Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Bagian 23
Tiba tiba Su Khong Taysu dan pasukannya muncul, mereka itu membentak musuh.
Pemimpin musuh seperti tahu Su Khong Taysu lihay, dia menghindarkan diri, dia menyerbu kebelakang tiangloo itu.
Su Kay menggunakan kesempatan, ia menerobos. Tapi ia toh tercegat beberapa pendeta yang berbareng membacoknya. Dengan satu tangkisan hebat, ia menolong diri, terus ia lompat maju untuk lolos. Semua pendeta itu kaget, sebab golok mereka terpental dan tangan mereka gemetar kesemutan akibat tangkisan hebat itu. Itulah sebabnya, penyerangnya Su Kay bisa menerobos lewat.
Siauw Pek turut menerobos. ia dipegat beberapa pendeta lain, iapun diserang. ia bekerja seperti Su Kay, ia menangkis hebat, terus ia melompat pergi. Dibelakangnya, Ban liang bertiga Oey Eng dan Kho Kong turut menerobos juga.
Rombongan berkerudung itu melihat lowongan yang dibuat oleh Su Kay Taysu, yang mereka tidak kenali, mereka hanya menyangka konco sendiri, mereka menggunakan kesempatan itu, dengan serempak mereka menyerbu.
Su Kay maju terus, berapa kali ia dirintangi tetapi tidak terhalang, hingga berhasil ia melintasi beberapa lapis kurungan. Paling belakang, ia menyerbu kelapis timur selatan. Di sini ia terpegat Su Khong Taysu.
"Apa boleh buat," pikirnya, tak dapat ia memperkenaikan diri. Maka bentroklah ia dengan suheng itu. Su Khong heran waktu keduanya bergebrak. Lawan itu lihay sekali. ia sampai membentak: "Siapakah kau?" Kembali ia memegat.
"Suheng bukalah jalan" kemudian Su Kay berkata kepada suheng itu. Ia menggunakan saluran Toan Im Jip bit.
Su Khong heran- ia tidak segera mengenali sutee itu.Justru itu Su Kay menerobos pergi. la turut Siauw Pek dan yang lainnya.
"Su Seng sutee, pimpinlah barisan kita" berseru Su Khong. "Para sutee, mari turut aku"
Dan ia lari, mengejari Su Kay semua.
Tengah ia lari itu, Su Kay mendengar suara Siauw Pek, yang lari disisinya: "Taysu, buka jalan, Kasih mereka mendahului"
Mulanya pendeta itu heran, tetapi sekejap ia sadar, maka lekas lekas ia berpura ia tersusul dan menjadi ketinggalan
Rombongan dari tiga puluh lebih orang berkerudung itu kabur kearah barat laut, Su Kay beramai ramai mengikuti. Dibelakang mereka Su Khong mengejar bersama enam adik seperguruannya. Kedua belah pihak terpisah belasan tombak. Sesudah melewati kaki bukit, terpisah sudah mereka dari medan pertempuran"Keselatan" tiba tiba seorang berseru, terus ia melompat mendahului. Dia bertubuh jangkung kurus. Dia itu segera membuka jalanSu Kay perhatikan orang itu, ia tidak mengenali. orang itu jangkung kurus dan rada bongkok. larinya sangat pesat. Mungkin dia bukan orang Siauw Lim Sie. Ketika ia menoleh kebelakang, ia melihat Ban Liang, tetapi Siauw Pek bertiga Oey Eng dan Kho Kong entah kemana...
Tengah berlari lari itu, seorang terdengar napasnya memburu, lekas juga dia ketinggalan dibelakang. Dia mengenakan baju abu abu.
Dibawah terangnya bintang Su Khong memperpesat larinya mengejar orang itu, selekasnya ia sudah menyandak. ia menghajar dengan tongkatnya kepada punggung lawan-Pendeta didepan itu
menjerit, dia roboh, mulutnya memuntahkan darah. Tapi, belum lagi
tubuhnya jatuh ketanah, Su Ie sudah menyandak dan menjambret.
Dengan sebat Su ie menggeledah tubuh orang itu, ia tidak memperoleh apa apa. ia memegang mencari kitab rahasianya. Karena ini ia melempar tubuh orang itu ketepi jalan, membiarkannya roboh terguling, ia sendiri segera lari terus kedepan, akan menyusul kakak seperguruannya .
Su Khong Taysu mengejar dan menghajar musuh, setelah musuh sudah roboh atau terguling, ia meninggalkannya, ia membiarkannya kawan kawannya yang mengurus. Inilah siasat untuk menang tempo, supaya ia bisa menghajar semua musuh yang lari kabur itu. Kalau ia sendiri turut mengurus kurbannya, musuh musuh lainnya nanti keburu lolos. Demikianlah barusan, Su Ie yang mengurus kurban kakak seperguruannya itu.
Sementara itu Siauw Pek, yang mencampurkan diri diantara rombongan itu, sempat memperhatikan kawan kawannya. begitulah, dengan saluran suara Toan Jip bit ia memesan Oey Eng dan Kho Kong senantiasa mendampinginya, agar mereka tidak terpencar satu dengan lainDisebelah depan, kembali Su Khong Taysu menghajar musuh yang tercandak olehnya, setelah musuh itu roboh, ia meninggalkan pergi.
Tiba tiba siorang jangkung kurus berseru^ "Lekas" dan larinya dipercepat.
Su Kay melihat dan mendengar, ia pula melihat tempat disebelah depan mereka. Itulah sebuah rimba yang lebat.
Justru itupun terdengar teriakan bengis, dari Su Khong Taysu:
"Jikalau kamu tidak berhenti lari, jangan kamu sesalkan loolap"
Menyusul bentakan Su Khong itu, mendadak terdengar suara berisik dari dalam rimba dari mana muncul kira kira sepuluh orang yang berkerudung hitam pada kepala dan mukanya.
Su Khong Taysu gusar dan bingung. Ia segera berseru: "Sutee sekalian, lekas hajar semua musuh yang kabur itu" Dan iapun berlompat seraya menggunakan tongkatnya.
Seorang berkerudung hitam menjerit keras dan tubuhnya roboh, jeritannya tertahan karena kepalanya pecah dan polonya berantakan. "Dia seperti It Seng" Su Khong berseru. "Sekalian sutee, geledah dia"
Su Lut berlompat maju, paling dahulu ia merobek kerudung orang, hingga ia mengenali, orang itu benar benar It Seng murid Siauw Lim Sie dari huruf "It" seperti It Tie dan It ceng. Ketika ia menggeledah tubuh mayat, ia tidak mendapatkan apa apa.
Su Khong maju terus, bersama sama Su ie dan Su Beng ia
sampai dipinggir rimba. Bertiga mereka itu melakukan penyeranganSiauw Pek mendengar suara hebat dari anginnya peribagai tongkat, ia terus berlaku waspada. Kalau perlu, ia menangkis buat membela diri.
Tiba tiba........... "Lekas lari Aku yang akan menghadang lawan"
Itulah teriakan satu orang, yang lompat keluar dari dalam rimba.
Siauw Pek lompat kesisi, hingga ia melihat orang itu, yang berkerudung, benar benar menghalang didepan para pengejar. Hingga kedua belah pihak lalu bertempur didepan rimba itu diantara langit suram.
Sempat Siauw Pek melihat penghadang itu. Dia bukannya seorang pendeta, karena dia tak mengenakan jubah suci. Ia tidak mau menonton, ia meninggalkannya pergi.
Dengan lekas mereka melintasi rumba, hingga mereka menjadi berada dijalanan terbuka. Tengah mereka berlari lari, orang tadi, yang bertubuh jangkung kurus, tampak lari menyusul, terus dia lari kearah selatan.
Berlari lari tak ada setengah jam, tibalah mereka dijalan bercagak
tiga disitu dari tepi jalan mendadak orang melompat keluar dari
semak rumput tebal. Dia berkerudung hitam. Dia berseru : "Ke kiri"
Mendengar suara orang itu, si jangkung kurus mengajak kawan kawannya lari kearah kiri yang ditunjukkan itu.
Selagi Siauw Pek lewat disisi orang yang baru muncul itu, yang menunjuk jalan, ia menoleh maka ia melihat bahwa didalam semak rumput itu ada sinar banyak golok Jadi disitu ada bersembunyi banyak orang.
Su Kay Taysu dan Ban Liang juga dapat mendengar dan melihat seperti Siauw Pek, keduanya kagum untuk persiapan Seng Kiong sin Kun Si "Raja Sakti", sin Kun pandai bekerja dan banyak juga orang orangnya.
Ketika itu terang pihak yang lari kabur ini sudah letih sekali, sebagaimana napas mereka terdengar memburu. Karena ini sijangkung kurus kemudian memperlahan larinya.
Sedikit disebelah depan, kembali satu bayangan orang terlihat lompat muncul dari tempat sembunyi disisi jalan itu. Dia ini tidak cuma berkerudung hitam, juga pakaiannya hitam mulus. Berdiri ditepi jalan, dia tampak bagaikan hantu. Dengan tangan kirinya menunjuk jalan kecil disisinya, dia berkata seram: "Lari ke arah barat. Disana ada lentera pertanda"
Semua orang menurut, semua lari kejalan kecil itu.
Itulah jalan yang membawa orang kesebuah tanah pekuburan. orang menjadi bingung. Tapi segera juga mereka melihat api lentera dikanan mereka, maka kesanalah orang lari menuju. Sijangkung kurus tetap lari paling depanApi lentera itu berlari lari disebelah depan jaraknya dua puluh tombak lebih. orang tak dapat lari mendekatinya. Kemudian api tampak mendaki. Tanpa terasa, tibalah orang dikaki sebuah bukit kecil. Tetap orang lari mengkuti maka merekapun mendaki bukit itu.
Dilain saat, sirnalah api lentera itu. Ketika itu, orang bagaikan telah habis tenaga. Semua berhenti berlari, semua napasnya turun dan naik tak hentinya, perlahan lahan.
Seorang pendeta yang berjubah abu abu telah menyingkirkan
tutup kepalanya. Ia menyusuti peluhnya yang membasahi mukanya.
Su Kay dan Coh Siauw Pek terperanjat selekasnya mereka melihat wajah orang. Mereka mengenali. Pendeta itu ialah ji ceng, sutee dari It Tie si ketua Siauw Lim Sie yang buronan itu.
Hanya sebentar, It ceng sudah mengenakan pula kerudungnya.
Su Kay segera melihat kesekitarnya, ia mencari It Tie Taysu Ia menerka ketua itu berada didalam rombongan mereka.
Tempat dimana mereka itu berhenti bukannya dipuncak bukit, hanya tanah datar disampingnya,jadinya ditengah tanjakan. Diantara pohon Cemara dan pek. tampak sebuah kuil yang pintu halamannya terpentang, dikiri dan dikanan pintu berdiri masing
masing seorang yang berpakaian hitam, kepalanya terbungkus
kerudung hitam juga , punggungnya membekal pedang panjang.
Sijangkung kurus mengawasi kearah kedua orang itu, didalam hati dia berkata: "Diantara kelima tong dari Seng Kiong, cuma orang orang chee liong Tongcu yang mengenakan pakaian hitam, yang membekal pedang panjang dipunggungnya, maka itu mustahilkah chee liong Tongcu yang menanti disini memapak kami?"
Karena memikir begini, ia lalu berkata pada rombongannya, suaranya perlahan: "Yang mulia chee liong Tongcu berada disini, kalian harus berhati hati, supaya kalian jangan berlaku kurang hormat"
Habis berkata itu, dia mengulapkan tangan- Kemudian dia mendahului bertindak maju.
Su Kay Taysu dan Siauw Pek kecele mendengar keterangan halnya chee liong Tongcu, atau kepala dari ruangan (tong) Naga Hijau (chee liong).Jadi disitu tak ada Seng Kiong Sin Kun sendiri.
Suasana dikuil itu sunyi tetapi nampaknya tak terhindari ancaman bencana, selagi cahaya bintang bintang dilangit suram, angin gunung bersilir silir, membuat dahan dan daun daunp ohon cemara dan pek memperdengarkan suaranya.
Tiba dipintu halaman, semua orang memandang kedalam, sampai dimuka pendopo, tampak tergelar jalan batu yang terhampar rapih. Di tepi jalan itu terdapat berbaris kira kira lima atau enam puluh orang berpakaian serta berkerudung hitam, semua berdiri diam tetapi dengan waspada.
Sijangkung kurus beramai maju terus sampai didepan tangga.
Disini dia berhenti didepan tangga pertama dimana terlihat empat anak perempuan dengan bercela hitam sebagai hitam juga bajunya. Dua yang ditengah bertangan kosong, yang dikiri dan kanan membawa masing masing sebuah nampan dengan isinya ialah sebuah thee koan serta dua buah cangkirnya.
Mulanya sijangkung kurus melengak sedetik, lalu dia menjura
kerah toa tian, pendopo besar itu, seraya berkata "Uh bun ceng,
pengiring pribadi sin Kun, mohon menghadap chee liong Tongcu "
"Ah, kiranya dia Uh bun ceng," kata Siauw Pek didalam hati. Ia kecewa.
Salah seorang nona itu berkata "Tongcu memerintahkan supaya semua orang disuguhkan masing masing secawan air teh, habis minum baru semua boleh datang menghadap "
Hati Uh bun ceng tidak tenang. "Nona..." katanya tertahanNona itu tertawa tawar, terus dia berkata seram: "Benarkah kau Uh bun ceng pengiring pribadi dari sin Kun?"
Sijangkung kurus melengak.
"Memangnya aku yang rendah mempunyai berapa batok kepala maka juga aku berani memalsukan diri sebagai pengiring pribadi Sin Kun?" katanya setelah dia sadar.
Kembali si nona serba hitam itu tertawa dingin- Katanya "beranikah kau bertanggung jawab bahwa diantara orang orang rombonganmu ini tak ada mata mata musuh didalamnya?" Uh bun ceng tunduk.
"Aku yang rendah tak berani bertanggung jawab," sahutnya. Lagi lagi si nona tertawa dingin"Kalau kau benar pengiring pribadi sin Kun, kaulah si emas tulen yang tak takut api. Mustahilkah kau takut Tongcu kami memfitnah padamu?"
"Tak berani hambamu menerka demikian," sahut Uh bun ceng ragu ragu.
Dari dalam rombongan tiba tiba maju seorang berkerudung hitam yang mengenakan jubah hitam panjang, sambil menjura dia berkata: "Aku yang rendah suka menerima hadiah dari chee liong Tongcu"
"cerdas dan gagah, itulah baru orangnya Sin Kun" berkata si nona baju hitam. Dan ia mengangsurkan secawan teh.
Cawan itu tidak besar, isinya juga cuma separuh dan masih hangat.
Orang itu menyambut dengan kedua tangannya, terus dia menghirup kering isinya, setelah mana, cawan itu dia mengangsurkannya kembali.
Si nona menyambut cawan kosong itu, terus ia bertindak minggir, membuka jalanOrang itu memberi hormat, dia bertindak maju, memasuki pendopo hingga dia tak tampak lagi.
Menyakskan contoh orang itu, Uh bun ceng bertindak maju. Ia meluncurkan kedua tangannya, menyambut cawan teh, untuk minum isinya, sesudah mana ia pun bertindak maju. Habis Uh bun ceng, seorang pula maju dan minum teh, terus ia berjalan masuk. setelah itu yang lainnya lalu meniru, semua memasuki toa tianJumlah rombongan ini kira kira tiga puluh orang, diantaranya sepuluh lebih murid murid Siauw Lim Sie yang turut it Tie berontak mendurhaka terhadap partainya. Mereka semua menjadi orang orang kepercayaan ketua yang murtad itu. Mereka termasuk orang orang Seng Kiong Sin Kun tetapi tidak seCara langsung. Belasan orang lainnya terdiri murid murid atau anggota lain lain partai, mereka sama seperti Ouw Bwee dan kawan kawannya. Mereka termasuk orang Seng Kiong Sin Kun sendiri, sekalipun ketua kelima tong belum pernah mereka lihat.
uh bun ceng memang pengikut pribadi dari seng Kiong Sin Kun, tetapi Istana Nabi banyak aturan yang tersendiri, anggota atau anggota anggota dari satu tong sukar berhubungan dengan anggota atau anggota tong lainnya.
Maka itu, ia tidak kenal tidak dikenal oleh orang orang chee liong Tongcu ini. Karena itu, terhadap mereka dikenakan kemestian
minum teh itu. Tadi, orang yang pertama meminum teh, dia
memang orang chee liong Tong orangnya chee liong Tongcu sendiri.
Bahwa air teh itu tercampurkan semacam obat itulah tak disangsikan pula, hanya ketika obat itu rupanya tak ada racunnya.
walaupun demikian, teh itu menyulitkan rombongan Siauw Pek atau
Su Kay Taysu. Buat orang Sin Kun, minum racun tak ada artinya,
Tidak demikian bagi Siauw Pek beramai. Mereka mata mata, mereka mengandung suatu maksud, kalau mereka keracunan, itu berarti kegagalan
Tiga puluh orang itu terpecah dalam dua rombongan, mereka maju minum dengan gerak gerik perlahan.
Diam diam Siauw Pek bicara dengan saluran Toan Im Jip bit kepada Su Kay Taysu:
"air teh itu mesti tercampurkan racun racun kalau bukan racun keras, sedikitnya obat yang dapat melenyapkan kesadaran diri, meskipun isinya cuma setengah cawan, itulah berbahaya untuk kita. Bagaimana kalau kita tidak sadar atau kehilangan tenaga kita?"
Su Kay menjawab: "Bagaimana kalau kita tidak minum itu" Pasti rahasia kita terbuka. Bukankah sia sia belaka usaha kita yang baru separuh ini?"
"Apakah taysu membawa obatpemunah racun?" tanya Siauw Pek.
"Sayang loolap tidak membekalnya..." sahut Su Kay. "Kini terpaksa kita mesti minum cu setelah dapat masuk, kita kumpulkan air teh itu disatu tempat, perlahan lahan kita berdaya untuk memusnahkannya..."
Siauw Pek berpikir keras^ "Dia mahir tenaga dalamnya, dia tidak usah kuatir. Aku dan Ban Liang juga mungkin dapat bertahan- Bagaimana dengan Oey Eng dan Kho Kong?" Ketua ini menjadi bingung sekali. Giliran mereka akan lekas tiba.
Seorang tua yang bertubuh kurus dan kecil sudah menyambut teh, habis dia minum, dia bertindak masuk. Untuk minum teh, dia
mesti menyingkap sedikit kerudungnya seperti semua orang lainnya
dan memberi hormat, baru dia bertindak masuk. Tiba tiba: "Saudara, jalanlah baik"
Demikian terdengar sinona serba hitam itu, yang suaranya
dalam, berbareng dengan mana sebelah tangannya dilayangkan.
"Buk" begitu terdengar satu suara nyaring, suara tangan halus itu menghajar punggung si tua kurus dan kecil itu, sehingga hampir dia jatuh berlutut. Apakah yang sudah terjadi"
orang tua itu bercuriga, dia ragu ragu. Dia minum air teh tetapi tidak segera ditelan. Terang dia memikir untuk memuntahkannya di lain kesempatanTapi sinona bermata jeli, ia melihat, maka lalu menghajar serangan itu tidak hebat tapi secara mendadak sekali. Si tua kaget, hampir dia berseru. tanpa terasa, air tehnya itu kena tertelan- Dia malu, dia ngeloyor cepat.
Melihat kejadian itu, orang tersenyum, tapi Siauw Pek, pemuda ini menahan napas. Diluar dugaannya, nona itu bermata liehay.
Ban Liang berada di belakang sang bengcu, tiba tiba ia berbisik: "cepat totok jalan darahnya orang didepan bengcu itu"
Siauw Pek heran hingga dia melengak, tapi ia bermata jeli, maka ia melihat, tangan orang di depannya itu merogo saku. Tanpa bersangsi bahkan dengan sebat, ia menotok orang itu. Perbuatannya ini tak ada yang lihat sebab perhatian orang banyak lagi dicurahkan kepada si tua kurus dan kecil tadi.
Karena kena tertotok, orang itu jari berdiri diam tanpa berkutik.
"Lekas ambil barang dalam sakunya itu" Ban Liang bisiki pula Siauw Pek.
Bengcu itu tertawa dalam hati mengingat kecerdikan sijago tua. Ia lantas bertindak maju, dengan disengaja, ia kena bentur tubuh orang yang ia totok itu, berbareng dengan mana tangannya bekerja, merogo saku orang, buat mengambil isinya ialah sebuah peles batu hijau, yang dia teruskan kepada Ban Liang.
Jago tua itu dengan cepat memeriksa isi peles, ialah enam butir pil. Sebutir pil ia perhatikan. Pil itu berwarna merah, ada gubahnya, ada baunya sedikit. Tiba tiba ia menjadi girang katanya didalam hati: "Inilah obat pemunah racun Hwee Kut Tan dari partai Tiam cong Pay. Baiklah aku coba,"
Terus ia menelan sebutir, sedang dua lainnya, ia angsurkan kepada Oey Eng dan Kho Kong. Dua saudara ini memang sedang bingung memikirkan teh itu, yang mencurigakan hati mereka, seterimanya pil, segera mereka menelannya.
Siauw Pek juga bingung. Itu waktu, lagi lima orang, akan tibalah gilirannya. Maka iapun girang ketika Ban Liang memberikan ia dua butir pil. Tanpa bersangsi, ia telah yang sebutir, sedangkan sebutir lainnya, setelah ia memberi isyarat, ia sentilkan kepada Su Kay
Taysu. Pendeta ini mengenali pil itu selekasnya ia melihat
macamnya, iapun dengan tidak ragu ragu lagi segera menelannya^
Tiam cong Pay adalah partai yang berkedudukan diwilayah selatan, barat daya. Diwilayah itu banyak terdapat binatang berbisa,
maka partai itu membuat pilnya itu Hwee Kut Toan pil, Tulang Api guna menolong diri dari ancaman racun atau bisa binatang itu,
bahkan pil itu tersohor kemujarabannya, maka taklah heran Su Kay
Taysu, pendeta dari Siauw Lim Sie itu, mengenalnya dengan baik.
Segera juga didepan Su Kay Taysu tinggal dua orang dan didepan Coh Siauw Pek tiga orang. Karena jumlah itu, yang tinggal sedikit, si nona berseragam hitam lantas mendapat lihat ada salah seorang yang berdiri diam saja. Dia segera memberitahukan hal itu kepada kawannya, si nona berseragam hitam lainnya.
"Sebentar kita mengurusnya," berkata kawan yang diberitahukan itu, yang tertawa tawar.
Lantas tiba giliran Su Kay Taysu. Dia disodorkan cangkir teh, dia menyambuti, dia meminumnya tanpa bersangsi sedikit juga . Toa tian makin gelap. sampai sukar melihat lima jeriji tanganTiba tiba Su Kay melengak. Ia mendengar suara nyaring sinona: "Jalan kekiri " Tanpa bersuara ia jalan kekiri. Tiba tiba pula. "Berhenti " demikian suara sinona tadi. Ia berhenti pula. Didalam gelap petang itu, samar-samar ia melihat sebuah meja panjang diatas toa tian seseorang duduk dibelakang meja itu. Disebelah kiri orang itu berdiri pula enam orang lainnya. Kecuali orang yang duduk dibelakang meja itu, semua yang lainnya membekal pedang dipunggungnya masing masing. Rombongan Su Kay Taysu terpecah dua, terpisah sejarak setombak.
Diujung kiri meja, seorang yang berdiri yang bertubuh kecil, mirip seorang wanita yang menyamar sebagai seorang laki laki, memerintah: "Berjalan kekanan "
Su Kay Taysu, yang melihat seorang muncul dimulut toatian, dia
tampak seperti bayangan. Atas perintah itu, dia berjalan kekananWanita itu berdiri disebelah dalam, dia dapat melihat keluar karena bantuan cahaya bintang yang suram. orang dari luar, sebaliknya sukar melihat padanya. Dia yang menyuruh orang orang yang masuk itu, berdiri menjadi dua baris.
Su Kay Taysu yang mahir tenaga dalamnya, dapat melihat cukup jelas. orang membagi dua baris an dari rombongan itu, karena para pendeta dipisahkan dari orang bukan pendeta. Sementara itu diam diam ia menyalurkan pernapasannya. Ia merasa lega, pernapasannya itu tidak ada rintangannya. Jadi air teh tadi tidak mengganggunya.
Siauw Pek muncul masuk. diapun dipisahkan- Muncul pula Ban Liang, Oey Eng dan Kho Kong
Dilain saat, telah masuk semua tiga puluh orang lebih itu, semua berkumpul didalam toa tian, pendopo besar itu.
Menyusul itu, terdengar tindakan kaki yang ramai. Kiranya orang orang berseragam hitam yang bersenjatakan pedang dari luar tadi pada masuk kedalam ruang, mengatur diri diempat penjuru, menutup semua jalan keluar pendopo.
JILID 45 Dua orang nona kecil berseragam hitam muncul dengan membawa lentera.
Mereka diikuti oleh dua orang nona lain, yang mengapit si anggota Tiam Cong Pay yang tadi tertotok Siauw Pek. Dia diantar kedepan meja. Pendopo besar itu sunyi sekali.
Kedua nona yang membawa lentera maju pula beberapa tindak. terus mereka berdiri diam, berdiri dikiri dan kanan, lentera mereka diangkat tinggi hingga cahayanya menyinari muka Su Kay Taysu dan Coh Siauw Pek sekalian. Dengan begitu, selagi orang lain melihat tegas pada mereka, mereka sebaliknya silau melihat orang orang lainnya.
Kedua nona, yang mengapit anggota Tiam Cong Pay yang tertotok itu, satu antaranya melaporkan: "harap diketahui, orang ini
berdiri diam didalam rombongannya, dia telah ditotok oleh kawannya, entah siapa."
"Ilmu totok itu ilmu golongan apa?" tanya orang yang duduk dibelakang meja itu.
"Ilmu totok biasa saja"
"Bebaskan dia dari totokan, biar dia bicara" demikian perintah orang dibelakang meja itu.
Si nona menepuk, membebaskan orang itu. Tapi setelah itu, ia menotok lagi.
Semua mata diarahkan kepada orang itu, yang tak tampak wajahnya sebab dia memakai kerudung kepala dan muka yang berwarna hitam. orang hanya menerka dengan melihat Cara berdandannya serta senjata yang dibawanya.
Su kay dilain pihak tak bisa melihat wajah orang dibelakang meja itu. Dia bertubuh kecil, dilihat dari potongan tubuhnya serta suaranya mestinya dia seorang wanita, bahkan usianya tentu belum lanjut.
Semua orang menerka orang itu ialah chee Liong Tongcu, Cuma Uh bun ceng yang tahu bahwa dia itu bukanlah pemimpin dari
Ruang Naga Hijau chee Liong Tong sebab chee Liong Tongcu adalah
seorang lelaki cuma, iapun tidak kenal wanita ini siapa adanya.
"Kasih tahu namamu" demikian wanita itu memerintahkan si
anggota Tiam chong Pay ya baru dibebaskan dari totokan itu. "Cie Sun dari Tiam chong Pay," sahutnya orang itu.
"Pernah apakah kau dengan cia Po Sie?" si wanita itu bertanya pula.
"Dia adalah Ciangbun suhengku."
Jadi dialah sutee, adik seperguruan, dari cia Po Sie, ketua Tiam cong Pay yang namanya disebut itu.
"Kaulah murid Tiam chong Pay, kenapa kau tidak membekal pedang?"
"Selama bertempur tadi, pedangku terhajar patah oleh tongkat Su Lut Taysu."
"Tiam chong Pay jauh diwilayah Barat laut, kenapa kau datang ke
wilayah Tionggoan ini dan bahkan turut didalam pertempuran?"
"Sebenarnya aku pergi ke Hie ciang mengunjungi sahabat, tiba tiba aku menerima titah ketua ku buat pergi menyambut it Tie
Taysu, membantu dia meloloskan diri. It Tie Taysu, ketua Siauw Lim
Pay, sudah buron dengan membawa kitab kitab pusaka partainya." "Kemudian bagaimana ?"
Cie Sun melengak sejenak, baru dia menjawab: "Titah ketua kami itu cuma menyuruh ia menyambut it Tie Taysu."
"Takkah dia memesan buat bertindak dengan melihat selatan,
supaya kalau ada kesepatan merampas kitab kitab pusaka itu?" "Tidak."
Walaupun dia menyahut demikian maka Cie Sun toh bersemu merah.
"Tahukah kau hubungan diantara Tiam cong Pay dan Seng Kiong kami?"
Nampak Cie Sun terkejut dan kuatir, tapi dia menjawab: "Aku cuma tahu keduanya mempunyai hubungan kerja sama, entahlah jelasnya."
"Kau telah tiba disini, kenapa kau kena orang totok ?" "Aku terbokong selagi aku kurang waspada."
"Kenapakah orang totok padamu?" suara si nona menjadi perlahan.
"Mungkin karena aku membawa obat partaiku..." "Apakah itu obat Hwee Kut Tan?"
"Benar." Wanita itu tertawa dingin.
"Mungkin kau menyiapkan obatmu itu buat menjaga kalau kalau air tehku ada racun. Benar atau tidak ?"
Tampak Cie Sun takut sekali.
"Itulah ketololanku sesaat, harap Tongcu memaafkan."
Lalu si wanita berkata dingin: "Kau berani menentang perintah. Hmm Buat apa kau dikasih hidup lebih lama pula?"
"Aku tak minum obat itu. Tongcu..." kata Cie Sun, sangat ketakutan, "Adalah pencuri itu"
"Akan Punco urus itu" berkata si wanita, tetap dingin- Dia membahasakan dirinya "punco", sebutan diri atasan buat bawahannya. "Sekarang kau mundur dahulu"
Meski ia berkata demikian, kepada bawahannya dia memerintahkan: "Bereskan dia "
Seorang wanita disisi meja menggerakkan tangan kanannya, satu sinar kuning emas lantas berkeredep berkelebat. Hanya sekejap. sinar itu lenyap. Tapi menyusul itu, Cie Sun menjerit tertahan, terus kepalanya teklok sebatas lehernya, karena jiwanya telah melayang pergi.
Kematian sedetik itu membuat toatian bagaikan terlebih sunyi lagi. Semua orang heran dan terperanjat. Itulah sungguh suatu keputusan, atau tindakan, sangat getas. segera si wanita dibelakang meja memanggil. "Uh bun ceng "
"Aku yang rendah disini " sahut orang she Uh bun itu, hatinya berguncang.
Dengan suara dingin bagaikan es, wanita berkerudung muka itu berkata pula. "Apakah rombenganmu ini semua kau yang membawanya?"
"Benar aku yang muda yang mengajaknya."
"Mana It Tie ?" Suara si wanita tetap dinginUh bun ceng melengak, tetapi lekas dia menjawab, "Siauw Lim Pay itu hebat sekali dan kami semua justru terkurung di dalam Lo Han Tin..."
"Hm" si nona memotong. "It Tie tidak ada, tidak apalah. Nah, mana kitab kitab pusakanya"
Uh bun ceng berpikir keras, "Dia bukannya chee Liong Tongcu, perlu aku tahu terlebih dahulu siapakah adanya dia."
Diapun berpikir cepat. Terus dia menjura Katanya perlahan:
"Maafkan aku yang rendah. Aku mohon bertanya kepada siangco..." "Siang co" itu ialah panggilan kepada atasan.
Wanita itu tertawa dengan nada tawar.
"Benarkah kau begini bernyali besar?" tegurnya. "Hendak aku belajar kenal" Terus ia menoleh kepada wanita disisinya untuk memerintahkan: "coba buka perutnya, hendak aku melihat berapa besar nyalinya "
"Baik" sahut si wanita berseragam hitam.
Uh bun ceng sangat kaget. Ia melihat, sambil menyahuti itu, untuk menerima perintah, si wanita sudah lantas menggerakkan tangannya. Dalam kagetnya itu, dengan sebat ia menekuk kedua kakinya untuk berlutut, sedang mulutnya mengucapkan, "Maaf, aku yang rendah harus mati. Aku..."
Wanita itu memotong^ "Kau tahu kau harus mati, apa lagi kau hendak bilang ?"
Orang she Uh bun itu berpikir cepat. Biar bagaimana, saat seperti
ini, aku harus bersabar, jikalau tidak aku pasti akan mati konyol..."
Karena ini, lekas lekas berkata dengan sikap dan nada mohon dikasihani. "Aku yang rendah bertindak tak selayaknya, aku telah menentang siangco, memang aku harus mati tak berani aku
membilang apa apa lagi. Aku yang rendah cuma memohon belas kasihan supaya siangco melepas budi membebaskanku dari kematian sekali ini, pastilah aku akan sangat berterima kasih dan bersyukur."
Wanita berkerudung itu berkata dingin: "coba kau bernafas, coba salurkan itu dari peparu hoat keng hingga ke nadi jim me Lihat, ada apakah yang luar biasa?"
Uh bun ceng terperanjat. Segera ia menyalurkan nafasnya. Lantas ia menjadi kaget sekali. Ia merasakan sangat nyeri diantara dada dan perutnya, bagaikan disayat sayat. Tanpa merasa ia meintih rintih dan peluhnya membasahi seluruh tubuhnya
Menyusul perubahan Uh bun ceng itu, maka ruang pendopo itu menjadi berisik dengan rintihan- Semua orang mendengar dan mengawasi gerak gerik orang she Uh itu, karena dia menyalurkan napasnya, lain lain orang tanpa merasa meniru sendirinya, siapa tahu, selekasnya mereka bernapas, nyerilah perut mereka, bahkan Su Kay Taysu dan Coh Siauw Pek tidak terkecuali.
Dengan semangatnya bagaikan terbang, Uh bun ceng lalu berkata. "Harap diketahui..." Tapi dia segera dipotong oleh kata katanya si wanita, yang berkata. "Tak usah kau banyak bicara lagi. Mengingat kaulah pengikut pribadi Sin Kun, tak aku tarik panjang pula kesalahanmu ini. Nah kau telanlah obat pemunah raCun, habis itu kau melihat kebelakang pendopo, siapa disana"
Berkata begitu, wanita itu menyentilkan sebutir tablet, yang keCil seperti kacang hijau.
Uh bun ceng menyambuti bagaikan dia menerima mustika, dengan segera dia menelannya sambil berpikir. "Mestinya chee Liong Tongcu berada dibelakang pendopo ini..." Maka juga , habis berpikir, terus dia pergi kebelakang pendopo itu.
Rata rata didalam ruang itu rombognan Uh bun ceng ini terserang rasa takut mati. Aneh racun itu. Siapa tidak menyalurkan napasnya dia tak merasakan sesuatu yang berbeda, tapi asal dia
bernapas, terus dia merasa perutnya nyeri sekali. Siapapun menjadi tak tenang hati, memikirkan kapan saat ajalnya tiba...
"It Tie" tiba tiba si wanita berkata nyaring.
Semua orang segera saling melihat satu sama lain, akan tetapi tidak ada yang dapat melihat wajah muka, karena semua muka tertutup kerudung hitam. Mereka pula berdiam semua, maka juga teranglah diantara mereka tidak ada ketua Siauw Lim Sie itu...
Si wanita menanti sekian lama, karena tidak ada yang menjawab, ia berkata pula: "Para pendeta Siauw Lim Sie, semua bukalah kerudung kalian"
Suara itu dingin dan seram, bagaikan suara dari neraka. Hati orang guncang mendengarnya.
Para pendeta berbaris dikiri, mendengar suara itu, untuk sejenak mereka beragu ragu, lalu beberapa diantaranya segera membuka tutup kepalanya. Hanya sebentar, karena ada contoh itu, yang lainnya turut membuka kerudungnya itu.
Su Kay turut menyingkirkan tutup kepalanya. Ia sudah berpikir, kalau ia sendiri yang menentang perintah, ia bakal dicurigai hingga entahlah apa ekornya bantahannya itu.
Didalam sekejap maka ruang itu bagaikan tertambahkan sembilan belas orang berkepala gundul, bahkan pada batok kepala mereka bukanlah pendeta pendeta dari tingkat rendah.
"Nyalakan obor" terdengar pula suara si wanita.
Sejumlah orang yang membekal pedang segera bekerja, maka pada lain detik, belasan obor sudah menggenciang dengan apinya yang terang benderang membuat toatian itu menjadi tampak nyata tegas sekali.
Masih hati orang tak tenang, semua mengawasi si wanita, untuk mendapat tahu apa pula titahnya terlebih jauh.
"It Tie" berseru pula si wanita.
Para pendeta itu terperanjat. Didalam hati, mereka menerka tentulah diantara mereka ada ketua mereka itu, yang namanya disebut berulang ulang. oleh karena itu, mereka lantas saling menoleh.
Ternyatalah It Tie Taysu tidak ada di antara mereka, yang kedapatan ialah Su Kay Taysu, salah satu tiangloo. Mereka itu menjadi kaget, siapa berada dekat tiangloo itu lantas minggir sendirinya. Bukan main takutnya mereka.
Sendirinya orang gentar terhadap Su Kay Taysu sebab kecuali menjadi tiangloo ia dikenal untuk kejujuran, ketaatannya kepada agama, hingga disamping dihormati orangpun takut terhadapnya. orang takut sendirinya karena sipendeta tak disangka sangka berada didekat mereka
Su Kay Taysu sebenarnya tidak memikir apa apa terhadap mereka itu, akan tetapi kapan ia melihat It ceng, dengan sendirinya ia bergerak. meluncurkan tangan menyambar pendeta huruf "It" itu untuk dibekuk
It ceng terkejut dan jeri, wajar saja ia lompat mencelat, menyelamatkan diri dari sambaran itu. Su Kay liehay, dia juga liehay. Hanyalah saja, untuk berlompat, dia mesti menyalurkan napasnya. Justru dia bernapas, terasalah nyeri pada perutnya, hingga geraknya menjadi ayaL. Maka kenalah dia dicekap tiangloo itu.
Didalam sekejap. kacaulah toatian itu. Kacau disebabkan ketakutan para murid Siauw Lim Sie itu. Yang memulainya ialah seorang pendeta yang mendadak melompat untuk lari keluar pendopo.
"Kau hendak lari kemana?" membentak menegur seorang
berseragam hitam sambil dia menghadang dengan tikamannya .
"Aduh" menjerit si pendeta, yang dadanya kena tertikam, hingga darahnya mengucur keluar, tubuhnya menyusul roboh terkulai.
Pendeta pendeta yang lainnya pada berlompat juga tetapi begitu mereka berlompat untuk kabur segera nyerilah dada dan perut mereka.
Su Kay tak menjadi kecuali ketika ia menawan It Ceng, iapun merasakan nyeri.
Si wanita berseragam hitam berlaku tenang, dengan keren dia berseru: "Kamu semua denga. Jikalau kamu tidak takut mampus, teruslah kamu berlari lari. Jikalau kamu menyayangi jiwa kamu lekas berlaku tenang untuk menantikan keputusan"
Besar pengaruh kata kata itu, didalam sekejap. berdiamlah semua orang hingga ruang menjadi sunyi dan tenang kembali.
Hanyalah saja, diantara sinar obor, tampak mereka itu beroman
takut. Semua mata diarahkan kepada si wanita dan Su Kay Taysu.
Wanita itu melihat suasana dia mengerti keadaan. Dengan sinar mata dingin, dia mengawasi tajam kepada tiangloo dari Siauw Lim Sie itu.
"Kau siapa kah, taysu?" demikian tegurnya, suaranya perlahan. Su Kay berlaku tenang.
"Loo lap Su Kay dari Siauw Lim Sie," sahutnya sabar. Wanita itu tertawa tawar.
"Kiranya pendeta beribadat dari huruf Su" katanya. "Maaf Maaf"
Habis itu, wanita itu segera menatap It Ceng. "Siapa dia?" tanyanya.
"Dialah murid murtad dan pemberontak partai kami, namanya It Ceng" sahut Su Kay.
"It Ceng " Dia toh adik seperguruan It Tie ketua Siauw Lim Sie?"
"Benar.. Dan kau, siapakah kau, nona?" Setelah menjawab, pendeta ini balik bertanya.
"Akulah Chee Liong Tongcu, bawahan seng Kiong Sin Kun," sahut wanita itu.
Su Kay berkata, berani. "Nona menjadi tongcu, kenapa nona tidak berani mengasih lihat wajahmu?"
Wanita itu tertawa hambar.
Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seorang pendeta adalah seorang alim, apakah pendeta juga gemar melihat roman yang cantik manis?" dia bertanya, lalu tangannya diangkat, agaknya hendak dia menyingkirkan tutup mukanya.
Suara itu bernada mengejek, Su Kay tidak puas.
"Sudah" serunya, mencegah orang memperlihatkan wajahnya.
Agak sangsi sejenak ia menambahkan: "Loolap cuma ingin belajar
kenal dengan wajah Siapa mau menontoni kau cantik atau tidak?" Wanita itu masih tertawa hambar.
"Kaulah orang yang lagi menantikan kematianmu, kau tidak melihat wajah puncopun tidak apa" katanya, kembali mencemoohkan.
Su Kay berkata pula, tetap berani. "Walaupun loolap sudah terkena racun, belum tentu loolap dapat dikekang olehmu. Siapa bakal hidup dan siapa bakal mati, saat ini masih belum dapat dipastikan"
Demikian kedua orang itu mengadu lidah, selama mana Su Kay tak pernah mengendorkan pegangannya terhadap It Ceng.
Tiba tiba si wanita tertawa nyaring, terus dia berkata "it Ceng menjadi adik seperguruan dari ketua Siauw Lim Sie, kau lancang datang kemari, apakah kau hendak menolong dia dengan membawa dia lari?"
sepasang alis pendeta itu terbangun.
"Jikalau loolap memikir menolong dia untuk dibawa lari, itulah bukannya soal sulit" sahutnya, keras. Terus ia menatap It Ceng dengan bengisnya, ia bertanya. "It Ceng, apakah kau kenal loolap?"
It Ceng tercengang, lalu matanya bergerak. memandang kepada si wanita yang menyebut dirinya tongcu ketua, dari Chee liong Tong, Ruang Naga Hijau.
"Kau terangkan dirimu menjawab dia" berkata wanita itu. "Tak usah kau menyembunyikan apa apa. Pendeta tua itu sudah terkena racun, dia tak akan dapat berlalu dari sini dengan hidup"
Mendengar suara si wanita, It Ceng berpaling kepada Su Kay Taysu.
"Teecu mengenali susiok." sahutnya. Dengan "teecu"
"murid" It Ceng membahasai dirinya sendiri. sedangkan "susiok"
ialah "paman guru", panggilan untuk sang paman guru itu.
Dengan sinar mata tajam bagaikan kilat, Su Kay mengawasi keponakan murid itu.
"Syukur kau masih mengenali loolap" katanya, bengis. "Tahukah kau bahwa loolap. walaupun sudah terkena racun, masih dapat loolap membunuhmu?"
It Ceng tidak menjawab langsung hanya dia membalas bertanya "susiok menjadi pendeta beribadat dan luhur, mana dapat susiok dengan mudah saja melanggar pantangan membunuh?"
Su Kay gusar sekali. "Loolap hendak tanya kau" ia membentak "Dan kau mesti menjawab dengan sebenar benarnya. Jikalau kau berdusta sepatah kata saja, akan segera loolap mengambil jiwamu" Paras It Ceng menjadi pucat sekali.
"Silahkan tanya, susiok." sahutnya, "Tidak ada yang teecu tidak akan katakan, pasti teecu tidak akan mendusta..."
su Kay segera menanya dengan suara yang keras: "Mana dia It Tie?" demikian tanyanya.
"Teecu tak tahu," menjawab It Ceng, "Tadi dimedan pertempuran kami kena dikacaukan dan terpisah satu dari yang lain,
sekarang teecu tidak mengetahui kemana perginya ciang bun suheng itu...
"Ciangbun suheng" ialah kakak seperguruan yang menjadi ketua. "Dan manakah kitab kitab pusaka itu?"
"Semua itu berada ditangan ciang bun suheng."
"Hm" Su Kay bersuara dingin. Mendadak ia menotok jalan darah moa hiat dari It Ceng membuat keponakan murid itu berdiri mematung, setelah mana segera ia menggeledah tubuhnya.
Semua mata diarahkan kepada Su Kay dan it Ceng itu, tak
terkecuali mata Chee liong Tongcu, hanya dia ini bersikap tawar.
Su Kay menjadi bingung sendiri. pada tubuh It Ceng tak dapat kitab kitab pusakanya itu Maka ia menarik keras tangan orang dan membentak "Hai, anak celaka, kau mau hidup atau mati?"
Kembali muka It Ceng menjadi pucat-pasi,
"Andaikata susiok membunuh teecu, itu tak menolong urusan," katanya perlahan. Su Kay sangat mendongkol.
"Kau murid Siauw Lim Sie Kenapa kau bersekongkol dengan
pihak luar dan mencuri kitab pusaka partai sendiri?" tegurnya.
"dalam hal ini haruslah dipersalahkan para tiangloo, yang mau mendengar hasutan orang luar," menyahut It Ceng. "Hal itu membuat ciang bun suheng tidak dapat berdiri diam lebih lama pula didalam kuil kita. Itulah sebabnya kenapa ciang bun suheng mengambil kitab kitab pusaka dan membawanya lari, meninggalkan Siauw Lim Sie. Teecu cuma mengikuti ciang bun suheng, karena itu rasa teecu tidak berdosa"
Pandai pendeta ini berbicara, hingga dalam murkanya, Su Kay Taysu tertawa.
"Murid celaka" bentaknya. "Dahulu diatas puncak Yan in Hong kau telah berbuat gila, kamu mencelakai guru dan ketua kamu,
apakah itu disebabkan kau dipaksa oleh para tiangloo" Apakah ketika itupun kau cuma menurut dan ikut ikutan saja?"
Lagi lagi pucat pasilah It Ceng.
"Itulah urusan tanpa buktinya," kata dia, berani. "Dapatkah susiok memfitnah membuat teecu berdosa?"
"Binatang" Su Kay membentak pula. "Kau dengar.. Tahukah bahwa gurumu itu, walaupun dia bercelaka, dia masih belum mati" Bahwa sekarang ia sudah lolos dari penderitaan kesengsaraan, hingga ia melihat matahari yang indah" Sekarang ini justru ketua kita itu mencari kau untuk membuat perhitungan. Binatang apakah kau masih tidur nyenyak saja?"
Tubuh it Ceng menggigil saking takutnya.
"Aku tak percaya" katanya nyaring. Tak percaya ia bahwa Su Hong Taysu, ketuanya yang terdahulu, masih hidup,
Su Kay gusar tak kepalang. ia tersinggung karena keponakan murid itu tak percaya padanya.
"Binatang" teriaknya, sengit, lalu tangannya digerakkan. "Tahan" berseru si wanita, gusar.
Tapi suara nyaring sudah terdengar tangan Su Kay sudah melayang kemuka orang hingga It Ceng roboh terguling, mulutnya mengeluarkan darah sebab giginya pada copot. Kalau tadi dia gusar, sekarang wanita itu tertawa.
"Pendeta yang bernyali besar" katanya, nyaring. " Didepan punco, bagaimana kau berani mengganas" Jikalau kau tidak dihukum, pasti akan ada contoh teladannya"
Su Kay tak takut. "Jikalau tongcu sudi memberi pengajaran, loolap bersedia menerimanya" katanya, menyambut ancaman tongcu itu.
"Kau sudah tidak mampu bernapas, kau berani turun tangan, takkah itu lucu?" kata si wanita.
Diam diam Su Kay menyalurkan napasnya Kembali ia merasa nyeri diperutnya. Diam diam ia terkejut. ia membungkam. Wanita bertopeng itu tertawa dingin.
"Racun punco racun istimewa. Apakah kau sangka sembarang obat dapat memunahkannya?" katanya.
"IHm Jangan berlagak pintar. Jangan kau kira dapat menelan obat pencegahnya Itulah artinya kau cari kesengsaraanmu sendiri. Jangan kau nanti sesalkan punco"
Mendengar kata kata orang itu, Su Kay berpikir. "Apakah dia maksudkan bahwa aku telah salah makan obat" Yaitu karena makan obat pemunah terlebih dahulu, akibatnya jadi terlebih buruk?"
"It Ceng" tiba tiba terdengar suara wanita
Justru itu It Ceng baru merayap bangun dan tengah menyusuti darah dibibirnya. ia mendengar panggilan itu.
"Ya, aku bersedia menerima perintah" sahutnya lekas. "Semenjak kapan kau masuk kedalam kalangan Istana kami?" "Sejak sebelas tahun yang lampau."
"Apakah kau pernah menghadap Sin Kun?"
"Pernah." "Kapankah itu dan dimanakah?"
"Sama sekali sudah dua kali. Pertama ketika aku mulai berguru kepada Sin Kun, dan tempatnya diluar kota Kim leng. Yang kedua kali dipuncak Yan in Hong, disaat ketua keempat partai. . . "
"Semua itu kejadian sepuluh tahun yang telah lewat," menyela si wanita, "Kalau sekarang kau bertemu dengan Sin Kun, kau masih mengenalinya atau tidak?"
Hati It Ceng terkejut, matanya mencilak. "Apakah tongcu"..." katanya, terputus suaranya bergemetar.
"Punco adalah Chee liong Tongcu" berkata si nona, menyela
pula, "Walaupun Sin Kun dapat menyalin rupa seribu macam wajah,
tapi belum pernah ia menyamar menjadi wanita" It Ceng melengak.
"Ketika pertama kali aku menemui Sin Kun," berkata ia, bagaikan menggumam, "tatkala itu Sin Kun berupa sebagai seorang pendeta tua berusia lebih dari pada seratus tahun yang mukanya merah marong. Danpada kedua kalinya, ia tampak sebagai seorang pemuda pelajar yang cakap ganteng."
"Sin Kun dapat menyalin diri menjadi banyak macam, cara bagaimana kau dapat mengenalinya" "
"Setiap Sin Kun mUncUl, ada pertandanya yang luar biasa. maka itu, dapat aku mengenalinya. Selama yang paling belakang ini Sin
Kun senantiasa menyampaikan surat surat perintah dengan
menyuruh orang, karena itu belum pernah aku menemuinya pula."
"Kau cerdas" wanita itu memuji. "Kau pula orang yang berjasa. Habis makan obat, pergilah kau keruang belakang ini, lihat disana ada siapa..."
Berkata begitu, wanita itu menyentilkan jeriji tangannya, melemparkan sebutir obat.
Su Kay melihat obat itu hijau seperti yang diberikan kepada Uh bun Ceng, ia lompat untuk menyambarnya.
It Ceng terkejut berbareng gusar, ia berlompat maju sambil menyerang, mengarah punggung paman gurunya itu.
Su Kay berlaku awas. Ia mendapat tahu It Ceng menyerangnya. Sambil dengan tangan kanan menyambuti obat, dengan tangan kiri ia menyampik, menangkis berbareng menghajar tangan keponakan muridnya itu...
Hanyalah, dengan menggunakan tenaganya, berdua mereka masing masing merasai nyeri dalam perutnya, hingga tenaga mereka berkurang, tempo lengan mereka beradu, mereka merasakan lebih nyeri pula, hingga keduanya sama sama merintih kesakitan- Su Kay masih dapat menahan diri, melawan rasa sakitnya
itu. Tidak demikian dengan It Ceng, dia limbung dua tindak. hampir dia roboh terguling.
Si wanita menyaksikan perebutan obat itu. Ia melihat bagaimana tangguhnya Su Kay Taysu.
"Kau telah mendapatkan obat itu, kenapa kau tidak segera menelannya?" dia tanya pendeta tiangloo dari Siauw Lim Sie itu, yang dia awasi dengan tajam.
Su Kay melengak. Ia segera melihat obat di dalam genggamannya itu. Didalam hati, ia berkata: "Aku berlima telah minum setengah cangkir air teh itu. Mana dapat aku makan obat ini untuk menolong diriku sendiri?"
Tengah tiangloo ini ragu ragu, ia mendengar suara Toan Im Jip bit dari Siauw Pek terhadapnya: "Taysu, lekas makan obat itu. Itulah penting Kalau sebentar kita mesti bertempur, dapat taysu menggunakan ilmu silat Siauw Lim Pay untuk melindungi kami, jikalau tidak. kita bakal habis semuanya"
Masih Su Kay bersangsi. Ia ingat: "Coh Siauw Pek menjadi Kim Too Bengcu, ia jauh terlebih gagah daripada aku, maka obat ini selayaknya dialah yang makan"
Selagi pendeta ini berpikir itu, ia melihat si wanita kembali menyentilkan obat kepada It Ceng.
Sambil menyentil itu, wanita itu memperdengarkan suara "Hm" yang dingin. Bukan main girangnya ia. Ia tahu betapa besar harganya apabila ia dapat tambahan obat tersebut. Maka segera berlompatlah dia sambil mengulur tangannya, guna menyambar obat itu
It Ceng melihat perbuatan sang paman guru, gusarnya bukan kepalang sambil berteriak, dia pun melompat, hendak merampas obat itu
Siwanita terkejut sekali Tidak disangkanya bahwa Su Kay kembali merebutnya. Pendeta itu berhasil karena gerakannya yang gesit laksana kilat.
Untuk sedikit, It Ceng melongo karena dia gagal merampas obat, segera setelah itu, sambil membentak, dia lompat kepada sang paman guru dengan kedua tangannya dia menyerang Su Kay melihat datangnya serangan, ia berkelit.
It Ceng tahu serangannya gagal, dia menyerang pula, dia mengulangi terus terusan. Su Kay terpaksa melayani, hingga mereka dengan cepat bergebrak sampai empat jurus.
Karena mereka bertempur hebat, orang pada mengundurkan diri.
Saking gusarnya itu, It Ceng seperti lupa sakit pada perutnya. Sebaliknya Su Kay, yang sadar, saban saban merasai rasa nyerinya itu, nyeri bukan buatan. Karena terpaksa, ia tidak merintih. Ia pula
terpaksa melayani keponakan murid yang bagaikan kalap itu.
Karena terpaksa, satu kali ia menyampok dengan keras sekali.
"Aduh" It Ceng menjerit keras, mulutnya menyemburkan darah hidup, menyusul mana robohlah tubuhnya, kali ini untuk tak dapat bergerak pula.
Su Kay mencoba menenangkan diri, tapi toh ia merasai kepalanya pusing, matanya kabur, rasa nyeri bertambah tambah, nyeri pula di ulu hati.
Menyusul itu, ia pula merasai tubuhnya bagaikan kaku semua. Lekas lekas ia menjatuhkan diri, untuk duduk bersila, guna bersemedhi, menyalurkan pernapasannya, menurut ilmu partainya. Ia melawan guna mencegah hatinya beku.
Siwanita tertawa dingin. Katanya: "Lihat kau berlaga gagah, maka sekarang racun sudah menyerang keulu hatimu Sekarang ini, walaupun kau memakan obatku, itu sudah sukar akan menolong jiwamu"
Su Kay mendengar ejekan orang, tetapi ia tertawa ingat dua butir pil didalam tangannya itu sambil mempertahankan diri, ia berkata di dalam hati: "Dia kata racun sudah menyerang kehatiku. Mana dia tahu bahwa latihan tenaga dalamku sudah lama lebih daripada enam puluh tahun. Jikalau obat ini memang obat tepat, mustahil dia
tak mujarab" sekarang ini perlu sekali aku menolong jiwaku, baiklah aku segera makan yang sebutir, yang sebutir lagi, aku sediakan buat Coh Siauw Pek. Buat menolongi Ban Liang, Oey Eng dan Kho Kong, nanti saja aku berusaha pula."
begitu ia berpikir, begitu Su Kay Taysu membawa sebutir pil kemulutnya.
Siauw Pek sementara itu mengawasi dengan heran kepada pendeta kawannya itu, tiba tiba timbul rasa curiganya, tak ayal pula, ia bicara dengan saluran Toan Im Jip bit. "Awas pada akal busuk. taysu, Jangan makan dulu obat itu"
Su Kay mendengar pemberian ingatan itu, ia heran, iapun curiga, tanpa merasa, ia menoleh kepada ketua Kim Too Bun itu.
Siauw Pek menyembunyikan diri diantara puluhan orang itu, ia berkata pula dengan saluran ilmunya itu: "Aku menerka bahwa sengaja ia berbuat begini guna membikin taysu minum obat itu. Aku menduga obatnya tidak tepat, kalau taysu makan itu, mungkin bahayanya jadi semakin hebat..."
Su Kay Taysu bagai disadarkan, maka timbullah juga kecUrigaannya. Maka ia jadi berpikir untuk menjaga dirinya. Batal ia memasukkan obat kedalam mulutnya. sebaliknya, ia memusatkan pikirannya kepada latihan pernapasannya guna memperkuat tenaga dalamnya. sekonyong konyong si wanita tertawa nyaring.
"oh, kiranya kau mempunyai konco"^ serunya. "Hampir punco kena dikelabuhi" Segera ia menoleh kepada Coh Siauw Pek, untuk mengawasi sejenak. "Semua membuka tutup kepala" tiba tiba dia memerintahkan.
Rombongan itu telah terpengaruh sangat oleh si wanita, perintah itu ditaati serentak. Semua orang segera membuka tutup kepalanya kecuali Siauw Pek. Ban Liang, Oey Eng dan Kho Kong. oleh karena itu baik pihak si wanita, ma upun para pendeta Siauw Lim Sie dan lainnya turut menumplakkan perhatiannya kepada rombongan Kim Too Bun itu. Sejenak itu, ruang sangat sunyi.
Wanita itu tetap mengawasi keempat orang yang masih belum menyingkirkan tutup kepalanya itu, kemudian dia tertawa dingin dan berkata: "Punco telah menduga mesti ada mata mata yang menyelundup kesini, sekarang dugaanku itu tepat. Sesudah rahasia kamu pecah, apakah masih kamu tidak mau membuka tutup kepala kamu" Mustahilkah kamu menghendaki punco yang turun tangan sendiri?"
Siauw Pek berpikir cepat. "Sudah terlanjut, baiklah aku
perlihatkan wajahku. Hendak aku lihat, apa yang kau dapat bikin" Maka segera ia menyingkirkan tutup kepalanya.
Segera setelah pemuda itu memperlihatkan diri, didalam rombongan bukan pendeta ada seorang yang berlompat keluar dari dalam rombongannya. Dia nampak kaget sekali. Dialah seorang tua kurus kering dengan dua mata celong serta jubah hitam. Dia berlompat sejauh setombak lebih.
Si wanita gusar melihat gerakan orang tua itu. "Mau apakah kau?" bentaknya.
Masih si orang tua terpengaruh oleh kagetnya itu. "Maaf, tongcu," katanya mohon, "aku si tua,"
"Sebutkan she dan namamu" perintah si wanita, tawar. "Aku si orang tua Houyan Pa dari San im..."
Wanita itu memotong, "Pernah punco mendengar nama Houyan Pa dari San im Pay yang bergelar Pek Lin Cian, apakah kau adanya?"
Mengetahui bahwa orang ketahui nama dan gelarannya itu, Houyan Pa nampak puas. Tapi dia mengekang diri. Terus dia memberi hormat, merangkap kedua tangannya sambil memberi hormat.
"Memang Pek Lin Cian adalah gelaranku," sahutnya. "Hanya itu nama kosong belaka, tak berharga sekalipun untuk dibuat tertawaan saja."
Wanita itu mengawasi: "Kau menyebut dirimu si orang tua, mungkin kaulah orangnya seng Kiong..."
Houyan Pa terperanjat. "Maaf, tongcu, Siok hee..." katanya
"Siok hee" ialah sebutan "aku" untuk orang sebawahan
Wanita itu tertawa dingin pula. Terus dia menunjuk Siauw Pek. "Siapakah dia itu?" dia tanya Houyan Pa. "Kenapa kau sangat takut terhadapnya?"
Kulit muka Houyan Pa berubah menjadi merah. Dia malu dan jengah.
"Harap tongcu ketahui," sahutnya, "Dialah Coh Siauw Pek. bengcu dari Kim Too Bun yang belum lama muncul dalam dunia Kang ouw"
Nama Siauw Pek memang telah menggetarkan dunia Kang ouw, Sungai Telaga. atau kalangan Bu Lim, Rimba Persilatan, disebutnya nama itu oleh Houyan Pa membuat kaget para hadirin didalam ruang itu. Kiranya Coh Siauw Pek yang tersohor itu berada diantara mereka. Dengan serentak mereka pada menjauhkan diri lalu terus mereka mengawasi jago muda itu.
Wanita yang mengaku sebagai Chee Liong Tongcu itupun terkejut karena ia mendengar nama ketua Kim Too Bun itu, ia mengawasi tajam. orang telah pada menjauhkan diri dan si anak muda tanpa kerudung kepala dan muka, ia pula dapat melihat dengan tegas sekali. Tentu saja ia melihat seorang muka yang tampan dan gagah sikap duduknya. ia juga mendapat kenyataan, bersama anak muda itu ada lagi tiga orang kawannya. "Coh Siauw Pek" kemudian berkata si wanita, nyaring. Siauw Pek maju satu tindak.
"Akulah si orang she Coh" Siauw Pek menjawab sambil tertawa,
tidak ada rasa takut. Kedua mata wanita itu menatap sangat tajam.
"Jadi kaulah Coh Siauw Pek yang baru muncul yang istimewa menentang Seng Kiong?" dia tanya pula.
Siauw Pek heran- Nada wanita itu beda dari pada semula. ia mengangguk tetapi ia tidak menjawab.
Wanita itu berkata pula, bahkan kali ini suaranya bagaikan menggetar: "Pernah apakah kau dengan Coh Kam Pek dari Pek Ho Po yang telah menutup mata?"
"Itulah almarhum ayahku," sahut Siauw Pek.
Wanita muda yang berdiri diujung meja segera membisiki wanita yang meng aku tongcu itu: "Lekaslah beri putusan kepada semua orang yang lainnya, supaya dapat dicegah kalau terjadi perubahan sesuatu"
Wanita itu melengak sejenak, lalu dia tertawa nyaring:
"Coh Siauw Pek" katanya keras. "Sin Kun justru hendak membekukmu. Kau sekarang mengantarkan diri, sungguh baik sekali"
Habis berkata begitu, wanita itu mengawasi semua orang, lalu berkata dengan tak kurang kerasnya: "Sekarang Sin Kun ada dibelakang pendopo ini, lagi menantikan datangnya kamu"
Wanita yang berdiri diujung meja itu lalu bergerak. Dia pergi
kepintu yang menjurus ke belakang pendopo itu, untuk berdiri
dipinggirnya sambil berkata: "Jalan berbaris kemari. Lekas"
Mendengar perintah itu, Houyan Pa yang mendahului bertindak maju. Melihat contoh itu, orang orang yang lainnya mencontohnya, semua mengambil jalan kebelakang toatian itu.
Sementara itu, bagaikan tak nampak, dimuka pintu sudah tampak empat orang wanita yang mengenakan cala yang tangannya masing masing membawa sebuah menampan merah diatas mana terdapat cawan cawan teh, yang semuanya telah ada separuh isinya.
Terdengar suara si wanita tongcu itu: "Semua minum dahulu obat pemunah, kalau sampai racun sudah bekerja, kau tak bakal menemui Sin Kun."
Houyan Pa berani sekali. Dia menjemput sebuah cangkir, tanpa bersangsi lagi, dia mencegluk isinya. Ketika dia melihat kedepan, dia melihat sebuah gang atau lorong yang dikedua sisinya terdapat berdiri berbaris orang orang dengan seragam hitam, mukanya tertutup topeng hitam, senjatanya pedang semua. Diujung lorong itu ada sebuah toatian pendopo besar lainnya. Dengan membesarkan hati, Houyan Pak berjalan terus memasuki pendopo besar itu.
Dengan kepergian Houyan Pa semua, didalam pendopo tadi tinggallah Su Kay Taysu bersama rombongan Coh Siauw Pek. Pendeta dari Siauw Lim Sie itu tetap masih duduk bersila. Puluhan tahun tenaga latihannya lagi dikerahkan guna melawan racun Chee Liong Tongcu. Siauw Pek berempat berdiri mengintari si pendeta, untuk melindunginya. Semua sambil menutup mulut.
Dengan tetap duduk ditempatnya, mata si wanita memain diseluruh ruang besar itu. Beberapa kali dia mengawasi pula kepada Siauw Pek. Selama orang berjalan kebelakang, iapun suka mengawasi mereka itu. Dia mengenakan tutup muka, maka itu tak tampak wajahnya. Mestinya dia bersitegang hati karena menghadapi ketua dari Kim Too Bun itu.
juga Siauw Pek. Hatinya anak muda ini tak tenang sebagai semula, ada sesuatu yang membuat hatinya itu bekerja hingga ia menjadi tidak keruan rasanya. ia menguatkan hati agar dapat bersikap tenang. ia bagaikan mendapat firasat bakal terjadi sesuatu yang mengejutkan. . .
Hanya sebentar kira kira tiga puluh orang itu sudah lenyap
semua dari toatian-segera setelah orang yang terakhir tak tampak
pula bayangannya, si wanita bangun bangkit dari tempat duduknya.
"Coh Siauw Pek" terdengar suaranya. Alis si anak muda terbangun.
"Ada perintah apa, tongcu?" tanyanya tenang.
Dengan suara rada menggetar, wanita itu berkata: "Dalam dunia Kang ouw ramai tersiar berita bahwa kaulah pewaris dari Thian
Kiam dan Pa Too, kedua ilmu silat pedang golok yang istimewa itu..."
Tanpa merasa, Siauw Pek tertawa lantang. Dengan tangan kanan ia meraba pedang di punggungnya, dengan tangan kirinya ia menunjuk golok yang berada pada Ban Liang
"Dua pedang dan golok itu telah berada di sini" katanya. "Tongcu ada pengajaran apa untukku ?"
Wanita itu melengak. walaupun cuma sedetik. "Seng Kiong Sin Kun pandai mengubah wajah orang, kau Coh Siauw Pek. kau entah yang tulen atau yang palsu" katanya pula.
sebelum menjawab pertanyaan orang itu Siauw Pek berpikir cepat: "Kita semua telah terkena racun, tindakan utama kita ialah harus dapat mengekang wanita ini, atau mencekiknya guna memaksa dia memberikan obat pemunahnya", maka itu ia menjawab sabar: "Aku juga , tak tahu diriku yang tulen atau yang palsu, kalau Tongcu ingin mendapat kepastian, tak ada halangannya untuk Tongcu mencoba mencarinya"
Wanita itu melengak pula. Mendadak dia mengulapkan tangannya.
"Sam Kiamcu Cit Kiamcu" demikian suaranya memanggil "Maju "
Siauw Pek heran- ia menerka nerka, siapa Kiamcu,jago pedang yang ketiga (sam) dan ketujuh (cit) itu. ia berpikir hingga alisnya berkerut.
Gesit sekali dua orang berlompat maju, bagaikan bayangan sekejap saja sudah tiba di depan anak muda. Diam diam Siauw Pek terperanjat. Itulah disebabkan karena ia melihat sinar luar biasa dari senjata Kiamcu yang disebelah kanan- ia menerka kepada senjata mustika. Maka wajar saja, ia mundur setindak. Berbareg dengan itu, dengan tangan kanan ia menyambar gagang pedang orang yang kanan- Sedang tangan kirinya ia menyambut pedang orang yang lainnya untuk disentil. hingga terdengarlah satu suara yang nyaring.
Kiamcu itu terkejut, tak keburu ia menarik kembali senjatanya.
Itulah sebabnya kenapa pedangnya kena tersentil mental kesamping
Hanyalah, karena ia menggunakan tenaganya, mendadak Siauw Pek merasa ulu hatinya nyeri, maka gerakannya menjadi ayal, hingga pedang orang itu tak dapat dirampas.
Sebat sekali kedua kiamcu itu melompat mundur, sesudah mana tanpa memberi kesempatan sianak muda, mereka maju pula dengan berbareng mereka menyerang kembali.
Siauw Pek insaf akan liehaynya racun, maka tak mau ia sembarangan bernapas. Ia segera menggunakan kelincahannya, buat selalau berkelit dari tikaman- Sejenak itu ia belum mendapat pikiran tentang bagaimana caranya ia harus merampas senjata kedua orang itu. Ia berlaku sabar luar biasa.
Tengah pertempuran itu berlangsung, mendadak Su Kay Taysu berjingkrak bangun seraya dia berkata dengan suara keren: "Bengcu lekas hunus pedang, melayani musuh. Ban Huhoat. Lekas bersiap membuka jalan Lolap berdua bengcu akan merintangi musuh dibelakang "
Mendengar kata kata sipendeta, Oey Eng dan Kho Kong segera mengeluarkan senjatanya masing masing.
Seng Su Poan Ban Liang berpiklr lain- Ia segera berteriak: "Bengcu, lekas mundur, untuk menyingkirkan racun dalam tubuh. Habis itu barulah kita membuat perhitungan "
Mendengar suara orang itu, Cit Kiamsu tertawa mengejek. terus dia perkeras serangannya. Dia mendesak agar lawannya tak sempat untuk berkelit.
Si wanita mengawasi tajam kepada Coh Siauw Pek, sambil mengawasi itu, dia berkata nyaring^ "Coh Siauw Pek, telah lama punco mendengar nama Thian Kiam, kalau sekarang kau tidak menghunusnya, kau akan menyesal sesudah terlambat "
Siauw Pek tertawa secara memandang enteng. Katanya^ "Seorang ketua Kim Too Bun, buat melayani musuh tak punya nama
seperti mereka ini, perlukah aku menghunus pedangku" Kalau hal ini tersiar dalam dunia Kang ouw, tidakkah itu bakal mendatangkan tertawaan "
Sam Kiamcu gusar sekali. Dia merasa sangat terhina.
"Bocah tak tahu adat" teriaknya. "Lihatlah pedang kiamcumu " Lalu diapun mendesak seperti Cit Kiamsu, guna melampiaskan menendongkolannya.
Siauw Pek tidak melayani suara orang, ia hanya memasang mata untuk bersiap sedia. Ia pun tidak mau berkelit terus terusan- Sambil mengumpulkan semangat ia menanti tibanya pedang lawan- Baru setelah ujung pedang mengancam, ia mengegos tubuh sedikit, guna mengasih lewat ujung pedang itu, berbareng dengan mana tangan kanannya dengan kecepatan luar biasa meluncur dan dengan sebuah jeriji tangan menolek lengan penyerang itu
Dengan mendadak saja Sam Kiamcu merasai tangannya
kesemutan, terus nadinya beku, walaupun ia tahu, ia toh hampir tak
merasa lagi melihat bagaimana pedangnya dirampas si anak muda
Gerakan Siauw Pek luar biasa cerdas dan cepat. Kesempatan beristirahat satu hari dan satu malam membuat otaknya menjadi terang luar biasa, hingga ia ingat segala macam ilmu silat yang pernah ia pelajari terutama yang dari Kie Tong, hingga pada saat saat sangat mendesak. ia ingat pelbagai jurus atau tipu silatnya itu. Bahkan dengan lincah dan tepat sekali ia dapat menggunakannya, maka juga latihannya menjadi berarti sekali, menjadi sangat mahir. Itulah kemajuan yang diperolehnya berkat sang tempo dan
pengalaman- Setiap pertempuran bagaikan penerangan baginya,
membuat matanya seperti terbuka dan hatinya terang bercahaya.
Selekasnya ia mencekal pedang lawan, terus saja bengcu ini menyerang Cit Kiamcu, yang ia tusuk kerongkongannya, hingga ahli pedang lawan it uterkejut, sambil lekas lekas berkelit diapun mencoba menangkis tikaman
Siauw Pek menarik kembali tikamannya itu, tetapi ia tidak
berhenti sampai disitu pedangnya itu ditarik kembali untuk
diteruskan ditikamkan kepada sam kiamcu, pemilik pedang itu.
Tanpa pedang, sam kiamcu menjadi tidak berdaya, syukur dia masih mempunyai kesebatan, terutama dia tak menjadi bingung maka dengan gesit dia melompat mundur, guna menyelamatkan dirinya.
Ketua Kim Too Bun tak berhenti. Gagal menyerang sam kiamcu, ia meneruskan menyerang pula cit kiamcu. Kalau tadiialah yang didesak, sekarang ia yang berbalik mendesak kedua lawan itu.
Cit kiamcu tak sempat menangkis, terpaksa dia berkelit dengan melompat mundur, pedangnya dikibaskan, untuk sekalian menangkis, tapi dia menangkis tempat kosong.
Selekasnya lawan melompat, Siauw Pek berbalik menyerang pula jago pedang yang ketiga itu. Hingga terus menerus ia membuat kedua lawan itu makin mundur saja.
Didesak begitu rupa, kedua kiamcu bagaikan tak sempat bernafas. Dengan demikian buruklah keadaannya
Cara berkelahinya Siauw Pek itu membuat heran dan kagum mereka yang menonton pertempuran. Selama ini, belum pernah Siauw Pek berkisar dari tempat dimana dia berdiri.
Dia melainkan memutar tubuh apabila perlu. pula dia menggerakkan pedangnya berulang ulang itu bagaikan dia sedang bermain main, tak tampak dia menggunakan tenaga hebat.
Ruang menjadi sangat sunyi, walaupun disitu, dipihak lawan, berkumpul puluhan orang. Mereka itu menonton sambil mendelong, umpama kata, bernafaspun tak berani.
Si wanita juga menonton dengan kekaguman, baru kemudian terdengar dia berseru "Berhenti "
Kedua kiamsu lompat mundur dengan segera. Mereka memang Ciut nyaliny a. Mereka mundur tanpa menghiraukan bakal diserbu.
Kenyataannya memang demikian. Selagi mereka melompat itu, bergantian lengan mereka ditepuk Siauw Pek dengan ujung pedang. Keduanya kaget, keduanya menjerit pedang mereka terlepas dan jatuh kelantai
Dengan kedua tangannya menekan meja dengan suara rada menggetar, siwanita berseru^ "Bagus Inikah ilmu pedang Tay Pie Kiam hoat yang kesohor didalam dunia?"
Siauw Pek tertawa hambar.
"Ilmu pedang Tay Pie Kiam hoat adalah ilmu pedang bukan sembarang ilmu" berkata ia "Kecuali tongcu yang turun tangan sendiri, tak dapat aku gunakan itu"
Wanita itu melengak. Lalu dia berkata agak tertahan: "Aku tahu kau siapa. Kau sebaliknya tak tahu..."
"Setahuku kaulah Chee Liong Tongcu" kata Siauw Pek.
Nyata sekali hati si wanita bersitegang sendirinya. Mendadak ia mengangkat tangan kanannya, menyingkirkan cala di mukanya, lalu bernafas sedang suaranya menggetar: "Kau lihat... Kau lihat baik baik. Sebelumnya ini pernah kah kau melihat roman punco?"
Siauw Pek mengawasi. Ia menatap. Tiba tiba ia merasa tubuhnya menggigil, saking tegang hatinya. Kedua matanya terbuka lebar. "Mustahilkah kau..." sahutnya.
Wanita itu adalah seorang nona usia muda dua puluh lebih sedikit, kulitnya putih bersih dan halus, romannya cantik. Akan tetapi, tanpa cala, terlihatlah air matanya meleleh turun kepada kedua belah pipinya.
Ban Liang heran, dia mengawasi dengan penuh kecurigaan. sekonyong konyong dia berseru: "Waspada, bengcu Seng Kiong Sin Kun sangat banyak akal muslihatnya"
"Siapa kah kau?" Kho Kong pun bertanya bengis.
"Lihat pedang" mendadak si nona berseru, lalu dia menggerakkan tangannya kearah dada sianak muda yang bertabiat
keras itu. Menyusul itu tampak suatu sinar emas berkelebat berkilauan.
Ban Liang terperanjat. Ia tahu itulah semacam senjata rahasia.
Karena ia kuatir Kho Kong tidak dapat mengelakkan diri, ia segera
melompat sambil mengulur tangan menyambuti senjata rahasia itu.
Diantara sinar terang cahaya api, pada badan senjata rahasia itu, yang merupakan sebuah pedang kecil, tampak ukiran empat huruf "Kiu Heng Cie Kiam" "Pedang Sakit Hati".
Kho Kong tak sabar, dia merampas senjata rahasia itu dari tangah sijago tua, selekasnya sinar matanya bentrok dengan ukiran empat huruf, dia tidak tahan sabar lagi untuk tidak berseru^ "Kiu Heng Cie Kiam" Ban Liang segera tertawa terbahak bahak.
"Kiranya Kiu Heng Cie Kiam yang menggemparkan dunia Kang
ouw adalah Chee liong Tongcu" katanya. "Sungguh dunia aneh,
makin lama tambah banyak segala sesuatu yang mujijat Keanehan"
Sementara itu terdengar suara Siauw Pek suara yang hampir tak tegas: "oh, kakak..."
"Ya, adik..." terdengar si nona, yang mendadak menangis keras, terus dia berlompat maju, lari kepada si anak muda, untuk menubruk dan merangkul. "Adikku"
Hanya sekejap. kedua muda mudi ini sudah saling berpelukan sambil menangis keras dan bersedu sedang Semua orang menjadi heran, hingga semuanya berdiri diam dengan tertegun saja.
Oey Eng dan kawan kawan tahu yang bengcu mereka itu mempunyai seorang enCie, kakak wanita yang bernama Bun Koan, yang hilang dimuka jembatan maut Seng Su Kio didalam medan pertempuran, katanya kakak itu tertawan musuh, yang hilang entah kemana selama itu, tidak disangka dialah pemilik dari Kiu Heng Cie Kiam. Pedang Sakit hati, dan sekarang orangnya berada disini, bahkan sebagai Chee liong Tongcu, ketua dari Ruang Naga IHijau dari Seng Kiong Sin Kun
Dari heran orang menjadi terharu. Itulah karena mereka mendengar tangisan kakak beradik ini.
Bahkan sejumlah wanita berbaju hitam lainnya turut menangis juga karena merekalah pelayan pelayan Nona Bun KoanBaru selang sekian lama sesudah ia dapat menguasai dirinya, Nona Coh berkata. "Adik, ayah dan kakak kita mati secara sangat menyedihkan, maka itu kita harus membalaskan kepenasaranannya
" "Jangan kuatir, kakak"jawab Siauw Pek sambil menangis. "Adikmu pasti..."
Tak dapat pemuda itu melanjutkan kata katanya. Karena ia tercegah oleh kesedihannya.
Ketika itu Ban Liang bertindak maju, menghampiri kakak beradik itu, sambil mengangkat tangannya ia berkata. "Sekarang ini saatnya bekerja, bengcu, maka itu harap bengcu dapat menguatkan hati, untuk menguasai kesedihan bengcu, untuk kita mulai dengan usaha kita"
Dengan tiba tiba saja, semangat Coh Bun Koan terbangun.
"Benar kata orang tua yang gagah ini " katanya nyaring. Ia terus mencekal keras tangan adiknya, untuk berkata. "Adikku, saat ini adalah saat pembalasan kita. Kita harus bangkit sekarang, tak dapat kita mengasi lewat, mensia siakan saat yang baik ini "
Siauw Pek mengangguk. "Benar, kakak " sahutnya. "Sakit hati kita yang dalam bagaikan lautan mana adikmu berani lupakan "
si nona mengangguk. Lalu dia berpaling kepada Ban Liang.
"Maaf, loocianpwee, aku masih belum ketahui she dan nama besar loocianpwee?" katanya hormat.
Ban Liang merangkap kedua tangannya.
"Aku si tua ialah Ban Liang, huhoat dari Kim Too Bun." sahutnya sijago tua.
Bun Koan mengangguk, ia mengucap terima kasih, terus ia berpaling kepada Oey Eng dan Kho Kong kedua pemuda kawan Ban Liang itu.
"Itulah kedua adik angkatku, Oey Eng dan Kho Kong." Siauw Pek lekas lekas memperkenalkan.
Kedua pemuda itu mengangguk pada sinona.
"Kami semua adalah orang orang Kim Too Bun, nona tak usah sungkan sungkan terhadap kami," katanya. Bun Koan membalas hormat.
"oh, kiranya kedua saudara Oey dan Kho" ucapnya. Kemudian setelah itu, ia merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah peles dan membuka tutupnya serta menuang keluar isinya, lima butir pil, sambil berbuat begitu, ia berkata merendah, "maafkan aku atas perbuatanku tadi. Inilah obat pemunah, silahkan telan "
Siauw Pek lekas lekas menyambut obat itu, paling dahulu ia menelan sebutir, lalu sisanya ia bagi bagikan kepada Su Kay Taysu. Ban Liang, Oey dan Kho Kong untuk mereka menelannya tanpa ditunda pula.
obat itu berwarna kuning tua dan besarnya seperti kacang kedele, beda daripada pil yang tadi diberikan kepada Uh bun Ceng dan lainnya. Karena kelainan itu, Siauw Pek heran"Kakak. adakah ini obat yang lainnya?" tanyanya.
Ditanya begitu, Nona Bun Koan tertawa manis, lekas lekas ia menyusut air matanya. Tapi selekasnya itu, ia berkata: "Semua orang Seng Kiong Sin Kun menjadi musuh musuh kita, mana dapat aku melepaskan mereka" Dengan banyak susah aku telah mengatur tipu memancing mereka datang kemari Untuk menghabiskan mereka itu rasanya masih kurang, karena itu mustahil aku sudi memberikan mereka obat untuk membebaskan mereka?"
Siauw Pek terkejut. "oh," serunya. "Kalau begitu..."
"Semua obat itu, bukannya obat pemunah," berkata Bun Koan, "itulah bahkan obat yang mempercepat bekerjanya racun. Syukur
Su Kay Taysu tak makan, kalau tidak. oh, itulah kesalahan....
(Halaman hilang) Paras Siauw Pek pucat saking kagetnya. "Kakak, kau..." katanya. Alis si nona berkerut.
Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Adik," katanya, "apakah kau hendak mengatakan aku telengas dan gila akan pembunuhan?"
"Mana berani aku mencela dan menyesaikan kau, kakak," berkata si anak muda. "Aku hanya merasa, makin banyak kita membinasakan orang itulah perbuatan yang menentang peri kemanusiaan, itulah..."
Baru berkata sampai disitu, mendadak si anak muda menghentikan sendiri kata katanya. Ia melihat kakaknya menangis pula, air matanya meleleh dengan tiba tiba. Hanya sejenak, ia menambahkan. "Sudah lama aku mengetahui adanya satu perkumpulan rahasia kaum Kang ouw yang menggunakan pedang kecil yang berukirkan empat huruf Kiu Heng Cie Kiam, yang usahanya melulu memusuhi orang orang dari sembilan Pay besar, empat Bun, tiga IHwee dan dua Pang kakak ada sangkut pautnya dengan perkumpulan itu atau tidak?"
Bun Koan menangis semakin sedih.
"Bukannya saja kakakmu ini ada sangkut pautnya," sahutnya, "bahkan itulah perkumpulan yang dibangun oleh kakakmu sendiri. Akulah pemimpinnya, adikku"
Siauw Pek kagum, hingga ia menatap kakaknya itu.
Su Kay Taysu berempat juga tak kurang kagumnya, hingga mereka pada menghela nafas. Tak mudah bagi seorang nona untuk berusaha demikian besar pandai, berani dan gagah
"Adik, tahukah kau apa artinya 'Kiu Heng' dari empat huruf Kiu Heng Cie Kiam itu?" tanya Bun Koan"Pastilah itu diartikan sakit hati, karena sakit hati keluarga kita besar dan dalam bagaikan lautan," sahut Siauw Pek. Nona Coh mengangguk, air matanya bercucuran deras.
"Benar..." sahutnya, "Bukankah keluarga terdiri dari seratus-jiwa lebih " Bukankah kematian keluarga kita itu sangat menyakiti hati" Sakit hati laksana lautan itu dapatkah tak dibalas?"
"Pembalasan sudah selayaknya. Tanpa pembalasan pastilah ayah dan kakak tak tenang dialam baka..."
"Hutang darah dibayar dengan darah, itulah sudah selayaknya " kata si nona. "Maka itu, setiap jiwa keluarga kita harus dibalaskan satu demi satu. Nama Kiu Heng Cie Kiam telah menggemparkan dunia Kang ouw tetapi selama itu, aku belum membunuh seratus orang, karenanya, dapatkah dikatakan perbuatanku melewati batas atau menentang peri kemanusiaan" Habis sebutan apa hendak dikatakan buat pembunuhan terhadap seratus jiwa lebih keluarga kita itu?"
"Tidak, kakak..."
Siauw Pek kuatir kakak itu mencelanya lemah.
Bun Koan tertawa sedih. "Keluarga kita telah dicelakai orang, hingga tinggal kita berdua. Bukankah dulu itu telah kau lihat dengan matamu sendiri bagaimana hebat kebinasaan ayah dan kakak kita?"
"Kakak..." sahut Siauw Pek. yang berduka sangat. Dia jadi diingatkan pula akan peristiwa yang menyakiti hati itu. "Sebenarnya, kakak, ketika itu aku tak dapat melihat dengan mata sendiri."
"Kau tidak melihat sendiri, aku sebaliknya" berkata kakak itu, bersedih berbareng mendongkol, dan gusar. "Aku melihat ayah dan kakak mati membela diri, tubuhnya rebah ditanah dengan berlumuran darah. Tak dapat aku melupakan itu, tak seumur hidupku Sampai ini hari di ini detik, masih berbayang pemandangan pertempuran hari itu. Setiap mengingat sakit hati itu, aku bagaikan
tak sudi hidup lebih lama pula didalam dunia ini, aku menyesal dan membenci."
"Ah, sudahlah kakak. sudah," Siauw Pek memotong sambil ia menangis.
"Aku sengaja mengatakan semua ini, adikku, karena aku kuatir kau melupakannya" kata kakak itu. Dia sangat gusar tetapi diapun sangat sedih. "Kita harus menuntut balas dengan menghabiskan tenaga kita agar tak jadi anak yang tak berbakti, yang tak menunaikan tugasnya sebagai anak sejati"
"Biar bagaimana, kakak, tak nanti aku melupakan sakit hati keluarga kita itu" kata Siauw Pek dengan air mata bercucuran. Bun Koan menghela napas.
"Asal kau tak melupakannya, adikku," katanya. "pastilah roh ayah dan kakak di dunia baka akan merasa terhibur."
JILID 46 Su Kay Taysu kagum terhadap si nona. Diam diam ia mengawasinya.
"Dia sangat bersakit hati, hingga perbuatannya jadi begini telengas," pikirnya. "cara bagaimana aku harus membujuknya, membuatnya mengerti, supaya dia mencari musuh musuh besarnya yang langsung, supaya dia tak melakukan terlalu banyak pembunuhan semacam ini?"
Ketika itu, hati Nona Coh sudah menjadi tenang, maka ia berpaling kepada sekalian pengikutnya, habis mengawasi mereka itu, ia berkata. "Inilah Coh Siauw Pek, adik kandung dari punco. Mari kalian mengenalnya." Berkata begitu, nona itu menunjuk adiknya itu.
Beberapa puluh orang itu dengan segera berpaling kepada Siauw Pek, dengan serempak mereka memberi hormat sambil membungkuk, dan dengan serempak mereka memanggil, "Coh Tayhiap"
"Hiap" ialah orang gagah, dan "tay" yang besar.
Siauw Pek merangkap kedua tangannya membalas hormat, sambil merendah dia berkata. "Aku masih berusia muda, aku mengharap petunjuk dari kalian."
Segera terdengar pula suara Bun Koan, nyaring. "Saudaraku ini adalah Kim Too BengCu. Kalian telah menyaksikan kegagahannya, karena itu, tak usah punco menyebutnya lebih banyak pula."
Semua orang itu mengangguk tanpa mengatakan sesuatu. Siauw Pek terlihat tegas bagaimana kewibawaan kakaknya itu terhadap orang orang bawahannya.
Sementara itu hati suci dan pemurah dari Su Kay Taysu tak tenang disebabkan ia memikirkan it ceng semua yang terdiri dari beberapa puluh jiwa, maka itu, selagi semua diam, ia merangkap kedua tangannya terhadap si nona dan bertanya, "Nona Coh, orang tadi yang berjumlah tiga puluh lebih, telah matikah mereka semua karena bekerjanya racun ?"
Sepasang alis lentik si nona bergerak. matanyapun bersinar.
"Loosiansu" ia berkata tanpa menyangkal atau mengiakan pertanyaan si pendeta, "agaknya loosiansu sangat memperhatikan nasib mereka itu. Apakah loosiansu menghendaki hidupnya mereka atau kematiannya ?"
Hati Siauw Pek tidak tenang. Sikap kakaknya itu sikap keras. Tak
ingin ia ada perselisihan diantara kakak itu dan Su Kay. Karena itu
sebelum sipendeta menjawab, ia mendahului datang sama tengah.
"Siauw Lim Pay telah kehilangan kitab kitab pusakanya," demikian ia berkata kepada kakaknya itu, "dan semua orang itu ada sangkutpautnya dengan pusaka tersebut, karenanya losiansu sangat
menguatirkan kalau kalau mereka mati semuanya hingga tak ada lagi jalan mencari tahu tentang kitab pusaka itu."
"Pada saat ini mereka masih belum mati" sahut Bun Koan, dingin.
Mendengar kata kata kakaknya itu, sedikit itu legalah hati Siauw Pek. Ia segera memutar haluan.
"Kakak," katanya "kaulah pemilik Kiu IHeng Cie Kiam, tetapi kenapa kaupun menjadi tongcu dari chee liong Tong dari Seng Kiong Sin Kun?"
Kakak itu tertawa hambar.
"Kedudukan tongcu dariku ini adalah kedudukan sementara waktu, karena terpaksa oleh suasana," sahutnya. "Aku menggunakan tubuh lain orang..."
Ia mengernyitkan alisnya, terus ia menghela napas perlahan- Hanya sedetik ia melanjutkan kata katanya. "Guna membalas sakit hati besar dari Pek Ho Bun, kakakmu ini perlu mengumpulkan tenaga yang besar, sambil berbareng melakukan pembalasan terhadap setiap musuh kita. Telah aku berpikir keras, telah aku menggunakan banyak daya, masih belum berhasil aku mencari musuh musuh besar kita, si biang keladi. Barulah yang paling belakang ini, aku berhasil mendapat tahu tentang suatu rahasia besar..."
Siauw Pek heran, hatinya tertarik. "Rahasia apakah itu, kakak?" tanyanya.
Sinar mata si nona bermain main- Disitu tampak cahaya kesedihan dan kegusaran- Ia masih muda tetapi telah banyak pengalamannya, penderitaannya membuat hatinya jadi membaja. Maka juga, walaupun ia sangat berduka, sanggup ia mempertahankan melelehnya air mata.
"Rahasia itu menyangkut nama baik keluarga kita," sahutnya, dingin. "Rahasia itu panjang untuk dituturkan. Lain kali saja akan aku ceritakan kepadamu..."
Siauw Pek mengerti. Disitu banyak orang luar sedang ceritera si kakak mengenai keluarganya. Tetapi ia berduka. Iapun malu kalau
ia ingat, ia adalah seorang pria tetapi usahanya masih kalah dari
usaha kakaknya itu. Tanpa merasa, air matanya menetes turun...
Bun Koan bagaikan hendak meredakan kesedihan adiknya itu, ia barkata: "Aku mengetahui rahasia ini sesudah aku masuk didalam rombongan Seng Kiong Sin Kun. Itulah mengenai si biang jahat. Karena itu aku segera berusaha keras untuk mencari tahu sarangnya. Baru beberapa hari yang lalu, dengan kebetulan saja aku dapat membekuk mulutnya aku mendapat tahu tentang pendurhakaan dan penghinaan pendeta pendeta dari Siauw Lim Sie itu"
"Siapakah itu Khouw Hong Tie?" tanya Siauw Pek. Ia tak kenal nama itu.
Ban Liang menyela. "Dia adalah ketua dari Tiat ciang Bun. salah satu dari keempat Bun."
Bun Koan mengangguk. "Ban Loo Enghiong benar," bilangnya. "Memang Khouw Hong Tie itu ketua Tiat ciang Bun. Aku kaget sekali waktu aku bertemu dengannya"
Siauw Pek heran. "Kenapakah, kakak?" tanyanya.
"Duduknya begini," sang kakak menerangkan "pada setengah bulan terdahulu, selagi aku berada diwilayah KangCiu tengah menyelidiki letak Seng Kiong, disana seCara kebetulan aku bertemu dengan Khouw Hong Tie. Dia justru tengah menyelidiki tentang pemilik pedang Kiu Heng Cie Kiam. Kami berdua bentrok. kami berkelahi, Khouw Hong Tie kalah, dia mati ditanganku, dibawah pedang emasku."
"Pedang emas" ialah "kim kiam" (Kim emas, Kiam pedang).
Si nona berfikir sedetik, lalu sambungnya. "Ketika itu telah aku ketahui bahwa ayah dan kakak kita telah terbinasa ditangan orang orang dari sembilan pay besar, empat bun, tiga hwee dan dua pang,
bahwa orang yang dibelakang layar ialah Seng Kiong Sin Kun, akan tetapi supaya mudah pembalasanku, guna memperkurang perintangku, habis membinasakan Khouw Hong Tie, diam diam aku mengubur mayatnya. Perbuatanku itu tersimpan bagaikan rahasia, bahkan orang orang Tiat ciang Bun juga tak ada yang tahu bahwa ketuanya telah terbinasa ditanganku. Siapa tahu, selewatnya setelah bulan itu, mendadak aku bertemu pula dengan Khouw Hong Tie yang masih hidup,.."
Siauw Pek mengerutkan alisnya.
"Seng Kiong sin Kun, pandai dalam ilmu merubah wajah muka orang," berkata dia "Dia pandai membuat satu orang mirip dengan orang lainnya hingga mereka berdua itu menjadi kembar, sulit dibedakan mana yang tulen dan mana yang palsu. Khouw Hong Tie itu pastilah karya dia "
"Ketika itu aku heran bukan main," Bun Koan meneruskan Ceriteranya. "Aku menyembunyikan diri, seCara diam diam aku awasi gerak gerik Khouw Hong Tie. Begitulah aku mendapat tahu dia memerintahkan orang orang Tiat ciang Bun mengenakan tutup kepala dan muka warna hitam, mereka itu diperintahkan lekas pergi ke gunung Siong San untuk menyambut it Tie, pendeta Siauw Lim Sie yang berkhianat dan memberontak itu."
Siauw Pek terperanjat. "Teranglah bahwa kaum Kang ouw atau Bu Lim telah terpedayakan Seng Kiong Sin Kun" katanya. "Dia Cerdik dan licik, dia pandai mempermainkan orang tanpa orang sadar bahwa dirinya dijadikan boneka, tanpa orang insyaf bahwa dia telah diperintah melakukan segala sesuatu yang tak wajar..."
"Tapi itu tak selamanya benar," berkata sang kakak, tawar. Siauw Pek heran.
"Bagaimana itu?" tanyanya.
"Dari sembilan pay besar, empat bun tiga hwee dan duapang, telah ada banyak orang pentingnya yang sudah menakluk kepada
Seng Kiong Sin Kun It Tie dari Siauw Lim Sie ialah salah satu contoh. Yang lainnya lagi seperti Gouw In cu dari Bu Tong Pay, Hoat ceng dari Ngo Bie Pay dan Shie Siang Hin dari Khong Tong Pay. Mereka itu bertakluk kepada sin Kun semenjak sepuluh tahun yang lampau"
"Itulah kejadian yang sungguh diluar dugaan orang" berkata Siauw Pek masgul, hingga kembali ia mengerutkan dahinya. "Mereka toh ketua ketua dari keempat partai besar yang
kedudukannya tinggi dan mulia" Kenapa mereka justru tunduk
terhadap orang yang mencelakai guru mereka masing masing ?"
"Peristiwa di Yan In Hong itu terjadi menurut rencana Seng Kiong Sin Kun," Bun Koan menerangkan terlebih jauh. "Dia bekerja dibelakang layar. Yang turun tangan ialah It Tie berempat itu. Dengan lebih tegas, mereka menjadi mata mata Sin Kun, mereka berkhianat terhadap partai sendiri. mereka merampas kedudukan ketua partainya masing masing dengan bantuan Sin Kun itu. Dengan begitu juga Sin Kun jadi mengumpul tenaga bantuan untuk dirinya sendiri, guna Cita cita yang besar. Dia hendak merajaiBu Lim dunia Rimba Persilatan."
su Kay kaget hingga mukanya menjadi pucat.
"Nona," tanyanya. "Dari manakah nona ketahui semua ini ?" Nona Coh tertawa dingin.
"Apakah taysu tidak percaya?" dia balik bertanya.
"Loolap percaya, nona," sahut Su Kay tetap. "Hanya saja urusan ini sangat mengejutkan. saking anehnya hingga sulit orang mempercayainya."
Bun Koan tetap tertawa dingin.
"Ketua kalian, It Tie telah kabur dengan membawa kitab kitab pusaka partai kalian, dia berkhianat dan memberontak^ tidakkah itu sangat mengejutkan ?" tanyanya. "Toh kejadiannya benar benar dan terbeber dihadapan mata kita, mau atau tidak. orang mesti mempercayainya "
Tajam dan keras suara si nona. Siauw Pek kuatir su Kay nanti tersinggung, maka ia mengawasi kakaknya itu dan berkata: "Apakah dari partai partai lainnyapun ada lagi yang berkhianat dan memberontak itu ?"
"Tentang itu, aku masih belum memperoleh keterangan," sahut sang kakak, yang merandak sejenak. "Hanya saja, terhadap yang dia belum pengaruhi, Seng Kiong Sin Kun menggunakan siasat lainnya, yaitU ia menyamarkan ketua ketua partai yang bersangkutan itu, ia memalsukan segala titah partai, supaya orang orang partai yang belum ditaklukkan itu dapat diperintah sesukanya olehnya. Ini juga merupakan suatu siasat yang lihay sekali."
Tiba tiba : "Coh Bun Koan, rahasia yang kau ketahui tak sedikit jumlahnya" demikian terdengar satu suara mengalun yang memasuki pendopo besar itu.
Hanya sejenak itu, tubuh Siauw Pek sudah bergerak. untuk melesat keluar toatian guna mencari orang yang berbicara itu. Tapi sama sebatnya, Bun Koan telah menyambar dan menarik lengan adiknya itu, mencegahnya melompat keluar.
"Siapa disana?" tanya Nona Coh sambil mencegah saudaranya itu.
Suara tadi yang datangnya bagaikan dari atas udara, terdengar pula: "Kalian kakak beradik, bukankah kalian berniat untuk membalaskan sakit hati ayah dan kakakmu ?"
Bun Koan tidak menjawab, hanya dia bertanya dingin: "Kaukah Seng Kiong sin Kun?"
"Tak salah Itulah punco" sahut suara itu.
Darah Siauw Pek bergolak mendengar mengetahui orang itu ialah musuh besarnya. Kembali ia hendak melompat keluar pendopo, untuk mencarinya. Tapi Bun Koan mencekal keras tangan adiknya itu.
"Jikalau benar kau sendirilah yang hadir, Sin Kun," kata si Nona. "mengapa kau tak sudi menampakkan diri ?"
Suara itu menjawab pula, sama sabarnya seperti barusan: "Punco masih mempunyai urusan, buat sementara ini belum dapat punco menemui kalian kakak beradik sekarang ini baiklah kamu rajin rajin melatih ilmu silat kamu, untuk menanti hari pertemuan kita "
Mata Siauw Pek merah membara. "Kakak, lepaskan tanganku" katanya.
sebelum Bun Koan menjawab adiknya, terdengar pula suara tadi.
"Walaupun ilmu silatmu sempurna, kau masih bukan tandinganku" demikian katanya, mencemooh. "Dibelakang hari kita akan bertemu pula, maka sekarang janganlah kau bergusar tak karuan "
makin lama suara itu terdengar makin jauh, sampai pada kata kata "tak karuan", suara tinggal bagaikan nyamuk. Maka teranglah bahwa orang telah pergi jauh. Siauw Pek gusar hingga tubuhnya menggigil sendirinya, hingga ia mengucurkan air mata
Untuk sejenak. Bun Koan berdiam ia agaknya sangat bersusah hati, ia merasa kasihan terhadap adiknya itu, tetapi dilain saat muncul pula sikap dingin dan agungnya. "Mungkin dia itu memang jauh lebih lihay dari pada kita," katanya tawar.
"Sekalipun kita tak dapat melawan dia, tak dapat kita membiarkannya berlalu sesukanya" berkata sang adik, yang hatinya masih panas.
"Saat ini bukan saatnya menggunakan kekerasan," kata Bun
Koan sabar, tetapi nada suaranya sangat dingin. "Buat apa kita
mengumbar hawa amarah kita jikalau itu toh tak ada faedahnya ?"
Su Kay Taysu, yang sejak tadi berdiam saja, menghela napas. Iapun mengagumi ketenangan nona itu.
"Loolap pun tadi berniat menyusul keluar pendopo, loolap ingin memaksa dia memperlihatkan diri Sayang loolap tak tahu dia sebenarnya berada dimana..."
"Adik, sabar," berkata Bun Koan kemudian- "Buat menuntut balas, memang mesti kita cari dia " Ia memutar tubuh kebelakang, untuk memerintahkan seorang berseragam hitam dibelakangnya itu: "coba pergi lihat di pendopo belakang, Uh bun ceng masih ada atau tidak."
"Baik, nona" berkata pengikut itu, yang terus lari ke belakang.
Menyaksikan gerak gerik si nona, Ban Liang berkata didalam hatinya: "Nona ini cerdas Sekali, dia pula teliti, memang pantas dia menjadi pemimpin..."
Tidak lama, pengikut tadi sudah kembali dengan lari lari terengah engah, agaknya dia heran dan kaget, hingga ketika dia memberikan laporannya, suaranya bergemetar. "Nona, orang orang tawanan kita telah mati semuanya "
Menyusul pengikut itu, muncul empat orang berseragam hitam
yang bertubuh besar. Mereka segera berlutut didepan si nona, paras
mereka pucat sekali, suatu tanda mereka heran, kaget dan takut.
Bun Koan menatap bengis kepada keempat orang itu, yang tak dapat segera berkata kata. "Kamu toh yang bertugas menjaga pendopo belakang?" tanyanya, keren.
Dengan muka pucat, dengan roman ketakutan, empat orang itu mengangguk. "Benar..." sahutnya, susah.
Siauw Pek mengawasi kakaknya. Ia mendapat kenyataan kakak itu gusar sekali, hingga ada kemungkinan dia akan menjatuhkan hukuman mati kepada empat pengikutnya itu. Maka lekas lekas ia campur bicara.
"Apakah mereka semua mati disebabkan bekerjanya racun?" ia mendahului menanya mereka itu.
Bun Koan mendahului orang orangnya itu menjawab adiknya.
"Tak mungkin mereka itu terbinasa karena bekerjanya racun" ujarnya. "Pasti kematian itu hasil perbuatan seng Kiong Sin Kun- Dia
tidak dapat menolong, dia juga tak menyukai orang terjatuh
kedalam tanganku, karena itu, dia membinasakan mereka semua " Keempat orang itu takut bukan mainHati Su Kay pun berdenyutan, hingga berulang kali ia memuji Sang Buddha. ia takut Nona Coh kembali membunuh orang. Lekas ia berkata, "Seng Kiong Sin Kun hebat luar biasa sekalipun kita, tidak dapat kita mencegahnya berlalu dari sini, apa pula ini empat orang petugas..."
"Bagaimana dengan Uh bun ceng dan Khouw Hong Tie?" si nona tanya pula, dingin.
"Telah hamba memeriksanya, semua tiga puluh sembilan tawanan lengkap mayatnya, satu pun tidak kurang," menjawab si pengikut wanita.
"Amidha Buddha " Su Kay memuji, "orang itu sangat kejam, dia gemar sekali membinasakan orang, tak dapat dia dikasih hidup didalam dunia"
Saking gusarnya, pendeta ini menjadi hilang sabar.
Bun Koan menatap pendeta itu, dari roman mukanya, ia hendak mencemooh, tapi lantas diulapkannya tangannya kepada empat orang petugasnya itu.
Bukan main girangnya keempat orang itu, lekas lekas mereka menghaturkan terima kasih sesudah itu, lekas lekas juga mereka mengundurkan diri.
Seberlalunya empat orang pengikut itu, Bun Koan berkata: "Apa yang aku lakukan sebegitu jauh adalah apa yang dinamakan pembunuh pembunuh gelap. Aku pula tidak mempunyai tempat
kediaman yang tetap, karena itu, aku singgah dimana aku suka..." ia
menoleh kepada Ban Liang, dan memanggil: "Ban Loo Enghiong"
"Ada apa, nona?" menjawab sijago tua, sambil merangkap kedua tangannya.
"Baru saja Seng Kiong Sin Kun mengatakan dia mempunyai urusan, dapatkah loo Enghiong menerka urusan itu urusan apa?" sinona bertanya.
Seng su Poan berpikir cepat.
"Mungkin itu mengenai It Tie," sahutnya.
"Dugaanku sama dengan dugaan loo Enghiong," sinona berkata. "Rupa rupanya Seng Kiong sin Kun masih belum berhasil mendapatkan kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie itu."
"Siauw Lim Pay mengerahkan tenaganya secara besar besaran," Siauw Pek turut bicara, "dengan begitu It Tie menjadi terdesak sampai dia kehabisan jalan lolos, kelangit tak dapat naik, kebumi tak dapat masuk. karena itu, pastilah tak mudah seandainya Seng Kiong Sin Kun menghendaki kitab kitab pusaka itu..." sekonyong konyong alis sinona terbangun.
"Ada pepatah yang mengatakan, Kerajaan cin kehilangan menjangannya, dunia sama memburu mengejarnya," katanya. "Demikian dengan halnya barang pusaka Siauw Lim Pay itu, karena sekarang pusaka itu tak ada pemiliknya lagi, sudah selayaknya saja jikalau kita bekerja keras untuk mencoba merampasnya"
Su Kay Taysu jengah sendirinya mendengar kata kata polos dari sinona, yang bicara tanpa tedeng aling aling lagi sekalipun dihadapannya ada pendeta dari Siauw Lim Sie. Orang Siauw Lim Pay yang masih mempunyai hak atas kitab kitab pusaka itu. Bahkan Siauw Pek sendiri turut jengah juga .
Bun Koan melihat semua orang bungkam, ia tertawa tawar. "Adik" katanya.
"Ada apa kakak?" tanya si anak muda.
Nona Coh mengawasi saudara mudanya itu, tanyanya: "Diantara musuh keluarga Coh yang dahulu mengejar ngejar kita, ada juga pendeta pendeta dari Siauw Lim Pay, kau tahu atau tidak"
Siauw Pek menghela napas ia dapat menerka hati kakak itu. Sang anak tengah bergusar.
"Itulah perbuatan It Tie satu orang" sahutnya perlahan- "It Tie telah menjadi murid murtad dan durhaka, penghianat dari kuil dan partainya, maka itu janganlah kita karena kita membenti It Tie satu orang, menyama ratakan semua orang Siauw Lim Sie."
Bun Koan tetap tertawa dingin. Katanya bengis: "It Tie menjadi musuh besar kita, dia juga murid murtad dan durhaka dari Siauw Lim Sie .Jikalau kita Cari dan bekuk dia, kita toh tidak bersalah, bukan ?"
"Memang, kakak..."
Nona itu tertawa, bengis nadanya. Segera ia memberikan perintahnya, ia memeCah orang orangnya buat pergi turun gunung, untuk nanti berkumpul dikaki gunung Siong San, pusat Siauw Lim Sie.
Perintah itu ditaati, dengan Cepat semua kiamsu serba hitam itu memeCah diri dalam tujuh pasukan keCil dan segera berangkat turun gunung, menuju ketempat yang ditunjuk itu.
Tatkala waktu fajar yang Cerah, Bun Koan juga lalu berangkat bersama empat pelayan kepercayaannya, Siauw Pek turun bersama Ban Liang, Oey Eng dan Kho Kong dan Su Kay Taysu. Pendeta ini likat atau tidak, terpaksa harus turun bersama. ia dapat memahami jalan pikiran Nona Coh. Ia insyaf kekeliruan pihaknya, walaupun semua itu disebabkan pengkhianatan It Tie seorang.
Pikiran Su Kay Taysu sama dengan pikiran Siauw Pek. Untuk membekuk It Tie, mereka berdua sependapat. Untuk merampas kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie, itulah urusan lain-Itu pula pekerjaan tak mudah. Maka juga mereka terserah pada sang waktu nanti...
Rombongan Siauw Pek, bahkan Siauw Pek sendiri, jeri terhadap kewibawaan Nona Coh. Nona itu gagah, keras hati dan pandai
mengambil keputusan Cepat. orang boleh tak takut tetapi orang harus menghormati atau mengaguminya...
Sambil berjalan itu, Bun Koan mengambil kesempatan berbicara banyak dengan adiknya yang dia tanyakan pengalamannya semenjak mereka terpaksa berpisah di muka jembatan maut seng Su Kio -Jembatan Hidup atau Mati.
Siauw Pek menuturkan segala pengalaman bagaimana ia berhasil melintasi jembatan itu hingga bertemu dengan Kie Tong dan Siang Go hingga memperoleh pelajaran ilmu pedang dan ilmu golok kedua jago itu, bagaimana dalam perjalanan mengembara ia bertemu Oey Eng dan Kho Kong dan Ban Liang sijago tua, bagaimanakah ia mendapat warisan golok ceng Go Loojin sehingga ia membangun Kim Too Bun, partainya itu. ia menceritakan perjalanannya mengunjungi Hoan Tiong Beng sehingga ia bertemu dengan kedua Nona Hoan, yang membantunya melawan musuh musuhnya sampai
mereka berhasil menolong ketua dari Ngo Bie Pay, sampai paling
belakang itu mereka menempur orang orang Seng Kiong Sin Kun.
"Dengan kedua saudara Hoan itu, pernah satu kali aku bertemu muka," berkata sang kakak. yang menghela napas. "Mereka itu Cerdas sekali dan Cantik, sayang Thian yang berkuasa tak memberkahi mereka..."
"Mungkin kamu belum jelas, kakak," kata Siauw Pek. "Walaupun mereka itu bercacat, mereka bukan main cerdik dan pandainya, mereka melebihi kebanyakan orang."
"Syukurlah kalau begitu"
Nona Coh mengangguk. lalu ia menambahkan^ "Di bawah perintahku ada tujuh orang kiamsu. Kepada mereka itu aku telah menjanjikan diriku, yaitu aku akan menikah dengan satu diantaranya yang paling gagah dan lihay maka juga mereka itu selalu bekerja mati matian membantu aku. Mereka berebut membuat pahala supaya dapat mendahului memilikiku."
Mendengar keterangan itu, Siauw Pek melengak. Tidak tahu ia harus berkata apa. Hati Su Kay Taysu berdebar sendirinya. Pikirnya:
"Aneh Nona ini. Saking kerasnya keinginan menuntut balas, ia sampai bertindak tanpa pikir panjang lagi, hingga tubuhnya sendiri dijadikan taruhan hadiah"
Siauw Pek sebaliknya terharu sekali, ia berduka.
"Kakak..." katanya, air matanya mengucur turun. Ia menangis
sesegukan. "Putusanku telah tetap adikku," berkata Bun KoanJikalau dapat, kakak, baik kakak batalkan janjimu itu," berkata sang adik. "Tanggung jawab menuntut balas sakit hati kita serahkan kepadaku saja, aku tak akan mundur sekalian pun aku mesti kehilangan kepalaku" Bun Koan tertawa.
"Tak usah kau pikirkan aku," katanya. "Mulanya aku bersendirian, aku kekurangan tenaga, aku bertindak saking terpaksa. Sekarang ini lain-.."
Tengah mereka bicara itu, tampak kiamsu,jago pedang, lari mendatangi Cepat sekali. Alis Bun Koan terbangun. Darijauh jauh ia sudah mengenali jagonya itu.
"Ngo kiamsu, ada apakah?" tanyanya.
"Ngo kiamsu" ialah jago yang nomor lima (ngo).
Kiamsu itu berumur kira kira empat puluh tahun, mahir ilmunya, ringan tubuhnya, setelah datang dekat, dia memberi hormat seraya memberikan laporannya. "Baru Siok hee menerima laporan bahwa pihak Siauw Lim Sie telah memperoleh bala bantuan maka juga mereka bisa lolos dan lari menuju ketimur."
"Apakah ada berita mengenai It Tie?" tanya Bun Koan"Belum." sahut ngo kiamsu. Dia agak bersangsi sejenak baru dia menambahkan. "Pagi ini ada serombongan besar orang orang berkerudung kepala tiba disini, mereka itu segera bentrok dengan pihak Siauw Lim Sie, tapi anehnya, mereka bertempur sambil berlari lari. Rupanya mereka itu sama sama mencari It Tie."
Nona Coh berpikir Cepat, maka Cepat juga ia memberikan perintahnya. "Perintahkan semua orang mengenakan kerudung kepala Kalau terjadi sesuatu lekas memberikan laporan"
"Baik" menjawab ngo kiamsu, yang terus memberi hormat dan pergi. Siauw Pek memandang kakaknya itu. "Apakah kakak berniat menyusul ke timur?" ia tanya. Bun Koan menggeleng kepala. "Kita harus pergi dahulu ke Siong San."
Sang adik heran- "Untuk apakah?" tanyanya.
"Tentu saja untuk selagi api bekobar kita membarengi merampok" sahut kakak itu terus terang. "Kita harus berdaya merampas kitab kitab pusaka itu" sambung Bun KoanMau atau tidak. Coh Siauw Pek tersenyum.
"Pihak Siauw Lim Sie telah meluruk keluar, maksudnya yang utama ialah mencari It Tie" berkata ia, "Maksud mereka itu ialah untuk mendapat kembali kitab kitab pusaka mereka. Kenapa sekarang kakak mau pergi ke Siong San. Bagaimanakah pendapat kakak?" tanya si adik.
Bun Koan bersikap dingin ketika menjawab adiknya itu. "Sampai didetik ini tidak seorang pun jua yang berhasil menemukan It Tie. Bahkan Seng Kiong Sin Kun sudah berhasil memiliki kitab kitab itu,
pasti dia dapat seCara langsung menghadapi pihak Siauw Lim Sie
tak usah dia kelabakan seperti ini." Si anak muda terCengang.
"Kalau begitu" katanya ragu ragu "jadi kakak maksudkan It Tie..."
"Itu Tie belum meninggalkan Siong San"
Su Kay yang berdiri dibelakang kakak beradik itu dia heran sekali hingga dia terkejut.
"Nona, apakah yang dijadikan dasar pendapatmu ini?" tanyanya "Kenapa nona percaya It Tie belum meninggalkan gunung kami?"
Bun Koan bersikap tawar seperti biasa.
"Berdasarkan pengalamanku hidup menderita delapan atau sembilan tahun," sahutnya.
Su Kay berdiri tertegun, Nada suara si nona tetap bernada bermusuhan- Terang si nona sangat sakit hati. Karena ini, sulit buat ia membuka mulut guna menjelaskan sesuatu.
"Kakak" Siauw Pek berkata pula. "Kakak berpendapat begini, mesti ada sebabnya, sayang aku bodoh, tak dapat aku menerkanya. Maukah kakak menjelaskannya?" tanya Siauw Pek.
Selama berbicara itu, mereka masih berlari lari. Bahkan Bun Koan lari cepat dengan menggunakan ilmu ringan tubuh. Sambil lari itu, dengan suara sabar, ia menjawab. "it Tie cerdik dan licik, dia berontak. dia pasti telah memikirkannya masak masak. Dia telah menjadi ketua partai, pasti dia tahu jelas keadaan partainya itu, terutama tentang kekuasaan partai. Dia tentu tahu baik sekali bahwa dalam ilmu silat dia tak dapat melayani kesembilan tiangloo, dan juga dia mengerti bahwa sulit baginya menyingkir lolos dari tangan para tiangloo itu."
"Jadi kakak maksudkan, untuk dapat lolos, It Tie perlu gunakan tipu daya yang licik itu."
"Memang" sahut Bun Koan- "Tapi akal itu banyak macamnya. Akal apakah harus digunakan" Dia memikir tipu daya tonggeret melepaskan kerangkanya. Begitulah dia sendiri, dia tetap berdiam di dekat Siong San- Dia menanti sampai orang orang turun gunung semua baru ia melihat selatan, akan menggunakan akal lainnya buat pergi lolos." Siauw Pek berpikir.
"Itu benar juga ," katanya. "Andaikata para pengejarnya pergi keselatan, dia dapat menyamar dan kabur keutara, dengan begitu dia tentu tak nanti kena tersusul dan tertawan."
Hati Su Kay terasa dingin mendengar pembicaraan kakak beradik itu, Sinona menerka benar. Karena itu, ia segera campur bicara.
"Sudah lama It Tie takluk kepada Seng Kiong sin Kun," demikian katany, "Maka itu selolosnya dari Siauw Lim Sie, dia tentu pergi ke Seng Kiong, untuk memohon perlindungan"
"Itu belum tentu," kata si nona. "Ketika ia menakluk kepada Seng Kiong sin Kun, itulah kejadian pada banyak tahun yang lalu, akan tetapi didalam Siauw Lim Sie, dia telah berkuasa selama sembilan tahun, dia pegang kekuasaan besar, ada kemungkinan, karena kedudukannya yang tinggi itu, dia sudah memikir lain yaitu dia jadi sungkan berada dibawah perintah orang."
Pengalaman membuat sinona dapat berpikir luas, maka juga dalam urusan It Tie ini, beda pendapatnya dari Siauw Pek atau Su Kay Taysu Siauw Pek heran hingga ia berdiam.
"Jadi kakak." tanyanya kemudian, "kau berpendapat bahwa It Tie
akan atau sudah memberontak terhadap Seng Kiong Sin Kun?"
"Demikianlah perkiraanku" jawab sang kakak. "Kekuasaan adalah unsur yang aneh. orang dapat ketagihan terhadapnya. Demikianpun aku sendiri. pada waktu pertama kali aku membangun Kiu Heng Cie Kiaw maksud utama dari aku ialah menyelesaikan sakit hati pribadi, tetapi sesudah lewat sekian lama, setelah aku berhasil seperti sekarang, cita citaku melampaui itu. Tak mudah buatku melepaskan kekuasaanku ini. Tanpa kekuasaan, aku akan merasa kesepian dan kehilangan..."
"Aku berpikir sebaliknya, kakak," berkata Siauw Pek. "Aku justru merasa hidup merdeka dan sebatang kara. Itulah bebas sekali,
itulah jauh lebih menyenangkan daripada kita menjelajah kesana
kemari, hingga kita bagaikan terikat..." Bun Koan tertawa.
"Berapakah jumlah orang orang mu, adikku?" tanyanya, dingin.
"Semua cuma terdiri dari enam atau tujuh orang," sahut Siauw Pek tersenyum. "Mereka itu bukanlah orang orangku hanya saudara saudari saja."
Pahlawan Dan Kaisar 21 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Geger Dunia Persilatan 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama