Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo Bagian 1
TRAGEDI BERDARAH
DI PONOROGO Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Tragedi Berdarah Di Ponorogo
128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Pertunjukan Reog Ponorogo itu nampak meriah
sekali. Sore itu, Desa Ponorogo kelihatan temaram indah. Mentari telah menyusup
di balik rimbun pepohonan, dan tak lama lagi akan segera tenggelam di ufuk barat. Di depan rumah Warok
Gandu Pala, suasana
nampak ramai. Hal itu karena di pelataran luas rumah besar itu tengah
berlangsung pagelaran reog, di bawah asuhan Warok Gandu Pala sendiri.
Warok Gandu Pala sengaja menggelar hiburan,
dengan maksud menarik perhatian seluruh warga,
berhubungan dengan pencalonan dirinya sebagai kepala desa. Sejak tiga bulan yang lalu Desa Ponorogo memang kosong kekuasaan,
setelah kepala desa yang lama diketemukan mati terbunuh.
Penonton berjubel-jubel menyaksikan pagelaran itu. Macan Barong, yang menjadi tokoh utama dalam reog, tampak meliuk-liuk mengepakkan bulu-bulu
merak yang lebar dan indah. Anak-anak kecil berlari
menyingkir karena ketakutan, ketika Macan Barong
menggerakkan kepalanya ke bawah. Diiringi suara gemelan yang menghentak-hentak dan bersemangat
mengiringi para pemain reog terus menari, bagaikan
tak menghiraukan senja yang semakin merayap.
Seorang lelaki berbadan tinggi tegap dengan
wajah ditumbuhi kumis tebal, melangkah ke tengah
arena mendekati Macan Barong yang tengah meliukliuk. Di tangan lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun itu, tergenggam
sebuah cambuk besar berwarna
hitam. Cletar! Tiba-tiba suara lecutan cambuk terdengar keras menggelegar dan memekakkan telinga, ketika lelaki
berpakaian serba hitam itu melecutkan cambuknya.
Sebuah lecutan yang luar biasa. Tampaknya lelaki berikat kepala kain hitam itu begitu mahir memainkan
cambuk yang digenggamnya.
"Ayo Macan Barong, tunjukkan kebolehan mu!"
seru lelaki bermuka garang itu sambil melecutkan
kembali cambuk di dekat kaki-kaki penari yang mengenakan topeng.
Cletar! Cletar...!
Macan Barong kembali meliukkan kepala dengan kuat dan berirama. Sehingga bulu-bulu merah di
atas kepala meriap memantulkan cahaya matahari
senja. Begitu indah gemulai tarian Macan Barong yang disertai jurus-jurus silat.
Penari Macan Barong yang memikul topeng kepala macan dan rangkaian bulu-bulu
merak itu seakan-akan tak merasakan beban sedikit pun. "Bagus! Tunjukkan lagi kebolehan mu!" lelaki berkumis yang memegang cambuk hitam
kembali memerintahkan Macan Barong agar terus menari. Cambuk hitam besar dan panjang di tangannya, sesekali
dilecutkan ke sekitar kaki penari Macan Barong.
Cletar! Lecutan keras itu seakan-akan membelah alunan gamelan. Tiupan terompet dan pukulan gendang
yang menghentak-hentak penuh semangat terus terdengar, mengiringi tarian Macan Barong.
Sementara itu di antara para penonton, nampak seorang pemuda berambut gondrong dengan pakaian rompi kulit ular, turut menyaksikan reog itu.
Pemuda tampan itu tak lain Sena Manggala atau yang
lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gila. Sena
nampak cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Sesekali tangan dan kakinya turut bergerak, mengikuti alunan gamelan yang
menghentak dan bersemangat.
Sesaat kemudian terdengar suara tawa cekikikan dari
mulutnya yang mengundang perhatian penonton lain.
"Hi hi hi...! Lucu...! Ha ha ha...!" Sena tertawa-tawa sambil tangan dan kakinya
terus bergerak-gerak, mengikuti gerakan Macan Barong.
Cletar! Cletarrr...!
Terdengar kembali suara lecutan cambuk, seakan memecah suasana senja temaram, di antara alunan gamelan. Namun, perhatian para penonton, kini
tidak semua tertuju pada pagelaran reog. Mereka tiba-tiba saja beralih pada
Pendekar Gila yang bertingkah laku seperti orang gila, tertawa-tawa sendiri
sambil mengikuti gerak-gerik silat Macan Barong.
"Aha, ternyata kau menggerakkan jurus silat!"
gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan, lalu tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala. Tingkah lakunya yang konyol
itu menyebabkan perhatian sebagian besar penonton
dan kebanyakan anak kecil tertuju pada dirinya.
"Hai, orang gila! Sana pergi...!" bentak lelaki pemegang cambuk besar hitam
dengan mata melotot
menatap Pendekar Gila. Lelaki yang ternyata Warok
Gandu Pala merasa jengkel atas tingkah laku Pendekar Gila, karena menyebabkan
perhatian sebagian penonton beralih dari pertunjukan reog.
"Hi hi hi...! Kenapa kau marah, Ki" Apakah tak
boleh aku menonton...?" tanya Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan dan
menggaruk-garuk kepalanya.
"Kukatakan pergi! Cepat..!" bentak Warok Gandu Pala semakin garang dengan mata
melotot "Hi hi hi...! Ah ah ah, galak sekali kau, Ki! Bukankah kau mengadakan
pertunjukan untuk ditonton?" tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan.
"Kurang ajar! Sudah kukatakan, cepat pergi!
Hiburan ini bukan untuk orang gila sepertimu!" bentak
Warok Gandu Pala semakin marah, karena Pendekar
Gila tak segera beranjak dari tempat itu. Malah kini tertawa terbahak-bahak.
"Ah ah ah, galak sekali kau, Ki! Aneh..., kau
menggelar hiburan tapi tak boleh ditonton," gumam Pendekar Gila sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
"Sinting...! Hi hi hi...! Gila kau, Ki."
"Bedebah! Masih juga kau membandel, Pemuda
Gila! Cepat pergi, sebelum hilang kesabaranku!" bentak Warok Gandu Pala sengit.
"Aha, baiklah. Kurasa, kau menyimpan sesuatu, Ki...," tukas Pendekar Gila seraya mengeloyor meninggalkan tempat itu. Namun
tiba-tiba terdengar sua-ra seorang wanita memanggilnya.
"Hai, tunggu...!"
Karena merasa ada yang memanggil, Pendekar
Gila seketika menghentikan langkah. Sambil menggaruk-garuk kepala, dibalikkan tubuhnya. Mulutnya tersenyum dengan cengengesan, ketika dilihatnya seorang gadis cantik berambut terurai panjang dengan
ikat kepala kain merah melangkah menghampiri.
"Aha, kau memanggilku, Ni Sanak?" tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan
dan tangan ka- nannya menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap
tajam wajah gadis dua puluh dua tahunan itu. Kemudian Sena mengerutkan kening, ketika melihat cara jalan gadis itu. Kaki agak
terbuka, sehingga langkahnya agak menegang.
"Ya," jawab gadis cantik bermuka bulat telur dan berhidung mancung. Mata gadis
berpakaian kuning itu menatap wajah Pendekar Gila, kemudian merayap turun sampai ke kaki. Gadis itu sepertinya hendak menilai Pendekar Gila.
Melihat sikap gadis di hadapannya, Sena nyengir. Keningnya semakin berkerut, tak mengerti apa
yang dicari gadis itu pada dirinya.
"Aha, ada apa kau memandangi ku begitu, Ni
Sanak?" tanya Sena seolah merasa risi. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
Dengan kening berkerut karena heran, Pendekar Gila menatap wajah gadis cantik itu yang juga tengah menatap dirinya.
Gadis cantik berambut panjang itu tersenyum
manis, membuat Pendekar Gila semakin tak mengerti
apa arti senyum sang Gadis. Senyum itu seperti menyimpan misteri, yang terasa sulit untuk dibuka.
"Tak ada apa-apa," sahut gadis cantik itu, yang membuat Sena bertambah heran,
tak mengerti maksud sebenarnya gadis itu. "Aku hanya ingin tahu, benarkah kau
yang bernama Sena Manggala atau Pendekar Gila?"
Pendekar Gila tersenyum cengengesan sambil
kembali menggaruk-garuk kepala, semakin heran dengan tingkah laku gadis itu.
"Aha, memang namaku Sena Manggala. Ada
apa gerangan?" tanya Sena ingin tahu.
"Ah, tidak. Terima kasih," usai berkata begitu gadis cantik berpakaian kuning
muda itu melangkah
meninggalkan Pendekar Gila yang semakin bertambah
heran. Dirinya benar-benar tak tahu, mengapa gadis
cantik itu hanya ingin tahu namanya, lalu pergi lagi.
"Ah ah ah, dunia ini semakin aneh...!" gumam Pendekar Gila sambil masih
cengengesan. Kemudian
digeleng-gelengkan kepalanya, merasa heran melihat
tingkah laku gadis tadi. Dengan masih cengengesan,
Sena kembali melanjutkan langkahnya.
Mentari semakin condong ke barat, tapi pagelaran Reog Ponorogo masih berlanjut Penonton bahkan
bertambah banyak berdatangan memadati pelataran
depan rumah Warok Gandu Pala. Pagelaran reog tampak semakin bertambah seru. Warok Gandu Pala berteriak-teriak, memerintahkan Macan Barong untuk
menari dan meliuk-liukkan bulu merah yang dipanggulnya. Seirama dengan suara gamelan yang terus
mengalun. Para penabuh gamelan pun nampak begitu
bersemangat sambil bertepuk tangan menimbulkan
irama khas reog ditingkahi teriakan-teriakan mulut
mereka. Cletar! "Oe...a! Oe...a! Oe...a!
Cambuk hitam besar di tangan Warok Gandu
Pala terus menggelegar, memecahkan suasana senja.
Diikuti liukan-liukan tubuh Macan Barong dan teriakan-teriakan para penabuh gamelan yang disebut panjak "Ayo, Barong! Tunjukkan kebolehan mu!" seru Warok Gandu Pala sambil memutar
cambuk dan menghentak-hentakkan kaki ikut menari. Sementara
itu terdengar pula sorak-sorai dan tepuk tangan para penonton memberi semangat
para pemain reog. Suasana senja benar-benar hanyut dalam kegembiraan.
Sementara itu pula, gadis berpakaian kuning
yang tadi memanggil Pendekar Gila, tampak menghampiri Warok Gandu Pala. Kemudian dengan perlahan gadis itu membisikkan sesuatu pada Warok Gandu Pala. "Jadi dia Pendekar Gila...?" tanya Warok Gandu Pala dengan suara setengah
berbisik. Di wajahnya ada gambaran rasa terkejut
"Benar, Paman," sahut gadis cantik itu.
"Hm, celaka! Bisa berantakan rencana kita, Sekati." "Apa yang harus kita lakukan, Paman?" tanya gadis yang ternyata bernama
Sekati. Matanya menatap
tajam pada Warok Gandu Pala yang dipanggilnya dengan sebutan paman.
Warok Gandu Pala terdiam sejenak, seolah-olah
tengah memikirkan, apa yang hendak dilakukan agar
bisa berhasil rencananya.
"Kita singkirkan Pendekar Gila itu," ujar Warok Gandu Pala setengah mendengus.
"Dia akan mempersulit kita."
"Tapi dia bukan orang sembarangan, Paman,"
tukas Sekati "Aku tahu. Maksudku, kita tidak menghadapinya secara terang-terangan, Kati."
"Lalu...?" tanya Sekati ingin tahu.
"Lihat saja, nanti malam!" sahut Warok Gandu Pala. Sekati hanya diam, ketika
pamannya kembali
masuk ke arena untuk melanjutkan pagelaran itu. Gadis cantik itu menghela napas panjang-panjang. Kemudian berlalu meninggalkan tempat itu.
*** Malam telah datang, membawa kegelapan yang
mencekam. Suasana Desa Ponorogo dan sekitarnya
nampak sunyi dan sepi. Rumah-rumah penduduk telah tertutup rapat, mungkin penghuninya telah terlelap dalam tidurnya.
Dari arah selatan Desa Ponorogo, muncul sepuluh sosok lelaki yang semuanya bertubuh tinggi tegap dan berwajah garang. Mereka
mengenakan pakaian
serba hitam dan berikat kepala kain hitam pula. Mata mereka menatap garang dan
begitu liar mengawasi ke
sekeliling desa yang sunyi dan sepi.
"Kita harus hati-hati. Ingat baik-baik, jika kepergok tak ada pilihan lain
kecuali membunuh!" ujar seorang lelaki bermuka persegi dengan rambut gondrong,
memperingatkan rekan-rekannya.
"Baik!"
"Kita juga harus ingat apa yang diperintahkan
kepada kita. Juga tentang tulisan itu!" tambah lelaki berkumis tebal bernama
Sumogiri. Dialah pimpinan
kesembilan lelaki berpakaian serba hitam itu.
Kesembilan anak buahnya menanggapi dengan
anggukan kepala. Mereka terus melangkah menembus
gelap malam. "Kita harus tetap pada kesepakatan bersama.
Bahwa kita harus memilih orang itu sebagai pimpinan
di Ponorogo ini. Jika dia berhasil menjadi lurah, kita akan jaya," sambung
Sumogiri sambil mengurai senyum. "Benar! Kalau dia berhasil menjadi lurah, kita
akan bebas berkeliaran. Kita akan jaya dan disegani
Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seluruh warga Desa Ponorogo," tambah Sumogara,
adik dari Sumogiri. Keduanya menamakan diri dengan
julukan 'Sepasang Walet Merah'.
"Ayo kita mulai! Ingat, malam ini kita menyatroni Ki Renu Jalna!" ujar Sumogiri sambil menggerakkan tangan, memerintahkan
rekan-rekannya agar segera bergerak. Kesepuluh lelaki berpakaian hitam terus melangkah memasuki Desa Ponorogo. Mata mereka yang
tajam, memandang ke sekelilingnya. Tak lama kemudian kawanan berpakaian hitam itu telah sampai di
depan rumah Ki Renu Jalna.
"Mungkin ini rumahnya," ujar Sumogiri seraya memperhatikan sebuah rumah besar
menghadap selatan. Sumogara dan rekan-rekannya mengangguk. Kemudian melangkah mendekati pintu depan rumah Ki
Renu Jalna, salah seorang yang juga mencalonkan diri sebagai Lurah Desa
Ponorogo. Sumogiri berdiri paling depan. Matanya mengawasi ke sekeliling rumah yang nampak sepi itu.
Sudah merupakan kebiasaan orang-orang zaman dulu, kalau mau menjadi lurah pasti akan membawa jawara atau centeng untuk menjaga rumahnya.
Namun, Ki Renu Jalna nampaknya tak melakukan hal
itu. Rumah besar itu tampak sepi tanpa penjagaan.
Sepertinya Ki Renu Jalna merasa tenang-tenang saja,
tak takut terhadap bahaya yang setiap saat dapat
mengancam jiwa atau kedudukannya sebagai seorang
calon lurah. Mungkin karena Ki Renu Jalna menganggap
pemilihan lurah masih cukup lama. Sehingga baginya
terlalu dini untuk mengadakan penjagaan di rumah.
Apalagi dirinya sangat disenangi warga Desa Ponorogo.
Tak ada masalah baginya. Bahkan mungkin Ki Renu
Jalna merasa yakin, dialah yang bakal memenangkan
pemilihan lurah. Hal itu karena hampir semua warga
mendukung dirinya sebagai calon lurah. Sementara
para saingannya, seperti Ki Randu Paksa, Ki Banjar
Guling, dan Warok Gandu Pala hanya mendapat pendukung sedikit. Nampaknya mereka tak banyak memiliki harapan untuk menang dalam pemilihan lurah kali ini.
Di samping mendapat dukungan yang besar
dari warga Desa Ponorogo, Ki Renu Jalna juga didorong terus oleh para sesepuh Desa Ponorogo. Di antara sesepuh desa, terdapat
tiga warok sakti, yang cukup
ditakuti dan disegani penduduk Ponorogo. Ketiga warok itu adalah Warok Singa Lodra, Warok Sura Pati,
dan Warok Sito Kuta.
Tok, tok, tok! Sumogiri mengetuk pintu rumah Ki Renu Jalna. Kemudian memerintahkan rekan-rekannya agar
segera menutupi wajah mereka dengan kain hitam
yang telah disiapkan.
"Siapa"!" dari dalam terdengar suara Ki Renu
Jalna. Kemudian disusul suara langkah-langkah kaki
mendekati pintu depan.
"Aku, Ki," sahut Sumogiri.
"Aku siapa?" tanya Ki Renu Jalna.
"Aku warga Desa Ponorogo."
"Ada apa, malam-malam begini datang?" tanya Ki Renu Jalna masih di dalam, belum
membukakan pintu. Tampaknya lelaki tua itu sudah agak curiga, sehingga merasa bimbang untuk
membuka pintu rumahnya. "Perlu penting, Ki. Bukalah pintunya...!" pinta Sumogiri, berusaha mempengaruhi
Ki Renu Jalna agar
membukakan pintu.
Kreeek! Pintu terbuka. Saat itu juga, muncul lelaki setengah baya bertubuh kurus dengan wajah menggambarkan kesabaran dan ketenangan. Dialah Ki Renu
Jalna, calon Lurah Desa Ponorogo.
"Siapa kalian"!" bentak Ki Renu Jalna dengan mata membelalak, ketika melihat
sosok-sosok berpakaian hitam dengan wajah setengah tertutup. Dilihat
dari sorot mata, kesepuluh lelaki itu jelas tidak bermaksud baik. Hal itu
terbaca jelas dalam batin Ki Renu Jalna. "Siapa pun kami, yang jelas harus
menyingkirkan mu," dengus Sumogiri sambil mencabut golok lalu mengarahkannya ke
depan Ki Renu Jalna.
"He, apa alasannya"!" sentak Ki Renu Jalna sambil mundur dua langkah. Matanya
menatap tajam pada sepuluh lelaki bermata garang yang kini telah
masuk ke rumahnya dengan tangan memegang golok
"Kau tak pantas menjadi lurah di Ponorogo,"
sahut Sumogiri.
Terbelalak mata Ki Renu Jalna, mendengar
ucapan Sumogiri. Sambil menatap tajam wajah lelaki
bersenjata golok di depannya Ki Renu Jalna mendengus, karena tiba-tiba menyadari, bahwa ada di antara para saingan yang tidak
senang kalau dirinya menjadi lurah. "Cuih! Lancang sekali mulut kalian! Semua
warga Desa Ponorogo menghendaki aku menjadi lurah!" bentak Ki Renu Jalna sengit
dengan mata semakin tajam, menatap penuh kemarahan kepada kesepuluh lelaki berpakaian hitam yang telah berada di rumahnya. "Hua ha ha...! Mereka boleh saja mempercayaimu untuk menjadi Kepala Desa Ponorogo. Tapi
bagi kami, kau tak ada artinya dan harus disingkirkan," sahut Sumogiri dengan suara tawanya yang sinis. Matanya semakin tajam,
menatap wajah Ki Renu
Jalna. Dari dalam muncul Nyi Tumirah, istri Ki Renu Jalna. Wanita berusia
sekitar empat puluh lima tahun itu kaget mendengar suara ribut di ruang depan.
Nyi Tumirah membeliak, melihat suaminya dalam ancaman orang-orang bercadar hitam. Apalagi ketika melihat golok-golok tajam di tangan mereka.
"Ki, siapa mereka...?" tanya Nyi Tumirah dengan kening mengerut karena rasa
takut, melihat para
lelaki berwajah garang itu. Dihampirinya sang Suami
yang tengah menyurut mundur dengan mata menatap
tajam pada kesepuluh lelaki bersenjata golok yang juga menatapnya.
"Entah, Nyi. Mereka bermaksud jahat terhadap
kita," bisik Ki Renu Jalna.
"Jangan banyak omong, Ki! Tangkap dia...!" perintah Sumogiri sambil memberi
isyarat dengan tangan. Kesepuluh anak buahnya langsung melangkah
maju, bermaksud menangkap.
"Cuh! Jangan seenaknya kalian bertingkah di
rumahku, Bajingan!" bentak Ki Renu Jalna geram. Dicabutnya keris yang terselip
di pinggang belakang, kemudian dengan mata garang menghadang kesepuluh
lelaki garang yang hendak menangkapnya.
"Ki Renu, Jangan ladeni mereka! Biar kita mengalah, daripada mati, Ki!" saran Nyi Tumirah yang semakin ketakutan, menyaksikan
suaminya dalam ancaman maut "Hm, begitu memang baik, Ki. Turutilah apa kata istrimu! Menyerahlah, jangan sampai kami menurunkan tangan jahat padamu!" dengus Sumogiri setengah mengancam. Tangan kirinya
diangkat, memberi
isyarat pada rekan-rekannya agar berhenti.
Sumogiri kemudian melangkah maju, mendekati Ki Renu Jalna yang masih menatap tajam wajahnya.
Mata lelaki garang itu pun menghujam ke wajah Ki
Renu Jalna. "Kuharap kau menurut, Ki! Di belakang kami,
Pendekar Gila. Siapa yang berani dengannya"!" ancam Sumogiri.
Mendengar ucapan Sumogiri Ki Renu Jalna tersentak kaget. Hatinya hampir tak percaya nama Pendekar Gila disebut sebagai dalang dari tindakan sekawanan berpakaian hitam itu.
"Bohong! Aku tahu siapa Pendekar Gila. Dia tak
mungkin berteman dengan kalian, Bangsa Bajingan!"
dengus Ki Renu Jalna seraya membelalakkan mata garang. Keris di tangannya ditudingkan ke muka Sumogiri, yang semakin dekat.
"Terserah padamu! Mau percaya atau tidak,
yang pasti kami diperintah Pendekar Gila untuk menangkapmu," tegas Sumogiri.
Ki Renu Jalna tercengang. Hatinya benar-benar
tak percaya, kalau semua ini tindakan yang dilakukan Pendekar Gila. Baginya tak
masuk akal kalau pendekar yang namanya begitu tersohor dan sangat disegani itu akan berbuat sekeji
ini. "Kuharap kau jangan melawan, Ki! Kalau kau
melawan kematianlah yang akan kau dapatkan," ancam Sumogiri.
"Ya! Ikutlah kami!" sambung Sumogara.
Ki Renu Jalna nampak masih bimbang. Hatinya
antara percaya dan tidak. Bagaimanapun, setahunya
Pendekar Gila tak pernah melakukan hal-hal yang keji.
Jangankan menangkap orang semena-mena, berlaku
tak senonoh terhadap orang yang tak salah pun, Pendekar Gila tak pernah. Namun kini, tiba-tiba ada orang yang mengaku utusan
Pendekar Gila untuk meringkus
dirinya. "Benarkah pendekar yang berbudi luhur dan pembela kebenaran serta
keadilan memerintah mereka?" tanya Ki Renu Jalna dalam hati. "Apa salahku"
Hm, kurasa aku tak melakukan kesalahan. Atau
mungkin ini gurauan pendekar itu. Biasanya dia memang suka bercanda."
"Bagaimana, Ki" Apakah kau akan menuruti
kata-kata kami?" tanya Sumogiri mendesak. Ki Renu Jalna tersentak bimbang.
Dirinya belum mengerti,
mengapa Pendekar Gila berbuat aneh-aneh, tidak sesuai dengan kebiasaannya.
"Jangan terlalu lama berpikir, Ki! Pendekar Gila sudah tak sabar menunggumu!"
sentak Sumagara.
"Kang, ikuti saja!" saran istrinya.
"Baiklah, aku ikut kalian," akhirnya Ki Renu Jalna menurut. Dirinya ingin tahu,
apakah benar Pendekar Gila yang memerintahkan mereka untuk menangkapnya" "Lalu kalau memang benar, ada maksud apa Pendekar Gila berbuat
begitu?" pikir Ki Renu Jalna masih diliputi kebimbangan.
"Hua ha ha...! Bagus! Memang itulah yang baik.
Bawa dia...!" perintah Sumogiri pada rekan-rekannya yang segera maju menangkap
Ki Renu Jalna. "Aku ikut!" Nyi Tumirah memegangi tangan Ki Renu Jalna.
"Tak perlu, Nyi! Tak lama aku akan kembali,"
ujar Ki Renu Jalna.
"Tidak, Ki. Aku ikut!" ujar Nyi Tumirah memaksa.
"Bawa dia sekalian!" perintah Sumogiri. Para anak buah menurut dan langsung
menarik kedua suami-istri itu. Setelah mengikat tangan serta menutup mata dan
mulut Ki Renu Jalna dan istrinya, mereka
segera membawa suami-istri itu meninggalkan rumah.
*** 2 Kawanan berpakaian serba hitam di bawah
pimpinan Sumogiri terus membawa Ki Renu Jalna dari
istrinya. Mulut kedua suami-istri itu masih disumbat.
Tampak kedua suami-istri itu terus berusaha berontak, karena merasa diperlakukan sewenang-wenang.
Namun mereka tak dapat berbuat banyak, karena di
samping tangan terikat, mata, dan mulut keduanya ditutup rapat Entah akan dibawa ke mana, Ki Renu Jalna
dan istrinya tak tahu jalan yang ditempuh. Yang jelas kawanan yang mengaku
diutus Pendekar Gila berjalan
ke selatan, menjauh dari Desa Ponorogo. Setelah cukup lama berjalan mereka sampai di tengah Hutan Palapiring. Kemudian, tampak gerombolan berpakaian
serba hitam itu berjalan menuju sebuah rumah di tengah hutan. Rumah itu terbuat dari bilik. Letaknya yang
sangat tersembunyi mempersulit orang biasa menemukan rumah tersebut.
"Masuk!" terdengar suara dari dalam rumah.
Orang yang berada di dalam rumah bilik itu sepertinya tahu kalau di luar ada
orang. Gret! Pintu terbuka. Ki Renu Jalna dan istrinya belum sempat melihat orang yang berada di dalam, ketika tubuh mereka telah didorong dari belakang. Keduanya jatuh terjerembab di lantai tanah. Di hadapan mereka tampak berdiri seorang
lelaki bertubuh tinggi dan tegap. Pakaiannya serba hitam, dengan ikat kepala
mirip blangkon dari kain hitam. Tampak bibirnya tersenyum sambil mencibir penuh kebencian.
"Buka tutup mata mereka!" perintah lelaki itu pada Sumogiri. Pimpinan gerombolan
itu pun segera membuka dengan kasar penyumbat mulut dan mata Ki
Renu Jalna. "Hah...! Kau"!" desis Ki Renu Jalna, begitu terkejut ketika melihat lelaki yang
di depannya ternyata Warok Gandu Pala.
"Hua ha ha...! Ya, aku. Selamat datang di tempatku, Renu Jalna...!" sapa Warok Gandu Pala sambil tertawa terbahak-bahak penuh
kemenangan. Senyum
sinis di bibir menyempurnakan gambaran keangkuhan
di wajahnya. "Kau...!" Apa maksudmu..."!" tanya Ki Renu Jalna dengan mata terbelalak marah
dan heran. Dirinya merasa telah dibohongi dan diperdaya kesepuluh lelaki yang
ternyata utusan Warok Gandu Pala. Menyaksikan kebingungan Ki Renu Jalna,
kesepuluh le- laki itu tertawa terbahak-bahak.
"Hua ha ha...! Mengapa kau tanyakan hal itu,
Ki?" Warok Gandu Pala balik bertanya dengan senyum sinis. "Seharusnya tak perlu
kau tanyakan hal itu, karena kau tahu siapa aku bukan"!"
"Cuih! Iblis keparat! Licik...!" maki Ki Renu Jalna dengan sengit, menyadari
kenapa dirinya diculik.
"Hua ha ha...! Memakilah sepuasmu, Ki! Kau
boleh mengutukku dengan sesuka hatimu, sebelum
masuk ke penjara bawah tanah. Dengan hilangnya kau
dari Ponorogo, maka tak akan ada lagi yang bisa
menghalangiku menjadi lurah. Hua ha ha...!" Warok Gandu Pala tertawa terbahakbahak bagaikan telah
memenangkan pertandingan yang menggembirakan.
Satu saingan berat telah dapat disingkirkan. Dirinya menganggap Ki Renu Jalna
sebagai saingan terberat
dan selalu menjadi penghalang untuk menduduki kur
Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
si lurah. "Iblis pengecut! Terkutuklah kau!" dengus Ki Renu Jalna sambil mencabut
kerisnya. Karena telah
terbebas dari ikatan tangan dan mulut serta mata, dirinya berusaha melawan.
Namun belum sempat tubuhnya bangun, Sumogara telah menendangnya,
Duggg...! "Ukh!" Ki Renu Jalna memekik, tubuhnya kembali jatuh tersungkur mencium tanah.
"Iblis! Jangan siksa suamiku!" bentak Nyi Tumirah. Wanita setengah baya itu
menatap penuh kebencian pada Sumogara.
"Kau tak perlu galak seperti itu, Nyai! Jangan
sampai tanganku menampar mulutmu!" bentak Sumogara. "Huh, apa dikira aku takut, Bajingan!" bentak Nyi Tumirah kesal dan marah.
Matanya terbelalak menatap tajam wajah Sumogara.
"Wanita lancang! Kurobek mulutmu!" Sumogara hendak memukul mulut Nyi Tumirah
ketika Warok Gandu Pala mencegah dengan mengangkat tangan kanannya, yang membuat Sumogara menghentikan niatnya. Lelaki berusia tiga puluh lima tahun, bermuka garang itu menyurut mundur.
Lalu Warok Gandu Pala
melangkah mendekati Ki Renu Jalna dan istrinya.
"Kini kalian ada dalam kekuasaanku. Sekali
kuperintahkan, anak buahku akan menghabisi nyawa
kalian!" tutur Warok Gandu Pala sambil mencibirkan bibir mengejek Ki Renu Jalna.
"Pikirkan baik-baik! Kalian kuberi kesempatan hidup, asal bersedia mendukungku menjadi lurah."
"Cuih! Lebih baik bunuh saja aku, Warok Keparat!" bentak Ki Renu Jalna bagaikan tak takut sedikit pun menghadapi ancaman
Warok Gandu Pala.
"Hm, begitu...?" tanya Warok Gandu Pala.
"Huh! Jangan kira kami takut mati, Warok Sesat! Kalau sampai Paman Warok Singo Lodra tahu, kau
tak akan mendapat ampun!" dengus Nyi Tumirah sengit. Matanya menatap tajam dan
garang pada wajah
Warok Gandu Pala yang tertawa terbahak-bahak
"Hua ha ha...! Ki Singo Lodra, tak akan pernah
menyangka akulah pelakunya, Nyai. Ki Singo Lodra,
akan menuduh Pendekar Gila pelaku semua ini...,"
ujar Warok Gandu Pala sambil tersenyum penuh kemenangan. "Pengecut! Fitnah keji...!" dengus Ki Renu Jalna. Matanya kian membara, menatap
tajam. Warok Gandu Pala yang tengah terbahak-bahak
"Hua ha ha...! Memakilah sesukamu, karena
sebentar lagi kau tak akan dapat memaki lagi!" ejek Warok Gandu Pala. Lelaki
gagah itu kemudian menggerakkan kepala memberi perintah kepada anak buahnya, membawa Ki Renu Jalna pergi dari tempat itu.
"Lepaskan...!" sentak Ki Renu Jalna sengit sambil memberontak. Namun kesepuluh
anak buah Warok Gandu Pala tak peduli. Mereka semakin kencang men-cengkeram kedua suami-istri itu, meskipun
terus meronta-ronta.
"Lepaskan aku...!"
"Jangan melawan!" bentak Sumogiri dengan
mendengus. Sikutnya dihentakkan ke tubuh Ki Renu
Jalna, yang membuat lelaki setengah baya itu tersentak lalu sempoyongan dan jatuh berlutut di tanah.
"Bangsat! Mengapa kau menyiksa suamiku!"
dengus Nyi Tumirah dengan mata melotot sengit. Wanita setengah baya ini pun nampaknya tak merasa takut. "Bunuhlah kami sekalian!"
"He he he...! Sabar, Nyai! Sabar sedikit! Kalian memang akan mati," sahut Warok
Gandu Pala dengan senyum mencibir sinis.
Mendengar ucapan Warok Gandu Pala, mata Ki
Renu Jalna memerah karena marah. Nafasnya tersengal-sengal menahan perasaan yang menggelegak di
rongga dada. "Pengecut! Kita bertarung satu lawan satu!"
tantang Ki Renu Jalna dengan garang. Dicabutnya keris yang terselip di pinggang belakang. Matanya garang menatap tajam wajah Warok
Gandu Pala. Kesepuluh anak buah hendak meringkus Ki
Renu Jalna, tapi Warok Gandu Pala mengisyaratkan
agar mereka membiarkan saja.
"Tampaknya kau tak sabar untuk mati, Ki!"
ujar Warok Gandu Pala dengan senyum mengejek.
Dengan tenang, kakinya melangkah mendekati Ki Renu Jalna. Matanya yang lebar dan merah menatap tajam wajah Ki Renu Jalna yang juga membalasnya dengan tajam pula.
"Huh! Kau kira aku takut padamu, Warok Keparat!" bentak Ki Renu Jalna geram. Keris di tangannya telah diacungkan ke muka
Warok Gandu Pala. Matanya semakin garang, menatap penuh kebengisan dan
marah terhadap Warok Gandu Pala.
"Hm, begitu" Lakukanlah jika kau berani!" tantang Warok Gandu Pala.
"Kurang ajar! Hea...!" Ki Renu Jalna langsung menyerang Warok Gandu Pala dengan
tusukan kerisnya ke dada lawan. Namun hanya dengan menggeser
kaki kiri sambil menarik tubuh, Warok Gandu Pala
berhasil mengelakkan serangan.
Sementara itu pula dengan cepat tangannya
menghantam punggung Ki Renu Jalna.
"Hih!"
Degk! "Ukh!" Ki Renu Jalna terpekik. Tubuhnya sempoyongan, kemudian ambruk mencium
tanah. Hal itu membuat Nyi Tumirah menggeram marah. Dicabut tusuk kondenya, kemudian sambil mendengus wanita itu
bergerak menyerang.
"Hea!"
Nyi Tumirah menyambar dengan tusuk konde
ke tubuh lawan, tetapi dengan cepat Warok Gandu Pala berkelit. Lalu dengan cepat tangannya menampar
wajah wanita itu.
Plak! "Akh...!" pekik Nyi Tumirah dengan tubuh sempoyongan. Tangannya memegangi pipi
yang terkena tamparan. Wanita itu terjatuh ke samping, "Ki..., kenapa kita harus begini?"
Ki Renu Jalna mendengus marah. Matanya semakin garang menatap tajam wajah Warok Gandu Pala
yang masih tertawa penuh ejekan.
"Bagaimana, Ki" Kau masih ingin meneruskan?" tanya Warok Gandu Pala sambil mencibir penuh kesombongan. Matanya tak
memandang sebelah
mata pun kepada Ki Renu Jalna.
"Cuh! Aku belum kalah!" bentak Ki Renu Jalna.
"Hea...!"
Bagaikan macan marah kelaparan, Ki Renu
Jalna langsung bangkit berdiri. Tangannya yang menggenggam keris, digerakkan menyabet dan menusuk ke
tubuh Warok Gandu Pala. Namun Warok Gandu Pala
dengan tenang sambil tertawa-tawa bergerak mengelakkan serangan itu. Kemudian tangannya bergerak
menangkap tangan Ki Renu Jalna. Lalu dengan cepat
pula ditekuknya ke arah perut lawan.
"Hih!"
Trep! Crab! "Akh...!" jerit kematian terdengar, ketika keris Ki Renu Jalna menghujam ke
perutnya sendiri. Mata
lelaki setengah baya berpakaian adat Jawa warna putih itu membelalak. Tampak darah segar menyembur.
"Ki...!" pekik Nyi Tumirah sambil memburu tubuh suaminya yang sekarat. Kemudian
tangannya ber- gerak menusukkan tusuk konde ke tubuh Warok Gandu Pala. "Iblis! Kubunuh kau...!"
Wrt! "Eit!" Warok Gandu Pala berkelit Kemudian
dengan cepat kaki kanannya menendang ke punggung
Nyi Tumirah. Degk! "Ukh!" Nyi Tumirah terpekik. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah, kemudian ambruk
mencium tanah. Namun wanita separo baya itu bagaikan seekor macan betina, dengan cepat bangun dari
jatuhnya. Lalu dengan menggeram marah, tubuhnya
melesat bergerak menyerang. "Kubunuh kau, Warok Iblis! Hea...!"
Wrt! Wrt! Tusuk konde di tangan Nyi Tumirah bergerak
cepat menusuk dan menyabet ke tubuh Warok Gandu
Pala. Namun dengan cepat dan enteng lelaki berpakaian serba hitam itu berkelit sambil melancarkan pukulan keras ke tubuh wanita
itu. "Hih!"
Prak! "Akh,..!" Nyi Tumirah menjerit keras. Tulang punggungnya dirasakan remuk
terhantam pukulan
Warok Gandu Pala. "Kau..."! Kau..., Akh...!"
Nyi Tumirah pun tergeletak mati dengan mulut
melelehkan darah. Matanya melotot.
"Seret mayat mereka! Kembalikan ke rumahnya
lagi. Ingat, beri tulisan kalau yang melakukan Pendekar Gila!" perintah Warok
Gandu Pala. "Baik, Ki," sahut Sumogiri.
Dengan menggerakkan tangan, Sumogiri memerintahkan pada rekan-rekannya agar menyeret tubuh Ki Renu Jalna dan istrinya menuju Desa Ponorogo. *** Keesokan harinya, semua warga Desa Ponorogo
gempar. Ki Renu Jalna dan istrinya ditemukan tewas
di rumahnya dalam keadaan mengenaskan. Namun
yang lebih membuat semua warga terkejut, adanya tulisan di samping kedua mayat yang berbunyi:
Siapa pun yang berani ikut campur dengan kematian kedua orang ini. Maka akan berurusan dengan Pendekar Gila.
Pendekar Gila. "Kurang ajar! Jelas, ini penghinaan bagi kita!"
dengus Warok Sura Pati geram. Nafasnya turun naik,
karena didesak kemarahan yang menggelegak. Matanya yang tajam menatap nanar pada kedua mayat Ki
Renu Jalna dan istrinya. "Jelas, ini sebuah tantangan bagi kita, Ki."
Ki Warok Singo Lodra dan Ki Warok Sito Kuta
menarik napas dalam-dalam. Sesaat keduanya saling
pandang, kemudian menatap kembali ke wajah Warok
Sura Pati. Sepertinya kedua warok itu belum yakin,
kalau kejahatan itu dilakukan Pendekar Gila.
"Kita tak boleh gegabah, Sura. Aku tahu, siapa
Pendekar Gila. Mungkin ini bukan perbuatannya. Ada
orang yang hendak mengadu domba kita dengan Pendekar Gila," tutur Warok Singo Lodra.
"Benar. Kita harus menyelidiki lebih dahulu,"
sambung Warok Sito Kuta. Kedua orang tua berwajah
tenang dengan cambang bawuk menghias pipi itu dengan sabar berusaha menyabarkan Warok Sura Pati.
"Tapi, Ki...," ujar Warok Sura Pati terputus.
"Aku tahu maksudmu. Tapi kau tentu melihat tulisan itu, bukan?" sela Warok Singo
Lodra. "Benar, Ki," sahut Warok Sura Pati. Lelaki kurus, berpakaian abu-abu ini
mengangguk-angguk. Matanya yang cekung menatap Warok Singo Lodra.
Warok Singo Lodra tersenyum menggelenggelengkan kepala, seakan-akan hendak berusaha menyadarkan rekannya agar tidak sembarangan berprasangka buruk. "Kau harus ingat, Sura! Sebagai warok, kita
merupakan orang-orang yang terhormat. Kita telah dikenal sebagai orang bijak. Janganlah sembarangan
menuduh," tuturnya dengan penuh wibawa.
"Maafkan aku! Bukan aku bermaksud menuduh. Tetapi kejadian ini sungguh di luar pikiran kita,"
gumam Warok Sura Pati sambil membelai-belai jenggot. Lelaki berusia sekitar enam puluh tahun ini,
memang masih ada hubungan kerabat dengan Nyi
Tumirah. Sudah sepantasnya kalau dirinya begitu marah, mengetahui saudaranya terbunuh.
"Apa tidak mungkin ada orang telah memperalat Pendekar Gila?" tanya Warok Sura Pati kembali. Pikirannya masih diliputi
kegelisahan dan berprasangka terhadap Pendekar Gila.
Warok Singo Lodra dan Warok Sito Kuta mengerutkan kening, mendengar pertanyaan itu. Keduanya
seakan berusaha memikirkan hal itu. Sambil mengelus-elus jenggot, keduanya memandang ke arah lain.
"Mungkin juga," gumam Warok Sito Kuta dengan kepala manggut-manggut. Matanya yang bulat dan
lebar itu memperhatikan kedua mayat yang di sampingnya tergeletak selembar daun lontar tertera nama Pendekar Gila.
"Kurasa, kita tidak boleh asal menuduh," tukas Warok Singo Lodra sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tahu persis siapa Pendekar Gila. Dia akan
bertindak, jika orang sudah tak dapat disadarkan dari perbuatan dosanya."
"Tapi dia juga manusia, Ki," sela Warok Sura Pati. "Ya," sambung Warok Sito
Kuto. Warok Singo Lodra tersenyum.
"Memang, dia manusia seperti kita. Namun selama ini, kita belum pernah mendengar kalau Pendekar Gila melakukan perbuatan keji seperti sekarang
ini," ujar Warok Singo Lodra tenang. "Bukannya kita takut menghadapinya. Tetapi
yang perlu kita pikirkan, benarkah dia pelakunya?"
Kedua warok rekannya terdiam. Hati mereka
pun sebenarnya masih ragu menjatuhkan tuduhan
bahwa Pendekar Gila adalah pelaku kejahatan ini. Hati mereka masih bertanyatanya. Untuk apa Pendekar Gi-la membunuh Renu Jalna dan istrinya" Mungkinkah
Ki Renu Jalna mempunyai kesalahan yang tak dapat
diampuni, sehingga Pendekar Gila membunuhnya"
Sulit bagi ketiga warok menjawab pertanyaan
itu. Mereka tahu siapa sebenarnya Pendekar Gila Semua orang pun tahu Pendekar Gila berhaluan lurus.
Bah-kan telah mendapat sebutan Pendekar Penegak
Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kebenaran dan Keadilan. Namun di lain sisi, kenyataan membukakan siapa pelaku pembantaian calon lurah itu. Di samping mayat Ki Renu Jalna dan istrinya, ter-dapat tulisan yang
tertera nama Pendekar Gila. Hal itu sebagai bukti, kalau Pendekar Gila pelaku
atau yang mengutus orang membunuh Ki Renu Jalna.
"Kurasa tak mungkin Pendekar Gila berbuat
sepengecut itu. Menyuruh orang untuk membunuh,"
gumam Warok Singo Lodra dalam hati, merasa tak yakin kalau Pendekar Gila pelaku pembunuhan keji yang
menimpa Ki Renu Jalna.
"Aku tak percaya, kalau pendekar yang berbudi
luhur itu melakukan kekejian ini!" gumam hati Warok Sito Kuta dengan kepala
mengangguk-angguk. "Mungkin ada orang yang hendak menghancurkan nama baik
Pendekar Gila."
"Kalau benar Pendekar Gila yang melakukannya, untuk apa" Kurasa Ki Renu Jalna tak pernah bersengketa dengan Pendekar Gila," gumam Warok Sura Pati dalam hati. Tampaknya
lelaki tua ini mulai menyadari. Matanya masih memperhatikan dengan teliti
kedua mayat kemenakannya. Keris Ki Renu Jalna,
menghujam di perutnya sendiri. Sedangkan Nyi Tumirah tulang punggungnya remuk, seperti bekas terkena
hantaman. "Jelas Ki Renu Jalna dan Nyi Tumirah menghadapi lawan yang bukan orang sembarangan. Hm...!
Siapa sebenarnya dalang kejahatan ini?"
Ketiga warok ini masih terdiam membisu belum
mengerti apa penyebab malapetaka yang menimpa Ki
Renu Jalna. Calon kepala desa yang sudah dipastikan
akan menduduki jabatan lurah Ponorogo itu diketemukan mati persis sepekan menjelang pemilihan lurah. "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Ki?" tanya Warok Sito Kuta pada
Warok Singo Lodra, yang dianggap tertua dan sangat dihormati penduduk
dan warok-warok di Desa Ponorogo.
Warok Singo Lodra menghela napas dalamdalam, merasa bimbang dengan apa yang mesti dilakukan. Dirinya belum tahu cara apa yang harus diperbuat untuk menanggulangi agar kejadian ini tak terulang pada calon lurah yang lain.
"Sebaiknya kita selidiki, apakah benar semua
ini dilakukan Pendekar Gila...?" usul Warok Singo Lodra dengan diikuti desahan
nafasnya yang gelisah. Dirinya tak habis pikir, mengapa calon kepala desa yang
menurutnya baik, diketemukan mati. Sepertinya ada
semacam tindakan yang sengaja merintangi cita-cita Ki Renu Jalna menjadi kepala
desa di Desa Ponorogo.
"Baiklah kalau itu cara yang baik, Ki. Tetapi ki-ta mesti ingat, kalau pemilihan
kepala desa hanya ada waktu tujuh hari lagi," sambut Warok Sura Pati.
"Benar. Kurasa, kita mulai dari sini," tukas Warok Sito Kuta menambahkan, "Jago
kita telah mati.
Sebaiknya, untuk mengetahui pelaku yang membunuh
Ki Renu Jalna, kita harus menjagokan satu orang lagi."
Warok Singo Lodra sesaat terdiam. Kemudian
diangguk-anggukkan kepalanya, tanda menyetujui apa
yang direncanakan kedua rekannya.
"Bagaimana, Ki...?" tanya Warok Sito Kuta.
"Pendapat yang bagus," gumam Warok Singo
Lodra seraya membelai-belai jenggotnya yang panjang.
Kepalanya diangguk-anggukkan dengan bibir mengurai
senyum. "Kita akan menjebak pelaku dengan cara
mengangkat calon yang bakal menang. Aku yakin, tentunya si pelaku akan menyingkirkan jago kita."
Kedua warok lainnya manggut-manggut dengan
senyum mengembang di, bibir mereka.
*** 3 Pagi itu Pendekar Gila tengah menyelusuri pesisir pantai, sekaligus menikmati udara pagi yang terasa sangat sejuk. Sejak
kemarin, ketika bertemu dengan gadis cantik di tempat pagelaran Reog Ponorogo,
dirinya masih diliputi rasa ketidak mengertian. Pertanyaan gadis itu sangat aneh. Karena tampaknya hanya
ingin meyakinkan kalau dialah Pendekar Gila.
"Ah, aneh! Dunia semakin lama menjadi semakin aneh...," gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala, merasa tak
mengerti dengan semua yang
dialami kemarin. Bukan gadis cantik bergaun kuning
saja yang aneh. Baginya Pimpinan Reog Ponorogo pun
aneh. Sang Pimpinan Reog tampak tak suka akan kehadirannya menonton.
Pendekar Gila terus melangkah sambil cengengesan. Matanya memandang ke langit, seakan ada
sesuatu yang dicari di atas sana. Dia terus melangkah, menyelusuri tepian
pesisir selatan.
Saat itu Pendekar Gila tengah berada di Desa
Wanacaya, berjalan menuju Desa Ngadireja dalam
usahanya menuju tempat Mei Lie berada. Hatinya sudah kangen, ingin bertemu dengan gadis itu, setelah
sekian lama mereka berpisah.
"Ah, Mei Lie. Sedang apa kau di sana?" gumam
Pendekar Gila dengan menghela napas dalam-dalam,
ketika kembali teringat Mei Lie. Gadis yang senantiasa berada di dalam hati,
meski kini jauh di mata.
Sebuah pohon kelapa yang telah tumbang, melintang di hadapan Pendekar Gila. Nampaknya pohon
itu rapuh dimakan usia, atau mungkin karena dihempaskan angin kencang. Tampak akar-akarnya turut
ter-cabut ke atas.
Sena seketika berkeinginan untuk duduk di
atas pohon yang tumbang itu. Kakinya segera mempercepat langkah kemudian duduk di batang pohon
itu. Kemudian diambilnya Suling Naga Sakti dan ditiupnya dengan lembut, mengalunkan suara yang
merdu. Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Saktinya, seolah-olah hendak mencurahkan perasaan rindu pada sang Gadis yang jauh di mata. Suara suling
yang mendayu, seakan-akan membuat alam sekelilingnya seketika berubah sendu. Burung-burung yang
semula bernyanyi riang, tiba-tiba diam. Seakan-akan
turut merasakan kerinduan yang dialami Pendekar Gila. Angin pagi bertiap lembut, turut mengiringi
alunan suling. Debur ombak laut selatan yang biasanya besar, seketika mereda. Yang ada hanya riakriak kecil, menghempaskan busa putih ke tepi pantai.
Pendekar Gila masih menikmati tiupan sulingnya, ketika matanya melihat dua sosok bayangan berkelebat melintas di hadapannya. Kedua sosok bayangan itu ternyata sepasang muda-mudi yang tengah
bercanda ria sambil berkejaran. Sebenarnya bukan karena keduanya tengah asyik memadu kasih yang
membuat mata Pendekar Gila terbelalak, melainkan
karena melihat gadis itu. Dirinya hampir tak percaya dengan yang dilihat.
Seketika dihentikan tiupan sulingnya. "Hai, bukankah itu gadis yang kemarin mene-gurku?" gumam Sena dengan
kening berkerut, berusaha mengingat-ingat gadis cantik berpakaian kuning
itu. Gadis cantik bertubuh semampai yang tiada
lain Sekati tampak semakin menunjukkan kemesraannya ketika melihat Pendekar Gila memandang mereka.
Sekati seakan-akan bermaksud menggoda, agar pemuda tampan bertingkah laku seperti orang gila itu memperhatikan dirinya yang
sedang bermesraan dengan
pemudanya. "Hi hi hi...! Ah ah ah, mengapa kalian berpacaran di tempat seperti ini?" tanya Pendekar Gila sambil memain-mainkan sulingnya
sebelum dimasukkan ke
balik ikat pinggang. Kemudian dengan menggelenggelengkan kepala, dirinya turun dari batang kelapa.
"Hi hi hi...! Kau ingin, Pendekar Gila?" tanya Sekati sambil mempererat
pelukannya di pinggang pemuda berkumis tipis di hadapannya. Wajah pemuda
bertubuh tegap itu tersenyum memandang wajah Pendekar Gila, seakan hendak mengejek.
Melihat tingkah kedua sejoli itu Pendekar Gila
tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian digeleng-gelengkan kepala, seolah-olah merasa lucu dengan apa
yang dilihatnya.
"Ah ah ah, mengapa aku harus ingin" Hi hi
hi...! Lucu sekali kalian!" gumam Pendekar Gila seraya melangkah, hendak
meninggalkan tempat itu. Tetapi
Sekati segera mengejarnya.
"Pendekar Gila, tunggu...!"
"Ahe, mengapa kau memanggilku, Nisanak"
Bukankah kau akan bermesraan" Ah ah ah, kurasa
tak enak orang berpacaran harus diganggu, bukan...?"
tanya Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang konyol. Mulutnya cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Kau tak ingin berduaan denganku...?" rayu Sekati sambil melangkah mendekati
Pendekar Gila. Kemudian dengan nakal tangannya membelai janggut
Pendekar Gila. Matanya yang lentik, menatap tajam
wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Aha, kurasa kau salah, Nisanak. Aku tak seperti pemudamu itu," tukas Pendekar Gila sambil menepis tangan Sekati yang
hendak menggayut di lehernya. "Aha, aku pamit, karena harus pergi. Kurasa kalau aku di sini terus,
kenikmatan kalian akan tergang-gu."
Dengan cengengesan sambil menggelenggelengkan kepala Pendekar Gila melangkah meninggalkan tempat itu. Namun, tiba-tiba sesosok tubuh
berkelebat menghadang langkahnya. Ternyata pemuda
tampan berkumis tipis kekasih Sekati. Pemuda berusia sekitar dua puluh lima
tahun itu, tersenyum sinis. Dan matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila.
"Jangan seenaknya saja kau pergi, Pendekar
Gila...!" bentak Caraka Wanda dengan tatapan tajam, sepertinya hendak menghunjam
dada Pendekar Gila.
"Aha, bukankah tadi aku pamit?" Sena balik bertanya. Tingkah lakunya masih
seperti orang gila.
Mulutnya cengengesan, tapi matanya memandang ke
langit yang biru. Seakan-akan tak peduli dengan pemuda di hadapannya.
"Aku tak peduli dengan pamitmu. Kalau aku
tak mengizinkan yang jelas kau tak akan bisa pergi!"
ancam Caraka Wanda tegas.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Ki Sanak! Kau
bukan penguasa di sini. Mengapa kau berlagak seperti penguasa" Ah ah ah,
tingkahmu malah seperti seekor
tikus sawah, Ki Sanak. Hi hi hi...!" Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil
menggeleng-gelengkan kepala
dengan tangan kanan menutupi mulutnya yang tertawa-tawa. Hal itu membuat Caraka Wanda mendengus
sengit. Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila
penuh api amarah.
"Pendekar Gila, rupanya kau belum tahu siapa
aku"!" bentak Caraka Wanda sengit.
"Hi hi hi...! Bukankah kau tikus sawah itu, Ki Sanak" Masih kau bertanya. Hi hi
hi...! Lucu sekali
kau," ejek Pendekar Gila dengan cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala,
kemudian mulutnya
dimonyongkan mengejek Caraka Wanda.
"Kurang ajar! Sombong kau, Pendekar Gila!"
bentak Caraka Wanda sengit. Matanya semakin tajam
menatap penuh kebencian pada Pendekar Gila yang
masih cengar-cengir seperti kera. "Meski namamu tersohor. Tetapi Caraka Wanda,
anak Warok Sito Kuta tak akan takut padamu!"
Mendengar nama Warok Sito Kuta disebut,
Pendekar Gila bukannya takut. Tetapi justru terbahak-bahak tawanya sambil
berjingkrakan seperti kera.
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nyengir, matanya memandang ke atas. Seolah ada yang
menarik perhatian di atas sana.
"Hua ha ha...! Sungguh tak pantas. Tak pantas
sekali. Anak seorang warok, bertingkah seperti cecurut bau. Ah..., bahkan
seperti tikus sawah!" ujar Pendekar Gila dengan kepala menggeleng-geleng.
Semakin geram Caraka Wanda mendengar ucapan Pendekar Gila. Nafasnya mendengus keras. Matanya memandang tajam tak berkedip, seakan hendak
menusuk jantung Pendekar Gila. Sementara itu Sekati
hanya tersenyum-senyum, menyaksikan dua pemuda
tampan saling bertengkar. Gadis cantik itu merasa senang menyaksikan pertengkaran keduanya. Dirinya
merasa jadi rebutan kedua pemuda itu.
"Kurang ajar! Kau berani menghina ayahku,
Pendekar Gila!" dengus Caraka Wanda.
Pendekar Gila semakin tertawa terbahak-bahak
dengan kepala menggeleng-geleng mendengar ucapan
Caraka Wanda. Sambil cengengesan tangannya menggaruk-garuk kepala. Dihelanya napas dalam-dalam,
seakan-akan berusaha menenangkan perasaan.
"Ah ah ah...! Pintar sekali kau berkata, Ki Sanak. Kaulah yang menghina persatuan warok, karena
kau anak warok, tetapi tingkah lakumu tak mencerminkan sifat ksatria...," tutur Pendekar Gila masih dengan cengengesan dan
kepala menggeleng-geleng.
Sepertinya dirinya tak habis pikir, kenapa anak seorang warok yang disegani dan dihormati bertingkah la-ku seperti Caraka Wanda.
"Cuih! Jangan banyak omong, Pendekar Gila!"
bentak Caraka Wanda sambil membuang ludah ke tanah. Matanya masih menatap garang ke wajah Pendekar Gila. "Jangan bawa-bawa ayahku!"
Pendekar Gila kembali tertawa terbahak-bahak
sambil menggeleng-gelengkan kepala, mendengar ucapan Caraka Wanda.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Ki Sanak! Bukankah yang membawa-bawa ayahmu kau sendiri" Ah,
dasar tikus pikun," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan masih
menggaruk-garuk kepala. Mendengar ucapan itu tentu saja Caraka Wanda
bertambah marah.
"Kurang ajar! Kau harus dihajar, Pendekar Gi
Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
la!" "Sudahlah, mengapa kalian mesti bertengkar...?" Sekati dengan bibir mengurai senyum, berusaha mencegah keduanya agar
tidak bertengkar.
"Tapi dia perlu dihajar, Sekati," sahut Caraka Wanda. Matanya masih menatap
garang pada Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil mendongak
ke atas. Tingkahnya sangat konyol dan lucu. Namun,
bagi Caraka Wanda yang sudah marah, tingkah laku
Pendekar Gila justru membuatnya bertambah marah.
"Sudahlah, Caraka! Toh dia tak bermaksud jahat terhadap kita," ujar Sekati dengan bibir mengurai senyum pada Pendekar Gila
yang masih cengengesan.
Namun pandangan Pendekar Gila tetap mengarah ke
langit, dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Caraka Wanda hanya mendengus, kemudian
dengan sinis meninggalkan tempat itu diikuti Sekati.
Pendekar Gila hanya mampu menggeleng-gelengkan
kepala, merasa heran melihat tingkah laku Caraka
Wanda yang aneh. Tak ada angin dan tak ada hujan,
pemuda berkumis tipis itu tiba-tiba memusuhinya.
"Ah ah ah... dunia ini semakin lucu! Manusia
kian aneh. Tak ada sebab pasti tiba-tiba memusuhi
orang lain. Hanya masalah cemburu. Hi hi hi...!"
Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala
sambil cengengesan. Kemudian dilangkahkan kakinya,
berlalu meninggalkan pesisir itu ke arah timur.
Sepeninggal Pendekar Gila, Sekati nampak masih memperhatikan ke mana pendekar itu pergi.
"Ingat, kita harus terus mengikutinya," ujar Sekati pada Caraka Wanda.
"Ya! Kita memang harus mengikutinya," sahut Caraka Wanda.
"Ayo!" ajak Sekati.
Keduanya segera berlalu meninggalkan pesisir,
untuk mengikuti Pendekar Gila. Tujuan mereka hendak membuktikan kalau Pendekar Gila benar-benar tidak ke Ponorogo lagi.
*** Pendekar Gila masih melangkah, menyusuri jalanan di Desa Gemeng, yang terletak di sebelah utara Desa Ngadirejo. Siang yang
panas, cahaya matahari
memanggang bumi, sehingga beberapa kali Pendekar
Gila harus meniup nafasnya untuk menghilangkan rasa panasnya. Mulutnya masih cengengesan, dengan
tangan mengorek kuping yang sebelah kanan.
"Ah, panas sekali siang ini!" gumam Pendekar Gila sambil mengorek telinga dengan
bulu burung yang memang senantiasa dia selipkan di ikat pinggang sebelah kanan.
Karena di ikat pinggang sebelah kiri, terselip Suling Naga Sakti.
Pendekar Gila terus melangkah, untuk mencari
sebuah kedai. Siang itu perutnya terasa sangat lapar, minta diisi. Akhirnya
sampai di sebuah kedai yang saat itu nampak masih sepi. Padahal biasanya di
siang hari kedai banyak pengunjungnya. Seorang lelaki tua terbungkuk-bungkuk
sedang menata meja dan kursikursinya. Nampak susah-payah sekali orang tua itu
menata meja kursinya. Hal itu membuat Pendekar Gila
merasa iba melihatnya.
"Aha, bolehkah saya bantu, Pak?" tanya Pendekar Gila menawarkan jasa. Suara itu
mengejutkan lelaki tua itu, sehingga segera berhenti dari pekerjaannya. Matanya menatap tajam
wajah Pendekar Gila.
Perlahan mata tua itu menyipit seakan hendak mempertegas pandangannya yang sudah agak kabur.
"Siapakah engkau, Anak Muda?" tanya Pak Tua itu dengan suaranya yang berat.
Lelaki berusia tujuh puluh tahunan itu, nampak masih memperhatikan
Pendekar Gila dengan seksama.
"Aha, siapa diriku, itu tak penting, Ki. Yang jelas aku ingin sekali menolongmu,
kalau boleh," kata
Pendekar Gila sambil mengorek telinganya dengan bulu burung. Mulutnya masih cengengesan, dengan mata
memandang ke langit
"Benarkah kau mau menolongku, Anak Muda?"
"Aha, kau nampak masih ragu, Ki. Lucu sekali...! Tapi, aku memang ingin menolongmu," ujar Pendekar Gila sambil menyelipkan
bulu burung ke ikat
pinggangnya. Kemudian dengan cengengesan, kakinya
melangkah masuk, mendekati orang tua pemilik kedai.
"Kau ingin kubayar, Anak Muda?"
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki. Ah ah ah, mana mungkin aku tega meminta
bayaran padamu" Kedaimu saja masih sepi. Sudahlah, aku ingin menata kursi-kursi ini. Setelah itu, tolong ambilkan sapu."
Tanpa menunggu Pak Tua itu berkata, Pendekar Gila langsung bekerja dengan cepat. Tubuhnya
berkelebat dengan tangan bergerak cepat bekerja. Dalam beberapa saat saja semua kursi panjang dan mejameja telah tertata rapi.
Pak Tua pemilik kedai membeliakkan mata,
menyaksikan bagaimana pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu bekerja. Hatinya hampir tak percaya, menyaksikan Pendekar
Gila bekerja dengan cepat. Seakan tubuhnya terdiri dari puluhan orang, yang seketika bergerak bersama
menata ruangan kedai. Sehingga dalam sekejap saja ruangan kedai sudah rapi.
"Ck ck ck...! Benarkah apa yang kulihat?" terdengar decak kagum dari mulut
pemilik kedai, menyaksikan cara kerja Pendekar Gila yang sangat cepat itu. "Siapa sebenarnya
pemuda ini" Silumankah...?"
"Aha, mengapa masih diam, Ki" Cepat ambilkan
sapu, biar kusapu tempat ini. Ah, pantas kalau kedai ini tak ada yang
mengunjungi. Hi hi hi... kotor sekali!
Seperti pasar saja, Ki," gumam Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala
dengan bibir tersenyumsenyum, menyaksikan keadaan kedai yang kotor sekali. Sampah berserakan di sana-sini.
"Eh, tunggu sebentar!" dengan tertatih-tatih dan terbungkuk-bungkuk Pak Tua
segera meninggalkan ruangan kedai, untuk mencari sapu lidi. Tidak begitu lama
kemudian, Pak Tua telah kembali membawa
sapu lidi yang diminta Pendekar Gila.
"Aha, terima kasih, Ki."
Sena kembali tak banyak kata. Sambil bernyanyi-nyanyi sesuka hati, tangannya langsung bekerja membersihkan seluruh ruangan kedai. Bahkan
sampai ke balai-balai dan sisi kanan kiri kedai yang juga kotor. Dikumpulkan
sampah itu di belakang kedai, kemudian dibakarnya.
"Ck ck ck...! Kalau begitu, dia bukan pemuda
gila sembarangan. Sayang sekali dia gila!" gumam Pak Tua itu sambil menggelenggelengkan kepala, menyaksikan cara kerja Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Bagaimana, Ki! Bukankah kalau
bersih seperti ini sangat enak dipandang" Aha, kurasa nanti banyak orang yang
datang," ujar Pendekar Gila sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Ditaruhnya sapu di sudut ruangan kedai, kemudian dengan masih cengengesan segera duduk di sebuah bangku. Tingkah lakunya yang persis orang gila, membuat
Pak Tua pemilik kedai menggeleng-gelengkan kepala
merasa heran. Pak Tua pemilik kedai melangkah menghampiri
Sena. Matanya yang tertutup alis mata putih panjang, memperhatikan Pendekar Gila
yang cengengesan duduk tenang sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kau tentu lapar, Anak Muda?" tanya Pak Tua.
"Aha, kau benar, Ki. Apakah kau sudah memasak..?" tanya Pendekar Gila.
Wajah Pak Tua itu seketika berubah sedih,
mendengar pertanyaan tamunya. Ada penderitaan
yang menggurat di wajah tuanya. Hal itu membuat
Pendekar Gila mengerutkan kening. Lalu, tangannya
kembali menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, maafkan kelancanganku, Ki! Tak
kusangka, kalau pertanyaanku akan membuatmu sedih," ujar Pendekar Gila sambil menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap tajam
wajah Pak Tua yang
kini nampak mengibakan.
"Oh, tidak apa-apa. Hanya...," Pak Tua pemilik kedai tak meneruskan ucapannya.
Sepertinya ada ke-raguan yang menekan jiwanya. Wajahnya pun tampak
bertambah muram, dan semakin menunjukkan kesedihan. Pendekar Gila merasa tambah heran, menyaksikan wajah Pak Tua yang semakin murung. Diperhatikannya dengan seksama wajah pemilik kedai seakan
ingin menyelami jiwanya. Ingin tahu, apa yang menyebabkan lelaki tua itu ragu untuk menuturkan sesuatu
padanya. "Aha, kau sepertinya menyimpan sesuatu, Ki"
Katakanlah, tak usah kau ragu! Mungkin aku bisa
menolongmu," pinta Sena sambil menggaruk-garuk
kepalanya dengan mulut nyengir kuda.
Pak Tua itu terdiam. Dihelanya napas dalamdalam. Sepertinya ada yang masih mengganjal dalam
batin. Matanya menatap ke sekeliling kedai. Seakanakan ada yang dikhawatirkan kalau ada yang mendengarnya. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin mengerutkan kening, tak tahu apa yang membuat Pak Tua
itu ketakutan. "Hi hi hi...! Kau seperti ketakutan, Ki. Ah ah ah, ada apa gerangan, Ki?" tanya
Sena semakin penasaran, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga,
pemilik kedai itu tampak begitu ketakutan untuk menceritakan. Diam-diam Pendekar Gila mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Namun tak
dilihatnya seorang manusia pun yang patut dicurigai.
Memang banyak orang yang lalu-lalang di depan kedai, tetapi tak ada orang yang
perlu dicurigai.
"Aneh Pak Tua ini. Dia seperti ketakutan. Siapa yang ditakutkan olehnya?" tanya
Pendekar Gila dalam hati. Dirinya belum mengerti mengapa pemilik kedai
itu tampak ketakutan. Kembali matanya mengawasi ke
sekeliling kedai, tapi tetap tak melihat hal yang mencurigakan.
"Aha, tak ada yang perlu kau takutkan. Mengapa kau mesti cemas, Ki...?" tanya Pendekar Gila dengan mulut nyengir sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Bukan hanya aku yang takut, Anak Muda.
Hampir semua penduduk Desa Ngadireja ini, setiap
purnama dicekam rasa takut. Itu pula yang membuatku tak memasak untuk jualan," tutur pemilik kedai.
Mendengar penuturan itu Pendekar Gila mengerutkan kening.
"Kenapa begitu, Ki?" tanya Pendekar Gila.
"Panggil saja namaku yang tua renta ini, Lampit," sela lelaki tua yang ternyata bernama Lampit dengan menghela napas dalamdalam. Matanya masih
mengawasi dengan cemas ke sekelilingnya. Seolah-olah masih ada yang ditakutkan.
Entah apa yang membuat
Ki Lampit ketakutan, bagaikan ada mata-mata yang
mengintainya. "Ah, baiklah Ki Lampit. Sebenarnya ada apa di
desa ini?" tanya Sena semakin ingin tahu.
Ki Lampit tak langsung menjawab. Kembali dia
menghela napas dalam-dalam. Seakan orang tua itu
tengah memikul beban penderitaan yang sangat berat.
Kemudian dengan lirih dan suara berat, Ki Lampit
menceritakan apa yang sebenarnya menimpa Desa
Ngadireja ini. "Kejadian ini, terjadi tiga purnama yang lalu...,"
tutur Ki Lampit membuka cerita. Sementara Sena
mendengarkan dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. "Bermula dengan gegernya kabar akan diadakan pemilihan Kepala
Desa Ponorogo."
Pendekar Gila mengerutkan kening menggarukgaruk kepala. Namun pikirannya nampak mulai memperhatikan dengan seksama apa yang bakal diceritakan Ki Lampit. "Ki Lurah Ponorogo suatu hari diketemukan
mati. Di dadanya, tertembus sebatang tombak. Entah
siapa yang membunuh Ki Lurah Pandarsuna. Menurut
kabar, Pendekar Gila yang membunuhnya. Hal itu
membuat warok di Desa Ponorogo berusaha menyelidikinya. Antara para warok itu terjadi pertengkaran sengit. Sebagian berpendapat
kalau Pendekar Gila yang
melakukannya. Sebagian lagi menentangnya."
Pendekar Gila tersentak kaget mendengar cerita
Ki Lampit. "Aneh... lucu sekali! Semua orang sudah gila.
Mengapa aku menjadi sasaran fitnah keji itu?" gumam Pendekar Gila dalam hati
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Lalu apa yang kemudian terjadi, Ki?" tanya Pendekar Gila semakin ingin tahu.
"Akhirnya berkat kecerdikan Warok Singo Lodra, pelaku dapat ditangkap. Tetapi pelaku mengaku
kalau dia diutus Pendekar Gila untuk membunuh Ki
Lurah." "Atas dasar apa...?" tanya Pendekar Gila dengan kening berkerut.
"Entahlah. Yang jelas, masalahnya kabur lalu
tak terdengar lagi. Tetapi akhir-akhir ini, gerombolan
anak buah Pendekar Gila menjarah di desa ini," tutur Ki Lampit.
"Gerombolan Pendekar Gila"!" tanya Pendekar Gila kaget dengan mata membeliak.
"Ya!" sahut Ki Lampit, "Kau kenal, Anak Muda?"
Dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala, Pendekar Gila menggelengkan kepala. Hatinya
benar-benar marah, merasa nama baiknya telah dicemar. "Kurang ajar! Hm, siapakah yang telah berani memfitnahku?" gumam Pendekar
Gila dalam hati. Dirinya tak habis pikir, mengapa julukannya dijadikan
alat penakut bagi warga desa. "Hi hi hi...! Dunia ini semakin gila. Nama gelar
seseorang dijadikan alat penakut. Lucu sekali...!"
Lelaki tua pemilik kedai diam. Matanya menatap tajam Pendekar Gila yang tampak cengengesan dan
cekikikan sendiri.
"Aha, jadi kau takut dengan gerombolan tengik
Misteri Lukisan Tengkorak 1 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Sumpah Palapa 25
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama