Ceritasilat Novel Online

Patung Dewi Kwan Im 2

Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


menghina di bibirnya. Kemudian ia memandang kepada Lian Eng
79 dan tiba-tiba senyum menghina di bibirnya berubah menjadi
senyum manis yang ramah tamah dan matanya mengeluarkan
cahaya lembut. Ia membuat gerakan-gerakan dengan tangan dan jarinya dan Lian
Eng memandang dengan heran karena ia dapat mengerti gerakan
itu. Wanita itu dengan bahasa tangan telah berkata bahwa Lian
Eng sangat manis dan bahwa wanita itu suka padanya!
Kemudian mata Huo Mo-li mengerling dan terlihatlah Siauw Ma di
dalam kamarnya. Wajahnya menjadi merah dan matanya berkilat!
Tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak ke arah Siauw Ma dan
angin pukulan besar sekali menyambar dada pemuda itu dan
membuatnya terpukul dan terlempar keluar kamar. Siauw Ma
terbanting pada dinding di luar kamar dan rebah pingsan!
"Kurang ajar! Ia berani masuk ke kamarku," Huo Mo-li berkata
perlahan sambil tersenyum lagi.
"Kau kejam! Ia anak baik," Beng Beng Hoatsu menegurnya lalu
sekali bergerak saja ia sudah berada di luar kamar dan memeriksa
dada Siauw Ma. Ternyata angin pukulan tadi telah membuat dada pemuda itu
menjadi hitam dan mendapat luka di dalam yang hebat juga! Beng
Beng Hoatsu lalu rogoh saku bajunya dan keluarkan sebutir obat
berwarna putih. 80 Ia masukkan obat itu ke dalam mulut Siauw Ma dan beberapa kali
ketok dan urut dada pemuda itu. Sebentar saja Siauw Ma siuman
kembali dan muntahkan darah hitam dari mulutnya.
Huo Mo-li mendengar orang muntah, dengan marah loncat keluar.
"Celaka! Dia sekarang bikin kotor tempatku lagi! Orang begini
harus mati!" "Tahan!" Beng Beng Hoatsu mencegah, "Jangan ganggu dia!"
Huo Mo-li memandang pertapa gemuk itu dengan heran.
"Mengapa" Kau sekarang berubah sekali, Beng Beng! Apa
hubungannya dia dengan kau?"
"Dia muridku!" Beng Beng menjawab dengan suara tetap.
"Eh, eh. Mulutmu benar-benar murah. Sejak kapan ia menjadi
muridmu?" "Sejak saat ini!"
Huo Mo-li pandang wajah Siauw Ma yang kini telah berdiri dengan
tegak. Pemuda ini balas memandangnya dengan berani karena ia
merasa penasaran dan tidak suka lagi kepada wanita yang kejam
dan aneh ini. Ia anggap wanita ini benar-benar seorang iblis jahat.
Melihat sikap Siauw Ma ini, mata Huo Mo-li yang tajam dan keras
agak melembut, lalu ia bertanya.
"Benar-benarkah kau suka menjadi muridnya" Murid Beng Beng
ini?" 81 Siauw Ma telah insyaf bahwa pertapa gemuk pendek itupun
bukan orang sembarangan dan tentu seorang sakti pula tadi telah
menolongnya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menjawab,
"Betul!" Lalu ia jatuhkan diri berlutut di depan Beng Beng dan
menyebut, "Suhu!"
Beng Beng Hoatsu tertawa keras dan berkata kepada Huo Mo-li,
"Nah, karena dia muridku, kau harus maafkan dia kalau bersalah."
Huo Mo-li hanya buang muka dan tersenyum mengejek.
"Biarlah kita jangan ributkan perkara kecil ini. Kalau dia suka jadi
muridmu, bawalah pergi. Tapi sekarang kau jawablah, apa
kehendakmu datang ke sini?"
"Huo Mo-li. Lupakah kau" Hari ini adalah tepat sepuluh tahun
semenjak kau rampas guaku ini. Maka aku datang menagih."
"Jadi kau sudah merasa cukup kuat untuk mengusirku dari sini?"
tanya iblis wanita yang cantik itu.
"Coba-cobalah!" jawab Beng Beng Hoatsu.
Huo Mo-li lalu gunakan tangan mengebut ke arah api di kawah
dan lidah api ke atas dengan indahnya.
"Marilah keluar dan kita putuskan urusan ini di atas bumi."
Wanita itu lalu bertindak keluar, diikuti oleh Beng Beng Hoatsu
dan kedua muridnya. 82 Di luar gua, Huo Mo-li berdiri menanti mereka dan dengan tolak
pinggang ia memandang Beng Beng Hoatsu.
"Beng Beng Hoatsu, orang tua ingin mampus! Tak perlu aku
bertanya lagi, kalau kau bisa menangkan aku, tentu gua itu kau
minta dan aku kau usir dari situ, bukan?"
"Itu hanya pembalas budi yang telah kauberikan padaku sepuluh
tahun yang lalu." "Ya, ya! Tak perlu kau sebut-sebut lagi hal itu! Yang perlu
dirundingkan sekarang ialah, bagaimana kalau kau yang kalah
lagi?" "Ha, ha, ha! Huo Mo-li, jangan seperti anak kecil! Kalau aku kalah
lagi di tanganmu, kaubunuh saja aku, habis perkara!"
"Ah kau orang tua memang benar-benar sudah bosan hidup!
Yang dibicarakan hanya mati dan mati saja. Aku sendiri ingin
hidup selaksa tahun lagi! Beginilah, kalau kau kalah lagi, maka
murid perempuanmu itu harus ditinggal di sini untuk sepuluh
tahun! Bagaimana?" Beng Beng Hoatsu memandang kepada Lian Eng, kemudian ia
menatap wajah Siauw Ma yang duduk di atas batu karang di dekat
gadis kecil itu. Kemudian ia mengangguk-angguk,
"Baik, baik! Kalau aku kalah, kaubawalah Lian Eng, karena
akupun sudah mempunyai murid baru. Untuk apa terlalu banyak
murid" Bahkan, kalau kau yang kalah, kaupun boleh ambil Lian
Eng dan tinggalkan tempat ini."
83 "Enak saja kau bicara. Siapa yang sudi tinggalkan tempat ini"
Jangan kau mimpi!" Beng Beng Hoatsu tertawa besar dan tiba-tiba saja tangan
kanannya telah menggenggam sebilah pedang yang panjang dan
tajam berkilauan. Siauw Ma kagum sekali melihat pedang itu dan
ia heran karena tidak tahu dari mana pertapa gemuk yang kini
menjadi suhunya itu mencabut pedang itu, tahu-tahu sudah
berada di tangannya bagaikan ilmu sihir saja!
Huo Mo-li tertawa nyaring dan sebaris giginya yang putih bersih
bagaikan mutiara itu tampak berkilauan.
"Kau hendak mengagulkan Sin-liong-kiam-sut" Baik, baik! Nah,
coba kauhadapilah ilmu pukulanku yang baru."
Beng Beng Hoatsu tahu baik akan kepandaian baru wanita itu,
karena iapun tahu bahwa selama sepuluh tahun ini Huo Mo-li
telah mencipta dan memperbaiki Ilmu silatnya Huo-mo-kunhwatnya,
yaitu Ilmu Silat Iblis Api yang luar biasa dahsyatnya.
Selama sepuluh tahun itu Huo Mo-li telah dapat mencipta pukulan
Huo-mo-kang yang jika digunakan dapat menghancurkan musuh
karena keras dan panasnya. Bahkan angin pukulannya saja
mengeluarkan hawa panas bagai lidah api menjilat dan dapat
menghanguskan kulit tubuh lawan!
Tapi Beng Beng Hoatsu tidak gentar karena ia yakin bahwa Sinliongkun-hwat dan Sin-liong-kiam-sut yang telah dipelajari
sempurna itu akan dapat menghadapi kehebatan si iblis api
84 wanita. Dengan tenang tapi waspada Beng Beng Hoatsu berseru
keras. "Huo Mo-li, majulah!"
"Awas pukulan, Beng Beng!" jawab Huo Mo-li dan tubuhnya
berkelebat cepat ke arah pertapa gemuk pendek itu dalam
serangan maut yang berbahaya!
Tapi Beng Beng biarpun tampaknya gemuk sekali, ternyata
gerakannya tidak kalah gesit dan ginkangnya tidak kalah tinggi.
Tubuhnya juga berkelebat cepat hingga merupakan bayangan
saja, sedangkan pedang di tangannya mulai menjalankan
gerakan-gerakan Sin-liong-kiam-sut yakni Ilmu Pedang Naga
Dewa hingga sinar pedang berkilauan mengurung bayanganbayangan
tubuhnya! Biarpun Huo Mo-li tidak bersenjata namun dari kedua lengan dan
kepalan tangannya yang memukul atau menangkis keluarlah
tenaga lwee-kang yang sedemikian sempurnanya hingga
mengeluarkan hawa panas seakan-akan dari kedua lengan itu
keluar api yang terbawa angin pukulan. Dengan Huo-mo-kang
yang hebat ini ia berani menangkis setiap senjata tajam karena
sebelum kulit lengannya beradu dengan senjata lawan, terlebih
dulu angin gerakannya dapat menampar senjata itu dengan
demikian kerasnya, hingga kalau bukan orang yang
berkepandaian tinggi, angin pukulan ini saja sudah cukup untuk
membuat senjata musuh terlempar dan terlepas dari pegangan!
85 Sepuluh tahun yang lalu gua yang kini ditinggali oleh Huo Mo-li
dan disebut Istana Dewi Api, adalah gua tempat Beng Beng
Hoatsu bertapa. Gua itu diberi nama gua sumber api dan pertapa
itu tinggal berpuluh tahun di situ dengan senangnya.
Tapi pada suatu hari datanglah Huo Mo-li, seorang tokoh wanita
yang namanya tak kalah terkenalnya dengan Beng Beng Hoatsu
sendiri dan yang telah kenal pula kepada pertapa itu. Huo Mo-li
melihat gua itu, jadi ingin tinggal di situ dan ia minta Beng Beng
Hoatsu suka mengalah dan menukarkan guanya dengan gua Huo
Mo-li di Bukit Harimau Salju.
Tapi Beng Beng Hoatsu tidak mau menerima permintaan ini
hingga mengadu kepandaian dengan taruhan gua itu. Setelah
bertanding sehari semalam, akhirnya Beng Beng Hoatsu terpaksa
mengakui kehebatan ilmu lwee-kang Huo Mo-li dan ia dikalahkan
dengan mendapat luka dalam yang agak berat, biarpun Huo Moli
sendiripun tak luput menderita luka dalam yang ringan.
Huo Mo-li lalu ambil tempat itu sebagai tempat kediamannya dan
Beng Beng Hoatsu tinggal di gua Harimau Salju dengan janji
sepuluh tahun kemudian mereka akan mencoba ilmu kepandaian
lagi. Gua dan bukit itu oleh Huo Mo-li lalu diubah namanya
menjadi Bukit dan Gua Dewi Api, sedangkan ia sendiri oleh tokohtokoh
persilatan yang bertingkat tinggi disebut Huo Mo-li atau
Setan Api Wanita! Siauw Ma yang duduk dekat Lian Eng melihat pertempuran kedua
orang lihai itu dengan kagum dan dada berdebar. Juga Lian Eng
duduk bengong sambil memandang ke arah dua bayangan orang
86 yang kini bergerak demikian cepatnya hingga merupakan dua
gunduk sinar. Kedua pemuda-pemudi ini dapat menerka bahwa gundukan sinar
putih itu tentu Huo Mo-li dan gundukan sinar merah adalah Beng
Beng Hoatsu karena Huo Mo-li mengenakan baju putih dan
pakaian Beng Beng Hoatsu berwarna merah. Di antara dua
gundukan sinar putih dan merah itu, kadang-kadang tampak sinar
kehijau-hijauan yang bergerak panjang, melingkar-lingkar
bagaikan seekor naga sakti. Itu adalah po-kiam atau pedang
mustika di tangan Beng Beng Hoatsu!
Siauw Ma dan Lian Eng tak dapat melihat bagaimana jalan
pertempuran itu, tapi Huo Mo-li dan Beng Beng Hoatsu yang
sedang bertempur merasa kaget dan diam-diam memuji
kehebatan masing-masing. Pernah sekali terjadi gerakan pedang
Beng Beng Hoatsu demikian tiba-tiba perubahannya dan
demikian cepat gerakannya hingga berhasil menusuk tangan Huo
Mo-li bagian atas di dekat pundaknya.
Tapi alangkah terkejut pertapa gemuk itu ketika ujung pedangnya
meleset dan tidak melukai lawannya! Padahal pedangnya adalah
sebuah pedang mustika yang ampuh dan gerakannya tadi
dilakukan dengan tenaga dalam sepenuhnya.
Tak mungkin ilmu kebal, biar yang bagaimana tinggi jugapun,
dapat menahan serangannya tadi. Maka dapatlah ia menduga
bahwa pakaian Huo Mo-li yang tadi tidak termakan api, adalah
pakaian wasiat yang terbuat dari pada bahan mujijat hingga dapat
87 menahan serangan po-kiam yang bagaimana ampuh dan
tajampun! Diam-diam ia terkejut dan kagum sekali.
Sebaliknya pernah juga pukulan Huo-mo-kang dari tangan kanan
Huo Mo-li menyerang ke arah dada Beng Beng Hoatsu dan baju
pertapa itu telah terkena angin pukulan dan robek, agak hangus
bagai terbakar, namun dada pertapa itu sendiri dapat terhindar
dari bahaya pukulan karena gerakan Beng Beng Hoatsu yang
bersilat dengan Ilmu silat Sin-liong atau Naga Dewa itu memang
sungguh luar biasa dan tak terduga perubahannya.
Huo Mo-li menjadi terkejut sekali karena tak pernah ia menduga
pukulannya yang paling hebat dan tak mungkin dihindarkan oleh
musuh yang bagaimana tangguhpun, kini hanya dapat merobek
baju Beng Beng saja! Maka kedua orang itu maju menyerang
makin sengit, hingga kedua orang murid yang menonton
perkelahian itu makin menjadi pusing karena pandangan mereka
kabur. "Suhu pasti menang!" tiba-tiba Siauw Ma berkata kepada Lian
Eng karena masih belum lenyap marah dan penasarannya
kepada Huo Mo-li. Tapi tiba-tiba Lian Eng sebagai jawaban menggerakkan kedua
tangannya, tangan kiri terangkat dengan jari-jari lempeng ke atas,
sedang tangan kanan dirobohkan. Siauw Ma mengerti bahwa
maksudnya ialah, bahwa Huo Mo-li yang akan menang, karena
gundukan sinar dari pakaian Huo Mo-li berada di kiri.
88 Siauw Ma heran sekali. Mengapa gadis gagap ini membela Huo
Mo-li" "Huo Mo-li jahat, aku dipukulnya. Beng Beng Hoatsu baik dan
gagah," katanya lagi memperkuat belaannya.
Lian Eng cemberut, lalu gerak-gerakkan tangannya. Mula-mula
Siauw Ma tidak mengerti maksudnya hingga gadis itu dengan
gemas dan mata melotot harus beberapa kali ulangi gerakannya
itu. Akhirnya mengerti juga Siauw Ma bahwa Lian Eng hendak
berkata demikian, "Salahmu sendiri dipukul karena kau lancang memasuki
kamarnya, Beng Beng Hoatsu orangnya galak dan soal
kegagahan masih kalah dengan Huo Mo-li!"
Karena perbedaan paham ini, keduanya lalu duduk diam dan tidak
mau saling pandang. Mulut keduanya cemberut tanda hati kesal.
Ketika mereka memandang ke arah pertempuran, ternyata bahwa
perkelahian masih berjalan seru.
Tiba-tiba kedua anak muda itu melihat segunduk sinar biru ikut
bergerak di antara kedua sinar yang sedang bertempur itu dan
pada saat itu terdengar suara nyaring.
"Kalian dua orang gila berhentilah dulu! Beng Beng orang tua
malas, hayo kaukembalikan cucu perempuan Souw Cin Ok!"
Setelah terdengar suara ini, ke tiga gundukan sinar itu tiba-tiba
berhenti bergerak dan di antara Huo Mo-li dan Beng Beng Hoatsu
tampak berdiri seorang kakek tinggi kurus berbaju biru dan
89 cambang bauknya putih berkibar tertiup angin karena panjangnya


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai ke perut! Di tangan kirinya terdapat sebatang tongkat
kecil. Pada saat itu tahu-tahu di belakang Siauw Ma dan Lian Eng telah
berdiri Souw Cin Ok! Lian Eng segera menghampiri engkongnya
dan menjatuhkan diri berlutut. Souw Cin Ok mengelus-elus
rambut kepala cucunya dengan hati girang karena ternyata
cucunya itu sehat selamat tak kurang suatu apa.
"Eh, eh, Hwat Kong Tosu si tua bangka! Kau datang juga dan
berani mengganggu permainan kami mau apakah?" Beng Beng
Hoatsu menegur dan kedua biji matanya terputar-putar aneh.
"Ha, ha, ha! Beng Beng si malas tak tahu diri. Kaulah yang
keterlaluan! Kau mengganggu muridku Souw Cin Ok. Itu sih tidak
apa karena aku bahkan merasa bersyukur kau suka memberi
petunjuk kepada muridku."
"Hm, kalau kau datang untuk membalaskan muridmu, kau orang
tolol! Tapi kalau datangmu bukan untuk itu, habis ada apa
lagikah?" tanya Beng Beng Hoatsu dengan mendongkol.
Tiba-tiba Huo Mo-li tertawa, suaranya nyaring dan merdu tapi
menyeramkan bulu tengkuk Souw Cin Ok yang baru ini melihat
wanita hebat itu. "Sungguh lucu! Sungguh kebetulan sekali! Tiga tokoh besar dari
Pegunungan Thang-la dengan tak tersangka-sangka bertemu di
sini!" 90 Hoat Kong Tosu menjura ke arah Huo Mo-li.
"Memang telah lama kita tidak saling berjumpa. Setelah puluhan
tahun itu, ternyata Huo Mo-li makin cantik dan makin gila saja!"
Tentu saja Souw Cin Ok dan kedua anak, muda hanya dapat
memandang bengong mendengar pembicaraan antara ketiga
orang-orang tua yang main-main seperti tiga orang kanak-kanak
saja. Tapi Souw Cin Ok terkejut sekali karena kini ia dapat
menduga siapa adanya wanita itu.
Ia telah mendengar nama Huo Mo-li sebagai seorang iblis wanita
yang lihai sekali. Kini melihat bahwa iblis itu hanya seorang wanita
yang demikian cantiknya hingga tampak seperti seorang gadis
berusia duapuluh tahun, ia memandang dengan kagum.
"Beng Beng, mengapa kaupaksa anak perempuan ini menjadi
muridmu" Tidak becuskah kau mencari murid sendiri" Ia dibawa
dari dunia ramai ke sini untuk menjadi muridku."
Kembali terdengar ketawa nyaring dari Huo Mo-li. "Nah, nah!
Memang Beng Beng hari ini sedang sial! Baru saja berkelahi
dengan aku beberapa ratus jurus dan belum ada yang kalah atau
menang, sekarang datang Hwat Kong mengajak berkelahi! He,
Beng Beng! Dosamu sudah terlalu besar barangkali."
Beng Beng Hoatsu sendiri tertawa dan matanya berputar-putar
cepat. "Hwat Kong, aku dengar kau telah mencipta ilmu tongkat
Ouw-coa-koai-tung-hwat yang lihai. Apakah kau mau ajar anak
perempuan itu main tongkat" Ah, tidak pantas sekali!"
91 Terdengar Huo Mo-li tertawa lagi, mengejek Hwat Kong.
"Biarpun hanya tongkat, tapi tidak kalah indahnya dengan Sinliongkiam-sut darimu!" Hwat Kong balas menyindir.
"Kalau begitu, mengapa tidak main-main barang seratus jurus"
Yang lebih indah itu yang berhak menjadi guru, tapi harus
berhadapan dengan aku dulu!"
"Tidak adil, tidak adil!" Beng Beng Hoatsu tertawa. "Kau setan
perempuan mau enak sendiri saja. Baiknya kita maju bertiga
berbareng dan siapa di antara bertiga yang paling indah ilmunya
berhak mengajar!" "Gila! Kau dua orang laki-laki tua bangka mau mengeroyok aku?"
Huo Mo-li cemberut dan wajahnya tampak makin manis.
Hwat Kong yang lebih sabar dan panjang pikiran berkata,
"Sungguh memalukan! Masa kita yang disebut tiga setan dari
Thang-la saling hantam sendiri hanya karena berebut murid"
Baiklah dicari jalan yang lebih menyenangkan."
Sebenarnya ketiga tokoh persilatan ini disebut Thang-la Sam-sian
atau Tiga Dewa dari Thang-la. Mereka bertiga merupakan tokohtokoh
tertinggi di kalangan persilatan dan nama mereka dikenal di
antara para ahli silat kelas tinggi dan para locianpwe sebagai
orang-orang aneh yang berilmu tinggi. Ahli-ahli silat golongan
muda takkan kenal nama mereka karena sudah puluhan tahun
mereka mengasingkan diri di atas Pegunungan Thang-la.
92 Ketiga orang ini memang saling kenal puluhan tahun yang lalu
sebelum mereka menjadi orang pertapaan, dan mereka boleh
dibilang satu tingkat dalam hal ilmu kepandaian, hanya mereka
mempunyai kehebatan masing-masing. Beng Beng Hoatsu
terkenal dengan Sin-liong-kiam-sut, ilmu silat pedang yang sudah
mencapai tingkat tinggi sekali.
Huo Mo-li hebat dengan ilmu silatnya Huo-mo-kang, yakni tenaga
api yang lihai sekali dari kedua lengannya. Sedangkan Hwat Kong
yang dulu terkenal sebagai ahli dari semua cabang persilatan,
akhir-akhir ini mencipta ilmu silat tongkat yang disebut Ouw-coakoaitung-hwat atau Ilmu Tongkat Ular Hitam. Ilmu silat tongkat ini
memang lihai sekali dan belum pernah terkalahkan.
Mendengar pendapat Hwat Kong, Beng Beng menghela napas
dan berkata kepada Huo Mo-li,
"Memang kau dan aku adalah orang-orang bodoh dan
pengetahuan kita hanya sampai di ujung jari saja. Memang tiada
gunanya kita bertiga ribut untuk memperebutkan hal-hal remeh.
Setelah kupikir-pikir, biarlah kau tinggal di gua apimu itu, karena
sebenarnya akupun sudah biasa dan senang tinggal di gua es.
Setelah sepuluh tahun dibekukan di sana, agaknya aku takkan
dapat tahan selalu dijilat api itu. Hanya mengenai Lian Eng, gadis
kecil gagu itu, entah bagaimana baiknya untuk diatur, coba
kaupecahkan persoalan ini dengan otakmu yang encer, Hwat
Kong toyu!" 93 Hwat Kong kempit tongkatnya memandang ke arah Lian Eng yang
mendengarkan semua itu dengan mata berseri. Lalu tosu tinggi
kurus itu raba-raba jenggotnya.
"Kita ini orang-orang tua, harus berlaku adil, jangan seperti orangorang
muda yang menuruti napsu sendiri belaka. Usulku begini,
asal pengangkatan guru biarlah kuserahkan kepada anak yang
bersangkutan sendiri. Biarlah gadis gagu itu memilih. Cin Ok,
suruh cucumu ke sini!"
Dengan gerak tangan Souw Cin Ok menyuruh Lian Eng maju
menghampiri tiga orang aneh itu. Lian Eng maju dengan tabah
dan sedikitpun tidak memperlihatkan wajah takut.
"Bagaimana pendapat kalian dengan usulku?" tanya Hwat Kong.
Beng Beng mengangguk-angguk dan Huo Mo-li tersenyum.
"Kau makin lemah lembut saja, terlampau dipengaruhi perasaan.
Pantas saja tubuhmu makin kurus kering!" Huo Mo-li menegur
Hwat Kong yang diganda tertawa saja.
"Bagaimana, akurkah!" tanyanya.
Huo Mo-li dan Beng Beng menyatakan setuju.
"Nah, dengarlah kau, anak gagu. Coba kaupilih sendiri, di antara
kami bertiga orang-orang gila ini, siapa yang kaupilih untuk
menjadi gurumu?" kata Hwat Kong kepada Lian Eng.
94 Gadis itu tadinya hendak memilih Hwat Kong karena tahu bahwa
orang tua itu adalah suhu dari engkongnya. Tapi karena sudah
dua kali orang tua tinggi kurus itu menyebutnya "anak gagu", ia
menjadi tak senang, apalagi ketika dilihatnya betapa Huo Mo-li
pernah memuji kecantikannya dan pernah menyatakan bahwa
suka padanya, maka kini tak ragu-ragu lagi gadis kecil itu maju
dan berlutut di depan Huo Mo-li sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya! Hwat Kong Tosu tertawa bergelak-gelak dan memandang kepada
Beng Beng Hoatsu. "Dasar perempuan, bagaimanapun juga tentu memilih kaumnya
sendiri! Ah, kitalah yang sial, tidak laku untuk mendapat murid
baik, Beng Beng." Beng Beng menjawab, "Jangan berkata begitu, lihatlah di sana
itu, bukankah dia juga murid yang cukup baik?" ia menunjuk
Siauw Ma yang segera maju berlutut.
Hwat Kong menatap tajam ke arah pemuda itu dan menghela
napas. "Hm, matamu juga tajam benar. Ah, kalau begitu, akulah
yang sial. Cin Ok memang murid baik, tapi ia sudah tua untuk
dapat mempelajari ilmu tongkatku!" Pertapa tinggi ini menghela
napas kecewa. Pada saat itu, dengan suara hampir berbareng ke tiga orang aneh
itu berkata, "Ada orang datang!"
<> 95 Baru saju mulut mereka berhenti berkata, tiba-tiba berkelebat
bayangan orang dan di depan mereka berdiri seorang paderi atau
imam yang mengenakan jubah kuning dan di dadanya terdapat
lukisan tiga bunga teratai. Juga rambut imam itu diikat menjadi
satu di tengah-tengah, ujungnya digunting dan ikatan itu dihias
dengan setangkai teratai perak.
Wajahnya angker dan sikapnya agung-agungan. Di pundaknya
tampak gagang siang-kiam atau pedang pasangan.
"Siapakah di antara cu-wi yang menjadi ketua Pegunungan
Thang-la?" Tiba-tiba saja imam asing itu bertanya dengan suara
parau dan dialek barat. Beng Beng Hoatsu berpaling kepada Hwat Kong Tosu.
"Hwat Kong, kau yang sudah banyak merantau, tahukah kau dari
mana datangnya orang yang berpakaian seperti ini?"
Hwat Kong maju menghampiri iman itu dan berjalan
mengelilinginya seperti seorang yang sedang menaksir-naksir
sebuah benda asing. Juga Huo Mo-li maju dan melihat-lihat
pakaian imam itu dari segala jurusan. Imam itu ikut berputar dan
memandang dengan curiga. Akhirnya Hwat Kong berhenti dan menjawab Beng Beng Hoatsu.
"Akupun baru kali ini melihatnya, tapi aku pernah mendengar
tentang ia. Kalau tidak salah, di perbatasan padang rumput
sebelah barat terdapat sebuah Kwan-im-bio, yakni Kelenteng
Dewi Kwan-im yang sangat besar dan menjadi pusat dari pada
96 perkumpulan pemuja patung Dewi Kwan-im yang disebut Kwanimpai. Melihat lukisan tiga tangkai teratai di atas dada imam ini,
boleh jadi sekali dia ini seorang anggauta Kwan-im-pai."
Imam itu melihat sikap ke tiga orang yang saling
mempercakapkan dirinya seolah-olah sedang membicarakan
sebuah benda aneh dan nyata sekali tidak memandang mata
padanya, tentu saja menjadi marah sekali.
"Hai, siapakah di antara kalian yang menjadi ketua Thang-la"
Katakanlah aku hendak bicara," ucapnya terdengar angkuh,
agaknya imam itu tidak merasa lebih rendah tingkatnya dari pada
ke tiga orang itu. "Jawab dulu pertanyaanku, apakah betul kau seorang imam
Kwan-im-pai?" Huo Mo-li yang adatnya tidak sabaran balas
bertanya. "Benar, aku adalah pendeta tingkat ketiga dari Kwan-im-pai!"
jawab imam itu. "Di manakah ketua Pegunungan Thang-la?"
"Nanti dulu, kau jawab dulu pertanyaanku!" Beng Beng Hoatsu
memotong. "Kau ternyata imam dari Kwan-im-pai dan tingkatmu
tinggi juga! Siapakah namamu!"
Biarpun Beng Beng Hoatsu berkata memuji, tapi suaranya
menyatakan bahwa ia memandang ringan sekali dan bertanya
seakan-akan kepada seorang anak kecil. Tapi imam itu menjawab
juga, biarpun keningnya dikerutkan tanda tak senang hati.
97 "Aku tak perlu memberitahukan nama, cukup kalian ketahui
bahwa aku adalah seorang pendeta Kwan-im-pai tingkat ketiga.
Biarkan aku bertemu dengan ketua pegunungan ini!"
"Eh, eh! Tidak sabar amat! Ada apakah kau hendak bertemu
dengan dia?" Hwat Kong Tosu ikut memajukan pertanyaan.
Imam asing itu menujukan matanya yang tajam kepada Hwat
Kong. Melihat tosu yang tinggi kurus dengan jenggot panjang
putih sampai ke perut itu, timbul dugaannya bahwa inilah
barangkali ketua Thang-la.
"Kaukah ketua Thang-la" Kalau betul, hayo kau cepat ambilkan
patung kami dan kembalikan itu padaku!"
Tentu saja Hwat Kong Tosu memandang heran.
Beng Beng Hoatsu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan ia
menggoda Hwat Kong Tosu, "Ah, jadi kau tua bangka masih
menginginkan barang indah! Kau mencuri patung?" Ha, ha, ha!"
"Patung apakah itu hingga kau sampai capaikan diri mencuri?"
Huo Mo-li bertanya kepada Hwat Kong.
Hwat Kong memandang imam itu dengan melotot lalu berpaling
kepada dua orang yang menggodanya.
"Ah, barangkali imam ini sudah miring otaknya! Siapa yang
mencuri patungnya" Hm, karena ia telah menyangka aku mencuri
patung, maka timbul keinginanku untuk mencurinya! Kudengar
patung itu tingginya sampai tiga kaki dan seluruhnya terbuat dari
98 pada emas murni dan sepasang matanya dari dua butir mutiara
yang jarang bandingannya karena warnanya indah dan besar
sekali!" Imam itu mendengar orang memakinya otak miring, tentu saja
menjadi makin marah, dan mendengar Hwat Kong tahu bahwa
patung Dewi Kwan-im yang hilang itu terbuat dari pada emas, ia
makin curiga. Dengan cepat sekali tahu-tahu sepasang
pedangnya telah berada di kedua tangannya. Ia menuding
dengan pedang kirinya ke arah Hwat Kong dan memaki.
"Bangsat tua! Tentu kau yang mencuri patung kami. Hayo kau
kembalikan itu kepadaku, kalau tidak lekas-lekas kau ambil dan
kauberikan padaku, jangan kau menyesal kalau sepasang
pedangku ini takkan memberi ampun dan putuskan tulang leher
kedua kawanmu ini!" "Eh, eh! Lihat, imam ini benar-benar telah gila!" Hwat Kong
berkata lagi dan Beng Beng Hoatsu berdua Huo Mo-li tertawa
nyaring sambil menunjuk-nunjuk imam itu.
Pendeta Kwan-im-pai atau Kwan-im-kauw itu memuncak
marahnya dan dengan teriakan keras ia maju dan gunakan kedua
pedangnya menyerang dengan berbareng ke arah tubuh Hwat
Kong dari dua jurusan! Inilah ilmu pedang sepasang dari Kwanimpai yang lihai. Tapi kali ini imam itu tidak tahu bahwa ia sedang
berhadapan dengan tiga dewa dari Thang-la!
"Ha, ha! Ia mau penggal kepala kita!" Hwat Kong berkata sambil
tertawa kepada kedua kawannya, kemudian ketika sepasang
99 pedang itu menyambar ke arah tubuhnya, entah bagaimana cara
menangkisnya imam itu sendiri tidak tahu, tapi tahu-tahu kedua
sin-kiamnya itu terpukul oleh sebatang tongkat kecil tapi yang
mengeluarkan tenaga demikian hebatnya hingga sepasang
pedangnya terpental dan terlepas dari pegangannya!
Sebelum imam itu dapat hilang kagetnya tahu-tahu Hwat Kong


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangkap batang lehernya dengan tangan kiri dan sambil ayun
tubuh imam itu Hwat Kong Tosu berkata kepada Beng Beng
Hoatsu. "Nah, terimalah algojo yang hendak memotong lehermu ini!"
Tubuh imam itu dilempar ke arah Beng Beng Hoatsu dan pertapa
gemuk pendek itu sambil tertawa bergelak-gelak gunakan tangan
kiri menjambret leher imam itu dan seperti yang dilakukan oleh
Hwat Kong Tosu tadi, iapun putar-putar tubuh itu dan setelah ayun
beberapa kali, ia lemparkan kepada Huo Mo-li, sambil berkata,
"Huo Mo-li, sudah siapkah kau untuk dipotong lehermu?"
Tubuh itu terlempar cepat ke arah Huo Mo-li.
Wanita luar biasa ini tidak sudi pegang tubuh imam itu, maka ia
gunakan tangan kiri menolak keras dan angin tenaga tolakannya
yang penuh kekuatan Huo-mo-kang itu membuat tubuh imam itu
terpental sebelum menyentuh tangannya!
Imam yang malang itu tadi hanya merasa pusing dan matanya
berkunang karena Hwat Kong Tosu dan Beng Beng Hoatsu telah
memegang batang lehernya dengan ilmu cengkeraman Eng
100 jiauw-kang yang sempurna, tapi setelah kena pukulan angin Huomokang, ia menjerit keras dan tubuhnya terpental kembali ke
arah Hwat Kong! Tongkat di tangan Hwat Kong berkelebat dan ujung tongkat itu
dapat menahan tubuh yang terpental keras hingga tubuh itu
tertahan lalu jatuh ke tanah yang tertutup salju dan imam itu
merintih-rintih. Untung sekali ia mempunyai latihan ilmu tenaga dalam yang
cukup tinggi dan iapun telah meyakinkan ilmu weduk hingga
tubuhnya cukup kuat. Kalau tidak demikian, ia tentu mampus
terkena angin pukulan Huo-mo-kang itu!
Imam itu merayap bangun dan memandang ke arah tiga orang itu
berganti-ganti dengan tajam. Kemudian ia menjura.
"Maaf tidak melihat orang-orang pandai di depan mata. Setelah
mendapat pelajaran dari cu-wi, bolehkah mengetahui julukan cuwi
yang gagah?" Hwat Kong mengelus-elus jenggotnya yang putih dan tersenyum.
"Kau mencari penyakit sendiri. Mau tahu nama kami" Nah, orang
tua gemuk pendek tak berguna itu adalah Beng Beng Hoatsu!"
Beng Beng Hoatsu tertawa dan sepasang matanya berputaran
ketika ia memandang kepada imam itu dan berkata sambil
menudingkan telunjuknya ke arah Huo Mo-li,
"Dan bidadari yang cantik jelita ini bukan lain ialah Huo Mo-li!"
101 Huo Mo-li tidak tersenyum kepada imam itu, tapi memandang
dengan penuh ejekan. "Imam kecil tak tahu diri! Masih untung kami tidak turunkan tangan
jahat. Kalau tidak, jiwamu tentu telah berlutut di depan Giam-loong!
Tahukah siapa orang tua tinggi kurus ini" Dia adalah Hwat Kong
Tosu. Kalau kau bicara dengan kami, suruhlah kakek gurumu ke
sini! Kau orang sombong dan kasar ini tak berharga untuk bicara
dengan kami. Nah, pergilah!"
Imam itu mengeluarkan keringat dari jidatnya ketika mendengar
nama ketiga orang itu. Baru sekarang ia tahu bahwa ia
berhadapan dengan tiga tokoh cianpwe yang namanya pernah
menggemparkan kalangan persilatan.
Dan tadi ia telah berlaku berani mati dan sombong! Dengan gugup
ia membungkuk dan cepat pungut sepasang pedangnya yang
terpental tadi, lalu angkat kaki berlari secepat mungkin
meninggalkan tempat berbahaya itu!
Ketiga dewa atau iblis Thang-la tertawa nyaring dan suara tertawa
itu mengikuti imam itu turun gunung hingga imam dari Kwan-imkauw
itu makin ketakutan dan percepat larinya.
Setelah imam itu pergi jauh, Hwat Kong berkata kepada Huo Moli
dan Beng Beng Hoatsu, "Kalian telah mendapat murid, tapi jangan kalian sombong. Lihat
saja nanti, akupun akan mencari seorang murid yang lebih hebat
102 dari pada kedua muridmu. Kita sama-sama lihat saja nanti,
siapakah di antara kita yang paling pandai mendidik. Sepuluh
tahun kemudian kita ajak ketiga murid kita bertemu di sini dan kita
boleh adu ilmu kepandaian mereka! Setujukah kalian?"
Beng Beng Hoatsu menyambut gembira. "Baik, baik! Sepuluh
tahun kemudian kita adu murid-murid kita. Kita sendiri sudah
terlalu tua untuk main-main kepalan, tapi kalau perlu, rasanya
kepalanku masih cukup keras!"
Huo Mo-li perdengarkan ketawa sindir. "Kaukira kepalanku kalah
keras?" Hwat Kong Tosu mencela, "Ah, kalian memang orang-orang keras
kepala dan berdarah panas. Hendak dimulai lagi percekcokan
yang tadi" Kalau memang kita masih penasaran untuk
menentukan kepandaian siapa yang tertinggi dan terlihai, aku ada
jalan untuk mengujinya!"
"Coba katakan usulmu, kau memang selalu paling banyak akal
busuk!" kata Beng Beng Hoatsu.
"Dengarkah kau tadi tentang tuduhan imam jahat dari Kwan-imkauw"
Ia menuduh bahwa seorang di antara kita mencuri patung
kelentengnya. "Sepanjang pendengaranku, patung Dewi Kwan-im yang berada
di dalam Kelenteng Kwan-im-bio dan yang dipuja-puja oleh orangorang
Kwan-im-kauw, adalah sebuah patung yang betul-betul
indah dan jarang terdapat keduanya. Dan selain itu, Kwan-im
103 kauw terkenal sebagai perkumpulan agama yang kuat dan
berpengaruh karena ketua-ketua Kwan-im-pai kabarnya sangat
lihai." "Apanya yang lihai" Imam tadi tidak becus apa-apa!" Huo Mo-li
mencela. "Yang tadi hanya tingkat ketiga saja. Tapi biarpun tingkatnya baru
ketiga, kurasa lwee-kangnya sudah boleh juga, kalau tidak, mana
bisa tahan pukulan Huo-mo-kangmu"
"Juga anggauta perkumpulan agama itu banyak sekali dan patung
itu terjaga kuat. Mengapa sampai lenyap dan ada yang curi"
Tentu pencurinya bukan sembarang orang.
"Nah, mari kita berlomba. Kita pergi mencari patung Dewi Kwanim
itu, siapa yang bisa mendapatkan dan mempertahankan
selama sepuluh tahun boleh dianggap yang paling lihai di antara
kita bertiga. Setujukah?"
"Dan apa taruhannya?" Beng Beng Hoatsu bertanya.
"Kau selalu hendak bertaruh! Tapi, aku teringat sesuatu.
Bukankah tadi imam busuk itu menanyakan ketua Pegunungan
Thang-la" Nah, siapa yang menang dalam perlombaan mencari
patung Dewi Kwan-im ini, dia berhak menjadi Ketua Thang-la dan
yang lain harus tunduk kepada ketua!"
Mendengar usul ini, Huo Mo-li yang sifatnya tidak mau kalah
merasa setuju. Ia ingin benar menjadi ketua dan kedua orang tua
lihai itu tunduk padanya!
104 "Aku setuju. Kita berlomba mencari dan mendapatkan patung tapi
bagaimanapun juga, sepuluh tahun kemudian kita harus menguji
kepandaian murid-murid kita di sini."
Sementara itu, Siauw Ma dan Lian Eng yang semenjak tadi
melihat segala peristiwa itu, merasa gembira dan kagum. Mereka
tidak saling iri lagi karena tahu bahwa guru masing-masing
memang cukup lihai dan sama-sama aneh adatnya.
Hanya Souw Cin Ok yaug merasa agak kecewa karena harus
berpisah dari cucunya. Tapi melihat kehebatan Huo Mo-li, iapun
terhibur juga dan mengharap saja dalam hatinya supaya Lian Eng
kelak hanya mewarisi ilmu kepandaian saja dan jangan mewarisi
adat yang aneh dan keras dari setan api wanita itu!
Setelah semua setuju untuk sepuluh tahun kemudian
mengadakan pertemuan dengan murid masing-masing di atas
puncak itu, mereka lalu bubar. Huo Mo-li mengajak Lian Eng
masuk ke dalam guanya. Beng Beng Hoatsu bawa Siauw Ma pulang ke puncak Harimau
Salju dan setelah pesan kepada pelayannya untuk menjaga
puncak, ia ajak Siauw Ma turun gunung untuk mulai mencari
patung Dewi Kwan-im. Hwat Kong Tosu juga kembali ke gunungnya bersama Souw Cin
Ok dan ia menyuruh muridnya itu menjaga tempat pertapaannya
karena iapun langsung turun gunung untuk mulai dengan
perlombaan itu dan sekalian mencari murid.
105 Sebaliknya Huo Mo-li yang memang cerdik dan licin, ia tidak mau
turun gunung tapi berdiam saja di guanya mengajar Lian Eng
dalam ilmu silat karena ia hendak melihat Lian Eng menjadi murid
terlihai di antara murid-murid lain.
Adapun tentang patung Dewi Kwan-im, ia pikir tak perlu sibuk
mencari ke mana-mana karena nanti saja kalau ia mendengar
bahwa seorang dari pada kedua pertapa itu telah berhasil
mendapatnya ia bisa datang ke guanya dan curi patung itu!
Sebenarnya apakah patung Dewi Kwan-im yang dicari-cari oleh
imam dari Kwan-im-kauw itu" Dan mengapa imam itu menyangka
ketua Gunung Thang-la yang mencurinya"
<> Marilah kita melihat sebentar keadaan di Kuil Kwan-im-bio yang
terletak di perbatasan Sin-kiang, sebuah kuil atau kelenteng yang
sangat besar dan mewah. Di sebelah utara Tibet, yakni di Pegunungan Kun-lun-san bagian
ujung barat, terdapat sebuah puncak bukit yang disebut Kwan-imsan.
Puncak ini terletak di perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet,
dan pegunungan yang menjadi bagian dari Kun-lun-san ini
disebut juga Pegunungan Kokoshili oleh orang-orang Tibet. Di
Puncak Kwan-im-san inilah letaknya kuil atau Kelenteng Kwanimbio yang besar dan megah.
Kelenteng ini dahulu didirikan oleh orang-orang Han yang hendak
meluaskan penyebaran agama yang mereka anut, yakni
106 penganut-penganut atau pemuja-pemuja Dewi Kwan-im Pouwsat,
ke dalam daerah Tibet yang terkenal fanatik menganut Agama
Buddha dan terkenal mempunyai banyak buddha hidup yang
disebut Lhama. Ternyata agama baru ini tidak dapat memasuki
Tibet karena Bangsa Tibet sudah terlalu kukuh dan kuat
kepercayaannya terhadap agama lama mereka.
Tapi Kelenteng Kwan-im-bio itu dilanjutkan oleh para penganut
Kwan-im-kauw dan bahkan dijadikan pusat karena agama itu di
pedalaman Tiongkok juga tidak mempunyai banyak penganut.
Tempat ini dijadikan markas besar di mana para pendeta-pendeta
menjadi utusan-utusan untuk menyebar agama itu ke seluruh
daerah. Pendiri dari Kwan-im-kauw atau sucouw mereka adalah Bu Su
Sianjin yang telah lama meninggal dunia. Kini tiga orang muridnya
yang melanjutkan usahanya.
Tiga orang murid ini merupakan pendeta-pendeta tingkat pertama
dan memiliki ilmu silat yang tinggi dan lihai sekali. Berkat kerajinan
tiga pendeta inilah maka ilmu silat Kwan-im-pai mendapat
kemajuan pesat hingga tidak sia-sia almarhum Bu Su Sianjin
menaruh kepercayaan kepada tiga orang muridnya ini.
Ketiga ketua Kwan-im-kauw ini, atau yang disebut kauw-cu (ketua
agama) adalah orang-orang yang alim dan betul-betul mencari
jalan kesucian dengan perantaraan kesucian Kwan-im Pouwsat
yang mulia. 107 Yang pertama adalah seorang wanita bernama Kim Hwa Sianli,
kedua juga seorang wanita bernama Cin Hwa Sianli, dan yang
ketiga seorang laki-laki bernama Kim Bok Sianjin. Ke tiga ketua
ini mempunyai banyak anak murid, dan murid-murid inipun
sebagian besar sudah berusia tinggi dan telah mempunyai muridmurid
lagi. Menurut taksiran, ke tiga ketua Kwan-im-kauw itu telah berusia
delapanpuluh tahun lebih, sedangkan murid-murid mereka ratarata
berusia enampuluh tahun. Karena itu, tidak heran bahwa
imam yang mencari patung ke Pegunungan Thang-la dan yang
mengaku bertingkat tiga, juga sudah tua, karena murid-murid
tingkat ketiga semuanya berusia antara empatpuluh sampai
limapuluh tahun. Jumlah seluruh imam yang berdiam dalam kelenteng itu lebih dari
seratus orang belum terhitung yang sedang berada di luar karena
tugas menyebar agama di lain daerah.
Karena itulah maka nama Kwan-im-kauw cukup terkenal dan
berpengaruh, pertama karena ketuanya memegang teguh disiplin
dan peraturan keras menjaga nama baik kelenteng, kedua karena
semua imam adalah orang-orang berilmu tinggi.
Di depan dan belakang kelenteng terdapat empang-empang yang
indah karena penuh dengan bunga teratai. Bunga teratai terkenal
sebagai bunga suci, terutama bagi penganut Kwan-im-kauw yang
memuja Kwan-im Pouwsat karena bunga teratai adalah tempat
dewi suci itu bersemayam.
108 Di tengah ruang besar terdapat sebuah empang kecil yang tak
terisi air tapi di situ terdapat beberapa belas bunga teratai emas
murni yang bercahaya mengkilap! Daun-daun dan bunga-bunga
teratai itu semuanya terbuat dari pada emas yang terukir indah
sehingga kelihatannya begitu hidup seolah-olah daun dan bunga
tulen yang diwarnai emas.
Dan di tengah-tengah empang itu, dikelilingi bunga-bunga teratai
emas terdapat sebuah-patung emas bermata mutiara, patung
Dewi Kwan-im duduk bersila di atas sebuah bunga teratai! Daundaun
dan bunga-bunga emas itu memang indah, tapi kalau
dibanding dengan patung itu, semua itu tidak ada artinya, karena
patung itu merupakan hasil seni yang luar biasa dan buatannya
demikian halus, emasnya demikian murni, hingga tak ternilai
harganya! Di luar empang, menghadap ke arah patung Dewi Kwan-im itu,
dipasang meja sembahyang yang besar dan di atas meja terdapat
tujuh batang lilin yang selalu menyala, tak kenal siang maupun
malam. Di sinilah para imam itu bermuja samadhi dan
bersembahyang kepada Kwan-im Pouwsat, dewi kebajikan yang
mereka puja. Selain paderi-paderi lelaki, di situ terdapat juga nikouw-nikouw
atau pendeta-pendeta perempuan, murid-murid dari Kim Hwa
Sianli dan Cin Hwa Sianli dan kesemuanya rata-rata memiliki ilmu
silat Kwan-im-pai yang lihai. Dan para nikouw inilah yang siang
malam dengan bergilir menjaga di sekeliling patung Dewi Kwanim
itu. 109 Tapi, hal yang tak terduga-duga dan aneh telah terjadi. Pada
suatu malam beberapa bulan yang lalu, patung itu telah dapat
tercuri orang dan lenyap!
Padahal malam hari itu di sekeliling patung duduk bersila
beberapa puluh pendeta laki-laki perempuan yang bermuja


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samadhi sambil menjaga. Setelah menjelang tengah malam,
entah mengapa, semua pendeta itu tak dapat bergerak dan
seakan-akan dalam keadaan terkena pengaruh ilmu sihir yang
mujijat. Mereka seolah-olah tertidur dalam keadaan setengah sadar.
Dengan samar-samar mereka melihat bayangan orang berkelebat
cepat sekali dan tahu-tahu patung itu telah lenyap dari situ!
Sebelum bayangan orang ajaib itu lenyap, terdengar suara
ketawanya yang menyeramkan dan disusul kata-katanya yang
diucapkan dengan keras dan parau.
"Hei, para imam tolol Kwan-im-kauw! Kalau kalian merasa
penasaran dan hendak mencari patung ini, datanglah ke puncak
Pegunungan Thang-la!" kemudian suara itu hilang berikut
bayangan orang dan patung Dewi Kwan-im yang dicurinya!
Tentu saja hal itu menimbulkan heboh besar dalam Kelenteng
Kwan-im-bio. Harus diketahui bahwa yang pada malam hari itu
menjaga di situ, sebagian besar adalah anak-anak murid ke tiga
ketua Kwan-im-pai, yakni tokoh-tokoh kedua yang ilmu
kepandaian tinggi. 110 Namun pencurian itu bisa dilakukan demikian sempurna dan
semua pendeta di situ sama sekali tidak berdaya, bahkan pencuri
itu dengan kurang ajar dan beraninya telah memberitahukan
tempat tinggalnya! Setelah diselidiki oleh Kim Hwa Sianli, Cin Hwa Sianli, dan Kim
Bok Sianjin bertiga ketua kwan-im-pai menyelidiki dengan teliti,
ternyata bahwa pencuri itu telah menggunakan semacam obat
bubuk yang merupakan racun halus dan pengaruhnya membuat
orang tak sadar seperti mabok!
Entah bagaimana pencuri itu bisa sebarkan obat bubuk itu ke arah
semua pendeta yang sedang bersamadhi tanpa diketahui oleh
mereka! Ini menandakan bahwa pencuri itu bukanlah sembarang
orang dan memiliki gin-kang yang tinggi sekali.
"Sepanjang pengetahuanku, yang memiliki obat tidur aneh ini
tidak ada keduanya tentu si tabib dewa Kiang Cu Liong. Tapi
untuk apa ia lakukan hal ini"
"Sedangkan ia terkenal sebagai seorang aneh yang menjalankan
dharma berata dan mengembara ke mana-mana tidak
mempunyai tempat tinggal yang tetap. Tapi mengapa pencuri itu
mengaku bertempat tinggal di Puncak Pegunungan Thang-la?"
Kim Bok Sianjin utarakan pendapatnya.
"Di Thang-la sejauh yang kuingat, hanya tinggal Beng Beng
Hoatsu, ada juga Hwat Kong Tosu yang tinggal di Hong-lun-san,
sebelah utara tapi termasuk puncak Pegunungan Thang-la juga.
Apakah seorang di antara nereka yang mencurinya" Tapi mereka
111 adalah orang-orang luar biasa yang berilmu tinggi, aku tidak
percaya mereka mau mengganggu kita," Cin Hwa Sianli utarakan
kesangsiannya. "Lupakah kalian bahwa Huo Mo-li juga tinggal di puncak Thangla?"
tiba-tiba Kim Hwa Sianli berkata.
"Apa" Setan api wanita itu?" kedua adik seperkumpulan itu
bertanya. Kim Hwa Sianli mengangguk. "Mereka bertiga ini disebut Thangla
Sam-sian atau Tiga Dewa dari Thang-la, dan kalau benar
seorang dari mereka mengambil patung kita, tentu Huo Mo-li
itulah yang melakukannya!
Setelah mengadakan perundingan dengan masak, lalu diambil
keputusan oleh Kim Hwa Sianli.
"Kita jangan sembrono dalam menuduh seseorang, apa lagi kalau
orang itu satu di antara ke tiga Dewa Thang-la itu! Mereka
bukanlah orang sembarangan dan kita lebih baik jauhkan diri dari
mereka dan tidak mencari keributan. Biarpun pencuri itu telah
mengaku bahwa ia tinggal di Thang-la, tapi obat bubuk yang ia
gunakan sungguh mencurigakan.
"Lebih baik kita juga mencari si tabib dewa dan menanyakan hal
ini kepadanya. Tapi sebelum jelas siapa yang mencurinya, tak
perlu kita sendiri turun tangan. Lebih baik kita menyuruh anak
murid kita untuk menyelidiki ke Gunung Thang-la."
112 Demikianlah, maka lalu dipilih seorang anak murid tingkat tiga
untuk menyelidiki di atas Thang-la dan sebagian lagi pergi
mencari Kiang Cu Liong Si Tabib Dewa yang tak tentu tempat
tinggalnya itu. Dan kebetulan sekali penyelidik yang diutus
menyelidiki di atas Pegunungan Thang-la telah bertemu dengan
ketiga tokoh Thang-la itu dan berlaku agak kurang hormat hingga
ia dipermainkan oleh Thang-la Sam-sian!
Dengan menderita luka dalam dan malu sekali, anak murid Kwanimpai itu lari menuju pulang. Dan semenjak saat itu, maka
tertanamlah bibit permusuhan di antara Kwan-im-kauw dan ke
tiga tokoh Thang-la itu! <> Lian Eng si gadis gagu mendapat gemblengan hebat dan
pelajaran silat dengan tak kenal lelah oleh Huo Mo-li. Setan api
wanita itu memang seorang yang keras hati dan Lian Eng biar pun
gagu, namun ternyata berotak cerdik sekali serta kerajinannya tak
kalah dengan subonya. Setelah mempelajari dasar-dasar Huo-mo-kun-hwat yang luar
biasa untuk beberapa bulan, otaknya yang tajam sudah dapat
menangkap sari-sari dasar ilmu silat itu. Maka mulailah ia diajak
oleh gurunya untuk mempelajari lukisan-lukisan di dinding yang
dulu digosok bersih oleh Siauw Ma.
Huo Mo-li jika bicara dengan muridnya menggunakan bahasa
campuran, yaitu dengan mulut dan jari tangan, maka Lian Eng
dapat menangkapnya dengan jelas sekali. Sebaliknya gadis gagu
113 itu sekali saja gerakkan tangannya, gurunya segera dapat
mengerti maksudnya. "Lian Eng, kau jangan memandang rendah ukiran-ukiran di
dinding ini. Ukiran-ukiran ini kubuat dengan susah payah selama
sepuluh tahun lebih. Semua lukisan dinding ini jika digabung
menjadi satu merupakan pelajaran Ilmu Silat Huo-mo-kun-hwat
yang lengkap, yaitu mengenai pokok-pokoknya saja karena
pecahannya akan datang dengan sendirinya jika telah hafal
pokok-pokoknya. "Jangan kira kau akan mempelajari dengan mudah semua ukiran
ini tanpa memahami dasar-dasarnya lebih dulu. Huo-mo-kunhwat
berdasarkan kegesitan dan selalu berusaha mendahului
gerakan lawan. Kalau lawan cepat, kita harus lebih cepat lagi.
Kalau lawan terlalu cepat bagi kita dan memiliki gin-kang yang
lebih sempurna, kita harus menggunakan gerakan lambat tapi
keras. "Pendeknya, gerakan kita harus seperti gerakan setan api, lihatlah
nyala api yang berkobar di dalam ruang dalam itu. Ia bisa
bergerak sangat cepat atau sangat lambat menurut bagaimana
keadaan di luar. "Tapi, cepat atau lambat, selalu didorong dengan tenaga hebat
dan panas! Juga gerakan kita kalau didorong dengan tenaga Huomokang, sama saja dengan gerakan api."
Demikian Huo Mo-li memberi pelajaran kepada murid tunggalnya
yang dimengerti baik oleh Lian Eng.
114 Kemudian Lian Eng diberi pelajaran permulaan melatih ilmu silat
menurut lukisan-lukisan di dinding itu dan mulai mempelajari ilmu
mujijat Huo-mo-kang! Untuk melatih ini, ia mula-mula harus
menyabetkan tangannya melalui api yang menyala. Karena ia
menggerakkan tangannya dengan cepat memotong nyala api itu,
maka tidak merasa panas dan kulitnya hanya sekejap saja
tersentuh api hingga tidak meninggalkan bekas.
Tapi lama-kelamaan gurunya menyuruh ia memperlambat
gerakan tangannya hingga api itu agak lama memanggang
tangannya. Setelah itu tangan yang dipanggang itu diberi obat
yang digosokkan sampai masuk melalui lubang-lubang di kulit.
Lambat laun Lian Eng dapat menahan dan menaruh tangannya di
dalam nyala api tanpa terbakar!
Setelah berlatih berbulan-bulan gadis gagu itu mulai belajar
mencuci kaki tangan dengan nyala api yang keluar dari kawah di
dalam ruang gua itu tanpa terganggu sedikitpun. Untuk dapat
mandi api seperti yang dilakukan gurunya, ia masih harus berlatih
deagan giat beberapa tahun, karena ia harus dapat menggunakan
lwee-kangnya sampai ke rambut-rambutnya, agar rambut itu
jangan habis dimakan api!
Untuk mempelajari kegesitan atau gin-kang, gurunya mengajak
Lian Eng ke luar gua dan di atas sebuah puncak yang terdapat
banyak burung. Huo Mo-li menangkap burung itu dengan pukulan
Huo-mo-kangnya, lalu muridnya disuruh meloncat menubruk
burung yang dilepas. 115 Mula-mula hal ini sukar sekali, tapi karena Lian Eng pernah
mempelajari silat dari kakeknya, Souw Cin Ok, dan pernah pula
sebulan lebih dilatih pelayan dan kedua manusia salju dari Beng
Beng Hoatsu, ia telah memiliki kepandaian yang lumayan juga
dan dasar-dasarnya sudah cukup kuat, maka kini mempelajari
ilmu luar biasa yang diturunkan oleh Huo Mo-li kepadanya, ia tidak
mengalami banyak kesukaran.
Tak lama kemudian, ia telah berhasil tiap kali tubruk pasti dapat
menangkap burung yang hendak terbang itu. Dengan demikian,
maka kecepatan gerakan tubuhnya sudah melebihi kecepatan
burung yang hendak terbang!
Setelah Lian Eng telah mulai berani mempermainkan nyala api
dengan kedua tangannya seolah-olah orang bermain-main air
saja, ia mulai memiliki tenaga Huo-mo-kang.
Pada suatu pagi Huo Mo-li ajak muridnya keluar untuk mencoba
ilmunya Huo-mo-kang. Di atas mereka banyak burung-burung
warna putih dan beterbangan rendah. Huo Mo-li gunakan tangan
kiri memukul ke atas, dan berseru.
"Turun!" Benar saja, seekor burung yang dibidik kepalan tangannya itu
seakan-akan kena pukul dan bergulingan ke bawah! Huo Mo-li
tangkap burung itu yang ternyata tidak mati karena memang
sengaja dipukul untuk menjatuhkannya saja. Kemudian ia
lepaskan burung itu dan memerintah muridnya, "Pukul!"
116 Lian Eng mengerti maksud gurunya, maka ia segera kerahkan
tenaga dalamnya ke arah tangan kanan dan pukulkan itu dengan
jari-jari terbuka ke arah burung yang telah terbang dan berada
kira-kira satu tombak di atasnya! Hebat sekali akibatnya.
Terdengar suara "Buk!" yang keras dan burung itu terpental lalu
jatuh ke tanah dengan bulu-bulunya rontok dan dadanya yang
berkulit putih kini menjadi matang biru! Burung itu mati seketika
itu juga. Gurunya memuji, "Bagus".... bagus!"
Tapi pada saat itu juga terdengar seruan merdu dan halus,
"Siancai".. siancai".. kepandaian yang tinggi, luar biasa, dan
ganas........" Ketika Huo Mo-li dan Liang Eng memandang, ternyata yang
datang adalah seorang pendeta wanita yang berpakaian hijau
gelap dan di dadanya terdapat sulaman dua tangkai bunga teratai.
Pendeta itu berusia kurang lebih limapuluh tahun dan wajahnya
tampak alim dan agung serta bibirnya selalu tersenyum ramah
dan sabar hingga sekali lihat saja dapat mendatangkan rasa
hormat dan senang dalam hati.
Huo Mo-li tahu bahwa nikouw itu berkepandaian boleh juga
karena dapat datang ke situ tanpa ia ketahui, sungguhpun hal ini
baru dapat terjadi karena ia tadi terlampau girang dan curahkan
semua perhatian kepada muridnya.
117 Nikouw itu angkat kedua lengan dan memberi hormat lalu berkata
dengan halus, "Maafkanlah pinni jika mengganggu kalian guru dan murid yang
lihai. Kalau mata pinni tidak salah lihat dan kalau pikiran pinni tidak
salah terka, bukankah pinni menghadap di depan Dewi Api dari
Thang-la yang sangat sakti dan terhormat?"
Biarpun kata-kata nikouw itu sangat halus dan penuh hormat
hingga membikin Lian Eng merasa suka, tapi Huo Mo-li yang
melihat bahwa nikouw itu hanya memakai tanda lukisan dua
tangkai bunga teratai, ia tidak memandang sedikitpun juga. Ia
tahu bahwa nikouw itu hanya anak murid tingkat dua saja dan ia
tak perlu mengacuhkan. "Kau murid siapakah?" tanyanya karena ia tahu dari Hwat Kong
Tosu bahwa Kwan-im-pai mempunyai tiga orang ketua.
Nikouw itu tetap bersikap hormat. "Pinni yang bodoh adalah murid
dari Cin Hwa Sianli subo," jawabnya.
"Cin Hwa Sianli itu ketua yang ke berapakah?" tanya pula Huo
Mo-li. "Guruku adalah ketua kedua dari Kwan-im-pai," jawab nikouw itu.
Huo Mo-li perdengarkan ketawa menyindir.
"Hm, ketua kedua dari Kwan-ia-pai mengutus kau datang ke sini
ada perlu apakah?" 118 Nikouw itu tetap sabar. "Pinni diutus mintakan maaf atas
kelancangan murid tingkat tiga yang berani berlaku kurang ajar
kepada Pouwsat." Nikouw itu sengaja menyebut Huo Mo-li dengan sebutan Huo
Pouwsat atau Dewi Api, karena sekali-kali ia tidak berani
menyebut Mo-li atau Setan Perempuan.
"Kalau kami tidak maafkan padanya, tentu sekarang ia telah
berada di neraka! Nah, kau pergilah, jangan mengganggu kami
lebih jauh." Tapi nikouw itu tetap berdiri membungkuk dan tidak mau pergi.
"Eh, eh, kau tidak juga pergi?" tanya Huo Mo-li gemas.
"Pinni diutus untuk menghaturkan maaf dan untuk memohon
kemurahan Pouw?sat untuk mengembalikan patung Kwan-im
Pouwsat dari kelenteng kami."
Huo Mo-li merah mukanya dan sepasang matanya yang jeli dan
indah itu memancarkan sinar api.
"Kau juga berani menuduh aku?"
Ia segera maju dan menggerakkan tangan kirinya ke pundak
nikouw itu untuk mendorong. Tapi nikouw itu telah mewarisi
kepandaian Cin Hwa Sianli sampai tingkat yang cukup tinggi,
maka dengan cepat ia berkelit. Huo Mo-li makin marah hingga
kedua lengan tangannya berubah merah.
119 Lian Eng terkejut melihat perubahan subonya itu karena ia tahu
bahwa dalam keadaan demikian maka tenaga Huo Mo-li yang
lihai telah menguasai sepenuhnya di kedua tangan gurunya dan
pukulan yang dilakukan oleh tangan itu adalah pukulan maut
belaka! Huo Mo-li menyerang lagi, tapi kembali nikouw itu dapat berkelit
karena telah menggunakan gerak ilmu silat Kwan-im-pai yang


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lihai. Setelah diserang dua kali, nikouw itupun balas menyerang
dengan tidak kalah hebatnya, tapi air mukanya tetap tenang dan
sabar. Huo Mo-li merasa terlalu rendah untuk membinasakan seorang
murid tingkat dua dari Kwan-im-pai, maka ia segera kerahkan ginkang
dan lwee-kangnya hingga sebentar saja ia telah dapat
mengurung nikouw itu. Baru saja belasan jurus, nikouw itu telah
merasa pening dan tiba-tiba jari tangan Huo Mo-li berhasil
menepuk pundaknya! Tepukan itu perlahan saja, tapi cukup membuat nikouw itu
sempoyongan mundur dengan muka pucat karena ia merasa sakit
sekali di dada sebelah kanan. Ia tahu bahwa ia telah mendapat
luka dalam yang cukup berat, maka ia menjura sambil menahan
sakit dan berkata. "Terima kasih atas kemurahan hati Pouwsat, dan pasti budi ini
akan pinni sampaikan kepada ketiga kauw-cu kami."
Huo Mo-li tersenyum sindir.
120 "Kau tidak akan mati, jangan khawatir! Tapi kalau dalam waktu
tiga kali duapuluh empat hari kau tidak sampai ke kelentengmu,
aku tidak tanggung akan keselamatan jiwamu. Kalau kauw-cu dari
kelentengmu penasaran dan tetap hendak mencari patung di sini,
janganlah suruh muridnya, tapi datang saja sendiri!"
Kemudian ia balikkan tubuh dan ajak Lian Eng pergi dari situ.
Nikouw itupun segera lari turun untuk pulang dan memberi
laporan kepada guru-gurunya.
Lian Eng diam-diam merasa tak senang dan terkejut melihat
watak gurunya yang ternyata kejam dan keras. Diam-diam timbul
rasa tak suka kepada gurunya itu. Tapi Huo Mo-li bersikap baik
sekali padanya hingga gadis gagu itu lama-lama lenyap rasa tidak
sukanya. Melihat betapa hebat dan tinggi ilmu silat gurunya, maka Lian Eng
perhebat ketekunannya dan ia mulai mempelajari lukisan dinding
itu dengan lebih teliti karena tahu bahwa ilmu silat yang diukir itu
benar hebat. Ia pelajari ukiran pertama dan cocokkan itu dengan pelajaran lisan
yang didapat dari gurunya. Dengan bantuan lukisan itu, ia dapat
melakukan gerak yang sempurna. Kadang-kadang Lian Eng
sampai lupa makan tidur karena rajinnya mempelajari dinding itu
hingga sering kali gurunya menegurnya.
Beberapa bulan telah lewat pula dan kini kepandaian Lian Eng
sudah maju pesat. Tapi belum juga ia memiliki tenaga yang cukup
kuat untuk menolak batu besar penutup gua Dewi Api, maka jika
121 gurunya keluar gua dan menutup batu itu ia hanya berada di
dalam gua seorang diri dan tekun mempelajari lukisan-lukisan di
dinding. Pada suatu hari, ketika ia asyik mempelajari gerak yang
keduapuluh tiga, tiba-tiba batu penutup gua itu terbuka. Gurunya
sedang keluar, maka tadinya Lian Eng menyangka bahwa
gurunya telah kembali hingga dengan wajah girang ia meloncat
keluar untuk menyambutnya.
Tapi alangkah kagetnya ketika melihat dua orang pendeta
perempuan yang berpakaian putih memasuki pintu gua itu. Dua
orang pendeta itu berusia tinggi, lebih dari tujuhpuluh tahun,
sedangkan wajah mereka agung dan keren.
Rambut mereka digelung ke atas dalam bentuk bunga teratai dan
pada baju bagian dada terlukis setangkai teratai besar. Di
punggung mereka tampak gagang po-kiam dan di tangan kanan
memegang sebuah hud-tim, yaitu kebutan pertapa yang berbulu
putih. Lian Eng berdiri memandang dengan tak bergerak kepada dua
pendeta wanita itu. Kedua pendeta itu ketika melihat Lian Eng
segera menghampiri dan seorang di antara mereka bertanya
dengan suara halus. "Eh, nona yang baik, di manakah perginya Huo Mo-li" Apakah dia
gurumu?" 122 Lian Eng menggeleng-gelengkan kepala, tanda bahwa ia tidak
tahu ke mana perginya gurunya, kemudian menganggukkan
kepala sebagai jawaban bahwa ia benar murid dari Huo Mo-li.
Kedua pendeta itu saling pandang, dan seorang lagi berkata,
"Nona, kau belum jawab pertanyaan kami."
Lian Eng merasa mendongkol sekali. Ia sudah menjawab
mengapa dianggap belum" Tiba-tiba timbul marahnya karena
terang sekali kedua wanita tua ini hendak mempermainkannya.
Sudah terang ia seorang anak gagu bagaimana disuruh bicara"
Maka ia lalu duduk dan buang muka!
"Hm, hm, gurunya setan, muridnyapun iblis!" seorang di antara
mereka memaki. Tentu saja Lian Eng merasa marah sekali mendengar betapa ia
dan gurunya dimaki orang. Ia berdiri dan dengan banting-banting
kaki gunakan jari telunjuk menuding keluar yang maksudnya ia
marah dan mengusir orang-orang itu. Tapi kedua pendeta itu tidak
mengerti, hanya menganggap gadis kecil itu mempermainkan
mereka. "Suci, mari kita geledah saja ke dalam. Agaknya iblis perempuan
itu bersembunyi di dalam."
"Sumoi, untuk apa mencari keributan?" Kim Hwa Sianli mencegah
adiknya. 123 "Ah kita hanya ingin mencari patung kita yang hilang. Hayolah,
suci, jangan ladeni anak gila ini!"
Keduanya lalu bertindak ke dalam, tapi tiba-tiba Lian Eng loncat
menghadang di depan mereka dengan tolak pinggang!
Kedua pertapa wanita itu tersenyum geli dan tidak ladeni gadis itu
terus saja maju melangkah, tapi sungguh tak dinyana, tiba-tiba
Lian Eng itu kirim pukulan Huo-mo-kangnya!
Cin Hwa Sianli yang berada di depan terkena langsung oleh angin
pukulan Lian Eng. Ia merasa betapa satu tenaga yang kuat dan
panas menyambarnya dengan hebat sekali, maka ia berseru
kaget dan menangkis dengan kebutannya.
Angin pukulan Lian Eng yang telah dapat menjatuhkan burung
yang terbang di atas itu tertangkis punah oleh hud-tim Cin Hwa
Sianli, tapi tak urung kebutan itu telah rontok beberapa helai
bulunya! Tentu saja hal ini mengagetkan kedua ketua Kwan-im-pai itu
karena tidak mereka sangka bahwa gadis kecil ini mempunyai
kelihaian sehebat itu! Cin Hwa Sianli meloncat maju menyerang
tapi sucinya yang khawatir kalau-kalau sumoinya salah tangan
melukai gadis kecil itu, segera membetot baju adiknya dan
berkata, "Mundurlah kau, sumoi!"
Kemudian ia sendiri maju, Lian Eng menyambut dengan pukulan
Huo-mo-kang lagi. Tapi Kim Hwa Sianli sudah siap hingga ia
124 dapat berkelit sambil membongkokkan diri ke samping lalu terus
maju menyambar Dengan jari tangan kirinya ia menotok pundak
Lian Eng hingga gadis itu berdiri kaku dan dia seperti sebuah
patung. "Hayo sumoi, kita mengadakan penyelidikan sebentar untuk
mencari patung kita, nanti kita lepaskan gadis lihai ini."
Mereka lalu menggeledah ke dalam gua dan mereka heran sekali
melihat betapa dalam gua yang diselimuti salju di puncak itu bisa
terdapat api bernyala-nyala yang keluar dari dalam kawah.
Mereka memeriksa dengan teliti, tapi tak berhasil menemukan
patung yang mereka cari-cari.
Dengan kecewa dan menyesal mereka keluar. Kecewa karena
patung yang dicari tidak ketemu, dan menyesal karena kalau
ternyata bahwa Huo Mo-li bukan pencurinya, maka berarti mereka
mendapat seorang musuh baru yang tangguh dan lihai sekali!
Ketika tiba di luar, mereka kaget sekali karena gadis kecil yang
tadi ditotok, sekarang telah duduk di atas bangku dengan senang
sambil makan paha seekor burung. Paha itu mentah, tapi gadis
itu makan dengan tampak lezat sekali. Selain gadis itu, di situ
tidak tampak orang lain! Kim Hwa Sianli segera menghampiri Lian Eng dan berkata
dengan suara halus, "Nona kecil, nanti katakan kepada gurumu
bahwa kami menyesal sekali telah mengganggu tempat
tinggalnya dan sampaikan pernyataan maaf kami."
125 Lian Eng hanya memandang dengan mata tajam, dan tiba-tiba
dari belakang kedua pendeta wanita itu terdengar orang berkata
dengan suara merdu, "Aduh enaknya! Menghina anak kecil, masuk tempat orang tanpa
permisi, bisakah dibikin habis begitu saja?"
Kim Hwa Sianli dan Cin Hwa Sianli cepat memutar tubuh dan
mereka melihat seorang wanita yang sangat cantik berdiri sambil
tersenyum menghina. Mereka kagum sekali melihat kecantikan
Huo Mo-li. Biarpun mereka telah mendengar tentang kecantikan
Setan Api Wanita itu, namun baru kali ini mereka melihat dengan
mata sendiri. "Hm, kalian ini bukankah ketua dari Kwan-im-pai?"
Kim Hwa Sianli menjura dan membenarkan pertanyaan Huo Moli
yang lalu berkata lagi. "Bagus betul perbuatan ketua-ketua Kwan-im-pai. Kalian sungguh
tidak pandang mata kepada orang lain. Apa kausangka semua
orang harus tunduk dan takut kepada Kwan-im-pai" Yang
manakah di antara kalian bernama Cin Hwa Sanli?"
Cin Hwa Sianli maju setindak, "Apakah maksudmu
menanyakannya" Pinni sendirilah bernama Cin Hwa!"
Huo Mo-li pandang pendeta wanita itu dengan tajam. Biarpun
wajah Cin Hwa Sianli menunjukkan bahwa ia adalah seorang
yang tinggi ilmu batinnya dan telah dapat mengekang segala
nafsu dunia, namun sinar matanya tidak selembut Kim Hwa Sianli.
126 "Jadi nikouw yang datang dua bulan yang lalu itu adalah
muridmu" Dan sekarang kau sendiri datang mau apa" Kenapa
kau geledah-geledah guaku tanpa permisi" Bagaimana kalau kau
mencuri sesuatu dari guaku?"
Karena sedih dan menyesal telah kehilangan patung Dewi Kwanim
dan mencari tanpa hasil, maka Cin Hwa Sianli kini menjadi
marah mendengar ia dituduh mencuri!
"Siapa yang sudi mencuri barang-barangmu" Hm, kami datang
sebaliknya hendak mencari barang kami yang dicuri oleh orang
rendah!" Huo Mo-li memandang marah. "Mengapa dicari dalam guaku?"
Melihat kedua orang itu telah bersitegang, Kim Hwa Sianli maju
dan angkat kedua tangan memberi hormat, lalu berkata dengan
hormat, "Harap toanio sudi memaafkan kekeliruan kami dan
biarlah lain kali kalau ada kesempatan kami akan memperbaiki
kesalahan terhadap toanio ini. Sumoi, marilah kita pergi."
Tapi Huo Mo-li berkata dengan suara garang,
"Sudah suruh murid datang mengacau lalu diri sendiri datang
melanggar kesopanan, mau pergi begitu saja" Tak mungkin"..
tak mungkin!" Cin Hwa Sianli menjadi gemas dan berkata keras, "Habis kau mau
apa?" 127 Huo Mo-li memandangnya dengan mata bersinar. "Kau jauh-jauh
telah datang ke sini, maka mau tidak mau aku harus
menyambutmu. Ingin aku mencoba kelihaian ketua dari Kwan-impai
yang mempunyai murid-murid yang tak becus apa-apa!"
"Kau menantang bertanding?" Cin Hwa Sianli bertanya.
"Kalau kau berani!" jawab Huo Mo-li.
Dengan sekali gerak saja Cin Hwa Sianli telah cabut pedang
dengan tangan kanan dan kebutannya telah pindah ke tangan kiri,
lalu sambil berkata, "Kalau begitu, aku si tua bangka tidak baik
kalau menolak ajakanmu. Bersiaplah kau, Huo Mo-li!"
Sambil berkata demikian, kebutan di tangan kirinya bergerak ke
arah muka Huo Mo-li, tapi gerakan ini hanya untuk mengelabui
mata lawan saja, karena yang sebenarnya menyerang hebat
adalah pedang di tangan kanannya! Karena maklum bahwa
lawannya ini lihai sekali, Cin Hwa Sianli membuka serangan
dengan langsung mengeluarkan ilmu yang mematikan dan
berbahaya. Tapi dengan tenang dan mudah sekali Huo Mo-li berkelebat ke
samping dan menghindarkan serangan itu, kemudian iapun balas
menyerang dari samping dengan pukulan yang hebat. Melihat
lawannya begitu bergebrak sudah mengeluarkan gerakan
mematikan, iapun tidak berlaku sungkan lagi. Pukulannya dari
samping ini adalah gerakan Setan Api Menjilat Air yang
mengandung tenaga Huo-mo-kang penuh.
128 Sekiranya terkena pukulan ini, biarpun memiliki kepandaian tinggi
dan lwee-kang yang cukup sempurna, Cin Hwa Sianli tentu takkan
dapat menahannya. Tapi pertapa wanita itu gin-kangnya juga
sudah cukup tinggi maka cepat sekali ia meloncat menyingkir dari
pukulan itu. Angin pukulan yang keluar dari lengan tangan Huo Mo-li
menyambar dinding batu dan sebagian dinding itu tergempur!
Alangkah kaget dan kagumnya ke dua ketua Kwan-im-pai itu
melihat kehebatan pukulan Huo Mo-li.
Sebaliknya Huo Mo-li sendiri melihat betapa lawannya cukup gesit
dan ternyata pukulan pertamanya bahkan merusak dinding
guanya sendiri, ia segera meloncat keluar dan menantang.
"Cin Hwa! Kau memang gagah, marilah keluar dari gua dan
bertempur sampai seribu jurus dengan aku!"
Cin Hwa Sianli tidak takut dan menyusul keluar, di belakangnya
menyusul pula Kim Hwa Sianli. Lian Eng merasa gembira melihat
perkelahian itu dan diam-diam iapun keluar dari gua dan duduk di
atas tanah yang tertutup salju sambil bersandar ke batu karang
guanya. Begitu melihat lawannya telah datang menyusul segera Huo Moli
menyerang bertubi-tubi dengan Huo-mo-kun-hwat yang luar
biasa gerakannya itu. Biarpun di tangan kanannya ada pedang mustika dan di tangan
kirinya ada kebutan dan kedua senjata itu dapat dimainkan
129 dengan lihai, namun menghadapi serangan-serangan Huo Mo-li
yang hebat, Cin Hwa Sianli terdesak juga!
Lebih-lebih ketika setelah bertempur puluhan jurus ia berhasil
menggunakan pedangnya menyabet pinggang Huo Mo-li tapi
terpental dan tidak mempan, hatinya menjadi gentar. Ia tidak
sangka bahwa selain lihai ilmu silatnya, Setan Api Wanita itupun
bertubuh kebal dan dapat menahan sabetan pedangnya!
Padahal jelas tampak bahwa baju Huo Mo-li di bagian pinggang
telah robek karena sabetannya tadi. Ia mana tahu bahwa di
sebelah dalam dari pakaian luarnya, Huo Mo-li mengenakan baju
wasiat yang terbuat dari pada serat yang diambil dari semacam


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumput salju yang jarang terdapat.
Huo Mo-li sengaja memperlihatkan kesaktiannya untuk
mengacaukan pikiran lawan. Benar saja, setelah melihat bahwa
Huo Mo-li tak dapat terluka oleh pedangnya, maka permainan silat
Cin Hwa Sianli menjadi kendur dan pada suatu saat Huo Mo-li
berhasil kirim pukulan yang tepat mengenai pundak kanan
pendeta wanita itu. Cin Hwa Sianli terlempar beberapa tombak jauhnya dan ia roboh
tak berkutik lagi. Biarpun ia dapat menahan sakit dan sedikitpun
tidak mengeluarkan keluhan, akan tetapi lukanya cukup hebat dan
sambungan tulang pundaknya telah terlepas!
Huo Mo-li yang melihat bahwa lawannya biarpun terluka tapi tidak
akan tewas, segera loncat maju hendak kirim pukulan kedua, tapi
130 pada saat ia angkat tangannya, tiba-tiba ia merasa tangan itu sakit
dan pada lengannya terasa panas, perih dan ngilu sekali!
Ia turunkan tangannya dan melihat bahwa pada lengan bagian
atas tangan itu telah mengucurkan darah. Ia tahu dirinya telah
terkena serangan senjata rahasia, maka ia menghadapi Kim Hwa
Sianli dengan marah. "Bukan lakunya seorang gagah untuk menyerang dengan curang
dan diam-diam!" teriaknya dan siap untuk menyerang.
Kim Hwa Sianli menjura. "Maaf, toanio. Kepandaianmu sungguh hebat dan sumoiku bukan
tandinganmu, juga pinni sendiri takkan dapat melawanmu. Tapi
setelah kau menang, tak perlu kau turunkan tangan membunuh
sumoiku. Itupun bukan lakunya seorang gagah. Aku
menyerangmu dengan Kwan-im-ciam hanya dengan maksud
menolong jiwa sumoi yang hendak kaubunuh tadi."
Huo Mo-li terkejut ketika tahu bahwa yang melukai lengannya
adalah Kwan-im-ciam, semacam jarum halus yang tentu saja
karena runcing dan halusnya, dapat menembus lubang-lubang
kecil di antara pakaian wasiatnya, dan ia tahu pula bahwa jarum
itu dapat memasuki jalan darah dan berjalan perlahan dengan
darah menuju ke jantung! Dan mendengar kata-kata Kim Hwa
Sianli yang mencelanya karena hendak membunuh Cin Hwa
Sianli, ia merasa bahwa kata-kata itu memang benar, maka ia
hanya tundukkan muka. 131 Kim Hwa Sianli tarik keluar sebungkus obat dari kantung jubahnya
dan berkata lagi. "Toanio, kita tak pernah bermusuhan, maka mengapa harus
saling bunuh" Adikku telah terluka olehmu, begitu pula murid
kami, dan kau telah terluka oleh jarumku.
"Bukan pinni hendak katakan bahwa pinni lebih pandai darimu,
toanio. Tapi dengan kedua pihak telah terluka, maka kita telah
saling bayar utang. Biarlah persoalan ini habis sampai di sini saja.
Ini terimalah obat ini, jika kaucampur obat ini dengan air dan
tempelkan pada luka di lenganmu, pasti jarum itu akan dapat
disedot keluar." Huo Mo-li biarpun mengaku bahwa Kim Hwa Sianli bicara benar,
namun adatnya yang keras dan angkuh tak dapat ditaklukkan. Ia
berkata dengan senyum pahit.
"Aku sudah salah tangan melukai muridmu dan sumoimu, kini kau
melukai aku, apakah anehnya" Kalau sampai aku mati karena
luka ini, apakah halangannya" Yang kusesalkan adalah
kesembronoanmu dan murid-muridmu. Yang curi patungmu
adalah Hwat Kong, tapi kalian kejar-kejar aku. Hm, sungguh tolol!"
Mendengar ini, Kim Hwa Sianli girang sekali.
"Oh, jadi Hwat Kong Tosu kah yang lakukan perbuatan itu"
Terima kasih, terima kasih atas keteranganmu, toanio. Nah, ini,
pakailah obatku agar kau lekas sembuh dari pengaruh jarum itu!"
132 "Bawalah obatmu dan pergilah cepat! Kalau terlalu lama kau di
sini, mungkin aku tak dapat menahan sabar lebih lama. Pergilah
kau dan bawa sumoimu!"
Huo Mo-li tidak mau terima obat itu bahkan mengusir. Kim Hwa
Sian-li tidak menjawab lagi, lalu angkat sumoinya dan setelah
menjura sekali lagi, ia berkelebat turun gunung sambil panggul
tubuh sumoinya yang terluka.
Setelah kedua pendeta wanita itu pergi, barulah Huo Mo-li periksa
luka di tangannya. Ternyata luka yang kecil sekali dan bekas
tempat di mana jarum halus itu menerobos masuk ke dalam
lengannya, terdapat tanda merah dan rasanya gatal dan panas.
Ketika ia meraba-raba, ternyata jarum halus itu telah memasuki
lengan tangannya dan berada di dekat tulang lengan! Ia tidak tahu
bagaimana harus mencabut jarum itu, maka dengan nekat ia
hendak membedah lengannya untuk ambil jarum yang berbahaya
dari daging lengannya. Lian Eng lari menghampiri gurunya dengan khawatir. Dengan
gerak tangan dan jari ia bertanya yang maksudnya begini.
"Bagaimanakah luka di lenganmu" Berbahayakah?" Wajah gadis
kecil itu tampak bingung.
"Jangan khawatir, muridku. Marilah kita masuk ke dalam gua dan
aku akan coba keluarkan jarum terkutuk ini!" jawab gurunya.
<> 133 Tapi sebelum mereka memasuki gua, tiba-tiba dari lereng bukit
terdengar suara kelenengan nyaring dan ketika mereka
memandang, tampaklah seorang anak laki-laki berusia paling
banyak tigabelas tahun mendaki puncak sambil memikul pikulan
keranjang tukang obat. Ternyata anak itu dapat panjat puncak
Dewi Api dengan cepat dan kepandaiannya ringankan tubuh
sudah mengagumkan. Huo Mo-li heran melihat anak itu berani naik ke puncak, tapi ketika
ia melihat seorang tua dengan kepala besar dan tubuh kecil jalan
di belakang anak itu sambil memikul keranjang besar di mana
dipasangi kelenengan yang berbunyi nyaring itu, tahulah ia bahwa
anak kecil itu tentu pembantu atau murid tukang obat itu.
Ia perhatikan tindakan kaki tukang obat itu yang walaupun
tampaknya berjalan seenaknya namun cepat sekali telah bisa
menaiki puncak. Maka tergeraklah hati Huo Mo-li, lebih-lebih
ketika orang tua kepala besar itu tujukan tindakannya ke arah
guanya. Setelah orang tua aneh itu berada di depannya, dengan
sikap sambil lalu ia berkata dengan suaranya yang besar dan
dalam. "Huo Mo-li. mengapa berada di luar gua?"
Kaget juga hati Setan Api Wanita itu mendengar orang telah tahu
julukannya. Sebelum ia menjawab, tampak wajah tukang obat itu
terkejut dan memandangnya dengan tajam, lalu berkata lagi.
"Heran, heran! Huo Mo-li sampai menderita luka!"
134 Makin heranlah Huo Mo-li, maka ia segera bertanya tanpa banyak
upacara lagi. "Orang tua aneh, siapakah kau maka kenal namaku dan tahu
bahwa aku menderita luka?"
"Aku tukang obat biasa dan kerjaku mengobati orang yang
membutuhkan obat! Tentu saja aku kenal kau karena siapa lagi
kalau bukan Huo Mo-li yang berada di atas puncak ini" Tentang
lukamu, aku bukanlah tukang obat kalau tidak mengetahui apakah
orang yang kuhadapi itu sakit atau tidak!"
Huo Mo-li teringat sesuatu. Orang ini aneh sekali dan agaknya
memiliki kepandaian tinggi, tukang obat yang berilmu tinggi di
dunia ini setahunya hanya seorang, yaitu Kiang Cu Liong yang
disebut. Tukang Obat Dewa.
"Apakah kau setan obat she Kiang?" tanyanya dengan sengaja
menyebut setan karena ia tidak mau mendewa-dewakan Kiang
Cu Liong. Tukang obat yang berwajah aneh dan kepalanya yang besar itu
tertawa bergelak mendengar pertanyaan ini.
"Aku memang Kiang Cu Liong! Huo Mo-li kebetulan sekali aku
datang pada saat kau menderita luka."
"Apa katamu" Kebetulan mengapa?"
Kiang Cu Liong tertawa lagi. "Kebetulan sekali, karena aku dapat
menolongmu dan mengeluarkan jarum itu dari lenganmu."
135 "Eh, bagaimana kau bisa tahu aku terluka oleh jarum?"
"Hem, Huo Mo-li, jangan kauanggap tidak ada orang lain yang
lebih pintar darimu. Aku tadi bertemu dengan ketua Kwan-imkauw
yang menggendong sumoinya. Siapa lagi kalau bukan dia
yang sanggup lukai kau" Dan lukamu tentu karena jarumnya
Kwan-im-ciam." Sebenarnya Kiang Cu Liong hanya melihat Kim Hwa Sianli
menggendong adiknya turun dari puncak itu, dan ia tidak
menemuinya, tapi karena ia memang cerdik, ia dapat menduga
tepat sekali. Tapi ia tidak tahu akan watak Huo Mo-li yang angkuh dan tidak
sudi menerima pertolongan orang, maka alangkah herannya
ketika Huo Mo-li menjawab dengan wajah muram.
"Kiang Cu Liong, jangan kau anggap aku tidak bisa keluarkan
jarum ini sendiri. Aku tidak pernah menerima pertolongan orang
dengan cuma-cuma!" Untuk sesaat tukang obat she Kiang itu berdiri bengong, tapi ia
segera tertawa bergelak. "Siapa ingin menolong orang dengan cuma-cuma" Dengar Huo
Mo-li, aku tadi bilang kebetulan karena kedatanganku ialah
hendak minta pertolonganmu! Maka, sekarang kita bisa saling
tolong hingga tidak ada di antara kita yang menerima pertolongan
cuma-cuma!" 136 "Pertolongan apa?" Huo Mo-li bertanya dengan hati tertarik,
karena kalau saling tolong itulah lain lagi soalnya.
"Aku membutuhkan beberapa potong mutiara salju yang hanya
dapat diketemukan di atas puncak ini, yaitu cairan salju yang
terpanggang oleh api kawah kemudian membeku lagi dan setelah
beberapa tahun mencair dan membeku maka menjadi potongan
karang putih keras yang disebut mutiara salju. Aku butuh
beberapa potong untuk dipakai bahan obat semacam penyakit
yang berbahaya. Berilah padaku beberapa potong mutiara salju
itu dan aku akan bantu kau mengeluarkan jarum itu."
"Hm, kalau begitu, baiklah."
Huo Mo-li lalu gulung lengan bajunya yang tadi ia turunkan
kembali melihat ada orang datang.
Kiang Cu Liong lalu keluarkan sepotong besi yang bentuknya
melengkung seperti besi kaki kuda dan ternyata besi itu
mengandung kekuatan sembrani yang kuat sekali. Ia tempelkan
besi itu di atas luka di lengan Huo Mo-li, lalu gunakan jari
tangannya mengetuk-ngetuk ke arah belakang jarum yang
mengeram dalam lengan itu.
Tak lama kemudian, setelah jarum yang di dalam lengan itu
terdorong oleh ketukannya dan disedot oleh besi sembrani, ia
lepaskan besi itu dan ternyata jarum itu telah tampak keluar sedikit
dari kulit Huo Mo-li! Dengan mudah saja kakek kepala besar itu
mencabut jarum Kwan-im-ciam dan tertawa senang. Ia lalu
simpan jarum itu ke dalam kotak obatnya.
137 Kemudian ia gunakan obat untuk dipoleskan di bekas luka itu
hingga Huo Mo-li merasa lengannya dingin dan enak.
"Nah, ayoh kau kuantar mengambil mutiara salju yang
kaubutuhkan itu," kata Huo Mo-li kemudian, dan mereka berdua
lalu tinggalkan tempat itu dan berpesan kepada murid masingmasing
untuk menanti sebentar. Pemuda kecil yang tadi datang bersama Kiang Cu Liong adalah
pemuda yang sangat cakap. Kulit mukanya putih bersih, bibirnya
merah dan matanya sangat tajam dan jujur sinar matanya. Daun
telinganya lebar hingga ia tampak tampan dan gagah. Setelah
melihat gurunya pergi dengan Huo Mo-li, ia mendekati Lian Eng
yang masih berdiri di situ.
Ia berdiri di depan gadis cilik itu sambil memandang tajam, tanpa
mengeluarkan sepatah katapun. Kemudian ia menggerakkan jari
telunjuknya ke arah dadanya sendiri dan membungkuk lalu
menggunakan jari telunjuk menulis di atas salju yang berbunyi.
"Namaku Tiong Li."
Melihat bahwa pemuda itu tahu bahwa ia tidak bisa bicara, maka
Lian Eng menjadi girang. Dulu ia pernah diajar menulis oleh
kakeknya dan tahu pula arti tiap huruf yang tidak begitu sukar.
Maka iapun segera menulis namanya sendiri di atas salju.
Dengan menggerakkan jari-jari tangan, Tiong Li menceritakan
kepada Lian Eng bahwa semenjak kecil ia ikut suhunya merantau
dan ketika Lian Eng bertanya kepadanya ia belajar apa, Tiong Li
138 menjawab bahwa ia diajar memilih daun-daun dan akar obat,
diajar pula cara mengobati.
Melihat gerakan yang menceritakan hal ini, Lian Eng tersenyum
manis dan tiba-tiba ia menunjuk ke atas. Beberapa ekor burung
terbang rendah di atas mereka. Lian Eng segera mengumpulkan
tenaganya dan dengan pukulan Huo-mo-kang is menjatuhkan
seekor burung. Burung itu masih hidup tapi dadanya terpukul angin pukulan itu
hingga menjadi biru dan ia pukul-pukulkan sayapnya kesakitan.
Lian Eng lalu ambil burung itu dan diberikan kepada Tiong Li dan
minta pemuda itu coba mengobati luka burung yang terpukul tadi!
Tiong Li tadinya terkejut sekali melihat kehebatan ilmu pukulan
gadis gagu itu, tapi kini ia mengerti maksudnya, ialah gadis itu
hendak menguji kepandaiannya memberi obat. Dengan segera ia
periksa dada burung tadi dan jidatnya yang lebar dan putih halus
itu berkerut ketika ia melihat betapa dada itu matang biru oleh
angin pukulan Lian Eng. Ia cepat mengambil selembar daun obat dari keranjangnya lalu
meremas-remasnya dalam tangan kiri. Setelah ia meremas
sedikit salju ke dalam tangan kanannya, ia lalu mencampur
hancuran daun itu dengan salju, lalu memupukkan ramuan obat
itu di dada burung tadi sambil mengurut-urut tubuh burung dengan
jari-jari tangannya yang cekatan dan halus.
139 Aneh sekali, tak lama kemudian burung itu tampak segar kembali
dan ketika Tiong Li melempar burung itu ke atas, maka binatang
itu sambil cecowetan dapat terbang kembali!
Lian Eng berjingkrak memuji, ia senang sekali melihat kepandaian
Tiong Li. Tapi pemuda kecil itu dengan gerakan tangannya
mencela perbuatan Lian Eng yang dianggap kejam telah melukai
burung tadi. Lian Eng tidak senang melihat celaan ini dan ia menunjuk ke atas
sambil menantang kepada Tiong Li untuk menangkap seekor
burung yang sedang terbang.
Pemuda itu tersenyum dan berkata kepada diri sendiri.
"Hm, kaukira hanya kau saja yang pandai menangkap burung?"
Ia tadinya menyangka bahwa gadis itu adalah gagu dan tuli, tapi
ia tidak tahu sama sekali bahwa Lian Eng hanya gagu saja dan
dapat mendengar baik, bahkan dapat mengerti kata-kata biasa.


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar pemuda itu berkata demikian, Lian Eng menjadi
makin penasaran dan mendesak pemuda itu memperlihatkan
kepandaiannya. Tiong Li menjadi heran dan bertanya, "Kau mengerti dan dapat
mendengar kata-kataku?"
Lian Eng mengangguk. Tiong Li menjadi tertarik sekali dan mendekati gadis itu.
140 "Coba kaubuka mulutmu agar kulihat!"
Bukan main marahnya Lian Eng ketika pemuda itu menyuruhnya
membuka mulut. Disangkanya pemuda itu hendak memperolokoloknya,
maka ia loncat mundur sambil memandang marah.
"Jangan kau salah sangka. Aku hendak melihat tenggorokanmu
dan mengetahui apakah yang menyebabkan kau tidak bisa
bicara. Aku tidak bermaksud buruk!"
Mendengar ini, lenyaplah kemarahan Lian Eng, tapi sebaliknya ia
menjadi malu. Mukanya merah dan ia tetap tidak mau membuka
mulutnya untuk diperlihatkan kepada pemuda itu!
Segera ia mendesak kembali kepada Tiong Li untuk menangkap
burung karena ia hendak saksikan apakah selain pandai
mengobati, pemuda itupun mempunyai kepandaian lain pula.
Tiong Li segera pungut salju lembek dan berdongak memandang
ke arah burung-burung yang sedang terbang. Ia menuding ke
arah burung yang terbang paling tinggi, lalu ia ayun tangan
melempar salju lembek yang dikepal itu ke atas.
Benar saja, kepalan salju lembek itu tepat menempel ke sayap
burung hingga burung itu tak dapat terbang lagi lalu jatuh terputarputar
ke bawah! Tiong Li pungut burung itu dan
memperlihatkannya kepada Lian Eng untuk membuktikan bahwa
burung itu sama sekali tidak menderita luka. Kemudian ia
lepaskan salju itu dan burung itu terbang kembali ke udara.
141 Lian Eng girang sekali melihat kepandaian ini maka ia segera
meniru-niru. Untuk dapat melempar salju lembek itu demikian
keras, dibutuhkan tenaga lwee-kang yang tinggi. Tapi dalam hal
ilmu lwee-kang, Lian Eng tak usah kalah oleh Tiong Li, maka
sebentar saja ia pun sudah dapat menembak jatuh seekor burung.
Kalau ia bisa bersuara, Lian Eng tentu bersorak karena girang dan
gembira. Tapi karena ia gagu, ia hanya bisa berloncat-loncatan
dengan muka berseri-seri!
Tiong Li juga ikut berloncatan-loncatan girang hingga mereka
sambil berpegang tangan menari-nari di atas salju.
Pada saat itu dari puncak turun Huo Mo-li dan Kiang Cu Liong.
Kedua guru ini melihat murid mereka demikian gembira dan dapat
bergaul baik, ikut pula gembira. Huo Mo-li berkata,
"Muridmu tidak tercela!"
"Tapi muridmu tidak kalah hebat," jawab Kiang Cu Liong.
Kemudian Kiang Cu Liong bertanya mengapa Huo Mo-li sampai
dapat bertempur dengan ketua Kwan-im-pai. Huo Mo-li lalu
ceritakan tentang patung Dewi Kwan-im yang lenyap dicuri orang
dan bahwa ketua Kwan-im-pai menuduh dia yang mencurinya.
Mendengar ini Kiang Cu Liong merasa kecewa sekali, tapi
kemudian ia tertawa bergelak-gelak ketika Huo Mo-li bercerita
bahwa Setan Api Wanita itu bersama Beng Beng Hoatsu dan
Hwat Kong Tosu membuat perlombaan, untuk mencuri atau
memiliki patung yang hilang itu dalam sepuluh tahun.
142 "Huo Mo-li, ketahuilah. Sebenarnya aku sendiri dari sini hendak
pergi ke Kwan-im-bio dan hendak pinjam patung itu sebentar, baik
dengan secara berterang maupun dengan jalan mencurinya
sebentar untuk kemudian dikembalikan lagi."
Huo Mo-li memandangnya heran. "Kau juga ingin memiliki patung
itu" Untuk apakah emas dan mutiara itu bagimu?"
"Jangan salah sangka. Aku tidak ingin emas maupun permata.
Yang kuingin ialah sebuah benda yang tersembunyi di dalam
patung itu. Dulu ketika patung itu dibuat, seorang ahli obat dari
barat yang berilmu tinggi telah menyimpan beberapa jinsom yang
jarang terdapat dan yang mujijat khasiatnya di dalam patung itu.
"Jinsom itu adalah simpanan dalam istana Raja Mongol dan ketika
beberapa orang asing datang hendak merampas jinsom itu, maka
oleh orang berilmu itu lalu disimpan di dalam patung emas Kwanim
Pouwsat. Maka karena kalian bertiga telah berlomba,
anggaplah aku sebagai orang keempat yang mengikuti
perlombaan ini! Kalian hendak rebut patung itu hanya untuk mainmain
belaka, tapi aku lain lagi.
"Kalau tidak salah, selain jinsom yang kusebutkan tadi, di situ
tersimpan pula buku ilmu obat-obatan dari orang berilmu itu.
Sayang bahwa patung itu telah dicuri orang hingga agak sukarlah
bagi kita untuk mencarinya."
"Menuruti ketua Kwan-im-kauw, yang mencuri patung itu memberi
tahu bahwa jika orang hendak mendapatkan kembali patung Dewi
Kwan-im, maka harus dicari ke atas pegunungan ini. Heran,
143 siapakah orangnya yang begitu kurang ajar?" Huo Mo-li berkata
gemas. Kiang Cu Liong putar-putar otak dalam kepalanya yang besar itu,
tapi ia juga tak dapat menerka siapa.
"Tentu orang itu seorang yang berkepandaian tinggi dan seorang
yang suka main-main atau memang berwatak curang. Kalau mau
mencari orang palsu dan curang dan berkepandaian tinggi, di
dunia ini selain Tok-kak-coa si Ular Tanduk Beracun, siapa lagi!"
"Apa" Kaumaksudkan si iblis dari timur itu?" tanya Huo Mo-li
dengan kaget karena iapun pernah mendengar Tok-kak-coa
sebagai seorang yang sangat jahat dan sangat lihai di daerah
timur. "Mungkin dia, siapa tahu" Baiklah kita mencari jalan kita masingmasing.
Kemudian tukang obat dewa itu menghampiri muridnya."
"Tiong Li," katanya lalu menunjuk ke arah Lian Eng. "Ingatlah, di
kelak kemudian hari gadis cilik ini akan menjadi pendekar wanita
yang jarang tandingannya."
"Tapi kasihan sekali, suhu, dia menderita sakit gagu. Bukankah
suhu dapat menolongnya" Karena ia tidak tuli, suhu, dia bisa
mendengar dengan baik!"
Suara Tiong Li memohon kepada gurunya itu terdengar oleh Lian
Eng hingga gadis itu menundukkan kepada dengan terharu. Tapi
Kiang Cu Liong berkata. 144 "Tak usah kauceritakan, akupun sudah tahu bahwa ia menderita
sakit tenggorokan dan membuatnya tak bisa bicara. Tapi, aku tak
berdaya. Kalau ia sudah mencapai usia duapuluh tahun,
barangkali baru aku dapat menolongnya, kecuali jika obat ajaib
yang kucari itu dapat ditemukan. Obat itu dapat menyembuhkan
segala penyakit!" Kemudian si Tabib Dewa itu mengajak muridnya turun gunung
dengan cepat setelah berkata kepada Huo Mo-li, "Selamat
berpisah dan sampai berjumpa pula!"
Huo Mo-li berkata kepada Lian Eng, "Muridku, mereka itu adalah
orang-orang baik, ingatlah ini! Mungkin di kemudian hari kau
masih harus berurusan dengan mereka. Juga kepandaian mereka
itu tidak berada di bawah kita."
Lian Eng mengerti maksud gurunya dan semenjak itu ia
mempelajari ilmu silat dengan lebih rajin lagi.
<> Hwat Kong Tosu, kakek pertapa yang tinggi kurus dan berilmu
tinggi setelah membawa muridnya, Souw Cin Ok, kembali ke
Hong-lun-san, lalu ia berpesan kepada Souw Cin Ok untuk
menjaga tempat pertapaannya dan ia sendiri lalu turun gunung
untuk mulai dengan perantauannya mencari patung Dewi Kwanim
yang tercuri itu, sekalian mencari seorang murid yang cocok
dan yang berbakat baik. 145 Tapi, tidak mudah baginya untuk mencari murid yang sebaik
Siauw Ma atau Lian Eng, dan lebih tidak mudah lagi baginya untuk
mencari patung yang hilang itu karena ia tidak tahu siapa yang
mencurinya. Dengan menubruk sana-sini seperti laku seorang buta, Hwat
Kong Tosu mendatangi segala maling dan perampok yang
terkenal lihai dan menggunakam kepandaiannya untuk
menangkap mereka itu lalu dipaksa mengaku, kalau-kalau
mereka itu yang mencuri patung. Tapi tak seorangpun di antara
para maling dan perampok cabang atas itu mencuri patung Dewi
Kwan-im hingga Hwat Kong Tosu merasa bosan sendiri.
Sebaliknya, sepak terjangnya itu menggegerkan kalangan liok-lim
karena belum pernah para tokoh persilatan itu mendengar nama
Hwat Kong Tosu dan tahu-tahu kakek pertapa yang luar biasa itu
turun gunung mengaduk-aduk dan mengacaukan kalangan kangouw
tanpa pilih bulu. Tapi apakah yang dapat mereka lakukan terhadap orang tua yang
kosen dan lihai itu" Banyak jagoan-jagoan yang tadinya merasa
diri lihai dan belum pernah terkalahkan, ternyata merupakan
anak-anak kecil yang tak berdaya jika berhadapan dengan Hwat
Kong Tosu! Pada suatu hari, Hwat Kong Tosu ke luar dari sebuah hutan di
mana tinggal seorang perampok besar yang baru saja ia datangi
dan ia paksa untuk memberi keterangan perihal patung itu hingga
terjadi pertempuran di situ. Tapi sebagaimana biasa, perampok
itu dan semua anak buahnya dibikin jatuh bangun dan tak perdaya
146 sama sekali menghadapi Hwat Kong Tosu hingga mereka
menyerah. Tapi sekali lagi Hwat Kong Tosu kecewa karena dari situpun ia
tak mendapat keterangan apa-apa. Maka dengan hati kesal ia
keluar dari hutan dan menuju ke sebuah kota yang ramai, ialah
kota Bun-an-kwan. Ia masuk ke dalam sebuah kedai dan pesan
arak seguci besar. Melihat seorang berpakaian tosu menghadapi guci arak besar
seorang diri dan minum arak dari mulut guci begitu saja, orangorang
menjadi heran, tapi karena mereka dapat menduga bahwa
tosu itu tentu bukan orang sembarangan, mereka tidak berani
mengganggu. Hwat Kong Tosu sebenarnya bukan orang
peminum arak, tapi karena sudah berbulan-bulan ia merantau
tanpa hasil apa-apa, murid tak dapat, patungpun tak dapat, ia
hendak hibur hatinya yang kesal dengan arak wangi.
Tiba-tiba seorang anak perempuan muncul dari dalam. Ia adalah
puteri seorang pembesar yang kebetulan lewat di kota itu dan
bermalam di rumah penginapan yang menjadi satu dengan kedai
arak itu. Anak perempuan ini wajahnya manis dan sikapnya
gembira. Sepasang matanya yang jeli memandang bebas dan berani
kepada segala apa yang tampak. Melihat seorang kakek tinggi
kurus dengan jenggot putih panjang sampai ke perut duduk
seorang diri dan minum arak dari mulut guci besar, ia menjadi
heran dan mendekati. 147 Jenggot yang panjang dan putih itu mengherankan anak itu, maka
tak heran pula ia berkata, "Kakek, jenggotmu bagus sekali!"
Hwat Kong Tosu tunda minumnya dan pandang anak perempuan
itu lalu tertawa gembira. "Ha, ha, ha, ha!" Tapi kemudian ia
tenggak lagi mulut gucinya.
"Kakek tua, kau mabok!" anak itu berkata lagi dan memandang
Hwat Kong Tosu dengan tersenyum geli.
Hwat Kong Tosu turunkan gucinya yang hampir kosong itu di atas
lantai, lalu ia pandang anak perempuan itu dan menjawab dengan
suara sungguh-sungguh, "Betul, kau betul, nak. Aku memang mabok, mabok sekali. Aku
telah terlalu kenyang akan kekotoran dunia sampai menjadi
mabok!" Anak perempuan itu memandang bingung karena ia tidak
mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata-kata orang tua
aneh itu. Seorang perempuan yang berpakaian pelayan keluar
dari dalam dan memanggilnya.
"Ang-siocia, ibumu mencari-carimu."
Pemudi kecil itupun segera lari masuk ke dalam, tinggalkan Hwat
Kong Tosu yang segera tenggak araknya lagi.
Tiba-tiba dari luar masuk seorang pertapa lain yang usianya juga
sudah sangat tua, barangkali tidak kurang dari tujuhpuluh lima
148 tahun. Pertapa ini rambutnya diikat ke atas dan pakaiannya yang
bersih itu tersulam setangkai kembang teratai di bagian dada.
"Pantas saja kau mabuk kekotoran dunia karena kau suka usilan
dan ganggu orang, toyu!" Pertapa yang baru datang itu tegur Hwat
Kong Tosu. Hwat Kong Tosu turunkan gucinya yang kini telah kosong sama
sekali dan pandang pertapa itu dengan heran. Ia tahu bahwa
orang tua ini adalah pemimpin Kwan-im-pai karena ia kenal dari
sulaman teratai di dadanya, dan ia tahu pula bahwa imam Kwanimpai ini tentu berilmu tinggi, tandanya ia tadi telah mendengar
ucapannya biarpun belum sampai ke situ! Maka ia lalu berdiri dari
tempat duduknya dan menjura.
"Apakah sahabat dari Kwan-im-kauw yang mulia hendak memberi
petunjuk sesuatu kepada pinto?"
"Hwat Kong Tosu, ternyata kau bermata tajam. Kalau kau tahu
bahwa pinceng datang dari Kwan-im-kauw, kau tentu tahu pula
siapakah pinceng ini."
Hwat Kong Tosu memandang sejenak, lalu dongakkan mukanya
ke atas dan tertawa keras. "Ha, ha! Tidak tahunya orang nomor
tiga dari Kwan-im-pai, sungguh beruntung sekali aku yang tua dan
pikun hari ini dapat bertemu dengan Kim Bok Sianjin!"
Pertapa itu yang memang bukan lain adalah ketua ketiga dari
Kwan-im-kauw yaitu Kim Bok Sianjin, juga tertawa menyeramkan.
149 "Kalau kau sudah tahu siapa aku, tentu tahu pula mengapa hari
ini aku datang mencarimu, sahabat baik!" katanya.
Hwat Kong Tosu memandang ke atas dan dengan mata berseri ia
menjawab, "Kalau tidak salah, tentu gara-gara patung yang hilang
itu, bukan?" "Ha, ha, ha! Kau jujur dan mudah diajak urusan, toyu. Biarlah lain
kali saja pinceng menghaturkan terima kasih dan penghormatan
dengan mengunjungi tempat tinggalmu.
"Sekarang karena pinceng banyak urusan yang harus
diselesaikan, maka mohon kau sahabat baik berlaku murah hati.
Keluarkan barang itu dan berikan pada pinceng, tentu pinceng
akan segera pergi dan tidak akan mengganggu pula."
Hwat Kong Tosu mendengar ini lalu menghela napas dan
jatuhkan diri di atas kursi lagi, kemudian tanpa menjawab
permintaan Kim Bok Sianjin ia panggil pelayan dengan suara
keras. Pelayan yang memang tidak berada jauh dari situ lalu datang
berlari dengan muka takut-takut.
"Ambilkan arak seguci lagi!" perintah Hwat Kong Tosu kepada


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelayan itu. Pelayan memandangnya dengan mata terbelalak. Selama
hidupnya belum pernah ia melihat, bahkan mendengarpun belum,
seorang dapat menghabiskan seguci arak seorang diri.
150 Apa lagi kalau orang itu kini minta tambah seguci lagi! Selain
heran, iapun khawatir, karena seguci saja harganya sudah
puluhan tail, apa lagi kalau dua guci besar.
Melihat keraguan pelayan itu, Hwat Kong Tosu rogoh saku
bajunya yang lebar dan longgar, dan keluarkan sepotong emas
kuning yang beratnya lima tail! Ia berikan emas itu kepada si
pelayan yang menerimanya dengan tambah heran, lalu ia timangtimang
dan periksa dengan teliti potongan emas itu takut kalau
palsu. "Emas tulen, jangan kau main lambat-lambatan. Hayo ambil
arakku seguci!" Hwat Kong Tosu membentak hingga pelayan itu
terkejut dan lari terbirit-birit hingga pertapa tua tinggi kurus itu
tertawa bergelak-gelak. Kim Bok Sianjin melihat bahwa Hwat Kong Tosu tidak
memperdulikannya, menjadi tak senang lalu berkata lagi.
"Hwat Kong Toyu, bagaimanakah jawabanmu?"
Hwat Kong menghela napas lagi. "Mengapa begitu tergesa-gesa,
kawan" Mari, duduklah dahulu!"
Dan ia sahut sebuah bangku kayu dan lempar bangku itu ke
depan Kim Bok Sianjin. Aneh bangku itu biarpun hanya terbuat
dari pada kayu biasa, namun ketika jatuh di atas lantai yang keras
ia segera tertancap sampai setengah lebih!
Kim Bok Sianjin pandang bangku itu dan tertawa ha-ha-hi-hi, lalu
sambil berkata, "Terima kasih, toyu, kau baik sekali!"
151 Ia gunakan telapak tangan menepuk bangku dan ketika ia angkat
telapak tangannya, ternyata bangku itu telah menempel dan
tercabut ke atas dan tergantung di bawah telapak tangannya
seakan-akan tertempel erat! Kemudian ia turunkan bangku itu dan
duduk dengan tenang. Hwat Kong Tosu melihat demonstrasi kekuatan lwee-kang yang
lihai ini dengan tersenyum karena ia tahu bahwa tenaga lweekang
Kim Bok Sianjin sungguh tidak berada di bawah tenaganya
sendiri. Sementara itu datang tiga orang dari dalam dan mereka itu
dengan susah payah menggotong seguci besar arak. Dua orang
memikul dan seorang bantu menggotong!
"Bagus, bagus!" kata Hwat Kong Tosu setelah orang-orang itu
turunkan guci arak di depannya, lalu dengan tangan kiri ia
memegang bibir guci dan menyentak ke atas. Guci itu seperti
terangkat oleh tangan yang tidak tampak, melayang ke atas dan
ketika Hwat Kong Tosu lonjorkan telapak tangan yang terbuka di
bawah guci, maka guci itu terletak di atas tangannya dengan tak
tergoyang sedikitpun! "Kim Bok Sianjin! Sebelum kita berurusan, marilah kautemani aku
minum dulu," katanya dan dengan perlahan ia lemparkan guci
arak yang besar itu ke arah Kim Bok Sianjin.
Tapi tokoh ketiga dari Kwan-im-pai ini dengan senyum sindir
terima guci itu dengan tangannya, guci itu tertolak kembali dengan
cepat ke arah Hwat Kong Tosu, diikuti jawabannya.
152 "Maaf, kami dari Kwan-im-kauw dilarang karma minum arak!"
Hwat Kong Tosu tertawa bergelak-gelak dan entah kapan
mengambilnya, tapi tahu-tahu tongkat bututnya telah berada di
tangan kanan dan kini ia gunakan tongkat itu untuk menyambut
guci arak yang terlempar cepat ke arah kepalanya. Ujung
tongkatnya menempel di bawah guci dan sekali ia gerakkan
tangannya maka guci yang penuh arak itu terputar-putar di atas
ujung tongkatnya! Para pelayan kedai arak dan para tamu yang kebetulan minum di
ruang itu, memandang adu tenaga yang luar biasa ini dengan
terheran-heran dan kesima. Kini melihat betapa Hwat Kong Tosu
dengan tongkat dapat permainkan guci yang berat itu bagaikan
seorang main-main dengan guci kecil yang ringan, maka mau tak
mau mereka berteriak memuji.
Hwat Kong Tosu memandang kepada mereka yang memuji itu
dengan tersenyum, lalu ia turunkan tongkatnya hingga guci arak
itu terletak di atas tanah dengan tidak tumpah sedikitpun araknya.
Ia lalu berkata kepada orang-orang itu.
"Pinto telah bosan minum, nah, sekarang kalian minumlah arak ini
karena tamuku tidak mau minum pula."
Lalu ia berkata kepada pelayan. "Hai, pelayan! Kalau uangku
lebih, maka lebihnya itu simpanlah saja untuk bayar makanan
yang kauberikan kepada mereka yang datang makan tapi tak kuat
membayar!" 153 Kemudian ia berkata kepada Kim Bok Sianjin, "Aku memang
makin tua makin sial. Kini ditambah kesialan lagi karena tahu-tahu
kau datang menuduh aku mencuri patung!"
"Hwat Kong toyu, siapa yang menuduh" Kalau tidak ada orang
yang memberitahu, mana pinceng berani menuduh buta tuli
padamu?" "Eh, eh, ada pula yang memberi tahu" Siapakah dia?"
"Yang memberi tahu kami ialah Huo Mo-li!"
Tiba-tiba Hwat Kong Tosu berdongak ke atas dan tertawa keras,
hingga suara ketawanya yang bergelak-gelak itu menggema di
semua ruang kedai arak itu.
"Ha, ha, ha!" Hwat Kong Tosu tertawa terus sampai kedua
matanya mengeluarkan air mata yang turun berbutir-butir dan
besar-besar. "Kau kena dibohongi setan api itu! Yang mencuri
bukan aku, tapi si malas Beng Beng Hoatsu! Ha, ha, ha!"
"Beng Beng Hoatsu" Ah, pinceng tidak percaya!" Kim Bok Sianjin
ragu-ragu sambil memandang tajam.
"Kau percaya Huo Mo-li, mengapa tidak percaya padaku."
"Huo Mo-li ketika berkata kepada kedua suciku, tidak dalam
keadaan mabok, sebaliknya kau baru saja minum seguci arak.
Kalau kau tidak bohong, bersumpahlah!"
154 Hwat Kong Tosu tertawa lagi. "Kau seperti anak kecil saja, orang
setua aku disuruh bersumpah. Aku tidak biasa bersumpah.
Bicaraku benar atau bohong adalah urusanku sendiri, orang boleh
percaya atau tidak, masa bodoh!"
"Kalau kau benar-benar tidak mengambil, tentu kau berani
bersumpah. Tapi kalau kau yang mengambil dan tidak mau
mengaku berarti kau takut padaku!"
Mendengar kata-kata ini, Hwat Kong Tosu bangun berdiri dan
memandang wajah Kim Biok Sianjin dengan sungguh-sungguh.
"Kim Bok Toyu, jangan kau bicara seenakmu saja."
"Biarlah, karena patung itu penting sekali bagi kami. Baik dengan
halus maupun dengan kasar, aku harus minta kembali patung itu
darimu." "Eh, eh, agaknya kau sengaja mau menguji tongkatku yang butut
ini?" kata Hwat Kong Tosu, lalu dengan menyeret tongkatnya ia
berjalan terseok-seok ke arah luar kedai yang lega.
Kim Bok Sianjin mengikutinya dengan tenang sambil berkata.
"Kalau perlu, biarlah aku merasai kelihaian Ouw-coa-koai-tung
yang terkenal darimu."
Hwat Kong Tosu memalangkan tongkatnya yang lapuk dan kecil
di depan dada lalu berkata, "Baik, baik?". Memang akupun ingin
mencoba kelihaian Kwam-im-pai dengan kiam-sutnya yang lihai."
155 Kim Bok Sianjin lalu cabut pedangnya dan tanpa sungkansungkan
lagi ia loncat menerjang. Hwat Kong Tosu gerakkan
tongkatnya dan sebentar saja mereka bertempur dengan hebat
sekali. Orang-orang yang semenjak tadi mendengar dan melihat mereka
bercekcok, kini menjadi ketakutan. Ada juga beberapa orang yang
tabah melihat pertempuran hebat itu dari tempat aman. Beberapa
orang mendekat, tapi segera mundur lagi dengan kaget dan
terkejut ketika mereka merasa sambaran angin pedang dan
tongkat merobek pakaian mereka!
Biarpun ilmu pedang Kim Bok Sianjin sangat lihai, tapi mana ia
dapat melawan gerakan Ouw-coa-koai-tung-hwat yang luar biasa
dan tak terduga gerakannya itu. Mereka bertempur puluhan jurus
dengan cepatnya hingga tubuh mereka tertutup sinar pedang dan
tongkat, tapi perlahan-lahan Kim Bok Sianjin mulai terdesak dan
terkurung sinar tongkat hingga ia hanya berada di pihak
mempertahankan diri saja tanpa mampu balas menyerang lagi.
Hwat Kong Tosu memang seorang tua yang berwatak jenaka,
hingga ia mempermainkan Kim Bok Sianjin. Kalau ia mau, maka
sejak tadi ia sudah dapat robohkan lawannya, atau sedikitnya
membuat pedang lawan terpental, tapi ia sengaja permainkan
lawan dengan mengurungnya makin hebat.
Pada saat itu, dari dalam keluarlah anak perempuan yang manis
dan yang tadi menegur Hwat Kong Tosu. Melihat ramai-ramai itu,
anak perempuan tadi segera lari keluar dan melihat.
156 Dengan beraninya ia mendekati kedua kakek yang sedang
bertempur itu. Hal ini ternyata menolong Kim Bok Sianjin karena
kedua orang tua itu cukup berhati mulia untuk tidak mencelakakan
seorang anak perempuan. Mereka perlambat gerakan senjata
mereka dan kurangi tenaga hingga angin pukulan tidak akan
mencelakakan anak perempuan itu.
Kini anak itu dapat melihat tubuh kedua kakek itu yang berloncatloncatan
ke sana ke mari sambil gerak-gerakkan pedang dan
tongkat. Kim Bok Sianjin yang merasa kalah segera ambil
kesempatan itu untuk loncat mundur, sedangkan anak
perempuan itu bersorak-sorak gembira.
"Kakek, kau pandai sekali menari!" katanya kepada Hwat Kong
Tosu. Hwat Kong Tosu tertawa girang. "Dia lebih pandai dariku,"
katanya sambil menunjuk ke arah Kim Bok Sianjin hingga pertapa
itu merasa tersindir lalu berkata dengan muka merah dan suara
sungguh-sungguh. "Hwat Kong Tosu! Jangan kaupermainkan aku. Betul-betulkah
kau tidak ambil patung kami?"
"Ah, kau sungguh menjemukan!" Hwat Kong Tosu bersungutsungut.
"Biarlah aku bersumpah agar kau puas. Aku tidak ambil
patung itu." "Itu bukan bersumpah namanya," Kim Bok Sianjin mencela.
157 "Kakek jenggot panjang! Apakah kau mencuri" Ah, kalau begitu
kau jahat!" Anak perempuan itu memandangnya dengan benci
dan takut. Hwat Kong Tosu buru-buru menjawab, "Tidak, anak, sungguh aku
tidak pernah mencuri."
"Kalau begitu, kenapa tidak berani bersumpah?" anak itu
bertanya. Hwat Kong Tosu memandang ke arah Kim Bok Sianjin deagan
mata melotot. "Baiklah, biar aku bersumpah, kalau aku ambil patung itu, biar aku
tidak selamat! Tapi sumpahku ini tidak berlaku untuk perbuatanku
Sumpah Palapa 25 Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Pedang Golok Yang Menggetarkan 24

Cari Blog Ini