Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
"Kenapa engkau masih ragu-ragu, Enci" Bukankah berbahaya sekali kalau dibiarkan saja" Marilah, biarkan aku memeriksa luka itu!" Hay Hay mendekati Hui Lian yang duduk bersandar dinding guha dan dia pun berlutut, tangannya diulur ke arah pinggul.
"Tidak".! Jangan"..!" Hui Lian membentak dan terkejutlah Hay Hay mendengar kemarahan dalam bentakan ini. Ketika dia memandang, Hui Lian sedang memandang kepadanya dengan mata mencorong dan mendelik marah!
"Eh, kenapa Enci Lian?"
"Bagaimana". bagaimana engkau berani kurang ajar kepadaku?"
Hay Hay melongo. "Wah, kurang ajar" Apa maksudmu, Enci Lian" Aku tidak pernah kurang ajar kepadamu."
"Engkau hendak melihat pinggulku, bahkan mungkin memeriksa dan merabanya, dan engkau bilang tidak kurang ajar?" Gadis itu kini marah sekali dan ingin ia menampar muka pemuda itu, kalau saja ia tidak melihat betapa wajah pemuda itu pun pucat dan nampak kesakitan.
Hay Hay tersenyum karena tiba-tiba dia mengerti dan melihat kelucuan dalam keadaan mereka itu. "Wah, Enci Lian, pikirkan baik-baik sebelum engkau menuduh aku yang bukan-bukan. Pinggulmu terluka oleh jarum beracun, bukan" Nah, bagaimana aku tidak akan melihat pinggulmu kalau hendak menolongmu dan memeriksa pinggul itu" Dalam keadaan seperti ini, di waktu engkau terancam bahaya maut, mengapa memikirkan soal kecil itu, Enci" Baiklah, biarkan aku memeriksa dan mengobati pinggulmu, lupakan kekurangajaranku, dan nanti setelah aku berhasil mengeluarkan jarum-jaurm itu dan mengobati lukamu, engkau boleh menghukum aku karena kekurangajaranku. Aku tidak akan melawan. Bagaimana, akur?"
Lega hati Hui Lian. Bagaimanapun juga, ia akan dapat membalas "kekurangajaran" itu nanti. "Akur, akan tetapi engkau tidak boleh berbohong dan melanggar janji."
"Aku tidak pernah berbohong."
"Hemm, laki-laki paling pandai berjanji, akan tetapi paling pandai pula melanggar janji sendiri!"
"Tapi aku tidak. Nanti boleh kau hukum aku sesuka hatimu, Enci Lian. Akan tetapi sekarang biarkan aku memeriksa lukamu." Dan kini Hui Lian rebah menelungkup, memejamkan mata dan menyembunyikan muka di atas kedua lengannya, membiarkan Hay Hay memeriksa lukanya. Seluruh bulu di tubuhnya meremang ketika ia merasa betapa Hay Hay menyentuh lembut pinggulnya di luar celana.
"Enci Lian, celanamu harus dilepas". eh, maksudku, harus diturunkan agar aku dapat memeriksa keadaan luka di pinggulmu?"
"Kurang ajar engkau".!" Hui Lian membantak dan ia merasa malu bukan main, akan tetapi jari tangannya melepaskan tali celana itu dan dengan hati-hati ia menurunkan bagian belakang celana itu agar pinggul yang terluka itu nampak. Ia menggigit bibir menahan rasa nyeri dan malu.
Akan tetapi, pada saat itu, seluruh perhatian Hay Hay ditujukan untuk memeriksa keadaan luka. Dia melihat betapa pinggul kanan itu membengkak, merah kebiruan dan tiga titik hitam sejajar di situ. Dia meraba dengan hati-hati, akan tetapi jari-jari tangannya tidak merasakan adanya ujung gagang jarum, maka tahulah dia bahwa jarum-jarum itu terbenam ke dalam daging pinggul!
"Enci Lian, tahankanlah, tentu agak sakit, akan tetapi satu-satunya jalan untuk mengeluarkan jarum hanya begini?" Dan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan kepada gadis itu untuk membantah karena Hay Hay tahu bahwa gadis itu tentu akan keberatan, dia cepat menundukkan mukanya dan menempelkan mulutnya di atas tiga titik hitam itu!
"Aihh" kau". kau".. keparat?"!" Hui Lian berseru, akan tetapi rasa sakit yang luar biasa kini menggantikan rasa malu ketika Hay Hay mengerahkan tenaga khikang untuk menyedot dengan mulutnya. Hui Lian mengaduh dan merintih, lupa akan rasa malu betapa mulut pemuda itu menempel dipinggulnya. Hay Hay melepaskan kecupannya dan meludahkan tiga batang jarum kecil hitam ke atas tanah.
"Sudah keluar jarum-jarum itu, akan tetapi racunnya harus diketuarkan sampaibersih, Enci Lian." katanya dan kembali dia menyedot dengan mulutnya melalui tiga lubang kecil bekas jarum. Nyeri bukan main rasanya bagi Hui Lian, akan tetapi rasa malu bersaing dengan rasa nyeri sehingga ia mampu menahan keduanya!
Setelah berkali-kali menyedot dan meludahkan darah hitam, akhirnya Hay Hay melihat darah merah keluar dari lubang-lubang kecil itu dan dia pun menghentikan penyedotannya.
"Semoga racunnya sudah keluar, Enci. Kini tinggal memberi obat luka." Dia me-ngambil obat luka berupa bubukan putih yang dibuatnya dari kulit pohon yang dikeringkan,dan menaburkan bubukan itu pada luka di pinggul, lalu memijit-mijitnya sehingga bubukan putih memasuki lubang dan menutupnya.
"Nah, selesailah sudah, Enci Lian." katanya. Ketika dia hendak membantu menaikkan celana itu, Hui Lian merenggutnya dan menaikannya sendiri, lalu mengikatkan kembali tali celana. Ia lalu bangkit duduk dan tiba-tiba saja tangannya menampar muka Hay Hay sampai tiga kali.
"Plak! Plak! Plak!" Dua kali tangan kanan menampar pipi kiri dan satu kali tangan kirinya menampar pipi kanan pemuda itu. Demikian tiba-tiba dan keras sehingga terdengar suara nyaring dantubuh Hay Hay terguncang ke kanan kiri, kemudian roboh!
Hui Lian yang merasa malu dan marah, melihat wajah pemuda itu dan dia pun terkejut sekali. Pemuda ini seperti orang pingsan, atau setengah pingsan, nampak lemah sekali dan mukanya menjadi kehitaman, juga kedua ujung bibirnya berdarah.
"Hay-te "..!" Hui Lian berseru memanggil dan mengguncang-guncang pundak pemuda itu, namun Hay Hay kelihatan semakin lemah. Hui Lian semakin terkejut dan gelisah. Apakah tamparannya tadi demikian kuatnya" Kalau bibir pemuda itu berdarah, hal ini tidak aneh, akan tetapi mengapa Hay Hay sampai pingsan"
"Hay-te, maafkan aku... ah, engkau sadarlah ".!" katanya lagi dan kini ia cepat melakukan pemeriksaan. Denyut nadi pemuda itu lemah sekali, dan napasnya juga memburu! Ah, ingatlah dia bahwa pemuda ini pun terluka parah. Cepat Hui Lian merobek baju di bagian dada pemuda itu, dan nampak betapa di dada sebelah kanan terdapat luka yang cukup lebar dan luka itu melepuh, membengkak dan kehitaman! Racun yang jahat telah membuat luka itu menjadi parah dan berbahaya sekali! Ia harus cepat menolongnya. Dengan cekatan, jari-jari tangan Hui Lian membuka kancing-kancing baju itu, dengan maksud membuka baju agar lebih mudah ia berusaha mengobati. Ketika ia hendak menanggalkan baju itu, tiba-tiba ada sebuah benda terjatuh keluar dari saku baju dan kebetulan sekali benda itu terjatuh ke atas dada Hay Hay, tepat di atas luka di dadanya.
Hui Lian hendak mengambil benda itu dan ia mengeluarkan seruan kaget, menahan tangannya. Benda itu adalah sebuah batu giok berwarna belang-belang merah dan hijau dan kini benda yang berkilauan terkena sinar api unggun itut perlahan-lahan berubah menjadi menghitam, dan warna hitam pada luka di dada itu perlahan-lahan menghilang! Teringatlah Hui Lian akan mustika batu giok milik Jaksa Kwan yang dirampas penjahat dan agaknya Hay Hay telah dapat merampasnya kembali dan ia pun teringat akan kata-kata jaksa tinggi itu bahwa mustika itu merupakan benda langka penawar racun!
Dengan hati girang Hui Lian memegang benda itu dan kini sengaja menggosok-gosokkan perlahan-lahan ke atas luka dan tepat seperti yang diduganya, makin digosokkan, benda itu berubah makin menghitam dan luka itu pun dengan cepat sekali mengempis dan kehilangan warna hitamnya.
Hay Hay bergerak dan mengeluh. "Wah, apa dingin-dingin sekali di atas dadaku itu, Enci Lian?"
Melihat keadaan Hay Hay telah sembuh secara cepat itu, Hui Lian merasa lega bukan main dan ia pun tersenyum. Hay Hay sampai melongo melihat Hui Lian tersenyum. Bukan main cantiknya gadis ini kalau tersenyum, senyum wajar pertama kali yang dilihatnya.
"Enci Lian, engkau... cantik sekali kalau tersenyum." kata Hay Hay dan kembali berkerut alis Hui Lian. Bocah ini sungguh perayu benar, baru saja sadar dari pingsan, pertama kali yang dilakukan adalah memuji kecantikannya!
"Hay-te, engkau membawa mustika batu giok ini yang dengan mudah menyedot semua racun dari dadamu, kenapa tidak kaupergunakan ketika engkau menolong aku?"
Hay Hay bangkit duduk, memeriksa dadanya sendiri dan dia menjadi kagum. Dilihatnya batu giok itu yang kini sudah diletakkan di atas lantai guha oleh Hui Lian dan perlahan-lahan, dari batu giok itu menetes cairan hitam, dan perlahan-lahan batu giok itu memperoleh kembali cahaya dan warnanya merah hijau, warna hitam makin lenyap bersama cairan yang keluar. Benar-benar benda mustika yang langka dan mujijat!
"Ah, sungguh... aku lupa sama sekali tentang batu giok ini, Enci Lian. Aku... ahhh ".." Tiba-tiba Hay Hay memegang kepala dengan kedua tangannya karena kepala itu terasa pening dan bumi seperti terputar, akan tetapi dia memaksa diri melanjutkan, "Aku terlalu khawatir setelah memeriksa pinggulmu... eh, pinggulmu itu indah sekali dan membengkak merah kehitaman... dan keringatmu harum sekali, Enci "."
"Gila ?"!" Hampir saja Hui Lian menampar muka Hay Hay, akan tetapi tiba-tiba saja ia melihat pemuda itu terkulai dan roboh pingsan! Tentu saja Hui Lian menjadi terkejut.
"Hay-te, ada apakah ?"..?" Ia mendekat dan lebih kaget lagi ketika ia menyentuh dahi pemuda itu terasa panas. Kiranya racun dari pedang Min-san Mo-ko amatlah jahatnya sehingga tadi telah menimbulkan hawa beracun dalam tubuh Hay Hay sehingga walaupun racunnya sudah tersedot oleh batu giok, namun kini meninggalkan demam yang cukup hebat pada diri Hay Hay. Hal ini adalah karena tadi Hay Hay mengerahkan khikang ketika menyedot racun dan jarum dari pinggul Hui Lian sehingga pengerahan khikang ini membuat hawa beracun terdorong semakin dalam ke dadanya.
Maklum bahwa Hay Hay terserang demam, Hui Lian lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke dada Hay Hay dan dengan pengerahan hawa sakti dari tubuhnya, ia membantu pemuda itu mengusir hawa beracun itu. Lambat laun, terjadi perubahan pada diri Hay Hay. Napasnya normal kembali, mukanya menjadi merah biasa dan panasnya menurun. Hui Lian melepaskan tangannya dan membiarkan pemuda itu tertidur. Sampai lama ia mengamati wajah pemuda itu dan hatinya semakin tertarik. Terngiang di telinganya kata-kata Hay Hay yang memuji-mujinya, memuji betapa cantiknya kalau ia tersenyum, bahkan sebelum pingsan tadi memuji bahwa pinggulnya indah dan keringatnya harum! Teringat hal ini, Hui Lian tersenyum. Bocah kurang ajar, pikirnya sambil tersenyum memandang wajah itu. Wajah yang masih kekanak-kanakan, namun sungguh amat menarik hatinya. Jantungnya berdebar dan bergeloralah gairahnya terhadap Hay Hay. Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, pandai merayu dan menarik hati walaupun sikapnya agak nakal dan kurang ajar. Tanpa disadarinya lagi, tangan kirinya bergerak menyentuh dan meraba wajah pemuda itu, mengusap dagunya, bibirnya yang tadi tanpa ragu-ragu menyedot luka beracun di pinggulnya, mulut yang tadi sampai berdarah karena ditamparnya. Ia telah menamparnya dengan keras setelah pemuda itu menyelamatkan nyawanya dan setelah pemuda itu tanpa rasa jijik sedikit pun menyedot luka beracun di pinggulnya. Ia merasa terharu dan kedua matanya basah.
"Hay Hay, kaumaafkan aku "." bisiknya.
Hay Hay membuka matanya, berkejap lalu bangkit duduk setelah melihat bahwa dia rebah di atas lantai guha dan gadis itu duduk bersimpuh di dekatnya.
"Enci Lian, apakah aku tertidur" Aku seperti dalam mimpi mendengar engkau bicara padaku, seperti maaf-maaf begitu. Apa sih yang kaukatakan, Enci Lian?"
Hui Lian tersenyum. Kadang-kadang Hay Hay bersikap kekanak-kanakan dan ia merasa seperti bicara dengan adiknya sendiri, apalagi mendengar pemuda itu menyebutnya "Enci Lian" secara demikian akrabnya.
"Tidak apa-apa, Hay-te. Ti'durlah, biar aku menjagamu"..!"
"Tidak, Enci Lian. Aku tidur enak-enakan dan engkau yang berjaga kalau ada musuh datang" Wah, itu terbalik namanya, Enci. Engkau seorang perempuan dan aku seorang laki-laki. Engkaulah yang tidur dan aku yang berjaga."
"Akan tetapi engkau baru saja pingsan dan demam, juga biarpun perempuan aku lebih tua, engkau kanak-kanak.
Hay Hay yang sudah pulih kembali kesehatannya memandang wajah Hui Lian sambil tersenyum. "Enci yang baik, jangan katakan aku kanak-kanak, aku sudah cukup dewasa untuk berpacaran sekalipun!"
"Ih, engkau memang ceriwis, mata keranjang, tak senonoh kata-katamu!"
Hay Hay membelalakkan matanya. "Wah, seenaknya engkau memaki aku, Enci Lian. Di bagian mana kata-kataku yang tidak senonoh?" Dia mengingat-ingat, alisnya berkerut. "Belum banyak aku bicara padamu, hemm... tadi, aku memuji bahwa engkau cantik, dan keringatmu berbau harum dan... dan pinggulmu indah "."
"Nah, itulah! Tutup mulutmu, Hay Hay, engkau sungguh lancang dan tak tahu malu!"
"Eihhh" Kenapa, Enci" Apa salahnya kalau aku memuji sesuatu yang memang indah dan pantas dipuji" Bukankah pujian itu menunjukkan kejujuranku dan tidak pura-pura" Memang mataku melihat sesuatu yang indah, mulutku langsung memuji, salahkah itu?"
"Tapi bukan... eh, pinggul! Tidak sopan itu menyebut-nyebutnya juga sudah tidak sopan dan harus malu!"
Hay Hay menggaruk-garuk belakang telinganya. "Lhoh! Kenapa tidak sopan" Apa salahnya kalau aku menyebut pinggul, pinggul, pinggul! Bukankah memang kita manusia ini semua berpinggul" Apa bedanya kukatakan pinggulmu indah, dengan matamu indah, tanganmu indah dan sebagainya?"
"Cukup! Jangan membikin marah padaku! Engkau masih kanak-kanak, aku lebih tua darimu dan tidak pantas kalau engkau merayuku dengan kata-kata manis dan pujian-pujian muluk dan kotor!"
"Aku semakin penasaran, Enci. Maafkan, aku bukan bermaksud menghinamu. Engkau memang lebih tua, akan tetapi hanya satu dua tahun saja dan itu sama sekali tidak ada artinya. Dan aku bukan kanak-kanak! Usiaku sudah dua puluh satu tahun dan banyak pria berusia dua puluh satu sudah mempunyai dua tiga orang anak! Aku sudah cukup dewasa untuk berpacaran. Dan aku memujimu dengan jujur, sama sekali bukan merayu, aku hanya mengatakan apa adanya saja menurut penglihatanku!"
Melihat pemuda itu berkata keras penuh rasa penasaran, Hui Lian berbalik menjadi geli. "Hemm, kalau menurut penglihatanmu bagaimana?" tanyanya, tertarik juga karena pemuda ini jelas tidak bermaksud kurang ajar kepadanya.
Dengan sepasang matanya yang tajam mencorong itu Hay Hay memandang seluruh bagian tubuh Hui Lian dari kepala sampai ke kaki, kemudian memandang wajah gadis itu dan berkata ragu, "Kalau aku bicara terus terang, apakah engkau tidak akan marah lagi, Enci Lian?"
Gadis itu menggeleng kepala tanpa menjawab.
"Baiklah, aku bicara menurut hasil penglihatanku. Engkau seorang gadis yang sudah matang, beberapa tahun lebih tua dariku, jiwamu sederhana dan engkau suka akan kebersihan, wajahmu cantik menarik dan manis, dengan sepasang matamu yang indah, jeli dah tajam, hidungmu yang kecil mancung dan mulutmu yang menggairahkan, dengan bibir merah basah, barisan gigi putih rapi, dagu meruncing manis, rambutmu hitam panjang dan berombak, lehermu berkulit putih mulus dan panjang, tubuhmu padat dan memiliki lekuk lengkung yang sempurna, dengan pinggang ramping, dada membusung dan pinggul penuh, kedua lenganmu bulat penuh dan jari-jari tanganmu panjang kecil lembut, kakimu kecil mungil dengan paha dan betis panjang. Engkau cantik manis, jiwamu gagah perkasa biarpun ada suatu kedinginan dan kegalakan tersembunyi di balik gerak bibirmu, dan yang amat mengagumkan adalah keringatmu yang berbau harum, engkau seperti setangkai bunga yang indah, semerbak harum ".."
"Sudah... sudah cukup ".! Wah, Hay-te, sungguh engkau seorang perayu besar! Kalau kaulanjutkan jangan-jangan kepalaku akan menjadi besar kemasukan angin dan tubuhku akan dibawa melambung ke udara, kemudian meletus di atas sana!" Hui Lian berseru sambil mengangkat kedua tangan menutupi kedua telinganya dan tertawa. Baru sekarang gadis itu mampu tertawa gembira, terbawa oleh kegelian hati mendengar pujian yang dihujankan oleh pemuda itu kepadanya.
"Aku bicara sejujurnya, Enci "."
"Tidak, engkau mata keranjang. Seorang laki-laki mata keranjang selalu melihat wanita dari segi keindahannya saja, sehingga setiap orang wanita muda akan nampak secantik bidadari baginya. Engkau perayu wanita yang berbahaya karena wanita-wanita mudah runtuh pertahanan dirinya kalau menghadapi rayuan laki-laki. Jangan-jangan kelak engkau akan menjadi penakluk wanita!"
"Tidak, Enci Lian. Engkau memang cantik jelita dan "."
"Cukup, Hay-te, jangan memuji lagi."
"Dan aku heran sekali, justeru karena engkau begini cantik, kenapa engkau berkeliaran sendiri saja di dunia kang-ouw" Padahal sepatutnya, seorang wanita secantik engkau ini tentu sudah menjadi seorang isteri, bahkan mungkin seorang ibu yang baik, yang hidup penuh dengan kasih sayang dan kemuliaan, dalam sebuah rumah tangga yang berbahagia "."
"Hay-te?" jangan teruskan "." Hui Lian yang duduk bersandar dinding guha, menutupi muka dengan kedua tangannya dan wanita yang gagah perkasa ini, wanita yang keras hati dan galak, sekali ini menangis! Kedua pundaknya terguncang dan walaupun ia menahan diri sehingga tidak mengeluarkan suara, namun ia sesenggukan dan air ma tanya mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya
Hay Hay terbelalak, sama sekali tidak mengira bahwa seorang wanita seperti Hui Lian itu dapat juga menangis, menjadi seorang wanita biasa yang lemah dan mudah mencucurkan air mata. Dia tidak tahu betapa semua kedukaan semenjak kegagalan pernikahannya yang sudah dua kali itu selama ini ditahan-tahan oleh Hui Lian, dan ucapan Hay Hay itu sebagai pembuka bendungan sehingga kini tercurahlah semua kedukaan yang menumpuk di dalam batinnya melalui tangis. Melihat gadis itu demikian nelangsa, Hay Hay merasa kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu masa lalu gadis ini amat suram dan menyedihkan, maka dia pun mendekat dan menyentuh pundak gadis itu.
"Enci Lian, kaumaafkanlah aku, Enci. Aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu, akan tetapi kalau kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu, sungguh, engkau boleh memukulku lagi, Enci. Akan tetapi jangan menangis, hatiku terasa pilu dan ikut sakit melihat engkau menangis begini sedih ".."
Merasakan sentuhan tangan Hay Hay yang lembut dan hangat di pundaknya, mendengar ucapan itu, bukannya terhibur hati Hui Lian, bahkan ia menangis semakin sedih. Ia merasa nelangsa, merasa betapa dirinya sebatang kara dan bernasib buruk, disakiti hatinya dan dikecewakan dalam dua kali pernikahan, dan betapa hidupnya terasa kosong dan kesepian.
"Adik Hay... uuhuuhuu". Adik Hay "..!" Ia mengguguk dan merangkul pemuda itu, menjatuhkan mukanya di atas dada Hay Hay. Pemuda ini merangkulnya, dan mengusap-usap rambut kepala hitam halus itu untuk menghiburnya.
"Tenanglah, Enci Lian, kuatkan hatimu. Tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi di dunia ini." kata Hay Hay, sungguh-sungguh, nadanya menghibur. Dia merasa betapa air mata membasahi bajunya dan menembus baju, membasahi dadanya. Dan jantungnya berdegup keras, seolah-olah menjadi segar terkena pula siraman air mata itu. Tubuh yang dipeluknya itu demikian lunak dan lembut, dan keharuman yang halus keluar dari tubuh Hui Lian, memabokkan dan menggairahkan.
"Aih, Hay-te... engkau tidak tahu, aku... aku adalah wanita yang paling sengsara di dunia ini... sebatang kara, tidak mempunyai siapa pun"."
Hay Hay mempererat pelukannya dengan sikap menghibur. "Enci Lian, mengapa engkau berkata demikian" Ada aku di sini, bukan" Engkau memiliki aku, jangan merasa kesepian, Enci ".."
Ucapan Hay Hay itu hanya untuk menghibur dan setengah berkelakar, akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa ucapannya itu membangkitkan keharuan dan gairah dalam hati Hui Lian. Sambil tersedu Hui Lian merangkul leher Hay Hay dan mencium mulut yang mengucapkan kata-kata demikian manisnya sebagai ucapan terima kasih. Perbuatan Hui Lian ini sebetulnya hanya terdorong luapan perasaan saja, akan tetapi begitu ia mencium Hay Hay, gairahnya berkobar tanpa dapat ditahannya lagi. Sambil setengah menangis dan merintih Hui Lian menciumi Hay Hay, mencurahkan seluruh kerinduan dalam hatinya, seluruh kehausan akan kemesraan seorang pria yang selama ini ditahannya, demikian bernafsunya sehingga Hay Hay jatuh telentang dan tertindih oleh Hui Lian!
Hay Hay adalah seorang manusia biasa, dari darah daging, bahkan seorang pemuda yang mulai dewasa, bertubuh sehat, bahkan mempunyai watak romantis sekali, suka akan keindahan bahkan pemuja keindahan. Oleh karena itu, kini dia digeluti seorang wanita seperti Hui Lian, yang dirangsang berahi, yang haus akan kasih sayang, penuh kerinduan akan belaian dan kemesraan seorang pria, seorang wanita yang bagaimanapun juga sudah berpengalaman karena sudah dua kali menjanda, tidak mengherankan kalau Hay Hay juga tnenjadi kebakaran oleh nafsu berahinya sendiri. Bau keringat yang sedap harum seperti bunga dari tubuh Hui Lian, menambah rangsangan dan dia pun balas merangkul, balas mencium, balas membelai sampai Hui Lian terengah-engah dan mengeluarkan rintihan-rintihan kecil. Belaian dan ciuman itu menambah berkobarnya api nafsu berahi masing-masing sehingga mereka lupa diri, lupa keadaan dan yang ada hanyalah pasrah, siap menyerahkan dirinya lahir batin demi untuk pemuasan hasrat nafsu, terseret oleh gelombang badani yang memabokkan.
Akan tetapi, pada saat mereka telah bergulingan sampai ke tepi jurang, hampir mencapai puncak pemuasan gairah mereka, ketika Hui Lian yang memejamkan mata terengah-engah dan berbisik-bisik lirih, ketika Hay Hay membalikkan tubuh wanita itu sehingga kini dia yang menindihnya, dia membuka mata dan melihat wajah Hui Lian yang berkeringat, matanya yang hampir terpejam, mulutnya yang ditarik seperti orang yang sedang menderita nyeri hebat, tiba-tiba saja Hay Hay sadar!
"Aihhh ?"!" Dia melepaskan rangkulannya, dengan lembut melepaskankedua lengan Hui Lian yang merangkul lehernya, dan dia pun menjauhkan diri, menatap wajah Hui Lian yang kini juga membuka matanya yang sayu. Hui Lian mengembangkan kedua lengannya, dengan sikap mengajak, hendak merangkul kemba1i.
"Hay Hay aku... aku... ahhh, aku..."
"Tidak, Enci Lian!" Tiba-tiba Hay Hay berseru dengan keras dan di dalam seruannya ini dia mengerahkan tenaga batinnya. Seruan ini dapat mengusir semua kekuasaan sihir, dan amat berwibawa sehingga dapat pula menyadarkan Hui Lian yang sedang mabok oleh gairah nafsu berahi itu. Gadis itu bangkit duduk, matanya terbelalak dan mukanya pucat memandang Hay Hay.
Hay Hay merasa kepalanya pening dan seperti ada suara berbisik-bisik di belakangnya, "Bodoh kau... ia begitu cantik manis, begitu hangat tubuhnya, ia begitu menantang, begitu mesra dan penuh api nafsu ciumannya. Ia ingin cintamu, bodoh. Lekas peluk dan cium ia, tidak ada orang melihatnya di sini... lekas, tolol "..!"
Sejak tadi bisikan-bisikan ini memenuhi kepalanya, bisikan iblis yang seolah-olah berada di belakangnya.
"Keparat!" Hay Hay melayangkan tangannya ke belakang sambil mengerahkan tenaganya. "Prakk!" Sebuah batu menonjol di dinding guha itu remuk oleh tamparannya.
. "Hay-te... engkau... engkau kenapakah "..?" Hui Lian bertanya, masih merah sekali wajahnya, membuat sepasang bibir itu merah basah dan matanya sayu sekali seperti mata orang mengantuk.
Tiba-tiba Hay Hay berlutut di depan Hui Lian, "Enci Lian, ampunkan aku, Enci ".! Ah, aku layak dipukul mampus, aku benar-benar telah menjadi hamba iblis. Enci, marilah kita berdua sadar. Perbuatan kita ini tidak boleh dilanjutkan. Enci Lian, bereskanlah pakaianmu dan kita bicara yang benar." Dia sendiri lalu mengancingkan kembali kancing-kancing baju yang tadi sudah hampir terlepas semua.
Kini sepasang mata Hui Lian terbuka lebar dan ia pun baru sekarang melihat keadaan mereka. Setelah ia dapat menguasai batin sendiri sepenuhnya, ia melihat betapa ia telah melakukan hal yang amat memalukan. Dengan tubuh menggigil ia bangkit duduk dan jari-jari tangannya gemetar ketika membereskan pakaiannya, kemudian tiba-tiba ia menampar muka sendiri dengan tangan kirinya.
"Plakk!" ujung bibir sebelah kiri pecah dan berdarah ketika menampar, dan ia pun menggerakkan tangan kanan untuk menampar lagi mukanya yang sebelah kanan.
Akan tetapi dengan cepat Hay Hay menangkap pergelangan tangan kanan itu dan suaranya menggetar penuh keharuan ketika dia berkata. "Enci Lian... jangan lakukan itu! Kalau engkau mau menampar, tamparlah aku, Enci ".!"
Hui Lian merenggut lepas tangannya dan ia pun kini meloncat berdiri, mukanya masih merah sekali, akan tetapi sekali ini bukan merah oleh gairah nafsu berahi, melainkan merah karena merasa malu dan marah. Matanya tidak sayu seperti mata yang mengantuk lagi, melainkan terbuka lebar dan memancarkan sinar berkilat. Tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah menyambar pedangnya yang berada di atas buntalan pakaian dan dihunusnya pedang itu. Pedang Kiok-hwa-kiam mengeluarkan sinar berkilat tertimpa cahaya api unggun.
"Bangkitlah ?"!" katanya dengan suara menggetar pula, "bangkitlah dan mari lawan aku. Seorang di antara kita harus mati di sini!"
"Enci Lian".!" Hay Hay berseru, terkejut sekali.
"Hal yang memalukan telah terjadi, satu di antara kita harus mencucinya, satu di antara nyawa kita harus menebusnya!" kata pula Hui Lian.
"Tidak, Enci Lian! Aku tidak mau membunuhmu, engkau tidak bersalah, aku pun tidak bersalah. Kita berdua telah menjadi korban bisikan iblis ?""
"Kalau begitu, engkau harus mati!" Dan Hui Lian sudah menyerang dengan hebatnya. Hay Hay terkejut dan cepat mengelak. Namun wanita itu sudah melanjutkan serangannya dan melihat ini, Hay Hay cepat mempergunakan ilmunya Jiau-pou-poan-soan, yaitu langkah ajaib yang berputar-putaran untuk selalu mengelak dan menghindarkan diri dari sambaran pedang Kiok-hwa-kiam. Akan tetapi, betapa hebatnya langkah-langkah ajaib itu, kini yang dihadapinya adalah serangan Ilmu Pedang In-liong-kiam-sut (llmu Pedang Naga Awan) yang amat hebat maka maklumlah Hay Hay bahwa tidak mungkin dia akan dapat menyelamatkan diri kalau hanya mengelak terus. Dia pun cepat mengeluarkan sulingnya dan kini menggunakan benda itu untuk kadang-kadang menangkis, dan terpaksa juga membalas dengan serangan untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan Hui Lian. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat di dalam guha itu! Sekali ini Hui Lian yang sudah dikuasai kemarahan dan kenekatan saking malunya, menyerang dengan sepenuh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ilmu pedang In-Iiong-kiam-sut amatlah hebatnya, peninggalan dari mendiang In Liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Pedang Kiok-hwa-kiam lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar yang amat luas, dan dari dalam gulungan sinar ini mencuat sinar-sinar berkelebatan yang menghujankan serangan-serangan maut ke arah tubuh Hay Hay! Menghadapi ilmu yang hebat ini, diam-diam Hay Hay merasa terkejut dan kagum bukan main. Agaknya kini Hui Lian benar-benar marah, dan baru sekarang dia melihat Hui Lian mengeluarkan kemampuannva yang dahsyat. Hanya dengan mengerahkan sinkang dan memainkan suling seperti yang pernah dipelajarinya dari Ciu-sian Lo-kai, dibarengi gerakan kaki dalam langkah ajaib yang dipelajarinya dari See-thian Lama, Hay Hay mampu menandingi kehebatan ilmu pedang Hui Lian.
Di samping kekagumannya, Hay Hay juga merasa berduka sekali. Sungguh menyedihkan betapa baru saja mereka saling mencurahkan kasih sayang dan kemesraan, bahkan hampir saja terjadi hubungan yang lebih mendalam antara mereka, kini mereka telah saling serang dan agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk saling membunuh!
"Enci Lian, engkau tidak adil... hentikanlah seranganmu "..!" berkali-kali Hay Hay memohon, akan tetapi Hui Lian tidak mempedulikan semua ucapannya, bahkan memperhebat serangannya.
"Cappp ".!" Ujung pedang Kok-hwa-kiam berhasil melukai pangkal lengan kiri Hay Hay. Robeklah baju di bagian itu dan segera nampak darah membasahi kain yang terobek. Hay Hay terhuyung dan jatuh terduduk, bersandar dinding guha. Dia lalu menancapkan suling di atas lantai.
"Enci Lian, kalau engkau memang menghendaki nyawaku. Bunuhlah aku! Aku tidak akan melawanmu lagi." Dia pun bersedakap dan pasrah.
Hui Lian menahan pedangnya, berdiri dan menodongkan pedangnya, napasnya terengah, matanya berkilat memandang pemuda itu. "Hay Hay, bangkitlah! Demi Tuhan, kubunuh engkau kalau tidak bangkit melawan!"
"Hemm, mengapa kita harus saling membunuh?"
"Keparat ! Engkau... engkau telah menghinaku, menolakku, setelah menggodaku... engkau... sungguh memandang rendah padaku!"
Hay Hay menarik napas panjang. "Enci Lian, aku kagum padamu, aku... amat suka padamu, bagaimana mungkin aku menghinamu" Enci Lian, bukankah kita berdua telah membuktikan bahwa kita saling suka" Kalau bicara tentang kesalahan, maka kita berdualah yang bersalah, kita berdua yang lemah. Bankan menurut aku, kita berdua tidak bersalah, yang bersalah adalah iblis dalam guha ini yang telah membuat kita lupa diri. Enci Lian, aku tidak menghinamu, melainkan memperingatkanmu bahwa kita telah salah tindak, kita hanya menuruti nafsu berahi belaka... kalau hal itu kauanggap bersalah, nah, kaubunuhlah aku ".!"
Kemarahan sudah menipis menyelubungi batin Hui Lian dan kini ia pun mulai dapat menembus seluruh selubung kemarahan itu dan melihat keadaan yang sebenarnya. Pemuda ini bukan mempermainkannya, bahkan mengingatkan! Hay Hay tidak menghinanya, sama sekali tidak. Lemaslah seluruh tubuhnya.
"Tranggg "..!" Pedang Kiok-hwa-kiam terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas lantai batu. Tubuhnya terhuyung ke depan dan ia pun sudah menubruk Hay Hay, merangkul dan menangis terisak-isak!
Legalah rasa hati Hay Hay. Dia pun merangkul, membelai rambutnya dan dengan rasa sayang dia mencium dahi yang halus itu dan kembali dia dibikin kagum oleh keharuman ketika hidungnya menjadi agak basah oleh keringat di dahi itu. Luar biasa, pikirnya. Gadis ini benar-benar memiliki keringat yang harum!
"Enci Lian, tenangkanlah hatimu!" Hay Hay menghibur dengan ramah sekali. "Engkau tentu dapat merasakan betapa aku sayang padamu, aku suka padamu dan engkau adalah seorang wanita yang hebat, yang paling hebat di antara semua wanita yang pernah kujumpai. Akan tetapi, kita berdua harus waspada, Enci dan sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan kita harus kuat menahan dorongan gairah dan nafsu yang akan menyeret kita ke dalam perbuatan yang akhirnya hanya akan menimbulkan penyesalan belaka."
Kagum bukan main hati Hui Lian mendengar ucapan pemuda ini. Seorang pemuda yang masih begini muda, namun memiliki pandangan yang demikian luasnya.
"Hubungan badan hanya patut dilakukan oleh dua orang yang saling mencinta, Enci yang baik, dan hanya baik dilakukan oleh sepasang suami isteri. Kita bukan suami isteri, dan biarpun ada rasa suka dan kagum, harus diakui bahwa tidak ada perasaan cinta seperti itu di dalam hatiku. Aku hanya mau melakukan hal itu dengan seorang wanita yang kucinta, sebagai isteriku. Nah, engkau tahu bahwa aku sama sekali tidak menghinamu, bahkan menghormati dan menghargai dirimu, Enci, agar kita tidak sampai mabok dan tenggelam ke dalam jurang kehinaan dengan melakukan perbuatan aib."
Hui Lian menghentikan tangisnya. Dengan pengerahan sinkangnya, ia tadi telah berhasil mengusir pula gairah nafsu yang menguasai batinnya. Kini ia dapat melihat dengan jelas betapa mulia hati pemuda ini yang tidak ingin menyeretnya ke dalam perbuatan tercela. Ia pun tahu bahwa ia tidak mencinta pemuda ini, melainkan tadi hanya terdorong oleh nafsu berahi belaka.
"Terima kasih, Hay-te... terima kasih, dan kaumaafkan aku ".."
"Aih, akulah yang harus minta maaf, Enci. Atau kita berdua tadi telah menjadi lemah dan kita berdua yang bersalah. Sudahlah, Enci, kita tetap menjadi sahabat baik dan selamanya aku akan mengenangmu sebagai seorang gadis yang luar biasa, cantik menarik dan gagah perkasa, juga berhati mulia ".."
"Jangan terlalu memuji, .Hay-te, aku hanya seorang perempuan yang bernasib malang. Engkau tidak tahu bahwa semuda ini aku telah menjanda sampai dua kali".."
"Ahhh "..! Aku tidak percaya, Enci!" Hay Hay benar-benar terkejut dan heran, tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang wanita sehebat ini sampai menjanda dua kali" Laki-laki tolol barangkali yang menjadi suami-suaminya itu.
Hui Lian tersenyum, senyum pahit akan tetapi senyum itu menunjukkan bahwa keadaan batinnya telah normal kembali, semua sisa penyesalan karena peristiwa tadi agaknya sudah dapat dilenyapkan.
"Tidak percaya namun kenyataannya demikian, Hay-te." Ia lalu menceritakan tentang perkawinannya dengan Tee Sun, putera kepala daerah dusun Hek-bun yang amat pencemburu itu. Betapa pernikahan pertama ini, yang hanya dilakukan untuk menyenangkan hati suhengnya yang menjadi pengganti orang tuanya, telah gagal dan berakhir dengan perceraian karena suami pertama itu terlalu pencemburu sehingga hal itu menyiksa batinnya. Kemudian ia jatuh oleh rayuan seorang laki-laki lain, yaitu Su Ta Touw yang menjadi suaminya ke dua. Betapa kemudian ternyata bahwa suaminya itu seorang mata keranjang, perayu dan perusak wanita termasuk wanita isteri orang sehingga kembali ia terpaksa bercerai dari suaminya yang ke dua itu.
"Sejak itu, aku tidak ingin menikah lagi, Hay-te, bahkan aku mulai menaruh rasa tidak suka kepada kaum pria yang kuanggap palsu dan perayu belaka. Akan tetapi ketika bertemu denganmu, aku... aku telah lupa diri "."
Hay Hay tersenyum. "Laki-laki mana pun akan terpesona oleh kecantikanmu, Enci Lian. Engkau cantik jelita dan yang istimewa padamu adalah bau harum keringatmu. Aku sendiri pun terpesona dan tergila -gila."
"Ihh, engkau mencoba untuk merayu lagi" Dasar engkau perayu!" kata Hui Lian, akan tetapi sekali ini sambil tersenyum.
"Tidak merayu, Enci. Terus terang saja, aku amat suka akan keindahan, dan wajah seorang wanita, juga bentuk tubuhnya merupakan suatu keindahan luar biasa bagiku. Kalau aku memujimu, itu bukan merayu, melainkan dengan sejujurnya!"
Hui Lian bangkit berdiri. "Sudah, Hay-te, kalau engkau memuji terus, aku akan keluar dari guha ini dan pergi sekarang juga. Pujian-pujianmu ini merupakan godaan yang akan dapat membuat aku mabok lagi."
Hay Hay cepat berdiri dan memberi hormat. "Maafkan, maafkan aku, Enci Lian. Aku berjanji, aku bersumpah, tidak akan memujimu lagi dengan mulut, melainkan di dalam hati saja."
Hui Lian tersenyum lagi. "Tidak perlu engkau bersumpah, anak nakal! Cukup berjanji saja, dan mulai saat ini aku menganggap engkau sebagai adikku sendiri!"
"Terima kasih, Enciku yang baik. Nah, engkau tidurlah. Luka-luka itu baru saja sembuh, engkau perlu beristirahat."
"Engkau juga baru saja sembuh dari lukamu. Biarlah engkau yang tidur dulu dan aku yang berjaga, nanti bergantian."
"Engkau dulu, Enci."
"Tidak! Engkau adikku bukan" Nah, seorang Enci harus mengalah dan biarlah Si Adik tidur dulu dan Si Enci menjaganya."
"Tapi aku bukan adik yang masih kecil. Dan biarpun engkau lebih tua, engkau adalah wanita. Tidurlah, Enci dan jangan sungkan. Nanti boleh kita berganti tugas."
Akhirnya Hui Lian yang memang merasa lelah sekali itu mengalah, dan ia pun tidur di dekat api unggun, sedangkan Hay Hay duduk bersila dan berjaga.
Sebentar kemudian Hui Lian telah tidur pulas. Napasnya halus dan panjang tanda bahwa tidurnya nyenyak sekali. Hay Hay mengambil sehelai selimut dari buntalan pakaiannya dan menyelimuti tubuh wanita itu, kemudian dia duduk termenung sambil memandang wajah yang manis itu. Dia menarik napas panjang. Sudah dua kali dia mengalami hal yang sama. Pertama kali dengan Ji Sun Bi. Akan tetapi ketika dia bermesraan dengan Ji Sun Bi, dia tergoda oleh rayuan wanita iblis itu dan mudah dia menyingkir ketika Ji Sun Bi memperlihatkan sikap hendak bertindak lebih daripada sekedar cumbuan belaka. Akan tetapi ketika tadi dia bercumbuan dengan Hui Lian, keadaan mereka berdua sama saja, sama-sama tenggelam dan terseret oleh gairah nafsu berahi mereka. Sungguh berbahaya, pikirnya, membayangkan betapa mereka tadi sudah berada di tepi jurang dan nyaris keduanya terjerumus ke dalam jurang. Bagaimana seandainya tadi terjadi" Dia tentu harus menjadi suami Hui Lian! Kalau tidak, mereka berdua tentu akan selalu dibayangi perasaan kotor dan hina! Celaka kalau sudah begitu, pikirnya, bergidik.
Sudah menjadi pendapat umum bahwa cinta antara pria dan wanita harus dibuktikan dengan sex. Akan tetapi, tepatkah pendapat ini" Memang harus diakui bahwa hubungan sex HARUS didasari cinta kasih, karena kalau tidak demikian, maka hubungan sex menjadi semacam pengejaran kenikmatan belaka, menjadi pemuasan dan pemanjaan nafsu berahi belaka. Hubungan sex tanpa cinta kasih seperti itu terjadi di dalam pelacuran, dalam perkosaan, dan jelaslah bahwa hubungan semacam itu hanya akan menimbulkan duka sebagai imbalan daripada kesenangan yang diperoleh darinya. Hubungan sex tanpa cinta kasih menjadi suatu hubungan yang kotor. Sebaliknya, hubungan sex yang dilandasi cinta kasih merupakan sesuatu yang indah dan bersih, merupakan pencurahan kasih sayang antara dua orang manusia yang saling mencinta, dan hubungan seperti ini menjadi sarana penciptaan manusla baru yang sempurna. Jelaslah bahwa sex bukanlah cinta! Ada cinta kasih yang sama sekali tidak mengandung gairah sex, misalnya cinta kasih antara saudara, antara anak dan orang tua, antara sahabat.
Lewat tengah malam, Hui Lian terbangun dari tidurnya dan ia berganti jaga, menyuruh Hay Hay beristirahat. Karena dia pun merasa amat lelah, sebentar saja Hay Hay tertidur pulas dan kini giliran Hui Lian duduk termenung dekat api unggun sambil mengamati wajah Hay Hay.
Teringat akan peristiwa yang baru saja terjadi, wajah Hui Lian menjadi merah dengan sendirinya. Ia memang haus akan belaian seorang pria, rindu kepada seorang pria yang mencintanya. Biarpun Hay Hay seorang pemuda yang tampan gagah dan menarik hati, namun kini ia merasa yakin bahwa bukan Hay Hay orang yang dirindukannya itu! Pemuda ini jauh lebih muda darinya, dan ia tidak dapat membayangkan kebahagiaan hidup dengan seorang suami yang masih demikian muda, sepuluh tahun lebih muda darinya! Tak dapat disangkal bahwa ia suka kepada Hay Hay, karena dia tampan, gagah dan lucu, suka mempunyai Hay Hay sebagai sahabat, sebagai adik, bukan sebagai suami! Diam-diam ia bersyukur bahwa Hay Hay yang tadi juga sudah terseret arus memabokkan, dapat sadar dan mencegah terjadinya hubungan badan yang tentu akibatnya hanya akan membuat mereka berdua merasa malu dan menyesal.
Ia mengenang kembali pernikahannya dengan dua orang pria itu. Pernikahan yang pertama terjadi karena ia ingin berbakti kepada suhengnya. Dan pernikahan tanpa cinta itu gagal. Kemudian muncul Su Ta Touw, dan ia pun jatuh oleh rayuan pemburu yang tinggi kurus dan pincang itu. Su Ta Touw tidak tampan, namun pandai merayu dan ia pun jatuh dan menjadi isterinya. Tanpa cinta pula, hanya sekedar nafsu yang dibangkitkan oleh rayuan pria itu. Gagal lagi! Ah, betapa ia merindukan seorang laki-laki yang benar-benar dicintanya! Dan yang benar-benar mencintanya!
Akhirnya perasaan kesepian dan duka membawa Hui Lian tidur pulas dan di dalam tidurnya, beberapa kali ia mengerang dan mengeluh sehingga Hay Hay dari tempat duduknya dekat api unggun memandang dengan perasaan iba. Dia kagum sekali kepada wanita ini, dan betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang wanita seperti Hui Lian. Heran sekali dia memikirkan bagaimana seorang wanita seperti Hui Lian sampai dua kali gagal dalam membina rumah tangga. Tentu dua orang laki-laki, yang pernah menjadi suaminya itu merupakan orang-orang yang tidak benar dan agaknya memang tidak secara murni mencinta wanita ini. Betapa pun cantiknya seorang wanita, kalau tanpa cinta di dalam hati, maka setelah menjadi milik seorang pria, maka wanita itu lambat laun akan kehilangan daya tarik kecantikannya. Nafsu mendatangkan kebosanan, dan nafsu selalu haus akan yang baru.
"Kasihan engkau, Enci Lian. Semoga engkau akan segera bertemu dengan seorang pria yang benar-benar mencintamu dan dapat hidup berbahagia bersamanya." Diam-diam dia mengeluh dan berdoa.
Hari telah terang ketika Hui Lian terbangun. Tubuh mereka sudah segar kembali. Ia menggeliat dan membuka mata, melihat Hay Hay masih duduk di dalam guha, akan tetapi api unggun telah padam dan pemuda itu duduk di mulut guha, menghadap keluar. Ketika ia bergerak, agaknya Hay Hay mendengar dan menengok. Kiranya pemuda itu sudah nampak segar dengan rambut masih basah.
"Wah, engkau sudah mandi rupanya! Di mana ada air di tempat ini, Hay-te?"
"Di luar guha, tidak jauh dari sini, di sebelah kiri guha."
"Aku hendak mandi!" kata Hui Lian sambil melompat bangun dan keluar dari dalam guha. Hay Hay menunjukkan sumber air itu, kemudian dia pun kembali ke guha, menanti Hui Lian yang membersihkan badan dengan air sumber yang dingin sejuk itu
Mendengar suara air ketika wanita itu mandi, tidak jauh dari situ, hanya terhalang oleh batu-batu besar, berdebar rasa jantung Hay Hay. Dia membayangkan wanita yang cantik dan harum keringatnya itu mandi bertelanjang bulat di bawah air jernih yang menyiram seluruh tubuhnya yang indah! Gairahnya timbul dan hanya dengan pengerahan tenaga batinnya saja dia dapat menahan diri untuk tidak mendekat dan mengintai! Nafsu berahi, seperti segala nafsu yang selalu silih berganti menguasai diri manusia seperti kita ini, selalu ditimbulkan oleh ingatan. Pikiran mengingat-ingat, membayangkan segala hal yang pernah dialami atau didengar dari orang lain, segala hal yang menyenangkan dan nikmat. Ingatan inilah bayangan-bayangan yang diciptakan oleh pikiran inilah sesungguhnya yang menimbulkan gairah nafsu! Untuk membebaskan diri dari perbudakan nafsu, kita diajar untuk mengekang dan mengendalikan nafsu! Bagaimana mungkin akan berhasil kalau yang mengendalikan itu pun pikiran kita sendiri" Nafsu merupakan hasil pemikiran dan keinginan mengendalikan juga timbul dari pikiran setelah melihat akibat nafsu yang merugikan, dan pada hakekatnya, pengendalian itu pun didorong oleh keinginan pula, keinginan untuk bebas dari nafsu. Kalau dikendalikan maka akan terjadi lingkaran setan. Nafsu timbul dikendalikan, tidur sebentar, bangkit lagi dikendalikan lagi, demikian tiada habisnya sampai kita mati!
Setelah tahu bahwa sumber nafsu adalah pikiran, mengapa kita tidak melenyapkan sumbernya saja" Bukan berarti mematikan pikiran, karena pikiran memang penting bagi hidup, melainkan mempergunakan pikiran untuk hal-hal yang bermanfaat dan membiarkan pikiran bersih dari ingatan-ingatan tentang hal-hal yang akan menimbulkan gairah nafsu, menimbulkan dendam, duka, iri, dan sebagainya. Bukan timbul dari keinginan membersihkan pikiran, melainkan membiarkan pikiran bersih sendiri dengan pengamatan penuh kewaspadaan terhadap pikiran sendiri, terhadap nafsu yang timbul dalam pikiran. Pengamatan saja tanpa usaha pengekangan, tanpa usaha merobah, tanpa menilai. Pengamatan ini yang akan menimbulkan suatu kesadaran, yang akan mendatangkan perobahan. Pengamatan dengan waspada akan membebaskan pikiran menyeleweng, perhatian setiap saat terhadap segala yang terjadi di dalam dan luar diri akan mendatangkan kesegaran baru.
Hui Lian keluar dari balik batu-batu besar. Segar, bersih, masih basah rambutnya yang terurai lepas. Sinar matahari pagi menimpanya, menerangi wajahnya, dan Hay Hay terpesona. Wanita itu demikian cantiknya, kedua pipinya yang agaknya tadi digosok keras ketika mandi, pada tonjolan pipi di bawah mata, menjadi kemerahan seperti diberi pemerah kulit saja, namun segar tidak seperti kalau dirias, bibirnya segar merah membasah, dan kulit muka dan lehernya demikian putih bersih, rambutnya demikian hitam dan seolah-olah ada sinar cerah mengelilingi seluruh kepada wanita itu.
"Haiiii... engkau kenapa, Hay-te" Kenapa engkau memandangku seperti itu" Dengan mata terbelalak dan mulut celangap, melongo seperti orang keheranan. Ada apa sih?"
Hay Hay menarik napas panjang. "Aduhhh, Enci Lian. Kalau aku belum mengenalmu, tentu engkau kukira Dewi Pagi sendiri yang baru turun dari langit!"
"Eh" Apa maksudmu" Aneh-aneh saja engkau ini!"
"Engkau demikian cantik, demikian anggun, demikian agung! Wahai.... sungguh mati, Enci Lian, engkau wanita paling cantik yang pernah kulihat di dunia ini"..!"
Sepasang mata itu terbelalak, kedua pipinya menjadi semakin merah, akan tetapi Hui Lian tidak marah, bahkan tertawa terkekeh geli sampai ia menutupi mulut dengan tangannya.
"Hayaaaa, wanita yang menjadi isterimu tidak perlu lagi kauberi makan Hay-te."
"Eh, kenapa begitu?"
"Cukup dengan pujian dan sanjunganmu saja. Pagi sarapan pujian, siang makan sanjungan, malam makan rayuan, dan kenyanglah ia! Engkau sungguh seorang laki-laki mata keranjang dan perayu wanita nomor satu di dunia ini!"
Hay Hay tersenyum. "Enci, salahkah itu kalau aku memuji sesuatu yang memang amat indah" Aku suka akan keindahan dan aku melihat keindahan di mana-mana, terutama sekali dalam diri dan wajah seorang wanita. Demikian sempurna, lekuk-lengkungnya, garis-garisnya, demikian".. ah, sukar aku menceritakan dengan kata-kata ".."
Sejenak Hui Lian menatap wajah pemuda itu, sambil melangkah dekat, kemudian ia pun duduk di depan Hay hay, di atas batu di luar guha dan sikapnya menjadi serius. "Hay-te, kalau boleh aku menasihatimu, sebaiknya kalau engkau lekas mencari jodoh dan kawin saja."
Hay Hay yang melihat sikap serius juga mendengarkan dengan serius dan dia terkejut, memandang dengan heran. "Mengapa begitu, Enci Lian?"
"Karena kalau tidak, akan berbahaya jadinya."
"Eh" kenapa?"
"Engkau seorang pemuda yang berwajah tampan, ganteng, akan tetapi yang paling berbahaya adalah watakmu yang demikian pandai merayu wanita. Setiap orang wanita akan jatuh hati kalau bertemu dan berkenalan denganmu, dan hal ini amat tidak baik karena akhirnya akan timbul kesalahpahaman dan engkau disangka orang penggoda wanita. Kalau engkau sudah kawin, berarti akan ada seorang wanita di sisimu, dan mungkin hal itu akan dapat mengobatimu dari penyakitmu itu."
"Penyakit" Aku tidak sakit!"
"Maksudku, penyakit mata keranjang itulah."
Hay Hay yang tadinya memandang serius dan agak khawatir, kini tertawa geli dan gembira. "Ha-ha-ha, engkau sungguh aneh, Enci Lian. Bagaimana orang kawin dapat didorong-dorong" Kawin haruslah berdasar cinta, dan sampai saat ini, belum ada wanita yang kucinta. Mengenai penyakit itu, ah, aku tidak menganggapnya sebagai penyakit. Salahkah kalau aku suka kepada wanita, kagum dengan tulus hati, bukan karena pengaruh nafsu" Siapa dapat menyalahkan orang yang suka akan kembang yang indah" Bagiku, wanita bagaikan bunga. Seperti engkau ini, Enci. Engkau seperti setangkai bunga teratai yang amat indah, lihat sepasang matamu, demikian jernih dan jeli seperti mata seekor burung merpati, wajahmu berbentuk demikian manisnya memiliki daya tarik yang amat kuat, terutama sekali bibirmu yang segar merah membasah, kedua pipimu kemerahan seperti kelopak teratai bermandi embun, rambutmu ".."
" "Stop! Stop!" Hui Lian berseru sambil menutupi kedua telinganya dengan kedua tangan, akan tetapi sambil tertawa. "Lihat itu! Setiap kali membuka mulut, terus saja memuji-muji! Engkau benar-benar pria mata keranjang nomor satu di dunia, belum pernah aku bertemu dengan laki-laki seperti engkau, Hay-te. Biasanya kalau seorang memuji wanita, maka tentu ada udang di balik batu, ada maunya. Pria merayu untuk menjatuhkan hati wanita, akan tetapi engkau tidak demikian. Engkau memuji-muji karena memang engkau mengagumi wanita, akan tetapi pujianmu mengalahkan segala perayu-perayu wanita yang berpamrih menjatuhkan dan menguasai."
"Kenapa engkau menutupi telingamu tadi, Enci Lian" Apakah... apakah kata-kataku tidak menyenangkan" Apakah engkau tidak senang kalau kecantikanmu kugambarkan dengan sejujurnya?"
Kembali Hui Lian tertawa. "Tidak senang" Hi-hik, hati wanita manakah di dunia ini yang tidak senang mendengar pujian, apalagi kalau pujian itu diucapkan sedemikian indahnya, oleh seorang pemuda seganteng engkau" Aku hanya takut kalau-kalau akan jatuh pingsan dan mendjadi lemas karena pujianmu yang melangit itu. Sudahlah, Hay-te, kini tiba saatnya kita berpisah."
"Berpisah" Kenapa Enci?" Hay Hay terbelalak memandang seperti orang terkejut. Demikian menyenangkan keadaan wanita itu sehingga ketika mendengar bahwa mereka harus saling berpisah, dia terkejut.
Melihat keadaan pemuda itu, Hui Lian tersenyum. "Anak bodoh, kita bukan apa-apa, hanya kebetulan bertemu di jalan dan menjadi sahabat. Apa kaukira kita harus terus begini dan tidak pernah saling berpisah" Kita masing-masjng mempunyai urusan sendiri dan aku harus melanjutkan perjalananku. Sudah terlalu lama perjalananku tertunda oleh ulah gerombolan penjahat itu."
"Akan tetapi, Enci Lian." Hay Hay yang masih ingin terus bersama wanita itu membantah, "urusan kita dengan gerombolan itu belum selesai! Kita telah mereka lukai, dan mereka itu jahat sekali. Apakah engkau tidak ingin menyerbu lagi ke sana dan membasmi orang-orang jahat itu" Kalau mereka itu dibiarkan merajalela, tentu mereka hanya akan mendatangkan kekacauan dan mengganggu rakyat yang tidak berdosa."
"Engkau benar, Hay-te, dan memang sudah sepatutnya kalau kita membasmi gerombolan itu. Akan tetapi ketahuilah bahwa pada waktu ini, aku mempunyai urusan pribadi yang amat penting, yang harus kuselesaikan lebih dulu. Oleh karena itu, selamat berpisah, Hay-te, dan terima kasih atas segalanya. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling bertemu pula." Setelah berkata demikian, Hui Lian meloncat ke dalam guha, mengambil buntalan pakaiannya, menggendongnya di punggung, kemudian ia pun keluar pula dan setelah memandang kepada Hay Hay yang sudah bangkit berdiri sejenak, ia pun meloncat pergi.
"Enci Lian "..!" Hay Hay memanggil sambil mengejar. Hui Lian berhenti dan membalikkan tubuh. Mereka berdiri saling pandang dan Hay Hay melangkah menghampiri.
"Ada apakah, Hay-te?" Hui lian bertanya manis, diam-diam ia pun merasakan kekecewaan bahwa ia harus berpisah dari pemuda yang amat menyenangkan hatinya ini.
"Enci, setelah apa yang kita alami bersama, walaupun dalam waktu singkat, sejak dari sayembara suku bangsa Miao itu sampai kita dikeroyok oleh gerombolan penjahat dan hampir kita tewas, setelah semua itu, apakah kini kita harus saling berpisah begini mendadak" Enci, hatiku terasa sedih dan seperti terbetot ketika engkau pergi meninggalkan aku."
"Hay-te, ada pertemuan dan ada perpisahan, hal seperti itu sudah lumrah bukan" Kita dapat bersyukur bahwa kita berpisah sebagai dua orang sahabat yang baik dan aku yakin bahwa kelak kita pasti akan dapat saling berjumpa pula." Wanita itu menarik napas panjang dan menyentuh lengan Hay Hay. "Nah, selamat tinggal Hay-te, jangan murung seperti anak kecil. Ingat, engkau telah dewasa dan engkau pemuda ganteng mata keranjang perayu wanita nomor satu di dunia!" Hui Lian berkelakar untuk menggembirakan sahabat barunya itu, sambil membalik lagi untuk pergi.
Hay Hay memegang tangannya sehingga wanita itu kembali membalik dan memandang heran. "Enci, sebelum kita berpisah, sebelum engkau meninggalkan aku, aku... ingin... aku ingin minta sesuatu darimu, bolehkah?"
Hui Lian memandang sambil tersenyum manis, giginya mengintai dari balik bibir yang merah. "Minta apakah, adikku yang baik?"
"Aku... aku ingin... menciummu untuk kujadikan kenangan tentang dirimu, Enci. Bolehkah" Jangan... jangan marah lagi..." Hay Hay kelihatan khawatir kalau-kalau wanita itu menjadi marah.
Akan tetapi Hui Lian tidak marah. Ia sudah mulai mengenal watak pemuda ugal-ugalan ini, Seorang pemuda romantis sekali, namun berhati baja dan kuat mempertahankan kebenaran, tidak mudah tersesat. Ia tersenyum dan mengajukan pipinya. "Tentu saja boleh. Nah, ciumlah!" katanya.
Melihat wanita itu menyerahkan atau menyodorkan pipinya yang kemerahan itu, Hay Hay girang sekali, maju merangkul dan mencium pipi yang hangat itu. Diciumnya kedua pipi Hui Lian, kemudian bibirnya dan terdengar Hui Lian merintih kemudian wanita ini balas merangkul dan mencium Hay Hay penuh nafsu bernyala. Mula-mula ia seperti berkelakar menyodorkan pipinya, akan tetapi ciuman-ciuman Hay Hay itu ternyata secara wajar membangkitkan gairahnya dan kini ialah yang menyerang. Hay Hay mencium leher Hui Lian dan menghisap keharuman keringat di leher itu.
Sudah... cukup... cukup !" Hui Lian terengah-engah, kedua matanya terpejam dan biarpun ia membisikkan kata-kata itu, tetap saja kedua lengannya merangkul. Hay Hay dengan lembut melepaskan pelukannya dan melepaskan lingkaran kedua lengan Hui Lian yang bagaikan ular-ular membelit lehernya.
"Terima kasih, Enci Hui Lian. Selama hidup, aku tidak akan melupakan engkau, Enci. Engkau sahabatku yang paling baik dan semoga Thian memberkahimu, semoga engkau akan memperoleh seorang jodoh yang benar-benar mencintamu dan semoga engkau hidup berbahagia."
Sampai beberapa saat lamanya Hui Lian masih memejamkan mata dan terengah-engah, kemudian ia dapat menguasai dirinya dan membuka mata, memandang wajah Hay Hay. "Aihhh, Hay-te, engkau sungguh seorang laki-laki berbahaya sekali. Selamat tinggal, Hay-te, aku pun selamanya takkan pernah melupakanmu. Selamat tinggal!" Wanita itu meloncat dan berkelebat lenyap, diikuti pandang mata Hay Hay yang menjadi agak basah. Entah bagaimana, dia merasa kasihan sekali kepada wanita itu, dan harus diakuinya bahwa berdekatan dengan wanita itu pun merupakan ancaman bahaya yang amat besar baginya. Setiap kali menyentuh Hui Lian, dia diserang oleh gairah yang amat kuat, dan hanya dengan pengerahan seluruh tenaganya saja dia mampu mempertahankan diri. Malam tadi dia nyaris tergelincir, bahkan ketika mereka berciuman tadi, nyaris dia tidak kuat bertahan! Memang sebaiknya kalau mereka saling berpisah! Dia pun mengambil buntalan pakaiannya dan meninggalkan guha itu.
** Di puncak sebuah di antara bukit-bukit Pegunungan Cin-ling-pai berdiri megah bangunan-bangunan yang dikenal sebagai pusat perkumpulan Cin-ling-pai. Seperti telah kita ketahui, terjadi perubahan besar dalam keluarga Cia, yaitu keluarga yang menjadi pimpinan perkumpulan Cin-ling-pai. Di dunia persilatan, perkumpulan Cin-ling-pai amat terkenal sejak puluhan tahun yang lalu, maka tidak aneh kalau perkembangan dan perubahan dalam perkumpulan ini diikuti orang-orang kang-ouw dan merupakan berita yang menarik bagi mereka.
Walaupun tidak ada orang yang dapat mengetahui sebabnya, namun dunia kang-ouw mendengar bahwa mantu dari Ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar wanita Ceng Sui Cin puteri dari Pendekar Sadis, telah meninggalkan Cin-ling-pai, meninggalkan keluarga suaminya dan pergi bersama puterinya, anak tunggalnya, yaitu Cia Kui Hong. Sejak itu, tidak ada lagi yang mendengar berita tentang ibu dan anak ini, akan tetapi keadaan keluarga Ketua Cin-ling-pai selalu diperhatikan orang. Tahulah dunia kang-ouw bahwa Cia Hui Song, putera tunggal Ketua Cin-ling-pai, kini menikah lagi dengan seorang gadis berusia delapan belas tahun yang bernama Siok Bi Nio, seorang gadis biasa, dan isteri baru ini setahun kemudian melahirkan seorang anak laki-laki bernama Cia Kui Bu. Dan sejak isteri barunya melahirkan seorang putera, Ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Kong Liang menyerahkan kedudukan ketua perkumpulan itu kepada puteranya, pendekar Cia Hui Song.
Pendekar Cia Hui Song berusia empat puluh dua tahun ketika dia diserahi tugas sebagai Ketua Cin-ling-pai oleh ayahnya. Biarpun di perguruan silat atau perkumpulan silat itu terdapat peraturan bahwa yang berhak menjadi ketua haruslah tokoh terlihai dari Cin-ling-pai, namun ketika Cia Kong Liang mengundurkan diri, dan mengumumkan bahwa Cia Hui Song menjadi ketua baru, tidak ada yang berani maju untuk menguji kepandaian Cia Hui Song. Semua tokoh dan murid Cin-ling-pai tahu belaka siapa adanya Cia Hui Song. Dalam ilmu silat, pendekar ini bahkan jauh melampaui kelihaian ayahnya, maka siapakah yang berani mengujinya" Selain mewarisi semua ilmu silat Cin-ling-pai dengan baiknya, juga pendekar ini mewarisi banyak ilmu kesaktian dari mendiang Siang-kiang Lojin, seorang di antara tokoh atau datuk sakti yang terkenal sebagai Delapan Dewa! Maka, pengangkatan Cia Hui Song sebagai Ketua Cin-ling-pai disambut gembira oleh para murid, karena tentu ketua baru ini akan mengajarkan pula ilmu-ilmu silatnya yang tinggi demi kemajuan perkumpulan dan kemajuan para murid pula.
Pada waktu isterinya yang amat dicintanya, Ceng Sui Cin, pergi meninggalkan Cin-ling-san bersama puteri tunggal mereka, pendekar Cia Hui Song tenggelam dalam penyesalan dan kedukaan yang hebat, yang membuatnya jatuh sakit sampai lebih dari satu bulan lamanya. Namun, sebagai seorang anak tunggal yang berbakti, dia mentaati kehendak ayahnya dan dia pun tidak membantah ketika dinikahkan dengan Siok Bi Nio, seorang gadis muda yang usianya separuh usianya sendiri.
Duka dan penyesalan, seperti semua perasaah timbul dari pikiran dan apa yang timbul dari pikiran tidaklah bertahan lama. Sang Waktu akan melahapnya, akan menenggelamkannya. Demikianlah dengan kedukaan yang meliputi hati Cia Hui Song ketika dia ditinggal pergi oleh isterinya dan puterinya. Selama berbulan-bulan dia memang selalu nampak melamun dalam duka, akan tetapi lambat laun, apalagi setelah isteri barunya melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat, luka di hatinya oleh kepergian Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong menipis, mongering dan sembuh. Bahkan kini hanya kadang-kadang saja dia teringat kepada isteri dan anaknya itu, yang dia tahu tentu kembali ke Pulau Teratai Merah, dan kalau teringat dia nampak melamun. Akan tetapi, lebih sering dia kelihatan tenang. Satu-satunya perubahannya diketahui oleh orang yang mengenal sejak muda, yaitu bahwa kini dia kehilangan wataknya yang lincah gembira dan amat ramah, juga agak ugal-ugalan. Betapapun juga, kedukaannya lenyap dan yang tinggal hanyalah garis-garis di antara kedua alisnya, di tepi matanya dan di kanan kiri ujung bibirnya.
Duka selalu ditimbulkan oleh ikatan batin. Ikatan batin dengan keluarga, dengan orang yang dicinta, dengan harta benda, dengan kedudukan,dengan ketenaran, dengan kepandaian, dan dengan apa saja. Ikatan menimbulkan rasa takut pula, takut akan kehilangan dan setelah tiba saatnya ketika kehilangan sesuatu yang mengikat batin kita, timbullah duka. Tentu saja kita yang hidup di dalam masyarakat, tidak mungkin bebas sama sekali daripada segala macam kewajiban dengan keluarga, dengan masyarakat dan sarana-sarana hidup bermasyarakat. Namun, semua itu hanyalah urusan lahiriah, oleh karena itu ikatannya pun seharusnya lahiriah, bukan batiniah. Pada lahirnya, memang kita berkeluarga dan kita mempunyai keluarga, bekerja untuk kepentingan keluarga, membinanya, mendidik anak-anak dan sebagainya lagi. Akan tetapi, sekali batin kita terikat, maka timbullah rasa takut, takut akan masa depan keluarga, takut akan kehilangan dan takut akan masa depan, takut tidak akan memenuhi kebutuhan keluarga. Dan kalau semua yang kita takutkan itu terjadi, timbullah duka karena kehilangan. Ini bukan berarti bahwa kita harus acuh terhadap keluarga atau segala hal yang kita punyai, sama sekali tidak! Cinta kasih bukan berarti harus ada ikatan batin! Lahiriah kita boleh mempunyai apa saja, namun batin seharusnya bebas, batin tidak memiliki apa-apa! Mempunyai namun tidak memiliki! Lahiriah mempunyai, batiniah tidak memiliki atau bebas. Cinta kasih yang menimbulkan semua perbuatan seperti memelihara, membimbing dan sebagainya, bukan ikatan! Kalau batin terikat oleh sesuatu, maka yang sesuatu itu melekat dan berakar di dalam hati, tentu saja sekali waktu tiba saatnya harus berpisah, sesuatu itu seperti dicaput dan akarnya akan membuat hati berdarah dan terluka! Sekali lagi, bukan berarti acuh dan masa bodoh, bukan berarti tidak mencinta kalau tidak ada ikatan. Sebaliknya malah, cinta kasih tidak membutuhkan ikatan. Yang membutuhkan ikatan hanyalah si Aku, hanyalah nafsu, dan si-aku akan merasa takut dan kosong kalau tidak memiliki sesuatu. Memiliki sesuatu ini menambah "isi" dan arti dari si-aku, membesarkan si-aku
Kini Cia Hui Song, Ketua Cin-ling-pai, hidup bersama isteri barunya dan puteranya yang baru berusia dua tahun, nampaknya hidup dengan tenteram dan Cin-ling-pai menjadi semakin maju setelah dia menjadi ketuanya. Ayahnya Cia Kong Liang, yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, kini tidak mau mencampuri urusan dunia lagi melainkan setiap hari tekun bersamadhi di dalam sebuah kamar yang sunyi di belakang. Ketika masih dipegang ayahnya, Cin-ling-pai dikenal orang sebagai perkumpulan yang keras dan tanpa mengenal ampun terhadap kejahatan. Dan para murid Cin-ling-pai sendiri merasakan kekerasan yang menjadi sikap ketua mereka. Cia Kong Liang keras hati dan memegang teguh peraturan tanpa mengenal kebijaksanaan dan pertimbangan lagi, juga agak tinggi hati, terlalu mengangkat tinggi nama sendiri dan nama Cin-ling-pai. Akan tetapi kini, di bawah pimpinan Cia Hui Song, terjadi perubahan besar pada perkumpulan itu.
Cia Hui Song bersikap bijaksana, dapat lembut dan dapat pula tegas, mudah memaafkan dan menghargai pendapat orang lain. Dan seperti yang diharapkan oleh para murid Cin-ling-pai, Hui Song mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang dianggapnya praktis untuk menambah ketangguhan para murid Cin-ling-pai.
Pada pagi hari itu, Cia Hui Song sedang duduk di beranda rumahnya ketika seorang murid datang menghadap dan memberitahukan bahwa di luar pintu gerbang yang mengelilingi perkampungan Cin-ling-pai muncul seorang wanita yang menyatakan ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai.
Untuk beberapa detik lamanya jantung dalam dada Hui Song berdebar tegang. Seorang wanita" Ceng Sui Cin, isterinya yang pertamakah yang datang" Ataukah Cia Kui Hong, puterinya" Akan tetapi tidak mungkin. Kalau seorang di antara mereka yang datang, tentu murid ini mengenal mereka. Dia lalu menyerahkan Cia Kui Bu yang tadinya dipangkunya, kepada ibu anak itu. "Siapa namanya dan ada keperluan apakah ia hendak bertemu dengan aku?" tanyanya.
"Ia tidak mau memperkenalkan namanya dan keperluannya, hanya berkeras mengatakan bahwa ia ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai." murid itu menerangkan.
Cia Hui Song mengerutkan alisnya dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi, dia pun merasakan sesuatu yang tidak enak. Mudah diduga bahwa tentu ada urusan pribadi antara wanita itu dan dia, dan sukarlah menduga siapa orangnya, karena banyak sekali pengalaman sudah dilalui dalam hidupnya. Sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, dia pun tahu bahwa banyak sekali terdapat orang dari golongan hitam yang menaruh dendam kepadanya, oleh karena itu, dia harus selalu siap siaga menghadapi segala bentuk ancaman. Akan tetapi, pengunjungnya adalah seorang wanita, dan sebagai seorang yang sopan dia harus menyambutnya dengan hormat.
"Baiklah, persilakan ia masuk dan menanti di ruang tamu."
"Aku sudah berada di sini, harap Pangcu (Ketua) suka keluar!" tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar beranda. Hui Song terkejut ketika mengangkat muka dan melihat seorang wanita cantik sudah berdiri di pekarangan. Empat orang murid Cin-ling-pai datang berlari-lari ke pekarangan itu.
"Heiii! Engkau tidak boleh masuk begitu saja!" teriak mereka dengan sikap marah.
Cia Hui Song memberi tanda kepada isterinya agar masuk. Siok Bi Nio, wanita muda yang menjadi isterinya itu, sambil menggendong anaknya, berjalan masuk. Hui Song lalu melangkah lebar keluar beranda, menghadapi wanita itu.
"Apa yang terjadi?" tanyanya kepada empat orang murid yang nampak hormat ketika melihat ketua mereka.
"Pangcu, wanita ini kami suruh menunggu karena belum ada keputusan Pangcu, akan tetapi tiba-tiba ia melompati pintu gerbang dan berlari masuk. Kami mengejarnya dan ?""
"Sudahlah, kalian kembali ke pintu gerbang dan berjaga baik-baik." kata Hui Song kepada para muridnya dan ketika mereka semua sudah pergi, dia menghadapi wanita itu, mengamati penuh perhatian. Seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah cantik, dengan sepasang pipi kemerahan dan mulut indah yang membayangkan kemarahan, sepasang mata yang berkilat mengamatinya pula.
"Aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai!" Wanita itu berkata, suaranya tegas dan galak.
Hui Song tersenyum sabar dan menjiura. "Akulah Ketua Cin-ling-pai. Silakan masuk dan kita bicara di dalam."
Wanita itu terbelalak. Ia adalah Kok Hui Lian dan kini ia pun teringat. Seperti kilat menyambar ingatannya membayangkan peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Ia baru berusia sepuluh tahun ketika gedung ayahnya, yaitu Kok Taijin yang menjadi gubernur kota San-hai-koan diserbu pemberontak. Orang tuanya terbunuh, gedungnya dibakar dan ia sendiri tentu telah tewas kalau tidak ditolong oleh seorang pendekar yang gagah perkasa. Ia digendong keluar dari keributan itu oleh penolongnya, kemudian penolongnya dikeroyok oleh musuh sehingga terpaksa ia dilepaskan. Kemudian ia ditangkap penjahat dan di saat itulah muncul suhengnya, Ciang Su Kiat yang kemudian menjadi gurunya, juga suhengnya, juga pengganti orang tuanya. Dan pendekar yang gagah perkasa itu bukan lain adalah pria yang kini berdiri di depannya dan mengaku sebagai Ketua Cin-ling-pai!
"Tidak, bukan engkau... aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai yang tua, yang bernama Cia Kong Liang."
"Ah, kiranya engkau ingin bertemu dengan Ayahku. Sayang, sudah sejak dua tahun lebih Ayah tidak lagi mencampuri urusan dunia, dan selalu bertapa. Kalau ada urusan, harap sampaikan saja kepadaku, karena akulah yang berkewajiban untuk menanganinya."
"Tidak, aku tidak ada urusan dengan engkau, aku hanya mau bertemu dan bicara dengan Cia Kong Liang!"
Hui Song menggeleng kepala, masih tersenyum ramah walaupun sinar matanya berkilat. "Tidak mungkin, Nyonya. Dia sedang bertapa dan tidak boleh diganggu siapa pun. Kalau ada urusan dengan Ayahku, biarlah aku yang akan membereskan semua perhitungan. Silakan."
"Tidak".. tidak?"!" Hui Lian tentu saja tidak mau berurusan dengan orang yang pernah menyelamatkannya ini dan ia pun membalikkan tubuh dan dengan beberapa loncatan saja tubuhnya melayang ke atas pagar tembok dan lenyap. Diam-diam Hui Song terkejut bukan main melihat kecepatan gerakan wanita itu. Jelaslah bahwa wanita muda itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, terutama memiliki ilmu ginkang (meringankan diri) yang hebat. Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah mengenal wanita itu. Dia merasa khawatir, dan memerintahkan para murid untuk melakukan penjagaan yang lebih ketat.
Sementara itu, Kok Hui Lian meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai dengan hati tegang. Ia harus menemui Cia Kong Liang, ketua lama Cin-ling-pai untuk menegurnya dan kalau mungkin membalaskan penderitaan suhengnya yang telah dibuntungi lengannya oleh ketua yang kejam itu! Akan tetapi, sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pendekar yang dulu menyelamatkannya dari maut adalah putera ketua itu, bahkan kini telah menggantikan ayahnya menjadi Ketua Cin-ling-pai. Suhengnya, Ciang Su Kiat, tidak pernah menceritakan tentang putera ketua itu. Adanya kenyataan bahwa pendekar penolongnya itu berada di situ sebagai putera musuhnya, sebagai Ketua Cin-ling-pai, mendatangkan keraguan dan kebimbangan dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia memusuhi pendekar itu" Ia sudah berhutang budi, bahkan berhutang nyawa! Akan tetapi, penderitaan suhengnya juga harus dibalas, walaupun hanya berupa teguran keras terhadap ayah pendekar itu yang telah bertindak kejam, membuat lengan suhengnya buntung sebagai hukuman. Malam nanti ia akan berusaha menyelundup, mencari tempat kakek itu bertapa, akan ditemuinya dan akan ditegurnya. Setelah menegur keras, tanpa menimbulkan hentrokan dengan pendekar penolongnya itu, baru akan puas hatinya.
Baru beberapa jam Kok Hui Lian meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai ketika para murid yang berjaga di pintu gerbang, menyambut datangnya seorang wanita lain dengan pandang mata penuh kecurigaan. Baru saja pagi tadi datang seorang wanita cantik yang masuk dengan memperlihatkan kepandaiannya, dan setelah wanita itu pergi lagi, ketua mereka berpesan agar mereka berjaga lebih ketat dari biasanya. Dan kini muncul lagi seorang wanita lain. Wanita ini jauh lebih muda dibandingkan wanita pertama, seorang gadis yang berusia kurang, lebih tujuh belas tahun, berpakaian sederhana sekali, namun wajahnya yang tidak memakai perhiasan, juga tidak memakai bedak itu nampak halus dan mengandung daya tarik yang amat kuat. Yang paling menarik adalah mata dan mulutnya yang membayangkan watak yang lembut, kesabaran dan ketenangan yang jarang terdapat pada diri seorang gadis yang demikian muda. Ia tidak dapat dinamakan gadis yang cantik, walaupun ia tidak buruk rupa pula, melainkan manis karena kelembutannya terutama sekali. Biarpun demikian, bagaikan sekelompok kijang yang baru saja dikejutkan oleh serangan harimau, para murid Cin-ling-pai yang masih merasa tegang itu segera menghadang di depan pintu gerbang dengan sikap galak.
"Berhenti! Siapakah engkau, Nona dan ada keperluan apa mengunjungi Cin-ling-pai?" tanya seorang di antara para murid itu dengan suara galak.
Akan tetapi gadis yang bermata lembut itu tersenyum, nampaknya girang biarpun ia dibentak orang. Ia memandang kepada enam orang murid Cin-ling-pai yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun itu dan berkata, "Ah, benar ini perkampungan Cin-ling-pai! Syukurlah, akhirnya dapat juga aku sampai ke sini. Namaku Ling Ling dan aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai."
Biarpun cara gadis itu memperkenalkan diri masih seperti seorang gadis remaja, akan tetapi mendengar ia ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai, para murid itu saling pandang dengan penuh arti. Sama benar keinginan gadis ini dengan wanita pagi tadi!
"Hemm, siapakah nama Ketua Cin-ling-pai yang kau ingin temui itu?" seorang murid bertanya lagi, memancing.
"Namanya... Kakek Cia Kong Liang. Bukankah beliau yang menjadi Ketua Cin-ling "pai?"
Kembali para murid itu saling pandang. Tepat, sungguh sama dengan wanita pagi tadi! Sekali ini mereka tidak ingin menerima teguran, mereka harus menghalangi gadis ini untuk mengacau ke dalam. Tidak perlu sampai ketua mereka yang turun tangan mengusir, seperti wanita pagi tadi.
"Hemm, engkau ini masih kanak-kanak berani hendak membikin ribut di sini. Pergilah sebelum kupukul kau!" kata murid yang memakai kumis tebal, bermaksud untuk menakut-nakuti agar gadis itu pergi tanpa banyak ribut lagi.
Gadis yang mengaku bernama Ling Ling itu mengerutkan alisnya.
"Aih, kenapa" Harap kalian tidak membikin susah padaku. Aku datang dari tempat yang jauh sekali, melakukan perjalanan sampai berbulan! Dan setelah tiba di tempat yang kutuju, kalian hendak menyuruh aku pergi begitu saja" Aku hanya ingin menghadap Kakek Cia Kong Liang, Ketua Cin-ling-pai, tidak membikin ribut."
"Sudahlah, tidak mudah untuk menghadap beliau. Setidaknya engkau harus melalui barisan tiga lapis dari Cin-ling-pai!" kata seorang murid kepala yang baru muncul dari dalam dan kini banyak murid Cin-ling-pai keluar dan ikut menghadang. Cin-ling-pai terkenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan kuat, tentu saja terdapat peraturan-peraturan yang ketat dan tidak sembarang orang boleh masuk tanpa ijin. Karena itu, di situ memang terdapat tiga lapis barisan yang berjaga dan selama ini belum pernah ada orang dari luar yang mampu menembusnya! Jadi, ucapan mereka itu bukan sekadar menakut-nakuti saja. Kalau pagi tadi, mereka sama sekali tidak mengira bahwa seorang wanita yang cantik itu akan mempergunakan ilmu kepandaiannya, meloncati mereka dan meloncati tembok begitu saja! Kalau mereka mengetahui lebih dulu, tentu mereka akan menahannya dengan pasukan tiga lapis itu. Kini mereka sudah siap siaga, setelah mendapat peringatan dari ketua mereka untuk melakukan penjagaan ketat
Wajah yang lembut itu masih tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan kilauan penuh semangat kegembiraan. Menghadapi tantangan itu, gadis ini merasa gembira untuk mencobanya! Ia bukan seorang gadis sembarangan walaupun usianya baru tujuh belas tahun. Gadis ini adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar Cia Sun yang amat lihai karena Cia Sun adalah putera dari Pendekar Lembah Naga yang bernama Cia Han Tiong, seorang pendekar yang menjadi ketua perkumpulan Pek-liong-pang. Murid-murid Pek-liong-pang banyak yang kini menjadi pendekar-pendekar yang tersebar di mana-mana dan nama Pek-liong-pang amat terkenal sebagai pusat orang-orang gagah. Selain menerima ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga Cia Sun menjadi murid dari Go-bi Sian-jin, seorang di antara Delapan Dewa yang juga disebut See-thian Lama. Adapun isteri dari Cia Sun juga seorang wanita sakti yang bernama Tan Siang Wi di waktu mudanya ia terkenal dengan julukan Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa)!
Tentu saja sebagai puteri dan anak tunggal dari ayah ibu pendekar, gadis yang mengaku bernama Ling Ling itu telah digembleng sejak kecil dan kini telah mewarisi ilmu-ilmu yang paling hebat dari ayah ibunya. Dan sebagai seorang yang berangkat dewasa dalam gemblengan ilmu silat, menghadapi tantangan seperti sekarang, ia merasa gembira sekali. Ingin ia mencoba sampai di mana kehebatan Cin-ling-pai yang demikian disohorkan, dan ia pun ingin menguji kemampuan diri sendiri.
"Boleh kalian pasang barisan tiga lapis, aku ingin memasukinya!" katanya gembira, sedikit pun tidak memperlihatkan kemarahan karena di dalam hatinya pun tidak terdapat permusuhan terhadap Cin-ling-pai, melainkan kegembiraan untuk menguji kepandaian. Ayahnya sendiri memiliki hubungan yang amat dekat dengan Cin-ling-pai, bagaimana mungkin ia akan memusuhinya" Menurut ayahnya Cin-ling-pai masih merupakan perguruan yang menjadi sumber ilmu yang dimiliki kakeknya, bahkan ayah dan ibunya ketika melangsungkan pernikahan, dilakukan di Cin-ling-san ini, bersamaan waktunya dengan pernikahan antara putera Ketua Cin-ling-pai sendiri, yaitu paman Cia Hui Song dan Bibi Ceng Sui Cin yang belum pernah dijumpainya.
Mendengar ucapan itu dan melihat sikap Ling Ling seperti mentertawakan dan memandang rendah, para murid Cin-ling-pai menjadi penasaran. Seorang murid kepala cepat mengumpulkan teman-temannya dan pasukan tiga lapis itu pun disusunlah. Pasukan pertama terdiri dari lima orang dan mereka sudah membentuk barisan menghadapi gadis itu di luar pintu gerbang.
Ling Ling memandang penuh perhatian. Lima orang itu adalah murid yang lebih muda, berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun dan mereka berdiri di depannya, membentuk setengah lingkaran sehingga ia dihadapi lawan dar depan dan kanan kiri. Akan tetapi, walaupun lima orang itu membawa pedang di punggung masing-masing, mereka tidak mencabut pedang dan agaknya hendak menghadapinya dengan tangan kosong. Mereka bersikap gagah dan nampak kuat dan terlatih, bermata tajam dan tak seorang pun di antara mereka yang memperlihatkan sikap tidak sopan atau mata jalang seperti yang sering kali dilihatnya membayang pada mata laki-laki yang dijumpainya dalam perjalanannya. Juga semenjak ia meninggalkan rumah kediaman orang tuanya di dusun Ciang-si-bun dekat kota raja sampai ke Pegunungan Cin-ling-san, sudah seringkali ia digoda laki-laki tidak sopan sehingga beberapa kali ia harus turun tangan menghajar mereka.
Lima orang itu berdiri setengah mengepungnya dengan pasangan kuda-kuda yang kokoh kuat, dengan kedua kaki terpentang lebar, kuda-kuda Menunggang Kuda, dengan kedua lengan bersilang di depan dada.
"Aku akan menerobos masuk!" Tiba-tiba Ling Ling berseru dan ia pun melangkah maju, seolah-olah tidak peduli akan adanya lima orang yang menghadang di depannya. Ia ingin tahu apa reaksi mereka dan bagaimana cara mereka menyerang atau menghalanginya.
Akan tetapi belun juga ia mendekati orang yang menghadang di depannya, dari kiri datang serangan. Orang yang berdiri paling ujung sebelah kirinya telah mencengkeram ke arah pundaknya. Ia mengenal gerakan itu sebagai jurus Awan Berarak Tertiup Angin dari Ilmu Silat San-in Kun-hwat, maka dengan mudahnya ia mengelak dengan menggeser kaki ke kanan, bermaksud menerobos di antara orang ke dua dan ke tiga di depan arah kanannya. Akan tetapi, dari kanan datang pula serangan sebagai susulan serangan pertama tadi dan ia pun mengenal pukulan ke arah lambungnya itu, karena itu adalah jurus Awan Gunung Turun ke Bumi. Seperti serangan pertama, serangan ke dua ini pun dilakukan dengan cepat dan kuat. Akan tetapi Ling Ling ingin menguji tenaganya, maka sekali ini ia tidak mengelak, membiarkan kepalan lawan menyambar ke arah lambungnya, kemudian secara tiba-tiba dan cepat sekali, lengan kanannya bergerak ke bawah menangkis.
"Dukkk!" Tangkisan itu perlahan saja, akan tetapi Ling Ling telah mengerahkan sinkangnya dan lengan lawan itu pun terpental dan orangnya meringis kesakitan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ling Ling untuk menerobos ke depan. Kini, lima orang itu mulai mengeroyoknya dengan cepat, menggunakan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan untuk mencegah gadis itu menerobos barisan mereka. Dan tiba-tiba Ling Ling bergerak cepat sekali, mengelak dan menangkis dan terus menerobos. Lima orang itu terkejut melihat gadis itu hendak lolos ke dalam. Mereka menubruk dari kanan kiri, dan tiba-tiba Ling Ling mengeluarkan bentakan halus, kedua tangannya mendorong ke kanan kiri dan lima orang itu pun terpelanting seperti terdorong angin yang amat kuat. Tentu saja mereka tidak mampu lagi mencegah gadis itu meloncat memasuki pintu gerbang!
Akan tetapi kini ia berhadapan dengan tujuh orang yang sudah siap menantinya di belakang pintu gerbang! Dan tujuh orang itu kini bergerak mengepungnya, membuat lingkaran sambil terus melangkah maju, masing-masing dalam jarak dua meter darinya. Seperti pada barisan pertama, tujuh orang ini membawa pedang di punggung, namun mereka tidak mencabut pedang hanya bergerak membuat langkah-langkah maju mengelilinginya dengan sikap penuh kewaspadaan. Ling Ling dapat menduga bahwa tentu para anggauta barisan ke dua ini memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada barisan pertama, dan jumlah mereka juga lebih banyak. Ia seorang gadis yang cerdik dan biarpun ia tidak bergerak, matanya melirik ke kanan kiri mencari bagian yang lemah. Namun, tujuh orang itu membuat langkah-langkah yang rapi dan teratur, dan kedudukan tangan mereka siap siaga dan saling melindungi.
Setelah membuat perhitungan, Ling Ling membalikkan tubuhnya menghadap ke luar pintu gerbang dan ia pun mengeluarkan suara bentakan, lalu menyerang dua orang yang berada di depannya. Dua orang itu mengelak dan menangkis, dua orang lain di kanan kiri mereka siap membalas serangan. Akan tetapi Ling Ling sudah memperhitungkan ini dan tiba-tiba sekati ia membatik lagi dan kini menyerang bagian yang tadi berada di belakangnya sambil membentak nyaring.
"Biarkan aku masuk!" Kedua tangannya menampar dua orang untuk membuka jalan. Dua orang itu terkejut, tak menyangka bahwa gadis itu akan membalik dan mengirim serangan sedemikian cepatnya. Ketika mereka hendak menangkis, kedua tangan gadis itu berubah gerakannya, yang kiri menusukkan dua jari ke arah mata, yang kanan menyerang lawan ke dua dengan tusukan ke arah dada dengan tangan miring. Dua serangan yang amat berbahaya bagi dua orang lawannya, sehingga mereka itu dengan kaget melangkah mundur menghindarkan diri dari serangan, sambil memutar lengan ke depan bagian tubuh yang diserang untuk melindungi. Kesempatan ini yang sudah diperhitungkan Ling Ling dan ia pun cepat menerobos di antara dua orang yang melangkah mundur itu. Dan ia pun sudah berada di luar lingkaran!
Akan tetapi, betapa herannya ketika ia memandang, ternyata ia telah dikepung pula dan lingkaran tujuh orang itu pun kembali sudah menge1ilinginya. Kiranya, lingkaran itu dapat bergerak dengan teratur sekali sehingga begitu ia menerobos keluar, lingkaran itu telah bergerak cepat membuat lingkaran lain sehingga ia tetap saja berada dalam kepungan tujuh orang. Kini, tujuh orang itu melakukan serangan dan bukan main hebatnya! Mereka bergerak menyerang susul-menyusul, bukan secara kacau melainkan dengan teratur sekali dan serangan susulan orang berikutnya merupakan lanjutan dari serangan orang pertama!
Orang pertama menghantam dari atas, turun ke arah kepalanya, ketika Ling Ling menangkis dari samping, orang ke dua menyerang ke lambung, ke bawah lengan kanannya yang terbuka untuk menangkis tadi dan pada saat ia mengelak, orang ke tiga sudah menendang ke arah lututnya dan begitu ia meloncat ke atas menghindar, orang ke empat menyambutnya dengan tusukan jari tangan ke arah jalan darah di punggung! Serangan itu susul-menyusul dan bertubi-tubi datangnya. Terpaksa Ling Ling menggerakkan tubuh dengan kelincahannya, menangkis kanan kiri sambil berlompatan menghindar, menyelinap di antara sambaran banyak kaki tangan tujuh orang lawannya. Dan setiap kali ia menerobos keluar, ia hanya memasuki lain lingkaran yang dibuat mereka secara otomatis.
Ling Ling terus menangkis dan mengelak sambil memutar otaknya. Kalau ia menghendaki, tentu saja dia dapat bertindak dengan kekerasan, merobohkan mereka. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal itu karena ia tidak ingin melukai murid-murid Cin-ling-pai yang kalau diingat hubungan antara ayahnya dan Cin-ling-pai, para murid ini masih terhitung saudara-saudaranya seperguruan pula. Baru melihat gerakan silat mereka saja sudah menjadi bukti bahwa ia dan mereka sealiran, memiliki dasar gerakan yang sama. Kalau tadi ia membuat lima orang dari pasukan pertama terpelanting, ia pun tidak melukai mereka dan hanya mempergunakan angin pukulannya saja membuat mereka terpelanting. Akan tetapi, ia tidak akan mampu merobohkan tujuh orang ini dengan cara seperti tadi karena mereka ini memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pasukan pertama.
Tiba-tiba, setelah mendapatkan akal, Ling Ling mencabut pedangnya yang selalu tersembunyi di balik buntalan pakaian yang digendongnya dan dengan pedang itu, ia lalu membuat gerakan ke bawah menyerang ke sekelilingnya dengan babatan pedang! Tentu saja semua lawan menjadi terkejut dan untuk menyelamatkan kaki, mereka itu membuat gerakan mundur, memperlebar 1ingkaran. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan Ling Ling, kini tujuh orang itu pun sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka kini menyerang lagi seperti tadi, walaupun dalam lingkaran yang lebih lebar, menggunakan pedang secara susul-menyusul, menyerang gadis itu. Inilah peraturan dari pasukan Cin-1ing-pai yarig gagah. Mereka akan mengepung seorang dengan tangan kosong dan baru kalau orang itu mempergunakan senjata, mereka akan mencabut senjata mereka pula.
Tentu saja Ling Ling menjadi semakin repot! Tadinya, ia ingin para pengepungnya itu melonggarkan kepungan agar ia dapat menerobos keluar tanpa dapat terkepung lagi. Siapa kira, penggunaan pedang olehnya seperti memancing mereka mempergunakan pedang pula, dan kini ia dikeroyok dengan serangan-serangan pedang yang tentu saja lebih berbahaya daripada serangan kaki tangan mereka tadi. Akan tetapi kegembiraannya timbul karena kini ia dapat menguji dirinya dalam menghadapi pengeroyokan bersenjata. Ia memutar pedangnya dan nampaklah sinar putih bergulung-gulung yang amat rapat menyelimuti tubuhnya sehingga semua serangan lawan tertangkis begitu bertemu dengan gulungan sinar pedangnya. Akan tetapi, dengan sendirinya ia pun tidak sempat lagi untuk balas menyerang, apalagi karena ia tidak ingin melukai lawan dengan pedangnya, berbeda dengan tujuh orang itu yang menyerang dengan sungguh-sungguh dan kalau gadis itu tidak cepat dapat menangkis, tentu nyawanya terancam bahaya.
Tiba-tiba sekali, Ling Ling mengeluarkan jerit melengking tinggi yang menggetarkan jantung tujuh orang pengeroyoknya dan pada saat tujuh orang murid Cin-ling-pai itu terkejut dan mereka mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh lengkingan itu, tubuh gadis ini telah melayang tinggi dan berhasil keluar dari kepungan tujuh orang itu ketika ia melayang turun ke arah dalam, di pekarangan rumah induk perkampungan.
Akan tetapi begitu kedua kakinya sudah menginjak tanah, tahu-tahu ia telah dikepung oleh sembilan orang laki-laki yang sikapnya tenang akan tetapi berwibawa dan mereka telah membentuk barisan segi tiga yang mengepungnya. Di depannya bediri berjajar empat orang, di kanan kiri masing-masing dua orang dan di belakangnya satu orang. Mereka tidak membuat gerakan langkah seperti barisan kedua tadi. Teringat akan pengeroyokan dengan pedang, cepat ia menyimpan pedangnya karena menghadapi pengeroyokan dengan senjata ternyata lebih berbahaya baginya. Inilah pasukan ke tiga, pikirnya. Ia harus berhati-hati karena dari sikap mereka saja dapat diduga bahwa mereka tentulah murid-murid pilihan dari Cin-ling-pai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Usia mereka pun tentu lebih dari tiga puluh tahun. Maka, Ling Ling menjura dengan sikap hormat.
Harap Cu-wi (Anda Sekalian) berbaik hati dan membiarkan aku masuk dan mengharap Ketua Cin-ling-pai."
"Nona, engkau masuk dengan kekerasan dan sudah dapat melampaui dua pasukan. Untuk dapat menghadap Pangcu (Ketua), engkau harus dapat lolos dari kepungan kami." kata seorang di antara mereka dengan suara tenang dan sikap yang sungguh-sungguh, sedikit pun mereka ini tidak memandang rendah kepada Ling Ling walaupun ia hanya seorang gadis remaja.
Ling Ling menarik napas panjang. "Apa boleh buat, terpaksa aku bersikap kurang ajar. Bukan aku takut, melainkan aku tidak ingin membikin ribut, akan tetapi kalian yang menghalangiku menghadap Ketua Cin-ling-pai!"
Setelah berkata demikian, ia menerjang di antara dua orang yang berada di depannya, untuk menerobos keluar dari kepungan. Akan tetapi, dua orang itu menyambutnya dengan tangkisan dan cengkeraman.
"Duk! Duk!" Kedua lengan Ling Ling bertemu dengan lengan dua orang lawan itu dan ia merasa betapa mereka itu memiliki sinkang yang kuat juga dan gerakan mereka dengan kedua tangan menyerang dan menangkis satu ke atas satu ke bawah membuat ia mengenal ilmu silat yang mereka pergunakan.
"Thian-te Sin-ciang ".!" katanya dan ia pun menerjang lagi dengan gembira, mempergunakan Thian-te Sin-ciang dan karena memang gadis ini memiliki simpanan tenaga sinkang yang amat kuat, maka terjangannya membuat dua orang pengepung lain terdesak mundur. Akan tetapi, segera teman-temannya sudah menerjang dari kanan kiri, membuat Ling Ling terpaksa menyambut mereka dengan kelincahan gerakannya. Kini, sembilan orang itu menyerangnya bergantian dan biarpun gerakan mereka nampak lambat, namun mengandung kekuatan dahsyat.
"Thai-kek Sin-kun ".!" Ling Ling berseru pula ketika mengenal gerakan mereka.
Pada saat itu, dari dalam rumah muncul Cia Hui Song, Ketua Cin-ling-pai. Dia tertarik mendengar betapa gadis itu mengenal ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, apalagi ketika melihat bahwa gadis itu masih demikian muda dan ilmu silatnya demikian lihai.
"Tahan "..!" serunya dan mendengar suara ketua mereka, sembilan orang murid itu cepat berlompatan mundur dan berdiri di kanan kiri dengan sikap hormat.
Ling Ling mengangkat muka memandang. Laki-laki yang berdiri di depannya itu berusia empat puluh tahun lebih, tampan dan gagah, pakaiannya sederhana dan sepasang matanya amat tajam dan mencorong seperti mata ayahnya sendiri. Timbul perasaan hormat dalam hati Ling Ling karena dia dapat menduga bahwa tentu orang ini merupakan tokoh penting di Cin-ling-pai yang mampu membuat pasukan sembilan orang itu demikian taat. Ia pun lalu menjura dan berkata dengan suara sopan.
"Maafkan saya yang tidak sengaja hendak membikin ribut di Cin-ling-pai, akan tetapi saya mohon dapat bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai."
Cia Hui Song tersenyum. "Anak yang baik, akulah Ketua Cin-ling-pai."
Gadis itu memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya. "Akan tetapi Ayah... Ayah bilang bahwa Ketua Cin-ling-pai sudah tua... ah, kalau begitu, apakah Ketua Cin-ling-pai sekarang bukan Kakek Cia Kong Liang lagi?"
Hui Song semakin tertarik. "Cia Kong Liang adalah Ayahku yang sudah mengundurkan diri dan aku sebagai penggantinya?"
"Kalau begitu engkau tentu Paman Cia Hui Song!" Ling Ling berseru girang.
"Dan engkau tentu puteri Cia Sun, dan namamu... Cia... eh, siapa aku lupa lagi?"
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cia Ling, panggilan sehari-hari Ling Ling!"
"Benar, engkau masih kecil sekali ketika aku berkunjung ke rumah orang tuamu. Aih, engkau sudah begini besar dan lihai. Ling Ling, mari masuk dan kita bicara di dalam." ajak Hui Song dengan girang sekali. Gadis itu pun tersenyum, mengangguk dan melirik ke arah para murid Cin-ling-pai, lalu bersoja memberi horrnat.
"Kuharap kalian suka memaafkan aku!"
Para murid itu pun tersenyum dan membalas penghormatannya. "Nona masih begini muda sudah lihai bukan main!" kata seorang di antara mereka memuji.
Ling Ling lalu mengikuti Hui Song masuk ke dalam ruangan tamu. Mereka duduk berhadapan dan seorang Cin-ling-pai yang hari itu bertugas di dalam segera menyuguhkan air teh.
"Paman Cia Hui Song, di manakah adanya Kakek Cia Kong Liang dan di mana pula keluarga Paman?"
"Ayahku semenjak mengundurkan diri, lebih banyak bertapa di dalam kamarnya dan keluargaku... ah, nanti dulu, Ling Ling, engkau jangan menyebut aku paman. Apakah Ayahmu tidak pernah menceritakan tentang silsilah keluarga kita" Ayahmu itu masih terhitung keponakanku, maka seharusnya engkau menyebut kakek kepadaku."
Ling Ling mengangguk. "Pernah Ayah bercerita, akan tetapi saya sudah lupa lagi. Usia paman sebaya dengan Ayah, sudah sepantasnya kalau disebut Paman."
Cia Hui Song adalah seorang yang berbeda sekali sikap dan wataknya dibandingkan ayahnya, Cia Kong Liang yang selalu memegang teguh peraturan tradisi dan kuno. Mendengar kata-kata gadis remaja itu, dia pun tersenyum.
"Baik-baik saja kalau engkau hendak menyebut Paman, akan tetapi ketahuilah bahwa Ayahmu itu masih terhitung keponakanku dan silsilahnya seperti berikut. Kakekku, yaitu Cia Bun Houw, di masa mudanya telah mempunyai seorang putera, yaitu yang bernama Cia Sin Liong yang kemudian berjuluk Pendekar Lembah Naga. Setelah agak tua, beliau mempunyai seorang putera lagi, yaitu Cia Kong Liang, Ayahku. Uwa Cia Sin Liong mempunyai seorang putera, yaitu Kakak Cia Han Tiong yang hanya tiga tahun lebih muda dari Ayahku. Ayah mempunyai putera aku, maka Kakak Cia Han Tiong, yaitu Kakekmu, adalah kakak sepupuku. Dengan demikian, Ayahmu, Cia Sun, terhitung keponakanku dan engkau adalah cucu keponakanku!"
Ling Ling mengangguk-angguk. "Sekarang saya ingat, Paman... eh, Cek-kong (Kakek Paman) "."
Melihat kekikukan gadis itu, Hui Song tertawa. "Sudahlah, engkau mau menyebut apa pun terserah. Paman pun baik saja bagiku."
"Akan janggal rasanya kalau saya menyebut kakek dan terima kasih kalau saya boleh menyebut Paman. Paman, di mana adanya Bibi" Bukankah Bibi bernama Ceng Sui Cin dan memiliki ilmu kepandaian lihai sekali" Menurut cerita Ayah, Bibi adalah puteri dari Pendekar Sadis! Dan kata Ayah, Paman mempunyai pula seorang puteri yang hanya sedikit lebih tua dari saya. Di mana mereka, Paman?"
Di dalam hatinya Hui Song mengeluh, akan tetapi tidak nampak perubahan pada wajahnya. "Mereka sedang pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke rumah mertuaku. Yang berada di rumah sekarang adalah Bibi mudamu dan anak kami. Tunggulah, kupanggilkan mereka."
Hui Song keluar sebentar dari kamar itu dan tak lama kemudian dia pun sudah kembali bersama seorang wanita yang usianya baru sekitar dua puluh tahun, yang menggendong seorang anak laki-laki kecil berusia dua tahun. Diam-diam Ling Ling merasa heran, akan tetapi sebagai seorang gadis yang tahu sopan-santun, ia tidak banyak bertanya, melainkan memberi hormat ketika diperkenalkan kepada wanita muda yang menjadi isteri muda pamannya itu. Dengan ramah Siok Bi Nio, isteri ke dua dari Hui Song, menerima penghormatan Ling Ling dan mempersilakannya duduk lagi. Mereka lalu bercakap-cakap, di mana Ling Ling menceritakan bahwa ia datang atas perintah ayahnya, Cia Sun, yaitu menyuruh puterinya untuk melakukan perjalanan meluaskan pengalaman dan pergi berkunjung ke Cin-ling -pai.
"Saya mohon maaf kalau kedatangan saya ini mengganggu dan merepotkan Paman Cia Hui Song dan Bibi." Katanya menutup ceritanya. Hui Song merasa senang melihat kesopanan gadis ini.
"Ah, tidak sama sekali, Ling Ling. Kami merasa gembira sekali menerima kunjunganmu, tanda bahwa Ayahmu masih ingat kepadaku dan engkau boleh tinggal di sini selama yang engkau kehendaki dan anggaplah di sini sebagai rumahmu sendiri. Tentang peristiwa tadi, tidak mengapalah. Memang baru saja muncul seorang wanita yang agaknya membawa niat yang kurang baik, maka penjagaan diperketat dan engkau dicurigai. Akan tetapi, kulihat ilmu kepandaianmu sungguh hebat, engkau dengan mudah mampu melampaui dua lapisan pasukan penjaga. Ayahmu tidak menyia-nyiakan kepandaiannya dan telah mendidikmu dengan baik sekali."
"Ah, Paman terlalu memuji." Kata Ling Ling dengan muka agak merah, "Saya masih harus banyak belajar dan mengharapkan petunjuk Paman selama saya berada di sini." Kembali diam-diam Hui Song memuji dalam hatinya. Puteri Cia Sun ini sungguh seorang gadis yang pandai membawa diri, sopan dan rendah hati, kelihatan sudah matang dan berpemandangan luas walaupun usianya masih demikian muda.
Hui Song lalu menanyakan keadaan Cia Sun yang dijawab oleh gadis itu bahwa ayahnya dan ibunya dalam keadaan sehat. "Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan bertani. Selain menggarap sawah ladang sendiri yang cukup luas dan mempergunakan banyak tenaga petani, juga Ayah suka membeli hasil pertanian dan menjualnya ke kota." Antara lain Ling Ling bercerita. Keluarga ayahnya memang selama ini hidup di dusun Ciang-si-bun dengan aman dan tenteram, dalam keadaan sederhana saja namun cukup makan pakai, bahkan keluarga ayahnya terkenal sebagai dermawan yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk yang miskin dan kekurangan. Sudah beberapa kali, di waktu musibah karena musim kering terlampau panjang atau musim hujan terlampau berat sehingga terjadi banjir, keluarga Cia ini tanpa ragu-ragu menguras semua tumpukan dan cadangan gandum dan beras di gudang mereka untuk membantu penduduk agar tidak sampai kelaparan. Karena itu, nama keluarga Cia ini terkenal sekali di sekitar daerah Ciang-si-bun, bahkan sampai jauh ke luar daerah itu. Apalagi, semua orang tahu belaka bahwa keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu dan puteri itu, kesemuanya merupakan pendekar-pendekar silat yang amat lihai sehingga daerah itu pun aman, tidak ada penjahat yang berani memperlihatkan aksinya.
Setelah menceritakan keadaan orang tuanya, Ling Ling lalu berkata, "Paman Cia Hui Song, saya ingin sekali menghadap Kakek Cia Kong Liang. Di manakah dia dan bolehkah saya menghadap untuk memberi hormat?"
Cia Kong Liang selain masih terhitung paman kakek buyutnya, juga sukong (kakek guru) karena ibunya, Tan Siang Wi, adalah murid dari kakek itu. Mendengar permintaan Ling Ling, wajah Hui Song berseri. Seorang gadis yang amat pandai membawa diri, pikirnya.
"Kakekmu itu kini lebih suka berada di dalam kamarnya, setiap hari hanya bersamadhi saja, tidak lagi mau mencampuri urusan dunia. Akan tetapi, dia tentu akan senang sekali melihatmu, puteri Cia Sun yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat lihai. Mari kuantar engkau menemuinya."
Kamar di mana Kakek Cia Kong Liang melewatkan sebagian besar waktunya untuk samadhi itu cukup luas, dengan dua buah jendela besar menghadap ke taman sehingga hawanya segar dan cukup menerima sinar matahari. Tidak banyak perabot kamar di situ, kecuali sebuah dipan dan dua buah kursi dengan meja kecil, juga sebuah rak kecil penuh dengan kitab-kitab kuno. Ketika Hui Song membawa Ling Ling masuk, kakek itu sedang duduk di atas kursi menghadapi sebuah kitab yang terbuka dan dibacanya, di atas meja. Dia menoleh ketika melihat puteranya masuk, dan mengerutkan alisnya ketika melihat seorang gadis. Tadinya, dengan penuh harap dia menyangka gadis itu Kui Hong, cucunya yang amat disayangnya dan sudah lama dirindukannya, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan cucunya, dia memandang dengan heran mengapa puteranya mengajak seorang gadis asing memasuki kamarnya.
Akan tetapi Ling Ling sudah menjatuhkan dirinya berlutut menghadap kakek itu sambil berkata, "Sukong, teecu Cia Ling menghaturkan hormat."
Mendengar gadis itu menyebut sukong kepadanya, dan mengaku memiliki she (marga) Cia pula, kakek itu menjadi semakin heran. Dia bangkit berdiri, memandang kepada gadis itu, kemudian kepada puteranya yang berdiri dengan hormat, lalu bertanya, "Hui Song, siapakah gadis ini?"
"Ayah, dia bernama Cia Ling dan disebut Ling Ling, puteri dari Cia Sun dan Sumoi Tan Siang Wi."
Wajah kakek itu yang penuh dengan garis-garis penderitaan hidup dan yang dibayangi ketenangan mendalam, kini tiba-tiba saja mengeluarkan cahaya berseri, sepasang matanya bersinar-sinar dan pada mulutnya membayang senyum gembira. Dia memandang kepada gadis itu.
"Aha, kiranya engkau puteri mereka! Bangkitlah, Cucuku, dan duduklah di kursi ini. Engkau juga duduklah, Hui Song, dan ceritakan keadaan orang tuamu, Ling Ling."
Gadis itu pun bangkit setelah memberi hormat lagi, dan duduk di atas kursi dengan sikap sopan akan tetapi tidak malu-malu. Juga Hui Song duduk di kursi ke dua, bersama Ling Ling menghadap ke arah kakek itu yang kini duduk bersila di atas dipan.
Dengan suara halus namun jelas, Ling Ling menceritakan keadaan orang tuanya, mengulang kembali apa yang sudah diceritakannya tadi kepada Cia Hui Song. Kakek itu mendengarkan dengan gembira dan beberapa kali mengangguk-angguk ketika mendengar akan kebiasaan keluarga itu yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk dusun. Dia mengenal benar watak Cia Sun yang amat baik hati, dan girang bahwa muridnya yang disayangnya, Tan siang Wi, setelah menjadi isteri Cia Sun ternyata dapat merobah wataknya. Baru akhir-akhir ini dia menyadari betapa muridnya itu berwatak keras, angkuh dan tidak mau kalah. Untunglah Siang Wi mendapatkan seorang suami seperti Cia Sun yang sabar dan halus, pandai membimbingnya. Setelah gadis itu selesai bercerita, kakek itu bertanya. "Tentu engkau menerima latihan-latihan ilmu silat dari Ayah bundamu, bukan" Kalau belum cukup kepandaianmu, tidak mungkin orang tuamu menyuruh engkau seorang gadis yang belum dewasa benar melakukan perjalanan seorang diri."
"Sukong, teecu masih bodoh dan berpengetahuan dangkal, mohon banyak petunjuk dari Paman Cia Hui Song dan Sukong selama teecu berada di sini."
"Ayah, Ling Ling telah mendapatkan pendidikan ilmu silat yang cukup hebat sehingga ia mampu melewati lapisan pasukan penjaga dengan amat mudahnva. Hanya sebentar saja ia dapat lolos dari kepungan barisan pertama dan ke dua tanpa melukai seorang pun, dan agaknya lapisan ke tiga pun tentu akan dapat dilaluinya dengan baik. Ia hebat, Ayah dan sungguh tidak mengecewakan menjadi puteri Cia Sun dan Tan Siang Wi!" kata Hui Song dengan bangga.
Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi kembali alisnya berkerut. "Hui Song, bagaimanakah sampai lapisan penjaga mengeroyok cucuku Cia Ling ini?"
Hui Song tersenyum. "Harap Ayah ketahui bahwa pagi tadi, sebelum Ling Ling tiba, di sini muncul seorang pengunjung yang aneh. Saya sama sekali tidak mengenalnya. Ia seorang wanita muda yang memaksa hendak bertemu dengan Ayah. Karena belum mengenalnya, terpaksa saya menolaknya dan tanpa memperkenalkan diri atau memberitahukan kepentingannya, ia pergi begitu saja. Ketika masuk, ia pun melompati para penjaga yang menghadangnya, sikapnya mencurigakan sekali. Oleh karena itu, penjagaan diperketat dan ketika Ling Ling muncul, tentu saja ia di curigai dan dihalangi. Untung saya keluar dan mengenal gerakan-gerakannya."
"Bagus sekali, aku ikut bangga dengan kepandaianmu, Ling Ling. Akan tetapi, siapakah wanita muda yang mencariku itu?"
"Entahlah, saya belum pernah melihatnya dan sikapnya sungguh mencurigakan, dan melihat gerakannya, agaknya ia memiliki ilmu ginkang yang luar biasa sekali, Ayah. Saya merasa curiga melihat sikapnya, mungkin ia mempunyai niat yang buruk terhadap Ayah, oleh karena itu, saya menyuruh para murid melakukan penjagaan dengan ketat."
"Hemm, sudah setua ini, sudah mengundurkan diri, masih saja ada yang mencari dengan niat buruk. Mungkin itu merupakan buah dari pohon yang kutanam dahulu. Kalau ia datang lagi, biarlah kauberitahu aku, aku akan menemuinya," kata kakek itu setelah menarik napas panjang, wajahnya membayangkan penyesalan.
Malam itu Ling Ling tinggal di kamar yang dahulu ditinggali Kui Hong. Ling Ling melamun dan biarpun Hui Song tidak bercerita banyak tentang bibinya, Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong, hanya mengatakan bahwa ibu dan anak itu sedang pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke tempat Pendekar Sadis, ayah bibinya itu, namun ia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari itu telah terjadi dalam keluarga pamannya ini. Kalau ia bertanya tentang bibinya atau tentang puterinya, selalu pamannya memberi jawaban singkat dan menyimpang. Bahkan tidak menjawab ketika ia bertanya kapan mereka kembali! Juga isteri muda pamannya itu selalu nampak gelisah dan tidak enak kalau mendengar ia bertanya tentang mereka. Apakah yang telah terjadi dalam keluarga pamannya"
Selagi ia termenung di dalam kamarnya, tiba-tiba ia mendengar suara wanita berkata keras di sebelah luar, arah ruangan dalam di mana dipergunakan sebagai ruangan duduk oleh keluarga itu. Ia tertarik sekali dan setelah membereskan pakaiannya, ia pun keluar dari dalam kamarnya, menuju ke ruangan itu. Dan ia melihat dan mendengar hal-hal yang sejak tadi menjadi renungannya. Ia berhenti di balik pintu dan memandang ke dalam.
Nampak Cia Hui Song berdiri di situ, di sampingnya duduk Kakek Cia Kong Liang. Pamannya itu berdiri sambil menundukkan mukanya, dan kakek Cia Kong Uang duduk dengan lemas dan mukanya agak pucat, berulang kali menarik napas panjang. Dan di depan mereka berdiri tegak dengan sepasang mata mencorong marah, seorang gadis yang berwajah manis dan cantik sedang marah-marah dan menegur dua orang itu dengan suara lantang!
"Ayah mau menang sendiri, mau enak sendiri saja! Apa kesalahan Ibu maka Ayah menyakiti hatinya dan menikah lagi, sehingga Ibu terpaksa meninggalkan tempat ini dan terlunta-lunta pulang ke Pulau Teratai Merah" Ibu menderita batin karena perbuatan Ayah itu, Ayah telah menghina Ibu, menyakiti hati Ibu dan menghancurkan kebahagiaan rumah tangga kita, berarti menghancurkan kebahagiaanku sendiri! Aku minta pertanggungan-jawab dari Ayah!"
Wajah Cia Hui Song sebentar merah sebentar pucat, kadang-kadang dia mengangkat muka memandang gadis itu, kemudian menunduk kembali dan agaknya sukar baginya untuk melakukan atau mengatakan sesuatu di bawah serangan kata-kata puterinya itu. Kakek Cia Kong Liang yang sejak tadi juga nampak sedih sekali, mencoba untuk membela puteranya.
Harpa Iblis Jari Sakti 20 Mentari Senja Seri Arya Manggada V Karya S H Mintardja Pendekar Sadis 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama