Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut V I I I 2

Candika Dewi Penyebar Maut V I I I Bagian 2


"Ayolah melanjutkan perjalanan," akhirnya Pangeran
Jimbun mengajak.
4. KEBAKARAN! BEBERAPA bayangan hitam memasuki puri ketumenggungan. Wilwatikta. Beberapa di antara mereka langsung lenyap. Dua bergegas ke menara pemujaan.
Di kamar rahasia menara itu mereka bertemu. Tumenggung Gagak Sagara dan si Buyut yang cantik.
Dalam cahaya remang-remang mereka sesaat saling
pandang. "Itu tadi putramu" Si Sindura?" Tumenggung Gagak
Sagara mulai bersuara.
"Ya," sahut si Buyut singkat. Ia tampak termenung.
"Dinda tak bisa mempengaruhinya untuk memasuki
Dharmaputra kita?" tanya Sang Tumenggung lagi.
Si Buyut agaknya merasa pertanyaan itu tak perlu
dijawab. Ia memperhatikan suatu goresan kecil di tangannya. Diusapnya. Dan goresan tadi lenyap.
"Pemuda yang melemparku tadi, siapa dia?" akhirnya
ia bertanya. "Ia begitu kuat. Lemparannya menerobos
lingkaran pelindungku. Dan hantamanku rasanya tak
berbekas."
"Kurasa ia salah satu putra Arya Damar itu, Dinda.
Mungkin yang tua. Lemparan tombakku juga dipunahkannya. Mudah-mudahan Mpu Gagarang ikut melenyapkan jejak kita."
"Aku yakin itu. Yang aku pikirkan, Sindura pasti bisa
memikirkan apa yang telah terjadi. Dan ia akan lebih
bersiaga nanti. Kemudian... anak Arya Damar itu di luar perhitunganku." Tibatiba si Buyut terdiam dan cepat
menutupi mukanya dengan kerudungnya. "Ada orang
datang!" Tumenggung Gagak Sagara mengibaskan tangan dan
satu-satunya lampu yang ada di ruangan itu padam.
Berdua mereka mengintip ke luar.
Pekarangan luas itu tampak sepi. Remang-remang.
Gelap. Tumenggung Gagak Sagara hampir saja meragukan ketajaman telinga adiknya saat tiba-tiba saja dilihatnya sebuah bayangan
bergerak di bawah pohon sawo kecik di halaman belakang.
"Ke mana penjaga?" bisik Gagak Sagara dengan kening berkerut. "Ilmu sirep- nya lumayan juga," bisik si Buyut. "Kau temui dia."
Sekali bergerak, Tumenggung Gagak Sagara telah tak
ada di situ. Ia menyelinap ke luar, kemudian melompat
ke atap bangunan di sebelah pemujaan tadi, dan melompat turun ke tanah. Tanpa bersuara sedikit pun.
Di sebuah lorong dilihatnya seorang penjaga tergeletak. Pulas tertidur. Dan ia bergerak lebih cepat.
Bayang-bayang tadi dipergokinya di halaman dalam,
merapatkan tubuh ke sebuah tiang. Agaknya orang itu
ragu harus ke mana.
"Ehm," Tumenggung Gagak Sagara mendeham.
Dan sebagai balasannya mendadak saja tiga buah
peluru terbang melesat cepat ke arahnya. Sang Tumenggung tertawa pelan, mengulurkan tangan. Dengan
gesit tiga buah titik yang hampir tak terlihat di dalam gelap itu disambarnya.
Sesaat ia terkejut. Lemparan itu agaknya dilambari tenaga penuh hingga tangannya
terasa perih. "Hah, segala ilmu murahan Madakari berani kaupa-merkan di sini?" Gagak Sagara
berkata mengejek. Memang ilmu lempar tadi adalah ilmu lempar yang biasa
dimiliki oleh seorang anggota pasukan Bhayangkara.
Bukan ilmu yang aneh. Hanya tenaga lemparannya
membuat Gagak Sagara sesungguhnya kagum bercampur khawatir. Jika yang dihadapinya itu seorang anggota pasukan Bhayangkara, mengapa datangnya diamdiam" Lalu, dengan kekuatan sebesar itu, pastilah tingkat kepangkatannya di
istana pun tinggi. Apakah pihak
istana sudah mencurigainya" "Tunjukkan mukamu!"
Orang itu tidak menjawab. Tiba-tiba ia melompat ke
dalam kegelapan. Dan kembali beberapa peluru terbang
menerjang Gagak Sagara.
Kali ini Gagak Sagara tidak mau ambil risiko. Ia telah mencabut kerisnya, dan
dengan ketajaman mata dan te-linganya ia menghantam peluru-peluru yang menyambar datang sambil merangsek maju.
Dan ternyata orang itu lenyap.
Gila, kata Gagak Sagara dalam hati. Begitu cepatkah
orang itu bergerak"
"Huh. Ini sarangku, aku tahu setiap sudutnya... kau
mau sembunyi di mana?" geram Gagak Sagara mencoba
memancing orang itu keluar.
"He..." Baru akan melangkah lagi, Tumenggung Gagak Sagara jadi sangat terkejut. Terdengar beberapa ledakan hebat sekaligus. Dan
api pun mendadak berkobar hebat di empat penjuru pekarangan.
"Gila!" desis Tumenggung Gagak Sagara. "Berani benar kau!" Sambil menjerit hebat ia melompat tinggi ke
atas bubungan atap terdekat.
Bau belerang menyesakkan dada. Dan kobaran api
dengan cepat membesar hingga keadaan pun terangbenderang. Heran. Para prajurit dan penghuni puri serasa tak
ada yang terjaga. Hanya kobaran api yang membuat
bayang-bayang bergerak ribut. Dan dari luar puri orang-orang pun ribut
berdatangan. Suara kentongan pun dipukul bertalu-talu.
Hah. Sedemikian kuatnyakah ajian pembuat orang
tidur yang disebarkan musuh"
Di luar puri tampak beberapa belas orang telah berusaha memadamkan kebakaran. Dan puluhan orang
lagi berlarian mendekat.
Tiba-tiba dari sudut matanya ia melihat seseorang
bergerak. Bagaikan namanya, Gagak Sagara langsung
melompat menyambar dengan kegemasan dan kecemasan mengingat apa yang mungkin terjadi pada keluarganya. Sebuah hantaman dahsyat membuatnya terhuyung
hampir masuk api.
"Siapa kau?" bentaknya.
"Tak perlu kau tahu!" orang itu mendesis tak jelas. Ia jelas seorang wanita.
Berpakaian compang-camping.
Tangannya melemparkan beberapa peluru api dan ia
menghantam. Sekali lagi Sang Tumenggung terkesiap. Semua gerakan orang itu khas gerakan perwira Bhayangkara. Sederhana. Namun ganas. Dan sangat bertenaga.
Walaupun begitu, rasanya takkan sulit bagi Sang
Tumenggung untuk mengatasi orang itu. Sebaliknya,
rasanya tak mungkin orang itu bisa menaklukkan Sang
Tumenggung. Namun, di benak Sang Tumenggung begitu banyak pikiran berkelebat. Keluarganya. Terutama
putrinya. Harta bendanya. Rahasianya. Rumahnya. Dan
puluhan orang yang hiruk-pikuk di luar puri, bahkan
berusaha merobohkan puri dalam usaha membantu
memadamkan kebakaran.
Beberapa saat Gagak Sagara hanya bisa menahan
serangan. Kemudian dari sudut matanya ia pun melihat
bahwa 'si Buyut' pun telah terlibat pertempuran melawan seseorang. Mereka bertarung di atas atap dekat
menara pemujaan, dengan kobaran api di sekeliling mereka. Dalam hati Gagak Sagara mengeluh. Bagaimana keadaan keluarganya"
Dalam keadaan bimbang itulah sebuah sapuan kaki
yang hebat membuat Sang Tumenggung terpelanting.
Disusul hantaman telak tepat menerjang lambung.
Gagak Sagara membentak keras, memperkuat perlindungan diri terhadap serangan berikutnya. Tapi lawannya tidak langsung menyerang. Sebat tangannya
bergerak dan sebilah pedang panjang muncul, siap ditetakkan ke kepala Sang Tumenggung.
Saat itu Sang Tumenggung telah pasrah. Namun
saat itu pula puri depan roboh, bersamaan dengan berkelebatnya tiga buah bayang-bayang melesat masuk
menerjang kobaran api.
"Tahan!" seseorang menjerit, dan Sang Tumenggung
melihat pedang lawannya terhantam oleh sebutir batu,
tertepis ke kiri.
Seorang pemuda berdiri di antara Sang Tumenggung
dan penyerangnya, gagah menghadang dan berseru pada rekan-rekannya, "Paman Tumenggung! Bangunkan
orang puri. Dinda Sindura, bantu bibi itu!"
Pemuda itu pun langsung menyerang lawan Sang
Tumenggung. Namun agaknya sang lawan telah melihat
gelagat. Sebat ia melemparkan beberapa benda. Seketika itu juga di sekitar itu terdengar berbagai letusan
pendek, asap tebal mengepul, dan bau belerang menyesakkan dada. Juga terdengar sebuah suitan panjang.
Sementara itu Sindura telah melompat berlari menyeberangi halaman, menembus kepulan api dan asap.
Di halaman itu pun telah penuh oleh orang-orang yang
mencoba membantu memadamkan api atau sekadar
menonton. Bahkan ada pula yang malah berniat jahat,
menggunakan kesempatan untuk memasuki rumah
Sang Tumengung.
Di halaman belakang sesaat Ra Sindura tertegun.
Pangeran Jimbun tadi memang berteriak meminta agar
ia membantu si 'bibi itu'. Yang mana yang harus dibantunya" Di situ sedang bertarung dua sosok bayangan. Keduanya menutup muka dengan selembar kain gelap.
Bedanya, seorang menutupi seluruh tubuhnya dengan
semacam jubah. Yang satu lagi bertangan satu dan berjubah compang-camping.
Ada yang langsung menarik perhatian Sindura. Si
Tangan Satu itu jelas sangat terdesak. Dan... si Tangan Satu itu memakai tata
gerak Bantala Liwung! Bahkan hawa pukulannya juga menyiarkan perbawa ilmu
kesaktian Bhirawadana. Juga, orang ini jelas wanita....
Entah bagaimana pada jarak sejauh itu dan suasana
penuh asap seperti itu Pangeran Jimbun bisa mengetahui bahwa orang ini seorang wanita.
Itulah berbagai pikiran yang berkelebat di benak Ra
Sindura. Dan ia mengambil kesimpulan, si Tangan Satu
itulah yang perlu dibantu!
Ia pun langsung menerjang masuk. Dengan memperoleh akibat yang sangat di luar dugaan.
Pada saat tubuhnya melesat dari tanah, si Tangan
Satu memutar tubuh untuk menghindari serangan lawan dan menghantam Sindura dengan sepenuh tenaga.
Sebaliknya si Jubah Hitam saat itu juga tampak gugup
dan menyia-nyiakan kesempatan emas untuk mematikan lawan dan malah berpaling untuk menghadang serangan si Tangan Satu pada Sindura!
"He!" Sindura berseru terkejut. Serangan si Tangan
Satu itu begitu dahsyat dan cepat. Ia mencoba menghindar namun tak urung ia merasa betapa pukulan itu
akan sanggup masuk dan menghantamnya. Ia masih
sempat berteriak, "Singa Bramantya!" sebagai tanda pengenal sesama murid
Panembahan Megatruh. Namun
dadanya telah mulai sesak oleh hawa panas pukulan
Bhirawadana, dan hampir ia roboh. Saat itulah hantaman si Jubah Hitam datang
untuk menghadang kelanjutan pukulan si Tangan Satu.
Si Tangan Satu mungkin terkejut oleh seruan Sindura. Hantaman si Jubah Hitam nyaris masuk. Namun
Sindura ternyata berhasil memperkokoh kuda-kudanya
dan langsung menghantam si Jubah Hitam untuk melindungi si Tangan Satu!
"He!" terdengar seruan tertahan, kini dari si Jubah
Hitam. Hantaman Sindura agaknya tak terduga olehnya. Pada saat yang sangat tepat ia memutar diri hingga hantaman bertenaga dari
Sindura bukan hanya tidak
mengenai dirinya, tetapi langsung tersalur menghantam
si Tangan Satu!
"Murid murtad!" Si Tangan Satu kecipuhan meloncat
mundur. Jika tadi si Jubah Hitam menghantamnya,
paling tidak ia siap menerima. Tapi dengan pantulan
pukulan dari Sindura dirinya seakan terkurung dua kekuatan dahsyat. Walaupun ia berhasil keluar dari kalangan, tak urung terdengar derakan tulang patah dan
darah muncrat dari mulutnya. Terengah-engah ia terkapar di tanah. "Ja... jadi kau... antek... si... Candika itu... hah?"
Sindura terpaku. Candika" Orang berjubah hitam itu" Ia berpaling. Tapi si Jubah
Hitam telah lenyap dalam kepulan asap. Dan ketika ia akan berpaling lagi, dirasakannya tiupan angin peluru rahasia. Dia melompat
mundur saat beberapa ledakan terdengar. Asap mengepul dan bau belerang menyesakkan napas.
Seseorang melompat dan menyambar si Tangan Satu. 5. ALHAMDULILLAH!
"BAGAIMANA Sang Pangeran sendiri bisa turun tangan
membantu keluarga hamba dari kemusnahan, pastilah
itu, sudah kehendak Dewata. Hamba hanya mampu
mengucapkan terima kasih, lain tidak, dari hamba sekeluarga semua," sembah Tumenggung Gagak Sagara
sambil mendekap putrinya yang baru berumur lima tahun dan menangis tersedu-sedu di pangkuannya. Mereka berada di pendapa depan. Keluarga Sang Tumenggung hampir semua ada di situ. Juga Pangeran Jimbun,
Tumenggung Mpu Gagarang, Ra Sindura, dan beberapa
pengikut mereka. Di luar asap masih mengepul di antara puing-puing, dan prajurit ketumenggungan sedang
berusaha membersihkan semuanya dengan bantuan
beberapa puluh obor.
"Syukur alhamdulillah kami kebetulan berada di dekat sini, Paman Tumenggung."
Pangeran Jimbun tersenyum. "Agaknya keamanan di Ibukota ini sudah sangat rapuh. Kami baru saja diserang oleh serombongan


Candika Dewi Penyebar Maut V I I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang yang memakai tutup muka.... Mungkin juga orang-orang itu pula yang menyerang Paman."
"Wuah! Mereka berani berbuat begitu di Ibukota ini?"
Gagak Sagara tampak sangat terkejut. "Apakah wibawa
Wilwatikta sudah sedemikian lunturnya?"
"Aku sedang akan berangkat ke Kuripan, mungkin
sudah tinggal nama saja jika tidak terlindung oleh ketangkasan Dinda Sindura ini." Pangeran Jimbun menoleh pada Sindura yang tampak termangu-mangu.
"Keponakan Paman Tumenggung ini betul-betul pemuda yang luar biasa.... Kalau saja ada sepuluh pemuda
macam dia, insya Allah Wilwatikta akan kembali pa-mornya seperti di zaman Sang
Hayam Wuruk dahulu."
"Ah, aku sampai lupa pada keponakanku sendiri.
Bagaimana kau bisa berada di Wilwatikta ini, Sindura"
Dan bagaimana keadaan ibu serta adikmu?" tanya Gagak Sagara dan sesaat matanya yang bersemu merah
bersinar tajam.
"Mohon ampun, Paman... sebetulnya hamba sudah
beberapa hari ini ada di Wilwatikta, sebagai tahanan istana," kata Sindura
perlahan. "Hah" Apa?" Gagak Sagara tampak benar-benar terkejut. "Memang ini rahasia istana... tetapi kini hamba telah
dibebaskan... dan akan mengiringi junjungan hamba,
Sang Pangeran, ke Kuripan...."
"Oooh, begitu.... Aku tak tahu apa yang jadi kesalahanmu, Sindura, tetapi jika kau dalam naungan Sang
Pangeran pastilah kelak kau akan kelunturan berkahnya, begitu!" Sang Tumenggung memelintir kumisnya.
"Mudah-mudahan demikian, Paman. Mmhhh... ada
yang ingin hamba tanyakan... siapa bibi bertangan satu yang tadi bertarung di
dekat menara pemujaan, Paman?" tiba-tiba Sindura mengalihkan pembicaraan.
"Wuah, aku tidak tahu, Sindura. Aku hanya melihat
sekilas sementara pengacau lainnya menyerang dan
membakar rumahku. Pastilah dia ikut rombongan perampok itu... hmhh, dasar kurang ajar! Kalau saja aku
tidak terikat oleh kobaran api, pasti sudah kutangkap
dia!" kata Sang Tumenggung geram.
"Jadi dia boleh dibilang musuh, Paman" Maksud
hamba, dalam peristiwa ini?" Terdengar suara Sindura
begitu berhati-hati hingga Pangeran Jimbun pun menoleh memperhatikannya.
"Aku tak mengerti, dia menyerang ketumenggungan
ini karena benci padaku atau karena cinta hartaku,
hhh! Kukira dia hanya maling murahan. Mungkin ia
mendengar barang pesananku dari Palembang telah datang bersama rombongan Sang Pangeran Jimbun.
Mungkin itu pula sebabnya Paduka diserang, Pangeran." "Mohon ampun, Paman... jika wanita tangan satu itu
musuh..." Sindura matanya bersinar tajam seolah ia
menemukan pribadinya kembali sebagai salah seorang
benteng Kuripan.
"Maling kecil," tukas Gagak Sagara.
"Ya, maling kecil dalam istilah Paman.... Jika dia
maling kecil, siapa wanita berjubah hitam yang berusaha menangkapnya?"
Sesaat Sang Tumenggung tertegun, perlahan mengangsurkan putrinya pada salah seorang emban. Matanya melirik tajam pada keponakannya itu. "Mmmh, entahlah... mungkin dia seorang pendekar berbudi yang
kebetulan lewat.... Aku tak kenal dia."
"Aku kenal dia, Paman... dia salah seorang yang menyerang kami. Dia bahkan, kukira, dalang penyerangan
itu!" Kata-kata Ra Sindura sudah mirip tuduhan.
"Sindura, apa maksudmu?" Di luar masih hiruk-pikuk, tetapi pendapa itu serasa hening oleh dinginnya
nada tanya Sang Tumenggung.
"Hamba hanya heran. Jika si Tangan Satu jahat,
pastilah si Jubah Hitam baik. Tetapi hamba yakin si
Jubah Hitam-lah penyerang kami. Jadi dia jahat. Jadi...
si Tangan Satu mungkin baik!" Ra Sindura mengakhiri
kata-katanya dengan menarik napas panjang.
"Sindura, kamu jangan menarik kesimpulan yang
tak keruan. Aku sama sekali tak kenal keduanya.
Mungkin saja mereka berdua sesama maling yang mencoba berebut hartaku!" tukas Sang Tumenggung.
"Mungkin juga," Sindura menunduk. "Hanya..."
"Hanya apa lagi?" tanya Gagak Sagara agak sengit.
"Hamba melihat jelas si Tangan Satu tadi menggunakan ilmu tenaga Bhirawadana dan tata gerak Bantala Liwung. Lebih dari itu, ia
menegurku sebagai seorang murid murtad karena dikiranya aku membela si Jubah
Hitam. Ia mengenaliku sebagai murid Panembahan Megatruh. Setahu hamba, belum ada murid guruku yang
mulia begitu jatuh hingga jadi maling kecil."
"Sindura, kau masih hijau. Bagaimana kau bisa menarik kesimpulan begitu mudah?" desis Sang Tumenggung. "Mohon ampun jika itu kekeliruan hamba, Paman,"
Sindura menyembah dalam-dalam. "Tetapi si Tangan
Satu itu memanggil si Jubah Hitam sebagai... Candika!"
Nama itu bagaikan meledak dalam pertemuan tersebut. Semua memandang Sindura.
Kemudian diam-diam Sang Tumenggung tertawa.
Mula-mula ditahan. Kemudian meledak terpingkal-pingkal. Semua saling pandang. Kecuali Sindura yang masih
menunduk dalam-dalam.
"Maaf, Sang Pangeran... keponakanku ini memang
lucu," akhirnya Sang Tumenggung bisa menghentikan
tawanya. "Sindura... lalu kau menyimpulkan bahwa aku
komplotan si Candika itu" Sindura, Sindura... ini yang namanya dunia terbalik!
Jangan akal budimu tertutup
rasa dendammu oleh kematian ayahmu. Jangan akal
budimu tersaput oleh kekesalan atas tuduhan pada dirimu. Enak saja kau mengambil kesimpulan begitu
jauh!" "Hamba tak berani, Paman... tapi hamba juga tak berani mengabaikan hal-hal yang aneh seperti itu. Biarlah itu semua hamba simpan
dalam ingatan hamba saja,"
Sindura menghaturkan sembah.
"Darah muda memang selalu panas, dan tak sabar
untuk mengambil pertimbangan yang baik. Semoga
Sang Pangeran punya kesabaran untuk kauikuti, Sindura," kata Sang Tumenggung.
"Aku pun masih hijau, Paman," Pangeran Jimbun
mencoba meredakan kekakuan yang terjadi. "Jadi,
mungkin banyak nanti tindakan salah yang kulakukan.
Tetapi itu takkan mengurangi keberanianku untuk berbuat salah. Karena berani berbuat salah adalah salah
satu landasan agar kita bisa maju. Bukankah demikian" Nah, Paman... Paman harus beristirahat, sementara kami harus berangkat. Kupikir, inilah saat yang tepat untuk berpamitan...."
Pangeran Jimbun mengorak
silanya. *** Si wanita jembel bertangan satu itu memejamkan mata
rapat-rapat, mengerahkan segenap kekuatan batinnya.
Dan rekannya mengurut-urut punggung serta pinggangnya, juga sambil menyalurkan tenaga dalamnya.
Mereka berdua berada di dalam sebuah gua sempit
di pinggir sungai. Suasana pun gelap-gulita.
Akhirnya si Tangan Satu membuka matanya.
"Tak ada gunanya, Sodrakara," katanya lemah. "Aku
telah memaksa diriku untuk mengeluarkan tenaga terakhirku. Padahal... sesungguhnya... tenagaku sudah
tiada sama sekali.... Aku hanya selongsong kulit buruk yang tak ada isinya,"
orang tua itu tersengal-sengal.
"Kekecewaanku hanyalah... aku habis di tangan seorang
murid durhaka... tak peduli siapa pun dia...."
"Junjungan... percayalah pada kekuatan Paduka...
dan kemurahan hati Dewata," sembah rekannya, dan
mencoba mengurut punggung si Tangan Satu.
"Dengarkan baik-baik... Sodrakara... mungkin ini kata-kata terakhirku.... Carilah jalan agar kau bisa menemui Kakang Resi
Rhagani... usahakan agar para murid
Rahtawu bisa berkumpul lagi.... Aku yakin kunci rahasia Dewi Candika ada pada Tumenggung Gagak Sagara.
Kemudian... carilah siapa pemuda yang sanggup melancarkan aji Bhirawadana itu... rasanya tak sulit.... Guru kami yang mulia pasti
tahu... pemuda itu cukup tinggi
tingkatannya. Sayang anak itu membantu Candika....
Lalu... carilah Tari... suruh dia mencari Dahnyang Kali Lekso, suruh bilang
dialah pewaris Wesi Kuning...."
"Junjungan!" wanita yang dipanggil Sodrakara itu
menjerit. Si Tangan Satu mengembuskan napas terakhirnya.
Sesaat Sodrakara termangu-mangu. Kemudian ia
menjerit keras. Berlari menghambur ke luar. Ke dalam
kekelaman malam.
*** Angin malam seolah berhenti saat Sang Maharaja melangkah. Semua suara pun mendadak sunyi ketika
Sang Maharaja bersabda. Wewangian alam malu mengundurkan diri oleh keharuman yang memancar dari tubuh Baginda. Kekelaman pun sirna saat pandangan Baginda terpancar.
Baginda berada di lantai ketiga istana, bersandar pada pagar serambi di lantai itu. Malam di sekelilingnya tidak menyembunyikan
tubuhnya yang langsing semampai. Sekali Sang Maharaja Hyang Purwawisesa
mengangkat kepala, mengamati langit yang hitam. Bintang Waluku sudah bergulir ke kaki langit.
"Paman Aditya... kamukah itu?" Sang Maharaja bersabda. "Daulat, Sang Ahulun," sembah Menteri Wredda Dewaraja yang beringsut jongkok di
lantai, mendekat.
"Kamu telah menyuruh pergi putra si Damar?" tanya
Sang Maharaja. "Daulat, Sang Ahulun," sembah Sang Menteri Wredda. "Sang Pangeran telah berangkat malam ini juga menuju Kuripan."
"Apakah ada kesulitan?"
"Mohon diampun, Sang Ahulun, rasanya tidak."
"Agamanya yang baru?"
"Memang Sang Pangeran merasuk agama baru itu,
Sang Ahulun. Dan tampaknya betul-betul merasukinya.
Rasika menolak beberapa upacara keagamaan yang me-nyangkut keperluan pengukuhan
kepangeranan sarika."
"Hm..." Sang Maharaja menghela napas panjang.
Pandangannya menerawang langit hitam. "Anak itu ternyata bukan yang kita tunggu, Paman," sabdanya kemudian seolah mengeluh. "Kita mengharapkan munculnya bintang baru keturunan langsung Sang Kertarajasa... tapi agaknya itu tak terjadi saat aku masih bisa menatap langit...."
"Mungkin tanda-tandanya belum Sang Ahulun peroleh," hibur Menteri Wredda.
"Atau memang tak akan muncul. Anak Arya Damar
itu malah mungkin akan membakar Wilwatikta."
Begitu Sang Maharaja berhenti bersabda, sayupsayup terdengar suara ledakan perlahan, dan di langit
sebelah utara terlihat api berkobar merah.
Sang Menteri Wredda sesaat tertegun, kemudian menyembah dalam-dalam. "Sabda Paduka sungguh sabda
Dewata, Sang Ahulun" sembahnya.
"Tak usah mengerahkan pasukan pengawal, Paman
... api itu tak akan mencapai tempat ini. Seperti putra Arya Damar nanti... api
itu pun akan segera padam.
Tentang Dewi Candika itu... siapa sebenarnya dia?"
Api di sebelah utara itu berkobar membesar. Menteri
Wredda Dewaraja melirik sebentar ke arah api tersebut, baru menjawab, "Menurut
kabar yang dibawa angin, dia
adalah seorang pembenci keturunan Sang Kertarajasa.
Mengapa demikian, entahlah. Dalam urutan keturunan,
maka tersebutlah keluarga Yang Mulia Bhre Daha adalah yang terdekat. Disusul oleh keluarga Bhre Kuripan.
Dan Paduka sendiri, yakni keluarga Wengker. Hamba
dengar, Dewi Candika ini memakai siasat 'makan bubur
panas'. Yang kecil-kecil dan yang di pinggir dahulu yang jadi sasaran. Makin
lama makin ke tengah, pada saat
yang di tengah itu sudah dingin dan mudah dimakan."
"Dan kita belum tahu siapa Candika itu?"
"Hamba dengar dari Ra Sindura, orang itu sangat
cantik." "Sindura?"
"Benar, putra Rakryan Rangga Kuripan."
"Oh, dia..." Sang Maharaja memejamkan matanya
beberapa saat. "Ya. Seorang pemuda yang cerdas. Sayang tak ada tempat baginya kelak di Wilwatikta." Sang Raja memperhatikan
kobaran api yang kini mengecil di
kejauhan itu. "Baiklah. Kurasa tak ada lagi yang perlu kita bicarakan.
Persiapkan perjalanan kita ke Wengker
serta Upacara Sradda. Awasi terus putra si Damar itu.
Mungkin bisa dipetik di kemudian hari."
"Dipetik?" Menteri Wredda Dewaraja ingin bertanya
lagi, tetapi Sang Maharaja telah berpaling dan itu berarti ia harus mengundurkan
diri. *** Mereka beristirahat di tepi sungai. Sindura duduk di batu, dekat api. Dia merenungi Pangeran Jimbun dan beberapa pengikutnya yang sedang bersembahyang subuh. Mereka membuat gerakan-gerakan yang aneh di mata Sindura. Bersama-sama. Menggumamkan kata-kata
yang aneh. Kemudian selesai. Pangeran Jimbun berjalan mendekati Sindura yang kini merenungi kobaran api. Sindura cepat beringsut, namun Sang Pangeran mencegahnya, dan malah duduk di sampingnya, di sebatang
kayu kering. "Apa yang kaupikirkan?" tanya Sang Pangeran. "Kau
memikirkan keluargamu?"


Candika Dewi Penyebar Maut V I I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sang Pangeran sungguh waspada," kata Sindura
agak heran. "Begini, Sindura... kuharap kau memenuhi permintaanku," kata Sang Pangeran.
"Permintaan yang mana, Pangeran?"
"Aku hanya pangeran tanah seberang. Ayahku pun
sesungguhnya hanyalah orang buangan. Beliau dilempar ke Palembang hanya karena Sang Maharaja tidak
yakin, betulkah beliau dialiri darah murni keluarga Wilwatikta. Dari pihak
ibu... aku lebih jauh lagi. Ibuku bukan dari Tanah Jawa. Karenanya... kuminta
kau tidak memanggilku sebagai 'Pangeran'. Kalaupun kedudukanku tinggi, paling tinggi pastilah setaraf putra seorang rakryan. Seperti kau.
Jadi... panggil aku sebagai 'Kanda'
saja. Dan nama yang diberikan Ayahanda Adipati padaku adalah Patah. Raden Patah, karena kebangsawanan ayahandaku. Kau pun boleh
memanggilku dengan na-ma itu."
"Hamba tidak berani...."
"Harus. Untuk membuatmu sedikit lega, bolehlah ini
kauanggap sementara saja. Sebab aku punya rencana.... Aku merasa aku lahir di dunia ini demi mengemban tugas dari Yang Maha Besar. Aku harus ikut
menyebarkan agama Allah pada penduduk Tanah Jawa.
Untuk itu mungkin aku harus melawan banyak tantangan. Mungkin aku harus membentuk barisan. Pasukan, mungkin. Dan jika saat itu tiba, hanya karena jalur wibawa jabatan yang ada, kau boleh memanggilku
lain." Sindura melirik pemuda di sebelahnya itu. Sinar api
menerangi wajahnya yang berkulit cerah dan tampan
itu. Matanya yang agak sipit terlihat lebih sipit lagi ketika menentang api.
Tapi terlihat bahwa mata itu bersinar-sinar tajam dengan kemantapan pribadi.
Dan wajah itu menoleh padanya. Dengan suatu senyum hangat. Tak terasa Sindura bersimpuh menyembah. Kemudian bangkit dan duduk di samping pangeran dari Palembang itu. Menepuk paha Sang Pangeran dan berkata, "Jika itu yang Kakanda Patah kehendaki, baiklah.
Hanya... nama itu sungguh asing di lidahku."
Raden Patah tertawa.
"Itu adalah sebuah nama dalam bahasa negara dari
mana agamaku berasal," katanya. "Kelak, pada waktunya, akan kuceritakan lebih banyak tentang agamaku
itu. Sekarang katakan, apa yang kaurenungkan?"
"Kanda menebak tepat tadi," kata Sindura. "Keluargaku."
"Ayahandamu sudah almarhum, bukan" Maksudku,
sudah tiada?"
"Benar. Aku bahkan tidak tahu apakah upacara
penghormatan kepergiannya sudah dilakukan. Dan oleh
siapa. Uwa Mapatih begitu keras. Aku, sebagai putra le-laki keluargaku, tak bisa
menghadiri upacara apa pun.
Kalau itu ada. Hanya karena tuduhan yang tidak benar!" Di seberang api, Tumenggung Kuripan, Mpu Gagarang, tiba-tiba bangkit dan meninggalkan lingkaran cahaya api ungun.
"Paman Tumenggung agaknya tak pernah bisa menerima kenyataan bahwa bukan aku yang membunuh putranya," gumam Sindura.
"Apakah kau yakin bukan kau yang membunuhnya?" tanya Raden Patah.
"Hamba yakin. Dan menurut berita, Rakryan Mapatih juga berhasil membuktikannya. Sungguh mengerikan, kalau benar bahkan Uwa Mapatih tak sanggup
menghadapi Candika," kata Sindura.
"Aku belum pernah berhadapan dengan wanita perkasa," kata Raden Patah. "Biasanya karena kita memandang rendah lawan, maka lawan berhasil mengecoh
kita." "Padu... eh, Kanda lihat ketiga wanita di tempat Rakryan Tumenggung Wilwatikta tadi... yang berhadapan
dengan Rakryan Tumenggung dan yang bertangan satu" Juga yang berjubah hitam?"
"Ya, mereka agaknya punya kekuatan gaib... walaupun sesungguhnya kita pun tak usah takut, karena kekuatan Allah lebih dari segala-galanya."
"Tapi yang bertangan satu itu... siapa dia?" Sindura
menekap kepalanya. "Guruku hanya bercerita tentang
Resi Rhagani dan Bibi Madraka... tetapi tak pernah guruku berkata tentang seorang murid bertangan satu.
Kalau melihat kesaktiannya, pastilah bibi bertangan sa-tu itu memperoleh ilmu
langsung dari guruku yang mulia." Sindura menggelengkan kepala. "Sebaliknya, si
Wanita Berjubah Hitam itu menghantamnya dengan sangat telak. Jelas betapa tingginya ilmu si Hitam itu. Jika dia Dewi Candika,
rasanya tak akan ada yang bisa me-nandinginya... dan mungkin tak ada gunanya
kita ke Kuripan...."
Beberapa saat Raden Patah merenungi kata-kata
Sindura. Kemudian ia mengangguk. "Jika si Jubah Hitam itu benar Candika, mungkin ia sudah tahu maksud
kita dan mungkin kau yang diincarnya. Karena kukira
sampai saat ini hanya kaulah saksi hidup tentang Candika itu. Dalam hal ini, tak ada salahnya kita meneruskan perjalanan ke Kuripan. Pertama untuk menyelidiki perkembangan selanjutnya di sana. Mungkin juga
Rakryan Kanuruhan paling tidak bisa memberi kepastian apakah Candika lolos dari kepungannya. Kedua,
kuharap Candika akan terus mengincarmu. Jadi, kau
kita gunakan sebagai umpan. Dan ini memberiku suatu
pikiran baru. Agar umpan gampang mengena, lebih baik
kita berdua pergi lebih dahulu ke Kuripan. Jika memang Candika dan rombongannya mengincarmu, melihat kita hanya berdua, dan mereka mungkin tak tahu
siapa aku, maka mereka akan lebih bergairah untuk
menyerang kita."
"Hamba setuju itu, Kanda!" kata Sindura langsung.
"Bisa kita katakan pada orang-orang bahwa aku begitu
rindu pada ibuku hingga aku harus berangkat lebih cepat," ia menambahkan dengan berbisik. Dan tiba-tiba
tertegun. "Jika Kanda ingat apa kata-kata Rakryan Tumenggung Wilwatikta tadi, apakah Kanda merasakan
sesuatu yang aneh?"
"Ya. Aku pun merasakannya," sahut Raden Patah.
"Apa?" Sindura betul-betul heran. Apakah pangeran
ini begitu cerdas ataukah ia mempunyai daya penglihatan gaib" "Pertama beliau heran mengapa kau ada di Wilwatikta," kata Raden Patah. Dan Sindura betul-betul tercengang. Memang itu yang sedang dipikirkannya. "Kemudian, pada saat beliau panas oleh tuduhanmu, beliau mengatakan tentang kematian ayahmu dan tuduhan pada dirimu. Sesuatu yang mengisyaratkan bahwa
beliau sebenarnya paling tidak mengetahui apa yang telah terjadi...."
"Pang... Kanda, apakah Kanda memiliki ilmu meramal?" tanya Sindura heran.
"Tidak lebih darimu, Sindura. Kau pun pengamat
yang teliti." Raden Patah tersenyum. "Tetapi sesungguhnya itu tak berarti apa pun. Beliau mungkin tak ingin menyakiti hatimu. Tapi yah... dalam keadaan seperti ini, semua hal patut
dicurigai."
Mereka berhenti sejenak. Rakryan Tumenggung Kuripan muncul dari arah sungai. Raden Patah berdiri.
"Paman Tumenggung, aku ada usul," katanya. "Kami
akan berangkat lebih dulu. Aku dan Dinda Sindura. Tidak apa-apa. Hanya kurasa dengan hanya berdua kami
bisa bergerak lebih cepat. Paman Tumenggung dan
orang-orangku menyusul. Tak usah terburu-buru. Kami
pun takkan terlalu jauh di depan Anda semua."
"Tetapi... kenapa begitu mendadak...." Rakryan Tumenggung Kuripan tampak jelas sangat kaget.
"Tak ada alasan yang khusus, hanya Dinda Sindura
ingin segera bertemu dengan ibunya. Orangku, Iksan,
dapat Paman percayai untuk memimpin yang lain. Iksan, ambil kudaku dan siapkan kudamu untuk tunggangan Dinda Sindura ini."
"Baik, Junjungan!" Seorang pria bertubuh kecil dengan destar warna merah bergegas pergi ke tempat kuda tertambat. "Tapi, Pangeran..." Tumenggung Mpu Gagarang ingin
bicara lagi. "Sudahlah, Paman, tak apa-apa. Aku yakin kami berdua bisa saling menjaga. Apalagi jalan ke Kuripan kan
ramai.... Eh, Dinda Sindura, ada yang kaupikirkan?" tanya Raden Patah sambil
membetulkan ikat pinggangnya. "Mmm... Pa... Kakanda telah menebak tepat lagi," kata Sindura gugup.
"O, ya" Apa lagi?"
"Bahwa aku ingin segera bertemu ibuku," Sindura
pun merapikan letak kerisnya.
"Ah, itu kan mudah ditebak. Dinda sudah lama meninggalkan Kuripan. Dan Dinda belum beristri. Nah,
pasti yang dirindui ibu, bukan?" Raden Patah tertawa.
"Bukan hanya itu. Saat aku bertempur dengan si
Jubah Hitam tadi... entah bagaimana... aku seolah mencium keharuman yang biasa dipakai ibuku...."..Sindura
termenung. "Ah, Dinda Sindura. Itu pasti hanya khayalanmu belaka." "Tidak. Aku sangat yakin itu bau harumnya ibuku.
Cuma... rasanya memang tak mungkin. Karena itulah...
aku jadi ingin segera bertemu beliau"
6. TUN JADI REBUTAN
KITA melangkah surut ke belakang. Ke buku keenam.
Ke suatu tempat di tengah hutan lebat di daerah selatan. Ke sebuah pertempuran aneh.
Ada Tun Kumala di sana, si Rara Sindu yang menyamar menjadi pria dari tanah seberang. Ada Wisti,
pemuda yang mengaku saudagar wewangian dari Tosari, dan sesungguhnya adalah Dewi Wara Hita alias Sang
Candika sendiri. Ada pula Nyai Gadung, wanita tua perkasa yang sesungguhnya adalah Nyai Rahula, istri Panembahan Megatruh yang walaupun sudah tua, masih
bisa terbakar rasa sakit hati dan pergi meninggalkan
suami hanya karena urusan sepele. Ada Wara Huyeng,
bibi dan tangan kanan Wara Hita.
Dan para pelengkap penderita. Kusya, Ugra, Kena,
dan Santen. Anak buah Wara Hita yang bertugas membawa Tun Kumala ke sarang Wara Hita. Dan Ni Gori,
pelayan Nyai Gadung.
Ketika mereka kita tinggalkan, mereka sedang terlibat pertempuran aneh.
Sesungguhnya yang bertempur adalah Wara Huyeng
dan Nyai Gadung. Tapi pada suatu kesempatan, untuk
mengalihkan perhatian Nyai Gadung, Wara Huyeng
menghantam Tun Kumala dengan selendang birunya.
Tun Kumala jelas tak mengerti datangnya bahaya. Ni
Gori terpaksa bertindak. Bersamaan dengan Wisti alias
Wara Hita yang tak mau 'pemuda' pujaannya hancur
oleh ketegaan Huyeng. Dan ini berekor panjang.
Ni Gori terpaksa menyapu Tun Kumala. Tepat saat
Wara Hita mendatangi untuk menyelamatkan si Tun. Ni
Gori merasa akan diserang, dan secara serta-merta menyambut kedatangan Wara Hita dengan serangan. Wara
Hita merasa diserang, langsung menyambutnya dengan
perlindungan tenaga dan menyiapkan pukulan maut
untuk Ni Gori. Tun Kumala, sekali ini, tahu gelagat. Tidak seperti biasanya ia
melihat bahwa gerakan Wisti
merupakan ancaman bagi Ni Gori. Tak berpikir panjang
ia menutupi tubuh Ni Gori yang terjatuh dengan tubuhnya, mengira paling-paling hanya gebukan yang membuat rasa sakit sedikit. Hanya itu. Lain dengan Nyai
Gadung. Ia bisa merasakan wibawa pukulan Wisti yang
terarah ke Ni Gori dan kini merangkum Tun Kumala pula. Itu pukulan dengan wibawa maut yang sangat, mengingatkan dirinya pada pukulan seseorang. Pukulan itu
akan sanggup menghancurkan Ni Gori dan Tun Kumala
sekaligus. Ia sedikit tak peduli dengan Tun Kumala. Tetapi Ni Gori adalah
pelayan yang dikasihinya. Terpaksa ia memecah perhatian, melontarkan kayu
membara yang dipakainya sebagai senjata guna melawan Huyeng
ke arah Wara Hita. Dan ini membuka pertahanan dirinya terhadap serangan dari Wara Huyeng.
Terdengar beberapa jeritan sekaligus.
Wisti alias Wara Hita menjerit karena bara api tepat
menghantam telapak tangannya yang sedang menghantam dengan ajian Wajraprayaga. Semestinya saat itu tak ada apa pun yang sanggup
menyakitinya. Tetapi ternyata potongan kayu dengan ujung membara itu sanggup menembus perlindungan dirinya, dengan panas
yang begitu menusuk - dia yang sanggup memanggang
tangannya di api berkobar semalam suntuk! Ini saja sudah membuatnya sangat terkejut. Lebih terkejut lagi ia oleh gerakan berikutnya.
Tadi Wara Huyeng telah menjerit gembira karena merasa yakin selendangnya yang berbobot permata akan
langsung menembus pertahanan Nyai Gadung yang
lengah dan menerobos dadanya. Tapi pada saat yang
sangat genting itu, Nyai Gadung mengeluarkan ilmu
yang sesungguhnya bukan ilmu kadigdayan. Sewaktu
kecil, Nyai Gadung adalah anak seorang warok yang bersenjata cambuk dari
pintalan serat tebal sekali. Untuk menghibur si kecil ini, yang agak langka ada
pada keluarga besar warok, sang ayah sering menirukan gerak-gerik cambuk itu, yang
memang lucu jika diberdirikan. Dan si kecil pun diajari gerakan itu, berbagai gerak akrobatik yang
mengandalkan kelenturan tubuh. Hanya
untuk pelewat waktu saja. Tapi kali ini gerakan tersebut jadi sangat berarti.


Candika Dewi Penyebar Maut V I I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat ujung selendang Wara Huyeng hampir mengenai dadanya, dada itu seakan-akan bisa ditarik ke
dalam hingga melesak masuk sampai beberapa jari.
Kemudian dengan bertumpu pada ujung jari kaki, tubuh Nyai Gadung meliuk tiga kali bagai geliatan cacing.
Sambaran selendang Wara Huyeng hanya berhasil merobek kain penutup dada Nyai Gadung. Wara Huyeng
sendiri bagai tertarik oleh tenaga yang dikeluarkannya, dan sesaat ia terhuyung
ke depan. Nyai Gadung yang sangat khawatir akan keadaan Ni
Gori, dengan gemas meloncat tinggi dan menendang
wanita baju biru itu, sambil menggeser kedudukan agar
bisa menyerang Wara Hita.
Wara Hita yang tadi tersentak oleh serangan balik
Nyai Gadung, kini telah bersiap. Ia melihat wanita tua ini punya 'isi' dan itu
sesuatu yang sangat tidak disukainya. Ia menyalurkan aji sadapan gurunya,
Wajraprayaga, ke seluruh tubuhnya.
Sementara itu dengan gerak Bantala Liwung palsu pula Wara Huyeng telah memutar
tubuh dan siap menghantam dengan... Bhirawadana! Melihat sekilas sikap dan getar wibawa hawa
pukulan yang akan terlontar, Nyai Gadung sangat terkesiap. Sekilas terasa ia
seolah berlatih di Tasik Arga. Seolah ia berlatih dengan suami dan adik iparnya,
yang mencoba kedua ilmu itu
untuk mencoba menciptakan ilmu yang lebih tangguh.
Ia selalu ditempatkan dalam kedudukan terdesak hingga bisa dicarikan kemungkinan untuk mengatasi desakan tersebut. Seperti saat ini. Dan, lawan yang dihadapinya bukan suaminya serta
bukan adik iparnya. Sekilas
saja ia tahu bahwa banyak kekeliruan yang dibuat oleh
kedua lawan itu.
Ia membalas ganas dengan gerakan Rahula Arani an-dalannya. Disambarnya dua
batang ranting kering. Diangkatnya tinggi-tinggi dengan hanya berdiri dengan
kaki kiri, sementara seluruh tenaganya tersalur di kedua rantingnya. Dan sambil membentak dahsyat ia menyerang ke kedua arah!
Dan sekali lagi, Tun Kumala ikut campur.
Tadi sesak napasnya oleh hantaman dahsyat Wara
Hita. Dengan gangguan dari Nyai Gadung, memang sebagian besar daya pukulan Wara Hita punah. Sedikit
pusing ia mengangkat kepala, mengusap rambutnya
yang sangat pendek sementara ikat kepalanya entah
terbang ke mana. Dan samar-samar ia melihat tiga
orang yang agaknya saling siap membantai itu.
"Hei, jangan!" teriaknya, meloncat berdiri.
Saat itulah tiga tenaga dahsyat terlontar.
Tun Kumala tepat berdiri menutupi Nyai Gadung.
Hantaman Wara Huyeng langsung menghantam dadanya. Pada saat yang sama Rahula Arani pun dilontarkan oleh Nyai Gadung. Dan ilmu
tenaga rantai ini tak kenal pelindung, dapat menikung menghantam ke balik suatu
perisai bila perlu. Saat pandangan lawan terhalang oleh Tun Kumala, maka ranting
di tangan kanan Nyai Gadung menghajar kepala Wara Huyeng, sementara yang
kiri menusuk ke arah Wisti alias Wara Hita.
Wara Hita sempat tertegun oleh munculnya Tun Kumala di daerah pandangannya. Ia tak mengubah tenaganya. Ia hanya mengubah gerakan. Cepat membungkuk dan menghantam Nyai Gadung lewat bawah kaki
Tun Kumala. Terdengar jeritan hampir bersamaan.
Wara Huyeng terpental mundur sambil menekap mukanya yang serasa hangus oleh lecutan panas ranting
Nyai Gadung. Wara Hita roboh dengan tangan menekap
dada. Dari bahunya darah terlihat melebar membasahi
baju. Dan Nyai Gadung sendiri jatuh terduduk dengan
bibir rapat menahan sakit.
Tun Kumala yang terlempar ke samping cepat berdiri
dan roboh lagi. Kakinya serasa kehilangan tulang. Adalah Ni Gori yang dengan susah payah merangkak menghampiri Nyai Gadung.
"Guru...," bisiknya.
Nyai Gadung memberi isyarat agar Ni Gori diam.
Kemudian ia menuding pada Wara Huyeng, bertanya
serak, "Kau... murid... siapa?"
Kalau mengikuti kemauan hatinya, mau rasanya Wara Huyeng langsung menerjang saja. Tetapi mukanya
terasa sangat pedas panas. Dan ranting kayu di tangan
Nyai Gadung teracung begitu tepat. Kemana pun ia menerjang, ranting kayu itu akan menyambutnya dengan
maut. "Kau nenek tua mau mampus," desis maki Wara Huyeng. "Tak perlu kau tahu siapa guruku. Toh sebentar
lagi kau hancur jadi makanan cacing!"
"Dasar bocah ingusan." Nyai Gadung meringis. "Dengar. Kalau kaumaksudkan pukulanmu itu Bhirawadana, maka itu sungguh menggelikan. Mirip pun tidak!
Jadi, gurumu itu kalau tidak tolol ya gila. Teruskan saja berlatih seperti itu.
Dan umurmu takkan lebih dari dua bulan, mengerti!"
"Nenek tua tahu apa, kau!" Wara Huyeng geram melompat. Tapi terpaksa tertegun. Nyai Gadung tidak beranjak. Namun ranting di tangannya dengan tepat menebak ke mana Wara Huyeng akan berada.
"Majulah, tolol, dan kuhancurkan kepalamu yang
tanpa otak itu," kata Nyai Gadung, bengis dan penuh
perasaan. Sekilas timbul kebenciannya pada Bhirawadana yang dianggapnya palsu
ini. Ia menghormati Bhirawadana pada bentuk aslinya, karena itu adalah citra
dari sosok suaminya. Sedang Bhirawadana di tangan Nyai Sinom lebih bersifat
tidak bersungguh-sungguh,
bercanda dan kadang-kadang gila. Maka Bhirawadana Wara Huyeng, yang di mata
orang awam mungkin sudah sempurna namun di mata seorang seperti Nyai Gadung jelas banyak kekeliruannya itu, mengingatkannya
pada orang yang tak disukainya, Nyai Sinom. Ia pun
mengertak gigi menunggu.
"Tunggu, tunggu... ini hanya kesalahpahaman... kenapa harus dilanjutkan dengan permusuhan berat.
Saudara Wisti, sudahlah... kapan-kapan saja aku berkunjung ke tempatmu...." Susah payah Tun Kumala
bangkit. Kakinya masih terasa sangat lemas.
"Tidak, sebaiknya kau ikut kami," kata Wisti tegas.
Matanya bersinar tajam. Bukan karena Tun Kumala, tetapi karena wanita tua itu ternyata begitu mengenal
Bhirawadana. Hanya ia tahu agaknya wanita tua ini jauh di atas Resi Rhagani
ataupun Bibi Madraka yang
masih bisa dipermainkannya. "Pertama, kau sudah berjanji akan mengunjungiku. Kedua, aku sudah datang
kemari untuk menjemputmu. Seyogyanya kau tak menyalahi janjimu. Sebagai laki-laki, alangkah naifnya jika seenaknya kau mengubah
janji." "Ya... betul juga...." Sesungguhnya Tun Kumala hanya ragu-ragu bagaimana caranya agar kedua pihak tidak meneruskan pertempuran. "Baiklah... asal... kalian tidak mengganggu bibi
ini, boleh aku ikut denganmu...."
"Tidak," tukas Ni Gori. "Sedikit-banyak kami sudah
berkorban bagi Tuan, membela Tuan... dan Tuan akhirnya toh akan ikut mereka?"
Tun Kumala tergagap. Betul juga. Lagi pula dilihatnya walaupun masih berdiri gagah Nyai Gadung tampak
tak bebas bergerak.
"Kau tampaknya orang baik-baik, Tuan... kuharap
kau tak bergaul dengan mereka," desis Nyai Gadung.
"Hei, kau nenek tua usil amat sih... dia toh belum
tentu jadi menantumu... kok enak saja kau meributkan
dia!" tukas Wara Huyeng waspada, mencari kedudukan
baru. "Dia toh bukan majikanmu, kenapa kau begitu
memberatkan dia, sih?" Ni Gori mencoba bersuara ketus. "Jangan dikira kalau dia mengikuti nenekmu itu dia
akan kesudian ia melirikmu, huh?" dengus Wara Huyeng. "Sudah, sudah... Dengar, Saudara Wisti, walaupun
kita baru jumpa, aku merasa kita sudah bersahabat begitu lama. Rasanya jika kita berpisah untuk beberapa
waktu lagi, tak apa-apa. Sebaliknya bibi ini... terus terang... aku memang telah
berutang budi pada mereka.
Tolong, biarkan kami pergi," pinta Tun Kumala.
"Tidak!" Wisti berkata dengan mata beringas. Ia pun
memberi isyarat agar para anak buahnya mulai mengepung. "Kau ikut kami, atau kalian semua boleh pergi
tanpa nyawa."
"Lho, lho, jangan begitu... wah, repot.... Bibi, bagaimana kalau kita semua ikut
mereka saja?" bingung Tun
Kumala memohon pada Nyai Gadung.
"Kami tak akan bisa bergaul dengan sekelompok bajul, Tuan... Tuan pun tidak. Jangan takut. Ia hanya
menggertak sambal saja. Mana berani ia maju hanya
dengan ilmu palsu itu" Bahkan ilmu Wajraprayaga pun terbalik-balik!"
Kata-kata Nyai Gadung itu bagaikan halilintar menyambar di siang bolong. Tadi Wara Hita masih raguragu akan ketangguhan Nyai Gadung. Kini ternyata wanita tua itu begitu luas pengetahuannya, hingga dengan sekilas melihat ia tahu
ilmu yang digunakannya. Ini sesungguhnya tak perlu diherankan. Pada dasarnya
Wajraprayaga adalah ilmu para pangeran di keraton Wilwatikta, sementara Nyai
Gadung, sewaktu masih kanak-kanak, adalah adik angkat seorang pangeran yang
sangat badung. Mata Nyai Gadung yang jeli juga melihat perubahan
di wajah Wara Hita, maka ia pun tertawa mengejek, "Hi
hi hi... jangan kaukira kau sudah bisa membakar langit, tolol. Apa pun yang akan
kaulakukan aku bisa memu-nahkannya dan bahkan menghancurkanmu. Seranglah
aku!" Perlahan Nyai Gadung melangkah, menyisihkan
Ni Gori. "Ayo, siapa mau maju lebih dahulu?"
Melihat ini tiba-tiba Wara Hita memberi isyarat pada
Kusya untuk menyerang, sementara kerjapan matanya
meminta Wara Huyeng mundur menjaga dirinya.
Kusya melihat sesungguhnya ia pasti bukan tandingan si nenek. Tetapi ia merasa bahwa ia harus mendapat
hukuman, dan inilah hukumannya.
"Butsir!" ia menjerit tiba-tiba. Dan ketiga rekannya
langsung menerjang dari kedudukan masing-masing
dengan keris terhunus karena senjata utama mereka telah rontok sebelumnya. Mereka berlompatan ganas. Menerjang seolah tanpa memperhatikan keamanan diri. Ni
Gori menjerit mencoba mempertahankan diri dengan
melempar-lemparkan batu dan pasir. Tun Kumala terbengong-bengong ketakutan melihat keempat orang kasar itu berlompatan tak keruan sambil menjerit-jerit seram. Nyai Gadung tenang
saja. Beberapa kali tangannya
bergerak. Kedua ranting di tangannya meluncur cepat.
Menghantam kepala Santen dan Kena. Kedua orang itu
roboh terempas sementara kedua ranting tersebut meluncur balik ke tangan Nyai Gadung. Inilah Rahula Arani di puncak keunggulannya,
di mana senjata yang dile-pas bagaikan terikat dengan rantai dan masih bisa
ditarik kembali oleh suatu tenaga yang tak terlihat.
Kusya baru saja menjejakkan kaki di dekat Nyai Gadung. Dan ia begitu lega bisa menghindari sebilah ranting nenek itu. Namun,
ketika ia melompat untuk menusukkan kerisnya pada wanita tua yang sedari tadi tak
beranjak dari tempatnya itu, ranting kedua menyusul
dari arah kiri, langsung menembus dadanya. Ugra terkejut hingga terpeleset. Ia terlambat menoleh. Ranting Nyai Gadung menghantam
pecah kepalanya.
Nyai Gadung menyeringai. "Ini adalah pertama kali
aku membuka pantangan membunuh. Kau sungguh tegaan membiarkan anak buahmu mati konyol. Orang
macam begitukah yang ingin kauajak bersahabat,
Tuan?" ia bertanya pada Tun Kumala.
Lama sekali Tun Kumala tak bisa berbicara. Wajahnya pucat-pasi, bibirnya bergetar keras. Dan semua
orang menunggu.
"Bagaimana, Tuan" Dan bagaimana, kalian tukang
palsu ilmu orang?"
"Aku... aku tak bisa mengerti ini...," hampir Tun Kumala menangis. "Hanya karena perkara kecil, kalian tega main bunuh! Tidak! Aku takkan mau ikut siapa pun!
Semua menyimpan nafsu ganas di balik keramahan dan
kelemahlembutan. Huh! Apa sebenarnya aku ini hingga
jadi rebutan?" geram sekali Tun Kumala membanting
kaki dan mengangkat kepala gusar. "Kalau saja Paman... pamanku di sini, pasti kalian langsung dijadikan mangsa harimau di
istana!" Ia teringat akan Rakryan
Mapatih. Di mana dia" Belum juga nyusul" Ia dulu
memang bertekad untuk mencari jejak si Candika yang
mencelakakan kakaknya. Dan ia bertekad untuk menghadapi tantangan macam apa pun. Pengalaman di tempat Nyai Emban Layarmega sudah membuatnya merinding. Ini lagi... pakai pembunuhan segala. Ih!
"Nenek, bangsa cecunguk rendahan memang mudah
kautaklukkan. Tapi mampukah kau menundukkan kami berdua, walaupun kaubilang ilmu kami palsu?" Wara
Huyeng bertanya bersungguh-sungguh, seraya mengambil kedudukan menyerang.
"Majulah. Sekali pantangan membunuhku kuabaikan, aku akan membunuh terus, tak peduli cecunguk
rendahan ataupun tinggian," kata Nyai Gadung, menggeser kaki pula.Aku punya usul lebih baik," tukas Wisti alias Wara?"Hita dingin. "Aku merasa kita berdua dipermainkan orang tanah seberang itu!" Jarinya tegas menuding Tun
Kumala. Matanya pun beringas kini. Maksudnya tak
kesampaian, jadi Tun Kumala harus dibinasakan. "Kita
baik-baik mengundang dia sebagai tamu. Kita bahkan
bertarung. Anak buahku bahkan tewas. Semua garagara dia. Kini enak saja dia meninggalkan kita. Aku
usulkan, kita binasakan saja dia. Jadi di antara kita boleh dibilang tak ada
ganjelan apa pun! Bagaimana?"
"Hah?" Nyai Gadung terkejut.
"Apa?" Tun Kumala lebih lagi terkejut.
"Ya," kata Wisti lagi, merapikan kain agar bisa bergerak leluasa jika nanti terjadi pertempuran. "Aku tidak tahu siapa kau, Bibi...
yang pasti, kau gagah, kau sakti.
Kau tahu dengan tepat kelemahan ilmuku. Kurasa, kau
bahkan patut jadi guruku. Paling tidak, bersahabatlah.


Candika Dewi Penyebar Maut V I I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena orang gagah lebih patut berteman dengan orang
gagah. Bukan orang lemah seperti dia." Jarinya menuding lurus pada Tun Kumala. "Satu-satunya halangan
hanyalah dia. Karena itu, mari kita binasakan dia. Kita jadikan dia sasaran
untuk mencoba ilmu kita. Untuk
apa kita bertengkar, kalau kita sama-sama tak dapat?"
"He, sedemikian liarnya kau..." Tun Kumala sampai
tak bisa menemukan kata-kata yang tepat.
"Anak buahku mungkin jahat, tetapi mereka toh melaksanakan perintahku. Tapi orang ini... ia tak punya
pendirian! Dan itu jauh lebih jahat! Dengar. Bibi tadi bilang Wajraprayaga- ku
tidak benar. Coba. Akan kuhan-tam dia dengan Wajraprayaga palsuku, dan Bibi
katakan mana yang tidak benar!"
"Eh, kau ini bagaimana sih" Enak saja kau membuatku sebagai korban! Gara-gara kau tak berani melawan
Bibi ini saja..." Tak urung Tun Kumala khawatir. Bagaimana kalau Nyai Gadung menyetujui rencana gila
Wisti" Diam-diam ia melirik orang tua itu.
Nyai Gadung tertawa tak bersuara. Kini ia bersandar
pada bahu Ni Gori. Tetapi kedudukan kakinya masih
mantap. "Usul yang bagus, Tuan," katanya, membuat
Tun Kumala sangat terkejut. "Kau boleh memukulnya.
Tapi bagaimana kalau ia membalas pukulanmu" Kaukira ia tak mampu berbuat itu?"
"Dia" Membalasku" Sungguh geli!" Wisti betul-betul
tertawa. "Kuperhatikan dari tadi, ia sesungguhnya kosong! Tun Kumala, kau toh tak bisa apa-apa, bukan"
Walaupun... bisa, takkan ada gunanya. Malah akan
membuat permainan ini menyenangkan, bukan?"
"Memang," kata Nyai Gadung. "Apalagi jika ia juga
membalas dengan Wajraprayaga!"
"Dia... mengerti Wajraprayaga?" Tiba-tiba Wisti tertawa terbahak-bahak. Sangat
geli sekali. "Inanugrahanta sira sang hyang amrtasan-jiwani, ha-jining manghuripaken mati..."
Ragu-ragu tapi jelas, Tun Kumala menggumam. Sesungguhnya kata-kata ini hanyalah
suatu kalimat dari suatu kisah. Sederhana. Namun sesungguhnya adalah awal pelajaran Wajraprayaga, yang kemudian berlanjut dengan ilmu utama pemberi nyawa dan pencabut
nyawa. Tentu saja Wisti alias Wara Hita yang dilolohi Wajraprayaga dari Nagabisikan
sangat terkejut. Kalimat itu sangat ia hafal. Dan Tun Kumala dapat mengatakannya
dengan jelas! Bersambung ke jilid 9.
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-8
Uhttps://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978U
1. GADIS DI PUNCAK BUKIT ***
2. TAMU SANG TUMENGGUNG ***
3. SERANGAN GELAP
4. KEBAKARAN! 5. ALHAMDULILLAH! ***
*** *** 6. TUN JADI REBUTAN
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 2 Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long Pendekar Pedang Pelangi 13

Cari Blog Ini