu sifatnya sangat pemarah
dan tinggi hati. Dalam seumur hidupnya ia selalu menyesali
dirinya karena belum pernah menemukan tandingan yang
setimpal baginya. Maka itu lalu perkenalkan padanya untuk
menjumpai Hian Wan Liat ong suapaya mereka bisa
mengadakan pertandingan untuk menjajaki siapa yang lebih
kuat !" "Ouw ! Sayang keinginan nona Tiong sun itu tidak
terlaksana, sebab orang tua Hee kouw Soan itu sama sekali
belum pernah bertanding dengan Hian Wan Liat ong !" kata
Pan Pek Giok dengan wajah terheran-heran.
"Jadi orang tua Hee kouw Soan itu belum mengadakan
pertandingan dengan Hian Wan Liat ong ?"
"Ya. Ini bukanlah karena Hian Wan Liat ong takut padanya.
Hanya kebetulan saja. Sebab percuma Hee kouw Soan
datang dari tempat demikian jauh hendak bertanding dengan
Hian Wan Liat ong. Karena ketika ia tiba, kebetulan Hian Wan
Liat ong tidak berada di istananya !"
"Jadi orang tua Hee kouw Soan itu datang dengan
semangat menyala-nyala kembalinya harus dengan perasaan
kecewa ?" Pan Pek Giok mengawasi sebuah lengannya sebentar, lalu
katanya sambil menggelengkan kepala :
"Orang tua itu meskipun merasa kecewa tetapi juga tidak
lantas kembali !" Tiong sun Hui Kheng yang mendengar keterangan itu
merasa heran, tanyanya : "Apakah orang tua Hee kouw Soan itu terluka di tangan
nona ?" "Perangai orang tua itu berangasan sekali. Ia anggap Hian
Wan Liat ong bukanlah tidak ada melainkan tidak mau
menjumpai padanya. Maka ia lalu marah dan menjadi kalap
membikin ribut di istana Ciat thian kiong sehingga Kim-hoa
Seng-bo terpaksa mewakili Hian Wan Liat ong bertanding
dengannya." Tiong sun Hui Kheng yang tidak tampak Kim-hoa Seng-bo
ikut serta suaminya menghadiri pertemuan besar di puncak
gunung Cong lam ini, sudah dapat menduga sebagian sebabsebabnya. Tetapi ia masih melanjutkan pertanyaannya :
"Bagaimana akhirnya ?"
Pan Pek Giok berkata sambil menghela napas :
"Pertempuran berlangsung tiga hari tiga malam, masih
belum ada yang menang dan yang kalah. Orang tua she Hee
kouw itu mendadak seperti orang gila. Ia melepaskan diri dari
Kim-hoa Seng-bo lalu merusak istana Ciat thian kiong. Semua
peliharaan yang terdiri dari empat ekor burung raksasa, empat
ekor binatang buas dan empat ekor ular berbisa telah
dihancurkan dan dibunuh mati olehnya semua. Sedang aku
sendiri juga terkutung sebelah lengan tanganku ini akibat
amukannya." Tiong sun Hui Kheng mengerutkan alisnya mendengarkan
penuturan itu, sementara itu Pak Pek Giok sudah berkata lagi :
"Kim-hoa Seng-bo tidak dapat mengendalikan hawa
amarahnya. Maka ia lalu menurunkan tangan kejam,
menghadiahkan orang tua she Hee kouw itu dengan sembilan
tangkai bunga emasnya. Tetapi orang tua she Hee kouw itu
pada sebelum putus nyawanya juga membalas kepada Kimhoa Seng-bo dengan satu pukulan yang dinamakan Cu thian
ceng ciang. Dengan begitu, dua orang luar biasa pada jaman
ini akhirnya telah mati kedua-duanya di puncak gunung
tertinggi di atas gunung Boan pian san !"
Pan Pek Giok berkata sampai disitu. May Sin In yang
berada di luar lapangan ketika mendengar kematian suhunya
lalu menangis dengan sedihnya.
Hee Thian Siang juga ikut merasa sedih, tetapi ia masih
bisa menasehati May Sin In dengan ucapan lemah lembut. Ia
kata meskipun Hee kouw locianpwe itu menemui ajalnya,
tetapi ia sudah berhasil dengan seorang diri membinasakan
semua peliharan Pat-bo Yao-ong yang terdiri dari binatangbinatang buas dan ular-ular berbisa dan disamping itu juga
sudah berhasil menyingkirkan Kim-hoa Seng-bo yang lebih
ganas dan lebih berbahaya dari pada Pat-bo Yao-ong sendiri.
Maka jasa-jasanya itu sudah cukup besar bagi seluruh rimba
persilatan. Tiong sun Hui Kheng setelah mengetahui duduk
perkaranya, kini lalu beralih ke persoalan yang sedang
dihadapinya. Ia bertanya keapda Pan Pek Giok sambil
tersenyum. "Nona Pan, kau pikir dengan cara bagaimana kau hendak
menghadapi aku ?" Pan Pek Giok memandangi dengan tajam wajah Tiong sun
Hui Kheng beberapa saat, lalu jawabnya dengan sombong :
"Terserah kepadamulah, baik dengan tangan kosong atau
senjata tajam atau senjata rahasia atau ilmu Hian kang. Aku
selalu sedia mengiringi kehendakmu !"
Tiong sun Hui Kheng tampak berpikir, kamudian baru
berkata sambil tersenyum :
"Nona Pan sudah hilang sebelah tanganmu. Untuk
mengadu kekuatan senjata atau senjata rahasia atau tangan
kosong, barangkali kurang leluasa. Sebaiknya kita
mengadakan pertandingan dalam ilmu Hian kang saja untuk
meninggalkan sedikit tanda mata !"
Pan Pek Giok menunjuk huruf-huruf yang berarti
penghidupan bagaikan impian yang ditulis dengan jari tangan
di atas lamping gunung oleh Pek-kut Sian-cu dan Kiu-thian Mo
lie Tang Siang Siang. Katanya :
"Apakah nona Tiong sun ingin meninggalkan tanda mata
mengikuti cara mereka tadi ?"
"Kepandaian ilmu locianpwe kita tidak dapat tandingi.
Mengapa kita harus meniru tindakannya " Tetapi kupikir tidak
ada salahnya kalau kita berikan sedikit hiasan di samping
tulisan ini !" berkata Tiong sun Hui Kheng sambil
menggelengkan kepala. "Pikiran nona Tiong sun seperti ini baik sekali tetapi harap
kau berikan keterangan lebih jelas sedikit, bagaimana kita
harus menambahkan hiasannya ?"
"Kedua locianpwe itu menggunakan arak beracun yang
diminumnya, dikeluarkan melalu jari tangan masing-masing
berupa pancuran arak, meninggalkan tulisan di atas tebing itu
! Oleh karena ilmu kekuatan tenaga dalam kita masih belum
berapa tinggi, sudah tentu tidak dapat menandingi tenaga
cianpwe kita itu. Sebaiknya masing-masing menggunakan
kekuatan tenaga dalam dari jari tangan. Seorang menulis
tambahan huruf disamping huruf yang berarti Penghidupan
bagaikan impian itu atau penjelasannya dan seorang lagi
menambah garis kembang atau renda di seputar huruf-huruf
itu buat meninggalkan suatu peringatan dan pemandangan
indah di puncak Tay pek hong ini.:
"Nona Tiong sun pikir hendak ditambah dengan tulisan
kata-kata apa ?" "Istilah Penghidupan bagaikan impian sebenarnya sudah
mengandung maksud dalam sekali. Tetapi artinya terlalu luas.
Aku pikir hendak menambah dengan kata-kata :
Nama dan kekayaan bagaikan awan yang mengambang
di angkasa !" "Sungguh bagus sekali, tetapi entah siapa diantara kita
yang harus mengukir huruf-huruf itu dan siapa yang harus
mengukir garis kembang atau rand-nya " Agaknya harus turun
tangan berbareng untuk mengadu kekuatan tenaganya."
Oleh karena mengingat bahwa usul itu diajukan olehnya
maka Tiong sun Hui Kheng sudah seharusnya memberikan
tugas yang mudah kepada lawannya. Maka ia menjawab
sambil tersenyum : "Harap nona Pan mengukirkan garis kembangnya saja. Biar
aku ukir tulisannya !"
Baru berkata sampai disitu, jari tangannya menunjuk ke
tebing gunung dan katanya pula :
"Tulisan yang berarti nama dan kekayaan bagaikan
mengambang di angkasa ini harus dituliskan di sisi kiri dari
tulisan penghidupan bagaikan impian. Besar kecilnya hurufhuruf itu dan letaknya harus sama seluruhnya dengan yang
sudah ada. Jikalau nona Pan sudah siap, mari kita sekarang
mulai !" Pan Pek Giok menganggukkan kepala dan berkata sambil
tertawa : "Silahkan nona Tiong sun mulai. Aku tidak memerlukan
persiapan apa-apa !"
Tiong sun Hui Kheng sudah lama tahu bahwa Pek tok Bie
jin lo ini ada memiliki kepandaian ilmu luar biasa tingginya,
merupakan salah seorang lawan yang tidak mudah
dihadapinya. Sudah tentu ia tidak berani berlaku ayal lagi.
Maka diam-diam mengerahkan ilmunya dari golongan Siao lim
pay yang dinamakan It cie sian dan ilmu Thay it thian hian sin
kang yang diwariskan oleh ayahnya sendiri. Ia meluruskan jari
tangannya ditujukan kepada tebing yang terdiri dari batu
keras, mengukir tulisan-tulisan melalui udara.
Pan Pek Giok juga mengulurkan tangannya yang tinggal
satu dan berbuat seperti Tiong sun Hui Kheng sambil
tersenyum. Sungguh aneh, dua orang itu bergerak dalam waktu
bersamaan dan berhenti dalam waktu bersamaan pula.
Ternyata sedetik pun tidak ada yang ketinggalan.
Tetapi setelah mereka melihat hasilnya, Tiong sun Hui
Kheng dan Pan Pek Giok sama-sama merasa kagum.
Kiranya dua orang itu meskipun diluarnya berlaku sopan
dan merendah satu sama lain tetapi sebetulnya sama-sama
ingin merebut kemenangan. Tulisan-tulisan yang diukirkan
oleh Tiong sun Hui Kheng dan garis kembang yang digariskan
oleh Pan Pek Giok di seputar tulisan itu sungguh bagus
variasinya. Tulisan Tiong sun Hui Kheng, guratannya memang sudah
tidak sedikit dan tidak menggunakan tulisan yang disingkat,
tapi tulisan buatannya sungguh indah sekali.
Sedang renda-renda kembang yang dibuat oleh Pan Pek
Giok di seputar huruf-huruf itu, bukan saja lurus dan rapi
bahkan disetiap sampingnya ditambah lagi dengan lin rangkap
dan di bagian ujung atasnya ada lukisan empat tangkai bunga
Bwee kecil. Dengan demikian hingga menunjukkan perimbangan
kekuatan dua orang tadi tidak dapat dibedakan siapa
sebetulnya yang lebih unggul dalam pertandingan itu.
Tiong sun Hui Kheng dan Pan Pek Giok saling memberi
hormat sambil tersenyum dan balik ke rombongan masingmasing. Di antara semua jago di atas puncak Tay pek hong segera
timbul pembicaraan ramai.
Buah pembicaraannya di sekitar Tiong sun Hui Kheng dan
Pan Pek Giok, siapa sebetulnya yang lebih unggul dalam
pertandingan tadi ! Tetapi Hian Wan Liat an Tiong sun Seng, sebaliknya
karena melihat murid kesayangannya dan putrinya samasama memiliki kekuatan tenaga dalam demikian sempurna,
diam-diam tambah tebal perasaan waspadanya.
Sementara itu, Khie Tay Cao sudah berbisik-bisik di telinga
Thiat koat Totiang dengan suara perlahan sekali :
"Pertandingan sudah berlangsung tiga babak dengan
beruntun. Belum ada yang kalah dan yang menang. Kali ini di
pihak kita, siapa yang seharusnya terjun ke lapangan ?"
Thiat koan Totiang lalu bangkit dari tempat duduknya dan
berkata : "Dari pihak Hian Wan Liat ong sudah memberi bantuan dua
babak. Kali ini biarlah aku sendiri yang turun tangan !"
"Hu ciangbunjin harap berlaku hati-hati. Di pihak tamu yang
datang kemari, semuanya adalah tokoh-tokoh yang memiliki
kepandaian luar biasa !" kata Khie Tay Cao memperingati.
Thiat koan Totiang menganggukkan kepala. Dengan
tindakan lambat-lambat berjalan masuk ke tengah lapangan.
Matanya menyapu keadaan sekitarnya sebentar, kemudian
membuka suara dengan sikap sombongnya :
"Pinto Thian koan adalah wakil ketua dari partai baru Ceng
thian pay. Di antara saudara-saudara siapa yang sudi turun ke
gelanggang untuk memberi pelajaran pada pinto ?"
Baru saja habis menutup mulut, dari kalangan tamu sudah
ada dua pendekar luar biasa yang bangkit berdiri.
Satu ialah ketua partai Ngo bie Hian hian Sianlo, yang lain
ialah Liong hui Kiam khek Su to Wie.
Sebabnya Hian hian Sian lo hendak turun ke lapangan
ialah karena hendak menuntut balas dendam atas perbuatan
Thiat koan Totiang yang pernah menyerbu ke gunung Ngo bie
dan membakar kelenteng Khun leng to ie.
Sedang Liong hai Kiam khek Su to Wie karena hendak
menghukum Thiat koan Totiang atas perbuatan si padri bejat
itu yang sudah mencelakakan diri supeknya sendiri dan yang
sudah membubarkan partai Tiam cong dan menggabungkan
partai itu dengan Ceng thian pay.
Dengan tibanya berbareng di dalam lapangan antara dua
pendekar ini, sudah tentu mengejutkan semua orang yang ada
disitu. Thiat koan Totiang setelah lebih dulu memperdengarkan
suara tertawanya, baru bertanya :
"Tak kusangka kalian demikian pandang tinggi diri pinto.
Mari, mari ! Harap semua keluarkan senjata kalian. Aku
hendak menghadapi kalian berdua dengan seorang diri !"
Sepasang alis Hian hian Sian lo dikerutkan. Ia berkata
kepada Liong hai Kiam khek sambil tertawa getir :
"Su to tayhiap, mengapa kita sampai bisa naik bersamasama secara kebetulan " Aku yang menyelesaikan untuk kali
ini ataukah biar kuberikan padamu kesempatan untuk
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadapi saudara seperguruanmu ?"
Sepasang mata Su to Wie menatap tajam kepada Thiat
koan Totian, lalu berkata sambil menghela napas :
"Sian lo mencari dia tentunya hendak menuntut balas
dendam atas perbuatannya yang membawa anak buah Ceng
thian pay yang pernah melakukan serangan pembokongan
terhadap Ngo bie pay dan membakar Khun leng to ie. Sedang
Su to Wie ialah hendak menanyakan perbuatannya mengapa
dia mencelakan diri Koan Sam Pek supek dan mengapa dia
berani lancang-lancang menggabungkan diri dengan partai
Ceng thian pay. Dosa besar bagi orang rimba persilatan ini, sudah tentu
tidak boleh kita tinggal diam dengan begitu saja. Persoalanmu
dengan persoalanku, jikalau dibandingkan sebenarnya sulit
dibedakan mana yang berat dan mana yang ringan. Tetapi
buat kali ini biarlah Su to Wie rela memberikan kesempatan ini
supaya Sian lo dapat memenuhi hasratmu yang hendak
menuntut balas dendam !"
Setelah berkata demikian ia memberi hormat kepada Hian
hian Sian lo dan balik kembali ke rombongannya.
Hian hian Sian lo mengeluarkan napas lega lalu berkata
sambil tertawa : "Terima kasih atas kebaikan Su to tayhiap. Tunggulah
setelah aku berhasil menuntut balas dendam, nanti akan
kuucapkan terima kasihku lagi kepadamu !"
Thiat koan totiang segera menghunus pedangnya dan
diletakan ditangannya, katanya dengan suara bengis :
"Nenek, kau jangan terlalu sombong. Dengan
kepandaianmu yang tidak berarti sama sekali itu, kau hendak
menuntut balas dendam. Benar-benar kau seperti mimpi di
siang bolong !" Hian hian Sian lo tahu benar bahwa tidak perlu
memperhatikan soal tata tertib dunia Kang ouw dalam
menghadapi orang-orang seperti Thiat koan Totiang ini. Maka
ia segera menghunus pedangnya tanpa banyak bicara.
Keduanya sama-sama berkedudukan sebagai ketua partai.
Juga sama-sama ahli pedang pada dewasa ini. Sudah tentu
siapapun tidak ada yang berani memandang rendah
lawannya. Thian koan Totiang lintangkan pedangnya di depan
dadanya, sedangkan Hian hian Sian lo segera mengangkat
pedangnya dan mulai bergerak. Arah serangannya ditujukan
ke sebelah kiri pundak lawannya. Dua orang itu dengan penuh
semangat memperhatikan setiap gerakan lawannya.
Tiba-tiba Thiat koan Totiang bergerak melancarkan suatu
serangan yang hebat. Seranga itu disambut oleh Hian hian
Sian lo dengan gerak tipu membelah gunung Hoa san.
Gerakan dua orang itu ternyata sama-sama cepat dan luar
biasa anehnya. Bahkan bergeraknya mereka hampir dalam
waktu bersamaan. Dua bilah pedang pusaka telah beradu dalam jarak
beberapa kaki sehingga mengeluarkan suara benturan amat
nyaring. Dalam babak permulaan ini, siapa pun tidak ada yang
berada di atas angin hingga sulit untuk membedakan siapa
yang lebih unggul. Tetapi setelah terjadi benturan tadi, semua
gerak tipu yang aneh di kedua pihak mulai digunakan. Badan
Thiat koan Totiang dan Hian hian Sian lo perlahan-lahan
terkurung oleh sinar pedang yang bergumpalan diseputarnya
diri masing-masing. Thiat koan Totiang sudah membubarkan partai Tiam cong
tetapi sampai saat ini yang digunakan masih tetap ilmu
pedang dari Tiam cong pay yang terkenal dengan nama ilmu
pedang Bwee hong oe liu kiam hoat. Sedang Hian Hian Sian
lo menggunakan ilmu pedang Thian hian kiam hoat dari
golongan Ngo bie pay. Seru sekali jalannya pertempuran hingga kecuali beberapa
orang, yang lainnya sudah tidak dapat mengetahui ilmu
pedang yang mereka gunakan dalam perobahan-perobahan
gerak tipunya. Suasana di seputarnya nampak tenang namun diliputi oleh
perasaan tegang. Perasaan tegang setiap orang makin
meningkat dengan perobahan yang terjadi di medan
pertempuran. Beberapa saat kemudian, diantara orang-orang Ceng thian
pay telah timbul suara gaduh oleh karena timbulnya perasaan
kekuatiran terhadap wakil ketuanya. Keadaan demikian itu
mencerminkan bahwa Thian koan Totiang sudah berada di
bawah angin. Kemenangan yang dicapai oleh partai Ceng thian pay atas
partai-partai Bu tong dan Ngo bie berkat bantuan Pek-kut
Sam-mo telah membuat Thiat koan Totiang merasa bangga.
Selama ini sebenarnya dia belum pernah melalaikan latihan
ilmu silatnya, tetapi kemajuannya tidaklah pesat.
Sebaliknya dengan Hian hian Sian lo. Terbakarnya kuil
Khun leng to ie telah membuat panas hatinya hingga ia
dengan membawa ketiga saudara seperguruannya dengan
tekun di tempat persembunyiannya memperdalam ilmu
pedangnya, sudah tentu mendapat kemajuan banyak.
Satu pihak mendapat kemajuan banyak, di lain pihak sedikit
sekali kemajuannya. Dalam perbedaan demikian, maka
setelah seratus jurus berlalu, mulailah tertampak perbedaan
yang nyata diantara kedua ketua partai tadi.
Khie Tay Cao yang menyaksikan Thiat koan Totiang sudah
tampak nyata akan menghadapi kekalahannya, selagi hendak
mencari orang untuk menggantikan, serangan mematikan
yang dipelajari dan dilatih dengan tekun oleh Hian hian Sian lo
untuk maksud menuntut balas dendam sudah mulai
dilancarkan dengan gencar.
Begitulah setelah Hian hian Sian lo melancarkan
serangannya yang mematikan itu, darah mulai menyembur
dari tubuh Thiat koan Totiang. Ketika Hian hian Sian lo
menarik kembali tangannya dan lompat mundur, Thiat koan
Totiang sudah mati menggeletak dalam keadaan terbelah
tubuhnya menjadi dua potong.
Liong hui Kiam khek Su to Wie yang pernah menjadi
saudara seperguruan dengannya, tampak kematian dari bekas
suhengnya yang mengenaskan sekali itu, juga sampai
mengucurkan air mata. Sejak dimulai diadakan pertandingan, sudah berturut-turut
tiga babak dalam keadaan seri hingga babak ke empat ini,
barulah ada satu pihak yang mengalami kekalahan.
Hian hian Sian lo setelah berhasil menuntut balas dendam
partainya dan selagi hendak kembali ke rombongannya, tibatiba tertampak berkelebatnya sesosok bayangan orang yang
melayang turun ke lapangan sambil perdengarkan suara
pujian Budha. Orang yang baru datang itu adalah salah satu dari Pek kut
Sam mo ialah Pek-kut Ie-su. Lebih dulu ia memerintahkan
orang untuk membawa keluar jenazah Thiat koan Totiang,
kemudian ia berkata kepada Hian hian Sian lo dengan
sikapnya rada dingin. "Apakah Sian lo masih ada mempunyai keberatan untuk
mengadakan pertandingan lagi " Pinto ingin belajar kenal
dengan ilmu pedang Ngo bie pay yang terkenal ganas itu !"
Hian hian Sian lo tahu benar bahwa kekuatan tenaga
dalamnya masih kalah setingkat dari Pek-kut Ie-su. Tetapi
oleh karena lawannya sudah menantang terang-terangan,
sudah tentu ia tidak boleh takut atau mundur. Maka juga
menjawab sambil tertawa dingin.
"Thiat koan Totiang dengan membawa anak buahnya telah
melakukan serangan membokong terhadap partai Ngo bie,
disamping melakukan juga pembunuhan terhadap anak murid
kami, juga membakar habis kuil kami Khun leng to ie.
Kekejamannya dan keganasannya terhadap partai Ngo bie
sudah ada buktinya yang nyata. Urusan hari ini hanya
tindakan Tuhan yang hendak menghukum dosanya dengan
meminjam pedanng ditanganku saja. Di sini jelas bahwa
Tuhan masih adil. Orang jahat mendapat pembalasan jahat !
Apakah Totiang sesalkan aku. . . . ."
Tidak menantikan Hian hian Sian lo meneruskan
ucapannya, Pek-kut Ie-su sudah memotongnya dan berkata
sambil tertawa dingin : "Mana berani pinto sesalkan Sian lo " Pinto hanya ingin
belajar kenal dengan ilmu pedangmu itu saja !"
Tiong sun Hui Kheng yang mendengar ucapan Pek-kut Iesu, diam-diam mendorong Hee Thiang Siang dan berkata
padanya dengan suara perlahan :
"Adik Siang, sekarang tibalah giliranmu yang harus keluar.
Hian hian Sian lo adalah satu ketua dari saru partai besar.
Tidak mudah mendapatkan nama dan kedudukan itu. Apalagi
tadi sudah bertempur mati-matian menghadapi musuh
tangguh. Dengan sendirinya sudah lelah. Maka kita tidak
boleh tinggal diam sehingga nama baiknya dikorbankan di
tangan Pek-kut Ie-su !"
Hee Thian Siang yang memang sudah gatal tangannya,
mendengar ucapan itu lalu balas bertanya kepada Tiong sun
Seng. "Lopek, bagaimana kalau boanpwe yang menghadapi Pekkut Ie-su ?" Tiong sun Seng sebetulnya ingin minta Hong tim Ong khek
untuk menggantikan Hian hian Sian lo, kini tampak Hee Thian
siang mengajukan diri, memikir bahwa pemuda ini meamng
telah mendapat banyak pengalaman gaib, lagi pula sudah
mengalami ilmu memperbaharui keadaan ialah Siao coan lun,
keadaannya sudah tentu telah mendapat pesat sekali.
Terutama lagi angkatan muda, kalau dapat menang memang
sangat menggirangkan. Kalah juga tidak sampai terlalu
memalukan. Ini sebetulnya merupakan suatu pilihan yang
tepat. Maka ia lalu menganggukkan kepala dan berkata sambil
tersenyum : "Hiantit turun ke gelanggang, itulah yang paling baik. Tetapi lawanmu itu tinggi
sekali kepandaiannya dan kekuatan tenaga
dalamnya, sedangkan latihanmu dan pengalamanmu masih
belum cukup. Maka itu harus berlaku hati-hati, tidak boleh
mengandalkan kekuatan diri sendiri dan berlaku sombong
terhadap lawan !" Hee Thian Siang menerima baik pesan itu, ia berjalan
menuju ke lapangan. Saat itu, Hian hian Sian lo baru menghunus keluar
pedangnya yang baru saja dimasukkan ke dalam sarungnya.
Hee Thian Siang yang menyaksikan keadaan demikian, lalu
berkata sambil tersenyum :
"Hian hian locianpwe, boanpwe dengan Pek-kut Ie-su ini
masih ada rekening lama yang belum diselesaikan. Bolehkah
memberikan kesempatan kali ini kepada boanpwe ?"
Hian hian Sian lo tahu maksud Hee Thian Siang ialah
hendak menggantikan dirinya dalam menghadapi tugas berat
ini. Maka dengan perasaan bersyukur ia menarik kembali
pedangnya dan lompat mundur. Katanya sambil tersenyum :
"Hee laote harap berlaku hati-hati. Lawan ini adalah
seorang berilmu sangat tinggi pada dewasa ini !"
Pek-kut Ie-su merasa tidak baik kalau mencegah kepergian
Hian hian Sian lo. Ia juga telah tahu benar bahwa Hee Thian
Siang boleh dibilang merupakan seorang lawan yang sangat
tangguh dan tidak mudah dihadapi. Namun sebagai seorang
yang mempunyai nama dan kedudukan baik di kalangan Kang
ouw, sudah tentu tidak boleh merasa takut. Katanya :
"Hee Thian Siang, dahulu sudah dua kali aku tidak turun
tangan kejam terhadapmu. Adalah karena masih mengingat
kau memiliki bakat baik sekali dari angkatan muda yang
setingkat denganmu hingga aku tidak sampai hati untuk
menhancurkan pengharapanmu. Masih untung aku masih
menaruh belas kasihan terhadapmu sehingga tidak sampai
mati ditanganku. Tetapi dalam pertemuan hari ini, keadaan
berlainan sekali. Sayang masih begini muda perlu apa hendak
mencari mati ?" Hee Thian Siang tertawa cekikian, dan jawabnya :
"Bisa mati ditanganmu, ditangan seorang berkepandaian
sangat tinggi seperti kau ini sudah sepatutnya kalau merasa
bangga !" "Sebaiknya kau kembali saja. Boleh ganti dengan Tiong
sun Seng atau May Ceng Ong yang akan menghadapi aku !"
berkata Pek-kut Ie-su sambil menggelengkan kepala.
"Apa kau merasa karena usiaku muda, kedudukan dan
kepandaian serta kekuatan tenagaku jadi tidak sesuai untuk
menghadapi kau ?" "Kalau kau sudah tahu keadaanmu sendiri, itulah yang
bagus sekali !" "Begini saja, kita dahulu sewaktu di gunung Tay swat san
dalam mengadu kekuatan tangan itu masih ada satu kali yang
belum selesai. Sekarang ini justru waktunya yang paling tepat
untuk menyelesaikan perhitungan lama itu. Dengan begitu kau
bisa dapat tahu, aku ada harga untuk menjadi tandinganmu
atau tidak. Bagaimana ?"
Pek-kut Ie-su semula tidak begitu perhatikan Hee Thian
Siang. Kini setelah mendengar ucapan yang mengandung
maksud, barulah mengamat-amati keadaan pemuda itu.
Kali ini benar-benar ia sangat terkejut sebab semangat Hee
Thian Siang tampak meluap-luap, terutama sepasang
matanya yang memancarkan sinar demikian penuh. Suatu
tanda bahwa pemuda itu kekuatan tenaga dalamnya sudah
mencapai ke taraf tertinggi.
Pek-kut Ie-su yang pernah menyaksikan Hee Thian Siang
terpukul oleh May Ceng Ong suami istri demikian rupa, bukan
saja dalam keadaan terluka parah bahkan sudah dalam
keadaan pingsan. Bagaimana sekarang bisa berubah
demikian " Hee Thian Siang menampak Pek-kut Ie-su mengawasi
dirinya begitu rupa seperti orang terkejut, lalu
berkata tersenyum : "Belum lama kita berpisahan, seharusnya kau bisa
pandang aku dengan mata lain, bukan " Apalagi kalau kita
berpisahan lebih lama lagi. Aku harap pukulan terakhir ini, kau
harus menggunakan ilmumu Pek kut cui sim ciang yang
menjagoi rimba persilatan !"
"Aku belum pernah memandang ringan kepada dirimu.
Sekarang kau boleh siap sedia. Aku hendak melancarkan
serangan dengan menggunakan tenaga seratus sepuluh
persen !"
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ucapan ini agak berlebihan. Aku sudah berani menantang
kepadamu, sudah tentu kekuatan tenaga dalamku cukup
untuk menghadapi kau. Bagaimana masih perlu siap sedia "
Tetapi aku sebaliknya hendak menanya kepadamu, apa sebab
kau hanya menggunakan seratus sepuluh persen kekuatan
tenagamu " Mengapa tidak menggunakan seratus dua puluh
persen saja ?" Pek-kut Ie-su yang mendengar ucapan sangat sombong itu,
timbullah kemarahannya. Maka lalu berkata sambil tertawa
dingin : "Kalau kau sudah begitu yakin dengan kekuatan tenagamu
sendiri, baiklah aku nanti akan menggunakan kekuatan
tenagaku sampai seratus dua puluh persen."
Ilmunya serangan tangan kosong Pek kut cui sim ciang
sudah dilontarkan. Hampir bersamaan waktunya ketika ia
mengucapkan perkataannya. Benar saja sudah menggunakan
kekuatan tenaga seratus dua puluh persen.
Hee Thian Siang menyambut serangan itu dengan sepenuh
tenaga. Keduanya masih tak bergeser dari tempatnya, tetapi tubuh
bagian atas dari keduanya terbitkan goncangan hebat. Tempat
di sekitar mereka timbul suara menderu dan menggulungnya
hembusan angin sehingga orang-orang yang terpisah agak
dekat harus mempertahankan kedudukannya denagan
memberatkan badan supaya tidak sampai terdorong mundur
oleh kekuatan yang menggulung tadi.
Pek-kut Ie-su yang sudah menggunakan kekuatan tenaga
hampir melampaui batas ternyata belum dapat menggeser
Hee Thian Siang dari tempat berdirinya, diwajahnya segera
timbul sikap terkejut dan terheran-heran.
Sedang Hee Thian Siang dari pengaduan tenaga ini sudah
mengetahui kemajuan yang dicapai pada waktu belakangan
ini hingga juga semakin besar keyakinannya untuk
menjatuhkan Pek-kut Ie-su. Dengan tenang ia berkata :
"Perhitungan lama kini sudah selesai. Kita harus mulai
dengan pembicaraan urusan hari ini, sekarang kau
seharusnya sudah tahu bahwa aku sudah pantas jadi
lawanmu, bukan ?" Dalam waktu sesaat itu, Pek-kut Ie-su sudah
Memperhitungkan langkah-langkah yang
akan diambil selanjutnya. Ia berkata sambil menganggukkan kepala dan
tersenyum. "Kemajuanmu benar-benar sangat pesat sekali. Kau sudah
lebih dari pantas untuk menjadi lawanku !"
Hee Thian Siang tampak sangat girang, tanyanya sambil
tersenyum : "Sekarang kita akan mengadakan pertandingan dengan
cara bagaimana ?" "Kita harus bertanding sepuas-puasnya dengan dua babak
untuk menetapkan siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Babak pertama bertanding ilmu Hian kang, babak kedua
mengadu kekuatan tenaga dalam !"
Usul yang diajukan ini adalah usul yang sangat cerdik,
sebab dengan cara ini ia diam-diam sudah dapat mengatasi
kekurangan pada dirinya. Sebab ia sudah memahami betul kekuatan tenaga yang
dimiliki oleh Hee Thian Siang. Ia tahu apabila bertanding
dengan tangan kosong, ilmunya Hee Thian Siang yang
memusingkan seperti ilmu serangan Bunga Mawar, Ilmu
Menyelamatkan jiwa, benar-benar tidak mudah dihadapi.
Bila bertanding dengan senjata tajam berarti ia harus
berhadapan dengan senjata berupa bulu burung warna lima
warisan Thian ie Taysu. Meskipun itu merupakan senjata
ringan, tetapi bukan main hebat dan ganasnya. Ia juga tidak
sanggup mematahkan senjata hebat itu.
Maka itulah ia telah memilih suatu jalan tengah yang
maksudnya hendak menghindarkan keunggulan lawannya.
Dia menyerang dibagian yang kekurangan bagi lawannya.
Berdasar atas itulah, maka ia mengusulkan dengan dua cara
tadi. Ia anggap bahwa dalam pertandingan mengadu ilmu Hian
kang, Hee Thian Siang paling-paling cuma dapat
mengimbangi sampai seri saja. Tetapi oleh karena usianya
dan latihannya belum matang, ia sendiri pasti dapat
kemenangan dalam mengadu kekuatan tenaga dalam.
Hee Thian Siang juga tahu bahwa usul Pek-kut Ie-su itu
sangat licik sekali. Maka ia sengaja membukanya terangterangan. Katanya : "Aya ! Dengan begitu bukankah semua ilmu-ilmuku yang
terampuh seperti ilmu Bunga Mawar dan ilmu Menyelamatkan
jiwa serta senjataku bulu burung warna lima jadi tidak dapat
digunakan lagi ?" Wajah Pek-kut Ie-su menjadi merah, ia lalu berkata sambil
menggertak gigi : "Jikalau kau anggap begitu ampuh ilmu-ilmu itu, tidak
halangan dua babak itu ditambah lagi dengan dua babak
pertandingan tangan kosong dan senjata tajam !"
Tapi Hee Thian Siang menolak. Katanya sambil tertawa
dan menggelengkan kepala :
"Tak perlu. Hanya bertanding ilmu Hian kang dan kekuatan
tenaga dalam saja sudah membutuhkan waktu banyak sekali,
sedangkan pertandingan ini baru sampai di babak kelima !"
Pek-kut Ie-su yang mendengar ucapan itu, juga tidak
mengukui ucapannya, katanya sambil menganggukkan kepala
: "Kalau kau tidak menghendaki menghambat terlalu banyak
waktu, baik juga kita segera mulai dengan pertandingan yang
pertama !" "Bagaimana caranya pertandingan ini ?"
"Usul adalah aku yang mengajukan, sekarang cara-caranya
sebaiknya kau yang menetapkan !"
Hee Thian Siang berpikir sejenak, kemudian berkata :
"Harap kau suruh seseorang mengambil dua buah tameng
besi !" Diantara murid-murid Ceng thian pay, kebetulan ada yang
menggunakan tameng. Maka ketika mendengar ucapan itu,
lalu menyerahkan senjata tersebut.
Hee Thian Siang menyambutnya, lalu berkata sambil
tertawa : "Kau dan aku masing-masing mengambil sebuah tameng
ini dan kita tinggalkan sedikit tanda peringatan diatasnya !"
Pek-kut Ie-su mengambil sebuah tameng, bertanya kepada
Hee Thian Siang : "Apakah kita kalau mengadakan pertandingan ini harus
dibatasi waktunya ?"
"Kita masing-masing menggunakan kekuatan tenaga
tangan untuk membuat tameng ini menjadi berbentu bundar,
lalu kita meninggalkan lagi tulisan sebagai tanda peringatan
diatas tameng. Siapa yang menyelesaikan lebih dahulu, dialah
yang dianggap menang !"
"Cara semacam ini boleh juga, tetapi harus ada batas
waktunya !" Hee Thian Siang yang mendengar ucapan ini, lalu
berpaling dan berkata kepada Tiong sun Hui Kheng :
"Enci Kheng, harap kau menyanyikan syair Ceng khie ko
buah tangan Bun thian Hong. Akan digunakan sebagai batas
waktu dalam pertandingan kita ini !"
Sehabis berkata demikian, ia berkata lagi kepada Pek-kut
Ie-su : "Jikalau enci Tiong sunku nanti mulai menyanyikan syar
Ceng khie ko, kita segera mulai bertindak. Begitu nyanyian
berhenti, berakhirlah pertandingan ini !"
Pek-kut Ie-su menganggukan kepala dan berkata sambil
tertawa : "Baik, baik. Cara pembatasan waktu semacam ini juga
sangat unik !" Hee Thian Siang melambaikan tangannya. Tiong sun Hui
Kheng segera mulai menyanyikan syair Ceng khie ko.
Hee Thian Siang dan Pek-kut Ie-su kedua-duanya lalu
duduk bersila. Masing-masing mengerahkan ilmu Hiang
kangnya ke kedua tangannya untuk membuat tameng tadi
menjadi bundar. Pada saat Tiong sun Hi Kheng menyanyikan bait terakhir
dari syair tadi, sebelum mengakhiri suaranya, Hee Thian
Siang sudah menyelesaikan pekerjaannya dan dengan
berseri-seri mengangkat tamengnya tinggi-tinggi.
Sebaliknya dengan Pek-kut Ie-su. Baru saja Tiong sun Hui
Kheng mengakhiri nyanyiannya, barulah selesai pekerjaannya.
Pertandingan dalam waktu, Hee Thian Siang lebih cepat
sedikit. Tetapi untuk membedakan siapa yang menang dan
yang kalah, masih diukur dalam pertandingan kekuatan jari
tangan yagn diukirkan diatas tameng itu.
Keduanya dalam waktu yang bersamaan pula
menggunakan kekuatan jari tangan mengukir delapan buah
huruf di atas tameng tersebut.
Adapun huruf yang diukir oleh Pek-kut Ie-su diatas tameng
maksudnya : Hanya yang teragung, bisa menjagoi seluruh dunia !
Sedangkan Hee Thian Siang mengukir dengan huruf-huruf
yang berarti : Kawanan penjahat terbasmi semua, Pek-kut atau
yang putih hancur menjadi abu !
Jumlahnya huruf sama-sama delapan buah, namun dalam
guratan tulisan ada perbedaan.
Huruf-huruf yang diukir oleh Hee Thian Siang terdiri dari
delapan puluh guratan. Sedang huruf-huruf yang diukir oleh
Pek-kut Ie-su terdiri dari delapan puluh tiga guratan.
Jadi walau waktu untuk menyelesaikan kerjaan itu Hee
Thian Siang bisa lebih cepat, tetapi ditilik dari guratan tulisan, Pek-kut Ie-su
lebih banyak tiga gurat. Di dalam keadaan
demikian, untuk memberi keputusan hanya tergantung dari
dalam dan jeleknya guratan yang tergurat di atas tameng besi
itu. Keduanya lalu tukar tamengnya. Masing-masing
memeriksa hasil pekerjaan lawannya. Hee Thian Siang yang
melihatnya sebentar, menunjukkan sikap girang.
Kiranya Hee Thian Siang yang memiliki ilmu dari berbagai
golongan tokoh-tokoh terkemuka dan terkenal, meskipun
kekuatan tenaganya tidak beda jauh dengan Pek-kut Ie-su
tetapi ia lebih unggul karena yang dipakai adalah ilmu jari
tangan perguruannya yakni ilmu jari tangan Kian thian cie
hingga dalam hal itu ia lebih unggul dari lawannya.
Dengan demikian hingga Hee Thian Siang yang keluar
sebagai pemenang dalam pertandingan babak pertama ini.
Mengingat kemenangan yang di dapatkan dengan susah
payah, maka ia mengucapkan terima kasih kepada Pek-kut Iesu sambil memberi hormat kepadanya.
Pek-kut Ie-su setelah mengadu kekuatan tenaga dalam
babak pertama ini, sudah tidak berani memandang rendah
kepada Hee Thian siang. Tetapi masih menganggap palingpaling hanya dalam pertandingan ilmu Hian kang ini akan
berkesudahan seri. Siapa tahu diluar dugaannya, dalam babak
pertama ini ternyata Hee Thian Siang yang lebih unggul.
Kemenangan Hee Thian Siang untuk sementara tidak
diketahui oleh orang luar. Tetapi Hee Thian Siang sudah
mengumumkan kemenangannya. Karena itu Pek-kut Ie-su jadi
mendongkol. Maka ia lalu mengajak Hee Thian Siang untuk
segera mengadu kekuatan tenaga dalam.
Oleh karena kemenangannya dalam mengadu ilmu Hian
kang, Hee Thian Siang agaknya sudah mulai yakin akan
kepandaiannya sendiri. Maka ia lalu berkata sambil tertawa :
"Tadi cara-cara mengadu ilmu Hian kang adalah aku yang
menetapkan dan supaya kita bertanding dengan adil, maka
sekarang seharusnya kaulah yang menetapkan dengan cara
bagaimana mengadu kekuatan tenaga dalam itu."
Pek-kut Ie-su hanya menunjukkan senyum simpulnya, tidak
berkata apa-apa. Kemudian mengulurkan tangan kanannya.
Hee Thian Siang terkejut menyaksikan perbuatannya itu,
tanyanya : "Jadi kau menghendaki mengadu kekuatan tenaga dalam
dengan menempelkan telapakan tanganmu ?"
"Cara demikian ini hanya mengandalkan kekuatan tenaga
dalam yang sebenar-benarnya. Sedikitpun tidak boleh
menggunakan akal untuk merebut kemenangan !"
"Siapa yang mau mencari kemenangan degnan cara
bangsat " Apa kau kira aku takut mengadu kekuatan dengan
cara begitu ?" Sambil berkata demikian, ia juga sudah mengulurkan
tangan kanannya hingga menjadi satu menempel dengan
telapakan tangan Pek-kut Ie-su.
Tiong sun Hui Kheng tampak mengerutkan alisnya. Berkata
kepada ayahnya dengan suara sangat perlahan :
"Ayah, pertandingan sudah jadi begini. Berarti kalau belum
ada salah satu yang mati, belum ada yang akan berhenti.
Bagaimana kita harus bertindak ?"
"Bakat Hee Thian Siang boleh dibilang bagus." kata Tiong sun Seng seolah-olah
menghiburi anaknya. "Kekuatan
tenaganya cukup tinggi. Biarpun latihannya masih belum
cukup sempurna tapi buat mempertahankan waktu, kurasa dia
masih dapat mengimbangi Pek-kut Ie-su !"
"Tentang waktunya tahan lama, itu tak perlu
diperbincangkan lagi. Sebab Hong hoat Cinjin locianpwe
pernah menurunkan ilmu Tay hoan ciu lek kepadanya."
"Apalagi kalau ia sudah berhasil mempelajari ilmu Tay hoan
ciu lek. Seharusnya ia tidak bisa kalah !"
JILID 35 Tiong sun Hui Kheng menggelengkan kepala dan berkata :
"Ayah salah ! Anak bukan takut ia kalah. Melainkan merasa
khawatir akan tindakan nekad dari Pek-kut Ie-su. Coba ayah
pikir, Pek-kut Ie-su yang sudah lama namanya sangat
terkenal, sudah tentu tidak mau mandah mengalah begitu
saja. Kalau sampai terjadi kedua pihak bertanding sampai
sehabis-habis tenaga, pihak yang kalah sudah tentu urat
nadinya pada terputus dan jantungnya hancur, mati seketika.
Tetapi pihak yang menang, biar bagaimana tetap akan terluka
parah bahkan mungkin akan mengalami nasib yang sama
dengan yang kalah." "Kekuatiranmu ini memang benar !" akhirnya Tiong sun
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seng mengakui juga kebenaran kata-kata anaknya.
"Harap ayah tolong pikirkan suatu cara yang sebaikbaiknya untuk memisahkan pertandingan mati-matian antara
mereka itu." Tiong sun Seng mengerutkan alisnya untuk berpikir dulu,
kemudian ia berkata sambil menggelengkan kepala :
"Untuk sementara aku juga tidak dapat memikirkan cara
yang baik untuk menghentikan pertandingan itu. Terpaksa kita
cuma bisa tunggu waktu saja, melihat-lihat keadaan supaya
dapat mengambil keputusan yang tepat."
Tiong sun Hui Kheng mendengar ayahnya berkata
demikian terpaksa bersama May Giok Jie dan May Sin In
berdua yang sama-sama mengandung perasaan khawatir
memperhatikan keadaan dan perobahan Hee Thian Siang.
Pertandingan itu memakan waktu sangat panjang.
Sebentar wajah mereka tampak merah membara, sebentar
menjadi pucat, perobahan ini pada akhirnya hingga hampir
jauh malam belum juga selesai.
Semula pada waktu saling menempelkan telapak tangan,
sikap atau gerakan tangan Hee Thian Siang dan Pek-kut Ie-su
tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka sedang
melangsungkan suatu pertandingan mati-matian. Tetapi
setelah rembulan timbul dari arah timur, keduanya sudah tidak
bisa berlaku tenang seperti semula.
Hee Thian Siang lebih dulu tampak mengucurkan keringat
di jidatnya, dadanya juga mulai tampak berombak.
Sesaat kemudian Pek-kut Ie-su juga menunjukkan tandatanda serupa. Keadaan semacam itu jelas menunjukkan bahwa Hee
Thian Siang yang masih kalah matang latihannya dalam
mempertahankan waktu bertanding. Benar saja ia masih kalah
setingkat dari Pek-kut Ie-su.
Khie Tay Cao dan lain-lainnya yang menyaksikan keadaan
demikian menunjukkan sikap girang dan bisa bernapas lega.
Pek-kut Ie-su juga sudah tahu bahwa kemenangan akan
berada dipihaknya. Ia diam-diam mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya untuk memperhebat desakannya kepada
Hee Thian Siang juga nampak semakin banyak.
Kecuali beberapa orang yang pernah mengetahui bahwa
Hee Thian Siang ada mempelajari ilmu Tay hoan cin lek,
banyak diantara orang-orang dari pihak kebenaran
menganggap bahwa Hee Thian Siang dalam babak ini pasti
kalah. Akan tetapi pada saat Pek-kut Ie-su menambah dan
memforsir kekuatan tenaga dalamnya dan Hee Thian Siang
dalam keadaan kritis, tiba-tiba wajah Hee Thian siang yang
tadi demikian pucat pasi telah menjadi merah, sepasang
alisnya berdiri. Tanda-tanda akan kalah tadi telah lenyap
seluruhnya dan tangannya mendorong berulang-ulang bahkan
balik mendesak Pek-kut Ie-su hingga yang disebut belakangan
ini keringatnya mengucur deras bagaikan hujan.
Khie Tay Cao yang sudah pernah mengalami kekalahan
dari ilmu Tay hoa cin lek ketua partai Bu tong Hong hoat
Cinjin, menyaksikan keadaan demikian, lantas berseru kaget :
"Apakah Hee Thian Siang si setan kecil ini juga mengerti
ilmu Tay hoan cin lek ?"
Pek-kut Ie-su yang sudah tinggi ilmunya dan cukup latihan
tenaga dalamnya, sifatnya sangat kejam. Benar seperti apa
yang diduga oleh Tiong sun Hui Kheng, meskipun sudah
menunjukkan tanda akan kalah, ia masih mengandalkan
latihannya yang dilakukan selama beberapa puluh tahun. Ia
bertahan sekuat tenaga, dengan maksud hendak mati
bersama-sama dengan Hee Thian Siang.
Kembali setengah jam telah berlalu, pakaian kedua orang
itu sudah basah kuyup, sekujur badan mereka juga
gemetaran. Tiong sun Hui Kheng yang menyaksikan itu semua, kembali
berkata kepada ayahnya sambil mengerutkan alisnya :
"Ayah, jikalau ayah tidak berusaha pikirkan cara yang baik
lagi, adik Siang barangkali akan jatuh !"
Tiong sun Seng menghela napas sambil menggelengkan
kepala lalu lompat melesat dari rombongannya.
Khie Tay Cao juga sudah buru-buru mengikuti jejaknya.
Hee Thian Siang meskipun menampak Tiong sun Seng
datang menghampiri namun masih tidak berdaya menarik
kembali tangannya. Sebab mengadu kekuatan dengan cara menempelkan
telapakan tangan seperti itu, sesungguhnya sukar sekali
dipisah kecuali bila kedua pihak dalam waktu yang bersamaan
bisa menarik kembali dan melepaskan kekuatan masingmasing terhadap lawannya. Yang menarik tangan lebih
dahulu, mudah sekali diserbu oleh kekuatan tenaga dalam
lawannya. Itu sangat berbahaya.
Tiong sun Seng juga mengerti bahaya semacam itu. Maka
ia menatap wajah Pek-kut Ie-su dan berkata padanya sambil
tersenyum : "Pek-kut Toyu, bagaimana kalau babak ini dihitung seri saja
" Kau dengan Hee Thian Siang sama-sama menarik kembali
tangan dalam waktu yang bersamaan lalu diadakan
pertandingan dengan cara lain atau diganti dengan orang lain?"
Pek-kut Ie-su memancarkan sinar mata buas, menggelenggelengkan kepala sebagai tanda bahwa sebelum ada yang
tewas, tak ada perdamaian macam apa pun juga.
Tiong sun Seng memang sudah tahu bahwa tak ada
gunanya bicara dengan mulut kepada Pek-kut Ie-su. Tetapi ia
masih coba menyadarkan padanya. Katanya pula :
"Hee Thian Saing telah mempelajari ilmu Tay hoan cin lek,
daya tahannya kuat sekali. Perlu apa toyu menghendaki juga
sampai ada salah satu yang. . . . ."
Tidak menantikan Tiong sun Seng menghabiskan
ucapannya, Pek-kut Ie-su sudah memotongnya dan berkata
dengan suara bengis : "Sebelum ada yang kalah dan menang, tidak akan aku
berhenti. Biarlah aku dan dia sama-sama berangkat ke
akherat !" Tiong sun Seng memeriksa wajah dan sikap Hee Thian
Siang. Ia tahu bahwa tenaga murni anak muda itu sudah
terlalu banyak dihamburkan. Jikalau tidak lekas-lekas
dipisahkan pada waktunya yang tepat barangkali akan
mendapat luka parah, maka ia lalu bertanya kepada Pek-kut
Ie-su sambil mengerutkan alisnya :
"Pek-kut toyu, kalau kau ingin merebut kemenangan
sebagai tujuanmu, aku dapat memerintahkan kepada Hee
Thian Siang supaya ia mengaku kalah darimu. Bagaimana
pikiranmu ?" "Kalau begitu lain lagi soalnya. Boleh juga kupertimbangkan
!" jawab Pek-kut Ie-su sambil tertawa nyengir.
Tiong sun Seng yang mendengar ucapan itu, lalu berkata
kepada Hee Thian Siang : "Hiantit, bersiap-siaplah ! Nanti kalau aku sudah turun
tangan memisahkan kau berdua, tariklah segera tanganmu
dan mengaku kalah sajalah kepada Pek-kut Ie-su locianpwe !"
Hee Thian Siang yang sudah berada di pihak menang kini
dipaksa harus mengaku kalah. Sesungguhnya merupakan
suatu hal yang sangat menyedihkan. Tetapi kalau dipikir lebih
lanjut, kedudukan Tiong sun Seng adalah lain. Ia merupakan
angkatan tua bagi Hee Thian siang, juga bakal menjadi
mertuanya. Maka, perintahnya itu sudah tentu terpaksa mesti
diturutinya. Tiong sun Seng menampak Hee Thian Siang sudah
menerima baik perintahnya lalu berkata kepada Pek-kut Ie-su
dengan suara lemah lembut :
"Hee Thian Siang sudah mau mengaku kalah. Pek-kut toyu
harap bersiap-siaplah untuk menarik kembali tanganmu.
Tenangkan lah hatimu, aku hendak segera mulai memisahkan
kalian berdua. Awas !"
Sehabis berkata demikian, ia lalu mengerahkan ilmunya
Tay it thian hian cin khi, kedua tanganya bergerak dengan
berbareng untuk memisahkan kedua tangan Hee Thian Siang
dan Pek-kut Ie-su yang satu sama lain masih saling menempel
dan belum terpisah sebelum ada salah satu yang mati.
Hee Thian Siang dan Pek-kut Ie-su buru-buru menarik
kembali tangan masing-masing dan menenangkan pikiran.
Mungkin karena terlalu banyak menghamburkan tenaga murni
dan kedua karena menarik kembali kekuatan secara paksa
dan mendadak pula, sudah tentu kekuatan tenaga dalam tadi
dengan sendirinya membalik ke arah orang yang
mengeluarkan tenaga itu masing-masing sehingga akhirnya
darah keluar dari mulut kedua orang itu.
Tiong sun Seng tahu bahwa usahanya memisahkan
pertandingan tadi agak terlambat. Oleh karenanya Hee Thian
Siang jadi menderita luka dalam. Maka buru-buru
membawanya balik ke dalam rombongannya dan segera
minta Say han kong untuk pengobatannya. Say han kong
dengan hati-hati memeriksa keadaan Hee Thian Siang
kemudian diberikan pel, setelah mana baru ia berkata kepada
Tiong sun Hui Kheng sambil tertawa :
"NonaTiong sun, Hee laote meskipun tidak menjadi
halangan tetapi dalam pertemuan di gunung Cong lam ini,
jangan sekali-kali kau biarkan dia melawan musuh tangguh
lagi. Jikalau sampai terjadi dia harus menghadapi musuh kuat,
maka tidak kujamin lagi seluruh kekuatan tenaga dan
kepandaiannya tentu akan musnah semua !"
Tiong sun Hui Kheng yang mendengar ucapan itu terkejut
dan ketakutan setengah mati. Buru-buru menarik Hee Thian
Siang dan dihiburi dengan suara lemah lembut.
Pertandingan antara Hee Thian Siang dengan Pek-kut Iesu ditetapkan semula dengan dua babak. Untuk pertandingan
ilmu Hian kang dan ilmu kekuatan tenaga dalam. Babak
pertama dalam pertandingan ilmu Hian kang, dimenangkan
oleh Hee Thian Siang. Babak kedua karena Hee Thian Siang dipaksa mengaku
kalah oleh Tiong sun Seng, hingga kesudahannya jadi dihitung
seri. Pat-bo Yao-ong Hian Wan Liat menilai pertandingan dari
kedua pihak kecuali pertandingan antara Khie Tay Cao
dengan ketua partai Bu tong Hong hoat Cinjin yang tidak
termasuk dalam sepuluh kali pertandingan, pertandinganpertandingan yang sudah berlangsung sudah ada lima kali.
Pertandingan pertama dilakukan oleh si golok emas
dengan May Sin In. Pertandingan kedua dilakukan oleh Pekkut Sian-cu dengan Tang Siang Siang. Pada pertandingan
ketiga yang turun adalah Pan Pek Giok dan Tiong sun Hui
Kheng, lalu pertandingan antara Pek-kut Ie-su dengan Hee
Thian Siang empat kali pertandingan antara Thian koan
Totiang dengan ketua partai Ngo bie Hian hian Sian lo,
berakhir dengan kematian Thiat koan Totiang.
Dengan demikian, dalam lima kali pertandinga, empat kali
berakhir seri dan satu kali kekalahan di pihak Pat-bo Yao-ong
hingga orang kuat dari daerah perbatasan yang diangkat
sebagai kepala rombongang golongan orang sesat ini tampak
sangat penasaran. Sementara itu Khie Tay Cao yang melihat Pek-kut Ie-su
sudah mundurkan diri, selagi memikirkan harus meminta siapa
yang turun ke lapangan, Pat-bo Yao-ong sudah berkata
kepadanya dengan suara perlahan :
"Khie ciangbunjin, kau tunggu kalau di pihak sana sudah
ada orang turun ke lapangan. Kau baru memilih orangnya
untuk menghadapi. Tetapi harus mendapatkan kemenangan
supaya bisa berakhir seri. Sisanya yang empat kali, biarlah
aku sendiri yang borong. Dengan begitu jadi lebih aman buat
pihak kita." Khie Tay Cao mengangguk-anggukkan kepala, menantikan
siapa kira-kira yang akan turun ke lapangan dari pihak lawan.
Sementara itu Tiong sun Hui Kheng yang mengawasi
orang-orang pihaknya sendiri, ketua Lo hu pay Peng sim Sin
nie lalu mengajukan diri untuk turun ke lapangan.
Tiong sun Seng tahu benar bahwa di pihak lawannya itu
masih ada sepasang siluman beracun, empat Cian-cun dari
daerah barat dan beberapa orang kuat pihak Pat-bo Yao-ong
yang belum turun ke gelanggang. Maka ia kuatir Peng sim Sin
nie nanti akan mengalami kekalahan sehingga membuat rusak
nama baik partai Lo hu pay saja. Oleh karena itu maka ia lalu
berkata sambil tertawa : "Peng sim Taysu hendak turun ke gelanggang. Sudah tentu
amat baik sekali. Tetapi di pihak sana belum satu kali pun
mendapat kemenangan. Hal ini mungkin mempengaruhi sikap
dan hati mereka yang mungkin akan bertindak lebih buas dan
ganas. Kurasa, biarlah dalam babak ini kita pilih orang dari
angkatan muda saja yang turun ke gelanggang supaya
menang maupun kalah, tidak usah mengganggu prestasi
pihak kita. Ini rasanya jauh lebih tepat dari pada Taysu yang
turun sendiri." Peng sim Sin nie sebagai seorang cerdik mendengar
ucapan itu segera dapat memahami bahwa Tiong sun Seng
tidak ingin dirinya sebagai seorang yang menduduki kursi dari
salah satu partai besar turun ke gelanggang menempuha
bahaya. Maka ia juga tidak mengukuhi pikirannya dan
bersedia menerima saran Tiong sun Seng tadi.
May Giok Jie mendengar Tiong sun Hui Kheng kata hendak
memilih orang-orang dari angkatan muda yang turun ke
gelanggang, lalu bangkit dari tempat duduknya dan bertanya
sambil tersenyum. "Empek Tiong sun, apakah titlie boleh turun ke gelanggang
untuk menghadapi salah seorang musuh dari pihak sana ?"
Karena mengingat May Giok Jie yang belum lama sembuh
dari luka-lukanya yang terjatuh dari atas tebing gunung, maka
Tiong sun Seng tidak segera menjawab dan berpikir dahulu
untuk mempertimbangkan bagaimana kira-kira kondisi phisik
May Giok Jie saat ini. May Giok Jie melihat sikap Tiong sun Seng seperti raguragu berkata sambil tersenyum :
"Empek Tiong sun, sewaktu enci Kheng dan adik In turun
ke gelanggang tadi, empek toch tidak pernah menghalanghalangi mereka bukan " Mengapa hanya terhadap aku. . . . "
Tiong sun Seng menggoyangkan tangannya dan berkata
sambil tertawa : "Hian titlie jangan salah paham. Aku sebetulnya sedang
memikirkan. . . . . "
May Ceng Ong yang berada disampingnya lalu berkata
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil tertawa : "Saudara Tiong sun. Adat anakku Giok Jieini selalu lebih
keras kepala dari pada In jie. Kalau tidak diperbolehkan ia
turun gelanggang, ia pasti akan penasaran terus. Kurasa tidak
halangan biar dia turun lapangan. Biar dia mengalami sedikit
kesulitan juga tidak apa, asal jangan terlalu hebat !"
Mendengar ucapan itu, Tiong sun Seng lalu berkata :
"Giok Jie hiantitlie memiliki kepandaian ilmu dari keturunan
keluarga dan juga dari partai Kun lun. Dengan sendirinya
bukanlah seorang lemah. Aku hanya sangsikan apakah luka
dipahamu itu sudah sembuh benar-benar. Apakah tidak
menganggu bila dia mengadakan pertandingan " Tapi kalau
saudara May sudah berkata demikian, kita boleh sama-sama
membantu mengawasi hiantitlie. Rasanya tidak akan ada
halangan !" Bukan kepalang girangnya May Giok Jie karena Tiong sun
Seng akhirnya mengijinkan turun ke gelanggang. Maka
dengan senyum berseri-seri berjalanlah ia masuk ke lapangan
dengan langkah lebar. Pat-bo Yao-ogn yang menyaksikan turunnya May Giok Jie
ke lapangan bertanya kepada Khie Tay Cao :
"Khie ciangbunjin, siapa anak perempuan itu ?"
"Dia bernama Giok Jie, puteri Hong tim Ong khek May
Ceng Ong dengang Siang swat Sianjin Leng Biauw Biauw. Ia
telah mendapat warisan kepandaian dari ketua partai Kun lun
Tie Hui Cu. Baik kepandaian ilmu silatnya maupun kekuatan
tenaganya, boleh dibilang setarap dengan orang golongan
atas !" jawab Khie Tay Cao.
Pat-bo Yao-ong berpikir lalu memanggil Goan tie Hweshio,
salah seorang dari empat Ciancun daerah barat yang
mempunyai julukan Tay lek kim kong Siong sen hud atau
kalau diterjemahkan berarti Budha yang selalu menang. Orang
ini memiliki tenaga bagaikan kingkong. Pat-bo Yao-ong lalu
berkata padanya dengan suara perlahan :
"Goan tie taysu, kali ini biarlah kau yang turun ke
gelanggang. Di pihak sana adalah seorang perempuan muda,
kekuatan tenaganya sudah pasti agak lemah. Kau tidak perlu
melawan dengan menggunakan akal atau kecerdikan. Hadapi
saja dengan kekuatan tenaga yang kau miliki."
Goan tie hweshio mengangguk sambil tersenyum lalu
berjalan masuk ke lapangan. Oleh karena May Giok Jie pada
saat itu sudah menyebutkan namanya dan sedang dalam
sikap menantang, maka ia lalu merangkapkan tangannya di
dadanya dan berkata sambil tersenyum :
"Nona May, pinceng adalah Goan tie. Hendak main-main
beberapa jurus denganmu !"
"Taysu bukankah salah seorang dari empat Budha daerah
barat ?" Goan tie Hweshio tersenyum kemudian berkata :
"Pinceng sungguh merasa malu sebab orang-orang liar di
daerah barat jarang melihat orang, barulah memberikan
pinceng gelar Tay lek kim kong Siong seng hud !"
Sementara itu Hee Thian Siang yang sudah minum obat
dari Say han kong, kesehatannya sudah mulai pulih kembali,
lalu berkata kepada Tiong sun Hui Kheng :
"Adik Kheng, Tay lek kim kong Siong seng hud Goan tie
Hweshio ini terkenal dengan kekuatan tenaga di sepasang
tangannya. Adik Giok barangkali bukan tandingannya !"
"Adik Siang jangan khawatir. Dalam lima pertandingan yang
sudah berlangsung, empat berkesudahan seri. Sedang pihak
kita sudah menang satu kali. Maka sekali ini meskipun kalah
juga tidak jadi halangan !" jawab Tiong sun Hui Kheng sambil
tertawa. "Bukannya soal menang atau kalah yang kupikirkan,
melainkan kurasa lebih penting lagi adalah keselamatan diri
adik Giok !" kata Hee Thian Siang sambil menggelengkan
kepala. "Kau tak usah kuatir. Ada ayahnya dan ayahku yang samasama menjaga keselamatannya. Mana mungkin mereka mau
membiarkan adik Giok sampai mengalami kesusahan besar ?"
Mendengar Tiong sun Hui Kheng berkata demikian, maka
Hee Thian Siang juga tidak terlalu khawatir lagi. Ia menantikan
bagaimana kedua pihak hendak melangsungkan
pertandingan. Sementara itu Liok Giok Jie sehabis mendengar Goan tie
Hweshio menyebutkan nama dan gelarnya, lalu berkata
sambil tertawa : "Taysu yang mendapat julukan Tay lek kim kong, apakah
hendak mengadu kekuatan tenaga tangan dengan aku ?"
"Goan tie hanya seorang padri liar dari daerah barat.
Kecuali kepandaina yang berupa Tay chiu in, tidak mempunyai
keahlian apa-apa lagi. Jikalau nona May setuju, kita boleh
mengadu kekuatan tenaga dengan mengadakan garis sebagai
batas. Masing-masing menyambut tiga kali serangan. Jadi
tidak perlu menggunakan waktu terlalu lama bukan ?"
menjawab Goan tie Hweshio sambil menganggukkan kepala.
May Giok Jie pikir tentang ilmunya kekuatan tenaga tangan
kosong dari golongan partai Kun lun juga merupakan salah
satu ilmu terampuh dalam rimba persilatan dianggapnya
belum tentu kalah dengan ilmu tay chiu in dari padri daerah
barat ini. Maka ia lalu menerima baik dan katanya sambil
tersenyum : "May Giok Jie menerima baik usul taysu. Kita boleh
mengadakan suatu syarat, masing-masing menyambut tiga
kali !" Mendengar usulnya sudah diterima oleh lawannya, Goan
tie Hweshio lalu memusatkan kekuatan tangannya ke kedua
kakinya hingga tanah tempat ia berpijak lantas meninggalkan
bekas telapakan kaki sedalam setengah cun. Setelah mana
barulah ia berkata sambil tersenyum :
"Nona May, aku akan berdiri di atas telapakan kaki ini. Kita
masing-masing menyambut tiga kali serangan. Siapa yang
bergerak sedikit saja dari tempat berpijaknya sudah dihitung
kalah !" Setelah mendengar ucapan itu, May Giok Jie segera tahu
bahwa dalam pertandingan ini, sedikit pun ia tidak bisa
menaruh harapan untuk merebut kemenangan.
Sebab padri itu bisa meninggalkan bekas telapakan kaki
demikian dalam. Sambil tertawa-tawa dan omong-omong,
seandainya ia sendiri, sekalipun telah habis mengerahkan
seluruh kekuatan tenaganya, barangkali juga hanya dapat
meninggalkan bekas tidak sebegitu dalam.
Dari sini saja, jelaslah sudah menunjukkan kekuatan lawan.
Bahwa dalam kekuatan tenaga dalam dan tenaga murni, Goan
tie Hweshio ini latihannya sudah jauh lebih sempurna dan
menang setingkat dari May Giok Jie.
Tetapi karena sudah terlanjur, toh tidak boleh ditarik
kembali perkataan yang telah keluar. Maka ia terpaksa berdiri
di atas tanda telapakan kakinya dengan sikap dibuat setenang
mungkin.Goan tie Hweshio sementara itu sudah berkata
sambil tersenyum : "Nona Mya silahkan kau buka serangan lebih dulu. Kita
masing-masing membuat tiga kali untuk mencoba kekuatan
masing-masing !" May Giok Jie menganggukkan kepala dan tertawa. Kedua
tangannya bergerak cepat. Dengan beruntun tiga kali
melancarkan serangannya yang sangat berat.
Kecepatan dan hebatnya serangan itu membuat Siang
Biauw Yan yang menyaksikannya
juga mengangguk- anggukkan kepala memberi pujian. Diam-diam membenarkan
suhengnya ialah Tie Hui Cu yang telah anggap May Giok Jie
sebagai pewarisnya sampai-sampai gadis itu mendapat
latihan dan waktu cukup sebetulnya merupakan satu tenaga
yang boleh diandalkan bagi partai Kun lun.
Goan tie Hweshio sendiri juga tidak menduga May Giok Jie
mempunyai kekuatan tenaga demikian hebat. Maka ia sedikit
pun tidak berani gegabah. Tangannya juga bergerak dengan
ilmunya Tay chiu in menyambut tiga kali serangan May Giok
Jie. Ia telah mendapat julukan Tay lek kim kong Siong seng
hud, kekuatan tenaganya di telapakan tangan sudah tentu
boleh dibilang telah menjagoi dalam kalangan golongan sesat,
baik di dalam mau pun di luar daerah.
Pertama dari kekuatan tenaga kedua pihak tampak
berimbang. Tetapi setelah adu tenaga itu, May Giok Jie sudah
tahu bahwa dalam ketiga kali mengadu kekuatan itu, ia pasti
akan terlempar keluar dari tempatnya berpijak.
Di dalam keadaan yang sudah seharusnya kalau ia
mengaku kalah, May Giok Jie telah mendapat satu akal
supaya biar pun kalah, jangan sampai terlalu memalukan.
Setelah mengambil keputusan demikian, lalu mengerahkan
seluruh kekuatan tenaganya. Dalam mengadu kekuatan yang
kedua kalinya, ia telah melancarkan tenaga sepenuhnya.
Dengan demikian, maka kedua kalinya ini juga tidak ada
salah satu yang tergoyah dari tempat berdirinya. Tetapi Goan
tie Hweshio masih cukup tenaganya, sedangkan May Giok Jie
sudah kehabisan tenaga sama sekali kekuatannya.
Goan tie Hweshio tiba-tiba mengeluarkan geraman, lima
jari tangan kanannya dipentang. Ia mengerahkan seluruh
kekuatan tenaganya dan melancarkan serangan yang ketiga.
Sedangkan May Giok Jie dalam serangan ketiga ini sudah
Diperhitungkan masak-masak.
Tidak memforsir seluruh kekuatan tenaganya, hanya digunakan untuk mengimbangi
sebagian tenaga Goan tie Hweshio saja.
Begitu kedua tangan saling beradu, orang-orang dalam
golongan sesat riuh memperdengarkan suara tepuk tangan.
Tampak May Giok Jie terpental dari tempat berdirinya, terus
melayang ke udara sejauh satu tombak lebih.
Goan tie Hweshio sudah menjajaki tenaga May Giok Jie. Ia
tahu paling-paling dapat mendorong mundur gadis itu
setengah langkah. Tidak mungkin dapat mementalkan
demikian jauh. Dan sewaktu kedua tangan saling beradu, ia merasa
bahwa tenaga lawannya ternyata kosong. Sama sekali tidak
mirip dengan mengadu kekuatan. Maka ia sudah dapat
menduga, bahwa dalam hal ini May Giok Jie pasti ada main.
Benarlah seperti apa yang diduga Guan tie Hweshio.
Setelah tubuh May Giok Jie melayang sejauh setombak lebih,
di tengah udara putrinya May Ceng Ong ini lantas
mengeluarkan ilmu meringankan tubuh yang menjadi
keahliannya dari partai Kun lun.
Kedua kakinya bergerak bagaikan kaki kodok sedang
kedua tangannya juga bergerak membuat setengah lingkaran,
kemudian melayang turun lagi ke tempatnya semula.
Bukan saja sudah tiba kembali di tempat semula, bahkan
sepasang kakinya masih tetap menginjak bekas telapakan
kakinya yang semula, sedikit pun tidak salah.
Tiga kali mengadu kekuatan tenaga tangan sudah habis,
sedang May Giok Jie masih berdiri tegak ditempatnya
sehingga membuat Goan tie Hweshio merasa bingung sendiri.
Ia tidak tahu apakah ini boleh dihitung kemenangan bagi
pihaknya. May Giok Jie setiba ditempatnya lalau berkata sambil
memberi hormat dan tertawa.
"Nama besar taysu ternyata bukan julukan belaka. Benar
saja merasakan Budha yang bertenaga sangat besar !"
Oleh karena lawannya bersikap demikian merendah, mau
tak mau Goan tie Hweshio juga mengucapkan kata-kata yang
merendahkan diri. Ia menjawab sambil merangkapkan kedua
tangannya di depan dada :
"Nona May dengan beruntun dapat menyambut serangan
pinceng tiga kali dan masih tetap berdiri di atas telapakan kaki
yang menjadi batas semula. Bagaimana boleh dikata pinceng
yang menang ?" May Giok Jie sudah menduga bahwa padri itu pasti
mengucapkan ucapan demikian, maka dengan sangat licin
sekali ia menyambungnya dengan suara lantang :
"Kalau taysu memang menganggap bahwa kau tidak mau
mendapat kemenangan, biarlah dihitung seri saja !"
Sehabis berkata demikian ia bergerak dengan gerakan
yang sangat lincah. Ia berjalan kembali ke dalam
rombongannya hingga membuat padri itu berdiri bingung, tidak
bisa berbuat apa-apa di tengah lapangan.
Setelah May Giok Jie kembali ke rombongannya, berkata
kepada ayahnya sambil tertawa :
"Ayah, punya tenaga kita gunakan tenaga, tidak ada tenaga
kita boleh gunakan akal. Ayah lihatlah, Tay lek kim kong Siong
seng hud itu masih berdiri bingung di tengah lapangan.
Badannya gemetaran. Mungkin ia marah dan hampir mati
karena mendongkol atas sikap anak tadi !"
May Ceng Ong mengerutkan alisnya, memandang
puterinya sejenak lalu bangkit dari tempat duduknya dan
berkata kepada Goan tie Hweshio yang masih berdiri
menjublak di tengah lapangan !
"Goan tie Taysu silahkan kembali ke rombonganmu. Kali ini
Taysulah yang keluar sebagai pemenang. May Ceng Ong
mewakili anak perempuannya mengakui kekalahannya !"
Sementara itu Pat-bo Yao-ong Hian Wan Liat juga sudah
memanggil kembali Goan tie Hweshio. Ia turun sendiri ke
tengah lapangan dan berkata kepada rombongan orang-orang
dari golongan kebenaran :
"Dalam pertandingan sepuluh babak sudah berlangsung
enam kali dan kesudahannya justru menjadi seri. Sekarang
biarlah Hian Wan Liat turun sendiri. Diantara tuan-tuan siapa
kiranya yang suka turun guna memberi pelajaran ?"
Pemimpin pihak lawan sudah turun. Tiong sun Seng yang
melihat itu lalu bertanya kepada May Ceng Ong sambil
tersenyum : "Saudara May, bagaimana kita menghadapi si tua ini ?"
May Ceng Ong yang dahulu sudah pernah mengadakan
pertempuran dengan Tiong sun Seng dari Lam-gak hingga
Tiong-gak dan Tang-gak tahu benar bahwa baik kekuatan
maupun kepandaian Tiong sun Seng boleh dibilang berimbang
dengan dirinya sendiri. Maka dengan cepat lalu menjawab sambil tersenyum :
"Saudara Tiong sun boleh tanya dulu kepada si tua itu, ia
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hendak bertempur dengan cara bagaimana. Barulah kita ambil
keputusan siapa yang harus menghadapinya !"
Tiong sun Seng menganggukkan kepala lalu turun ke
lapangan dan bertanya kepada Pat-bo Yao-ong sambil
menjura : "Hian Wan Liat ong pikir dengan cara bagaimana hendak
mengadakan pertandingan selanjutnya ini ?"
"Bertanding dalam ilmu meringankan tubuh, kekuatan
tenaga dalam, kekuatan tenaga tangan dan senjata rahasia !"
menjawab Hian Wan Liat sambil tersenyum.
Tiong sun Seng yang mendengar ucapan itu, sepasang
alisnya dikerutkan. Ia tahu benar bahwa iblis yang demikian
tinggi kepandaiannya seperti Hian Wan Liat ini, usul biasa
yang diajukan olehnya, di dalamnya pasti mengandung
beberapa inti yang tidak biasa.
Selagi Tiong sun Seng masih memikirkan soal itu Pat-bo
Yao-ong sudah berkata lagi :
"Empat macam pertandingan yang kuajukan ini, bukan
dilakukan dalam satu babak melainkan tercakup dalam empat
babak yang belum diselesaikan itu !"
Tiong sun Seng berseru terkejut dalam hatinya berpikir :
Iblis tua ini benar-benar luar biasa liciknya. Dia seorang diri
hendak memborong empat kali pertandingan yang belum
selesai, bagaimana caranya dia hendak merebut kemenangan
dari pihak kita " Pat-bo Yao-ong sudah berkata lagi sambil tertawa :
"Maka itu silahkan Tiong sun Tayhiap kembali dulu. Boleh
memilih orang-orang yang paling mahir dalam empat macam
ilmu kepandaian tadi lalu mengadakan pertandingan dengan
Hian Wan Liat. Sebab hasil dari empat pertandingan ini bukan
saja menetapkan kemenangan untuk kedua pihak, bahkan aku
pikir dalam setiap kali pertandingan akan ditambah dengan
sedikit barang hadiah buat menambah kegembiraan !"
"Hian Wan Liat ong pikir hendak menambah barang hadiah
apa ?" tanya Tiong sun Seng sambil tersenyum.
"Monyet putih peliharaan putrimu ada mempunyai sebuah
rompi sisik naga pelindung jalan darah. Sekarang berada di
tangan tiga orang kerdil dari negara timur. Dalam babak
pertama, kupikir hendak menggunakan barang ini sebagai
hadiah ! Bila pihak kalian yang menang, barang itu akan
kukembalikan kepadamu tapi kalau Hian Wan Liat yang
menang, harap supaya putrimu mau menghadiahkan barang
itu kepadaku hingga akan menjadi milikku untuk selamalamanya !" "Itu baik dan kedua ?"
"Hadiah dalam pertandingan pertama ini sebetulnya
memang barang milik putrimu, dalam hal ini kami seperti mau
untuk sendiri saja. Maka dalam pertandingan kedua sebagai
barang hadiah seharusnya akulah yang mengeluarkan !"
berkata sampai disitu, dari dalam sakunya Hian Wan Liat lalu
mengeluarkan sebilah belati kecil yang tidak cukup satu kaki
panjangnya, namun sinar belati itu berkilauan. Sediki saja
belati kecil itu digoreskan ke atas batu, segera membuat
terbelah batu yang digoresnya.
Tanpa terasa Tiong sun Seng sudah berkata dengan
pujiannya : "Ini adalah pisau belati yang terbuat dari batu Giok Khunngo. Pisau belati paling tajam dalam dunia !"
"Pemenang dalam babak kedua itu akan menjadi pemilik
selama-lamanya dari pisau belati Khun ngo to ini !" berkata
Hian Wan Liat sambil menganggukkan kepala dan tertawa.
Tiong sun Seng mengangguk-anggukkan kepala, sangat
kagum atas tajamnya pisau Pat-bo Yao-ong. Maka lalu
katanya : "Cara mengatur pembagian hadiah menurut Hian Wan Liat
ong semacam ini sesungguhnya sangat adil. Tetapi entah
barang apa yang akan Liat ong keluarkan sebagai hadiah
dalam babak ketiga."
"Babak ketiga kita boleh menggunakan pertaruhan yang
lebih besar !" Dalam hati Tiong sun seng sudah sangat terkejut. Lalu
tanyanya : "Bagaimana cara taruhannya ?"
"Membuat taruhan mengasingkan diri dari rimba persilatan
selama dua puluh tahun ! Ini berarti siapa yang kalah harus
melakukan sumpah berat untuk selanjutnya selama dua puluh
tahun menghilang dari dunia Kang ouw. Tidak boleh lagi
melakukan pergerakan dalam rimba persilatan !" Hian Wan
Liat berkata demikian sambil tersenyum.
Tiong sun Seng tampak berpikir, kemudian menjawab
sambil menganggukkan kepala :
"Tiong sun Seng disini atas nama seluruh kawan dan
partai-partai rimba persilatan menerima pertaruhan ini ! Dan
keempat ?" "Dalam babak keempat kita mau pertaruhkan gelar-gelar
jago daerah Pat-bong dan Manusia Teragung dalam rimba
persilatan !" Sehabis berkata demikian, tangannya menunjuk kepada
patung yang lehernya dikalungi dengan tulisan : "Patung ini
dihadiahkan kepada orang yang mendapat julukan orang kuat
nomor satu di dalam rimba persilatan". Kembali berkata sambil tertawa :
"Orang yang berhasil menangkan Jago daerah Pat-bong
dan Manusia Teragung dalam rimba persilatan juga menjadi
pemilik dari patung batu giok putih ini !"
"Aku menerima baik seluruh usulmu ini. Dan sekarang aku
akan berunding dahulu dengan semua kawan-kawanku !"
berkata Tiong sun Seng sambil menatap patung batu giok
putih. "Mengenai urutan empat pertandingan ini, kalia boleh atur
sendiri. Sebab bagaimana pun juga dipihak kalian memilih
seseorang, akulah sendiri yang akan melayaninya !" berkata
Hian Wan Liat sambil tertawa.
Tiong sun Seng dengan cepat lalu balik kembali ke dalam
rombongannya untuk berunding dengan semua kawankawannya. Ketua partai Bu tong pay, Hong hoat Cinjin lebih dahulu
berkata : "Dalam empat babak pertandingan ini, menyangkut gagal
atau berhasilnya pertandingan besar ini dan menyangkut pula
nasib seluruh rimba persilatan. Kita harus hati-hati memilih
orang-orang yang memiliki kemahiran dalam ilmu
meringankan tubuh, kekuatan tenaga dalam, kekuatan tangan
dan senjata rahasia untuk menghadapi Pat-bo Yao-ong !"
"Sebaiknya kita mengadakan pemilihan satu persatu.
Sekarang saudara-saudara harap pilih salah seorang diantara
kita yang memiliki kemahiran dalam ilmu meringankan tubuh !"
berkata Tiong sun Seng sambil tertawa.
Ketua partai Ngo-bie Hian hian Sian lo menunjuk Hong tim
Ong khek May Ceng Ong untuk yang pertama karean May
Ceng Ong memiliki kemahiran ilmu meringankan tubuh
terutama karena dia bisa berjalan di tengah udara.
Usul itu diterima baik oleh semua yang ada disitu. May
Ceng Ong juga tidak dapat menolak dan diterimanya dengan
baik. Setelah itu Tiong sun Seng minta lagi supaya ditunjuk
orang yang memiliki kekuatan luar biasa dalam pukulan
tangan kosong. Pelindung hukum gereja Sian lim sie Ceng-kak Siansu
menunjuk ketua partai Lo hu Peng sim Sin nie, ketua partai
Swat san Peng-pek sin-kun, Siang swat Siangjin Leng Biauw Biauw,
tiga orang. Peng sin Sin nie lebih dulu menyatakan terima kasih, lalu
berkata sambil tertawa : "Ilmu Pan sian ciang lek masih kurang matang latihannya.
Sebaliknya dengan ilmu Lo han ciang atau Tong sian dari Siao
lim sie, pin nie pikir lebih tepat untuk menghadapi Hian Wan
Liat ong. . . . ." Hee Thian Siang tiba-tiba berkata sambil menggoyangkan
tangannya : "Locianpwe sekalian tak usahlah kalian terlalu
merendahkan diri lagi dalam mengadakan pemilihan ini. Hee
Thian Siang disini ada mempunyai sedikit pikiran !"
Ceng-kak Siansu yang mendengar itu lalu berkata sambil
tertawa : "Mungkin Hee laote dari angkatan muda ini mempunyai
pikiran yang agak berbeda dari kita orang-orang angkatan tua.
Harap Hee laote utarakan pikiranmu itu !"
"Menurut apa yang sudah boanpwe alami dengan kawanan
penjahat itu, kepandaian ilmu silat dan kekuatan tenaga Patbo Yao-ong benar-benar luar biasa hebatnya. Diantara
cianpwe sekalian kecuali Tiong sun locianpwe dan May
locianpwe, yang mungkin dapat mengimbangi kepandaian dan
kekuatannya, dengan terus terang, yang lainnya barangkali
agak sulit untuk menghadapinya."
Semua jago yang ada disitu tahu bahwa ucapan Hee Thian
Siang itu memanglah dengan sebenar-benarnya. Maka semua
pada diam. Hee Thian Siang berkata pula :
"Hian Wan Liat berani menghina orang karena
mengandalkan kepandaian dan kekuatannya yang luar biasa
itu. Dengan seorang diri ia memborong empat kali
pertandingan yang belum terselesaikan. Keadaan kita
memang berbahaya. Tetapi berapa pun matang perhitungan
seseorang, berhasilnya masih tetap berada ditangan Tuhan
hingga membuka pikiran Hee Thian Siang. Dari empat
pertandingan yang diusulkan itu, Hee Thian Siang dapat
mencuri kelemahannya !"
Peng-pek Sin-kun dengan penuh perhatian bertanya :
"Dalam hal apa yang Hee laote anggap merupakan
kelemahan Hian Wan Liat ?"
"Hian Wan Liat dalam keadaan takabur demikian telah
mengeluarkan ucapan tanpa di pikir panjang lagi sehingga
Hee Thian Siang mudah sekali menemukan kelemahannya !"
Semua jago tahu bahwa urusan ini sangat penting sekali.
Maka semua diam hendak mendengarkan uraian jago muda
itu. "Kelemahan Hian Wan Liat adalah tindakannya yang
Memperbolehkan kita memilih orang. Dia cuma
menitikberatkan kepada hal-hal yang penting saja. Jadi agak
mengabaikan kepada yang kurang penting. Oleh karena itu
maka kita tidak perlu memperhatikan kalah menang
seluruhnya. Dengan lain perkataan ialah dalam babak
pertama, kita boleh kalah dan mengorbankan rompi sisik naga
pelindung jalan darah dan babak kedua kita juga boleh
mengorbankan nama baik kita dan tidak perlu pasti merebut
kemenangan. Bahkan di dalam babak keempat, biar Pat-bo
Yao-ong mendapat gelar Jago daerah Pat-bong dan Manusia
Teragung rimba persilatan serta patung batu giok putih
sebagai lambang orang kuat nomor satu. Tapi dalam babak
ketiga, biar bagaimana kita tidak boleh tidak harus menang.
Sebab setelah kita menangkan babak ketiga ini bisa membuat
orang-orang jahat di dalam dan di luar daerah dalam waktu
dua puluh tahun tidak bisa bergerak apa-apa hingga tidak
dapat membahayakan rimba persilatan !"
Peng-pek Sin-kun lalu berkata sambil mengacungkan ibu
jarinya : "Ucapan Hee laote ini benar-benar sangat berharga sekali !
Dewasa ini meskipun pengaruh orang-orang jahat besar sekali
tetapi kecuali seorang seperti Pan Pek Giok dari angkatan
muda, mereka sudah tidak ada orang lain lagi. Jadi asal kita
bisa membuat kejahatan mereka untuk sementara ditindas,
maka selama dua puluah tahun kemudian, orang-orang
angkatan muda seperti Hee laote, Tiong sun Hui Kheng, May
Giok Jie, May Sin In dan lain-lain dari golongan lain suah pasti
akan dapat menguasai golongan muda mereka !"
"Hee hiantit kalau sudah mempunyai pikiran demikian,
apakah kiranya juga sudah mempunyai rencana kongkrit untuk
orang-orangnya dan urutannya dalam empat pertandingan itu
?" bertanya Tiong sun Seng sambil tersenyum.
"Untuk merebut kemenangan babak ketiga, boanpwe
merasa sudah mempunyai keyakinan delapan puluh persen
keatas. Tetapi disini harus ada dua locianpwe yang mau
mengorbankan nama baiknya, baru bisa mencapai maksud
kita !" jawab Hee Thian Siang sambil tertawa.
"Untuk kepentingan nasib seluruh rimba persilatan,
sekalipun mengorbankan nyawa, juga tidak sayang. Apalagi
cuma buat mengorbankan nama kosong saja. Terus terang
saja, dalam menghadapi babak terakhir yang tinggal empat
pertandingan ini, biarlah kau yang memegang komandonya.
Kami semua bersedia menurut perintahmu !" kata May Ceng
Ong sambil tertawa. Semua jago yang mendengar ucapan itu pada setuju. Hee
Thian Siang pun tidak menolak lagi. Lalu katanya :
"Menurut boanpwe, baiknya dalam babak-babak terakhir ini
urutannya dibuat : Pertandingan ilmu meringankan tubuh,
pertandingan kekuatan telapak tangan, pertandingan kekuatan
tenaga dalam dan pertandingan senjata rahasia !"
Meskipun semua jago tidak dapat menduga isi hati Hee
Thian Siang tetapi mereka tahu bahwa jago muda itu tentunya
tidak akan mengatur secara serampangan.
May Sin In tiba-tiba bertanya kepada Tiong sun Hui Kheng :
"Enci Kheng, tahukah kau apa yang terkandung dalam hati
engkoh Hee Thian Siang itu ?"
Tiong sun Hui Kheng hanya tersenyum saja. Sama sekali
tidak menjawab. Lalu ia menggoyangkan tangannya sebagai
tanda supaya May Sin In diam dan hanya mendengarkan saja.
Sementara itu Hee Thian Siang sudah berkata lagi :
"Kedua ialah soal pilihan orangnya. Babak pertama dalam
pertandingan mengadu ilmu meringankan tubuh, biarlah May
locianpwe yang maju. Babak kedua dalam pertandingan
mengadu kekuatan telapakan tangan, biar Hong hoat Cinjin
dari Bu tong yang keluar. . . . "
Hong hoat Cinjin baru hendak menolak, Hee Thian Siang
sudah berkata padanya sambil tersenyum :
"Hong hoat locianpwe janganlah menolak. Boanpwe minta
locianpwe maju dalam babak ini, bukanlah karena
menganggap kekuatan tenaga locianpwe jauh lebih tinggi dari
pada ketua Lo hu dan Swat san serta Siang swat Siangjin
locianpwe melainkan mengingat ilmu Thay khek ciang dari
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
golongan Bu tong sesungguhnyalah boleh dibilang
mempunyai keuletan dan locianpwe juga sudah mahir dalam
ilmu Tay hoan cin lek."
"Ouw ! Jadi laote menghendaki supaya aku mengadakan
pertandingan cuma buat mengulur waktu saja " Bukankah
begitu ?" berkata Hong hoat Cinjin sambil tertawa.
Hee Thian Siang lalu menjawab sambil menatap wajah May
Ceng Ong : "Bukan hanya dalam pertandingan kekuatan tenaga tangan
ini saja yang harus dilakukan dalam waktu sangat lama.
Sekalipun dalam pertandingan ilmu meringankan tubuh juga
harus memikirkancara yang lain dari pada yang lain. Kita
harus berusaha sedapat mungkin supaya Hian Wan Liat ong
si siluman tua itu menghamburkan tenaga sebanyakbanyaknya. Lebih baik lagi kalau bisa terkuras habis-habisan !
Pendek kata, dalam babak pertama dan kedua, titik penting
ialah tidak perlu merebut kemenangan melainkan melelahkan
pihak lawan. Sebab apabila pihak kita lelah, di pihak lawan
juga sudah pasti menghamburkan kekuatan tenaga yang tentu
tidak sedikit. Barulah di babak ketiga, kita yang masih dalam
keadan penuh dapat menghadapi lawan yang sudah payah.
Dengan demikian barulah kita berhasil dengan usaha kita !"
May Ceng Ong yang mendengar keterangan itu, berulangulang menganggukkan kepala. Katanya sambil tertawa :
"Akalmu ini benar-benar bagus sekali. Aku dengan Hong
hoat Cinjin pasti akan melaksanakan rencanamu ini sebaikbaiknya !" "Sebab kekuatan tenaga dan kepandaian ilmu Pat-bo Yaoong terlalu tinggi sekali, meskipun di dalam babak pertama
dan kedua ia harus menghamburkan banyak tenaga, tetapi di
dalam babak ketiga jikalau bukan seorang yang tandingan
yang memiliki kepandaian dan kekuatan yang luar biasa,
masih sulit untuk merebut kemenangan darinya. Oleh karena
itu, dengan pertandingan kekuatan tenaga dalam ini, boanpwe
pikir hendak minta Tiong sun locianpwe yang mengambil
sekaligus memikul tugas itu !"
Tiong sun Seng hanya diam saja, sama sekali tidak
mengatakan apa-apa. Sementara May Ceng Ong sudah
berkata pula : "Pilihan Hee hiantit ini tepat sekali. Pasti ia yang baru
sanggup mengimbangi dan menghabiskan tenaga Hian Wan
Liat dengan ilmunya Tay it thian hian sin kang. Kalau tidak
begitu, mana ada harapan untuk merebut kemenangannya
dari diri Pat-bo Yao-ong ?"
"Jikalau babak ketiga ini Hian Wan Liat mengalami
kekalahan, di dalam babak keempat ia pasti akan turun tangan
dengan sepenuh tenaga dan mengeluarkan seluruh
kepandaiannya untuk mendapatkan gelar Jago daerah Pat
bong dan Manusia Teragung dalam rimba persilatan, untuk
memulihkan nama baiknya. Para locianpwe sekalian yang ada
disini, semua dari para ketua partai atau pendekar-pendekar
pada dewasa ini. Semua tidak perlu harus mengorbankan
nama baik para cianpwe sekalian untuk mengadu kekuatan
dengannya. Maka itu biarlah boanpwe sendiri saja yang akan
turun tangan dengan menggunakan tiga batang bulu burung
warna lima ini untuk bertanding dengan siluman tua itu !"
berkata Hee Thian Siang sambil tertawa penuh arti.
"Tadi bukankah Say locianpwe sudah mengatakan supaya
kau jangan boleh menggunakan kekuatan tenaga murni lagi ?"
"Adik In tak usah terlalu khawatir begitu. Bertanding dengan
senjata rahasia tentu tidak harus menggunakan kekuatan
tenaga murni. Para locianpwe yang ada disini tidak sayang
mengorbankan nama baiknya yang dipupuk hampir seumur
hidupnya. Apakah tidak seharusnya kalau aku juga turut
menyumbang sedikit tenaga ?" kata Hee Thian Siang sambil
tertawa. Say han kong juga menganggukkan kepala sambil
tersenyum kepada May Sin In, suatu tanda bahwa Hee Thian
Siang tidak akan kenapa-kenapa kalau cuma bertanding
dengan menggunakan senjata rahasia saja.
Setelah perundingan selesai, May Ceng Ong lebih dahulu
berjalan turun ke lapangan.
Pat-bo Yao-ong tahu bahwa lawan-lawannya itu adalah
jago-jago dan pendekar-pendekar daerah Tiong goan yang
baik kepandaian ilmu silatnya maupun kekuatan tenaga
dalamnya masih diatas kebiasaan para ketua partai, maka ia
juga tidak berani menyombongkan diri keterlaluan. Sambil
mengangkat kedua tangannya ia bertanya :
"May tayhiap pikir hendak bertanding dalam ilmu apa ?"
"Aku pikir hendak bertanding dengan mengadu ilmu
meringankan tubuh yang sejati untuk belajar kenal dengan
kepandaian ilmu Hian Wan Liat ong."
"Kita harus bertanding dengan cara bagaimana ?"
"Kupikir hendak mencoba mendaki dan turun dari puncak
Tay pek hong ini kemudian mendaki ke atasnya lagi untuk
menetapkan ilmu siapa yang lebih tinggi.
Pat-bo Yao-ong tahu bahwa untuk turun dan naik lagi ke
puncak Tay pek hong yang menjulang ke langit ini
sesungguhnya tidak mudah. Tetapi ia sedikit pun tidak merasa
gentar. Maka ia bertanya :
"Aku hendak minta sedikit keterangan lebih dahulu. May
tayhiap hendak menggunakan ilmu meringankan tubuh cara
apa ?" "Di waktu lurus aku hendak menggunakan ilmu Mo khong
cap sha hoan dan diwaktu mendaki nanti akan menggunakan
ilmu berjalan di tengah udara !" Pat-bo yao-ong terkejut
mendengar keterangan itu, katanya "Ini adalah dua ilmu
yang terampuh dalam ilmu meringankan tubuh !"
May Ceng Ong juga bertanya kepadanya :
"Dan Hian Wan Liat ong hendak menggunakan cara apa ?"
"Aku juga hendak menggunakan ilmu serupa seperti yang
kau gunakan !" May Ceng Ong mendengar jawaban itu merasa sangat
kagum, katanya sambil menganggukkan kepala :
"Dengan cara demikian, sesungguhnya sangat adil sekali !"
Pat-bo Yao-ong menggapai kepada si golok emas. Darinya
minta rompi sisik naga pelindung jalan darah lalu diletakkan di
atas sebuah batu besar, setelah mana barulah ia berkata
kepada May Ceng Ong : "May tayhiap, kita sama-sama turun dari puncak ini dengan
menggunakan ilmu Mo khong cap sha hoan, lalu mendaki lagi
dengan menggunakan ilmu jalan ditengah udara. Siapa yang
lebih dahulu tiba di puncak Tay pek hong ini, dialah yang akan
menjadi pemilik selamanya dari rompi sisik naga pelindung
jalan darah ini !" May Ceng Ong mengawasi rompi pusaka itu, lalu berkata
sambil tersenyum : "Baik, mari kita segera mulai !"
Keduanya lalu turun dari puncak Tay pek hong dengan
sama-sama menggunakan ilmu Mo khong can sha hoan.
Setelah pertandingan dimulai, Hee Thian Siang
mengangguk-anggukkan kepala sambil tertawa bangga :
"Cara yang diajukan oleh empek May ini sesungguhnya
sangat tepat. Sebab untuk naik dan turun dari puncak Tay pek
hong ini betul-betul harus membutuhkan tenaga penuh.
Perjalananan setinggi beberapa ratus tombak ini, sedikitnya
juga harus menghamburkan tenaga murni Pat-bo Yao-ong
sepuluh persen keatas !"
Tiong sun Hui Kheng tiba-tiba menarik tangan Hee Thian
siang dan bertanya dengan suara perlahan :
"Adik Siang, kau jangan girang dulu. Aku seperti mendapat
satu firasat. Mungkin sebentar lagi akan terjadi suatu
malapetaka hebat disini."
Hee Thian Siang sangat terkejut mendengar perkataan itu.
Ia lalu berkata : "Dari mana enci Kheng mendapat firasat semacam itu ?"
"Dari Bo Cu Keng, Siang Biauw Yan dan lain-lainnya.
Mengapa hingga saat ini mereka masih tidak menunjukkan
gerakan apa-apa ?" "Oh ! Mungkin kekuatiran enci Kheng ini tidak cukup
beralasan. Mana mungkin begitu " Bom peledak Kian thian
pek lek sudah diambil oleh Oe-tie locianpwe dengan
menggunakan keahliannya mencopet. Sudah tentu mereka
tidak berani memikirkan rencana jahat dalam hal itu lagi."
Tiong sun Hui Kheng menggeleng-gelengkan kepala dan
lalu katanya : "Mengapa pandangan mata adik Siang kali ini demikian
cupat " Sejak adik In mengeluarkan senjatanya pedang
pusaka Liu yap bian sie kiam, Bo Cu Keng dan lain-lainnya
sudah pasti mengetahui kalau mereka telah kecurian. Mereka
tahu kita tidak akan melepaskan mereka begitu saja. Tetapi
toh mereka tidak berlalu dengan diam-diam, bahkan sikapnya
demikian tenang. Jelas masih ada apa-apa atau rencana keji
yang diandalkan oleh mereka !"
Hee Thian Siang telah disadarkan oleh ucapan Tiong sun
Hui Kheng ini. Katanya : "Kalau begitu ucapan enci Kheng ini ada benarnya juga.
Kepandaian mereka mana ada artinya buat kita " Kalau
mereka dihadapkan dengan kita, sesungguhnya seperti ikan
dalam jala. Iya, mengapa sampai tak terpikir olehku. Setelah
mengetahui bom peledak Kian thian pek lek tercuri, mereka
tidak berlalu secara diam-diam, sebaliknya malah terus disini
dengan sikap tenang-tenang. Apakah betul mereka hendak
mengacau dengan rencana keji yang lain ?"
"Adik Siang harap pikir baik-baik. Suasana dan situasi
sudah demikian gawat, bukankah ini suatu firasat akan
adanya bencana hebat ?"
"Sekarang aku juga mempunyai kesan demikian. Enci
Kheng kalau sudah mengetahui lebih dahulu, dapatkah
menduga dengan pasti rencana apalagi kiranya yang akan
dilakukan oleh Bo Cu Keng dan kawan-kawannya itu ?"
"Hal ini tidak mudah diduga dengan pasti. Tetapi akau
selalu menganggap apakah tidak mungkin bahwa Bo Cu Keng
itu telah membuat sebuah Kian thian pek lek tiruan, sengaja
membiarkan Oe tie locianpwe mencuri supaya mengendorkan
kewaspadaan kita terhadap mereka, kemudian dengan tibatiba diluar dugaan kita semua, menggunakan Kian thian pek
lek yang tulen untuk menghadapi ktia semua !"
Hee Thian siang tampak berpikir, kemudian berkata sambil
menggelengkan kepala : "Pikiran enci Kheng ini memang ada benarnya. Tetapi ada
dua hal yang rasanya tidak sesuai dengan kenyataannya !"
Tiong sun Hui Kheng menatap wajah Hee Thian Siang.
Sementara itu Hee Thian Siang sudah melanjutkan
keterangannya : "Pertama Bo Cu Keng agaknya tidak dapat menduga
bahwa kita bisa mengundang seorang ahli pencopet yang
ditugaskan untuk menyambut kedatangan tamu sehingga
barang mereka tercuri habis-habisan !"
Tiong sun Hui Kheng tidak dapat menyetujui pikiran Hee
Thian Siang semacam itu, katanya sambil menggelengkan
kepala : "Meskipun Bo Cu Keng tidak menduga kita bisa mencuri
barang-barangnya tetapi belum tentu mereka tidak dapat
menduga bahwa kita akan menggeledah mereka !'
"Taruh kata benar dugaan enci Kheng ini, tetapi waktu Oetie locianpwe turun tangan, sudah mengadakan
penggeledahan dengan teliti terhadap mereka. Sama sekali
tidak menemukan bom Kian thian pek lek yang kedua !"
"Kenyataan ini memang benar telah menggulingkan
dugaanku itu. Juga membuat aku tidak bisa mengadakan
perhitungan yang agak tepat akal apa yang akan
dipergunakan oleh Bo Cu Keng dan kawan-kawannya. Kita
terpaksa harus berlaku dengan sangat hati-hati,
memperhatikan segala apa yang akan terjadi dan siap siaga
serta bertindak sigap untuk menghadapi segala kemungkinan!"
Tidak lama kemudian, sudah terdengar elahan napas dari
Pat-bo Yao-ong dan May Ceng Ong yang sudah kembali ke
puncak gunung Tay pek hong.
Kedatangan dua orang itu, agaknya tidak ada perbedaan
satu sama lain. Keadaan semacam ini membuat semua orang
yang menyaksikan tidak dapat mengetahui siapa sebetulnya
yang lebih dahulu tiba dipuncak Tay pek hong ini.
Sesaat kemudian, suara itu sudah terdengar semakin dekat
dan sudah akan tiba di tempat semula. Tetapi keadaan
mereka masih tetap berimbang. Tidak ada yang tampak tiba
lebih dahulu. Meskipun dua orang itu hampir bersamaan waktunya tiba di
puncak Tay pek hong, tetapi May Ceng Ong sengaja
membiarkan Pat-bo Yao-ong menginjakkan kaki kanannya
lebih dahulu di puncak gunung.
Sesaat tampak May Ceng Ong mengerutkan sepasang
alisnya, tetapi segera pulih kembali. Lalu berkata kepada Patbo Yao-ong sambil menatap sisik naga pelindung jalan darah
yang diletakkan di atas batu besar :
"Kepandaian ilmu meringankan tubuh Hian Wan Liat ong
benar-benar sangat mengagumkan May Ceng Ong. Rompi ini
selanjutnya biarlah menjadi milikmu selama-lamanya !"
"May tayhiap mengapa berkata demikian " Kemenanganku
ini hanya secara kebetulan saja !" kata Hian Wan Liat sambil
tertawa. May Ceng Ong lalu tersenyum dan kembali ke
rombongannya. Ia lalu berkata kepada Tiong sun Seng sambil
mengusap kepala Siaopek :
"Saudara Tiong sun, aku sudah mengerahkan seluruh
kekuatanku yang ada untuk mengambil kembali rompi sisik
naga pelindung jalan darah milik Siaopek ini. Tapi siapa tahu
di luar dugaanku pada saat terakhir, aku telah gagal
mempertahankan kedudukanku !'
Berkata sampai disitu, ia lalu berpaling dan berkata kepada
Siaopek : "Siaopek, janganlah kau susah hati. Aku berjanji padamu
hendak menurunkan beberapa macam ilmu kepandaian
kepadamu untuk menggantikan rompimu yang tak dapat
kupertahankan dalam pertandingan tadi !"
Siaopek yang mendengar ucapan itu, rupanya sangat
girang sekali. Ia menjatuhkan dirinya dan berlutut di hadapan
May Ceng Ong. Seperti yang sudah direncanakan, begitu May Ceng Ong
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali ke rombongannya, Hong hoat Cinjin sudah turun ke
lapangan tanpa memberikan kesempatan bagi Pat-bo Yaoong untuk beristirahat lama-lama.
Pat-bo Yao-ong menyambut kedatangannya dan berkata
sambil tertawa : "Cinjin ternyata hendak turut memberikan pelajaran
kepadaku juga. Tidak tahu Cinjin hendak bertanding dengan
ilmu apa ?" Hong hoat Cinjin menganggukkan kepala memberi hormat
lebih dahulu, kemudian baru berkata sambil tersenyum :
"Kepandaian ilmu Hian Wan Liat ong benar-benar hebat
sekali. Pinto rasa tidak mempunyai kepandaian apa-apa untuk
menandingi. Hanya di dalam ilmu kekuatan tenaga tangan,
ingin belajar kenal dengan Liat ong !"
Oleh karena melihat sikap Hong hoat Cinjin yang demikian
merendahkan diri dan sopan santun, maka Hian Wan Liat
menganggukkan kepala sambil tersenyum. Kemudian dari
dalam bajunya mengeluarkan sebilah pisau belati Khun ngo to
lalu dilemparkannya ke atas batu hingga menancap sampai
dalam. Hong hoat Cinjin mengawasi pisau belati itu, berkata
dengan pujiannya : "Tajamnya pisau belati Khun go to ini, ternyata benar-benar
tidak kalah dengan pedang pusaka Hie thong kiam !"
"Mari kita mulai. Asal Cinjin sanggup menahan seranganku
seratus jurus tidak terkalahkan, pisau belati Khun go to ini
Cinjin boleh ambil untuk dijadikan milik Cinjin selama-lamanya!"
Mendengar Pat-bo Yao-ong menetapkan jumlahnya seratus
jurus, Hong hoat Cinjin tahu bahwa lawannya itu tidak
memandang terlalu rendah dirinya. Maka ia lalu bertanya
sambil bersenyum : "Hian Wan Liat ong, benarkah kau hendak menggunakan
pisau belati pusakan ini untuk barang hadiah bagi si
pemenang ?" "Di dalam rimba persilatan, orang yang sudah memiliki
kedudukan dan nama baik seperti kita ini apakah masih perlu
disangsikan bakal dapat menarik kembali setiap ucapannya ?"
demikian Hian Wan Liat membaliki.
"Kalau benar ada barang hadiah sangat berharga serupa
ini, kita tentunya harus bertanding dengan seluruh kekuatan
tenaga. Bolehkah disini pinto hendak mengajukan sedikit
permintaan ?" berkata Hong hoat Cinjin.
"Permintaan apa ?"
"Pinto minta supaya jumlah yang Hian Wan Liat ong
tetapkan seratus jurus tadi, ditambah lagi tiga kali lipat ?"
"Pat-bo Yao-ong menatap wajah Hong hoat Cinjin,
tanyanya sambil tersenyum :
"Apakah Cinjin yakin dapat menyambut seranganku hingga
tiga ratus jurus ?" "Ilmu serangan tangan kosong Thay khek ciang hoat dari
partai Bu tong sudah terkenal dengan keuletan-keuletannnya.
Pinto sebagai ketua partai sudah tentu memperdalam ilmu
tunggal dari partai pinto ini. Dalam dua ratus lima puluh jurus,
pinto yakin masih sanggup melayani. Barangkali sebelum
duaratus lima puluh jurus ke atas, tidak dapat dipastikan !"
Hian Wan Liat mendengarkan ucapan Hong hoat Cinjin
dengan tenang, tidak menyombongkan dirinya. Katanya
sambil tersenyum : "Kalau Cinjin sudah berkata demikian, Hian Wan Liat
terpaksa cuma bisa mengiringi kehendakmu !"
Selesai pembicaraan, kedua orang itu sudah akan mulai
melakukan pertandingan. Pat-bo Yao-ong dalam hal ini bertindak sebagai pihak yang
menyerang. Ia melancarkan serangannya gencar dan hebat.
Sedangkan Hong hoat cinjin yang berada di pihak orang
yang diserang, tampak sedang mempertahankan dirinya
demikian rapi dan dengan gigih menyambut setiap serangan
yang dilancarkan oleh Pat-bo Yao-ong.
Kalau ditinjau dari kekuatan tenaga dua orang itu, Hong
hoat Cinjin seharusnya sudah mesti kalah dalam tujuh delapan
puluh jurus pertama. Akan tetapi karena ia mengandalkan
ilmunya Cie yang sin kang yang dapat menyalurkan kekuatan
tenaga murni tidak putus-putusnya, hingga kadang-kadang
dalam keadaan sangat berbahaya ia bisa berbalik menang
diatas angin. Dengan cara demikianlah ia tetap bertahan
sampai dua ratus enam puluh jurus lebih.
Sampai pada jurus kedua ratus tujuh puluh, Hoan hoat
Cinjin tampak sudah mulai letih. Dalam keadaan tidak berjagajaga dan agak lengah, jubah bagian bawahnya mendadak
terpapas sepotong oleh serangan tangan Pat-bo Yao-ong.
Pertandingan akhirnya dimenangkan juga oleh Pat-bo Yaoong. Tetapi jago dari luar perbatasan itu sudah
menghamburkan kekuatan tenaga murninya terlalu banyak,
yaitu lebih dari dua puluh persen dengan sendirinya merasan
sangat letih sekali. Dengan demikian, dalam sepuluh babak pertandingan,
enam babak telah berakhir seri yakni tiga-tiga. Tetapi karena
dua babak belakangan ini telah dimenangkan lagi dengan beruntun
oleh Pat-bo Yao-ong, maka stand berubah menjadi lima tiga
untuk kemenangan pihak Pat-bo Yao-ong.
Oleh sebab itu orang-orang dari golongan sesat mulai dari
pemimpinnya Khie Tay Cao ke bawah, rata-rata telah
menunjukkan kegirangan yang luar biasa dan Pek-kut Ie-su
sampai perlu turun ke lapangan sendiri untuk memberi tiga
cairan arak kepada Pat-bo Yao-ong sebagai tanda
penghargaan dan ucapan selamat.
Pat-bo Yao-ong yang berhasil menundukkan dua lawan
tangguh, seorang jago kenamaan dan seorang ketua partai Bu
tong sudah tentu juga merasa sangat bangga.
Pendekar Naga Mas 9 Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama