Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
PENDEKAR BAJU PUTIH Asmaraman S Kho Ping Hoo Puncak Thian-san menjulang tinggi di angkasa menembus awan putih. Sukar bagi
manusia untuk mencapai puncak yang diliputi
salju itu. Dusun-dusun yang ditinggali orangpun hanya sampai di lereng paling
bawah, di tengah-tengah Pegunungan Thiansan itu.
Dari lereng yang tertinggi, kalau orang memandang ke bawah, akan
menikmati tamasya alam yang amat indah menakjubkan. Bagaikan kain lebar
berkembang-kembang, nampak dataran di bawah dengan sebagian besar
warna hijau dan warna kuning di sana sini. Warna genteng-genteng rumah
pedusunan nampak seperti bunga berkelompok-kelompok. Dan dataran di
mana tumbuh rumput hijau seperti permadani hijau terhampar di dataran itu.
Di sebuah di antara lereng-lereng itu terdapat sebuah perkampungan yang
cukup besar, dengan sedikitnya seratus buah rumah dan itulah pusat Thiansan-pang, sebuah partai Persilatan, yang biarpun tidak sebesar partai-partai
Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai atau Go-bi-pai, namun cukup
terkenal karena Thian-san-pang juga sudah menghasilkan banyak pendekar
silat yang bijaksana, budiman dan tangguh.
Tamasya alam indah seperti yang terdapat di Thian-san merupakan anugerah
Tuhan yang tersebar di mana-mnna. Alam semesta yang indah sekali
1 diberikan Tuhan untuk manusia, untuk dimanfaatkan dan dinikmati karena
selain indah juga mengandung sarana kehidupan bagi umat manusia dengan
hasil-hasil sawah ladangnya, hasil-hasil air sungainya.
Keindahan dan kebesaran alam terdapat di mana saja, hanya tinggal bagi kita
untuk membuka mata menikmatinya. Sayang, kebanyakan dari kita tidak mau
membuka mata menemukan segala keindahan ini, karena mata kita sudah
penuh dengan penderitaan, dengan masalah dan kedukaan.
Kita seperti buta terhadap sinar matahari yang cerah indah dan menghidupkan, kita seakan sudah tuli akan suara burung di angkasa, desah
angin di antara daun-daun pohon, hidung kita sudah buntu untuk dapat
menikmati kesedapan tanah tersiram air, bunga-bunga yang sedang mekar
dan bau rumput bermandikan embun, sudah lupa untuk menikmati udara
yang sedemikian sejuk dan segarnya memasuki hidung terus ke paru-paru.
Semua itu demikian indahnya, demikian nikmatnya, namun kita sudah tidak
dapat merasakan semua itu. Keindahan dan kenikmatan yang diberikan Tuhan
melalui alam di sekeliling kita, tidak terasa lagi karena hati akal pikiran kita
sepenuhnya tertuju untuk mencari kesenangan dan akibatnya, kita dibelenggu
dan tenggelam ke dalam ketidakpuasan, kekecewaan dan kesedihan.
Adakah yang lebih indah dari pada jutaan bintang di langit tanpa bulan, atau
bulan sedang purnama, atau tamasya alam di pegunungan atau lautan"
Adakah yang lebih indah didengar dari pada kicau burung-burung di pagi hari,
menimpali gemercik air anak sungai, atau rintik hujan di malam hari, atau
gemuruh gelombang samudera luas, atau tawa seorang ibu yang menimang
anaknya" Adakah yang lebih harum semerbak dari pada tanah basah, rumput
berembun, bunga berkembang dan aneka daun pohon"
2 Thian-san memiliki semuanya itu. Namun, sungguh manusia sudah menjadi
budak nafsunya sendiri, manusia dengan nafsunya selalu mencari yang tidak
dimilikinya, mencari yang tidak ada. Karena itulah, maka orang yang tinggal
di pegunungan sudah tidak lagi dapat mengagumi dan menikmati tamasya
alam pegunungan dan mereka yang tinggal di pesisir samudera tidak lagi
dapat menikmati keindahan gelombang lautan.
Mereka itu, penduduk pegunungan dan pantai lautan, rindu akan kehidupan
di kota! Seolah di kotalah letak semua keindahan yang didambakan. Pada hal,
orang-orang yang tinggal di kota merindukan keindahan alam pegunungan
dan pantai lautan! Selalu mencari yang baru, selalu mencari yang tidak dimilikinya, itulah ulah
nafsu. Bosan dengan yang ada, mencari yang lain lagi yang dianggapnya akan
lebih menyenangkan itulah kerjanya nafsu. Dia menuruti daya pikat nafsu ini
yang kita namakan kemajuan!
Perkampungan Thian-san-pai nampak sibuk di pagi hari itu. Para anak buah
atau murid Thian-san-pai mulai bekerja, dan mereka yang tidak membersihkan bangunan induk yang menjadi tempat tinggal ketua dan
merupakan tempat pusat bagi mereka untuk mengadakan pertemuan atau
berlatih silat, pergi ke sawah ladang. Mereka hidup sebagai petani, dan bumi
di Pegunungan Thian-san itu memang subur.
Mereka menanam sayur mayur, juga menanam rempah-rempah yang tidak
habis dimakan dan dipergunakan sendiri. Selebihnya dijual ke bawah gunung
dan ditukar dengan kebutuhan lain. Mereka hidup sederhana dan menerima
sokongan dari para murid Thian-san-pai yang sudah bekerja di luar sebagai
guru silat atau piauwsu (pengawal barang).
3 Pada hari itu, ketua mereka tidak berada di rumah. Tiong Gi Cinjin ketua
Thian-san-pang atau Thian-san-pai, sedang pergi ke luar kota, berkunjung ke
rumah seorang sahabatnya dan kepergiannya makan waktu lima-enam hari.
Akan tetapi, biarpun ketuanya tidak berada di rumah, para murid, laki
perempuan, tetap saja bekerja dengan rajin dan di antaranya ada yang
berlatih silat. Pada pagi hari itu tiba giliran murid-murid wanita yang berlatih silat, dipimpin
oleh seorang gadis yang menjadi murid kepala bagian wanita. Gadis ini
bernama Song Bi Li, seorang gadis, berusia duapuluh tahun yang cantik dan
gagah. Dia mengajarkan ilmu silat kepada belasan orang wanita yang menjadi murid
di situ, ada yang masih gadis, ada pula yang sudah bersuami. Akan tetapi di
antara para murid wanita ini, kecantikan Bi Li memang menonjol.
Ia berpakaian sederhana saja, dari kain kuning, rambutnya digelung ringkas
ke atas, diikat pengikat rambut dari pita sutera merah. Ia baru memberi
contoh bermain pedang kepada para murid lainnya.
Memang di antara para murid, bahkan juga murid pria, tingkat kepandaian Bi
Li paling tinggi. Ia merupakan murid kesayangan dari Tiong Gi Cinjin, seorang
gadis yatim piatu yang sejak berusia enam tahun sudah dipelihara dan diambil
murid Tiong Gi Cinjin sehingga kini menjadi murid yang paling pandai.
"Jurus Sin-liong-jut-tong (Naga Sakti Keluar Guha) ini memang agak sulit
gerakannya, maka harap perhatikan baik-baik!" sekali lagi Bi Li menerangkan,
lalu ia menggerakan pedangnya unluk memberi contoh gerakan itu.
4 Mula-mula pedangnya menusuk ke depan, lalu tubuhnya berputar namun
terus menyerang ke depan sampai tiga langkah. Cara berputar itulah yang
sukar dan semua murid satu demi satu disuruh mencoba sampai dapat
menguasai gerakan itu dengan benar.
Ketika para wanita itu sedang berlatih di lian-bu-thia (ruang belajar silat) yang
luas dan jendelanya terbuka, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa
bergelak. Semua wanita kaget dan Bi Li cepat memutar tubuhnya dan melihat bahwa di
luar sebuah jendela yang terbuka nampak seorang laki-laki sedang menonton
sambil tertawa-tawa. Laki-laki ini berusia kurang lebih tigapuluh tahun,
berwajah tampan dan berpakaian mewah seperti seorang sasterawan, juga
tangannya memegang sebatang suling yang warnanya hitam mengkilap.
"Ha-ha-ha, begini sajakah ilmu pedang Thian-san-pang yang terkenal itu" Dan
murid-murid wanita begini bodoh, membuat gerakan Sin-liong-jut-tong saja
tidak ada yang mampu, ha-ha-ha!"
Bi Li mengerutkan alisnya. Akan tetapi ia menjaga kesopanan sebagai nona
rumah, maka iapun memberi hormat dan bertanya, "Engkau siapakah dan
siapa pula yang memberi ijin kepadamu untuk masuk ke sini?"
Laki-laki yang tubuhnya jangkung itu tertawa dan mendengar teguran itu dia
malah menggerakkan kakinya dan bagaikan seekor burung saja dia telah
melayang masuk ke dalam lian-bu-thia itu.
"Nona, aku datang mnncari Tiong Gi Cinjin. Panggil dia keluar untuk menemui
aku. Katakan bahwa aku Hek-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Hitam) yang
datang untuk membuat perhitungan dengannya!"
5 Bi Li memandang tajam. Ia maklum bahwa gurunya, sebagai ketua Thian-sanpang dan sebagai seorang pendekar, tidak aneh kalau mempunyai banyak
musuh, terutama mereka yang pernah dikalahkan dan menaruh dendam.
Agaknya Sasterawan Bersuling Hitam inipun seorang di antara mereka,
pikirnya. "Amat sayang, Suhu tidak berada di rumah."
Orang itu mengerutkan alisnya. "Hemm, sesungguhnyakah" Dia pergi ke
mana?" "Suhu tidak pernah memberi tahu kami ke mana perginya dan berapa lama."
"Wah, sialan! Jangan-jangan dia sengaja menyembunyikan diri dan tidak
memberi kesempatan kepadaku untuk membuat perhitungan!"
Bi Li memandang dengan mata bernyala dan kepala ditegakkan.
"Suhu bukan seorang pengecut! Kalau suhu berada di rumah, tentu engkau
sudah dihajar sejak tadi!"
"Ha-ha-ha, aku memang minta pengajarannya. Dan siapa di antara muridnya
yang terpandai di sini?"
"Akulah murid kepala!" kata Bi Li bukan karena sombong, melainkan karena
ingin bertanggung jawab. "Bagus sekali! Engkau sudah mewakili gurumu melatih murid-murid lain, tentu
engkau sudah memiliki ilmu silat yang memadai. Sekarang begini saja,
engkau mewakili gurumu dan kalau dalam waktu duapuluh jurus engkau
6 mampu bertahan terhadap sulingku, anggap saja aku kalah dan aku tidak
akan berani mengganggu gurumu."
Bi Li adalah seorang gadis pemberani. Tantangan ini dianggap suatu
penghinaan. Biar gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya
dalam duapuluh jurus. Kalau orang ini benar dapat mengalahkannya dalam
dua puluh jurus, berarti bahwa mungkin saja gurunya akan kalah melawannya. "Aku tidak mencari permusuhan, akan tetapi kalau engkau datang untuk
mencari Suhu, dalam beberapa hari kembalilah dan mungkin engkau akan
dapat bertemu Suhu. Tidak perlu membuat kekacauan di sini karena kami
tidak mencari permusuhan!"
"Ha-ha-ha, begini sajakah murid kepala dari Tong Gi Cinjin" Jadi engkau tidak
berani menerima tantanganku untuk mampu bertahan selama duapuluh
jurus" Ha-ha-ha ternyata engkau tidak memiliki keberanian.
"Hek-siauw Siucai, siapa tidak berani melawanmu! Aku hanya tidak ingin
melancangi Suhu, akan tetapi kalau engkau memaksa, aku tidak akan undur
selangkahpun." "Bagus, tempat ini cukup luas, biar para anggauta Thian-san-pang menjadi
saksi. Hayo, mulailah, nona. Aku sudah siap!" kata orang itu sambil
memalangkan suling hitamnya di depan dadanya.
Karena ditantang di depan saudara-saudara seperguruannya, Bi Li tidak dapat
mundur kembali. Apalagi saudara-saudaranya juga kelihatan ingin sekali
melihat ia memberi hajaran kepada tamu yang dianggap terlalu memandang
rendah itu. 7 Bi Li juga menghadapi tamu itu dan memasang kuda-kuda, lalu berkata
dengan lantang, "Karena engkau memaksa, Hek-siauw Siucai, akupun siap
menghadapimu. Lihat pedang!" Bi Li sudah menyerang dengan daya serang
yang amat kuat dan cepat, pedangnya berkelebat menyambar dengan
tusukan ke arah dada lawan.
"Singg..... tranggg......!" Bunga api berpijar ketika suling hitam itu menangkis
pedang dan Bi Li merasa betapa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa
tenaga yang mendukung suling itu sungguh amat kuat.
Namun ia membuat pedangnya yang terpental itu membalik dan digerakkannya pedang itu untuk membacok lawan dengan jurus "Naga Sakti
Jungkir Balik". Tubuhnya membuat gerakan membalik dan pedang yang
tadinya terpental itupun membalik lalu menukik dengan bacokan ke arah leher
lawan. "Bagus!" Hek-siauw Siucai berseru memuji, akan tetapi suara yang memuji
itu mengandung ejekan. Dengan menggerakkan tubuhnya mundur dia sudah menghindarkan bacokan
pedang itu. Dan selagi pedang lawan menyambar lewat, dia sudah membalas
dengan totokan sulingnya ke arah lambung gadis itu.
Bi Li mengelebatkan pedangnya menangkis. Akan tetapi, tangkisannya
membuat tangannya tergetar dan suling itu kembali sudah menotok ke arah
pundaknya. Terpaksa Bi Li membuang tubuh ke belakang dan berjungkir balik
tiga kali agar tidak terdesak.
Akan tetapi Hek-siauw Siucai hanya memandang sambil menyeringai lebar
dan setelah gadis itu berdiri kembali, dia sudah mengirim serangkaian
8 serangan bertubi-tubi yang membuat Bi Li terdesak hebat. Gadis itu
mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk bertahan, dan selama belasan
jurus dia terdesak hebat.
Akhirnya pada jurus ke delapanbelas, ia mengeluarkan jurusnya yang ampuh,
yang tadi diajarkan kepada saudara-saudaranya, yaitu jurus Sin-liong-juttong. Tubuhnya membuat gerakan membalik diikuti pedangnya yang tiba-tiba
mencuat dengan tusukan cepat ke arah dada lawan.
Hek-siauw Siucai menggerakkan sulingnya dan pedang itu bertemu suling,
terus melekat dan tak dapat ditarik kembali! Selagi Bi Li berusaha melepaskan
pedangnya, tiba-tiba tangan kiri lawan bergerak ke arah pundaknya dan iapun
menjadi lemas karena tertotok.
Ia telah dikalahkan dalam sembilanbelas jurus, jadi kurang dari duapuluh
jurus. Hek-siauw Siucai menangkap lengan gadis yang lemas itu sehingga
tidak sampai jatuh.
Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi pada saat itu, semua murid Thian-san-pang yang menjadi marah
lalu mengepung dengan pedang di tangan. Tidak kurang dari tigapuluh orang
murid Thian-san-pang mengepung.
Melihat ini, tentu saja Hek-siauw Siucai menjadi gentar. Betapapun lihainya,
kalau dikeroyok demikian banyaknya lawan, bisa berbahaya. Maka dia lalu
menempelkan sulingnya pada kepala Bi Li dan berseru dengan nyaring.
"Kalau ada yang berani mendekat, aku akan membunuh nona ini lebih dulu!"
Gertakannya ini tentu saja mengejutkan semua murid dan mereka menjadi
takut akan ancaman itu. Melihat ini, Hek-siauw Siucai lalu memondong tubuh
9 Bi Li yang lemas sambil tetap menodongkan sulingnya di tengkuk gadis itu.
Kemudian dia melompat keluar dari kepungan tanpa ada yang berani
menyerangnya. "Kalau ada yang mengejar, gadis ini mati!" dia mengancam lalu melarikan diri.
Semua murid semula ragu-ragu, akan tetapi lalu ada yang melakukan
pengejaran, namun lawan sudah lari jauh. Mereka lalu mencari ke semua
jurusan, berkelompok karena lawan terlalu lihai untuk dihadapi sendirian saja.
Hek-siauw Siucai dapat berlari cepat sekali sehingga dalam waktu sebentar
saja dia sudah lari turun gunung. Setibanya di sebuah hutan di kaki gunung,
dia lalu menurunkan tubuh Bi Li dan sekali menepuk tengkuk gadis itu, Bi Li
terkulai pingsan. Hek-siauw Siucai tertawa bergelak lalu meninggalkan tempat itu. Hatinya
sudah puas karena biarpun dia belum dapat membalas kekalahannya
terhadap Tiong Gi Cinjin, setidaknya dia sudah dapat mengacau Thian-sanpang dan mengalahkan murid utamanya. Dalam beberapa kali loncatan saja
dia sudah lenyap dari situ, meninggalkan Bi Li menggeletak dalam keadaan
pingsan. Tak lama kemudian muncullah seorang pemuda di tempat itu. Pemuda ini
berusia duapuluh lima tahun, wajahnya tampan akan tetapi matanya yang
sipit itu nampak licik. Melihat Bi Li menggeletak pingsan di atas tanah, dia memandang ke sekeliling.
Pemuda ini bukan lain adalah suheng dari Bi Li sendiri yang bernama Ban
Koan. 10 Sudah lama dia tergila-gila kepada sumoinya ini, akan tetapi tidak pernah
mendapat tanggapan dari Bi Li. Bahkan Bi Li nampak tidak suka kepadanya.
Sikap Bi Li itu menyakitkan hatinya, apalagi setelah mendapat kenyataan
betapa guru mereka lebih sayang kepada Bi Li dan lebih mempercayainya,
dianggap sebagai murid terpandai, maka hatinya lebih sakit lagi.
Kini, melihat Bi Li menggeletak tak berdaya dan pingsan, timbul pikiran
jahatnya yang terdorong nafsu iblisnya. Dia menghampiri gadis itu,
memondongnya dan membawanya ke balik semak belukar.
Nafsu bersarang di dalam panca-indera dan berpusat di dalam hati akal
pikiran. Melalui mata hidung telinga rasa dan perasaan, nafsu menggelitik
hati, akal pikiran manusia dan kalau sudah terangsang maka manusia menjadi
lupa diri, tidak segan melakukan perbuatan apapun demi pemuasan nafsu
yang sudah menguasainya. Demikian pula dengan Ban Koan. Melihat Bi Li yang membuatnya tergila-gila
itu menggeletak pingsan tak sadarkan diri, dia melihat kesempatan baik untuk
melampiaskan nafsunya, yang tidak akan berani dia lakukan kalau gadis itu
dalam keadaan sadar. Kesempatan itu dipergunakannya dan setelah berhasil, dia menjadi ketakutan
sekali dan cepat melarikan diri sebelum gadis itu sadar kembali. Totokan yang
dilakukan Hek-siauw Siucai amat ampuh, dan memang dia sengaja menotok
seperti itu untuk memperlihatkan kelihaiannya terhadap Tiong Gi Cinjin.
Demikian ampuh totokan itu sehingga Bi Li tetap pingsan biarpun dirinya
dipermainkan orang dan diperkosa.
11 Setelah ia sadar kembali, ia menjadi amat terkejut melihat dirinya tak
berpakaian dan pakaian itu berserakan di situ. Tahulah ia apa yang terjadi.
Ia telah ternoda, diperkosa orang selagi pingsan! Sambil mengenakan kembali
pakaiannya, Bi Li menangis sejadi-jadinya.
Segala macam perasaan yang pahit getir melanda hatinya. Duka, malu, dan
dendam bercampur aduk menjadi satu. Ia sudah mencabut pedangnya dan
hampir saja ia menggorok leher sendiri.
"Apa artinya hidup bagi gadis yang sudah ternoda, lebih baik mati, mencuci
aib dengan darah," bisik perasaan dukanya.
"Ah, kalau aku mati, lalu apakah perbuatan ini dibiarkan begitu saja tanpa
dibalas" Perbuatan terkutuk ini hanya dapat dibalas dengan nyawa!" bisik pula
perasaan dendamnya. Terjadilah perang antara perasaan putus asa dan duka melawan perasaan
dendam sakit hati, dan akhirnya perasaan dendam yang menang. Tidak, ia
tidak boleh mati dan membiarkan perbuatan terkutuk itu lewat begitu saja
tanpa dibalas. Biarlah ia menghabiskan sisa hidupnya untuk satu tujuan, yaitu
membalas dendam! "Hek-siauw Siucai, tunggulah, pada suatu saat aku akan memenggal batang
lehermu dan mencincang hancur tubuhmu!" katanya dengan suara dingin dan
wajah pucat. Akhirnya, ia bangkit berdiri dan terhuyung-huyung keluar dari
balik semak belukar di hutan itu.
12 Ketika tiba di sebuah tikungan, muncullah Ban Koan. Dengan pedang di
tangan Ban Koan beraksi seolah mencari-cari musuh, dan ketika melihat Bi Li,
dia segera lari menghampiri.
"Sumoi?"! Engkau tidak apa-apa.......!"
Bi Li memaksa diri tersenyum. "Aku selamat, suheng."
"Di mana bedebah itu" Di mana si sombong itu" Akan kupenggal batang
lehernya!" katanya sambil mengamangkan pedangnya ke udara.
"Engkau terlambat, suheng," kata Bi Li sungguh-sungguh walaupun ia ragu
apakah suhengnya ini mampu mencegah perbuatan Hek-siauw Siucai. "Dia
sudah pergi dan aku ditinggalkan di hutan."
"Ahh, sayang. Sumoi, mari kita kejar jahanam, itu!" kata Ban Koan bersikap
amat gagah. "Tidak ada gunanya, suheng. Andaikata terkejar juga, kita berdua bukanlah
lawan dia." Kini bermunculan murid-murid Thian-san-pang dan semua orang menyatakan
kegembiraan hati mereka melihat bahwa Bi Li dalam keadaan selamat.
Bi Li menyambut kegembiraan para saudaranya itu dengan senyum duka, dan
diam-diam ia mengeluh. Ia harus merahasiakan malapetaka yang lebih hebat
dari pada kematian, yang menimpa dirinya. Akhh, andaikata kalian tahu,
pikirnya sambil menahan mengucurnya air matanya.
13 "Mari kita pulang, tidak ada gunanya dikejar. Nanti saja apabila Suhu pulang,
kits menceritakan semuanya!"
Mereka semua kembali ke perkampungan Thian-san-pang dan semua orang
membicarakan tentang kunjungan musuh yang lihai itu.
Tak seorang menyadari bahwa Bi Li sendiri, orang yang menandingi musuh
itu, bahkan tak pernah menyinggungnya dalam percakapannya, seolah ia
telah melupakan lawan tangguh itu.
Beberapa hari kemudian Tiong Gi Cinjin pulang. Orang pertama yang
melaporkan tentang kunjungan Hek-siauw Siucai adalah Bi Li.
Ia menceritakan sejelasnya tentang kunjungan tiba-tiba dari siucai itu.
Tentang bagaimana siucai itu mencari Tiong Gi Cinjin akan tetapi kemudian
menantang Bi Li sehingga terjadi pertandingan yang akhirnya dimenangkan
pihak musuh. Tentang Hek-siauw Siucai yang menyandera dirinya untuk
loloskan diri dari kepungan murid-murid Thian-san-pang dan melepaskan
dirinya di sebuah hutan bawah gunung.
Tiong Gi Cinjin mengepal tinjunya dan mengerutkan alisnya. Perbuatan
Sasterawan Bersuling Hitam itu sungguh keterlaluan. Dia tahu bahwa
perbuatan itu sengaja dilakukan untuk menghinanya lewat murid-muridnya.
"Suhu, kita harus membuat perhitungan dengan jahanam itu!" kata Bi Li
mengakhiri laporannya. "Benar, Suhu," sambung Ban Koan yang juga hadir di situ. "Kalau Suhu tidak
membuat perhitungan, tentu dia mengira kita takut kepadanya!"
14 Tiong Gi Cinjin menghela napas panjang:
"Hemm, sudahlah! Dia pernah kalah olehku, maka kini melampiaskan
penasarannya dengan mengalahkan Bi Li. Akan tetapi itu belum berarti bahwa
dia telah mengalahkan aku. Sedikit kekacauan yang dilakukannya itu tidak
ada artinya, belum patut kalau kita beramai harus melakukan penyerbuan ke
tempat tinggal mereka."
Tentu saja diam-diam Bi Li terkejut dan kecewa. Kalau gurunya tidak hendak
membuat perhitungan, kapan ia akan dapat membalaskan dendamnya" Kalau
Suhunya tidak mau, biarlah ia yang kelak akan membalas sendiri dendamnya.
"Suhu, siapakah jahanam itu sebenarnya dan mengapa pula dia memusuhi
Suhu?" tanya Bi Li, diam-diam hendak menyelidiki musuh besarnya itu. "Dan
di mana tempat tinggalnya?"
"Permusuhan antara kami tidaklah hebat, hanya kami pernah saling salah
paham sehingga timbul pertandingan di mana Hek-siauw Siucai itu mengalami
kekalahan dariku. Ketika aku mengalahkannya, akupun menganggap bahwa
urusan itu sudah selesai, siapa kira hari ini dia sengaja mencari aku dan
membikin kacau di sini. "Sebetulnya, dia bukan seorang jahat, bukan golongan sesat. Mereka semua
ada lima orang yang terkenal sekali dengan sebutan Huang-ho Ngo-liong
(Lima Naga Sungai Kuning). Orang yang pertama berjuluk Kim-liong Sin-eng,
kedua Tok-jiauw-liong (Naga Cakar Beracun), ketiga adalah Toat-beng Cinjin
(Manusia Sakti Pencabut Nyawa), keempat adalah Hek-siauw Siucai itu sendiri
dan ke lima Sin-to Koai-hiap (Pendekar Aneh Golok Sakti).
15 "Seperti kukatakan tadi, mereka bukan orang-orang jahat, bahkan orang
pertamanya yang berjuluk Kim-liong Sin-eng (Pendekar Sakti Naga Emas)
adalah ketua dari partai Kim-liong-pang (Perkumpulan Naga Emas) yang
terkenal gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Karena itulah, maka aku minta
kepada kalian untuk menghabiskan saja urusan ini dan tidak ada gunanya
menanam bibit permusuhan dengan mereka."
Semua murid dapat menerima alasan guru mereka itu, akan tetapi tentu saja
Bi Li menjadi semakin penasaran.
"Akan tetapi, Suhu. Hek-siauw Siucai itu sengaja datang ke sini untuk
menghina, teecu (murid) sendiri merasa sangat terhina. Tidak bolehkah teecu
untuk membalas penghinaan itu?"
"Tentu saja engkau bebas untuk membalas kekalahanmu darinya, Bi Li. Akan
tetapi ingat, dia itu bukanlah lawanmu. Aku sendiri saja mungkin sekarang
seimbang dengannya, apa lagi engkau. Kalau engkau hendak membalas
kekalahanmu, engkau harus berlatih dengan tekun sekali sehingga tingkatmu
dapat menyamai tingkatku atau melebihi."
Mendengar ini tentu saja Bi Li berdiam diri dengan hati hancur. Apakah
dendamnya harus selalu disimpan dan takkan pernah ia mampu membalasnya" "Suhu, yang mengganggu kita bukan Huang-ho Ngo-liong, melainkan Heksiauw Siucai seorang, maka yang lain-lain tidak ada hubungannya dengan
kita. Kalau Suhu hendak menghajar Hek-siauw Siucai karena kekurang
ajarannya di sini, tentu yang lain juga tidak akan mencampuri."
16 "Aih, engkau tidak tahu, Bi Li. Hek-siauw Siucai itu merupakan seorang di
antara Huang-ho Ngo-liong dan mereka itu adalah saudara-saudara angkat
yang saling menyayang dan saling membela.
"Dahulu, ketika Hek-siauw Siucai kalah olehku, yang empat orangpun akan
membelanya. Akan tetapi dicegah oleh Hek-siauw Siucai. Hal ini saja
mendatangkan rasa kagumku, dan ternyata kini, ketika membalas kekalahannya dariku, diapun datang sendiri, tidak bersama empat orang
saudara angkatnya. "Karena itu, sudahlah, lupakan semuanya. Kalau kita terlalu mendesak Heksiauw Siucai, bukan mustahil kalau kita akan berhadapan sekaligus dengan
Huang-ho Ngo-liong dan ini merupakan suatu keadaan yang amat berat. Kita
hanya akan menderita malu, Bi Li."
Malam itu Bi Li menangis dalam kamarnya. Habis sudah harapannya untuk
membalas dendam mengandalkan suhunya. Akan tetapi, dendam itu
sedemikian besarnya sehingga ia mengambil keputusan nekat untuk berlatih
dengan tekun agar kelak ia dapat membalas sendiri dendamnya itu, tanpa
bantuan orang lain. "Y" Banyak sekali peristiwa yang nampaknya bagi kita aneh dan penuh rahasia
terjadi di dunia ini. Misalnya seseorang yang kita kenal sabagai seorang yang
baik, berbudi, dermawan, bijaksana dan saleh, mengalami mnsibah dan hidup
dalam kesengsaraan. 17 Sebaliknya orang yang kita anggap sejahat-jahatnya orang, dapat hidup
sejahtera dan nampaknya amat berbahagia. Memang jalan yang diambil oleh
kekuasaan Tuhan takkan dapat dimengerti oleh akal pikiran manusia.
Kita hanya dapat menerima kenyataan yang ada, dapat menerima apa saja
yang menimpa diri kita dapat mengerti mengapa demikian. Akan tetapi bagi
orang yang sudah menyerahkan segala-galanya kepada Tuhan, maka apapun
yang terjadi dengannya diterima dengan bersabar karena segala Kehendak
Tuhan Terjadilah. Semua itu sudah pas, sudah adil, dan di mana letak keadilannya, hanya Tuhan
Yang Tahu. Kita, dengan alam pikiran kita yang terbatas ini, tidak mampu
menjenguk apa yang berada di balik rahasia besar itu.
Nasib manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Dan di dalam nasib ini
tersembunyi Kekuasaan Tuhan yang mengatur segalanya, mengatur matahari
dan bulan cerah, juga mengatur awan mendung, halilintar yang membawa
badai mengamuk. Tidak ada baik buruk bagi Kekuasaan Tuhan, karena baik
buruk hanya dikenal manusia nafsunya.
Bi Li mengandung! Bagi Bi Li, tentu saja hal ini merupakan malapetaka
terbesar dalam sejarah hidupnya! Ia mengandung dan ia tahu bahwa ini
adalah akibat perkosaan yang dideritanya dua bulan yang lalu. Ia hanya
mampu menjerit dan menangis.
Hanya dendam jualah yang menahan ia tidak membunuh diri. Setiap kali
timbul keinginan membunuh diri dan mengakhiri segala aib dan kehinaan itu,
setiap kali pula muncul wajah Hek-siauw Siucai dan dendam sakit hatinya
demikian hebat bergelora mengusir keinginan membunuh diri.
18 Setelah kandungannya tidak dapat disembunyikan lagi, pada suatu hari, di
dalam kamar Suhunya, tidak terlihat oleh orang lain, Bi Li meratap dan
menangis di kaki Suhunya.
"Suhu, ah?" Suhu?" lebih baik suhu bunuh saja teecu sekarang juga?"" Ia
meratap dan menangis seperti seorang anak kecil, sesenggukan dan
bergulingan di depan kaki gurnnya.
Tiong Gi Cinjin yang menganggap Bi Li seperti puterinya sendiri, terkejut
melihat halnya Bi Li. Melihat betapa tangis Bi Li seperti kesetanan, dia
menghampiri, mencengkeram pundak wanita itu dan menariknya bangkit
berdiri, lalu menampar muka itu dua kali untuk menyadarkannya.
"Bi Li! Tenangkan hatimu! Tidak sepatutnya engkau bersikap seperti ini, begitu
cengeng dan lemah. Huh, ceritakan dengan tenang apa yang terjadi dan
hentikan tangismu!" "Ah, suhu?"!" Bi Li menangis terisak-isak, berlutut dan merangkul ke dua
kaki suhunya. Tiong Gi Cinjin mendiamkannya saja sampai akhirnya isak
tangis itu berhenti dan mereda.
"Nah, duduklah dan ceritakan kepadaku, anakku. Engkau membikin aku
menjadi sedih dan bingung dengan sikapmu ini."
Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suhu, teecu minta mati saja. Suhu....... teecu?" teecu telah mengandung?"!" Kini Tiong Gi Cinjin yang meloncat berdiri, mukanya pucat, matanya terbelalak
memandang kepada muka muridnya yang ditundukkan.
19 "Apa?""!?" Dia mengepal tinjunya, agaknya siap untuk menghantam
muridnya itu. "Jadi engkau?" hamil" Engkau sudah berbuat".. tak patut"..?"
Sukar dia bicara saking marahnya.
"Suhu, bukan teecu yang berbuat, tapi Hek-siauw Siucai. Ketika teecu
ditawan, teecu ditotok sampai pingsan dan ketika teecu siuman, teecu
mendapatkan diri teecu sudah diperkosa orang, Hek-siauw Siucai itu......"
"Keparat! Jahanam! Kenapa engkau tidak ceritakan ketika itu?" Gurunya
menghardik, akan tetapi kini tidak lagi marah kepada muridnya, melainkan
kasihan karena muridnya tidak melakukan perbuatan hina, melainkan
diperkosa orang selagi pingsan.
"Teecu malu. Tadinya teecu hendak merahasiakan dari semua orang, akan
tetapi.... ah, Suhu....... teecu mengandung".. bagaimana baiknya, suhu"
Teecu rela kalau Suhu turun tangan membunuh teecu?""
Kembali ia menangis dan ketua Thian-san-pang itu kini berjalan hilir mudik
seperti orang kebingungan.
"Dia harus bertanggung jawab. Harus! Biar aku mati di tangan Huang-ho Ngoliong!"
"Tidak, Suhu tidak boleh berkorban diri untuk teecu. Teecu kelak akan
membalas dendam semua ini seorang diri, teecu akan mempelajari ilmu
dengan tekun. Dan tentang kandungan ini biar teecu bunuh saja!"
Bi Li sudah menggerakkan tangan untuk dipukulkan pada perutnya sendiri,
akan tetapi gurunya cepat bergerak.
20 "Plakkk!" Pukulan itu ditangkis gurunya dan Tiong Gi Cinjin memegangi kedua
tangan muridnya. "Bi Li, dengar! Apa yang kaulakukan ini salah besar, berdosa besar. Apa
kesalahan si kecil itu maka engkau hendak membunuhnya dalam kandungan"
Kandungan ini adalah kehendak Thian dan engkau akan berdosa besar.
"Anak ini tidak bersalah, jangan sekali-kali engkau hendak membunuhnya.
Biarkan ia lahir seperti haknya dan memeliharanya. Bahkan, siapa tahu anak
ini yang kelak akan dapat mewakilimu membalas dendam!"
Kalimat terakhir dari gurunya ini membuat Bi Li tersentak kaget dan juga
girang. Mengapa tidak"
Ia akan memelihara dan mendidik anak itu kelak, dan pada suatu hari ia akan
menyuruh anak itu membunuh ayahnya sendiri! Barulah akan puas hatinya.
Untuk menjauhkan Bi Li dari pada rasa malu dan aib, maka diam-diam Tiong
Gi Cinjin lalu mengirim Bi Li kepada seorang adik perempuannya yang tinggal
di Bi-ciu, di kaki Gunung Thian-san, untuk beberapa bulan. Setelah ia
melahirkan seorang putera, barulah murid itu ditarik kembali ke Thian-sanpang, membawa seorang anak laki-laki kecil.
Semua murid merasa heran, akan tetapi jawaban Bi Li bahwa ia memungut
seorang anak laki-laki bayi yang ditinggal mati ayah ibunya, membuat mereka
berdiam diri. Ada beberapa orang yang menduga bahwa itu adalah putera Bi
Li sendiri, akan tetapi tidak ada yang berani berterang mempertanyakannya.
Kembali Bi Li menjadi murid kepala di situ, dia seringkali disuruh Suhunya
mewakilinya melatih para saudaranya.
21 Hal ini membuat Ban Koan menjadi semakin tak senang. Ketika Bi Li
mengungsi ke rumah bibi guru mereka, dialah yang oleh suhunya dianggap
murid kepala dan disuruh mewakili Suhunya. Bahkan dia mengharapkan kelak
menjadi pengganti Suhunya, menjadi ketua Thian-san-pang. Akan tetapi
kembalinya Bi Li membuat dia menjadi murid tidak berarti lagi.
Kemudian, dia mengajukan usul untuk berjodoh dengan Bi Li. Dengan terus
terang Ban Koan mengaku bahwa dia mencinta Bi Li dan mohon perkenan
gurunya untuk berjodoh dengan sumoinya itu.
"Suhu, sejak dahulu teecu mencinta sumoi, dan mengingat bahwa usia kami
sudah cukup dewasa, teecu akan merasa berbahagia sekali kalau dapat
menjadi suami isteri dengan sumoi."
Tiong Gi Cinjin mengangguk-angguk. Memang sebaiknya kalau Bi Li menikah
dengan Ban Koan, dan tentu saja Ban Koan harus diberi tahu tentang keadaan
Bi Li yang sebetulnya sudah bukan perawan lagi, bahkan sudah mempunyai
seorang anak. Akan tetapi dia tidak berani membuka rahasia itu sebelum
bertanya kepada Bi Li. "Usulmu memang baik sekali, Ban Koan. Akan tetapi engkau sendiri tahu
bahwa pernikahan baru dapat terjadi kalau ada persetujuan kedua pihak yang
bersangkutan. Karena itu, aku akan lebih dulu bertanya kepada sumoimu,
apakah ia mau menerima pinanganmu ataukah tidak?"
"Suhu, sepatutnya sumoi mau menerima pinanganku yang bagaimanapun
juga telah mencuci aib dan noda yang dideritanya."
Tiong Gi Cinjin terkejut setengah mati memandang kepada muridnya dengan
mata terbelalak. 22 "Ban Koan! Apa maksudmu dengan ucapanmu itu?"
"Ah, hendaknya Suhu tidak berpura-pura lagi. Para murid banyak yang sudah
dapat menduga bahwa anak itu adalah anak kandung sumoi Bi Li. Kami semua
sudah melihat betapa sumoi kelihatan sakit dan seringkali muntah-muntah
sebelum ia pergi berguru kepada bibi guru, dan sekarang ia pulang
menggendong bayi. Anak siapa lagi kalau bukan anaknya sendiri?"
"Engkau yang sudah dapat menduga demikian masih mau untuk meminangnya sebagai isteri?"
"Teecu amat mencintanya, Suhu, dan teecu bahkan merasa kasihan
kepadanya atas musibah yang membuatnya melahirkan anak. Teecu akan
melindunginya penuh kasih sayang, dan menerima anak itu sebagai anak
teecu sendiri." "Ahh, Ban Koan, betapa mulia hatimu. Kuharap saja Bi Li akan menyetujui."
Tiong Gi Cinjin lalu pergi menemui Bi Li yang sedang menggendong anaknya.
Baru sekarang teringat oleh ketua Thian-san-pang ini bahwa sejak peristiwa
itu, Bi Li selalu mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung.
Dan kini dia melihat bahwa anak bayi itupun mengenakan pakaian putih-putih.
"Bi Li, engkau dan anakmu memakai pakaian putih-putih, berkabung untuk
siapa?" "Kami berkabung untuk diri kami sendiri, Suhu. Juga berkabung untuk ayah
anak ini yang pasti akan tewas di tangan anak teecu Cin Po pada suatu hari."
23 Mendengar ini, Tiong Gi Cinjin hanya dapat menghela napas panjang. Dia tahu
bahwa hati dan akal pikiran muridnya dipenuhi oleh dendam sakit hati yang
setinggi langit sedalam samudera.
"Bi Li, engkau selalu menolak dan menghalang kalau aku hendak pergi
mencari Hek-siauw Siucai. Aku ingin memaksa dia untuk bertanggung-jawab
dan mengawinimu." Bi Li hampir menjerit. "Kawin dengan dia" Seratus kali lebih baik mati, Suhu.
Aku tidak sudi kawin dengan jahanam keparat busuk itu!"
"Tapi itu satu satunya jalan untuk mencuci aib dan noda dari diri dan
namamu." "Teecu sudah ternoda, dendam teecu setinggi gunung. Teecu tidak
mau menikah dengan orang iblis itu!"
"Bagaimana kalau ada orang lain yang hendak meminangmu menjadi
isterinya, Bi Li?" BI Li terkejut dan menatap wajah suhunya penuh pertanyaan.
"Siapa yang mau" Siapa yang sudi menikah dengan teecu?"
"Ada orangnya. Dia seorang pemuda yang baik, juga berhubungan dekat
sekali denganmu. Dia adalah suhengmu sendiri, Ban Koan. Baru saja
suhengmu menyatakan kepadaku bahwa dia ingin meminangmu sebagai
isterinya." Wajah Bi Li menjadi sebentar pucat, sebentar merah. Ia sudah tahu bahwa
suhengnya menaruh hati kepadanya, akan tetapi selalu ia tidak 24 menanggapinya. Biarpun suhengnya tampan dan gagah, ada sesuatu pada
dirinya, mungkin pada pandang matanya, yang tidak berkenan di hatinya.
"Tapi, Suhu, kalau saja suheng tahu keadaan diriku, tentu dia tidak sudi dan
akan menghinaku?""
"Tidak, Bi Li . Dia sudah tahu?". atau setidaknya sudah dapat menduga
bahwa Cin Po adalah anak kandungmu."
"Tapi, bagaimana dia bisa tahu, Suhu?"
"Menurut dia, banyak di antara murid yang sudah dapat menduga-duga,
menghubungkan keadaanmu yang tidak sehat ketika akan pergi mengungsi
ke rumah bibi gurumu, kemudian melihat engkau pulang menggendong anak.
Mereka dapat menduga bahwa kepergianmu tentu untuk menyembunyikan
bahwa engkau mengandung."
"Ahh?"!" Bi Li merasa terpukul sekali dan ia menutupi mukanya dengan
kedua tangan, menangis, bahkan lalu melemparkan bayinya ke atas tempat
tidur. Anak itu menangis pula, melebihi kerasnya tangis ibunya.
Setelah mereda tangis Bi Li, Tiong Gi Cinjin berkata, "Bi Li kukira ini suatu
pemecahan yang baik. Suhengmu orang baik dan dia amat mencintaimu.
Buktinya, biarpun sudah menduga bahwa engkau telah mempunyai anak,
tetap saja dia meminangmu. Dan dia mengatakan bahwa dia akan menerima
Cin Po sebagai anaknya sendiri."
Bi Li merasa terharu juga, akan tetapi suaranya terdengar tegas ketika
berkata, 25 "Tidak Suhu. Biarpun teecu amat berterima kasih kepada suheng, akan tetapi
teecu tidak mau menikah dengan dia. Dia seorang perjaka yang baik, biar dia
memilih jodohnya di antara sumoi atau gadis lain, akan tetapi bukan teecu.
Teecu hanya hidup untuk menanti membalas dendam kepada jahanam itu,
dan teecu tidak ingin menyeret orang lain ke dalam urusan dendam pribadi
ini." Tiong Gi Cinjin menjadi kecewa sekali. "Kalau begitu, sesuka hatimulah, Bi Li.
Engkau yang berpegang kepada nasib dirimu dan anakmu sendiri."
"Teecu telah menyerahkan nasib kami kepada Thian, Suhu."
Dengan murung, Tiong Gi Cinjin memasuki rumahnya, disambut oleh isterinya
yang masih muda, baru berusia tigapuluh tahun dan masih cantik. Ini adalah
isterinya yang kedua, isteri pertamanya meninggal dunia karena penyakit.
Dan isterinya ini sedang mengandung muda.
"Engkau kenapa, suamiku" Mengapa nampak murung?"
"Hatiku sedang kesal memikirkan kekerasan kepala Bi Li!"
"Kenapa ia?" "Engkau sendiri tahu, ia mempunyai anak tanpa suami. Sekarang ada seorang
pemuda yang dengan baik hati mau berkorban dan mau menikah dengannya,
eh, ia malah menolak keras."
"Siapa pemuda itu?"
"Dia Ban Koan."
26 "Heran sekali kenapa Ban Koan mau menikahi Bi Li" Biasanya, seorang pria
akan mengelak menikah dengan gadis yang bukan perawan lagi! Apa lagi
seorang gadis yang mempunyai anak tanpa suami!"
"Mungkin karena dia amat mencinta Bi Li. Akan tetapi Bi Li menolaknya dan
aku merasa kecewa sekali. Kalau saja ia mau, tentu bereslah semua
persoalan, ia mendapatkan suami, anaknya mendapatkan seorang ayah dan
aib itu akan terhapus."
"Alasan penolakannya?"
"Ia hanya ingin hidup untuk memenuhi balas dendamnya kepada pria yang
telah menodainya! Bahkan ketika aku menawarkan untuk menyeret Heksiauw
Siucai ke sini dan memaksanya mempertanggungjawabkan perbuatannya dan menikahi Bi Li, ia menolak keras. Ia mengatakan tidak sudi
menjadi isteri laki-laki yang telah menodainya itu. Ia hanya ingin membalas
dendam!" "Ah, kasihan sekali Bi Li. Hatinya telah diracuni dendam," kata isteri Tiong Gi
Cinjin sambil menghela napas panjang dan mengelus perutnya yang sudah
hamil muda itu. "Kesehatanmu baik-baik saja, bukan?" tanya sang suami penuh perhatian dan
kasih sayang. "Baik-baik saja, aku hanya merasa khawatir setelah terjadi pengacauan itu."
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Engkau harus menjaga dirimu baik-baik,
demi anak kita yang berada dalam kandunganmu itu."
27 Pada saat ita, tiba-tiba di luar terdengar kentungan dipukul bertalu-talu tanda
bahwa ada bahaya! Tiong Gi Cinjin cepat meninggalkan isterinya dan berlari
keluar, dikejar isterinya yang juga merasa khawatir dan terkejut.
Ketika mereka tiba di luar, ternyata telah terjadi pertempuran antara lima
orang melawan para murid Thian-san-pang yang dipimpin oleh Bi Li. Duapuluh
orang lebih mengeroyok lima orang itu dan agaknya mereka kewalahan
menghadapi lima orang yang amat lihai itu.
Tadinya Tiong Gi Cinjin menyangka bahwa yang menyerang adalah Huang-ho
Ngo-liong, akan tetapi ketika memandang penuh perhatian, ternyata mereka
itu bukan Huang-ho Ngo-liong, melainkan lima orang laki-laki yang baju
atasnya bersisik seperti sisik ular atau naga. Sisik itu mengkilat dan ketika
ada beberapa batang pedang para muridnya membacok, lima orang itu tidak
mengelak, akan tetapi pedang-pedang itu mental kembali bertemu dengan
baju yang bersisik itu! "Tok-coa-pang (Perkumpulan Ular Beracun)!" seru Tiong Gi Cinjin dan dia
teringat bahwa pernah dia bentrok dengan tiga orang dari perkumpulan itu
dan kini agaknya mereka datang untuk membalas dendam. Dan yang datang
ini bukanlah anggauta biasa karena kepandaian mereka amat lihai.
Melihat betapa Bi Li dan para murid kewalahan, Tiong Gi Cinjin lalu mencabut
pedangnya dan meloncat ke dalam arena pertempuran. Begitu dia mengelebatkan pedangnya, lima orang itu mengeluarkan teriakan kaget akan
tetapi mereka nampaknya gembira ketika melihat bahwa yang maju sendiri
adalah Tiong Gi Cinjin yang memang mereka cari.
"Bagus, engkau mengantarkan nyawamu kepada kami, Tiong Gi Cinjin!" seru
seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus. Kemudian dengan
28
Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerakan seperti seekor ular, tububnya menggeliat dan pedangnya sudah
menusuk ke arah tenggorokan Tiong Gi Cinjin.
Ketua Thian-san-pang ini menggetarkan pedangnya menangkis dan pedang
lawan itu terpental. Dua orang lain datang mengeroyok sehingga ketua Thiansan-pang dikeroyok tiga orang sedangkan yang dua orang lagi menghadapi
pengeroyokan puluhan anak murid Thian-san-pang.
Terjadilah perkelahian yang amat seru, terutama antara Tiong Gi Cinjin yang
dikeroyok tiga orang lawannya yang lihai itu. Yang membuat Tiong Gi Cinjin
kewalahan adalah karena tiga orang lawan itu mengenakan baju yang kebal
dan tahan bacokan atau tusukan pedangnya.
Pedangnya selalu meleset kalau mengenai tubuh mereka bagian atas, maka
diapun mengubah caranya bermain pedang. Kini dia menyerang bagian bawah
tubuh mereka yang tidak dilindungi pakaian kebal dan barulah dia dapat
mengimbangi mereka. Tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat dan membantunya. Ternyata yang
membantu adalah isterinya. Tentu saja Tiong Gi Cinjin merasa khawatir sekali.
Ilmu kepandaian isterinya memang cukup tinggi dan akan meringankan dia
kalau membantu, akan tetapi isterinya sedang mengandung dan berbahaya
sekali kalau dipakai berkelahi, apalagi lawan-lawannya amat lihai.
Tiga orang itu benar saja terdesak hebat begitu isteri Tiong Gi Cinjin ikut
membantu suaminya. Mereka terdesak dan demikian pula dua orang rekan
mereka yang dikeroyok puluhan orang itupun terdesak.
Si tinggi kurus mengeluarkan suara bersuit nyaring dan itu merupakan tanda
bahwa mereka harus segera angkat kaki melarikan diri dari situ. Si jangkung
29 sendiri memimpin teman-temannya untuk melepaskan senjata rahasia
mereka berupa sisik-sisik yang sebesar uang logam.
Terdengar suara bersuitan ketika mereka menyambit-nyambitkan senjata
rahasia ini dan beberapa orang anak buah Thian-san-pang berteriak roboh.
Tiong Gi Cinjin sendiri dihujani senjata rahasia dan dia memutar pedangnya
untuk meruntuhkan semua senjata rahasia.
Namun, sial bagi isterinya yang juga memutar pedangnya, sebuah senjata
rahasia terpental dan mengenai perutnya!
Ia mengeluh dan terhuyung. Kesempatan itu dipergunakan oleh orang-orang
Tok-coa-pang untuk melarikan diri, dikejar anak buah Thian-san-pang.
Tiong Gi Cinjin sendiri tidak ikut mengejar karena dia sibuk menolong isterinya
yang terluka. Dipondongnya isterinya itu masuk ke dalam rumah dan
diperiksanya lukanya. Tidak hebat luka itu, tidak terlalu dalam, akan tetapi
sekitar luka kecil itu menghitam, tanda bahwa luka itu beracun!
Sebagai ketua perkumpulan silat yang berpengalaman, Tiong Gi Cinjin
memiliki bermacam obat luka, juga yang anti racun, maka dia segera
mengobati luka di perut isterinya. Diam-diam dia merasa khawatir sekali.
Isterinya tentu kandungannya" dapat Kalau diselamatkan, racun itu akan sudah tetapi menjalar bagaimana dan dengan mempengaruhi kandungannya, dapat berbahaya.
Sementara itu, puluhan orang Thian-san-pang melakukan pengejaran kepada
lima orang Tok-coa-pang yang berlari cerai berai itu. Ban Koan juga
30 melakukan pengejaran dan dia melihat seorang di antara musuh itu, si tinggi
kurus, bersembunyi di balik rumpun bambu dan agaknya orang itu terluka.
Memang benar, tadi pedang di tangan Tiong Gi Cinjin sudah berhasil melukai
paha kanannya sehingga mengeluarkan banyak darah.
Melihat munculnya Ban Koan, orang itu menodongkan pedangnya dan siap
melawan. Akan tetapi Ban Koan tidak menyerangnya.
"Engkau terluka" Aku tidak akan membunuhmu, dan kalau aku menolongmu
memberi obat, menghendaki apakah agar engkau kelak Tok-coa-pang mau bersahabat menolongku denganku pula" dan Aku kelak membantuku menjadi ketua Thian-san-pang. Bagaimana?"
Laki-laki tinggi kurus itu memandang kepada Ban Koan dengan matanya yang
tajam seperti mata ular. "Siapakah engkau?"
"Namaku Ban Koan, aku murid kepala dari Thian-san-pang. Nah, kau pilih
mati ataukah bersahabat dengan aku?"
Orang itu menyeringai. "Tentu saja kami akan senang bersahabat dengan
orang yang cerdik seperti engkau. Nah, mana obat luka-lukanya, berikan
kepadaku." "Tunggu sebentar!" Ban Koan lalu merobek celana itu, dan memberikan obat
bubuk, lalu membalut paha itu. "Lukanya tidak berbahaya dan untungnya
bahwa kami tidak biasa menggunakan racun, jadi lukamu tidak beracun."
"Terima kasih, Ban Koan. Aku akan melaporkan tentang dirimu kepada ketua
kami." 31 "Katakan, siapakah engkau" Agar kelak, aku tidak lupa dengan siapa aku
berurusan." "Aku dijuluki Coa-siauw-kwi (Setan Cilik Ular), seorang di antara para
pembantu utama dari ketua kami. Nah, selamat tinggal, Ban Koan. Engkau
sudah kuanggap sahabatku."
"Jangan mengambil jalan sana. Di sana menanti banyak murid Thian-sanpang. Sebaiknya kau mengambil jalan ini, jalan setapak yang akan
membawamu turun gunung dengan selamat. Nah, selamat jalan, Coa-siauwkwi!"
Orang itupun menyelinap pergi, meningggalkan Ban Koan yang tersenyumsenyum seorang diri dengan hati gembira sekali. Dia sudah berhasil menarik
perhatian seorang tokoh Tok-coa-pang (Perkumpulan Ular Beracun) yang
tentu kelak akan suka membantunya kalau saatnya sudah tiba!
Kalau tidak menggunakan siasat seperti itu, bagaimana mungkin dia dapat
menjadi ketua Thian-san-pang" Gurunya bahkan memilih Bi Li menjadi calon
penggantinya, dan Bi Li tidak sudi menikah dengan dia!
Seperti yang dikhawatirkan Tiong Gi Cinjin, semenjak terkena senjata rahasia
dari Tok-coa-pang, kesehatan isterinya amat memburuk. Sebetulnya racun
sudah dapat dibersihkan, akan tetapi karena dia dalam keadaan mengandung,
maka obat anti racun itupun mempunyai akibat sampingan yang membuat
tubuhnya lemah sekali. Dan ketika tiba saatnya wanita itu melahirkan seorang puteri, ia tidak dapat
ditolong lagi. Anaknya lahir dengan selamat, akan tetapi ibunya tewas karena
terlampau banyak mengeluarkan darah.
32 Dapat dibayangkan kedukaan hati Tiong Gi Cinjin. Isterinya yang tercinta, dari
siapa dia memperoleh seorang anak karena isterinya yang pertama tidak
mempunyai anak, kini telah meninggalkannya.
"Ini semua gara-gara Tok-coa-pang, Suhu! Kita harus membuat pembalasan!"
kata Bi Li gemas. Gurunya menghela napas panjang. "Tidak ada gunanya balas membalas itu.
Baru menghadapi persoalanmu saja, kita sudah mempunyai musuh, apakah
perlu ditambah lagi dengan musuh baru"
"Tidak, kematian subomu adalah karena akibat perkelahian, sudahlah wajar
bagi seorang ahli silat untuk tewas akibat perkelahian. Yang kusedihkan
hanyalah anak ini?"." Dia memondong anak bayi yang menangis keras ceolah
mengerti apa yang dikatakan ayahnya.
"Berikan kepadaku, suhu. Biar aku yang menjadi inang pengasuhnya, biar
kuberi air susu bersama-sama Cin Po."
Cin Po sudah agak besar, sudah tidak begitu membutuhkan lagi air susu
ibunya. Bi Li menerima anak itu dari Suhunya, lalu mendekapnya dan
memberinya minum dari dadanya dan anak itupun terdiam.
"Hui Ing, namanya Hui Ing, Kwan Hui Ing," kata Tiong Gi Cinjin yang nama
aselinya Kwan Bu Hok. Demikianlah, mulai hari itu, Kwan Hui Ing dirawat oleh Bi Li, bersama-sama
Cin Po yang sudah agak besar, lebih tua setengah tahun. Bahkan Bi Li agaknya
lebih menyayang Hui Ing dari pada Cin Po.
33 Hal ini tidak dapat dipersalahkan kepadanya, karena setiap kali ia teringat
betapa Cin Po adalah hasil pemerkosaan atas dirinya, iapun teringat kepada
Hek-siauw Siucai dan menjadi tidak senang kepada Cin Po, bahkan ada sedikit
perasaan benci. Akan tetapi, ia harus memelihara bahkan mendidik anak itu
agar kelak dapat diharapkan akan bisa membalaskan sakit hatinya,
membunuh laki-laki yang telah merusak kehidupannya!
"Y" Demikian pandainya Ban Koan menyimpan rahasia sehingga selama bertahun- tahun dia mengadakan hubungan dengan Tok-coa-pang tanpa ada
yang mengetahuinya. Bahkan dia berhasil pula mempelajari ilmu-ilmu dari
para pimpinan Tok-coa-pang, yang melihat dalam dirinya seorang yang kelak
amat berguna bagi Tok-coa-pang.
Tanpa ada yang mengetahuinya, Ban Koan telah mempelajari Ilmu silat dan
iImu tentang racun dari pimpinan Tok-coa-pang, bahkan dia telah mendapat
kepercayaan sedemikian besarnya sehingga secara sembunyi dia telah
memiliki sebuah baju sisik naga yang kebal senjata.
Waktu melesat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Kalau tidak
diperhatikan, waktu begitu cepatnya lewat sehingga bertahun-tahun lewat
bagaikan beberapa hari saja.
Pada suatu pagi yang cerah, di pekarangan depan rumah induk perkumpulan
Thian-san-pang, yaitu rumah yang menjadi tempat tinggal Tiong Gi Cinjin, di
mana juga tinggal Bi Li yang menumpang pada gurunya, seorang anak lakilaki berusia sepuluh tahun sedang sibuk menyapu. Pekarangan itu terpelihara
baik dan pagi itu penuh dengan daun gugur, maka merupakan pekerjaan yang
lumayan membersihkannya. 34 Anak laki-laki itu adalah Cin Po, atau lengkapnya Song Cin Po. Ibunya
memberinya marga Song, yaitu marga ibunya sendiri, karena ibunya bernama
Song Bi Li. Dia seorang anak laki-laki yang termasuk jangkung dalam usianya,
tubuhnya sehat dan kuat, gerak geriknya sederhana, bahkan agaknya merasa
rendah diri. Pakaiannya serba putih, dari kain kasar dan jahitannya juga bersahaja sekali.
Dilihat dari pakaian dan pekerjaannya, dia lebih pantas kalau menjadi kacung
di situ, bukan putera seorang tokoh besar Thian-san-pang.
Anak itu sebetulnya tampan sekali. Wajahnya bundar dengan lekukan yang
kuat pada pipi dan dagunya. Sepasang alisnya tebal, sepasang matanya tajam
dan mencorong seperti mata naga, hidungnya besar mancung, dan mulutnya
yang pendiam itu kadang ditarik demikian keras sehingga membayangkan
kejantanan dan keberanian.
Dia menyapu dengan penuh perhatian sehingga tidak ada sehelai daunpun
terlewat dari sapuannya. Dan ketika menggerakkan sapu itu, maka jelaslah
nampak bahwa dia telah menguasai ilmu silat dengan baiknya. Gerakan
sapunya bertenaga dan juga begitu lentur, dengan langkah-langkah kaki yang
tegap. Memang, boleh jadi Bi Li kurang memperhatikan kesejahteraan anak ini, maka
anak itupun kelihatan begitu sederhana, bahkan miskin. Akan tetapi ibu ini
amat memperhatikan pelajaran silatnya.
Sejak berusia lima tahun, Cin Po sudah digembleng oleh ibunya, bahkan juga
oleh kakek gurunya, yaitu Tiong Gi Cinjin. Ketika berusia tiga-empat tahun,
sering kali dia dimandikan dengan arak dan dipukuli dengan sapu lidi sehingga
tubuhnya menjadi amat kuat.
35 Dan dalam usia sepuluh tahun, kalau hanya laki-laki dewasa biasa saja jangan
harap akan mampu mengalahkannya dalam suatu perkelahian.
Bi Li memang tidak menyayang Cin Po. Setiap kali mengenang peristiwa itu
sehingga terlahirnya Cin Po, makin bencilah ia kepada anak ini. Dan makin
benci, semakin pula ia menggembleng anak itu agar kelak menjadi seorang
yang lihai untuk membalaskan dendam hatinya.
Pernah Cin Po bertanya kepada ibunya, setelah mereka beristirahat dari
berlatih silat. "Ibu, boleh aku bertanya?"
Dia memang biasanya takut sekali kepada ibunya yang tidak segan-segan
untuk bersikap galak kepadanya, memberi hukuman kalau sedikit saja dia
melakukan kesalahan, terutama kalau lalai berlatih silat.
"Hem, tanyalah, kenapa tidak boleh?" jawab Bi Li acuh.
"Ibu, sejak dulu aku selalu memakai pakaian putih, demikian juga ibu. Aku
mendengar dari orang-orang bahwa pakaian putih yang kupakai ini adalah
untuk berkabung. Benarkah, ibu?"
"Benar," jawabnya singkat.
"Ibu dulu bilang bahwa kita berkabung untuk ayah yang sudah mati. Benarkah
ayah sudah mati, ibu" Siapa sih ayahku dan bagaimana dia masih muda sudah
mati?" 36 "Ayahmu mati dibunuh orang. Dengar baik-baik, ayahmu mati dibunuh orang
jahat. Karena itulah maka engkau harus selamanya memakai pakaian putih
selama musuh yang membunuh ayahmu itu belum dapat kaubalas.
"Kalau kelak engkau sudah besar dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan
berhasil membunuh musuh besar itu, barulah kita boleh memakai pakaian
biasa, tidak lagi putih berkabung."
"Ibu berilmu silat tinggi, kenapa ibu sendiri tidak pergi membunuh musuh
besar itu" Juga kakek amat lihai, apakah kakek tidak mau membantu ibu
untuk membunuhnya?" "Kami berdua bukan lawannya, Cin Po. Ingat baik-baik ini. Engkau kelak harus
memiliki ilmu yang lebih tinggi dari pada kami, sehingga engkau akan berhasil
membunuh musuh-musuh besar kita."
"Musuh besar kita yang membunuh ayahmu itu berjuluk Hek-siauw Siucai.
Akan tetapi kalau engkau hendak membunuh dia, engkau akan harus
berhadapan pula dengan saudara-saudaranya. Mereka semua ada lima orang
yang dijuluki Huang-ho Ngo-liong.
Musuhmu memang hanya Hek-siauw Siucai, akan tetapi mungkin engkau
akan berhadapan dengan mereka berlima. Karena itu, engkau harus berlatih
dengan tekun karena tanpa ilmu silat tinggi sekali, engkau tidak mungkin akan
dapat membalas sakit hati ayahmu."
Percakapan itu berkesan benar di hati Cin Po. Berulang kali nama Hek-siauw
Siucai terngiang di telinganya dan nama ini tidak akan pernah dilupakannya,
juga nama Huang-ho Ngo-liong. Dan cerita ibunya membuat dia semakin
tekun berlatih silat. Tiong Gi Cinjin sendiri merasa bergembira sekali karena
37 ternyata Cin Po merupakan seorang anak yang amat cerdik dan berbakat
besar di dalam ilmu silat.
Selagi Cin Po asyik menyapu pekarangan, tiba-tiba dari dalam rumah berlarilarian keluar seorang anak perempuan yang mungil dan manis sekali. Usianya
Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebaya dengan Cin Po, akan tetapi walaupun Cin Po hanya setengah tahun
lebih tua, nampak Cin Po jauh lebih tinggi. Anak itu hanya setinggi pundaknya.
"Cin Po!" anak perempuan itu memanggil dan suaranya terdengar manja
sekali. Cin Po menghentikan gerakan sapunya dan mengangkat muka memandang.
Wajahnya yang tadinya pendiam itu kini menjadi cerah dan mulutnya,
matanya, tersenyum gembira.
"Hui Ing, sepagi ini engkau sudah bangun" Malah sudah mandi kulihat.
Biasanya sepagi ini engkau masih tidur."
"Cin Po, ambilkan setangkai bunga yang di pohon itu untukku. Untuk penghias
rambutku. Ibu hendak mengajakku pergi!"
Cin Po tersenyum lalu dia memanjat pohon dan memetik dua tangkai bunga
untuk gadis cilik itu. Hui Ing menerima dengan gembira lalu menancapkan
setangkai di rambutnya sehingga menambah kecantikannya.
"Ibu hendak mengajakmu pergi ke manakah, Hui Ing?"
"Ibu hendak mengajak aku pergi ke rumah nenek di kaki bukit."
38 Cin Po mengerti siapa yang dimaksudkan, tentu yang disebut nenek oleh Hui
Ing itu adalah adik dari kakek guru mereka, seorang pendeta wanita yang
tinggal di kuil di bawah bukit.
Dia belum pernah diajak ke sana namun dia sudah mendengar bahwa kakek
gurunya mempunyai seorang adik di sana, menjadi kepala sebuah kuil,
bahkan namanyapun dia sudah tahu, yaitu Liauw In Nikouw yang mengepalai
kuil Ban-hok-si. "Hui Ing.....!!" Bi Li muncul dari pintu memanggil Hui Ing. Puteri Suhunya ini
sejak kecil ia yang merawatnya, sehingga anak itu menyebut ibu kepadanya
dan merasa menjadi puterinya, sedangkan kepada ayah kandungnya sendiri
ia menyebut kakek! Hui Ing berlari mendekati ibunya. "Ibu, kenapa Cin Po tidak diajak" Ajaklah
dia, ibu agar perjalanan lebih menyenangkan," kata Hui Ing manis.
"Tidak, Cin Po mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Cin Po,
ke sini kau!" Cin Po berlari menghampiri ibunya.
"Ya, ibu." "Kalau sudah selesai menyapu, engkau harus memikul air, penuhi semua
tempat air, setelah itu carilah kayu bakar karena persediaan tinggal sedikit.
Dan selebihnya waktunya pergunakan untuk berlatih jurus-jurus yang
kuajarkan kemarin." "Baik, ibu. " 39 "Aku akan pergi dengan Hui Ing selama tiga hari. Setelah aku pulang engkau
harus sudah dapat memainkan tiga jurus baru itu. Jangan malas, Cin Po!"
"Baik, ibu." Ibu dan anak itu lalu berangkat. Hanya sebentar Cin Po memandang ke arah
mereka, sedikit perasaan ingin ikut ditekannya sehingga dia melupakannya
dan melanjutkan pekerjaannya menyapu. Sesudah itu, dia lalu mengambil
pikulan air dan mengambil air di sumber air terjun tak jauh dari puncak.
Karena sudah terbiasa memikul air di jalan naik turun itu, maka dia tidak
merasa berat lagi. Setelah selesai pekerjaan itu, barulah dia membawa golok untuk pergi
mencari kayu bakar dan memasuki hutan. Selagi dia memasuki sebuah hutan
lebat di mana banyak terdapat kayu keringnya, tiba-tiba dia melihat bayangan
orang berkelebat. Cepat dia menyusup ke balik semak belukar karena dia ingin
tahu sekali siapa yang berkelebat cepat itu.
Alangkah herannya ketika dia melihat paman gurunya, Ban Koan, berdiri tak
jauh dari situ. Setelah memandang ke sekeliling dan yakin bahwa di sini tidak
ada orang lain, Ban Koan mengeluarkan suara siulan nyaring. Tak lama
kemudian terdengar dari jauh jawaban siulan yang sama dan muncullah
seorang laki-laki jangkung yang pakaian atasnya seperti sisik naga.
Orang itu bercakap-cakap dengan Ban Koan dan diam-diam Cin Po merangkak
mendekat dan sembunyi di balik semak untuk mendengarkan apa yang
dibicarakan. Biarpun dia belum pernah melihatnya, namun dia sudah
mendengar bahwa orang yang memakai pakaian atas dari sisik naga itu
adalah orang Tok-coa-pang yang menjadi musuh besar Thian-san-pang!
40 "Bagaimana, Ban Koan" Apakah engkau sudah siap?"
"Sudah, Coa-siauw-kwi, semua sudah siap. Bahkan kebetulan sekali sumoi
pergi turun gunung untuk beberapa hari lamanya. Kinilah saatnya yang tepat
untuk bergerak." "Bagus, kalau begitu, nanti malam kita bergerak. Siapa-siapa saja yang harus
disingkirkan selain Tiong Gi Cinjin?"
"Sstt, jangan keras-keras. Mari kubisikkan nama-nama mereka yang harus
dilenyapkan karena mereka itu tidak mendukung aku."
Ban Koan berbisik-bisik dan orang berpakaian sisik naga itu kelihatan terkejut.
"Wah, banyak benar. Kalau begitu bisa habis anggauta Thian-san-pang."
"Tidak mengapa. Membasmi tikus harus sampai ke sarang dan anak-anaknya.
Soal anggauta, mudah saja kan untuk menambah, berapapun yang
kuinginkan. Bahkan anggauta baru akan selalu taat dan tunduk kepadaku."
"Ha-ha-ha, engkau memang cerdik, Ban Koan. Sudah lama kuketahui ini dan
para pimpinan kami juga senang bekerja sama denganmu."
"Jangan khawatir, kalau aku sudah menjadi ketua Thian-san-pang tentu kami
dapat membuat banyak demi keuntungan Tok-coa-pang."
"Nah, sekarang aku harus membuat persiapan. Engkau juga. Sebentar malam
kita bergerak." "Baik!" 41 Orang yang berjuluk Coa-siauw-kwi itu lalu melompat dan lenyap dari situ.
Setelah tertawa-tawa seorang diri saking gembiranya, seperti seorang gila,
Ban Koan juga pergi dari situ, meninggalkan Cin Po yang menggigil tubuhnya
saking tegang hatinya mendengar semua itu.
Setelah yakin benar bahwa kedua orang itu telah pergi jauh, Cin Po
mengumpulkan kayu kering dan berlari pulang. Ibunya sudah pergi, maka
satu-satunya orang yang dapat dilaporinya adalah kakek gurunya, Tiong Gi
Cinjin. Dia mencari orang tua itu yang sedang duduk bersamadhi di dalam kamarnya.
Dia tidak berani masuk, melainkan berlutut di luar pintu kamarnya sambil
berseru, "Su-kong (kakek guru), teecu hendak bicara soal penting sekali, su-kong.
Mohon diperkenankan masuk!"
Sampai berulang kali dia memohon, agaknya belum terdengar juga oleh Tiong
Gi Cinjin. Tiba-tiba terdengar bentakan di belakangnya, "Cin Po, apa yang
kaulakukan di sini?"
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Cin Po ketika mengenal suara orang
yang membentaknya itu. Ban Koan! Namun, dia adalah seorang anak yang
tabah sekali. Wajahnya tidak menunjukkan kekagetannya dan suaranya juga
tidak tergetar ketika dengan cepat dia dapat menjawab.
"Susiok (paman guru), teecu sedang dihukum oleh su-kong, disuruh berlutut
di sini sampai su-kong membukakan pintu."
42 "Dasar anak bodoh dan malas, pantas sudah dihukum. Untung kau tidak
dihukum cambuk!" Ban Koan mengejek sambil pergi meninggalkan anak itu.
Ban Koan sepenuhnya menyadari bahwa anak yang bernama Cin Po ini
sesungguhnya adalah darah dagingnya sendiri, akan tetapi dia bahkan
membenci anak itu yang dianggap sebagai kunci rahasia yang busuk darinya.
Sebaiknya kalau anak itu mati saja sehingga rahasianya yang busuk terhadap
Bi Li dapat tertutup rapat-rapat. Terutama melihat anak laki-laki itu sedikitpun
tidak mirip dia, melainkan mirip ibunya. Dia membenci anak itu!
Setelah Ban Koan pergi, Cin Po mengetuk daun pintu itu dan akhirnya
terdengar suara dari dalam, suara yang besar dalam, suara Tiong Gi Cinjin.
"Siapa itu?" "Saya, su-kong. Maafkan kalau saya mengganggu su-kong, akan tetapi saya
mempunyai hal yang amat penting untuk disampaikan kepada su-kong."
Hening sejenak. Kalau ada orang yang menaruh kasihan dan rasa suka kepada
anak ini, hanya orang tua itulah. Ibunya sendiri tidak suka kepadanya.
Dan hanya Tiong Gi Cinjin yang merasa iba kepadanya, juga suka melihat
kerajinannya, melihat ketekunannya berlatih dan melihat bakatnya yang
besar. Terdengar langkah kaki dari dalam dan pintu dibuka.
"Masuklah, Cin Po."
Cin Po masuk, menutupkan lagi daun pintunya dan langsung saja dia
menjatuhkan diri di depan kaki kakek itu.
43 "Su-kong, celaka, su-kong!" katanya, kini menumpahkan semua perasaan
cemas dan tegangnya yang sejak tadi ditahan-tahannya.
"Hemm, tenanglah. Ada apa, apanya yang celaka?"
"Celaka, su-kong. Ada komplotan gelap hendak membunuh su-kong dan
banyak paman dari Thian-san-pang, komplotan yang hendak menguasai
Thian-san-pang!" Tiong Gi Cinjin tersenyum. "Aih, engkau mimpi, barangkali, Cin Po, Mana ada
komplotan yang demikian nekat hendak menguasai Thian-san-pang dan
membunuhku?" "Benar, su-kong, saya tidak berbohong. Tadi, ketika saya sedang mengumpulkan kayu kering di dalam hutan, saya melihat seorang paman guru
mengadakan pertemuan dengan orang berbaju sisik naga, dan mereka
bercakap-cakap mempersiapkan diri untuk malam ini mengadakan gerakan.
Mereka akan membunuh su-kong, membunuh banyak paman guru di sini,
kemudian paman guru itu yang akan menjadi ketua Thian-san-pang. Saya
bersumpah tidak akan berbohong, su-kong!"
Tiong Gi Cinjin mengerutkan alisnya. "Hemm, siapa paman guru yang hendak
berkhianat itu?" "Dia adalah paman guru Ban Koan, su-kong."
Kakek itu terbelalak dan mengerutkan alisnya. "Ban Koan" Ah, tidak mungkin
dia berani. Cin Po, urusan ini bukan main-main, engkau tidak boleh
berbohong, akibatnya akan hebat."
44 "Saya bersumpah tidak berbohong dan malam ini mereka akan bergerak!"
Tanpa diketahui oleh kakek dan anak itu, di luar kamar itu berkelebat
bayangan yang pergi dari situ. Bayangan itu adalah Ban Koan yang cepat
seperti terbang mencari komplotannya dan di dalam hutan itu dia bertemu
lagi dengan Coa-siauw-kwi.
"Wah, gawat! Rahasia kita sudah terbongkar oleh setan cilik itu!" kata Ban
Koan. "Kita harus mengubah siasat!"
Coa-siauw-kwi mengerutkan alisnya, "Hemm, agaknya ketika kita bicara, ada,
bocah setan yang ikut mendengarkan. Apakah Tiong Gi Cinjin percaya akan
omongannya?" "Mungkin juga tidak. Akan tetapi tentu saja mereka akan siap siaga menjaga
segala kemungkinan."
"Ha-ha, biarkanlah, Ban Koan. Kalau malam ini tidak terjadi sesuatu tentu
anak itu dianggap berbohong dan mengkhayal, dan tentu Tiong Gi Cinjin tidak
akan mengadakan persiapan apapun pada keesokan harinya. Maka, gerakan
itu kita undurkan sampai besok malam. Biar mereka lengah dulu dan
menganggap anak itu hanya membual."
"Baik, sekarang begitu yang paling baik," kata Ban Koan yang segera kembali
ke Thian-san-pang agar tidak mencurigakan. Dia bersikap biasa, mewakili Bi
Li yang sedang pergi untuk melatih ilmu silat kepada para murid Thian-sanpang.
45 Dia tahu bahwa dirinya diamati oleh Suhunya, akan tetapi dia pura-pura bodoh
dan tidak tahu apa-apa sehingga Tiong Gi Cinjin menjadi semakin ragu akan
kebenaran laporan Cin Po.
Malam itu Tiong Gi Cinjin bersiap-siap untuk berjaga diri. Bahkan kepada
semua murid diperintahkan untuk melakukan penjagaan ketat. Akan tetapi
semua usaha itu sia-sia belaka. Tidak terjadi sesuatu di malam hari itu!
Pada keesokan harinya Tiong Gi Cinjin memanggil Cin Po dan memarahi anak
itu. "Nah, apa yang telah kau perbuat! Engkau membuat kami semalaman tidak
tidur. Semua ini gara-gara cerita khayalmu yang tidak ada kenyataannya."
Banyak ucapan Tiong Gi Cinjin yang pada dasarnya memarahi anak itu yang
dianggap berbohong dan berkhayal yang bukan-bukan. Cin Po merasa
bersedih sekali dan ketika dia mendapat kesempatan mencari kayu bakar,
kembali dia pergi ke hutan di mana dia melihat Ban Koan mengadakan
pertemuan dengan Coa-siauw-kwi.
Dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika kembali dia melihat adegan
yang sama, yaitu Ban Koan mengadakan pertemuan dengan tokoh Tok-coapang itu!
Kembali dia mengintai, akan tetapi dia tidak tahu bahwa sekali ini, kedua
orang itu bukan sekedar melakukan pertemuan melainkan memancing dia
agar mendekat untuk mendengarkan percakapan mereka. Dan sekali ini,
karena memang sudah menduga sebelumnya, mereka dapat mendengar
gerakan Cin Po yang mendekati tempat mereka, bersembunyi di balik semak
belukar. 46 Tiba-tiba Ban Koan tertawa bergelak dan sekali melompat dia sudah berada
di belakang Cin Po dan sekali dia menggerakkan tangan dia sudah menjambak
rambut anak itu dan diangkatnya ke atas!
"Ha-ha-ha, kiranya engkau setan kecil masih tidak juga jera, berani mengintai
kami dan melapor kepada Tiong Gi Cinjin!" kata Ban Koan yang membawa
anak itu ke depan Coa-ciauw-kwi yang juga tertawa-tawa.
Cin Po tidak kehilangan keberaniannya.
"Ban-susiok, aku memperingatkanmu agar jangan mengkhianati Thian-sanpang! Apakah engkau sebagai seorang gagah tidak merasa malu untuk
melakukan sekongkol dengan orang luar dan hendak menghancurkan Thiansan-pang! Ingatlah, susiok, sebelum terlambat!"
"Ha-ha-ha, engkaulah yang terlambat bocah setan!" kata Coa-siauw-kwi
sambil tertawa. Pada saat itu Ban Koan melepaskan jambakan pada rambut Cin Po dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Cin Po untuk menyerang orang Tok-coapang itu dengan golok kecil yang biasa dia pakai memotong kayu. Dan anak
ini memang cerdik. Dia sudah mendengar bahwa orang Tok-coa-pang
memakai baju yang kebal terhadap senjata tajam, maka ketika menubruk
maju dia menerjang dan menyerang paha orang itu. Coa-siauw-kwi adalah
seorang yang lihai, akan tetapi dia lengah dan memandang rendah anak kecil
itu sehingga tahu-tahu golok kecil yang tajam itu sudah melukai pahanya!
"Anak setan!" bentaknya dan tangannya yang mengandung racun itu sudah
menghantam ke arah dada Cin Po.
47 "Bukk......!!" Tubuh Cin Po terpental dan terguling-guling.
Ban Koan melompat dekat anak itu yang mukanya sudah menjadi kehitaman
karena pukulan tadi mengandung racun yang amat ampuh. Akan tetapi
sungguh luar biasa sekali dan di luar dari prikemanusiaan, Ban Koan yang
mengetahui benar bahwa anak itu adalah anak kandungnya, tidak merasa
kasihan sama sekali. Dia menganggap anak itu berbahaya bagi siasatnya, karena itu harus dibunuh.
Melihat bahwa anak itu telah tak berdaya dan rebah di dekat jurang amat
dalam, diapun segera menggerakkan kakinya menendang.
"Mampuslah, anak setan!" Dan tubuh Cin Po terlempar jatuh ke dalam jurang
yang amat dalam itu. Dari atas jurang, melihat tubuh anak itu terguling-guling
ke bawah, Ban Koan tertawa bergelak-gelak dengan hati senang.
"Kenapa tidak dibunuh di sini saja?" tanya Coa-siauw-kwi. "Bagaimana kalau
dia masih hidup di bawah jurang sana?"
"Ha-ha-ha, tidak mungkin. Tendanganku tadi kulakukan dengan keras, tentu
semua tulang iganya sudah rontok!"
"Aku tidak khawatir karena pukulanku tadi jnga mengandung racun yang
mematikan. Mari kita pergi, jangan sampai ada orang lain lagi mengetahuinya.
Ingat, malam nanti kita laksanakan siasat yang kita rencanakan."
"Jangan khawatir, Coa-siauw-kwi. Beres!"
Mereka berpisah. 48 "Y"
Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Manusia kalau sudah diperbudak oleh hawa nafsu, dapat menjadi jahat
melebihi binatang buas apapun. Binatang membunuh karena memang dia
harus membunuh untuk penyambung hidupnya, membunuh untuk memperoleh makanan dari yang dibunuhnya. Andai kata harimau tidak
membunuh, dia akan mati karena harimau tidak dapat makan sayuran.
Demikian pula ikan-ikan besar yang memakan ikan-ikan kecil. Memang sudah
demikian hukum alam yang berkuasa atas dirinya. Akan tetapi manusia lain
lagi. Manusia yang sudah diperbudak oleh nafsu, dapat saja membunuh bukan
karena kepentingan mutlak, melainkan karena nafsu angkara murkanya.
Membunuh karena benci, membunuh karena ingin memiliki sesuatu,
membunuh karena saling berebutan, kemudian saling bunuh antara ratusan
ribu manusia hanya untuk mencari kemenangan dalam perang!
Malam yang dingin dan gelap. Perkampungan Thian-san-pang sudah sepi,
sebagian besar murid Thian-san-pang sudah memasuki kamar mereka.
Lenyapnya Cin Po tidak begitu menarik perhatian orang karena bukan saja
Tiong Gi Cinjin yang marah kepada anak itu juga para murid Thian-san-pang
merasa mendongkol, merasa dipermainkan oleh anak itu. Maka biarpun sejak
sore Cin Po tidak nampak, mereka mengambil sikap tidak perduli.
Para murid yang bertugas jaga, empat orang banyaknya, merasa kedinginan
dan mereka membuat api unggun di dalam gardu penjagaan, merasa malas
untuk pergi meronda. Perkampungan mereka biasanya aman dan siapa berani
mengganggu Thian-san-pang sama dengan mencari penyakit sendiri!
49 Tiba-tiba muncul Ban Koan di luar gardu penjagaan.
"Heii, kalian ini berjaga malam mengapa berada di gardu saja mendekati api
unggun" Seharusnya kalian melakukan ronda!" tegurnya.
Empat orang itu menjadi terkejut dan merekapun keluar dari gardu
penjagaan, terheran-heran melihat Ban Koan tahu-tahu muncul, pada hal
biasanya Ban Koan tidak pernah perduli tentang jaga malam.
"Akan tetapi, suheng. Keadaan di sini aman."
"Aman" Goblok kalian dan harus dihukum!" Tiba-tiba saja Ban Koan sudah
mencabut pedangnya dan sekali menggerakkan pedangnya. Dua orang
penjaga roboh dan tewas seketika. Dua orang yang lain terkejut dan cepat
menghunus pedang untuk melawan, akan tetapi segera bermunculan orangorang Tok-coa-pang dan dengan beberapa gebrakan saja dua orang penjaga
malam itupun roboh dan tewas.
"Mari?"!" kata Ban Koan memberi isyarat kepada sekutunya.
Sedikitnya duapuluh lima orang Tok-coa-pang dengan senjata di tangan lalu
mengikuti Ban Koan yang menuju ke rumah induk, rumah ketua Thian-sanpang. Dengan mudah Ban Koan mencokel pintu rumah dan mereka semua
menyerbu ke dalam. Tiong Gi Cinjin sedang tidur lelap. Tiba-tiba dia mendengar suara gaduh di
luar kamarnya. Cepat ia menyambar pedangnya dan membuka pintu
kamarnya. 50 Dan dia melihat pemandangan yang mengerikan. Beberapa orang anak
muridnya sedang dikeroyok oleh orang-orang yang berbaju sisik naga, orangorang Tok-coa-pang! Dan dia melihat Ban Koan di antara mereka.
"Ban Koan, terkutuk kau?"!" bentaknya dan segera dia menyerang muridnya
sendiri itu. Akan tetapi dengan tangkasnya Ban Koan menangkis dan pedangnya
terpental ketika menangkis pedang gurunya sendiri itu. Secepat kilat pedang
di tangan Tiong Gi Cinjin meluncur ke arah dadanya. Demikian cepat gerakan
Tiong Gi Cinjin sehingga tahu-tahu pedang itu telah menusuk dada Ban Koan
dengan tepat. "Tukkk?"!" Pedang mental kembali dan Ban Koan tertawa. Lalu dia membalas
dengan serangan pedangnya.
Tiong Gi Cinjin terkejut dan meloncat ke belakang. Kiranya di balik jubah
muridnya itu tersembunyi baju sisik naga yang membuat tubuhnya bagian
atas menjadi kebal. "Kau?" kau murid murtad".. pengkhianat?"!" bentak Tiong Gi Cinjin.
Akan tetapi pada saat itu muncul seorang berpakaian baju sisik naga yang
tubuhnya tinggi besar dan bermuka hitam, dan seorang lagi bermuka kuning
yang juga tinggi besar. Melihat mereka berdua, Tiong Gi Cinjin membentak.
"Bagus, kiranya kakak beradik Coa sudah datang pula! Kalian pengecut
curang, kalau memang hendak mengadu ilmu, mengapa harus mempengaruhi
seorang murid kami sehingga dia menjadi pengkhianat!"
51 Tiong Gi Cinjin tidak mendapat jawaban, akan tetapi kini bahkan Ban Koan
yang membentak, "Orang tua rewel, saat kematian sudah tiba!"
Dan murid ini menyerang gurunya dengan cepat. Dua orang kakak beradik
Coa yang menjadi pimpinan Tok-coa-pang juga sudah menerjang dengan
pedang mereka sehingga kakek itu dikeroyok tiga!
Tiong Gi Cinjin mengamuk. Kalau dua orang saudara Coa itu maju satu demi
satu, tidak mungkin mereka akan dapat mengalahkan Tiong Gi Cinjin. Akan
tetapi mereka maju berdua dan dibantu pula oleh Ban Koan yang tentu saja
mengenal ilmu pedang Suhunya.
Maka Ban Koan yang menjadi pelindung kakak beradik Coa itu, Ban Koan yang
tahu ke arah mana pedang Suhunya berkelebat melakukan tangkisantangkisan dan lebih-lebih lagi tubuh mereka bertiga terlindung baju sisik naga,
maka sebentar saja Tiong Gi Cinjin terdesak hebat.
Sementara itu, ribut-ribut telah mendatangkan semua murid Thian-san-pang.
Kurang lebih limapuluh orang murid Thian-san-pang kini bertanding melawan
duapuluh lima orang murid Tok-coa-pang.
Akan tetapi sungguh aneh, lebih dari setengah jumlah murid Thian-san-pang
tidak bertempur dengan sungguh-sungguh dan mereka main mundur. Mereka
ini adalah para murid yang sudah terpengaruh oleh Ban Koan, dijanjikan
kehidupan yang lebih menyenangkan kalau dia yang menjadi ketua! Maka,
pertempuran menjadi berat sebelah dan para murid Thian-san-pang yang
setia kepada perkumpulannya mulai roboh seorang demi seorang.
Tiong Gi Cinjin sendiri juga tidak dapat bertahan lama. Ketika pedangnya
menyambar, pedang itu diterima begitu saja oleh Ban Koan dengan dadanya,
52 lalu lengannya mengempit pedang gurunya karena lengan itu terlindung baju
sisik naga. Kesempatan ini dipergunakan oleh kakak beradik she Coa untuk menusukkan
pedang mereka dan robohlah Tiong Gi Cinjin dengan dua lubang di perut dan
dadanya. Dia roboh, sambil menudingkan telunjuknya ke arah Ban Koan
sambil berseru, "Terkutuk engkau, Ban Koan?"!" dan kakek itu terkulai, tewas.
Semua murid yang setia juga tewas, lebih dari duapuluh orang jumlahnya.
Mereka yang tidak setia sudah melempar pedang dan berjongkok tanda
takluk. Ban Koan tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, bagus, kalian menyerah. Dan mulai
sekarang, akulah ketua Thian-san-pang. Siapa yang tidak setuju katakanlah!"
Semua murid itu lalu berseru, "Kami setuju, Pang-cu!"
Sebutan Pang-cu (ketua) itu terdengar amat merdu di dalam telinga Ban Koan
dan diapun tertawa-tawa, disambut tawa pula oleh kakak beradik Coa.
Para murid segera disuruh mengurus semua mayat, disuruh menguburkan
malam itu juga dan Ban Koan sendiri bersama dua orang sekutunya lalu
merayakan kemenangan di dalam sambil makan minum.
"Ban-pangcu, kami harap engkau tidak melupakan jasa kami malam ini dan
akan memenuhi janji."
53 "Tentu saja, harap ji-wi pang-cu tidak khawatir. Kalian menghendaki kitab
Thian-san-kiam-sut" Akan segera kuberikan, dan mulai sekarang kita
bersahabat, susah sama dipikul, senang sama dinikmati. Kita bekerja sama
untuk mencari kekayaan dan kesenangan."
Dua orang itu tertawa-tawa gembira dan Ban Koan lalu menyuruh seorang
murid kepercayaan untuk mengambilkan kitab Thian-san-kiam-sut dan
diberikan kepada kedua saudara Coa yang menjadi ketua Tok-coa-pang itu.
Pesta dilakukan sampai pagi dan lebih mengerikan lagi, Ban Koan memaksa
isteri-isteri dari murid yang tewas, yang disukai oleh ke dua orang ketua Tokcoa-pang itu, untuk melayani mereka makan minum dan bersenang-senang!
Yang tidak mau lalu dibunuh begitu saja.
Kekuasaan dapat membuat seseorang menjadi gila, gila kekuasaan, mabok
kemenangan. Apapun yang dikehendaki harus terlaksana, demikianlah mimpi
seorang yang menang dan berkuasa. Karena itu, seorang yang bijaksana
selalu berhati-hati apabila dia memperoleh kedudukan dan kekuasaan.
Berhati-hati terhadap nafsunya sendiri dan kalau sudah waspada, dia akan
mempergunakan kekuasaan demi kebaikan sesama manusia, bukan demi
kesenangan diri pribadi. Karena kekuasaan membuat setiap orang yang
memilikinya selalu menang, selalu benar, selalu di atas, maka mudah sekali
memabokkan. Orang bijaksana akan selalu menyadari bahwa kekuasaan, kedudukan, harta
benda, kepandaian dan sebagainya adalah anugerah dari Tuhan yang Maha
Kuasa, anugerah yang diberikan kepadanya untuk menggunakan kekuasaan
itu di jalan yang benar, sesuai dengan kehendak Tuhan. Yang kuasa hanyalah
Tuhan dan manusia yang diberi kekuasaan hanyalah alat belaka.
54 Ban Koan yang sudah lama sekali mencita-citakan kekuasaan, setelah
mendapatkannya menjadi gila kekuasaan, menjadi mabok dan dia ingin
memenuhi semua keinginan hatinya. Kitab Thian-san-kiam-sut adalah sebuah
kitab pusaka perkumpulan itu, hanya dipelajari oleb para murid kepala yang
sudah tinggi tingkatnya. Kini, dengan mudah saja kitab itu dia berikan kepada kakak beradik Coa,
hanya untuk membalas jasa mereka membunuh ketua Tiong Gi Cinjin, dan
membantunya merampas kedudukan ketua Thian-san-pang.
"Y" Peristiwa penyerbuan Thian-san-pang oleh Tok-coa-pang itu tersiar luas dan
terdengar pula oleh Bi Li yang sedang berada di kuil Ban-hok-si di kaki
gunung. Liauw In Nikouw juga mendengar tentang diserbunya Thian-sanpang dan tewasnya kakaknya.
"Omitohud?" apa yang terjadi di sana?"
Nikouw itu berseru dan mulutnya komat-kamit membaca doa. Tidak seperti
kakaknya, nikouw ini tidak pernah mempelajari ilmu silat tinggi, hanya
memperdalam pengetahuannya tentang agama maka ia menjadi kepala kuil
Ban-hok-si. "Bi Li, sebaiknya engkau cepat-cepat naik ke sana dan lihat apa yang terjadi.
Hui Ing biar kau tinggal di sini bersamaku, agar leluasa engkau bergerak."
Bi Li segera berangkat mempergunakan ilmu berlari cepat naik di atas gunung.
Ketika tiba di perkampungan Thian-san-pang, suasananya sepi sekali dan di
luar perkampungan ia melihat gundukan-gundukan tanah kuburan yang
55 masih baru. Hatinya terharu sekali dan air matanya sudah membasahi pipinya
ketika masuk ke perkampungan itu.
Para murid Thian-san-pang berbisik-bisik ketika melihat Bi Li muncul, akan
tetapi mereka tidak berani menegur. Bi Li juga tidak memperdulikan mereka,
dan langsung ia memasuki rumah besar yang menjadi tempat tinggal gurunya
dan juga tempat tinggalnya.
Hampir saja ia bertabrakan dengan Ban Koan yang baru keluar dari dalam
rumah karena dia mendengar bahwa Bi Li sudah kembali.
"Aih, sumoi?"!" katanya dan suaranya gemetar seperti orang yang berduka
sekali. "Suheng, apa yang telah terjadi" Bagaimana...... bagaimana dengan
Suhu........?"" Wajah wanita itu pucat sekali dan matanya terbelalak
memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
Ban Koan segera memegang tangan Bi Li dan menuntunnya duduk di atas
kursi. "Tenanglah, akan kuceritakan semuanya kepadamu."
Bi Li membiarkan saja dirinya dituntun karena memang perasaan tegang dan
khawatir membuatnya terhuyung. Setelah saling berhadapan duduk di atas
kursi terhalang meja, barulah Ban Koan bercerita.
"Terjadinya malam, tidak terduga-duga sama sekali. Karena semua nampak
aman maka kami semua tidur. Tahu-tahu, ada duapuluh lima orang lebih
56 memasuki perkampungan kita. Mereka adalah orang-orang Tok-coa-pang
yang menyerang kami. "Tentu saja kami melakukan perlawanan mati-matian. Namun mereka itu
kebanyakan amat lihai sekali. Suhu sendiri tewas oleh mereka dan duapuluh
orang lebih saudara kita tewas. Ada beberapa orang di antara merekapun
tewas dan terluka, dan dibawa oleh kawan-kawan mereka yang tidak luka
ketika akhirnya mereka melarikan diri.
"Nah, demikianlah terjadinya, sumoi. Kemudian atas permintaan semua
saudara yang masih hidup, saya memimpin mereka menggantikan kedudukan
Suhu karena khawatir kalau-kalau musuh akan datang kembali."
Bi Li menangis. "Suhu, ah, suhu......!" ia meratap. "Kenapa begitu tergesa-gesa mereka
dimakamkan?" "Tentu saja, sumoi. Korban demikian banyak dan luka-luka, mereka tentu
akan membuat jenazah mudah membusuk. Maka, aku memutuskan untuk
merawat dan mengubur semua jenazah pada malam hari itu juga. Juga
jenazah Suhu telah kami kuburkan baik-baik."
Bi Li masih menangis sampai terisak-isak. "Aku...... aku menyesal sekali
kenapa aku tidak ada pada waktu itu!"
"Mengapa, sumoi. Beruntung engkau tidak ada sehingga engkau tidak sampai
menjadi korban." 57 "Suheng, kenapa engkau berkata demikian" Aku kalau ada di sini, tentu dapat
membantu suhu dan belum tentu Suhu sampai tewas."
"Sudahlah, sumoi. Semua telah terjadi, tidak dapat diubah kembali.
Penyesalan tidak ada gunanya lagi."
"Oya, di mana Cin Po?"?" Tiba-tiba Bi Li baru teringat akan puteranya.
Memang ia tidak begitu suka kepada puteranya itu, maka dalam kesedihan
ini, baru sekarang teringat.
"Ahh, anak itu" Kami semua juga heran, karena tidak menemukan dia, juga
tidak terdapat di antara korban. Mungkin dalam keributan itu, karena merasa
ketakutan, dia melarikan diri dan sampai sekarang belum pulang."
Bi Li tidak mengurus lagi kepergian Cin Po, melainkan bersama Ban Koan lalu
pergi ke makam gurunya. Di depan makam yang baru itu ia berlutut dan
menangis sesenggukkan. Ban Koan menghiburnya dan setelah mereka bersembahyang di depan setiap
gundukan tanah kuhuran itu dan tangis Bi Li mereda, Ban Koan lalu berkata,
"Sumoi, di mana Hui Ing?"
"Kutinggalkan di rumah bibi." Lalu disambungnya cepat. "Akupun hendak
kembali ke sana sekarang juga suheng."
"Eh, kenapa sumoi" Sebaiknya engkau kembali ke rumah Suhu, dan".. dan"..
seandainya engkau tidak keberatan, setelah aku menjadi ketua Thian-sanpang, kupikir?" sudah waktunya kuberitahu, bahwa aku?" ingin sekali kalau
engkau menemaniku memimpin Thian-san-pang, sebagai".. eh, sebagai
isteriku." 58 Bi Li mengangkat muka memandang dengan mata merah bekas tangis. Ia
anggap suhengnya ini keterlaluan sekali. Dalam keadaan berkabung seperti
itu, di depan makam yang tanahnya masih baru, membicarakan soal
perjodohan! Melihat wajah suhengnya, yang tersenyum dengan matanya yang sipit itu
memandang tajam, timbul rasa tidak sukanya. Ia tidak akan pernah merasa
suka kepada laki-laki ini, pikirnya.
"Suheng, pantaskah bicara tentang perjodohan di saat seperti ini. Tidak,
suheng. Aku bahkan ingin pindah saja ke Kuil Ban-hok-si, ingin tekun
mempelajari ilmu agama dari bibi pendeta Liauw In Nikouw.
"Tolong saja kalau Cin Po pulang, kauberitahu padanya agar menyusul ke Banhok-si. Sekarang aku hendak mengumpulkan semua pakaian dan milikku
untuk kubawa pindah, suheng."
Biarpun hatinya merasa kecewa, Ban Koan tidak berani memaksa. Memang
kalau menurut siasat dan perhitungannya, Bi Li termasuk orang pertama yang
harus dibunuh bersama Tiong Gi Cinjin, karena wanita ini akan menjadi
penghalang dan pengganggu baginya kelak.
Akan tetapi dia mencinta Bi Li dan tidak tega untuk membunuhnya. Maka dia
berusaha untuk membujuk agar Bi Li menjadi isterinya.
Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan kalau Bi Li tidak mau, memang sebaiknya Bi Li pergi saja dari situ. Kalau
tinggal di situ, pasti dia akan terpaksa membunuhnya dan dia tidak tega
melakukannya. 59 "Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian, sumoi," katanya dan dia
malah membantu Bi Li berkemas.
Demikianlah, pada hari itu juga Bi Li pergi dan pindah ke dusun di kaki bukit,
tinggal bersama Liauw In Nikouw di Ban-hok-si, dan biarpun tidak menjadi
nikouw namun hidup sebagai seorang pertapa dan pendeta wanita, tekun
mempelajari ilmu keagamaan dan bersamadhi.
"Y" Segala kehendak Tuhan Terjadilah! Kalau Tuhan menghendaki seseorang
mati, maka biar dia bersembunyi di lubang semut, maut akhirnya akan datang
menjemput, tepat pada waktunya, tidak lebih atau tidak kurang semenit pun.
Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki dia hidup, biar terancam maut sampai
selisih serambut, akhirnya dia akan luput dari cengkeraman maut.
Banyak sudah peristiwa membuktikan kebenaran mutlak ini, betapa kalau
menurut akal manusia, seseorang yang terancam maut amat hebat tentu akan
mati. Akan tetapi ternyata berkat Kehendak dan Kekuasaan Tuhan orang itu
selamat. Sebaliknya orang yang pada hari kemarin masih segar bugar, bisa
saja hari ini mendadak tewas!
Demikian pula dengan Cin Po. Semua orang kalau melihat keadaannya pada
saat dia terkena pukulan beracun Coa-siauw-kwi, kemudian ditendang oleh
Ban Koan, lalu terjatuh ke dalam jurang yang amat dalam, tentu tidak ada di
antara mereka yang berani mengatakan bahwa anak itu selamat. Semua tentu
mengira anak itu tewas, seperti yang disangka oleh Ban Koan dan Coa-siauwkwi.
60 Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian! Ketika dia terjatuh kebetulan
sekali dia tidak menimpa batu atau tanah keras, melainkan menimpa semaksemak yang tebal sehingga tubuhnya tidak sampai remuk, dan dia bergulingan
ke bawah di atas tanah berumput dan inipun menolong nyawanya.
Akan tetapi ketika tiba di dasar jurang, Cin Po tidak bergerak lagi, seperti telah
mati. Wajahnya pucat sekali dan dia pingsan.
Dan kebetulan yang lain menyusul kebetulan yang satu. Pada saat itu,
kebetulan sekali ada seorang tua yang sedang mencari daun-daun dan
tanaman obat di dasar jurang itu.
Dan orang ini bukanlah orang biasa. Dia adalah seorang datuk dari utara! Dia
di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Pat-jiu Pak-sian (Dewa Utara
Bertangan Delapan)! Orangnya sudah berusia enampuluh tahun, namun
masih nampak muda. Tubuhnya sedang saja dan melihat ujudnya, tidak begitu mengesankan.
Pakaiannya jubah yang longgar seperti seorang pendeta, kepalanya botak
tanpa topi, sepatunya dari kulit yang nampak mengkilap, kepala yang botak
itu besar dan alisnya tebal.
Matanya mencorong seperti mata harimau, hidungnya pesek dan mulutnya
besar. Telinganya juga besar seperti telinga gajah. Pendeknya wajahnya tidak
mengesankan dan bahkan dapat dikatakan buruk.
Akan tetapi dunia kang-ouw amat mengenal nama ini. Jangankan bertemu
orangnya, baru mendengar namanya saja orang yang mengenal namanya
sudah merasa gentar dan ngeri.
61 Pat-jiu Pak-sian ini terkenal dengan wataknya yang ugal-ugalan, semaunya
sendiri. Dia dapat saja menjadi seorang yang berwatak lembut dan baik budi,
akan tetapi dalam sekejap mata dia dapat menjadi raja maut yang amat
kejam dan tidak mengenal kasihan. Apalagi kalau bertemu dengan urusan
yang tidak menyenangkan hatinya, bisa saja dia menyebar maut seenaknya.
Pat-jiu Pak-sian sudah menduda. Isterinya meninggal dunia meninggalkan
seorang anak laki-laki yang usianya ketika itu sekitar sepuluh tahun.
Dan pada suatu hari anaknya itu sakit keras. Pat-jiu Pak-sian mendatangkan
tabib-tabib yang pandai, dipaksanya untuk mengobati anaknya, akan tetapi
sia- sia belaka. Menurut seorang tabib yang pandai, anaknya itu menderita
penyakit hati yang amat gawat dan obatnya sukar dicari di dunia ini.
Ada semacam daun obat dan kabarnya daun itu dapat dicari di sekitar Thiansan. Karena itulah maka Pat-jiu Pak-sian pergi sendiri mencari obat itu dan
kebetulan dia sedang mencari-cari obat ketika kebetulan sekali dia melihat
tubuh Cin Po bergulingan dari atas dan jatuh pingsan tak jauh dari tempat dia
berdiri. Semula Pat-jiu Pak-sian acuh saja, sedikitpun tidak memperdulikan anak lakilaki yang menggelinding jatuh dari atas jurang itu karena dianggapnya itu
bukan urusannya. Akan tetapi, ketika dia lewat dekat dan mengerling ke arah
wajah anak itu, dia terbelalak dan mulutnya berseru, "Anakku!!"
Cepat sekali dia bergerak, tahu-tahu sudah berjongkok di dekat Cin Po.
Setelah memeriksa teliti, barulah dia yakin bahwa anak itu bukan anaknya,
akan tetapi ada kemiripan luar biasa antara anaknya yang sakit dan rebah di
rumah dan anak ini. Dan kemiripan yang kebetulan inilah yang menolong Cin
Po. 62 Andaikata wajahnya dan bentuk tububnya tidak mirip dengan putera kakek
itu, tentu dia ditinggalkan begitu saja dan mati. Akan tetapi, kini kakek itu
memeriksanya. Pat-jiu Pak-sian adalah seorang datuk yang juga memiliki keahlian pengobatan. Kalau anaknya sakit dia tidak mampu mengobati, hal itu adalah
karena anaknya menderita semacam penyakit yang hanya dapat disembuhkan dengan obat. Akan tetapi kalau sakit yang diakibatkan pukulan
atau racun sekalipun, dialah ahlinya untuk menyembuhkannya.
Setelah memeriksa dengan teliti keadaan Cin Po, dia merasa heran sendiri.
"Luar biasa! Seorang anak sekecil ini sudah menderita luka-luka pukulan yang
begini ganas. Siapa yang begitu gila untuk memukul seorang anak kecil
seperti ini" Tulang-tulang iganya patah-patah dan ada pukulan beracun.
Agaknya memang sudah takdir anak ini dan aku untuk bertemu di sini.
Baiklah, aku akan menyembuhkanmu, nak!"
Dia lalu duduk bersila di dekat Cin Po, menelanjangi anak itu, menelentangkan
anak itu dan kedua tangannya ditempelkan di dadanya. Dengan pengerahan
sin-kangnya, dia mengobati anak itu, mengusir hawa beracun karena pukulan
Coa-siauw-kwi, kemudian menelungkupkannya.
Dan setelah hawa beracun itu bersih terusir dari tubuh anak itu, mulailah dia
menyambungkan tulang-tulang yang patah dari iga anak itu. Diambilnya
daun-daun dari sekeliling tempat itu, ditaruh di sekeliling dada dan punggung
anak itu, kemudian dibalut dengan kain panjang.
Setelah memeriksa lagi dengan teliti, dia lalu menggerakkan tangannya
dengan cepat, menotok sana sini dan akhirnya Cin Po mengeluh dan merintih.
63 Kakek itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum gembira.
"Anak yang memiliki tenaga dan daya tahan tubuh seperti ini sukar ditemukan
keduanya di dunia ini!"
Ucapan itu seperti menyadarkan Cin Po. Dia membuka matanya dan begitu
dia sadar, dia teringat akan peristiwa tadi dan melompat bangun, akan tetapi
dia roboh terkulai kembali. Dia merasa terkejut dan terheran-heran melihat
dirinya bertelanjang bulat dan pakaiannya berserakan di situ.
"Ha-ha-ha-ha, anak bodoh. Jangan mencoba-coba untuk banyak bergerak
atau tulang-tulang igamu akan patah-patah kembali. Bangkitlah perlahanlahan dan kenakan pakaianmu kembali."
Cin Po adalah seorang anak yang cerdik sekali. Dia ingat bahwa dia tadi
dipukul dan ditendang jatuh ke jurang, dan sekarang dada dan punggungnya
dibalut, siapa lagi yang menolongnya kalau bukan kakek ini" Maka, serta
merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang duduk bersila
itu. "Locianpwe telah menolong nyawa saya, budi locianpwe yang sebesar gunung
sedalam lautan ini tidak pernah saya lupakan selama hidup."
Kakek itu tertegun. Tak disangkanya anak yang ditemukan di dalam jurang di
Thian-san ini dapat bersikap seperti itu, seperti seorang anak yang terpelajar
saja. Dan timbul penyesalan dalam batinnya. Anak yang mirip puteranya ini
sungguh menang dalam segala-galanya kalau dibandingkan puteranya.
Menang dalam daya tahan tubuhnya, dan tadi dia sudah meraba-raba tulang
64 anak ini yang ternyata berbakat baik sekali dalam ilmu silat, menang pula
dalam sikap dan pembawaan diri. Anaknya sendiri kalah jauh!
"Simpan saja terima kasihmu dan pakailah pakaianmu kembali!" katanya
dingin. Cin Po sudah seringkali mendengar dari percakapan antara murid-murid
Thian- san-pai bahwa orang orang sakti di dunia persilatan banyak yang
berwatak aneh. Dia mengerti bahwa orang sakti ini tentu seorang tokoh kangouw dan juga berwatak aneh. Maka dia lalu mengangguk, dan mengenakan
pakaiannya yang serba putih kembali.
"Sekarang duduk bersila di depanku," kata Pat-jiu Pak-sian.
Cin Po menaati perintah itu.
"Ambil pernapasan yang dalam, dan ikuti petunjukku. Tarik napas yang dalam
dan hitung delapan kali dalam hati baru berhenti menarik napas, simpan di di
dalam lalu dorong dari perut ke arah tulang-tulang igamu yang patah. Setelah
tidak bertahan baru keluarkan napas dari mulut dengan suara mendesis
seperti ini." Cin Po sudah pernah mendapat petunjuk cara pernapasan dari kakek gurunya,
maka dia dapat menuruti petunjuk itu dengan baik. Dan setelah beberapa
puluh kali mengulang petunjuk itu, dia merasa betapa dadanya tidak nyeri
lagi! "Cukup, dan sekarang ceritakan kenapa engkau terjatuh dari atas sana."
65 Cin Po meragu. Sebetulnya, urusan Thian-san-pang tidak ingin dia ceritakan
kepada orang luar. Akan tetapi, mengingat akan apa yang terjadi, tidak
mungkin dia kembali lagi ke Thian-san-pang. Kakeknya sudah tidak
mempercayainya. Kalau dia naik dan melaporkan kepada kakek gurunya
bahwa dia ditendang oleh Ban Koan, tentu kakeknya juga tidak akan percaya
karena tidak ada buktinya.
"Di atas sana saya bertemu dengan dua orang jahat yang hendak menyerbu
Thian-san-pang, locianpwe. Karena saya melihat mereka, maka mereka lalu
menyerangku, yang seorang memukulku dan orang kedua menendangku
jatuh ke dalam jurang ini," katanya singkat.
Dan anehnya, kakek itu juga agaknya acuh saja mendengar ceritanya.
"Hemm, di dunia ini banyak orang baik, banyak pula orang jahat. Semua sama
saja. Akan tetapi yang paling menjemukan adalah orang yang pengecut dan
curang! Dan memukuli seorang anak yang tidak berdaya adalah pengecut dan
curang, tidak akan dilakukan orang gagah."
"Locianpwe, kalau boleh, saya ingin berguru kepada locianpwe. Biar saya
disuruh bekerja apa saja, asal saya boleh berguru kepada locianpwe, akan
saya taati," Cin Po kini berlutut kembali ke depan kakek itu.
"Heh-heh, benarkah engkau akan menaati semua perintahku" Biarpun
perintahku itu membuat engkau terancam bahaya maut sekalipun?"
"Locianpwe," kata Cin Po dengan sungguh-sungguh. "Kalau tidak ada
locianpwe tentu saya sudah mati. Maka, kalau locianpwe memerintahkan saya
dengan pengorbanan nyawa sekalipun, saya akan menaati."
"Bagus, kalau begitu aku mau menerima engkau menjadi muridku!"
66 "Suhu?"!!" Cin Po mengangguk-angguk sampai delapan kali sambil berlutut
dengan hati girang bukan main.
"Sekarang bangkitlah dan kau naik ke punggungku. Aku akan menggendongmu naik dari jurang ini."
Tanpa ragu lagi Cin Po menurut. Di lain saat dia sudah menempel di punggung
kakek itu, merangkul lehernya. Kakek itu tertawa lalu tubuhnya bergerak
cepat sekali mendaki jurang itu!
Cin Po terbelalak ketakutan. Bagaimana orang dapat mendaki jurang yang
curam dan terjal itu" Seperti seekor monyet besar kakek itu merayap naik,
bukan merayap, melainkan berlari sehingga sebentar saja dia sudah tiba di
atas tebing jurang. Cin Po lalu melorot turun dari gendongan dan memandang
kakek ini dengan takjub. "Sekarang, engkau perlu beristirahat semalam suntuk untuk memulihkan
kekuatanmu," kata kakek itu dan dia sendiri duduk bersila tidak memperdulikan anak itu. Cin Po merasa tersiksa sekali. Dia harus bersila semalam suntuk tidak berani
bergerak, padahal seluruh tubuhnya masih terasa nyeri dan perutnya terasa
lapar sekali. Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi kakek itu sudah membuka matanya,
mengeluarkan roti kering dari keranjang obatnya dan memberikan sepotong
roti kering kepada Cin Po.
"Makanlah roti kering ini agar engkau tidak kelaparan. Sesudah makan, ini
minumnya, hanya air jernih. Lalu kau istirahat lagi. Ambil pernapasan seperti
67 yang kuajarkan kemarin. Ingat, engkau harus berlatih pernapasan dengan
tekun, barulah tulang-tulangmu dapat pulih kembali dengan baik."
Tiga hari tiga malam lamanya Cin Po disuruh berlatih seperti itu di dalam hutan
di tepi jurang. Sehari hanya diberi makan roti kering dua kali dan minum air
jernih. Tubuh anak itu lemas, akan tetapi rasa nyerinya lenyap berganti rasa
tenang dan nyaman. Pada hari keempatnya, barulah kakek itu bangkit berdiri. "Bagus dalam hal
kesabaran engkaupun telah lulus. Sekarang, mari kita mencari makanan. Kita
harus makan enak dan sekenyangnya, baru kita lanjutkan perjalanan kembali
ke tempat tinggalku."
"Di tempat ini, mana mungkin ada makanan enak, Suhu?"
"Apakah dekat sini tidak ada kampung atau dusun di mana kita dapat
memperoleh makanan enak?"
"Yang terdekat hanyalah Thian-san-pang, perkampungan perkumpulan itu."
"Kalau begitu, ke sanalah kita!"
"Ke Thian-san-pang, Suhu?"?"
"Eehh, membantah, ya?"
"Tidak Suhu, hanya meragu."
"Jangan pernah meragukan omonganku, kalau engkau ingin menjadi muridku.
Hayo kita berangkat ke Thian-san-pang!"
68 Dengan hati berdebar-debar tidak karuan membayangkan bagaimana nanti
penerimaan kakek gurunya kalau dia datang bersama guru barunya,
bagaimana penerimaan paman gurunya, Ban Koan, yang sudah menganggap
dia mati" Cin Po menjadi penunjuk jalan ke arah Thian-san-pang.
Di luar perkampungan dia melihat begitu banyaknya tanah kuburan baru dan
Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hatinya merasa tidak enak sekali.
"Eh, agaknya baru saja terjadi kematian yang besar-besaran," kata Pat-jiu
Pak-sian. "Siapa saja yang mati ini, muridku" Eh, siapa sih namamu, tidak
enak memanggil engkau hanya muridku saja. Siapa namamu?"
"Nama saya Song Cin Po, Suhu."
"Nama yang tidak bagus, tapi sudahlah. Kuburan siapa ini, Cin Po?"
"Teecu tidak tahu Suhu, karena sewaktu teecu pergi dari sini, empat hari yang
lalu kuburan ini belum ada."
Dengan hati tidak enak Cin Po memasuki perkampungan bersama gurunya.
Para murid Thian-san-pang melihat Cin Po kembali, segera berseru heran
karena anak itu sudah empat hari tidak nampak.
"Heii, Cin Po. Ke mana saja engkau selama ini" Semua orang mencarimu!"
"Aku pergi jauh dari sini. Ke mana Su-kong (kakek guru)?"
Ditanya demikian semua murid itu hanya saling pandang dan menunjuk ke
rumah besar. 69 Cin Po segera berjalan cepat ke arah rumah besar diikuti Pat-jiu Pak-sian.
Tanpa ragu Cin Po memasuki rumah besar itu dan dia dihadang beberapa
orang murid yang berjaga di situ.
"Eh, engkau hendak ke mana?" kata seorang sambil memegang lengan anak
itu. "Tidak boleh sembarangan masuk kalau tidak mendapat ijin Pang-cu."
"Ehh" Siapa Pang-cu. Su-kong, bukan?"
"Sekarang Pang-cunya adalah Ban-pangcu. Su-kong telah meninggal dunia."
Cin Po menjadi pucat dan dia mengibaskan tangan itu, lalu berlari masuk ke
Dewi Ular 3 Tongkat Rantai Kumala Seruling Kumala Kim Lan Pay Karya Oh Chung Sin Bangau Sakti 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama