Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Bagian 14
berbahaya. Bagaimana kalau kita maju untuk membantu?"
"Jangan" berkata Ban Liang. "Kalau kita maju, mungkin kita sukar berbuat banyak, sebab ada kemungkinan si serba putih nanti mengambil tindakan lain, bagaimana kalau dia perkuat kurungannya?"
"Toh tidak dapat kita menonton saja ?"
"Baik kita menanti sebentar lagi," sahut Ban Liang, "Memang saudara Coh telah kena dikurung, tetapi belum ada tanda-tandanya dia terdesak atau kewalahan."
Oey Eng berdiam dengan hati yang tetap tegang. Ia menonton dengan perhatian penuh.
Dan serangan anggota anggota tin makin seru, kalangannya makin kecil. Nampaknya siauwpek diserang hebat sekali. Walaupun demikian, si anak muda masih bertahan, dia tak mejadi repot.
Ban Liang heran, dari heran, dia tak tenang hati sendirinya. Dia berpikir, "Saudara Coh telah kena dikurung. ia terkekang, kenapa ia tidak juga mencoba membalas kepungan?" Dia juga menjadi tegang seperti Oey Eng. pada akhirnya dia berseru tanpa merasa:
"Saudara Coh, kau telah terkekang, mengapa kau tidak mau menggunakan golokmu?" Siauw Pek mendengar suara itu. Tiba-tiba ia menjadi penasaran. Memang ia telah terkurung rapat, sukar baginya untuk memecahkan kurungan itu. Ilmu pedangnya cuma
bisa dipakai membela diri, buat melayani lawan, tetapi sulit dipakai membebaskan diri. Tin itu sangat gesit dan rapat.
"Ya, buat apa aku menanti sampai aku terancam bahaya?" pikirnya. Segera ia mengambil keputusan. Dengan sebat ia pindahkan pedangnya ke tangan kiri, dan dengan tangan kanan itu ia menghunus goloknya. "Awas kamu" ia membentak. "Aduh" demikian suara sambutannya. "Aduh" begitu satu suara susulan lainnya.
Dan dua orang anggota Capjie Lian hoan Too Tin roboh bermandikan darah.
"Saudara Coh" Ban Liang berseru melihat kesudahan bekerjanya Hoan Uh It Too yang ampuh itu, "Saudara, permusuhan telah ditanam, kau telah membinasakan dua orang, kau binasakanlah semua Apa bedanya satu dua jiwa dengan sepuluh jiwa ?" Tapi habis menyerang Siauw Pek segera menyimpan goloknya yang hebat itu, untuk menukar dengan pedang pula. Karena dengan robohnya satu dua anggota saja, tin itu menjadi hilang kekuatannya, dari mengurung, mereka berbalik terkurung sinar pedang.
Si serba putih melihat kesudahan itu, diam diam menarik napas dan berkata seorang diri "benar benarlah, Thian kun It kiam - Hoan uh It Too Pedang Tunggal Dunia, Golok Tunggal Jagat. Seorang memiliki dua orang ilmu silat itu, ah, jangan-jangan akan sia sia saja usaha Kun Cu..."
Suara orang itu berat tetapi peralahan. Ban Liang tidak mendengar tegas, samar samar ia mendengar sebutannya, "KunCu" itu. Ia menjadi heran. Siapakah orang Kang Ouw yang mendapat sebutan itu" "Kun Cu" berarti "raja". Dengan robohnya dua kawannya anggota anggota tin itu tidak berani bertempur lebih jauh, sedang Siauw Pekpun menghentikan perlawanannya. Sibaju putih menghela napas, lalu dia mengibaskan cambuk lunaknya. " Kamu pulanglah," perintahnya.
Semua orang itu yang tinggal sepuluh lalu mengundurkan diri danpergi. "Thian kiam dan Pa too benar benar bukan nama kosong
belaka," berkata siserba putih kemudian. "Malam ini mata punco
telah terbuka" Lalu ia memutar tubuhnya, buat ngeloyor pergi.
"Berhenti" membentak Siauw pek, suaranya dingin Ia menyimpan
pedangnya, untuk sebaliknya meraba goloknya. Orang itu berpaling. "Tuan hendak bicara apa?" dia tanya.
"Apakah kau ingin mencoba golokku?" tanya si anak muda.
"Mataku telah melihat, tak usah aku mencoba lagi," sahut si serba putih licik,
"Jikalau kau ingin bebas dari Cobaan golok, cuma ada satu syaratnya"
"Tolong tuan sebutkan syarat itu"
"Kau bebaskan saudaraku, saudara she Kho itu" Orang itu tertawa dingin.
"Kau menggertak aku?"
"Kau mau bebaskan atau tidak?" Siauw pek tegaskan. Ia memegang gagang goloknya. Tanpa siuran angin, tutup muka si serba putih bergerak gerak, Itulah bukti dari tegangnya hati dia. Sekian lama ia berdiri diam, suatu tanda dia bingung sekali. Kemudian:
"Lepaskan si orang she Kho" ia berteriak, memberi perintah kepada pihaknya.
Suara mengiakan terdengar dari tempat beberapa tombak jauhnya, tampak lentera dinyalakan terus terlihatlah dua orang berseragam hitam berjalan mendatangi. Mereka itu membekal golok, Mereka pula mengiringi Kho kong.
Ketika itu pakaian si polos pecah tidak keruan, wajahnya sangat
lesu dan suram. Rupanya dia telah menderita selama ditawan itu. "Ah, saudara menderita..." kata Siauw Pek berduka.
"Masih sanggup aku bertahan," berkata saudara itu, sebelumnya, ia berpaling dahulu kepada kedua pengiringnya. Siauw pek masih meraba goloknya, dengan mata tajam mengawasi si serba putih, ia kata bengis; "Kau boleh pergi, tuan Semoga mulai hari ini kita tidak bertemu pula"
Si serba putih tak suka mengalah, katanya: "sungguh tak pernah punco menyangka bahwa Thian Kiam dan Pa Too berada didalam satu tangan. Penghinaan malam ini akan punco ingat buat selama- lamanya" Habis mengucap begitu, dengan segera dia memutar tubuhnya dan berseru. "Jalan" Lantas dia mendahului pergi.
Kedua orang yang membawa lentera berjalan dibelakang
pemimpinnya itu, mereka berjalan cepat sekali, lewat sepuluh
tombak, tapi mereka padamkan, lalu mereka tak tampak lagi. Sementara itu Ban Liang telah keluar menyambut Kho kong. "Apakah kau terluka?" tanyanya.
"Cuma dikulit, tidak berarti," sahut pemuda itu. Ban liang mendongak, ia menghela napas.
"Tadi kedua nona memberi isyarat dengan api," kata ia, "lalu api itu padam entah telah terjadi apa disana. Harap saja mereka tak kurang suatu apa..."
Baru saja suara itu berhenti, tiba tiba dari tempat jauhnya beberapa tombak terdengar suara yang halus dan merdu, "Terima kasih, loocianpwee, syukur kami sehat-sehat saja"
Itulah suara Soat Kun, yang segera muncul dari tempat gelap, berjalan berpegang tangan dengan Soat Gie, adiknya. Rambut mereka yang panjang itu lepas terurai. Mereka berjalan cepat. Lekas juga mereka tiba didepan rumah. Soat Gie memandang keempat tetamunya, ia tersenyum, setelah mana Soat Kun berkata:
"Syukur loocianpwee semua tidak kurang suatu apa, jikalau tidak, pastilah itu karena kesalahan kami meninggalkan pesan tidak sempurna..."
" Walaupun kami rugi, tidak nanti kami sesalkan nona," kata Siauw Pek,
Si nona menghela napas perlahan. "Musuh tangguh sekali, inilah
diluar terkaanku," ia mengakui. Ban Liang tertawa lebar katanya;
"Meski musuh tangguh, kitalah yang menang. Benar musuh tidak musnah tetapi mereka toh kabur sipat kuping"
"Adikku memberitahukan kepada bahwa golok Coh siangkong bagaikan kilat, asal bergerak tentu ada musuh yang roboh" berkata si nona tuna netra.
"Apakah kakakku belum penah memberitahukan kamu, nona- nona?" tanya Ban Liang,
"Itulah golok tunggal yang telah malang-melintang didalam dunia Kang Ouw, yang semenjak munculnya belum pernah ada orang yang sanggup melayani dalam satu jurus sekalipun. Hingga golok itu menjadi tanpa lawan"
"Jadi itulah Toan Hun It Too yang termasyhur?" si nona tanya.
"Benar, nona Bukankah kakak Hoan pernah menuturkannya?"
"Semasa hidupnya, suhu pernah membicarakan tentang ahli ahli silat dijamannya dan ia telah berceritera tentang Kie Tong dan Siang Go."
"Kakak Hoan cerdas luar biasa, luas pengetahuannya," berkata Ban Liang, "entah apa katanya mengenai Thian kiam dan Pa Too itu?"
"Suhu bilang, walaupun Thian kiam liehay, masih ada lowongan untuk dilawan," sahut si nona, "Orang mesti pandai silat dan cerdas luar biasa untuk mengetahui kekurangan itu, untuk memahamkan
suatu ilmu untuk menentangnya. Tidak demikian dengan golok
Siang Go, yang sempurna tanpa cacat bagaimana kecil juga" "Jadinya Thian kiam terbatas dan Pa Too tidak?"
"Bukan begitu seluruhnya, loocianpwee, yang benar, masing masing ada keistimewaannya. Aku sendiri, aku asing dengan dua duanya, karena aku tidak pandai silat."
"Nona, apakah sudah lama kamu sampai disini?" kemudianBan Liang tanya pula.
"Benar. Sengaja kami melepas api diatas gunung dan membuat
api banyak api pecahannya guna diam diam kami berjalan pulang." "Oh, begitu" Tadinya kami menyangka itulah semacam isyarat..."
Si nona tersenyum. "Mari kita bicara didalam," ajaknya. Dengan bergandeng seperti biasanya, kedua nona itu bertindak dapat melihat, dengan bantuan adiknya, dia bisa berjalan dengan leluasa seperti juga dia tidak bercacat panca inderanya.
Soat Gie menjemput selembar sumbu diatas meja untuk menyalakannya, kemudian dipasangnya lilin, setelah mana ia menyeret kursi buat kakaknya duduk, ia sendiri terus berdiri di sisinya.
Soat Kun berdiam sebentar, lalu ia berkata "Sebenarnya kami merencanakan berdiam tiga hari dikuburan suhu, untuk menemani, buat sekalian memikirkan rencana kita terlebih jauh. Sekarang telah terjadi peristiwa diluar dugaan ini, terpaksa kami mengambil keputusan lain. Sulit buat kita tinggal lebih lama pula disini, bahkan kita mesti berangkat sekarang juga."
"Kakak Hoan pandai luar biasa, sayang semasa hidupnya ia tidak mengusahakan sesuatu" berkata Ban Liang "Tapi ia telah mewariskan kepandaiannya kepada nona berdua, tentulah menjadi harapannya yang nona nona akan meneruskan cita citanya, karena itu kamipun mengharap nona nona sudi menunjukkan kepandaianmu guna mengamankan dunia Kang Ouw, supaya hawa jahat dapat ditumpas, agar matahari dapat memperlihatkan pula cahayanya yang terang gemilang Dengan berbuat demikian, nona, kami tidak menyia-nyiakan pengharapan kakak Hoan dan juga kepandaian kami sendiri " Soat Kun menghela napas.
"Loocianpvee menaruh kepercayaan begini besar kepada kami, sungguh kami merasa malu sendiri," katanya. "Sayang kami bercacat, hingga walaupun kami memperoleh bantuan suhu yang pandai, bakat kami berbatas, kami khawatir nanti menyia-nyiakan pengharapan loocianpwee sekalian..." Ban Liang tertawa.
"Lain orang lain bicara, tetapi aku, aku tahu baik sekali kepandaian kakak Hoan," ia berkata. "Nona berdua telah dapat mewarisi kepandaian kakakku itu, sekarang nona-nona dibantu saudara Siauw Pek dengan pedang dan goloknya yang istimewa, aku percaya kamu akan sanggup berbuat banyak guna kesejahteraan umum"
"Harap loocianpwee jangan terlalu memuji. Aku hanya dapat berjanji bahwa kami akan lakukan apa yang kami sanggup." Ia berdiam sejenak, dan segera meneruskan: "Seperti kukatakan tadi, tempat ini tidak dapat kita diami lebih lama pula, maka itu, marl kita berangkat sekarang"
Ban Liang berempat mengangguk.
"Nah silahkan nona-nona berkemas kami menantikan diluar," kata sijago tua.
Siauw pek mendahului bertindak keluar, diikuti kawan-kawannya.
Oey Eng berbisik pada Ban Liang: "Kedua nona tidak dapat berjalan dengan leluasa, harus kita mendayakan alat untuk membantunya..."
"Benar, akupun telah memikirkannya."
"Sulit buat mereka turut kita, bukankah baik kita menyediakan kereta berkuda?"
Ketika itu kedua nona sudah muncul. Mereka cuma membawa sebuah bungkusan. Mereka berjalan berendeng, tangan kanan sikakak dibahu adiknya. "Nona, loohu ingin bicara, harap kamu tidak berkecil hati," berkata Ban Liang perlahan.
"Apakah itu, loocianpwee" Silahkan"
"Untuk peejalanan kita ini, nona hendak menggunakan cara apa?" Ban Liang tanya. Soat Kun menghela napas.
"Sudah biasa semenjak kecil kami berjalan kaki saja" sahutnya.
"Peejalanan kita jauh tujuannya," berkata Oey Eng, "entah buat berapa bulan dan tahun tak tahu dimana kita bakal berhenti, karena itu, baiklah nonai menggunakan kendaraan..."
Soat Kun berpikir sejenak, lalu dia menjawab: "Baiklah kalau begitu. Kami menyusahkan saja. Terima kasih"
"Sekarang kita menuju kebarat," kata Ban Liang "Dua puluh lie
disana ada sebuah kota, disana saja kita cari kereta kuda." "Baiklah, loocianpwee," kata sinona.
"hanya..." ia berhenti sesaat, lalu ia melanjutkan: "Kami baru mulai memasuki dunia Kang Ouw, pengalaman kami tidak ada, kamipun bercacat, karena itu, hati kami kurang tenang. Sementara itu aku menerka mesti ada musuh-musuh kita yang bakal merintangi kita. dalam hal ini meskipun benar ada adikku, yang akan memberitahukan sesuatu kepadaku, aku khawatir dia masih kurang sempurna, karenanya aku harap loocianpwee membantuku memberitahu setiap gerak gerik musuh, agar kita dapat bersiap sedia menghadapinya..."
"Itulah pasti, nona." Ban Liang memberikan janjinya. Sementara itu Oey Eng berpaling kepada Kho kong.
"Saudara dapatkah kau berjalan?" tanyanya.
"Dapat" sahut sang adik, "Lukaku cuma luka dikulit" "Bagus Nah mari kita berangkat" mengajak Oey Eng. Kho kong segera berjalan dimuka.
Oey Eng maju, akan mendampingi adik yang polos itu.
Mereka berjalan belum satujam, tiba sudah mereka ditempat yang dituju. Ditengah jalan mereka tidak menampak rintangan apa- apa. Langsung mereka pergi kerumah penginapan, untuk bersantap
dan beristirahat. Ban Liang menyuruh tuan rumah menolong membeli sebuah kereta dan dua ekor kudanya yang terpilih. Maka itu, dengan kedua nona duduk dikereta, mereka melanjutkan perjalanan,
Tatkala itu matahari sudah mulai Condong kebarat. Dengan
memegang cambuk. Ban Liang sendiri yang mengendarai kereta itu.
"Locianpwee, kita menuju kemana?" tanya Siauw Pek, Mereka memang harus menentukan arah.
"Ke Siauw Lim Sie" sahut sijago tua.
"Untuk apa loocianpwee ?"
Orang yang ditanya tertawa. "Saudara kecil. namamu sudah dikenal umum," katanya.
"Itu artinya, kau telah muncul didalam dunia Kang Ouw. Mungkin sekarang ini namamu sudah menimbulkan kegemparan, bukankah kau tak perlu menyembunyikan diri lagi?"
"Lalu disana kita meminta penjelasan mengenai peristiwa keluargamu."
"Maukah It Tie taysu menemui aku" Ciang bunjin dari Siauw lim sie itu pernah beradu tanganku ketika kami bertemu dipuncak Ciong Gan Hong digunung Heng San" "Ciangbunjin" ialah ketua partai persilatan
Ban Liang tersenyum. "Jikalau dia tak sudi menemui secara baik-baik, tak dapatkah kita memaksa?" sahutnya. Ia berdongak, untuk melepaskan napas melegakan hati, "Dunia Kang Ouw sangat kacau, banyak partai, banyak maunya, beraneka macam sepak terjangnya. Dan musuh dari Pek Ho Po adalah delapan belas partai. Dapatkah kau memusuhi semua anggota mereka itu?"
"Aku cuma mau membalas kepada mereka yang menjadi kepala atau biang keladi, supaya arwah ayah bundaku merasa puas. Tidak ada niatku akan memusuhi semua orang Rimba Persilatan."
"Itulah benar. Nah, siapa sikepala atau biang keladi itu?" Siauw Pek terdiam.
"Jumlahnya mungkin. banyak..." sahutnya bingung.
"Kau mencurigai pihak Siauw lim sie atau tidak?"
"Ketika itu dipuncak Ciong Gan HOng hadir ketua dari keempatpartai besar, semua mereka harus dicurigai."
"Apakah lima pay lainnya, berikut empat bun, tiga hwee, dan dua pang tak dapat dicurigai juga ?"
"Ah, Mereka juga sukar tak bersangkut paut."
"Jadi dalam Rimba Persilatan, kebanyakan ada musuh-musuh mu, habis kepada siapakah kau hendak menuntut balas" Kepihak Siauw lim sie, bukan" Pihak itu paling mencurigakan, kita menuju kesana lebih dahulu. Kita berlaku terus terang menanyakan soal peristiwa pek ho po, mungkin kita akan memperoleh penjelasan, lain dari itu masih ada satu soal lagi..."
"Soal apakah itu ?"
Aku anggap perlu kita menemukan Su kay Taysu. Dialah seorang loocianpwee yang harus dihargai..."
"Akupun berkesan demikian terhadap dia. Tegakah bicara itu,"
tiba-tiba Soat Kun dari dalam kereta menyela: "Siapa yang dituding
oleh seribu orang masih belum tentu dialah yang harus dibunuh."
Ban Liang menepuk batok kepalanya. "Ah Di dalam kereta ada
Khong beng wanita tetapi kita tidak menanyakannya" katanya.
"Locianpwee memuji saja," berkata sinona. "Jikalau aku ketahui duduknya hal, mungkin aku dapat membantu memikirkannya..." Suara itu merendah akan tetapi nadanya tetap pasti.
"Kami menempuh perjalanan ribuan lie justru untuk kamu berdua, nona nona," berkata Ban Liang. "Mustahil kami tak mau bicara terus terang kepada kamu ?"
Lalu jago tua ini menuturkan peristiwa hebat dan menyedihkan dipek ho po itu dimana seratus atau dua ratus lebih orang terbinasakan bagaimana Coh Siauw pek bersama ayah bunda dan kedua kakaknya dikejar kejar, sampai akhirnya mereka terbinasakan dimuka jembatan maut seng su kio, cuma Siauw pek seorang yang selamat sebab dia keburu menyeberangi jembatan maut itu hingga dia berhasil mewarisi Thian Kiam dan Pa Too, sedangkan didalam kuburan Ceng Gie Loojin sianak muda beruntung mendapatkan Ceng Gie Cie Too, Golok Keadilan dari Ceng Gie Loojin siorang tua yang liehay itu, juga perempuan malam itu diceritakan dengan jelas sekali.
Selama penuturannya sijago tua, Siauw pek menambahkan dimana yangperlu, karena itu Soat Kun jadi mengetahui denganjelas seluruh peristiwa itu. Tak lupa diterangkan peristiwa di Cong Gan Hong dimana Siauw pek dijebak sampai dia bertemu dengan Su Kay Taysu.
Begitupun keterangan hal kakak wanitanya yang katanya masih hidup.
Selama mendengarkan, Soat Kun berdiam saja, hanya kadang- kadang ia memahamkan keterangan caranya dengan menggoyangkan tangan memberi isyarat, untuk kedua penutur itu berhenti sejenak, setelah mana ia memberi tanda agar orang melanjutkan terus. Halus gerak gerik si nona, yang beberapa kali tersenyum manis, tetapi beberapa kali ia mengerutkan alisnya yang lentik,
"Sayang, sayang..." Ban Liang berulang kali mengatakan didalam hatinya Kenapa nona itu cacat matanya" Coba dia tidak buta, entah berapa hebat sepak terjangnya kelak...
Satu jam lebih sijago tua memberikan penuturannya, sampai hari sudah lewat lohor.
Karena sepi-sunyi setelah sijago tua berhenti menutur, melainkan roda-roda kereta yang memperdengarkan suaranya yang berirama, bernada itu itu juga.
kapan sang magrib tiba dan samar-samar tampak bintang- bintang di langit. barulah terdengar si nona tuna netra menghela
dan berkata. "Sungguh peristiwa ruwet, bertautan dan
bergelombang. Itu menandakan wajah manusia manusia busuk..."
"Ya, nona, sulit untuk mencari sipemimpin atau biang keladi peristiwa itu," kata Ban Liang.
"Aneh pula sikap empat ketua partai di Ciong Gan Hong itu," Siauw pek turut mengutarakan herannya. "Agaknya mereka sengaja mengatur perangkap untukku..."
"Yang dinantikan bukannya kau, kebetulan saja kau yang datang," berkata si nona.
"Bukan aku" tanya si anak muda. "Habis siapakah ?" "Kamu toh ada menyebut-nyebut hek ie kiam su, bukan ?" "Benar, benar, ada kemungkinan juga," berkata Ban Liang
"Hek ie Kiamsu" ialah orang orang yang serba hitam itu.
"Sekarang ini masih banyak hal-hal yang berupa tanda tanya," berkata lagi si nona,
"semua meminta perpahaman perlahan lahan, satu demi satu."
"Itulah yang menyulitkan kami" Ban Liang berkata, "sekarang loohu mengajak kamu pergi ke Siauw lim sie, nona, tolong kau berikan petunjuk kepadaku, tindakanku ini benar atau tidak?"
"Inilah bukan tindakan sempurna, tetapi ini terpaksa. Kita pergi kesana, lalu kita nanti melihat keselatan," Ban Liang tertawa. Puas dia
"Syukur pikiranku tidak salah," katanya.
"Loocianpwee tolong jelaskan pikiranmu," si nona meminta. Jago tua itu kembali tertawa.
"Keponakanku yang cerdik,janganlah kau mengangkat angkat aku" katanya. Ia sekarang memanggil keponakan. "lebih baik kaulah yang mengutarakan pendapatmu"
Hoan Soat Kun tersenyum. "Menurut aku, daripada kita pergi
langsung ke Siauw Lim sie, lebih baik kita menggunakan akal..." "Apakah itu, keponakanku?"
"Kita menyebar berita mau pergi ke Siauw Lim sie, untuk menanyakan peristiwa Pek Ho po, akan tetapi kereta kita, kita tujukan keBu TOng San..."
"Bagus" memuji sijago tua. "Ini dia yang dibilang, sumbar ditimur menyerang kebarat"
"Lalu setelah mendekati Bu Tong San, kita kembali ke Siauw Lim Sie."
"Eh, kenapa begitu?" tanya Ban Liang heran ia menerka keliru siasat itu.
"Untuk membuat mereka bingung, agar mereka tak dapat menerka maksud hati kita"
"Kemudian, keponakanku ?" Mau tidak mau sijago tua jadi banyak bertanya.
"Kita lihat suasana selanjutnya. Tak dapat aku mengambil
kepastian sekarang. Pihak lawan banyak yang gagah dan cerdik." "Baiklah, nona."
Jago ini menerka sinona tak mau membocorkan rencananya.
Oey Eng dan Kho kong menganggap pikiran sinona benar, hanya
mereka tidak tahu jelas maksud orang, Oey Eng memikir sesuatu
tetapi ia tak berani mengutarakan itu. Kho kong sebaliknya. "Bagus" serunya.
"Apakah yang bagus, saudara Kho?" Ban Liang tanya.
"Entahlah, loocianpwee. Aku cuma merasa bagus, lainnya aku tidak tahu..."
"Oh, begitu..." kata sijago tua itu, yang mendongak melihat langit. Bulan sisir sudah mulai mengintai.
Ia bertanya, "Keponakanku apakah kita jalan terus malam malam?"
Sinona mengangguk. "Jikalau terkaanku tak keliru, sekarang ini kita sudah berada dibawah pengawasan orang" katanya dengan suaranya yang pasti. Kho kong heran. Dia melihat kesekelilingnya, yang diselubungi kegelapan. Pikirnya:
"Dalam hal hal ini, aku tidak puas terhadap nona ini. Kalau ada musuh, mustahil tak tampak tanda tandanya"..." Ban Lian melirik Siauw Pek,
"Apakah kita jalan terus, keponakanku?" ia mengulangi pertanyaannya.
"Jam berapa sekarang ini?" si nona tanya.
"Sudah mendekati jam permulaan-..."
"Baiklah sebelum jam kedua kita cari tempat singgah," berkata si nona. "Kita cari tegalan yang terbuka, supaya kalau perlu kita dapat berbareng menyerang..."
"Baik"jawab Ban Liang yang segera membunyikan cambuknya, membuat kudanya lari cepat. Bertiga Siauw pek, Oey Eng dan Kho kong berlari lari dikedua sisi kereta.
Karena dilarikan keras, roda roda kereta bersuara berisik sekali. Sebagai seorang yang berpengalaman, sambil memegang kendali. Ban Liang senantiasa melihat kekiri dan kanan, kadang kadang juga kebelakang.
Kho kong lari mendampingi Oey Eng. Dia bertanya: "Kakak, malam begini, selagi rembulan terang, didepan tidak ada musuh yang memegat, dibelakang tidak ada lwan yang mengejar, buat apa kita kabur secara begini"..."
Belum habis kata kata si anak muda, dari belakang mereka, ia mendengar derap kuda. Segera ia berpaling. Ia jadi melengak Ia melihat empat penunggang kuda kabur mendatangi.
"Ah, benar benar ada musuh" serunya.
"Apakah ada orang menyusul kita?" pertanyaan keluar dari dalam kereta. Itulah suara merdu dari Soat Kun.
"Ya, empat orang penunggang kuda," Siauw pek menjawab. "Baik, Pertahankan kereta kita," si nona minta.
Ban Liang menurut. Segera setelah memainkan les kudanya, roda roda keretanya menggelinding dengan lambat.
JILID 27 "Eh, mereka juga memperlahankan lari kuda mereka," berkata Siauw pek. yang terus mengawasi kearah penunggang kuda dibelakang mereka itu.
Lalu terdengar pula si nona: "Mereka menyusul kita secara terbuka, inilah kembali diluar sangkaku. Dilihat dari siini, orang yang memimpin rombongan itu bukan seorang yang cerdik."
"Kecuali mereka sudah mengatur rencana sempurna atau mereka pasti akan menang, tak akan mereka lancang turun tangan." Si nona berhenti sebentar, lalu dia bertanya: "Apakah ada tempat berhenti disekitar tempat ini?"
"Diarah timur, lagi satu lie, ada tanah pegunungan," menyahut Ban Liang. "Mungkin disana ada tempat yang baik..."
Perkataan jago tua ini terputus mendadak disebabkan terdengarnya satu siulan yang nyaring dan lama. Maka ia
menambahkan. "Agaknya kita sudah masuk kedalam perangkap mereka itu..."
Soat Kun terdengar menghela napas.
"Bagaimana letak tempat dikiri kanan kita ini?" ia tanya.
"Tanah tegalan tanpa persawahan." Si nona menyingkap tenda kereta.
"Apakah diantara pengejar ada juga kereta kuda?" ia bertanya pula.
"sebegitu jauh yang tertampak. tidak..."
Menyusul jawaban sijago tua, dari arah depan dan belakang lalu terdengar suara roda roda kereta.
Jago tua itu lalu melihat kesekelilingnya.
"celaka nona" ia berkata. "Kita sudah terkurung Didepan dan belakang benar ada kereta kereta yang mendatangi"
"Lekas kita berlindung," berkata si nona "Jangan sampai kereta kita bertabrakan dengan kereta kereta itu"
Nona itu menarik kembali tangannya yang menyingkap tenda, untuk dipakai memegangi kedua tangan adiknya, setelah mana keduanya melompat turun dari kereta, untuk terus lari ketegalan yang disebut sijago tua.
"Nanti aku membuka jalan" berkata Ban liang, yang segera lompat turun, untuk lari disebelah dengan kedua nona itu, lari ketegalan.
"Aku akan Cepat dibelakang" berkata Siauw Pek. "Jietee, shatee, menjaga sayap kiri dan kanan"
Ketua itu segera menghunus pedangnya.
Oey Eng dan Kho kong menurut perintah, mereka kemudian melindUngi kedua nona dikiri dan kanan mereka itu.
Kereta kereta didepan itu kabur keras sekali, hanya sebentar, tiba sudah mereka ditempat dimana kereta Soat kun ditinggalkan- Maka juga, dalam waktu sekejap itu terdengarlah suara riuh hebat dari ringkik kuda, dari tabrakan kereta dengan kereta.
Tapi yang hebat adalah suara ledakan yang menyusulnya, disusul pula dengan sinar api berlalu dan berkobar, lalu kereta kereta itu berikut kudanya rubuh bergundukan diantara pengempang darah semua kuda itu
Teranglah kereta kereta yang datang dari depan dan belakang itu
bermuatkan obat pasang dan minyak, hingga setelah tabrakan dan
meledak. apinya menyala terus, membakar ketiga buah kereta itu
"Sungguh telengas" berkata Kho kong ketika dia menoleh, melongo, mengawasi kurban ledakan itu. Tubuh kuda hancur berhamburan
Hoa nsoat kun, yang memperoleh bislkan tangan Soat Gie, menarik napaspanjang dan berseru^
Hati Ban liang giris, tak perduli segala ragam pengalamannya.
Katanya "Sudah puluhan tahun loohu menjelajah dunia Kang ouw,
baru sekarang loohu menyaksikan ketelengasan semacam ini "
"Setelah mendengar hal munculnya kereta kereta dari depan dan belakang, aku segera menerka akan maksud jahat musuh," berkata sinona yang kembali menghela napas. "Nyatalah terkaanku tidak meleset. Melihat contoh itu, rupanya disebelah depan kita ini tak akan luput dari pertempuran pertempUran dahsyat. "
"Itulah mUngkin, keponakanku. Keempat penunggang kuda tadi, yang sekarang menghilang telah melihat kita meninggalkan kereta,
tentu mereka pulang untuk memberi laporan, hingga tak tahulah,
mereka akan mempergunakan tipu daya macam apa lagi..."
"Ketelengasan mereka justru membeber kelemahan mereka," berkata si nona kemudian- "Mereka tidak berani menempur kita secara terang terangan "
Siauw Pek menyimpan pedangnya. Ia melihat, benar keempat musuh itu sudah tidak tampak sama sekali. Ia lalu berkata^ "Sudah terang musuh mengincar aku, maka itu, kalau nona sekalian tidak
berada bersama sama aku, kamu tidak akan menghadapi ancaman
malapetaka hebat ini..." Mendengar itu, Soat Kun tertawa manis.
"Sekarang ini," berkata dia, merdu suaranya, "kita semua telah menjadi incaran mereka bersama, karena itu, walaupun tidak ada kau, saudara coh, tak akan mereka melepaskan kami"
"Keponakanku benar" Ban Liang turut bicara. "Kejadian ini memperingatkan kau untuk selanjutnya berlaku waspada."
"Nah, Cukuplah," berkata sinona kemudian. "Yang sudah lewat, jangan kita bicarakan pula"
"Sungguh dia pintar dan tabah," pikir Kho kong terhadap si nona. "Benar benar sayang, matanya berCaCat..."
"Kita harus berjalan terus," kata Ban Liang. "Sekarang kita menuju kemana?" Soat kun berpikir.
"Sekarang ini, yang perlu, pertama tama kita harus memperkUat diri kita," berkata dia. "LooCianpwee semua gagah, tetapi untuk kalian melindungi kami berdua, itu berarti tenaga kamu harus dipecah..."
"Benar. Hanya, keponakanku, disaat semaCam ini, dimana kita mesti mencari tenaga tenaga bantuan?"
"Ya, ini memang sulit, apa pula buat mencari mereka yang sehaluan dengan kita dan besar keberaniannya. Buat sementara perlulah kita menaklukkan sejumlah sesama kaum Rimba Persilatan..." Ban Liang berdiri diam.
"Sulitnya kita sekarang seperti lagi terkurung," katanya, perlahan- "Kalau orang orang Rimba Persilatan yang berada dekat disekitar mereka, mereka itu mungkin sudah terpengaruh oleh pihak lawan..."
"Bagaimana kalau kita pakai tenaga musuh untuk melawan musuh?" si nona tanya setelah dia berpikir sesaat.
"Bagaimana itu bisa terjadi, keponakanku?" Ban Liang bertanya heran. Nona manis itu tersenyum.
"Tak tahu aku apa namanya daya upaya ini." sahutnya. "Kalau
toh mau dinamakan juga , ini dia daya kejam lawan kejam..."
"Baik keponakanku. Nah, bagaimanakah cara diwujudkannya itu?"
"Mengenai tipudaya itu, semasa hidupku suhu pernah membicarakan dengan kami. Sudah kukatakan, sebab bakatnya berbatas suhu tidak dapat belajar silat sempurna. Dilain pihak suhu cerdas sekali, mungkin sukar lain orang menyainginya. Suhu pernah memberitahukan aku suatu cara meminjam tenaga lawan-.." Ban Liang tertawa.
"Memang aku telah menerka bahwa kakak Hoan sudah mewariskan semua kepandaiannya kepada nona nona?" berkata ia, girang.
"Suhu pernah memahamkan yoga, lalu dari situ ia berhasil menciptakan semacam ilmu yang menggunakan jari jari tangan- Dengan itu kita dapat menotok beberapa jalan darah yang menyebabkan orang lupa akan dirinya sendiri, hingga kita dapat menyuruhnya melakukan apa yang kita perintahkan-.. Yang menyukarkan ialah mataku tidak dapat melihat ilmu silatku sangat
rendah hingga aku tidak sanggup melawan jago jago Rimba
Persilatan, sedangkan untuk itu kita perlu menawan musuh kita."
"Mengalahkan musuh mudah, menangkap hidup sulit," kata Siauw Pek.
"Asal kita bisa membekuk delapan atau sepuluh musuh, buat sementara cukup sudah," berkata si nona.
Mendengar itu, Siauw Pek bcrpikir. "cuma delapan atau sepuluh orang manusia, tidakkah itu berlaku kesombongan?" Lalu ia berkata: "Buat mengalahkan musuh, cukup asal kita menang seurat..."
"Buat menangkap hidup?" tanya si nona. "Kita mesti lebih pandai berlipat ganda."
"Jikalau begitu, tak dapatkah kita memasang perangkap supaya musuh datang menghantarkan diirnya sendiri?"
"Kembali berbau kesombongan, nona," pikir pula si anak muda. Tapi ia berkata. "Nona, aku rasa nona tentu sudah memikirkan sesuatu..." Soat kun tertawa perlahan.
"Dayanya ada beberapa rupa, katanya. Untuk itu kita tinggal memilih tempatnya serta mengaturnya."
"Tempat bagaimanakah yang cocok, nona?" Ban Liang bertanya.
"Yang paling cocok tempat yang membelakangi gunung, yang ada airnya, umpama sebida tanah yang rendah asal ada dua jalannya yang bisa dilalui "
"Tempat begitu sukar dicari..."
"Itulah tempat yang utama. Kalau tidak, kita cari yang keduanya.
Tolong nona lukiskan tempat yang kedua itu" Ban Liang minta.
"Itulah sebuah tanah datar yang sekitarnya tak ada rumah rumah orang. Di tengah tengah itu kita membangun satu rumah yang kokoh kuat, lebih lebih rumah yang tak takut air atau api."
"Tempat demikian tak sukar dicari. Hanya rumahnya
pembangunannya itu tak rampung dalam waktu satu hari..." "Karena itu, aku pikir kita perlu mengambil jalan lain..." "Bagaimana nona?"
Nona itu diam, setelah itu dia memperlihatkan wajah sungguh- sungguh. Dia berkata: "Musuh pastitak mau berhenti sampai disini saja, kalau kita melanjutkan perjalanan kita, yang jauh, pasti kita akan menghadapi ancaman bencana lainnya. Seperti kita ketahui, jumlah kita sedikit, musuh sebanyak banyak. tak dapat kita mengandalkan tenaga kita saja. celakanya musuh juga tidka memilih cara lagi."
"Nona benar. Akupun piklr, tak dapat kita berdiam disatu tempat saja tempat yang musuh dapat satroni dari empat penjuru..." berkata Ban Liang.
Si nona mengangkat kepalanya, berpaling kepada empat orang itu.
"Tuan tuan dengan tenaga kamu berempat saja, dapatkah kamu
melawan musuh musuh diseluruh kolong langit ini?" dia bertanya.
"Sangat sukar, nona. malam tadipun beruntung saja kita memperoleh kemenangan. Sedangkan kali ini, kalau bukan nona yang duduk kereta, pastilah kita sudah tumpas ditangan musuh lihay dan kejam itu."
"Maka itu, perlu kita memperkuat dahulu kedudukan kita." Sijago tua menjadi tidak mengerti.
Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana maksud nona?" dia tanya. "Tolong nona jelaskan dulu"
"Maksudku lebih dahulu kita mengumpulkan kekuatan kecil, baru perlahan lahan kita perbesar. cita-cita kita ialah menjunjung keadilan- Suhu pernah mengatakan kepada kami bahwa memang sulit mengamankan dunia Kang ouw..." Siauw Pek kagum. Selama waktu dua hari ini, dia semakin mengenal si nona.
?"Nona, apakah dayamu untuk menegakkan keadilan?" ia bertanya. "Untuk itu, aku suka maju dimuka, bersedia akan menyerbu api sekalipun "
"Sekarang ini kita harus melihat selatan. Kita sekarang mau pergi kesiauw lim atau bu tong kedudukan kita ditempat terang, musuh sebaliknya berada ditempat yang gelap. Karena itu, kita menjadi senantiasa bisa terancam kerugian- Maka juga paling dulu kita mesti dapat menempatkan diri, supaya dengan jumlah sedikit dapat kita melayani jumlah yang banyak."
"Itulah justru yang tak dapat pikir pemecahannya."
"Dalam keadaan kita ini, loocianpwee, buat sementara terpaksa kita mesti mengandalkan pada ajaran suhu. Kami berdua saudara pernah diajari ilmu pembangunan sebuah tin, yaitu barisan istimewa yang dinamakan Liok Kah tin- Perubahan tin itu dapat membuat kacau penglihatan musuh. Sulit buat kami menerangkan sejelas jelasnya tetapi cukup buat mengatakan bahwa kita dapat bekerja berenam saja, ialah loocianpwee berempat di empat penjuru dan kami berdua saudara ditengah tengah. Kita akan mengandalkan perubahan dari bergerak geraknya tin kita itu."
Si nona tampak gembira. Dengan tenang ia membereskan rambutnya yang bagus.
"Buat sementara kita membutuhkan tempat terbuka luas beberapa batu, disitu kita akan membangun sebuah kota istimewa kedalam mana kita nanti memancing musuh datang masuk untuk kita tangkap dan nanti gunakan tenaganya. Sesudah kita mendapat tambahan tenaga, baru kita pergi ke Siauw Lim sie. Buat pergi kesana kita tak usah kesusu, bukan ?" Ban Liang mengawasi Siauw Pek.
"Baiklah, nona. Kami bersedia mengiringmu" jago tua ini memberikan janjinya.
"Sayang aku tidak bisa melihat hingga aku tidak mampu mencari tempat yang kita butuhkan itu," berkata si nona. "Dalam hal ini aku minta bantuan loocianpwee sekalian. Aku cuma bisa menunjukkan saja..."
"Asal nona dapat menjelaskan, mungkin kami sanggup mencarinya," berkata Ban Liang.
"Jikalau kita tidak bisa mendapatkan tempat yang dapat mengandalkan dinding gunung dan air, cukup sebidang tanah datar
asal disitu tumbuh pepohonan dan rumput, lebih baik lagi kalau ada
tumpukan tumpukan batu serta sebuah rumah yang kokoh kuat..." Ban Liang berpikir.
"Kedengarannya mudah buat mencari tempat semacam itu tapi kenyataannya sulit juga . Kita memerlukan waktu bukan cuma satu atau setengah hari," berkata ia.
"Tak usah kita terburu buru." kata si nona. "Kita cari sambil kita melanjutkan perjalanan kita ini."
Sampai disitu, mereka mulai berangkat lagi Tanpa kereta, kedua nona terpaksa mesti berjalan kaki, soat Kun tetap berjalan berendeng dengan saudaranya. Ban Liang berempat selama itu selalu memperhatikan tempat disekitarnya.
Dua jam lamanya rombongan ini berjalan, tibalah mereka disuatu
tempat yang sisi jalanannya merupakan pepohonan lebat.
"Tempat ini mirip dengan lukisan nona, cuma tidak ada rumahnya," berkata Ban Liang
"Asal tempatnya cocok, tak apa tak ada rumahnya," berkata si nona.
"Baik, nona. Maukah nona mendengar perihal letaknya tempat ini?"
"Paling baik loocianpwee mengajak aku jalan mengelilinginya sekalian loocianpwee menceritakan kepadaku tentang keadaan kaum Kang ouw selama ini."
"Bagus, nona, loohu akan menemani kau." Soat kun meraba bahu adiknya.
"silahkan jalan, loocianpwee," katanya.
"Baik, nona," sahut si orang tua, didalam hatinya berpikir: "cocok benar kakak-beradik ini, yang satu buta yang lain gagu. Entah jalannya, dia bisa cepat atau tidak..."
Untuk menguji Ban Liang berjalan lebih cepat daripada biasanya. Ia melintasi rimba, jalan diatas rumput, saban saban, secara diam diam, ia perhatikan kedua nona. Ada alasan baginya untuk sering menoleh kebelakang. Hanya sebentar, kagumlah jago tua.
Walaupun dia memegangi bahu adiknya, Soat Kun dapat berjalan cepat seperti penunjuk jalannya. Tak usah disebutkan si nona bisu, yang matanya dapat melihat. "Heran," kata jago tua itu didalam hatinya.
"Loocianpwee," kata si nona kemudian, "dengan jalan lekas lekas begini mungkin kita sukar memperhatikan keadaan disekitar kita..." Ban Liang menghentikan tindakannya dengan segera.
"Apa nona ingin aku memberi penjelasan tentang letak tempat ini serta keadaan disekitanya?" dia bertanya.
"Tak usah, loocianpwee, adikku telah melukiskannya."
"oh..." orang tua itu heran hingga ia menatap si bisu.
"Nona," ia bertanya soat Gie saking herannya, "kita berjalan cepat tapi bagaimana nona bisa memberikan keterangan kepada kakakmu itu?"
Berkata begitu, mendadak jago tua ini melengak. Tiba tiba ia ingat bahwa orang gagu, mana bisa dia menjawabnya.
Soat Gie tersenyum, dengan sabar ia menyingkap rambutnya disamping telinganya.
Mendengar demikian, Soat Kun segera berkata^ "Loocianpwee, adikku minta tolong ia memberikan jawaban- Sebenarnya adikku telah memberikan aku segala keterangan dengan jalan sentilan jari2 tangannya kepadaku. " Ban Liang kagum.
Ketika itu diwaktu malam terang bulan, memandang si nona bisu, jago tua ini bisa melihat tegas Soat Gie cantik, kulitnya halus, wajahnya manis sekali. Dia tampak lebih menggiurkan karena rambutnya yang panjang lepas, memain diantara hembusan sang angin. Kemudian ia berkata^ "Nona, aku tidak heran kamu berdua dapat berbicara dengan tanda-tanda atau isyarat saja. Yang aku tidak mengerti ialah bagaimana kamu dapat mengerti satu dengan lain- Kita toh tidak berjalan lambat lambat hanya cepat cepat..."
"Kami berdua hidup bersama semenjak kecil," berkata soat Kun, yang mengetahui orang kagum dan heran- "Karena kami masing masing bercacat, kami mengatur cara tak dapat berhubungan satu dengan yang lain, kecerdasan kami membantu sehingga kami mudah saling mengerti seperti berbicara saja." Masih Ban Liang berkata didalam hatinya:
"Dua bersaudara ini benar benar luar biasa. Sikakak buta tapi ia cantik dan ototnya kuat sekali, sebab ia berhasil mewarisi kepandaian kakak Hoan. Si adik juga cantik, tapi ia bisu. Tetapi diapun cerdas, dia dapat memetakan, atau melukiskan segala sesuatu hanya dengan gerak gerik jemari tangan. juga heran kakak Hoan- Dialah seorang tabib pandai sekali, kenapa dia tidak sanggup
menyembuhkan kakak beradik ini" Jika dia tidak mampu, siapa lagi
didalam dunia ini yang dapat mengobati mereka" Sungguh sayang"
Sambil berpikir, Ban liang berjalan terus, tak memperhatikan letak tempat, guna sinona tuna netra memeriksanya. Di akhirnya mereka selesai memutari tanah kosong itu, merekapun kembali ketempat tadi.
"Bagaimana pandangan loocianpwee mengenai tempat ini?" Soat Kun bertanya sambil mengeluarkan sapu tangan untuk menyusut muka.
"Tempat yang sunyi," sahut si orang tua. "Pohonpohonnya tumbuh kacau dengan semak semaknya disana sini." si nona tertawa.
"Aku setuju tempat ini," ia beritahu.
"Akupun hendak memberikan nama yang menarik hati, ialah Hong Goan Gi kiong Istana Tegalan Belukar Setuju?"
"Istana Tegalan Belukar" Kho Kong mengulangi kata kata itu Si nona tertawa pula. Ia berkata manis:
"Ya, pepohonan kacau dan semak semak ini kita pandanglah sebagai lauwteng, dan dengan tinggal disini, kita berkhayal,
menganggapnya sebagai tempat yang indah, rasa pahit bagaikan tempat yang manis Tidakkah nama itu cocok?"
"oh begitu seru sipolos.
"Apa benar keponakanku setuju tempat ini?" Ban Liang menegaskan.
"Karena waktunya tak banyak lagi, mungkin sukar mencari tempat yang terlebih baik daripada ini"jawab sinona.
"Jika begitu baiklah Sekarang silahkan nona perintahkan apa yang kami harus lakukan."
"Aku berniatan membuat tanah tegalan ini menjadi semacam kota yang menakutkan, agar orang orang rimba Persilatan tertarik hati dan mereka pada datang kemari"
"Sungguh ringan sinona ini memandangnya," pikir Kho kong "Secara mudah tetapi bagaimana harus membuatnya hingga kaum Rimba persilatan sudi datang kemari?" Walau ia heran, pemuda ini membungkam, tak berani dia bertanya sesuatu.
Tidak demikian dengan Ban Liang. "Bagaimana kita membuatnya, ponakanku?"
"Istana Tegalan Belukas mesti dapat orang datangi tanpa orang bisa pergi lagi, artinya siapa sudah masuk kesini,jangan harap bisa meninggalkan pula," berkata sinona, tertawa.
"Perbuatannya sangat sederhana. Kita memerlukan beberapa batang pohon bambu serta beberapa ikat rumput. Membangunnyapun dengan waktu yang singat sekali."
"Berapa lama waktu singkat itu, keponakanku?" sijago tua tanya. "Kira-kira dua atau tiga hari."
Jago tua itu menghela napas. "Diwaktu mendengarnya, aku menyangka itulah sebuah bangunan sangat besar," katanya. "bahwa kita membutuhkan waktu sedikitnya satu tahun atau lebih..."
Nona Hoan tersenyum. "Sekarang kita jangan lambat lambatan lagi, mari kita mulai bekerja," katanya.
"Baklah" seru sijago tua, "Tolong kau sebutkan bahan bahan yang diperlukan"
"Buat sekarang, tolong tebang sejumlah batang bambu serta mengumpulkan beberapa tumpuk batu, untuk membangun kota pembelaan dahulu. Nanti baru kita bangun istananya."
Mendengar ketarangan si nona, Kho Kong tertawa dalam hati. "GUbuk tetap gubuk, bilang saja gubuk, buat apa dipakai nama yang mentereng" Istana Oey"
Ban Liang mengangguk. Ia berkata pada Siauw Pek. "Saudara kecil, kau berdiam disini untuk menemani kedua nona. Aku akan pergi bersama saudara Oey dan Kho."
Siauw Pek mengangguk sambil mengiyakan. "Harap loocianpwee lekas pergi dan lekas kembali"
Soat kun berpesan. "Jangan khawatir, keponakanku " berjanji Ban Liang yang segera berangkat. Oey Eng dan Kho Kong turut orang tua itu
Seberlalunya ketiga orang itu, Soat kun duduk mendeprok ditanah jemari tangannya yang halus menggurat-gurat tanah didepannya itu. Ia agaknya sedang menghitung-hitung. Siauw pek pergi duduk ditanah yang berumput.
Belum lama, mendadak saja siputeri malam sinar cahaya yang indah, hingga sang jagat menjadi gelap.
si anak muda mendongakkan kepalanya melihat kelangit Kiranya
awan hitam menutupi sang rembulan. Ia lalu memikir sang hujan"Bila air langit turun, kuyuplah kita semua" pikirnya. "Disini tidak ada tempat untuk melindungi diri dari air hujan-.."
Dan baru saja ia berpikir begitu, pipi sianak muda sudah kejatuhan beberapa tetes air hujan, hingga tanpa merasa ia berkata "baru saja aku akan khawatir akan turunnya hujan, sekarang dia
turun sekali" Ia berpaling kepada soat kun-Nona itu masih sama menghitung-hitung.
Siauw pek bangkit berdiri dan bertindak perlahan menghampiri si nona,
"Nona, hujan..." sapanya perlahan-Nona itu mengangkat mukanya, halus gerakannya.
"Aku tahu," sahutnya, juga perlahan, suaranya tetap merdu. Dia tersenyum manis.
"Aku kuatir hujan menjadi besar dan tak mudah berhenti..." kata pula sipemuda. Nona itu menghela napas.
"Apakah kau takut hujan?" dia bertanya.
Siauw Pek melengak. "Aku hanya khawatir nanti nona..."
"Terima kasih buat kebaikan hatimu. Tak apa hujan turun..."
Berkata begitu, si nona tunduk. untuk menggurat-gurat lagi ditanah. Siauw Pek mengundurkan diri. Ia kagum sekali, katanya didalam hati: "Nona ini meskipun tak sempurna anggota tubuhnya, tetapi dia sangat tenaga dan bersemangat, tak mirip dia dengan seorang tanpa daya. Sungguh hebat"
Kekhawatiran si anak muda terbukti dengan segera. Sekonyong- koyong kilat berkelebat, lalu air hujan turun bagaikan dituang-tuang. Maka, hanya sebentar, Tegalan itu sudah mulai tergenang air.
Si anak muda menoleh kepada si nona, Aneh nona itu duduk tak bergeming, jeriji tangannya tetap menggaris gariskan tanah... sekarang bukan tanah lagi, hanya air
Dan Soat Gie, sang adik, menatap kakaknya itu, terlihat kadang kadang dia tersenyum manis...
"Sungguh luar biasa," berkata si anak muda didalam hati, heran dan kagum.
"sudah mereka cerdas sekali, mereka juga begini mantap semangatnya..."
Hujan sementara itu tak mau segera berhenti, bahkan turunnya makin besar, hingga kedua nona yang duduk mendeprok itu, telah terendam air kira kira sebatas lutut...
Baru lewat sesaat pula, tiba tiba terdengar Soat Kun menghela napas, lalu dia bang kit berdiri, untuk menengadah langit, kemudian memuji.
"oh, Hong Thian Hong Thian- katanya. "Selewatnya lima hari ini,
masih dapatkah engkau membantuk kepadaku, hambamu ini?"
seorang diri si nona memohon kepada Hong Thian, Langit Tertinggi (Tuhan).
Karena nona- nona itu berdiam saja, siauw Pek pun turut berdiam, tak mau dia mengganggu. Hanya kemudian, ketika ia menoleh sekelilingnya, ia melihat jagat berwarna abu-abu disebabkan disekitarnya air melulu...
Tepat selagi si anak muda menoleh kepada kedua nona itu, mendadak Soat Gie bangkit, kedua tangannya dipakai menyambar kepinggang Soat Kun
Ia terkejut, segera ia melompat berlari menghampiri. "Apakah nona kurang sehat?" tanyanya kuatir.
"Tidak, tidak apa apa." sahut Soat Kun. "sebentar juga baik..."
"Disekitar kita tak ada tempat berlindung apapun juga ..." kata si anak muda masgul.
"Tak usah kita mencarinya," berkata si nona. "Hujan ini bakal segera berhenti."
Siauw pek mendongak, melihat langit. Katanya dalam hati. "Awan masih begini tebal, jagat masih gelap sekali, lagi dua jam, belum tentu air langit redam turunnya..."
Si nona sementara itu berkata: "barisan istimewa Liok Kah Tin masih belum kurencanakan sempurna, hendak aku percepat menghitungnya, kalau loocianpwee bertiga kembali bersama bambu
dan batu, kita akan segera bekerja membangunnya." Siauw pek mengangguk.
"Semasa aku mengikuti suhu belajar ilmu pedang," katanya kemudian, "pernah aku mendengar suhu bicara tentang pelbagai tin, umpama Pat kwa tin, kiu kiong tin, atau Ngo heng tin akan tetapi karena kebodohanku, belum pernah aku dengar ada Liok kah tin-Apakah tin nona ini sama atau mirip dengan pelbagai tin itu" Diwaktu senggang begini, kalau suka, tolong nona menjelaskan kepadaku."
"Hampir tak ada bedanya, saudara," sahut si nona.
"Bolehkah kalau aku menanyakan sesuatu?" tanya si anak muda pula.
"Kau sungkan, saudara coh," sahut si nona "Jikalau ada sesuatu pengajaran dari kau, silakan sebutkan. Segala apa yang aku tahu, aku akan beritahukan-"
"Nona membutuhkan bambu dan batu, apakah semua itu hendak digunakan sebagai pengganti manusia."
"Ya, benarlah itu."
"Bagaimana segala bambu dan batu itu dapat dipakai menentang musuh" Bukakah semua itu benda- benda tak bergerak?" Soat kun menepas air hujan pada rambutnya.
"Itulah pertanyaan yang sukar dijelaskan, saudara. Itulah sebenarnya ada hubungan dengan khayalan saja. Hati atau mata khayal kita, akan melihat maCam benda, akan tetapi apabila diraba tak terasa dipegang."
Sianak muda menggeleng kepala, ia menarik napas perlahan- "Benar tak dapat dimengerti," katanya.
"Liok kah tin, atau Ngo Heng tin, sama saja," berkata sinona pula. "Itulah khayalan berhitung. Siapa memasuki tin, perlu dapat menghitung tindakan kakinya, untuk dia bergerak ke kiri atau kekanan. Siapa bisa menghitung tepat dia seperti juga memasuki
suatu tempat kosong. Tidak demikian apabila dia salah bertindak salah jalan, maka muncullah khayalan, lalu dia seperti masuk kedalam thian lo tee bong jaring langit atau jalan bumi, walaupun dia berjalan sampai letih, tak akan mampu dia keluar lagi."
"Hebat" seru sianak muda. "Hampir sukar dipercaya"
"Dari suhu, pernah aku mempelajari ilmu ini, akan tetapi, belum pernah aku gunakan," sinona memberi keterangan, "maka itu, aku cuma tahu hafalannya saja, tidak kenyataan, bagaimana hasilnya, aku tak tahu juga ..."
"Nona sangat pintar," berkata pula sianak muda. "Lain waktu ingin sekali aku menerima lebih banyak pengajaran."
"Kau memuji saja, saudara, tak berani aku menerimanya," sinona merendahkan diri, "justru kamilah yang hendak memohon saudara mengajari kami ilmu silat."
Ketika itu tiba tiba cuaca terang sekali, hingga pembicaraan itu terputus seketika juga .
Siauw pek melengak ketika dia dongak melihat langit, lekas juga dia mengawasi Soat Kun.
Sejenak itu hujan berhenti dengan segera, angin tak bertiup-tiup lagi, dengan lenyapnya awan tebal, siputri malam muncul pula dengan indah gemilangnya
"Aneh Sungguh aneh" anak muda ini berkata..
"Apakah rembulan muncul pula?" tanya sinona tunanetra. Kembali Siauw pek melengak.
"Hebat..Mata dia buta, kenapa dia tahu rembulan bersinar pula?"pikirnya. Hanya kali ini ia segera berkata pula: "Nona aku kagum untuk perhitunganmu. Tadi langit gelap. hujan besar berjatuhan tapi sekarang didalam waktu yang pendek sekali mega lenyap. hujan berhenti dan si Putri Mlaam muncul dengan cahaya yang terang luar biasa" Nona itu tertawa.
"Aku sebenarnya cuma menduga-duga," sahutnya merendah.
"Kalau kau dapat melihat," kata siauw pek didalam hatinya, "mungkin kau tidak berani menerka begini..."
Tengah si anak muda bagaikan ngelamun, telinganya mendengar suara sinona itu, yang ditujukan kepadanya. "Saudara coh, baiklah kau gunakan kesempatan ini untuk beristirahat sebab mungkin sebentar, setelah terang tanah, bakal terjadi pertempuran yang dahsyat. Aku sendiri hendak melanjutkan berhitung."
Sejak itu sianak muda sudah menaruh keperCayaan besar terhadap sinona, maka ia menerima anjuran itu. Ialalu duduk bersemadhi untuk menjalankan pernapasannya.
Berapa lama ia sudah beristirahat, Siauw Pek tidak perhatikan, ketika ia mendengar suara nona Hoan yang sulung itu: "Saudara coh, lekas bersembunyi, Ada orang mendatangi."
Ia lalu membuka matanya dan menoleh kearah yang ditunjuk sinona. samar sama ia melihat empat sosok tubuh lari mendatangi. Tak ada waktu untuk bertanya, bahkan tanpa bangkit ia menggulingkan tubuh kebelakangnya dimana ada semak-semak rumput. Disitu ia bersembunyi.
Empat sosok tubuh itu berlari keras, segera juga mereka sampai ditempat dimana tadi Siauw Pek berkumpul bersama kedua nona Hoansiauw pek mengintai. ia melihat empat orang berseragam hitam, bahunya masing masing tergemblok golok. Yang luar biasaialah perut mereka itu besar-besar, hingga ia berpikir: "Mereka bertubuh besar tetapi tidak gemuk. kenapa perut mereka gendut semua?" Maka ia mengawasi lebih jauh. Iapun berlaku hati-hati, supaya kalau terpaksa, tak usah ia muncul.
Lama lama terlihat lebih tegas, perut mereka itu besar bukan disebabkan gendut, hanya ada benda yang dibawanya, entah benda apa maka juga dibawanya secara begitu aneh.
"Apakah kau tidak keliru melihat?" terdengar orang yang dikiri tanya salah seorang kawannya. Mereka berdiri terpisah dua tombak satu dari yang lain"Tak salah" menjawab orang yang dikanan. "Aku berada diatas pohon aku melihat jelas sekali. Tadi ada dua orang disini..."
"Sinar rembulan kurang terang, tak dapat disamakan dengan siang hari, mungkin kau melihat samar-samar" kata orang yang ketiga.
"Tak peduli dia salah lihat, mari kita periksa dahulu" berkata orang yang keempat. Hati Siauw Pek guncang.
"Kedua nona lagi menyembunyikan diri di dekat sini, kalau mereka kepergok, sulit untuk melindunginya," pikir sianak muda. "Baik aku muncul guna memancing musuh pergi dari sini."
Selagi si anak muda berpikir, keempat orang serba hitam itu sudah mulai bekerja. Mereka telah menghunus goloknya masing- masing. Mereka mencari dengan berpencar, tetapi jaraknya satu sama lain cuma empat tindak.
Begitu berpikir, siauw Pek bekerja untuk mewujudkan pikirannya itu. ia menjemput sebutir batu, dengan itu ia menimpuk perut salah seorang diantaranya.
Tepat timpukan itu, mereka berdua juga terpisah cuma satu tombak lebih, perut orang itu kedua terhajar, sampai bajunya robek sebab batunya kebetulan berujung tajam. Habis menimpuk. sianak muda melompat keluar dari tempat persembunyiannya, untuk berlari pergi.
Si serba hitam itu kaget merasa sedikit nyeri. Ketika dia melihat orang muncul untuk terus lari, dia lompat mengejar, begitupun ketiga kawannya Tadi Siauw pek melihat tegas, perut gendut itu hanya sebuah buntal seperti holow atau cupu cupu.
siauw pek khawatir orang tidak mengejarnya, ia lari tidak keras, ia membuat jarak antara kedua pihak cuma satu tombak lebih. Nyatanya ia disusul terus, sampai jauh kira- kira empat lie.
"Berhenti" tiba-tiba ia membentak sambil menghentikan tindakannya dan memutar tubuh guna menghadapi keempat orang itu. Iapun menghunus pedangnya.
Empat orang itu berhenti berlari, tapi mereka bersikap mengurung, semua bertindak mendekati. Selama itu sianak muda terus memperhatikan perut lawannya.
Satu kali sianak muda mengawasi muka lawan, ia heran- "Kenapa wajah mereka ini bersemangat sekali, bagaikan orang yang maju ke medan perang dengan tujuan mati" Kenapa?"
Lalu orang yang diarah timur berkata: "Kami telah menerima budi besar sekali dari tongcu kami, hendak kami membalasnya dengan kematian "
"Kami lebih suka jadi kemala yang hancur daripada menjadi batu yang utuh" menimpali yang diselatan"Kalau nama tersohor ribuan tahun, apakah artinya mati?" berkata yang dibarat.
"Kita akan mati bersama, untuk bertemu lagi disurga" berseru yang diutara. Mendengar orang bagaikan bersumpah, Siauw Pek heran.
"Apakah maksud mereka berkata begini ?" tanyanya didalam hati.
Empat orang itu merapat terus, sampai mereka datang dekat sekali. Melihat demikian, sianak muda tak sudi didahului, ia lalu menerjang.
Empat orang itu menangkis, habis mereka membalas menyerang. Mereka mengarah setiap anggota tubuh yang berbahaya, dila in pihak, mereka tidak mencoba melindungi diri. Nampak mereka nekad.
"Aku menerka mereka berkelahi mati-matian, tetapi apa sebabnya?" Siauw pek berpikir tak habis mengerti. Selagi ia berpikir
serangan lawan datang bertubi-tubi, maka terpaksa ita menyampok golok musuh hingga terpental
Meskipun begitu, bukannya musuh- musuh itu lekas memperbaiki diri, mereka justru maju serentak. semuanya lompat menerjang sambil mengajukan tubuh mereka.
Hampir sianak muda tercengang bahaya herannya. Tanpa ayal lagi, ia lompat mencelat tubuhnya terapung tinggi, melewati salah seorang lawan- Sambil berlompat itu, ia menusuk kearah depan, dimana ada sebuah pohon pek yang tinggi dan besar, tepat ujung pedangnya nancap di batang pohon, hingga tubuhnya bagaikan tergantung dipohon itu
Keempat musuh yang menerjang dari empat penjuru itu, tidak menyangka lawan bisa meloloskan diri. Karena mereka berlompat dengan keras, tidak dapat mereka menahan diri, serentak mereka saling tubruk. Sebagai kesudahan dari tubrukan hebat itu terdengarlah ledakan yang nyaring bercampur jeritan-jeritan dari kesakitan yang terputus dengan mendadak. dan tampak api menyala seperti kilat, disusul dengan mengepulnya asap menaik tinggi
siauw Pek diatas pohon mendengar suara itu, sempat pula ia melihat ledakan, sambil menoleh kebelakang ia mencabut pedangnya, berlompat turun. sekarang ia melihat satu pemandangan yang sangat mengiriskan hati
Keempat musuh mati dengan tubuh mereka hancur tangan dan kaki terpisah dimana-mana tulang-tulang berserakan. Tak lagi dapat dikenal wujud mereka semua.
"Sungguh kejam..." pikir si anak muda, yang hidungnya mencium bau wewirang dan sengit. ia menghela napas. Tanpa berkata kata, ia bertindak kembali ketempat dimana dia berkumpul bersama kedua nona Hoan- Nona nona itu tengah menantikannya.
"Kau tidak kurang suatu apa, saudara coh?" tanya Soat Kun, si nona menghela napas.
"Syukur aku tidak kurang suatu apa..." sahut pemuda itu menarik napas panjang, "sungguh suatu cara penyerangan yang kejam sekali..."
"Sebenarnya mereka menggunakan akal kuno," sahut si nona.
"Pada tubuh mereka, mereka menyembunyikan obat pasang . . . " Siauw Pek heran-"Bagaimana nona ketahui itu?"
"Sederhana saja Bukankah mereka telah gagal menabrak kereta kita" Baru saja kami mendengar suara ledakan, mudah menerka itu bukan?" Siauw Pek kagum.
"Diantara orang Rimba Persilatan, tak kurang mereka yang berani mati," berkata ia, "tetapi yang nekad seperti mereka itu berempat itulah langka. Jikalau aku tidak lompat mengapungi diri, ah, pasti aku tak luput dari bencana hebat itu..." Giris si anak muda mengingat kehebatan yang baru saja terjadi itu.
"Diantara pemimpin rombongan itu mesti ada seorang yang pandai menggunakan bahan peledak." berkata Soat Kun. "Sebaiknya lebih dahulu kita menyingkirkan dia itu..."
"Itulah benar, nona, cuma sulitnya, kita tak tahu siapa kah pemimpinnya itu?"
"Sekarang ini saudara coh, haruslah kau bersabar. Baik kita tunggu sampai kita sudah berhasil mengumpulkan tenaga tenaga, baru kita tempur mereka perhadap hadapan."
Selagi mereka bicara itu, mereka mendengar tindakan kaku berlari mendatangi, segera mereka berpaling. Maka mereka melihat Ban Liang yang bersama Oey Eng dan Kho Kong, yang masing masing memanggul seikat besar bambu.
"Kamu tidak kurang suatu apa, bukan?" tanya Ban Liang, yang menarik napas lega. ia dan kedua kawannya itu memandang si nona- nona dan anak muda.
"SyUkurlah, looCianpwe," menjawab Soat Kun tersenyum, "saudara coh telah melindungi kami. ia telah memancing musuh- musuh pergi jauh dari sini. Tapi, saudara coh kaget juga ..."
"Syukur aku lolos dari bahaya," kata Siauw Pek.
"Kami lagi mengumpul bambu ketika mendengar suara ledakan, maka kami segera lari pulang," berkata sijago tua. "Sekarang hati kami lega."
"Apakah loocianpwee dapat mengumpul banyak?" tanya si nona.
"Rasanya cukup banyak, keponakanku, hanya entahkah, cukup
atau tidak. Batunya sukar diangkut, maka itu tadi aku telah
menyewa dua buah gerobak." Mulut si nona berkemak-kemik.
"Bambu dan batu telah tersedia," kata ia sesaat kemudian, "tinggal waktu untuk membangun tin- Kita membutuhkan waktu satu malam. Itulah saat yang sangat berbahaya. Aku mengharap sangat bantuan tuan tuan- Kami harus memecahkan diri menjadi dua rombongan, yang dua membantu kami bekerja, yang dua lagi bertugas melindungi, yaitu untuk berjaga jaga kalau musuh datang menyerbu. Sebelum tin rampung, faedahnya tidak ada..."
"Tempat kita ini telah diketahui musuh, yang menyerang," berkata Ban Liang.
"Benar. Besok adalah saat tergenting. Tempat ini belukar dan luas, paling mudah untuk diserang, paling sulit buat membelanya. Aku juga khawatir tak keburu kita merampungkan pembuatantin kita ini..." Ban Liang berdiam, pikirannya bekerja keras. Ia heran pula.
"Si nona ini ketahui tempat ini terbuka, kenapa dia memilih ini"
Musuh banyak, kita sedikit, apakah kita nekad mengadu jiwa"..."
Setelah berdiam sejenak, si nona berkata pula, halus suaranya^ "Selama pertempuran di rumah kami, aku tak jelas akan pihak musuh, begitulah kita terancam bahaya besar. Sekarang ini aku lain- Kini aku sudah mulai mengerti mengenai musuh, bahwa makin lama
sang waktu berlarut, makin buruk keadaan kita. Musuh dilain pihak berhasrat keras untuk menumpas kita..."
"oleh karena itu, nona, perlu kita mempunyai daya yang sempurna untuk menentang mereka," berkata sijago tua.
"Itulah maksud utama dari aku, loocianpwee. Kalau kita pergi ke Siauw Lim sie, yang hasilnya masih muram, kita justru seperti mengundang musuh dari dua jurusan..." Si nona mengangkat kepala, menengadah langit. Ia mengeluarkan napas lega.
"Disini Jikalau kita bertempur dan memperoleh kemenangan, nama kita bakal segera tersiar luas," ia berkata pula. "Dengan tidak langsung, penyerbuan mereka itu juga akan membeber rencana busuk mereka sendiri..."
"sekarang bagaimana, nona?" Ban Liang tanya.
"Bagaimana pikiran saudara coh, saudara saudara Oey dan Kho?" si nona balik bertanya.
"Kami menurut nona saja," sahut Siauw Pek. Dia mewakili kedua saudaranya.
"Tuan tuan begini perCaya aku, baiklah.. Mari kita mulai bekerja"
"Tiga ikat bambu ini berjumlah empat ratus batang lebih, entah sudah cukup atau belum?" tanya Ban Liang.
"Lebih malahan," berkata si nona. "Aku membutuhkan tiga ratus enam puluh batang saja.
^Nona, mengenai Liok Kah Tin, kami asing," Ban Liang berkata
pula, "karena itu, bagaimana caranya kami dapat membantumu?"
"Mudah saja, loocianpwee, kamu ikut aku, dimana aku tunjuk. disitu kamu menancapnya."
"Benar benar sangat sederhana" seru Kho Kong.
"Hanya ingat," memesan si nona sambil tersenyum^ "selekasnya kamu menancap.jangan kamu berdiam lama-lama disitu"
"Baik, nona. Silahkan nona jalan dimuka" Berkata begitu, Ban Liang memanggul bambunya.
Soat Kun mengangguk. lalu dengan sebelah tangan memegangi bahu adiknya. Ia mulai berjalan- Ditangan kanan dia membawa sebatang bambu kecil. Ban Liang mengikuti, diam diam dia perhatikan gerak gerik si nona.
Soat Kun merandak setiap enam langkah, dengan bambunya, ia terus menggurat membuat beberapa bundaran ditanah, habis itu, ia berkata^ "Tancapkanlah bambu ditengahnya jangan diluar bundaran"
Ban Liang berempat melakukan tugasnya dengan baik, belum ada satu jam, habis sudah mereka menancapkan tiga ratus enampuluh batang bambu itu semua. Ketika mereka mengawasi, mereka heran, bambu ratusan itu nampak seperti hampir seribu batang.
"Mungkin benar bambu ini ada keanehannya," pikir sijago tua.
Lalu terdengar suara sulung: "Adik coba kau lihat, apa yang kurang pada bambu itu?"
Soat Gie, siadik mengawasi keseluruh tin, kemudian ia lari masuk kedalamnya, untuk membetulkan dua batang.
Kho kong heran, hingga hatinya berdenyutan- Ialah yang sengaja
menancapkan salah kedua batang bambu itu, sebab ia pikir, apa
artinya hanya dua batang, siapa sangka sinona bungsu melihatnya.
Balik kepada kakaknya, Soat Gie memegang tangannya dua kali.
Segera alls sinona berkerenyit. Katanya. "Adikku mengatakan bahwa dua batang bambu tertancap kearah barat kira- kira satu dim mencongnya. Nampaknya bambu itu ditancap salah bukan tanpa sengaja."
Ia menarik napas duka. "Ini dia yang dikatakan, beda sedepa, salah seribu lie Sekarang silahkan tuan-tuan lihat, setelah letak dua batang diperbaiki, apakah masih ada yang kurang rapi?"
Disaat itu rembulan bercahaya terang sekali, semua orang bisa melihat dengan tegas. Ban Liang melihat ada sesuatu yang beda dari saat tadi dan sekarang, hanya tak dapat ia menjelaskan perbedaan itu.
"Karena salah tancapnya kedua batang bambu itu bukankah tampaknya kurang pengaruhnya?" tanya si nona
Ban Liang berempat mengawasi terus. Setelah mendengar suara sinona itu, barulah mereka melihat, benar ada suatu perbedaan, suasananya lain sifatnya. Jago tua itu batuk perlahan-lahan.
"Jikalau nona tidak menyebutnya, benar kami tidak melihat apa," katanya.
"Sungguh luar biasa"
"ikalau sudah ditambahi dengan batu, suasana ini akan berubah jauh," berkata pula sinona.
"Tin akan nampak keren sekali." Ban Liang mengangguk berapa kali.
"Apakah nona berniat berdiam disini?" tanya sijago tua.
"Sukar buat memastikan, loocianpwee. Buat sementara baiklah kita berdiam disini setengah atau satu bulan..."
"Nona, dapatkah kau menjelaskan lainnya, supaya kami
mengetahui segala sesuatunya lebih terang?" Siauw Pek minta.
"Mungkin penjelasanmu ada faedahnya buat kewaspadaan kami..."
"Kita cuma berenam, kita sebisanya mesti mendapat tambahan tenaga," kata Soat Kun"Bukankah, seperti nona pernah katakan, nona mau pakai tin ini untuk mendapatkan tambahan tenaga itu?" sijago tua bertanya pula. Nona itu mengangguk.
"Walau bagaimana, tin ini adalah benda mati. Maka itu, perlu sekali bantuan tenaga manusia untuk membuatnya menjadi hidup,"
"Bagaimana kami harus membantunya, nona?" Siauw Pek pun tanya. "kami tidak mengerti."
Nona Hoan tersenyum. "Jangan bingung, saudara coh," katanya, "Seperti telah kukatakan, tin ini sangat sederhana."
"Nona," Ban Liang bertanya. "bagaimana andaikata musuh tak mau memasukinya?"
"Dugaanku sebaliknya, loocianpwee. Pasti musuh akan menerjangnya. Yang perlu sekarang ialah lekas- lekas kita merampungkannya."
"Baik, nona. Loohu akan segera mengangkut batunya "
"Sekarang ini," Soat Kun memperingatkan, "setiap detik kita dapat diserbu musuh, karena itu, baiklah loocianpwee menetapkan suatu isyarat guna satu dengan yang lain saling memberitahukan, supaya kamu dapat bantu membantu."
"Nona benar," kata sijago tua.
Kho Kong tiba-tiba merangkap kedua belah tangannya. "Nona," katanya, "ada sesuatu yang mengganjal dikerongkonganku, tak dapat aku tak mengeluarkannya..." Soat Kun mengawasi.
"Bukankah kau mau bicara tentang pelatok bambu?" tanyanya. "kau toh yang sengaja menancap salah?"
"Benar, nona," si polos mengakui, "Aku menyangsikan pelatok bambu dapat menolak musuh, aku sengaja menancap salah itu untuk mencoba coba nona dapat melihat atau tidak..."
"sekarang kau percaya atau tidak?"
"Sekarang akupercaya betul. Aku bersedia ditegur nona..."
Dan sikap si nona menjadi sungguh-sungguh hingga dia nampak keren.
"Menegur kau, itulah aku tidak berani," katanya, "akan tetapi, ada beberapa kata kataku yang tak dapat aku tidak mengeluarkannya "
"Silahkan bicara nona, kami bersedia mendengarnya," berkata Siauw Pek, yang turut bicara, bahkan dia merangkap kedua belah tangannya.
soat kun tidak bisa melihat, Soat Gie tidak bisa bicara, tetapi, seperti sudah diketahui, mereka senantiasa dapat berhubungan satu dengan lain. Asal ia mendengar, si sulung dapat mengerti segala sesuatu, Dan si bungsu, asal ia melihat dan memberi isyarat kepada kakaknya lalu si kakak mengetahui apapun dengan jelas. Demikian, nona nona itu melihat, mendengar dan mengetahui segala sesuatu disekitarnya.
Soat Kun bangkit berdiri, kemudian membungkuk, guna membalas hormat.
"Saudara coh terlalu merendah," katanya. "Mengenai kita ini, aku hendak mengatakan, ular tanpa kepala tak dapat berjalan, burung tanpa sayap tak dapat terbang. PerbUatan saudara Kho sengaja salah menancapkan bambu membuat aku berpikir. Kesalahan itu tak usah diperpanjang, tetapi selanjutnya itulah harus dicegah. Bagaimana andaikata tenaga kita berhasil ditambah" Bukankah kita tidakpunya kepala perang dan undang undang tentara" Umpamanya tenaga ktia jadi besar, bukankah itu hanya segerombolan saja" Bagaimana mereka bisa dipakai menghajar musuh?"
"Itu benar" berkata Ban Liang. "Akupun telah memikirkannya. Sekarang, bagaimana kita harus mengaturnya?"
"Itulah sebabnya, loocianpwee," berkata si nona, "aku memikir tak lebih dulu memilih dan mengangkat pemimpin, lalu mengadakan aturan untuk mengatur rombongan kita..."
"Aku memilih nona" berkata Siauw Pek. Soat Kun menggeleng kepala.
"Untuk memikir, mengatur sesuatu, mungkin aku sanggup," katanya, "akan tetapi buat memimpin apa pula guna mengepalai dunia Rimba Persilatan, itulah tidak"
Ia diam sejenak, lalu menambahkan. "Tuan tuan jangan lupa
bahwa akulah orang yang bercacad mata satu, yang tak dapat
Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat segala sesuatu..." Kata kata terakhir ini diucap pelan sekali.
"oleh karena nona menolak. baiklah Ban Loocianpwee saja yang diangkat," Siauw Pek mengusulkan.
"Tidak dapat" Ban Liang menggeleng kepala. "Dunia Kang ouw begini kacau dan loohu sudah tua, tak sanggup aku memegang pimpinan. Aku cuma bisa turut turutan saja..."
Terus dia menatap putera coh Kampek almarhum dan menambahkan : "Menurut aku, paling baik adalah saudara coh yang memegang tampuk pimpinan"
"Ya, ya, akupun memikir sama dengan loocianpwee" berkata Soat Kun. "Saudara coh adalah yang paling tepat"
Pemuda itu hendak menolak usul Ban Liang ketika si nona memegatnya berbicara, maka ia mesti menanti nona itu bicara habis, setelah itu:
"Tidak. tidak," katanya. "Aku masih terlalu muda, aku masih belum tahu apa apa..."
"Toako, terimalah tugas ini" berkata Oey Eng dan Kho Kong serentak. "Kami sedia menerima segala perintah dari toako" Ban Liang tertawa lebar.
"Suara terbanyak berarti harapannya orang banyak pula" katanya. "Saudara kecil, Jikalau kau menolak. kau membuat kami merasa sulit"
"Tapi... tapi..." kata sianak muda menarik napas.
"Mulai saat ini kami mengangkat kau menjadi Sim Too Bengcu" berkata Soat kun"Kim Too yaitu golok emas dari ceng Gi loojin, menjadi lambang kita Nanti, sesudah pengaruh kita besar, akan kita maklumkan ini kepada dunia Rimba Persilatan, agar umum mengetahuinya Biarlah ceng Gi kim Too Golok Emas Keadilan tersiar luas"
"Aku yang begini muda, bagaimana mungkin aku membuat dunia
Rimba Persilatan mau tunduk dihadapanku?" tanya sianak muda.
"cita Cita atau semangat tidak bergantung kepada usia muda, saudara kecil." berkata Ban liang. "Nah, marilah SengCu menerima hormatku"
"Mana... mana dapat?" kata Siauw pek gugup
Akan tetapi sijago tua sudah mendahului menunduk berlutut memberi hormatnya.
Amat sibuk Siauw pek. Ia menjatuhkan diri berlutut juga , mendekam untuk membalas hormat, setelah mana ia membangunkan orang tua itu.
Oey Eng dan Kho kong segera turut memberi hormat, diturut oleh soat kun dan Soat Gie Karena mereka bukan tengah bergurau, mereka berlutut mengangguk angguk berulang ulang. Hingga kembali pemuda she coh itu repot untuk membalasnya.
Paras muka siauw pek merah karena malu terhadap kedua nona itu Adat istiadat melarang ia menyentuh tangan orang untuk membangunkan mereka itu. Ia cuma bisa berkata: "Tak berani, tak berani aku menerima hormatmu nona..."
Setelah bangkit, Soat Kun berkata sungguh sungguh^ "Sejak saat ini kaulah bengcu yang dihormati, bahkan mungkin lagi tiga atau lima bulan, kau akan memimpin rombongan dari beberapa ratus jago Rimba Persilatan, guna menjunjung keadilan, buat menyapu bersih hawa busuk dunia Kang ouw Kami berdua bercacat tetapi kami akan lakukan apa yang bisa untuk menunjangmu, setelah jiwa kami habis barulah kami puas..." Itulah kata kata berat, maka juga berat Siauw pek menerima budi itu.
"Dalam hal menerka musuh dan mengambil keputusan, kami berdua saudara bersedia bertanggung jawab," kemudian berkata pula Soat Kun sambil menyingkap rambut disisi telinganya
"Untuk memerintah, untuk menghadapi musuh, itulah tugas bengcu, dapat bengcu mengambil tindakan sendiri"
"Baiklah, nona" katanya akhirnya. "Aku akan lakukan segala apa
dengan setakar tenagaku, hidup atau matiku, tak kupikirkan pula"
"Nona, Jikalau ada titahmu untukku, keluarkanlah" Ban Liang berkata kepada Soat Kun yang sekarang ia sangat hormati, "Langkah orang pintar seperti kau, baru beberapa hari, kau telah perlihatkan kepandaianmu yang luar biasa "
"Suhu Almarhum barulah orang cerdik pandai," berkata si nona merendah, "Sayang suhu lekas sekali mendahului kami pergi, hingga kami ditinggalkan tanpa daya. Pelajaran yang kami dapat, dalam sepuluh, baru tiga atau empat bagian..."
Berkata begitu, wajah si nona lesu dan suram, pertanda bahwa ia sangat menyesal dan berduka. Kemudian ia menambahkan: "Semoga arwah suhu akan memberkahi dan melindungi kedua saudara, supaya kami dapat melakukan sesuatu untuk kebaikan khalayak ramai..."
Kemudian lagi, dengan suara perlahan, ia memohon, "Ban Loocianpwee bertiga, tolong kamu lekas bawa kemari batu batu itu, supaya dapat tiba disini besok sebelum tengah hari, supaya segera kita dapat merampungkan tin kita ini."
"Baik, nona, menyahutBan Liang. Kami pergi sekarang " Dengan
segera, sijago tua itu mengajak Oey Eng dan Kho Kong berlalu.
Besoknya, dibawah petunjuk Nona Hoan, dengan dibantu Siauw Pek, Ban Liang bertiga bekerja keras membangun barisan rahasianya itu, yang memang rampung disaat matahari mulai naik tinggi Setelah itu, si nona memberi petunjuk bagaimana orang harus masuk dan keluar dalam tin itu, agar mereka nanti harus melayani musuh
Ditengah tengah tin, dibangun juga sebuah rumah atap yang bertingkat, untuk menjadi pusat barisan istimewa.
Selama itu terjadilah hal yang diluar dugaan. Selama dua hari tak tampak musuh muncul, jangan menyerbu, mengintaipun tidak. Di
hari ketiga, tengah hari, Ban Liang habis sabarnya. "Nona Hoan, loohu ingin sekali mengutarakan sesuatu"
"Mungkinkah itu urusan selama dua hari musuh tak kunjung tiba?" bertanya nona.
"Benar begitu, nona "
"Itulah tidak heran, loocianpwee. seperti telah kukira, diantara musuh ada salah seorang pemimpinnya yang pandai, yang mengatur segala sesuatu. Begitulah maka gerak gerik musuh sering ada yang diluar dugaan- Walaupun demikian, aku rasa kesabaran mereka tetap tidak muncul mungkin besok..."
"Jikalau mereka bakal datang, tak apa mereka datang terlambat satu hari," kata sijago tua. "Aku hanya mengkhawatirkan mereka
benar- benar tidak datang Itu berarti tidak sia-sia saja kita bersusah
payah membangun tin kita ini..." Nona Hoan tetap tenang sikapnya.
"Barang kali, loocianpwee mereka itu sudah mengirim mata- matanya mengawasi gerak gerik kita," katanya. "Mereka hanya bekerja secara menggelap dan mereka pula sengaja tidak segera datang, guna menguji kesabaran kita. Rupanya mereka mengharap- harap. karena habis sabar, kita nanti pergi mengangkat kaki dari sini. Jikalau aku menerka tepat, pasti sudah mereka telah mengatur pasukan bersembunyi diempat penjuru kita, setelah habis sabar kita, sendirinya kita masuk kedalam perangkap mereka itu. maka itu
sengaja aku membangun gubuk kita yang bertingkat ini. Kita harus
tunjukkan kepada mereka bahwa kita mau berdiam lama disini..."
"Bagaimana dengan rangsum kita, nona" Sekarang ini persediaan paling juga buat dua hari. Selewatnya, musuh datang atau tidak, kita toh harus keluar dari sini"
Sinona berdiam sejenak "Loocianpwee apakah masih juga loocianpwee meragu-ragukan aku?" tanyanya kemudian- "Apakah loocianpwee masih tak jelas mengenai kedudukanku?"
"Nona..." Ban Liang melengak.
"Loocianpwee," berkata pula sinona, suaranya dingin, inilah tak biasanya: "didalam rombongan kita ini, kecuali bengcu, tidak ada yang memikul tanggung jawab lagi, yang memegang kekuasaan, maka itu, kalau ada sesuatu yang hendak diajukan, silahkan laporkan kepada bengcu"
Soat Kun lekas lekas membungkuk, membalas hormat itu.
"Boanpwee hendak menegakkan aturan, tak dapat boanpwee tak bersikap begini," katanya. "harap loocianpwee suka memaafkanku."
JILID 28 "Jangan kecil hati, nona, Loohu, tidak mendendam apa apa," kata si orang tua.
"Mudah-mudahan," berkata si nona, yang terus memutar tubuh dan dengan tangan kiri memegang bahu adiknya, dia berjalan pergi perlahan lahan. Siauw Pek mengawasi kakak beradik itu.
"Nona Hoan telah berubah..." katanya.
"Dia lemah lembut dan manis budi, wajahnya selalu gembira, tetapi sejak toako menjadi bengcu, tak pernah tampak lagi tawanya," berkata Oey Eng. "Setiap waktu aku melihat dia bersungguh sungguh dan keren, bagaikan dia tengah memimpin satu angkatan perang..."
"Seorang kuncu, apabila dia tidak menghargai dirinya, dia tak berwibawa," berkata Ban Liang perlahan. "Si nona selanjutnya bakal membantu bengcu memimpin Rimba Persilatan, tanggung jawabnya berat, tidak heran kalau dia membawa sikap yang memegang derajat itu."
"oh, begitu," kata Kho kong bagaikan baru mengerti.
"Dia cantik dan cerdas sekali, akan tetapi karena dia bercacat, tak luput dia dari rasa rendah diri. Dahulu itu tidak ada soal, tidak apa- apa, tapi setelah dia mengangkat saudara coh sebagai bengcu, dengan sendirinya dia menjadi kunsu, ahli pemikir tentara, dari
bengcu. Aku lihat, berhasil atau tidak Kim Too bengcu menguasai
Rimba Persilatan, semua itu akan bergantung kepada si nona itu..."
"Menurut kau, tidaklah ada keadilan, loocianpwee," kata Oey Eng "Kim Too bengcu boleh berhasil memimpin Rimba Persilatan tetapi kita turut masuk hitungan berjasa karena kita membantunya"
"Kau benar, saudara," berkata sijago tua, "tetapi kau tidak berpandangan sebagai si nona. Untuk dia, orang yang paling berjasa membantunya adalah adiknya yang bisu itu."
"Memang tugas si nona berat," kata Kho kong turut bicara pula, "Yang terang ialah bantuan kita terlalu sedikit..." Ban Liang kemudian bicara dari hal lain.
"Ilmu silat kamu, saudara-saudara, sudah termasuk kelas satu," demikian katanya. "Hanyalah, musuh-musuh kita itu terlalu tangguh" ^
"Maka itu, berat tanggung jawab kita," berkata Oey Eng. "Hal itu membuat hatiku kurang tenang. Aku pikir, selanjutnya baiklah kita bersungguh-sungguh melatih diri, supaya ilmu silat kita bertambah maju." Mendengar itu, Ban Liang tertawa.
"Jikalau kamu berminat," katanya, "Jikalau kamu setuju, bersedia aku menurunkan apa yang aku bisa"
Oey Eng mau bicara pula ketika ia melihat Soat kun keluar dari dalam rumah. Dengan segera nona itu berkata: "Tuan-tuan berdua, suhu meninggalkan beberapa macam ilmu silat yang mudah dipelajari, Jikalau kamu sudi, suka aku mewakili suhu memberi pelajaran kepadamu."
"Selama kita menghadapi musuh, aku merasa ilmu silatku masih sangat rendah," berkata Kho kong, yang mengaku dengan jujur, "dengan kepandaian sebagai itu, sulit tanggung jawab kami, kalau
nona sudi memberi Pelajaran, sungguh kami bersyukur tak habisnya
" "Jikalau kamu sudi, nah, marilah kita segera mulai" berkata sinona. Kho kong menoleh pada Oey Eng. "Bagaimana pikiranmu, kakak?" dia tanya. Oey Eng mengangguk.
"Mari lebih dahulu kita menghaturkan terima kasih kepada nona Hoan," katanya. Dan dia mendahului memberi hormat dengan membungkuk. Kho kong meneladani kakak itu.
"Jangan mengucapkan terima kasih," Soat Kun menolak, "Aku cuma mau mengajari hafalnya saja, kemudian tuan-tuan berdua hasil atau tidak, itu akan bergantung kepada kesadaran dan kerajinan kamu sendiri "
"Itu benar" kata Oey Eng.
"Apakah loohu dan bengcu dapat turut masuk ?" Ban Liang bertanya.
"Jikalau loocianpwee dan bengcu mempunyai kegembiraan, senang kami menyambutnya " berkata nona manis.
Nona itu segera bertindak masuk. Oey Eng dan Kho Kong segera menyusul, mereka ini benar- benar sangat menghormat kepada nona tuna netra itu.
Ban Liang dan Siauw Pek turut masuk, selagi berjalan bersama, sijago tua membisiki si anak muda: "Seperti pernah aku terangkan, apa yang aku tahu mengenai kakak Hoan, ialah ilmu surat ia pandai luar biasa, otaknya cerdas, tapi dalam ilmu silat ia tidak berhasiL. Meski begitu sering ia membicarakan tentang ilmu silat pelbagai partai, perihal kekurangannya. Ternyata ia bicara dari hal yang benar, karena itu loohu percaya, warisannya ini bukan sembarang ilmu silat."
"Ia dapat membicarakan ilmu silat pelbagai partai, itu saja sudah menandakan pengetahuannya luas" berkata Siauw Pek, "cuma heran kenapa tak dapat memahirkan ilmu silatnya."
"Menurut kakak Hoan, itulah karena bakatnya. Belakangan kakak Hoan tak pernah bicara lagi tentang ilmu silat denganku, mungkin disebabkan dia menyangka aku tidak percaya segala keterangan itu. Barulah kemudian, setelah aku mengundurkan diri, sesudah mendapat kesempatan berpikir, aku mendapat kenyataan bahwa
apa yang kakak Hoan bilang benar semuanya. Tentu sekali sudah
terlambat bagiku, karena tak dapat aku bertemu pula dengannya." Siauw pek manggut manggut.
"Sayang aku terlahir terlambat beberapa puluh tahun," berkata sianak muda. "hingga aku tak sempat menemui Hoan Loocianpwee itu.."
"Kedua nona telah mewarisi kepandaian kakak Hoan, sekarang kita berkesempatan melihat bagaimana dia memberikan pelajaran kepada dua saudara Oey dan Kho. Mungkin kita akan mendapat sesuatu."
Didalam, Oey Eng dan Kho kong sudah bersemadhi, mulut mereka kemak kemik, entah apa yang diucapkan. Teranglah bahwa si nona sudah memberikan pelajaran hafalan teori ilmu silat yang diajarinya itu.
Soat kun berdua berdiri dipinggiran, tangan sinona tetap berada dibahu adiknya. Mereka berdiam sikapnya sangat bersungguh- sungguh.
Ban Liang dan ketuanya bertindak perlahan terus berdiri disisi lain, untuk mengawasi sambil memasang telinga.
Lewat kira-kira seperminuman teh, mendadak terdengar pertanyaan nona Hoan^ "Tuan-tuan kamu sudah hafal atau belum ?"
"Sudah" jawab Oey Eng dan Kho kong.
"Bagus!! Silahkan berdiri "
Kedua anak muda itu bergerak bangun, lalu keduanya mengatakan bahwa ada diantara teori itu yang mereka kurang paham.
.o.o^o.o.o^o.o. "Asal kamu berlatih terus menuruti hafalannya, perlahan-lahan kamu akan mengerti sendiri," berkata sinona "senjata apakah yang kamu gunakan berdua ?"
"Aku menggunakan pedang," sahut Oey Eng.
"Aku menggunakan poan koan pit," jawab Kho kong.
"Pedang menjadi leluhurnya alat senjata," berkata sinona pula, " pedang mudah dipelajarinya tapi juga pedanglah yang paling sulit digunakannya dengan sempurna. Tahukah kau ilmu pedangmu dari cabang mana ?" Oey Eng melongo.
"GutUku cUma menyebutnya ilmu tetapi tidak asal usulnya." Si nona menghela napas.
"Kau tak dapat disalahkan," ujarnya. "Banyak pelajar ilmu pedang,jumlahnya sampai ratusan ribu, tetapi banyak juga yang tidak tahu asal usulnya."
Kemudian nona itu menceritakan panjang lebar tentang, yang terutama memerlukan bakat, sebab ketekunan dan kecerdasan saja masih belum cukup, Ban Liang dan Siauw pek kagum mendengar penuturan nona itu.
Oey Eng sangat tertarik hingga ia bertanya "Nona, dapatkah aku
belajar pedang sampai mengerti atau sampai sempurna ?"
Ditanya begitu Soat Kun melengak. Ia tidak bisa melihat roman orang.
"coba kemari " katanya setelah ragu ragu sebentar.
Oey Eng kira dia salah bicara, hatinya tidak tenang, setelah meletakkan pedangnya, ia menghampiri.
soat kun mengulurkan tangannya, untuk meraba raba belakang kepala serta bahu sianak anak. setelah mana ia menggelengkan kepala.
"Melihat tulang tulangmu, lebih baik kau tidak mempelajari ilmu pedang," katanya kemudian"Terima kasih, nona," berkata si anak muda. Iaheran tetapi ia
tidak menanyakan jelas. Perlahan lahan, ia mengundurkan diri.
"Dapatkah nona memeriksa bengcu?" Ban Liang bertanya. Iapun tidak mengerti, maka ia ingin mencoba Siauw pek Kembali agaknya si nona ragu ragu^
"Entahlah, bengcu sudi memberi kesempatan kepadaku mencoba atau tidak..." katanya.
Sebenarnya Siauw pek tidak setuju, tetapi karena Ban Liang telah menanyakannya dan sinona tidak berkeberatan, terpaksa ia mengajukan diri.
"Memberabekan saja, nona," ujarnya.
"Tidak menjadi soal, bengcu," berkata sinona, yang terus meraba belakang kepala serta bahu sianak mudaseperti ia memeriksa Oey Eng tadi, hanya menggunakan waktu lebih lama. Selama itu nampak ia berpikir keras, terus ia berdiam saja.
Ban Liang berpikir, Siauw pek tampan danpandai ilmu pedang Thian Kiam dan golok Pa Too, mestinya ia berbakat baik, mestinya
si nona bakal memuji tinggi kepadanya, maka itu heran ia
menyaksikan nona itu membungkam. Kho Kong tidak sabaran. "Nona, bagaimana dengan bengcu," tanyanya.
"Tulang bengcu luar biasa, tidak berani aku sembarang menyebutkannya," sahut si nona.
"Nona," berkata Siauw Pek, yang melihat kesangsian orang, "biasanya seorang laki laki menanyakan tentang bahaya tetapi tidak tentang bahagia, demikian dengan aku. silakan nona bicara secara terus terang saja"
"Aku tidak bisa melihat, bengcu," jawab sinona. "Mungkin wajahmu beda daripada tulangmu, mungkin pada wajahnya ada sesuatu yang luar biasa. bicara dari hal tulang saja, walaupun bengcu berjodoh dengan ilmu pedang, peruntunganmu harus menemui kesukaran, pelbagai macam... "
Siauw pek tertawa hambar mendengar keterangan itu.
"Dari masa kecilku, yaitu semenjak aku ingat aku sudah hidup terlunta lunta didalam pelarian," berkata ia. "Setiap kami menyingkirkan diri dari ancaman ancaman maut. Nona benar mengatakan nasib celakaku berlapis lapis."
"Ada satu hal lain, yang aku kurang mengerti..." kata si nona pula.
"Apakah itu, nona?"
"Menurut tulang bengcu, tak selayaknya bengcu siang siang, kehilangan ayah bundamu, akan tetapi..."
"oh, begitu, nona?" si anak muda menegaskan- Dia heran.
"Ya. Menurut keterangan bengcu sendiri, yang begitu lengkap bagaikan lukisan gambar, ayah bunda bengcu telah mati dimedan pertempuran didepan jembatan Seng Su Klo Sebab bengcu ini, aku jadi tak berani lancang bicara..." Paras Siauw Pek berubah.
"Nona, sukakah kau bicara terus terang, kata ia. "Apakah ramalan nona itu?"
"Tak selayaknya ayah bunda bengcu menutup mata bersama."
"Apakah nona artikan, salah satu harus masih hidup" sipemuda tegas kan pula.
"Kira kira begitulah."
"Yang mana, nona" Ayah atau ibuku ?" "Harusnya ibumu yang masih hidup^.."
Hati Siauw Pek berjekat, sampai ia tertegun.
"Aneh sekali, kata katanya."
"Aku bicara hanya berdasarkan pemeriksaan tulang kepala dan bahu bengcu," Soat Kun menjelaskan- Ia menghela napas perlahan "Aku kawatir bahwa ramalanku tidak tepat. Bengcu menyaksikan
sendiri ayah bunda bengcu bertempur didepan jembatan dan telah
terbinasa karenanya, pastilah penglihatan bengcu itu tidak keliru." Siauw pek mendongak. ia menarik nafas perlahan"Yang aku masih tidak mengerti ialah kenapa delapan belas partai memusuhi ayahku, katanya. Benarkah itu disebabkan kematian ketua keempat partai" Benarkah mereka itu terbinasa ditangan ayahku ?"
"Didalam hal ini mesti ada sebabnya," kata Soat Kun menghibur.
"Mungkin ayah bengcu mengetahui sebab itu, hanya ia telah tiada."
"Pernah aku bertanya kepada ayah akan tetapi ayah tidak mau menuturkannya. Mungkin ada kesulitan, yang membuatnya susah membuka mulut..."
"Itulah yang membuatku curiga. Dua kemungkinan. ayah tahu tetapi tidak mau menceritakan, atau ia tak tahu. Kalau ayah tahu, kenapa kah ayah tidak mau memberi keterangan?"
"Sekarang ini, baiklah bengcu bersabar, perlahan lahan saja, mengandal kepada kecerdasan kita, kita nanti menyelidikinya," kata nona. Siauw pek membenarkan pikiran itu.
"Tapi satu hal aku masih tidak mengerti, ingin aku memohon keterangan nona," katanya.
"Apakah itu, bengcu" Titahkan saja."
"Selama dirumah, musuh mengatakan aku dapat menemui ibuku. Sekarang menurut ramalan nona, ibuku masih hidup, Bagaimanakah itu kiranya" Hal ini membuatku tidak tenang..."
"oh, begitu?" Soat Kun heran.
"Benar" Dan Siauw pek menuturkan apa yang terjadi "Ya inilah aneh" Sinonapun heran.
"Sebelum ramalan nona, walaupun aku heran aku toh tidak percaya..."
"sekarang?" "sekarang aku menjadi setengah percaya setengah tidak..." "Bengcu, ingin menanyakan sesuatu..."
"Silahkan nona"
"Paling baik, aku tanya satu, bengcu jawab satu." "Baik nona, silah nona tanyakan."
"Semasa kecil, pernahkah bengcu melihat wajah ibumu?" "Tentu saja, nona."
"Sekarang ini aku tanya, apa bengcu merasa pasti bahwa wanita itu benar ibu kandungmu?" Siauw pek melengak.
"Delapan tahun aku hidup bersama ibuku, mungkinkah aku salah mengenalinya?"
"Aku hanya menanya saja, bengcu. Bagaimana sikap ibumu terhadap bengcu?"
"Seingatku, ibu berlaku baik kepadaku."
"Mungkin ada bagian bagian yang aneh, yang luar biasa?" siauw pek berpikir.
"ibuku cuma sedikit bicara."
"Apakah ayah dan ibu bengcu hidup akur satu dengan lain?"
"Selama delapan tahun, belum pernah aku menemukan mereka selisih mulut."
"Paling belakang, berapa usia bengcu ketika bengcu masih ada bersama ayah bunda bengcu?"
"Lima belas tahun." "Apakah ketika itu bengcu sudah mengerti segala sesuatu?" "Ya. Nona ingin tanyakan hal apakah ?"
"Ketika itu kamu lagi terlunta lunta didalam pengungsian, mungkin kamu tidak mempunyai kesempatan buat membicarakan banyak urusan maka dari itu, tentunya bengcu tidak banyak ingat ini dan itu..."
"Asal yang aku ingat, akan akujawab, nona."
"Ingatkah bengcu kalau bengcu pernah memperhatikan ayah bundamu, merundingkan soal pengungsian kamu ?"
"Pernah beberapa kali."
Mata sinona bercahaya. Itulah tanda ia merasa aneh. Rupanya jawaban si anak muda berada diluar sangkanya. Si anak muda itu menghela napas. "Apakah yang tak seksama, nona ?"
"Apakah bengcu hadir ketika ayah bundamu berunding itu ?" "Ya. Aku berada bersama kakak kakakku."
Jawaban si anak muda lancar, hal itu membuat si nona tersenyum.
"Baiklah," katanya. "Sekarang coba ingat-ingat, pernahkah ayah
bunda bengcu membicarakan soal pengungsian berdua saja ?" "Itulah aku tak ingat jelas."
Nona itu diam, untuk berpikir, agaknya ragu ragu.
"Masih ada pertanyaan, yang ingin aku ajukan, hanya aku ragu
ragu," katanya kemudian. "Kalau aku tidak tanyakan, hatiku belum
puas. Jikalau aku tanya, aku minta bengcu jangan berkecil hati..." "Bicaralah, nona Walaupun kau bertanya salah, tidak apa."
"Aku mencurigai..." Tiba tiba si nona menutup mulutnya. "Nona curiga apakah ?" siauw Pek tanya cepat.
"Inilah soal besar. Bagaimana kalau aku pikirkan dahulu, besok baru aku tanyakan ?" Siauw pek bagaikan ingat sesuatu. Ia mengangguk. Maka ia tidak mendesak. Soat Kun menghela napas berduka.
"Sebab musabab peristiwa pek ho bun ini, nampaknya sederhana. tetapi kenyataannya tidak demikian, sebenarnya rumit sekali. Dipikir sekilas lalu, soal sukar dipecahkan. Maka itu, baiklah kita menyelidikinya perlahan lahan saja..."
"Nona," Ba Liang menyela, "bukankah kau hendak mengajari ilmu silat kepada kedua saudara Oey dan Kho?" ^
"Ya, loocianpwee. Silahkan kamu maju tuan tuan" Oey Eng dan Kho kong menghampiri.
"Kami bersedia menerima pengajaranmu, nona." kata mereka, hormat.
"Kamu bersenjata berlainan, sulit mengajarinya berbareng," berkata si nona. "Sekarang baik kamu belajar dahulu ilmu tangan kosong, nanti baru menggunakan senjata."
"Baik, nona, kami menurut saja," kata Oey Eng.
"Sekarang aku ajarkan hafalannya," berkata si nona, perlahan, "habis itu baru kamu menjalankannya. Untuk belajar sampai sempurna, itulah mengandal kepada kecerdasan dan latihan kamu..."
Diam diam siauw Pek mengutik Ban Liang, ia berbisik: "Dengan berada disini, mungkin kita menghalangi mereka itu belajar." Lalu ia mendahului pergi keluar.
Ban Liang mengerti, diam-diam ia mengikuti ketua itu. Mereka sudah mengenal bak tin mereka, dari dalam mereka berjalan terus menuju keluar barisan istimewa itu.
"Tin bambu dan batu semacam ini bisa menentang musuh, sulit aku mempercayainya," Ban Liang berbisik.
"Tetapi suasana tin ini demikian rupa hingga aku jadi ingat akan ilmu sesat, bagaimanakah pendapat bengcu?"
"Menurut suhu dahulu, Pat Kwa Tin, Kiu Kiong Tin dan sebangsanya memang aneh sifatnya," sahutsi anak muda, "Hanya mengenai Liok kah tin, belum pernah aku mendengarnya."
Mereka berbicara sambil berjalan, tanpa merasa, tibalah mereka diluar tin-Justru itu, sekonyong konyong mereka mendengar suara melesatnya dua batang anak panah, yang diarahkan kepada mereka.
Dengan sebat Siauw Pek menghunus pedangnya, dengan satu sampokan saja, mental jatuhlah kedua senjata ringan itu. Setelah itu, mereka melihat munculnya dua belas orang berseragam hitam, yang mukanya tertutup topong hitam juga . Semua mereka itu lalu berbaris.
Ban Liang tertawa dingin"Sahabat-sahabat, takutkah kamu melihat orang?" tanyanya, mengejek.
Dua belas orang itu berdiri bungkam, cuma dua puluh empat biji mata mereka bersinar bengis.
Kata siauw Pek perlahan: "Silahkan loocianpwee mengabarkan nona Hoan, aku sendiri akan menghadapi mereka ini"
Ban Liang mauk kedalam. Pikirnya, "celaka kalau tin sampai dikepung dari empat penjuru"
Ia tetap kurang percaya. Sebelum memutar tubuh, ia pesan: "berhati-hatilah, bengcu"
Siauw pek lalu menghampiri dua belas orang berpakaian hitam itu.
"Rupa-rupanya tuan-tuan tak puas, mau juga kamu menyusul aku," katanya tawar. "Kenapa kamu tak mau melepas topeng kamu, supaya kita bisa sama sama memperlihatkan wajah sendiri..."
Dua belas orang itu tetap berdiri tegak dan membungkam.
"Aneh mereka ini," pikir si anak muda, Kuat sekali hati mereka. Maka ia lalu maju, untuk menikam satu diantaranya.
Walaupun sudah diancam pedang, si hitam tetap diam mematung Karena itu Siauw pek berlaku sebat, ia membatalkan tikamannya, ia terus menyampok dengan pinggiran pedang itu. Diluar dugaan, orang itu roboh seketika
"Tepat dugaanku," kata Siauw Pek di dalam hati. "Benarkah mereka telah ditotok orang maka juga mereka jadi tak berdaya. Mereka tak bersenjata, pasti dibelakang mereka bersembunyi orang
lain" Maka ia lompat mundur tiga kali. terus ia berkata: "Tuan
pandai dari manakah disana" Silahkan kau keluar menemui aku"
Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban. begitu juga ketika diulangi dan diulangi lagi, hanya si anak muda mendongkol dan berkata nyaring: "Hm, orang macam apakah main sembunyi- sembunyi" "
Baru sekarang terdengar jawaban: "IHm Kau berani mencaci?"
Menyusul itu muncullah orangnya, yang keluar dari antara semak semak di bawah tempat itu. Dialah seorang wanita dengan pakaian serba hijau, yang beraman cantik. Melihat nona itu, Siauw Pek tercengang. "Nona Thio" serunya.
Nona itu tersenyum. Dialah Thio Giok Yauw
"Tak salah?" sahutnya, "Kau masih ingat aku ya?"
"Bagaimana, eh?" tanya si nona, tawar. "Apakah cuma kau yang diijinkan datang kemari dan aku dilarang?"
"Bukan begitu nona" berkata si anak muda "Nona salah mengerti. Aku cuma heran di dalam dunia yang begini luas ini kenapa kita kebetulan bertemu pula ditempat semacam ini disini"
siauw pek melengak. Ia heran sekali sikap orang.
"Sungguh dia nakal" pikirnya. Bagaikan kilat cepatnya, ia melirik kepada dua belas orang berpakaian hitam itu, terus ia bertanya "Nonakah yang menotok jalan darah kedua belas orang ini?"
"Kalau bukan aku, habis apakah kau?" nona itu membaliki. Dia tetap membawa kenakalannya.
"Benar-benar sulit melayani dia" pikir pula sianak muda. Karena tidak tahu bagaimana harus bicara, ia berdiri diam saja. Mata sinona memain.
"Kenapa kau berdiam?" tegurnya. "Apakah kau tak senang melihat aku?"
"oh tidak. tidak. nona" sahut sianak muda.
"Habis kenapa kau tidak mau bicara?"
"Aku bingung, nona. Tak tahu aku bagaimana aku harus bicara" Nona itu tertawa geli.
"Sebab kau sering salah omong, aku jadi tidak senang" katanya. "Kapan aku pernah salah omong nona?"
Nona itu tidak menjawab, hanya dia berkata^ "Kita ini bertemu pula bukannya karena kebetulan, sudah tentu kita bertemu tentu ada maksudnya."
"Kau mencari aku?"
"Ya" "Nona mencari aku, ada pelajaran apakah dari kau, nona?" Thio Giok Yauw mengernyitkan alisnya yang lentik. "Bagaimana?" tanyanya. "Tak bolehkah aku mencari kau ?"
"Pasti boleh, nona Hanya, ada urusan apakah kau mencari aku ?"
"Pasti ada keperluannya," berkata si nona. romannya sungguh sungguh . "Jikalau tak ada urusan, siapakah sudi mencari cari kau?"
Kembali Siauw Pek dibuat bingung. ia berbatuk batuk perlahan-" Jikalau benar ada urusan, nona, katakanlah"
"Siapakah kedua nona itu yang berjalan bersama sama kau itu?"
"oh, kiranya dia sudah lama sampai di sini dan tahu hal kami,"
pikir si anak muda, yang menjawab cepat. "Itulah nona nona Hoan-"
"Siapakah yang tanya she dan nama mereka" Aku hanya tanya kau, dengan mereka itu kau mempunyai hubungan apa dan bagaimana duduknya ?"
"Hebat budak ini," pikir Siauw pek. mengerutkan alis. Lalu ia menjawab hambar. "Kalau bicara, nona, pakailah sedikit aturan..." Tapi si nona tidak senang.
"Kau larang aku bertanya, benarkah" Aku justru menanya dengan jelas "
Wajah Siau Pek berubah menjadi pucat
"Nona," katanya, sungguh sungguh. "nona nona Hoan dengan kau tidak mempunyai budi atau penasaran, kenapa nona menghina sama orang ?"
"Nona buta... Nona buta... Nah, hendak aku memakinya biar kau dengar "
"Jangan terlalu menghina, nona" kata Siauw Pek. gusar. "Walaupun aku sabar akan tetapi ada batasnya"
"Habis kau mau apa?" si nona menantang.
Tepat waktu itu terdengarlah suara nyaring tetapi merdu^ "Bengcu jangan ambil gusar. Memang aku yang rendah buta sejak dilahirkan tidak apa Jikalau orang mencaci aku "
Mendengar suara itu, Thio Giok Yauw menoleh dengan segera. Ia melihat, dari antara pepohonan lebat, muncullah dua orang nona yang cantik sekali.
Siauw pek menghela napas. Lalu ia berkata "Nona Thio ini berbuat keterlaluan, dia tidak memakai aturan, harap nona tidak sependapat dengan dia..."
Mendengar suara Soat Kun demikian suara tadi Giok Yauw sudah merasa malu sendirinya,akan tetapi mendengar suara Siauw pek ini,
dia menjadi tidak senang, Maka dia berkata : "Ia toh dasarnya buta.
Apakah aku mengatakannya salah ?" Soat Kun tertawa hambar.
"Nona, bukankah kita tidak saling mengenal ?" tanyanya. "Kenapa nampaknya nona sangat membenci aku " Mungkinkah pernah melakukan sesuatu kesalahan terhadap nona ?"
Berkata begitu, nona yang lemah lembut ini memberi hormat dengan liamjim, membungkuk sambil merapatkan tangannya. Melihat hal itu, Giok Yauw melengak.
"Kau tidak bersalah apa-apa..." sahutnya "Ini cuma sebab coh "(hilang)"
Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Soat Kun tersenyum "Nona, harap kau tidak salah mengerti " katanya, manis. "coh Siangkong dengan aku pernah tua dengan bawahan..." Giok Yauw heran.
"Tua dan bawahan " Bagaimanakah itu ?" dia tanya
"coh Siangkong ialah Kim Too bengcu dan aku adalah seorang bawahannya."
Nona Thio menatap Siauw pek.
"Kapan kau menjadi kim Too bengcu ?" tanyanya.
Siauw pek masih sebal terhadap sikap kasar nona itu, maka ia menjawab dingin : "Urusan ini tidak ada sangkutpautnya denganmu, nona, tak perlu nona susah-susah menanyakannya "
Paras Giok Yauw menjadi pucat Kembali dia menjadi tidak senang.
"Bagus ya " katanya sengit. "Aku bermaksud baik. aku melakukan perjalanan ribuan lie untuk menyampaikan kabar dan berita berita kepadamu, dan tidak kusangka kau yang bersikap begini lupa terhadapku. Inilah yang dikatakan, anjing menggigit Lu Tong pin. Tidak tahu kebaikan orang"
Begitu ia berkata, nona itu memutar tubuh, buat lari pergi. "Nona tunggu" memanggil Soat kun, nyaring.
Baru Giok Yauw pergi lima atau enam tombak jauhnya, tetapi mendengar panggilan itu ia berhenti berlari.
"Ada apa?" tanyanya dingin seraya menoleh.
Dengan berpegangan pada bahu Soat Gie, Soat Kun bertindak perlahan menghampiri nona itu. sambil berjalan, ia berkata, sabar : "Aku ada kata kata yang hendak diutarakan terhadap nona, aku minta sukalah nona dengar dan memikirkannya." cepat sekali, sampailah nona Hoan didepan Nona Thio.
Giok Yauw dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas sekali. Ia melihat satu wajah yang Cantik luar biasa, cuma matanya yang bercacat. Ia menjadi heran dan kagum.
"Jikalau dia tidak buta," pikirnya. Lalu ia menatap soat Gie dan ini sama cantiknya, yang kalah hanya keayuannya.
"Kami berdua saudara," berkata pula Soat Kun, tetap merdu suaranya, "yang satu bercacat pada matanya, yang lain pada mulutnya. Kamilah orang orang yang kurang sempurna, aku harap nona tidak salah mengerti."
"Salah mengerti apa?" tanya Giok Yauw.
"Salah mengerti mengenai coh Siangkong."
Adalah sering Soat Kun memanggil Siauw pek dengan "siang kong" yang berarti seorang gentleman muda, atau tuan yang dihormati. Dengan arti lalu, siangkong juga panggilan untuk suami.
"Dia tak ada hubungan apapun denganku Aku tak usili dia" berkata Giok Yauw, senang hatinya tak enak... Nona Hoan tertawa pula.
"Nona, Jikalau kau benar tidak salah mengerti, aku undang sukalah kau tinggal bersama kami disini, supaya sudi kiranya kau membantu kami." Tiba tiba Giok yauw merasa mukanya panas. Ia malu.
"Kenapa aku mesti membunuhnya?" tanyanya keras, tetapi bernada manja.
"Nona berkata bahwa nona datang dari tempat jauh ribuan lie, habis, untuk apakah itu?" Nona Hoan tanya.
"Sekarang ini didalam dunia Kang ouw sudah ramai tersiar berita bahwa turunan keluarga coh dari Pek Ho bun sudah berhasil memperoleh kepandaian tinggi, bahwa turunannya itu berniat menuntut balas sakit hati keluarganya, sebab itu pelbagai partai besar sudah mengirim orang orangnya yang lihay untuk turun tangan terlebih dahulu. Karena itu, dunia Rimba Persilatan menjadi berbahaya sekali untuknya. Karena..." Si nona berhenti dengan tiba tiba, tetapi ia tertawa.
"Karena nona tidak ingin melihat dia dicelakai orang, maka juga
dari tempat ribuan lie kau datang menyusul kemari. Betul begitu ?"
"Ya, benar." Nona Thio mengakui. "Aku menempuh bahaya, aku bersusah payah mencarinya, barulah aku berhasil mendapat
keterangan perihal perjalanannya ini, maka aku menyusul kemari.
Tak kusangka, dia tidak mengenal budi, dia tak berterima kasih..."
"nona melakukan perjalanan ribuan lie cuma untuk menyampaikan kabar, itulah maksud yang baik dan mulia sekali," berkata Soat Kun ramah tamah, "akan tetapi sekarang setelah sampai disini dan telah bertemu dengannya, sebelum nona menyampaikan sepatah kata, nona buru buru mau pergi pula, bukankah itu akan menyia nyiakan maksud dan susah payah nona"
"Tapi dia sedikit juga dia tak nampak berterima kasih. Karena itu buat apa aku memperdulikannya lagi?"
"Nona," berkata Soat Kun, "Jikalau nona tak mempersalahkan, ingin aku bicara sedikit, tentang keadilan..."
"Tapi, apakah aku yang bersalah?" Giok Yauw berkata.
"Tidak nona, coh siang kong juga tak bersalah Sebenarnya nona tidak pernah memberi kesempatan berbicara padanya."
Giok Yauw berdiam, otaknya bekerja. Tiba tiba dia tersenyum.
"Ah," Soat Kun segera berkata pula: "Nona rumahku rumah gubuk. pagarku pagar bambu, Jikalau nona sudi, mari singgah barang satu malam disini"
"Apakah tidak ada halangannya?" tanya Giok Yauw tertawa.
"Sama sekali tidak. Silahkan nona masuk. untuk sekalian melihat lihat tinku ini "
"Kalau begitu silahkan nona jalan dimuka."
Soat Kun memutar tubuhnya, maka bersama Soat Gie, la mengajak nona itu masuk,
Pendekar Binal 4 Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen Pendekar Mata Keranjang 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama