Ceritasilat Novel Online

Keris Naga Merah 2

Pendekar Bayangan Sukma 5 Keris Naga Merah Bagian 2


sepertinya berminat sekali dengan ilmu silat.
Anak itu baru berusia sembilan tahun.
Kelihatan sekali kalau dia berbakat dalam ilmu
silat. Setiap gerakannya walau agak kaku tetapi mantap.
Dia adalah Pranata Kumala, putra Madewa
Gumilang dan Ratih Ningrum. Empat tahun
tinggal di perguruan Topeng Hitam, membuatnya
terbiasa dengan latihan-latihan seperti itu. Biar pun masih dilarang oleh orang
tuanya, Pranata
Kumala tetap berkeras ingin pandai silat. Apalagi ketika dia berumur lima tahun,
dia telah diajarkan oleh ibunya beberapa gerakan silat.
Dan anak itu telah pandai bersalto!
Beberapa menit kemudian, muncul seorang
wanita muda yang cantik. Wanita itu kira-kira
berusia dua puluh sembilan tahun, tetapi
sepertinya baru berusia dua puluh empat tahun.
Tubuhnya indah dan menggairahkan. Membuat
setiap yang menatapnya tidak mau lepas dari
pandangan. Dia adalah Ratih Ningrum, istri Madewa
Gumilang. Ratih Ningrum juga mengajarkan ilmu
pedang kembarnya. Dan secara tak langsung,
Ratih Ningrum juga mempelajari jurus-jurus ilmu
pedang perguruan Topeng Hitam.
Di perguruan besar itu, hanya Ratih
Ningrumlah seorang wanita. Yang lain terdiri dari laki-laki. Tetapi walaupun
begitu, Ratih Ningrum tidak minder. Bahkan sikapnya yang wibawa
membuat murid-murid perguruan Topeng Hitam
segan terhadapnya.
Ratih Ningrum adalah seorang pendekar
wanita yang hebat. Dia pernah belajar kepandaian dari tiga orang gurunya yang
tadinya merupakan
pengawal pribadi ayahnya.
Namun diam-diam, ada salah seorang
murid perguruan Topeng Hitam yang menaruh
hati kepada Ratih Ningrum. Setiap kali melihat
wajah Ratih Ningrum hatinya selalu bergetar. Dia bernama Bayuseta, orang yang
berada di bawah
pimpinan. Tetapi tentu saja Bayuseta tidak berani
bertindak secara terus terang. Dia hanya
memendam rasa cintanya itu dalam hati. Dan
menahan rasa cemburunya setiap kali Ratih
Ningrum bicara dengan suaminya.
Saat ini Ratih Ningrum menghampiri
putranya yang masih tengah berlatih dengan
sekali-sekali melirik ke samping, mengikuti
gerakan yang lain.
"Pranata..." panggil Ratih Ningrum
Pranata Kumala menoleh, tidak
menghentikan gerakanya. "Eh, Ibu! Selamat pagi, Bu!" "Selamat pagi.... Kau
berlatih lagi?" Pranata mengangguk.
Tetap tidak menghentikan
gerakannya. "Lihat, Bu. Bagaimana dengan gerakanku"
Sudah mantap, bukan?"
Ratih Ningrum tersenyum. Gerakannya
memang mantap tetapi kuda-kuda anak itu
begitu lemah. "Coba kau perbaiki kuda-kudamu, Pranata!
Kelihatan sekali betapa goyahnya kuda-kudamu."
Pranata memajukan kaki kanannya,
menekuk sembilan puluh derajat dan kaki.
kirinya terjulur ke belakang. Agak mantap. Ratih Ningrum tersenyum.
"Saat kau dalam posisi demikian, kekuatan
tubuhmu sepenuhnya kau letakkan pada kaki
kanan. Ingat, jangan kaki kiri."
"Baik, Bu." Pranata mengangguk, masih
tak menghentikan gerakannya.
"Pranata... kalau kau ingin berlatih ilmu
pedang, sebaiknya kau berada di deretan
belakang mereka. Karena dengan begitu, kau
tidak perlu melirik-lirik lagi. Karena banyak
melirik kau lupa pada kuda-kuda dan
gerakanmu. Mulai besok, kau harus berada di
belakang mereka. Dengan begitu kau mudah
mengikutinya."
"Baik, Bu. Tetapi mana janji Ibu" Katanya
Ibu ingin mengajarkan aku pukulan tangan
seribu. Mana, Bu?"
Ratih Ningrum tersenyum.
"Mulai besok kau Ibu latih. Sekarang
hentikan gerakanmu. Coba perlihatkan saltomu
pada Ibu. Kau pasti jarang melatihnya, ya?"
Anak laki-laki itu menghentikan
gerakannya. Berkata dengan bersungut-sungut.
"Kata siapa aku tidak melatihnya" Ibu
boleh lihat, betapa lihainya aku sekarang."
Sesudah berkata begitu, anak laki-laki itu
tiba-tiba bersalto ke belakang. Hentakan
tenaganya lumayan, karena itu jarak saltonya
lumayan jauh pula.
Dia bergerak ke samping. Dua kali bersalto
dengan cepat. Dan tiba-tiba bergerak ke depan.
Tubuhnya melenting ke udara dan masih di udara
tubuhnya berputar tiga kali! Sungguh gerakan
hebat diperlihatkan Pranata Kumala.
Ia hinggap dan berdiri tepat di depan
ibunya. "Bagaimana, Bu" Hebat, bukan?"
"Lumayan," sahut Ratih Ningrum
tersenyum lalu mengambil pedang kayu yang
diletakkan Pranata di lantai tadi. "Sekarang jaga serangan ibu. Gunakan saltomu
dengan baik. Ingat, pedang kayu ini bisa membuat tubuhmu
merah..." "Ibu tidak boleh memukulku," protes
Pranata tetapi dia sudah bergerak menghindar
dengan cepat, karena pedang kayu itu sudah
menyambar tubuhnya.
"Aaaah, ibu!" jerit Pranata kalang kabut.
Serangan ibunya demikian cepat, membuat
Pranata harus berkelit lebih cepat lagi.
"Kau boleh membalas, Pranata!" seru Ratih Ningrum seraya mengirimkan satu
tusukan ke perut Pranata. Pranata melenting ke atas. Hebat, masih di atas dia berbalik dan
kakinya lurus ke
arah wajah ibunya.
Ratih Ningrum sendiri agak terkejut, tetapi
serangan itu tak ada manfaatnya baginya. Dengan
satu tangkisan tangannya dia membuat serangan
itu luput dan tubuh Pranata jatuh bergulingan.
Ratih Ningrum mengejar dengan sabetan
pedang kayunya. Pranata berguling tetapi tibatiba dia mengaduh. Ibunya sudah memutar
tubuhnya dan pedang kayu itu menimpa kaki
Pranata. "Aduh, Ibu!" jerit Pranata kesakitan.
Ratih Ningrum tertawa. Tidak melanjutkan
serangannya. "Bagus, ilmu saltomu sudah hebat. Berarti
ilmu meringankan tubuhmu sudah lumayan. Kau
harus berlatih pukulan tangan kosong, Pranata.
Ibu janji, mulai besok semua itu akan kau
terima". Cuma ingat...." Ratih Ningrum menghentikan suaranya.
"Ingat apa, Bu?"
"Sebagai seorang pendekar, mengaduh itu
pantang dilakukan. Kau telah melakukannya tadi.
Ingat, kau tak boleh mengucapkannya lagi."
"Aku tadi kaget, Bu. Ibu menyerangku
benar-benar, aku bingung!"
"Kalau ibu main-main, kau akan mudah
menghindar. Itu namanya bukan berlatih! Dalam
berlatih segala sesuatunya harus keras, karena
dengan tak langsung menggembleng fisik dan
mental!" Pranata mengangguk mengerti. Dia tidak
bersungut-sungut lagi. Ratih Ningrum lalu
menyuruh putranya mengikuti kembali gerakan
ilmu pedang yang masih dimainkan oleh muridmurid yang sedang berlatih.
Dia sendiri hendak kembali ke dalam, tadi
dia hanya menengok kemajuan Pranata Kumala.
Diam-diam, di balik sebuah topeng salah seorang
dari yang berlatih itu, terlihat tatapan penuh
gairah cinta yang meledak-ledak. Tatapan milik
Bayuseta yang hampir tak tahan memendung
rasa cintanya. Tiba-tiba terdengar suara tawa yang
menakutkan. Terkikik macam iblis. Serentak
Ratih Ningrum membalikkan tubuhnya dan
melihat sesosok tubuh telah berdiri di atas
tembok yang mengelilingi perguruan Topeng
Hitam itu. Murid-murid yang sedang berlatih pun
menghentikan latihannya. Mereka
memperhatikan sosok tubuh yang selalu
mengikik itu. Suaranya mirip wanita, tetapi
postur tubuhnya seperti orang laki-laki. Hanya
wajahnya saja yang kelihatan manis.
Dia adalah Aryo Gembala alias Banci
Murah Senyum, yang datang sesuai dengan
rencana Resi Sendaring.
"Hi... hi... hik... kalian semua belum
mengenal aku, kan?" tanyanya dengan suaranya yang merdu.
Ratih Ningrum membentak, "Sebenarnya
kami tidak ingin mengenalmu, tetapi karena kau
telah datang tanpa diundang, kami harus tahu
siapa dirimu! Dan ada keperluan apa datang
kemari?" Aryo Gembala mengikik lagi.
"Kau pasti yang bernama Ratih Ningrum.
Dan bocah cilik itu adalah putramu yang
bernama Pranata Kumala. Sungguh bukan suatu
omong kosong tentang kecantikan dirimu, Ratih.
Istri ketua perguruan Topeng Hitam yang
mashyur...."
"Tak perlu panjang lebar, Kisanak!
Terangkan siapa dirimu sebenarnya!"
"Kau rupanya pemarah sekali, Nyonya
Madewa Gumilang. Baik, baik.... Aku Aryo
Gembala yang berjuluk Banci Murah Senyum....
Hi... hik... maksudku kemari, ingin menantang
ketua Perguruan Topeng Hitam yang bergelar
Pendekar Pukulan Bayangan Sukma...."
Ratih Ningrum menahan rasa marahnya.
Melihat orang itu datang dengan meloncati
tembok saja dia tidak senang. Apalagi menantang
suaminya. Ia menyuruh Pranata untuk berdiri
berjajaran dengan murid-murid yang lain. Ratih
Ningrum baru mengenal nama yang disebutkan
tadi. Dia tidak merasa takut sedikit pun terhadap orang itu. Rasa geramnya
semakin menjadi-jadi
ketika Aryo Gembala ingin menantang suaminya!
Sudah berani dia! Punya modal apa" Tetapi
Ratih Ningrum sadar, orang yang berani datang
untuk menantang, pasti punya kesaktian dan
kepandaian yang berarti.
Ratih Ningrum membentak, "Kau ingin cari
mati rupanya! Tanpa alasan sedikit pun tahutahu menantang suamiku!"
"Hik... hik... alasanku sudah jelas. Ingin
mencoba kesaktian suamimu!"
"Suamiku sedang bersemadi di dalam.
Tidak bisa diganggu!"
Aryo Gembala terkikik dan menyahut
mengejek. "Suamimu bukan orang yang pengecut,
bukan" Katakan kepadanya, aku, Aryo Gembala
datang untuk menantang atau... sekaligus
mencabut nyawanya!"
"Bangsat!" Ratih Ningrum tak dapat
menahan gejolak marahnya. "Kau tak perlu
berhadapan dengan suamiku dulu, kau hadapilah
aku!" Aryo Gembala mengikik.
"Kau" Hi... hik..." tawanya mengejek.
"Ya, aku Ratih Ningrum, yang akan
membela nama baik suamiku...."
Aryo Gembala mengikik lagi. Dia melompat
turun dengan ringannya. Kikikannya masih
terdengar, bernada mengejek.
Rupanya beberapa orang murid perguruan
Topeng Hitam, tidak bisa menahan diri melihat
istri ketua mereka diejek demikian. Lima orang
melesat ke depan. Siap dengan sepasang pedang
mereka. "Nyonya ketua, minggirlah!" seru salah seorang. "Biar orang sombong ini kami
ajar adat!"
Ratih Ningrum mundur dua langkah. Aryo
Gembala tertawa mengikik. Lucu menurutnya,
ada orang yang berani nekat melawannya.
"Kalian hanya mengantarkan nyawa
untukku...."
"Manusia sombong, kami peringatkan
kepadamu untuk segera minggat dari sini, kalau
tidak pedang kami akan mengantarkanmu ke
liang kubur!" bentak salah seorang dengan
pedang siap di tangannya.


Pendekar Bayangan Sukma 5 Keris Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Aryo Gembala alias Banci Murah
Senyum tidak gentar dengan gertakan itu. Karena
orang itu belum juga mau pergi, kelima murid
perguruan Topeng Hitam segera maju
mengurung, mengambil siap tempur.
Aryo Gembala mengikik. Sikapnya tenang.
Tiba-tiba kelima orang itu sudah bergerak dengan jeritan melengking. Aryo
Gembala mengikik dan
tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas dan
bersalto ke belakang. Kelima orang itu segera
berbalik dan menyerang kembali:
Aryo Gembala mengibaskan tangannya dan
menimbulkan dorongan angin yang amat kuat.
Kelima orang itu jatuh tunggang langgang.
Sungguh hebat dorongan tenaga dalam
Aryo Gembala. Ratih Ningrum sendiri terkejut.
Kelima murid perguruan Topeng Hitam yang
terkena serangan tadi muntah darah. Dada
mereka teras sesak dan menyakitkan.
Ketika yang lain hendak maju membantu
Ratih Ningrum merentangkan kedua tangannya!
Menghalangi mereka untuk menyerang.
"Biar aku yang menghadapi orang ini!"
desisnya seraya melangkah dan berhadapan
dengan Aryo Gembala dalam jarak empat meter.
Aryo Gembala tersenyum
mengejek menyambutnya. "Kuminta Madewa Gumilang yang
menghadapiku. Tapi baiklah, kalau kau ingin
mencobanya! Tapi kurasa sia-sia, Nyonya cantik!
Lebih baik kau ikut denganku untuk kujadikan
selir!" Merah pada wajah Ratih Ningrum. Ucapan Banci Murah Senyum itu sangat
menjijikkan nya.
Dia membentak, "Kau menjijikkan sekali,
Banci! Mulutmu harus dirobek!" Lalu melesat dan kirimkan sebuah pukulan ke arah
Aryo Gembala. Aryo Gembala mengikik dan masih
mengikik dia mengelak dengan ringannya.
Tubuhnya melesat dengan cepat dan balas
menyerang. Dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuhnya, Ratih Ningrum menghindari setiap
setangan itu dan balas menyerang pula.
Dengan ditonton oleh puluhan murid
perguruan Topeng Hitam dan Pranata Kumala
yang bersorak berseru "Pukul, Ibu! Hajar orang itu!" Ratih Ningrum dan Aryo
Gembala berlaga dengan gigih. Saling serang dan membalas.
Tetapi sampai sejauh itu, belum ada
kelihatan yang terdesak. Keduanya masih sama
tangguh dan hebat. Serangan mereka lancarkan
dengan cepat dan penuh tenaga.
Tetapi ketika memasuki jurus ke tiga
puluh, kelihatan Ratih Ningrum terdesak. Kalah
tenaga, dan nafas. Berkali-kali serangan
berbahaya Aryo Gembala mengancam dirinya.
Sebisanya Ratih Ningrum menghindar.
"Buk!" sebuah pukulan menghantam
punggungnya. Ratih Ningrum terhuyung. Aryo
Gembala tidak menyia-nyiakan kesempatan itu,
dia langsung menerjang. Merasakan dorongan
angin yang kuat, Ratih Ningrum berusaha
menghindar dengan jalan bergulingan.
Serangan itu luput dan saat berguling
Ratih Ningrum mengayunkan kakinya ke bawah.
"Des!"
Kakinya menghantam kedua kaki Aryo
Gembala hingga banci itu jatuh tersungkur. Ratih Ningrum cepat berdiri sementara
Aryo Gembala sudah berdiri pula.
"Tidak kusangka, permainan ilmu silatmu
lumayan juga, Nyonya Cantik! Pukulan tangan
seribu mengingatkan aku pada seorang tokoh
keturunan Cina bernama Tek Jien!"
Mendengar nama itu disebutkan, Ratih
Ningrum tertawa.
"Mungkin kau jeri mendengar nama tokoh
itu disebutkan, Banci! Nah, ketahuilah, tokoh
yang kau sebutkan tadi adalah guruku. Tek Jien
Si Pukulan Tangan Seribu!"
Aryo Gembala berseru kaget. Jadi Ratih
Ningrum murid Tek Jien itu. Mendadak
kemarahannya naik. Ia menjadi semakin
beringas. Dia memendam sebuah dendam pada Tek
Jien. Dulu dia memiliki seorang istri yang amat cantik. Hidupnya tentram dan
aman. Waktu itu
Aryo Gembala belum menjadi seorang tokoh sesat
yang disegani. Dia masih seorang petani yang
bodoh dan sederhana.
Sampai suatu ketika istrinya jatuh cinta
pada Tek Jien. Orang keturunan Cina yang
datang hendak mencari pekerjaan. Istrinya nekat
meninggalkannya untuk menikah dengan Tek
Jien. Tetapi Tek Jien menolak karena wanita itu
masih bersuami. Rupanya istri Aryo Gembala itu
tidak mau mengerti. Dia tetap berkeras untuk
menjadi istri Tek Jien, kalau tidak dia akan
membunuh diri. Tek Jien tetap dengan putusannya. Dia
tidak akan menerima cinta wanita itu. Dan wanita
itu benar-benar menjalankan perkataannya, dia
membunuh diri dengan jalan membuang diri ke
laut. Keadaan itu semakin membuat Aryo
Gembala dalam kesedihan yang amat sangat. Dia
tidak bisa melupakan istrinya, dan ke semua itu
terjadi karena laki-laki bernama Tek Jien. Aryo
Gembala bersumpah akan membunuh laki-laki
itu. Mulailah dia mengembara mencari seorang
tokoh sakti yang mampu mendidiknya ilmu
kepandaian dan kesaktian. Kebetulan sekali saat
itu, seorang tokoh sesat sedang mencari murid
untuk meneruskan perbuatannya. Dan Aryo
Gembala diangkat menjadi murid.
Dia dididik kesaktian dan kepandaian yang
hebat. Dalam selama hidupnya, Aryo Gembala
telah bersumpah, tidak akan menikah lagi selain
dengan istrinya. Dia sangat mencintai istrinya.
Itulah sebabnya lambat-laun dia merubah
tabiatnya menjadi seorang wanita, agar dia tidak bernafsu dengan wanita.
Tingkah lakunya pun kejam. Kadang
membunuh dan merampok.
Jadilah dia seorang tokoh sesat berjuluk
Banci Murah Senyum. Kepada siapa saja dia
selalu tersenyum. Namun kepada siapa saja dia
ringan tangan. Dan sekarang ini, baru dia dengar di mana
orang yang dibencinya berada. Sekarang pun dia
tengah berhadapan dengan murid orang itu.
Kebencian dan dendamnya semakin
menjadi-jadi. Mendadak dia membuka jurus
simpanan warisan dari gurunya itu. Jurus Naga
Hitam Menembus Bumi.
"Ratih Ningrum," suaranya menggeram.
"Gurumu adalah orang yang sangat kubenci. Dan hari ini, aku harus menumpahkan
semua kebencianku itu kepadamu! Terimalah
kematianmu, Ratih Ningrum!"
Ratih Ningrum pun bersiap. Rupanya Arya
Gembala benar-benar menginginkan nyawanya.
Serangannya kali ini sangat berbahaya dan ganas.
Dia memekik panjang ketika melesat menyerang.
Tangannya berubah menjadi hitam dan
gerakannya benar-benar ganas. Dorongan
anginnya saja sudah menggetarkan, belum lagi
pukulannya! Ratih Ningrum tidak berani menangkis
atau memapaki. Dia berkelit ke samping dan
balas menyerang dengan tendangannya.
Aryo Gembala tiba-tiba memutar dan
berbalik menangkis tendangan Ratih Ningrum.
"Des!"
Tubuh Ratih Ningrum jatuh terjengkang
menerima tangkisan itu. Tenaga tangkisan Aryo
Gembala kuat sekali dan membuat kaki Ratih
Ningrum kesemutan.
Terdengar pekikan keras, Aryo Gembala
sudah menerjang maju. Ratih Ningrum tidak
mungkin bisa menghindar lagi.
Tiba-tiba terdengar pekikan pula yang
keras, sesosok tubuh meloncat menghalangi
serangan itu. Tetapi tak kuasa menahan, karena
tubuh itu langsung dihantam oleh pukulan naga
hitam Aryo Gembala:
"Des! Des!"
Tubuh itu terhuyung dan ambruk. Ratih
Ningrum yang merasa diselamatkan, bangkit dan
menghampiri tubuh yang ambruk itu. Membuka
topeng hitamnya. Dia adalah Bayuseta, pemuda
yang memendam cinta pada Ratih Ningrum.
Banci Murah Senyum terkikik.
"Untung masih ada orang yang rela
mengorbankan nyawanya untukmu, Ratih. Kalau
tidak, kau sudah mampus di tanganku!"
Ratih Ningrum bangkit dan memandang
marah. "Kau pun harus mati di tanganku. Banci jelek!" serunya seraya mencabut
sesuatu dari angkinnya. Sebuah keris yang indah dan
berkilau. Dari keris itu mengeluarkan cahaya
bening. Itu adalah senjata warisan dari gurunya
yang bernama Patidina, si keris tunggal.
Dengan senjata itu Ratih Ningrum
meneruskan perkelahiannya, sementara tubuh
Bayuseta diangkat ke dalam oleh yang lain dan
diobati. Dengan keris di tangan, Ratih Ningrum
kelihatan berada di atas angin. Tusukan-tusukan
kerisnya sungguh hebat. Sangat cepat dan penuh
tenaga. Berkelebatan ke sana-kemari. Namun
suatu ketika, Aryo Gembala tepat memukul di
pergelangan tangan kanan Ratih Ningrum.
Membuatnya kaget dan kerisnya terlepas.
Aryo Gembala tak membuang kesempatan
lagi. Dia melesat dengan cepat, ingin menghabisi nyawa Ratih Ningrum sekarang
juga. Tetapi mendadak tubuhnya terhuyung ke
belakang dengan deras dan menabrak tembok!
"Des!!"
Ratih Ningrum menoleh heran. Tapi dia
langsung bangkit ketika melihat suaminya sudah
berdiri. Rupanya suaminya yang menghalangi
serangan tadi. Dia mengibaskan tangannya dan
mendorong tubuh Aryo Gembala dengan pukulan
jarak jauh yang hebat.
"Kakang," panggil Ratih Ningrum gembira.
"Kau sudah menghentikan tapamu?"
"Semua sudah selesai, Rayi! Waktu yang
kuperlukan hanya satu minggu. Rayi... siapa
orang itu, mengapa dia kelihatan ingin
membunuhmu?" tanya Madewa Gumilang. Dia
kelihatan sudah agak tua. Usianya sekarang
sudah tiga puluh empat tahun. Tetapi tubuh dan
wajahnya masih kelihatan tampan dan gagah.
Ratih Ningrum menceritakan dari mana
laki-laki banci itu datang. Juga tentang dendam
pada gurunya yang menjadikan laki-laki itu
semakin bernafsu ingin membunuhnya.
Sementara itu Aryo Gembala sudah bangkit
dan membentak jengkel, "Hhh! Seorang pendekar besar ternyata berjiwa pengecut,
beraninya hanya main bokong!"
Madewa tersenyum bijaksana. Usia yang
bertambah semakin menambah kewibawaannya.
"Aku hanya mengibaskan tangan saja,
tidak membokongmu."
Wajah Aryo Gembala memerah. Hanya
dengan kibasan tangan saja dia sampai
terpelanting ke tembok.
Dia membentak lagi, "Madewa Gumilang,
hari ini aku datang untuk menantangmu! Sebagai
seorang yang berjiwa kesatria, kau pasti
menerima tantanganku! Larilah kalau kau
seorang pengecut!"
"Untuk apa kau menantangku"
Perkelahian itu tak ada gunanya. Akan
menimbulkan sengketa bagi yang kalah, dan akan
semakin sombonglah orang yang menang. Lebih
baik, kau cabut tantanganmu itu. Bertamulah
dengan sopan, jangan membuat tuan rumah
marah." "Kau bukan seorang pengecut, bukan"
Nah, terimalah tantanganku!"
Selesai membentak begitu, tanpa banyak
cakap lagi, Aryo Gembala sudah menyerang. Mau
tak mau Madewa menyambut serangan itu. Selain
ingin mempertahankan nyawanya, dia juga tidak
ingin dibilang pengecut, apalagi hadapan muridmuridnya. Dia menangkis serang itu dan balas
memukul. "Des!"


Pendekar Bayangan Sukma 5 Keris Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum satu gebrakan, Aryo Gembala sudah
terkena pukulannya. Madewa telah mengeluarkan
jurus Ular Mematuk Katak, jurus yang cepat dan
hebat. Aryo Gembala terhuyung. Wajahnya
memerah menahan marah. Dia menyerang lagi
karena masih penasaran.
Tetapi lagi-lagi Madewa menghantamnya.
Bahkan dua kali mendaratkan pukulannya. Kali
ini Aryo Gembala ambruk dan merasakan
matanya berkunang-kunang. Tenaganya sudah
terkuras tadi ketika menghadapi Ratih Ningrum,
jelas saja dia kewalahan menghadapi Madewa.
Susah payah Aryo Gembala bangkit. Dia
merasakan dadanya sesak kembali. Tetapi dia
tidak menyerang lagi.
"Madewa... kau benar hebat, tapi aku akan
datang lagi untuk menantangmu.... Dan satu soal
lagi yang tak kalah pentingnya yang kubawa...."
"Apa itu?" tanya Madewa Gumilang. Dia
pun tidak menyerang lagi. Lawan sudah kalah.
"Kau datanglah ke goa sebelah barat sana,
di mana kuburan Paksi Uludara berada. Kau
lihatlah apa yang telah terjadi dengan makam
itu...." Tubuh Aryo Gembala berkelebat dan
menghilang. Madewa memburu, "Hei, kau belum menjelaskan semuanya!" Tetapi Aryo
Gembala sudah menghilang dari pandangan
Madewa kembali lagi, apa yang telah terjadi
dengan makam Paksi Uludara. Dan siapa
sebenarnya orang itu, dari golongan mana dia
datang" Makam yang setiap tahun dikunjungi dan
sembayangi, kini apa yang telah terjadi.
Madewa merasa, ada persoalan yang gawat
dalam hal itu. Dan dia teringat, ketika dia
menguburkan mayat Paksi Uludara dia juga
menguburkan sebuah pedang mustika yang
bernama Pedang Sakti Naga Emas.
Apakah pedang itu yang menjadi masalah.
Kemungkinan besar orang-orang jago akan
mengambilnya. Dia harus segera ke sana untuk
menyelidikinya.
Tiba-tiba dari dalam muncul seorang murid
dengan wajah pucat, dan berkata setelah
menjura, "Ketua dan Nyonya ketua, keadaan
Bayuseta gawat! Harap ketua berdua sudi
menengok!"
Serentak mereka berlari ke dalam. Pranata
Kumala yang masih asyik mengkhayalkan andai
kata dia seperti ayahnya, turut pula masuk.
Beberapa orang murid menjaga di depan.
Mereka tidak memakai topeng lagi. Topeng hitam
itu hanya digunakan jika ada hal yang penting
dan latihan. Menjaga-jaga kalau serangan itu
datang lagi. *** 5 Keadaan Bayuseta memang agak parah. Ia
terluka dalam. Pukulan Aryo Gembala benarbenar hebat. Madewa Gumilang memeriksa keadaan
Bayuseta. Ia meletakkan kedua telapak
tangannya di dada Bayuseta. Bayuseta menjerit
pelan, menahan sakit. Madewa menahan nafas
dan mengeluarkan nafasnya perlahan-lahan dari
hidung, sementara dari kedua tangannya
mengalir dorongan tenaga panas dan meresap ke
dada Bayuseta. Bayuseta merasakan dadanya sudah tidak
begitu sesak. Dan tubuhnya sudah agak enakan.
Madewa memberikan dua buah pil penguat
tubuh. Setelah itu Bayuseta membuka kedua
matanya. Madewa tersenyum.
"Bagaimana, Bayu?"
Bayuseta tersenyum, agak meringis.
"Sudah enakan, Ketua," desisnya pelan dari selintas melintas di benaknya akan
keadaan Ratih Ningrum. Bagaimana keadaan wanita yang
dicintainya dengan diam-diam itu"
Ketika mendengar suaranya, dada
Bayuseta menjadi ringan. Wanita yang dicintainya masih dalam keadaan segar bugar
"Kau telah menyelamatkan nyawaku,
Bayuseta...."
Bayuseta melirik. Duh, betapa cantiknya
wanita itu. Sayang, dia istri ketua yang harus
dihormatinya. "Sudah sepatutnya hal itu kulakukan,
Nyonya ketua...." desisnya dengan suara pelan.
"Walau bagaimana pun, nyawaku telah kau
selamatkan. Aku berhutang budi padamu,
Bayuseta," kata Ratih Ningrum lagi.
"Soal itu, tidak usah dipikirkan, Nyonya.
Tak ada hutang budi dalam hidupku."
"Tidak, biar bagaimanapun aku berhutang
budi padamu, Bayuseta. Suatu saat nanti aku
akan membayar lunas hutangku itu...."
Bayuseta memejamkan matanya. Melihat
wajah dan mendengar suara wanita yang
dicintainya itu, dia sudah bahagia apalagi kalau wanita itu membalas budinya.
Suatu pikiran jelek mendadak melintas di
benak Bayuseta. Sekaranglah jalan satu-satunya
untuk memiliki Ratih Ningrum!
Rencana itu akan dijalankannya nanti.
Madewa Gumilang beranjak meninggalkan tempat
itu. Ratih Ningrum dan Pranata Kumala
mengikutinya. Beberapa orang murid menjagai
Bayuseta, karena keadaan pemuda itu masih
lemah. Madewa Gumilang duduk di kursi yang
biasa diduduki oleh Paksi Uludara. Istrinya
duduk di hadapannya dan Pranata Kumala sudah
kembali bermain dengan pedang kayunya.
Tidak menghiraukan pikiran yang
menghantui di benak ayahnya.
Ratih Ningrum pun tidak tahu. Tetapi
melihat suaminya duduk termenung, dia mulai
menduga, pasti ada sesuatu yang sedang
dipikirkan oleh suaminya.
Entah apa itu. Ratih Ningrum mencetuskan
keingintahuan nya, "Kakang... apa lagi yang kau pikirkan" Persoalan Aryo
Gembalakah yang
menyusahkanmu?"
Madewa menghela napas.
"Iya, Rayi. Tetapi bukan Aryo Gembalanya
yang menjadi masalah... tetapi perkataannya
tentang makam Paksi Uludara."
"Ada apa sebenarnya dengan makam
beliau?" "Aku pun tidak tahu, Rayi."
"Lalu bagaimana dengan tindakanmu?"
Aku akan pergi untuk menyelidikinya
sekalian menyembahyanginya.... Sudah tiga bulan
sejak tahun ini kita belum pernah ke sana."
"Apa tidak perlu kau utus salah seorang
untuk menengok, Kakang?"
"Biarlah aku sendiri yang ke sana. Aku
kuatir, di sana akan terjadi apa-apa...."
Rupanya masalah itu memang menjadi
pikiran yang berat bagi Madewa. Makam Paksi
Uludara sangat dihormatinya. Makam yang
dianggapnya keramat!
Madewa berkata lagi, "Rayi... besok aku
akan berangkat. Kuminta kau menjaga perguruan
dan Pranata Kumala. Jika ada apa-apa, mintalah
bantuan dari murid utama. Tapi kurasa... kau
mampu menangani semua persoalan yang
datang." Ratih Ningrum terdiam. Selama
mengunjungi dan menyembahyangi makam Paksi
Uludara mereka selalu bersama-sama dan kali ini
suaminya akan pergi sendiri. Tentu saja hati
Ratih Ningrum agak kecewa. Di samping tidak
yakin akan mampu memimpin perguruan selama
suaminya pergi.
Ratih Ningrum takut kalau dia pergi nanti,
Aryo Gembala datang kembali membalas
kekalahannya. Mungkin kalau dia sendiri masih
bisa ditanganinya. Tetapi bagaimana jika Aryo
Gembala datang bersama teman-temannya. Tentu
dia akan kelabakan.
Tetapi semua itu tidak bisa dibantah lagi.
Suaminya akan, pergi sendiri. Karena menurut
dugaan Madewa, pasti ada sesuatu yang gawat
pada makam Paksi Uludara!
Entah apa, dia pun tak tahu.
Dan untuk tahu, dia harus datang dan
melihat sendiri apa gangguan itu.
*** Keesokan paginya, Madewa sudah siapsiap hendak berangkat. Dia mengendarai seekor
kuda jantan yang gagah. Seperti biasa, Madewa
tidak membawa senjata apa-apa, kecuali senjata
warisan mendiang gurunya Ki Rengsersari. Yaitu
sebuah seruling yang dinamakan Seruling Naga.
Seruling itu hampir sama bentuknya
dengan seruling biasa, hanya di seruling itu
terdapat gambar dua ekor naga sedang bertarung.
Dan keampuhan seruling itu lain dengan
yang lain. Dengan sekali tiup seruling itu mampu membinasakan orang apalagi jika
orang itu dalam
keadaan marah. Semakin marah dia akan
semakin termakan oleh suara seruling itu.
Dan bisa dikuasainya!
Ratih Ningrum melepaskan kepergian
suaminya dengan sedih dan enggan. Entah
kenapa dia merasakan sekali kalau kepergian
suaminya akan membawa sebuah malapetaka
bagi suami dan dirinya. Tetapi dia tidak tahu, apa malapetaka itu.
Setelah berpesan pada istrinya agar
berhati-hati, juga kepada beberapa orang murid
utamanya agar menjaga perguruan dan istrinya
dengan baik, Madewa menaiki kudanya.
Di saat itu terdengar suara, "Ayah! Ayah
mau ke mana"!"
Madewa tidak jadi menggebrak kudanya.
Dari dalam Pranata Kumala yang baru bangun
tidur, berlari menghambur keluar. Di dekat kuda
ayahnya dia berkata lagi, "Ayah mau ke mana"
Aku dan ibu tidak diajak?"
Madewa tersenyum. Turun lagi mengecup
pipi putranya. "Ayah mau pergi dulu. Kamu jaga ibu ya?"
"Ke mana, Yah?"
"Pokoknya tidak jauh dan ayah akan cepat
kembali. Kamu mampu kan menjaga Ibu?"
"Beres!" anak itu mengacungkan
jempolnya. Madewa melompat lagi ke punggung
kudanya. Setelah berpesan sekali lagi terhadap
istrinya, dia menggebrak kudanya. Kuda berlari
dengan menyentak, meninggalkan debu yang
mengepul akibat lompatan kakinya.
Kudanya lari demikian cepat, karena
Madewa memang ingin cepat-cepat tiba di sana.
Dia langsung mengarahkan lari kudanya ke
tempat peristirahatan terakhir Paksi Uludara,
yang jaraknya sangat jauh dari sana.
Hampir setengah hari Madewa melarikan
kudanya. Ketika tiba di sebuah kota kecil, ia
turun hendak makan. Sejak tadi perutnya lapar
sekali. Aroma yang keluar dari rumah makan itu
semakin membuatnya lapar.
Di dalam rumah itu hanya ada tiga orang
yang sedang makan. Mereka terpisah-pisah. Dua
orang laki-laki dan satu wanita. Wanita itu
berwajah cantik. Ia memakai kerudung putih.
Madewa langsung mengambil tempat
duduk dan memesan makanan serta lauknya.
Lalu mulailah dia makan dengan nikmatnya, tak
memperdulikan keadaan di sekitarnya.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dari
luar, "Kalian cepat semua minggat! Tuan besar kalian ingin makan di sini!"
Beberapa orang berwajah seram dan
bertubuh besar, masuk dengan sikap yang
sombong. Mereka menggebrak-gebrak meja dan
tertawa-tawa. Dua orang laki-laki yang sedang
makan langsung keluar dengan ketakutan.
Keduanya sudah mengenal siapa orang-orang itu.
Perampok kejam yang bergelar Lima Iblis
Pencabut Nyawa!
Mereka tertawa mengejek melihat kedua
orang tadi terbirit-birit. Tetapi langsung melotot marah karena dua orang lagi
belum juga meninggalkan tempat itu.
"Bangsat!" menggeram salah seorang yang bernama Danuwending. Wajah orang itu
penuh ditumbuhi kumis dan janggut yang lebat,
membuat wajah orang itu nampak tak karuan. Ia
menghampiri meja yang diduduki wanita
berkerudung putih, sementara empat orang
temannya tertawa-tawa sambil duduk


Pendekar Bayangan Sukma 5 Keris Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhatikan. Madewa pun diam-diam memperhatikan.
Tetapi dia tetap tenang, tidak beranjak pula.
Karena menurut Madewa, dia harus melindungi
wanita berkerudung putih itu. Kalau wanita itu
pergi, dia akan pergi juga. Lagipula, dia belum
diusir oleh orang-orang itu.
Sekarang wanita itu sedang digoda oleh
Danuwending yang kesenangan karena wanita itu
diam saja. Tetapi tidak menunjukkan ketakutan
sedikit pun. "He... he... kau masih manis, Nona.
Kulitmu halus sekali," dengan ceriwis
Danuwending mencolek dagu wanita itu. Wanita
itu hanya melengos, menepis tangan
Danuwending dengan halus. Lalu tersenyum.
"Aku sedang makan, Kangmas. Jangan
ganggu aku!" suaranya pelan dan mendayu-dayu membuat Danuwending kesenangan.
"Manis, bagaimana kalau kau tinggal di
rumahku" Kau pasti akan senang."
"Saya sudah bersuami, Kangmas. Tidak
bisa mengikuti, Kangmas."
Tiba-tiba Danuwending menggeram.
Wanita itu sudah bersuami" Siapa suaminya.
Akan dia rebut wanita manis ini dari tangan
suaminya. "Katakan, siapa suamimu" Dan di mana
dia berada sekarang?"
Wanita itu tersenyum, tersipu.
"Dia... dia sudah meninggal, Kangmas. Dan
tentu saja dia sekarang berada di pemakaman
umum. Aku sendiri baru mengunjungi dan
menyembahyanginya."
Sekarang Danuwending terbahak.
Suaranya keras. Mulutnya bau. Wanita itu
sampai menekap hidungnya. Lalu ia berdiri,
hendak beranjak.
Danuwending menahan tangannya. "Kamu
mau ke mana?"
"Aku harus pulang. Anakku menunggu di
rumah," sahut wanita itu dan secara tidak diduga dia menepis tangan Danuwending
dengan halus, tetapi dirasakan Danuwending agak menyentak.
Danuwending sendiri kaget. Tenaga wanita
itu lumayan juga. Merasa tangannya terlepas,
wanita itu membayar makanannya dan hendak
pergi. "Tunggu, Nona!" seru Danuwending penasaran apalagi teman-temannya tertawa
karena dia tidak berhasil menaklukkan wanita
itu. Wanita itu berbalik dan wajahnya
menampakkan kejengkelan yang luar biasa. Tidak
ada tanda malu-malu dan kemanisan wajahnya.
Yang ada sorot mata yang mengerikan dan tibatiba wanita, itu terkikik dengan suara yang
menyeramkan. "Hik... hik... kau mau apa, Danuwending?"
Danuwending terkejut, wanita itu mengenal
namanya. Juga teman-temannya, mereka
serentak bangkit. Wanita itu mencurigakan.
Mereka serentak bangkit mengurung.
Wanita itu hanya tertawa.
"Jadi ini yang bergelar Lima Iblis Pencabut Nyawa" Hik... hik... kalian tidak
pantas menyandang gelar itu! Gelar kalian pantasnya
Lima Monyet Nangkring di Pohon!" Wanita itu tertawa lagi.
Seketika wajah orang-orang itu menjadi
geram. Wanita ini berani-beraninya mengejek
mereka. Rupanya dia belum tahu siapa mereka.
Pemilik warung yang bertubuh gendut
ketakutan menghampiri Madewa. Ia berkata
dengan suara terburu-buru, "Raden, cepatlah
pergi dari sini. Cepat, sebelum mereka
menimpakan kesalahan kepadamu. Cepatlah,
Raden...."
Madewa tersenyum, menenangkan pemilik
warung yang ketakutan itu.
"Tenanglah, Paman. Aku ingin menonton
mereka. Lagipula, aku belum selesai makan,
Paman." Pemilik warung itu masuk lagi ke dalam,
memanggil semua pelayannya dan mengunci
pintu ruang yang berhubungan dengan rumah
makan itu. Terdengar bentakan keras, "Kau siapa,
Nona" Sikapmu menantang kami terlalu berani!"
Wanita itu tertawa. "Baik, baik. Dan
kuminta setelah mendengar namaku, kalian pergi
dari sini. Dengarkan... namaku Nimas Sertani
atau kalian mungkin lebih mengenal dengan
sebutan Dewi Mulia Berhati Busuk...." wanita itu menghentikan suaranya karena
wajah kelima orang itu terkejut dan pias. Dia mengikik.
"Cepat kalian bersujud untuk minta
ampun!" Tetapi mereka, adalah orang-orang yang
kejam dan tak mengenal takut. Gelar wanita itu
pun tidak membuat mereka takut. Malah
kelimanya sudah mengambil senjata mereka yang
berbentuk cambuk.
Dan menyabetnya hingga menimbulkan
suara bergeletar.
Bukan hanya mereka saja yang terkejut,
Madewa pun demikian. Jadi ini orangnya yang
telah lama dia dengar namanya
Terdengar tawa ngikik dari bibir Nimas
Sertani yang mungil itu.
"Kalian mau apa?"
"Kami ingin mencoba kesaktian Dewi Muka
Berhati Busuk!" seru Danuwending dan sudah
melancarkan serangannya. Cambuknya
menyambar dengan cepat.
Nimas Sertani menghindar dengan jalan
meloncat, tetapi cambuk-cambuk yang lain sudah
menyambar, seolah takut tidak kebagian jatah.
Namun semua serangan itu dielakkan
dengan baik oleh Nimas Sertani, wanita golongan
sesat yang amat tinggi ilmunya. Kelima orang itu menjadi penasaran, mereka
menyerang lagi dengan membabi buta. Namun lagi-lagi serangan
itu tak menemui sasarannya dan agaknya Nimas
Sertani sudah bosan dari tadi mengelak terus,
kini dia balas menyerang.
Dengan mempergunakan ilmu
meringankan tubuhnya, dia berkelebat ke samakemari dengan cepat dan melancarkan pukulan
dan tendangannya. Kelincahan dan
ketangkasannya membuat kelima orang itu
menjadi kalang kabut. Padahal Nimas Sertani
tidak memakai senjata. Tetapi karena nama
besarnya sudah mengejutkan kelima orang itu,
kini serangan mereka menjadi kacau dan dengan
mudahnya Nimas Sertani menjatuhkan mereka
satu per satu. Ia tertawa setelah menendang
Danuwending hingga tersungkur di bawah kursi.
"Inilah upahnya bagi orang-orang ceriwis
macam kalian! Kalian beruntung, hari ini aku lagi tak bernafsu untuk membunuh.
Tapi lain kali,
nyawa kalian tak ada ampunnya! Cepat kalian
menggelinding dari sini!"
Nimas Sertani menendangi mereka satu per
satu keluar. Kelima orang itu lari terbirit-birit.
Lupa dengan nama besar mereka yang terkenal di
dusun Kampil. Nimas Sertani terbahak-bahak. Senang
dengan permainan yang lucu tadi. Dia
menggebrak meja dan berseru, "Pelayan! Di mana kau" Cepat ambilkan aku nasi lagi
dengan lauk pauknya!" Pelayan-pelayan yang mengintip itu, segera
keluar dengan tergopoh-gopoh. Dua orang
melayani Nimas Sertani makan dan beberapa
orang lagi merapikan tempat yang agak
berantakan. Selesai makan, Nimas Sertani beranjak
meninggalkan tempat itu. Sikapnya tenang,
seolah tak pernah ada kejadian apa-apa.
Madewa pun meninggalkan tempat itu.
Benar-benar diluar dugaannya, kalau wanita itu
ternyata Dewi Mulia Berhati Busuk. Seorang
tokoh sesat yang amat lihai.
Madewa menaiki kudanya dan melanjutkan
perjalanan. Matahari sudah beranjak dari
tempatnya di atas kepala. Sudah agak condong ke
barat, menandakan sebentar lagi hari sore dan
malam akan datang.
Ketika Madewa melarikan kudanya,
sesosok bayangan tubuh berkerudung putih
berkelebat. Dia itu Dewi Mulia Berhati Busuk,
yang tengah ditugasi oleh Resi Sendaring untuk
memata-matai Madewa Gumilang!
Setelah Aryo Gembala gagal membunuhnya
di perguruan Topeng Hitam, Resi Sendaring
segera bertindak sesuai dengan rencananya.
6 Laki-laki itu berusia kurang lebih enam
puluh lima tahun, tinggi kurus, namun
langkahnya tegap dan gagah. Ia memegang
sebuah tongkat yang terbuat dari bambu kuning.
Dengan tongkat itu seakan menambah
kegagahannya dan tidak menampakkan
ketuaannya. Kumis, janggut dan rambutnya
sudah putih semua.
Kakek itu bernama Ki Ageng Jayasih. Dia
baru lima hari turun dari tempat kediamannya, di puncak gunung Muria. Luar
biasa, kakek renta
itu mampu menuruni gunung yang demikian
tinggi dan landai itu, menandakan kakek itu
bukan orang sembarangan.
Memang, Ki Ageng Jayasih adalah seorang
pendekar yang bergelar Pendekar Sinar Merah,
karena dari kedua tangannya bisa memancarkan
pukulan jarak jauh yang berupa sinar merah.
Keperluan turun gunungnya kali ini,
adalah mencari murid murtad yang bernama
Nindia yang telah mencuri keris ampuhnya keris
Naga Merah dan mencoba membunuhnya.
Ki Ageng Jayasih luput dari pembunuhan
itu ketika dia sedang bersamadhi. Saat itu,
pikirannya kosong dan jiwanya pun kosong.
Muridnya yang Bernama Nindia diam-diam
mengambil keris Naga Merah dan menikamnya
dengan keris pusaka itu.
Ki Ageng Jayasih rubuh dengan berlumur
darah dan secepat itu Nindia melarikan diri.
Tetapi Ki Ageng Jayasih bukanlah pendekar tua
yang sembarangan. Saat jiwanya kosong
demikian, darahnya cepat berhenti dan dengan
susah payah dia bangkit. Untung yang ditikam
bagian punggungnya. Dengan menelan hati ular
merah, lukanya dapat disembuhkan.
Dia menyangka muridnya itu akan kembali
untuk minta maaf, tetapi ditunggu sampai
delapan tahun, muridnya itu tidak pernah
kembali. Ki Ageng Jayasih kuatir, kalau muridnya mempergunakan keris Naga Merah
untuk kejahatan. Keris itu ampuh sekali, dapat
menembus ilmu kebal macam apa pun.
Setelah delapan tahun itu, mulailah dia
turun gunung. Ki Ageng Jayasih tidak tahu sama
sekali, kalau murid murtadnya itu telah menemui
ajalnya di tangan Madewa Gumilang dan keris
Naga Merah sekarang berada pada pendekar itu
(baca : Petaka Cinta Berdarah).
Dia akan mencari muridnya dan
menghukumnya seberat-beratnya, padahal kalau
muridnya datang untuk minta maaf dia akan
mengampuni. Ki Ageng Jayasih terkenal sebagai
orang yang welas asih. Sama siapa pun juga, baik lawan maupun kawan. Apalagi ini
seorang muridnya, yang diambilnya karena muridnya itu
kecewa cintanya bertepuk sebelah tangan.
Ki Ageng Jayasih melangkahkan kakinya
dengan tenang, santai dan ringan. Dia tidak ingin bertemu dengan muridnya buruburu, dia masih
mengharapkan muridnya itu akan datang
kepadanya untuk minta maaf.
Karena selama lima hari dia berjalan terus
menerus tanpa berhenti, akhirnya dia beristirahat di sebuah hutan kecil dan
mulai membuka perbekalannya. Mulailah dia menikmati isi
perbekalannya dengan lahap.
Tetapi belum lagi dia menyelesaikan
santapannya, terdengar bentakan keras, "Siapa adanya yang berani beristirahat di
daerah kekuasaanku!"
Sesosok tubuh gemuk pendek telah berdiri
tak jauh dari Ki Ageng Jayasih yang sedang
makan. Orang bertubuh pendek itu mendengus
congkak jengkel karena hutan kecil ini adalah
daerah kekuasaannya dan orang itu makan


Pendekar Bayangan Sukma 5 Keris Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan seenaknya tanpa izinnya.
Orang pendek itu melangkah mendekati Ki
Ageng Jayasih yang sudah memasukkan kembali
perbekalannya. Tangan kiri orang itu berkilatkilat tertimpa cahaya matahari, tetapi setelah
dekat barulah Ki Ageng Jayasih melihat kalau
tangan kiri itu terbuat dari sebatang besi bulat yang ujungnya lancip.
Diam-diam Ki Ageng Jayasih mengenal
orang ini. Tangan kiri orang itu buntung akibat
pukulannya beberapa tahun yang lalu. Orang itu
adalah Madurka, adik seperguruannya yang
melarikan putri gurunya dulu dan dialah yang
menyelamatkan gadis itu dengan memberi
kenang-kenangan di tangan kiri Madurka dan
rupanya sudah diganti dengan besi bulat itu.
Ki Ageng Jayasih mengangkat wajahnya
dan tertawa. "He... he... kita bertemu lagi, Madurka,"
katanya sambil berdiri dan bertumpu di
tongkatnya. "Hampir tiga puluh tahun kita
berpisah, kini keadaanmu semakin hebat saja
nampaknya."
Orang yang ternyata adalah Madurka itu
terkejut. Ia memperhatikan orang tua itu dengan
seksama dan terlintaslah di benaknya sebuah
wajah yang tak mungkin terlupakan. Wajah yang
bertahun-tahun dia pendam di hatinya, yang
telah memberi kenangan pada tangan kirinya.
Madurka terbahak.
"Ha... ha... rupanya Kakang Jayasih yang
datang berkunjung ke tempatku ini. Apa kabar,
Kakang" Keadaanmu tak banyak berubah seperti
dulu. Sikapmu masih sopan dan baik...."
"Kabarku baik, Adi Madurka. Kau pun
kelihatan baik, bukan" Kau nampak semakin
gagah dan hebat. Ilmu kesaktianmu pasti tinggi."
"Jangan merendah Kakang Jayasih. Aku
tahu kau pun pasti lebih hebat sekarang. Dari
dulu pun aku tak bisa mengalahkanmu. Kakang
Jayasih... masih ingatkah kau kejadian tiga puluh tahun yang lalu, ketika kau
mengalahkan aku?"
"Aku tak pernah melupakannya, Adi
Madurka." "Aku pun demikian, Kakang. Bertahuntahun kupendam sakit hatiku kepadamu dengan
banyak mempelajari ilmu kepandaian dan
kesaktian. Aku kini menuntut padamu Kakang
Jayasih." "Tuntut apa, Adi Madurka?" tanya Ki Ageng Jayasih pura-pura tidak tahu.
"Aku menginginkan tangan kirimu pula
atau kalau bisa... nyawamu!"
Ki Ageng Jayasih tertawa pelan. "Rupanya
kau belum melupakan perselisihan kita dulu.
Sikapmu tak berubah, selalu berangasan dan
penuh dendam. Aku sebenarnya datang bukan
untuk mencarimu, tetapi untuk mencari murid
yang telah membawa lari keris Naga Merah."
Madurka mendengus. Dendam telah
membakarnya. Dulu dia kalah karena Ki Ageng
Jayasih adalah kakak seperguruannya. Kini tak
ada tanda itu, yang ada hanya dua orang yang
berselisih. Dan Madurka yakin, dengan
kesaktiannya yang dipelajarinya selama ini
mampu mengalahkan kakangnya."
"Kakang Jayasih, bersiaplah.... Aku akan
menuntut balas atas buntungnya tanganku!"
Ki Ageng Jayasih tertawa. Belum bersiap
pula. Madurka tak ambil perduli. Dia membuka
jurusnya dan berseru, "Awas serangan, Kakang Jayasih!" Lalu dia melesat dan
menyerang dengan ganas. Pukulannya penuh tenaga.
Ki Ageng Jayasih masih tertawa dan
mengelak sedikit dengan jalan memiringkan
tubuhnya. Pukulan itu luput, tetapi tangan kiri
Madurka yang berbentuk besi itu menyambar ke
arah leher. Lagi-lagi Ki Ageng Jayasih masih
tertawa. Ia merunduk sedikit dan menyodok
tongkatnya menotok. Madurka menjerit kaget,
tangan kirinya cepat menangkis gerakan itu.
"Tok! Tok!"
Tongkat itu berbenturan dengan tangan Ki
Madurka yang terbuat dari besi. Benturan itu
membuat keduanya agak terhuyung ke belakang!
Rupanya benturan tadi sudah
menggunakan tenaga dalam yang disalurkan
melalui senjata mereka masing-masing, Madurka
mendengus. "Dari dulu kau hebat, Kakang Jayasih.
Tetapi sambutlah kembali seranganku!"
"Keluarkan semua ilmumu, Adi Madurka.
Aku pun ingin tahu sampai di mana
kehebatanmu!"
Kali ini Madurka menyerang dengan lebih
cepat dan ganas. Tangan kirinya menyambar
dengan cepat dan sekali-sekali membuat tusukan,
Ki Ageng Jayasih juga berbuat hal yang sama. Dia mengimbangi kecepatan dan
ketangkasan bekas
adik seperguruannya.
Dua orang tokoh sakti bertempur sudah
pasti sangat hebatnya. Kecepatan keduanya sukar
diikuti oleh mata. Sambaran tongkat dan tangan
besi keduanya seperti gulungan-gulungan hitam
saja yang bergerak dengan sangat cepatnya.
Kadang kedua senjata masing-masing itu
berbenturan dan menimbulkan suara yang
nyaring. Keduanya semakin meningkatkan
permainan mereka.
Tiba-tiba Ki Ageng Jayasih membentak
keras dan mengibaskan tangan kirinya. "Sreeet!"
Selarik sinar merah melesat ke arah Madurka.
Madurka terkejut, dengan sigap dia
melompat ke samping, sinar merah itu melesat
menghantam pohon hingga hancur berantakan.
Madurka pias melihatnya. Dulu pun dia
dikalahkan dengan pukulan sinar merah itu.
Tetapi sekarang dia tidak gentar. Masih dalam
keadaan melompat dia menerjang ke depan.
Tangan kirinya lurus mengancam jantung. Ki
Ageng Jayasih mengerakkan tongkat dan
"Wuutt!"
Tongkatnya setelah menangkis menyambar
ke paha Madurka Madurka mengangkat kakinya
dan bersalto sambil menendang.
"Des!"
Tendangan itu sungguh cepat dan tepat.
Mengenai punggung Ki Ageng Jayasih yang
langsung terhuyung ke depan. Lumayan sakitnya.
Ki Ageng Jayasih berbalik dan tertawa.
"Luar biasa, gerakanmu semakin cepat
saja, Adi Madurka. Tak sia-sia kau kabur dari
perguruan."
"Kau pun luar biasa, Kakang Jayasih.
Sinar merahmu masih merupakan momok
bagiku. Tetapi hari ini, aku akan membalas lunas semua kekalahanku beberapa
tahun yang lalu.
Bersiaplah, Kakang Jayasih. Aku akan
mematahkan tangan kirimu! Bersiaplah, Kakang!"
Ki Ageng Jayasih masih tertawa. Madurka
sudah membuka sebuah jurus, yang kelihatan
ringan namun berbahaya. Walaupun tubuhnya
gemuk, agaknya dia mampu memainkan jurus
itu. Ki Ageng Jayasih mengenali jurus itu.
Dia berkata dengan nada menegur, "Adi
Madurka! Kau tidak boleh memainkan jurus
warisan guru. Jurus itu tidak boleh dimainkan
sembarangan!"
"Kau jeri melihat jurus itu, Kakang
Jayasih" Tak ada jalan lain, aku harus
mematahkan lengan kirimu. Jurus Rajawali Sakti
hanya aku yang diwariskan guru. Tapi kau juga
mendapat sebuah ilmu sakti yang lain. Keluarkan
Kakang Jurus Tangan Bayangan! Kita buktikan
sekarang, siapa yang mampu bertahan dengan
ilmu warisan guru!"
Ki Ageng Jayasih menggeleng. "Aku tidak
ingin menggunakan ilmu warisan guru terhadap
saudara seperguruan! Kau pun seharusnya
demikian, Adi Madurka!"
"Masa bodoh!" Madurka keras kepala. Dia yakin, selain ilmu Rajawali Sakti dia
tidak akan mampu menandingi kakak seperguruannya.
"Bersiaplah, Kakang! Kau akan berkenalan lagi dengan Rajawali Sakti!"
Tiba-tiba Madurka mengangkat kedua
tangannya ke atas, membentuk sebuah cakar.
Kakinya terangkat satu. Sebenarnya lucu
gerakannya, tetapi dalam gerakan itu tersimpan
sebuah jurus maut yang hebat dan gerakannya
pun menyentak, dengan tiba-tiba saja dia bersalto ke depan dan menyambar dengan
cakarnya. Ki Ageng Jayasih merunduk, tetapi tubuh
gemuk itu memutar, kali ini tangan kirinya
menyambar ke kaki. Ki Ageng Jayasih melompat
dan lagi Madurka melancarkan serangannya.
Menerkam dengan tangan kanannya. Beruntun
dengan sangat cepat.
Susah payah Ki Ageng Jayasih menangkis
dan "Des!" sebuah pukulan bersarang di dadanya, yang langsung terasa sesak.
Rupanya Mandurka
benar-benar menginginkan lengan kirinya, dia
bergerak lagi dengan cakar menyambar dan
tangan kiri menusuk.
Ki Angeng Jayasih bersalto ke belakang da
begitu hinggap di tanah, dia membuka sebuah
jurus dan melempar tongkatnya ke samping.
Madurka terbahak melihatnya.
"Akhirnya kau mainkan juga jurus Tangan
Bayangan!" serunya mengejek.
"Tak ada jalan lain, Adi Madurka. Ilmu
warisan guru harus dilawan dengan ilmu warisan
guru pula. Kini aku siap menandingimu."
"Baik! Tahan seranganku, Kakang Jayasih!"
Kembali dua tenaga dan ilmu sakti saling
beradu. Saling serang dan membalas. Keduanya
benar-benar hebat dan mengandalkan kekuatan
dan kelincahan, ketangkasan, serta ilmu warisan
guru mereka, mendiang Sunan Bonang.
Gempuran-gempuran itu membuat
suasana di hutan kecil itu seperti kedatangan
puluhan banteng liar. Beberapa pohon tumbang
terkena pukulan dan tendangan. Juga sekalisekali Ki Ageng Jayasih melepaskan pukulan
sinar merahnya yang menghantam pohon hingga
kering dan hangus.
Tiba-tiba Madurka memekik, tubuhnya
melompat di udara. Tangan kanannya
menyambar ke kepala Ki Ageng Jayasih. Dia
rupanya sudah sampai pada titik tinggi ilmu
Rajawali Saktinya. Ki Ageng pun berbuat yang
sama. Dia pun melompat dan memapaki serangan
itu dengan jurus Tangan Bayangannya, yang
membuat tangan itu bergerak seperti bayangan.
Tak kelihatan gerakannya, hanya dorongan
anginnya yang masih bisa membuat Madurka
menangkis. Dua tenaga itu saling berbenturan dengan
keras dan tubuh keduanya ambruk ke tanah
dalam keadaan muntah darah. Sama-sama
menderita luka dalam.
Ki Ageng Jayasih bangkit lebih dulu,
rupanya dia tidak begitu parah lukanya.
Kemudian menyusul Madurka yang agak
terhuyung. Dadanya sakit sekali. Tangannya pun
terasa mau patah.
Ia menatap kakak seperguruannya dengan
geram. "Rupanya Yang Kuasa belum menghendaki aku menang.... Tunggulah aku lagi,
Kakang Jayasih! Aku akan tetap mencarimu dan tak akan
melupakan semua yang telah terjadi di antara
kita...!" Lalu dengan menahan sakit dadanya dan sakit hatinya, Madurka
meninggalkan tempat itu
dengan terhuyung. Ki Ageng Jayasih pun
menahan rasa sakitnya. Dia menelan pil yang
disimpan di kantung perbekalannya. Lalu
mengambil tongkatnya dan meninggalkan tempat
itu Dia tidak menyangka, akan berjumpa
dengan adik seperguruannya, yang ternyata
masih mendendam dan tidak melupakan
kekalahannya dulu.
Lebih baik dia mencari tempat untuk
menetap selama beberapa hari, memulihkan luka
dalamnya. Nanti setelah sembuh, dia akan
mencari muridnya dan keris Naga Merah pusaka
kebanggaannya. 7 Malam pekat. Bulan bersinar dengan
terang, memang saat itu bulan purnama.
Keheningan malam terasa amat mencekam.
Dari perguruan Topeng Hitam, menyelinap
sesosok tubuh dengan ringannya. Gerakan orang
itu cepat dan agaknya dia menggunakan ilmu
meringankan tubuh untuk berlari.


Pendekar Bayangan Sukma 5 Keris Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah agak jauh dari perguruan itu,
orang itu berhenti. Membuka topeng hitamnya,
dan menyelipkan di balik pakaiannya. Wajah
orang itu tertimpa cahaya bulan dan terlihat
seraut wajah persegi namun tampan, dia adalah
Bayuseta. Bayuseta yang mempunyai pikiran jelek
setelah Ratih Ningrum berkata telah berhutang
budi padanya, dia akan mencari jalan agar Ratih
Ningrum mau tak mau akan mengabulkan
permintaannya, sebagai balas budi yang telah dia lakukan.
Dan itu akan dilakukannya agar Ratih
Ningrum mau menerima cintanya.
Menurut aturan yang dimiliki perguruan
Topeng Hitam, dilarang murid-murid untuk
keluar tanpa izin, apalagi jika sang ketua tidak ada. Namun Bayuseta sudah
beberapa kali melakukan hal itu. Dia adalah seorang pemuda
mata keranjang yang tak tahan menahan nafsu
birahinya jika melihat wanita cantik. Dia selalu
menyelinap keluar untuk melampiaskan nafsu
setannya di tempat-tempat pelacuran.
Tetapi kali ini, keperluannya lain.
Persaingan antara perguruan Topeng Hitam
dengan perguruan Cakar Naga, bukan berita baru
di telinga Bayuseta. Dia akan mempergunakan
kesempatan itu untuk bisa merebut Ratih
Ningrum dari tangan ketuanya sendiri!
Bayuseta kembali mempergunakan ilmu
meringankan tubuhnya. Dengan cara itu, dia
hanya sebentar saja tiba diperguruan Cakar Naga
yang jauh jaraknya. Ia menenangkan nafasnya
sebentar. Lalu bersalto ke tembok perguruan itu.
Tak ada seorang pun penjaga di sana.
Tetapi begitu dia menjejakkan kakinya,
bermunculan belasan penjaga siap dengan
senjata masing-masing. Bayuseta jerih juga
melihatnya. Tetapi dia mengambil sikap tenang,
memang harus menempuh bahaya kalau ingin
berhasil, begitu hiburnya dalam hati.
"Maaf Saudara-saudara, namaku Bayuseta.
Kedatanganku ada perlu dengan Resi Sendaring!"
serunya keras. "Ketua sedang sibuk!" bentak salah
seorang. "Tidak bisa diganggu!"
"Masalahnya penting, Saudara!
Perkenankan saya menemui Resi Sendaring!"
"Tidak bisa'" orang itu membentak lagi.
Dan serentak tiga orang maju dengan sikap siap
tempur. Bayuseta pun bersiap, menghadapi
kemungkinan yang terjadi.
"Tahan!" terdengar bentakan keras dan
sosok tubuh bersalto memasuki tempat di mana
Bayuseta dikepung. Orang itu adalah Resi
Sendaring. Kini melipat tangannya dan berdiri
dengan gagah. Bajunya yang panjang berkibar
ditiup angin malam. "Siapa kau, Orang muda?"
tanyanya dengan suara yang angkuh. "Dan perlu apa mencariku?"
"Bayuseta menjura hormat, merasa
beruntung karena Resi Sendaring sendiri yang
muncul. "Namaku Bayuseta, Resi. Kedatanganku ke
mari adalah membawa suatu masalah yang amat
penting." "Hmm, apa itu?"
"Sekali lagi maaf, Resi. Ada baiknya kalau
kita membicarakan masalah ini di dalam."
Bayuseta menjura sekali lagi.
"Resi Sendaring terdiam. Mengusap-ngusap
janggutnya yang putih. Tetapi kemudian dia
mengangguk. "Baiklah, silahkan masuk, Bayuseta."
"Terima kasih, Resi."
Resi Sendaring mendahului masuk.
Bayuseta menyusul. Orang-orang yang
mengurung tadi menjaga ke tempat semula.
Sebenarnya kedatangan Bayuseta tadi sudah
diketahui oleh salah seorang penjaga dan mereka
bersembunyi dengan maksud menjebak. Sebelum
terjadi pertumpahan darah, ketua mereka
muncul. Resi Sendaring mengajak Bayuseta ke
tempat pribadinya. Sebuah ruangan yang agak
besar. Ia menyuruh Bayuseta duduk.
"Nah, katakan apa maksud kedatanganmu,
Orang muda?"
"Maafkan aku, Resi yang kuhormati.
Sebenarnya, aku murid perguruan Topeng
Hitam..." Bayuseta menghentikan kata-katanya karena kelihatan Resi Sendaring
sedikit kaget, tetapi setelah tidak menampakkan rasa
kemarahan, Bayuseta meneruskan, "Saat ini
ketua perguruan Topeng Hitam sedang tidak
berada di tempat. Perguruan hanya dijaga oleh
istrinya yang bernama Ratih Ningrum dan
beberapa orang pilihan...."
Resi Sendaring memotong, "Lalu
maksudmu apa, Bayuseta?"
"Resi... biarpun aku salah seorang murid
dari perguruan Topeng Hitam, tetapi aku sangat
membenci sang ketua, Madewa Gumilang. Beliau
sangat sombong sekali tidak seperti Paksi
Uludara. Dan aku kemari, mohon petunjuk dan
bantuanmu, bagaimana caranya agar aku dapat
mengalahkan Madewa Gumilang."
Tiba-tiba Resi Sendaring terbahak keras,
sampai Bayuseta sendiri kaget mendengarnya.
"Jadi kau menginginkan kematian
ketuamu, hah?" tanya Resi Sendaring gembira.
Bayuseta mengangguk mantap. Dengan
dibunuh Madewa Gumilang, dia akan leluasa
memiliki Ratih Ningrum. Soal itu gampang,
sebagai balas budi!
Resi Sendaring menepuk-nepuk bahu
Bayuseta. "Soal itu mudah, Orang muda. Mulai hari
ini, kau menjadi sekutu perguruan Cakar Naga!
Bayuseta, sejak lama aku pun, menginginkan
kematian ketuamu itu dan kehancuran
perguruan Topeng Hitam! Dan sekarang kau
datang menyampaikan hal itu, baik, baik, aku
akan menjalankan semuanya dengan baik!
Kuminta padamu, Bayuseta... laporkan kalau ada
hal-hal yang berkenaan dengan rencana kita."
"Baik, Resi."
"Sekarang kau kembalilah keperguruanmu,
hati-hati jangan sampai ketahuan siapa pun kau
menyelinap kemari."
"Baik, Resi. Ada satu lagi yang hendak ku
beritahu kepadamu."
"Soal apa?"
"Beberapa hari yang lalu, seorang laki-laki seperti banci mengacau di perguruan
Topeng Hitam, tetapi berhasil dikalahkan oleh ketua
Madewa Gumilang. Sebelum pergi laki-laki yang
bernama Aryo Gembala berkata tentang makam
Paksi Uludara yang...."
Resi Sendaring memotong, "Tak perlu kau
teruskan. Aku sudah mengetahui semua itu."
Bayuseta terkejut. "Resi sudah mengetahui
semua itu?"
"Ya... karena Aryo Gembala adalah orangku
juga, termasuk kau! Dan aku tahu ke mana
Madewa pergi, dia mengunjungi makam Paksi
Uludara...."
Bayuseta belum mengetahui ada apa
sebenarnya dengan makam ketuanya yang
terdahulu itu. Dia mencetuskan keingintahuan
nya. Resi Sendaring tertawa.
"Kau boleh lihat sendiri nanti! Kita
menunggu laporan Dewi Mulia Berhati Busuk,
yang ku tugaskan untuk memata-matai Madewa
Gumilang."
Bayuseta terdiam. Biar bagaimana pun,
Paksi Uludara dulu yang mendidik dan
melatihnya dalam ilmu pedang dan kepandaian
yang lain. Dalam hatinya dia tidak rela kalau
makam ketuanya itu diganggu oleh orang
perguruan Cakar Naga. Tetapi mau apa,
menentang mereka akan percuma. Lagipula, dia
sudah masuk ke perkumpulan itu.
"Bayuseta, kau kembalilah. Laporkan
kepadaku jika ada sesuatu yang penting."
Bayuseta bangkit dan menjura. "Baik, Resi.
Aku mohon diri!" Bayuseta mundur ke belakang, lalu melompat tembok dan
menghilang di kegelapan malam. Di tempat tadi dia membuka
topengnya, dia mengenakan topeng itu kembali.
Lalu menyelinap lewat belakang. Melewati istal
kuda, dia melompat ke genting dan membuka
beberapa buah genting lalu meloncat ke bawah.
Lega hatinya sudah kembali ke perguruan.
Sementara itu Resi Sendaring gembira, karena
tanpa disangkanya, orang perguruan Topeng
Hitam sendiri yang menginginkan kematian
Madewa Gumilang.
Ini suatu keuntungan baginya, dengan
begitu, dia bisa memata-matai kegiatan yang
berlangsung di perguruan Topeng Hitam.
Sebelum matahari terbit, besok dia akan
mengirimkan sepuluh orang muridnya untuk
membongkar makam Paksi Uludara dan
membawa kerangkanya kemari! Itulah rencana
Resi Sendaring terhadap makam Paksi Uludara.
Resi Sendaring tertawa sendiri karena
yakin rencananya akan berhasil. Besoknya pula,
dia akan mengirimkan beberapa orang tokoh sakti
seperti Sumpila, Tidasewu dan Angkasena untuk
mengacau di perguruan Topeng Hitam. Malah
kalau bisa, menangkap hidup-hidup Ratih
Ningrum. Ketiga orang itu, pasti bisa menjalankan
tugas mereka dengan baik. Resi Sendaring pun
sudah berpesan, agar jangan membawa namanya
dan nama perguruan Cakar Naga!
Tunggulah aku, Topeng Hitam,
keruntuhanmu tak akan lama lagi!
Dan yang paling membuat Resi Sendaring
gembira, adalah membayangkan Ratih Ningrum
bakal menjadi pendampingnya.
*** 8 Keesokkan harinya, sesuai dengan
rencananya, Resi Sendaring mengirimkan sepuluh
orang murid perguruan Cakar Naga ke makam
Paksi Uludara. Sepuluh orang murid itu adalah
murid-murid utama perguruan Cakar Naga.
Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang
bernama Joko Mandra, yang dibekali sebuah
golok besar oleh Resi Sendaring.
Mereka berangkat sebelum matahari terbit.
Sesudah itu, Resi Sendaring juga
menugaskan tiga orang tangan kanannya untuk
mengunjungi perguruan Topeng Hitam, kalau bisa
menguasai perguruan itu. Ia sendiri akan pergi ke rumah Madurka atau si Orang
Cacat Sakti, yang
diberitakan terluka parah.
Lalu ketiga orang yang ditugaskan itu
segera berangkat. Mereka akan merebut
perguruan Topeng Hitam itu.
Saat itu di perguruan Topeng Hitam seperti
biasa kalau pagi murid-muridnya berlatih. Kali ini di bawah pimpinan Ratih
Ningrum. Ia mengajarkan jurus pedang kembarnya. Dan
seperti biasa Pranata Kumala mengikuti setiap
gerakan itu, seperti kali ini berada di barisan
belakang, tidak di samping seperti biasanya.
Tujuh barisan bergerak mengikuti gerakan
Ratih Ningrum. Setiap barisan berisi sepuluh
orang. Jadi semuanya tujuh puluh orang. Masih
ada beberapa murid perguruan Topeng Hitam
yang tidak ikut latihan. Mereka bertugas
memasak dan merapikan ruangan, juga merawat
kuda-kuda. Semua gerakan itu diikuti dengan
sungguh-sungguh. Hanya ada seorang yang
gerakannya kelihatan kaku, padahal dia murid
utama. Orang itu adalah Bayuseta, yang sedang
cemas menanti kedatangan orang utusan Resi
Sendaring. Karena berlatih sambil berpikir,
gerakannya jadi kacau. Ia tidak bisa konsentrasi.
Agaknya Ratih Ningrum melihat hal itu.
Dia berseru memanggil, "Bayuseta! Kulihat
gerakanmu kacau, lebih baik beristirahat dulu
kalau kau lelah!"
Hari ini, murid-murid perguruan Topeng
Hitam tidak memakai topeng hitamnya, karena
Ratih Ningrum sulit untuk mengenali mereka.
Lain dengan suaminya yang padangannya bisa
menembus jarak yang jauh, bahkan menembus


Pendekar Bayangan Sukma 5 Keris Naga Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunung sekalipun. Suaminya memiliki ilmu
pandangan menembus sukma.
Karena saat ini murid-murid itu tidak
memakai topeng hitam, Ratih Ningrum mudah
mengenali Bayuseta.
Bayuseta segera membetulkan gerakannya.
Ia agak malu ditegur demikian, apalagi sama
wanita yang dicintainya. Tetapi ia tidak mau
berhenti. Ratih Ningrum berkata lagi, "Istirahatlah
dulu, Bayuseta. Mungkin kau lelah."
Bayuseta menjura antara malu dan
hormat. "Tidak, Nyonya ketua."
"Kalau begitu, kau perbaiki gerakanmu dan
perhatikan yang lain."
Ratih Ningrum memperhatikan lagi muridmurid perguruan Topeng Hitam yang berlatih
dengan sungguh-sungguh. Bayuseta pun berbuat
yang sama, walau pikirannya sekali-kali melayang kepada rencana Resi Sendaring.
Kenapa orang-orang yang diutusnya belum datang juga"
Beberapa jam kemudian, latihan itu
selesai. Murid-murid perguruan Topeng Hitam
berhamburan masuk dan sebagian beristirahat.
Pranata Kumala masih berlatih di tempat tadi.
Bocah itu tidak puas-puasnya berlatih. Sejak
melihat ayahnya mengalahkan Aryo Gembala,
Pranata Kumala ingin bisa seperti ayahnya.
Makanya dia giat berlatih.
Mendadak telinganya mendengar panggilan
dari kiri, "Hei, kau bocah! Kemari!"
Pranata Kumala menghentikan berlatihnya.
Ia menoleh, seorang laki-laki kurus tinggi
melambaikan tangannya. Pranata belum beranjak
mendekati, dia masih heran, dari mana orang itu
masuk. Tetapi kemudian dia ingat akan Aryo
Gembala, yang datang dengan melompati pagar.
Orang yang datang tanpa lewat pintu
depan, adalah orang yang tak sopan. Seperti Aryo Gembala yang hendak mengacau.
Berpikiran demikian, bocah kecil yang pintar itu, menatap
orang tinggi kurus itu dengan curiga.
"Kamu siapa, Bapa?" tanyanya tanpa
mendekati. Orang yang tak lain adalah Tidasewu,
melambaikan tangan lagi.
"Cepat kau kemari, aku punya hadiah
untukmu." "Tidak mau. Kau pasti hendak berbuat
jahat." Tidasewu menjadi gemas. Anak ini ternyata cerdas. Dia berlari menubruk,
tapi sungguh di
luar dugaannya, anak itu mampu mengelak. Dia
menjadi penasaran. Ditubruknya lagi dengan
lebih cepat, tetapi lagi-lagi anak itu mampu
menghindar. Kali ini dengan bersalto ke belakang.
Gerakan anak itu bagus dan mantap.
Merasa tangkapan orang itu selalu menemui
kegagalan, Pranata Kumala menjadi keenakan
dan geli sendiri.
"Ayo tangkap aku, Bapak!" ejeknya yang membuat wajah Tidasewu merah padam.
Dia terdiam, akan dikejutinya anak itu.
Pranata masih tertawa-tawa. Tiba-tiba Tidasewu
menerjang, Pranata berkelit ke kiri. Kesempatan itu dipakai oleh Tidasewu dengan
menggerakkan kakinya untuk menyambar kaki anak itu. Tetapi
sungguh di luar dugaannya. Bocah itu masih
mampu menghindar.
Kesabaran Tidasewu habis. Dia
mempercepat tangkapan dan terjangannya. Biar
bagaimanapun Pranata Kumala hanya seorang
bocah, biar pun kelihaiannya bersalto lumayan,
tetapi tenaganya jauh dibandingkan dengan
Tidasewu. Juga kelihaiannya.
Ia agak kewalahan sekarang menghindari
serangan yang gencar itu. Suatu ketika Tidasewu
berhasil menangkap tangan kirinya. Tetapi
serentak dia lepaskan, karena bocah itu sudah
memukulkan pedang kayunya.
Memang pukulan itu tidak sakit, tetapi
sungguh mengejutkan. Rupanya bocah itu pandai
pula bersilat. Merasa dia menang lagi, Pranata Kumala
tertawa mengejek.
"Ayo tangkap, aku! Tangkap!" serunya
sambil bersalto ke sana-kemari, menunjukkan
kelincahannya. Tidasewu semakin marah. Mendadak dia
meloloskan pedang dari punggungnya.
Pedang itu diacungkan di wajah Pranata.
"Lihat pedang ini, Bocah! Akan kusembelih kau!"
Pranata tidak takut melihat pedang itu. Dia
sudah sering melihat kakak-kakak perguruan
Topeng Hitam berlatih dengan menggunakan
pedang. Dua pedang saja dia tidak takut, apalagi hanya satu pedang yang dipegang
laki-laki tinggi kurus itu.
Melihat bocah itu tenang-tenang saja,
Tidasewu geram bukan main. Dia berkelebat
cepat. Pedangnya menyabet tanpa ampun.
Pranata masih mempergunakan
kelihaiannya berkelit. Tetapi hanya sekali dia bisa
melakukan itu. Dia hanya seorang bocah yang
belum tahu tingginya langit dalamnya lautan.
Yang dihadapinya adalah seorang dewa pedang
yang tangguh dan perkasa.
Hanya seorang yang mampu mengimbangi
permainan pedangnya, orang itu Paksi Uludara
dan secara otomatis Tidasewu merajai permainan
pedang di rimba persilatan kala itu karena Paksi Uludara sudah empat tahun
wafat. Dan bocah cilik itu tidak tahu siapa yang
sedang dihadapinya. Tidasewu adalah orang yang
kejam. Begitu dia menyodokkan pedangnya,
Pranata bersalto. Tetapi pedangnya langsung
menyambar, membuat anak itu memekik
ketakutan. Ia terjatuh.
Tidasewu sudah berdiri di hadapannya.
Pedangnya siap mengayun. Wajah Pranata
Kumala pucat. Ketakutan mulai menjalar.
Dadanya bergemuruh. Sekarang dia melihat lakilaki kurus tinggi itu bukan laki-laki yang bisa
diajak bermain tetapi laki-laki yang ingin
membunuhnya! Tidasewu tidak mau menunggu lama lagi,
anak ini sudah menjengkelkannya. Ia
mengayunkan pedangnya. Pranata memejamkan
matanya, ngeri. Ia menjerit ketakutan.
"Trang!"
Pedang yang dipegang Tidasewu berpijar,
Tidasewu sendiri terhuyung ke belakang. Sebuah
senjata rahasia berbentuk topeng hitam
menabrak pedangnya.
Sepuluh orang murid perguruan Topeng
Hitam sudah mengepungnya. Ratih Ningrum pun
sudah berlari dan menghampiri putranya.
Ia memperhatikan laki-laki kurus tinggi ini.
"Siapa Anda kenapa hendak membunuh
anak ku?" bentaknya marah.
Tidasewu tertawa. Tawanya nyaring.
"Aku datang, memang untuk membunuh
semua orang di sini!" nada suaranya menjadi kejam. "Termasuk kau, Ratih
Ningrum!" Mendengar istri ketuanya dibentak, salah
seorang murid perguruan Topeng Hitam balas
membentak, "Kau bicara sembarangan, orang
jelek! Kau sudah memasuki daerah macan, dan
sulit untukmu untuk melepaskan diri!"
Tidasewu tertawa lagi.
"Akan kuratakan semua orang di sini
dengan tanah! Ketahuilah, aku Tidasewu, Dewa
Pedang yang akan menghancurkan perguruan
Topeng Hitam!"
Nah, bagaimana nasib Perguruan Topeng
Hitam. Silahkan anda ikuti dalam Kakek Sakti
dari Gunung Muria.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Guntur 14 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Rajawali Emas 7

Cari Blog Ini