Ceritasilat Novel Online

Sekutu Iblis 1

Joko Sableng Sekutu Iblis Bagian 1


SATU NENEK berwajah angker itu lari laksana dikejar
setan. Namun mendadak dia menghentikan larinya
dan secepat kilat putar diri lalu berlari balik dari mana dia tadi datang.
Sejarak delapan tombak, si nenek kembali
hentikan larinya. Kepalanya sedikit didongakkan.
Kedua tangannya bergerak merangkap di depan
dada. Tanpa putar pandangan mulutnya membuka
perdengarkan bentakan keras.
"Setan sekalipun kau adanya, kenapa pengecut
mengikutiku secara sembunyi"!"
Tak ada suara sahutan atau adanya gerakan tanda
akan munculnya seseorang.
SI nenek yang ternyata mengenakan pakaian
panjang warna coklat dan tangan kanan
menggenggam sebuah tusuk konde besar berwarna
hitam dan tidak lain adalah Nl Luh Padml adanya
tersenyum dingin. Masih tanpa gerakkan kepala,
mulutnya kembali angkat bicara membentak.
"Setiap orang selalu berusaha ingin dikenali
meskipun sudah berkalang tanah. Apakah kau justru
tak ingin dikenali walau nyawa masih di tubuhmu,
hah"!"
Sesaat Ni Luh Padml menunggu masih tanpa
membuat gerakan apa-apa. Meski begitu, nenek ini
maklum kalau di tempat itu dia tidak sendirian. Malah dia tahu kalau orang yang
diyakininya selalu
mengikuti ke mana dia berlari tidak jauh dari
tempatnya berdiri.
Apa yang diyakini si nenek tidak jauh meleset.
Karena hanya sejarak sepuluh langkah dari
tempatnya berdiri, satu sosok tubuh tampak mendekam sama
rata dengan tanah di balik rimbun semak belukar
dengan kepala menghadap ke arahnya,
"Aku akan bicara sekail lagi. Keluar atau kau mampus tanpa dikenali!"
Seraya berkata membentak, si nenek luruskan
kepalanya yang berambut putih. Saat bersamaan
rangkapan kedua tangannya dilepas. Tangan kir;
diangkat tinggi, tangan kanan yang menggenggam
tusuk kode besar ditarik sedikit ke belakang. Kejap lain tangan kirinya
bergerak. Wuuuttt! Satu gelombang angin deras menggebrak ke arah
semak belukar di mana orang mendekam sembunyi.
Semak belukar terabas rata dan langsung
bertaburan ke udara. Namun tidak terlihat adanya
gerakan orang yang berkelebat membuat gerakan
memangkas pukulan si nenek atau menghindar
selamatkan diri.
Sesaat Ni Luh Padml tampak slpltkan sepasang
matanya yang melotot besar. Keningnya mengernyit.
"Heran. Aku yakin orang yang mengikutiku sembunyi di balik semak belukar yang
terkena pukulanku. Aku tidak melihat dia menangkis atau bergerak
menghindar. Tapi kenapa suaranya tidak
kudengar..."! Apa dia langsung mampus"!"
Selagi si nenek tengah membatin, satu suara
terdengar. "Kau salah duga, Nek! Aku tidak mengikutimu.
Mungkin kita hanya satu arah meski lain tujuan...."
NI Luh Padmi bukan saja tersentak kaget, tapi
laksana terbang dia berkelebat ke arah datangnya
suara. Nl Luh Padmi tegak dengan mata terpentang dan
mulut mendengus. Tapi diam-diam dia sebenarnya
juga merasa heran. Dia tidak melihat adanya gerakan orang, tapi bukan saja
pukulannya tidak mengenai
sasaran orang yang diyakininya bersembunyi di balik semak belukar, namun di
hadapannya kini tampak
duduk seorang kakek bertubuh besar mengenakan
pakaian gombrong berwarna hijau yang seolah acuh
dan sepasang matanya terpejam rapat. Kakek ini
mengenakan sebuah Ikat pinggang besar yang pada
bagian perutnya terlihat cermin bulat.
Rasa heran Ni Luh Padmi telah cukup membuat
nenek Ini sadar bahwa kakek di hadapannya bukan
manusia sembarangan. Namun merasa dirinya selalu
diikuti, si nenek menjadi curiga.
Seperti diketahui, setelah bertemu dengan
Pendekar 131 dan tidak mendapatkan keterangan
apa-apa, Ni Luh Padmi berkelebat mengejar ke arah
mana murid Pendeta Sinting berkelebat. Tapi nenek
ini pada akhirnya kehilangan jejak. Hingga dia hanya berlari menuruti kehendak
kakinya. Namun diam-diam si nenek jadi curiga saat dia merasa ada
seseorang yang selalu mengikuti ke mana dia berlari.
"Hem.... Mustahil kalau dia mengatakan searah denganku. Aku mengambil jalan
semauku. Tapi dia
selalu menguntitku! Pasti ada sesuatu...." Ni Luh Padmi membatin. Lalu
membentak. "Aku tanya. Ke mana sebenarnya tujuanmu"!"
Kakek bertubuh besar dan bukan !ain adalah Gendeng Panuntun buka sepasang matanya. Di depan
sana N i Luh Padmi terperanjat.
"Matanya berwarna putih. Berarti dia buta! Tapi....
Dia tahu ke mana arah jalanku. Dia juga tahu aku
seorang perempuan tua!"
"Nek.... Ke mana tujuanku bukanlah satu hal
penting. Yang jelas tujuanku tidak mencari seseorang yang belum kutahu di mana
tempat tinggalnya...."
Ni Luh Padmi makin beliakkan sepasang matanya.
"Astaga! Dia bukan saja tahu ke mana arahku, tapi Juga tahu apa yang menjadi
tujuanku! Kukira ini
bukan satu kebetulan. Atau jangan-jangan dia
seorang peramal.... Hem.... Kalau betul, tak ada
salahnya aku tanya di mana beradanya orang yang
tengah kucari...."
Berpikir begitu, Ni Luh Padmi lalu buka mulut.
"Ucapanmu membuatku menduga kau adalah
seorang peramal. Benar"!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak. "Untuk
kedua kalinya kau salah duga, Nek.... Aku bukanlah seorang peramal!"
"Tapi ucapanmu seolah kau tahu apa yang kini
tengah kualami!"
"Ah.... Begitu" Jadi kau mencari orang yang belum kau ketahui di mana tempat
tinggalnya"!"
"Betul!"
"Hem.... Kau mau dengar ucapanku?" tanya Gendeng Panuntun.
Sebenarnya Ni Luh Padmi enggan untuk
mendengarkan ucapan orang. Namun setelah berpikir
agak panjang, akhirnya nenek ini berucap.
"Apa yang hendak kau katakan"!"
"Kalau aku jadi kau, aku akan urungkan niat...."
Ni Luh Padmi tegak dengan tubuh sedikit bergetar.
Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. "Kau!"
bentaknya dengan suara membahana. Tangan kirinya
menunjuk lurus ke arah wajah Gendeng Panuntun.
"Jangan berani menghalangiku! Siapa pun kau
adanya!" Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Aku tidak punya maksud menghalanglmu. Aku
hanya berucap seandalnya...."
Tapi maksudmu menghalangiku bukan"!"
"Aku tidak punya maksud apa-apa dengan
ucapanku. Kau hanya perlu mendengarkan. Itu pun
kalau kau mau. Jika tidak, jangan diambil hati...."
Untuk beberapa lama, baik NI Luh Padmi maupun
Gendeng Panuntun sama-sama diam. Si nenek
pandangi sosok orang dengan hati bertanya-tanya.
Sementara Gendeng Panuntun dongakkan kepalanya.
Lalu bergerak jangkit. Tangan kanannya mengusap
cermin. Lalu berkata.
"Perjalanan membawa dendam hanya akan
mendatangkan bencana. Apalagi usia telah
menginjak senja. Apa tidak lebih ba'k melupakan apa yang pernah terjadi walau
kadangkala hal itu
memerlukan kesadaran tinggi?"
"Manusia ini benar-benar tahu apa yang sedang dan hendak kulakukan! Tapi aku tak
akan menabah niat! Apa pun yang akan terjadi pantang bagiku
surutkan langkah!" Ni Luh Padmi berkata dalam hati.
Lalu berucap. "Sayang sekali. Aku bukanlah orang yang dapat begitu saja melupakan apa yang
pernah terjadi!
Bahkan dalam perjalananku ini, aku telah siap
menerima apa yang akan terjadi!"
Gendeng Panuntun terlihat perdengarkan tawa
pendek mendengar ucapan Ni Luh Padmi. "Orang bisa saja berkata siap menerima apa
yang akan terjadi.
Tapi sesungguhnya itu semua hanya dalam bentuk
kata ka- ta. Dalam hati kecil, justru yang ada adalah
kebalikan dari kata-kata itu! Kalaupun orang terus melakukan niatnya, sebenarnya
orang itu hanya
bermain untung-untungan!"
"Kata-katamu mungkin berlaku untuk orang lain.
Bukan bagiku! Kau tahu, bukan satu dua tahun aku
memiliki dendam ini! Bukan dua tiga tahun aku
berjalan mencari tahu! Seandainya kau jadi aku,
apakah kau akan pulang balik dengan membawa
dendam yang semakin membara"!"
"Tidak ada sesuatu yang dapat diselesaikan
dengan dendam membara! Karena itu, tanpa
mengandaikan diriku, kau akan bisa jawab sendiri
pertanyaanmu jika kau mau sedikit berlapang dada
meredakan kobaran amarahmu...."
"Jangankan kau, seribu orang sepertimu tak akan dapat merubah apa yang menjadi
tujuanku! Jadi jangan terlalu banyak bicara tentang urusan
dendamku! Kau dengar"!"
"Baiklah.... Sekarang aku ingin tahu jawabanmu seandainya aku katakan kau tidak
akan bisa lakukan dendammu. Malah tidak tertutup kemungkinan kau
akan berurusan dengan orang yang sebelumnya tidak
pernah terlintas dalam benakmu! Apa jawabmu...?"
Ni Luh Padmi bukannya menjawab dengan katakata melainkan dengan tertawa mengekeh panjang.
"Kau memang bisa menebak tepat apa yang tengah dan akan kulakukan! Tapi kau
sudah bicara ngelantur kalau hal itu kau tanyakan padaku!"
"Hem.... Berarti kau belum siap menghadapi apa yang akan terjadi!"
Ni Luh Padmi makin perkeras kekehan tawanya
seraya berkata.
"Semua manusia akan menemui ajal! Kalau orang takut mati, itu adalah manusia
tolol yang otaknya
perlu dicuci! Dan aku bukan bangsa manusia seperti itu!"
"Aku tidak bicara soal kematian! Yang kukatakan adalah jalan yang akan menuju
kematian! Dan hal itu mungkin masih akan kau lewati!"
"Hem.... Kau kudengar selalu menakut-nakutlku.
Apa sebenarnya yang kau mau"! Dan siapa kau
sebenarnya"!"
"Kau selalu salah duga. Aku tidak menakut-nakuti.
Semata-mata aku hanya berkata seandalnya! Dan
jangan IUr>.t, seandainya yang sejak tadi kukatakan, untuk urusanmu ini tidak
mustahil akan terjadi!"
"Hem.... Jadi menurut ramalanmu, aku akan
menemui kesulitan dalam urusanku ini. Begitu"!" "Aku tidak meramal...."
"Kalau kau mengatakan apa yang akan terjadi
pada diriku sebelum hal itu benar-benar terjadi, lalu itu kau namakan apa,
hah"!" sentak Ni Luh Padmi.
"Ah.... Terserah kau sajalah hendak kau sebut apa.
Tapi yang jelas aku tadi mengatakan seandainya...."
"Tapi nada ucapanmu seolah mengatakan hal itu akan benar-benar terjadi!"
Kail Ini ganti Gendeng Panuntun yang
perdengarkan tawa panjang seraya berkata. "Hati-hati, Nek. Perasaan dan firasat
seorang perempuan
kadangkala akan jadi kenyataan...."
"Persetan! Dalam perjalananku ini telah hilang segala macam perasaan dan
firasat!" "Ah.... Kau masih juga berpura-pura.... Tapi itu semua urusanmu. Hanya sekali
lagi kukatakan,
seandainya aku jadi kau, aku akan pulang saja ke
seberang daripada harus berurusan dengan orangorang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengan urusan perjalananmu...."
"Sialan benar! Dia juga tahu kalau aku datang dari seberang! Jangan-jangan
ucapannya...." Diam-diam Ni Luh Padmi menjadi tidak enak dan gelisah. Dadanya
berdebar. Namun nenek ini segera dapat
tenteramkan diri. Malah setelah berpikir agak
panjang, dia berkata.
"Kau telah mengenaliku meski aku yakin kita
belum pernah jumpa. Apakah kau juga tahu di mana
tempat tinggalnya seorang tokoh yang oleh kalangan orang rimba persilatan
dikenal dengan gelar Pendeta Sinting?"
Gendeng Panuntun usap cermin bulat dengan
telapak tangan kanannya. Seraya menggeleng dia
berujar. "Kau bertanya pada orang yang salah. Aku bukan dari kalangan orang persilatan.
Jadi aku tidak tahu di mana orang yang kau tanyakan! Malah kalau tidak
salah dengar, baru kali ini aku dengar nama orang
yang baru saja kau sebut!"
"Dia dapat hindarkan diri dari pukulanku tanpa aku mengetahuinya. Dia pun
mengenaliku walau tidak
pernah jumpa. Bohong kaiau dia mengatakan tidak
mengenal Pendeta Sinting!" gumam Ni Luh Padmi dalam hati. Nenek ini terlihat
hendak mengucapkan
apa yang ada dalam hatinya. Namun mendadak
diurungkan. "Jangan-jangan dia mencuri dengar pembicaraanku dengan murid Pendeta
Sinting, lalu...." Si nenek tidak lanjutkan membatin.
Sebaliknya buka muiut membentak.
"Peramal busuk! Kau mencuri dengar


Joko Sableng Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembicaraanku dengan murid Pendeta Sinting! Laiu
kau purapura menjadi seorang peramal! Bajingan
kurang ajar!"
"Sejak tadi sudah kukatakan aku bukanlah
peramal. Apalagi pura-pura jadi peramal. Lebih-lebih aku tidak pernah mencuri
dengar pembicaraanmu
dengan orang yang kau katakan sebagai murid
Pendeta Sinting...."
"Hem.... Lalu kenapa kau mengikutiku" Apa hanya hendak mengatakan ramalan
busukmu itu"!"
"Tadi juga sudan kukatakan, aku tidak
mengikutimu. Itu sen.us mungkin hanya perasaanmu
saja, karena saat ini kau tengah melakukan
pekerjaan yang membutuhkan sikap hati-hati. Maka
kau selalu menaruh curiga pada setiap orang. Bahkan orang yang mengambil jalan
searah... jadi aku
maklum kalau kau menuduhku...."
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun
bungkukkan sedikit tubuhnya. Lalu kerjapkan
sepasang matanya yang buta dan melangkah.
"Aku ingin kebenaran ucapannya kalau dia
memang bukan dari kalangan orang rimba
persilatan!" desis NI Luh Padmi. Tangan kirinya ditarik ke belakang dan
sekonyong-konyong disentakkan ke
arah Gendeng Panuntun.
Belum sampai tangan kiri si nenek menyentak,
Gendeng Panuntun telah buka suara sambil teruskan
langkah. "Tak ada sesuatu yang bakal selesai kalau jurinya adalah kekerasan...."
NI Luh Padmi tidak hiraukan ucapan orang. Nenek
ini teruskan sentakannya hingga baru saja ucapan
Gendeng Panuntun selesai, satu gelombang angin
dahsyat telah melesat siap menyapu sosok si kakek!
Gendeng Panuntun mendongak. Saat bersamaan
tumitnya menghentak di atas tanah. Meski hentakan
itu terlihat sangat pelan, tapi saat itu juga sosok besarnya melesat.
--oo0dw0oo-- DUA NI Luh Padmi tersentak. Bukan saja pukulannya
tidak menghantam sasaran. Namun sosok Gendeng
Panuntun tahu-tahu sudah berada jauh di depan
sana! Dan seolah tidak ada sesuatu yang baru saja
terjadi, kakek Ini teruskan langkah dengan kepala
tetap sedikit mendongak.
Merasa dipandang remeh orang, Ni Luh Padml
naik pitam. Didahului bentakan keras, kedua
tangannya bergerak. Tangan kiri lepaskan pukulan
jarak jauh, tangan kanan lepaskan tusuk konde
hitamnya! Gelombang luar biasa dahsyat dan tusuk konde
besar melesat angker ke arah Gendeng Panuntun.
Tapi seolah tidak sedang dalam bahaya, Gendeng
Panuntun masih enak-enak melangkah tanpa
membuat gerakan sama sekali untuk menangkis atau
menghindar, membuat si nenek mendesis dengan
tersenyum dingin.
Begitu gelombang angin dan tusuk konde lima
jengkal lagi menerjang telak, Gendeng Panuntun
balikkan tubuh. Tangan kanannya mengusap cermin
bulat pada perutnya.
Satu cahaya putih berkilat tampak melesat keluar.
Saat lain terdengar ledakan. Gelombang angin yang
keluar dari tangan kiri Ni Luh Padmi laksana disapu gelombang besar dan semburat
berantakan ke udara.
Tusuk konde besar milik si nenek sesaat terlihat
tertahan di udara. Namun bersamaan dengan
terdengarnya ledakan, tusuk konde hitam itu mental balik, malah kini lurus ke
arah si nenek! Ni Luh Padmi melengak dan buru-buru berkelebat
ke samping untuk hindarkan diri. Begitu selamat dari tusukan kondenya sendiri,
belum sampai kedua
kakinya menginjak tanah, laksana terbang nenek
berwajah angker itu meiesat seraya gerakkan tangan kanan membuat gerakan
menarik. Tusuk konde hitam yang baru saja lewat berputar
haluan lalu menderu pelan ke arah tangan kanan Ni
Luh Padmi. "Pertunjukan hebat!" satu suara memuji terdengar.
"Suaranya jelas suara orang laki-laki. Tapi aku yakin bukan suara orang buta
tadi!" Ni Luh Padmi cepat sentakkan kepalanya ke arah sumber suara
yang baru saja terdengar.
Tidak jauh dari tempatnya, si nenek melihat
seorang laki-laki mengenakan pakaian hitam-hitam
dengan sebuah tongkat kayu di tangan. Laki-laki ini tidak bisa dikenali wajahnya
dengan jelas karena dia mengenakan caping lebar yang dikenakan agak
dalam pada kepalanya. Hingga yang kelihatan hanya
bagian bawah wajahnya.
Meski si nenek tampak terkejut dengan
kemunculan orang, tapi dia hanya sejurus
memandang. Saat lain kepalanya berpaling.
Sepasang matanya mendelik tak berkesip. Mulutnya
mendesis. "Keparat! Ke mana peramal busuk tadi..."
Dia bukan saja orang kalangan dunia persilatan. Tapi kuyakin dia adalah seorang
tokoh di tanah Jawa ini!
Apakah dia benar-benar orang yang mengambil jalan
searah denganku" Tapi... dari ucapan-ucapannya, dia bukan hanya orang yang
mengambil jalan searah
denganku! Ada maksud lain dia membuntutiku.... Tapi apa maksudnya" Aku tidak
mengenalnya! Aku tidak
punya urusan dengannya! Aku harus mengikutinya...."
Ni Luh Padmi segera berkelebat. Namun gerakan
si nenek tertahan tatkala terdengar suara.
"Kita belum sempat berkenalan. Mengapa buruburu hendak pergi"!"
Ni Luh Padmi berpaling pada laki-laki bercaping
lebar dengan tatapan dingin. Mulutnya terkancing
rapat tidak sambuti ucapan orang. Namun hanya
sekejap. DI lain saat mulutnya membuka
perdengarkan bentakan keras.
"Siapa kau"!"
"Ah. Ucapan perkenalanmu kasar! Apa karena
masih...."
Ucapan laki-laki bercaping lebar belum selesai, Ni Luh Padmi sudah menukas
dengan bentakan. "Aku tanya siapa kau! Jangan banyak bicara!'
Laki-laki bercaping lebar terdiam. Tongkat di
tangan kanannya diangkat. Ujung tongkat kayu
ditusukkan pada ujung caping lebarnya. Sepasang
mata laki-laki Ini sejurus memandang sosok si nenek.
Lalu tongkat kayunya diturunkan kembali, hingga
kembali wajahnya yang baru saja hampir terlihat jelas tertutup lagi caping
lebar. Tak lama kemudian
mulutnya bergerak membuka.
"Aku seorang pengelana pembawa amanat maut!"
Si nenek cibirkan mulut lalu tertawa panjang. Puas tertawa dia berujar.
"Sayang.... Kau bukan orang yang kucari!"
Habis berujar begitu, si nenek kembali hendak
berkelebat. Tapi laki-laki bercaping bergerak
mendahului dan tahu-tahu telah tegak dengan sikap
menghadang di hadapannya.
"Aku memang bukan orang yang kau cari! Tapi
amanat mautku berlaku pada siapa saja, termasuk
kau!" "Orang gila!" desis si nenek. Lalu menghardik. "Kau salah besar kalau masukkan
diriku dalam amanat
mautmu! Sebelum kau laksanakan amanat gilamu,
nyawamu akan putus!"
Kini balik laki-laki bercaping lebar yang tertawa
bergelak panjang.
Tidak seorang pun akan lolos dari amanat yang
kuemban!" "Hem.... Begitu"! Kau tahu sedang bicara dengan siapa"!" tanya Ni Luh Padmi
dengan busungkan dada dan rangkapkan tangan.
"Amanat mautku tidak peduli siapa adanya orang!"
Sebenarnya Ni Luh Padmi sudah kesal melihat
sikap laki-laki bercaping lebar apalagi dengan
kemunculannya, mau tak mau niatnya mengejar
Gendeng Panuntun jadi terhalang. Namun mendengar
ucapan si laki-laki bercaping, nenek Ini jadi
penasaran. Dia menduga apa yang tengah dilakukan
si laki-laki bercaping tidak jauh dari apa yang kini tengah dilakukan.
"Kalau boleh tahu, siapa yang memberimu amanat begitu angker"!"
"Itu pertanyaan yang tidak akan terjawab! Malah jika kau tanyakan hal itu sekali
lagi, jawabannya
adalah maut dua kali!"
"Hebat! Apakah orang akan dijawab maut tiga kali jika tanya siapa namamu"!"
sambil ajukan tanya, si nenek tampak sunggingkan senyum mengejek.
"Kau salah! Justru aku akan senang hati katakan siapa diriku!"
Habis berkata begitu, laki-laki bercaping lebar
angkat tangan kirinya. Caping lebar yang menutupi
sebagian wajah dan kepalanya diangkat.
Dari bagian belakang laki-laki bercaping tampak
tergerai rambut panjang hitam sebatas bahu. Lalu si nenek melihat wajah seorang
pemuda tampan bermata tajam berahang kokoh. Bibir yang tersenyum aneh dan hidung sedikit
mancung. "Aku Malaikat Penggali Kubur!" kata si pemuda.
Mungkin melihat usia orang, Ni Luh Padmi yang
sejenak tadi masih merasa sedikit khawatir, kini
pandangi orang dengan sikap sebelah mata. Malah
begitu mendengar si pemuda yang tidak lain memang
Malaikat Penggali Kubur adanya sebutkan diri, dia
tertawa panjang.
"Sayang sekali.... Pemuda tampan sepertimu
hanya jadi tukang gaii kubur.... Apa tidak ada kerja lain yang sesuai"! Pantas
kau tadi mengatakan orang pengelana yang membawa amanat maut dan amanat
mautmu itu berlaku bagi siapa saja. Tidak tahunya
kalau kau seorang penggali kuburan...."
Malaikat Penggali Kubur campakkan caping
lebarnya. Sepasang matanya menatap tajam dengan
rahang mengembang.
"Dengar, Nenek Peot! Aku memang seorang
penggali kubur. Tapi bukan sembarang orang yang
kumasukkan dalam lobang galian kuburku!"
"Oh.... Jadi siapa saja yang akan kau masukkan"!"
tanya si nenek masih dengan nada mengejek.
Malaikat Penggali Kubur mendengus dahulu
sebelum menjawab.
"Siapa saja yang kumau! Bahkan tidak tertutup kemungkinan dirimu!"
"Mengapa kau juga menginginkan diriku" Apa ada hal istimewa padaku"!"
"Di hadapanku, kau bukanlah berarti apa-apa! Kau juga tidak memiliki
keistimewaan! Kalaupun aku
inginkan kau, semata-mata karena kau dari kalangan rimba persilatan!"
"Hem.... Jadi kau hanya menggali kubur bagi orang kalangan persilatan?"
Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. "Tidak salah! Mereka memang telah
kusiapkan tanah untuk
kuburan!' "Nada bicaramu sepertinya kau ingin jadi raja di dunia persilatan!" ujar Ni Luh
Padmi. "Sejak saat ini Malaikat Penggali Kubur sudah jadi raja dunia persilatan!"
Kali ini Ni Luh Padmi perdengarkan tawa sangat
keras. "Gelarmu masih baru saja kudengar. Tapi kau telah memaklumkan diri
sebagai raja dunia
persilatan! Apa kau tidak salah ucap" Atau barangkali jangan-jangan telingaku
yang salah dengar...."
"Aku tidak salah ucap! Telingamu juga tidak salah dengar! Malaikat Penggali
Kubur adalah raja dunia
persilatan!"
"Mimpimu terlalu tinggi, Anak Muda! Kusarankan kau untuk tidak tidur terlalu
sore! Lebih dari itu, kau harus tahu siapa yang sedang kau hadapi! Jika itu
kau lakukan, matamu akan terbuka dan mulutmu
tidak akan bicara ngelantur!"
"Kau terlalu berani bicara tinggi di hadapanku!
Sebelum kusiapkan lobang kuburmu, kau mau
katakan siapa dirimu"!"
"Agar matamu terbuka, aku tak segan jawab apa yang kau minta. Dengar baik-baik!
Aku adalah Ni Luh Padmi!"
"Hem.... Mendengar namamu, sepertinya kau
datang dari seberang timur! Datang dari jauh tentu ada sesuatu yang kau cari!"
"Itu* urusanku! Yang jelas harap kau tahu, rimba persilatan tidak hanya terbatas
di tanah Jawa. Jadi untuk menjadi raja rimba persiiatan, setidaknya kau harus
tahu, di luar sana masih banyak rimba
persilatan yang harus kau lewati!"
"Aku punya kaki dan tangan untuk melewatinya!"
sahut Malaikat Penggali Kubur.
"Hem.... Kau kira cukup dengan kaki dan tangan untuk melewatinya"!"
"Aku punya kekuatan! Tapi kalau menghadapimu, kukira aku hanya perlu tangan
satu!" Ni Luh Padmi tampak tegak dengan tubuh sedikit
bergetar. "Hem.... Hampir berpuiuh tahun aku
meninggalkan tanah Jawa. Apakah waktu sesingkat
itu telah dapat melahirkan tokoh-tokoh luar biasa"
Atau beberapa puluh tahun lalu mereka tidak
menampakkan diri" Sudah tiga orang yang kutemui.
Pertama murid Pendeta Sinting. Kedua laki-laki buta peramal itu! Walau belum
benar-benar bentrok, tapi kuyakin kedua orang tadi memiliki ilmu tidak rendah!
Apakah orang ketiga ini juga memiliki ilmu" Bicaranya sangat tinggi! Apa
demikian pula bekal yang
dimilikinya"!"
Selagi Ni Luh Padmi membatin, Malaikat Penggali
Kubur tiba-tiba perdengarkan bentakan. "Siapa yang kau cari di tanah Jawa ini"!"
Sebenarnya Ni Luh Padmi tidak mau menjawab
pertanyaan Malaikat Penggali Kubur. Tapi setelah
berpikir sejenak, akhirnya si nenek berkata juga.
"Kau kenal dengan Pendeta Sinting"!"
"Apa hubunganmu dengan orang itu"!" Malaikat Penggali Kubur malah balik
bertanya. "Aku tanya. Apa kau kenal Pendeta Sinting"!" Ni Luh Padmi kembali ajukan tanya.
"Dia adalah salah satu manusia yang lobang
kuburnya telah kusiapkan! Malah untuk dia dan
muridnya, sengaja kusiapkan lobang khusus!"


Joko Sableng Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau sepertinya punya dendam pada keduanya...."
Malaikat Penggali Kubur menyeringai. "Bukan
hanya pada keduanya. Namun para sahabatsahabatnya juga telah kusiapkan lobang kubur lain
daripada yang lain!"
Malaikat Penggali Kubur sengaja berkata begitu
karena masih menduga kalau Ni Luh Padmi punya
hubungan sahabat dengan Pendeta Sinting.
"Kau tahu di mana tempat tinggalnya Pendeta
Sinting?" "Apa hubunganmu dengan manusia sinting itu"!"
"Lebih dari apa yang kau katakan! Kalau kau telah siapkan lobang kubur untuknya,
aku telah siapkan
tangan untuk mencabut nyawanya!"
"Ha.... Ha.... Ha...! Kau tahu siapa orang itu"!"
"Aku tak akan jauh datang bila tidak tahu siapa orang yang akan kuhadapi!"
"Hem.... Berarti bekalmu sudah cukup!"
"Tidak hanya cukup. Tapi lebih!"
"Saat aku datang, tampaknya kau sedang
mengalami pengalaman tidak enak. Apa sebenarnya
yang tengah terjadi saat itu"!"
"Peramal busuk itu...," desis Ni Luh Padmi dalam hati. Lalu bertanya. "Kau kenal
seorang peramal buta"!"
Malaikat Penggali Kubur kernyitkan dahi. Namun
saat lain pemuda murid Bayu Bajra ini tertawa.
"Duniaku bukan dunia ramal meramal!"
"Berarti pengetahuanmu masih dangkal! Kalau
begitu, bagaimana kau akan jadi raja rimba
persilatan"!"
"Jahanam! Apa maksudmu"!"
"Orang yang baru kukatakan bukan hanya sekadar seorang peramal biasa! Tapi
kuyakin dia adalah
seorang tokoh yang ilmunya tidak dapat dipandang
remeh!" "Hem.... Menghadapi seorang peramal saja kau
terlihat kalang kabut. Bagaimana kau akan
menghadapi Pendeta Sinting"!"
Kini ganti Ni Luh Padmi yang pasang tampang
berang. Tapi mungkin karena tidak Ingin membuat
masalah dengan orang lain sebelum urusannya
sendiri selesai, si nenek menindih rasa geramnya.
Lalu tanpa memandang dan berkata apa-apa lagi, dia melangkah hendak tinggalkan
tempat itu. Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek sambil
berkata. "Kau kira pertemuan ini hanya akan berakhir
begitu saja"!"
Laksana disentak setan, Ni Luh Padmi cepat putar
tubuh menghadap Malaikat Penggali Kubur. "Lalu apa yang kau minta dari akhir
pertemuan ini, nah?"
"Aku telah maklumkan diri sebagai raja dunia
persilatan! Tapi tidak cukup bagimu hanya mengakui saja! Lebih dari itu...."
"Selama hidup, aku tidak pernah dan tidak akan pernah mengakui seseorang sebagai
raja dunia persilatan!" tukas NI Luh Padmi memotong ucapan Malaikat Penggali Kubur.
"Begitu"! Kau telah perhitungkan ucapanmu"!"
"Hanya manusia dungu yang melakukan
perjalanan jauh tanpa perhitungan!"
"Bagus! Berarti kau telah perhitungkan kalau
berhadapan denganku!"
"Anak muda! Sebenarnya kau tidak termasuk
dalam hitunganku. Tapi jika kau memaksakan diri,
jangan kira aku segan menghadapi apa yang kau
mau!" --oo0dw0oo-- TIGA MUNGKIN untuk menjajaki orang, habis berkata Ni
Luh Padmi langsung gerakkan tangan kirinya.
Di lain pihak, karena telah membekal Kitab Hitam,
Malaikat Penggali Kubur hanya memandang sebelah
mata pada orang. Hingga meski si nenek telah
kirimkan serangan, dia belum terlihat membuat
gerakan. Sikap Malaikat Penggali Kubur membuat Ni Luh
Padml makin tampak berang. Hingga belum sampai
pukulan tangan kirinya menggebrak sasaran,
tubuhnya telah melesat ke arah si pemuda dengan
tangan kiri lakukan pukulan ke arah kepala!
Sementara tangan kanan yang menggenggam tusuk
konde tetap berada di depan dada.
Di depan sana, Malaikat Penggali Kubur baru
membuat gerakan begitu angin pukulan yang melesat
dari tangan kiri si nenek dua jengkal lagi
menghantam tubuhnya.
Dengan hanya memindah sepasang kakinya satu
tindak, angin pukulan dari Ni Luh Padmi melesat
lewat menggebrak tempat kosong. Namun Malaikat
Penggali Kubur tidak bisa tinggal diam lagi, karena begitu pukulan jarak jauh si
nenek lewat, Ni Luh
Padmi telah datang dengan tangan kiri berkelebat
angker. Kali ini Malaikat Penggaii Kubur tidak hindari
pukulan lawan. Sebaliknya iangsung angkat tangan
kanannya. Bukkkk! Terdengar benturan keras. Entah karena saling
memandang remeh pada orang, begitu tangan
mereka beradu bentrok, keduanya sama tersentak.
Tapi karena sama-sama tidak mau perlihatkan
tampang kaget, mereka berdua cepat sembunyikan
perasaan dengan tersenyum.
'Tampaknya dia memang membekal ilmu.... Kalau
dia punya dendam pada Pendeta Sinting, aku bisa
memanfaatkannya!" Malaikat Penggali Kubur
membatin. DJ lain pihak, diam-diam Ni Luh Padmi
juga berkata dalam hati. "Tak kusangka kalau dalam waktu beberapa puluh tahun,
telah muncul orang-orang yang berilmu tidak rendah! Aku harus lebih
berhati-hati! Tidak mustahil ilmu Pendeta Sinting
telah jauh meningkat daripada waktu lalu!"
Setelah berpikir sejurus, Ni Luh Padmi kerahkan
tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Sadar kalau
lawan yang dihadapi membekal ilmu, dia lipat
gandakan tenaga dalamnya. Di lain pihak, Malaikat
Penggali Kubur juga tidak mau bertindak ayal. Dia
maklum kalau si nenek benar-benar telah siapkan diri dalam melakukan perjalanan
ini. Maka dia cepat pula kerahkan tenaga dalamnya pada kedua tangannya.
Kejap lain, hampir secara bersamaan Malaikat
Penggali Kubur dan Ni Luh Padmi sama berkelebat ke depan. Tangan masing-masing
bergerak. Desss! Desss! Di atas udara, sosok kedua orang ini tampak
mencelat mental. Kedua tangan masing-masing orang
laksana dihempaskan hingga pulang baiik ke
belakang. Namun Ni Luh Padmi tidak mau dipandang
remeh. Belum sampai sosoknya menginjak tanah, dia
kembali berkelebat. Mungkin kat-ena kedua
tangannya masih terasa ngilu, kini seraya berkelebat, kedua kakinya membuat
gerakan menerjang di udara.
Melihat apa yang gilakukan si nenek, Malaikat
Penggali Kubur tidak may berdiam diri. Sosoknya yang terlebih dahulu menginjak
tanah segera pula melesat ke udara dengan kaki diangkat.
Desss! Desss! Deesssi Deess!
Terdengar benturan keras beberapa kali di udara.
Tubuh masing-masing orang sama terdorong ke
belakang. Tapi karena sudah memperhitungkan
segalanya, begitu sosoknya tersapu, n; Luh Padmi
cepat lipat gandakan tenaga dalamnya. La)u
didahului bentakan keras, si nenek melesat kembali ke depan. DI depan sana,
Malaikat Penggali Kubur
gerakkan kedua bahunya. Saat itu juga sosoknya
melesat menghadang si nenek dengan kaki
menendang Untuk beberapa saat terdengar kembali beberapa
kali benturan keras saat Sepasang kaki si nenek
saling menendang dengan sepasang kaki Malaikat
Penggali Kubur. Dan suara benturan baru berhenti
ketika sosok keduanya sama terpelanting ke
belakang lalu sama-sama jatuh terduduk di a|as
tanah. Ni Luh padmi seger$ pe|ototkan mata meneliti
tangan dan kakinya. Wajahnya berubah pucat pasi. Di seberang sana, Malaikat
Penggali Kubur berbuat
sama. Namun pemuda murij Bayu Bajra ini cepat
bangkit berdiri. Kedua tangannya berkacak pinggang dengan bibir suciggingkan
senyu^ seringai.
Melihat lawan telah {egak malah berkacak
pinggang, Ni Luh Padmi mer%ngiUS keras lalu
bangkit. Tangan kanannya yang menggenggam tusuk
konde besar ditarik ke belakang.
"Aku akan membiarkan dia hidup...," desis Malaikat Penggali Kubur sambil
perhatikan gerakan si nenek.
Ni Luh Padmi tidak menunggu lama. Nenek ini
tampaknya ingin segera selesaikan urusan. Pada
mulanya dia memang tidak berniat membuat urusan
terlalu jauh. Namun melihat si pemuda tidak mainmain, niatnya seketika berubah.
"Sebenarnya kita bisa bekerja sama, Anak Muda!
Tapi semuanya sudah terlambat!" teriak Ni Luh Padmi. Belum sampai suaranya
selesai, sosoknya
melompat ke depan. Tangan kiri kanannya bergerak.
Tangan kiri kirimkan pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi, tangan
kanan lepaskan tusuk
kondenya. Entah karena menginginkan si nenek tetap hidup,
Malaikat Penggali Kubur tidak langsung memangkas
serangan lawan dengan arah lurus. Karena jika hal itu dilakukan dan si nenek
gagal membendung
serangannya, maka tak ampun lagi nyawa si nenek
tidak akan tertolong.
Berpikir sampai di situ, Malaikat Penggali Kubur
cepat melompat ke arah samping kanan. Selain untuk selamatkan diri dari
gelombang angin yang keluar
dari tangan kiri Ni Luh Padmi, juga untuk menjaga
agar pukulan yang hendak dilepas tidak langsung
menghantam telak ke arah si nenek.
Gelombang angin memang menggebrak udara
kosong. Tapi tidak demikian halnya dengan tusuk
konde besar. Begitu Malaikat Penggali Kubur
melompat, Ni Luh Padmi gerakkan tangan kanannya
ke arah mana si pemuda melompat. Tusuk konde
yang tadi melesat iu-rus mendadak berbelok dan kini lurus ke arah Malaikat
Penggali Kubur!
Sesaat Malaikat Penggali Kubur tampak terkesiap.
Sementara Ni Luh Padmi terlihat sunggingkan
senyum. Malah nenek ini perdengarkan tawa
perlahan tatkala Malaikat Penggali Kubur hanya
gerakkan tangan mengusap bagian perutnya. Bahkan
si nenek terlihat tertawa mengekeh panjang tatkala begitu tangan kanan Malaikat
Penggali Kubur mengusap bagian perutnya, tidak terlihat adanya
gelombang angin. Justru yang terdengar hanyalah
suara deruan pelan.
Namun di lain saat mendadak suara tawa NI Luh
Padmi terputus. Sepasang matanya mendelik angker
tanpa berkesip. Karena laksana dilanda gelombang
luar biasa dahsyat, tusuk konde hitam milik si nenek yang menderu ke arah
Malaikat Penggali Kubur
berputar di udara lalu sekonyong-konyong mental
balik! Untung Malaikat Penggali Kubur telah melompat
dan berada di sebelah samping Ni Luh Padml. Jika
tidak, mungkin saja mentalan balik tusuk konde
hitam akan lurus ke arah si nenek. Namun meski si
nenek tidak berada lurus dengan tegaknya Malaikat
Penggali Kubur, tak urung juga gelombang dahsyat
yang tidak terlihat sempat menyapu tubuh si nenek.
Hingga begitu tusuk konde mental balik, sosok si
nenek terseret beberapa tindak ke belakang. Ni Luh Padmi tersentak. Cepat dia kerahkan
tenaga dalamnya untuk kuasai diri agar tidak jatuh.
Begitu dapat kuasai diri, nenek ini angkat tangannya membuat gerakan menarik.
Tapi si nenek terlihat melengak. Meski dia sudah
lipat gandakan tenaga dalamnya untuk menarik tusuk konde hitamnya yang mental
balik, namun tusuk
konde Itu terus menderu cepat. Tusuk konde baru
terhenti tatkala menghantam sebuah batu.
Brrakkk! Batu agak besar itu langsung pecah berantakan.
Tusuk konde luruh ke atas tanah.
Mungkin takut Malaikat Penggali Kubur akan
berkelebat mengambil tusuk kondenya, laksana
terbang Ni Luh Padmi cepat melesat. Tangan
kanannya menyambar tusuk konde yang tergeletak di
atas tanah. Namun untuk kesekian kalinya si nenek terkesiap.
Tangan kanannya yang memegang tusuk konde
terasa panas bukan alang kepalang. Malah saat itu
juga Ni Luh Padmi segera lepaskan tusuk kondenya
kembali. Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. Lalu
ikut melesat dan tegak sepuluh langkah di samping si nenek.
"Kalau mau, tidak sulit tanganku membuat
tubuhmu seperti tusuk kondemu! Tapi kali ini
nasibmu masih baik...!"
Dengan masih sembunyikan rasa kaget, Ni Luh
Padmi berpaling pada Malaikat Penggali Kubur. Untuk beberapa lama nenek ini
pandangi orang dengan
paras tidak habis mengerti.
"Pemuda ini sungguh tidak kusangka sama sekail!
Apa yang harus kulakukan sekarang" Kalau dia


Joko Sableng Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sengaja tidak lakukan serangan lagi, mungkin dia ada maksud lain...."
Malaikat Penggali Kubur melangkah dua tindak.
"Kau telah dengar ucapanku kalau kali ini nasibmu masih baik. Tapi jangan merasa
senang dahulu....
Nasib baikmu masih tergantung!'
Meski sudah maklum siapa adanya orang yang kini
dihadapi namun si nenek tidak begitu saja tunjukkan tampang pasrah. Dengan
alihkan pandangannya ke
jurusan lain, dia membentak.
"Tergantung apa"!"
"Meski aku sudah yakin tidak ada orang yang
dapat menandingiku, namun aku masih perlu orang
seperti-mu!"
"Perjalananku tidak untuk bekerja sama
denganmu!"
"Nasib orang biasanya lain dengan apa yang
direncanakan! Kau memang tidak mengadakan
perjalanan untuk bekerja sama denganku. Tapi nasib telah berkehendak lain. Bukan
saja kau harus bekerja sama denganku, tapi kau mulai saat ini harus siap
lakukan apa yang kuperintahkan!"
Karena tidak menduga akan ucapan Malaikat
Penggali Kubur, si nenek terlihat surutkan langkah ke belakang satu tindak.
Mendadak dia teringat akan
ucapan Gendeng Panuntun beberapa saat yang lalu.
"Astaga! Jangan-jangan ucapan peramal buta itu akan menjadi kenyataan. Aku akan
berurusan dengan
orang yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam benakku?"
Selagi Ni Luh Padmi membatin begitu, Malaikat
Penggali Kubur angkat bicara. "Kau tak usah berpikir dua kali! Ini satu
keharusan! Kalau tidak...." Malaikat Penggali Kubur tidak lanjutkan ucapannya.
Sebaliknya pemuda murid Bayu Bajra ini tersenyum
aneh sambil angkat tangan kanannya ke atas perut.
Seakan tahu apa yang hendak dilakukan Malaikat
Penggali Kubur, Ni Luh Padmi cepat-cepat berkata.
"Tunggu!"
"Aku tak mau dengar alasan apa pun! Sekarang
aku perintahkan kau berlutut dan bersumpah akan
lakukan apa yang kuperintahkan!"
Tampang Ni Luh Padmi berubah merah padam.
Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Tubuhnya
bergetar. Namun sebelum nenek ini sempat
perdengarkan suara, Malaikat Penggali Kubur telah
membentak. "Cepat laksanakan apa yang kukatakan!"
Ni Luh Padmi pandangi Malaikat Penggali Kubur
dengan mata melotot. Baru kali ini selama hidupnya dia dihina orang begitu rupa.
Hingga meski merasa
dalam keadaan terjepit, namun si nenek tidak
langsung begitu saja lakukan apa yang dikatakan
Malaikat Penggali Kubur. Sebaliknya dia kerahkan
tenaga dalam dan bertekad hendak mengadu jiwa
daripada harus melakukan apa yang diperintahkan
orang. Melihat si nenek tetap tegak, Malaikat Penggali
Kubur menyeringai. Lalu berujar dengan suara keras.
"Aku tidak punya waktu banyak! Cepat berlutut!"
NI Luh Padmi sejenak masih tetap tegak. Namun
sesaat kemudian, dia bergerak lakukan apa yang
dikatakan Malaikat Penggali Kubur. Tapi laksana kilat tangan kanannya menyambar
tusuk kondenya yang
tergeletak di atas tanah.
Rupanya apa yang terpendam dalam pikiran Ni
Luh Padmi sudah dibaca oleh Malaikat Penggali
Kubur. Hingga sebelum si nenek sempat menyentuh
tusuk kondenya, Malaikat Penggali Kubur sudah
keluarkan sentakan.
"Sekali kau bergerak menyentuh tusuk konde, ke-putusanku berubah!"
Gerakan tangan kanan Ni Luh Padmi tertahan.
Malaikat Penggali Kubur memandang dengan senyum
dingin. Tiba-tiba pemuda ini bergerak satu kali. Tahu-tahu sosoknya telah
melesat ke arah si nenek. Belum sempat si nenek lakukan gerakan apa-apa satu
tendangan telah menghantam tubuhnya!
Bukkkk! Ni Luh Padmi berseru tertahan. Sosoknya
terpelanting dan terkapar sama rata dengan tanah.
Belum sampai Ni Luh Padmi membuat gerakan
bangkit, satu telapak kaki telah berkelebat. Si nenek tersentak. Karena tahutahu tubuhnya tak dapat
digerakkan karena dadanya telah ditekan kaki kiri
Malaikat Penggali Kubur!
"Katakan apa yang kau minta!" hardik Malaikat Penggali Kubur.
Ni Luh Padmi hanya memandang dengan mulut
terkancing. Yang terlintas dalam benaknya bukan apa yang kini tengah dihadapi,
melainkan dia teringat
akan semua ucapan Gendeng Panuntun.
"Apakah aku harus lakukan apa yang dikatakan
pemuda ini, lalu urungkan niat mencari Pendeta
Sinting" Tapi.... Bukankah berarti dendamku tidak
terlaksana"!"
"Baik! Kau tidak jawab tanyaku. Berarti aku bisa semauku hendak berbuat apa
padamu!" seraya
berkata, Malaikat Penggaii Kubur angkat tangan
kanan kirinya. "Tahan! Aku.... Aku akan lakukan apa yang kau katakan!" seru Ni Luh Padmi dengan
suara tersendat dan bergetar. Nenek ini tampaknya sudah maklum
apa yang hendak dilakukan Malaikat Penggali Kubur.
Dia juga sadar, manusia seperti Malaikat Penggali
Kubur tidak akan bicara main-main.
Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. Kedua
tangannya diturunkan ke pinggang. Lalu kaki kirinya yang menginjak dada si nenek
disentakkan ke samping. Seraya berkacak pinggang, Malaikat Penggali
Kubur membentak. "Cepat berlutut!"
Dengan tubuh bergetar menahan gejolak amarah,
perlahan-lahan Ni Luh Padmi bangkit duduk. Lalu
bungkukkan tubuh membuat sikap seperti orang
menghadap penguasa kerajaan.
Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. "Tetap dengan sikapmu sampai aku
selesai bicara!"
sentaknya saat dilihat Ni Luh Padmi hendak tarik
tubuhnya ke atas.
Entah karena merasa perlakuan Malaikat Penggali
Kubur sudah sangat terlalu, Ni Luh Padmi tidak
pedulikan ucapan si pemuda. Dia tetap angkat
tubuhnya ke atas.
Namun si nenek tidak dapat lakukan gerakannya
lebih lanjut. Karena tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur sudah sapukan kaki
kanannya ke tengkuknya. Hingga
bukan saja membuat gerakan tubuh si nenek
tertahan, tapi juga laksana dihempaskan, tubuh
bagian atas Ni Luh Padmi tersentak deras ke depan
dan menghantam tanah!
"Jangan kau sia-siakan kesempatan yang
kuberikan! Namun jangan coba-coba berani merubah
kesempatan itu! Kau dengar"!"
Karena masih merasa sakit pada kepalanya yang
baru saja menghantam tanah, ditambah dengan rasa
geram yang makin mendera dadanya, Ni Luh Padmi
tidak menjawab. Dia hanya angkat sedikit kepalanya dari tanah dengan mata
melirik tajam. "Aku tanya. Apa kau masih inginkan nyawa
Pendeta Sinting"!" tanya Malaikat Penggali Kubur tanpa memandang.
"Apa pedulimu"!" ujar Ni Luh Padmi.
Mendengar jawaban si nenek, Malaikat Penggali
Kubur bukannya tampak geram meski nada suara Ni
Luh Padmi terdengar setengah mengejek. Sebaliknya
Malaikat Penggali Kubur malah teruskan gelakan
tawanya lalu berkata.
"Dengar! Karena dendammu itulah, kau kuberi
kesempatan hidup!"
"Hem.... Kau akan memperalatku"!" tanya Ni Luh Padmi.
"Jahanam! Sekali lagi kau bertanya, kau akan
menyesal! Hidup matimu sekarang ini ada di
tanganku!"
Malaikat Penggali Kubur bukan hanya bicara.
Namun kaki kanannya ikut serta berkelebat.
Bukkk! Ni Luh Padmi terjengkang jungkir balik lalu
terkapar di atas tanah dengan bibir keluarkan darah.
"Dengar, Tua Bangka! Sebelum purnama ini akan ada satu pertemuan! Kau kuberi
kesempatan untuk
laksanakan dendammu!"
Meski merasa berang dengan tindakan Malaikat
Penggali Kubur, namun begitu mendengar ucapan si
pemuda, Ni Luh Padmi bangkit duduk. Sesaat dia
pandangi Malaikat Penggali Kubur.
"Sebenarnya kedua tanganku mampu berbuat apa
yang kau lakukan! Tapi tak enak rasanya kalau tidak membagi darah manusiamanusia macam Pendeta
Sinting dengan sahabat yang melakukan perjalanan
jauh sepertimu!"
"Di mana pertemuan itu"!"
"Kau tak usah bertanya kapan dan di mana! Yang harus kau lakukan saat ini adalah
pergi ke sebuah
bukit di sebelah timur Sumber Suko. Tunggu sampai
aku datang ke sana!"
"Hem.... Aku masih meragukan kata-katanya. Tapi tak ada salahnya untuk sementara
ini aku lakukan
apa yang diucapkan...," batin Ni Luh Padmi. "Sambil menunggu masih ada waktu
bagiku lakukan apa yang
terbaik...."
Berpikir begitu, akhirnya Ni Luh Padmi berucap.
"Baik! Ucapanmu akan kulakukan!"
"Kuyakin orang ini akan lakukan perintahku.
Karena kulihat dendam dalam dadanya begitu
berkobar! Apalagi mendengar ucapannya, dia
mendapat kesulitan mencari Pendeta Sinting...."
Diam-diam Malaikat Penggali Kubur juga membatin.
"Berarti aku harus mencari akal agar pertemuan nanti bukan hanya Pendekar 131
yang muncul, tapi juga
Pendeta Sinting dan teman-temannya! Dengan begitu, sekali ada pertemuan, seluruh
manusia golongan
putih akan habis! Aku punya kekuatan. Aku juga
punya beberapa orang budak! Ha.... Ha.... Ha...!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa sendiri dalam hati, lalu berkata.
"Tua bangka! Ingat baik-baik. Kalau kau berani bertindak macam-macam sebelum
pertemuan itu berlangsung, apalagi kau berani putar haluan...."
Malaikat Penggali Kubur hentikan ucapannya untuk
perdengarkan tawa dahulu sebelum akhirnya
lanjutkan ucapannya. "Bukan saja dendammu tidak akan terbalas. Tapi umurmu hanya
terbatas sampai
purnama depan!"
Untuk menutupi apa yang sebenarnya ada dalam
benaknya, Ni Luh Padmi tertawa pelan lalu berkata.
"Dendam dalam diriku tidak akan punah sebelum tuntas. Untuk laksanakan dendam
ini apa pun akan
kulakukan! Jangankan hanya menunggu
kedatanganmu selama satu purnama. Berapa
purnama pun waktu yang kau janjikan, aku tetap
akan menanti!"
"Bagi Malaikat Penggali Kubur, kata-kata bukanlah satu hal yang memiliki makna!
Kau bisa saja berkata begitu namun hatimu berkata lain! Namun Malaikat
Penggali Kubur bukanlah manusia yang bisa kau buat main-main! Camkan itu!"
Habis berkata begitu, tanpa pedulikan si nenek
yang hendak buka mulut berkata, Malaikat Penggali
Kubur telah balikkan tubuh. Dan seakan tahu kalau
Ni Luh Padmi akan berkata, dia mendahului.
"Di puncak bukit yang kukatakan, kau akan
bertemu dahulu dengan beberapa budakku'. Kau
hanya perlu memperkenalkan diri sebagai budakku!
Kau tak perlu khawatir. Salah satu budakku ada yang berjenis laki-laki. Aku
yakin dia tak akan membuatmu kesepian walau berada di puncak bukit sepi! Kaitan
kuberi kebebasan berbuat apa saja!"
Sebenarnya Ni Luh Padmi akan memaki, tapi
sebelum makiannya terdengar, Malaikat Penggali
Kubur sudah berkelebat lenyap dengan meninggalkan
suara tawa panjang.
--oo0dw0oo-- EMPAT KITA tinggalkan dahulu Malaikat Penggali Kubur
dan Ni Luh Padmi yang sama berkelebat pergi dengan tujuan masing-masing. Kita
kembali pada murid
Pendeta Sinting, Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko
Sableng. Seperti diketahui, begitu sadar dari pingsannya,
mendadak di hadapan murid Pendeta Sinting telah
tegak Ni Luh Padmi. Kedua orang ini sempat perang
mulut dan bentrok pukulan. Namun Joko tidak mau
meladeni si nenek yang rupanya sedang melakukan
perjalanan untuk mencari Pendeta Sinting (Untuk
jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode :
"Muslihat Sang Ratu").
Joko terus berlari. Pada satu tempat dia berhenti.
Khawatir kalau si nenek mengikuti, murid Pendeta
Sinting ini putar kepalanya dahulu berkeliling sebelum menghentikan larinya.
Begitu yakin tidak diikuti, dia berhenti.
"Silang sengketa apa sebenarnya yang terjadi
antara nenek itu dengan Eyang Guru" Melihat nada
bicaranya, nenek itu tidak main-main! Mengapa Eyang tidak pernah bercerita
padaku" Sebenarnya aku
harus beri tahukan ini pada Eyang, tapi rasanya hal itu tidak mungkin dapat
kulakukan dalam beberapa
hari ini. Penyelidikanku belum mendapatkan titik
terang. Padahal aku harus segera tahu siapa
sebenarnya yang telah mendapatkan Kitab Hitam itu!
Kalau aku sampai terlambat mengetahui, dan kitab
itu ternyata jatuh pada manusia yang tidak
bertanggung jawab, maka tak bisa kubayangkan apa


Joko Sableng Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang akan terjadi! Sayang.... Aku tidak sempat
menanyakan pada Gendeng Panuntun...."
Selagi murid Pendeta Sinting tengah membatin
sendirian, mendadak terdengar suara orang tertawa
mengekeh panjang.
Meski Joko tahu kalau suara tawa itu bukan tawa
si nenek, tapi dalam keadaan seperti sekarang ini, dia harus berlaku hati-hati.
Maka laksana terbang, murid Pendeta Sinting berkelebat hendak sembunyi.
Tapi Pendekar 131 jadi terkesiap sendiri. Belum
sempat tubuhnya berkelebat, satu deruan terdengar.
Saat lain bukan hanya gerakannya tertahan, tapi
tubuhnya laksana terlanggar sapuan gelombang
dahsyat hingga kalau tidak cepat berkelebat
menghindar, niscaya tubuhnya tersapu jatuh!
"Jangkrik! Siapa lagi manusia ini" Tanpa ada hujan angin tiba-tiba menganggapku
sebagai musuh!" Joko cepat balikkan tubuh.
Suara kekehan tawa terputus. Namun kejap lain
terdengar lagi suara orang tertawa bergelak. Kali ini justru datangnya dari
bagian belakang Joko,
membuat murid Pendeta Sinting sadar, kalau orang
yang mendadak muncul tidak datang sendirian!
Sejenak Joko memandang ke depan. Demi tidak
melihat adanya siapa-siapa, dia putar diri menghadap orang yang diyakininya baru
saja perdengarkan tawa.
Sesaat Joko pentangkan mata. Di depan sana dia
melihat satu sosok tubuh yang tidak bisa dikenali
wajahnya karena orang ini mengenakan topeng kulit
berwarna hitam. Bukan itu saja, orang ini juga
mengenakan pakaian yang menutupi sekujur anggota
tubuhnya dari rambut sampai kaki.
"Jelas baru saja kudengar suara tawa orang yang berbeda! Pertanda ada orang lain
selain dia! Tapi di mana" Atau jangan-jangan dia bisa merubah tawa
menjadi berlainan kedengarannya" Tapi sumber
suara tadi berlainan tempat. Atau jangan-jangan
orang ini mampu memindahkan suara"!"
Baru saja Pendekar 131 membatin begitu, dari arah belakangnya dia merasakan
deruan angin pelan.
Anehnya pada saat bersamaan tanah di sekitar
tempat Itu laksana disapu angin topan. Hingga untuk beberapa lama tempat itu
menjadi agak gelap
tertutup hamburan tanah.
Maklum akan adanya bahaya, murid Pendeta
Sinting secepat kilat hentakkan kedua kakinya.
Sosoknya berkelebat ke samping. Begitu kakinya
menginjak tanah, kedua matanya dipentangkan
menembusi kegelapan tanah yang bertaburan.
Ternyata dugaan Joko tidak jauh meleset. Di depan
sana, di samping sosok yang sekujur tubuhnya
tertutup dan mengenakan topeng kulit warna hitam,
tegak satu sosok tubuh yang sekujur anggota
tubuhnya dari rambut hingga kaki juga tertutup pakaian. Raut wajahnya tidak
dapat dikenali karena dia juga mengenakan topeng dari kulit berwarna
merah. Tatkala taburan tanah lenyap, dua sosok yang
mengenakan topeng warna hitam dan merah sama
gerakkan kepala masing-masing ke samping kiri
kanan. Keduanya seolah saling berpandangan. Saat
lain, laksana sudah sepakat, kedua orang ini
perdengarkan tawa bergelak membahana. Namun
cuma sekejap. Di lain saat kedua orang ini sama
putuskan tawa masing-masing. Lalu kepala mereka
berpaling menghadap ke arah murid Pendeta Sinting.
"Jauh berjalan nyatanya niat kesampaian. Jauh melangkah nyatanya tujuan tinggal
selangkah...."
Orang yang bertopeng merah berujar.
"Benar. Tak diduga tak disangka. Apa yang kita cari ternyata lain dengan apa
yang kita dengar. Dia bukan barang sulit dan langka! Ha.... Ha.... Ha...!" Orang
yang mengenakan topeng hitam menyahut.
Murid Pendeta Sinting sesaat simak baik-baik
ucapan kedua orang bertopeng. "Nada bicara mereka sepertinya sengaja mencariku!
Hem.... Siapa mereka"
Sayang mereka sembunyikan wajah di balik topeng....
Apa aku harus meladeni mereka?" pikir Joko. Setelah berpikir agak panjang,
akhirnya dia memutuskan
untuk tidak meladeni kedua orang bertopeng. Hingga tanpa berkata-kata !agi,
murid Pendeta Sinting putar diri setengah lingkaran lalu berkelebat.
Namun sebelum benar-benar berkelebat, orang
bertopeng hitam bergerak terlebih dahulu dan tahutahu sosoknya telah tegak dengan sikap menghadang
di hadapan murid Pendeta Sinting.
Pendekar 131 masih tidak hiraukan orang yang
tegak menghadang. Dia hanya memandang sejurus.
Lalu menyisi tiga langkah dan hendak teruskan niat untuk berkelebat. Tapi lagilagi belum sampai benar-benar berkelebat, orang bertopeng merah telah
mendahului dan kini tegak di hadapan Joko.
"Tak kan lari gunung dikejar. Tapi mengapa ada manusia yang terbirit-birit meski
tidak dikejar"!"
Orang bertopeng hitam angkat bicara lalu tertawa.
Orang bertopeng merah tidak tinggal diam. Dia
cepat menyahut.
"Mungkin dikira kita sebangsa jin gentayangan.
Padahal kalau dia tahu siapa kita gerangan, hik....
Hlk.... Hik.... Tak mungkin dia berlaku seperti bidadari kayangan. Yang
terkencing-kencing melihat pemuda
korengan!"
Karena sudah memutuskan untuk tidak meladeni
orang, Joko cepat membentak dengan harapan kedua
orang bertopeng segera berlalu.
"Aku punya urusan sangat penting. Jangan coba berani mencari penyakit!"
Mendengar ancaman Joko, kedua orang bertopeng
sama-sama palingkan kepala seakan saling
berpandangan. Kejap lain untuk kedua kalinya kedua orang 'ni serentak sama
perdengarkan tawa ngakak.
"Kau dengar, Topeng Merah! Dikira kedatangan
kita semata-mata cari penyakit!"
Orang bertopeng merah putuskan suara tawanya.
"Aku maklum, Topeng Hitam! Orang hendak mampus biasanya memang bicara tidak pada
tempatnya! Laut
disangka langit. Datang membawa maut dikira
muncul cari penyakit!"
"Kalian telah dengar kalau aku ada urusan
penting...."
"Kau juga telah dengar aku datang bukan cari
penyakit!" Orang bertopeng hitam menyahut sebelum murid Pendeta Sinting sempat
teruskan ucapannya.
"Justru kami datang membawa maut!" timpal orang bertopeng merah.
Murid Pendeta Sinting pandangi kedua orang di
hadapannya dengan paras membesi. "Hem.... Nada bicara dan tampang-tampang kalian
menunjukkan kalau kalian bukan orang baik-baik! Jika kalian
datang membawa maut, kalian sebenarnya
mendatangi orang yang keliru! Kalian pasti tahu, satu orang mungkin hanya akan
membuat satu kesalahan.
Dua orang tidak tertutup kemungkinan akan
menimbulkan lebih dari dua kesalahan! Itulah
sekarang yang kalian lakukan!"
"Kau pandai juga memberi nasihat! Apa kau juga tahu, satu orang biasanya
termakan dua orang"!" ujar orang bertopeng hitam lalu anggukkan kepalanya
pada orang bertopeng merah.
Murid Pendeta Sinting tidak jawab pertanyaan
orang. Sebaliknya dia cepat membentak.
"Kuingatkan! J angan kalian berani bergerak dari tempat kalian! Aku tidak bicara
main-main!"
Habis membentak, Joko enak saja balikkan tubuh.
Lalu melangkah. Namun baru mendapat empat
langkah, dsr: arah belakang terdengar suara deruan keras.
Karena Joko sudah waspada, dia cepat balikkan
tubuh kembali. Kedua tangannya bergerak
mendorong ke depan.
Wuuttt! Wuuuutt!
Dua deruan angin deras menghampar ke depan
membawa gelombang panas. Tapi murid Pendeta
Sinting sempat jadi terkesiap. Dugaannya jauh
meleset. Karena deruan angin yang baru saja
terdengar dan dikira serangan yang dilakukan oleh
orang bertopeng ternyata bukan gelombang serangan
yang ditujukan padanya, melainkan ke atas udara.
Sementara dua orang bertopeng yang memang
arahkan tangan masing-masing ke atas udara hingga
timbulkan suara deruan keras jadi terpana dan
sejurus saling berhadapan satu sama lain. Namun di kejap lain kedua orang ini
sama berkelebat ke
samping kiri kanan.
Gelombang angin yang keluar dari kedua tangan
Joko melesat melabrak udara kosong.
"Topeng Hitam! Manusia itu ternyata bukan hanya serakah hendak menggigit sebelum
punya gigi, tapi
sudah berkokok sebelum bertaji!" kata si topeng merah. Seolah tanpa sengaja
tangan kanannya
bergerak berkelebat ke depan.
"Manusia macam itu memang pantas mendapat
imbalan wajar! Dunia akan jadi tak karuan jika biang kerok macam dia diberi
kesempatan lebih lama
menikmati indahnya dunia!" kata orang bertopeng hitam. Tangan kirinya menyentak
ke depan. Dua hamparan angin deras melesat cepat ke arah
murid Pendeta Sinting dari tangan kanan orang
bertopeng merah dan tangan kiri si topeng hitam.
"Mereka pandai memancing gara-gara!" gumam Joko lalu buru-buru melompat ke
belakang dengan
tubuh digeser ke samping kanan.
Dua hamparan angin amblas lewat lima jengkal di
samping tubuh murid Pendeta Sinting. Namun dia tak bisa bernapas lagi. Karena
begitu hamparan angin
lewat, dua bayangan berkelebat. Tahu-tahu di depan kepala Joko menyapu dua kaki,
dari arah samping kiri kanan!
Begitu cepatnya sapuan kedua kaki itu, hingga
tidak ada kesempatan lagi bagi Joko untuk bergerak selamatkan diri selain harus
menangkis sapuan kaki orang dengan angkat kedua tangannya.
Bukkkk! Bukkkk!
Sosok murid Pendeta Sinting tampak terjajar
sampai satu tombak. Kedua tangannya yang baru
saja bentrok dengan kaki kiri dan kaki kanan si
topeng merah dan si topeng hitam mental kembali
langsung menghantam tubuhnya sendiri. Hingga
sosoknya mencelat terhuyung-huyung.
SI topeng merah dan hitam rupanya tidak mau
memberi kesempatan. Selagi melihat Joko belum
dapat kuasai diri, keduanya berkelebat menyusul. Kali ini bukan hanya kaki kiri
dan kanan mereka yang
lancarkan tendangan, melainkan tangan kanan dan
kiri mereka berkelebat kirimkan pukulan!
Pendekar 131 tersentak kaget. Kalau tadi dia
rnasih tidak begitu yakin dengan ucapan orang,
namun kini dia maklum kalau kedua orang di
hadapannya benar-benar hendak mengakhiri
hidupnya Karena dia tahu, pukulan yang kini tengah dilancarkan si topeng merah
dan hitam mengandung
tenaga dalam tinggi.
Dengan salurkan tenaga dalam pada kedua
tangan, murid Pendeta Sinting menyongsong
kelebatan orang. Dia sengaja melesat dahulu ke
udara agar tubuhnya berada di atas tubuh orang
bertopeng merah dan hitam. Dengan begitu sambil
bisa lancarkan pukulan memangkas pukulan tangan
kiri dan kanan orang, sekaligus dapat selamatkan diri dari sapuan kaki kanan
kiri lawan. Tapi perhitungan Joko tampaknya sudah terbaca
lawan. Hingga satu tombak lagi tubuh mereka beradu di udara dengan tangan saling
bentrok memukul, tiba-tiba si topeng merah dan hitam membuat gerakan
jungkir balik satu kali di udara. Kejap lain sosok keduanya melesat ke udara
lebih tinggi dari tubuh
murid Pendeta Sinting.
Joko terkesiap. Kini tidak mungkin lagi baginya
membuat gerakan untuk dapat berada di atas tubuh
lawan. Karena begitu jungkir balik satu kali, laksana anak panah, si topeng
merah dan hitam melesat ke
depan seolah tidak beri kesempatan pada Joko untuk melakukan gerakan selain
harus cepat menangkis
kaki kiri kanan mereka. Sementara tangan kiri kanan mereka akan dengan leluasa
(akukan pukulan ke
arah kepala murid Pendeta Sinting.
Menangkap isyarat bahaya, Joko tidak mau
bertindak ayal. Niat semula yang hendak
menyongsong pukulan lawan dengan saling adu
pukulan jarak dekat diurungkan. Karena jika hal itu dilakukan, maka mau tak mau
dia harus berhadapan
dengan kaki orang, sementara pukulan tangan lawan
tidak mungkin lagi dapat dihindarkan.
Dengan cepat Joko tarik kedua tangannya yang
hendak memukul sedikit ke belakang. Lalu sertamerta didorong ke depan. Hingga saat itu juga dua
gelombang angin luar biasa dahsyat melabrak ke
arah si topeng merah dan hitam yang melaju deras ke arahnya.
Meski raut wajah kedua orang itu tidak dapat
dilihat, namun sikap keduanya jelas menunjukkan
kalau keduanya melengak kaget melihat apa yang
dilakukan murid Pendeta Sinting. Namun perubahan
sikap si topeng merah dan hitam cuma sekejap. Di
saat lain kedua orang ini sama-sama tarik kedua
tangan masing-masing ke belakang. Lalu secara
serentak keduanya lepaskan pukulan jarak jauh!
Bummm! Bummm! Dua ledakan keras terdengar laksana hendak
membongkar tempat itu. Jilatan api tampak berpijar melesat ke udara. Baik tubuh
murid Pendeta Sinting maupun tubuh si topeng merah dan hitam terlihat
mencelat di udara.
Karena harus menghadapi dua tenaga dalam,
maka tak ampun lagi sosok murid Pendeta Sinting
mencelat lebih jauh dari lawan. Malah untuk sesaat tubuhnya sempat terputar di


Joko Sableng Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

udara, lalu terbanting dan menukik deras ke bawah. Sementara si topeng
merah dan hitam meski sempat mencelat di udara,
Bangau Sakti 13 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Pedang Angin Berbisik 14

Cari Blog Ini