Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 14

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


Dua orang peserta pertama, pemuda-pemuda Miao itu sudah nampak gentar menghadapi ujian anak panah ini. Mereka maklum betapa sukarnya menghindarkan diri dari sambaran tiga batang anak panah itu, apalagi karena mereka tahu bahwa ujian ini dilakukan oleh Paman Wa Him, seorang ahli panah yang terkenal di antara para pemburu sebagai orang yang tidak pernah luput mempergunakan anak panahnya! Akan tetapi karena mereka berdua itu tergila-gila kepada Nian Ci, dan telah berhasil melampaui tiga macam ujian, mereka memberanikan hati dan peserta pertama lalu maju. Dia diharuskan berdiri di atas tanah yang sudah diberi lingkaran dengan garis tengah dua meter. Dia boleh meloncat untuk mengelak asal tidak keluar dari lingkaran itu. Dan di depannya, dalam jarak seratus meter, telah berdiri seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi besar yang sudah siap dengan busurnya yang besar. Di punggungnya terdapat tempat anak panah dengan belasan batang anak panah yang sudah dihilangkan ujungnya yang runcing. Para penonton yang berada di belakang peserta, diharuskan pindah, takut kalau-kalau anak panah akan mengenai penonton. Semua penonton kini sudah memilih tempat yang enak dan aman, dan hati mereka penuh dengan ketegangan ketika peserta pertama sudah berdiri tegak dengan sikap gagah namun wajahnya agak pucat.
Pengatur ujian memberi isyarat agar peserta dan pemanah siap. Kakek tinggi besar itu sudah memasang anak panahnya pada busur, membidik sambil menarik tali busurnya. Terdengar suara menjepret dan nampaklah luncuran anak panah, cepat sekali. Dan pemanah itu tidak berhenti bergerak, melainkan cepat sekali tangan kanannya sudah mencabut sebatang anak panah lagi dan meluncurkan anak panah ke dua dengan luar biasa cepatnya, disusul oleh anak panah ke tiga. Hanya seorang ahli panah yang sudah berpengalaman dan terlatih saja yang mampu memanah beruntun tiga kali secepat itu. Tiga batang anak panah itu meluncur susul-menyusul ke arah tubuh peserta. Peserta itu hanya melihat sinar berkelebat dan dia cepat meloncat ke kiri untuk mengelak, akan tetapi anak panah ke dua sudah menyambar ke arah tubuhnya mengelak. Kembali dla membuang diri ke kanan dan seperti anak panah pertama, anak panah ke dua ini pun luput walaupun sudah menyerempet ujung bajunya. Akan tetapi kembali anak panah ke tiga menyambar, tepat ke arah dia mengelak. Biarpun dia masih berusaha membuang diri ke belakang, tetap saja pundaknya terkena sambaran snak panah ke tiga. Dia mengeluh dan roboh, nampak pundaknya berdarah. Dia pun dipapah keluar dan tentu saja dia dinyatakan gagal!
Peserta ke dua kini maju. Juga dia merasa gentar karena wajahnya sudah agak pucat. Dia pun maklum betapa sukarnya lolos dari ujian ini. Setelah isyarat diberikan, kembali pemanah itu meluncurkan tiga batang anak panahnya secara beruntun, cepat sekali. Peserta ke dua itu juga berhasil mengelak ke kanan dari sambaran anak panah pertama, dan ketika anak panah ke dua meluncur ke arah tubuhnya, dia meloncat tinggi sehingga anak panah itu meluncur ke bawah kakinya. Akan tetapi kembali anak panah ke tiga yang membuatnya gagal. Anak panah ini menyambar dan mengenai betisnya, membuat dia roboh pula dan harus dipapah terpincang-pincang keluar dari tempat itu, gagal!
Hui Lian maju dan kembali disambutlah peserta ini oleh sorak-sorai dan tepuk tangan. Kiao Yi juga memandang dengan wajah berseri. Wakilnya itu tentu akan mampu lolos dari serangan anak panah.Yang dikhawatirkan hanyalah pemuda bercaping itu, yang ternyata juga lihai bukan main! Setelah Hui Lian berdiri tegak dan diberi isyarat, pemanah kembali meluncurkan anak panahnya. Akan tetapi tidak seperti dua orang peserta terdahulu, Hui Lian sama sekali tidak mengelak. Anak panah pertama yang menyambar ke arahnya hanya disambut dengan tubuh dimiringkan dan ketika anak panah meluncur, tangan kirinya menangkap anak panah itu, kemudian ia melontarkan anak panah itu ke depan menyambar anak panah ke dua.
"Trakkk!" Dua batang anak panah bertemu dan keduanya runtuhke atas tanah. Ketika anak panah ke tiga datang, Hui Lian menggunakan tangan kanannya yang dimiringkan membacok dan anak panah itu pun runtuh ke atas tanah, patah menjadi dua potong!
Tentu saja keberhasilannya ini disambut sorak-sorai dan tepuk tangan riuh, terutama sekali Kiao Yi yang merasa girang bukan main. Hui Lian dengan sikap dingin menoleh ke arah Hay Hay dan melihat betapa pemuda bercaping ini juga ikut bertepuk tangan memujinya sambil memandang kepadanya dan tersenyum. Akan tetapi baginya, senyum itu seperti mengandung ejekan!
Ketika Hay Hay maju, dia pun disambut oleh para penonton yang menjagoinya dengan tepuk tangan. Kini, penonton hanya terpecah menjadi dua bagian, mereka menjagoi Hui Lian dan mereka yang menjagoi Hay Hay karena kini yang lulus hanyalah tinggal dua orang peserta ini. Hay Hay melangkah maju dan dengan sikap seenaknya, berdiri di tengah lingkaran yang sudah disediakan, berdiri tenang menghadap ke arah pemanah tinggi besar yang juga sudah mempersiapkan anak panahnya. Pemanah ini tadi terbelalak menyaksikan Hui Lian menyambut tiga batang anak panahnya dan kalau tidak melihat dengan mata sendiri, tentu dia tidak akan percaya ada orang mampu menghadapi tiga batang anak panahnya seperti yang dilakukan oleh "pemuda" itu.
Tadi dia sudah melihat kehebatan pemuda bercaping itu, maka dengan hati-hati dia pun membidik sambil menanti isyarat. Ketika isyarat itu diberikan oleh pengatur pertandingan, terdengar tali busur menjepret dan sinar anak panah meluncur ke arah pusar Hay Hay. Pemuda ini, seperti Hui Lian tadi, seperti mendiamkannya saja anak panah itu meluncur ke arah dirinya. Setelah dekat, baru dia miringkan tubuh ke kiri dan tangan kanannya menyambar ke bawah. Tahu-tahu anak panah itu telah dicepitnya antara ibu jari dan telunjuk tangan kanannya, demikian mudahnya seperti orang mencabut rumput saja!
Anak panah ke dua menyambar ke arah dadanya. Dia pun hanya miringkan tubuh dan tangan yang masih memegang anak panah pertama kembali menyambar dan anak panah ke dua itu dijepit antara telunjuk dan jari tengah kanan. Kini dua batang anak panah itu dipegang tangan kanan seperti orang memegang sepasang sumpit! Pada saat itu, anak panah ke tiga menyambar ke arah lehernya! Dia hanya miringkan kepalanya dan ketika anak panah ke tiga ini lewat dekat lehernya, di bawah dagu, dia cepat membuka mulut dan menangkap anak panah itu dengan gigitan!
Tentu saja demonstrasi ini disambut sorak-sorai para penonton, dan untuk kedua kalinya pemanah itu melongo saking heran dan kagumnya. Hay Hay kini menggunakan dua batang anak panah sebagai sumpit, mengambil anak ke tiga dari mulutnya dan sekali dia melontarkan tangan kanan, tiga batang anak panah itu meluncur dan jatuh menancap di atas tanah di depan kaki pemanah itu, berjajar rapi dan masuk ke dalam tanah sampai ke bulu di gagangnya.
Hui Lian dan Hay Hay dinyatakan lulus dan kini hanya tinggal mereka berdua yang harus melakukan ujian terakhir, yaitu mengadu ilmu kepandaian bela diri! Mereka berdua dipanggil naik panggung. Hay Hay yang tidak mengerti bahasa Miao, hanya ikut-ikutan saja meloncat naik ke panggung ketika dia melihat Hui Lian juga meloncat naik. Mereka berdiri berdampingan menghadap kepala suku yang berkata dalam bahasa Miao bahwa mereka berdua adalah dua orang muda perkasa dan kini mereka harus memperlihatkan siapa di antara mereka yang lebih unggul dan berhak menjadi mantu kepala suku. Kemudian kepala suku memberi isyarat kepada puterinya dan bangkitlah gadis Miao itu, membawa dua buah mouw-pit (pena bulu) dan tempat tinta. Dengan langkah yang lemah gemulai, puteri kepala suku itu tersenyum manis ketika menghampiri dua orang peserta itu, diiringi tepuk tangan para penonton.
Hay Hay memandang kapada gadis itu. Seorang gadis yang manis sekali, pikirnya, hitam manis dan baju yang dikenakan itu terbuka di bagian depan agak rendah sehingga memperlihatkan lereng sepasang bukit dada yang indah membusung, dihiasi oleh kalung-kalung emas ukir-ukiran indah. Sayang anting-anting yang dipakainya teramat besar, membuat bagian daun telinga itu tergantung mulur dan lubangnya menjadi lebar. Dia pun tersenyum ramah sambil memandang dengan sinar mata berseri ketika gadis Miao itu mendekat. Sikap Hay Hay ini menarik hati gadis suku bernama Nian Ci itu dan ia pun memandang kepada Hay Hay dengan senyum pula. Ia lebih suka kepada Hay Hay yang kelihatan ramah daripada Hui Lian yang bersikap dingin saja, walaupun Hui Lian tidak kalah tampan dibandingkan pemuda bercaping. Bahkan ketika menyerahkan mouw-pit dan bak kepada masing-masing peserta, Nian Ci berbisik kepada Hay Hay. "Mudah-mudahan engkau menang."
Hay Hay hanya mengangguk dan menjawab dalam bahasa Han karena dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh gadis itu. "Engkau sungguh manis sekali!"
Melihat sikap mereka dan mendengar ucapan pemuda bercaping, Hui Lian menjadi mendongkol sekali. Hemm, tak disangkanya bahwa pemuda bercaping ini ternyata seorang laki-laki mata keranjang yang pandai merayu wanita! Tadi kepala suku sendiri menjelaskan bahwa pertandingan adu ilmu bela diri itu bukan dimaksudkan untuk saling membunuh atau melukai, melainkan menguji kepandaian masing-masing. Oleh karena itu, mereka masing-masing diberi mouw-pit dan bak (tinta) agar dengan alat itu mereka dapat mendatangkan coretan atau totolan kepada tubuh lawan, selama bernyalanya sebatang hio. Kemudian akan dihitung, siapa lebih banyak terdapat noda hitam totolan mouw-pit, dia kalah.
Kini keduanya sudah saling berhadapan di atas panggung, ditonton semua orang yang hadir. Hay Hay masih belum mengerti mengapa dia diberi mouw-pit dan bak. Dengan mouw-pit di tangan kanan dan bak di tangan kiri, dia berdiri dengan muka bodoh, lalu dia memandang Hui Lian.
"Eh, Twako yang baik, apakah kita disuruh berlomba menulis sajak atau membuat tulisan indah" Wah, kalau begitu aku menyerah kalah saja! Tentu engkau lebih mahir."
Hui Lian maklum bahwa orang ini tidak mengerti bahasa Miao, akan tetapi ia tidak tersenyum, bahkan semakin mendongkol. Kalau sudah memasuki sayembara ini, tentu pemuda ini sudah tahu akan semua syaratnya dan sikapnya yang ketololan ini tentu sengaja dilakukan untuk mempermainkannya.
"Huh, kiranya engkau hanya seorang laki-laki mata keranjang!" bentaknya dan ia pun sudah mulai menyerang dengan mouw-pitnya. Karena mouw-pit yang sudah direndam bulunya dengan tinta tadi hanya menyambar ke arah ujung lengan bajunya, Hay Hay tidak menghindar dan nampaklah coretan pada ujung lengan bajunya, dan dia terbelalak kaget dan kagum karena coretan itu bukan sembarangan saja, melainkan membentuk huruf Mata Keranjang!
"Ehh...!" Dia berseru dan cepat dia pun membalas, akan tetapi mouw-pitnya tertangkis oleh mouw-pit lawan. Karena penasaran belum membalas maklan lewat coretan, Hay Hay lalu menggunakan kepandaiannya, mouw-pitnya menyambar ke arah mata lawan. Hui Lian terkejut karena serangan ini sungguh berbahaya. Ketika ia mengelak ke samping, tiba-tiba saja mouw-pit lawan itu meluncur turun dan mengenai ujung bajunya yang putih. Ketika ia memandang, ia melihat coretan itu pun berbentuk huruf makian yang berbunyi Lancang Mulut!
Hui Lian marah. Mouw-pitnya menyambar-nyambar lagi dan berhasil mencoret-coret huruf makian Goblok dan Gila pada kanan kiri bagian baju Hay Hay. Kalau saja Hay Hay mau menghindarkan, tentu tidak mudah bajunya di coret-coret, akan tetapi sungguh aneh, dia ingin sekali melihat tulisan apa lagi yang dilakukan lawan maka dia sengaja membiarkan lawan mencoret-coret bajunya. Ketika membaca Goblok dan Gila, dia pun membalas dan sekali ini Hui Lian juga ingin tahu jawaban lawan. Marahlah ia membaca huruf Tolol dan Sinting yang dicoretkan mouw-pit di tangan Hay Hay pada bajunya. Ia pun membalas menyerang kalang kabut, dan keduanya kini bertanding mempergunakan mouw-pit. Setelah keduanya mengeluarkan kepandaian masing-masing, sukarlah bagi keduanya untuk membuat satu totolan atau coretan saja pada baju lawan! Kini keduanya terkejut bukan main karena tidak menyangka bahwa lawan sedemikian lihainya! Hay Hay memang tahu akan kelihaian Hui Lian, akan tetapi tak disangkanya sehebat ini dan sebaliknya Hui Lian terkejut mendapat kenyataan bahwa pemuda bercaping itu mampu mengimbangi kecepatan gerakannya, bahkan membalas serangannya dengan totokan-totokan yang amat cepat, aneh, dan bertenaga!
"Engkau manusia tak tahu malu!" Hui Lian mendesis dalam bahasa Han, tidak keras hanya cukup terdengar oleh Hay Hay saja ketika, mereka saling serang dan belum juga berhasil menodai baju masing-masing kecuali huruf-huruf tadi. "Aku tidak percaya engkau benar-benar mau menjadi mantu kepala suku dan kawin dengan gadis Miao itu!"
Tentu saja Hay Hay merasa heran mendengar ucapan itu. "Gila." dia pun berbisik. "Siapa mau menjadi mantu kepala suku?"
"Engkau tergila-gila kepada gadis suku Miao itu, tadi engkau mengajaknya senyum dan memui ia manis!"
"Memang ia manis, apa salahnya aku memuji" Akan tetapi aku tidak tergila-gila!"
"Engkau tolol, kamu tidak tergila-gila, mengapa ikut sayembara ini?" Kini Hui Lian menduga bahwa pemuda ini mengikuti sayembara hanya karena iseng saja, mungkin tidak tahu apa artinya sayembara ini karena dia tidak paham bahasa Miao.
"Aku ikut karena tertarik, apa salahnya?" Hay Hay tersenyum. "Aku hanya hendak mengurangi kesombonganmu melagak dan memamerkan kepandaian!"
"Aih, engkau lancang mulut! Apa engkau tidak tahu, sayembara ini diadakan untuk memperebutkan gadis anak kepala suku! Pemenangnya yang akan menjadi suaminya."
Hay Hay terkejut sekali dan dia menengok ke arah kiri di mana duduk gadis Miao itu di samping ayah dan ibunya. Gadis beranting-anting besar itu memandang kepadanya dan tersenyum. Karena menoleh, Hay Hay menjadi lengah dan Hui Lian berhasil membuat coretan pada bajunya. Hay Hay meloncat ke belakang.
"Apa" Gadis beranting-anting besar itu" Jadi ". jadi isteri pemenang?""
"Benar, tolol! Dan kau tidak tahu tentang itu, ya" Ikut sayembara hanya untuk iseng saja?" Hui Lian menyerang lagi dan ia terkejut karena kini mudah saja baginya untuk mencoretkan mouw-pitnya kepada pakaian lawan.
"Wah, kalau begitu biar aku kalah saja. Ambillah perempuan itu untukmu, sobat!" Dan kini sambil bersilat, Hay Hay melakukan gerakan yang amat cepat dengan mouw-pitnya, akan tetapi bukan pakaian lawan yang menjadi sasarannya, melainkan pakaiannya sendiri! Bahkan saking gemasnya kepada diri sendiri yang hampir saja celaka karena kalau menang dia harus menjadi suami gadis Miao itu, dia mencoret-coretkan mouw-pitnya pada mukanya pula! Saking cepat gerakannya, para penonton tidak ada yang tahu bahwa pemuda berpakaian biru itu mencoretl pakaian dan mukanya sendiri. Hanya Hui Lian yang tahu dan diam-diam ia tertawa. Pemuda ini betapapun juga bukan orang jahat dan bukan mata keranjang, bahkan lucu sekali! Setelah hio yang membara itu padam, pengatur pertandingan memberi tanda agar mereka berhenti bertanding dan tanpa dihitung lagi, mudah saja diketahui bahwa Hay Hay telah kalah! Bajunya penuh coretan, bahkan leher dan mukanya juga berlepotan bak hitam! Sorak-sorai menyambut kemenangan Hui Lian, dan mereka yang tadi bertaruh menjagoi Hay Hay, terpaksa membayar kekalahan sambil mengomel panjang pendek.
Sebagai pemenang, Hui Lian dihadapkan kepala suku. Kepala suku mencabut golok dari pinggangnya, memberikannya kepada puterinya. Nian Ci, gadis kepala suku itu, membawa golok dan melepaskan pula kalungnya, hendak dikalungkan ke leher Hui Lian dan menyerahkan golok sebagai tanda bahwa "pemuda" itu diterima menjadi mantu ayahnya. Akan tetapi, Hui Lian melangkah mundur dan dengan tangan memberi isyarat penolakan. Melihat ini, kepala suku terbelalak dan para penonton menjadi gaduh. Pemenang menolak menjadi suami Nian Ci! Apa pula ini"
"Orang muda!" Kepala suku membentak dengan suara marah karena hatinya penasaran. "Kenapa engkau menolak" Engkau adalah pemenang sayembara dan berhak menjadi mantuku!"
"Aku mengikuti sayembara bukan untuk diri sendiri, akan tetapi mewakili dia!" Dan ia menuding ke arah Kiao Yi yang berada di bawah panggung. Digapainya Kiao Yi dan disuruhnya naik ke panggung. Kiao Yi yang masih lemah tubuhnya itu naik dan menjatuhkan diri berlutut di depan kepala suku.
"Kiao Yi ".!" Nian Ci berseru, pemuda itu membalas pandangan kekasihnya dan mengangguk tersenyum. Semua orang mendengar ini merasa penasaran dan mulailah mereka berteriak-teriak. Mereka adalah suku bangsa yang menjunjung kegagahan dan kejujuran. Mereka tidak setuju kalau kini hadiah puteri kepala suku itu diberikah kepada Kiao Yi yang dianggap tidak berhak karena yang memenangkan sayembara adalah pemuda berpakaian putih itu.
Hay Hay juga merasa penasaran. "Heii, sobat!" teriaknya dari bawah panggung. "Apa-apaan itu" Engkau menang dan engkau berhak mengawini gadis itu, kenapa menolak" Ia cantik jelita dan manis, pantas menjadi teman hidupmu selamanya. Ha-ha-ha! Bukankah engkau sudah menang?" Hay Hay mentertawakan Hui Lian.
Kepala suku Miao itu kini memandang kepada Kiao Yi dengan mata terbelalak. Dia suka kepada Kiao Yi dan tahu bahwa antara puterinya dan pemuda ini sudah lama terjalin clnta saling suka. Akan tetapi dia harus mempertahankan kewibawaan dan kegagahannya sebagai kepala suku.
"Kiao Yi, apa artinya ini" Kenapa engkau lancang berani maju hendak menerima hadiah dari pemenang, padahal pemenangnya orang lain?"
Kiao Yi menjawab dengan lantang, terdengar oleh semua orang. "Harap maafkan saya. Sesungguhnya, saya sendiri yang akan maju memasuki sayembara. Akan tetapi saya keracunan dan jatuh sakit, hampir mati kalau tidak ditolong oleh... pendekar itu. Melihat saya diracun orang yang agaknya hendak menghalangi saya ikut sayembara, dan mendengar bahwa antara saya dan Nian Ci sudah saling cocok untuk menjadi suami isteri, Tuan pendekar ini lalu mewakili saya dalam pertandingan sayembara ini."
Kini para penonton kembali terpecah dua, ada yang pro dan ada pula yang kontra sehingga keadaan di situ menjadi gaduh dan bising sekali karena mereka saling berbantahan sendiri, ada yang setuju kalau puteri kepala suku menikah dengan Kiao Yi yang sudah dikenal sebagai pemuda suku sendiri yang cukup gagah perkasa. Ada yang mempertahankan agar puteri kepala suku dikawinkan dengan pemuda pakaian putih sebagai pemenang sayembara.
Selagi keadaan menjadi tegang, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan ketakutan dan orang-orang Miao berlarian, dikejar oleh orang-orang yang keadaannya amat mengejutkan karena mereka itu adalah orang-orang yang berwajah dan bersikap menyeramkan. Apalagi ketika nampak beberapa orang Miao telah roboh mandi darah, diserang oleh beberapa orang itu. Sedikitnya ada dua puluh orang yang menyerbu perkampungan itu.
Hui Lian sudah meloncat turun dari atas panggung. Ia tadi menengok dan melihat bahwa di antara para penyerbu terdapat dua pasang suami isteri yang pernah dilawannya ketika mereka hendak merampas domba-domba yang digembala seorang anak Miao di hari kemarin. Ia tahu betapa lihainya mereka, dan kini mereka berempat datang bersama belasan orang lain, yang keadaannya juga aneh aneh dan menunjukkan bahwa mereka adalah kaum sesat yang berilmu tinggi.
Hay Hay juga terkejut, bukan saja melihat dua pasang suami isteri itu, melainkan karena di antara para penyerbu itu dia mengenal pula Ji Sun Bi yang berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) yang cantik dan cabul itu bersama gurunya. Min-san Mo-ko yang lebih lihai lagi. Melihat kedua orang ini, Hay Hay mengerutkan alisnya dan teringatlah dia kembali akan pengalamannya ketika dia terjatuh ke tangan dua iblis itu. Untunglah bahwa dia dapat lolos dari tangan dua orang manusia keji ini, ditolong oleh mendiang Pek Mau Sanjin yang telah mengajarkan ilmu sihir kepadanya.
Bagaimanakah dua pasang suami isteri iblis itu kini dapat bekerja sama dengan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, murid dari mendiang See Kwi Ong, seorang di antara Empat Setan" Seperti kita ketahui, suami isteri Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, setelah tadinya bermusuhan karena memperebutkan Sin-tong (Anak Ajaib) keluarga Pek dan sama-sama gagal, mereka bahkan dapat bersekutu. Ketika secara berkelompok mereka bertemu pula dengan Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong yang sudah bergabung pula dengan Min-san Mo-ko yang setingkat dua pasang suami isteri ini lalu menggabungkan diri pula.
Ketika itu, golongan hitam yang mulai menghimpun kekuatan ini mendengar bahwa Jaksa Tinggi Kwan Sin bersama keluarganya sedang mengadakan liburan ke Telaga Tung-ting. Jaksa Tinggi ini terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang pembesar yang menghadapi dunia kejahatan dengan tangan besi. Banyak sudah tokoh-tokoh kaum sesat yang menjalani hukuman berat melalui Kwan-taijin ini. Maka dia pun dianggap sebagai tokoh umum oleh kaum sesat. Banyak orang dari dunia hitam menginginkan nyawanya, bukan saja karena membencinya sebagai seorang pejabat yang bertangan besi terhadap penjahat, juga terutama sekali karena pembesar itu terkenal memiliki mustika yang amat langka. Benda mustika itu merupakan sebuah giok (batu kemala) yang sudah ribuan tahun umurnya, berwarna belang merah hijau dan mempunyai khasiat menyembuhkan segala macam luka beracun, dapat menyedot racun dari dalam tubuh dan juga kalau air rendaman batu kemala ini diminum selama beberapa hari berturut-turut, maka akan menjadi obat kuat pembersih darah. Batu giok ini selalu tergantung di dada pembesar itu sebagai mainan seuntai kalung, tersembunyi di balik jubahnya.
Berita tentang Kwan-taijin inilah yang membuat kawanan sesat itu kini menuju ke Telaga Tung-ting. Dua pasang suami isteri iblis itu sering kali memisahkan diri dari gerombolan mereka dan kemarin mereka gagal merampas domba. Hari ini, dengan teman-teman mereka segerombolan, mereka menyerbu perkampungan suku Miao yang sedang mengadakan pesta itu.
Ketika Hui Lian berloncatan menyambut serbuan gerombolan penjahat, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan yang berdekatan dengan Min-san Mo-ko cepat berkata, "Itulah pemuda yang amat lihai itu." Mereka sudah menceritakan kepada rekan yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka itu tentang kegagalan mereka merampas domba ketika bertemu dengan pemuda berpakaian putih itu.
Ji Sun Bi yang mata keranjang, begitu melihat Hui Lian, segera jatuh hati. Tak disangkanya bahwa pemuda yang kabarnya telah mengalahkan pengeroyokan dua pasang suami isteri itu adalah seorang yang demikian tampan. Maka ia pun cepat meloncat ke depan menyambut Hui Lian dengan senyum memikat. Karena sudah mendengar betapa lihainya pemuda pakaian putih itu, Ji Sun Bi yang sudah mencabut sepasang pedangnya dan memegang di kedua tangan.
"Orang muda yang ganteng, engkau ikutlah saja dengan kami, menjadi sahabat baikku dan kita hidup bersenang-senang!" katanya sambil melepas senyum manis dan lirikan mata memikat.
Melihat sikap wanita yang cantik dan genit itu, Hul Lian mengerutkan alisnya. Ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita cabul dan mata keranjang, maka ia pun membentak marah.
"Perempuan tak tahu malu, jangan mencoba untuk membujukku!"
Ji Sun Bi adalah orang yang selalu berpendapat bahwa jlka sesuatu yang dikehendaki itu tidak akan berhasil dimilikinya, maka sesuatu itu harus dihancurkan! Karena itu, melihat sikap pemuda berpakaian putih yang memakinya, rasa sukanya segera berubah dan membalik menjadi kebencian.
"Kalau begitu, mampuslah!" bentaknya dan sepasang pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dahsyat ke arah Hui Lian. Melihat betapa serangan wanita itu ternyata cukup dahsyat dan berbahaya, Hui Lian maklum bahwa ia menghadapi seorang lawan tangguh, maka ia meloncat ke belakang menghindar sambil menggerakkan tangannya dan tiba-tiba nampak sinar putih kemerahan berkelebat ketika ia telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan. Itulah Kiok-hwa-kiam, pedang yang ia temukan bersama suhengnya di dalam guha berikut kitab peninggalan In Liong Nio-nio dan Sin-eng-cu The Kok, dua orang di antara delapan tokoh yang dahulu dikenal dengan sebutan Delapan Dewa.
Ji Sun Bi yang sudah marah, melanjutkan serangannya dan kini dua gulungan sinar pedangnya bertemu dengan gulungan sinar pedang Kiok-hwa-kiam.
"Cring-tranggg "..!!"
Ji Sun Bi menahan teriakannya dan terkejut bukan main karena dalam pertemuan pedang itu ia merasa betapa sepasang tangannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga lawannya memang amat kuat. Ia pun berhati-hati dan kembali menggerakkan sepasang pedangnya menyerang dengan dahsyat. Hui Lian menyambutnya dengan gerakan tenang saja, akan tetapi dalam gebrakan-gebrakan berikutnya, pedangnya menekan sepasang pedang lawan dan ia pun sudah mendesak hebat!
Melihat ini, Min-san Mo-ko melangkah maju. "Sun Bi, minggirlah'" bentaknya dan ketika muridnya meloncat ke belakang, dia melangkah maju lagi menghadapi Hui Lian. Gadis ini memandang tajam lawan barunya yang bertubuh kurus bermuka pucat itu, akan tetapi melihat betapa sepasang mata kakek ini mencorong seperti mata harimau, ia bersikap hati-hati.
Dengan suara melengking tinggi, Min-san Mo-ko menudingkan telunjuknya ke arah Hui Lian sambil memandang dengan sepasang mata yang tajam berpengaruh, "Orang muda, lepaskan pedangmu dan berlututlah!"
Hui Lian terkejut bukan main karena suara itu seperti menembus otaknya dan menusuk ke arah jantungnya, menguasai dirinya sehingga tak dapat ditahannya lagi pedang ditangannya dilepaskan, jatuh ke atas tanah. Akan tetapi, ia masih bertahan dan tidak menjatuhkan diri berlutut. Melihat ini, Min-san Mo-ko mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata lagi suaranya makin tinggi melengking.
"Orang muda, engkau tak dapat menahan lagi, harus berlutut di depan1ku!" Tangan kanannya bergerak-gerak ke arah Hui Lian. Kembali Hui Lian merasa seolah-olah dirinya dipaksa untuk berlutut dan walaupun hatinya menolak, namun kedua kakinya sudah gemetar dan hampir saja ia menjatuhkan diri berlutut. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan anehnya, suara ketawa ini membuyarkan kekuatan hebat yang memaksanya harus berlutut tadi.
"Ha-ha-ha, Toako yang berpakaian putih, jangan dengarkan omongan dukun cabul itu. Omongannya tidak ada arti dan gunanya sama sekali, lebih busuk dari kentut perut kotor!"
Ucapan ini membuyarkan sama sekali pengaruh yang menguasai diri Hui Lian sehingga ia terkejut sendiri melihat pedang Kiok-hwa-kiam di dekat kakinya. Cepat ia membungkuk dan mengambil kembali pedangnya. Ia menoleh dan melihat bahwa yang muncul adalah pemuda bercaping itu. Mukanya berubah merah karena tadi ia memperlihatkan kelemahannya terhadap lawan dan baru sekarang ia sadar bahwa ia tadi berada di bawah pengaruh sihir. Kalau tahu begitu, dengan pengerahan sinkang dan khikang, ia tentu akan mampu mempertahankan dirinya!
"Terima kasih." katanya kepada Hay Hay.
"Lebih baik engkau bantu orang-orang Miao itu, Toako dan biarlah aku yang menghadapi Si Dukun Cabul ini!" kata Hay Hay.
Hui Lian melihat betapa dua pasang suami isteri yang pernah dikalahkannya kemarin, bersama teman-teman mereka, kini mulai menyerbu dan terjadi pertempuran antara mereka dengan orang-orang Miao Yang tentu saja tidak mampu menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi itu. Beberapa orang Miao telah roboh menjadi korban keganasan gerombolan itu. Melihat ini dengan pedang di tangan Hui Lian lalu berlari dan menerjang ke arah para penyerbu, pedangnya mengeluarkan bunyi mengaung dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung.
Sementara itu, sambil tersenyum lebar Hay Hay menghadapi Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko. Ji Sun Bi segera mengenalnya dan giranglah hati wanita ini melihat pemuda yang pernah membuatnya tergila-gila itu. Teringat ia betapa bagaikan segumpal daging di mulut harimau, pemuda ini sudah berada dalam cengkeramannya dan tentu telah dimilikinya kalau tidak muncul kakek aneh yang merebut pemuda ini darinya.
"Hay Hay ! Engkau datang mencariku, sayang?" tegur Sun Bi sambil tersenyum manis dan menghampiri, akan tetapi berhati-hati karena ia sudah mengenal kelihaian Hay Hay.
Hay Hay juga tetap tersenyum memandang wanita yang merupakan orang pertama yang mengajarkan bercumbu itu, wanita cantik menarik yang kemudian menjadi musuhnya karena hendak memaksakan kehendaknya yang tidak baik, wanita cabul!
"Ji Sun Bi, kita berjumpa lagi! Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat memaksakan keinginanmu yang kotor dengan bantuan dukun cabul ini!" Dia menuding ke arah Min-san Mo-ko.
Tentu saja Min-san Mo-ko menjadi marah mendengar dua kali dia dimaki dukun cabul oleh Hay Hay. Tadi ketika Hay Hay muncul, dia tidak mengenal pemuda ini dan baru dia teringat ketika Ji Sun Bi saling tegur dengan pemuda itu. Teringatlah dia bahwa pemuda ini yang pernah dljatuhkannya dengan sihir dan sebelum dibunuh hendak dipermainkan dulu oleh Sun Bi, akan tetapi kemudian muncul Pek Mau San-jin yang kuat sekali ilmu sihirnya sehingga pemuda itu dapat lolos.
"Bagus! Dahulu engkau kebetulan saja dapat melepaskan diri, sekarang jangan harap lagi, orang muda!" Kakek itu lalu menggosok kedua telapak tangannya, mulutnya berkemak-kemik, matanya mencorong menatap wajah Hay Hay, kemudian dia mengembangkan kedua lengannya dengan telapak tangan menghadap ke arah Hay Hay dan terdengar suaranya melengking tinggi.
"Orang muda, tidurlah engkau! Tidurlah, karena engkau merasa lelah dan mengantuk sekali!" Suaranya bergema mengerikan dan mempunyai pengaruh amat kuat
Hay Hay tentu saja sudah bersiap siaga menghadapi ilmu sihir kakek itu. Dia mengerahkan tenaga batinnya, menangkis bahkan melontarkan kekuatan yang menyerangnya itu kembali kepada Si Penyerang, ditambah lagi oleh kekuatan sendiri yang bergelombang amat kuatnya. "Bagus, kakek kurus, bagus sekali, tidurlah engkau!"
Min-san Mo-ko sama sekali tidak pernah mengira bahwa pemuda di depannya itu sama sekali berbeda dengan pemuda yang pernah dirobohkannya dengan sihir! Kini dia berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kekuatan sihir yang hebat, jauh lebih kuat daripada ilmu sihirnya sendiri. Dia tidak tahu betapa kekuatan sihirnya tadi ditangkis dan dikembalikan oleh Hay Hay kepadanya, bahkan ditambah oleh kekuatan pemuda itu sendiri. Tahu-tahu dia merasa mengantuk bukan main, menguap dan tubuhnya terkulai, terus rebah di atas tanah tidur mendengkur!
Melihat keadaan gurunya yang juga menjadi kekasihnya, terkejutlah Ji Sun Bi. Hampir ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Biasanya, gurunya amat lihai dalam ilmu sihir dan sekali memerintah orang, tentu akan berhasil. Kini gurunya memerintah Hay Hay untuk tidur, akan tetapi mengapa hasilnya bahkan gurunya sendiri yang tidur mendengkur" Ia pun menubruk dan mengguncang pundak Min-san Mo-ko, mengerahkan sin-kang dan berseru, "Suhu, bangunlah! Bangunlah!"
Sebagai seorang ahli sihir yang berpengalaman, tentu saja Min-san Mo-ko menyadari bahwa dia telah terpukul oleh serangannya sendiri namun tadi terlambat dia menyadari hal ini sehingga dia keburu terpengaruh dan pulas. Kini gugahan Ji Sun Bi membuat dia terbangun dan dengan muka merah dia meloncat berdiri, memandang kepada pemuda yang masih senyum-senyum itu. Dia teringat akan ilmu sihirnya yang paling kuat. Sejenak dia diam mengerahkan seluruh kekuatannya, kemudian tiba-tiba saja kedua matanya mencucurkan air matanya dan dia menangis sesenggukan! Sungguh penglihatan yang lucu dan aneh sekali! Kakek Min-san Mo-ko menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran sambil memandang kepada Hay Hay.
"Huu-uhu-hu-huuu ?"!" Dia menangis dan mengeluh, "Hidup begini ".. sengsara... penuh duka... uhu-hu-huuuu "..!"
Tangis biasa saja sudah amat menular, memiliki kekuatan untuk menyeret orang lain ikut menangis, apalagi tangis Min-san Mo-ko ini, tangis yang mengandung kedukaan sihir amat dahsyat. Bahkan Ji Sun Bi, yang biarpun sudah tahu bahwa gurunya melakukan sihir, tak dapat menahan diri dan ikut pula menangis!
Hay Hay merasakan getaran yang amat kuat, yang seolah-olah menerkamnya dan menyeretnya, memaksanya untuk ikut pula menangis bersama Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi. Bahkan ingatannya pun membayangkan keadaan dirinya, yang sebatang kara, yang tidak memillki apa-apa di dunia ini, terbayang olehnya betapa sunyinya hidup, betapa dia menderita kesepian. Mau rasanya dia mengguguk menangis seperti anak kecil. Akan tetapi kesadarannya membuat dia waspada dan dapat melihat bahwa semua ini hanyalah karena kekuatan sihir lawan! Dia membiarkan air matanya jatuh menitik ke atas pipinya, kemudian dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata dengan suara menghibur.
"Sudahlah, Kakek yang malang, jangan terlalu berduka, hal itu dapat mengganggu kesehatanmu."
Biasanya, orang yang sedang bersedih kalau mendengar kata-kata hiburan, kedukaannya menjadi penuh keharuan yang membuatnya menangis semakin sedih. Demikian pula dengan Min-san Mo-ko, karena kekuatan sihirnya tidak cukup kuat untuk mengalahkan Hay Hay, kini sebaliknya dia malah terseret oleh kekuatan sihir yang dilepas Hay Hay. Mendengar kata-kata hiburan itu, dia pun menangis semakin hebat, tidak lagi hanya mengguguk, bahkan kini melolong-lolong dan tak lama kemudian dia pun bergulingan di atas tanah sambil menangis seperti anak kecil!
Melihat keadaan gurunya ini, Ji Sun Bi terkejut sekali, akan tetapi ia pun tidak berdaya karena ia pun menangis semakin hebat, terseret pula oleh pengaruh sihir yang dilepas Hay Hay! Guru dan murid itu bertangis-tangisan dengan amat sedihnya, sampai keduanya megap-megap dan sukar bernapas seperti tercekik oleh tangis sendiri.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan- muncul dua orang berpakaian pendeta. Melihat gambar teratai di dada mereka, mudah dikenal bahwa mereka adalah dua orang pendeta Agama Pek-lian-kauw. Seorang di antara mereka membanting sesuatu, terdengar suara meledak dan tempat itu penuh tertutup asap hitam. Hay Hay mempergunakan kedua lengannya untuk mengebut dan mengusir asap, akan tetapi setelah asap hitam menghilang, tidak nampak lagi Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi di situ. Ternyata mereka berdua telah dilarikan oleh dua orang teman mereka dari Pek-lian-kauw!
Hay Hay tidak peduli dan cepat dia menyerbu ke dalam pertempuran. Hui Lian yang memegang pedang dikeroyok banyak orang, akan tetapi pemuda berpakalan putih itu sedemikian hebat permainan pedangnya sehingga biarpun ada belasan orang lihai mengeroyoknya, mereka tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedang itu! Metihat ini, Hay Hay lalu menepuk pundak seorang lawan yang mengeroyok, lalu orang ke dua. Dua orang itu membalik, kemudian mereka berdua saling hantam sendiri karena dalam pandangan mereka, masing-masing merupakan musuh yang harus dihantam, bukan kawan lagi! Hay Hay melakukan hal yang sama kepada dua orang pengeroyok lain dan tak lama kemudian, para pengeroyok Hui Lian itu telah saling hantam sendiri antara teman mereka!
Tentu saja Hui Lian sendiri menjadi bingung metihat ulah para pengeroyoknya itu, demikian pula orang-orang Miao yang kini dengan enaknya memukuli para penyerbu yang saling hantam itu. Melihat keadaan ini, Siangkoan Leng dan isterinya, Ma Kim Li, juga suami isteri Kwee Siong dan Tong Ci Ki, menjadi terkejut dan gentar. Mereka lalu berloncatan dan melarikan diri dari tempat itu.
Sisa anak buah atau teman-teman mereka, hanya setengahnya yang akhirnya lolos melarikan diri membawa luka-luka ketika mereka diserbu oleh suku Miao. Ada tujuh orang di antara mereka yang tewas dalam pertempuran itu, beberapa orang lagi luka-luka dan merangkak pergi, dibiarkan saja oleh orang-orang Miao yang sibuk merawat teman-teman sendiri yang terluka. Pesta yang gembira itu berubah menjadi suasana berkabung karena diantara suku Miao ada beberapa orang pula yang tewas.
Kepala suku menghaturkan terima kasih kepada Hui Lian dan Hay Hay karena jelas bahwa dua orang inilah yang telah mengusir para perampok tadi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hui Lian untuk memberi tahu kepada kepala suku. "Saya akan melakukan pengejaran terhadap mereka dan meninggalkan perkampungan ini. Akan tetapi saya minta dengan sangat agar Nian Ci dikawinkan dengan Kiao Yi karena keduanya sudah saling mencinta. Maukah kalian memenuhi permintaanku itu?"
Kepala suku dan keluarganya menyatakan setuju dan Hui Lian lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sekali berkelebat, tubuhnya telah lenyap dari situ, membuat orang-orang Miao melongo.
"Ha-ha, aku pun harus pergi!" kata Hay Hay dalam bahasanya sendiri, dan orang-orang pun hanya melihat pemuda itu berkelebat lenyap. Muncul dan lenyapnya dua orang muda itu tak pernah dilupakan oleh orang-orang Miao di perkampungan itu. Mereka yang masih percaya akan tahyul percaya bahwa kedua orang itu tentulah penjelmaan para dewa yang sengaja hendak menolong mereka dari serbuan para perampok tadi. Dan Kiao Yi juga tidak pernah membuka rahasia bahwa pemuda berpakaian putih itu adalah seorang wanita menurut pengakuan orang itu sendiri. Dia sendiri masih belum yakin benar, akan tetapi dia takut untuk membuka rahasia ini, biar kepada isterinya sendiri sekalipun. Hal itu disimpannya sendiri sebagai suatu rahasia keramat.
"Heiii, sobat, tunggu dulu!" Hay Hay berteriak-teriak memanggil bayangan putih yang berlari cepat di depan itu. Tentu saja Hui Lian mendengar teriakan ini, akan tetapi ia mempercepat larinya karena ia ingin menguji sampai di mana kepandaian berlari cepat pemuda bercaping yang aneh itu. Melihat betapa orang yang dikejarnya itu semakin ngebut, Hay Hay juga mengerahkan tenaganya dan dia pun berlari dengan amat cepatnya. Sebetulnya kalau dilihat dari gemblengan yang mereka peroleh, dalam hal ginkang Hay Hay masih menang tingkat karena pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang berdasarkan ginkang dari See-thian Lama atau Go-bi San-jin, yaitu terutama sekali Ilmu Yan-cu-coan-in (Walet Terbang Menembus Awan) yang membuat tubuhnya ringan dan dia dapat berlari secepat kijang. Akan tetapi, di samping ilmu-ilmu silat tinggi yang telah dipelajari oleh Hui Lian dari Ciang Su Kiat, juga wanita ini telah mewarisi ilmu peninggalan dari dua orang di antara Delapan Dewa, dan terutama sekali yang membuat tubuhnya ringan adalah akibat makanan aneh berupa jamur-jamur yang dimakannya selama sepuluh tahun dalam guha terasing. Inilah sebabnya mengapa kekalahannya dalam hal ilmu meringankan tubuh dapat ditebusnya dan kini keadaan mereka berimbang. Jarak di antara mereka tidak menjadi lebih jauh atau lebih dekat. Melihat kenyataan ini, kembali keduanya terkejut dan kagum.
Karena Hui Lian hanya ingin menguji, dan ia pun ingin berkenalan lebih dekat dengan pemuda bercaping yang menarik Itu, akhirnya ia berhenti di lereng sebuah bukit sehingga dalam beberapa detik saja Hay Hay sudah menyusulnya.
"Wah, sobat, larimu seperti kijang saja"' Hay Hay memuji ketika mereka sudah berdiri berhadapan. Hui Lian tidak menjawab, melainkan menatap wajah pemuda di depannya itu dengan penuh perhatian. Seorang pemuda yang tampan, dengan wajah yang cerah gembira. Dadanya bidang, tubuhnya yang berukuran sedang itu tegap dan jelas membayangkan tenaga kuat yang dikandungnya. Matanya selalu bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum-senyum penuh daya tarik, dan hidungnya yang mancung itu seperti orang yang selalu mengejek. Pakaiannya sederhana, berwarna biru muda dengan garis-garis kuning di tepinya. Punggungnya membawa buntalan pakaian dan sebuah caping lebar kini tergantung di atas buntalan itu, seperti perisai melindungi tubuh belakangnya. Seorang pemuda yang masih muda sekali, hanya kurang lebih dua puluh tahun! Hui Lian yang usianya sudah sekitar tiga puluh tahun itu menganggap Hay Hay masih remaja!
Karena merasa dirinya diamati orang, Hay Hay pun mempergunakan kesempatan itu untuk balas mengamatinya. Seorang pemuda yang tubuhnya agak kecil dan ramping, pakaiannya serba putih, wajahnya tampan sekali, kulit mukanya begitu halus kemerahan, sepasang matanya yang jeli itu seperti sepasang bintang yang selalu memancarkan sinar, akan tetapi dari mata yang jeli itu, hidung kecil mungil yang agak berjungkit ke atas, mulut dengan bibir yang kemerahan dan indah bentuknya itu, dagu yang meruncing, membayangkan kekerasan hati!
Setelah beberapa lamanya mereka saling pandang dan saling mengamati, Hui Lian lalu bertanya, "Ada keperluan apakah engkau mengejar aku?"
Hay Hay memperlebar senyumnya. Dia sudah beberapa kali berhadapan dengan pemuda ini, yang dia taksir usianya hanya beberapa tahun lebih tua darinya, dan sikap pemuda berpakaian putih ini selalu keras dan tidak bersahabat! Akan tetapi, dia sudah melihat sepak terjang orang ini, dan biarpun sikapnya keras dan galak, namun sesungguhnya orang ini memiliki watak yang gagah, seorang pendekar sejati. Bukankah dia telah membela penggembala domba dan dengan gagah beraninya menghadapi pengeroyokan dua pasang suami isteri iblis itu" Kemudian, dia bahkan mewakili seorang pemuda Miao untuk memenangkan sayembara dan menjodohkan sepasang orang muda yang saling mencinta itu, dan betapa gagahnya ketika dia menyambut serbuan golongan jahat itu untuk membela orang-orang Miao!
"Aku ingin mengenalmu lebih dekat Toako (Kakak)." kata Hay Hay dan melihat betapa alis yang hitam itu mengerut, dia cepat melanjutkan, "bukankah sebenarnya kita telah lama saling berkenalan" Kita bekerja sama menolong penggembala, kita bahkan sudah sama-sama menjadi rekan peserta sayembara, dan sama-sama pula menghadapi gerombolan tadi. Nah, salahkah kalau aku ingin mengenalmu lebih dekat?"
Di dalam hati kecilnya, Hui Lian sebenarnya juga ingin sekali berkenalan dengan pemuda bercaping yang lihai ini, akan tetapi wataknya yang angkuh, apalagi sebagai seorang wanita, tentu saja ia merasa malu untuk menyatakan perasaan hatinya ini dan untuk menyembunyikan perasaannya, ia menjawab ketus.
"Aku tidak ada waktu untuk berkenalan dan banyak bicara, aku harus mengejar orang-orang tadi!"
Hay Hay melebarkan matanya. "Ah, kebetulan sekali! Aku pun mempunyai niat yang sama. Aku merasa curiga dengan munculnya orang-orang seperti mereka itu, tokoh-tokoh sesat yang kenamaan!"
"Kau mengenal mereka ?"
Hay Hay mengangguk, maklum bahwa hal itu menarik perhatian pemuda galak dan angkuh ini, maka dia pun bersikap penuh rahasia dan hanya mengangguk. Benar saja, Hui Lian merasa penasaran, apalagi teringat betapa tadi hampir saja ia celaka oleh ilmu sihir kakek kurus itu.
"Siapa mereka?"
"Bukankah akan makan waktu lama untuk bercakap-cakap?" Hay Hay mengingatkan, lalu disambungnya cepat, teringat akan watak galak orang itu. "Bagaimana kalau kita melanjutkan pengejaran, dan nanti saja bercakap-cakap kalau kita sudah berhasil menyusul mereka?"
Hui Lian mengangguk dan tanpa bicara lagi keduanya lalu melanjutkan lari mereka mendaki bukit karena gerombolan tadi pun melarikan diri naik ke bukit itu. Mereka lari dengan Hui Lian di depan, Hay Hay di belakangnya, dekat di belakangnya. Dan kembali Hay Hay mencium keharuman yang aneh itu. Dia masih mengira bahwa pemuda pakaian putih di depannya ini pesolek dan suka memakai wangi-wangian, sama sekali tidak pernah menduga bahwa bau harum itu tercium karena Hui Lian mulai berkeringat dan memang keringat Hui Lian mengeluarkan bau harum sebagai akibat dari makanan jamur selama sepuluh tahun!
Karena kedua orang itu mempergunakan ilmu berlari cepat yang tinggi tingkatnya, tubuh mereka berkelebatan cepat dan tak lama kemudian mereka telah berhasil menyusul gerombolan yang melarikan diri tadi. Setelah tiba di balik bukit, gerombolan itu tidak berlari lagi, tidak tahu bahwa mereka dikejar dan kini dibayangi oleh dua orang muda yang membuat mereka lari ketakutan itu.
"Apakah kita akan menyerang mereka?" tanya Hay Hay kepada Hui Lian ketika mereka berdua mengintai dari balik pohon-pohon, melihat gerombolan itu berhenti mengaso sambil mengobati teman-teman yang terluka di bawah pohon besar di kaki bukit sebelah sana.
"Tidak, aku ingin melihat apa yang akan dilakukan gerombolan itu" Mereka berkepandaian tinggi, rasanya tidak mungkin kalau mereka itu gerombolan perampok biasa saja yang hendak merampok perkampungan Miao yang miskin."
Hay Hay mengangguk-angguk. "Dugaanmu benar, Toako. Aku pun yakin mereka itu bukan perampok-perampok biasa, apalagi melihat dua pasang suami isteri iblis dan wanita cabul bersama gurunya itu."
Kini tiba waktunya untuk bercakap-cakap sambil membayangi gerombolan itu, pikir Hui Lian. "Kau tadi mengatakan bahwa kau mengenal mereka" Siapakah mereka itu?"
Hay Hay memandang Hui Lian sambil tersenyum, "Toako yang baik, sebelum engkau mengenal mereka, bukankah lebih baik kalau mengenal aku lebih dulu" Kita sudah bekerja sama akan tetapi belum saling mengenal." Dengan gaya lucu dan gembira Hay Hay bangkit dan memberi hormat dengan bersoja kepada Hui Lian. "Toakot namaku Hay dan kalau boleh aku mengetahui namamu ".."
Hui Lian juga membalas penghormatannya dan menjawab, "Namaku Hui Lian, Kok Hui Lian. Siapa nama lengkapmu, apa nama keturunanmu?"
"Namaku hanya Hay saja dan orang memanggil aku Hay Hay. Tentang nama keturunan... aku tidak punya. Namamu indah sekali. Kok-toako (Kakak Kok), membayangkan kelembutan cocok dengan keadaan dirimu yang amat tampan ini."
Hui Lian menatap wajah Hay Hay, diam-diam memperhatikan kalau-kalau pemuda ini sudah dapat menduga bahwa ia seorang wanita. Akan tetapi karena ia tidak melihat tanda-tanda itut ia pun merasa lega dan tersenyum pula. Senyum yang pertama kali dan kembali Hay Hay memandang kagum. Tampan bukan main orang ini kalau tersenyum. Sayang jarang tersenyum, dan wajahnya lebih sering membayangkan kedinginan dan kekerasan hati.
"Berapa usiamu?" tanya Hui Lian.
"Dua puluh satu tahun. Engkau tentu lebih tua satu dua tahun daripada aku, Toako."
Hui Lian hanya mengangguk-angguk, diam-diam merasa girang bahwa ia nampak jauh lebih muda daripada usia sebenarnya. Usianya sudah tiga puluh tahun dan Hay Hay ini mengira bahwa ia baru berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun! Hati wanita mana yang tidak akan girang kalau dianggap lebih muda daripada usia sebenarnya"
"Sekarang ceritakan siapa mereka itu." katanya mengalihkan percakapan karena ia tidak ingin mereka bicara tentang dirinya.
"Lihat baik-baik, kakek tinggi besar itu bernama Siangkoan Leng, dan nenek yang masih nampak cantik di sebelahnya itu bernama Ma Kim Li. Keduanya merupakan suami isteri yang amat terkenal dengan julukan Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan). Dan suami isteri ke dua itu juga amat terkenal dan tidak kalah jahatnya. Kakek pakaian hitam tinggi kurus yang mukanya tampan dingin seperti memakai kedok itu adalah Si Tangan Maut Kwee Siong. Nenek berpakaian hitam yang cantik akan tetapi mukanya pucat seperti mayat itu adalah Si Jarum Sakti Tong Ci Ki. Mereka itu dikenal sebagai suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, sama jahatnya dengan Lam-hai Siang-mo dan di daerah selatan nama mereka berempat sudah terkenal sekali."
"Aku pernah mendengar nama mereka." kata Hui Lian. "Dan siapa wanita cantik yang mempergunakan siang-kiam (pedang pasangan) itu" Siapa pula kakek kurus pucat yang lihal itu?"
Hay Hay memandang ke arah Ji Sun Bi dan teringatlah dia akan semua pengalamannya dengan wanita itu. Wajahnya berubah merah karena malu ketika dia terkenang betapa dla pernah menerima pelajaran bagaimana caranya orang bercumbuan dari wanita yang amat berpengalaman itu. Harus diakuinya bahwa dia pernah dibakar nafsu yang dibangkitkan oleh wanita itu dan masih untung bahwa batinnya cukup kuat untuk mengatasi gelora nafsu berahinya sendiri.
"Wanita itu amat berbahaya dan lihai, namanya Ji Sun Bi dan kalau tidak salah julukannya adalah Tok-sim Mo-li. Kakek kurus pucat itu lebih lihai dan berbahaya lagi karena selaln tinggi ilmu silatnya, dia pun seorang ahli sihir dan nama julukannya Min-san Mo-ko."
Hui Lian memandang wajah Hay Hay penuh kagum. Pemuda ini memang masih muda sekali, akan tetapi ternyata pengalamannya telah luas sehingga mengenal tokoh-tokoh kang-ouw.
"Hay-te (Adik Hay), ternyata engkau telah banyak mengenal tokoh kang-ouw. Engkau begini muda sudah memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman luas!"
Hay Hay tersenyum. "Aih, Toako jangan terlalu memuji. Dibandingkan dengan Toako, aku belum apa-apa."
"Jangan merendah, Hay-te. Tadi ketika aku berhadapan dengan Min-san Mo-ko, hampir aku celaka oleh sihirnya." Hui Lian bergidik mengenang peristiwa itu. "Bagaimana engkau dapat menandingi dia yang ahli dalam ilmu sihir itu?"
"Kebetulan sekali aku pernah mempelajari cara untuk menolak pengaruh sihir, Toako. Dalam hal ilmu silat, guru dan murid itu jelas bukan tandinganmu. Kulihat ilmu silatmu hebat bukan main, kalau boleh aku mengetahui, siapakah Gurumu, Toako" Dari perguruan manakah?"
Hui Lian menarik napas panjang dan teringat akan suhengnya. "Aku tidak punya guru, aku bersama Suheng menemukan kitab-kitab ilmu silat dan kami mempelajarinya bersama. Sudahlah, hal itu tidak penting. Akan tetapi engkau sendiri yang masih begini muda, dari mana engkau memperolah ilmu kepandaian begini tinggi?"
"Wah, Guruku banyak sekali, Toako. Jadi kepandaianku adalah semacam cap-jai, campuran macam-macam. Dasar aku yang tolol, makin banyak diberi pelajaran, semakin bingung dan bodoh saja." Hay Hay mengelak. "Ah, mereka sudah bergerak lagi, Toako. Mari kita bayangi mereka."
"Tidak perlu!" tiba-tiba Hui Lian berkata ketus. "Aku ingin bercakap-cakap dulu denganmu!"
Hay Hay terkejut. Kenapa mendadak saja orang ini demikian ketus" "Kenapa" Bukankah kita bermaksud untuk membayangi mereka?" kata Hay Hay sambil memandang ke arah gerombolan itu yang mulai meninggalkan tempat di mana mereka tadi beristirahat.
"Nanti dulu, engkau harus menceritakan dulu dari mana engkau memperoleh semua ilmu tadi, ilmu silat tinggi dan juga ilmu menolak kekuatan sihir. Aku harus tahu lebih dulu siapa sebenarnya engkau ini, kawan ataukah lawan."
Hay Hay tersenyum menatap wajah yang tampan itu. "Toako, engkau sungguh aneh. Apakah masih juga sangsi terhadap diriku yang sudah bekerja sama denganmu menghadapi gerombolan tadi" Kalau aku bukan kawanmu, tentu kita tidak bekerja sama.."
"Akan tetapi aku ingin tahu siapa Gurumu!" Hui Lian mendesak.
"Kok-toako, sudah kukatakan bahwa Guruku banyak sekali sampai aku tidak ingat lagi, dan perlu apa mengenal guru-guru kita" Aku pun tidak bertanya siapa Gurumu."
Hui Lian mengerutkan alisnya. Pemuda ini bukan orang sembarangan, dan biarpun tadi sudah bekerja sama dengannya menghadapi gerombolan, namun ia belum mengenal benar siapa sesungguhnya dia. Dan sikapnya demikian ramah dan pandai mengambil hati. Masih ada perasaan curiga bahwa pemuda ini seorang laki-laki mata keranjang, mengingat betapa tadi mengikuti sayembara memperebutkan seorang gadis Miao yang cantik. Selain itu, juga timbul rasa penasaran dalam hati Hui Lian untuk menguji sampai di mana kelihaian pemuda ini, karena ketika mereka bertanding dalam sayembara, mereka, terutama pemuda itu, tidak bertanding dengan sesungguhnya. Hal ini membuat ia merasa penasaran sekali. Bagaimanapun lihainya, pemuda ini baru berusia dua puluh satu tahun, masih remaja, dan tak mungkin ia tidak mampu mengalahkannya!
"Kalau engkau tidak mau memberitahu siapa Gurumu pun tidak mengapa karena dengan bertanding, aku akan dapat mengenal ilmu silatmu. Mari kita main-main sebentar untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai, melanjutkan pertandingan dalam sayembara yang tidak sungguh-sungguh itu."
Melihat Hui Lian kini memasang kuda-kuda menghadapinya, siap untuk menyerang, Hay Hay terkejut. Akan tetapi dia tersenyum dan memandang kepada Hui Lian seperti melihat sesuatu yang lucu. "Wah, Toako, apa-apaan lagi ini" Kenapa engkau menantang aku" Apa lagi sekarang yang akan kita perebutkan" Dia menoleh ke kanan kiri. "Tidak ada gadis cantik jelita untuk kita perebutkan sekarang!"
Wajah Hui Lian berubah merah dan hatinya terasa panas. "Engkau mata keranjang, yang dipikirkan hanya gadis cantik saja!" bentaknya. "Sekali ini kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Sambutlah!" Tanpa banyak cakap lagi, begitu Hay Hay bangkit berdiri, Hui Lian sudah menyerangnya dengan gerakan cepat dan mantap. Hay Hay terkejut. Serangan itu bukan main-main, bahkan berbahaya sekali. Dia pun cepat meloncat ke samping untuk menghindarkan pukulan tangan miring yang mengarah lehernya itu. Akan tetapi, begitu pukulannya luput, Hui Lian telah menyusulkan lagi totokan-totokan yang bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama di tubuh Hay Hay.
"Ahh... ehhh... wah, apakah engkau sudah gila, Toako?" Hay Hay berseru kaget dan repot mengelak dan menangkis menghadapi serangkaian serangan yang benar-benar amat berbahaya itu. Setiap serangan yang dilakukan lawan itu merupakan ancaman maut dan terhadap serangan seperti itu, dia sama sekali tidak boleh main-main atau lengah. Akan tetapi, melihat betapa semua serangannya gagal dan pemuda itu memakinya gila, Hui Lian menjadi semakin penasaran dan marah. Setelah serangkaian totokannya tadi gagal, Hui Lian juga terkejut dan maklum bahwa Hay Hay memang lihai sekali, maka tanpa ragu-ragu lagi ia pun mulai memainkan Sian-eng Sin-kun yang amat hebat untuk mendesak lawan.
Di lain pihak, melihat gerakan lawan, Hay Hay diam-diam terkejut bukan main. Dalam pertandingan sayembara tadi, ketika mereka saling totol dengan mouw-pit, dia pun sudah tahu bahwa pemuda berpakaian putih yang tampan ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sekarang barulah dia melihat betapa Kok Hui Lian memang hebat sekali ilmu silatnya. Gerakannya demikian ringan dan cepat sehingga tubuhnya berkelebat menjadi bayangan putih yang menyambar-nyambar, dengan pukulan-pukulan cepat yang sukar diikuti dan diduga ke mana arah selanjutnya. Maka dia pun cepat mengeluarkan kepandaiannya, mengerahkan ginkang yang dipelajarinya dari Ciu-sian Sin-kai dan mempergunakan tenaga sinkang yang dipelajarinya dari Go-bi San-jin atau See-thian Lama! Dan kini Hui Lian yang terkejut bukan main. Kiranya bocah ini dapat mengimbangi kecepatan gerak tubuhnya, dan setiap kali lengan mereka beradu, dirasakannya betapa tubuhnya tergetar dan lengannya nyeri, tanda bahwa bocah itu memiliki tenaga yang tidak kalah kuat dibanding dirinya! Memang, kalau dibuat ukuran, baik kecepatan, tenaga maupun kelihaian ilmu silat kedua orang ihi tidak banyak selisihnya. Kalau saja Hay Hay mau mempergunakan kekuatan sihirnya, tentu dia akan dapat mengalahkan Hui Lian. Akan tetapi Hay Hay tidak mau melakukan hal ini. Dia dapat menduga bahwa lawannya ini merupakan seorang pemuda halus yang berwatak angkuh, tidak mau dikalahkan, maka dalam pertandingan itu pun, dia hanya berusaha mengimbanginya saja, membalas setiap serangan tanpa keinginan untuk merobohkan lawan yang memang tidak mudah dilakukannya.
Setelah lewat seratus jurus, barulah Hui Lian merasa yakin benar bahwa pemuda ini memang hebat, kalau tidak lebih lihai darinya, setidaknya juga setingkat. Makin kagumlah ia, dan makin suka karena baru sekarang ia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian menarik.
"Haiiiittt ?"!" Tiba-tiba Hui Lian mengeluarkan suara melengking nyaring ketika tubuhnya melayang ke atas dan menukik dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah lawan, ke ubun-ubun dan leher! Hay Hay terkejut bukan main. Dia mengelak, namun masih kurang cepat karena tangan kiri Hui Lian sudah mencengkeram pundaknya. Hay Hay mengerahkan tenaga sinkang untuk membuat pundaknya kebal, lalu menangkis dengan keras.
"Brettt ".!" Baju di bagian pundak Hay Hay terobek lebar, akan tetapi tangkisan itu membuat tangan Hay Hay meleset dan menyentuh dada Hui Lian. Dia hampir berteriak saking kagetnya ketika merasa gumpalan daging yang lembut di dada pemuda berpakalan putih itu! Hay Hay terbelalak memandang dan baru sekarang dia menginsyafi bahwa pemuda berpakaian putih di depannya itu adalah seorang wanita! Pantas saja wajahnya demikian tampan, kulitnya demikian halus! Dan kini keharuman yang luar biasa menyengat hidungnya. Wanita ini basah oleh keringat, dari dahi sampai lehernya penuh keringat, akan tetapi mengapa kini keharuman itu makin semerbak" Apakah keringatnya yang berbau harum itu" Hay Hay makin terbelalak, menatap wajah Hui Lian dengan penuh takjub.
"Maaf... maafkan aku... tidak sengaja ".." katanya gagap teringat betapa tadi tanpa disengaja ia telah menyentuh payudara wanita itu!
Wajah Hui Lian berubah kemerahan. Ia pun tahu bahwa pemuda itu tidak sengaja, akan tetapi bagaimanapun juga, kini rahasianya telah terbuka. Pemuda itu telah tahu bahwa ia adalah seorang wanita. Tadinya ia akan marah sekali dan ingin menyerang lagi karena pemuda itu berani menyentuh dadanya, akan tetapi, ia pun tahu diri, maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, tentu sentuhan pada dadanya tadi akan dapat berubah menjadi totokan atau pukulan yang mematikan! Ternyata sejak tadi, Hay Hay telah mengalah terhadap dirinya. Maka kemarahannya berubah menjadi perasaan malu dan tanpa banyak cakap lagi, setelah mereka saling pandang sejenak, Hui Lian membalikkan tubuhnya dan meloncat pergi, melarikan diri dengan amat cepatnya.
"Toako...! Ehh... Enci yang baik ".!" Hay Hay berteriak, akan tetapi Hui Lian telah lari jauh dan Hay Hay tidak berani mengejar karena takut kalau-kalau gadis itu akan menjadi semakin marah. Dia pun berdiri termenung, kemudian tersenyum-senyum nakal sambil mencium tangan kanannya yang tadi menyentuh dada. Bukan main, pikirnya! Seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, menyamar sebagai pria. Dan keringatnya berbau harum! Dia pun segera melanjutkan perjalanan ke arah perginya gerombolan tadi karena dia mengambil keputusan untuk membayangi mereka dan melihat apa yang akan dilakukan oleh gerombolan kaum sesat yang lihai itu.
** Perahu itu besar, paling besar di antara perahu-perahu lain yang berada di Telaga Tung-ting. Memang perahu itu paling besar, karena pembesar setempat memang menyediakan perahu itu untuk keperluan Jaksa Kwan yang berlibur dan pelesir di telaga bersama keluarganya. Dan semua pejabat setempat tunduk dan takut kepada Jaksa Kwan, seorang pembesar yang keras dan memegang teguh hukum, tegas dan sama sekali tidak pernah mau disogok. Kwan-taijin (Pembesar Kwan) terkenal sekali sebagai seorang jaksa yang menentang kejahatan, dan bersikap keras sekali terhadap pelanggar hukum, terhadap kaum penjahat sehingga dia dibenci oleh golongan hitam, akan tetapi sebaliknya dia amat dikagumi dan dihormati oleh para pendekar yang menjunjung kebenaran dan keadilan. Pada waktu itu, jaranglah terdapat seorang pejabat pemerintah seperti Kwan-taijin. Hampir semua pejabat, dari yang paling kecil sampai yang paling besar, pada waktu itu merupakan koruptor-koruptor yang tidak segan-segan melakukan segala macam penindasan terhadap rakyat atau pencurian terhadap pemerintah untuk menggendutkan perut sendiri. Oleh karena itu, Jaksa Kwan merupakan seorang yang sukar ditemukan keduanya. Kejujuran dan keadilannya membuat dia ditakuti para penjahat dan disegani para pendekar, akan tetapi juga mendatangkan hal lain yang membahayakan, yaitu dia dibenci oleh golongan hitam! Akan tetapi, karena Kwan-taijin tidak pernah menyimpan sesuatu pamrih demi keuntungan pribadi atau dendam pribadi, karena dia bertindak tegas keras dan adil demi tegaknya hukum yang dipegangnya, maka, dia pun tidak pernah merasa takut atau terancam. Dan tidaklah aneh kalau seorang pejabat pada waktu itu yang tidak mau mengikuti jejak kawan-kawan dan rekan-rekannya, tidak mau berkorupsi, Kwan-taijin hidup sederhana walaupun tidak kekurangan karena sebagai seorang pejabat tinggi dia memperoleh gaji yang cukup besar. Namun dibandingkan dengan para pejabat lain yang lebih rendah tingkatnya daripada Kwan-taijin, yang biasa hidup berkelebihan dan bergelimang kemewahan, keluarga Kwan-taijin dapat dibilang hidup secara sederhana.
Kini keluarga itu, pada waktu Jaksa Kwan mendapat cuti, mengadakan pelesir di Telaga Tung-ting yang indah. Keluarga pembesar lain kalau berpelesir di telaga ini, tentu akan berpesta pora dalam perahu besar, mengundang gadis-gadis penyanyi dan tukang-tukang musiknya, bahkan banyak pula yang membawa gadis-gadis pelacur. Akan tetapi Jaksa Kwan menikmati masa liburnya dengan memancing ikan di telaga, atau minum arak dan membuat sajak memuji keindahan tamasya alam di telaga itu. Pada sore hari itu, Jaksa Kwan duduk seorang diri di kepala perahu, menghadapi guci dan arak, juga kertas dan alat tulis karena dia sedang minum arak dan menulis sajak. Keluarganya yang tidak besar, hanya seorang isteri dan dua orang anak, mengaso di dalam bilik perahu besar. Seperti sebuah patung, Jaksa Kwan tidak bergerak, termenung dan menikmati keindahan dan kesunyian telaga yang amat luas itu. Dia seorang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian longgar sederhana, kumis dan jenggotnya terpelihara baik -baik, sepasang mata yang lebar itu berwibawa, dan di lehernya tergantung sebuah batu giok yang warnanya belang-belang merah dan hijau, indah sekali. Dia menerima batu giok ini sebagai hadiah dari seorang tokoh pendekar yang merasa kagum kepadanya, dan batu giok ini merupakan sebuah pusaka yang amat langka. Kalau dipakai sebagai kalung, dapat menolak datangnya penyakit, dan batu giok itu pun dapat memunahkan segala macam racun yang bagaimana jahat pun, selain itu juga air yang merendam batu itu semalam suntuk, dapat merupakan obat kuat yang manjur.
Beberapa buah perahu kecil berseliweran di permukaan telaga, ada pula beberapa buah yang bergerak di dekat perahu besar Kwan-taijin. Akan tetapi pembesar ini agaknya tidak memperhatikan perahu-perahu itu, dan sama sekali tidak tahu bahwa di antara perahu-perahu itu terdapat beberapa buah perahu yang ditumpangi penjahat-penjahat besar yang sejak tadi membayanginya! Sebuah perahu kecil yang ditumpangi tiga orang yang memegang joran pancing, meluncur dekat dan tiba-tiba dari atas perahu kecil itu melayang sesosok tubuh ke atas perahu besar. Tanpa menimbulkan guncangan, tubuh itu kini hinggap di atas dek perahu besar, di dekat Kwan-taijin yang masih duduk termenung dan sebelum Kwan-taijin sempat bergerak atau berteriak, tiba-tiba saja tubuhnya tertotok lemas dan di lain saat, tubuh pembesar itu telah dipondong oleh kakek kurus itu dan dibawa melompat ke atas perahu kecil di mana dua orang kawannya telah menanti
Seorang pengawal yang kebetulan melihat peristiwa itu berteriak dan gegerlah pasukan pengawal yang hanya terdiri dari selosin orang itu di atas perahu lain yang berada di belakang perahu besar. Akan tetapi, Min-san Mo-ko yang menawan Kwan-taijin tidak mempedulikan pengejaran para pengawal. Dua orang pembantunya sudah mendayung perahu kecil dengan cepatnya, meluncur pergi ke tengah telaga! Dan ketika perahu pengawal melakukan pengejaran, mereka itu dihadang oleh perahu-perahu kecil yang ditumpangi oleh Ji Sun Bi, Lam-hai Siang-mo, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, dan anak buah mereka. Terjadi pertempuran yang berat sebelah karena dua belas orang pengawal itu sama sekali bukan merupakan lawan berat bagi tokoh-tokoh sesat itu sehingga sebentar saja perahu kecil yang membawa Kwan-taijin lenyap tidak ada yang mengejar! Para pengawal itu pun satu demi satu terlempar ke dalam air dan melihat betapa Min-san Mo-ko berhasil melarikan Kwan-taijin, para penjahat itu pun cepat melarikan diri dengan perahu-perahu mereka, tidak mau menanti datangnya pasukan bala bantuan yang tentu akan tiba di tempat itu.
Sementara itu, setelah merasa aman dari pengejaran para pengawal, Min-san Mo-ko dan dua orang anak buahnya mendarat di tepian yang sunyi. Akan tetapi, tiba-tiba saja sebuah perahu nelayan kecil meluncur dari samping, dan dari dalam perahu itu berkelebat bayangan orang yang meloncat naik pula ke darat, dan tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depan Min-san Mo-ko. Pemuda ini bukan lain adalah Hay Hay! Ketika dia melakukan pengejaran dan tiba di tepi telaga, Hay Hay menyamar sebagai seorang nelayan karena dia melihat beberapa orang penjahat yang pernah dilihatnya menyerbu perkampungan suku Miao, nampak berkeliaran di situ, ada pula yang menunggang perahu! Dia dapat menduga bahwa tentu gerombolan itu sedang hendak melakukan sesuatu di tempat itu, entah apa dia tidak dapat menduga. Maka, dia pun menyamar sebagai nelayan dan menyewa sebuah perahu, mendayung perahunya berkeliling sampai akhirnya dia mengenal Min-san Mo-ko dan dua orang anak buahnya dalam sebuah perahu. Dia tertarik sekali dan membayangi, melindungi mukanya dengan caping lebar. Ketika dia melihat Min-san Mo-ko meloncat ke perahu besar dan menculik seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, dan melihat betapa pasukan pengawal dihadapi anak buah Min-san Mo-ko, tahulah dia bahwa tentu pria yang diculiknya itu seorang pembesar penting. Dia pun cepat mengikuti dari jauh dengan perahunya dan ketika Min-san Mo-ko membawa Kwan-taijin melompat ke darat, dia pun cepat melompat dan kini berhadapan dengan Min-san Mo-ko sambil menyeringai.
"Eh, kiranya Si Dukun Lepus Min-san Mo-ko yang kembali membuat ulah! Hayo lepaskan orang yang kaucilik itu!" bentak Hay Hay. Melihat munculnya pemuda yang kini amat lihai itu, yang bahkan pandai ilmu sihir sehingga dia tidak mungkin lagi menguasainya dengan sihir, Minisan Mo-ko terkejut bukan main.
"Mundur engkau bocah setan!" bentaknya. "Atau... akan kubunuh dulu Jaksa Kwan ini!" Dan dia pun menempelkan pedangnya pada leher Jaksa Kwan yang masih belum mampu bergerak karena tertotok. "Mundur dan jangan mengikuti kami!"
Hay Hay yang cerdik maklum bahwa setelah susah payah menculik orang, tidak mungkin Min-san Mo-ko akan membunuhnya begitu saja. Dia tidak mau digertak, maka dia pun tertawa.
"Ha-ha-ha, Min-san Mo-ko dukun cabul! Aku sama sekali tidak mengenal orang yang kauculik tu. Mau kaubunuh atau tidak, tidak ada hubungannya dengan aku, dan aku tidak akan rugi. Kalau engkau membunuhnya, silakan, akan tetapi jangan harap aku akan dapat melepaskan engkau lagi!"
Gertakan dibalas dengan gertakan dan Min-san Mo-ko menjadi agak bingung. Hatinya sudah khawatir sekali bertemu dengan Hay Hay dan kini dia bahkan digertak oleh pemuda remaja yang lihai itu. Dia tidak tahu betapa diam-diam Hay Hay merasa tegang karena pemuda ini melihat berkelebatnya bayangan putih yang sudah dapat diduganya siapa orangnya.
"Penjahat busuk terimalah kematianmu!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seperti seekor garuda menyambar, Hui Lian telah meloncat dan menerkam ke arah tengkuk Min-san Mo-ko dengan totokan maut!
"Ihhh "..!" Min-san Mo-ko mengelak sambil membabatkan pedangnya ke belakang menyambut serangan Hui Lian. Kesempatan ini memang ditunggu-tunggu oleh Hay Hay. Dia menubruk ke depan dan di lain saat, tubuh Kwan-taijin sudah pindah ke dalam pondongannya! Min-san Mo-ko terkejut, apalagi ketika dua orang pembantunya yang maju hendak membantunya, dirobohkan oleh Hui Lian dengan sebuah tendangan dan tamparan! Dia pun meloncat jauh dan melarikan diri tanpa menoleh lagi! Menghadapi Hay Hay seorang saja dia merasa jerih, apalagi di situ masih muncul pemuda berpakaian putih yang juga sudah diketahui kelihaiannya.
"Terima kasih... Kok-toako." kata Hay Hay, tidak mau menyebut enci karena di situ terdapat Kwan-taijin dan dua orang anggauta gerombolan yang mengaduh-aduh dan memijit-mijit pundak dan kaki yang patah tulangnya.
Hui Lian tidak menjawab, melainkan bertanya tentang Kwan-taijin. "Siapakah orang ini dan mengapa dia diculik?"
Hay Hay membebaskan totokan Kwan-taijin dan pembesar ini setelah mampu bergerak lagi, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada dua orang muda itu.
"Saya adalah Jaksa Kwan dari kota Siang-tan. Banyak penjahat yang memusuhi saya, mungkin untuk membalaskan sakit hati rekan-rekan mereka yang saya tangkap dan tuntut sehingga terhukum berat. Terima kasih kepada Ji-wi Taihiap (Pendekar Besar Berdua) yang telah menyelamatkan saya sehingga saya tidak terbunuh, melainkan kehilangan pusaka saya."
"Pusaka" Pusaka apa yang hilang?"tanya Hay Hay.
"Pusaka batu giok penawar segala racun yang tadinya saya pakai sebagai kalung. Sayang sekali pusaka yang amat langka itu terjatuh ke tangan penjahat. Dia tadi merenggut kalung itu dan disimpannya dalam saku. Ahhh, kalau mereka pergunakan pusaka itu untuk kejahatan, sungguh sayang sekali."
Hui Lian berkata kepada Hay Hay, "Hay-te, antarkan Kwan-taijin ini kembali kepada keluarganya, aku akan mengejar mereka!" Tanpa menanti jawaban, sekali berkelebat nampak bayangan putih dan lenyapnya tubuhnya, membuat Kwan-taijin menarik napas kagum.
"Marilah, Taijin, saya antar kembali ke sana." kata Hay Hay, girang bukan main mendengar suara Hui Lian tadi yang agaknya sudah tidak marah lagi kepadanya dan sebutan Hay-te (Adik Hay) tadi terdengar demikian akrab.
Keluarga Kwan-taijin merasa gembira sekali melihat pembesar itu kembali dalam keadaan selamat. Kehilangan pusaka batu giok itu tidak begitu besar artinya bagi mereka dan setelah menghaturkan terima kasih kepada Hay Hay, keluarga itu cepat-cepat pulang ke Siang-tan diikuti para pengawal yang juga merasa terkejut dan cemas dengan adanya peristiwa tadi.
Hay Hay cepat meninggalkan tempat itu, mempergunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran pula ke arah larinya Min-san Mo-ko yang dikejar oleh Hui Lian tadi. Dia merasa khawatir akan keselamatan Hui Lian karena dia maklum betapa berbahayanya Min-san Mo-ko, apalagi ilmu sihirnya yang sukar dilawan oleh Hui Lian. Dia khawatir, lebih-lebih setelah kini dia tahu bahwa Hui Lian adalah seorang wanita! Seorang gadis yang cantik jelita dan... harum bau keringatnya!
Kekhawatirannya berrtambah ketika dia tiba di luar sebuah hutan dan masih belum juga dapat menemukan jejak mereka, baik jejak Min-san Mo-ko dan teman-temannya maupun jejak Hui Lian. Dia teringat akan dua orang yang tadi terluka oleh Hui Lian, maka cepat dia berlari seperti terbang menuju ke tepi telaga yang tadi. Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan mereka yang hanya dapat berjalan perlahan-lahan karena seorang di antara mereka menderita patah tulang kaki kirinya sehingga hanya dapat berjalan terpincang-pincang. Ketika melihat Hay Hay yang tiba-tiba muncul, mereka terkejut bukan main dan menggigil ketakutan!
Hay Hay tidak mau membuang waktu. Segera dia mengerahkan ilmu sihirnya, memandang tajam dan berkata dengan suara yang amat berwibawa, "Aku ingin kalian mengatakan di mana sarang Min-san Mo-ko. Kalau kalian berbohong, awas! Lihat, aku dapat menjadi seekor raksasa yang akan mengganyang habis kalian!"
Dua orang itu terbelalak dan muka mereka pucat, tubuh mereka menggigil dan mereka berdua jatuh berlutut ketika melihat betapa pemuda yang berada di depan mereka itu benar-benar telah berubah menjadi seorang raksasa yang mukanya mengerikan, mulutnya lebar terbuka dan penuh dengan taring yang runcing!
"Ampun ". ampunkan kami ". Min-san Mo-ko berada di dalam kuil Pek-lian-kauw yang berada di dalam hutan ". di lereng bukit sana "."
Tanpa menanti keternagan lebih lanjut karena sudah cukup baginya, Hay hay berkelebat lenyap dari depan kedua orang itu yang terjungkal pingsan saking takutnya. Kini Hay Hay berlari cepat menuju ke bukit itu dan ketika dia memasuki hutan yang berada di lereng bukit itu, sore telah larut dan cuaca di dalam hutan mulai remang-remang. Tiba-tiba dia mendengar suara beradunya senjata dari tengah hutan. Jantungnya berdebar tegang dan diapun cepat berlompatan ke arah datangnya suara berkelahi itu. tak lama kemudian tibalah dia didepan sebuah kuil tua dan disitu dia melihat Hui Lian yang memegang pedang sedang dikeroyok oleh banyak orang! dan tentu saja Hui Lian terdesak hebat karena pengeroyoknya adalah Min-san Mo-ko, kedua pasang suami isteri iblis, dan masih ada pula beberapa orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai! Tidak nampak iblis betina Ji Sun Bi di situ. Diam-diam Hay Hay merasa lega bahwa Hui Lian belum terluka walaupun terdesak hebat. Agaknya gadis ini telah melindungi dirinya dengan sinkang dan khikang sehingga tidak akan mudah dipengaruhi sihir Min-san Mo-ko sehingga dengan gigih ia masih mampu membuat perlawanan.
"Toako, aku datang membantumu!" teriak Hay Hay dan dia pun mencabut sebuah suling dari pinggangnya, lalu terjun ke dalam perkelahian itu dengan suling di tangan.
"Hay-te, cepat ke sini " kita saling melindungi!" kata Hui Lian sambil memutar pedangnya. Hay Hay yang maklum betapa bahayanya musuh-musuh itu, segera membuka kepungan dengan putaran sulingnya. Terdengar suara senjata beradu dan dua orang anak buah gerombolan itu terjengkang. Hay Hay melompat masuk dan kini sudah berdiri beradu punggung dengan Hui Lian, memutar sulingnya dan menagkis senjata-senjata yang datang menyambar, juga dia menggunakan tangan kiri mendorong ke kanan kiri dan pihak lawan yang kurang kuat tentu terdorong mundur sehingga mereka merasa kaget dan jerih terhadap pemuda yang baru muncul ini.
Legalah hati Hui Lian kini karena tadi ia sudah kewalahan dan kalau Hay Hay terlambat datang, bukan tidak mungkin ia akan segera roboh, tertawan atau tewas. Hatinya merasa gembira dan setiap kali pinggulnya menyentuh Hay Hay dalam gerakan mereka yang saling melindungi, jangtungnya berdebar aneh.
Mereka berdua mengamuk dan setelah banyak anak buah gerombolan roboh oleh pedang Hui Lian dan suling di tangan Hay Hay, mereka menjadi jerih dan kini yang masih mengeroyok hanyalah Min-san Mo-ko, dua pasang suami isteri dari selatan, ditambah lima orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai dan bersenjata tongkat panjang. Beberapa kali tosu dan juga Min-san Mo-ko mencoba ilmu sihir mereka, namun berkat kekuatan sihir Hay Hay, semua serangan mereka tidak mempan. Juga Hay Hay tidak mau mencoba ilmu sihirnya, maklum bahwa dia tidak akan berhasil karena selain Min-san Mo-ko, di situ terdapat lima orang tosu yang kesemuanya memiliki ilmu sihir yang cukup kuat!
Walaupun kedua orang muda itu dikeroyok sepuluh orang pandai, namun mereka sama sekali tidak gentar, dan juga tidak terdesak, walaupun bagi mereka berdua pun tidak mudah untuk dapat melukai para pengeroyok yang lihai itu. Selagi Hay Hay berniat untuk mengajak kawannya melarikan diri, tiba-tiba muncul dua orang di pihak para pengeroyok. Mereka itu bukan lain adalah Ji Sun Bi, wanita cabul itu, dan seorang pemuda yang tampan dan gagah sikapnya.
Ji Sun Bi segera membantu para pengeroyok, menyerang Hui Lian, sedangkan pemuda gagah itu menggunakan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar perak mengeroyok Hay Hay. Ketika menangkis sinar perak itu dengan sulingnya, dia kaget bukan main. Pemuda yang baru datang ini amat kuat sinkangnya, dan pedang itu pun berbahaya sekali karena ujung sulingnya terbabat putus! Kiranya pemuda itu seorang yang amat lihai dan memegang sebatang pedang pusaka yang ampuh. Diam-diam Hay Hay mengeluh. Dengan munculnya pemuda ini dan Ji Sun Bi, jelas bahwa kedudukan dia dan Hui Lian terhimpit dan berat sekali.
Di lain pihak, dengan munculnya Ji Sun Bi yang meyerang dengan siang-kain (sepasang pedang), Hui Lian juga merasa berat dan repot. Wanita cabul itu memang lihai, lebih lihai di bandingkan suami isteri iblis atau para tosu Pek-lian-kauw. Maka kemunculannya membuat Hui Lian terdesak dan hanya mampu menangkis saja, sedikit sekali mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang. Kini ia dan Hay Hay dikeroyok dua belas orang dan ketika ia memperhatikan dengan sudut matanya, ia melihat betapa pemuda yang datang bersama Ji Sun Bi itu pun lihai bukan main.
"Toako, mari kita pergi!" Tiba-tiba terdengar Hay Hay berseru dan tiba-tiba saja Hay Hay tertawa bergerlak. Suara tawanya sampai menimbulkan gema, demikian dalam penuh wibawa. Para pengeroyok terkejut dan tanpa mereka sadari, mereka pun kini tertawa semua, terseret oleh arus yang amat kuat dari getaran suara ketawa Hay Hay. Kesempatan ini di pergunakan oleh Hay Hay untuk menyambar lengan Hui Lian dan diajaknya meloncat keluar dari kepungan!
Pada saat para lawan terpengaruh sihirnya dan tertawa, Hay Hay yang memegang lengan Hui Lian meloncat keluar, akan tetapi hanya sebentar saja Min-san Mo-ko terpengaruh, demikian pula lima orang tosu Pek-lian-kauw. Min-san Mo-ko sudah mebubruk ke depan dengan pedangnya yang menyambar ke arah leher belakang Hay Hay. Pemuda ini mengelak dan tubuhnya diputar. Dia melihat benda mencorong di dada Min-san Mo-ko. Bati giok milik Kwan-taijin! Hay Hay menusukkan suling ke arah mata Min-san Mo-ko, akan tetapi tangan kirinya menyambar dan dia berhasil merampas batu giok yang dikalungkan di leher Min-san Mo-ko. Pada saat itu, lima orang tosu Pek-lian-kauw sudah menubruknya!
Hui Lian membantunya dengan putaran pedang sehingga tongkat para tosu dapat ditangkis. Akan tetapi pada saat itu, ada sinar hitam menyambar dan Hui Lian mengeluh dan terhuyung. Ia telah diserang dengan jarum beracun dari belakang oleh Tong Ci Ki yang berjuluk Si Jarum Sakti, iblis betina dari Guha Iblis Pantai Selatan. Tiga batang jarum kecil memasuki pinggul kanan tanpa dapat ditangkisnya sama sekali sehingga ia terhuyung dan sebelan kaki seperti lumpuh.
Pada saat itu, Hay Hay cepat menyambar tubuh Hui Lian dengan tangan kiri, sedangkan sulingnya di putar cepat. Dua orang tosu Pek-lian-kauw terjungkal roboh, akan tetapi ujung pedang di tangan Min-san Mo-ko juga menyerempet dada Hay Hay, merobek baju dan juga kulit dan daging di dada kananmya.
"Kami tidak ada waktu melayani kalian. Kami pergi, kami menghilang dan kalian tak dapat melihat kami lagi!" terdengar Hay Hay berseru, kini mengerahkan seluruh tenaga sihirnya dan sekali ini dia berhasil baik karena semua musuhnya tiba-tiba menjadi bingung ketika Hay Hay dan Hui Lian lenyap. Beberapa kali Min-san Mo-ko dan para tosu Pek-lian-kauw mengeluarkan bentakan-bentakan untuk memunahkan pengaruh sihir itu, dan akhirnya mereka berhasil juga menyingkrkan pengaruh itu. Akan tetapi semua orang sadar dan mengejar keluar ruangan depan, yang nampak hanya bayangan kedua orang musuh itu memasuki hutan yang sudah menjadi amat gelap. Mengingat akan lihainya dua orang itu, mereka tidak berani melakukan pengejaran di dalam gelap karena hal itu berbahaya sekali bagi mereka.
Min-san Mo-ko membanting-banting kakinya. "Keparat jahanam! Mereka dapat lolos!" Dia mengutuk.
"Jangan khawatir, Mo-ko," kata Si Jarum Sakti Tong Ci Ki. "Pemuda pakaian putih itu telah kuhadiahi tiga batang jarum beracunku, dia tentu takkan mampu berlari jauh dan akan mampus juga."
"Dan aku melihat tadi pedangmu juga telah melukai dada Hay Hay," kata Ji Sun Bi kepada suhung dengan suara menghibur. "Tentu dia tidak akan terlepas dari maut karena pedangmu yang beracun."
Akan tetapi, ucapan dua orang wanita itu agaknya bahkan menambah kejengkelan hati Min-san Mo-ko. "Semoga segala iblis mengutuk mereka!" katanya dengan muka merah dan mata melotot. "Apa artinya luka-luka oleh jarum dan pedang beracun kalau mereka memiliki batu giok mustika itu?"
"Apa" Jadi batu giok itu terampas oleh mereka?"
"Hay Hay keparat itu yang merampasnya dari leherku. Besok setelah terang tanah kita harus melakukan pengejaran. Pemuda itu harus dibunuh, kalau tidak, kelak hanya akan mendatangkan gangguan saja bagi kita. Ahhh, bagaimana kita akan dapat menghadap Giam-lo kalau begini" Jaksa Kwan lolos, dan sekarang mustika batu giok juga terampas orang." Min-san Mo-ko kelihatan marah dan juga bingung, takut akan kemarahan Lam-hai Giam-lo yang menjadi pimpinan mereka.
Kini pemuda tampan yang tadi muncul bersa Ji Sun Bi, melangkah maju dan berkata kepada Min-san Mo-ko, "Mo-ko, kenapa susah amat" Sungguh memalukan kalau kita yang begini banyak sampai tidak mampu membekuk bocah itu. Biarlah aku yang akan mencari dan membekuk mereka, atau setidaknya merampas kembali mustika batu giok itu."
Min-san Mo-ko memandang kepada pemuda itu. Seorang pemuda yang usianya juga masih muda, sebaya dengan Hay Hay, dan pemuda ini pun memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Dia sendiri sudah mengujinya dan memang pemuda ini patut menjadi sekutunya yang boleh diandalkan, walaupun pemuda ini tidak memiliki ilmu sihir. Dalam hal ilmu silat, agaknya dia sendiri pun belum tentu akan mampu mengalahkannya!
"Kita mencari mereka beramai-ramai besok pagi!" Dia hanya dapat berkata demikian karena terhadap pemuda yang baru saja menjadi sekutu mereka ini, dia tidak berani bersikap kasar atau keras.
"Tentang mustika batu giok itu, kiranya Giam-lo juga tidak akan terlalu menyesal karena sebagai gantinya, dia mendapatkan Sim-kongcu sebagai sahabat, dan Sim-kongcu sudah berjanji akan menghadiahkan sebuah benda mustika yang tidak kalah langkanya dibandingkan mustika batu giok itu kepada Lam-hai Giam-lo," kata Ji Sun Bi sambil menggandeng tangan pemuda itu dan mengerling dengan sikap manja. Pemuda yang disebut Sim-kongcu (Tuan Muda Sim) itu hanya tersenyum, kemudian berkata dengan suara yang jelas membayangkan kebanggaan dirinya.
"Batu giok penawar racun seperti itu saja kiranya tidak perlu diperebutkan. Aku memiliki sebuah cawan arak yang dapat dipakai mengenal minuman atau makanan beracun. Cawan itu akan kuhadiahkan kepada Lam-hai Giam-lo sebagai tanda persahabatan, dan kini dapat dipakai sebagai pengganti mustika batu giok yang tak berhasil kita rampas itu
Mendengar janji ini, hati Min-san Mo-ko menjadi agak lega. Setidaknya, kemarahan Lam-hai Giam-lo akan berkurang kalau sebagai pengganti mustika batu giok, dia memperoleh seorang pembantu selihai pemuda ini, apalagi ditambah sebuag cawan pusaka yang langka.
Oleh karena itu, ketika pada keesokan harinya mereka tidak berhasil menemukan jejak Hay Hay dan Hui Lian, Min-san Mo-ko mengajak kawan-kawannya meninggalkan tempat itu dan menghadap Lam-hai Giam-lo memberi laporan.
Siapakah pemuda lihai yang kini agaknya baru saja bersekutu dengan gerombolan itu" Dia bukan lain adalah Sim Ki Liong, atau tadinya memakai she Ciang ketika berguru kepada Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Seperti telah kita ketahui, dengan siasat yang amat cerdik, ketika berusia empat belas tahun, Sim Ki Liong berhasil menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya karena dia pandai membawa diri, memperlihatkan diri sebagai seorang pemuda yang sopan santun, berbakti dan juga amat berbakat, suami isteri pendekar yang biasanya amat cerdik itu dapat dikelabuhi dan dia pun mendapat pelajaran ilmu silat yang hebat dari suami isteri itu selama enam tahun. Tidak pernah suami isteri itu melihat kelakuan buruk Ki Liong selama menjadi murid mereka dan tinggal di pulau itu, sampai kemudian datang puteri cucu perempuan mereka, yaitu Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong. Berkobarlah nafsu berahi dalam diri Ki Liong ketika dia melihat Kui Hong dan hampir tak tertahankan lagi sehingga dia pun bersikap ceriwis dan kurang ajar terhadap Kui Hong sehingga terjadi keributan. Agaknya karena memang sudah merasa pandai dan tidak betah lagi tinggal di pulau itu, setelah terjadi keributan dengan Kui Hong yang menolak keinginannya untuk bermesraan, Ki Liong lalu minggat dari Pulau Teratai Merah sambil membawa beberapa buah benda pusaka dan juga harta dari pulau itu, milik Pendekar Sadis dan isterinya! Di antara benda-benda pusaka itu, dia membawa pergi Gin-hwa-kiam milik Pendekar Sadis, dan juga sebuah cawan pusaka yang amat langka karena minuman atau makanan apa saja yang mengandung racun, kalau ditaruh di dalam cawan, lalu nampak tanda hijau pada cawan perak itu!
Demikianlah, ketika meninggalkan pulau secara minggat, Ki Liong mencari ibunya yang tinggal di sebuah dusun. Hanya beberapa hari saja dia tinggal di situ. Setelah rasa rindu terhadap ibunya terobati, mulailah dia merantau untuk mencari musuh besarnya, pembunuh ayahnya. Menurut ibunya, pembunuh ayahnya itu bernama Siangkoan Ci Kang yang dahulu masih saudara seperguruan dengan ayahnya yang bernama Sim Thian Bu. Kata ibunya, Siangkoan Ci Kang adalah seorang laki-laki yang berkepandaian tinggi dan lengan kirinya buntung sebatas siku. Tidak sukar mencari orang yang buntung lengan kirinya, apalagi kalau orang itu seorang ahli silat yang lihai. Tentu akan mudah dia mencari keterangan di dunia kang-ouw, karena Si Lengan Buntung yang lihai itu tentu dikenal oleh banyak orang kang-ouw. Akan tetapi, ternyata harapannya itu sia-sia dan dugaannya meleset. Memang banyak orang mendengar nama Siangkoan Ci Kang, putera dari mendiang Siangkoang Lojin yang berjuluk Si Iblis Buta, akan tetapi semenjak belasan tahun sampai duapuluh tahun yang lalu, nama Siangkoan Ci Kang tidak pernah lagi muncul di dunia kang-ouw dan tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang tahu di mana adanya jagoan itu.
Hal ini tidaklah aneh karena memang Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu "bersembunyi" di dalam kuil Siauw-lim-si, menjadi orang-orang hukuman sehingga mereka berdua itu seolah-oleh lenyap dari dunia kang-ouw, bahkan dunia ramai.
Ki Liong tidak putus asa dan mencari terus sampai akhirnya dia tiba di daerah Propinsi Hu-nan dekat Telaga Tung-ting dimana dia berjumpa dengan Ji Sun Bi. Seperti kita ketahui, bersama teman-temannya, setelah tidak mampu mengalahkan Hay Hay dan Hui Lian, Ji Sun Bi juga melarikan diri dan seperti yang telah mereka rencanakan, mereka itu berkumpul di dalam kuil tua di mana terdapat para tosu Pek-lian-kauw yang untuk sementara menjadikan kuil itu sebagai tempat persembunyian mereka. Di antara para anggauta gerombolan itu dan Pek-lian-kauw memang sudah ada hubungan baik, apalagi kalau diingat bahwa Min-san Mo-ko sendiri adalah bekas seorang tokoh Pek-lian-kauw.
Ji Sun Bi tidak betah tinggal di kuil tua yang buruk itu dan ia pun berkeliaran keluar kuil, dan mendaki bukit itu, keluar dari dalam hutan. Dan di puncak bukit inilah ia melihat seorang pemuda yang amat menarik hatinya. Seperti biasa, setiap kali bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah, tergeraklah hati Ji Sun Bi dan gairahnya pun timbul. Melihat pemuda itu melangkah seorang diri dari atas puncak bukit menuju turun, Ji Sun Bi cepat mencubit pahanya sendiri sampai kain celananya robek dan kulit pahanya membiru, kemudian ia rebah di atas tanah di dekat jalan setapak sambil merintih-rintih.
Ketika Ki Liong berjalan seenaknya menuruni bukit itu, tentu saja dia melihat seorang wanita yang rebah miring di atas tanah sambil merintih-rintih itu. dia terkejut sekali dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah menghampiri wanita itu. Wanita itu amat cantik manis, mukanya bulat dan kulitnya putih mulus, tubuhnya padat dan menggairahkan. Sepasang pedang yang melintang di punggungnya menunjukkan bahwa wanita itu bukan wanita sembarangan.
"Aduhh". aughh". aduuuhh?" Ji Sun Bi merintih-rintih, pura-pura tidak melihat orang yang datang menghampirinya.
"Toanio, siapakah engkau dan apakah yang telah terjadi?" Ki Liong bertanya kepada wanita yang dia taksir usianya tentu beberapa tahun lebih tua darinya walaupun masih cantik dan menarik sekali.
Ji Sun Bi menoleh dan seolah-olah baru melihat Ki Liong, tiba-tiba saja ia bangkit duduk dan meloncat berdiri dengan kaki terpincang, memasang kuda-kuda dan memegang gagang pedangnya. "Engkau siapa?"" bentaknya seperti orang yang khawatir menghadapi musuh dalam keadaan terluka.
Ki Liong tersenyum dan Ji Sun Bi yang mata keranjang itu merasa jantungnya jungkir balik melihat betapa tampannya pemuda ini kalau tersenyum.
"Toanio, jangan salah kira. Aku bukan musuhmu, aku hanya kebetulan saja melihat engkau rebah di sini dan merintih kesakitan. Apakah engkau sakit, Toanio" Barangkali aku dapat menolongmu"..?"
Tidak! Engkau tentu seorang musuh!" kata Ji Sun Bi dan tiba-tiba saja dia menyerang dengan kedua tangannya, menggunakan jurus pukulan yang ampuh. Tangan kirinya menotok ke arah leher sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah lambung. Serangan hebat ini dilakukan Ji Sun Bi bukan untuk mencelakakan orang, melainkan untuk menguji apakah pemdua ini seorang yang memiliki kepandauan silat seperti yang diduganya, melihat cara pemuda itu tadi berlompatan menghampirinya. Kalau pemuda ini tidak pandai silat, atau tidak begitu pandai sehingga jurusnya ini terlalu berbahaya baginya, tentu ia akan menarik kembali tangannya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ji Sun Bi ketika melihat pemuda itu sama sekali tidak mengelak ata menangkis, melainkan membuat gerakan aneh dengan kedua tangannya dan tahu-tahu kedua pergelangan tangannya sudah dipegang oleh pemuda itu! Sepasang lengan pemuda itu tadi bergerak sedemikian cepatnya seperti dua ekor ular saja, mendahului serangannya. Serangannya disambut oleh serangan pula dan tahu-tahu kedua pergelangan tangannya sudah di pegang dan ia tidak berdaya!
Ki Liong memperlebar senyumnya. "Aku bukan musuhmu! Aku tidak mungkin mau bermusuhan dengan orang secantik engkau, lebih suka kalau bersahabat denganmu, Toanio." Ki Liong melepaskan pegangannya dan Ji Sun Bi yang merasa terkejut, heran dan juga girang mendapat kenyataan bahwa pemuda ini lihai bukan main dan juga ingin bersahabat, lalu sengaja terhuyung dan terpincang lalu rebah pula, seolah-olah kaki kanannya menjadi lumpuh.
"Aduuuh".!"
Kembali Ki Liong sudah berlutut di dekatnya. "Engkau kenapakah, Toanio" Apanya yang sakit?"
Ji Sun Bi berlagak menahan sakit, mengigit bibirnya kemudian berkata dengan alis berkerut, "Aku dan kawan-kawan" baru saja berkelahi dengan musuh, dan aku terluka". pada paha kananku, aduuhh"..!" Dan ia memijit paha kananya.
Ki Liong merasa kasihan. "Bolehkah aku memeriksanya, Toanio" Mungkin aku dapat menolongmu karena aku membawa obat yang manjur sekali untuk menyembuhkan luka?"
Ji Sun Bi mengangguk dan Ki Liong lalu memeriksa paha kanan itu. Dia membuka kain celana yang terobek cukup lebar sehingga nampaklah paha yang mulus karena kulitnya putih mulus, akan tetapi ada nampak biru kemerahan bekas cubitan. Setelah memeriksa dengan teliti, Ki Liong hampir tertawa, akan tetapi dia cukup cerdik untuk menahannya. Paha itu tidak apa-apa, hanya kulit paha yang halus hangat itu saja yang membiru bekas cubitan. Akan tetapi, dia mengelus paha itu dan jantungnya berdebar penuh gairah. Wanita ini cantik sekali, tubuhnya padat dan pahanya demikian mulus!
"Lukanya tidak parah, Toanio, akan segera sembuh setelah kuurut dan kupijit," kata Ki Liong sambil mengelus-elus kulit paha yang membiru itu. Diam-diam Ji Sun Bi merasa girang sekali. Jelas ada tanda-tanda bahwa pemuda ini menyambut dan suka kepadanya, seorang pemuda yang tampan dan gagah, bahkan ia menduga pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi! Ketika pahanya dielus seperti itu, ingin ia langsung saja merangkul pemuda itu, akan tetapi ditahannya karena ia tidak mau gagal, seperti yang pernah terjadi dengan Hay Hay.
"Terima kasih, ahh" terasa nyaman sekarang"."
Ki Liong tersenyum, elusan tangannya semakin berani. "Enak?""
"Enak sekali, terima kasih, nyerinya hampir hilang". ah, sobat yang baik, engkau tadi demikian mudah menangkap kedua pergelangan tanganku. Engkau yang lihai dan baik hati ini, siapakah engkau?"
Tanpa melepas jari-jari tangannya yang mengelus dan membelai, Ki Liong memandang wajah manis itu dan menjwab. "Namaku Sim Ki Long, aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini dan bertemu denganmu, Toanio?" Dia memandang paha itu dan melihat kulit paha yang demikian putih mulus, demikian hangat terasa di tangannya, Ki Liong lalu menunduk dan mencium paha itu.
Makin keras jantung Ji Sun Bi berdegup dan mukanya menajdi kemerahan, tanda bahwa nafsunya telah naik ke kepala. Sungguh beruntung, pikirnya, sekali ini ia menemukan seorang pemuda yang begini heban dan menyenangkan!
"Sim-kongcu". engkau tentu seorang pemuda bangsawan atau hartawan, jangan menyebut Toanio kepadaku karena aku belum". belum menikah, eh, namaku Sun Bi, Ji Sun Bi"." Suara Sun Bi sudah tidak karuan karena napasnya semakin memburu.
"Baiklah, Enci Sun Bi. Wah, engkau cantik sekali"."
Sun Bi tidak dapat menahan dirinya lagi dan tiba-tiba ia memeluk dan mencium pemuda itu. Makin gembira hati Sun Bi ketika pemuda itu membalas ciumannya, ia mendapat kenyataan betapa canggung pemuda ini melakukan hal itu, menandakan bahwa pemuda yang menarik hatinya ini adalah seorang pemuda yang sama sekali belum berpengalaman. Ia lalu menarik pemuda itu rebah di atas rumput dan kegembiraannya makin besar ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia bertemu dengan seorang perjaka tulen! Dengan penuh gairah dan kesukaan hati ia pun lalu mengajar dan membimbing pemuda itu untuk memuaskan berahi dan gairah mereka. Dan dalam hal ini, tentu saja Sun Bi merupakan seorang guru yang amat pandai dan berpengalaman bagi Ki Liong!
Tak lama kemudian, dengan hati yang girang sekali, seperti menemukan sebuah mustika yang hebat, Ji Sun Bi sudah menggandeng tangan Ki Liong dan diajaknya pemuda ini menemui Min-san Mo-ko dan yang lain-lain, memperkenalkan pemuda itu sebagai sahabat barunya, sebagai kekasihnya!
"Suhu, Sim Ki Liong ini adalah sahabat baikku yang boleh dipercaya dan jangan pandang rendah, Suhu, dia amat lihai. Ilmu kepandaiannya tidak kalah dibandingkan dengan siapapun juga, dan andaikata dia membantu ketika kita menghadapi dua orang musuh itu, tentu pihak kita tidak akan kalah!"
Ji Sun Bi adalah murid merangkap kekasih Min-san Mo-ko, akan tetapi Iblis dari Min-san ini tidak merasa cemburu melihat Sun Bi yang gila lelaki itu mendapatkan kekasih baru. Akan tetapi, diam-diam dia merasa tidak senang mendengar ucapan Sun Bi yang memuji-muji Ki Liong dan mengatakan bahwa pemuda ini tidak akan kalah dibandingkan dengan siapapun juga. Ucapan itu seperti merendahkan dirinya, seolah-olah dia sendiri pun tentu kalah oleh pemuda yang menjadi kekasih Sun Bi ini. Dia merasa penasaran dan ingin menguji sampai di mana kebenaran pujian Sun Bi.
"Benarkah demikian" Kalau memang Sim-kongcu benar lihai dan dapat menahanku sampai sepuluh jurus, sungguh aku merasa girang sekali karena kita mendapatkan seorang sekutu baru yang boleh diandalkan."
Ki Liong memang memiliki watak yang tinggi hati. Merasa bahwa dia adalah murid Pendekar Sadis dan isterinya, dia merasa seolah-olah kepandaian silatnya sudah paling tinggi dan tidak ada lawannya! Maka, kini dia pun memandang rendah kepada orang tua yang diperkenalkan oleh Sun Bi sebagai gurunya dan yang bernama Min-san Mo-ko itu.
Kini semua orang telah berkumpul disitu, ingin sekali melihat pimpinan mereka menguji kepandaian pemuda yang baru tiba, juga anak buah gerombolan itu berkumpul di situ dengan hati tegang. Setelah memandang ke sekeliling, Ki Liong menghampiri Min-san Mo-ko dan dengan lantang berkata, "Mo-ko, aku pun ingin sekali melihat apakah engkau dapat mengalahkan aku dalam sepuluh jurus, karena kalau begitu halnya, engkau bukan hanya pantas menjadi pimpinan kelompok ini, bahkan pantas menjadi guruku!"
"Bagus!" Min-san Mo-ko menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu dia sudah berdiri di depan Ki Liong. "Orang muda, sambutlah seranganku!" Dan dia pun sudah menyerang dengan amat ganasnya, menyambung suaranya yang melengking tadi. Tangannya bergerak cepat sekali mencengkeram ke arah kepala Ki Liong, disusul tendangan ke arah pusar.
"Hemmm".!" Ki Liong tenang saja dan dengan amat mudah dia miringkan tubuh mengelak, sedangkan tendangan itu ditangkisnya dengan tangan terbuka. Tendangan itu mental dan kedua pihak kini maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang amat kuat! Jurus pertama gagal, disusul jurus kedua dan makin lama, serangan Min-san Mo-ko menjadi semakin dahsyat dan berbahaya. Namun, bukan saja Ki Liong mampu mengelak dan menangkis, bahkan tiga kali dia mampu membalas dengan serangan yang tentu akan mencelakakan diri Min-san Mo-ko kalau saja Ki Liong tidak menahan dan menarik kembali serangannya sambil tersenyum.
Jurus kesepuluh merupakan serangan paling hebat. Tubuh Min-san Mo-ko melayang ke depan, tangan kirinya dengan jari terbuka menotok ke arah pelipis kanan lawan, sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke bawah pusar, kebagian tubuh yang paling lemah dan berbahaya bagi seorang pria. Ji Sun Bi sampai mengeluarkan jerit tertahan melihat kekasihnya terancam demikian hebatnya!
Namun, Ki Liong masih tersenyum saja, kakinya bergeser dan lutut kirinya terangkat melindungi bawah pusar, tangan kanannya meluncur bagaikan ular mematuk menyambut totokan pelipisnya, dan tangan kirinya sudah menyelinap masuk dan tahu-tahu sudah menyentuh ulu hati di dada Min-san Mo-ko! Tentu saja Min-san Mo-ko terkejut bukan main dan dia pun sudah meloncat jauh ke belakang, mukanya agak pucat karena dia maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, sekarang dia sudah menjadi mayat atau setidaknya akan terluka parah. Tak disangkanya bahwa bukan saja pemuda itu menahan sepuluh jurus serangannya, bahkan berkali-kali mampu membalas dan yang terakhir kalinya malah memperlihatkan keunggulannya!
Dia pun mengangguk-angguk. "Sim-kongcu memang hebat! Sun Bi tidak salah memilih kawan dan kami merasa girang sekali mendapatkan seorang sekutu seperti Sim-kongcu. Lam-hai Giam-lo tentu akan girang pula menerimamu, Sim-kongcu."
Tentu saja Ji Sun Bi girang dan bangga sekali dan di depan demikian banyaknya orang, wanita ini segera merangkul dan mencium mulut Ki Liong begitu saja! Tentu saja Ki Liong gelagapan dan mukanya menjadi merah, akan tetapi Sun Bi menarik tangannya diajak keluar dari kuil, diikuti suara ketawa para anggauta gerombolan itu. Seperti mendapatkan barang mainan baru yang amat menarik hatinya, Ji Sun Bi mengajak Ki Liong menjauhi kuil dan bersenang-senang sepuas hatinya dengan pemuda itu. Di lain pihak Ki Liong baru saja terjun ke dalam dunia yang baru ini, merasa senang sekali memperoleh seorang kawan, kekasih dan juga guru dalam permainan cinta yang demikian pandai dan berpengalaman seperti Ji Sun Bi.
Baru ketika senja hari itu Hay Hay dan Hui Lian menyerbu kuil dan Hay Hay berhasil merampas mustika batu giok, Ji Sun Bi dan Ki Liong muncul dan mereka segera membantu sehingga dua orang lawan itu akhirnya melarikan diri. Ki Liong berjanji akan menghadiahkan caran arak pusaka itu untuk diberikan kepada Lam-hai Giam-lo sebagai pengganti mustika batu giok yang telah lenyap dirampas lawan. Memang pemuda ini memiliki beberapa benda pusaka yang langka, yaitu yang dicurinya dari Pulau Teratai Merah.
Dengan munculnya Sim Ki Liong maka pihak gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo menjadi semakin kuat, dan hal ini merupakan ancaman bagi keamanan, juga bagi para pendekar. Sim Ki Liong sendiri mengharapkan untuk mendapatkan bantuan kawan-kawan barunya dalam mencari musuh besarnya, yaitu Siangkoan Ci Kang
Guha itu lebar sekali, tidak kurang dari sepuluh tombak lebarnya dan empat tombak dalamnya, walaupun bagian depannya tertutup batu-batu besar dan jalan masuk ke dalam guha itu hanya sebesar tubuh orang saja, itu pun masih tertutup semak-semak sehingga jarang ada orang luar yang mengetahui bahwa di balik semak-semak itu terdapat sebuah guha yang demikian lebarnya. Juga guha itu tidak gelap karena bagian atasnya terdapat lubang besar dari mana sinar matahari dapat masuk. Tidak mengherankan apabila gerombolan Min-san Mo-ko tidak mampu menemukan dua orang buronan yang menyembunyikan diri di dalam guha itu.
Sebelum kini terpaksa melarikan diri bersama Hui Lian, dalam perantauannya, secara kebetulan Hay Hay pernah menemukan guha ini, oleh karena itu ketika mereka melarikan diri membawa luka yang cukup parah karena mengandung racun, dia mengajak Hui Lian memasuki guha itu dan tersembunyi. Malam itu tentu saja di dalam guha amat gelapnya. Mereka tidak dapat saling memeriksa luka, dan begitu masuk ke dalam dan membetulkan lagi semak-semak dari sebelah dalam agar menutupi lubang guha, Hay Hay bertanya.
"Bagaimana, Enci Hui Lian, parahkah luka yang kauderita?" Dalam suara Hay Hay terkandung kekhawatiran besar karena ketika melarikan diri tadi, wajah Hui Lian nampak pucat dan larinya kadang terhuyung.
Di dalam kegelapan guha itu, Hui Lian meraba pinggul kanannya dan ia menahan rintihannya. Pinggul kanan itu membengkak dan rasanya panas, gatal dan sakit bukan main.
"Pinggul kananku" agaknya terkena jarum-jarum berbisa," katanya, akan tetapi ia pun teringat akan keadaan Hay Hay sendiri yang juga terluka dadanya. "Dan bagaimana dengan luka di dadamu, Hay-te?"
Hay Hay merasa betapa luka di dadanya juga amat parah, walaupun ujung pedang itu hanya menggores dan merobek kulit dan daging, tidak sampai memasuki rongga dada, namun karena ujung pedang itu mengandung racun, kini lukanya membengkak dan rasanya panas bukan main, sampai menembus ke seluruh tubuhnya! Akan tetapi, kawannya itu sedang terluka parah, tidak baik kalau dibuat khawatir pula.
"Ah, hanya tergores sedikit kulit dadaku, tidak apa-apa, Enci Lian. Akan tetapi luka di pinggulmu itu".. ah, apakah jarum-jarum itu sudah kaucabut?"
"Mana bisa mencabutnya" Jarum-jarum itu masuk ke dalam!" kata Hui Lian agak khawatir juga karena ketika meraba dengan jari-jari tangannya, ia tidak merasakan adanya gagang jarum di permukaan kulit pinggul. "Agaknya ada tiga batang yang menembus kulit"."


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ingatkah engkau siapa di antara mereka yang melepas jarum-jarum itu?"
"Ketika aku membalik, kulihat perempuan bermuka mayat yang pakaiannya serba hitam itulah?"
"Celaka!" Seru Hay Hay. "Ia adalah Tong Ci Ki, Si Jarum Sakti! Jarum-jarumnya mengandung racun yang amat berbahaya, tidak kalah jahatnya dibandingkan jarum-jarum dari Ma Kim Li! Mari, Enci, aku harus membantumu mengeluarkan jarum-jarum itu!"
"Tapi" begini gelap, biarlah kulawan dengan samadhi dan mengerahkan sinkang. Besok kalau sudah terang baru kita?"
"Besok bisa terlambat, Enci. Biar kubuat api unggun!" kata Hay Hay lalu membuat api unggun dan tak lama kemudian, sinar api unggun mengusir kegelapan dalam guha dan mereka dapat saling pandang. Keduanya terkejut ketika melihat betapa wajah masing-masing pucat kehijauan tanda bahwa hawa beracun mulai menguasai mereka!
"Bagaimana kalau mereka melihat api unggun dan datang menyerbu?" tanya Hui Lian.
"Mereka tidak akan melihatnya, sinar api tertutup sama sekali. Dan pula, tidak perlu kita memikirkan itu, yang penting sekarang harus mengeluarkan jarum-jarum itu?"
"Tapi" tapi"." tentu saja Hui Lian merasa rikuh bukan main. Bagaimana mungkin ia dapat membiarkan pemuda ini mengeluarkan jarum-jarum dari pinggulnya"
Mengeluarkannya sendiri, tentu saja tidak mungkin karena kedua tangannya hanya mampu menjangkau tempat itu, juga tangannya hanya mampu meraba-raba saja dan ia tidak dapat melihatnya. Kalau dibiarkan Hay Hay melakukannya, berarti membiarkan Hay Hay melihat pinggulnya! Bukan hanya melihat, bahkan meraba dan menyentuhnya! Bagaimana mungkin ini"
Kesatria Berandalan 3 Bara Dendam Menuntut Balas Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Angrek Tengah Malam 2

Cari Blog Ini