Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut I I 1

Candika Dewi Penyebar Maut I I Bagian 1


CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-2 oleh Djokolelono
? Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Desain dan gambar sampul oleh Djokolelono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Januari 1989
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
1. HUKUMAN PENDAPA depan Padepokan Rahtawu sunyi senyap kini. Angin pun sampai terdengar menderu di sudutsudut atap. Angin dingin yang biasanya membawa alunan doa. Hingga sayup-sayup menjauh.
Kini angin itu hanya membawa suara dari luar. Suara ratap tangis. Suara makian. Kemudian suara kakikaki yang berjalan menuju pendapa.
Di pendapa sendiri sunyi.
Semua yang ada di situ bagai patung.
Suranggana, dengan kepalanya yang hitam berhias
rambut tak keruan. Dan aliran darah yang terus mengucur dari bagian belakang kepalanya. Berdirinya tidak mantap. Setiap saat ia pasti tumbang. Tapi matanya beringas merah. Membara. Marah. Mulutnya menahan rasa sakit. Tangannya teracung. Telunjuknya kaku
mengarah pada Tara.
Tara juga bagai patung.
Tapak kakinya memang sudah dalam kedudukan gerak Sura-caya, siap untuk menghindar dari serangan pihak mana pun. Tetapi kakikaki itu nampak lemas.
Tak ada otot yang tegang yang menandakan tenaga
akan tersalur dan kaki terangkat. Pandangan matanya
pun tidak tertuju pada Suranggana yang seakan hendak
melahapnya. Ia pun tidak memandang pada Anengah
yang walaupun berada di lantai siap terbang setiap saat, dengan kaki akan
langsung menebas lehernya.
Rasanya hanya Anengah yang paling hidup. Matanya
liar. Hidungnya kembang-kempis. Jari-jemari yang menahan tangannya di lantai gemetar. Dan setiap otot di
kakinya menegang, menghimpun kekuatan dahsyat untuk membunuh dalam sekali pukul.
Bahkan Rangga Prawangsa yang galak itu rasanya
kalah angker dengan Anengah. Perwira Daha itu kini
berada di belakang Tara, siap untuk meringkusnya lagi
setelah tadi dengan mudah mengibaskannya. Rangga
Prawangsa bertekad untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Dan tugas itu adalah melindungi Resi Rhagani. Apa pun yang terjadi. Ia tahu Tara adalah murid
Resi Rhagani. Tetapi jika keadaan memerlukan, ia takkan segan menghajar anak itu.
Resi Rhagani paling mirip patung. Ia memejamkan
mata. Ia menyusun jari, merapatkan tapak tangan. Ia
berdiri tegak. Tak bergerak.
Yang lain diam, namun gelisah. Tari merangkul sebuah tiang agung. Mukanya rapat ke kayu itu. Matanya
bingung memandang Tara. Mulutnya ternganga seolah
ingin meneriakkan sesuatu. Lati dan Rati berada di
pinggir. Berangkulan. Memandang ke Tara dan Suranggana. Pawungsari dan Dwaralika kebingungan.
Makin banyak keluarga padepokan yang berdatangan ke pendapa itu. Mereka memang hanya berhenti di
tepi lantai pendapa. Kemudian diam.
"Aku mohon Panembahan..." terdengar suara serak
Suranggana kini bergema. Susah sekali ia mengeluarkan kata-kata. "Cabut nyawa murid durhaka ini. Dia
punya ilmu tinggi, namun tak dapat menggunakannya.
Dia perkasa, namun tak tahan melihat wajah cantik
hingga melupakan semua saudaranya. Bunuh dia, Panembahan!"
Dan Suranggana roboh. Beberapa orang akan menolongnya. Tetapi ia mengangkat tangan mencegah. Susah
payah ia merayap hingga mencapai kaki Resi Rhagani.
Dipegangnya kaki itu dengan tangannya erat-erat.
"Belasan tahun, puluhan tahun... aku mengabdi pada Tuan, Panembahan... aku tak mau Tuan keliru...
aku tak mau Tuan memperoleh malapetaka hanya karena keliru menilai orang. Muridmu si Tara itu... tidak punya hati. Tuan akan
menyesal jika masih membiar-kannya hidup. Suatu hari dia akan... mampu mengorbankan saudara-saudaranya lagi... O, Panembahan..."
Dan Suranggana roboh lemas. Tak bergerak lagi. Mati. Seorang warga padepokan yang berada di luar pendapa berlutut, sujud mencium tanah. Dan ia berseru,
"Derita kami begitu dalam, Guru... hukumlah Tara!"
Dan gerakan serta suaranya satu per satu ditiru oleh
yang lain. Tak lama orang-orang yang mengelilingi pendapa itu telah bersujud sambil berseru bagaikan bernyanyi, "Hukum Tara! Hukum Tara! Hukum Tara!"
Tara bagaikan tersentak dari mimpi. Matanya beringas memandang ke kiri ke kanan. Dan tiba-tiba ia pun
menubruk kaki Resi Rhagani yang masih digenggam
Suranggana. "Guru... hukumlah aku jika aku bersalah... tapi aku
tak merasa bersalah, Guru!" teriak Tara mencoba mengatasi galau di luar itu.
"Suranggana telah tewas," baru kemudian Resi Rhagani terdengar suaranya. "Ia merasa pasti akan sesuatu.
Dan ia mati dengan rasa pastinya itu. Kau harus bercerita dengan jelas. Untuk itu kautenangkan diri lebih dahulu. Dwaralika,
Pawungsari, bawa Tara ke Ruang
Sunyi. Yang lain..." Resi Rhagani memperkeras suaranya hingga menindih suara galau yang ada dan semua diam untuk mendengarkannya, "Padepokan kita
telah tertimpa malapetaka dahsyat. Kita belum tahu apa
yang terjadi. Untuk itu Tara akan kita periksa nanti.
Yang jelas, ini mungkin ada hubungannya dengan petaka yang menimpa guru kalian - Madraka. Uruslah mereka yang tewas. Dan waspada serta lipat-gandakan
penjagaan. Malam nanti kita akan melakukan upacara
untuk mengiringi mereka yang menghadap para dewata.
Kemudian kita bicarakan apa yang terjadi."
Dengan menunduk Resi Rhagani meninggalkan tempat itu. Dwaralika dan Pawungsari memberi isyarat pada Tara untuk ikut mereka. Ketika Tara tak bergerak,
Anengah dengan geram berdiri dan menyeret pemuda
itu. Di luar, sebuah batu pertama terlempar pada Tara.
Kemudian menyusul batu-batu lainnya. Hujan batu diiringi hujan makian. Tara dengan gugup mencoba menangkis semua lemparan itu. Dwaralika dan Pawungsari pun terpaksa melindunginya. Namun mereka
kewalahan. Akhirnya mereka hanya bisa menyeret Tara
untuk berlari secepatnya.
Terengah-engah mereka mencapai bangunan yang
berisi Ruang Sunyi. Ruang itu berada di bawah tanah,
tempat Sang Resi biasa menyepi untuk menekuni ilmunya. Dwaralika dan Pawungsari berhenti sejenak memperhatikan apakah orang-orang mengejarnya. Tidak.
Agaknya mereka masih berada di halaman depan. Dan
kini mereka mungkin sibuk mengurusi mayat-mayat.
"Buka pintunya, Dinda Pawungsari," kata Dwaralika.
Diperhatikannya Tara. Pemuda itu lemas. Matanya kini
kosong tak bercahaya. Pasrah.
"Sebetulnya apa yang terjadi, Tara?" tanya Dwaralika
sementara Pawungsari membuka pintu - sebuah pintu
kayu yang besar dan berat. Tara diam saja.
"Kau perlu menjawab. Bukan untuk menyelamatkan
nyawamu, tetapi agar kita tahu apa yang terjadi. Agar
kita bisa mencegahnya."
Tara diam saja.
Anengah muncul. Badannya penuh keringat. Dadanya kembang-kempis menahan marah.
"Tara! Betulkah kata Paman Suranggana tadi?" bentak Anengah. Tara diam saja.
"Bangsat cilik... jawab!" dengan geram Anengah menampar Tara. Tapi Dwaralika dengan tangkas menangkis tamparan itu.
"Sabar, Anengah, akan kita bicarakan nanti," kata
Pawungsari. "Paman tadi dengar kata Paman Suranggana" Beliau
merasa pasti si kunyuk kecil ini penyebab kematian tadi!" sahut Anengah geram.
"Aku tahu. Tapi kita harus mempelajari dulu apa
yang terjadi." Dwaralika mendorong Tara masuk. Pawungsari langsung menuntun Tara masuk dan menuruni tangga. Dwaralika menutup pintu bangunan serta
berdiri menghadang di depan Anengah. "Sementara itu
kita tak bisa sembarangan menjatuhkan hukuman!"
"Ah, itu semua hanya membuang waktu!" geram
Anengah. "Paman sendiri tahu, ia suka bersikap manis
pada Bapa Guru dan Bibi Madraka, hanya agar memperoleh ilmu lebih banyak! Kesetiaannya tak ada. Dan itu
berbahaya, bukan?"
"Benar, tapi yang berhak memberi hukuman hanya
Gusti Panembahan," kata Dwaralika.
"Sekali lagi, itu hanya membuang waktu!" dengus
Anengah. Dwaralika sesaat memperhatikan Anengah. "Anengah, kenapa kau tiba-tiba berubah" Biasanya kau walaupun kaku tetapi punya perasaan adil, dan tidak begitu serampangan dalam menjatuhkan putusan."
"Aku tidak apa-apa! Hanya aku tak rela jika saudarasaudaraku tewas tanpa pembalasan!"
"Kepada siapa" Yang jelas bukan Tara yang membunuh orang-orang itu!"
"Tapi mungkin Tara sudah bisa melakukan pembalasan itu tanpa harus menunggu segala macam urusan kalau saja ia memang punya maksud untuk membalas
dendam! Jadi Tara jelas bersalah!"
"Tiba-tiba rasa dendam menyelimuti hatimu. Apakah
itu yang kaupelajari di sini?"
"Paman bukan guruku, tak usah Paman mengguruiku." "Bagus jika kauingat bahwa kau patut patuh pada
gurumu. Dan gurumu menghendaki perkara ini dibicarakan lebih dahulu!"
"Dinginkan kepalamu, Anengah," Pawungsari telah
keluar dari Ruang Sunyi, dan memalang pintunya dari
luar. Memang sesungguhnya Ruang Sunyi itu serbaguna - untuk menyepi atau mengucilkan seseorang. Ada
kalanya seorang siswa harus merenungkan kekeliruannya hingga terpaksa dikucilkan di sini. Di bawah tanah, ada tiga tingkat
ruangan, bersusun ke bawah. Untuk
kekeliruan yang sangat berat, maka siswa yang bersangkutan ditempatkan dalam ruangan yang hanya cukup untuk duduk bersila. Ruang di atasnya agak lega.
Ruang ketiga yang tepat berada di bawah permukaan
tanah sudah cukup lega dan bahkan penghuninya boleh menikmati cahaya lampu, buku-buku agama, serta
makanan atau minuman. Di sini sesungguhnya Sang
Resi biasa menyepi - bukan karena menjalani hukuman
tapi hanya untuk lebih memusatkan pikirannya pada
sesuatu. Bangunan yang berada di atas tanah berupa
ruangan untuk berdiskusi - sebuah ruang yang lega
dengan jendela berterali bambu dan dinding bambu
dengan pintu kokoh.
"Tara berada di ruang terbawah. Dia toh tak akan bisa ke mana-mana. Jika kau ingin menghukumnya, masih ada saatnya nanti."
"Aku tak mengerti Paman berdua. Sama sekali tak
mengerti. Bukan hanya rasa keadilan... tetapi toh Paman berdua seharusnya mencoba membalaskan kematian Paman Suranggana!" kata Anengah.
"Aku mengerti bahwa mungkin kau akan menjadi pemimpin para siswa di sini," kata Pawungsari dingin.
"Aku mengerti rasa tanggung jawabmu besar. Rasa persaudaraanmu tebal. Tapi selama kau belum resmi menjadi pemimpin di sini, kuharap kau menunggu apa yang
akan dikatakan Sang Panembahan nanti. Ayo, Dinda
Dwaralika...."
Pawungsari menggamit Dwaralika. Dwaralika menatap tajam pada Anengah dan berdua melangkah pergi.
Anengah masih lama termenung di depan pintu vang
terpalang itu. Matahari telah tinggi. Dari sudut matanya ia melihat sesosok
bayang-bayang orang di balik
bayang-bayang lumbung padepokan. Ia menghela napas
panjang dan berkata seorang diri, "Hhh... betapa berat
cobaan untuk Guru. Dan saat aku ingin mencoba meringankannya, ada saja orang yang tak mengerti. Ah, kalau saja aku punya kekuasaan yang lebih besar... Pasti
penyebab malapetaka ini sudah lama aku ringkus!"
Ia berbalik. Dan melangkah meninggalkan tempat
itu. Sengaja ia berjalan ke samping lumbung. Dan ia
bertemu dengan Rangga Prawangsa yang tampaknya
sedang berjalan menunduk tenggelam dalam pikiran dalam. "Oh, Tuanku Rangga... tuanku belum memperoleh
tempat untuk istirahat?" tanya Anengah. "Maaf jika tak
ada yang memperhatikan Tuan. Aku harus mengatur
persiapan upacara nanti malam."
"Tak apa. Sebagai seorang bekas prajurit tentu saja
aku tak kaget akan ketidaknyamanan tempatku berada.
Mhhh... ya. Namamu Anengah, bukan" Dari manakah
asalmu?" "Mohon diampun, Tuan... menurut cerita Bibi Madraka hamba ditemukannya dekat Hutan Lawor... ma

Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sih berumur dua tahun, demikian kata pwangkulun.
Hamba tak berani menanyakan lebih lanjut tentang asal-usul hamba... tetapi Hutan Lawor adalah daerah Daha, bahkan merupakan jalan besar ke Daha dari Kotaraja. Bukan tidak mungkin hamba mempunyai ayah-ibu
di Daha. Dan rasanya hal itu tak terlalu sukar untuk
diselidiki."
"Lalu Uttara?" Rangga Prawangsa bersandar ke dinding lumbung untuk menghindari terik matahari.
"Tara hampir mirip riwayatnya dengan hamba," Anengah seakan mendengus. "Hanya menurut cerita Bibi
Madraka dia ditemukan di Kamal Pandak, di tepi Sungai Bara. Riwayat hidupnya pun gelap...."
"Aku tadi menyaksikan kalian bertarung. Kepandaian kalian berimbang?" Rangga Prawangsa menyipitkan
matanya agar tak tampak bahwa matanya itu melirik
memperhatikan wajah Anengah. Anengah tampak semakin berwibawa dengan alis mata tebalnya berkerut.
Dadanya yang berhias bulu dada kini bersimbah peluh,
mengkilap dalam sinar matahari, memperlihatkan dada
yang lebar dan tangguh kokoh. Dengan tubuh tinggi besar dan cara berdirinya yang tegak itu, Anengah lebih
cocok untuk menjadi seorang panglima perang, pikir
Rangga Prawangsa. Atau... memangkah anak ini keturunan seorang ksatria Daha" Lebih-lebih lagi jika dikaitkan dengan perhatian
Bhre Daha pada murid muda di
Padepokan Rahtawu... apakah hubungannya lebih erat
dari yang bisa diduganya"
"Guru sangat adil dalam memberi pelajaran," kata
Anengah. "Tak ada siswa yang memperoleh lebih, tak
ada yang kurang. Pada akhirnya tergantung dari para
siswa itu sendiri. Mungkin apa yang dipelajari Tara sama dengan apa yang aku pelajari. Pada akhirnya, Guru
sendiri yang menentukan siapa yang sudah cukup matang untuk memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi. Sebagai
gambaran saja... Guru telah menurunkan Dharmacakra
padaku. Sedang pada Tara belum."
Kembali Rangga Prawangsa memperhatikan Anengah. Terdengar nada sedikit menyombong pada anak
muda itu. Atau, memang demikianlah sifatnya"
"Oh, ya. Bagaimana dengan siswa-siswa putri?" tanya Rangga Prawangsa.
"Mereka sesungguhnya hanyalah separuh siswa. Mereka asuhan Bibi Madraka. Tetapi Bapa Guru kami dengan murah hati menganugerahi mereka dengan ilmuilmu Padepokan Rahtawu. Sebulan sekali mereka dibawa kemari oleh Bibi Madraka. Ini sesungguhnya kebiasaan Bapa Guru dan Bibi Guru dari dulu. Ilmu pwangkulun berasal dari satu sumber yang juga kakak-adik pria dan wanita. Maka
pwangkulun berdua ingin meles-tarikan kebiasaan itu."
"Berapa jumlah mereka?"
"Mereka sesungguhnya..." Tiba-tiba Anengah berhenti berbicara. Beberapa orang wanita muncul membawa
tempat padi. Di antara mereka tampak Tari yang matanya bengkak karena menangis. Wanita-wanita lain
adalah anggota Padepokan Rahtawu sendiri. Mereka lewat di depan Rangga Prawangsa dan Anengah, diamdiam membungkuk memberi hormat. Mereka kemudian
menaiki tangga ke pintu lumbung
"Katamu tadi..." Rangga Prawangsa mengingatkan
Anengah saat para wanita itu sudah masuk ke dalam
lumbung. "Mmmh, maaf, Tuanku Rangga... tidak enak rasanya
kita berbicara di sini sementara semua orang bekerja.
Hamba akan pergi ke depan dulu...," Anengah mengisyaratkan sembah dan bergegas pergi.
Rangga Prawangsa termenung-menung sejenak,
memperhatikan kepergian Anengah. Kemudian ia memperhatikan pintu lumbung yang tinggi itu. Dan akhirnya
ia menggelengkan kepala, berjalan menunduk ke bangunan yang memiliki Ruang Sunyi itu.
Lama ia berdiri di depan bangunan tersebut. Sampai
kemudian terdengar langkah kaki mendatangi. Ternyata
Tari. Gadis itu terlihat terkejut melihat Rangga Prawangsa ada di situ. Ia bergegas menunduk menyembah
dan akan berlalu. Tetapi Rangga Prawangsa mencegahnya. "Tunggu, bukankah kau yang bernama Tari?" sapa
Rangga Prawangsa.
"Benar, Tuanku Rangga... namun mohon maaf,
hamba tak punya waktu untuk berbicara. Mohon beribu
maaf, Tuanku, hamba berlalu...." Dan Tari bergegas
pergi. Rangga Prawangsa ternganga. Gadis itu tidak secantik putri-putri Daha, memang, tetapi ada sesuatu yang
sangat menarik padanya. Pandang matanya yang tajam,
sikap wajahnya yang anggun. Bahkan pada saat membungkuk memberi hormat terasa bahwa hal itu seakan
dipaksakan. Juga jalannya... seakan tak acuh pada siapa pun. Dia akan menanyakannya pada Resi Rhagani nanti.
Malamnya, upacara untuk mendoakan para sukma
yang telah meninggalkan badan kasar mereka berjalan
khidmat. Dan mengharukan. Di antara doa yang dibacakan dan dinyanyikan bersama, teralun pula lengkingan tangis dan alunan ratapan. Ditambah dengan hawa
yang terasa luar biasa dinginnya, dan cuaca yang gelap
pekat, api unggun di halaman depan padepokan itu serasa tertelan cerianya. Upacara berlangsung terus hingga menjelang fajar, dan kemudian satu per satu jasad
mereka yang gugur diangkat ke luar untuk disemayamkan di halaman candi di luar lingkungan padepokan
guna menantikan upacara selanjutnya. Di pendapa depan, Resi Rhagani berdiri sunyi memperhatikan para
warga padepokan hampir tanpa suara mengalir ke luar
padepokan dengan membawa berbagai peralatan upacara. Tidak seperti biasanya pada upacara keagamaan,
maka beberapa warga padepokan telah mempersenjatai
diri dan mengikuti rombongan yang keluar itu sebagai
pengawal. Di atas pagar padepokan pun terlihat beberapa orang berjaga-jaga.
Akhirnya halaman depan itu sunyi. Dan gelap. Hanya beberapa obor yang masih menyala. Itu pun di tempat-tempat yang berjauhan. Ini membuat orang-orang
yang berada di pendapa itu bagaikan sosok-sosok
bayangan seram.
Mereka adalah Resi Rhagani, Dwaralika, Pawungsari,
Kanigara, Sodrakara, Tari, Anengah, dan Rangga Prawangsa. "Mari ke ruang baca... ada yang ingin aku bicarakan
dengan kalian," kata Resi Rhagani hampir berbisik. Dan
ia mendahului pergi. Langkahnya gontai, lemah. Dwaralika dan Pawungsari terlihat selalu bersiap di kirikanan junjungan mereka ini.
Ruang baca itu luas. Beberapa bumbung teronggok
di sudut, berisi gulungan-gulungan lontar tentang berbagai hal. Ada alas lantai yang empuk di situ. Dan lampu buah jarak yang tertancap di beberapa tempat di
dinding membuat tempat itu terang-benderang. Resi
Rhagani memberi isyarat agar mereka duduk melingkar.
Tak ada yang memiliki kedudukan lebih tinggi.
Beberapa saat sunyi. Dari luar sayup-sayup terdengar nyanyian doa pelepas mereka yang pergi.
"Kita semua berkumpul di sini. Kuharap kita telah
mewakili semua warga padepokan. Dan seorang orang
luar," Resi Rhagani berbicara lirih. Matanya menyapu
semua yang ada di situ. "Dwaralika dan Pawungsari mewakili kepercayaan warga padepokan yang bukan siswa.
Kanigara dan Anengah mewakili para siswa. Sodrakara
dan Tari mewakili siswa-siswa putri. Tuan Rangga mewakili kepentingan Wilwatikta. Dan aku ingin menjadi
wakil dari kehendak Hyang Agung. Tapi semuanya punya hak sama. Semua punya hak mengatakan pendapat. Dan apa pun keputusan yang kita ambil, akan kita
ambil berdasarkan kesepakatan kata."
Hening lagi. "Aku telah berbicara panjang-lebar dengan Tara. Semestinya ia diwakili di sini. Tapi ia telah melimpahkan kepercayaannya padaku,"
kata Sang Resi lagi. "Kuharap
semuanya mengerti hal ini."
Yang terdengar hanyalah gemerisik lampu di dinding
serta alunan lagu sedih dari luar.
"Singkatnya... menurut pengakuan Tara... ketika ia
dan Suranggana tiba di tempat ini, didapatinya mayatmayat bergelimpangan. Tak ada bekas luka ataupun sesuatu yang aneh. Pada wajah mereka yang meninggal
hanya terlihat air muka ketakutan yang amat sangat.
Ketika aku selidiki, ini adalah akibat Upas Gemet tingkat tujuh. Sangat berbeda
dengan Upas Gemet yang mengenai Dinda Madraka...." Sang Resi berhenti sebentar.
Bibi Madraka telah tiba siang tadi dan kini dirawat di
asrama wanita. "Upas Gemet tingkat tujuh ini sanggup membunuh dengan hanya
menempel pada kulit kor-bannya. Menurut Tara tidak ada pertanda perkelahian
sebelumnya. Jadi, kemungkinan si pembunuh dapat
mendekat tanpa dicurigai atau dapat bergerak sangat
cepat. Melihat wajah si pembunuh serta kesaktiannya
kemudian, Tara berpendapat kedua hal itulah yang terjadi." Dalam kesunyian itu keras sekali terdengar Tari
menghela napas panjang. Ia sendiri kaget karena itu.
"Saat itu, Suranggana dan Tara kemudian memutuskan untuk langsung menyelidiki. Tara dari bagian belakang padepokan, Suranggana dari bagian depan. Tara
menemukan pembunuh itu di puncak Menara Pemujaan. Tara bertarung melawan orang itu. Orang itu sangat cantik. Dan sangat sakti. Suatu saat ia sudah
hampir bisa membunuh Tara. Tapi pada saat itu Suranggana datang dari belakangnya. Dan melepaskan peluru andalannya. Orang itu roboh."
Resi Rhagani memandang ke arah langit hitam yang
tampak dari celah-celah dinding.
"Di sinilah terjadi kesalahpahaman yang berbuntut
sampai sekarang. Tara memang punya kesempatan untuk membuat orang itu cedera. Paling tidak melumpuhkannya. Tara tidak melakukannya. Katanya ia tak mengerti mengapa itu yang terjadi. Katanya, mungkin juga
ia terpengaruh oleh kecantikan orang itu. Atau, mungkin karena ia merasa sesungguhnya ia tadi diberi kelonggaran untuk bisa hidup sampai saat itu. Yang jelas, ia juga punya pikiran
untuk menangkap orang itu hidup-hidup. Itu semua terjadi dalam waktu sesaat. Kemudian muncul Suranggana. Ia langsung akan membunuh atau paling tidak mencederai orang itu dengan
kerisnya. Tara mengaku mencegah Suranggana. Dan tiba-tiba orang itu menyerang Suranggana. Hingga Suranggana cedera berat. Dan tewas. Nah, kita berkumpul
di sini untuk menentukan, apakah Tara bersalah. Dan
apa hukumannya. Coba Tuan Rangga, sebagai orang
luar, menyatakan pendapatnya."
Semua berpaling pada Rangga Prawangsa. Rangga ini
salah tingkah juga sedikit. Ia mendeham dan memelintir
kumisnya. Namun akhirnya ia berbicara.
"Bagiku... kesalahan Tara hanya satu. Ketika ia kemudian sadar, mestinya ia langsung mencari jejak
orang itu. Atau cepat lapor pada Sang Resi," Rangga
Prawangsa berbicara pada semuanya.
"Ia mencoba menolong Suranggana. Tapi begitu sadar, Suranggana menyerangnya. Dan menuduhnya berkomplot dengan pembunuh itu. Tara terguncang. Karena itulah tindakannya bagai orang mabuk. Dan ia harus mempertahankan diri dari serangan Suranggana,"
jawab Resi Rhagani.
"Jika begitu... kekeliruan Tara hanyalah usianya
yang masih muda. Dan pengalamannya yang masih kurang. Untuk itu ia tak bisa disalahkan. Kalau aku ditanya, semestinya ia dibebaskan saja. Kalaupun dihukum, maka ia harus mencari si pembunuh. Hanya dia
yang pernah melihat mukanya," kata Rangga Prawangsa, matanya tajam melihat berkeliling. "Itu pendapatku.
Lebih dari itu, aku ingin menyatakan suatu hal. Racun
Upas Gemet itu. Siapa yang pernah memilikinya?"
"Itu yang membuatku heran dari tadi," Resi Rhagani
berkata perlahan. "Tuan datang dari Daha membawa
berita tentang kemungkinan keturunan Wirabhumi
membalas dendam. Yang aneh adalah... keluarga Wirabhumi tak pernah menggunakan racun. Justru salah
seorang lawan keluarga Wirabhumi-lah yang terkenal
sebagai pemakai racun. Juru Pajarakan menggunakannya. Juga semua keluarga beliau. Tetapi keluarga ini
sangat memusuhi keluarga Wirabhumi. Kedua puterinya..." Resi Rhagani tak melanjutkan perkataannya.
"Kau bagaimana, Dwaralika?"
"Ampun, Panembahan. Hamba belum bisa menyerap
pelajaran yang Paduka berikan," Dwaralika menyembah. "Hamba seorang prajurit. Pemikiran hamba pemikiran prajurit. Tara melakukan kesalahan yang sangat
berat, yaitu memberi kesempatan pada musuh untuk
menguasainya. Jika musuh tidak memberi ampun padanya, pasti ia sudah dibunuh. Jadi... hamba kira hukuman itulah yang patut untuknya." Semua orang memandang terkejut pada Dwaralika. Terutama Anengah.
Ia sama sekali tak menyangka sikap Dwaralika akan
begitu. Terutama jika mengingat pembicaraannya tadi
siang. "Itu pun... jika pertemuan ini menyetujuinya."
"Mohon ampun, Panembahan... sebagai seorang prajurit juga, hamba sangat setuju pada pertimbangan dan
keputusan Dwaralika," sembah Pawungsari.
"Hm..." Resi Rhagani mengangguk-angguk. "Sodrakara?" "Si pembunuh sangat tak kenal ampun. Dan agaknya ada hubungan dengan si Buruk Muka yang telah
membuat cedera Guru junjungan hamba," sembah So

Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

drakara. "Tara telah memberi kesempatan pada makhluk itu untuk tetap bebas merajalela. Ia harus dihukum.
Apa hukumannya, terserah," sembah Sodrakara.
"Yang hamba takutkan adalah semua tindakannya
menunjukkan Tara tidak pantas merasuk ilmu-ilmu
tinggi yang diajarkan Guru," sembah Anengah tidak
menunggu untuk ditanya. "Jika hatinya selemah itu,
untuk apa ia mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Dan jika
hatinya tidak lemah, kemungkinan ia dikuasai oleh hasrat buruk setelah melihat wajah cantik. Ini berarti ia tidak punya pribadi yang
baik. Dan ini akan sangat berbahaya nanti jika ia berhasil menguasai ilmu Guru.
Pendapat hamba, binasakan dia sebelum jadi burung
garuda!" Hening. Semua menunggu Kanigara dan Tari.
"Mohon diampun, Bapa Guru," akhirnya Kanigara
berbicara. "Hamba sudah mengenal Tara dari kecil. Ia
punya banyak kelemahan. Yang tampak jelas ialah bahwa ia adil, baik hati, dan tidak tegaan. Hamba yakin
Tara tidak punya maksud apa-apa saat ia meloloskan
pembunuh itu. Mungkin ia merasa tidak adil untuk menyerang orang yang tak sadar. Mungkin ia hanya ingin
membalas budi. Mungkin... ia memang tidak tega. Semua itu toh sifat yang baik. Jadi kurasa... Tara jangan dihukum berat. Berilah
dia wejangan. Dan pengertian
tentang pahitnya hidup di dunia ini."
"Hm... ya...," Sang Resi mengangguk-angguk. Kini
beliau memandang Tari. "Dan kau, Tari?"
"Kakang... Tara... masih sangat muda... sarika* belum tahu... lebih mendalam...
tentang hubungan antar
manusia di dunia ini.... Dia masih... boleh dikata anakanak! Tak pantas ia
diberi tanggung jawab.... Harap...
harap ia diampuni!" Tiba-tiba Tari menekap mukanya
dan berlari keluar dari ruang baca itu.
"Tari!" panggil Resi Rhagani. Tetapi Tari telah hilang
di kegelapan malam.
* beliau 2. PENGEMBARA TARI berdiri sendiri. Ini puncak Batu Hitam, salah satu puncak bukit tertinggi
di Rahtawu. Ia tak bisa melihat
apa-apa. Sekelilingnya gelap-pekat. Langit pun gelap.
Mungkin awan di atas sana. Atau mendung. Bintangbintang pun tak terlihat.
Sering Tara berada di sini. Pemuda itu memang yang
menunjukkannya tempat ini. Memang mereka tidak
berdua - tiba-tiba pipi Tari terasa panas. Para murid
Madraka tak boleh berdua saja dengan murid pria Resi
Rhagani. Tapi... walaupun mereka bertiga atau berempat, sering Tari merasa bahwa Tara hanya memperhatikan dirinya. Memang Tara mungkin bercanda dengan
Lati. Atau dengan Gendar. Tapi Tari seakan tahu bahwa
sesungguhnya candaan Tara itu ditujukan padanya.
Sebulan lalu Tara mengajarkan tata gerak Birawadana Pria. Dan itu memang ditugaskan oleh Sang Resi.
Tari merasa jika Tara yang mengajar, maka seakan tidak belajar, segalanya bisa muncul sendiri. Lain dengan jika Anengah yang
mengajar. Segalanya terasa kaku, lebih kaku lagi karena semua seakan melihat
bahwa Ane- ngah hanya memperhatikan dirinya. Saat itu Tara juga
mengajarkan sedikit ilmu bintang. Ditunjukkannya bintang Jaka Belek. Bintang Weluku. Bintang Gubuk Penceng. Dan ah... berbagai ilmu pertanian yang berkenaan
dengan bintang. Lancar sekali Tara berbicara. Begitu
enak didengar hingga Tari tak bisa menangkapnya. Ia
lebih kesengsem mendengarkan suara Tara yang bagaikan berdendang.
Saat itu, tiba-tiba saja Tara terdiam. Memang ada
sekilas garis terang di langit. Meluncur dari selatan ke arah barat laut. Dan
ketika ditanya kenapa ia terdiam,
maka Tara hanya berkata bahwa akan terjadi perubahan besar-besaran dalam kehidupan mereka.
Inikah perubahan yang dimaksudkannya itu" Bahwa
ia akhirnya... harus mati dihukum"
Angin dingin meniup pipi Tari. Beberapa lembar rambutnya membelai mukanya. Tari hampir terisak. Tapi,
kenapa" Ia baru kenal Tara sejak... mungkin tiga tahun
yang lalu. Itu pun hanya sebulan sekali. Mengapa ia begitu sedih"
Terdengar langkah kaki di belakangnya. Tari heran.
Tapi ia langsung bersimpuh di batu hitam.
"Bibi Guru... Padukakah itu?" tanyanya. Bibi Madraka memang selalu dipanggil "Bibi" oleh murid-muridnya, sebab secara resmi mereka adalah murid Resi Rhagani - walaupun sesungguhnya lebih dari sembilan persepuluh pelajaran yang mereka dapat diperoleh dari Bibi Madraka. "Ya, Tari...," suara itu lembut. Dengan getaran lemah. Tari terkejut. Berpaling.
Bibi Madraka bagaikan bayang-bayang putih. Bagaikan hanya jubah putih melambai lemah. Bagaikan bukan manusia. Apalagi tangan kanannya kosong.
"Bibi Guru... mengapa... Bibi kemari...." Ketakutan
Tari mendekat bersimpuh di kaki gurunya.
"Karena kudengar kau menderita kesedihan yang
amat sangat, Tari...." Dengan tangan kirinya Bibi Madraka membelai kepala Tari.
"Tapi... Bibi masih luka parah...."
"Ah, apakah kau meremehkan daya penyembuhan
Bapa Gurumu, Tari" Aku sudah kuat untuk berjalan
kemari." "Tapi keadaan sangat berbahaya."
"Kalaupun aku tewas, aku rela. Kematianku mungkin adalah kehendak Dewata... untuk apa kuberatkan"
Yang jadi pikiranku adalah kau. Kau sesungguhnya
punya masa depan yang bisa kuandalkan. Pribadimu
baik, kecerdasanmu baik. Aku tak ingin kau merusak
dirimu, merusak masa depanmu hanya oleh persoalan
kecil ini."
"Kakang Tara adalah sahabat baikku, Bibi... ini bukan persoalan kecil...."
"Kaulihat tangan kananku, Tari?"
"Ya, Bibi...."
"Kau tahu kenapa Bapa Gurumu memotong tanganku itu?" "Ya, Guru. Agar racun tidak menguasai bagian tubuh
yang lain."
"Apakah aku sayang pada tanganku itu?"
"Tentu, Bibi."
"Dan Bapa Gurumu tahu hal itu?"
"Tentu, Bibi."
"Toh ia masih memotongnya juga. Demikian juga kakangmu Tara. Kurasa... semua orang menyukai anak
itu. Bapa Gurumu juga sayang padanya. Tapi ada suatu
hal yang tak bisa diperbaiki dalam sikap seseorang. Ada kelemahan Tara yang akan
berbahaya jika dibiarkan terus berkembang nanti. Setidak-tidaknya, begitu yang
kaudengar dalam pembicaraan tadi. Kau tentu punya
pendapat lain. Tapi kita sudah terbiasa mengikuti apa
yang disepakati oleh pertemuan...."
"Bibi setuju Kakang Tara dihukum mati?"
Bibi Madraka menghela napas. "Sesungguhnya, ini
adalah urusan di dalam rumah Kakang Resi. Kau dan
aku, hanyalah tamu. Seperti juga orang yang dari Daha
itu. Kalau kau, Sodrakara, orang Daha itu keluar, berapa orang di pertemuan itu yang membela Tara" Sesungguhnya mereka dapat mencapai sepakat bulat, Tari...."
"Tapi, Bibi..."
"Sudahlah, Tari, sesungguhnya aku datang kemari
untuk suatu maksud lain. Aku meninggalkan padepokan bukannya tidak diketahui oleh Bapa Gurumu,
ataupun bibimu Sodrakara. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan. Tindakan Kakang Resi memang cukup tepat. Nyawaku akan tertolong. Tapi betapapun bagian
tubuhku yang lain akan terkena. Terutama otakku. Aku
tak bisa merasa pasti bahwa apa yang aku miliki bisa
kusampaikan padamu... jika aku harus menunggu. Karenanya, bersiaplah untuk menerima wejanganku tentang ilmu Coban Saleksa."
"Ilmu Coban Saleksa?"
"Ya. Ini bukan ilmu kewiraan. Ini bukan ilmu kesaktian. Tetapi lebih mirip sebagai ilmu untuk menjaga diri.
Menurut cerita guruku yang begitu berbudi, Danyang
Sinom, beliau pernah terkena suatu penyakit yang amat
berat. Untuk pengobatannya beliau harus memusatkan
perhatiannya. Tetapi selalu tak berhasil. Kemudian kakak beliau, Panembahan Megatruh, menciptakan suatu
ilmu guna pemusatan perhatian itu. Karena beliau
menciptakannya di antara air terjun Seribu, maka ilmu
itu dinamakannya Coban Saleksa. Ilmu itu akan membuka aliran-aliran hidup dalam
tubuhmu. Membuka
otakmu. Membuat kau mudah mencapai ilmu-ilmu
yang kelak kemudian kaupelajari. Di samping itu, karena lancarnya peredaran kehidupan dalam tubuhmu,
kau akan punya suatu daya tolak yang luar biasa. Terus terang, karena ilmu itulah aku kini masih hidup.
Kakang Resi dalam gugupnya mungkin lupa akan ilmu
itu. Dengan diputuskannya salah satu aliran kehidupanku, maka ilmu itu sudah pecah. Dan... aku akan
terpaksa meninggalkanmu."
"Bibi!" Tari sangat terkejut, merangkul kedua kaki
gurunya. "Kau bukan anak kecil lagi, Tari," suara Bibi Madraka terdengar tegas. "Mundur dan lakukan langkah
penyucian yang tujuh!"
"Bibi..." Tiba-tiba air mata membanjir di pipi Tari. Ia tidak bergerak dari
tempatnya. "Ya, Tari...."
"Bukan hamba ingin melawan kehendak Guru... tapi
hamba merasa... begitu sedikit waktu hamba untuk
berbakti kepada Guru, untuk berterima kasih pada
Guru. Kalau itu pun tak bisa hamba lakukan, bagaimana jika hamba berterima kasih pada orang tua hamba"
Tapi... hamba pun tak tahu siapa dan di mana mereka...." Bibi Madraka merenung sejenak. Memang semua
murid yang diambilnya kebanyakan tak mengenal orang
tua mereka. Selalu diambilnya pada waktu mereka sangat kecil. "Bahkan Bapa Gurumu tidak tahu siapa engkau, Tari. Jika kau memang bersikeras ingin mengetahui asalusulmu, pergilah ke Gunung Lawu dan temui eyangeyang gurumu... Panembahan Megatruh atau Danyang
Sinom. Jika kau berkata bahwa kau telah memperoleh
izin dariku, maka mereka akan memberitahukan tentang ayah dan ibumu."
Kini Tari termenung. Kemudian ia berdatang sembah
dan mundur, menggumamkan mantra penyucian diri.
Tak berapa lama guru dan murid itu sudah melupakan keadaan di sekeliling mereka. Dengan sabar dan jelas Bibi Madraka menguraikan apa saja tentang Coban Saleksa. Bacaan ilmu itu
sendiri berbentuk kidung hingga agak mudah dihapalkan oleh Tari. Keterangan
tentang kata-kata yang ada di dalamnya memang agak
lama baru merasuk. Kemudian disusul oleh berbagai latihan pernapasan dan penerapan laku.
Dan akhirnya, ketika di ufuk timur fajar mulai menyingsing, terdengar Bibi Madraka berkata lemah, "Semua sudah kaumiliki Tari, kau tinggal melatihnya saja.
Jika itu sudah kaukuasai, maka... tanpa petunjukku
pun kau akan bisa menguasai banyak ilmu. Sekarang,
bersemadilah untuk memulihkan kekuatanmu."
"Baik, Bibi." Tari menutup mata, mengatur letak tangan dan kakinya. Kemudian ia mematikan diri terhadap apa saja yang terjadi di sekelilingnya.
Sinar matahari mulai menyentuh punggungnya saat
Tari memutuskan untuk membuka semadinya. Dihirupnya udara sejuk dalam-dalam. Seluruh tubuhnya terasa segar. Penuh semangat. Dan hati murungnya seakan lenyap. Dengan gembira ia langsung meloncat berdiri dan berkata, "Bibi... begitu besar kebaikan hati Paduka..." Ia tertegun.
Di depannya bukan Bibi Madraka. Di depannya berdiri Anengah. Pemuda itu tampak gagah dan seram.
Badannya berkeringat walaupun hari pagi dan hawa begitu dingin. Bertelanjang dada dengan sinar matahari
menonjolkan keperkasaannya. Dan dada itu kembangkempis menahan suatu perasaan hati. Lebih aneh, di
tangannya terpegang pedang telanjang.
"Kakang Anengah!" seru Tari kaget.
"Di mana dia?" tukas Anengah tegas.
"Dia" Jangan kurang ajar, Kakang Anengah, kenapa
begitu kasar dengan Bibi Guru?"
"Bibi Guru siapa" Oh, ya, bahkan Bibi Guru juga tak
ada. Di mana dia?"
"Lho. Dia siapa" Kau maksud pwangkulun guru ki-ta?" Tari menjelaskan.
"Jangan bergurau. Aku mencari dia. Si Tara!" bentak
Anengah. "Lhoh!" Tari makin terkejut. Mulutnya ternganga lebar. "Kaumaksud... Kakang Tara?"
"Goblok banget kau ini. Ya! Tara! Jangan pura-pura
tak mengerti!"
"Aku memang tak mengerti! Aku berada di sini semalaman dengan Bibi Madraka!"
"Lalu di mana pwangkulun?"
"Aku tak tahu. Aku baru saja semadi...."
"Huh. Jawaban ngawur... sudah. Sekarang, di mana
Tara?" "Aku tak tahu!" Tari menegaskan. "Apakah... apakah
dia melarikan diri?"
"Jangan pura-pura tak tahu. Kau pasti yang menolongnya. Dan pasti kauajak kemari. Ada jejaknya menuju tempat ini!"
"Tak mungkin. Kalau memang begitu, pasti paling tidak ia akan membangunkan aku."
"Mungkin juga sebetulnya kau tak bersemadi. Hanya


Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pura-pura saja. Sesungguhnya pasti kausembunyikan.
Ada dua jejak menuju kemari. Jejakmu. Dan jejak Tara.
Dengar, Tari. Jangan bersifat kekanak-kanakan. Semua
menjatuhkan hukuman mati pada Tara. Kalaupun kau
menolongnya sekarang, suatu saat hukuman itu pasti
jatuh ke kepalanya, tahu! Jadi katakan. Di mana kausembunyikan dia!"
"Aku tak tahu!"
"Aku tahu kau memang murid terkasih Sang Resi.
Tapi kau telah menggagalkan kehendak beliau! Jadi,
jangan membuat beliau marah. Mana dia!"
Sikap Anengah membuat Tari meluap marah. Tak terasa ia bertolak pinggang. Suaranya sedikit gemetar
saat berkata, "Kakang Anengah. Kalau kau menuduh
aku berdusta, lebih baik kita tak usah berbicara lagi."
Dengan geram Tari berpaling dan melangkah pergi.
Sekilas saja Anengah telah berada kembali di depannya.
"Aku tidak menuduhmu berdusta. Aku hanya bertanya di mana Tara!"
"Dan aku bilang tidak tahu! Aku semadi semalaman
di sini. Tanyakan pada Bibi Guru kalau tak percaya."
"Enak saja. Bibi Guru juga tak ada."
"Kalau begitu minggir saja, aku benar-benar tak tahu." "Paling tidak kau harus menghadap Bapa Guru lebih
dahulu." "Kalau saja tidak kausuruh, sesungguhnya aku memang akan menghadap pwangkulun. Sekarang... jika aku ke sana, kaukira aku takut
padamu!" Tari mencibir.
"Dasar kau masih anak-anak," dengus Anengah. "Ini
bukan soal takut atau tidak. Ini soal tanggung jawab!"
Lama mata bulat Tari menatap Anengah. Kemudian
ia pun mendengus. "Benar kata Lati."
"Apa?" Anengah heran.
"Sikapmu berubah sejak kedatangan Rangga Prawangsa." "Apa maksudmu?"
"Kau tahu Bhre Daha mengirim Rangga Prawangsa
kemari antara lain untuk menyelidiki keadaan siswa
termuda Bapa Guru. Tuan Rangga tak mengetahui nama siswa yang dimaksud oleh Bhre Daha. Kini kau bersikap penuh kematangan dan penuh tanggung jawab.
Untuk menarik perhatian sarika!"
"Gila!" desis Anengah. Marahnya meledak. Tapi bibirnya terlihat gemetar menahan suatu perasaan yang
bukan kemarahan. Kata-kata Tari telak mengenai sasaran. Dan ketajaman pandangan serta ketajaman lidah
gadis itu betul-betul terhunjam di hatinya. Dengan geram dia berkata, "Tari! Dalam urutan, aku adalah kakakmu. Aku berhak menghukummu sesuka hatiku.
Kau betul-betul bandel. Sekarang kuperintahkan padamu, katakan di mana Tara atau kuseret kau ke hadapan Bapa Guru!"
"Kaukira aku takut?" tantang Tari nekat. Ia marah
pada sikap Anengah. Ia marah karena Anengah tidak
membela Tara. Ia marah karena ia mengira Anengah
bersikap tidak jujur dalam hubungan dengan utusan
Bhre Daha. Ia ingin melampiaskan kebuntuan hatinya
pada sesuatu. Dan sesuatu itu saat ini adalah Anengah.
Ia nekat. "Gila!" desis Anengah. Gemetar tangannya menahan
diri. Sesaat seolah-olah akan menerjang Tari. Tapi kemudian ia seakan menelan kemarahannya. "Baiklah.
Aku tak ingin bertengkar dengan anak kecil. Sesukamulah. Tapi aku akan mencari Tara. Pasti kutemukan!"
Beberapa saat mata Anengah bagaikan membakar
Tari. Kemudian ia berpaling dan berlari ke arah timur.
Lama Tari termenung. Ada yang rasanya kurang pas.
Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dirinya.
Pertama, betulkah Tara hilang" Atau melarikan diri"
Atau... pokoknya lolos dari hukuman" Melarikan diri
rasanya tidak mungkin. Ruang Sunyi sulit untuk diterobos, apalagi kini dijaga ketat. Lagi pula, rasanya Tara tak akan sepengecut
itu... melarikan diri dari tanggung jawab. Lalu ke mana" Kedua... di mana Bibi
Madraka" Mustahil Anengah tak menemukannya" Ketiga... bagaimana pribadi Anengah sesungguhnya" Ia merasa tadi
saat ia menuduh, pemuda itu tampak terpukul. Tetapi
ternyata ia dapat menguasai diri. Mungkinkah ia tidak
berhati serendah itu" Keempat... ia sesungguhnya sedang bergembira karena telah memiliki ilmu Coban Saleksa. Memang ia masih banyak
harus berlatih. Yang jelas, ini suatu langkah yang hebat!
Angin bertiup keras. Rambutnya yang terurai agak
lengket oleh keringat. Ia berpaling ke arah barat. Agak
jauh di bawahnya, terlihat menara pemujaan. Dan Padepokan Rahtawu.
Tempat itu tak akan sama lagi. Apa pun yang terjadi
nanti, semua kenangan manis tentang tempat itu akan
terhapus. Mungkin ia akan membenci tempat itu.
Apakah lebih baik jika... jika ia tidak mengunjungi
tempat itu lagi" Ia bisa memohon pada Bibi Madraka
agar mulai saat itu ia tak usah pergi ke Rahtawu lagi.
Lebih baik mengikuti Bibi Madraka mengembara saja.
Tiba-tiba ia terkejut. Ada sesuatu yang aneh pada
padepokan di bawahnya itu. Tak ada asap mengepul. Ini
aneh. Isi padepokan itu masih cukup besar. Dan mereka pasti menghendaki makan. Tapi dapur sama sekali
tak berasap. Mungkinkah karena sedang berkabung"
Yang aneh lagi... ya... Tari mencoba mempertajam pandangan matanya. Tapi benar. Tak ada satu pun orang
tampak di halaman padepokan. Tak ada satu pun! Hei.
Cepat Tari berlari turun. Ada jalan setapak memang,
tapi jalan itu harus melewati berbagai semak-semak
dan batu-batu besar. Dengan gesit Tari berlompatan dari batu ke batu atau melesat menerobos semak-semak.
Dadanya semakin berdebar sewaktu ia semakin dekat. Padepokan itu sangat sunyi.
Di depan gapura ia ternganga. Gapura itu pun ternganga. Di halaman hanya ada beberapa belas ekor ayam.
Dan di lapangan ada beberapa ekor kambing. Tak ada
seorang manusia pun.
"Hei..." Tari melompat masuk. Gugup ia berlari menyeberangi halaman. Tak ada orang. Ia masuk ke pemukiman para wanita. Tak ada orang. Dapur pun sepi.
Tak ada orang! Tari berlari sampai ke halaman belakang. Ia masuk
ke biliknya. Bilik-bilik orang lain kosong. Barang-barang
yang ada hanyalah barang yang tak terlalu diperlukan.
Terdengar suara seseorang bergerak di luar bilik. Tari
cepat melompat ke luar lewat jendela.
Seseorang memang berdiri di halaman samping.
Anengah. "Kau?" Tari setengah bertanya setengah memanggil.
"Mereka sudah pergi. Kalau kau tadi cepat-cepat pulang mungkin kau masih bertemu dengan Bapa Guru,"
kata Anengah. "Mereka... pergi ke mana?" Tari makin heran.
Anengah duduk di pagar dalam, mempermainkan
pedangnya. "Tadi malam, Bapa Guru memutuskan untuk meninggalkan padepokan ini...," kata Anengah perlahan.
"Rombongan demi rombongan berangkat. Tujuannya
berbeda-beda. Hanya kepala rombongan kecil saja yang
tahu mereka akan ke mana. Rombongan Bapa Guru terakhir berangkat. Pagi tadi, sesungguhnya sebelum kami berangkat, Tara harus dihukum mati. Ternyata ia hilang." Anengah terdiam sesaat. "Juga ketahuan bahwa
kau tidak ada. Juga Bibi Guru. Aku ditugaskan mencarimu. Yang lain langsung berangkat sambil mencari
Tara." "Tadi kau menyuruhku menemui Bapa Guru!" tuduh
Tari. "Saat itu... mungkin kau masih bisa mengejar Bapa
Guru. Kau tak bertanya di mana pwangkulun. Kau langsung menuduhku yang bukanbukan. Terus terang, sesungguhnya ingin kau kutinggalkan saja. Hanya... aku
tak tega."
"Ke mana Bapa Guru?"
"Tak ada yang tahu. Bapa Guru tak ingin jatuh korban lebih banyak lagi."
"Lati" Rati?"
"Aku tak tahu. Tak akan ada yang tahu. Kecuali rombongan itu sendiri. Dan mungkin Bapa Guru."
"Kakang sendiri... mau ke mana?" Tari bingung.
Anengah lama tak menjawab. Ia turun dari pagar.
Berjalan menunduk di antara bangunan-bangunan
yang kosong. Sebuah batu ditendangnya. Batu itu terlontar dan pecah berkeping-keping. Ia berpaling. Berjalan mendekati Tari.
"Aku tak tahu. Perintah Bapa Guru agak membingungkan. Aku harus mengikutimu. Sungguh. Tak peduli ke mana pun kau pergi. Tugas utamaku mencari
Tara. Dan menghukumnya. Tugas kedua, mengikuti.
Hanya itu."
"Aneh!"
"Memang."
Keduanya termenung.
"Aku akan pulang ke..." Tari ragu-ragu.
"Itu adalah salah satu tempat yang dilarang dikunjungi oleh Bapa Guru. Pusat perguruanmu mungkin
adalah sasaran penyebar maut itu...," tukas Anengah.
"Mungkin Bibi Madraka pulang ke sana."
"Bibi Madraka entah pergi ke mana. Mungkin telah
diberi tahu Bapa Guru terlebih dahulu."
"Aku akan pulang. Aku tak peduli. Mungkin Bibi Madraka juga pulang ke Walirang. Dan mungkin sarika*
memerlukan bantuanku," Tari mengambil keputusan.
"Bapa Guru berkata tempat itu harus dihindari," kata Anengah. "Aku lebih khawatir akan keadaan Bibi Madraka."
"Kau berani menyalahi kata-kata Bapa Guru?"
Tari menunduk. Kemudian mengangguk. "Tak apa.
Aku tak punya maksud durhaka. Aku hanya ingin me* beliau nemui Bibi Madraka. Bapa Guru akan mengerti."
Tari bergegas ke asrama tempat ia tinggal. Diambilnya beberapa lembar kainnya, beberapa peralatan untuk bepergian jauh yang biasanya dibawa oleh temantemannya serombongan, sebuah topi pandan lebar, alas
kaki, karung beras, air... dan ia merenungi tongkat yang biasa dibawa oleh Bibi
Madraka. Tongkat dari jantung
kayu asam. Hitam mengkilap. Lurus dan keras. Ia memutuskan untuk membawa tongkat yang oleh kawankawannya diberi julukan "si Galih" itu. Si Galih dahulu sering dipakai untuk
menghukumnya jika ia salah gerak. Dan akhir-akhir ini dipakai untuk membantu
Bibi Madraka berjalan. Bukan karena sang guru itu harus
bertongkat, tetapi sekadar penopang serba guna saja.
Kadang-kadang bahkan bisa dipergunakan untuk senjata. Agak lama Tari memperhatikan tongkat itu. Hitam.
Halus. Mengkilap. Entah sudah berapa tahun umurnya.
Seingat Tari, sewaktu ia baru mulai diberi pelajaran tata gerak, tongkat itu
sudah ada. Pada umur lima tahun,
saat ia menerima pelajaran melompat, tongkat itu menjadi palang penghalang untuk loncatannya. Dan saat ia
mulai belajar memainkan senjata pada umur delapan
tahun, gurunya sering mengumpamakan tongkat itu
pedang. Atau tombak. Atau sekadar tinju lawan.
Kapankah tongkat ini akan kembali ke tangan pemiliknya" Tari tersentak dari lamunannya. Sayup-sayup didengarnya suara seruling.
Anengah tak dapat bermain suling. Atau, paling tidak
tidak semerdu itu. Tara... ya, dia pandai bermain suling.
Tapi tak mungkin dia. Orang lain yang pandai bermain
suling adalah... ah, itu pun tak mungkin. Si Gita, putra Paman Kanigara. Tapi
Gita masih kecil. Sedang lagu
ini... rasanya terlalu sulit bagi seorang anak gembala seperti Gita.
Tari bergegas keluar. Ke halaman yang begitu sepi.
Suara itu datang dari arah depan. Dengan membawa
buntalan barang-barang serta tongkatnya, Tari berlari
ke depan. Anengah berdiri di tengah pintu gerbang. Menghadap
ke luar. Dan di tengah padang rumput di depan pintu
gerbang itu, seseorang tampak duduk bersila di tanah.
Meniup seruling.
3. TANTRI "SIAPA DIA?" bisik Tari yang tak bersuara berdiri di belakang Anengah.
"Aku tak tahu. Dia belum mau berbicara. Entah kawan, entah lawan."
"Kurasa ia tak bermaksud jahat pada kita," bisik Tari
lagi. "Kalau tidak, kenapa ia menampakkan diri begitu
saja" Dan lagu yang dimainkannya adalah Kidung Sri
Gandra. Kidung itu berisi pesan persahabatan. Agaknya ia ingin bersahabat."
"Dasar kau tak punya pengalaman. Bisa saja ia menipu." "Kedengarannya ia orang yang terpelajar. Dan jujur.
Pasti ia bukan orang tidak baik."
"Biar kutanyai dia...."
"Jangan. Biar diselesaikannya dulu lagu itu." Baru
saja Tari selesai berkata begitu, irama seruling berubah.
Seakan gembira. Seakan tertawa. "Hei, ini bukan Kidung Sri Gandra," bisik Tari pada Anengah. "Sri Gandra tak bisa dimainkan
selincah itu. Aku tahu. Bibi Madraka sering menyanyikannya untukku waktu aku
masih kecil." Irama yang dilagukan masih lincah dan riang. Berlompat-lompat. Menggerakkan hati.
"Ah. Aku tahu. Ini lagu para nelayan di daerah Hu

Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jung Galuh. Aku ingat betul. Beberapa tahun yang lalu
aku diajak Bibi Madraka menyusuri Sungai Suwarna.
Dan di Hujung Galuh ada pesta besaaar sekali. Sebuah
kapal besar baru merapat. Para nelayannya berpestapora, dan lagu itu dimainkan. Lucu. Para wanitanya
menari dengan gaya yang aneh. Hanya maju-mundur
dan melenggang-lenggang. Bahasa mereka agak lain
dengan kita. Apakah orang ini dari sana."
Terdengar lagu berubah lagi. Kini mengalun-alun.
Seakan tiupan angin. Di sela sekali-sekali oleh lengking-an tinggi bagaikan
pekikan burung camar. "Ah, seperti
di laut, ya," bisik Tari.
"Huh. Kau pernah ke laut?" tanya Anengah, sedikit
terlihat rasa irinya.
"Pernah saja! Waktu itu aku berangkat dari Hujung
Galuh," Tari tak menyembunyikan rasa bangganya.
"Kau saja yang seperti katak di bawah tempurung. Kami
murid-murid Bibi Madraka sudah berkunjung ke mana
saja!" "Makanya ilmu kalian tak maju-maju," dengus Anengah. "Daripada maju tapi tak tahu utara-selatan," tukas
Tari asal membantah saja, kekanak-kanakannya muncul. "Kau pernah ke Kembang Putih, ke Kamal Pandak"
Tak mungkiiin!"
"Tapi kau ke tempat-tempat itu paling juga hanya
meminta-minta belas kasihan orang. Apa enaknya! Jalan jauh, capek, makanan tak keruan!" Anengah juga
lupa akan ke "angkeran" dirinya. Ia meladeni gaya kekanak-kanakan Tari. Sesaat Tari tercengang juga melihat gaya berbicara Anengah. Belum pernah Anengah
begitu bebas berbicara. Bebas dalam arti tidak terlalu
terkungkung oleh kepura-puraan dan basa-basi. Ya.
Mungkin itu yang terjadi. Mungkin Anengah bersikap
angkuh dan sok berwibawa untuk membedakan dirinya
dari siswa lain. Terutama Kang Tara yang selalu bercanda dan ceria. Mungkin... karena sekarang merasa
tak ada saingan, Anengah bisa kembali pada pribadi
yang menyenangkan. Tapi... rasanya tak akan ada yang
bisa menggantikan kedudukan Kang Tara.
"Anak tolol, apa yang sedang kaurenungkan?" tibatiba Anengah bertanya. Dan Tari tersentak dari lamunannya. Dirasakannya betapa janggalnya mereka. Entah bagaimana ia dan Anengah telah duduk seenaknya
di telundakan pintu gerbang, berhadapan, seolah-olah
tak ada hal lain yang harus mereka perhatikan.
"Jika kau memang maju, coba bagaimana kau bisa
melakukan langkah ke-26 dari Sura-caya tanpa tangan-mu harus terangkat, hayo!"
Tari melanjutkan suasana
yang mereka buat itu. Ia bersandar ke gapura, duduk
seenaknya dan tak menghiraukan suara seruling yang
mendayu-dayu itu.
"Mudah saja. Kautekuk kaki kananmu, kauputar
bahumu ke kiri, dan dengan menggelengkan kepala ke
kanan maka tubuhmu akan maju ke depan tanpa tanganmu terangkat. Itu pun kalau kau sudah melakukan langkah sebelumnya dengan benar. Jangan tanyakan langkah sebelumnya, sebab kemungkinan kau tidak mengujiku, tetapi memang bertanya!"
"Gila apa! Untuk apa bertanya padamu," Tari mencibir. "Hei, tanya saja padaku!" tiba-tiba sebuah suara melengking terdengar.
Keduanya menoleh. Ternyata orang
yang meniup seruling itu telah mendatangi. Dan kini tidak meniup seruling lagi. Dan kini tampak bahwa orang
itu bukannya orang dewasa, tetapi seorang anak lelaki
yang kemungkinan baru berumur sekitar dua belas
atau empat belas tahun. Wajahnya tampan sekali, malah mendekati cantik. Kulitnya kuning bersih. Matanya
bersinar-sinar. Ia memakai kain yang tampaknya sudah
berpuluh tahun tidak dicuci. Selembar kain kasar menutupi dadanya yang terbuka. Kainnya hanya diikat
dengan tali. Dan di tali itu terselip seruling putih dan sebuah kantungan bekal.
"Tanya saja padaku, pasti aku
jawab!" "Apakah kami mengajak bicara kanyu*" " sela Anengah. Kini sudah berubah lagi.
Kini seperti biasa: tajam, mantap, bersungguh-sungguh.
"Tentu saja tidak, tetapi kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi. Sejak tadi aku menunggu ditegur.
Wah, di sini kok sepi. Kabar yang kuterima mengatakan
di sini ramai!" anak itu menjawab seenaknya.
"Ramai karena apa?" Anengah tampak curiga. Dan
Tari bisa melihat bahwa tekanan yang beberapa saat ini
dirasakannya mulai muncul di wajahnya: marah, kesal,
putus asa, dan ketegangan. Pedang telanjangnya telah
diselipkan tanpa disarungkan ke ikat pinggangnya. Tapi
tangan kirinya seolah tak sengaja mendorong hulu pedang itu hingga maju dan mudah dicabut kapan saja.
Dalam hati Tari merasa bahwa ketegangan Anengah
pastilah sudah pada puncaknya. Anengah yang biasa
angkuh itu... masakan kalau perlu menghadapi anak ini
harus menggunakan pedang"
"Ya karena ada orang. Benar bukan, Kak...?" anak
itu meringis pada Tari. Giginya putih bersih, rata, dan bibirnya bahkan sedikit
memerah. "Lha kalau di hutan
* kamu kadang-kadang memang ramai... tapi ramainya hutan
lho, kan tidak cocok bagi kita manusia! Masa aku harus
berbicara dengan harimau, kijang... masih untung. Lha
kalau bicara dengan ular pakai bahasa apa, hayo!"
"Siapa dan dari mana kanyu?" Anengah sama sekali tidak tergoda untuk tersenyum,
walaupun Tari hampir
terkikik oleh lagu bicara anak itu yang begitu aneh.
"Namaku Tantri. Boleh dikata aku ini anak angin,
tak pernah punya tempat tinggal. Jadi kalau ditanya dari mana, yah... bagaimana, ya... pertanyaannya jangan
sulit-sulit ah. Kita sendiri siapa?" ia balas bertanya. Ta-pi pada waktu
bertanya siapa lawan bicaranya itu, anak
tadi tidak menghadap Anengah, malah menoleh pada
Tari. "Hei, kanyu bertanya padaku atau padaku?" Tari mencoba melepaskan beban di
hatinya dengan mengajak berbicara ringan dengan anak ini.
"Benar, pada kita dan pada kita," anak itu tertawa mendengar permainan kata
Tari. Kita memang berarti kau ataupun aku. "Suara nta bagus. Aku senang mendengarnya. Pikira nta indah, aku suka melihatnya. Pengalama nta luas, aku suka
berkelana di dalamnya...."
Mau tak mau Tari tertawa mendengar gaya bicara
anak itu. "Namamu Tantri" Namaku Tari. Dan ini..."
Kata-kata Tari terputus. Anengah melompat ke antara Tari dan Tantri, kakinya melecut ke arah tangan Tantri. Tantri menjerit keras. Tubuhnya yang kecil terlempar terpental dan jatuh terkangkang di tanah.
"Kakang Anengah!" Tari berteriak langsung melompat
mencegah tendangan kedua Anengah.
"Kau lupa peristiwa yang baru terjadi. Dan kau begitu saja mempercayai orang," dengus Anengah dengan
sikap masih akan melancarkan serangan. "Yang membunuh begitu banyak saudara-saudara kita adalah seorang wanita cantik yang katanya mirip bidadari. Apa
susahnya bagi seorang anak untuk mencabut nyawa juga?" Tari menelan kembali kata-kata marah yang akan
disemburkannya. Betapapun Anengah benar. Ia tak
kenal anak ini. Dan kemungkinan bahwa anak ini juga
diperalat oleh siapa pun yang memusuhi padepokan ini
masih ada. Tari melangkah mundur. Diliriknya anak
yang mengaku bernama Tantri itu berguling-guling di
tanah sambil memegang tangan kanannya yang tadi
terkena tendangan Anengah. Dan anak itu menangis!
"Hu hu huuuu... kalian sungguh galak..., sungguh
tidak sesuai dengan... dengan... sebagai murid-murid
padepokan yang mestinya... mestinya belajar mengasihi
sesamanya, hu hu huuuu. Makanya tempat kalian sepi
begini... paling semua orang lari, habis... habis kalian galak sih. Huhu
huuuu... walaupun kalian jaga kaki
gunung ini dengan pagar betis pun... pasti orang akan
lari semua. Hu hu hu... tapi, eh, isi padepokan ini kan tinggal kalian berdua
toh" Lalu... untuk apa kaki gunung kalian jaga?" dari menangis Tantri mengubah
si- kap jadi bertanya. Dia kini sudah berdiri sambil terus
mijit-mijit tangan kanannya. Tari melihat tangan itu
mulai memerah bagai terbakar. Itulah akibat tendangan
Birawadana Anengah tadi.
"Apa katamu?" tangan Anengah secepat kilat meluncur dan menyambar kain pembungkus badan Tantri.
"Eh, eh, apa aku salah bicara ya?" Tantri sangat ketakutan. "Kaubilang kaki gunung ini dijaga?" Anengah mengguncang-guncang tubuh anak itu.
"Be... benar! Apanya yang aneh" Kita pasti tahu itu, kan?"
Baru kini Tari sadar mengapa Anengah tampak begitu gusar. "Siapa yang menjaga" Di mana?" tanya Anengah.
"Eh, eh, jadi bukan kita" Orangnya galak-galak... di hutan yang ada jalan
setapaknya ke Kojajar?"
"Apa yang mereka lakukan?"
"Tadinya mereka melarang aku naik. Aku bilang aku
cari kambingku yang lepas. He he he he... aku pandai
bermain sandiwara lho! Dulu di..."
"Apakah mereka memakai seragam" Mereka memakai tanda-tanda?" tukas Anengah. Tari ikut tegang
mengikuti pembicaraan ini.
"Seragam" Tidak... tidak kok. Mereka malah lebih
mirip perampok. Mukanya menyeramkan, pakaiannya
tak keruan... cuma, pemimpinnya naik kuda. Dan di pelana kuda itu aku lihat cap bergambar.... Ya, ada gambar mirip Candrakapala..." Dan Tantri menirukan Candrakapala itu, yaitu
tengkorak yang bertaring.
"Candrakapala" Lambang Kadiri dulu?" Tari ikut
berbicara. "Lambang itu sudah lama hilang."
"He he he... aku juga bilang mirip. Rasanya sih bukan lambang Kadiri kok. Kalau Kadiri lambangnya begini," Tantri membelalakkan matanya lebar-lebar.
"Apa kata mereka?" Anengah masih mencengkeram
kain pembalut badan Tantri.
"Wuah. Mereka galak. Lebih galak dari kita," kata Tantri. "Mula-mula aku tak
boleh masuk. Kemudian
mereka memperbolehkan aku masuk. Tapi pemimpinnya bilang, barang siapa yang sudah naik gunung ini,
tak boleh keluar lagi. Harus dibunuh. Serem, ya" Mengapa kita buat peraturan aneh itu?"
Anengah mengempaskan Tantri ke tanah. Gemas ia
berbalik menghadap pintu gerbang padepokan. Tangannya mengepal keras. Tubuhnya tampak tegang.
Mau tak mau Tari harus berpendapat bahwa saudara
seperguruannya ini terlihat sangat memikirkan perguruannya. Kemudian Anengah berpaling lagi. Wajahnya begitu
muram. "Bapa Guru memerintahkan aku untuk selalu menjagamu, mengikutimu. Kau kularang pulang ke Walirang, karena itu larangan Bapa Guru. Kau tampaknya
kurang percaya padaku. Baiklah," Anengah menghela
napas panjang, "aku akan melanggar perintah Bapa
Guru. Harapanku hanyalah, suatu saat pwangkulun
akan memberiku ampun. Tugas utamaku mencari Tara,
itu akan kulaksanakan. Tugas keduaku menjaga engkau, tapi karena kau tak peduli, biar kulanggar tugas
itu. Aku rasa ada tugas lain yang lebih penting. Yaitu...
mencari siapa sebenarnya yang begitu membenci Rahtawu hingga ingin membasmi kami sedemikian rupa.
Nah, sekarang terserah kau, Tari. Jika kau pergi sendiri, dan suatu saat menemui
kesulitan, hubungi aku dengan getaran batinmu. Jika kau tewas di tangan seseorang, aku akan membalaskan dendammu. Terserah kau
mau ke mana."
"Tunggu, Kakang Anengah," Tari cepat mencegah
saat Anengah akan berpaling pergi. "Maafkan aku tadi...
begitu kasar padamu. Aku tahu... kau tertekan oleh peristiwa ini. Aku pun demikian. Kita bersaudara, tak ada yang bisa memutuskan
persaudaraan kita. Apalagi
hanya dengan pertengkaran kecil itu."
"Lalu?" hidung Anengah mengembang karena menahan haru. "Kau lebih tua dari aku. Aku akan ikut kau. Asal kita
segera berangkat."
"Aku ikut," kata Tantri. "Aku bisa mati kalau harus
melewati orang-orang di kaki gunung itu."
"Dengar. Aku masih mencurigaimu," dengus Anengah. "Aku... aku betul-betul orang baik-baik kok. Aku kemari hanya... ingin minta makan dan minum serta tempat istirahat beberapa hari. Itu saja. Benar. Kudengar
Padepokan Rahtawu sangat murah memberi dana...."
"Sudahlah, kalau kau mau ikut, ikutlah... tapi jangan bikin gara-gara, ya!" Tari menggamit tangan Tantri agar mendekat untuk
menghindari sambaran tangan
Anengah. "Hm, Tari, kau tak boleh begitu saja mempercayai
orang. Kauperhatikan dia terus. Jika dia berbuat sesuatu yang mencurigakan, bunuh. Tunggu, aku akan mengambil perbekalan."
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga sudah dalam perjalanan turun gunung. Anengah kini mengenakan pakaian petani, dengan caping lebar, kain kasar,
dan buntalan perbekalan di punggungnya. Pedangnya
dibungkus kain dan dijadikan pemikul buntalan tadi.
Tari juga berpakaian serupa. Tongkat si Galih dijadikan kayu pemikulnya. Tantri
tentu saja tak berubah penam-pilannya. "Untuk apa menyamar. Walaupun kita
menyamar pun orang takkan percaya kita petani. Aku sendiri... tanpa menyamar
orang pasti mengira aku orang
gila. Ya toh?" katanya.


Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menjelang sore hutan yang mereka tempuh mulai
menipis. "Hei, bukankah ini jurusan ke Kojajar?" tanya Tantri
tiba-tiba. "Di ujung jalan ini dijaga manusia galak!"
Anengah tak menjawab.
"Kakang Anengah ingin menyelidiki mereka," bisik
Tari. "Dan kurasa s arika ingin melampiaskan kemarahannya pada seseorang. Aku
juga begitu."
"Kita labrak mereka?" Mata Tantri bersinar.
"Ya. Kau takut?"
"Takut sih tidak. Tapi aku tak bisa berkelahi. Aku
nonton saja, ya" Kalau kita berdua kalah, aku pura-pura tidak kenal, jadi tak
ikut ditangkap, ya?"
"Kalau memang terjadi pertempuran, kau lari saja.
Ingat, ya?"
"Boleh!" Tantri mengeluarkan serulingnya, dan sambil berlari-lari kecil ia meniupkan lagu gembira pada serulingnya.
Anengah yang tak sabar telah menggunakan ilmu jalan cepatnya. Tari harus mengikutinya, maka ia pun
menggunakan ilmu yang sama. Tantri sendiri agaknya
tak memiliki ilmu apa pun, jadi ia harus berlari-lari kecil. Waktu Tantri meniup
seruling sambil berlari-lari kecil, Anengah melirik tajam pada anak itu. Dan
pandan- gan matanya bertemu dengan pandang mata Tari. Jika
memang Tantri tak punya ilmu, paling tidak ia harus terengah-engah. Kini dengan enak ia malah meniup seruling. Tiba-tiba Anengah berhenti dan menjulurkan kakinya. Tari dengan mudah melewatinya. Tetapi Tantri
langsung jatuh terbanting tunggang-langgang membentur kaki Anengah.
"Hei, kalau berhenti jangan terlalu tiba-tiba. Wah,
benjol kepalaku ini...." Tantri mengusap-usap dahinya
yang terbentur pohon. Tari memperhatikannya. Anengah mengangkat bahu. Ia merasakan dari benturan
tadi bahwa Tantri tak punya tenaga apa pun. Aneh juga.
Mereka melanjutkan perjalanan. Jalan kini kian melebar. Pepohonan pun kian menipis.
"Itu mereka," tiba-tiba Tantri berkata. Mereka berhenti. Di depan sana hutan berakhir. Jalan yang mereka lalui melebar di sebuah padang rumput kecil. Di
sisi padang rumput itu ada serumpun pohon bambu.
Rindang sekali. Dan beberapa lelaki duduk-duduk di
sana. Tak jauh dari mereka berkumpul beberapa ekor
kuda. Kemunculan Anengah, Tari, dan Tantri dari dalam hutan langsung membuat orang-orang itu berdiri.
Dengan sikap garang mereka mengambil kedudukan di
ujung jalan itu, hingga ke mana pun ketiga orang itu
pergi maka dengan mudah dapat mereka tangkap.
Tapi Anengah dan Tari bukanlah orang yang mudah
ditakut-takuti. Mereka tidak lari. Dengan tenang berjalan mendekat. "Hei, kamu!" seorang bertubuh tinggi besar dengan
rambut tumbuh hampir di seluruh tubuh membentak.
"Dari mana, hei?"
"Siapa kalian?" bentak Anengah tak kurang galaknya. "Monyet! Aku bertanya padamu, hei!"
"Terserah. Kalau kau tak mau menjawab, aku juga
tak mau menjawab!" sahut Anengah. Kedua orang itu
langsung berbicara dengan bahasa kasar, tidak seperti
biasanya jika seseorang jumpa di jalan dengan orang
lain. "Monyet! Namaku Kala Modot, kau pasti sudah dengar nama itu bukan" Aku raja perampok di daerah ini.
Nah, jawab pertanyaanku tadi!"
"Jika kau raja, mengapa kau merampok" Jika kau
raja perampok, jelas kami bukan rakyatmu, kami bukan
perampok kok!" Tantri ikut berbicara. "Lagi pula, jadi
raja perampok saja kok bangga sih?"
"Pokoknya, serahkan semua hartamu. Cepat!" geram
perampok yang bernama Kala Modot itu. "Lebih bagus
lagi, serahkan kepala kalian!"
"Kau terlalu serakah," dengus Anengah. "Ketahuilah,
ini masih daerah pengaruh Padepokan Rahtawu. Dan
sebagai murid Rahtawu, aku tak rela daerah ini dikotori
oleh orang-orang macam kau!"
"Weeee lhah! Kau murid Rahtawu! Wah, wah, wah,
untung besar ini kita, kawan-kawan...." Kala Modot tertawa dan berpaling pada kawan-kawannya. "Dapat makanan besar kita kali ini. Ha ha ha... Anak bagus, serahkan dirimu baik-baik saja ya, sayang kulitmu jika
pecah...." ia tertawa pula pada Anengah.
"Hari ini aku melanggar pantangan membunuh," kata Anengah dingin. "Akan kubasmi kalian semua. Tapi
jika kalian mau berterus terang tentang siapa yang menyuruh kalian berada di sini, mungkin nyawa kalian
masih bisa kuampuni."
"Weeee lhah! Lha ini lucu... kamu itu aku yang ngancam, Nak! Kamu tidak pantas mengancam orang! Sini...
mana lehermu biar kupotong sendiri sini...." Kala Modot tertawa mengulurkan
tangannya. Akibatnya hebat. Ta-hu-tahu saja orang bertubuh tinggi besar itu
terbanting begitu keras hingga suaranya membuat kuda-kuda
menjerit. "Bangsaat. Monyet! Celeng!" Kala Modot memakimaki bangkit. "Kamu tak bisa disayang, yah! Kawankawan... gempur!"
Serentak sekitar sembilan orang maju menerjang
Bloon Cari Jodoh 14 Beruang Salju Karya Sin Liong Pendekar Pemetik Harpa 28

Cari Blog Ini