Ceritasilat Novel Online

Rahasia Dedengkot Iblis 1

Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis Bagian 1


1 GENANGAN air yang berwarna hijau lumut bukan bentangan telaga ataupun danau air tawar. Genangan air itu memang ciptaan manusia, dan manusia
menamakannya 'empang' alias 'tambak'. Ikan-ikan dipelihara dalam empang tersebut, dibesarkan tanpa dididik apa pun, agar kelak jika besar bisa menjadi santapan lezat bagi
pemeliharanya, Empang itu ada di bagian belakang dari beberapa bangunan yang dinamakan padepokan. Padepokan di kaki Gunung Mercapada hanya ada satu, yaitu
padepokan dari sebuah perguruan silat yang bernama
Perguruan Tapak Syiwa. Empang itu agaknya sengaja
di bangun untuk kesibukan para murid perguruan
seusai latihan; menangkap ikan dengan tangan kosong
lalu membakarnya untuk dijadikan santapan mereka.
Karenanya, di atas empang dibangun sebuah
dangau, rumah separo dinding tanpa perabot apa pun
kecuali tikar, istilah sekarang 'Gazebo'. Gunanya bukan untuk rapat kilat, tapi sekadar untuk duduk santai menikmati kecipaknya tarian ikan-ikan di empang
sambil melepas telah agar tak dihinggapi penyakit
stress bagi para murid perguruan.
Tetapi di ujung pagi itu, ternyata sudah sejak
fajar telah duduk seorang lelaki tua berjubah putih.
Lelaki berambut pendek abu-abu dengan ikat kepala
putih itu duduk bersila di atas dangau itu, memandang ke arah munculnya sang mentari pagi.
Dalam usianya yang mencapai sekitar tujuh
puluh tahun lebih, lelaki berjenggot pendek warna
abu-abu itu tampak masih bisa duduk tegak, menampakkan sisa kegagahan masa mudanya. Dia adalah
guru besar, sekaligus Ketua Perguruan Tapak Syiwa
yang dikenal dengan nama si Mulut Guntur alias
Eyang Wirata. Pandangan matanya yang masih tajam
menampakkan ketegasannya bersikap dan selalu mengutamakan kebenaran dan keadilan. Kewibawaannya
memancarkan kharisma yang membuat dirinya disegani oleh para muridnya.
Dalam kebisuan pagi, suara alam mulai diusik
oleh langkah-langkah tegap dari pemuda tampan berpakaian serba putih dengan ikat pinggang kain merah.
Kedua pemuda berbaju buntung itu mempunyai rambut sampai panjang; lurus sepundak. Kedua pemuda
itu juga mempunyai postur tubuh yang sama-sama gagah, kekar, dan gempal walau ototnya yang sampai
bertonjolan seperti binaragawan. Keduanya mempunyai potongan tubuh yang sama, pakaian sama, wajah
tampan yang sama pula dan senyumnya pun juga sama-sama menawan bagi para gadis. Mereka berdua tidak lain adalah Raka Pura dan Soka Pura alias si Pendekar Kembar. Setelah memberi hormat, kedua Pendekar
Kembar itu dipersilakan duduk oleh si Mulut Guntur.
Mereka duduk bersila, saling berhadapan dengan si
Mulut Guntur. Sementara pedang kristal yang menjadi
senjata Pendekar Kembar itu sama-sama diletakkan di
samping mereka; Raka di samping kiri, Soka di samping kanan. Karena sehari-harinya mereka memang selalu menyelipkan pedang pusaka yang bernama Pedang Tangan Malaikat itu di pinggang masing-masing:
Raka di pinggang kiri dan Soka di pinggang kanan.
"Apa benar, Eyang Wirata memanggil kami berdua?" tanya Raka Pura.
"Kunto Aji mengatakan demikian, karenanya
kami datang kemari, Eyang!" timpal Soka, si Pendekar Kembar bungsu.
"Benar. Pagi ini aku sengaja mengutus Kunto
Aji, muridku, untuk memanggil kalian. Karena setelah
ku pikir-pikir sejak kemarin malam hingga sekarang,
ku putuskan untuk membeberkan rahasia yang kalian
inginkan itu."
Wajah kedua pemuda kembar itu segera berubah menjadi ceria. Masing-masing ketampanan mereka
di hiasi dengan senyum kegembiraan yang terpendam.
Mereka saling beradu pandang sebentar dalam senyum, kemudian Raka Pura menghembuskan napas
panjang sebagai napas kelegaan.
"Sebelumnya kami haturkan terima kasih atas
kesediaan Eyang Mulut Guntur dalam membantu kami; mengetahui rahasia Bambu Gading Mandul itu."
Si Mulut Guntur hanya manggut-manggut
sambil pandangi kedua pemuda kembar secara bergantian. Rupanya selama dua hari tinggal di Perguruan Tapak Syiwa itu, Pendekar
Kembar selalu membujuk
kepada si Mulut Guntur agar mau membeberkan rahasia Bambu Gading Mandul. Tetapi pada mulanya si jubah putih itu tak mau membeberkannya demi keselamatan kedua pemuda kembar dari Gunung Merana
itu. Pendekar Kembar memang mencari Bambu
Gading Mandul yang hanya tumbuh satu batang dan
hanya ada di Lereng Gunung Mercapada. Bambu sakti
itu akan digunakan oleh Pendekar Kembar untuk melumpuhkan kekejian si anak Iblis; Darah Kula, yang
mempunyai ilmu Pancawarsa, yaitu sebuah ilmu yang
membuat Darah Kula selalu bangkit kembali dari kematiannya setelah lima tahun.
Darah Kula adalah manusia titisan iblis yang
selalu membutuhkan darah perawan sebagai kekuatannya. Beberapa gadis diculik dan dijual kepada Darah Kula oleh para sekutunya, sehingga dunia persilatan menjadi heboh atas hilangnya para gadis tersebut.
Menurut Resi Bayakumba, yang pernah dua kali membunuh Darah Kula sepanjang hidupnya, si Penguasa
Bukit Maut itu hanya bisa mati selama-lamanya jika
ilmu Pancawarsa-nya telah lenyap. Bambu Gading
Mandul itulah senjata yang dapat dipakai untuk melenyapkan ilmu Pancawarsa tersebut, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Pemburu Mahkota Dara"). Tetapi bambu ajaib yang hanya tumbuh satu batang dan tak ada duanya di
seluruh pelosok bumi
mana pun juga itu, adalah bukan sembarang bambu
yang bisa dijamah orang. Bambu tersebut tumbuh di
tanah keramat yang ada di lereng Gunung Mercapada.
Menurut penjelasan Kirana, murid si Mulut Guntur,
tanah keramat yang bernama Kubangan Berdarah itu
telah banyak memakan korban nyawa manusia. Siapa
pun yang mendekati tanah keramat itu dijamin pasti
tewas tanpa sungkan-sungkan lagi. Di sana ada sesuatu yang menunggu nyawa manusia untuk di santapnya, dan sesuatu itu adalah sebuah misteri yang tak
diketahui oleh siapa pun. Menurut Kirana, hanya gurunya yang mengetahui rahasia misteri tersebut, (Baca serial Pendekar Kembar
dalam episode: "Tumbal Asmara Buta").
Sebab itulah, Pendekar Kembar mendesak sekaligus membujuk si Mulut Guntur untuk membekali
perjalanan mereka dengan rahasia tersebut. Tetapi
mengingat bahaya besar yang dapat mencelakakan
Pendekar Kembar, dan si Mulut Guntur tak ingin kedua murid sahabatnya itu binasa di tanah keramat itu, maka ia semula tak ingin
membeberkan rahasia misteri Kubangan Berdarah. Namun setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Mulut Guntur memutuskan bahwa rahasia itu harus dibeberkan di depan
Pendekar Kembar, sebelum kedua pemuda tampan itu
nekat pergi ke Kubangan Berdarah tanpa bekal pengetahuan tentang rahasia tempat tersebut.
"Sudah lama kudengar tentang kekejaman si
manusia sesat Darah Kula itu. Tapi baru sekarang kudengar tentang rahasia kelemahannya," ujar si Mulut Guntur. "Tak kusangka ia
dapat binasa selama-lamanya jika dilukai dengan Bambu Gading Mandul.
Tetapi seperti yang sudah kukatakan kepada kalian,
bukan hal yang mudah mendapatkan Bambu Gading
Mandul itu. Nyawa kalian yang menjadi taruhannya."
"Kami sudah siap pertaruhkan nyawa demi
hancurnya kekejaman si Darah Kula itu, Eyang," sahut Soka Pura.
Si Mulut Guntur manggut-manggut kecil, merasa yakin dengan keberanian dan kebulatan tekad
kedua pemuda kembar itu. Dalam hatinya ia menyimpan kebanggaan terhadap ketegaran Raka dan Soka,
karena ia sangat mengagumi jiwa-jiwa penuh keberanian seperti yang dimiliki oleh Pendekar Kembar tersebut. "Perlu kalian ketahui,
sebelum kalian nanti mendekati sebatang bambu kuning yang tumbuh lurus
tanpa cabang dan tanpa anak bambu lainnya, yaitu
yang dinamakan Bambu Gading Mandul, kalian akan
berhadapan dengan lawan yang tak bisa kalian lihat,
tak bisa kalian jamah, dan tak bisa kalian serang. Tetapi lawan kalian itu dapat
melihat dan melukai kalian.
Dengan cepat ia akan membunuh kalian tanpa ampun
lagi." "Siapa lawan yang akan kami hadapi nanti, Eyang Wirata?"
"Dia bernama: Dedengkot Iblis!"
Secara tak sadar, Raka dan Soka sama-sama
menggumamkan nama itu, selain merasa asing dengan
nama tersebut, juga mencatat nama itu dalam ingatan
masing-masing. "Siapa sebenarnya si Dedengkot Iblis itu,
Eyang?" tanya Raka semakin ingin tahu.
"Dia adalah si penjaga bambu tersebut. Ilmunya bukan saja tinggi, tapi juga sangat mematikan.
Tak pernah ada orang yang bisa pulang dengan selamat jika sudah mendekati tanah Kubangan Berdarah.
Dedengkot Iblis akan membunuh siapa pun yang mendekati tanah di sekitar Bambu Gading Mandul tanpa
pandang bulu. Maut yang dikirimkan tak pernah diketahui oleh siapa pun yang berada di sekitar tanah Kubangan Berdarah itu."
Si Mulut Guntur sengaja hentikan ucapannya
sesaat. Ia perhatikan wajah-wajah tampan di depannya. Ternyata tak satu pun yang kelihatan berwajah
cemas atau gelisah. Kedua wajah tampan itu samasama tampak tenang, tak ada rasa gentar sedikit pun
pada diri mereka.
"Dedengkot iblis sebenarnya seorang ksatria dari sebuah kerajaan di pegunungan Tibet. Dia adalah
seorang perwira perang yang tangguh. Setiap negeri
yang didatangi selalu ditaklukkan dengan mudah
olehnya. Tetapi pada suatu saat, ia berhadapan dengan prajurit dari negeri Sebarang Samudera. Ternyata
ia dapat dikalahkan oleh perwira perang dari negeri
tersebut. Ia pun melarikan diri ke tanah Jawa, berusa-ha menambah ilmunya untuk
lakukan balas dendam.
Maka ia pun berjumpa dengan sosok Raja Iblis yang
menjelma menjadi manusia. Akhirnya ia menjadi pengikut si Raja Iblis dengan menyerap kesaktian si Raja Iblis...." "Maksudnya,
Raja Iblis ayahnya si Darah Kula itu, Eyang?" potong Soka dengan rasa ingin
tahunya tak tertahan lagi.
"Benar. Pada waktu itu, Raja Iblis mau memberikan kesaktiannya kepada sang perwira perang tersebut dengan perjanjian, harus mau menjadi pengikut
setianya. Perjanjian itu disetujui, maka jadilah perwira perang tersebut sebagai
pengikut setia Raja Iblis yang berjuluk Dedengkot Iblis. Setelah ia berhasil
membalas dendam kepada lawannya yang dulu, ia ditugaskan
oleh si Raja Iblis untuk menjaga Bambu Gading Mandul." "Mengapa bambu itu harus dijaga, Eyang?"
tanya Raka Pura setelah si Mulut Guntur hentikan
ucapannya beberapa saat.
"Aku tak Jelas apa alasan si Raja Iblis menjaga
bambu itu. Setahuku, Bambu Gading Mandul dapat
dipakai untuk menolak dan melumpuhkan kekuatan
sihir. Mungkin karena kesaktian itulah, Raja Iblis yang mempunyai ratusan ilmu
sihir itu perlu menaruh seorang penjaga di Kubangan Berdarah agar tak seorang
pun memiliki bambu tersebut."
"Mengapa tidak dicabutnya saja" Atau dihancurkan sekalian, biar tak jadi perintang bagi ilmu si-hirnya si Raja Iblis?"
ujar Soka Pura kepada Raka, tapi kata-kata itu sebenarnya ditujukan kepada si
Mulut Guntur. Maka si jubah putih itu pun menjawabnya dengan suara pelan berkesan ragu, "Mungkin sudah dilakukan, tapi Raja Iblis tak
berhasil cabut atau hancurkan bambu itu!"
Pendekar Kembar saling manggut-manggut dalam gumam kecil.
"Kudapatkan keterangan tentang jadi diri si
Dedengkot Iblis Itu dari nenek ku." sambut si Mulut Guntur. "Sebab nenek ku
pernah menjadi istri Dedengkot Iblis, sebelum lelaki itu menjadi pengikut Raja
iblis." "Oooo...," gumam kedua pemuda kembar itu
semakin jelas. "Ketika suaminya menjadi pengikut iblis, nenek
segera lari dan tak mau menjadi istrinya lagi. Akhirnya beliau menikah dengan
kakekku, sampai lahirlah ibu-ku dan seterusnya lahir pula diriku. Sebab itu, aku
adalah satu-satunya orang yang dapat menginjakkan
kaki di tanah Kubangan Berdarah tanpa kehilangan
nyawa, sebab Dedengkot Iblis tahu bahwa aku adalah
cucunya Nyai Prabawinih."
"Kalau begitu, Eyang bisa mengambil Bambu
Gading Mandul itu tanpa celaka"!"
Mulut Guntur gelengkan kepala sambil memandang Soka Pura.
"Dedengkot iblis tak akan mengusik ku selama
aku tidak mengusik bambu itu. Tapi jika aku ikut
mengusik Bambu Gading Mandul, maka ia tak akan
tinggal diam. Pasti aku akan dibunuhnya pula."
"Ooo...," Raka menggumam agak keras. "Lalu, bagaimana cara mengalahkan si
Dedengkot Iblis itu,
Eyang"!"
Soka menimpali, "Apakah Nyai Prabawinih
mengetahui kelemahan Dedengkot Iblis itu, Eyang?"
Mulut Guntur tarik napas panjang. Sepertinya
ada sesuatu yang berat diucapkannya, namun ia tampak pula memaksakan diri untuk mengungkapkan di


Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan Pendekar Kembar. Agaknya sesuatu yang ingin
diungkapkan itulah rahasia yang selama ini disimpan
rapat-rapat oleh si Mulut Guntur.
"Nenek ku pernah berpesan padaku, bahwa aku
tak boleh membunuh Dedengkot Iblis karena hal itu
sama saja membunuh cinta nenek kepada Dedengkot
Iblis. Walau cinta itu sudah lama terkubur di dasar ha-ti nenek ku, tapi nenek
tetap tak ingin keturunannya bermusuhan dengan si Dedengkot Iblis."
"Lalu, tentang rahasia kelemahannya itu bagaimana, Eyang?" desak Soka Pura yang menyadari
bahwa si Mulut Guntur sedikit berbelit-belit dalam
menjawab pertanyaan tadi karena rasa bimbang dalam
hatinya. Dengan desakan itu, maka Soka berharap kebimbangan itu musnah dari dalam hati si Mulut Guntur. "Kami perlu mengetahui kelemahan tersebut
sebelum nantinya kami berdua akan dibunuh oleh si
Dedengkot Iblis, Eyang!" Raka pun ikut mendesak, karena Raka segera tanggap
maksud desakan adik kembarnya tadi. "Nenek ku memang pernah memberi tahu rahasia kelemahan si Dedengkot Iblis...."
Baru berkata demikian, tiba-tiba tubuh si Mulut Guntur terhempas kuat bagai diterjang badai sangat kencang. Tubuh itu terhempas membentur dinding
dangau yang terbuat dari kepang itu. Brruuus...!
Byuuurrr...! Mulut Guntur jatuh ke dalam empang tanpa bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Tentu saja hal
itu sangat mengejutkan Pendekar Kembar yang serta
merta menyambar pedang masing-masing dan bangkit
berdiri beradu punggung. Tetapi ketika mata mereka
sudah memandang dengan lebar-lebar di sekelilingnya,
mereka tidak melihat bayangan apa pun yang dapat
dicurigai sebagai penyebab terhempasnya tubuh si Mulut Guntur. Bahkan angin pun berhembus dengan kalem, nyaris tak membuat rambut Pendekar Kembar
bergerak meriap.
"Tak ada angin tak ada bayangan apa pun,
mengapa Eyang Wirata terlempar begitu saja"!" bisik Raka Pura kepada adiknya.
"Cepat bantu Eyang Wirata naik ke daratan,
aku akan mencari apa penyebabnya!" perintah sang adik. Namun sebelum Raka Pura
bertindak, ternyata
tubuh si Mulut Guntur telah melesat cepat bagai
bayangan berkelebat dari perairan empang ke daratan,
wuuut, jleeg...! Suara geram kejengkelannya terdengar samar-samar.
"Kurang ajar...!"
"Eyang, apa yang terjadi"! Bagaimana keadaan
Eyang"! Eyang baik-baik saja"!" cecar Raka yang segera menghampirinya.
Mulut Guntur basah kuyup dari kepala sampai
kaki. Matanya memandang tajam ke sekeliling. Raka
Pura tak berani ajukan tanya lagi, karena ia tahu wajah si Mulut Guntur sedang menahan kemarahan. Soka Pura segera melompat dari dangau dan berdiri di
samping kanan si Mulut Guntur. Wuuut, jleeg...!
"Ada yang menyerangku!" ujar si Mulut Guntur bernada geram hingga terdengar
pelan. "Siapa orangnya, Eyang"! Aku tak melihat siapa-siapa di sekitar sini!" ujar Soka Pura dengan tetap memandang penuh waspada.
Tangan kirinya sudah
bersiap mencabut pedang beningnya itu untuk hadapi
lawan sewaktu-waktu.
"Rupanya percakapan kita tadi didengar oleh si
Dedengkot Iblis!" bisik si Mulut Guntur kepada Soka, tapi Raka pun yang ada di
samping kanannya juga
mendengar bisikan tersebut, sehingga Raka juga ikut
terperanjat seperti ekspresi wajah adiknya. Bahkan
mereka sempat saling pandang dengan tegang.
"Maksud Eyang... orang yang menyerang Eyang
adalah si Dedengkot Iblis itu"!" bisik Soka inginkan kepastian.
Sebelum si Mulut Guntur menjawab, tiba-tiba
angin berhembus ke satu arah. Hembusan angin kencang yang hanya sekelebat itu datang dari arah kiri
Raka Pura. Padahal sekitar tiga tombak dari arah kiri Raka Pura terbentang pagar
bumi yang mengelilingi
padepokan tersebut.
Wuuus...! Raka Pura pun cepat tanggap terhadap cuaca yang tak wajar itu. ia segera sentakkan kedua tangannya dalam keadaan menggenggam ke arah
datangnya angin tak wajar itu. Suuut...! Maka keluarlah tenaga dalam yang cukup besar dari kedua tangan
yang menggenggam itu. Wuuus...!
Jurus 'Tangan Batu' tersebut ternyata tidak siasia. Hembusan hawa padat dari tenaga dalamnya Pendekar Kembar sulung itu bagaikan menghantam sesuatu yang besar dan empuk. Buuuhk...! Di susul dengan suara orang tersentak tertahan, seperti ditendang perutnya.
"Heeekhh...!" ... Bruuusk...! Tanaman hias se-tinggi lutut menjadi rusak.
Sesuatu telah jatuh menimpa tanaman tersebut. Dan sesuatu itu ternyata
adalah sesosok tubuh gemuk berwajah lebar seperti
martabak dibentangkan di atas penggorengan. Kemunculan sosok gemuk itu membuat si Mulut Guntur terperanjat, demikian pula Pendekar Kembar yang masih
merasa asing dengan penampilan tokoh perempuan
gemuk berwajah lebar itu.
"Bedebah!!" maki perempuan gemuk yang nyaris seperti gentong itu. Ia segera bangkit dengan matanya yang tajam memandang Raka Pura. Suara geramnya bercampur dengan nada kesakitan yang ditahan mati-matian.
"Bocah ingusan mau berlagak jadi jagoan di depanku, hah"!!" bentaknya setelah berdiri tegak. Raka Pura undurkan diri hingga
sejajar dengan si Mulut
Guntur. Beberapa murid si Mulut Guntur yang melihat
kemunculan perempuan gemuk itu segera bergegas ingin menyergapnya. Tapi sang Guru segera mengangkat
tangan, memberi isyarat agar para murid tidak mendekati tempat itu.
Soka Pura segera berpindah tempat dekati kakaknya. "Raka, itu manusia atau karung beras gancet"!"
"Ssstt...!" Raka hanya mendesis pelan.
"Bukan begitu, aku benar-benar kaget melihat
kemunculannya yang gemuknya sebesar itu. Agaknya
ia cocok jadi kekasihmu, Raka!"
"Sekali lagi brisik, kutampar mulutmu, Soka!"
hardik Raka Pura dengan suara berbisik. Raka tak tertarik dengan kelakar adiknya, karena ia ingin pusatkan perhatian kepada si Mulut Guntur yang tampak
sedikit tegang walau tetap maju dua langkah menghadapi perempuan bertubuh besar dan gemuk itu.
"Rupanya kaulah orangnya yang tadi menyerangku dari jauh, Kecubung Manis"!"
"Yahh... memang aku yang menyerangmu, Mulut Guntur!" jawab perempuan berusia sekitar empat puluh lima tahun itu.
"Gila!" bisik Soka kepada kakaknya. "Orang makan buah kecubung separo saja bisa
edan tiga hari tiga malam. Kalau makan kecubung sebesar itu, edannya berapa bulan, ya?"
"Diamlah, Soka!" bentak sang kakak dalam bisikan Kecubung Manis berkata lagi,
"Sengaja kubung-kam mulutmu agar tidak sembarangan bicara tentang
rahasia kelemahan si Dedengkot Iblis, karena seharusnya kau hanya boleh bicara padaku! Orang lain tak
boleh mengetahuinya! Lebih-lebih bocah-bocah ingusan macam si kembar itu! Mereka tak boleh tahu rahasia tersebut, Mulut Guntur!"
Eyang Wirata sunggingkan senyum tipis, agaknya sengaja memberikan kesan sinis kepada tamu tak
diundang itu. Si Mulut Guntur bagai tak hiraukan kata-kata perempuan gemuk itu. Ia bahkan mengecam
perempuan tersebut dengan nada datar dan berkesan
kalem. "Terlalu lancang kau berani memasuki padepo-kanku tanpa permisi, Kecubung
Manis!" "Persetan dengan penilaianmu! Aku sudah tak sabar membujuk
mu dari tahun ke tahun, Mulut Guntur! Sekarang aku
harus memaksamu agar kau bicara tentang rahasia
kelemahan si Dedengkot Iblis! Dan ingat...!" jarinya yang besar diacungkan kuatkuat."... kau hanya boleh bicara padaku tentang rahasia itu, Mulut Guntur! Jika
kau beberkan rahasia itu di depan orang lain, maka
jangan salahkan diriku jika padepokanmu ini berubah
menjadi lautan api dalam sekejap!"
"Edan! Dia berani mengancam begitu"!" gumam Soka lirih didengar oleh Raka yang
tetap tenang itu.
"Berarti ilmunya cukup tinggi! Pukulan jarak jauhnya yang tidak bisa diketahui
datangnya oleh Eyang Wirata sudah merupakan bukti bahwa perempuan seperti gajah
bengkak itu memang berilmu tinggi, Raka! Hatihati jika nanti kita harus melawannya, jangan sampai
kena cium olehnya! Bisa hangus pipimu, Raka!"
"Diamlah kau, Cerewet!" hardik Raka lagi dengan suara berkasak-kusuk. Soka Pura
sembunyikan senyum gelinya sambil melengos ke arah lain. Namun
pandangan matanya segera diarahkan kembali ke wajah perempuan gemuk berbaju ketat tanpa lengan
warna hitam dengan celananya yang punya warna sama hitamnya itu.
"Nafas ku jadi sesak melihatnya terusmenerus," ujar Soka membatin. "Ukuran baju dan celananya bisa dipakai untuk
bikin pakaian tiga orang.
Ya, ampuun... perempuan kok bisa segemuk itu, makanannya apa kira-kira"! Jangkrik atau bekicot racun, ya"!" Tiba-tiba Kecubung
Manis berseru kepada Mulut Guntur, "Sekarang juga kau harus ikut aku ke tempat yang sepi dan beri
tahukan padaku rahasia itu!
Kau tak bisa bohong lagi padaku, Mulut Guntur! Dugaanku dari semula telah terbukti, bahwa kau pasti
tahu rahasia kelemahan si Dedengkot Iblis itu!"
Perempuan gemuk yang rambutnya dikonde
bundar seperti sarang burung itu segera melangkah
dekati si Mulut Guntur. Kedua matanya membelalak
lebar, menampakkan keangkerannya walau sebenarnya justru membuatnya tampak lucu di hati Soka Pura. "Cepat ikut aku, Mulut Guntur! Jangan sampai
ku gunakan kekerasan untuk membuka mulutmu
yang tua itu!" sambil ia tetap maju mendekati Mulut Guntur. Yang didekati hanya
diam saja, memandang
tanpa gerak sedikit pun. Mulut Guntur bagai tak pedulikan keadaan tubuh dan pakaiannya yang basah
kuyup itu. "Perlukah kutangani, Eyang?" bisik Raka Pura dari belakang Mulut Guntur. Namun
sebelum Mulut Guntur kasih jawaban, tiba-tiba sekelebat bayangan
menerjang Kecubung Manis dari belakang.
Weess...! * * * 2 MULUT Guntur dan Pendekar Kembar terkejut
melihat seseorang menyerang Kecubung Manis dari belakang. Serangan itu bagaikan badai menerjang punggung si perempuan gemuk berdada membusung besar.
Buuuhk...! Anehnya terjangan keras itu tidak membuat
Kecubung Manis tersungkur ke depan atau terjungkal,
ia hanya tersentak setengah langkah ke depan, kemudian segera berbalik pandangi si penyerang. Sedangkan si penyerang justru terpental mundur dan jatuh
terduduk. Ia bagaikan habis menerjang sebongkah batu gunung yang sukar ditumbangkan.
"Bocah sangit! Heeah...!"
Kecubung Manis ingin sentakkan tangan kanannya dalam keadaan telapak tangan terbuka. Tapi
Mulut Guntur segera kelebatkan tangan kirinya dengan dua jari mengeras lurus bagaikan sebilah pisau ingin dilemparkan. Wuuut...!
Dari ujung kedua jari itu keluarkan cahaya merah kecil seperti sebutir merica. Sinar merah itu kenai punggung telapak tangan
Kecubung Manis yang ingin
dihantamkan ke arah si penyerangnya. Deesss...!
"Aaoooww...!!" Kecubung Manis memekik keras, suaranya menggema. Pekikan itu
disertai dengan sentakan tubuh yang melompat ke samping dan tangannya buru-buru diturunkan, dipegangi dengan tangan
sebelahnya. Ia menyeringai kesakitan, seperti habis
disengat kala jengking.
"Mundur, Kirana!" perintah si Mulut Guntur
kepada gadis penyerang tadi, yang ternyata adalah Kirana, muridnya sendiri.
Gadis yang naksir Raka Pura itu segera mendekati Raka dengan pandangan mata tertuju kepada si
Kecubung Manis. Sementara itu, geram Kecubung Manis yang ditujukan kepada Kirana segera terhenti oleh langkah Mulut Guntur yang
menghalangi muridnya
sambil berseru kepadanya.
"Rupanya kau memang perlu kuberi pelajaran
biar tahu adat sedikit, Kecubung Manis!"
"Muridmu telah menyerangku dengan tidak jantan, Mulut Guntur!"
"Dia memang bukan murid jantan!" jawab Mulut Guntur. "Dia murid perempuan. Jika kau merasa jantan, kau hanya akan
berhadapan denganku, Kecubung Manis!"
"Bagus!" seru Kecubung Manis sambil meluruskan tangannya yang tadi seperti tersengat kala
jengking itu. Agaknya ia sudah bisa mengatasi rasa
sakitnya dan bersiap lakukan pertarungan dengan si
Mulut Guntur. "Kau pun perlu dihajar biar tahu bahwa aku
benar-benar membutuhkan rahasia itu, Mulut Guntur!" Tunjukkan seberapa butuhnya kau terhadap
rahasia itu!" tantang si Mulut Guntur dengan suara tetap bernada wibawa.
Sementara itu ia sempatkan berpaling sebentar kepada Raka Pura yang berada bersa

Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ma adik kembarnya dan Kirana.
"Menjauhlah kalian!"
Kirana segera mundur hingga ke depan dangau.
Raka Pura dan adik kembarnya mengikuti Kirana.
"Siapa sebenarnya perempuan bengkak itu, Kirana?" tanya Soka Pura.
"Dia orang Telaga Wengur, Ketua Perguruan Serampang Mayat!" jawab Kirana sambil memperhatikan pertentangan antara gurunya
dengan Kecubung Manis.
"Mengapa ia sangat memaksa Eyang Wirata untuk membuka rahasia kelemahan Dedengkot Iblis?"
"Karena ia juga menghendaki bambu sakti itu.
Salah seorang muridnya terkena kutukan dari Nyai
Rempah Arum, musuh bebuyutannya. Kutukan itu tak
akan bisa sirna jika tidak diobati dengan mandi air re-busan Bambu Gading
Mandul. Karena itu, berkali-kali
Kecubung Manis membujuk dan mendesak Eyang
Guru agar memberi tahu rahasia kelemahan Dedengkot Iblis. Tapi Eyang Guru tak pernah mau bicara dan
selalu berlagak tidak tahu menahu tentang rahasia
tersebut. Sampai akhirnya... sekarang ia sudah tak bi-sa menahan kesabaran lagi
dan lakukan desakan dengan cara kasar. Padahal sebelumnya kami tak pernah
bentrok dengan pihak Perguruan Serampang Mayat!"
"O, begitu..."!" Raka Pura yang menggumam
dan manggut-manggut.
"Kecubung Manis adalah cucu dari mendiang
Eyang Tayangon."
"Eyang Tayangon itu siapa?"
"Kakaknya Eyang Wirata yang mewariskan seluruh ilmunya kepada Kecubung Manis."
"O, kalau begitu ilmu yang dimiliki Eyang Wirata kalah tua dengan ilmu yang dimiliki Kecubung Manis?" "Ya, memang begitu menurut pengakuan Eyang Guru!" ujar Kirana, gadis
cantik bergigi gingsul itu.
Percakapan mereka terhenti seketika, Raka Pura yang ingin ajukan tanya terpaksa batal, karena mereka segera terperangah melihat Kecubung Manis bertepuk tangan satu kali. Plaak..,! Tepukan tangannya
memancarkan sinar hijau ke arah si Mulut Guntur.
Claap...! Sinar hijau lebar itu bagai menyambar tubuh si
Mulut Guntur yang kurus. Namun sinar itu segera ditahan dengan sentakan telapak tangan kanan si Mulut
Guntur yang disentakkan ke depan dan keluarkan sinar hijau pula, namun warna hijaunya lebih muda dari
sinar hijaunya Kecubung Manis. Claap...! Blaaarrr...!
Mulut Guntur terpental mundur, jatuh berlutut
dengan satu kaki. Telapak tangannya berasap dan bergetar. Pada saat itu, Kecubung Manis melompat menerjang Mulut Guntur dengan kecepatan tinggi, seperti asap hitam berkelebat
nyaris tak terlihat. Wuuut...!
Blaap...! Mulut Guntur bagaikan menghilang.
Tahu-tahu ia sudah berdiri di sisi lain, di belakang Kecubung Manis. Sedangkan
perempuan besar itu tapakkan kakinya ke tanah kosong. Jleeg...! Duuurr...!
Bumi bergetar karena pijakan kakinya yang bertubuh
besar itu. Kecubung Manis segera palingkan wajah dan
menjadi makin berang melihat Mulut Guntur berdiri
delapan langkah di belakangnya.
"Keparat kau! Jangan lari ke mana-mana kalau
kuserang, Tolol!" bentak Kecubung Manis dengan suara mengerang ganas.
Ia segera mengangkat kedua tangannya yang
berlengan besar dan membuat seorang lelaki akan merinding jika membayangkan pelukannya itu. Kedua
tangannya segera bertepuk di atas kepala. Ploook...!
Claap, claap, claap...! Sinar hijau keluar lagi, kail ini berlapis-lapis dengan
panjang dan lebar sinar seperti taplak meja.
Mulut Guntur pun keluarkan sinar tandingan
dari telapak tangan kanannya yang berjari rapat semua dan disodokkan lurus ke depan bagai menusuk
udara. Dari tangan itu keluar sinar merah muda yang
melebar dan beruntun. Clap, clap, clap...!
Blegar, blegar, blegaar...!
Dentuman besar terjadi secara beruntun dan
menggetarkan alam sekelilingnya. Air empang sempat
bergolak bagaikan diguncang gempa. Atap rumbia pada dangau sempat merosot pada bagian salah satu sisinya karena getaran tersebut cukup kuat. Bahkan
Kirana nyaris terpelanting jatuh diterjang gelombang getar dari ledakan beruntun tadi. Untung
punggungnya segera ditarik oleh tangan Raka Pura,
sehingga gadis cantik berompi merah saga itu tak jadi jatuh tercebur ke empang.
"Heeaaaahh...!!"
Kecubung Manis berteriak dengan mulut ternganga lebar dan tubuh melompat menerjang lawan.
Sedangkan si Mulut Guntur pun berteriak panjang
sambil lakukan lompatan serupa menyambut kehadiran lawannya. "Heeaahhh...!!"
Blaaar, blarr...! Blegaaarrr...!
"Aaooww...!" suara pekik kesakitan itu datang dari mulut Raka Pura dan Soka
Pura. Mereka berdua
segera menutup telinga masing-masing sambil sedikit
membungkuk, karena gendang telinga mereka bagai
ditusuk dengan linggis begitu mendengar teriakan mereka yang bertarung.
Rupanya mereka yang bertarung sama-sama
keluarkan jurus berupa getaran gelombang suara yang
mempunyai kekuatan tenaga dalam menyerupai geledek di siang hari belong. Getaran suara itu bisa meme-cahkan gendang telinga
bagi orang yang berilmu rendah. Tetapi bagi yang berilmu tinggi hanya akan rasakan sakit, gendang telinganya seperti ditusuk dengan
benda tajam. Sedangkan bagi para murid si Mulut
Guntur, getaran suara seperti itu tidak membuat mereka menjadi kesakitan, karena mereka sudah dibekali
ilmu tenaga dalam pelapis gendang telinga yang dapat
bekerja dengan sendirinya Jika mendengar getaran suara yang menyerupai geledek murka itu.
Tetapi dari kejadian yang mengejutkan itu, ada
hal yang lebih mengejutkan lagi, yaitu pertemuan kedua tokoh sakti yang melambung di udara. Kecubung
Manis dan Mulut Guntur saling beradu telapak tangan
di udara. Hingga ledakan menggelegar terjadi ketika
cahaya merah menyebar dari adu telapak tangan di
udara itu. Biaaammm...! Tubuh mereka sama-sama terpental mundur.
Mulut Guntur melayang-layang kehilangan keseimbangan tubuh, sedangkan Kecubung Manis masih
sempat melambung dalam gerakan berjungkir balik di
udara dengan lincahnya.
Wuk, wuk, wuk...!
Tab, tab, tab...!
Kaki si Kecubung Manis menyentak-nyentak
pada tiap pendaratan di atas daun-daun tanaman
hias. Rupanya ia juga mempunyai ilmu peringan tubuh
yang cukup tinggi, sehingga tubuh besarnya itu mampu melayang seringan kapas dan melesat ke sana-sini
dengan lincahnya.
Jreeg...! Kecubung Manis akhirnya hinggap di
atas pagar bumi yang mengelilingi padepokan tersebut.
Sementara, si Mulut Guntur jatuh membentur salah
satu pohon rindang di pojokan. Namun ia masih mampu menggeliat bangun dengan mulut dan hidung sudah mulai berdarah.
"Guru..."!" sentak Kirana kaget dan tegang melihat gurunya berdarah. Tapi ia
sedikit lega setelah
memperhatikan ke arah Kecubung Manis, ternyata perempuan besar itu lebih banyak keluarkan darah dari
telinga, hidung, dan mulutnya.
"Keparat busuk kau, Mulut Guntur! Aku terluka karena pukulanmu! Awas...! Akan kubalas luka ini
lebih parah lagi di lain waktu! Uuhkk...!" Kecubung Manis terbungkuk dan
memuntahkan darah lagi dari
mulutnya. Kirana menggeram dengan wajah penuh kemarahan. Tangannya segera menyambar cambuk yang
merupakan senjata andalannya itu. Namun sebelum
cambuk dilecutkan, Kecubung Manis telah melesat
pergi dari atas pagar tinggi itu bagaikan menghilang
tanpa bekas lagi. Weess...!
"Raka, Eyang Wirata terluka parah!" seru Soka
Pura yang segera berkelebat hampiri si Mulut Guntur.
Raka Pura pun bergegas menghampirinya dengan tegang. Para murid Perguruan Tapak Syiwa ikut berkelebat hampiri gurunya yang terluka.
"Bawa ke ruang husada!" seru Kunto Aji, pemuda tampan berpakaian loreng macan yang dijuluki
si Bocah Loreng itu.
Mereka bergegas membawa Eyang Wirata ke
ruang husada alias ruang penyembuhan. Kirana sempat berkata kepada Raka Pura, karena memang ia selalu didampingi oleh si Pendekar Kembar sulung itu.
"Kalau bukan Eyang Guru, mungkin sudah tewas karena jurus mautnya si Kecubung Manis! Ia telah
menggunakan jurus 'Tapak Neraka' yang sangat berbahaya bagi jantung lawannya."
"Tapi kulihat tadi, si Kecubung Manis juga terluka parah," ujar Raka Pura.
"Ya, karena Eyang Guru menggunakan jurus
'Tapak Dewata' yang lebih tinggi dari 'Tapak Neraka'.
Jika bukan Kecubung Manis, tentu orang itu sudah
hancur menjadi serpihan arang!"
Melihat keadaan si Mulut Guntur sangat
mengkhawatirkan; wajah pucat, mata terbeliak putih,
darah mengalir terus dari hidung dan mulut, dan wajah menjadi pucat pasi seperti mayat, maka Raka Pura
segera ambil inisiatif untuk lakukan pengobatan secepatnya. Jurus 'Sambung Nyawa' yang terkenal ampuh
untuk penyembuhan segera digunakan oleh Pendekar
Kembar sulung. Di depan para murid Perguruan Tapak Syiwa,
pengobatan itu dilakukan oleh Raka dengan menempelkan tangannya ke telapak tangan Mulut Guntur.
Tangan Raka segera memancarkan cahaya ungu pendar-pendar. Cahaya ungu itu segera meresap dan
membuat tubuh Mulut Guntur menjadi bercahaya ungu sama. Walaupun tangan Raka sudah dilepaskan dari
telapak tangan Mulut Guntur, namun tubuh Pak Tua
itu masih memancarkan cahaya ungu yang mencengangkan tiap murid perguruan tersebut. Bagi Kirana,
hal itu bukan sesuatu yang aneh lagi, sebab ia pernah diobati dengan cara
seperti itu oleh Raka Pura.
Setelah cahaya ungu pendar-pendar itu padam,
Mulut Guntur mulai bisa bernapas dengan lega. Wajahnya tidak sepucat tadi. Bahkan kini ia menjadi segar, sepertinya tak pernah mengalami luka berbahaya
sedikit pun. Waktu yang relatif singkat dalam penyembuhan tersebut membuat para murid saling berdecak
dan berkasak-kusuk mengagumi ilmu si Pendekar
Kembar. Walaupun mereka pernah melihat Pendekar
Kembar obati luka pada Kunto Aji, namun rasa kagum
mereka masih belum ada habisnya.
"Aku berhutang nyawa pada kalian," ujar Mulut Guntur setelah para murid pergi
dan Pendekar Kembar
kembali duduk bersila di depan Ketua Perguruan Tapak Syiwa itu. "Kalau tak segera tertolong, nyawaku bisa amblas akibat pukulan 'Tapak Neraka'-nya si Kecubung
Manis tadi! Untung kalian masih ada di sini."
"Lupakanlah apa yang sudah kami lakukan tadi, Eyang," ujar Raka Pura sambil tersenyum-senyum malu. "Kami hanya lakukan apa
yang kami bisa lakukan. itu bukan hal yang hebat dan berlebihan, Eyang."
"Kalian terlalu merendah. Tapi aku sangat kagum dengan jiwa kalian."
"Kalau boleh kami ingin tahu, apa sebab Eyang
tidak beberkan rahasia kelemahan Dedengkot Iblis kepada Kecubung Manis?" sela Soka Pura. "Bukankah menurut Kirana, ilmunya Kecubung
Manis masih satu
aliran dengan ilmu silat di sini?"
"Memang. Tapi dia mempunyai niat lain dalam
memiliki Bambu Gading Mandul itu. Bukan saja untuk
melawan kutukan yang menimpa seorang muridnya,
tapi juga akan digunakan untuk memperbudak kaum
lelaki." Kedua pemuda kembar itu saling berkerut dahi dalam memandang si Mulut
Guntur. Akhirnya Soka
Pura ajukan tanya kepada Mulut Guntur dengan suara
pelan seperti orang menggumam heran.
"Memperbudak kaum lelaki..."! Maksudnya bagaimana itu, Eyang?"
"Bambu Gading Mandul dapat untuk menundukkan kaum lelaki. Seorang perempuan yang membawa sepotong Bambu Gading Mandul walau sebesar
kelingking. akan menyebarkan pengaruh gaib melalui
matanya. Pengaruh gaib itu dapat membuat kaum lelaki tunduk dengan segala perintahnya, termasuk perintah melayani kemesraan di atas ranjang."
"Oooo...," kedua pemuda kembar itu tak senga-ja menggumam bersama.
"Apakah pengaruh gaib itu juga dimiliki oleh
seorang lelaki yang membawa sepotong bambu tersebut, Eyang?"
"Tidak!" Mulut Guntur gelengkan kepala. "Bambu Gading Mandul adalah bambu yang
tercipta dari kelingking bidadari yang terpotong saat terjadi pertem-puran di kayangan.
Kelingking itu jatuh ke bumi dan
tumbuh sebagai bambu tunggal tanpa anak bambu.
Begitulah kepercayaan leluhur ku tentang Bambu Gad

Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ing Mandul. Karenanya, hanya kaum perempuan yang
bisa mempunyai pengaruh kekuatan gaib tersebut terhadap lawan jenisnya."
Pendekar Kembar sama-sama anggukanggukkan kepala sambil menggumam kecil. Mereka
baru tahu khasiat lain dari Bambu Gading Mandul itu,
sebab ketika Resi Bayakumba jelaskan tentang bambu
tersebut, tak ada penjelasan tentang kekuatan daya
pikat itu. Agaknya si Mulut Guntur lebih banyak tahu
tentang Bambu Gading Mandul daripada Resi Bayakumba. Raka dan Soka semakin penasaran ingin dapatkan bambu tersebut. Bukan saja karena ingin kalahkan kekuatan si Darah Kula, namun juga penasaran ingin melihat seperti apa yang mempunyai kekuatan aneh tersebut. Hal itu membuat semangat mereka
untuk pergi ke Kubangan Berdarah semakin tinggi.
Tetapi ternyata ada pihak lain yang menentang
niat tersebut. Orang yang tidak setuju dengan perjalanan Pendekar Kembar ke
Kubangan Berdarah tak lain
adalah gadis cantik yang salah satu giginya bertumpuk alias 'gingsul' itu. Siapa
lagi gadis gingsul berlesung pipit jika bukan Kirana, si murid tercantik dari
beberapa murid perempuannya Mulut Guntur.
"Aku akan merintangi langkah kalian jika kalian nekat pergi ke tanah Kubangan Berdarah!" ancam Kirana dengan wajah
cemberut. "Mengapa kau berubah sikap menjadi penentang langkahku, Kirana"! Semula kau mendukungku
dan bahkan membawaku kepada gurumu agar mendapat petunjuk untuk pergi ke sana. Tapi mengapa kau
sekarang menjadi perintang ku"!"
"Karena aku tak ingin kau binasa di tangan si
Dedengkot Iblis itu, Raka! Aku takut kehilangan diri
mu!" jawab Kirana dengan nada suara tandas dan tegas.
Hati yang tertawan oleh ketampanan dan kelembutan Raka Pura membuat Kirana nekat memproklamirkan diri sebagai perintang utama bagi perjalanan sang Pendekar Kembar.
Bahkan ia berkata dengan lebih tegas lagi di depan Raka dan Soka. "Lebih baik
aku mati lebih dulu daripada melihat kau dihancurkan
oleh si Dedengkot Iblis! Karena itu, jika kalian tetap ingin berangkat ke
Kubangan Berdarah, kalian harus bisa langkahi mayatku dulu!"
"Heh, heh, heh...! Belum tahu dia..."!" ujar Soka sambil nyengir kepada
kakaknya. Tapi wajah Raka Pura pun menjadi kendur,
seakan ia tak berani teruskan langkahnya jika Kirana
melarang sekeras itu.
"Baiklah, kalau kemauanmu begitu, aku tak
akan berangkat ke sana!" ujar Raka kepada Kirana.
Hal itu membuat Soka Pura menjadi terperangah tegang. "Kau gila, Raka"!"
"Aku tak ingin Kirana memusuhi ku, Soka!"
"Hei..."l Mengapa hatimu yang selama ini dingin terhadap perempuan, sekarang
menjadi selembek bubur sagu begitu, Raka"!"
"Terserah apa katamu. Yang jelas, jika kau ingin nekat berangkat, berangkatlah sendiri. Aku akan
tetap bersama Kirana di sini!"
"Edan tujuh turunan kau ini!" gerutu Soka Pu-ra dengan napas memburu karena
mulai dihinggapi
kemarahan atas keputusan sang kakak. Soka Pura
menjadi gusar sekali.
Sementara itu, Mulut Guntur menatap curiga
pada kasak-kusuk mereka bertiga. Sang Guru segera
mendekatinya. Namun sebelum ajukan tanya, Kirana
sudah perdengarkan suaranya yang tegas lebih dulu.
"Eyang Guru, kalau Eyang Guru mengatakan
rahasia itu kepada Pendekar Kembar, aku akan keluar
dari perguruan ini!"
"Kirana"! Ada apa dengan dirimu"!"
Kirana tidak menjawab, ia segera pergi dengan
wajah cemberut. Pendekar Kembar menatap si Mulut
Guntur yang terbengong kebingungan hadapi ancaman
murid cantiknya itu.
* * * 3 SIKAP lemah Raka yang sepertinya cenderung
memihak keputusan Kirana ternyata hanya sebuah
siasat saja. Sang gadis sempat merasa lega dan berbunga indah mendengar Raka Pura lebih baik menyuruh adik kembarnya pergi sendiri ketimbang ia harus
menentang keputusan Kirana.
Tetapi dalam kenyataannya, esok pagi sebelum
matahari terbit, kedua pemuda kembar itu akhirnya
nekat tinggalkan Perguruan Tapak Syiwa. Di saat Kirana masih tertidur nyenyak, mereka sudah berangkat
menuju Kubangan Berdarah, sesuai dengan arah yang
pernah ditunjukkan oleh Kirana, sebelum gadis itu berubah keputusan.
Tentu saja Kirana yang menaruh hati kepada
Raka Pura itu merasa kehilangan dan menjadi kelabakan setelah mengetahui Pendekar Kembar sudah tinggalkan padepokan. Ia segera temui gurunya dengan
gusar. Wajah cantiknya sudah dilipat-lipat sepagi itu.
"Guru, apa yang telah Guru lakukan terhadap
Pendekar Kembar"!"
Mulut Guntur berlagak bingung. "Maksudmu
apa bertanya begitu, Kirana"!"
"Mereka telah pergi dari padepokan! Mereka tidak ada di kamarnya, Guru!"
"O, tentu saja begitu. Sebab mereka telah pulang ke Gunung Merana!"
"Guru pasti telah mengatakan rahasia kelemahan Dedengkot Iblis, sehingga mereka berdua pergi ke
Kubangan Berdarah!" tegas Kirana dalam menuduh.
Sang Guru kalem saja. "Tidak. Aku tidak mengatakan rahasia itu!"
"Guru berani bersumpah"!"
"Aku berani bersumpah, aku tidak mengatakan
rahasia kelemahan Dedengkot Iblis!"
"Lalu, mengapa mereka pergi tinggalkan padepokan tanpa pamit padaku"!"
Sang Guru masih kalem, sedikit angkat bahu
tanda pasrah. "Tapi mereka pamit padaku, Kirana. Mereka
pulang ke Gunung Merana, karena mereka kecewa
dengan sikapmu yang ingin menguasai mereka."
Kirana mulai surutkan kecemberutannya. Wajah itu berubah menjadi murung, sepertinya penuh
sesal yang menyedihkan. Sang Guru hanya pandangi
muridnya dengan kedua tangan bersidekap di dada.
"Aku tahu kau menaruh hati pads Raka Pura,
Kirana!" "Guru...," Kirana angkat wajah dukanya setelah menunduk sesaat.
"Ya, aku tahu kau mulai jatuh cinta kepada
seorang pemuda. Tapi tidak semestinya kau mengekang ruang gerak pemuda itu. Seorang lelaki cenderung mundur dari seorang gadis jika gadis itu tak
punya pengertian dan kesadaran terhadap apa yang
dihadapi oleh seorang lelaki."
"Guru, aku hanya tak ingin kehilangan Raka
Pura!" ucap Kirana dengan suara mulai parau. "Aku tidak ingin Raka Pura tewas di
tangan penjaga tanah
Kubangan Berdarah itu, Guru!"
"Tanpa sadar kau telah menganggap Raka lemah, meremehkan kemampuannya, merendahkan ilmunya, dan yang lebih berbahaya lagi... kau telah
mematahkan semangat dan keberanian seorang pendekar seperti Raka Pura itu!"
"Aku... aku mencintainya, Guru," ucap Kirana semakin parau, karena kali ini ia
benar-benar menitik-kan air mata dukanya di depan sang Guru. Ia tak segan-segan lagi ungkapkan isi hati yang sebenarnya
demi memberikan alasan atas sikapnya yang menjadi
penentang langkah Pendekar Kembar itu. Sang Guru
yang cukup bijak dan berkharisma tinggi itu akhirnya
hanya memeluk sang murid cantik, mengusap rambut
sang murid dengan penuh kelembutan dan kasih
sayang. "Kau tak perlu cemas, Kirana! Kecemasanmu sama saja harapan celaka pada
diri Raka Pura! Yakin-lah, bahwa mereka tak akan temui halangan apa pun,
tak akan alami celaka apa pun, dan akan kembali ke
padepokan kita setelah urusan mereka selesai." Kirana tarik diri dan pandangi
gurunya. "Jadi benar mereka ke tanah keramat itu,
Guru"!" "Apakah kau tidak percaya dengan jawabanku yang tadi, Kirana"!"
Kirana diam tertegun dalam kebimbangan. Seharusnya Kirana mengatakan, "Ya, aku tidak percaya dengan jawabanmu yang tadi,
Guru!" Maka saat itu sang Guru akan berkata, "Bagus. Kau memang pantas untuk
tidak percaya." Kemudian sang Guru pasti akan menjelaskan hal yang sebenarnya.
Karena kepergian Pendekar Kembar bukan tanpa pamit kepada siapa pun. Justru atas saran si Mulut Guntur mereka berangkat
sebelum para murid bangun
di pagi hari. Mulut Guntur memang tidak mengatakan
rahasia tersebut. Tapi ia menulis rahasia kelemahan
Dedengkot Iblis pada sesobek kain putih. Kain itu diberikan kepada Pendekar Kembar sebagai bekal mengalahkan Dedengkot Iblis di tanah Kubangan Berdarah. "Aku hanya bisa membekali kalian sesobek kain ini," ujarnya kepada kedua
pemuda kembar itu. "Ada beberapa hal yang ku tulis pada kain ini. Tapi bacalah
setelah kalian jauh dari padepokan!"
Sebab itulah, Mulut Guntur berani bersumpah
bahwa ia tidak 'mengatakan' rahasia tersebut, karena
ia hanya 'menulis' rahasia tersebut di atas selembar
kain putih. Sebab itu pula, Pendekar Kembar bergegas
menuju ke Kubangan Berdarah dengan semangat dan
keberanian semakin tinggi.
Mulut Guntur sempat berpesan, "Potonglah bagian ujung dari pohon Bambu Gading Mandul itu secukupnya saja. Kekuatan sakti bambu itu terletak pada bagian ujung. Semakin pucuk, semakin besar kekuatan saktinya."
"Baik, Eyang. Kami akan memotong sekitar dua
jengkal bagian pucuk bambu itu," ujar Raka Pura.
"Dan ingat... jangan sampai jatuh ke tangan perempuan, karena perempuan yang memegang bambu
itu, ia akan dapat jadikan kalian budaknya saat itu ju-ga!"
"Kami akan perhatikan pesan ini, Eyang!"
"Oh... hampir ku lupa," sergah Mulut Guntur sebelum Pendekar Kembar melangkah
pergi. "Hancurkan atau bakar sampai habis kain putih yang kutitipkan pada kalian itu, jika kalian sudah selesai membaca tulisan yang ada di
dalamnya!"
"Balk, Eyang!" jawab Raka yang sudah menduga apa isi tulisan dalam kain putih tersebut.
Tetapi Soka Pura masih belum paham apa yang
di maksud dengan tulisan dalam kain putih tersebut.
Ia menyangka tulisan itu berupa sebaris atau dua baris mantra yang harus dihafalkan. Karenanya, rasa penasaran Soka membuatnya mendesak Raka untuk
membaca tulisan dalam kain putih itu.
"Kita sudah cukup jauh dari padepokan! Mengapa tidak kita baca sekarang saja tulisan dalam kain putih yang ada padamu itu,
Raka"!"
Raka Pura tertawa pelan. "Rupanya sejak tadi
hati mu gelisah karena rasa penasaran terhadap tulisan dalam kain putih ini, Soka"!"
"Memang begitu. Kau tahu, daya ingat ku tak
sebaik daya ingat mu. Aku harus punya cukup waktu
untuk menghafalkan mantra tersebut."
Raka Pura hentikan langkah. "Kain putih ini
bukan berisi mantra."
"Lalu berisi apa?"
"Penjelasan tentang rahasia kelemahan si Dedengkot Iblis!" bisik Raka Pura pelan sekali.
"Dari mana kau yakin begitu"!"
"Firasat ku mengatakan begitu. Sebab menurutku, Eyang Wirata tak mungkin melepas kepergian
kita ke Kubangan Berdarah jika ia benar-benar tidak
membekali kita dengan rahasia tersebut. Tentunya beliau juga tak ingin kita celaka di tangan si penjaga Kubangan Berdarah itu!"
"Hmmrn...," Soka manggut-manggut sesaat.
"Kita baca sekarang saja tulisan dalam kain putih itu!"
Raka Pura tengok kanan-kiri sebentar. Ia tak
ingin ada pihak lain yang turut membaca rahasia tersebut. Setelah merasa aman, mereka segera membacanya bersama dalam hati.
"Jangan biarkan kakimu menyentuh tanah.
Pukulan tanpa amarah dan kebencian akan kenai sasaran dengan telak. Buanglah sampan pada tempatnya." Soka Pura tersenyum geli begitu selesai membaca tulisan tersebut.
"Kalimat terakhir mengandung makna usil,"
ujarnya kepada Raka.
Sang kakak pun akhirnya tersenyum geli juga.
Soka tambahkan kata, "Mestinya dilengkapi pula dengan kalimat 'Jagalah
kebersihan, peliharalah lingkungan'...." Raka semakin geli. "Ada-ada saja. Kenapa tidak ditulis pula kalimat
yang berbunyi 'Hemat pangkal
kaya, rajin pangkal pandai'" Biar tambah konyol sekalian." Tawa si bungsu agak memanjang. Tapi tawa itu segera reda setelah Raka
Pura berujar dengan nada se-rius. "Eh, tapi mungkin saja kalimat terakhir ini
punya arti tersendiri"!"
"Maksudmu bukan sekadar anjuran mainmain?" "Ya. Coba kau renungkan dua kalimat di atas-nya ini. Selalu kaki kita tak
boleh sentuh tanah dalam melawannya, kita juga tak boleh memukul dengan hat
diliputi kemarahan dan kebencian. Ditambah lagi...
'buanglah sampah pada tempatnya' mungkin berarti:
kuburkan mayatnya setelah kita berhasil membunuhnya." "Jika tidak dikuburkan apakah ia akan bangkit lagi?" "Barangkali saja
begitu maksud kalimat terakhir ini." Setelah mereka termenung sebentar, Soka
Pura segera suruh kakaknya untuk hancurkan secarik kain


Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putih itu. Raka Pura menghancurkannya dengan gunakan jurus 'Cakar Matahari', yang mampu membakar
kain tersebut hingga menjadi abu dalam sekejap, melalui sinar putih berbentuk pisau yang keluar dari telapak tangan. Dan langkah pun mereka teruskan sambil
membicarakan tentang rahasia tersebut dengan suara
bisik. Lereng Gunung Mercapada mulai dirayapi kabut setipis sutera. Hutan di lereng itu mulai bercampur pohon-pohon bambu hijau.
Semakin menuju ke arah
puncak semakin banyak tanaman bambu bergerombol.
Padahal si Mulut Guntur pernah berkata, "Jika
kalian sudah temukan hutan tanpa tanaman lain kecuali tanaman bambu, maka itu berarti kalian sudah
sampai di tanah keramat yang dinamakan Kubangan
Berdarah. Carilah di sekitar tempat itu sebatang pohon bambu kuning yang tumbuh
lurus bagai ingin menombak langit...."
Raka Pura mencekal lengan adik kembarnya,
sehingga langkah mereka sama-sama terhenti. Tanpa
bicara apa pun, Raka Pura memandang ke satu arah
yang segera diikuti oleh pandangan mata Soka. Ternyata mereka menemukan kerangka manusia yang
tergeletak di bawah segerombol pohon bambu hijau.
Mereka pun mendekatinya. Bulu kuduk mulai berdiri ketika
angin berhembus lebih kencang dari saat sebelumnya.
"Kerangka ini sudah kering dan tak tersisa dagingnya sedikit pun. Berarti kerangka ini sudah cukup lama tergeletak di sini,"
ujar Raka Pura dengan suara lirih. "Mungkin kita sudah memasuki perbatasan
Kubangan Berdarah," bisik Soka Pura sambil mengusap tengkuk kepalanya yang
merinding. "Kurasa kerangka ini sebagai peringatan bagi
kita agar mulai berhati-hati dan lebih waspada lagi.
Maut mengancam di depan langkah kita, Soka!"
"Aku sudah siap hadapi maut dalam bentuk
apa pun!" tegas Soka Pura. Kini ia mencabut pedang
bersama sarung pedangnya dari selipan pinggang kanan. Pedang itu ditenteng dengan tangan kanan, agar
se-waktu-waktu mudah dicabut dengan tangan kiri,
karena Soka Pura adalah pendekar bertangan kidal.
Mereka mulai melangkah di antara semaksemak pohon bambu hijau. Tanah di sekitar tempat itu
berumput tipis dan tampak merah kehitam-hitaman.
Warna merah kering itu tidak menyeluruh, namun
membentuk semacam kelompok tersendiri. Bahkan
dedaunan rumput pun banyak yang berwarna merah
kering. Bau amis tercium samar-samar, menandakan
tempat itu adalah tempat yang banyak diguyur oleh
darah yang kini telah mengering.
Tulang kerangka manusia semakin banyak mereka jumpai di sana-sini. Pemandangan di sekitar tempat itu bertambah menyeramkan, seperti ladang pembantaian. Tentu saja naluri Pendekar Kembar mulai
mengatakan bahwa mereka telah berada di Kubangan
Berdarah yang berarti juga sudah mulai dekat dengan
tempat tumbuhnya Bambu Gading Mandul.
"Soka, pertajam rasamu, gunakan indera keenam untuk menangkap datangnya bahaya sewaktuwaktu," bisik Raka Pura. Sang adik hanya menggumam pendek dan pelan, matanya memandang ke sanasini dengan tajam dan penuh waspada.
Beberapa langkah kemudian, mereka temukan
tanaman bambu biru kehitaman. Bambu wulung.
Bambu-bambu itu tumbuh lurus secara sendirisendiri, tidak menggerombol seperti bambu-bambu hijau lainnya. Tanah di sekitar tempat itu semakin berbau amis darah dan cukup memualkan perut. Kerangka manusia lebih banyak berserakan di sana-sini.
Langkah mereka pun terhenti untuk perhatikan keadaan pemandangan yang menyeramkan itu.
"Aku merasa seperti...."
Belum selesai Raka Pura bicara, tiba-tiba tubuhnya bagai disambar kuda terbang dari arah kiri.
Bruuus...! Raka Pura terpekik pendek dengan tubuh
terlempar menabrak Soka di samping kanannya.
Brruuuk...! "Aahk...!"
Setan belang! Apa-apaan kau ini, Raka"!" bentak Soka Pura sambil mengusap-usap pelipisnya yang
membentur batu saat terbanting ke kanan. Ia menyeringai kesakitan sambil perhatikan kakaknya yang wajah kirinya memar membiru. Raka Pura tak bisa memberi penjelasan apa pun, karena lehernya terasa seper-ti habis dipenggal dengan
sebatang besi. Sakitnya bukan kepalang. Soka Pura bangkit dengan memendam rasa heran. "Apa yang...."
Belum selesai Soka ucapkan kata, tiba-tiba dadanya bagaikan disodok memakai kayu dolken dengan
keras. Buuhk...!
"Haahhk...!" Soka Pura mendelik dan terlempar ke belakang dalam keadaan mata
terpejam menahan
rasa sakit. Tulang dadanya terasa patah dan nafasnya
tersumbat oleh remukan tulang dada itu. Ia jatuh terkapar dengan tubuh tersentak-sentak karena sukar
bernafas. Darah segar mengalir dari mulut Soka, meleleh ke pipi kanan.
"Dia telah menyerang kita, Soka...!!" seru Raka Pura yang suaranya kontan
menjadi serak, sambil bersiap melakukan perlawanan dengan mencabut pedangnya. Namun pandangan mata si Pendekar Kembar
sulung itu tak bisa menangkap gerakan apa pun di sekitarnya, kecuali daun-daun bambu yang tertiup angin. "Majulah kau sekarang juga, Dedengkot Iblis!"
seru Raka Pura dengan berang. Pedang Tangan Malaikat yang terbuat dari kristal bening mulai memancarkan bias sinar ungu samar-samar. Pedang itu segera
dimainkan untuk hadapi lawan yang tak bisa dilihat
dengan mata telanjang.
Namun sebelum ia dapat menduga ke mana gerakan si Dedengkot Iblis itu, tiba-tiba seberkas sinar merah seperti telur
burung berekor panjang segera melesat dari arah belakangnya. Slaaap...! Pada
waktu itu, Soka Pura sempat melihat kakaknya dalam ancaman
bahaya sinar merah tersebut. Maka dengan susah
payah Soka pun berseru sambil menggeliat bangkit
terhuyung-huyung.
"Awas belakaaaang...!"
Raka Pura segera sentakkan kakinya dan tubuh pun melambung ke atas dalam gerakan bersalto.
Wuuuk, wuuuk...! Ternyata gerakannya yang melambung itu melebihi ketinggian sinar merah yang melayang, sehingga tubuhnya lolos dari terjangan sinar
tersebut. Tetapi sinar merah itu ganti mengarah kepada Soka Pura dengan membelok ke kiri sedikit. Seakan
sinar merah itu mempunyai nyawa dan mampu memburu lawannya yang lain. Slaaap...!
Dengan sisa tenaga yang ada, Soka Pura segera
melompat ke samping dalam gerakan tubuh tegak lurus namun berputar bagai baling-baling. Weees...!
Pedang kristal yang segera dicabut dari sarungnya itu ditebaskan bagai menampel telur merah
berekor panjang. Sinar merah tersebut terkena kibasan pedang, tepat di bagian
pertengahan lebar pedang.
Blaaaarrr...! Ledakan cukup dahsyat terjadi saat sinar merah mirip telur burung itu pecah dihantam Pedang
Tangan Malaikat. Tetapi gelombang ledakannya menyentak kuat ke berbagai penjuru, membuat tubuh
Raka Pura terpelanting ke arah lain dan jatuh tanpa
keseimbangan tubuh. Brruuuk...!
Raka Pura bingung sekali melihat adiknya terlempar sendiri. Ia tak bisa melihat di mana lawannya
berada, padahal ia sudah siapkan jurus 'Nenek Petir'
dengan pedangnya untuk menyerang lawan.
"Jangan sampai kakimu menyentuh tanah..."!"
gumam Raka Pura dalam hati mengingat-ingat kalimat
pemberian si Mulut Guntur itu.
Serta-merta Raka Pura melompat ke samping,
ke arah dua pohon bambu yang tumbuh bersebelahan
dalam jarak sekitar satu langkah. Wuuut...! Begitu
masuk ke pertengahan jarak kedua bambu itu, kedua
kakinya segera merentang hingga menapak pada kedua pohon bambu tersebut. Zeeb...!
Kini kedua kaki Pendekar Kembar sulung tidak
menapak di tanah. Kedua pohon bambu itu sedikit
doyong ke samping karena dipakai pijakan kedua kaki
Raka. Pedang pun segera dimainkan dalam sekelebat,
Wiik, wiik, wiik...!
Gerakan tangan berpedang berhenti dalam posisi ujung pedang mengarah ke depan dan kedua tangan menggenggam gagang pedang di atas telinga kanan. Mata Pendekar Kembar sulung masih jelalatan
mencari di mana musuhnya berada.
Ternyata ia menemukan sesosok tubuh jangkung berambut putih yang panjangnya sepunggung.
Tubuh kurus berjubah merah kusam dengan celananya yang merah juga itu mempunyai sepuluh jari
berkuku panjang dan hitam. Sosok itu sedang melangkah hampiri Soka Pura dengan santainya. Padahal
saat itu Soka Pura baru saja bangkit dari jatuhnya dan sedang kebingungan
mengarahkan pedangnya.
"Dia di samping kirimu, Soka!!" seru Raka dengan wajah tegang.
"Kaki jangan menyentuh tanah!" sambung Raka secepatnya.
Pendekar Kembar bungsu segera ingat tulisan
dalam kain putih tadi. Dengan cepat ia melompat ke
kanan dan tancapkan pedangnya ke tanah. Jruub...!
Wut, jleeg...! Soka Pura berdiri di atas gagang pedang dengan kedua tangan mengembang bagai sayap seekor burung bangau. Jari-jarinya menguncup rapat, siap dipakai menangkis serangan lawan. Ketika itu pula, Soka Pura segera dapat melihat sosok jangkung berwajah
kurus dengan mata kecil yang cekung dan kulit berkerut-kerut. itulah sosok wajah si Dedengkot Iblis yang hanya bisa dilihat jika
kaki Soka tidak menyentuh tanah. Seandainya pada saat Pendekar Kembar tadi
sama-sama melayang karena terjangan lawan dalam
keadaan membuka matanya, maka mereka akan dapat
melihat sosok Dedengkot Iblis. Tapi karena tadi mereka terlempar dan melayang
dalam keadaan mata terpejam
menahan rasa sakit, maka mereka tak sempat melihat
sosok wujud lawannya.
Dedengkot Iblis hentikan langkah seketika. Ia
bagaikan terkejut melihat lawannya berdiri di atas gagang pedang dengan
menggunakan jurus peringan tubuh yang cukup tinggi. Dedengkot Iblis juga menatap
Raka Pura yang ada di belakangnya, dan menjadi heran melihat Raka berdiri di antara kedua pohon bambu
wulung tanpa menginjak tanah.
"Kami dapat melihat rupa mu yang keriputan,
Dedengkot Iblis!" seru Soka Pura sambil nafasnya masih terhela dengan berat.
Dedengkot Iblis mundur dari pertengahan jarak
antara Raka dan Soka. Matanya yang liar dan ganas
itu memandang ke arah kanan-kirinya dengan gerakan
cepat. Kedua tangannya merenggangkan jemari hingga
kuku-kuku panjangnya yang runcing itu tampak memancarkan cahaya biru berlompatan, bagaikan cahaya
petir yang siap menyambar ke mana-mana.
"Bangsat!" geram Dedengkot Iblis. "Turun kalian dari tempat masing-masing dan
hadapilah aku!"
"Kami lupa caranya turun!" sahut Soka Pura
dengan konyol. "Jika kau memang merasa hebat, majulah kemari dan seranglah aku!"
"Kami tak akan menapakkan kaki di tanah, Dedengkot Iblis! Karena kau tak berani tampakkan diri
jika kami menapakkan kaki ke tanah!" timpal Raka Pu-ra sambil sama-sama menahan
rasa sakitnya. "Keparat! Mau apa kalian sebenarnya"!"
"Mencari sepotong Bambu Gading Mandul!" tegas Raka Pura. "Bangsat tengik kalian! Ku kuras darah kalian!
Heeeaaah...!"
Kedua tangan Dedengkot Iblis menyentak ke
kanan-kiri dalam keadaan jari-jarinya membentuk cakar terbuka. Dari jari-jari itu melesat sinar-sinar biru berkerilap bagaikan
pasukan petir menerjang Pendekar
Kembar. Craalaaap...! Weerss...!
Raka Pura sentakkan pedangnya ke depan dengan sedikit diputar. Maka dari ujung pedangnya keluar sinar ungu yang ikut
bergerak memutar seperti obat
nyamuk. Claap...! Dan sinar ungu itu menjadi perisai yang menahan serangan
sinar-sinar biru berkelok-kelok itu. Trat, taaar...! Blegaaarr...!
Ledakan lebih dahsyat dari yang pertama terjadi dengan menyebarkan gelombang sentakan amat
kuat. Ledakan itu terjadi akibat benturan kedua sinar.
Pohon-pohon bambu menjadi patah dan sebagian
tumbang bersama akar-akarnya. Tubuh Raka Pura
sendiri terlempar ke arah belakang dengan gerakan
melayang-layang sambil membentur-bentur bambubambu yang masih belum sempat tumbang atau patah. Sementara itu, Soka Pura menahan napas dan
menyentakkan kakinya di atas gagang pedang. Wuut,
Wuuut...! Dalam sekejap tubuhnya telah meluncur
tinggi karena ia menggunakan jurus peringan tubuh
yang dinamakan jurus 'Badai Terbang'. Akibatnya, lima sinar birunya Dedengkot iblis tak satu pun kenal
tubuh Soka Pura. Sinar-sinar biru itu menghantam
pohon bambu di belakang Soka dan membuat bambubambu itu hancur menjadi serbuk halus yang beterbangan bersama asap bercampur kabut lereng gunung. Jegaaaarrr...!
"Heeeeaaaaat...!!"


Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raka Pura menggunakan jurus Jalur Badai'
yang mempunyai kecepatan gerak melebihi kecepatan
badai yang paling cepat. Pedang Tangan Malaikat masih di genggam dengan ujungnya mengarah ke dada si
Dedengkot Iblis. Dalam keadaan melayang cepat begitu, Raka Pura tetap dapat melihat di mana lawannya
berdiri. Dedengkot Iblis terkejut melihat lawannya bergerak cepat bagaikan badai
mengganas. Ia tak sempat
hindari diri dari terjangan ujung pedang Pendekar
Kembar sulung. Maka dengan cepat ia sentakkan tangan kanannya ke depan dalam keadaan telapak tangan
terbuka dan memancarkan sinar merah bara. Telapak
tangan itu dipakai menahan ujung pedang yang menerjangnya. Blegaaarrr...! Dedengkot Iblis tak tahu bahwa
pedang kristal milik Pendekar Kembar dapat lukai lawan dalam jarak tiga langkah tanpa menyentuh tubuh
lawan. Akibatnya, sebelum pedang itu menyentuh telapak tangannya, ternyata kekuatan sakti pedang telah menghujam telapak tangan
yang menyala merah bara
itu. Maka terjadilah ledakan yang dahsyat pula, membuat tubuh Dedengkot Iblis terlempar sejauh sepuluh
langkah lebih. Wrrees...! Prak, prak, prak...! Brruus...! Beberapa batang bambu wulung yang tumbuh tegak itu patah
seketika diterjang tubuh Dedengkot Iblis yang terlempar melayang kuat itu.
Sementara, kaki Raka Pura segera hinggap di atas tonggak bambu dengan tetap pergunakan ilmu peringan tubuhnya. Hatinya sempat
menyimpan rasa heran dan kagum melihat Dedengkot
Iblis masih bisa berdiri walau wajahnya bagai tercabik-cabik penuh darah akibat
terkena gelombang ledakan
tadi. "Kalau bukan berilmu tinggi, sudah hancur tubuh gaib orang itu!" gumam
hati Raka Pura sambil melirik adiknya yang telah mencabut pedangnya dari tanah dalam keadaan melayang turun dari udara. Soka
pun segera melompat dan berdiri di atas tonggak bambu berjarak tiga langkah dari samping kakak kembarnya. "Serang bersama dengan jurus 'Lidah Dewa'!"
ujar Soka membisik. Raka Pura tak menjawab tapi setuju dengan rencana adiknya.
Dedengkot Iblis menendang sebatang bambu
yang telah patah dan tumbang akibat terjangan tubuhnya tadi. Trak...! Bambu itu melayang di udara dan ia segera melompat, maka
kedua kakinya pun menapak pada batang bambu itu. Ia melayang bagaikan dibawa terbang oleh sebatang bambu wulung ke arah
lawannya. Pendekar Kembar segera sentakkan Pedang
Tangan Malaikat ke arah depan. Dari ujung-ujung pedang mereka keluar sinar ungu lurus. Kedua sinar itu
menyatu di depan dan menerjang si Dedengkot Iblis.
Claaap...! Blaaas...!
"Hahh..."!" Raka Pura dan adiknya terbelalak heran dengan mata mendelik.
Ternyata sinar ungu
yang menyatu dan biasanya bisa membuat lawan menjadi arang seketika itu juga, ternyata tidak mampu lukai tubuh Dedengkot Iblis.
Penyatuan sinar ungu yang
merupakan Jurus 'Lidah Dewa' itu hanya menembus
tubuh Dedengkot Iblis bagaikan menembus bayangan
di udara. Sementara arang yang diserang masih meluncur cepat dengan bambu terbangnya.
"Pencar...!" teriak Raka Pura. Kedua Pendekar Kembar itu segera melompat ke
samping kanan-kiri,
sehingga lawannya menerjang tempat kosong. Namun
angin terjangannya mengandung hawa panas yang dapat membuat tubuh melepuh seketika.
"Aaow...!" Raka Pura memekik kesakitan, lengannya sempat menjadi hitam hangus
seperti habis di
sambar petir. Sedangkan sang adik yang melompat lebih jauh dan lebih cepat dalam keadaan selamat.
Hanya rasakan hawa panas menyengat yang menyambar punggungnya.
Weezz...! Weezz...! Soka Pura melompat ke kedua arah dengan gerakan jurus 'Jalur Badai'-nya. Dalam sekejap ia sudah berada di samping kakaknya
kembali. "Bagaimana lukamu"!"
"Masih bisa ku atasi!" jawab Raka dengan cepat. "Hilangkan rasa benci dan
amarah! Mungkin dengan cara begitu kita bisa lukai tubuh iblis itu!"
Soka Pura membenarkan dalam gumam pendek, karena ia pun segera ingat tulisan dalam kain putih pemberian si Mulut
Guntur itu. Maka ia dan kakaknya segera tarik napas dalam-dalam dan menenangkan gemuruh permusuhan dalam hatinya. Untuk
lakukan hal itu, mereka sengaja lari menjauh beberapa
langkah untuk memperoleh banyak waktu dalam menenangkan rasa permusuhan dalam hati mereka.
Tapi tanpa disengaja, gerakan menjauh mereka
ternyata telah membuat mereka berada sekitar sepuluh langkah dari tumbuhnya sebatang bambu kuning
yang tegak dan lurus bagai ingin menombak langit.
"Bambu itu, Raka...!" sentak Soka Pura dengan hati berdebar-debar. Raka pun
segera memandang penuh ketegangan.
"Kurasa itulah yang dinamakan Bambu Gading
Mandul!" ujar Raka. "Tebang pucuknya, aku akan menahan serangan si iblis itu!"
sambil Raka mulai memandang ke arah Dedengkot Iblis yang berwajah tegang dalam gerakan melayang di atas sebatang bambu.
"Jangan kau sentuh bambu itu jika ingin selamat. Keparat!!" teriak Dedengkot iblis dengan luka ca-bikan di wajah membuatnya
lebih menyeramkan.
"Aku mohon izinmu, Pak Tua!" seru Raka Pura sambil melayang dengan pergunakan
kecepatan jurus
'Jalur Badai'. Ia menyongsong gerakan cepat si Dedengkot Iblis yang telah mengangkat kedua tangannya
dan di telapak tangan itu telah tampak sinar bundar
warna biru sebesar telur ayam kampung. Entah kampung mana. Wuuuzzz...! Slaaap...!
Sementara itu, Soka Pura melesat ke arah
bambu kuning yang tumbuh secara tunggal itu. Bambu itu memang tumbuh lurus dengan pucuknya meruncing bagaikan ujung jari berkuku indah. Pantas jika bambu itu diyakini oleh leluhurnya si Mulut Guntur sebagai bambu jelmaan dari
jari kelingking bidadari
yang putus karena peperangan di kayangan.
Tanpa pedulikan kakaknya bertarung menahan
si dedengkot Iblis, Soka Pura segera melesat tapakkan kakinya di tanah sekitar
Bambu Gading Mandul itu.
Ternyata bambu itu tumbuh pada tanah yang mengeluarkan asap seperti kabut. Asap itu merembes dari
kedalaman tanah dan mengelilingi bambu itu bagai
mengurungnya. "Celaka! Asap beracun"!" gumam hati Soka Pu-ra ketika mencium bau tidak sedap
yang makin me- nyesakkan pernapasan. Ia terpaksa mundur beberapa
langkah. * * * 4 ASAP beracun itu sempat membuat mata Soka
Pura berkunang-kunang dan paru-parunya panas sekali, seperti terbakar. Namun Pendekar Kembar bungsu segera mencoba sempatkan diri salurkan hawa
murni dan tenaga inti gaibnya untuk menawarkan racun yang telah terhirup itu.
Sementara itu, Raka Pura bertarung matimatian melawan Dedengkot Iblis yang berusaha melepaskan serangan ke arah Soka Pura. Pukulan jarak
jauh Dedengkot Iblis selalu dipatahkan oleh jurusjurus mautnya Pendekar Kembar sulung, sehingga terjadi ledakan dahsyat beberapa kali yang mengguncangkan alam sekitarnya. Sampai beberapa saat, Raka
Pura belum bisa lukai si Dedengkot Iblis selain hanya menahan serangan dan
menggagalkan gerakan Dedengkot Iblis yang ingin menuju ke Bambu Gading
Mandul. Raka pun sesekali memandang ke arah adiknya
yang masih belum juga menebang bambu tersebut.
Akhirnya ia berseru kepada sang adik sambil melayang
bagaikan terbang, menerjang Dedengkot Iblis yang ingin berkelebat menyerang Soka. "Cepat lakukan, So-kaaa...!!"
Jurus 'Sambung Nyawa' ternyata berhasil atasi
asap beracun yang dihirup Soka Pura. Bahkan beberapa luka dan rasa sakit Pendekar Kembar bungsu itu
berhasil dilenyapkan oleh jurus 'Sambung Nyawa'-nya.
Ketika terdengar seruan Raka tadi, keadaan Soka Pura
sudah cukup segar. Ia segera berlari menjauhi bambu
tersebut. Beberapa langkah kemudian, Soka berhenti
dan kembali berlari ke arah bambu tersebut dengan
gunakan sentakan kaki yang membuatnya melesat ke
atas. Jurus 'Badai Terbang' digabungkan dengan jurus
'Jalur Badai', sehingga dalam waktu singkat ia sudah
berada tak jauh dari kakaknya. Rupanya sang kakak
terkena pukulan maut si Dedengkot Iblis. Dadanya
menjadi hitam dan kepulkan asap kebiru-biruan. Soka
Pura segera menyambar tubuh kakaknya yang limbung hendak jatuh tersungkur itu. Wees...!
Tanpa pedulikan teriakan murka Dedengkot Iblis, Soka Pura membawa lari Raka jauhi tempat itu.
Sementara si Dedengkot Iblis terbelalak sesaat melihat Bambu Gading Mandul telah
menjadi arang dengan si-sa asap dan api yang masih tampak samar-samar. Ia
pun segera berpaling memandang kepergian Pendekar
Kembar. "Heeeeaaaahhh...!!!" .
Pedang Naga Kemala 3 Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Jejak Darah Masa Lalu 2

Cari Blog Ini