Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo Bagian 2
yang mengaku anak buah Pendekar Gila, Ki?" tanya Pendekar Gila. Hatinya masih
penasaran ingin tahu
apa alasan warga Desa Ngadireja menakuti gerombolan
itu. "Anak Muda, sebenarnya kami tak takut terhadap gerombolan itu. Yang kami takutkan, kalau-kalau
pemimpin mereka, Pendekar Gila datang. Tentunya
kau pun yang sama-sama gila tahu, siapa Pendekar
Gila sebenarnya. Pendekar yang cukup disegani kawan
maupun lawan."
Pendekar Gila tertawa cekikikan, mendengar
penuturan Ki Lampit. Tangannya menggaruk-garuk
kepala. "Ah ah ah, aku semakin tertarik, ingin tahu seperti apa tampang anak
buah Pendekar Gila," gumam Pendekar Gila sambil masih menunjukkan tingkahnya
yang seperti orang gila, "Bolehkah aku ikut menginap
di kedaimu, Ki?"
"Kau seperti bukan pemuda sembarangan. Dan
kau seperti orang gila yang juga bukan sembarangan.
Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" tanya Ki Lampit dengan kening berkerut, serta
mata menyipit memandang wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan.
"Hi hi hi...! Bukankah sudah kukatakan, siapa
diriku tidak penting. Yang jelas, aku ingin melihat seperti apa kecoa-kecoa
busuk yang mengaku anak buah
Pendekar Gila," kata Pendekar Gila dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala.
"Baiklah, Anak Muda. Aku pun tak menolak.
Kau boleh istirahat di kedaiku," jawab Ki Lampit
"Aha, terima kasih, Ki! Berapa satu malam harus kubayar?"
"Tidak usah, Anak Muda. Aku senang, kalau
kau mau menginap di kedai buruk ini," kata Ki Lampit
"Aha, terima kasih! Kalau begitu, biarlah aku
akan memasak nasi untuk kau jual. Kebetulan sekali,
aku pun bisa memasak."
Ki Lampit tersenyum senang, mendengar ucapan pemuda yang mirip orang gila itu. Pendekar Gila, langsung memasak nasi dan
lauk-pauknya! Begitu cepat tangannya bekerja. Dalam sekejap saja, semua telah selesai. *** 4 Malam datang menggantikan siang. Sinar matahari yang semula menyinari bumi, telah menghilang
di ufuk barat Kegelapan pun datang menyelimuti bumi, membuat suasana Desa Ponorogo nampak sepi.
Namun di antara kesepian itu. Ada empat rumah yang masih nampak ramai dan terang-benderang.
Mereka masih banyak menerima tamu sehubungan
dengan pemilihan lurah pekan depan. Keempat rumah
itu tak lain rumah Warok Gandu Pala, Ki Renda Paksa, Ki Banjar Guling, dan Ki
Jali. Nama terakhir ini yang menggantikan Ki Renu Jalna sebagai calon lurah.
Dirinya merupakan calon yang dijagokan oleh Tiga Warok Bercambuk Sakti, sesepuh
Desa Ponorogo. Hal itu dilakukan, untuk menjebak pelaku pembunuhan terhadap Ki Renu Jalna.
Rumah Ki Jali dijaga ketat beberapa jawara, hal
itu dimaksudkan agar kejadian yang dialami Ki Renu
Jalna tidak terulang lagi. Para tamu yang berkunjung ke rumah calon kepala desa
ini pun nampak banyak,
melebihi calon lurah lain.
Sementara itu di rumah Warok Gandu Pala, juga diselenggarakan suatu jamuan untuk mengundang
orang-orang yang mendukung dirinya. Banyak juga
orang yang datang. Namun kebanyakan hanya berpura-pura, karena sebenarnya mereka sebenarnya para
kepeng, dari Ki Jali.
Warok Gandu Pala malam itu kedatangan Tiga
Warok Bercambuk Sakti. Mereka tak lain Warok Singo
Lodra, Warok Sura Pati, dan Warok Sito Kuta. Sebagai sesama warok, mereka memang
masih ada ikatan. Sehingga tak akan berusaha memecahkan satu sama
lain. Juga tak mau saling menyingkirkan, walaupun
sebenarnya mereka bertiga tak suka dengan Warok
Gandu Pala. "O, sungguh suatu penghormatan besar, kalian
sudi datang ke rumahku!" ujar Warok Gandu Pala, ketika menyambut ketiga rekannya
sesama warok. Di bibirnya mengurai senyum, meski di dalam hati terpendam kebencian. "Ah, rupanya Kakang Warok yang datang," Nyai Rukimah, istri Warok Gandu Pala
turut menyambut
kedatangan ketiga tamu, yang dianggap sebagai saudara tua dari suaminya. Di situlah letak ikatan para warok. Mereka menganggap satu
sama lain masih ada
ikatan kekerabatan.
"Ah, bisa saja Dimas dan Diajeng. Bukankah
setiap saat kita sering bertemu?" sela Warok Singo Lodra dengan bibir tersenyum
ramah, setelah memberi
penghormatan pada tuan rumah.
"Benar apa dikatakan Ki Singo. Bukankah setiap saat kita memang sering bertemu?" sambung Warok Sura Pati juga dengan
tersenyum, berusaha menunjukkan rasa gembira, karena bisa memberikan sedikit arti bagi sesama warok.
Semua tertawa lepas, seperti tak memikul beban pikiran. Keakraban tergambar saat itu, meski dalam hati Warok Gandu Pala, warok yang paling muda
di antara mereka, tersimpan dendam dan perasaan
benci terhadap ketiga warok lainnya.
Warok Gandu Pala tahu kalau, ketiga warok itu
sebenarnya tidak menjagokan diri. Bahkan mereka berusaha menghalangi niatnya untuk menjadi Kepala
Desa Ponorogo. Padahal mereka bertiga merupakan tokoh yang banyak pengikutnya. Mereka dihormati dan
disegani sebagai sesepuh Desa Ponorogo. Berbeda dengannya yang hanya pimpinan perkumpulan Reog Ponorogo. Perasaan rendah diri itulah yang membuat Warok Gandu Pala semakin berambisi menjadi kepala desa. Padahal ketiga warok yang juga dianggap sesepuh
desa itu tidak pernah menaruh curiga seperti itu. Ketiganya menganggap Warok
Gandu Pala sama dengan
mereka. Tak ada rasa saling merendahkan satu sama
lain. "Silakan duduk, Kakang Warok!" ajak Warok
Gandu Pala mempersilakan ketiga tamunya untuk
mengambil tempat duduk yang telah disiapkan.
"Ah, terima kasih," sahut ketiganya. Kemudian mereka duduk, ditemani tuan rumah,
Warok Gandu Pala. "Sungguhkah engkau ingin menjadi kepala de-sa, Adi Gandu Pala?" tanya
Warok Singo Lodra setelah duduk. Matanya menatap dengan tersenyum pada Warok
Gandu Pala, yang juga tersenyum-senyum.
"Begitulah, Kakang Singo."
"Hm," gumam Warok Singo Lodra tak jelas. Kemudian dihelanya napas dalam-dalam,
seakan hendak membuang kegelisahan.
"Apakah ini menyalahi aturan, Kakang?" tanya Warok Gandu Pala dengan mata
menatap tajam pada
Warok Singo Lodra yang tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak, Adi Gandu. Tetapi, apakah tidak ada
niat yang lain" Misalnya mendirikan padepokan...?"
tanya Warok Singo Lodra.
"Benar, Adi Gandu. Mungkin dengan mendirikan padepokan, bisa membuatmu akan merasa tenang," tambah Warok Sito Kuta.
"Apakah Kakang-Kakang Warok melihat, selama ini aku tak tenang...?" tanya Warok Gandu Pala dengan kening mengerut,
mendengar ucapan Warok
Sito Kuta. "Kurasa selama ini aku pun tenang, Kakang Sito. Hanya saja, ingin
sekali aku bisa memberikan arti bagi Desa Ponorogo. Aku ingin Ponorogo yang kita
cin-tai ini, maju dan bisa terpandang. Bahkan kalau
mungkin, bisa menjadi sebuah ketemanggungan"
Ketiga warok itu saling pandang, mendengar cita-cita Warok Gandu Pala yang terlalu tinggi bagi mereka. Belum juga dirinya
jadi kepala desa di Ponorogo,
sudah berkhayal setinggi langit
"Gandu Pala, janganlah suka menjadi pungguk
yang merindukan bulan! Kalau memang tercapai citacitamu, kami akan merasa senang. Tetapi jika gagal, kami takut kau akan kecewa,"
tutur Warok Singo Lodra dengan bijaksana. "Kalau hanya kecewa dan dapat kau
kendalikan, itu tak menjadi masalah. Yang kuta-kutkan, kau akan melampiaskan
kekecewaanmu dalam kesesatan. Itu yang tidak kami harapkan. Kau tahu kita sebagai warok. Orang yang menjadi panutan
bagi warga. Kau harus ingat itu, Gandu Pala."
"Aku akan selalu ingat, Kakang Singo. Tadi aku
hanya berkhayal," ujar Warok Gandu Pala disertai senyum. "Ah, silakan dicicipi
makanannya."
"Terima kasih."
Ketiga warok itu pun segera mencicipi makanan
yang dihidangkan Nyi Rakimah.
"Hm, lezat sekali, Gandu. Siapa yang membuat..?" tanya Warok Singo Lodra sambil mengangguk-anggukkan kepala, merasa
nikmatnya makanan yang
dihidangkan Warok Gandu Pala.
"Adikmu Rakimah, Kakang," jawab Warok Gandu Pala. "Diajeng Rakimah pintar juga memasak," selo-roh Warok Sito Kuta yang membuat Nyi
Rakimah ter- senyum-senyum. Matanya memandang wajah suaminya yang juga tersenyum.
"Bukan aku saja yang membuat, Kakang Sito.
Tetapi anak Kakang Singo Lodra pun turut serta," kata Nyi Rakimah.
"Sekati di sini...?" tanya Warok Singo Lodra dengan kening mengerut.
"Benar, Kakang," jawab Warok Gandu Pala,
"Juga Caraka Wanda, dan Surotama, turut membantu di sini."
Ketiga warok itu saling pandang mendengar
anak-anak mereka berada di rumah Warok Gandu Pala. Kening ketiganya mengerut, sepertinya merasa heran kalau anak-anak mereka justru mendukung Warok
Gandu Pala untuk menjadi kepala desa.
"Syukurlah kalau memang mereka turut membantu. Ah, semoga jalinan antar warok semakin erat.
Sehingga Ponorogo tak akan dapat diremehkan!" ujar Warok Singo Lodra sambil
tersenyum. "Kami titip anak-anak kami padamu, Gandu."
"Akan kami perhatikan, Kakang," jawab Warok Gandu Pala. "Oh ya, Kakang Singo.
Saya mengharap dukunganmu, agar saya bisa menjadi kepala desa di
Ponorogo ini."
"Aku dan kedua saudara warok mendukungmu,
Adi Gandu. Tetapi, jadi atau tidaknya seseorang menjadi kepala desa, semua terserah warga desa. Merekalah yang memilihnya, Gandu," jawab Warok Singo Lodra berpura-pura mendukung
Warok Gandu Pala,
meskipun dirinya telah memiliki jago sendiri, Ki Jali.
Karena menurut pandangan ketiga warok itu Ki
Jali lebih pantas menjadi kepala desa. Hal itu didasar-kan pada tindak-tanduknya
yang ramah, baik, dan
mudah bergaul dengan siapa saja!
"Aku tahu, Kang. Tetapi paling tidak, jika Kakang Warok bertiga mendukungku, niscaya aku akan
menang. Karena hampir semua penduduk Desa Ponorogo menghormati kalian," ujar Warok Gandu Pala.
Ketiga warok itu sesaat terdiam. Mereka saling
menarik napas dalam-dalam mendengar ucapan Warok
Gandu Pala. Bagaimanapun, apa yang baru saja dikatakan Warok Gandu Pala merupakan suatu beban. Ketiganya tak mau menekan warga, agar mau memilih
Warok Gandu Pala. Mereka bukan raja yang dalam setiap sabdanya akan ditaati warga, melainkan warga biasa. Hanya saja, warga Ponorogo, menaruh hormat dan
segan terhadap mereka, terutama Warok Singo Lodra.
"Maafkan aku! Kalau aku disuruh memaksakan
kehendak, aku tak bisa Gandu. Hak seseorang, tak
mungkin dapat ditekan. Karena itu hak mendasar manusia, yang diberikan Hyang Widhi," kata Warok Singo Lodra berusaha memberi
pengertian pada Warok Gandu Pala.
"Dengan kata lain, Kakang Warok tak mau
mendukungku?" tanya Warok Gandu Pala.
"Jangan salah sangka, Adi Gandu Pala!" Warok Sura Pati yang dari tadi diam
angkat bicara, melihat Warok Gandu Pala nampak agak kecewa. "Kami mendukungmu.
Tetapi, apa yang dikatakan Warok Singo
Lodra benar. Hak hidup manusia, tak mungkin kita
paksa. Karena, itu menyalahi aturan Hyang Widhi. Biarlah para warga memilih dengan kemauan mereka.
Jika kau dipercaya warga tentu mereka akan memilihmu sebagai kepala desa!"
Warok Gandu Pala terdiam. Begitu pula dengan
istrinya. Dalam hatinya memaki sengit pada ketiga warok tamunya. Tampaknya Warok
Gandu Pala tahu kalau mereka bertiga tidak menghendaki dirinya menjabat kepala desa. Padahal dirinya telah berusaha menarik perhatian warga, dengan
cara membuat nama Pendekar Gila sebagai pelaku pembunuhan terhadap calon
lurah yang dijagokan warga Desa Ponorogo.
Hal itu dilakukan, karena semua warga Ponorogo tahu, kalau Pendekar Gila penegak kebenaran dan
keadilan. Dengan membunuh Ki Renu Jalna, Warok
Gandu Pala berharap warga akan berbalik mendukungnya. Karena warga menyangka Ki Renu Jalna
orang tak baik, hingga Pendekar Gila membunuhnya.
"Gandu Pala, jangan kau berkecil hati! Kami
akan mendukungmu. Kuharap, kau akan senantiasa
tenang dalam menghadapi hal ini," ujar Warok Singo Lodra berusaha menasihati.
"Benar, Dimas. Dalam keadaan seperti ini, banyak orang yang menggunakan kesempatan dalam kesempitan...," sambut Warok Sura Pati. "Pandai-pandailah menjaga diri dan
waspada! Jangan sampai
seperti Ki Renu Jalna."
"Ya. Ki Renu Jalna kurang waspada, sehingga
orang yang tak suka padanya, dapat dengan mudah
membunuhnya," tambah Warok Sito Kuta.
"Bukankah Pendekar Gila yang melakukannya?" tanya Warok Gandu Pala pura-pura kaget. Keningnya mengerut dengan mata
menyipit. Sepertinya
Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia merasa kaget, mendengar kabar akan kematian Ki
Renu Jalna. "Entahlah. Memang kami menemukan surat
yang tertera Pendekar Gila. Tetapi kami belum yakin.
Tentunya kau masih ingat dengan kejadian yang menimpa Ki Lurah Pandarsuna. Ternyata yang membunuh bukan Pendekar Gila, tetapi Maling Kalabendana,"
desah Warok Sito Kuta seraya menarik napas dalamdalam. Seakan ingin membuang perasaan pahit, yang
terjadi tiga purnama silam, ketika Ki Lurah Pandarsu-na ditemukan mati di dalam
kamarnya bersama sang
Istri. Juga kedua pengawalnya.
Warok Gandu Pala terdiam dengan wajah nampak sedih mendengar berita yang telah lama terjadi.
Seakan dirinya merasa berduka, atas kematian Ki Lurah Pandarsuna.
"Baiklah, Gandu Pala. Kami mohon pamit, karena malam sudah larut," ujar Warok Singo Lodra me-wakili kedua rekannya minta
diri. Dengan diantar Warok Gandu Pala dan istrinya
ketiga warok meninggalkan rumah besar itu. Warok
Gandu Pala tersenyum sambil menarik napas dalamdalam. Kemudian dengan menggeleng-gelengkan kepala, kakinya melangkah masuk bersama istrinya.
*** Malam semakin gelap, seakan hendak menaburkan mimpi-mimpi bagi mereka yang telah tidur.
Dari arah selatan tampak segerombolan lelaki
berpakaian serba hitam bergerak memasuki Desa Ponorogo. Mereka tampak tergesa-gesa melangkah, sepertinya tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuan. Sesekali gerombolan serba hitam itu bergerak cepat menyelinap di balik
pepohonan ketika terlihat dua orang petugas ronda malam melangkah mendekat ke
arah mereka. "Pala Ageng dan kau, Asta Dawa, bereskan petugas ronda itu!" perintah pimpinan, yang ternyata Sumogiri pada kedua rekannya.
"Baik," sahut kedua lelaki bertubuh tegap dan tinggi. Keduanya langsung melesat
menuju ke tempat
ke dua peronda yang masih melangkah semakin dekat.
"Kau yang gemuk, Pala Ageng."
"Beres. Kau yang ceking. Ingat, jangan sampai
mengeluarkan suara!" ujar Pala Ageng mengingatkan Asta Dawa.
"Beres."
"Mereka semakin dekat."
"Ya."
"Kita mulai!"
Pala Ageng dan Asta Dawa berkelebat bagaikan
seekor burung hantu menyambar mangsa. Kedua petugas ronda tersentak kaget. Mereka bermaksud menjerit, tetapi dengan cepat mulut keduanya telah dis-ekap. Belum sempat peronda
itu menyadari apa yang
terjadi tiba-tiba...
Jlep! Jlep! Dua bilah belati telah menghunjam dada keduanya tepat di hati dan jantung.
"Ukh!"
"Akh!"
Kedua petugas ronda yang malang itu, dalam
sekejap menggeliat sekarat. Mereka tak dapat berteriak atau berontak. Hanya mata
mereka yang melotot, untuk selanjutnya terkulai tewas.
"Bagus! Kalian telah menjalankan tugas dengan
baik," ujar Sumogiri tersenyum. "Kita harus berpencar!
Ingat, kita harus bisa menyingkirkan Ki Renda Peksa
tanpa mengeluarkan suara!"
"Baik," sahut para anak buah.
"Ayo kita jalan!" perintah Sumogiri.
Kesepuluh lelaki bertampang garang yang mengenakan pakaian rompi hitam dan rata-rata tubuh kekar itu kembali meneruskan perjalanan. Tujuan mereka hanya satu, menyingkirkan Ki Renda Peksa.
Gerombolan itu kini berpencar menjadi dua bagian. Satu dari arah barat, sedangkan yang lain dari arah timur. Mereka samasama menuju rumah Ki
Renda Peksa. Rumah Ki Renda Peksa ternyata tidak seperti
rumah Ki Renu Jalna. Setelah kematian Ki Renu Jalna, Ki Renda Peksa pun membayar
jawara untuk berjaga-jaga di rumahnya. Hal itu karena untuk menjaga kemungkinan bakal terjadinya petaka seperti yang dialami Ki Renu Jalna.
Empat orang lelaki berbadan tegar dengan kumis melintang berusia tiga puluh tahunan nampak
mondar-mandir di sekitar rumah Ki Renda Peksa.
Keempat lelaki berpakaian hijau lengan panjang dengan ikat kepala terbuat dari kain batik membentuk
blangkon itu, di pinggangnya terselip golok. Tangan
mereka memakai gelang terbuat dari akar bahar.
Bagai burung hantu, para jawara itu mengawasi dengan waspada penuh, ke sekelilingnya. Mereka
memeriksa sekeliling rumah secara bergantian. Dua
orang bertugas di depan. Sedangkan yang lain di belakang rumah.
Tanpa sepengetahuan mereka, sepuluh pasang
mata tengah mengawasi mereka dari balik semaksemak. Gerombolan serba hitam itu menatap garang
dan penuh nafsu membunuh.
"Cakala dan Cikili, bereskan dua orang di depan! Sedangkan Julaga dan Juligi, bereskan yang di
belakang!" perintah Sumogiri sambil menggerakkan tangan kanannya, memberi
isyarat keempat anak buah
segera bertindak.
"Baik!" sahut mereka. Kemudian dengan cepat, keempatnya meraba sesuatu dari
balik rompi. Empat
buah pisau kecil, kini telah berada di tangan mereka.
Dan..., Swing! Swing...!
Empat pisau maut itu melesat begitu cepat,
laksana anak panah yang dilepas dari busurnya.
"Heh"!"
"Hah"!"
Kedua orang yang berjaga di depan rumah tersentak kaget. Mereka hendak berkelit, tetapi pisaupisau beracun itu lebih cepat. Sehingga....
Jlep! Jlep! "Hekkk...!"
"Ukh...!"
Kedua orang jawara memekik tertahan. Tenggorokan mereka terhunjam pisau-pisau kecil. Dengan
mata melotot, tubuh keduanya mengejang, kemudian
ambruk dan tewas.
Mendengar suara berisik. Kedua jawara yang
sedang memeriksa ke belakang rumah tersentak kaget.
Keduanya hendak membalikkan tubuh bermaksud lari
ke depan. Tetapi...,
Swing! Swing! Jlep! Crab! "Ukh!"
"Akh!"
Kedua jawara itu memekik tertahan, karena
tenggorokan mereka terhunjam pisau. Dengan mata
mendelik, mereka menatap penuh amarah pada dua
orang yang menyerangnya.
Srt! Srt! Kedua jawara itu mencabut golok mereka. Namun dengan cepat Julaga dan Juligi telah mendahului.
Dengan pedang tajam, keduanya membabat kedua jawara yang telah dalam keadaan sekarat itu.
Wrt! Bret! Cras! "Ukh! Keduanya kembali memekik tertahan
dengan perut koyak akibat babatan pedang. Kemudian
ambruk bergelimpangan berlumuran darah.
Melihat keempat jawara itu ambruk, Sumogiri
segera memerintahkan semua anak buah agar keluar
dari persembunyian. Mereka langsung mendekat ke
pintu rumah Ki Renda Peksa.
Tok! Tok! Tok! Sumogiri mengetuk pintu rumah Ki Renda Peksa. Matanya mengawasi ke sekelilingnya, berusaha
meyakinkan kalau keadaan memang telah sepi. Kemudian Sumogiri mengisyaratkan pada semua anak buah
agar segera menutup wajah mereka.
"Siapa...?" dari dalam terdengar suara berat orang lelaki.
"Saya, Ki," sahut Sumogiri.
"Ada apa, Gunta" Mengganggu orang tidur saja!" omel Ki Renda Peksa. Lelaki itu menyangka kalau yang mengetuk pintu Gunta,
salah seorang jawara
yang disewanya.
"Ada tamu, Ki," sahut Sumogiri.
"Sebentar."
Terdengar suara kaki melangkah menuju pintunya rumah. Sumogiri segera memberi isyarat pada
para anak buah agar siap.
Grrrettt..! Pintu terbuka, seketika itu dari dalam muncul
seraut wajah lelaki berusia lima puluh tahunan. Mata lelaki setengah baya itu
membelalak, ketika melihat
orang-orang bercadar kain hitam telah mengepung di
depan pintu. "Siapa kalian"!"
"Kami anak buah Pendekar Gila! Kami diutus
untuk membunuhmu!" sahut Sumogiri. "Bersiaplah!"
Crab! "Akh...!" Ki Renda Peksa memekik keras, ketika pedang Sumogiri membabat dadanya.
Lelaki setengah
baya itu terhuyung ke belakang dengan darah berhamburan. Secepat itu pula, Sumogiri melemparkan
selembar daun lontar ke samping kiri tubuh Ki Renda
Peksa yang masih sekarat.
"Kita pergi!" ajak Sumogiri pada anak buahnya.
Kesepuluh lelaki bermuka garang itu pun berlalu meninggalkan rumah Ki Renda Peksa, menembus
kegelapan malam. Sedangkan Ki Renda Peksa nampak
masih sekarat Tangannya berusaha mengapai-gapai
mencari pegangan, hingga akhirnya mampu meraih
kaki kursi. Brak! Kursi itu jatuh terguling. Suara itu membuat istri Ki Renda Peksa terbangun. Wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang
masih kelihatan cantik itu,
bergegas lari menuju ruang depan. Seketika Nyi Selasih menjerit, saat melihat tubuh suaminya tergeletak berlumuran darah.
"Kakang...!" Nyi Selasih langsung memeluk tubuh Ki Renda Peksa yang sudah tak
bernyawa. Wanita
itu menangis sejadi-jadinya, seakan tak rela sang Suami harus mati.
Mendengar jeritan Nyi Selasih, para tetangga
yang tengah tidur langsung terbangun. Mereka serentak berdatangan ingin tahu, apa yang terjadi. Mata mereka membelalak, setelah
tahu kejadian yang menimpa
Ki Renda Peksa.
*** 5 "Ini tidak bisa dibiarkan, Kakang!" dengus Warok Sito Kuta yang ditujukan pada
kedua warok lainnya, yang saat itu telah berada di rumah Ki Renda
Peksa, calon lurah yang juga menjadi korban pembunuhan. Sama dengan yang terjadi pada Ki Renu Jalna,
Ki Renda Peksa pun di sampingnya terdapat tulisan selarik kalimat yang cukup
membuat ketiga warok itu
menarik napas dalam-dalam. Tulisan setengah mengancam itu atas nama Pendekar Gila. Tokoh muda
yang akhir-akhir ini namanya sangat kesohor dan
menjadi buah bibir setiap orang. Pendekar yang disegani dan ditakuti lawan maupun kawan.
Tulisan itu berbunyi :
Jangan sekali-kali berani menentangku!
Pendekar Gila. Warok Singo Lodra dan Warok Sura Pati menarik napas dalam-dalam. Tampaknya kedua warok itu,
berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dua
calon lurah telah jadi korban. Keduanya mati di tangan Pendekar Gila.
"Benarkah semua ini Pendekar Gila yang melakukan?" desis Warok Singo Lodra dalam hati. Dirinya tetap merasa belum yakin
kalau semua kejadian itu
Pendekar Gila yang melakukan.
"Kita harus mencari dia, Kakang," kembali Warok Sito Kuta berkata. Dari
suaranya, hatinya nampak tak sabar untuk mencari Pendekar Gila. Ingin rasanya
dia bisa bertarung dengan Pendekar Gila yang kini tidak mencerminkan sikap
kependekarannya. Pendekar
yang telah membuat keonaran, dengan membunuh para calon kepala desa.
"Sabar dulu, Adi Sito! Bagaimanapun, kita belum ada bukti untuk menangkapnya," ujar Warok Singo Lodra berusaha menyabarkan
rekannya. Kembali
dihelanya napas dalam-dalam. Lalu tangannya memungut daun lontar yang tergeletak di tanah. Kembali dibacanya. Tulisan itu
setengah menantang pada semua warga Ponorogo dan mengancam, agar warga Desa Ponorogo tidak ikut campur dalam urusan ini.
"Bukankah surat itu buktinya, Kakang?" tanya Warok Sura Pati dengan kening
berkerut. Hatinya pun
sudah tak sabar. Ingin secepatnya dapat menghajar
Pendekar Gila yang lancang dan telah menyimpang dari alirannya yang lurus.
"Kalian jangan terpengaruh dengan surat ini,
Adi Sura. Kita mesti ingat kejadian tiga bulan lalu, ketika Ki Lurah Pandarsuna
mati. Di samping tubuh Ki
Lurah, juga terdapat tulisan yang mengatakan Pendekar Gila pelakunya. Tetapi kenyataannya, bukan Pendekar Gila," ujar Warok Singo Lodra, berusaha menyabarkan kedua rekannya agar
tidak diburu nafsu. Karena, jika asal bertindak tanpa disadari bukti nyata, bi-sa-bisa mereka sendiri
Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang akan disalahkan kaum
rimba persilatan. Karena Pendekar Gila merupakan tokoh yang sangat dihormati dan disegani siapa pun.
"Tapi kalau kita biarkan terus menerus, si pelaku akan semakin menginjak kita, Kang," kata Warok Sito Kuta tak sabar melihat
kematian demi kematian
dilakukan orang yang sama. Sebagai seorang warok di
Ponorogo, dirinya merasa telah ditantang.
"Kau benar," ujar Warok Singo Lodra, "Tetapi kita tak boleh asal menuduh. Harus
mampu membuktikan dengan mata kepala kita, kalau pelakunya benar Pendekar Gila."
Mendengar penjelasan Warok Singo Lodra, kedua rekannya terdiam. Bagaimanapun, mereka menghargai semua yang menjadi buah pikir orang tua berusia tujuh puluh tahun yang memang pimpinan para
warok di Ponorogo.
Mereka masih bercakap-cakap, ketika dari arah
timur nampak seorang lelaki bertubuh tinggi tegap
dengan cambang bawuk lebat. Lelaki itu memegang
cambuk hitam besar di tangannya. Lelaki itu tak lain Warok Gandu Pala.
"Ada apa, Kakang Warok?" tanya Warok Gandu Pala, melihat ketiganya berkumpul di
rumah Ki Renda Peksa. Matanya menyipit, ketika melihat mayat-mayat
bergelimpangan di rumah Ki Renda Peksa. "Sepertinya telah terjadi sesuatu di
sini, Kakang Warok?"
"Benar. Ki Renda Peksa dan empat jawaranya
mati," jawab Warok Singo Lodra.
"Siapa pelakunya, Kakang?" tanya Warok Gandu Pala ingin tahu.
Warok Singo Lodra menyodorkan selembar
daun lontar yang tergeletak di samping mayat Ki Renda Peksa. Warok Gandu Pala
segera membacanya.
"Kurang ajar! Berani benar dia mengancam kita, Kakang!" dengus Warok Gandu Pala marah. Matanya menatap tajam mayat-mayat yang bergelimpangan. "Jelas ini tak bisa dibiarkan, Kakang. Aku akan mencari dia."
"Tunggu Gandu! Jangan gegabah terhadapnya!"
cegah Warok Singo Lodra. Warok Gandu Pala yang
hendak pergi meninggalkan rumah Ki Renda Peksa segera menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Kakang Warok?"
"Sabar dulu, Gandu Pala! Kita tak boleh bertindak sembarangan. Kita sebagai warok, harus dapat
menunjukkan jiwa kewarokan kita yang menjadi panutan warga," tutur Warok Singo Lodra.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Kakang"
Jelas sudah Pendekar Gila yang melakukan semuanya.
Hm, rupanya seminggu yang lalu dia di sini, ada maksud tertentu...," gumam Warok Gandu Pala.
Warok Singo Lodra mengeleng-gelengkan kepala, sepertinya tidak setuju dengan tuduhan yang dilontarkan Warok Gandu Pala.
Bibirnya menyungging senyum. Kemudian dihelanya napas dalam-dalam, seakan hendak membuang perasaan gundahnya yang
bergayut di dalam hati. Pikirannya masih diliputi keti-dakmengertian, siapa
sebenarnya pelaku pembunuhan
dua calon lurah itu.
"Nanti malam kita bagi tugas. Kau, Gandu Pala,
berjaga di sebelah timur Ponorogo. Sito, berjaga dan awasi di sebelah selatan.
Suro, awasi daerah barat de-sa. Sedangkan aku, akan mengawasi di sebelah utara
desa," kata Warok Singo Lodra membagi tugas pada
ketiga warok lainnya.
"Baik!" sahut ketiganya bersamaan.
"Tangkap orang yang mencurigakan."
"Baik, Kakang!" sahut ketiganya.
"Kakang, apakah tidak sebaiknya kita juga menanyakan pada Pendekar Gila...?" tanya Warok Sito Kuta. Dirinya tetap belum
yakin kalau Pendekar Gila
tidak melakukan semuanya. Bagaimanapun pendekar
itu gila. Dan orang gila biasanya bertingkah yang sulit diterima akal sehat
"Benar, Kakang. Kita harus ingat, kalau pendekar muda itu orang gila. Dan biasanya, orang gila akan berbuat di luar
perhitungan manusia waras," sambung Warok Gandu Pala.
"Kita tunggu saja! Jika nanti malam tidak terja-di apa-apa, kita akan mencari
Pendekar Gila. Aku akan mengutus Bari dan Sentir untuk mencari pendekar
itu," ujar Warok Singo Lodra, yang membuat mata Warok Gandu Pala membelalak
kaget. Sungguh tak menyangka kalau Warok Singo Lodra hanya mengutus
dua orang tangan kanannya. Sekaligus di dalam benak
Warok Gandu Pala bersyukur, karena dengan mudah
dia akan dapat menyingkirkan kedua utusan itu.
Warok Singo Lodra yang melihat perubahan
roman muka Warok Gandu Pala mengerutkan kening.
Diperhatikan dengan seksama wajah Warok Gandu Pala seakan ingin mengorek isi hatinya.
"Ada apa, Gandu Pala?" tanyanya kemudian.
"Ah, tidak apa-apa, Kakang. Tetapi, mengapa
hanya mengutus dua orang" Bukankah dengan begitu
Pendekar Gila akan mudah membunuh mereka?"
tanya Warok Gandu Pala sepertinya tak setuju dengan
rencana yang akan dilakukan Warok Singo Lodra.
Warok Singo Lodra tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tangan kanannya membelaibelai jenggot yang panjang sudah memutih. Kemudian
dihelanya napas dalam-dalam, seakan hendak menenangkan jiwanya.
"Kalau hal itu memang terjadi, aku dan kedua
dimas warok akan mencarinya. Karena jika kedua utusanku dibunuhnya juga, berarti dia benar-benar menantangku. Walau dirinya seorang pendekar yang telah kesohor kedigdayaannya,
Warok Singo Lodra tak akan
gentar!" ujar Warok Singo Lodra setengah bergumam.
Matanya yang tua, memandang ke atas, seakan mengharapkan kesaksian langit biru pada janji dan tekadnya. Ketiga warok lainnya terdiam mendengar ucapan Warok Singo Lodra. Bagaimanapun ilmu mereka
masih di bawah Warok Singo Lodra. Mereka juga menganggap kalau pimpinan para warok itu yang harus dituakan karena memang dirinya orang pertama dan
paling tua di kalangan warok Ponorogo.
"Kini tak ada persoalan lagi. Kita harus menguburkan mayat-mayat itu!" ujar Warok Singo Lodra. "Ki-ta sebagai orang-orang tua
dan dihormati yang menjadi panutan harus memberi contoh baik. Ayo bantu warga!"
Tanpa membantah, ketiga warok lain segera
mengikuti Warok Singo Lodra mengurusi mayat-mayat
di rumah Ki Renda Peksa.
*** Malam kembali bergayut menyelimuti bumi.
Desa Ngadireja pun sepi, bagaikan desa yang mati.
Warga Desa Ngadireja tengah dilanda perasaan berkabung, duka yang dalam. Selama tiga purnama belakangan ini, desa mereka dijarah gerombolan pengacau
yang mengaku diperintah Pendekar Gila.
Sementara itu, Pendekar Gila nampak sedang
terbaring di atas dipan. Matanya belum terpejam. Sejak kemarin dirinya berada di Desa Ngadireja, menginap di kedai Ki Lampit. Malam kemarin dilalui dengan tenang, tak ada tanda-tanda
kemunculan gerombolan
yang mengaku anak buahnya. Seakan mereka tahu,
kalau Pendekar Gila berada di desa itu.
Di samping Pendekar Gila di sebuah dipan lain
tampak Ki Lampit tengah berbaring pula. Orang tua itu pun belum tidur. Malam itu
Ki Lampit masih bertanya-tanya dalam hati. Siapa sebenarnya pemuda bertingkah laku gila yang kerjanya cepat dan tengah membantunya dalam pekerjaan di kedainya. Semua pekerjaan diambil alih pemuda bertingkah laku gila itu.
Kadang kala Ki Lampit ingin tertawa, jika melihat tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan lucu.
Namun dirinya selalu menahannya, takut kalau-kalau
pemuda bertingkah laku gila itu akan tersinggung. Ji-ka hal itu terjadi, dia
akan kerepotan seperti kemarin lusa. Padahal semenjak Pendekar Gila bersamanya,
pekerjaan menjadi ringan.
"Dua hari kita bersama, tetapi selama ini aku
belum tahu siapa kau sebenarnya," gumam Ki Lampit dengan tarikan nafasnya yang
berat. "Semenjak kau berada di sini, aku merasa aneh."
"Aha, apa yang kau anggap aneh, Ki?" tanya Sena seraya bangun dari pembaringan.
Mulutnya cengengesan. Lalu tangannya mengambil bulu burung di
ikat pinggangnya. Kemudian dikorek telinga kanannya
dengan bulu burung itu. Mulut nyengir merasa kenikmatan. "Gerombolan itu, biasanya datang tujuh hari sekali. Tetapi semenjak kau
datang, mereka tidak datang. Sepertinya, kehadiranmu membuat mereka takut" Pendekar Gila tertawa mendengar penuturan Ki
Lampit yang dianggapnya terlalu mengada-ada. Bagaimana mungkin orang tahu dirinya di Desa Ngadireja. Lagi pula, mengapa gerombolan itu harus takut terhadapnya. Pendekar Gila
menggeleng-gelengkan kepala, dengan tangan kiri menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki. Bagaimana
mungkin mereka takut pada orang gila sepertiku" Ah
ah ah, aneh sekali! Lagi pula, apa yang harus ditakutkan atas diriku?" tanya Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ki Lampit terdiam. Mata tuanya yang tertutup
alis mata panjang, menatap dalam keremangan cahaya
lampu pelita ke arah Pendekar Gila yang kembali mengorek telinga dengan bulu burung.
"Mungkinkah kau Pendekar Gila itu, Anak Muda?" tanya Ki Lampit setengah menerka. Dari suara tampak keragu-raguan
pertanyaan itu diucapkan. Matanya tetap memperhatikan pemuda di sampingnya
yang tengah cengengesan.
"Aha, terlalu tinggi sebutan itu untukku, Ki.
Aku hanyalah pemuda gila yang hidup sebatang kara.
Kerjaku mengembara tak tentu arah. Hanya orangorang saja yang menganggapku begitu," sahut Pendekar Gila. Mendengar jawaban itu
Ki Lampit tersentak
kaget. Matanya terbelalak, menggambarkan rasa takut
yang mendadak muncul.
"Jadi"!"
"Kau tak perlu takut, Ki! Memang orang menyebutku Pendekar Gila. Tetapi aku bukanlah pimpinan
kecoa-kecoa busuk yang kau ceritakan," tutur Sena berusaha meyakinkan Ki Lampit
"Jadi benar kau yang bergelar Pendekar Gila,
Anak Muda?"
"Aha, begitulah. Sekali lagi, kau tak usah takut
Ki! Aku memang sengaja menginap di tempatmu, karena ingin tahu macam apa kecoa-kecoa yang telah
membuat namaku cemar," ujar Pendekar Gila dengan setengah mendengus. Dirinya
merasa marah atas tindakan para begundal yang telah mengaku-aku sebagai
anak buahnya. "Jadi kau tak punya anak buah, Pendekar?"
"Aha, Untuk apa, Ki" Aku bukanlah pimpinan.
Dan kurasa, aku tak pantas jadi seorang pemimpin.
Lucu sekali..., dunia ini semakin lucu dan aneh," gumam Pendekar Gila sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Di bibirnya terurai senyum dan cengengesan. Sedangkan tangan kirinya
menggaruk-garuk kepala.
Ki Lampit turut menghela napas, mendengar
penuturan Pendekar Gila. Hatinya merasa kagum atas
budi pekerti luhur Pendekar Gila.
"Benar juga apa yang dikatakan. Aneh! Tingkah
lakunya seperti orang gila, tetapi tutur katanya seperti orang yang
berpendidikan," gumam Ki Lampit dalam hati. Diperhatikan lagi dengan seksama
pemuda bertingkah laku aneh di hadapannya. Tetap saja tak terlihat adanya
kekejaman di wajah pemuda gila itu.
"Pendekar Gila, apa kau belum mendengar kabar tadi pagi?"
"Aha, tentang apa gerangan, Ki?"
"Desa Ponorogo, kini dilanda bencana," tutur Ki Lampit. "Bencana" Ah ah ah...!
Bencana macam apa, Ki?" tanya Pendekar Gila ingin tahu. Wajahnya yang semula
cengengesan nampak berubah serius memperhatikan wajah Ki Lampit.
Ki Lampit menarik napas dalam-dalam, sebelum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di Ponorogo. Matanya masih menatap ke wajah Pendekar
Gila, yang kini nampak bersungguh-sungguh memperhatikannya. Sepertinya Pendekar Gila ingin tahu, apa yang akan diceritakan.
"Calon-calon kepala desa, satu persatu diketemukan mati. Dan yang membuat semua warga desa
Ponorogo membuka mata, karena di samping mayat
terdapat tulisan pada selembar daun lontar yang mengatasnamakan Pendekar Gila," tutur Ki Lampit
Pendekar Gila tersentak mendengar cerita Ki
Lampit Bahwa namanya dijadikan sebagai biang keladi
pembunuhan itu. Kemudian sambil cengengesan, ditariknya napas dalam-dalam. Ada perasaan marah dan
jengkel dalam hatinya.
"Hi hi hi..., lucu sekali! Mengapa orang-orang
semakin suka melakukan hal-hal aneh" Lucu sekali...!"
gumam Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Dirinya merasa tak habis pikir mengapa penjahat lebih suka menggunakan
gelarnya untuk melakukan aksi kejahatannya.
"Kau tak takut, Pendekar?" tanya Ki Lampit.
"Hi hi hi..., takut" Mengapa harus takut" Hyang Widhi akan senantiasa melindungi
orang yang benar,
Ki. Kalau kita tak salah, mengapa harus takut?" Sena balik bertanya dengan masih
cengengesan. "Ah, kau memang sangat bijaksana, Pendekar.
Sungguh jahat orang-orang yang telah mencemarkan
nama baikmu. Mereka tidak ubahnya iblis!" dengus Ki Lampit, sepertinya turut
jengkel mendengar berita
Pendekar Gila dijadikan kedok kejahatan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala, seakan-akan melihat kelucuan. Namun dilihat dari sinar matanya, jelas hatinya benar-benar marah. Merasa
telah dipermainkan seenaknya oleh para durjana.
"Ini tidak bisa didiamkan. Para warok pun tentu menuduh aku pelakunya," gumam
Pendekar Gila dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah, sudahlah, Ki! Malam telah larut. Tidurlah
dahulu, nanti kau sakit!" ujar Sena kepada Ki Lampit agar segera tidur. Dirinya
tak ingin orang tua sebatang kara itu akan mengalami sakit.
Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau...?"
"Hi hi hi..., nanti aku pun tidur," sahut Pendekar Gila.
Ki Lampit pun segera merebahkan tubuh. Perlahan-lahan dipejamkan matanya. Dan tidak lama kemudian, lelaki tua itu telah pulas dalam tertidur. Sedangkan Pendekar Gila
nampak masih duduk sambil
menyandarkan tubuh pada dinding. Mulutnya masih
cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Benaknya masih memikirkan tentang semua kejadian
yang mengaitkan julukannya.
Pendekar Gila menengadahkan wajah ke atas,
seakan hendak mencari sesuatu. Dihelanya napas dalam-dalam, berusaha menenangkan perasaannya.
"Hyang Jagat Dewa Batara, semoga Engkau
memberi kekuatan pada hambamu ini!" desahnya lirih, sambil memejamkan mata
perlahan. Malam semakin larut suasana pun bertambah
sepi. Tiba-tiba dari arah barat terdengar suara jeritan memecah keheningan
malam. Disusul suara gelak ta-wa.
"Tolong...! Rampok...!"
"Hua ha ha...! Jangan melawan! Kami anak
buah Pendekar Gila. Percuma kalian melawan...!"
Sena yang mendengar gelarnya disebut tersentak kaget. Dengan bibir tersenyum, tubuhnya melesat
cepat meninggalkan kamar bilik di kedai Ki Lampit
"Hi hi hi...! Pucuk dicinta ulam tiba. Rupanya
apa yang dikatakan Ki Lampit benar. Aha, malam ini
aku akan berburu kecoa-kecoa busuk!" dengus Pendekar Gila sambil terus melesat menuju tempat asal jeritan.
*** 6 Segerombolan lelaki dengan wajah separo tertutup kain merah nampak sedang melakukan gerakannya, membuat keonaran di rumah penduduk Desa
Ngadireja. Hiruk-pikuk memecah kesunyian malam.
Jeritan ketakutan terus terdengar kian jelas, disusul pekik kematian yang
menyayat hati. "Aaakh...!"
"Tolong...! Tolong...!"
Seorang wanita muda dengan hanya memakai
angkin penutup dada nampak berusaha melepaskan
diri dari cengkeraman tangan dua lelaki berpakaian
serba hitam. Wanita muda dan cantik itu, terus berusaha meronta-ronta. Namun, kedua lelaki bermata garang itu tak menghiraukannya. Keduanya terus menyeret wanita berusia sekitar dua puluh dua tahun itu.
"Lepaskan! Tolong...!"
"Percuma saja kau menjerit, Ayu Wuni! Ayahmu
yang lurah pun takkan mampu menolongmu. Salah
seorang dari keduanya yang berambut pendek dengan
ikat kepala warna jingga membentak. Matanya yang tajam dan beringas, menatap penuh nafsu pada gadis
cantik yang memakai angkin hijau pupus itu.
"Lepaskan, Bajingan! Lepaskan aku...!" gadis cantik yang ternyata bernama Ayu
Wuni itu terus berteriak dan memberontak. Kedua lelaki itu terus membawanya ke tempat semak-semak di bawah pohon
bambu yang sepi.
"He he he...! Di sini kita akan berpesta, Manis.
Ayolah! Jabil, pegangi dia!" perintah lelaki berambut panjang terurai. Kepalanya
diikat dengan kain batik
yang membentuk segi tiga ke bawah di kening.
"Beres. He he he...!" Jabil segera memegangi tangan gadis cantik yang terus
meronta-ronta dari pegangan keduanya.
Lelaki berpakaian hitam dan berambut panjang
terurai itu segera membuka kain yang menutup wajahnya. Kini nampaklah seraut wajah tampan dengan
kumis tipis menghias di wajahnya. Namun, matanya
yang menyimpan bara nafsu, menatap beringas gadis
cantik itu. "Lepaskan! Tidak...! Tolong...!"
"He he he...! Jangan harap ada yang berani
menghalangi anak buah Pendekar Gila, Anak Manis!
Ayolah...!" pemuda tampan berkumis tipis yang ternyata Caraka Wanda terus
mendekatkan tubuhnya. Kemudian dengan disertai nafsu birahi yang menggebugebu, direnggutnya pakaian yang menutupi tubuh gadis malang itu.
Bret! "Auh! Tidak...! Tolong...!" anak Kepala Desa Ngadireja itu terus berteriakteriak. Sementara di per-kampungan, terdengar hiruk-pikuk orang-orang berlarian ketakutan. Sementara gerombolan manusia durjana yang mengaku anak buah Pendekar Gila, dengan
ganas terus membantai penduduk desa yang melawan.
Crab! "Akh...!"
"Jangan kalian berani menentang kami! Kalian
tak akan mampu menghadapi Pendekar Gila!" terdengar ancaman seseorang dari
anggota-gerombolan.
Nampaknya masih ada warga desa yang berani menentang, sehingga kembali terdengar suara tebasan pedang yang disusul dengan jerit kematian.
"Heaaa!"
Crab! "Akh...!"
Sementara warga desa masih hiruk-pikuk ketakutan ditingkahi dengan suara jerit kematian, di tempat yang sepi Caraka Wanda
nampak semakin beringas. Matanya menyala-nyala menatap tubuh gadis cantik yang kini setengah telanjang.
"Lepaskan aku! Tolooong...!"
"He he he...! Jangan takut, Manis! Kita akan
menikmati indahnya malam ini," ujar Caraka Wanda sambil berusaha menggeluti
tubuh gadis cantik kem-bang Desa Ngadireja. Namun tiba-tiba...,
"Hua ha ha...! Begitukah tingkah anak buah
Pendekar Gila" Ah ah ah, lucu sekali. Kecoa-kecoa busuk mengaku anak buah
Pendekar Gila...!" dari kegelapan, terdengar suara tawa susul menyusul, Pendekar
Gila. Caraka Wanda dan Jabil tersentak kaget. Keduanya langsung menoleh ke
tempat datangnya suara
pemuda itu. Mata mereka membelalak tegang. Apalagi
Caraka Wanda yang telah kenal siapa pemilik suara
itu. "Pendekar Gila..."!" desis Caraka Wanda dengan mata membelalak tegang.
"Dia ada di sini"!" tanya Jabil tak kalah kaget dan tegang, setelah tahu siapa
yang tertawa itu.
"Aha, apa kabar, Ki Sanak...?" tahu-tahu Pendekar Gila telah berdiri berjarak
satu tombak di samping mereka. Hal itu semakin membuat keduanya terlonjak kaget karena tak tahu kapan dan dari mana datangnya. Gadis yang hendak diperkosa bangkit dan
langsung berlari ke belakang Pendekar Gila. Tetapi Ayu Wuni pun kelihatannya
masih takut, setelah tahu siapa pemuda bertingkah laku gila itu.
"Kau..." Kau Pendekar Gila..."!" tanyanya dengan mata terbelalak ketakutan.
"Hua ha ha...! Jangan takut, Ni Sanak! Aku
memang Pendekar Gila, tetapi bukan pimpinan para
kecoa busuk itu! Hi hi hi...! Lucu sekali. Rupanya kecoa-kecoa busuk kini pada
bertingkah," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Ditatapnya kedua lelaki bermata jalang itu dengan tajam. Kemudian dengan cengengesan, tangannya
menggaruk-garuk kepala. Lalu dipandangi gadis cantik yang berpakaian telah
compang-camping akibat reng-gutan tangan Caraka Wanda.
"Aha, tak kusangka, kalau anak seorang warok
berbuat sekeji ini. Hi hi hi... lucu sekali. Dunia ini memang semakin lama
semakin bertambah gila," gumam Pendekar Gila dengan mulut masih cengengesan.
Sedangkan tangannya tetap menggaruk-garuk kepala.
Lalu diambil Suling Naga Sakti. Ditiupkan dengan
merdu, mendendangkan nyanyian tentang seekor anak
domba yang berusaha menjadi serigala. Anak domba
itu terus berusaha agar bisa jadi serigala. Sampai akhirnya, anak si domba
membabi buta. "Cuih! Lancang sekali kau, Pendekar Gila!" bentak Cakra Wanda dengan napas
mendengus, "Jangan kira aku tak mengerti nyanyian sulingmu!"
"Hi hi hi...! Ah, baguslah kalau kau mengerti.
Rupanya kau anak warok yang pintar. Sayang...,
sayang sekali perbuatanmu tak sesuai dengan pribadi
orang-tuamu," ujar Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan dengan kepala
menggeleng-geleng, seakan sangat menyesalkan atas perbuatan Caraka Wanda.
"Cuih!" Caraka Wanda membuang ludah jengkel. Kemudian matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Sesekali Pendekar Gila menengok ke belakang, tempat gadis
cantik itu berada. "Jangan kau gurui aku, Pendekar Gila! Ayahku adalah ayahku,
sedangkan aku tetap saja aku!"
Pendekar Gila kembali tertawa terbahak-bahak
sambil menggaruk-garuk kepala. Ditimang-timangnya
Suling Naga Sakti lalu dipukul-pukulkan ke telapak
tangan kirinya. Kemudian masih dengan cengengesan,
diselipkan kembali Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya. "Ah ah ah, hebat! Hebat sekali...!" gumamnya lirih dengan tangan masih
menggaruk-garuk kepala.
"Sayang, kepribadianmu tak lebih dari seekor domba buta. Sehingga membuat dirimu
melangkah di jalan
yang salah."
"Bedebah! Sudah kukatakan, jangan menggurui
aku!" bentak Caraka Wanda semakin marah dan sengit, merasa Pendekar Gila telah
banyak berbicara hing-ga membuatnya marah. Matanya yang tajam dan marah menatap wajah Pendekar Gila yang hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, aku tidak mengguruimu, Domba Malang.
Aku hanya ingin mengingatkanmu, kalau kau telah salah jalan," sahut Pendekar Gila diikuti suara tawanya, yang membuat Caraka Wanda
semakin marah. "Kurang ajar...! Kubunuh kau Pendekar Gila!
Serang dia...!" perintah Caraka Wanda dengan sengit.
Dengan cepat tangannya mencabut pedang di punggungnya. Srt! "Hea...!" disertai pekikan menggelegar, Caraka Wanda dan Jabil melesat menyerang
Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka berkelebat cepat, membabat
dan menusuk ke tubuh Pendekar Gila.
Wrt! "Yea...!"
"Hi hi hi...!" sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila segera bergerak cepat
menarik tubuh untuk mengelakkan serangan kedua lawannya yang gencar dengan babatan pedang. Kemudian dengan memonyongkan mulut, dirinya mengejek setelah berhasil mengelakkan serangan kedua lawan.
"He he he...! We...!"
"Kurang ajar! Kubunuh kau..., Gila! Serang...!"
Caraka Wanda kembali berteriak memerintah temannya untuk terus menyerang. Kemudian dengan jurus
'Satuan Pedang Memanggang' mereka bergerak cepat
menyerang dari dua arah. Caraka Wanda menyerang
dari kanan, sedangkan Jabil dari kiri.
"Hea!"
"Yea!"
"Hi hi hi...!"
Pendekar Gila masih cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala, seakan tak takut menghadapi serangan yang gencar dan cepat itu. Dengan membuka
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' tubuhnya meliuk-liuk laksana penari, dengan
sesekali menepuk ke arah lawan. Setelah mengetahui gerakan yang dilakukan
Pendekar Gila, Ayu Wuni sedikit merasa agak tenang.
Hatinya mengatakan kalau pemuda bertingkah gila itu
ternyata bukan pemuda jahat dan sembarangan. Hatinya mengharap, semoga Pendekar Gila dapat memenangkan pertarungan itu. Bahkan Ayu Wuni mengharap, Pendekar Gila mau menumpas para penjahat itu,
agar Desa Ngadireja aman.
Mata Ayu Wuni terus memperhatikan pertarungan itu dengan harap-harap cemas. Takut kalau-kalau
pemuda tampan bertingkah gila kalah.
"Heaaa...!"
Wret! Wret! Pedang di tangan Caraka Wanda dan Jabil
menderu dengan cepat ke tubuh Pendekar Gila. Tetapi
dengan cepat pula, Pendekar Gila mundurkan kaki
kanan. Kemudian menggeser kaki kiri agak merentang
sambil meliukkan tubuh.
"Celaka...!" pekik kedua lawannya kaget, karena pedang mereka tetap belum
berhasil bersarang di tubuh lawan. Bahkan pedang itu kini melesat ke tubuh
temannya. Mata keduanya terbelalak tegang, menyadari gerakan masing-masing yang kacau.
Melihat kedua lawannya dalam keadaan mati
langkah, sambil menggaruk-garuk kepala Pendekar Gila menendangkan kaki kanan ke tubuh Jabil. Sementara tangan kiri, menghantam tubuh Caraka Wanda.
"Hi hi hi...! Hea...!"
Caraka Wanda dan Jabil yang mati langkah,
tersentak kaget. Keduanya kebingungan. Kalau meneruskan membabatkan pedang dapat membahayakan
kawannya. Sedang kalau berhenti jelas gerakan Pendekar Gila akan lebih leluasa menyerang.
"Hea!"
Dalam kebingungan dan kagetnya, Caraka
Wanda melentingkan tubuh ke belakang untuk mengelak. Sehingga Jabil yang terlambat, tak ampun lagi
menjadi sasaran tendangan kaki Pendekar Gila.
Begk! "Akh...!" Jabil memekik keras. Tubuhnya terlon-tar deras ke belakang, bagaikan
didorong sebuah kekuatan yang dahsyat. Tubuh itu baru berhenti, ketika menghantam pepohonan bambu.
Gosrak! "Akh!"
Tanpa ampun lagi, Jabil terjepit batang-batang
bambu. Sesaat Jabil meregang, kemudian terkulai ma
Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ti. Menyaksikan temannya tewas, Caraka Wanda
bertambah beringas. Dengan napas mendengus keras,
lelaki muda itu kembali bergerak menyerang. Jurus,
'Semilir Angin Meniup Daun Kering' segera dikeluarkan. Nampaknya Caraka Wanda sudah tak sabar lagi
untuk membinasakan Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
Wrt! Wrt...! Pedang di tangan Caraka Wanda bergerak laksana angin yang bertiup semilir. Kelebatannya sangat halus dan pelan. Hal itu
karena Caraka Wanda menggunakan tenaga dalam yang cukup tinggi, juga pengerahan batin yang sempurna. Kakinya melangkah secara beraturan, seperti memakai hitungan-hitungan tertentu. Melihat jurus yang dilakukan Caraka Wanda,
seketika Pendekar Gila mengerutkan kening. Dengan
memandang lewat sudut mata sambil nyengir, pikirannya berusaha mengingat-ingat gerakan yang dilakukan
Caraka Wanda. "Hm, bukankah itu gerakan Macan Barong
yang kulihat di Ponorogo?" tanya Pendekar Gila dalam hati berusaha mengingatingat gerakan-gerakan yang
dilakukan Caraka Wanda. "Aha, benar! Itu gerakan yang dilakukan Macan Barong.
Hm, kalau begitu yang
menjadi Macan Barong tentunya pemuda ini."
"Pendekar Gila, kau harus mampus! Bersiaplah!" dengus Caraka Wanda.
"Hua ha ha...! Hi hi hi...! Lucu sekali. Bukankah itu tarian Macan Barong! Lucu sekali...!" ejek Pendekar Gila dengan tertawa
terbahak-bahak sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kurang ajar! Hea...! Kau harus mati dengan jurus 'Semilir Angin Meniup Daun Kering'.
Tubuh Caraka Wanda bergerak cepat. Pedang
di tangannya pun semakin lama bergerak semakin cepat. Sehingga pedang di tangan Caraka Wanda lenyap
bentuk aslinya. Kini yang tampak hanya sebuah
bayangan putih, berkelebat begitu cepat memburu tubuh Pendekar Gila.
Melihat lawan telah mengeluarkan jurus pemungkas yang sangat berbahaya jika dihadapi dengan
tangan kosong, Pendekar Gila segera mencabut Suling
Naga Saktinya. Srttt! "Heaaa!"
*** Dengan memegang Suling Naga Sakti, Pendekar
Gila melesat memapaki serangan lawan. Jurus 'Gila
Menari Menepuk Lalat' segera dikeluarkan, untuk
mengelakkan serangan lawan. Sedangkan tepukan
tangannya, diganti dengan Suling Naga Saktinya.
"Yea!"
"Heaaa...!"
Keduanya berkelebat laksana terbang. Caraka
Wanda membabatkan pedangnya ke leher lawan. Namun dengan cepat Pendekar Gila merundukkan tubuh
diikuti dengan sabetan Suling Naga Saktinya ke atas.
Trang! Auh...!" Caraka Wanda tersentak kaget, pedangnya beradu dengan Suling Naga Sakti di tangan
Pendekar Gila. Tangannya terasa gemetar kesemutan.
Tubuhnya melayang dan bersalto di udara, kemudian
meluncur ke bawah. Bibirnya tampak menyungging
senyum sinis. Dari arah perumahan penduduk segerombolan
lelaki berpakaian merah seperti yang dipakai Caraka
Wanda memburu-tempat pertempuran itu.
"Caraka, kau terluka...?" tanya seorang pemuda berwajah agak pucat dan berambut
panjang terurai diikat kain batik
"Dia Pendekar Gila, Dimas Surotama," tutur Caraka Wanda sambil meringis menahan
sakit di tangan. Sementara Pendekar Gila tampak tengah cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Suling Naga
Sakti dipukul-pukulkan ke telapak tangan kiri, lalu
mulutnya menyeringai seperti seekor kera.
"Jadi pemuda edan ini yang dijuluki Pendekar
Gila?" tanya pemuda yang dipanggil Surotama. Matanya menatap tajam pada Pendekar
Gila yang masih
bertingkah laku persis orang gila. Wajahnya menggambar-kan kesadisan.
"Benar, Dimas. Hati-hati...!"
"Hm, bunuh dia...!" perintah Surotama tiba-tiba, dengan menggerakkan tangan
kanan. Seketika itu pula, gerombolan berpakaian rompi merah menyerang
Pendekar Gib. Pedang dan golok tampak berkilatan diacungkan ke atas siap merejam lawan.
"Hea!"
"Hi he he...! Rupanya kalian kecoa-kecoa busuk
yang bodoh! Lucu sekali...!" gumam Pendekar Gib. Kemudian dengan masih
cengengesan, ditunggingkan
pantatnya ke arah kesembilan lawannya yang menyerang. "Bocah Edan! Kubunuh kau! Hea...!" seorang anak buah Surotama membabatkan
golok ke tubuh lawan yang sedang menungging. Namun dengan jurus
'Gila Mabuk Mencabut Rumput' Pendekar Gila segera
bergerak mengelit. Tubuhnya seperti orang gila yang
sedang mabuk. Jempalitan ke sana kemari, dengan
tangan bergerak mencengkeram dan memukul. Sedangkan kedua kakinya bergerak melakukan serangan
dengan lutut dan tendangan.
"Hi hi hi! Heaaa...!"
Dugk! "Ukh...!" orang yang berada di belakang ter-jengkang, karena terkena tendangan
kaki kiri Pendekar Gila. Mulutnya meringis kesakitan dan tampak darah
mengalir dari sela bibir. Tangannya memegangi dada
yang terasa nyeri hebat. Bahkan dirasakan pukulan
keras tadi meremukkan tulang rusuknya.
Pertarungan semakin seru. Gerombolan itu
langsung mengeroyok Pendekar Gila.
"Hea!"
Wuttt! "Uts! He he he...!" Pendekar Gila tertawa terkekeh sambil terus bergerak dengan
jurus 'Gila Mabuk
Mencabut Rumput' digabung dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'. Suling Naga Sakti di tangannya,
bergerak dengan cepat menangkis serangan lawan. Dilanjutkan dengan memukul ke dada, dan punggung
lawan yang terdekat.
"Mampus kau, Pendekar Gila! Hea...!"
Wuttt! "Uts! He he he...! Ini bagianmu, Kecoa Tolol!"
Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan dengan
meliuk ke samping. Kemudian bergerak ke belakang
tubuh lawan dengan cepat sambil memukulkan Suling
Naga Sakti ke punggung lawan.
Begk! "Akh...!" pekikan tertahan terdengar ketika seorang lawan terpukul Suling Naga
Sakti. Tulang punggungnya dirasakan remuk. Mulutnya meringis. Dari
sela bibirnya meleleh darah. Kemudian tubuh orang itu ambruk ke tanah.
Pertarungan semakin seru. Sepertinya gerombolan Caraka Wanda dan Surotama tak takut sedikit
pun. Mereka terus menyerang dengan sabetan dan tusukan pedang serta golok
"Hea!"
Wuttt! Wuttt! "Haiiit..!"
Dengan cepat Pendekar Gila mengelit dengan
merundukkan tubuh. Kemudian dengan cepat pula dipukulkan Suling Naga Saktinya ke tubuh lawan.
Wuttt! "Heh"!" orang itu tersentak kaget dengan mata membeliak. Dirinya berusaha
menghindar tetapi gerak
yang dilancarkan Pendekar Gila sangat cepat. Sehing-ga,
Begk! "Wua...!"
Korban kembali jatuh dengan tulang iga remuk
akibat gebukan Suling Naga Sakti. Kenyataan itu
membuat Caraka Wanda dan Surotama bertambah
marah dan beringas.
"Kubunuh kau, Pendekar Gila...!" Surotama melompat ke depan. Dengan jurus
'Serimpi Kipasan Maut'
Surotama membabatkan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila. Wuttt! Wuttt! "Uts! He he he...!" sambil tertawa, Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan.
Tubuhnya meliuk ke
samping dengan gemulai. Kemudian tangan kirinya
dengan jari-jari terbuka menyambar rusuk kanan lawan. Sedangkan Suling Naga Sakti di tangan kanannya, memukul ke punggung Surotama.
"Heh"!" Surotama tersentak kaget Lalu segera bergerak membalikkan tubuh disertai
tendangan ke tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar
Gila menarik pukulan tangan kirinya, sedangkan Suling Naga Sakti terus disabetkan ke tubuh lawan.
Wrt! Trakkk! Krakkk! "Ukh...!" Surotama terpekik. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang. Tangan dan
kakinya yang terpukul Suling Naga Sakti dirasakan
remuk. Di pergelangan tangan dan di tulang kering ka-ki kanannya, melembung dan
terasa berdenyut-denyut
"Dimas Surotama!" seru Caraka Wanda dengan mata terbelalak, menyaksikan Surotama
nampak kesakitan dengan wajah yang semakin pucat. "Pendekar Gila Keparat!
Kubunuh kau! Hea...!"
Caraka Wanda yang sudah marah, dengan beringas kembali mengeluarkan jurus pemungkasnya
'Semilir Angin Meniup Daun Kering'. Bagaikan tak
meng-hiraukan kalau dirinya dalam keadaan terluka,
Caraka Wanda menyerang membabi buta. Hal itu
membuat Pendekar Gila semakin enak saja bergerak
dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya
meliuk-liuk lemah gemulai, kemudian dengan cepat ditepukkan tangan kiri ke dada lawan
"Hih!"
Degk! "Akh...!" tubuh Caraka Wanda terpental deras ke belakang, ketika pukulan telapak
tangan kiri Pendekar Gila mendarat di dadanya. Tubuhnya terus melayang, dan baru berhenti ketika menghantam sebatang pohon. Brak! "Akh!" Caraka Wanda terbanting ke tanah dengan kepala hancur terbentur pohon.
Dari mulutnya menyembur darah segar. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar lalu diam tak berkutik.
"Kurang ajar! Kupertaruhkan nyawaku untuk
membunuhmu, Gila! Hea...!"
Dengan kemarahan yang memuncak, Surotama
melakukan serangan. Hatinya yang telah terbakar kini kalap. Menyaksikan Caraka
Wanda tewas. Pedangnya
diayun-ayunkan cepat membabat ke tubuh lawan.
Tampak keenam kawannya turut membantu mengeroyok Pendekar Gila.
Wrt! "Hea!"
"Hi hi hi...!" sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila bergerak ke sana kemari
mengelakkan serangan
lawan-lawannya. Sedangkan tangan kanan yang memegang Suling Naga Sakti berkelebat menangkis senjata lawan yang menyerang.
Trang! "Hih!"
"Ukh...!"
Pertarungan semakin seru. Semak belukar di
sebelah barat Desa Ngadireja tampak hancur berantakan. Beberapa batang pohon bambu pun tumbang terhantam oleh babatan pedang. Malam yang dingin dan
sepi, terpecah hiruk-pikuk pertarungan dan jeritanjeritan kematian.
Warga Desa Ngadireja yang semula merasa takut, akhirnya mendatangi tempat pertarungan menyertai kepala desa. Mereka langsung membantu Pendekar
Gila yang dianggap telah menyelamatkan desa mereka.
Gerombolan penjahat yang menjarah Desa
Ngadireja akhirnya terjepit. Bahkan kini, Pendekar Gila dengan cepat
menggebukkan Suling Naga Sakti ke
punggung Surotama.
Bukkk! "Akh...! Ukh...!"
Tubuh Surotama menggeliat-geliat karena
punggungnya remuk terhantam Suling Naga Sakti. Dari mulutnya muncrat darah segar. Sesaat lamanya mulut lelaki muda itu mengerang-erang sebelum akhirnya mati. Melihat pimpinan
mereka mati, keenam anggota
gerombolan yang masih hidup, semakin panik. Dalam
sekejap mata, mereka dapat didesak para warga Desa
Ngadireja. "Mampuslah kalian! Hea...!"
Jrab! Jrabs! "Akh...!" lengkingan kematian, seketika terdengar susul-menyusul. Dengan ganas
karena marah para
warga Desa Ngadireja membantai habis anggota gerombolan yang mengatasnamakan Pendekar Gila sebagai pimpinan. Ki Lampit tertatih-tatih mendekati Pendekar Gila. Di bibirnya tersungging senyuman. Orang tua yang sebenarnya Kepala Desa
Ngadireja itu merasa senang
atas kemenangan mereka.
"Kau, Ki?" Pendekar Gila terkejut melihat Ki Lampit yang semula tua renta kini
Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tampak wajah aslinya, setelah membuka kedok. Ki Lampit ternyata seorang lelaki
bertubuh tegap, berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya cukup tampan terhias
jenggot dan kumis tipis. "Terima kasih atas pertolonganmu, Tuan Pendekar!" "Aku tak mengerti, siapa kau sebenarnya, Ki?"
tanya Pendekar Gila dengan mulut nyengir serta tangan menggaruk-garuk kepala.
Ki Lampit memegang pundak Pendekar Gila, lalu sambil melangkah lelaki setengah baya itu menceritakan siapa dirinya.
Diceritakan, mengapa harus menyamar, karena dirinya takut kepergok Pendekar Gila
yang kabarnya menjadi pimpinan gerombolan itu. Ki
Lampit merasa tak akan mampu menghadapi Pendekar
Gila yang kesohor dengan kesaktiannya.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi tiba-tiba tawanya terhenti, ketika matanya
melihat sesosok bayangan
kuning berkelebat mencurigakan. Mata yang lain
mungkin tak melihat karena suasana gelap.
"Hai, tunggu...!" teriak Pendekar Gila. Kemudian dengan menggunakan ilmu larinya
segera menge- jar sosok bayangan kuning itu. Dalam sekejap saja
Pendekar Gila telah berhasil menghadang orang itu.
"Aha, mau lari ke mana kau" Hi hi hi...!"
"Ampun, jangan bunuh saya!" ratap lelaki mu-da berpakaian kuning sambil bersujud
di depan Pen- dekar Gila. "Saya hanya diperintah tiga warok Ponorogo."
"Kau juga anggota mereka?" tanya Pendekar Gi-la.
"Be... benar."
"Jadi kalian diperintah tiga warok Ponorogo untuk membuat keonaran di desa ini?" tanya Pendekar Gila tegas, walau mulutnya
masih cengengesan.
"Be..., benar."
"Katakan pada ketiga warok yang mengutus
mu! Aku, Sena Manggala akan menemui mereka," ujar Pendekar Gila tegas. "Tak
kusangka, ketiga warok Ponorogo yang seharusnya menjadi panutan malah berbuat kejam!"
"Ba... baik, Tuan Pendekar. Akan saya sampaikan pada Warok Singo Lodra dan kedua rekannya,"
sahut pemuda bertubuh agak pendek itu.
"Pergilah sekarang! Katakan, aku akan menemui mereka," perintah Pendekar Gila. Seketika itu pu-la, lelaki muda berpakaian
Pendekar Bayangan Malaikat 5 Lembah Merpati Karya Chung Sin Beruang Salju 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama