Ceritasilat Novel Online

Tiga Dara Pendekar 8

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 8


sekembalinya Khing-hiau waktu itu.
"Suhu," begitulah kata bocah itu, "Kam Loh (nama anak
pintar pada zaman Liat-kok) dalam usia dua belas sudah
menjadi per-dana menteri, kini aku sudah berumur
empatbelas, dua tahun lebih tua dari Kam Loh, aku sih tidak
ingin menjadi Caysiang (perdana menteri) segala, paling baik
jika bisa menjabat Tayciangkun (pang-lima besar), dengan
memimpin seluruh angkatan perang, Caysiang juga akan
keder terhadap Tayciangkun. Suhu, menurut pendapatmu,
apakah aku dapat menjadi Tayciangkun?"
Aku menjawab, "Sudah tentu dapat, tetapi itu memerlukan
waktu yang lama dan panjang sekali, Sebenarnya aku ingin
mengatakan padanya bahwa asal mau mempelajari baik-baik
ilmu siasat militer dan berlatih ilmu silat, kelak dapat
menghimpun para pahlawan dan patriot untuk sama-sama
bergerak mengusir penjajah tanah air dan membangun
kembali negeri kita yang jaya, dengan begitu, tidak hanya
Tayciangkun saja, bahkan menjadi kepala negara pun
mungkin bisa. Akan tetapi meng-ingat usianya masih terlalu
muda, aku khawatir ia nanti sembarang-an buka mulul di
luaran, maka aku urung berkata demikian padanya.
Tidak terduga, ia menjadi salah mengerti akan maksudku
itu. Katanya, "Suhu berkata akan makan waktu yang lama
sekali, apa Suhu maksudkan aku harus ikut ujian "Bu-ki",
(semacam ujian un-tuk pangkat perwira di zaman feodal) agar
bisa menjadi pemimpin pasukan, sesudah itubaru bisa menjadi
Tayciangkun?" Aku bilang bukan begitu maksudku, namun ia lantas
berkata pula, "Kam Loh berusia dua belas sudah menjadi
Caysiang, sebab-nya karena Hongte (kaisar) mengetahui
kepintarannya yang luar biasa dan sanggup menjabat
tugasnya itu, maka ia lantas diangkat menjadi pembesar
tinggi. Kini seumpama ada seorang Hongte atau boleh juga
Hongcu (putra mahkota), dia mengetahui kepandaianku,
mungkin tidak perlu melalui seleksi dan ujian, aku akan
diangkat menjadi Tayciangkun!"
Mendengar penuturan yang luar biasa itu, aku terkejut bercampur
gusar. Selama delapan tahun ini, kalau tidak berlatih
di da-lam taman, tentu ia berada di Siau-lim-si, mengapa bisa
memper-oleh pengetahuan semacam itu" Dan mengapa pula
timbul jalan pi-kiran seperti yang dikatakan tadi" Karena itu
aku memberi hajaran dengan bengis, sampai akhirnya ia
berlutut dan minta ampun.
Ai, aku pun agak terlalu keras kepadanya, ia masih anakanak,
apa yang dia ketahui"
Melamun sampai di sini, racun pada luka Ciong Ban-tong
sudah bekerja mendekati janrung. Ia berusaha menguatkan
diri, me-ngumpulkan tenaga dalam dan memaksa bertahan
sebisanya, sedang mulutnya terasa begitu haus, dalam
keadaan setengph sadar, tiba-tiba ia mendengar di luar ada
suara jeritan orang, menyusul terde-ngar ada suara seruan
orang memanggil. "Suhu, aku terluka, mengapa kau tancapkan pisau beracun
di sini!" demikian seruan itu yang bukan lain ialah suara Lian
Khing-hiau. Pada detik pengabisan, tiba-tiba Ciong Ban-tong
mendengar suara Lian Khing-hiau, sungguh seperti orang
yang mendapat embun di tengah gurun pasir yang luas,
semangat terbangkit seketika.
"Khing-hiau, lekas kau kemari!" serunya memanggil dengan
air mata bercucuran, di antara sinar air matanya yang
berkaca, betul juga ia lihat dengan sempoyongan Lian Khinghiau
sedang berjalan masuk. Saking terharunya, tak tertahan Ciong Ban-tong komakkamik
berkata pada diri sendiri, "Oh Tuhan, syukurlah bocah
ini betul-betul telah kembali!"
Sebenarnya Ciong Ban-tong sangat pintar dan cerdik, tapi
dalam keadaan sadar tak sadar karena lukanya dan saking
gembiranya, sampai ia lupa mengapa Lian Khing-hiau bisa
melompat lewat pa-gar tembok yang tingginya lebih dari tiga
tombak itu" Begitulah, setelah Lian Khing-hiau berlari masuk, segera
juga ia merangkul gurunya, "O, Suhu, kakiku terasa sakit lagi
pegal, aku tersandung pisau beracunmu!" tuturnya dengan
menangis. Sekuat tenaga Ciong Ban-tong bertahan sebisanya, dengan
ta-ngannya ia mengelus rambut bocah itu. "Jangan khawatir,
pergilah kau ke dalam kamar dan ambil kantong obatku ke
sini!" dengan pe-nuh kasih sayang Ciong Ban-tong
menghiburnya. Lian Khing-hiau menyahut sekali, lalu mengamati Suhunya.
"Eh, Suhu! Mengapakah kau?" tanyanya kemudian. "Kamar ini
telah dirusak orang hingga kalang-kabut begini, kau sendiri
pun tere-bah di lantai, apakah yang telah terjadi, tidak
berbahayakah keada-anmu?"
Ciong Ban-tong tidak cukup mempunyai tenaga untuk
bicara padanya secara terang, hanya menuding ke kamar,
dengan sinar matanya ia mendesak agar bocah itu lekas ke
sana. Akhirnya pergi juga Khing-hiau ke kamar, tak lama
kemudian, tiba-tiba terdengar Lian Khing-hiau berseru kaget di
dalam, "He, dimanakah Lin-moay (adik Lin)!"
Kembali Ciong Ban-tong merasa lukanya bertambah parah,
sementara itu terlihat Lian Khing-hiau berjalan keluar dengan
mem-bawa kantongan obat. Ciong Ban-tong memberi tanda
dengan ang-gukan kepala, maka mendekamlah Lian Khinghiau
di sampingnya. "Di dalam kantong obat ada botol putih kecil, di dalam
botol terdapat dua macam obat pil, yang semacam berwarna
merah jam-bon dan yang lain hijau muda, yang jambon
diminum dengan air dan yang hijau dikunyah untuk kemudian
dioles di tempat luka, ini adalah obat untuk memunahkan
racun pisau berbisa itu," dengan suara lemah Ciong Ban-tong
mengajarkan cara memakai obat, habis berkata, napasnya
tersengal-sengal. Kemudian ia saksikan Lian Khing-hiau meminum dan mengoles
obat menurut apa yang ia ajarkan tadi, kemudian baru ia
berkata pula dengan suara serak. "Lekas dengan pisau kecil
kau bedah satu luka sekira setengah dim di pundak kiriku dan
cepat pijat keluar darah berbisa di dalamnya, lalu keluarkan
lagi kotak berwarna emas dalam kantong obat."
Kembali Lian Khing-hiau mengiakan, tapi ternyata tidak segera
ia lakukan perintah gurunya itu, sebaliknya matanya
melirik ke timur dan ke barat.
Dalam pada itu, mendadak di luar terlihat berkelebatnya
ba-yangan orang, menyusul seorang Kongcu muda beserta
seorang le-laki setengah umur tegap kuat yang berdandan
bangsa Hwe tampak masuk ke dalam.
Terkejut sekali Ciong Ban-tong karena Kongcu muda ini dikenalnya
sebagai murid murtad Siau-linvsi, Ong Cun-it
adanya. Da-rimana ia mendapat tahu tempat tinggalftu dan
sekonyong-konyong datang kemari" Demikian Ciong Ban-tong
bertanya dalam hati. "Ciong-tayhiap, selamat bertemu, setamat bertemu!"
terdengar Ong Cun-it menyapa dengan tertawa.
"Untuk apa kau kemari?" bentak Cioiig Ban-tong dengan
suara berat. "Aku ada janji pertemuan kecil dengan Lingtoh (muiid
tuan)," sahut Ong Cun-it.
Kemudian Lian Khing-hiau dengan tertawa girang
melompat maju ke sana dan menyerahkan botol obat putift
tadi kepada orang Hwe itu.
Menampak perbuatan itu, luar biasa terperanjatnya Ciong
Ban-tong. "Apa yang kau lakukan?" ia membentak.
Akan tetapi gertakannya itu ternyata diganda tertawa saja
oleh orang Hwe itu. "Ciong-tayhiap," katanya dengan tertawa,
"lukamu sangat berat, sekali-kali hendaklah kau jangan gusar.
Aku adalah Congkoan (pemimpin besar) Hiat-ti-cu di Pakkhia
(Peking), kini se-ngaja datang ke sini buat menyambangimu!"
Saking gusarnya Ciong Ban-tong hanya dapat menjengek
saja, habis itu ia jatuh pingsan.
Dengan leluasa Haptoh menyimpan baik-baik botol obat itu.
"Sin-mo-siang-lo mungkin sudah tak sabar menunggu, biarlah
aku lekas pergi menolong mereka dengan obat ini," ujarnya
dengan tertawa. Sesudah itu ia acungkan jari jempolnya pada
Lian Khing-hiau sambil memuji, "Engkoh cilik, kau sungguh
pintar sekali! Aku yang sudah kawakan mengaku kalah!"
Selang tak lama, perlahan Ciong Ban-tong siuman,
dilihatnya Lian Khing-hiau sedang menyembur mukanya
dengan air dingin. Ciong Ban-tong merasa dirinya seperti berada dalam mimpi
buruk, ia coba menggigit lidah, namun segera terasa sakit
yang me-resap, barulah ia percaya dirinya bukan sedang
mimpi. Melihat gurunya sudah sadar, dengan setengah berlutut
Lian Khing-hiau mulai menutur. "Suhu, Kongcu ini adalah Sihongcu
da-ri kerajaan, aku dan dia sudah saling angkat
saudara!" Sungguh tidak kepalang gusar Ciong Ban-tong mendengar
ke-terangan itu. "Suhu," dengan tertawa Lian Khing-hiau menyambung, "Sihongcu
minta engkau juga datang ke Pakkhia sana. Hidup di
Pakkhia senang sekali, makan, plesir, semuanya ada!"
Saking gusarnya, Ciong Ban-tong tak mampu berkata-kata
lagi, hanya dalam hati ia mencaci maki.
Kiranya yang memalsukan surat wasiat tinggalan mendiang
Pun-khong di Siau-lim-si untuk menolong Si-hongcu In Ceng,
semuanya adalah perbuatan Lian Khing-hiau seorang.
Kira-kira tiga tahun yang lalu, ketika In Ceng masih berada
di Siau-lim-si, ia berkenalan dengan Lian Khing-hiau. Terhadap
bocah ini, ia berkesan dalam sekali dan yakin bocah ini pasti
bukan orang biasa, maka secara diam-diam ia bersahabat
dengannya dan meng-anggapnya seperti orang dewasa.
Permulaan tahun ini ketika Lian Khing-hiau pergi ke Ko-san
sendirian, di tengah jalan ia bersua pula dengan In Ceng.
Putra pa-ngeran ini memperkenalkan dia kepada Thian-yap
Sanjin, Liau-in Hwesio dan Iain-lain Bu-lim-cianpwe (kaum
angkatan tua dari dunia persilatan).
Terhadap kecerdasan bocah ini, para tokoh itu sangat
tertarik dan terheran-heran. Sebaliknya Lian Khing-hiau
melihat Liau-in dan kawan-kawan punya ilmu silat jauh di atas
gurunya, tentu saja ia pun merasa kagum sekali, lebih-lebih
terhadap In Ceng yang memi-liki wibawa sebagai pemimpin
negara, dengan cita-cita tinggi dan ambisinya yang besar,
semuanya cocok dengan jiwanya.
Sampai akhirnya, agar bisa lebih menarik bagi bocah ini, In
Ceng bahkan membeberkan asal-usul dirinya dan mengangkat
sau-dara dengan Lian Khing-hiau. Oleh sebab itu, sesudah
Lian Khing-hiau pulang, ia coba memancing perkataan Ciong
Ban-tong seperti yang telah diuraikan di depan tadi.
Sebulan yang lalu, waktu In Ceng harus menghadap ke
Siau-lim-si buat disidang melawan Pun-bu Taysu yang
memergoki dia melakukan kejahatan Jay-hoa, selagi ia
memikirkan satu tipu yang paling sempurna untuk
memenangkan perkara itu, mendadak ia ter-ingat pada Lian
Kheng-hiau yang meski baru berusia tidak lebih em-pat belas
tahun, namun sudah sangat cerdas dan banyak tipu akalnya,.
apalagi bocah itu biasanya sangat disayang oleh Siau-limsamlo, maka segera Thian-yap Sanjin dikirim mencari Lian
Khing-hiau. Di dalam suatu kamar rahasia, bocah yang
kecerdasannya seperti setan itu berhasil meniru gaya rulisan
Pun-khong, lalu memalsukan surat wasiat, sampai Bu-cu
Siansu yang saleh dan banyak pengalam-an juga kena
diingusi. Kembali tadi, ketika In Ceng melihat Ciong Ban-tong sudah
mendelik dan otot-otot merah menonjol di jidatnya, segera
dengan kepandaian mengurut dan memijat ajaran Siau-lim-si,
ia pijat bebe-rapa kali bagian rubuh Ciong Ban-tong, lalu
dengan tersenyum ia berkata padanya. "Ciong-siansing, buat
apa kau marah" Lingtoh me-miliki bakat luar biasa yang sukar
dicari bandingan, Siansing sendiri pun tergolong orang kosen
yang jarang dijumpai pada zaman ini,
bakat baik dan kepandaian tinggi, tentu sangat diperlukan
daripada terpendam di tempat tidak semestinya, tidakkah
lebih baik ikut me-nyumbang tenaga untuk kerajaan!"
Ciong Ban-tong mengatur napas, ia coba tenangkan diri
dan tak menjawab, sebaliknya ia melambaikan tangan pada
Lian Khing-hiau. "Khing-hiau, mari, ke sini kau!" ia memanggil.
Karena biasanya sangat disayang oleh gurunya, maka
dengan sikap aleman dan cengar-cengir Khing-hiau berkata
pula, "Suhu, te-rimalah ajakan Hongcu-koko (kakak pangeran)
tadi. Lukamu sudah terlalu berat, kalau engkau mau terima,
nanti aku akan mengobati lukamu itu!"
Karena ucapan ini, makin memuncak amarah Ciong Bantong,
sungguh sama sekali tidak diduganya bahwa jiwa Lian
Khing-hiau ternyata begitu rendah, begitu kurang ajar hingga
berani mendesak dengan mengancam jiwanya.
Dengan latihan yang sudah berpuluh tahun, sudah tentu
tidak sembarangan kepandaian Ciong Ban-tong, walau kini
berada dalam keadaan yang berbahaya bagi jiwanya, namun
ia masih memiliki pukulan mematikan, dengan napas yang
pengabisan ia kumpulkan semangat, ia menunggu Lian Khinghiau
sudah dekat, secepat kilat ia mengulur tangan dan
memegang urat nadi tangan Lian Khing-hiau sambil
membentak, "Binatang, jadi kau hendak menjual guru-mu"
Biar kubunuh kau lebih dulu!"
Gerak tipunya ini adalah serangan mematikan dari Kim-najiu
golongan Thay-kek-pay, sekali kena dipegang sedemikian


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rupa, maka Lian Khing-hiau seketika merasa seluruh badan
linu lemas dan tak bisa berkutik lagi.
Kejadian itu terlalu cepat dan di luar dugaan In Ceng serta
Haptoh, mereka ingin menolong tapi sudah terlambat.
Mendadak Ciong Ban-tong teringat oleh apa yang pernah
Ciu Jing katakan padanya, "Murid yang kau peroleh itu kelak
bila me-ngetahui jiwanya tidak bersih, maka cacatkan saja,
sekali-kali ja-ngan merasa sayang!"
Karena pikiran itu, Ciong Ban-tong menghela napas, nyata
dalam hal ini Ciu Jing lebih mengerti daripada dirinya, maka
jarinya segera ia pencet lebih kencang, makin lama makin
kuat! Keruan saja muka Lian Khing-hiau menjadi pucat. "O,
Suhu! sudilah kau mengingat hubungan guru dan murid
selama tujuh tahun ini, ampunilah jiwaku!" ia memohon
dengan meratap. Terguncang juga hati Ciong Ban-tong, sekilas adegan
kejadian selama tujuh tahun ini terbayang, orang yang ia didik
dengan susah payah selama ini, murid yang ia cintai melebihi
anak kandung sen-diri, apakah sekarang harus termusnah di
tangannya sendiri pula"
"O, Suhu!" terdengar Lian Khing-hiau meratap lagi, "Bukekpay turun-temurun sudah bersejarah sekian lamanya, kini
harus ter-putus sampai diriku saja. O, Suhu! apakah kau
tega?" Kembali Ciong Ban-tong terguncang hatinya, semua ilmu
silat dari Bu-kek-pay memang sudah ia turunkan seluruhnya
kepada Lian Khing-hiau, kini kalau bocah ini dibikin cacat,
maka tiada orang lagi yang menjadi ahli-waris cabang
persilatannya. "O, Suhu! selanjutnya pasti aku akan menurut padamu,
kalau malam tidur menurut waktunya dan kalau pagi bangun
dengan sedi-ninya," terdengar Lian Khing-hiau berseru pula.
Kiranya Lian Khing-hiau yang bandel dan nakal semenjak
ke-cil itu, sesudah ditaklukkan oleh Ciong Ban-tong, sifat
lainnya sudah berubah, hanya tabiatnya yang bandel masih
belum lenyap sama sekali, seringkali sampai jauh malam ia
tidak mau pergi tidur dan kalau pagi malas bangun. Terhadap
muridnya ini Ciong Ban-tong bersikap seperti ayah yang
mengajar anak, saban kali ia menasihat-kan padanya agar
tidur dan bangun pada waktu tertentu.
Kini, demi mendengar ratapan Khing-hiau tadi, tak tertahan
air matanya bercucuran, nyata perkataan Lian Khing-hiau
sangat meng-guncang rasa kasih sayangnya yang dahulu, tak
dihiraukan lagi pe-san Ciu Jing, jari tangannya yang
mencengkeram menjadi kendur.
"Khing-hiau, baik-baikkah kau!" serunya mendadak, menyusul
kemudian darah segar tersembur keluar dari mulutnya,
kaki dan tanggannya pun berkelojotan, sesudah itu lantas
diam dan tak berge-rak lagi.
Haptoh maju dan memegang nadinya, namun denyut
jantung Ciong Ban-tong sudah berhenti. "Tua bangka ini
sudah mati!" katanya
sambil tertawa dan mengangkat pundak.
Dalam keadaan demikian, betapapun kejam Lian Khinghiau,
tak tertahan juga ia meneteskan air mata.
"Urusan sudah beres, marilah kita berangkat!" ujar In Ceng
kemudian. Khing-hiau menyeka air matanya, tapi segera ia teringat
pada kitab-kitab pelajaran tinggalan gurunya, baik mengenai
ilmu silat, ilmu tabib ma-tpun ilmu siasat militer masih belum
ia ambil, segera ia berkata kepada In Ceng, "Hongcu-koko,
harap tunggu sebentar!"
Dan ketika ia hendak mulai mencari dan menggeledah
untuk mendapatkan kitab-kitab itu, tiba-tiba terdengar ada
suara aneh yang menggema di luar disusul dengan sinar
kuning yang menyorot te-rang menjulang ke angkasa.
"Celaka, keadaan genting, lekas berangkat!" begitu seru
Haptoh dalam bahasa rahasia mereka. Habis itu, dengan
menarik Lian Khing-hiau segera mereka berlari keluar ".
Kembali pada diri le Lan-cu, sesudah peristiwa Siau-lim-si
itu dan diketahuinya mendadak Teng Hiau-lan telah
menghilang, begitu pula Ciong Ban-tong dan Lian Khing-hiau,
maka lekas ia pamit pada Bu-cu Siansu dan secara tergesagesa
bersama Lu Si-nio dan Pek Thay-koan berangkat menuju
ke Tan-liu. Dengan kecepatan berjalan mereka bertiga, maka
berangkatlah pada pagi harinya, kecuali berhenti mengaso
sebentar dan menang-sal perut, maka sepanjang jalan mereka
berjalan dengan cepat lak-sana terbang, pada tengah malam
hari itu juga mereka sudah masuk di daerah kabupaten Tanliu.
"Rumah tinggal Lian Khing-hiau entah terletak di sebelah
ma-na," kata le Lan-cu dengan ragu-ragu, "kalau bisa
ketemukan kedi-aman keluarga Lian, dengan sendirinya dapat
pula bertemu dengan aku punya Sutit (Ciong Ban-tong), aku
kira Hiau-lan pergi mencari-nya."
"Keluarga Lian adalah hartawan terkaya di Holam sini,
tanya setiap orang pasti tahu," sahut Lu Si-nio.
Akan tetapi waktu itu sudah tengah malam, orang jalan
sudah sedikit sekali, maka sukar mencari keterangan.
Tengah mereka kehabisan akal, tiba-tiba terlihat pada
hutan di kejauhan lapat-lapat ada berkelipnya sinar api.
"Aneh, waktu begini ada orang berkumpul di dalam hutan,
sedang kerja apa?" kata le Lan-cu.
Ketika ia memburu maju, tiba-tiba angin meniup santar dari
dalam hutan itu, le Lan-cu menyedot napas memapak angin,
ter-nyata di antara tiupan angin itu mengandung bau obatobatan.
Ie Lan-cu berilmu silat tinggi, maka nyalinya pun besar, ia
menggapai Lu Si-nio dan Pek Thay-koan berdua, sesudah itu
tanpa menghiraukan peraturan Kangouw yang menyatakan
"Hong-lim-bok-jip" atau ketemu hutan jangan sembarang
masuk, dengan sekali melompat, ia melayang masuk ke dalam
semak-semak hutan itu. Hutan itu ternyata rindang sekali dan keadaan di dalamnya
ge-lap gulita, ketika Ie Lan-cu hendak memanjat ke atas
pohon untuk menyelidiki darimana datangnya sinar api tadi,
sekonyong-konyong terdengar di sampingnya ada orang
tertawa dingin. "Lokikpoh, berani juga kau mengejar dari Siau-lim-si
sampai ke sini," begitu kata suara itu. "Nah, kini biar kami
pilihkan tempat yang punya "Hong-sui" bagus untuk tempat
kuburmu, agar kau tidak perlu kembali ke Thian-san yang
begitu jauh!" Keruan saja Ie Lan-cu menjadi murka melihat
kekurangajaran orang berani menantang padanya. "Baik, biar
aku nenek tua ini ber-kenalan dengan kaum Siaupwe seperti
kalian ini, coba betapa tinggi kepandaianmu?" jawabnya
dengan gusar. Habis itu, dengan sekali bergerak laksana anak
panah terbang ia menerobos masuk lebih jauh ke dalam hutan
itu. Orang itu agaknya hendak mengucapkan pula perkataan
yang bersifat menyindir, mendadak sudah merasakan angin
pukulan yang menyambar, maka segera ia tahu akan kelihaian
lawan. Dalam keadaan demikian ini, tidak peduli orang itu
membalik buat melawan atau berkelit ke depan, pasti tak akan
lolos di bawah telapak tangan Ie Lan-cu. Namun orang itu
ternyata tidak lemah juga, dengan kegesitannya ia terus
berputar-putar di antara beberapa pohon cemara tua, dengan
begitu ia mematahkan kekuatan pukulan Ie Lan-cu, kemudian
disusul lagi beberapa kali memutar, ia sembunyi
lagi ke tempat yang lebih gelap.
Melihat gerak tubuh lawannya itu, Ie Lan-cu merasa tercengang
juga, aneh sekali gerak tubuh orang ini. Selagi hendak
meng-hantam lagi mengikuti arah suara orang, tiba-tiba ia
mendengar ada suara mengaung, semacam benda hitam
mulus tahu-tahu menyambar
datang dari belakang kepalanya.
Dengan cara "Ting-sing-pian-gi" (mendengarkan suara
mem-bedakan senjata), Lan-cu mengegos ke samping dan
lewatlah Am-gi (senjata rahasia) itu di atas kepalanya, akan
tetapi mendadak senjata itu bisa membalik kembali.
Terkejut sekali Ie Lan-cu atas kejadian itu, sama sekali
tidak diduganya senjata rahasia itu bisa menyambar pergi dan
putar kembali lagi. Akan tetapi berkat Ginkangnya yang tinggi luar biasa, sekali
enjot tubuh ia melayang naik ke atas pohon, senjata yang
bengkok melengkung seperti mistar hitung itu ternyata
mengitari pohon dan terbang naik ke atas lagi seperti benda
berjiwa saja. Namun dengan cepat sekali Ie Lan-cu melolos Pokiamnya,
ia papaki senjata rahasia itu dan dicungkil pergi, dengan
mengeluarkan suara mengaung laksana batu meteor jatuh,
Am-gi itu jatuh mem-bentur tanah, menyusul Ie Lan-cu pun
melompat turun. Tak terduga, Am-gi itu betul-betul seperti hidup, sekali
meng-gelinding di tanah, kembali menyambar naik lagi,
bahkan terus me-motong ke bagian bawah badannya.
Terkejut juga Ie Lan-cu oleh senjata yang luar biasa itu,
namun mendadak ia mengulur dua jarinya, dengan tenaga
dalamnya segera menjepit Am-gi itu, gerakannya begitu cepat,
hanya sekali saja ia telah berhasil menjepit kencang Am-gi itu
di tengah jari ta-ngannya.
"Han Tiong-san, setan kau, berani kau permainkan aku!"
ben-taknya tiba-tiba. Habis itu Yu-liong-pokiam secepat kilat ia
tusuk-kan pada orang itu secara bertubi-tubi.
Kiranya orang ini bernama Han Tiong-san, saudara
seperguru-an Thian-yap Sanjin, tempat tinggalnya di atas Kunlunsan, yang dia yakinkan adalah semacam Am-gi atau
senjata rahasia yang keji sekali, disebut "Hwe-goan-kau",
rupanya seperti mistar hitung me-lengkung, kedua ujungnya
lancip tajam, yang paling lihai adalah senjata ini dapat
dikendalikan dengan kekuatan ketika dilepaskan, bisa pergi
terus berputar balik serta terbang naik turun.
Senjata ini diciptakan Han Tiong-san ketika ia melihat cara
penduduk di pegunungan Kun-lun-san menggunakannya buat
ber-buru burung, pikirannya jadi tertarik dan terciptalah
senjata rahasia istimewa itu, setelah ia latih dan perbaiki
selama lebih tiga puluhan tahun, kepandaiannya
menggunakan senjata ini sudah sampai pun-cak
kesempurnaan, tak terduga kini ia kebentur le Lan-cu yang
ting-katannya dalam dunia persilatan sudah tinggi sekali,
dengan tenaga dalam yang luar biasa, senjata rahasianya
kena dijepit oleh jarinya.
Kepandaian Han Tiong-san masih lebih tinggi daripada
Thian-yap Sanjin, ketika Thian-yap Sanjin kena kecundang di
pulau Thian-hing-to, segera juga ia mengundang datang
Suhengnya, dengan dua saudara seperguruan, mereka ingin
menandingi Thian-san-lihiap ini. Dalam pada itu, pedang le
Lan-cu sudah bekerja makin ken-cang, sedang Han Tiong-san
pun sudah mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yakni
sebatang pacul kecil, berulang-ulang ia me-nangkis tiga kali,
namun segera ia merasa rada payah.
Kalau le Lan-cu terus mendesak musuhnya, mendadak
terde-ngar Lu Si-nio berseru, "Teng Hiau-lan ada di sini!"
Kiranya pada waktu le Lan-cu haras menghadapi Han
Tiong-san, Lu Si-nio segera menuju ke tempat datangnya sinar
api tadi, mendadak ia diserang orang juga dari tempat gelap,
bayangan orang itu begitu cepat dan terus memukul, begitu
keras pukulan itu hingga pedang Lu Si-nio kena tergetar
menceng ke samping. Waktu Lu Si-nio menarik pedangnya dan tenangkan diri, ia
li-hat orang ini tidak lain ialah Thian-yap Sanjin. Tidak jauh
dari mereka terdapat gundukan api yang sedang menyala,
dengan tongkat melintang, Liau-in Hwesio sedang berjaga di
samping gundukan api itu, sedang Sin-mo-siang-lo dengan
mata meram duduk bersila, se-dikitpun tidak bergerak,
sebaliknya Teng Hiau-lan terikat pada sebatang
pohon di situ. Tanpa ayal, segera Lu Si-nio keluarkan tipu serangan Hianlikiam-hoat yang paling lihai untuk mencecar Thian-yap
Sanjin, mes-ki Thian-yap Sanjin punya tenaga pukulan yang
cukup hebat, tapi pukulannya selalu mengenai tempat kosong.
Kepandaian Thian-yap Sanjin sebenarnya sebaya dengan
Liau-in, oleh karena itu ia berpikir, ilmu pedang anak dara ini
sungguh lihai, sampai Suhengnya saja tak mampu
menaklukkan dia, meski aku tak nanti dikalahkan, tapi untuk
mendapatkan kemenangan pun bukan soal gampang.
Karena pikiran itu, selagi ia hendak menyapa Liau-in buat
ikut mengeroyok, mendadak dilihatnya le Lan-cu telah
mendesak Han Tiong-san hingga yang tersebut belakangan ini
terpaksa harus mun-dur terus. Keruan ia menjadi kaget. "Liauin
Taysu, paling penting tolong dulu orang sendiri!" serunya.
Melihat le Lan-cu dan Lu Si-nio telah menerjang datang,
Liau-in sendiri pun menjadi gugup, lekas ia kerjakan menurut
anjuran Thian-yap Sanjin, dengan cepat ia menarik Sin-mosianglo, satu ta-ngan satu orang, ia kempit mereka dan kabur
keluar dari hutan itu secepat terbang.
Lu Si-nio yang dirintangi Thian-yap Sanjin terpaksa tak
mampu mengejar. Melihat Liau-in sudah kabur dan lenyap di antara hutan
belu-kar, le Lan-cu juga menduga sukar mengejarnya lagi,
maka ia berseru pada kawannya, "Si-nio, lekas kau tolong
Teng Hiau-lan da-hulu, biar aku sendiri yang membereskan
kedua iblis ini!" Lalu Yu-liong-pokiamnya bekerja cepat, segera ia kurung
Han Tiong-san dan Thian-yap Sanjin di bawah sinar
pedangnya. Rupanya Pek Thay-koan pun tidak mau tinggal diam, ia


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

men-coba maju membantu, tapi demi tersampuk pacul Han
Tiong-san, le-ngannya tergetar hingga pegal.
Ketika itu Thian-yap Sanjin sedang kerepotan karena
rangsek-an le Lan-cu yang tak kenal ampun, waktu melihat
Pek Thay-koan ikut maju, tiba-tiba ia mendapat akal, beruntun
ia memukul, mendesak Pek Thay-koan yang terpaksa harus
menyingkir ke tempat kosong
di sebelah kiri, dengan begitu
menghalangi serangan pedang le Lan-cu yang masih terus
menyambar. Pertandingan kaum ahli kadang-kadang hanya tergantung
se-kejap dua detik saja, kini Ie Lan-cu mendadak terhalang
serangan-nya, seketika itu memberi kesempatan kepada Han
Tiong-san dan Thian-yap Sanjin buat meloloskan diri.
Saking tak sabamya, Ie Lan-cu terus menarik Pek Thaykoan
sambil berkata padanya, "Lebih baik kau bantu
Sumoaymu meno-long teman saja!"
Karena itu Pek Thay-koan menjadi jengah, mukanya merah
dan terpaksa mengundurkan diri.
Sementara itu Lu Si-nio sudah melepaskan Teng Hiau-lan
dari ringkusannya, melihat pemuda itu tak ingat diri, ia
mengerti tentu telah kena tertutuk, maka lekas ia menolong
menyadarkannya. Ketika mendadak Hiau-lan melihat Lu Si-nio berdiri di
depan-nya dengan muka bercahaya terang, ia menjadi girang
bercampur kaget. "Engci Lu Eng, banyak terima kasih atas pertolonganmu
yang telah menyelamatkan jiwaku!" katanya dengan terharu.
"Bukan aku, tetapi kaum angkatan tua dari perguruanmu
yang menolong kau!" kata Lu Si-nio dengan tertawa.
Waktu Teng Hiau-lan sudah bisa menenangkan diri, ia
teringat kepada apa yang telah terjadi. "Lu-cici, lekas kau
pergi menolong Ciong-tayhiap!" serunya cepat.
Kiranya waktu Teng Hiau-lan mengejar dari Siau-lim-si,
ketika menerobos masuk ke hutan ini, segera ia kena ditawan
Liau-in. Tatkala itu adalah waktu Sin-mo-siang-lo terkena pisau terbang
Ciong Ban-tong dan menyembunyikan diri dalam hutan
ini buat merawat lukanya itu. Tak lama kemudian Lian Khinghiau
berha-sil menipu obat pemunah dari gurunya, maka
tertolonglah lukanya yang parah. In Ceng telah banyak
memuji kepintaran Khing-hiau, lalu bersama Haptoh mengajak
bocah itu berangkat lebih dulu.
Sudah tentu percakapan mereka terdengar oleh Teng Hiaulan,
ia terkejul ketika mengetahui apa yang telah terjadi,
saking gusarnya ia berteriak, tapi segera ditutuk oleh Liau-in
dengan tutukan berat, dalam keadaan setengah sadar
dilihatnya ada seorang wanita tua telah
berangkat juga dengan menggendong seorang anak perempuan,
habis itu, ia lantas jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Kini setelah sadar, segera ia mengingat-ingat dan
menghitung-hirung, ia yakin anak perempuan yang berumur
antara tujuh delapan tahun tadi tentu bukan lain daripada
Pang Lin. Teng Hiau-lan pernah mendapat budi yang tak terhitung
dari Pang Kong-tiau, oleh karena itu tak pernah lupa berusaha
menemu-kan kembali kedua dara kembar ini, maka berulangulang
ia men-desak agar Lu Si nio lekas mengejar, ia tidak
tahu bahwa saat itu Pang Lin sudah dibawa pergi sejauh tiga
puluh li lebih oleh istri Han Tiong-san, yaitu perempuan tua
yang dilihatnya. Ie Lan-cu yang matanya awas dan telinganya tajam, meski
sedang bertempur, apa yang Teng Hiau-lan katakan tadi
sudah dide-ngarnya dengan jelas, segera ia kencangkan
pedangnya, ia mende-sak Thian-yap Sanjin berdua mundur
beberapa tindak, lantas ia ber-seru, "Kediaman keluarga Lian
tentu berada di dekat sini, Lu Si-nio, kau dan Suhengmu lekas
bawa Teng Hiau-lan ke sana, aku segera menyusul!"
Lu Si-nio yakin Ie Lan-cu pasti mampu membikin keok
kedua lawannya, maka dengan menyahut sekali, bersama Pek
Thay-koan dan Teng Hiau-lan mereka lantas keluar dari hutan
itu. Sementara itu Ie Lan-cu lantas unjuk ketangkasannya yang
lu-ar biasa, dengan ilmu pedang yang hebat, seorang diri ia
menempur Han Tiong-san punya "Pi-hun-tuh", yakni senjata
pacul, serta Thian-yap Sanjin punya "Toa-sui-pi-jiu", ilmu cara
membanting dan meng-hantam dengan hebat. Begitu seru
pertarungan mereka hingga bu-rung yang hinggap bermalam
di rimba itu terbang terkaget dan daun pohon rontok.
Han Tiong-san punya "Pi-hun-tuh-hoat", kepandaian
permain-an pacul yang mempunyai seratus delapan jurus, ilmu
silatnya ini adalah ciptaan khas, walau tidak sehebat Thiansankiam-hoat, tapi ditambah dengan tenaga pukulan lihai
Thian-yap Sanjin, dalam se-kejap itu Ie Lan-cu pun tak
mampu memperoleh kemenangan.
Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama,
mendadak sebelah tangan Ie Lan-cu bergerak terus disusul
dengan pedangnya berkelebat, dengan tipu "Tam-jiu-ju-cu"
(mengulur tangan mengam bil mutiara), ujung senjatanya
mengarah ke tenggorokan Thian-yap Sanjin.
Dalam pada itu Han Tiong-san yang luput menyerang
dengan pacul, cepat menarik senjatanya, ia menggeser dari
depan ke sam-ping, paculnya segera membacok ke bawah
dengan tujuan memben-tur pedang lawan sambil memacul
pinggang orang dan sekaligus menolong Sutenya.
Namun Ie Lan-cu ternyata tidak mengubah gaya
serangannya tadi, hanya tubuhnya bergerak sedikit, tipu
serangan dari "Tam-jiu-ju-cu" berganti menjadi "Giau-Ii-joanciam"
(si gadis jelita menyu-sup jarum), berbalik ia hendak
memotong pergelangan tangan lawan sambil menikam ke
bawah bahu, begitu cepat gerakannya dan saling susul, yang
satu lebih cepat dari yang lain.
Dalam keadaan begitu, terdengarlah suara memberebet,
lengan baju Thian-yap Sanjin kena dibabat robek.
Melihat gelagat jelek, lekas Han Tiong-san mencari akal
Iain, dari sakunya segera ia keluarkan sebuah "Liu-hong-tan"
(peluru be-lerang), semacam mercon yang sering dibuat
mainan anak-anak, segera ia lemparkan benda itu ke angkasa
dengan mengeluarkan sinar kuning terang.
"Hai, konco tua, kenapa kau tak lekas datang!" serunya
keras. Sesudah itu paculnya menangkis sekali terus ia tarik
untuk meng-hindarkan benturan Yu-liong-pokiam, kemudian
bersama Thian-yap Sanjin lantas mundur teratur dengan
cepat. Nampak perbuatan Han Tiong-san tadi, tiba-tiba Ie Lan-cu
ter-ingat bahwa Han Tiong-san ini berlatih ilmu silat bersama
dengan istrinya yang bernama Yap Hing-po, juga sangat lihai
ilmu silatnya. Karenanya ia berpikir, "Jika ditambah lagi
seorang jagoan lain, dengan
satu lawan tiga, maka buat
memperoleh kemenangan akan lebih
sukar lagi!" Ia pikir
Thian-yap Sanjin dan Liau-in serta kawan-kawan berada di sini
juga, malahan Bu-lim-ko-jiu (kaum ahli dari dunia persilatan)
yang In Ceng undang mungkin juga datang bersama
ke sini pula. Karena khawatir Lu Si-nio dan Teng Hiau-lan mengalami
hal-hal di luar dugaan, maka ia pun tidak jadi mengejar dan
membiarkan Thian-yap Sanjin serta Han Tiong-san kabur dengan
leluasa. Bercerita tentang Lu Si-nio, sesudah mereka keluar dari
hutan itu, mereka menempuh dua tiga li, betul juga dilihatnya
rumah ge-dung berderet-deret dan pagar tembok mengitar
tinggi. Lu Si-nio yang bermata tajam, dari kejauhan dapat melihat
ada beberapa bayangan hitam melompat keluar dari pagar
tembok itu. "Ciong-tayhiap tentu tinggal dalam taman itu!" katanya,
lalu bersama Pek Thay-koan segera melompat masuk ke
dalam sana. Teng Hiau-lan pun tidak mau ketinggalan, dengan
kepandaian "Hoan-ciang-ih-poh" (tukar tangan dan geser
langkah), segera ia pun melompat naik ke atas pagar tembok
setinggi tiga tombak itu.
Setelah mereka bertiga berada di dalam taman, dilihatnya
batu berserakan dan daun kering bertaburan, terang di tempat
ini tadi te-lah terjadi pertarungari sengit. Mereka mengikuti
bekas dan tanda-tanda pertarungan itu terus mencari kamar
Ciong Ban-tong, pintu kamar sudah didobrak pecah oleh Tayliksin-mo. Waktu Teng Hiau-lan memandang ke dalam, segera
dilihatnya Ciong Ban-tong menggeletak di lantai, keruan saja
ia terkejut, lekas mendekatinya.
"Ciong-tayhiap!" serunya memanggil dengan berjongkok ke
dekat pendekar yang malang itu.
Namun ternyata tiada sahutan, ketika dipegang, ternyata
tubuh Ciong Ban-tong sudah kaku dingin, tidak tahan lagi
perasaan Teng Hiau-lan hingga ia menangis tersedu-sedu.
Selang tak lama Ie Lan-cu pun sudah menyusul datang,
sudah tentu ia pun terkejut atas kejadian yang menyedihkan
itu. "Semua karena perbuatan Lian Khing-hiau, si penjahat cilik
ini!" saking gemasnya Teng Hiau-lan mencaci maki.
"Kenapa?" tanya Ie Lan-cu. "Apa bocah itu berani
membunuh gurunya sendiri?"
"Serupa saja dengan membunuh guru!" sahut Hiau-lan.
Sesudah itu ia pun menceritakan apa yang didengar dan
dilihatnya dalam hutan tadi.
Maka Ie Lan-cu menghela napas. "Mencari murid sungguh
tidak mudah," begitu ia berpikir. "Hui-bing Siansu, telah salah
men didik Coh Ciau-lam dan Tok-pi-sin-ni salah menerima
murid Liau-in Hwesio, semuanya telah menimbulkan banyak
kesukaran dan ke-onaran, kini Lian Khing-hiau yang masih
berusia begitu muda, na-raun sudah begitu lihai, apa yang
bakal ia lakukan kelak, mungkin akan jauh lebih celaka
daripada Coh Ciau-lam dan Liau-in!"
Dalam pada itu Teng Hiau-lan telah mencari kian kemari di
lu-ar dan di dalam rumah, namun Pang Lin tak tertampak.
"Aku punya Titli juga telah digondol lari penjahat!" katanya
dengan sedih. "Kau punya Titli?" tanya Ie Lan-cu dengan heran.
Maka berceritalah Teng Hiau-lan kisahnya yang telah lalu.
Tiba-tiba mata Ie Lan-cu bersinar terang dan berulangulang
menyatakan aneh setelah mendengar penuturan HiauTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lan. "Kau bo-leh ikut aku ke Thian-san, di sana akan aku
kembalikan seorang Titli padamu!" Teng Hiau-lan menjadi bingung atas kata-kata itu.
Dalam pada itu, tiba-tiba terdengar di luar pagar tembok itu
ri-uh ramai dengan suara orang, bahkan ada pula suara orang
menggali tembok dengan alat tajam. Karena waktu sudah
mendesak, le Lan-cu lantas memasukkan kitab ilmu silat dan
ilmu pertabiban tinggal-an Ciong Ban-tong ke dalam bajunya.
"Barang-barang ini entah kapan baru dapat kuserahkan
kepada ahli waris Bu-kek-kiam!" ujarnya dengan menghela
napas. Sementara itu di luar pagar sana suara orang sudah makin
riuh, kiranya pelayan tua Lian Khing-hiau, Ting Hok, orangnya
rada licin juga, waktu Ciong Ban-tong sedang menempur Sinmosiang-lo dengan sengit, diam-diam ia merangkak ke
pinggir tembok pagar itu, dari lubang kecil yang memang
disediakan itu, ia member tanda bahaya keluar, ketika para
"keh-ting" atau para pekerja dari keluarga Lian mengerubung
datang, tiada seorang pun yang sanggup melom-pat lewat
pagar tembok yang tinggi itu, terpaksa menggunakan alat
sebangsa linggis dan Iain-lain buat membobolnya.
"Jenazah Ciong Ban-tong tentu akan diurus orang dari
keluarga Lian, kita tidak usah mengurusnya!" ujar Ie Lan-cu
dengan sedih setelah segala sesuatunya ia bereskan.
Begirulah, maka bersama Lu Si-nio, Pek Thay-koan dan
Teng Hiau-lan lantas melompat lewat ke atas tembok pagar
sambil berseru, "Dengarkan Lian Toan-ling! Ciong-suhu
dengan susah payah telah berusaha mendidik putramu, tapi
akhirnya nyawanya lenyap di tangan anakmu, hendaklah kau
kuburkan dia secara baik-baik!"
Karena seruan itu, orang-orang dari keluarga Lian menjadi
pa-nik hingga mereka berteriak ramai, namun Ie Lan-cu
berempat sudah melayang turnn dari jurusan lain, tanpa
menoleh lagi mening-galkan tempat itu. Pada waktu subuh
hampir tiba, mereka berempat sudah meninggalkan tapal
batas Tan-liu. "Kali ini aku menginjak Tionggoan kembali, sungguh tidak
terduga banyak kawan-kawan lama sudah mendahului
mangkat," kata Ie Lan-cu dengan terharu. "Si-nio, aku harus
naik ke Bin-san untuk berziarah ke makam gurumu, barulah
hatiku bisa tenteram!"
Dengan terharu Lu-Si-nio menghaturkan terima kasih atas
niat orang tua itu. Jarak antara Bin-san dan Tan-liu hanya delapan ratus li
lebih, dengan kecepatan berjalan mereka berempat, selang
tiga hari kemu-dian sudah tiba di atas gunung itu.
Nampak pegunungan yang masih menghijau dan
pemandang-an alamnya yang tetap sama, tapi keadaan
manusianya sudah banyak yang berubah, mau tak mau Hiaulan
merasa sedih sekali, ter-lebih kalau teringat pada budi


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertolongan jiwa yang pernah diberi-kan oleh Tok-pi-sin-ni
dahulu. Besok paginya pada hari kedua setelah tiba di Bin-san,
mereka berempat lantas berziarah ke makam Tok-pi-sin-ni, di
atas batu ni-san makam nikoh tua bertangan satu itu mereka
lihat terukir bebe-rapa huruf cukup besar yang berbunyi:
"Kuburan putri dinasti Bing, pendekar padri dunia persilatan".
"Ehm, kata-kata di atas batu nisan ini sungguh bagus
sekali!" ujar Ie Lan-cu sambil mengangguk-angguk
Teringat olehnya kisah Tok-pi-sin-ni yang tidak banyak
berbe-da dengan nasib dirinya, dan teringat pula selanjutnya
di dunia persilatan sudah tiada orang yang memiliki ilmu
pedang yang sembabat dirinya, maka Ie Lan-cu lebih
merasakan adanya kekosongan.
Sedang ia termangu-mangu, tiba-tiba terlihat ada dua ekor
bu-rung rajawali, yang seekor hitam dan yang lain putih,
dengan rae-mentang sayapnya yang besar lebar sedang
terbang berputar di atas makam itu.
Waktu Lu Si-nio melambaikan tangannya, kedua burung itu
segera melayang turun dan mengeluarkan suara memilukan.
"Burung saja begitu, apalagi manusia!" kata Ie Lan-cu
meng-hela napas setelah melihat sikap kedua burung raksasa
itu. Kemudian dengan masih diliputi perasaan terharu,
kembalilah mereka ke dalam kuil.
"Si-nio," kata Ie Lan-cu mendadak setelah rada lama ia
meng-amati gadis ini, "aku pernah janji padamu buat
mengajarkan kau se-dikit rahasia melatih Lwekang, kini
bolehlah kau ikut aku ke kamar dalam sana!"
Kiranya setelah le Lan-cu melihat paras Lu Si-nio yang
cantik, ia ingin gadis ini dapat mempertahankan parasnya itu
untuk bebe-rapa tahun lebih lama, maka lantas ia membawa
gadis ini ke dalam kamar, lalu mengajarkan rahasia perawatan
muka dan badan, kepan-daian ini adalah Lwekang yang hanya
dapat diyakinkan oleh kaum wanita saja.
Kepandaian ini bukan le Lan-cu dapatkan dari Hui-bing
Sian-su almarhum, melainkan diperoleh dari mendiang Pekhoat
Mo-li. Dahulu, karena patah hati dalam persoalan cinta, pada
usianya yang masih muda, seluruh rambut Pek-hoat Mo-li
menjadi ubanan. Dia paling sayang pada paras muka sendiri,
oleh karena itu dengan segala usaha ia mencoba mencari
jalan untuk bertahan awet muda, hal ini sampai pada waktu ia
sudah menginjak usia lanjut baru dapat menciptakan
semacam resep dengan cara melatih Lwekang, cara
perawatan ini walaupun tidak bisa mempertahankan muda
selamanya dan tidak pernah tua, tapi berfaedah untuk
pemeliharaan paras muka, kalau dilatih dengan baik, dalam
usia empat lima puluhan tahun tampak masih serupa gadis
umur dua puluhan. Waktu kepandaian ini tercipta, Pek-hoat Mo-li kala itu
sudah berusia dekat seabad, sudah tentu ia tidak dapat
memakai diri sendiri untuk percobaan, oleh sebab itu ia lantas
menurunkan rahasia kepandaian itu kepada Ie Lan-cu.
Semula Ie Lan-cu pun melatihnya dengan baik, tapi
belakang-an, setelah suaminya (Thio Hua-ciau) meninggal,
seorang diri ting-gal di pegunungan sunyi, hasratnya buat
merawat dan bertahan awet muda sudah hilang, maka ia tidak
melatihnya lebih jauh. Kini setelah ia melihat kecantikan paras Lu Si-nio jarang
ada bandingannya, tanpa ragu-ragu lagi lantas menurunkan
rahasia merawat diii dan membikin awet muda itu kepadanya.
eberapa hari kemudian, teori yang diajarkan Ie Lan-cu su-dah
Lu Si-nio pelajari dengan baik dan matang, maka berangkatlah
Ie Lan-cu membawa Teng Hiau-lan ke Thian-san
buat meyakinkan ilmu pedang, dengan rasa berat Lu Si-nio
mengantar mereka turun gunung.
"Lewat sepuluh tahun lagi, kau punya kiam-hoat sudah
tiada tandingan di kolong langit ini," ujar Ie Lan-cu kepada Lu
Si-nio se-belum mereka berpisah. "Aku punya seorang murid,
kala itu mung-kin ia akan merantau di Kangouw, maka harap
kau suka mengawasi dia dan membelanya."
"Ie-cianpwe punya kiam-hoat sudah tiada taranya, Lingtoh
(murid tuan) tentu pula seorang ahli, mengapa harus sepuluh
tahun lagi baru tampil di dunia Kangouw?" tanya Lu Si-nio
agak heran. Ie Lan-cu tertawa. "Sebab dia sekarang baru merupakan
anak dara yang berumur tujuh!" katanya kemudian.
Di sebelah sana, hati Teng Hiau-lan tergerak oleh
keterangan le Lan-cu tadi, ia jadi teringat apa yang orang tua
ini katakan tempo hari. "Anak dara itu sudah aku kenal bukan?" tak tertahan ia ikut
bertanya. Ie Lan-cu tertawa pula. "Nanti saja kau boleh mengenalnya
di Thian-san!" sahutnya.
Begitulah, sesudah Ie Lan-cu berangkat bersama Teng
Hiau-lan, Lu Si-nio dan Pek Thay-koan masih tinggal dua hari
lagi di Bin-san, mereka merawat baik-baik makam gurunya
baru kemudian berpisah juga. Mereka membagi tugas untuk
mengumpulkan para saudara seperguruan buat menghukum
Liau-in. Pada saat sebelum berpisah, agaknya Pek Thay-koan
seperti sedang berpikirkan sesuatu. "Pat-moay (adik
kedelapan), bagaima-na pandanganmu terhadap Teng Hiaulan?"
begitulah mendadak ia bertanya pada Sumoaynya.
"Ehm, cukup baik!" sahut Si-nio tanpa ragu-ragu.
"Ya, lewat beberapa tahun lagi setelah ia mendapat ajaran
asli Thian-san-kiam-hoat, tentu akan bertambah baik," kata
Pek Thay-koan pula. "Ya, betul, untuk apakah Suheng mengatakan soal ini?"
tanya Si-nio dengan heran.
Thay-koan tertawa. "Pat-moay," jawabnya kemudian,
"harap maafkan aku, telah lama aku berkecimpung dalam soal
percintaan, dalam hal ini aku telah cukup banyak pengalaman,
menurut pengli-hatanku, Teng Hiau-lan terhadap kau radarada
"Apa?" tanya Si-nio terheran-heran dan tak sabar.
"Terhadap kau rada menaruh maksud tertentu!" sambung
Pek Thay-koan. Mendengar perkataan terakhir ini, tiba-tiba Lu Si-nio
bergelak tertawa hingga seluruh tubuhnya terguncang.
"Go-ko (kakak kelima)," sahutnya kemudian, "nyata kau
terla-lu banyak berpikirkan. hal yang tidak-tidak, terhadap
Hiau-lan aku anggap sebagai. adik sendiri, mana bisa
menghubungkan dengan soal
tadi." Sudah tentu Pek Thay-koan tidak sependapat dengan Lu Sinio,
katanya dalam hati, "Tetapi belum tentu orang suka
anggap kau sebagai Cicinya (kakak perempuan)."
Lu Si-nio bergelak tertawa saking geli.
Pek Thay-koan memandangnya, sesudah itu ia berkata
pula, "Kalau begitu, apakah Pat-moay sudah mempunyai
kekasih pilihan sendiri" Entah orang gagah perkasa dari dunia
persilatan mana?" Si-nio masih tetap tertawa, ia mengangkat kepala dan
tertawa-nya makin nyaring.
"Apa mesti orang dari kalangan Bu-lim?" sahutnya
kemudian. "Go-ko, sudahlah tak usah persoalkan ini lagi. Mari
kita ajak sau-dara-saudara seperguruan kita untuk berkumpul
ke Bin-san sini." Habis itu ia mengangkat tangan tanda perpisahan, terus
menu-ju ke jurusan sendiri.
Ketika ia tiba kembali di rumahnya, waktu itu musim dingin
sudah berganti dengan musim semi, bunga Tho sedang mulai
mekar. Dengan perasaan yang riang gembira Lu Si-nio tiba di
depan rumahnya, akan tetapi segera ia terkejut oleh keadaan
yang luar bi-asa, pintu gerbang rumahnya ternyata sudah
disegel oleh pemerin-tah, di sekitar rumahnya pun sunyi
senyap tiada seorang pun.
Selagi ia hendak melolos pedang untuk menerjang masuk
ke rumah melihat apa yang telah terjadi, tiba-tiba didengarnya
ada sua-ra mendengung tiga kali, tiga anak panah bersuara,
yang satu ber-suara panjang dan yang dua pendek,
menggema dari atas gunung di belakang rumahnya.
Itu adalah tanda rahasia untuk saling berhubungan di
antara Kang-lam-chit-hiap.
Maka tanpa ayal lagi Lu Si-nio Iantas mengeluarkan
Ginkang-nya, "Liok-te-hui-hing" (berjalan laksana terbang di
daratan), cepat ia menuju ke atas gunung, sesampainya di
sana, betul saja ia lihat Jisuko (kakak perguruan kedua) Ciu
Sun sudah berdiri di tempat tinggi dengan wajah penuh rasa
khawatir dan terkejut. "Jiko kapan kau datang kemari" Bagaimana dengan
ayahku?" tanya Si-nio tak sabar begitu berhadapan dengan
Suhengnya ini. "Hianmoay (adik yang bijaksana) lekas ikut aku," sahut Ciu
Sun. Sesudah itu ia membawa Lu Si-nio menuju ke tengah
gunung dan masuk ke dalam sebuah bio atau biara, bio ini
bernama "Tiau-goan-si", Cu-ji atau ketua pengurus bio ini,.itliam
Hwesio, asalnya adalah sahabat karib mendiang Lu Liuliang,
engkong Lu Si-nio. Begitu masuk ke dalam kamar suci biara itu, lagi-lagi Lu Sinio
menjadi terkejut. Ia lihat ayahnya sedang rebah di atas sebuah dipan dengan
muka pucat dan napas tersengal-sengal, Sute It-liam Hwesio,
It-biau Siansu sedang menjaga di sampingnya dengan air
mata berlinang. Lu Po-tiong, ayah Lu Si-nio, begitu mendengar ada suara
tin-dakan orang, segera membuka mata. "Oh, Eng-ji telah
pulangkah?" tanyanya dengan suara lemah.
Lekas Si-nio berlutut di tepi dipan ayahnya dan
merangkulnya. "Kau punya kakak Goan sudah tertangkap, karena
bermaksud menolongku, lt-liam Taysu pun ikut menjadi
korban, maka kau haras membalaskan sakit had ini!"
terdengar ayahnya berkata dengan suara terputus-putus.
Begitu lemah suaranya hingga makin lama makin perlahan,
begitu selesai ia mengucapkan perkataannya, kedua kakinya
berke-lojotan sekali dan mangkatlah dia.
Melihat ayahnya meninggal secara begitu mengenaskan,
tak tertahan lagi Lu Si-nio menjerit dan menangis.
"Pat-moay, harap kau jangan terlalu berduka, hendaklah
berla-ku bijaksana untuk menghadapi keadaan yang cukup
genting ini!" Ciu Sun coba menghibur Sumoaynya ini.
Betul juga Lu Si-nio bisa berpikiran jernih, ia berhenti
menangis walaupun dengan menahan air mata.
"Belum ada dua hari Sim-siansing (tuan Sim) ditangkap,
kere-ta tawanannya mungkin beberapa hari lagi baru bisa
sampai di kota propinsi," terdengar Ciu Sun memberitahu lagi.
"Liok-te (adik ke-enam) sedang menanti di depan Sana, Patmoay,
lekas kau memburu ke sana, mungkin masih bisa
menyusulnya. Membalas sakit hati dan menolong yang masih
hidup lebih berguna daripada berkabung di sini, urusan
jenazah paman ada aku dan padri-padri dalam biara ini yang
menyelesaikannya, lekaslah kau mengejar buat menolong Simsiansing
saja!" Kakek Lu Si -nio, Lu Liu-liang, adalah seorang pujangga
besar pada akhir ahala Bing, setelah kerajaan Bing dicaplok
bangsa Boan-jing (Manehu), jiwanya yang cinta tanah air
membuat dia menulis kitab-kitab yang banyak mengkritik
penjajah itu tanpa kenal takut.
Putranya, Lu Po-tiong (ayah Lu Si-nio) dan Lu Ih-tiong
serta muridnya Giam Hong-kui serta kawan-kawan sesudah
pujangga itu wafat, mereka masih tetap menjunjung tinggi
teori ajarannya dan terns
mengembangkan cita-citanya yang
cinta tanah air dan bangsa. Sedang Sim Cay-khoan adalah
murid Lu Po-tiong, dengan Lu Si-nio, dua sejoli ini
berhubungan rapat sekali.
Peristiwa yang terjadi kali ini disebabkan buku catatan
harian Giam Hong-kui. Apa yang dicatat dalam buku harian Giam Hong-kui itu
penuh berisi kritikan dan cacian kepada pemerintah Boan,
segala apa yang terjadi asalkan meragikan rakyat pada waktu
itu, semuanya ditulis secara jelas di buku hariannya tanpa
tedeng aling-aling. Buku harian ini akhirnya kena dicuri oleh salah seorang
muridnya dan diadukan, ketika pembesar negeri datang
menggrebek justru Giam Hong-kui dan Lu [h-tiong sedang
pergi, hingga Lu Po-tiong dan Sim Cay-khoan saja yang
tertangkap. Tatkala itu justru Ciu Sun datang ke rumah keluarga Lu itu
untuk menyambangi Sumoaynya, Lu Si-nio, ia tinggal di situ
karena Lu Si-nio belum kembali, ketika terjadi peristiwa itu, ia
berhasil lo-los, segera bersama lt-liam Siansu, ketua Tiaugoansi terus mengejar dan mencegat di tengah jalan,
sesudah terjadi pertarungan sengit, lt-liam Siansu terluka
parah hingga tujuh tempat, Ciu Sun sendiri kena sekali
bacokan, namun dengan mati-matian ia masih sempat
merebut kembali Lu Po-tiong dan dibawa ke biara ini.
Sementara itu, karena lukanya yang berat, lt-liam Siansu
tewas. Begitulah, demi mendengar penuturan itu, saking
gemasnya hingga Lu Si-nio mengertak gigi, tetapi tidak lupa ia
menjura me-nyatakan terima kasih kepada Ciu Sun. "Kalau
sakit hati ini tidak terbalas, aku bersumpah takkan menjadi
manusia," begitu serunya dengan gemas dan pasti. "Suheng,
hendaklah kau rawat baik-baik lukamu, aku harus memenggal
kepala kaum 'tat-cu' (tartar, sebutan kepada bangsa asing


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjajah) untuk dibawa kembali buat sembah-yang di muka
jenazah ayah." Ia bertanya jelas dimana tempat yang Ciu Sun janjikan
dengan Loh Bin-ciam, kemudian lantas berangkat.
Kali ini, pasukan istimewa yang dikirim buat menangkap tawanan
kerajaan dipimpin oleh Thong-ling atau kapten Cin
Tiong-wat. Orang ini menggunakan sepasang Boan-koan-pit,
senjata ber-bentuk potlot, ia terhitung seorang ahli Tiam-hiat
atau menutuk. Ke-cuali itu, oleh Si-hongcu In Ceng juga
diperbantukan dua jagoan-nya, yang seorang bekas begal
terkenal di barat-laut, bernama Kam Thian-liong, dan yang lain
ialah Tang Ki-joan, seorang angkatan tua golongan Hing-i-pay,
keduanya tergolong tokoh kenamaan di ka-langan Kangouw,
setelah mereka mengabdi pada In Ceng, bulan yang lalu
bahkan ikut putra pangeran itu mengunjungi Siau-lim-si, yaitu
ketika In Ceng dihadapkan dalam perkara Jay-hoa itu.
Dengan tiga jagoan kelas satu kalangan Kangouw ini, tak
ter-duga di tengah jalan Lu Po-tiong yang menjadi tawanan
utama mereka masih bisa dirampas orang juga, sebab itu
sepanjang jalan hati mereka menjadi tak tenteram, mereka
mengharap bisa lekas sampai di kota propinsi, lalu meminta
Ciatkang Sunbu (gubernur Ciatkang), Li Wi, menambah jago
pengawal untuk mengiring tawanan itu ke kotaraja.
Pada hari itu, pasukan yang menggiring Sim Cay-khoan
sudah melewati Hau-kam dan memasuki daerah pegunungan
Thian-bok-san, tiba-tiba mereka mendengar di belakang ada
suara keleningan kuda berbunyi, menyusul terlihat seorang
gadis dengan menunggang kuda putih secepat terbang
sedang mendatangi. Seketika itu juga Kam Thian-liong dan Tang Ki-joan
berubah mukanya demi nampak siapa adanya gadis ini,
mereka mendesak agar pasukannya berjalan terlebih cepat.
"Hanya seorang wanita sendirian, mengapa kalian takut
pada-nya?" ujar Cin Tiong-wat yang belum kenal kelihaian Lu
Si-nio. "Baiklah, kalau begitu silakan Cin-thongling menjaga di
belakang dan biarlah kami yang membuka jalan di depan!"
sahut Kam Thian-liong dengan tersenyum.
"Yang datang ini adalah cucu perempuan Lu Liu-liang yang
bernama Lu Si-nio, ilmu pedangnya sangat lihai, hendaklah
Cin-thongling berhati-hati!" Tang Ki-joan coba menerangkan.
"Bagus, kita telah kelolosan tawanan, jika bisa menangkap
pu-tri penjahat she Lu itupun terhitung berjasa juga!" kata Cin
Tiong-wat yang tidak mau mendengar nasihat orang.
Sebaliknya Kam Thian-liong dan Tang Ki-joan yang sudah
mengetahui bagaimana lihainya Lu Si-nio, mereka menaksir
bila satu lawan satu, sekali-kali mereka bukan tandingan anak
dara itu, sedang kalau dua lawan satu, nama baik mereka di
kalangan Kang-ouw tentu akan jatuh, pula di hadapan Cin
Tiong-wat hal inipun me-malukan. Oleh sebab itulah mereka
sengaja membiarkan Cin Tiong-wat berjaga di belakang, agar
pemimpin pasukan ini merasakan kelihaian
Lu Si-nio, habis itu baru mereka akan maju menolongnya.
Dengan akal bulus yang licin ini, sudah tentu Cin Tiong-wat
tidak mengetahui tujuan mereka, sebaliknya dalam hati kapten
ini malah menertawakan mereka berdua yang bernyali sekecil
tikus. "Masakah menghadapi seorang gadis saja mereka
ketakutan, sungguh percuma nama besar mereka yang
terkenal di Kangouw," begitu diam-diam ia menertawakan
kedua kawannya. Maka segera ia memutar balik kudanya
terus memapak ke belakang.
Sementara itu Lu Si-nio yang melarikan kuda
tunggangannya secepat terbang, dalam sekejap saja sudah
datang mendekat. "Penjahat wanita yang bernyali besar!" bentak Cin Tiongwat
mendadak sambil mengayun sepasang potlotnya, ia
kempit kencang kudanya terus menerjang maju, dengan tipu
serangan 'Hong-lui-kiam-kik' (angin badai dan halilintar saling
gempur), senjata potlotnya
segera menutuk Tn-tong-hiat' Lu
Si-nio di bagian muka. Tak terduga, sekonyong-konyong pandangan matanya
menjadi kabur, ternyata Lu Si-nio telah melayang naik dari
atas kuda, ber-bareng pedangnya yang cukup panjang diputar
hingga bersinar satu bundaran terus dengan cepat memotong
ke bawah. Dengan gerakan 'Ting-li-cong-sin' (sembunyikan diri ke
bawah pelana), lekas Cin Tiong-wat menjatuhkan diri ke
tanah untuk menghindarkan serangan yang berbahaya tadi,
begitu ia merosot jatuh ke bawah, saat itu juga ia dengar
kuda tunggangannya mering-kik ngeri dan roboh terguling,
ternyata kudanya sudah terpotong menjadi dua oleh pedang
Lu Si-nio. Ketika kaki Lu Si-nio menutul tanah, sinar pedangnya
berkele-bat lagi, kembali beberapa prajurit kena dilukai pula.
Cin Tiong-wat menjadi murka, ia gerakkan tubuh dengan
gay a 'Le-hi-pak-ting' (ikan lele meletik), ia membalik dan
meloncat maju lagi dengan cepat, Boan-koan-pit segera ia
tangkiskan ke atas. Maka terdengarlah suara beradunya benda
keras, pedang dan potlot saling bentur hingga mengeluarkan
suara gemerincing yang nyaring pan jang dan mencipratkan
lelatu api. Cin Tiong-wat merasakan kedua tangannya panas pegal
kare-na beradunya kedua senjata, sedang Lu Si-nio sendiri
pun terkejut "Cakar alap-alap ini tidak lemah juga!" diam-diam
ia berkata dalam hati. Dalam pada itu pedangnya tidak menjadi kendor, ia masih
te-rus merangsek maju, sekali serang tiga macam gerakan, ia
memba-bat ke pinggang terus memotong ke iga dan akhirnya
menusuk ke dada lawan dengan kecepatan kilat.
Dengan tergopoh-gopoh Cin Tiong-wat terpaksa mundur ke
belakang, senjata potlot di tangan kirinya melintang untuk
menang-kis datangnya pedang lawan, berbareng itu senjata di
tangan lain dengan tipu 'Kim-liong-tam-jiau' (naga emas
mengulur cakar) mengarah ke tulang iga Lu Si-nio untuk
menutuk bagian 'Thay-it-hiat'.
Lu Si-nio tertawa menjengek, dengan gaya 'Chiu-cui-hingciu'
(perahu melintang di sungai Chiu), sekali putar terus
disurung, kembali sepasang senjata lawan tergetar pergi,
menyusul itu secara bertubi-tubi ia menusuk ke tempat
berbahaya hingga terpaksa Cin Tiong-wat main mundur dan
akhirnya menjadi kalang-kabut karena serangan Lu Si-nio
yang saling susul itu. Melihat Cin Tiong-wat terdesak kerepotan, Tang Ki-joan
dan Kam Thian-liong saling pandang dan tertawa. "Laute
(saudara), kini sudah waktunya membantu dia!" ujar Tang Kijoan.
Dengan sekali menyahut, segera Kam Thian-liong melompat
turun dari kudanya, begitu pedangnya bergerak,
segera ia menusuk ke hulu hati Lu Si-nio.
Mengenali Kam Thian-liong adalah seorang yang mengiringi
In Ceng mengeluruk ke Siau-lim-si bulan lalu, Lu Si-nio
menjadi naik darah. "Lauchat (bangsat tua bangka), Siau-lim-si mengampuni
jiwa-mu, kini kau berani melakukan kejahatan di sini!"
dampratnya. Habis itu pedangnya dengan gerakan 'Pek-ho-liang-sit'
(bangau putih pentang sayap), lebih dulu ia tangkis pergi
senjata Kam Thian-liong, sesudah itu pedangnya membalik,
dengan tipu 'Sin-liong-tiau-bwe' (ular naga membanting ekor),
kembali ia paksa Cin Tiong-wat mundur ke belakang.
"Kau gunakan ilmu Tiam-hiat, biar aku yang serang dia!"
seru Kam Thian-liong memberi tanda kepada Cin Tiong-wat.
Habis itu, pedangnya bergerak, kembali ia menubruk maju
lagi. Beruntun Lu Si-nio menyerang tiga kali, tapi semuanya
kena ditangkis olehnya. .
Ilmu silat Kam Thian-liong ternyata jauh di atas Cin Tiongwat,
tipu serangannya pun sangat licin. Lu Si-nio menjadi
gusar, ia percepat pedangnya hingga sinar senjata bergulunggulung
laksana hujan, ia serang Kam Thian-liong sedemikian
rupa hingga ia hanya mampu menangkis tanpa sanggup balas
menyerang, untung dibantu Cin Tiong-wat yang menantikan
saat yang tepat buat membokong dari samping, kedua senjata
pitnya selalu mencari lubang di antara menarinya sinar pedang
buat menutuk, karena itu Lu Si-nio tidak bi-sa merangsek
dengan seluruh kekuatannya, kalau tidak, sudah sejak tadi
Kam Thian-liong dikalahkan.
" Dengan dua lawan satu, Kam Thian-liong serta Cin Tiongwat
ternyata masih tetap berada di bawah angin, masih di
pihak terse-rang. Begitu hebat permainan pedang Lu Si-nio,
begitu cepat gerak-annya laksana sambaran kilat bila
menyerang dan begitu kuat laksana
pagar baja bila bertahan,
seka-lipun di situ ada prajurit pasukan istimewa yang beratus
banyaknya, juga tiada yang berani coba-coba ikut maju.
Rupanya Tang Ki-joan yang menyaksikan pertarungan
sengit di pinggir melihat gelagat yang tak menguntungkan
pihaknya, begitu mengayun tangan, dua buah 'Tau-kut-ting'
(paku penembus tulang) segera meluncur dari tangannya.
Sambitan pakunya itu ternyata jitu sekali, dalam keadaan
tiga orang sedang saling gebrak dengan hebatnya, dua buah
paku berbisa itu yang satu mengincar batok kepala Lu Si-nio di
tempat 'Hun-bun-hiat' dan yang lain mengarah ujung alis
tempat 'Cing-pek-hiat'. Sudah tentu Lu Si-nio tidak gampang kecundang, dengan
pedangnya ia menyampuk jatuh sebuah paku berbisa itu
terus kepala-nya memanggut menghindarkan paku yang
kedua. Berkat Ginkangnya yang mahir sekali Lu Si-nio dapat
berkelit dengan gesit, tetapi dibarengi keroyokan Kam Thianliong
dan Cin Tiong-wat berdua, lama kelamaan Lu Si-nio
merasakan rada berat juga, karena itu, lambat laun dari pihak
menyerang berbalik ia berada di pihak tercecar.
Girang sekali Kam Thian-liong melihat lawannya kewalahan,
pedangnya dari menjaga segera mulai menyerang, tiap tipu
serangannya cukup hebat dan ganas. Sedang sepasang 'Boankoan
pit Cin Tiong-wat, kalau yang satu ditarik, yang lain
lantas menjulur untuk menutuk lagi, ia pun menyerang
dengan lihai dan selalu mengincar ke 36 Hiat-to di tubuh
orang. ---ooo0dw0ooo--- Bersambung ke jilid II Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia/Kang Ouw Sam Lie Hiap
Karya : Liang Ie Shen Saduran : Gan KL DJVU : TAH dimhader Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/
Jilid 2 Karena harus menghindarkan timpukan paku Tang Ki-joan
ta-di, mau tak mau Lu Si-nio harus membagi perhatian, karena
itu berulang-ulang harus menghadapi rangsekan bahaya
musuh, ia men-jadi gemas, dengan mengertak gigi, mendadak
pedangnya berkele-bat, senjata Kam Thian-liong dan Cin
Tiong-wat tertangkis pergi semua, sesudah itu ia terus
mencelat pergi, melayang lewat atas ke-pala Kam Thian-liong.
"Biar aku bunuh dulu kau tua bangka yang tak tahu malu
ini!" gertaknya tiba-tiba dengan bengis.
Nyata dengan melayang lewat di atas kepala Kam Thianliong
itu. Lu Si-nio bertujuan menghampiri Tang Ki-joan.
"Bagus dengan kedatanganmu!" sahut Tang Ki-joan.
Menyusul tangan diayun lagi. ia timpukkan pula tiga buah
Tau-kut-ting', paku penembus tulang yang beracun, dengan
sambitan istimewa ia serang dari tiga jurusan, yakni atas.
tengah dan bawah. Dengan cara timpukannya yang luar biasa dan lihai ini,
seumpama kepandaian musuh lebih tinggi lagi juga susah
untuk berkelit dalam sekejap itu.
Tetapi Lu Si-nio di luar ukuran itu. ia tidak menjadi gugup
karena serangan berbahaya, dengan gaya gerakan 'Pek-hociongthian' (bangau putih menjulang ke langit), mendadak ia
mencelat setinggi lebih dua tombak, maka lewatlah ketiga
buah paku beracun itu di bawah kakinya, terus meluncur pergi
sejauh lima enam tombak. Gerak Lu Si-nio tidak cuma begitu saja, di tengah udara ia
barengi dengan membentak, mendadak orang berikut
senjatanya menyambar turun.
Namun segera ia dipapak oleh para prajurit terus dikerubut,
Si-nio tak gentar, pedangnya menyabet ke kanan dan
membabat ke kiri, kembali ia lukai pula belasan orang. Ia
berniat menghampiri kereta tawanan yang dijaga Tang Ki-joan
tadi, tapi berhubungan tawanan kerajaan, maka secara matimatian
para prajurit itu berusaha menjaga sebisanya, karena
jumlahnya lebih banyak, seketika Lu Si-nio tak mampu
menerjang lewat ke sana. Sementara itu Kam Thian-liong dan Cin Tiong-wat dari
belakang sudah memburu maju lagi.
Lekas Lu Si-nio ayun tangan kirinya berulang-ulang, ia
lepaskan tiga anak panah bersuara, dengan suara yang
mengaung tiga kali, yang satu bersuara panjang dan yang dua
lainnya pendek, maka selang tak lama kemudian, dari rimba di
tepi jalan itu sekonyong-konyong ada suara suitan yang ramai
terus menerjang keluar beberapa puluh lelaki tegap, panah
mereka seperti hujan segera diarahkan ke pasukan
pemerintah ini. Lekas para prajurit itu mendekam ke tanah menghindarkan
serangan sambil balas memanah juga.
Di antara gerombolan orang yang muncul mendadak dari
dalam rimba tadi terdapat seorang pemuda berbaju putih,
mendadak ia menerjang ke depan, di antara hujan panah itu


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia putar goloknya terus maju untuk memimpin pasukannya.
Pemuda berbaju putih ini adalah murid keenam dari Tok-pisinni yang bernama Loh Bin-ciam.
Sebenarnya Loh Bin-ciam tergolong putra kaum hartawan
di kota Ih-ciam di propinsi Ciatkang, kali ini ia
mempertaruhkan harta benda dan keluarganya, dengan
memimpin para pekerja rumahnya ia datang membantu Lu Sinio
merampas kereta tawanan. Melihat yang mendadak menyerbu datang itu adalah Loh
Bin-ciam, Tang Ki-joan menjadi gusar.
"Loh-kongcu, kau pun berani memberontak?" bentaknya.
Loh Bin-ciam menjadi gemas karena hinaan itu, goloknya
diayun dengan cepat, ia membabat dan membacok dua kali.
Tapi dengan gerakan 'Pa-ong-hian-ka' (Coh Pa-ong
menanggalkan jubah), Tang Ki-joan menggerakkan kedua
tangannya, yang satu menarik dan yang lain menyurung,
gerakannya sangat perlahan, tapi tenaganya ternyata sangat
besar, bukan saja serangan Loh Bin-ciam mengenai tempat
kosong, bahkan ia harus mundur karena terdesak oleh tenaga
pukulan lawan. Berhasil dengan pukulannya itu, Tang Ki-joan lantas
merang-sek, mendadak ia angkat sebelah kakinya
menendang, Loh Bin-ciam yang tidak pernah menduga akan
serangan itu, golok di tangannya kenatertendang terbang ke
angkasa. Tang Ki-joan adalah jago angkatan tua golongan Hing-ipay,
terkenal dengan ilmu pukulan telapak tangannya yang
mengutamakan 'lemas melawan keras', kepandaian ini sudah
dilatihnya hingga puncak kesempurnaan, ketika tendangannya
berhasil membikin terpental senjata lawan, berbareng ia
melangkah maju, ia angkat tangan kirinya, seperti hendak
menutuk tapi seperti juga hendak men-jojoh, tak tahunya
gerakan ini hanya gerakan pura-pura saja, sebaliknya tangan
kanan tiba-tiba menerobos dari bawah tangan kirinya, terus
menyodok. "Roboh!" begitu ia membentak. Serangan ini begitu kuat
dan keras, lagi pula cepat sekali. Namun Loh Bin-ciam cukup
tangkas juga, lekas ia tahan napas dan mendekukkan perut, ia
keluarkan ilmu pukulan bela diri yang Tok-pi-sin-ni ajarkan
padanya, tangannya menarik tangan lawan, tetapi tidak urung
tubuhnya kena tersodok hingga mendoyong ke belakang, ia
sempoyongan, namun tidak sampai jatuh tersungkur.
Di antara Kanglam-chit-kiam atau tujuh pendekar dari
Kang-lam, (mestinya Kanglam-pat-hiap, tapi Liau-in sudah
tidak diakui lagi, maka tinggal chit-hiap), ilmu silat Loh Binciam
terhitung biasa saja dan tidak menonjol, maka Tang Kijoan
agak memandang enteng padanya.
Tak terduga, 'sekurusnya sang gajah, sedikitnya
mempunyai berat badan ribuan kati', begitu pula halnya
dengan Loh Bin-ciam, sekalipun ilmu silatnya biasa saja,
namun dia adalah anak murid guru kosen, sudah tentu tidak
boleh dipandang enteng. Pada waktu Tang Ki-joan mengulangi lagi pukulannya yang
sudah dikenalnya, mendadak Loh Bin-ciam balas memukul
dengan kedua telapak tangannya saling susul, dengan cepat
sekali ia hantam bagian bawah Tang Ki-joan.
Jago tua dari Hing-i-pay itu terkejut, lekas ia rangkap kedua
tangannya terus menangkis ke bawah sambil menyampuk ke
samping, dengan demikian baru bisa ia patahkan pukulan Loh
Bin-ciam. Dalam pertarungan sengit itu Lu Si-nio telah mainkan
pedangnya begitu cepat, ia berhasil menerjang keluar dari
kepungan prajurit terus menuju ke kereta tawanan.
Cin Tiong-wat dan Kam Thian-liong berdua setelah
kehilangan bantuan Tang Ki-joan, sudah tak mampu menahan
Lu Si-nio lagi. Nampak gelagat jelek, Tang Ki-joan tak ada napsu
bertempur lebih lama lagi, segera ia hendak mundur ke
belakang, tapi begitu ia menggeser tubuh, Loh Bin-ciam
segera mendesak dan menghantam lagi.
Tang Ki-joan menjadi gemas, ia menggertak berbareng itu
kedua tangannya lantas menyerang, dengan kedua jari dari
masing-masing tangan, ia menutuk bahu Loh Bin-ciam.
Bagaimanapun memang ilmu silat Loh Bin-ciam masih
belum cukup sempurna, ia tak pernah menduga bahwa
lawannya yang sudah mundur bisa berbalik menyerang,
sedang perubahan pukulannya begitu cepat, keruan segera ia
kena ditutuk roboh. Centing-centing yang ia bawa segera maju memayang,
namun tidak urung mukanya pucat dan bibir putih, air keringat
menetes sebesar kedelai. Dalam pada itu Lu Si-nio sudah menerjang sampai kereta
tawanan, Tang Ki-joan pun sudah menyusul sampai di
keretanya. "Sim-koko!" seru Lu Si-nio berulang-ulang begitu sampai di
kereta itu, ia merobek tenda kereta dengan pedangnya yang
tajam. "Eng-moay, jangan kau menghadapi bahaya!" terdengar
sahutan orang di dalam kereta itu, suaranya begitu rendah
dan lemah. Sekalipun begitu, tiap perkataan dapat didengar Lu Si-nio
dengan jelas, ia kenal suara itu bukan lain adalah orang yang
sedang ia cari, seketika semangatnya menyala, ia terus
melompat naik ke atas kereta.
Pada saat itu juga, mendadak tenda kereta tersingkap,
tanpa ayal lagi dengan senjata melintang di dada Lu Si-nio
melompat masuk ke dalam kereta, namun segera ia menjadi
kememek. "Lu Si-nio, kalau kau tidak lantas pergi, segera kubunuh
dahulu tawanan ini!" tiba-tiba terdengar Tang Ki-joan
mengancam. Di bagian depan kereta itu, ternyata Tang Ki-joan sedang
duduk bersila, sedang kepala Sim Cay-khoan membantai pada
dengkulnya, sebelah tangan Tang Ki-joan mencekik leher
pemuda sastrawan itu, cukup bila Tang Ki-joan menggunakan
sedikit tenaga, dengan segera nyawa pemuda itu bisa
dihabiskan. Nampak keadaan demikian, mau tak mau Lu Si-nio
berkeringat dingin saking khawatirnya, hatinya bingung dan
tak mampu berpikir lagi. Dalam pada itu terlihat Sim Cay-khoan membuka lebar
kedua matanya. "Apabila Suhu sudah selamat, maka diriku
tidak perlu dibuat sayang," lalu katanya dengan suara
perlahan. "Eng-moay, sebaiknya kau pulang saja!"
Jarak di antara mereka hanya beberapa kaki, tapi hanya
boleh dipandang dan tak dapat didekati, pilu rasa hati Lu Sinio,
sebisa mungkin ia menahan air mata, sementara itu
sekonyong-konyong terdengar pula suara riuh ramai dari
pertempuran sengit di bawah sana.
Kiranya setelah Loh Bin-ciam terluka parah, centing yang ia
bawa sudah tentu tak mampu menahan pasukan kerajaan
yang ganas laksana srigala itu, mereka dihajar habis-habisan
hingga kalang-kabut dan mayat bergelimpangan, belasan
centing rada kuat yang melindungi Loh Bin-ciam pun sudah
terkepung di tengah. "Sim-koko, baiklah, hendaklah kau jaga diri baik-baik, aku
bersumpah pasti akan menolong kau!" seru Lu Si-nio dengan
pilu. Habis itu mendadak ia gunakan gaya 'Hui-eng-bok-tho'
(elang terbang menyambar kelinci), ia melompat turun dari
kereta tawanan, berbareng pedangnya berputar, karena
gayanya yang luar biasa, para prajurit sama berlari simpangsiur
menyingkir. Begitu cepat gerak serangannya, dalam sekejap ia telah
melukai pula belasan orang hingga jerit ngeri memekak
telinga. Lu Si-nio masih terus menerjang ke tengah sana untuk
menolong Loh Bin-ciam, mengetahui pemuda ini tertutuk oleh
musuh, lekas Si-nio membuka jalan darah yang tertutuk itu,
tetapi karena sudah lewat agak lama, Loh Bin-ciam seketika
masih kaku dan belum mampu berjalan.
Dengan senjatanya Lu Si-nio maju paling depan, ia pimpin
para centing keluarga Loh terus menerjang keluar.
Cin Tiong-wat masih hendak mengejar, namun ia telah
diteriaki Tang Ki-joan, "Biarkan saja mereka pergi!"
Sekalipun begitu Cin Tiong-wat sudah melangkah maju
beberapa langkah, segera ia disambut dengan sebatang 'huito'
atau pisau terbang oleh Lu Si-nio yang menyerempet lewat
pundaknya, saking kaget dan jerinya, lekas Cin Tiong-wat
mundur kembali. Sementara itu Lu Si-nio sudah memimpin
orang-orangnya masuk ke lereng Thian-bok-san.
Dalam pertempuran sengit ini, para prajurit pemerintah
telah dirugikan beberapa puluh yang mati dan terluka,
sebaliknya centing keluarga Loh pun ada separoh yang tewas
atau luka, bahkan Loh Bin-ciam sendiri pun terluka.
Tang Ki-joan segera perintahkan meninggalkan yang mati,
sedang yang luka dinaikkan ke atas kuda, sesudah itu pasukan
diatur lagi dan dengan tergesa-gesa mereka melanjutkan pula
perjalanan. "Perempuan ini sungguh lihai!" ujar Cin Tiong-wat
berulang-ulang setelah tenang dari kagetnya. Kini baru ia
kenal kelihaian Lu Si-nio.
"Selamat Cin-heng," sahut Tang Ki-joan dengan tertawa.
"Sesudah lewat Ih-ciam, di depan sana jalan raya yang aman,
urusan selanjutnya adalah Ciatkang Sunbu yang akan
membagi pertanggungjawaban kita."
Begitulah setelah dua hari rombongan mereka berjalan,
betul juga dengan selamat mereka tiba di Hangciu.
Ciatkang Sunbu Li Wi, adalah pembesar kepercayaan Kaisar
Khong-hi, dengan Soatang Sunbu Jan Bun-kia mereka samasama
terkenal sebagai pembesar kesayangan kaisar pada
masa itu. Waktu mendapat berita bahwa tawanan kerajaan telah
datang, Li Wi keluar menyambut, tapi demi melihat pasukan
pengiring tawanan itu kalang-kabut kurang teratur dan muka
kotor lesu, prajurit yang luka banyak pula, ia jadi melongo
setelah mendapat laporan.
Dalam gubernuran Li Wi telah dibikin kamar rahasia untuk
tawanan penting itu, bahkan ia tambahkan pula penjaga
terpilih, Kam Thian-liong, Cin Tiong-wat dan Tang Ki-joan
bertiga pun dinas menjaga Sim Cay-khoan secara bergilir.
Pada usia lanjut, Kaisar Khong-hi telah meninggalkan
urusan 'bu' atau militer dan lebih banyak mengutamakan 'bun'
atau sastra, ia ingin mengumpulkan orang-orang pandai
seluruh negeri, oleh sebab itu pernah kaisar ini memberi
perintah rahasia pada Li Wi agar membikin pemeriksaan
pendahuluan di tempatnya, pertama-tama berusaha agar para
tawanan itu mengaku dan memberitahu dimana konco-konco
mereka, dengan begitu akan gampang menangkapnya.
Kedua, Li Wi diperintahkan agar Lu Po-tiong dan Giam
Hong-kui dinasihati agar takluk dan mengabdi kepada
kerajaan, bila tidak mau menurut baru kemudian digiring ke
kotaraja. < Tapi kini Lu Po-tiong dan Giam Hong-kui keduanya tidak
tertangkap, yang berhasil ditawan hanya murid Lu Po-tiong,
Sim Cay-khoan, maka Li Wi rada kecewa. Kemudian setelah ia
berpikir lagi, ia ingat bahwa Sim Cay-khoan inipun terkenal
dengan karya sastranya, maka tiada halangan diperiksa juga.
Li Wi mempunyai anak gadis bernama Li Bing-cu, karena
gadis ini adalah anak satu-satunya, maka sudah biasa dimanja
dan sangat binal, ketika gadis ini mendapat kabar bahwa di
gubernuran telah ditahan seorang pemuda sastrawan
pemberontak, rasa ingin tahunya lantas timbul, ia minta
kepada ayahnya agar diperbolehkan melihatnya.
"Urusan pemerintahan, anak perempuan mengerti apa"
Buat apa kau ikut mengurusinya?" ujar Li Wi dengan gusar
atas niat putrinya yang tak masuk akal itu.
Akan tetapi Li Bing-cu ternyata sangat manja. "Aku belum
pernah melihat kaum pemberontak, hanya ingin melihatnya
saja, apakah halangannya?" katanya dengan aleman.
Karena kewalahan, akhirnya Li Wi mengatakan, "Penjaga di
sana semuanya lelaki, kau seorang anak gadis, mana boleh
melihatnya, apa kau tidak khawatir ditertawai bawahanku
bahwa putri gubernur tidak mengerti adat kesopanan?"
Namun Li Bing-cu tetap bandel, ia pun tidak kurang akal.
"Soal ini gampang!" begitu sahutnya.
Habis itu ia lantas masuk ke kamar, selang tak lama ia
keluar lagi, namun kini ia sudah bertukar pakaian dengan
pakaian laki-laki, dengan tegang-leher sambil melambaikan
lengan bajunya, ia berjalan beberapa tindak meniru gaya jalan
kaum pria. "Anak nanti menyamar sebagai kacung ayah, saat ayah
mengadakan pemeriksaan, anak tidak akan bersuara, dengan
begini siapa yang mengetahui aku adalah samaran!" demikian
katanya. Geli bercampur mengkal rasa Li Wi melihat kelakuan
putrinya itu, namun ia kewalahan juga, terpaksa ia turuti
kemauannya. Malamnya, Li Wi membawa putrinya itu menuju
ke kamar tahanan. Setelah mengaso sehari, semangat Sim Cay-khoan sudah
pulih kembali. Ketika Li Wi melihat pemuda lemah ini masih begitu
bersemangat meski berada di dalam penjara, rupanya pun lain
daripada orang biasa, diam-diam pembesar ini memuji.
Pikirnya, "Orang berbakat baik seperti ini, kalau mau
menyerah, kelak pasti akan menduduki kursi pembesar atau
diangkat jadi menteri pun bukan soal mustahil."
Kemudian ia lihat putrinya juga sedang memandang
pemuda sastrawan itu dengan penuh perhatian, tak tertahan
hatinya tergerak. "Saudara banyak belajar sastra, justru kini Baginda Raja
sangat menyukai kaum cendekiawan, kalau kau menurut dan
menghentikan propaganda kalian serta kembali kepada
kerajaan yang agung, apa susahnya bagimu untuk
mendapatkan suatu kedudukan yang tinggi" Buat apa percaya
kepada pendapat kolot dan menuju jalan sesat hingga
mengakibatkan keluarga hancur dan sanak famili lebur?"
begitu pembesar tinggi ini mulai membujuk.
"Gubernur tentu banyak mengetahui sastra, numpang
tanya Tayjin (paduka tuan), bagaimana pandangan Tayjin atas


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cendekiawan Go Bwe-joan?" mendadak Sim Cay-khoan
bertanya. Go Bwe-joan adalah cendekiawan pada akhir ahala Bing,
tapi ia menyerah kepada kerajaan Jing dan menjabat pangkat
yang cukup tinggi. Mendengar orang menyebut Go Bwe-joan, diam-diam Li Wi
bergirang. Maka katanya, "Go Bwe-joan adalah cendekiawan
yang kenamaan lagi bijaksana dan kenal keadaan, seharusnya
kita mencontoh padanya."
"Betulkah begitu?" tanya Sim Cay-khoan dengan tertawa.
Lalu ia menembang beberapa bait sajak.
Mendengar petilan sajak ini tiba-tiba wajah Li Wi berubah.
"Aku ingin mohon petunjuk Tayjin, kata-kata sajak Go Bwejoan
tadi bermaksud apakah?" Sim Cay-khoan bertanya lagi.
Kiranya sajak itu adalah sajak kematian Go Bwe-joan. Pada
waktu Go Bwe-joan sakit berat, ia menyesali dirinya yang telah
menyerah kepada musuh, oleh sebab itulah pada sebelum
ajalnya ia menulis sebuah sajak yang berisi penuh penyesalan.
Tadi Li Wi bilang supaya mencontoh Go Bwe-joan, maka
sengaja Sim Cay-khoan tonjolkan sajaknya yang penuh
penyesalan menjadi pengkhianat bangsa itu.
Keruan saja Li Wi menjadi serba salah dan malu. "Siansing
adalah ahli sastra, apa belakangan ini ada ciptaan baru?" ia
bertanya untuk menutupi kejengahannya.
"Ada, tentu ada," sahut Sim Cay-khoan. "Kali ini aku
menduga pasti mati, maka kemarin di tengah jalan aku
ucapkan beberapa sajak yang masih belum disambung
lanjutannya, Tayjin berkepandaian tinggi, sudilah kiranya
menyambung lanjutannya itu?"
Segera ia membawakan dua bait sajak yang masih belum
habis disambung. Ternyata sajak ini sengaja Sim Cay-khoan
karang untuk menyindir Li Wi.
Keruan saja Li Wi makin malu, tak berani ia bertanya lebih
jauh lagi, segera ia tinggal pergi.
"Tia-tia (ayah), bakat orang ini bagus sekali, bicaranya pun
lihai sangat!" diam-diam Li Bin-cu berkata pada ayahnya
sesudah mereka keluar dari kamar tahanan.
Li Wi sudah mendongkol, kata-kata putrinya itu
membuatnya lebih mengkal, dengan muka bersungut ia tidak
menggubris gadisnya itu, terus kembali ke kamar tulisnya
sendiri untuk membikin laporan dinas.
Lewat tiga hari kemudian, Cin Tiong-wat selaku komandan
pasukan yang menggiring tawanan itu datang menghadap, ia
mengatakan hendak menggiring tawanannya menuju ke
kotaraja, sekaligus ia mohon Li Wi menambah jagoan lain
untuk memperkuat pengawalan.
"Kebetulan sekali kedatanganmu," begitu Li Wi berkata.
"Aku memang sedang memilih jago pengawal baru, kalian
bertiga mahir ilmu silat, maka harap kalian suka menjadi wasit
pemilihan ini." Permintaan itu dengan sendirinya diterima oleh Cin Tiongwat
dengan baik. Cara pemilihan jago pengawal di gubernuran itu ternyata
cukup keras. Syaratnya, lebih dulu harus ada tanggungan
orang yang dapat dipercaya, sesudah itu baru bertanding ilmu
silat. Pada hari pemilihan, di lapangan berlatih silat gubernuran,
Li Wi telah siap menyaksikan pemilihan sambil minum arak.
Cin Tiong-wat harus berdinas menjaga Sim Cay-khoan,
maka ia tak bisa ikut hadir, hanya Kam Thian-liong dan Tang
Ki-joan saja bersama dua Congkoan atau pemimpin pasukan
pengawal gubernuran saja yang menjadi wasit.
Dalam pemilihan permulaan, di antara tujuh belas calon
telah terpilih tiga orang, waktu Li Wi menyuruh mereka maju
ke depan, maka terlihat olehnya dua di antaranya adalah lakilaki
yang tegap kekar, sebaliknya yang satu mukanya kuning
pucat dan tubuhnya kurus, perawakannya pun sedang, lebih
mirip seorang penyakitan.
Melihat mereka, Li Wi berkerut kening. "Ketiga orang ini
siapa yang menanggung mereka?" tanyanya kemudian.
"Yang satu adalah tanggungan Ong Hun, perwira tua yang
telah lama ikut pada Co-hoan Su-po (pangkat setingkat
menteri)," jawab ajudannya yang bertugas mengurus
pemilihan itu, "yang lain adalah keluarga Han yang turuntemurun
berpangkat Padula (perwira), namanya Han Cin-seng,
ia ingin mencari pangkat sendiri."
"O, dan yang itu" Siapa yang bermuka pucat dan kurus itu"
Siapa yang menanggungnya" Apa sudah memenuhi syarat
dalam pemilihan ulang?" tanya Li Wi pula.
"Tayjin yang agung mungkin banyak kerjaan, maka suka
lupa," dengan muka tertawa ajudannya melapor lagi. "Orang
ini justru adalah tanggungan dan atas perintah Tayjin sendiri.
Pilihan Tayjin memang betul-betul jitu, ilmu silatnya memang
boleh juga! Di antara tujuh belas calon tadi, mungkin
kepandaiannya terhitung yang paling bagus, betul-betul pilih
orang tidak boleh berdasarkan paras muka!"
Mendengar itu, Li Wi tertegun, ia berpikir, akhirnya baru ia
ingat memang betul pernah terjadi hal begitu.
Kira-kira sebulan yang lalu, waktu ia merayakan hari ulang
tahun ibunya, ia telah menanggap sandiwara, dan
mengundang pula penjual (pengamen) silat atau yang kini
terkenal dengan pemain akrobat.
Bahkan pemain akrobat itu ada beberapa rombongan.
Di antaranya ada satu rombongan pemain akrobat yang
bagus sekali permainannya, lebih-lebih salah seorang pemain
wanitanya yang mampu berjalan di atas tali, main mangkok
berisi air dan berjumpalitan di atas kuda, kesemuanya
mengagumkan. Begitu tertarik hingga setelah menyaksikan
permainannya, putrinya, Li Bing-cu, mengundang pemain
wanita itu ke dalam gubernuran untuk diajak omong, dan
begitulah seterusnya, tiap dua atau tiga hari tentu gadis itu
mengundang pemain akrobat wanita itu menemani dia serta
menyuruh main akrobat untuk menghibur rasa kesalnya.
Meski tidak suka putrinya berhubungan dengan kaum
perantauan, tetapi setelah dipikir toh tiada melanggar
kesopanan, lagi pula datangnya wanita itu selalu seorang diri,
Li Wi menaksir tidak akan terjadi keonaran, maka tidak diurus
lebih jauh. Kira-kira belasan hari yang lalu, soal pemilihan 'wisu' atau
jago pengawal telah diketahui oleh wanita akrobat itu, ia
bilang dia ingin mengajukan seorang calon.
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia memandang sekejap
kepada lelaki muka pucat dan kurus tadi.
Sesudah memandang, lapat-Iapat Li Wi masih ingat juga
bahwa orang ini memang mirip seperti salah seorang anggota
pemain akrobat rombongan wanita itu.
Hari itu juga, putrinya berkata kepadanya bahwa gadis
akrobat itu hendak menanggung juga seorang calon, dirinya
telah tanya siapa yang ditanggung, putrinya menerangkan
ialah saudara misan wanita pemain akrobat itu. Maka tentu
inilah orangnya yang dimaksud.
Kiranya Li Bing-cu yang masih bertabiat anak-anak itu
menjadi sangat cocok dengan wanita pemain akrobat itu,
maka wanita itu bercerita padanya bahwa dia punya Piau-ko
atau kakak misan memiliki ilmu silat yang bagus sekali, karena
mendengar kabar bahwa di gubernuran akan diadakan
pemilihan jago pengawal, maka saudara misannya itupun ingin
mencari jalan buat memperoleh sesuatu kedudukan, maka
mohon Siocia suka menanggungnya. Merasa tertarik juga,
akhirnya Li Bing-cu menyampaikan hal itu pada ayahnya.
Semula Li Wi merasa geli, ia membatin, seorang pemain
akrobat bisa memiliki kepandaian apa"
Tetapi karena kewalahan oleh permintaan putrinya, maka ia
membiarkan calon ini ikut serta, sebab ia membatin, pemilihan
jago pengawal nanti toh harus melalui tiga kali saringan,
dengan sedikit kepandaian pemain akrobat itu mungkin pada
pertandingan pertama saja ia sudah akan masuk kotak, orangorang
macam mereka mungkin berharap akan kebetulan bisa
terpilih, maka biarlah dia mencoba, agar dia tahu bahwa
pengawal di gubernuran bukan sembarang-an bisa dijabat
oleh seorang pemain akrobat seperti dia itu. Begitu pikirnya
waktu itu, sama sekali tak tersangka justru lelaki ini malah
terpilih sekarang. Li Wi ingat bahwa nama yang ditulis dahulu melalui
putrinya disebut 'Teng Liong', maka ia lantas panggil lelaki
pucat kurus itu maju ke depan dan berkata, "Teng Liong,
bukankah kau hanya seorang pemain akrobat" Darimana kau
mendapat ajaran ilmu silat?"
"Ilmu silat hamba berasal dari keturunan, karena terpaksa
baru aku menjadi pemain akrobat!" sahut Teng Liong.
"Baiklah, kalau begitu coba turun ke sana buat bertanding!"
demikian Li Wi memerintahkan.
Begitulah, setelah tambur berbunyi tiga kali, segera pula Li
Wi minta Tang Ki-joan menjadi penguji.
Lebih dulu Tang Ki-joan memanggil Ong Hun menghadap.
"Ilmu silat apa yang kau latih?" tanyanya kepada calon ini.
"Yang kulatih adalah Thi-soa-ciang!" sahut Ong Hun.
"Baik, coba kau tunjukkan padaku," perintah Tang Ki-joan.
Ong Hun menurut, ia minta disediakan tiga tumpuk batu
bata, bata itu ditata di atas bangku batu di pelataran situ,
setelah pulang pergi ia main dua jurus ilmu pukulannya,
kemudian ia mendekati bangku batu tadi, mendadak sebelah
tangannya dipukulkan, seketika itu tumpukan batu bata
pertama kena dihantam hingga hancur lebur.
"Gwakang orang ini sudah mempunyai dasar yang
lumayan," begitu komentar Kho Seng, salah seorang
Congkoan pasukan pengawal gubernuran.
Sementara itu Ong Hun telah berjalan balik.
"Tiap tumpuk bata ada sepuluh lonjor, kini aku hendak
memukul remuk satu di antaranya dengan tenaga pukulanku,
Cu-go (tuan penguji) ingin aku menghantam remuk lonjoran
yang mana?" tanyanya kepada Tang Ki-joan.
"Boleh bata yang nomor tujuh!" Tang Ki-joan menjawab sekenanya.
"Menurut!" sahut Ong Hun. Habis itu ia mendekati bangku
batu lagi, ia angkat tangannya terus menabok ke bawah.
"Silakan diperiksa!" katanya kemudian sambil meluruskan
tangannya. Ketika perwira ajudan tadi maju menyingkirkan batu bata
itu satu per satu, sampai pada lonjoran ketujuh, betul juga
bata ini sudah remuk, ia sapu bersih remukan bata ketujuh ini,
kemudian ia periksa lagi bata yang kedelapan, kesembilan dan
kesepuluh, semuanya ternyata masih utuh.
"Bagus!" Kho Seng memuji dengan angkat jempolnya.
"Lwekang orang inipun rada mempunyai dasar!" dengan
tersenyum Kam Thian-liong mengeluarkan pendapatnya juga.
Dalam pada itu, kembali Ong Hun telah datang lagi.
"Tumpukan bata yang ketiga akan kau lakukan dengan cara
bagaimana?" tanya Tang Ki-joan dengan tertawa.
"Aku hantam hancur seluruhnya!" jawab Ong Hun.
"Lho, bukankah itu sudah kau lakukan" Coba unjuk sedikit
yang baru dan aneh saja!" ujar Kho Seng.
"Cara memukul sekarang dengan yang pertama kali tadi
berlainan," tutur Ong Hun. "Congkoan Tayjin, silakan lihat
saja!" Lalu ia mendekati bangku batu pula, ia pentang kedua
tangannya, diulur dan ditarik lagi, habis itu ia sedot napas
panjang terus sebelah tangannya dengan enteng menepuk ke
bawah, lalu ia melompat pergi, sedang tumpukan bata itu
sedikitpun tidak goyang, masih tetap tertumpuk di tempatnya
secara baik-baik. Kho Seng tidak mengerti akan keadaan itu, ia merasa
heran. Sebaliknya tidak demikian dengan Tang Ki-joan, jago silat
angkatan tua ini mengangguk-angguk dan memuji, "Bagus!"
Waktu Kho Seng disuruh meraba tumpukan bata itu, begitu
tangannya menyentuh, mendadak tumpukan bata itu longsor
dan tepung bata bertaburan memenuhi lantai.
Ternyata tumpukan bata ini sudah ditepuk remuk laksana
tahu empuknya oleh tenaga dalam Ong Hun tadi.
Bukan main terperanjatnya Kho Seng, ia merasa kemahiran
Ong Hun malahan berada di atas dirinya.
"Thi-soa-ciang orang ini sudah ada delapan bagian masak,
boleh dipilih!" begitulah kesimpulan Tang Ki-joan yang
dikatakan kepada Li Wi. Kemudian giliran Han Cin-seng yang dipanggil menghadap.
"Dan ilmu silat apa yang kau latih?" tanya Tang Ki-joan.
"Yang aku latih adalah kepandaian memanah dan berkuda,
maka yang diutamakan adalah tenaga kaki, tenaga bagian
bawah," jawab Han Cin-seng.
"Baik, sekarang coba lihat kekuatan kakimu," ujar Tang Kijoan.
Han Cin-seng minta disediakan dua puluh karung pasir, tiap
karung berisi pasir seberat dua ratus kati, juga tiap sepuluh
karung ditumpuk menjadi satu tumpukan, kedua tumpukan
pasir itu dijajar di tengah lapangan.
"Dengan sekali tendang, aku sanggup menendang terpental
salah satu karung di antara tumpukan itu," tutur Han Cinseng.
"Baiklah kalau begitu, kau boleh tendang karung keempat
pada tumpukan pertama dan karung keenam pada tumpukan
kedua," perintah Tang Ki-joan.
Han Cin-seng mengiakan, lebih dulu ia menyuruh orang
memberi tanda pada karung yang akan ditendang, sesudah itu
ia berlari dengan cepat mengitari lapangan, waktu sampai di
dekat tumpukan karung itu, secepat kilat ia menendang
dengan kedua kakinya susul menyusul. Maka segera terdengar
suara bergedebukan yang keras, dua karung pasir sudah
terbang pergi sejauh lima enam tombak, waktu diperiksa,
betul juga karung yang sudah diberi tanda tadi.
Kemudian Tang Ki-joan memanggil Han Cin-seng. "Masih
ada kepandaian apalagi kau?" tanyanya.
"Yang masih hanya kepandaian memanah dan berkuda!"
sahut Han Cin-seng. Lalu Li Wi perintahkan diuji lagi, berulang kali Han Cin-seng
menarik patah beberapa busur yang berkuatan berat, sesudah
itu beruntun ia berhasil memanah tiga kali pada tanda merah
di tempat jauh. "Ehm, orang ini berbakat panglima untuk menerjang musuh
di medan perang!" ujar Li Wi setelah menyaksikan kemahiran
memanah itu. "Dia adalah keturunan Padulu, dengan sendirinya
kepandaian semacam ini harus dipahami," kata Tang Ki-joan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tertawa. "Tetapi kalau soal kepandaian asli, ia masih
kalah dibanding si Ong Hun tadi. Tayjin boleh juga
memberikan tugas dinas luar padanya."
Akhirnya datang giliran Teng Liong, ia dipanggil
menghadap. "Kau meyakinkan ilmu silat aliran apa?" tanya Tang Ki-joan.
"Tiada sesuatu aliran silat yang aku yakinkan!" sahut Teng
Liong. "Kalau begitu, apa yang menjadi kepandaianmu?" tanya Li
Wi menimbrung. "Kepandaianku yang istimewa adalah tahan pukul!" jawab
Teng Liong lagi. Jawaban orang ini membikin Li Wi tertegun, selagi ia
hendak mendamprat karena jawaban tak genah itu, tiba-tiba
Tang Ki-joan membuka suara.
"Kalau begitu, boleh coba unjuk kepandaianmu, coba cara
bagaimana kau tahan pukul?" ujar Tang Ki-joan dengan
tersenyum. "Suruh mereka berdua ini, yang satu memukul aku dengan
tangan dan yang lain boleh tendang aku dengan kaki, sekali
saja aku pasti tidak akan membalas," sahut Teng Liong sambil
tunjuk kedua % rekannya. Keruan Li Wi dan Kam Thian-liong menjadi kaget, tapi juga
tidak percaya. Ong Hun dan Han Cin-seng, yang satu tangannya sanggup
menghantam hancur tumpukan bata dan yang lain bisa
menendang terpental karung pasir, namun Teng Liong
menyatakan sanggup menerima pukulan dan tendangan
mereka, apakah ini bukan omong kosong belaka.
"Baiklah, boleh dicoba juga!" Tang Ki-joan setuju usulnya.
Segera Teng Liong melompat ke tengah kalangan, ia
pasang kuda-kuda dengan kedua tangan menahan lutut,
dengan setengah berjongkok ia menantikan pukulan dan
tendangan orang. Dalam pada itu Ong Hun dan Han Cin-seng pun sudah maju
ke tengah, segera Ong Hun hantamkan kedua telapak tangannya
ke dada Teng Liong, sedang Han Cin-seng pun ayun
kakinya saling susul, ia menyabet ke bagian bawah.
Begitu cepat kejadian itu hingga segera terdengar suara
jeritan orang kesakitan, ternyata Ong Hun tergetar terpental
pergi sejauh lebih setombak baru bisa berdiri, sedang Han Cinseng
jauh lebih menyedihkan lagi, ia jatuh tersungkur tak
mampu berkutik. Lekas Tang Ki-joan maju ke tengah menarik bangun Han
Cin-seng, ia lihat orang she Han ini kedua kakinya bengkak
merah. Dalam pada itu Teng Liong juga sudah mendekat
sambil menyatakan maaf, lalu ia mengulur tangan meraba
beberapa kali ke kaki Han Cin-seng.
"Pulanglah kau mengaso barang dua-tiga hari, maka akan
sembuh dengan sendirinya!" begitu ia berpesan pada orang
she Han itu, kemudian ia berkata pula terhadap Tang Ki-joan,
"Paduka Tuan penguji, apakah aku punya kepandaian 'tahan
pukul' tadi cukup memenuhi syarat?"
"Tunggu dulu sebentar, biar aku tanyakan dulu kepada
Sunbutayjin!" jawab Tang Ki-joan. Habis itu, ia menunduk
berpikir sambil kembali ke tempatnya.
Sementara itu Li Wi sedang terkesima hingga ternganga
oleh kejadian yang dipertontonkan tadi, ketika Tang Ki-joan
sudah kembali ke tempatnya, lekas Li Wi bertanya, "Apakah si
Teng Liong itu bisa menggunakan ilmu sihir?"
Pertanyaan ini membuat hati Tang Ki-joan tergerak. "Orang
ini adalah atas tanggungan Tayjin sendiri, dapatkah Tayjin
membe-ritahu asal-usulnya?" berbalik Tang Ki-joan bertanya.
"Yang dia latih adalah Lwekang yang paling hebat yang
disebut 'Ciam-ih-sip-pat-tiat'!" demikian Kam Thian-liong
menyela. "Selama hidupku hanya pernah melihat tiga orang
yang mahir kepandaian ini. Seorang ialah Liau-in Hwesio,
kedua Thian-yap Sanjin dan yang lain ialah Congkoan dari
Hiat-ti-cu, Haptoh, ditambah dengan dia tadi kini menjadi
empat orang." Mendengar keterangan itu, sudah tentu bukan main
terkejutnya Li Wi. "Asal-usul orang ini aku sendiri pun tidak
jelas," begitu akhirnya ia menjawab.
"Kalau begitu, mengapa Tayjin mau menanggung dia?"
desak pula Tang Ki-joan. Untuk menerangkan bagaimana asalnya hingga ia menjadi
penjamin sudah tentu Li Wi merasa malu, mukanya menjadi
merah. Akan tetapi mau tak mau ia harus menceritakan juga
kejadian itu, maka ia lantas menerangkan juga bagaimana
putrinya memohon padanya untuk menjadi penjamin.
Tang Ki-joan menunduk, ia bungkam tetapi otaknya
bekerja. "Apa ada sesuatu yang kurang benar?" tanya Li Wi.
"Orang ini adalah seorang kosen yang jarang ditemui,
mana mungkin sudi melamar, bahkan minta bantuan dari
berbagai pihak hanya untuk mengejar suatu jabatan pengawal
gubernuran!" ujar Tang Ki-joan.
Sudah tentu ucapan ini tidak menyenangkan hati Li Wi.
Pikirnya, aku adalah pembesar kesayangan maharaja dan
dijunjung tinggi sebagai pejabat tinggi setempat, menjadi
pengawalku, apanya yang kurang berharga"
Maka berkatalah dia kemudian, "Dengan kebijaksanaan
Hong-siang (Sri Baginda) sekarang, seluruh negeri aman
tenteram, banyak pula orang berbakat yang ingin
mendapatkan jalan keluar untuk mencapai sesuatu pangkat.
Karena dia adalah seorang kosen yang jarang ditemui, maka
lebih-lebih harus dihargai dan dihormati!"
Lalu ia panggil Teng Liong maju mendekat, ia sendiri
menuang tiga cawan arak untuk disuguh pada calon
bayangkara ini. Tanpa sungkan Teng Liong mengulur tangannya
menyambut cawan arak itu dari tangan Li Wi. Akan tetapi,
mendadak tangannya membalik, ia pegang urat nadi tangan Li
Wi terus diangkat ke atas.
Karena kejadian itu, segera Kam Thian-liong melolos
pedang terus mengirim dua tusukan ke punggung orang,
beberapa gerakan ini begitu cepat laksana kilat, akan tetapi
Teng Liong ternyata cukup gesit, di belakang tubuhnya seperti
bermata saja, ia membalikkan telapak tangannya terus
menghantam jatuh pedang Kam Thian-liong sambil tubuh Li
Wi diputar satu lingkaran.
"Kanglam-tayhiap Kam Hong-ti ada di sini, siapa berani
maju kemari!" bentaknya tiba-tiba.
Saat itu Tang Ki-joan tercengang, nama Kam Hong-ti yang
termashur dan menggetarkan utara dan selatan sungai
Tiangkang, namanya jauh lebih terkenal daripada Suhengnya,
yaitu Liau-in Hwesio, Tang Ki-joan sendiri pernah mendengar
cerita orang akan wajah Kam Hong-ti, mengapa bisa berwujud
seorang penyakitan seperti dia ini"
Dalam pada itu, para pengawal gubernuran sudah
mengerubung datang di seluruh penjuru, akan tetapi mereka
merasa jeri oleh nama Kam Hong-ti, maka mereka tak berani
sembarangan maju. "Dengan maksud apa kau berani memalsukan nama Kamtayhiap?" demikian Congkoan pasukan bayangkara
membentak. Mendadak Teng Liong angkat lengan bajunya terus
menggesut mukanya, maka tertampaklah wajahnya yang asli
dengan sinar mata yang tajam.
Pada kira-kira tujuh atau delapan tahun yang lalu, Kho
Seng pernah melihat Kam Hong-ti dalam suatu pesta yang
diadakan oleh seorang Bu-lim-cianpwe atau angkatan tua
dunia persilatan, kini nampak wajah Kam Hong-ti masih tetap
berwibawa seperti sedia kala, seketika ia menjadi gugup.
"Kam-tayhiap," katanya sembari memberi hormat dengan
membungkuk, "aku yang rendah tidak tahu kalau engkau
datang ke sini hingga tidak membikin penyambutan, tidak
heran bila engkau menjadi gusar. Harap suka memaafkan dan
melepaskan majikanku."
Namun bujukan dengan penghormatan begitu tinggi
ternyata tidak menggoyahkan hati Kam Hong-ti, ia malah
tertawa dingin. "Siapa yang sudi memaafkan cakar alap-alap
seperti kau ini," dengan bengis ia membentak. "Lekas kau
lepaskan Sim Cay-khoan, kita boleh satu tukar satu, kalau
tidak, segera aku puntir putus leher Sunbu-tayjin kalian ini."
"Mohon kepada Kam-tayhiap," begitu Kho Seng coba
menjilat lagi, "Sim Cay-khoan adalah tawanan atas perintah
kerajaan, tiada hubungannya dengan Sunbu-tayjin kami."
Akan tetapi Kam Hong-ti masih tetap pada pendiriannya, ia
putar sekali lagi tubuh Li Wi yang masih dia angkat tinggitinggi.
"Eh, kiranya seorang jago ternama dari Hing-i-pay juga
terima menjadi bayangkara istana, maafkan aku kurang
menghormat," tiba-tiba ia berpaling kepada Tang Ki-joan
dengan kata-katanya yang cukup menusuk. "Ya, meski kalian
mendapat perintah untuk menangkap buronan kerajaan, tetapi
kalian harus tahu, Li Wi ini adalah pembesar kesayangan si tua
bangka Hongte, dalam penilaian Hong-te, harga Li Wi tentu
jauh lebih tinggi daripada seorang Sim Cay-khoan, dengan
seorang gubernur untuk menukar seorang pelajar, pasti kalian
tidak akan menderita rugi. Sebaliknya kalau kalian tidak mau,
maka segera akan kubunuh mampus pembesar ini. Nah, boleh
kalian pikir-pikir dahulu."
"Baik, Kam Hong-ti, 'jual-beli' ini kita putuskan seperti
usulmu ini," tiba-tiba Tang Ki-joan menyatakan
persetujuannya setelah berpikir sejenak. "Segera aku serahkan
Sim Cay-khoan padamu, tapi seujung rambut pun kau tak
boleh melukai Sunbu-tayjin."
"Sudah tentu," jawab Kam Hong-ti.
Maka Tang Ki-joan lantas menarik Kho Seng dan diajak lari
pergi. Sebaliknya yang menjadi ribut adalah Kam Thian-liong, ia
jadi bingung, diam-diam ia membatin, mengapa kawannya
begitu gegabah mau menerima tawaran musuh, lalu cara
bagaimana kelak harus mempertanggung-jawabkan kejadian
ini" Ketika Kho Seng ditarik lari oleh Tang Ki-joan, ia pun
merasa bingung dan tidak paham akan maksud orang.
"Kho-congkoan, lekas kau bawa aku ke belakang buat
menemui Li-siocia," begitulah dengan suara perlahan Tang Kijoan
mengatakan pada Kho Seng. "Katakan bahwa Tayjin
yang memerintahkan kau ke sini mengundang dia, sekali-kali
jangan bilang Tayjin ditangkap oleh Kam Hong-ti."
Sebenarnya Kho Seng masih ragu-ragu dan tidak mengerti
maksud kawannya, namun terpaksa ia harus menurut.
Setiba di ruangan belakang, setelah dilaporkan, tidak lama
kemudian, betul juga L i Bing-cu lantas keluar, bahkan di
belakang tirai tertampak berkelebatnya bayangan seorang
wanita lain. Kho Seng adalah orang kepercayaan Li Wi, oleh karena itu
sudah biasa ia masuk keluar di rumah ini, maka Li Bing-cu
tidak menaruh sesuatu curiga dan lantas keluar menemuinya.
"Ada urusan apa ayah memanggil aku?" tanya anak dara ini
sambil menyingkap tirai. Dalam sekejap, secepat kilat Tang Ki-joan melompat masuk
ke ruangan dalam. Sementara itu di belakang tirai masih
bersembunyi wanita tadi, hendak menghilang pun sudah
terlambat, namun wanita ini ternyata tidak lemah, ia angkat
kakinya terus menendang memapaki datangnya musuh.
Walaupun datangnya tendangan itu cepat sekali, namun
Tang Ki-joan cukup waspada, mendadak ia menggeser ke
samping, kemudian dengan sedikit memutar, berbareng pula
kedua tangannya dipukulkan saling susul.
Waktu tendangan mengenai tempat kosong dan menyusul
merasakan sambaran angin pukulan yang keras, dengan cepat
wanita itu mendoyongkan tubuh, pada saat yang gawat itu ia
masih sempat menghindarkan bahaya.
Sementara itu Tang Ki-joan tidak menarik kembali
serangannya, dengan tangan kirinya ia hendak memegang
pergelangan tangan lawan, sedang tangan kanan
menghantam muka orang, begitu cara serangannya yang
bertubi-tubi. Tetapi wanita itupun cukup tangkas, dengan sekali
gerakan, tangannya menangkis ke atas, ia patahkan hantaman
Teng Ki-joan yang mengarah mukanya, sedang tangan yang
lain menjotos ke depan, dengan demikian ia hindarkan pula
cekalan lawan. "Tan Bi-nio, suamimu sudah tertangkap, masih berani kau
melawan aku?" mendadak Tang Ki-joan menggertak.
Wanita itu terguncang hatinya.
Sementara itu dengan tangan kiri menurun ke bawah,
tangan kanan Tang Ki-joan mendadak memukul ke 'Hian-kihiat',
Hiat-to di tengah dada lawan.
Wanita itu menjadi gusar karena perbuatan orang yang
rendah ini, dengan memutar ke samping, kedua kepalan
susul-menyusul balas menghantam dengan gaya serangan
'Pa-sip-hou-ji' (macan tutul menelan anak harimau), begitu
hebat ia menyerang lawan saking gemasnya.
Tapi Tang Ki-joan adalah jago kawakan dan banyak
pengalaman, sebagai angkatan tua golongan Hing-i-pay, ia
cukup mengetahui kalau kepandaiannya berlebihan untuk
memperolehkan kemenangan, namun sedikitnya harus melalui
suatu pertarungan sengit dahulu, ia khawatir banyak buang
waktu, maka sebagai langkah pertama segera ia menggertak
dengan mengatakan suami si wanita, yaitu Kam Hong-ti,
sudah tertangkar), dengan demikian ia ingin membikin kacau
pemusatan pikiran orang, menyusul ia gunakan pukulan yang
bersifat rendah itu untuk memancing kemarahan lawan,
karena marah, cara berkelahi orang tentu menjadi ngawur.
Berhasil juga pancingannya ini, begitu tangan wanita tadi
dipukulkan, dengan sebelah tangan menyanggah ke atas,
tangan lain secepatnya mencekal lengan orang di tempat
'Kiok-ti-hiat', dengan Kim-na-jiu-hoat ia berhasil menawan
wanita itu. "Kho-congkoan, siapakah dia" Mengapa berani datang ke
kamarku untuk menangkap orang?" tanya Li Bing-cu terkejut.
Mendengar itu, Tang Ki-joan bergelak tertawa. "Kalau tidak
kutangkap dia, nyawa bapakmu mungkin bisa amblas!"
sahutnya, sesudah itu dengan langkah lebar, bersama Kho
Seng mereka menuju ke ruangan depan pula.
Wanita tadi bernama Tan Bi-nio, tidak lain ialah istri Kanglam

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tayhiap Kam Hong-ti. Meski ilmu silat Tan Bi-nio berselisih jauh dibanding Kam
Hong-ti, tapi terhitung lihai juga di kalangan Kangouw.
Mereka suami-istri memang suka pesiar dan merantau,
cuma mereka lebih sering melakukan tugas mulia di sekitar
Kanglam. Sebulan yang lalu, mereka membentuk suatu
rombongan pemain akrobat dan menjelajah ke Hangciu.
Kam Hong-ti sendiri mengerti bahwa namanya sudah
dikenal, oleh sebab itu ia merias dan mengoles mukanya
dengan obat hingga berubah lain, setelah sampai di Hangciu,
kebetulan Li Wi sedang merayakan hari ulang tahun ibunya,
maka rombongan pemain Kam Hong-ti diundang untuk
mengisi pertunjukan di dalam gubernuran, kebetulan pula
putri gubernur itu sangat menyukai permainan Tan Bi-nio dan
sering mengundang lagi ke rumahnya.
Kam Hong-ti sendiri karena tiada urusan lain, ia pun lantas
tinggal sementara di kota ini. Kemudian karena ingin
mengetahui apakah di dalam gubernuran terdapat orang
kosen atau tidak, maka ia sengaja mencalonkan diri dalam
pemilihan jago pengawal. Tatkala Kam Hong-ti tiba di Hangciu, sudah saling mengirim
berita dengan Loh Bin-ciam, oleh karenanya begitu Lu Si-nio
dan Loh Bin-ciam sampai di Hangdiu, segera mereka mencari
Kam Hong-ti buat berdaya lebih jauh menolong Sim Caykhoan.
Ketika menghadapi ujian di hadapan pembesar tinggi itu, di
situ Kam Hong-ti mempertontonkan kepandaiannya yang luar
biasa dan secara cepat ia dapat menawan Li Wi.
Tak terduga, Tang Ki-joan ternyata tidak kehabisan akal,
ketika mendengar cerita Li Wi tentang asal-usul Kam Hong-ti
yang menyamar sebagai Teng Liong, begitu terjadi peristiwa
di luar dugaan itu, segera ia berpendapat tentu wanita pemain
akrobat yang dikatakan itu pasti bukan lain daripada istri Kam
Hong-ti, Tan Bi-nio. Maka timbullah kelicikannya, cepat ia berlari ke ruangan
belakang, dan betul juga Tan Bi-nio kepergok dengan tepat.
Begitulah, setelah Kam Hong-ti berhasil menawan Li Wi
sebagai jaminan, ia lantas minum arak sepuas-puasnya di
ruang kerja pembesar negeri itu dengan gembira.
Para pengawal gubernuran dalam keadaan demikian hanya
bisa kian kemari di sekitarnya, tetapi tiada seorang pun yang
berani mencoba bertindak, mereka semua jeri dan mati kutu.
"Mengapa tua bangka she Tang tadi masih belum juga
kembali?" Kam Hong-ti membentak, ia sudah tak sabar
menanti lebih lama lagi. Belum lenyap suara bentakannya, tiba-tiba di sebelah sana
datang suara jawaban, "Kam-tayhiap harap bersabar, segera
aku datang!" begitu kata suara itu.
Menyusul tertampaklah Tang Ki-joan dengan ketiga jarinya
memencet urat nadi Tan Bi-nio, dengan tertawa ngakak telah
menyeret datang istrinya itu.
Nampak apa yang terjadi, Kam Hong-ti terperanjat dan
gusar. "Dengan Engso untuk menukar Sunbu-tayjin, kukira kedua
belah pihak tiada yang dirugikan, bukan?" kata Tang Ki-joan
dengan tertawa. Keruan saja Kam Hong-ti menjadi makin gemas, dalam hati
ia mencaci maki atas kelicikan orang. Namun persoalan
Dendam Iblis Seribu Wajah 16 Tongkat Rantai Kumala Seruling Kumala Kim Lan Pay Karya Oh Chung Sin Misteri Lukisan Tengkorak 2

Cari Blog Ini