Ceritasilat Novel Online

Sengkala Angin Darah 2

Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah Bagian 2


edan. Orang yang berlindung di balik tabir ternya-ta mengetahui kehadiran mahluk
piaraanku ini. Dia bahkan hendak menangkap jinku." Seru si kakek. Suaranya timbul tenggelam,
sedangkan tubuhnya bergetar keras. Tak lama setelah si kakek dapat menguasai diri. Si kakek memukul lantai gua satu kali. Dia juga berseru keras. "Jin sesat, kembali...!"
Seketika itu juga di mulut gua terdengar suara deru. Hembusan angin yang masuk ke dalam
gua berputar-putar. Tangan Besi kembali mencium bau bangkai. Kemudian muncul sosok tipis
dalam ujud mahluk raksasa berambut lebat.
Secara perlahan sosok besar itu kembali memudar menjadi kabut. Kemudian segera bergerak
masuk ke dalam mulut si kakek yang telah terbuka. Dua tangan si kakek yang bersilangan di depan dada segera disentakkan. Bersamaan dengan
gerakan tangan, mata orang tua ini terbuka. Wajah si kakek tampak letih dan bersimbah keringat.
Kemudian dengan tatapan mata kuyu namun penuh keyakinan dia berkata. "Pulanglah kau! Aku menyanggupi permintaan Sobari.
Pembantuku jin sesat boleh tak sanggup menghadapi orang itu.
Tapi aku Setan Santet Delapan Penjuru punya seribu cara untuk mendapatkan yang kuinginkan.
Beri aku waktu beberapa hari. Jika dalam waktu
yang kujanjikan aku tak datang menemui pangeranmu, berarti jangan kau harapkan pertolonganku lagi."
Lega hati Tangan Besi mendengarnya.
Dia menjura hormat ke arah kakek di depannya. Setelah itu Tangan Besi berkata. "Baiklah.
Sekarang aku mohon pamit." Ujar Tangan Besi.
Si kakek anggukan kepala.
Tangan Besi bangkit berdiri. Kemudian dia
segera tinggalkan ruangan itu. Seperginya Tangan Besi, Mbah Dukun tersenyum
sinis. "Benda itu memang harus kutemukan, tapi begitu kudapatkan tak mungkin
kuberikan pada siapapun."
Dengus si kakek.
"Hanya aku yang patut dapatkan benda itu,
aku pula yang berhak menyimpannya. Ha ha ha!"
kata si kakek sambil tertawa tergelak-gelak.
6 Ledakan yang demikian kerasnya membuat
pendekar Sakti 71 terlempar sejauh belasan tombak. Pemuda ini lalu jatuh menggelinding ke arah lereng bukit.
Dia menggeliat, sedang mulutnya merintih tak
berkeputusan. "Aduh sakitnya biyung. Kepalaku sakit seperti mau meledak, perut
mual ingin kencing ingin berak."
Dengan terhuyung-huyung sambil bangkit
berdiri dia pegang kepalanya. Sedang mata memandang jelalatan.
Dia tidak menemukan orang yang dicari. Gurunya maupun Anggagini tak ada di sekitar situ.
Karena kepala masih sakit dan matanya berkunang-kunang, maka diapun duduk di atas rumput. Beberapa kali dia gelengkan kepala untuk
mengusir rasa pusing.
Pada saat dirinya dalam keadaan sedemikian
rupa, tiba-tiba meluncur sebuah benda berwarna
kuning menghantam kepalanya.
Blak! Benda yang menimpa kepala itu kemudian jatuh di atas pangkuan. Setelah diteliti ternyata sebuah rambutan. Gento layangkan
pandang ke se- genap penjuru arah. Tidak ada yang terlihat terkecuali pepohonan yang tumbuh di sekitar bukit.
"Siapa yang berani berbuat kurang ajar pada-ku?" fikir Gento. Dia kemudian
berteriak. "Hei, siapa yang melemparku?"
"Hi hi hi. Pemuda tolol siapa yang melempar-ku" " kata satu suara.
Mendengar suara mencemo'oh Gento berkata.
"Aku memang tolol. Lalu kau yang merasa orang pintar apakah begitu pengecut tak
berani tunjukkan diri?" Gento mendengus disertai senyum mengejek.
"Kau mengatakan aku pengecut" Coba lihat
baik-baik." Setelah berkata begitu satu bayangan
putih berkelebat dari balik kelebatan pohon. Secepat kilat sosok itu bergerak ke arah Gento lalu lakukan serangkaian serangan
gencar. Gento terkesiap mendapat serangan yang berlangsung cepat itu. Lebih kaget lagi begitu menyadari datangnya serangan begitu mematikan
dan mengincar bagian tubuh yang lemah.
"Hebat agaknya kau setan gila, sehingga begi-tu datang menyerang orang yang
tidak berdosa."
Desis Gento. Dengan gerakan tidak kalah cepat sang pendekar melesat ke udara, lalu berjumpalitan dekati lawan. Kemudian dengan cepat
pula tangan si pemuda menyambar ke depan.
"Aih, pemuda sialan, manusia kurang ajar!"
maki sosok berbaju putih sambil tekap bagian
dada. Sosok ini kemudian balikkan badan lalu
meluncur ke bawah dan jejakan kaki di atas tanah. Melihat orang tidak menyerangnya lagi Gento pun melesat turun kemudian
jejakkan kaki dua
langkah di depan sosok berpakaian putih.
Sang pendekar memandang ke depan. Dia
kemudian jadi melengak kaget begitu melihat sosok berkepala botak itu.
"Kau... rasanya aku pernah mengenalmu,
pemuda cakep berkepala botak. Jika tidak salah
aku menduga bukankah kau orangnya yang bernama Takga alias Botak ke tiga?"
Sosok berpenampilan seperti seorang pemuda
itu tertawa merdu. Dengan sinis dia berkata. "Kau
salah mengenali orang. Otakmu yang miring rupanya masih belum lempang hingga kau tak dapat mengingat aku. Aku adalah Taktu alias Botak
ke satu." menjelaskan pemuda berkepala botak itu. Untuk lebih jelasnya siapa
Taktu, (silahkan anda baca episode tabib setan).
"Botak ke satu. Sekarang aku baru ingat bukankah kau orangnya yang bernama Ararini" Kasihan sekali, sejak dulu sampai sekarang rambutmu botak terus. Yang tumbuh justru tonjolan
bisul di dada. Ha ha ha."
"Kau tidak tahu keadaanku yang sebenarnya.
Tak usah bicara sembarangan. Kau sendiri dulunya adalah seorang pecundang. Apakah kau ingat bagaimana ketika tabib setan menjitaki kepalamu ketika kau kalah bertarung denganku" Hi
hi." Gento terdiam, mulut tersenyum. Ingat pada peristiwa yang terjadi dimasa
kecilnya memang
membuat wajah sang pendekar jadi memerah.
Tapi dia kemudian masih tertawa cengengesan.
"Waktu itu segalanya cukup memalukan. Tapi
kau jangan lupa aku pernah menolongmu juga
membantu gurumu Sang Cobra. Satu lagi yang
tak boleh kau lupakan. Aku pernah berjanji akan
menjajaki jurus-jurus silatmu."
"Pemuda sinting, aku tak akan pernah melupakan kejadian itu. Kalau kau mau menjadi pecundang lagi, silakan saja. Kau pasti tak bakal
menang !" dengus Taktu.
"Tunggu, sebelum kita memulai aku ingin
mengetahui sesuatu."
"Apa yang ingin kau ketahui?"
"Ee... aku tidak melihat dua saudaramu yang lain. Kemana Takwa dan Takga?" tanya
Gento. Seperti telah diketahui Takwa dan Takga adalah
saudara seperguruan Ararini.
"Buat apa kau tanyakan mereka?"
"Aku hanya ingin memastikan agar tidak terjadi kecurangan. Dulu kalian pernah mengeroyokku! Ha ha ha."
Wajah cantik Taktu bersemu merah. Dengan
suara lantang dia mendamprat. "Untuk menghadapi pemuda sepertimu perlu apa main
keroyok. Dengan kedua tanganku sendiri aku bisa menggebukmu." Gento tersenyum. "Kau nampaknya terlalu
yakin dengan kemampuan yang kau miliki."
"Sejak dulu aku memang yakin dengan kemampuan diri sendiri. Sekarang tunggu apa lagi"
Aku siap menghadapimu." Tantang Taktu.
"Hmm, sebenarnya saat ini aku sedang risau
memikirkan guruku."
"Aku sudah tahu. Gurumu dan gadis baju
kuning itu sudah pergi. Mungkin mereka menyangka engkau sudah mati dihantam pusaran
angin hitam tadi." Dengus sang dara ketus.
Sang pendekar berjingkrak kaget. Dia tentu
tak menyangka Taktu mengetahui kejadian aneh
yang menimpa mereka.
"Jadi kau tahu pusaran angin dan awan tadi
menghantam kami?" tanya Gento seolah tak percaya. "Dasar pemuda tolol. Rupanya kau masih belum tahu bahwa dibalik pusaran angin tadi berlindung seseorang yang dikenal dengan julukan
Iblis Awan Hitam?"
Gento gelengkan kepala.
"Aku tidak tahu. Aku juga belum bisa memastikan apakah iblis itu yang telah mendapatkan
Sengkala Angin Darah."
"Mengenai pertanyaanmu itu tak bisa kupastikan. Aku hanya mengikuti orang tadi." Jelas Taktu.
"Jika begitu aku harus menyusul guruku sekaligus mencari tahu di tangan siapa benda maut
itu kini berada." Setelah berkata begitu sang pendekar balikkan badan siap
melangkah pergi. Tetapi Taktu lakukan satu gerakan cepat. Di lain
saat dia telah berdiri menghadang di depan Gento. "Heh, kau hendak berbuat apa?"
Taktu tersenyum sinis. "Apakah kau telah lu-pa dengan ucapanmu sendiri" Bukankah
kau menantang aku" Jika hari ini tidak kulayani, kelak di kemudian hari kau pasti mengatakan diriku manusia pengecut!"
"Untuk sementara kuharap kau melupakan
masalah tantangan itu." kata Gento mengalah.
"Tidak bisa begitu. Kalau kau tidak mau aku pasti memaksamu!" tegas Taktu tetap
ngotot. Gento menarik nafas pendek. "Kau rupanya
manusia keras kepala. Baiklah tapi jika kau kalah
apakah kau mau menjadi kekasihku" Ha ha ha."
Wajah Taktu bersemu merah. Matanya mendelik memandang geram pada sang pendekar.
"Sejak kecil sampai sekarang rupanya kau
masih saja bicara sombong bermulut besar. Tindakanmu yang meremehkan orang lain dapat
mencelakakan dirimu sendiri. Lihat serangan...!"
teriak Taktu. Sang dara tiba-tiba saja berkelebat ke depan.
"Hei... tunggu...!" Gento tidak sempat lagi me-lanjutkan ucapannya karena pada
saat itu dua tangan Taktu telah menyambar tenggorokan dan
ke dua matanya.
Meski sempat terkejut melihat serangan Taktu yang maju pesat, Gento tarik kepalanya ke belakang. Dia menggunakan jurus Congcorang Mabuk untuk menghadapi lawan. Secepat kilat dengan jemari tangan di tekuk dan tubuh bergoyanggoyang kaki si pemuda menyambar perut, sedangkan tangan bergerak menghantam dagu.
Plak! Duk! Dess! Dua serangan Taktu yang ganas dapat dipatahkan oleh si pemuda, sedangkan kakinya menyambar perut. Gadis itu terjajar ke belakang.
Taktu tidak mengeluh, sebaliknya diam-diam
menjadi kaget tak menyangka Gento yang ditemuinya belasan tahun yang lalu tidak sama dengan Gento yang dia hadapi saat ini.
"Kau pasti kalah. Kau harus menjadi kekasihku. Ha ha ha." Berkata pemuda itu sambil berkacak pinggang.
"Manusia sombong. Baru bisa membuatku
terjajar bukan berarti kau telah mengalahkan
aku!" belum lagi gema suara teriakan Taktu lenyap. Laksana mata pedang dua kaki
Taktu ber- gerak lincah. Setiap ujung kaki menyentuh batu,
maka batu-batu itu melayang melesat menghantam sang pendekar.
Serangan batu yang datang laksana curah
hujan ini bukan serangan biasa karena selalu terarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh dan gerak cepat laksana elang menyambar
pemuda ini berkelebat di udara. Gento yang sudah mengerahkan tenaga saktinya ke bagian tangan segera menghantam.
Dess! Dess! Angin dingin menderu dari tangan pemuda
itu, lalu bergerak sedemikian rupa sesuai dengan berputarnya tangan. Dan batubatu itu segera
berbalik menghantam ke arah Taktu dengan kecepatan berlipat ganda begitu membentur tangan
Gento. Selagi Taktu dibuat sibuk, sang pendekar meluncur ke bawah. Tangan kiri terjulur terarah ke bagian kepala, sedang tangan


Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kanan meluncur ke
bagian dada. Serangan yang mengarah ke bagian dada ini
sebenarnya hanya tipuan saja karena begitu Taktu memaki sambil lindungi dadanya Gento belokkan serangan ke bagian perut.
Dess! Satu pukulan keras melabrak perut Taktu.
Tapi tak terduga Taktu tanpa menghiraukan rasa
sakit segera melompat ke atas. Sambil berkelebat tangannya masih sempat
mengemplang kepala
Gento. Gento memekik keras, dia merasakan kepalanya yang dikemplang orang seperti mau meletus. 'Bagus, semula aku menyangka kau hanya
membawa gunung. Tidak disangka ternyata kau
membawa palu godam juga, ha ha ha."
"Pemuda keparat, sebaiknya kau mampus!"
teriak Taktu sambil melepaskan pukulan tangan
kosong. "Ah teganya kau hendak membunuh kekasih
sendiri. Dimana letak kasih sayangmu?" cibir si pemuda menggoda, namun dia tetap
dorongkan kedua tangannya menyambuti pukulan lawan.
"Kasih sayang edan. Kurasa dia telah pergi ke akherat." Sahut Taktu geram.
Jauh di dalam hati sebenarnya Taktu merasa
penasaran karena pemuda yang dimasa kecil pernah dia pecundangi ternyata kini memiliki ilmu
kepandaian yang sangat luar biasa.
"Kepada siapa setan gondrong ini berguru"
Tak mungkin si gendut sinting itu mengajarkan
ilmu sehebat ini."
Buum! Benturan keras tidak dapat di hindari lagi.
Lereng bukit bergetar. Akibat ledakan membuat
Taktu terpental tinggi di udara. Sedangkan Gento amblas ke dalam tanah sampai
setinggi lutut. Oh
kekasihku. Bagaimana kau bisa terbang tinggi.
Padahal kau tidak punya sayap. Mulut berkata
begitu padahal dalam hati dia memaki karena
ternyata tidak mudah membebaskan kedua kaki
yang terjepit tanah. Tak punya pilihan lain si pemuda segera kerahkan tenaga
dalamnya yang bersumber dari bagian pusat, kening dan punggung. Di atas sana Taktu kembali mendamprat.
"Pendekar sinting sekarang bersiaplah menerima kenang-kenangan dariku."
Dalam keadaan mengambang di atas ketinggian gadis itu memutar tangannya. Setelah itu
dengan cepat tangan dihantamkan ke arah Gento.
Secara berturut-turut sinar merah, biru hitam
kekuning-kuningan menderu dari telapak tangan
si gadis. Berturut-turut pula sang pendekar merasakan adanya hawa panas dan dingin menyambar tubuhnya. Gento terkesiap, tapi dua jengkal lagi pukulan
itu menghancurkan tubuhnya, pada waktu bersamaan pula dari bagian kening Gento membersit
sinar putih laksana perak memapas habis lima larik sinar maut yang dilepaskan Taktu.
Gento melompat setelah menarik ke dua kakinya yang terpendam. Begitu dua kakinya berada
di atas tanah dia gerakkan tangannya ke arah
empat pohon besar di sebelah kanan, empat pohon bertumbangan.
Gento kembali sentakkan tangannya. Empat
pohon besar yang masih beranting dan berdaun
lebat melesat di udara menghantam ke arah Taktu secara susul-menyusul.
Si gadis jadi terkesiap, jantungnya seolah
berhenti berdenyut. Dengan tubuh bersimbah keringat dingin dia cabut pedangnya. Dengan pedang di tangan Taktu mengamuk seperti orang gila. Dalam waktu singkat daun maupun rantingranting pohon rambas berguguran. Empat pohon
menjadi gundul. Kemudian ketika melihat ke empat pohon yang digunakan untuk menyerang berubah menjadi potongan kecil Gento pun tarik balik tenaga dalamnya.
Empat batang pohon jatuh berdebum. Taktu
sendiri segera jatuhkan diri. Dia duduk dengan
nafas megap-megap, wajah pucat pakaian bersimbah keringat.
Nampaknya Taktu terlalu menguras banyak
tenaga ketika menghadap serangan pohon-pohon
tadi. Sekejap lamanya Gento memperhatikan sekelilingnya yang porak poranda. Setelah itu dia be-ralih pada Taktu.
Gento tak dapat menahan tawa melihat Taktu
yang kuyu, meski jauh di lubuk hati terselip juga rasa kasihan.
"Jurus pedangmu ternyata cukup hebat, Taktu. Tapi kau jelas tak bisa mengalahkan aku. Kini apakah kau telah siap menjadi
kekasihku?" tanya Gento.
Sekujur tubuh Taktu menegang, matanya
mendelik sedang mulut terkatup rapat. Dia menjadi kesal, marah dan jengkel pada diri sendiri.
Sama sekali dia tak menyangka pemuda itu dapat
menjatuhkannya. Jauh di lubuk hati dia memang
harus mengakui kehebatan Gento, Ilmu pemuda
itu sekarang sudah berada jauh di atasnya.
"Gondrong, sekarang dengan jujur aku mengakui segala kehebatanmu. Aku mengaku kalah!"
Gento sama sekali tidak merasa tersanjung.
Sebaliknya dia malah menggoda.
"Apakah kini kau sudah bersedia menjadi kekasihku?" Taktu tersipu, lalu palingkan wajahnya ke jurusan lain. "Dari pada bicara tidak berguna bukankah lebih baik kita cari gurumu
atau benda sakti itu?" ucapnya tanpa berpaling pada Gento.
"Hhh, jadi kau mau ikut denganku" Tapi
mengapa kau tidak mau menjawab pertanyaanku?" "Buat apa aku melayani pertanyaan gila. Jo-doh, hidup matinya seseorang ada
di tangan Gus- ti Allah. Maka lebih baik kau bertanya kepadanya." "Bagaimana aku bisa bertanya pada Tuhan?"
"Gampang. Kau mati saja dulu." Sahut gadis itu disertai tawa.
Gadis itu kemudian sarungkan pedangnya.
Setelah itu dia melangkah pergi. Gento segera
mengikutinya. 7 Telaga setan terletak di puncak bukit di sebelah selatan Kediri. Air di telaga itu demikian ke-ruhnya. Sewaktu-waktu air
telaga bisa hilang raib entah kemana.
Saat itu matahari belum lagi menampakkan
diri. Hawa dingin demikian mencucuk. Di pinggir
telaga di atas altar batu bundar berwarna hitam
terlihat satu pemandangan mengerikan. Sedikitnya sembilan ekor ular dalam keadaan bergelung
melingkari sosok tubuh berpakaian ala kadarnya.
Sementara itu di lereng bukit satu sosok berpakaian serba kuning nampak berkelebat menuju
ke bagian puncak bukit, sosok berbadan ramping
itu nampaknya dalam keadaan tergesa-gesa.
Tak lama setelah melewati semak belukar
berduri sosok berpakaian kuning yang ternyata
adalah seorang gadis berambut panjang sampai di
tepi telaga. Sejenak si gadis mengatur nafas yang agak memburu, sedangkan mata
memandang ke arah telaga yang mengepulkan uap kebiru-biruan.
"Telaga ini yang dinamakan telaga setan. Aku tidak melihat Iblis Ular Sembilan
ada di sekitar sini." Kata sang dara. Dia lalu melangkah ke sisi sebelah kanan
telaga. Di satu tempat tak jauh da-ri batu bundar langkah si gadis mendadak terhenti. Sepasang matanya terbelalak lebar memandang lurus ke arah batu dimana dia melihat
sedikitnya sembilan ular hitam berbelang kuning
menggelungi sosok tubuh bertelanjang dada.
"Iblis Ular Sembilan?" desis sang dara kecut.
Dengan perasaan jijik si gadis kitarkan pandangan. Mata memandang ke segenap sudut penjuru. Gadis ini jadi gelisah, pikirannya tidak tenang. Kemudian dia memutuskan
untuk me- manggil Iblis Ular Sembilan. Belum lagi dia laksanakan niatnya. Sembilan ular
yang bergelung keluarkan suara desis. Ular-ular itu agaknya mengetahui kehadiran sang dara. Terbukti mereka segera bergerak, angkat kepala dan siap menyerang.
Si gadis mengusap tengkuknya. Dia lalu kembali memandang ke arah batu bundar. Dia terkejut ketika melihat seorang Laki-laki renta berwajah tirus berkulit hitam duduk
di sana. Sosok itu sama sekali tidak berpakaian.
Auratnya terbungkus secarik kain hitam. Sedangkan wajahnya yang keriput nampak demikian kurusnya tidak ubahnya seperti tengkorak
terbalut kulit.
Melihat penampilannya saja sang data rasanya sudah mau pingsan. Dia yang ingin bicara
mendadak seperti kehilangan kata-kata.
Tapi akhirnya dia memberanikan diri juga.
Dengan suara bergetar dia ajukan pertanyaan.
"Aku Pandan Arum. Apakah benar saat ini sedang berhadapan dengan Iblis Ular
Sembilan?"
Di depan sana kakek muka jerangkong membuka matanya yang cekung. Dua bola mata memandang lurus ke arah si gadis. Melihat siapa
yang datang tenggorokan si kakek bergerak naik
turun. Dua matanya timbul tenggelam, sedangkan lidahnya yang bercabang dan berwarna hitam
nampak terjulur.
"Tua bangka ini ternyata bukan cuma julukannya saja ular. Tapi lidahnya juga bercabang
seperti ular." Batin Pandan Arum mendadak dia merasa tengkuknya menjadi dingin.
"Di pagi buta aku kedatangan seorang dara.
Seorang gadis yang kuanggap dapat memanaskan
hasrat yang menggelora. Rejekiku besar. Katakan
siapa namamu tadi gadis cantik. Ha ha ha."
Meskipun geram mendengar kata-kata yang
diucapkan si kakek, tapi Pandan Arum terpaksa
memendam kemarahannya karena dia membutuhkan kakek itu. "Aku Pandan Arum. Kekasihku Pasadewa menyuruhku untuk bertemu
denganmu."
"Kekasihmu... Pasadewa kekasihmu. Nama
itu sepertinya tak asing di telingaku." Gumam si kakek.
"Pasadewa adalah pemuda sakti yang memiliki tunggangan rajawali siluman. Dia dikenal di
empat penjuru angin, mungkin kau juga mengenalinya." Kening si kakek berkerut. Dia kemudian tertawa. Tawa dingin yang membuat tengkuk Pandan Arum merinding.
"Pasadewa manusia cerdik yang punya ambisi
dan cita-cita tinggi. Aku pernah mengenalinya.
Lalu gerangan apa yang membuatmu datang kemari?" "Kekasihku berpesan agar kau sudi bergabung dengannya guna mendapatkan Sengkala
Angin Darah." Jelas Pandan Arum.
Lagi-lagi si kakek umbar tawanya mendengar
ucapan si gadis.
"Seumur hidup aku belum pernah diperintah
orang. Bagaimana mungkin bocah ingusan seperti
kekasihmu itu berani-beraninya memerintahku?"
"Aku tidak tahu. Aku cuma ditugaskan. Aku
cuma ditugaskan menyampaikan pesan. Setelah
pesan kusampaikan setuju tidaknya semua terpulang kepadamu!"
Si kakek terdiam, nampaknya dia tengah berfikir. Dua matanya yang liar menjelajahi tubuh
padat si gadis. Tak lama kemudian dia berkata.
"Tawaran Pasadewa itu mungkin saja bisa kuterima, asal kau bersedia memberi ku
kesenangan."
Berkata si kakek sambil tersenyum.
Pandan Arum tercengang mendengar ucapan
kakek jerangkong itu. Dia tidak menduga si kakek meminta sesuatu yang tak
mungkin dia kabul-kan. Melihat tampang Ular Iblis Sembilan saja
Pandan Arum merasa hendak muntah, apalagi jika harus melayani keinginannya.
"Kau tidak perlu memikirkan baik buruknya,
Pandan Arum. Permintaanku kuanggap sebagai
imbalan dari harapan Pasadewa." Ujar si kakek.
"Cinta suciku hanya kupersembahkan pada
Pasadewa. Bagaimana mungkin aku tega
mengkhianatinya?" dengus sang dara marah.
"Aku tidak meminta cintamu, aku hanya inginkan tubuhmu. Aku cuma sekali bicara, kalau
kau menolak penolakanmu bisa membuat kau
kehilangan kesempatan hidup!"
"Eh, apa maksudmu?"
Si kakek memungut ular hitam berbelang
kuning di depannya. Dia lalu menciumi binatang
menjijikkan itu sambil berkata. "Iblis Ular Sembilan cukup hanya memberi
perintah. Kemudian
salah satu ular ini akan mematukmu. Kau mati
seketika dan tak mungkin lagi bertemu dengan
kekasihmu."
Mendidih darah Pandan Arum mendengar ancaman si kakek. Ingin dia melabrak si kakek
meskipun sadar dirinya tidak mungkin unggul
menghadapinya. Tapi belum lagi sempat melakukan apa yang menjadi niatnya. Pada waktu itu lidah si kakek yang bercabang terjulur panjang. Lidah itu kemudian menjilat mulut


Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan hidung Pandan Arum. Melihat gerakan lidah yang dapat memanjang
bukan main kagetnya sang dara. Dia berusaha
menghindar, namun gerakan yang dilakukannya
kalah cepat dengan gerakan lidah Iblis Ular Sembilan. Tak pelak lagi mulut dan hidung sang dara
terkena sambaran lidah kakek itu.
"Tua bangka keparat!" damprat si gadis. Dia menyeka mulut dan hidungnya yang
terkena air ludah. Pada saat itulah dia mencium bau sesuatu
yang tidak sedap. Bau busuk yang membuat kepalanya pusing seketika.
Darah Pandan Arum menggelegak seperti terbakar. Ketika dia memandang ke depan dalam
pandangannya sosok si kakek entah mengapa berubah menjadi pemuda tampan luar biasa.
Sang dara merintih lirih. Dia jatuh terduduk,
sekujur tubuhnya menjadi panas diamuk rangsangan. Iblis Ular Sembilan tertawa mengekeh.
"Pada akhirnya kau jatuh di dalam pelukanku. Sekarang kau baru mengerti lidahku dapat
merubah keadaan. Mari kita bersenang-senang,
setelah itu baru aku bersedia memenuhi permintaan kekasihmu Pasadewa. Ha ha ha!"
Selesai berkata si kakek segera melompat ke
depan Pandan Arum. Tubuh itu kemudian dibopongnya. Setelah Iblis Ular Sembilan berkelebat
ke arah pondok tersembunyi tak jauh dari telaga
dengan diikuti oleh kesembilan ularnya.
Sesampainya di dalam gubuk si kakek menciumi Pandan Arum. Sebentar saja pakaian sang
dara sudah tak karuan rupa. Anehnya sang dara
tidak menolak. Dirinya yang sudah berada dalam
pengaruh sirapan malah membalas tak kalah
hangatnya. Si kakek makin bersemangat. Ketika dia hendak melampiaskan kekejiannya tak terduga mendadak terdengar suara suitan panjang. Suara suitan disusul dengan suara bergelak membuat gubuk bergoyang berderak-derak seperti dihantam
puting beliung.
Si kakek tersentak kaget. Cepat dia bangkit
berdiri, lalu meninggalkan Pandan Arum yang berada dalam pengaruh sirapan.
Dia lalu berdiri tegak di mulut gubuk. Sepasang matanya timbul tenggelam memperhatikan
keadaan di sekitarnya. Tapi dia tidak melihat ada orang di sekitar situ.
"Jahanam yang baru keluarkan siulan. Harap
tunjukkan diri!"
Kembali suara siulan menyahuti ucapan si
kakek. Kemudian ada angin berhembus yang disusul dengan suara ledakan. Semua itu terjadi di
depan hidung si kakek. Asap dan debu membumbung tinggi. Ketika kepulan asap yang menyelimuti lenyap. Kini di depan Iblis Ular Sembilan
berdiri tegak seorang kakek tua berambut putih.
Kakek itu memakai daster seperti baju hamil berwarna biru. Sementara di pinggangnya tergantung
sebuah kendi terbuat dari perunggu berwarna putih. Sedangkan dari mulut kendi mengepul uap
putih seperti es.
Melihat dandanan serta penampilan kakek satu in!, siapapun yang melihatnya pasti tidak dapat menahan tawa. Betapa tidak. Begitu muncul
si kakek tampak sibuk dan selalu kerepotan
membenahi daster maupun topi tingginya yang
kedodoran. 8 Biarpun penampilan si kakek berdaster biru
selalu mengundang tawa, tapi Iblis Ular Sembilan
yang merasa keinginannya tidak kesampaian karena kehadiran si kakek daster biru malah menjadi berang. Dengan bengis dia membentak. "Kunyuk gila
berdaster biru! Berani kau hadir di Telaga Setan.
Kau bahkan berani mengganggu kesibukan orang
apakah tidak takut mati?"
Si daster biru tidak bergeming, malah dia
dongakkan kepala. Sejenak dia benahi topi tingginya yang berwarna biru. Setelah topi terpasang sebagaimana seharusnya dia
tertawa tergelak-gelak.
"Mengobrak-abrik pakaian orang, ingin mencoba melampiaskan nafsu bejat apakah itu yang
kau sebut sebagai kesibukan?" tanya si kakek sambil berkacak pinggang.
Merasa diremehkan dan sadar orang telah
mengetahui perbuatannya Iblis Ular Sembilan
membentak. "Pengintip tengik. Apa yang kami lakukan atas dasar suka sama suka.
Kau jangan bicara sembarangan di depanku!"
"Hak hak hak. Aku Ki Comot Jalulata, tukang sulapan dan seorang ahli sihir di
tujuh penjuru bumi, mana mungkin kena dibodohi orang. Ternyata benar seperti kata pepatah lidah tidak ber-tulang. Benar pula kata orang
lidahmu yang bercabang itu berlumur racun keji hingga setiap perempuan lemah iman terperangkap bujuk rayumu. Iblis Ular Sembilan, kau jangan mencoba
bersilat lidah denganku. Atau mungkin kau ingin
aku merubah lidahmu menjadi sebuah tali yang
melilit lehermu sendiri?"
Iblis Ular Sembilan terperangah. Sama sekali
dia tak menduga orang mengetahui siapa dirinya.
Di tatapnya kakek yang berdiri di depan sana
dengan sorot mata menyelidik. Kini dia baru ingat ahli sihir yang satu ini
sangat jarang sekali muncul di dunia persilatan. Konon dia lebih banyak
mengasingkan diri di daerah Barat Jawa. Dia tahu selain ilmunya sangat tinggi. Ki Comot Jalula-ta sangat ahli pula dalam hal
permainan sihir. Si daster biru ini tidak sendiri, dia masih punya dua saudara
Laki-laki kembar yang sama miring otaknya. Kedua saudaranya itu adalah Ki Betot
Segala dan Ki Edan Samberata.
Iblis Ular Sembilan tidak melihat dua saudara
Ki Comot Jalulata bersamanya. Baginya ini merupakan suatu keuntungan. Dia yakin dengan mudah pasti bisa menghabisi lawan secepatnya.
Sambil tersenyum dia berkata. "Kakek gila kau datang sendiri" Begitu muncul kau
berani men-gancam. Apakah kau tidak menyadari sedang berada dimana?"
"Ha ha ha. Sedang berada dimana ya?" gu-mam Ki Comot dengan lagak seperti orang
bin- gung. Kalau tidak salah aku sedang berada di
tempat mesum. Oh ya... mengenai saudaraku itu
mereka punya kaki. Mereka pergi kemana buat
apa kau bertanya?" setelah menjawab Ki Comot Jalulata mengumbar tawa. Iblis Ular
Sembilan merasa darahnya mendidih. Kali ini dia benarbenar merasa diremehkan orang. Dengan suara
bergetar dia menggeram." Kedatanganmu kesini tanpa seizinku. Kini kau berani
mengusik kete-nanganku. Dua alasan itu sudah cukup bagiku
untuk membunuhmu seratus kali."
Ki Comot Jalulata tersenyum. Kembali dia
benahi topinya yang miring. Kemudian enak saja
dia berkata. "Yang kuganggu bukan ketenangan-mu. Kau merasa terusik karena tak
sempat ber- buat keji. Kau mengatakan aku datang tanpa izin, padahal aku telah memintanya
pada seseorang."
"Kurang ajar, kau minta ijin pada siapa?"
hardik Iblis Ular Sembilan berang.
Sambil tersenyum-senyum Ki Comot Jalulata
menjawab. "Masa kau sudah lupa. Bukankah aku sudah minta ijin sama bapak emakmu
yang mati penasaran dipancung perwira Kediri?"
Disambar petir Iblis Ular Sembilan rasanya
tak akan seterkejut itu. Yang dikatakan Ki Comot Jalulata memang sebuah
kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri. Ayah Iblis Ular Sembilan dulunya juga manusia keji yang banyak
melakukan berba-gai kejahatan. Dan memang benar dia tewas di
tangan perwira Kediri. Tapi bagaimana Ki Comot
Jalulata bisa sampai mengetahui prihal ayahnya.
Padahal kejadian itu telah berlangsung seratus
tahun lalu. "Kau tak usah bingung. Aku seorang ahli sihir yang selalu gentayangan di tujuh
lapis bumi. Aku baru saja bertemu dengan ayahmu. Ha ha ha."
"Bertemu ayahmu" Dimana?"
"Di neraka... hahaha." Sahut Ki Comot Jalulata disertai tawa tergelak. Mata cekung yang menjorok ke dalam rongga itu seperti mau melompat
keluar. Iblis Ular Sembilan menggerung, tanpa bicara dia jejakkan kakinya dengan
satu hentakan keras. Puncak bukit bergetar akibat hentakan kaki si kakek. Bersamaan dengan itu sembilan ular
beracun melesat dari tiga penjuru arah. Di lain
waktu dalam waktu sekejap tubuh si kakek telah
dilingkari sembilan ular hitam berbelang kuning
yang masing-masing kepalanya terdongak menghadap ke arah Ki Comot Jalulata.
Melihat sembilan ular bergelung melingkari
tubuh lawan, Ki Comot Jalulata tertawa tergelakgelak meskipun hatinya sempat tercekat. Tapi si
kakek sendiri tetap bersikap tenang. Malah sambil tersenyum orang tua ini berkata. "Iblis Ular Sembilan, saat ini kau sedang
berhadapan dengan seorang ahli sihir. Nama besarmu boleh
membuat gentar dunia persilatan. Kau bakal menyesal menggunakan ular-ular itu."
Iblis Ular Sembilan hanya mendengus.
Ki Comot Jalulata kerahkan ilmu menipu
pandang. Dia segera tarik daster biru yang menutupi kaki. Di balik daster si kakek turunkan cela-na ke bawah. Astaga! Bagian
bawah perut si kakek ternyata licin tanpa aurat. Ki Comot Jalulata turunkan kembali dasternya.
"Kau tahu aku dalam keadaan polos. Aku bisa memindahkan kepunyaanmu jika aku mau."
"Kakek jahanam lebih baik kau mati!" berkata begitu Iblis Ular Sembilan
jentikkan tangannya ke
atas. Terdengar suara letusan dan kiranya itu
adalah sebuah isyarat bagi sembilan ular peliharaannya. Sembilan ular buka mulutnya. Kemudian
dengan gerakan laksana terbang sembilan ular
melesat ke udara bergerak lurus menyerang Ki
Comot Jalulata. Si kakek berusaha mengelak, tapi gerakan berkelit yang
dilakukannya kalah cepat
dengan gerakan ular-ular yang menyerangnya.
Sembilan ular menghujam di tubuh si kakek
membuat orang tua ini menjerit kesakitan.
Tak lama tubuh si kakek hancur tercabikcabik digerogoti sembilan ular berbisa ini. Ketika tubuh itu ambruk, yang
terlihat kini hanya berupa tengkorak dan tulang belulang yang berwarna
putih kemerahan berlumuran darah.
Melihat kejadian ini meledaklah tawa Iblis
Ular Sembilan. "Ternyata hanya begitu saja kekuatan yang dia miliki. Aku sudah
tahu siapapun orangnya pasti tidak bakal sanggup mengalahkan
serangan sembilan ular mautku. Ha ha ha." Dengus si kakek jerangkong sinis.
Tapi selagi si kakek tertawa, saat itu pula terdengar suara ledakan keras.
Buus! Begitu ledakan terjadi seketika terlihat kepulan asap di depan si kakek. Begitu kepulan asap
lenyap, di depan iblis Ular Sembilan sekonyongkonyong muncul Ki Comot Jalulata dalam keadaan segar bugar tidak kekurangan sesuatu apa.
Iblis Ular Sembilan terkejut bukan main. Dia
tercengang, mata mendelik mulut ternganga.
Melihat kesempatan ini Ki Comot Jalulata segera gerakkan tangan kanannya ke bagian selangkangan lawan.
Sreet! Setelah dapatkan apa yang dia inginkan orang
tua ini melompat mundur. Dia kemudian acungkan tangannya yang memegang benda berlumuran darah. Sambil tertawa mengekeh Ki Comot
Jalulata berkata. "Iblis Ular Sembilan, apakah kau lupa aku adalah seorang ahli
sihir. Ular-ularmu itu cuma bisa menyerang bayanganku.
Kau tak bakal sanggup membunuhku. Sebagai
peringatan sekarang punyamu kutahan. Untuk
sementara kau harus puasa, kelak mungkin aku
akan mengembalikannya. Tapi jika ternyata kau
tidak berubah, senjatamu ini akan kuhanyutkan
di laut. Seumur hidup kau tak bakal lagi bisa me-rusak perempuan. Ha ha ha."
Habis berkata Ki Comot Jalulata masukkan benda berlumur darah
ke dalam kendi peraknya.
Iblis Ular Sembilan tersentak kaget. Dia tak
menyangka orang telah mengambil miliknya tanpa rasa sakit. Ketika dia singkapkan kain penutup aurat si kakek merasa nyawanya terbang.
Benda yang berada di situ telah lenyap, polos licin tanpa bekas. Pucatlah wajah
si kakek. Dia pun
kemudian jadi kalang kabut berteriak tak karuan.
"Manusia jahanam. Kembalikan... kembalikan
punyaku...!"
Dia melabrak ke depan. Tetapi Ki Comot Jalulata yang diserangnya telah lenyap.
Sayup-sayup Iblis Ular Sembilan mendengar
suara Ki Comot Jalulata di kejauhan. "Agaknya kau lupa, sesuai julukan Ki Comot.
Aku selalu mengambil barang milik siapa saja yang kuanggap tidak layak untuk dipelihara. Waktumu satu purnama. Jika kau dapat menyerahkan benda


Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sakti Sengkala Angin Darah, aku akan berikan
milikmu. Kalau gagal pasti ada burung yang bakal kulepas terbang dan tidak bakal
kembali lagi ke
sangkarnya. Ha ha ha!"
"Kakek terkutuk. Aku pasti akan mencarimu!"
teriak si kakek. Tapi suara teriakannya lenyap begitu saja. Si kakek pun menjadi
marah. Dengan membabi buta dia melepaskan pukulan ke berbagai sudut penjuru. Salah satu pukulan menghancurkan pondok hingga Pandan Arum yang terbaring di atas ranjang terlempar. Sang dara jatuh ke atas tanah. Begitu dirinya
terjatuh kesadarannya pulih kembali. Dia terkejut ketika dapati dirinya dalam
keadaan polos. Dengan cepat dia mengambil pakaian dan segera mengenakannya.
Semula dia berniat melabrak Iblis Ular Sembilan. Tetapi urung begitu melihat Iblis Ular
Sembilan ternyata telah berdiri tegak di sampingnya dengan wajah
kuyu dan mata menerawang kosong.
"Orang tua apa yang terjadi?" tanya Pandan Arum heran.
"Kau tidak pantas bertanya. Sekarang juga ki-ta temui kekasihmu. Aku..." Si
kakek tidak lanjutkan ucapannya. Pandan Arum tidak berani
bertanya lebih jauh. Dia tahu kakek itu seperti telah kehilangan sesuatu.
Sesuatu apa Pandan
Arum tak dapat menduganya. Tak mau mencari
perkara, Pandan Arum akhirnya memilih diam
sambil mengikuti Iblis Ular Sembilan yang telah
melesat ke arah lereng bukit.
9 Orang tua itu duduk di depan pintu gua. Sesekali dia mengusap rambut, cambang serta jenggotnya yang putih panjang menjela.
Kemudian dia dongakkan kepala, mulut tersenyum. Dia tidak menghiraukan keadaan di sekitar gua yang gelap berselimut kabut. Cukup lama si kakek dalam keadaan seperti itu. Dia lalu
memandang ke depan mencoba menembus kegelapan. Tapi konsentrasinya terusik begitu telinganya mendengar suara berdesir serta gemerisik
daun bergesekan. Dia palingkan kepala ke arah
mana suara gemerisik terdengar. Lalu mulutnya
yang tertutup kumis terbuka. "Mahluk tangan roh, apakah engkau yang datang?"
Tidak ada jawaban. Si kakek jadi gelisah. Sekejap dia palingkan kepala melirik ke dalam gua.
Menunggu dalam kesunyian membuatnya jadi tidak sabar. Kemudian dia berteriak. "Mahluk Tangan Roh, aku ingin kau jawab pertanyaanku.
Apakah kau sudah tuli bisu?"
Suara si kakek lenyap. Pepohonan di depan
mulut gua tampak bergoyang-goyang. Di kejauhan sama terdengar suara lolong panjang. Suara
lolong kemudian lenyap berganti dengan suara jerit menggidikkan. Setelah itu terdengar pula sua-ra tetabuhan. Suara itu
demikian aneh bagai irama yang tengah menjalankan acara persembahan.
Suara tetabuhan lambat laun menghilang
dengan sendirinya, bagai ditelan angin lembah.
Sesudahnya sayup-sayup seakan datang dari jarak ribuan tombak terdengar jawaban pelan seperti rintihan. "Empu Barada Sukma yang menjadi tugas telah kujalankan. Telah
kusebarkan ka- bar bahwa Sengkala Angin Darah kini telah berada di tangan Gentong Ketawa. Kau tak perlu lagi
mengotori tangan dengan darah musuh besarmu."
Kata satu suara, kakek yang bernama Empu Barada Sukma tersenyum. "Kau telah lakukan tugas dengan baik, tangan roh. Gentong
Ketawa pasti akan diburu banyak pihak. Walau begitu kita tak
boleh berpuas hati. Dia bukan manusia sembarangan. Selusin orang berkepandaian tinggi belum tentu sanggup menghabisinya. Gendut gila
itu mungkin bukan manusia. Apalagi kini kudengar dia punya seorang murid. Murid yang sama
sintingnya dengan gurunya. Kita harus waspada!"
"Empu, kau adalah penguasa tunggal di lembah ini. Perintahmu selain dipatuhi oleh semua
penghuni lembah sesat. Buat apa kau membuang
tenaga. Lagi pula benda itu kini ada di tanganmu.
Kau punya kesempatan memperluas daerah kekuasaan. Sementara muslihat kita telah termakan
oleh mereka yang menginginkan Sengkala Angin
Darah." "Tidak, Tangan Roh! Kita justru harus mempersiapkan satu kekuatan. Aku takut perburuan
yang kita rencanakan mengalami kegagalan. Sekarang kumpulkan penghuni lembah. Setelah itu
kita berangkat tinggalkan lembah ini!" belum lagi mahluk Tangan Roh sempat
menjawab, tiba-tiba
terdengar suara gemuruh datang dari selatan
lembah. "Tangan Roh, aku mendengar suara Rajawali
Siluman. Mahluk itu hanya dimiliki oleh pemuda
bernama Pasadewa. Gerangan apa yang membuatnya sampai datang kemari?" tanya Empu Barada Sukma heran.
"Kau tidak pernah datang ke rumahnya?"
tanya si kakek curiga kalau-kalau orang kepercayaannya salah menyebar kabar.
"Aku sungguh tidak tahu." Sahut mahluk Tangan Roh serius.
Sementara suara kepakan sayap burung makin bertambah jelas. Kemudian di tengah suara
bergemuruh yang terdengar mendadak terdengar
pula suara teriakan yang seakan datang dari langit, "Empu Barada Sukma, aku Pasadewa datang bersama Rajawali siluman. Kuharap
kau mendengar apa yang aku minta." Si kakek dongakkan kepala ke atas. Dia
melihat sosok pemuda duduk di
atas punggung rajawali putih.
"Jahanam!" sang Empu menggeram. Dia lalu
berseru ditujukan pada mahluk Tangan Roh. "Cepat kumpulkan orang-orang kita,
kemudian tung- gu di lorong rahasia." Perintah si kakek.
"Baiklah. Perintah segera kulakukan!" jawab mahluk Tangan Roh di gelapnya
lembah. Sementara di atas sana rajawali siluman berputar-putar. Makin lama terbangnya makin rendah. Setiap kepakan sayap sang burung membuat
pepohonan di sekitarnya bertumbangan. Si kakek
tentu saja tercengang menyaksikan kejadian itu.
Selagi Empu Barada Sukma dibuat terkesima.
Pada waktu itu terdengar suara Pasadewa.
"Empu Barada Sukma. Dari sini aku melihatmu. Kau berdiri di depan mulut gua itu. Mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" hardik Pasadewa kesal.
"Ha ha ha. Bocah tolol, berteriak seperti orang gila. Sebenarnya kau punya
urusan apa datang
kemari?" "Empu Barada Sukma kau jangan berlagak
pikun. Bukankah Sengkala Angin Darah ada padamu?" sahut si pemuda yang masih terus berputar-putar di atas lembah.
"Sejak menetap di lembah ini belum pernah
aku gentayangan di luar sana. Bagaimana mungkin aku dapatkan benda itu?"
"Kau tak usah mungkir. Seseorang telah
memberi tahu aku. Benda itu memang berada di
tanganmu!"
"Yang kau katakan itu adalah sebuah fitnah
keji. Menurut yang aku dengar justru benda itu
telah didapatkan oleh seorang tokoh sakti bernama Gentong Ketawa. Jika kau menghendakinya
mengapa tidak segera mencari kakek itu?"
Di atas burung tunggangannya Pasadewa
sempat dibuat tertegun. Dia menjadi bimbang.
"Gentong Ketawa" Siapa yang dimaksudkannya
itu?" Melihat Pasadewa ragu-ragu si kakek kembali menegaskan. "Kalau kau tak
percaya dan masih saja curiga, kau turunlah kemari. Periksa guaku
ini!" Pasadewa kembali terdiam. Tampaknya dia mulai termakan ucapan si kakek.
Terbukti dia la-lu berkata.
"Baiklah... aku akan mencari orang yang kau maksudkan. Tapi bagaimana jika nanti
kau ternyata membohongiku?"
"Aku sudah mengatakan, silahkan turun dan
periksa tempat tinggalku ini. Aku sudah tua. Aku rela mempertaruhkan nyawa demi
sebuah kejuju-ran, tunggu apa lagi. Turunlah..!" tantang si kakek. Melihat sikap
si kakek yang makin bersungguh-sungguh Pasadewa jadi bertambah bimbang.
Dia akhirnya berkata. "Baiklah, sekali lagi aku mempercayaimu. Tapi ingat aku
akan kembali jika yang kau katakan ini ternyata hanyalah sebuah dusta!"
Empu Barada Sukma anggukkan kepala.
Pasadewa sendiri kemudian bersama binatang
tunggangannya segera pergi meninggalkan lembah itu. Seperginya Pasadewa si kakek tidak lagi dapat
menahan tawanya. "Manusia bodoh. Mengaku
cerdik tapi tolol. Ha ha ha."
10 Setelah melakukan pengejaran sekian lama,
Saba Geni merasa sekujur tubuhnya letih bukan
main. Dia kemudian berhenti lalu menghirup
udara segar sepuas-puasnya.
Orang tua ini kemudian menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon. Sementara kedua
matanya memandang lurus ke depan.
"Agaknya untuk mendapatkan benda itu tidak
akan mudah. Kalau bukan karena kedua perempuan itu tentu urusanku tidak jadi begini. Kini
aku tidak tahu kemana harus mencari orang berpakaian putih yang telah melarikan Sengkala Angin Darah."
Kakek berpakaian kembang-kembang ini tercenung. Angannya melayang jauh entah kemana.
Lamunan si kakek buyar seketika begitu dia
mendengar ada suara gemeretak tak jauh di belakangnya. Seketika itu juga Saba Geni palingkan kepala
dan memandang lurus ke belakang.
Kakek ini kaget ketika melihat kehadiran kakek tua berambut panjang awut-awutan. Orang
tua yang baru datang berpakaian serba hitam.
Bagian kepalanya agak botak, wajah angker bermata tajam. Saba Geni sama sekali tidak mengenali siapa
adanya kakek yang satu ini. Tapi melihat cara
orang menatapnya dia punya firasat siapapun
adanya kakek jelek di depannya pasti membawa
maksud dan tujuan buruk.
Saba Geni merasa tidak ada perlunya melayani orang tua itu. Tanpa bicara apa-apa dia
memutar tubuh lalu melangkah pergi. Baru saja
beberapa tindak dia melangkah tiba-tiba kakek
angker berambut panjang riap-riapan lakukan satu gerakan dan di lain saat telah berdiri tegak di depan Saba Geni.
Melihat tingkah orang, Saba Geni yang sedang
kalut ini menjadi marah. Dua matanya mendelik
sedangkan mulutnya membentak. "Siapapun
adanya dirimu aku tidak perduli. Kuharap kau
segera menyingkir dari hadapanku!"
Bukannya patuhi perintah. Sebaliknya kakek
berambut panjang itu malah bertolak pinggang.
Dia kemudian dongakkan kepala sambil tertawa
tergelak-gelak.
"Tua bangka tuli, apakah kau tidak mendengar ucapanku?" hardik Saba Geni jengkel.
Kakek di depannya tiba-tiba hentikan tawa.
Dia melangkah maju satu tindak. Setelah itu dia
balas membentak.
"Tua bangka keparat, mestinya aku membunuhmu saat ini juga. Tapi tidak mengapa, mulut
lancangmu yang telah berani memakiku dapat
kumaafkan asal kau mau menjawab pertanyaanku!" ujar kakek berpakaian hitam dengan seringai bermain di mulut.
"Kau siapa hah...?"
"Bagus kalau kau ingin tahu siapa aku. Ha ha ha." Kata orang tua itu sambil
tertawa mengekeh.
Setelah tawanya lenyap kakek berbaju hitam berkata. "Kau dengar baik-baik. Namaku Dukun Kertasona biasa dipanggil Mbah Dukun.
Aku lebih dikenal dengan julukan Setan Santet Delapan
Penjuru, apakah sudah jelas?"
"Setan Santet Delapan Penjuru?" desis Saba Geni. "Siapa yang tidak mengenal
manusia bejat satu ini" Dengan ilmu setannya dia membuat
bencana. Banyak gadis-gadis cantik menjadi korban kebejatan nafsunya. Dia bukan manusia
sembarangan. Kabarnya dia juga memiliki jin piaraan." Setelah tahu siapa gerangan kakek itu Saba
Geni diam-diam mulai berlaku waspada.
"Kulihat wajahmu berubah pucat. Kurasakan
jantungmu berdetak keras. Apakah ini sebuah
pertanda bahwa kau mengenali diriku" Ha ha ha."
Suara Mbah Dukun memecah keheningan. Saba
Geni tersentak kaget, tapi dia tersenyum.
"Dukun Kertasona, hhm... kenal rasanya tidak. Justru yang kudengar selama ini hanya kebejatanmu. Sekarang kau kulihat gentayangan
tak karuan kejuntrungannya. Apa sebenarnya
yang kau cari?"
Mendengar pertanyaan orang sebenarnya panas juga hati Mbah Dukun Kertasona. Tapi kakek
ini berusaha memendam perasaan, malah dia
kemudian tertawa.
Begitu tawanya lenyap dia segera berkata.
"Aku sendiri rasanya tidak perlu mengenal siapa dirimu. Yang ingin kutanyakan
siapa orangnya

Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang telah melarikan Sengkala Angin Darah ketika kau terlibat perkelahian dengan dua gadis
itu?" Rasa kaget di hati Saba Geni tidak terkira.
Dia menyangka kakek itu melihat kejadian yang
berlangsung di tengah hutan Pacitan. Kemudian
secara diam-diam dia mengikuti kemana Saba
Geni pergi. Karena itu tanpa ragu dia berkata.
"Jika kau melihat kejadian itu, mengapa kau tidak segera mengejar orang yang
telah melarikan
Sengkala Angin Darah?"
Mbah Dukun Kertasona tersenyum mengejek.
"Aku tidak melihatnya secara langsung. Apa
yang kulihat semuanya melalui tali sambung rasa. Beberapa pembantuku telah kusebar, mereka
telah meneliti. Dan selain Ki Edan Samberata,
kau adalah dua orang yang dapat kutanyai." Jelas si kakek.
"Ha ha ha. Kalau aku tahu siapa bangsat
yang telah melarikan benda itu apakah kau mengira aku bersedia memberitahukannya padamu"
Dan sayang kebetulan aku tidak sempat mengenali siapa adanya orang berpakaian serba putih
itu." jawab Saba Geni ketus.
Sayangnya orang seperti Mbah Dultun Kertasona tidak mudah dibuat percaya begitu saja.
"Mulut pandai berdusta, Saba Geni. Siapa
mau percaya dengan bualanmu" Bagaimanapun
kau harus mengatakan padaku siapa yang telah
membawa Sengkala Angin Darah!"
"Manusia keparat keras kepala! Kau pergilah ke neraka. Tanyakan pada penjaga di
sana siapa yang melarikan benda itu!" kata Saba Geni kehilangan kesabarannya.
Mbah Dukun Kertasona sunggingkan seringai
dingin. Dengan tenang dia kembali berucap.
"Apakah ini berarti merupakan suatu permintaan bahwa salah satu diantara kita
harus ada yang mati" Ha ha ha!"
"Mungkin begitu. Kau yang mati sedangkan
aku harus tetap hidup demi mendapatkan Sengkala Angin Darah!" sahut Saba Geni.
"Bagus. Ha ha ha. Aku yang mati dan kau
terpaksa kujadikan roh gentayangan." Dengus Mbah Dukun Kertasona sengit.
Saba Geni tidak lagi menanggapi. Kemudian
kakinya bergerak cepat. Tak terduga kakinya dihantamkan ke pasir.
Buum! Hentakan itu menimbulkan suara ledakan keras berdentum. Hamparan pasir muncrat di udara, lalu menderu menghantam ke bagian wajah
dan sekujur tubuh lawannya.
Serangan ini tentu bukan serangan biasa, karena bila sampai mengenai mata, pasir yang telah berubah panas membara itu bisa
membuat mata hancur menjadi buta. Andai sempat mengenai tubuh akan dipenuhi lubang seperti ditembusi jarum. Mbah Dukun menggeram. "Manusia licik pengecut!" Si kakek lalu dorongkan kedua tangannya ke
depan untuk menangkis serangan itu sementara
dia sendiri melompat ke samping.
Seketika terdengar suara gemuruh dari tangan Mbah Dukun Kertasona. Angin seganas badai
gurun melesat menyambut ribuan pasir yang menyerang ke arah dirinya.
Bess! Preesh! Pasir-pasir itu berhamburan, mental ke segenap penjuru arah begitu terhantam pukulan si
kakek. Malah sebagian diantaranya berbalik
menghantam Saba Geni.
Tapi kakek berpakaian kembang-kembang itu
telah lenyap. Ternyata dia melompat ke udara. Di udara orang tua ini lakukan
gerakan berjumpalitan sedemikian rupa. Setelah posisinya berada di atas kepala
Mbah Dukun Kertasona, tiba-tiba dia
meluncur deras ke bawah. Lalu dua tangannya
dihantamkan ke bagian kepala lawan
Mbah Dukun yang baru lolos dari serangan
pertama segera merasakan adanya hawa dingin
menyambar ubun-ubunnya. Dia segera miringkan
kepala lakukan gerakan menghindar. Tapi sayang
gerakan yang dia lakukan masih kalah cepat dengan gerakan lawan.
Tanpa ampun lagi pukulan Saba Geni menghantam di bagian kepalanya.
Deees! Blees! Hantaman cepat yang dilakukan lawan mengandung tenaga dalam penuh. Sehebat-hebatnya
Mbah Dukun Kertasona bertahan tak urung dia
amblas ke tanah sedalam dada. Si kakek merasa
kepalanya laksana mau meledak. Pandangan matanya jadi berkunang-kunang. Dia mengerang
sambil memaki. Sementara tangannya terus
menggapai. Rupanya dia berusaha keluar dari dalam tanah. Tapi usaha yang dilakukannya tak
semudah yang dia bayangkan.
Sementara itu di lain pihak Saba Geni telah
jejakkan kakinya tak jauh dari lawan. Ketika kakek itu memutar badan dan memandang ke arah
lawan, Saba Geni benar-benar terkejut. Dia menyadari ketika menghantam kepala lawan tadi dia
merasa tangannya seperti membentur bola besi.
Tangan itu terasa sakit bukan main, celakanya
kini tampak bengkak menggembung.
Si kakek memaki dalam hati, namun biarpun
begitu kini tanpa menghiraukan sakit pada bagian tangan. Apalagi ketika melihat lawan masih
belum dapat membebaskan diri dari pendaman.
Saba Geni tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Selagi Mbah Dukun Kertasona berjuang keras
bebaskan diri, Saba Geni melepaskan satu tendangan ke arah lawan.
Wuuut! Wuuus! Serangkum angin dingin berkiblat dari kaki si
kakek. Sinar putih menyilaukan menghampar di
udara membuat mata tak dapat melihat apa-apa.
Mbah Dukun merutuk habis-habisan mendapat
serangan beruntun seperti itu. Dia batalkan niat untuk bebaskan diri dari
pendaman tanah yang
menghimpitnya. Selanjutnya Mbah Dukun gerakkan dua tangannya yang bebas. Tangan itu kemudian didorong dengan kecepatan luar biasa
sambuti tendangan lawan.
Dari telapak tangan orang tua itu mencuat sinar biru terang mengandung hawa panas luar biasa. Dua kekuatan bertenaga dalam tinggi bentrok di udara. Kawasan di pinggir sungai lagi-lagi dilanda
goncangan hebat begitu terjadi ledakan berdentum. Bentrokan kaki dengan dua tangan lawan
membuat Saba Geni terlempar ke udara. Orang
tua itu menjerit, namun begitu jatuh terjengkang dia segera bangkit kembali dan
siap lakukan serangan.
Sementara akibat bentrokan tadi kini Mbah
Dukun makin menderita saja. Tubuh si kakek kini yang terlihat hanya bagian leher sampai kepala. Walau begitu Mbah Dukun Kertasona tidak
merasa putus asa. Sekuat tenaga dia berusaha
membebaskan diri dari dalam tanah yang hampir
menguburnya hidup-hidup.
Melihat ini Saba Geni tertawa tergelak-gelak.
Dengan sinis dia kemudian berkata. "Mbah Dukun nampaknya kau akan segera mati.
Aku cu- kup menghantammu dengan satu pukulan mematikan maka tamatlah riwayatmu. Ha ha ha!"
Mbah Dukun tidak menjawab. Sebaliknya dia
malah ikut tertawa. Tak lama setelah itu bahkan
kedua matanya terpejam seolah dirinya telah siap menerima datangnya kematian.
Padahal sesungguhnya di dalam hati Mbah Dukun diam-diam
tengah merapal mantra dari ilmu hitamnya.
Sementara melihat sikap lawan, Saba Geni
sendiri sebenarnya siap menyerang kembali. Kali
ini si kakek tak mau bersikap ayal. Si kakek salurkan tenaga dalam bagian tangan hingga kedua
tangan itu dalam waktu sekejap telah berubah
merah hingga sebatas siku.
Rupanya Saba Geni telah siap melepaskan
pukulan andalannya yang bersumber dari ajian
Gelombang Geni. Sekedar diketahui siapapun
yang terkena ajian pukulan si kakek tubuhnya
pasti meleleh seperti timah dipanaskan.
Mbah Dukun Kertasona sendiri tentu tidak
melihat perubahan tangan lawan karena waktu
itu kedua matanya dalam keadaan terpejam. Sementara mulutnya berkemak-kemik membaca
mantra. Satu-satunya yang dirasakan oleh Mbah
Dukun udara di sekitarnya berubah menjadi panas seakan dirinya berada dalam tungku bara
menyala. "Tua bangka, ajal dan kematianmu telah
sampai saat ini. Bersiap-siaplah berangkat ke akherat!" Saba Geni berteriak
melengking. Bersamaan dengan itu dia melesat ke depan. Dua tangan dihantamkan ke bagian kepala lawan.
Sinar merah berkiblat. Api menyambar dan
saat itu juga Mbah Dukun Kertasona tenggelam
dalam kobaran api.
Tetapi pada waktu bersamaan terdengar pula
suara raung menggelegar. Asap putih mencuat di
sela-sela kobaran api yang membakar. Bersamaan
dengan Itu terdengar suara ledakan tiga kali berturut-turut. Satu sosok melesat
di udara. Melesatnya sosok itu diikuti dengan munculnya satu sosok lainnya. Sosok tersebut dalam
ujud mahluk raksasa berwajah angker, beralis
tebal dan bermata merah bagai menyala.
Begitu muncul sosok itu menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang runcing mengerikan.
Belum lagi hilang rasa kaget di hati Saba Geni,
sosok mahluk raksasa yang sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus lebat meniup ke arah
kobaran api. Puuuh! Angin dahsyat menderu dari mulut sosok raksasa. Seketika api yang membakar langsung padam. Lubang dimana Mbah Dukun terpendam telah kosong bahkan telah hancur porak poranda.
Saba Geni tercengang.
"Aku di sini Saba Geni. Ha ha ha."
Saba Geni memandang ke arah datangnya
suara. Si kakek jadi tercekat begitu melihat Mbah Dukun telah berdiri tegak di
sebelahnya. Kakek
itu tersenyum, sementara sedikitpun tubuhnya
tidak terluka. "Saba Geni! Tenaga dalammu boleh tinggi, il-mu kesaktianmu boleh hebat. Tapi kau
tak bakal lolos dari tangan Jin Sesat mahluk gaib piaraanku. Ha ha ha."
"Aku akan membunuh mahluk terkutuk itu!"
teriak Saba Geni. Dengan cepat dia mengambil
senjatanya berupa tombak bermata tiga. Melihat
lawan menghunus senjata lawan kembali tertawa
mengekeh. "Kau boleh juga menggunakan seribu tombak,
Saba Geni! Ha ha ha!" si kakek kemudian berteriak ditujukan pada Jin Sesat.
"Bunuh dan habisi manusia bersenjata tombak itu!"
Jin Sesat keluarkan suara raungan. Sosoknya
yang besar melesat ke depan. Dua tangan bergerak, sepuluh jari berkuku tajam menyambar ke
batang leher Saba Geni. Si kakek tidak tinggal di-am. Dia melompat ke atas
kemudian tusukkan
tombaknya ke dada lawan.
Sinar putih berkiblat menyilaukan mata. Jin
Sesat segera lindungi dada dan matanya yang
menjadi incaran serangan. Sedangkan tusukan
yang mengarah ke bagian tubuh yang lain sengaja
dibiarkan. Braak! Craak! Hunjaman tombak yang mengarah ke bagian
pinggang tidak ubahnya seperti menghantam
tembok baja. Saba Geni malah terdorong mundur.
Lalu meluncur ke bawah. Belum lagi sosoknya jatuh ke tanah, Mbah Dukun menyambut dengan
satu pukulan. Desss! Hantaman keras melabrak punggung Saba
Geni. Tubuh orang tua itu kembali terpental ke
atas. Si kakek menjerit. Dan selagi si kakek menjerit serta kehilangan
keseimbangan, satu tangan menyambar lehernya.
Creep! Sekejap saja leher Saba Geni telah berada di
dalam jepitan Jin Sesat. Si kakek terkejut. Dia
meronta, sedangkan tombak ditusukkan ke bagian dada mahluk angker yang menjepit lehernya.
Si kakek megap-megap. Tusukannya hanya
menimbulkan suara berdentring.
"Jahanam celaka!" keluh si kakek sambil meronta.
"Bunuh dia sekarang!" seru Mbah Dukun Kertasona.
Secepat Mbah Dukun memerintah secepat itu
pula Jin Sesat gerakkan tangannya yang mencengkeram leher lawan. Tak lama kemudian ter

Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengar suara tulang leher patah dan suara jerit
tertahan. Saba Geni berkelojotan. Darah menyembur
dari mulut dan hidungnya. Orang tua itu tewas
seketika dengan lidah terjulur dan mata mendelik. Melihat lawan tewas Jin Sesat lepaskan korbannya. Kakek itu jatuh terbanting dan tidak ber-kutik lagi.
Mbah Dukun Kertasona tertawa tergelakgelak. Dia kemudian menyilangkan kedua tangan
di depan dada, sedangkan mulutnya kembali berkemak-kemik. Setelah itu terdengar seruannya.
"Jin Sesat, kembali....!"
Mahluk angker itu kemudian melayang ke
arah si kakek. Setelah berada di atas kepala
Mbah Dukun ujudnya memudar, lalu lenyap berubah menjadi asap biru.
Wuus! Asap pun masuk ke dalam mulut, lalu lenyap
tidak meninggalkan bekas. Mbah Dukun Kertasona tertawa panjang. Dia hampiri mayat lawannya.
Setelah merasa yakin lawan benar-benar tewas
dia berucap. "Aku sudah menduga manusia dengan kepandaian seperti dirimu tak
mungkin sang- gup menghadapi Jin Sesat. Seperti yang kukatakan kini arwahmu yang bergentayangan penasaran! Ha ha ha!" sambil tertawa panjang Mbah Dukun Kertasona berkelebat
tinggalkan mayat Saba
Geni. Tamat https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
Tamat Rahasia Istana Terlarang 7 Wisma Pedang Seri 4 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Naga Sasra Dan Sabuk Inten 32

Cari Blog Ini