Ceritasilat Novel Online

Raja Silat 21

Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung Bagian 21


Begitu mendengar perkataan tersebut, saking khekinya Boe
Beng Tok su segera melototkan matanya lebar-lebar.
"Kau bilang apa?" bentaknya.
Air mukanya kontan jadi pucat kehijau-hijauan, dengan
cepat dia menarik tangan Pouw Siauw Ling untuk diajak pergi.
"Pouw siang cu, ayoh jalan!" Sehabis berkata dia lantas
berlalu dengan langkah lebar dan tidak menoleh lagi.
Boen Ing masih tetap duduk di atas tanah sambil
memandang bayangan punggung mereka berdua lenyap
ditelan kegelapan, sinar mata yang sangat aneh itu masih
berkelebat pada sepasang matanya, kemudian terdengar
tertawa dingin tiada hentinya.
"Heee.... heee.... kau tidak bakal dapat pergi jauh,"
gumamnya seorang diri. "Kauw cu! Kau harus kumiliki, siang
cu itu sudah bobrok dan badannya habis sedang kau masih
padat dan jejaka. Liem Tou adalah nomor satu, sedang kau
nomor dua". Sembari berkata dia menggosok-gosok kakinya lalu tertawa
cekikikan seorang diri. Si perempuan tunggal Touw Hong yang selama ini
menguntit terus dari belakang Boe Beng Tok su serta Pouw
Siauw Ling dapat melihat semua kejadian dengan jelas.
Kini melihat Pouw Siauw Ling berdua sudah pergi,
sebaliknya Boen Ing masih tetap duduk di sana seorang diri
sambil tertawa ce kikikan, batinya jadi jengkel bercampur
cemas karena untuk menaiki gunung itu dia melalui tempat
itu. Lama sekali Boen Ing menggosok-gosok kakinya, setelah
rada baikan dia baru bangun dengan perlahan dan berjalan
menuju ke kuil bobrok yang sunyi itu.
Si perempuan tunggal Touw Hong yang bersembunyi di
pinggir jalan tidak berniat mengganggu dirinya. Menanti
setelah ia pergi jauh, dengan perlahan baru munculkan dirinya
dan melanjutkan perjalanan menyusuri sungai tersebut.
Pada kentongan keempat dia pun baru berhasil tiba di kaki
gunung Cing Shia cuma waktu itu sudah kehilangan jejak dari
Boe Beng Tok su maupun Pouw Slauw Ling.
Beberapa saat kemudian kentongan kelima sudah
menjelang datang sedang hari pun mulai terang, dalam hati
diam-diam pikirnya: "Bagaimana juga jarak dengan malam Tiong Chiu masih
ada dua hari lamanya sedang perkumpulan Sin Beng Kauw
pun sudah siap mencari gara-gara pada malam Tiong Chiu,
asalkan aku tiba lebih cepat dan beritahukan urusan ini
kepada suheng agar dia mengadakan persiapan, bukankah
urusan akan jadi beres ?"
Berpikir sampai di situ dia pun lantas mencari tempat yang
sunyi untuk menyembunyikan dirinya dan duduk mengatur
pernapasan. Teringat akan puteri satu-satunya dari encinya yaitu Sun Ci
Si kini sudah berubah sifatnya bahkan berbuat begitu jahat,
hatinya jadi amat sedih sekali.
Sewaktu pikirannya lagi melayang tiada ujung pangkalnya
itulah mendadak terdengar langkah manusia berjalau
mendekati. Si perempuan tunggal yang takut kalau Boe Beng Tok su
serta Pouw Siauw Ling berjalan kembali lagi, buru-buru
alihkan pandangan ke depan.
Tampaklah kurang lebih puluhan tindak dari tempat
persembunyiannya berdirilah se orang perempuan berbaju
singsat dengan sebilah pedang panjang menghiasi
punggungnya. "E e e e. . . dia lagi berbuat apa berdiri di sana" Siapakah
dia orangnya?" pikir si perempuan tunggal keheranan.
Si perempuan tunggal Touw Hong bukanlah seorang
manusia yang suka ikut campur di dalam urusan orang lain
apalagi melihat pada punggungnya tersoren sebilah pedang
maka ia lantas tahu kalau orang itupun merupakan jagoan
dunia persilatan, karena itu dia lantas pejamkan matanya tidak
mengambil gubris lagi. Tidak lama kemudian tiba-tiba si perempuan tunggal
mendengar lagi suara orang itu yang bergema datang tertiup
angin. "Sungguh aneh sekali, jika dilihat dari hiasan yang diatur di
atas gunung, jelas lagi mempersiapkan satu pesta perkawinan,
tapi kenapa tidak melihat adanya Liem Tou ?"
Dari arah berasalnya suara itu, si perempuan tunggal Touw
Hong lantas bisa tahu kalau suara itu berasal dari perempuan
tadi, maka terdengar dia menghela napas panjang dan
berkata: "Tidak, lebih baik aku Siauw Giok Cing menghilangkan
niatku ini saja! Orang lain sama sekali tidak memandang
sebelah mata pun kepadaku, bagaimana mungkin aku bisa
begitu tidak tahu malu dengan mati-matian memikirkan orang
lain" Aku harus pulang ke gunung dan berdiam di dalam gua
batu yang sunyi itu saja. Heei . . . tidak seharusnya aku keluar
dari gunung, memang nasibku harus hidup dengan keadaan
tetap perawan." Si perempuan tunggal yang mendengar suara gumaman
tersebut hatinya rada keheranan, pikirnya di hati.
"Kembaii seorang perempuan mencari Liem Tou. Eeeei . . .
sungguh lucu sekali, bagaimana mungkin Liem Tou bisa
berkenalan dengan perempuan yang demikian banyaknya "
Karena dilihat sikapnya tidak mirip dengan seorang yang cabul
dan suka main perempuan, apakah mungkin secara diam-diam
dia mencari kesenangan dengan bunga-bunga di tempat
luaran " Kalau memang benar-benar begitu macam apakah dia
orang" Urusan ini sungguh membingungkan sekali !"
Semakin berpikir si perempuan tunggal Touw Hong jadi
semakin terharu, mendadak dia bangun berdiri dan berjalan
menuju ke arah perempuan itu hingga beberapa langkah di
belakangnya tanpa diketahui oleh perempuan itu, dan pada
saat itu terdengar dia bergumam.
"Tidak; aku tidak boleh pulang, aku harus melihat Liem Tou
menjalankan upacara perkawinannya.
Si perempuan tunggal Touw Hong hanya merasakan kalau
kewaspadaan dari perempuan itu terlalu kurang, tapi waktu
teringat ada kemungkinan dia cuma seorang jagoan Bu-lim
biasa tanpa mempunyai kepandaian yang berarti maka dalam
hatinya pun menaruh beberapa bagian tidak pandang mata.
Waktu itulah dia baru dapat melihat kalau gadis itu bukan
lain adalah seorang nona yang cantik dengan wajah yang
putih bersih dan berusia kurang lebih delapan belas tahunan.
Waktu itu gadis itupun jadi kaget dengan munculnya si
perempuan tunggal Touw Hong, tampaklah dia memandang
ke arahnya dengan pandangan melongo.
"Nona, ada urusan apa di tengah malam buta begini berdiri
seorang diri di sini?" tanya si perempuan tunggal dengan
suara perlahan. Cing jie tidak menjawab sebaliknya matanya
memperhatikan perempuan di hadapannya itu dengan sangat
tajam. Si perempuan tunggal Touw Hong yang melihat dari
sepasang matanya memancarkan cahaya yang amat tajam
laksana bintang di malam hari, hatinya jadi keheranan,
pikirnya: "Jika dipandang dari sinar matanya, jelas kalau
kepandaian silat yang dimilikinya sudah berhasil mencapai
pada taraf kesempurnaan, tapi kenapa reaksinya begitu
lambat waktu aku mendekati dirinya?"
Pada waktu itulah terdengar Cing jie sudah membuka
mulutnya bertanya : "Siapa kau " Buat apa kau ikut campur
urusanku ?" Suaranya amat lembut dan lemah sekali sedang sinar
matanyapun melengos ke arah lain.
"Aku bertanya kepada nona karena mendengar nona terus
menerus menyebutkan nama Liem Tou. Entah secara
bagaimana nona bisa berkenalan dengan diri Liem Tou?" ujar
si perempuan tunggal Touw Hong sambil tertawa.
Mendengar disebutnya nama pemuda itu, bagai kena
disetrom Cing jie menoleh ke belakang.
"Jadi kaupun kenal dengan Liem Tou " Lalu bagaimana kau
sendiri bisa berkenalan dengan dirinya?"
Saat ini si perempuan tunggal Touw Hong sudah bisa
melihat seluruh wajah dari gadis tersebut, setelah dirasakan
orang itu tidak mirip dengan seorang perempuan jahat, ia
baru tertawa. "Kau ingin tahu " Baiklah! Aku akan beri tahukan secara
terus terang saja. Liem Tou memanggil aku dengan sebutan
Susiok !" Mendengar perkataan tersebut Cing jie jadi amat
terperanjat; sepasang biji matanya yang jeli dipentangkan
lebar-lebar itu memperhatikan perempuan itu tajam-tajam,
akhirnya dia gelengkan kepalanya.
"Tidak mirip, tidak mirip, aku tidak percaya terhadap
omonganmu itu. Liem Tou dengan dirimu hampir sama besar
usianya, bagaimana mungkin kau adalah susioknya ?"
"Suka percaya atau tidak, itu urusanmu sendiri. Kini aku
sudah memberitahukan kedudukanku, seharusnya kau pun
memberitahukan kepadaku siapakah kau orang ?"
Dengan perlahan Cing jie mengangguk.
"Aku datang dari lembah mati hidup di gunung Heng san,
tahun ini berusia seratus lima belas tahun. Dan Liem Tou
pernah jadi tetamu di dalam lembahku maka itu aku kenal
dengan dirinya." "Aaakh.....! Nona jangan bergurau," ujar si perempuan
tunggal Touw Hong sambil tertawa geli. Aku tidak usah
mempercayai kalau kau sudah berusia seratus lima belas
tahun dan kaupun tidak usah percaya kalau aku adalah susiok
dari Liem Tou, tetapi yang jelas baik kau maupun aku samasama
kenal dengan Liem Tou . . . ."
Baru saja berbicara sampai di situ, mendadak satu ingatan
berkelebat di dalam benaknya, diam-diam lantas pikirnya :
"Walaupun dari nada ucapannya tidak bermaksud jahat
terhadap Liem Tou, tetapi apakah kawan atau lawan aku
belum bisa menentukan, lebih baik aku pancing supaya dia
suka berbicara sendiri."
Karenanya sambil tertawa lantas ujarnya lagi:
"Sekarang aku mau tanya padamu, bilamana Liem Tou lagi
menemui kesusahan, apakah nona suka turun tangan
membantu?" Cing jie yang mendengar perkataan tersebut kembali
merasa terperanjat; dia mengira yang dimaksudkan oleh si
perempuan tunggal adalah Oei Poh, di dalam urusan ini dia
memang lagi kebingungan dan tidak mengerti apa yang harus
dilakukan terpaksa kepalanya digelengkan berulang kali. "Aku
tidak tahu, aku tilak tahu," katanya.
"Kalau begitu, nona adalah musuh dari Liem Tou?"
"Apa maksud perkataanmu itu?" teriak Cing jie dengan
nada keras matanya melotot lebar-lebar. "Aku tidak pernah
bercerita kalau dia adalah musuhku."
Si perempuan tunggal Touw Hong dibuat semakin
keheranan lagi. "Nona bukan kawan dari Liem Tou lalu mengapa kau tidak
suka turun tangan membantu dirinya?""
Seketika itu juga Cing jie dibuat bungkam seribu bahasa
oleh perkataan tersebut. Pada saat dia lagi serba salah itulah mendadak mendengar
perempuan tunggal Touw Hong menjerit kaget.
Buru-buru Cing jie pun menengok ke arah samping
terlihatlah di atas permukaan sungai berkelebat datang
sesosok bayangan putih. "Oouw.... sesosok bayangan manusia," serunya cepat.
"Eeem.... dia adalah seorang perempuan," sahut si
perempuan tunggal sambil kerutkan alisnya rapat-rapat. "Aku
kenal dirinya bahkan kepandaian silat yang dimilikinya sangat
tinggi sehingga sukar diukur, pada saat kentongau ketiga tadi
dia sudah pukul rubuh Sin Beng Kauw cu serta Pouw Siauw
Ling, dan dia pun merupakan salah seorang yang lagi mencari
Liem Tou." Bayangan putih itu sudah tentu adalah Boen Ing, saat ini
dia telah berada di tengah sungai untuk menyeberang kemari.
Dengan ketajaman mata dari Cing jie sudah tentu dia pun
bisa mengenal kembali bayangan putih tersebut.
"Akh.... Boen Ing si perempuan cabul itu," serunya tak
terasa. "Bagaimana" Kau pun kenal?"
Dengan perlahan Cing jie mengangguk, mendadak dia
bersuit nyaring dan mencabut keluar pedang Lan Beng Kiam
yang tersoren pada punggungnya itu dan ujung kaki sedikit
menutul di permukaan tanah tubuhnya laksana seekor burung
walet meluncur sejauh tujuh, delapan kaki dengan tersalto di
tengah udara dan meluncur ke tengah sungai.
Gerakan yang dilakukan secara tiba-tiba ini seketika itu
juga membuat si perenpuan tunggal jadi melongo-longo;
pikirnya : "Orang yang aku temui malam ini sebagian besar adalah
jago-jago yang memiliki kepandaian silat amar tinggi sedang
di dalam Bu-lim sama sekali tidak pernah mendengar nama
mereka, sungguh aneh sekali."
Tubuh Cing jie yang meluncur ke tengah sungai hanya di
dalam sekejap saja sudah berada beberapa puluh kaki jauhnya
tanpa melayang turun ke atas tanah, menanti jaraknya tinggal
duapuluh kaki dari Boen Ing dia baru melayang turun ke atas
permukaan air sungai. Si perempuan tunggal yang melihat begitu sempurna dan
dahsyatnya tenaga dalam yang dimiliki gadis itu dalam hati
benar-benar amat terperanjat. Dia tidak menyangka kalau
gadis yang usianya kelihatan masih muda itu sudah demikian
lihaynya. Selagi dia orang berpikir keras itulah dari tengah sungai
berkumandang datang suara bentakan yang amat keras
disusul dengan suara suitan yang memekikkan telinga, sekali
dengar perempuan itu lantas tahu kalau suara bentakan itu
pasti berasal dari Cing jie.
Hatinya mulai kebingungan sedang otak berputar tiada
hentinya. "Haruskah aku orang ikut turun tangan membantu gadis
berbaju hijau itu?" Tetapi sewaktu teringat kalau ilmu meringankan tubuhnya


Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum berhasil mencapai taraf dapat bergerak di atas
permukaan air dengan perlahan dia pun membatalkan kembali
niatnya tersebut. Suara tertawa seram dari perempuan berbaju putih itu
semakin menyeramkan sedang Cing Jie pun waktu itu sudah
berada beberapa kaki di hadapannya, jelas kalau suatu
pertempuran yang amat sengit segera akan berlangsung.
"Susiok! Liem Tou datang menghunjuk hormat !" tiba-tiba
terdengar suara seseorang berkumandang keluar dari
belakang tubuhnya. Si perempuan tunggal jadi amat terperanjat, dengan cepat
dia putar badan sambil melintangkan telapak tangannya di
depan dada siap menanti serangan.
Kiranya orang yang ada di belakangnya pada saat ini bukan
lain adalah Liem Tou yang sudah ada setahun lamanya tidak
bertemu, dia tidak menyangka bila tenaga dalam dari pemuda
itu sudah memperoleh kemajuan yang amat pesat sekali.
Saking terkejut dan bercampur girangnya untuk beberapa
saat lamanya tidak sepatah kata pun bisa diucapkan keluar.
Waktu itu Liem Tou memakai jubah berwarna hijau dengan
wajah penuh dihiasi senyuman; apalagi dengan wajahnya
yang tampan itu sehingga membuat pemuda itu kelihatan
semakin menarik. "Susiok selama setahun ini apakah baik-baik saja ?""
tanyanya lagi sambil memandang tajam wajah gadis itu.
Terhadap kejadian yang berlangsung di tengah sungai
antara Cing jie serta Boen Ing, dia orang sama sekali tidak
memandang sekejap pun. "Sutit! Kau datang dari mana" kedua orang yang ada di
atas permukaan sungai itu...."
Belum habis si perempuan tunggal melanjutkan katakatanya,
Liem Tou sudah memotong dengan cepat.
"Selama setahun ini sutit mengasingkan diri di tengah
pegunungan yang sunyi sehingga memperoleh kemajuan yang
pesat, dan malam ini aku bermaksud kembali ke gunung Cing
shia. Susiok, apakah kau sudah memasuki perkampungan ?""
bagaimana keadaannya supek serta enci Ie dan adik Wan
sekalian?"" Si perempuan tunggal cuma tersenyum saja sedang
matanya dengan amat tajam memperhatikan diri pemuda
tersebut, dia merasa Liem Tou yang ada di depannya pada saat ini jauh berbeda
dengan Liem Tou setahun yang lalu.
Liem Tou yang melihat perempuan itu tidak menjawab
bahkan memandang dirinya dengan tajam lantas kirim satu
senyum manis. Beberapa saat kemudian si perempuan tunggal baru
menghela napas panjang. "Sutit! Aku lihat agaknya kau banyak berubah!" ujarnya
dengan perlahan. "Bilamana dugaanku tidak salah maka
setahun ini banyak kejadian yang tidak tersangka sudah
menimpa dirimu." "Susiok bagaimana kau boleh bicara begitu?"" seru Liem
Tou sambil gelengkan kepalanya. "Sutit tetap sutit, apanya
yang sudah berubah ?" Cuma saja penghidupan selama
setahun ini membuat hatiku rada tenang."
Si perempuan tunggal tidak mendesak lebih lanjut lagi, dia
pun lantas mengganti bahau pembicaraan, ujarnya tiba-tiba:
"Ini hari susiok kembali ke gunung Cing Shia untuk turut
merayakan perkawinanmu. Di sini susiokmu memberi selamat
dahulu!" Bicara sampai di sini tak terasa lagi dia merasa hatinya
berdebar-debar sedang wajahnya terasa rada panas
mendadak dalam benaknya dia teringat kembali akan maksud
Boe Beng Tok su, Pouw Siauw Ling serta Boen Ing yang lagi
mencari balas terhadap dirinya, hanya di dalam sekejap saja
membuat pikirannya segera berubah.
"Tetapi... aku rasa banyak urusan yang tak terduga bakal
terjadi perkawinan dari sutit rasanya tak bisa berlangsung
dengan lancar," serunya sambil menghela napas panjang.
Mendengar perkataan tersebut Liem Tou rada melengak
tetapi sebentar kemudian sudah tertawa.
"Susiok agaknya di dalam hatimu ada sesuatu rahasia
bolehkah kau katakan kepada sutitmu?"
Bicara sampai di situ dia dongakkan kepala nya
memperhatikan sejenak keadaan cuaca lalu sambungnya lagi:
"Susiok, coba kau lihat hari sudah terang tanah,
bagaimanapun sebelum tanggal lima belas bulan delapan
sutitmu tak bisa kembali ke gunung Cing Shia, bagaimana
kalau kita mencari suatu tempat sunyi untuk bercakap-cakap
?" Selama ini Liem Tou tidak pernah melirik atau memandang
sekejap pun ke tengah permukaan sungai di mana sedang
berlangsung suatu pertempuran yang amat sengit antara Cing
Jie dan Boen Ing, hal ini membuat si perempuan tunggal
menjadi curiga, pikirnya:
"Bilamana membicarakan soal kepandaian yang dimiliki
sutit pada saat ini, jangankan dikata di permukaan sungai
yang hanya berjarak seratus kaki itu, seharusnya ia dapat
melihat, sekalipun jaraknya lebih jauh beberapa kali lipatpun
pasti dapat melihatnya. Apakah mungkin saat ini ia pura-pura
tak melihat ?" Tetapi tentunya dalam hati ia tidak bermaksud
menemui kedua orang itu."
Sehabis berpikir secara demikian si perempuan tunggal
Touw Hong pun tidak angkat bicara lagi dan mengikuti diri
Liem Tou ini mengitari jalan pegunungan menuju ke atas
gunung dengan mengambil sebuah jalan kecil.
Sembari berjalan tanpa terasa kepalanya menoleh ke arab
permukaan sungai, tampaklah bayangan hijau serta putih
saling terjang menerjang dengan samarnya bahkan jikalau
ditinjau dari kecepatan putaran tubuh mereka berdua agaknya
suatu pertempuran yang amat sengit sedang berlangsung.
Jilid 40 HATlNYA jadi menaruh rasa kuatir terhadap keselamatan
dari si perempuan berbaju hijau itu.
"Sutit!" tak terasa lagi ia berhenti dan menegur.
Sambil tersenyum Liem Tou putar badannya, si perempuan
tunggal Touw Hong yang melihat sikapnya amat tenang dan
mantap sedikitpun tidak menunjukkan perasaan gugup di
dalam hati jadi malu sendiri.
Maksud semula untuk memberitahukan peristiwa
bertempurnya Cing jie dengan Boen Ing pun dengan
sendirinya dibatalkan. "Susiok; ada urusan apa?" tanya Liem Tou perlahan.
"Aaakh... tidak ada apa-apa" jawab si perempuan tunggal
sehabis termenung sebentar. "Aku hanya merasa kini kau
benar-benar sudah berubah."
Terlihatlah Liem Tou angkat bahu lalu menghela napas
panjang. "Heeeii... sebetulnya aku tidak berubah; aku cuma merasa
tindakanku tempo hari terlalu gegabah dan menggelikan, rasa
ingin menang dan menonjol terlalu berlebihan," katanya
tertawa. "Dan selama setahun ini walaupun sutit hidup di tengah
kesunyian serta tak berkawan tetapi rasanya hatiku jadi
semakin tenang dan semakin tawar, kegembiraan terasa jauh
lebih melekat di hati. "Jika pedang semakin diasah jadi semakin tajam. Kalau
begitu di dalam ilmu silat, Sutit pun telah memperoleh
kemajuan yang sangat pesat sekali . . . bukan begitu?"
sambung perempuan itu mengambil kesempatan tersebut.
"Cukup ditinjau dari ketiga langkahmu tadi aku sudah merasa
bilamana dugaanku sedikit pun tidak meleset."
Sekali lagi Liem Tou tersenyum.
Di dalam soal ilmu silat, sutit merasa sudah salah belajar!
Sejak tahun yang lalu sutit menguji tangan di hadapan para
jago-jago di gunung Cing Shia dan selama ini tidak pernah
membicarakan soal ilmu silat lagi. Susiok! Apakah soal ini kau
tidak tahu?" "Sungguh?" teriak si perempuan tunggal Touw Hong sangat
terperanjat sehabis mendengar perkataan itu. "Kenapa kau
harus berbuat demikian" Tahukah kau bahwa jago-jago Bu lim
yang bermunculan pada saat ini kebanyakan bersifat kejam
dan keji. Bilamana kau berbuat begitu, bukankah memberi
peluang yang sangat bagus buat mereka?"
"Heei ... perhitungan manusia selamanya tidak akan
menangkan perhitungan Thian, bila mana Thian menyuruh
aku orang mendapat kesusahan sekalipun terbang ke langit
pun tiada gunanya...!" kata pemuda itu sambil menggeleng.
Perkataan dari Liem Tou ini begitu diucapkan keluar, hati si
perempuan tunggal Touw Hong jadi semakin terperanjat lagi;
Ia sama sekali tidak menyangka kalau Liem Tou bisa berubah
jadi begini, yang terlalu pasrah pada nasib.
Terang-terangan ia sudah tahu keadaannya sangat
berbahaya dan setiap saat nyawanya terancam, sebaliknya dia
malah sengaja berbuat begini, bilamana sampai waktunya ia
benar-benar tak turun tangan, bagaimanakah keadaannya
pada saat itu?" Waktu itu mereka berdua semakin berjalan semakin jauh;
mendadak setelah mengitari sebuah lekukan gunung di
hadapannya terbentanglah sebuah sungai dengan aliran air
yang amat deras sekali. Di hadapan sungai itu tampaklah puncak gunung yang
terbentang menembus awan.
"Susiok!" ujar Liem Tou sambil menuding di hadapannya.
"Tahukah kau tempat apakah itu?"
Saat ini si perempan tunggal Touw Hong mana punya hati
untuk menjawab pertanyaan tersebut, makanya ia hanya
menggeleng saja "Tempat itulah gunung Ha Mo san, di mana sejak kecil aku
hidup di sana sampai menjadi dewasa," kata pemuda itu
sambil tanpa sebab menghentikan langkahnya.
Sehabis berkata ia lantas duduk di atas rumput dekat
sungai, matanya memandang ke tepi seberang dengan
termangu-mangu. "Cantik atau tidak disanalah desaku, kasih atau tidak
mereka adalah tetanggaku ..... heee ....! Sudah setahun
lamanya aku tidak mengunjungi kuburan ayahku," gumamnya
sendiri. Melihat pemuda itu duduk, si perempuan tunggal Touw
Hong pun mau tak mau terpaksa turut duduk pula, apalagi
setelah mendengar gumamannya ini, tak terasa hatinya pun
ikut murung. Tak kuasa lagi akhirnya perempuan itu menghela napas
panjang, sinar matanya dengan termangu-mangu memandang
ke aliran air sungai yang tiada putusnya ...
Waktu ini keadaan mereka berdua mirip sekali dengan
sepasang kekasih yang sedang memadu cinta, masing masing
terjerumus kedalam kesunyian yang mencekam, sehingga
membuat siapa yang melihat pun tak menyangka kalau
mereka berdua sebenarnya adalah Susiok sutit!
MENDADAK suara pekikan burung yang amat memekikkan
telinga menyadarkan kembali si perempuan tunggal dari
lamunannya, dia teringat pula akan Boe Beng Tok su serta
Pouw Siauw Ling yang telah berangkat kemari untuk menuntut
balas. Dalam hati ia merasa peristiwa ini harus dikhabarkan
kepada pemuda tersebut karena itu tiba-tiba saja ia menoleh
dan katanya; "Sutit! Aku ingin menanyakan satu persoalan kepadamu.
Pernahkah kau mendengar kalau di dalam Bu lim telah
didirikan sebuah partai baru yang bernama 'Sin Beng Kauw'?"
"Apa itu Sin Beng Kauw?" tanya pemuda tersebut
melengak. "Nama ini sungguh kukoay sekali, aku belum
pernah mendengarnya."
"Kalau begitu terhadap 'Ay Lauw It Tiauw, Sun Ci Si
sekalian tentunya kau masih ingat bukan" Masih ada lagi
seorang yang she Pouw bernama Pouw Siauw Ling, dan orang
ini tentunya kau masih ingat bukan" Masih ada lagi Boen Ing
dan Giok Cing dua orang gadis cantik, siapakah mereka?"
Mendengar nama-nama yang disebutnya itu, Liem Tou
hanya mengangguk-angguk, lama sekali baru ujarnya:
"Apakah beberapa orang ini ada hubungannya dengan Sin
Beng Kauw tersebut?"
"Sun Ci Si telah menjabat sebagai Sin Beng Kauw cu
dengan julukan Boe Beng Tok su. Hal ini tentunya disebabkan
karena ia berhasil mempelajari ilmu dari 'Pek Lok Toh itu! dan
Pouw Siauw Ling adalah salah satu dari Cong Tan Siancu
mereka. Sebaliknya kedua orang gadis cantik itu aku hanya
menjumpainya secara tidak sengaja di tengah jalan, siapakah
mereka, aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya dengar kalau
mereka berempat datang kemari khusus untuk mengikuti
perayaan perkawinanmu, tetapi di antara mereka, ada tiga
orang yang membawa maksud tidak baik!"
Selama ini Liem Tou masih membungkam terus, ia tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
Sehingga kembali terdengar si perempuan tunggal Touw
Hong melanjutkan kata-katanya:
"Kepandaian silat dari keempat orang itu bilamana
dibicarakan dalam Bu lim boleh dikata merupakan jago-jago
nomor wahid dan yang paling nenakutkan di antaranya adalah
tindakan mereka yang kejam dan telengas karena perbuatan
apa pun bisa mereka lakukan. Sutit, aku rasa lebih baik kau
orang mengadakan sedikit persiapan."
"Ouuw, sungguh-sungguh ada urusan begitu?" seru Liem
Tou tertahan. Dia berpikir sebentar kemudian katanya lagi: "Sutit adalah
seorang manusia yang telah mengunci tangan, aku harus
berbuat apa untuk mengadakan persiapan" Apakah hanya
dikarenakan mereka sedang mencari balas maka aku terpaksa
melanggar sumpah untuk menghadapi mereka" Hal ini tak
bisa sutit lakukan."
"Kalau begitu apakah Sutit hendak pasrah saja untuk
mereka bunuh..." Berbicara sampai di sini mendadak dari arah belakang
mereka terdengar suara gerakan yang amat perlahan.
Si perempuan tunggal Touw Hong jadi sangat terkejut, tak
terasa lagi ia segera melejit ke tengah udara.
"Sutit, hati-hatilah! Ada orang!" bentaknya keras.
Tetapi sewaktu ia menoleh kebelakang; tak tertahan lagi
perempuan itu sudah jadi tertawa cekikikan sendiri, kiranya


Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa kaki dari mereka berdirilah dengan tenang sang
kerbau tunggangan Liem Tou.
"Hii... hii... hii... tidak kusangka binatang ini pun pintar
mengejutkan orang!" Dan ia bertindak maju dengan perlahan untuk mengelus
tubuh kerbau tersebut. "Sutit! Apakah selama ini kerbau ini pun mengikuti terus
dirimu?" tanya gadis tersebut sembari mengelus tubuh kerbau
itu. "Ehmmmm ...!" Si perempuan tunggal segera menoleh; tampaklah saat ini
Liem Tou masih tetap duduk di pinggir sungai, hanya saja
tubuhnya sama sekali tidak bergerak, kepalanya pun tidak
menoleh. Si perempuan tunggal jadi melengak dibuatnya; ia merasa
semakin terperanjat lagi dengan perubahan sifat dari pemuda
tersebut. Perlahan-lahan ia kembali ke tempat semula dan duduk di
sisi Liem Tou yang saat ini wajah pemuda itu amat tenang
tetapi murung, agaknya dalam hatinya sedang memikirkan
suatu urusan. Pantulan cahaya sang surya di pagi hari memantulkan sinar
keperak-perakan di atas gulungan riak sungai yang mengalir
tiada putusnya . . . "Sutit! Kau lag1 memikirkan apa" Apakah kau sedang
memikirkan cara cara untuk menghadapi Boe Beng Tok su
serta Pouw Siauw Ling?" tanya gadis tersebut perlahan.
"Aku tidak berpikir untuk menghadapi siapa pun."
Hampir-hampir membuat si perempuan tunggal Touw Hong
merasa tak percaya pada pendengarannya sendiri; bagaimana
mungkin perkataan tersebut bisa diucapkan oleh seorang
pemuda seperti Liem Tou?"
Selagi hatinya dibuat kebingungan itulah, Liem Tou
melanjutkan kembali kata-katanya: "Susiok! Kau merasa
urusan ini apakah merasa sangat penting sekali?"
Semangat si perempuan tunggal Touw Hong kontan
berkobar kembali. "Hal ini belum tentu!" sahutnya segera. "Dengan
kepandaian silat yang dimiliki sutit saat ini aku rasa Boe Beng
Tok su serta Pouw Siauw Ling masih belum kuat untuk
menerima satu pukulanmu, sedangkan Sin Beng Kauw adalah
satu perkumpulan yang baru saja muncul, pengaruhnya pun
belum luas. Sekalipun anggota mereka sebagian besar
merupakan bekas anak buah dari 'Chiet Ci Jouw Tou' atau Si
hweesio gundul tujuh jari, tetapi kepandaian silat mereka
biasa saja; sama sekali bukan orang yang menonjol, mereka
tidak bakal kuat untuk melawan sutit!"
Liem Tou berpikir sebentar kemudian baru ujarnya:
"Kalau begitu cukup hanya dengan kekuatan supek serta
susioksaja tentu sudah lebih dari cukup untuk membasmi
mereka bukan?" Si perempuan tunggal Touw Hong sama sekali tidak
menyangka kalau Liem Tou bisa berkata demikian. Dia
percaya dengan kekuatannya sendiri masih bisa menahan
serangan dari Pouw Siauw Ling serta Boe Beng Tok su,
demikian pula dengan suhengnya. Tetapi siapa yang hendak
menahan serangan dari si perempuan berbaju putih serta
keenam orang siangcu dari Sin Beng Kauw" Setelah berpikir
bolak-balik, akhirnya tak terpikir juga satu keputusan,
sehingga ia menggeleng. "Urusan ini tak bisa diduga sebelumnya, tetapi kalau
memangnya mereka berani datang menyerang, kita pun harus
melawan." Liem Tou segera mengangguk, mendadak ia meloncat ke
tengah udara dan lempar satu senyuman kepada Si
perempuan tunggal. "Kalau begitu, harap susiok cepat-cepat datang ke
perkampungan Ie Hee Cung! Urusan ini ada kemungkinan
sudah berada di dalam hitungan siepoa dari suhuku, mungkin
juga kini dia lagi mengadakan persiapan-persiapan."
"Kini Susiok telah memberi peringatan kepadaku. Sutit
merasa sangat berterima kasih sekali, nanti bila sampai
waktunya, aku bisa muncul sendiri di atas gunung."
Selesai berkata, ia menjura kemudian meloncat ke atas
punggung kerbaunya dan berlalu dari sana.
Si perempuan tunggal Touw Hong sama sekeli tidak
mengetahui peristiwa Liem Tou yang angkat Thiat Sie poa
sebagai suhunya; karena itu lama sekali ia berdiri di sana
dengan termangu-mangu dan kebingungan karena belum
sempat dia bertanya lebih jelas lagi, Liem Tou telah pergi
jauh. Kembali si perempuan tunggal berdiri beberapa saat
lamanya di pinggir sungai. Ketika melihat cuaca semakin
terang lagi, ia pun lantas kerahkan tenaga dalamnya untuk
menyeberangi sungai tersebut. Siapa tahu saat itulah tiba-tiba
punggungnya terasa dibokong orang, si perempuan tunggal
yang sama sekali tidak mengadakan persiapan, hatinya jadi
terperanjat, tubuhnya buru-buru menyingkir ke samping.
Siapa sangka kembali tampak bayangan biru berkelebat
datang, tidak menanti pikiran kedua berkelebat di dalam
benaknya tahu-tahu ia sudah tertotok jalan darahnya.
Hawa murni tersumbat membuat kekuatan tubuhnya buyar,
tak kuasa lagi tubuhnya rubuh ke belakang.
Tetapi orang yang berada di belakangnya itu dengan cepat
menyambar dan merangkul pinggangnya erat-erat.
Melihat dirinya tertotok, gadis itu cuma bisa menghela
napas, dan matanya dengan segera melirik sekejap ke arah
orang itu. Tampaklah dia bukan lain adalah seorang sastrawan
berusia pertengahan, mempunyai wajah yang keren! Hanya ia
tidak tahu siapakah orang itu.
Dan orang itu sambil membopong tubuh gadis tersebut
lantas berseru ke arah belakang."Tiat Bok leng, coba
kemarilah! Kenalkah kau dengan perempuan ini" Siapa dia?"
Dari belakang muncullah seorang ke seluruh jarinya telah
putus. Dia bukan lain adalah Thiat Bok Taysu yang ditolong
oleh Thian Pian siauw cu.
"Eehmm ... agaknya perempuan ini sangat kukenal dan
pernah bertemu di suatu tempat," sahutnya setelah
memandang sekejap ke arah si perempuan tunggal. "Hanya
saja saat ini aku sudah lupa. Maksud siauwcu hendak kau
apakan dia?" Dengan telitinya Thian Pian Siauw cu memandang ke arah
perempuan tersebut lalu berpikir.
"Kirim dia pulang saja!" sahutnya kemudian.
Dan tangan digape, seokor burung rajawali dengan cepat
melayang turun ke bawah. Kali ini burung itu tidak memperdengarkan suara pekikan
yang nyaring, sebaliknya dengan amat tenangnya ia berdiri di
sisi tubuh Thian Pian Siauw cu.
Lalu dengan perlahan Thian Pian Siauwcu meletakkan
tubuh si perempuan tunggal ke atas punggung burung
rajawalinya. Setelah itu tangannya diulapkan.
"Antar dia pulang ke rumab, kemudian cepat-cepatlah
datang kemari," perintahnya.
Burung rajawali itupun berkaok-kaok kemudian pentangkan
sayap lalu terbang meninggalkan tempat tersebut.
Menanti sang burung rajawali telah lenyap dari pandangan,
Thian Pian Siauwcu baru menoleh ke arah Thiat Bok Taysu.
"Thiat Bok heng!" tegurnya. "Aku dengan Liem Tou si
bangsat cilik itu masih ada perjanjian tiga tahun; kini baru
lewat setahun dan bilamana aku melanggar janji dan kini
datang menuntut balas kepadanya maka tindakanku ini
bukankah merupakan suatu tindakan yang melanggar
peraturan Bu lim" Maka bila sampai waktunya Thiat Bok heng
harus turun tangan sendiri, sehingga paling-paling aku cuma
bisa memberi bantuan secara diam-diam saja.
"Soal ini sudah tentu!" sahut Thiat Bok Tay su
mengangguk. "Saat ini juga kita segera berangkat ke atas
gunung Cing Shia dan mengambil kesempatan yang sangat
baik untuk membasmi beberapa orang pembantu mereka,
masih untung saja tindakan kita kali ini dilakukan sangat
rahasia sekali; sehingga mereka sama sekali tidak
mengadakan persiapan, dan kesempatan yang lebih baik lagi
tidak bakal muncul."
Thian Pian Siauwcu termenung berpikir sebentar kemudian
dia baru menjawab. "Bilamana kita berbuat demikian rasanya tindakan kita
kurang cemerlang, tetapi urusan sudah jadi begini, aku rasa
baiklah kita bertindak sesuai dengan perkataan dari Thiat Bok
heng! Ayoh jalan." Selesai berkata, pertama-tama ia yang berlalu untuk
melewati sungai kematian, menaiki tebing maut dan terakhir
menyeberangi jembatan Pencabut nyawa dari gunung Ha Mo
san. Mereka berbelok dulu ke sebuah puncak di dekat Cing
Shia dan bila mana pagi hari mereka bersembunyi, sedang
malam hari bekerja. Thiat Bok Thaysu yang melihat Thian Pian Siauwcu telah
berangkat dia pun segera mengikuti dari belakangnya.
Terlihatlah dua sosok bayangan manusia dengan kecepatan
laksana sambaran kilat berkelebat ke depan, hanya di dalam
sekejap saja telah lenyap dari pandangan.
Kita baiik pada Liem Tou yang melanjutkan perjalanannya
dengan menunggang kerbau dan menggembol pedang, tidak
lama kemudian haripun sudah terang tanah.
Saat ini pikiran dari pemuda iru lagi kosong melompong
sehingga pertemuannya kemarin malam dengan si perempuan
tunggal telah membuat pemuda ini mengerti tentang keadaan
Bu lim pada saat ini. Hatinya yang semula tenang bagaikan permukaan air
telaga ilu. kini kelihatan mulai berombak, apalagi setelah
mengetahui kalau ada orang yang hendak mencari balas
dengan dirinya maka kini ia mulai merasa tidak tenang.
Sejak dirinya mempelajari ilmu semedi "Ting Sim Lok", baru
untuk pertama kalinya ini hatinya terasa kacau.
Dengan mengikuti aliran air sungai ia semakin berjalan
semakin jauh dan tidak lama kemudian sampailah dia di
sebelah gunung yang amat sunyi.
Permukaan sungai pun semakin lama semakin kecil dan ia
tahu sebentar lagi dirinya bakal tiba pada sumbernya, karena
itu dalam hati ia mulai berpikir:
"Bagaimanapun besok pagi baru tanggal lima belas bulan
delapan, biarlah ini hari aku mengikuti aliran sungai untuk
mengetahui sumbernya. Aku ingin tahu air tersebut berasal
dari mana...!?" Berpikir akan hal itu, pikirannyapun kembali lebih tenang
lagi karena dia tidak lagi memikirkan persoalan dunia kangouw
yang dapat mengkalutkan pikirannya itu.
Akhirnya setelah lewat beberapa saat lagi hatinya pun
mulai jadi tenang kembali ...!
Dan dengan mengikuti aliran sungai ini pemuda tersebut
sudah menghabiskan waktu setengah harian lamanya tetapi
sumber air itu pun belum juga ditemukan sehingga pikirannya
kembali berputar. "Sudah lama aku tidak merasakan larinya sang kerbau,
biarlah ini hari, aku mencoba bagaimanakah kecepatan dari
larinya kerbau ku ini."
Berpikir sampai di situ mendadak ia membentak keras:
"Engkoh kerbau, mari kita lari cepat!"
Pada saat ini kerbau tersebut tidak perlu lagi diperintah
dengan kode kode mulut seperti 'Jan Heng Cor, Beng, Tong,
Pian, Hua, Si'. Karena pergaulannya yang sangat lama dengan
Liem Tou sehingga membuat sang kerbau telah mengerti
maksud dari perkataannya apalagi di bawah bimbingan Liem
Tou, kerbau itupun telah memperoleh dasar ilmu Iwekang
yang amat kuat. Ketika mendengar majikannya memerintah untuk berlari
cepat, maka dengan girangnja lantas dongakkan kepala dan
mendengus panjang, suaranya nyaring laksana pekikan naga
sehingga menggetarkan seluruh tubuh.
Di antara sepakan kaki yang menimbulkan suara nyaring
bagaikan sambaran kilat kerbau itu berlari keras ke arah
depan. Pada mulanya sawaktu berlari keempat buah kakinya yang
menginjak batu batu gunung masih meninggalkan suara yang
nyaring, tetapi akhirnya semakin berlari semakin cepat dan
suara yang nyaring pun semakin lama semakin lenyap, saat ini
keadaannya mirip dengan jagoan yang sedang berlari dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Liem Tou hanya merasakan bayangan gunung lewat
dengan cepatnya, pandangan mata serasa jadi kabur
dibuatnya. Sesudah mengitari sebuah gunung kembali sebuah bukit
dilewati, hanya di dalam waktu yang singkat itu saja ia sudah
berada seratus li di luar daerah gunung Cing Shia. Di tempat
manakah ia berada saat itu, sang pemuda sendiri tidak tahu.
Liem Tou sendiri tak suka menggubris akan persoalan
tersebut, dan hanya dengan melakukan perjalanan cepat dia
menerjang terus ke arah depan.
Tidak lama kemudian di hadapannya muncul kembali
sebuah bukit yang amat tinggi. Di balik bukit itu secara samarsamar
berkumandang keluar suara kentungan yang berat
tetapi rendah ..." "Tung, tung, tung ...!" Suara tersebut berbunyi tiada
hentinya seperti di atas bukit ada orang menebang kayu.
Liem Tou buru-buru menarik tali les kerbaunya lalu
memutar haluan masuk ke dalam bukit itu.
Mendadak di hadapannya muncullah sebuah lembah yang
tertutup kabut yang amat tebal, kiranya suara kentungan yang
berat dan rendah itu justru berasal dari balik lembah tersebut.
Ketajaman mata dari Liem Tou pada saat ini benar-benar
luar biasa sekali, tapi kini tak sanggup untuk menembusi kabut
yang sangat tebal di sekeliling lembah tersebut, hal ini benarbenar
membuat pemuda itu tak dapat pula melihat dengan
jelas bagaimanakah keadaan dari lembah tersebut...
Buru-buru ia menahan larinya sang kerbau dan dalam hati
berpikir keras. "Suara apakah itu" Bilamana didengar dari terpautnya
suara satu kentungan dengan kentungan yang kedua tidak
mirip dengan suara dari binatang buas ...!"


Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah termenung berpikir beberapa saat akhirnya ia
meloncat turun dari punggung kerbau; dan kemudian sambil
menuntun sang kerbau ia melanjutkan perjalanannya masuk
ke balik kabut. Pemandangan pada jarak dua kaki masih tak berhasil
ditembusi dengan ketajaman matanya, dan bilamana di
tempat yang seperti ini dibokong oleh musuh secara
mendadak; mungkin sukar baginya untuk menghindari.
Setelah melakukan perjalanan beberapa saat lamanya,
akhirnya ia bisa mendengar juga suara aliran air yang amat
nyaring sedangkan suara kentongan itu pun kedengaran
semakin nyaring. Pada saat itulah tiba-tiba ...
"Liem Tou! Liem Tou! Kau sudah datang! Kau sudah
datang!" kiranya suara seseorang yang sedang memanggil
namanya berkumandang keluar dari balik kabut.
Suara tersebut tinggi melengking, hampir-hampir boleh
dikata tidak mirip lagi dengan suara manusia.
Liem Tou yang mendengar suara panggilan tersebut dalam
hati menjadi bergidik sehingga membuat bulu romanya pada
berdiri semua. "Siapa kau?" tanyanya sambil menghentikan langkahnya.
"Siapa yang sedang memanggil namaku?"
Berturut-turut pemuda itu mengulangi beberapa kali
pertanyaan itu. "Jangan takut! Jangan takut! Cepat masuk! Cepat masuk!"
kembali suara tadi berkumandang keluar.
Peristiwa ini sungguh aneh sekali; apakah aku telah
bertemu dengan setan?" pikir Liem Tou diam-diam.
Tak kuasa lagi ia dongakkan kepalanya ke atas, maksudnya
hendak melihat di atas kepalanya apakah ada sinar sang
surya. Tetapi apa yang dilihatnya pada saat ini hanyalah kabut
yang amat tebal, empat penjuru keadaannya sama dan sama
sekali tidak tampak sinar sang surya yang menembus ke
dalam. Hatinya mulai ragu-ragu, tetapi akhirnya ia melanjutkan
juga langkahnya ke depan.
Cuma saja langkahnya pada saat ini sangat berhati-hati
sekali sembari bergerak maju sinar matanya tidak
meninggalkan keadaan di kanan kiri.
Kembali ia berjalan beberapa saat lamanya, di tengah
perjalanan kembali suara aneh itu sekali lagi berkumandang
keluar dan keadaannya seperti juga pada semula tidak
kekurangan sepatah kata pun.
Sejak semula Liem Tou sudah merasa kalau perkataan itu
tidak mungkin berasal dari suara manusia, ada juga
kemungkinan bahwa suara tersebut adalah suara dari
semacam burung, sehingga nyalinya semakin besar
langkahnya pun semakin dipercepat.
Hanya di dalam beberapa kali lompatan saja ia sudah jauh
di dalam lembah tersebut.
Saat ini dihadapannya secara samar-samar terasa ada
cahaya keperak-perakan yang berkelebat keluar bersamaan itu
pula di samping cahaya keperak perakan itu secara tiba-tiba
berkelebat sesosok bayangan hitam yang hanya di dalam
sekejap saja telah lenyap pula dari pandangan.
Tetapi dengan ketajaman dari pandangan mata Liem Tou ia
bisa membedakan kalau bayangan tersebut bukan lain adalah
bayangan manusia. "Siapa?" bentaknya secara mendadak. Tangan kanannya
yang sedang mencekal tali kerbau segera dilepaskan dan
tubuhnya laksana anak panah yang terlepas dari busurnya
meluncur ke arah depan. Kiranya ia bisa melihat cahaya keperak-perakan serta
bayangan hitam tadi dikarenakan lingkungan kabut tebal telah
tiba pada ujungnya. Dengan luncurannya ini maka tubuhnyapun segera lolos
keluar dari pengaruh kabut dan munculnya di dasar lembah.
Sebuah air terjun setinggi ratusan kaki sedang
memuntahkan airnya dengan amat dahsyat pada dinding
gunung di kedua sisinya merupakan sepasang dinding tebing
yang amat tinggi. Tempat itu amat sunyi dan sama sekali tak
terlihat sesosok bayangan manusia pun.
Dan tampaklah dua ekor burung beo berterbangan di atas
air terjun tersebut karena suara bentakan Liem Tou tadi.
"Liem Tou! kau pergi! kau pergi!" teriak salah seekor
burung tersebut. "Jangan takut! jangan takut! cepat masuk! cepat masuk!"
sambung yang lain. Melihat kecerdikan dari burung burung beo itu, Liem Tou
segera merasa kalau burung-burung itu tentu sudah
memperoleh didikan yang amat keras dari seseorang, karena
itu ia sama sekali tidak menggubrisnya.
Sembari matanya menyapu ke sekeliling lembah tersebut,
hatinya berpikir keras. "Ooo, suatu tempat persembunyian yang sangat bagus
sekali." Ketika teringat akan suara kentungan yang didengarnya
tadi, matanya segera dengan amat teliti memeriksa keadaan
di sana. Tampaklah di tengah muntahan air terjun tersebut
tertancaplah sebuah tabung bambu, salah satu ujungnya
tersayat jadi selembar bambu yang tipis kini telah melengkung
kena terjangan air atas itu
Tetapi kekuatan air sama sekali tidak dapat membuat
lembaran bambu itu melengkuug terus, begitu melengkung
bambu itu memental kembali dan menghantam dinding bukit,
sehingga suara tung... tung... tung... tadi itu segera
bermunculan karena benturan bambu yang memantul
menghantam dinding tersebut.
Melihat akan hal itu, Liem Tou jadi paham sehingga tak
terasa sudah tertawa. Walaupun begitu terhadap suara jeritan dan teriakan dari
burung burung beo itu hatinya masih ragu-ragu; pikirnya:
"Apa mungkin ada orang yang telah menduga
kedatanganku di sini?" Kecuali suhuku Thiat Sie Sianseng, ada
siapa lagi yang memiliki kepandaian ini" Dan apakah
maksudnya berbuat demikian" Sungguh aneh sekali perbuatan
ini!" Hatinya benar-benar kebingungan dibuatnya, pada saat
itulah kembali sinar matanya terbentur dengan beberapa kata
yang terukir di atas dinding batu.
"Tempat dikuburnya Liem Tou."
Beberapa huruf amat besar sekali dan memantulkan cahaya
terang dan ketika melihat tulisan tersebut, Liem Tou jadi amat
terperanjat, keringat dingin pun mulai mengucur keluar
dengan derasnya. Matanya terbelalak lebar-lebar sedang mulutnya melongolongo,
lama sekali pemuda itu tak dapat mengucapkan
sepatah katapun. "Bagaimana mungkin aku Liem Tou bisa dikuburkan disini?"
hatinya diam-diam menggerutu.
Mendadak ia teringat kembali dengan bayangan hitam yang
ditemui tadi, hatinya mulai merasa ragu-ragu dan curiga
karena dahulusi rajawali dari gunung Ay Lauw san, Sun Ci Si
pun sering menggunakan pakaian yang serba hitam.
Dengan sinar mata yang amat tajam Liem Tou mulai
menyapu sekeliling tempat itu untuk mencari bayangan hitam
tersebut. Pada saat itulah di sisi dinding tebing pemuda itu
menemukan sebuah rumah terbuat dari rumput kering, dan
pintunya terbuat dari bambu tapi tertutup rapat-rapat.
Buru-buru ia menggape ke arah kerbaunya, menanti sang
kerbau sudah berada di sisinya ia baru berseru memberi
perintah: "Gouw ko, hajar pintu tersebut."
Sang kerbau mendengus perlahan, kepalanya ditundukkan
kemudian dengan dahsyatnya menerjang pintu bambu
tersebut. Karena terjangan tersebut, kedua belah pintu itu segera
terhajar hancur berantakan.
Kini Liem Tou merasa amat terkejut ketika sinar matanya
dialihkan ke arah balik pintu.
Kiranya di dalam ruangan tersebut kecuali sebuah peti mati
hitam, sama sekali tidaklah nampak benda lainnya.
Liem Tou segera menggeserkan badannya ke depan dan
berhenti pada jarak lima kaki dan peti mati tersebut, kemudian
dengan sangat telitinya memperhatikan peti mati yang terbuka
separuh itu. Hal ini membuktikan kalau peti mati itu musih
kosong, hanya saja di atas peti mati itu terukirlah beberapa
kata yang sama: "Jenazah dari Liem Tou". Pada saat ini Liem
Tou benar-benar amat gusar, bilamana mengikuti sifatnya
pada setahun yang lalu, mungkin sekali ia pasti akan
menghajar hancur peti mati itu.
Tetapi setelah pikirannya berputar beberapa saat, ia
tersenyum pahit. Lama sekali Liem Tou berdiri di hadapan peti mati itu untuk
menanti; tetapi gerakan apa pun tidak kedengaran sehingga
hatinya pun mulai merasa tawar.
Tiba-tiba tubuhnya segera berputar dan bermaksud untuk
meninggalkan tempat tersebut, tetapi pada saat itulah
mendadak terdengar suara seorang perempuan
berkumandang keluar; "Liem Tou, ingat! Semuanya ini adalah suhumu yang
mengaturkan buat dirimu!"
Liem Tou yang mendengar suara itu berasal dari balik
tumbuhan rotan di atas dinding tebing dengan cepat putar
badannya menghadap ke sana. Saat ini hatinya benar-benar
merasa panas karena merasa dirinya dipermainkan.
Sebenarnya mengikuti nafsu di dalam hati kepingin sekali
menerjang ke arah sana tetapi terakhir ia masih bisa menahan
diri juga. "Siapa yang sedang berbicara dengan cayhe, harap
sebutkan nama besarmu!" serunya sambil menjura ke arah
dinding tersebut. "Soal ini kau tidak perlu tahu!" jawab perempuan itu
dengan amat tawar. "Setahun kemudian kau bakal
mengetahui sendiri asalkan saja kau jangan lupa tempat ini
benar-benar tempat kuburmu. Terhadap orang lain mungkin
kau tidak percaya tapi kesemuanya ini adalah jerih payah
suhumu Thiat Sie cianpwee selama tiga hari tiga malam. Kau
harus mempercayai perhitungan ini."
Liem Tou yang secara mendadak mendengar perkataan
tersebutsegera merasakan tubuhnya tergetar amat keras,
setelah menjerit tertahan ia lantas berseru:
"Apakah sungguh-sungguh ada kejadian ini" Kapan suhuku
tiba di tempat ini" Kalau memangnya kau tahu kalau Thiat Sie
Sianseng adalah suhu dari aku Liem Tou, maka pada tahun
yang lalu sewaktu aku angkat guru di gunung Cing shia ini,
tentunya kau pun hadir di sana bukan" Kenapa sekarang kau
tidak suka menemui diriku?"
"Soal ini adalah urusanku, yang jelas ini hari aku tidak ingin
menemui dirimu." Liem Tou tak dapat berbuat apa-apa lagi terhadap
perkataan perempuan itu, ia setengah percaya setengah tidak.
Setelah termenung sebentar akhirnya ia berpikir:
Bilamana suhu benar-benar mengetahui saat kematianku,
kenapa tidak sejak semula memberitahukan kepadaku"
Sebaliknya mempersiapkan sebuah peti mati dan diletakkan di
dalam lembah yang berkabut tebal ini" Bukankah kejadian ini
sukar untuk mempercayai?"?"
Berpikir akan hal ini Liem Tou segera gelengkan kepalanya.
"Urusan ini benar-benar membuat orang sukar untuk
percaya. Lalu tahukah kau orang saat ini suhuku ada dimana?"
katanya. "Aku mau pergi mencari dirinya dan menanyakan
apakah urusan ini sungguh sungguh atau tidak. Bilamana
sungguh-sungguh, aku segera akan berbaring di dalam peti
mati itu untuk menuggu saat kematian. Bolehkah kau orang
memberitahukan hal ini kepadaku?"
Mendadak perempuan iiu tertawa merdu.
"Liem Tou, kau jangan bersikap ketolol-tololan, ayo cepat
letakkan pedangmu itu ke dalam peti mati dan segera
meninggalkan tempat ini."
"Kenapa aku harus meninggalkan pedang ini" tanya sang
pemuda melengak. "Di kolong langit mana ada bakal temanten yang
menggendong pedang" Cepat pergi! Sejak semula kedua
orang calon isterimu sudah menanti kedatanganmu dengan
tidak sabar." Liem Tou yang mendengar perempuan itu mengetahui
seluruh urusannya bagaikan melihat jarinya sendiri, dalam hati
mulaimenaruh rasa curiga, dia mengerti kalau perempuan ini
tentu sangat mengenali dirinya. Cuma saja saat itu tak
terpikirkan olehnya siapakah sebenarnya perempuan itu.
Liem Tou yang mengetahui perempuan itu sama sekali
tidak bermaksud jahat terhadap dirnya terpaksa meloloskan
pedangnya dan balik ke sisi peti untuk meletakkan pedang itu
ke dalamnya" Sekeluarnya dari ruangan itu ia lantas meloncat naik ke
atas punggung kerbau dan merangkap tangannya mejura ke
arah dinding tersebut. "Cayhe akan melakukan petunjukmu, kalau memangnya
kau tidak suka menyebutkan namamu, tentunya suka
memberitahukan bukan nama tempat ini serta letaknya?"
"Tempat ini bernama Uh Kok atau lembah maut," jawab
perempuan tersebut. "Setahun empat musim selalu tertutup
oleh kabut yang sangat tebal, letaknya seratus lie di Timur
laut gunung Cing shia, asalkan kau dapat melihat sebuah
puncak bukit yang sangat runcing, itulah tempatnya.
Liem Tou mengingat ingat terus perkataan tersebut,
setelah mengucapkan terima kasih kepada perempuan
tersebut dengan melarikan kerbaunya ia meninggalsan lembah
kabut itu. Senja kembali menjelang, ia sama sekali tidak beristirahat
terus menjalankan kerbaunya perlahan-lahan, hatinya sedang
berpikir bilamana dirinya pasti mati, lalu apa gunanya kali ini
harus kembali ke gunung Cing Shia" kenapa harus
mendatangkan kerepotan bagi Enci Ie serta adik Wan"
Ketika gunung Cing Shia sudah muncul di hadapannya,


Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda itu mencari sebuah batu gunung untuk beristirahat,
tak terasa lagi ia sudah bersemedi dengan mengikuti ajaran
ilmu menenangkan hati "Ting Sim Lok", pikirannya segera
dikosongkan selang aliran hawa murni disalurkan dari pusar ke
seluruh tubuh; akhirnya semakin lama pikirannya semakin
bersih dan berada di dalam keadaan lupa diri.
Keesokan harinya dengan badan yang segar dan tenaga
baru, Liem Tou berjalan ke tepi sungai untuk membenahi
rambutnya yang kusut, ketika melihat pakaian yang
dikenakannya telah robek-robek semua; tak kuasa lagi ia
sudah bergumam; "Bilamana enci Ie serta adik Wan melihat rupaku yang
demikian dekil; entah bagaimana perasaannya?"
Tak terasa lagi ia sudah tertawa.
Tiba-tiba ia teringat kembali atas diri Boe Beng Tok su serta
Pouw Siauw Ling berdua, gumamnya kembali:
"Aku sudah menutup tangan di hadapan para jago Bu lim,
bilamana mereka datang mencari balas, biarlah aku tidak
menggubris mereka. Asalkan tindakan mereka keterlaluan, aku
rasa orang-orang di kolong langit pasti akan mewakili aku
untuk menyelesaikan urusan ini."
Berpikir akan hal ini, iapun lantas menuntun kerbaunya ke
dalam air untuk disikat punggungnya, setelah itu dengan
menunggang di atas punggung kerbau, pemuda itu baru
melanjutkan perjalanannya kembali untuk melewati tiga buah
rintangan bahaya menuju ke gunung Ha Mo san.
Dari tempat kejauhan dia sudah dapat melihat di tengah
seberang sungai kemarin telah berdiri berpuluh orang yang
menyambut kedatangannya. Orang yang berdiri paling depan bukan lain adalah si
telapak naga Lie Kian Poo vang telah menjabat sebagai Cung
cu Ie Hee Cung pada saat ini.
Di sisinya berdirilah si cangkul pualam Lie Sang sedang di
belakang orang itu bukan lain adalah jago-jago Bu lim
kenamaan. Pada saat ini Liem Tou mulai mencari suhunya Si Thiat Sie
poa di antara orang-orang itu tetapi kecuali si pengemis
pemabok serta si siucay buntung sama sekali tak nampak
bayangan tubuhnya itu. Hatinya jadi semakin tergetar keras, ia sama sekali tak
mengerti apa sebabnya Thiat Sie Sianseng tidak kelihatan.
Pada waktu itulah di antara orang-orang itu terdengarlah
salah seorang sudah berteriak keras:
"Liem Tou telah balik kembali ke perkampungan Ie Hee
Cung untuk menyelesaikan perkawinannya ini hari, setelah
melewati sungai kematian sebelum naik ke tebing maut harus
memperlihatkan jurus lihai agar kami bisa membuka mata
kami semua." Liem Tou segera alihkan pandangan matanya ke arah suara
tadi dan tampaklah orang yang baru saja berteriak itu bukan
lain adalah seorang hweesio muda.
Liem Tou sama sekali tidak kenal dengan orang itu, tetapi
dikarenakan ia berdiri di slsi Ciat Siauw Thaysu itu
ciangbunjien dari Siauw lim Pay maka hatinya lantas menduga
kalau hweesio itu tentunya anak murid Siauw lim Pay yang
mengikuti ciangbunjiennya.
Liem Tou sama sekali tidak memberikan jawaban atas
perkataan hweesio cilik itu, buru-buru ia meloncat turun dari
punggung kerbaunya, dan jatuhkan diri berlutut.
"Liem Tou menghunjuk hormat buat supek!" serunya
lantang. Dia berhenti sebentar untuk kemudian sambungrya lagi:
"Dengan mengikuti peraturan, setelah tiga tahun kini Liem
Tou minta ijin untuk kembali ke gunung, harap Cung cu suka
memberi ijin." "Kembalinya Liem Tou ke gunung setelah tiga tahun
mengembara di dalam Bu lim memang sesuai dengan
peraturan perkampungan,"sahut Lie Kian Poo si telapak naga
itu dengan suara lantang. "Cayhe pun tidak bisa menolak
tetapi di dalam tiga tahun ini kau secara diam-diam sudah
beberapa kali mencuri naik ke gunung, hal ini melanggar
peraturan dan harus dihukum."
Mendengar perkataan tersebut, Liem Tou merasa hatinya
bergidik dan pikirnya diam-diam:
"Apakah ia masih tetap tidak memperkenankan aku kembali
ke gunung" Kini aku adalah seorang manusia yang telah
mengunci tangan dan bila mana suruh aku melewati tiga
rintangan kembali, hal ini sungguh menyusahkan sekali."
Berpikir sampai di situ iapun lantas menjura ke arah Lie
Cungcu, "Liem Tou tahu kesalahan dan kini siap menerima
hukuman dari Cung cu."
"Ha... ha... ha... Liem Tou, kau tidak usah gupup setengah
mati," goda si telapak naga Lie Kian Poo sambil tertawa
terbahak-bahak. "Mengingat engkau masih ada memiliki
dendam sakit hati sehingga kau ingin mencuri kembali ke
perkampungan adalah suatu peristiwa yang terjadi karena
terpaksa, kau kini dengarlah baik baik?"
"Terima perintah!"
"Liem Tou!" seru Lie Kian poo melanjutkan kata-katanya:
"Asalkan kau bisa melewati ketiga buah rintangan ini maka
kau akan kami terima sebagai anggota perkampungan,
kedudukan cung cu akan aku serahkan padamu."
Buru-buru Liem Tou menjatuhkan diri berlutut di atas
tanah. "Perintah Cung cu aku tidak membantah tetapi
kedudukan Cung cu aku tidak berani untuk menerimanya."
"Liem Tou, ini pun termasuk peraturan dari perkampungan,
apakah kau berani melanggar?" bentak Lie Kian Poo dengan
gusar. "Tidak berani, tidak berani."
Waktu itulah si telapak naga Lie Kian Poo baru tertawa
terbahak-bahak; tangannya diulapkan, mendadak berpuluhpuluh
orang bersama-sama mengundurkan diri ke atas
jembatan pencabut nyawa. Liem Tou tahu semua orang itu lagi menanti dirinya
mengeluarkan ilmu meringankan tubuh yang paling lihay
untuk menyeberangi sungai tersebut, tak terasa lagi ia sudah
dongakkan kepalanya lalu tertawa.
Tetapi pada saat kepalanya didongakkan ke atas itulah
tiba-tiba matanya dapat menangkap sesosok bayangan hitam
berkelebat lenyap di atas purcak Ha Mo san, bersamaan itu
pula secara samar-samar tampak seekor burung rajawali
munculkan dirinya di tengah udara kemudian lenyap pula di
balik awan. Air muka Liem Tou segera berubah hebat, sepintas napsu
membunuhnya berkelebat di dalam benaknya.
Kini kecuali teringat akan perkataan dari si perempuan
tunggal kemarin malam, pemuda itu teringat pula akan
seseorang. Kedua orang itu ada perjanjian tiga tahun dengan dirinya,
dan peristiwa itupun terjadi sebelum dirinya mengunci tangan,
kini mereka berdua kembali munculkan dirinya untuk
melanggar janji, hal ini bagaimana mungkin tidak membuat
hatinya merasa sangat terperanjat"
Tetapi setelah pikirannya berputar kembali, hati pun jadi
lebih tenang. "Sungguh memalukan!" gumamnya diam-diam.
"Kini mereka berdua pun sudah menunjukkan dirinya tapi
kenapa aku tidak boleh turun tangan?"
Tak terasa lagi ia menarik napas dingin, sambil menghela
napas panjang, gumamnya lagi:
"Urusan sudah jadi begini, masih ada cara apa lagi?"
Dengan termangu-mangu ia memandang ke tepian
seberang, tampaklah berpuluh-puluh orang itu lagi
menantikan ia untuk menyeberangi ketiga rintangan tersebut.
Dia pun tahu setelah ketiga rintangan tersebut dilewati maka
semua orang tentu akan mengarak dirinya ke dalam ruangan
besar. Sekonyong konyong ... di samping telinganya
berkumandanglah suara seorang perempuan.
"Liem Tou, kau jangan pergi, dengarkanlah perkataanku,
kau jangan pergi, aku adalah Siauw Giok Cing!"
Setelah membedakan arahnya, Liem Tou lantas tahu kalau
suara tersebut berasal dari atas gunung Ha Mo san, kemarin
malam pemuda ini telah melihat dirinya sedang bertempur
dengan Boen Ing di tepian sungai karenanya setelah
mendengar perkataan tersebut ia sama sekali tidak jadi heran.
Setelah termenung beberapa saat lamanya, terakhir dia
pun menjawab dengan ilmu menyampaikan suara.
"Nona Cing, apa maksudmu datang ke gunung Cing Shia
ini" Dan kenapa aku tidak boleh pergi kesana?"
"Kau tidak usah kemari, disini banyak sekali orang yang
membawa maksud tidak baik khusus hendak mencari balas
terhadap dirimu. Terus terang aku beritahukan kepadamu,
Boen Ing serta Oei Pok pun sudah berdatangan semua.
Kelihatannya mereka berdua bukan lah musuh besarmu!
Agaknya Oei Poh sudah menaruh rasa menyesal sedang Boen
Ing pun tidak bakal mencelakai dirimu, karena dia
menginginkan yang hidup, tetapi... masih banyak sekali musuh
musuhmu yang aku tidak kenal, jika ditinjau dari wajahnya,
rata-rata mereka sangat buas dan kejam."
"Mereka kini bersembunyi dimana" Bagaimana mungkin
kau bisa mengetahuinya dengan begitu jelas?" tanya Liem
Tou. "Mereka bersembunyi di ruangan tengah, ada pula yang
telah menyamar dan bercampur baur dengan rakyat kampung.
Aku lihat lebih baik janganlah kau pergi!"
Bagaimanakah lihaynya Cing jie, Liem Tou sudah
mengetahuinya dengan amat jelas. Di dalam dunia kangouw
pada saat ini, orang yang bisa melawan dirinya boleh dikata
amat sedikit sekali. Kini, kalau ditinjau dari perkataan yang diperingatkan
olehnya, Liem Tou merasa keadaan memang sangat
berbahaya sekali, maka tak terasa lagi hatinya mulai goyah
kacau tak karuan. Ketika ia mendongakkan kembali kepalanya tampaklah
orang-orang yang berada di seberang sana telah lama
menanti, bahkan ada pula yang sudah menggape-gape ke
arahnya. Liem Tou yang melihat supeknya, si cangkul pualam Lie
Sang pun sedang menggape-gape ke arahnya, tak terasa lagi
ia menghela napas panjang.
"Supek . . supek!" batinnya, "Kau suruh aku berbuat
bagaimana baiknya?" Keadaan yang demikian bahaya dan
penuh diliputi nafsu membunuh, apakah masih belum kau
rasakan?" Pada saat Liem Tou sedang berpikir untuk mengambil
keputusan,kembali terdengar Cing jie mengirim suara:
"Jangan kau pergi! Lebih baik kau kembali ke lembah mati
hidup sana!" Mendengar perkataan tersebut air mukanya segera
berubah, karena secara tiba-tiba ia merasa peringatan dari
Cingjie ini ternyata terkandung maksud-maksud tertentu.
Ia merasa bilamana dia menerima ajakan tersebut, hal ini
benar-benar sangat memalukan sekali, bagaimana nanti
dirinya bisa bertanggung jawab di hadapan enci Ie serta adik
Wan-nya" Teringat akan hal tersebut, rasa murungnya kontan tersapu
lenyap dari benaknya, di tengah suara tertawa tergelaknya
yang amat nyaring ia meloncat naik ke atas punggung kerbau
kemudian teriaknya keras;
"Sungai kematian, tebing maut, jembatan pencabut
nyawa... haa... haa..."
Bersamaan ini pula ia menggerakkan tenaga murninya ke
seluruh tubuh kemudian menembusi tubuh sang kerbau.
Agaknya kerbau itu pun mengerti maksud hati dari
majikannya karena di tengah suara dengusan yang rendah,
empat kakinya menyepak ke belakang lalu menyusup ke
tengah sungai. Orang-orang yang ada di seberang sana melihat Liem Tou
hendak menyeberang tiga buah rintangan tersebut dengan
menunggang kerbau, seketika itu juga suasana jadi gempar.
Mereka sama sekali tak percaya kalau kerbau tersebut bisa
memiliki kepandaian yang demikian dahsyatnya sehingga
dapat melewati ketiga rintangan tersebut tanpa menempel
pada permukaan tanah. Tetapi peristiwa itupun terjadi di luar dugaan mereka,
karena di dalam anggapan mereka kerbau itu sewaktu tiba di
air sungai tentu akan menggunakan ilmu di air untuk
berenang ke seberang dan hal ini tentu tidak mengherankan.
Siapa sangka, begitu kerbau tersebut terjun ke permukaan
sungai keempat kakinya laksana terbang telah melayang di
atas permukaan air dengan begitu tenang dan gesitnya di atas
sungai sama sekali tak tampak percikan air barang sedikit pun.
Peristiwa yang berbeda dari keadaan pada umumnya ini
kontan membuat para jago dibuat berdiri termangu-mangu
dengan mata terbelalak dan mulut melongo, beberapa saat
kemudian suara teriakan serta pujian baru meledak membelah
bumi. Di tengah suara tepukan tangan serta pujian yang amat
gemuruh itulah Liem Tou dengan menunggang kerbaunya
telah berhasil melewati sungai kematian diikuti kemudian
dengan meloncat naik ke atas tebing maut.
Gerakannya amat gesit laksana burung walet, begitu
melayang ke tanah pun tanpa mengeluarkan sedikit suarapun
sehingga hal Ini benar-benar luar biasa sekali.
Kini tinggal jambatan Pencabut nyawa saja yang belum
dilewati. Liem Tou yang kena disoraki dengan begitu meriah,
rasa ingin pamer lantas saja meliputi hatinya, "Heee... heee...
biarlah aku perlihatkan sedikit kelihayanku di hadapan kalian,"
pikirnya di hati. Mendadak sepasang tangannya ditekan ke atas punggung
kerbaunya, kemudian secara diam-diam mengalirkan hawa
murninya sesuai dengan cara pengerahan tenaga menurut
kitab pusaka "To Kong Pit Liok."
"Bangun!" bentaknya keras.
Semua orang seketika itu sedang memikirkan hendak
menggunakan cara apa Liem Tou menyeberangi jembatan
pencabut nyawa itu, pada waktu itulah sekonyong-konyong
sang kerbau menyodorkan badannya ke tengah udara dan
melayang sejauh dua puluh kaki.


Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bilamana dibicarakan memang sungguh sukar dipercaya,
ketika di tengah udara keempat kaki kerbau itu pun
mendayung keras sehingga sang kerbau kembali berkelebat
sejauh dua kaki lagi. Para jago hampir-hampir tidak mau mempercayai pada
mata mereka sendiri, karena ada yang mulai mengucak-ucak
matanya, ada pula yang mengira pandangannya jadi kabur.
Karena memang Liem Tou ada maksud hendak
memperlihatkan kelihaiannya, maka di tengah perjalanan
mendadak sepasang tangan nya direntangkan untuk
memunahkan tenaga pada tubuh sang kerbau sehingga tak
kuasa lagi tubuh mereka berdua bersama-sama meluncur
turun ke bawah jembatan pencabut nyawa.
Daya luncur amat cepat sekali, hanya dalam sekejap saja
mereka telah jatuh sedalam puluhan kaki ke bawah.
Semua orang yang melihat perubahan terjadi begitu cepat
jadi pada menjerit kaget, ada pula yang siap-siap turun
tangan memberi pertolongan, siapa sangka justeru Liem Tou
sengaja untuk berdemonstrasi.
Tubuhnya mencelat turun dari punggung sang kerbau dan
bersembunyi di bawah lambung kerbaunya, sepasang
tangannya menekan ke perut kerbau itu lalu mengangkatnya
ke atas. Bersamaan itu pula telapak kirinya sedikit menyapu kaki
belakang kerbau itu lalu didorongkan keluar.
Di tengah suara dengusan suara yang sangat berat kerbau
itu laksana seekor macan yang baru saja turun dari gunung
menubruk ke tepian seberang.
Saat inilah hati semua orang baru merasa lega dan pada
menghembuskan napas lega. Di Waktu itulah Liem Tou sambil
menuntun kerbaunya bersama-sama jatuh ke tepiau diiringi
suara pujian yang riuh rendah.
Si telapak naga Lie Kian Poo dengan langkah yang tegak,
buru-buru menyambut kedatangannya.
"Akhirnya kau kembali juga ke gunung, aku atas nama
rakyat perkampungan Ie Hee san Cung menyambut
kadatangaamu." Lie Loo jie pun maju selangkan ke depan dan memeluk
sepasang pundak si pemuda dengan penuh mesra.
Tiba tiba Liem Tou mengundurkan dirinya satu langkah ke
belakang kemudian bertanya; "Supek. kenapa susiok tidak
kelihatan?" "Susiok yang mana?" tanya Lie Loo jie melengak.
"Bukankah Sisiucay buntung serta pengemis pemabok ada di
sini?" Liem Tou segera menggeleng. "Yang aku maksudkan
adalah Hong susiok; kemarin malam aku masih bertemu muka
dengan dirinya, dia bilang malam itu juga hendak berangkat
kemari untuk bertemu dengan supek; bagaimana mungkin dia
orang belum tiba di sini?"
"Dia sama sekali tidak datang," sahut Lie Loo jie keheranheranan.
"Akupun sedang memikirkan jejaknya! Bilamana dia
memang sudah tiba di gunung Cing Shia, hal ini jauh lebih
baik lagi." Liem Tou yang mendengar si perempuan tunggal Touw
Hong belum juga tiba di sana, wajahnya yang semula tenang
dengan secara tiba-tiba diliputi kemurungan.
Lie Loo jie yang melihat kejadian ini segera bertanya:
"Sutit!! Jika ditinjau dari wajahmu, agaknya kau ada pikiran
di hati; ini hari adalah hari baik bagimu, Ie jie serta Wan jie
pun sedang menanti kedatanganmu; sebetulnya kau ada
urusan apa.. ?" Liem Tou kembali menggeleng.
"Supek! Kenapa suhuku juga tidak kelihatan muncul di sini .
. . ?" balik tanyanya.
Tampak Lie Leo jie termenung sebentar, akhirnya ia
menyahut dengan suara rendah.
"Jika dibicarakan sungguh aneh sekali; selama beberapa
hari ini wajah suhumu selalu murung dan bersedih hati. Dan
sejak kemarin malam ia duduk bersila di depan ruangan Chie
Ing Tong dan memukul pulang pergi biji-biji caturnya tanpa
berhenti, jikalau ditanyai maka ia hanya menggeleng saja
tanpa menjawab!!" "Aaaakh . . . !" seru Liem Tou tertahan, paras mukanya
seketika itu juga berubah jadi pucat pasi. "Apakah selama ini
tak sepatah kata pun yang diucapkan?"
Mendadak sepasang mata Lie Loo jie berkilat, lalu
mengangguk. "Ada kalanya ia membuka suara, hanya saja yang
diucapkan terbatas pada tata kata "Nasib! Nasib! Nasib!" siapa
pun juga tidak tahu apa artinya."
"Nasib! nasib!" gumam pemuda itu beberapa saat lamanya.
Mendadak dengan suara keras teriaknya:
"Supek, Liem Tou hanya membawa bencana saja, aku tidak
ingin kawin!" Teriakan dari Liem Tou yang secara tiba-tiba ini seketika itu
juga membuat Lie Loo-jie jadi sangat terkejut, ia tidak
menanyai terlebih dulu, sebab dari perkataan sang pemuda
sebaliknya malah menoleh ke arah puluhan orang jago kang
ouw yang menyambut kedatangan Liem Tou itu.
Dan ketiga itu mereka dengan pandangan terperanjat lagi
memandangi pemuda tersebut.
Si telapak naga Lie Kian Poo yang melihat sikap Lie Loo jie
amat kikuk mendadak maju dua langkah ke depan dan
mencekal pergelangan tangan Liem Tou erat-erat, kemudian
menariknya ke samping. "Loo jie, bagaimanapun juga kau masih muda, bagaimana
mungkin di hadapan orang banyak bicara begitu?" tegurnya
dengan suara rendah. "Bilamana kau bersikap demikian,
bukankah memaksa supekmu tidak sanggup untuk turun dari
punggung kerbau" Yang kau maksudkan sebagai bencana itu
apa?" Liem Tou yang melihat beberapa perkataannya tadi segera
menimbulkan kegemparan bagi semua jago, hatinya
menyesal.Sebetulnya orang-orang itu tidak mengetahui
bagaimanakah tegangnya suasana pada saat ini, karenanya
sikap mereka jadi kaget. Sebaliknya Liem Tou sudah mengetahui hal tersebut
dengan jelas sekali, sudah tahu bakal celaka bilamana
diteruskan dan sama sekali tidak mendatangkan kebaikan buat
dirinya, apalagi terhadap Lie Loo jie, Lie Siauw Ie serta si
gadis cantik pengangon kambing dan juga para jago-jago
yang menghadiri perkawinan itu pun tidak ada kebaikannya!
Sehingga karena satu persoalan yang kecil dapat berubah jadi
peristiwa yang nengerikan, bukankah dengan demikian Liem
Tou akan menjadi seorang manusia yang sangat berdosa?"
Dengan termangu-mangu ia memandang ke arah si telapak
naga Lie Kian Poo, sedang di dalam hati ia berpikir:
"Bagaimana aku orang bisa memberitahukan keadaan yang
sesungguhnya dari perkampungan Ie Hee San Cung ini"
Bilamana aku beritahu pada saat ini merekapun belum tentu
suka mempercayai!" Mendadak di dalam benaknya berkelebat kembali
pemandangan yang dilihatnya kemarin malam sewaktu ada di
dalam lembah kabut, tak kuasa lagi pemuda itu jadi menghela
napas panjang. "Peristiwa ini sudah ditentukan oleh Thian, dan tidak
mungkin bisa ditentang dengan tenaga manusia. Karena itulah
yang dinamakan Nasib! . . . " pikirnya di hati.
"Urusan ini pun sudah berada di dalam perhitungan suhu,
kalau memangnya demikian kenapa aku Liem Tou harus
menentang nasib?""
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya ia menarik napas
panjang untuk menenangkan hatinya.
Mendadak ia jatuhkan diri berlutut di hadapan si telapak
naga Lie Kian poo, ujarnya:
"Karena salah berbicara, Boanpwee telah membuat dosa,
harap Lie cung cu suka mengampuni dosa-dosa tersebut!"
Setelah menjura ia bungkam diri dan menyingkir ke
samping. Tetapi saat itulah rasa berdesir mulai berkecamuk di
hatinya, seluruh tubuhnya gemetar amat keras, masih untung
saja tenaga dalamnya amat lihai sehingga sekali tekan hatinya
sudah dapat tenang kembali.
Ketika itulah sekonyong-konyong dari dalam perkampungan
berkumandang datang suara suitan yang amat keras sekali.
Semua orang yang mendengar suara itu pada saling
bertukar pandangan dengan kebingungan, karena mereka pun
tidak mengetahui siapakah yang telah bersuit panjang itu.
Tetapi Lie Loo jie yang mendengar suara tersebut lantas
menoleh ke arah Liem Tou dan tertawa.
"Suhumu sedang memanggil kedua orang susiokmu!"
katanya. Perkataan itu sedikitpun tidak salah, sebentar kemudian
terdengarlah si siucay buntung serta si pengemis pemabuk
membentak berbareng: "Liem Tou! Sebentar kemudian kau bakal jadi pengantin,
maka itu jalanlah perlahan-lahan, kami dua orang susiokmu
yang jelek ini biar berangkat dulu; sampai waktunya kau
jangan lupa untuk hormati kami berdua dengan beberapa
cawan arak!" Tidak menanti jawaban dari Liem Tou lagi, tubuhnya sedikit
merendah lalu menggenjotkan tubuhnya ke tengah udara dan
tampaklah dua gulung asap berkelebat ke depan hanya
sebentar kemudian mereka telah berlari menuju ke dalam
perkampungan. Di dalam benak Liem Tou segera terlintas satu ingatan.
"Susiok, tunggu sebentar!" tiba-tiba teriaknya. Sesosok
bayangan hijau dengan cepatnya berkelebat ke depan,
sebelum para jago mengetahui dengan cara apa ia bergerak,
tubuhnya tahu-tahu sudah ada pada beberapa kaki jauhnya
untuk kemudian bersama-sama dengan Si siucay buntung
serta si pengemis pemabok menuju ke dalam perkampungan.
Menanti hampir tiba di kampung tersebut maka dari
kejauhan terlihatlah ruangan Ci-Ing Tong sudah dihiasi
dengan lampu dan kertas warna-warni yang sangat indah.
Pintu ruangan Ci Ing Tong terpentang lebar-lebar di atas
liutai terteralah beratus-ratus kaki permadani merah, hal ini
menambah keindahan serta kesemerbakan tempat tersebut.
Di kedua belah sisi ruangan itu berkerumun beribu-ribu
orang rakyat kampung yang sedang menantikan
berlangsungnya perkawinan yang paling meriah tersebut.
Tetapi yang paling aneh adalah lima langkah di balik pintu
ruangan Ci Ing Tong, duduk lah Thiat Sie Sianseng dalam
keadaan bersedakep, sepasang matanya terpejam rapat-rapat.
Sebaliknya sie poa itu, terletak di pangkuannya. Kiranya saat
ini ia telah berhenti menghitung.
Ketika Liem Tou bersama-sama dengan si siucay buntung
serta si pengemis pemabok tiba di hadapan ruangan Ci Ing
Tong itu, mendadak rakyat kampung yang ada di kedua belah
samping berseru dengan gegap gempita untuk menyampaikan
selamat. Sambil tersenyum pemuda itu buru-buru membalas hormat
kemudian tubuhnya herkelebat dan jatuhkan dirinya berlutut
di hadapan suhunya Thiat Sie Sianseng.
"Tecu Liem Tou menghunjuk hormat buat suhu Orang tua!"
serunya. Siucay buntung serta pengemis pemabok yang tiba di
sisi Thiat Sie sianseng pun bersama-sama bertanya dengan
suara yang amat keras. "Hey sie poa rongsokan! Ada urusan apa sehingga kau
orang memanggil dengan nada begitu cemas" Apakah sie poa
rongsokanmu itu kembali menemukan berita yang
mengejutkan manusia dan mengerikan setan-setan?"
Dengan perlahan Thiat Sie sianseng membuka matanya,
saat itu sepasang matanya sudah berubah jadi merah padam
bahkan memandang ke arah Liem Tou dengan penuh cucuran
air mata. Melihat kejadian itu Liem Tou semakin terkejut lagi.
"Suhu, kau kenapa?" tanyanya dengan penuh kesedihan.
Terlihatlah Thiat Sie sianseng hanya menggeleng,
kemudian menghela napas panjang.
"Angin gelap bertiup dari empat penjuru dan sinar lilin
berubah jadi asap yang padam! Potongan pedang adalah sisa
magrib, kesedihan membuat air mata serta darah bercucuran.
Siapa yang bisa membebaskan diri dari kesusahan ini?"
gumamnya seorang diri. Gunung lembah laksana bayangan,
pepohonan lebat bagaikan mega, mereka saling bertumpuk
bagaikan kalap, menghadap ke langit menangis tersedu-sedu
... dua satu turun lima, bertemu dua masuk satu. Cahaya
terang Tionggoan diliputi dengan hawa pedang, yang
tertinggal hanyalah jejak sang kerbau."
Liem Tou yang mendengar itu pada saat ini ia bergumam
membaca syair sehingga teringat pula perkataan dari Thiat Si
sianseng tempo hari yang mengatakan dirinya bakal menemui
kesusahan, tak terasa lagi hatinya semakin bergidik.
"Suhu, suhu . . . ! Bilamana demikian adanya apakah
kesusahan tecu telah hampir tiba?" tanyanya berulang kali.
Jilid 41 : Serbuan musuh di hari perkawinan
THIAT SIE sianseng sama sekali tidak menjawab sebaliknya
dengan perlahan ia bangun berdiri. Sedang biji matanya
berputar dan melirik sekejap kearah Liem Tou kemudian
kembali menghela napas. Si pengemis pemabok yang berada disampingnya saat ini
tak tahan lagi untuk bersabar. Tiba-tiba bentakrya keras ;
"Hey sie poa rongsokanmu sebetulnya telah mendapatkan
kesimpulan apa " cepat katakanlah pada muridmu ! Bilamana
aku yang mempunyai murid seperti dia sekalipun minta
nyawaku juga saya berikan kepadanya."
Thiat Sie sianseng tidak jadi tergerak hatinya, tapi dengan
serius. dia maju dua langkah kedepan lalu menoleh dan
memandang kembali diri Liem Tou, agaknya dalam hati ia
merasa amat sedih sakali.
Sekonyong-konyong Liem Tou teringat kembali akan
kejadian yang dialaminya sewaktu berada dilembah kabut
dimana ia melihat tulisan yang terukir diatas dinding tebing
serta tutup peti mati, tanpa berpikir panjang lagi segera
katanya : "Suhu... suhu !" apakah tecu benar-benar hendak mati?".
Mendengar perkataan itu, Thiat Sie sianseng jadi amat
terperanjat sekali; sepasang matanya terbelalak lebar-lebar


Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan memandang.kearah pemuda tersebut dengan pandangan
tajam. "Kau sudah pergi kelembah kabut ?" tanyanya.
Liem Tou pun mengangguk, sedang ia bermaksud untuk
menceritakan kisahnya dimana tanpa sengaja dirinya sudah
memasuki lembah kabut dan menemui apa yang dilihatnya
didalam lembah tersebut, entah karena apa tidak terlihatlah
satu senyuman terlintas menghiasi bibir seorang tua itu.
"Muridku tidak usah berkata lagi aku sudah tahu," ujarnya.
Sebentar kemudian senyuman itupun telah lenyap kembali,
tanyanya lagi . "Muridku, aku menghitung diriku sewaktu tiba di gunung
Heng san telah memperoleh pengalanan yang aneh, apakah
urusan ini sungguh-sungguh akan terjadi ?"
Liem Tou yang mendengar Thiat Sie sianseng mengungkat
peristiwa yang terjadi di gunung Heng san dimana ia sudah
bertemu dengan Cing jie yang berhati polos lincah dan sangat
romantis itu tak kuasa lagi wajahnya berubah memerah.
Tetapi ketika dipikirkan yang dimaksudkan sebagai
pertemuan aneh oleh Thiat Sie sianseng ia jadi bingung
hampir hampir saja nyawanya akan lenyap bagaimana
mungkin hal ini dikatakan sebagai pertemuan apa yang kau
maksudkan " karena teecu benar-benar tidak mengerti,"
ujarnya kemudian. Selesai berkata dengan mata terbelalak lebar-lebar ia
memandang kearah Tiat Sie sianseng dan menanti
jawabannya. Tiat Sie sianseng yang melihat Liem Tou tak dapat
menjawab pertanyaannya, selintas rasa cemas serta kuatir
berkelebat diatas wajahnya.
"Muridku, urusan ini sangat penting kau tidak boleh lupa !"
serunya kembali, "Urusan ini pun aku tidak bisa membicarakan
kepadamu rahasia langit tak boleh bocor karena dirimu sama
sekali tak ada gunanya; ingat ! ingat ! semua peristiwa yang
dialami oleh manusia telah ditetapkan oleh Thian. bilamana
kau tak berangkat ke gunung Heng-san, maka ini hari sukar
bagimu untuk meloloskan diri"."
Perkataan selanjutnya tidak sampai dibicarakan tetapi
dengan kecerdikan Liem Tou ia sudah mengetahui kalau
perkataan tersebut sama sekali tak ada keuntungannya bagi
dirinya karena itu buru-buru sambungnya :
"Petuah serta peringatan dari suhu, LiemTou tidak akan
melupakannya, dikemudian hari mungkin bisa mengingatnya
kembali." Dengan perlahan Thiat Sie sianseng mengangguk lalu
termenung berpikir sebentar; mendadak wajahnya jadi sedih,
air matanya kembali bercucuran membasahi kelopak matanya.
Liem Tou jadi terperanjat dibuatnya, baru saja ia
bermaksud untuk menanyakan sebab-sebabnya terlihatlah
Thiat Sie sianseng dengan wajah keren dan serius telah
bertanya kembali: "Muridku, tentunya kau masih ingat dengan kitab pusaka
yang paling aneh dikolong langit pada saat ini, Toa Loo Cin
Keng bukan ?"?"
Mimpipun Liem ,Tou tidak pernah menyangka kalau Thiat
Sie sianseng tanpa sebab bisa menanyakan persoalan ini.
Kitab pusaka "Toa Loo Cin Keng" adalah kitab pusaka milik
supeknya Lie Loo jie, buat apa dia menanyakan persoalan ini"
Setelah berpikir sebentar, ia baru menjawab:
"Toa Loo Cin Keng merupakan benda pusaka aliran Toen Si
pay dan menjadi milik supek. Bagaimana mungkin tecu bisa
melupakannya"."
"Bagus sekali! Kalau kau memang masih ingat itulah amat
bagus" kata Thiat sie sianseng selanjutnya. Ingat ilmu silat
aliran ini sekalipun tidak bisa dibandingkan dengan kitab
pusaka To Kong Pit Liok", tetapi cara berlatih tenaga. dalam
melebihi cara berlatih tenaga dalam menurut kitab pusaka "To
Kong Pit Liok" ditambah lagi dengan perubahan jurusnya jauh
lebih hebat kitab pusaka Toa Loo Cin Keng ini."
Liem Tou tidak mengetahui apakah maksud dari perkataan
suhunya ini terpaksa rnengiyakan saja.
"Baiklah aku dengan kedua orang susiokmu akan berangkat
terlebih dulu" ujar Thiat sie Sianseng lagi. "lngat kau sewaktu
menemui Iagi kitab pusaka "Toa Loa Cin Keng" saat itu pula
kau bertemu muka kembali dengan diriku. Ingat! Ingat !"
Liem Tou yang mendengar Thiat Sie sianseng beserta
susiok-susioknya sisiucay buntung serta sipengemis pemabok
hendak meninggalkan tempat itu, hatinya segera tergetar
amat keras. "Suhu !" serunya dengan sedih. "Kenapa pada saat ini kau
hendak pergi meninggalkan kami ?" Apakah suhu tidak tahu
kalau tecu pada ini hari ".."
Berbicara sampai disitu Liem Tou tak kuasa melanjutkan
kembali, buru-buru Thiat Sie sianseng menghibur.
"Muridku, kau tidak usah bersedih hati ! Suhumu bukannya
tidak ingin mengikuti perayaan perkawinanmu ini, hanya saja
urusan terlalu mendesak, salah jalan setindak saja, pasti bakal
mendapatkan penyesalan dikemudian hari; apalagi aku tinggal
disini pun tiada gunanya, Muridku ! Tentunya kau mengerti
maksud dari perkataan suhunmu ini bukan ?"
"Liem Tou hanya setengah mengerti dan setengah tidak,
pikirannya teringat kembali sebentar lagi bakal menemui
musuh tangguh, bukankah lebih banyak orang, kekuatannya
semakin besar " Kenapa tidak ada gunanya ?"
Berpikir akan hal ini biji rnatanya lantas berputar baru saja
ia bermaksud untuk berbicara siapa tahu Thiat Sie Sianseng
jauh lebih cepat dari padanya. Buru-buru ia goyangkan
tangannya. "Muridku kau tak usah berbicara lagi," katanya. "Maksud
hatimu aku sudah memahaminya"."
Mandadak ia ganti bahan pembicaraan, ujarnya mendadak
: "Ooow yaaa , Hampir-hampir saja aku melupakan satu
urusan. Apakah kau masih mempunyai seorang susiok ?"
Liem Tou yang mendengar pertanyaan itu kontan saja
teringat olehnya akan si perempuan tunggal Touw Hong buruburu
sahutnya dengan camas. "Benar ! Dia bukan lain adalah si perempuan tunggal Touw
Hong yang pernah suhu temui tempo hari. Dan baru saja
kemarin malam kami bertemu muka !"
"Ada kemungkinan pada saat ini dia sudah berada diujung
langit karena aku hanya bisa rnenghitung dia berada diujung
langit tempat mana yang sebenarnya aku sendiri juga tidak
tahu." Hati kecil Liem Tou segera terasa seperti dipukul dengan
martil besar, lama sekali ia berdiam termangu-mangu tak
sanggup untuk mengucapkan sepatah katapun.
Dan dengan kesempatan itulah Thiat Sie sianseng sisiucay
buntung serta sipengemis pemabok telah pergi tujuh delapan
langkah dari dirinya. Liem Tou yang berdiri termangu mangu di sana seketika itu
juga merasakan darah panas bergolak didalam dadanya, ia
tidak mengerti bagaimanakah rasanya pada saat itu.
Mendadak selintas napsu mernbunuh berkelebat diatas
wajahnya, hal ini membuat seluruh tubuhnya gemetar dengan
amat keras sekali . "Suhu !" teriaknya tiba-tiba.
Suara tertahan ini terasa bernadakan sedih yang membawa
kekerasan tanpa ia sadari napsu membunuh yang terlintas
dihatinyapun sudah disalurkan keluar.
Sisiucay buntung serta si pengemis pemabok yang merasa
wajah Liem Tou sangat aneh tak kuasa lagi pada menjerit
kaget dan menoleh kearahnya.
Sebaliknya Thiat Sie sianseng tetap meIanjutkan
Iangkahnya kedepan tanpa menoleh barang sedikitpun, baru
saja suara jeritan kaget dari sisiucay buntung serta pengemis
pemabok sirap dari udara mendadak tubuhnya yang gemuk
pendek berputar ditengah udara laksana putaran angin
taupan, ujung kakinya memutar permukaan tanah lalu
melayang ke hadapan Liem Tou.
Tanpa membedakan hijau atau merah lagi tangannya
melayang memerseni beberapa tamparan diatas pipi sang
pemuda. "Plaak ploook . . plook !" suara nyaring segera bergema
memenuhi angkasa. Seketika itu juga pipi Liem Tou jadi merah membengkak
oleh tamparan yang amat keras.
"Liem Tou !" bentaknya dengan suara yang amat keras.
"Masih ingatkah kau dengan kata-kata sumpah yang kau
ucapkan sewaktu mengunci telapak tanganmu" bilamana ini
hari mengumbar napsumu untuk membunuh maka seluruhnya
akan habis sudah, Liem Tou, ingat bagaimanapun juga ini hari
kau harus bersabar."
Berbicara sampai disini, pada akhirnya Thiat Sie sianseng
merasa tenggorokannya seperti tersumbat, tak tertahan lagi
isak tangis terdengar keluar dari mulutnya.
Dengan sabar dan penuh kasih la mambelai pipi pemuda
yang masih membengkak itu.
Terhadap Thiat Sie sianseng suhunya ini Liem Tou menaruh
rasa hormat bagaikan dewa, maka buru-buru ia menundukkan
kepalanya dan mohon ampun.
"Tecu tidak patut berkata demikian sehingga hampirhampir
melanggar kata-kata sumpah, tecu mengucapkan
terima kasih atas budi kebaikan suhu," serunya.
Waktu bicara sampai disitu tiba-tiba dari sisi tubuhnya
terasa sambaran angin berlalu buru-buru ia mendongakkan
kepalanya, Tampaklah saat itu Thiat Sie sianseng si-siucay serta
sipengernis pemabok telah pergi jauh dan kebetulan bertemu
muka dengan para jago yang sedang menuju kedalam
perkampungan. Lie Loo jie yang melihat mereka bertiga buru-buru hendak
meninggalkan tempat itu, agaknya di dalam hati merasa amat,
terkejut bercampur keheranan, maka ia buru-buru menahan
mereka untuk tetap tinggal disana.
Bagi sisiucay buntung serta si pengemis pemabok masih
tidak mengapa, tetapi Thiat Sie sianseng sebaliknya kukuh
hendak berlalu dari sana.
Lie Loo jie yang melihat sikapnya yang kukuh itu hatinya
jadi tidak senang, tetapi ia, pun tidak berhasil menahan
mereka, karena terpaksa si orang tua itu melepaskan mereka
bertiga untuk berlalu dari sana.
Diatas mulut sisiucay buntung serta si pengemis pemabok
sama sekali tidak menaruh hormat terhadap Thiat Sie
siangseng, padahal sebetulnya dalam hati mereka sangat
menghormati dirinya mereka yang mengetahui kalau urusan
ini tentu penting sekali sehingga membuat Thiat Sie siarseng
begitu tenang oleh karena itu dengan hati yang sabar
diikutinya saja kernana sigemuk pendek itu bendak pergi.
Lie Loo-jie pun tidak mengetahui diantara Liem Tou, serta
Thiat Sie sianseng bertiga sudah terjadi apa dengan disertai
Liong ciang Lie Kilan Poo buru-buru mereka berjalan menuju
kehadapan Liem Tou. Terlihat oleh mereka pada saat itu Liem Tou sedang berdiri
termangu-mangu tanpa bergerak sedikitpun.
Suasana diluar ruangan Ci Ing Tong itu pun seketika itu
juga jadi sunyi senyap mereka pada mengalihkan
pandangannya kearah pemuda tersebut.
Lie Loo jie yang melihat sikap Liem Tou sedikit agak aneh
dengan menekan rasa ketidak senangan dihatinya ia bertanya
dengan suara yang sangat halus:
"Sutit kenapa suhu serta susiokmu pergi semua " Apakah
kau menaruh rasa tidak hormat terhadap mereka ?"
Bagaikan baru saja terbangun dari impian, buru-buru
pemuda itu menggeleng. "Sutit sama sekali tidak menaruh rasa tidak hormat
terhadap suhu serta susiok sekalian, hanya saja mereka ada
urusan penting yang harus cepat-cepat meninggalkan tempat
ini." Si telapak naga Lie Kian Poo yang melihat disana tak ada
urusan lagi, sedang kepergian dari Thiat Sie sianseng
sekalipun tidak mungkin bisa dikecam kembali, segera
menoleh kearah Lie Loo jie dan katanya:
"Ini hari adalah hari bagus, cianpwee lebih baik
mengundang para tetamu untuk memasuki meja perjamuan.
Biarlah aku menemani Liem Tou untuk masuk kedalam
perkampungan berganti pakaian."
Lie Loo jie segera mengangguk kepada Liam Tou ujarnya:
"Enci le serta adik Wan mu sudah ada setahun lamanya
menantikan ketanganmu cepatlah kau mengikuti Lie Kian Poo
untuk berdandan dan segera melangsungkan perkawinan !"
Selesai berkata ia lantas puter badan dan menuju kearah
para tamu. "Supek !" Tiba-tiba Liem Tou berseru sewaktu dilihatnya
orang tua itu hendak berjalan pergi.
Saar ini hatinya benar-benar merasa amat tegang dan dia
tahu dengan kepergiannya ini maka kesempatan baginya
untuk, bercakap-cakap pun harus menanti upacara
perkawinan selesai. Lie Loo jie dengan perlahan putar badannya, tetapi sewaktu
dilihatnya wajah pemuda itu berubah pucat-pasi dan sikapnya
sangat aneh alisnya segera dikerutkan rapat-rapat.
"Sutit ! Kau masih ada urusan apalagi?" tanyanya.
Liem Tou ragu-ragu sebentar, akhirnya ia menjawab :
"Supek !, Sewaktu diadakannya upacara perkawinan nanti
janganlah lupa untuk menggembol senjata dibadan. Bahkan
suruh juga enci Ie serta adik Wan pada menggemtol senjata
tajam." Lie Loo jie yang mendengar perkataan tersebut jadi
keberanan dibuatnya. "Sutit ! Apakah maksud dari perkataanmu itu?" tanyanya.
"Dikolong langit mana ada temanten yang membawa senjata
tajam untuk mengadakan upacara perkawinan" Hal ini akan
dijadikan bahan geguyon bagi orang-orang dikolong langit
nanti." "Supek, kau tidak tahu?" seru sang pemuda sambil
menggeleng dengan sedihnya.
Baru saja ia hendak menceritakan kisah munculnya dan
tersebarnya musuh-musuh tangguh disekeliling gunung Ha Mo
san ini, mendadak terdengar para rakyat kampung Ie Hee San


Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cung yang telah berdiri disebelah sisi ruangan Cie lng Tong
sudah pada berteriak keras:
"Liem Tou! Liem Tou ! Saat hari bagus hampir tiba,
cepatlah berganti pakaian dan siap-siap untuk menjalankan
upacara perkawinan diruang tengah".
Si "Liong clang" Lie Kian Poo pun merasa hatinya rada
cemas, buru-buru la menarik tangan sang pemuda untuk
diajak berlalu dari situ.
Liem Tou yang melihat akan hal tersebut baru tahu bahwa
nasib tidak bakal dirintangi dengan kekuatan manusia, ia
menghela napas panjang dan tidak terbicara lagi:
Dengan mengikuti Lie Kian Poo pemuda itu berjalan masuk
kedalam sebuah ruangan untuk ganti dengan pakaian yang
sudah dipersiapkan itu. Tidak lama kemudian dari tengah ruangan Ce Ing Tong
mulai bergema suara tambur serta terompet yang dibunyikan
ramai untuk mengiringi masuknya sang pengantin kedalam
ruangan untuk menjalankan upacara.
Buru-buru Lie Kian Poo menyampaikan beberapa patah
kata ,tentang tata cara diruangan tengah nanti, kemudian
baru menarik tangan Liem Tou untuk diajak jalan keluar.
Didalam hati sang pemuda pada saat itu benar-benar amat
kacau dan kebingungan, wajah gembira yang seharusnya
diperlihatkan, saat ini telah tersapu lenyap dan berganti
dengan wajah yang amat kucal dan murung.
Dengan mengikuti dibelakang tubuh Lie Cung cu selangkah
demi selangkah sang pemuda berjalan memasuki ruang
upacara. Dia orang sama sekali tidak takut terhadap bencana yang
bakal menimpa dirinya, tetapi sebaliknya karena merasa takut
kalau dia telah mengundang bencana yang mangerikan bagi
seluruh rakyat Ie Hee san cung karena bilamana hal ini benarbenar
terjadi, sampai mati pun ia pasti akan menyesal.
Ketika Liem Tou berjalan sampai ditengah perjalanan; dari
dalam ruangan Cie, lng Tong mulai meledak suara selamat
yang gegap gempita. Kebanyakan suara tersebut berasal dari rakyat
perkampungan Ie Hee San cung yang sedang menyambut
kedatangan Liem Tou. Tetapi suara tertawa yang ramai dan ucapan selamat itu
bagi Liem Tou sendiri terasa hatinya bagaikan tertusuk dengan
beribu-ribu batang golok. Hatinya sangat tidak tenang.
Pada saat itulah mendadak dari samping, telinga sang
pemuda kembali berkumandang suara helaan napas yang
amat sedih disusul dari Cing jie yang perlahan dan
menggunakan ilmu untuk menyampaikan suara
berkumandang masuk. "Liem Tou. aku sama sekali tidak menaruh maksud jahat
terhadap dirimu. Tadi aku sudah nasehati dirimu janganlah
kesana kenapa kau tetap kukuh" baiklah aku tunjukkan
sesuatu kepadamu coba kau tolehkan kearab sebelah Timur.
Mendengar perkataan Liem Tou berhenti dan rnenoleh
kearah timur tampaklah diatas puncak pada waktu itu sudah
berdiri sejajar empat orang berbaju hitam dengan angkernya
mereka ternyata begitu bernyali dan tanpa mengandung rasa
jeri sedikitpun juga telah memperlihatkan diri .
"Sekarang kau tolehkan kearah hutan dibelakang
perkampungan. Dan tengok pula ketengah udara," seru Cing
jie kembali. Jarak antara hutan dengan perkampungan itu amat dekat
sekali pandang saja Liem Tou dapat menangkap dari antara
ceIah pepohonan telah muncul kurang lebih dua puluhan
orang jagoan. Hatinya jadi berdesir, karena saat ini ia mulai kalau orang
itu adalah jagoan dari partai Kiem Tian Pay.
"Baiklah !" pikirnya kemudiian. "Aku sudah dua kali
mengampuni mereka, mereka masih juga tidak tahu malu dan
terus menerus mencari gara-gara dengan diriku. Kali ini aku
harus hajar mereka sampai hancur lebur!"
Kepalanya dengan perlahan menengadah keatas,
tampaklah dua ekor burung rajawali raksasa dengan gagahnya
terbang kian kemari. lapun sadar bila burung-burung itu adalah burung piaraan
dari Thian Pian siauw cu.
Kini ia mulai merasa bila bencana bagi dirinya tak bakal
terhindar lagi menimpa diri enci Ie, adik Wan serta seluruh
rakyat perkampungan Ie Hee San Cung.
Si telapak naga Lie Klan Poo yang melihat Liem Tou raguragu
untuk melangkah maju kernbali menariknya supaya
berjalan lebih cepat Iagi.
Liem Tou terdesak akhirnya sambil menggigit bibir dengan
langkah yang cepat ia berjalan masuk kedalam ruangan Cie
Ing Tong dibawah sorakan rakyat perkampungan le Hee Son
Cung serta tambur dan terompet yang gegap-gempita.
Acara perkawinan segera akan dimulai di dalam ruangan.
Liem Tou langsung berjalan menuju ketengah-tengah
ruangan dimana kedua orang pengantin perempuan telah
rnenanti disisi meja upacara.
Setelah pertemuan sebentar mereka bertiga bersama-sama
menuju kedepan meja sembahyang untuk mulai menjalankan
upacara. Pada waktu itu mendadak sitelapak naga Lie Kian Po
dengan wajah penuh senyuman berteriak keras :
"Tunggu sebentar ! Cayhe ada sepatah dua patah kata
yang hendak diutarakan terlebih dahulu. Atas kecintaan dan
penghargaan dari para cianpwee dua golongan Pouw dan Lie,
aku Lie Kian Po telah meneruskan jabatan sebagai Cung cu
dari tangan Ang In Sin Pian selama setahun tiga bulan
lamanya. Cay he merasa bahwa hal ini merupakan suatu tugas
yang maha berat dan tak mungkin bisa dilaksanakan dengan
baik oleh aku orang she Lie."
"Kini Liem Tou sudah kembali kedalam perkampungan,
bahkan ia berhasil pula melewati ketiga buah rintangan alam
itu dengan sempurna. Lagipula bukan begitu saja ia pun
memiliki kepandaian silat yang maha dahsyat karena itu
menurut peraturan perkampurgan, jabatan Cung cu harus
dibebankan pada dirinya. Baiklah ! Mulai saat ini juga jabatan
Cung-cu dari perkampungan le Hee san cung aku serahkan
pada diri Liem Tou untuk menjabatnya !"
Parkataan dari si telapak naga Lie Kian-Poo diucapkan
dengan amat nyaring dan ceng li, hal ini membuat Liem Tou
sulit untuk menampik. Suara tepukan tangan serta sorak sorai dari seluruh rakyat
perkampungan dengan cepatnya meledak dan menggetarkan
seluruh angkasa. Ditengah tiupan terompet serta pukulan genderang yang
amat ramai, berpuluh-puluh orang jagoan kangouw yang
datang mangikuti upacara perkawinan mulai maju kedepan
memberi selamat kepada Liem Tou.
Suasana. didalam ruangan Cie lng Tong telah dipenuhi
dengan suasana kegembiraan, mereka sama sekali tak ada
yang merasa bila jantung sang pamuda pada waktu itu
berdebar amat keras, ia hanya berharap bencana tersebut
jangan cepat-cepat berlangsung dan upacara inipun cepatcepat
selesai. Matanya melirlk sekejap kearah Lie Siauw le serta sigadis
cantik pengangon kambing yang berdiri dikanan kirinya sambil
menundukkan kepalanya rendah-rendah mereka tak berbicara
dan tidak bergerak. Bilamana mengikuti nafsunya yang sudah tak sabaran lagi,
kepingin sekali dia menyambar kedua orang ini untuk dibawa
lari kedalam gunung dan bercakap-cakap sepuasnya.
Tetapi hal ini tak mungkin bisa dilakukan, perkawinan ini
adalah ia sendiri yang menyanggupi bahkan ada pula suhunya
Thiat Sie poa sebagai saksi sekalipun ini baru terjadi bencana
yang lebih besar pun ia harus menerimanya dengan hati
terbuka karena suhunya pernah berkata kalau itu adalah
,NASIB!" Sewaktu suasana sedang ramai-ramainya itulah mendadak
suara tertawa seram yang sangat mengerikan berkumandang
datang memenuhi ruangan. Munculnya suara tertawa yang mendadak itu kontan saja
membuat semua orang jadi tertegun dan memandang kearah
orang itu dengan termangu-mangu.
Tak seorang pun diantara mereka yang mengenal siapakah
orang itu ! Tampak orang itu perlahan-lahan melepaskan topeng yang
dikenakan kemudian sambil menyapa keseluruh ruangan
kembali dia memperdengarkan suara tertawa yang amat
menyeramkan. "Aaakh! Pouw Siauw Ling!" suara teriakan kaget segera
bermunculan dari empat penjuru.,
Liem Tou yang mendengar disebutnya kata-kata Pouw
Siauw Ling hatinya merasa tergetar amat keras.
Bukannya dia menaruh rasa jeri terhadap dirinya tetapi
justru dengan munculnya orang itu berarti pula bencana
sudah tiba didepan mata. Hatinya benar-benar kuatir atas keselamatan dari Lie Siauw
le serta sigadis cantik pengangon kambing serta seluruh
rakyat perkampungan le Hee San Cung tetapi pada waktu ini
adalah seorang pengantin bagaimana pun juga tak leluasa
baginya untuk melakukan sesuatu tindakan.
Suara tertawa dari Pouw Siam Ling yang amat seram itu
semakin lama semakin meninggi mendadak tertawa dengan
wajah yang berubah menghijau bentaknya keras:
"Liem Tou! kembalikan batok kepala ayahku!"
Lem Tou sama sekali tidak menggubris atas bentakan dari
Pouw Siauw Ling itu dalam hati ia cuma mengingat-ingat terus
perkataan terakhir dari suhunya sesaat meninggalkan dirinya.
"Liem Tou, masih ingatkah dirimu akan sumpah yang
pernah kau ucapkan menjelang mengunci tangan " bilamana
ini hari kau mulai dengan suatu pembunuhan maka kau bakal
habis. Ingat Liem Tou " bagaimanapun juga kau harus
lewatkan hari ini". . Teringat akan perkataan itu perlahan-lahan ia menoleh
kearah Lie Siauw serta si gadis cantik pengangon kambing.
"Enci Ie, adik Wan waspada ! peringatan ini hari diempat
penjuru ruangan ini sudah bermunculan musuh-musuh
tangguh, nanti kalian harus baik-baik melindungi diri kalian
sandiri dan jangan sekali-kali menggubris diriku.
Begitu perkataan dari pemuda itu diucapkan keluar,
serentak Lie Siauw Ie serta sigadis cantik pengangon kambing
menjerit kaget, tubuhrya gemetar amat keras.
Dengan cepat mereka berdua pada melirik sekejap kearah
sang pemuda, saat ini Liem Tou telah berubah jadi tenarg
kembali wajahnya yang tampan memancarkan cahaya berkilat
bibirnya tersungging satu senyuman manis agaknya ia samasekali
tidak gubris terhadap muncuInya musuh tangguh
dihadapan mata. Si gadis cantik pengangon kambing yang usianya rada lebih
muda dan kini sedang menjadi pengantin malu untuk berkata
sebaliknya Lie Siauw le yang lebih tua buru-buru berseru:
"Adik Tou legakanlah hatimu. Kami sudah tahu. Tetapi kau
telah mengunci tangan. Engkoh tahu kau harus baik-baik
berjaga diri." Liem Tou hanya tersenyum saja mulutnya tetap
membungkam. Pow Siauw Ling yang melihat perkataannya sama sekali
tidak digubris oleh Liem Tou hatinya benar-benar dibuat amat
gusar. Selangkah demi selangkah ia berjalan rnerdekati sang
pemuda itu. Sitelapak naga Lie Kan Poo yang berdiri
disamping walaupun merasa amat terperanjat mellhat
munculnya Pouw Siauw Ling secara mandadak itu tetapi
bagaimanapun juga ia adalah seorang jagoan yang memiliki
pengalaman luas, hatinya sama sekali tidak jadi gugup.
Dengan kecepatan bagaikan kilat ia meloncat kedepan
Pouw Siauw Ling dan menghadang jalan perginya.
"Pouw Siauw Ling setahun tak bertemu, apakah kau masih
kenal dengan aku sitelapak naga Lie Kian Foo?" tegurnya.
Pouw Siauw Ling yang dihalangi jalan perginya segera
merandek. "Hee .. hee . . Lie Kian Poo ! Kau masih punya muka untuk
menemui diriku?" balas sindirnya.
Bagaimanapun juga "Si Liong Ciang" LieKian Poo adalah
seorang lelaki sejati yang berhati halus. Mendengar perkataan
yang sama sekali tak kenal sopan itu, wajahnya kontan
berubah jadi merah padam dan akhirnya berubah jadi pucat
pasi. Ia benar-benar terkesima buatnya.
"Pouw Siauw Ling !" bentaknya kemudian dengan suara
yang keras laksana sambaran geledek. "Kedatanganmu kesini
untuk mencari balas terhadap diri Liem Tou dan aku tidak ikut
campur, tetapi kau jangan lupa dengan kadudukanmu. Aku
pernah berbuat salah apa terhadap dirimu sehingga kau
menaruh rasa gusar terhadap aku orang she Lie ?"
Rakyat perkampungan Ie Hee San Cung yang berdiri
dikedua belah sisi ruangan Cie Ing Tong, sejak tadi sudah
merasa tidak senang melihat munculnya Pouw Siauw Ling
yang mengganggu jalannya upacara, kini mendengar ia
bertindak tidak sopan pula terhadap cung-cu mereka. Tak
kuasa lagi dalam hati merasa semakin gusar.
"Usir dia turun dari gunung. Binatang itu kurang ajar sekali,
lemparkan dia kedalam jurang !"
"Betul ! usir dari perkampungan !"
"Usir dia dari gunung dan pecat dari keanggotaan kampung
!" Suara teriakan teriakan marah dari rakyat yang ada disana
tak tertahan lagi segera meledak suara bentakan gusar yang
gegap gempita memecahkan kesunyian dan memekik laksana
membelah bumi. Pouw Siauw Ling segera dongakkan kepalanya tertawa
terbahak-bahak dengan seramnya. Mendadak ia merobek
hancur pakaian luar yang dikenakannya itu sehingga
muncullah jubah hitam yang didepan dadarya terukir sebuah
patung arca yang berwarna kuning emas.
Dengan sombong putra Ang In Sin Pian ini menyapu
sekejap keseluruh ruangan, lagaknya seperti disana tak ada
orang manusiapun. Hong tiang (ketua ) dari partai Siauw lim pay Ciat Siuw
Siansu yang melihat lagaknya itu tidak bisa menahan sabar
lagi; perlahan-lahan ia meninggalkan tempat duduknya dan


Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah kedepan. Belum sempat hweesio itu mengucapkan kata-katanya,
mendadak terdengar Pouw Siauw Ling kembali memekik
keras. "Lie Kian Poo!" teriaknya setengah menjerit. "Kau"bajingan
durhaka, penghianat terkutuk; Aku tak akan membiarkan kau
hidup lebih lama lagi!".
Begitu perkataannya selesai diucapkan, tubuhnya
menubruk kedepan, sedang telapak tangannya dengan
mengeluarkan ilmu "Kioe lm Tong Ci Loe Han Kang" nya yang
lihay rnenghajar kedepan.
Segulung angin pukuIan berhawa dingin" dengan cepatnya
menyambar dada Lie Kian Poo.
Lie Kian Poo yang mempunyai julukan sebagai si telapak
naga, sudah tentu ilmunya yang paling diandalkan adalah
pukulan telapaknya. Melihat serangan Pouw Siauw Ling yang
datangnya secara mendadak ini, seketika itu juga membuat
dia jadi gusar. Tubuhnya maju selangkah kedepan; tangannya bersamasama
didorong kedepan rnenyambut datangnya serangan
tersebut. Tenaga dalam yang dimiliki Pouw Siauw Ling pada saat ini
sudah memperoleh kemajuan yang pesat, mendadak tampak
dia orang membuyarkan serangan yang didepan; tubuhnya
Iaksana sambaran kilat tahu-tahu sudah berputar kebelakang
punggung Lie Kian Poo. Sitelapak naga Lie Kian Poo yang melihat serangannya
mencapai sasaran yang kosong dalam hati sudah mengerti
kedaan sangat berbahaya. "Tahan" terdengar suara bentakan keras dari Ciat Stauw
Siansu itu Hong tiang dari partai Stauw lim-pay tubuhnya
dengan cepat meloncat maju kedepan.
Pouw Siauw Ling mendengus dingin. Laksana kilat cepatnya
ia mengirim satu pukulan dahsyat keatas punggung sitelapak
naga. "Suara jeritan ngeri, dari sitelapak naga Lie Kian Poo
berkumandang memenuhi seluruh ruangan, tubuhnya dengan
sempoyongan maju tiga langkah kedepan lalu rubuh keatas
tanah. Ia muntahkan darah segar dengan derasnya.
Bagaimapun Ciat Siauw siansu yang berusaha turun tangan
menolong terlambat setindak kini jaraknya tinggal beberapa
kaki saja dari Pouw Siauw Ling.
Ditengah suara bentakan yang keras laksana sambaran
geledek disiang hari bolong telapaknya dengan dahsyat
berkelebat membabat keatas batok kepala Pow Siauw Ling.
Pouw Siauw Ling yang merasa adanya sambaran angin
dibelakang tubuhnya, buru-buru tutulkan ujung kakinya keatas
permukaan tanah lalu meloncat ketengah udara.
Dengan gesitnya ia berhasil menyingkir dari datangnya
angin pukulan dahsyat si Ciat Siauw Siansu itu.
Ciat Siauw Siansu bukanlah manusia lemah, ia bisa
menjabat sebagai Hong tiang dari partai Siauw lim-pay tentu
telah mendapatkan seluruh ilmu silat aliran Siauw-lim pay.
Dengan gusarnya mendengus, telapak tangannya berturutturut
melancarkan tujuh, delapan buah serangan dengan
menggunakan ilmu telapak "Siauw Lim Sah Cap Lok Hu Mo
Ciang Hoat" atau tigapuluh enam jalan penduduk Iblis.
Angin pukulan menderu-deru, setiap serangannnya
mengancam jalan darah berbahaya di tubuh Pouw Siauw Ling.
Tetapi putera Ang In Sin Pian ini dengan gerakan yang
lincah berhasil meloloskan diri dari setiap ancaman bahaya.
Hanya didalam sekejap, mata dua puluh jurus telah bertalu
dengan cepatnya. Ciat Siauw Siansu yang melihat serangan
gencarnya sama sekali tidak mendatangkan hasil, hatinya jadi
cemas bercampur murung; tidak terasa pula serangannya jadi
rada kendor. "Hey hweesio tua. kau cari mati !" Mendadak Pouw Siauw
Ling membentak keras. Gerakan tubuhnya tiba-tiba berubah, sepasang telapak
tangannya laksana titiran air hujan dengan serangan yang
paling keji dan buas balas menggencet Ciat Siaw Siansu.
Hweesio itu jadi terkesirna, ia sudah merasa dirinya tidak
bakal menangkan orang itu apalagi setelah melihat serangan
dari Pouw Siauw Ling yang laksana sambaran kupu-kupu
sebentar kesana sebentar kemari menghajar jalan-jalan
pentingnya, ini membuat dia jadi semakin gelagapan.
Hanya didalam sekejap mata Ciat Siauw Siansu sudah
terdesak hebat wajahnya yang samula berwarna merah
padam kini telah berubah jadi pucat pasi bagaikan mayat.
Pada saat yang amat kritis itulah mendadak . . .
"Siansu jangan gugup pertahankan sekuat tenaga biarlah
aku bereskan bangsat ini!" suara bentakan dari Lie Loo jie
berkumandang keluar. Baru saja suara bentakan dari Lie Lao jie keluar dari balik
bibir diantara tetamu undangan mendadak tampak dua sosok
bayangan manusia berbuat maju terlebih dulu menubruk
kearah Pouw Siauw Ling. Mereka adalah Lam Yang Jie Kongcu putra dari Lam Yang it
Kiam sahabat karib Lie Loo jie.
"Supek jangan cemas biarlah siauw tit sekalian mewakili
dirimu untuk bereskan mereka," teriak Toa Kongcu dengan
suara keras. Di tengah teriakan yang amat keras mereka berdua segera
melayang turun kehadapan Ciat Siauw siansu dan pada waktu
yang sama pula pedangnya sudah dicabut keluar, kemudian
bersama-sama melancarkan serangan dahsyat kearah depan.
Lie Loo jie yang melihat munculnya Lam Yang Jie Kongcu
untuk menyambut datangnya serangan musuh walaupun
dalam hati mengerti kalau mereka berdua bukan tandingan
dari Pouw Siauw Ling, tetapi iapun masih tidak ingin turun
tangan sendiri. Maka itu dengan pandangan gusar ia melototi diri Pouw
Siauw Ling. Waktu ttu keadaan Ciat Siauw siansu benar-benar amat
berbahaya bilamana tidak ditolong lagi nyawanya tentunya
Pendekar Lembah Naga 5 Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Patung Emas Kaki Tunggal 9

Cari Blog Ini