Ceritasilat Novel Online

Tiga Dara Pendekar 9

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 9


menyangkut keselamatan istrinya, bagaimanapun terpaksa ia
harus menurut dan saling tukar tawanan.
"Baik, kau lepaskan dia dan segera aku kembalikan
majikanmu ini!" katanya kemudian dengan mengertak gigi.
"Tetapi jangan kau gunakan akal jahat secara diam-diam!"
sahut Tang Ki-joan. Sudah tentu Kam Hong-ti menjadi gusar. "Kanglam-tayhiap
kalau mengatakan satu tidak nanti berubah menjadi dua!"
seru Kam Hong-ti dengan gusar".
Setelah itu Tang Ki-joan mendorong Tan Bi-nio ke depan,
sedang Kam Hong-ti pun lantas melepaskan Li Wi sebagai
imbalannya. Maka berlarilah Tan Bi-nio di atas pendopo,
sedang Li Wi lantas berlari turun ke bawah undak-undakan.
Sementara itu di ruangan sebelah dalam tiba-tiba terdengar
suara yang riuh ramai, pasukan istimewa yang Cin Tiong-wat
bawa, mendadak menerobos keluar dari dalam.
Kembali bercerita mengenai Li Bing-cu, dengan mata
kepala sendiri ia menyaksikan Tan Ki-joan menangkap pergi
Tan Bi-nio, ia terkejut tetapi kekhi juga, sama sekali tidak
disangkanya bahwa wanita pemain akrobat itu begitu hebat
asal-usulnya, waktu ia kembali ke kamarnya, segera ia
gabrukan pintu kamarnya terus menjatuhkan diri ke
pembaringan dan menangis tersedu-sedu, ia gusar sekali
karena ketidak-sopanan pengawal terhadap dirinya.
Tengah ia mencucurkan air mata, tiba-tiba pintu almari
pakaiannya terpentang dan dari dalam sekonyong-konyong
muncul keluar seorang, ternyata adalah seorang gadis yang
cantik laksana bidadari. Bukan main terkejutnya Li Bing-cu, bahwa dalam almari
pakaiannya mendadak bisa keluar seorang, segera ia berhenti
menangis. "Siocia, siapakah yang menyebabkan kau gusar, coba
ceritakan, aku nanti balaskan sakit hatimu!" demikian gadis
cantik itu bertanya dengan tersenyum.
Begitu halus dan empuk suaranya, hingga Li Bing-cu
tertarik. "Siapakah kau?" ia balas bertanya.
"Aku adalah kawan pemain akrobat wanita itu," jawab si
gadis cantik. "Mengapa aku tidak melihat kau masuk ke sini?" tanya pula
Li Bing-cu. "Karena aku dengar paras Siocia secantik dewi kahyangan,
maka ingin sekali aku ikut Tan-cici datang menjenguk kau ke
sini, tak tahunya Siocia hanya mengundang dia saja seorang,
maka terpaksa aku mengintilnya secara diam-diam," gadis itu
menerangkan. Li Bing-cu masih bertabiat anak-anak, ketika mendengar
dirinya dipuji secantik dewi kahyangan, sudah tentu ia sangat
senang. "Kaulah yang betul-betul cantik!" dengan tertawa ia
berkata. "Apa kau orang yang baru bergabung dengan
rombongannya?" "Ya, betul," sahut si gadis. "Sebelum aku menjumpai Siocia,
aku sendiri mengira diriku cantik sekali, tetapi sesudah melihat
Siocia sekarang, baru aku mengerti terlalu jauh selisihnya!"
Keruan saja Li Bing-cu sangat gembira atas pujian dan umpakan
orang. "Kau bilang sanggup membalaskan sakit hatiku,
apa kau ada akal" Cicimu itu sudah ditawan oleh mereka tadi,"
tanyanya sesudah berpikir sejenak.
"Apakah pasukan dari kotaraja itu yang menangkapnya?"
tanya si gadis. Li Bing-cu jadi teringat pada waktu ikut ayahnya ke kamar
tahanan, dilihatnya di sana ada beberapa orang penjaga
tawanan, dan orang yang datang hendak menangkap wanita
pemain akrobat itu-pun termasuk di antara penjaga-jaga itu.
"Mungkin betul!" akhirnya ia menjawab.
"Kalau begitu gampang saja, mari kita ke sana dan diamdiam
melepaskan tawanan itu ...."
"Tak mungkin, ayah tentu akan gusar padaku!" kata Bingcu.
"Coba dengarkan, kita hanya melepaskannya lalu
menyembunyikan dia ke tempat lain, sesudah itu terus
diserahkan kepada ayahmu lagi untuk diawasi," gadis tadi
coba membujuk lagi. "Dengan begitu, tawanan itu masih tetap
berada di gubernuran, tetapi pasukan pengawalnya menjadi
kalang-kabut mencarinya. Habis, mereka tidak menghormati
ayahmu, bahkan berani menghina kau!"
"Tetapi ada orang menjaga di sana!" ujar Li Bing-cu.
"Cukup kalau kau bawa aku ke kamar tahanan sana, aku
sendiri nanti bisa mencari akal," sahut si gadis dengan
tertawa. Li Bing-cu masih terlalu muda, ia belum tahu seluk-beluk
kehidupan manusia, ia hanya merasa tindakan ini sangat
menarik dan menyenangkan, apalagi terhadap tawanan itu ia
memang menaruh simpati, ia pikir, biar aku sembunyikan dia
untuk diajak mengobrol, tentu sangat menyenangkan, lebihlebih
tawanan itu sangat tampan, malahan mahir pula
bersyair. "Baiklah, mari kita ke sana!" segera ia menyatakan
persetujuannya. Sesudah itu, ia keluarkan dua setel pakaian
laki-laki. "Biar kita menyamar sebagai lelaki saja!" katanya
pula. "Ya, pintar sekali kau!" puji si gadis tadi.
Tak lama sesudah mereka tukar pakaian, segera Li Bing-cu
membawa kawannya itu menuju ke kamar tahanan.
"Siapa kau!" terdengar penjaga di sana membentak waktu
mereka mendekat. Karena gugup hingga Li Bing-cu tak mampu menjawab
teguran itu. "Karena Sunbu-taydiin mendengar tawanan jatuh sakit,
kami diperintahkan ke sini untuk memeriksanya apakah perlu
memanggil tabib?" segera si gadis tadi mewakilkan menjawab.
"Eh, darimana Sunbu-tayjin mendapat tahu?" tanya si
penjaga dengan heran. Sementara itu si gadis dengan sikunya telah menyentuh Li
Bing-cu sambil pura-pura berkata, "Lekas kau kembali dulu
melaporkan kepada Congkoan, mintalah agar dia segera
memanggil tabib, biar aku yang melihatnya ke dalam sana."
Kalau semula karena tertarik akan lelucon itu, tapi kini demi
nampak penjaganya begitu bengis dan memandang padanya
dengan mata melotot, tak tertahan Li Bing-cu menjadi jeri.
Tiba-tiba ia sadar bahwa dirinya kini menyamar dan bukan
putri gubernur lagi, bila sampai dihina oleh penjaga itu,
apakah bukan dirinya sendiri yang cari penyakit"
Karenanya, segera ia membalik tubuh terus pergi sambil
melambaikan tangan. "Baiklah, sesudah kau periksa tawanan
itu, lekas kau cari aku lagi!" serunya.
"Siapa yang datang" Tidak boleh masuk!" terdengar
pemimpin pasukan, Cin Tiong-wat, berseru di sebelah dalam.
Dalam pada itu Li Bing-cu sudah pergi, penjaga pintu
mengulur tangannya menghalangi masuknya si gadis yang
menyamar sebagai lelaki itu.
"Sunbu-tayjin yang suruh memeriksanya, apa tidak
diperbolehkan juga?" bantahnya.
"Unjukkan dulu Lingci (panah tanda tugas) dari
gubernuran!" perintah penjaga itu.
Akan tetapi gadis itu hanya tersenyum, sekali ia mengulur
tangannya, tanpa ampun lagi penjaga itu kena ditutuk roboh.
Cin Tiong-wat yang berada di dalam mendengar adanya
suara gedebukan, ia jadi kaget dan lekas melompat bangun,
namun pada saat itu terlihat seorang pemuda dengan cepat
menerobos masuk, dengan jarinya yang serupa belati segera
hendak mencolok kedua matanya.
"Ada pembunuh!" teriak Cin Tiong-wat, berbareng
sepasang 'Boan-koan-pit' miliknya segera bekerja, dengan
melintang satu sama lain, senjata itu terus menusuk ke depan.
Tetapi gerak tubuh 'pemuda' itu ternyata cepat luar biasa,
dengan sedikit mendak, sebelum senjata lawan dirapatkan
kembali, ia telah mendahului menubruk maju, tipu
serangannya masih belum berubah, jarinya tetap menutuk,
hanya kini agak sedikit turun ke bawah, mengarah ke 'Tangbunhiat' di dada lawan. Tang-bun-hiat adalah satu di antara
sembilan titik Hiat-to yang mematikan di tubuh orang.
Keruan terkejut sekali Cin Tiong-wat, sebab tak sempat
menghindarkan diri, segera ia menjatuhkan diri
menggelundung pergi, berbareng senjata potlot di tangan kiri
ia timpukkan untuk menahan serangan musuh lebih jauh.
Tidak terduga, dengan sekali meraup saja, pemuda itu
sudah berhasil menangkap senjata Cin Tiong-wat itu, bahkan
terus ia timpukkan ke belakang tanpa menoleh, seperti
tumbuh mata di punggungnya, sekaligus ia hantam roboh
seorang pengawal lainnya. Habis itu, dengan cepat dan gesit
ia menerjang maju ke depan.
Sebagai kapten pasukan pengawal, dengan sendirinya ilmu
silat Cin Tiong-wat tidak lemah, sekali meloncat ia sudah
berdiri kembali, ia gunakan potlot yang masih tinggal satu itu
sebagai pedang, diputarnya dengan cepat untuk menahan ke
depan serta menutup ke belakang. Sementara itu beberapa
pengawal lainnya yang menjaga di sebelah luar, demi
mendengar ada suara ribut, berbondong lantas membanjir
datang. Namun pemuda ini ternyata cukup lihai, dengan sekali
lompatan membalik, ia dapat memegang dua penjaga yang
lagi menerobos masuk, terus ia lemparkan keluar.
Dengan selingan itu, Cin Tiong-wat jadi agak ringan dari
rang-sekan musuH, tiba-tiba pikirannya bergerak cepat, ia
berlari menuju ke kamar tahanan.
Tak terduga, baru beberapa langkah ia berlari, tiba-tiba ia
merasa angin menderu di atas kepalanya, pandangan matanya
menjadi gelap, ternyata si pemuda tadi laksana burung saja
sudah melayang lewat di atasnya terus menghadang di depan
dengan serangan yang berbahaya. Lekas Cin Tiong-wat
berusaha menangkis dengan pitnya yang tinggal satu itu, tak
tersangka mendadak tangan pemuda itu ganti menyerang
dengan jarinya, ia menutuk 'Ki-bun-hiat', sedang tangan yang
lain menyerang ke 'Ciang-tay-hiat'.
Kedua tempat ini adalah Hiat-to yang membikin pingsan,
Cin Tiong-wat sendiri adalah jago menutuk, demi melihat cara
menutuk pemuda ini sebegitu hebat lagi cepat, ia menjadi
terperanjat hingga berkeringat dingin.
Waktu ia hendak mundur, namun sudah terlambat, baru
saja ia memutar tubuh segera punggungnya dirasakan sakit
tidak kepalang, 'Cin-ciok-hiat' di rusuk kirinya kena tertutuk.
'Cin-ciok-hiat' berada di antara sela miang rusuk kedua dan
ketiga dihitung dari bawah ke atas, satu di antara sembilan
'Ah-hiat' (jalan darah yang membikin bisu), bila kena tertutuk,
maka seluruh tubuh seketika menjadi lumpuh.
Begitulah, setelah berhasil dengan serangannya, segera
pemuda itu memondong tawanan di belakangnya itu.
"Kakak Sim!" ia memanggil dengan suara perlahan.
Namun Sim Cay-khoan ternyata lemah sekali,
kerongkongannya kaku. "Tidak usah tolong aku lagi," akhirnya
keluar juga suara lirih dari mulutnya.
Gadis yang menyamar sebagai pemuda ini adalah Lu Si-nio,
ketika mendengar Sim Cay-khoan bisa bersuara, maka legalah
hatinya, dengan sebelah tangan merangkul pinggang orang,
segera ia gendong pemuda kekasihnya itu, sedang tangan
kanan segera melolos pedangnya yang bersinar mengkilap
terus menerjang keluar. Di luar prajurit-prajurit penjaga berteriak membentak, akan
tetapi mana bisa menahan Lu Si-nio" Dengan beberapa kali
lompatan naik turun, Lu Si-nio sudah menerjang keluar sampai
di ruangan besar di luar.
Melihat siapa yang datang. Kam Hong-ti bersorak gembira,
sebaliknya Tang Ki-joan menjadi terguncang hatinya.
"Lekas cegat dia!" seru Li Wi kepada bawahannya.
Segera Tang Ki-joan dan Kam Thian-liong berdua memburu
maju. Akan tetapi Kam Hong-ti tak tinggal diam, "sekali
menggertak, dengan Kim-na-jiu vang lihai, secepat kilat
seorang prajurit pengawal kena dipegangnya terus dilempar
ke arah kedua orang ini. Tan Bi-nio yang merasa terhina tadi, hatinya sudah tak
tahan lagi, ia cabut belatinya dan mendahului suaminya
menusuk Tang Ki-joan dengan cepat.
Dengan kedua tangan melindungi muka. Tang Ki-joan
mendadak mengangkat sebelah kakinya dan menendang, ia
bermaksud mementalkan senjata lawan. Tapi Tan Bi-nio
sempat mengegos ke samping. Tiba-tiba dari jurusan lain,
Kam Thian-liong menyerang juga dengan pedangnya, ketika
Tan Bi-nio mengangkat senjatanya menangkis, cepat sekali
Tang Ki-joan menerjang maju, ia bermaksud menangkap Tan
Bi-nio lagi. Tak terduga, secepat terbang Kam Hong-ti pun tiba. kedua
tangan pendekar ini menangkis, empat tangan saling beradu.
Di sinilah dapal diukur keunggulan masing-masing. Tang Kijoan
ternyata tak tahan oleh benturan itu, ia tak bisa
menguasai tubuhnya hingga sempoyongan hampir jatuh.
Namun ia tidak menjadi jeri, dari kantong bajunya ia rogoh
keluar tiga buah 'Tau-kut-tok-ting' (paku berbisa penembus
tulang), ia timpukkan berbareng dengan kecepatan luar biasa.
Sebaliknya Kam Hong-ti pun cukup sebat, sambil
menggertak, sebelah tangannya berhasil menjambret seorang
prajurit terus ia angkat ke depan, keruan saja ketiga paku
berbisa yang ditimpukkan Tang Ki-joan tadi semuanya
menancap di tubuh prajurit itu.
Kam Hong-ti menjadi murka, ia menubruk maju dan
menghantam lagi. Melihat lawannya begitu tangkas dan lihai, lekas Tang Kijoan
menggeser pergi. Sementara itu Lu Si-nio telah berhasil membinasakan
belasan pengawal, ia berhasil menerjang sampai di pintu
bundar. "Chit-ko, Chit-so (kakak ketujuh), lekas kita pergi!" ia
berpaling meneriaki kawan-kawannya itu.
Di sebelah sana Kam Thian-liong yang kepandaiannya
setan-ding dengan Tan Bi-nio sedang saling hantam dengan
sengit, sedang pengawal lainnya membantu dari samping, Tan
Bi-nio sudah terkepung di tengah.
Melihat istrinya berada dalam bahaya, Kam Hong-ti unjuk
keperkasaannya, di antara hantaman dan tutukannya, dalam
sekejap sebagian besar pengawal kena dilukainya.
Nampak kejadian itu, mau tak mau Kam Thian-liong merasa
jeri juga, ia hendak mundur, namun Tan Bi-nio menusuk


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan belatinya dengan cepat, tanpa ampun lagi bahunya
kena tertusuk. Sesudah berhasil melukai lawannya dan merasa puas, Tan
Bi-nio bersama Kam Hong-ti, dengan berjajar menerjang
keluar. Belum pernah pasukan pengawal itu menyaksikan
pertarungan yang begitu hebat, laksana terdampar arus
gelombang yang hebat, mereka mundur memisah ke samping
hingga kedua suami istri itu dengan gampang saja dapat
kabur. Di antara suara tertawa mereka yang terbahak-bahak,
suami istri Kam Hong-ti lantas menyusul Lu Si-nio yang
sementara itu sudah kabur lebih dulu.
"Harap Chit-ko pinjamkan sebuah kamar padaku," pinta Lu
Si-nio setiba di rumah Kam Hong-ti.
Tan Bi-nio membawanya masuk ke kamar tidurnya,
sesudah itu dengan tersenyum ia keluar, sekalian ia tutupkan
pintu kamar. Lu Si-nio menjadi jengah melihat kelakuan orang. "Enso
yang nakal!" omelnya dengan tertawa. Kemudian ia dudukkan
Sim Cay-khoan di tempat tidur.
"Sim-koko (kakak Sim), aku berada di sampingmu!"
katanya dengan suara perlahan.
Wajah Sim Cay-khoan sangat pucat, kedua matanya hanya
setengah terbuka. "Buat apa kau menolong diriku?" katanya
dengan menghela napas. Hati Lu Si-nio berdebar, lekas ia membuka baju pemuda itu
untuk diperiksa, namun tiada sesuatu luka yang didapatkan
pada badan Sim Cay-khoan, ketika ia kendorkan tangannya,
mendadak Sim Cay-khoan roboh.
Lu Si-nio adalah ahli, segera ia tempelkan telinganya ke
dada orang untuk mendengarkan, tangannya meremas juga
ke lututnya, tiba-tiba Sim Cay-khoan menjerit kesakitan, tapi
masih tetap tidak bisa bergerak. Bukan main kejut Lu Si-nio
melihat keadaan kekasihnya.
"Aku sudah cacat dan tak berguna lagi, percuma saja kau
menolong aku," dengan perasaan hampa Sim Cay-khoan
berkata. Kiranya Tang Ki-joan yang licin itu memang cukup keji, ia
khawatir kalau Sim Cay-khoan kena dirampas orang lagi, maka
ia turun tangan secara kejam dan membikin cacat pemuda itu
dengan getaran tenaga pukulannya hingga tulang lututnya
dibikin remuk, dengan demikian pemuda ini lumpuh dan tak
bisa berkutik lagi, seumpama Hoa To (tabib kenamaan di
zaman Sam Kok) menjelma kembalipun susah
menyembuhkannya. Keruan saja Lu Si-nio merasa seperti disambar geledek,
sukmanya seakan terbang meninggalkan raganya. Tapi demi
menatap sinar mata Sim Cay-khoan yang memperlihatkan rasa
pedih dan putus asa, lekas dara pendekar ini mengumpulkan
semangat dan meneguhkan hati.
"Apa" Tak berguna?" Si-nio berlagak sewajarnya saja.
"Cay-khoan, percuma saja kau anggap dirimu sebagai
sastrawan ternama, apa kau tidak tahu bahwa Co Kiu buta
matanya toh masih mempelajari sastra, Sun Pin buntung
kakinya masih mempelajari siasat meliter, Thay-su-kong meski
tubuhnya teraniaya secara hebat juga masih sanggup
mengarang kitab 'Su-ki' yang terkenal. Ketiganya kan cacat
juga, tapi nama mereka tetap harum sepanjang masa! Caykhoan,
soal mati adalah terlalu gampang, tapi seorang laki-laki
harus berani hidup meski dalam keadaan betapa sulitpun!"
Begitulah dengan menerocos Lu Si-nio coba memberi
kekuatan kepada kekasihnya, sampai akhir perkataannya, air
matanya pun ikut bercucuran.
Co Kiu, Sun Pin dan Thay-su-kong yang dikemukakan
sebagai contoh oleh Lu Si-nio tadi, semuanya adalah orangorang
besar di zaman dahulu. Co Kiu dan Sun Pin. meski
akhirnya menjadi cacat, yakni buta dan buntung kakinya,
namun mereka tidak patah hati, mereka masih terus
memperdalam pengetahuan dalam kitab sastra dan ilmu siasat
militer. Sedang Thay-su-kong yang sebenarnya bernama Suma
Sian adalah orang pada zaman Kaisar Han-bu-te, karena
beberapa kata-katanya yang dituduh menyinggung Han-bu-te,
oleh kaisar ini ia dihukum kebiri, namun ia pun tidak menjadi
putus asa oleh karena dirinya cacat, bahkan ia mencontoh
kedua orang yang tersebut duluan tadi, dengan semangatnya
yang tak kunjung padam, akhirnya ia berhasil menulis juga
sebuah kitab yang sangat terkenal, yakni yang hingga kini
terkenal dengan nama 'Su-ki' (Catatan sejarah).
Kini Lu Si-nio mengemukakan ketiga orang itu sebagai
contoh untuk meneguhkan hati Sim Cay-khoan dan sebagai
pendorong agar pemuda ini jangan putus asa karena merasa
dirinya sudah tak berguna lagi.
Keruan saja Sim Cay-khoan berlinang air mata seakan tibatiba
mendapatkan tenaga dan jiwa baru untuk hidup kembali,
dengan kencang ia genggam tangan Lu Si-nio.
Saking terharunya. Lu Si-nio pun mencucurkan air mata,
akan tetapi kini bukan air mata putus asa lagi. air matanya
telah berhasil mengusir pergi awan mendung yang menutupi
pandangan Sim Cay-khoan, pemuda itu kini sudah mau tahu
apa artinya kehidupan. "Eng-moay, banyak terima kasih padamu!" dengan suara
tersendat akhirnya Sim Cay-khoan berkata pada Lu Si-nio
dengan kedua tangannya masih menggenggam kencang.
Maka tersenyumlah Lu Si-nio, air matanya menetes ke muka
Sim Cay-khoan. "Cay-khoan," sahut Lu Si-nio dengan pandangan mata
penuh perasaan, "meski badanmu cacat, tetapi jiwamu toh
tidak cacat!" Saking terharunya, hingga tak sanggup Sim Cay-khoan
mengeluarkan kata-kata lagi.
"Lagi pula kau tak akan cacat buat selamanya," kata Lu Sinio
pula setelah lewat sejenak. "Bila kau sanggup bersabar
dan telaten, tapi bersungguh-sungguh, maka aku dapat
ajarkan kau cara penyembuhan diri."
"Sekarang kau seperti tabib yang mahir sekali," ujar Sim
Cay-khoan. "Ya, bahkan aku akan menjadi seorang tabib yang makin
hebat," sahut Si-nio. "Akan kuajarkan cara mengatur
pernapasan hingga kau sanggup mengatasi jalan
pernapasanmu dan kau tentu akan sembuh, bahkan akan jauh
lebih sehat dan kuat daripada orang biasa."
"Apakah ini yang disebut Lwekang yang biasanya kalian
latih itu?" tanya Cay-khoan.
"Ya betul, kau telah dibikin cacat orang dengan pukulan
Lwekang hingga luka parah di dalam, satu-satunya jalan buat
melawan dan menyembuhkannya juga harus dengan berlatih
Lwekang." "Harus makan waktu berapa lama?"
"Mungkin diperlukan sepuluh tahun!"
"Baiklah, justru itu merupakan penggemblengan bagiku!"
begitu jawab Sim Cay-khoan akhirnya dengan hati mantap.
Sementara itu Tan Bi-nio yang mendengar ada suara
tangisan, perlahan-lahan ia mengetuk pintu.
Si-nio membukakan pintu dan keluar, kemudian ia
terangkan semuanya kepada suami istri Kam Hong-ti.
Diam-diam Tan Bi-nio ikut cemas dan berduka, pikirnya,
"Untuk mengajar seorang cacat berlatih Lwekang, apalagi
orang yang sama sekali belum punya dasar, hanya seorang
sastrawan yang lemah, sepuluh tahun saja belum tentu
mampu, dengan begitu apa tidak akan menyia-nyiakan masa
remaja Sumoay?" "Sepuluh tahun atau lebih lama lagi, bagi kaum kita tiada
kenal kata-kata putus asa segala, yang aku pikirkan mungkin
Sumoay tiada tempat tirakat yang sepi," ujar Kam Hong-ti.
"lt-liam Taysu punya Sute, It-biau Hwesio, dalam waktu
singkat ini akan pindah ke Sian-he-nia," kata Lu Si-nio, "di
sana aku dapat mendirikan gubuk dan tinggal untuk merawat
Cay-khoan." "Begitupun baik, biarlah kami suami istri mengantar kalian
ke pegunungan itu," sahut Kam Hong-ti dengan senang.
Begitulah, Lu Si-nio lantas menyewa sebuah kereta keledai,
dibantu Kam Hong-ti yang pintar merias dan mengubah muka,
ia kembali ke rumah dulu untuk mengebumikan jenazah
ayahnya, sesudah itu bersama It-biau Hwesio lantas
mengasingkan diri ke Sian-he-nia.
"Kelak kalau kita harus menempur si bangsat gundul Liauin,
mungkin diperlukan bantuan Sumoay," kata Kam Hong-ti
kepada Lu Si-nio ketika mohon diri setelah mengantar
Sumoaynya ini ke tempat kediamannya yang baru.
"Sudah tentu," sahut Si-nio, "di pegunungan sunyi ini,
justru aku dapat menggunakan kesempatan ini buat melatih
diri dan mematangkan ilmu pedang."
Semenjak itulah, di bawah asuhan dan rawatan Lu Si-nio,
lambat laun penyakit Sim Cay-khoan tampak ada kemajuan
dan bertambah sembuh. Sang tempo lewat dengan cepat, tanpa terasa lima tahun
sudah berlalu. Pada suatu pagi, seperti biasa Lu Si-nio datang ke kamar
Sim Cay-khoan, sebelum masuk kamar, dari jendela ia
pandang ke dalam, tiba-tiba dilihatnya ada seorang berjalan
dengan merembet dinding tembok.
Bukan main rasa girang Lu Si-nio, tidak ayal lagi segera ia
dorong pintu dan masuk ke dalam.
"Semalam, sehabis aku melakukan latihan pernapasan
seperti biasa, tiba-tiba aku merasakan hawa hangat
menerjang dari bawah ke atas, kemudian mengambang naik
turun, selain itu di dalam tubuh, di antara dada dan perut,
seperti ada segulungan benda yang bisa naik turun dan
berputar," tutur Sim Cay-khoan. "Aku coba menggunakan
sedikit tenaga, mendadak aku sanggup berduduk, pagi ini
dengan merembet dinding, aku sudah bisa jalan dari depan
pembaringan sampai rak buku sana, pulang pergi tiga kali."
"Sungguh cepat sekali kemajuanmu," sahut Si-nio dengan
girang sekali. "Kalau begini, menurut pandanganku tidak
sampai sepuluh tahun kau sudah bisa sembuh seluruhnya.
Tetapi kau baru mulai belajar jalan, jangan sampai badanmu
terlalu capek, lebih baik kembali lagi ke dipanmu buat
mengaso." Habis berkata, tiba-tiba ia lihat di atas meja tulis ada
secarik kertas tertulis beberapa baris huruf besar.
"Ehm, baru sembuh sedikit saja kau sudah melelahkan diri
membuat bersyair, aku nanti denda kau!" kata Si-nio pula
dengan pura-pura mengomel sambil menjemput kertas itu.
Melihat itu Sim Cay-khoan menjadi gugup. "Moaymoay,
kembalikan padaku!" serunya.
Sesudah itu dengan sempoyongan ia terus melepaskan
pegangannya pada dinding tembok dengan niat hendak
merebut kertas surat tadi, tapi karena kurang kuat berdiri, ia
terjatuh ke dalam pangkuan Lu Si-nio. Lekas Si-nio
memayangnya ke pembaringan.
Muka Sim Cay-khoan menjadi merah jengah melihat Lu Sinio
sudah berhasil membaca beberapa baris yang tertulis di
atas kertas tadi. Kiranya pemuda itu bukan lagi bersyair, tapi beberapa baris
tulisan itu adalah kumpulan petilan syair kuno.
Rupanya ia telah mengumpulkan petilan syair dari penyair
terkenal pada zaman dahulu hingga tercipta sebuah lagu,
antara lain menggambarkan betapa rasa cintanya kepada Lu
Si-nio, tapi ia malu pada diri sendiri yang sudah cacat dan tak
berguna lagi, ia khawatir kalau perjodohan ini hanya seperti
impian belaka, meski kini dapat duduk berhadapan, namun
sesungguhnya terpisah jauh seperti langit dan bumi.
Begitulah dengan terkesima dan cemas Sim Cay-khoan
memandang Lu Si-nio. "O, engko yang bodoh," kata Si-nio akhirnya dengan
menghela napas. "Dalam lima tahun ini apakah kau masih
belum kenal hatiku" Tidak peduli bagaimana dengan
keadaanmu, aku akan selamanya mendampingi kau!"
Saking terharunya atas ucapan itu, tidak tahan lagi Sim
Cay-khoan meneteskan air mata.
Dengan tangan bergandeng tangan dan mata menatap
mata, kedua muda-mudi itu sama-sama merasakan
meresapnya cinta murni. Tengah mereka tenggelam di lautan madu asmara, tibatiba
terdengar di luar ada suara panggilan It-biau Hwesio.
"Baik-baiklah kau mengaso, jangan berpikir yang tidaktidak,
selekasnya aku akan kembali," pesan Si-nio kepada
kekasihnya dengan suara perlahan.
Setelah keluar, ia lihat It-biau Hwesio lagi menggapai
padanya dengan berdiri di atas puncak bukit sana.
Si-nio berlari menghampiri. "Ada apakah Taysu
memanggil?" tanyanya.
"Lihat itu!" kata It-biau Hwesio sambil menunjuk ke bawah
gunung. Maka tertampaklah ada seorang dari bawah sedang
mendaki ke atas dengan cepat sekali, hanya sebentar saja
orang itu sudah sampai di puncak dimana mereka berada.
"Siapakah orang yang mengetahui tempat pengasingan
kita?" ujar It-biau Hwesio. "Jangan-jangan cakar alap-alap
kerajaan Jing!" "Jika betul anjing atau alap-alap Jing-ting (kerajaan Jing),
maka terang kedatangannya hanya mengantarkan kematian
saja!" je-ngek Si-nio.
Selang tidak lama, orang itu sudah semakin jelas, lapatlapal
orangnya sudah dapat dikenali.
"Eh, kenapa dia?" kata Si-nio pula terheran-heran.
Baru habis perkataannya orang itu sudah meloncat naik ke
atas puncak. "Lu-cici, ternyata betul kau berada di sini!" terdengar orang
itu berseru. "Hai, Teng Hiau-lan, beberapa tahun tak bertemu, ternyata
kau kini sudah menjadi besar," sahut Lu Si-nio dengan girang.
Kiranya yang datang ini memang betul adalah Teng Hiaulan
yang sudah berpisah selama lima tahun dengan Lu Si-nio,
selama itu ia dibawa ke Thian-san oleh Ie Lan-cu untuk diajari
ilmu pedang. Maka diperkenalkanlah pemuda ini kepada Itbiau
Hwesio oleh Lu Si-nio. "Lu-cici, dengan susah payah aku mencari engkau, akhirnya
kutemukan juga!" kata lagi Teng Hiau-lan.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begitukah" Siapa yang memberitahu kepadamu bahwa
aku tinggal di sini?" tanya Si-nio.
"Kam-tayhiap," jawab Hiau-lan cepat. "Tetapi beliau juga
tidak percaya kepadaku."
Karena percakapan yang tiada ujung pangkalnya itu, It-biau
menjadi bingung, tetapi demi melihat sikap Hiau-lan yang
begitu akrab dengan Lu Si-nio, hatinya tergerak.
"Biarlah aku pulang dulu untuk memasak air," ujarnya
kemudian dan pergilah dia.
Sesudah It-biau berlalu barulah Teng Hiau-lan meneruskan
pula perkataannya, "Lu-cici, kau harus menolong aku!"
"Apa" Mengapa aku harus menolong kau?" tanya Si-nio
heran "Lu-cici, orang telah salah menuduh padaku, hanya engkau
saja yang bisa menolong, dapatkah engkau percaya pada
diriku?" "Adik cilik, aku mengira kau sudah besar, tidak tahunya
ternyata kau masih tetap seperti anak-anak saja seperti dulu,"
sahut Si-nio dengan suara tertawa merdu. "Coba katakan,
siapa yang sem-barangan menuduh dan mendakwa kau?"
"Tokoh dari kalangan Kangouw," Hiau-lan menjelaskan
dengan suara rada gemetar.
"Masakah bisa jadi begitu" Siapakah yang menjagoi
mereka?" tanya Si-nio dengan heran.
"Guruku yang dahulu, Thi-cio-sin-tan Nyo Tiong-eng."
"Lalu, siapa lagi?"
"Ada pula Kwantang-si-hiap dan lain-lain!"
"Aneh, bukankah Kwantang-si-hiap adalah sahabat ayah
angkatmu, Ciu Jing, lagi pula sepaham denganmu?" tanya Sinio.
"Ya, memang mereka baik sekali padaku seperti terhadap
anak sendiri," sahut Hiau-lan.
"Kalau begitu kau jangan khawatir, coba ceritakan padaku
yang terang!" Maka berceritalah Hiau-lan kisahnya sejak ia ikut le Lan -cu
ke Thian-san lima tahun yang lalu.
"Lu-cici," lebih dulu Teng Hiau-lan bertanya, "bukankah kau
masih ingat dulu pernah aku ceritakan padamu bahwa aku
mempunyai dua keponakan perempuan kembar yang mungil
sekali." "Bagaimana aku bisa lupa?" jawab Lu Si-nio dengan
tertawa. "Pada waktu pertemuan kita yang pertama di Binsan,
dara cilik yang berada di gendongan Pat-pi-sin-mo Sat
Thian-ji itu bukankah seorang di antara kedua dara kembar
itu?" "Betul, dia itu kakaknya, namanya Pang Ing," jawab Hiaulan.
"Jika begitu, seorang lagi yang kemudian direbut oleh
Siang-mo dari tangan Ciong Ban-tong, tentu dia itu adiknya
bukan?" ujar Si-nio.
"Ya, namanya Pang Lin," Hiau-lan membenarkan.
"Dan dengan begitu, kakak beradik kembar itu berada di
tangan Sin-mo-siang-lo semuanya?" tanya Si-nio pula.
"Tidak, coba dengarkan, kisahnya memang aneh sekali,"
sahut Hiau-lan. "Setelah aku ikut nenek guru ke Thian-san, Ihcosupo
berkata padaku bahwa beliau pernah mengatakan
akan mengembalikan seorang keponakan perempuanku
"Ya betul, aku pun ingat pernah kau katakan begitu," sela
Si-nio. "Di rumah keluarga Lian, ia juga berkata begitu,
jangan-jangan dia menerima dan memelihara seorang anak
dara?" "Bukan menerima, tetapi bolehnya merebut!"
"Merebut?" Lu Si-nio terheran-heran. "Boleh merebut dari
siapa?" "Merebut dari Siang-mo!" Hiau-lan menjelaskan. "Sebelum
Ih-cosupo bertemu denganku, karena ingin mencari murid
berbakat, beliau mencari ke berbagai tempat, pernah sampai
di Pakkhia. Pada suatu hari, di depan istana Si-hongcu, ia
melihat Pang Ing sedang bermain dengan Siang-mo. Begitu
melihat, Ih-cosupo lantas tertarik pada dara cilik itu.
"Meski usianya sudah lanjut, tapi beliau justru sedang
mencari seorang murid yang pintar dan cerdas. Waktu itu ia
merasa heran, anak dara yang begitu mungil menyenangkan,
mengapa bisa berada bersama dengan Siang-mo" Apalagi
tampaknya mereka bukan anak dan ayah. Karena tertarik,
maka dia lantas menggerayangi istana pangeran itu, ia telah
dapat menyelidiki bahwa dara cilik itupun bolehnya Siang-mo
merebut, maka tanpa sungkan lagi di tengah malam buta, ia
pun membawa kabur Pang Ing."
Mendengar cerita itu Lu Si-nio jadi tertawa geli.
"Di dalam istana itu banyak berkumpul tokoh persilatan,
perbuatan le-locianpwe itu apa tidak membikin mereka kalangkabut!"
ujarnya. "Sesudah aku tiba di Thian-san," sambung pula Hiau-lan.
"Ih-cosupo telah memanggil keluar Pang Ing menemui aku."
"Nanti dulu," Lu Si-nio menyeletuk, "waktu le-locianpwe
merantau meninggalkan Thian-san, siapa yang merawat dara
cilik itu?" "Bu-locianpwe!" sahut Hiau-lan.
"Ha, kiranya Bu Ging-yao dari Thian-san-chit-kiam hingga
kini masih hidup!" "Ya, Bu-locianpwe sendiri pun sangat menyukai Pang Ing,
bahkan hampir berebutan murid dengan Ih-cosupo," kata
Hiau-lan dengan tertawa. Ia berhenti sejenak, sesudah itu ia lanjutkan pula. "Setelah
melihat Pang Ing, dara cilik ini tertawa lebar dan seketika juga
di pipi kirinya tampak dekik yang manis, maka segera aku
ingat dia adalah Pang Ing yang pernah digondol Siang-mo
dahulu. Selagi aku hendak memanggil namanya, Ih-cosupo
sudah keburu mencegah aku. Belakangan orang tua itu
mengatakan padaku bahwa Pang Ing sedang belajar
memupuk dasar, hati dan pikirannya harus bersatu, lebih-lebih
karena dia masih bocah cilik yang berusia tujuh tahun, sekalikali
jangan sampai ia mengetahui asal-usul dirinya. Karenanya
terpaksa aku urung memanggilnya.
"Pada waktu Ih-cosupo dapat merebut Pang Ing, ia pun
tidak tahu kalau bocah itu she Pang, maka ia telah memberi
sebuah nama padanya sebagai Nyo Le-cu. Belakangan dari
Bu-locianpwe, aku mendapat tahu bahwa Ih-cosupo sendiri
asalnya she Nyo." "Ya, dan mengenai dara cilik itu ada hubungan apa dengan
urusanmu sekarang ini?" tanya Si-nio kemudian dengan
tersenyum. Selagi Teng Hiau-lan hendak meneruskan penuturannya,
mendadak Lu Si-nio mencegahnya, "Nanti dulu!"
Sesudah itu ia memanjat ke atas sebuah batu cadas yang
besar, dari sini Si-nio melambaikan tangannya ke rumah di
bagian bawah. "It-biau Taysu," serunya, "sebentar baru aku
kembali, tak usah menunggu aku."
Ketika membalik, ia petik beberapa buah-buahan
pegunungan dan diberikan pada Hiau-lan. "Coba kau makan
ini," katanya pada pemuda itu.
Buah-buahan itu ternyata rasanya manis segar, airnya
sedikit rada mengandung bau alkohol, tak tertahan Teng Hiaulan
menjadi rada mabuk. "Marilah kita duduk di sana, nanti kau cerita lagi," kata Sinio
sambil menunjuk ke depan.
Maka ikutlah Hiau-lan di belakang Lu Si-nio. Tidak antara
lama, tiba-tiba tertampak di depan sana ada pancuran air
terjun yang gemerujuk hingga air yang berhamburan ke
bawah itu berwujud sebuah kolam. Kemudian Lu Si-nio dan
Teng Hiau-lan mencari tempat berduduk.
"Aku menyukai kesunyian, lebih-lebih senang
mendengarkan suara air terjun di sini!" kata Lu Si-nio.
Tiba-tiba terguncang hati Teng Hiau-lan, tapi demi melihat
Lu Si-nio berkata dengan sungguh-sungguh, di antara
kehalusannya mengunjuk keagungan pula hingga membikin
orang tak berani memandangnya, maka lekas Hiau-lan
menenangkan pikirannya. Kemudian ia pun duduk di samping
Lu Si-nio. "Aku pernah menerima budi yang tak terhingga dari Panginsu
(guru berbudi) di Luciu, malapetaka yang menimpa
rumah tangganya dua belas tahun yang lalu, tentu kau juga
tahu," tuturnya lagi. "Kala itu aku pernah berjanji akan
menemukan kembali kedua Titli (keponakan perempuan) yang
digondol lari Siang-mo itu, kini sang kakak sudah ketemu, tapi
si adik masih berada di dalam cengkeraman Siang-mo. Oleh
sebab itu aku belajar ilmu pedang selama tiga tahun, sesudah
turun gunung sekarang aku bermaksud pergi mencari kabar
Pang Lin." "Dia ada di dalam istana Pangeran Keempat, biar lebih
tinggi lagi kepandaianmu rasanya sukar terkabul harapanmu!"
ujar Si-nio. "Memang betul, sebab itulah kemudian telah
berekor dengan macam-macam kejadian, sungguh aku pun
tidak pernah menduga sebelumnya," sahut Hiau-lan.
"Dan kau sudah menderita kekalahan dari Siang-mo dan
kawan-kawan bukan?" tanya Si-nio pula dengan tertawa.
Dalam hati ia membatin, "Dalam istana pangeran itu penuh
dengan tokoh silat, kalau kau tidak menderita kekalahan
barulah hal aneh, mengapa bilang tidak terduga sebelumnya"
"Bukan soal menderita kekalahan yang cuma urusan kecil,
tapi hal ini benar-benar seperti impian saja," Teng Hiau-lan
bercerita lagi. "Cici, harap kau maafkan aku, aku selalu
anggap engkau sebagai orang sendiri, harap engkau
dengarkan penuturanku ini."
Begitulah di tepi air terjun itu Teng Hiau-lan lantas
menceritakan kisah yang menarik dan penuh dengan
keanehan. Kiranya Teng Hiau-lan yang bernyali besar itu cukup
berhati-hati, sesudah ia meninggalkan Thian-san, ia tidak
seketika pergi mencari Siang-mo secara ceroboh, tapi lebih
dulu ia pesiar dan berkelana di Kangouw, habis itu baru
menuju Liau-tang-poan-to (semenanjung Liautang) untuk
mencari Kwantang-si-hiap.
Tatkala mana ia sudah merupakan seorang pemuda yang
berusia 27-28 tahun. Melihat pemuda ini sudah dewasa dan
gagah, tentu saja Kwantang-si-hiap merasa girang sekali.
Ketika Hian-hong Totiang mendengar bahwa Hiau-lan
berniat menuju ke Pakkhia untuk mencari Pang Lin, imam ini
mengatakan padanya, "Di Pakkhia aku ada seorang kenalan,
namanya Kheng Ngo, dia bekerja di dalam istana Si-hongcu,
setibanya kau di sana boleh kau mencarinya."
Demikianlah maka Teng Hiau-lan telah diberi pula oleh
Hian-hong semacam obat rias ciptaannya sendiri untuk
memoles paras mukanya, kemudian pemuda itu berangkat ke
Pakkhia. Cuma sayang sekali, setiba Teng Hiau-lan di kotaraja,
kebetulan karena sesuatu tugas, Kheng Ngo keluar kota,
karena tiada kenalan atau sanak keluarga lain, terpaksa Teng
Hiau-lan mondok di rumah biara di Se-san.
Di kotaraja ini sepanjang hari Teng Hiau-lan hanya pesiar
ke tempat termashur karena tiada sesuatu kerjaan lain.
Pada suatu hari, tiba-tiba timbul pikirannya mengagumi
karya seni tinggalan zaman kuno, ia pikir Ki-yong-koan hanya
berjarak antara seratus li saja dari kotaraja, sedang Ban-litiangsia, itu tembok raksasa yang terkenal melingkar-lingkar
lewat di sim. Menghadapi bangunan raksasa yang paling
termashur dalam sejarah ini jangan sekali-kali dilewatkan
begitu saja. Suatu hari, pagi-pagi betul ia sudah bangun, dengan
menumpang kereta kuda ia menuju Lam-khau, dari sini ia
berjalan kaki mendaki bukit yang berada di depannya.
Ban-li-tiang-sia yang tersohor itu dimulai dari Ka-kok-koan
(nama benteng) hingga San-hay-koan, panjang tembok besar
yang melingkar-lingkar di antara bukit dan gunung seluruhnya
lebih dari dua belas ribu li. Pada bagian Ki-yong-koan ini
menembus melintasi bukit Pat-tat-nia.
Sampai di atas bukit yang curam itu, Teng Hiau-lan sudah
dapat lihat Ban-li-tiang-sia laksana ular raksasa yang panjang
menyusur naik turun di antara gunung gemunung itu.
Benteng Ki-yong-koan berdiri tegak di utara Lam-khau, di
kedua sampingnya dua gunung tinggi mengapit sebuah sungai
kecil lagi sempit, tapi di atas gunung itu pepohonan tumbuh
menghijau lebat seperti lukisan indah, inilah satu di antara
delapan tempat pemandangan yang terindah di Yan-khia
(Pakkhia atau Peking). Sesudah Teng Hiau-lan menikmati sejenak tempat ini, ia
melewati pula beberapa tempat ternama dan akhirnya tibalah
dia sampai di puncak paling atas bukit Pat-tat-nia itu.
Di sini ia lihat Ban-li-tiang-sia melintas di antara lamping
gunung yang sangat curam. Saking tertariknya oleh
pemandangan permai itu, ia lantas naik ke atas tembok
benteng, di sini segera ia merasakan luasnya langit dan bumi
dan kecilnya diri sendiri.
Ban-li-tiang-sia didirikan dengan megah tiada
bandingannya, lebar tembok benteng cukup untuk lima ekor
kuda berlari sejajar. Kebetulan hari ini cuaca cerah terang benderang, dengan
memandang jauh dari atas tembok benteng, remang-remang
tertampak Pagoda putih di Pak-hay di dalam kota Pakkhia.
Melihat sekitarnya tiada seorang manusia pun, tiba-tiba
timbul hasrat Teng Hiau-lan, ia lolos pedang pusakanya, Yuliongpokiam, dan memainkan pedang itu.
Tengah ia mengayun dan menarikan pedang dengan
senangnya, mendadak terdengar suara orang memuji, "Kiamhoat
bagus!" Hiau-lan terkejut, segera ia hentikan pedangnya dan
menoleh, tertampak olehnya di atas tembok benteng itu entah
sejak kapan sudah bertambah dengan seorang kakek.
"Banyak mengagetkan Lotiang (bapak), harap dimaafkan!"
sapa Hiau-lan. Akan tetapi orang tua itu ternyata tidak menjawab, dengan
tersenyum ia lantas mendekati. "Ciu Jing pernah apa
denganmu?" tiba-tiba orang tua itu bertanya.
Kembali Teng Hiau-lan kaget, ia tidak menduga orang akan
menyebut nama ayah angkatnya itu, sudah tentu ia tidak
berani berkata terus terang. "Wanpwe kurang pengalaman,
sudilah kiranya Lotiang menerangkan siapakah Ciu Jing yang
dimaksud?" jawabnya kemudian.
"Ha, apa kau mencurigai aku?" kata kakek itu. "Ketika aku
berkenalan dengan Ciu Jing, mungkin waktu itu kau sendiri
belum dilahirkan. Coba perlihatkan pedangmu itu padaku!"


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebagaimana diketahui, pada masa hidupnya Ciu Jing
adalah buronan yang paling disirik oleh kalangan istana.
Karena tidak mengenal siapa orang tua ini, maka Teng Hiaulan
rada sangsi, lebih-lebih melihat kakek ini mendesak
hendak melihat pedangnya, ia pun merasa mendongkol.
"Untuk apa harus diperlihatkan padamu?" sahutnya kemudian
dengan ketus. "Kabarnya Ciu Jing sudah meninggal, apakah betul?" tibatiba
kakek itu bertanya lagi. "Kau sendiri mengaku adalah sahabatnya, mengapa kau
tidak mengetahuinya?" balas Hiau-lan.
Karena itu, air muka orang tua ini mendadak berubah.
"Lekas katakan, siapa yang membunuh dia?" bentaknya tibatiba.
"Apa kau bekerja di istana?" berbalik Hiau-lan bertanya
lagi. Air muka si kakek berubah rada sabar dan tiba-tiba ia
tertawa. "Kalau kau sudah tahu bahwa aku adalah bayangkara
di dalam istana, tentu juga Ciu Jing sudah bercerita padamu,"
katanya kemudian. "Nah, coba unjukkan pedangmu itu, coba
kulihat apa betul Yu-liong-pokiam itu dia punya atau bukan?"
Pertanyaan Teng Hiau-lan paling akhir tadi sebenarnya
hanya bersifat memancing saja, tapi demi mendengar orang
mengaku te-rus-terang, ia berbalik jadi kaget. "Kiranya kau
adalah anjing dan alap-alap dari kerajaan, jika menginginkan
pedang ini. kalau punya kepandaian boleh kau coba
mengambilnya sendiri!"
Setelah itu, dengan cepat ia perlihatkan ujung senjatanya
yang bersinar mengkilap. Kakek itu tercengang, tapi karena dicaci maki, agaknya
orang tua ini menjadi gusar juga. "Sungguh orang muda tak
berguna!" ia balas mendamprat.
Sementara itu khawatir orang tua ini masih ada
begundalnya, dengan cepat Teng Hiau-lan lantas menusuk
dengan pedangnya. "Betul-betul anak muda yang tidak kenal baik dan busuk!"
kakek itu kembali membentak sambil berkelit ke samping.
Namun gerak serangan Teng Hiau-lan cepat luar biasa,
begitu mulai, maka sukar dihentikan, dalam sekejap secara
bertubi-tubi ia sudah mengirim lima kali serangan.
Si kakek sama sekali tidak pernah menduga bahwa Kiamhoat
anak muda ini bisa begitu hebat dan aneh lagi cepat, ia
tidak sempat bertempur sambil bicara terpaksa ia harus
mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melayani tipu
serangan Hiau-lan dengan kedua telapak tangannya.
Selang tak lama, serangan Teng Hiau-lan ternyata makin
gencar hingga mau tak mau orang tua itu dibikin kerepotan
juga, diam-diam kakek ini terkejut.
la membatin, "Mengapa ilmu pedang pemuda ini bisa lebih
hebat daripada Ciu Jing, apakah aku tak salah lihat, ia bukan
orang yang hendak kucari?"
Dalam pada itu, karena rangsekan Teng Hiau-lan yang
makin menghebat, terpaksa ia berulang kali mundur ke
belakang. Sebaliknya Hiau-lan semakin bersemangat, ia malah
terus mendesak maju selangkah demi selangkah.
Karena kewalahan, agaknya si kakek menjadi hilang
sabarnya, sekonyong-konyong ia menggertak sekali,
berbareng itu ia lolos juga sebatang pedang yang tergantung
di pinggangnya terus menangkis ke atas. Terdengarlah suara
nyaring saling benturnya senjata, dengan gerakan 'Sing-lionginhong' (menunggang naga memancing burung Hong),
senjata orang tua itu ternyata berhasil menempel pedang pusaka Teng Hiaulan. Hiau-lan terkejut, lekas ia tekan senjatanya ke bawah, sesudah itu dengan cepat kembali ia ayun pedangnya dua kali dengan maksud memotong pedang lawan. Tapi kakek itu ternyata tidak gampang diingusi, ia bergeser ke sana dan melangkah ke sini,
tipu serangan dibalas serangan, pedangnya berusaha tidak
sampai bentrok dengan pedang Hiau-lan yang terkenal
kelihaiannya, jika keadaan terpaksa karena tak dapat
menghindarkan saling beradunya senjata, maka segera ia
gunakan daya menempel untuk menghindarkan mata pedang
lawan yang tajam, dengan demikian ia gagalkan setiap
serangan Teng Hiau-lan. Sesudah Hiau-lan belajar tiga tahun di bawah bimbingan le
Lan-cu, Kiam-hoatnya kini sudah berbeda jauh daripada yang
dia peroleh dari ajaran gurunya terdahulu, ilmu pedangnya
kini sudah mendapat ajaran asli dari Thian-san, pedangnya
berputar seperti kilat menyambar dan angin menderu. Kakek
tadi cukup tinggi kepandaiannya dan ulet, meski Kiam-hoatnya
tidak dapat memadai Hiau-lan, namun masih belum sampai
mengalami kekalahan. Sebaliknya walaupun ilmu pedang Hiau-lan cukup lihai, tapi
karena kalah ulet dan tenaga dalamnya masih jauh di bawah
si kakek, sesudah pertempuran berjalan ratusan jurus, lambatlaun
ia sendiri merasa payah hingga mandi keringat.
Sebab itulah Hiau-lan merasa penasaran, masakah sesudah
belajar Thian-san-kiam-hoat, sekali muncul sudah harus
menghadapi musuh tangguh, sampai seorang kakek saja tak
mampu dikalahkannya. Ia tak menyadari bila dia tidak belajar
Kiam-hoat selama tiga tahun pada Ie Lan-cu, maka sudah
sejak tadi ia menjadi pecundang.
Begitulah, setelah pertarungan dilanjutkan lagi, sekalipun
gaya serangan Teng Hiau-lan sedikitpun tidak nampak kalut,
namun perlahan-lahan ia sudah merasakan napasnya sesak
dan tenaga habis. Ketika pertempuran berjalan dengan sengit, tiba-tiba
terdengar seruan orang di bawah tembok benteng itu, "Khauloyacu,
dengan siapa kau bertempur di atas sana?"
Teng Hiau-lan dapat menduga, pasti suara ini datang dari
teman orang tua, maka ia ambil keputusan, jalan yang paling
selamat adalah angkat langkah seribu. Begitulah segera ia
percepat rangsek-annya dan beberapa kali ia menusuk seperti
banteng ketaton, tampaknya menyerang dengan hebat, tapi
sebenarnya bermaksud kabur.
Karena rangsekan itu, terpaksa si kakek harus menangkis
dan berkelit, pada saat itu dengan sekali serangan pura-pura,
segera Teng Hiau-lan membalik tubuh terus kabur secepat
terbang. Dalam pada itu, dari bawah benteng terlihat naik
beberapa orang yang bersuara tadi.
Di antara seribu kerepotannya untuk kabur, Teng Hiau-lan
masih sempat menoleh ke belakang, maka tertampak olehnya
orang-orang itu semuanya berdandan seragam bayangkara
istana. Keruan Teng Hiau-lan makin mempercepat larinya, akan
tetapi aneh sekali, kakek tadi ternyata tidak mengejar, bahkan
seakan membiarkan dia lolos.
Sesudah berlari kira-kira belasan li menyusur tembok Banlitiang-sia, baru kemudian Teng Hiau-lan memperlambat
langkahnya, saat itu sudah dekat Ki-yong-koan, di atas
benteng ini lapat-lapat seperti terdapat penjaga, maka untuk
menghindarkan diri jangan sampai kepergok lagi, ia lantas
melompat turun dari tembok itu untuk menyembunyikan diri di
bukit yang sunyi dan sampai hari menjelang magrib baru ia
pulang. Karena peristiwa itu, selama beberapa hari hati Teng Hiaulan
merasa tak tenteram, akan tetapi beruntung tidak terjadi
sesuatu di luar dugaan, kemudian ia pergi mencari Kheng
Ngo. Kiranya Kheng Ngo sudah pulang di rumah, maka Hiau-lan
lantas menyerahkan surat Hian-hong Totiang untuk
seterusnya berembuk dengan kenalan barunya ini.
"Di dalam istana banyak memerlukan tenaga, kau boleh
menyelundup ke sana dan bekerja sebagai pesuruh," demikian
nasihat Kheng Ngo. "Lamaranmu tak perlu disampaikan kepada
Congkoan (kepala pengurus rumah tangga), cukup
beritahukan pada mandor pengurus saja."
Mengingat sesudah menyelundup masuk ke dalam istana
dan bila ada kesempatan dapat membawa kabur Pang Lin,
maka segera Teng Hiau-lan menerima nasihatnya, ia lalu
mohon bantuan Kheng Ngo untuk mencarikan pekerjaan
sebagai tukang kebun saja.
Istana Si-hongcu In Ceng tidak terletak dalam 'Ci-kim-sia',
yaitu benteng atau kota terlarang, akan tetapi berada di utara
benteng terlarang itu, di belakang sebuah jalan yang bernama
Ong-tay-jin Oh-tong. Sebenarnya tempat ini adalah tempat kediaman para
Lamma yang dibiayai kerajaan, tetapi kini yang separoh sudah
diubah menjadi kediaman Si-hongcu, bahkan kemudian
sesudah Si-hongcu naik takhta, ia ganti tempat itu sebagai
pusat dari Wi-kau atau Agama Kuning, yakni suatu sekte
agama Lamma, istana itu diberi nama 'Yong-ho-kiong' yang
sangat terkenal di kota Pakkhia atau Peking.
Istana ini berada di atas suatu tanah yang sangat luas,
istananya sendiri pun sangat besar dan megah, di dalamnya
terdapat taman bunga yang luas dengan pepohonan yang
tumbuh lebat. Setelah Teng Hiau-lan berhasil menyelundup masuk ke
dalam istana itu, dilihatnya dimana-mana terdapat patung
Buddha beraneka warna dan aneh, hal ini merupakan
pengalaman baru baginya. Sudah hampir setengah bulan ia bekerja di dalam istana,
namun usahanya ternyata belum membawa hasil, bukan saja
Pang Lin, si dara cilik ini belum pernah ia jumpai, bahkan Liauin,
Haptoh, Siang-mo dan lain-lain juga tidak pernah terlihat.
Pada suatu hari, waktu sudah dekat magrib, setelah Hiaulan
menyelesaikan pekerjaannya, ketika ia akan pulang
bersama Kheng Ngo, mendadak ia dengar ada suara tertawa
ria anak-anak yang sedang bermain di taman belakang, diamdiam
ia masuk ke sana buat melihatnya, maka tertampak
olehnya ada beberapa bocah yang sedang kejar-kejaran, di
antaranya ada seorang anak perempuan yang berusia dua tiga
belas tahun, gerak-geriknya sangat gesit, anak-anak lainnya
ternyata tidak dapat mengejarnya.
Rupanya dara cilik itu sangat gembira akan permainan
mereka hingga ia tertawa ngakak terus-menerus, karena itu,
maka tertampak dengan jelas sujen di pipi sebelah kanan
yang sangat manis dan menarik bagi yang melihatnya. Teng
Hiau-lan coba menunggu terus permainan anak-anak itu.
"Tak bisa kutangkap kau, sudahlah, bubar saja!" kata anakanak
lainnya sesudah kewalahan menguber dara cilik itu.
Sementara itu cuaca sudah mulai gelap, maka pulanglah
anak-anak itu. Dengan perlahan Teng Hiau-lan mendekati dara cilik yang
menarik perhatian itu, tiba-tiba ia memanggilnya, "Pang Lin,
masih ingatkah kau pada Ciong-pepek?"
Terlihat mata anak dara itu mengerling. "Apa kau bilang?"
tanyanya dengan heran. "Siapa itu Pang Lin dan siapa Ciongpepek"
Aku punya banyak paman, tetapi tiada yang she
Ciong, apa Ciong-pepek adalah orang yang baru datang?"
Mendengar jawaban itu, rasa hati Teng Hiau-lan pedih
sekali. Pikirnya, pada waktu Ciong Ban-tong meninggal, anak
inipun sudah berusia tujuh tahun, mengapa kini berubah jadi
begini hingga semuanya sudah terlupa.
"Jangan kau takut," katanya kemudian. "Aku adalah
sahabat ayah-bundamu!"
"Banyak sekali ayah-angkatku, yang mana sahabatmu?"
tanya pula dara cilik itu yang memang tidak salah lagi ialah
Pang Lin. "Bukan ayah angkatmu, tetapi ayah-ibu kandungmu!" sahut
Hiau-lan. "Darimana aku mempunyai ayah-ibu kandung" Bohong
kau!" ternyata Pang Lin tidak gampang percaya.
"Ayahmu tewas di tangan orang jahat, sedang ibumu masih
belum meninggal," Hiau-lan tidak hilang harapan, ia terus
berusaha menerangkan. "Pada waktu kau masih kecil, sering
aku menggendong kau, marilah kau ikut aku keluar dari sini
buat belajar kepandaian dan kemudian pergi mencari ibumu."
Ajakan Hiau-lan ternyata disambut Pang Lin dengan
tertawa mengikik. "Ikut kau keluar dari sini" Belajar kepandaian?" ia menegas
dengan mengejek. "Hm, kau inilah yang jahat!"
Habis berkata, mendadak ia ayunkan tangannya yang kecil,
menyusul beberapa Hui-to atau pisau terbang lantas
disambitkan. Lekas Teng Hiau-lan memutar tubuh, maka sebuah pisau
menerobos lewat di bawah bahunya, secara cepat pemuda ini
memutar lagi terus dengan dua jari ia menjepit pisau terbang
yang kedua, berbareng ditangkiskan ke samping hingga pisau
yang ketiga pun kena dipukul jatuh.
"Bagus," seru Pang Lin dengan tertawa dan bertepuk
tangan. "Kau boleh coba lagi ini, kalau kau masih sanggup
menghindar, aku nanti panggil kau sebagai paman dan belajar
kepandaian padamu!" Habis itu, tangannya yang kecil bergerak lagi, kini sekaligus
ia timpukkan enam buah Hui-to yang terbagi menjadi tiga
kelompok, tiap kelompok dua pisau dan berbareng
menyambar ke depan, setiba di tengah jalan, sekonyongkonyong
pisau itu laksana hidup saja lantas memisah ke kiri
dan kanan. Inilah kepandaian khas menyam-bitkan pisau
terbang ajaran Ciong Ban-tong.
Sebenarnya Teng Hiau-lan bermaksud menyambut pisau
terbang itu dengan tangan kosong, tetapi ia tidak sanggup
menjaga serangan dari empat penjuru sekaligus, baru sempat
dia berkelit dua kali, secepat kilat dua Hui-to yang lain
melayang lewat di pinggir telinganya.
Dalam pada itu terlihat Pang Lin masih terus mengayun
tangannya dan Hui-to masih terus menyambar susulmenyusul,
bahkan makin cepat.

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena terpaksa, pada waktu berkelit, dengan cepat Hiaulan
melolos Yu-liong-pokiam, ia menyapu dengan senjatanya,
maka terdengarlah suara gemerincing yang riuh dari logam
yang terkutung, seketika hujan pisau yang dihamburkan oleh
Pang Lin tadi semuanya kena dikutungi oleh Yu-liong-pokiam.
Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara suitan aneh,
berbareng ada orang membentak, "Siapa berani mengacau di
sini?" "Sat-pepek, orang ini menyuruh aku ikut dia pergi!" Pang
Lin berseru demi mendengar suara orang itu.
Mengerti gelagat jelek, dengan cepat Teng Hiau-lan
meloncat pergi, baru saja ia hendak melompat ke atas pagar
tembok taman, sekonyong-konyong dari atas tembok itu
melayang turun sesosok bayangan hitam besar laksana
burung raksasa, bayangan ini terus menubruknya dari atas,
sedang sepuluh cakarnya yang tajam seperti kaitan berbareng
menghantam juga ke bawah.
Secepat kilat Hiau-lan ayun pedangnya, dengan pura-pura
menyerang, tapi segera pula ia balik tubuh terus menerjang ke
tempat dimana Pang Lin berada tadi.
Namun menyusul ia dengar suara bentakan lagi, dengan
kedua lengan yang besar kasar, Tay-lik-sin-mo Sat Thian-toh
sudah menghadang di depannya, sedang Pang Lin pun sudah
menyembunyikan diri ke belakang Sat Thian-toh, dengan
tangan masih menggenggam pisau dia menyaksikan
pertunjukan menarik ini dengan tertawa.
Kalau yang menghadang di depan Teng Hiau-lan adalah Sat
Thian-toh, maka yang menubruk dari atas pagar tembok tadi
dengan sepuluh cakarnya bukan lain ialah Pat-pi-sin-mo Sat
Thian-ji, mereka berdua saudara lantas mengepung Teng
Hiau-lan dari muka-belakang.
"Haha, Teng Hiau-lan, kiranya kau!" dengan tertawa
terbahak-bahak Sat Thian-ji menegur. "Apa kini kau datang
hendak mengangkat guru padaku?"
"Bukan, ia suruh aku ikut dia pergi, malah katanya ia
hendak mengajarkan kepandaian padaku!" terdengar Pang Lin
menyela. "Bagus, boleh coba kepandaian apa yang kau miliki?"
bentak Sat Thian-toh yang sudah tak sabar. Berbareng itu
kedua tangannya bergerak, segera ia menerjang maju,
dengan tangan kiri ia memukul ke dada orang, sedang tangan
kanan lantas hendak mencengkeram pergelangan tangan
Teng Hiau-lan. Namun Teng Hiau-lan tidak menyerah mentah-mentah, ia
unjuk Kiam-hoatnya yang dipelajari akhir-akhir ini, begitu sinar
pedangnya berkelebat, kontan ia menyerang secepat angin.
Sungguh di luar dugaan Sat Thian-toh bahwa ilmu pedang
pemuda ini bisa begitu cepat, begitu pukulannya mengenai
tempat kosong, dengan cepat pula ia mengegos ke samping,
namun betapa cepatnya ia menghindar tidak urung ujung
senjata lawan sudah berhasil menggores pundaknya.
Nampak adiknya terluka, lekas Sat Thian-ji menubruk maju,
dengan cara menyambar seperti elang kucing, Pat-pi-sin-mo
kembali menubruk dari atas dengan sepuluh cakarnya yang
lancip lagi tajam. Akan tetapi kini Teng Hiau-lan sudah cukup waspada, ia
lindungi kepalanya dengan memutar pedang sedemikian rupa
hingga berwujud lingkaran sinar perak.
Dari atas sudah tiga kali Sat Thian-ji berusaha menjambret
orang, namun sia-sia saja serangannya itu hingga akhirnya ia
harus menancapkan kaki ke bawah.
Di sebelah sana Sat Thian-toh pun menjadi kalap, dengan
suara menggereng gemuruh, ia ayun kepalan dan menerjang
maju lagi. Tetapi Teng Hiau-lan tidak menjadi gentar, dengan cepat ia
menusuk dua kali ke arah Siang-mo.
"Kiam-hoat bagus!" seru Sat Thian-ji atas serangan itu.
Berbareng ia baliki tangannya dan meraup, sepuluh kuku
jarinya yang panjang dan tajam kembali mencakar
pergelangan tangan Teng Hiau-lan.
Lekas Hiau-lan angkat pedangnya buat memotong, karena
sambutan ini terpaksa Sat Thian-ji harus menarik kembali
tangannya, ia terus menggeser dengan cepat, lalu mencakar
pula ke lengan kiri lawan. Sedang kedua telapak tangan Sat
Thian-toh yang membawa angin pukulan keras berbareng juga
dihantamkan dari depan. Menghadapi gencetan kedua musuh, segera Teng Hiau-lan
keluarkan 'Han-to-kiam-hoat' (ilmu pedang suhu dingin) dari
Thian-san-kiam-hoat yang hebat, segera tertampak sinar putih
gemerdep berhamburan. Namun di antara sinar pedang itu, Sat Thian-ji masih terus
menerobos kian kemari saling uber dengan Teng Hiau-lan.
Pemuda ini tak mampu lolos dari rangsekannya, sebaliknya
Pat-pi-sin-mo Sat Thian-ji pun tidak bisa menubruk dekat
padanya. Sedang Sat Thian-toh masih terus melancarkan
pukulan dari luar garis, tiap pukulannya sangat kuat hingga
membawa sambaran angin menderu, di antara guncangan
angin pukulan, beberapa kali pedang Teng Hiau-lan kena
tergetar menceng hingga memberi lubang kepada Sat Thian-ji
untuk menggempur padanya.
Sekalipun Kiam-hoat Hiau-lan memang hebat, namun
sayang tenaga latihannya kurang, dia kalah ulet, maka tidak
selang berapa lama ia sudah mulai merasa payah dan tak
tahan lagi, sebaliknya Sat Thian-ji makin ganas dengan
cakarnya yang lihai. "Ha, orang tak tahu malu! Kepandaianmu selisih tidak
banyak dari aku, sebaliknya kau ingin menjadi guruku!"
dengan bertepuk tangan Pang Lin tertawa mengejek di
samping. Rada mendongkol juga Teng Hiau-lan. "Pang Lin, dua
orang ini adalah musuh besarmu, sekalipun kepandaiannya
lebih tinggi lagi, tak boleh kau mengaku musuh sebagai
bapak!" bentaknya keras.
Dalam keadaan tergencet, Hiau-lan mengira pasti sulit
meloloskan diri, oleh sebab itu, tidak peduli Pang Lin paham
atau tidak, ia berusaha menyadarkan dara cilik itu.
Sebaliknya air muka Sat Thian-ji lantas berubah.
"Yan-ji, jangan kau percaya omongannya!" serunya.
Kemudian itu sepuluh cakarnya bekerja semakin cepat,
mengait, mencakar, merobek dan menjambret sekenanya.
Telah beberapa kali Hiau-lan berusaha menerjang keluar
dari kepungan, namun selalu dipaksa mundur kembali hingga
berulang kali ia harus menghadapi bahaya dan tampaknya
pada akhirnya tidak urung ia akan terkena juga.
"Masih tidak lekas menyerah!" Sat Thian-ji menggertak
tatkala nampak lawannya sudah mulai tak berdaya.
Namun Hiau-lan tidak mau menyerah mentah-mentah,
dengan mengertak gigi ia ayun pedangnya melayani musuh
lagi. Waktu itu, orang-orang dalam istana pangeran itu sudah
pada terkejut oleh pertarungan sengit itu, mereka berduyunduyun
ke taman. Kheng Ngo yang juga berada di antara orang-orang itu
diam-diam mengeluh karena kawannya bakal tertangkap.
Selagi Kheng Ngo berniat mengeluyur kabur, tiba-tiba
terdengar di luar ada suara bentakan meminta jalan, menyusul
terlihat penonton pertempuran itu tersiak minggir, kemudian
tertampak serombongan orang berjalan masuk.
"Dimana Hap-congkoan kalian" Lekas panggil In Ceng buat
menemui aku!" terdengar pemimpin rombongan itu
membentak bertanya. Mendengar suara bentakan itu, sekonyong-konyong Sat
Thian-ji melompat keluar kalangan pertempuran.
Melihat tindakan lawan itu, Teng Hiau-lan menjadi bingung,
ia bermaksud kabur, tetapi seluruh penjuru kini sudah
merupakan pagar manusia, cara bagaimana ia bisa lolos"
Pemimpin dari rombongan orang yang baru datang tadi
ternyata adalah putra sulung Kaisar Khong-hi, yakni pangeran
In Si bergelar Tit-kun-ong.
Meski Kaisar Khong-hi masih belum mengangkat salah
seorang di antara putra-putranya itu sebagai putra mahkota
yang akan menggantikan takhtanya, namun bagaimanapun
juga wibawa putra pangeran tertua tetap lebih besar dan lebih
disegani. Tatkala itu para putra pangeran sedang ramai saling
berusaha merebut kedudukan mahkota, di antara mereka
lebih-lebih Si-hongcu (pangeran keempat) In Ceng, Pathongcu
(pangeran kedelapan) In Gi, Cap-hongcu (pangeran
kesepuluh) In Go dan Capsi-hongcu (pangeran keempat belas)
In Te yang paling giat mengerahkan kekuatan masing-masing.
In Si sebagai putra pangeran paling tua, dengan sendirinya
tidak rela melepaskan hak mahkota itu, oleh karena itu ia pun
banyak bersekongkol dengan pembesar kerajaan yang
berkuasa, dan banyak mengumpulkan bayangkara yang berani
mati baginya. Di antara putra pangeran itu, Si-hongcu In Ceng yang
paling kerap menyamar sebagai rakyat biasa dan mengeluyur
keluar kota-raja. Pada waktu Teng Hiau-lan masuk ibukota,
justru pada hari itu Si-hongcu lagi menyamar dan keluar,
Haptoh, Liau-in, Thian-yap Sanjin dan tokoh silat lain diajak
pergi seluruhnya. Si-hongcu meninggalkan kotaraja, hal ini sebenarnya
adalah urusan maha rahasia, tetapi entah cara bagaimana hal
ini akhirnya tercium oleh In Si, putra pangeran tertua ini.
Pada zaman feodal, Hongcu atau putra pangeran keluar
kotaraja tanpa idin adalah suatu hal yang melanggar
peraturan. Tetapi tiap kali Si-hongcu In Ceng keluar, selalu ia
melaporkan pada Ayah. Bagindanya bahwa dia sedang sakit.
Untungnya Kaisar Khong-hi terlalu banyak putra-putrinya,
pula ia paling benci kepada Si-hongcu dan jarang sekali
memanggilnya, jika kebetulan ia memanggil dan mendengar
bahwa putra keempat ini sakit, maka ia pun tidak
memperhatikannya lebih jauh. Oleh sebab itulah, makin lama
Si-hongcu pun makin berani, sampai akhirnya waktu yang ia
pergunakan di luar kotaraja jauh lebih banyak daripada
berdiam di istana. Sekali ini In Si dapat mencium bahwa In Ceng sedang
keluar kota, maka timbul akalnya, ia lantas mengunjungi
istana saudaranya. Tapi begitu ia masuk istana segera
terdengar ada suara orang sedang bertempur, saking
herannya ia lantas menuju ke taman belakang.
Begitulah, ketika Sat Thian-ji mengetahui sedang
berhadapan dengan siapa, iblis ini menjadi gugup. "Si-tianhe.
(tianhe, sebutan pada putra pangeran) sedang sakit, tidak
dapat menerima Tianhe!" lekas ia melapor.
"Baik, coba aku sambangi dia," sahut In Si tanpa pikir,
sesudah itu ia membentak lagi supaya Sat Thian-ji
menunjukkan jalan. "Biar hamba tangkap pembunuh ini dulu," kata Sat Thian-ji
dengan menunjuk Teng Hiau-lan, ia berusaha mengulur waktu
dan membelokkan perhatian orang.
Namun In Si ternyata tidak menggubris padanya. "Khau
Sam-pian, boleh kau tangkap pembunuh itu!" tiba-tiba ia
menoleh dan memerintahkan pada pengawal yang berdiri di
sampingnya, sesudah itu ia berkata pula kepada Sat-Thian-ji,
"Kau tidak perlu buang tenaga lagi, kini boleh kau bawa aku
pergi menemui In Ceng."
Dalam pada itu, atas perintah tadi pengawal yang berdiri di
samping In Si telah menyahut satu kali, berbareng lantas
melompat maju. Sesudah berhadapan dan dapat melihat jelas siapa adanya
pengawal ini, Teng Hiau-lan menjadi terperanjat. Kiranya
pengawal ini bukan lain ialah itu kakek yang pernah bergebrak
dengan dia di atas benteng Ban-li-tiang-sia beberapa hari
yang lalu. Dalam keadaan demikian, Teng Hiau-lan sudah tiada napsu
buat bertempur lagi. Ia pikir, akhirnya toh tak akan bisa lolos,
daripada terjatuh di dalam cengkeraman Siang-mo, lebih baik
jatuh di tangan orang ini saja.
Begitulah, maka sesudah bergebrak beberapa kali, ia
sengaja memberi kesempatan kepada Khau Sam-pian
mengeluarkan 'Tay-kim-na-jiu' (ilmu memegang dan
menangkap), segera Hiau-lan kena dibekuk.
"Baiklah, kini kau boleh giring pulang tawanan ini lebih
dulu," perintah In Si pula.
Kiranya In Si menyangsikan tawanan ini ada hubungannya
dengan perebutan mahkota di antara mereka, maka ia sengaja
tidak menyerahkan tawanan pada orang In Ceng, sebaliknya
ia perintahkan Khau Sam-pian menggiring pulang dulu
tawanannya dan berniat memeriksanya sendiri nanti.
Ketika kemudian In Si membentak lagi agar Sat Thian-ji
menunjukkan jalan, ternyata Sat Thian-ji tetap membangkang.
"Aku hanya seorang pengawal, tak berani masuk begitu
saja ke bagian dalam istana!" sahut Sat Thian-ji beralasan.
Mendadak air muka In Si berubah, ia menjadi murka.
Tetapi sebelum putra pangeran itu mengumbar amarahnya,
pada saat itu juga tiba-tiba seorang dara cilik menyelak ke
tengah dari belakang Sat Thian-toh.
"Tianhe, aku saja yang membawa engkau ke sana!" kata si
dara cilik alias Pang Lin kepada putra pangeran itu. "Kau
siapa?" tanya In Si.
"Aku ialah dayang yang melayani Si-tianhe," sahut Pang
^in. "Baiklah, kau dara cilik ini baik sekali, coba tunjukkan jalan
ke sana," ujar In Si.
Maka berangkatlah Pang Lin ke dalam istana dengan
membawa In Si berikut pengawalnya, tetapi sebelum ia
melangkah pergi, lebih dulu ia main mata memberi tanda
kepada Sat Thian-ji.... Bercerita mengenai Khau Sam-pian, sesudah dia berhasil
menawan Teng Hiau-lan, dengan cepat ia lantas berangkat
pulang, dengan dua orang Thaykam (dayang kebiri), mereka
naik kereta kuda terus menuju ke Ci-kim-sia, kota terlarang
dimana In Si tinggal. Sebagai putra pangeran sulung, maka In
Si dapat tinggal di dalam benteng terlarang yang menjadi
tempat semayam ayah bagindanya itu.
Hanya sebentar saja kereta kuda mereka sudah tiba di
benteng itu, mereka memasukinya melalui Sin-bu-mui, pintu
gerbang bagian belakang. Seturunnya dari kereta, dua Thaykam mendahului berjalan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di depan, sedang Khau Sam-pian dengan mengempit Teng
Hiau-lan berjalan di belakang.
Sementara itu hari sudah gelap, pintu istana sudah tutup,
di taman bunga yang luas dimana mereka berlalu hanya
terdapat Thaykam yang sedang meronda kian kemari.
Istana tempat tinggal In Si adalah Seng-kian-kiong di
sebelah timur, sedang tiga puluh enam istana yang berada di
sebelah barat adalah tempat kediaman Hongte beserta
permaisuri dan para selirnya. Para putra pangeran dan
anggota keluarga serta para pengawal kalau tidak mendapat
panggilan tidak bisa masuk ke sana.
Tidak lama kemudian ketika melalui simpang jalan
perbatasan di antara istana timur dan barat itu, sekonyongkonyong
Khau Sam-pian membisiki telinga Teng Hiau-lan.
"Lekas kau lari masuk ke istana sebelah barat sana! Sesudah
melompat lewat pagar tembok itu, di dalam taman bunga sana
itu kau berjalan kira-kira dua ratus langkah ke sebelah utara,
di situ terdapat sebuah gunung-gunungan, bila kau kitari
gunung-gunungan palsu ini kemudian kau akan mendapatkan
sebuah kolam, pada sebelah kiri kolam ini sekira lima puluh
tindak terdapat sebuah rumah yang terbuat dari batu hitam,
masuklah ke dalam rumah itu, bila ketemukan orang di dalam,
janganlah kau takut, dengan demikian tanggung kau akan
lolos dari bahaya!" Habis berkata, bayangkara itu mendadak mengendorkan
cekatannya sembari berteriak, "Aduh! Sungguh pembunuh
yang lihai!" Berbareng itu ia cabut pedangnya terus menusuk ke paha
sendiri secepat kilat, ketika kedua Thaykam yang berjalan di
depan menoleh karena teriakan orang, sementara itu Teng
Hiau-lan sudah melayang lewat pagar tembok yang ditunjuk
tadi, terus kabur masuk ke dalam istana sebelah barat itu.
Sambil berlari, dalam benak Teng Hiau-lan penuh diliputi
dengan teka-teki, sungguh ia tidak mengerti mengapa Khau
Sam-pian melepaskan dirinya. Akan tetapi dirinya kini sudah
berada di tengah istana kaisar, mau tak mau ia harus
menuruti petunjuk yang diberikan Khau Sam-pian tadi.
Istana itu ternyata luas dan besar sekali, sesudah melewati
pagar tembok, secara sembunyi-sembunyi Teng Hiau-lan
menyelusup masuk ke dalam taman bunga, dari sini ia
berjalan ke jurusan utara dua ratusan tindak, betul juga ia
lihat sebuah gunung-gunungan palsu, sesudah mengitari
gunung-gunungan ini, tidak salah lagi di situ terdapat sebuah
kolam teratai, kemudian ia berjalan lima puluhan langkah
menuju ke sebelah kiri, di sim diketemukan rumah batu hitam
yang dikatakan Khau Sam-pian tadi.
Di sekitar situ, semua istana tampak mentereng dan
bercahaya, hanya rumah batu hitam ini saja yang dibangun
dengan jelek, sederhana lagi gelap.
Waktu Hiau-lan sampai di depan pintu rumah hitam ini,
segera ia merasakan hawa dingin yang seram, di pintu rumah
itu penuh sa-wang, jelas tempat ini jarang didatangi orang.
Sesudah Hiau-lan masuk ke dalam, ia mendaki undakundakan
batu di dalamnya, tiba-tiba ia mendengar ada orang
bertanya dengan suara perlahan dan lemah dari kamar
samping sana, "Siapa itu?"
Tanpa ragu-ragu Teng Hiau-lan lantas mendorong pintu
kamar itu, tertampak olehnya di dalam sim terdapat seorang
wanita yang sudah berambut ubanan, mukanya kurus kering
dan sedang memainkan sebuah khim (kecapi). Ketika tiba-tiba
melihat masuknya Hiau-lan, wanita itu mementang mata
lebar-lebar. "Khau Sam-pian yang menyuruh aku datang ke sini!" kata
Hiau-lan sebelum orang bertanya lagi.
"O!" wanita itu bersuara sekali, sesudah itu mendadak sorot
matanya menjadi terang, ia mengamat-amati Hiau-lan tanpa
berkedip, sedang kulit mukanya tampak berkerut-kerut, dua
tetes air matanya tiba-tiba menetes jatuh.
Teng Hiau-lan sendiri tiba-tiba merasa wanita ini seperti
sudah pernah dikenalnya entah dimana, dalam hatinya tibatiba
timbul semacam firasat aneh.
"Duduklah kau!" kata wanita itu kemudian dengan perlahan
sesudah cukup lama ia memandang Hiau-lan.
Meski suaranya lemah, tapi seperti ada sesuatu kekuatan
yang tak bisa dibantah, Teng Hiau-lan hanya menurut saja
dan lantas berduduk. "Coba lepaskan bajumu!" wanita itu berkata.
Sudah tentu Hiau-lan terkejut dan sangsi.
"Aku minta kau lepaskan baju," kata wanita itu pula. "Kau
boleh memeriksanya sendiri, tepat di dadamu terdapat sebuah
tahi lalat hitam besar dan di dua samping tetekmu terdapat
pula dua tahi lalat hitam yang lebih kecil hingga berupa segi
tiga, coba kau merabanya sendiri, betul atau tidak?"
Mendengar ucapan ini, makin terkejutlah Hiau-lan. Sungguh
ia tidak paham mengapa wanita ini bisa begitu jelas akan
keadaan badannya. "Tidak perlu buka baju lagi, memang betul di atas badanku
terdapat tiga tahi lalat yang kau sebut tadi!" sahutnya
kemudian dengan suara terputus-putus.
"Bukankah ayah angkatmu bernama Ciu Jing?" wanita tua
itu bertanya lagi. Kembali Hiau-lan terkejut.
"Ya," akhirnya ia menjawab juga.
Mendengar jawaban yang pasti ini, tiba-tiba wanita itu
menangis sedih. "O, anakku! Kau sudah begini besar!"
serunya. Karena kata-kata orang ini, Hiau-lan melonjak kaget.
"Apa?" ia menegas. "Ayah dan ibuku sudah lama meninggal!
Apa kau ... kau Sebenarnya ia hendak mengatakan, "Apa kau
sudah gila!" Akan tetapi ia terpengaruh oleh sinar mata wanita
itu, entah mengapa, bagaimanapun kata-kata itu tidak dapat
diucapkannya. Rupanya wanita itu terkesima juga karena bantahan Hiaulan
tadi, tiba-tiba ia mengusap air matanya. "Memang tidak
dapat me-nyalahkanmu bila kau tidak tahu," katanya lagi
dengan tersenyum pedih. "Coba kau duduk dulu."
Kembali Teng Hiau-lan menurut dan berduduk kembali.
"Apa kau kira ayah kandungmu ialah Teng Ban-ing?" tanya
wanita itu sesudah Hiau-lan berduduk dengan baik.
"Siapa lagi kalau bukan dia?" sahut Hiau-lan dengan tidak
mengerti. "Bukan dia, tetapi adalah Hongsiang (Sri Baginda) yang
sekarang ini!" kata wanita itu dengan tegas.
Mendengar itu, seketika kepala Hiau-lan merasa seperti
kena dikemplang orang, ia tak tahan lagi. "Bohong kau!"
teriaknya sambil melonjak bangun pula.
"Duduklah kau, duduk, dengarkanlah kata-kataku," bujuk
wanita. "Walaupun tidak enak mempunyai seorang ayah yang
menjadi Hongte (kaisar), tapi bagaimanapun memang dia
adalah ayahmu. Aku kini sudah loyo, sudah tidak lama lagi
hidup di dunia fana ini. Syukurlah Thian yang maha murah
telah mempertemukan kita, maka takkan kubiarkan kau
selamanya tertutup oleh tabir rahasia ini. Jangan kau
memandang aku saja, tapi duduklah yang baik, duduklah!
Dengarkan penuturanku ini!"
Dalam keadaan demikian, terguncang juga hati Hiau-lan,
kembali ia berduduk lagi. "Baik, katakanlah!" sahutnya
kemudian. "Lebih tiga puluh tahun yang lalu, tatkala itu aku baru
berusia tujuh belas tahun, bersama kakek luarmu kami tinggal
di luar pintu gerbang sebelah barat kota," begitulah wanita itu
mulai dengan ceritanya. "Tatkala itu aku sudah bertunangan,
bakal suamiku bernama Ciok Keh-siu, ia bekerja sebagai
pegawai rendah pada bagian urusan rumah tangga di dalam
istana. Waktu itu Ciu Jing belum memberontak dan masih
menjabat sebagai Wi-su (pengawal, bayangkara) di dalam
istana. Mereka, yaitu tunanganku, Ciu Jing dan Khau Sam-pian
bertiga bersahabat baik sekali.
"Pada suatu tahun, waktu kaisar mengadakan pemilihan
gadis cantik, ternyata aku terpilih. Karena orang-tuaku bukan
keluarga mampu dan tidak punya uang buat menyogok
pembesar yang bersangkutan, maka akhirnya terpaksa aku
memasuki istana ini. Kala itu sebenarnya aku sudah nekat
ingin bunuh diri saja, tapi Keh-siu mengatakan bahwa tiap
sepuluh tahun sekali para Kiong-go (pelayan atau dayang di
istana) tentu akan mengalami penyisihan, yakni dibebaskan
lagi. Asal bisa mempertahankan kebersihan tubuh, sesudah
sepuluh tahun, berhubung usia sudah menanjak, maka Honghou
(permaisuri) akan memberi pengampunan dan
melepaskannya kembali ke rumah masing-masing untuk
menikah. Sebab kalau tidak demikian, pemilihan gadis terus
berlangsung, sedang jika yang sudah tua tidak dikeluarkan
kembali, tentu sukar menampung orang sebanyak itu di dalam
istana" Menurut jalan pikiranku waktu itu begitu banyak gadis
yang masuk istana, asal saja aku tidak menonjolkan diri, tentu
pula Hongte takkan memperhatikan diriku. Jika Keh-siu
bersedia menanti aku sampai sepuluh tahun lagi, kalau
sekarang aku bunuh diri, bukankah akan sia-sia cintanya yang
murni. Dan begitulah lalu aku masuk ke istana.
"Setelah lima tahun kulewatkan di dalam istana, selama itu
belum pernah aku berjumpa dengan Hongte. Karena tempo
yang dilewatkan itu terlalu iseng, aku belajar menabuh khim
hingga pandai betul. Pada suatu hari, aku sedang menabuh
alat musik ini dengan lagu daerah Kanglam, Kanglam adalah
tanah asal kami. Dan sungguh sangat kebetulan sekali pada
waktu aku sedang menabuh kecapi, tiba-tiba Hongte
kebetulan lewat, beliau mendengar suara khim yang aku
tabuh, rupanya ia senang sekali, maka malam itu juga aku
telah diberkahi panggilan. Tatkala itu biarpun aku ingin bunuh
diri juga tidak mungkin lagi, karena siapa saja yang berani
bunuh diri di dalam istana, hukuman akan dijatuhkan juga
kepada semua sanak keluarganya. Sebab itulah terpaksa aku
menahan noda itu buat hidup terus.
"Sementara itu Ciu Jing sudah memberontak, kadangkadang
Khau Sam-pian suka masuk ke dalam istana untuk
bertugas, diam-diam aku berpesan padanya agar
memberitahukan Keh-siu agar dia mencari gadis lain saja dan
tidak perlu menanti aku lagi. Siapa tahu, setelah menerima
kabar itu Keh-siu menjadi sedih sekali, pada hari kedua ia
lantas meninggalkan pekerjaannya. Kemudian aku baru tahu
bahwa kepergiannya itu adalah untuk mencari Ciu Jing, tapi
seterusnya tak pernah lagi aku mengetahui dimana ia berada,
Ciu Jing sendiri pun tidak pernah bertemu dia lagi.
"Sesudah lewat setahun, lahirlah kau. Waktu itu Hongsiang
sudah mempunyai empat belas putra pangeran, urusan
pengangkatan putra mahkota sudah mulai hangat
diperebutkan. Menurut peraturan dalam istana, sebenarnya
perempuan bangsa Han tidak diperbolehkan menjadi Hui
(selir), sejak pengalaman kaisar yang dahulu dengan selirnya
Tang-ok-hui yang menimbulkan peristiwa hangat, peraturan
ini makin diperkeras. Karena itu, para Kui-hui (selir
kesayangan) yang melahirkan putra menjadi sirik dan iri
padaku karena gadis bangsa Han bisa memperoleh berkah
dari Hongte, maka mereka lantas memfitnah diriku di hadapan
Honghou dan akhirnya aku digusur ke dalam istana
pengasingan, bahkan ada usaha ingin membunuh kau!"
Mendengar kata-kata terakhir ini, hati Teng Hiau-lan
terguncang dan terperanjat. "Dan hal itu apakah tak diketahui
oleh Hongte?" tanyanya.
Wanita tua itu tersenyum pilu. "Di dalam istana entah
berapa banyak pelayan cantik dan yang mendapat berkah
panggilan Hongsiang pun tidak diketahui ada berapa banyak,
mana beliau menaruh perhatian lagi pada diriku," tuturnya
lebih lanjut. "Sesudah Honghou mengurung aku dalam istana
pengasingan ini, entah kemudian Hongte mendapat tahu atau
tidak, aku pun tidak mengetahuinya."
Cerita ini membikin hati Teng Hiau-lan menjadi makin
dingin dan terasa ngeri. "Dan dengan begitu lalu tanpa sebabmusabab
kau dikurung dalam istana ini hingga lebih dua puluh
tahun?" tanyanya. "Ya, dan kinipun sudah merasa terbiasa," wanita itu
mengangguk. "Semula di sini terdapat penjaga, aku dilarang
keluar dari rumah batu ini, belakangan, sesudah lama,
Honghou telah meninggal, aku pun sudah tua, maka tiada
orang lagi yang memperhatikan diriku, mereka membiarkan
aku hidup dan mati sendiri, hanya tiap hari ada orang
mengantar nasi dua kali, selain itu tiada lagi yang mempedulikan
diriku. Aku sudah boleh bebas bergerak di dalam
taman, tetapi karena sudah biasa tinggal dalam istana
pengasingan ini, sinar matahari saja aku sudah sungkan
melihatnya. Begitulah maka setiap hari aku hanya berdiam di
sini menantikan kematianku!"
Sampai di sini, Hiau-lan tidak dapat menahan diri lagi, ia
melompat maju terus merangkul wanita tua itu. "O, ibu yang
harus dikasihani!" ia meratap dengan suara sesenggukan.
Wanita itu menghela napas, dengan perlahan-lahan ia
membelai rambut putranya. "Sudah terlalu biasa, maka air
mataku pun sudah kering," katanya dengan perlahan. "Kalau
bukan karena aku terkenang padamu, mungkin sudah lama
aku mati." Pilu rasa hati Hiau-lan hingga ia pun menangis tersedusedu.
"Jangan kau menangis," kata wanita itu. "Kita berterima
kasih kepada Thian, akhirnya kau datang juga. Aku masih
ingat, pada waktu aku menyerahkan kau kepada Khau Sampian
dan dibawanya keluar istana secara diam-diam, tatkala
itu kau masih belum genap berumur sebulan. Ah, untuk
menghitung saja rasanya aku pun tidak sanggup lagi, berapa
usiamu kini?" "Dua puluh delapan!" jawab Hiau-lan. _
"Kalau begitu aku pun sudah ada dua puluh delapan tahun
tinggal di dalam istana pengasingan ini," ujar wanita itu.
"Sungguh suatu masa yang cukup panjang, entah cara
bagaimana aku melewatkannya selama ini! Sesudah kau lahir,
aku telah minta Thaykam dari King-su-pang (bagian urusan
kelahiran) agar dilaporkan pada Hongte, tapi tidak tersangka
malah terjadi sebaliknya, Thaykam itu justru melaporkannya
pada Honghou. "Sesudah beberapa hari aku menunggu dan tak nampak
Hongte datang, juga pembesar dari Cong-jiu-hu (pembesar
yang khusus mengurus keluarga kerajaan) tidak muncul, aku


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantas tahu gelagat jelek, karena soal saling bunuh di antara
sedarah sedaging di dalam istana sedikit banyak aku pun
sudah mengetahui, maka aku merasa sangat khawatir atas
keselamatan dirimu. "Aku telah berdaya upaya, semua harta benda simpananku
kuberikan kepada seorang Thaykam cilik dengan permintaan
agar kau diselundupkan keluar istana dan diserahkan kepada
Khau Sam-pian, sedang di dalam istana aku pura-pura
mengatakan kau sudah meninggal dalam umur belum genap
sebulan, apalagi Hongte memang belum mengetahui
kelahiranmu, maka tiada orang yang menyelidiki kejadian itu.
"Begitulah tiga hari sesudah kau diselundupkan keluar
istana, aku pun lantas dimasukkan ke dalam istana
pengasingan ini oleh Honghou, dengan alasan aku telah
memelet Sri Baginda dan mengacaukan tata tertib keluarga,
dengan demikian maka tanpa pengadilan aku tertutup di
istana ini hingga dua puluh delapan tahun!"
"Dan bagaimana kemudian" Cara bagaimana aku berada
pada keluarga Teng?" tanya Hiau-lan dengan tersengaksenguk.
Wanita itu berhenti sejenak, sesudah itu baru ia teruskan
pula, "Aku lupa menerangkan kepadamu tadi, aku masih
punya seorang adik perempuan, atas perantaraan Ciu Jing,
adikku itu telah menikah dengan seorang Piau-su she Teng.
sesudah Khau Sam-pian membawa kau ke rumah keluarga
Teng itu, karena adikku tidak mempunyai anak, lalu kau
dipeliharanya sebagai anak kandung sendiri."
Kini baru Hiau-lan mengerti jelas duduknya perkara, ia
seperti baru tersadar dari impian buruk. "Kalau begitu kedua
orang-tuaku yang tewas dengan mengerikan itu kiranya
adalah paman dan bibiku!" katanya.
"Ya," wanita itu membenarkan, "selama dua puluh tahun
aku dikeram dalam istana ini, pernah beberapa kali Khau Sampian
secara sembunyi-sembunyi menyambangi aku, dari dia
aku mengetahui bahwa entah pangeran yang mana telah
dapat mencium bahwa kau berada di rumah keluarga Teng,
maka orang telah dikirim buat menangkap kau dan akhirnya
ayah angkatmu dan adikku terbunuh semua. Pada waktu
tugas dinas keluar, pernah Khau Sam-pian berjumpa dengan
Ciu Jing. Ciu Jing telah memberitahu padanya bahwa dia
sudah menerima kau sebagai anak angkatnya dan hendak
menurunkan Yu-liong-pokiam padamu, Khau Sam-pian
dipesan agar kelak bila berjumpa dengan pemuda yang
memakai Yu-liong-kiam, maka itulah kau adanya."
Mendengar penuturan terakhir ini, maka semuanya menjadi
lebih jelas bagi Teng Hiau-lan. Kiranya pada waktu ia berada
di atas tembok besar Ban-li-tiang-sia dan sedang memainkan
Yu-liong-pokiam, di sana ia kepergok dan lantas dikenali oleh
Khau Sam-pian. "Dimana Ciu Jing berada kini" Apa dia masih hidup?"
wanita tua bertanya. "Ia sudah meninggal dua belas tahun yang lalu!" sahut
Hiau-lan. Habis itu ia pun lalu menceritakan kisahnya yang dahulu,
mulai dia dan bibinya diuber-uber bayangkara istana hingga
sampai di daerah terpencil di barat dan akhirnya bibinya tewas
dengan menyedihkan, lalu ia ditolong oleh Ciu Jing dan
diserahkan pada keluarga Pang, belakangan diuber-uber pula
oleh Hiat-ti-cu hingga ayah beranak she Pang tewas
semuanya, bahkan ibu dan putri mereka pun terpisah, begitu
pula mengenai tewasnya Ciu Jing, ia pun menceritakan
semua. Wanita tua itu terharu sekali hingga air matanya kembali
bercucuran. "Sudah lama sekali air mataku terasa kering, tapi
hari ini aku akan menangis sepuasnya," katanya dengan
tersendat. Menghadapi ibunya, pikiran Hiau-lan pun menjadi kusut
dan timbul tenggelam tak keruan.
Selama di bawah gemblengan Ciu Jing, Hiau-lan telah
dibimbing hingga pemuda ini menjadi sangat benci terhadap
kerajaan Boan-jing. Selamanya Ciu Jing juga tidak pernah
menerangkan asal-usul Hiau-lan, karena itu Hiau-lan selalu
mengira dirinya adalah bangsa Han, sudah lama terkandung
cita-citanya menumbangkan kerajaan Boan-jing untuk
membangun Bing kembali. Tetapi kini, sama sekali tidak pernah diduga, bahwa dirinya
justru adalah seorang putra pangeran bangsa Boan,
kenyataan yang tak kenal kasihan ini seperti sebuah palu
raksasa menghantam hancur lebur hatinya, remuk rendam
perasaannya, ia mengharap ini hanya khayal belaka, namun
sayang, ini bukan khayalan atau impian buruk, melainkan
suatu kenyataan. Demikianlah, perasaan dendam dan benci akan riwayat diri
sendiri, seperti benang kusut mengikat dalam hati pemuda ini.
"Ibu coba katakanlah bagaimana aku harus berbuat?"
tanyanya kemudian dengan bingung dan hilang akal.
Kembali sang ibu mengelus-elus kepala putranya ini, lama
dan lama sekali baru terdengar orang tua ini membuka suara
pula, "Beberapa tahun permulaan ketika aku ditutup dalam
istana pengasingan ini, aku sangat pedih, luka hatiku, aku
benci kepada Hongsiang. Akan tetapi belakangan, setelah siang dan malam aku cuma
menanti ajalku di sini, rasa hatiku sudah kaku, segalanya
sudah tidak aku pikirkan lagi, hatiku sudah dingin! Semua
suka dan duka, rasanya sudah beku seluruhnya.
"Dan sekarang kau minta nasihat padaku, tapi apa yang
harus aku katakan" Aku tidak tahu, biarlah aku pikirkan dulu
perlahan-lahan. Ya, kau seharusnya seorang Hongcu
(Pangeran), tapi sebaliknya aku tidak ingin kau menjadi
Hongcu." "Bukan soal ini, ibu, tidak nanti aku mau menjadi Hongcu
segala. Aku tidak sudi, bukan soal ini!" seru Hiau-lan dengan
perasaan pedih. "Kalau begitu, lalu apa yang kau pikirkan?" tanya wanita
itu. Ketika ia mengangkat kepalanya, tiba-tiba ia kebentrok
dengan sinar mata putranya yang penuh rasa derita dan
tersiksa itu, hatinya pilu dan tubuhnya gemetar, ia mengerti
apa yang sedang dirasakan putranya itu. Ia khawatir putranya
akan menghabiskan hidupnya di antara damparan angin badai
kehidupan yang tiada henti-hentinya.
"Sudahlah, sudah cukup kita mengalirkan air mata, biarlah
kini kita ibu dan anak berkumpul sejenak dengan baik,"
akhirnya sang ibu berkata pula.
Ia rangkul anaknya, merangkul dengan hangat penuh kasih
seorang ibu. Lama dan lama sekali, akhirnya ia membuka
suara pula dengan air mata membasahi mukanya,
"Dengarkanlah, aku akan menabuh khim, selamanya belum
pernah kau dengar lagu dari kampung halaman kita!"
Habis itu jarinya mulai bergerak, khim yang dipegangnya
tadi mulai dipetiknya. Sebenarnya yang dibawakan itu adalah
sebuah lagu yang bernada gembira, tapi kini ternyata berbalik
menjadi berirama sedih sekali.
Tengah putranya itu mendengarkan dengan penuh
perhatian dan tenggelam dalam alunan suara kecapi, di luar
dugaan mereka seorang kakek dengan alis dan jenggot putih
seluruhnya secara diam-diam telah masuk ke situ.
Orang tua ini bukan lain ialah Kaisar Khong-hi. Maharaja ini
sudah hampir enam puluh tahun di atas singgasana takhtanya,
usianya kinipun hampir tujuh puluh. Akhir-akhir ini ia sudah
tidak banyak mengurusi urusan negara, kebanyakan waktunya
dilewatkan di istana Yang-sim-tian untuk istirahat dan
menghibur hari tuanya. Malam ini sinar bulan purnama, pemandangan indah
permai, tiba-tiba timbul hasratnya, dengan membawa dua
orang Thaykam ia mengelilingi taman raya dengan perlahanlahan.
Teringat olehnya hasil karya selama hidupnya baik urusan
sipil maupun militer, rasanya sudah sampai pada puncak
kejayaan, lamanya ia berada di atas takhta pun jarang ada
bandingannya dari dulu hingga kini. Tetapi dengan cepat masa
hidupnya ini sudah akan berlalu, karya-karyanya yang dia
banggakan itupun segera akan lenyap, buyar bagai asap dan
awan berpencar. Tiba-tiba ia merasakan kesunyian, ia ingin
mencari teman-teman tua untuk diajak bercakap, tapi temanteman
tua sudah tinggal tidak seberapa orang lagi. Honghou
(permaisuri) dan selir-selir yang dia cintai di waktu mudanya
kinipun hampir meninggal semuanya.
Begitulah, dalam lamunannya ia berjalan perlahan di bawah
sinar sang dewi malam dan akhirnya lewat di rumah batu
hitam yang berada di tepi kolam teratai itu. Dalam istana
hitam itu sayup-sayup terdengar berkumandang suara khim
yang merdu, ia tertegun karena sudah pernah mendengarnya,
cuma entah kapan" "He, itu kan kejadian dulu, ya, kejadian yang sudah lama
sekali," begitulah tiba-tiba Kaisar Khong-hi terkenang pada
masa lalu di antara suara khim yang merdu itu.
"Siapa yang tinggal di dalam situ?" ia bertanya pada
Thaykam pengiringnya. "Kabarnya seorang Kiong-go yang usianya sudah sangat
tua," lapor seorang dayangnya itu.
"Mengapa tidak dilepaskan" Sudah berapa lama ditutup di
sini?" tanya Khong-hi pula dengan heran.
"Lapor Hongsiang, hamba sendiri tidak terang," sahut
Thaykam itu. "Pada waktu hamba masuk istana, Kiong-go ini
sudah berada di dalam sini, kadang-kadang ia pun menabuh
khim, tapi siapa pun tiada yang urus padanya."
Kaisar Khong-hi mendengarkan sejenak dengan cermat,
tibatiba teringat olehnya memang betul pernah ada seorang
Kiong-go, pada kira-kira tiga puluh tahun yang lalu pernah ia
panggil dan memberi berkah (ditiduri), malam itu yang sedang
ditabuh kalau tidak salah juga lagu seperti ini, habis itu karena
dirinya terlalu banyak pekerjaan hingga akhirnya terlupa.
"Bukankah Kiong-go ini seorang wanita Han?" tanyanya
kepada Thaykam itu sesudah mengingat-ingat lagi.
"Kabarnya begitu!" sahut Thaykam.
"Bukankah orangnya berparas potongan daun sirih dan
alisnya lentik?" tanya pula Khong-hi.
"Lapor Hongsiang, hamba belum pernah melihatnya,"
jawab si dayang. "Ia pun selamanya tidak mau keluar dari
situ!" "Memang begitulah," timbrung Thaykam yang lain.
"Sesudah Honghou mangkat dan penjaga ditiadakan, dia tetap
tidak mau keluar dari situ."
"Mana bisa orang dikurung begitu lama," ujar Khong-hi
sambil mengerut kening. "Coba kalian tunggu di sini, biar aku
masuk ke sana melihatnya."
Di dalam istana sunyi sementara itu kedua ibu beranak
sedang tenggelam dalam alunan suara khim, ketika mendadak
mereka mendengar ada suara tindakan orang, dengan cepat
Teng Hiau-lan menyingkir dan bersembunyi di belakang
tempat tidur. Dalam pada itu Kaisar Khong-hi sudah
melangkah masuk kamar dengan mendorong pintu.
"Siapa kau?" tanya wanita tua itu sambil mengangkat
kepala. Akan tetapi ketika empat mata saling menatap, maka kedua
orang serentak menjadi tertegun.
Sesudah mengamat-amati sejenak, lapat-lapat Kaisar
Khong-hi masih ingat diri si wanita tua. "Apa kau Hay Hong
adanya?" tanyanya. '
Wanita itu ternyata tidak bergerak sedikitpun. "Bansweya
(paduka yang maha mulia), Hay Hong sudah meninggal dua
puluh delapan tahun yang lalu!" jawabnya kemudian dengan
kaku. "Kau sendiri bukan Hay Hong?" ulang Khong-hi.
"Kau lihat sendiri, apa bedanya aku di sini dengan orang
yang sudah mati?" tanya wanita itu dengan masih tetap
dingin. Nampak orang sudah ubanan, Khong-hi teringat juga
bahwa dirinya kinipun sudah tua, selama dua puluh delapan
tahun ini, dirinya masih tetap menjadi kaisar yang aman
sentosa, tetapi si dia, wanita ini, tersekap di dalam istana
sunyi ini untuk menanti kema-tian. Teringat ini semua, tibatiba
ia merasa sangat tidak enak hati.
"Honghou juga terlalu, kau telah dikurungnya hingga sekian
tahun lamanya, tetapi sedikitpun aku tidak tahu," ujarnya
kemudian sambil berduduk. "Dosa apa yang telah kau
perbuat?" "Honghou menuduh aku diam-diam memelet Sri Baginda
dan mengacaukan tata tertib rumah tangga," kata wanita itu.
"Kalau begitu kau sungguh penasaran, tapi Honghou sendiri
pun sudah belasan tahun meninggal, perhitungan ini boleh
dihapus saja," sahut Khong-hi menghela napas. "Besok aku
bebaskan kau dari sini dan mengangkat kau menjadi Siok-hui
(selir bijaksana)." Dengan memberkahi sebutan agung bagi bekas selirnya itu,
Khong-hi mengira orang pasti akan berlutut menghaturkan
terima kasih, tak terduga, wanita itu masih tetap terpaku
tanpa bergerak. "Terima kasih Hongsiang, harap Hongsiang jangan
mempermainkan diriku lagi, sanak keluargaku sudah mati
semua, kini aku pun tidak gentar mati lagi," sahutnya
kemudian dengan dingin pula.
"Ha, apa katamu" Apa kau benci padaku?" tanya Khong-hi.
"Kita sudah sama-sama tua, paling banyak masih berapa lama
lagi kita akan hidup" Kau boleh keluar dan mengawani aku
melewatkan tempo senggang, dengan begitu rasa
penasaranmu perlahan-lahan akan menjadi hilang."
Bujukan ini ternyata tidak membikin tergerak hati wanita
itu, ia masih tetap kaku tak bergerak dan tangannya masih
memegang alat musiknya. Melihat sikap orang, Khong-hi menghela napas. "Kalau
begitu, apa yang kau kehendaki?" tanyanya lagi.
Tiba-tiba sinar mata wanita itu menjadi terang. "Aku ingin
kau lepaskan putraku keluar dari istana dengan aman!"
sahutnya. Keterangan yang tiba-tiba ini mengguncang hati Khong-hi.
"Apa katamu, kau punya putra?" tanyanya cepat. "Apa
sesudah malam itu kau lantas berbadan dua" Mengapa
Thaykam dari King-su-pang tidak lapor padaku" Betul-betul
kau melahirkan seorang putra" Kalau begitu selama ini dia
berada dimana?" "Selama beberapa tahun ini dia senantiasa bergelandangan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di Kangouw dan terombang-ambing tiada ketentuan tempat
kediamannya," sahut si wanita. "Tetapi kini dia justru berada
di sini, di dalam kamar ini!"
Terkejut sekali Khong-hi atas keterangan ini.
Dalam pada itu, dengan cepat sekali mendadak Teng Hiaulan
melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
"Apa kau belum cukup membikin susah ibuku" Biarkanlah
kami keluar istana!" serunya dengan bernapsu.
Ketika tiba-tiba nampak seorang pemuda yang bertubuh
tinggi besar berdiri di hadapannya dengan sinar mata yang
tajam dingin, parasnya juga rada mirip dirinya, tanpa terasa
Khong-hi mengkirik. Seketika terbayanglah kejadian pada
waktu dia sendiri menganiaya Ayah Bagindanya di atas Ngotaysan dahulu (baca Chau Guan Eng Hiong dan Thian San
Chit Kiam). "Kau, kau, apa kau hendak membalas sakit hati ibumu?" ia
bertanya. Namun Teng Hiau-lan tidak menjawab, dengan lesu dan
lemas ia berduduk. "Kalau kau tidak mau melepaskan kami,
maka boleh pergilah kau," katanya kemudian dengan
melambaikan tangan. Sesudah Khong-hi menenangkan diri, ia lihat pemuda ini
meski sudah kenyang menderita pahit getirnya orang hidup,
namun sikapnya masih tetap gagah dan bersemangat, tak
tertahan timbul rasa sayangnya.
"Kau boleh tinggal di sini saja," katanya.
"Aku lebih suka mati daripada tinggal di sini!" sahut Hiaulan
tegas. Khong-hi menghela napas. "Pergi dari sini juga baik,"
ujarnya kemudian. Kaisar yang sudah lanjut usia ini mengerti juga bahwa
belasan putranya sedang ramai berusaha berebut kedudukan
mahkota, bila kini bertambah lagi seorang, maka pasti akan
makin menjadi hebat, apalagi ia (Hiau-lan) terlahir dari wanita
Han, sudah lama pula berada di luar istana, dalam buku
'catatan sipil' Cong-jin-hu pun tidak mungkin terdapat
namanya, seumpama harus balik she dan nama dan
mengembalikan dia ke keluarga asalnya, urusan ini juga akan
banyak menimbulkan huru-hara. Tapi dengan mata kepala
sendiri ia melihat ibu dan anak ini, dalam hati ia tidak tega,
pula ia tidak ingin darah-dagingnya sendiri terombang-ambing
di kalangan Kangouw. Begitulah ia berpikir terus pergi-datang. "Kalau begitu, aku
berikan sesuatu jabatan padamu!" katanya akhirnya.
"Lebih-lebih aku tidak sudi!" jawab Hiau-lan dengan ketus.
"Habis, apakah ayahmu sendiri pun tidak kau akui lagi?"
desak Khong-hi. Karena kata-kata ini, tiba-tiba Teng Hiau-lan menangis
meng-gerung-gerung, tapi bagaimanapun juga panggilan
"Ayah Baginda" sukar keluar dari mulutnya.
"Sekeluarnya dari sini, kemudian apa yang hendak kau
lakukan?" tanya Khong-hi.
"Jangan kau mendesak aku!" seru Hiau-lan.
"Apa aku mendesak kau?" tanya Khong-hi heran. Tetapi
tiba-tiba ia ingat sesuatu dan menyambung lagi, "Apa kau pun
ingin berebut takhta dan saling bunuh di antara saudara
sedarah-sedaging sendiri?"
"Yang ingin merebut takhtamu adalah bangsa Han, aku
tidak inginkan apapun juga!" sahut Hiau-lan.
"Baiklah, jika kau berkeras hendak pergi, akan kubiarkan
kau pergi," kata Khong-hi pula. "Dan selanjutnya apa kau
masih ingin bertemu denganku?"
"Aku hanya mengharap dapat merawat ibu sampai hari
tuanya dan pergi sejauh-jauhnya dari sini, selamanya tidak
akan kuganggu kau lagi," sahut Hiau-lan.
"Aku bersedia memenuhi sesuatu permintaanmu, adakah
yang kau inginkan?" tanya Khong-hi. Rasanya takkan tenteram
kalau dia tidak memberi sesuatu kepada ibu dan anak itu.
"Baik," sahut Hiau-lan setelah berpikir sejenak, "kalau
begitu aku mohon bertemu dengan Si-tianhe, aku ingin mohon
dia memenuhi sesuatu permintaanku, tentu dia dapat kerjakan
itu." "Kau malah ingin mohon sesuatu padanya, memangnya aku
tidak sanggup mengerjakannya?" kata Khong-hi sambil
mengerut dahi. "Ya, kau punya Si-ko (kakak keempat) akhirakhir
ini banyak menanjak ke atas, mungkin dia betul-betul
punya kepandaian." Terhadap Si-hongcu In Ceng, Khong-hi rada benci, maka ia
pikir anak muda ini menganggap bahwa kelak dia punya Si-ko
akan menggantikan takhtanya, maka sekarang ia hendak
merapatinya. "Baik, aku menuruti pemintaanmu," kata Khong-hi
kemudian. 'Tetapi aku berharap kau bisa lebih mendekati kau
punya Capsi-ko (kakak keempat belas), jika kau mau, aku
dapat mengangkat kau menjadi pembantunya."
Khong-hi memang paling sayang kepada putranya yang
keempat belas itu, oleh sebab itu ia mengusulkan maksud
baiknya pada Hiau-lan. Kala itu, Capsi-hongcu, si putra
pangeran keempat belas itu sedang memimpin pasukan
tentara yang mengadakan operasi ke daerah barat.
"Tidak, aku hanya ingin ketemu Si-tianhe!" sahut Hiau-lan
dengan pasti. "Baik, kau ikut aku keluar dulu, besok segera aku lepaskan
ibumu keluar istana," kata Khong-hi.
Lalu ia gandeng tangan Teng Hiau-lan dan diajak keluar
dari istana sunyi itu. Ketika mendadak nampak junjungan mereka keluar dengan
seorang pemuda tak dikenal, kedua Thaykam yang menunggu
di luar jadi terperanjat.
"Dia adalah Wi-su baru, aku yang suruh dia masuk ke sini,"
kata Khong-hi untuk menghilangkan sangsi kedua dayangnya
itu. Sudah tentu Thaykam itu tidak berani usil lagi. Sementara
itu sang dewi malam sudah berada di tengah cakrawala. "Hari
sudah jauh malam, harap Hongsiang mengaso dulu, apa
sidang pagi besok akan dibebaskan lagi?" tanya salah seorang
Thaykam. "Ya, bebas!" kata Khong-hi.
Kemudian tanpa bicara lagi mereka lantas menyusur
tanaman bunga dan tumbuhan lain serta keluar dari taman
itu, sesudah melewati Eng-siu-kiong, lalu mereka menuju ke
Yang-sim-kiong. Sebelum sampai di istana tujuan mereka, tiba-tiba Teng
Hiau-lan bersuara heran, berbareng ia tarik Khong-hi untuk
mendekam di antara semak yang lebat.
"Ada Ya-hing-jin (orang jalan malam) yang melayang naik
ke atas istana besar di luar sana!" katanya kepada maharaja
itu. "Mengapa aku tidak melihat?" ujar Khong-hi.
"Karena gerak tubuh orang itu cepat sekali!" sahut Hiaulan.
Dalam hati Khong-hi berpikir, bila orang itu adalah Wi-su
dalam istana, pasti tak berani melayang naik ke atas istana
besar di luar situ, tapi kalau orang luar, hal ini lebih-lebih tidak
mungkin. Karena itu, hatinya jadi tergerak.
Segera ia berkata pada Hiau-lan, "Kau boleh jalan dari sini
ke kiri, dari situ nanti kau ikuti tiang rumah dari batu putih dan
menghitungnya sampai batu ketiga belas, kau boleh angkat
batu itu, dari situ terdapat jalan di bawah tanah yang
menembus ke belakang tiang besar di dalam istana induk di
sebelah luar sana, kau boleh keluar secara diam-diam, coba
kau intip apa terdapat orang di situ atau tidak, kalau ada
orang, ingatlah baik-baik rupanya."
Lalu ia keluarkan sebuah batu kemala yang selalu
dibawanya dan diserahkan pada pemuda ini.
"Bila kau kepergok orang, boleh kau unjukkan batu ini
sebagai tanda, katakan saja kau Wi-su yang baru datang,"
pesannya lagi. Hiau-lan sambut batu kemala yang diberikan itu, sesudah
itu ia menuruti pesan Khong-hi tadi, ia memasuki lorong
bawah tanah dan tiba sampai di dalam istana induk, di sini ia
bersembunyi di belakang tiang raksasa yang terdapat di situ.
Ketika ia celingukan, tiba-tiba dilihatnya dari luar masuk
dua orang sambil mendongak ke atas dan saling bisik-bisik di
telinga masing-masing. Ketika Hiau-lan ikut mendongak memandang ke atas,
terlihat olehnya di atas sana tergantung sebuah papan besar
yang terukir dengan empat huruf 'Cing-tay-kong-bing' (agung
dan jaya). Ada apakah kedua orang itu terus mengincar ke papan besar itu" demikian diamdiam Teng Hiau-lan heran. Ia menunggu pula sebentar, sementara itu kedua orang tadi tampak sedang berunding, di belakang papan tadi menongol satu kepala manusia. Demi melihatnya, hampir saja Teng Hiau-lan berteriak. Kiranya yang bersembunyi di atas belandar istana
itu ternyata adalah seorang bocah perempuan, malah bukan
lain daripada Pang Lin adanya.
Seperti diceritakan di atas, dengan diantar Pang Lin, In Si
masuk ke dalam istana In Ceng untuk menyambangi adiknya
yang sakit itu. Sesudah berjalan sebentar secara berliku-liku,
akhirnya In Si dibawa naik ke atas loteng.
Setiba di situ, Pang Lin mendorong pintu kamar sambil
mengatakan, "Si-tianhe berada di dalam untuk merawat
sakitnya." Karena petunjuk itu, In Si coba melongok ke dalam, akan
tetapi sekonyong-konyong di dalam ramai dengan suara
keresekan, ternyata di dalam kamar penuh berisi ular besar
dan kecil hingga bertumpuk tindih dan bergulung-gulung.
"Aiih! aku salah tempat!" tiba-tiba Pang Lin menjerit.
Habis itu dengan sengaja ia menubruk maju, sikunya
menyon-dok pinggang In Si, karena tidak menyangka, keruan
saja In Si seperti kena terpukul hingga ia menjerit kesakitan
terus roboh. Kesempatan itu dipergunakan Pang Lin untuk
melompat ke bawah loteng dengan sekali jumpalitan.
Dalam pada itu ular-ular di dalam rumah sudah mulai
merayap keluar, pengawal yang In Si bawa tidak berani
sembarangan masuk ke dalam kamar, sedang In Si jatuh
pingsan, terpaksa jalan satu-satunya mereka harus
mengendong pangeran itu dan dilarikan.
Sesudah In Si pergi, Han Tiong-san dan Siang-mo yang
bertugas menjaga Si-ong-hu (istana pangeran keempat) itu
lantas mengomeli Pang Lin, "Kau bocah ini mengapa berani
membikin onar!" "Meski dia gusar juga tidak berguna, aku hanya anak kecil
saja, bila karena itu ia mendamprat Si-tianhe, kalian boleh
katakan dengan alasan di dalam istana tidak sedikit terdapat
anak-anak pelayan, darimana bisa diketahui siapa anak kecil
yang dimaksud," ujar Pang Lin dengan licik. "Lagi pula
umpama mereka kakak beradik berdebat di hadapan
Hongsiang, tentu Hongsiang tak akan percaya bahwa seorang
anak perempuan cilik bisa menghantam roboh dia hingga
semaput." "Hm, tidak nyana dara cilik ini begini lihai!" ujar Han TiongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
san. Tetapi dalam hati ia merasa bersyukur bahwa Siang-mo
telah memberi obat aneh hingga semua kejadian sebelum
bocah ini masuk istana sudah terlupakan, kalau tidak, sungguh
tidak gampang untuk menundukkan dan tak mungkin
mendustai untuk selamanya.
Begitulah sesudah Han Tiong-san berunding dengan Siangmo,
mereka mengambil keputusan mengirim orang buat
memanggil pulang Si-hongcu. Akan tetapi sebelum orang
dikirim, lebih dulu Si-hongcu ternyata sudah pulang. Keruan
saja rasa khawatir mereka seketika menjadi lenyap.
"Jika kelak Tit-kun-ong (gelar In Si) berani bilang Si-tianhe
keluar kota tanpa izin, maka Si-tianhe dapat mengadukan dia
sebagai pemfitnah," usul Han Tiong-san dengan tertawa
begitu bertemu dengan majikannya.
Si-hongcu In Ceng lantas bertanya tentang kejadiannya,
maka tahulah dia bahwa In Si, kakaknya yang paling tua itu
bernapsu sekali untuk merebut takhta, karenanya tiba-tiba ia
teringat sesuatu. Kiranya menurut perataran kerajaan Boan-jing, untuk
menggantikan takhta ayah mereka, tidak diharuskan menurut
urutan tua-muda, melainkan ditetapkan oleh Sri Baginda
sendiri dengan meninggalkan surat wasiat yang disimpan pada
suatu tempat tertentu, yakni di belakang papan besar yang
berukir empat buruf 'Cing-tay-kong-bing' pada belandar utama
di istana Kian-jing-kiong.
Kali ini dengan buru-buru Si-hongcu pulang kembali ke
kota-raja, karena mendapat berita dari Kok-kiu (paman, adik
duri ibu) Longetoh, berita itu mengatakan bahwa Hongsiang
sudah meninggalkan surat wasiat, sedang mengenai siapa
yang ditunjuk sebagai penggantinya tiada seorang pun yang
mengetahui. Begitulah maka Si-hongcu lantas menuturkan kabar maha
penting yang ia baru terima itu kepada orang-orang
kepercayaannya. "Kalau begitu, tidak boleh tidak kita harus berusaha
mencuri agar surat wasiat itu berada di tangan kita," usul
Thian-yap Sanjin. "Mencuri bukan suatu cara yang baik, kalau Hongsiang
mengetahui surat wasiat hilang dicolong orang, beliau kan
dapat menulis lagi, tentu pula beliau akan mencurigai diriku,"
ujar Si-hongcu. "Paling baik adalah secara diam-diam kita
membuka dan memeriksa surat wasiat itu, dengan begitu


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat mengetahui siapa yang ditunjuk sebagai pengganti
dalam surat wasiat itu."
Karena itu, Thian-yap Sanjin, Liau-in, Haptoh dan lainnya
serentak menyatakan oersedia melaksanakan tugas itu.
"Untuk mencuri lihat surat wasiat di dalam Kian-jing-kiong,
tugas ini bukan tugas biasa," kata Si-hongcu lagi. "Orang yang
pergi ke sana jangan terlalu banyak,.cukup pilih satu atau dua
orang yang punya Ginkang tinggi saja."
Kalau soal Ginkang atau ilmu entengi tubuh, Thian-yap
Sanjin terhitung yang paling tinggi.
"Aku saja ikut pergi bersama Thian-yap-pepek!" kata Pang
Lin tiba-tiba sesudah mengikuti perundingan orang banyak itu.
"Untuk apa kau ikut?" omel Pat-pi-sin-mo.
Tapi Thian-yap Sanjin pikir tubuh Pang Lin kecil mungil,
kebetulan sekali bisa berdiri di bawah belandar induk dan
sembunyi di belakang papan besar itu, pula soal Ginkang ia
pun di atas Tay-lik-sin-mo, kalau anak dara itu ikut pergi
justru merupakan pembantu yang tepat. Maka ia lantas
berkata, "Baiklah, aku bawa serta kau, tapi kau tidak boleh
nakal!" Kembali bercerita mengenai In Si, putra sulung Kaisar
Khong-hi. Sesudah ia jatuh pingsan karena kaget ditambah
sodokan sikut Pang Lin yang mengenai jalan darahnya,
sekembali di kediamannya dan siuman, ia menjadi gemas
sekali atas kejadian itu, ia merasa dirinya telah diingusi
seorang bocah cilik. Dalam pada itu, datang laporan bahwa Tay-hak-su
(sebutan pangkat) menteri Ong Ik-jing minta bertemu.
Ong Ik-jing sekomplotan In Si, bersama Kok-kiu Longetoh,
mereka merupakan pembesar kepercayaan Khong-hi. Pada
Pendekar Seribu Diri 1 Pengelana Rimba Persilatan Karya Huang Yi Pendekar Wanita Buta 2

Cari Blog Ini