Ceritasilat Novel Online

Sekutu Iblis 2

Joko Sableng Sekutu Iblis Bagian 2


tapi segera dapat kuasai diri dan mendarat di atas tanah dengan kaki tegak.
Sedang di depan sana Joko terhuyung-huyung. Untung dia cepat hentakkan kaki
kanannya hingga meski tubuhnya sempat terputar,
namun sosoknya selamat dari roboh menghempas
tanah. "Katakan siapa kalian"! Apa maksud kalian
dengan semua ini"!" sentak Joko begitu dapat kuasai diri. Meski begitu dia tidak
dapat sembunyikan paras wajahnya yang berubah pucat pasi.
Pada bentrok pertama kali, murid Pendeta Sinting
belum merasa yakin benar akan ketinggian dan
kekuatan tenaga dalam lawan, karena saat itu tenaga yang mereka pergunakan masih
belum seberapa.
Tapi begitu bentrok kedua terjadi, Joko sadar kalau kedua orang di hadapannya
bukan lawan yang bisa
dianggap remeh. Untuk itulah Joko ingin tahu maksud orang karena selain
tampangnya tidak dapat dikenali, kedua orang bertopeng itu benar-benar inginkan
jiwanya. Mendengar pertanyaan murid Pendeta Sinting,
kedua orang bertopeng bukannya segera menjawab,
melainkan tertawa bersahut-sahutan. Puas tertawa, si topeng hitam angkat bicara
sambil hadapkan
wajahnya ke arah si topeng merah.
"Dia tanya siapa kita dan apa maksud kita.
Bagaimana menurutmu?"
Si topeng merah dongakkah kepala. "Serahkan
Jawaban itu padaku!" katanya. Lalu dengan tetap tengadah dia lanjutkan
ucapannya. "Dengar, Anak Muda! Siapa kami berdua kelak kau akan
mengetahuinya! Tentang maksud kami.... Ringan saja.
Kami inginkan nyawamu!"
"Hem.... Rasanya kita belum saling kenal.
Tampang-tampang seperti kalian baru kali ini
kujumpai. Jangan-jangan kalian suruhan orang!"
SI topeng merah kembali perdengarkan tawa. "Kau salah sangka! Jusiru kita sudah
sangat kenal. Kau
tidak percaya?"
Murid Pendeta Sinting tidak segera jawab
pertanyaan orang. Dia hanya memandang silih
berganti pada wajah orang yang tertutup topeng
seolah ingin mengetahui siapa pemilik wajah di balik topeng.
Si topeng merah tidak menunggu lama. Seakan
tahu kalau orang yang ditatapnya tidak akan
menjawab, dia lanjutkan ucapannya.
"Anak muda! Bukankah kau anak manusia
bernama Joko Sableng bergelar Pendekar Pedang
Tumpul 131 "! Kau anak manusia yang punya rezeki
besar karena telah mendapatkan dua kitab sakti,
meski sebelumnya kau harus melewati perjalanan
berat di Pulau Biru. Kau juga orang yang sempat
memasuki Istana Hantu. Lebih dari itu malah kau
sempat terlibat cinta segitiga dengan kedua anak
gadis tokoh misterius si Tengkorak Berdarah! Kau
juga sempat dijodohkan dengan seorang gadis cantik jelita bergelar Ratu Maiam.
Sayangnya kau menolak.
Aku tahu.... Mungkin saat itu kau belum tahu benar siapa adanya Ratu Malam.
Kalau kau tahu, mungkin
kau tidak akan menolak perjodohan itu! Ha.... Ha....
Ha...! Satu lagi, kau adalah murid tunggal seorang manusia gendeng berjuluk
Pendeta Sinting...."
Murid Pendeta Sinting tegak dengan mata
terpentang dan mulut terkancing rapat. Dia tengadah seolah mengingat. Namun
hingga agak lama, dia
rupanya gagal mengetahui siapa adanya orang.
Hingga pada akhirnya dia berucap.
"Kau mengenalku dengan baik! Berarti kita
mungkin memang sudah saling kenal! Tapi mengapa
kau takut tunjukkan tampang"!"
Si topeng merah tertawa panjang. "Kau salah
bicara! Bukannya kami takut tunjukkan tampang!
Kalau kami mengenakan topeng, karena kami
memang sudah biasa mengenakannya!"
"Hem.... Begitu" Lalu mengapa kalian inginkan jiwaku"!"
"Itu tidak perlu jawaban!"
"Siapa orang yang menyuruh kalian"!" tanya Joko seraya arahkan pandangan pada si
topeng hitam yang kini terlihat jongkok.
"Kau kenal manusia gendeng dari Jurang Tlatah Perak"!"
--oo0dw0oo-- LIMA DAHI Pendekar 131 mengernyit dengan
pandangan terpentang besar. "Orang ini bagaimana"
Dia tahu kalau aku murid Pendeta Sinting. Tapi
mengapa dia menanyakan manusia dari Jurang
Tlatah Perak"! Jangan-jangan orang ini tidak tahu
siapa sebenarnya Pendeta Sinting...." Diam-diam Joko berpikir.
Seperti diketahui, Pendeta Sinting yang bukan lain adalah Eyang Guru Joko Sa
>leng adalah seorang
tokoh yang berdiam diri di Jurang Tiatah Perak. (Untuk lebih jelasnya tentang
Pendeta Sinting, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode : "Pesanggrahan
Keramat").
"Kau dengar. Mengapa tidak jawab"!" bentak si topeng merah. Tanpa menunggu
jawaban lagi, si
topeng merah kembali ajukan tanya.
"Kau kenal manusia gendeng itu" Hah..."!"
"Dia yang menyuruh kalian"!" Joko balik ajukan tanya.
Si topeng merah tertawa panjang. Tapi hingga
suara tawanya ienyap, orang ini tidak lagi
perdengarkan suara menjawab.
"Kau jangan bicara mengumbar fitnah!" hardik Joko begitu mendapati orang tidak
memberi jawaban.
"Siapa mengumbar fitnah"!" kata si topeng merah.
"Kau tak percaya kalau kami orang-orang
suruhannya"!" ,
"Kau terlalu mengada-ada!"
"Terserah! Yang jelas dia dikenal sebagai manusia gendeng. Kau tahu bukan
bagaimana sikap orang
gendeng"! Dia tidak akan ambil peduli dengan siapa saja! Termasuk pada siapa dia
menyuruh dan siapa
orang yang harus dibunuhnya!"
"Tak mungkin.... Tak mungkin!" desis Joko perlahan dengan alihkan pandangan ke
jurusan lain. "Apanya yang tidak mungkin" Dengar, Anak Muda!
Di dunia ini semuanya serba mungkin! Aku tahu,
manusia gendeng penghuni Jurang Tlatah Perak itu
adalah gurumu. Tapi seperti kataku tadi, di dunia ini semuanya serba mungkin.
Jadi jangan melasa heran
kalau orang yang selama ini kau anggap sebagai guru tiba-tiba saja menyuruh
orang untuk mengambil
selembar nyawamu! Apalagi dia dikenal sebagai
manusia sinting!"
"Hem.... Begitu"! Kalau memang dia yang
menyuruh kalian, harap kalian tidak ikut campur
urusan ini. Biar aku yang menemuinya dan selesaikan urusan ini!"
"Tidak semudah itu urusan ini akan selesai! Kami berdua telah dibayar mahal
untuk menyelesaikannya!
Dan ingat, begitu kau berhasil menemuinya, maka
nyawa kami berdua sebagai imbalannya!"
"Itu risiko kalian! Yang pasti, aku harus
membuktikan ucapanmu! Jangan-jangan kalian
berdua suruhan orang lain, lalu menebar fitnah
dengan mengatakan bahwa gurukulah yang
menyuruh!"
"Silakan kau berkata apa pun! Yang jelas kau tidak akan kami biarkan lewat
begitu saja!"
Habis berkata begitu, si topeng merah telah
berkelebat ke depan. Sejarak tujuh langkah dari
tempat Joko, serta-merta dia putar tubuh
membelakangi, membuat murid Pendeta Sinting
kerutkan dahi. Namun keheranan Joko lenyap
seketika. Karena begitu putar tubuh membelakangi,
si topeng merah gerakkan kedua tangannya
menyentak ke belakang. Wuuttt: Wuuttt!
Dua bongkahan awan putih menggelinding
laksana roda pedati dengan membawa gelombang
luar biasa dahsyat!
Sadar kalau bongkahan awan putih bukan pukulan
sembarangan, Joko tidak mau berlaku sembrono.
Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam pada
kedua tangannya.
Saat itu juga kedua tangan Joko berubah menjadi
kekuningan. Pertanda murid Pendeta Sinting siap
akan lepaskan pukulan sakti 'Lembur Kuning'.
Dengan gerakkan langkah satu tindak ke samping
kanan, kedua tangan Joko mendorong ke depan.
Satu sinar kuning mencorong melesat dengan
membawa gelombang luar biasa dahsyat serta hawa
panas menyengat.
Blaaarrr! Dua bongkahan aWan putih ambyar berkeping.
Sinar kuning semburat. Sosok murid Pendeta Sinting tampak terhuyung-huyung ke
belakang dengan paras
berubah. Malah kejap lain kedua kakinya goyah. Dan tak lama kemudian sosoknya
menekuk jatuh. Di depan sana, karena tegak membelakangi,
sosok si topeng merah terlihat terdorong ke depan.
Lalu sosoknya terhuyung hendak jatuh. Namun
sebelum kedua kakinya menekuk, orang ini cepat
sentakkan tubuh bagian atasnya. Serta-merta
kepalanya menghujam deras ke bawah. Namun
sejengkal lagi kepalanya menghujam tanah, kedua
tangannya menjulur ke bawah.
Hingga kepalanya tertahan sejengkal berada di
atas tanah dengan kedua tangan menopang
tubuhnya. Orang ini berhenti dengan posisi
menungging! Melihat sikap orang, murid Pendeta Sinting
tampak sipitkan sepasang matanya. "Jangan-jangan dia adalah...."
Joko tidak lanjutkan kata hatinya, karena
bersamaan dengan itu mendadak si topeng merah
hentakkan sepasang tangannya yang berada di atas
tanah. Sosoknya kini melesat ke belakang dengan
posisi masih tetap menungging.
Joko cepat bergerak bangkit. Namun belum
sempat gerakkan kedua tangannya, sepasang kaki si
topeng merah telah melesat serentak ke arah kedua
bahu kiri kanannya.
Bukkk! Bukkk! Murid Pendeta Sinting berseru tertahan. Untuk
kedua kalinya tubuhnya terhuyung lalu jatuh
tertunduk. Sementara di depannya si topeng merah
terlihat tetap topang tubuhnya dengan kedua tangan di atas tanah dan kedua kaki
di atas udara. "Persetan dia atau bukan! Kalau dia memang
inginkan nyawaku, aku harus bertahan! Malah apa
pun akan kulakukan! Aku harus cepat selesaikan
orang ini! Tugas di depan masih banyak!"
Berpikir sampai di situ, Pendekar 131 cepat
kerahkan kembali tenaga dalam pada kedua
tangannya dan siap lancarkan pukulan 'Lembur
Kuning'. Tapi sebelum kedua tangan Joko sempat
mendorong, si topeng merah telah angkat kedua
tangannya lalu disentakkan. Sosoknya melesat ke
belakang. Kedua kakinya bergerak melebar ke
samping kiri kanan.
Namun setengah depa lagi di depan tubuh Joko,
mendadak si topeng merah gerakkan kedua kakinya
menutup kembali membuat gerakan menggunting.
Kepalanya berada sejengkal di atas tanah dengan
kedua tangan menopang tubuhnya bersltekan di atas
tanah. Murid Pendeta Sinting tidak tinggal diam. Kedua
tangannya cepat diangkat ke atas untuk memangkas
kedua kaki lawan yang menggunting ke arah
kepalanya. Bukkk! Bukkk! Kedua kaki si topeng merah terkembang mental
ke samping kiri kanan. Sosoknya bergetar keras.
Kejap lain kedua tangannya yang menopang tubuh
bergoyang-goyang.
Di belakangnya, tubuh murid Pendeta Sinting
tampak terseret sampai satu tombak. Namun kali ini dia tidak mau menunggu. Di
dahului bentakan keras, kedua tangannya mendorong ke depan lepaskan
pukulan sakti 'Lembur Kuning'.
Entah tidak menduga atau disengaja, walau tahu
kalau saat itu satu sinar kuning melesat disertai
gelombang luar biasa dahsyat dan membawa hawa
panas, namun si topeng merah tidak membuat
gerakan apa-apa! Malah dia tampak dongakkan
kepala menghadap ke arah si topeng hitam.
"Dasar tolol! Apa kau ingin mampus"!" satu suara terdengar. Lalu satu sinar
kuning melesat. Gelombang angin keras menghampar. Udara berubah panas.
Pendekar 131 terkesiap. "Lembur Kuning!"
desisnya mengenali pukulan yang kini mengarah
memangkas pada pukulannya dan ternyata dilepas
oleh si topeng hitam.
Bummm! Terdengar dentuman membahana. Pukulan sakti
'Lembur Kuning' yang dilepas murid Pendeta Sinting semburat ambyar ke udara
tatkala bentrok dengan
pukulan yang dilepas si topeng hitam. Tanah di
tempat itu bergetar keras laksana dilanda gempa.
Sosok murid Pendeta Sinting terjengkang lalu
terkapar di atas tanah dengan mulut keluarkan
darah. Sementara si topeng merah yang berada dekat dengan terjadinya bentrokan
tampak tersapu mencelat sebelum akhirnya terjerembab di atas
tanah. Si topeng hitam sendiri terlihat terdorong ke
belakang. Namun orang ini segera bisa kuasai diri.


Joko Sableng Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebelum tubuhnya sempat terjatuh, dia berkelebat ke samping. Lalu kedua kakinya
menghentak tanah.
Bersamaan dengan itu sosoknya berhenti. Namun
cuma sekejap. Di lain saat si topeng hitam ini gerakkan bahu kanan kirinya.
Sosoknya melesat ke
depan. Melihat hal itu, dengan sisa tenaga dalamnya, Joko bergerak bangkit. Lalu tenaga
dalamnya dikerahkan
pada tangan kirinya. Saat itu juga tangan kiri Joko berubah menjadi biru. Inilah
pertanda kalau dia
siapkan pukulan 'Serat Biru'.
Tapi mendadak Joko urungkan niat. Dia cepat
berkelebat hindarkan diri. Tapi si topeng hitam
tampaknya tidak urungkan niat. Dia berkelebat
mengejar ke arah mana Joko selamatkan diri.
Karena tak ada jalan lain, sementara di lain pihak dia tampak ragu-ragu untuk
lepaskan pukulan,
akhirnya murid Pendeta Sinting hanya angkat kedua
tangannya untuk menangkis pukulan orang yang
mengarah pada kepalanya.
Desss! Desss! Joko langsung tersuruk di atas tanah dengan
mulut makin banyak keluarkan darah. Sementara si
topeng hitam cepat bisa bergerak bangkit setelah
tubuhnya hampir saja terjatuh.
"Orang ini lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'.
Siapa dia sebenarnya?" Diam-diam Joko membatin.
Lalu perlahan-lahan bangkit duduk. Sepasang
matanya perhatikan orang bertopeng hitam dengan
seksama. Adakah dalam rimba persilatan seorang yang
memiliki pukulan 'Lembur Kuning' selain Eyang
Guru?" Joko terus membatin. Sementara di depan sana si topeng hitam terlihat
palingkan kepala pada si topeng merah. Kejap lain keduanya sama melompat.
Tahu-tahu mereka telah tegak hanya sejarak lima
langkah di hadapan Joko.
"Siapa kalian sebenarnya"! Jangan sampai aku
salah turunkan tangan membunuh orang!" sentak Joko.
"Kau tadi telah dengar, bahwa kelak kau akan tahu siapa kami! Itu akan kau
ketahui begitu nyawamu
berada di tengah tenggorokan!" Yang jawab adalah orang bertopeng hitam.
"Apa hubunganmu dengan Pendeta Sinting hingga kau memiliki pukulan 'Lembur
Kuning'"!"
Orang bertopeng hitam tertawa panjang seraya
berkata. "Aku adalah orang suruhan gurumu! Sebelum kami berangkat, kami telah ajukan
syarat. Dia harus
berikan padaku pukulan andalannya! Kau paham"!"
Untuk kesekian kaEinya murid Pendeta Sinting
terlihat ragu-ragu. "Tidak mungkin! Mereka pasti berkata dusta! Tapi.... Ah....
Aku jadi bingung. Si topeng merah sepertinya aku mengenali pukulan dan
sikapnya. Demikian pula dengan yang bertopeng
hitam. Sayang.... Mereka sengaja sembunyikan wajah di balik topeng!"
Di depan sana, orang bertopeng merah dongakkan
kepala. Lalu berujar.
"Anak muda! Rupanya kau salah memiliih guru!
Dan tentu kau harus berani terima akibatnya!"
Habis berkata begitu, orang bertopeng merah
angkat kedua tangannya. Sementara orang bertopeng
hitam tidak perdengarkan suara. Tapi pada saat
bersamaan dia juga serentak angkat kedua
tangannya. "Tunggu! Kuperingatkan pada kalian. Biar urusan ini kuselesaikan dengan guruku
sendiri! Kanan jangan memaksaku untuk bertindak lebih jauh!"
teriak Joko. Kedua orang bertopeng menyambuti ucapan
murir9 Pendeta Sinting hanya dengan gelakan tawa.
Namun mendadak secara berbarengan keduanya
putuskan tawanya masing-masing. Keduanya seolah
tidak hiraukan ancaman Joko. Tangan kanan kiri
orang terus bergerak dan siap lepaskan pukulan.
"Mereka tampaknya memang inginkan nyawaku.
Apa boleh buat. Kalau aku ragu-ragu pasti nyawaku
tidak akan bisa diselamatkan!"
Berpikir begitu, akhirnya Joko kerahkan kembali
tenaga dalamnya pada tangan kiri. Mendadak tangan
kirinya berubah berwarna biru.
"Pukulan "Serat Biru'! Apa hebatnya"'" orang bertopeng merah berujar.
"Hem.... Dia benar-benar mengetahui semuanya!"
kata Joko dalam hati. Dada murid Pendeta Sinting
mulai dilanda gejolak mendengar ejekan orang.
Seraya angkat tangan kiri, sementara tangan kanan
ditarik ke belakang, dia berkata membentak.
"Aku telah memberi peringatan! Jangan menyesal dengan keputusan yang kalian
ambil!" "Peringatanmu hanya karena kau takut
menghadapi kami!" sahut orang bertopeng hitam.
Mendengar sahutan orang, Pendekar 131
tampaknya hilang kesabaran. Tanpa berkata-kata lagi kedua tangannya bergerak
mendahului gerakan
tangan kedua orang bertopeng'
Wuuuttl Wuuuttt!
Dari tangan kanan murid Pendeta Sinting melesat
satu gelombang luar biasa dahsyat. Sementara dari
tangan kirinya melesat sinar biru laksana benang
yang memanjang. Tanda dia telah lepaskan pukulan
'Serat Biru'. Sesaat kedua orang bertopeng terlihat saling
berpaling. Namun bersamaan dengan itu keduanya
sama-s- ma sentakkan kedua tangan masing-masing.
Dari tangan masing-masing orang menderu
gelombang angin laksana hempasan ombak.
Bummm! Bummm! Terdengar dua kali dentuman keras. Pukulan yang
keluar dari tangan kanan murid Pendeta Sinting
langsung berantakan tatkala bentrok dengan pukulan yang melesat dari kedua
tangan si topeng merah.
Namun tidak demikian halnya dengan serat-serat biru berkilat yang melesat ke
arah si topeng hitam. Meski serat biru berkilat yang memanjang laksana benang
sesaat tertahan di udara dan perdengarkan
dentuman keras ketika bentrok dengan pukulan si
topeng hitam, namun serat-serat biru laksana benang itu terus melesat, membuat
si topeng hitam angkat
kembali kedua tangannya lalu serta-merta
disentakkan. Namun lesatan serat-serat biru telah mendahului.
Hingga bukan saja membuat orang bertopeng hitam
tersentak, namun tubuhnya tegang karena serat-serat biru melilit sekujur
tubuhnya. Hal ini membuat
tubuhnya tidak ikut tersapu akibat bentroknya
pukulan-pukulan yang baru saja terjadi.
Sementara sosok orang bertopeng merah mental
sampai satu setengah tombak ke belakang. Di
seberang, sosok murid Pendeta Sinting terpelanting lalu jatuh terkapar. Tapi
merasa bahaya masih
mengancam, murid Pendeta Sinting tidak mau
bertindak ayal. Dia cepat bergerak bangkit. Sejenak tubuhnya terlihat terhuyunghuyung. Namun dia
segera dapat kuasai diri meski harus menahan rasa
sakit bukan alang kepalang yang mendera sekujur
tubuhnya. Di depan sana, si topeng hitam yang terlilit serat-serat biru tampak gerakgerakkan kedua tangannya.
Saat bersamaan kedua kakinya menghentak tanah.
Sepasang mata murid Pendeta Sinting tampak
mendelik. Sosok orang bertopeng hitam tiba-tiba
melesat ke udara. Saat itulah terdengar suara
letupan. Serat-serat, biru yang tadi melilit tubuh orang menjerat udaia kosong!
Sosok orang bertopeng hitam membuat gerakan
jungkir balik di udara. Ketika tubuhnya hampir
menjejak tanah, sekonyong-konyong orang ini
gerakkan kedua tangannya.
Wuutt! Wuuutt! Tempat itu mendadak berubah semburat warna
kuning. Bersamaan dengan itu satu gelombang luar
biasa dahsyat menggebrak ke arah Joko dengan
membawa hawa panas menyengat.
"Dia bisa selamatkan diri dari pukulan 'Serat Biru'!
Pukulan 'Lembur Kuning' yang dilepas juga luar biasa!
Apakah aku harus pergunakan pukulan 'Sundrik
Cakra"!" sesaat Joko berpikir.
Tapi karena orang telah iepaskan pukulan, mau
tak mau Joko tidak dapat berpikir panjang. Hingga
mungkin karena tidak mau celaka, akhirnya Joko
putuskan untuk melepas pukulan 'Sundrik Cakra'.
Murid Pendeta Sinting tarik tangan kanannya yang
jari telunjuk, jari tengah serta jari manisnya
diluruskan, sementara ibu jari dan jari kelingking ditekuk saling bertemu, tanda
dia hendak lepaskan
pukulan 'Sundrik Cakra'.
Seolah tahu bahaya, orang bertopeng merah
segera melesat ke depan !alu tegak di samping orang bertopeng hitam seraya
berbisik. "Kita harus menyingkir!"
Mungkin karena suaranya terlalu pelan atau purapura tidak mendengar, orang bertopeng hitam
berseru tanpa berpaling. "Apa katamu"!"
"Dasar gendeng!" desis orang bertopeng merah.
Lalu kembali berbisik.
"Kita harus menyingkir! Kurasa untuk yang kail ini kita tidak akan bisa
menahan!" "Apa katamu"!" lagi-lagi orang bertopeng hitam berteriak. Kais ini dengan
palingkan kepala.
Orang bertopeng merah tidak lagi buka mulut
perdengarkan suara jawaban. Sebaliknya dia
sentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu
bersamaan itu sosoknya melesat ke samping. Dan
enak saja dia dorong tubuh orang bertopeng hitam.
Karena dorongan itu bukan dorongan biasa, kejap
itu juga sosok orang bertopeng hitam mencelat
mental sampai tiga tombak lalu terhampar di atas
tanah. Saat itulah terdengar dua kali ledakan keras.
Pukulan yang dilepas baik oleh orang bertopeng
merah dan hitam bertabur ke udara. Tempat itu
porak-poranda. Di atas udara terlihat sinar kuning berkiblat. Untung, kedua
orang bertopeng telah tidak di tempatnya semula. Jika tidak, tak urung keduanya
akan tersapu sinar kuning yang dilepas Joko dan baru saja membongkar dua pukulan
orang bertopeng.
Meski dua pukulan lawan sempat tertahan dan
terbongkar oleh pukulan 'Sundrik Cakra' yang dilepas murid Pendeta Sinting,
namun bias dari pukulan itu masih tidak bisa dihindari oleh Joko, hingga begitu
terdengar ledakan, tubuhnya terjajar empat langkah ke belakang dengan kedua
tangan bergetar keras.
Paras wajahnya makin pias. Sementara darah yang
keluar dari mulutnya semakin banyak.
Dengan kerahkan hawa murni, Joko cepat
berpaling. Kedua orang bertopeng sudah terlihat
tegak saling berjajar.
"Kalian tak akan selamat! Tapi aku masih memberi kesempatan kalau kalian buka
topeng'." teriak Joko mengancam. Joko berani mengancam karena dia
tahu kalau nyali kedua Orang bertopeng sudah
menciut demi melihat pukulan 'Sundrik Cakra' yang
baru saja dilepas.
Sesaat kedua orang bertopeng saling pandang. Si
topeng merah tampak anggukkan kepala. Namun
orang bertopeng hitam baias dengan gelengkan
kepala. Lalu berbisik. "Bukan sekarang saatnya...."
Mungkin tidak mendengar, atau karena hendak
lakukan apa yang diperbuat orang bertopeng hitam
tadi, si topeng merah berteriak.
"Apa katamu"!"
"Dasar sontoloyo!" maki orang bertopeng hitam.
Lalu kembali berbisik.
"Bukan sekarang saatnya membuka topeng!"
"Tapi keadaan tidak menguntungkan kalau kita
tidak buka topeng! Lihat pakaianmu!"
Meski sudah tahu, namun orang bertopeng hitam
tetap tundukkan sedikit kepalanya melihat
pakaiannya. Ternyata pakaian yang dikenakan orang
ini telah robek melingkar di beberapa tempat. Ini
adaiah karena lilitan serat biru yang sempat melilit tubuhnya.
"Aku tidak akan buka topeng!" bisik orang bertopeng hitam.
"Bagus! Kalian cari mampus!" hardik Joko. Lalu untuk meyakinkan orang jika dia
tidak berkata main-main, dia angkat kedua tangannya lalu ditarik ke
belakang. Murid Pendeta Sinting sengaja kerahkan
tenaga dalam pada kedua tangan kiri kanannya. Saat itu juga tangan kanannya
berubah semburatkan
warna kuning sementara tangan kirinya berwarna
biru. Dia seolah hendak lepaskan pukulan 'Sundrik
Cakra' dan 'Serat Biru'.
"Bagaimana"! Aku tak mau menanggung risiko!"
kata orang bertopeng merah. Sejenak dia
memandang pada murid Pendeta Sinting. Lalu beralih pada orang bertopeng hitam.
Tiba-tiba orang bertopeng merah angkat tangan
kirinya. Saat sejajar dengan kepalanya, dia
menyentak. Brettt! Topeng dari kulit berwarna merah lepas. Kini
tampaklah seraut wajah tua seorang laki-laki.
Sepasang matanya lebar. Hidungnya agak besar.
Sementara mulutnya terbuka menganga. Orang ini
lalu angkat tangan kanannya. Begitu berada di atas kepala, mendadak tangan
kanannya bergerak.
Breeett! Pakaian yang menutup bagian kepalanya lepas ke
bawah hingga lehernya terbuka. Ternyata laki-laki Ini tidak memiliki leher!
Kepalanya yang berambut putih seolah nongol di antara kedua bahunya!
"Sontoloyo!" seru orang bertopeng hitam begitu mengetahui apa yang dilakukan


Joko Sableng Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang tadi
mengenakan topeng merah.
"Kau membuat kesalahan!" kata orang bertopeng hitam sambil hentakkan kedua
kakinya. Meski tampangnya tidak terlihat, tapi nada suaranya jelas menunjukkan kalau dia marah.
"Jangan bicara tak karuan! Kaiaupun kau tidak buka topengmu, aku akan katakan
siapa kau sebenarnya!" sahut orang yang wajahnya sudah
kelihatan. Lalu orang ini tertawa bergelak. Anehnya meski suaranya telah lenyap,
tapi mulutnya masih
terbuka menganga!
"Sialan benar! Kalau tahu nyalimu begini rupa, menyesal aku mengajakmu!" ujar
orang bertopeng hitam. Lalu orang ini angkat kedua tangannya.
Brettt! Brettt!
Topeng hitam dan pakaian yang menutup kepala
orang terenggut lepas. Kini tampaklah wajah seorang laki-laki berusia lanjut
berambut putih digelung ke atas. Wajahnya telah mengeriput dengan sepasang
mata besar. Sejenak orang yang tadi mengenakan topeng
hitam memandang dengan mata mendelik angker ke
arah orang yang tadi mengenakan topeng merah.
"Ha.... Ha.... Ha...! Rupanya kau juga ciut nyrli!"
kata orang yang tadi mengenakan topeng merah. Lalu palingkan kepaia ke arah
murid Pendeta Sinting.
Orang yang tadi mengenakan topeng hitam menggerendeng panjang pendek. Tapi kejap kemudian dia
ikut palingkan kepalanya menghadap Pendekar 131.
Murid Pendeta Sinting belalakkan sepasang
matanya. Seolah tak percaya, sesaat dia kerjapkan
mat" lalu dibeliakkan. Tiba-tiba dia berseru.
"Kakek Iblis Ompong! Eyang Guru!" laksana terbang, Joko berkelebat ke depan lalu
berlutut seraya berkata.
"Harap maafkan tindakanku tadi...."
Orang yang tadi mengenakan topeng merah dan
tidak lain memang Iblis Ompong adanya buka
mulutnya lebar-lebar tanpa keluarkan suara.
Sementara orang yang tadi mengenakan topeng
hitam dan tidak lain adalah Pendeta Sinting adanya mendelik- sambil perhatikan
sosok muridnya.
"Kek! Eyang Guru.... Sebenarnya aku tadi sudah bimbang. Tapi karena kalian
seakan bersungguh-sungguh, keraguanku lenyap.... Jadi harap kalian
berdua mengerti tindakanku...."
Tidak ada sahutan yang terdengar. Namun Joko
lanjutkan ucapannya dengan kepala menunduk dan
kaki berlutut. "Eyang.... Ada sesuatu yang harus kutanyakan
padamu...."
Joko menunggu sahutan. Namun hingga agak
lama menunggu tidak juga terdengar sahutan suara,
Joko perlahan-lahan angkat kepalanya dengan tubuh
sedikit bergetar dan dada berdebar. Dia khawatir apa yang tadi telah dilakukan
membuat gurunya marah
hingga tak mau menyahut ucapannya.
"Astaga!" Pendekar 131 tersentak kaget. Ternyata baik Iblis Ompong maupun
Pendeta Sinting sudah
tidak kelihatan lagi batang hidungnya!
--oo0dw0oo-- ENAM PENDEKAR 131 Joko Sableng pentangkan mata
lalu edarkan pandangan berkeliling. "Ke mana
mereka berdua" Dasar orang-orang aneh.... Padahal
ada sesuatu yang harus kusampaikan pada Eyang
Guru masalah nenek yang katakan diri sebagai Ni Luh Padmi.... Hem.... Kalau
mereka benar-benar pergi dari sini mereka pasti belum jauh...."
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting tajamkan
telinga. Lalu secepat kilat dia putar diri dan
berkelebat. Tapi baru saja sosoknya bergerak,
mendadak satu suara terdengar.
"Untuk apa kita masih main sembunyi-sembunyi"
Kau dengar tadi, muridmu akan menanyakan
sesuatu?" "Sontoloyo! Kau selalu saja merusak rencanaku!"
terdengar suara sahutan dengan nada keras.
Joko urungkan niat. Kembali dia putar diri
menghadap ke arah suara-suara yang baru saja
terdengar. Dia hendak melangkah mendekat. Dia
yakin suara-suara tadi terdengar dari balik pohon
besar sejarak lima belas langkah di hadapannya.
Namun langkahan kaki Joko tertahan. Karena
bersamaan dengan itu satu sosok tubuh berkelebat
keluar dari balik pohon dan tahu-tahu teiah tegak di hadapan Joko dengan kedua
tangan berkacak
pinggang dan mulut terbuka lebar. Orang ini adalah Iblis Ompong.
Joko bungkukkan sedikit tubuhnya menjura
hormat. Mungkin takut kalau orang akan berkelebat
pergi tanpa diketahui, Joko sengaja bungkukkan
tubuh dengan kepala sedikit terangkat. Dengan
begitu dia masih dapat melihat ke mana orang
berkelebat. "Kek...! Harap kau tidak sakit hati dengan apa yang tadi terjadi...."
Iblis Ompong dongakkan kepala. Karena orang tua
ini tidak punya leher, maka bersamaan dengan
gerakan kepalanya yang mendongak, bahunya
tampak sedikit terangkat.
"Semuanya sudah berakhir. Untuk apa selalu
dipikir! Lagi pula semua itu bukanlah rencanaku.
Gurumu-lah yang punya tingkah laku!" ujar Iblis Ompong.
"Sialan! Enak saja kau bicara!" satu suara menyambut! dari balik pohon. Belum
habis suara orang, satu sosok tubuh tahu-tahu sudah tegak di
samping Iblis Ompong. Dia bukan lain adalah Pendeta Sinting. Sepasang matanya
mendelik pada Iblis
Ompong. Tapi di lain saat orang tua guru Pendekar
131 ini perdengarkan tawa mengekeh panjang.
Sekali lagi Joko bungkukkan tubuh menjura
hormat ke arah Pendeta Sinting. Entah karena
menduga eyang gurunya masih memendam perasaan
dongkol karena kejadian yang tadi berlangsung, kali ini Joko tidak berani angkat
kepala memandang.
"Sontoloyo!" kata Pendeta Sinting pada Joko. "Apa yang hendak kau tanyakan"!"
Perlahan-lahan Joko angkat kepalanya. Melirik
sesaat pada eyang gurunya lalu berkata.
"Eyang.... Sebelumnya aku akan mengatakan
padamu bahwa tugas yang selama ini kuemban, telah
ku-selesaikan dengan baik! Kedua kitab itu telah
dapat ku-selamatkan...."
"Aku sudah tahu! Malah siapa saja gadis-gadismu aku juga tahu!" sahut Pendeta
Sinting. Tampang muka Joko Sableng berubah merah
padam. Dia melirik pada Iblis Ompong. Yang dilirik tetap mendongak namun kejap
lain buka suara.
"Kau jangan menuduhku yang bukan-bukan. Aku
tidak pernah cerita pada gurumu yang tidak karuan!
Meski gurumu selalu bertanya mengorek keterangan!
Kalau tidak percaya silakan kau ajukan pertanyaan!"
Pendekar 131 alihkan lirikannya pada Pendeta
Sinting. Yang dilirik kali ini tengah memandang tajam ke arahnya.
"Pada siapa aku memperoleh cerita bukan urusan kalian berdua! Sekarang aku ingin
dengar apa yang
hendak kau tanyakan!"
Niat semula Joko yang hendak ceritakan tentang
perjalanannya selama ini diurungkan. Dari nada
bicara eyang gurunya, Joko telah mengetahui kalau
gurunya sedikit banyak telah tahu apa yang selama
ini terjadi. Hingga pada akhirnya dia ajukan tanya tentang nenek yang
dijumpainya dan mengatakan
mencari Pendeta Sinting.
"Eyang.... Apa kau mengenal seorang nenek cantik bernama Ni Luh Padmi?"
Belum sampai Pendeta Sinting menjawab, Iblis
Ompong sudah perdengarkan ledakan tawa sambil
berkata. "Di mana-mana air memang akan selalu mengalir ke bawah. Kalau gurunya dahulu
kala sudah terlibat dengan perempuan, bagaimana mungkin muridnya
akan terbebas dari nu.khluk perempuan"!"
"Sialan! Jangan kau mempermalukan aku!" hardik Pendeta Sinting seraya arahkan
pandangannya pada
Iblis Ompong. "Bukan maksud hati membuatmu malu. Apalagi
kejadian itu sudah berlalu! Aku hanya ambil
pelajaran. Ternyata iseng main dengan perempuan,
kelak di hari tua akan timbulkan urusan! Bahkan
orang yang tidak tahu menahu harus ikut
menanggung beban!"
Pendeta Sinting tidak pedulikan ucapan Iblis
Ompong meski matanya melirik ke arah orang tua
yang tidak punya leher dan mulutnya selalu terbuka menganga itu. Sebaliknya dia
cepat bertanya.
"Kapan dan di mana kau bertemu dengan
perempuan itu" Apa yang dikatakan padamu" Jawab
dengan jelas dan ceritakan semuanya! Jangan
sampai ada satu kejadian atau kata-katanya yang kau sembunyikan!"
Mendengar ucapan Pendeta Sinting, kembali Iblis
Ompong tertawa bergelak.
"Apa nenek itu tetap jelita" Mengenakan polesan bibir warna apa" Apa pakaian
yang dikenakan tjpis
menggoda" Dan apakah dia juga titip salam manis
untuk gurumu"!"
Karena jengkel dan tidak bisa berbuat banyak
pada Iblis Ompong, akhirnya setelah melotot pada
Iblis Ompong, Pendeta Sinting melompat ke arah
muridnya dan berbisik.
"Jangan hiraukan ucapan manusia edan itu! Jawab saja pertanyaanku tadi!"
"Tapi harap kau ulangi lagi pertanyaanmu.
Pertanyaanmu tadi terlalu banyak. Aku jadi tidak ingat semuanya...," ujar Joko
seraya arahkan pandangannya pada Sblis Ompong dengan bibir
sunggingkan senyum.
"Sontoloyo! Kau rupanya mau ikut-ikutan berbuat edan seperti Iblis tak bergigi
itu!" hardik Pendeta Sinting dengan suara ditekan, membuat suaranya
terdengar parau dan lucu. Hal ini membikin Iblis
Ompong perkeras suara gelakan tawanya. Lalu
berucap. "Cinta kadangkala membikin orang mabuk
kepayang. Tapi jangan iupa, mempermainkan cinta
bisa membuat jiwa melayang! Cinta sering kali
membuat orang gentayangan. Tapi tak sedikit yang
membikin manusia sempoyongan. Karena putus dan
khianat cinta tak jarang menimbulkan dendam
berkepanjangan!"
"Kakek itu benar ucapannya...," gumam Joko.
"Sontoloyo! Apa kau bilang" Ucapannya mana yang kau anggap benar"!" sentak
Pendeta Sinting. "Sudah kukatakan, jangan hiraukan ucapan manusia edan
itu! Sekarang jawab. Di mana dan kapan kau bertemu dengan perempuan yang kau
katakan nenek cantik
itu"!"
"Aku bertemu dengannya pada satu tempat kirakira setengah hari perjalanan dari sini! Pertemuan itu baru saja terjadi!"
"Hem.... Apa yang dikatakan padamu"!" tanya Pendeta Sinting dengan mata
memandang pada Iblis
Ompong yang tegak dengan masih mendongak dan
mulut terbuka menganga!
"Nenek itu menanyakan padaku di mana kau
berada...."
"Hanya itu"!"
Joko gelengkan kepala. "Dia juga mengatakan
antara kau dengannya bukan hanya ada silang
sengketa. Melainkan ada urusan besar yang tidak
akan selesai sebelum kau menemui ajal di
tangannya...."
Pendeta Sinting menggumam tak jelas. Lalu
angkat bicara masih dengan suara ditekan. "Kau bilang apa padanya"!"
"Aku mengatakan tidak tahu di mana kau
berada...."
Pendeta Sinting tersenyum seraya anggukkan
kepala. "Bagus. Lalu apa katanya ketika mendengar ucapanmu"!"
"Dia tidak heran kalau seorang murid melindungi gurunya. Yang membuatnya aneh
justru adalah kalau
seorang murid tidak mengetahui di mana gurunya
berada! Dia mengatakan telah mengadakan
perjalanan jauh. Dan tak akan sia-siakan setiap
kesempatan!"
Paras wajah Pendeta Sinting berubah agaktegang.
"Tunggu! Dari mana dia tahu kau adalah muridku"!"
"Itulah yang sampai saat ini membuatku heran! Dia dengan tepat bisa menebakku!
Padahal baru kali itu aku jumpa dengannya...."
"Mengapa saat itu kau tidak mengatakan saja
sebagai murid Iblis Ompong itu misalnya"!"
"Percuma aku berkata bohong! Lagi pula
sebenarnya aku ingin tahu apa yang menjadi
maksudnya mencarimu...."
"Dasar sontoloyo! Kau selalu saja ingin tahu
urusan orang tua!"
"Maaf, Eyang Guru.... Bukan maksudku begitu.
Sebagai murid setidaknya aku ingin tahu. Siapa duga kalau aku dapat
menyelesaikan masalah?"
"Oh.... Begitu" Lalu apakah kau akhirnya dapat selesaikan masalah itu"! Dapat"
He..."!"
Joko tidak berani menyahut ucapan gurunya. Dia
hanya memandang. Bukan pada Pendeta Sinting,
melainkan pada Iblis Ompong.
Karena muridnya tidak menjawab, Pendeta Sinting
lanjutkan ucapannya. "Kau tahu, Sontoloyo! Dengan tindakanmu itu, kau telah ikut
libatkan diri dalam urusan Inil Padahal aku telah punya rencana untuk
tidak libatkan siapa pun juga!"
"Tapi, Eyang...? Dengan tahu persoalannya,
setidaknya aku bisa memberikan keterangan
sekaligus dapat memberitahukan padamu kalau ada
seorang nenek cantik mencarimu...."
"Sudah.... Sudah! Sekarang katakan padaku apa saja yang sempat diucapkan! Jangan


Joko Sableng Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembunyikan sesuatu, hingga kalau kelak aku jumpa dengannya,
aku bisa cepat selesaikan urusan!"
Joko Sableng angkat alis kedua matanya. "Dia
tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya kudengar dia
sempat bergumam kalau dia rindu padamu dan ingin
segera bertemu.... Aneh juga ya..." Di balik dendam ternyata tersimpan
rindu...."
Meski Joko perdengarkan suara sangat pelan, tapi
tak urung terdengar juga oleh Iblis Ompong. Hingga sebelum Pendeta Sinting
sempat buka mulut, iblis
Ompong sudah mendahului.
"Kau tak usah merasa heran dan aneh, Sontoloyo!
Cinta memang begitu adanya. Di dalamnya ada rindu, jengkel, sayang, geram.
Itulah makanya ada istilah rindu dendam. He.... He.... He...l"
"Eyang..." bisik Joko begitu Iblis Ompong selesai dengan ucapannya. "Apa
sebenarnya yang terjadi antara kau dengan nenek itu"! Kobaran dendam
pada tiadanya rupanya begitu membara! Apa
memang betul dugaan kakek ompong itu" Kau
pernah terlibat main cinta dengan nenek cantik itu"!"
Sesaat Pendeta Sinting pandangi muridnya dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu menghardik.
"Kau jangan ikut-ikutan urusan orang tua inll Dan ingat. Jangan sekali-kali kau
campur tangan!"
Mungkin karena sudah tidak tahan menahan rasa
dongkol, Pendeta Sinting menghardik dengan suara
agak keras. "Dalam urusan cinta, kehadiran orang ketiga
memang akan membikin panjang cerita! Jadi kau
harus mengerti, Anak Muda! Kalaupun kau masih
tidak bisa mengerti, kau berpura-puralah...." Iblis Ompong tidak lanjutkan
ucapannya, karena saat itu
Pendeta Sinting sentakkan kepalanya berpaling
dengan mata makin membellak.
Anehnya, sesaat kemudian bukan hardikan keras
yang teri igar dari mulut Pendeta Sinting, melainkan suara tawa bergelak. Lalu
berkata. "Kita harus cepat pergi...." Selesai berkata begitu, Pendeta Sinting akan
berkelebat. "Tunggu!" teriak Joko menahan gerakan eyang gurunya. "Masih ada sesuatu yang
harus kuberitahukan!"
"Apakah masih berhubungan dengan nenek cantik itu"!" Yang angkat bicara adalah
Iblis Ompong. Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala dengan
mata memandang silih berganti pada Iblis Ompong
dan Pendeta Sinting.
"Apa yang hendak kau beri tahukan"!" kali Ini Pendeta Sinting yang buka suara.
"Di dalam rimba persilatan ternyata masih ada sebuah kitab sakti...." Lalu Joko
menceritakan perihal Kitab Hitam dan perjalanannya selama ini.
Baik Pendeta Sinting maupun Iblis Ompong
sejenak sama tersentak begitu mendengar
keterangan Joko. Setelah terdiam agak lama,
akhirnya Iblis Ompong yang buka suara terlebih
dahulu. "Masalah gadis cantik yang kau sebut sebagai
Putri Sableng itu. Apakah dia tidak pernah sebutsebut namaku..." Setidaknya mengatakan pernah
bertemu denganku..."!"
Joko menahan tawa. Tapi tidak demikian dengan
Pendeta Sinting. Orang tua penghuni Jurang Tlatah
Perak ini sudah terpingkal-pingkal.
"Itulah kalau orang tidak mau berkaca! Dikira setiap gadis mengenalnya!"
Iblis Ompong tidak mau diam begitu saja. Dia
cepat menyahut.
"Maaf. Bukannya aku bicara mengada-ada. Kalau dengar keterangannya, aku merasa
pernah mengenalnya! Dan aku punya firasat, dugaanku tidak akan sesat! Malah aku berani
memastikan kalau
gadis itu tetap mengenangku, meski wajahku
bukanlah termasuk tampang laki-laki yang mudah
laku!" Iblis Ompong sejenak hentikan ucapannya. Dan
begitu dilihatnya Joko Sableng dan Pendeta Sinting diam dan satunya lagi tetap
terpingkal-pingkal, Iblis Ompong lanjutkan ucapannya.
"Namun meski aku begitu banyak mengenal
perempuan dan gadis cantik, aku tidak pernah
membuat ulah yang pada akhirnya akan munculkan
masalah!" Tahu kalau ucapan Iblis Ompong menyindir
Pendeta Sinting, orang tua ini putuskan pingkalan
tawanya. Lalu berkata dengan suara keras.
"Kita sama-sama punya pekerjaan. Jadi kau jangan harapkan bantuan tenagaku.
Urusan Kitab Hitam
terserah padamu! Sementara kau jangan campur
tangan urusanku! Kau paham"!"
Joko hanya bisa anggukkan kepala sambil berkata.
"Dapat jumpa denganmu sudah membuatku tenang.
Hanya ada satu yang masih mengganjal...."
"Setan! Kau masih juga membuatku penasaran!"
bentak Pendeta Sinting. Tapi tak urung orang tua ini ajukan juga pertanyaan.
"Apa yang masih mengganjal di hatimu"!"
"Kau belum mengatakan ada silang sengketa apa antara kau dengan nenek itu"!"
Mungkin saking jengkelnya mendengar pertanyaan
Joko, Pendeta Sinting angkat kaki kiri kanannya lalu dihentakkan, hingga membuat
tanah di tempat itu
bergetar. "Kau dengar, Sontoloyo! Itu urusanku! Yang jelas jangan sampai kau buat
keributan dengannya lagi!"
"Bahkan kalau bisa kau harus pandai merayunya!
Dan kalau kau sempat jumpa dengan nenek itu lagi,
sampaikan salam dan peluk cium padanya...." Yang menimpali adalah Iblis Ompong.
"Setan! Setan! Setan! Kalian berdua setan semua!"
teriak Pendeta Sinting tak tahan lagi menindih
perasaan. Habis memaki begitu, Pendeta Sinting berkelebat.
Iblis Ompong sejurus luruskan pandangannya ke arah Joko. Lalu berteriak.
"Hai.... Tunggu! Jangan kau tinggalkan daku!"
Meski Pendeta Sinting teruskan kelebatannya, tapi
orang tua penghuni Jurang Tlatah Perak ini masih
sempat berujar.
"Mengajakmu ikut serta dalam urusan ini
bukannya akan menyelesaikan masalah, tapi akan
menambah keruh persoalan!"
"Kau dengar, Anak Muda! Kalau yang diurus
perempuan, dia seakan tak sabaran dan
meninggalkan aku seenaknya saja! Tapi kalau yang
diurus masalah lain, gurumu mengajakku sampai
bersimbah airmata.... Yah, dasar orang sinting...."
Belum sampai ucapannya selesai, Iblis Ompong
sudah berkelebat menyusul Pendeta Sinting.
Sementara Joko hanya dapat pandangi kedua orang
tua itu seraya gelengkan kepala.
--oo0dw0oo-- TUJUH YAKIN kalau Malaikat Penggali Kubur tidak berkata
dusta, Ni Luh Padmi mendaki puncak Bukit
Selamangleng dengan mengambil jalan memutar
tanpa melewati jalan yang sudah ada. Hal ini memang membutuhkan waktu agak lama
dan tak jarang harus
menerabas ranggasan semak berduri. Tapi si nenek
telah memperhitungkan segalanya. Kalau Malaikat
Penggali Kubur bukan manusia baik-baik, orang-orang yang disebut sebagai budakbudaknya dan menurutnya berada di di Bukit Selamangleng, tentu
tidak jauh dari Malaikat Penggali Kubur. Inilah yang membuat NI Luh Padmi
bersikap hati-hati dan
memutuskan untuk mengambil jalan memutar yang
orang tidak mungkin menduganya.
Seperti diketahui, Ni Luh Padmi yang mengadakan
perjalanan untuk mencari Pendeta Sinting pada
akhirnya jumpa dengan Malaikat Penggali Kubur.
Saat terjadi bentrok, Ni Luh Padmi sempat terjepit dan tak berdaya. Malaikat
Penggali Kubur tidak sia-siakan kesempatan. Ni Luh Padml harus menerima
syarat Malaikat Penggali Kubur kalau nyawanya ingin selamat. Karena masih
menyimpan dendam yang
belum kesampaian, akhirnya Ni Luh Padmi menerima
apa yang dikatakan Malaikat Penggali Kubur.
Begitu kira-kira sepuluh tombak lagi mencapai
puncak bukit, Ni Luh Padmi sengaja hentikan
langkah. Kepalanya berpaling ke kiri kanan dan ke
bawah. Lalu tengadah ke arah puncak bukit.
"Masih tidak ada tanda-tanda akan munculnya
seseorang...," desis si nenek. "Puncak bukit juga tampak sepi.... Jangan-jangan
pemuda itu berdusta!
Tapi.... Belum tenang hatiku kalau tidak
membuktikannya sendiri...."
Seraya terus waspada, Ni Luh Padmi akhirnya
terus melangkah mendaki ke arah puncak bukit. Pada satu tempat yang dirasa aman
dan pandangannya
bisa mengawasi sekitar puncak bukit, si nenek
kembali hentikan langkahnya. Sepasang matanya
melotot memperhatikan.
"Benar-benar sepi.... Atau jangan-jangan orang yang dikatakan sebagai budakbudaknya sengaja
bersembunyi?"
Untuk beberapa saat Ni Luh Padmi masih tegak di
tempatnya. Sesaat kemudian baru terlihat si nenek
melangkah ke samping. Tangan kanannya bergerak.
Trakkk! Satu potongan dahan kayu telah berada di
tangannya. Dengan sedikit kerahkan tenaga dalam,
potongan kayu dilemparkan ke arah puncak bukit.
Cleeep! Potongan dahan kayu menancap tepat di tengah
puncak bukit. Si nenek menunggu dengan mata tak
berkesip. Namun sejauh ini tidak ada tanda-tanda
akan munculnya seseorang.
"Hem.... Puncak bukit ini benar-benar kosong...,"
gumamnya lalu laksana terbang, si nenek cepat
berkelebat. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di puncak bukit dengan kedua tangan
terkembang. Tusuk konde
warna hitamnya diputar-putar perdengarkan deruan
keras. Sikapnya jelas kalau si nenek siap
menyongsong kalau ada seseorang yang lancarkan
pukulan. Namun hingga dua kali memutar tubuh dengan
mata mengedar berkeliling, si nenek tidak melihat
adanya orang. "Sialan! Pemuda itu menipuku!" maki si nenek.
Tapi meski sudah bergumam begitu, Ni Luh Padmi
tidak juga luruskan kedua tangannya. Malah sekali
lagi dia pentangkan mata lalu berteriak.
"Siapa pun adanya penghuni bukit ini, harap
tunjukkan diri! Aku datang membawa pesan
seseorang!"
Tidak ada suara sahutan, membuat Ni Luh Padmi
sipitkan mata lalu kembali berteriak. Namun kali ini juga tidak ada suara yang
menyahut atau munculnya
seseorang. "Hem.... Bagaimana sekarang" Bukit ini kosong....
Apakah aku harus menunggu hingga pemuda itu
muncul" Satu purnama bukanlah waktu yang
pendek.... Tapi daripada harus mencari yang tiada
hasil, lebih baik aku menunggu! Siapa tahu janji
pemuda itu benar"!"
Setelah memutuskan begitu, Ni Luh Padmi
melangkah ke arah satu pohon agak besar. Saat lain nenek ini telah duduk
bersandar. Mungkin karena lelah setelah berhari-hari
mengadakan perjalanan ke tempat di mana kini dia
berada, Ni Luh Padmi tampak segera tertidur. Tapi
rupanya si nenek tidak dapat lanjutkan istirahat.
Karena baru saja kepalanya teleng ke bahu dan
sepasang matanya terpejam, dua bayangan terlihat
berkelebat mendaki Bukit Selamangleng.
Hanya sesaat lagi kedua bayangan itu mencapai
puncak bukit, orang di sebelah kanan tiba-tiba angkat tangan kirinya. Serentak
keduanya hentikan lari
masing-masing. "Ada apa"!" tanya orang di sebelah kiri yang ternyata adalah seorang perempuan
berwajah cantik
berusia kira-kira tiga puluh,tahun. Dia mengenakan pakaian ketat tipis berwarna
biru yang bagian
dadanya dibuat rendah hingga sepasang payudaranya
yang kencang membusung mencuat menggoda.
Hidungnya mancung dengan bibir merah. Pinggulnya
besar dan padat. Perempuan ini tidak lain adalah
Ratu Pemikat "Ada seseorang sengaja cari mampus datang ke
tempat ini!" jawab orang di sebelah kanan yang tadi angkat tangan kirinya
memberi isyarat agar mereka
hentikan kelebatan. Dia adalah seorang laki-laki yang wajahnya hampir tidak
tertutup daging. Sepasang
matanya melotot besar. Laki-laki ini bukan lain adalah iblis Rangkap Jiwa.
Seperti diketahui, Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap
Jiwa memutuskan untuk mengejar Pendekar 131 ke
kuil di pantai timur seperti apa yang dikatakan Dewa Orok. Namun begitu keduanya
sampai di tempat
tujuan, mereka berdua tidak menemukan siapa-siapa.
Hingga dengan membawa perasaan marah, keduanya
kembali. Pada mulanya Ratu Pemikat bersikeras hendak
menuju tempat di mana Dewa Orok mereka tanam di
dalam tanah. Namun Iblis Rangkap Jiwa tidak setuju dengan usul Ratu Pemikat.
Kedua orang ini hampir
saja bentrok. Namun begitu Ratu Pemikat sadar siapa adanya orang yang baru
dihadapi, akhirnya
perempuan bertubuh bahenol ini mengalah dan
menuruti usul iblis Rangkap Jiwa yang menginginkan kembali dulu ke Bukit
Selamangleng.

Joko Sableng Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iblis Rangkap Jiwa sengaja mengajak Ratu
Pemikat ke Bukit Selamangleng dengan maksud
tersendiri. Karena selama ini Ratu Pemikat hanya
memberikan janji akan bersenang-senang tanpa ada
buktinya. Kalaupun Ratu Pemikat mau itu pun dalam
keadaan terpaksa dan terbatas.
"Hem.... Pasti dia punya maksud mencari tahu
tentang Kitab Hitam...," desis Ratu Pemikat seraya arahkan pandangan ke puncak
bukit. "Tapi bukan Kitab Hitam yang dia dapatkan!
Melainkan nasib buruk!" kata Iblis Rangkap Jiwa. "Kau tunggu di sini. Aku akan
menyelidik siapa manusia itu adanya!"
Tanpa menunggu jawaban Ratu Pemikat,. Iblis
Rangkap Jiwa berkelebat ke puncak bukit. Saat lain sosoknya telah tegak di
hadapan Ni Luh Padmi.
"Siapa pun adanya manusia ini, dia harus cepat menyingkir! Dengan munculnya dia,
aku tidak akan bisa bersenang-senang!" membatin Iblis Rangkap Jiwa seraya pentangkan mata
perhatikan sosok Ni
Luh Padmi yang tampak masih duduk bersandar
dengan sepasang mata mengatup dan kepala teleng
ke bahu. Iblis Rangkap Jiwa sunggingkan senyum seringai.
"Sayang dia tua bangka peot. Jika tidak, mungkin dapat kupakai bergantian....
Orang tua macam dia,
tidak kubutuhkan!"
Iblis Rangkap Jiwa angkat tangan kanannya.
Namun sebelum tangannya sempat lancarkan
pukulan, Ni Luh Padmi bergerak mendahului. Nenek
ini laksana kilat bergerak bangkit. Tangan kirinya berkelebat kirimkan pukulan.
Wuuttt! Satu gelombang angin deras menghampar ke arah
Iblis Rangkap Jiwa, membuat laki-laki berkepala
gundul ini sesaat jadi tersentak. Namun cepat-cepat melompat ke samping seraya
memangkas pukulan si
nenek. Terdengar letupan. Namun karena keduanya
hanya sedikit kerahkan tenaga daiam yang dimiliki, sosok keduanya tampak tidak
bergeming sedikit pun!
Namun begitu, bentrok pukulan keduanya telah
membuat masing-masing orang jadi maklum kalau
orang yang dihadapi memiliki ilmu yang tidak rendah.
"Hem.... Adakah ini sosoknya yang dikatakan
pemuda Malaikat Penggali Kubur sebagai
budaknya"!" kata Ni Luh Padmi dalam hati dengan mata membesar memandang tajam
pada Iblis Rangkap Jiwa. Melihat keangkeran tampang Iblis Rangkap Jiwa,
sesaat Ni Luh Padmi terkesiap. Apalagi dia sadar
kalau orang di hadapannya mempunyai tingkat
kepandaian yang tinggi. Hal itu diketahuinya bukan saja dari bentroknya pukulan
yang baru saja terjadi, namun sejak semula, si nenek sebenarnya sudah
mengetahui kalau ada orang yang berkelebat
mendaki puncak bukit.
Namun sejauh ini Ni Luh Padmi pura-pura tidak
mengetahui kedatangan orang. Dia terus berpurapura tertidur untuk mengetahui apa yang hendak
dilakukan orang. Tapi si nenek sama sekali tidak
menduga kalau secepat itu orang yang diketahuinya
mendaki puncak bukit sampai di hadapannya. Dia
juga tidak tahu, berapa orang yang mendaki puncak
bukit. Yang jelas diketahui, hanya ada orang yang
sedang berkelebat menuju puncak bukit.
"Kau manusia tidak beruntung, Nenek Peot! Bukan Kitab Hitam yang akan kau
peroleh, melainkan nasib malang!" bentak Iblis Rangkap Jiwa langsung ke
persoalan. Laki-laki ini sengaja berterus terang,
karena dia pikir, tidak ada yang bisa diperoleh dari seorang nenek seperti Ni
Luh Padmi. Di lain pihak, mendengar ucapan Iblis Rangkap
Jiwa, Ni Luh Padmi tampak kerutkan dahi. "Dia sebut-sebut sebuah kitab, apakah
di sini tersimpan sebuah kitab" Tapi mengapa Malaikat Penggali Kubur
menunjukkan tempat ini padaku" Apa maksudnya"
Jangan-jangan pemuda itu punya maksud di balik
ucapannya yang mengatakan aku harus
menunggunya di sinil Lalu siapa orang ini"!"
Ni Luh Padmi sejenak memperhatikan sekali lagi.
Lalu buka suara.
"Siapa kau"!" Si nenek sengaja balas membentak karena tidak mau dipandang
sebelah mata di
hadapan orang. Iblis Rangkap Jiwa kembali menyeringai dengan
alihkan pandangan ke jurusan lain. Saat kemudian
laki-laki ini perdengarkan tawa terbahak seraya
berkata membentak.
"Karena kau nenek bernasib malang, aku akan
katakan siapa diriku!" sejenak Iblis Rangkap Jiwa hentikan bentakannya, lalu
lanjutkan. "Aku adalah Iblis Rangkap Jiwa!"
"Aku Ni Luh Padmi!" tanpa diminta, si nenek perkenalkan diri. Lalu teruskan
ucapannya. "Mengapa kau menduga aku datang untuk memperoleh sebuah
kitab"! Apa di sini memang tersimpan sebuah kitab"!"
Iblis Rangkap Jiwa tertawa panjang mendengar
pertanyaan Ni Luh Padmi.
"Kau jangan berpura-pura, Tua Bangka! Aku tidak peduli siapa kau! Aku juga tidak
peduli kau berpura-pura atau tidak! Yang jelas, kedatanganmu di sini
telah mengganggu ketenanganku!"
"Ucapannya memberi petunjuk kalau dia penghuni puncak bukit Ini! Tapi mengapa
urusan yang dikatakannya sebuah kitab" Bukan urusan yang ada
hubungannya dengan pemuda itu atau si jahanam
Pendeta Sinting"!"
Setelah berpikir agak panjang, akhirnya Ni Luh
Padmi berujar dengan suara sedikit direndahkan.
"Kalau kedatanganku memang mengganggu ketenanganmu, aku akan pergi.... Tapi sebelumnya aku
katakan. Aku tidak tahu menahu perihal Kitab Hitam yang kau katakan!"
"Persetan dengan ucapanmu! Lagi pula mana ada pencuri yang mengaku jika
ketahuan"! Ha.... Ha....
Ha...!" "Aku tak memaksamu untuk percaya atau tidak!
Tapi aku masih akan mengatakan satu hal lagi. Kau
mengenal seorang pemuda bernama Malaikat
Penggali Kubur"!"
Meski Iblis Rangkap Jiwa coba sembunyikan rasa
kejutnya, tapi hal itu tidak lepas dari pandangan Ni Luh Padmi. Hingga sambil
ganti tertawa pendek, si
nenek berujar. "Kau mengenalnya bukan"!"
"Dia yang menyuruhmu datang ke tempat ini"!"
Iblis Rangkap Jiwa balik ajukan tanya.
"Aku datang dari jauh tidak untuk menjadi'suruhan orang! Kalau aku sampai muncul
di sini, semata-mata karena ada urusan dengan pemuda itu!"
"Urusan apa"!"
Ni Luh Padmi tidak segera menjawab. Sebaliknya
kini alihkan pandangan ke jurusan lain seperti yang dilakukan Iblis Rangkap Jiwa
tadi. Setelah agak lama, si nenek akhirnya buka mulut.
"Apa urusanku, apa pedulimu" Yang pasti
kedatanganku bukan ada hubungannya dengan Kitab
Hitam! Kau dengar"! Urusan kitab, bagiku adalah
urusan kecil! Aku punya urusan besar lebih dari
sekadar sebuah kitab!"
"Apa kau menduga pemuda itu akan datang ke
tempat ini"!" tanya Iblis Rangkap Jiwa menyelidik.
Dada laki-laki ini sebenarnya tidak enak begitu tahu kalau si nenek mengenal
Malaikat Penggali Kubur.
Sementara Ni Luh Padmi cepat berpikir begitu
mengetahui kalau Iblis Rangkap Jiwa tambah tegang.
"Aku tidak hanya menduga. Tapi aku yakin kalau Malaikat Penggali Kubur akan
datang ke tempat ini!"
ujar NI Luh Padmi setelah berpikir agak lama.
Paras wajah Iblis Rangkap Jiwa makin berubah
tegang. Sepasang matanya mendelik pandangi raut Ni Luh Padmi.
"Kapan dia akan datang"!"
"Hem.... Orang ini tambah tampak ketakutan! Aku hampir yakin jika dia adalah
budak Malaikat Penggali Kubur. Tapi mengapa dia ketakutan tatkala
kukatakan pemuda itu akan datang"! Aku harus bisa
mengetahuinya...."
Ni Luh Padmi rangkapkan kedua tangannya di
depan dada. Kepalanya berputar lalu berkata. "Aku tidak akan katakan padamu
kapan dia akan datang
sebelum kau jawab beberapa pertanyaanku!"
Ketegangan di wajah Iblis Rangkap Jiwa berubah
menjadi bersitan kemarahan. Tulang pelipis kanan
kirinya bergerak-gerak. Rahangnya mengembang.
Tapi sebenarnya dalam hati, laki-laki ini makin tidak enak. Karena jika tibatiba Malaikat Penggali Kubur muncul, dan dia belum dapat melakukan apa yang
dikatakan si pemuda, maka keselamatan jiwanya
terancam. Malah apa yang selama ini direncanakan
bisa jadi berantakan. Ingat akan hal itu, membuat
Iblis Rangkap Jiwa teringat pada Ratu Pemikat.
"Kalau saja tidak turuti ucapan dan usul
perempuan itu, tentu kepala Dewa Orok sudah
tertancap di -puncak bukit ini! Dan rencanaku akan berjalan dengan lancar! Tapi
kini semuanya jadi tidak karuan! Jahanam betul! Mengapa aku turuti usul
perempuan itu" Apa yang akan kukatakan nanti kalau si keparat Malaikat Penggali
Kubur benar-benar
datang" Apa mungkin dia percaya apa yang
kukatakan..." Sialan! Apa sebaiknya aku sekarang ke tempat di mana Dewa Orok
berada"!"
Seperti dituturkan dalam episode Muslihat Sang
Ratu, dalam satu kesempatan, Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa berjumpa dengan
Dewa Orok, orang
yang menuruti perintah Malaikat Penggali Kubur
harus dimusnahkan oleh Iblis Rangkap Jiwa. Namun
setelah Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa berhasil membuat Dewa Orok tidak
berdaya, Ratu Pemikat
memberi usul, agar Iblis Rangkap Jiwa menunda
dahulu urusannya dengan Dewa Orok. Dan akhirnya
mereka hanya menanam tubuh Dewa Orok pada satu
tempat setelah Dewa Orok memberi keterangan di
mana Pendekar 131 berada.
Ni Luh Padmi beberapa saat pandangi Iblis
Rangkap Jiwa yang mendadak tercenung memikirkan
sesuatu. Nenek ini anggukkan kepala lalu berkata.
"Jawab! Bukankah kau orangnya Malaikat Penggali Kubur"! Dan termasuk dalam
sekutunya"!"
Iblis Rangkap Jiwa tidak hiraukan pertanyaan si
nenek. Ni Luh Padmi tidak menampakkan tampang
marah. Karena dari ucapan dan sikap orang, si nenek hampir merasa yakin kalau
dugaannya tidak meleset.
"Apa Malaikat Penggali Kubur pernah sebut-sebut nama seorang tokoh bergelar
Pendeta Sinting"!"
untuk kedua kalinya Ni Luh Padmi ajukan tanya.
Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kepalanya tengadah.
"Apa kalianmu dengan Pendeta Sinting"!"
"Kau mengenalnya"!" Ni Luh Padmi balik ajukan tanya.
"Tak seorang'pun dalam kalangan orang persilatan yang tidak kukenal!"
Ni Luh Padmi unjukkan tampang gembira. Seraya
melangkah satu tindak ke depan, nenek ini berkata
sambil tersenyum.
"Akan kukatakan padamu kapan datangnya
Malaikat Penggali Kubur, namun kau harus katakan
dahulu di mana Pendeta Sinting berada!"
Iblis Rangkap Jiwa tertawa pendek. "Sayang....
Meski aku kenal siapa saja orang kalangan rimba
persilatan, tapi tidak pernah peduli di mana mereka berada!"
Tampang gembira Ni Luh Padmi seketika lenyap.
Namun si nenek tidak begitu saja percaya dengan
keterangan Iblis Rangkap Jiwa. Dia lalu bertanya.
"Kau benar-benar tidak ingin tahu kapan
munculnya Malaikat Penggali Kubur"!"
Mungkin sudah punya rencana sendiri jika
sewaktu-waktu Malaikat Penggali Kubur muncul, Iblis Rangkap Jiwa enak saja
menjawab. "Persetan kapan dia muncul! Sekarang kau yang harus beri keterangan
padaku kalau kau ingin selamat turun dari puncak
bukit ini!"
Ni Luh Padmi tersentak kaget. Bukan karena
ancaman Iblis Rangkap Jiwa, melainkan karena
perubahan pada nada ucapan laki-laki itu. Kalau
semula Iblis Rangkap Jiwa begitu ingin tahu kapan
datangnya Malaikat Penggali Kubur, tiba-tiba kini
sepertinya tidak peduli.
Belum hilang rasa heran Ni Luh Padmi, mendadak
satu suara terdengar.
"Bukan hanya padamu dia harus beri keterangan!
Dia juga harus jawab apa yang kutanyakan!"
Satu bayangan berkelebat. Ni Luh Padmi serenta*
berpaling. Sementara Iblis Rangkap Jiwa tetap tegak tanpa membuat gerakan apaapa. --oo0d0oo-- DELAPAN DARI tempatnya berdiri, si nenek melihat seorang
perempuan berwajah jelita bertubuh bahenol
mengenakan pakaian tipis ketat warna biru.
Perempuan yang bukan lain adalah Ratu Pemikat ini
untuk beberapa saat memandang tajam ke arah Ni
Luh Padmi. Sementara yang dipandang balas
menatap. Hingga untuk sesaat kedua perempuan itu
saling perang pandang.
"Laki-laki itu tidak terkejut dengan kedatangan orang. Pasti perempuan ini
temannya dan juga pasti sekutu Malaikat Penggali Kubur!" duga Ni Luh Padmi dalam
hati. Di lain pihak Ratu Pemikat yang
sebenarnya sudah mencuri dengar pembicaraan,
diam-diam juga membatin. "Pendeta Sinting adalah guru Pendekar 131. Ada urusan
apa perempuan ini
menanyakan Pendeta Sinting" Dia sahabatnya..."
Atau bekas gendaknya di masa muda?"
Ratu Pemikat melirik sesaat pada Iblis Rangkap
Jiwa. Lalu arahkan kembali pandangannya pada Ni
Luh Padmi dengan bibir tersenyum dan berkata
dengan suara rendah.


Joko Sableng Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nek.... Mau katakan padaku untuk apa kau
menanyakan Pendeta Sinting?"
Mendengar pertanyaan Ratu Pemikat yang
bertanya dengan suara rendah dan wajah ramah, Ni
Luh Padmi yang semula tampak pasang tampang
angker, kini beruoah sikap,
"Perempuan cantik...," kata si nenek. "Kau tampaknya juga mengenal orang sinting
Itu. Betul"!"
Ratu Pemikat jawab dengan anggukan kepalanya.
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 15 Kuda Putih Karya Okt Badai Awan Angin 4

Cari Blog Ini