Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong Bagian 1
Pendahuluan Kisah ini adalah sebuah kisah yang benar terjadi: sejarah hidup sin-she LO BAN
TENG yang telah meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1958 dan
jenazahnya diperabukan di Muara Karang pada tanggal 1 Agustus 1958. Semasa
hidupnya, almarhum bukan saja terkenal sebagai seorang ahli obat-obatan (sinshe) di Jakarta, akan tetapi juga sebagai seorang ahli silat Tionghoa (kunthao)1 yang kenamaan. Di antara peminat kun-thao di Indonesia, nama almarhum
tidak asing lagi. Sejarah hidup almarhum sin-she Lo ini dituturkan secara sejujur-jujurnya dan
sebenar-benarnya. Tidak saja sifat-sifatnya yang baik, tetapi juga kelemahankelemahannya sebagai manusia akan tampil ke muka.
Maka saya yakin, sejarah hidup itu bukan saja akan merupakan bacaan yang menarik
hati bagi para peminat kun-thao, juga bagi para peminat cerita-cerita silat yang
banyak jumlahnya antara pembaca majalah ini, hanya dapat juga dijadikan teladan;
sifat-sifat baik dari almarhum sin-she Lo dapat dijadikan contoh, sebaliknya
kelemahan-kelemahannya sedapatnya dijauhkan. Lebih jauh dengan membaca
sejarahnya ini, dapat pembaca membedakan apa yang mungkin dan apa yang tidak
mungkin tercapai dalam olahraga kun-thao - lebih tegas: mana yang benar-benar dapat terjadi dan
mana yang hanya terdiri atas khayal belaka, sebagaimana
Kun-thao = silat atau wu-shu.
yang banyak dikisahkan dalam cerita-cerita silat Tionghoa.
Di dalam menyusun tulisan ini, saya merasa sangat berterima kasih kepada
berbagai pihak yang mengenal almarhum dari dekat dan yang telah memberikan banyak bahan-bahan kepada
saya, seperti sin-she Lo Boen Lioe di Kongsi Besar, keponakan almarhum Lo Ban
Teng, dan tuan Thio The di Angke seorang sahabat akrab almarhum. Lebih jauh saya
sangat berterima kasih kepada ahli waris almarhum, yang tidak saja membantu saya
dengan bahan-bahan melainkan juga mengidzinkan saya mengumumkan
sejarah hidup ini. Semasa hidupnya, almarhum seorang yang selalu mengutamakan kejujuran. Bicaranya
selalu terus terang, sewaktu ketus - yang mana membayangkan ketulusan dan kejujurannya - tidak
perduli terhadap siapa, tidak perduli orang yang diajaknya bicara itu kaya
maupun miskin. *** Bab I Lo Ban Teng "Malaikat Berwajah Putih" dari Siauw Lim Ho Yang Pay
Disusun Oleh : Tjoa Khek Kiong
Lo Ka Liong pemilik toko arak "Kim Oen Hap", yang terletak di sebuah tepi jalan
di kampung Tang-Ua-Bee-Kee, kota Cio-bee, Propinsi Hok-kian, Tiongkok Tengah
menikmati suatu rasa bahagia yang tidak terhingga. Pada hari itu, tanggal 1
bulan keenam tahun 2437 menurut hitungan Imlek (Masehi 1886) istrinya telah
melahirkan seorang putera yang mungil dan bertubuh kuat-sehat. Memang sudah
semenjak beristeri Ka Liong menginginkan seorang anak laki-laki, tetapi sampai
sebegitu jauh dari istrinya hanya ia peroleh anak-anak perempuan saja, yaitu dua
orang. Maka ketika bayi yang baru terlahir pada hari itu ternyata seorang anak
laki-laki, dapatlah kiranya dibayangkan betapa rasa bahagianya, karena idamidamannya telah tercapai.
Ka Liong seorang yang jujur, ramah-tamah, tidak suka bersetori1 dan selalu
mengalah terhadap semua orang. Di Cio-bee ia seorang pendatang. Asalnya dari Eng-teng, sebuah kota
lain dalam propinsi Hok-kian, dan ia datang di Cio-bee bersama isteri dan kedua
anak perempuannya pada setahun yang lampau.
Kepada anak laki-laki yang baru lahir itu, Ka Liong dan istrinya mencurahkan
segenap kasih sayang mereka. Mereka menamakannya Ban Teng. Anak itu semenjak
dilahirkan, bertubuh kuat dan selalu sehat-sehat saja, sehingga ia tumbuh dengan
cepat sekali. Ketika sudah agak besaran, perawakannya kokoh-kekar sekali.
Masa kanak-kanak Ban Teng
Tetapi semasa kanak-kanak, Ban Teng telah memberi banyak kepusingan kepada kedua
orang tuanya. Semenjak kecil, ternyata ia seorang anak yang nakal. Pada waktu ia
mencapai umiir untuk bersekolah, ayahnya memasukkannya ke dalam sekolah rakyat,
tetapi Ban Teng lebih suka bermain-main daripada belajar. Lebih jauh ia sangat
nakal di sekolah, sehingga seringkah gurunya menjadi putus asa dan mengadukan
kenakalan-kenalannya kepada orang tuanya.
Setelah belajar 3 tahun dalam sekolah rakyat, mendadak Ban Teng membangkang. Ia
tidak mau sekolah lagi, meskipun dibujuk atau dipaksa. Dalam putus asa, ayahnya menyuruh
membantu pekerjaan di toko araknya dan pada waktu malam hari ia disuruh belajar
ilmu surat. Karena Ka Liong seorang pendatang yang berasal dari kota lain, penduduk Cio-bee
memandangnya sebagai seorang asing. Mereka merasa tidak senang terhadap orang 'asing' yang
datang berusaha di tempat kediaman mereka. Perasaan kurang senang itu seringkah
dinyatakan dengan berterang, yakni dengan jalan mengganggu Ka Liong dengan
maksud supaya ia tidak kerasan tinggal di Cio-bee. Tidak saja Ka Liong, melain
kan Ban Teng pun mengalami gangguan-gangguan itu. Anak anak di Cio-bee yang
seumur dengannya dan yang lebih besai daripadanya, tiada henti-hentinya
mengganggu, menghin.i bahkan tempo-tempo mengeroyoknya. Ka Liong tinggal tenang dan mengambil sikap
mengalah, tetapi Ban Teng yang beradat keras, merasa sangat penasaran.
*** Seringkah kalau Ban Teng ada di muka rumahnya dan anak-anak itu lewat di situ,
mereka mengejek- ejeknya dan menghinanya. Kalau ejekan dan hinaan-hinaan itu melampaui batas,
yang mana banyak kali terjadi, Ban Teng tidak dapat mengendalikan lagi napsu
amarahnya. Akibatnya, terjadilah perkelahian antara Ban Teng di satu pihak dan
anak-anak itu di lain pihak, antaranya banyak yang jauh lebih besar daripadanya.
Inilah memang diinginkan anak-anak itu, yang memang berhasrat mengeroyoknya.
Walaupun Ban Teng bertenaga besar dan pemberani, tak gentar menghadapi lawanlawan yang lebih banyak jumlahnya dan bertubuh lebih besar daripadanya, namun dengan seorang diri
tidak mungkin ia melayani mereka. Hampir selalu ia terpaksa lari pulang dengan
wajah babak belur dan pakaian koyak-koyak.
Namun ia tetap penasaran dan ingin menuntut balas. Tetapi bagaimana" Ia pegat
lawannya itu seorang demi seorang dan jika bertemu satu-satu ia menantangnya berkelahi. Dalam
perkelahian- perkelahian begitu, yakni seorang lawan seorang, ia selalu menang, meski
lawannya lebih besar daripadanya. Tetapi tiap kali habis memberi labrakan kepada seorang lawannya,
dua tiga hari yang berikutnya ia tidak berani keluar rumah, khawatir dikeroyok!
Gangguan pihak para tetangga Ka Liong semakin lama semakin menghebat. Pada suatu
hari mereka malah menyerbu ke toko arak itu dan menghancurkan guci-guci arak. Ka Liong hanya
dapat menghela napas dan menggelengkan kepalanya. Tetapi Ban Teng merasa amat
sakit hati. Mulailah ia memikir-mikir untuk mempelajari ilmu silat. Pada waktu
itu ia berumur kira-kira 14 atau 15 tahun.
Dua tahun lamanya ia belajar silat dengan giat sekali di bawah pimpinan seorang
guru silat di kampung itu. Berselang dua tahun, ia menganggap dirinya cukup
pandai dan ia mencoba-coba kebisaannya itu terhadap musuh-musuhnya yang lama.
Akibatnya mengecewakan: ia dikeroyok hebat sekali. Syukur,
berkat tubuhnya yang kuat-kokoh, latihan-latihan yang tidak mengenal letih dan
keberaniannya, ia tidak sampai terluka hebat.
Namun ia tidak menjadi gentar. Hasrat untuk menuntut balas tetap membakar
jiwanya, maka ia berusaha untuk mencari guru silat lain. Dalam pada itu, ayahnya menjadi cemas
melihat sepak-terjang dan tingkah lakunya. Ayahnya ini khawatir akan akibatakibatnya di kemudian hari, maka ia mengambil keputusan untuk menyingkirkan Ban
Teng ke tempat lain. Demikianlah Ban Teng, yang pada waktu itu berumur kira-kira
17 tahun, dikirim ayahnya ke Indonesia untuk tinggal di rumah saudara misannya
(cin-thong), Lo Ban Keng, di kampung Selan, Semarang. Akan tetapi Ban Teng tidak
kerasan tinggal di rumah saudara misan itu, karena itu diperlakukan sebagai
seorang yang tidak punya guna, yang hanya
memberatkan beban hidup tuan rumah saja. Maka kembalilah ia ke Tiongkok, sesudah
berdiam 7 bulan di Semarang.
Pembuat bongpay yang luar biasa
Gangguan yang diderita keluarga Lo dari pihak sementara penduduk-penduduk Ciobee semakin menjadi-jadi. Ban Teng bahkan sampai takut keluar rumah, karena khawatir dihina,
diejek dan dipancing supaya berkelahi, lalu dikeroyok. Tekad untuk belajar silat
pada seorang guru yang pandai semakin bulat dan dendam kepada para pengacau
kehidupan keluarganya semakin membakar jiwanya. Untuk
menentramkan jiwa Ban Teng dan membuat ia melupakan hasratnya itu, ayahnya
mengawinkannya dengan seorang gadis dari Eng-teng, Lie
Hong Lan. Pada waktu itu Ban Teng berumur kira-kira 19 tahun. Dari perkawinan
ini ia memperoleh seorang puteri yang dinamakannya Lo Lee Hoa. Namun hasrat
untuk memahirkan diri dalam ilmu silat tidak pernah lepas daripada pikirannya.
Tiap pagi ia berlatih dengan rajin dan kalau bercakap-cakap dengan langgananlangganan yang datang berbelanja di toko ayahnya, yang dibicarakannya tak lain
dan tak bukan soal ilmu silat semata-mata.
Ketika Ban Teng berumur 23 tahun, ibu dan ayahnya berturut-turut - dalam jangka
waktu tidak terlampau lama - meninggal dunia. Untuk sementara nampak Ban Teng menuntut
penghidupan tenteram dalam bakti terhadap kedua orang tua dan keturunannya. Ia
bahkan "memungut" seorang anak laki-laki untuk menyambung turunan Lo dan
dinamakannya Siauw Eng. Namun dalam sanubarinya masih tetap
melekat tekad untuk mempelajari silat.
Pada suatu hari, dalam sebuah percakapan dengan salah seorang langganan tokonya,
langganan itu menasehati Ban Teng untuk berlatih meloncat tinggi. Langganan itu
menceritakan tentang, seorang ahli silat yang sekali mengenjot tubuhnya dapat
meloncat naik ke atas genteng rumah. Bagaimana caranya memahirkan kepandaian
itu" bertanya Ban Teng. Mudah saja, jawab langganannya. Memakai bakiak-bakiak
dari pada batu. Mula-mula yang ringan timbangannya, semakin lama semakin berat,
lalu berlatih meloncat dengan bakiak-bakiak itu. Kalau sudah mahir, bakiakbakiak dapat dilepaskan dan sekaligus orang dapat meloncat ke atas genteng.
Ban Teng menjadi sangat ketarik hati. Tergesa-gesa ia mengunjungi seorang
pembuat bong-pay (batu kuburan) yang tinggal di dekat rumahnya. Kepada pembuat
bong-pay itu, seorang laki-laki yang sudah agak lanjut usianya dan bertubuh
kurus kering, dipesannya sepasang bakiak batu yang beratnya kira-kira 5 kg.
Orang tua itu nampak terperanjat. Di pandangnya Ban Teng dari atas sampai ke
bawah. Lalu ia bertanya: "Untuk apakah kau memesan bakiak batu itu?"
Ban Teng yang agak pemarah dan tidak suka orang menyampuri urusannya, menjawab
dengan ketus: "Ah, kau tahu apa"! Bakiak-bakiak itu kubutuhkan untuk belajar meloncat tinggi!"
Mendengar jawaban itu, si tua sekunyung-kunyung tertawa terbahak-bahak. Ban Teng
menjadi marah. Baru saja ia hendak membuka mulut untuk menegurnya, pembuat bong-pay itu
berkata: "Sungguh tolol! . .
. .Lihatlah orang-orang itu yang sedang memikul kotoran" (ia mengunjuk beberapa
orang laki-laki yang tengah memikul tong-tong berat sekali yang kebetulan lewat
di situ). "Berat kotoran yang dipikulnya itu jauh melebihi berat bakiak-bakiak
batu yang kau pesan. Adakah kau kira bahwa, jika melepaskan pikulan itu, mereka
sekaligus dapat terbang ke udara" .... Gong-gu (kerbau dungu)!"
Ban Teng menjadi marah sekali. Dengan tiada banyak cing-cong ditantangnya orang
tua itu untuk berkelahi. Si tua terus tertawa terkekeh-kekeh. Lalu dikatakannya kepada Ban
Teng: "Mari turut denganku. Akan kuperlihatkan sesuatu kepadamu."
Didahului orang tua itu, Ban Teng mengikutinya masuk ke dalam kamar tidurnya. Ia
tidak melihat seorang lain dalam rumah itu, sehingga ia mengetahui bahwa si tua
itu tinggal seorang diri. Dari bawah tempat tidur pembuat bong-pay itu menyeret
keluar sebuah batu besar yang bentuknya seperti selot1
Tionghoa (cio-so) dan beratnya kira-kira 25 kg. Ban Teng mengira, si tua hendak
menguji kekuatannya, maka dengan suatu senyuman, jumawa diangkatnya cio-so itu
dengan sebelah tangan beberapa kali. Ia merasa telah memamerkan tenaganya yang
luar biasa di hadapan si tua dan ia mengira akan mendapat pujian. Akan tetapi
sebaliknya, si pembuat bong-pay tetap mengejek. "Apa itu?" bertanya si tua.
"Latihan begitu tidak ada gunanya sama sekali. Apa yang telah kau perlihatkan
itu, tidak lebih baik kurang hanya tenaga mati belaka."
Belum sempat Ban Teng menyahut, si tua mengangkat cio-so itu dengan sebelah
tangan, lalu dilontarkannya ke atas. Cio-so berputar di angkasa dan melayang turun, lalu
disanggap pembuat bongpay itu dengan sebelah tangan pula. Jari-jari tangannya
tepat menyekal pegangan cio-so yang melintang di tengah-tengah. Tangannya
sedikitpun tidak tergetar.
Mata Ban Teng terbuka lebar-lebar. Ia tidak menyangka si tua yang bertubuh kurus
kering itu, yang bermula dipandangnya ringan sekali, bertenaga begitu besar.
Serentak ia insaf, bahwa ia tengah berhadapan dengan seorang yang berilmu silat
tinggi. Tergesa-gesa ia menghaturkan maaf dan serta merta minta supaya si tua
suka menerimanya sebagai murid. Tetapi pembuat bong-pay itu menolak
dengan getas. Salah seorang murid terbaik dari Ho Yang Pay
Sampai pulang di rumah, tiada habis-habisnya Ban Teng memikirkan hal pembuat
bong-pay yang tua itu. Kepada semua kenalannya ia bertanya, siapakah gerangan
dia itu" Salah seorang kenalannya
menceritakan kepadanya, bahwa empek si pembuat bong-pay bernama Yoe Tjoen Gan,
seorang antara lima murid terbaik dari ahli silat Tjoa Giok Beng dari Coan-ciu, pemimpin cabang
silat Siauw Lim Ho Yang Pay.
Semakin bulat tekad Ban Teng untuk belajar silat pada si empek itu. Belum-belum
sudah dibayang-bayangkannya, bagaimana kelak ia dapat membalas dendam kepada
pengacau-pengacau kehidupannya
jika ia sudah mahir mempelajari silat di bawah pimpinan empek Yoe. Besoknya ia
mengunjungi lagi empek itu. Sekali lagi ia minta diterima sebagai murid. Tetapi
si empek tetap menolak. Ban Teng tidak putus asa. Berkali-kali ia mendatangi si empek dan berkali-kali
ia mengulangi permintaannya. Hasilnya selalu nihil: empek Yoe tetap menolak. Begitu dengan
begitu, setahun telah lalu.
Perusahaan batu nisan empek Yoe semakin lama semakin mundur, sehingga akhirnya
terpaksa gulung tikar. Lain daripada itu, uang sewa rumahpun tidak dapat
dibayarnya, sehingga yang punya rumah menyuruhnya pindah saja.
Melihat kesukaran-kesukaran empek Yoe, Ban Teng mengajaknya tinggal bersama di
rumahnya. Tetapi orang tua itu nyata berwatak aneh dan keras kepala pula. Ia menolak
tawaran pemuda itu terus-menerus. Ban Teng tidak menjadi putus harapan dan
mendesak terus. Akhirnya melihat kesungguhan hati Ban Teng, empek Yoe tergerak
hati. "Baiklah," katanya, "akan kuturut tinggal bersama kau. Dan untuk membalas
kebaikanmu itu, nanti kuajarkan kau beberapa macam ilmu pukulan."
Bukan main girangnya Ban Teng. Serta merta ia menjatuhkan diri, berlutut di
hadapan orang tua itu dan memberi hormat (pay-kui). Mulai hari itu si empek
tinggal di rumah Ban Teng. Pemuda kita ini menyediakan sebuah kamar yang paling
baik untuknya, menyediakan pula seorang pelayan khusus untuk mengurus
keperluannya dan memperlakukannya seolah-olah ayah sendiri. Mulai waktu itu
setiap hari ia berlatih silat atau melewati waktu dengan mengobrol dengan
gurunya tentang ilmu silat. Toko araknya tidak diperhatikannya lagi: segala
urusan perusahaan dipercayakannya kepada salah seorang
pegawainya yang dipercayanya. Bahkan anak istrinya pun sampai-sampai
diabaikannya, sehingga istrinya bermula heran, kemudian menjadi mendongkol dan
marah. Nyonya Lo tidak habis mengerti sikap
suaminya yang lebih mementingkan silat daripada perusahaannya dan begitu
menghargai si empek yang kurus kering itu. Bagaimana mungkin - begitu pikir nyonya
Lo - seorang yang kurus kering itu dan
selemah itu nampaknya, dapat mengajar ilmu silat" "Kalau kudorong, tentu ia
jatuh terpelanting," kata hati kecilnya.
Nasihat-nasihat isterinya tidak dihiraukan Ban Teng. Sebaliknya, ia menjadi
gusar sehingga seringkah suami-isteri itu menjadi bercidera oleh karenanya.
Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kegemaran Ban Teng akan ilmu silat semakin menjadi-jadi. Untuk mengambil hati
gurunya, ia mengumpulkan teman-teman dan kenalan-kenalan untuk belajar silat
pada guru itu. Pelajaran diberikan di dalam suatu rumah khusus untuk itu, sebuah
'bu-kwan'. Uang pelajaran yang dapat dikumpul sama sekali berjumlah 12 kouw
sebulan. Pada jumlah ini ia tambahkan uangnya sendiri, sehingga dapat ia berikan
gurunya dua dollar seharinya. Yang memberikan pelajaran silat itu boleh
dikatakan Ban Teng sendiri. Gurunya hanya duduk mengawasi saja.
"Dengan kerbau tidak mungkin merundingkan sajak"
Pada suatu hari Ban Teng datang terlambat di tempat latihan. Murid-murid lain
sudah berkumpul dan empek Yoe menyuruh mereka mulai berlatih. Beberapa orang
murid yang bertubuh besar-besar, yang selalu menerima pelajaran dari Ban Teng
dan belum pernah melihat guru mereka sendiri turun tangan, sudah lama meraguragukan kepandaian guru itu. Benarkan empek itu pandai ilmu silat, seperti
dikatakan Ban Teng" Bertanya hati kecil mereka. Untuk mendapat kepastian, mereka
bermufakatan untuk mengajak empek Yoe coba-coba mengadu tangan, yakni berlatih
saling membenturkan lengan.
"Tunggu saja sampai Ban Teng datang," jawab empek Yoe. Jawaban ini semakin
meragu-ragukan murid itu. Mereka mendesak. Si guru segera merasa bahwa mereka
hendak mengujinya. Bangunlah ia dari tempat duduknya. Lalu ia memilih empat
orang murid yang bertubuh paling besar dan paling kuat nampaknya. Mereka
disuruhnya berdiri berbaris, sedangkan yang lain-lain mengawasi dengan penuh
perhatian. "Marilah kita mulai," kata empek Yoe. Mereka mulai mengadu tangan.
Tidak seorang pun antara murid-murid itu sanggup berbenturan lengan sampai dua
kali dengan si guru. Serasa, seolah-olah lengan mereka dihantam dengan sebatang
balok yang luar biasa keras lagi tajam! Mereka terheran-heran, bagaimana empek
Yoe dapat mengerahkan tenaga sebesar itu. Mulai detik itu semua murid tunduk
benar-benar kepada guru mereka dan nama Yoe Tjoen Gan mulai banyak disebut
orang. Salah seorang pegawai toko arak Ban Teng paham akan ilmu silat. Pegawai ini
tinggi besar dan bertubuh kokoh kekar. Pada suatu hari Ban Teng mencoba kepandaiannya dengan
pegawai itu. Akibatnya di luar dugaannya. Dengan sekali gedor si pegawai berhasil membikin
Ban Teng jatuh telentang di atas sebuah tong arak. Ban Teng merasa kecewa sekali. Kata si
pegawai: "Untuk apa tuan mengangkat seorang yang tubuhnya seperti lidi menjadi
guru silat tuan" Ia begitu kurus kering, sehingga kalau saya ketok sekali saja
dengan sumpit, tentunya dia mati!"
Ban Teng sangat mendongkol, akan tetapi tidak dapat mengatakan apa-apa. Ketika
masuk ke dalam kamar gurunya, ia melihat empek Yoe ada di situ. Karena pembicaraannya dengan
pegawai tadi terjadi di ruangan sebelah kamar itu, tentunya empek Yoe dapat
mendengarnya dengan tegas. Bertanya Ban Teng, apakah si guru dapat dengar apa
yang dikatakan pegawainya" Ketika gurunya mengatakan, bahwa ia telah mendengar
semuanya, Ban Teng bertanya, mengapakah guru itu tinggal diam saja dan tidak
menjadi marah" Jawab Yoe Tjoen Gan dengan singkat: "Ka gu gim si (Dengan seekor
kerbau tidak mungkin orang berunding tentang sajak). Kini, sebaiknya kau belajar
saja dengan giat." Sehabis berkata-kata si guru berlalu dari kamar itu.
Juga isterinya mengejek Ban Teng ketika mendengar peristiwa itu. "Untuk apa kau
belajar silat pada orang begitu?" bertanya nyonya Lo. "Bisanya cuma makan dan
tidur saja. Percuma membuang uang, tempo dan tenaga dengan tidak ada hasilnya.
Terus-menerus kau dipermainkan saja!" Kata-kata istrinya menimbulkan amarah Ban
Teng. Mereka jadi bercidera hebat sekali.
Empek Yoe mendapat dengar tentang kejadian ini. Kepada Ban Teng dikatakannya
dengan ketus: "Kee bo ee ti to cam tao (kalau ayam betina dapat berkokok, sebaiknya ditabas
saja batang lehernya!)"
Sudah barang tentu, istrinya tidak dapat menerima kata-kata itu. Antara Ban Teng
dan istrinya lalu terbit percekcokan hebat sekali, sampai-sampai mereka mau
bercerai. Tapi syukur, sebelum terjadi demikian, seorang paman dan bibi keenam
Ban Teng (lak-cek dan lak-cim), datang sama tengah dan mendamaikan suami istri
itu. Mereka berpendapat, istri Ban Teng bersalah karena terlampau mau
mencampuri urusan suaminya dan menyuruh nyonya itu menhaturkan maaf kepada empek
Yoe. Demikianlah urusan dapat diselesaikan secara damai.
Bab II Yoe ditegur Su-hengnya Pada suatu waktu, untuk urusan perusahaan Ban Teng menuju Amoy (baca E-mui).
Sebelum bertolak, gurunya mengatakan bahwa di Amoy ada seorang saudara
seperguruannya (suheng) yang bernama Goei Un Lam dan bergelar Hoan Thian Pa
(Macan tutul yang membalikkan langit). Setibanya di Amoy, Ban Teng menyambangi
Su-siok (paman guru) itu dan memperkenalkan diri sebagai murid Yoe. Goei minta
ia memperlihatkan apa yang sampai sebegitu jauh dapat dimahirkannya di bawah
pimpinan guru itu. Setelah menyaksikan permainan Ban Teng, Goei tidak berkata
apa-apa, melainkan menggelengkan kepala.
Kemudian baru dikatakannya: "Apabila nanti sudah kembali di Cio-bee, katakan
kepada gurumu, bahwa aku minta ia datang di sini. Ada sesuatu yang ingin aku
bicarakan dengannya."
Kembali di tempat tinggalnya, Ban Teng menyampaikan pesan itu. Serta-merta wajah
Yoe berubah, seolah-olah suatu firasat tidak enak timbul padanya. Namun ia memenuhi
permintaan Goei dan menuju ke Amoy.
Ketika kedua saudara seperguruan itu berhadapan muka dengan muka, Goei yang
bertabeat jujur dan selalu berterus terang berkata kepada Yoe: "Sungguh engkau
seorang yang susah diurus. Berulang kali kau berdagang, berulang kali kami
membantu engkau dengan modal, tetapi berulangkah pula kau gagal.
Perusahaanmu yang paling belakang, yakni perusahaan batu nisan, sampai-sampai
sirna tampaknya, sehingga terpaksa kau tinggal di rumah muridmu Ban Teng yang
begitu setia kepadamu dan menjunjung kau sebagai ayah sendiri. Kini kau
mendapatkan seorang murid yang begitu baik, tapi kau
mempermainkannya. Tiada kau mengajarnya dengan sungguh-sungguh. Memang
benar, tidak sembarang dapat kita menerima murid, akan tetapi jika mendapatkan murid yang
benar-benar baik, seharusnyalah kita menurunkan kepandaian kita dengan setulus
hati. Tetapi caramu mengajar Ban Teng sangat memalukan. Adakah kau hendak
bermaksud merusak nama baik Ho Yang Pay" Kalau terus begini sepakterjangmu,
kelak kalau kau mati, jenazahmu tiada yang urus!"
Teguran pedas ini serentak membuka mata Yoe. Ia sadar akan kekeliruannya. Memang
benar, sampai begitu jauh ia mengajar Ban Teng dengan setengah hati. Teguran
saudara sepeguruannya itu kini
menyebabkan ia merasa menyesal akan perbuatannya sendiri. Ketika kembali ke Ciobee, pada suatu malam tanggal 15 bulan Tionghoa ia memanggil Ban Teng. Untuk
pertama kalinya itu ia memecahkan segala rahasia teknik kun-thao cabang Ho Yang
Pay sampai habis-habis. Bagaimana cara memberi
pukulan, cara bagaimana menggerakkan/ mengibaskan tubuh supaya tenaga sebesarbesarnya dapat disalurkan pada pukulan yang tengah diberikan kepada lawan, seperti seekor ayam
mengibaskan tubuh untuk membersihkan bulu-bulunya daripada debu, bagaimana harus
menampung pihak lawan, bagaimana harus menggerakkan tangan dan kaki dengan serentak dalam gerakan
"mengacip", dll. Ban Teng merasa seolah-olah seorang buta yang baru melek.
Mengertilah dia betapa tinggi mutu intisari ilmu silat yang dipelajarinya. Maka
mulai waktu itu ia berlatih semakin giat dan rajin.
Tiga bulan kemudian gurunya berkata kepadanya: "Sekarang boleh kau coba mainmain lagi dengan pegawaimu yang sombong itu. Kalau kali ini ia dapat menjatuhkan
kau, jangan kau akui aku sebagai gurumu lagi."
Apa yang dikatakan Yoe itu terbukti. Dalam percobaan dengan pegawai itu, dengan
dua kali gerakan Ban Teng berhasil membuat pegawainya itu terpental jatuh ke
atas sebuah tong berisikan kotoran manusia di sudut kamar. Coba tong itu tiada
tutupnya, pasti si pegawai tercemplung di dalamnya! Si pegawai terheran-heran
sehingga tidak dapat berkata apa-apa.
Ban Teng mendapat hati. Serentak kepercayaan kepada diri sendiri pulih. Ia
menantang musuh- musuhnya yang lama untuk berkelahi. "Seorang lawan seorang, boleh," katanya.
"Tetapi kalau kau mau main keroyok, juga boleh!" Sudah tentu lawannya lebih suka
main keroyok. Tetapi kali ini mereka kecele.
Tiada seorang lawan dapat datang dekat pada Ban Teng. Barangsiapa yang maju
menyerang, tanpa mengetahui apa yang terjadi dengan diri mereka, tiba-tiba mendapatkan dirinya
sendiri bergelimpang di tanah. Begitu cepat gerak-gerik dan "kacipan-kacipan"
Ban Teng, sehingga musuh-musuhnya tidak dapat melihatnya.
Murid yang berbakti Mulai hari itu pamor Ban Teng naik. Cio-bee menjadi gempar dan lawan-lawannya
tiada yang berani menggaiin'.n nya lagi. Ban Teng berlatih semakin giat dan
sungguh-sunj,,!',i 111 Tetapi sayang, sebelum pelajarannya sempurna benar dafl
ketika ia berumur 27 tahun, gurunya meninggal dunia. Sol)* lum menghembuskan
napas yang penghabisan, Yoe berkul | kepada muridnya itu: "Pelajaranmu sudah
cukup baik. Rasai iya sukar kau mendapat tandingan. Tetapi masih banyak yiing
belum dapat kau pelajari." Ia mengambil sebuah ban pinggang dari kulit dan dua
jilid buku dan menerimakannya kepada Ban Teng.
"Aku tidak dapat meninggalkan apa-apa bagimu. Hanya ban pinggang ini, yang
selalu menyertai aku dalam perantauanku. Lebih jauh sejilid buku ini yang
berisikan resep-resep obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, dan sejilid
buku ini yang memuat catatan-catatan tentang ilmu silat Ho Yang Pay.
Belajarlah dengan rajin dan giat dengan berpedoman kepada buku catatanku itu."
Setelah berkata-kata, Yoe menghembuskan napas penghabisan di atas pangkuan Ban
Teng. Tak dapat dilukiskan betapa sedih dan hancur luluh hati si murid, yang menangis
tersedu-sedu sekali. Jenazah gurunya diurus sebagaimana mestinya dan dikebumikan dengan upacara yang
layak. Bahkan ia sendiri berlaku sebagai "hauw-lam", berkabung sebagai putera
almarhum. Begitu besar dirasakannya budi yang dilimpahkan gurunya kepadanya,
sehingga di hadapan arwah guru itu ia berjanji bahwa kalau kelak ia memperoleh
seorang anak laki-laki, anak itu akan diakui sebagai anak gurunya dan diberi she
(nama keturunan) Yoe. Seluruh Cio-bee gempar membicarakan peristiwa ini, lebih-lebih kebaktian Ban
Teng kepada gurunya dan perbuatannya itu, yang mengunjukkan bahwa ia seorang
yang jujur-tulus serta menjunjung tinggi budi kebaikan yang pernah dilimpahkan
atas dirinya. (Ban pinggang peninggalan gurunya itu sampai sekarang masih
disimpan para ahliwaris Ban Teng).
Pada waktu itu toko araknya sudah tidak ada, karena tidak terurus benar. Tetapi
Ban Teng tidak menghiraukannya. Yang dipentingkannya ialah ilmusilat. Saudarasaudara seperguruan Yoe, yakni Goei In Lam yang sudah disebutkan di atas, lebih
jauh Liem Kioe Djie dan Ong Tjian Pwee merasa terharu mendengar bakti Ban Teng
terhadap gurunya. Mereka sering mengunjungi Ban Teng di Cio-bee,
sebaliknya Ban Teng pun sering menyambangi mereka - kesempatan mana dipergunakan
paman-paman guru itu untuk memberi pimpinan lebih jauh pada pemuda itu dalam ilmu silat.
Dengan demikian, Ban Teng tidak saja dapat memahirkan apa yang telah diajarkan
mendiang gurunya, tetapi juga keahlian-keahlian khusus daripada ketiga paman
guru itu, yang memang masing-masing mempunyai keahlian
sendiri-sendiri dan menurunkannya kepada Ban Teng. Misalnya Liem Kioe Djie
paling ahli antara mereka dalam gerakan tangan, mengirim pukulan-pukulan keras
dan cepat disertai kibasan (menggebarkan) tubuh yang dapat menyalurkan sebanyak
tenaga ke arah lengan dan tinju. Iapun ahli obat-obatan untuk menyembuhkan lukaluka di dalam tubuh karena terpukul hebat ('siang'), menyambung tulang patah
atau sambungan-sambungan anggota-anggota tubuh yang telah lepas. Ong Tjian Pwee,
yang juga dinamakan Ong Tiauw Gan, paling ahli dalam gerakan kaki. Tulang
keringnya paling keras dan tendangannya paling hebat. Ia terpandai dalam gerak
silat "Ceng Hong Kui Tie" (Angin sejuk menyapu tanah), pula paham benar
ilmu bong-meh (memeriksa penyakit orang dengan merasakan denyutan nadi), dapat menyembuhkan berbagai penyakit luar dan dalam, penyakit anak-anak, penyakit
orang perempuan dan orang tua. Goei In Lam terpandai dalam gerakan "mengacip"
atau "menggunting" dengan gerakan kaki dan tangan serentak. "Timing"-nya paling
tepat. Di antara saudara-saudara seperguruannya dialah paling paham "lay-kang",
ilmu mengerahkan napas dan tenaga dalam. Keahlian-keahlian khusus itu semua
dimahirkan Ban Teng di bawah pimpinan paman-paman gurunya.
Putera Liem Kioe Djie, yang bernama Liem Thian In, seorang pemuda bertubuh
tinggi besar, bertenaga besar pula dan suaranya seperti guntur yang juga pandai ilmu silat,
belum pernah dapat menjatuhkan Ban Teng jika mereka berlatih bersama. Juga Ban
Teng belum pernah dapat mengalahkannya. Thian In pada suatu waktu rupanya mendongkol juga dan berkata kepada ayahnya
supaya jangan mengajar Ban Teng habis-habis, karena ia pemarah, suka cari setori dan mungkin kelak menyusahkan
mereka. Jawab ayahnya: "Kalau kepan daianku tidak kuwariskan kepada Ban Teng,
tiada orang lain lagi " Ahli tendangan geledek kena tendang
Ketika berumur 29 tahun, atas izin paman-paman gurunya, Ban Teng membuka sebuah
rumah obat dan menjadi sin-she, karena toko araknya sudah tidak ada lagi dan uangpun habis
dikeluarkan untuk belajar silat dan ilmu obat-obatan. Sebagai sin-she, nama Ban
Teng segera terkenal di seluruh Cio-bee, karena banyak orang yang telah dapat
disembuhkannya dari penyakitnya.
Pada suatu hari orang menyampaikan berita kepadanya bahwa di Cio-bee seorang
guru silat bernama Heng Goan Say dari Eng-teng, yang mempunyai banyak murid dan
memberi pelajaran dalam kira-kira 6-7
bukwan, sering temberang di hadapan umum dan membusuk-busukkan nama Ho Yang Pay.
Heng Goan Say disohorkan orang untuk tendangannya yang lihay dan menggeledek. Katanya ia
telah bertemberang, bahwa sekali mengenjot tubuh ia dapat berloncat sampai ke
atas genteng. Dengan sekali tendang ia dapat membikin orang muntah darah,
katanya. Barangsiapa tidak percaya, ia memper-silahkan mencoba-cobanya. Begitu
berita yang disampaikan orang kepada Ban Teng.
Ban Teng yang agak pemarah, merasa gusar sekali ketika mendengar nama Ho Yang
Pay dibusuk- busukkan. Dengan membekal uang 12 kouw dan sehelai thiap (karcis nama) ia
mencari Goan Say dan menjumpainya dalam salah sebuah bukwannya. Setelah
berhadapan dengan guru silat itu dinyatakannya niatnya untuk belajar pada guru
itu, tetapi sebelumnya mau ia mencoba-coba dahulu kepandaian Goan Say. Terus terang dikatakannya bahwa
ia murid Ho Yang Pay. Goan Say yang pernah mendengar nama Ban Teng, terkejut
juga melihat tubuh pemuda yang
pendek dan kokoh-kekar itu. Namun dianggapnya sepi saja. "Sebelum kau menguji
kepandaian denganku, baiklah kau mencoba anakku," katanya.
Putera Heng Goan Say yang juga hadir, dengan tidak berkata apa-apa sekunyungkunyung menyerbu Ban Teng dengan jotosan ke arah dada. Bokongan ini tidak membingungkan murid Ho
Yang Pay itu. Cepat ia menyambutnya dengan tipu "Kee Boo Ceng Sit" (Ayam betina mementang
sayap): miringkan tubuh untuk mengasih lewat jotosan itu, serentak menjepit
tangan lawan dengan lengan kanannya dan sambil mengibaskan tubuh, menggedor siku
lawan dengan tangan kirinya. Diiringi suara "prrrtak", putera Goan Say terpental
dan meringis memegang sikunya. Patah!
Goan Say meloncat bangun dan sambil menggerung menyerbu, dengan tendangan
geledeknya, Ban Teng, yang sudah dengar orang banyak menggembar-gemborkan tendangan itu, tidak
berani membenturkannya, hanya mengegosi tubuh. Sembilan kali Goan Say menendang dengan
tendangan-
Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tendangannya susul-menyusul, yang satu lebih lihay daripada yang lain - sembilan
kali luput. Ban Teng mendapat kenyataan, tendangan itu tidak selihay yang
disohorkan orang. Tetapi baru ia niat
membenturnya, Goan Say mengubah silatnya dan secepat kilat mengirim jotosan ke
arah Ban Teng. Dengan tidak kalah cepatnya Ban Teng menangkap lengan lawan dengan tipusilat "In
Tien Shou" - menangkap lengan itu dengan kedua tangan, menariknya, lalu mengirim tendangan ke
bawah ketiak. Tepat sekali, tendangan Ban Teng itu, sehingga Goan Say jatuh tersungkur sambil
menjerit dan mengeluarkan busa dari mulutnya!
Tidak saja murid-murid Goan Say, tetapi Ban Teng sendiri terkejut bukan main. Ia
tidak menyangka, tendangannya sehebat itu dan ia merasa menyesal akan akibatakibatnya. Tergesa-gesa ia mengobati Goan Say. Ketika bermohon diri, ia meminta
kembali karcis namanya dan meninggalkan uang yang 12
kouw itu. Dikatakannya kepada Goan Say "Bagaimanapun juga, tetap aku menjadi
muridmu. Kalau nanti ada lagi yang hendak mencoba-coba kepandaianmu, katakanlah
ia harus melawan aku dahulu."
Heng Goan Say tidak berkata apa-apa. Hatinya tetap panas. Belakangan ia menutup
semua bukwannya dan kembali ke kampung halamannya. Peristiwa ini menggemparkan Cio-bee
dan menjadi buah tutur di warung-warung. Belakangan dua orang murid Goan Say mendatangi Ban
Teng di Cio-bee untuk membalas. Pada waktu itu Ban Teng tengah melatih muridmuridnya - antaranya keponakannya, Lo Boen Lioe, yang pernah turut berlatih
bersama ketika Ban Teng masih belajar pada Yoe Tjoen Gan.
Seorang murid Ban Teng minta perkenan melayani murid-murid Goan Say itu.
Akhirnya, dalam dua kali gebrakan, kedua murid Goan Say dapat dijatuhkan murid
Ban Teng, sehingga mereka berlalu dengan kemalu-maluan.
Penjual koyok yang temberang
Betapa berangasan pemuda Ban Teng, ternyata daripada peristiwa di bawah ini.
Pada suatu hari kepadanya disampaikan kabar, bahwa seorang penjual koyok yang datang di Cio-bee
dan menjual koyoknya sambil mempertontonkan silat, temberang di hadapan umum bahwa ia pernah
menjatuhkan Goei In Lam. Serta merta Ban Teng menjadi marah dan mendatangi penjual koyok itu
yang tengah mengadakan pertunjukan di sebuah lapangan. Si penjual koyok menjadi gentar
ketika mengetahui ia tengah berhadapan dengan Ban Teng. Atas pertanyaan si
pemuda, ia menyangkal pernah menyiarkan
cerita bahwa ia telah jatuhkan Goei In Lam. Tetapi Ban Teng yang sudah marah
benar berkata: "Mengaku atau tidak, di luaran orang sudah gempar
menceritakannya. Sekarang kau harus bertanding melawanku.
Kalau aku belum membuat kau jatuh bangun tiga kali, belum puas hatiku."
Dipaksa berkelahi di hadapan orang banyak, penjual koyok, apa boleh buat,
melayaninya. Maka mulailah ia menyerang, tetapi begitu cepat serangannya, begitu cepat pula ia
jatuh telentang, sambil berteriak "Hai ya!" Ban Teng menyambutnya dengan "Kaota"
yaitu kaki depannya menyambar tumit kaki depan lawan, tangan kiri cepat sekali
menyingkirkan tinju musuh, serentak menyerbu masuk dengan tangan kanan
menghantam leher musuh dari samping. Serangan kedua disambut Ban Teng dengan
"Siang-pee" kaki kiri "mengacip" tumit lawan, kedua tinju lawan disingkirkan
dari samping, kemudian dengan sisi kedua lengan dan tangan menggedor leher atau
dada lawan dari samping lain. Kembali si penjual koyok terpaksa mencium tanah.
Ketika ia bangun kembali, para penonton datang sama tengah dan mengakhiri
perkelahian itu. Ban Teng masih begitu marah, sehingga ia ambil semua perkakas
silat si penjual koyok dan membawanya pulang. Si penjual koyok hanya dapat
mengawasi dengan terbengong.
Belakangan perkakas-perkakas itu dibawa Ban Teng ke Amoy dan dipeserahkan kepada
Goei In Lam sambil menceritakan duduknya perkara. Goei hanya tertawa sambil menganggukangguk. Tiga atau empat hari kemudian, penjual koyok itu datang pada Goei dan mengadu bahwa
seorang murid Goei yang bernama Lo Ban Teng telah membikin ia malu di hadapan
orang banyak. Serentak ia minta supaya Goei suka mengembalikan perkakasperkakasnya. Goei berpura-pura tidak tahu. "Benarkah itu?" bertanya Goei.
"Mungkinkah kau, yang namanya begitu kesohor, dijatuhkan Ban Teng" Ban Teng
tidak bisa apa-apa. Ia masih hijau dan bodoh," kata Goei lagi sambil mengejek.
Penjual koyok itu menjadi menangis karena malu dan minta diampuni untuk
kesalahannya yang telah menjelek-jelekkan nama Goei. Barulah Goei mengembalikan
perkakas-perkakasnya dengan pesan supaya selanjutnya jangan ia sem-barangan
bicara seenaknya saja. Mulai waktu itu, tiada penjual koyok yang berani datang
di Cio-bee tanpa minta idzin dulu kepada Ban Teng.
Pertandingan silat yang dibatalkan
Salah satu sifat Ban Teng yang menyebabkan ia sangat dihargai dan dipandang
tinggi di antara kawan-kawan dan saudara-saudara seperguruannya ialah sifatnya yang orang
Tionghoa namakan 'tam-su-ya':
selalu bersedia membela kawan habis-habis. Pada suatu waktu seorang saudagar seperguruannya Lim Kiang, tinggal di kota Tang-bwee, telah berbentrokan dengan
salah seorang guru silat cabang Yao Tjong Pay. Guru silat itu telah dijatuhkan
Lim Kiang di tempat ramai, akan tetapi ia memutar balikkan duduknya perkara dan
gembar-gembor bahwa Lim Rianglah yang telah dijatuhkannya.
Lebih jauh ia menantang, bahwa kalau Lim Kiang masih belum puas, boleh 'pi-bu',
adu silat, lagi dengannya.
Ketika mendengar hal itu, Lim Kiang menerima tantangan tersebut. Pihak Yao Tjong
Pay lalu membangun sebuah panggung "luitay", panggung untuk mengadu silat dan menyiarkan
surat selebaran di seluruh kota. Pi-bu akan dilangsungkan di kuil Yo Tjiu Bio di
kota Tangbwee. Karena mendengar kabar bahwa pihak Yao Tjong Pay akan
mendatangkan semua anggotanya, bahkan ketuanya (ciang-bun-jin)
juga akan turut serta, Lim Kiang menulis surat kepada Ban Teng tentang hal ini.
Seterimanya surat itu, Ban Teng lantas menuju Tangbwee.
Pada hari yang telah ditetapkan, di halaman Yo Tjiu Bio telah berkerumun banyak
sekali orang yang hendak menyaksikan pi-bu itu. Pihak Yao Tjong Pay datang
dengan kira-kira tiga puluh orang dan beberapa antaranya malah membawa senjata
api. Melihat Lo Ban Teng didamping Lim Kiang, anggota-anggota Yao Tjong Pay yang
pernah mendengar nama Lo Ban Teng atau mengenalnya, berkasak-kusuk.
Namun karena jumlah mereka lebih besar, mereka tidak gentar, malah sebaliknya
bersikap congkak. Ban Teng maju ke muka dan bertanya, siapakah yang mendirikan luitay dan
bagaimana syarat- syaratnya" Dari pihak Yao Tjong Pay keluar ketuanya. Kepada Ban Teng
dikatakannya, bahwa kini suasana telah menjadi hangat, hal mana sangat disesalkannya, karena bentrokan
antara partai dengan partai. Paling baik, kata ketua itu, perselisihan ini
didamaikan saja. Ban Teng yang sudah menjadi mendongkol karena sikap anggotaanggota Yao Tjong Pay yang jumawa, menjawab dengan ketus dan
kasar: "Kalian telah terlanjur mendirikan luitay dan berkumpul dalam jumlah
begini besar - habis, mau apa lagi" Kalau kalian mau bertempur seorang lawan
seorang, boleh. Mau mengeroyok juga akan kulayani. Lo Ban Teng seorang masih
sanggup melayani semua anggota Yao Tjong Pay."
Pada waktu ketegangan tengah memuncak, dengan tiba-tiba datang sejumlah orang
polisi. Mereka bertanya, siapakah yang mendirikan luitay" Pihak Yao Tjong Pay mengakui
perbuatan mereka, tetapi waktu ditanyakan surat idzinnya mereka tidak dapat
memperlihatkannya. Pihak polisi menjadi marah, lebih-lebih ketika melihat ada
orang-orang yang membawa senjata api. "Kamu terang mau bikin rusuh di sini,"
kata pemimpin polisi itu kepada orang-orang Yao Tjong Pay. Serentak polisi
bertindak, membubarkan mereka dengan pecut, sehingga orang-orang Yao Tjong Pay
pada bubar dan pi-bu menjadi batal.
*** Bab III Si kaya yang bermain-main dengan granat
Semakin lama nama Lo Ban Teng semakin kesohor. Di seluruh Cio-bee, Eng-teng,
Amoy, Tangbwee dan Coan-ciu, namanya saja sudah cukup untuk menggentarkan orang.
Ia diberi gelaran "Pek bin Kim Kong"
atau "Malaikat berwajah putih" dari Ho Yang Pay. Tiada guru silat yang berani
mengajar di tempat-tempat tersebut tanpa memohon perkenannya. Tiada penjual
koyok, yang menjual barang-barangnya sambil
bersilat, berani datang ke tempat-tempat itu tanpa izinnya. Dalam kalangan Ho
Yang Pay sendiri ia disegani: keahliannya bersilat telah mencapai taraf
sedemikian sehingga ia dapat merendengi keahlian paman-paman gurunya yang
memimpinnya. Sebagai seorang muda, Ban Teng tidak bebas daripada cacat-cacat dan kelemahankelemahan yang biasa nampak pada golongan pemuda: agak binal, suka berkeluyuran di waktu malam,
sering mengunjungi tempat-tempat plesiran. Bahkan ia bergaul juga dengan orang-orang
yang tergolong pada yang dinamakan "underworld". Kebiasaannya ini pada suatu
waktu menyebabkannya terlibat dalam sebuah peristiwa yang mengerikan tetapi juga
lucu - lebih tegas: berakhir lucu!
Salah seorang kenalannya telah terbentrok dengan seorang hartawan di kota Ciobee. Sebenarnya kesalahan ada di pihak kenalan itu, karena telah mengadakan perhubungan asmara
dengan seorang wanita 'piaraan' atau selir si hartawan. Pada suatu malam si hartawan mendapat
kabar bahwa selirnya berada di sebuah tempat plesiran bersama kenalan Ban Teng
itu. Mengetahui bahwa ia tengah berurusan dengan orang-orang yang paham silat,
si hartawan dengan nekat mendatangi tempat tersebut dengan membawa dua buah
granat tangan, entah dari mana didapatnya.
Di tempat plesiran itu ia menuntut supaya selirnya dikembalikan kepadanya. Kalau
tidak, ia akan menjatuhkan granat tangan itu di situ. Para hadirin menjadi kaget
dan panik melihat si kaya mengacung-acungkan granat. Hanya satu orang tetap
tinggal tenang: Lo Ban Teng. Ia ini bangun dari tempat duduknya dan mendekati si
hartawan. Dengan tenang dikatakannya kepada orang itu: "Silahkan!
Lemparkanlah granat-granat itu!" Si hartawan mundur beberapa tindak. "Jika kau
datang dekat, kulepaskan ini!" ancamnya sambil berterus mengacung-acungkan
granat-granatnya. Ban Teng semakin mendekatinya, bahkan menepuk-nepuk bahunya
sambil berkata: "Hayo, lepas!... Hayo, lepaskan, sahabat! Lekas sedikit!"...
Effeknya di luar dugaan. Si hartawan tidak melepaskan atau melontarkan granatgranatnya, melainkan berbalik dan terbirit-birit lari keluar, sehingga Ban Teng
menjadi tertawa terbahak-bahak. Para hadirin, sahabat-sahabat dan kawan-kawan
Ban Teng, menghampiri pemuda kita. Mereka menghela napas lega
dan menggeleng-gelengkan kepala. "Haiya, Ban Teng," kata mereka. "Mengapa kau
berlaku begitu gila"
Bagaimana, kalau tadi ia melepaskan granat-granatnya" Kau bermain-main dengan
jiwa kita!" Ban Teng tertawa. "Kalian tidak mengerti," katanya kemudian. "Dia seorang
hartawan. Orang kaya umumnya tidak
berani mati! Dia kan hanya gertak sambal belaka. Mereka tertawa bersama...
Ke Indonesia Akan menjadi terlampau panjang kiranya kisah ini, jika kita mengikuti semua
sepakterjang Pek Bin Kim Kong Lo Ban Teng selagi ada di Tiongkok. Cukup bila
diceritakan, bahwa selama berdiam di Tiongkok Selatan, belum pernah ia menemui
tandingannya. Ahli-ahli silat, lebih-lebih yang berani temberang dan membusukbusukkan namanya atau nama Ho Yang Pay, seorang demi seorang didatanginya dan
dijatuhkannya, sehingga tiada yang berani terhadapnya.
Di dalam tahun 1927, pada waktu Ban Teng berusia kira-kira 41 tahun, ia mendapat
undangan dari seorang penduduk Tionghoa di Semarang, Yo Kian Ting, supaya datang
di Indonesia. Yo mengetahui, bahwa di Tiongkok Selatan Ban Teng tiada taranya.
Maksud Yo ialah menyuruh Ban Teng bertanding dalam sebuah pertempuran di atas
semacam lui-tay melawan seorang Negro yang sangat temberang.
Negro itu tengah melawat di Indonesia dan mengadakan pertunjukan-pertunjukan
tentang kekuatannya. Dalam percakapan-percakapan ia sering mencela-cela silat Tionghoa, yang mana
menimbulkan rasa mendongkol Yo. Maka timbullan pikiran padanya untuk coba-coba mempertandingkan
Negro itu melawan Ban Teng.
Ban Teng sendiri rupanya ada niat untuk datang di Indonesia, terutama untuk
mengunjukkan kepada saudara misannya. Lo Ban Teng yang dulu menganggapnya
sebagai seorang manusia tidak punya guna, bahwa kini ia seorang yang sangat
dimalui dan dihormati. Ia terima baik usul Yo dan berkemas-kemas untuk bertolak
ke Indonesia. Pada waktu itu Lo Boen Lioe sudah ada di Indonesia dan tinggal di
Cirebon, dimana ia memberi pelajaran ilmu silat Tionghoa. Nama Lo Boen Lioe
terkenal sampai di Semarang dan tempat-tempat lain. Lo Ban guru-guru silat
Tionghoa yang pandai. Turut serta dalam pertunjukan-pertunjukan itu ialah Lo
Boen Lioe, Lim Tjoei Kang dan Tan Hoei Liong, lebih jauh murid-murid Eng Bu Kwan
yang dipimpin Lo Boen Lioe dan Tan Hioe Liong. Pertunjukan-pertunjukan diadakan
di Semarang, Solo dan Jogya serta mendapat penyambutan luar biasa hangat
daripada penduduk-penduduk Tionghoa.
Selama pertunjukan-pertunjukan ditempelkan poster-poster atau plakat-plakat yang
berbunyi: "Tjing Pie Pek Bak Pay, (Hidung Hijau, Alis Putih), Bwee Pa, Cu Li Lay
(Kalau mau coba-coba, silahkan naik), Kia Sie Em-tang Lay (Kalau takut mati,
jangan datang di sini), Pa Sie Ka Tie Tay (Kalau kena pukul sampai mati, kubur
sendiri)." Poster-poster yang bunyinya agak temberang dan 'berani mati' itu tidak mendapat
sambutan dari pihak ahli silat Tionghoa yang pada waktu itu sudah ada di pulau
Jawa. Melainkan belakangan timbul reaksi yang berupa surat-surat kaleng yang
memaki-maki Lo Ban Teng, antaranya ada yang berbunyi: "Engkau jangan membuka
mulut besar. Ku tendang kau dengan sebelah kakiku, nanti kau terpental kembali
ke Tiongkok!" Berkenaan dengat surat kaleng itu sin-she Lo Ban Teng memasukkan iklan dalam
koran-koran Tionghoa, mengundang mereka yang begitu gagah bermain pena supaya memperkenalkan
diri dengan terus terang, dan memberikannya petunjuk-petunjuk secara berterang. Atas iklan
ini tidak terdapat sesuatu reaksi.
Di dalam pertunjukan barongsay itu, sin-she Lo Boen Lioe memperlihatkan
kemahirannya dengan bersilat dengan "siang gan", semacam senjata aneh yang berbentuk mirip potlot,
ujungnya seperti biji kana dan gagangnya pendek persegi lima seperti belimbing.
("Siang gan" pun dinamakan "Poan Koan Pit"). Sin-she Lian Tjoei Kang
memperlihatkan kekuatan 'lay-kang' dengan rebah telentang, ditindih 4
karung beras dan diduduki lima orang dewasa, yang mengibar-ngibarkan bendera
persegi tiga dengan menggunakan tenaga pinggang. Bendera itu dikibarkan sehingga
melukiskan huruf "Giok Beng", nama pemimpin Ho Yang Pay, sin-she Tan Hoei Liong
mempertunjukkan kekuatan perutnya dengan ditimpah sebuah batu Tiongkok (siangcio) besar. (Setelah ia wafat, batu itu dijadikan bong-pay, nisan, kuburannya).
Lebih jauh ia menelan pedang dan memuntahkannya kembali dengan kekuatan
pernapasan ('lay-kang'). Sin-she Lo Ban Teng memberi ceramah tentang intisari
ilmu silat Tionghoa ciptaan Tat Mo Couw-su (Damo), yang terpandang sebagai
penciptanya, dan Thio Sam Hong.1 Lebih jauh ia memberi demonstrasi tentang cara
latihan, tentang tenaga getaran atau kibasan tubuh, yang mencontoh pada kibasan
tubuh hewan-hewan. Karena biaya-biaya pertunjukan besar dan tujuan pertunjukan-pertunjukan, yakni
mencari tahu ada atau tidak adanya ahli silat-ahli silat Tionghoa pandai di
sini, tidak tercapai, pertunjukan itu diberhentikan.
Janji yang terpenuhi
Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu, nyonya Lo Ban Teng yang ke-i, yang ada di Tiongkok, telah
mendapat dengar dari orang-orang yang kembali dari Indonesia, bahwa suaminya
telah terkena "guna" seorang perempuan di sini. Kabar-kabar itu banyak dilebihlebihkan, bahkan ada yang mengatakan bahwa sin-she Lo Ban Teng hidup mewah
dengan istrinya yang kedua, naik turun mobil dan kalau mau kirim uang kepada
anak-istrinya di Tiongkok, selalu dihalang-halangi istri ke-2 itu. Memang benar,
selama suatu waktu agak lama ia pernah tidak mengirim uang kepada istrinya yang
ke-i, akan tetapi sebabnya ialah uangnya telah habis membiayai pertunjukanpertunjukan Barongsay Berhidung Hijau itu.
Karena kabar-kabar yang dilebih-lebihkan itu, maka atas desakan dan dengan
persetujuan para keluarga, nyonya Lo Ban Teng yang ke-i bersama putera pungut mereka Lo Siauw
Eng, anak perempuan mereka Lo Lee Hwa dan suami Lee Hwa (Lee Hwa sementara itu
sudah dewasa dan menikah. Tentang
Lee Hwa, di sebelah bawahan akan diceritakan lebih jauh Pen) bertolak ke
Indonesia. Maksud mereka adalah untuk "menolong sin-she Lo Ban Teng dari
cengkeraman perempuan jahat" itu.
Sinhe Lo Ban Teng yang tengah pusing karena kesulitan keuangan sebagai akibat
pertunjukan Barongsay, tambah lagi menerima banyak surat kaleng yang memaki-makinya, menjadi
bingung juga ketika menerima kabar bahwa istrinya yang pertama akan datang dari Tiongkok. Ia
khawatir akan terjadi onar dalam rumah tangganya. Akan tetapi istrinya yang ke-2
menghiburkannya. "Mereka sudah lama tidak pernah berjumpa denganmu," begitu kata
nyonya Go Bin Nio, "maka sudah barang tentu mereka merindukan kau dan ingin
melihat keadaanmu di sini. Ini memang sudah sepantasnya. Kalau mereka datang,
harus kita menyambutnya sendiri. Akan kuperlakukan mereka sebagai saudara dan
anak-anakku sendiri."
Alangkah terpranjatnya nyonya Lo yang ke-i (Lie Hong Lan), ketika di Priok
mereka disambut dengan begitu ramah tamah oleh nyonya Lo yang ke-2 (Go Bin Nio),
sampai-sampai mereka tidak dapat
mengatakan apa-apa. Tiba di rumah sin-she Lo Ban Teng di Semarang, nyonya Go
memperlakukan nyonya Lie dan anak mantunya seolah-olah tetamu-tetamu agung. Segala keperluan
mereka dilayani sendiri oleh nyonya Go dengan sangat manis budi dan penuh kasih
sayang dan hormat, sehingga nyonya Lie menjadi tercengang. Prasangka dan rasa
benci terhadap "madu" itu, yang terkandung dalam sanubari semasa masih di
Tiongkok dan dalam perjalanannya, menjadi buyar. Sebagai gantinya timbullah rasa
suka dan simpati, sehingga kedua nyonya Lo itu akhirnya memandang satu sama lain
lebih daripada saudara sekandung.
"Ku heran," kata nyonya Lie pada suatu hari kepada nyonya Go, "orang mengatakan
kepadaku bahwa orang percm puan di Indonesia jahat-jahat. Tetapi mengapa kau
begini baik dan memperlakukan aku begitu ramah tamah dan menyayang?"
Jawab nyonya Go: "Perempuan jahat terdapat di negeri mana pun jua. Di Indonesia
tidak semua perempuan jahat. Ada yang baik. Di Tiongkok pun tidak semua
perempuan baik. Ada yang jahat, malah yang lebih jahat daripada di Indonesia
meskipun ada. Terhadap Taci, bagaimana mungkin kuberbuat jahat" Taci tidak salah
apa-apa. Kalau aku ada di tempat Taci dan suamiku merantau ke lain negeri,
menikah dengan seorang perempuan lain di negeri itu, kemudian kudatang
menyambanginya, lalu perempuan itu mengajakku berkelahi - bagaimana rasa hatiku" Aku tidak dapat
berbuat demikian terhadap Taci..." Kata-kata ini yang diucapkan dengan air mata berlinang,
menandakan ketulusan hati, menimbulkan rasa terharu pada nyonya Lie dan yang
lain. Ketika tiba waktunya untuk nyonya Lie dan anaknya kembali ke Tiongkok,
dikatakannya pada nyonya Go: "Aku akan pulang ke Tiongkok - entah kapan kita dapat
berjumpa kembali. Tetapi jika benar engkau menyayangi aku dan menganggap aku
sebagai saudaramu sendiri, seperti kukatakan, marilah engkau dan Ban Teng turut
kami meninjau ke Tiongkok. Bawalah anak-anakmu. Ban Teng pun bisa bertemu lagi
dengan sanak keluarga di sana. Dengan tiada ragu-ragu nyonya Go menerima ajakan
itu. Demikianlah Ban Teng dan istrinya yang kedua, sambil membawa kedua anak mereka
yang masih kecil, Siauw Hong yang sedang mungil-mungilnya dan Siauw Gok yang masih bayi,
bertolak bersama nyonya Lie. Lee Hwa, suami Lee Hwa dan Siauw Eng ke Tiongkok.
Mama mertua Ban Teng yang ada di sini sangat mengasihi kadua cucunya, maka
dipesannya anaknya supaya kedua anak itu dibawa pulang kembali ke Indonesia - jangan
ditinggalkan di Tiongkok.
Tiba di Tiongkok dan di kampung halamannya, Ban Teng dan keluarganya tidak
segera menuju ke rumah mereka, melainkan langsung ke makam gurunya, Yoe Tjoen Gan. Di situ mereka
bersembayang, dimana Ban Teng memasang hio dan menyatakan bahwa ia mengajak
anaknya Siauw Hong, yang terlahir di Indonesia dan telah diakuinya sebagai
putera mar-hum guru itu. Setelah sembayang, barulah mereka pulang ke rumah.
Di rumah sendiri, nyonya Lie Hong Lan balas memperlakukan nyonya Go Bin Nio
dengan sangat ramah tamah. Ia melarang nyonya Go melakukan sesuatu pekerjaan dan segala
sesuatu ia sendirilah yang lakukan, sampai-sampai sanak keluarga merasa
mendongkol dan menegurnya. Jawab nyonya Lie:
"Kalian tidak tahu di rumahnya di Indonesia kami diperlakukan begitu ramah tamah
sebagai tetamu-tetamu agung. Maka dapatkah kubalas kebaikannnya itu dengan
kejahatan" Walaupun kukenal dia belum lama, namun kuyakin dan tahu benar, dia
seorang baik dan berbudi. Maka kuanggap dia sebagai saudara sekandung."
Kira-kira 7 bulan kemudian, ketika Ban Teng akan kembali ke Indonesia bersama
istrinya yang ke-2 dan kedua anak mereka, nyonya Lie nampak masgul sekali. Kepada nyonya Go
dikatakannya: "Dengan sesungguhnya aku merasa berat berpisah denganmu. Ada
sesuatu yang ingin kuminta daripadamu,
kuharap sudilah kau pertimbangkan. Engkau masih muda, masih bisa memperoleh
banyak anak. Aku sebaliknya sudah tua, tak mungkin kuperoleh seorang putera untuk menyambung
turunan Ban Teng. Maka jika kau sungguh-sungguh cinta kepadaku, tinggalkanlah salah satu anakmu di
sini supaya kelak dapat mengurusi hari tuaku. Jika seorang daripada darah
dagingmu tertinggal di Tiongkok, sudah tentu suatu waktu kau akan kembali lagi
di sini, sehingga ada harapan kita berjumpa lagi," (Harapan ini belakangan
ternyata hampa: sampai ia menutup mata nyonya Lie tidak dapat bertemu lagi
dengan nyonya Go dan suaminya).
Nyonya Go merasa bingung, yang manakah di antara kedua anaknya akan
ditinggalkannya di Tiongkok" Keduanya sangat dikasihinya. Lain daripada itu, Siauw Hong yang mungil
adalah buah hati neneknya di Indonesia, sedangkan Siauw Gok masih bayi.
Akhirnya, setelah bermufakatan dengan Ban Teng, diambil keputusan untuk
meninggalkan Siauw Gok saja: anak ini belum tahu apa-apa dan tentu tidak menjadi
terlalu sedih jika ditinggalkan.
Nyonya Lie girang sekali dengan keputusan nyonya Go. Tetapi apa mau, ketika hari
untuk keluarga Ban Teng bertolak sudah semakin dekat, dengan sekunyung-kunyung
Siauw Gok terserang penyakit
buang-buang air. Segala macam obat tiada yang menolong. Maka pada waktu hari
berangkat sudah tiba, nyonya Lie berkata kepada nyonya Go: "Anak ini masih
begini kecil, lagi menderita sakit begini hebat.
Bagaimana dapat aku rawatnya" Lebih baik kau tinggalkan Siauw Hong saja di
sini?" Akhirnya nyonya Go dan Ban Teng mengalah. Siauw Hong ditinggalkan dan Siauw Gok
dibawa pulang ke Indonesia. Aneh sekali, demi kapal bergerak meninggalkan pelabuhan, penyakit
Siauw Gok dengan tiba-tiba menjadi sembuh sendiri! Sin-she Lo Ban Teng
menggeleng-gelengkan kepala oleh karenanya.
"Haiya," katanya kepada istrinya, "Arwah Hoa Say (sebutannya terhadap mendiang
gurunya, Yoe Tjoen Gan) sungguh sakti. Telah kujanjikan arwah beliau untuk
menyerahkan Siauw Hong sebagai puteranya.
Engkau hendak menyerahkan Siauw Gok. Tetapi rupanya Hoa Say tidak mau! . .."
Bab IV Anak-anak Sin-she Lo Ban Teng
Perkawinan sin-she Lo Ban Teng dengan nona Go Bin Nio telah diberkahi Yang Maha
Kuasa dengan banyak anak. Sama sekali mereka memperoleh tidak kurang dari 12 orang anak - tidak
terhitung Lee Hwa, dari istri sin-she Lo yang ada di Tiongkok, dan Siauw Eng,
putera pungut mereka. Anak-anak itu ialah Siauw Gok (lahir 1931) yang sudah
diceritakan, kemudian Siauw Bok (lahir 1934, penggemar seni musik dan taritarian), Siauw Tiauw (jago pingpong yang tidak asing bagi peminat-peminat
olahraga itu d isini), kesemuanya dilahirkan di Semarang. Dalam tahun 1938,
ketika keluarga Lo pindah dari Semarang dan tinggal bersama sin-she Lo Boen Lioe
di Kongsi Besar, Jakarta, terlahirlah seorang anak perempuan Siauw Loan (yang
kini telah melanjutkan pelajaran di Tiongkok), dalam tahun yang berikutnya
mereka dikaruniai pula seorang puteri, Siauw Gim. Dalam tahun 1941, ketika
tentara Jepang menyerbu Indonesia, keluarga Lo pindah ke Solo, mula-mula di
rumah sin-she Lim Tjoei Kang, belakangan berumah sendiri.
Pada waktu itu nyonya Lo tengah berbadan dua, tetapi ketika jangka waktu
mengandung yang normal telah lalu (9 bulan 10 hari) nyonya Lo belum juga
melahirkan anak. Sesudah mengandung tidak kurang dari 12 bulan lamanya, ketika
tentara Jepang sudah masuk dan penerangan dinyalakan kembali, lahirlah seorang
anak laki-laki, Siauw Tjoen. Berkenaan dengan lamanya di dalam kandungan - tidak
lahir pada waktunya - sin-she Lo Ban Teng mengatakan anak itu "Gek But" (anak yang
keras kepala, kepala batu).
Ketika masih kecil kepalanya pun jantuk sehingga ayahnya sering memanggilnya
"Ong Nga". Sesudah Siauw Tjoen, terlahirlah seorang anak perempuan Siauw Ling (1943) lalu
Siauw Tjiok, juga seorang anak perempuan (1947), kemudian seorang anak laki-laki
Siauw Tjioe (1949), Siauw Koan
(perempuan, tahun 1952) dan anak kedua belas Siauw Nyo, perempuan (1955)Beberapa antara anak-anak itu juga sangat mahir dalam ilmu silat, juga Lee Hwa,
anak perempuan yang ada di Tiongkok itu dari istri Lo yang pertama. Lee Hwa
mulai dilatihnya semenjak umur 14 tahun, yakni ketika sin-she Lo berumur 34
tahun. Anak ini punya bakat baik sekali dan sangat cerdas, sehingga pelajaran
silat yang diberikannya cepat sekali dapat dimahirkannya. Pada masa kanak-kanak
Lee Hwa memakai kuncir (tauw-cang). Pukulannya begitu keras, sehingga di waktu
berlatih, apabila ia menggerakkan tubuh sambil memukul, kuncirnya menyambar seperti ujung cemeti dan
tempo-tempo terlibat di dahinya sendiri. Pada masa hidupnya, sin-she Lo sering bercerita
kepada penulis tentang Lee Hwa ini. Dikatakannya, meskipun ia seorang anak
perempuan, pukulan-pukulan Lee Hwa masih lebih hebat daripada Siauw Gok,
puteranya yang kini boleh dikatakan mewarisi seluruh keahliannya. Orang yang
pernah menyaksikan Siauw Gok berlatih dan melihat betapa keras pukulannya, dapat
membayangkan sendiri betapa hebat pukulan tacinya Lee Hwa itu.
Pada suatu waktu, demikian diceritakan, di Cio-bee ada keramaian. Jalananjalanan penuh sesak dengan penonton-penonton, juga yang datang dari kota lain, antaranya sudah
tentu terdapat pemuda-pemuda yang ceriwis, yang tidak saja bermaksud menonton
tetapi juga ingin memuaskan mata dengan melihat gadis-gadis cantik-bahkan
kadang-kadang menggodanya. Juga Lee
Hwa, dengan diantar seorang bibinya, berjalan-jalan menyaksikan keramaian itu.
Melihat Lee Hwa yang cantik, apalagi hanya berjalan berdua tanpa diantar seorang
laki-laki, beberapa pemuda ceriwis berlaku tengik dan bertingkahlaku seperti
cacing kena abu. Mereka menguntit, mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dan
sebagainya. Lee Hwa diam saja. Beberapa antara pemuda-pemuda ceriwis itu semakin
berani dan seorang antaranya mendekati Lee Hwa. Ia coba menyentuh buah dada si
nona, tetapi nyatanya ia mencari penyakit sendiri: dengan kecepatan seperti
kilat Lee Hwa mengegos dan serentak menyikut iga si ceriwis itu. Akibatnya, si
ceriwis menjerit saking kesakitan dan berjongkok di tengah jalan sambil
meringis-ringis! Lee Hwa berjalan terus, seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
Kecuali rombongan pemuda ceriwis itu, peristiwa ini tiada yang tahu diantara
keramaian itu. Namun seorang pemuda, yang tengah menonton dari atas loteng sebuah rumah
melihatnya juga. Ia merasa bersyukur, si ceriwis mendapat bagiannya. Serentak ia pun merasa ketarik
hati dengan Lee Hwa. Belakangan pemuda itu, yang bernama Tjiok Kim Gwan, menyuruh orang tuanya
melamar Lee Hwa. Lamaran diterima baik dan sopan, sehingga demikianlah mereka menikah.
Ahli waris Ho Yang Pay Sebagaimana telah dikatakan di antara anak-anak mendiang Lo Ban Teng, yang dapat
mewarisi keahlian silat dan pengetahuan tentang obat-obatan daripada ayahnya adalah Lo
Siauw Gok. Ia kini melanjutkan usaha mendiang ayahnya dalam ilmu pengobatan
Tionghoa. Mengenai kemahirannya dalam ilmu silat golongan Ho Yang Pay, yang
tadinya menjadi keahlian mendiang sin-she Lo, bolehlah dikatakan bahwa ia ahli
waris Ho Yang Pay di Indonesia.
Namun Siauw Gok hampir-hampir saja gagal. Semenjak masih kanak-kanak ayahnya
sudah mulai melatihnya, akan tetapi pada waktu itu ia berlatih secara acuh tak acuh. Minat
untuk memahirkan ilmu silat tidak ada padanya. Ia lebih suka bermain-main
bersama kawan-kawan di luar rumah, bahkan mengadu kelapa dan... mengadu ayam
tempo-tempo, seperti lazim anak laki-laki yang agak nakal dan binal. Di
sekolahpun ia sering berkelahi, tetapi kebanyakan ia menderita labrakan,
sehingga kawan-kawan mengejeknya. "Anak guru silat tidak mempunyai kemampuan apa-apa," demikian
ejekan tersebut. Lama-lama ia menjadi sakit hati dan mau juga ia memperhatikan
pelajaran ilmu silat. Dalam umur 17 tahun barulah ia berlatih dengan sungguhsungguh. Sin-she Lo menjadi senang sekali dan menggembleng
puteranya itu dengan saksama. Akan tetapi karena pada waktu itu beliau sudah
berumur 60 tahun dan hati kecilnya bergelisah, karena di antara puteranya belum
ada yang kelihatan ada yang mewarisi kepandaiannya kelak, maka ia ingin Siauw
Gok lekas-lekas pandai sehingga ia mendidik Siauw Gok dengan tangan besi. Bengis
sekali pendidikan sang ayah, sampai Siauw Gok sering diupat caci jika berbuat
kesalahan dalam latihan. Cara pendidikan itu membawa effek sebaliknya daripada yang diinginkan sin-she
Lo. Siauw Gok bukan menjadi cepat pintar, sebaliknya menjadi semakin bebal dalam
pelajaran silatnya, karena belum-belum ia sudah ketakutan dimaki. Tiap pagi jika
ayahnya sudah berada di loteng untuk berlatih dengan kaki dirasakannya berat
sekali. Siauw Gok mendaki tangga menuju ke tempat latihan di tingkat kedua itu,
sin-she Lo semakin lama semakin tidak sabar mengajarnya dan semakin pedas
memakinya, sehingga kian lama semakin berkuranglah napsu belajar Siauw Gok.
Bahkan suatu waktu ia sudah mendapat pikiran untuk berhenti belajar pada ayahnya
dan mencari seorang guru lain saja. Ibu Siauw Gok menjadi kasihan kepada
puteranya dan seringkah menasehati suaminya supaya jangan bersikap terlampau
keras. "Bagaimana mungkin anak itu lekas pandai ilmu silat," kata nyonya Lo kepada
suaminya, "kalau engkau selalu memarahinya dan menghardik-hardiknya dengan
bengis. Lagipula, seorang yang baru belajar, tidak mungkin dapat melaksanakan
segala gerak-gerik yang diajarkan tanpa sesuatu kesalahan. Hendaknya sabar saja,
lama-lama pun tentu ia mahir."
Dalam pada itu, Siauw Gok sendiri mendapat ejekan-ejekan daripada beberapa orang
keluarganya. Kata salah seorang antaranya kepada Siauw Gok, "Engkau tidak mau belajar silat
dengan giat. Semakin dimaki ayahmu, semakin kau menjadi malas. Engkau seorang
anak yang tidak punya guna. Hanya pandai berkeluyuran saja. Nanti kalau ayahmu
meninggal dunia pastilah kau menjadi jembel."
Nasehat pedas ini seolah-olah membuka pikiran Siauw Gok. Ia bertekad bulat untuk
mempelajari ilmu silat dengan sungguh-sungguh, begitupun ilmu obat-obatan
Tionghoa, tidak perduli bagaimana bengispun ayahnya mendidik dan
memperlakukannya. Selama dua tahun pertama Siauw Gok tidak menerima
banyak macam pelajaran, melainkan beberapa jenis saja yang merupakan pokok-pokok
dasar ilmu silat Ho Yang Pay. Yang lebih diutamakan pada masa pelajarannya itu
ialah memperkembangkan pernapasannya dengan latihan yang dinamakan Cing Co Tao Kie, lebih jauh latihan
Kao-ta dan Ceng-ceng dengan kaki-tangan kiri dan kanan, memperkembangkan
Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kerasnya pukulan dan latihan terhadap pukulan lawan: ketajaman perasaan:
menggerakkan kaki dan tangan dengan berbareng: melempar tjio dan memperkeras
lengan-lengan tangan dengan jalan mengadu lengan dengan seorang partner.
Pada tahun 1952 Siauw Gok yang pelajaran silatnya sudah dapat diandalkan, pula
sudah paham ilmu obat-obatan Tionghoa dan dapat menyembuhkan penyakit, pindah ke
Bandung. Di situ ia mengusahakan sebuah toko obat, akan tetapi kurang beruntung
dalam tahun 1954 ia pindah lagi ke Jakarta disebabkan ia mendapat luka-luka
terbakar lantaran kompor meledak. Mulai waktu itu ia membantu toko obat-obatan
ayahnya di Jelakeng. Kepala batu tetapi disayang
Lain daripada Siauw Gok, juga adiknya yang ketujuh Siauw Tjoen, mahir pula dalam
ilmu silat warisan ayahnya itu. Anak ini, yang kini berusia antara 17-18 tahun,
benar seperti dikatakan sin-she Lo pada waktu dilahirkannya, agak "gek but",
keras kepala alias kepala batu. Pada waktu ia sudah agak besar, tidak jarang ia
menimbulkan mendongkol mendiang ayahnya karena sikapnya yang selalu suka
membantah jika disuruh melakukan sesuatu pekerjaan. Alasannya ada saja, ada
kalanya ia mengatakan sibuk dengan pelajaran sekolah, atau lain-lain lagi.
Supaya terbebas dari tugas yang diberikan ayahnya.
Seringkah mendiang sin-she Lo jadi naik darah dan men comelinya.
Tetapi Siauw Tjoen adalah yang paling sering menghibui ayahnya dan seringkah
mengawani ayah itu mengobrol. San daranya yang lain begitu menghormat sang ayah.
Sehingga tidak berani datang dekat jika tidak dipanggil, lebih-lebih |ika sedang
mengobrol dengan ayah itu. Cuma Siauw Tjoen seorang yang berani. Betapapun
seringnya ia menimbulkan mendongkol ayahnya, tiap kalinya ia dapat menghilangkan
pula mendongkol itu dengan tingkah lakunya yang menyebabkan sang ayah menjadi
suka kepadanya. Pada suatu hari sin-she Lo menyuruh Siauw Tjoen menggiling obat. Seperti biasa,
Siauw Tjoen coba mengegos1 daripada perintah itu. Kali ini dengan alasan:
"Banyak pelajaran sekolah. Sebentar saja saya giling." Sin-she Lo yang memang
tidak bisa melihat anaknya menganggur saja, apalagi malas-malasan, menjadi marah
bukan main dan memaki habis-habisan. Siauw Tjoen tidak menyahut, juga tidak
menjalankan perintah itu, melainkan pergi keluar dan duduk di ruangan depan.
Sin-she Lo bertambah marah. "Anak kurang ajar," katanya. "Kalau disuruh
mengerjakan apa-apa, ada saja alasannya. Kalau dimarahi, tidak mau bicara dan
menganggap orang tua seperti patung."
Setelah itu sin-she Lo pergi ke depan. Melihat Siauw Tjoen duduk di ruangan itu,
waktu melalui anak itu ia membuang muka. Ketika masuk kembali, sang ayah
membuang muka lagi. Siauw Tjoen bangun dan menghampiri ayahnya. Secara manja,
bahkan sambil mengusap belakang ayahnya, dikatakannya:
"Lihatlah itu! Bukan saya yang tidak mau bicara, tetapi ayah yang tidak mau
diajak bicara. Waktu ayah keluar tadi, melihat saya lantas ayah membuang muka.
Masuk ke dalam ayahpun berbuat begitu. Tetapi selalu saya yang disalahi..."
Sin-she tidak dapat tahan lagi hatinya. Amarahnya lantas buyar dan ia malah
menjadi... tertawa! Ayah dan anak menjadi berbaik kembali.
Pada tahun 1955 sin-she Lo mulai kurang awas matanya. Kedua matanya berselaput,
yang semakin lama semakin menghebat sehingga hampir-hampir tidak bisa melihat. Selaput ini
dioperasi dalam tahun 1957 dalam rumah sakit dr. Yap di Jogya. Akan tetapi pada
waktu itu rupanya mulailah masa gelapnya.
Sebulan lebih sekembalinya dari Jogya ia terserang penyakit nyali2 yang hebat
sekali, sehingga terpaksa masuk dalam rumah sakit Yang Seng Ie3 untuk
menjalankan operasi. Empat puluh enam hari ia tinggal dalam rumah sakit. Sekeluarnya dari rumah sakit, kesehatannya tidak pulih seperti sediakala lagi, yang
menyebabkannya meninggal dunia pada tanggal 27 Juli 1958 dalam usia 72 tahun.
Yang mungkin dan yang nonsens
Pada masa hidupnya sin-she Lo sering mengobrol dengan anak-anaknya dan sahabatsahabatnya tentang ilmu silat dan pengalamannya. Dalam kongkou-kongkou itu ia memberi
penyuluhan berharga kepada mereka, seolah-olah tengah memberi ceramah, yang
membuka mata mereka tentang apa yang
mungkin dan apa yang nonsens dalam ilmu silat. Kalau sedang ber'ceramah'
demikian, ia tahan berbicara sampai berjam-jam lamanya.
Pernah sekali diterjemahkannya bahwa di dalam buku ceritera silat sering kali
dituturkan tentang guru silat yang amat tersohor yang kalau tidur di rumahnya
sendiri tidak berani orang membanguninya secara biasa. Melainkan dari jauh saja
dengan kayu panjang atau toya. Khawatir ia kaget dan otomatis memukul katanya.
Ini sungguh tidak masuk akal, kata "Sin-she Lo,... ceritera-ceritera itu
terlampau dilebihkan, pikir saja, kalau itu menjadi kebiasaan guru silat, tentu
anak istrinya bisa celaka. Siapa tahu si anak atau istri kelupaan dan
membanguninya secara biasa tentulah kena pukul sehingga terluka parah!.... Kalau
tidur di rumah orang lain dalam perantauan di dalam kuil atau di tengah hutan
sudah barang tentu orang harus siaga di segala waktu terhadap kemungkinan
diserang. Tetapi dalam rumah sendiri, lain perkara.
Pada kesempatan lain ditunjuknya, bahwa ada yang bilang jika orang sudah mahir
silat tidak bisa memperoleh anak. Dikatakannya:
"Lihat saja berapa banyak anakku. Tidak kurang dari dua belas orang! Sampai aku
kewalahan rasanya!" Terhadap pembilangan bahwa di waktu hendak berlatih di pagi
hari, sebaiknya jangan membuang air kecil supaya air seni itu dapat menjadi
keringat sin-she Lo berkata: "Bohong! Sebelum berlatih malah harus membuang air
kecil dahulu, supaya tidak menjadikan penyakit. Juga harus makan sedikit agar
usus-usus kita tidak terlalu banyak mengeluarkan zat asam yang dapat menimbulkan
sakit pada kantong nasi dan sebagainya."
Pada suatu ketika salah seorang sahabat bertanya: "Benarkah katanya dapat orang
mempelajari "Kiu Sien" menarik masuk biji kemaluan dan siap ikut mengatur rapi
duduknya tulang-belulang sendiri?"
Pertanyaan ini membuat sin-she Lo tertawa terbahak-bahak. Sebagai jawaban
dituturkannya sebuah ceritera: "Pada suatu peristiwa di Tiongkok ada seorang
guru silat yang mempunyai seorang murid yang sangat cerewet dan banyak sekali
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyebalkan serta aneh-aneh. Pada suatu
hari saking mendongkolnya sang guru menjawab salah satu pertanyaan murid itu:
"Kau harus belajar 'kiu-sien' dan 'tiapkut'. Kalau kau sudah mahir benar, tiada
seorang manusia dapat datang dekat denganmu." Si Murid tertarik hati, tetapi
berbareng bingung. Padahal ia tidak tahu, bahwa gurunya sudah jengkel benar dan
dengan kata-kata itu seolah-olah menyumpahi muridnya supaya lekas-lekas mati karena kalau biji kemaluan sudah masuk ke dalam, artinya orang yang bersangkutan
hampir mati, dan kalau tulang belulang teratur beres, tentu orang-orang itu
sudah mati benar-benar dan tinggal rerongkong-annya4 saja..."
"Dapatkah orang meloncat sekaligus sampai ke atas genteng rumah, seperti sering
diceritakan oleh cerita-cerita silat?" bertanya salah seorang lain. Jawab sinshe Lo "Manusia, bagaimanapun dilatih atau berlatih, tidak mungkin meloncat
lebih tinggi daripada tubuhnya sendiri. Kecuali jika ia meloncat dengan galah
atau menjambret sesuatu sebelum meloncat. Lagipula ini harus dilakukan dengan
memakai awahan (aan-loop).5 Dalam perlombaan-perlombaan atletik ada yang dapat
meloncat sampai 2 m lebih, tetapi ini harus memakai aanloop, lagipula
meloncatnya tidak dengan mengangkat kedua kaki berbareng melalui rintangan,
melainkan secara agak menunggangi rintangan itu atau dengan menggulingkan tubuh
sesudah ada di atas rintangan. Yang dapat meloncat tinggi beberapa kali tubuhnya
ialah mahluk-mahluk yang lututnya tertekuk ke belakang, misalnya kucing, anjing,
belalang, kijang, jangkrik dan lain-lain. Kalau ada orang yang menyatakan dapat
meloncat setinggi genteng rumah, dia dusta. Jika benar-benar ia dapat berbuat
begitu mudah saja ia mendapat uang dalam jumlah besar. Kumpulkan saja orang di
lapangan, seperti lapangan basketball di Prinsenpark,6 dengan menjual karcis
masuk. Lalu memberi demonstrasi meloncat itu. Dengan dua tiga kali meloncat saja
ia dapat menjadi kaya. Aku pun, kalau dapat meloncat setinggi itu, mau berbuat
begitu. Siapa sih yang tidak mau menjadi kaya?"
Guru silat tidak mungkin kena pukul"
Bertanya seorang sahabat. "Benarkah seorang guru silat yang benar-benar lihay,
pada waktu "twicu', berlatih dengan mudah tidak bisa kena pukul" Dan kalau kena
juga, tandanya belum mahir benar?"
"Tiap-tiap guru," jawab sin-she Lo, "betapapun lihaynya, masih bisa kena pukul
pada waktu twicu - yakni kalau ia mengajar murid itu dengan sungguh hati, dan
memberi kesempatan pada murid itu untuk masuk menyerang. Cuma bedanya, pukulan
itu tidak akan kena telak, karena ia sudah berlatih benar dan berpengalaman. Kebanyakan guru tidak mau kena tersentuh tinju muridnya pada waktu twicu - maka ia
tidak memberi kesempatan untuk si murid melaksanakan serangan. Tiap kali si
murid coba menyerang, si guru sudah mendahuluinya. Lama-lama si murid menjadi
takut dan kurang kepercayaan kepada diri
sendiri. Akhirnya ia tidak bisa maju dalam pelajarannya. Oleh karena selalu ada
kemungkinan kena terpukul, entah dalam twicu, lebih-lebih dalam perkelahian yang
sesungguhnya, perintah kita berlatih laykang. Kalau kena terpukul juga, pukulan
itu tidak hebat jatuhnya, juga kalau perlu dapatlah kita bertukar pukulan dengan
lawan. Lihatlah saja pertandingan tinju "boksen". Tidak ada juara yang tidak
pernah kena pukul. Cuma bedanya pukulan yang satu lebih keras daripada pukulan
lawannya. Dan yang pukulannya lebih kera's itu akhirnya akan menang."
Kadang-kadang jawaban-jawaban yang diberikannya terhadap pertanyaan-pertanyaan
agak Jenaka, humoristis, sehingga menimbulkan gelak tawa. Misalnya pada waktu salah seorang
bertanya benarkah dapat orang memahirkan ilmu 'thiambweekin', menotok jalan
darah sehingga menyebabkan orang lumpuh sekujur badan seketika atau bisu kemudian sembuh lagi jika ditotok kembali, sin-she Lo tertawa terbahak-bahak.
"Lebih baik kau pelajari "thiam" bakso di dalam mang-kok!" katanya sambil
tertawa sehingga semua para hadirin pun tertawa. Kemudian disambungnya: "Kalau
benar dapat orang memahirkan "thiambweekin", seperti sering dituturkan dalam cerita-cerita silat,
gampang saja orang mencari uang dengan kepandaian itu, jika mau berlaku jahat,
datangi saja seorang-orang yang kaya raya, misalnya lalu 'thiam' jalan darahnya,
sehingga ia tidak bisa bergerak. Lalu minta ia membayar sejumlah uang, baru
dithiam lagi sehingga dapat bergerak pula." Cerita-cerita tentang "thiambweekin"
itu bohong! Yang benar ialah, pada tubuh manusia memang terdapat bagian-bagian yang lemah,
misalnya tenggorokan, sambungan-sam-bungan tulang, urat-urat atau kelenjar-kelenjar yang
lemah. Kalau bagian-bagian itu kena terpukul atau tersodok keras dan tepat,
emmang orang dapat merasa lemas. Akan tetapi alangkah sukarnya tinju atau
sodokan kita dapat mampir tepat di bagian-bagian itu, meskipun sengaja kita
mencarinya. Kalau kena juga kebanyakan adalah karena keberuntungan saja."
Dikatakannya lebih lanjut, boleh jadi apa yang sering diceritakan dalam sebuah
kisah silat Tionghoa tentang itu "thiambweekin" ialah bersandarkan ilmu
peredaran darah dalam tubuh manusia, seperti yang umumnya dikenal dalam ilmu
obat-obatan Tionghoa. Menurut ilmu itu, pada waktu yang tertentu, lebih tegas
pada jam yang tertentu, jika peredaran darah terganggu, misalnya kena pukul,
pada bagian-bagian tubuh yang tertentu pula, dapat menimbulkan akibat yang hebat
pula. Tetapi didalam perkelahian bagaimana orang dapat perhatikan jam-jam,
menit-menit, detik-detik yang tertentu itu, lalu mengirim pukulan ke bagian
darah yang tertentu pula" Lewat sedikit saja, sudah tidak bisa. Lagipula,
seperti dikatakan di atas, tidak mudah orang-orang mengenakan bagian-bagian
tubuh yang terpilih itu, kecuali karena kebetulan belaka.
Sin-she Lo pun sering tertawa kalau orang bertanya tentang keahlian yang sering
dituturkan dalam cerita silat, menyemburkan kacang hijau dari mulut begitu
keras, sehingga tembok sekalipun dapat tembus! "Berapa kerasnya kacang hijau dan
berapa kerasnya tembok," ia balas bertanya. Kalau orang dapat menyembur kacang
hijau begitu luar biasa kerasnya maka itu mustahil, kecuali dengan menggunakan
sumpitan, bukan temboknya yang tembus, melainkan kacangnya yang mesti hancur.
Yang lebih jauh dikatakan nonsens ialah bahwa orang dapat berkelahi sampai
berjam-jam, bahkan sampai setengah harian atau lebih. Seperti sering diceritakan
- ataupun dapat berjalan luar biasa cepat, sampai lebih cepat dari lari kuda,
yakni yang dinamakan "hwihengsut" atau ilmu mengentengkan tubuh.
Pertanyaan lain yang pernah diajukan kepadanya ialah: benarkah orang dapat
melatih jari-jari tangan sehingga menjadi luar biasa kuat dan dapat menembusi
segala sesuatu" Bahkan dapat menembusi
tembok" Sin-she Lo hanya tertawa. Betapapun kuatnya jari-jari tangan manusia
berkat latihan saksama, tak mungkin dapat menembusi sesuatu yang sangat keras,
apalagi sekeras tembok. Pikirlah, demikian ditambahkannya, jari-jari dapat
dilatih, tetapi bagaimana dengan kuku-kuku diujungnya" Kalau menyodok sesuatu
yang keras - kuku-kuku mungkin terbongkar dan ini tentu sakit sekali!
Sendi-sendi ilmu silat Tionghoa
Beberapa contoh di atas cukuplah kiranya membuktikan, bagaimana dalam memberi
penerangan- penerangan dan penyuluhan tentang ilmu silat Tionghoa, mendiang sin-she Lo
selalu mengatakan hal yang sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya, terutama untuk
melenyapkan salah paham orang yang
sebagian disebabkan cerita-cerita silat yang berlebih-lebihan mengenai apa yang
mungkin tercapai. Cerita-cerita yang bukan-bukan dan nonsens tentang kunthao - misalnya orang dapat
meloncat sekaligus ke wuwungan rumah, menotok jalan darah dan sebagainya,
seperti yang dibentangkan di atas - sangat ditentangnya sebagai hal-hal yang
mustahil. Seringkah ditandaskan, bahwa ilmu silai Tionghoa berpokok kepada
beberapa sendi yang sedapat mungkin harus orang mahirkan jika mau berhasil dalam
pelajaran itu. Sendi-sendi itu ialah: i) ketabahan hati, 2) kecerdasan, 3)
pukulan keras, 4) kekuatan untuk menampung (menerima) pukulan lawan, 5)
kecepatan dan ketajaman mata jeli, 6) timing yang tepat, antara lain-lain supaya
walaupun lawan memukul lebih dahulu, dapat kita mendahului memukulnya, 7)
menaksir dengan tepat jarak antara kita dan lawan untuk mengetahui apakah tinju
kita dapat mencapai tubuh lawan atau tidak, yakni 'ci-li', 8) ketajaman perasaan
atau firasat untuk mengetahui lebih dahulu daripada lawan ke arah mana tangan
atau kaki lawan akan bergerak, yaitu yang dinamakan 'kuf, 9) ketenangan, 10)
kepercayaan kepada diri sendiri.
Semasa hidupnya sin-she Lo Ban Teng tiada henti-hentinya mempelajari segala
sesuatu yang dapat memperdalam pengetahuannya dalam ilmu silat. Misalnya, ia
sangat gemar memperhatikan gerak-gerik hewan-hewan yang sedang ber kelahi,
seperti ayam jago, kucing, anjing, dan sebagainya. Bahkan ia sendiri memelihara
beberapa ekor burung srigunting yang seringkah diadunya berkelahi. Lalu ia
mempelajari dengan saksama gerak-gerik mereka di dalam pertempuran, cara mereka
menyerang, mengegos dari serangan, dan sebagainya. Seperti sudah diterangkan di sebelah
atas, salah satu bagian dari teknik silatnya, yakni mengibaskan, mengembarkan lu
buh, menyontoh pada gerakan-gerakan hewan itu. Juga cara nya ia menampung
pukulan pihak lawan dengan jalan menge raskan dan menciutkan
tubuh - sambil mengerahkan seluruh otot-otot sehingga keras, spierconcentracie mirip dengan 1 <" aksi hewan-hewan itu jika sekonyong-konyong disergap. Sering
kali diunjuknya bagaimana ayam, kucing atau anjing, misalnya, jika disergap
dengan tiba-tiba, sambil mengeluarkan seruan kaget serentak
mengejangkan dan mengeraskan seluruh tubuhnya, sehingga tubuh itu seolah-olah
menjadi ciut dan mengke-ret. Selagi Siauw Gok dalam latihan, sin-she Lo
seringkah menguji reaksi tubuh Siauw Gok dalam hal-hal demikian. Terkadang jika
Siauw Gok tengah menggiling obat, dengan tiba-tiba disodoknya tubuh putera itu
dari belakang untuk melihat apakah lay-kang Siauw Gok sudah cukup baik sehingga
dapat mengeluarkan reaksi cepat dan tepat terhadap sodokan-sodokan itu. Sampai
achir-achir putera itu mahir benar.
Di Indonesia lain daripada Lo Boen Lioe dan Lim Tjie Kang, ada beberapa orang
yang diterima sin-she Lo sebagai murid. Di zaman Jepang, misalnya, telah
diterimanya belajar saudara Tan Tjoen Siang, yang dididiknya sendiri. Begitu
berbakti shin-she Lo terhadap gurunya dahulu, Yoe Tjoen Hwa, begitu pula Sdr.
Tan menjunjung budi gurunya itu. Pada waktu penghidupannnya berubah menjadi
baik, pada beberapa kesempatan saudara Tan telah membuktikan betapa ia selalu
mengingat budi kebaikan gurunya.
Misalnya, ketika Siauw Gok merayakan perkawinannya, ia tidak saja membantu
tenaga, tetapi juga menyediakan mobilnya, dan sebagainya, serta mengurus
perayaan itu seolah-olah saudaranya sendiri yang menikah. Ketika sin-she Lo Ban
Teng menutup mata, dalam pengurusan jenazahnya, saudara Tan pun telah
mengeluarkan banyak tenaga, bahkan dalam berbagai hal mendahului keluarga Lo
mengeluarkan biaya untuk pelbagai keperluan. Sebagai kenang-kenangan kepada
mendiang gurunya, ia telah memberikan seperangkat meja sembahyang (altar) untuk
abu mendiang sin-she Lo. Murid lain dari sin-she Lo adalah saudara Lie Kim Bie. Akan tetapi pada waktu
itu (1955) sin-she Lo sudah agak kurang awas, sehingga saudara Lie dilatih oleh
Siauw Gok selama enam bulan.
Sebagai penutup: Sebuah peristiwa yang agak mencengangkan pada waktu jenazah
mendiang sin she Lo diperabukan di Muara Karang. Pada waktu jumlah kayu balok
normal dibutuhkan untuk maksud itu sudah habis, mayat belum hangus. Kayu
sampaikan harus ditambah lagi, sehingga pembakar-pembakar jenazah merasa heran
Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan "kuay" nya tubuh almarhum. Para hadirin ada yang saling bertanya,
mungkinkah, berkat latihan-latihan hebat sepanjang tahun, tubuh almarhum telah
menjadi kelompok-kelompok otot-otot yang keras sekali" Entahlah!
Tamat *#* 1 Selot = kunci gembok. Panji Tengkorak Darah 4 Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Naga Kemala Putih 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama