Ceritasilat Novel Online

Triping 1

Boma Gendeng Triping Bagian 1


BASTIAN TITO Serial BOMA GENDENK
TRIPPING MUNCULNYA PANGERAN MATAHARI
1 MENGHAJAR SI BODONG
RONNY Celepuk memperlambat motornya,
memberi jalan pada dua pejalan kaki yang
menyeberang. Vino yang membonceng di
belakang memandang ke kiri, lalu menoleh ke kanan. Ketika memperhatikan ke
gedung pertokoan, tak sengaja matanya melihat
seseorang di depan toko. Langsung Vino
menepuk bahu Ronny dengan tangan kiri.
"Ron, gue liat Si Bodong."
Mendengar ucapan Vino, Ronny batal
menyentak gas motor. Dengan gerakan melejit dia membawa kendaraan itu ke tepi
jalan dan berhenti. Helm di atas kepalanya didorong ke atas.
"Si Bodong" Di mana?"
Vino menunjuk ke arah gedung pertokoan.
"Sana di Atrium."
"Kamu nggak salah liat?"
"Nggak...."
"Sendirian?"
"Sama cewek. Aku nggak ngenalin ceweknya.
Keliatannya sih bukan anak Nusantara
Tiga...." "Kebetulan kalau gitu!" kata Ronny. Gas motor disentak-sentakkannya hingga
kendaraan itu mengaum keras. "Kebetulan gimana?" tanya Vino di antara bising deru suara gas Honda Tiger.
Ronny memperkecil tarikan gas motor.
"Apa lu udah lupa peristiwa waktu acara perpisahan minggu lalu" Kamu sendiri
yang bilang ngeliat dia ngelemparin aku dan Boma sama te-lor busuk! Ini kesempatan
Vin! Aku mau bikin dia tau rasa!"
"Selama ini Si Bodong nggak suka rese' sama kita-kita. Gua rasa dia ada yang
nyuruh," kata Vino.
"Apa lagi lu bilang gitu! Kita musti nyelidikin siapa yang nyuruh dia! Biar
ketauan dalangnya.
Aku sikat sekalian!"
"Ala, udahlah Ron. Nanti aja kita beresin urusan sama si Jumhadi itu. Kita masih
ada urusan lain."
"Nggak bisa. Aku memang sudah lama nya-riin ytu anak!" jawab Ronny. Gas motor
disentakkan. Kendaraan itu melesat lurus ke depan lalu
membelok melewati pintu masuk Atrium Plaza di pusat pertokoan Senen.
Siang itu pengunjung Atrium Plaza cukup
ramai. Mungkin karena masih bulan muda jadi banyak yang belanja. Ronny dan Vino
mencari di lantai dasar pertokoan. Jumhadi alias Si Bodong tidak kelihatan. Naik
ke lantai satu, terus lantai dua, Si Bodong masih belum ditemukan. Ketika mereka
menuju tangga jalan mau naik ke tingkat tiga, Vino menggamit pundak Ronny.
"Ron, itu.... Di depan foto studio." Vino hanya menggoyangkan kepala, tak mau
menunjuk. Ronny Celepuk mengikuti arah pandangan
temannya. Benar, di depan sebuah foto studio tampak Si Bodong tegak berdampingan
dengan seorang anak perempuan. Tengah asyik melihat foto-foto yang dipajang di belakang
kaca. Ronny monyongkan mulutnya.
"Kemon Vin," kata Ronny dengan gaya koboi.
Dua anak itu melangkah cepat-cepat. Ronny
sebelah depan. Karena itu dia yang sampai lebih dulu di depan foto studio.
Langsung saja Ronny memegang bahu kiri Jumhadi lalu diremas.
Membuat Jumhadi terkejut dan kesakitan. Dia menoleh. Jumhadi lebih terkejut
ketika melihat siapa yang meremas bahunya. Wajahnya
berubah pucat. Matanya memperhatikan
tampang garang Ronny Celepuk. Jumhadi melirik ke samping, ke arah Vino yang
berdiri di sebelah Ronny.
"Bodong, gua mau ngomong!" kata Ronny.
Tangan kanannya menarik lengan Jumhadi ke
toko sebelah lalu dengan tangan yang sama dia mendorong dada Jumhadi hingga anak
lelaki ini tersandar ke kaca etalase.
"Ada apa Ron. Kau mau ngomong apa-an?"
tanya Jumhadi alias Si Bodong.
"Jangan banyak bacot!" sentak Ronny. "Lu jawab pertanyaan gua! Lu yang
ngelemparin gua sama Boma pakai telor busuk!"
"Eh, gua kagak ngarti. Maksudmu apa Ron"
Kapan gua ngelemparin kamu?"
"Bukkkk!"
Jotosan tangan kanan Ronny tiba-tiba
mendarat di perut Jumhadi, tepat di pusarnya yang bodong. Anak ini seperti mau
melintir. Tampangnya jadi merah keriput. Anak
perempuan temannya keluarkan seruan
tertahan. "Hai, apa-apaan 'nih! Kok main pukul"!" Anak perempuan itu berteriak. Dia hendak
melangkah mendekati Ronny tapi Vino cepat mencegat
sambil berkata.
"Tenang aja. Nggak ada apa-apa. Udah, jauh-jauh sana...."
Orang mulai berdatangan, mau tahu apa yang
terjadi di depan toko. Ronny tidak perduli. Dia cekal kerah baju kaos Jumhadi
dengan tangan kiri.
"Kalau lu nggak mau ngaku, gua permak
muka lu!" Ronny mengancam. Jari-jari tangan kanannya dikepal kencang.
"Nggak Ron, gua.... Bukan gua yang
ngelempar...."
"Oo gitu"! Lalu siapa" Ayo bilang, siapa"!"
Cekalan Ronny makin keras dan makin naik
hingga sosok Jumhadi yang kalah besar dengan Ronny terbembeng ke atas.
"Nggak tau Ron. Gua nggak tau," kata Jumhadi. Dengan ke dua tangannya dia
berusaha melepaskan cekalan Ronny.
"Vino ngeliat! Dia nyaksi-in lu yang ngelempar! Dasar Bodong! Gede bohong!"
"Gua... gua nggak bohong Ron. Lepasin
Ron...." "Hai! Lepasin!" Teman perempuan si Bodong berusaha menarik tangan Ronny tapi
lagi-lagi dihalangi oleh Vino.
Orang makin banyak berkerumun. Pemilik
toko begitu melihat ada ribut-ribut di dekat pintu tokonya segera keluar.
"Hei! Kalau mau ribut jangan di sini! Pergi sana!" Si pemilik toko berteriak.
Matanya dipelototkan pada Ronny Celepuk.
Saat itu Ronny sedang marah besar. Ditegur
orang dia jadi tambah beringas. Tampangnya
jadi angker. Benar-benar seperti burung celepuk.
"Jangan ikut campur! Mau ikutan minta
digebuk?" Ronny dan pemilik toko saling berperang
pandang. Lama-lama pemilik toko keder juga.
Dia masuk kembali ke dalam toko tapi diamdiam mengangkat pesawat tilpon di dekat meja kasir.
"Ron, lepasin Ron...." Si Bodong berusaha menarik lepas tangan Ronny yang
mencekal kerah baju kaosnya.
"Lu nggak mau ngaku ya"!" Ronny
membentak. Tinju kanannya diangkat ke atas, ditarik ke belakang. Siap
dihunjamkan ke muka si Bodong.
"Jangan Ron. Jangan pukul...."
"Lu mau ngaku nggak"!"
"Ron, aku...."
Ronny habis sabarnya. Tinju kanannya
menderu, menghantam mulut Si Bodong tepat di bawah hidung. Bibir anak ini pecah.
Darah mengucur. Si Bodong terduduk di lantai.
Mengerang menahan sakit sambil pegangi
mulutnya yang jontor berdarah. Teman
perempuannya menjerit histeris melihat darah yang mengucur di sela-sela jari
tangan Si Bodong. Ronny masih belum puas. Dia jambak rambut
Si Bodong. Ketika lututnya mau dihantamkan ke muka anak itu Si Bodong cepat
merangkul kaki Ronny.
"Udah Ron.... Udah," kata Si Bodong. Lalu meluncur ucapan pengakuan dari
mulutnya yang berdarah. "Memang aku yang ngelemparin telor busuk. Tapi aku cuma
disuruh Ron...."
"Siapa yang nyuruh"!" Ronny perkeras jambakannya di rambut Si Bodong.
"Si... si...." Si Bodong tidak meneruskan ucapan. Seolah takut mau memberi tahu.
Dia seka darah di mulutnya dengan belakang
telapak tangan kiri.
"Siapa"!" bentak Ronny. Lututnya ditempelkan ke jidat Si Bodong.
"Si Anton.... Dia yang nyuruh...."
"Sialan!" Ronny memaki. Jambakannya dilepas. Bodong terduduk nanar di lantai
pertokoan. Di tangga jalan Vino melihat dua orang
Satpam naik ke tingkat atas. Vino cepat
membisiki Ronny.
"Cabut Ron."
Ronny juga sudah melihat dua Satpam itu.
Anak ini tidak langsung cemas. Cepat dia
memperhatikan keadaan, membaca situasi. Lalu berkata. "Ikutin gua."
Dua anak itu bergegas, menyeruak di antara
orang banyak. Di belakang sana ada suara
perempuan berteriak.
"Copet! Copet!"
Yang berteriak teman perempuan Si Bodong
sambil menunjuk ke arah Ronny dan Vino.
"Bahaya Ron. Kita diteriakin copet," kata Vino.
Dia membuat gerakan hendak lari.
"Jangan lari Vin, jalan biasa! Jalan biasa!" kata Ronny. Kalau sampai temannya
itu lari kemungkinan besar orang banyak akan
menduga mereka benar-benar copet dan akan
mengejar lalu menggebuki. Ronny melirik ke kiri.
Dia melihat pintu lift terbuka. Tiba-tiba Ronny menarik tangan Vino. Kedua anak
ini lenyap masuk ke dalam lift.
Di dalam lift Vino masih tampak pucat.
Berkali-kali dia menarik nafas panjang.
"Hampir celaka Ron. Kamu benar Ron.
Untung kita nggak lari.Kalau orang-orang
nyangka kita copet benaran, bisa bonyok kita berdua digebukin orang!"
Ronny cuma nyengir mendengar ucapan Vino.
--oo0dw0oo-- 2 PRAKTEK HOMO DALAM TOILET
GITA PARWATI menyantap hamburger di
mulutnya dengan lahap. Saos tomat campur
sambal meleleh di sudut bibirnya, turun ke dagu.
Boma dan Firman senyum-senyum
memperhatikan. Saat itu ke tiganya berada di mini restoran di lantai atas toko
buku Gramedia. "Git, makannya lahap banget," kata Boma. "Lagi lapar, apa doyan apa memang
rakus?" Gita diam saja. Dengan kertas tisu disekanya saos tomat dan sambal yang
meleleh di dagunya.
"Bukan lapar, bukan doyan bukan rakus. Tapi lagi ada yang dikeselin. Orang yang
ditunggu nggak nongol. Balas dendamnya sama
hamburger," kata Firman.
"Allan oh Allan. Di mana gerangan engkau...?"
Boma berkata dengan gaya nada seorang
pembaca puisi membuat Firman cekikikan. Allan adalah anak baru di Nusantara III,
yang dikenal Gita sewaktu mendaftar di kantor sekolah. Sejak pertemuan pertama
kali itu keduanya jadi akrab satu sama lain.
Gita masih diam. Tangannya bergerak
menjangkau teh botol dingin di atas meja.
Meneguk minuman itu sampai setengahnya lalu bersandar ke tembok.
"Kalian ngeledek terus dari tadi...."
"Ini udah siang Git. Aku sama Firman mau ke rumah Ronny," kata Boma. "Pacar lu
dateng nggak?"
"Pacar... pacar. Emangnya gua pacaran sama Allan."
"Jangan suka begitul Git. Belon masuk
sekolah kamu sudah lengket sama dia. Kayak
lem Uhu. Apa lagi nanti kalau sudah masuk.
Terus-terusan ketemu. Wah, aku nggak bisa
ngebayangin deh!" Firman senyum-senyum.
"Kalau nggak sabaran udah, pergi aja sana.
Tapi gue nggak mau ngebayarin. Kalian keluarin doku sendiri-sendiri."
Boma menowel hidungnya. "Tuh, ngancemnye jelek banget. Kamu janjinya sama Allan
gimana?" "Kemaren aku ketemu dia. Bilang hari ini aku mau ke Gramedia. Jam sepuluh. Dia
bilang mau datang, ketemu di sini."
Firman melirik ke arloji di pergelangan tangan Gita.
"Sekarang hampir jam sebelas. Si Allan memang keliwatan...." Firman gelenggeleng kepala. "Bukan Si Allan keliwatan, tapi si Allan memang Sialan," kata Boma pula.
Gita langsung tendang kaki Boma dengan
ujung sepatunya hingga Boma menyeringai
kesakitan. Firman tiba-tiba keluarkan suara bersiul. "Git, kamu boleh girang deh sekarang.
Lihat tuh siapa yang lagi naik di tangga jalan."
Gita Parwati dan Boma berpaling ke arah
tangga jalan. Saat itu seorang anak lelaki ceking tinggi, mengenakan jins warna
hitam, t-shirt putih tengah meluncur di tangga jalan. Rambut coklat setengah
gondrong, menjulai di sebelah depan. Wajahnya tidak bisa dikatakan tampan.
Jerawat besar kemerah-merahan menutupi
hampir seluruh wajahnya. Matanya besar tapi tidak bercahaya. Pandangannya
kosong. Inilah Allan, anak lelaki yang ditunggu-tunggu Gita.
Allan tertawa lebar dan lambaikan tangan begitu melihat Gita, Boma dan Firman.
"Sorry Git. Sorry teman-teman. Aku terlambat."
Allan keluarkan ucapan begitu sampai di depan meja.
"Kamu sih kira-kira dong. Gita hampir nangis nungguin kamu. Air matanya sampai
masuk ke dalam." Boma berkata sambil berdiri. Gita cemberut Di bawah meja kakinya
bergerak lagi mau menendang tapi Boma sudah menjauh.
Firman juga ikut-ikutan bangkit dari kursi.
"Git, Allan, aku sama Firman cabut duluan,"
kata Boma. "Eh, pada mau ke mana?" tanya Allan purapura heran, padahal hatinya senang


Boma Gendeng Triping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditinggal berdua dengan Gita. Allan berpaling pada Gita lalu bertanya. "Udah
bilang sama Boma?" Gita menggeleng.
Boma dan Firman yang hendak beranjak pergi
jadi hentikan langkah di samping meja.
"Bilang apa-an?" tanya Boma.
"Ah udah. Nanti aja," jawab Gita. "Soal Si Bodong dihajar sama Ronny?"
Gita menggeleng.
"Lalu?"
"Nanti aja Bom. Nanti di sekolah. Hari Senin depan kita 'kan mulai masuk...."
"Kamu bikin hati gua jadi nggak enak Git.
Memang ada apa-an sih?" tanya Boma.
"Udah Git, kasih tau aja," kata Allan.
Gita Parwati merubah duduknya. "Oke deh.
Soal Dwita...."
"Dwita?" ujar Boma.
"Aku dengar kabar bokapnya dapat tugas baru di luar negeri. Katanya di New York.
Markas Besar PBB. Paling cepat empat bulan lagi sudah harus berangkat."
Tiga pasang mata memperhatikan Boma.
Gita, Allan dan Firman tidak melihat perubahan pada wajah Boma. Padahal apa yang
barusan didengar Boma membuat jantung anak ini jadi berdebar keras.
Boma tidak berkata apa-apa. Dipegangnya
bahu Gita lalu melangkah ke arah tangga.
Firman mengikuti di belakang.
"Seharusnya tadi kamu nggak usah maksa aku bilang soal Dwita," kata Gita begitu
Boma dan Firman berlalu.
"Lebih cepat dikasih tau lebih bagus. Kasihan Boma kalau dia tahu cuma tinggal
beberapa hari." Jawab Allan.
"Bagusnya sih biar Dwita aja yang ngasih tau.
Saat ini Boma pasti ngerasa nggak enak...." Gita menatap Allan sebentar,
tersenyum. "Matamu kok merah?"
"Aku kurang tidur Git."
"Kurang tidur atau kebanyakan tidur?"
"Kurang tidur." Jawab Allan.
"Begadang?"
"Nggak juga. Aku haus. Mau pesan minuman dulu." Allan melambaikan tangan,
memanggil pelayan.
--oo0dw0oo-- TURUN dari tangga jalan Boma berkata. "Man, aku mau ke toilet dulu."
"Aku juga pengen kencing," kata Firman.
Sambil melangkah ke toilet yang terletak di bawah tangga Boma bertanya. "Man,
kamu tadi meratiin nggak tampangnya Si Allan?" "Maksud kamu jerawat batunya yang
tambah numpuk?"
balik bertanya Firman. "Pasti otak kotormu lagi jalan. Pasti kamu niikir begini.
Tu muka yang penuh jerawat disenggol tangan aja sakitnya bukan main. Gimana
kalau lagi main gusel-guselan sama Si Gita...."
"Otak lu yang bau comberan, bilang otak gue kotor!" Tukas Boma Sambil menowel
hidung. "Aku liat mata Si Allan merah. Tapi aku yakin itu bukan karena kurang tidur.
Bukan akibat banyak begadang. Pandangannya kosong. Gerakan
tangan agak gemetaran. Bahunya sesekali
sempoyongan kayak layangan singit."
"Udah, bilang aja 'tu anak kayak habis teller.
Iya kan?" ujar Firman. "Tapi kalau habis nenggak miras biasanya musti ada baubau alkohol."
"Bukan miras Man. Bukan alkohol...." kata Boma. Seorang lelaki gemuk dan anak
lelaki kecil keluar dari dalam toilet. Boma dan Firman masuk.
Di dalam toilet kecuali Boma dan Firman saat itu tidak ada orang lain. Tiba-tiba
dua orang bertubuh kekar masuk. Dua-duanya berambut
gondrong. Yang satu berewokan. Di luar sana ada orang ketiga menutup pintu,
menjaga jalan masuk. Tidak itu saja. Orang ini menempelkan sehelai kertas di
pintu. Di atas kertas itu tertulis
"Maaf toilet rusak."
Boma kencing di sudut kiri. Firman satu kloset terpisah di sebelah kanan. Dua
orang berbadan tegap tahu-tahu sudah berdiri di kiri-kanan Boma. Keduanya tidak
kencing. Merasa
dipandangi dari samping, Boma jadi tidak enak.
Kencingnya tersendat tidak lampias. Dia
berpaling pada lelaki di sebelah kanan.
"Kamu anak Nusantara Tiga?" Tiba-tiba si kekar berewok bertanya dengan suara
garang. Nafasnya menebar bau alkohol.
Mendengar Boma ditanyai Firman menoleh
tapi giliran dia yang dibentak oleh teman si berewok.
"Mau apa lu liat-liat"!"
Firman yang berbadan kecil jadi terdiam. Tapi anak ini tidak merasa jerih atau
takut. Di sekolah dia sering disebut sebagai anak
kelotokan. Artinya tidak takut sama siapa saja, kadang-kadang berlaku aneh. Cuma
untuk melawan lelaki berbadan kekar ini Firman
memang harus berpikir lebih dari dua kali. Lagi pula dia tidak tahu apa yang
tengah terjadi dan mau apa kedua orang itu. Mau ngompasl Mau
malakl Ditegur kasar Boma tidak menjawab.
Restluiting celana jinsnya ditarik ke atas. Dia merasa sesuatu yang tidak benar
bahkan membahayakan dirinya dan Firman akan terjadi.
Ketika Boma tengah mengancingkan ikat
pinggang, orang di sampingnya mendorong
bahunya dengan kasar.
"Kamu budek"! Ditanya diam aja!"
Boma tetap tak menjawab. Dia menatap
wajah orang itu sesaat, melirik ke arah Firman lalu sambil memberi isyarat dia
berkata. "Ayo Man, kita keluar."
Begitu Boma melangkah ke pintu yang
tertutup, si berewok ulurkan tangan mencekal kerah kemejanya.
"Mana temen lu Ronny Celepuk?" Orang yang mencekal bertanya sambil menyentakkan
cekatannya. "Nggak ada. Nggak tau...." Jawab Boma.
"jangan ngibul! Kamu Boma 'kan" Anak SMA Nusantara Tiga! Kalau ada kamu pasti
juga ada Ronny Celepuk!"
"Nggak ngibul tuh! Liat aja sendiri! Apa ada Ronny Celepuk di tempat ini!" kata
Boma. Suara dan sikapnya kalem-kalem saja. Padahal saat itu jantungnya dag-digdug juga. "Anak gendenk! Lu mau nantang gua hah"!"
Dengan tangan kirinya orang itu dorong kening Boma hingga kepala Boma terdongak
ke belakang. "Nantang" Siapa yang nantang"!" sahut Boma. Orang yang mencekal kerah kemejanya
memang besar kekar dan seram tapi sealis lebih pendek dan dirinya tak kenal
orang ini Sebaliknya, agaknya orang ini tahu siapa dia.
"Wah, berani juga nih kunyuk!"
"Memang dia sok jadi jagoan!" Lelaki kekar satunya bicara. "Katanya dia punya
ilmu. Mulai aja Fred! Aku mau liat ilmu apa sih yang dia punya! Aku biar jagain
monyet yang satu ini."
Si berewok menyeringai. Boma didorong
hingga tersandar ke dinding ruangan. Lalu
laksana kilat tangan kanannya bergerak.
"Plaaakk!"
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri
Boma. Seumur hidup baru sekali ini Boma
ditampar orang seperti itu. Ayahnya saja yang terkenal galak sama anak tidak
pernah menampar. Sudut kiri bibir Boma pecah. Darah meleleh. Boma merasa seperti ada
ledakan dahsyat di telinga kirinya. Untuk beberapa lama anak ini tertegak nanar,
meringis menahan sakit, telinga mengiang, air mata meleleh dari sudut mata kiri.
Bukan air mata menangis tapi air mata saking hebatnya dia berusaha menahan
sakit. "Katanya lu punya ilmu! Kok baru digampar aja udah ngulet kesakitan!" Lelaki di
belakang Boma mengejek.
Si berewok yang barusan menampar ikut
bicara. "Katanya jagoan! Nggak taunya cuma banci cengeng!"
"Hajar lagi Fred, biar dia tahu rasa!" kembali teman si berewok berucap.
Firman tiba-tiba menerjang ke depan. Dia
berusaha menendang orang yang barusan
menampar Boma. Tapi kawan si berewok cepat
menghadang. Bukan cuma menghadang, malah
sekaligus melayangkan jotosan. Sosok kecil
Firman terpental lalu terjengkang di lantai toilet begitu tinju keras melanda
dadanya. Anak ini melingkar di lantai, mengerang kesakitan sambil pegangi
dadanya yang serasa amblas. Dasar
anak kelotokan, meski menderita sakit bukan main tapi dia gulingkan badan,
menangkap kaki orang lalu mengigit pahanya. Blujins yang
dipakai orang itu cukup tebal tapi gigi-gigi runcing Firman masih bisa tembus
lalu menghunjam di daging pahanya. Orang ini
menjerit kesakitan. "Bangsat! Main gigit!"
Dijambaknya rambut Firman lalu kepala anak
ini disentakkannya. Begitu tubuh Firman
terangkat dia kembali daratkan jotosan. Firman terpekik. Jotosan mendarat tepat
di keningnya. Lutut anak ini langsung terlipat. Dalam keadaan seperti itu tubuhnya didorong
kuat-kuat hingga terpelanting, terkapar di lantai toilet yang kotor, mengerang
kesakitan. Sebenarnya Boma masih bisa menahan rasa
sakit tamparan lelaki berewok. Dia ingin
menanyakan salah apa sampai dia ditampar
seperti itu. Tetapi ketika melihat Firman dijotos dan
dibanting amarah Boma Tri Sumitro yang
mendapat cap Anak Geblek dan terakhir malah dijuluki Anak Baru Gendenk
menggelegak seperti air mendidih. Ubun-ubunnya serasa
mengepulkan hawa panas. Dadanya membara.
Apa lagi saat itu di depan dilihatnya si berewok mengayunkan tangan hendak
meninju mukanya.
"Bang, jangan Bang. Jangan pukul. Saya kan nggak punya salah apa-apa sama
Abang." Luar biasa. Dalam keadaan seperti itu
mendadak saja Boma mampu menindih hawa
amarahnya dan keluarkan ucapan polos sabar.
"Jangan banyak bacot!" bentak si berewok.
Tinju kanannya menderu.
"Bukkk!"
Jotosan si berewok mendarat. Bukan di wajah Boma, melainkan di atas telapak
tangan kiri anak lelaki itu. Boma berhasil menangkis
serangan orang.
"Bangsat! Berani ngelawan!"
Si berewok pergunakan tangan kiri untuk
meninju perut Boma dan tepat mengenai
sasarannya dengan telak di ulu hati. Boma
terlipat ke depan. Perutnya seperti pecah.
Sesaat Boma sulit bernafas. Lalu serasa mau muntah. Dalam keadaan seperti itu si
berewok kembali mengangkat tangan kanan, siap
melayangkan tinju berikutnya. Yang diincarnya kali ini adalah hidung Boma.
Boma cepat mundur. Tapi punggungnya
tertahan oleh papan pemisah kloset.
"Buukk!"
Tinju si berewok yang diarahkan ke hidung
Boma mendarat di pipi kiri. Boma seperti melihat ledakan bintang-bintang di
pelupuk matanya. Dia nyaris roboh kalau tidak cepat menggapai papan pemisah
kloset. Boma baru bisa menarik nafas agak panjang ketika tiba-tiba dari samping
kawan si berewok melayangkan tinju ke arah
rahang kirinya.
Rasa sakit yang amat sangat membuat
amarah Boma yang tadi padam kembali
menggelegak, lebih dahsyat dari sebelumnya, memusnah kesabaran yang ada dalam
dirinya. Satu hawa aneh tiba-tiba terasa di kuduknya.
Hawa ini menjalar ke seluruh tubuh. Entah apa yang terjadi, di mata Boma dua
orang lelaki kekar yang memukuli dia dan Firman itu tampak kecil.
Rahang menggembung, geraham bergemeletakan. Sepasang mata menyorot aneh. Tangan kanan menowel hidung. Kepala dan
pundak dimiringkan. Jotosan yang melayang ke arah rahang ditangkis dengan lengan kiri.
Bersamaan dengan itu tangan kanan melesat ke depan.
Kawan si berewok keluarkan suara seperti
sapi melenguh ketika tinju kanan Boma
menyodok ulu hatinya. Tubuhnya terhempas ke belakang. Dua tangan menggapai
udara. Firman yang saat itu sudah berdiri dan tegak bersandar ke dinding sambil
pegangi keningnya yang benjol merasa dapat kesempatan untuk memba-las.
Sosok kekar yang terhuyung ke belakang itu
didorongnya kuat-kuat hingga menghantam
pintu wc, terus masuk ke dalam wc. Malang,
kepalanya membentur dinding dengan keras.
Orang ini tergelimpang miring tak sadarkan diri di lantai wc, sebagian mukanya
masuk ke dalam kloset jongkok!
Lelaki berewok tidak sempat melihat apa
yang terjadi dengan kawannya. Juga tidak
melihat jotosan kilat yang dihantamkan Boma ke hidungnya. Boma tidak tahu apakah
hidung itu patah tulangnya. Yang jelas dia melihat ada darah mengucur dari dua
lobang hidung dan si berewok megap-megap sukar bernafas. Rasa
sakit membuat orang ini jadi kalap. Dia berusaha mencekik leher Boma dengan dua
tangannya yang kokoh. Tapi Boma tidak memberi
kesempatan. Sebelum cekikan sampai, tinju
kanan Boma untuk kedua kalinya melesat. Kali ini menghantam mata kanan si
berewok. Orang ini menjerit keras, melintir sambil pegangi matanya. Ketika tubuh
yang melintir berputar menghadap ke arahnya, Boma sarangkan lagi
satu tonjokan ke perut lawan. Si berewok terjajar keras amblas masuk ke dalam
wc. Jatuh tertelungkup, tepat di atas sosok kawannya.
Melihat dua orang itu tidak bergerak, tidak bersuara Firman jadi takut. Kalau
cuma pingsan tidak jadi apa. Tapi kalau ternyata keduanya mati"
"Bom, kabur Bom...." bisik Firman.
Tapi Boma tidak punya pikiran untuk segera
kabur. "Tunggu Man, dua orang hutan ini musti dikasih pelajaran," ucap Boma. Lalu anak
ini melangkah ke pintu wc. Turunkan retsluiting celana jinsnya. Kencingnya yang
tadi tertunda tidak lampias kini dikeluarkan habis-habisan!
Dikucurkan mengguyur dua orang yang
tergeletak pingsan di dalam wc. Mulai dari
badan sampai kepala.
"Gila lu Bom!" kata Firman. "Dasar gendenk!"
Boma menyengir. Sekilas dia melihat


Boma Gendeng Triping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajahnya di dalam kaca. Bengkak besar merah kebiruan menghias pipi kirinya.
"Sial!" maki anak ini. Dia berpaling pada Firman yang juga tengah memperhatikan
benjut besar di keningnya.
"Man, sekarang saatnya kabur! Sebentar lagi pasti ada yang masuk ke sini," kata
Boma. Sementara itu di luar toilet, lelaki kawan dua orang tadi, yang sebelumnya
menempelkan kertas bertuliskan "Maaf toilet rusak" merasa curiga mendengar teriakan-teriakan
di dalam sana. Apa lagi saat itu seorang Satpam
dilihatnya terus-terusan memperhatikan ke
arahnya dari kejauhan. Takut ketahuan, orang ini cepat tanggalkan kertas yang
ditempel di pintu lalu membuka pintu, masuk ke dalam toilet. Saat itulah Boma
dan Firman menghambur keluar.
"Hai!" orang yang barusan masuk berteriak.
Dia hendak mengejar Boma dan Firman. Tapi
tidak jadi karena merasa heran tidak melihat dua temannya di dalam toilet.
"Cepetan Man!" kata Boma.
Ketika ke dua anak ini sampai di ujung tangga jalan, Satpam yang sejak tadi
memperhatikan sekitar toilet melangkah mendatangi.
"Ada apa"!" Petugas itu bertanya. "Siapa tadi yang teriak-teriak?"
Boma pura-pura mengusap pipinya untuk
menutupi benjut lebam di pipi kiri. Firman
memandang ke jurusan lain sambil turunkan
rambut agar menutup benjut di kening.
Firman bingung, tak tahu mau menjawab apa.
Boma cepat dapat akal, cepat pula menjawab.
"Pak, cepat masuk ke dalam toilet Pak. Ada dua orang melakukan praktek homo."
Kata Boma sambil menggeser langkah.
"Hah"! Apa"!" Si Satpam sulit mau percaya.
"Betul Pak. Kami berdua liat sendiri. Kami kabur ketakutan." ucap Firman. Dia
bergerak mengikuti Boma.
"Teman saya ini hampir dikerjain juga!"
menambahkan Boma.
"Gila!"
"Ketika Satpam itu melangkah menuju toilet, Boma dan Firman langsung kabur.
--oo0dw0oo-- 3 ALLAN PUNYA MASALAH
WARUNG bakso di ujung jalan riuh oleh suara gelak tawa tujuh orang anak termasuk
Firman yang menceritakan Peristiwa perkelahian di
toilet toko buku Gramedia itu.
"Untung belon masuk sekolah. Kalau nggak kalian berdua bisa jadi tontonan. Kayak
anak ondel-ondel...," kata Gita. Lalu anak perempuan gemuk ini tertawa
cekikikan. "Mulai sekarang kau jangan dulu pergi-pergi ke Gramedia, Bom," kata Vino sambil
mengusap matanya yang berair karena tertawa terpingkal-pingkal. "Kalau Satpam
Gramedia ngenalin kamu, pasti jadi urusan."
"Bukan cuma Satpam itu," kata Gita Parwati.
"Nggak mustahil dua orang yang mau ngerjain kamu datang ke sana. Menunggu kamu
sama Firman muncul kembali."
Boma masih terus mengusap-usap
hidungnya. Firman lalu berkata. "Waktu kita lagi dipermak orang di dalam toilet, Si Gita
malah lagi enak-enakan in the mood bersama Si Allan...."
"Bom' kata Ronny. "Kejadian di Gramedia itu jelas ada hubungannya dengan
kejadian di Atrium. Buktinya sebelum mukuli kamu, orang itu nanyain aku. Sebetulnya aku yang
diincar, tapi kalian berdua yang apes." Suara Ronny bernada sedih, juga
menyesal. "Kalau waktu itu gua nggak nonjokin Si Bodong...."
Boma pegang tangan Ronny Celepuk. "Kamu nggak usah ngomong gitu Ron...."
"Mungkin kita semua sudah masuk dalam
daftar yang mau dikerjain," kata Vino.
"Kamu nggak ngenalin dua orang itu" Nggak pernah ngeliat sebelonnya?" tanya
Andi. Boma menggeleng. "Tapi kalau ketemu lagi aku pasti ngenalin tampang monyetmonyet itu."
"Aku ingat," kata Firman menyambung ucapan Boma. "Orang yang mau mukulin Boma
dipanggil Fred sama temannya. Mungkin namanya
Freddy." "Gila juga Si Bodong. Bisa-bisanya nyuruh orang mukulin aku sama Firman." Boma
berkata sambil mengusap-usap hidungnya dengan ujung jari.
"Belum tentu ini kerjaan Si Bodong sendirian,"
Gita memberikan pendapat. "Mungkin Si Anton juga ikutan. Malah bisa saja tu anak
yang jadi dalangnya. Ingat, dia yang nyuruh Si Bodong bego ngelempar kita sama
telor busuk!"
Masih mengusap-usap ujung hidungnya
Boma memandang pada Ronny lalu berkata.
"Heran, sirik apa sih Si Anton sama aku dan kamu Ron?"
"Sama aku sih mungkin kagak Bom. Tapi
sama kamu pasti iya," kata Ronny pula.
"Belangnya mulai keliatan waktu dia nyuruh Si Bodong ngelempar telor busuk tempo
hari." "Pasti iyanya kenapa?" ujar Boma. "Walau satu sekolah aku, kita tidak satu kelas
sama dia. Ketemu juga jarang. Pokoknya nggak ada yang korslet antara aku, antara kita-kita
dengan Si Anton."
"Aku juga nggak ngarti," kata Ronny dan ikut-ikutan mengusapi hidungnya yang
seperti paruh burung kakak tua.
"Kalian semua budek en buta," kata Gita.
"Ajie Busyetl Maksud kamu apa non Gita cakep?" tanya Boma sambil mesem-mesem.
"Yang aku dengar, yang aku tau Si Anton itu udah lama ngebet sama Trini. Tapi
kepentok kamu, den mas Boma yang ngganteng." Gita balas meledek.
Semua mata memandang ke arah Boma.
"Nah, kok kepentok aku?" tanya Boma heran.
"Kepentoknya benjol nggak"!" menimpali Rio.
"Yang kepentok kepala bawah apa kepala atas?" Vino menimpali.
Ronny dan Firman tertawa lebar. Gita
cemberut. Boma dan yang lain-lainnya
senyumsenyum mendengar ucapan Vino itu.
"Kalau dia memang demen sama Trini ambil aja," kata Boma. "Aku nggak ada
hubungan apa-apa sama 'tu cewek kok."
"Jangan begitul Bom. Jangan takabur bo...."
ujar Gita. "Begitul begitil," Boma agak bersungut.
"Memangnya aku takabur gimana?"
"Trini itu naksir sama kamu. Jelas. Semua orang tau. Tapi kamunya kayak ogahogahan...."
"Git, kamu ini kayak yang nggak tau history aja. Nggak tau sejarah," Vino
memotong ucapan si gendut Gita Parwati.
"Keren amat lu ngomong. Maksud kamu apa?" tanya Gita.
"Gue sih ngomong blak-blakan aja bo," kata Vino sambil melirik Boma. "Mau marah,
marah deh! Gue ngomong seadanya. Dulu pertama kali memang Boma duluan yang
naksir Trini...."
"Enak aja lu!" protes Boma.
"Terusin Vin," kata Gita.
Vino meneruskan. "Tapi Trini jual mahal.
Cuek. Mungkin kawan kita ini nggak masuk
nominasi karena sudah kebeken gebleknya.
Rangkingnya lumayan bagus. Tiga sembilan dari empat satu...." Sampai di situ
Vino berhenti bicara, memperhatikan dulu teman-temannya
yang pada nyengir, termasuk Boma sendiri.
"Mungkin Trini nggak mandang sebelah mata karena Boma bukan anak gedongan. Cuma
anak seorang tukang...." Terusan ucapan Vino itu adalah seorang anak tukang sablon.
Tapi ucapannya terputus. Boma ulurkan tangan
kanan ke arah jidat Vino. Jari-jari ditekuk ke dalam.
"Ayo. Terusin nyebut kerjaan bokap gue. Gue jitak benjol lu!" Boma mengancam.
Vino cepat-cepat jauhkan kepalanya.
"Sorry teman-teman, ada kerusakan teknis!"
kata Vino membuat teman-temannya kembali
tertawa. "Terusin nggak nih?"
"Terusin!" jawab Gita, Andi, Firman, Rio dan.
Ronny berbarengan. Boma diam saja.
"Tapi waktu Dwita masuk...." Vino menyambung jalan ceritanya. "Everything
changes. Cia illah, keren banget gua." Vino tertawa geli sendiri. "Keadaan
berobah. Trini merasa mendapat saingan. Apa lagi Dwita
keliatan akrab sama Boma. Lalu Trini pasang kuda-kuda baru. Deketin Boma. Saat
itu Si Anton lagi ngebet-ngebetnya sama Trini. Tapi si cewek justru nguber Boma.
Anton kesel en kalap. Kita-kita yang jadi korbannya. Nah, begitu jalan
ceritanya. Bener nggak penonton?"
"Bennneerrrrr!" Enam mulut menjawab lalu sama-sama tertawa. Boma cuma bisa
nyengir. "Mungkin Si Anton nganggap kamu rakus
Bom," kata Firman. Mauin dua cewek sekaligus."
"Kayak pangeran aja," kata Rio.
"Pangeran bandit." Sambung Gita.
"Ajie Gilel" Boma menyeringai lalu menowel hidungnya.
"Bom, kamu kalau sehari-hari nggak nowelin hidung, mungkin meriang kali ya"!"
ujar Gita yang sejak tadi memperhatikan kebiasaan Boma inenowel hidung.
"Masih mending gua nowelin hidung sendiri.
Kalau nowelin hidung kamu mau nggak?" tanya Boma.
"Rasain lu, Dut!" kata Vino tertawa geli.
"Uh, si Boma paling bisa ngebalikin omongan orang!" kata Gita pula.
"Teman-teman, lupain dulu urusan cewek-cewek itu." Ronny mengalihkan
pembicaraan. "Lebih penting kita, omongin bahaya yang mengancam kita. Pertama bahaya
pembalasan dari dua orang yang dikerjain Boma sama
Firman di toilet. Kedua bahaya dari Si Anton sendiri. Saat ini dia pasti tambah
nggak senang sama kita-kita. Terutama sama Boma."
"Dua orang itu punya itikad jahat Mau
melakukan tindak kekerasan. Bagaimana kalau kita lapor Polisi?" kata Andi.
"Mungkin bisa pakai jalur bokapnya Trini yang Letkol itu."
Boma gelengkan kepala. "Aku nggak setuju.
Soalnya gara-gara urusan orang yang dirampok di bajaj dulu saja, aku jadi bulak
balik ke kantor polisi. Ditanya ini itu. Diminta kesaksian. Belum lagi nanti
sampai ke sidang pengadilan. Kalau ditambah lagi dengan urusan yang satu ini,
buntutnya pasti jadi makin panjang. Alamat
bakal banyak bolos nantinya aku di sekolah."
"Soal perampokan itu Bom," kata Ronny. "Kau juga harus hati-hati. Banyak yang
bilang, biasanya teman-teman rampok yang ada di
luaran suka balas dendam. Apalagi kalau si
perampok yang nanti dihukum, keluar dari
penjara. Nggak mustahil dia nyari kamu, Bom."
"Aku memang sudah mikirin itu," jawab Boma.
"Aku memang harus hati-hati. Tapi kalau kelewat dipikirin,. aku bisa stres
sendiri. Akhirnya aku bersikap pasrah aja. Minta perlindungan Tuhan."
"Bom, banyak yang bilang kau sekarang
sudah punya ilmu. Apa ilmu itu nggak bisa
dipakai buat jaga diri?" Bertanya Gita Parwati.
"Ilmu apa-an" Ilmu tai kucing?" ujar Boma pula.
"Tai kucing, tai anjing kek. Kalau kau memang punya ilmu berarti nggak usah
terlalu banyak pasrah. Kami teman-temanmu jadi nggak terlalu kawatir." Gita diam
sebentar lalu meneruskan.
"Waktu kau menghajar dua orang di Gramedia itu, apa kamu ngeluarin ilmu?"
"Memang aku ngeluarin ilmu. Tapi ilmu
nekad!" jawab Boma.
Anak perempuan bertubuh gendut itu tertawa
lebar. Dia berdiri sambil berkata "Sorry teman-teman. Aku musti pergi dulu."
"Pergi ke mana Git?" tanya Andi. Yang lain-lain ikut heran.
"Nganterin nyokap ke dokter." Jawab Gita Parwati.
"Ala... Nganterin nyokap apa janji sama nyongnyong?" meledek Ronny.
"Enak aja lu," sungut Gita. "Udah, aku pergi dulu ya."
"Hati-hati Git. Kalau bisa perginya jangan lewat jalan Kramat Raya," kata Vino
dengan wajah serius.
"Memang kenapa?" tanya Gita juga serius.
"Ada razia," jawab Vino.
"Razia" Razia apa-an?" Gita tambah serius.
"Razia orang jelek en gendut!" jawab Vino.
"Sialan!" Gita angkat tinjunya tinggi-tinggi.
Sebelum tangan itu diayun ke batok kepala Vino, anak lelaki ini cepat
menghambur, berlindung di belakang Boma.
"Brengsek!" kata Gita Parwati lalu putar tubuhnya yang gemuk, melangkah keluar
warung. "Ee... Git! Baksonya bayar dulu!" teriak Firman.
"Sa' bodo!" jawab Gita tanpa berpaling.
"Wah, berabe deh kalau kasir kita diantuk penyakit ngambek," kata Ronny pula.
Tak lama setelah Gita Parwati meninggalkan
mereka, Boma berkata. "Aku sama Firman pernah ngomong-ngomong soal cowoknya
Gita...." "Si Allan, anak baru itu?" ujar Andi.
Boma mengangguk.
"Kayaknya Gita naksir berat sama Allani Allan juga suka sama Gita' ucap Rio.
"Ajie Busyet. Si Gita bukan cuman buta mata, tapi juga buta hidung. Dia betulan
naksir sama Si Allan, anak baru itu?" Ronny Celepuk tepuk jidatnya sendiri.
"Soal sama-sama naksir sih itu urusan
mereka," kata Firman. "Justru ada hal lain yang bisa jadi masalah. Bukan cuma
buat Gita, tapi juga buat kita-kita semua. Malah bisa-bisa
masalah buat satu sekolah."
"Ajie Gombali" Ronny lagi yang buka mulut
"Memangnya Si Allan ngelakuin apa" Makar terhadap Pemerintah yang syah" Atau
kudeta pimpinan SMA Nusantara Tiga"!"
"Ceritain aja Bom," kata Firman.
"Kalian pernah nggak meratiin wajah samaj gerak-geriknya 'tu anak." Boma
pandangi wajah teman-temannya.
Tak ada yang segera menjawab. Lalu Rio
membuka mulut. "Kalau wajahnya sih jelas.
Banyak jerawat. Kalau gerak geriknya...."
"Memangnya kenapa Bom?" Andi bertanya. ;
"Kita-kita memang baru beberapa kali ketemu dia. Soalnya masih belum masuk
sekolah. Tapi beberapa kali ketemu aku sering ngeliat
matanya merah...."
"Mungkin aja dia tukang begadang...." kata Ronny.
Boma menggeleng. "Mata merahnya Si Allan bukan karena bergadang. Kayaknya ada
penyebab lain. Lalu, kadang-kadang aku liat dia duduk atau berdiri seperti orang
kehilangan keseimbangan. Tangannya suka gemetaran.
Pandangannya kosong. Terus terang aja aku
kawatir dia suka nenggak obat terlarang."
"Ah, kamu nggak-nggak aja Bom. Kalau Gita tau kamu ngomong begitu habis kamu
didamprat si gendut itu," kata Ronny.
"Aku serius Ron. Kalau Allan suka yang begituan, cepat atau lambat pasti bakal
ada teman-teman yang ketularan. Pertama sekali
Gita tentunya."
"Bom, kalau dugaanmu nggak benar
buntutnya bisa jadi jelek," kata Ronny Celepuk pula. "Kalau bener?" ujar Boma.
Semua terdiam.

Boma Gendeng Triping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada satu lagi," kata Firman. "Kalau di tempat-tempat keliwat ramai Si Allan
kadang-kadang seperti orang sesak nafas. Muka pucat keringatan...."
"Jangan-jangan 'tu anak punya penyakit bengek," kata Rio.
"Bukan bengek, tapi asma," celetuk Vino.
"Asma asmara. Asmara sama Gita."
"Gini aja," kata Boma. "Di antara kita harus ada yang nyelidik. Kalau perlu
nanti waktu sudah sekolah ada yang meriksa tasnya."
"Mana mungkin segala obat terlarang ada yang berani bawa ke sekolahan," kata
Rio. "Mungkin aja Ron. Karena kalau ditarok di rumah takut digeledah orang tua...."
kata Firman. "Lalu kita mau bikin apa, bo?" tanya Ronny.
Boma memandang pada Andi. "Di, kamu 'kan lebih dekat sama Gita dibanding kitakita. Apa lagi rumah kalian masih satu komplek. Allan pasti sering datang ke
rumah Gita. Kamu bisa nggak ngawasin 'tu anak berdua. Terutama Si Allan."
"Yah, aku coba deh," jawab Andi sambil garuk-garuk kepala.
"Nanya-nanya atau cari keterangan juga bisa,"
kata Firman "Nanya-nanya gimana?" tanya Andi pada Firman.
"Misal dia pindah sekolah. Lantaran apa"
Minta pindah sendiri atau dikeluarin. Kalau dikeluarin sebab apa" Berantem,
tawuran atau suka nenggak obat setan."
"Tapi kamu musti hati-hati, Di," kata Boma pula. "Jangan sampai ketauan sama Si
Allan atau Gita kamu nyelidikan dia. Apa lagi kalau sampai kejebak. Ikut-ikutan
nenggak obat setan." "Amit-amit jabang babu...." kata Andi.
Disambut gelak tawa semua anak yang ada di
situ. ---oo0dw0oo--- 4. BATU PENYUSUP BATIN
DALAM gelapnya malam, di bawah terpaan
angin laut serta deru gelombang ombak pantai selatan, satu bayangan biru laksana
terbang berkelebat ke arah timur. Rambutnya yang
panjang sekaki seperti mengambang di udara. Di atas bahu kanannya orang ini
memanggul seseorang yang tiada hentinya keluarkan suara menggerang.
"Jahanam Muka Bangkai
Berhentilah merintih! Atau kuputus urat besar di lehermu hingga kau jadi gagu seumur-umur!"
Orang yang memanggul membentak.
"Eyang...." Orang yang dipanggul keluarkan suara perlahan. "Daging tubuhku
seperti leleh, tulang-tulangku laksana hancur. Satu tanganku amblas buntung.
Kalau aku tidak boleh merintih menanggung sakit mengapa kau tidak bunuh
saja diriku saat ini" Kau mau bawa aku ke
mana" Aku memilih mati dari pada hidup cacat seumur-umur.
"Murid keparat! Jangan berani bicara tak karuan padaku! Kematian terlalu enak
bagimu! Aku perlu minta pertanggungan jawabmu lebih dulu! Kau telah melakukan satu
kegagalan besar! Kegagalan yang akan membuat
celakanya kita para tokoh golongan hitam. Dasar murid tolol tidak berguna!"
"Eyang.... Eyang Kunti Api. Aku mohon, bunuh saja aku sekarang juga!" Sang murid
yang berjuluk si Muka Bangkai kembali keluarkan
ucapan. Sosok berjubah biru, yakni seorang- nenek
bertampang angker keluarkan suara
menggembor marah. Sepasang matanya yang
merah keluarkan cahaya menggidikkan.
Mulutnya yang perot dan pencong ke kiri
lesatkan pekik dahsyat. Begitu dua kakinya
dijejakkan ke tanah, tubuhnya melayang ke
udara setinggi lima tombak. Dari atas, sambil melayang turun nenek ini, yang
dikenal dengan panggilan Eyang Kunti Api, lemparkan sosok
murid yang sejak tadi dipanggulnya.
Tak ampun lagi sosok Si Muka Bangkai
amblas tenggelam sampai sebatas leher dalam pasir lunak dan becek di tepi
pantai. Tampang kakek ini pucat laksana darahnya disedot setan.
Matanya yang besar mendelik tinggal putihnya.
Dia merasa sekujur tubuhnya remuk. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah
kental. Dua tangannya terkulai di atas pasir. Yang kiri buntung sebatas siku. Dia coba
bersitekan dengan tangan kanan dan mengangkat tubuh
agar bisa keluar dari dalam pasir. Tapi tidak mampu. Dia hanya bisa menatap
putus asa ke arah sang guru sambil sesekali keluarkan suara mengerang panjang.
Eyang Kunti Api melayang turun. Tegak dua
langkah di depan muridnya, berkacak pinggang.
Dongakkan kepala lalu tertawa bergelak. Tiba-tiba nenek ini hentikan tawanya
lalu membentak. "Muka Bangkai!"
Sang murid angkat sedikit kepalanya. "Kau tahu kesalahan apa yang telah kau
perbuat"!"
"Eyang.... Kau boleh menyebut segala apa.
Aku pasrah," jawab Si Muka Bangkai. Dari mulutnya kembali mengucur darah kental.
Dalam serial Boma Gendenk sebelumnya
(ABG = Anak Baru Gendenk) telah dituturkan
bahwa Si Muka Bangkai mendapat tugas dari
Eyang Kunti Api untuk mencari tahu rencana
Sinto Gendeng yang hendak menghadirkan
seorang pendekar sakti mandraguna dalam
rimba persilatan. Konon pendekar itu diberi julukan "Pendekar Tahun 2000". Bagi
para tokoh golongan hitam, rencana ini merupakan satu
malapetaka besar. Karena itulah selain mencari tahu siapa adanya sang pendekar,
Si Muka Bangkai juga ditugaskan untuk membunuh Sinto Gendeng. Ternyata Si Muka Bangkai
yang juga dikenal sebagai guru Pangeran Matahari tidak berhasil dalam tugasnya.
Bukan saja dia gagal mencari keterangan dan membunuh Sinto
Gendeng, nenek sakti di puncak Gunung Gede
itu, dia sendiri malah harus kehilangan tangan kirinya, putus sebatas siku
dihantam serangan Sinto Gendeng. Dan kini gurunya, Eyang Kunti Api hendak
meminta pertanggung jawaban dari kegagalannya. Dia tidak tahu mau bertanggung
jawab bagaimana. Karena itu dia lebih suka
memilih mati saja.
"Enaknya mulutmu berucap pasrah! Kau tahu!
Kegagalanmu ini akan terasa sampai puluhan
tahun mendatang. Akan menjadi bencana bagi
kita orang-orang golongan hitam!" Kunti Api meludah ke tanah. Matanya garang
mendelik tak berkesip pandangi muridnya yang terkubur
sebatas leher. "Saya siap menerima hukuman Eyang. Saya sudah bilang, matipun saya terima...."
kata Si Muka Bangkai.
"Kakek geblek!" maki Kunti Api dengan mata laksana kobaran api menyala. "Soal
menghukummu mampus semudah aku
meludahi kepalamu! Kau dengar"!"
Si Muka Bangkai tak menyahut. Kepalanya
terkulai. "Jahanam! Angkat kepalamu. Jawab! Kau
dengar"!"
Kakek yang terkubur di pasir becek itu
terpaksa angkat kepalanya. "Saya dengar Eyang...."
"Kesalahanmu pertama! Kau gagal mengorek keterangan siapa adanya orang yang
diambil Sin-to Gendeng dan dijadikan Pendekar Tahun 2000. Kesalahan kedua! Kau tidak
berhasil membunuh nenek keparat bau pesing Sinto
Gendeng itu. Bahkan mengorek dua mata
sumber segala kesaktiannya tidak mampu kau
lakukan!" "Eyang.... Saya sudah berusaha. Saya
mengaku salah, mengaku gagal.Mungkin karena ilmu saya masih jauh di bawah Sinto
Gendeng. Bahkan saya sampai-sampai mengorbankan
tangan kiri. Eyang saksikan sendiri. Tangan kiri saya yang buntung...."
"Murid tak berguna! Masih untung tangan kirimu yang buntung! Seharusnya
jantungmu yang amblas!" Damprat Eyanfo Kunti Api. Nenek berjubah biru dengan rambut
panjang sekaki ini merutuk habis-habisan sambil melangkah
mundar mandir di depan kepala muridnya.
"Dengar, aku akan memberi kesempatan satu kali lagi padamu. Satu kali dan
terakhir kali!"
Perlahan-lahan Si Muka Bangkai angkat
kepalanya, menatap tak percaya pada sang
guru. Kakek ini menunggu. Apa yang akan
dikatakan selanjutnya oleh si nenek.
"Muridmu yang putera Surokerto bernama Pangeran Anom berjuluk Pangeran Matahari
itu! Di mana dia sekarang"!" Tiba-tiba Eyang Kunti Api bertanya.
"Saya... saya tidak dapat memastikan. Sudah lama anak itu tidak menyambangi
saya. Tetapi jika Eyang menghendaki, saya akan berusaha
mencarinya...."
"Itu yang aku inginkan!" kata Kunti Api. Habis berucap begitu dia hantamkan kaki
kanannya ke tanah di depan kepala Si Muka Bangkai. Luar biasa sekali. Tanah itu
terkuak sedikit.
Bersamaan dengan itu sosok Si Muka Bangkai
yang sejak tadi terpendam sebatas leher
mencelat ke udara setinggi satu tombak lalu jatuh bergedebukan, mengerang di
atas pasir becek.
Eyang Kunti Api berkacak pinggang, dongakkan kepala dan umbar tawa bergelak.
"Muka Bangkai, dengar baik-baik." Berucap Kunti Api. "Cari muridmu itu sampai
dapat. Kalau bertemu serahkan benda ini padanya."
Dari balik jubah birunya si nenek keluarkan sebuah benda yang ternyata adalah
batu sebesar dan sebentuk telur burung merpati,
berwarna biru, terang berkilau. "Dengan berbekal Batu Penyusup Batin ini,
muridmu akan sanggup menyusup ke mana saja yang
dikehendakinya. Dengan cara menyusup dia
akan mampu mencari tahu siapa adanya orang
yang bakal dijadikan Pendekar Tahun 2000 itu.
Jika dia sudah tahu siapa orangnya, berarti mudah saja baginya untuk menghabisi
orang itu. Namun perlu kau ketahui dan ingat baik-baik.
Batu Penyusup Batin ini kuserahkan hanya
selama satu purnama. Berhasil atau tidak
muridmu melakukan tugasnya dalam waktu dua
purnama, batu ini harus dikembalikan padaku.
Muka Bangkai, kau dengar semua ucapanku"!"
"Saya dengar Eyang...."
"Kau paham, mengerti"!"
"Paham dan mengerti Eyang," jawab Si Muka Bangkai yang saat itu masih melingkar
di atas pasir pantai becek.
Si nenek berjongkok di tanah. Batu Penyusup Batin sesaat ditimang-timangnya.
Lalu "batu itu digelindingkan di atas pasir. Batu aneh bergulir membentuk cahaya
terang biru dalam gelapnya malam. Beberapa jengkal di hadapan si kakek batu itu
berhenti bergulir.
"Ulurkan tanganmu. Ambil batu itu!" perintah Eyang Kunti Api.
Si Muka Bangkai ulurkan tangan kanannya.
Pada saat jari-jarinya menyentuh Batu Penyusup Batin, tiba-tiba wusss! Satu
cahaya terang memancar. Si Muka Bangkai terpekik dan tarik tangannya. Ketika dia memperhatikan
ternyata beberapa jari dan kuku-kukunya yang panjang hitam telah hangus kepulkan
asap. Eyang Kunti Api tertawa bergelak.
"Tua bangka itu. Apakah dia hendak menipu atau mencelakai diriku...." pikir Si
Muka Bangkai. Ada rasa gusar dan juga sikap curiga terhadap sang guru. Bukan sekali ini dia
diperlakukan seperti itu. Dulu ketika Eyang Kunti Api hendak memberikan ilmu
Sepuluh Cakar Iblis yang juga dikenal dengan nama Sepuluh Jari Iblis, dirinya
sempat dibuat leleh babak belur seolah
dipanggang di atas bara api. (Baca serial Boma Gendenk berjudul "ABG- Anak Baru
Gendenk").
"Muka Bangkai, Batu Penyusup Batin bukan batu sembarangan. Batu itu mempunyai
rasa dan perasaan seperti manusia. Dia tahu kalau kau saat ini punya satu rasa dan
maksud tidak baik...."
Si Muka Bangkai diam-diam melengak kaget.
"Bukankah dalam hatimu saat ini ada maksud keji hendak memiliki batu sakti itu
seumur-umur?"
Dalam hati Si Muka Bangkai membatin. "Luar biasa, manusia satu ini bisa tahu apa
yang ada di hatiku." Lalu pada sang guru si kakek berkata.
"Eyang, maafkan saya kalau kau menduga begitu...."
"Aku bukan menduga. Tapi dalam hatimu
memang ada maksud jahat itu!" bentak Kunti Api dan dua larik sinar merah
menyambar dari ke dua matanya.
"Maafkan saya Eyang. Saya hanya ingin
mengikuti apa petunjuk dan perintah Eyang,"
kata Si Muka Bangkai pula.
"Bagus! Jadi jangan berani berhati culas terhadapku dan terhadap Batu Penyusup
Batin. Kau bisa celaka sendiri, kalau sekarang niat busuk di hatimu sudah hapus, kau
boleh mengambil batu itu!"
Si Muka Bangkai tarik nafas panjang lebih
dulu baru ulurkan tangan. Kali ini tak terjadi letusan. Tak terjadi apa-apa.
Batu berwarna biru itu terasa sejuk tersentuh ujung jarinya. Cepat-cepat Si Muka
Bangkai menggenggam batu sakti itu. Dengan susah payah dia lalu mencoba
bangkit. Ketika dia berhasil duduk di pasir dan memandang ke depan, sang guru
Eyang Kunti Api tak ada lagi di hadapannya. Si Muka Bangkai timang-timang batu sakti itu
beberapa saat lalu susupkan ke balik pakaian rombengnya yang
kotor berselemotan tanah dan pasir. Di mulutnya tersungging seringai yang sulit
diketahui artinya.
--oo0dw0oo-- 5. KOPI DANGDUT SOSOK samar itu mendekam di atas talang
air bangunan toko. Pakaiannya baju dan celana ringkas hitam, di sebelah luar
dilapisi sehelai mantel yang juga berwarna hitam. Di dada baju terpampang gambar
gunung berwarna " biru, dilatari gambar surya lengkap dengan garis-garis cahaya
berwarna merah. Di kening terikat
secarik kain merah. Rambut hitam panjang
menjulai sampai ke bahu.
Sedari tadi sosok samar ini memperhatikan
orang-orang yang lalu lalang di ujung kawasan pusat perbelanjaan Pasar Baru.
Pandangannya kemudian diarahkan pada tukang cendol
gerobak yang asyik membaca potonganpotongan koran bekas sambil sesekali mengorek hidung.


Boma Gendeng Triping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sosok berpakaian serba hitam di atas atap
menyeringai. "Mengorek hidung, melayani orang. Cendol yang dijual bisa-bisa campur tahi
hidung. Ha... ha... ha." Orang berpenampilan aneh, sulit terlihat oleh mata biasa ini
memandang berkeliling. Lalu pandangannya kembali
ditujukan pada tukang cendol yang saat itu
masih asyik membaca koran-koran bekas. "Aku punya firasat, berita yang dibaca
tukang cendol itu ada sangkut paut dengan tugas dari guru.
Saatnya aku menyusup." Mahluk di atas atap toko berucap sendiri. Tangan kanannya
dimasukkan ke dalam saku jubah sebelah kanan di mana tersimpan Batu Penyusup
Batin. Sesaat batu sakti itu diusapnya berulang-ulang. Sosok yang samar berubah
lenyap, menjadi satu
dengan cahaya matahari siang. Sosok itu
kemudian terjun ke bawah. Seperti hembusan
angin mahluk transparan aneh itu menyusup
masuk kedalam tubuh tukang cendol yang
masih asyik membaca.
Begitu sosok aneh masuk dan jadi satu
dengan si tukang cendol, si abang merasakan tengkuknya dingin. Rasa dingin ini
terus menjalar ke seluruh tubuh. Ada hawa aneh
menggerayangi badannya. Kulitnya seolah
merinding. Dia terus membaca. Tanpa sadar
kalau saat itu ada mahluk tumpangan dalam
dirinya ikut membaca apa yang dibacanya.
Boma Bantu Menangkap Penodong.
Boma Tri Sumitro (sekarang dijuluki Boma
Gendenk), yang belum lama berselang
mengalami musibah di gunung Gede bersama
teman-teman para pelajar SMU Nusantara III
lagi-lagi membuat berita. Kali ini dengan
keberanian seorang anak muda dia berhasil
membantu meringkus penodong bajaj di Kiamat Raya, Jakarta Pusat. Berdasarkan
keterangan Boma sewaktu diwawancara, pelajar ini
mengatakan.... Bacaan si tukang cendol terhenti sampai di
situ karena ada seorang pembeli. Seorang
perempuan muda yang tengah hamil besar.
Rupanya karena panas dan haus, perempuan ini ngiler melihat cendol. Tukang
cendol letakkan potongan surat kabar di samping gerobak, siap melayani si
pembeli. Entah perasaan apa yang masuk dan
menguasai dirinya, si tukang cendol mendadak berperilaku aneh. Senyum-senyum
memperhatikan perempuan muda hamil yang
duduk menyantap cendolnya.
Selesai minum, ketika hendak membayar,
tukang cendol itu berkata. "Udah, nggak usah dibayar." Tukang cendol ini tidak
menyadari, seperti tidak mendengar kalau saat itu suaranya mendadak berubah. Dia
bicara tapi bukan
suaranya. "Lho..,?" tentu saja perempuan hamil itu merasa heran. "Kok" Bener nih nggak
usah bayar?"
"Bener," jawab tukang cendol. Lagi-lagi sambil senyum. Kali irii malah sambil
kedip-kedipkan mata, membuat perempuan muda yang tadinya
heran kini jadi merasa tidak enak.
"Ganjen! jangan, jangan ini abang ada
maunya," pikir perempuan hamil. Lalu cepat-cepat dia hendak tinggalkan tempat
itu. Tapi entah bagaimana tahu-tahu tangan kanan
tukang cendol itu mengusap pipinya.
"Eh, Abang kok jadi kurang ajar!" Perempuan hamil jadi marah. Disekanya pipinya
yang barusan diusap dengan perasaan jijik.
"Ala cuma pegang pipi aja masa' sih marah.
Habis situ. cakep banget deh!"
"Jadi kamu nggak mau dibayar tapi gantinya pengen nyolek orang seenaknya!
Songong! Kurang ajar!" perempuan hamil tambah marah.
Suaranya yang keras membuat orang banyak
yang ada di sekitar situ jadi palingkan kepala, lalu mendekat ingin tahu apa
yang terjadi. "Lagi hamil besar jangan suka marah. Nanti anaknya kaya saya lho," si tukang
cendol berkata, tak ketinggalan senyum dan kedipan mata yang membuat jijik
perempuan hamil.
"Amit-amit punya anak kayak kamu! Jelek!
Bau!" kata perempuan itu lalu tendang roda gerobak cendol yang terbuat dari ban
sepeda. Didamprat seperti itu si tukang cendol
bukannya kapok malah maju mendekat lalu
benar-benar kurang ajar, tangan kirinya
diusapkan ke perut hamil si ibu seraya berkata.
"Orangnya dibilang jelek. Bau. Tapi cendolnya diminum habis. Enak ya cendolnya?"
Karuan saja perempuan hamil itu jadi tambah menggelegak amarahnya. Terlebih lagi
ketika si tukang cendol tiba-tiba membungkuk, ulurkan kepala hendak mencium
perutnya. Perempuan
itu menjerit keras sambil meninju punggung
tukang cendol. Orang banyak berdatangan. Salah seorang di
antaranya adalah suami perempuan hamil itu
yang tadi rupanya pisah belanja dengan sang istri. Melihat perut istrinya
dipegang-pegang malah mau dicium orang langsung dia lempar
belanjaannya dan bak buk-bak buk. Tukang
cendol terpaksa menerima hadiah bogem
mentah suami perempuan hamil itu hingga
babak belur. Urusan akhirnya sampai pada pihak berwajib. Sebelum sampai di
kantor polisi, mahluk transparan yang mendekam didalam
tubuh tukang cendol melesat keluar sambil
tertawa-tawa tanpa suara.
Di kantor polisi anehnya tukang cendol tidak mau mengaku salah. Dia merasa tidak
berbuat apa-apa. Apalagi melakukan hal-hal kurang ajar terhadap perempuan hamil
itu. "Sumpah pak, saya nggak berbuat kurang ajar sama ibu ini. Saya...." Suara tukang
cendol telah berubah kembali ke suara aslinya.
Aneh, suara tukang cendol kurang ajar ini kok jadi lain?"kata perempuan hamil
dalam hati yang duduk di seberang meja pemeriksaan.
Perempuan hamil dan suaminya
diperbolehkan pulang. Si tukang cendol ditahan.
Malam hari, setelah dicatat nama dan
alamatnya, diberi nasehat dan pengarahan baru dilepas. Petugas menganggap
dirinya kurang waras. Bagaimana mau inemproses orang sakit ingatan. Jadi lebih baik dilepas
saja. Siflrig itu, hanya beberapa saat setelah
tukang cendol diamankan dan dibawa ke kantor polisi, seoraflg lelaki yang masih
berdiri di dekat gerobak cendol melihat potongan surat kabar yang tadi ada di
samping gerobak tiba-tiba
bergerak, melayang di udara.
"Eh... eh...!" saking heran dan kagetnya orang itu hanya bisa berseru eh-eh
sambil menunjuk-nunjuk. Beberapa orang yang memperhatikan
tapi tidak melihat potongan surat kabar yang melayang di udara jadi gelenggeleng kepala. Salah seorang di antara mereka berkata. "Tadi tukang cendol, sekarang ada lagi
orang geblek minta digebukin."
Sementara itu di atas atap toko, sosok samar bermantel hitam membuka lipatan
potongan suratkabar yang diambilnya dari gerobak tukang cendol. Melanjutkan membaca
berita yang tadi sempat dibacanya lewat tukang cendol.
Belum habis bacaannya tiba-tiba dia
mendengar orang menyanyi diiringi suara
kerirfingan. Orang di atas atap angkat
kepalanya, memandang berkeliling. Disana, di bawah jembatan penyeberangan, dekat
deretan penjual buah dia melihat orang berkerumun
membentuk lingkaran. Ingin tahu apa yang
terjadi mahluk bermantel hitam ini segera
melesat turun lalu ikut berkerubung di antara orang banyk.
Di tengah lingkaran orang ramai, seorang
kakek berpakaian kumal, asyik menyanyi sambil menari. Di tangan kirinya ada
sebuah kerincingan sedang di tangan kanan dia
memegang satu tongkat yang dipukulkan ke
gendang kecil yang tergantung di pinggang
sebelah depan. Di atas kepala ada payung
terbuka. Apapun gerakan yang dibuat kakek ini dalam menari, payung itu tidak
jatuh-jatuh. Yang lucu dipandang adalah muka dan mimik si
kakek. Pipinya keriput kempot. Hidung pesek, mata belok. Gigi tonggos berat
hingga bibir atas dan bibir bawah jarang saling ketemu. Kelucuan lainnya ialah
kakek ini memakai celana agak gombrong kedodoran hingga sebagian pantatnya
sebelah atas kelihatan tersingkap hitam.
Seorang kakek mengamen sambil menari dan
sekaligus melakukan akrobat jarang kejadian.
Karenanya banyak orang yang lalu lalang
menyempatkan diri, berhenti sekedar melihat.
Apa lagi si kakek lincah sekali melantunkan lagi Kopi Dangdut walau lidahnya
agak pelo menyebut huruf er.
Kala kupandang kelip bintang jauh di sana
Sayup teldengal melodi cinta yang menggema
Telasa kembali gelola jiwa mudaku Kalena
telsentuh alunan lagu semeldu kopi dangdut
Na... na... na Ni... ni... ni
Api asmala yang dahulu pelnah membala
Semakin hangat bagai ciuman yang peltama
Detak jantungku seakan ikut Hama
Aku tellena oleh pesona alunan kopi dangdut Na... na... na
Ni... ni... ni Ilama kopi dangdut yang celia
Menyengat hati menjadi gailah
Membuat aku lupa akan cintaku yang telah
lalu Na... na... na Ni... ni... ni
Api asmala yang dahulu pelnah membala
Semakin hangat bagai ciuman yang peltama
Detak jantungku seakan ikut ilama Aku tellena oleh pesona alunan kopi dangdut
Orang banyak tertawa bergelak. Seorang anak muda berteriak.
"Kek, apa bener bisa ciuman" Paling-paling kepentok gigi duluan!"
Orang ramai tertawa riuh. Si pengamen
mencibir sambil goyangkan pantatnya.
Sehabis bernyanyi dan menari si kakek lalu .
mendatangi orang-orang yang berkerumun,
Gendangnya dibalik.
"Seikhlasnya, Bos, Pak, Bu, Oom, Tante, anak muda...."
Banyak yang memberi uang, dimasukkan ke
dalam gendang. Tapi banyak pula yang mundur menjauh lalu pergi. Ketika dia
sampai di hadapan sosok bermantel hitam, mahluk
transparan ini jadi tersentak kaget.
"Kakek pengamen ini bukan manusia biasa.
Dia mampu melihat diriku.... Jangan-jangan."
Orang bermantel gelengkan kepala. "Seikhlasnya anak muda, seikhlasnya...." kata
kakek pengamen.
Seorang anak lelaki berteriak. "Kek, kakek minta duit sama siapa" Kok ngomong
sama tempat kosong"!"
"Seikhlasnya anak muda. Seikhlasnya...." si kakek berucap kembali pada si mantel
hitam. Yang dimintai uang tetap gelengkan kepala.
Lalu dengan perasaan tidak enak dia melangkah mundur. Si kakek buru-buru
mengusap pinggang mantelnya dan berkata. "Terima kasih anak muda, terima
kasih...."
Si kakek balikkan badan. Sambil
menggoyang-goyang kerincingan dan bernyanyi na. na... na... ni... ni... ni dia
melangkah pergi hingga akhirnya lenyap di balik seng sebuah gedung yang tengah
dibangun. Orang yang tadi ramai berkerumun telah lama pergi. Sosok
bermantel tegak termangu di bawah jembatan
pertokoan. Kemudian dia menyadari bagaimana mata orang-orang yang lalu lalang
memperhatikan dengan pandangan aneh ke
arahnya. "Orang-orang itu melihat diriku. Melihat tubuhku secara nyata.... Ada yang tidak
beres!" Dia susupkan tangan kanan ke satu mantel.
Darahnya berdesir. Mukanya mengelam,
rahang menggembung. Batu Penyusup Batin
yang dibawa dan disimpannya di dalam saku
mantel lenyap! "Celaka! bagaimana bisa lenyap!"
Dia memeriksa semua saku, memeriksa setiap
sudut dan lipatan pakaian. Benda yang dicari tetap tidak ditemukan. "Kurang
ajar! Jangan-jangan...." Dia ingat bagaimana tangan kakek pengamen tadi mengusap
pinggang mantelnya.
"Orang tua itu! Jahanam betul! Pasti dia yang mencuri batu sakti." Matanya
memandang ke arah lenyapnya si pengamen. Cepat dia
mengejar. Orang banyak menghindar memberi
jalan dengan pandangan heran. Dia tidak
perduli. Setengah berlari dia mengejar kearah ujung pagar seng gedung yang
sedang dibangun.
Namun dia tidak menemukan orang yang dicari.
Jalan di balik pagar seng itu hanya dipenuhi oleh mobil-mobil parkir. Kakek
pengamen tidak kelihatan sama sekali.
Beberapa orang petugas Kamtib yang sejak
tadi memperhatikan gerak gerik orang
berpakaian aneh ini salah seorang diantaranya berkata pda teman-temannya.
"Siang bolong kok pakai mantel. Rambut gondrong, kepala diikat kain merah."
petugas ini lalu mengajak teman-temannya mendatangi
orang itu. Melihat gelagat yang tidak baik orang
bermantel cepat menyelinap ke balik pagar
seng. Ketika dua orang petugas Kamtib sampai di tempat itu, orang bermantel
tela,h menghilang di antara alat-alat besar bangunan gedung.
--oo0dw0oo-- 6 HARI PERTAMA SEKOLAH
HARI pertama masuk sekolah suasana ramai
dan hangat. Seperti biasa para pelajar
berebutan mencari dan memilih bangku ma-mamasing. karenanya banyak di antara mereka
sengaja datang sepagi mungkin agar bisa
mendapatkan tempat duduk atau bangku yang
sip.

Boma Gendeng Triping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di Kelas II-9 seperti waktu di Kelas I Boma duduk di baris kanan, ujung
belakang. Di sebelahnya Firman. Trini yang datang agak
kesiangan berusaha mendapatkan tempat
duduk di dekat bangku Boma. Namun sejak pagi Ronny dan kelompoknya sudah lebih
dulu menduduki semua bangku sekitar Boma. Ronny
di sebelah depan bangku Boma bersama Andi.
Di baris samping kiri duduk Rio bersama Vino.
Yang membuat kesal Trini, di depan bangku
Vino dan Rio duduk seorang anak perempuan,
murid baru, pindahan dari Semarang. Wajah
cakep, kulit hitam manis. Rambut sepinggang, bodi padat sintal. Namanya
Sulastri. Trini
mendekati anak ini lalu membujuk agar mau
tukar tempat dengan bangkunya di barisan ke dua sebelah depan. Tapi Sulastri
menolak. Caranya menolak tidak dengan membuka mulut
menjawab melainkan dengan menggelengkan
kepala berulang-ulang.
"Eh, kamu anak baru jangan belagu yauiv,"
gertak Trini sambil pelototkan mata.
Sulastri tidak menyahuti. Seperti tadi dia
hanya gelengkan kepala. Cuma sekali ini
mulutnya yang berbibir tebal bagus
dimonyongkan sedikit. Vino dan Rio tertawa geli melihat kelakuan anak baru ini.
yang membuat Trini tambah gondok Sulastri kelihatan ngobrol akrab dengan Boma
dan teman-teman. Mau tak
mau Trini jadi panas dan cemburu.
Ketika Trini kembali ke bangkunya di barisan depan Sulastri berkata. Suranya
medok, khas Jawa Tengah. "Pasti di antara kalian ada yang ditaksir sama cewek
tadi. Masa' ngotot mau
duduk di sini kalau nggak ada apa-apanya."
Mata Sulastri yang bulat besar memandangi
Boma dan kawan-kawan satu persatu.
"Menurut kamu siapa dari kita-kita yang ditaksir sama dia?" tanya Vino.
Mata bulat Sulastri kembali menatapi wajah
enam cowok di sekitarnya. "Dia, pasti dia yang ditaksir," kata Sulastri sambil
menunjuk dengan ibu jari tangan kanannya ke arah Boma.
"Hebat! Bukan cuma mata yang tajem,
perasaannya juga tajem. Buktinya bisa nebak!"
kata Ronny. "Kalau kamu naksir nggak sama dia?" tanya Vino ajukan pertanyaan konyol.
Sulastri runcingkan bibir tebalnya. Lalu
menggeleng. "Kok nggak naksir sama cowok begini kece?"
Andi yang bertanya.
"Aku nggak suka sama cowok jangkung,"
jawab Sulastri.
"Kenapa"' tanya Ronny.
"Takut medel!"
Gelak tawa memenuhi sudut kelas.
"Di antara kita-kita ada nggak yang kamu taksir?" Vino bertanya sambil kedipkan
matanya pada Boma.
"Hemm...." Mata bulat Sulastri memandang berputar. Dia mengerling sekilas ke
arah Vino lalu berkata. "Aii ah! Gelap!"
Kembali Boma dan kawan-kawannya tertawa
riuh. "Hebat," puji Ronny. "Anak Semarang udah tau istilah Prokem anak Jakarta."
"Sulastri, bol" kata Sulastri sambil runcingkan mulut dan busungkan dada lalu
senyum-senyum membuat anak-anak itu jadi tambah suka sama cewek baru ini.
"Jadi di antara kita nggak ada yang ditaksir, nih?" ujar Vino.
Didesak begitu Sulastri tidak kehabisan
jawab. "Gimana kalau kuaammuu saja."
"Mati gua!" kata Vino sambil tekap kepalanya.
"Rasain lu Vin!" kata Ronny. Kembali sudut kelas riuh oleh gelak tawa Boma dan
kawan-kawannya.
Trini kembali ke bangkunya tapi tidak
langsung duduk. Dengan muka asem dia
memandang ke sudut kelas di mana Boma dan
kawan-kawan duduk tidak habis-habisnya
tertawa. Saat itu masih ada satu lagi kekesalan Trini.
Entah bagaimana Gita Parwati yang tidak
disukainya itu duduk tepat di belakangnya.
Padahal waktu di kelas satu dia dan Gita duduk berjauhan. Trini merasa diawasi
dan dicibiri dari belakang oleh si gendut ini.
"Kayaknya si gendut ini sengaja mau nyari gara-gara. Nanti gua kerjain lu,"
gerendeng Trini dalam hati.
Allan, yang juga anak baru di SMU Nusantara III satu kelas dengan Boma dan
teman-temannya. Bangkunya baris paling kiri, kedua dari depan. Sesekali anak ini
melirik ke arah Gita. Kalau kebetulan bertemu pandang Gita
melemparkan senyum.
"Eh, lu liatin Si Allan," bisik Vino pada Rio.
"Baru hari pertama penyakit asma-nya sudah kambuh. Bentar-bentar ngelirik Gita."
Mendengar ucapan Vino, Sulastri anak baru
berkata. "Pasti yang icu sama yang icu punya
hubungan icu-icu."
Rio dan Vino senyum-senyum.
"Wah, mata temen kita ini bener-bener tajem,"
kata Rio. "Kamu punya icu-icu nggak di Semarang?"
tanya Vino. Sulastri mencibir. Lalu seperti tadi dia geleng-geleng kepala.
"Kalau gitu kamu mau dong jadi icu-icunya Vino?" tanya Rio enak saja. Vino
langsung menyikut iga temannya itu. Sulastri mencibir.
Senyum-senyum. Laki geleng-geleng kepala.
Vino berbisik ke telinga Rio. "Ni anak kebanyakan ngegelengnya. Tapi gua yakin
kalau dicipok pasti kepalanya dipanteng diem...."
Vino dan Rio sama-sama tertawa.
"Situ berdua ketawain aku, ya," ujar Sulastri.
"Nggak, kami ngetawain icu-icu," jawab Vino.
Sulastri tertawa lepas tapi sadar lalu cepat-cepat menutupkan tangannya di atas
mulut. Lalu dia menunjuk dengan ibu jarinya ke arah Boma.
"Yang itu namanya Boma ya?"
Rio mengangguk.
"Boma. Lucu ya namanya.... Boma singkatan Bom Atom?" ujar Sulastri.
Boma cuma senyum. Sebaliknya Vino
bertanya. "Lastri, kamu mau nggak di Bom Atom sama Boma?"
"Walah, ya tambah medel aku! Wong aku
takut sama cowok jangkung kok!" jawab Sulastri.
Boma dan kawan-kawannya tertawa
cekikikan. Jawaban Sulastri bukan cuma polos tapi aksen logatnya kedengaran
lucu. Gita bangkit dari bangkunya. Dia melangkah
ke belakang kelas. "Ada apa sih dari tadi. Ribut banget. Boleh ikutan nimbrung
nggak?" "Gita, kenalin dulu dong. Temen baru dari Semarang. Namanya Sulastri," kata
Ronny. "Hallo teman," sapa Gita.
"Hallo juga," jawab Sulastri. Dua anak perempuan itu saling bersalaman. "Gita,
makannya apa sih?" Sulastri tiba-tiba bertanya.
"Emangnya kenapa?" tanya Gita Parwati yang sudah menduga kalau dirinya bakal
dijadikan bahan jahilan.
"Kok badannya subur banget," jawab Sulastri.
"Aku jadi kepingin iri."
Gita Parwati tertawa lebar.
"Gita, boleh tanya lagi nggak?" ujar Sulastri.
Matanya yang bulat memandang nakal ke dada
Gita Parwati yang gembrot.
"Nanya apa?" Gita Parwati tahu kalau dia mau dijahilin lagi.
"Bvha kamu nomor berapa sih?"
"Eh, gila 'lu!" kata Gita Parwati setengah terpekik karena tidak menyangka
Sulastri akan bertanya sejahil itu. Anak perempuan gemuk ini kelihatan mau
marah, tapi tidak jadi. Malah tertawa cekikikan.
"Sableng juga kamu Lastri," kata Vino.
"Segala perabotan orang ditanyain."
Tangan Gita Parwati meluncur mencubit pipi
Sulastri. "Kamu antik deh," ucap cewek gendut ini.
"Mulain hari ini aku kasih julukan mau nggak?"
"Asal julukannya bagus aja."
"Si Centil. Julukan kamu Si Centil," kata Gita Parwati pula.
Sulastri terdiam. Anak-anak yang lain sudah pada tertawa. Sulastri akhirnya
ikutan tertawa lalu manggut-manggut. "Julukannya nggak jelek kok. Aku nrimo
aja." "Tapi ada syaratnya lho. Biar julukannya afdol'kata Gita.
"Syarat apa?" tanya Sulastri. "Traktir di warung baksonya Mang Asep." "Setuju!"
kata Rio dan Andi berbarengan. Sulastri bengong. Gita pegang lengan Sulastri.
Anak baru ini lalu direndeng keluar kelas. Boma dan kawan-kawannya
mengikuti sambil tertawa-tawa. Sambil
merendeng Sulastri Gita memberi isyarat pada Allan. Melihat isyarat Gita, Allan
langsung bergabung.
Ketika melewati Trini, anak perempuan ini
tiba-tiba pegang tangan Boma. "Bom, aku mau ngomong." "Rin, ayo ikutan. Kita
ngomong di warung Mang Asep. Cewek baru itu mau traktir,"
ajak Boma Uh.... Nggak usah deh. Nanti aja ngomongnya, jawab Trini sambil pasang wajah cemberut i
! m^buan8 muka- memandang ke arah Su-lastn
Baru neraktir delapan orang -aja kayak
--oo0dw0oo-- 7 BAKU HANTAM DI WARUNG BAKSO MANG
ASEP KETIKA Boma dan kawan-kawan sampai di
warung bakso Mang Asep, tempat itu sudah
dipenuhi oleh anak-anak kelas lain. Di antara mereka terdapat Jumhadi alias Si
Bodong dan Anton dari Kelas II-6. Jumhadi membuang muka begitu melihat rombongan
Boma lalu membisikkan sesuatu pada Anton. Dua anak ini seperti menghindar, pindah ke pintu
belakang warung. Tapi Ronny sudah sempat melihat
Anton. "Ron, kau mau kemana?" tanya Boma ketika melihat Ronny Celepuk memisahkan
diri, ber-balik melangkah ke pintu keluar warung.
Boma sudah punya firasat apa yang mau dibuat temannya ini.
"Tenang aja Bom," jawab Ronny. "Kamu sama teman-teman terus aja ngebakso. Aku
mau beresin urusan sama Si Anton. Dicari-cari baru sekarang nongol."
"Ron, sabar dikit. Baru juga masuk sekolah.
Yang udah lupain aja," kata Boma membujuk.
"Enak aja kamu Bom. Kita dilemparin telor busuk. Dibikin malu di depan orang
banyak. Kamu sama Firman dipukulin orang. Udah gitu dia belagak bodoh, kayak yang nggak
punya salah. Nyuruh orang. Pengecut!"
Boma masih berusaha menahan Ronny. Tapi
Ronny agaknya sudah tak bisa dibujuk. Anak ini melangkah ke pintu keluar warung.
Boma merasa heran. Anton dan Jumhadi berada di
pintu belakang warung, mengapa Ronny bukan
langsung saja mendatangi tapi malah keluar
warung. "Ron, 'tu anak ada dekat pintu belakang warung. Kok kamu malah jalan ke pintu
keluar?" tanya Boma. "Taktik Bom. Taktik. Liat aja..." Ronny keluar dari warung, mengambil jalan
berputar. Boma melirik ke pintu belakang.
Dilihatnya Si Bodong dan Anton tergesa-gesa meletakkan mangkok kosong di meja
dapur lalu cepat-cepat keluar dari pintu belakang. Boma baru mengerti apa maksud
taktik Ronny. Kalau didatangi dari depan Si Bodong dan Anton pasti menghindar
atau kabur lewat pintu belakang.
Tapi sebelum sempat keluar, sosok Ronny
Celepuk sudah menghadang di pintu hingga dua anak itu tak mungkin meneruskan
langkah. Si Bodong jadi pucat. Tak berani bergerak tak berani bersuara. Anton yang lebih
tegap tapi kalah pendek dari Ronny usap kuduknya yang
tertutup rambut gondrong.
"Eh, apa-apaan lu Ron ngalangin jalan gua?"
Anton meradang.
"Lu yang apa-apaan!" bentak Ronny.
Mukanya berubah kelam, angker. "Ngapain lu nyuruh Si Bodong ngelemparin aku sama
Boma pake telor busuk"!"
"Ngelemparin" Ngacok aja lu! Siapa yang nyuruh!" tangkis Anton.
"Itu, monyetnya masih hidup. Si Bodong udah ngaku!"
"Lu kroyok terang aja dia ketakutan. Siapa juga kalau digebukin bakal ngaku yang
nggak-nggak!"
"Jadi lu nggak ngaku nyuruh Si Bodong
ngelemparin telor busuk"!"
"Mau lu apa sih. Jangan sok! Kalau mau selamat minggir aja!"
"Oo begitu," Ronny menyeringai. Dia memba-'
likkan badan, seolah mau menghindar pergi dari hadapan Anton. Tapi tiba-tiba
tidak terduga setengah jalan sosok Ronny Celepuk berbalik kembali dan tinju
kanannya melayang ke depan, mendarat tepat di dagu Anton. Anton hanya
sempat keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya
tersandar ke pintu warung lalu merosot ambruk.
K.O. alias pingsan.
Beberapa orang anak Kelas II-6 teman-teman
Anton begitu melihat teman mereka terkapar
serta merta menyerbu ke belakang. Boma dani teman-teman tidak tinggal diam.
Mereka cepaB bergerak. Tapi lebih cepat dari itu, tidak
disangka-sangka Allan yang selama ini kelihatan rada-rada bloon sudah lebih dulu
melompat menghadang enam orang anak Kelas II-6 yang
mau mengeroyok Ronny.
"Jangan main keroyok! Anton sama Ronny berantem satu lawan satu!" Allan berdiri
dengan dua kaki merenggang. Mukanya yang jerawatan kelihatan merah angker. Dua
tangan di sisi dengan jari-jari ditekuk.
Boma, Ronny dan teman-temannya yang lain
terkesiap. Tidak mengira Allan punya keberanian seperti itu serta punya sifat
membela teman yang begitu hebat.
Isman, salah seorang anak Kelas II-6 teman
Anton tidak pandang sebelah mata. Anak ini
menerjang sambil menendang ke arah Allan.
agaknya Isman menguasai salah satu ilmu bela diri. Mungkin taekwondo. Karena
tendangannya tinggi keras dan lurus membeset ke arah kepala Allan. Kalau sampai
tendangannya itu mengenai sasaran, Allan pasti luka parah, bisa-bisa sema-put.


Boma Gendeng Triping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 11 Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Suling Naga 16

Cari Blog Ini