Ceritasilat Novel Online

Bukit Kematian 1

Gento Guyon 30 Bukit Kematian Bagian 1


F 1 Kakek berdaster biru berperut besar seperti
perempuan hamil itu masih duduk di pohon randu
miring di tepi telaga kecil. Dua tangan dijadikan
bantalan kepala. Sedangkan salah satu kakinya
yang terjulur ke permukaan telaga terus bergoyang-goyang tak mau diam.
Matanya menerawang memandang ke langit
biru. Dalam kesunyian suasana di sekitar telaga
dan di tengah-tengah panas terik yang membakar
dia berkata seorang diri. "Sengkala Angin Darah.
Benda sakti yang konon berasal dari jasad mayat
manusia digjaya yang telah mati ribuan tahun lalu
itu kini semakin banyak meminta korban. Padahal
masih tidak jelas di tangan siapa benda itu berada.
Hem...!" Si kakek menggumam. Dia terdiam beberapa saat lamanya. Lalu berfikir
sambil mengingatingat. Mulut si kakek berdaster biru yang dikenal
dengan nama Ki Edan Samberata salah satu dari
tiga tokoh kembar bertabiat aneh berkomat-kamit.
"Kalau tidak salah waktu terjadi perebutan
Sengkala Angin Darah antara Saba Geni dengan
dua gadis bernama Laras dan Larti. Aku sempat
melihat satu bayangan putih berkelebat diantara
kepulan asap tebal yang sangat panas luar biasa.
Bayangan putih kemudian lenyap bersama hilangnya asap panas dan benda itu.
Siapapun adanya
orang berpakaian putih itu, aku yakin dia telah
berhasil membawa lari Sengkala Angin Darah. Tapi
apakah benar barang yang dilarikannya adalah
benda sakti yang sesungguhnya atau cuma palsu
belaka" Konon menurut yang kudengar Sengkala
Angin Darah merupakan sebuah benda sakti luar
biasa hebatnya. Jangankan sampai menyentuhnya. Orang yang berani mendekati benda
itu sejarak empat tombak tubuhnya pasti terpental, lalu
hangus dan tewas seketika. Sosok serba putih itu
bukan saja sanggup menerobos kepulan asap panas dan pusaran angin yang
bergulung-gulung, tetapi Sengkala Angin Darah juga dibawanya pergi.
Dia pasti bukan orang berkepandaian rendah." Kata Ki Edan Samberata. Orang tua
itu terdiam lagi.
Hanya mulutnya berkemak-kemik,
Keningnya berkerut dan ia mencoba berfikir keras,
siapa gerangan sosok berpakaian putih yang telah
melarikan Sengkala Angin Darah.
Ki Edan Samberata lalu manggut-manggut.
Bersikap seolah telah mengetahui sesuatu. Padahal hatinya diliputi perasaan
bingung. Selagi Ki Edan terombang-ambing oleh fikirannya sendiri. Pada waktu bersamaan
dia mendengar suara langkah kaki berlari cepat ke arah telaga. Ki Edan coba
memasang pendengarannya.
Ternyata suara orang yang berlari itu datang dari
arah sebelah timur. Baru saja orang tua ini bermaksud meninggalkan telaga,
gerakannya jadi tertahan karena di tepi telaga saat itu telah muncul
dua laki-laki. Laki-laki pertama adalah seorang
pemuda berpakaian serba hitam berbadan tegap.
Sedangkan di bagian pinggangnya tergantung sebilah pedang. Sedangkan orang yang
menyertai adalah seorang kakek berbadan kurus dan cuma memakai penutup aurat. Yang mengerikan dari penampilan kakek ini. Sekujur tubuhnya
digelayuti sembilan ekor ular berwarna hitam. Sembilan ular
itu tentu saja sangat beracun.
Melihat penampilan dan ciri-ciri si kakek. Ki
Edan Samberata tentu saja tahu siapa kakek di
pinggir telaga itu. Sedangkan mengenai pemuda
yang menyertainya Ki Edan sama sekali tidak
mengenalnya. Melihat orang berdaster biru tiduran di batang pohon kapuk doyong di atas telaga
si kakek nampaknya terkejut sekali. Bahkan tanpa sadar ia
meraba bagian selangkangannya sendiri.
"Bangsat jahat ini, bukankah dia orangnya
yang telah mengambil anuku?" batin si kakek geram. Dengan geram pula tanpa
menghiraukan pemuda yang menyertainya dia langsung mendamprat. "Tua bangka
kurang ajar bernama Ki Comot
Jalulata. Kucari ke mana-mana tidak tahunya ada
di sini. Sekarang cepat kembalikan barangku. Setelah itu kau harus membunuh diri
sebagai penebus atas segala dosa yang telah kau lakukan kepadaku!" teriak si
kakek yang bukan lain adalah
Iblis Ular Sembilan. Rasa kejut kemudian berubah
menjadi tawa ketika Ki Edan menyadari agaknya
telah terjadi kesalah pahaman.
Masih dalam keadaan rebah di pohon kapuk Ki Edan berkata. "Orang tua sinting.
Agaknya kau sudah gila. Bertemu dengan dirimu saja baru
kali ini. Enak saja kau mengatakan dan meminta
supaya aku mengembalikan barangmu. Memang
barang apa yang kuambil?" hardik Ki Edan.
"Kurang ajar. Jangan berlagak tolol. Bukankah kau yang datang ke puncak bukit di
Telaga Setan. Waktu itu kau mengambil barangku yang di
bawah, apakah kau masih mau mangkir?" si kakek
berteriak marah.
"Hak hak hak! Sepanjang hidup cuma makan laler dengan kelapa hijau. Tapi semua
itu Cuma membuatku menjadi Ki Edan. Dan kau... enak
saja menuduhku telah mengambil barangmu" Apa
kau mengira barangmu paling bagus sedunia" Setan... kau dengar baik-baik. Namaku
bukan Ki Comot. Aku saudaranya si tua jahil itu. Namaku
sendiri adalah Ki Edan Samberata. Sekarang sebaiknya kau pergilah dari
hadapanku!" ujar Ki
Edan Samberata tegas.
Mendengar ucapan orang yang terkesan tak
memandang muka sama sekali marahlah Iblis Ular
Sembilan dibuatnya.
Tapi belum lagi si kakek sempat bicara pemuda yang bersamanya langsung bicara.
"Orang tua, jangan kau berani bertingkah di depanku. Serahkan apa yang diminta oleh
kakek sahabatku ini
cepat!" "Eh, kau siapa?" tanya Ki Edan sambil memandang tajam ke arah pemuda itu. Si
pemuda tersenyum. Dengan suara lantang pula dia menjawab. "Aku yang gagah ini bernama
Pasadewa."
"Pasadewa" Badan tegap, kulit hitam, berbulu macam monyet lutung begitu mengaku
orang gagah. Ha ha ha. Lalu apa perlumu membantu Iblis Ular Sembilan menanyakan
barangnya yang tidak ada padaku?"
"Kakek jahanam. Berani kau menghinaku.
Terima kematianmu!" teriak Pasadewa kalap. Pemuda itu siap melabrak ke arah si
kakek! Namun pada saat bersamaan terdengar suara seruan. "Pasadewa tahan!" Pemuda itu
terpaksa membatalkan niatnya untuk menyerang. Dengan cepat ia menoleh.
Ternyata yang mencegahnya tadi adalah sahabatnya Iblis Ular Sembilan.
"Mengapa kau melarangku?" Tanya Pasadewa penuh teguran.
Iblis Ular Sembilan tersenyum sambil berkata.
"Membunuh manusia seperti dia sama mudahnya dengan membalikkan tangan. Tapi
sebelum itu kita lakukan bukankah lebih baik kita tanyakan beberapa hal penting
kepadanya?" ujar si
kakek. Lalu tanpa menunggu lebih lama ia berkata
ditujukan pada Ki Edan Samberata. "Ki Edan.
Mungkin kau memang bukan Ki Comot Jalulata.
Kau pasti saudara kembarnya. Sebagai saudara
kembar kau tentu tahu di mana saudaramu Ki
Comot Jalulata yang telah mengambil perabotanku. Katakan cepat, jangan berani
berdusta!" tegas
Iblis Ular Sembilan.
Ki Edan dongakkan kepala, mata berkedipkedip sedangkan kening berkerut seakan
mencoba mengingat-ingat. Setelah itu dengan mimik serius
dia menjawab. "Saudaraku Ki Comot Jalulata itu
sama seperti saudara kembarku satunya lagi yaitu
Ki Betot Segala. Orangnya angin-anginan tidak
mudah ditebak karena otaknya terkadang memang
mengalami gangguan. Menurut dugaanku saat ini
dia pasti ada di sekitar kolong langit juga. Aku percaya akan hal itu. Cuma di
kolong langit sebelah
mana silahkan kau cari sendiri!" ujar si kakek.
Jawaban ini tentu saja membuat geram Iblis
Ular Sembilan. Namun ia masih berusaha menekan kemarahannya dengan mengajukan
pertanyaan lain. "Jawaban yang cukup bagus." Geramnya. "Satu lagi pertanyaanku.
Apakah kau tahu di
tangan siapa benda sakti bernama Sengkala Angin
Darah berada?"
Mendengar pertanyaan itu diam-diam Ki
Edan Samberata terkejut. Tapi dasar Ki Edan
orangnya suka mengerjai orang lain. Dengan tenang dia menjawab. "Sengkala Angin
Darah..." gumam Ki Edan berulang-ulang. "Benda itu memang menjadi rebutan banyak pihak.
Kalau tak salah benda itu sekarang berada di puncak Sebelas Tangga Kematian." Jelas si
kakek. Iblis Ular Sembilan jadi tercengang mendengar penjelasan Ki Edan Samberata.
Sebagai orang yang sudah kenyang makan asam garam dunia
persilatan dan cukup mengenai banyak daerah
tentu saja Iblis satu ini tahu benar di mana letak
daerah itu. Sebaliknya Pasadewa yang tidak mengetahui daerah yang disebutkan
segera ajukan pertanyaan. "Orang tua edan. Kau jangan mainmain. Kurasa di tanah Jawa ini tak
ada suatu daerah pun bernama Puncak Sebelas Tangga Kematian."
"Sobat muda. Kau tak usah risau. Aku tahu
tempat yang disebutkannya itu. Tapi untuk mencapai tempat itu tidak mudah. Akan banyak rintangan yang kita hadapi. Selain itu
Puncak Sebelas Tangga Kematian adalah tempat yang sangat berbahaya. Tempat itu ditinggali oleh
seorang tokoh maha ganas bergelar Iblis Dalam Matahari atau Iblis Matahari. Kudengar tak
seorangpun dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup bila bertemu dengan
Iblis Matahari. Jika benda sakti itu
berada di tangan Iblis Matahari, akan sulit bagi kita untuk mendapatkannya!"
ujar Iblis Ular Sembilan.
Pasadewa mendengus sinis. "Aku memiliki
burung rajawali putih siluman. Biarpun benda itu
ada di neraka, rajawali silumanku pasti sanggup
membawa kita ke tempat itu. Tapi siapa berani
menjamin kalau manusia sinting berpakaian seperti nenek bunting itu tidak
mengadali kita?" ujar
Pasadewa yang segera memperhatikan Ki Edan.
Si kakek tersenyum. Dia bangkit berdiri, selanjutnya melompat turun dari pohon
kapuk miring. Sambil bertolak pinggang dia mencoba meyakinkan. "Kalian berdua
adalah orang-orang gagah.
Apa yang kuketahui ini belum pernah kuberitahukan pada orang lain."
"Lalu mengapa kau begitu saja memberitahukan semua itu pada kami?" tanya Iblis
Ular Sembilan curiga.
Sambil tersenyum-senyum Ki Edan menjawab. "Kau tak usah berburuk sangka padaku
kakek kurus. Terlalu banyak berburuk sangka membuat fikiranmu menjadi tidak
tenang. Kurasa itulah yang membuat tubuhmu tidak bisa gemuk.
Aku rela memberitahukan tempat itu kepadamu
karena mengingat kesalahan yang dibuat oleh
saudaraku Ki Comot Jalulata. Aku tidak tahu buat
apa dia mengambil barang antikmu. Yang jelas rahasia penting ini kujelaskan
padamu hitunghitung sebagai penebus dosa yang dilakukan oleh
saudara kembarku itu!" ujar Ki Edan Samberata.
Jawaban ini rupanya cukup meyakinkan
bagi Iblis Ular Sembilan. Sambil memandang pada
Pasadewa dengan lirikan penuh arti, Iblis Ular
Sembilan kemudian berkata ditujukan pada Ki
Edan. "Terima kasih atas Segala penjelasanmu.
Tapi terus terang, aku tetap akan membunuhmu!"
Ki Edan nampak tercekat. Tapi mulutnya
menyunggingkan senyum penuh arti. "Sudah kuduga orang-orang golongan sesat sejak
dulu memang tidak pernah memegang janji. Mestinya kubunuh kalian sejak dari
tadi. Sayangnya aku tidak
punya nafsu membunuh manusia banyak dosa seperti kalian. Kakek kurus, jika kau
memang mau membunuhku. Cepat lakukan! Tapi ingat. Jika aku
sudah mati, arwahku pasti akan mencari saudaraku. Akan kuminta barangmu yang
pasti disimpan di dalam kendi perak pembeku. Jika barangmu telah kudapatkan. Aku akan
meremasnya sampai
hancur. Seumur hidup kau pasti menderita guncangan batin yang berat. Tanpa
barang antik, hidupmu pasti tidak berguna walaupun hidupmu
diperpanjang oleh Gusti Allah selama seribu tahun
lagi! Ha ha ha!" kata Ki Edan disertai tawa tergelak-gelak.
Iblis Ular Sembilan sempat ciut nyalinya
mendengar ucapan Ki Edan. Dia ingat biarpun
usianya sudah sangat lanjut. Tapi yang namanya
semangat dan nafsu tentu tidak kalah dengan pemuda belasan tahun. Benar kata Ki
Edan, apa artinya hidup tanpa yang satu itu" Dia tidak akan
dapat menikmati segala keindahan yang ada di sekelilingnya. Salah satu keindahan
yang pernah terlewati itu ada pada diri Pandan Arum, kekasih Pasadewa. Tapi pada
saat itu muncul satu keraguan
lain di hatinya. Benarkah pusaka yang diwarisinya
sejak dirinya terlahir ke dunia masih utuh" Padahal kejadian pencurian barang
antik itu sudah
berlangsung seminggu lebih.
"Iblis Ular Sembilan. Dalam beberapa hal
mungkin boleh kita mempercayai ucapannya. Tapi
untuk persoalan barangmu yang hilang, siapa
yang berani menjamin barang itu tidak busuk
sampai hari ini. Biarlah aku yang mewakilimu untuk membetot nyawanya!" tegas
Pasadewa. "Jangan! Biarkan aku yang melakukannya!"
teriak Iblis Ular Sembilan. Selesai berkata begitu
Iblis Ular Sembilan goyangkan bahu kiri kanan.
Begitu bahu diguncang. Dua ular hitam bergelayutan di bagian bahu laksana kilat
langsung melesat
ke udara. Sedangkan mulutnya yang bergigi tajam
itu siap menghujam ke bagian dada dan perut Ki


Gento Guyon 30 Bukit Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Edan. Melihat serangan ganas binatang berbisa ini
Ki Edan memang sempat terkesiap. Namun dengan
cepat sekali ia jatuhkan diri hingga tubuhnya sama rata dengan pohon yang tadi
dipergunakan untuk merebahkan diri. Setelah itu tangan kanan dipergunakan untuk
mematahkan cabang pohon.
Dengan mempergunakan cabang pohon tersebut
kedua ular itu coba dihalaunya.
Wuut! Wuut! Sambaran angin deras yang keluar dari cabang pohon membuat kedua ular itu sempat
terdorong mundur. Hanya sesaat saja hal itu terjadi karena di lain kejab kedua
ular sambil mengeluarkan
desisan marah kembali menyerbu ke arah si kakek
dengan kecepatan berlipat ganda.
Ki Edan gelengkan kepala. Secepat kilat dia
melesat ke udara. Tapi ular-ular yang tadinya menukik tajam ke bawah, kini
secara tiba-tiba berbalik berputar dua kali, kemudian ikut melesat pula
ke atas mengejar lawannya. Ki Edan merasa mati
kutu, tapi tidak kehabisan akal. Cepat dia merogoh
sesuatu dari balik saku celananya. Dua buah benda berwarna putih kemilau
berbentuk bulat sebesar buah karet lalu disambitkan ke arah kedua
ular itu. Hebatnya begitu kedua benda dilempar ke
udara. Hanya dalam waktu sepersekian detik telah
berubah menjadi dua buah senjata berbentuk roda
dengan sisi bergerigi seperti gergaji. Kedua senjata
itu kemudian berputar dan menghantam kedua
ular tersebut. Dua binatang berbisa tak dapat lagi
menghindar dan langsung terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Darah muncrat
ke manamana. Iblis Ular Sembilan keluarkan suara raungan marah begitu melihat
dua ularnya hancur di
tangan lawan. Dengan penuh kemarahan kakek ini
melompat ke udara. Dua tangan dihantamnya ke
sekujur tubuh lawan. Sedangkan tujuh ular yang
bergelayutan di tubuhnya ikut pula berlesatan
menyerbu ke arah Ki Edan. Rasa kaget di hati kakek ini bukan olah-olah. Tujuh
ular kini menyerang dirinya dari tujuh arah. Sedangkan dua pukulan Iblis Ular
Sembilan disadari oleh Ki Edan
dapat meremukkan dada dan menghancurkan isi
perutnya. Tapi ia menyadari serangan tujuh ular
beracun itu tentulah lebih berbahaya bahkan sangat mengancam keselamatan
jiwanya. Karena itu
dia tidak mau mengambil resiko. Hanya dalam beberapa saat saja sambil mengumbar
teriakan menggelegar, Ki Edan segera mengerahkan jurusjurus silatnya yang penuh keedanan.
Dalam keadaan tubuh mengambang di atas
ketinggian sekitar empat tombak di atas tanah Ki
Edan lalu memutar kedua tangannya membentuk
sebuah perisai diri yang sangat kokoh. Anginpun
kemudian menderu dari kedua tangan Ki Edan.
Kemudian tubuh si kakek meliuk-liuk seperti
orang menari. Terkadang tubuh yang mengapung
di udara itu nampak terhuyung, tidak jarang miring ke kanan atau ke kiri.
Kemudian kakinya melesat ke atas.
Tas! Tees! Tes!
Buuk! Buuk! Tujuh ular terpental terkena sambaran angin yang keluar dari telapak tangan
maupun ujung lengan daster biru Ki Edan. Sedangkan tendangan
kaki orang tua ini mengenai perut Iblis Ular Sembilan. Tapi tak urung salah satu
pukulan kakek itu
mendera bahu Ki Edan membuat orang tua itu jatuh terpelanting. Begitu juga
halnya dengan Iblis
Ular Sembilan. Celaka bagi Ki Edan Samberata, begitu tubuhnya hampir menyentuh tanah sebuah
tendangan yang luar biasa keras menghantam bagian
punggungnya. Tak urung tubuhnya terpental lagi.
Lalu jatuh berkelukuran.
"Jangan beri kesempatan, bunuh dia!" teriak Iblis Ular Sembilan yang pada waktu
itu telah bangkit berdiri. Begitu berdiri tegak dia jentikkan
jemari tangannya ke arah tujuh ular yang bertebaran di atas tanah. Hebatnya
begitu tangan dijentikkan, ketujuh ular piaraannya segera melesat ke
arah si kakek, kemudian bergelayutan di sekujur
tubuh orang tua itu.
Sementara Pasadewa adalah seorang pemuda penuh ambisi dan selalu haus darah.
Karena itu begitu mendapat aba-aba dari sahabatnya dengan tidak membuang-buang waktu
lagi dia langsung melesat ke arah Ki Edan Samberata. Selagi
tubuh pemuda ini mengapung di udara dia melepaskan pukulan Lisus Nyawa. Salah
satu kehebatan pukulan yang dilepaskannya ini selain sanggup menjebol gunung
juga dapat memporak porandakan konsentrasi lawan. Dan memang itulah
yang kemudian terjadi. Ketika tangan kiri Pasadewa menghantam ke arah Ki Edan.
Dari telapak tangan Pasadewa menderu angin yang sangat kencang luar biasa. Hebatnya setelah
berada di udara
pusaran angin memecah menjadi beberapa bagian.
Masing-masing pusaran angin tersebut kemudian
menghantam kaki dan anggota tubuh Ki Edan dan
lainnya. Ki Edan delikkan mata. Tapi dia tidak
mau mati konyol terhantam pusaran angin yang
bersumber dari kesaktian lawannya itu. Kini tanpa
membuang waktu lagi Ki Edan Samberata mulai
memperlihatkan segala kegilaannya. Sambil berteriak keras Ki Edan hantamkan kaki
tangannya ke atas tanah. Satu guncangan hebat luar biasa melanda daerah di sekitar telaga.
Tanah kemudian terbelah merengkah. Ki Edan amblas lenyap dalam
rengkahan tanah. Dengan begitu pusaran angin
yang menggila hanya melabrak tempat kosong kemudian menghantam beberapa pohon di
pinggir telaga. Di antara pepohonan ada yang bertumbangan disertai suara berderak. Tapi
tidak jarang pepohonan sebesar pelukan orang dewasa tercabut
sampai ke akar-akarnya, lalu mencelat beberapa
tombak jauhnya dari tempat dimana pohon-pohon
itu berdiri. Pasadewa terkesiap, tak percaya dengan kenyataan yang terjadi. Dia memandang
dengan mata mendelik ke arah rengkahan tanah. Dan Pasadewa jadi kaget ketika
melihat secara tidak terduga
dari dalam tanah dimana Ki Edan melenyapkan diri melesat puluhan batu-batu panas
membara sebesar anak kerbau ke arah dirinya juga Iblis Ular
Sembilan. "Jahanam celaka, bagaimana hal ini bisa
terjadi?" desis Pasadewa.
"Kurang ajar. Darimana si gila itu mendapatkan batu berapi"' batin Iblis Ular
Sembilan sambil menghindari terjangan bebatuan yang
mengobarkan api tersebut.
Selagi kedua lawan nampak sibuk mencari
selamat. Dari dalam rengkahan tanah Ki Edan melesat keluar. Dalam keadaan
berjumpalitan di udara Ki Edan mengumbar tawa sambil berkata. "Aku
baru saja keluar dari perut bumi. Di sana ternyata
aku tidak diterima penguasa bumi. Tempatnya panas luar biasa seperti di neraka.
Tempat itu kurasa
cocok untuk kalian! Nah... aku sudah berbaik hati
membuatkan suatu jalan. Sekarang masuklah ke
dalam lubang itu!" ujar Ki Edan. Baru saja kakek
aneh ini selesai berucap, baik Iblis Ular Sembilan
maupun Pasadewa tiba-tiba merasakan sekujur
tubuhnya seperti tertarik, tersedot ke arah lubang
menganga akibat hantaman kaki Ki Edan.
Kedua orang ini dalam kagetnya segera
mengerahkan seluruh tenaga sakti yang mereka
miliki untuk bertahan agar tidak sampai terperosok amblas ke dalam lubang.
Sekujur tubuh mereka bergetar, berkeringat bercucuran. Iblis Ular
Sembilan menggeram dalam hati. "Bangsat gila ini
punya ilmu apa rupanya?" maki si kakek.
"Pasadewa! Pergunakan ilmu meringankan
tubuhmu. Bangsat ini punya ilmu yang sanggup
membuat seolah-olah tanah yang kita pijak inipun
berpihak kepadanya!" teriak Iblis Ular Sembilan.
"Hiya...!"
"Huup!"
Baik si kakek maupun Pasadewa dengan
gerakan laksana kilat sama-sama melesat ke udara. Anehnya begitu tubuh mereka
mengambang di atas tanah pengaruh daya tarik yang luar biasa tadi mendadak lenyap.
"Kurang ajar kedua setan ini ternyata dapat
meloloskan diri dari pengaruh kekuatan ilmuku!"
gerutu Ki Edan sambil bersungut-sungut. Dengan
cepat orang tua ini melompat mundur begitu melihat kedua orang yang melesat di
udara itu kini telah menghantamkan pukulan secara bersamaan
ke arah dirinya. Ki Edan tidak punya pilihan lain.
Diapun segera menangkis kedua serangan itu.
Tangan kiri dipergunakan menangkis serangan Iblis Ular Sembilan. Sedangkan
tangan kanan dipergunakan untuk menyambuti pukulan Pasadewa.
Plak! Plak! Buuk! Pukulan yang dilakukan Iblis Ular Sembilan
ternyata masih dapat ditangkis oleh Ki Edan. Tapi
hantaman keras yang dilakukan oleh Pasadewa
masih sempat menghantam bagian dada orang tua
itu. Akibatnya Ki Edan Samberata terpelanting sejauh tiga tombak. Dadanya
seperti remuk, sakit
berdenyut dan serasa hancur di bagian dalam.
Tanpa menghiraukan rasa sakit yang dia
derita Ki Edan bangkit berdiri. Iblis Ular Sembilan
merasa sekaranglah saatnya untuk menghabisi
lawannya. Tapi sebelum dia sempat mengambil
tindakan, Pasadewa sudah mencabut pedangnya.
Pedang berwarna putih mengkilat itu lalu diangkat
tinggi siap dihujamkan ke dada lawan.
Kemudian laksana kilat sambil berseru dia
melabrak ke arah Ki Edan.
"Orang tua sekaranglah akhir dari segala
cerita hidupmu. Heaa...!"
Ki Edan menyadari serangan Pasadewa adalah serangan yang sangat berbahaya
sekali. Kare- na itu dia tidak mau bersikap ayal. Dua tangan
dengan mempergunakan tenaga dalam penuh kemudian didorongkannya ke depan
menyambuti tusukan dan babatan pedang lawannya. Sinar merah
melesat dari telapak tangan si kakek. Tapi pada
waktu yang hampir bersamaan pula mendadak
angin bertiup kencang, kilat bersabung petir
menggelegar. Di lain waktu Pasadewa menjerit.
Bukan karena terhantam sinar merah yang mencuat dari telapak tangan Ki Edan.
Melainkan akibat hantaman angin dingin luar biasa yang seolah
datang dari segala penjuru.
Ki Edan tertegun. Sebaliknya Iblis Ular
Sembilan terkesiap. Mata memandang lurus ke
arah Pasadewa yang nampak megap-megap dan
berusaha bangkit berdiri. Pedang milik pemuda itu
terpental entah ke mana. Sementara itu di tengahtengah suara deru petir yang
diseling oleh suara
raungan mengerikan lapat-lapat terdengar suara
orang berkata. "Begitu banyak orang binasa karena mencari suatu kejelasan. Jika
sayang nyawa harap angkat kaki dari tempat ini!"
"Jahanam! Siapa yang baru bicara tadi, harap tunjukkan diri!" teriak Iblis Ular
Sembilan. Deru suara angin semakin menghebat. Seiring dengan hembusan angin yang
sangat luar biasa itu,
pohon-pohon tercabut hingga ke akar-akarnya.
Kemudian belasan pepohonan menyerang
Iblis Ular Sembilan. Kakek berbadan kurus itu terkejut bukan main. Sebelum
batang pepohonan
yang melayang-layang sempat menghantam kepala
dan tubuhnya si kakek dengan muka pucat bergulingan selamatkan diri. Pasadewa demi melihat gelagat yang tidak menguntungkan
ini segera merapal mantra memanggil rajawali siluman yang menjadi burung
tunggangannya selama ini.
"Rajawali siluman datanglah! Selamatkan
kami!" teriak Pasadewa.
Beberapa saat lamanya setelah gema suara
Pasadewa lenyap. Di angkasa sana terdengar suara
pekik rajawali disertai suara gemuruh yang meningkahi suara gemuruh pertama.
Kemudian di tempat itu muncul seekor burung rajawali raksasa
berbulu putih. Burung Rajawali itu dengan kedua
kakinya langsung menyambar Pasadewa dan Iblis
Ular Sembilan. Seakan tidak terpengaruh oleh
hembusan angin menggila yang melabraknya dari
segala penjuru. Burung rajawali siluman berbulu
putih itu selanjutnya melesat tinggi dan terus
membubung ke udara.
Ki Edan yang sempat terkesima melihat dua
keanehan yang terjadi secara bersamaan menjadi
kaget begitu menyadari kedua lawannya berhasil
meloloskan diri.
Si kakek kemudian terdiam beberapa saat
lamanya. Dalam hati dia berkata. "Pemuda itu, bagaimana dia bisa memiliki burung
piaraan rajawali
siluman. Untung aku telah menipu mereka!" fikirnya.
Seakan mengerti apa yang ada di hati si kakek saat itu. Di tengah-tengah suara
deru angin itu muncul satu sosok seorang pemuda berambut
panjang berpakaian putih. Suara deru angin mendadak lenyap, kilat yang menyambar
juga raib. Si pemuda memandang si kakek sambil berkata. "Ki
Edan. Kau bukan menipu mereka. Sesungguhnya
kau telah memberi satu petunjuk dimana kemungkinan benda itu berada!" ujar
pemuda itu. "Akh... si edan ini ternyata mengatakan sesuatu yang benar" Padahal aku
menyebutnya secara ngawur?" ujar Ki Edan Samberata sambil dekap mulutnya.
"Tidak. Aku sudah melakukan penyelidikan.
Dan aku yakin Sengkala Angin Darah saat ini kemungkinan besar berada dalam
kekuasaan Iblis
Matahari."
"Iblis Matahari?" desis Ki Edan unjukkan
wajah kaget. "Bukankah dajal yang satu itu berdiam di Puncak Sebelas Tangga
Kematian?" kata si
kakek.

Gento Guyon 30 Bukit Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang dan kau telah mengatakannya!"
ujar pemuda itu.
"Lalu buat apa dipersoalkan" Sangat banyak orang yang menginginkan benda celaka
itu. Belum tentu Sengkala Angin Darah dapat dimiliki
oleh Iblis Ular Sembilan maupun pemuda yang
bersamanya."
"Memang betul. Tapi harus diingat. Dengan
membiarkan semua orang pergi ke Puncak Sebelas
Tangga Kematian. Berarti akan banyak korban
yang berjatuhan. Padahal di antara mereka belum
tentu semuanya merupakan orang yang berdosa!"
ujar pemuda itu.
Ki Edan terdiam, tapi kemudian setelah berfikir sejenak dia berkata. "Mengapa
kau begitu memikirkan nasib orang-orang serakah itu" Apakah ini bukan berarti engkau sendiri sebenarnya
menghendaki Sengkala Angin Darah?" sindir Ki
Edan Samberata.
Si pemuda tersenyum. Hanya itu yang sempat dilihat si kakek. Karena sekejap
kemudian angin kencang kembali berhembus. Hembusan angin
yang demikian kerasnya membuat pemuda itu lenyap dari pandangan mata. Ki Edan
lagi-lagi dibuat kaget. Pemuda itu datang dan pergi seperti
setan. Tapi meskipun pemuda itu lenyap, si kakek
sempat mendengar suara si pemuda yang bicara
seperti orang yang melantunkan bait-bait syairnya.
Orang tua... Terlalu lama memendam curiga berburuk
sangka Hanyalah akan menumpuk dosa
Tiada keburukan dapat menyatu dalam hati
yang putih Pandanglah cakrawala
Di langit ada mendung
Tapi teriknya matahari kadangkala membuyarkan angan dan harapan
Lalu... Buat apa aku bicara dusta
Jika esok hidup penuh celaka "
Suara si pemuda kemudian lenyap. Begitu
suara gemuruh suara angin ikut pula melenyapkan diri sekali lagi di langit
terdengar suara
petir menggelegar. Kemudian suasana di sekelilingnya berubah menjadi sunyi.
Ki Edan Samberata diam tertunduk. Dia
mencoba mengingat-ingat siapa gerangan pemuda
yang telah menolongnya tadi. Akhirnya Ki Edan
tepuk keningnya sendiri. "Astaga! Bukankah pemuda itu si Tanpa Nama yang
mempunyai julukan
Penyair Halilintar" Sungguh luar biasa pemuda
itu. Menyesal sekali aku sempat punya prasangka
yang bukan-bukan. Masih semuda itu tapi sudah
mempunyai kesaktian yang sangat luar biasa. Gila." Ujar si kakek. "Beruntung dia
tidak melantunkan bait-bait syairnya sepanjang hari. Kalau tidak
telingaku bisa tuli. Tapi apa benar seperti katanya
Sengkala Angin Darah memang telah dikuasai Iblis
Matahari. Aku harus mencari saudara kandungku
sekaligus memberitahukan apa yang baru kudengar tadi!" kata si kakek.
Tidak mau berlama-lama lagi, Ki Edan
Samberata akhirnya tinggalkan tempat itu.
2 Berkat pertolongan yang diberikan Tapa
Gedek, luka dalam yang diderita gadis cantik bernama Anggagini itu akhirnya
dapat disembuhkan.
Anggagini merasa sangat senang sekali karena Tapa Gedek ternyata mempunyai sifat
yang hampir sama dengan kakek gendut. Yang membuat gadis
ini menjadi gelisah karena Gentong Ketawa sampai
saat ini masih belum juga sadarkan diri. Kakek
berpakaian serba hitam, berambut kaku seperti
ijuk dan suka menggelengkan kepala ini sudah
mengeluarkan seluruh racun yang terdapat di bagian lukanya. Tapi sampai sejauh
itu si kakek gendut masih belum menunjukkan tanda-tanda akan
sadar. Anggagini yang saat itu duduk di atas batu
dalam keadaan bersila tiba-tiba membuka matanya. Dia memandang ke arah di mana
si gendut terbaring. Si gendut diam tak bergerak. Ketika
Anggagini bermaksud menghampiri orang tua itu
Tapa Gedek tiba-tiba mencegahnya.
"Hei, kuning cantik." Kata Tapa Gedek. Merasa tak mengenal Anggagini si kakek
enak saja memanggil gadis itu 'kuning' karena Anggagini
memang berpakaian serba kuning. "Kau tak usah
merisaukan kakek kerbau bunting itu. Luka dalammu baru saja dalam taraf
penyembuhan. Belum sembuh betul. Jika kau banyak bergerak aku
kuatir luka itu akan kambuh lagi. Kakek itu tidak
apa-apa. Seluruh racun yang mendekam di bagian
luka dan yang menjalar di beberapa bagian tubuhnya telah kusedot keluar. Dia
hanya membutuhkan waktu untuk istirahat." Ujar si kakek.
"Kau memanggilnya kerbau bunting" Mengapa kau berkata begitu kek?" tanya
Anggagini sambil kerutkan keningnya heran.
Tapa Gedek geleng-gelengkan kepala.
"Mumpung dia tidak sadar. Biarkan saja aku memanggil dia dengan sebutan apa.
Tapi... apa sebenarnya yang telah terjadi. Sebelumnya aku melihat
wajah dan sekujur kakek ini membiru. Racun yang
terdapat di bagian lukanya jelas bukan racun biasa. Racun itu jelas seperti racun binatang?"
Meskipun sempat kaget tak menyangka kakek itu mempunyai pengalaman luas dalam
hal racun. Namun sang dara anggukkan kepala sambil
menjawab. "Dugaanmu benar, Kakek Gentong Ketawa memang menderita keracunan
setelah dia terluka akibat terkena cakaran salah satu dari
Empat Laba-Laba Beracun. Tapi akhirnya keempat
manusia laba-laba itu dapat dibunuh oleh kakek
gendut." Ujar Anggagini memberi penjelasan.
"Hemm, Empat Manusia Laba-Laba kuketahui bukan orang-orang yang baik. Yang
membuat aku heran mengapa mereka sampai menanam
permusuhan pada kakek ini?"
Sang dara tersenyum baru menjawab. "Memang tidak ada permusuhan. Benda sakti
yang bernama Sengkala Angin Darah itulah yang menjadi gara-garanya." Sahut Anggagini.
Si kakek jadi semakin tidak mengerti hingga
membuat kepalanya bergoyang tak mau diam.
"Gara-gara" Hem, apa maksudmu?"
"Begini. Empat Manusia Laba-Laba menuduh Sengkala Angin Darah ada di tangan
kakek gendut. Entah siapa yang menyebarkan kabar fitnah itu. Yang jelas selama
beberapa hari ini kami
terus dikejar-kejar oleh orang-orang dunia persilatan. Mereka semua mempunyai
tujuan yang sama,
yaitu meminta benda sakti itu."
"Apakah benda sakti itu yang mereka minta
memang ada pada gendut itu?" tanya Tapa Gedek
sambil menatap ke arah Gentong Ketawa.
"Benda sakti apa" Aku telah bersamanya selama beberapa hari. Dan aku tahu benda itu memang tidak ada padanya."
"Mungkin ada orang yang sengaja melontarkan fitnah untuk maksud dan tujuan
tertentu."
Ujar Tapa Gedek setelah beberapa saat lamanya
sempat terdiam.
"Saya rasa juga begitu kek. Hanya aku tidak
tahu siapa orangnya. Mungkin nanti setelah kakek
gendut sadar kau dapat menanyakan langsung
kepadanya." Kata Anggagini. Lalu gadis itu ajukan
pertanyaan. "Kau sendiri siapa" Mengapa maumaunya bersusah payah menolong kami?"
Tapa Gedek tidak segera menjawab, melainkan pandangi mayat-mayat yang
bergelimpangan yang merupakan kaum cacat dari Lembah Sesat.
Baru saja si kakek hendak menjawab. Tak disangka-sangka Gentong Ketawa
menggeliat. Keluarkan
suara mengeluh seperti orang yang baru bangun
tidur, lalu duduk dengan mata jelalatan.
Sebagaimana wataknya, begitu sadar si
gendut bukannya menunjukkan sikap seperti
orang yang baru sembuh dari lukanya. Malah sebaliknya orang tua ini menggumam.
"Walah cucuku Anggagini. Rupanya kau masih dalam keadaan
segar bugar. Ah, orang-orang malang itu mati semua. Siapa yang membunuh" Padahal
aku merasa tidak melakukan apa-apa. Yang aku rasakan justru tidur di satu tempat yang
sejuk, indah dan ditemani oleh beberapa gadis cantik." Ucapan si kakek mendadak
terhenti begitu pandangannya
membentur sosok Tapa Gedek.
Gentong Ketawa menatapi kakek berambut
kaku itu. Ia berusaha mengingat sesuatu. Rasanya
tadi dia sempat melihat orang itu sebelum pada
akhirnya tidak sadarkan diri akibat berusaha menahan serangan orang-orang cacat
dari Lembah Sesat. Dia melihat satu bayangan berkelebat
menghajar para pengeroyok. Setelah itu dia tidak
ingat lagi apa yang terjadi.
Merasa diperhatikan sedemikian rupa sebaliknya Tapa Gedek jadi serba salah.
Sehingga diapun bertanya. "Ada yang aneh dalam diriku kakek gendut" Atau kau
mengira aku ini seorang perempuan yang patut kau pandangi seperti itu?"
Gentong Ketawa tertawa lebar. Dia kemudian berkata. "Rambut kaku, kulit hitam,
pakaian hitam. Kepala golang goleng melulu tak mau diam.
Apakah mungkin dalam diri orang dengan ciri-ciri
seperti itu ada yang menarik untuk dipandang"
Aku tidak ingat apakah aku pernah mengenalmu
sebelumnya. Tapi terus terang aku merasa berterima kasih atas budi
pertolonganmu. Kakek bertampang bagus kau siapa?"
"Ha ha ha. Aku merasa kecakepan. Mestinya kalau ada air jernih di sekitar sini
aku patut berkaca dulu." Kata Tapa Gedek. "Namun biarlah
tampangku memang sudah begini adanya. Aku tidak perlu berkaca. Oh ya, kau
bertanya siapa aku,
kakek gendut. Ketahuilah, namaku Tapa Gedek."
"Tapa Gedek. Aku tidak kenal dengan nama
jelek seperti itu." Gumam Gentong Ketawa.
"Kau boleh tidak mengenalku, karena waktu
itu aku tidak selalu bersama guruku."
"Siapa nama gurumu itu?" tanya si gendut
lagi. "Guruku bergelar Manusia Selaksa Angin."
jawab Tapa Gedek.
Mendengar jawaban Tapa Gedek meledaklah tawa si gendut. Begitu kerasnya dia
tertawa sampai perutnya yang gendut bergoyang-goyang
sedangkan matanya yang sipit nampak seperti terpejam. Begitu tawa Gentong Ketawa
terhenti dia berucap. "Oalah... jadi kau muridnya kakek salah
kaprah si tukang kentut itu. Ah bagaimana dia sekarang. Masih seperti dulu apa
sudah bongkok"
Kalau sudah bongkok punuknya ada berapa?"
"Guruku bukan sapi kek. Mana mungkin
ada punuknya." Ujar Tapa Gedek. Dia lalu melanjutkan. "Guruku masih seperti yang
dulu. Keadaannya begitu-begitu saja. Masih suka kentut
malah kini kentutnya tambah dahsyat."
"Kau kelayapan meninggalkan gurumu.
Apakah sengaja ya mengintili aku?" tanya Gentong
Ketawa dengan tatapan penuh selidik.
"Siapa yang mengintili dirimu" Guruku cuma berpesan padaku agar aku bisa
membantumu melakukan apa saja. Sebab menurut guru biarpun
temannya yang bernama Gentong Ketawa itu badannya besar seperti gajah bunting
tapi otaknya cuma sebesar buah kacang ijo. Guruku takut terjadi sesuatu pada temannya itu."
"Kakek sial. Apakah kau lupa kalau orang
yang kau sebutkan itu adalah diriku?" hardik Gentong Ketawa dengan mata melotot.
Tapa Gedek tertawa lebar. "Justru kau adalah orang yang dimaksudkan oleh guruku.
Itulah sebabnya aku tadi bicara sopan karena takut menyinggung perasaanmu." Ujar si
kakek. "Sopan apanya" Kau sudah berani bicara
kurang ajar. Mengatakan otakku cuma sebesar
kacang hijau, apakah kau sudah melihatnya sendiri?"
"Belum kek. Tapi kira-kira isi kepalamu kurang lebih memang seperti yang
dikatakan guruku!" kata Tapa Gedek tetap ngotot.
"Sial. Awas... kapan-kapan jika aku bertemu
dengan tua bangka tolol Selaksa Angin pasti akan
kujitaki kepalanya yang setengah botak itu pulang
balik!" geram si gendut sambil mengusap keningnya yang selalu keringatan.
"Sudahlah kek. Kakek berambut kaku ini
bukan saja telah menolongmu tapi juga telah menolongku. Sekarang sebaiknya kita
bicarakan saja urusan kita." Ujar Anggagini menengahi.
"Hemm, dia betul." Kata Tapa Gedek menimpali. "Akupun jadi ingin tahu mengapa
orangorang rimba persilatan mengejar dirimu bahkan
berniat ingin membunuhmu?"
Gentong Ketawa terdiam, wajahnya mendadak berubah muram. Dia bangkit berdiri
sambil menarik nafas dalam-dalam. Sekejap lamanya ia
layangkan pandangan matanya ke arah mayatmayat yang bergelimpangan. Mayat-mayat
yang semasa hidupnya bernasib malang. Hidup terkungkung di Lembah Sesat diperbudak
oleh seorang manusia serakah lagi culas bernama Empu
Barada Sukma. Memandang ke arah mayat-mayat
itu mendadak mata si kakek meredup. Gentong
Ketawa merasakan sepasang matanya terasa panas. Diapun kemudian berkata dengan
suara tersendat. "Setelah melihat kemunculan orang-orang
dari lembah sesat ini. Rasanya sekarang baru aku
sadari siapa kira-kira orangnya yang telah membuatku dikejar-kejar oleh kaum
dunia persilatan."
"Memangnya mereka itu siapa kek" Ketika
aku muncul kemari, kulihat kau seperti mengalah
ketika mereka menyerangmu!" kata Tapa Gedek
sambil memandang tajam pada kakek itu.
Lagi-lagi Gentong Ketawa menarik nafas
pendek. Dengan perasaan berat pula ia berkata.


Gento Guyon 30 Bukit Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika aku bicarakan tentang orang-orang cacat ini.
Maka semua itu tidak terlepas dari dosa yang telah
dilakukan oleh datuk sesat bernama Empu Barada
Sukma." "Empu Barada Sukma?" desis Tapa Gedek
tersentak kaget. Lalu orang tua ini meneruskan
ucapannya. "Guruku mengatakan kakek sesat itu
adalah musuh besarmu. Ilmunya sangat tinggi.
Bahkan guruku merasa yakin jika orang itu sampai menggunakan ilmu pukulan
Pelenyap Jasad Penyedot Darah kau mungkin tak sanggup menghadapinya."
"Manusia Selaksa Angin benar. Biarpun aku
menggabungkan tiga pukulan sakti yang aku miliki mungkin tidak bakal dapat
berbuat banyak. Kurasa hanya guruku Dewa Kincir Samudera yang
bisa menghancurkan kakek jahanam itu." Ujar
Gentong Ketawa.
"Astaga. Jadi engkau yang setua ini masih
punya guru?" tanya Tapa Gedek dengan mata terbelalak tak percaya.
"Ha ha ha. Memangnya cuma dirimu saja
yang punya. Aku juga punya tapi dia sangat jauh,
malah tempat tinggalnya aku tidak tahu."
"Guru sendiri tapi kau mengaku tidak tahu
dimana tempat tinggalnya?" ujar Tapa Gedek heran.
"Guruku itu selalu menghabiskan waktunya
di satu pulau di tengah samudera. Di pulau apa
dan samudera mana aku sendiri belum pernah diberi tahu." Kata si gendut.
"Kek... aku tidak melihat apa hubungannya
mengenai orang-orang cacat yang telah menyerang
kita ini dengan orang yang bernama Empu Barada
Sukma." Ucap Anggagini menyela.
"Hubungannya tentu sangat erat sekali.
Orang-orang itu sejak bayi dirampas dari tangan
orang tuanya. Kemudian salah satu anggota badan
mereka dibuat cacat sebagai tanda kesetiaan. Setelah itu jiwa mereka diracuni.
Hingga menjadikan
mereka tidak mengenal diri sendiri, menjadi liar
dan ganas. Empu Barada Sukma sejak dulu punya
ambisi ingin menjadi paduka raja dunia persilatan,
memiliki prajurit yang ganas dan sebuas harimau.
Rencana itu kemudian menjadi berantakan karena
aku muncul di lembah itu. Pasukannya yang sudah terlatih kubuat porak poranda.
Sebagian di antara mereka masih bisa kubuat sadar. Sedangkan yang membangkang terpaksa
kuhabisi. Sejak
saat itu aku tahu Barada Sukma pasti menyimpan
dendam kepadaku." Ujar si kakek.
"Kemudian bagaimana kau tahu orang itu
yang menjadi pangkal bencana hingga membuatmu dikejar-kejar orang?" tanya Tapa
Gedek. "Sebelumnya Barada Sukma secara terangterangan telah mengirimkan orang untuk
menangkapku dalam keadaan hidup atau mati. Usaha itu
gagal. Kemudian belakangan ini muncul persoalan
lain. Orang-orang rimba persilatan mencari diriku.
Semula aku memang tidak dapat menduga siapa
orangnya yang telah menyebarkan berita gila itu.
Tapi fikiranku kemudian terbuka setelah kaum cacat dari lembah sesat ini muncul
dan menyerangku."
"Ini berarti Barada Sukma memang ingin
melihatmu tewas di tangan orang lain." ujar Tapa
Gedek. "Mungkin saja. Tapi kurasa dia punya suatu
rencana tentang benda itu. Barada Sukma ingin
memiliki Sengkala Angin Darah agar dia dapat
mewujudkan impiannya yang sempat kandas di
tengah jalan."
"Atau mungkin Sengkala Angin Darah memang sudah berada di tangannya. Kurasa
siasat yang dijalankannya semata-mata karena ia ingin
membalaskan rasa sakit hatinya kepadamu sekaligus sengaja ingin mengalihkan
perhatian orang
lain!" potong Tapa Gedek.
Gentong Ketawa manggut-manggut.
Anggagini bertanya. "Lalu apa yang akan kita lakukan?"
"Yang harus kita lakukan adalah mencari
benda sakti itu. Kemudian jika ternyata Sengkala
Angin Darah berada di tangan Barada Sukma kita
harus menyingkirkan kakek itu." Ujar Gentong Ketawa.
"Aku ikut denganmu. Aku yakin mungkin
cuma aku yang bisa menghadapi Empu Barada
Sukma." Si gendut menyeringai, memperhatikan kakek di depannya sambil berkata. "Memang
kau mempunyai bekal ilmu kepandaian apa hingga berani ikut denganku?"
"Jangan meremehkan diriku. Aku memiliki
ilmu pukulan Gelombang Naga!" kata Tapa Gedek.
"Hah...!" si gendut terperangah. Kakek tua
itu berjingkrak kaget, matanya terbelalak seakan
tidak percaya. "Kk... kau bagaimana bisa mendapatkan ilmu selangka itu" Tapa
Gedek... kau jangan main-main. Ilmu Gelombang Naga kudengar
konon terdapat di Kubur Kuno, makam tua yang
tempatnya sendiri jarang orang yang tahu."
"Siapa yang main-main" Aku memang pernah sampai ke tempat itu." Ujar si kakek.
Kemudian dia menceritakan bagaimana dirinya sampai
terjeblos ke Makam Tua. Untuk lebih jelasnya silahkan ikuti Episode 'Gelombang
Naga'. Gentong Ketawa geleng-gelengkan kepala,
tapi mulutnya berdecak penuh rasa kagum.
"Sungguh aku tidak percaya jika tidak mendengarnya sendiri. Tidak pernah
kusangka manusia butut sepertimu bisa mendapatkan ilmu itu!"
"Gendut sialan. Orang bertampang bagus
begini dikatakan butut!" kata Tapa Gedek bersungut-sungut.
Gentong Ketawa tertawa tergelak-gelak.
Anggagini juga tidak mampu menahan tawanya
melihat tingkah kedua kakek itu.
"Ah... jadi marah rupanya. Tidak mengapa.
Kau mau ikut aku tidak melarang. Sekarang tunggu apa lagi" Mari kita pergi!"
Selesai bicara si gendut bangkit berdiri. Lalu tanpa bicara lagi si gendut
berkelebat pergi diikuti oleh Tapa Gedek dan
Anggagini. 3 Si gondrong bertelanjang dada itu masih saja menyandarkan tubuhnya di badan
patung batu tapa yang terdapat di kaki bukit. Dua kaki dijulurkan. Sedangkan kedua matanya
nampak berkedap
kedip memandang ke langit. Sore itu cuaca memang begitu cerah, langit biru tidak
berawan dan angin semilir berhembus membuat si gondrong
menjadi mengantuk.
Tak jauh dari si gondrong seorang gadis
berwajah cantik berpakaian serba putih duduk
bersila dengan kedua mata terpejam. Gadis berkepala botak sebagaimana layaknya
seorang rahib itu nampak begitu gelisah. Orang yang ditunggu
masih juga belum menampakkan diri. Padahal mereka sudah berada di situ cukup
lama. Sang dara jadi tidak sabar. Matanya yang
terpejam lalu terbuka. Dia memandang ke arah si
gondrong, Melihat sikap si gondrong yang tenangtenang saja gadis ini jadi tidak
sabar. "Gento... sampai kapan kita menunggu
orang tua itu" Aku curiga jangan-jangan dia menipu kita?" Tak sabar gadis
berkepala botak mengemukakan kekhawatirannya.
Si gondrong yang memang Pendekar Sakti
71 Gento Guyon adanya diam membisu.
"Pemuda geblek itu, apa yang difikirkannya?" batin si gadis. Tak sabar Taktu
bangkit berdiri. Kemudian dia menghampiri Gento. Setelah
dekat barulah dia tahu ternyata murid kakek gendut Gentong Ketawa tertidur
lelap. Semakin bertambah jengkel saja gadis ini dibuatnya.
"Gento?" kata gadis itu dengan suara keras,
membuat Gento berjingkrak kaget dan mengusapusap matanya.
"Mengapa kau berteriak-teriak begitu Taktu" Apa kau mengira aku tuli?" tanya
sang pendekar sambil memandangi sang dara.
"Hi hi hi. Kau tidak tuli. Tapi semua orang
yang tidur mempunyai sikap seperti orang tuli."
Gento terdiam, lalu tersenyum sendiri. Dia
memang sempat tertidur sekejap tadi. Semua itu
karena dirinya terlalu lelah. Lalu Gento mencaricari. Memandang sekelilingnya.
Kakek yang ditunggu masih belum kelihatan batang hidungnya.
"Mana orang tua itu?" Gento ajukan pertanyaan.
"Justru itu kubangunkan dirimu. Kakek itu
tidak kunjung muncul, aku punya firasat dia menipu kita!" sahut Taktu.
"Menipu bagaimana?" "Waktu kita tinggalkan dirinya bukankah dia tengah terlibat
perkela- hian sengit dengan Setan Santet Delapan Penjuru.
Dan Setan Santet seperti yang kita sama-sama lihat bukanlah manusia sembarangan.
Ilmu kesaktiannya cukup tinggi, tapi yang lebih berbahaya
adalah ilmu santet serta Jin Sesat yang menjadi
piaraannya. Mungkin saja Ki Comot Jalulata banyak mengalami kesulitan dalam
menghadapi Setan Santet sehingga dia terlambat datang kemari."
Ujar Gento tenang.
"Baiklah kukira kita hanya bisa menunggunya beberapa saat lagi. Jika dia tidak
muncul juga sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini secepatnya."
"Baiklah, aku setuju saja. Yang terpenting
kita harus mencari guruku. Bagaimanapun perasaanku jadi tidak enak jika belum
bertemu dengannya." Kata pemuda itu.
"Aku rasa gurumu tidak apa-apa. Malah kufikir dialah yang cemas memikirkan
dirimu." "Hemm...!" Gento hanya menggumam. Dia
lalu bangkit tapi tiba-tiba perhatiannya tertuju ke
balik bukit dimana tadi sempat didengarnya suara
aneh mencurigakan.
"Ada apa?" tanya Taktu yang memang tidak
mendengar suara apa-apa.
"Ada ranting terinjak patah. Ada orang di
sekitar situ. Aku harus menyelidik." Kata Gento.
"Aku tidak mendengar apa pun. Tapi apa
perlunya kau berletih diri melakukan segala penyelidikan. Paling juga yang
datang Ki Comot Jalulata." Kata Taktu.
"Kalau dia adanya mengapa tidak langsung
menemui kita. Padahal dia sudah tahu kita menunggunya di sini." Kata Gento
curiga. Kecurigaan pemuda itu nampaknya memang beralasan. Karena di balik semak belukar
saat itu mendekam satu sosok yang terus mematamatai gerak-gerik mereka.
Sayangnya niat Gento tidak terlaksana karena pada saat itu satu bayangan serba
biru nampak berkelebat di antara cabang pepohonan. Gento
dan Taktu sama memandang ke arah sosok yang
datang. Tak lama kemudian di depan mereka berdiri tegak seorang kakek berpakaian
seperti orang hamil berwarna biru bersongkok hitam.
Begitu munculkan diri si kakek menyeringai. Seringai kakek itu lenyap. Kemudian
dia berkata. "Maaf, aku membuat kalian menunggu agak
lama." "Memangnya kau kemana saja kek?" Tanya
Taktu. "Tak usah ditanya. Dia pasti sibuk menghitung-hitung barang hasil jarahannya di
sepanjang jalan. Bukankah begitu Ki Comot?" rutuk Gento
jengkel. Kakek berdaster biru Ahli Sihir Dari Goa Es
yang dikenal dengan nama Ki Comot Jalulata tertawa tergelak-gelak.
"Kau benar. Di jalan aku memang terpaksa
menghitung kembali perabotan milik orang yang
telah kucuri. Sayang aku cuma bisa mendapatkan
bukit hidung dan telinga kanan Setan Santet. Coba kalau bisa kuambil barangnya
yang di bawah. Tentu jumlah simpananku makin bertambah. Ha
ha ha!" Tetapi tiba-tiba saja si kakek berpaling ke
arah Gento. Mulutnya menyeringai penuh arti.
Seakan mengerti apa yang difikirkan Ki
Comot, Gento mengancam. "Berani kau berbuat
kurang ajar padaku, aku pasti membunuhmu!"
Melihat Gento yang kalang kabut Taktu jadi
tersenyum geli.
Ki Comot Jalulata tertawa mengekeh. Dia
gelengkan kepala. Setelah pandangi sang pendekar
dan Taktu yang berkepala botak, Ki Comot berkata. "Rasanya memang tidak pantas
bagiku berbuat ceroboh pada orang-orang sebaik kalian."
"Tidak usah basa basi. Katakan saja mengapa kau meminta kami menunggu di sini.
Apakah ada sesuatu yang hendak kau sampaikan?" tanya
si pemuda langsung pada titik persoalan.
"Hmm, kau betul. Kalau begitu sebaiknya
kau dan gadis temanmu itu cepat ikuti aku!"
"Mengikutimu?" tanya sang Pendekar. "Kami tidak bakal pergi ke mana pun apalagi
sampai ikut denganmu jika kau tidak mau mengatakan
apa sebenarnya yang hendak kau sampaikan."
"Ini menyangkut urusan penting. Apa yang
kuketahui menyangkut urusan besar dan keselamatan orang-orang dunia persilatan."
Ujar Ki Comot. "Keselamatan dunia persilatan. Apakah
yang hendak kau katakan pada kami ada sangkut
pautnya dengan Sengkala Angin Darah?" tanya
Taktu. "Benar."
"Kabar yang kudengar terakhir benda itu
ada pada Gentong Ketawa guruku. Hingga begitu
banyak orang yang mengejarnya. Guruku menjadi
manusia buruan. Padahal yang kuketahui sebelum
kami terpisahkan guruku sama sekali tidak tahu
menahu tentang benda itu. Kini si gendut berada
dalam ancaman bahaya besar. Lalu kau sendiri
apakah punya pendapat lain?" tanya Gento.
Ki Comot Jalulata terdiam beberapa saat
lamanya. Pengakuan Gento yang mengatakan Gentong Ketawa adalah gurunya cukup


Gento Guyon 30 Bukit Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat Ki Comot merasa terkejut. "Coba kau ulangi Gentong
Ketawa tadi apamu?"
Gento jadi heran sendiri. Diperhatikannya
kakek berdaster itu. Tidak ada kesan mencurigakan. Tatap mata Ki Comot biasa
saja. Barulah kemudian tanpa rasa ragu sang
pendekar menjawab. "Gentong Ketawa itu adalah
guruku! Kau mengenalnya?" tanya si pemuda.
"Kenal orang sih tidak, Tapi nama besarnya
dulu sering kudengar. Kurasa hampir seluruh
orang-orang di dunia persilatan tanah Jawa mengenal kakek gendut sinting itu."
Kata Ki Comot. "Kebetulan sekali. Aku membutuhkan orang-orang
jujur untuk membantuku."
"Membantu apa?" tanya Taktu tidak sabar.
"Aku tahu sekarang ini sangat banyak orang
yang ingin memiliki Sengkala Angin Darah! Aku telah melakukan penyelidikan. Dan
benda itu adanya di Puncak Sebelas Tangga Kematian."
"Ah, kau bicara apa" Aku sudah mengatakan banyak orang mengejar guruku karena
me- nyangka benda itu ada di tangannya."
"Itu hanyalah sebuah fitnah. Kau tak usah
cemas. Aku yakin dengan apa yang kulihat. Jelas
Sengkala Angin Darah kini berada di Puncak Sebelas Tangga Kematian."
"Kalau benar. Lalu siapa yang telah membawa Sengkala Angin Darah ke tempat itu?"
tanya Taktu. "Tentu saja penguasa Puncak Tangga Kematian." Jawab Ki Comot.
"Jika benar benda itu berada dalam kekuasaannya. Mengapa kau tidak merebutnya.
Lalu membawanya pergi dan disimpan ke tempat yang
aman?" tanya Gento.
Ki Comot Jalulata gelengkan kepala, wajahnya menunjukkan rasa jerih. "Tidak
semudah itu Gento. Penguasa Puncak Sebelas Tangga Kematian
bukan manusia sembarangan. Dia memiliki bermacam-macam kesaktian yang setara
dengan ilmu yang dimiliki iblis. Seingatku belum pernah ada
yang selamat bila bertemu dengannya. Biarpun
orang itu memiliki kepandaian segudang. Lima
orang berkepandaian tinggi sepertiku berbarengan
menyerangnya belum tentu sanggup merobohkannya."
"Gila. Ki Comot sepengetahuanku bukanlah
orang berkepandaian rendah. Jika begitu ilmu
yang dimiliki penguasa Puncak Sebelas Tangga
Kematian benar-benar tak dapat dijajaki." Batin
Gento. Sang Pendekar lalu ajukan pertanyaan lagi.
"Ki apakah kau sudah melihat bagaimana ujud
benda maut itu?"
"Sama sekali belum. Tapi aku sudah melihat bekas dimana Sengkala Angin Darah
diletakkan. Sebelumnya kurasa Iblis Dalam Matahari
pernah meletakkannya di atas batu besi berbentuk
lempengan. Kulihat batu besi itu berubah merah
menjadi bara. Tanah di sekitar batu bahkan seperti amblas, mengepulkan asap
tebal. Pepohonan di
sekelilingnya hangus terbakar dan di sekitar tempat itu porak poranda bagaikan
baru saja dihantam topan."
"Benda sakti yang sangat luar biasa. Sungguh tak masuk akal Sengkala Angin Darah
yang memiliki kekuatan sedahsyat itu bisa dikuasai oleh
seseorang?" ujar Taktu.
"Ini adalah suatu kenyataan yang sulit dipercaya." Ujar Gento pula.
"Memang tapi apa yang kukatakan ini sesuai dengan apa yang kulihat. Yang perlu
kita lakukan adalah merebut benda itu, lalu membawanya ke tempat aman agar tidak
jatuh ke tangan
orang yang salah."
"Apakah kau tidak termasuk bagian dari
yang salah itu?" sindir Gento disertai senyum
mencibir. Wajah Ki Comot Jalulata nampak berubah.
Dengan mata mendelik dia berkata. "Aku tidaklah
seburuk yang kau duga. Kepadaku kau tak perlu
menaruh rasa curiga."
"Bukannya begitu Ki. Kau tahu sendiri, aku
sudah mengatakan guruku yang tidak tahu menahu tentang benda itu saja dikejarkejar dan hendak dibunuh orang. Tentu aku tidak bisa disalahkan jika harus bersikap lebih hati-hati. Pada hakekatnya aku tidak keberatan
membantumu. Cuma harus diingat. Apa yang akan kita lakukan bukanlah suatu
persoalan yang mudah. Karena selain Iblis Dalam Matahari yang menurut katamu
mempunyai kepandaian tinggi. Kita juga pasti
akan menghadapi tokoh-tokoh lainnya. Dan mereka bukan orang sembarangan."
"Aku tahu Gento. Kita memang harus berhati-hati. Tapi alangkah lebih baik bila
kita sampai ke sana lebih cepat sebelum didahului oleh orang
lain." Ujar Ki Comot Jalulata.
Gento dan Taktu akhirnya setuju. Mereka
kemudian bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka sama sekali tidak tahu sejak
tadi pembicaraan mereka didengar oleh seseorang yang mengintai dari balik semak
belukar lereng bukit. Sosok
itu tanpa memberi tanggapan apa-apa segera pula
berkelebat pergi ketika ia melihat! Ki Comot dan
sang pendekar juga Taktu tinggalkan patung batu
tapa. 4 Ki Betot Segala salah satu dari tiga manusia
Kembar yang suka memakai daster berwarna biru
itu berjalan dengan mengendap-endap menelusuri
sungai kecil berbatu. Sampai di satu tempat dia
hentikan langkahnya. Kakek itu menarik nafas
pendek, lalu berpaling ke belakang. Di belakangnya seorang kakek tua berambut putih dan berpakaian serba ungu menyeringai.
"Mengapa berhenti" Teruskan saja berjalan,
kau memimpin di depan dan aku di belakangmu."
Ujar kakek berbaju ungu.
"Bukit itu sudah tidak jauh lagi dari sini.
Kau bisa melihat sendiri. Di depan sana!" ujar Ki
Betot Segala. Kakek berambut putih memandang ke arah
yang ditunjuk sahabatnya. Tak jauh di depan sana
di balik tiga pohon cemara yang menjulang tinggi
dia memang melihat sebuah bukit berwarna kehijau-hijauan. Si kakek cepat
gelengkan kepala.
"Bukan... bukan itu bukit yang kita cari.
Puncak Sebelas Tangga Kematian memang berada
di suatu bukit. Tapi setahuku bukit itu tidak berwarna hijau, tapi merah.
Warnanya merah seperti
darah." "Ki Sumpit Prakoso. Kau jangan mengadaada, sepanjang hidup aku belum pernah
melihat bukit berwarna merah. Mungkin penglihatanmu
ngawur. Kau salah dalam menerapkan kesaktian
batin, hingga yang kau lihat melalui indera keenam itu ngawur semua." Kata Ki
Betot Segala menggerutu. "Jangan tolol. Bukankah kau sendiri yang
meminta agar aku mengerahkan kekuatan batin
untuk melihat keberadaan Sengkala Angin Darah.
Seperti yang sudah kulakukan ketika kita belum
memutuskan melakukan perjalanan kemari, benda
itu tidak ada pada Gentong Ketawa. Penglihatan
batinku tidak pernah menipu."
"Jika kau tidak melihat benda itu berada di
tangan Gentong Ketawa lalu kau melihat apa?"
Tanya Ki Betot Segala.
Dengan perasaan kesal, sambil memejamkan kedua matanya Ki Sumpit Prakoso atau
yang lebih dikenal dengan julukan Kura-Kura Naga itu berkata. "Seperti yang
kulihat dalam penglihatan batinku saat ini dan sebagaimana yang kulihat kemarin. Aku melihat bukit berwarna merah
seperti kaca. Bukit itu memiliki sebelas tangga
berbentuk aneh terbuat dari batu. Bukit dengan
ciri-ciri seperti itu pastilah bukit merah yang selama ini dikenal dengan nama
Puncak Sebelas Tangga Kematian." Ujar Ki Sumpit Prakoso.
Ki Betot Segala tertawa dingin. Sambil
memperhatikan sahabatnya dan dengan disertai
senyum mencibir dia berkata. "Ki Sumpit. Menurutmu apakah tidak terjadi suatu
kejanggalan."
"Kejanggalan apa maksudmu?" tanya Ki
Sumpit. "Bukankah aku memintamu untuk melihat
keberadaan benda sakti Sengkala Angin Darah melalui kekuatan yang kau miliki.
Tapi apa yang kemudian terjadi" Yang kau lihat dan yang kau katakan bukan
seperti yang aku minta. Apakah ini
tidak aneh?"
"Kau boleh saja berpendapat begitu. Tapi
aku punya pendapat lain. Boleh jadi tempat yang
kulihat sebagai isyarat bahwa benda sakti yang kita cari memang berada di sana.
Bukankah kau mengatakan benda sakti itu memiliki kekuatan
yang sangat dahsyat luar biasa?"
"Memang betul."
"Nah, atas dasar semua itu aku menyimpulkan kekuatan penglihatan batinku tidak
dapat menembus secara pasti benda itu, melainkan
hanya sanggup melihat satu tempat dimana benda
itu berada." Ujar Ki Sumpit Prakoso. Atas jawaban
sahabatnya Ki Betot Segala menggumam. "Jika
pendapatmu benar. Apapun yang terjadi kita harus datang ke tempat itu. Tapi jika
dugaanmu itu meleset berarti segala yang kita lakukan saat ini
sia-sia saja." Ujar Ki Betot Segala.
"Sudahlah, kau harus percaya padaku!" kata Ki Sumpit Prakoso.
"Baiklah, bukit merah itu letaknya sudah
tidak jauh lagi dari tempat ini."
"Kalau begitu kita tak perlu mengendapendap seperti maling. Ayo ikuti caraku!"
berkata Ki Betot Segala kemudian berlari cepat mengikuti
anakan sungai. Ki Sumpit segera menyusulnya.
Tak sampai sepenanakan nasi mereka berlari. Di
bawah sebatang pohon beringin putih mereka berhenti kembali.
"Lihat Ki Sumpit, bukit yang kau maksudkan ada di depan sana. Tapi mengapa
sekeliling bukit itu diberi tangga?" ujar Ki Betot Segala sambil memandang lurus ke arah
bukit gundul berwarna merah yang jaraknya hanya sejauh lima puluh tombak dari
tempat mereka berada.
"Aku tidak tahu. Kita harus meneliti, kita
harus mendekati bukit itu. Setelah itu baru bisa
kita cari tahu dimana benda itu disembunyikan!"
"Kau yakin orangnya tidak berada di tempat, Ki Sumpit?" tanya Ki Betot Segala ragu-ragu.
"Mana aku tahu. Sudahlah jangan banyak
tanya. Sekarang kau yang harus mengikuti aku!"
ujar kakek itu. Lalu tanpa menunggu jawaban sahabatnya Ki Sumpit segera berlari
diantara kerapatan pepohonan yang terdapat di kaki bukit. Tapi
aneh, setelah sekian lama mereka berlari mereka
masih belum juga sampai ke bagian lereng bukit
merah. "Gila. Jangan-jangan apa yang kita lihat
hanya fatamorgana?"
"Apa maksudmu Ki Sumpit?" tanya Ki Betot
Segala. "Apakah kau tidak ingat, ketika kita berada
di bawah pohon beringin putih tadi. Dari sana jaraknya seperti tidak begitu
jauh. Tapi setelah kita
datangi mengapa tidak sampai-sampai. Malah kini
seperti yang sama kita lihat di depan kita malah
ada lembah segala. Ada yang tidak beres. Aku jadi
curiga bukan mustahil sekarang kita sedang memasuki sebuah perangkap!" ucap Ki
Sumpit. "Lalu apakah kita harus membatalkan niat
menyelidiki bukit itu?"
"Tidak begitu." Sahut Ki Sumpit. "Semua
rencana harus kita jalankan. Aku tidak pernah tertipu oleh penglihatan batinku.
Aku yakin sekali
Sengkala Angin Darah memang disembunyikan di
bukit itu. Sekarang mari kita seberangi lembah
itu!" "Ki Sumpit apakah tidak sebaiknya kita
ambil saja jalan memutar dari sebelah barat untuk
menghindari terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan." Usul Ki Betot Segala.
Ki Sumpit tersenyum, enak saja dia menjawab. "Tak perlu risau. Mengambil jalan
memutar aku malah takut mengundang perhatian orang."
"Terserahmulah Ki Sumpit. Cuma sekarang
kau yang harus berjalan di depanku."
"Baik. Siapa yang takut?" Dan Ki Sumpit
mendahului Ki Betot Segala. Tapi baru saja beberapa langkah mereka bergerak.
Mendadak sontak
di atas langit sana terdengar suara gemuruh hebat
tidak ubahnya seperti suara langit yang runtuh.
Kemudian terdengar pula suara pekikan
menggelegar. Dalam kagetnya kedua kakek ini sama dongakkan kepala memandang ke langit. Wajah
kedua orang tua ini mendadak berubah, mata terbelalak
sedangkan mulut ternganga.
"Sungguh sulit kupercaya." Gumam Ki
Sumpit Prakoso.
"Burung rajawali putih. Itu adalah burung
siluman?" seru Ki Betot Segala.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau burung rajawali putih itu adalah burung siluman?"
tanya Ki Sumpit yang terus memandangi burung rajawali
yang kini mulai berputar merendah.
"Aku sering mendengar tentang burung itu.
Pemiliknya adalah seorang pemuda bernama Pasadewa."
"Pasadewa" Apa perlunya burung itu datang
ke bukit merah?" tanya Ki Sumpit lagi


Gento Guyon 30 Bukit Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau lihat, di atas punggung burung rajawali itu. Setidaknya ada dua orang duduk
di sana. Yang berbaju hitam kuyakin adalah Pasadewa. Sedangkan yang di belakangnya aku
tidak tahu."
"Lihat! Burung itu semakin mendekati puncak bukit dan kedua penunggangnya
berlompatan turun." Seru Ki Sumpit Prakoso.
Ki Betot Segala memang melihat penunggang burung siluman itu berlompatan turun
dan jejakkan kaki di tanah pedataran yang terdapat di
puncak bukit. Kemudian burung rajawali kembali
membumbung tinggi ke angkasa. Setelah itu mendadak lenyap dari pandangan Ki
Betot Segala. Si kakek jadi terkejut; "Seperti kataku, burung itu memang burung siluman."
"Aku sekarang percaya. Hem... ilmu apa
yang dimiliki Pasadewa sampai dia bisa memiliki
burung siluman?"
"Aku tidak tahu. Sebaiknya kita ke sana!"
"Tapi kita harus berhati-hati. Dari sini kita bisa
melihat ada anak-anak tangga batu untuk mencapai puncak bukit merah. Aku curiga
di tanggatangga itu terdapat banyak jebakan. Karenanya kita jangan naik melalui
sebelas tangga batu. Kita
cari jalan lain!" ujar Ki Sumpit.
Ki Betot Segala anggukkan kepala. Mereka
kemudian bergerak ke arah sebelah barat lereng
bukit. Sampai di sana melalui jalan berbatu yang
cukup berbahaya lagi licin keduanya mulai mendaki menuju puncak bukit merah.
*** Sementara itu setelah melompat turun dari
punggung rajawali siluman yang mereka tunggangi. Pasadewa dan Iblis Ular
Sembilan segera memeriksa seluruh penjuru puncak bukit. Di bagian
puncak bukit yang datar mereka tidak menemukan apa-apa atau melihat ada tandatanda kehidupan di situ.
Pasadewa nampak begitu kecewa, tapi juga
menjadi kesal karena beranggapan Ki Edan Samberata telah membohongi mereka.
Kakek dan pemuda berbadan tambun itu
saling berpandangan. Pasadewa tiba-tiba merasa
muak. Dia palingkan wajahnya ke arah lain, memandang ke arah tiga pohon yang
tidak begitu besar yang mulai dari daun, batang sampai pada
bunganya yang berwarna merah.
"Aku merasa kakek keparat itu telah mengerjai kita. Harusnya kita bawa serta dia
ke tempat ini agar kita tahu dia bicara dusta atau benar." Geram Pasadewa sambil kepalkan
tinjunya. "Nasibnya lebih beruntung karena tiba-tiba
muncul pertolongan." Menyahuti Iblis Ular Sembilan.
"Waktu kita dibawa terbang rajawali siluman. Aku melihat seorang pemuda
berpakaian serba putih. Apakah pemuda itu yang menolong si
kakek edan?"
"Kalau bukan dia siapa lagi?"
"Siapa pemuda itu?" tanya Pasadewa.
"Ku kira Penyair Halilintar." Sahut Iblis Ular
Sembilan yang lebih banyak mengenal orang-orang
aneh berkepandaian tinggi secara lebih luas.
"Huh... omong kosong. Hanya seorang penyair. Bagaimana bisa mendatangkan gemuruh
angin, kilat dan petir?"
Si kakek berbadan kurus yang di tubuhnya
kini digelayuti tujuh ekor ular hitam berbisa tersenyum. "Penyair Halilintar
kudengar bukan hanya
sekedar seorang penyair." Menerangkan si kakek
tanpa maksud memuji. "Dia memiliki ilmu yang
dapat mendatangkan kilat dan petir. Tidak hanya
sampai di situ dia juga mempunyai ilmu yang dapat mendatangkan badai puting
beliung. Malah konon Penyair Halilintar memiliki salah satu syair
yang dapat membunuh lawan hanya dengan sekali
berucap saja."
"Sudah! Jangan diteruskan segala ucapanmu yang tidak berguna itu paman. Yang
kubutuhkan saat ini adalah Sengkala Angin Darah. Sekarang kita sudah berada di
Puncak Sebelas Tangga
Kematian. Suatu nama yang menyeramkan,
hemm... tapi ternyata jangankan benda sakti itu.
Seekor kecoak busuk pun tidak kutemukan di sini." Dengus Pasadewa kesal. "Atau
mungkin harus kuhancurkan bukit ini dulu paman?"
"Jangan...!" cegah Iblis Ular Sembilan dengan suara bergetar.
"Mengapa" Kau takut" Wajahmu nampak
begitu tegang" Apa yang kau lihat?" masih dengan
nada tinggi pemuda itu bertanya.
"Pasadewa... aku merasakan ada yang tidak
beres di tempat ini. Kau lihat akar-akar gantung
yang terdapat di pohon merah itu langsung bergerak-gerak begitu kau mengancam
hendak menghancurkan bukit ini!" seru si kakek.
Pasadewa tertawa tergelak-gelak mendengar
ucapan Iblis Ular Sembilan. Begitu tawanya lenyap
sambil berkacak pinggang si pemuda berkata.
"Kau tidak minum tuak keras. Bagaimana bisa bicara ngaco' seperti orang mabuk
berat" Kau jangan mengada-ada atau membuatku bertambah
marah!" "Siapa yang bicara ngaco" Lihat... akar-akar
gantung itu kini bergerak hendak melilit tubuhmu!" teriak si kakek.
Melihat si kakek bicara dengan bersungguhsungguh. Dengan cepat Pasadewa memutar
tubuh dan memandang ke belakang. Pemuda ini keluarkan seruan kaget tapi masih sempat
menyelamatkan diri dari libatan akar-akar ketiga pohon
berwarna semerah darah itu.
Pasadewa yang masih menelungkup di atas
tanah terbelalak memperhatikan ketiga pohon
berwarna merah itu. Mulai dari batang, akar gantung, cabang-cabang pohon
semuanya mengalami
getaran seperti pembuluh darah. Sedangkan bagian-bagian daunnya nampak
mengembang dan mengempis seperti paru-paru.
Sedangkan akar gantung yang terdapat di
setiap pohon terus meliuk-liuk seperti ular berusaha menggapai dan melilit
Pasadewa dan si kakek.
5 Sementara itu Ki Sumpit Prakoso dan Ki Betot Segala, setelah berjuang keras
mendaki lereng bukit akhirnya sampai di puncak bukit sebelah
barat. Mereka kemudian mendekam di balik batu
berwarna merah. Dari tempat itu keduanya julurkan kepala memandang ke arah
Pasadewa dan Iblis Ular Sembilan.
Kejut kedua kakek itu bukan alang kepalang ketika melihat bagaimana Pasadewa dan
temannya berjuang keras menghindari seranganserangan akar-akar gantung dari tiga
pohon berwarna merah.
"Sungguh aku tak habis mengerti, mengapa
akar pepohonan itu bisa berubah menjadi liar dan
menyerang mereka!" gumam Ki Betot Segala sambil memandang lurus ke depan dengan
tatapan tidak berkesip.
Ki Sumpit terdiam, keningnya berkerut. Dia
berusaha berfikir keras mengenai pohon aneh itu.
Sampai kemudian si kakek tepuk keningnya sendiri sambil berkata. "Aku baru ingat
sekarang. Kalau
aku tidak keliru, pohon merah itu tentulah pohon
penghisap darah alias pohon kematian. Pohon itu
sama ganasnya dengan binatang buas. Jika sampai mereka terlilit akar-akar yang
menjulai itu, darah mereka pasti akan disedot habis sampai tidak
bersisa sama sekali!"
"Lalu mereka menemui ajal secara mengenaskan?" menyahuti Ki Betot Segala, Ki
Sumpit anggukkan kepala.
Perguruan Sejati 8 Delapan Kitab Pusaka Iblis Kwi Po Cin Keng Pat Karya Rajakelana Kemelut Di Cakrabuana 2

Cari Blog Ini