Ceritasilat Novel Online

Keris Peminum Darah 2

Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah Bagian 2


mereka terlepas. Dan kini keadaan mereka amat berbahaya.
Untung pada saat yang gawat, serangan rekanrekan mereka yang lain tiba. Sehingga, orang bercaping itu tidak mempunyai
kesempatan mengirimkan serangan susulan.
Kembali terdengar suara keras denting senjata beradu, diikuti percikan bungabunga api di udara.
Dan di saat itulah, Wisesa telah berhasil memperbaiki keadaannya. Dan dia ikut
terjun dalam kancah pertempuran kembali.
"Kau ceroboh, Brajageni...! Kau mencari penyakit sendiri! Kalau saja tadi kau
tidak bertindak macam-macam, pemunah racun ini akan kuberikan! Tapi sekarang,
jangan harap!" ancam Wisesa keras.
"Jangan merasa menang dulu, Wisesa! Kau kira aku tidak tahu kalau benda langit
itu ditaburi racun"
Ha ha ha...! Racun bagiku adalah permainan anak-anak, Wisesa! Racunmu sama
sekali tidak berarti bila digunakan padaku!"
"Keparat!" maki Wisesa kalap. "Serbu...!" Tanpa menunggu perintah dua kali, anak
buah Wisesa segera meluruk ke arah Brajageni.
"Hmh...!"
Brajageni mendengus. Mendadak tangan kanannya dimasukkan ke balik baju. Dan
begitu tangan itu dikeluarkan, secepat itu pula dikibaskan.
Serrr...! Wisesa terperanjat. Sebagai tokoh yang telah berpengalaman, dia tahu benda yang
mengeluarkan suara berdesir itu.
"Awas...!" teriak Wisesa seraya melempar tubuh ke samping kanan dan bergulingan
menjauh. Laki-laki berikat kepala hitam ini berhasil lolos dari maut. Tapi tidak demikian
anak buahnya. Serangan itu sama sekali tidak disangka-sangka. Apalagi, datangnya
selagi tubuh mereka telah dekat dengan
lawan. Tambahan lagi, suasana malam yang remang-remang membuat mereka tidak
dapat melihat jelas benda yang datang menyambar. Tapi meskipun begitu, mereka
berusaha menyelamatkan diri semampunya begitu mengetahui ada bahaya mengancam.
Suara-suara jerit kesakitan terdengar begitu benda-benda yang tak lain adalah
jarum-jarum halus itu mengenai sasaran. Jarum-jarum itu tentu saja bukan jarum
sembarangan, karena mengandung racun ganas. Terbukti begitu empat di antara
mereka terkena, langsung saja meringis sambil memegang bagian yang terluka.
Mereka jatuh menggelepar-gelepar di tanah beberapa saat lamanya, kemudian tidak
bergerak lagi untuk selamanya.
Wisesa meraung keras. Laki-laki berikat kepala hitam ini murka bukan kepalang.
Segera senjata andalannya dicabut. Senjata yang berupa sebatang golok besar yang
sisi-sisinya bergerigi mirip gergaji itu telah diputar-putarnya.
"Haaat..!"
Seraya berteriak keras, Wisesa melompat. Dan dari atas, golok di tangannya
dibabatkan cepat ke arah leher Brajageni. Ada suara mengaung yang cukup keras
mengiringi tibanya serangan itu. Jelas, laki-laki berikat kepala hitam ini
memiliki tenaga dalam cukup tinggi.
Pada saat yang sama, Guntara dan Gota yang berhasil selamat dari serangan jarumjarum beracun, juga meluruk menyerang Brajageni. Guntara
menyerang dari depan dengan sebuah tusukan tombak ke arah dada, sementara Gota
menyerang dari belakang. Pedangnya menusuk cepat ke arah punggung.
Mendapat serangan maut yang berbarengan, tidak juga membuat Brajageni gugup.
Bahkan malah ditunggunya hingga semua serangan itu menyambar dekat. Lalu dengan
perhitungan matang seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi,
Brajageni segera melempar tubuh ke belakang. Dan dengan sendirinya, serangan
yang datang dari belakang dan depan kandas. Sementara serangan Wisesa
ditangkisnya. Tranggg...! Bunga api memercik ke sana kemari begitu kedua senjata beradu keras bukan main.
Wisesa menggigit bibir ketika merasakan tangannya pegal-pegal.
Dengan meminjam tenaga benturan, Brajageni bersalto ke belakang sekali. Dan
ketika berada di belakang Gota, tangannya bergerak mendorong.
Kelihatannya perlahan saja. Tapi akibatnya, tubuh laki-laki beranting di hidung
itu terhuyung ke depan seperti diseruduk banteng!
Guntara terperanjat kaget. Pada saat itu, tombaknya tengah ditusukkan ke depan,
dan tidak mampu ditahan lagi. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika
melihat tubuh Gota menyambut ujung tombaknya. Sementara, ujung pedang Gota pun
mengarah dadanya.
Crabbb, cappp...!
Rentetan kejadian itu berlangsung begitu cepat.
Dan tahu-tahu, tubuh Gota dan Guntara telah tersungkur di tanah dengan senjata
yang saling hunjam tubuh mereka. Nyawa kedua orang itu langsung melayang tanpa
memperdengarkan suara sedikit pun.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan
Brajageni. Begitu kedua kakinya mendarat, tangannya
kembali mengibas. Disambutnya serbuan sisa-sisa anak buah Wisesa.
Singgg, singgg...!
Cappp, cappp, cappp...!
Empat senjata rahasia berbentuk bintang itu mengenai dahi sisa anak buah Wisesa
dengan telak dan keras. Senjata rahasia itu menghunjam sampai setengahnya lebih.
Seketika itu juga tubuh keempat orang itu roboh di tanah. Sesaat mereka
menggelepar-gelepar, kemudian diam tidak bergerak lagi.
Wisesa hanya bisa memandang semua ini dengan wajah pucat laksana mayat. Semua
anak buahnya telah tewas. Dan sekarang, dia hanya tinggal seorang diri.
"Bersiaplah untuk mati, Wisesa!" ancam Brajageni lambat lambat tapi penuh
tekanan. Ada ancaman maut dalam suaranya.
"Keparat kau, Brajageni!" teriak Wisesa kalap. "Kau atau aku yang harus mati!"
Setelah berkata demikian, laki-laki berikat kepala hitam menerjang orang
bercaping itu. Golok di tangannya menusuk cepat ke arah dada.
Brajageni hanya mendengus. Buru-buru kakinya melangkah ke kiri seraya
mendoyongkan tubuh. Maka serangan itu lewat sejengkal di sebelah kanan
pinggangnya. Pada saat itulah, keris di tangannya dibabatkan ke arah perut
lawan. Wisesa terperanjat melihat bahaya maut yang mengancamnya. Dengan semampu mungkin
dia berusaha mengelak. Tapi....
Crattt..! Ujung keris itu menyerempet perut Wisesa.
Seketika itu juga kulit laki-laki berikat kepala hitam itu sobek. Cairan
berwarna merah kehitam-hitaman
segera merembes keluar. Ternyata, keris itu mengandung racun!
"Uuuh...!"
Wisesa mengeluh. Kepalanya dirasakan pusing.
Pandangan matanya berkunang-kunang. Laki-laki berikat kepala hitam ini sadar
kalau racun itu telah bekerja.
Perasaan pusing yang menyerangnya semakin
menjadi-jadi. Tubuh Wisesa mulai oleng, dan kemudian jatuh di tanah. Dia
menggelepar-gelepar meregang nyawa.
"Ha ha ha...!" Brajageni tertawa terbahak-bahak.
Sebuah tawa bernada kemenangan. "Selamat tinggal Wisesa...!"
Setelah berkata demikian, Brajageni lalu melesat meninggalkan tempat itu.
Ditinggalkannya Wisesa yang tengah sekarat menanti datangnya maut Brajageni
yakin kalau laki-laki berikat kepala hitam itu akan tewas. Dia yakin, racunnya
tidak pernah gagal mengambil nyawa orang. Sesaat kemudian, tubuh laki-laki
bercaping itu telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Wisesa tidak mempedulikan Brajageni lagi. Rasa sakit yang mendera tubuhnya
benar-benar menyiksa.
Bahkan ucapan terakhir laki-laki bercaping itu tidak didengarnya lagi.
Laki-laki berikat kepala hitam ini hanya bisa menyesali dirinya. Mengapa dia mau
saja waktu diajak bekerja sama untuk mendapatkan benda langit itu" Tapi, Wisesa
hanya mempunyai waktu menyesal sebentar saja. Karena beberapa saat kemudian,
nyawanya segera pergi ke alam baka.
*** 4 Brajageni meninggalkan Hutan Dadap dengan diliputi perasaan gembira. Sungguh
tidak disangka, kalau semudah ini masalahnya akan beres. Kini tinggal satu
pekerjaan lagi yang harus diselesaikannya, maka dia akan memiliki sebuah senjata
pusaka yang ampuh.
Laki-laki bercaping ini terus berlari mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimiliki. Dalam waktu sebentar saja, Hutan Dadap telah jauh ditinggalkan-nya.
Brajageni terus berlari disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya. Lesatannya bagaikan bayangan setan yang berkelebat, menye-lusup
rapatnya pepohonan dan semak belukar.
Lesatannya baru diperlambat ketika terlihat sebuah rumah berdinding bilik di
kejauhan. Rumah itu letak-nya terpencil, jauh dari rumah-rumah yang lainnya. Ke
sanalah laki-laki bercaping ini menuju.
Semakin lama jarak antara Brajageni dengan rumah itu semakin dekat. Ketika
jaraknya tinggal sekitar dua tombak lagi, laki-laki bercaping ini menghentikan
larinya sama sekali. Kini Brajageni melangkah perlahan mendekati pintu.
Tok, tok, tok..!
Kelihatannya perlahan saja Brajageni mengetuk-kan tangannya. Tapi akibatnya,
daun pintu itu bergetar keras laksana dipukul palu godam yang besar.
"Siapa?" terdengar suara teguran dari dalam, diiringi langkah-langkah kaki
mendekati pintu.
Brajageni sama sekali tidak menyahuti. Bahkan caping bambunya semakin ditekankan
ke bawah. Maka, wajahnya jadi semakin tersembunyi.
Kriiit..! Suara berderit tajam terdengar begitu daun pintu itu terbuka. Tampaklah seorang
kakek di balik pintu.
Kulitnya hitam legam, bertelanjang dada. Sepasang matanya menatap tamu tak
diundang ini penuh selidik.
Belum sempat kakek berkulit hitam itu bertanya, Brajageni telah mendorong daun
pintu, lalu melangkah masuk. Langsung ditutupnya daun pintu begitu berada di
dalam. "Kau yang bernama Empu Sawung?" tanya Brajageni langsung pada pokok persoalan.
Kakek berkulit hitam mengerutkan alis. Sungguh dia tidak senang mendapat
perlakuan yang begitu kasar dari tamu tak diundang ini. Apalagi orang ini baru
pertama kali dilihatnya. Untunglah hati kakek ini sedikit sabar. Kalau tidak,
pasti langsung dihajarnya tamu tak diundang ini.
Brajageni jadi gusar melihat kakek berkulit hitam itu sama sekali tidak menjawab
pertanyaannya. Dengan kasar, dicengkeramnya leher baju kakek itu.
Dan didekatkan wajah kakek itu ke wajahnya.
"Jawab pertanyaanku!" bentak Brajageni. Sepasang mata Brajageni menatap bengis,
menusuk langsung ke bola mata kakek yang bernama Empu Sawung. Ada ancaman maut
yang terkandung dalam sinar matanya. Tapi kakek berkulit hitam tetap diam,
dengan sikap tetap tenang. Sepasang matanya malah menatap lepas ke atap rumah.
"Keparat..!" maki Brajageni keras.
Laki-laki bertubuh tinggi kurus ini tidak bisa
menahan amarahnya lagi. Dengan kasar, didorongnya tubuh kakek pemilik rumah itu.
Brakkk...! Punggung kakek berkulit hitam itu membentur keras dinding yang terbuat dari
papan. Mulut kakek itu menyeringai, menahan rasa sakit akibat benturan itu.
Perlahan-lahan tubuhnya merosot ke bawah.
Brajageni mencabut kerisnya, kemudian bergerak menghampiri. Langkahnya lebarlebar, sehingga dalam beberapa tindak saja, telah berada di depan kakek pemilik
rumah. Perlahan-lahan Brajageni berjongkok.
"Jangan buat kesabaranku habis!" ancam laki-laki bertubuh tinggi kurus ini
"Kaukah orang yang bernama Empu Sawung"! Jawab...! Atau kau ingin bisu
selamanya"!"
Brajageni mendekatkan kerisnya ke wajah kakek berkulit hitam itu, bersikap
mengancam. Tapi, kakek itu tetap membisu. Maka kesabaran Brajageni pun habis.
"Kau pikir aku main-main, heh"!"
Setelah berkata demikian, perlahan-lahan keris di tangan laki-laki tinggi kurus
ini bergerak, siap hendak memotong lidah kakek berkulit hitam yang tetap diam
membisu. Tapi, mendadak saja gerakannya terhenti.
Pendengarannya yang tajam menangkap adanya langkah kaki mendekati ruangan ini.
Arahnya dari dalam rumah.
Menilik dari gerakannya, Brajageni tahu kalau pemilik langkah itu sama sekali
tidak memiliki ilmu meringankan tubuh. Andaikata memiliki, tingkatannya masih
rendah sekali. Langkahnya pun terdengar berat. Meskipun begitu, Brajageni tidak
bersikap ceroboh dan memandang rendah. Kepalanya
menoleh tatkala mendengar langkah kaki itu tiba-tiba berhenti.
Di ambang pintu yang menuju ke dalam, tampak berdiri seorang bocah perempuan
berusia sekitar sebelas tahun. Rambutnya panjang dan berkulit putih bersih.
"Kakek...," panggil bocah perempuan itu.
Sesaat Brajageni tercenung. Jadi, bocah
perempuan itu adalah cucu kakek berkulit hitam ini"
Secercah senyum keji tersungging di bibir yang tertutup kain hitam itu. Perlahan
dia bangkit berdiri, lalu berjalan menghampiri bocah perempuan itu.
Kakek berkulit hitam ini terkesiap begitu melihat laki-laki bercaping melangkah
menghampiri cucunya.
"Ayu! Lari...!" seru kakek berkulit hitam itu seraya bergerak bangkit. Dan
secepat tubuhnya berdiri, secepat itu pula Brajageni diterkamnya.
Sementara itu gadis kecil itu hanya menatap tak mengerti melihat kakeknya
diancam. Malah saat kakeknya menyuruh pergi, dia seperti tak mampu pergi dari
situ. Gadis itu kian gemetar melihat laki-laki bercaping semakin mendekati.
Lidahnya terasa kelu, tak mampu mengucapkan kata-kata.
Namun laki-laki tinggi kurus itu hanya mendengus.
Dan sekali tangannya bergerak, tangan kanan kakek berkulit hitam telah tercekal.
Dan sekali Brajageni bergerak mendorong, maka tubuh kakek berkulit hitam itu
langsung terhuyung menabrak dinding.
Tanpa mempedulikan keadaan kakek berkulit
hitam itu, Brajageni meneruskan maksudnya. Dengan sekali mengulurkan tangan,
tubuh bocah perempuan bernama Ayu itu telah ditangkapnya.
"Lepaskan cucuku...!" teriak kakek berkulit hitam keras seraya menggoyanggoyangkan kepala, akibat
rasa pusing yang diderita dari benturan tadi.
"Ha ha ha...!" Brajageni tertawa bergelak.
Dengan kasar, laki-laki tinggi kurus itu menjambak rambut Ayu. Karuan saja gadis
kecil itu menjerit kesakitan. Tapi Brajageni malah tertawa terbahak-bahak.
Bahkan cengkeramannya semakin diperkuat.
Maka jerit kesakitan anak itu pun semakin nyaring terdengar.
"Jahanam! Iblis terkutuk!" maki kakek berkulit hitam dengan suara mengandung
isak tangis. Pilu hati kakek ini melihat cucunya disiksa tanpa dia mampu berbuat
sesuatu untuk menolongnya.
"Lepaskan cucuku! Aku berjanji akan memenuhi apa pun permintaanmu."
Kembali Brajageni tertawa bergelak.
"Kalau saja sejak tadi kau bersikap begitu, kau, dan cucumu tidak perlu
mengalami hal seperti ini."
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi kurus ini lalu melepaskan Ayu.
Seketika itu juga, bocah perempuan itu menghambur ke arah kakek berkulit hitam
yang segera mengembangkan kedua tangannya.
"Kakek... Ayu takut..," keluh bocah perempuan itu sambil memeluk kakeknya eraterat. Wajahnya disembunyikan di pelukan kakek berkulit hitam. Ayu tak berani
menoleh, takut melihat Brajageni.
"Tenanglah, Ayu," hibur kakek berkulit hitam sambil mengusap-usap rambut gadis
kecil itu penuh kasih sayang.
"Jawab pertanyaanku, sebelum terlambat. Kaukah orang yang bernama Empu Sawung"!"
selak Brajageni tidak sabar.
Kakek berkulit hitam itu menganggukkan kepala.
"Jawab...!" hardik Brajageni dengan suara mengguntur. "Kau punya mulut, bukan"!"
Keras bukan kepalang bentakan itu. Kakek berkulit hitam sendiri sampai
terjingkat kaget. Apalagi Ayu. Gadis kecil itu makin erat memeluk kakeknya.
Bahkan tubuhnya nampak menggigil.
"Benar. Aku Empu Sawung...," sahut kakek berkulit hitam, pelan.
Brajageni mengambil buntalan yang tersampir di punggungnya. Lalu dibuka dan
dikeluarkan isinya.
"Kuminta, kau membuatkan aku sebuah keris.


Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keris yang mempunyai bilah lurus."
Kakek berkulit hitam yang ternyata bernama Empu Sawung itu memperhatikan benda
mirip batu, berwarna gelap itu. Perlahan-lahan tangan kanannya diulurkan.
Dirabanya benda langit yang berada di tangan Brajageni itu. Untunglah, laki-laki
tinggi kurus itu telah membersihkan racun yang semula ditabur-kan Wisesa di batu
itu. Kalau tidak, Empu Sawung mungkin sudah tidak bernyawa lagi.
"Bahan yang amat baik," ucap Empu Sawung jujur.
Tapi Brajageni sama sekali tidak menggubrisnya.
"Tiga hari lagi aku akan datang untuk mengambil pesananku," kata laki-laki
tinggi kurus itu dingin. "Dan ini bayarannya."
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi kurus ini melemparkan buntalan kain
kecil. Cringgg,..! Suara berdencing nyaring terdengar begitu
buntalan kain kecil itu menimpa lantai.
Eyang Sawung memandang buntalan kain itu
dengan sinar mata hampa. Kakek ini sama sekali tidak berharap kalau laki-laki
bercaping ini akan membayar pesanannya. Yang ada di benaknya hanya satu,
Brajageni harus buru-buru angkat kaki dari
rumahnya. "Ingat, Sawung!" ancam Brajageni sebelum melangkah meninggalkan tempat itu.
"Jangan coba-coba mempermainkanku! Akibatnya akan sangat mengerikan!"
Dan sebelum gema suaranya lenyap, tubuh
Brajageni sudah tidak berada di situ lagi. Empu Sawung seketika bergidik, tidak
berani main-main.
Kakek ini tahu, orang seperti Brajageni bukan ter-masuk orang yang suka
menggertak sambal saja.
Empu Sawung melihat sinar kekejaman di mata orang bercaping itu.
*** Empu Sawung bekerja keras, bagai tidak pernah merasa lelah. Kakek ini adalah
seorang pandai besi sejati. Tidak ada hal yang paling menggembirakan hatinya,
kecuali membuat sebuah senjata dari bahan yang baik. Dan benda yang dibawa
Brajageni adalah sebuah bahan yang amat bagus. Dan itu diketahuinya betul! Maka,
kini Eyang Sawung mengerjakannya penuh semangat.
Tanpa mengenal lelah, Eyang Sawung membakar benda langit di tungkunya. Sampai
warnanya agak gelap berubah merah membara, kemudian menempa-nya.
Suara berdentang nyaring dari benda logam yang beradu selalu terdengar dari
ruang kerja Eyang Sawung. Kakek berkulit hitam ini bekerja penuh ketekunan,
berusaha keras untuk merampungkan tugas tepat pada waktunya.
Tepat pada hari yang dijanjikan, keris itu selesai dibuat. Sebuah keris yang
mempunyai bilah lurus,
tidak berkeluk sama sekali. Kakek berkulit hitam itu memandanginya penuh rasa
puas. Eyang Sawung menghela napas lega. Sebentar lagi Brajageni tentu akan datang.
Tapi kali ini Eyang Sawung sama sekali tidak merasa khawatir. Ayu telah kembali
ke rumah orang tuanya, dan kini dirinya kembali sendirian di rumah yang
terpencil ini. Perlahan kakinya melangkah kembali ke ruang depan.
"Hhh...!"
Eyang Sawung menghela napas berat. Kemudian menghempaskan tubuhnya di kursi.
Sebentar matanya dipejamkan, tak lama kemudian sudah tertidur.
Entah sudah berapa lama tertidur, Eyang Sawung tidak mengetahuinya. Yang jelas,
dia terbangun ketika mendengar bentakan keras menggelegar.
"Bangun, Bandot Tua Pemalas...! Mana pesananku..."!"
Eyang Sawung kontan gelagapan begitu tahu-tahu di depannya telah berdiri orang
yang ditunggu-tunggu.
Siapa lagi kalau bukan laki-laki bertubuh tinggi kurus dan bercaping bambu.
Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, Eyang Sawung menatap ke luar
rumah. Ternyata di luar gelap. Berarti hari sudah malam. Dalam sekejapan itu,
otaknya bekerja keras. Dan teringatlah kakek ini kalau setelah menyelesaikan
pekerjaannya, dia duduk di kursi dan memejamkan mata. Jadi, rupanya dia
tertidur. "Keparat..!"
Amarah Brajageni meluap begitu melihat Eyang Sawung tidak mengambilkan
pesanannya, tapi malah celingukan. Kakinya pun bergerak menendang.
Krakkk..! Terdengar suara berderak keras ketika kaki salah
satu kursi patah terkena tendangan laki-laki tinggi kurus itu. Tak pelak lagi,
kursi itu pun oleng. Dan karuan saja hal itu membuat Eyang Sawung semakin gelagapan, kaget.
"Bandot tua...!" tanpa peduli kalau Eyang Sawung belum sadar sepenuhnya,
Brajageni mencekal leher baju kakek itu dan mengangkatnya ke atas. "Jangan mainmain denganku! Bagaimana dengan pesananku"! Cepat sebelum kupuntir batang
lehermu!" "Ppp..., pe..., pesanan apa...?" tanya kakek berkulit hitam terputus-putus.
Dahinya berkernyit dalam seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.
Brajageni yang memang pemarah, tidak sabar lagi.
Tangannya langsung bergerak. Tapi sebelum
mengenai sasaran, Eyang Sawung telah keburu teringat.
"Ah, ya...! Aku ingat sekarang...! Keris, kan"!"
Brajageni menurunkan tubuh kakek itu, seraya melepaskan leher baju laki-laki tua
itu. "Ya! Bagaimana" Sudah selesai"!"
Eyang Sawung menganggukkan kepala, kemudian beranjak ke dalam. Sebentar kemudian
dia sudah kembali lagi. Di tangan kakek berkulit hitam ini sudah tergenggam
sebilah keris. "Ini keris pesananmu," kata Eyang Sawung sambil mengangsurkan keris di
tangannya. "Sebuah senjata pusaka yang hebat."
Brajageni mengulurkan tangannya. Diambilnya keris yang diangsurkan kakek
berkulit hitam itu, lalu perlahan-lahan dihunusnya. Tampak sebuah keris yang
bilahnya berwarna hitam pekat.
Laki-laki tinggi kurus ini mendekatkan keris itu ke kulitnya. Dahinya berkernyit
ketika tidak merasakan akibat apa-apa. Sementara, Eyang Sawung yang
melihat adanya kernyit di dahi Brajageni jadi berdebar-debar hatinya.
"Jangan coba-coba menipuku, Sawung!" ancam Brajageni. Keras, dan kasar suaranya.
Sepasang matanya menatap penuh ancaman pada kakek
berkulit hitam itu.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kisanak," jawab Eyang Sawung jujur.
"Keris ini tidak terbuat dari benda pesananku!"
Merah padam selebar wajah Eyang Sawung
mendengar tuduhan itu. Betapa tidak" Sebab, setengah mati membuat keris itu,
malah dituduh menipu!
"Jaga mulutmu, Kisanak! Seumur hidup, belum pernah aku menipu orang lain! Keris
itu kubuat berdasarkan benda yang kau berikan padaku!"
Brajageni menatap wajah Eyang Sawung tajam-tajam, mencoba mencari kebenaran di
wajah itu. Dan laki-laki tinggi kurus ini menghela napas berat tatkala menangkap
adanya kesungguhan di sana. Jelas kalau kakek berwajah hitam itu tidak
berbohong. Beberapa saat lamanya Brajageni termenung. Dahi laki-laki tinggi kurus ini
berkernyit, pertanda ada sesuatu yang dipikirkannya. Sesaat kemudian, kerutkerut di dahinya lenyap. Dengan agak terburu-buru keris miliknya yang tergantung
di bawah punggung dicabut dengan tangan kiri.
Sekarang di tangan Brajageni terdapat dua bilah keris. Keris yang terbuat dari
benda langit berada di tangan kanan. Sementara keris miliknya berada di tangan
kiri. Laki-laki tinggi kurus ini menatap kedua keris itu berganti-ganti, dengan
senyum tersungging.
Kemudian perhatiannya dipusatkan pada kedua tangan. Setelah mengambil napas
dalam-dalam, tenaga dalam di bawah pusarnya disalurkan ke arah kedua tangan. Sekejap kemudian
sebuah aliran tenaga dalam mengalir ke kedua tangannya.
"Hih...!"
Brajageni menggertakkan gigi, lalu keris yang berada di kedua tangannya diadu.
Tranggg...! Bunga api seketika memercik ke udara begitu kedua keris itu berbenturan. Eyang
Sawung yang semula tidak mengerti maksud orang bercaping itu memegang dua buah
keris, kini paham. Rupanya, Brajageni ingin mencoba keampuhan keris pesanannya.
Sepasang mata Brajageni terpelalak lebar. Tampak keris yang berada di tangan
kirinya punggal. Padahal, keris miliknya itu bukan keris sembarangan, melainkan
sebuah keris pusaka yang ampuh. Tak diragukan lagi kalau keris yang berada di
tangan kanannya itu terbuat dari benda langit!
"Bagaimana, Kisanak"!" tanya Eyang Sawung. Ada nada kemenangan dalam suaranya.
Sekali lihat saja, kakek berkulit hitam itu tahu kalau keris yang punggal itu
bukan keris sembarangan.
Sedangkan Brajageni sama sekali tidak menyahuti ucapan kakek itu. Benaknya
tengah dipenuhi pertanyaan yang tidak mampu dijawab. Semua itu berpangkal dari
keris yang terbuat dari benda langit ini.
Laki-laki tinggi kurus ini tidak bisa menyangkal lagi.
Jelas sudah kalau keris itu terbuat dari benda langit.
Dan itu berarti Eyang Sawung tidak menipunya. Kakek pandai besi itu telah
melakukan pekerjaannya dengan baik.
"Kau benar, Sawung," kata Brajageni pelan. Datar
dan dingin suaranya. "Keris ini memang terbuat dari benda pesananku. Kau tahu,
dari mana benda ini berasal?"
Eyang Sawung menggelengkan kepala.
"Selama hidupku, belum pernah kutemukan benda seperti itu. Sebuah benda yang
terbuat dari campuran logam-logam. Beberapa di antaranya sama sekali tidak
kukenal. Entah, dari mana kau mendapat-kannya.... Ataukah... benda itu tidak
berasal dari bumi?"
"Tepat. Benda itu jatuh dari langit. Jadi, namanya benda langit! Benda yang
diperebutkan orang-orang rimba persilatan!" sahut Brajageni pelan tapi tajam.
"Ahhh...!" Eyang Sawung terperanjat.
"Kau tahu, Sawung. Apa yang terjadi jika mereka tahu, kalau keris yang terbuat
dari benda langit ini ada di tanganku?" sambung Brajageni.
Meskipun Brajageni baru berbicara sampai di sini, namun Eyang Sawung sudah
menduga kelanjutan ucapan laki-laki tinggi kurus itu. Kontan hati kakek ini
berdebar tegang. Sudah bisa dirasakan, ada bahaya maut yang mengancamnya. Tapi,
kakek berkulit hitam tetap bersikap tenang. Sejak pertama kali bertemu dan
melihat sikap Brajageni. Eyang Sawung memang sudah bersiap untuk menerima
kematian. Brajageni rupanya memang tidak membutuhkan jawaban Eyang Sawung. Terbukti begitu
kakek berkulit hitam itu sama sekali tidak menanggapi pertanyaannya, dia sama
sekali tidak peduli.
"Mereka semua akan memburuku untuk mendapatkan keris ini!" tandas Brajageni
tajam. "Bila itu terjadi, ada dua buah pilihan. Aku atau mereka yang mati!"
Kembali Brajageni menghentikan ucapannya.
Ditatapnya wajah Eyang Sawung dengan sinar mata mengandung ancaman.
"Aku tidak mau hal itu terjadi. Maka sedapat mungkin akan kuusahakan untuk
mencegah ter-sebarnya berita ini! Tapi sayang, ternyata sudah ada orang yang
mengetahuinya! Maka sebelum orang itu menyebarluaskan, harus lebih dulu
dibungkam mulutnya! Kau tahu siapa orang itu, Sawung"!"
Eyang Sawung tersenyum getir. Perlahan kepalanya terangguk.
"Aku," kata kakek berkulit hitam itu, tenang.
"Tepat!" Brajageni tertawa bergelak. "Kau harus mati, Sawung!"
"Telah kuduga sebelumnya, Kisanak!" sahut Eyang Sawung mantap. Tak ada nada
kegentaran dalam suaranya.
"Ha ha ha...!" Brajageni tertawa bergelak. Mendadak sekali tawa itu. Dan secara
tiba-tiba pula, suara tawa itu terhenti. "Kau menjadi orang pertama yang akan
mencicipi kehebatan keris ini, Sawung!"
Setelah berkata demikian, Brajageni melompat menerjang kakek pandai besi itu.
Keris di tangannya meluncur deras ke arah dada, menimbulkan suara bersiutan
nyaring. Sebenarnya Eyang Sawung memiliki ilmu silat.
Tapi, kepandaian yang dimiliki hanya sekadarnya saja. Tenaga dalam yang
dimilikinya pun hanya sedikit saja. Kakek pandai besi ini hanya memiliki tenaga
luar yang besar. Dan itu tidak aneh, mengingat pekerjaan kakek berkulit hitam
itu adalah pandai besi.
Sialnya, lawan yang menyerangnya adalah
Brajageni. Seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Eyang Sawung
berusaha semampunya untuk mengelak. Tapi....
Cappp...! Telak dan keras sekali keris itu menghunjam dada Eyang Sawung, sampai hampir ke
gagangnya. Seketika Brajageni melepaskan pegangan pada keris.
Sepasang mata kakek pandai besi ini terbelalak.
Tubuhnya seketika ambruk ke tanah. Dia menggelepar, sesaat kemudian diam tidak
bergerak lagi. Bukan hanya Eyang Sawung yang membelalakkan sepasang matanya. Brajageni pun
demikian juga. Sepasang matanya terbelalak karena melihat kejadian aneh yang terpampang di
depannya. Begitu keris itu menancap di dada Eyang Sawung, sama sekali tidak ada darah yang
keluar dari luka yang robek itu. Jangankan mengalir, menetes pun tidak! Saking
terkejutnya, Brajageni tidak buru-buru menarik kembali keris itu. Jadi untuk
beberapa saat lamanya, keris itu terhunjam di dada kakek pandai besi itu.
Kembali kejadian yang aneh terjadi. Entah dari bagian dada yang tertembus, atau
dari bilah keris yang masih terhunjam, yang jelas dari situ keluar asap. Semula
sedikit dan tipis saja, tapi lama-kelamaan semakin banyak dan tebal.
Melihat peristiwa yang sama sekali tidak diduga ini, tentu saja Brajageni
terpukau. Tapi, hanya sesaat saja. Sekejap kemudian, dia sudah bisa bersikap
biasa kembali. Dengan dahi berkernyit, diperhatikannya asap yang semakin menebal
itu. Tak lama kemudian, asap itu mulai menipis dan semakin sedikit. Sampai akhirnya,
asap itu lenyap sama sekali. Dan begitu asap itu sirna, untuk yang kesekian
kalinya sepasang mata Brajageni terbelalak.
Betapa tidak" Tubuh Eyang Sawung yang terhunjam keris kini telah berubah kurus dan pucat.
Tidak ada tanda-tanda darah yang keluar dari tubuh kakek pandai besi itu.
Brajageni memang seorang tokoh hitam yang
kejam. Tidak ada kata ampun bagi orang yang berurusan dengannya. Sudah biasa
baginya membunuh banyak orang sambil tertawa. Menyiksanya pun sudah merupakan
kegemaran. Tapi melihat peristiwa kali ini, tak terasa bulu kuduknya merinding.
Perasaan ngeri pun mencekam hatinya.
Masih dengan perasaan ngeri, kerisnya dicabut Beberapa saat lamanya, Brajageni
menatap mayat itu. Kemudian, dia melesat cepat keluar rumah itu, menembus gelap
dan heningnya malam.
*** 5 Brajageni berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya. Kenyataan yang dihadapi benar-benar membingungkan hatinya.
Melihat keampuhannya, tak dipungkiri lagi kalau keris itu benar terbuat dari
benda langit. Tapi, kenapa tidak menunjukkan pengaruh lain seperti yang selama
ini diketahuinya. Hal ini benar-benar membuatnya tidak mengerti.
Belum begitu jauh berlari, laki-laki bertubuh tinggi kurus ini terpaksa
memperlambat langkahnya. Sekitar beberapa tombak di depan nampak berdiri sesosok
tubuh. Menilik dari sikapnya, dapat diketahui kalau orang itu sengaja menghadang
perjalanannya. Brajageni menghentikan langkahnya ketika telah berjarak tiga tombak dari sosok
yang menghadang perjalanannya. Dalam keremangan cahaya bulan di langit, dapat
terlihat jelas sosok penghadang jalan-nya.
Sosok itu ternyata seorang laki-laki bertubuh pendek kekar. Pakaian tanpa lengan
membungkus tubuhnya yang bulat. Usianya tak lebih dari tiga puluh lima tahun.
Sebuah cambuk berwarna hitam seperti warna pakaiannya, tampak tergenggam di
tangan. "Cambuk Halilintar...," desis Brajageni. Perlahan saja suaranya. Tapi karena
suasana malam yang hening, ucapan itu terdengar nyaring.
Berbeda dengan Brajageni, laki-laki pendek kekar yang berjuluk Cambuk Halilintar
itu sama sekali tidak mengenal laki-laki tinggi kurus ini.
"Kalau ingin selamat, serahkan keris itu padaku, Kisanak," ancam Cambuk
Halilintar. Menilik dari sikap dan nada suaranya, Cambuk Halilintar yakin sekali
kalau dirinya akan mengalahkan Brajageni.
"Hmh...!"


Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Brajageni mendengus. Meskipun telah mengenal penghadangnya, dia sama sekali
tidak merasa gentar.
Orang yang berjuluk Cambuk Halilintar ini memang terkenal sebagai tokoh sesat
yang memiliki kesaktian cukup tinggi.
"Apa maksudmu, Cambuk Halilintar" Aku sama sekali tidak mengerti," sahut
Brajageni berpura-pura.
"Kau ingin menyerahkannya baik-baik, atau..., ingin aku merampasnya dengan
kekerasan"!" ancam Cambuk Halilintar. Sama sekali tidak dipedulikan jawaban
Brajageni tadi. "Perlu kau tahu, Kisanak. Aku telah mengetahui semuanya sejak
kau ribut-ribut dengan Eyang Sawung. Itulah sebabnya, aku
mencegat di sini. Karena aku tahu kau akan melalui jalan ini"
Mendengar ucapan ini Brajageni sadar kalau tidak ada gunanya lagi berpura-pura.
Yang harus dilakukannya adalah membungkam mulut Cambuk
Halilintar selama-lamanya. Kalau tidak, kemungkinan besar berita mengenai keris
yang berasal dari benda langit ini akan tersebar luas. Dan yang pasti, akan
banyak tokoh persilatan yang datang untuk mem-perebutkannya.
Maka jika hal itu terjadi, Brajageni yakin kalau dirinya tidak akan sanggup
mempertahankannya.
Tanpa ragu-ragu lagi, Brajageni segera mencabut keris yang berasal dari benda
langit itu. Dan secepat keris itu tercabut, secepat itu pula ditusukkan ke arah
dada Cambuk Halilintar.
Singgg...! Suara berdesing Nyaring mengiringi tibanya serangan itu. Cambuk Halilintar
seketika terperanjat.
Sungguh tidak disangka kalau serangan lawan begitu dahsyat. Dan ini benar-benar
di luar dugaan. Maka, laki-laki bertubuh pendek kekar ini langsung bersikap
waspada, karena baru merasakan kedahsyatan serangan lawan. Dengan agak gugup dan
terburu-buru dia mengelak, melempar tubuh ke belakang lalu bersalto beberapa
kali di udara. Tapi Brajageni sama sekali tidak memberinya kesempatan. Begitu lawannya melempar
tubuh ke belakang, segera dikejarnya. Keris di tangannya ditusukkan bertubi-tubi
ke berbagai bagian tubuh Cambuk Halilintar yang mematikan. Dan begitu kedua kaki
Cambuk Halilintar mendarat di tanah, serangan Brajageni telah mengancamnya.
Meskipun begitu, Cambuk Halilintar mampu juga membuktikan kelihaiannya. Sebelum
serangan keris itu tiba, cambuk di tangannya telah lebih dulu bergerak.
Darrr...! Ledakan keras terdengar, begitu laki-laki pendek kekar ini melecutkan cambuknya.
Dan seiring ledakan itu, ujung cambuk itu meluncur cepat ke arah ubun-ubun
Brajageni. Hebat dan berbahaya bukan main serangan
cambuk ini. Jangankan ubun-ubun yang merupakan jalan darah kematian manusia.
Bahkan batu karang yang paling keras pun akan hancur bila terkena lecutan ini.
Brajageni tentu saja mengenal serangan berbahaya ini. Maka segera serangannya
diurungkan. Tidak hanya itu saja yang dilakukan laki-laki tinggi
kurus ini. Sambil membatalkan serangan, Brajageni melempar tubuhnya ke samping,
lalu bergulingan di tanah.
Cambuk Halilintar yang kini telah mengetahui kalau lawan di hadapannya bukan
tokoh sembarangan, tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan seluruh ilmu yang dimiliki. Sadar
akan kelebihan jangkauan senjatanya, maka begitu lawan men-jauhkan diri, dia
segera memburu. Cambuk di tangannya meledak-ledak di udara mencari sasaran.
Sesaat kemudian, terjadilah pertarungan sengit antara kedua orang itu.
Di jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung menarik dan seru. Masing-masing
pihak mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Suara mendesing nyaring dari
keris Brajageni, dan suara ledakan cambuk dari Cambuk Halilintar menyemaraki
pertarungan. Begitu pertarungan menginjak jurus ketiga puluh, mulai tampak keunggulan
Brajageni. Kalau dibanding-kan, laki-laki tinggi kurus ini memang masih lebih
unggul daripada Cambuk Halilintar. Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh, maupun
ilmu tenaga dalam.
Hanya saja karena Cambuk Halilintar menggunakan cambuk, keunggulan Brajageni dalam hal tenaga dapat tertandingi.
Benturan antara cambuk dengan keris, sukar terjadi seperti beradunya keris dan
pedang. Itulah yang menyebabkan sampai sekian lama, Brajageni belum mampu mendesak
lawannya. Dan hal ini tentu saja membuat laki-laki tinggi kurus itu merasa
penasaran bukan main. Sebagai akibatnya, serangan-serangannya pun jadi semakin
dahsyat. Satu hal lagi yang menyulitkan Brajageni mendesak Cambuk Halilintar adalah jangkauan senjata lawan yang jauh lebih panjang
ketimbang senjatanya.
Tambahan lagi, Cambuk Halilintar ternyata tahu kelebihannya dalam hal jangkauan
serangan. Maka laki-laki pendek kekar itu selalu mengajak bertanding jarak jauh.
Brajageni tentu saja tidak mau bertindak bodoh.
Sedapat mungkin diusahakan agar pertarungan dapat terjadi dalam jarak dekat.
Maka yang terjadi adalah pertarungan yang kurang menarik. Di satu pihak,
Brajageni berusaha keras mengajak lawan bertarung jarak dekat dan di lain pihak,
Cambuk Halilintar berusaha keras agar pertarungan dapat berlangsung jarak jauh.
Itulah sebabnya, mengapa laki-laki bertubuh pendek kekar ini selalu melompat ke
belakang untuk menjaga jarak setiap kali lawan mendesak. Tak lupa, dikirimkannya
serangan lecutan-lecutan cambuk, untuk menahan desakan Brajageni.
Hasilnya, begitu memasuki jurus kelima puluh, pertarungan berlangsung tidak
menarik. Mereka berdua seperti tidak bertarung, tapi bermain kejar-kejaran.
Brajageni di pihak pengejar, sedangkan Cambuk Halilintar pihak yang diburu.
Karena Cambuk Halilintar bertarung sambil
mundur, maka sedikit demi sedikit pertarungan berpindah tempat. Sehingga tanpa
disadari, begitu pertarungan menginjak jurus ketujuh puluh, pertarungan sudah
bergeser jauh dari tempat semula.
Brajageni menggertakkan gigi. Perasaan cemas mulai menggayut di dadanya. Dia
khawatir kalau pertarungan ini akan menarik perhatian orang. Masih untung kalau
bukan tokoh persilatan. Tapi kalau
tidak" Celakalah dirinya! Cambuk Halilintar harus cepat dibereskan sebelum yang
dikhawatirkan terjadi.
"Hih...!"
Brajageni mengibaskan tangan kirinya. Seketika itu pula terdengar suara berdesir
pelan. Dan dalam keremangan sinar rembulan, tampak benda-benda kecil berwarna
hitam melesat cepat ke arah Cambuk Halilintar.
Laki-laki bertubuh pendek kekar ini terperanjat.
Meskipun hanya samar-samar, tapi bisa diduga kalau benda yang menuju ke arahnya
pasti jarum yang mengandung racun ganas!
Cambuk Halilintar tidak berani bertindak ceroboh.
Cepat bagai kilat tubuhnya dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali di
udara. Maka jarum-jarum itu hanya mengenai tempat kosong.
Tapi hal itu sudah diperhitungkan Brajageni. Maka begitu lawannya meloloskan
diri, tangannya kembali mengibas. Lagi-lagi terdengar suara berdesir halus
ketika jarum-jarum beracunnya meluncur cepat menuju sasaran. Tidak hanya itu
saja yang dilakukan laki-laki bertubuh tinggi kurus itu. Dia juga langsung
melompat menyusul, melakukan serangan dengan kerisnya.
Cambuk Halilintar terkejut bukan kepalang.
Serangan kali ini ternyata jauh lebih berbahaya daripada sebelumnya. Karena di
samping serangan itu tiba di saat tubuhnya tengah berada di udara, serangan lain
pun datang menyusul.
"Hup!"
Begitu laki-laki bertubuh pendek kekar ini mendaratkan kedua kakinya di tanah,
serangan jarum-jarum beracun itu telah menyambar dekat.
Maka sebisa-bisanya cambuknya digerakkan.
Darrr, darrr...!
Hebat bukan main permainan cambuk laki-laki bertubuh pendek kekar ini. Meskipun
dalam keadaan yang sangat sulit, masih mampu membuktikan kalau julukan Cambuk
Halilintar yang disandangnya bukan sekadar julukan kosong. Nyatanya semua jarum
beracun itu tersampok runtuh.
Tapi sebelum Cambuk Halilintar sempat berbuat sesuatu, serangan susulan dari
Brajageni telah menyambar tiba. Keris di tangan laki-laki bertubuh tinggi kurus
itu meluncur cepat ke arah perutnya.
Cappp...! "Aaakh...!" Cambuk Halilintar menjerit keras.
Keris itu menghunjam sampai ke gagang. Dan kejadian seperti sebelumnya pun
kembali terulang.
Asap yang mula-mula tipis dan sedikit, kemudian menebal dan banyak. Sampai
akhirnya, asap itu sirna dan muncul kembali. Dan begitu asap itu benar-benar
lenyap, tubuh Cambuk Halilintar yang telah menjadi kurus kering karena kehabisan
darah, ambruk ke tanah dengan nyawa melayang.
Brajageni terpaku. Kini baru disadari kalau kejadian yang menimpa Empu Sawung
akibat keris yang terbuat dari benda langit itu. Hanya yang menjadi tanda tanya,
ke mana perginya darah Empu Sawung dan Cambuk Halilintar"
Dengan benak masih dipenuhi tanda tanya,
Brajageni memasukkan keris itu ke sarungnya. Tapi, gerakannya terhenti di udara.
Dia merasa seperti ada hawa yang cukup dingin menghembus kulitnya, berasal dari
bilah keris itu.
Dahi Brajageni seketika berkernyit. Tadi pun, sehabis membunuh Empu Sawung, ada
hawa cukup dingin yang menghembus kulitnya begitu keris itu
akan dimasukkan ke sarungnya.
Tapi Brajageni buru-buru mengusir pikiran yang menggelayuti benaknya. Dia
khawatir, kalau berlama-lama di sini, bukan tidak mungkin akan ada tokoh
persilatan lain yang datang kemari. Masih untung kalau menang. Kalau kalah"
Itulah sebabnya, meskipun dengan benak yang masih dipenuhi berbagai macam
pertanyaan yang bergolak, laki-laki tinggi kurus ini bergerak cepat meninggalkan
tempat itu. *** Entah sudah berapa lama dan berapa jauh berlari, Brajageni tidak
mempedulikannya. Yang diketahui cuma satu. Dirinya telah berada di dalam Hutan
Dadap, menembus tempat yang jarang didatangi orang.
Brajageni terus berlari, meskipun malam telah mulai berlalu. Dini hari telah
mulai datang. Ayam jantan mulai berkokok bersahut-sahutan. Sebentar lagi,
matahari akan menerangi mayapada.
Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu baru memperlambat larinya, tatkala pandangan
matanya tertumbuk pada sebatang pohon beringin yang tinggi, dikelilingi
pepohonan dan semak-semak lebat.
Brajageni menghentikan langkah ketika jaraknya dengan pohon beringin itu tinggal
dua tombak lagi.
Pohon itu besar sekali, berukuran lebih dari empat pelukan tangan orang dewasa.
Ada satu keanehan pada pohon itu. Di bagian bawah batangnya terdapat sebuah
lubang berbentuk setengah lingkaran. Dan tanpa ragu-ragu, Brajageni melangkah
meng-hampirinya.
Baru juga melangkah beberapa tindak, dari dalam pohon itu melesat sesosok
bayangan yang langsung melancarkan serangan bertubi-tubi ke dada, ulu hati, dan
pusar Brajageni.
Brajageni terkejut bukan main. Apalagi begitu merasakan hembusan angin kuat yang
menyambar sebelum serangan tiba. Karena mengelak sudah tidak memungkinkan lagi,
maka diputuskan untuk
menangkisnya. Tahu akan kedahsyatan serangan itu, laki-laki tinggi kurus ini
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menangkis.
Plak, plak, plak...!
Benturan keras terdengar berkali-kali begitu sepasang tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam penuh beradu. Akibatnya, tubuh Brajageni terjengkang ke belakang.
Kedua tangannya dirasakan seperti patah-patah. Bahkan dadanya pun terasa sesak
bukan main. Terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh Brajageni terjatuh di tanah. Dari
seringai yang nampak di wajahnya, dapat diketahui kalau dia merasa kesakitan.
Dengan pandangan mata nanar, Brajageni
menatap penyerangnya. Dalam keremangan malam yang telah berganti dini hari,
samar-samar dapat terlihat wajah dan potongan tubuh sosok yang ternyata seorang
kakek bertubuh sedang mengenakan pakaian serba merah. Kumis dan jenggotnya
nampak hitam. Tapi anehnya, kulit wajahnya putih sekali, seperti kapur.
"Hm...!"
Kakek bermuka putih itu mendengus. Kedua
tangannya dengan jari-jari terbuka, nampak bersilang di depan dada. Lalu
perlahan-lahan jari-jari tangannya
mengepal, menimbulkan suara berkerotokan keras.
Wajah Brajageni pucat pasi begitu melihat gerakan kakek bermuka putih.
"Guru...! Tahan...!" teriak laki-laki bertubuh tinggi kurus, keras. Nada
suaranya terdengar agak bergetar, karena dilanda perasaan tegang dan takut yang
menggelegak. Seketika itu juga jari-jari tangan kakek bermuka putih yang semula sudah
mengepal keras,
mengendur mendadak.
"Apa katamu"!" seru kakek bermuka putih. Wajah dan suaranya menyiratkan perasaan
kaget yang amat sangat. "Siapa kau sebenarnya"!"
"Aku Brajageni, Guru," sahut laki-laki bertubuh tinggi kurus cepat "Lupakah Guru
padaku?" "Brajageni"!"
"Benar, Guru," Brajageni menganggukkan kepala.
"Begitu berubahkah wajahku sehingga Guru sampai tidak mengenalku lagi. Dan
bahkan hampir saja membunuhku."
"Kunyuk!" umpat kakek bermuka kurus itu.
"Bagaimana aku bisa mengenalmu, kalau wajahmu disembunyikan seperti itu"!"
Brajageni tersentak. Betapa bodohnya dia! Pantas saja gurunya sama sekali tidak
mengenali. Ternyata caping dan kain yang menutup wajahnya belum ditanggalkan.
Maka buru-buru penyamarannya ditanggalkan.
"Kau mengagetkan aku saja, Brajageni," desah kakek muka putih itu setelah
menyaksikan sendiri kalau orang bercaping itu benar muridnya. "Semula aku merasa
heran melihat racunku sama sekali tidak bekerja. Tapi kini, semuanya telah
menjadi jelas."
Brajageni hanya bisa tersenyum. Gurunya ini
memang berwatak telengas. Dalam setiap serangan, racunnya tak pernah
ketinggalan. Dan lagi, racun-racunnya pasti memiliki akibat yang menggiriskan.
Hal itu sebenarnya tidak aneh. Karena, kakek bermuka putih itu berjuluk Raja
Racun Muka Putih!
"Jelaskan, mengapa kau sampai melakukan penyamaran seperti ini, Brajageni?"
pinta kakek bermuka putih, pelan. Ada tuntutan yang besar dalam nada suaranya.
"Terpaksa, Guru. Aku kini membawa keris yang terbuat dari benda langit. Kalau
wajahku kutampil-kan, maka seluruh tokoh persilatan pasti akan mengejarku. Dan
tentu aku bisa celaka, Guru."
Kemarahan yang melanda hati Raja Racun Muka Putih langsung sirna, berganti
perasaan kaget yang bergelora. Kepalanya menoleh ke sana kemari sebentar.
"Masuk...," ujar Raja Racun Muka Putih seraya melangkah memasuki lubang yang
terdapat di batang pohon.
Dengan agak bergegas, Brajageni melangkah di belakang gurunya. Laki-laki
bertubuh tinggi kurus ini tahu, di dalam pohon besar inilah tempat tinggal Raja
Racun Muka Putih. Sebuah tempat yang agak sulit untuk diketahui orang lain.
Siapa yang menyangka kalau sebenarnya bagian dalam pohon itu tak ubahnya bagian
dalam rumah pada umumnya"
*** "Mana keris yang kau katakan itu, Brajageni?"
tagih Raja Racun Muka Putih tatkala mereka berdua telah duduk di dalam.
Brajageni segera mengambil keris yang terselip di
belakang tubuhnya, lalu menyerahkan pada gurunya.
Kakek bermuka putih mengulurkan tangan
menerima. Diawasinya sejenak benda itu, sebelum akhirnya dihunus perlahan-lahan.
Sepasang matanya merayapi sekujur bilah keris yang terbuat dari benda langit,
kemudian memasukkannya kembali lambat-lambat.
"Ceritakan dengan jelas, bagaimana kau bisa mendapatkan benda langit itu. Karena
sepenge-tahuanku, hanya Dewa Arak dan kawan wanitanya saja yang berhasil keluar
dari Hutan Bandan dalam keadaan hidup. Dan sepatutnya, dialah yang mendapatkan
benda itu. Tapi ternyata tidak. Benda langit itu lenyap, seiring lenyapnya
peristiwa yang meng-gegerkan hutan itu." (Untuk lebih jelasnya silakan baca
serial Dewa Arak dalam episode "Prahara Hutan Bandan").
"Semua ucapanmu betul, Guru," sahut Brajageni membenarkan. "Tapi ternyata ada


Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tokoh yang kita lupakan. Eyang Aji Ranta, namanya. Dan ternyata Dewa Arak
menyerahkan benda langit itu kepadanya."
"Hm...," Raja Racun Muka Putih hanya meng-gumam pelan.
"Itu pun kuketahui setelah beberapa waktu lamanya, Guru," sambung Brajageni.
"Dan begitu kucari, kakek itu ternyata telah tidak berada lagi di situ. Eyang
Aji Ranta telah pindah ke Hutan Dadap.
Maka segera kususun rencana untuk mendapatkan benda itu. Karena aku merasa bila
menghadapi secara terang-terangan tidak mungkin menang.
Terpaksa dia kulawan dengan siasatku."
Brajageni menghentikan ceritanya sejenak, untuk mengambil napas.
"Waktu itu, kuperintahkan seorang kepala rampok
yang pernah kutolong dari tangan maut seorang pendekar untuk melaksanakan
rencanaku. Seorang anak buahnya yang kuberi pakaian prajurit kulukai dengan
racun ganas, dan kubuang di dekat Desa Pucung. Semuanya berjalan lancar sesuai
rencana. Dia ditemukan penduduk desa, dan segera dibawa ke rumah Ki Waskita, dukun ampuh
desa itu." Kembali Brajageni menghentikan ceritanya untuk mengambil napas seraya
mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ceritanya.
"Dan seperti yang sudah kuduga, Ki Waskita tidak mampu menyembuhkan luka itu.
Atas desakan orang yang kuracun, Ki Waskita kemudian menyuruh dua orang penduduk
untuk meminta bantuan Eyang Aji Ranta. Kakek itu memang dikenal sebagai orang
yang ahli mengobati penyakit akibat racun," lanjut laki-laki bertubuh tinggi
kurus itu. "Tak lama setelah utusan itu pergi, orang yang kulukai sembuh.
Karena, dia kubekali obat penawar racunnya."
Raja Racun Muka Putih mengangguk-anggukkan kepala.
"Dan begitu Eyang Aji Ranta telah pergi untuk mengobati, rombongan perampok
mengambil benda langit itu. Usaha mereka berhasil, lalu benda langit itu
diserahkan padaku. Dan setelah itu, mereka semua kukirim ke akhirat"
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba tawa Raja Racun Muka Putih meledak.
Tampak jelas kalau hatinya gembira bukan main mendengar ucapan muridnya. Memang
kakek ini memiliki sifat mengerikan. Gembira sekali jika mendengar penderitaan
orang lain. "Hm.... Lalu?" tanya kakek muka putih itu penuh gairah.
Brajageni lalu menceritakan semua kejadiannya.
"Begitulah, Guru," ujar Brajageni menutup ceritanya. "Aku ingin menanyakan
kepada Guru tentang hal-hal aneh pada keris ini."
Raja Racun Muka Putih tercenung sejenak.
Dahinya berkernyit, seperti tengah berpikir keras.
Brajageni tidak berani mengganggu. Dibiarkannya saja kakek muka putih itu
berbuat demikian. Hanya sepasang matanya saja yang menatap tajam setiap gerakgerik yang dilakukan Raja Racun Muka Putih.
Setelah beberapa saat lamanya tercenung, Raja Racun Muka Putih menghunus kembali
keris itu. Diperhatikannya baik-baik bilah keris yang berwarna hitam kelam itu.
"Aku akan memeriksanya dulu, Brajageni. Mungkin membutuhkan waktu beberapa hari.
Dan selama itu, aku tidak mau diganggu. Kau mengerti"!"
"Mengerti, Guru," sahut Brajageni seraya menganggukkan kepala. "Aku pergi dulu."
*** 6 "Hhh...!"
Seorang pemuda berwajah tampan menghapus
keringat yang membasahi wajahnya dengan punggung tangan. Kepalanya mendongak ke
atas, menatap ke arah matahari yang berada di atas kepala. Sinarnya memancar dengan
garang ke bumi.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh satu tahun.
Tubuhnya tegap berisi, terbungkus pakaian berwarna ungu. Sebuah guci arak
terbuat dari perak tersampir di punggungnya.
Ada satu hal yang aneh pada diri pemuda berpakaian ungu ini. Rambutnya ternyata
tidak berwarna hitam seperti layaknya yang terdapat pada pemuda umumnya, tapi
berwarna putih. Rambutnya benar-benar seperti orang yang telah berusia tua,
hanya saja warnanya lebih indah. Putih keperakan!
Langkah pemuda berambut putih keperakan ini berhenti ketika sepasang matanya
tertumbuk pada sesosok tubuh hitam yang tergolek di tengah jalan.
Bergegas, dihampirinya sosok yang tergolek itu.
Sesaat kemudian, pemuda berambut putih
keperakan ini telah berada di hadapan sosok hitam itu. Sekali lihat saja, dia
tahu kalau sosok itu telah tidak bernyawa lagi.
Pemuda itu kemudian berjongkok, karena melihat mayat yang nampak aneh! Begitu
mengenaskan, kurus kering, dan pucat pasi. Sepertinya seluruh darah di tubuhnya
telah habis tanpa sisa.
Sepasang mata pemuda berpakaian ungu itu
kemudian beredar berkeliling. Di sekitar tempat itu tampak jarum-jarum
berserakan. Menilik dari warnanya, dapat diketahui kalau jarum-jarum itu
mengandung racun.
Bukan hanya itu saja yang ditemukan pemuda berambut putih keperakan ini.
Ternyata di situ juga tergeletak sebuah cambuk berwarna hitam pekat.
Dan memang, mayat itu adalah mayat Cambuk
Halilintar yang tewas di tangan Brajageni.
"Keadaan mayat ini sungguh mengerikan. Seluruh darah di tubuhnya habis. Tapi
anehnya, tidak ada bercak-bercak darah di tanah. Ke manakah perginya darah orang
ini?" gumam pemuda berambut putih keperakan dengan perasaan bingung. "Padahal
melihat luka di perutnya, jelas kalau orang ini tertusuk senjata tajam."
Tapi walau pemuda berpakaian ungu ini telah memutar otaknya untuk mencari-cari
jawaban, dia tak juga menemukannya. Sebaliknya, dia justru
kepusingan. Sadar kalau tidak akan menemukan jawabannya, pemuda berambut putih
keperakan ini menghentikan pemikirannya.
Pemuda itu kemudian bangkit, dan melangkahkan kakinya menghampiri sebuah tempat
yang terlindung.
Diambilnya sebatang kayu yang cukup kuat. Lalu dengan kayu itu, digalinya tanah.
Menakjubkan! Hanya menggunakan sebatang
kayu, pemuda itu membuat sebuah lubang berbentuk persegi panjang yang cukup
besar. Dan dengan waktu yang cukup singkat pula, pekerjaannya diselesaikan.
Tidak lebih lambat dari orang-orang yang terbiasa bekerja kasar membuat lubang
menggunakan cangkul. Ketika sebuah lubang terbuat, pemuda berambut
putih keperakan itu lalu menyeret mayat Cambuk Hatitintar. Dan dimasukkannya
mayat itu ke dalam lubang, kemudian ditimbunnya dengan tanah. Baru setelah
semuanya selesai, pemuda itu melanjutkan langkahnya kembali.
Kini pemuda berambut putih keperakan itu tidak melangkah pelan seperti
sebelumnya, tapi bergerak mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dalam sekali
langkah saja, tubuhnya sudah melesat sebelas tombak. Luar biasa!
Pemuda berambut putih keperakan itu terus
berlari cepat. Kini sinar matahari yang terik dan menyengat tidak dirasakan lagi
olehnya. Dan tak lama kemudian, dia telah melihat tembok batas sebuah desa. Maka
pemakaian ilmu meringankan tubuhnya dihentikan. Kemudian, kakinya melangkah
seperti biasa. Dengan langkah tenang, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah memasuki
mulut desa itu.
Tak dipedulikannya pandangan mata keheranan dari penduduk desa yang melihat
keadaan rambutnya yang menyolok. Langkahnya tetap tenang ketika memasuki sebuah
kedai. Sesaat pemuda berambut putih keperakan itu menatap ke sekeliling. Kedai ini
tampak kecil saja, dan kebetulan tengah kosong. Dia pun memilih satu di antara
beberapa meja yang ada di dalamnya.
Seorang laki-laki setengah tua bermuka codet, bergegas menghampiri. Rupanya,
dialah pemilik kedai ini.
"Mau pesan apa, Den?" tanya laki-laki bermuka codet itu. Pelan dan sopan
suaranya. "Berikan aku seguci besar arak," sahut pemuda berambut putih keperakan itu.
Pemilik kedai itu bergegas kembali ke dalam. Tak lama kemudian, dia sudah
kembali sambil membawa seguci besar arak, berikut sebuah gelas bambu. Dan
setelah meletakkannya di meja pemuda itu, laki-laki bermuka codet itu bergegas
kembali. Pemuda berambut putih keperakan itu lalu
menjumput guci arak yang tersampir di punggungnya, kemudian meletakkannya di
atas meja. Perlahan guci arak pesanannya diangkat dengan enaknya. Seolah-olah
yang diangkat hanya sebuah benda ringan saja.
Suara bercegukan terdengar ketika arak di guci besar itu dituang ke guci arak
perak yang bentuknya jauh lebih kecil. Tak lama kemudian, guci perak itu sudah
penuh. Kini pemuda berambut putih keperakan itu
menuangkan arak ke dalam gelas bambu. Sesaat kemudian, dia sudah menikmati
minumannya. Entah sudah berapa gelas arak yang masuk ke perutnya. Mendadak, pemuda
berpakaian ungu itu menghentikan minumnya sejenak. Pendengarannya yang tajam
menangkap adanya banyak langkah kaki ringan di luar kedai. Paling tidak pemilik
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 11 Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Ratu Kembang Mayat 1

Cari Blog Ini