Ceritasilat Novel Online

Bayang Bayang Kematian 2

Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian Bagian 2


Hu hu hu... aku dan saudaraku memang
ingin mencarimu. Membunuh pohon harus
sampai ke akar-akarnya. Tidak disangka
kau datang sendiri mengantarkan
nyawa... Hu hu hu...!"
Katai Muka Mayat tiba-tiba
melompat ke depan sambil lambaikan
tangannya, tiga leret sinar berwarna
keperakan datang menggebu-gebu. Suro
sadar betul bahwa lawannya telah
menyambitkan senjata rahasia ke
arahnya sehingga dengan gerakan kacau
ia menghindarinya. Serangan senjata
rahasia itu lewat setengah jengkal di
atas kepalanya.
"Crap! Crap! Crap!"
"Bukan main...!" desis si pemuda.
Ia berpaling ke belakangnya. Ternyata
senjata rahasia berbentuk empat persegi itu menancap dalam pada dinding
karang yang cukup atos tersebut. Katai
Muka Mayat gelengkan kepala melihat
pemuda berbaju biru ini dapat
menghindari serangannya.
"Kau punya kebolehan juga rupanya. Sayang kau berada di dalam
wilayah kekuasaanku. Hanya orang yang
punya nyawa rangkap saja dapat keluar
dari tempat ini hidup-hidup!"
"Jangan kelewat percaya diri,
Iblis tergencet bumi. Lihat serangan...!" Suro membentak keras.
Suaranya menimbulkan gema hingga
membuat dinding gua karang tergetar.
"Hu hu hu! Shaaa...!"
Katai Muka Mayat melompat ke
udara. Serangan Suro luput dan
menghantam altar di depannya. Altar
hancur, tubuh perempuan telanjang
tergontai di udara dan jatuh lagi di
atas hancuran batu-batu altar.
Dari atas menderu selaksa angin
memerihkan kulit Suro Blondo. Pemuda
ini melompat mundur sejauh dua batang
tombak. "Blaar!"
Lagi-lagi gua karang tergetar.
Pukulan yang dilepaskan oleh Katai
Muka Mayat luput. Di tengah ruangan
gua terlihat sebuah lubang besar
akibat pukulan si Katai yang luput
sasaran tadi. "Zeb! Zeb! Dep!"
Kaki si katai direntang, tangannya diputar cepat. Terdengar suara
angin menderu-deru ketika manusia
katai ini menggerakkan tangannya.
"Badai Topan Menggempur
Karang...!" teriak si Katai menyebut
nama jurus yang dimainkannya.
"Serigala Melolong Kera Sakti
Kibaskan Ekor...!" jerit Suro Blondo
tidak mau kalah.
Jika Katai Muka Mayat gerakangerakan silatnya sangat teratur
sekali, maka sebaliknya dengan Suro
Blondo. Gerakan yang dilakukannya
tidak pernah beraturan dan terkesan
konyol. Namun hingga sejauh itu ia
dapat menghindari serangan lawan
dengan sangat baik sekali.
Pemuda ini kemudian bergerak
cepat, pada saat lawan semakin
meningkatkan serangannya. Di lain saat
ia melakukan serangan balik yang tidak
kalah hebatnya.
"Hiyaa...!"
"Deb!"
"Wuus!"
Dengan mengerahkan setengah dari
tenaga dalam yang dimilikinya, Katai
Muka Mayat lepaskan tendangan menggeledek ke perut Suro Blondo. Pemuda ini
geser langkahnya ke samping. Tangannya
menangkis sambil lepaskan tinjunya ke
wajah lawan. "Dhaak!"
"Buuk...!"
"Wiih...!" Suro Blondo mengeluh.
Tangannya yang dipergunakan menangkis
terasa kesemutan. Katai Muka Mayat
terhuyung ke belakang sambil
terpincang-pincang.
Ia menggeram marah, dilihatnya
bayangan lawan semakin lama semakin
bertambah banyak. Ia menyerang lagi
sambil kerutkan kening. Sejauh itu
serangan-serangan yang dilakukannya
selalu mengenai sasaran kosong.
Dengan gusar ia melompat mundur,
tangannya yang pendek diangkat ke
atas kepala. Tangan itu digosokgosokkan antara satu dengan yang
lainnya. Kemudian.
"Plak! Plak!"
Saatkedua tangannya saling bersambut, maka terdengar suara ledakanledakan menggelegar. Suro terkesiap
ketika sepuluh larik sinar mengejar ke
arahnya. Pemuda berambut kemerahan ini
mencoba memapakinya
dengan pukulan 'Matahari Rembulan Tidak Bersinar'.
Mendadak suasana di sekelilingnya
menjadi sirap. Tangan si pemuda yang
melintang di depan dada bergetar
hebat. Pukulan 'Monyongsong Kabut
Tenggelam Dalam Kegelapan' yang
terdiri dari sepuluh laret sinar
berwarna biru ini seakan tersendatsendat. Bukan langsung menghantam
tubuh si pemuda melainkan berputarputar mengelilinginya.
Ketika Suro Blondo menggerakkan
kedua tangannya dengan gerak membubarkan, maka terdengar sepuluh kali
suara ledakan beruntun. Katai Muka
Mayat jatuh terguling-guling dan
menghantam dinding gua. Sebaliknya,
Suro Blondo jatuh terjengkang. Dari
sudut-sudut bibirnya menetes darah
kental berwarna hitam. Ia cepat
mengerahkan hawa murninya untuk
menyembuhkan luka dalam yang ia
derita. Katai Muka Mayat walau juga
sempat merasa dadanya seperti hendak
remuk, namun secepatnya ia bangkit
berdiri. "Pemuda ini tidak bisa dianggap
main-main. Kakang Muka Merah tidak ada
di tempat saat ini. Kalau dia ada
tentu untuk membunuhnya bukanlah
sesuatu yang sulit. Kini aku harus
mengerahkan seluruh kemampuanku untuk
menghabisi riwayat anak ajaib ini...!"
bathin Katai Muka Mayat.
Selagi lawan dalam keadaan
lengah, Katai Muka Mayat kembali
menyerangnya. Kali ini ia mempergunakan ruyung peraknya yang
berjumlah dua buah itu.
Suro Blondo menyeringai, ketika
dua ruyung maut yang dapat mengembang
dan menguncup itu menyerangnya. Suro
Blondo menghindarinya sambil berjingkrak-jingkrak. Terkadang badannya
condong ke depan, lalu miring ke kiri
dan ke kanan. Di lain saat ia
berjongkok, lalu mencecar kaki
lawannya, hingga membuat si Katai
melompat mundur tarik balik serangan.
Tokoh sesat dari sclatan ini
kembangkan ruyung di tangan kiri,
sedangkan yang di tangan kanan
dibiarkannya tetap menguncup. Ruyung
yang terkembang ini dibiarkan
sedemikian rupa, kemudian diputar
hingga menimbulkan deru suara angin
yang sangat menyakitkan gendang- gendang telinga.
"Ziing!"
"Wuut! Wuut!"
Ruyung yang terkembang menerabas
dada Suro sedangkan yang tetap menguncup menusuk ke bagian dada.
Salah satu serangan ganas ini memang
dapat dihindari Pendekar Blo'on. Tapi
serangan lainnya tidak sempat
dielakkannya walaupun ia telah melakukan gerak serta langkah yang
aneh-aneh. "Bret!"
"Eph...!" Pemuda ini mendekap
bahunya yang sempat robek dari bagian
baju sampai ke dagingnya. Darah
mengucur. Ia cepat totok urat darahnya
hingga darah yang mengalir cepat
terhenti. Mata si pemuda berkedap-kedip.
Mulutnya pletat pletot, kemudian kaki
depan ditekuk. Tangan ditepuknya ke
bagian lutut, sedangkan yang kiri
diangkat sejajar dengan bahu. Pemuda
berambut kemerahan ini rupanya tidak
ingin menghadapi serangan senjata
lawan dengan mempergunakan Mandau
Jantan yang selalu memperdengarkan
suara rintihan tangis itu, melainkan
dengan mempergunakan pukulan pamungkas
kedua warisan dari kakek merangkap
gurunya Malaikat Berambut Api.
Rambutnya yang hitam kemerahmerahan itu secara perlahan berubah
merah membara sepenuhnya sehingga
dilihat sepintas seperti lidah api
yang berumbai-umbai. Jelas si pemuda
telah mengerahkan tenaga dalam
sepenuhnya. Inilah pukulan 'Neraka
Hari Terakhir'. Sebuah pukulan maha
dahsyat yang tidak ada duanya di
kolong langit ini.
Ketika Pendekar Blo'on dorongkan
kedua tangannya ke depan, maka
terdengar suara angin menderu-deru.
Lalu terdengar pula suara jeritan di
mana-mana. Jerit ketakutan yang seakan
datang dari alam roh dan alam kubur.
Jeritan ini sungguh membuat merinding
bulu kuduk yang mendengarnya, termasuk
juga Katai Muka Mayat. Selain itu ia
terkesiap melihat rambut lawannya
seperti dikobari api.
Melihat bahaya yang mengancamnya,
Katai Muka Mayat mengembangkan ruyung
lainnya. Sinar merah hitam menggebugebu. Lalu pukulan maut ini menghantam
ruyung di tangan Katai Muka Mayat.
"Bum! Bum!"
"Praak!"
Benturan itu membuat ruyung di
tangan Katai Muka Mayat hancur
berkeping-keping. Katai
Muka Mayat terhempas melabrak dinding goa karang.
Ia bangkit berdiri. Terlihat dengan
jelas darah mengucur dari hidung dan
mulutnya. Namun ternyata ia memiliki


Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daya tahan yang sangat
hebat. Secepatnya ia bangkit berdiri. Suara
jeritan mengerikan lenyap, tapi
sebentar kemudian terdengar suara
jeritan lagi. Kali ini Katai Muka Mayat tidak
tinggal diam. Kehebatan yang dimiliki
pemuda bertampang tolol ini benarbenar telah membuka matanya. Tidak
pelak lagi bersamaan waktunya dengan
saat pemuda itu lepaskan pukulannya
yang sangat mengerikan itu. Ia juga
lepaskan pukulan 'Menyongsong Kabut
Tenggelam Dalam Kegelapan' tingkat
paling tinggi. Keadaan di dalam ruangan gua
seperti hendak kiamat saja layaknya.
Berleret-leret sinar saling menghantam
dengan suara yang memekakkan gendanggendang telinga.
"Glar! Duaamm...!"
"Broll...!"
"Wuaaakkkhh...!"
Suro Blondo tergontai-gontai lalu
terjatuh terjajar menimpa tubuh
perempuan telanjang yang sudah meregang ajal terkena sambaran pukulannya
tadi. Dinding gua jebol, sosok tubuh
terlempar keluar disertai suara
jeritan menggidikkan. Sosok tubuh si
Kate melayang-layang dan terjatuh ke
dalam laut. Tidak ada seorang pun yang tahu
apakah Katai Muka Mayat ini masih
hidup apa sudah mati. Sambil mengatur
nafasnya yang memburu, Suro Blondo
mengedarkan matanya ke segenap ruangan
gua yang nyaris runtuh dan retak di
sana-sini. "Eeh... aku telah duduk di atas
mayat perempuan ini," desis pemuda itu sambil bangkit berdiri. Ia melongok ke
arah dinding gua yang berlubang besar,
ia sadar dari sinilah tubuh si katai
terlempar. Ia melirik ke bawah. Masih
terlihat riak-riak air laut di mana
lawannya jatuh tadi. Demikian
tingginya puncak bukit ini sehingga
membuat tengkuk Suro meremang.
"Aku harus memeriksa ruangan
lainnya. Siapa tahu Katai Muka Merah
bersembunyi di dalam sana."
Melihat kondisi gua yang sangat
membahayakan, Suro Blondo cepat
memeriksa sisa-sisa ruangan
yang berada dalam gua itu. Tapi ia tidak
melihat orang yang dicarinya selain
perempuan-perempuan telanjang yang
sudah tidak bernyawa lagi.
Pendekar Blo'on palingkan muka ke
arah lain dengan muka merah jengah.
"Manusia cebol itu rupanya punya
kegemaran mengumpulkan perempuan. Huh
sayang sekali aku tidak tahu di mana
Katai Merah. Dan si kampret itu siapa
bisa jamin itu siapa bisa jamin kalau
dia mampus terkena pukulanku atau
dimangsa hiu," gerutunya sambil garuk-garuk kepala.
Suro Blondo kemudian cepat
berlari kaluar dari gua karang itu
ketika ia mendengar suara bergemuruh.
Dinding-dinding gua berjatuhan, baru
saja Suro sampai di mulut pintu gua.
Gua tersebut benar-benar runtuh
menimbulkan suara menggemuruh seperti
diguncang gempa.
"Hampir... hampir saja mampus.
Kalau mati di atas perempuan mungkin
enak. Tapi kalau tertimbun batu apa
enaknya...?"
Suro Blondo nyengir kuda. Ia
memandang ke jalan semula. Melalui
jalan itu pula ia harus turun. Diamdiam hatinya heran juga ketika melihat
sosok serba putih berdiri di sana
dengan jarak sekitar seratus tombak.
7 Pendekar Blo'on turun lagi.
Setelah jarak mereka semakin bertambah
dekat, maka terlihatlah dengan jelas
bahwa gadis berbaju putih itu tidak
lain adalah dia yang berada di dalam
perahu tadi. Suro Blondo tidak begitu
menghiraukannya. Tapi langkahnya jadi
terhenti ketika melihat si gadis
menghadang langkahnya.
"Aku tidak punya banyak waktu!
Kuharap kau mau menyingkir Nisanak!"
kata Suro Blondo ketus. Rupanya ia
ingat gadis berkerudung ini begitu
jual mahal ketika ia minta tolong
untuk menyeberangkannya ke bukit
karang ini. "Hi hi hi! Begitu tergesakah kau"
Dan kau telah membunuh orang itu?"
bertanya si gadis sambil tersenyum
malu. Suro menatap tajam pada lawan
bicara-nya. "Kau siapa" Mengapa selalu berusaha mencari tahu apa urusanku?"
"Aku... hi hi hi! Kebetulan adalah
orang yang tidak suka melihat lakilaki memaksakan kehendaknya pada
perempuan," kata si gadis. "Sedangkan siapa aku kau tidak usah tahu. Cukup
kau panggil Kerudung Putih!"
"Kerudung Putih, boleh jadi
Malaikat, hantu pocong, kuntilanak,
dan sejenis peri panunggu laut. Aku
ingin bertanya padamu, kerudung... eh
putih...! Apakah kau melihat Katai
Muka Mayat terjun tadi?"
"Hmm, kebetulan aku tidak melihatnya. Yang kulihat adalah runtuhnya
gua karang di atas sana. Aku takut kau
tertimbun. Kalau sampai mati, alangkah
baiknya jika mayatmu kuumpankan pada
hiu-hiu yang kelaparan itu!"
"Aku ingin pergi sekarang. Tolong
minggir, tuanmu mau lewat!"
"Cih sombong sekali kau. Kau
pasti ingin mencari Katai Muka Merah?"
Suro Blondo melengak terkejut.
"Kau... bagaimana kau tahu?" tanya Suro Blondo terheran-heran.
"Hi hi hi! Itu adalah persoalan
yang sangat mudah. Jika kau bermusuhan
dengan Katai Muka Mayat, berarti kau
bermusuhan pula dengan abangnya,"
jelas si Kerudung Putih.
Cuping hidung si pemuda langsung
kembang-kempis ketika mengendus bau
harum tubuh si gadis.
"Apakah kau tahu di mana kirakira Katai Muka Merah ini berada...?"
"Hmm... aku bukan mata-mata.
Katai Muka Merah adalah manusia anginanginan. Terkadang ia berada di timur,
barat, utara, atau selatan. Atau boleh
jadi dia berada di dasar lautan. Ia
tidak pernah menetap seperti Katai
Muka Mayat yang doyan perempuan itu.
Boleh jadi sekarang ini ia tinggal di
Muara Kali Condong di daerah Pasuruan
bersama muridnya nan cantik jelita.
Apakah kau mau ke sana?"
"Ha ha ha! Kebetulan sekali,
sekali jalan dua ekor biang penyakit
dapat kubekuk!" desis Suro Blondo.
"Siapakah yang kau maksudkan?"
tanya si Kerudung Putih terheranheran. Tatapan mata si gadis yang bening
memandang tajam pada Pendekar Blo'on.
Tatapan mata yang mengandung makna
begitu dalam. Sehingga membuat Suro
Blondo tidak kuat memandangnya
berlama-lama. "Menurut guruku, orang yang telah
membunuh kedua orang tuaku adalah
kedua manusia katai itu. Selain itu
masih ada satu lagi. Yaitu Kala Demit.
Dan menurut kabar yang kudengar pula.
Kala Demit tinggal di daerah Pasuruan
juga," jelas Pendekar Blo'on.
Suro Blondo tiba-tiba menghentikan ucapannya ketika melihat gadis
berkerudung putih memandang ke arah
lain. "Sakitkah kau?" tanya Pendekar
Blo'on. Si Kerudung Putih menggelengkan
kepalanya. "Banyak yang kupikirkan akhirakhir Ini," kata gadis cantik itu
kemudian. Ia tidak berani memandang pada
Pendekar Blo'on. Seperti ada sesuatu
yang meresahkan hatinya.
"Kalau boleh tahu, kurasa aku
bersedia menjadi pendengar yang baik
sebelum melanjutkan perjalanan."
"Aku tidak bisa mengatakannya."
"Kalau begitu tidak apa. Aku juga
tidak mau memaksa. Aku sendiri kalau
dipaksa juga tidak mau," tegas Suro
Blondo sambil menggaruk kepalanya.
"Se... sebenarnya entah mengapa
sejak pertama aku melihatmu tadi, aku
tidak sampai hati jika sampai terjadi
apa-apa denganmu. Kala Demit menurut
kabar yang kudengar punya kepandaian
segudang. Pukulan yang dimilikinya
juga dahsyat! Selama ini belum pernah
kulihat seorang pun yang
dapat mengalahkannya," jelas si Kerudung
Putih. "Ha ha ha...!" Suro Blondo
tertawa membahak. Kemudian seka
keningnya yang berkeringat. "Roh ayah dan ibuku tidak dapat tenang di alam
kubur sana jika aku tidak dapat
membalaskan kematian mereka. Aku tidak
perduli apakah Kala Demit atau Katai
Muka Merah punya kepandaian sebanyak
buih di lautan ataupun tujuh lapis
langit tembus. Sejak aku turun dari
Semeru, aku telah bertekad untuk
mencari mereka," tegas Pendekar
Blo'on. "Aku... sudah terlanjur simpati
dan ingin bersahabat denganmu."
"Aku suka bersahabat dengan siapa
saja, tapi jangan coba-coba mencampuri
urusanku!"
Si Kerudung Putih menganggukkan
kepala. "Aku sama sekali tidak bermaksud
mencampuri urusanmu," tegas gadis itu.
"Kalau begitu, maaf. Sekarang aku
harus pergi!"
Kerudung Putih tidak dapat berkata apa-apa, ketika Suro berlalu.
Namun... "Tunggu...!"
Suro Blondo tidak memperdulikan
teriakan gadis itu. Ia terus berlari.
Namun gadis Kerudung Putih terus
mengejarnya sehingga Pendekar Blo'on
terpaksa hentikan larinya dan memutar
badannya menghadap gadis itu kembali.
"Ada apa" Apakah kau ingin menjadi penunjuk jalan bagiku?"
"Eeh... kalau kau mau. Kau dapat
mempergunakan salah satu perahu yang
terdapat di bawah sana," kata si gadis dengan muka bersemu merah.
"Wah... sekarang kau baik sekali.
Terima kasih sekali," jawab Pendekar


Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Blo'on, "Apakah aku harus membayarnya?" Gadis Berkerudung Putih menggelengkan kepalanya pelan.
Benar saja, ketika pemuda
berambut hitam kemerahan ini sampai di
pinggir pantai bukit karang,
dilihatnya ada dua perahu berukuran
sama tertambat di situ.
"Dia begitu baik. Tapi aku tidak
tahu maksud baiknya. Siapa dia" Mudahmudahan saja ia bukan anak kuntilanak
atau penunggu teluk ini," bathin si
pemuda. Suro melepaskan salah
satu perahu. Dengan mempergunakan perahu
tersebut, Pendekar Blo'on menyeberangi
selat yang cukup lebar. Sementara
gadis Berkerudung Putih berdiri
mematung di tempatnya. Wajahnya yang
cantik berubah sendu. Sekarang ia
menjadi ragu apakah ia harus mengikuti
pemuda polos yang telah menyita
perhatiannya dalam satu hari ini atau
membiarkannya tewas di tangan Kala
Demit" Rasanya ia tidak sampai hati
melihat Suro Blondo tewas di tangan
tokoh sesat yang kabarnya punya
kepandaian tinggi tersebut. Padahal
menurut kabar, Kala Demit adalah tokoh
yang tidak ada duanya di kolong langit
ini. "Aku harus mencegahnya untuk
menghindari hal-hal yang tidak
diingini terjadi padanya," bathin si
Kerudung Putih.
Dewi Kerudung Putih kemudian
menuruni bukit karang. Tidak lama ia
telah mendayung perahunya menyusul
Pendekar Blo'on.
Sepanjang perjalanannya menuju
Pasuruan ia menjadi ragu-ragu. Entah
mengapa ia merasa suka pada pemuda
berambut kemerah-merahan ini. Padahal
selama ini ia merasa belum pernah
jatuh hati pada pemuda tampan mana
pun. Tetapi yang satu ini terasa lain
dari yang ada. Ia ingat betul ketika
mencuri pandang pada si pemuda.
Jantungnya berdetak lebih cepat,
hatinya gelisah tidak menentu. Tatapan
Pendekar Blo'on begitu polos dan
menggetarkan. Tidak biasanya si Kerudung Putih
yang biasanya dapat bersikap tegas itu
kini menjadi gadis yang seperti
kehilangan keberanian. Keragua-raguan
it uterus mengiringi perjalanannya
menuju ke Pasuruan.
*** Muara Kali Condong ternyata
sangat jauh lagi dari Pasuruan. Pemuda
baju biru muda ini merasa perlu
menangsal perutnya sebelum sampai ke
tempat tujuan. Tapi di sepanjang jalan
yang dilaluinya sangat jarang sekali
warung penjual makanan. Kalupun ada
itu pun sudah penuh sesak oleh
pengunjung. "Kalau begitu aku harus mencari
warung lain. Tapi... eh, sebaiknya aku
bertanya pada orang di depan itu.
Siapa tahu mereka dapat memberiku
petunjuk di mana kira-kira Kala Demit
berada." Setelah memikir sampai ke
situ akhirnya ia menemui seorang lakilaki yang kebetulan lewat di depannya.
"Ki... apakah Aki kenal dengan
Kala Demit?"
Si laki-laki miringkan wajahnya.
Telinga digerak-gerakkan. "Apa... di
sini memang daerah yang ramai. Kalau
mau jual atau beli ayam di ujung pasar
sana." Laki-laki itu berlalu. Pendekar Blo'on geleng-gelengkan kepala.
"Orang itu mungkin tuli. Orang
bertanya Kala Demit, dia malah bicara
soal ayam! Dasar edan...!" Si pemuda
menggerutu, lalu berjalan lagi. Tidak
lama ia bertemu lagi dengan seorang
pemuda. Pemuda itu bibirnya agak
sumbing. Suro Blondo lambaikan tangan
dan bertanya lagi: "Saudara... apakah saudara tahu di mana tempat tinggal
Kala Demit?"
Pemuda itu memandang ke arah Suro
Blondo, menelitinya sebentar sambil
berkata: "Hohala hertanya henhang Hala Hemit" Holang haik hihu hinggal hihak
hauh haii hini."
Mendengar jawaban si pemuda
sumbing Suro Blondo jadi garuk-garuk
kepala karena tidak mengerti.
"Apa sih maksudnya?"
Si pemuda sumbing jadi jengkel
melihat pemuda konyol di depannya.
Lalu ia rapatkan bibirnya yang
sumbing. Ia bicara dekat sekali dengan
telinga Suro Blondo. Dengan merapatkan
bibir suaranya semakin jelas.
"Saudara bertanya tentang Kala
Demit" Orang baik itu tinggal tidak
jauh dari sini, tolol!"
Pemuda sumbing segera berlalu.
Suro Blondo hampir-hampir tidak dapat
menahan tawanya. Karena perjelasan itu
dianggapnya kurang cukup, maka ia
menghampiri seseorang anak kecil yang
sedang bermain di halaman.
"Dik! Di mana ya Kala Demit
tinggal?" Bocah berusia sekitar sebelas
tahun itu memandang pada si pemuda,
lalu senyumnya mengembang.
"Dari sini abang terus
saja, setelah itu belok ke kiri, setelah ke
kiri terus belok ke kanan, lalu ke
kiri lagi, kemudian ke kanan. Sampai
di ujung jembatan bambu abang terus
saja, lalu belok ke kiri, lalu ke
kanan. Jika abang melihat patok-patok
kuburan, nah dari situ sudah terlihat
rumahnya."
Suro Blondo garuk-garuk rambutnya
yang tidak gatal. Kepalanya menjadi
pusing setelah mendengar keterangan si
bocah. "Sial betul! Di dunia ini namanya
belokan memang cuma ada dua. Kalau
tidak ke kiri ya ke kanan. Akh...
bodohnya aku. Mengapa kena dikerjai
oleh bocah ingusan?"
Suro menggerutu sendiri, tanpa
mau bertanya-tanya lagi. Akhirnya ia
memutuskan untuk menelusuri jalan
sebagaimana yang dikatakan oleh si
bocah. Langkahnya cepat, mulutnya
berkomat-kamit menghitung banyaknya
tikungan yang telah dilaluinya "Kirikanan. Hem, kiri lagi. Kiri-kanan.
Weleh-weleh banyak sekali tikungan di
sini. Berarti bocah itu tidak bohong,
ia jujur. Untungnya aku bertemu dengan
anak lugu. Hmm, sekarang kanan... ha
ha ha... kiri lagi... dan... kalau
tidak salah itulah jembatan bambu yang
dimaksudkannya. Tapi mengapa tidak
kulihat patok-patok kuburan" Janganjangan anak itu membohongiku. Ah...
bohong apa bukan ya... bukan apa
bohong ya... bukan bohong!" kata si
pemuda sambil berjingkrak ketika
melihat sebuah tempat pemakaman yang
luas terbentang di seberang jembatan
sungai. Suro Blondo bergegas menyeberang.
Tapi di depan mulut jembatan,
langkahnya tertahan ketika melihat
sebuah papan peringatan. Bertulis....
Sudi jembatan gila
Jika datang mengusung mayat,
berarti selamat
Jika tiba membawa niat baik,
berarti manusia cerdik
Andai datang membawa dendam dan
amarah berarti celaka...!
"Omong kosong!" Suro Blondo
tersenyum mencibir. "Pasti semua ini perbuatan Kala Demit. Betapa sok
tahunya manusia busuk yang satu itu.
Aku, Suro Blondo datang ingin menuntut
balas. Hei..... jembatan gila, sinting,
miring. Coba tunjukkan kebolehan
gilamu!" Baru selesai ia berucap, maka
pemuda ini mulai menyeberangi jembatan
bambu yang lebarnya tidak lebih dari
satu meter ini. Di bawahnya lebih
kurang sepuluh tombak sebuah jeram
berbatu dan deras airnya menanti
tubuhnya. Pendek kata tarpeleset
sedikit saja nyawa tidak akan tertolong. Dengan gerakan ringan Pendekar
Blo'on mulai menyeberang. Tapi entah
mengapa tiba-tiba saja jembatan tersebut bergetar. Getaran itu disertai
guncangan keras, hingga membuat si
pemuda nyaris terlempar dari atas
jembatan. "Benar! Sudi Jembatan edan... Ee,
bagaimana ini" Bambu-bambu ini terus
bergerak seperti ada yang mengayunnya,
Kalau begitu aku harus merangkak di
atasnya...."
Suro Blondo akhirnya terpaksa
merangkak dengan kedua kaki dan
tangannya. Sesekali ia harus berpelukan erat pada batang bambu untuk
menjaga keseimbangan tubuhnya.
Jika semula gerakannya lambat,
semakin lama dan semakin ke tengah
semakin dipercepatnya. Sampai akhirnya
ia benar benar sampai ke seberang
dengan selamat.
"Puuuuh...!" Si pemuda menghembuskan nafasnya dalam-dalam. "Jembatan gila si Sudi tidak bisa dianggap mainmain!" Pemuda berambut kemerahan bertampang tolol berwajah tampan ini
memandang ke sekelilingnya,
Di ujung tanah pemakaman itu ia
melihat sebuah rumah sederhana berdiri
tegak dengan tenangnya. Selain rumah
yang satu itu, memang tidak ada rumahrumah penduduk lainnya.
"Kala Demit memang manusia
cerdik. Ia memilih tempat tinggal
dekat kuburan agar aku tidak susahsusah menguburkannya!"
*** 8 Merasa tujuannya hampir sampai,
Suro Blondo mengayunkan langkahnya
lagi. Setelah melewati jalan setapak,
ia terpaksa mengambil jalan pintas
dengan melewati tengah-tengah kuburan.
Pada saat ia berjalan itulah,
Suro merasa ada sesuatu yang tidak
beres. Tanah yang dipijaknya bergerakgerak seperti hidup. Permukaan tanah
bergelombang. Ketika Pendekar Blo'on
menghentikan langkahnya, maka permukaan tanah yang ikut bergerak-gerak
tadi ikut berhenti pula.
"Acara edan apa lagi ini yang
dipersembahkan oleh Kala Demit" Aku
tidak yakin ada dedemit yang mengikuti
aku melalui bawah tanah. Atau memang
ada siluman yang dapat melakukannya?"


Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bathin Suro Blondo.
Ia memandang ke sekelilingnya
yang sepi, lalu memandang ke langit
yang sunyi Suro tiba-tiba merasa
berada dalam keterasingan waktu.
Dan hidup di dunia ini seperti
seorang diri. "Suro! Hati dan pikiranmu
sesungguhnya adalah satu. Jika kau
merasa hidup ini sepi. Sesungguhnya
itu hanya permainan dan suasana hati.
Lingkunganmu adalah duniamu. Kau hadir
di dunia ini bersama empat saudaramu.
Suatu saat kau kembali lagi pada Sang
Pencipta, juga sendiri. Jika kau
berada di kuburan, maka ingat-ingatlah
mati. Karena kematian itu pasti akan
datang pada setiap orang. Tidak
perduli apakah dia orang berpangkat,
hartawan, atau gembel sekali pun.
Tidak seorang pun yang dapat menundanunda kematiannya, walau barang
sedetik pun. Musuh yang paling hebat
datang dari diri sendiri, yaitu dari
hawa nafsumu. Kebanyakan manusia jadi
celaka dan tidak berguna karena
terlalu menuruti hawa nafsu!"
Wejangan-wejangan yang pernah
diberikan oleh gurunya kini seakan
mengiang kembali di dalam gendanggendang telinganya.
"Di sana kubur di sini kubur, di
tengah-tengah aku berdiri. Aku hanya
orang yang ingin berbakti pada orang
tua. Hawa amarahku tidak kelihatan,
namun Kala Demit harus kucari!" pikir Pendekar Blo'on.
Setelah menimbang baik buruknya,
Suro Blondo bermaksud
meneruskan langkahnya lagi. Namun langkah kakinya
terhenti seketika saat melihat ada
papan peringatan tidak jauh dari
tempat ia berdiri.
Saudara sampai di kuburan Mayat
Hidup Teruskan langkah berarti celaka!
Lupahanlah masa lalu, karena
setiap manusia,
Tidak pernah luput dari khilaf
dan dosa Lebih baik kita berdamai saja....
Suro tersenyum mencibir, lalu
pencongkan mulutnya. "Mana bisa! Kalau orang tuaku dapat hidup kembali dengan
hanya sejuta kata penyesalan dan maaf.
Tentu setiap orang sudi memberi maaf.
Hutang darah bayar darah, hutang pati
bayar pati. Hutang ubi harus dibayar
dengan talas. Hutang mati harus
dibalas. Kala Demit! Begini pengecutnyakah kau.... Tunjukanlah dirimu agar
kau dapat melihat bocah yang kau caricari dulu kini telah menyerahkan diri
datang sendiri!" teriak Pendekar
Blo'on. Sejenak adalah hening. Sepi
begitu menyentak, hingga setiap
tarikan nafas Suro Blondo terdengar
dengan jelas. Hingga sejauh itu tidak terdengar
suara apa-apa. Suro Blondo mulai
mencari-cari. Namun apa yang
diharapkannya tidak muncul-muncul juga
hingga membuatnya jadi kesal.
"Baiklah... kalau kau tidak mau
menemuiku. Aku akan menyeretmu keluar
dari pondok bututmu itu, Kala Demit!''
teriak si pemuda dengan suara lebih
lantang lagi. "Gleerrr...!"
Bukan jawaban yang didapatnya,
tapi suara menggemuruh yang disertai
retaknya permukaan tanah. Pada retakan
tanah itu terlihat gerakan aneh seakan
ada sebuah kekuatan yang meronta-ronta
dari dalamnya. Suro Blondo terkesiap. Memandang
berkeliling, pemandangan yang sama
terlihat dengan jelas. Lalu....
Diawali dengan suara ringkikan
panjang, maka menyembullah sosok
kepala dalam jumlah yang sangat
banyak. Lalu sosok tubuh menggeliat
keluar. Wajah mereka sangat menyeramkan,
karena wajah itu rusak dan berlendir.
Hidung sumplung, kedua mata membentuk
rongga besar. Tercium pula bau busuk
menusuk penciuman. Hingga membuat si
pemuda berjalan mundur sambil menahan
napas agar tidak muntah.
"Mayat hidup" Mungkinkah semua
ini perbuatan Kala Demit" Begitu
pengecutnya dia...!" desis Suro
Blondo. Tidak sampai sepemakan sirih,
pemuda berambut hitam kemerahan ini
telah dikepung dari segala penjuru
arah. "Edan...!"
"Groaaaakh...!"
"Crep! Craap!"
"Hiyaaa...!"
Suro lentingkan
tubuhnya. Hingga kedua kakinya yang
terpegang oleh mayat-mayat hidup dapat
terlepas. "Groaakh...!"
Baru saja Suro menjejakkan
kakinya di atas tanah, mayat-mayat
gentayangan ini telah menyergapnya
kembali. Begitu kompaknya serangan mereka,
sehingga membuat Suro jadi kerepotan.
Ia melompat lagi ke udara. Ia segera
mengerahkan jurus 'Kera Putih Memilah
Kutu' Tangan pemuda itu bergerak
dengan lincahnya, sementara kaki
terkadang menendang atau meliuk-liuk
menghindari sergapan lawan-lawannya
yang terdiri dari mayat-mayat yang
serba menjijikkan ini.
"Groakkk...!"
"Upts...!"
Begitu ganasnya serangan-serangan
mayat hidup ini hingga membuat Suro
Blondo semakin bertambah repot saja.
"Heyaa...!"
"Duk! Duk!"
"Gubrak!"
Suro Blondo jatuh tergulingguling. Belum sempat ia berdiri, kaki
mayat hidup yang berselumut lendir
menendangnya berulang-ulang. Hingga
membuatnya terhempas kian kemari.
"Sesuatu yang mengacaukan terkadang banyak menolong dirimu!"
Dalam keadaan muntah darah
seperti itu, Suro seperti mendengar
petuah kakek merangkap gurunya, yaitu
Malaikat Berambut Api.
"Hraa...!"
Pendekar Blo'on melompat menjauh.
Setelah berdiri sepenuhnya, tanpa
menghiraukan darah yang meleleh di
bibirnya, ia putar langkah, mulut
dimonyong-monyongkan, lalu gerakan
yang dilakukannya kemudian adalah
sesuatu yang sangat kacau. Inilah
jurus 'Kacau Balau'. Sebuah jurus
pamungkas kedua yang dilandasi dengan
gerakan aneh dan sangat kacau dan
jelas sangat bertentangan dengan
jurus-jurus silat.
Betapa tidak, terkadang tubuh si
pemuda terhuyung ke depan seperti
orang yang hendak terjengkang. Di lain
saat miring ke kiri, oleng ke kanan.
Kaki setengah diangkat seperti orang
yang terpeleset kulit pisang.
Namun betapa pun hebatnya serangan mayat-mayat hidup ini, tidak satu
pun serangan mereka mengenai sasaran.
Sebaliknya, begitu Suro melakukan
serangan balik dengan cara yang aneh
dan sulit diikuti kasat mata, maka
lawan-lawannya nampak berpelantingan
terkena jotosan maupun tendangan
kakinya. Melihat kawannya bergelimpangan,
maka yang lainnya menyerang dengan
kecepatan dan kekuatan berlipat ganda.
Sebaliknya mayat-mayat hidup yang
sempat terhempas ini bangkit pula
kembali. Sehingga tekanan serangan
lawan semakin bertambah berat saja.
"Gila...! Mayat-mayat ini
digerakkan oleh satu kekuatan. Aku
harus melepaskan pukulan 'Ratapan
Pembangkit Sukma'," desis Suro Blondo.
"Huup!"
Pemuda ini menarik tangannya yang
membentang lurus ke depan. Setelah itu
ia kerahkan tenaga dalam yang
dimilikinya. Sekejap kedua tangannya
bergetar, sedangkan sekujur tubuhnya
hanya dalam waktu singkat telah
dibasahi keringat.
"Hyaaa...!"
"Wuuk! Wuuk! Wuuk!"
Angin kencang disertai hawa
dingin menderu ke delapan penjuru
arah. Gelombang angin bercampur salju
putih ini kemudian menghantam mayatmayat gentayangan itu dengan telak.
"Bumm! Buum! Buum!"
"Groaaaakh...!"
Jerit menggidikkan terdengar.
Jasad rusak busuk mengerikan berpelantingan roboh. Mereka berubah beku,
tapi yang terhindar dari pukulan
dahsyat si pemuda, lepaskan pukulan
yang tidak kalah dahsyatnya dari
pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma'.
Kenyataan ini membuat Pendekar
Blo'on terkesiap. Dengan cepat ia
lepaskan pukulan yang sama lagi.
"Glar! Glaar!"
Ledakan-ledakan yang keras dan
memekakkan gendang telinga terdengar.
Pemakaman umum jadi porak poranda.
Suro Blondo jatuh terguling-guling.
Nyata kalau ia menderita luka dalam
yang cukup serius. Terbukti darah
mengalir tidak ada henti dari sudut
bibirnya. Ia langsung menelan dua butir pel
berwarna hitam. Tidak lama darah
terhenti. Terhuyung-huyung pemuda ini
bangkit berdiri.
Mulutnya peletat- peletot, suatu pertanda amarahnya
sudah sampai ke ubun-ubun.
"Jika aku tidak pergunakan senjata! Kurasa sebentar lagi jiwaku
melayang,"
bathinnya. Kemudian ia mencabut mandau di balik pakaiannya.
Lalu terdengar suara tawanya membahana. "Mandau Jantan! Jika benar kau penjelmaan dari seorang pertapa sakti
patah hati. Tunjukkanlah kehebatanmu!
Aku membunuh mayat hidup yang
menyalahi aturan. Tempat mereka adalah
di liang kubur! Hiyaaa...!"
"Hiiiii...!"


Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu mandau jantan di tangan
Suro Blondo berkiblat. Maka empat
lubang miring yang terdapat di tengahtengah mandau tersebut mengeluarkan
suara jeritan tangis.
Sinar hitam menderu-deru disertai
bersiurnya udara dingin luar biasa.
Laksana kilat senjata maut ini
menerabas. "Crass! Tas! Ctas! Ctaas!"
"Grooook...!"
Mayat-mayat hidup itu pun
berpelantingan terkena tebasan senjata
milik Pendekar Blo'on.
Di luar sepengetahuan si pemuda.
Kiranya ada sepasang mata indah dan
bening memperhatikan sepak terjangnya.
Ia sempat mengkirik ketika melihat
senjata di tangan pemuda itu membuat
mayat-mayat hidup yang tentunya telah
dibangkitkan oleh Kala Demit menjadi
tidak berarti sama sekali.
Tapi lama kelamaan ia tidak tega
juga melihat pemuda ini mengamuk
membabi buta. Sebab ia tahu persis
bahwa mayat-mayat itu tidak mungkin
dihentikan meskipun mereka
telah kehilangan kepala, tangan maupun
kakinya. Tidak lama kemudian ia pun keluar
dari tempat persembunyiannya.
"Rebah...!"
Terdengar suara teriakan gadis
berkerudung putih ini. Maka tanpa
disangka-sangka oleh Suro Blondo,
mayat-mayat yang menyerang Pendekar
Blo'on pun berjatuhan dan kembali ke
asalnya. Jasad mereka dalam waktu singkat
telah berubah membusuk. Suro terkesiap. Ia memandang ke arah datangnya
suara. "Kau...! Rupanya kau mengikuti
aku, Kerudung Putih!" dengus Suro
Blondo. "Pasti semua ini adalah
permainanmu!"
"Justru kau salah! Aku hanya tahu
bagaimana caranya menjatuhkan mereka,
bukan membangkitkannya," bantah si
gadis tegas. "Lalu apa tujuanmu mengikuti aku
kemari?" "Aku hanya mengkhawatirkan keselamatanmu" jawab Dewi Kerudung Putih
dengan malu-malu.
Suro merasa serba salah.
"Kau tidak punya sangkut paut
apa-apa denganku. Jika aku mati engkau
pun tidak akan rugi."
"Tetapi aku tidak mau melihat kau
mati," "Kalau begitu coba kau katakan di
mana Kala Demit dan Katai Muka Merah!
Aku tidak melihat dia ada di rumah
itu," ujar si pemuda.
"Aku tidak mampu memastikannya.
Mungkin beliau sedang melakukan
perjalanan ke Madura. Biasanya sangat
lama dan entah kapan dia pulang ke
sini lagi!"
Kening Suro berkerut tajam. "Kau
ada hubungan apa dengan Kala Demit?"
Dewi Kerudung Putih menggelengkan
kepala. "Mengapa waktu itu kau
menghalangi aku?" tanya Pendekar
Blo'on tanpa berani memandang ke mata
si gadis yang menyimpan seribu macam
teka-teki itu. Dewi Kerudung Putih tampaknya
ingin mengatakan sesuatu. Tetapi
bibirnya seperti terkunci. Hanya
tatapan matanya yang terasa begitu
aneh, bahkan kemudian wajah gadis
berkulit bersih dengan bulu-bulu halus
di pipinya tampak kemerah-merahan.
"Engkau tidak mengerti bagaimana
perasaanku saat pertama kali melihatmu
di teluk," jerit Dewi Kerudung Putih.
Selanjutnya tanpa bicara apa-apa
lagi ia segera berkelebat pergi.
Begitu cepat gerakannya, sehingga
dalam waktu singkat Dewi Kerudung
Putih telah lenyap dari pandangan mata
si pemuda. "Dia begitu aneh, tatapan matanya
juga aneh. Matanya terasa lembut
bening dan sejuk. Dan caranya
memandang yang malu-malu. Sepertinya
ia kagum padaku. Ah... ada-ada saja,"
dengus Pendekar Blo'on seraya kemudian
geleng-geleng kepala.
Ia merasa pikirannya menjadi kalut. Kala Demit
adalah musuh besarnya, demikian juga
dengan Katai Muka Merah. Tetapi gadis
yang berjuluk Dewi Kerudung Putih itu
mengapa selalu membayangi dan
mengkhawatirkan keselamatannya"
"Jika seorang gadis menaruh
perhatian besar padamu. Bisa jadi ia
sedang jatuh cinta."
Kata-kata yang pernah diucapkan
oleh Penghulu Siluman Kera Putih
seakan mengiang kembali di telinganya.
Suro tersenyum masam. Dua gadis
cantik paling tidak telah menyita
perhatian dan waktunya. Walau itu
hanya sedikit. Yang satu agak terbuka. Sedangkan
yang satunya lagi sangat misterius.
Pemuda bertampang ketolol-tololan seka
keringat di wajahnya, sambil
menggeleng-gelengkan kepala ia melangkah pergi. Suro Blondo sama sekali tidak
menyadari bahwa sejak meninggalkan
teluk di pantai laut Selatan, ada
bayangan-bayangan lain yang terus
mengikutinya dari tempat yang cukup
aman. Gerakan bayangan-bayangan tersebut sangat cepat seperti setan.
Terkadang mereka mengikuti dari jarak
yang sangat dekat. Tetapi tidak jarang
bayangan-bayangan itu menghilang,
kemudian muncul bayangan baru menggantikan posisi yang pertama.
"Bagaimana pun aku harus pergi ke
Madura. Kurasa gadis kerudung putih
tidak berdusta. Ha ha ha...! Kuda
budek sapi nungging. Ke mana pun
kalian bersembunyi aku tetap akan
mengejar kalian!" seru Pendekar Blo'on seperti orang sinting.
9 Laki-laki itu berbadan tegap
tinggi, perutnya bundar, kulit hitam
seperti arang. Wajahnya angker dan
tampak ditumbuhi cambang serta jenggot
lebar berwarna putih. Rambutnya yang
jarang juga tampak telah memutih. Bila
tersenyum giginya yang cuma tinggal
beberapa buah terlihat jelas. Gigigigi itu berwarna hitam.
Di dalam ruangan sempit bangunan
batu, ia tampak mondar-mandir seperti
ada sesuatu yang sangat mengusik
pikirannya. Mulutnya tidak henti-henti
mengunyah. Ketika ia meludah, maka
ludahnya tampak berwarna merah.
Di Rimba persilatan kakek tua
yang suka makan sirih ini dikenal
dengan julukan 'Datuk Hitam Gadang
Dibumi'. Beberapa tahun yang lalu ia
baru saja meninggalkan tanah Andalas.
Kejahatannya yang menggunung membuat
ia dimusuhi oleh tokoh-tokoh
persilatan tanah Andalas. Ia bukan
saja tokoh hitam sesat yang selalu
membuat onar dan beberapa kali
melakukan pemberontakan tarhadap Rajo
Mangku Alam. Tetapi perbuatannya yang
selalu menculik gadis-gadis demi
kesempurnaan ilmunya telah membuat
penduduk di tanah barat menjadi
khawatir sekaligus murka.
Rajo Mangku Alam bahkan
menyediakan dua kantung emas bagi yang
dapat manangkap Datuk Hitam Gadang
Dibumi hidup atau mati. Tidak heran
jika akhirnya ia meninggalkan tanah
Andalas dan kini gantayangan di tanah
Jawa. Satu hal yang menguntungkannya.
Di tanah Jawa ini ia mempunyai dua
orang sahabat baik. Katai Muka Mayat
dan Katai Muka Merah adalah kawankawan yang bersedia memberi tumpangan
hidup dengan segala fasilitasnya.
Walaupun begitu, kebiasaan Datuk Hitam
Gadang Dibumi dalam menculik anak-anak
perawan terus berlanjut. Apalagi
mengingat sekarang di tanah Jawa ini
ia mempunyai anak buah yang selalu
patuh menjalankan perintahnya.
Kini ia menjadi sangat resah,
karena sudah dua hari anak buahnya
yang bernama Lohgender atau yang lebih
dikenal dengan julukan Setan Merah
Mata Jereng belum juga kembali dari
perjalanannya. Padahal keinginannya
untuk mencicipi kehangatan tubuh
wanita sudah semakin menggebu-gebu.
"Setan alas. Menunggu... menunggu
dan terus begitu sepanjang hari. Lama
kelamaan membuat aku bosan. Setan
Merah Mata Jereng, kalau sampai tidak
mendapatkan gadis malam ini, hukumanmu
akan semakin bertambah berat...!"
geram si Datuk sambil membantingbantingkan kakinya. Bangunan batu kali
bergetar hebat ketika kaki Datuk Hitam
Gadang Dibumi menghantam lantai batu.
Tanpa menghiraukan getaran yang
terjadi, laki-laki bertelanjang dada
itu berjalan mondar-mandir mengitari
ruangan. Tetapi langkahnya terhenti
dengan tiba-tiba. Rupanya ia mendengar
sesuatu yang mencurigakan di luar
sana. Setelah menunggu beberapa saat
lamanya, kemudian terdengar suara
ketukan pada daun pintu yang sudah
tua. "Trotok! Tok! Tok!"
"Siapa?" bentak Datuk Hitam
Gadang Dibumi. "Aku yang datang Datuk. Harap
membuka pintu, santapan yang kubawa
ini kurasa sangat sesuai dengan
seleramu!" terdengar sebuah jawaban.
Suara orang di luar serak, seakan
ada kodok di dalam tenggorokannya.
Kakek berambut putih bertampang
bengis segera menghampiri
pintu. Setelah pintu dibuka maka di depan
pintu tersebut berdiri seorang lakilaki bermuka merah, sedangkan matanya
yang menjorok ke dalam rongga tampak
jereng. Di bahu laki-laki berumur
sekitar lima puluh tahun tersebut
tersampir tubuh seorang wanita.
Melihat keadaannya yang lemah lunglai,


Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampaknya gadis memakai kain kebaya
itu dalam keadaan tertotok baik urat
gerak maupun suaranya.
"Bawa ke kamarku!" perintah Datuk Hitam Gadang Dibumi sambil leletkan
lidah basahi bibir.
Laki-laki muka merah segera
melakukan perintah atasannya. Setelah
meletakkan tubuh gadis malang tersebut
di atas tempat tidur yang terbuat dari
batu pula, maka Setan Merah Mata
Jereng keluar kembali. Ia duduk di
ruangan depan sambil mengeluarkan
sebuah bumbung kecil berwarna hitam
dari balik pakaiannya. Isi bambu
diintipnya, sehingga terlihat sepasang
Yuyu (sejenis kepiting kecil air
tawar). Yuyu-yuyu itu dikeluarkannya.
"Apa itu?" tanya Datuk Hitam
Gadang Dibumi. "Sepasang Yuyu, Datuk!" sahut
Setan Merah Mata Jereng ketakutan dan
tampak berusaha melindungi binatang
mainannya. "Aku bosan melihat yuyumu.
Rupanya kutugaskan selama dua hari kau
mencari yuyu dulu baru kemudian
mencari gadis yang aku inginkan"!"
"Tidak Datuk! Kutemukan mainan
kesayanganku ini di tengah jalan."
"Bagaimana kalau yuyumu kubunuh?"
Setan Merah Mata Jereng terkesiap. Dua hari yang lalu Datuk itu
juga membunuh yuyu-yuyu
miliknya. Padahal mainan itu sangat ia senangi
dunia akhirat. "Jangan... kumohon Datuk jangan
membunuhnya. Yuyu ini adalah belahan
hatiku. Jika Datuk membunuhnya, oh...
aku bisa sangat sedih sekali!" ucap
Setan Merah Mata Jereng.
"Baiklah, aku tidak akan membuatmu kecewa. Tetapi kuharap selama
aku bersenang-senang, kau main di luar
sana!" "Bbb... baik, Datuk. Terima kasih
karena kau tidak menyakiti binatang
kesayanganku!" ucap si laki-laki muka merah. Setelah itu Setan Merah Muka
Jereng segera meninggalkan ruangan
tersebut. Datuk Hitam Gadang Dibumi
tersenyum sinis, lalu ia melangkah
menuju kamarnya.
Sebentar saja Datuk Hitam Gadang
Dibumi telah berada di dalam kamarnya
sendiri. Matanya yang bengis memandang
tajam pada calon korbannya.
"Tubuh ramping, dada padat dan
pinggulmu! Ha ha ha...!" Si Datuk tertawa membahak. Sejenak ia terdiam,
tangannya dangan liar meraba-raba dada
si gadis yang terasa padat
dan kenyal. Gadis malang tersebut tentu
saja tidak dapat mencegah kekurang
ajaran si Datuk apalagi berteriak,
karena sekujur tubuhnya dalam keadaan
tertotok. "Tidak perlu merasa takut Sayang.
Kita akan bersenang-senang. Aku akan
memberimu sebuah pengalaman yang belum
pernah kau dapatkan selama ini!" kata laki-laki tua itu.
Kemudian Datuk Hitam Gadang
Dibumi duduk di samping gadis itu. Ia
mendaratkan ciuman bertubi-tubi di
bibir si gadis. Gadis malang berkulit
kuning langsat tersebut tampak
menitikkan air mata. Wajahnya berubah
pucat ketakutan.
Datuk Hitam Gadang Dibumi sama
sekali tidak menghiraukan semua ini.
Malah sekarang ciumannya turun ke
bagian leher si gadis yang jenjang.
Lalu secara kasar....
"Bret! Bret!"
Jemari tangannya yang kokoh
mencabik habis pakaian yang membalut
tubuh gadis itu. Sehingga gadis malang
tadi sekarang sudah tidak berpenutup
sama sekali. Mata sang Datuk berubah jalang
macam singa kelaparan. Tangannya
Bemakin kurang ajar Baja. Menggerayang
dan meremas-remas dada si gadis dengan
kasar. Tidak berselang beberapa lama
bahkan tangannya meluncur ke bawah
perut dan bermain-main di sana.
Air mata gadis itu semakin deras
menetes. Sementara Datuk Gadang Dibumi
mulai melepaskan pakaiannya sendiri.
Sebentar saja ia telah berada di atas
tubuh si gadis. Kemudian ia melakukan
gerakan-gerakan yang teratur. Gadis
tersebut menyeringai kesakitan ketika
kejantanan Datuk Hitam Gadang Dibumi
memasuki dirinya dengan paksa.
Gerakan laki-laki tua itu semakin
lama semakin menggila, menghempashempas dengan hebatnya. Hingga akhirnya tubuh tuanya melengkung disertai
teriakan lirih penuh kenikmatan.
Kemudian ia terkapar dengan senyum
puas mengambang di bibirnya.
Tidak terbayangkan betapa hebatnya penderitaan si gadis. Hatinya
jelas-jelas terguncang. Andaikan saja
dia tidak dalam keadaan tertotok dapat
dipastikan gadis itu telah membunuh
diri. "Ha ha ha...! Hebat... kau gadis
yang masih suci! Karena itu aku mengampuni jiwamu. Jika saja kau sudah
tidak asli lagi. Tentu kau sudah
kubunuh...!" ucap Datuk Hitam Gadang Dibumi sambil mengenakan pakaiannya
kembali. "Tok! Tok! Tok!"
Baru saja sang Datuk selesai
berpakaian, pintu sudah ada yang
mengetuknya. "Bangsat apa lagi yang berani
mengganggu ketenanganku!" dengusnya
geram. Kemudian ia menghampiri pintu dan
membukanya. Ia menjadi jengkel, karena
yang mengetuk pintu tidak lain adalah
Setan Merah Mata Jereng.
"Ada apa lagi" Apakah kau tidak
tahu bagaimana kebiasaanku?" bentak si tua bengis marah.
"Maaf, Datuk. Di luar ada orang
terluka parah ingin bertemu denganmu!"
lapor Setan Merah Mata Jereng
ketakutan. "Kalau sudah terluka parah
biarkan saja mampus. Bukankah kau juga
bisa mempercepat kematiannya?"
"Tet... tetapi ia mengaku sebagai
kawan Datuk sendiri," ujar Si Jereng.
Kemudian ia menjelaskan ciri-ciri
orang yang dilihatnya. Wajah sang
Datuk seketika berubah.
Tanpa bicara apa-apa ia segera
bergegas keluar dari dalam bangunan
tersebut. Ternyata di depan pintu
tampak seorang laki-laki bermuka pucat
seperti kain kafan dalam keadaan
lemah. Di tubuh laki-laki bertubuh
pendek ini terdapat beberapa luka yang
sudah mulai membusuk.
"Katai Muka Mayat, sahabatku...?"
seru Datuk Hitam Gadang Dibumi dengan
terkejut. Ia segera memapah sahabatnya itu
untuk dibawa masuk ke dalam. Setelah
berada di dalam ruangan, maka Setan
Merah Mata Jereng merebahkannya di
atas tempat tidur sederhana terbuat
dari marmar. "Apa yang terjadi denganmu?"
tanya kakek berbadan tinggi jangkung
berkulit gelap ingin tahu.
"Akkh... seseorang. Bocah ajaib
itu memukulku dengan pukulan yang
sungguh dahsyat. Ia datang untuk
menuntut balas atas kematian orang
tuanya dua puluh tahun yang lalu,"
jelas Katai Muka Mayat.
"Siapa?" desak sang Datuk.
Sementara itu Setan Merah Mata
Jereng telah kembali lagi menemui
ketuanya dengan membawa obat-obatan
yang dibutuhkan.
"Waktu peristiwa menggemparkan
terjadi, kau mungkin belum berada di
sini..." ujar
laki-laki berbadan
kerdil itu. Kemudian sacara singkat ia
menceritakan segala sesuatunya di masa
silam dengan jelas.
"Hmm, geger bayi ajaib yang
terlahir pada malam satu Asyuro itu
ketika berada di Andalas aku memang
pernah mendengar. Tapi kala itu aku
hanya menganggapnya hanya
sebagai kabar burung. Ternyata pemuda itu
benar-benar ada"!" dengus Datuk Hitam Gadang Dibumi. "Rupanya tempat
tinggalmu di pantai Selatan telah
diketahuiuya" Kalau begitu alangkah
lebih baik jika kau tinggal di sini
bersama aku. Kita mempunyai kesenangan
yang sama. Kurasa kita mempunyai
kecocokan satu sama lain."
"Aku hanya akan membuat kau
repot. Kurasa jika luka dalam ini
telah sembuh, mungkin aku akan segera
kembali ke teluk lagi. Saat ini kurasa
pemuda itu mengira aku sudah mati.
Karena waktu itu aku terlempar ke
laut...!" "Sobatku, Katai. Aku bisa sampai
ke tanah Jawa ini karena jasa baikmu
dan juga saudara seperguruanmu. Apa
salahnya jika sebagai sahabat kita
saling tolong menolong?" ujar Datuk
Hitam Gadang Dibumi serius.
"Kutekankan padamu, aku tidak
ingin menyusahkan engkau. Lagipula
jika bocah ajaib itu sampai tahu aku
berada di sini, maka aku tidak dapat
menyangkal dia juga akan memusuhimu!"
kata Katai Muka Mayat khawatir.
"Ha ha ha...! Apakah bocah itu
begitu hebat di matamu, sehingga
engkau menjadi takut" Aku juga jelas
tidak berpangku tangan, jika dia
datang tentu dia menjadi bagianku!"
Datuk Hitam Gadang Dibumi
selanjutnya memerintahkan Setan Merah
Mata Jereng untuk tetap berjaga-jaga
di depan. Katai Muka Mayat sendiri
menyadari kali ini luka-luka yang
dideritanya cukup parah. Bahkan ia
telah berusaha menyembuhkan luka
dalamnya. Namun sampai sejauh itu
tidak juga berhasil.
"Baiklah kuterima tawaranmu itu."
Katai Muka Mayat akhirnya memberi
keputusan. Datuk Hitam Gadang Dibumi tentu
saja merasa senang mendengarnya.
10 Hampir sepekan pemuda berambut
hitam kemerah-merahan ini melakukan
perjalanan. Tetapi perjalanannya ke
Madura tidak membuahkan hasil apa-apa.
Katai Muka Merah seakan hilang raib
ditelan bumi. Semua ini membuat


Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya menjadi penasaran. Mungkinkah
Katai Muka Merah pergi ke tempat lain,
atau Dewi Kerudung Putih sengaja
berbohong padanya. Namun kalau
dipikirkan lagi apa untungnya"
Dengan kecewa akhirnya Suro
kembali ke tanah Jawa. Di sepanjang
perjalanan ia tidak henti-hentinya
menggerutu. "Dia berani membohongi aku. Kalau
ketemu lagi akan kupotong lidahnya.
Oh, bukan hanya lidahnya saja, tapi
tangan dan kaki juga harus
kupotong...!" pikir Pendekar Blo'on
sambil garuk-garuk kepala.
Kini ia memasuki sebuah daerah
yang sangat tandus di mana tidak
terdapat rumah-rumah penduduk di situ.
Dalam suasana panas terik seperti itu
ia terus mengayunkan langkahnya. Tidak
sampai sepemakan sirih si
pemuda berjalan, tiba-tiba saja langkahnya
terhenti. "Bau busuk ini, seperti bau bangkai manusia," kata Suro.
Ia kemudian mengendus-endus,
sehingga hidungnya kembang kempis
seperti binatang buas yang sedang
mengintai mangsanya.
"Bau ini datangnya dari arah
selatan. Hmm, betul dari arah sini!"
Suro mengikuti sumber bau tersebut.
Hingga kemudian terlihatlah olehnya
sebuah pemandangan yang sungguh
menyedihkan. Banyak mayat-mayat bergeletakan di situ, mereka semuanya
terdiri dari para wanita dan tidak
mengenakan pakaian sama sekali. Mayatmayat tersebut di antaranya telah
menjadi tulang belulang. Tapi ada juga
yang masih kelihatan baru.
"Mereka kelihatannya bukan mati
secara wajar. Pasti seseorang telah
memperkosanya. Kemudian setelah tidak
dibutuhkan dibunuh
dengan cara mencekiknya. Dunia ini benar-benar
sudah edan... keterlaluan...!" geram si pemuda
Kemudian ia memperhatikan keadaan
di sekelilingnya. Ia menjadi hean.
Para wanita itu didatangkan dari mana"
Pendekar Blo'on kembali mengedarkan
matanya. Dan tiba-tiba
saja ia tersenyum sinis ketika melihat sebuah
bangunan batu tampak bertengger di
lereng bukit. "Kurasa iblis bercokol di dalam
bangunan itu, aku harus melihatnya.
Barangkali Katai Muka Merah bersembunyi di sana."
Memikir sampai ke situ, Suro
akhirnya bergegas menghampiri bangunan
batu yang jaraknya hanya sekitar tujuh
puluh lima batang tombak dari tempat
dia berada. Setelah dekat dengan bangunan
tersebut, Pendekar Blo'on menghentikan
langkahnya dengan tiba-tiba. Dadanya
menjadi sesak, di depan bangunan Suro
Blondo melihat ada seorang laki-laki
bermuka merah. Semula ia menyangka
laki-laki itu adalah musuh besar yang
tengah dicari-carinya. Namun setelah
melihat bahwa orang itu berbadan
tinggi semampai, maka ia menjadi ragu,
walau begitu ia tetap mengayunkan
langkahnya mendekati.
"Hei... kau berhenti di situ...!"
teriak laki-laki bermuka merah pada
Pendekar Blo'on.
Orang yang membentak tadi sejenak
tampak sibuk memasukkan sesuatu ke
dalam bumbung bambu kecil. Selanjutnya
dengan tergesa-gesa segera mendatangi.
"Kau siapa?" tanya si muka merah curiga.
"Kau sendiri siapa" Apakah kau
yang berjuluk Katai Muka Merah?"
bentak Suro Blondo.
"Bukan. Aku Setan Merah Mata
Jereng. Cobalah kau lihat mataku,
benar-benar juling, bukan?"
Suro sebenarnya merasa geli juga
melihat cara laki-laki di depannya
bicara seperti orang melawak. Namun
karena urusannya sangat mendesak, maka
ia langsung bicara pada titik
persoalan. "Siapa yang bersembunyi di dalam
rumah itu?"
"Perlu apa kau tanya?" dengus
Setan Merah Mata Jereng ketus.
"Aku mencari seseorang berbadan
pendek. Namanya Katai Muka Merah. Aku
rasa dia bersembunyi di dalam bangunan
itu, makanya aku harus masuk ke sana!"
tegas Suro Blondo.
"Kau boleh masuk, tetapi setelah
meninggalkan kepalamu di sini!" sahut Setan Merah Mata Jereng.
Tanpa basa-basi lagi laki-laki
berkulit kemerah-merahan ini langsung
bersiap siaga membangun serangan.
Namun sebelum tubuhnya melesat kea rah
Suro, terdengar suara bentakan dari
aah bangunan...
"Tunggu dulu...!!"
Gerakan Setan Merah Mata Jereng
berhenti seketika. Dari depan pintu
tampak sebuah bayangan berkelebat.
Hanya dalam waktu sekejap saja di
depan Pendekar Blo'on telah berdiri
seorang laki-laki bertelanjang baju
Laki-laki tua tersebut berwajah
angker. Tatapan matanya seolah-olah
ingin menembus batok kepala Suro
Blondo. "Siapa kau?" dengus laki-laki
berkulit gelap tidak ramah.
"Aku Suro Blondo!"
"Hmm, kau si bocah ajaib dari
gunung lliomo" Ha ha ha...! Tampangmu
yang ketolol-tololan membuat kau tidak
pantas menyandang gelar si bocah
ajaib. Dan kau rupanya yang telah
membuat sahabatku Katai Muka Mayat
terluka parah"!"
Pendekar Blo'on terkejut sekali
mendengar ucapan orang berkulit hitam
tersebut. Semula ia menyangka Katai Muka
Mayat yang tercebur ke dalam laut itu telah binasa.
"Huh, rupanya bangsat pendek itu
masih hidup. Dan tentunya sekarang
berada dalam lindunganmu.
Kuperintahkan padamu agar
segera menyerahkan setan yang telah membunuh
orang tuaku. Kalau tidak kau akan
menyesal!" tegas Suro Blondo sengit.
"Ha ha ha...! Kepada orang lain
kau mungkin bisa main gertak. Tapi
sekarang kau berhadapan dengan Datuk
Hitam Gadang Dibumi! Dan perlu kau
tahu, Katai Muka Mayat dan Katai Muka
Merah adalah sahabatku. Jika kau
mengusiknya walau seujung rambut pun
maka nyawamu tidak ada yang menjamin
keselamatannya," tegas si kakek.
"Lagak bicaramu seperti Malaikat
pencabut nyawa. Kau melindungi musuh
besarku. Maka kau
rasakanlah akibatnya!" teriak Suro Blondo.
Tanpa basa-basi lagi Suro
langsung menerjang Datuk Hitam Gadang
Dibumi. Tetapi gerakannya itu segera
dihalang-halangi oleh Setan Merah Mata
Juling. Akibatnya laki-laki bermata
jereng inilah yang menjadi sasaran
serangan Pendekar Blo'on.
Anak buah Datuk Hitam Gadang
Dibumi ternyata mempunyai kepandaian
yang sangat mengagumkan. Ia langsung
berkelit ke samping
kiri ketika melihat serangan lawan menghantam
mukanya. Setelah itu tanpa terdugaduga pula ia melancarkan serangan
balik dengan melepaskan tendangan ke
selangkangan lawan.
Pendekar Blo'on langsung melompat
mundur sambil menepiskan tangannya ke
bagian kaki kanan. Benturan tenaga
dalam tidak dapat dihindari.
"Duuk!"
"Heh...!"
Pendekar Blo'on dan Setan Mata
Jereng sama-sama terkejut. Pemuda
memakai ikat kepala berwarna biru
belang-belang kuning ini kemudian
mengerahkan jurus 'Kera Putih Memilah
Kutu'. Setelah itu ia kembali
menerjang lawannya.
Gerakan Suro yang tampak kacau
seperti seekor monyet yang sedang
menggaruk-garuk kepalanya ini benarbenar membuat repot lawannya. Apalagi
terkadang dalam keadaan berjongkok ia
masih dapat melepaskan serangan- serangan yang cukup berbahaya.
"Huup...!"
Setan Merah Mata Jereng tiba-tiba
saja melompat ke udara. Ia segera
mengerahkan jurus 'Menari Di Dalam
Bayang-Bayang'. Jurus ini adalah salah
satu jurus andalan yang dimiliki oleh
Setan Merah MataJereng.
Hanya beberapa saat saja
setelah ia mempergunakan jurus
andalannya ini, maka tiba-tiba tubuhnya lenyap hanya tinggal bayang-bayang
saja. Suro terkesiap. Seranganserangan lawannya membuat setiap
gerakan pemuda itu seperti menemui
jalan buntu. Apalagi mengingat serangan Si Jereng cepatnya bukan main.
Suro Blondo serta merta melompat
ke samping. Namun pada waktu bersamaan
lawannya melepaskan tendangan beruntun
ke bagian perut. Tampaknya walau telah
berusaha menghindar serangan lawan
datang begitu cepat. Sehingga....
"Buuk!"
Tanpa ampun lagi, Pendekar Blo'on
jatuh terjengkang. Tampak jelas darah
menetes dari sudut-sudut bibirnya.
Pemuda itu kemudian bangkit kembali.
Melihat Setan Merah Mata Jereng terus
menyerangnya, maka si pemuda segera
mengerahkan jurus 'Serigala Melolong
Kera Sakti Kipaskan Ekor'.
Detik-detik selanjutnya gerakan
si pemuda tampak lebih cepat. Langkah
kakinya tidak beraturan, terkadang
tubuhnya meliuk-liuk, atau melompat ke
samping kanan dan ke kiri. Di lain
waktu sambil mengeluarkan suara
lolongan panjang, kaki kirinya
menghantam lawannya.


Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setan Merah Mata Jereng tampaknya
menjadi gugup. Tendangan kaki Suro
yang keras dan mengandung tenaga dalam
tinggi membuat orang ini jatuh terpelanting. Ada
benjolan besar akibat tendangan itu. Namun ia segera
bangkit berdiri dan secara tidak
terduga-duga ia mengibaskan kedua
tangannya ke arah Suro.
"Wuut!"
Sakejap saja tampak seleret sinar
meluncur deras ke arah si pemuda. Dan
sebelum serangan yang menebar hawa
panas itu menghantam tubuhnya, maka
Suro melepaskan pukulan 'Kera Putih
Menolak Petir'. Segulung sinar putih
menderu ke arah lesatan sinar yang
keluar dari telapak tangan lawannya.
Udara di sekitar tempat itu tiba-tiba
saja berubah menjadi panas luar biasa.
Setelah itu benturan keras tidak dapat
dihindari lagi....
"Glaar!"
"Aaakh...!"
Setan Merah Mata Jereng memekik
keras. Tubuhnya terlempar cukup jauh.
Sedangkan Suro Blondo tampak tergetar
saja, meskipun luka dalam yang
dideritanya cukup berbahaya juga.
Hebatnya lawan sudah bangkit
kembali. Kali ini ia segera melepaskan
pukulan 'Bayang Bayang Setan'.
Begitu tangannya berkiblat, maka
angin kencang bergulung-gulung menyerang Suro. Pemuda yang telah
mempersiapkan tenaga dalam ke bagian
telapak tangan ini tidak mau menunggu
lebih lama. '"Matahari Rembulan Tidak Bersinar'! Heaaa...!" teriak Suro.
Laksana kilat tangannya didorongkan ke depan. Maka untuk yang
kedua kalinya terjadi benturan yang
sangat dahsyat.
"Buuum!"
Tanah terguncang keras. Setan
Merah Mata Jereng terkapar di atas
batu. Sedangkan kaki Suro melesat
sedalam tumit. Ketika pemuda itu
mencoba menarik kakinya yang sempat
terbenam di dalam tanah, maka pada
saat itulah Datuk Hitam Gadang Dibumi
membokongnya dari belakang. Suro
berusaha menghindari bokongan tersebut. Tetapi kaki kanannya susah
dicabut dari himpitan tanah. Sehingga
tidak dapat dihindari lagi...
"Duuk!"
"Aaakh...!"
Jeritan keras disertai
menyemburnya darah dari mulut Suro
Blondo yang terbuka. Tubuhnya
tersungkur, jelas sekali kalau pemuda
ini menderita luka dalam yang
cukup serius. "Ha ha ha...! Cuma segitukah
kehebatanmu, bocah gila"'' desis Datuk Hitam Gadang Dibumi sambil bertolak
pinggang Suro masih sempat mendengar semua
itu. Kecurangan yang dilakukan oleh
lawannya benar-benar membuatnya marah.
Secara diam-diam ia mempersiapkan
pukulan 'Neraka Hari Terakhir'. Akibat
pengerahan tenaga dalam ini tentu
membuat Suro menjadi semakin tersiksa.
Tetapi dia sudah tidak perduli lagi.
Ketika Datuk Hitam Gadang
Dibumi menghampirinya. Di saat itu laksana
kilat ia berbalik sambil menghantamkan
pukulan ke arah lawannya. Semula Datuk
Hitam Gadang Dibumi yang menyangka
bahwa lawan masih dapat bertahan.
Lebih tidak menduga lagi pemuda itu
mampu melepaskan pukulan dahsyat ke
arahnya. Karena jarak di antara mereka
teramat dekat, maka Datuk Hitam Gadang
Dibumi tidak sempat menghindar lagi.
Pukulan yang mengandung hawa
panas menghanguskan itu pun menghantam
tubuhnya. "Buummm!"
Datuk Hitam Gadang Dibumi
menjerit keras. Sontak tubuhnya
terpelanting. Sebagian wajah laki-laki
itu hangus. Suro sendiri akibat
pengerahan tenaga tadi membuat luka
yang dideritanya menjadi bertambah
parah. Akhirnya ia tidak sadarkan
diri. Ketika pemuda ini terjaga, maka
hari sudah menjadi malam. Ia merasa
heran karena saat itu ia tidak berada
di tempat terbuka. Melainkan di dalam
sebuah pondok. "Di mana manusia laknat yang
telah membokongku!" desisnya.
Suro segera bangun, dan ia merasa
tubuhnya menjadi ringan. Ia yakin
pasti ada orang yang telah
menolongnya. Ternyata dugaannya benar.
"Kau sudah sadar?" kata sebuah
suara merdu. Pendekar Blo'on memandang ke arah
datangnya suara. Ternyata di sampingnya telah duduk seorang gadis cantik
memakai kerudung putih.
"Kau...!"
"Aku menemukan tubuhmu tergeletak
di padang tandus."
"Ke mana Datuk keparat itu?"
"Ketika aku datang, aku tidak
melihatnya, terkecuali mayat seorang
laki-laki yang menyerangsang di atas
batu." "Kau gadis aneh, kau menipuku."
"Apa yang kutipu?" tanya Dewi
Kerudung Putih heran.
"Aku pergi ke Madura, Katai Muka
Merah tidak berada di sana!"
"Mungkin aku salah kasih
keterangan, maafkanlah,'' ujar si
gadis sambil menundukkan kepala
"Siapakah yang sebenarnya kau
ini?" tanya si pemuda heran.
"Luka-lukamu belum sembuh benar.
Nanti pada suatu saat kau akan
mengetahuinya juga."
"Katakan siapa kau"!" kata
Pendekar Blo'on bersikeras.
"Aku adalah orang yang ingin
selalu dekat dengan dirimu!" sahut
Dewi Kerudung Putih. Ia langsung
menempelkan jari tangannya ke bibir si
pemuda ketika melihat pemuda itu ingin
bicara lagi. "Istirahat... hanya itu yang
kuminta darimu...!" ujar si gadis
sambil merebahkan Suro Blondo di alas
balai-balai. Karena sadar dirinya masih belum
pulih benar, maka pemuda berambut
hitam kemerahan ini terpaksa menurut
juga, walaupun hatinya menggerutu.
Gadis di depannya begitu baik,
misterius dan ia tidak tahu apa yang
terkandung dalam hatinya. Suro pada
akhirnya hanya mampu menggaruk-garuk
kepalanya saja.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Terbang Harum Pedang Hujan 2 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Tongkat Rantai Kumala 6

Cari Blog Ini