Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa Bagian 1
AJIAN CANDRA BIRAWA Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Ajian Candra Birawa
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Suara jeritan panjang dan menyayat hati
terdengar. Jeritan itu mengiringi luncuran sesosok
tubuh wanita yang jatuh dari puncak sebuah bukit
cadas. Tubuh wanita berambut panjang mengenakan pakaian putih itu terlempar ke
dasar jurang. Suara jeritannya telah lenyap sebelum mencapai
dasar jurang yang berbatu-batu. Barangkali wanita
itu telah tewas atau pingsan ketika tubuhnya melayang di udara.
Sementara dari puncak bukit cadas terdengar pekikan dan bentakan-bentakan keras
beberapa orang. Rupanya tengah terjadi pertarungan
sengit di sana.
Benar. Di bawah cahaya bulan yang redup
seorang lelaki berusia lima puluhan tengah bertarung menghadapi tiga lelaki
bengis yang mengeroyoknya. Lelaki berambut putih tanpa pengikat
kepala itu tampak kewalahan. Beberapa bagian
tubuhnya terluka hingga mengeluarkan darah.
Senjatanya yang berupa keris panjang tak berarti
sama sekali menghadapi gempuran dahsyat cakra
milik lawan. Berkali-kali senjata cakra yang terikat
rantai besi itu melesat ke arah tubuhnya.
"Ha ha ha...! Habisi saja dia, Regosulung.
Jangan biarkan orang seperti dia hidup lebih lama
lagi...!" teriak lelaki bercambang bauk. Ia bersenjata sepasang gading kuning.
Lelaki berpakaian merah ini tengah memperhatikan pertarungan bersama kawannya
yang juga mengenakan pakaian
merah. "Biar kubantu, Kakang Regosulung," ujar
kawan lelaki bercambang bauk yang juga menggenggam sepasang gading kuning. "Tak
sabar rasanya. Aku ingin segera menghabisi si keparat itu!"
"Tunggu, Siung Warak! Untuk apa menghambur-hamburkan tenaga. Tugas masih banyak.
Kita harus membantai semua murid Perguruan
Sangga Jagat setelah Pratangga itu mampus," ujar
lelaki brewok. Namun tiba-tiba...
Wuttt! Crrraakk! Ketika Regosulung mengibaskan rantai baja
yang mengikat cakra, lelaki berambut putih mampu menangkisnya. Keris panjang di
tangannya berhasil memapaki rantai hingga terlibat. Terjadilah saling tarik-menarik.
"Hiaaa...!"
Kedua lelaki berpakaian serba merah yang
memperhatikan jalannya pertarungan kembali tersentak kaget, Regosulung terlontar
beberapa tombak dan jatuh di depan mereka. Sebuah tendangan keras telah mendarat
telak di perutnya. Regosulung segera bangkit berdiri meskipun sedikit
sempoyongan. "Kurang ajar!" Siung Warak bergegas melompat ke arah lelaki berambut putih.
"Hei, Pratangga! Jangan harap kau mampu bertahan
menghadapiku!" bentaknya dengan mata memerah.
Tak! Tak! Tak! Dengan gerak cepat Siung Warak memukulmukulkan sepasang gading yang tergenggam
di tangan. "Cuih! Orang-orang seperti kalianlah yang
tak boleh hidup lama di dunia ini!"
"Hua ha ha...! Apa yang kau miliki hingga
berani berkata begitu, Pratangga" Apa kau lupa
dengan kematian kakakmu empat purnama yang
lalu. Keris Sakti Tanpa Wujud miliknya tak berarti
apa-apa," ujar Siung Warak.
Pratangga tercenung. Ia teringat kematian
kakak kandungnya yang dibunuh secara licik oleh
orang-orang yang tak diketahui. Keris pusaka peninggalan leluhurnya ikut raib.
Keris panjang yang
di kalangan rimba persilatan sangat kesohor karena keanehannya itu memang
dipegang Sunu Bagaskara. Ayah mereka yang dikenal sebagai Pendekar Tanpa Nama
mempercayakan putra sulungnya untuk memegang keris pusaka itu.
"Bedebah! Jadi, kalian yang membunuh kakak kembarku"!"
"Hua ha ha...! Kau pun akan segera menyusul Sunu Bagaskara ke akherat,
Pratangga!"
Didorong oleh rasa dendam atas kematian
Kakak kembarnya, Pratangga tak mampu menahan kemarahan yang menggelegak di
hatinya. Apalagi baru saja Nyi Roro Mintarsih, kakak iparnya,
terlempar ke dasar jurang akibat terpukul rantai
baja Regosulung. Lelaki berambut putih yang berpakaian lurik lengan panjang itu
melesat dan mengibaskan keris di tangannya.
Siung Warak yang melihat lawannya menyerang langsung melompat untuk memapaki.
Benturan-benturan keras terjadi ketika gading kuning di tangan Siung Warak
menangkis babatan dan tusukan keris Pratangga. Sebentar saja
keduanya telah terlibat pertarungan sengit. Ternyata, lelaki bersenjata gading
itu tak hanya bermulut besar. Serangan dahsyat dan berbahaya
yang dilakukan Pratangga berhasil diatasi dengan
mudah. Bahkan, ketika lelaki berambut putih itu
melenting menghindarkan serangan, Siung Warak
tanpa ragu-ragu memburunya. Keduanya melayang di udara. Dengan gerakan yang
sulit diikuti mata biasa, sepasang gading di tangan Siung Warak melesat.
Wuttt! Wuuttt! Pratangga mengibaskan kerisnya memapaki
kedua gading yang hampir menyambar leher dan
dadanya. Sepasang gading kuning itu berpentalan
balik. Lalu, meluncur ke arah pemiliknya. Dengan
mudah Siung Warak menangkap kedua senjata
andalannya itu.
"He he he...! Ini baru permulaan, Pratangga.
Jangan bangga dulu berhasil memapaki seranganku," ujar Siung Warak sesaat
setelah kakinya
mendarat ringan di tanah.
Pratangga mendarat sekitar tiga tombak di
depan Siung Warak. Kerisnya tersilang di depan
dada. Namun belum sempat ia melancarkan serangan kembali, Siung Warak telah
melompat ke arahnya. Lelaki berpakaian merah itu tampaknya
tak ingin memberi kesempatan kepada Pratangga.
Sepasang gadingnya dikibas-kibaskan di depan
wajah. Hingga, bentuk kedua senjata berwarna
kuning itu lenyap dari pandangan.
Melihat serangan lawan, Pratangga segera
melentingkan tubuhnya ke atas, ia hendak melakukan serangan dari atas. Namun
secepat itu pula, tanpa diduga-duga lawan melenting ke udara.
Dengan cepat Siung Warak menusuk serta memapaki keris lawan.
Tangkisan yang dilakukan dengan gading di
tangan kanan dibarengi oleh gading di tangan kiri
yang mendarat telak di dada lawan. Pratangga terdorong ke belakang, lalu jatuh
bergulingan dengan
mulut mengerang kesakitan. Meskipun gading itu
tidak sampai menembus dadanya, namun tusukan
telak tadi telah menimbulkan luka cukup parah.
Ketika tubuhnya bangkit berdiri, Pratangga memuntahkan darah segar.
Karena lawan telah kembali melompat untuk melancarkan serangan susulan Pratangga
memutar kerisnya. Meskipun ia tahu benar tindakannya ini sangat berbahaya, tapi
menunggu serangan lawan sampai mengenai tubuhnya merupakan perbuatan konyol.
Dan, ternyata tidak sia-sia usaha yang dilakukan Pratangga. Kerisnya yang
berputar cepat berhasil menggores tangan kanan Siung Warak.
Namun karena lawan belum terluka sementara dirinya telah mengalami luka parah,
Pratangga akhirnya terdesak hebat. Ketika dia melompat ke
samping kanan untuk menghindari serangan gading lawan, sebuah tendangan keras
mendarat di perutnya. Tubuh lelaki berpakaian lurik itu terlontar ke belakang dan langsung terperosok ke dalam
jurang. Jeritan panjang terdengar dari mulut Pratangga. Tubuhnya hancur berantakan
membentur batu cadas di dasar jurang.
"Ha ha ha...! Nikmati kematianmu yang
mengerikan, Pratangga!" teriak Siung Warak dari
bibir jurang. Kedua kawannya melangkah mendekati. Ketiga lelaki berwajah bengis itu berdiri di
tepi jurang. Mereka tertawa terbahak-bahak mengejek
lawannya yang tewas sangat mengenaskan.
"Betapa gembiranya Ketua bila mendengar
keberhasilan kita ini, Kakang Regosulung," ujar
Siung Warak. "Ya. Ayo, kita lanjutkan tugas kita. Kita masih harus mengobrak-abrik Perguruan
Sangga Jagat milik Pratangga! Jangan sisakan seorang pun
muridnya. Tumpas habis!" sahut Regosulung. Lalu, memberi isyarat kepada kedua
kawannya untuk segera pergi.
Sambil memperdengarkan tawa penuh kemenangan, ketiga lelaki berpakaian merah itu
melesat menuruni bukit. Sebentar kemudian ketiganya telah sampai di bawah. Di
sana tiga ekor kuda yang ditambatkan pada pohon besar tengah
menunggu. Tanpa membuang-buang waktu, ketiganya
langsung menggebah kuda masing-masing.
*** "Bodoh! Goblok kalian semua!"
Bentakan penuh kemarahan itu dikeluarkan seorang lelaki berusia lima puluhan
yang bertubuh tinggi gagah. Alis matanya yang beralis tebal
menatap tajam tiga lelaki berpakaian merah di depannya. Regosulung, Siung Warak,
dan Bardak tertunduk diam. Tak satu pun berani memandang
wajah lelaki gagah berjubah hitam itu.
Ada perasaan gentar yang sangat di hati
mereka. Tugas yang baru saja dijalankan ternyata
kurang berkenan bagi sang ketua.
"Sudah kukatakan jangan sampai Nyi Roro
Mintarsih mati. Aku sangat membutuhkan anak
yang berada dalam perutnya."
"Ampun, Ketua. Pesan Ketua itu terpaksa
tak dapat kami laksanakan. Tanpa sengaja Nyi Roro Mintarsih terkena pukulan
hingga terlempar ke
dasar jurang...," lapor Regosulung takut-takut.
"Benar, Ketua. Tempat pertarungan itu terlalu sempit untuk menghadapi
keberingasan Pratangga. Sebuah puncak bukit cadas yang tinggi
dan terlalu licin. Dalam keadaan kalut kami hanya
bertekad dapat segera menghabisi nyawa Pratangga," tambah Siung Warak.
"Hhh.... Bodoh. Bodoh sekali!" dengus lelaki
berjubah hitam. "Kematian Nyi Roro Mintarsih telah menggagalkan rencanaku untuk
mengambil anaknya. Aku yakin dia bibit unggul yang akan
mampu menerima semua ilmu silat. Dia darah
daging seorang pendekar. Ksatria sejati. Seharusnya salah satu dari kalian
menyelamatkan Nyi Roro Mintarsih!"
"Tapi, bukankah hal itu dapat membahayakan Ketua" Kalau nanti anak itu tahu kitalah yang
membunuh ayahnya, dia akan menuntut balas...,"
ujar Regosulung mencoba menanggapi.
"Tahu dari mana" Memangnya aku orang
bodoh" Setelah dia lahir tentu kita bunuh ibunya.
Bebal otakmu!" bentak lelaki berjubah hitam. "Sudah! Yang penting kalian telah
membunuh Pratangga. Tapi ingat, ini bukan tugas kalian terakhir.
Masih banyak perguruan golongan putih yang harus kita tumpas. Dua bersaudara
Kampak Kembar dan anak buahnya telah kuperintahkan menumpas Lurah Banaran yang mencoba menolak
tawaranku. Sementara Kebo Kluwuk dan Gajah Setan
pagi ini berangkat untuk memburuihanguskan
Perguruan Jambe Anom."
Regosulung, Siung Warak, dan Bardak
hanya membisu mendengar ucapan ketua. Sedikit
pun tak terlintas di benak mereka akan menolak
atau membantah perintah lelaki berjubah hitam.
Kematian adalah taruhan bagi mereka jika menolak. Rencana besar yang dicitacitakan lelaki berjubah hitam baru akan terwujud jika semua tokoh
dan perguruan golongan putih telah binasa.
*** 2 Terik matahari siang itu begitu panas, seakan hendak membakar pemukaan bumi.
Angin bertiup kencang menghembuskan hawa panas.
Langit musim kemarau tampak biru bersih tanpa
awan. Di suatu lembah tandus dan berbatu-batu
cadas tampak sesosok lelaki muda tengah berlatih
ilmu silat. Di bawah cahaya matahari tubuhnya
yang kekar berotot berkilatan karena keringat. Rupanya, sudah cukup lama pemuda
berambut panjang dikepang itu berlatih.
Kini dia duduk bersila menghadap ke barat.
Matanya yang tajam menatap tepat ke arah matahari. Kemudian, dipejamkan rapatrapat. Bersamaan dengan itu kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada.
Cukup lama gerakan itu dilakukan. Tiba-tiba, kedua telapak tangannya dihentakkan
ke depan kuat-kuat.
Slats! Selarik cahaya merah melesat sangat cepat
menuju sebongkah batu cadas sebesar kerbau
yang berada lima belas tombak di depannya.
Glarrr...! Ledakan keras menggelegar. Cahaya kemerahan itu menghantam batu cadas hingga
hancur
Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkeping-keping. Pemuda bertelanjang dada itu
melompat sambil tertawa kegirangan.
"Ha ha ha...! aku berhasil. Aku berhasil!" teriaknya. Ia berlari menuju gubuk
bambu yang terletak tidak jauh dari tempatnya berlatih.
"Buyut! Buyut...! Aku berhasil. Aku berhasil, Buyut!"
Dari gubuk bambu yang cukup besar itu keluar seorang nenek yang mengenakan
pakaian hijau pupus. Dengan langkah tersaruk-saruk nenek
berambut panjang dan memegang tongkat itu
menghampiri si pemuda. Meskipun dia telah berada di depan pemuda itu, wajah
nenek yang dipanggil buyut tidak memandangi si pemuda. Dengan mata terkatup
rapat dia memandang ke arah
lain. Wajahnya sedikit mendongak, hingga tampaklah bekas luka-luka pada sepasang
matanya. Wajahnya yang bersih dan seperti bersinar
menandakan kalau nenek bertubuh tinggi semampai itu memiliki kemampuan tinggi.
Suatu pamor yang biasa dimiliki orang-orang berilmu tinggi. Selain itu, raut wajahnya masih
menampakkan bekas kecantikannya di masa muda.
"Suta, apa Buyut tadi tidak salah dengar?"
tanya wanita yang nama sebenarnya Nyi Buyut
Brintik. Suara tuanya terdengar lembut tapi berwibawa.
"Hhh... Andai saja Buyut dapat melihatku
berlatih," ujar pemuda itu setengah bergumam.
"Aku melihatmu, Suta," sahut Nyi Buyut
Brintik. Ia lebih suka dipanggil 'Buyut'. "Meskipun
sepasang mataku buta, tapi mata hatiku dapat
melihat semuanya dengan jelas. Aku gembira
mendengar keberhasilanmu mempelajari ilmu
'Tapak Matahari'. Tidak sia-sia kekerasan hatimu
dalam berlatih, Cucuku.... "
Nenek itu menghentikan ucapannya kemudian, dihelanya napas panjang. "Bersihkan
tubuhmu. Ada sesuatu yang akan kusampaikan padamu, Suta," katanya.
Pemuda berambut panjang dikepang membisu. Tidak seperti biasanya Nyi Buyut
Brintik me- nyuruhnya membersihkan diri. Apalagi, mengajaknya membicarakan sesuatu. Setelah
mengerutkan kening, Suta Srengenge mengangguk dan
beranjak pergi dari hadapan Nyi Buyut Brintik.
Nenek itu kemudian melangkah masuk
kembali ke gubuknya. Dengan tongkat yang berguna untuk menopang tubuhnya ia
berjalan tersaruk-saruk.
Nyi Buyut Brintik duduk di atas potongan
kayu besar, menunggu muridnya kembali dari
sungai. Tak lama kemudian Suta Srengenge datang. Pemuda itu lalu duduk di lantai
di depan Nyi Buyut Brintik. "Suta Srengenge, sudah saatnya kau keluar
dari gubukku ini. Habis sudah semua ilmu yang
kumiliki. Semua telah kuturunkan kepadamu,"
ujar Nyi Buyut Brintik. "Namun, tidak boleh lantas
berbangga diri, terlebih besar kepala karena telah
menguasai ilmu tingkat tinggi. Kelak jika dirimu
terjun ke rimba persilatan kau akan bertemu dengan berbagai tokoh yang memiliki
ilmu tinggi. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang lebih tinggi
ilmunya darimu. Bukan berarti aku merendahkan
kemampuanmu. Di sanalah kau akan mendapat
banyak pengalaman hingga mampu mengembangkan ilmu yang kau miliki sekarang...."
Nyi Buyut Brintik menghentikan ucapannya. Dihelanya napas dalam-dalam. Sepasang
matanya yang terkatup rapat seolah mampu melihat
wajah Suta Srengenge di hadapannya.
"Kau harus berhati-hati, Cucuku. Sekali
kaki melangkah tanggung jawab kehidupanmu ada
pada pundakmu sendiri. Aku sudah terlalu tua.
Aku tak mungkin menyertaimu terus...."
"Buyut, ada janji yang belum kau tepati padaku hingga saat ini," ujar Suta
Srengenge dengan
mengangkat wajahnya. "Bagaimanapun aku harus
tahu siapa kedua orangtuaku. Kau hanya menyebutkan orangtuaku pendekar yang
kesohor pada zamannya...."
"Ya, ya. Karena itulah aku mengajakmu
berbicara," sahut Nyi Buyut Brintik. "Kau tak perlu
terkejut. Selama dua puluh tahun ini kau tinggal
di rumah nenekmu sendiri, Suta."
"Jadi..."
"Ya. Akulah nenekmu sebenarnya. Kedua
batu nisan di belakang rumah kita adalah kuburan ibu dan pamanmu. Nyi Roro
Mintarsih adalah
ibu kandungmu Dia istri Sunu Bagaskara, putra
sulungku. Sedangkan yang satu lagi kuburan pamanmu, Pratangga. Sunu Bagaskara
dan Pratangga dua anak kembar Pendekar Tanpa Nama, suamiku. Mereka sangat
terkenal empat puluh tahun
yang lalu. Tak satu pun orang-orang persilatan
yang tidak mengenal nama Pendekar Kembar."
Nyi Buyut Brintik menghentikan ceritanya
sesaat. Sementara Suta Srengenge tampak tercenung mendengar penuturan nenek itu.
"Namun sayang, seorang tokoh tingkat tinggi dari golongan hitam membunuh mereka
secara keji dan licik. Ayahmu terbunuh di dalam perguruannya ketika Mintarsih,
istrinya, mengandung
dirimu. Empat purnama setelah ibumu dibawa
Pratangga ke perguruannya, tiga orang anak buah
Kolo Mareksa datang membunuh mereka...."
"Bagaimana aku bisa lahir dari perut ibuku?" tanya Suta Srengenge.
"Akulah yang menolong Mintarsih ketika
terlempar ke dalam jurang sana." Nyi Buyut Brintik menunjuk ke arah utara.
Tempat tinggal mereka memang tak jauh dari jurang terjal yang sangat
dalam dan berbatu-batu.
"Jadi, Nenek Buyut menyaksikan kejadian
itu?" "Sudah kukatakan, meskipun mataku buta,
aku dapat melihat semua kejadian di sekitarku.
Aku tahu saat ketiga anak buah Kolo Mareksa
memburu Pratangga yang ingin menyelamatkan
Nyi Roro Mintarsih. Aku tidak bisa berbuat banyak
waktu itu. Aku telah telanjur terikat sumpah yang
pernah ku ucapkan di depan Kolo Mareksa, ketika
aku dikalahkannya. Aku bersumpah tidak akan
mencampuri urusan Kolo Mareksa lagi seumur hidupku."
Kenapa Buyut sampai mengucapkan sumpah seperti itu" Bukankah Buyut orang
golongan putih yang mestinya akan bertekad membela kebenaran sampai kapan pun?" tanya
Suta Srengenge yang merasa heran mendengar sumpah gurunya.
"Kau tidak tahu, Cucuku. Begitu aku dikalahlan Kolo Mareksa, secara keji dia
melukai kedua mataku hingga buta. Waktu itu aku bersumpah
hanya untuk menyelamatkan jiwaku. Agar aku bisa terus mendidik dan membesarkan
kedua putra kembarku, Sunu Bagaskara dan Pratangga. Mereka telah dibawa lari suamiku untuk diselamatkan."
Suta Srengenge terdiam mendengar alasan
neneknya. Ia mengerti betapa Nyi Buyut Brintik
terpaksa mengucapkan sumpah itu. Sebagai seorang pendekar wanita dirinya harus
bertanggung jawab akan tegaknya kebenaran dan keadilan, tapi
juga harus memikirkan keselamatan kedua putranya.
Kemudian Nyi Buyut Brintik menceritakan
semua kejadian yang dialaminya setengah abad lalu. Suatu peristiwa mengenaskan
yang membuat dirinya terlempar jauh di tempat pengasingan.
Jauh dari dunia ramai. Jauh dari rimba persilatan
yang hingar-bingar oleh tokoh-tokoh golongan hitam.
*** Di depan sebuah rumah besar seorang lelaki setengah baya tengah sibuk melatih
ilmu silat kepada dua orang anak. Keakraban yang mereka
tunjukkan jelas menggambarkan kalau yang tengah melatih kedua anak kembar itu
adalah ayah mereka sendiri.
"Tanganmu kurang lurus, Pratangga. Lihatlah kakakmu itu," ujar sang ayah sambil
mendekati anak lelaki yang dipanggil Pratangga.
Anak itu menoleh ke arah kakaknya yang
berdiri di samping kanan. Lalu, dibetulkannya letak tangannya yang memang agak
kurang lurus. "Capek, Yah!" ujar anak itu mengeluh.
"Husss! Baru beberapa kali kita latihan kau
sudah bilang capek, Pratangga," sahut kakaknya
yang tak lain Sunu Bagaskara.
"Tidak mudah untuk menjadi seorang pendekar, Pratangga. Kita harus bekerja
keras. Berlatih dan berlatih. Ketekunan dan kerajinan akan
membuat kita berhasil. Kelak kalian akan menjadi
pendekar-pendekar hebat. Orang akan menjuluki
kalian sebagai Pendekar Kembar," ujar ayahnya
dengan tersenyum. Memberi semangat kepada kedua anak kembar itu. "Alangkah
bangganya hati ayah melihat kalian menjadi dua orang pendekar
yang tidak hanya ditakuti, tapi juga disegani oleh
kawan maupun lawan...."
"Hei, kalian beristirahatlah dulu! Ibu telah
membuatkan minuman dan ubi rebus untuk kalian...!"
Seorang wanita setengah baya berwajah
cantik keluar dari rumah besar itu. Ia membawa
kendi air dan beberapa potong ubi rebus di piring
kayu. Melihat ibu mereka yang memanggil, kedua
anak kembar itu langsung berlarian menyambutnya. Sang ayah hanya menggelenggelengkan kepala melihat tingkah kedua anaknya. Dia pun melangkah menghampiri
istrinya. "Rasanya aku menyesal, Kang," ujar wanita
cantik itu seraya tersenyum kepada suaminya.
"Apa maksudmu, Nyi?" tanya lelaki berpakaian coklat muda.
"Kenapa tidak dari dulu kita mengundurkan
diri dari dunia persilatan. Mungkin anak-anak kita
sudah dewasa. Usia kita sudah mendekati separo
abad baru memiliki anak-anak"
"Apa kata para pendekar kawan-kawan kita
kalau kita mundur waktu itu" Mereka akan mencibirkan bibir. Seorang pendekar
mestinya tak akan mundur sampai mati sekalipun," ujar sang
suami. Dipandanginya kedua anaknya yang asyik
menikmati ubi rebus di serambi rumah.
Ketika mereka tengah menikmati waktu istirahat setelah berlatih pagi itu, tibatiba sesosok bayangan merah berkelebat dan berhenti di depan
rumah. "Ha ha ha...! Betapa nikmatnya sepotong
ubi rebus dan sekendi air hangat!"
Sesosok lelaki bertubuh tinggi besar berdiri
dengan kaki terpentang memandangi kedua anak
yang tengah duduk menikmati ubi rebus.
"Kolo Mareksa!" gumam lelaki berpakaian
coklat muda dengan mata terbelalak kaget. "Untuk
apa kau datang kemari...?"
"Tentu saja menantangmu, Pendekar Tanpa
Nama!" jawab lelaki berpakaian merah. "Kaulah
yang telah menggagalkan tindakan anak buahku
membantai Perguruan Cakar Harimau beberapa
tahun lalu. Aku ingin mencoba seorang pendekar
usilan seperti kau."
"Tidak tahukah bahwa aku dan istriku telah
mundur dari dunia persilatan, Kolo Mareksa?"
"Ha ha ha...! Ternyata Pendekar Tanpa Nama tak lebih dari seorang pengecut!
Tidak tahukah kau kalau hutang nyawa harus dibayar dengan
nyawa pula?" Lelaki berpakaian merah yang ternyata Kolo Mareksa itu balik
bertanya dengan nada mengejek. Mulutnya tak henti-hentinya tertawa
seraya memandangi istri Pendekar Tanpa Nama.
"Keparat!"
"Heaaa...!"
Bersamaan dengan umpatan Pendekar Tanpa Nama, Kolo Mareksa melompat sambil
menghentakkan kedua tangannya. Pendekar Tanpa
Nama terpental beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya jatuh bergulingan di
serambi rumah. Serangan jarak jauh Kolo Mareksa ternyata datang
begitu cepat hingga tak sempat dielakkannya.
Kedua anak kembar yang tadi asyik menikmati ubi rebus segera berlarian mendekati
ibunya. Mereka tampak ketakutan, meskipun sang ibu berusaha menenangkannya.
Belum sempat Pendekar Tanpa Nama berdiri dengan sempurna, Kolo Mareksa telah
melancarkan serangan susulan. Namun dengan cepat
Pendekar Tanpa Nama melemparkan tubuhnya ke
lantai, lalu bergulingan.
Brrraakkk! Serangan jarak jauh yang berupa deruan
angin kencang menghantam pintu rumah hingga
roboh. Melihat kebringasan lawannya, Pendekar
Tanpa Nama tak ingin gegabah. Begitu berhasil
mengelakkan serangan, tubuhnya segera melenting bangkit dan melompat menjauhi
rumah. Ia ingin pertarungan ini jauh dari kedua putranya yang
masih kecil. Dia khawatir serangan lawan akan
mengenai mereka. Lelaki setengah baya berpakaian coklat muda itu mendarat ringan
di tengah halaman. Melihat lawannya berada di halaman, Kolo
Mareksa berbalik. Cepat dia melompat sambil melancarkan serangan. Lelaki
berpakaian merah ini
tampaknya tak ingin memberi kesempatan kepada
lawan untuk balas menyerang. Dia tahu yang dihadapinya bukan tokoh sembarangan.
Namun dengan secepat kilat Pendekar Tanpa Nama melentingkan tubuh ketika
serangan lawan datang. Ketika tubuhnya berada di udara itulah dia melakukan
serangan balasan. Kedua tangannya dihentakkan dengan keras. Melesatlah selarik
cahaya kemerahan menuju tubuh lawan.
Pendekar Tanpa Nama pun tak ingin melakukan
serangan dengan jurus-jurus ringan. Lawannya telah menyerang dengan ilmu-ilmu
andalan yang sangat berbahaya.
Dalam sekejap pertarungan jarak jauh itu
tak terelakkan lagi. Keduanya saling pukul dan
tangkis dari jarak sekitar enam tombak. Bagi Sunu
Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagas kara dan Pratangga kejadian ini tentu saja
sangat aneh dan mengherankan. Baru kali inilah
mereka menyaksikan pertarungan seperti itu.
Apalagi ketika kedua tokoh berilmu tinggi
itu saling mengadu tenaga dalam. Darah merembes dari mata dan telinga Pendekar
Tanpa Nama. Rupanya, pendekar yang telah sepuluh tahun
lamanya mengundurkan diri dari rimba persilatan
itu kewalahan menghadapi musuhnya. Meskipun
seluruh kekuatan tenaga dalamnya telah dikerahkan, ternyata kekuatan lawan
berada di atas kemampuannya.
Kedua anak kembar itu menjerit melihat
sang ayah gemetaran. Saat itulah istri Pendekar
Tanpa Nama melepaskan pelukan Sunu Bagaskara
dan Pratangga. Tubuhnya yang terbalut pakaian
putih melesat ke tengah arena pertarungan. Ia tahu suaminya berada dalam keadaan
yang sangat berbahaya bagi keselamatan jiwanya.
*** "Hiaaa...!"
Jrats! Sebuah pukulan keras yang dilakukan Walet Putih Dari Selatan menyambar leher
Kolo Mareksa. Tubuh lelaki bertubuh tinggi dan besar itu
oleng. Namun apa yang terjadi kemudian benarbenar mengejutkan istri Pendekar
Tanpa Nama. Tiba-tiba saja tubuh Kolo Mareksa berubah
wujud menjadi dua. Di hadapan Walet Putih Dari
Selatan kini berdiri dua sosok kembar Kolo Mareksa.
"Heh, Ilmu 'Canda Birawa'...," gumam wanita itu dengan mata terbelalak, tak
percaya. Walet Putih Dari Selatan tentu saja keheranan. Dari mana Kolo Mareksa memperoleh
ilmu yang menurut kabarnya telah punah ratusan tahun lalu"
"Ha ha ha...! Kau tentu heran melihatku
memiliki Ilmu 'Canda Birawa'. Apa kau lupa, Walet
Putih, Kolo Mareksa memiliki Ilmu 'Luluh Raga'
yang mampu membuat orang tetap awet muda.
Dengan bantuan ilmu itu aku melakukan tapa selama bertahun-tahun untuk memperoleh Ilmu
'Canda Birawa' yang punah dari muka bumi ini ratusan tahun silam. Ha ha ha...!
Kini tak satu pun
pendekar di rimba persilatan yang akan mampu
mengalahkan Kolo Mareksa. Dan, kau harus mati
di tanganku, Walet Putih! Kecuali kalau dirimu
bersedia bersumpah tidak akan mencampuri urusanku selama hidupmu!"
Tergetar hati Walet Putih Dari Selatan mendengar ancaman Kolo Mareksa.
"Sombong! Jangan kira aku akan menyerah
begitu saja kepadamu, Kolo Mareksa!" dengus Walet Putih Dari Selatan penuh
kemarahan. "Kita
tuntaskan pertarungan ini!"
Sambil mengucapkan kata-kata itu Walet
Putih Dari Selatan mundur dua tindak untuk
mengambil jarak. Dengan penuh kewaspadaan
tangannya bergerak meloloskan pedang yang tersampir di pundaknya.
Sringng! "Hadapi senjata pusaka 'Pedang Wangi'-ku
ini, Kolo Mareksa!"
Wuutt! Wuttt! Walet Putih Dari Selatan memutar senjata
andalannya yang bernama Pedang Wangi. Deru
angin putaran pedang menghembuskan aroma
wangi. Namun, sebentar kemudian berubah menjadi hawa panas yang menyengat. Walet
Putih Dari Selatan melenting tinggi.
"Hiaaa...!"
Begitu mendarat dua tombak dari tempat
suaminya berdiri, wanita itu langsung melepaskan
pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi, Kolo
Mareksa yang tengah mengadu tenaga dalam dengan Pendekar Tanpa Nama terkena
serangan itu. Tubuhnya terdorong dua tombak ke belakang, lalu jatuh bergulingan
di tanah. Melihat Kolo Mareksa berusaha melancarkan serangan balasan, wanita itu melompat
dan menerjangnya. Sebuah tendangan keras tak mampu dielakkan Kolo Mareksa. Dadanya
telak tertendang.
Lelaki berpakaian merah itu terjungkal ke
samping kanan. Namun, dengan cepat dia melompat bangkit.
"Perempuan Sundal, mampus kau!"
Kolo Mareksa melompat melancarkan tendangan keras. Namun, wanita cantik itu
memapakinya dengan pukulan tangan kanan.
Plakkk! "Ihh...!"
Istri Pendekar Tanpa Nama terpekik kaget
ketika tangannya berbenturan keras dengan kaki
lawan. Dirasakan sekujur lengan kanannya bergetar hebat. Tampaknya, kekuatan
tenaga dalamnya
berada di bawah lawan. Menyadari hal itu ia melompat untuk menghindari serangan
susulan yang berupa pukulan tangan kanan.
Pendekar Tanpa Nama yang telah terluka
parah beringsut-ingsut mendekati kedua putra
kembarnya. Dia ingin menyelamatkan Sunu Bagaskara dan Pratangga, sementara
istrinya menghadapi Kolo Mareksa. Lawan terlalu berat dan berbahaya. Kalau kedua putranya tidak segera diselamatkan bisa-bisa mereka menjadi
korban kebengisan Kolo Mareksa. Pendekar Tanpa Nama
melesat membawa pergi kedua anaknya.
Istri Pendekar Tanpa Nama yang dengan gigih menghadapi Kolo Mareksa
memperlihatkan keunggulannya. Ternyata tidak percuma julukan
Walet Putih Dari Selatan yang diberikan orang kepadanya. Wanita itu terus
mengerahkan jurusjurus andalan.
Beberapa kali serangan gencar yang dilakukannya berhasil mendesak Kolo Mareksa.
Adu tenaga dalam dilakukannya bersama Pendekar Tanpa Nama ternyata telah
menguras banyak tenaga
dalam Kolo Mareksa.
"Hiaaatt...!"
Walet Putih Dari Selatan melesat dengan
membabatkan pedangnya ke arah dua sosok Kolo
Mareksa. Namun dengan secepat kilat kedua sosok
Kolo Mareksa itu melompat ke samping kanan dan
kiri. Sehingga, babatan Pedang Wangi hanya mengenai tempat kosong.
Wanita berpakaian putih itu memutar tubuhnya dan mengejar sosok Kolo Mareksa
yang berada di sebelah kanan. Diburunya lelaki berpakaian merah itu dengan babatan
dan tusukan pedang. Namun, Kolo Mareksa dengan tidak kalah
cepatnya melompat lalu berjumpalitan ke belakang.
"Ha ha ha...! Hadapi dia sampai mati, Walet
Putih!" ejek sosok Kolo Mareksa yang lain.
Mendengar ejekan itu berubahlah pikiran
Walet Putih Dari Selatan. Jangan-jangan yang tengah diburunya bukan sosok asli
Kolo Mareksa. "Bedebah! Heaatt...!"
Sambil memutar tubuh dengan cepat, Walet
Putih Dari Selatan menebaskan 'Pedang Wangi'nya.
Wuuttt! Crrass!
Tanpa memperdengarkan pekikan atau jeritan, sosok Kolo Mareksa yang tengah
diburunya terjungkal dengan tubuh berlumuran darah. Luka
menganga bekas babatan pedang terlihat di bagian
dada. Namun apa yang terjadi kembali mengejutkan wanita berpakaian putih itu.
Kolo Mareksa yang terjungkal itu berubah wujud. Tubuh berpakaian merah itu kini bertambah
lagi jumlahnya.
Dengan mata terbelalak, Walet Putih Dari
Selatan memandangi kedua sosok jelmaan Kolo
Mareksa. Hampir ia merasa putus asa. Mana
mungkin menghadapi tiga lawan yang tak dapat
mati" "Inikah kehebatan Ilmu 'Canda Birawa' yang
kesohor itu?" gumam Walet Putih Dari Selatan dalam hati.
Ilmu 'Canda Birawa' memang memiliki keanehan tersendiri. Barang siapa yang
menguasai ilmu itu ia akan mampu memperbanyak jumlah
tubuhnya setiap terkena senjata lawan. Sehingga,
sekuat dan se ampuh apa pun lawan yang menghadapinya akan mati kelelahan. Sosoksosok jelmaan Ilmu 'Canda Birawa' memiliki kesaktian yang
sama dengan sosok aslinya.
Ketika ketegangan dan rasa heran tengah
mencekam Walet Putih Dari Selatan, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan coklat
di belakang rumah. Sosok bayangan yang tak lain Pendekar Tanpa Nama itu masuk ke
rumahnya melalui pintu
belakang. Tak lama kemudian, Pendekar Tanpa
Nama telah melangkah keluar, kali ini lewat pintu
depan. Rupanya, lelaki setengah baya itu mengambil senjata andalannya. Di tangan kiri
tergenggam sebatang keris berukuran panjang melebihi ukuran keris biasa. Warangkanya yang
terbuat dari kayu jati hitam berukir gambar matahari terbit.
Itulah keris yang sangat terkenal di dunia persilatan selama dua puluh tahun
terakhir ini. Keris
Sakti Tanpa Wujud, begitulah nama senjata itu.
Begitu sampai di serambi depan Pendekar
Tanpa Nama langsung melesat ke tengah kancah
pertarungan. Dia ingin membantu istrinya yang
tengah menghadapi keroyokan tiga sosok Kolo Mareksa.
"Kolo Mareksa! Hadapi aku!" teriak Pendekar Tanpa Nama. Laki-laki itu mendarat
beberapa tombak di dekat istrinya yang tengah bertarung
melawan dua sosok Kolo Mareksa.
Sementara sosok Kolo Mareksa yang tengah
memperhatikan pertarungan menoleh ke arah Pendekar Tanpa Nama.
"He he he...! Kau datang lagi, Pendekar Tanpa Nama. Sia-sia saja kau kemari.
Hanya akan mengantarkan nyawa kepadaku...."
Menyadari lawan telah mengeluarkan ilmu
andalan untuk menghadapi Walet Putih Dari Selatan, Pendekar Tanpa Nama tak membuang-buang
waktu. Diloloskannya keris pusaka dari warangkanya
Srrats! Keris panjang dan lebar itu digenggam dengan kedua tangan. Lalu, diangkatnya
sampai ke atas kepala. Mata Pendekar Tanpa Nama terpejam
sesaat. Lalu....
"'Aji Sirna Wujud'...! Heaaa...!" Teriakan keras menggelegar dikeluarkan
Pendekar Tanpa Nama. Tiba-tiba Keris Sakti Tanpa Wujud lenyap dari
pandangan. Sekejap kemudian tubuh Pendekar
Tanpa Nama ikut lenyap.
Kolo Mareksa tampak kaget menyaksikan
kejadian itu. Matanya jelalatan ke sana kemari
mencari Pendekar Tanpa Nama. Namun kemudian.....
Sssts! "Haaah...!"
Kolo Mareksa tersentak kaget bukan main.
Tiba-tiba sebelah lengannya terpotong dan jatuh
ke tanah. Darah segar seketika mengucur deras
dari lengannya yang buntung. Sedikit pun tak ada
rasa sakit ketika lengannya terbabat keris lawan
yang tak tampak.
Itulah kehebatan Keris Sakti Tanpa Wujud
apabila dikerahkan dengan ajian 'Sirna Wujud'. Selain lawan tak mampu melihat ke
mana arah gerakannya, lawan pun akan terbabat atau tertusuk
tanpa merasakan sakit.
Kolo Mareksa langsung berlompatan ke sana kemari disusul dengan lentinganlentingan tu- buh yang cepat. Itu dilakukan untuk menghindari
serangan lawan. Dengan gerakan cepat dan tak
terduga itu mungkin dirinya dapat mengelakkan
serangan lawan yang tak nampak.
Namun tindakannya ternyata sia-sia. Secepat apa pun gerakan Kolo Mareksa tetap
tak lepas dari pandangan lawan. Itu terbukti ketika suatu
saat Kolo Mareksa kembali tersentak kaget. Kaki
kanannya buntung dan terpental dari tubuhnya.
Darah segar mengucur deras membasahi tanah
kering di halaman rumah itu.
"Ha ha ha...! Apa yang akan kau lakukan,
Kolo Mareksa" terdengar suara tawa tanpa wujud.
Kolo Mareksa kebingungan mencari Pendekar Tanpa Nama. Suara itu terdengar dari
berbagai arah dan berputar-putar. Kemudian, matanya terbelalak kaget melihat kedua sosok
jelmaan dirinya
yang tengah menghadapi Walet Putih Dari Selatan
berjatuhan dengan kaki buntung. Rupanya, mereka pun terbabat Keris Sakti Tanpa
Wujud. "Bedebah! Heaaa...!"
Teriakan keras terdengar memekakkan telinga. Bersamaan dengan berhentinya suara
itu sosok-sosok tubuh Kolo Mareksa dan jelmaannya
berubah menjadi banyak, seolah tubuh mereka
mampu membelah diri. Bahkan, mereka yang tadi
terluka dan berjatuhan kini bangkit kembali. Wajah mereka yang beringas dan
menyeramkan seolah hendak menelan Walet Putih Dari Selatan yang
tampak kebingungan. Wanita cantik berpakaian
putih itu kini berada dalam kepungan sosok-sosok
Kolo Mareksa. Namun belum sempat sosok-sosok Kolo Mareksa yang berjumlah lima belas orang itu
melancarkan serangan, mendadak mereka menjerit kaget. Tubuh-tubuh berpakaian
serba merah itu jatuh bergulingan dengan tangan dan kaki buntung.
Bahkan, dua orang di antaranya terbabat lehernya
hingga putus. Ketika lawan-lawannya berjatuhan Walet
Putih Dari Selatan melesat dari tempatnya. Namun
jelas sekali gerakannya tidak dilakukan sendiri.
Seseorang telah membopong tubuhnya.
Salah satu sosok Kolo Mareksa memekik
keras. Bersamaan dengan itu sosok-sosok lain
membelah diri. Tanpa diperintah lagi, ketiga puluh
sosok Kolo Mareksa secara bersamaan menghentakkan tangan ke arah melesatnya
tubuh Walet Putih Dari Selatan.
Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Srratss! Srratss! Belasan sinar kemerahan melesat begitu cepat menghantam tubuh Walet Putih Dari
Selatan. Tak dapat dihindarkan, tubuh Walet Putih Dari Selatan terpental dan jatuh
bergulingan ke tanah di
luar halaman rumahnya. Pekikan keras terdengar
dari mulut wanita cantik itu, bersamaan dengan
jeritan lain dari sosok tanpa wujud.
Namun ketika sosok tanpa wujud jatuh ke
bumi nampaklah sosok Pendekar Tanpa Nama.
Tubuhnya yang mengenakan pakaian coklat muda
telah berubah hangus. Hanya kerisnya yang saat
itu belum terlihat. Kedua tangan Pendekar Tanpa
Wujud terbuka, berarti keris itu tidak ada di genggamannya. Rupanya, serangan yang dilakukan Kolo
Mareksa dan sosok-sosok jelmaannya menghantam telak tubuh Pendekar Tanpa Nama
yang tengah membopong istrinya. Sementara Walet Putih
Dari Selatan sendiri terhindar dari serangan dahsyat itu.
"Hua ha ha...! Suamimu tak akan mampu
bertahan terhadap 'Pukulan Api Neraka'-ku, Walet
Putih. Kini tinggal satu pilihan untukmu, nyawamu melayang bersama suamimu atau
tetap hidup dengan satu janji. Kau tak akan mengganggu dan
mencampuri urusanku," ujar Kolo Mareksa seraya
melangkah mendekati Walet Putih Dari Selatar
yang terkapar tak berdaya.
Hati wanita itu tergetar mendengar tawaran
yang diucapkan Kolo Mareksa. Hati kecilnya menolak untuk tidak menyerang. Jiwa
kependekarannya tak sudi menerima tawaran yang begitu merendahkan dirinya itu.
Namun saat teringat kedua
putra kembarnya yang masih kecil, perasaan itu
sedikit luntur. Ingin rasanya ia menerima tawaran
itu, namun mulutnya tetap bungkam. Hanya meringis-ringis menahan hawa panas yang
mendera sekujur tubuhnya. Ia ragu dapat mengalahkan kehebatan Kolo Mareksa. Apalagi jika
benar suaminya akan tewas akibat pukulan dahsyat 'Api Neraka' tadi.
"Kau memang keras kepala, Walet Putih!
Hih...!" Jrats! Walet Putih Dari Selatan menjerit setinggi
langit. Kolo Mareksa telah menghujamkan dua jarinya ke mata wanita itu. Seketika
darah mengucur dari sepasang mata Walet Putih Dari Selatan.
Rasa sakit yang tak terhingga dirasakannya. Pandangannya gelap. Ia tak mampu
melihat apa pun
di sekitarnya. Tubuhnya yang telah kehabisan tenaga berkelojotan sambil
mengerang-erang kesakitan. Suara tawa berkepanjangan Kolo Mareksa
makin lama makin menjauh dari tempat itu.
Kolo Mareksa dan sosok-sosok jelmaannya
telah pergi. Tinggallah sepasang suami-istri, Pendekar Tanpa Nama dan Walet
Putih Dari Selatan,
yang menderita. Tersiksa oleh rasa sakit bercampur hawa panas yang mendera
sekujur tubuh mereka.
"Istriku...."
Pendekar Tanpa Nama memanggil istrinya.
Kepalanya bergerak perlahan ingin melihat keadaan Walet Putih Dari Selatan yang
mengerangerang kesakitan.
"Bagaimana keadaanmu, Kakang?"
"Aaah.... Inilah yang harus ditanggung
orang-orang seperti kita. Aku rasanya tak kuat lagi.... Ambillah Keris Sakti
Tanpa Wujud dan bawalah ke tempat kediaman Resi Watuhumalang. Kedua anak kita
kutitipkan kepadanya. Kuharap mereka kelak akan mampu mengalahkan kedurjanaan
Kolo Mareksa...."
Dengan hati penuh rasa iba Walet Putih Dari Selatan memeluk suaminya yang dalam
keadaan sekarat. Sementara tangan kanan Pendekar Tanpa
Nama tampak telah menggenggam kembali kerisnya. Rupanya tadi ketika Kolo Mareksa belum pergi, keris itu dibiarkan
tergeletak di samping tubuhnya dalam keadaan tanpa wujud.
Setelah Keris Sakti Tanpa Wujud diberikan
kepada Walet Putih Dari Selatan, Pendekar Tanpa
Nama menghembuskan napas terakhir. Tamatlah
riwayat pendekar itu.
Walet Putih Dari Selatan yang telah mengalami kebutaan dengan tertatih-tatih
melangkah meninggalkan suaminya. Hatinya hancur dan dirundung kesedihan yang tak terkira.
Wanita itu terus melangkah menuju tempat tinggal Resi Watuhumalang untuk menemui
kedua putra kembarnya.
*** Nyi Buyut Brintik menghentikan ceritanya
sejenak. Dihelanya napas panjang. Kepalanya ditolehkan ke kiri ke kanan dan
dengan matanya yang
terkatup rapat.
Suta Srengenge hanya diam membisu.
"Hanya dua purnama aku berada di rumah
Resi Watuhumalang. Kemudian, aku berpamitan
untuk meninggalkan kedua putraku. Aku tinggalkan ayah dan pamanmu. Mulai saat
itulah aku pergi mengasingkan diri. Sengaja kupilih tempat
ini yang tidak terlalu jauh dengan kediaman Resi
Watuhumalang. Maksudku agar aku tetap selalu
dekat dengan kedua putraku. Pada waktu-waktu
tertentu kusempatkan menjenguk mereka secara
diam-diam. Hingga kedua putraku menjadi pendekar aku tetap berada di sini. Aku tak tahu apakah
Kolo Mareksa mengetahui kalau pendekar kembar
adalah putraku. Yang jelas, suatu ketika kudengar
kabar bahwa Sunu Bagaskara, ayahmu, terbunuh
oleh anak buah Kolo Mareksa. Empat purnama
kemudian pamanmu pun terbunuh. Ibumu yang
tengah hamil tua mengandung dirimu ikut menjadi
korban keganasan mereka. Untung saja aku dapat
menyelamatkanmu...."
Suta Srengenge terdiam dengan wajah merah padam. Hatinya dipenuhi kemarahan dan
dendam kesumat. "Betapa keji perbuatan Kolo Mareksa," gumam Suta Srengenge dalam
hati. Namun hal itu bukan tak diketahui Nyi
Buyut Brintik. Wanita itu menggeleng-gelengkan
kepalanya perlahan.
"Aku tahu bagaimana perasaanmu mendengar kisah hidup keluargamu, Suta Srengenge.
Tapi, kuharap engkau pandai-pandai menjaga diri,
mengendalikan amarah dan perasaan dendammu,"
ujar Nyi Buyut Brintik yang dulu berjuluk Walet
Putih Dari Selatan. "Aku sering mengatakan kepadamu bahwa seorang pendekar yang
berjiwa ksatria tidak layak memendam dendam kesumat. Seorang ksatria akan tetap
berjiwa gagah. Sekalipun
dendam membara di dalam hatinya. Ia harus
mampu meredamnya hingga berubah menjadi suatu perasaan cinta kasih. Sebisabisanya seorang
pendekar harus berbuat baik kepada sesamanya.
Memang, seorang pendekar perlu bersikap keras
dan tegar. Tapi ia juga harus bisa bersikap lembut
seperti air. Harus mampu mendahulukan sikap diri yang menunjukkan budi luhur kita...."
"Aku tak mengerti apa yang kau maksudkan, Buyut," ujar Suta Srengenge. Yang ia
ketahui, seorang pendekar adalah orang yang keras, mampu memaksakan kehendaknya kepada
setiap musuhnya. Apalagi jika musuh itu jelas-jelas telah
bertindak durjana, menyebar maut di mana-mana
dan meresahkan hidup orang banyak
"Kau masih terlalu hijau, Cucuku."
Nenek bermata buta itu tersenyum seraya
menggeleng-gelengkan kepala. Ia segera menyadari
wejangannya yang terlalu panjang kurang dapat
diterima cucunya. Seorang pemuda seperti Suta
Srengenge masih diliputi hawa nafsu yang menggebu-gebu. Darah mudanya akan cepat
naik jika melihat atau mendengar sesuatu yang tidak sesuai
dengan hatinya. Apalagi jika hal itu jelas menyinggung pribadi dan martabat
dirinya. Namun, Nyi Buyut Brintik segera sadar
kembali, pengalaman hidup seseorang akan menciptakan perubahan sikap dan sifat
orang itu. Orang bisa lembut dan ganas tergantung pada
pengalaman hidup yang dijalaninya.
"Maksudku seorang pendekar sejati hanya
akan berjuang untuk menegakkan dan membela
kebenaran. Bukan memusuhi atau membunuh sesamanya yang bertindak durjana. Yang
harus kita tumpas adalah kedurjanaan, kejahatan, dan
keangkaramurkaan. Bukan manusia yang berbuat
durjana itu. Jadi, seorang pendekar sejati akan rela memberi ampun kepada orang
yang bertaubat dan menyadari kesalahannya. Kalau kita mampu
berbuat seperti itu niscaya kedamaian akan tercipta di atas muka bumi. Tidak ada
lagi permusuhan
antara sesamanya...."
Nenek buta itu kembali menerangkan kepada cucunya. Pengasingan diri selama
hampir setengah abad ini telah mematangkan jiwanya. Penyucian diri yang
dilakukannya dengan menjalani
tapa bertahun-tahun menyadarkan dirinya bahwa
kedamaian hanya akan tercipta jika keangkaramurkaan lenyap dari hati manusia.
"Buyut, bagaimana kalau si durjana itu tak
bisa disadarkan dengan cara baik-baik?" tanya Suta Srengenge setelah terdiam
beberapa lama. Nyi Buyut Brintik tersenyum melihat kepolosan cucunya.
"Itulah sebabnya mengapa kuajarkan ilmu
bela diri kepadamu, Suta. Gunakan kepandaian
yang kau miliki untuk menyadarkan mereka. Kalau dengan cara halus tak mempan,
apa boleh buat. Untuk menumpas kejahatannya kita harus
menumpas pelakunya!" tegas Nyi Buyut Brintik.
"Kau harus berani menghadapi orang-orang durjana. Kau tidak boleh mengeluh dan
pantang menyerah. Aku memberimu nama Suta Srengenge. Nama
yang memiliki arti 'Putra Matahari'. Namamu tak
berbeda dengan kedua putra kembarku. Sunu Bagaskara dan Pratangga. Keduanya
memiliki arti yang sama, Putra Matahari. Bagi kebanyakan
orang mungkin nama tidaklah berarti. Tapi bagiku
nama dapat memberi semangat dan menggambarkan jiwa pemiliknya. Kuharapkan hal
ini terjadi pada semua keturunanku. Berbuatlah berani seperti ayah dan pamanmu. Mereka lebih baik mati
daripada harus tunduk kepada nafsu setan yang
menyesatkan...."
"Satu lagi yang ingin kutanyakan kepadamu, Buyut. Bagaimana mungkin aku mampu
menghadapi kehebatan Kolo Mareksa yang kini telah menjadi penguasa tertinggi
dunia persilatan?"
"Itulah yang menjadi persoalanku saat ini,
Suta. Kolo Mareksa memiliki Ilmu 'Luluh Raga'
yang membuat dirinya tak pernah bisa tua. Seharusnya dia lebih tua usianya
dariku. Aku sendiri
telah hampir satu abad. Tapi perlu kau ketahui,
Putra Matahari, 'Canda Birawa' yang dimiliki Kolo
Mareksa ternyata bukanlah Ilmu 'Canda Birawa'
yang sesungguhnya. Ini baru kuketahui setelah
sekian tahun mengamati sepak terjangnya. Kau
tahu aku sering keluar dari tempat pengasingan
ini. Aku mencoba melihat dari dekat sepak terjang
Kolo Mareksa...," jawab Nyi Buyut Brintik.
Nenek yang dulu dikenal dengan julukan
Walet Putih Dari Selatan itu memang pada waktuwaktu tertentu keluar dari
rumahnya. Dengan Keris Sakti Tanpa Wujud dan Ilmu 'Sirna Wujud'-nya
dia bisa menghilang dari pandangan mata orang.
Sehingga, ia dapat dengan leluasa mengamati Kolo
Mareksa yang setengah abad lalu pernah mengalahkannya, "Ilmu 'Canda Birawa' yang
sejati tidak akan menyebabkan pemiliknya melakukan tindakan durjana, Cucuku. Konon kabarnya
ilmu itu dulu dimiliki seorang begawan, manusia setengah
dewa yang berhati suci. Jadi, tak mungkin ia akan
berbuat kejahatan. Ilmu yang dimiliki Kolo Mareksa bukanlah 'Canda Birawa' sejati, melainkan ilmu
sihir yang sangat kuat. Untuk saat ini hanya ada
satu pendekar yang mampu mengalahkan Kolo
Mareksa. Kabar yang kudengar dari pembicaraan
orang-orang persilatan, pendekar itu berjuluk si
Pendekar Gila."
"Pendekar Gila?" Suta Srengenge tersenyum
mendengar julukan itu.
Nyi Buyut Brintik kemudian menceritakan
ciri-ciri pendekar itu, seperti yang sering didengarnya dari orang-orang
persilatan. "Dia mempunyai ajian yang mampu membinasakan segala macam ilmu sihir dan
siluman," lanjut Nyi Buyut Brintik. "Kini tugasmu yang pertama adalah mencari Pendekar
Gila. Saat ini orang-orang persilatan belum ada yang melakukannya. Mereka merasa ragu, apakah
pendekar itu akan mampu mengalahkan Kolo Mareksa. Mereka
tak ada yang mengira kalau ilmu yang dimiliki Kolo Mareksa itu ilmu sihir, bukan
'Canda Birawa' sejati." Nyi Buyut Brintik lalu bangkit dari duduknya. Kakinya melangkah menuju sebuah
kamar yang terletak di samping kanan.
"Suta Srengenge, ikutlah aku!"
Nyi Buyut Brintik membuka pintu kamar
yang terbuat dari kayu tebal. Suta Srengenge mengikuti di belakang. Begitu
sampai di dalam ruangan yang sangat gelap terasa oleh Suta Srengenge
aroma harum yang menyemak menusuk hidungnya. Baru kali ini Suta Srengenge diajak
masuk ke ruangan itu. Padahal, sudah dua puluh tahun lamanya dia tinggal bersama Nyi Buyut Brintik.
"Lihatlah!" Nyi Buyut Brintik menunjuk ke
sebuah peti kayu yang panjangnya lebih dari satu
tombak. "Di sana tersimpan dua benda pusaka.
Aroma wangi ini berasal dari pedangku yang bernama Pedang Wangi. Biarkan pedang
itu tetap di
Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempatnya. Kau akan menerima warisan Keris
Sakti Tanpa Wujud milik kakekmu, Pendekar Tanpa Nama."
"Bukankah keris itu dulu telah kau serahkan kepada ayah, buyut?" tanya Suta
Srengenge. "Akulah yang mengambilnya kembali ketika
Sunu Bagaskara terbunuh secara licik oleh Kolo
Mareksa...," jawab Nyi Buyut Brintik. Lalu, memberi isyarat kepada Suta
Srengenge agar mengangkat peti panjang itu.
Suta Srengenge berjalan mendekati peti berisi dua benda pusaka milik
keluarganya. Diangkatnya peti yang terbuat dari kayu jati berwarna
hitam pekat itu.
"Heh"!"
Suta Srengenge hampir tak percaya. Dia tak
mampu mengangkat peti. Dicobanya sekali lagi.
Kali ini dengan mengerahkan tenaga dalam. Namun, hati pemuda itu semakin heran.
Kalau tadi peti bisa terangkat sendiri, kini bahkan ketika dia
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya peti itu
bergeming pun tidak!
Nyi Buyut Brintik hanya tersenyum. "Ada
sopan santunnya, Cucuku. Kita harus tahu cara
untuk memegang senjata pusaka seperti itu. Apalagi jika baru pertama kali.
Berlututlah. Pusatkan
batin dan pikiranmu kepada benda yang akan kau
ambil." Pemuda tampan berambut panjang dikepang itu mengikuti perintah neneknya. Setelah
berlutut sesaat di depan peti, dia mulai mengangkat peti kayu itu. Dan, ternyata
benar. Tanpa beban sedikit pun peti kayu berhasil diangkatnya.
Lalu, dibawanya peti itu keluar ruangan.
Nyi Buyut Brintik membuka peti. Terlihatlah sebatang pedang dan sebuah keris
dengan warangka kayu hitam mengkilap. Kerisnya berukuran
panjang dan lebar, sedangkan pedangnya seperti
ukuran pedang biasa. Diambilnya keris yang berukuran tidak seperti biasanya,
lalu diserahkan kepada Suta Srengenge.
Pemuda itu menerimanya. Diciumnya ujung
tangkai keris. "Inikah Keris Sakti Tanpa Wujud, Buyut?"
tanya Suta Srengenge kemudian.
Nyi Buyut Brintik mengangguk. "Gunakan
keris itu untuk memerangi kejahatan, Cucuku.
Penggabungan antara keampuhan keris itu dengan
Ilmu 'Sirna Wujud' yang pernah kuajarkan kepadamu akan membuat lawan tak mampu
melihat tubuhmu." Suta Srengenge mengangguk mengiyakan.
Rasa bangga dapat memiliki senjata pusaka yang
pernah mengharumkan nama keluarganya seketika menyemak di hati pemuda itu.
Betapa dirinya akan menjadi seorang pendekar hebat di dunia
persilatan kelak. Seperti kakek, ayah, atau pamannya.
"Akan selalu aku ingat semua pesanmu,
Buyut. Aku mohon doa restumu...."
"Berangkatlah! Buyut akan tetap berada di
sini. Aku ingin menjalankan pertapaanku hingga
akhir hayatku!"
Suta Srengenge bangkit dari duduknya. Ia
melangkah menuju pintu. Nyi Buyut Brintik mengikuti cucunya sampai di ambang
pintu. Dengan berat hati karena harus berpisah dengan neneknya, Suta Srengenge melangkah
meninggalkan gubuk bambu.
Seakan mampu melihat dengan kedua matanya yang buta, Nyi Buyut Brintik
memandangi keberangkatan Suta Srengenge. Pemuda itu terus
menaiki tebing batu cadas yang mengapit lembah
tempat tinggalnya selama ini.
Sampai di atas, Suta Srengenge membalikkan tubuh. Dipandanginya gubuk bambu
neneknya dan semua yang ada di sekitar tempat itu. Hatinya tak rela berpisah
dengan tempat tinggalnya.
"Selamat tinggal, Buyut," gumam Suta
Srengenge seraya memandangi neneknya.
Nyi Buyut Brintik tersenyum seolah mendengar ucapan cucunya. Tak lama kemudian,
pemuda berambut panjang dikepang melesat ke arah
utara. *** 3 Keberadaan Kolo Mareksa yang menobatkan
diri sebagai tokoh nomor satu rimba persilatan
ternyata tidak hanya menggemparkan tokoh-tokoh
persilatan. Sepak terjang yang dilakukan anak
buahnya pun kian hari kian meresahkan masyarakat. Di sana-sini terdengar
keributan. Perampokan terjadi di wilayah selatan. Penculikan terhadap
wanita, terutama gadis-gadis desa, semakin sering
terdengar. Anak buah Kolo Mareksa tak segan-segan
menganiaya. Bahkan, membunuh siapa pun yang
membangkang keinginan mereka. Tak satu pun
orang yang berani bertindak. Anak buah Kolo Mareksa yang dikenal dengan sebutan
Setan Merah, karena mereka selalu mengenakan pakaian serba
merah, tak pernah pandang bulu. Lurah dibunuh.
Rakyat kecil dianiaya kalau tidak mau menyerahkan anak gadis mereka.
Semua orang tentu mengetahui apa yang
akan dialami anak gadisnya jika diserahkan kepada Kolo Mareksa. Namun, mereka
tiada berdaya untuk menolak. Begitu pula setiap kali anak buah
Kolo Mareksa datang meminta upeti. Orang akan
menyerahkan saja. Tangis pilu mengiringi keberangkatan anak gadis mereka. Dan,
tangisan serupa akan kembali terjadi manakala anak gadisnya
dipulangkan ke rumah beberapa bulan kemudian.
Mereka akan segera mendengar kisah sedih
yang dialami para wanita piaraan Kolo Mareksa.
Gadis-gadis cantik dipaksa melayani nafsu setan
Kolo Mareksa dan para anak buahnya.
Bertahun-tahun keadaan seperti itu berlangsung. Orang semakin lama menganggap
hal itu sebagai sesuatu yang harus terjadi. Mau apa"
Melawan jelas tak mampu. Menolak, kematian
yang akan didapatnya.
Di rumah orang resah. Di pasar orang resah. Di sawah atau ladang pun setali tiga
uang. Bahaya selalu mengancam.
*** Di sebuah pasar yang cukup ramai pagi itu
menjadi ajang keributan. Empat lelaki berpakaian
merah turun dari kuda. Mereka melangkah masuk
ke pasar. Satu-persatu para pedagang menyerahkan upeti yang memang telah
dipersiapkan. Tanpa sepengetahuan mereka, di sebuah
kedai makan di depan pasar, sepasang mata tengah mengawasi. Mata tajam seorang
pemuda berpakaian putih itu terus mengawasi keempat anak
buah Kolo Mareksa.
"Ehm.... Siapa mereka itu, Pak?" tanya pemuda berpakaian putih. Rambutnya
dikepang dan dikalungkan di leher.
Lelaki tua pemilik kedai menjawab dengan
berbisik, "Mereka anak buah Kolo Mareksa. Setiap
pagi kami harus membayar upeti kepada mereka."
Pemuda berpakaian putih mengerutkan
kening. "Apa itu upeti?" tanyanya dalam hati. "Pak,
apa upeti itu?" tanyanya kemudian.
"Ssstt...! Mereka datang," sahut lelaki tua
pemilik kedai. Keempat anak buah Kolo Mareksa berjalan
menuju kedai itu. Sebelum sampai di kedai mereka
berhenti di depan seorang pedagang buah yang berada dekat pintu pasar.
"Ampun, Tuan. Pagi ini saya belum mendapatkan uang. Belum satu pun orang yang
membeli dagangan saya...."
"Heh! Goblok! Berapa kali kuperingatkan,
bawa uang dari rumah. Bukankah kau tahu setiap
pagi aku akan datang"!" bentak lelaki bertubuh
tinggi besar dengan mata melotot lebar.
Lelaki tua pedagang buah terbungkukbungkuk ketakutan. Tubuhnya yang kurus tampak
bergemetaran. "A... ampun, Tuan. Saya selalu ingat itu.
Tapi kemarin saya tidak banyak mendapat pembeli. Dagangan ini pun sisa
kemarin...."
"Bodoh!"
Plakkk! "Aduh! Ampun, Tuan. Saya akan membayar
dua kali lipat besok pagi. Saya berjanji, Tuan."
Lelaki tua itu meringis kesakitan. Di sudut
bibirnya menetes darah karena digampar lelaki
bercambang lebat.
Tiba-tiba salah seorang dari empat lelaki
berpakaian merah mencabut golok. Lalu, diangkatnya hendak membabat pedagang
buah. Namun belum sempat golok itu membacok, sesosok
bayangan melesat.
Trrapp! Lelaki yang membabatkan golok tersentak
kaget. Golok di tangannya terhenti di tengah jalan.
Ketika menoleh, dilihatnya seorang lelaki berpakaian putih telah mencekal
goloknya. "Kurang ajar! Siapa kau"!" bentak lelaki
berwajah bengis itu seraya menarik goloknya. Namun begitu kuat cekalan tangan
pemuda itu. Sedikit pun goloknya tak bergeming.
"Tidak bisakah kalian bersikap sopan sedikit terhadap orang tua ini?" tanya
pemuda berpakaian putih, dingin.
"Berani mati kau mencampuri urusan Mahaguru Kolo Mareksa!"
Dua orang lelaki berpakaian merah merangsek maju. Tendangan dan pukulan
dilancarkan ke arah pemuda berpakaian putih. Namun dengan
gerakan cepat pemuda berambut dikepang itu berjumpalitan ke belakang. Lelaki
berpakaian merah
yang telah mencabut goloknya tidak mau ketinggalan. Dengan penuh kegeraman dia
memburu pemuda berpakaian putih yang punggungnya tersampir keris panjang.
Seketika pertarungan satu lawan empat terjadi.
Orang-orang pasar berlarian keluar menuju
tempat pertarungan. Mereka terkejut melihat pemuda berambut kepang. Sungguh
berani pemuda itu, pikir orang-orang itu. Namun ketika melihat
betapa pemuda itu mampu mengatasi setiap serangan lawan, mereka jadi berdecak
kagum. Pemuda berwajah tampan itu ternyata bukan orang sembarangan. Ilmu silat yang
dimili- kinya mampu menghadapi keroyokan ketiga lelaki
berpakaian merah.
"Siapa pemuda itu?"
"Berani benar dia menantang anak buah
Kolo Mareksa...."
Gumaman-gumaman terdengar dari beberapa orang yang berkerumun menyaksikan
pertarungan. Tentu saja mereka tak menduga ada seorang pemuda yang berani
menantang anak buah
Kolo Mareksa. Sementara itu, lelaki tinggi besar dan berkumis melintang yang membentak
pedagang buah berdiri menyaksikan pertarungan ketiga kawannya. Dalam hati dia merasa kagum
melihat kemampuan pemuda itu.
Di kancah pertarungan, pemuda berpakaian
putih, melenting ke udara ketika dua orang lawan
yang telah mencabut golok membabat ke arahnya.
Sambil meluncur turun kedua kaki pemuda itu
melancarkan serangan.
Dua orang lelaki berpakaian merah yang tak
sempat mengelak menjerit keras. Kedua kaki lawan mendarat telak di dada dan
kepala mereka. Kedua anak buah Kolo Mareksa itu terdorong beberapa langkah ke belakang. Mulut
mereka mengeluarkan darah.
Melihat kejadian itu beberapa orang yang
berkerumun bertepuk tangan. Ada pula yang bersuit memberi semangat kepada pemuda
berpakaian putih.
"Biar mampus begundal-begundal Kolo Mareksa itu," kata seorang lelaki setengah
baya kepa- da kawannya. Lelaki berkumis melintang yang sejak tadi
menyaksikan perkelahian menjadi geram. Tubuhnya melesat memasuki arena
pertarungan. Sejenak
pertarungan terhenti ketika lelaki berwajah bengis
itu membentak. "Anak muda, siapakah kau sebenarnya"!"
"Untuk apa kau tanyakan namaku?" Pemuda itu balik bertanya. Sorot matanya tajam
menentang pandang lelaki berwajah bengis. "Asal kau tahu saja, akulah yang akan
membantai Kolo Mareksa!"
"He he he...! Hadapi dulu Gopras!"
Lelaki berkumis melintang langsung melesat
dan memutar kedua tangannya. Ternyata lelaki
bernama Gopras itu tidak hanya bermulut besar.
Gerakan tangannya yang cepat menerbitkan suara
menderu. Dengan sikap begitu tenang pemuda berambut dikepang menggeser tubuhnya ke kanan
dan ke kiri menghindari pukulan lawan.
Blukkk! Satu pukulan keras mendarat telak di pundak pemuda berpakaian putih. Tubuhnya
sempoyongan beberapa langkah ke samping kanan.
Dengan cepat dia segera memulihkan keseimbangan badannya. Begitu Gopras kembali
melancarkan serangan, kedua tangan pemuda berpakaian
putih terbuka dengan cepat.
Plakkk! Benturan keras terjadi. Keduanya terdorong
ke belakang. Tampaknya kedua belah pihak mengerahkan tenaga dalam.
Lelaki bengis itu tak ingin memberi kesempatan. Tubuhnya melompat sambil
melancarkan tendangan keras. Pemuda berpakaian putih membuang tubuhnya ke kiri, lalu
bergulingan di tanah.
Saat itulah Gopras membalikkan tubuh dan
menghujaninya dengan tendangan-tendangan
Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maut. Tubuh pemuda berambut dikepang terus
bergulingan. Kini rambutnya yang tadi terkalung di
leher lepas dan ikut berputaran bersama tubuhnya.
"Heaaa!"
Ketika mendapat kesempatan, pemuda itu
melompat bangkit dengan bertumpu pada kedua
telapak tangan. Begitu gesit dan ringan gerakan
pemuda itu. Dalam sekejap tubuhnya telah berdiri
tegak. Kedua tangannya yang membentuk cakar
membentang lebar ke atas. Kaki-kakinya terpentang dengan dada dibusungkan
"Walet Putih Menyergap Mangsa!"ujar pemuda itu keras.
Matanya yang tajam menatap wajah Gopras.
Lawannya itu tengah mempersiapkan jurus andalan.
Orang-orang pasar kelihatan tegang. Ada
yang berbisik-bisik kepada kawannya. Tampaknya
mereka menaruh harapan pada kemenangan pemuda berpakaian putih.
"Bunuh saja si Gopras!" kata seorang lelaki
setengah baya yang berdiri di depan kedai.
"Heaaa...!"
Dengan penuh kegeraman Gopras melesat
melancarkan serangan. Tubuhnya berputar di
udara dengan kedua tangan ikut berputar cepat.
Pemuda berpakaian putih segera melompat
ke samping. Begitu serangan itu lewat, dia melancarkan tendangan ke tubuh lawan.
Blukkk! Tendangan itu telak mendarat di punggung
Gopras. Lelaki berkumis melintang itu terhuyunghuyung hampir jatuh terjerembab.
Namun, dengan mulut mengeluarkan geraman keras Gopras kembali melancarkan serangan.
Kedua tangannya yang membentuk cakar
meluncur ke wajah lawan. Tetapi, pemuda berpakaian putih segera menjulurkan
tangan dengan bentuk serupa. Terjadilah benturan keras. Keduanya terdorong ke belakang. Lalu,
kembali melesat
dan bertarung dalam jarak dekat. Sampai akhirnya, sebuah pukulan yang dikerahkan
dengan tenaga dalam tinggi mendarat telak ke dada Gopras.
Tubuh lelaki berpakaian merah itu terlontar beberapa tombak sampai di depan
kedai. Mulutnya
mengerang kesakitan.
Melihat Gopras memuntahkan darah segar,
ketiga kawannya segera bergerak mengeroyok pemuda berpakaian putih. Dengan
senjata terhunus
mereka kembali menyerang. Pemuda berpakaian
putih dengan mudah mengatasi serangan mereka.
Sambil melenting ke atas kedua kakinya
menendang dua orang lawannya. Pekikan keras
terdengar hampir bersamaan. Tubuh kedua lelaki
berpakaian merah terjungkal ke tanah.
Seorang lagi yang membabatkan goloknya
terpental ke belakang. Ternyata, pemuda berpakaian putih telah lebih dulu
menyerangkan pukulan tangan kanan ke dada lawan.
Ketiga lelaki berpakaian merah bangkit berdiri hendak kembali melancarkan
serangan. Namun ketika mereka melihat Gopras melarikan diri
dengar menunggang kuda, ketiganya segera melesat kabur.
Pemuda tampan berpakaian putih tidak melakukan pengejaran. Sambil membersihkan
pakaiannya, pemuda itu melangkah menuju kedai
tempatnya singgah tadi. Orang-orang langsung
menyambutnya dengan senyum. Ada yang berjabat
tangan sambil membungkukkan badan memberi
hormat. "Hati-hati terhadap mereka," ujar seorang
lelaki. "Aduh, terima kasih. Den." Lelaki tua pedagang buah bergegas mendekati pemuda
berpakaian putih. "Bagaimana jadinya saya tadi kalau
tidak ada Aden."
Pemuda berambut dikepang hanya tersenyum dan terus melangkah menuju kedai. Tak
habis-habisnya orang berdecak kagum melihat keberaniannya. Tersirat di hati
mereka rasa bangga. Inilah pertama kali seorang pendekar muda berani
menantang Kolo Mareksa, begitu pikir orang-orang
itu. Tak lama kemudian, suasana kembali seperti semula. Para pedagang kembali ke
tempat jualan masing-masing. Sementara pemuda berpakaian putih setelah membayar
makan pada pemilik kedai segera pergi meninggalkan pasar.
*** 4 Debu kering beterbangan dihembuskan angin yang bertiup kencang. Matahari berada
tepat di atas kepala. Sinarnya yang terik menimbulkan
hawa panas. Dari kejauhan tampak dua sosok tubuh
berlari ke arah timur. Yang satu seorang pemuda
bertubuh gagah yang mengenakan rompi kulit
ular. Kawannya yang bertubuh gemuk dan berperut buncit juga mengenakan rompi.
Tapi bukan dari kulit ular, melainkan dari kain abu-abu yang
sudah agak kumal
"Aduh.... Ke mana kita akan mencari tempat
berteduh, Kakang?" pemuda bertubuh gemuk dan
berkepala botak menghentikan larinya. Napasnya
terengah-engah kecapekan. Selembar daun jati
kering di tangan kanannya dikibas-kibaskan untuk mengusir hawa panas.
"Lihat di sana, Gol. Ada hutan jati...," ujar
pemuda berpakaian rompi kulit ular dengan tertawa cengengesan.
"Iya. Tapi, semua pohon jati itu tak berdaun
sama sekali. Di mana kita bisa berteduh, Kakang
Sena?" "Aha..., kamu ini bagaimana, Gol" Baru begitu saja sudah mengeluh. Katanya mau
jadi pen- dekar. Seorang pendekar pantang mengeluh, Dogol," jawab pemuda berompi kulit
ular yang tak lain Sena Manggala.
Pemuda bertingkah aneh yang lebih dikenal
dengan julukan Pendekar Gila itu menggelenggelengkan kepala sambil tersenyumsenyum. Dia mengejek Dogol yang kecapekan. Suara tawanya
terdengar ketika melihat bibir Dogol yang tebal itu
bagai hendak jatuh.
"Hi hi hi...! Ayo, Gol!"
Sena Manggala melesat meninggalkan Dogol. Meskipun rasa lelah merejam sekujur
tubuhnya, pemuda bertubuh gendut itu akhirnya berlari
juga mengikuti Sena Manggala. Kedua pemuda
yang perbedaannya tampak sangat menyolok seperti saling kejar. Keduanya menuju
hutan jati gundul yang daun-daunnya telah berguguran karena musim kemarau.
Tak lama kemudian, Sena atau Pendekar
Gila telah sampai di tepi hutan. Dia tertawa mengejek Dogol yang tampak lucu
berlari ke arahnya.
Tubuhnya yang gendut dan berperut buncit bergoyang-goyang.
"Gol...! Ayo cepat. Hujan hampir turun.
Nanti basah kuyup tubuhmu. Den Dogol!" ejek Sena.
Akhirnya Dogol pun sampai. Begitu berada
di depan Sena, tubuh gendut dan berkepala botak
itu jatuh. Napasnya terengah-engah hampir putus.
Dadanya naik turun cepat sekali.
"Ampuun... Ampuun ya, Gusti!" seru Dogol.
Daun jati di tangan kanannya dikipas-kipaskan ke
tubuh. "Haahh.... Hampir putus napasku, Kakang
Sena. Di mana kita bisa mendapat setetes air tempat seperti ini...?" keluhnya
dengan wajah memelas.
"Hi hi hi.... Jangan khawatir, Dogol. Lihat,
jalanan yang kita lewati tadi bekasnya seperti sering dilewati orang. Aku yakin
tak jauh dari sini kita
akar menemukan sebuah desa," ujar Sena sambil
menggaruk-garuk kepala. Rambutnya yang ikal
tampak sedikit basah oleh keringat. Di dada, leher,
dan keningnya mengalir butir-butir keringat. Tidak
dapat dipungkiri kalau pendekar muda itu pun sebenarnya juga kepanasan dan
kelelahan. Tetapi,
hal itu tidak diperlihatkannya kepada Dogol.
Agak lama kedua pemuda itu beristirahat di
bawah pohon jati. Meskipun tanpa daun, tapi kerapatan pohon-pohonnya cukup
memberi keteduhan bagi mereka.
Sena Manggala duduk bersandar pada batang pohon. Tangannya mengipas-kipaskan
daun jati. Sementara Dogol tertidur di sampingnya. Sebentar saja pemuda bertubuh
tambun itu telah
terlelap. Perutnya yang buncit kembang-kempis
seiring dengan bunyi mengorok dari mulutnya.
"Hi hi hi.... Ada kodok tidur ngorok," ujar
Sena sambil tertawa cekikikan.
Sena mencabut sebatang rumput kering.
Lalu perlahan-lahan dikiliknya telinga Dogol yang
tengah tidur. Mungkin karena terlalu pulas Dogol
tidak terbangun. Hanya mulutnya yang meringisringis merasa geli. Tangan kirinya
bergerak hendak
menepiskan. Tapi, dengan cepat Sena menarik
rumput itu dari telinga Dogol. Sebentar kemudian
ketika Dogol kembali tertidur, Sena mulai lagi dengan keisengannya. Kini dia
berpindah mengilik lubang hidung Dogol yang besar dan dipenuhi bulubulu halus.
"Haajing...!"
Cepat Sena menarik tangannya ketika Dogol
mengeluarkan suara bersin yang keras. Sena tertawa cekikikan melihat Dogol
kembali tertidur setelah mengucek-ucek hidungnya.
Namun ketika Sena hendak kembali mengganggu Dogol, gerakannya terhenti. Tibatiba saja telinganya menangkap suara deru kaki-kaki kuda
di kejauhan. Sambil mengerutkan kening, dia menelengkan kepala untuk mempertajam
pendengarannya.
*** "Heaaa...! Heaaa...!"
"Heaaa.,.! Heaaa...!"
Bentakan-bentakan keras dikeluarkan empat orang lelaki berpakaian merah yang
tengah menggebah kuda-kuda tunggangannya. Sementara
kira-kira seratus tombak di depan mereka sebuah
kereta yang ditarik empat ekor kuda melaju cepat.
Sang kusir yang mengenakan pakaian lurik lengan
panjang tak henti-hentinya menyabeti kuda-kuda
dengan cemetinya. Rupanya, kereta itu sedang
menghindari kejaran keempat penunggang kuda di
belakangnya. "Ha ha ha...! Mau lari ke mana kau, Tantrayana" Kalian takkan bisa lepas dari
kejaran kami...!" seru lelaki berwajah bengis yang menunggang kuda paling depan.
Dari dalam kereta kuda terdengar suara
seorang wanita berteriak- teriak.
"Paman Subali, Paman Subali! Terus dipercepat lari kuda-kuda itu. Jangan sampai
mereka menangkap kita sebelum sampai di rumah Eyang!"
Tanpa memberi jawaban, kusir kereta terus
menghentak-hentakkan tali kekang kuda, sementara tangan kanannya mencambuki
kuda-kuda itu. "Hea! Heaaa!"
Gemeretak suara roda kereta yang melindas
jalan tanah berdebu terdengar di sela-sela teriakan
para penunggang kuda yang mengejarnya. Kusir
kereta terus sibuk mengendalikan kuda-kuda. Sesekali kepalanya menoleh ke
belakang dan kembali
mencambuki kuda-kuda itu.
Sayang, secepat apa pun kereta kuda itu
berlari para penunggang kuda di belakangnya tetap mampu mengejar. Jarak antara
mereka kini hanya tinggal lima tombak lagi. . "Heaaa...!" Tibatiba, penunggang kuda yang
berada paling depan
menggebah kudanya hingga berlari lebih kencang.
Ketika lelaki berpakaian merah itu berada tepat di
samping kanan kusir kereta, dia mencabut pedang
yang tersampir di pundaknya. Cepat pedang itu
dibabatkan ke tangan sang kusir. "Huup!
Heaaatt...!"
Namun, sang kusir yang bernama Subali
ternyata bertindak lebih cepat. Ditariknya dengan
kuat tali kekang kuda. Seketika keempat kuda itu
berhenti. Namun, kuda yang berada paling depan
meringkik keras dan melompat tinggi-tinggi. Lehernya mengucurkan darah segar.
Ternyata, babatan pedang lelaki berpakaian merah mengenai leher kuda itu.
Subali melompat ke depan seraya melancarkan tendangan keras. Penunggang kuda
yang berhenti di depan kereta itu terguling di tanah.
Tendangan keras Subali mendarat di punggungnya. Ketika lelaki berpakaian merah
itu melompat bangkit, Subali melesat memberikan serangan susulan. Tangan kanannya yang telah
menggenggam sebilah pedang berkelebat cepat membabat leher
lawan. Trang! Benturan keras terjadi. Lelaki berpakaian
merah mampu menangkis serangan Subali dengan
pedangnya yang ternoda darah kuda. Terjadilah
pertarungan sengit antara Subali dengan lelaki
berpakaian merah.
Sementara itu, tiga orang penunggang kuda
yang lain telah sampai di tempat pertarungan. Mereka langsung melompat turun dan
mendekati pintu kereta dengan pedang terhunus. Namun belum
sampai mereka menjamah pintu kereta, mendadak
pintu itu terbuka. "Heaaa...!"
Sesosok tubuh berpakaian kuning melesat
dari dalam kereta dan langsung melancarkan serangan. Sepasang trisula pendek di
tangannya berputar cepat.
Benturan-benturan pun tak dapat dihindari
lagi ketika sepasang trisula itu dipapaki pedang
lawan. Ketiga lelaki berpakaian merah berlompatan menghindar. Ketika sosok
berpakaian kuning
mendarat di tanah tampaklah kini wajahnya. Dia
seorang lelaki lima puluh tahunan dengan tubuh
tinggi semampai dan berwajah bersih. Rambutnya
yang sebagian telah memutih terikat kain lurik
Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berwarna coklat.
"Kau akan menghadapi kesulitan besar atas
penolakanmu terhadap permintaan Mahaguru Kolo Mareksa, Tantrayana! Sampai di
mana pun kami akan mencarimu. Sekarang, kalau kau sayang
nyawamu, serahkan putrimu kepada kami. Jangan
khawatir, anakmu akan hidup berbahagia bersama
Mahaguru Kolo Mareksa!"
"Chuih! Lebih baik mati daripada hidup
menjadi budak iblis Kolo Mareksa itu!" dengus lelaki berpakaian kuning.
"Langkahi dulu mayatku
untuk dapat membawa Laras."
"Kurang ajar! Tangkap dia...!" perintah lelaki
berwajah bengis kepada kedua kawannya.
Tanpa diperintah dua kali, kedua lelaki itu
segera bergerak maju menyerang Ki Lurah Tantrayana. Mereka membabat dan
menusukkan pedangnya ke tubuh lelaki berpakaian kuning. Namun, Ki Lurah
Tantrayana telah lebih dulu melompat ke belakang mengelakkan serangan. Kemudian,
meliukkan tubuh merendah seraya menusukkan kedua trisulanya.
Wuuttt! Trakkk! Lelaki berpakaian kuning itu sempoyongan
ketika sepasang trisulanya berhasil dipapaki pedang lawan. Saat itulah seorang lawannya melompat sambil membabatkan pedang.
Melihat maut mengancam dirinya, dengan cepat Ki Lurah Tantrayana melempar tubuh ke samping
kanan. Babatan pedang lawan pun berhasil dielakkannya.
Tapi, lawan yang lain tampaknya tak ingin
memberi kesempatan kepada Ki Lurah Tantrayana.
Begitu melihat lelaki berpakaian kuning itu berhasil mengelak, dia langsung
memburunya. Sementara Ki Lurah Tantrayana belum dapat bangkit dari
tergulingnya. Maka....
Jrrabs! Lolong kesakitan terdengar dari mulut Ki
Lurah Tantrayana. Tubuhnya berkelojotan dengan
dada robek terbabat pedang lawan. Darah segar
muncrat dari dadanya.
"Ayaaah...!"
Terdengar jeritan dari dalam kereta. Seorang wanita cantik yang tak lain Laras,
putri Ki Lurah Tantrayana, melompat dari tempat duduknya.
Di tempat lain, Subali yang masih bertarung
dengan lawannya juga terkejut mendengar jeritan
Ki Lurah Tantrayana. Ketika kepalanya menoleh ke
belakang, serta-merta lawannya bergerak cepat
membabatkan pedang.
Subali yang tengah lengah menjerit kaget
ketika pedang lawan membabat punggungnya. Lelaki setengah baya berpakaian lurik
itu terjungkal dengan tubuh berlumuran darah. Dia berusaha
bangkit berdiri dengan tubuh sempoyongan. Namun, lelaki berpakaian merah yang
menjadi la- wannya telah bergerak cepat. Sekali lagi ujung pedangnya mendarat di perut
Subali. Seketika Subali
ambruk ke tanah dan tak berkutik lagi.
*** "Dogol! Dogol! Bangun, Dogol!" Sena Manggala menggoyang-goyangkan tubuh Dogol
yang tertidur pulas di atas rerumputan kering. "Gol, bangun, Gol...!"
"Haits! Ups.... Heh"!"
Pemuda bertubuh tambun itu terbangun
dengan geragapan. Tanpa sadar tangannya bergerak-gerak cepat memainkan jurusjurus silat. "Hi hi hi...! Hebat kau, Gol!" Sena Manggala
terkekeh melihat tingkah Dogol yang lucu. Mungkin pemuda berkepala botak itu
mengira sedang berhadapan dengan musuh.
"Mimpi apa kau, Gol?"
"Aduuh, Kakang Sena, membuatku kaget
saja...," ujar Dogol kemudian ketika telah sadar
dari rasa kagetnya. Ia mengusap bibirnya yang basah. Ada cairan mengalir di
sudut bibir itu.
"Aku mendengar langkah kaki kuda yang
saling berkejaran. Tapi, tak lama kemudian mereka berhenti. Lalu barusan
kudengar suara jeritan.
Mungkin ini petunjuk pertama bagi kita, Gol. Ayo,
kita lihat apa yang terjadi di sana!"
Pendekar Gila melesat ke arah timur. Dogol
bergegas mengikuti. Ternyata tempat suara jeritan
itu berasal masih jauh dari hutan jati. Itu sebabnya meskipun tadi Sena telah
mengerahkan ilmu
'Sapta Pangrungu' yang mampu menangkap suara
dari jarak jauh, ia tidak dapat mendengar suara
pertempuran. *** Laras menangis tersedu-sedu dengan memeluk tubuh ayahnya yang berlumuran darah.
"Kalian manusia keji. Biadab!" teriak gadis cantik
berambut panjang itu. Ditatapnya satu persatu
wajah keempat lelaki berpakaian merah yang telah
membunuh Subali dan melukai ayahnya.
"He he he...! Untuk apa kau bersikeras menolak lamaran Mahaguru Kolo Majeksa,
Anak Manis" Kau tahu sekarang apa akibatnya. Ayolah,
ikut kami!" Lelaki berpakaian merah itu kemudian
mendekati Laras. Begitu tiba dekat, tangannya
dengan cepat melayang, menotok tubuh wanita
cantik itu. Seketika tubuh Laras terkulai lemas.
Gadis itu merintih pilu ketika lelaki berpakaian
merah membopong tubuhnya. Sedikit pun ia tak
mampu melawan. Sekujur tubuhnya lemas tak
berdaya. Laras dimasukkan ke dalam kereta. Salah
satu dari keempat anak buah Kolo Mareksa duduk
di kursi kusir. Diputarnya arah kereta dan segera
dipacunya. Walau salah seekor dari keempat kuda
kereta terluka, namun masih dapat berlari. Ketiga
kawannya mengiringi dari belakang. Mereka meninggalkan tubuh Ki Lurah Tantrayana
dan Subali yang tergeletak berlumuran darah di atas jalan tanah berdebu.
Tidak lama kemudian, sampailah Pendekar
Gila dan Dogol di tempat itu. Mereka terkejut menyaksikan pemandangan di sana.
Sena segera berlari mendekati Ki Lurah Tantrayana ketika melihat
lelaki berpakaian kuning itu sedikit menggeliatkan
tubuhnya. Sena berjongkok ke samping tubuh Ki
Lurah Tantrayana.
"Apa yang telah terjadi...?"
Ki Lurah Tantrayana membuka sedikit matanya. Setelah tercenung sesaat mendadak
mata itu membelalak lebar melihat sosok yang berjongkok di sampingnya. "Be...
benarkah Tuan yang
berjuluk Pendekar Gila...?" tanyanya dengan terputus-putus.
"Begitulah orang menyebutku, Ki. Siapa
yang telah melakukan kekejian ini?"
"Tuan Pendekar, tidak sedikit orang yang
bernasib buruk seperti diriku ini. Mereka...,
akh...." Belum sempat Ki Lurah Tantrayana menyelesaikan kata-katanya, nyawa lelaki itu
telah melayang dari raga. Pendekar Gila segera berdiri dan
menoleh ke arah Dogol yang tertegun bingung.
"Gol, ayo kita kejar mereka!"
Dogol segera melesat mengikuti Pendekar
Gila. Baru beberapa tombak keduanya melesat ke
arah timur, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
Jaka Lola 2 Rahasia Istana Terlarang Karya Wo Lung Shen Pedang Angin Berbisik 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama