Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung Bagian 6
iapun anggap pujian2 Tik Hun itu memang tidak terlalu berlebihan. Cuma ia merasa
pemuda itu benar2 terlalu rendah jiwanya, masakah sedemikian penjilat pantat
untuk merebut hati sang kakek guru.
Begitulah kemudian Hiat-to Loco melanjutkan perjalanannya dengan menjajarkan
kudanya dengan Tik Hun, katanya: "Dan cara 'mengiris tahu' itu yalah taruh
sepotong tahu diatas papan, lalu mengirisnya tipis2, sepotong tahu itu harus
disayat menjadi seratus irisan kecil, setiap iris harus utuh dan pipih. Jika
hasilnya memuaskan, itu berarti jurus pertama sudah lulus."
"Itupun baru merupakan jurus pertama?" Tik Hun menegas.
"Sudah tentu," sahut Hiat-to Loco. "Memangnya kau anggap ilmu golok Cosuyamu ini
seperti memotong ayam gampangnya" Nah, cobalah kau pikir, lebih sulit mengiris
tahu sambil berdiri tegak atau lebih sulit mengupas rambut diatas ujung hidung
anak dara itu" Hahahahaha!"
Dengan sangat kagum Tik Hun mengumpak pula: "Ilmu sakti Cosuya sudah tentu tidak
mungkin dicapai oleh sembarangan orang. Asalkan cucu-murid dapat mempelajari
sepersepuluh dari kepandaian Cosuya saja rasanya sudah cukup puas!"
Hiat-to Loco ter-bahak2 senang oleh pujian itu. Sebaliknya Cui Sing me-ludah2
hina pula. Biasanya orang menjilat itu paling sulit terletak pada ucapannya yang pertama.
Orang jujur seperti Tik Hun itu memangnya tidak cocok disuruh mengucapkan kata2
yang penuh pujian belaka itu, tapi sesudah banyak diucapkan, otomatis menjadi
biasa baginya untuk mencari kata2 yang enak didengar. Padahal pujian2 Tik Hun
bagi ilmu golok Hiat-to Loco yang sakti itu boleh dikata tidak berlebihan, cuma
kalau menurut watak asli Tik Hun, seharusnya tidak nanti sudi diucapkannya.
Begitulah maka Hiat-to Loco telah menjawab: "Ehm, bakatmu cukup baik, asal kau
mau giat belajar, pasti kepandaianku ini dapat kau pelajari. Baiklah, sekarang
juga boleh kau coba2!"
Habis berkata, mendadak ia bubut pula seutas rambutnya Cui Sing dan meletakannya
diatas ujung hidungnya. Tentu saja Cui Sing ketakutan, sekali sebul terus saja ia tiup jatuh rambut itu
sambil ber-teriak2: "He, he, Hwesio cilik ini tidak bisa, mana boleh suruh dia
sembarangan coba!" "Tidak bisa harus dilatih sampai bisa, segala kepandaian mesti dilatih dulu baru
bisa," demikian Hiat-to Loco berkata. "Sekali tidak jadi, ulangi sekali lagi,
dua kali gagal, ulangi tiga kali, tiga kali gagal, ulangi sepuluh kali atau
duatiga puluh kali, achirnya pasti jadi!" Habis itu, kembali ia bubut lagi
seutas rambut sigadis dan ditaruh pula diujung hidungnya, lalu ia serahkan
goloknya kepada Tik Hun dan berkata: "Nah, coba kau!"
Sambil menerima golok dari tangan Hiat-to Loco itu, Tik Hun coba memandang
sekejap kepada Cui Sing yang menggeletak didepan sendiri itu. Ia lihat wajah
sigadis penuh rasa gusar, tapi dari sinar matanya tetampak pula rasa takutnya.
Rupanya gadis itu tahu kalau Tik Hun tidak pernah melatih ilmu silat yang hebat
itu, pabila secara semberono menirukan cara tabasan Hiat-to Loco, mungkin
kepalanya akan terbelah menjadi 2, paling tidak juga hidung akan terkupas. Dan
masih mending bila kepala terpecah belah dan seketika mati daripada menerima
hinaan kedua "paderi cabul" itu, celakanya kalau hidungnya yang terkupas menjadi
pesek, kan bisa runyam untuk selamanya.
Tiba2 pikiran cerdik Tik Hun tergugah, ia menanya Hiat-to Loco: "Cosuya, cara
tabasan ini, bagaimana dengan tenaga tangan yang harus dipakai?"
"Harus pinggang menggerakan bahu, bahu menembus kelengan, lengan harus tidak
bertenaga, dan pergelangan tangan harus tidak berkekuatan," demikian sahut Hiatto Loco. Lalu iapun memberi penjelasan tentang apa yang dimaksudkan "pinggang
menggerakkan bahu" dan "bahu menembus kelengan" dan apa2 lagi yang kedengarannya
susah dimengarti, tapi sebenarnya mengandung kebenaran yang tepat.
Ber-ulang2 Tik Hun meng-angguk2 atas petunjuk sang "kakek guru", kemudian ia
berkata: "Cuma sayang cucu murid telah dianiaya orang, Pi-pe-kut dipundak sudah
dilubangi, otot tangan juga terpotong putus, sudah takdapat mengeluarkan tenaga
lagi." "Mengapa Pi-pe-kutmu dilubangi orang" Dan otot tanganmu juga dipotong?" tanya
Hiat-to Loco. "Ya, cucu murid telah banyak menderita akibat dijebloskan kedalam penjara oleh
orang," sahut Tik Hun.
Mendadak Hiat-to Loco ter-bahak2 tawa. Sambil larikan kuda berendeng dengan Tik
Hun, ia suruh pemuda itu memperlihatkan pundaknya. Benar juga ia lihat tulang
pundak Tik Hun mendekuk kebawah, malahan luka tulang pundak yang dilubangi
dengan rantai itu masih belum rapat benar2. Pula jari tangan kanan pemuda itupun
terpapas putus sebagian, otot lengan juga terpotong, untuk melatih ilmu silat
boleh dikata sudah tiada harapan lagi.
Diam2 Tik Hun mendongkol oleh ketawa paderi itu, masakah orang tersiksa seberat
itu malah ditertawai. "Haha, anak muda, coba katakan sudah berapa banyak engkau telah merusak anak
perawan orang?" demikian tiba2 Hiat-to Loco menanya. "Hehe, orang muda hanya
menuruti napsu belaka hingga lupa daratan, achirnya kau ketangkap basah dan
dijebloskan ke bui bukan?"
"Bukan," sahut Tik Hun.
"Ala, pakai malu2 segala! Nagkulah terus terang, engkau dibui oleh orang adalah
disebabkan gara2 kaum wanita bukan?" Hiat-to Loco mendesak pula dengan tertawa.
Untuk sejenak Tik Hun melengak. Memang benar ia dibui adalah disebabkan
pitenahan gundiknya Ban Cin-san, hal ini berarti gara2 kaum wanita juga. Maka
dengan gergetan ia menjawab: "Ya, memang gara2 perempuan hina itu hingga aku
menderita seperti ini. Pada suatu hari aku pasti akan membalas sakit hati ini."
"Huh, engkau sendiri berbuat jahat, tapi malah menyalahkan orang lain, " tiba2
Cui Sing mendamperat. "Hm, manusia yang paling tidak kenal malu didunia ini
mungkin adalah bangsat gundul seperti kau ini."
"Haha, anak dara ini benar2 terlalu bandel," kata Hiat-to Loco dengan tertawa.
"Eh, cucu murid, cobalah kau lucuti pakaiannya hingga telanjang bulat, coba
nanti dia masih berani memaki orang atau tidak."
"Baik," sahut Tik Hun tanpa pikir.
"Bangsat! Kau berani?" maki Cui Sing dengan gusar.
Padahal dalam keadaan takdapat berkutik, bila Tik Hun benar2 mau membuka
pakaiannya seperti apa yang dikatakan Hiat-to Loco itu, betapapun Cui Sing tak
dapat melawan. Maka damperatannya: "Kau berani?" itu hakikatnya cuma gertakan
belaka. Dan sudah tentu tiada niat sungguh2 Tik Hun hendak melucuti pakaian Cui Sing,
ketika dilihatnya sipaderi tua tiada hentinya mengincar tubuh sigadis dengan
ketawa2 tak beres, segera Tik Hun memikirkan cara bagaimana agar dapat
mengalihkan perhatian paderi tua itu atas diri sinona. Maka sekenanya ia lantas
tanya: "Cosuya, menurut pendapatmu, bahan apkiran seperti cucu murid ini apakah
masih dapat melatih ilmu silat?"
"Mengapa tidak?" sahut Hiat-to Loco. 'Sekalipun kedua tangan dan kedua kakimu
buntung semua juga masih dapat melatih ilmu dari Hiat-to-bun kita ini."
"Ai, bagus sekali kalau begitu!" teriak Tik Hun dengan girang.
Begitulah sambil bicara sembari berjalan, tanpa merasa mereka telah sampai
disuatu jalan besar. Tiba2 terdengar suara gembreng dan terompet yang ramai
didepan sana, menyusul tertampaklah serombongan iring2an pengantin dengan sebuah
joli kembang. Dibelakang joli adalah seorang penunggang kuda putih yang berjubah
merah dan berkopiah emas, pakaiannya mentereng, tentu dia, inilah pengantin
laki2nya. Jumlah pengiring itu ada 40-50 orang banyaknya.
Melihat itu, Tik Hun membilukkan kudanya ketepi jalan dengan hati berkebat-kebit
sebab kuatir kalau dikenali orang2 itu. Sebaliknya Hiat-to Loco malah keprak
kudanya memampak kearah iring-iringan pengantin itu.
Maka terdengarlah suara bentakan orang: "Hai! Minggir, mau apa kau?" ~ "Hwesio
busuk, ada iring2an pengantin, mengapa kau tidak menyingkir?"
Tapi sesudah didepan iring2an itu, Hiat-to Loco lantas berhentikan kudanya,
segera ia berseru dengan tertawa sambil bertolak pinggang: "He, coba perlihatkan
pengantin wanitanya, cantik atau tidak?"
Dari rombongan pengiring itu lantas maju seorang laki2 kekar tegap dengan
membawa sebatang pikulan bambu, segera laki2 itu membentak dengan galak.
"Bangsat gundul, apa kau sudah bosan hidup, ya?" ~ Sembari menggertak ia terus
ancam dengan pikulan bambu yang bulat tengahnya lebih besar dari lengan manusia
dan panjangnya hampir dua meter.
"Cucu murid, lihatlah yang jelas, ini adalah sejurus ilmu tunggal dari kaum
kita," kata Hiat-to Loco kepada Tik Hun. Mendadak ia sedikit mendoyong kedepan,
golok merah bergemetaran se-akan2 seekor Jik-lian-coa (ular rantai merah) yang
berkelogetan dan dengan cepat luar biasa seperti merayap naik-turun diatas
pikulan bambu orang. Ketika ia menarik kembali goloknya, ia ter-bahak2 senang.
Karena itu pengiring2 pengantin itu be-ramai2 mencaci maki pula, tapi mendadak
laki2 yang membawa pikulan bambu itu berteriak kaget, ternyata pikulan bambu
yang dipegangi itu kini tinggal sebatang bambu yang panjangnya cuma setengah
meter saja, selebihnya telah terkutung ber-potong2 dan jatuh ketanah hingga
mengeluarkan suara peletak-peletok.
Ternyata hanya dalam sekejap saja sebatang pikulan bambu telah ditabas oleh
golok Hiat-to Loco hingga menjadi berpuluh potongan kecil2, betapa cepat dan
hebat ilmu golok paderi tua itu benar2 mirip pemain sunglap saja, sekalipun jago
silat juga akan terkesiap menyaksikan itu, jangankan orang2 desa itu, keruan
mereka melongo dan ter-longong2.
Bahkan habis ter-bahak2, tahu2 Hiat-to Loco ayun goloknya pula kekanan dan
membalik dari atas kebawah, seketika laki2 tadi tertabas menjadi empat potong.
Tambahan paderi itu lantas membentak pula: "Aku cuma ingin melihat bagaimana
macamnya pengantin perempuan, mengapa kalian mesti geger2 segala?"
Melihat disiang hari bolong sipaderi berani mengganas, keruan orang2 itu
ketakutan setengah mati, ada yang bernyali besar masih kuat melarikan diri, tapi
sebagian besar menjadi gemetar ketakutan, bahkan banyak yang ter-kencing2 tidak
berani bergerak. Ketika Hiat-to Loco mendekati pula joli pengantin, sekali goloknya berkelebat,
tahu2 tirai joli sudah tertabas putus. Menyusul tangan kiri paderi itu lantas
menjambret dada sipengantin perempuan dan menyeretnya keluar.
Keruan pengantin wanita itu ber-kaok2 ketakutan dan me-ronta2 mati2an. Tapi
sekali golok Hiat-to Loco bekerja lagi, segera kerudung muka sipengantin
tertabas jatuh hingga tertampaklah wajah pengntin wanita yang penuh ketakutan
itu. Pengantin wanita itu berusia 16-17 tahun saja, boleh dikata masih kanak2, paras
mukanya juga sangat jelek. "Cuh", mendadak Hiat-to Loco meludahi pengantin
wanita itu sambil memaki: "Macam genderuwo begini juga jadi pengantin apa
segala?" ~ dan sekali goloknya memotong, tiba2 hidung pengantin wanita itu
diirisnya. Saking takut dan sakitnya pengantin wanita itu sudah lantas semaput.
Sipengantin laki2 saat itu masih terpaku diatas kudanya sambil bergemetaran.
"Cucu murid, lihatlah sejurus ilmu kita yang lain, ini namanya 'Au-sim-lik-hwe'
(menembus hati memancarkan darah)!" seru Hiat-to Loco pula kepada Tik Hun.
Berbareng golok merah terus ditimpukan kearah sipengantin laki2.
Dan begitu menimpukan golok, seketika juga Hiat-to Loco melarikan kudanya
kedepan, secepat kilat ia telah melalui kuda pengantin laki2 dan mendadak ia
melompat, sekali tangannya meraup, golok merah itu sudah kena disambarnya
kembali. Waktu Tik Hun dan Cui Sing memperhatikan sipengantin laki2, tertampaklah dadanya
sudah berlubang dan sedang menyemburkan darah bagai air mancur, tubuhnya
pelahan2 mendoyong dan achirnya terguling kebawah kuda. Ternyata tubuh pengantin
laki2 itu telah ditembus oleh golok Hiat-to Loco, bahkan golok yang masih terus
menyambar kedepan itu segera dapat ditangkap kembali oleh sipaderi.
Sepanjang jalan Tik Hun suka menyanjung Hiat-to Loco, pertama memang jeri
padanya, kedua, paderi itu telah menolong jiwanya, betapapun Tik Hun merasa
utang budi walaupun tahu bahwa sekali2 paderi itu bukan manusia baik2, tapi
sebelum menyaksikan sendiri keganasan orang, dengan sendirinya tidak begitu
terasa. Tapi kini ia menyaksikan, paderi tua itu memotong hidung pengantin
wanita, bahkan membinasakan pula sipengantin laki2, malahan membunuh tiga orang
yang tak berdosa, bahkan kenalpun tidak. Sebagai orang yang berbudi luhur, Tik
Hun tidak tahan lagi, dengan gusar ia berteriak: "Ken.........kenapa engkau
membunuh orang tak berdosa" Apa halangannya orang2 itu kepadamu?"
Hiat-to Loco melengak, tapi lantas jawabnya dengan tertawa: "Haha, memang sudah
menjadi kebiasaanku suka membunuh orang tak berdosa. Jika membunuh saja mesti
memilih orang, kemana aku harus memilih?" ~ Habis berkata, sekali goloknya
berputar, kembali kepala seorang pengiring pengantin itu berpisah dengan
tuannya. Sungguh gusar Tik Hun bukan buatan, segera ia melarikan kudanya kedepan sambil
ber-teriak2: "Kau........kau tidak boleh membunuh orang lagi!"
"Setan cilik, apakah kau menjadi takut melihat darah mancur" Huh, tidak
berguna!" omel Hiat-to Loco dengan tertawa.
Dan pada saat itu juga dari jauh terdengar suara derapan kuda yang ramai, ada
berpuluh orang sedang mengejar dari timur sana. Bahkan terdengar seruan nyaring
seorang diantaranya: "Hiat-to Loco, lepaskan puteriku dan kita boleh sudahi
urusan ini sampai disini, kalau tidak, biar kau lari keujung langit juga akan
ku-uber sampai kepojok langit!"
Itulah suaranya Cui Tay, meski derapan kuda itu kedengaran masih sangat jauh,
tapi seruan Cui Tay itu dapat terdengar dengan sangat jelas, suatu tanda betapa
hebat Lwekang jago tua itu.
Diam2 Cui Sing bergirang juga mendengar suara sang ayah. Lalu terdengar pula
suara tembang dari paduan suara empat orang: "Lok-hoa-liu-cui........Cui-liuhoa-lok........Lok-hoa-liu-cui.........Cui-liu-hoa-lok!"
Nada suara keempat orang itu ber-beda2, ada yang rendah kuat, ada yang tinggi
melengking, ada yang serak tua, ada yang keras kumandang. Tapi betapa tinggi
Lwekang masing2 terang mempunyai keistimewaannya sendiri2.
"Huh, macam2 saja lagak bangsat2 dari Tionghoa itu," demikian Hiat-to Loco
memaki. Lalu terdengar seruan Cui Tay pula dari jauh: "Hiat-to Loco, biarpun ilmu
silatmu tinggi, masakah kau mampu melawan "Lam-su-lo" kami berempat" Lepaskanlah
puteriku dan urusan akan beres, seorang laki2 berani berkata berani pegang
janji, pasti aku takkan mengejar kau lebih jauh!"
Diam2 Hiat-to Loco memikir juga: "Aku sudah berkenalan dengan kepandaian Cui Tay
dan imam tua itu, kalau satu-lawan-satu, tidak nanti aku takut, bila aku melawan
mereka berdua, lebih banyak kalahnya daripada menangnya, terpaksa harus lari.
Dan jika aku dikeroyok tiga, sudah pasti aku akan kalah habis2an, untuk laripun
mungkin susah. Lebih2 kalau aku dikerubut empat orang, pasti matipun Hiat-to
Loco takkan terkubur. Hehe, apa yang dikatakan orang persilatan Tionggoan itu
dapatkah dipercaya" Lebih baik aku tetap membawa lari anak dara ini, paling
tidak aku masih dapat memakainya sebagai barang sandera, bila kulepaskan dia,
itu berarti lebih menguntungkan mereka malah!"
Dengan keputusan itu, mendadak ia membentak sekali sambil mencambuk bokong kuda
putih tunggangan Tik Hun, terus saja ia mendahului berlari kearah barat sambil
mulutnya berkomat-kamit. Apa yang diucapkan itu tak didengar oleh Tik Hun dan
Cui Sing, tapi rombongan Cui Tay lantas mendengar kumandangnya sesuatu suara
aneh yang berkata: "Cu-loyacu, Ciangbunjin dari Hiat-to-bun telah menjadi anak
menantumu. Ciangbunjin angkatan keempat sudah menjadi menantumu. Ciangbunjin
angkatan ke-enam juga menantumu, sungguh rejekimu bukan main besarnya, dua
Ciangbunjin dari kedua angkatan Hiat-to-bun kami telah diborong semua oleh
puterimu ini, tapi mengapa engkau masih terus mengejar, masakah bapak mertua
mengejar anak menantu, sungguh lucu, sungguh aneh!"
Kiranya komat-kamit mulut Hiat-to Loco itu adalah semacam Lwekang jahat dari
kaum Hiat-to-bun, suaranya dapat tersiar jauh hingga sangat mengacaukan pikiran
orang bahkan membuat kalap pendengarnya, dengan begitu bila nanti saling gebrak,
kekuatan lawan menjadi banyak terganggu. Apalagi ucapannya membikin Cui Tay
semakin berjingkrak dan hampir2 meledak dadanya saking murkanya.
Cui Tay tahu betapa jahatnya perbuatan paderi2 dari Hiat-to-bun itu, membunuh
dan memperkosa bagi paderi2 itu sudah pekerjaan biasa, segala kejahatanpun dapat
mereka lakukan. Bahwasanya antara kakek-guru dan cucu-murid berkongsi memiliki
puterinya bukan mustahil pula akan terjadi. Alangkah gemasnya Cui Tay, masakah
seorang tokoh Bu-lim terkemuka yang telah menjagoi daerah Tionggoan selama
berpuluh tahun hari ini mesti mengalami hinaan sebesar ini" Sungguh kalau bisa
ia ingin segera mencingcang paderi jahanam itu hingga hancur luluh.
Maka dengan hilap ia pecut kudanya semakin kencang. Cuma sayang kuda tunggangan
mereka tiada satupun yang dapat menandingi kuda-kuda kuning dan putih bekas
milik Leng-kiam-siang-hiap itu, walaupun mereka mengejar mati2an, tetap tidak
dapat menyusul musuh. Dalam pada itu diantara rombongan pengejar bersama Cui Tay itu, selain tokoh2
she Liok, Hoa dan Lau bertiga kakek yang namanya sejajar dengan Ciu Tay dengan
julukan 'Lok-hoa-liu-cui' itu, masih ada pula lebih 30 jago Tionggoan yang lain.
Mereka terdiri dari berbagai golongan dan aliran, ada Piausu ternama, ada ketua
sesuatu golongan, ada pula pimpinan organisasi dan tokoh2 silat yang sudah lama
mengasingkan diri. Tapi karena gusar terhadap perbuatan paderi2 Hiat-to-bun yang
telah bikin rusuh didaerah Liang-ou secara serampangan dan tidak pilih bulu,
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka jago2 Tionggoan baik dari Pek-to (kalangan baik2) maupun Hek-to (kalangan
jahat), semuanya lantas ikut menguber serentak untuk membekuk paderi2 jahat itu.
Cara mengejar rombongan jago2 silat itu agak payah juga, tapi setiap ada
kesempatan, tentu mereka berganti kuda. Mereka tidak pernah berhenti, tapi makan
rangsum dan minum air sekadarnya diatas kuda sambil terus mengejar.
Sebaliknya rombongan Hiat-to Loco berkat kuda2 tunggangan mereka lebih bagus,
maka setiap ketemu kedai nasi dan warung wedang, sering mereka berhenti
menangsal perut dan mengaso pula. Cuma tidak berani bermalam dipenginapan. Dan
justeru oleh karena adanya pengejaran terus-menerus dari jago2 silat Tionggoan
itulah, maka kesucian Cui Sing selama beberapa hari itu masih dapat
dipertahankan. Kejar mengejar itu sudah berlangsung beberapa hari, dari wilayah Ouwpak kini
sudah masuk kewilayah Sucwan. Sebagai sama2 orang persilatan, begitu mendengar
berita pengejaran itu, segera tokoh2 dan jago2 Sucwan lantas be-ramai2 ikut
serta dalam rombongan pengejar itu. Maka sesudah melalui Sucwan tengah,
rombongan pengejar itu sudah lebih seratus orang jumlahnya.
Jago silat didaerah Sucwan banyak yang berharta, banyak diantara mereka membawa
serep kuda-keledai dengan rangsum dan baju selimut secara lengkap. Cuma sayang
bila berita diterima mereka, Hiat-to Loco dan rombongannya sudah ketelanjur lalu
hingga tidak sempat untuk mencegat sebelumnya. Karena itu, jago2 silat Sucwan
hanya dapat menghibur Cui Tay agar jangan cemas dan menyatakan penyesalan mereka
sebab tidak dapat mencegah pada waktu paderi2 cabul itu masuk kewilayah mereka.
Sudah tentu Cui Tay menyatakan terima kasih atas perhatian kawan2 persilatan
itu, tapi dalam hatipun mendongkol: "Huh, urusan sudah lewat baru dibicarakan.
Apalagi kepandaian seperti kalian ini masakah mampu mencegat kedua paderi tua
dan muda itu?" Begitulah udak-mengudak itu dengan cepat telah berlangsung hampir 20 hari.
Beberapa kali Hiat-to Loco mengambil jalan simpang untuk menyesatkan
pengejarnya, tapi diantara rombongan pengeyar itu adalah seorang Be-cat (begal
kuda) dari Kwantang (diluar tembok besar timur laut) yang mahir ilmu mencari
jejak. Tak peduli Hiat-to Loco berputar kayun kemanapun selalu dapat diikutinya
dari belakang. Dan oleh karena itu juga rombongan merekapun makin jauh makin
memasuki lereng pegunungan Sucwan barat yang terkenal tinggi dan curam itu.
Para jago silat Tionggoan itu tahu tujuan Hiat-to Loco yalah ingin lari pulang
kesarangnya di Tibet. Dan bila masuk kewilayah kekuasaan paderi jahat itu, tentu
akan terjadilah pertarungan sengit menghadapi begundal Hiat-to-bun, untuk mana
tentu akan lebih susah menyelamatkan Cui Sing dan entah pihak mana yang bakal
menang. Karena itu, para jago Tionggoan mengejar semakin kencang. Pada lohor hari itu,
rombongan mereka telah memasuki sebuah jalanan lembah gunung yang terjal. Tiba2
tertampak seekor kuda menggeletak mati ditepi jalan. Nyata itu kuda kuning
miliknya Ong Siau-hong. Dengan girang segera Cui Tay dan Siau-hong berseru: "Musuh telah kehilangan
seekor kuda, marilah kita menguber lebih cepat, pasti paderi cabul itu takkan
dapat lolos!" Tempat dimana rombongan jago2 Tionggoan itu berada sudah termasuk wilayah Sucwan
paling ujung barat, kalau kebarat lagi akan masuk keperbatasan Tibet. Tempat itu
termasuk lereng gunung Tay-swat-san (gunung besar bersalju), tanahnya tinggi
terjal, dinginnya tidak kepalang hingga bagi orang yang Lwekangnya rendah, tentu
akan sesak napas dan tenaga lemas. Lebih2 jago2 silat Sucwan itu kebanyakan
adalah kaum hartawan yang biasanya hidup adem-ayem didalam rumah, mereka itulah
yang paling menderita kedinginan.
Cuma jago2 yang ikut serta dalam pengejaran ini adalah orang2 yang ternama
semua, dengan sendirinya tiada yang sudi mengunjuk kelemahan hingga memalukan
nama baiknya sendiri. Kini demi melihat kuda kuning tunggangan Hiat-to Loco itu mati ditepi jalan,
terang paderi itu tidak mampu lari jauh, seketika semangat semua orang
terbangkit dan siap2 untuk menguber lebih jauh.
Diluar dugaan, perubahan cuaca dipegunungan itu ternyata sangat cepat. Tiba2
tertampak diatas puncak diseberang selat yang dalam sana, segumpal salju
mendadak longsor kebawah.
"Celaka!" cepat seorang kakek dari Sucwan barat berteriak: "Akan terjadi gugur
salju, hayolah lekas mundur!"
Belum lenyap suaranya, mendadak terdengarlah suara gemuruh, salju yang longsor
dari puncak gunung itu semakin hebat.
Jago2 Tionggoan yang tidak pernah melihat salju itu seketika masih belum tahu
duduknya perkara, banyak diantara mereka malah tanya: "Apakah itu?" ~ "Cuma
salju longsor saja kenapa mesti kuatir, hayolah kejar terus!" ~ "Cepat uber
lagi, lintas dulu puncak sebelah sana itu!"
Namun hanya sebentar saja suara gemuruh yang menggelegar itu sudah bertambah
hebat dan memekak telinga. Dan baru sekarang orang2 itu merasa takut.
Gugur salju itu jaraknya semula memang sangat jauh, tapi salju yang longsor dari
atas itu, setiap jatuh disesuatu tempat, selalu menggondol timbunan salju
ditempat itu dan longsor pula kebawah, dari itu, suaranya semakin lama semakin
gemuruh, dan setiba ditengah gunung, suasana boleh dikata se-akan2 gugur gunung
benar2, bagaikan ombak samudera dahsyatnya, sungguh sangat mengerikan
keadaannya. Maka sekali berteriak, beberapa jago2 Tionggoan itu lantas putar kuda dan
mendahului lari. Dari belakang suara gemuruh itu semakin hebat hingga mirip
dunia sudah kiamat, se-akan2 langit telah ambruk dan menindih kebawah. Saking
ketakutan mereka keprak kuda melarikan diri mati2an. Ada beberapa kuda yang juga
ketakutan hingga kaki menjadi lemas dan tidak mau jalan, terpaksa penunggangnya
melompat turun dan menyelamatkan diri dengan Ginkang.
Namun gugur salju itu cepatnya melebihi kuda dan orang lari, hanya sekejap saja
lautan salju itu sudah membanjir kekaki gunung. Ada 7-8 orang yang terlambat
larinya terus saja terkubur hidup2 ditengah salju. Dalam keadaan begitu,
betapapun gagah perkasa seseorang juga takkan mampu melawan bencana alam yang
dahsyat itu. Dan sesudah melintasi sebuah bukit, barulah banjir salju itu tertahan oleh
lereng bukit itu. Dengan demikian barulah pendekar2 itu dapat bernapas lega.
Namun salju longsor itu masih terus membanjir bagai air bah dahsyatnya, hanya
sekejap saja antero lembah jalan pegunungan itu sudah tertutup buntu semua
hingga berwujut bukit salju yang ber-puluh2 meter tingginya, kalau bukan burung,
betapapun tidak dapat melintasinya.
Begitulah kemudian semua orang sama ramai membicarakan nasib Hiat-to Loco
bersama cucu muridnya itu, tentu kedua paderi itu telah menerima ganjaran atas
kejahatan mereka dan terkubur dibawah salju. Merekapun menyesalkan Cui Sing yang
cantik molek itupun ikut berkorban tanpa berdosa. Dan sudah tentu banyak pula
yang berduka karena ada kawan2 mereka yang telah terkubur ditengah salju, tapi
betapapun mereka bersykur juga bagi diri sendiri yang terhindar dari malapetaka.
Setelah keadaan tenteram kembali, lalu mereka memeriksa kawan2 yang hilang itu.
Ternyata seluruhnya ada 12 orang yang hilang, diantaranya termasuk Ong Siau-hong
dan keempat kakek sakti "Lok-hoa-liu-cui" itu. Sungguh tidak nyana bahwa "Lamsu-lo" yang ilmu silatnya tiada tandingannya itu kini terpendam semua dibawah
salju pegunungan Tay-swat-san. Begitulah semua orang menghela napas gegetun,
kemudian lantas mencari jalan untuk keluar dari kepungan dinding salju itu.
Mereka beranggapan salju yang membukit itu tidak nanti mencair sebelum musim
panas tahun depan, untuk bisa mencari mayat yang terpendam salju itu, keluarga
si-korban paling tidak juga harus menunggu setengah tahun lagi. Tapi diam2
didalam hati semua orang juga mempunyai suatu pikiran yang tak terkatakan,
yaitu: "Nama kebesaran Lam-su-lo dan Leng-kiam-siang-hiap paling achir ini
sangat terkenal, jika sekarang mereka sudah mati semua, itu berarti lebih
menguntungkan bagiku, maka biarkanlah mereka mati saja!" ..........
*** ****** Lantas kemanakah perginya Hiat-to Loco bersama Tik Hun dan Cui Sing itu" Apa
benar mereka terkubur didalam salju longsor" ~ Tidak!
Bahkan waktu itu Hiat-to Loco sangat senang sebab makin lama semakin dekat
dengan sarangnya di Tibet, walaupun jumlah pengejar waktu itupun semakin
bertambah. Cuma saking lelahnya karena berlari tidak pernah berhenti, achirnya
kuda kuning tunggangan Hiat-to Loco itu terbinasa ditepi jalan. Sedangkan kuda
putih juga sangat payah keadaannya, mungkin dalam waktu singkatpun akan menyusul
kawannya keachirat. Waktu Cui Sing siuman kembali, segera ia mengendus bau sedap daging panggang,
ketika ia perhatikan ternyata kuda putih kesayangannya sudah disembelih oleh
Hiat-to Loco dan telah dipanggang dan sedang dilalap mereka.
Diam2 Hiat-to Loco memikir sambil mengkerut kening: "Kalau aku sendiri hendak
melarikan diri adalah terlalu mudah, namun cucu-murid kakinya pincang, anak dara
yang cantik-molek ini juga sayang kalau ditinggalkan." ~ Berpikir sampai disini,
mendadak ia menjadi beringas, begitu ia putar tubuh, terus saja Cui Sing
dipeluknya dan hendak mencopot bajunya.
Keruan Cui Sing ketakutan sambil ber-teriak2: "Hai, kau.......kau mau apa?"
"Locu tidak mau membawa lari kau lagi, masakah kau tidak tahu maksudku?" sahut
Hiat-to Loco dengan menyeringai.
Tik Hun ikut kuatir juga melihat sang "kakek-guru" berubah liar, cepat iapun
berteriak: "Suco, sebentar musuh tentu akan memburu tiba!"
"Setan alas, kau juga ikut cerewet?" bentak sipaderi tua.
Dan pada saat itu juga, tiba2 terdengar suara gemerasak yang aneh diatas udara.
Hiat-to Loco sudah lama tinggal didaerah Tibet, sudah banyak bencana gugur salju
yang telah dilihatnya, dalam keadaan demikian, betapapun nekat napsu binatangnya
juga tidak berani coba menantang bencana alam itu. Cepat ia berseru: "Wah,
celaka! Lekas lari, lekas!"
Ia lihat arah membanjirnya salju itu mungkin akan tertahan oleh sebuah bukit
disebelah selatan sana, maka cepat ia menarik kuda putih dan berlari kejurusan
selatan. Biarpun paderi itu biasanya sangat ganas dan kejam, menghadapi salju
longsor itupun wajahnya berubah pucat. Ia tahu diatas puncak gunung sekitar
mereka berdiri itupun penuh tertimbun salju, bila suara getaran salju longsor
itu melampaui batas, tentu timbunan salju di-puncak2 lain juga akan ikut gugur
dan tentu mereka akan terkubur didasar lembah situ.
Dengan payah kuda putih itu dibebani Tik Hun dan Cui Sing, setiba ditengah
lembah, mendadak binatang itu keserimpet, hampir Tik Hun terbanting kebawah.
Sementara itu suara gemuruh salju longsor itu makin menghebat, sambil memandangi
puncak gunung disisi mereka, Hiat-to Loco tampak sangat kuatir, pabila salju
diatas puncak itupun ikut gugur, pasti celakalah mereka.
Gugur salju itu sebenarnya tidak berlangsung terlalu lama, paling2 juga cuma
belasan menit. Tapi dalam waktu sesingkat itu Hiat-to Loco, Tik Hun dan Cui Sing
sudah dihinggapi rasa takut yang tak kepalang. Cui Sing sendiri menjadi lupa
barusan ia sendiri mengharap bisa segera mati saja agar terhindar dari hinaan
kedua paderi cabul itu. Tapi kini berbalik timbul rasa ketergantung hidupnya
kepada kedua orang itu, ia berharap kedua orang laki2 itu dapat mencari jalan
untuk membantunya terhindar dari bencana alam itu.
Se-konyong2 dari atas puncak disisi mereka terjatuh sepotong batu, saking
kagetnya sampai Cui Sing menjerit. Cepat Hiat-to Loco mendekap mulut sigadis,
sedang tangan lain terus memberi persen dua kali tamparan dipipinya hingga
seketika muka Cui Sing merah bengap. Untung timbunan salju diatas puncak itu
rupanya tidak terlalu tebal, maka tidak mudah untuk longsor.
Selang tak lama, suara gemuruh gugur salju itu mulai mereda lalu Hiat-to Loco
melepaskan tangannya dari mulut Cui Sing. Gadis itu menutupi mukanya dengan
kedua tangannya, entah karena merasa lega, entah merasa gusar atau takut.
Kemudian Hiat-to Loco coba meronda kemulut lembah sana, kembalinya tertampak air
muka paderi itu mengunjuk rasa sedih dan gusar. Ia terus duduk menjublek diatas
sebuah batu padas dengan muka muram.
"Cosuya, bagaimanakah keadaaan diluar sana?" tanya Tik Hun.
"Bagaimana" Hm, semuanya gara2mu setan cilik ini!" damperat sipaderi mendadak.
Maka Tik Hun tidak berani menanya lagi, ia tahu tentu gelagat tidak
menguntungkan, makanya paderi tua itu marah2. Tapi achirnya ia menjadi
tidaktahan lagi, kembali ia tanya: "Cosuya, apakah karena ada musuh menjaga
dimulut lembah sana" Jika demikian, silakan engkau menyelamatkan sendiri saja
dan tidak perlu lagi memikirkan diriku."
Selama hidup Hiat-to Loco hanya bergaul dengan manusia2 culas dan jahat, bukan
saja semua sobat-andainya begitu, bahkan anak muridnya seperti Po-siang, Siangyong dan lain2 juga manusia2 licik dan culas, hanya mementingkan diri sendiri
tanpa memikirkan orang lain. Tapi kini Tik Hun telah menyuruhnya menyelamatkan
diri sendiri saja, tanpa merasa timbul rasa senangnya, wajahnya menampilkan
senyuman, katanya kemudian: "Anak baik, kau memang mempunyai Liangsim yang
terpuji! Tapi bukan karena ada musuh menjaga dimulut lembah sana, melainkan
lembah ini telah buntu tertutup oleh timbunan salju yang berpuluh meter
tingginya dan beribu meter luasnya. Sebelum musim semi, salju tetap akan
membeku, dan kitapun takdapat keluar dari sini. Padahal ditengah lembah sunyi
ini, segala makanan tidak ada, masakah kita dapat tahan sampai tahun depan?"
Mendengar penjelasan itu, Tik Hun merasa keadaan memang berbahaya, tetapi karena
saat yang paling gawat tadi sudah lalu, maka ia tidak terlalu kuatir lagi.
Katanya: "Cosuya jangan kuatir, asal mau berusaha, tentu ada jalannya. Seumpama
kita akan mati kelaparan disini juga lebih baik daripada kita mati tersiksa
ditangan musuh." "Benar juga ucapanmu, anak baik," puji sipaderi dengan tertawa lebar. Lalu ia
berbangkit, tiba2 ia lolos goloknya dan mendekati kuda putih itu.
"Hai, hai! Engkau mau apa?" teriak Cui Sing dengan kuatir.
"Mau apa" Boleh coba engkau terka," sahut sipaderi.
Padahal tidak usah diterka juga Cui Sing sudah tahu kalau paderi itu hendak
menyembelih kuda putih itu untuk dimakan. Kuda itu dibesarkan bersama dia, sudah
tentu ia pandang kuda putih itu sebagai kawan-baiknya, dan dengan sendirinya ia
menjadi kautir dan gusar pula melihat paderi jahat itu hendak menjagal kuda
kesayangannya itu. Kembali ia ber-teriak2: "Tidak, tidak! Itu adalah kudaku, kau
tidak boleh memotongnya."
"Haha, malahan kalau habis makan daging kuda, tentu akan bergilir makan
dagingmu," sahut sipaderi dengan tertawa. "Sedangkan daging manusia saja
kumakan, apalagi daging kuda?"
"Mohon belas-kasihanmu, janganlah membunuh kudaku," pinta Cui Sing dengan
sangat. Dan pada saat terpaksa itu, iapun berpaling kepada Tik Hun: "Harap
engkau mohon padanya, janganlah membunuh kudaku."
Melihat wajah sigadis yang penuh kuatir dan kasihan itu, sebenarnya Tik Hun
tidak tega, tapi mengingat keadaan sudah terpaksa, kalau tidak makan daging
kuda, apa yang dapat dimakan, malahan boleh jadi kalau sudah kehabisan makanan,
mungkin pelana kuda terbuat dari kulit itupun akan digodok untuk dimakan. Tapi
karena tidak tega melihat wajah sigadis yang sedih itu, terpaksa ia berpaling
kejurusan lain. Dalam pada itu Cui Sing sedang memohon pula: "Jangan..........janganlah membunuh
kudaku." "Baiklah, aku takkan membunuh kudamu," demikian kata Hiat-to Loco tiba2.
Keruan Cui Sing kegirangan, ber-ulang2 ia mengucapkan terima kasih. Tapi
mendadak terdengar suara "sret" sekali, ditengah gelak ketawa sipaderi tua,
tahu2 kepala kuda sudah menggelinding ketanah, darahpun menyembur keluar sebagai
air mancur. Saking kaget dan sesalnya hingga Cui Sing seketika pingsan.
Waktu pelahan2 Cui Sing siuman kembali, lebih dulu ia lantas mengendus bau
sedap, memangnya perutnya sangat kelaparan, ia menjadi girang mengendus bau
lezat daging itu. Tapi begitu pikirannya jernih kembali, segera ia ingat bau
sedap itu adalah bau panggang daging kuda kesayangannya itu. Ketika ia membuka
mata, ia lihat Hiat-to Loco dan Tik Hun sedang berduduk diatas batu padas dan
lagi asyik melalap daging kuda, ditepi batu terdapat segunduk api unggun, diatas
sebatang kayu yang melintang diatas api itu tergantung sepotong paha kuda.
Hlm. 53 Gambar: Ketika Tik Hun dan Cui Sing mendongak dan memandang kearah datangnya suara
nyaring itu, maka tertampaklah diatas sebuah tebing yang curam ada dua orang
sedang bertempur. Saking dukanya Cui Sing lantas menangis.
"Kau mau makan tidak?" tanya Hiat-to Loco dengan tertawa.
"Kalian terlalu jahat, sampai kudaku juga dibunuh, kelak aku pasti.........pasti
membalas sakit hati ini!" demikian seru Cui Sing sambil tersedu-sedan.
Tik Hun merasa menyesal juga, katanya: "Nona Cui, ditengah lembah bersalju ini,
kita tiada punya makanan apa2, terpaksa kami menyembelih kudamu. Bila engkau
suka pada kuda bagus, kelak kalau kita dapat keluar dari lembah ini tentu masih
dapat membeli pula."
"Kau paderi cilik ini pura2 berhati bajik, padahal kau lebih2 jahat daripada
paderi tua jahanam itu, aku benci padamu, kubenci padamu!" seru Cui Sing.
Tik Hun tidak dapat menjawab lagi. Pikirnya: "Agar tidak mati kelaparan, meski
kau benci padaku juga terpaksa aku harus makan daging kudamu ini." ~ Maka
kembali ia sebret sepotong daging kuda lagi terus dimakan pula.
Sambil menggeragoti daging kuda, Hiat-to Loco melirik2 pula mengincar Cui sing,
dengan samar2 ia menggumam sendiri: "Ehm, rasa daging kuda ini sangat lezat. Ha,
lewat beberapa hari lagi kalau anak dara ini mesti dipanggang juga untuk
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dimakan, rasanya belum tentu selezat daging kuda ini." ~ dan didalam hati diam2
ia pikir pula: "Dan habis makan anak dara itu, terpaksa achirnya mesti makan
juga cucu muridku yang tersayang itu."
Sesudah kenyang makan daging kuda, lalu Tik Hun menambahi sedikit kayu bakar
diunggun api, kemudian merekapun tertidur sambil bersandar dibatu padas itu.
Dalam keadaan layap2 Tik Hun mendengar suara sesenggukan Cui Sing yang masih
menangis tiada henti2nya, tiba2 timbul rasa duka padanya: "Nona ini hanya
kehilangan seekor kuda dan dia sudah menangis sesedih itu. Sebaliknya hidupku
didunia ini ternyata tiada seorangpun yang menangis bagiku, sungguh malang
nasibku ini, lebih celaka daripada seekor binatang."
Sampai tengah malam, tiba2 Tik Hun merasa pundaknya di-dorong2 orang, segera ia
terjaga bangun, ia dengar Hiat-to Loco sedang membisikinya: "Diam! Ada orang
datang!" Tik Hun terkesiap, tapi lantas bergirang pula, pikirnya: "Jika ada orang datang,
tentu kitapun dapat keluar." ~ Maka dengan secara bisik2 cepat ia menanya:
"Dimana?" Hiat-to Loco menuding kearah barat dan berkata: "Di sana, kau merebah saja dan
jangan bersuara, kepandaian musuh sangat tangguh."
Tik Hun coba mendengarkan dengan cermat, tapi tiada terdengar sesuatu apapun.
Sambil menghunus golok Hiat-to Loco berjongkok untuk sekian lamanya ditempatnya,
se-konyong2 ia melesat pergi secepat anak panah terlepas dari busurnya. Hanya
sekejap saja bayangannya sudah menghilang dibalik lereng bukit sana.
Sungguh kagum tidak kepalang Tik Hun: "Ilmu silat paderi ini benar2 jarang ada
bandingannya. Jikalau Ting-toako masih hidup dan bertanding dengan dia, entah
siapa lebih unggul?" ~ Demi ingat kepada sang Toako itu, tanpa merasa iapun
meraba punggungnya, nyata buntalan abu tulang Ting Tian itu masih tergembol
baik2 disitu. Ditengah malam sunyi senyap itu, tiba2 terdengar suara "trang-trang" dua kali,
terang itulah suara beradunya senjata. Dan sesudah bunyi nyaring itu, keadaan
kembali sepi nyenyak. Lewat agak lama, lagi2 terdengar suara nyaring dua kali
pula. Tik Hun menduga pasti sipaderi tidak berhasil menyergap musuh dan kini sudah
saling gebrak. Dari suara beradunya senjata itu, nyata ilmu silat musuh tidak
berada dibawahnya. Sejenak kemudian, tiba2 suara nyaring itu mendering sampai empat-lima kali
hingga Cui Sing juga terjaga bangun.
Waktu itu dataran dilembah pegunungan itu hanya salju belaka, dibawah cahaya
bulan, terpancarlah sinar repleksi dari salju hingga cuaca mirip fajar
menyingsing. Cui Sing memandang sekejap kearah Tik Hun, bibirnya ber-gerak2 seperti ingin
menanya, tapi karena ia masih benci dan muak kepada pemuda itu, pula
pertanyaannya belum tentu dijawab, maka ucapannya yang sudah diambang mulut itu
ditelannya kembali mentah2.
Tiba2 terdengar suara "trang-trang" yang riuh pula, bunyinya semakin keras dan
semakin tinggi. Waktu Cui Sing dan Tik Hun mendongak berbareng kearah datangnya
suara, maka tertampaklah dibawah sinar bulan, didinding suatu tebing yang curam
disebelah timur-laut sana ada dua bayangan orang yang sedang berputar kian
kemari. Tebing itu sangat terjal, pula penuh timbunan salju, kalau dipandang,
tidak mungkin orang sanggup memanjat keatas. Tetapi sambil bergebrak kedua orang
itu ternyata tidak pernah berhenti, mereka terus merayap keatas tebing.
Tik Hun coba memandang dengan cermat, ia lihat lawan Hiat-to Loco itu adalah
seorang berjubah imam dan bersenjata pedang. Itulah imam tua yang tempo hari
sudah pernah bergebrak dengan sipaderi itu. Ia masih ingat Hiat-to Loco telah
memuji kebagusan ilmu pedang imam tua itu, katanya adalah jago dari Thay-kekbun. Entah cara bagaimana imam tua itu dapat menerobos masuk ketengah lembah
yang dikelilingi dinding salju ini"
Segera Cui Sing juga dapat mengenali imam tua itu, saking girangnya ia terus
berseru: "Itu dia Lau Seng-hong Totiang! He, ada Lau-pepek, tentu ayah juga ada.
Hai, ayah, ayah! Anak berada disini!"
Tik Hun kaget demi mendengar Cui Sing ber-teriak2 memanggil ayahnya. Pikirnya:
"Hiat-to Loco sedang bertempur dengan imam tua itu, melihat gelagatnya susah
untuk terjadi kalah menang dalam waktu singkat. Dan bila ayahnya mendengar
suaranya serta memburu kemari, bukankah aku akan dibunuh olehnya?"
Maka cepat ia mencegah teriakan Cui Sing: "Hei, jangan engkau ber-teriak2, bila
salju menjadi longsor lagi, jiwa kita pasti akan melayang bersama?"
"Aku justeru ingin mati bersama Hwesio jahanam seperti kau ini," damperat Cui
Sing dengan gemas. Dan kembali ia ber-teriak2: "Ayah, ayah! Aku berada disini!"
"Tutup mulutmu!" bentak Tik Hun. "Jika salju longsor lagi, bukankah jiwa kita
melayang, bahkan ayahmu juga akan mampus. Apakah kau hendak membunuh ayahmu" Kau
benar2 puteri jahat yang Put-hau (tak berbakti)."
Rupanya cercaan Tik Hun itu kena dihati sigadis, sebab Cui Sing lantas berpikir:
"Ya, betul juga. Bila ayahpun sampai berkorban, aku yang berdosa." ~ Tapi segera
terpikir pula olehnya: "Ah, betapa hebat kepandaian ayah" Salju longsor tadi
telah menakutkan orang lain hingga lari ter-birit2, sebaliknya Lau-pepek toh
mampu melintasi lautan salju setinggi itu, dan kalau Lu-pepek dapat kemari,
dengan sendirinya ayahpun dapat. Andaikan teriakanku akan membikin salju longsor
lagi, paling2 juga aku yang akan teruruk mati, ayah pasti takkan berhalangan
apa2. Paderi tua itu terlalu lihay, bila Lau-pepek terbunuh olehnya, pasti yang
paling celaka adalah diriku karena tercengkeram ditangan kedua paderi jahat
ini." Berpikir begitu, maka kembali ia ber-teriak2 lagi: "Ayah, ayah! Aku berada
disini, lekas datang menolong aku!"
Semula ketika gadis itu sudah diam, Tik Hun mengira ia takkan bersuara lagi.
Siapa duga mendadak ia berteriak pula, bahkan semakin keras, seketika Tik Hun
menjadi tidak tahu cara bagaimana harus menyetopnya. Waktu menengadah, ia lihat
Hiat-to Loco masih menempur imam tua itu denan sengit. Golok merah yang diputar
dengan cepat itu berwujut selingkar sinar merah yang bertebaran diatas salju
yang memutih perak. Gerak-gerik imam tua Lau Seng-hong itu tampaknya tidak
terlalu cepat, tapi penjagaannya rapat sekali, meski Hiat-to Loco tampaknya
takkan kalah, tapi untuk menang juga susah terjadi dalam waktu singkat.
Dalam pada itu didengarnya Cui Sing masih terus ber-teriak2 pada sang ayah,
kemudian tiba2 berganti memanggil: "Piauko, Piauko! Lekas kemari!"
Lama-kelamaan Tik Hun menjadi sebal dibuatnya, bentaknya pula: "Budak bawel,
lekas tutup mulutmu bila engkau tidak ingin kupotong lidahmu!"
"Aku justeru ingin berteriak, aku justeru akan berteriak!" demikian sahut Cui
Sing. Dan kembali ia berteriak lebih keras: "Ayah, ayah! Aku berada disini!"
Karena kuatir Tik Hun benar2 mendekatinya, maka ia lantas berbangkit sambil
memegang sepotong batu. Selang sejenak, ia lihat Tik Hun masih menggeletak
ditanah tanpa berkutik, mendadak teringat olehnya: "Ya, Hwesio jahat ini telah
patah kakinya, kalau tiada ditolong oleh paderi tua itu, sudah lama ia dibunuh
oleh Piauko. Gerak-geriknya terang tidak leluasa, mengapa aku takut padanya?" ~
Demi dapat membedakan kedudukan masing2, segera Cui Sing membatin pula: "Hwesio
tua itu terang takkan datang kesini, kenapa aku tidak lantas membunuh Hwesio
muda ini sekarang juga?" ~ Dengan mata mendelik segera ia angkat batu yang
dipegang itu dan mendekati Tik Hun terus saja ia keprukan batu itu keatas kepala
pemuda itu. Sudah sejak tadi Tik Hun mengikuti gerak-gerik Cui Sing, ketika tiba2 dilihat
sikap sigadis menjadi beringas, diam2 ia sudah mengeluh. Maka ketika gadis itu
mendekati dirinya, segera ia tahu gelagat tidak menguntungkan. Dan ketika batu
itu menimpa keatas kepalanya, terpaksa ia berguling kesamping. "Bluk", batu itu
menghantam ditanah salju, selisih dari mukanya cuma beberapa senti saja.
Sekali menimpuk tidak kena, kembali Cui Sing jemput batu yang lain dan menyambit
pula, sekali ini mengarah keperut Tik Hun.
Terpaksa Tik Hun mengkerut tubuh dan berguling pula. Tapi karena tulang kaki
patah, gerak-gerik tidak leluasa, achirnya tulang betis kena tertimpuk pula oleh
batu itu, "krak", kembali tulang betis pecah tertimpuk batu, saking kesakitan
sampai Tik Hun menjerit. Sudah tentu Cui Sing sangat girang, lagi2 ia angkat sepotong batu hendak
menimpuk pula. Tik Hun insaf dirinya sudah merupakan makanan empuk bagi orang, kalau be-runtun2
kena ditimpuk beberapa kali lagi, pasti tamatlah riwayatnya. Dalam kehilangan
akalnya, mendadak iapun sambar sepotong batu dan balas menggertak: "Budak setan,
kau berani menimpuk batu pula, biar kukepruk mampus kau dahulu!"
Meski kaki Tik Hun patah, tapi tenaga tangannya masih kuat, ketika Cui Sing
benar2 menimpuknya lagi, dengan kelabakan ia mengegos lagi sambil berguling,
lalu kontan balas menyambitkan batu yang disambarnya tadi.
Lekas2 Cui Sing melompat kesamping, tapi batu itupun menyerempet lewat disisi
telinga membuatnya kaget. Ia tidak berani main timpuk batu lagi, tapi segera ia
jemput sebatang ranting kayu, dengan gerakan "Sun-cui-tui-ciu" (mendorong perahu
menurut arus) ia terus tusuk pundak Tik Hun.
Ilmu pedang keturunan keluarga Cui memang sangat hebat, meski senjata yang
digunakan hanya sebatang kayu, tapi cara menusuknya sangat cepat, sekalipun Tik
Hun dalam keadaan sehat walafiat juga bukan tandingannya, apalagi sekarang. Maka
begitu tusukan itu tiba, sedapat mungkin ia miringkan pundak untuk menghindar.
Namun mendadak Cui Sing ganti tipu serangan, dengan "Oh-liong-tam-jiau" (naga
hitam menjulur cakar), "plok", dengan tepat ujung kayu kena "cakar" dikening Tik
Hun. Pabila senjata yang dipakai Cui Sing adalah pedang benar2, maka jiwa Tik Hun
pasti sudah melayang. Namun demikian, biarpun cuma sebatang kayu saja toh juga
sudah membikin Tik Hun kesakitan setengah mati hingga mata ber-kunang2.
"Sepanjang jalan kau Hwesio jahanam ini telah menyiksa nonamu, kini dapatkah kau
menyiksa aku lagi" Katanya kau hendak memotong lidahku, hayolah, mengapa tidak
coba2 potong?" demikian damperat Cui Sing.
Habis itu, kembali ia angkat ranting kayu itu menghantam dan menyabat keatas
kepala, pundak dan pinggang Tik Hun, setiap kali kena dihajar, kontan tubuh Tik
Hun bertambah babak belur,
"Hayolah, mengapa kau tidak minta tolong Cosuyamu" Hm, biarlah kuhajar mampus
dulu kau Hwesio jahat ini!" begitulah sambil memaki Cui Sing terus menghujani
Tik Hun dengan hajaran ranting kayu itu.
Karena takdapat melawan, terpaksa Tik Hun hanya tutupi kepala dan mukanya dengan
kedua tangan. Namun begitu tangan dan lengannya menjadi ikut babak-belur juga
hingga darah berceceran. Saking sakitnya Tik Hun menjadi nekat. Mendadak ia
pegang ranting kayu orang waktu Cui Sing menyabatnya lagi, lalu dibetot sekuat2nya. Kalau Cui Sing tidak lepas tangan, bukan mustahil ia akan dipeluk oleh
Tik Hun. Terpaksa ia lepas tangan, dan mendadak Tik Hun lantas balas menyabatkan
ranting kayu itu. Cui Sing terkejut dan cepat2 melompat mundur. Kemudian ia jemput sebatang kayu
yang lain dan maju pula hendak melabrak Tik Hun.
Dalam bahaya mendadak timbul suatu akal Tik Hun, tiba2 teringat suatu akal
bajingan olehnya, ia berteriak: "Jangan maju lagi! Selangkah kau berani maju,
segera aku membuka celana! ~ Dan sambil berteriak, kedua tangannya lantas meraba2 pinggang dengan lagak hendak membuka celana.
Keruan Cui Sing kaget, lekas2 ia berpaling kearah lain dengan muka merah jengah.
Pikirnya: "Segala kejahatan juga dapat dilakukan Hwesio jahat ini, bukan
mustahil dia akan menggunakan kelakuan rendah ini untuk menghina diriku."
"Hayolah, lekas kau melangkah kesana, lebih jauh lebih baik!" segera Tik Hun
ber-teriak2 pula. Hati Cui Sing berdebaran, ia tidak berani membangkang, benar-benar ia melangkah
maju kesana. Tik Hun sangat girang karena akal bajingannya berhasil menakutkan sigadis.
Segera ia menggembor lagi: "Nah, sudahlah, aku sudah copot celanaku sekarang,
jika kau masih ingin menghajar aku, silakan datang kemari!"
Keruan Cui Sing bertambah kaget.
Masakan pantas seorang gadis disuruh hajar orang telanjang. Tanpa pikir lagi ia
terus melompat kesana, jangankan mendekat, sekalipun menoleh juga tidak berani.
Ia menyingkir jauh2 kebalik gundukan salju sana.
Padahal Tik Hun sebenarnya tidak melepas celana segala. Apa yang dikatakan itu
hanya untuk menggertak saja. Pikir punya pikir ia menjadi geli sendiri dan
gegetun pula akan nasibnya yang apes. Hajaran yang kenyang dirasakan tadi paling
sedikit ada 50 kali banyaknya dan antero badannya hampir2 rata penuh babakbelur, tulang betis yang pecah ditimpuk batu itu, lebih2 kesakitan pula.
Pikirnya: "Coba kalau aku tidak gunakan akal bajingan, mungkin saat ini
riwayatku sudah tamat. Ha, aku Tik Hun adalah seorang laki2 sejati, tapi
sekarang telah berlaku serendah dan sekotor ini, biarpun jiwaku ini selamat,
cara bagaimana aku harus berhadapan dengan orang kelak?"
Waktu ia memperhatikan suasana ditebing karang sana, ia lihat pertarungan Hiatto Loco dan Lau Seng-hong masih berlangsung dengan sengit.
Puncak karang yang dipakai gelanggang pertarungan itu menonjol keluar dari
sebuah dinding tebing yang terjal. Tingginya dari tanah paling sedikit ada
ratusan meter tingginya. Diatas karang yang luasnya cuma beberapa meter itu
penuh tertimbun salju, asal salah seorang terpeleset sedikit saja hingga
tergelincir jatuh kebawah, biarpun setinggi langit ilmu silatnya juga akan
terbanting hancur lebur. Dipandang dari bawah, Tik Hun merasa perawakan kedua orang itupun banyak lebih
kecil daripada tubuh mereka yang sebenarnya. Lengan baju kedua orang itu tampak
berkibaran hingga mirip dua dewa sedang me-layang2 ditengah awang2, sungguh
indah pemandangan itu. Meski Tik Hun tidak terlalu jelas menyaksikan jalannya
pertarungan mereka, tapi dapat diduga setiap jurusnya pasti menyangkut mati atau
hidup masing2. Dalam pada itu tiba2 terdengar Cui Sing ber-teriak2 pula dibalik gundukan salju
sana: "Ayah, ayah! Lekas kemari!"
Setelah berteriak beberapa kali, mendadak dari arah timur-laut ada suara seorang
tua menjawabnya: "Apakah Cui-titli disitu" Ayahmu mengalami sedikit cidera,
sebentar lagipun akan menyusul tiba!"
Dari suara itu Cui Sing dapat mengenali orang itu adalah Hoa Tiat-kan, yaitu
tokoh kedua daripada empat kakek "Lok-hoa-liu-cui". Dengan girang segera ia
berseru menanya: "Apakah Hoa-pepek disitu" Dimanakah ayah" Bagaimana lukanya?"
"Wah, celaka, sekali ini benar2 celaka!" demikian diam2 Tik Hun mengeluh. "Dia
kedatangan bala bantuan, tamatlah riwayatku tentu!"
Dan hanya sekejap saja sikakek she Hoa itu sudah berlari sampai ditempat Cui
Sing, terdengar katanya: "Tadi mendadak sepotong batu yang jatuh dari atas pncak
gunung telah menindih keatas kepala Liok-pepek, karena ayahmu hendak
menyelamatkan Liok-pepek, ia telah hantam batu itu. Tapi karena batu itu terlalu
besar dan berat, maka tangan ayahmu mengalami sedikit cidera, tapi tiada
berhalangan apa2." "Eh, Hoa-pepek, ada seorang Hwesio jahat disana, lekas .......lekas Hoa-pepek
pergi kesana dan membunuhnya, tapi dia .....dia telah buka......" begitulah Cui
Sing menjadi malu untuk menjelaskan Tik Hun telah membuka celananya.
"Baiklah, akan kubunuh dia, dimana tempatnya?" terdengar Hoa Tiat-kan menyahut.
Cui Sing lantas menunjukkan tempat beradanya Tik Hun, tapi kuatir kalau mendadak
melihat pemuda itu dalam keadaan telanjang, sambil jarinya menuding kebelakang,
kakinya berbalik melangkah kesana.
Dan selagi Hoa Tiat-kan mendekati Tik Hun untuk membunuhnya, tiba2 terdengar
suara nyaring "tring-ting-ting-ting" empat kali, suara nyaring beradunya senjata
dari atas tebing curam itu. Waktu ia menengadah, ia melihat golok dan pedang
Hiat-to Loco dan Lau Seng-hong saling bertahan menjadi satu, kedua orang
sedikitpun tidak bergerak se-olah2 sudah mati beku oleh dinginnya salju.
Kiranya ilmu golok dan ilmu pedang kedua orang itu ada keunggulannya sendiri2,
saking seru pertempuran itu, sampai achirnya terpaksa kedua orang mesti mengadu
Lwekang dengan mati-matian.
Sudah tentu Hoa Tiat-kan tahu cara mengadu Lwekang begitu adalah cara yang
paling bahaya. Sekali sudah terjadi kalah dan menang, yang kalah tentu akan
terluka parah bila tidak mati.
Tiba2 tergerak pikirannya: "Hiat-to Ok-ceng itu sedemikian tangkas dan ganasnya,
belum tentu Lau-hiante dapat menjatuhkan dia. Dalam keadaan demikian bila aku
tidak lantas mengeroyoknya, mau menunggu kapan lagi?"
Meski kedudukan dan nama baiknya di Bu-lim sangat tinggi, sebenarnya ia tidak
sudi mendapat nama jelek karena main keroyok. Tapi kejadian para kesatria
Tionggoan menguber dua paderi Hiat-to-bun itu sudah menggemparkan antero dunia
persilatan, jikalau sekarang ia dapat membunuh Hiat-to-ceng itu dengan tangan
sendiri, nama harumnya tentu cukup untuk menutupi nama jeleknya karena telah
main keroyok. Karena pikiran itu, mendadak ia putar tubuh dan berlari kebalik tebing curam
itu. Dengan demikian selamatlah jiwa Tik Hun.
Sebaliknya Cui Sing menjadi heran dan kuatir. "Hai, Hoa-pepek, apa yang hendak
kau lakukan?" serunya. Dan begitu tercetus pertanyaannya itu, segera iapun tahu
sendiri akan jawabannya. Ia lihat secara diam2 Hoa Tiat-kan sedang merayap keatas tebing yang terjal itu.
Tangan jago she Hoa itu memegang sebatang tumbak pendek dari baja murni, sekali
ujung tumbak digunakan menutul didinding karang, segera tubuhnya melompat keatas
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dua-tiga meter tingginya. Waktu tubuh menurun, tumbak pendek itu lantas menutul
dinding karang lagi untuk menahan, lalu mencelat naik keatas lagi. Cara
manjatnya itu jauh lebih cepat daripada Hiat-to-ceng dan Lau Seng-hong tadi.
Dipihak lain demi mendengar tindakan orang sudah makin menjauh, dirinya tidak
jadi akan dibunuhnya, maka legalah hati Tik Hun.
Tapi rasa lega itu hanya terjadi sekejap saja, sebab lantas dilihatnya juga Hoa
Tiat-kan sedang melompat dan merayap keatas karang yang terjal itu. Sudah tentu
ia menjadi kuatir. Harapan satu2nya baginya sekarang yalah semoga sebelum Hoa
Tiat-kan mencapai puncak karang itu, lebih dulu dapatlah Hiat-to-ceng membunuh
Lau Seng-hong, habis itu dapat segera bertempur melawan Hoa Tiat-kan. Kalau
tidak, bila nanti dikeroyok oleh Hoa Tiat-kan berdua, pasti paderi tua itu akan
dirobohkan. Tapi kemudian lantas terpikir pula olehnya: "Lau Seng-hong dan Hoa Tiat-kan itu
adalah kesatria yang berbudi luhur, sedangkan Hiat-to-ceng itu sudah terang
gamblang adalah seorang yang maha jahat, namun aku malah mengharapkan orang
jahat membunuh orang baik. Ai, Tik Hun, wahai, Tik Hun, ternyata sudah
sedemikian bejatnya moralmu! ~ Begitulah disamping kuatir bagi keselamatan
sendiri, ia mencela pula dirinya sendiri, perasaannya menjadi kusut sekali. Dan
pada saat itulah dilihatnya Hoa Tiat-kan sudah melompat naik keatas karang itu.
Tatkala itu Hiat-to-ceng sedang mengadu tenaga dalam dengan mati2an kepada Lau
Seng-hong, secara ber-gelombang2 tenaga dalamnya sedang dikerahkan bagaikan
ombak yang men-dampar2 hebatnya. Sebaliknya Lau Seng-hong adalah tokoh terkemuka
dari Thay-kek-bun, selama hidupnya yang dilatih yalah cara menggunakan kelunakan
untuk melawan kekerasan. Maka walaupun tenaga dalam Hiat-to-ceng terus
membanjir, namun dengan tenang iapun gunakan tenaga dalamnya yang lunak itu
untuk mematahkan setiap desakan lawan. Lebih dulu ia bertahan, habis itu akan
terus balas menyerang bila musuh sudah lelah.
Dengan demikian, biarpun tenaga dalam Hiat-to Loco sangat kuat, titik
serangannya yang diarah juga ber-ubah2, namun sesudah saling ngotot sekian
lamanya, tetap ia takdapat meng-apa2kan Lau Seng-hong. Dengan memusatkan
semangat dalam mengadu Lwekang itu, kedua orang itu sudah melupakan apa yang
terjadi disekitarnya. Maklum, kalah-menang dalam keadaan demikian tergantung
sedetik saja, siapa lengah sedikit, seketika akan memberi kesempatan kepada
lawan untuk melancarkan tenaga dalamnya lebih kuat.
Waktu Hoa Tiat-kan melompat keatas karang itu, kedua orang itu tiada satupun
yang tahu. Ia lihat Hiat-to-ceng dan Lau Seng-hong masih senjata mengadu senjata
dan tangan mendempel tangan, diatas kepala mereka mengepulkan hawa, pertanda
tenaga dalam mereka sudah penuh dikerahkan. Diam2 Hoa Tiat-kan memuji juga
ketangkasan kedua orang itu.
Dengan diam2 ia menggermet kebelakang Hiat-to Loco, ia angkat tumbak bajanya
yang pendek itu, ia himpun segenap tenaga kelengan yang memegang senjata itu,
sekali sinar tumbak berkelebat, dengan cepat dan keras ia terus menusuk
kepunggung Hiat-to Loco. Pada waktu Hoa Tiat-kan mulai mengangkat tumbaknya tadi, sinar tumbak yang
kemilauan telah menimbulkan cahaya repleksi pada tanah salju yang putih bersih
itu hingga menyilaukan Tik Hun. Ia terkejut dan cepat berteriak sepenuh
tenaganya: "Awas, dibelakang ada orang!"
Mendengar jeritan yang mengguncangkan kalbu itu, mendadak Hiat-to Loco tersadar,
tiba2 ia merasa serangkum angin tajam telah menyambar dari belakang. Padahal
saat itu ia sedang mengadu tenaga dalam dengan Lau Seng-hong, untuk berkelit
atau mengganti tempat terang sangat sulit, jangankan hendak menarik senjata
untuk menangkis serangan dari belakang itu.
Tapi paderi tua itu dapat berpikir cepat: "Daripada mati konyol, lebih baik aku
mati terbanting saja. Aku tidak boleh mati ditangan musuh!"
Karena pikiran itu, mendadak ia mendakan tubuh dan melesat kesamping, ia sengaja
terjun kebawah jurang. Dalam pada itu tusukan tumbak Hoa Tiat-kan itu sudah bertekad harus membinasakan
Hiat-to-ceng itu. Maka tusukan itu luar biasa kerasnya dan tak tertahankan lagi.
Siapa tahu mendadak ada perubahan yang tak terduga oleh siapapun juga. Pada
detik menentukan itu mendadak Hiat-to-ceng terjun kebawah jurang. Maka
terdengarlah "crat" sekali, ujung tumbak menancap ditubuh kawan sendiri, yaitu
diatas dada Lau Seng-hong. Begitu kuat tusukan itu hingga ujung tumbak menembus
dari dada kepunggung. Sudah tentu kejadian itupun se-kali2 tidak tersangka oleh
Lau Seng-hong hingga iapun tidak sempat menghindar.
Dalam pada itu Hiat-to Loco yang menerjun kedalam jurang itu semakin dekat
dengan tanah. Se-konyong2 ia menggertak sekali sambil ayun goloknya membacok
kebawah. Dasar jiwanya mungkin belum ditakdirkan mampus, bacokan itu tepat
mengenai batu karang yang menonjol hingga lelatu api bercipratan dan daya
turunnya menjadi tertahan sedikit. Menyusul sebelah tangannya terus memukul pula
kebawah, "brak", salju bertebaran kena tenaga pukulannya itu, sejenak kemudian
Hiat-to Loco dapat pula menancapkan kakinya ketanah dengan enteng dan tak kurang
sesuatu apapun. "Ehm, cucu murid yang baik, untunglah engkau telah menjerit hingga jiwa kakek
gurumu ini tertolong!" demikian ia mengangguk kepada Tik Hun sebagai tanda
pujian. "Rasakan golokku!" tiba2 seorang membentak dibelakangnya.
Dengan ilmu "Thing-hong-pian-gi" atau mendengarkan suara membedakan arah
senjata, dengan cepat dan tanpa balik tubuh paderi itu terus putar golok
kebelakang untuk menangkis. "Trang", dua golok saling bentur dengan keras.
Kontan Hiat-to Loco merasakan dadanya sesak, hampir2 golok terlepas dari
cekalan. Keruan kejutnya tak terkatakan.
Waktu ia menoleh, ia lihat penyerang itu adalah seorang kakek yang bertubuh
tegap kekar, berjenggot panjang dan sudah putih semua. Tangan memegang sebatang
"Kui-thau-to", yaitu golok tebal yang berujung dalam bentuk kepala setan.
Sikapnya sangat gagah. Hanya sekali gebrak itu saja, maka Hiat-to Loco menjadi jeri. Sama sekali tak
tersangka olehnya bahwa tenaga dalamnya sudah banyak terbuang ketika mengadu
Lwekang dengan Lau Seng-hong tadi, ditambah lagi menerjun dari atas, ia mesti
menggunakan tenaga pukulannya untuk menahan daya turunnya tubuh hingga tidak
terbanting mati. Coba kalau orang lain, andaikata tidak terbanting mampus,
paling sedikit juga akan tangan patah atau remuk isi perutnya dan terluka parah.
Ia coba menjalankan tenaga murninya, ia merasa didalam perut agak sakit, tenaga
susah dikerahkan. "Liok-toako, paderi cabul itu telah membunuh Lau-hiante, kalau kita tidak
mencingcang dia hingga menjadi baso, sungguh tak terlampias dendam kita,"
demikian tiba2 seorang berseru dari sisi kiri sana.
Pembicara itu bukan lain daripada Hoa Tiat-kan. Sesudah dia salah membunuh kawan
sendiri, yaitu imam tua Lau Seng-hong, sudah tentu ia sangat berduka dan murka
pula kepada musuh yang licik itu. Secepat terbang iapun memburu kebawah jurang
dengan maksud hendak mengadu jiwa dengan Hiat-to Loco. Kebetulan saat itu Liok
Thian-ju, yaitu sikakek pertama dari "Lam-su-lo", juga telah menyusul tiba. Maka
kedudukan Hiat-to Loco kembali terjepit lagi dari dua jurusan.
Mau-tak-mau Hiat-to Loco menjadi kuatir juga. Ia insaf tenaga dalam sendiri
sudah terkuras sebagian besar, melawan seorang Liok Thian-ju saja belum tentu
menang, apalagi kini ditambah Hoa Tiat-kan yang tampak sudah mendekat dengan
mata membara se-akan2 hendak menelannya mentah2. Kalau sebentar sampai terlibat
lagi dalam keroyokan mereka, pasti jiwanya akan melayang. Ia pikir tenaga dalam
sendiri sudah lemas, untuk laripun tentu susah, jalan satu2nya sekarang yalah
menggunakan Cui Sing sebagai sandera agar musuh tidak berani terlalu mendesak
padanya. Dan sesudah awak sendiri dapat mengaso barang sejam dua jam, tentu akan
kuat untuk bertempur lagi.
Keputusan itu ditetapkannya dalam sekilas pikir saja, dalam pada itu dilihatnya
golok tebal Liok Thian-ju sudah terangkat dan hendak membacok pula. Cepat Hiatto Loco mendakan tubuh, be-runtun2 ia menyerang tiga kali kebagian bawah musuh.
Perawakan Liok Thian-ju tinggi besar, terpaksa ia mesti mengayun goloknya untuk
menangkis kebawah. Padahal serangan2 Hiat-to-ceng itu cuma pancingan belaka.
Tapi juga bukan sembarangan serangan kosong, sebab kalau sedikit salah tangkisan
Liok Thian-ju itu, pasti jiwanya akan segera melayang. Namun tangkisan2 itu
ternyata sangat rapat hingga tiada lubang kesempatan bagi Hiat-to-ceng untuk
menyerang lebih jauh. Mendadak paderi tua itu mendesak maju selangkah, tapi baru setengah jalan, tahu2
ia menarik diri dan melompat kebelakang malah. Dengan cara "Seng-tang-kek-se"
(bersuara ketimur, tapi menyerang kebarat), barulah Hiat-to-ceng dapat
melepaskan diri dari kurungan sinar golok Liok Thian-ju yang lihay itu.
Dan sekali sudah melompat mundur, hanya beberapa kali naik turun saja ia sudah
sampai disamping Tik Hun. Ketika Cui Sing tak kelihatan, segera ia menanya:
"Dimanakah anak dara itu?"
"Disana!" sahut Tik Hun sambil menuding.
Keruan Hiat-to loco menjadi gusar. "Kenapa kau tak tawan dia dan membiarkan dia
lari?" damperatnya dengan beringas.
"Aku......... aku tak kuat........ tak kuat menangkapnya," sahut Tik Hun
gelagapan. Hiat-to Loco semakin murka, dasarnya memang seorang yang kejam, pada saat
menentukan bagi mati-hidupnya itu ia menjadi lebih buas lagi. Sekali kakinya
bergerak, terus saja ia tendang kepinggang Tik Hun. Pemuda itu menjerit tertahan
dan badannya mencelat dan terguling kedepan.
Tempat dimana mereka berada itu memangnya jurang yang dikelilingi puncak2 gunung
yang tinggi, siapa duga dibawah jurang masih ada jurang lagi. Dan karena
tergulingnya Tik Hun itu, tubuhnya terus tergelincir kebawah jurang yang lebih
dalam itu. Ketika mendengar suara Tik Hun tadi, segera Cui Sing menoleh. Demi dilihatnya
Tik Hun sedang terjerumus kebawah jurang, dalam kagetnya dilihatnya Hiat-to Loco
lagi memburu kearahnya pula. Dan pada saat itu juga tiba2 dari samping kanan
sana ada suara seruan orang: "Sing-ji! Sing-ji!"
Itulah suara ayahnya, Cui Tay. Keruan Cui Sing sangat girang, segera iapun balas
berteriak: "Ayah!"
Sungguh sayang perbuatan Cui Sing ini. Padahal waktu itu jaraknya dengan sang
ayah terlalu jauh, sebaliknya jaraknya dengan Hiat-to Loco lebih dekat, selisih
jarak kedua pihak itu ada beberapa meter jauhnya. Pabila Cui Sing tidak
berteriak misalnya, sekali melihat ayahnya muncul, segera ia berlari kearahnya,
dengan demikian jaraknya dengan sang ayah akan menjadi lebih dekat daripada
jaraknya dengan Hiat-to Loco. Tapi karena teriakannya itu, nasib hidupnya
menjadi banyak perubahannya.
Begitulah saking girangnya ia berteriak ayah, seketika ia menjadi lupa Hiat-to
Loco juga sedang memburu kearahnya.
Dalam pada itu lingkaran kepungan Cui Tay, Liok Thian-ju dan Hoa Tiat-kan dari
tiga jurusan juga semakin sempit, tampaknya dalam waktu singkat Hiat-to Loco
pasti akan tergencet. Tapi kalau lebih dulu Cui sing kena ditangkap oleh paderi
tua itu, kedudukan masing2 tentu akan berubah, dengan mempunyai sandera
tawanannya itu, tentu sipaderi akan dapat angin lagi.
Karena itu cepat Cui Tay lantas ber-teriak2 juga: "Sing-ji, lekas kemari,
lekas!" Maka tersadarlah Cui Sing, cepat ia berlari kedepan bagaikan orang keselurupan.
Diam2 Hiat-to Loco gegetun, cepat ia sambar secomot salju, ia kepal menjadi
sepotong batu salju terus disambitkan lebih dulu kearah Cui Tay, menyusul
sepotong lagi ia timpuk "Leng-tay-hiat" dipunggung Cui Sing. Tanpa ampun lagi
gadis itu roboh tak berkutik lagi. Sedangkan lari Hiat-to Loco tidak pernah
berhenti, begitu mendekat, terus saja ia pegang gadis itu. Hampir berbareng
dengan itu, terdengarlah suara angin menyambar dari samping, ujung tumbak Hoa
Tiat-kan sudah menusuk tiba.
Jago she Hoa itu sudah terlalu gemas karena paderi tua itu telah mengakibatkan
dia menusuk mati saudara angkat sendiri, yaitu Lau Seng-hong, maka ia menjadi
kalap tanpa menghiraukan mati hidupnya Cui Sing yang tertawan musuh itu, tapi
begitu tiba terus saja ia menusuk dengan tumbak.
Cepat Hiat-to-ceng menangkis, "trang", tahu2 goloknya mendal kembali. Kiranya
tumbak Hoa Tiat-kan itupun bukan sembarangan tumbak, tapi adalah buatan baja
murni hingga tak terkutung oleh sembarangan golok atau pedang mestika.
Dengan memaki segera Hiat-to Loco melangkah mundur sambil menggondol Cui Sing.
Tapi dari sana tampak Liok Thian-ju telah membacoknya juga dengan Kui-thau-to.
Oleh karena terkepung, untuk mundur lagi tentu juga akan terjerumus kejurang.
Tetapi sekilas Hiat-to-ceng melihat Tik Hun yang didepaknya kedalam jurang tadi
bukannya terbanting mampus, tapi pemuda itu sedang berduduk dibawah situ sambil
menengadah menyaksikan pertarungan mereka. Tergerak pikiran Hiat-to-ceng:
"Ternyata timbunan salju dibawah jurang itu sangat tebal, makanya bocah itu
tidak terbanting mati." ~ Tanpa pikir lagi iapun menerjun kebawah sambil
merangkul Cui Sing. Ditengah jeritan Cui Sing yang ketakutan, kedua orang itu sudah terjerumus
kebawah jurang. Tinggi jurang itu ada ratusan meter tapi timbunan salju ada
berpuluh meter tebalnya. Salju yang bawah sudah membeku, tapi lapisan atas salju
masih cerna dan empuk laksana kasur, maka kedua orang itu sedikitpun tidak
terluka apa2. Cepat Hiat-to Loco terus merangkak bangun dari gundukan salju, ia sudah pilih
tempat yang baik dan berdiri diatas sebuah batu karang dimulut jurang itu sambil
menghunus golok. Ia ter-bahak2 dan berseru: "Hayolah, kalau berani, turun
kemarilah dan kita boleh bertempur lagi!"
Kebetulan batu karang itu sangat strategis tempatnya. Kalau Cui Tay dan lain2
melompat turun, tubuh mereka pasti akan melayang lewat batu karang itu. Dalam
keadaan begitu cukup Hiat-to-ceng ayun goloknya sekali dan kontan tubuh
sipenerjun itu pasti akan terkutung menjadi dua.
Dengan susah payah Liok Thian-ju berempat achirnya dapat menyusul Hiat-to Loco,
tapi sesudah kecandak, seorang saudara angkat mereka menjadi korban, sekarang
paderi jahat itu lolos lagi. Keruan mereka menjadi gemas dan geregetan. Lebih2
Cui Tay yang puterinya masih berada dibawah cengkeram tangan paderi iblis itu,
sedang Hoa Tiat-kan juga salah membunuh saudara angkat sendiri, mereka berdua
inilah paling pedih hatinya. Segera mereka bertiga bisik2 untuk berunding cara
bagaimana harus membunuh musuh.
Liok Thian-ju itu berjuluk "Jin-gi Liok Toa-to" atau sigolok besar she Liok yang
berbudi luhur. Sedangkan Hoa Tiat-kan bergelar "Cong-peng-bu-tik" atau situmbak
baja tanpa tandingan, Tiong-peng-jiang adalah nama tumbaknya itu.
Cui Tay sendiri berjuluk "Leng-goat-kiam", sipedang bulan purnama. Ditambah lagi
imam tua Lau Seng-hong, mereka disebut "Lok-hoa-liu-cui". Apa yang disebut "Lokhoa-liu-cui" sebenarnya adalah "Liok-hoa-lau-cui", yaitu diambil dari suara she
mereka. Bicara tentang ilmu silat belum pasti Liok Thian-ju yang paling tinggi, namun
pertama karena usianya paling tua, kedua, hubungannya dengan kawan Kangouw
sangat luas, maka namanya adalah urutan pertama dalam "Lam su-lo" atau empat
kakek dari selatan. "Tolong! Tolong! Lepaskan aku, Hwesio jahanam!" demikian Cui Sing ber-teriak2
dengan ketakutan sebab mengira dirinya hendak dipaksa secara tidak senonoh oleh
Tik Hun yang mengempitnya dan menyeretnya kedalam gua dengan mengesot.
Watak Liok Thian-ju paling keras, dia paling benci kepada perbuatan rendah dan
memalukan, apalagi mengenai perbuatan melanggar kehormatan kaum wanita segala.
Kini melihat tingkah pola Hiat-to Loco yang mentang2 diatas batu karang se-akan2
dunia ini aku punya, sedangkan tubuh Cui Sing lemas lunglai menyandar badan Tik
Hun. Ia tidak tahu bahwa Hiat-to gadis itu telah tertutuk dan takbisa berkutik,
sebaliknya ia sangka jiwa Cui Sing itupun rendah, tak kuat mempertahankan
imannya, berada dibawah cengkeraman paderi2 cabul itu ternyata tidak melawan
sedikitpun. Saking gemasnya ia terus jemput beberapa potong batu dan ditimpukan
kebawah. Dasar tenaganya memang besar, dari atas menimpuk kebawah pula, keruan hujan batu
itu sangat hebat. Maka terdengarlah suara gemuruh disana-sini, lembah pegunungan
sekeliling situpun menggemakan suara kumandang yang memekak telinga.
Dibawah hujan batu dengan salju berhamburan, cepat Hiat-to Loco mendakan tubuh
dan menyeret Tik Hun dan Cui Sing bersembunyi kebalik sebuah batu karang yang
besar. Sementara ini ia sudah lolos dari bahaya, rasa gusarnya kepada Tik Hun
tadi menjadi reda juga, maka ia tidak ingin "cucu murid" itu mati tertimpuk
batu. Habis itu, ia sendiri kembali meloncat keatas batu karang, ia tuding Liok Thianju bertiga dan mencaci-maki. Bila ditimpuk dengan batu, ia lantas berkelit atau
menyampok dengan goloknya.
Dalam pada itu Tik Hun dan Cui Sing yang diseret Hiat-to Loco dan disembunyikan
dibalik batu karang itu, setelah rasa takut mereka agak tenang, ketika mereka
melihat sekitar situ, ternyata dinding dibelakang batu karang itu mendekuk masuk
kedalam hingga berwujut sebuah gua yang besar. Karena tertahan oleh batu karang
itu, maka salju yang tertimbun didalam gua itu sangat tipis hingga merupakan
sebuah tempat meneduh yang sangat bagus.
Oleh karena dari atas masih dihujani batu oleh Liok Thian-ju, Tik Hun kuatir ada
batu nyasar hingga melukai Cui Sing, segera ia rangkul sigadis dan menyeretnya
lebih jauh kedalam gua. Keruan Cui Sing ketakutan, ia men-jerit2: "Jangan sentuh aku, lepaskan aku!"
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha-hahaha!" Hiat-to Loco ter-bahak2. "Cucu murid yang baik. Cosuya sendiri lagi
mati2an menghadapi musuh diluar sini, kau sendiri malah mendahului senang2
didalam situ! Hahaha, kurang-ajar!"
Sungguh dada Cui Tay bertiga hampir2 meledak saking gusarnya mendengar ocehan
itu. Sebaliknya Cui Sing juga menyangka Tik Hun hendak berbuat tidak senonoh secara
paksa padanya, keruan ia bertambah takut. Tapi demi kemudian melihat pakaian
"Hwesio" itu dalam keadaan rajin, meski bukan pakaian baru, tapi terpakai dengan
betul ditubuhnya, barulah sekarang ia tahu orang mengancam hendak melepas celana
tadi sebenarnya cuma untuk menipu saja. Mukanya menjadi merah teringat kejadian
tadi, segera ia mendamperat: "Hwesio jahat penipu, hayo, lekas menyingkir
kesana!" Memangnya Tik Hun tiada punya maksud jahat, sebaliknya bermaksud baik
menyelamatkan gadis itu, maka segera ia berjalan menyingkir. Dalam keadaan
tulang paha patah dan tulang betis pecah, hakikatnya takbisa dikatakan
"berjalan" lagi, paling2 hanya dapat disebut "mengesot".
Begitulah kedua pihak saling bertahan dengan ngotot, tiga diatas dan satu
dibawah, tanpa terasa fajar sudah menyingsing, hari sudah terang tanah. Pelahan2
tenaga Hiat-to Loco juga sudah pulih kembali. Sedangkan hatinya tiada hentinya
merancang rencana: "Cara bagaimana aku harus menghadapi mereka" Cara bagaimana
supaya aku dapat menyelamatkan diri?"
Padahal ketiga lawan didepan mata itu ilmu silat setiap orangnya adalah sepadan
dengan dia, jangankan hendak menangkan mereka, untuk lolos dari kejaran
merekapun maha sulit. Bahkan asal dirinya meninggalkan batu karang itu hingga
kehilangan tempat penjagaan yang menguntungkan, seketika juga musuh pasti akan
memburu turun dan akan dikerubut lagi.
Oleh karena tiada jalan lain, terpaksa ia terus menunggui batu karang itu. Tapi
ia sengaja ber-jingkrak2 dan me-nari2 dengan macam2 lagak dan aksi yang di-buat2
untuk menggoda dan mengejek musuh sekadar untuk menghibur diri pula.
Melihat tingkah-pola musuh yang memualkan itu, semakin ditonton semakin
menggemaskan, tiba2 Liok Thian-ju mendapat satu akal. Bisiknya segera kepada Cui
Tay: "Cui-hiante, coba engkau berjalan kearah timur pura2 hendak merosot
kebawah. Dan Hoa-hiante, engkau pura2 hendak menyerang dari sebelah barat untuk
memancing Hwesio jahat itu, aku sendiri menjadi ada kesempatan untuk menerjang
kebawah." "Akal bagus," sahut Cui Tay. "Bila musuh tidak pusingkan kita, segera kita
menerjang kebawah sungguh2."
Habis berkata, ia saling memberi tanda dengan Hoa Tiat-kan, lalu berlari
kejurusannya masing2. Berpuluh meter disekitar situ adalah dinding karang yang curam, kalau ingin
meluncur salju kebawah jurang harus memutar jauh kesana untuk kemudian melingkar
kembali. Rupanya akal itu telah membingungkan Hiat-toceng juga. Demi melihat kedua lawan
memencarkan diri kedua jurusan, terang orang bermaksud memutar jalan untuk
mendekati tempatnya. Cara bagaimana harus merintanginya, seketika ia menjadi
mati kutu. Pikirnya: "Wah, celaka! Jika mereka benar2 memutar kemari, meski
makan tempo agak lama, tapi achirnya tentu akan tercapai maksud mereka. Dalam
keadaan demikian, kalau aku tidak menggeloyor pergi mau tunggu kapan lagi"
Mereka bermaksud memutar jalan untuk menyerang, aku lantas memutar juga untuk
angkat langkah seribu."
Ia lihat Liok Thian-ju sedang menyaksikan kepergian kedua kawannya, diam2 Hiatto Loco lantas memberosot kebawah batu karang dan merat kearah barat-laut tanpa
memberitahukan Tik Hun. Ketika mendadak tidak mendengar suara ocehan Hiat-to-ceng lagi, segera Liok
Thian-ju melongok kebawah, tapi tahu2 paderi tersebut sudah menghilang. Ia lihat
diatas tanah salju itu ada segaris bekas tapak kaki yang menuju kearah barat. Ia
pikir bila paderi jahanam itu sampai lolos, maka runtuhlah nama baik jago silat
Tionggoan. Segera ia ber-teriak2: "Hoa-hiante, Cui-hiante, lekas kembali. Okceng (hweshio jahat) itu telah merat!"
Mendengar seruan itu, segera Cui Tay dan Hoa Tiat-kan berlari kembali. Dalam
pada itu tanpa pikir lagi Liok Thian-ju terus terjun kebawah jurang menirukan
cara musuh tadi, seketika iapun menghilang, ambles kedalam lautan salju.
Diwaktu menerjun Liok Thian-ju sudah tutup napasnya. Ia merasa badannya terus
ambles kebawah, menyusul kakinya lantas menyentuh tempat keras, yaitu lapisan
salju yang sudah beku. Segera ia tutul kakinya sekuatnya hingga badannya mumbul
keatas. Pengalaman demikian juga telah dialami Tik Hun dan Hiat-to Loco tadi,
sesudah kepala menongol keluar, lalu mereka merangkak naik.
Diluar dugaan, baru saja kepala Thian-ju hendak menongol, se-konyong2 dadanya
terasa kesakitan, nyata ia sudah kena sergapan musuh. Oleh karena kepala belum
berada diluar salju, dengan sendirinya ia takdapat menjerit. Tapi kontan secepat
kilat iapun balas membabat dengan goloknya.
Rupanya serangan balasan yang teramat cepat itupun diluar perhitungan musuh
hingga terasa juga kena sasarannya. Namun menyusul musuh yang bersembunyi
dibawah salju itu lantas menyerang pula.
Waktu Cui Tay dan Hoa Tiat-kan kembali diatas puncak karang tadi, mereka
menyaksikan timbunan salju dibawah jurang itu bergolak dengan hebat, tapi tiada
menampak bayangan seorangpun. Hanya sekejap saja dari dalam salju tampak
merembes keluar air darah
"Celaka, Liok-toako telah bertempur dengan Ok-ceng itu dibawah salju!" seru Cui
Tay dengan kuatir. "Ya, benar! Sekali ini Ok-ceng itu harus kita binasakan!" sahut Hoa Tiat-kan.
Mengapa mendadak Hiat-to Loco bisa berada dibawah salju dan bertempur dengan
Liok Thian-ju" Kiranya tadi waktu mendengar seruan Thian-ju kepada kedua
kawannya, paderi itu menaksir segera lawan itupun akan menerjun kebawah untuk
mengejarnya. Tiba2 ia mendapat satu akal, cepat ia putar balik dan menyusup
kedalam salju disekitar batu karang itu.
Terhadap jago silat yang lihay dengan pengalaman luas seperti Liok Thian-ju itu,
hendak melakukan penyergapan padanya boleh dikata adalah tidak mungkin berhasil.
Tapi kini ia menerjun kedalam salju dari tempat yang tinggi, pengalaman itu
selama hidupnya belum pernah ada, dengan sendirinya yang ia pikirkan yalah cara
bagaimana harus menahan napas dan mengerahkan tenaga selama ambles kedalam salju
serta timbul kembali keatas. Apalagi dengan terang diketahui Hiat-to-ceng sudah
merat, sudah tentu mimpipun tak tersangka bahwa didalam salju ada sembunyi
seorang musuh. Dari itulah baru kepala Liok Thian-ju hendak menongol kepermukaan
salju, tahu2 dadanya sudah kena serangan golok Hiat-to-ceng.
Tapi betapapun Liok Thian-ju adalah kepala dari "Lam-su-lo", terhitung jago
kelas wahid diantara jago silat Tionggoan. Meski dadanya sudah terluka, menyusul
iapun dapat balas melukai musuh. Ia tahu gerak-gerik Hiat-to-ceng itu laksana
hantu cepatnya, ia tidak boleh meleng barang sekejappun, kalau mesti menunggu
kepala menongol keatas salju lalu balas menyerang, tentu serangan musuh yang
lain segera akan tiba pula lebih dulu.
Benar juga baru Hiat-to Loco hendak menyerang pula, tak terduga serangan balasan
Liok Thian-ju sudah dilontarkan dengan cepat luar biasa hingga iapun terluka.
Sekuat tenaga ia menangkis tiga kali serangan Kui-thau-to lawan sambil melangkah
mundur. Diluar dugaan mendadak kakinya menginjak tempat kosong, salju dimana
kakinya berpijak itu tidak beku hingga badannya terjeblos kebawah lagi.
Dalam pada itu serangan Thian-ju masih terus dilancarkan tanpa memberi
kesempatan bernapas bagi lawan, tiga kali serangan disusul tiga kali serangan
lain lagi. Ia tahu musuh pasti akan terdesak mundur, maka iapun merangsak maju.
Tak terduga mendadak kakinya merasa "blong", tubuhnya lantas anjlok kebawah.
Hiat-to Loco dan Liok Thian-ju adalah jago2 silat kelas atas pada jaman itu,
meski terjerumus dalam keadaan yang benar-benar maha sulit itu, namun pikiran
mereka sama sekali tidak kacau. Mereka sama2 tidak dapat memandang dan
mendengar, tapi mereka mempunyai pendapat yang serupa, begitu kaki menginjak
tanah, segera masing2 memainkan ilmu golok sendiri dengan kencang. Tatkala itu
tebal salju diatas kepala mereka ada belasan meter tingginya, kecuali musuh
dapat dibinasakan, kalau tidak, siapapun tiada berani menongol dulu keatas,
sebab bila timbul maksud hendak menyelamatkan diri, tentu akan segera dibacok
mati oleh lawan..........
Sementara itu Tik Hun menjadi heran karena mendadak diluar gua menjadi sunyi,
padahal baru saja Hiat-to Loco masih mencak2 dan mengoceh. Waktu ia melongok
keluar ternyata Hiat-to Loco sudah tidak kelihatan lagi, sebaliknya salju
disekitar batu karang tadi tampak bergolak dengan hebat bagai ombak samudera.
Keruan ia ter-heran2. Setelah menyaksikan sejenak, achirnya tahulah dia bahwa dibawah salju itu ada
orang sedang bertempur. Waktu ia mendongak, ia lihat Cui Tay dan Hoa Tiat-kan
berdiri ditepi karang dan sedang memperhatikan keadaan didasar jurang, sikap
mereka tampaknya sangat tegang. Maka dapatlah Tik Hun menduga yang bertempur
dibawah salju itu pasti adalah Hiat-to Loco melawan sikakek berjenggot, yaitu
Liok Thian-ju. Ia lihat Cui Tay dan Hoa Tiat-kan bernapsu sekali hendak membantu
tapi agak bingung karena tidak tahu cara bagaimana harus turun tangan.
"Hoa-jiko, biarlah aku terjun kebawah," demikian Cui Tay berkata kepada Hoa
Tiat-kan. "Jangan," cepat Tiat-kan mencegah. "Jika engkau juga terjun kedalam salju,
lantas cara bagaimana kau akan membantu" Didalam salju dengan sendirinya tidak
kelihatan apa2, jangan2 tragedi tadi akan terulang hingga Liok-toako akan salah
dicelakai engkau." ~ Nyata karena tumbaknya tadi salah membinasakan saudara
angkatnya sendiri, maka rasa duka dan sesalnya tak terkatakan hebatnya.
Ciu Tay pikir peringatan itu memang beanr, jika dirinya juga terjun kedalam
salju selain senjatanya memotong dan menyabat serabutan, masakah dapat
membedakan siapa kawan dan siapa lawan" Kemungkinan Hiat-to-ceng atau Liok
Thian-ju akan dibunuh olehnya adalah sama besarnya, sebaliknya kemungkinan
dirinya akan terbinasa dibawah senjata mereka juga tidak berkurang
kesempatannya. Akan tetapi bila tidak turun tangan membantu, hal inipun sangat keterlaluan.
Sudah terang dipihak sendiri ada dua jago yang menganggur, tapi sedikitpun
takdapat berbuat apa2. Sungguh mereka menjadi tak sabar hingga mirip semut
ditengah wajan panas, mereka hanya kelabakan sendiri tanpa berdaya sedikitpun.
Apabila nekat menerjun kebawah, namun didasar jurang itu salju masih bergolak
dengan hebat, siapa tahu terjun itu takkan menindih diatas kepala Liok Thian-ju.
Syukurlah tidak seberapa lama, pergolakan salju itu lambat-laun mulai reda, Cui
Tay dan Hoa Tiat-kan yang diatas tebing serta Tik Hun dan Cui Sing yang berada
didalam gua jadi makin kuatir, sebab tidak tahu bagaimana hasil pertarungan
dibawah salju itu. Maka dengan penuh perhatian dan menahan napas mereka
menantikan gerangan siapa yang muncul dari bawah salju"
Benar juga, selang sejenak, gumpalan salju disuatu tempat itu tampak tersundul
keatas, makin lama makin tinggi hingga achirnya satu kepala menausia kelihatan
menongol. Tapi diatas kepala itu penuh salju, maka seketika susah dibedakan
apakah kepala gundul Hweshio atau kepala yang berambut"
Makin lama makin tinggi kepala yang menyundul salju itu. Achirnya dapatlah
kelihatan dengan jelas diatas kepala itu penuh tumbuh rambut putih. Nyata itulah
kepalanya Liok Thian-ju. Saking girangnya Cui Sing terus bersorak sekali.
Sebaliknya Tik Hun menjadi gusar. "Sorak2 apa?" damperatnya.
"Sorak apa" Sorak karena kakek-gurumu itu sudah mampus, tahu" Dan jiwamu
sebentar tentu juga akan tamat!" sahut Cui Sing dengan sengit.
Tidak usah diberitahu juga Tik Hun mengarti akan hal itu. Selama ini setiap hari
ia berkumpul dengan Hiat-to-ceng, seperti kata pribahasa "dekat merah akan
menjadi merah, dekat hitam menjadi hitam", maka tanpa merasa Tik Hun ketularan
sedikit watak kasar seperti paderi Tibet itu. Apalagi dilihatnya Liok Thian-ju
mendapat kemenangan, akibatnya ia sendiri pasti juga akan celaka ditangan ketiga
kakek itu nanti. Dalam kuatirnya ia menjadi aseran, maka bentaknya segera: "Jika
kau berani cerewet lagi, segera kubunuh kau lebih dulu."
Cui Sing menjadi takut dan tidak berani buka suara lagi. Ia masih tertutuk oleh
Hiat-to-ceng tadi dan takbisa berkutik. Meski Tik Hun patah kakinya, tapi kalau
mau bunuh dia boleh dikata tidaklah susah.
Dalam pada itu sesudah kepala menongol dipermukaan salju, napas Liok Thian-ju
tampak megap2 sambil me-ronta2 sekuatnya dengan hendak merayap keluar dari dalam
salju. "Liok-heng kami akan membantu kau!" seru Cui Tay dan Hoa Tiat-kan bersama.
Berbareng mereka lantas terjun kedalam salju itu, menyusul terus meloncat keatas
pula dan menyingkir kesamping batu karang tadi.
Dan pada saat itulah tiba2 nampak Liok Thian-ju ambles pula kedalam salju, tahu2
kepalanya sudah menghilang lagi kebawah seperti kakinya mendadak ditarik
sekuatnya oleh orang. Dan sesudah ambles kebawah, lalu tidak muncul lagi.
Sedangkan Hiat-to-ceng sama sekali tidak kelihatan batang-hidungnya.
Cui Tay dan Hoa Tiat-kan saling pandang dengan penuh pertanyaan. Mereka
menyaksikan menghilangnya Liok Thian-ju kedalam salju itu cepatnya luar biasa,
tampaknya seperti tak berkuasa karena ditarik orang dari bawah, mereka menduga
besar kemungkinan sang Toako itu sudah kena disergap oleh Hiat-to-ceng.
"Pluk", mendadak sebuah kepala menongol pula dari bawah salju. Waktu
diperhatikan, kepala itu gundul, kiranya adalah Hiat-to Loco. Paderi itu
mengakah tawa sekali, lalu menghilang lagi kebawah salju.
"Paderi keparat!" maki Cui Tay.
Dan baru ia hunus pedangnya hendak menubruk maju, se-konyong2 dari dalam salju
mencelat keluar pula sebuah kepala.
Tapi kepala itu melulu kepala belaka, kepala yang sudah berpisah dengan
badannya. Kepala itu berjenggot, itulah kepalanya Liok Thian-ju.
Buah kepala itu terbang keudara setinggi beberapa meter, kemudian jatuh kebawah
dan ambles menghilang kedalam salju.
Menyaksikan pemandangan yang seram dan aneh itu, saking ketakutan sampai Cui
Sing hampir2 semaput. Pikirnya mau menjerit, tapi tenggorokan se-akan2 tersumbat
dan takdapat bersuara. Cui Tay juga sangat pedih dan gusar pula, teriaknya keras2: "Wahai, Liok-toako!
Engkau telah berkorban bagiku, biarlah Siaute membalaskan sakit hatimu."
Tapi sebelum ia melangkah, cepat Hoa Tiat-kan mencegahnya: "Nanti dulu! Paderi
setan itu bersembunyi didalam salju, dia terang, kita gelap, kalau kita
menerjang secara serampangan, jangan2 akan masuk perangkapnya lagi.
Benar juga pikir Cui Tay, maka ia menahan bergolaknya perasaan sedapat mungkin
dan menanya: "Habis, apa tindakan kita sekarang?"
"Kita tunggu saja disini," ujar Tiat-kan. "Paderi itu dapat tahan berapa lama
berada didalam salju" Achirnya tentu dia akan muncul keatas. Tatkala mana kita
lantas mengerubutinya, betapapun kita harus membedah dadanya dan mengkorek
hatinya untuk sesajen kedua saudara kita."
Terpaksa Cui Tay menuruti saran sang kawan. Dengan air mata ber-linang2 ia
bersabar sedapat mungkin dan menahan pedihnya perasaan. Namun dua kawan karib
selama berpuluh tahun itu kini terbinasa begitu mengenaskan, betapapun ia tetap
sangat berduka. Mendadak dari bawah salju yang bergolak itu menongol keluar sebuah kepala
manusia yang berjenggot. Nyata itulah Liok Thian-ju. Napas jago tua itu tampak
ter-engah2, rupanya saking tidak tahan dikocok didalam salju oleh Hiat-to Loco,
maka terpaksa ia mesti menongol kepermukaan salju untuk ganti napas.
Dengan mengincar tempat dimana kepala Hiat-to-ceng menongol tadi, pelahan2 Cui
Tay dan Hoa Tiat-kan melompat dari batu karang satu kebatu yang lain, tanpa
merasa mereka semakin mendekat dengan gua tempat sembunyi Tik Hun dan Cui Sing.
Ber-ulang2 Cui Sing melirik Tik Hun, diam2 ia ambil keputusan bila sang ayah
sudah dekat segera ia akan berteriak minta tolong. Tapi kalau terlalu buru2
teriaknya hingga jarak sang ayah terlalu jauh, tentu dirinya akan dibunuh dulu
oleh "Hweshio cabul" itu sebelum tertolong ayahnya.
Dari sikap sigadis yang tidak tenteram serta sinar matanya yang berkerlingan,
Tik Hun sudah lantas tahu juga maksudnya. Tiba2 ia sengaja bikin napasnya terengah2 seperti orang yang kepayahan, pelahan2 ia mengesot kemulut gua seperti
hendak mengambil salju untuk dimakan sekadar menghilangkan rasa dahaga.
Dengan sendirinya Cui Sing tidak curiga, yang diperhatikan ialah ayahnya. Sekonyong2 Tik Hun menahan badannya dengan tangan kiri, sekali enjot, mendadak
tubuhnya melompat bangun, dengan cepat sekali lengan kanannya terus menyikap
dari belakang hingga leher Cui Sing terjepit.
Keruan Cui Sing kaget, segera ia hendak berteriak, tapi sudah telat. Ia merasa
lengan Tik Hun itu sekeras besi hingga lehernya kesakitan dan bernapaspun susah.
Memangnya badannya tertutuk dan takbisa berkutik, ditambah lagi leher tercekik,
sebentar lagi pasti jiwanya melayang. Tapi tiba2 terdengar Tik Hun membisikinya:
"Asal kau berjanji takkan bersuara, aku lantas tak jadi mencekik mampus kau." ~
Habis itu, sedikit ia kendurkan lengannya agar Cui Sing dapat bernapas sedikit.
Tapi lengannya yang kasar dan kuat itu tetap menyilang dileher sigadis yang
putih halus itu. Sudah tentu Cui Sing gemas tidak kepalang, tapi apa daya" Hanya dalam hati ia
mencuci maki habis2an. Diluar sana Cui Tay dan Hoa Tiat-kan sedang mendekam diatas sebuah batu karang,
mereka ter-heran2 karena tiada melihat sesuatu gerak-gerik lagi dari bawah
salju. Mereka tidak tahu permainan apa yang sedang dilakukan Hiat-to-ceng yang
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekian lamanya terpendam didasar salju itu.
Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa sejak kecil Hiat-to Loco hidup ditanah
bersalju sebagai Tibet itu, maka tentang ciri2 chas dari salju itu cukup
dipahaminya. Waktu jatuh ketengah salju tadi, segera ia menggunakan goloknya
untuk mengkorek sebuah liang, ia tepuk2 pinggir liang itu dengan tangan hingga
keras, dan liang salju itu lantas tersimpan sedikit hawa. Dalam hal ilmu silat
sejati, sebenarnya kepandaian Hiat-to-ceng dengan Liok Thian-ju adalah sepadan.
Tapi sebelumnya paderi itu sudah lama menempur Lau Seng-hong, tenaga murninya
sudah banyak terbuang, maka ia menjadi kalah kuat daripada Liok Thian-ju. Tapi
berkat simpanan hawa dilubang salju itu, setiap kali kalau ia merasa payah dan
napas sesak, segera ia melongok kelubang salju itu untuk menghirup hawa segar.
Dengan sendirinya Liok Thian-ju tidak paham rahasia salju itu. Ia terus main
hantam-kromo dengan mati2an. Dengan demikian biarpun dia sanggup menahan napas
dengan lama juga takbisa menangkan Hiat-to-ceng yang sering2 dapat mengganti
napas. Teori ini sama seperti dua orang berkelahi didalam air, yang satu sering2
mumbul kepermukaan air untuk mengganti napas, sebaliknya yang lain terus silam
didasar air, dengan sendirinya mudah ditentukan siapa akan unggul dan siapa
asor. Pada achirnya, oleh karena Liok Thian-ju sudah tidak tahan lagi, terpaksa ia
mesti menempuh bahaya dan menongol kepermukaan salju untuk bernapas. Dan karena
itu badan bagian bawah lantas kena dibacok tiga kali oleh Hiat-to-ceng hingga
tewas didasar salju. Begitulah Cui Tay dan Hoa Tiat-kan masih terus menunggu, tapi sudah lebih satu
jam, tetap tidak nampak bayangan Hiat-to-ceng. "Besar kemungkinan Ok-ceng itu
terluka parah dan terbinasa juga didasar salju," ujar Cui Tay.
"Kukira memang begitulah," sahut Tiat-kan. "Betapa hebat kepandaian Liok-toako,
masakah ia begitu gampang dibunuh musuh tanpa melukai musuh lebih dulu" Apalagi
tadi paderi iblis itu sudah bertempur sekian lamanya melawan Lau-hiante,
mestinya ia bukan lagi tandingan Liok-toako."
"Ya, pasti dia menggunakan tipu keji hingga Liok-toako masuk perangkapnya," kata
Cui Tay. Berkata sampai disini ia tidak tahan lagi rasa duka dan murkanya.
Teriaknya segera: "Biar kuturun kebawah sana untuk melihatnya."
"Baiklah, tapi hendaklah hati2, aku akan mengawasi kau disini," sahut Tiat-kan
Cui Tay terkesiap, katanya didalam hati: "Aneh, sebagai seorang ksatria sejati
mengapa kau tidak menyatakan hendak pergi bersama?"
Namun saat itu ia sudah bertekad hendak menemukan mayat Hiat-to-ceng, lalu akan
dicincangnya hingga hancur luluh untuk melampiaskan dendamnya. Paling baik kalau
napas paderi jahat itu belum lagi putus, dengan demikian ia dapat menyiksanya
se-puas2nya sebelum paderi itu dibunuhnya.
Begitulah segera ia menghunus pedangnya, ia menarik napas panjang2 sekali,
dengan Ginkangnya yang tinggi ia terus meluncur kesana, tapi baru meluncur
beberapa meter jauhnya, mendadak "pluk", dari bawah salju disebelahnya meloncar
keluar seorang yang bukan lain adalah Hiat-to Loco, tapi bertangan kosong,
goloknya entah kemana perginya.
Begitu muncul diatas salju, segera paderi itu melayang kesamping hingga beberapa
meter jauhnya sambil ber-teriak2: "Seorang laki2 sejati harus mengutamakan
keadilan. Kau bersenjata dan aku bertangan kosong, cara bagaimana kita harus
berkelahi?" Dan belum lagi Cui Tay menjawab, dikejauhan sana Hoa Tiat-kan sudah menyahut:
"Untuk membunuh paderi jahat ini masakah perlu bicara tentang keadilan apa
segala?" Habis berkata, ia terus memburu maju juga untuk menggencet musuh.
Cui Tay menaksir golok merah paderi itu tentu sudah hilang ditengah salju waktu
menempur Liok-toako tadi, untuk mencari kembali tentu tidak mudah. Ia menjadi
lega demi nampak musuh tak bersenjata, ia yakin sekarang pasti akan menang, yang
harus dijaga sekarang yalah paderi itu sekali2 jangan sampai lolos lagi untuk
kemudian menyusup pula kedalam salju. Segera serunya: "Hai, Hweshio jahanam,
dimanakah puteriku" Asal kau katakan terus terang, segera akan kubunuh kau
dengan sekali tabas, supaya kau takkan merasakan siksaan lebih jauh."
"Tempat sembunyi anak dara itu sangat sulit untuk kau ketemukan, asal kau
berikan jalan lari padaku, segera akan kukatakan padamu," ujar Hiat-to Loco
sambil terus berlari, kuatir kalau disusul oleh Cui Tay.
Diam2 Cui Tay pikir: "Biarlah kutipu dia agar mengaku lebih dulu." ~ Maka ia
lantas berkata: "Disekitar sini juga melulu tebing curam belaka, meski kau
diberi jalan juga tak bisa pergi?"
"Itulah gampang," sahut Hiat-to-ceng. "Bila engkau memberi jalan hidup padaku,
segera kita dapat berunding untuk mencari akal bersama. Bila kau bunuh aku,
tetap kau akan susah keluar dari jurang kurung ini. Maka lebih baik kita menjadi
kawan saja dan aku akan berdaya menolong kalian keluar dari lembah ini?"
"Huh, paderi jahat seperti kau ini masakah dapat dipercaya?" damperat Hoa Tiatkan dengan gusar. "Hayo, lekas kau berlutut dan menyerah, cara bagaimana kau
akan diadili tergantung kami, kau barani banyak cerewet?" ~ Sembari berkata ia
terus mendesak main dekat.
"Jika begitu maafkan aku takdapat menemani kalian lagi," seru Hiat-to-ceng.
Segera ia angkat kaki dan berlari kearah timur laut sana.
"Lari kemana, Hweshio jahanam!" damperat Cui Tay sambil mengudak.
Tapi lari Hiat-to Loco semakin kencang. Ketika sampai dipojok sana, karena
terhalang oleh tebing yang tinggi, mendadak ia putar kembali dan menyelinap
lewat disamping Cui Tay. Kontan pedang Cui Tay menabas sekali, namun selisih
satu-dua senti dari sasarannya hingga tidak kena. Kembali Hiat-to-ceng itu
berlari ketempat tadi. Melihat itu, diam2 Cui Tay membatin: "Jika terus udak2an ditengah jurang ini,
susah juga untuk menangkap jahanam yang punya Ginkang lihay itu. Pula Sing-ji
entah disembunyikan dimana?" ~ Karena gopohnya itu, ia mengudak terlebih kencang
lagi. Se-konyong2 terdengar Hiat-to-ceng menjerit sekali, kakinya lemas dan orangnya
terus jatuh tengkurap kedepan, kedua tangannya tampak men-cakar2 salju seperti
ingin merangkak bangun, tapi terang sekali tenaganya sudah habis, sesduah
merangkak dua kali, lalu terbanting pula dan tak sanggup bangun lagi.
Tentu saja Cui Tay tidak sia2kan kesempatan bagus itu, secepat terbang ia
memburu maju terus menikam dengan pedangnya. Karena dia ingin menyiksa paderi
itu lebih dulu sebelum membinasakannya, maka tusukannya itu diarahkan kebagian
bokong, asal paderi itu takbisa lari lagi, kemudian akan disiksa untuk ditanya
tempat sembunyi Cui Sing.
Tak terduga, baru pedangnya diangkat, se-konyong2 kakinya merasa "blong", injak
tempat kosong, berbareng tubuhnya terus kejeblos kebawah.
Dalam pada itu Tik Hun dan Cui Sing juga sedang mengikuti kejadian diluar gua
itu dengan perasaan yang ber-beda2, yang satu kuatir dan yang lain senang. Siapa
tahu mendadak Cui Tay menghilang dari tanah salju itu. Menyusul mana lantas
terdengar pula suara jeritan yang mengerikan dibawah tanah itulah suaranya Cui
Tay yang sangat ketakutan se-olah2 ketemukan sesuatu yang mengerikan.
Keruan kejadian itu membuat Cui Sing terperanjat tak terhingga, begitu pula Tik
Hun pun ter-heran2. Ia tidak ingin Hiat-to-ceng pada saat itu terbunuh, sebab
hal mana berarti dia sendiripun akan terbinasa. Tapi iapun tidak ingin Cui Tay
dan kawannya menjadi korban, sebab ia tahu jago2 tua itu adalah tokoh-tokoh
"Hiap-gi" (kaum kesatria) yang terpuja di Tionggoan, yaitu sealiran dengan Ting
Tian. Maka demi mendengar jeritan Cui Tay itu, sama sekali tiada rasa syukur
atau gembira pada hatinya.
Sementara itu Hiat-to-ceng tampak sudah melompat bangun lagi dengan cepat dan
gesit sekali, suatu bukti bahwa kelakuannya tadi hanya pura2 belaka. Dan begitu
melompat bangun, begitu kakinya menganjlok, tahu2 tubuhnya lantas menghilang
kedalam salju. Ketika sejenak lagi ia muncul kembali keatas, tangannya tampak
mengempit sesosok badan manusia yang bermandikan darah. Siapa lagi manusia
berdarah itu kalau bukan Cui Tay yang kedua kakinya tampak kutung sebatas lutut.
Melihat keadaan sang ayah yang mengerikan itu, Cui Sing ber-teriak2 sambil
menangis: "Ayah, ayah! O, ayah!"
Tik Hun merasa tidak tega juga, dalam kejut dan ngerinya, ia menjadi lupa
mencekik leher sigadis lagi, bahkan ia melepas tangan dan menghiburnya malah:
"Nona Cui, ayahmu belum meninggal, janganlah menangis!"
Ketika tangan Hiat-to Loco bergerak, tahu2 selarik sinar merah berkemilauan,
ternyata golok merah itu sudah kembali berada ditangannya lagi.
Kiranya tadi ia sembunyi dibawah salju hingga sekian lamanya, diam2 ia telah
menggali sebuah lubang jebakan, ia taruh goloknya yang tajam itu melintang
dimulut lubang dengan mata golok menghadap keatas. Lalu ia menyusup keluar
dengan pura2 kehilangan senjata. Ketika musuh mengejar, ia lantas memancingnya
ketempat lubang perangkap itu.
Biarpun Cui Tay tergolong tokoh Kangouw yang ulung, namun jebakan dibawah salju
itu sekali2 tak terduga olehnya hingga achirnya dia terjebak. Ketika ia kejeblos
kebawah maka kontan kedua kakinya tertabas kutung oleh golok yang sangat tajam
itu. Begitulah dengan tipu muslihatnya itu, ber-runtun2 Hiat-to Loco telah
membinasakan dua lawan dan meluka-parahkan satu. Sisa Hoa Tiat-kan seorang sudah
tentu tak dipandang berat olehnya. Ia lemparkan tubuh Cui Tay ketanah salju,
lalu angkat goloknya mendesak maju kehadapan Hoa Tiat-kan sambil berteriak:
"Hayolah, jika kau berani, marilah kita bertempur tiga ratus jurus lagi!"
Melihat Cui Tay ter-guling2 ditanah salju karena kedua kakinya sudah buntung,
pemandangan ngeri itu benar2 telah memecahkan nyalinya, mana ia berani bertempur
lagi" Sambil memegang tumbaknya yang pendek itu ia mengkeret mundur kebelakang.
Tumbak itu tampak gemetar, suatu tanda betapa takutnya Hoa Tiat-kan.
Mendadak Hiat-to Loco mengertak sekali sambil mendesak maju dua langkah. Dengan
kaget Hoa Tiat-kan melompat mundur dua langkah, saking gemetarnya hingga
tangannya terasa lemas, tumbaknya jatuh ketanah, cepat ia jemput kembali dan
main mundur pula. Padahal Hiat-to Loco sesudah ber-turut2 menempur tiga jago kelas wahid,
keadaannya juga sudah payah, tenaga habis dan badan lemas. Kalau benar2 Hoa
Tiat-kan bergebrak dengan dia, tak mungkin dia mampu menang. Apalagi kepandaian
Hoa Tiat-kan sesungguhnya juga tidak dibawah Hiat-to-ceng, jikalau dia mempunyai
rasa senasib dan setanggungan dengan para kawan, dengan penuh semangat menerjang
maju, pasti paderi Tibet itu akan mati dibawah tumbaknya.
Sayangnya sesudah Hoa Tiat-kan salah membunuh kawan sendiri, yaitu imam tua Lau
Seng-hong, pikirannya menjadi kacau dan semangat lesu, apalagi dilihatnya kedua
kawan yang lain juga jatuh menjadi korban. Liok Thian-ju terpenggal kepalanya
dan kedua kaki Cui Tay terkutung. Kesemuanya itu benar2 telah bikin pecah
nyalinya, semangat tempurnya boleh dikata sudah lenyap sama sekali.
Dengan sendirinya Hiat-to Loco sangat senang melihat Hoa Tiat-kan sangat
ketakutan. Segera katanya: "Tipu akalku seluruhnya ada 72 macam, harini hanya
tiga macam tipu yang kugunakan dan tiga kawanmu sudah menjadi korban, masih sisa
lagi 69 macam tipu akalku, kesemuanya itu akan kulaksanakan atas dirimu."
Sebagai seorang tokoh Bu-lim yang terkemuka, pengalaman Hoa Tiat-kan sudah tentu
sangat luas, gertakan Hiat-to-ceng itu sebenarnya tidak mempan baginya. Tapi
kini ia sudah pecah nyalinya, setiap gerak dan setiap kata Hiat-to-ceng penuh
membawa rasa seram dan ngeri baginya. Ketika mendengar paderi itu menyatakan
masih ada 69 macam tipu keji yang akan dilaksanakan atas dirinya, segera
telinganya meng-ngiang2 dengan kata2 "69 tipu keji", dan karena itu tangannya
semakin bergemetar. Padahal waktu itu Hiat-to Loco juga sudah payah benar2, kalau dapat ia ingin
bisa lantas merebah ditanah salju itu untuk tidur se-puas2nya. Tapi ia insaf
saat itu iapun sedang menghadapi suatu pertarungan mati2an yang menentukan,
dahsyatnya hakikatnya tidak kalah serunya daripada pertempurannya melawan Lau
Seng-hong dan Liok Thian-ju. Maka celakalah dia, sekali jago she Hoa itu
menyerang pasti orang akan segera tahu keadaannya yang payah itu, dan untuk
selanjutnya pasti dia akan mati dibawah tumbak musuh itu. Oleh karena itu,
sekuat mungkin ia kerahkan semangatnya sambil memainkan golok yang dipegangnya
itu dengan lagak seorang yang masih tangkas.
Dan ketika melihat Hoa Tiat-kan cuma main undur2 saja dan tidak mau lari, diam2
dia men-desak2 didalam hati: "Hayolah lari! Hayolah lari! Keparat, kenapa kau
tidak lari!" Tapi waktu itu ternyata keberanian melarikan diripun sudah tidak dimiliki lagi
oleh Hoa Tiat-kan. Di sebelah sana Cui Tay yang sudah buntung kedua kakinya itu masih menggeletak
di tanah salju dalam keadaan senen-kemis. Ia menjadi lebih2 cemas demi
menyaksikan begitu rupa ketakutannya Hoa Tiat-kan.
Meski dalam keadaan terluka parah, namun Cui Tay masih dapat melihat jelas bahwa
tenaga Hiat-to-ceng itu sebenarnya sudah habis seperti pelita yang kehabisan
minyak, asal sang kawan berani maju melabraknya, sekali gebrak pasti dapat
membinasakan musuh jahanam itu. Maka sekuat tenaga ia coba menteriakinya: "Hoajiko, hayolah maju labrak dia, tenaga paderi jahat itu sudah ludes, terlalu
mudah bagimu untuk membunuhnya.........."
Hiat-to Loco terperanjat mendengar seruan Cui Tay itu. Pikirnya: "Tua bangka ini
benar2 lihay, mungkin aku bisa celaka."
Tapi ia sengaja busungkan dada dan mendesak maju malah sambil berkata kepada Hoa
Tiat-kan: "Ya, ya, memang benar! Tenagaku sudah habis, hayolah kita pergi keatas
tebing sana untuk bertempur 300 jurus lagi! Hayolah, siapa yang tidak berani
anggaplah dia anak haram cucu kura2."
Pada saat itulah mendadak dari gua terdengar suara Cui Sing sedang berteriak:
"Ayah, ayah!" Tiba2 pikiran Hiat-to-ceng tergerak: "Jika saat ini aku membunuh Cui Tay, tentu
akan menimbulkan curiga Hoa Tiat-kan akan kebenaran seruan kawannya itu. Biarlah
kuseret keluar anak dara itu untuk memencarkan perhatian Cui Tay. Kalau melulu
melawan orang she Hoa itu saja tentu akan jauh lebih mudah."
Karena itu, ia sengaja mengejek Hoa Tiat-kan lagi: "Hayo, kau berani tidak,
marilah kita bertempur lagi 300 jurus!"
Namun Hoa Tiat-kan telah menjawabnya dengan geleng kepala.
"Lawanlah dia, lawanlah dia! Apakah kau tidak ingin membalas sakit hati Lioktoako dan Lau-samko?" seru Cui Tay pula.
"Hahahaha! Hayo lawanlah, lawanlah!" Hiat-to Loco ter-bahak2 lagi. "Aku justeru
sedang menunggu untuk melaksanakan 69 macam tipuku yang kejam atas dirimu!
Hayolah maju!" ~ Dan ketika dilihatnya Hoa Tiat-kan malah mengkeret mundur,
segera iapun putar tubuh dan masuk kedalam gua, ia jambak rambut Cui Sing dan
menyeretnya keluar. Ia tahu ilmu silat Hoa Tiat-kan sangat lihay, jalan satu2nya sekarang harus
menggunakan segala cara siksaan kejam atas diri Cui Tay dan puterinya itu agar
lawan tangguh itu selalu dalam keadaan ketakutan hingga tidak berani berkutik.
Maka segera ia menyeret Cui Sing kehadapan Cui Tay, bentaknya: "Nah, kau bilang
tenagaku sudah habis, baiklah sekarang akan kupertontonkan padamu apakah
tenagaku sudah habis atau belum?"
Habis berkata, "bret", mendadak ia tarik sekuatnya hingga lengan baju kanan Cui
Sing terobek sebagian besar, maka tertampaklah lengan sigadis yang putih halus
laksana salju itu. Keruan Cui Sing menjerit ketakutan, tapi karena jalan darahnya tertutuk, hanya
mulut yang bisa bersuara untuk melawan sama sekali tak bisa.
Dalam pada itu Tik Hun juga sudah ikut merayap keluar dari gua, ketika
menyaksikan adegan mengerikan itu, ia menjadi tak tega, terus saja ia berteriak:
"Jang ......... jangan kau menghina nona itu!"
"Hahahaha!" Hiat-to Loco ter-bahak2 malah: "Jangan kuatir, cucu-muridku yang
baik, pasti Cosuya takkan mencelakai nyawanya."
Habis itu, ia putar tubuh sedikit, sekali goloknya berkelebat, tahu2 bahu kiri
Cui Tay telah dipapasnya sebagian, lalu tanyanya: "Nah, katakanlah, tenagaku
sudah habis atau belum?"
Keruan darah segar seketika muncrat keluar dari bahu Cui Tay, sebaliknya Hoa
Tiat-kan dan Cui Sing berbareng menjerit kaget.
Dan ketika Hiat-to Loco membetot sekali pula, kembali baju Cui Sing terobek
sebagian lagi. Kemudian katanya kepada Cui Tay: "Asal kau panggil Cosuyaya tiga
kali kepadaku, segera puterimu akan kuampuni. Nah, kau mau panggil tidak?"
"Cuh", mendadak Ciu Tay meludahi paderi itu sepenuh tenaga. Tapi sedikit
mengegos, dapatlah Hiat-to-ceng menghindar, dan karena gerakannya itu, tanpa
kuasa tubuhnya menjadi sempoyongan, kepala pening dan mata ber-kunang2, hampir2
ia roboh terjungkal. Keadaan itu dapat dilihat dengan jelas oleh Cui Tay, terus
saja ia ber-teriak2: "Hoa-jiko, hayolah lekas turun tangan, lekas serang dia!"
Tentang keadaan Hiat-to-ceng yang sempoyongan itu dengan sendirinya juga dilihat
oleh Hoa Tiat-kan. Tapi ia justeru berpikir: "Jangan2 paderi jahat itu cuma
pura2 saja untuk memancing aku. Ok-ceng itu banyak tipu muslihatnya, betapapun
aku harus waspada." Dan sesudah tenangkan diri, kembali Hiat-to-ceng membacok pula dengan goloknya
hingga lengan kanan Cui Tay tergurat suatu luka dalam. "Kau mau panggil Cosuyaya
padaku atau tidak?" demikian bentaknya pula.
Saking kesakitan, hampir2 Cui Tay kelengar. Tapi ia sangat perwira, matipun ia
tidak sudi takluk. Kembali ia memaki: "Hwesio bangsat, biar mati orang she Cui
tidak nanti menyerah padamu! Lekas kau bunuh aku saja!"
"Huh, enak?" jengek Hiat-to-ceng. "Aku justeru hendak menyayat lenganmu, aku
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan potong dagingmu selapis demi selapis. Tapi asal kau panggil Cosuyaya tiga
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 3 Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Tembang Tantangan 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama