Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 23

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 23


Tak disangkanya, Han Lojin tertawa. "Ha-ha-ha, baru sekaranglah aku mendapat kesempatan untuk bertanding dengan Ang-hong-cu yang tersohor itu, ha-ha-ha!"
Semua orang terkejut, kecuali Ki Liong yang sudah tahu akan hal itu. Hay Hay lebih terkejut daripada orang lain. "Han Lojin, apa maksudmu".?" Dia berseru penasaran. "Aku bukan Ang-hong-cu!"
Han Lojin masih tertawa, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Hay Hay sambil berkata. "Orang muda, masih perlukah menyangkal lagi" Kalau engkau bukan Ang-hong-cu, mengapa tosu dan murid Bu-tong-pai itu menyerangmu mati-matian" Sudahlah, orang muda, namamu Tang Hay" Bagus, akui saja karena kita semua yang berada di sini, dari golongan manapun juga, adalah rekan sendiri, bukan" Jadi, tidak perlu malu-malu."
"Dia bukan Ang-hong-cu".!" Tiba-tiba terdengar suara Pek Eng lantang. Gadis ini sudah bangkit berdiri dan matanya memandang marah. Ia tentu saja tahu bahwa Hay Hay bukan Ang-hong-cu, melainkan putera kandung dari penjahat pemetik bunga yang tersohor itu.
Hay Hay terkejut, cepat membalikkan tubuhnya menghadapi Pek Eng, mengerahkan kekuatan shirnya.
"Eng-moi, jangan mencampuri dan duduklah saja, biar kuhadapi sendiri tuduhan ini!" Kekuatan sihir itu menguasai Pek Eng yang tiba-tiba duduk kembali dengan muka agak berubah pucat. Ki Liong dan Lam-hai Giam-lo tidak merasa heran dengan seruan Pek Eng tadi. Bukankah Pek Eng sudah mengenal Hay Hay dan tentu gadis itu membela karena mungkin gadis itu tidak tahu bahwa pemuda kenalannya itu adalah Ang-hong-cu. Akan tetapi Ki Liong juga meragukan kebenaran tuduhan itu.
"Han Lojln, Saudara Tang Hay terlalu muda untuk menjadi Ang-hong-cu, harap jangan bicarakan urusan itu. Hadapi saja dia dengan ilmu silatmu untuk membuktikan kepada Bengcu bahwa engkau cukup berharga untuk menjadi rekan kami." kata Ki Liong dengan suara lantang.
Han Lojin tersenyum lebar. "Baiklah, orang muda she Tang. Engkaulah yang mulai menyerang karena engkau adalah pengujiku, bukah" Heh-heh-heh!"
Kini berkuranglah rasa suka di dalam hati Hay Hay terhadap orang itu. Bagaimanapun juga, orang ini di depan orang banyak telah menuduhnya sebagai Ang-hong-cudan ini berbahaya sekali karena memang dia putera jai-hwa-cat itu. Bagaimanapun juga, kenyataan ini menghancurkan hatinya dan dia tidak mau kenyataan yang pahit itu diketahui orang lain. Pek Eng mengetahuinya, akan tetapi dia berhasil membungkam mulut gadis itu dengan kekuatan sihimya. Dan Han Lojin nampaknya demikian memandang rendah kepadanya. Hemm, dia akan tunjukkan kepada orang tua ini bahwa dia tidak boleh dibuat sembarangan!
"Baik, aku akan menyerang. Sambutlah!" bentak Hay Hay dan dia pun sudah menerjang dengan memainkan Ilmu Silat Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Dewa Arak). Dengan menggunakan jurus Dewa Pemabok Menepuk Lalat, tangannya menyambar ke arah pundak lawan, kelihatannya perlahan saja namun di dalam tamparan itu terkandung tenaga dahsyat.
"Heh!" Han Lojin agaknya kaget juga ketika merasakan sambaran angin pukulan yang amat kuat. Dia maklum bahwa pemuda ini lihai, hal itu dapat dilihatnya ketika pemuda itu menghadapi tosu Bu-tong-pai yang lihai. Akan tetapi tak disangkanya bahwa pemuda itu menggunakan tamparan yang demikian dahsyatnya. Dia pun cepat mengelak, akan tetapi tangan pemuda itu seperti meluncur terus, tamparan ke arah pundak itu kini bahkan meluncur ke arah lehernya, lebih berbahaya daripada sebelum dielakkannya tadi. Tiba-tiba kaki Han Lojin mencuat dan mengirim tendangan ke arah pusar Hay Hay. Serangan balasan ini merupakan juga pembelaan diri karena kakinya lebih panjang daripada lengan Hay Hay. Terpaksa pemuda ini menarik kembali tamparannya karena kaki lawan sudah menyambar cepat. Dia pun mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan membacokkan tangan kiri itu seperti sebatang golok ke arah kaki yang menendangnya! Kembali Han Lojin dapat menyelamatkan kakinya dengan memutar kaki itu sehingga tubuhnya ikut terputar dan luput dari "bacokan" tangan Hay Hay.
Han Lojin mengerluarkan seruan nyaring dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebatan dengan amat cepatnya sehingga sukar dlikuti oleh pandang mata biasa. Dan dengan gerakan secepat itu, dia menghujankan serangan berupa totokan bertubi-tubi ke arah tubuh Hay Hay! Pemuda ini kembali terkejut dan dia pun cepat menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) Yan-cu Coan-in (Walet Menembus Awan) yang membuat tubuhnya juga dapat berkelebatan seperti seekor burung walet terbang saja. Kini giliran Han Lojin yang mengeluarkan seruan kagum. Para penonton juga memandang kagum dan beberapa kali mereka mengeluarkan seruan kagum karena pertandingan itu memang menarik sekali. Dari gerakan-gerakan Han Lojin, mereka yang berilmu tinggi dan hadir di situ seperti Lam-hai Giam-lo, Ki Liong dan para tokoh lain, dapat mengenal bahwa orang ini menguasai banyak macam ilmu silat. Ada gaya silat Siauw-lim-pai di dalam gerakannya, ada pula gaya silat Kun-lun-pai dan partai persilatan lain. Pendeknya, gerakan Han Lojin penuh dengan gaya berbagai aliran dari utara sampai selatan. Hal ini menunjukkan bahwa dia telah memiliki pengalaman yang luas sekali, mempelajari banyak macam ilmu silat yang membuatnya amat lihai.
Melihat kelihaian Han Lojin, diam-diam semua orang kagum dan Lam-hai Giam-lo merasa girang sekali karena dia membayangkan memperoleh seorang pembantu yang hebat di samping Ki Liong, yaitu Hay Hay dan Han Lojin. Dengan adanya tiga orang pembantu yang tingkat kepandaiannya sudah hampir menyamainya itu, maka dia merasa kuat, apalagi masih ada Kulana di sana.
Apalagi mereka yang nonton, bahkan mereka yang sedang bertanding itu pun merasa terkejut dan kagum. Han Lojin berkali-kali mengeluarkan seruan kagum dan memuji karena serangan apa pun yang dia keluarkan, dari pilihan jurus-jurus paling ampuh, semua dapat dihindarkan oleh pemuda itu, baik melalui tangkisan maupun elakan. Dan dalam adu ltenaga, harus diakui bahwa tenaga sin-kang pemuda itu kuat bukan main mungkin lebih kuat daripada tenaganya sendiri! Di lain pihak Hay Hay juga tertegun ketika melihat kelihaian lawan. Ilmu-ilmu silatnya yang paling hebat telah dikeluarkan, namun sukar baginya untuk merobohkan atau mengalahkan lawan. Apalagi mengalahkan tanpa merobohkan! Lawannya ini sungguh hebat dan seimbang dengan tingkatnya. Dalam hal tenaga sin-kang mungkin dia menang sedikit, akan tetapi dia tidak tega untuk mengerahkan seluruh tenaganya, khawatir kalau sampai melukai atau membunuh orang itu. Setelah melihat kelihaian ilmunya, timbul pula rasa sayang dalam hati Hay Hay. Orang ini belum dikenalnya bagaimana keadaannya, entah dari golongan sesat maupun seorang pendekar aneh. Memang banyak terdapat pendekar-pendekar atau orang-orang sakti yang aheh di dunia ini. Di antaranya guru-gurunya, seperti Pek Mau Sanjin dan Song Lojin, juga termasuk orang-orang aneh. Bahkan dua orang gurunya terdaulu, See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, juga merupakan orang-orang aneh sehingga kalau dibuat perbandingan, lawannya yang mengaku bernama Han Lojin ini belum berapa hebat keanehannya. Dia tidak berniat untuk mencelakakan lawan ini.
Di dalam hati kedua orang ini timbul suatu pertanyaan. Dalam uji ilmu silat mereka sudah merasa sukar untuk mendapatkan kemenangan dan pertarungan berjalan seimbang dan seru sekali. Lalu andaikata mereka itu benar-benar berkelahi, alangkah akan seru dan mati-matian!
"Heiiiittt".!!" Tiba-tiba Hay Hay sudah menerjang lagi, sekali ini dengan cengkeraman tangan ke arah ubun-ubun kepala lawan dan tonjokan susulan dengan tangan kiri ke arah dada!
"Ihhhh".!" Han Lojin mengeluarkan seruan keras, menarik tubuh atas ke belakang sambil miringkan tubuh sehingga, cengkeraman ke arah ubun-ubunnya itu luput, sedangkan tangan kanannya diputar dari samping untuk menangkis tonjokan ke arah dadanya, disusul tangan kirinya membalas dengan menggunakan telunjuk dan jari tengah untuk menusuk ke arah mata lawan! Hay Hay kagum bukan main. Indah dan berbahaya gerakan lawan yang membalas dengan kontan serangannya, maka dia pun menangkis dengan putaran lengannya.
"Dukk! Desss!" Dua kali sepasasang tangan itu bertemu dan keduanya terdorong ke belakang.
"Hyaaaattt"..!" Tubuh Han Lojin sudah melayan ke atas dengan tendangan kaki terbang! Hay Hay juga menyambut dengan gerakan yang sama, yaitu meloncat ke atas menyambut serangan lawan dengan kedua kakinya pula.
"Desss".!" Bentrok hebat tak dapat dicegah lagi terjadi di udara dan keduanya terpelanting dan kalau tidak cepat; cepat Hay Hay berjungkir balik mematahkan luncuran badan terbanting sehingga keduanya kini sudah saling pandang lagi, berhadapan dalam jarak empat meter. Keduanya sudah mengeluarkan keringat dan nampak betapa kalau Hay Hay masih segar, lawannya sudah mulai terengah-engah!
"Hebat" engkau hebat, panas menjadi Ang-hong-cu"." kata Han Lojin sambil memandang dengan murut menyeringai.
"Aku bukan Ang-hong-cu, setan!" Hay Hay berseru marah dan dia sudah siap menyerang lagi. Saat itu dipergunakan oleh Ki Liong untuk melompat ke depan, di antara mereka dan melerai.
"Sudahlah, Saudara Tang Hay! Han Lojin! Ji-wi (Kalian Berdua) sudah memperlihatkan kepandaian dan kiranya sudah cukup, bukankah begitu, Bengcu?"
Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk. Saking tertariknya, dia tadi sampai lupa. Kalau tidak Ki Liong yang cepat maju melerai dan pertandingan itu dilanjutkan sampai seorang di antara kedua jagoan itu terluka atau tewas, sungguh amat sayang sekali dan berarti suatu kerugian besar baginya. Maka dia pun bangkit dan mengangkat kedua tangannya.
"Sudah cukup, sudah lebih dari cukup. Ji-wi telah memperlihatkan kepandaian dan kami kagum sekali. Mulai saat ini, Ji-wi menjadi pembantu-pembantuku yang dapat kami andalkan. Nah, marilah duduk, akan kami perkenalkan kepada rekan-rekan lain." Dengan gembira Lam-hai Giam-lo lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mempersiapkan hidangan besar dengan cepat untuk menghormati kedua orang pembantu baru itu.
Terjadi keanehan dalam perkenalan itu. Kalau Han Lojin benar-benar merupakan wajah baru, dan hanya Ki Liong seorang yang pernah bertemu dengannya ketika dia menyamar sebagai seorang suku Hui menggembala kambing, sebaliknya ketika Hay Hay diperkenalkan, banyak wajah yang sudah dikenalnya berada di situ. Tentu saja dia sudah mengenal Ji Sun Bi, wanita pertama yang menanamkan gairah berahi dalam dirinya, juga Min-san Mo-ko bukan orang asing baginya karena sudah beberapa kali dia bertanding dengan Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi.
Selagi mereka semua berpesta, muncullah dua pasang suami isteri, yaitu Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Mereka masuk ke dalam ruangan makan, disambut gembira oleh Lam-hai Giam-lo. "Aih, kebetulan kalian berempat datang. Mari, mari sekalian berpesta dengan kami, menyambut pembantu-pembantu baru yang luar biasa ini!" Dia menunjuk kepada Hay Hay dan Han Lojin yang duduk di kanan kirinya. Melihat Hay Hay, dua pasang suami isteri itu memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh kemarahan dan juga kegentaran.
"Wah, agaknya kalian berempat sudah mengenal pula pemuda ini" Saudara muda Tang, ternyata di sini sudah banyak orang yang mengenalmu dengan baik, ha-ha-ha!" Demikian Han. Lojin berseru sambil tertawa.
Lam-hai Giam-lo memandang kepada pemuda, itu. "Saudara Tang, benarkah engkau sudah mengenal kepada mereka berempat?" tanyanya heran.
Hay Hay mengangguk dan tersenyum. "Tentu saja, bahkan Lam-hai Siang-mo pernah menjadi Ayah danIbuku, maksudku, mereka telah mengambilku sebagai anak pungut sejak aku masih bayi sampai berusia tujuh tahun. Dan mereka ini suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, juga sudah kukenal baik sekali karena mereka ini mencoba untuk merampasku dari tangan Lam-hai Siang-mo. Aku diperebutkan oleh kedua suami isteri ini karena aku dianggap Sin-tong!" Hay Hay tertawa.
"Sin-tong"." Bukankah Sin-tong itu kakak kandungmu, Eng Eng?" tanya Lam-hai Giam-lo kepada Eng Eng.
Eng Eng tersenyum pula. Tidak perlu dirahasiakan tentang itu karena memang ia pernah bercerita kepada bengcu itu tentang kakak kandungnya. "Benar, Bengcu. Sejak kecil kakak kandungku, Pek Han Siong, dianggap Sin-tong dan dijadikan perebutan, lalu oleh keluarga kami, Kakakku itu disembunyikan, diganti dengan seorang bayi lain, yaitu Hay-ko ini. Kemudian Hay-ko ini lenyap dicuri orang, ditukar dengan bayi mati, kiranya yang menukar itu adalah Lam-hai Siang-mo."
Lam-hai Giam-lo juga tertawa, lalu memberi isarat dengan tangannya kepada dua pasang suami isteri itu. "Eh, kenapa kalian berempat menjadi bengong setelah, melihat Saudara Tang Hay" Duduklah, dan jangan khawatir, dia ini sekarang adalah rekan kita sendiri. Lupakanlah hal-hal yang terjadi di masa lalu, karena mulai sekarang kita harus mencurahkan perhatian untuk perjuangan kita. Berita apa yang kalian bawa dari Saudara Kulana?"
"Kami sudah menghadap Saudara Kulana dan telah menjelaskan bahwa kini kita telah siap dan telah mengumpulkan banyak tenaga yang jumlahnya tidak kurang dari seribu orang. Dia menyatakan kegirangan hatinya dan dia mengirimkan bantuan emas kepada Bengcu disertai suratnya." Siangkoan Leng yang menjadi juru bicara mereka berempat, menyerahkan sebuah bungkusan yang kelihatan berat berikut segulung surat kepada Lam-hai Giam-lo.
Bengcu ini menerima buntalan itu dan meletakkan di atas meja. Meja berderak menahan berat buntalan itu. Buntalan dibuka dan semua orang terbelalak melihat bongkahan-bongkahan emas murni yang berkilauan. Mereka menaksir bahwa emas murni itu beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus tai! Lam-hai Giam-lo membuka surat itu dan membaca. Wajahnya berubah girang dan setelah menyimpan surat itu ke dalam saku bajunya, dia pun memandang semua pembantunya yang kini lengkap hadir di situ.
"Cu-wi (Saudara sekalian), ada kabar baik. Selain Kulana telah mengirimkan bukti bantuannya berupa emas murni untuk membiayai pasukan yang kita himpun, juga menurut siasat yang telah diaturnya, gerakan dapat dilakukan pada akhir bulan ini, kurang lebih dua minggu lagi. Dia sudah menentukan arah mana pasukan bergerak, dibagi menjadi beberapa kelompok dan kota mana yang akan diduduki sebagai landasan pertama dan benteng gerakan selanjutnyaa. Nah, mulai sekarang, kita harus mempersiapkan pasukan kita dan menarik mereka itu semua ke sini, melatih mereka sambil menanti siasat yang akan disampaikan sendiri oleh Saudara Kulana pada malam bulan purnama dua minggu lagi."
Semua orang menyambut dengan gembira dan diam-diam Hay Hay mencatat semua yang didengarnya dan dilihatnya. Mereka melanjutkan pesta malam itu dan kemudian terjadi kesibukan. Tentu saja yang bertugas mengumpulkan pasukan para pemberontak itu adalah para pemhantu yang telah memperoleh kepercayaan dari Lam-hai Giam-lo. Hay Hay dan Han Lojin yang merupakan orang baru, belum menerima tugas melainkan disuruh memperkuat penjagaan di sarang mereka. Juga Ki Liong tidak bertugas keluar. Pemuda ini merupakan orang kepercayaan dan juga tangan kanan Lam-hai Giam-lo yang diam-diam menyuruh Ki Liong untuk memasang mata mengamati kedua orang pembantu baru itu.
*** Malam itu dingin dan sunyi. Pek Eng telah berada di dalam kamarnya, rebah di atas pembaringannya. Ia gelisah. Pertemuannya dengan Hay Hay masih mendatangkan ketegangan di dalam hatinya, apalagi mengingat betapa tadi siang Hay Hay dituduh sebagai Ang-hong-cu. Ia dapat merasakan betapa sakit rasa hati pemuda itu dan ia merasa kasihan. Ingin ia bertemu dan bercakap-cakap dengan pemuda itu, namun hatinya merasa tidak enak kalau ia harus mencari kamar pemuda itu. Bagaimanapun juga, ia tahu bahwa orang-orang seperti Ki Liong dan Ji Sun Bi nampaknya belum sepenuhnya percaya kepadanya, biarpun tidak berani secara berterang menentangnya karena Lam-hai Giam-lo menyayangnya sebagai murid dan bahkan anak angkat! Akan tetapi ia ingin sekali bertemu dengan Hay Hay, bicara dengan dia dan bertanya akan maksud kunjungannya ke tempat itu. Ia tidak percaya bahwa Hay Hay ingin membantu Lam-hai Glam-lo karena menginginkan imbalan jasa! Ia yakin Hay Hay bukanlah seorang pemuda seperti itu.
Karena gelisah, Pek Eng lalu keluar dari dalam kamarnya dan memasuki taman yang luas itu. Sejak ia berada di situ, taman itu telah menjadi semakin terawat karena ia suka akan bunga-bunga. Bahkan Lam-hai Giam-lo menuruti permintaannya untuk membangun sebuah pondok kecil dicat indah di dalam taman itu untuk tempat beristirahat di kala hawa sedang panasnya, di dekat kolam ikan emas. Agak lega hati Pek Eng yang gelisah setelah ia keluar dari kamar dan hawa malam meniup pada wajahnya, bermain dengan rambutnya. Ketika ia berjalan menuju ke sebuah bangku, ia terkejut dan jantungnya berdebar melihat sesosok tubuh seorang pria duduk di atas bangku itu, tidak jelas wajahnya karena lampu taman berada di belakangnya, tergantung pada batang pohon. Tentu Hay Hay, pikirnya dengan girang dan ia pun menghampiri.
"Aih, malam-malam begini melamun seorang diri"." Pek Eng menghentikan tegurannya karena pemuda itu menoleh, ternyata bukan Hay Hay yang ditemukan, melainkan Ki Liong. Ia merasa kecelik dan malu, maka cepat disambungnya, "Liong-ko, mengapa melamun seorang diri di sini?" Gadis yang cerdik ini menyambung tegurannya sehingga tidak kentara bahwa tadi ia mengira Hay Hay pemuda itu.
Sim Ki Liong bangkit dan tersenyum manis. "Tidak tahukah engkau, Eng-moi, bahwa sudah lama sekali setiap malam aku duduk seorang diri di sini sambil melamun dan merindukan seseorang?"
Pek Eng tersenyum dan tanpa malu-malu ia pun duduk di sudut bangku itu sambil menatap wajah Ki Liong yang kini tertimpa sinar lampu gantung yang tergantung di batang pohon dekat bangku.
"Aih, engkau agaknya telah mempunyai seorang kekasih yang kaurindukan, Liong-ko?" Ia menggoda. Gadis ini memang wataknya lincah jenaka dan ia sudah agak akrab dengan Ki Liong yang memang pandai mengambil hati dan membawa diri.
"Sudah lama, Eng-moi, akan tetapi gadis pujaan hatiku itu hanya kusimpan saja di dalam hati, dan setiap malam kurindukan di bangku ini."
"Siapakah gadis itu, Liong-ko" Boeh aku mengenalnya?"
"Engkau sudah mengenalnya dengan baik, Eng-moi. Gadis itu kini berada di sini."
"Di taman ini" Ah, di mana" Siapa"'"
"Tidak jauh, di hadapanku, di sudut bangku ini. Engkaulah orangnya, Eng-moi, engkaulah gadis yang kucinta, kurindukan dan yang membuat aku tergila-gila. Tidak tahukah engkau?"
Seketika wajah Pek Eng berubah merah sekali. Ia merasa malu, kaget, dan juga marah. Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini akan membuat pengakuan cinta kepadanya!
"Ah... Liong-ko".!" Ia barigkit berdiri.
Dengan cepat Ki Liong melangkah maju djan dengan lembut ia sudah memegang tangan Pek Eng sambil menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu. "Eng-moi, kasihanilah aku yang akan hidup merana tanpa engkau di sisiku! Eng-moi, aku cinta padamu, Eng-moi".!" Dan dia dia menciumi tangan gadis itu. Pek Eng berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat, tubuhnya menggigil karena ia bingung sekali. Ia merasa kaget, juga terharu bercampur marah dan ia tidak tahu apa. yang harus dilakukannya menghadapi pemuda yang mengaku cinta itu. Kedua kakinya gemetar.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang, "Wah, indah sekali bunga-bunga di taman ini! Aih, di mana adanya Sim-kongcu" Katanya berada di taman ini?" Dan muncullah Han Lojin, sementara itu Ki Liong sudah cepat bangkit berdiri dan melepaskan tangan Pek Eng.
"Ah, ternyata betul engkau berada di sini, Sim-kongcu!" kata Han Lojin dengan wajah berseri gembira, "Ha, kiranya Nona Pek Eng yang cantik jelita itu berada di sini?"
"Han Lojin, ada urusan apakah engkau mencari aku?" Ki Liong bertanya, alisnya berkerut dan suaranya kaku, hatinya tidak senang karena dia merasa diganggu sekali. Padahal, tadi Pek Eng tidak memperlihatkan perlawanan dan agaknya dia sudah hampir berhasil sebelum orang celaka ini muncul dan membikin kacau!
"Maaf, sebelum kita bicara, sebaiknya kalau Nona Pek ini kembali ke kamarnya lebih dulu. Nona, sudah malam begini kalau Nona masih berada di taman, tentu akan membuat hati Bengcu merasa tidak tenteram. Sebaiknya kalau Nona kembali ke kamarmu agar aku dapat bercakap-cakap dengan Sim-kongcu."
Pek Eng baru sadar akan apa yang telah terjadi dan diam-diam ia merasa bersukur akan kemunculan orang itu. Tadi ia merasa seperti kehilangan semangat, dan kini ia melihat dengan perasaan ngeri betapa ia hampir saja terjerumus ke dalam jurang yang amat berbahaya. Ia mengangguk dan melangkah pergi dari situ tanpa banyak cakap lagi. Tentu saja hati Ki Liong menjadi semakin kecewa dan marah terhadap orang ini. Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan ketidaksenangannya, bukan karena dia takut terhadap Han Lojin melainkan dia khawatir kalau sampai Lam-hai Giam-lo tahu akan apa yang hendak dilakukannya terhadap Pek Eng tadi. Kalau Bengcu tidak setuju dan marah kepadanya, dia dapat menghadapi kesulitan besar.
Setelah Pek Eng pergi dari taman itu, Ki Liong memandang tajam kepada Han Lojin, menelan kemarahannya dan hanya nampak kemarahan itu pada suaranya yang ketus dan kaku, tidak seperti biasanya dia selalu lembut dan ramah.
"Nah, keluarkan isi hatimu, Han Lojin. Apakah urusan itu yang membuat engkau malam-malam begini mencari aku?"
Han Lojin bersikap tenang saja menghadapi kekakuan Ki Liong. "Aku tadi minta penjelasan kepada Bengcu tentang keadaan kita, karena aku ingin mengetahui lebih jelas bagaimana kedudukan kita, bagaimana kekuatan kita dan apa pula rencana kita. Sebagai orang baru, aku tidak tahu apa-apa dan sebagai pembantu, tentu saja aku harus mengetahui semua itu. Akan .tetapi Bengcu menyuruh aku mencari dan menemuimu, Sim-kongcu, dan katanya engkau dapat menjelaskan semua itu kepadaku."
"Hemm, urusan begitu saja"." Ki Liong menoleh ke arah menghilangnya Pek Eng dan merasa menyesal bukan main. Untuk urusan begitu saja dia terpaksa melepaskan calon korban yang sudah berada di depan mulut tadi, tinggal tubruk saja! "Malam ini aku sedang malas, biarlah besok pagi saja aku memberi penjelasan itu kepadamu, Han Lojjn."
Han Lojin tersenyum dan mengangguk. "Begitu pun baiklah, Sim-kongcu. Selamat malam!" Dia melangkah pergi, akan tetapi baru beberapa langkah saja, dia berhenti dan menoleh. "Ada satu hal lagi, Kongcu. Engkau sebenarnya harus berterima kasih kepadaku sehingga tidak terjadi sesuatu antara engkau dan Nona Pek Eng, karena kalau Bengcu mengetahui, tentu akan terjadi malapetaka atas dirimu." Setelah berkata demikian, Han Lojin menghilang di dalam kegelapan malam.
Ki Liong tertegun, berdiri mematung dan mengepal kedua tinjunya. Kemudian dia mendengus, "Bedebah!" dan dia pun meninggalkan taman, kembali ke dalam kamarnya. Tentu saja dia menjadi berhati-hati dan tidak berani mencoba lagi untuk mengganggu dan merayu Pek Eng setelah Han Lojin mengetahuinya. Siapa tahu orang baru itu untuk mengambil hati melaporkan hal itu kepada bengcu! Dia harus berhati-hati sekali.
Sementara itu, Hay Hay sedang duduk di dalam kamarnya. Dia telah dapat mendengar dan melihat banyak, untuk bahan laporan kepada pemerintah. Dia harus bertindak cepat, pikirnya. Tidak ada waktu lagi untuk melapor ke kota raja, kepada Menteri Yang Ting Hoo. Dia akan melapor kepada benteng pasukan pemerintah yang terdekat, tentang rencana pemberontakan yang akan dimulai pada terang bulan dua minggu mendatang. Rencana pemberontakan itu harus dihancurkan! Dia perlu menghubungi para pendekar, akan tetapi dia tidak tahu mereka berada di mana. Teringatlah dia kepada Han Lojin! Orang itu mencurigakan sekali. Dia tidak yakin bahwa orang itu termasuk tokoh sesat yang hendak mencari keuntungan dengan membantu pemberontak. Siapa tahu dia adalah seorang tokoh pendekar pula yang menyamar! Sebelum pasukan pemerintah menghancurkan pasukan pemberontak, lebih dahulu para tokoh sesat harus dibinasakan. Dan pasukan pemerintah pun baru bisa bergerak kalau pasukan pemberontak yang jumlahnya kurang lebih seribu orang itu telah berkumpul di dataran Yunan.
"Tok-tok-tok!" Daun pintu kamarnya diketuk orang dari luar perlahan. Dia terkejut bukan oleh ketukan itu melainkan karena sama sekali dia tidak mendengar langkah orang di luar pintu. Kalau langkah orang biasa, sudah pasti akan didengarnya. Jelas bahwa yang datang mengetuk daun pintu itu tentu orang yang berkepandaian.
"Siapa di luar?" tanyanya tanpa bangkit dari tempat duduk.
"Aku, saudara muda Tang Hay, bukalah pintu, aku Han Lojin ingin bicara deganmu!" kata suara itu dari luar pintu.
Berdebar rasa jantung dalam dada Hay Hay. Baru saja dia memikirkan tentang orang ini" Benarkah dia seorang pendekar yang bertugas sama dengan dia" Kalau benar, betapa beraninya mendatangi kamarnya begitu saja. Tentu akan menimbulkan kecurigaan, dan dia tahu bahwa diam-diam Lam-hai Giam-lo belum percaya kepada mereka berdua dan tentu selalu memasang mata-mata untuk mengamati mereka. Mungkin Sim Ki Liong mata-mata itu, atau para anggauta Kui-kok-pang atau Pek-lian-kauw. Dan teringat dia akan kelihaian orang ini. Tidak mudah baginya untuk mengalahkannya. Bagaimana kalau dengan sihir" Belum dicobanya. Tidak selalu kekuatan sihirnya dapat diandalkan. Kalau bertemu lawan yang tangguh dan memiliki daya tahan terhadap sihir, seperti mendiang Kiu-bwe Tok-li, nenek buruk itu, kekuatan sihirnya takkan ada artinya. Akan tetapi boleh dia coba, pikirnya sambil bangkit dari kursinya dan membuka daun pintu. Dia telah mempersiapkan diri, mengerahkan kekuatan sihirnya ketika membuka pintu. Begitu daun pintu terbuka dan Hay Hay berhadapan dengan Han Lojin, dia menatap tajam diantara kedua alis orang itu dan berkata dengan suara yang menggetar penuh wibawa, "Aku bukan Hay Hay aku Sim Ki Liong!"
Jelas nampak betapa wajah Han Lojin tertegun kaget, matanya terbelalak dan mulutnya tergagap, "Sim... Sim... Kongcu..., ahhh!" Dia menggunakan tiga jari tangan kirinya dan menekan diantara kedua alisnya, kemudian memandang lagi dan kini wajahnya tersenyum lebar.
"Wah, Saudara Tang, jangan main-main! Hampir saja kukira benar, akan tetapi baru saja aku bertemu Sim-kongcu di taman. Agaknya engkau memang suka bermain sulap, ya?"
Tahulah Hay Hay bahwa orang ini memang tangguh. Begitu terpengaruh sihirnya, Han Lojin tadi sudah berhasil memunahkan kekuatan sihirnya dengan menekan antara kedua alis matanya dengan tiga jari tangan kiri. Dia melihat betapa orang itu membawa sebuah guci arak, maka semakin heranlah dia mengapa orang ini datang kepadanya membawa guci arak.
"Han Lojin, ada keperluan apakah engkau malam-malam begini datang berkunjung kepadaku?" Diam-diam dia. heran. Orang ini, bersama dia baru saja diterima di situ sebagai sekutu, dan malam pertama ini Han Lojin sudah berkeliaran di tempat orang!
"Ha-ha-ha, karena aku suka padamu, karena aku kagum padamu. Engkau masih begini muda, akan tetapi sudah amat lihai. Aku berkunjung untuk bicara dan untuk menyatakan rasa kagumku, mengajakmu minum-minum untuk mempererat perkenalan antara kita."
"Hemm, dalam lian-bu-thia tadi engkau sama sekali tidak menghargaiku, bahkan seenaknya saja menuduh aku Ang-hong-cu!" kata Hay Hay mendongkol.
"Heh-heh, karena memang engkau pantas menjadi Ang-hong-cu yang tersohor itu"."
"Tidak sudi! Tersohor jahat, apa gunanya?"
"Ha-ha-ha, Saudaraku yang baik. Bukankah di sini berkumpul banyak orang yang bergelimang kejahatan" Ataukah engkau ini seorang yang menentang kejahatan, dan kalau benar demikian, kenapa berada di sini?" Berkata demikian, Han Lojin melangkah masuk. "Bolehkah aku masuk" Aku hanya ingin menyuguhkan arak istimewa ini untuk memberi selamat dan menyatakan rasa kagumku."
Ucapan Han Lojin tadi mengejutkan hati Hay Hay. Orang ini sungguh berbahaya, agaknya menaruh curiga kepadaku dan menduga bahwa aku adalah seorang dari golongan lain yang menentang para tokoh sesat, pikir Hay Hay. Kalau benar demikian, celakalah, akan tetapi dia akan berpura-pura tidak mengerti dan ingin melihat perkembangannya.
"Masuk dan duduklah, Han Lojin," katanya mempersilakan. Keduanya duduk dipisahkan meja kecil, di atas dua buah kursi yang berada di kamar itu. "Nah, katakan, Han Lojin, apa keperluanmu?"
"Heh-heh, sudah kukatakan tadi. Ingin mempererat perkenalan dan ingin menyuguhkan arak ini. Ketahuilah, kawan. Arak ini adalah arak simpanan, sudah ratusan tahun umurnya, keras dan harum bukan main. Nah, aku ingin engkau menemaniku menghabiskan arak yang hanya tinggal beberapa cawan ini. Apakah di sini ada cawan?"
Kebetulan di setiap kamar tamu memang disediakan poci teh dan beberapa buah cawan. Hay Hay mengambil dua buah cawan dan dia bersikap waspada. Akan tetapi, Han Lojin menuangkan arak dari dalam guci ke dalam dua buah cawan kecil itu. Arak itu berwarna kekuningan, seperti emas, dan mengeluarkan bau yang amat harum semerbak seperti bunga.
"Saudara Tang Hay, mari kita minum sebagai tanda kagumku kepadamu," kata Han Lojin sambil mengangkat cawan araknya. Hay Hay mengikutinya, dan melihat betapa Han Lojin minum araknya, dia pun tidak curiga lagi dan dia pun minum arak itu. Manis dan enak rasanya, tidak begitu keras, namun hangat memasuki perutnya.
Dua kali lagi mereka minum sampai guci itu menjadi kosong dan Han Lojin kelihatan gembira bukan main. "Bagus, engkau memang seorang pemuda yang hebat, Hay Hay! Aku suka sekali padamu. Sekarang aku pamit, aku ingin tidur di kamarku " Orang itu bangkit dan agak terhuyung. Hay Hay ingin mentertawakan karena baru minum tiga cawan saja sudah kelihatan mabuk. Akan tetapi ketika. dia bangkit berdiri, dia pun terkejut karena kepalanya terasa agak berat, akan tetapi begitu nyaman rasanya! Apakah dia pun mabuk hanya karena minum tiga cawan saja" Kalau begitu, arak itu bekerja secara halus namun keras bukan main.
"Tapi, apakah sebetulnya yang hendak kaubicarakan, Han Lojin?"
"Aku" Heh-heh-heh, tidak apa.apa. Aku melihat Sim-kongcu di taman, heh-heh, dia sedang merayu Nona Pek Eng. Hampir saja Nona Pek Eng jatuh ke dalam rayuannya, akan tetapi... he-heh, aku muncul menggagalkannya. Orang muda, engkau kakak angkat Nona Pek Eng, bukan" Sebaiknya sekarang juga engkau memperingatkan ia sebelum terlambat..." Setelah berkata demikian, Han Lojin meloncat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam.
Hay Hay merasa terkejut sekali, juga marah. Keparat Ki Liong itu! Dia menduga keras bahwa Ki Liong adalah juga Ciang Ki Liong, murid Pulau Teratai Merah seperti yang diceritakan Kui Hong kepadanya itu. Dia harus memperingatkan Pek Eng, benar juga anjuran Han Lojin itu. Hay Hay lalu keluar dari kamarnya, menutupkan daun pintu dan merasa betapa tubuhnya ringan dan perasaannya nyaman sekali. Arak itu sungguh ampuh, pikirnya, kagum. Arak yang sudah tua sekali dan memang hebat! Dia tahu di mana kamar Pek Eng. Hal ini sudah diperhatikannya tadi karena memang dia ingin mempelajari semua letak kamar para penghuni sarang pemberontak itu. Dia harus memperingatkan Pek Eng, akan tetapi juga tidak boleh dilihat orang lain. Tidak baik kalau dia memasuki kamar seorang gadis, walaupun tidak ada maksud buruk. Sebaiknya Pek Eng dipanggilnya keluar.
"Eng-moi...!" Bisiknya dari luar jendela kamar gadis itu. Dilihatnya lampu masih bernyala dalam kamar itu, tanda bahwa Pek Eng belum tidur. "Ini aku, Hay Hay".!"
"Hay-ko...!" terdengar suara gadis itu.
"Ssstttt..., keluarlah, kutunggu di dalam taman, aku mau bicara penting," kata pula Hay Hay.
"Baik, Hay-ko"."
Mereka bertemu di dekat pondok, tempat yang cukup sunyi, juga gelap karena sinar lampu di depan pondok itu terhalang pohon. "Ada apakah, Hay-ko?" tanya Pek Eng sambil menghampiri pemuda itu, berdiri dekat sekali dengan Hay Hay karena Pek Eng masih merasa ngeri teringat akan pengalamannya dengan Ki Liong tadi.
"Eng-moi..." Hay Hay tergagap dan pemuda ini memejamkan matanya sejenak, dia merasa aneh sekali, jantungnya berdebar kencang, hidungnya menangkap keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian Pek Eng. "Kau... kau harus berhati-hati terhadap rayuan Ki Liong?"
"Hay-ko...! Kau... kau sudah tahu" Tidak, aku tidak akan jatuh oleh rayuannya, aku tidak cinta padanya, Hay-ko..." Dan gadis itu makin mendekat karena heran melihat betapa tubuh Hay Hay agak gemetar seperti kedinginan.
"Hay-ko, engkau kenapakah "." Tanya Pek Eng sambil memegang lengan Hay Hay. Akan tetapi, sentuhan ini membuat Hay Hay tiba-tiba seperti menjadi gila. Dan merangkul, mendekap dan menciumi pipi dan bibir Pek Eng! Tentu saja Pek Eng terkejut bukan main, sampai ia menjadi gelagapan.
"Hay-ko... Hay-ko... Hay"." Gadis itu tidak dapat melanjutkan karena Hay Hay sudah memondong tubuhnya, terus menciuminya dan karena memang di sudut hati gadis ini sudah jatuh cinta kepada Hay Hay, sejak pertemuan pertama dahulu, maka akhirnya runtuhlah pertahanan batin Pek Eng dan ia pun bukan hanya mandah saja bahkan balas merangkulkan lengannya pada leher Hay Hay.
"Hay-kooo"." keluhnya dan ia memejamkan mata ketika dipondong dan dibawa oleh Hay Hay memasuki pondok itu. Dengan kakinya Hay Hay mendorong pintu pondok terbuka, masuk ke dalam pondok yang gelap karena memang lampunya tidak dinyalakan itu, dan menghampiri dipan kayu yang terdapat di dalam pondok.
"Eng-moi"."
"Hay-ko".. "
Akan tetapi, ketika mereka sudah rebah di atas dipan sambil berpelukan dan berciuman, ketika Pek Eng sudah terengah-engah dan pasrah bagaikan mabuk, tiba-tiba kesadaran Hay Hay menembus kabut yang tadi menyelimuti batinnya, kemabukan aneh yang mendatangkan rangsang berahi yang amat hebat itu dapat nampak oleh kesadarannya dan dia pun mengeluh, tiba-tiba melepaskan rangkulannya dan meloncat turun dari pembaringan.
"Hay-ko".!"
"Eng-moi, apa yang kita lakukan ini" Ahh"." Dan Hay Hay teringat semuanya, lalu dengan geram tertahan dia pun meloncat keluar dari pondok itu. Pek Eng masih berada di atas dipan dan gadis ini terisak.
Baru saja bayangan Hay Hay berkelebat keluar dan lenyap dalam kegelapan, nampak pula bayangan sesosok tubuh manusia memasuki pintu pondok dan dia menutupkan pintu dari dalam.
"Hay-koooo".!" Pek Eng mengeluh dan merintih panjang dan selanjutnya sunyi di pondok itu. Kesunyian yang menghanyutkan, kesunyian yang penuh dengan pengaruh setan dan iblis, yang membuat manusia lupa akan segalanya, lupa akan kesadarannya, dan lupa untuk membayangkan akibat-akibat dari perbuatannya di malam yang menghanyutkan itu.
Dalam kegelapan malam itu, sesosok bayangan keluar dari dalam pondok dan meloncat ke balik batang pohon, lenyap seperti setan. Tak berapa lama kemudian, nampak bayangan lain keluar dari dalam pondok, menahan isak dan bayangan kedua ini adalah Pek Eng yang terhuyung meninggalkan taman, kembali ke kamarnya sambil menangis lirih.
Semalam suntuk Pek Eng tak dapat tidur. Kadang-kadang ia terisak, akan tetapi kadang-kadang nampak ia tersenyum bahagia lalu termenung. Ia telah menyerahkan diri kepada Hay Hay, seperti orang yang mabuk keduanya telah mereguk anggur manis itu bersama, dengan suka rela, dengan sepenuh kasih sayang dan kemesraan. Ketika Hay Hay meninggalkannya mendadak, ia bingung dan mennyesal, akan tetapi ketika pemuda itu masuk lagi ke kamarnya ia terkejut. Baru setelah Hay Hay kembali merangkul, mendekap dan menciuminya, ia pasrah sepenuh hatinya. Ia mencinta Hay Hay dan ia tidak merasa menyesal telah menyerahkan diri kepada pemuda itu, karena ia yakin bahwa Hay Hay akan bertanggung jawab, akan mengawininya! Dan ia merasa berbahagia kalau teringat akan hal ini, membayangkan menjadi isteri Hay Hay walaupun perasaan sesal karena ia telah menyerah begitu saja, dengan amat lemah, kadang mengganggu hatinya.
Akan tetapi, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika Pek Eng mencari Hay Hay, dengan menahan perasaan canggung dan malu, ia tidak dapat menemukan pemuda itu! Hay Hay telah pergi meninggalkan perkampungan itu tanpa pamit kepada siapa pun, pada malam hari itu juga. Tentu saja Pek Eng menjadi terkejut dan khawatir, dan ia pun segera pergi untuk mencari Hay Hay.
Bagi Ki Liong, yang mengniiang bukan hanya Hay Hay, akan tetapi juga Han Lojin tidak berada di dalam kamarnya. Tak seorang pun diantara para penjaga melihat kedua orang itu meninggalkan perkampungan dan hal ini tidak mengherankan hati Ki Liong karena kedua orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia merasa menyesal sekali. Kalau tidak karena kegagalannya merayu Pek Eng, tentu dia akan lebih waspada mengamati dua orang itu. Kini, mereka telah pergi, entah ke mana dan entah apa yang akan mereka lakukan. Ketika dia melapor kepada Lam-hai Giam-lo, Bengcu ini tentu saja menjadi marah dan menegur para penjaga yang dimakinya kurang hati-hati.
"Sebar orang-orang dan cari mereka!" bentak Lam-hai Giam-lo. "Kalau sudah diketahui tempatnya, aku sendiri yang akan menghadapi mereka kalau mereka memang berkhianat!"
Ki Liong sendiri yang juga merasa penasaran, segera memimpin pasukali kecil untuk melakukan pencarian. Keadaan menjadi kacau, apalagi ketika Lam-hai Giam-lo mendengar dari para pelayan bahwa pagi sekali tadi Pek Eng juga meninggalkan tempat itu. Para penjaga melihat Pek Eng keluar dari perkampungan dan karena semua penjaga mengenal bahwa Pek Eng adalah murid dan juga anak angkat bengcu, tak seorang pun diantara mereka berani bertanya apalagi menghalangi kepergiannya. Lam-hai Giam-lo merasa khawatir sekali dan dia menyuruh orang-orang untuk mencari pula muridnya itu.
*** Ketika mendengar tuduhan para tokoh Bu-tong-pai bahwa Hay Hay, susioknya yang amat dikaguminya itu, adalah Ang-hong-cu, seorang penjahat pemerkosa wanita yang tersohor, tanpa Hay Hay dapat membuktikan bahwa dia bukan Ang-hong-cu timbul perasaan kaget, penasaran dan kemarahan dalam hari Cia Ling atau Ling Ling. Ling Ling adalah seorang gadis yang berhati lembut, berwatak jujur, terbuka dan peka sekali. Begitu bertemu dengan Hay Hay hatinya sudah tertarik sekali karena selama hidupnya, ia merasa belum pernah ia jumpa dengan seorang pria yang demikian menarik hatinya dan amat dikaguminya. Oleh karena itu, tuduhan bahwa Hay Hay seorang jai-hwa-cat yang tersohor, membuat hatinya bimbang dan berduka. Apa lagi ketika ia teringat betapa Hay Hay memang memiliki sikap yang perayu dan seperti pemuda mata keranjang, begitu bertemu dengannya langsung saja memuji-muji kecantikannya. Benarkah Hay Hay seorang penjahat pemetik bunga, atau penjahat yang suka memperkosa dan mempermainkan wanita" Tidak sukar bagi Hay Hay untuk melakukan kejahatan seperti itu pikirnya. Hay Hay cukup tampan dan ganteng untuk menggetarkan hati wanita, cukup gagah dan lihai sekali untuk menarik hati wanita, dan pandai merayu pula dengan kata-kata manis dan indah. Kalau rayuannya tidak mempan, tentu saja dia dapat mempergunakan kepandaiannya untuk menundukkan wanita dan memperkosanya. Ling Ling bergidik, merasa ngeri. Benarkah pemuda yang gagah itu, yang masih terhitung paman gurunya sendiri, adalah seorang pen jahat keji"
Tadinya ia sudah tidak ingin mempedulikan lagi, ingin meninggalkan Hay Hay dan menyelidiki sendiri persekutuan pemberontak itu. Akan tetapi, bagaimanapun juga, hatinya merasa tidak tega kepada Hay Hay. Pemuda itu telah berjanji bahwa tiga hari kemudian akan menjumpainya di tepi telaga, di bagian yang sunyi di mana untuk pertama kali ia bertemu dengan susioknya itu, ketika Hay Hay sedang memancing ikan kemudian terganggu oleh luncuran perahunya. Maka, pada hari ketiga, Ling Ling membawa perbekalan makanan dan pergilah ia ke tempat itu. Ia menanti dengan sabar, bahkan sampai menjelang malam, ketika hari telah menjadi gelap, ia masih duduk di tepi telaga, menanti munculnya Hay Hay di situ.
Gadis ini merasa yakin bahwa susioknya pasti akan datang, entah malam ini atau paling lambat besok pagi-pagi. Ia akan menanti dan akan bicara dari hati ke hati, bukan hanya untuk mendengar akan hasil penyelidikan susioknya, akan tetapi juga tentang tuduhan orang-orang Bu-tong-pai itu. Ia harus dapat yakin akan hal itu!
Ketika malam tiba dan hawa mulai dingin, dengan bulan yang masih muda muncul mendatangkan cuaca yang muram, Ling Ling membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan dingin, juga untuk memberi sedikit cahaya penerangan sebelum ia tidur. Ia tetap menanti, akan tetapi sampai jauh malam, setelah semua kayu untuk dibakar telah habis, Hay Hay belum juga datang. Ling Ling membiarkan api unggun padam, lalu merebahkan diri di atas tanah di tepi telaga, berselimut kain yang dibawanya. Ia tidak mempunyai nafsu untuk makan malam dan membiarkan saja bekal makanan tanpa disentuh. Bagaimanapun juga, ia merasa agak kecewa karena malam itu agaknya Hay Hay tidak datang.
Gadis itu mulai hanyut dalam kantuk dan hampir pulas sehingga ia tidak melihat berkelebatnya bayangan orang menghampirinya. Ia baru terkejut ketika ada tangan menotoknya. Ia tidak keburu mengelak atau bergerak, dan ketika ia sadar hendak meloncat, ternyata tubuhnya sudah lemas tak berdaya. Ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang menjadi seperti lumpuh! Ada sosok tubuh orang berdiri di dekatnya, dan biarpun cuaca remang-remang tidak memungkinkan ia mengenal wajah orang itu, namun dari bentuk tubuhnya, ia merasa yakin bahwa orang itu adalah Hay Hay! Ingin ia memanggil susioknya, namun mulutnya juga tidak mampu bersuara. Totokan itu lihai bukan main, membuat ia tidak mampu menggerakkan kaki tangan maupun mulutnya, namun tetap membuat ia sadar. Kenapa susioknya melakukan hal ini" Menotoknya" Apakah hendak main-main atau ada alasan lain yang memaksanya"
Alangkah kagetnya ketika ia melihat apa yang dilakukan susioknya terhadap dirinya! Ia terbelalak, tak dapat meronta dan hampir pingsan! Susioknya telah melucuti pakaiannya dan memperkosanya! Hatinya memberontak! Bukan karena hubungan itu sendiri, melainkan karena perkosaan itu! Tak tahulah susioknya itu bahwa sejak pertama kali bertemu, ia telah jatuh hati" Dan ia akan merasa berbahagia sekali menjadi isteri susioknya itu, dengan rela dan suka hati ia akan menyerahkan dirinya, dengan pasrah dan penuh kasih sayang! Akan tetapi mengapa susioknya itu memperkosanya" Betapa kejamnya, betapa kejinya! Benar-benar dia seorang jai-hwa-cat! Dan Ling Ling jatuh pingsan, tidak merasakan lagi apa yang telah terjadi pada dirinya. Hatinya menjerit-jerit, langit bagaikan runtuh bagi gadis yang baru berusia tujuh belas tahun lebih ini.
Ketika akhirnya Ling Ling siuman dan membuka matanya, ia mengeluh tanpa dapat mengeluarkan suara rintihan panjang keluar dari dalam dadanya dan ia menggigil. Dingin sekali rasanya. Ketika ia membuka mata, ternyata malam telah lewat dan biarpun matahari belum muncul, namun sinarnya telah mendahuluinya mengusir sisa-sisa malam pekat dan dingin. Ling Ling mendapatkan dirinya masih rebah terlentang dengan telanjang bulat, di atas pakaiannya sendiri! Ia masih belum mampu bergerak! Dan Hay Hay telah tidak ada, tak nampak bayangannya. Keparat! Betapa kejinya! Meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Telanjang bulat dan dalam keadaan masih tertotok. Atau ditotok lagi, pikir Ling Ling penuh kebencian dan kedukaan. Totokan pertama itu telah habis daya gunanya dan agaknya, sebelum meninggalkannya, jai-hwa-cat itu telah menotoknya lagi!
"Ling Ling...!!" Tiba-tiba terdengar suara Hay Hay dan muncullah pemuda ini. Matanya terbelalak melihat gadis yang terlentang telanjang bulat dan tidak mampu bergerak itu. Cepat Hay Hay menanggalkan baju luarnya dan menutupi tubuh Ling Ling. "Ling Ling, kau kenapakah?" teriaknyadan melihat betapa gadis itu hanya memandangnya dengan mata mengalirkan air rnata, tanpa suara dan kaki tangannya lemas, Hay Hay lalu cepat memulihkan totokan itu. Ling Ling mampu bergerak dan pertama kali yang dilakukannya adalah membalikkan tubuhnya, membelakangi Hay Hay dan mengenakan kembali pakaiannya satu demi satu dengan cepat, dengan kedua tangan gemetar dan kedua kaki menggigil, air matanya bercucuran. Hay Hay memandang saja, membiarkan sampai Ling Ling selesai berpakaian, barulah dia bertanya lagi.
"Ling Ling, apa yang telah terjadi" Apa... siapa".." dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena gadis itu sudah membalik dan memandang kepadanya dengan sinar mata berapi akan tetapi juga mencucurkan air mata yang menuruni sepanjang kedua pipinya yang pucat.
"Manusia keji! Engkau masih berpura-pura dan bertanya apa yang telah terjadi" Aih, Susiok, kenapa hati manusia dapat sekejam hatimu?" Gadis itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah menangis tersedu-sedu sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.
Hay Hay terbelalak dan mengerutkan alisnya, memandang penuh selidik dan juga penuh kekhawatiran. "Ling Ling, apa". apa maksudmu". ?"
Ling Ling menahan tangisnya, menurunkan kedua tangan dan dengan mata membendul merah karena terlalu banyak menangis ia menatap wajah pemuda itu dan berkata, suaranya penuh nada penyesalan. "Engkau... jai-hwa-cat terkutuk berjiwa pengecut! Semalam... engkau datang ketika aku tidur, dan engkau menotokku kemudian kau... kau... memperkosa aku! Dan sekarang engkau pura-pura bertanya dan bersikap tidak berdosa?"
Kalau saat itu ada kilat menggelegar dan menyambar kepalanya, belum tentu Hay Hay akan sekaget ketika mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh gadis itu. Dia meloncat dengan muka pucat, kemudian mukanya berubah merah sekali.
"Ling Ling...! Benarkah engkau melihat bahwa orang itu adalah aku" Dapatkah engkau melihat dan mengenalku?" Dengan mata mencorong karena marah melihat pemuda itu tetap hendak berpura-pura, Ling Ling berkata, "Biarpun keadaan gelap dan tidak dapat melihat mukamu, akan tetapi aku mengenalmu. Bayangan tubuhmu, juga mukamu halus, dan siapa lagi yang tahu akan tempat ini selain kita berdua" Bukankah engkau sudah berjanji padaku akan datang setelah tiga hari, jadi tepat malam tadi" Susiok, engkau mempergunakan kesempatan dan kepandaianmu untuk melakukan kekejian dan engkau menghancurkan hatiku, menodai kehormatanku".." Gadis itu menangis lagi. " Akan tetapi... semua itu telah terlanjur..., mungkin engkau dikuasai nafsu... dan aku mau memaafkan semua itu asal engkau menyatakan penyesalanmu dan bertobat, tidak menjadi Ang-hong-cu lagi, dan engkau memperisteri aku dengan sah"."
"Tidak...! Tidak, bukan aku, Ling Ling! Sungguh mati, bukan aku yang melakukan kekejian itu terhadap dirimu!"
Ling Ling meloncat dengan marah dan berdiri tegak, tangisnya terhenti dan wajahnya membayangkan kemarahan. "Tang Hay! Begini sajakah keadaan batinmu" Engkau melakukan kekejian, memperkosa aku, dan kini masih sampai hati untuk berpura-pura tidak tahu dan menyangkal" Kalau begitu engkau bukan manusia, engkau kejam melebihi binatang, engkau iblis dan engkau atau aku akan mati di sini!" Gadis yang biasanya berwatak lembut itu kini berubah beringas seperti seekor harimau marah dan ia sudah menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali karena ia mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan itu. Hay Hay yang masih terguncang batinnya karena tuduhan tadi, seperti orang bingung dan menghadapi serangan ini, dia hanya menolaknya untuk melindungi dirinya, atau sebagai gerakan pertahanan otomatis. Akan tetapi dia tidak mengerahkan tenaga terlalu besar, karena di samping kebingungan dan kekagetannya, juga dia merasa iba sekali kepada gadis yang baru saja ditimpa malapetaka yang bagi seorang gadis lebih hebat daripada maut itu.
"Dukkk...!" Tubuh Hay Hay terlempar dan terbanting jatuh bergulingan, dan dengan gerakan yang cepat bukan main Ling Ling sudah meloncat, mengejar dan mengirim tendangan ke arah kepala Hay Hay. Serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh, karena dalam tendangan itu terkandung pula tenaga yang amat besar. Hay Hay belum sempat bangun dan melihat tendangan menyambar ke arah kepalanya, kembali gerakan otomatis membuat dia menggerakkan tangan melindungi kepala.
"Desss...!" Tendangan yang diterima oleh tangan Hay Hay itu kuat sekali, dan untuk kedua kalinya tubuh Hay Hay terlempar dan bergulingan seperti sebutir bola ditendang. Bagaikan seekor harimau mencium darah, Ling Ling bertambah beringas dan ia pun sudah mengejar lagi.
Akan tetapi Hay Hay sudah meloncat bangun. "Ling Ling, tahan dulu! Sungguh mati, aku tidak melakukan perbuatan itu!" Hay Hay berseru sambil mengangkat tangan ke atas. Akan tetapi penyangkalan ini membuat hati Ling Ling menjadi semakin marah. Kemarahan yang timbul karena kekhawatiran hebat. Bagaimana kalau benar-benar bukan Hay Hay yang memperkosanya" Hal ini akan mendatangkan kehancuran hati lebih besar lagi. Kalau Hay Hay yang melakukannya, bagaimanapun juga ia mencinta susioknya itu. Akan tetapi kalau orang lain" Akan lenyaplah harapannya untuk dapat memaksa Hay Hay mempertanggungjawabkan perbuatannya. Maka ia tidak sudi mendengarkan kemungkinan ini dan ia sudah menerjang lagi sambil berkata, "Engkau mengakui perbuatanmu atau mengadu nyawa dengan aku!" Dan ini memang sudah menjadi tekadnya. Kalau Hay Hay mengaku dan mau bertanggung jawab ia akan suka memaafkan dan menjadi isteri pemuda itu, sebaliknya kalau Hay Hay tetap menyangkal, pemuda itu harus mati atau ia sendiri yang akan mati dalam tangan pemuda itu. Ia menyerang lagi dengan loncatan tinggi dan ketika tubuhnya meluncur turun, kedua tangannya membentuk cakar dan mencengkeram ke arah ubun-ubun, kepala dan leher pemuda itu. Serangan bukan main hebatnya karena Ling Ling sudah menggunakan satu jurus dari Ilmu Silat Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis)!
Serangan ini memang dahsyat sekali, akan tetapi dengan tingkat kepandaiannya yang lebih tinggi, kiranya tidak akan begitu sukar bagi Hay Hay untuk menyelamatkan diri, juga membalas. Akan tetapi sekuku hitam pun tiada niat di hatinya untuk membalas kepada gadis yang amat dikasihaninya itu. Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi kedua tangan gadis itu terus mengejar kepala dan lehernya. Terpaksa dia menangkis dengan lengannya, menyampok ke dalam.
"Dukkk!" Kini tubuh Ling Ling terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting ke atas tanah, Hay Hay sudah merangkap lengannya sehingga gadis itu tidak terbanting.
Hay Hay masih memegang lengan Ling Ling dengan lembut, berdiri dekat dan membujuk. "Dengarkanlah dulu, Ling Ling dan jangan terburu napsu. Sesungguhnyalah kalau kukatakan bahwa akutidak"."
"Bukkk!!" Kini hantaman Ling Ling tepat mengenai dada Hay Hay dan pemuda itu terpelanting. Pukulan dari jarak dekat itu cukup keras dan mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Namun tidak melukai Hay Hay walaupun dalam dadanya terguncang dan ada sedikit darah nampak pada ujung bibirnya ketika dia meloncat bangun kembali. Pada saat itu, Ling Ling sudah menyerang lagi, dan Hay Hay hanya mengelak sambil mundur .
"Ling Ling, demi Tuhan... Ling Ling..."Di antara serangan bertubi yang dielakkan atau ditangkisnya dengan lembut, Hay Hay masih mencoba untuk menyabarkan gadis itu.
"Pengecut keji!" Ling Ling bahkan menjadi semakin marah dan menyerang lagi, kini menggunakan Ilmu Totokan It-sin-ci yang amat cepat dan berbahaya sekali. Karena sama sekali tidak membalas, Hay Hay menjadi repot juga ketika dihujani serangan totokan ini. Percuma saja dia menghindarkan diri dengan Jiauw-pouw-poan-soan karena gadis itu sudah mengenal ilmu ini dan tentu akan melihat rahasia gerakan kakinya dan bahkan membahayakan dirinya. Maka, dia pun mempergunakan kedua tangannya untuk selalu menangkis atau menyambut totokan sebuah jari itu dengan telapaktangannya yang diisi dengan sin-kang lunak. Dia mundur terus dan menjadi semakin bingung karena Ling Ling menyerang makin hebat.
"Tahan serangan! Nona, kenapa Nona menyerang pendekar itu mati-matian?" Hay Hay melirik dan mengenal pemuda perkasa Can Sun Hok yang pernah dibujuknya untuk menentang persekutuan pemberontak. Dia menjadi semakin bingung karena kalau pemuda ini menanyakan urusan, tidak mungkin dia dapat menceritakan tentang aib yang menimpa diri Ling Ling. Maka, menggunakan kesempatan selagi Ling Ling menoleh dan memandang kepada orang yang baru datang itu, Hay Hay melompat dan mempergunakan kepandaiannya menghilang di antara pohon-pohon dalam hutan di tepi telaga.
"Jahanam, janngan lari!" bentak Ling Ling, yang segera melakukan pengejaran. Pemuda itu, Can Sun Hok, yang merasa heran sekali, juga ikut pula mengejar.
Akan tetapi, bayangan Hay Hay telah menghilang dan Ling Ling kehilangan jejaknya. Ketika gadis ini berhenti di tengah hultan dengan bingung, Can Sun Hok muncul, dan bersikap hormat.
"Maaf, Nona. Bukan maksudku hendak mencampuri urusan Nona, akan tetapi aku sungguh merasa heran melihat betapa Nona mati-matian menyerang dia, seorang pendekar yang berilmu tinggi dan seorang utusan pemerintah untuk menumpas persekutuan pemberontak itu."
Tadinya Ling Ung hendak marah melihat ada orang mencampuri urusannya, akan tetapi melihat Sun Hok yang demikian sopan dan mendengar Sun Hok memuji-muji Hay Hay, kemarahannya berkurang. Ia pun maklum bahwa ia sama sekali tidak mungkin dapat menceritakan peristiwa antara ia dan Hay Hay itu, yang merupakan rahasia pribadinya merupakan aib yang tak mungkin diceritakannya kepada orang lain, kecuali orang tuanya sendiri.
"Pendekar" Huh, dia adalah Ang-hong-cu, Jai-hwa-cat yang amat keji, maka aku tadi berusaha mati-matian untuk membunuhnya.
Kini Sun Hok yang terbelalak heran, "Apa". " Dia".." Ang-hong-cu Si Jai-hwa-cat?" Ah, benarkah itu, Nona" Aku pernah bertemu dengannya. Ilmu silatnya tinggi sekali, dan dia membujukku untuk membantu pemerintah menghadapi para datuk sesat yang bersekutu dan hendak memberontak. Bahkan aku mendengar sendiri dari Menteri Cang Ku Ceng bahwa Saudara Hay Hay itu adalah orang kepercayaan Menteri Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan di kota Siang-tan, dan mereka itu memesan kepadaku agar aku suka membantunya. Akan tetapi, ah... kenapa aku begini lancang mulut, padahal aku tidak mengenalmu, Nona. Siapakah engkau, dan bagaimana dapat menuduh Saudara Hay Hay yang gagah perkasa itu seorang Jai-hwa-cat?"
"Hemm, aku sendiri belum mengenal siapa engkau"." kata Ling Ling sambil menatap tajam.
"Namaku Can Sun Hok, Nona, juga tinggal di kota Siang-tan. Aku sudah janji kepada Saudara Hay Hay untuk membantu pemerintah menentang kaum sesat yang memberontak."
Ling Ling percaya kepada pemuda yang sopan dan halus ini, "Namaku Cia Ling, dan aku pun sedang melakukan penyelidikan ketika mendengar bahwa di daerah Yunan terdapat persekutuan kaum sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo dan mereka hendak melakukan pemberontakan. Kebetulan saja aku bertemu dengan Hay Hay itu dan ada serombongan murid Bu-tong-pai yang mengejar-ngejar dan menyerangnya karena menurut para murid Bu-tong-pai itu, dia adalah Ang-hdng-cu, jai-hwa-cat yang telah mengganggu dan membunuh seorang murid Bu-tong-pai."
"Ah, kalau benar demikian, sungguh berbahaya! Dia lihai sekali dan kalau benar dia jai-hwa-cat, berarti dia seorang tokoh sesat dan tentu saja dia menjadi sekutu Lam-hai Giam-lo! Padahal Menteri Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan telah percaya kepadanya, bahkan menurut Menteri Cang Ku Ceng, dia telah menerima tanda kepercayaan Menteri Yang. Kalau begitu, sebaiknya kita melapor kepada Menteri Cang agar jangan sampai terlambat. Siapa tahu dia itu mata-mata pihak musuh."
'Tapi... Menteri Cang Ku Ceng tentu berada di kota raja!" kata Ling Ling ragu.
Pemuda itu tersenyum. "Menteri Cang telah berada di sini, tak jauh dari telaga ini, di balik bukit di utara itu, dan mempersiapkan ribuan orang pasukan dalam benteng darurat di sana. Juga banyak pendekar sudah berkumpul dl sana, siap menanti saat baik untuk menggempur para pemberontak. Marilah, Nona. Kita harus melaporkan tentang Hay Hay itu kepada Menteri Cang agar beliau dapat mengambil keputusan."
Tidak ada jalan lain bagi Ling Ling kecuali menyetujui. Ia ingin sekali mengejar dan mencari Hay Hay sampai dapat, akan tetapi maklum bahwa tidak mudah menyusul pemuda yang amat lihai itu. Dengan perasaan hancur dan tubuh lemas ia mengikuti pemuda yang sopan itu menuju ke utara. Untung ia adalah seorang gadis gemblengan dan tubuhnya sudah memiliki kekuatan yang jauh melebihi gadis biasa. Kalau tidak demikian, setelah apa yang dialaminya semalam, tentu ia tidak akan dapat melakukan perjalanan jauh tanpa merasa amat menderita lahir batin. Ia membayangkan betapa ayah ibunya akan terkejut sekali kalau mendengar malapetaka yang menimpa dirinya. Ibunya tentu akan marah bukan main dan akan mencari Hay Hay untuk membalas dendam. Kalau mengingat ini, ingin rasanya ia menangis tersedu-sedan, akan tetapi perasaan ini ditekannya karena ia tidak mau memperlihatkan kelemahan hatinya di depan Can Sun Hok yang baru saja dikenalnya. Ia sendiri harus dapat bertemu lagi dengan Hay Hay, dan akan dicobanya sekali lagi untuk minta pertanggunganjawab pemuda itu. Kalau Hay Hay tetap menyangkal, ia akan menyerang mati-matian, dan tidak akan berhenti menyerang sebelum Hay Hay atau ia yang roboh dan tewas.
* * * Hati Hay Hay gelisah bukan main. Gelisah, bingung dan penasaran! Dia telah dituduh memperkosa Ling Ling! Tak mungkin gadis itu berbohong, dan bukankah dia telah melihat sendiri ketika datang di tepi telaga betapa Ling Ling berada dalam keadaan telanjang bulat dan tertotok" Tak dapat disangsikan lagi kebenaran cerita gadis itu bahwa semalam ada seorang laki-laki datang, menotoknya dan memperkosanya. Akan tetapi jelas bukan dia! Lalu siapa" Potongan tubuhnya seperti dia, dan mukanya halus seperti dia pula! Tentu seorang pemuda lain yang mempergunakan kesempatan itu, Can Sun Hok" Pemuda itu baru muncul. Hemm, mungkinkah Can Sun Hok yang melakukan perbuatan keji itu" Mungkin saja! Bentuk tubuh dan muka Can Sun Hok mirip dia, bentuknya sedang dan mukanya halus tanpa kumis dan jenggot. Hanya itu yang dikenal Ling Ling karena malam itu gelap. Tapi, kalau benar Can Sun Hok, kiranya tidak mungkin dia begitu tolol untuk muncul kembali. Seolah-olah seekor ular mencari penggebuk! Lalu siapa" Hay Hay berlari keluar masuk hutan dan pikirannya demikian ruwet sehingga dia yang biasanya waspada tidak melihat bahwa dari depan datang seorang gadis, yang juga berlarian sehingga hampir saja mereka bertabrakan.
"Hay-ko...! Ah, betapa aku mencari-carimu, Hay-ko".!" Dan gadis itu langsung saja merangkul dan menangis di dadanya. Hay Hay terkejut dan merangkul gadis itu.
"Eng-moi, tenanglah, diamlah. Ada apakah, Eng-moi?" tanyanya, wajahnya berubah merah karena dia teringat akan peristiwa dua hari yang lalu, di waktu malam di dalam taman itu. Hampir saja dia melakukan pelanggaran yang akan mendatangkan penyesalan hebat di kemudian hari ketika dia dan gadis ini seperti dimabok nafsu berahi.
Pek Eng menangis, menangis dengan hati lega karena ia telah dapat menemukan kekasihnya, dan melihat sikap Hay Hay, tentu pemuda ini mau bertanggung jawab. Sikapnya jelas menunjukkan bahwa Hay Hay mencintanya. Setelah keharuannya mereda, ia lalu mengusap air matanya dan berkata dengan lirih.
"Hay-ko, kenapa engkau begltu kejam" Engkau meninggalkan aku begitu saja setelah malam kemarin dulu itu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku bangun dan mencarimu, akan tetapi hanya mendengar bahwa engkau telah pergi malam itu juga tanpa pamit! Hay-ko, kenapa engkau meninggalkan aku" Setengah mati aku mencarimu, keluar masuk hutan?" Gadis itu menangis lagi.
Hay Hay menarik napas panjang, teringat akan peristiwa malam itu dan dia merasa malu sekali. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dua langkah dan memaksakan hatinya untuk menatap wajah Pek Eng dengan tajam.
"Maafkan aku, Eng-moi. Malam itu... ah, entah iblis apa yang telah menyusup ke dalam diriku. Aku seperti mabuk dan hampir saja..., ah, aku merasa begitu menyesal sehingga malam itu juga aku pergi meninggalkan perkampungan. Maafkan aku, Eng-moi."
Sungguh aneh! Gadis itu memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemesraan dan mulutnya tersenyum manis! Kemudian ucapannya membuat Hay Hay menjadi lebih heran lagi.
"Hay-ko, tidak ada yang perlu dimaafkan dan tidak ada yang perlu disesalkan! Kenapa minta maaf dan kenapa menyesal kalau memang hal itu sudah kita kehendaki bersama" Terus terang saja, aku... aku bahkan merasa berbahagia sekali, Hay-ko, dan terasa benar olehku betapa besar artinya engkau bagi kehidupanku. Marilah, Hay-ko, mari kita menghadap Bengcu untuk minta persetujuannya karena bagaimanapun juga dia adalah Guruku, kemudian kita pergi dari sini, pulang ke Kong-goan untuk memberitahu kepada Ayah Ibuku tentang perjodohan kita."
Hay Hay terbelalak memandang wajah gadis itu. "Eng-moi, apa maksudmu sebenarnya " Aku tidak mengerti! Aku... aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikat perjodohan..., ah, jangan salah mengerti, Eng-moi. Peristiwa malam kemarin dulu itu... sungguh aku seperti mabuk dan kaumaafkanlah aku. Bukan maksudku untuk... untuk mengikat perjodohan"."
Hay Hay menghentikan kata-katanya karena dia terkejut dan heran melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan bibirnya menggigil, pandang matanya seperti orang yang tidak percaya, atau seperti orang melihat setan di tengah hari. Suaranya lebih aneh lagi, menggigil seperti orang terserang demam.
"Hay-ko... apa... apa maksudmu" Maksudku sudah jelas... setelah apa yang kau... kita lakukan malam itu... tidaklah sewajarnya kalau... kalau kita... menikah?"
"Eng-moi! Sudah kuakui bahwa aku khilaf, aku seperti mabuk, dan aku menyesal sekali, aku sudah minta maaf. Akan tetapi tidak mungkin peristiwa itu harus dilanjutkan dengan pernikahan. Anggap saja kita berdua telah lupa diri, akan tetapi belum terlambat, Eng-moi. Untung bahwa aku berhasil sadar dan melarikan diri "
"Apa" Belum terlambat" Apakah urusan itu cukup untuk dimaafkan begitu saja kemudian dilupakan" Hay-ko, sungguh aku tidak mengerti akan sikapmu ini. Bukankah aku telah menjadi isterimu" Malam itu... bukankah engkau telah memiliki diriku dan aku telah menyerahkan badanku, kehormatanku, segalanya kepadamu" Dan engkau tidak ingin diresmikan dalam pernikahan" Aku tidak percaya bahwa engkau hanya main-main saja! Aku tidak percaya bahwa setelah aku menyerahkan jiwa ragaku kepadamu malam itu, engkau lalu tidak mau menikahiku"." Wajah itu semakin pucat.
Kini wajah Hay Hay yang berubah seperti orang melihat iblis. "Eng-moi! Apa maksudmu" Memang kita seperti mabuk, kita saling peluk dan saling berciuman, masuk ke dalam pondok. Akan tetapi hanya sampai di situ, aku lalu sadar dan aku lari keluar pondok sebelum terjadi sesuatu antara kita?"
"Benar sekali! Dan tak lama kemudian engkau masuk lagi, dan engkau menuntut, dan aku menyerah, dan tubuhku, kehormatanku, menjadi milikmu"."
"Tidak! Aku tidak pernah kembali ke pondok!"
"Hay-ko...!" Pek Eng menjerit, menutupi mulut dengan tangan kanan yang menggigil, mulutnya terbuka dan gemetar, akan tetapi sampai beberapa lamanya tidak mengeluarkan suara, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali. Sementara itu wajah Hay Hay juga pucat. Dia tidak ragu akan kebenaran pengakuan Pek Eng, dan sekilas teringatlah dia akan nasib Ling Ling.
"Eng-moi, katakanlah, siapa yang memasuki pondok itu. Yang pasti, aku tidak kembali dan".."
"Orang itu adalah engkau!" Pek Eng enjerit.
"Apa engkau tidak keliru" Engkau melihat benar bahwa orang itu adalah aku" Bukankah pondok itu gelap?"
" Aku tidak akan keliru, bentuk tubuhmu, mukanya... engkaulah orang itu!"
Tiba-tiba Hay Hay menjadi marah sekali. Sim Ki Liong! Siapa lagi yang akan mampu menalukkan gadis-gadis seperti Ling Ling dan Pek Eng kalau bukan Ki Liong" Orang itu sebaya dengannya, bentuk tubuh mereka pun sama, dan wajah Ki Liong juga halus, tidak berkumis atau berjenggot. Tentu Ki Liong, si jahanam itu yang melakukan perkosaan atas diri Ling Ling dan Pek Eng. Mungkin karena memang pemuda itu jahat dan cabul, atau lebih masuk akal lagi kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjatuhkan fitnah kepadanya, atau untuk menjadi akal mengikatnya dengan persekutuan itu.
"Ki Liong jahanam kau...!" Hay Hay berseru dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.
"Hay-ko... ouhhh... Hay-ko"!" Pek Eng mengeluh, tubuhnya menjadi lemas dan ia pun terkulai pingsan di tengah hutan itu. Keraguan yang timbul di dalam hatinya, keraguan bahwa Hay Hay akan mengingkari atau benar-benar bukan pemuda itu yang telah merenggut kehormatannya, terasa amat menusuk perasaannya dan gadis ini pun tidak kuat menahan kenyerian batinnya. Dua kemungkinan itu sama beratnya bagi Pek Eng, sama menyakitkan dan melenyapkan harapan bahwa ia akan hidup di samping pemuda yang dicintanya itu untuk selamanya, sebagai isterinya.
Nampaknya menjadi suatu kenyataan yang tak dapat disangkal pula bahwa kehidupan kita sebagai manusia ini penuh dengan duka! Kalau kita susun dalam ingatan dan melihat kenyataan, hidup ini hanya menjadi panggung sandiwara di atas mana kita masing-masing sebagai pemegang peran kadang-kadans tertawa dan kadang-kadang menangis, Namun, betapa sedikitnya tawa dan betapa banyaknya tangis! Betapa hidup penuh dengan kecewa, kepusingan, kesusahen, ketakutan, konflik-konflik batin dan konflik lahir, dan hanya diseling sedikit saja kegembiraan seperti selingan kilat di antara awan gelap. Apakah ini menjadi kenyataan dari tanda yang dibawa seorang bayi yang sedang lahir" Bayi, calon manusia itu, terlahir dalam keadaan menangis, seolah-olah dia merasa menyesal karena dilahirkan, karena harus memasuki suatu alam yang penuh derita! Dan betapa tenang wajah seorang yang putus nyawanya! Bahkan kebanyakan si mati itu tersenyum dalam kematiannya, seolah-olah wajah itu membayangkan suatu kelegaan bahwa dia telah terbebas dari alam yang penuh derita itu!
Dari manakah timbulnya derita ini" Mengapa kita dihantui oleh rasa kecewa, sesal, khawatir, pusing dan susah" Kalau kita mau mengamati diri sendiri, akan nampaklah bahwa semua perasaan ini datang dari pikiran kita sendiri. Dari si aku yang bersemayam dalam pikiran, yang mempunyai seribu satu macam keinginan untuk mencapai kesenangan seperti yang diharapkan dan dikejar.
Kalau keinginan itu tidak terpenuhi, maka timbullah kecewa. Kalau kepentingan diri terancam, maka timbullah rasa takut dan khawatir. Kalau semua ini menumpuk, timbul iba diri yang membuat hati merasa merana, trenyuh, sakit dan duka. Lalu biasanya kita lari dari derita ini. Kita ingin pula menghindari derita kedukaan, lalu kita mengelak dan menjauhkan diri, kadang kita lari bersembunyi ke balik hiburan-hiburan yang menyenangkan untuk sekedar melupakan kesusahan. Namun, pelarian dari kenyataan ini hanya membentuk suatu lingkaran setan. Mendapat hiburan, lupa sebentar akan kedukaan itu, namun setelah hiburan memudar, kedukaan itupun akan nampak kembali, menghantui perasaan. Tak mungkin kita lari dari duka karena duka itu adalah kita sendiri! Pikiran sendiri!
Yang tepat adalah menghadapi duka itu, menghadapi kenyataan. Mengamati, mempelajari, tanpa menentang atau lari, mengamati dengan pasrah dan tanpa berbuat apa pun, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kita amati duka itu, bukan sebagai suatu keadaan yang terpisah dari diri sendiri, melainkan sebagai keadaan diri sendiri dengan segala lika-liku pikiran. Dan landasan dari pengamatan ini adalah kepasrahan yang tulus ikhlas, mengembalikan kesemuanya itu kepada kekuasaan Tuhan karena hanya Tuhanlah yang kuasa membebaskan kita dari segala derita. Kekuasaan Tuhan adalah Sinar Illahi yang juga kita namakan Cinta kasih, keadaan batin di mana tidak ada lagi segala macam nafsu keinginan menyenangkan diri pribadi, tidak ada lagi ulah pikiran yang menimbulkan rasa kecewa, takut, benci dan sebagainya.
* * * Aneh rasanya melihat seorang laki-laki yang usianya sudah hampir separuh baya, lebih dari empat puluh tahun itu, menangis dengan air mata bercucuran sambil berlutut. Apalagi kalau orang mengenal siapa dia. Dia seorang laki-laki gagah perkasa, bukan saja seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan lebih dari itu, dia seorang ketua perkumpulan orang gagah yang sangat terkenal! Dia adalah Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai, seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Namunt pada saat itu dia seperti seorang anak kecil, menangis mengguguk bercucuran air mata di depan kakek dan nenek itu.
Manusia memang lemah, karena itu, sikap orang gagah ini sama sekali tidaklah aneh. Ilmu kepandaian tinggi tidak akan membebaskan manusia dari kelemahannya itu, perasaan iba diri yang amat besar, keakuan yang menebal. Hanya kesadaran dan pengertian saja menjadi langkah pertama ke arah kebebasan. Ada orang yang dapat menyembunyikan kelemahan ini melalui kekejaman, melalui kekerasan, namun tetap saja hal itu membuktikan akan kelemahannya. Duka menjadi makanan setiap orang, apabila dia belum mampu membebaskan diri dari belenggu keakuannya.
Kakek dan nenek itu menghela napas panjang melihat mantu mereka berlutut di depan mereka sambil menangis dan minta ampun itu. Mereka hanya mengamati dan mendengarkan dengan sikap tenang. Kakek itu adalah Ceng Thian Sin, Si Pendekar Sadis, majikan Pulau Teratai Merah. Kakek yang berusia enam puluh lima tahun ini masih nampak gagah perkasa dan sikapnya tenang dan matang. Sedangkan nenek itu, yang usianya sama dengan suaminya, bernama Toan Kim Hong, dan pernah ketika masih gadis menjadi seorang datuk sesat yang berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Juga nenek ini masih nampak muda dan jelas masih kelihatan bekas kecantikannya, sikapnya tenang seperti suaminya.
"Harap Ayah dan Ibu mertua sudi memaafkan saya yang berani lancang datang menghadap. Sesungguhnya, sudah lama sekali saya menahan hati yang ingin sekali datang berkunjung, akan tetapi terus terang saja, saya tidak berani datang karena saya telah merasa bersalah terhadap puteri Ayah dan Ibu. Baru setelah anak Cia Kui Hong datang berkunjung ke Cin-ling-pai, saya memaksakan diri untuk menghadap dan mengakui semua kesalahan yang telah saya lakukan terhadap isteri saya, Ceng Sui Cin."
Suami isteri yang usianya sudah enam pulun tahun lebih itu tidak menjawab, melainkan saling pandang, lalu mereka menoleh kepada puteri mereka. Sui Cin, wanita yang kini berusia hampir empat puluh tahun itu duduk sambil menundukkan mukanya yang menjadi merah dan ketika ia mengangkat mukahya memandang ke arah suaminya yang berlutut, kedua matanya menjadi basah, akan tetapi ia diam saja dan masih nampak kemarahan membayang pada sinar matanya.
"Hui Song, kami orang tua tidak ingin mencampuri urusan kalian suami isteri, sungguhpun kami merasa ikut berduka dan prihatin sekali ketika anak kami pulang. Sekarang engkau telah datang setelah isterimu pulang selama tiga tahun lebih. Nah, sebaiknya kalau kalian berdua membicarakan sendiri urusan itu dan kami sebagai orang tua hanya ingin melihat kalian dapat akur kembali sebagai suami isteri. Sui Cin, ini suamimu datang, sudah sepatutnya kalau engkau menyambutnya dan segala urusan dapat kalian bicarakan dengan sebaiknya. Ajaklah suamimu masuk dan kalian bicaralah di dalam sana," kata Ceng Thian Sin dengan suara halus.
"Ayahmu benar, Sui Cin," kata Nenek itu. "Tidak ada persoalan yang tidak dapat diatasi dengan musyawarah, dan tidak ada kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Ajaklah suamimu ini berunding dan atur sebaiknya bagaimana untuk menyelesaikan urusan diantara kalian itu."
"Ayah dan Ibu, aku ingin bicara dengan dia di sini saja, agar dapat disaksikan oleh Ayah dan Ibu!" kata Sui Cin dan nada suaranya keras, membayangkan keadaan hati yang sakit. Kemudian ia menghadapi Hui Song, memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan terdengar ia berkata. "Selama tiga tahun aku telah menjauhkan diri, sekarang tiba-tiba engkau datang menyusulku ke sini dengan maksud apakah?"
Melihat dan mendengar sikap dan ucapan isterinya itu, perih rasa hati Hui Song. Namun, dia tidak menjadi marah. Tidak, dia tidak dapat marah kepada isterinya yang dicintanya itu, melainkan merasa kasihan. Dia merasa bahwa dia telah berdosa kepada isterinya, walaupun perbuatannya itu dilakukannya dengan terpaksa sekali. Dan kini, setelah dia melihat sendiri penyesalan ayahnya karena keputusan ayahnya yang mengakibatkan terpisahnya dia dan isterinya, semenjak datangnya Kui Hong ke Cin-ling-pai, dia sengaja datang untuk meminta maaf, untuk mengajak isterinya kembali. Akan tetapi sikap isterinya itu membuat dia merasa gelisah dan ragu. Jangan-jangan isterinya tidak dapat memaafkannya, dan ajakannya untuk rujuk kembali bahkan akan membuat isterinya menjadi semakin marah. Betapapun juga, dia harus mencobanya!
Setelah menarik napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan, Hui Song berkata, "Cin-moi, seperti telah kukatakan kepada Ayah dan. Ibu mertua tadi, aku merasa bersalah kepadamu, dan karena perasaan bersalah itulah maka selama ini aku tidak berani datang berkunjung ke sini. Baru setelah anak kita datang ke Cin-ling-pai dan menegur aku dan Ayahku, aku memberanikan diri untuk datang ke sini. Maksudku tiada lain hanya untuk minta maaf kepadamu, dan mohon kepadamu sukalah engkau kembali ke Cin-ling-san?"
"Dan hidup serumah dengan isterimu yang baru, yang jauh lebih muda dan cantik dariku, dan setiap hari makan hati melihat engkau bermesraan dengan isteri barumu" Tidak! Tidak sudi aku!"
"Cin-moi, tentu engkau pun dapat merasakan bahwa aku selamanya cinta kepadamu, dan kalau aku sampai menikah lagi, hal itu kulakukan karena terpaksa untuk berbakti kepada Ayahku yang menginginkan seorang cucu laki-laki penyambung keturunan keluarga Cia. Aku menikah lagi bukan untuk mengumbar nafsu, Cin-moi, engkau tentu tahu akan hal ini dan bagaimanapun juga, aku telah merasa bersalah kepadamu, telah menyakiti hatimu, harap engkau suka bersikap bijaksana dan suka memaafkan aku."
Kerut diantara sepasang alis Sui Cin tidak lenyap, bahkan kini pandang matanya kepada suaminya menjadi semakin tajam penuh selidik. "Hemm, engkau mau enaknya saja. Apakah kalau sudah minta maaf begitu keadaannya lalu menjadi baik kembali" Sekarang, apa kehendakmu selanjutnya?"
Hui Song maklum akan kemarahan di hati isterinya dan dia tidak menyalahkan istermya. Tidak, isterinya sama sekali tidak bersalah. Sudah wajarlah kalau isterinya merasa panas hatinya dan marah, sakit hati karena dia menikah lagi, memperisteri seorang wanita muda sehingga tentu saja isterinya merasa dibanding-bandingkan, merasa diremehkan dan tidak dibutuhkan lagi! Betapa nyerinya perasaan ini bagi seorang wanita, dia dapat memakluminya. Maka, dia pun tidak merasa tersinggung walaupun isterinya bersikap keras dan menggunakan kata-kata ketus.
"Selanjutnya, terserah kepadamu, Cin-moi. Sudah kukatakan bahwa aku telah bersalah kepadamu, bagaikan seorang pesakitan aku telah mengakui kesalahanku, dan aku siap menerima hukumannya. Aku hanya mohon agar engkau suka mengampuniku dan suka kembali ke rumah kita di Cin-ling-san."
"Tidak sudi aku selama wanita itu masih berada di sana! Dengarlah, aku mau kembali hidup di sampingmu, sebagai Ibu anak kita dan sebagai isterimu yang setia, hanya dengan satu syarat!"
"Apakah syarat itu, Cin-moi?"
"Syaratnya, wanita itu harus kau bunuh!"
Seketika wajan Hui Song menjadi pucat, matanya terbelalak dan melihat ini, hati Sui Cin menjadi semakin panas. "Huh, engkau terlalu cinta kepadanya, tentu tidak akan mau kehilangan wanita itu! Kalau begitu, engkau lebih berat kepadanya, engkau lebih cinta kepadanya daripada kepadaku!" Dan kini kedua mata Sui Cin menjadi basah, namun dengan sikap gagah ia menanan tangisnya.
"Bukan begitu, Cin-moi. Engkau tentu tahu bahwa engkaulah yang kucinta, sejak dahulu, sekarang sampai hayat meninggalkan badan. Akan tetapi... untuk membunuh Siok Bi Nio..., bagaimana hal itu mungkin" Bagaimanapun juga, ia adalah Ibu kandung puteraku, Cia Kui Bu"
"Terserah! Tinggal kaupilih saja." Kata Sui Cin, suaranya serak oleh tangis yang ditahan-tahannya, "Ia atau aku! Kalau engkau memilih ia, jangan engkau harap aku akan sudi hidup bersamamu sebagai isterimu dan jangan engkau berani mencariku lagi karena kalau hal itu kaulakukan, aku akan menganggap itu sebagai penghinaan! Sebaiknya, kalau engkau memilih aku, engkau harus membunuhnya, membunuh wanita pelacur itu!"
"Sui Cin, jangan engkau memaki orang tanpa alasan!" Tiba-tiba Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin menegur puterinya. Ia dan suaminya sejak tadi hanya mendengarkan saja, tidak mencampuri urusan puteri mereka, hanya menjadi saksi saja. Akan tetapi, mendengar puterinya memaki isteri muda Hui Song sebagai pelacur, ia merasa tidak setuju dan menegur puterinya.
"Tentu saja ada alasannya, Ibu!" bantah Sui Cin. "Semua wanita yang merebut suamiku adalah pelacur!" Lalu ia menoleh kepada suaminya lagi. "Nah, sekarang engkau boleh pilih dan mengambil keputusan sekarang juga!"
Diam-diam Pendekar Sadis Ceng Thian Sin juga menyesalkan sikap puterinya, yang dianggapnya terlalu keras itu, akan tetapi dia diam saja dan hanya memandang kepada Hui Song. Ketua Cin-ling-pai ini merasa terpukul sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa isterinya akan bersikap sekaku dan sekeras itu. Dia menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, dia sudah mengenal baik watak lsterinya ini. Memang sikap Sui Cin keras, sesuai dengan wataknya yang keras, akan tetapi di balik kekerasan itu, isterinya memillki hati yang amat baik dan bijaksana. Kalau sekarang kelihatan kejam adalah karena hatinya sedang dikeruhkan oleh perasaan cemburu dan panas. Dia tidak percaya bahwa isterinya akan memaksanya membunuh Bi Nio, karena hal ini sungguh berlawanan denpn watak pendekar dari isterinya.
"Cin-moi, terus terang saja, aku tidak tega membunuh ibu dari puteraku sendiri. Kalau engkau yang akan melakukannya, terserah. Bagaimanapun juga, aku jelas lebih ,berat kepadamu karena engkau adalah isteri yang kupilih sendiri, sedangkan Bi Nio menjadi isteriku karena keadaan. Marilah ikut pulang bersamaku dan di sana terserah kepadamu kalau engkau hendak menyingkirkan dan membunuh Siok Bi Nio."
Pendekar Sadis diam-diam memuji mantunya itu. Dia dapat mengerti akan sikap Hui song dan dia sendiri pun tidak percaya kalau puterinya akan demikian kejamnya membunuh isteri muda Hui Song yang sama sekali tidak berdosa itu.
"Memang sebaiknya kalau engkau ikut pulang suamimu, Sui Cin dan urusan itu dapat kalian selesaikan di Cin-ling.san," katanya.
Isteri pendekar sakti itu pun mengangguk, karena ia pun dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Ia tahu bahwa puterinya mencinta Hui Song dan pada saat ini, puterinya sedang terbakar hatinya oleh cemburu dan ia merasa yakin bahwa kalau cemburu itu sudah hilang, muka puterinya tidak akan bersikap seperti itu.
"Ayahmu benar, Sui Cin. Memang sebaiknya kalau kalian pulang ke Cin-ling-san dan di sana, urusan keluarga ini dapat dibicarakan dengan semua yang bersangkutan."
Tidak dapat disangkal oleh Sui Cin sendiri bahwa jauh di dasar hatinya, ia amat mencinta Hui Song. Hampir tidak kuat ia bertahan ketika ia harus berpisah dari orang yang dicintanya selama tiga tahun ini. Hanya keangkuhan dan kekerasan hatinya sajalah yang membuat ia mampu bertahan dan menekan rasa rindunya yang amat sangat. Dan kekerasan hatinya juga yang membuat ia enggan mengalah, sehingga bersikap keras dan menuhtut agar suaminya membunuh isteri mudanya itu yang dianggapnya sebagai saingannya, sebagai seorang yang menjadi sebab kehancuran kebahagiaannya. Ia tidak mau mempedulikan alasan lain. Dianggapnya bahwa isteri muda suaminya itulah yang bersalah!
"Baik," katanya setelah mendengar ucapan ayah ibunya. "Aku akan ikut bersamamu ke Cin-ling-pai, akan tetapi, kalau sampai di sana engkau tidak mau membunuh perempuan pelacur itu, akulah yang akan turun tangan membunuhnya sendiri!"
Hui Song mengangguk. "Baiklah, aku dapat menerima syaratmu itu, Cin-moi."
Ceng Thian Sin mengeluarkan suara ketawa. "Aha, akhirnya dapat juga dicapai kata sepakat. Girang sekali hati kami suami isteri mendengar ini, Anakku dan kami sungguh mengharap agar kalian dapat menemukan jalan keluar dari persoalan keluarga ini. Akan tetapi cukuplah bicara bersitegang dan ajaklah suamimu untuk makan minum dulu, Sui Cin "
Hui Song tinggal di Pulau Teratai Merah selama tiga hari, barulah Pendekar Sadis dan isterinya memperkenankan dia dan Sui Cin meninggalkan pulau. Biarpun Sui Cin tidak lagi memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap suaminya, namun ia masih selalu menjauhkan diri. Hui Song diperlakukan sebagai seorang tamu saja! Bahkan ketika mereka meninggalkan pulau itu menuju ke Cin-ling-pai, ketika di sepanjang perjalanan mereka bermalam di sebuah rumah penginapan,Sui Cin menghendaki agar mereka menyewa dua buah kamar karena ia belum mau tinggal atau tidur sekamar dengan suaminya itu sebelum urusan di antara mereka dapat disesalkan.
Ketika mereka tiba di Cin-ling-san, para anggauta Cin-ling-pai merasa gembira sekali melihat munculnya isteri ketua mereka. Mereka memberi hormat dan diterima dengan dingin saja oleh Sui Cin. Ketika mereka tiba di beranda, Sui Cin menolak untuk masuk terus.
"Biarlah aku menanti saja di sini sampai kulihat engkau membunuhnya atau aku sendiri yang akan membunuhnya. Setelah itu, baru aku mau masuk ke dalam rumah ini."
Hui Song tidak menjawab dan sampai beberapa lamanya dia memandang kepada isterinya, hatinya sedih bukan main. Tidak ada anggauta Cin-ling-pai yang berani mengganggu mereka dan di beranda rumah itu sunyi. Ayahnya tentu sedang bersamadhi di dalam kamarnya sendiri, pikirnya. Dan isterinya, Bi Nio, bersama puteranya, tentu berada di dalam kamar atau di bagian belakang. Mereka semua belum tahu akan kedatangannya, dan tentu sama sekali tidak menyangka bahwa pulangnya bersama Sui Cin, isteri pertamanya.
"Baiklah, aku akan menemui Bi Nio." katanya dan dia meninggalkan Sui Cin masuk ke dalam rumah untuk mencari isteri mudanya. Dia menemukan mereka berada di ruangan belakang. Bi Nio terkejut dan girang melihat suaminya pulang.
"Ah, engkau begini tiba-tiba pulang sehingga kami tidak dapat melakukan penyambutan?" katanya sambil tersenyum manis, akan tetapi senyumnya segera menghilang ketika ia melihat wajah suaminya yang nampak keruh dan berkerut penuh kegelisahan.
"Apakah yang telah terjadi?"" tanya isteri itu khawatir. Hui Song belum menjawab, melainkan meraih puteranya, Cia Kui Bu yang baru berusia sekitar dua tahun memangkunya, mencium kepalanya. Anak yang mengenal ayahnya itu tertawa-tawa dan kembali Bi Nio mendesak.
"Apakah yang terjadi maka engkau kelihatan begini susah.... ?" tanyanya lagi sambil menyentuh lengan suaminya. Biarpun wanita ini menjadi isteri Hui Song atas kehendak orang tuanya, namun selama ini ia menemukan seorang suami yang amat baik dan bijaksana, dan Bi Nio telah jatuh cinta kepada suaminya sendiri yang jauh lebih tua darinya itu, setua ayahnya.
"Bi Nio?" Hui Song berkata, akan tetapi tidak mampu melanjutkan. Biarpun tadinya dia merasa yakin bahwa Sui Cin tidak mungkin akan melaksanakan tuntutan atau ancamannya, namun berhadapan dengan Bi Nio dan membayangkan betapa nasib amat buruk menanti wanita ini, hatinya penuh rasa iba. Bi Nio tidak bersalah apa pun, dan Cia Kui Bu juga tidak bersalah apa-apa. Mana mungkin dia harus membunuh Bi Nio dan memisahkan Kui Bu dari ibunya" Dosanya akan menjadi semakin besar kalau dia melakukan hal itu!
."Bi Nio, ketahuilah bahwa isteriku yang pertama kini ikut pulang bersamaku?"
"Ah, sungguh berita yang menggembirakan sekali. Saya harus segera keluar menyambut! Di mana ia?"" Bi Nio menggendong puteranya dan nampak gembira.
Melihat ini, Hui Song menarik napas panjang. "Nanti dulu, Bi Nio. Justeru karena inilah maka aku menjadi bingung. Ceng Sui Cin, isteri yang pertama itu, ia... ia menuntut agar aku memilih salah satu. Memilih engkau atau memilih ia! Ia tidak mau dimadu, tidak mau kalau aku memiliki dua orang isteri."
Sepasang mata itu terbelalak dan mukanya menjadi sepucat kertas ketika ia menatap wajah suaminya. Beberapa saat lamanya ia seperti kehilangan akal saking kagetnya mendengar ucapan suaminya itu. Kemudian, dengan suara lirih ia bertanya.
"Kalau... kalau memilih aku".?"
"Kalau aku memilih engkau, ia tidak sudi kembali ke sini, tidak mau lagi hidup di sampingku sebagai isteriku."
"Ah, tidak mungkin kaulakukan hal itu!" Bi Nio berseru kaget.
"Tentu saja tidak mungkin. Engkau tahu bahwa ia adalah isteriku, dan pernah kukatakan kepadamu bahwa ia isteriku yang kucinta, dan kami telah mempunyai seorang anak perempuan yang kucinta pula. Engkau sudah melihat Kui Hong ketika ia datang berkunjung?"
"Seorang gadis yang hebat. Dan kalau engkau memilih isterimu yang pertama?" Bi Nio mendesak.
Hui Song menarik napas panjang, tidak mampu menjawab, tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa Sui Cin menghendaki dia membunuh Bi Nio! Melihat keraguan suaminya, Bi Nio mendekap anaknya dan berkata sambil menangis" "Aku tahu! Aku yang harus pergi dari sini! Ah, memang sudah sepatutnya begitu. Aku hanya isteri ke dua, dan sudah tentu engkau lebih berat kepada isterimu pertama baiklah, aku akan pergi, akan kubawa Kui Bu pergi"."
"Tidak mungkin!" Tiba-tiba Hui Song berseru keras mengejutkan Bi Nio yang belum pernah selama menjadi isteri Ketua Cin-ling-pai itu mendengar suaminya membentak kepadanya, "Engkau tidak boleh membawa pergi Kui Bu! Dia adalah putera tunggalku, satu-satunya penyambung keturunan keluarga Cia. Engkau tidak boleh membawanya!"
Sepasang mata Bi Nio kini terbelalak lebar penuh kegelisahan dan puteranya didekap di dadanya dekapannya kuat sekali sehingga anak yang baru berusia dua tahun lebih itu menangis. Agaknya dia dapat merasakan kegelisahan hati ibunya.
"Kau... kau hendak memisahkah aku dari Anakku" Ahh tidak... jangan...! Biar kubawa dia pergit aku tidak minta apa-apa darimu, tidak menuntut apa pun. Aku akan pergi tanpa membawa apa pun... tapi... jangan minta aku pergi meninggalkannya di sini ! Ah, jangan... lebih baik kaubunuh saja aku"." Dan wanita itu menangis sesenggukan satnbil mendekap dan menciumi puteranya yang juga ikut menangis.
Melihat keadaan Ibu dan anak itu, Hui Song lalu berlari keluar. Inilah saatnya yang tepat untuk mempertemukan Sui Cin dengan mereka, pikirnya. Dia melihat Sui Cin masih duduk di serambi depan.
"Cin-moi, marilah. Siok Bi Nio dan anaknya sudah menantimu di dalam. Mari kita temui mereka!"
Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi ia menurut dan mengikuti suaminya memasuki rumah itu, rumah di mana kurang lebih enam belas tahun menjadi tempat tinggalnya, di mana selama enam belas tahun ia hidup berbahagia dengan suaminya.
Mereka mendapatkan Bi Nio masih menciumi puteranya sambil menangis di ruangan dalam. Sui Cin memandang penuh perhatian. Hemm, seorang perempuan yang masih muda sekali, paling banyak berusia dua puluh satu atau dua tahun, sepantasnya menjadi kakak Kui Hong. Pantas menjadi anaknya, atau keponakannya! Dan anak laki-laki yang juga ikut menangis bersama ibunya itu, demikian mirip dengan Hui Song! Berkerut alis Sui Cin.
"Cin-moi, inilah Siok Bi Nio dan anak kami, Cia Kui Bu. Aku sudah memberitahu kepadanya akan keputusanmu bahwa aku harus memilih antara engkau dan ia. Dan sudah kukatakan bahwa tentu saja aku berat kepadamu yang menjadi isteriku sejak muda. Sekarang terserah kepadamu, ini ia dan anaknya, boleh kauputuskan sendiri," kata Hui Song, wajahnya agak pucat dan hatinya terasa tegang sekali. Sementara itu, mendengar kedatangan dua orang itu, Bi Nio mencoba untuk menghentikan tangisnya dan mengangkat muka memandang kepada wanita cantik yang berdiri di depannya. Seorang wanita yang cantik dan berwibawa, nampak galak dan membuat ia merasa kecil sekali, kecil dan lemah.
"Engkau yang bernama Siok Bi Nio?" Sui Cin bertanya, suaranya ketus.
"Benar, aku bernama Siok Bi Nio." jawab yang ditanya, suaranya lirih dan ia mendekap puteranya yang masih menangis, menggoyang-goyang anaknya untuk membujuknya agar diam.
"Engkau sudah mendengar akan keputusanku. Suamiku minta agar suka kembali dan tinggal di sini. Aku mau kembali, dengan syarat bahwa dia harus membunuhmu. Dan tentang anakmu ini, .karena dia anak suamiku, biarlah aku yang akan memeliharanya."Berkata demikian Sui Cin menatap wajah Bi Nio dengan tajam penuh selidik, agaknya hendak melihat reaksi wanita itu setelah mendengar ucapannya.
Bi Nio terbelalak, kembali anaknya didekap erat-erat, dan ia memandang suaminya. "Ah, jadi begitukah" Suamiku, kalau memang kalian berkeras untuk mimsahkan aku dari anakku, lebih baik cepat kauturun tangan dan bunuh aku. Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dengan anakku, dan bunuh pula anakku ini. Aku akan membawanya ke mana saja, hidup atau mati harus bersama dia! Bunuhlah agar kalian dapat hidup berbahagia!" Bi Nio berkata sambil menangis dan tak pernah melepaskan rangkulannya dari anaknya.
"Cin-moi, tak mungkin aku dapat membunuhnya. Tidak mungkin aku akan sekejam itu. Kalau engkau masih menghendaki untuk membunuhnya, nah, terserah kepadamu. Lakukanlah kalau memang kau ingin demikian!" Hui Song berada dalam keadaan tegang sekali. Dia tahu bahwa kalau sampai isterinya itu benar-benar turun tangan hendak membunuh Bi Nio, dia tentu akan menentang dan mencegahnya, dan mungkin sekali dia akan memutuskan hubungan batinnya dengan Sui Cin, betapa besar pun cintanya terhadap Sui Cin. Dia akan menganggap perbuatan Sui Cin yang hendak membunuhBi Nio sebagai perbuatan terkutuk dan kejam sekali.
Hui Song sama sekali tidak tahu atau menyangka bahwa kalau Sui Cin mengatakan bahwa dia harus membunuh Bi Nio, hal itupun hanya merupakan suatu ujian saja. Sui Cin hendak melihat apakah suaminya tetah menjadi sedemikian palsunya, mudah mengorbankan seorang wanita demi tervcapainya keinginannya. Dulu, suaminya mengorbankan dirinya, membiarkan ia pergi bersama Kui Hong karena suaminya hendak menikah lagi. Dan sekarang, karena suaminya menghendaki ia kembali, ia ingin melihat apakah suaminya mau mengorbankan Bi Nio, bahkan mau membunuhnya! Tentu saja, betapa pun rasa cemburu dan panas hati menyesak dadanya ketika berhadapan dengan madunya, ia sebagai seorang pendekar tidak akan sudi menyerang, melukai apalagi membunuh seorang wanita lemah seperti Bi Nio.
"Bi Nio, karena suamiku memilih aku untuk kembali ke sini, maka aku minta agar engkau suka pergi dengan baik-baik dari rumah ini. Puteramu harus ditinggal di sini, akan kupelihara, dan kami akan memberimu uang secukupnya agar engkau dapat berdagang, membuka toko, atau menikah lagi dengan seorang laki-laki yang muda dan sebaya denganmu," kata Sui Cin, suaranya tidak ketus lagi, bahkan agak lembut.
Ucapan Sui Cin itu membuat Bi Nio terbelalak, wajahnya berubah pucat lalu merah sekali, tubuhnya menggigil dan ia pun mendekap anaknya, lalu bangkit berdiri. "Tidak...! Tidaaaakk...! Siapa pun tidak boleh mengambil anakku! Biarkan aku pergi bersama anakku. Aku tidak butuh uang, tidak butuh harta, tidak butuh suami muda..., aku ingin hidup bersama anakku, biar miskin sekalipun. Biarkan aku pergiiii"!"
Wanita itu lalu keluar dengan tubuh terhuyung, sambil memondong puteranya dan menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, baru tiba di pintu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di depannya, menghadangnya dan sekali kakek itu menggerakkan tangan, Kui Bu, anak berusia dua tahun itu telah terampas dari pondongan ibunya dan berada dalam pondongan lengan kanan kakek itu.


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cia Kui Bu adalah satu-satunya keturunan keluarga Cia yang harus berada di sini, mewarisi seluruh peninggalan keluarga Cia dan menjadi calon ketua Cin-ling-pai, tidak boleh siapa pun membawanya pergi dari sini.' katanya, suaranya keren sekali. Melihat ayah mertuanya, Bi Nio menjerit dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan ayah mertuanya.
"Ayaaaahhh...!" Ia merangkul kaki ayah mertuanya dan menangis sesenggukan.
Kakek itu adalah Cia Kong Liang yang terbangun dari samadhinya dan ketika dia mendengar keributan diruangan belakang, dia segera menghampiri dan turun tangan merampas cucunya yang hendak dibawa pergi oleh mantunya itu. Kini, dengan cucunya yang masih menangis dalam pondongannya, dia berkata kepada mantunya yang pertama, suaranya halus namun tegas.
"Sui Cin, aku tahu betapa pernikahan Hui Song dengan Bi Nio telah menghancurkan hatimu dan kini engkau datang untuk menuntut hakmu. Akan tetapi aku harap engkau bertindak adil, dapat melihat siapa yang bersalah dan siapa tidak! Bi Nio tidak dapat disalahkan dalam hal ini, karena ia hanya seorang wanita yang menurut kemauan orang tuanya, menyerahkannya kepada kami untuk menjadi isteri kedua Hui Song. Jadi, kesalahannya kini terletak di atas pundak Hui Song. Akan tetapi, engkau pun tentu telah mengetahui bahwa pernikahan ke dua ini sama sekali bukan keinginan hati Hui Song. Dia hanya ingin memenuhi perintahku, atau tidak berani menolak perintahku sebagai seorang putera berbakti. Dengan. demikian, kesalahan dari pundaknya kini berada di atas pundakku! Nah, akulah yang bersalah, aku yang berdosa, karena itu, tidak sepatutnya kalau untuk kesalahan yang kulakukan, Bi Nio yang harus menanggung hukumannya! Aku sudah tua dan aku siap menerima hukumannya, Sui Cin. Kalau engkau merasa sakit hati, nah, balaslah kepadaku, aku tidak akan melawan untuk menebus kesalahanku kepadamu, akan tetapi jangan ganggu Bi Nio. Ia seorang isteti yang baik, ia telah memberi seorang keturunan laki-laki kepada keluarga Cia, dan ia mencinta suaminya".."
"Ayah...!" Sambil terisak dan merangkul kaki ayah mertuanya, Bi Nio berkata, "Ayah tidak bersalah, Ayah tidak berdosa! Kalau Ayah menginginkan putera Ayah menikah lagi, hal itu Ayah lakukan bukan karena Ayah membenci mantu pertama, melainkan karena Ayah ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki! Bagaimana pun juga, sayalah yang menjadi biang keladi semua pertentangan dan keributan ini. Ayahnya Kui Bu ingin kembali dengan isterinya yang pertama, dan isterinya yang pertama mau kembali kepadanya akan tetapi tidak mau dimadu, dan Ayah tidak ingin melihat Kui Bu keluar dari sini, tidak ada yang dapat memberi penerangan dalam kegelapan ini kecuali saya. Satu-satunya jalan, saya harus pergi dari sini, tanpa... tanpa anakku..., biarlah saya menderita, merana, demi kebahagiaan suami saya, isterinya, dan Ayah, juga Kui Bu sendiri?" Kini wanita itu bangkit dan lari keluar, terhuyung dan menangis sedih.
Sejenak tiga orang itu tidak ada yang bergerak, akan tetapi tiba-tiba Sui Cin meloncat dan tubuhnya meluncur cepat melewati Bi Nio. Ketika ia turun, ia telah menghadang di depan Bi Nio.
"Tidak... engkau... tidak boleh pergi"." kata Sui Cin, suaranya agak gemetar, "Bi Nio..., apakah engkau... kau mencinta Hui Song?"
Bi Nio yang berdiri agak membongkok sambil menangis itu, tiba-tiba saja mengeluarkan suara seperti orang tertawa, agaknya pertanyaan itu terasa lucu olehnya. ?" aku "." Mencinta dia"." Aku ". aku bersedia mati untuk kebahagiaannya..., mungkin aku tidak mampu melarikan diri dari kalian, akan tetapi aku dapat pergi dengan cara lain"." Tiba-tiba saja ia terkulai dan Sui Cin melihat darah membasahi baju di bagian dada wanita itu.
"Bi Nio...!" Sui Cin berteriak dan bergerak ke depan, merampas sebuah pisau sepanjang dua jari, pisau berlumuran darah yang tadi dipergunakan oleh Bi Nio untuk menusuk dadanya sendiri!
"Bi Nio...!" Hui Song berteriak dan sekali meloncat, dia sudah menubruk Bi Nio yang terkulai roboh. Dipangkunya tubuh isterinya itu dan diperiksanya.
"Bi Nio...!" Cia Kong Liang juga berteriak dan meloncat dekat, lalu berjongkok dan ikut memeriksa. Sementara itu, Kui Bu menangis keras, seolah-olah anak kecil yang belum tahu apa-apa ini merasakan adanya suatu malapetaka yang menimpa diri ibunya.
"Bi Nio..., ahhh, Bi Nio...!" Hui Song menangis dan ayahnya hanya menggeleng kepala ketika keduanya mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin lagi menyelamatkan Bi Nio karena pisau yang ditusukkan ke dadanya itu langsung mengenai jantungnya! Bi Nio membuka matanya, berbisik-bisik,
"Anakku..., anakku..., mana"."
Cia Kong Liang menangkap cucunya dan didekatkan kepada Bi Nio yang segera mendekap anaknya. Tentu saja muka dan pakaian anak itu berlumuran darah segar.
" Aku... aku pergi... tolonglah... tolong semua saja, rawat baik-baik anakku Kui Bu... kalian... kalian maafkan aku yang berdosa"." Bi Nio melepaskan anaknya dan terkulai lemas. Ia mati dengan bibir tersenyum, seolah-olah ia telah rela meninggalkan dunia ini, meninggalkan anaknya karena merasa yakin bahwa anaknya akan dirawat orang dengan baik.
"Bi Nio".! Ah, Bi Nio, aku telah membunuhmu"!" Hui Song merintih dan terisak. "Aku telah membunuhmu, Bi Nio"." kata Sui Cin lirih, menunduk dan merasa menyesal, dan ia memondong Kui Bu, mendekap anak yang muka dan pakaiannya berlepotan darah itu. "aku... aku akan merawat dan mendidik anakmu ini, Bi Nio, jangan kau khawatir".."
"Aku yang telah membunuh Bi Nio"." Kakek Cia Kong Liang juga berkata dengan wajah sedih.
Hui Song bangkit berdiri, dan memondong tubuh Bi Nio yang masih berlumuran darah. "Aku seorang suami yang tidak baik, suami yang celaka dan tidak mampu membahagiakan isteri, baik bagi Sui Cin maupun bagi Bi Nio. Aku... aku yang telah menyebabkan kematiannya, aku akan menguburnya di puncak bukit itu dan menemaninya di sana, selamanya"."
Hui Song lalu membawa lari mayat Bi Nio, diikuti pandang mata Cia Kong Liang yang tak mampu membendung aliran air matanya, dan Sui Cin yang masih mendekap Kui Bu.
Lahir dan mati merupakan awal dan akhir dari kehidupan seperti yang kita kenal ini. Kita hanya tahu akan kehidupan ini, tanpa mengetahui keadaan sebelum terlahir dan sesudah mati. Yang jelas, seorang bayi, bangsa apapun juga, kaya atau miskin, mulia maupun papa, dari 'keluarga yang bagaimanapun juga, seorang bayi begitu terlahir di dalam dunia ini, dia langsung menangis! Tangis adalah peluapan duka, dalam bahasa dari bangsa manapun juga. Begitu memasuki alam dunia, manusia menangis. Awal kehidupan disambut tangis, seolah-olah bayi calon manusia itu merasa menyesal, merasa berduka bahwa dia telah dilahirkan di dalam suatu kehidupan yang penuh duka! Dan di dalam kenyataannya, hidup ini memang lebih banyak mengandung duka daripada suka. Kemudian, setelah manusia mati, hampir dapat dipastikan bahwa pada wajah si mati terdapat suatu kedamaian, wajah itu, membayangkan kelegaan, kebebasan, bahkan juga kebahagiaan, seolah-olah si mati merasa lega karena telah terlepas daripada kehidupan yang banyak duka ini!
Manusia menyambut kelahiran bayi yang menangis sedih dengan gembira. Apakah ini menjadi tanda bahwa manusia merasa gembira melihat datangnya seorang rekan baru dalam kehidupan penuh derita ini, seperti sekumpulan orang dalamn penjara menyambut datangnya seorang narapidana yang baru" Dan manusia mengantar kematian seseorang dengan tangis sedih walaupun wajah si mati nampak demikian penuh ketenangan dan kedamaian. Apakah ini pun menjadi tanda bahwa manusia merasa berduka melihat seseorang bebas sedangkan mereka sendiri masih berada di dalam kehidupan yang penuh derita, seperti sekumpulan orang dalam penjara yang melihat seorang rekannya dibebaskan sedangkan mereka masih harus mendekam di dalam penjara.
Hidup ini penuh duka yang timbul dari segala perasaan kecewa, iri hati, dengki, ketakutan, kekerasan, dan iba diri. Kesenangan hanya muncul seperti kilat di antara mendung gelap, hanya sekali-kali saja. Setiap jengkal kesenangan selalu diikuti oleh sedepa kesusahan. Namun, tanpa adanya pikiran yang menimbang-nimbang, membayang-bayangkan, mengingat-ingat, tanpa adanya si aku yang menilai, membandingkan, merasakan, apakah duka atau suka itu" Dalam keadaan tidur, atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki suatu alam yang tidak mengenal suka duka! Mimpi mengandung suka itu ada" Dalam keadaaan tidur, atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki suatu alam ke dalam alam tanpa suka tanpa duka. Ini membuktikan bahwa suka duka hanya permainan pikiran belaka, permainan si aku yang selalu mengada-ada!
* * * Pria itu bersikap halus dan penuh wibawa, dan sepasang matanya menunjukkan bahwa dia seorang yang amat cerdik dan bijaksana. Usianya sekitar lima puluh tahun dan duduk di atas kursi di dalam ruangan yang lebar itu, di mana belasan orang perwira nampak amat menghormatinya, dia kelihatan semakin berwibawa walaupun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang pembesar sipil, bukan militer. Tidak mengherankan kalau semua perwira demikian menghormatinya karena dia adalah Menteri Cang Ku Ceng, seorang di antara menteri-menteri yang paling setia kepada kaisar, dan satu di antara para pejabat yang berjasa besar dalam menegakkan keadilan dalam pemerintahan Beng-tiauw di bawah pimpinan Kaisar Cia Ceng itu. Sesungguhnya, hanya ada dua orang menteri yang paling terkenal dalam pemeritahan itu dan tercatat dalam sejarah sebagai dua orang yang berjasa besar. Mereka adalah Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng inilah.
Untuk membasmi gerakan pemberontakan di selatan, yang menurut para penyelidik dipimpin oleh datuk sesat yang bersekongkol dengan seorang bangsawan dari Birma, Menteri Cang Ku Ceng turun tangan sendiri terjun ke lapangan! Dan hal ini amatlah besar pengaruhnya, terutama sekali dalam menarik perhatian dan bantuan para pendekar. Sebagian besar para pendekar kagum kepada kedua menteri itu, maka mendengar bahwa Menteri Cang terjun ke lapangan, mereka pun tertarik dan banyak yang berdatangan ke Yunan untuk membantu gerakan pemerintah membasmi pemberontakan. Andaikata gerakan pembasmian itu hanya dipimpin oleh para perwira, kiranya para pendekar tidak akan demikian bersemangat membantu
Mereka sedang mengadakan perundingan di dalam ruangan itu, sebuah ruangan luas dalam pondok darurat yang dibuat di lereng gunung yang penuh hutan itu. Para perwira itu telah mempersiapkan pasukan yang cukup besar, namun pasukan mereka masih disembunyikan, berpencar dan belum berkumpul di bukit itu karena mereka khawatir kalau-kalau para mata-mata pemberontak akan melihatnya, dan akan menggagalkan penyergapan mereka. Adapun kehadiran Menteri Cang Ku Ceng dan para pendekar, juga belasan orang perwira di situ, tidak akan mudah diketahui orang karena hutan itu telah dikepung dan dijaga ketat, baik oleh pasukan pilihan yang berpakaian preman maupun oleh para pendekar dan anak buah mereka. Takkan ada orang asing dapat memasuki hutan di lereng bukit itu tanpa ijin.
Selain Menteri Cang Ku Ceng dan belasan orang perwira, di situ sudah berkumpul pula para pendekar yang siap menyumbangkan tenaga mereka untuk membasmi pemberontakan, dan pada pagi hari itu, mereka diterima menghadap oleh Menteri Cang Ku Ceng. Di antara para pendekar itu, terdapat beberapa orang yang terkenal sekali, bukan hanya tokoh-tokoh partai persilatan besar seperti wakil dari Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan Siauw-lim-pai, akan tetapi nampak hadir tokoh-tokoh persilatan perorangan yang tidak mewakili perguruan atau perkumpulan silat. Juga nampak Pek Kong, Ketua Pek-sim-pang yang datang bersama Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang dari Cin-an. Seperti kita ketahui, terjadi ikatan perjodohan antara anak kedua orang tua yang memang bersahabat karib ini. Puteri Pek Kong, yaitu Pek Eng, telah dilamar oleh Ketua Kang-jiu-pang untuk dijodohkan dengan puteranya yang bernama Song Bu Hok dan pinangan itu diterima dengan senang hati. Akan tetapi ternyata ikatan jodoh itu bahkan membuat Pek Eng marah dan berduka, dan gadis ini minggat dari rumahnya dengan alasan untuk mencari kakak kandungnya, Pek Han Siong. Dan seperti telah kita ketahui, dalam perantauannya ini Pek Eng tertawan oleh anak buah Lam-hai Giam-lo akan tetapi berkat kecerdikannya, ia bahkan diambil murid dan anak angkat oleh bengcu itu. Dan mempergunakan kesempatan baik ini, Pek Eng berhasil membujuk gurunya itu untuk mengirim orang dan membatalkan ikatan jodoh antara ia dan Song Bu Hok! Lam-hai Giam-lo memenuhi permintaan Pek Eng dan Lam-hai Siang-mo, suami isteri iblis itulah yang diutus pergi ke Cin-an dan dengan kekerasan mereka menuntut agar ikatan jodoh itu dibatalkan. Tentu saja para pimpinan Kang-jiu-pang membuat perlawanan, namun mereka semua dikalahkan oleh suami isteri itu sehingga terpaksa mereka berjanji akan membatalkan ikatan jodoh! Dan setelah suami isteri Lam-hai Siang-mo pergi, dengan hati penuh rasa penasaran, Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang, segera pergi berkunjung ke Pek-sim-pang dan mengadukan semua peristiwa ini kepada Pek Kong, ayah Pek Eng Ketua Pek-sim-pang!
Senopati Pamungkas I 2 Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Rahasia Peti Wasiat 11

Cari Blog Ini