Gerhana Tebing Neraka 1

Gerhana Tebing Neraka 1

Pendekar Cambuk Naga 4 Gerhana Tebing Neraka Bagian 1


GERHANA TEBING NERAKA Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit Serial Pendekar Cambuk
Naga episode Gerhana Tebing Neraka
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.4
1 DEBU beterbangan dan denting senjata tajam
beradu semakin tiada hentinya. Seorang kakek berjenggot panjang memainkan tongkat besinya dengan
gerakan cepat, ia menangkis pedang bermata dua yang
dilancarkan ke arahnya. Bukan hanya pedang bermata
dua yang ia layani, namun sebuah tombak bermata
pedang pun sesekali ditangkisnya dengan gerakan meliuk-liuk. Kakek berjenggot panjang berwarna putih kemerah-merahan itulah yang dikenal sebagai Si Tongkat Besi. Sedangkan kedua
lawannya itu, sebelum mereka
menyerang, mereka telah memperkenalkan diri sebagai
Perampok Bergolo. Nama Perampok Bergolo cukup
kondang kekejamannya. Mereka adalah: Naroma dan
Mando. Keduanya dikenal sebagai manusia haus darah. Setiap bertemu dengan orang yang melintasi hutan Bergolo, mereka selalu tidak memberikan orang
tersebut untuk bernafas seterusnya. Tak peduli lelaki atau perempuan, besar atau
kecil, asal lewat kawasan hutan Bergolo, pasti mereka bunuh. Adakalanya mereka
cincang mayat orang tersebut dan direbus untuk dijadikan santapan.
"Rupanya kau cukup tangguh juga, Kakek
peot!" kata Mando dengan mengibaskan pedangnya ke arah perut si Tongkat Besi.
Tetapi menangkisnya sambil mengayunkan kaki kanannya ke wajah Mando.
"Heaaat...!" pekik Naroma seraya meloncat dan menerjang Tongkat Besi. Pinggang
kakek tua itu terkena tendangan Naroma hingga ia tersungkur ke depan.
Tongkatnya segera menancap di tanah, dan kakek tua
itu tak sempat roboh. Tubuhnya bagai ditopang tongkat besi berkepala monyet. Ujung tongkat yang berbentuk kepala monyet dari
ukiran besi itu segera menyodok Naroma dengan gerakan balik yang cukup mengagetkan Naroma sendiri.
"Heeg...!" Naroma mendelik, dan ujung tongkat yang lain segera berputar ke atas
lalu menghantam
kepala Naroma. Lelaki berpakaian serba merah itu
mengaduh sambil berjungkir balik di tanah. Senjata
pedang bermata dua dari Mando menebas dari arah
belakang kakek tua. Tapi dengan tanpa memandang
lawannya, kakek tua itu menggerakkan tongkatnya,
menyodok ke belakang dan tepat mengenai selangkangan Mando. Akibatnya, lelaki bercelana hitam dengan
bajunya yang hitam pula itu menyeringai kesakitan. Ia sempat terpincang-pincang
menjauhi Tongkat Besi.
Kakek tua itu terkekeh sebentar, sambil berdiri
seenaknya menunggu serangan berikutnya. "Masa' perampok yang sudah kesohor
kekejamannya cuma bisa
mengaduh dan meringis" Ayo, keluarkan semua ilmu
kalian, jangan sungkan-sungkanlah... aku siap menerimanya." "Kakek sombong!" geram Naroma dengan sengit. "Terimalah jurus Tapak Braja-ku ini, hiaaat...!"
Kedua tangan Naroma terbuka, diarahkan ke
kakek tua dengan satu gerak pukulan berganda. Tongkat Besi berdiri tegak, kedua kakinya sedikit merentang, dan kedua tangannya ditarik mundur, sehingga
seakan ia menonjolkan dadanya. Dengan telak sekali
kedua telapak tangan Naroma menghantam dada
Tongkat Besi. "Daab...!" Lalu keluarlah asap dari pukulan itu.
Namun si Tongkat Besi yang berjubah kuning itu
hanya terkekeh selagi kedua telapak tangan Naroma
belum terlepas dari dadanya. Kakek tua itu malahan
mengangkat pundaknya dengan tangan terbuka, seakan menyepelekan pukulan Tapak Braja tersebut.
Melihat temannya disepelekan oleh kakek tua,
maka Mando buru-buru melepas senjatanya dan bergerak gesit mengerahkan tenaganya. Jurus yang dipakai hampir sama gerakannya dengan yang digunakan
Naroma tadi. Hanya saja, Mando tidak membuka telapak tangannya, namun ada dua jari yang terlipat, jari kelingking dan jari manis.
Kedua jari itu ditekuk sedang yang lainnya mengejang kaku. Kedua tangan
yang berposisi demikian itu disodokkan dengan kuatkuat ke arah punggung kakek tua. "Jubb...!" Kedua jari dari masing-masing tangan
Mando bagai membenam di
punggung kakek tua. Asap tipis mengepul berwarna
abu-abu. Saat itu pula, asap putih yang mengepul dari tangan Naroma masih
terlihat menempel di dada kakek
tua. Si Tongkat Besi terkekeh-kekeh. Lalu menunggu sejenak, dan ia mencibirkan bibirnya dengan wajah kecewa. Mando dan Naroma
segera mundur, mencabut
pukulan andalan masing-masing. Mereka sama-sama
memandang bengong dan terheran-heran. Mando
mendekat Naroma dan berbisik, "Setan alas! Jurus andalan kita tidak membuatnya
bergeming sedikit pun."
"Ada lagi?" tanya Si Tongkat Besi dengan sorot mata orang yang sedang kecewa.
"Jangan jadi perampok kalau tidak bisa membunuh orang. Jadi penari sajalah...." ejek Tongkat Besi dengan sinis.
Kedua perampok Bergolo itu semakin geram.
Mereka merasa tidak dihargai sama sekali. Baru sekarang mereka menemukan lawan yang sama sekali tidak punya rasa takut atau pun ngeri terhadap mereka.
Baru kali ini juga pukulan Tapak Braja Naroma sama
sekali tidak berguna. Biasanya batu besar saja hancur
oleh pukulan Tapak Braja, tetapi kali ini bahkan manusia tua seperti Si Tongkat Besi, benar-benar melebi-hi dari batu manapun.
Bergeming saja tidak, malah
sempat menyepelekan dan mengejeknya. "Gila! Orang macam apa dia?" pikir Naroma.
Demikian pula Mando yang berbisik geram kepada Naroma: "Kita ketemu setan. Sukar
dipercaya kalau pukulan Gempur Batu-ku
tak punya kekuatan sama sekali buat menghancurkan
si tua bangka ini! Bah!"
Tongkat Besi bersandar di pohon serapa berkata, "Yah... berembuklah dulu sana. Cari jurus yang bi-sa buat membunuh. Jangan
cari jurus yang hanya bisa buat membakar jagung, Tidak hebat itu...!"
"Kurang ajar...!" geram Mando. "Kita serang dengan jurus Hujan Darah...!"
"Mari...!" jawab Naroma dengan gemas. Lalu keduanya memanfaatkan senjata masingmasing lagi. Jurus Hujan Darah mereka lancarkan, yaitu suatu jurus yang harus menggunakan senjata tajam, di mana
masing-masing senjata telah dialiri tenaga inti. Gerakannya begitu cepat,
keduanya mempunyai gerakan
yang serupa. Kemudian mereka meluncur bagai sepasang kumbang terbang.
"Heaaat...!!"
Kakek tua itu malah an tenang-tenang saja,
menonton gerakan mereka yang meluncur bagai kumbang hendak menyerbu kelopak bunga. Kakek tua itu
hanya memegangi tongkat besinya dan menundukkan
kepala bagai mendapat serangan angin yang bisa
membuat mata pedas. Tapi ia tidak melawan atau
menghindar sama sekali.
"Crak...! Crak...! Juub...! Juub, jub, jub...!!"
Senjata perampok Bergolo dengan rakus menghunjam tubuh tua renta itu. Bertubi-tubi dengan kecepatan melebihi derasnya hujan, senjata-senjata itu menebas dan menusuk ke
seluruh tubuh kurus, tinggal tulang dan kulit. Anehnya, sejauh ini belum ada
darah dan belum ada luka yang ke luar dari tubuh
yang tinggal tulang terbungkus kulit itu. Bahkan sehe-lai jenggotnya tak ada
yang terpotong. Tapi kedua perampok kondang dari hutan Bergolo itu masih terus
menghujani tubuh kurus itu dengan senjata mereka
masing-masing. Pada saat itu, ada sepasang mata yang memandang adegan tersebut. Sepasang mata itu milik
seorang lelaki bertubuh tegap, kekar dan bermata tajam namun meneduhkan. Ia mengenakan ikat kepala
dari kulit macan tutul untuk merapikan rambutnya
yang panjang sebatas punggung, namun tidak menutupi sebilah pedang bergagang kepala ular kobra yang bertengger di punggungnya.
Orang itu, tak lain adalah Pendekar Pusar Bumi, atau yang bernama asli: Domas
Lanangseta. "Keterlaluan! Memalukan sekali, seorang kakek
sampai dikeroyok dua dan dihujani senjata bertubitubi!" geram Lanangseta. Ia buru-buru melesat cepat ke arah mereka. Kemudian
dengan bersalto dalam satu
loncatan, kedua kakinya berhasil menendang Naroma
dan Mando dengan keras.
"Lepaskan...! Pengecut kalian!"
Perampok Bergolo terpental lima langkah dari
tempat Si Tongkat Besi berdiri. Naroma sempat mencium tanah dengan kasar, akibatnya mulutnya nyonyor dan berdarah. Sedangkan Mando, hanya terguling-guling ke arah semak-semak. Lalu ia segera bangkit dengan pedang bermata duanya di angkat ke atas.
Ia segera menyerang Lanangseta dengan geram
dan buas. "Bangsat busuk... heeaaat...!"
"Wes, wes...!" Dua kali tebasan diberikan untuk Lanang. Tapi gerakan Lanang
dalam menghindar cukup dengan memiringkan badan ke kanan dan kemudian ke kiri. Lewat sudah sabetan pedang bermata dua itu. Kini tinggal sebuah
pukulan yang selayaknya pan-tas diberikan di pelipis Mando.
"Aaahkk...!" Mando menjerit kesakitan. Kepalanya menjadi puyeng. Ia tersungkur
mencium akar pohon. "Jangan turut campur dengan urusan kami!"
bentak Naroma sambil sesekali meludah karena mulutnya berdarah. "Kami tidak punya urusan dengan-mu, setan kencur!" Lanangseta
memandang kakek tua itu sebentar. Oh, ia tidak terluka, pikir Lanang. Dan kakek
tua itu malahan tetap bersandar di pohon dengan tenang, seakan ia menyaksikan
suatu pertarungan
yang seru. "Pergi kau, atau memang ingin mencoba kebuasan kami: perampok-perampok Bergolo" Iya"!" Naroma berseru dari arah belakang
Lanangseta. Saat itu, Lanang hanya menyunggingkan senyum tipis. Matanya
yang tajam bergerak-gerak penuh kewaspadaan.
"Kalau boleh kutahu, apa kesalahan kakek tua
itu sehingga kalian menyerangnya sampai membabi
buta?" tanya Lanangseta.
"Kami lapar! Sudan tujuh hari tidak ada orang
lewat sini, sebab itu sudah tujuh hari kami puasa!" jawab Mando.
"O, jadi kalian membunuh manusia untuk dimakan"!"
"Ha, ha, ha... kau belum tahu kalau daging
manusia itu lebih gurih, lebih manis dan sangat menguatkan badan!" Naroma berkata sambil bertolak pinggang sebelah. Mando menyahut, "Kalau perlu, tubuh kekar
seperti kamu itulah yang menjadi santapan istimewa
kami! Tetapi, terlebih dulu kami akan menikmati daging kakek tua peot ini yah... sebagai hidangan kecil atau buat camilan."
"Biadab!" geram Pendekar Pusar Bumi. "Manusia seperti kalian memang harus di
musnahkan...!!"
"Naroma...! Serang...!"
Kedua perampok Bergolo meloncat dan menyerang Lanangseta dari arah kiri dan kanan. Lanangseta bersalto mundur dua
loncatan. Kedua perampok Bergolo itu hampir saja saling bertabrakan. Namun hal
itu dapat dihindari dengan bergulirnya tubuh Naroma ke
arah samping. Begitu kakinya menjejakkan bumi, ia
berada dalam satu jangkauan di depan Lanangseta.
Tanpa menunggu serangan law an, Lanangseta menyerang dengan pukulan kuat yang mengenai rahang Naroma. Orang bersenjata tombak itu terdongak dan
memekik kesakitan. Tombaknya yang berujung mata
pedang itu digerakkan menusuk Lanangseta. Tetapi
belum sempat tombak itu menyentuh perut Lanangseta, kaki Pendekar Pusar Bumi itu telah lebih dulu menendang tulang rusuk Naroma
hingga terdengar bunyi
berderak, "Kraak...!"
"Aaaoow...!!" Naroma menjerit sambil memegangi tulang rusuknya. Ia terhuyunghuyung dan jatuh.
Lanangseta hendak menendang kepala Naroma, tetapi
sekelebat pedang bermata dua melintas di kepalanya
membuat Lanang terpaksa berguling menghindarinya.
Mando menyusul ikut berguling sembari menebaskan pedangnya, tetapi Lanangseta lebih dulu melejit bagai udang. Melambung ke udara dan kembali berdiri dalam posisi sigap. Pendekar Pusar Bumi merasa
tak perlu terlalu banyak membuang waktu. Ia harus
segera memberi pelajaran terhadap kedua orang tersebut. Dan seketika itu pula, "srett..!" Pedang Wisa Kobra melesat dari sarungnya
yang ada di punggung.
Mando tampak paling penasaran, karena sejak
tadi mereka tak dapat menyentuh tubuh Lanangseta.
Maka dengan gerakan jurus Hujan Darah, ia menyerang, menebaskan pedangnya dalam berbagai arah dan
berbagai cara. Tetapi pada saat pedang Wisa Kobra
menangkisnya, terdengar bunyi: "Trrakk...!" Mando terbengong menatap pedang mata
duanya. Pedang itu
telah buntung, tinggal beberapa jari dari gagangnya.
Melihat pedang temannya buntung di tebas pedang lawan, Naroma melompat seraya melemparkan
tombaknya dengan cepat. Gerakan tombak itu bagai
tak bisa diikuti oleh pandangan mata manusia. Tetapi agaknya pedang Wisa Kobra
lebih awas, sehingga dengan sekali sekelebat saja pedang itu telah berhasil
menangkis tombak Naroma.
Agaknya Naroma juga mengalami nasib sama
seperti Mando. Tombaknya itu jatuh ke tanah dalam


Pendekar Cambuk Naga 4 Gerhana Tebing Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan patah terpotong menjadi dua bagian.
"Jahanaaaam...!!" Naroma menyerang dengan marah. Lanangseta menghindar sambil
menyarungkan pedangnya kembali. Mando menyerang dari arah belakang, tetapi tangan kiri Lanang dengan tangkas berhasil memegang pergelangan
tangan Mando, tanpa ia
menoleh ke belakang lebih dulu. Dengan satu tarikan
kuat, tubuh Mando melayang dan jatuh di depan Lanangseta. Secepat itu pula tangan kanan Lanangseta
memukul dada Mando. Kuat dan bertenaga pukulan
itu. Mando memekik kesakitan, dadanya menjadi biru
legam. Naroma tak bisa tinggal diam. Ia mengeluarkan
jurus tendangan Kipas Rantai. Tendangannya begitu
cepat dan berputar-putar, yang kiri ganti kanan, ganti kiri, dan sangat cepat.
Debu tanah berhamburan. Lanangseta menghindar beberapa kali, lalu tiba-tiba ia
memperoleh peluang untuk menghantam tulang iga
Naroma. "Kraak...!" Bunyi tulang iga patah. Naroma melejit sambil mengaduh
kesakitan. Tanpa banyak pertimbangan lagi, Naroma melompat semakin menjauhi Lanangseta. Mando tahu gelagat, Naroma ingin kabur. Lalu ia berkata kepada Lanangseta;
"Ada saat untuk bertemu dan membalas. Tunggulah itu...!" Mando segera melesat dengan memegangi dadanya yang terkena
pukulan hebat dari Lanangseta.
Keduanya kabur dengan cepat, bagai menghilang di
balik tumpukan batu cadas. Lanangseta hendak mengejar, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti karena kakek tua itu telah berdiri
menghadangnya dengan tongkat
besi di tangan, ujungnya menancap di tanah.
"Hebat...! Pedangmu itu sungguh hebat...!" kata Tongkat Besi. Janggutnya yang
berbulu merah kepu-tih-putihan itu melambai-lambai dihempaskan semilirnya angin. "Kau punya kesaktian di dalam pedangmu itu, anak muda."
"Hanya sekedar pedang biasa, Kek. Tetapi...."
Belum habis Lanangseta berkata-kata, kakek tua itu
mendadak menyerangnya dengan menggunakan tongkat besi tersebut.
"Hei, apa-apaan ini..."!" Lanang terkejut heran.
Ia sempat melompat untuk menghindari sodokan
tongkat besi. "Cobalah tongkat besiku ini, anak muda...!"
Mampukah kau memotong-motongnya" Heaaahh...!"
Lanangseta berguling di udara. Hempasan angin tongkat besi begitu kuat sehingga tubuh Lanangse-ta bagai terdorong oleh
suatu tenaga besar. Lanang sedikit menggeragap, ia canggung untuk melawan. Ia
bingung, mengapa kakek ini sudah ditolong . malah
ganti menyerang" Bahkan serangannya amat cepat,
bertubi-tubi sehingga tidak memberi kesempatan kepada Lanangseta untuk bicara. Lanang hanya melompat, menghindar, berguling, berkelit, dan begitu seterusnya sampai-sampai hal
itu membuat Si Tongkat
Besi menjadi geram dan dongkol sendiri.
"Keparat...! Seranglah aku jangan hanya bertahan! "Gunakan pedangmu itu! Ayo...! Ayooo...!"
"Wuss... Wsuuss...!" Tongkat memukul dan menyodok dengan satu kekuatan dalam
yang tersalur di
batang tongkat itu. Lanangseta tak berani menangkis
pukulan tongkat yang dialiri tenaga dalam itu. Ia
hanya menghindar terus sampai-sampai keringatnya
membanjir di sekujur tubuh. Untuk menguji kekuatan
tenaga dalam tongkat itu, Lanang sengaja mencari
tempat di dekat pohon, tempat di mana kakek tua itu
tadi bersandar santai. Ternyata dugaan Lanangseta tidak meleset. Ketika tongkat
besi itu melayang ke arah kepalanya, Lanang menyempatkan diri untuk tetap di-am.
Dalam jarak beberapa mili saja ia segera merunduk, dan tongkat itu mengenai batang pohon. Tanpa
tanggung-tanggung lagi, kulit batang pohon itu menge-lupas dan tongkat itu ada
di kedalaman batang pohon
tersebut. Bagai sebilah pisau menancap pada gedebong pisang yang busuk.
"Pukulan yang hebat!" kata Lanangseta. Kakek tua itu sedang berusaha mencabut
kembali tongkatnya
dari batang pohon. Sebab itu ada kesempatan bagi Lanang untuk bertanya, "Mengapa kakek menyerangku dengan sungguh-sungguh?"
"Karena kau tolol, tidak mau menyerangku!"
"Aku sudah menolong kakek, dan di antara kita
memang tidak ada masalah" Haruskah aku menyerang
orang tanpa salah dan tanpa persoalan apapun?"
"Ya. Harus...!"
"Beet...!" Tongkat berhasil dicabut, dan segera dipukulkan ke arah Lanangseta.
Hampir saja perut Lanangseta terkena goresan
dari ujung tongkat itu jika ia tidak berkelit ke belakang. Lalu gerakan tongkat
itu cukup mencengangkan
Lanangseta, di mana ia mendapat serangan lagi, tongkat itu bergerak bagai hendak menebas perutnya. Lanang menggerakkan perutnya ke belakang, otomatis
kepalanya maju ke depan. Tapi ternyata tongkat itu tidak menebas melewati depan
perut, melainkan berhenti di depan perut, lalu dengan cepat dihentakkan ke
atas menuju muka Lanang. Karena terlatih bergerak
gesit, maka Lanang dapat menghindari gerakan tipuan
itu dengan memiringkan kepala ke kiri pada saat tongkat bergerak ke atas. Tapi
tongkat itu turun kembali dengan kecepatan yang luar biasa, sehingga hampir
saja menghantam ubun-ubun Lanangseta jika ia tidak
segera berguling sambil mencabut pedangnya.
Baru saja ia bangun, tahu-tahu tongkat besi itu
berkelebat di depan batang. hidungnya dengan cepat.
Anginnya cukup kuat sehingga ia terjengkang jatuh.
Kakek tua dengan seringai kemenangan segera menghunjamkan tongkatnya ke perut Lanangseta, tetapi
pedang Wisa Kobra menangkisnya. Dengan satu kali
tebasan, pedang itu mampu memotong tongkat tersebut menjadi dua bagian. Lalu menebas lagi, dan tongkat itupun terpotong lagi. Lanang segera melejit bagai udang, dan bersalto ke
belakang menjauhi kakek tua.
Tawa terkekeh dan tepuk tangan terdengar dari
arah Si Tongkat Besi berdiri.
"Hebat...! Bagus...! Itu namanya pendekar sakti...!" puji Tongkat Besi yang sempat membingungkan pikiran Lanang. Ia benarbenar tak tahu, mengapa kakek tua yang bernafsu membunuhnya itu sekarang
malahan kelihatan gembira setelah senjatanya terpotong-potong menjadi tiga bagian. Ia manggut-manggut
seraya memandang bangga kepada musuhnya. Bahkan
kini ia mengacungkan jempol tanda memuji.
Dengan dahi masih berkerut, Lanangseta menyarungkan kembali pedangnya ke punggung. Tapi
kakek tua itu segera berteriak dengan cemas, "Hei, hei... jangan sarungkan dulu
pedangmu!"
"Aku tidak punya urusan denganmu, Kakek
Tua." "Namaku Si Tongkat Besi. Kumohon dengan hormat, bertarunglah denganku. Ku
mohon dengan sangat, jangan kecewakan aku. Ayo, bertarunglah dan
gunakan senjatamu itu. Aku tak akan menggunakan
senjata apa-apa...."
"Itu bahkan tidak adil," seraya Lanang menyunggingkan senyum sinisnya.
"O, tidak. Tidak apa-apa. Aku tidak menuntut
keadilan, aku hanya menuntut suatu pertarungan."
"Aneh!" pikir Lanangseta. "Sudah tua renta, tinggal tulang terbungkus kulit, kok
masih senang berkelahi" Apa maunya sebenarnya?"
"Ayo, seranglah aku dengan pedangmu. Aku tahu, pedang itulah yang akan mampu memotong kepalaku!" "Tidak!" jawab Lanang. "Tidak ada pertarungan di antara kita, tidak ada
permusuhan dan tidak ada
persoalan. Seharusnya kakek berterima kasih kepadaku, karena aku telah menyelamatkan kamu, kek. Tapi
mengapa...?"
"Nah, sekarang kau tahu aku tidak berterima
kasih kepadamu. Sebab itu, marahlah. Tuntutlah aku,
dan bertarunglah bersamaku. Ayo, jangan. sungkansungkan...!"
Lanang menggeleng, ia mendekati kakek tua
itu. "Kakek Tongkat Besi... jangan memaksa seseorang untuk bertindak jahat, karena dirimu akan digolongkan sebagai orang yang lebih jahat dari yang kau suruh. Nah, sekarang,
pertemuan kita cukup sampai
di sini saja. Aku punya urusan penting di tempat
lain...!" "Tunggu...! Tunggu dulu dan jangan pergi...!"
Tongkat Besi memegangi tangan Lanangseta. "Siapa namamu, nak?" ia bertanya
dengan ramah. "Lanangseta...!"
"Lanangseta, ooh... nama yang bagus. Kama
yang punya perlambang bahwa kau akan menjadi
orang terkenal di rimba persilatan dari seluruh pelosok dunia. Tetapi hal itu
hanya akan terjadi apabila kau mau melawanku untuk bertarung. Kau memakai
pedangmu dan aku tidak. Bagaimana" Mau...?"
Lanangseta merasa berhadapan dengan orang
gila. Kemudian ia menggeleng dan menarik genggaman
tangan Tongkat Besi, dan ia berjalan kembali. Tetapi kakek tua itu kembali
memegang tangan Lanangseta
seraya memohon dengan nada kasihan:
"Tolonglah... ayo, bertarung denganku. Kau
pasti akan menang. Percayalah! Bertarunglah sebentar saja, dan kujamin dengan
sekali tebas kepalaku akan
terpisah dari leher. Kau bisa melanjutkan perjalanan kembali...."
Lanang jengkel sendiri. "Aku bukan jagoan tengik!" bentaknya. Dan tiba-tiba Tongkat Besi menarik tangan Lanangseta kuat-kuat,
kemudian melempar-kannya tubuh yang kekar dan tegap itu. Dengan sekali ayun,
Lanang terlempar dan jatuh di dekat potongan
tongkat besi itu.
"Gila...!" teriak Lanangseta.
Kakek tua atau Si Tongkat Besi, itu tersenyum.
"Rupanya kau perlu kusiksa dulu supaya mau melawanku...!"
"Kakek gila"! Apa-apaan ini sebenarnya" Mengapa kau bernafsu sekali bertarung denganku...?"
Kakek tua tidak menjawab, ia menendang Lanangseta. Mau tak mau Lanangseta berguling ke kiri,
dan melejit ke atas, dan disambut dengan pukulan berantai dari dua tangan kurus itu. Lanang sempat limbung dan sempoyongan. Pernafasannya sangat sesak,
ia nyaris tak bisa bernafas lagi.
Padahal yang diterimanya adalah pukulan tanpa tenaga dan dilancarkan dari kedua tangan kurus
kering. "Ayo, lawan aku. Jangan dengan tangan kosong, nanti kau mati jika
melawanku dengan tangan
kosong. Pakai pedangmu!"
"Gila! Betul-betul gila! Apa maunya sebenarnya"!" pikir Lanang sambil melangkah mundur. Memandang penuh keheranan.
* ** 2 KAKEK TUA itu memungut kembali potonganpotongan tongkat besinya. "Barangkali kau mau belajar padaku tentang ilmu
Sambung Besi, asal kau janji, setelah kuajarkan ilmu itu, kau mau bertarung
denganku dun harus memakai pedangmu itu."
Karena penasaran, Lanangseta bertanya. "Kenapa harus memakai pedangku ini?"
"Menurut dugaanku, pedangmu itu bisa memotong besi, atau benda apapun. Dan itu berarti akan bi-sa memotong leherku juga."
Mulut Lanangseta masih dalam kebisuan, matanya memandang potongan tombak besi yang dirapatkan kembali. Bekas kedua potongan itu digenggam
oleh kakek tua, lalu diurut sambil tersenyum memandang Lanang. Dan kali ini, Lanang jadi terbelalak.
Tongkat Besi yang terpotong itu telah tersambung lagi tanpa meninggalkan bekas
sama sekali. Dua tempat
potongan telah menyatu, rapat dan halus, sepertinya
tongkat itu tak pernah terpotong sebelumnya.
"Hebat...!" gumam Lanangseta. "Memang. Dan kau bisa mempelajari ilmu Sambung
Besi dengan syarat seperti yang kukatakan tadi," kata kakek tua dengan suaranya
yang serak. "Keinginan yang aneh," desis Lanangseta.
"Kalau kau melawanku tanpa pedang itu, kau
akan kalah. Aku punya ilmu silat lebih tinggi dari ka-mu. Juga beberapa jurus
tenaga dalam yang lebih hebat dari kamu. Aku bisa membuat harimau mati seketika jika aku membentakkan kata mati di hadapannya.
Dan aku bisa menghancurkan gunung sekokoh apapun, jika aku bilang hancur kepada gunung itu. Hebat
kan kesaktianku itu" Kau mau coba?"
Pendekar Pusar Bumi masih tertegun dan berpikir bingung. Kakek tua itu berkata lagi dengan seenaknya, bagai seseorang
sedang membual:
"Kalau pedangmu bisa melukaiku, apalagi sampai bisa memotongku, maka pedangmu itu akan dapat
terbang sendiri dan menuruti kehendakmu. Pedangmu
dapat membunuh siapa saja yang kau perintahkan untuk dibunuh. Kau bisa enak-enak duduk sambil makan, atau tidur di samping istri mu. Eh, kau sudah
punya istri, anak muda?"
"Belum."
"Nah, kalau kau bisa membunuhku dengan pedangmu, maka oleskanlah darahku pada bibirmu, dan
seumur hidup kau akan menjadi rebutan perempuanperempuan cantik. Tak ada perempuan yang mampu
berpaling dan pergi jika memandang bibirmu. Mereka
akan merengek dan kasmaran, lalu bersedia menuruti
perintahmu tanpa punya rasa cemburu."
Senyum Lanangseta tersungging tipis, kaku,
seakan menyepelekan kata-kata Si Tongkat Besi. Kakek tua itu merasa sedang diremehkan oleh pemuda
tegap dan perkasa yang dari tadi berdiri di depannya.
Kemudian Tongkat Besi mengambil sebutir batu kerikil
"Ini apa...?" ia memperlihatkan batu itu kepada Lanang. "Batu," jawab Lanang
yang semakin seperti orang bego.
"Iya, yang bilang ini kepalamu siapa?" kakek tua itu terkekeh. Lanang geli
sendiri. Orang ini sangat aneh dan punya daya tarik tersendiri, pikir Lanang.
Kakek tua itu berkata lagi, "Nah, menurut penglihatan siapa pun, ini adalah batu. Lalu, kugenggam...!" Ia menggenggam batu tersebut. "Ini bukan ba

Pendekar Cambuk Naga 4 Gerhana Tebing Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tu, tapi emas...!"
Tongkat Besi membuka genggamannya, dan
mata Lanangseta terbelalak, bahkan ia sempat merunduk untuk memperjelas penglihatannya.
"Gila...! Menjadi emas" Emas betulan..."!"
Dibiarkan tangan Lanangseta memungut batu
yang telah berubah menjadi emas. Lanangseta memandanginya lekat-lekat, nyaris tidak mempercayai
penglihatannya. Kakek tua itu hanya terkekeh-kekeh
dengan gayanya yang sombong dibuat-buat.
"Ambillah kalau kau mau. Dan buktikan, sampai berapa tahun pun ia tetap akan menjadi emas...!"
kata kakek tua.
Lama sekali Lanangseta tertegun dan memperhatikan keanehan itu. Kakek tua berkipas-kipas dengan menggunakan bagian jubahnya. Rambutnya yang
putih sudah mulai kemerah-merahan itu sudah pasti
amat panjang, namun karena ditekuk dan digulung
menjadi satu di atas kepalanya, maka ia kelihatan ra-pi. Hanya kumis dan
jenggotnya saja yang kelihatan
acak-acakan. "Kau bisa mempelajari ilmu itu, kalau kau mau
bertarung denganku memakai pedang itu. Ku ajarkan
dulu semua ilmuku, dan kalau sudah habis, baru kita
bertarung. Ku jamin kau pasti menang."
"Dan kakek akan mati?"
"Ya."
"Tidak menyesal mati di tanganku?"
Ia menghela napas. Santai sekali, seakan ogahogahan berbicara. Katanya, "sebetulnya mati di tangan siapa pun aku mau. Tapi
sudah lama aku menunggu
orang yang bisa membunuhku, nyatanya tak ada."
Kata-kata itu kedengarannya sangat aneh dan
ganjil, sehingga Lanangseta merasa perlu ikut duduk
di sebelah Si Tongkat Besi.
"Jadi, apa inti kemauan kakek sebenar-nya?"
tanya Lanangseta setelah membisu beberapa saat
sambil memandangi batu yang telah menjadi emas itu.
"Keinginan mu yang paling utama apa, Kek?"
"Mati!" jawabnya pelan, tapi tegas. Hanya saja Lanang masih merasa hal itu
adalah main-main.
"Aku bertanya dengan sungguh-sungguh, Kek.
Jangan dijawab dengan becanda."
"Hei, kau kira mati itu pekerjaan becanda" Kau
kira orang ingin mati itu lucu" Kau saja yang tolol jika menganggap begitu. Mati
itu suci. Mati itu suatu kegia-tan yang memerlukan kesungguhan. Tidak main-main.
Dan bagiku, mati itu indah."
"Indah...?" Lanangseta tertawa pendek.
"Nah, sekarang kau yang becanda," ujar Tongkat Besi. "Ada pepatah yang
mengatakan: mati itu sebagian dari pada hidup. Dan hidup itu kodrat!"
Lanang menatap dengan bingung, dan Tongkat
Besi menjelaskan:
"Kamu bisa hidup, itu karena memang kamu
dikodratkan untuk hidup. Jadi hidup itu adalah kodrat. Dan di dalam kehidupan mu itu, kau akan menemui berbagai perjalanan yang berujung pada kematian. Jadi, kematian itu adalah sebagian dari pada hidup. Jelas?" Lanangseta
menggeleng. Kakek tua menghela nafas. Kesal. Kemudian Lanangseta buru-buru
bertanya:. "Yang membuatku kurang jelas adalah: mengapa kakek ingin mati" Orang-orang berjuang mempertahankan hidup dengan berbagai cara, kadang-kadang
cara salah pun dilanggarnya, asal dia bisa tetap hidup.
Nah, sekarang aku menemukan seseorang yang dengan cara apa pun ingin mati. Ini aneh. Janggal bagi
alam pikiran saya, Kek."
Tongkat Besi menggumam lirih, merenung sebentar, kali ini ia kelihatan lebih serius memandang Lanangseta.
"Usiaku sudah ratusan tahun. Mungkin empat
ratus tahun, barangkali juga enam ratus tahun. Aku
sendiri tidak jelas dan bingung mengingat-ingatnya."
Pendekar Pusar Bumi berkerut dahi memandang Tongkat Besi dengan keheranan yang menyolok.
Tongkat Besi mengusap-usap jenggotnya seraya berkata: "Jenggotku sudah bukan putih lagi. Sudah bukan uban lagi, tapi sudah mulai kemerah-merahan.
Jadi ibarat buah anggur, aku ini sudah kelewat matang dan busuk. Sudah banyak ulatnya. Tapi karena
kesaktianku, aku jadi sulit mati. Padahal aku sudah
bosan hidup. Betul, aku tidak becanda. Aku sudah bosan hidup. Sebab itu, aku ingin segera mati."
"Orang lain berusaha untuk mempertahankan
hidup, supaya panjang umur. Tapi, kakek malahan ingin memperpendek umur. Bagaimana bisa begitu" Bukankah hidup itu indah?"
"Orang yang tidak memahami kehakikian hidup, akan berkata begitu. Tetapi kalau orang yang sudah mengerti betul apa itu
hidup dan apa itu mati,
maka akan memilih mati. Sebab di dalam kematian itu
sebenarnya terdapat kehidupan yang langgeng, yang
abadi. Bukankah orang-orang yang cetek pikiran selalu menghendaki hidup yang
langgeng atau yang abadi"
Nah, untuk mencapai itu, dia harus mati. Kalau dia
takut mati, berarti dia takut hidup langgeng. Kalau dia takut hidup langgeng,
untuk apa ia punya cita-cita
panjang umur segala" Kan begitu?"
Lanangseta dihadapkan pada suatu falsafah
yang berputar-putar memusingkan. Ia tertegun, melamun panjang, merenungi kata demi kata. Tapi ia belum juga menemukan suatu pemahaman yang
kongkrit. Tiba-tiba ia berkata:
"Kenapa kakek tidak bunuh diri saja" Dengan
begitu kakak dapat mati sesuai keinginan Kakek itu?"
"Itu kalau bisa," jawabnya kalem. "Seratus kali aku mencoba bunuh diri dengan
berbagai cara, sampai
minum racun yang paling ganas sekalipun pernah kulakukan. Tapi, nyatanya, aku tidak mati. Cuma sakit, kelojotan, cengap-cengap,
ehh... sembuh lagi, sembuh lagi. Sampai akhirnya aku bosan bunuh diri. Dan
secara jujur kuakui, bahwa...." Ia berhenti sebentar lalu berbisik kepada
Lanangseta: "Aku ini orang tolol. Nyatanya bunuh diri saja tidak becus. Kalau
orang mem- bunuh dirinya saja tidak bisa, bagaimana dia akan bi-sa mengatasi hidupnya"
Sebab bunuh diri itukan pekerjaan gampang. Guampaaaang... sekali...! Bagi yang bisa. Nah, kalau pekerjaan
yang gampang itu tidak
mampu dikerjakan, apalagi
pekerjaan yang sukar, yaitu hidup. Eh, percaya
atau tidak, kau harus mengakui bahwa hidup itu sukar lho" Iya,. kan?"
Lanangseta mengangguk tanpa memahami pertanyaan itu. Tapi tiba-tiba ia berkata, "Cuma... saya rasa sama sukarnya dengan
mati, Kek. Memang ada
persamaannya dan ada perbedaannya. Persamaannya
adalah sama-sama membutuhkan waktu dan kesabaran, perbedaannya adalah: beda artinya."
Kakek tua itu tertawa senang. "Nah, sekarang
kau mulai masuk dalam lingkaran hidup dan mati.
Aku senang apabila kaulah orang yang akan membunuhku. Mati di tangan orang pandai itu lebih bermakna daripada mati di tangan orang bodoh. Mengerti
maksudku?"
Lanangseta hanya mendesah dalam gumaman
nya. Kemudian ia bergegas bangkit, "Maaf, Kek... senang sekali sebenarnya aku
bisa ngobrol panjang-lebar denganmu. Tapi ada satu keperluan yang harus kukerjakan sekarang ini. Aku harus pergi meninggalkan kakek." "Mungkin aku bisa membantu menyelesaikan pekerjaanmu. Mari kubantu...!
Asal nanti kau bunuh
aku. Setuju?"
"Ini persoalan pribadi. Maaf...!" Setelah bicara begitu, Pendekar Pusar Bumi
melesat cepat dengan
menggunakan peringan tubuhnya yang cukup handal.
Tongkat Besi masih sempat berseru: "Lanangseta...!
Tunggu...!" Kakek tua berjenggot kemerah-merahan itu ikut mengejar Pendekar
Pusar Bumi. Larinya lebih cepat, dan dalam tempo singkat ia dapat mengejar Lanangseta. Tahu-tahu kakek tua itu sudah berada di
depan Lanangseta. Gawat! Padahal Lanangseta tidak
ingin urusannya dicampuri orang lain. Ia ingin menghadapi resiko itu sendiri, tanpa bantuan siapapun. Sebab itu, untuk menghindari
Si Tongkat Besi, Lanang
segera mengalihkan arah ke kiri, maka Tongkat Besi
menjadi salah arah. Ia terpaksa menyusul ke arah kiri.
Ia sempat berteriak lagi.
"Akan kubantu segala kesukaranmu! Tunggulah aku, Lanangsetaaa...!"
Melihat Tongkat Besi berkelebat menyusulnya,
Lanangseta segera menggunakan ilmu Lindung Bumi.
Tubuhnya yang tegap, kekar dan perkasa itu tiba-tiba hilang bagai tersedot ke
dasar bumi. Ia berjalan dalam lapisan tanah tanpa bisa diketahui Tongkat Besi.
Tentu saja kakek tua itu merasa kehilangan jejak, dan
menggerutu, menyumpah-nyumpah tak karuan. Padahal ia yakin, pedang yang bertengger di punggung
Lanangseta itulah yang mampu membunuhnya kelak.
Sedangkan bagi Lanangseta, ia merasa tidak
puas jika tugas yang diberikan oleh Rama Sabdawana,
ayah dari Kirana Sari itu, dikerjakan secara bahumembahu dengan orang lain. Mengingat tugas itu adalah tugas yang menyangkut harga dirinya, maka harus
dikerjakan secara pribadi.
Lanang masih ingat kata-kata ayah Kirana ketika perempuan itu bicara di depan ayahnya:
"Aku akan kawin dengan Lanangseta, Ayah.
Aku minta izin dan doa restu."
Waktu itu, Lanangseta berdiri di samping Kirana dan Sabdawana, ayah Kirana itu, duduk di atas sebuah batu yang dijadikan tempat duduk antik. Berlapis kain halus yang empuk, dan berukir gambar bunga
teratai, sehingga lelaki lanjut usia itu bagaikan duduk di atas bunga teratai.
Sebab itu pula rumah tersebut dinamakan Griya Teratai Wingit.
"Apakah kalian saling mencintai?"
Pertanyaan itu meluncur dari mulut ayah Kirana dengan suara halus, bahkan hampir tidak terdengar oleh Lanang. Untuk pertanyaan itu, Kirana menjawab lebih dulu:
"Sudah, Ayah."
Sabdawana yang bermata lembut dan bersikap
kalem itu melirik Pendekar Pusar Bumi. Maksudnya ia
ingin mendengar jawaban dari pemuda itu juga. Maka
buru-buru Lanang pun memberi jawaban:
"Sudah, Rama.",
Lelaki tua yang duduk bersila itu tersenyum
sambil memandang ke arah lain.
"Bagaimana dengan Putri Ayu Sekar Pemikat
itu?" Lanangseta masih ingat, ketika itu ia sangat
terkejut, sebab tak pernah menyangka sama sekali kalau ayah Kirana ternyata sudah mengetahui hubungan
Lanang dengan Sekar Pamikat. Kirana sendiri menghempaskan nafas, kemudian melirik Lanang, dari pandangan matanya seakan ia mengatakan bahwa ia tidak
tahu kalau ayahnya bisa menyebutkan nama Putri Ayu
Sekar Pamikat. Maka, Lanang pun paham bahwa ayah
Kirana mengetahui hal itu bukan atas dasar informasi dari putrinya, melainkan
karena ilmu yang dimiliki itu dapat membaca sejarah hidup dan latar belakang
Lanangseta. Barangkali juga ia hanya menuntut kejujuran dari Lanangseta akan hal itu. Dengan tegas dan
polos, Lanang pun menjawabnya:
"Apakah menurut Rama saya masih ada kesempatan mengawani Pendekar Cambuk Naga itu"
Saya memang masih menyimpan cinta kepadanya. Tapi kalau memang dia akan menjadi milik Goa Malaikat
itu, maka saya tak akan memilikinya lagi. Dan penebus kehancuran cinta saya adalah... putri Rama sendi-ri ini. Saya berusaha
mengubur cinta saya kepada Sekar Pamikat, asalkan putri Rama bisa memandu hidup
saya. Saya akan mencintai gadis di samping saya ini, asalkan dia juga mencintai
saya. Cuma itu yang ada,
Rama." Lelaki tua berambut putih semua itu manggut-manggut. Dalam hati ia
mengakui suatu ucapan yang
jujur, yang tidak mempunyai kepalsuan sedikitpun. Ia bahkan sempat berbisik
kepada Kirana, walau tidak
harus mendekatkan mulut ke telinga putrinya: "Dia jujur, dan kau beruntung."
"Aku tahu, Ayah," Kirana mengangguk.
"Jadi, Ayah menyetujui dan merestui perkawinan kami?"
Kali ini Sabdawana turun dari tempat duduknya, melangkah ke tangga teras, memandang alam di
sekitarnya. Lalu dengan sangat berwibawa dan menyimpan kharisma ia berkata:
"Apakah dia sanggup memenuhi persyaratanku?" Kirana berkerut dahi. Ia tidak suka ayahnya banyak tingkah begitu. Ia
memprotes syarat apa pun
yang akan disampaikan oleh ayahnya.
"Apakah aku harus menunggu beruban baru
boleh kawin?"
"Sekarang pun sudah kelewat waktumu untuk
bersuami."
Itu jawaban ayah Kirana yang tetap kalem, namun tegas. Lalu sambungnya lagi, "Aku hanya ingin mempunyai menantu yang sesuai
dengan seleraku, ta-pi juga sesuai dengan seleramu."
"Lanangseta sesuai dengan seleraku, Ayah."
Sabdawana mengangguk-angguk. "Yah, memang sesuai dengan seleramu. "Tapi belum tentu sesuai dengan seleraku. Ingat,
Kirana, kalau kau kawin dengan dia, berarti dialah yang akan menjadi penguasa
tunggal di Bukit Badai ini setelah aku tiada. Jadi, aku bukan hanya sekedar
memilihkan calon suami buat-mu, tetapi sekaligus memilih calon penggantiku
sendi-ri. Jelas?"
Mau tidak mau, Kirana pun mengangguk. Ia
tahu bahwa kelak, jika ayahnya tidak ada lagi, suaminya itulah yang akan menjadi penguasa Bukit Ba

Pendekar Cambuk Naga 4 Gerhana Tebing Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dai, penjaga makam leluhur mereka, sekaligus penguasa segala isi goa-goa yang ada di sekitar wilayah Bukit Badai. Hanya Goa
Malaikat yang tidak boleh dikuasai, kecuali dijaga dan dipertahankan menjadi
milik leluhur Kirana. Bukit Badai tidak boleh dipimpin oleh seorang perempuan. Harus lelaki. Jadi, bukan Kirana
yang akan menjadi pengganti ayahnya kelak, melainkan suaminyalah yang akan menjadi pengganti penguasa Bukit Badai nantinya.
"Rama, boleh saya tahu syarat apa yang harus
saya kerjakan" Dan apakah itu berupa maskawin
buat... putri Rama?"
"Ya. Maskawin dan penobatan.!" jawab Sabdawana, tegas.
Suasana hening sejenak. Lanangseta mencoba
mengira-ngira bentuk maskawin yang dikehendaki.
Tapi ia masih kurang berani memastikan. Hanya saja
dalam saat itu juga, ayah Kirana berkata dengan jelas di depan Lanangseta dan
anak gadisnya: "Lanangseta, kau boleh memperistri putriku, tetapi pertama kali yang kuminta: Hancurkan Puri Tebing Neraka, dan carilah bunga teratai di dalam Goa
Malaikat!"
"Ayah..."!" Kirana tersentak kaget.
"Itu sama saja penolakan. Sama saja Ayah ingin
membunuh Lanangseta!" sambung Kirana dengan cemas. Ayahnya diam saja, tidak mengomentari katakata anaknya. Ia hanya memandang tajam pada Lanangseta dan bertanya, "Bagaimana" Sanggup?"
Setelah menghempaskan nafas panjang, Lanangseta menjawab dengan tegas, "Demi mendapatkan... dia," Lanangseta tak berani menyebutkan nama Kirana, takut terjadi
hujan badai seperti dulu la-gi (dalam kisah Misteri Goa Malaikat). Lalu ia menyambungnya: "Saya sanggupi persyaratan itu, Rama."
"Bagus! Lakukanlah mulai sekarang, Nak."
"Aku akan menyertaimu, Lanang," ujar Kirana.
Tapi Ayahnya menyahut:
"Jangan! Berilah kesempatan kepadanya untuk
menunjukkan betapa ia mencintaimu, Ki..."
"Tapi, orang-orang Tebing Neraka itu bukan
orang-orang sembarangan, Ayah. Mereka mempunyai
ilmu yang tinggi dan kekejamannya di luar batas kemanusiaan!" debat Kirana.
"Justru itulah letak cinta kasih Lanang kepadamu. Kalau dia kusuruh membunuh seekor kerbau,
hargamu hanya seharga seekor kerbau. Dan, maukah
kau mendapat maskawin hanya seekor kerbau?"
"Ayah, orang-orang Tebing Neraka itu...."
"Maskawinmu sangat berharga," sahut ayahnya. "Yaitu sejumlah nyawa yang susah dikalahkan.
Untuk itu, kau pun kelak tak akan bertindak sembrono terhadap suamimu. Ia telah membelimu dengan
nyawa dan darah. Ini juga demi mengikat dirimu, agar kau tidak semena-mena
terhadap suami!"
Lanangseta masih ingat apa yang dikatakan Kirana pada malam sebelum ia berangkat:
"Kau... kau keberatan sebenarnya dengan kedua syarat itu, bukan?"
Lanangseta menggeleng. "Aku senang. Aku
mempunyai kesempatan untuk menunjukkan cintaku
kepadamu."
"Tebing Neraka, benar-benar neraka bagi setiap
orang asing yang datang ke sana. Selain tempatnya
yang sulit dicapai, juga banyak perintang yang mengerikan. Setiap orang asing
datang ke sana, ia tak pernah pulang selamanya. Dan... kau...." Kirana ragu
untuk melanjutkan ucapannya, sedangkan Lanangseta semakin melebarkan senyum.
"Kau menyangsikan cintaku?" tanya Lanangse-ta.
"Tidak. Tanpa kau ke sana, aku tidak sangsi
dengan kasih setiamu, Lanang."
"Dari mana kau tahu?"
"Aku sering mendengar kata hatimu yang sangat mendambakan aku dan sangat menyayangiku. Aku
pernah mendengar kata hatimu, bahwa kelak kau ingin memanjakan aku, sebab itu adalah cita-citamu,
yaitu memanjakan seorang istri. Ah, sudahlah lupakan saja permintaan ayahku,
Lanang." "Itu sama saja kau menyuruh aku untuk melupakan cintamu. Tidak. Aku tidak mau meminta persyaratan lain. Aku harus ke Puri Tebing Neraka.
Mungkin memang bahaya, tapi di sana ada cinta yang
ingin kupersembahkan kepadamu."
Kirana menjatuhkan kepalanya dalam pelukan
Lanangseta. Bau harum dari rambut Kirana tercium
oleh Lanang dan menjadikan suatu gelora yang berdebaran di dalam dadanya. Karena itu, Lanangseta semakin mempererat pelukannya. Saat itu pula ia mendengar bisikan Kirana dalam keluh.
"Lanang... aku takut kehilangan kamu...."
"Aku juga," bisik Lanangseta. Pelukannya semakin mesra, seolah-olah diresapi
betul, betapa hangat dan mesranya berada dalam kerapatan tubuh Kirana. "Percayalah, kita tak akan saling kehilangan,"
kata Lanangseta. Dan, Kirana membisikkan kata lain:
"Carilah dulu Sekar Pamikat, mintalah restu
darinya supaya cintanya pun ikut menyertaimu. Bukan mengutukmu!"
Sekar" Mencari dia di dalam Goa Malaikat" Haruskah itu dilakukan Lanangseta" Betulkan dia akan
terkutuk jika tak direstui Sekar Pamikat" Ah, ada-ada saja yang mengganggu
otaknya kali ini.
* ** 3 DOMAS LANANGSETA menuang minumannya
dari dalam guci. Orang-orang di kedai itu sesekali
mencuri pandang ke arah Lanangseta. Sebenarnya tatapan mata mereka yang secara sembunyi-sembunyi
sudah diketahui Lanangseta. Ia sadar bahwa dirinya
menjadi pusat perhatian di kedai itu. Tetapi itu semua jelas dikarenakan dia
orang asing di situ.
Kecurigaan lain sebenarnya tak ada pada pikiran Lanang, kalau saja pemilik kedai itu berbisik pada saat mengantar makanan
yang dipesan Lanang.
"Sebaiknya Tuan lekas makan dan cepat tinggalkan desa kami."
Bisikan itulah yang membuat Lanang jadi curiga dan memasang kewaspadaannya.
"Memangnya, kenapa?" Lanang balas berbisik.
Ia sendiri tak enak kalau kehadirannya sampai meresahkan pemilik kedai. Tetapi pemilik kedai itu menjadi ragu-ragu untuk menjawab
pertanyaan Lanang.
"Kenapa Bapak kelihatannya gelisah?" desak Lanang.
"Mereka pasti akan datang, cepat atau lambat."
"Mereka siapa?" Lanang semakin tidak menger-ti.
"Tuan datang dari Barat, bukan?"
"Betul."
"Tujuannya mau ke mana?" selidik pemilik kedai.
"Mau ke Tebing Neraka. Apakah saya salah jalan?" Wajah pemilik kedai menjadi pucat. Ia bertam-bah gelisah, kecemasannya
sempat membuat giginya
gemetar. "Berarti... berarti Tuan datang dari Bukit Badai?" Sambil mengangguk Lanangseta menjawab,
"Ya. Benar."
"Celaka...!" desis pemilik kedai yang berbadan kurus dan berkumis tipis itu.
"Kenapa celaka?"
"Mereka akan semakin bernafsu membunuh
Tuan!" bisikannya semakin tegang. Tapi Lanangseta tetap tenang. Ia menikmati
paha ayam hutan dan secangkir tuak. Pemilik kedai itu sangat ketakutan. Ia berbisik lagi:
"Setiap orang yang datang dari Barat, pasti mereka bunuh. Tak ada ampun lagi bagi pendatang dari
arah Barat. Apalagi Tuan mengaku dari Bukit Badai,
ooh... pasti mereka tak akan memberi kesempatan kepada Tuan untuk bicara dan meminta maaf."
Aneh pembicaraan pemilik kedai ini, pikir Lanang. Bagaimana pun aneh dan ganjilnya suasana di
kedai itu, Lanang masih tetap berpenampilan tenang.
Ia ingat pesan Kirana sebelum ia pergi:
"Tenang. dan bersabarlah. Tanpa ketenangan
dan kesabaran yang tinggi, kau tak akan dapat mengalahkan orang-orang Tebing Neraka."
Kata-kata Kirana bagai bekal seorang istri kepada suaminya yang akan ke medan tempur. Berbekal
pesan Kirana itulah, maka Lanang tidak ikut gelisah
seperti orang-orang yang berada di kedai itu. Banyak yang tergesa-gesa pulang,
atau berpindah tempat duduk menjauhi Lanang. Namun semua itu tidak membuat Lanang berubah sikap.
"Tuan..." bisik pemilik kedai seraya menyajikan lalap sayuran mentah. "Saya
mohon, jika mereka datang, Tuan mau bicara dengan mereka di luar kedai
ya" Terus terang saja, saya takut kedai saya jadi rusak dan kacau semuanya. Saya
tidak ingin terulang untuk
yang kedua kalinya."
"Siapa maksud Bapak yang akan datang itu"
Raja" Kaisar?" tanya Lanangseta sambil mengunyah makanannya dengan kalem.
"Mereka itu, maksud saya... hem... anak buah
Surobedog! Apa Tuan belum mendengar kabar bahwa
Surobedog itu kaki tangan penguasa Puri Tebing Neraka" Kejam-kejam dan rakus-rakus. Setiap sebulan sekali anak perawan dari desa kami selalu dijadikan korban bakar, sebab memang
desa kami inilah desa yang
terdekat dengan Tebing Neraka."
Lanang manggut-manggut. "Apakah Surobedog
penguasa di Tebing Neraka?"
"Memang bukan. Tapi, untuk daerah desa kami, dialah yang diserahi tugas menjadi ketua pengawasan. Kalau ketua pusatnya,
Si Cakar Setan, memang
belum pernah datang ke mari. Sebab, anak buahnya
saja sudah cukup mampu menangani pengawasan sekaligus penguasaan terhadap rakyat desa ini. Para
pemuda desa ini telah banyak menjadi korban keganasan Si Cakar Setan."
"Dijadikan korban bulanan?"
"Bukan. Bukan dijadikan korban, tapi... dipaksa untuk menjadi anak buah Cakar Setan. Lalu mereka disuruh menyerang ke mana-mana, tanpa memperhitungkan keselamatan nyawa mereka. Jadi, para pemuda desa itu banyak yang dijadikan umpan di mana
mereka hendak menyerang."
"Dan Si Cakar Setan sendiri?" "Si Cakar Setan..." Oh, dia tidak pernah ke luar
dari Puri Tebing Neraka. Dia hanya bisa memberi perintah dari tempat
kerjanya."
"Kalau begitu, Si Cakar Setan itulah yang harus kutemui, sebab dialah penguasa
Tebing Neraka," gumam Lanang.
"Eh, bukan. Penguasanya bukan Si Cakar Setan. Ada sendiri, dan kami tidak pernah mendengar
namanya. Yang kami dengar mereka, orang-orang Tebing Neraka itu, Bering menyebut-nyebut nama Gusti
Dalem. Orang yang disebut Gusti Dalem itulah yang
memegang tampuk kekuasaan Tebing Neraka seluruhnya. Tapi... kalau Tuan mau menuruti saran saya jangan ke sana. Orang yang pergi ke sana, pasti tidak
pernah kembali lagi."
"Mungkin kali ini hanya aku yang akan kembali
lagi," ujar Lanang setelah meneguk tuaknya satu kali.
Pemilik kedai mendesah dalam resah. Semakin
gelisah lagi setelah ia melihat empat orang berjalan mendekati kedainya. Pemilik
kedai mengenal siapa mereka, sebab itu ia menjadi tegang dan berkata:
"Ssstt... Tuan, mereka datang... Betul apa kata saya tadi, bukan" Wah,
gawat...!"
Lanang hanya melirik kehadiran empat orang
bertubuh kekar, dengan pakaian semacam rompi yang
dihiasi dengan logam-logam putih berbentuk bintang
lima. Hiasan itu sangat banyak menempel di dada dan
seluruh baju itu. sehingga mereka bagai mengenakan
pakaian lapis logam.
Orang-orang yang berada di dalam kedai mulai
beranjak meninggalkan tempat, makin menjauhi Lanangseta. Wajah-wajah mereka penuh ketegangan, terutama wajah pemilik kedai. Lelaki kurus yang masih
berkalung serbet makan itu kelihatan lebih pucat dan sangat ketakutan.
Lanang tak tega melihat ketakutan pemilik kedai. Pasti yang ditakutkan adalah kehancuran kedai
dan dagangannya. Sebab itu, Lanangseta segera membayar semua ongkos makan dan minumnya lalu ke
luar lewat pintu samping. Ia berjalan meninggalkan
kedai bagai tak menghiraukan kehadiran keempat
orang kekar itu.
Rupanya keempat orang menyeramkan itu merubah arah, yang semula hendak masuk ke dalam kedai lewat pintu depan, kini berbelok ke arah samping kedai. Mereka memburu
Lanang dengan langkah-langkah beremosi.
"Berhenti...!" seru salah seorang dari keempat orang itu. Lanangseta tetap
melangkah, sengaja menjauhi kedai. Orang-orang di sekitar situ memandanginya dengan tegang dan penuh kecemasan. Ada pula
yang memperhatikan dengan bersembunyi di balik pohon atau di balik gerobak sapi.
"Berhenti, congek!" bentak lelaki bermuka tebal, hitam. Lanangseta seperti tidak
mendengar seruan itu.
Ia tetap melangkah kendati ia tahu orang-orang yang
memperhatikannya semakin ngeri sendiri.
Dengan kecepatan yang hebat dan ketangkasan
yang tinggi, Lanangseta berbalik secara mendadak.
Tangannya bergerak menangkap sebuah pisau yang dilemparkan dengan cepat ke arahnya. Pisau itu tergenggam erat di tangan Lanangseta, tepat pada bagian gagang pisau. Orang-orang
yang memperhatikan dengan sembunyi-sembunyi itu tercengang sendiri. Kaki
Lanangseta berdiri tegap, sedikit renggang, dan tangannya mempermainkan pisau yang berhasil ditangkapnya. Keempat lelaki bengis itu mendekat, lalu men-gepung Lanang; dua di
depan, dua di samping kiri ka

Pendekar Cambuk Naga 4 Gerhana Tebing Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nan. "Kamu orang Bukit Badai, ya"!" tanya orang di depannya.
"Anggap saja begitu. Mau apa kalian?"
Lanang bicara dengan tenang, tanpa menunjukkan rasa takut sedikit pun.
"Berarti kamu yang ikut membantai saudarasaudara kami, yang sedang berusaha mencari Goa Malaikat itu. Iya?"
"Kalau tidak salah, memang akulah yang membantai mereka. Apa kalian ingin menyusul mereka..."!"
Lanang bicara semakin membakar kemarahan keempat orang bengis itu.
"Kunyuk! Bunuh dia...!" Si Muka Tebal memberi perintah, dan ketiga temannya
segera menyerang Lanang dalam satu hentakan serempak. Senjata-senjata
mereka di arahkan ke tubuh Lanangseta. Mereka bertiga melayang bagai peluru, meluncur dalam satu teriakan: "Heeaaatt...!!!"
Lanangseta melompat ke atas sambil membuang pisau yang berhasil ditangkapnya itu. Ketiga
orang itu berguling, karena senjata mereka menemui
tempat kosong, Tanpa diduga-duga pisau lemparan
Lanang itu menuju ke arah ubun-ubun Si Muka Tebal.
Dengan gerakan bagai mengibas burung terbang, pisau
itu dapat ditangkis oleh Si Muka Tebal.
Lanang sudah berdiri di suatu tempat,
dalam jarak yang tak terlalu jauh dari mereka.
Lelaki bersenjata dua trisula itu segera berlari ke arah Lanangseta dan
menghunjamkan trisula kanannya.
"Waoww...!" Lanang berkelit ke kiri dengan nada meremehkan serangan itu. Trisula
lolos melewati samping pinggang Lanang. Sementara itu, trisula yang satunya hendak dilancarkan
menghunjam perut Lanangseta. Namun dengan melompat semakin ke kiri,
senjata itu berhasil dielakkan oleh Lanangseta. Kakinya segera menendang tangan yang memegangi trisula kanan. "Plak...!" Keras sekali tendangan itu sehingga pemilik senjata
trisula meringis kesakitan. Tulang tangannya terasa ngilu, sampai-sampai ia tak
sanggup mengangkat trisulanya lagi. Kini tinggal satu trisula di tangan kirinya.
Sementara itu, dari samping kiri datang serangan lelaki bergolok pendek. Kendati pendek namun gerakan golok itu tak dapat dilihat oleh mata penonton karena cepatnya. Namun
pandangan mata Lanang sudah terlatih melihat kelebatan senjata apa pun, sehingga dapat bersalto ke belakang menghindari bacokan golok pendek itu. Posisinya tepat jatuh di depan Si Muka Tebal, yang tanpa
menunggu waktu lama lagi, ia
langsung menyerang Lanangseta dengan pedangnya
yang berujung runcing. Lanang bahkan semakin bergerak mendekati tubuh Muka Tebal sehingga gerakan
pedang runcing yang hendak menusuknya itu terlewatkan. Bertepatan dengan lolosnya pedang runcing
yang bagai hendak mengiris pinggang Lanang, pada
saat itu juga kedua pukulan Lanangseta menghantam
keras wajah Si Muka Tebal dengan pukulan ganda. Si
Muka Tebal terpental beberapa langkah. Dan kaki Lanangseta segera menyambut kehadiran lawan satunya
lagi yang datang dari arah samping kanannya. Tendangan samping itu nyaris beradu dengan pedang
orang itu. Hanya berjarak beberapa inci saja. Tetapi tendangan samping itu tidak
pernah meleset. Tepat
mengenai leher orang itu, sehingga untuk beberapa
saat orang itu tersedak dan sukar bernafas. Keseimbangan orang itu mulai limbung, dan Lanangseta tak
tanggung-tanggung lagi, mendekat satu langkah dan
menghantamkan pukulannya di ulu hati lawan dengan
pukulan ganda. Darah tersembur dari mulut orang itu
yang membungkuk kesakitan.
Secepat itu Lanang melompat ke udara, bersalto ke depan. Sebuah kilatan senjata melesat ke arahnya. Benda kecil yang semula berbentuk bintang lima
itu hampir saja menyerempet pelipisnya, kalau saja
Lanang tidak memiringkan kepala ke arah kanan.
Orang yang habis menyerang dengan lemparan
bintang tajam itu tahu-tahu terpekik tertahan dan terguling-guling di tanah,
karena Lanangseta melancarkan pukulan jarak jauhnya dengan tepat. Dua orang
yang masih dalam keadaan segar segera maju bersama. Mereka adalah Si Muka Tebal dan lelaki bersenjata trisula kembar. Pertamatama kedua trisula menyerang bersamaan dalam posisi sejajar. Tujuannya ke
dada Lanangseta. Tak dapat ditawar lagi, Lanangseta
terpaksa segera berguling ke dengan, tepat di bawah
kaki lawannya. Kemudian sebuah pukulan menggunakan ujung-ujung jari tangannya menyerang paha lelaki bersenjata trisula. Lelaki
itu menjerit, pahanya seperti ditutul dengan jari tangan Lanangseta. Tapi ia
kelihatannya sangat kesakitan. Ketika ia berbalik sambil
memegangi salah satu pahanya, Lanangseta meletik
bagai udang, dan melancarkan pukulan totok jari ke
punggung orang itu. Pukulan totok jari tersebut membuat lelaki bertrisula tak mampu bergerak lagi. Tangan, kaki dan bahkan jari-jarinya pun tak mampu digerakkan. Tetapi kepalanya masih bisa menengok kian
ke mari. Ia berteriak kepada Muka Tebal: "Aku... aku tertotok, tak bisa
bergerak! Hancurkan dia!"
"Hiaaaaat...!" Si Muka Tebal berteriak sambil mengibaskan pedang runcingnya ke
arah lengan Lanangseta. Tubuh kekar itu hanya miring ke depan, dan pedang
runcing tak sempat menggores lengannya. Ia
melancarkan tendangan samping ke wajah Muka Tebal, namun Si Muka Tebal menangkis tendangan itu
dengan salah satu tangan yang tidak bersenjata. Rupanya gerakan menangkis itu diiringi dengan gerakan
cabut bintang, sehingga ketika tangan itu lempang la-gi, sekilas benda mengkilat
melayang cepat tertuju ke dada Lanangseta. Hanya dengan cara berguling ke tanah
secepatnya senjata kecil itu mampu dihindari Lanangseta. Namun di luar dugaan, senjata itu melesat
ke belakang Lanang, dan di sana ada orang yang tadi
mengeluarkan darah dari mulutnya akibat pukulan
Lanang. Orang itu tak sadar kalau senjata Si Muka
Tebal melesat ke arahnya, sehingga terpekiklah ia karena senjata bintang itu
menancap di keningnya. Menancap dalam, hampir terbenam seluruhnya. Lalu
orang itu roboh oleh senjata temannya sendiri.
Si Muka Tebal semakin ganas. Ia menyerang
dengan kibasan pedangnya secara bertubi-tubi. Lanang sempat keteter mundur menghindari kibasan pedang yang cepat itu. Tahu-tahu dari belakang punggungnya, ada tangan yang menyekap kuat leher Lanang. Tangan itu adalah tangan pemilik golok pendek
Tangan itu begitu kekar, dan Lanang sudah dapat
memperkirakan bahwa sesaat lagi golok pendek itu
akan merobek tubuhnya, mungkin di pinggang, mungkin langsung berkelebat ke depan merobek perutnya.
Atau, kalau tidak ia akan ditahan dalam posisi leher terjepit begitu sehingga Si
Muka Tebal dapat memba-batnya habis-habisan. Maka secara refleks, Lanang
memutar tubuh dengan kuat, sehingga orang bergolok
pendek itu menjadi berbalik ke arah belakangnya.
Punggungnya menghadapi amukan pedang Muka Tebal. Tangannya kuat-kuat menghimpit leher Lanang.
Tangan kirinya siap mengayunkan golok ke pinggang
Lanang. Namun perkiraan Lanang cukup tepat, sebelum golok menyentuh kulitnya, pasti punggung orang
itu sudah terbabat lebih dulu oleh pedang Si Muka
Tebal. Dan ternyata benar; "breet...!" Orang itu tersabet pedang Muka Tebal. Ia
menjerit dan melemas, lalu roboh. Sedangkan Muka Tebal semakin garang setelah ia
melihat pedangnya mengenai teman sendiri.
Wajah Muka Tebal semakin kelihatan berminyak, bagai dibakar oleh kemarahannya.
"Bangsat buruk...!" geram orang itu. "Kau pikir hanya kaulah orang berilmu silat
tinggi, hah?"
Lanangseta tampak tenang, berdiri dengan tegap dan bersikap menunggu serangan berikutnya. Kata-katanya cukup jelas, tegas, tapi santai:
"Kau telah mengakuinya sendiri, bukan"!"
"Manusia busuk! Terimalah jurus Karang Saktiku ini...."
Si Muka Tebal menggerakkan kedua tangannya
ke samping kanan-kiri. Kemudian salah satu tangan
dilipat ke dada dengan menggenggam kuat-kuat, sampai bergetar. Sementara itu kaki kirinya ditarik mundur dan direndahkan hingga
lututnya hampir menyentuh tanah. Ia bergerak maju dalam posisi kerendahan
tubuh yang tetap sama dan gerak tangan yang gemetar
ke depan ke belakang bergantian, seperti orang hendak berenang. Lalu, semua
orang yang menyaksikan pertarungan itu dengan sembunyi-sembunyi menjadi tercengang melihat tubuh Muka Tebal menjadi putih,
berbintik-bintik. Mirip karang berjalan. Tubuh itu melesat cepat, menghantam
Lanangseta. Pendekar Pusar
Bumi tak kalah cepat, ia pun melesat naik ke atas dan bersalto beberapa kali.
Ketika ia berguling-guling di udara, rupanya Muka Tebal pun mengikutinya,
sehingga ketika Lanang menapakkan kaki ke tanah, Si
Muka Tebal pun telah berdiri di sampingnya, lalu memukul kuat-kuat.
Lanangseta terpental akibat angin pukulan Karang Sakti itu, sedangkan pukulan itu sendiri mengenai pohon dan robeklah pohon itu bagai selembar kain dicabik binatang buas.
Daun-daun pohon berguguran
dan pohon itupun menjadi gundul seketika. Semua
orang yang melihat dengan sembunyi-sembunyi mulai
terkagum-kagum dan takjub, mereka tak sadar menyerukan kata: "Oohh"!" sebagai pelampiasan ketakjuban mereka.
Lanang baru saja hendak menyerang Muka
Tebal yang sudah berubah menjadi batu karang yang
lentur, namun kakinya bagai tertahan sesuatu. Rasanya perih sekali. Sepintas sebelum itu, ia mendengar lecutan cambuk dua kali.
Oh, ternyata sebuah cambuk bertali dua telah
membelit salah satu kakinya. Cambuk itu berduri pada setiap talinya yang agaknya
terbuat dari semacam ka-wat. Tentu saja darah mulai membasah di kaki kiri
Lanangseta dan ia menyeringai menahan sakit. Cambuk
itu ditahan kuat-kuat oleh seorang bertubuh gemuk
tanpa memakai baju. Salah seorang penonton gelap
ada yang berseru;
"Itu dia Surobedog...!!"
Lanangseta mendengar seruan itu, dan ia menatap orang yang mengenakan ikat kepala dari bahan
semacam logam perak yang bulat bagaikan pipa kecil.
Di bagian keningnya terdapat semacam simbol berbentuk muka raksasa bermulut lebar. Oh, dia yang namanya Surobedog" Pikir Lanang sambil menahan sakit. Muka Tebal melihat musuhnya terjerat cambuk
Surobedog segera memanfaatkan keadaan. Ia melayang
dan menyerang Lanangseta. Tapi Lanangseta secepat
itu pula menjatuhkan tubuhnya ke samping kendati
kakinya masih terikat cambuk dua tali. Namun ia sudah berhasil menghindari goresan tubuh Si Muka Tebal yang seperti karang tajam itu. Tubuh Muka Tebal
meluncur dan jatuh beberapa langkah dari tempat Lanang merobohkan badan. Surobedog menggeret kaki
Lanangseta dengan satu hentakan kuat. Selain luka di kaki Lanang semakin terluka
parah, juga tubuhnya
menjadi lebih dekat dengan Muka Tebal. Menurut perkiraan Lanangseta, tubuh yang sudah berubah menjadi seperti karang itu sangat beracun dan tak boleh ter-sentuh kulit manusia
lain. Buktinya pohon saja bisa
menjadi robek dan daunnya berguguran semua. Lain
tanah tempatnya berpijak dan sekarang diduduki itu
mengepulkan asap dan menjadi hangus.
Karena itu, tak ada jalan lain bagi Lanangseta
kecuali segera mencabut pedang Wisa Kobranya dari
punggung. Kaki semakin dihentakkan oleh Surobedog,
dan dia semakin dekat dengan Muka Tebal. Pada saat
tangan Muka Tebal hendak menjamahnya, tiba-tiba
pedang Wisa Kobra membabat kuat tangan itu. Terdengar teriakan keras dari Muka Tebal ketika tangannya terpotong. Buntung seketika. Karena Lanangseta
menganggap Muka Tebal sangat berbahaya untuk posisinya kali ini, maka dengan satu kali kibasan lagi, Lanangseta menghantamkan
pedangnya ke tubuh Mu-ka Tebal. Tubuh yang seperti karang itu terbelah menjadi
dua bagian. Ia tak sempat menjerit atau berseru sepatahpun. Ia langsung
berkelojot sebentar lalu mati
tak berkutik lagi.
"Biadab! Kau bunuh teman baikku, bangsat...!"
teriak Surobedog dengan kemarahan yang meluap.
Dengan keras ia menarik cambuknya yang masih
membelit dan menancap pada kaki Lanangseta. Tarikan itu membuat Lanangseta menyeringai kesakitan.
Ia berusaha menahannya walau rasa sakit semakin
meresap sampai ke ubun-ubun. Lalu dengan satu kali
loncatan menggunakan kakinya yang satu lagi, pedang
Wisa Kobra berhasil menebas tali cambuk ganda.
"Breet...!" Tak ayal lagi, cambuk itu pun putus. Ujung-ujungnya tertinggal di
kaki Lanangseta. Pada saat Lanangseta berusaha melepas potongan cambuk yang
tertinggal, Surobedog diam terbengong memandang
cambuknya telah menjadi pendek.
Rupanya orang yang bernama Surobedog itu
punya ilmu yang cukup tinggi pula. Ia segera membuang cambuknya yang dirasakan tidak berguna lagi
itu. Kini ia berkonsentarasi dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan
dada. Lanangseta selesai
melepasi duri yang menusuk daging kakinya. Ia segera berdiri hendak menghadapi
Surobedog. Namun tiba-tiba dari ujung-ujung jari yang saling- merapat itu ke
luarlah asap putih. Kedua tangan yang merapat itu diarahkan ke tubuh Lanangseta, dan asap putih yang
menyembur dari tiap ujung jarinya membuat tubuh
Lanangseta menggigil. Asap itu semakin banyak mengurung Lanangseta, dan akhirnya beku bagaikan es.
Lanangseta makin meringis kesakitan dan kedinginan.
Ia terpaku di tempat, di mana asap putih yang menyelimutinya itu membeku. Kian lama kian keras, dan Lanangseta mulai seperti berada dalam lapisan balok es yang tebal.
"Gawat...! Aku terkurung dalam lapisan es, dan
ini sangat memudahkan Surobedog untuk menghancurkan es bersama diriku. Uuhh...! Sialan!" pikir Pendekar Pusar Bumi. Ia ingin
Pendekar Sadis 9 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Senopati Pamungkas 26

Cari Blog Ini