Ceritasilat Novel Online

Suramnya Bayang Bayang 18

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 18


dan kehilangan kesempatan untuk bertahan.
Kedatangan menantu Ki Demang itu benar-benar
mempengaruhi pertempuran itu.
Seorang di antara kedua orang yang bertempur berpasangan
itu terpaksa berpaling dan berteriak lantang, "Pengecut. Kenapa
kau turut campur" Bukankah kau telah mempunyai lawan
sendiri?" Tetapi menantu Ki Demang itu menjawab, "Aku sudah
membunuh perwira-perwira Jipang itu. He, sekarang datang
pilihanmu untuk dibunuh."
70 SH. Mintardja Bekas kawannya yang berhubungan dengan saudarasaudaranya yang menjadi perwira Jipang itu mengumpat.
Katanya, "Dan kau akan bertempur dengan licik."
"Kenapa aku licik?" bertanya menantu Ki Demang itu.
"Kau campuri pertempuran yang hampir selesai ini. Kami
hampir berhasil membunuh lawan kami," jawab lawannya itu.
"O," menantu Ki Demang yang sudah berdiri dekat arena itu
pun bertanya, "Bagaimana dasar penilaianmu" Jika aku licik
karena aku siap memasuki arena pertempuran ini, bagaimana
dengan kau yang bertempur berpasangan?"
Lawannya itu tidak menjawab. Namun dengan serta merta ia
telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Menantu Ki Demang itu sempat mengelak. Sambil tertawa
kecil ia menjawab, "Kau memang garang. Tetapi kau gagal
mempergunakan saat lawanmu lengah. Sekarang aku benarbenar sudah siap untuk bertempur."
Lawannya tidak menjawab. Serangannya pun datang beruntun
dengan cepatnya. Tetapi menantu Ki Demang itu
mempergunakan tombak pendek, sehingga sejenak kemudian, ia
pun telah berhasil mengendalikan pertempuran itu. Dengan
ujung tombaknya yang berputaran, terjulur dan kemudian
mematuk, ia berhasil menahan serangan-serangan yang datang
bagaikan banjir bandang. Sejenak kemudian, maka yang terjadi adalah perang seorang
melawan seorang sebagaimana kawannya yang bertubuh gemuk
itu. Meskipun tubuhnya telah tergores oleh luka, namun ketika ia
sudah kehilangan seorang lawannya, maka arena itu rasa-rasanya
menjadi sedikit lapang. Orang berkepala kecil itu sempat menarik
nafas dalam-dalam, sementara ujung tombaknya pun mampu
menahan lawannya untuk bergeser surut.
"Setan," geram lawan orang berkepala kecil itu, "Nyawamu
sudah diujung rambutmu."
71 SH. Mintardja "Tadi," jawab orang berkepala kecil itu. "Sekarang nyawaku
sudah menyuruk lagi masuk ke dalam ubun-ubun. Dan kau tentu
tidak akan mampu menggapainya lagi."
"Persetan," lawannya mengumpat. Tetapi ketika ia dengan
serta merta meloncat maju untuk menerkam dengan ujung
pedangnya, maka sekali lagi langkahnya terhenti. Ujung tombak
orang gemuk berkepala kecil itu telah menahannya.
Dengan demikian, maka pertempuran antara orang-orang
yang pernah bekerja bersama itu menjadi semakin seru. Masingmasing berusaha untuk mengakhiri pertempuran itu sampai
tuntas. Orang-orang yang bekerja bersama dengan para perwira
dari Jipang itu benar-benar ingin membunuh menantu Ki Demang
dan kawannya yang dianggap akan dapat menjadi penghalang
untuk selanjutnya, dan bahkan mungkin mereka akan
melaporkannya kepada Ki Demang. Sementara itu, menantu Ki
Demang pun agaknya ingin membungkam lawannya agar
rahasianya tidak akan terbuka sama sekali kapanpun juga.
Namun ternyata bahwa menantu Ki Demang itu memang
memiliki kelebihan. Dengan kemampuannya yang melampaui
tingkat kemampuan lawannya, maka ujung tombaknya telah
mulai menyentuh tubuh lawannya.
Lawannya mengumpat kasar. Namun satu kenyataan.
Tubuhnya telah terluka. Menantu Ki Demang itu tertawa. Katanya, "Jika sejak semula
kau menyadari kekeliruan langkahmu, maka kau tidak akan
mengalami nasib buruk."
"Jangan mengigau. Bersiaplah untuk mati," geram lawannya.
Menantu Ki Demang terkejut ketika lawannya itu kemudian
meloncat menyerang sambil memukul tombaknya, sebagaimana
ia menyibakkan ujung pagar yang runcing.
72 SH. Mintardja "O," menantu Ki Demang itu justru meloncat surut. Sementara
lawannya itu pun telah memburunya. Serangannya pun telah
datang pula beruntun, tidak henti-hentinya.
Beberapa kali menantu Ki Demang itu harus berloncatan
surut. Namun ia sama sekali tidak merasa terdesak. Ia sadar
bahwa lawannya ingin menghentaknya dan kemudian
mempergunakan kesempatan itu untuk menemukan kelemahan
padanya. Namun justru dengan perhitungan yang cermat, menantu Ki
Demang itu meloncat surut beberapa langkah lagi. Sementara itu,
lawannya pun masih memburunya.
Bahkan menantu Ki Demang yang nampak gugup itu telah
membuat satu kesalahan dengan tombaknya. Ketika ia berusaha
menangkis serangan ujung pedang lawannya, ternyata
tombaknya telah terayun menyamping. Satu kesempatan yang
tidak disia-siakan oleh lawannya. Karena itu, maka dengan satu
loncatan panjang lawannya mengayunkan pedangnya mendatar
tepat ke arah leher menantu Ki Demang.
Tetapi yang terjadi adalah justru sebaliknya. Bukan leher
menantu Ki Demang yang tertebas putus, tetapi menantu Ki
Demang itu justru telah berjongkok sambil mengacukan ujung
tombaknya. Terdengar teriakan nyaring. Ujung tombak menantu Ki
Demang itu ternyata telah tertancap di dada salah seorang bekas
kawannya yang kemudian telah memisahkan diri karena sikap
yang berbeda. Perlahan-lahan menantu Ki Demang itu pun kemudian
berdiri. Ditariknya ujung tombaknya. Demikian ujung tombak itu
terlepas dari dada lawannya, maka orang itu pun terjatuh
menelungkup. Darah yang merah telah mengucur dari lukanya
yang tembus sampai ke punggung bahkan menyentuh
jantungnya. Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu.
73 SH. Mintardja "Orang itu tidak akan dapat membuka rahasiaku lagi," berkata
menantu Ki Demang di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, ketika ia mengangkat wajahnya dan
memandang kawannya yang gemuk itu, maka ia pun menjadi
berdebar-debar. Ia melihat kedua orang yang bertempur itu
masing-masing sudah terbaring diam. Sementara itu, Kiai Badra
yang masih membawa tunggulnya berjongkok disampingnya.
Dengan tergesa-gesa ia meloncat mendekatinya. Ketika
dengan tergesa-gesa ia berjongkok disamping Kiai Badra, maka
Kiai Badra pun berdesis, "Keduanya telah menyelesaikan
pertempuran ini dengan akhir yang pahit."
Menantu Ki Demang itu berusaha mengguncang tubuh
kawannya yang gemuk dan berkepala kecil itu. Tetapi Kiai Badra
berdesis, "Ia sudah meninggal. Namun lawannya pun telah
terbunuh pula." Menantu Ki Demang itu menundukkan kepalanya. Dengan
suara lirih ia berkata, "Ia adalah sahabat yang sangat baik.
Kasihan. Ia mati karena ia berusaha untuk ikut menjaga nama
baikku." Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Orang ini memang
pantas untuk dihormati. Khususnya oleh keluargamu. Ia telah
menunjukkan kesetiaan seorang sahabat."
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 14. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
74 SH. Mintardja Jilid Ke lima belas Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 75 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja WAJAH menantu Ki Demang itu menjadi semakin sendu.
Namun Kiai Badra pun berkata, "Tetapi beruntunglah orang ini,
bahwa ia tidak mati sebagai seorang perampok yang akan
dicampakkan ke dalam kubur dengan iringan caci dan maki."
Menantu Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, "Ia mati
sebagai seorang sahabat yang baik. Dan ia akan dihormati oleh
seisi padukuhan, bahkan Kademangan ini."
Kiai Badra pun kemudian berdiri sambil berdesis, "Masih ada
seorang yang perlu kita perhatikan."
Menantu Ki Demang itu pun bangkit pula. Namun ternyata
bahwa mereka sudah tidak melihat lagi pertempuran. Gandar
berdiri tegak disebelah sosok tubuh yang terbaring diam.
"Apakah kau membunuhnya?" bertanya Kiai Badra.
Gandar menggeleng. Katanya, "Ia tidak mati."
Menantu Ki Demang pun kemudian bersama Kiai Badra
melangkah mendekatinya. Sebenarnyalah bahwa orang itu masih
hidup. Tetapi luka-luka di bagian dalam tubuhnya telah
membuatnya tidak berdaya untuk melawan.
Kiai Badra pun kemudian berkata kepada menantu Ki
Demang, "Mereka memerlukan perawatan. Yang terbunuh harus
diselenggarakan sebaik-baiknya, sementara yang terluka
memerlukan pengobatan."
Menantu Ki Demang itu pun mengangguk-angguk. Kemudian
katanya, "Biarlah aku memanggil para pelayanku. Biarlah mereka
membantu." Menantu Ki Demang itu pun kemudian memanggil beberapa
orang laki-laki yang juga tinggal di rumah itu. Namun mereka
adalah laki-laki yang tidak akan dapat membantunya dalam
kesulitan pertempuran. Jika mereka harus tampil juga
dipertempuran, maka hanya berarti memperbanyak korban saja.
2 SH. Mintardja Orang-orang itulah yang kemudian harus mengumpulkan para
prajurit Jipang yang terluka. Mereka ditempatkan di gandok, di
dalam bilik yang khusus. "Persetan," geram salah seorang dari perwira itu ketika Kiai
Badra berusaha mengobatinya, "Kenapa kau tidak
membunuhku?" "Kalian adalah prajurit-prajurit Jipang. Kami sampai saat ini
masih membatasi persoalan dengan prajurit-prajurit Jipang."
"Tetapi bukankah kalian orang-orang Pajang?" bertanya
perwira itu. "Ya. Kami orang-orang Pajang. Bukan prajurit-prajurit
Pajang," jawab Kiai Badra pula.
"Tetapi kalian akan menyesal bahwa kalian tidak membunuh
kami. Jika kalian biarkan kami kembali ke dalam kesatuan kami,
maka mungkin kami pun akan kembali ke rumah ini dan
menghancurkan seluruh isinya."
"Jika demikian maka kita akan bertemu lagi," jawab Kiai
Badra pula. "Mungkin aku atau Gandar akan dipanggil dalam
kesatuan-kesatuan keprajuritan. Mudah-mudahan kita dapat
bertemu dan bertempur dalam kedudukan yang sejajar."
"Anak iblis," geram perwira dari Jipang itu. "Kalian telah
menghina kami. Bukan watak kami berterima kasih karena kami
tidak terbunuh dalam kekalahan seperti ini."
"Terserah kepada kalian," jawab Kiai Badra.
Namun Gandar yang mulai jengkel menjawab, "Terima kasih
atau tidak, itu bukan persoalan kami. Kami telah merasa
bersyukur bahwa kami mendapat kesempatan untuk tidak
membunuh lawan-lawan kami."
Perwira-perwira Jipang itu menggeram. Seorang di antara
mereka berkata, "Bagaimanapun juga kami tetap seorang
prajurit. Kami tidak pernah merasa menyerah dan minta
dihidupi." 3 SH. Mintardja "Cukup," Gandarlah yang memotong pembicaraan itu, "Aku
tidak perlu sesorahmu. Aku akan berbuat sebagaimana ingin
kami perbuat. Kalian bukan apa-apa bagi kami."
Para perwira itu benar-benar merasa terhina. Seorang di
antara mereka berkata, "Apa hakmu membentak kami?"
Wajah Gandar menjadi merah. Tetapi Kiai Badra lah yang


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyahut, "Tidak ada hak kami membentak kalian. Gandar juga
tidak membentak. Ia hanya menyatakan kejengkelan
perasaannya, karena ia menghadapi sikap kalian yang tidak
wajar" Kenapa kalian bersikap seperti itu. Kalian tidak usah
berusaha untuk menutup-nutupi kekurangan kalian dengan
tingkah laku yang aneh-aneh begitu. Justru bagi seorang laki-laki,
maka ia akan menerima kenyataan sebagaimana adanya.
Kenyataan itu adalah bahwa kami telah mengalahkan kalian.
Kenapa kalian berpura-pura tidak mau menerima kenyataan,
bahwa kami memang tidak membunuh kalian?"
Para perwira Jipang itu termangu-mangu. Sementara Kiai
Badra berkata selanjutnya, "Sebaiknya kita berhubungan
sebagaimana hubungan antara sesama. Jangan terlalu membatasi
diri dengan kedudukan dan keyakinan. Kami tahu bahwa kiblat di
antara kita tidak sama. Tetapi biarlah yang tidak sama itu tidak
sama. Tetapi pada hakikatnya, apakah perbedaan di antara kita?"
Para perwira itu tidak menjawab. Mereka pun kemudian tidak
mempersoalkan lagi ketika Kiai Badra mengobati mereka,
sementara para pembantu menantu Ki Demang sibuk dengan
mayat yang terdapat dihalaman. Satu di antara sosok tubuh yang
membeku itu dianggap mempunyai kedudukan yang berbeda.
Dalam pada itu, menantu Ki Demang itu pun kemudian telah
mendapatkan istrinya yang mendekap anaknya yang kecil di
dalam biliknya. Seorang perempuan tua mengawaninya.
Sementara anaknya yang besar masih tidur dengan nyenyaknya.
Dengan suara gagap terdengar istrinya itu berdesis, "Kakang,
apa yang telah terjadi?"
4 SH. Mintardja Menantu Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan suara dalam, "Semuanya sudah selesai. Yang Maha Agung
telah melindungi kita."
"Jadi?" bertanya istrinya pula.
"Kami berhasil menguasai keadaan," jawab menantu Ki
Demang itu. "Tetapi benar-benar karena pertolongan Tuhan. Jika
dua orang kawanku itu tidak bermalam di rumah ini, mungkin
keadaannya akan berbeda."
"O," istrinya mendekap anaknya semakin erat.
"Sudahlah. Beristirahatlah.
Kau tidak perlu cemas lagi.
Semuanya sudah selesai. Sebentar lagi, tentu orangorang Kademangan akan datang," berkata suaminya.
Sebenarnyalah, menantu Ki
Demang telah mengirimkan seorang pembantunya untuk
memberitahukan kepada mertuanya, bahwa telah terjadi
perampokan di rumahnya. Namun sementara itu, atas
persetujuan menantu Ki Demang Kiai Badra yang telah
mengobati para perwira dari
Jipang itu bertanya, "Apakah kalian dapat meninggalkan tempat
ini?" "Kenapa?" bertanya salah seorang di antara para perwira itu.
"Sebentar lagi tempat ini akan penuh dengan orang-orang
Kademangan ini," jawab Kiai Badra. "Mungkin mereka akan
bersikap kasar terhadap kalian."
"Aku tidak takut seandainya mereka membunuh aku," geram
salah seorang di antara mereka.
5 SH. Mintardja "Bukan soal takut atau tidak takut," jawab Kiai Badra. "Tetapi
aku tidak mau terjadi keributan lagi."
Para perwira itu termangu-mangu. Namun menantu Ki
Demang itulah yang kemudian berkata meskipun agak ragu,
"Biarlah mereka kita letakkan dibelakang. Di bilik para
pembantuku." Kiai Badra mengangguk-angguk. Dengan wajah ragu ia
berkata kepada para perwira itu, "Jangan menolak. Yang kami
lakukan ini bukan apa-apa."
Para prajurit Jipang itu tidak menolak. Mereka kemudian
dibawa ke bagian belakang rumah itu agar tidak menimbulkan
persoalan baru dengan orang-orang padukuhan yang tentu akan
berdatangan. Kepada para pembantunya menantu Ki Demang itu pun telah
berpesan, agar mereka tidak menyebut-nyebut orang-orang yang
ada di dalam bilik mereka.
"Orang-orang itu adalah prajurit-prajurit Jipang yang
sebenarnya tidak terlibat dalam perampokan ini. Tetapi mereka
terkait karena seorang di antara para perampok adalah seorang
yang masih mempunyai hubungan darah dengan mereka, yang
mungkin dengan dalih apapun juga, sehingga prajurit-prajurit itu
terjebak ke dalam tindak kekerasan ini," berkata menantu Ki
Demang. Para pembantunya termangu-mangu. Seorang di antara
mereka bertanya. "Karena mereka sudah terlibat, bukankah
seandainya mereka dibunuh tidak akan ada persoalan?"
"Jangan berkata begitu?" jawab menantu Ki Demang. "Mereka
adalah prajurit-prajurit Jipang. Jika seorang saja di antara
mereka terbunuh disini, maka Kademangan ini akan
dihancurkan. Kau harus tahu, bahwa disebelah perbatasan
terdapat sepasukan prajurit Jipang. Jika mereka mendengarnya,
maka Kademangan ini akan mengalami mala petaka. Tentu akan
berbeda sikap mereka, jika mereka tetap hidup dan kita
perlakukan dengan baik, meskipun mereka tetap mengancam.
6 SH. Mintardja Namun kita masih yakin akan kebeningan hati nurani mereka
sebagai manusia, sehingga mereka tidak mendendam kita."
Para pembantunya mengangguk-angguk. Agaknya keterangan
menantu Ki Demang itu dapat dimengerti pula.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian Ki Demang sendiri telah
datang ke rumah menantunya. Beberapa orang bebahu telah
menyusul bersama beberapa orang pengawal Kademangan.
Bahkan kemudian orang-orang yang mendengar keributan di
sepanjang jalan yang dilalui oleh Ki Demang dan para pengawal,
telah terbangun pula dan ikut pergi ke rumah menantu Ki
Demang itu. Tetapi ketika mereka sampai di rumah itu, keadaan telah
menjadi tenang. Ki Demang telah ditemui oleh menantunya di
halaman, sementara para pembantunya termangu-mangu
menyaksikan kehadiran orang-orang padukuhan itu.
"Syukurlah, bahwa kesulitan telah teratasi," berkata Ki
Demang kepada menantunya.
"Ada beberapa orang yang telah menolong aku," berkata
menantu Ki Demang yang kemudian memperkenalkannya
dengan Kiai Badra dan Gandar yang telah menyembunyikan
tunggulnya dibalik selongsongnya.
Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak sempat tahu
terlalu banyak tentang Kiai Badra dan Gandar, karena menantu
Ki Demang itu telah menyebut pula seorang sahabatnya yang
terbunuh. "Kasihan," desis Ki Demang, yang kemudian bertanya, "Jadi
ada berapa orang yang terbunuh?"
"Seorang sahabatku yang harus mendapatkan penghormatan
dari orang-orang padukuhan ini, karena telah ikut
mempertahankan rumah ini dengan mengorbankan jiwanya,"
berkata menantu Ki Demang.
Ki Demang masih mengangguk-angguk. Namun segalanya
masih harus dikerjakan jika matahari telah naik.
7 SH. Mintardja Demikianlah Kademangan itu telah disibukkan dengan
penguburan beberapa orang dalam suasana yang berbeda. Di
antara mereka yang dianggap sebagai perampok yang ingin
merampok rumah menantu Ki Demang, terdapat seorang
pahlawan yang dihormati oleh seisi Kademangan. Bahkan oleh
menantu Ki Demang, keluarganya telah diberinya sekadar uang
untuk membantu upacara yang harus dilakukan.
Kepada Ki Demang, menantunya mengatakan, bahwa ia tidak
dapat menyebut jumlah perampok yang datang ke rumahnya
dengan pasti, karena perkelahian yang kemudian terjadi menjadi
kisruh. Tetapi ada di antara mereka yang tidak terbunuh, sempat
melarikan diri meninggalkan halaman rumahnya.
"Kenapa kau tidak memberikan isyarat dengan kentongan?"
bertanya Ki Demang. "Kami tidak sempat melakukannya," jawab menantunya.
"Tiba-tiba saja kami sudah terlibat ke dalam pertempuran yang
membingungkan." Namun dalam pada itu, yang terjadi di rumah menantu Ki
Demang itu seakan-akan merupakan satu peristiwa yang telah
mencuci namanya. Dengan demikian, maka segalanya yang
buram yang pernah dilakukannya telah dihapuskan, meskipun
seorang di antara kawannya harus menjadi korban dalam
pembersihan nama itu, sementara dua orang kawannya yang lain
mati sebagai perampok-perampok.
Ketika keadaan rumah menantu Ki Demang itu sudah sepi
kembali, maka Kiai Badra dan Gandar pun dipersilakannya untuk
mencari pemecahan tentang orang-orang Jipang yang masih ada
di rumahnya. "Apakah yang sebaiknya kami lakukan dengan mereka?"
bertanya menantu Ki Demang itu.
"Mereka tentu sudah berangsur baik. Kita tawarkan saja
kepada mereka, apakah mereka akan tinggal disini untuk
sementara atau mereka akan segera kembali kepada
pasukannya," jawab Kiai Badra. "Tetapi mereka tentu tidak akan
8 SH. Mintardja berani terlalu lama berada disini, karena mereka akan dapat
dianggap melarikan diri dari kesatuan mereka. Aku yakin bahwa,
kepergian mereka kepada saudaranya itu tentu tidak sepenuhnya
mengemban tugas dari pimpinan pasukannya, karena kepergian
mereka tidak ada hubungannya dengan keinginan mereka
memiliki sesuatu yang bukan hak mereka, meskipun ada juga
alasannya yang lain sebagaimana pernah kau sebut, bahwa
mereka telah mendorong langkah-langkah seperti yang telah
kalian lakukan agar timbul kesan, bahwa Pajang tidak lagi terasa
tenang." Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Tetapi aku masih mohon bantuan Kiai, agar Kiai dapat
menyampaikannya kepada mereka."
Kiai Badra termangu-mangu sejenak. Jawabnya, "Sebenarnya
aku harus segera sampai ke Tanah Perdikan Sembojan, meskipun
tidak langsung memasuki Tanah Perdikan itu sendiri, karena aku
akan singgah di sebuah padepokan kecil."
"Hanya sebentar. Bukankah tidak akan makan waktu yang
lama?" desis menantu Ki Demang.
Kiai Badra memandang Gandar sejenak, seakan-akan minta
pertimbangannya. Tetapi Gandar hanya menundukkan kepalanya
saja. Karena itu, maka Kiai Badra pun berkata, "Baiklah. Aku akan
menemui mereka." Di antar oleh menantu Ki Demang dan Gandar, Kiai Badra
telah pergi untuk menemui orang-orang Jipang yang berada di
bilik para pembantu menantu Ki Demang. Sebagaimana yang
sudah disepakati, maka Kiai Badra pun telah menawarkan kepada
orang-orang Jipang itu, apakah mereka akan tinggal di rumah ini
sampai keadaan mereka menjadi baik, atau mereka akan kembali
ke kesatuan mereka. "Persetan," geram salah seorang perwira, "Jangan terusterusan menghina kami."
9 SH. Mintardja Kiai Badra mengerutkan keningnya. Sementara perwira itu
berkata selanjutnya, "Kau sadar, bahwa kau berkuasa atas kami.
Katakan, apa yang kau kehendaki sebenarnya. Aku menjadi
tawananmu, atau kau akan membunuhku bersama kawankawanku." Wajah Kiai Badra menegang. Namun ia pun mulai berkata
keras, "Sikapmu berlebihan. Aku tahu, bahwa kau ingin
menunjukkan sikap perwiramu. Tetapi tidak perlu dengan
permainan yang memuakkan begitu. Sekarang jawab. Jika kau
sudah mampu berjalan, tinggalkan tempat ini dan kembalilah ke
dalam kesatuanmu agar kau tidak menjadi beban disini. Bukan
saja beban untuk melayani makan dan minummu, tetapi juga
beban tanggung jawab, karena kau berada di daerah Pajang."
Para perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya
yang berkumis tebal itu pun berkata, "Kami akan kembali ke
kesatuan kami." Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam.
"Jika demikian berbenahlah. Kalian harus meninggalkan
tempat ini tanpa menarik perhatian," berkata Kiai Badra.
Para prajurit Jipang itu pun kemudian membenahi diri.
Mereka memang masih nampak lemah dan sakit di dalam tubuh
mereka. Tetapi mereka pun menganggap bahwa lebih baik
kembali ke dalam kesatuan mereka, agar mereka tidak terlalu
lama pergi, sehingga akan dapat menimbulkan prasangka pula di
antara kawan-kawannya sendiri.
"Mereka akan dapat mengira bahwa aku mendapat bagian
yang terlalu banyak sehingga perlu disembunyikan," berkata
salah seorang di antara mereka itu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka setelah mereka berbenah diri dan tidak
lagi menarik perhatian, maka mereka pun telah meninggalkan
Kademangan itu tanpa singgah di rumah saudaranya yang telah
terbunuh. 10 SH. Mintardja Namun, satu hal yang tidak diduga oleh menantu Ki Demang,
ketika para perwira yang garang itu meninggalkan regol halaman
rumahnya, orang berkumis lebat, yang menurut ujud wajahnya
adalah seorang yang keras kasar itu telah berdesis, "Terima kasih
atas sikap kalian terhadap kami."
Menantu Ki Demang itu justru termangu-mangu. Namun Kiai
Badra lah yang menjawab, "Mudah-mudahan kalian selamat
sampai ke kesatuan kalian."
Orang berkumis itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak
mengucapkan sepatah kata pun lagi, sementara kawannya pun


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya berdiam diri saja sambil melangkah menjauh.
Namun dalam pada itu, Kiai Badra berkata kepada menantu Ki
Demang ketika orang-orang yang masih lemah itu menjadi
semakin jauh, "Nampaknya, mereka tidak akan mengganggu
Kademangan ini." Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Menilik sikapnya, maka mereka tidak mendendam. Tetapi sikap
itu baru nampak pada saat terakhir."
"Ya. Aku kira Kademangan ini tidak perlu merasa cemas
bahwa mereka akan mendendam. Betapa kasarnya seseorang, ia
dapat menilai sikap orang lain kepada dirinya."
Menantu Ki Demang itu berdesis, "Kami mengucapkan terima
kasih kepada Kiai. Langkah yang Kiai ambil ternyata telah
memberikan hari-hari depanku yang terang. Sekaligus
menyelamatkan aku dari dendam orang-orang Jipang itu."
"Sudahlah," berkata Kiai Badra. "Untuk seterusnya kau harus
berhati-hati. Kau jangan lagi terjerumus ke dalam langkah yang
sesat meskipun nampaknya jauh lebih mudah dari cara yang
wajar. Dengan caramu, maka kau akan cepat menjadi kaya.
Tetapi jika kau teruskan, kau pun akan cepat mati. Bahkan
mungkin dibunuh oleh orang-orang Kademangan ini sendiri
termasuk ayah mertuamu."
11 SH. Mintardja "Aku sudah menyadari kesesatan ini," berkata menantu Ki
Demang itu. "Karena itu, aku tidak akan mengulanginya."
Sementara itu Kiai Badra dan Gandar pun kemudian minta
diri. Mereka tidak ingin tertahan lebih lama lagi di Kademangan
itu. Namun dalam pada itu, Kiai Badra pun berkata, "Tetapi
bukankah Kademangan ini bukannya kademangan yang tidak
mampu berbuat sesuatu. Maksudku, jika terpaksa bukankah
Kademangan ini memiliki pengawal yang akan dapat melakukan
sesuatu, betapapun kecil artinya?"
"Ada Kiai," jawab menantu Ki Demang. "Tetapi sungguh tidak
berarti sama sekali. Anak-anak muda yang meronda hanya
sekadar dapat membangunkan orang-orang yang tertidur
nyenyak. Tetapi jika mereka dipaksa untuk memasuki benturan
kekuatan, aku tidak dapat mengatakannya, apakah mereka akan
dapat memberikan arti atau hanya akan menambah korban saja."
"Ki Sanak," berkata Kiai Badra. "Saat ini Pajang sedang
menghadapi keadaan yang gawat. Jipang benar-benar telah
menempatkan pasukannya di mulut gerbang kota, dari sebelah
menyebelah. Karena itu, maka Pajang memerlukan seluruh
kekuatan yang ada, yang pada saatnya tentu akan digerakkan."
"Sebenarnya kami juga dapat membantu, tetapi hanya dengan
jumlah tenaga. Tidak dengan kemampuan," berkata menantu Ki
Demang itu. "Waktunya memang sudah terlalu pendek. Tetapi apa salahnya
jika kau berusaha untuk menghimpun mereka. Meskipun hanya
satu dua hari, namun sudah tentu akan ada gunanya, jika kau
ajari mereka, bagaimana caranya memegang senjata. Bukankah
kau memiliki kemampuan untuk itu?"
"Ah," menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam,
"Apa artinya kemampuanku menghadapi kekuatan raksasa dari
Jipang itu." "Jika Kademangan ini sendiri harus menghadapinya, memang
tidak akan berarti apa-apa. Tetapi jika semua Kademangan
mempersiapkan anak-anak mudanya, maka keadaannya tentu
12 SH. Mintardja akan berbeda. Mungkin secara pribadi, anak-anak muda itu tidak
berarti dalam olah kanuragan. Tetapi dalam jumlah yang besar,
serta kemampuan dasar memegang senjata, maka mereka akan
memberikan arti yang besar bagi Pajang."
Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Sementara itu
Kiai Badra berkata, "Kau adalah menantu Ki Demang. kau tentu
mempunyai pengaruh yang besar pada anak-anak mudanya."
Menantu Ki Demang itu menunduk. Desisnya, "Selama ini aku
kurang bergaul dengan mereka."
"Belum terlambat," berkata Kiai Badra, "Kau dapat
memulainya." Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Tetapi
sebenarnyalah ia berjanji kepada diri sendiri, bahwa ia akan
mulai dengan satu langkah yang memberikan arti kepada
Kademangannya. Ia tidak sebaiknya hanya sebagai sesuatu bagi
kepentingan diri sendiri. Apalagi dengan cara yang pernah ia
tempuh, meskipun dengan demikian ia menjadi disegani karena
kekayaannya yang dengan cepat menanjak.
"Kiai," berkata menantu Ki Demang. "Aku akan berusaha.
Selama ini aku berjuang untuk membuat diriku kaya, bahkan
dengan cara yang paling buruk. Ketika aku mengawini anak Ki
Demang, maka beberapa orang menghinaku, bahwa aku
sebenarnya hanya ingin menghisap kekayaan Ki Demang saja,
karena aku termasuk orang yang tidak berkecukupan. Tetapi aku
dan istriku saling mencintai. Sehingga akhirnya aku telah
bertekad untuk melakukan apa saja asal aku dapat membuktikan
bahwa aku tidak sekadar menghisap kekayaan istriku, tetapi
justru aku dapat membuatnya lebih kaya lagi. Dengan kedok
seorang saudagar keliling, dengan sedikit modal yang memang
aku dapatkan dari istriku, maka aku telah melakukan pekerjaan
terkutuk itu." "Semuanya sudah lampau. Kau dapat bekerja dengan wajar.
Bukankah kau mempunyai sawah?" bertanya Kiai Badra.
13 SH. Mintardja "Sawahku sekarang cukup luas," jawab menantu Ki Demang
itu. "Sawahmu dapat kau jadikan alas hidupmu, sementara kau
bekerja keras bagi Kademangan ini," berkata Kiai Badra.
Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Yang terbayang
di rongga matanya adalah hari depan yang baik. Tiga orang
kawannya dalam kerja yang terkutuk itu telah terbunuh, sehingga
tidak akan ada seorang saksipun yang dapat mengungkap
lembaran hitam dari perjalanan hidupnya sampai saatnya ia
bangkit dari kegelapan. "Baiklah Kiai," jawab menantu Ki Demang. "Aku akan berbuat
apa saja yang mungkin bagi Kademangan ini."
"Kau harus sadar, bahwa kau adalah menantu Ki Demang,"
berkata Kiai Badra kemudian.
Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti Kiai." Kiai Badra pun menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sadar,
bahwa ia harus segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke
padepokan Kiai Badra untuk menyusun langkah-langkah yang
harus diambil, justru setelah ia menerima tunggul pertanda kuasa
Adipati Pajang yang dilimpahkan kepada cucunya, yang memiliki
pula pertanda pemegang pimpinan Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan demikian maka dukungan wewenang Iswari untuk
berbuat sesuatu sudah lengkap. Langkah-langkahnya direstui
oleh kekuasaan yang lebih tinggi serta hak yang diakui bagi
Tanah Perdikan Sembojan itu.
Sejenak kemuian maka Kiai Badra telah minta diri. Bersama
Gandar ia meneruskan perjalanan menuju ke padepokan Kiai
Badra dan Nyai Soka yang menjadi landasan langkah-langkah
yang akan diambil untuk kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.
Demikian mereka meninggalkan menantu Ki Demang yang
berulang kali mengucapkan terima kasih kepada mereka, maka
Kiai Badra pun berniat untuk tidak berhenti lagi dimanapun juga.
14 SH. Mintardja Jika orang-orang Jipang yang akan kembali ke kesatuannya
diperbatasan itu cepat mencapai tujuannya dan menceriterakan
tentang tunggul itu, serta ada satu dua orang perwira yang lebih
tua yang mengenali artinya, mungkin sekelompok prajurit
berkuda akan berusaha menyusul mereka.
Karena itu, maka Kiai Badra berusaha untuk tidak berjalan
melalui jalan-jalan yang ramai. Berdua mereka telah memilih
jalan-jalan yang lebih kecil, sehingga tidak banyak orang yang
memperhatikan tunggul yang dibawanya.
Ternyata bahwa mereka sudah memasuki ujung hari yang
menjadi semakin buram. Agaknya mereka terlalu lambat
berangkat dari rumah menantu Ki Demang, sehingga mereka
akan kemalaman lagi di jalan. Tetapi Kiai Badra dan Gandar
sudah berniat untuk tidak berhenti meskipun malam turun.
Mereka pun tidak lagi ingin berhenti untuk makan disebuah
kedai. Tetapi Gandarlah yang harus membeli makanan yang
dibungkus dengan daun pisang yang akan mereka makan justru
ditempat yang tersembunyi.
Ketika malam turun, rasa-rasanya perjalanan mereka justru
menjadi aman. Tidak ada lagi orang yang berpapasan dan
memandangi tunggul yang diselubungi dengan selongsong kain
putih itu dengan tatapan mata penuh pertanyaan.
Ternyata Kiai Badra dan Gandar benar-benar seorang pejalan
yang berpengalaman. Meskipun jalan yang mereka tempuh
belum pernah mereka kenal sebelumnya, namun akhirnya
mereka menemukan arah yang benar, sehingga mereka pun
memasuki jalan yang terbiasa mereka lalui menjelang tengah
malam."Kita menempuh jalan yang benar," desis Kiai Badra.
Ya. Bukit kecil itu dapat menjadi ancar-ancar. Bukankah bukit
yang nampak remang-remang di malam yang tidak begitu gelap
ini adalah Gunung Kendit sedangkan disebelahnya, yang runcing
itu adalah Gunung Prapat?"
Kiai Badra tersenyum sambil memandang langit yang jernih
dan sepotong bulan yang tergantung dilangit. Kemudian kedua
15 SH. Mintardja bukit yang menjadi ancar-ancar perjalanan mereka, sehingga
mereka tidak tersesat terlalu jauh dari tujuan.
Ternyata perjalanan mereka selanjutnya sama sekali tidak
terganggu. Dengan selamat mereka mencapai padepokan Tlaga
Kembang. Namun agaknya kedatangan mereka di lewat
tengah malam telah mengejutkan seisi padepokan.
"Apa yang kakang bawa?"
bertanya Nyai Soka ketika ia
melihat tunggul dalam selongsongnya. "Nanti, aku akan berceritera," jawab Kiai Badra.
Nyai Soka termangu-mangu.
Namun ia mengenali bentuk
dari benda yang dibawanya itu
sebagai sebuah tunggul. Karena
itu, maka ia pun bertanya,
"Apakah kakang membawa
sebuah tunggul?" "Ya," jawab Kiai Badra. "Aku memang membawa sebuah
tunggul." "Darimana kakang mendapatkannya?" desak Nyai Soka.
"Jangan takut aku mencuri di jalan," jawab Kiai Badra sambil
tersenyum. "Tetapi sudah aku katakan, aku akan
menceriterakannya nanti, setelah aku mandi. Panasnya udara
dan keringatku yang membasahi pakaianku di perjalanan, rasarasanya sangat mengganggu kesegaranku disisa malam ini."
Nyai Soka pun kemudian membiarkan Kiai Badra dan Gandar
mandi. Sementara itu, hampir seisi padepokan telah terbangun
dan duduk di sebuah amben besar di ruang dalam sambil
16 SH. Mintardja mengamati tunggul yang masih di dalam selongsongnya, yang
ditaruh di dalam ploncotan oleh Kiai Badra.
Sementara itu, Nyai Soka telah membangunkan seorang
cantrik untuk merebus air, karena agaknya Kiai Badra dan
Gandar yang merasa haus. Baru sejenak kemudian, mereka duduk melingkar diamben
yang besar di ruang dalam itu sambil menghirup minuman panas
dengan gula kelapa. "Nah, ceriterakan," minta Nyai Soka.
"Kau tidak sabar menunggu matahari terbit," desis Kiai Badra.
"Sebenarnya aku masih sempat tidur barang sekejap."
"Kakang, minum sambil berbicara," berkata Nyai Soka. "Nanti
masih ada waktu sekejap untuk memejamkan mata."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tunggul itu
adalah pertanda bahwa kita mengemban perintah Adipati
Pajang." "Perintah apa?" bertanya Nyai Soka.
"Perintah untuk mengambil kembali Tanah Perdikan
Sembojan dari tangan orang-orang yang tidak berhak dan
melepaskan dari pengaruh Jipang," berkata Kiai Badra.
Orang-orang yang mendengar keterangannya itu termangumangu. Namun Kiai Badra pun kemudian menceriterakan apa
yang telah terjadi dalam perjalanannya ke Pajang untuk menemui
para pemimpin Kadipaten itu, meskipun Kanjeng Adipati sendiri
berada di satu tempat yang berhadapan dengan pasukan Jipang,
seberang menyeberangi Bengawan Sore.
Mereka yang mendengarkan ceritera Kiai Badra itu menjadi
tegang. Dengan sungguh-sungguh mereka mengikuti setiap
persoalan yang dikemukakan oleh Kiai Badra, sehingga akhirnya
Kiai Badra itu berkata, "Sebenarnyalah, bahwa yang mendapat
perintah untuk melaksanakan semuanya itu adalah Iswari. Bukan
aku, bukan Gandar dan bukan Kiai atau Nyai Soka."
17 SH. Mintardja Iswari menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Badra
meneruskan, "Sedangkan Iswari pun bertindak atas nama
anaknya. Apalagi pertanda kekuasaan Tanah Perdikan pun ada
pada kita, sehingga anak itu memang mempunyai hak atas
jabatan Pemimpin Tanah Perdikan Sembojan."
Namun dalam pada itu, Iswari menjawab, "Tetapi bukan
kedudukan itulah yang kita pentingkan kakek."
"Anakmu kelak harus memandang bahwa jabatan itu penting
baginya. Jika ia menjadi Kepala Tanah Perdikan, maka ia
memang harus mempunyai minat untuk memegangnya, sehingga
dengan demikian maka ia akan mempunyai gairah perjuangan,
meskipun dengan demikian harus ada batasan-batasan lain yang
akan membedakannya dengan orang-orang tamak yang
cenderung memenuhi keinginan dan selera pribadi tanpa
menghiraukan isi Tanah Perdikan itu sendiri," berkata Kiai
Badra.

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iswari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
membantah keterangan kakeknya.
Sementara itu, Kiai Badra pun berkata, "Nah mulai hari ini
kita akan mengemban tugas yang penting dan berat. Kita
memerlukan waktu, pikiran dan dukungan. Bahkan kita
memerlukan apa saja yang akan dapat menjadi pendorong
perjuangan ini. Sementara itu, kita harus juga memperhitungkan
kekuatan Jipang yang sudah mencengkam Tanah Perdikan ini,
karena sewaktu-waktu pasukan Jipang akan dapat ditarik dari
perbatasan dan diperbantukan untuk mengatasi kemelut yang
mungkin terjadi di Tanah Perdikan yang sudah menyatakan diri
menjadi bagian dari Jipang ini. Kau sadari itu Iswari?"
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya kakek. Tetapi
bukankah kita tidak tergesa-gesa dan Pajang tidak memberikan
batasan waktu?" "Ya. Kita memang tidak mendapat batasan waktu. Tetapi
pertengkaran antara Pajang dan Jipang itu berjalan terus. Jika
kita dapat mengganggu pemusatan pasukan Tanah Perdikan
18 SH. Mintardja Sembojan yang berpihak kepada Jipang itu, maka berarti kita
sudah meringankan beban Pajang. Dan sebaliknya jika Pajang
bergerak, maka kita mendapat kesempatan untuk berbuat untuk
banyak di Tanah Perdikan ini karena pasukan Jipang dan Tanah
Perdikan Sembojan itu terikat dalam benturan kekuatan dengan
Pajang," berkata Kiai Badra. Bahkan ia pun telah menceriterakan
pula apa yang terjadi antara dirinya dan Gandar dengan para
perwira dari Jipang. "Baiklah," berkata Nyai Soka kemudian, "Kita harus
memikirkannya masak-masak. Kita memerlukan waktu dan
pengamatan yang luas. Baru kita menentukan sikap."
"Tetapi waktu yang kita perlukan itu jangan terlalu panjang
bahwa tanpa batas," sahut Kiai Badra.
Nyai Soka tersenyum. Katanya, "Selama ini kakang tidak
pernah nampak sangat tergesa-gesa untuk menangani satu
persoalan seperti saat ini. Tetapi baiklah, semula akulah yang
tergesa-gesa, sementara kakang akan beristirahat. Tetapi ketika
kakang mulai berbicara dengan perasaan, maka rasa-rasanya
sekarang juga kita harus berbuat sesuatu."
Kiai Badra mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian
tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku ingin beristirahat sebelum
minum beberapa teguk air panas. Meskipun sesaat lagi fajar akan
menyingsing, namun agaknya aku masih mempunyai waktu."
Demikianlah, maka Kiai Badra dan Gandar telah pergi ke
biliknya. Namun dalam pada itu, Nyai Soka dan Kiai Soka masih
duduk ditempatnya bersama dengan Iswari.
Nampaknya mereka masih melanjutkan pembicaraan tentang
perintah Pajang yang di tandai dengan tunggul yang dibawa oleh
Kiai Badra itu dengan sungguh-sungguh. Bagi Iswari, maka ia
harus mempertaruhkan segala-galanya bagi kepentingan Pajang
dan kepentingan anak laki-lakinya, meskipun ayah anaknya itu
telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar kepadanya.
"Langkah yang segera dapat kita ambil adalah mempersiapkan
diri. Kita harus menampa diri kita masing-masing lahir dan batin
19 SH. Mintardja untuk menghadapi kekuatan yang mungkin akan mengejutkan
kita, karena selain Tanah Perdikan Sembojan sudah berada
dibawah pengaruh dan mungkin juga perlindungan dari Jipang,
maka disekitar pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan
Sembojan adalah orang-orang dari lingkungan keluarga
Kalamerta," berkata Kiai Soka.
Iswari mengangguk-angguk. Ia menyadari. Tetapi tekadnya
memang sudah bulat, apapun yang akan terjadi dengan dirinya,
maka ia harus mengusir perempuan yang telah merusak bukan
saja keluarganya, tetapi Tanah Perdikan Sembojan itu sendiri."
"Sudahlah," berkata Kiai Soka, "Kita pun masih sempat
beristirahat barang satu dua kejap."
"Aku tidak lagi," berkata Nyai Soka. "Aku harus segera pergi ke
dapur. Merebus air dan menyiapkan keperluan pagi ini."
"Ketela rebus," bertanya Kiai Soka.
Tetapi Nyai Soka menggeleng. Katanya, "Pagi ini aku tidak
merebus ketela." "Lalu apa?" bertanya Kiai Soka."Aku akan membuat pondoh
jagung," jawab Nyai Soka.
"O, senang sekali. Mungkin Karena Kiai Badra dan Gandar
baru datang dari Pajang, sehingga kau pagi ini membuat pondoh
jagung," berkata Kiai Soka selanjutnya.
Nyai Soka tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun langsung pergi
ke dapur. Sementara di dapur seorang pembantunya telah mulai
menyalakan perapian. Sedangkan Kiai Soka pun ternyata tidak
lagi pergi ke biliknya, tetapi ia justru turun ke halaman dan
berjalan-jalan mengitari belumbang di bagian belakang
padepokan kecil itu. Sementara itu Iswari telah sibuk dengan anaknya. Sebentar
lagi, anak itu harus dimandikannya. Biasanya Iswari
memandikan anaknya langsung dengan air sumur yang hangat.
20 SH. Mintardja Demikianlah, ketika matahari kemudian terbit, orang-orang
yang tinggal di padepokan kecil itu telah bersiap. Tetapi sebelum
mereka mulai membicarakan langkah-langkah yang akan mereka
ambil, maka mereka diminta lebih dahulu oleh Nyai Soka untuk
minum minuman hangat dan makan pondoh jagung yang telah
dibuatnya. Baru sejenak kemudian, orang-orang itu pun telah mulai
memasuki satu pembicaraan untuk menemukan langkah-langkah
yang akan dapat mereka ambil.
Namun setelah pembicaraan mereka berputar-putar, akhirnya
mereka sampai pada satu kesimpulan, bahwa langkah pertama
yang akan mereka ambil adalah menjajagi kembali sikap orangorang Tanah Perdikan Sembojan dengan mengirimkan
sekelompok rombongan penari dan pengiring yang akan
memasuki Sembojan. "Sebagian besar para pengawal telah tidak ada ditempat,"
berkata Kiai Badra. "Sementara itu, iring-iringan kita harus kuat,
karena jika terpaksa, maka kita akan benar-benar bertempur,
meskipun kita belum sampai maksud yang sebenarnya untuk
merebut kembali Tanah Perdikan itu. Tetapi setidak-tidaknya,
kita sudah mulai dengan satu sikap yang akan dapat dibaca oleh
orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Sehingga dengan
demikian, maka mereka akan dapat menentukan pilihan, apakah
yang harus mereka lakukan."
Orang-orang yang mendengarkan pertimbangan Kiai Badra itu
mengangguk-angguk. Mereka sependapat, bahwa mereka tidak
boleh terlalu lama berpisah dengan rakyat Sembojan justru dalam
keadaan yang kalut ini, sehingga dengan demikian maka setiap
rencana mereka dapat disesuaikan dengan perkembangan gejolak
rakyat Tanah Perdikan Sembojan.
"Apalagi pada saat ini Ki Randukeling tidak ada di Tanah
Perdikan," berkata Sambi Wulung.
21 SH. Mintardja "Meskipun demikian, kita tidak boleh lengah," berkata Kiai
Soka. "Bukankah keluarga Kalamerta membayangi kekuasaan
Tanah Perdikan itu."
"Ya. Dan Nyai Wiradana itu sendiri adalah orang yang sangat
berbahaya. Apalagi ia sekarang sudah membuka kedoknya.
Orang-orang Tanah Perdikan sudah mengetahui, bahwa Nyai
Wiradana adalah seorang perempuan yang memiliki kemampuan
yang tinggi. Ia bukan sekadar penari jalanan sebagaimana
mereka duga dahulu."
"Baiklah," berkata Kiai Badra. "Kita akan mempersiapkan
sebuah rombongan yang lengkap."
Sementara di padepokan Tlaga Kembang dipersiapkan sebuah
rombongan yang akan mengiringi seorang penari memasuki
Tanah Perdikan Sembojan, maka Nyai Wiradana telah
mengendalikan suaminya dengan ketat. Segala sesuatu ketentuan
dan peraturan bersumber dari Nyai Wiradana. Bahkan Nyai
Wiradana telah mengambil langkah untuk membentuk pasukan
di antara anak-anak muda yang tersisa, agar apabila diperlukan,
maka mereka akan dapat dikirim ke perbatasan.
"Anak-anak muda Tanah Perdikan ini sudah habis," berkata Ki
Wiradana, "Jika mereka akan dikirim ke luar, maka Tanah
Perdikan ini sendiri tidak akan terlindung jika sekelompok
perempok kecil memasuki padukuhan-padukuhan."
"Jangan terlalu bodoh kakang," jawab istrinya. "Bukankah aku
mengerti, bahwa masih ada anak-anak muda yang cukup banyak,
sehingga apabila diambil separo daripadanya, maka Tanah
Perdikan ini masih tetap kuat."
"Tetapi bukankah kita sudah mengirim cukup banyak anakanak muda untuk membantu Jipang" Dan bukankah kekuatan
Jipang yang berada di sebelah-menyebelah Pajang itu cukup kuat
untuk menekan Pajang, karena sebagian besar prajurit Pajang
justru ditarik ke luar untuk berhadapan dengan pasukan Jipang
di Demak?" bertanya Ki Wiradana.
22 SH. Mintardja "Kau jangan terlalu banyak mempersoalkan hal itu," berkata
istrinya. "Jangan membuat aku marah, karena aku masih ingin
menghormatimu sebagai seorang suami."
Setiap kali Ki Wiradana menghadapi ancaman yang demikian,
maka ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia harus melakukan
perintah istrinya untuk mengumpulkan sebagian dari anak-anak
muda yang tersisa untuk mendapat latihan-latihan yang berat.
Para pengawal khusus yang sudah ditempa oleh para perwira dari
Jipang dan Nyai Wiradana sendiri akan memberikan latihanlatihan kepada mereka. Rencana itu telah sampai pula ketelinga Kiai Badra. Tetapi
Kiai Badra sama sekali tidak mencemaskannya, karena kekuatan
itu ditujukan untuk menghadapi Pajang.
"Jika rencana itu dilaksanakan, maka Tanah Perdikan itu akan
menjadi semakin lemah," berkata Kiai Badra.
Tetapi Sambi Wulung bertanya, "Tetapi bagaimana keadaan
Tanah Perdikan setelah perang itu selesai. Jika para pengawal
yang mendapat tuntunan dan pengaruh para perwira dari Jipang
itu kembali, apakah tidak akan timbul persoalan di antara mereka
dengan rencana kita?"
"Sudah tentu," jawab Kiai Badra. "Tetapi kita harus
memikirkannya, apa yang sebaiknya kita lakukan. Untuk itu kita
masih mempunyai waktu."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita
akan segera memasuki Tanah Perdikan di malam hari."
"Tetapi ternyata bahwa kita harus menunggu untuk melihat
perkembangan penyusunan kekuatan yang akan dilakukan di
Tanah Perdikan," berkata Kiai Badra.
Namun ternyata Kiai Badra tidak memerlukan waktu yang
lama. Mereka dapat menyaksikan perkembangan yang tumbuh di
Tanah Perdikan Sembojan lewat Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Latihan-latihan yang lesu betapapun dipaksakan oleh para
23 SH. Mintardja pemimpin dan para pengawal yang pernah mendapat latihanlatihan yang berat dari para perwira di Jipang.
"Tanah Perdikan ini sudah
kehilangan urat nadi kekuatannya," berkata
Wiradana. "Sekarang Tanah ini
masih akan diperas sampai
kering." "Lakukan perintah ini atau
kau akan menyesal," ancam
istrinya. Ki Wiradana tidak dapat berbuat sesuatu. Ia harus
melakukan sebagaimana dikatakan oleh istrinya. Apalagi
di dalam rumahnya kemudian
selalu terdapat ayah Warsi yang
sebenarnya dan tukang gendang
yang merupakan tangan kanan dari ayah Warsi yang mengaku
sebagai pedagang emas berlian itu.
Betapa penyesalan mencengkam jantung Ki Wiradana, ia pun
mulai menduga-duga tentang kematian ayahnya.
"Tentu ada hubungannya dengan rencana yang nampaknya
telah disusun sangat rapi oleh Warsi," berkata Wiradana kepada
diri sendiri. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Dari Warsi ia mempunyai
seorang anak yang akan dengan cepat merenggut kedudukannya.
Menilik sikap Warsi dan orang-orang yang berada disekitarnya,
maka pada suatu saat ia tentu akan disingkirkan tanpa
menunggunya sampai tua. Anaknya yang dilahirkan oleh Warsi
itulah yang akan segera menggantikannya. Dewasa atau belum
dewasa. Bahkan angan-angan Ki Wiradana itu sampai pada
puncak kekecewaannya melihat sikap Warsi terhadap Ki Rangga
24 SH. Mintardja Gupita yang untungnya baru berada di hadapan Pajang bersama
Ki Randukeling. Dalam pada itu, ternyata Pajang dan Jipang telah terlibat
semakin dalam memasuki persoalan yang menyangkut tahta
Demak yang ditinggalkan. Kematian demi kematian telah terjadi.
Menurut berita yang didengar oleh para pemimpin di Pajang,
Arya Penangsang berusaha untuk membunuh orang-orang yang
dapat mengganggu keinginannya untuk merebut tahta, seorang
demi seorang. Tidak dalam perang.
Dengan demikian, maka Kanjeng Adipati Hadiwijaya dari
Pajang pun menjadi semakin berhati-hati. Disiapkannya perisai
lahir dan batin, agar ia tidak terbunuh sebagaimana beberapa
orang putera dan menantu Sultan Trenggana yang telah wafat itu.
Di Pasanggrahan Adipati Hadiwijaya, penjagaan telah
diperkuat. Para prajurit selalu berada disekitar bilik tidur Adipati
Hadiwijaya sendiri. Sementara Kanjeng Adipati Hadiwijaya pun
selalu mengeterapkan ilmunya meskipun ia berada di dalam bilik
yang dijaga ketat oleh para prajuritnya.
Sementara itu, di Pajang sendiri, para prajurit yang tinggal
telah bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Pasukan Jipang memang
telah berada dihadapan hidung mereka. Bahkan diperkuat
dengan para pengawal dari Tanah Perdikan Sembojan.
Namun Pajang pun tidak sekadar mempercayakan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertahanannya kepada para prajurit. Karena itu, maka Pajang
pun telah memanggil beberapa orang pengawal dari daerahdaerah disekitar kota yang dianggap memiliki kemampuan dasar
dalam olah kanuragan untuk ikut mempertahankan kota apabila
pasukan Jipang benar-benar menyerang.
Sementara itu, maka di padepokan Tlaga Kembang telah
terjadi satu persiapan yang matang. Sekelompok pengiring dan
penari telah siap untuk pergi ke Sembojan. Bukan hanya seorang
penari, tetapi yang akan ikut bersama kelompok itu adalah dua
orang penari. Seorang penari yang telah dikenal oleh orang-orang
Sembojan dan seorang penari yang lain adalah seorang
25 SH. Mintardja perempuan yang lebih tua dari penari yang seorang dan tidak
mempunyai ujud yang pantas sebagai seorang penari. Tetapi yang
seorang ini akan lebih banyak memancing tertawa para
penontonnya kelak. "Nah, rombongan kita sekarang menjadi lebih besar, mulai
berdendang semua laki-laki Tanah Perdikan Sembojan akan
terbius dan di esok harinya, mereka akan berduyun-duyun
mencari pesinden yang bersuara emas itu."
Yang menyahut adalah Kiai Badra, "Tetapi jika mereka
menemukannya, maka mereka akan menjadi pingsan karenanya."
Nyai Soka tertawa berkepanjangan. Bahkan Iswari pun
tersenyum pula sebagaimana perempuan yang disebut Serigala
Betina itu. Demikianlah, dengan persiapan yang matang bukan saja untuk
mengiringi seorang penari, tetapi juga untuk bertempur apabila
perlu, maka rombongan penari jalanan itu telah berangkat
menuju Sembojan. Kehadiran rombongan penari yang sudah agak lama hilang itu,
memang mengejutkan. Ketika rombongan itu memasuki sebuah
padukuhan, maka mereka pun segera kebar di simpang tiga, di
pinggir padukuhan. Ternyata rombongan penari itu masih menarik perhatian.
Orang-orang padukuhan itu segera berkumpul mengitari
rombongan penari itu. Yang mereka saksikan kemudian bukan
hanya seorang penari sebagaimana terdahulu, tetapi dua orang.
Yang seorang memang lebih banyak berputaran dan mengundang
tawa. Ujudnya yang agak kegemukan dan terhitung seorang
perempuan yang gagah menurut ukuran perempuan kebanyakan,
dengan gerak dan rias yang menyolok, memang membuatnya
menjadi lucu. Perempuan itu tidak terlalu baik untuk menari,
tetapi cukup memberikan kesegaran pada pertunjukan itu.
Tetapi satu hal yang menarik perhatian, bukan oleh para
penonton, tetapi justru oleh setiap orang dalam rombongan itu,
26 SH. Mintardja bahwa di antara para penontonnya, anak-anak mudanya terlalu
jauh susut dari yang pernah mereka lihat sebelumnya.
"Sebagian dari mereka telah dikirim ke Pajang," berkata
orang-orang Tlaga Kembang itu di dalam hatinya.
Namun ketika rombongan penari itu kemudian beristirahat,
dan di antara para pengiringnya sempat berbincang dengan
orang-orang padukuhan itu, maka mereka mengetahui bahwa
selain yang dikirim ke Pajang, maka sebagian lagi di antara
mereka telah ditarik masuk ke dalam barak-barak untuk
mendapatkan latihan keprajuritan, sehingga yang tinggal adalah
anak-anak muda yang lemah, yang terlalu tua untuk latihanlatihan yang berat dan yang masih terlalu muda.
"Apakah masih ada yang mendapat tempaan di barak-barak?"
bertanya Kiai Soka. "Ya. Mereka dipersiapkan untuk mempertahankan Tanah
Perdikan ini jika diperlukan," jawab seseorang.
Tetapi orang lain menyambung, "Bukan hanya untuk itu.
Tetapi aku kira mereka mungkin akan dikirim ke Pajang juga
menyusul saudara-saudaranya yang telah terlebih dahulu
diumpankan." Kiai Soka mengangguk-angguk, sementara Kiai Badra tidak
berani berterus terang menampakkan wajahnya kepada orangorang Sembojan sebagaimana juga Gandar, karena sebagian di
antara orang-orang Sembojan itu telah mengenal mereka.
Sementara itu, Kiai Soka pun bertanya, "Ki Sanak, apakah
peraturan yang dahulu masih berlaku?"
"Peraturan yang mana?" bertanya orang Sembojan itu.
"Bahwa para pengawal bahkan setiap orang harus menangkap
kami apabila kami berada di Tanah Perdikan ini," jawab Kiai
Soka. 27 SH. Mintardja Orang Sembojan itu mengerutkan keningnya. Kemudian
jawabannya, "Peraturan itu memang belum dicabut. Agaknya
memang demikian. Tetapi bagi kami, apakah salah kalian?"
Kiai Soka mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Terima kasih
atas sikap ini." Namun dalam pada itu orang Sembojan itu pun bertanya,
"Tetapi Ki Sanak. Apakah kalian masih tidak bersedia menjawab
teka-teki tentang penari itu?"
Kiai Soka termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Teka-teki tentang apa?"
"Ujudnya yang mirip sekali dengan Nyai Wiradana. Bahkan
kami menganggap bahwa orang itu adalah Nyai Wiradana," jawab
orang Sembojan itu. Kiai Soka tertawa. Namun katanya, "Kami akan kebar lagi
dilain tempat. Kecuali jika ada yang minta rombongan itu menari
disini." Orang Sembojan itu menjawab kecewa. Tetapi ia pun
kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Tanah
Perdikan ini sekarang memang sedang bergejolak. Semua orang
yang memiliki kelebihan berusaha membuat kami menjadi gila."
"Apa maksudmu?" bertanya Kiai Soka.
"Kalian dapat melihat apa yang terjadi disini. Dan di antara
yang membuat kami gila ada perempuan yang mirip sekali
dengan Nyai Wiradana, justru pada saat kami memerlukannya,"
berkata orang Sembojan itu. "Sebagian orang-orang Sembojan
memastikan, bahkan ada yang mengaku sudah mendapat
penjelasan yang sebenarnya, bahwa perempuan itu memang Nyai
Wiradana yang meninggalkan rumahnya karena kecewa melihat
sikap Ki Wiradana yang telah berhubungan dengan penari iblis
itu." Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Namun sekali lagi ia
berkata, "Terima kasih Ki Sanak. Kami akan meneruskan
28 SH. Mintardja perjalanan kami menyusuri jalan-jalan Tanah Perdikan ini untuk
mencari makan." Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan itu tidak dapat
mencegah mereka. Selain mereka memang tidak ingin minta juga
sebenarnyalah orang-orang Sembojan itu masih dibayangi oleh
ingatan mereka terhadap peraturan, bahwa jika rombongan itu
menari di rumah seorang di antara mereka, melihat rombongan
penari itu, mereka harus menangkap atau melapor kepada para
pengawal. Tetapi menurut pendapat orang-orang padukuhan itu,
pengawal padukuhan yang sudah menjadi semakin lemah itu pun
sebenarnya mengetahui kehadiran rombongan itu. Namun
mereka masih belum mengambil tindakan apapun juga.
Sementara itu di gardu dimulut lorong padukuhan dua orang
pengawal sedang berbincang tentang rombongan itu pula.
"Aku pernah mendengar meskipun aku tidak tahu
kebenarannya, bahwa rombongan penari itu bukan saja mampu
memukul gamelan dan mengiringi tarian perempuan yang mirip
sekali dengan Nyai Wiradana itu. Tetapi mereka juga mampu
bertempur," berkata seorang di antara mereka.
"Itu wajar. Setiap rombongan pertunjukan jalanan, tentu
mempunyai satu dua orang yang dapat mereka andalkan, karena
ada kemungkinan mereka mengalami gangguan di jalan," jawab
kawannya. "Jadi bagaimana dengan kita?" bertanya yang pertama.
Kawannya tidak segera menjawab. Sementara orang yang
pertama mendesak, "Apakah kita akan menangkap mereka" Jika
kau ingin kita berbuat demikian, aku pun akan melakukannya.
Lepas dari pertimbangan berhasil atau tidak berhasil."
Kawannya termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Kita
tidak melihat langsung. Biar sajalah. Anggap saja kita tidak tahu
bahwa ada serombongan penari jalanan di padukuhan ini."
29 SH. Mintardja "Kita mendengar gamelannya. Kita melihat orang-orang pergi
menonton dan kita mendengar orang-orang berbicara tentang
penari yang mirip dengan Nyai Wiradana itu," berkata anak
muda yang pertama. "Aku tidak melihat mereka lewat dan aku tidak mendengar
mereka berceritera tentang rombongan penari itu," jawab
kawannya. "Persetan," geram orang yang pertama. "Kau ingkar. Katakan
saja bahwa kau dan juga aku tidak berani bertindak atas mereka.
Itu lebih jujur." Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia semakin membenamkan
dirinya dibalik selimut kain panjangnya. Sambil memeluk lutut ia
duduk bersandar dinding gardu di mulut lorong.
Dalam pada itu, maka iring-iringan penari jalanan itu pun
telah menelusuri jalan di bulak-bulak menuju padukuhan
berikutnya. Mereka sama sekali tidak ingin menghindari para
pengawal di gardu-gardu atau mereka yang sedang meronda
nganglang Tanah Perdikan.
Namun dalam pada itu, ketika rombongan itu mendekati
sebatang pohon asam yang besar di pinggir jalan, Kiai Soka yang
berada di paling depan telah memberikan isyarat. Kiai Soka telah
melihat dua orang yang berjongkok di pinggir jalan dibawah
pohon asam itu. Dalam kegelapan malam, yang nampak oleh
ketajaman pandangan Kiai Soka tidak lebih dari dua sosok
bayangan yang kehitam-hitaman.
"Berhati-hatilah," berkata Kiai Soka. "Tentu bukan para
pengawal Tanah Perdikan ini. Jangan terlibat persoalan dengan
lain yang akan dapat mempersulit kedudukan kita."
Tidak ada yang menjawab. Tetapi iring-iringan kecil itu
berjalan terus dengan lampu minyak yang tergantung di pikulan
gamelan yang sederhana. 30 SH. Mintardja Kiai Soka yang berada di paling depan memberi isyarat
rombongan itu berhenti ketika dilihatnya dua orang itu bangkit
berdiri dan bergeser selangkah ke depan.
"Selamat malam Ki Sanak," terdengar salah seorang dari
kedua orang itu berdesis.
"Selamat malam," jawab Kiai Soka.
"Sebuah rombongan penari yang sangat besar menurut ukuran
yang wajar," berkata orang itu.
Kiai Soka mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia
bertanya, "Apakah Ki Sanak akan minta rombongan kami untuk
menari?" Kedua orang itu berpandangan sejenak. Namun salah seorang
di antara mereka berkata, "Ya Ki Sanak. Kami ingin minta
rombongan ini menari."
"O, bagus," jawab Kiai Soka. "Dipadukuhan yang mana?"
"Bukan hanya di padukuhan, tetapi diseluruh Tanah
Perdikan," jawab orang itu.
Kiai Soka mengerutkan keningnya. Namun ia pun segera
tanggap. Orang itu tentu mempunyai maksud tertentu terhadap
rombongan penarinya. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin
berhati-hati. Dengan nada datar Kiai Soka pun kemudian bertanya, "Ki
Sanak. Jawaban Ki Sanak telah menumbuhkan persoalan di
dalam diriku. Aku minta maaf, bahwa sebagai orang tua aku tidak
segera mengetahui maksud Ki Sanak yang sebenarnya meskipun
aku tahu, bahwa yang Ki Sanak katakan merupakan ungkapan
yang harus dicari maknanya."
Orang itu tertawa. Jawabnya, "Ketika rombongan ini kebar di
padukuhan sebelah, aku ikut menyaksikan. Satu pertunjukan
yang sangat menarik. Seorang penari yang memang menguasai
kemampuan menari, seorang yang memberikan kesegaran pada
pertunjukan karena sikap dan ujudnya, dan seorang pesinden
31 SH. Mintardja dengan suara yang ngelangut meskipun sudah mulai bergetar
karena umurnya." "Dan Ki Sanak tertarik kepada pertunjukan itu?" bertanya Kiai
Soka. "Ya. Menurut seorang penonton penarinya mirip sekali dengan
Nyai Wiradana," berkata orang itu.
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki Sanak
tentu bukan orang Tanah Perdikan ini. Nah, siapakah Ki Sanak
sebenarnya dan apakah maksud Ki Sanak?"
"Kami orang Sembojan," jawab orang itu.
"Orang Sembojan tentu mengenal Nyai Wiradana. Bukan
sekadar menurut kata orang. Jika kalian orang Sembojan kalian
tentu mengetahui menurut penglihatan Ki Sanak sendiri, apakah
penariku itu mirip atau tidak dengan Nyai Wiradana," berkata
Kiai Soka. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. "Baiklah. Kami
memang bukan orang Sembojan. Tetapi menurut kami, penari itu
sama sekali tidak mirip dengan Nyai Wiradana."
"Mungkin Ki Sanak benar," jawab Kiai Soka.
"Yang mirip dengan Nyai Wiradana adalah orang lain, yang
memiliki persamaan. Tetapi orang itu adalah Nyai Wiradana
sendiri," jawab orang itu.
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Apakah
Ki Sanak mendapat tugas dari para pemimpin Jipang untuk
melakukan satu tindakan tertentu terhadap kami" Mungkin atas
permintaan Wiradana atau istrinya yang sebenarnya adalah
keluarga Kalamerta yang terkenal itu" Atau Ki Sanak sendiri
memang keluarga Kalamerta yang ingin menegakkan
kewibawaan Wiradana dan istrinya yang juga seorang penari
jalanan?" 32 SH. Mintardja Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara
mereka berkata, "Kalian terlalu berprasangka buruk. Kami bukan
orang Jipang dan bukan pula keluarga Kalamerta."


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebut. Siapakah kalian?" desis Kiai Soka.
"Sudah kami katakan, bahwa kami adalah orang-orang yang
ingin minta kalian menari. Tidak hanya sekadar dipadukuhanpadukuhan. Tetapi diseluruh Tanah Perdikan ini," jawab orang
itu. Lalu, "Bukan saja seorang penari. Tetapi kalian semuanya
dan bahkan apabila mungkin mengajak orang-orang Tanah
Perdikan ini untuk ikut menari."
Kiai Soka termangu-mangu sejenak. Namun yang tidak dapat
menahan diri adalah Sambi Wulung, "Apakah maksudmu
sebenarnya" Jangan mencoba untuk mempermainkan kami."
Namun Kiai Badra telah menggamitnya. Ialah yang kemudian
berdiri disebelah Kiai Soka sambil berkata, "Ki Sanak. Bukan soal
yang sulit untuk berbicara tanpa diketahui ujung pangkalnya oleh
lawannya berbicara. Aku dapat mengucapkan kata-kata yang
barangkali tidak kau mengerti maksudnya. Tetapi bukankah lebih
baik bagi kita apabila kita berbicara dengan terus-terang, jelas
dan dapat dimengerti maksudnya, apapun yang kemudian harus
terjadi." Orang yang semula berada di bayangan pohon asam itu pun
bergerak maju. Malam memang tidak terlalu gelap. Udara terang,
bintang bergayutan tetapi bulan tidak ada di langit.
Meskipun demikian, Kiai Badra mampu melihat garis-garis
wajah yang mendekatinya itu. Bahkan tiba-tiba saja ia berdesis,
"Ki Tumenggung sendiri yang telah datang ke Tanah Perdikan
ini?" Orang itu tersenyum. Katanya, "Aku memerlukan untuk pergi
melihat Tanah Perdikan ini dan berusaha untuk dapat
berhubungan dengan serombongan penari jalanan yang
berkeliling di Tanah Perdikan ini. Sudah tiga hari tiga malam aku
di sini. Hampir saja aku memutuskan untuk kembali ke Pajang
33 SH. Mintardja karena tidak ada jalan bagiku untuk dapat bertemu dengan Kiai
Badra." "Maaf Ki Tumenggung. Kami tidak tahu dengan siapa kami
berhadapan," desis Kiai Badra, yang kemudian katanya kepada
Kiai Soka, "Ini adalah Tumenggung Wirajaya. Seorang pemimpin
di Pajang yang bertanggung jawab tentang Tanah Perdikan yang
ada di lingkungan kekuasaan Kadipaten Pajang."
"O," Kiai Soka mengangguk hormat, "Kami mohon maaf Ki
Tumenggung, kami tidak mengerti bahwa kami berhadapan
dengan Ki Tumenggung Wirajaya."
"Tidak apa Kiai," jawab Ki Tumenggung. "Aku memang ingin
untuk tidak dikenal. Sementara itu, aku merasa beruntung bahwa
aku dapat bertemu dengan Kiai dan Kiai Badra di sini."
Kiai Badra pun kemudian telah memperkenalkan orang yang
sebenarnya adalah Ki Tumenggung Wirayuda sendiri beserta
pengawalnya yang telah memerlukan datang melihat Tanah
Perdikan Sembojan dari dekat.
Bahkan Ki Tumenggung itu pun kemudian berkata, "Aku tidak
sekadar ingin melihat Tanah Perdikan ini setelah kehilangan
tulang-tulangnya sehingga seakan-akan sudah tidak mempunyai
kekuatan lagi karena anak-anak mudanya yang terbaik telah
diumpankan di hadapan pasukan pajang. Tetapi aku memang
ingin berbicara dengan Iswari yang dianggap sudah hilang dari
Tanah Perdikan ini, karena menurut Kiai Badra, Iswari lah yang
akan memegang tunggul pertanda kuasa Kadipaten Pajang yang
dilimpahkan kepada pemimpin sejati dari Tanah Perdikan ini."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Iswari.
Kemarilah Ki Tumenggung Wirajaya akan berbicara denganmu."
Dengan ragu-ragu Iswari pun melangkah maju mendekat.
Sementara Ki Tumenggung bertanya, "Apakah aku dapat
berbicara sekarang" Maksudku dihadapan orang-orang ini
semuanya?" 34 SH. Mintardja "Silakan Ki Tumenggung," jawab Kiai Badra. "Semua orang di
dalam rombongan ini adalah orang-orang yang terpercaya.
Karena itu, apakah kita harus mencari tempat yang baik untuk
dapat duduk sambil berbicara?"
"Tidak perlu," jawab Ki Tumenggung. "Aku tidak akan
berbicara panjang. Aku tidak ingin mengganggu serombongan
penari yang sedang mencari makan."
Kiai Badra tersenyum, sementara Ki Tumenggung sambil
tersenyum pula meneruskan, "Karena itu, aku ingin berbicara
singkat dan langsung."
"Silakan Tumenggung," sahut Kiai Badra yang kemudian
berkata kepada cucunya, "Dengarkan baik-baik."
"Iswari," berkata Ki Tumenggung, "Meskipun aku belum
pernah melihat sebelumnya, tetapi demikian aku melihat seorang
penari di arena, aku langsung dapat menebak, yang manakah
yang bernama Iswari. Tentu bukan yang bertubuh sedikit
kegemukan dan tinggi besar seperti seorang laki-laki dengan rias
yang menggelikan itu."
Iswari hanya tersenyum sambil menundukkan kepalanya,
"Nah, dengarlah," berkata Ki Tumenggung. "Sebagaimana kalian
ketahui, Tanah Perdikan ini sudah menjadi sangat lemah. Namun
demikian, aku masih akan berusaha untuk membuat Tanah
Perdikan ini semakin kecut melihat perkembangan suasana di
Pajang. Kami sudah mempersiapkan sepasukan prajurit khusus
untuk mengganggu pasukan Jipang yang diperkuat oleh anakanak muda Tanah Perdikan ini. Mudah-mudahan kami tidak
harus mengorbankan jiwa terlalu banyak, lebih-lebih anak-anak
muda Tanah Perdikan ini. Sementara itu, kalian dapat
mengamati keadaan. Mungkin Tanah Perdikan ini akan
mengirimkan bantuan bagi pasukannya yang berada di bawah
pengaruh Jipang. Namun pada saat yang demikian, kalian akan
dapat banyak berbuat bagi Tanah Perdikan ini.
"Apa yang harus kami lakukan di sini," bertanya Iswari.
35 SH. Mintardja "Kita akan dapat bekerja bersama. Agar anak-anak muda dari
Tanah Perdikan ini tidak menjadi umpan yang tidak berarti di
Pajang. Jika kami bergerak dan kalian bergerak, maka aku kira
anak-anak muda tidak akan dilemparkan ke dalam api
pertempuran di Pajang, karena Tanah Perdikan ini sendiri
memerlukan mereka. Tanah Perdikan ini harus mengatasi
kerusuhan yang ditimbulkan oleh sekelompok orang yang
mengadakan pertunjukan keliling di Tanah Perdikan ini."
"Kami mengerti Ki Tumenggung," jawab Iswari. "Tetapi sejak
kapan pasukan Pajang akan bergerak?"
"Secepatnya. Besok aku sudah berada kembali di Pajang.
Sementara itu segala sesuatunya sudah direncanakan dengan
masak, sehingga setiap saat pasukan Pajang akan dapat bergerak.
Sementara itu kami selalu mengadakan hubungan dengan
prajurit Pajang yang berhadapan langsung dengan induk pasukan
Jipang yang dipimpin sendiri oleh Adipati Jipang, Arya
Penangsang," jawab Ki Tumenggung.
"Baiklah," jawab Iswari. "Jika demikian, maka kami pun masih
belum mulai hari ini. Kami akan mulai beberapa hari lagi, setelah
pasukan Pajang bergerak, dan kami mendapat kabar, bahwa
Tanah Perdikan ini menyiapkan orang-orangnya untuk dikirim."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus.
Ternyata kau mampu membuat perhitungan-perhitungan tentang
peperangan yang aku pasti belum pernah kau lakukan
sebelumnya." "Ah," Iswari menundukkan kepalanya.
"Sudahlah. Segala sesuatunya akan berjalan seperti yang aku
katakan. Jika terjadi perubahan, maka kami akan
memberitahukan kepada kalian. Tetapi dimana aku atau orangorangku dapat menemui kalian?" bertanya Ki Tumenggung.
"Di padepokan kecil di luar Tanah Perdikan ini," jawab Iswari.
"Atau kita akan menentukan tempat yang lebih baik," Kiai
Badra memotong. "Tempat yang tidak terlalu jauh dari Tanah
36 SH. Mintardja Perdikan ini, sehingga setiap gerakan akan dapat langsung
dimengerti." "Kita akan membuat barak yang tersembunyi" Di hutan itu
misalnya?" bertanya Iswari.
"Ya. Kita akan membuat semacam tempat persiapanpersiapan. Sudah tentu harus tersembunyi," jawab Kiai Badra.
"Dimanapun jadilah," jawab Ki Tumenggung.
Mereka pun kemudian sepakat untuk mengadakan tempat
pertemuan di lereng bukit yang disebut Gunung Prapat. Bukit
yang kecil dan terletak disebuah hutan yang tidak begitu lebat.
Namun cukup sunyi karena jarang sekali disentuh oleh kaki
seseorang. Dengan kemampuan angan-angan mereka, maka mereka pun
telah menentukan tempat itu, sehingga kedua belah pihak tidak
akan menjadi kebingungan.
Dua atau tiga orang di antara kami akan selalu berada
ditempat itu bergantian," berkata Kiai Badra.
Ki Tumenggung Wirajaya mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah kita sudah menemukan beberapa kesepakatan. Yang
penting kita akan dapat selalu bertemu, karena kita sudah
menetapkan tempat untuk pertemuan itu. Pembicaraan
berikutnya akan dapat dilakukan kemudian."
"Ya Ki Tumenggung. Jika ada perintah, maka perintah itu
dapat dilangsungkan ke tempat yang sudah kita sepakati atau
utusan Ki Tumenggung dapat menunggu sebentar tidak lebih dari
sehari semalam," berkata Kiai Badra.
"Ya. Aku mengerti. Mungkin yang sedang mendapat giliran
ditempat itu sedang mengejar seekor rusa atau bahkan ikut
dalam rombongan seperti ini," berkata Ki Tumenggung. "Karena
itu, jika kami tidak menjumpai kalian di hutan itu, maka kami
akan dapat menunggu kalian disepanjang jalan di Tanah
Perdikan ini. Karena kalian sedang mencari nafkah."
37 SH. Mintardja Kiai Badra, Kiai Soka dan orang-orang dalam rombongan itu
pun tertawa pula. "Nah, sudahlah. Yang penting kalian mengetahui bahwa
demikian aku sampai ke Pajang, maka aku akan mulai. Prajuritprajurit Jipang itu sudah terlalu lama menakut-nakuti orangorang Pajang yang selalu menjadi gelisah. Bahkan beberapa
orang sudah mulai mengungsi masuk gerbang kota. Agaknya
orang-orang Jipang itu memang sudah mulai mengganggu
penduduk," berkata Ki Tumenggung.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menceriterakan apa yang telah terjadi dengan dirinya dan Gandar
selagi mereka menempuh perjalanan dari Pajang kembali ke
padepokan kecil mereka. Sementara itu, Kiai Badra pun yakin,
bahwa orang-orang Jipang itu tidak akan datang mengganggu
Kademangan yang pernah menjerat mereka ke dalam kesulitan.
Jika terjadi sesuatu atas Kademangan itu tentu dilakukan oleh
orang-orang Jipang yang lain.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Tumenggung itu pun
telah minta diri untuk kembali ke Pajang. Ia berharap bahwa ia
tidak akan terlalu lama diperjalanan, sehingga ia akan dapat
mulai dengan segera. "Malam masih panjang," berkata Ki Tumenggung. "Aku
berharap bahwa malam ini dan besok sudah cukup bagi
perjalananku untuk mencapai Pajang."
"Apakah Ki Tumenggung tidak akan menjadi sangat letih?"
bertanya Kiai Soka. "Pertanyaan yang aneh," jawab Ki Tumenggung. "Jika
pertanyaan itu keluar dari seorang anak muda yang duduk
terkantuk-kantuk di pematang karena pekerjaannya tidak lebih
dari menunggui air, aku menganggapnya wajar."
Kiai Soka tersenyum. Katanya, "Satu pertanyaan basa-basi saja
Ki Tumenggung." 38 SH. Mintardja Ki Tumenggung pun tertawa. Lalu katanya, "Sudahlah. Supaya
aku tidak dihambat oleh kantuk jika aku terlalu malam berangkat
dari Tanah Perdikan ini."
Kiai Badra dan Kiai Soka pun mengangguk hormat. Sementara
itu Ki Tumenggung berkata kepada Iswari, "Setelah aku dapat
langsung bertemu dengan orang yang oleh Kiai Badra diusulkan
untuk memimpin perlawanan terhadap keadaan di Tanah
Perdikan ini, maka aku yakin bahwa kau akan dapat
melakukannya dengan baik."
"Aku mohon restu Ki Tumenggung," desis Iswari sambil
menundukkan kepalanya. Demikianlah maka Ki Tumenggung Wirajaya dan pengawalnya
pun telah meninggalkan tempat itu untuk langsung kembali ke
Pajang sebagaimana dikatakannya. Ki Tumenggung ingin hari
berikutnya meskipun mungkin malam hari, ia sudah berada di
Pajang untuk segera bersama-sama Panglima pasukan di Pajang
mengatur perlawanan terhadap orang-orang Jipang yang berada
dihadapan hidung mereka dibantu oleh orang-orang dari Tanah
Perdikan Sembojan. Sepeninggalan Ki Tumenggung, maka Kiai Badra pun
berbicara dengan orang-orang di dalam rombongannya, apakah
sebaiknya mereka akan meneruskan permainan mereka malam
itu, atau mereka akan kembali ke Tlaga Kembang, untuk
selanjutnya membangun sebuah barak di tempat yang sudah
mereka tentukan. "Kita sudah berada di Tanah Perdikan," berkata Iswari.
"Mungkin ada juga baiknya, malam ini kita teruskan permainan
kita." "Baiklah," berkata Kiai Soka. "Sebaiknya memang kita
teruskan agar Nyai Soka yang sudah telanjur merias diri tidak
kecewa." "Ah kau," sahut Nyai Soka. "Jangan takut, bahwa setiap lakilaki di Sembojan akan mencari aku Kiai."
39 SH. Mintardja Kiai Soka tertawa. Yang lain pun tertawa pula. Namun Kiai
Soka masih juga berkata, "Tetapi yang paling sulit bagi kita
adalah, apabila pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini
jatuh cinta kepada penari jalanan kita, sebagaimana pernah
terjadi." "Ah, kakek," desis Iswari. "Ia tidak akan jatuh cinta kepadaku.
Itu sudah pasti. Tetapi mungkin ia akan jatuh cinta kepada
perempuan yang dikenalnya sebagai Serigala Betina itu."
"O," sahut Serigala Betina itu. "Ia akan menjadi suami yang
sangat baik. Jika kelak aku mempunyai anak, maka anak itu akan
berhak atas jabatan Kepala Tanah Perdikan."


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang-orang di dalam rombongan itu tertawa. Namun Jati
Wulung pun kemudian berkata, "jangan panggil lagi perempuan
itu dengan Serigala Betina, agar ia tidak menjadi buas.
"Ah, kau ini ada-ada saja," desis perempuan itu.
"Bukan lagi kebiasaanku," jawab Iswari. "Hanya sekali ini.
Setiap hari aku memanggilnya dengan namanya."
"Panggilan itu tidak berpengaruh," desis perempuan yang
disebut Serigala Betina itu.
Demikianlah, maka iring-iringan itu pun kemudian
melanjutkan perjalanan mereka ke padukuhan sebelah. Mereka
sempat kebar di sudut padukuhan dan memanggil orang-orang
padukuhan itu untuk berkerumun. Tetapi tidak seorang pun di
antara orang-orang padukuhan itu, sebagaimana padukuhanpadukuhan yang lain, yang berani minta rombongan itu untuk
menari di halaman rumahnya, karena mereka masih dibayangi
perintah Ki Wiradana untuk menangkap orang-orang yang
dianggap menggelisahkan Tanah Perdikan itu.
Meskipun demikian mereka tidak dapat menahan diri untuk
pergi ke sudut padukuhan itu menyaksikan pertunjukkan yang
sangat menarik dan menumbuhkan ketegangan di dalam hati
mereka, justru karena penarinya menurut mereka adalah Nyai
Wiradana itu sendiri. 40 SH. Mintardja Dua tiga padukuhan dilalui malam itu. Ternyata bahwa
rombongan itu pun tidak melanjutkan perjalanan mereka ke
Tanah Perdikan, karena mereka pun segera meninggalkan
perbatasan menuju ke padepokan kecil mereka.
Namun satu hal telah mereka ketahui, bahwa Pajang sudah
siap untuk mulai dengan permainannya. Karena itu maka
segalanya harus dipersiapkannya dengan sebaik-baiknya. Begitu
pasukan Pajang mulai mengusik prajurit Jipang, maka di Tanah
Perdikan itu pun harus dimulai pada langkah-langkah yang
serupa. Dan itu akan terjadi segera setelah Ki Wirajaya sampai di
Pajang. Sebenarnyalah, bahwa di Pajang segala persiapan telah
dilakukan. Mereka hanya menunggu Ki Tumenggung Wirajaya
yang mengadakan hubungan dengan Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika Ki Tumenggung melampaui batas waktu yang ditentukan,
maka para pemimpin di Pajang menjadi cemas, bahwa telah
terjadi sesuatu dengan Ki Tumenggung. Namun di samping itu,
pasukan Pajang pun telah mendapat perintah untuk bergerak
setiap saat. Tetapi pada saat yang paling menegangkan, maka Ki
Tumenggung Wirajaya yang telah mereka tunggu itu pun datang.
Dengan senyum di bibirnya ia hadir di barak yang menjadi pusat
pembicaraan para manggala di Pajang untuk mengambil
keputusan-keputusan dalam hubungannya dengan kehadiran
pasukan Jipang. "Aku terlambat setengah malam," berkata Ki Tumenggung.
"Kami sudah merasa sangat cemas," jawab seorang Senopati,
"Kami sudah memutuskan untuk membicarakan langkah-langkah
yang akan kami ambil."
"Jadi kalian sudah mengambil keputusan?" bertanya Ki
Tumenggung. 41 SH. Mintardja "Kami baru memutuskan untuk mengambil keputusan. Kau
mengerti maksudku?" jawab Senopati itu.
Ki Tumenggung Wirajaya yang selalu tersenyum itu tersenyum
pula. Katanya, "Istilahmu cukup berbelit-belit. Tetapi aku
mengerti. Dan dengan demikian aku masih mendapat
kesempatan untuk ikut berbicara bersama kalian."
Demikianlah, maka malam itu juga telah dilakukan
pembicaraan penting tentang langkah-langkah yang akan diambil
Pajang untuk menghadapi perkembangan keadaan. Ki Wirajaya
pun telah melaporkan hasil perjalanannya ke Tanah Perdikan
Sembojan. Ia baru dapat bertemu dengan Kiai Badra para saat
terakhir dari kunjungannya ke Tanah Perdikan Sembojan.
"Baiklah," berkata panglima pasukan Pajang, "Kita akan mulai
dengan rencana kita. Jika orang-orang yang disebut oleh Ki
Tumenggung Wirajaya di Tanah Perdikan Sembojan melakukan
langkah-langkah sebagaimana telah disepakati, maka Tanah
Perdikan Sembojan tidak akan mengirimkan pasukan tambahan
ke Pajang, dan sebaliknya pasukan Tanah Perdikan yang sudah
telanjur berada disini tidak akan dikirim kembali ke Tanah
Perdikan untuk membantu dan menegakkan kedudukan
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan yang curang itu."
"Ya," sahut Ki Tumenggung Wirajaya. "Rencana itu dapat
dilaksanakan. Aku yakin, bahwa rencana itu akan dapat berjalan
juga di Tanah Perdikan."
Demikianlah, maka Panglima pasukan Pajang di Pajang itu
telah mengambil suatu keputusan. Keputusan yang dengan cepat
akan dilaksanakan berbareng dengan keberangkatan dua orang
penghubung ke pasanggrahan pasukan Pajang yang berhadapan
dengan pasukan Jipang disebelah menyebelah Bengawan Sore,
karena Kanjeng Adipati Hadiwijaya sendiri ada di pasanggrahan
itu, siap menghadapi langkah-langkah yang dapat diambil oleh
Arya Penangsang yang juga berada di pasanggrahannya di antara
para prajuritnya yang terpilih.
42 SH. Mintardja Malam itu, para pemimpin di Pajang masih sempat
beristirahat sejenak. Namun demikian fajar mulai menyingsing,
maka para Senopati itu pun telah mempersiapkan pasukannya
masing-masing. Dengan susunan perang, pasukan segelar sepapan itu pun
telah keluar dari regol kota menuju ke sarang lawan dan
memasang gelar menghadapi pasukan Jipang. Namun pasukan
Pajang masih memelihara jarak sehingga saat itu keduanya masih
belum turun memasuki pertempuran.
Para pengamat dari Jipang yang melihat pasukan segelar
sepapan telah berada di luar pintu gerbang, maka mereka pun
segera menyusun diri. Tetapi menilik jarak yang masih terlalu
jauh, maka orang-orang Jipang itu pun menganggap bahwa
Pajang masih belum akan bergerak langsung hari itu juga.
Dalam pada itu, maka para
pemimpin Jipang pun telah
mengadakan pembicaraan. Menurut laporan para petugas
pengawasan, pasukan Pajang
bukannya pasukan yang sangat
kuat. "Kita akan mampu menghancurkan dan menghalau
sisa-sisa pasukan itu," berkata
Ki Rangga Gupita yang berada
di antara pasukan Jipang.
"Meskipun yang nampak itu
agaknya jauh lebih kuat dan
bersungguh-sungguh dibandingkan dengan pasukanpasukan Pajang yang telah menampakkan diri dihadapan mereka
sebelumnya dan menghilang kembali, masuk ke dalam gerbang
kota." 43 SH. Mintardja Dengan demikian maka pasukan Jipang pun telah bersiap.
Sebagian dari pasukannya telah berada di luar padukuhan yang
dipergunakannya sebagai pasanggrahan. Mereka telah memasang
kerangka gelar yang akan mereka pergunakan apabila pasukan
Pajang itu benar-benar menyerang. Namun sementara itu,
sebagian yang lain masih saja berada di dalam padukuhan.
"Jangan menghambur-hamburkan tenaga tanpa arti," berkata
para pemimpin Jipang. "Nampaknya orang-orang Pajang yang
putus asa itu ingin memancing agar kita menjadi tegang dan
kehilangan keseimbangan. Biarlah orang-orang Pajang itu
menghamburkan tenaga mereka sendiri. Tetapi kita cukup
berpengalaman dan tidak terpancing untuk berbuat sesuatu yang
tidak ada gunanya. Namun, meskipun demikian kita harus tetap
berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan. Kita tidak
boleh lengah." Dengan demikian maka sebagian dari pasukan Jipang
termasuk orang-orang Tanah Perdikan Sembojan itu masih
sempat beristirahat sepenuhnya, meskipun setiap saat bunyi
isyarat mereka harus bersiap memasuki gelar yang sudah
dipasang kerangkanya. Sebagaimana diperkirakan oleh orang-orang Jipang, maka
Pajang tidak bergerak pada hari itu. Pasukan Pajang tetap berada
ditempat mereka memasang gelar dihadapan pasukan Jipang
yang berada disebuah padukuhan. Padukuhan yang menjadi
kosong karena penduduknya telah mengungsi ke luar padukuhan
itu. Panglima pasukan Pajang telah mendengarkan setiap laporan
tentang gerak pasukan Jipang itu setiap saat. Namun menurut
laporan para pengamat, pasukan Jipang tidak menarik
pasukannya ke luar dari padukuhan dan siap menghadapi
pasukan Pajang sepenuhnya. Tetapi mereka hanya sekadar
memasang kerangka gelar. 44 SH. Mintardja "Luar biasa," berkata Panglima pasukan Pajang, "Mereka
benar-benar prajurit pilihan. Mereka tetap tenang dalam keadaan
seperti ini." Ki Tumenggung Wirajaya mengangguk-angguk. Namun
katanya, "Tetapi bukankah kita akan mengetrapkan rencana kita
dalam keseluruhan termasuk gerak pasukan?"
"Tentu," jawab Panglimanya. "Mudah-mudahan kita berhasil
mengatasi pasukan Jipang itu dengan cara kita."
Ketika matahari menjadi terik, maka orang-orang Jipang yang
masih berada di padepokan itu memandang gelar sepasukan
Pajang dikejauhan dengan senyum dibibir. Orang-orang Pajang
itu sebagian besar telah dibakar oleh panasnya terik matahari.
Mereka tidak berusaha untuk mengubah gelar atau bahkan
menarik sebagian dari para prajuritnya untuk memasuki
padukuhan dan berteduh dibawah rimbunnya pepohonan
bergantian seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jipang.
Bahkan orang-orang Pajang itu telah memasang tunggul, rontek
dan umbul-umbul untuk menunjukkan kebesaran pasukannya.
"Orang-orang Pajang memang bodoh," berkata para perwira
Jipang. "Apa arti semua pertanda kebesaran bagi kami" Bahkan
dengan demikian mengetahui bahwa sebenarnya pasukan Pajang
itu terlalu kecil sehingga mereka merasa perlu untuk
memantapkan kedudukan mereka dengan segala macam
pertanda kebesaran."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka sependapat
dengan penilaian perwira itu. Bahkan beberapa orang perwira
masih sempat tidur nyenyak di siang hari untuk menghilangkan
kejemuannya menunggu. Keadaan itu tidak berubah sampai saatnya matahari turun ke
barat. Bahkan ketika senja turun, orang-orang Pajang sama sekali
tidak beringsut dari tempatnya.
"Mereka benar-benar telah menjadi gila," desis seorang
perwira Jipang. 45 SH. Mintardja Namun Rangga Gupita memotong, "Itu adalah satu cara yang
pernah dilakukan oleh para prajurit Demak. Tetapi agaknya yang
dilakukan itu kurang tepat. Seharusnya pasukan yang demikian
adalah pasukan yang mengepung kedudukan lawannya.
Sedangkan pasukan Pajang itu tidak mengepung kita. Tetapi
seperti yang sudah kita ketahui, mereka sekadar memancing agar
kita selalu berada dalam ketegangan."
"Seharusnya kitalah yang melakukannya dihadapan pintu
gerbang kota Pajang," desis seorang perwira yang lain.
"Ya. Barangkali itu lebih tepat," jawab kawannya. "Tetapi kita
tidak akan melakukan pekerjaan yang tidak berarti."
Demikianlah, maka Jipang lebih condong untuk memperkuat
pengamatan dan mempertahankan kerangka gelar. Setiap saat
gelar itu dapat disempurnakan dengan cepat, sementara
pasukannya yang lain masih dapat menunggu dengan tanpa
ketegangan. Namun satu hal yang tidak dilihat oleh orang-orang Jipang.
Pasukan Pajang memang masih selalu berada di tempatnya.
Tunggul, rontek dan umbul-umbul masih terpancang dengan
megahnya. Namun ketika gelap menyelubungi medan, sebagian
dari pasukan Pajang itu telah dihisap kembali masuk ke dalam
gerbang kota. Yang terjadi, ketika fajar menyingsing adalah sangat
mengejutkan. Pasukan Jipang yang menghadapi gelar itu sama
sekali tidak melihat gerakan apapun juga, sehingga mereka masih
tetap menganggap bahwa hari itu pasukan Pajang tidak akan
bergerak meskipun dari padukuhan yang dipergunakannya
sebagai pesanggrahan mereka melihat kesibukan. Tetapi
kesibukan itu tidak lebih dari orang-orang yang membagi
makanan bagi pasukan Pajang. Karena itu, maka pasukan Jipang
sama sekali tidak mengubah keadaannya pula.
Tetapi yang sebenarnya terjadi pada saat itu adalah, bahwa
pasukan Pajang segelar sepapan telah dengan serta merta
menyerang kedudukan pasukan Pajang disisi yang lain.
46 SH. Mintardja Serangan itu memang mengejutkan. Pasukan Jipang itu telah
mendapat hubungan dari pasukan yang diperkuat oleh anak-anak
muda dari Tanah Perdikan Sembojan dan melaporkan bahwa
pasukan Pajang telah memasang gelar dihadapan mereka.
Namun ternyata yang tiba-tiba mendapat serangan adalah
pasukan Jipang disisi yang lain.
Serangan itu datangnya tiba-tiba sekali dan diluar perhitungan
para perwira Jipang yang berada disebelah Barat Pajang. Mereka
bahkan sudah menyiapkan sebagian dari pasukannya untuk
membantu pasukan Jipang yang berada disisi Timur bersama
pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Namun tiba-tiba pasukan
Jipang yang disisi Barat itulah yang mendapat serangan dengan
kekuatan yang sangat besar. Kekuatan yang tidak disangkasangka karena sebagian dari pasukan Pajang telah berada di
sekitar Demak dan yang lain mengadakan gelar disisi Timur Kota.
Namun pasukan Jipang adalah pasukan yang gigih. Mereka
adalah prajurit-prajurit yang ditempa dalam suasana yang penuh


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan gejolak perjuangan, karena Adipati Jipang sejak semula
merasa bahwa haknya atas tahta Demak telah dirampas oleh
seseorang yang kemudian mengalir ke jalur Sultan Trenggana.
Tetapi bagaimanapun juga kekuatan yang besar dari Pajang
dibanding dengan kekuatan Jipang, apalagi sergapan yang tibatiba itu telah membuat pasukan Jipang menjadi kacau.
Dengan kemampuan para pemimpinnya, Jipang berusaha
untuk menyusun diri dalam gelar perang yang memadai. Gelar
yang paling mungkin dicapai untuk menghadapi gelar Sapit
Urang yang datang dengan garangnya.
Para prajurit Jipang juga berusaha untuk menghadapi
pasukan Pajang dengan tebaran pasukan, karena mereka tidak
mau terperangkap ke dalam kepungan. Karena itu, maka pasukan
Jipang telah menyusun gelar Wulan Panunggal dengan
meletakkan kekuatannya pada ujung gelarnya, sementara bagian
tengah dari pasukan Jipang memang ditarik mundur beberapa
lapis. Namun kemudian mereka berusaha untuk bertahan pada
47 SH. Mintardja garis tertentu, sementara kedua ujung pasukannya dengan tajam
menyerang dan menusuk gelar lawan.
Tetapi kekuatan gelar lawannya juga ada di ujung pasukan.
Apalagi pasukan Pajang sempat merencanakan dan menyusun
gelarnya dengan tertib sehingga perhitungannya lebih mapan
dari pasukan Jipang yang harus bergerak dengan tiba-tiba.
Pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Tetapi
hentakan pertama pasukan Pajang ternyata mempunyai
pengaruh yang besar. Perlahan-lahan pasukan Jipang memang
terdesak, sehingga mereka telah menarik garis surut.
Tetapi pasukan Pajang mendesaknya dengan tanpa ampun.
Bagi mereka pertempuran itu akan ikut menentukan kedudukan
Pajang selanjutnya. Ternyata bahwa serangan yang tiba-tiba itu memang sulit
untuk diatasi oleh pasukan Jipang. Betapapun mereka dengan
sikap seorang prajurit sejati bertempur tanpa mengenal gentar,
namun para pemimpin Jipang juga mempunyai perhitungan yang
dilandasi dengan nalar. Jika mereka memaksakan diri bertempur
terus, maka korban akan semakin banyak jatuh, sementara itu
mereka tidak akan berhasil mempertahankan diri. Karena itu,
maka Senapati tertinggi yang memimpin pasukan Jipang itu,
setelah mengadakan pembicaraan pendek dengan para
pembantunya, telah memutuskan untuk memerintahkan
pasukannya mundur. Sejenak kemudian, maka isyarat itu pun telah didengar oleh
seluruh pasukan Jipang. Karena itu, selagi mereka masih
mempunyai kekuatan, maka mereka pun telah bergerak mundur
melintasi bulak-bulak dan pategalan.
Dengan kemampuan seorang prajurit, maka pasukan Jipang
yang mundur itu masih tetap kelihatan utuh. Sehingga dengan
demikian, maka pada saat-saat tertentu pasukan itu masih juga
mampu memukul lawannya. Bahkan beberapa orang sempat
membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Namun demikian
48 SH. Mintardja satu dua orang di antara mereka yang terbunuh, terpaksa harus
mereka tinggalkan. Pasukan Pajang berusaha untuk mendesak mereka dan
memburu pasukan yang mundur itu. Tetapi pasukan Jipang
mampu mempergunakan pategalan dan padukuhan-padukuhan
untuk menemukan perisai bagi pasukannya yang sedang mundur
itu. Akhirnya, para pemimpin Pajang memerintahkan pasukannya
untuk menghentikan pengejaran. Nampaknya para pemimpin
pasukan Pajang tidak lagi melihat manfaatnya untuk mengejar
pasukan Jipang itu terus-menerus. Apalagi langit menjadi buram
dan senja pun akan segera turun.
Panglima pasukan Pajang yang sehari sebelumnya sempat
mengatur gelar disisi Timur ternyata telah memimpin langsung
pasukan Pajang yang menyerang kedudukan pasukan Jipang itu.
Dengan demikian maka pasukan Pajang telah menduduki
padukuhan yang untuk beberapa lama telah dipergunakan
sebagai pesanggrahan dari pasukan Jipang disisi Barat. Tetapi
mereka tidak akan tetap berada di padukuhan itu.
Sementara itu, maka pasukan Pajang pun telah ditarik
kembali. Malam itu juga panglima pasukan Pajang itu telah
memerintahkan pasukannya untuk kembali ke garis gelar
pasukannya disisi Timur. Hari itu juga pasukan Jipang yang berada di sisi Timur telah
dihubungi oleh dua orang penghubung pasukan Jipang di sisi
Barat. Mereka melaporkan apa yang telah terjadi. Pasukan Pajang
telah mengerahkan pasukannya untuk menyerang kedudukan
Jipang di sisi Barat. "Gila," geram Ki Rangga Gupita, "Kita jangan kehilangan
waktu. Kita harus menyerang kedudukan pasukan Pajang di sisi
Timur." "Kapan?" bertanya seorang perwira.
49 SH. Mintardja Ki Rangga Gupita termangu-mangu sejenak. Matahari telah
mulai turun ketika laporan itu sampai kepadanya. Jika ia
mempersiapkan serangan, maka waktunya tinggal sedikit
sebelum malam tiba. Karena itu, maka katanya, "Besok pagi-pagi
menjelang fajar kita bersiap. Mudah-mudahan pasukan Pajang
masih belum siap. Sebagian dari mereka ternyata berada di sisi
Barat. Yang nampak oleh kita adalah sekadar bayangan kekuatan
pasukan Pajang. Karena itu, maka besok pagi-pagi benar kita
harus mendahului kehadiran pasukan Pajang yang lebih besar
lagi. Mereka agaknya masih menikmati kemenangan mereka di
sisi Barat." Rangga Gupita bergerak dengan cepat. Senapati pasukan
Jipang yang ada di sisi Timur itu pun telah menyiapkan
pasukannya. Mereka sudah berada di dalam gelar malam itu,
sehingga jika langit menjadi terang esok pagi, pasukan itu
langsung dapat bergerak. Hampir semalam suntuk para pemimpin pasukan Jipang tidak
tertidur. Namun mereka masih juga memperhitungkan keadaan
wadag mereka, sehingga beberapa orang berusaha untuk
beristirahat meskipun hanya sekejap.
Ketika fajar menyingsing, maka pasukan pun telah bersiap.
Mereka telah mendapat ransum mereka, karena ada
kemungkinan bahwa mereka akan bertempur sehari penuh,
sehingga dengan demikian maka mereka harus makan lebih
dahulu sekenyang-kenyangnya.
Untuk beberapa saat prajurit-prajurit Jipang dan para
pengawal Tanah Perdikan itu sempat beristirahat. Mereka
berjalan hilir mudik untuk memanaskan tubuhnya, serta
mendorong makanan yang baru saja mereka makan turun ke
dalam perut. Rangga Gupita ternyata tidak menunggu sampai matahari
terbit. Ketika semuanya sudah siap, maka ia pun telah
berhubungan dengan Panglima pasukan Jipang dan memberikan
beberapa pendapat dan pesan.
50 SH. Mintardja "Sekarang sudah saatnya," desis Rangga Gupita.
Senapati Jipang yang memimpin pasukan di sisi Timur itu pun
segera memberikan isyarat kepada para pemimpin kelompok
sehingga sejak kemudian segalanya telah siap sepenuhnya.
Karena itu, maka Senapati pasukan Jipang itu pun telah
memerintahkan pasukannya untuk menyerang kedudukan
pasukan Pajang di luar pintu gerbang.
Sejenak kemudian, maka pasukan Jipang yang diperkuat oleh
para pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang sudah terlatih
telah menyerang pasukan Pajang bagaikan banjir bandang.
Dengan sorak yang getap gempita dan bagaikan memecahkan
langit, diiringi oleh isyarat suara bende yang mendengung
memenuhi udara, maka pasukan Jipang itu menghantam
pasukan Pajang digaris gelarnya.
Dalam pada itu, pasukan Pajang ternyata sudah lengkap
sebagaimana dilihat oleh pasukan Jipang pada hari pertama. Mereka yang berada
di sisi Barat telah kembali di
dalam gelar yang padat itu.
Hal itulah yang diperhitungkan oleh Rangga
Gupita. Mereka yang memimpin pasukan Jipang itu
menduga bahwa sebagian pasukan Pajang tentu ditarik di
sisi Barat dan untuk sementara
masih menikmati kemenangan
mereka. Karena itu, maka Rangga Gupita dan para pemimpin pasukan Jipang mengambil keputusan untuk dengan
tergesa-gesa menyerang pasukan Pajang itu.
51 SH. Mintardja Tetapi hal itu sudah diperhitungkan oleh para pemimpin
prajurit di Pajang. Sebagaimana mereka menarik sebagian
prajurit Pajang dari gelarnya di sisi Timur masuk kembali ke
dalam regol dan kemudian justru menyerang ke Barat, maka para
prajurit itu pun dengan diam-diam di malam hari telah merayap
kembali ke dalam gelar di sisi Timur. Meskipun mereka merasa
letih dan bahkan beberapa di antara mereka telah dilukai dengan
goresan-goresan kecil, namun mereka sudah siap untuk
bertempur. Meskipun demikian ada juga di antara kawan-kawan mereka
yang tidak dapat ikut kembali ke dalam gelar, karena terluka
parah dan bahkan ada di antara mereka yang terbunuh.
Demikianlah, ketika pasukan Pajang itu menyaksikan pasukan
Jipang berlari-larian menyerang mereka dalam gelar yang utuh,
maka mereka pun telah bangkit pula. Mereka tidak mau didorong
dalam benturan pertama tanpa memberikan hambatan.
Karena itu, maka di antara para prajurit yang ada di dalam
gelar itu pun telah siap menyambut lawan mereka. Sekelompok
prajurit yang terpencar pada bagian-bagin gelar telah berloncatan
ke depan sambil menarik busur mereka. Beberapa orang yang
lain justru bergeser surut mengambil ancang-ancang.
Sejenak kemudian, maka anak panah pun telah berebut
terbang di udara. Suaranya yang berdesing nyaring telah
menggelitik jantung. Bahkan ternyata orang-orang Pajang telah
membuat hujan anak panah itu semakin menggetarkan jantung
karena ada beberapa di antara anak panah yang dilontarkan itu
adalah anak panah sendaren.
Tetapi para prajurit Jipang pun cukup terampil. Dengan serta
merta maka prajurit-prajurit yang membawa perisai segera
mengambil tempat dipaling depan. Mereka berusaha melindungi
kawan-kawannya dengan perisai mereka. Mereka berusaha untuk
memukul dan mengibaskan anak panah yang beterbangan di atas
kepala mereka. 52 SH. Mintardja Namun sejenak kemudian, maka yang menyusul beterbangan
di udara adalah beberapa puluh lembing. Prajurit-prajurit Pajang
yang mengambil ancang-ancang telah melontarkan lembinglembing yang berada di tangan mereka.
Dalam pada itu, bagaimana pun juga para prajurit Jipang
berusaha untuk berlindung di balik perisai-perisai namun satu
dua ada juga anak panah dan lembing yang lolos dan mematuk
sasaran. Satu dua orang prajurit Jipang dan anak-anak muda
Tanah Perdikan itu pun ada juga yang roboh jatuh di tanah.
Karena dorongan kekuatan sendiri, maka orang-orang yang
sedang berlari itu pun sulit untuk berhenti atau menghindar,
sehingga orang-orang yang terjatuh itu justru telah terinjak kakikaki kawan-kawannya. Namun demikian pasukan Jipang dan anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan yang jumlahnya cukup besar itu telah
bergeser maju dengan cepat, sehingga kesempatan untuk
mempergunakan lembing dan anak panah pun segera terputus.
Pasukan lawan itu menjadi begitu dekat.
Dengan demikian, maka para prajurit Pajang itu pun telah
meletakkan busur mereka. Mereka pun berganti menggenggam
pedang dan tombak. Dengan senjata merunduk maka mereka
pun telah menyambut kedatangan lawan.
Demikianlah, maka kedua gelar itu pun bertemu. Pertempuran
pun segera membakar arena. Pasukan Jipang yang telah lebih
dahulu berteriak-teriak itu pun membentur pasukan Pajang
dengan garangnya. Namun pasukan Pajang benar-benar sudah siap menerima
kehadiran lawannya. Dengan tangkasnya mereka menghindari
serangan. Namun tiba-tiba merekalah yang mengayunkan pedang
mendatar menebas tubuh lawannya.
Tetapi orang-orang Jipang pun telah bersiap sepenuhnya,
sehingga karena itu, maka mereka pun dengan cepat bergeser
surut dan bahkan serangan merekalah yang datang mendesak.
53 SH. Mintardja Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama
menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah saling
menyerang dan saling mendesak. Kedua belah pihak adalah
prajurit-prajuti pilihan. Bahkan anak-anak Tanah Perdikan
Sembojan pun adalah anak-anak yang memiliki bekal
kemampuan yang cukup. Mereka telah ditempa oleh para perwira
dari Jipang, sehingga dengan demikian maka mereka tidak
canggung lagi untuk turun ke arena.
Namun ternyata bagi anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan, para prajurit Pajang terlalu garang bagi mereka. Agak
berbeda dengan latihan-latihan yang mereka alami dengan para
perwira dari Jipang. Dalam pertempuran yang sebenarnya, di
dalam benturan gelar yang padat, maka ujung senjata
menyambar-nyambar tanpa dikekang sama sekali. Sehingga
dengan demikian, karena kurangnya pengalaman betapapun
tingginya latihan-latihan yang telah mereka lakukan, namun
pertempuran yang sengit itu telah membuat jantung mereka
menjadi berdebar-debar. Namun di antara mereka terdapat orang-orang Jipang yang
tidak kalah garangnya dengan orang-orang Pajang, sehingga
dengan demikian, maka anak-anak muda dari Tanah Perdikan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sembojan itu pun mendapat tuntunan langsung, bagaimana
menghadapi para prajurit Pajang. Meskipun bagaimana pun juga
ketiadaan pengalaman mereka mempunyai pengaruh yang besar.
Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, maka
pertempuran menjadi semakin seru. Apalagi ketika tangantangan mereka telah mulai basah oleh keringat. Maka kedua
belah pihak seakan-akan menjadi semakin garang.
Dalam pada itu, selagi pertempuran antara ke dua pasukan itu
meningkat sengit, maka dua orang dengan jantung berdebaran
berdiri agak jauh di belakang pasukan Jipang sambil mengamati
pertempuran itu. Seorang yang sudah berusia agak tinggi
berdesis, "Ternyata bahwa usaha para perwira Jipang tidak siasia. Anak-anak muda Sembojan telah menjadi tangkas dan
54 SH. Mintardja mampu dilepas di medan yang berat seperti ini. Tetapi mereka
belum berpengalaman."
"Ya Ki Randukeling," jawab yang lain. "Mereka tidak
mengecewakan. Aku berharap bahwa tidak usah menunggu
matahari terbit, pasukan Pajang telah pecah dan mereka akan
kita hancurkan sebelum mereka sempat mencapai pintu gerbang.
Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Rangga Gupita. Kau ini sekadar bermimpi atau karena kau ingin
membuat hatimu sendiri tenteram?"
"Kenapa?" bertanya Ki Rangga Gupita.
"Apakah kau tidak melihat benturan yang terjadi antara kedua
pasukan itu?" bertanya Ki Randukeling pula.
"Aku melihatnya. Bukan dalam pengamatan sekilas, setidaktidaknya pasukan itu seimbang?" bertanya Ki Rangga Gupita.
Lalu katanya, "Tetapi jika pertempuran itu mencapai lewat
tengah hari, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan
sudah menjadi tidak canggung. Mereka akan segera mencapai
puncak kemampuan mereka, sehingga mereka akan menjadi
semakin meningkat. Dalam keadaan yang demikian, maka
seolah-oleh kekuatan pasukan Jipang akan bertambah."
Tetapi Ki Randukeling menyahut, "Jangan berharap terlalu
banyak dari anak-anak Tanah Perdikan Sembojan. Mereka
memang telah menunjukkan kemampuan yang tinggi. Tempaan
yang diberikan oleh perwira Jipang itu benar-benar membuat
mereka menjadi anak-anak muda yang memiliki jiwa dan
kemampuan seorang prajurit. Tetapi yang harus mendapat
perhatian adalah bahwa pengalaman mereka sama sekali tidak
berarti bagi pertempuran seperti ini. Karena itu, bagi mereka
yang tidak mampu berpikir cepat untuk menyesuaikan diri, akan
segera mengalami kesulitan. Selain itu, kita harus ingat, bahwa di
antara anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan, bahkan
bagian yang cukup besar, adalah para pengawal yang mendapat
latihan lebih sedikit dari pengawal khusus Tanah Perdikan yang
mungkin kita sebut memiliki kemampuan seorang prajurit itu."
55 SH. Mintardja "Mereka yang mendapat latihan-latihan tidak langsung itu pun
ternyata telah mampu bergerak dengan tangkas. Mereka yang
cepat menempatkan diri mereka ke dalam gelar. Kemudian
mereka pun dengan cepat sebagaimana dilakukan para prajurit,
menyesuaikan diri menghadapi gelar lawan. Mengisi kekosongan
dan relung-relung gelar yang disusupi oleh lawan," berkata
Rangga Gupita. Ki Randukeling mengangguk-angguk. Desisnya, "Mudahmudahan kau benar. Tetapi kita tidak boleh menutup mata
terhadap kenyataan. Kita tidak boleh berpura-pura bangga atas
pasukan kita, jika sebenarnya pasukan itu mengalami kesulitan."
"Ki Randukeling," desis Ki
Rangga Gupita, "Di bagian
manakah dari gelar itu yang
mengalami kesulitan. Bukankah di segala tempat
pasukan Jipang mampu menahan kemajuan para prajurit Pajang." Ki Randukeling mengangguk-angguk. Ia memang melihat kedua gelar
itu saling bertahan meskipun
mereka telah bertempur cukup
lama. Namun Ki Randukeling
masih menyaksikan keahlian
anak-anak muda Tanah Perdikan yang belum berpengalaman.
Menurut Ki Rangga Gupita, mereka akan segera terbiasa
menghadapi lawan di medan.
Mereka tidak akan lagi canggung dan tidak akan gentar
melihat darah memercik dari tangan mereka. Jika sudah
demikian, maka kemampuan mereka seakan-akan menjadi
meningkat. 56 SH. Mintardja "Tetapi Ki Rangga tentu ingin membuat hatinya sendiri
menjadi tenang," berkata Ki Randukeling. "Ketahanan tubuh
anak-anak muda itu tentu berbeda dengan para prajurit yang
sudah jauh berpengalaman. Anak-anak yang berani itu telah
menghentakkan segenap kekuatan dan tenaga mereka, meskipun
mereka sudah dipesan untuk menghematnya, karena
pertempuran itu akan berlangsung lama. Karena itu, maka
keseimbangan dapat dipertahankan pada permulaan dari
pertempuran itu, tetapi kemudian tidak seperti yang diharapkan
oleh Ki Rangga. Ketahanan tubuh anak-anak muda itu akan
segera menurun dan keseimbangan pun berubah."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Aku
akan berada di pertempuran. Meskipun aku hanya satu orang
tetapi jika aku mampu membuat orang-orang Pajang terkejut,
maka agaknya akan mempunyai pengaruh yang besar pula bagi
anak-anak Tanah Perdikan Sembojan itu sendiri," ia berhenti
sejenak, lalu, "Bagaimana dengan Ki Randukeling?"
"Aku tidak akan memasuki medan hari ini. Belum waktunya.
Entahlah jika besok pagi atau waktu-waktu yang lain," jawab Ki
Randukeling. Ki Rangga Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar,
bahwa Ki Randukeling bukannya prajurit Jipang yang dapat
diperintahnya. Ia dapat berbuat menurut kehendaknya sendiri.
Karena itu, maka Ki Rangga pun tidak memaksa. Bahkan
katanya, "Baiklah Ki Randukeling. Beristirahatlah. Aku akan
berada di antara anak-anak muda Tanah Perdikan itu."
"Mudah-mudahan Jipang benar-benar mampu mematahkan
perlawanan Pajang. Tetapi agaknya semua unsur harus kau
perhitungkan," jawab Ki Randukeling.
Ki Rangga pun tidak menyahut. Ia pun segera berlari
meninggalkan Ki Randukeling menuju ke medan.
Tetapi semakin dekat ia dengan medan, maka hatinya pun
menjadi semakin berdebar-debar. Ia mulai melihat apa yang
semula tidak nampak oleh matanya, tetapi tertangkap oleh
57 SH. Mintardja ketajaman mata Ki Randukeling. Ternyata bahwa di beberapa
bagian dari medan, ia memang melihat kegelisahan dari anakanak muda Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan semakin dekat
dengan medan, ia baru melihat, bahwa pasukan Pajang ternyata
lebih banyak dari perhitungannya.
Namun demikian, ia masih melihat bahwa jumlah pasukan
Jipang lebih besar dari pasukan Pajang sehingga dengan
demikian, maka Ki Rangga masih berharap bahwa pasukan
Jipang akan berhasil mendesak lawannya meskipun tidak secepat
yang diduganya dan meskipun tidak menghancurkan pasukan
Pajang sebagaimana diinginkan.
Untuk beberapa saat Ki Rangga berdiri dibelakang garis
perang. Namun kemudian ia pun telah berusaha untuk
menemukan Senapati tertinggi pasukan Jipang yang berada disisi
Timur Pajang. "Jumlah pasukan Pajang melampaui dugaan," berkata
Senapati itu ketika ditemui Ki Rangga di medan.
"Ya," jawab Ki Rangga, "Agaknya sebagian prajurit yang
kemarin berada disisi Barat telah sempat ditarik," jawab Ki
Rangga. "Kita agaknya terlambat. Jika kemarin meskipun
menjelang sore kita menyerang pasukan Pajang, mungkin
keadaannya akan berbeda."
"Tetapi kita sudah terlibat ke dalam pertempuran," geram
Senapati itu. "Aku akan ikut bertempur," berkata Ki Rangga.
Kisah Dua Naga Di Pasundan 8 Jago Kelana Karya Tjan I D Misteri Tirai Setanggi 1

Cari Blog Ini