Ceritasilat Novel Online

Memburu Putri Datuk 3

Dewa Arak 11 Memburu Putri Datuk Bagian 3


"Kulihat sikapmu begitu gembira! Betul kan dugaanku" Ha ha ha...!" sahut lakilaki berotot kekar yang ternyata berjuluk Setan Kepala Besi sambil tertawa
bergelak. Kembali suara tawa yang menggelegar itu menggema ke seluruh penjuru
tempat itu. Waji menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana dengan Kalapati?" tanya Setan Kepala Besi setengah berbisik. Seketika
itu juga lenyap suara tawanya. Raut wajahnya teriihat serius. Raut wajah dan
suaranya menyorotkan kegentaran. Wajarlah kalau laki-laki bertubuh tinggi besar
dan kekar berotot itu gentar pada Kalapati, karena belasan tahun yang lalu dia
telah dikalahkan oleh bekas datuk sesat itu.
"Dia telah tewas, Setan Kepala Besi," sahut Waji memberi tahu.
"Apa..."! Kalapati tewas"!" Sepasang mata Setan Kepala Besi membelalak. Tentu
saja mata yang memang sudah besar itu, jadi teriihat semakin membesar.
Waji menganggukkan kepalanya.
"Gila! Sungguh gila!" seru laki-laki tinggi besar kekar berotot itu sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Nada suara dan sikapnya mengandung
ketidak-percayaan. "Bagaimana dia bisa tewas?"
"Kalapati dikeroyok oleh Gambala, si Golok Emas, dan si Golok Perak..."
"Pantas...," desah Setan Kepala Besi. Kepalanya terangguk-angguk.
"Apakah kau ingin melihat mayat Kalapati, Setan Kepala Besi?" tanya Waji lagi.
"Boleh," sahut Kalapati. "Biar hatiku lebih yakin.
Rasanya aku tidak percaya kalau orang seperti Kalapati bisa ditewaskan...."
Waji tidak menyahuti ucapan Setan Kepala Besi.
Kakinya dilangkahkan menuju tempat mayat Kalapati tergolek dengan kepala
terpisah dari lehernya. Tanpa berkata apa-apa, Setan Kepala Besi melangkah di
belakang pemuda berbadan lebar itu.
"Itulah mayat Kalapati," ucap Waji sambil menudingkan telunjuknya ke arah sosok
tubuh yang tergolek beberapa tombak di depannya. Sementara kakinya terus saja
dilangkahkan. Setan Kepala Besi menyipitkan mata untuk lebih memperjelas pandangan. Kalau
melihat pakaiannya, memang dapat dikenali kalau tubuh yang tergolek itu adalah
Kalapati. Tapi laki-laki tinggi besar ini tidak puas kalau hanya melihat dari
jauh, maka kakinya dilangkahkan mendekat.
"Ha ha ha...!"
Tawa bergelak kembali menggema ke seluruh tempat itu begitu Setan Kepala Besi
melihat jelas kalau mayat itu benar Kalapati. Orang yang selama ini sangat
ditakutinya. Waji pun tersenyum lebar begitu melihat kegembiraan laki-laki tinggi besar itu.
"Memangnya untuk apa kau menginginkan kematian Kalapati, Setan Kepala Besi"
Bukankah kakek itu telah meninggalkan urusan persilatan" Dan kurasa dia tidak akan
mengganggu seandainya kau ingin menga-caukan dunia persilatan?" tanya Waji ingin
tahu. "Karena aku menginginkan tempat tinggalnya. Dan itu tidak mungkin kuperoleh bila
Kalapati masih hidup. Dan...."
"Kau menyuruhku merencanakan sesuatu, bukan?" sambung Waji cepat.
"Dan..., inilah hasilnya!" tegas Setan Kepala Besi seraya tertawa bergelak. Waji
pun tertawa bergelak.
"Mengapa kau ingin merebut tempat Kalapati, Setan Kepala Besi" Bukankah tempat
tinggalmu lebih mewah dan indah daripada tempat ini?" tanya Waji lagi setelah
tawanya mereda.
Setan Kepala Besi terdiam seketika. Rupanya jawaban dari pertanyaan itu
merupakan rahasia.
Untuk beberapa saat, laki-laki tinggi besar ini tercenung.
"Kalau tidak mengingat jasamu, dan juga hubungan kekeluargaan kita, pertanyaanmu
itu dapat kujadikan alasan untuk membunuhmu, Waji."
Pucat wajah pemuda berbadan lebar itu seketika.
Waji tahu kalau Setan Kepala Besi tidak pemah main-main dalam ucapannya.
"Memangnya kenapa, Setan Kepala Besi?" tanya Waji dengan suara bergetar.
Seketika perasaan tegang melandanya.
"Karena rencana ini merupakan rahasiaku," jawab Setan Kepala Besi dengan suara
mendesis tajam.
"Rahasia"!" Sepasang alis Waji berkerut dalam.
"Ya. Kalau seandainya ada orang persilatan yang tahu, mereka akan berbondongbondong datang ke mari," sambung Setan Kepala Besi masih dengan
suara berbisik-bisik.
"Ah...!" seru Waji terkejut "Mengapa bisa begitu, Setan Kepala Besi?"
"Karena di dalam gua Kalapati tersimpan benda yang mampu membuat tenaga dalam
orang yang memakannya menjadi berlipat ganda...."
"Ahhh...! Kiranya begitu...," desah Waji kaget.
Kepalanya terangguk-angguk karena mulai mengerti masalahnya.
"Kau paham, Waji?" tanya Setan Kepala Besi sambil menatap tajam wajah pemuda di
hadapannya. "Paham, Setan Kepala Besi," sahut Waji sambil menganggukkan kepalanya.
"Ha ha ha...!"
Kembali Setan Kepala Besi tertawa. Waji yang semula tidak mengerti apa-apa, ikut
pula tertawa terbahak-bahak. Tapi tiba-tiba pemuda berbadan lebar itu
menghentikan tawanya. Sepasang alisnya berkerut dalam. Jelas ada sesuatu yang
mengganggu pikirannya. Tentu saja hal ini tidak lepas dari perhatian Setan
Kepala Besi. "Ada apa, Waji?"
Waji menengadahkan kepala. Ditatapnya wajah Setan Kepala Besi.
"Putri Kalapati berhasil meloloskan diri...," sahut pemuda itu pelan, mirip
desahan. "Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa bergelak.
Rupanya kakek tinggi besar ini gemar tertawa. "Kukira ada apa! Kalau hanya putri
Kalapati saja, mengapa dirisaukan" Sampai seberapa tinggi sih kepandaiannya"!
Sudahlah, Waji. Lupakan saja masalah kecil itu!"
"Bukan putri Kalapati yang kurisaukan, Setan Kepala Besi," sambut Waji lagi.
"Heh..."! Kau ini aneh, Waji! Kalau bukan putri Kalapati, lalu siapa lagi"
Bukankah itu tadi jawabanmu ketika kutanya"!" sergah Setan Kepala Besi penuh
rasa heran. "Memang benar putri Kalapati berhasil meloloskan diri. Tapi, bukan wanita liar
itu yang merisaukanku."
"Lalu siapa?"
"Penolongnya," sahut Waji singkat.
"Ah...! Jadi, ada orang yang telah menyelamatkan putri Kalapati?" sambut Setan
Kepala Besi mulai paham.
Waji hanya menganggukkan kepalanya.
"Siapa orang itu, Waji?"
"Dewa Arak...," jawab pemuda berbadan lebar itu pelan.
"Dewa Arak"!" ulang Setan Kepala Besi kaget. "Kau tidak salah lihat, Waji"!"
Waji menggelengkan kepalanya.
"Dari mana kau tahu kalau penolong putri Kalapati itu Dewa Arak?" desak Setan
Kepala Besi ingin tahu.
"Gambala mengenalinya... pemuda itu pun meng-akuinya. Dan lagi ciri-cirinya
memang seperti yang kudengar selama ini. Hhh...! Kepandaiannya tinggi sekali.
Dia mampu menghadapi Gambala dan si Golok Emas sekaligus...!"
"Jadi, Dewa Arak sempat bertempur?"
"Ya. Eh..., kenapa aku begini bodoh" Bukankah ini kesempatan untuk melenyapkan
Dewa Arak itu?"
ucap Waji pada dirinya sendiri. Jelas ada suatu rencana di benaknya. Dan sudah
pasti rencana itu amat diyakini keberhasilannya. Hal ini terbukti dengan
lenyapnya kemuraman pada wajah pemuda itu. Wajahnya kini mendadak berseri-seri.
"Apa maksudmu, Waji?" tanya Setan Kepala Besi
yang memang tidak mengerti rencana pemuda berbadan lebar itu.
Waji lalu menceritakan semua kejadiannya.
"Gambala dan juga si Golok Emas bertekad hendak melenyapkan putri Kalapati. Dan
melihat kegigihan Dewa Arak melindungi putri Kalapati itu, sudah dapat
kupastikan kalau di antara mereka akan terjadi pertarungan. Kini yang harus
kulakukan hanyalah memanas-manasi Gambala agar pertempuran antara mereka
terjadi." "Dan sebagai seorang tokoh persilatan golongan putih yang mempunyai pergaulan
luas, aku yakin banyak tokoh-tokoh golongan putih yang akan membantu Gambala dan
si Golok Emas dalam
menghadapi Dewa Arak," sambung Setan Kepala Besi penuh semangat.
"Ha ha ha...!"
Kedua orang ini pun tertawa terbahak-bahak.
Yakin dengan rencana yang akan mereka jalankan.
"Kali ini Dewa Arak akan mati kutu!" seru Waji di sela-sela tawanya.
*** 6 Siang itu udara terik sekali. Matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Sinarnya
yang menyengat, menyorot garang ke bumi. Rasanya di siang bolong itu tidak akan
ada orang yang mau melakukan perjalanan.
Di bawah sebatang pohon besar dan rindang, nampak dua sosok tubuh berteduh di
bawahnya. Kedua sosok itu adalah seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang
wanita cantik berpakaian jingga.
Dua sosok itu ternyata Dewa Arak dan Karmila.
Sudah dua hari lamanya mereka menempuh perjalanan bersama.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Dihapusnya keringat yang membasahi kening dan
leher dengan punggung tangan. Sekilas diliriknya wajah cantik jelita di
sampingnya. Wajah cantik milik Karmila. Sayang, wanita itu masih terlihat muram.
Rupanya gadis berpakaian jingga ini masih belum bisa melupakan kesedihan
ditinggalkan ayahnya yang harus menentang maut.
"Panas sekali hari ini...," ucap Arya seperti berbicara pada diri sendiri.
Padahal dalam hati pemuda berambut putih keperakan ini berharap kalau gadis yang
duduk di sebelahnya menanggapi ucapannya.
Selama dua hari ini, Arya sudah berusaha untuk mengajak Karmila bicara. Tapi
jawaban yang diterima hanya singkat-singkat saja. Bahkan terkadang tak ada
jawaban sama sekali. Nampaknya gadis berpakaian
jingga ini tidak ingin diajak bicara. Arya pun tahu diri, maka tidak mengajak
bicara lebih lanjut
Tapi setelah dua hari ini kemurungan Karmila masih belum sirna juga, Arya
memutuskan untuk ikut campur. Itulah sebabnya setelah beberapa saat lamanya
tidak ada sahutan Karmila, Arya lalu menoleh. Ditatapnya wajah Karmila lekatlekat. "Karmila...," panggil Arya pelan.
"Hm...," hanya gumaman pelan yang tak jelas menyambut panggilan Arya. Sedangkan
pandangan gadis itu masih menatap kosong ke depan.
"Karmila...," panggil Arya lagi, lebih keras.
"Hm...," kembali hanya gumaman tak jelas yang keluar dari mulut gadis berpakaian
jingga itu. Pandangan matanya masih tetap tertuju ke depan.
"Karmila...," panggil Arya lebih keras lagi. "Pandang aku, Karmila...."
Kali ini justru tidak ada jawaban sama sekali.
Karmila tetap menatap kosong ke depan pada satu titik. Jelas kalau pikiran gadis
ini tengah menerawang entah ke mana.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Menghilangkan rasa mendongkol di hatinya. Dewa Arak
mengerti kalau Karmila bersikap seperti itu karena tengah ada pertentangan batin
di dalamnya. Dan Arya pun tahu kalau tidak bertindak agak kasar, tidak mungkin
dia dapat menyadarkan gadis berpakaian jingga ini. Kini pandangannya dialihkan
ke depan. "Tidak kusangka kalau kau ternyata gadis yang lemah, Karmila. Lemah dan
cengeng!" tandas Arya tegas. Kata-katanya lebih ditekankan pada kalimat
terakhir. Pemuda berambut keperakan ini terpaksa bersikap begitu walaupun
sebenarnya ada rasa tidak
tega di hatinya.
Diam-diam Dewa Arak bersorak dalam hati begitu melihat ada perubahan pada wajah
Karmila. Jelas kalau kata-kata yang diucapkannya mengenai sasaran. Sekilas Arya
melihat sepasang mata gadis itu memancarkan sinar berapi. Tapi hal itu hanya
berlangsung sesaat saja. Tak lama kemudian pandangan gadis itu sudah kembali
seperti semula. Dingin, dan menatap kosong pada satu titik.
Tapi Dewa Arak tidak putus asa. Tadi telah dilihatnya sendiri bukti keberhasilan
usahanya. Hanya saja ucapan itu masih belum terlalu tegas untuk menyadarkan
Karmila dari ketermenungannya.
"Kalau saja ayahmu melihat sikapmu ini, aku yakin beliau akan kecewa. Aku
sendiri kecewa! Sungguh tidak kusangka, kalau orang yang begitu gagah perkasa
seperti ayahmu mempunyai seorang anak yang berjiwa lembek dan cengeng!" ucap
Arya lagi. Pandangannya tetap menatap lurus ke depan.
Seolah-olah pemuda ini hanya berbicara pada dirinya sendiri. Tapi tanpa
sepengetahuan Karmila, sudut mata Dewa Arak melirik ke arahnya. Memperhatikan
setiap perubahan wajah gadis berpakaian jingga di sebelahnya.
Gembira hati Arya begitu melihat perubahan pada wajah Karmila yang semakin
kentara. Sepasang mata indah itu mulai melirik dengan pandangan berapi-api.
Bahkan suara bergemeretak terdengar dari mulut gadis itu. Jelas kalau Karmila
tengah menahan amarah yang bergolak. Kedua tangannya pun teriihat mengepal
keras. Tegang penuh kekuatan. Dan inilah saat yang tepat bagi Arya untuk
melancarkan siasat terakhir.
"Aku yakin..., kalau saja ayahmu tahu kau akan
bersikap cengeng seperti ini. Dia tidak akan mau mempertaruhkan nyawanya untuk
menyelamat-kanmu. Ahhh..., kasihan kau, Kalapati. Pengorbanan-mu sia-sia...,"
keluh Arya dengan suara mendesah.
Kepalanya tertunduk dalam-dalam ke tanah, seperti orang yang tengah menyesali
sesuatu. "Diaaam...! Hentikaaan...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari mulut Karmila. Dan seiring dengan
terdengarnya teriakan itu, gadis berpakaian jingga itu bangkit berdiri.
Wajahnya merah padam. Sepasang matanya berkilat-kilat menyorotkan api kemarahan.
Sementara kedua tangannya terkepal penuh kekuatan. Bahkan napas-nya pun menderu
keras. "Heh..."!" Arya pura-pura tidak mengerti. Dengan pandangan mata bodoh,
ditatapnya wajah gadis berpakaian jingga itu lekat-lekat "Kenapa kau, Karmila?"
"Tidak usah berpura-pura, Dewa Arak!" sergah Karmila sengit "Jangan mentangmentang telah menolongku, seenaknya saja kau menghinaku!
Bangun dan hadapi aku!"
"Ha ha ha...!" Arya tertawa pelan. Tapi tidak terdengar ada nada ejekan di
dalamnya. "Bagaimana mungkin kau bisa menghadapi orang lain, Karmila"
Menghadapi dirimu sendiri saja kau tidak mampu!"
"Tidak usah mengejek, Dewa Arak! Kuakui, kau memang berkepandaian tinggi. Tapi
pantang bagiku diejek orang lain!" tandas Karmila tegas.
"Duduklah dulu, Karmila. Tenangkan pikiranmu.
Nanti akan kujelaskan mengapa aku bersikap yang berlawanan dengan hati nuraniku
sendiri," ucap Arya bernada membujuk.
Karmila terdiam sejenak. Kemarahan yang
menyesakkan dadanya terpaksa ditahan. Meskipun ucapan Dewa Arak tadi
menyakitkan, tapi gadis ini menyadari kebenaran ucapan pemuda itu.
Karmila menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Barangkali
saja dengan berbuat begitu, kemarahan yang bergolak di dadanya dapat berkurang.
Dan memang, ternyata amarahnya kini berkurang banyak. Tidak berkobar-kobar
seperti sebelumnya.
"Sekarang coba kau kemukakan alasanmu, Dewa Arak!" desak Karmila seraya
menghempaskan tubuh di tempat duduknya semula. Sepasang bola matanya menatap
tajam wajah tampan di depannya. Dan seketika itu juga, hati Karmila tercekat.
Baru kali ini dia melihat wajah Dewa Arak dengan jelas. Selama ini Karmila
memang tidak sempat memperhatikan wajah pemuda berambut putih keperakan itu.
Seluruh pikirannya tertuju pada ayahnya. Kini setelah menatap jelas wajah Arya,
ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya.
Wajah pemuda itu begitu tampan dan gagah. Raut wajah seorang pemuda yang telah
matang oleh tempaan pengalaman hidup. Rambutnya yang ber-warna putih keperakan
itu semakin menambah kematangan sikapnya. Dan hal ini baru sekarang disadarinya.
Arya menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Karmila.
"Sikapmulah yang membuatku terpaksa mengeluarkan kata-kata keras, Karmila," ucap
Dewa Arak, pelan suaranya.
"Maksudmu...?" tanya Karmila tak mengerti.


Dewa Arak 11 Memburu Putri Datuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara sepasang matanya tetap merayapi wajah
tampan di hadapannya. Sikap pemuda itu dalam mengucapkan setiap kata-katanya
terlihat begitu jantan.
"Selama dua hari ini kau hanya termenung saja.
Bahkan sewaktu kita melakukan perjalanan pun pikiranmu terus menerawang. Ketika
berkali-kali kuajak bicara, kau hanya menjawab sekali-sekali saja.
Bahkan kadang-kadang tidak sama sekali! Kau terlalu hanyut dalam lamunan dan
kesedihanmu, Karmila."
Arya menghentikan ucapannya sebentar. Ditatapnya wajah gadis berpakaian jingga
itu lekat-lekat untuk melihat reaksinya. Sekilas dilihatnya Karmila mengerutkan
alisnya yang berbentuk indah.
Kemudian.... "Teruskan, Dewa Arak...," pinta gadis itu.
"Berkali-kali kucoba dengan lemah lembut untuk menyadarkanmu, tapi kau tetap
saja tidak bereaksi.
Jangankan mendengar, kupanggil-panggil pun kau tidak menyahut!" sambung Arya
lagi. "Lalu...?" selak Karmila.
"Aku tahu, melalui jalan halus, tidak mungkin akan berhasil. Jadi, terpaksa
kupakai jalan kasar! Aku tahu, jalan termudah untuk menyadarkan orang yang
dilanda persoalan sepertimu adalah dengan mem-bangkitkan amarahnya. Tapi kalau
perbuatanku menyinggung perasaanmu, aku mohon maaf," jelas pemuda berambut putih
keperakan itu. Karmila mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini telah dimengertinya mengapa Arya
mengucapkan kata-kata kasar padanya. Dan seketika itu juga kemarahannya lenyap.
Bahkan diam-diam, telah ber-desir perasaan lain dalam hati Karmila pada pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Jadi, apakah kita tidak boleh bersedih kalau
kehilangan orang yang sangat kita cintai, Dewa Arak?"
tanya Karmila tiba-tiba.
"Tentu saja boleh, Karmila," jawab Arya sambil tersenyum. "Tapi, tentu saja
tidak boleh sampai menyiksa diri. Kau paham kata-kataku, Karmila?"
Karmila mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti.
"Sekarang aku ingin bertanya padamu. Sebenarnya persoalan apakah yang
menyebabkan kau dan ayahmu bentrok dengan para penyerbu itu?" tanya Arya tanpa
membuang-buang waktu lagi. Sudah terlalu lama pertanyaan ini disimpannya dalam
hati. "Aku sendiri tidak tahu secara pasti, Arya. Kalau masalah-masalah yang dulu
sih..., ayah pernah menceritakannya. Tapi, sepertinya... orang-orang dari
Perguruan Pedang Ular mempersoalkan masalah baru. Mereka menuntut kematian dua
orang murid perguruan itu yang katanya dibunuh ayah. Padahal aku tahu pasti
kalau ayah sama sekali tidak membunuh mereka."
Setelah berkata demikian, Karmila pun menceritakan kejadian beberapa hari yang
lalu. Sewaktu Waji, Jalasa dan Rupangki tiba di tempat Kalapati menyepi.
"Begitulah ceritanya, Dewa Arak," ucap Karmila menutup ceritanya. Sedangkan Arya
mengerutkan alisnya begitu gadis berpakaian jingga itu menyelesaikan ceritanya.
"Aneh...!" ucap Arya. "Kalau melihat kemarahan kedua orang kakek itu, jelas
mereka yakin kalau pembunuh dua orang muridnya adalah ayahmu. Tapi, kau sendiri
yakin kalau ayahmu sama sekali tidak membunuh mereka. Aneh...!"
"Aku yakin ayahku tidak membunuh dua orang
murid Perguruan Pedang Ular itu. Orang yang menghina diriku dan ayah adalah
pemuda berbadan lebar itu. Rasanya tak mungkin kalau ayah membunuh dua orang
yang sama sekali tidak berbuat kesalahan, sementara orang yang menghina itu
dibiarkan hidup!"
Karmila meminta pendapat pada Arya dengan nada berapi-api.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
Bisa diterima alasan yang dikemukakan gadis berpakaian jingga itu.
"Jadi..., kunci jawaban pertanyaan itu ada pada pemuda yang berbadan lebar,"
desah pemuda berambut putih keperakan itu pelan.
"Kau benar, Dewa Arak!" sergah Karmila tiba-tiba.
"Ah...! Mengapa aku sampai tidak berpikir ke sana?"
"Kau terlalu sibuk memikirkan ayahmu, Karmila,"
sahut Arya setengah mencela sambil tertawa. Karmila hanya bisa meringis.
Disadarinya kebenaran ucapan Dewa Arak itu.
"Mungkin kau benar, Dewa Arak," hanya itu yang bisa diucapkan gadis berpakaian
jingga itu. "Bisa kau ceritakan padaku tentang ayahmu, Karmila?" tanya Dewa Arak tiba-tiba.
"Barangkali saja dari situ bisa kuketahui latar belakang semua keruwetan ini."
Karmila tercenung sejenak. Sepertinya gadis ini berat untuk menceritakannya.
"Apakah hal ini penting sekali, Dewa Arak?"
"Mana kutahu, Karmila" Tapi seperti yang telah kukatakan tadi, barangkali saja
masalah ini ada hubungannya dengan masa lalu ayahmu...."
"Baiklah, Dewa Arak," sahut Karmila mengalah.
"Puluhan tahun yang lalu, ayahku adalah seorang datuk kaum sesat yang amat
ditakuti. Telah puluhan,
bahkan mungkin ratusan kali, ayah bertanding tanpa pernah kalah. Ayah adalah
orang yang gila mengadu ilmu. Setelah tidak ada lagi orang yang berani menerima
tantangannya, dia pun mendatangi perguruan-perguruan silat besar. Ditantang
ketuanya bertanding."
Karmila menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas. Seraya menunggu,
barangkali saja Dewa Arak hendak memberi tanggapan atas
ceritanya. Tapi ternyata tidak. Pemuda berambut putih keperakan itu tenang saja
mendengarkan ceritanya.
"Di antara ketua-ketua perguruan yang ditantang ayah, termasuk Gambala, Ketua
Perguruan Pedang Ular, dan juga Ketua Perguruan Golok Maut yang bergelar si
Golok Emas. Keduanya dikalahkan oleh ayah. Tapi bertahun-tahun setelah itu,
ibuku meninggal dunia. Ayah merasa terpukul sekali.
Akhirnya beliau memutuskan untuk mundur dari dunia persilatan. Dan sebelum ayah
melaksanakan sumpahnya, terlebih dulu meminta maaf pada ketua-ketua perguruan
yang telah dikalahkannya. Kedatangan ayah sekaligus memberi tahu sumpahnya yang
hendak mengundurkan diri dari dunia
persilatan."
Lagi-lagi Karmila menghentikan ceritanya. Dahinya nampak berkernyit. Rupanya
gadis ini tengah mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ceritanya. Di
samping itu, semua pikirannya dikerahkan untuk mengingat-ingat cerita ayahnya.
"Gambala menerima permintaan maaf ayah.
Apalagi kedatangan ayah tepat saat Perguruan Pedang Ular tengah dikacaukan oleh
tokoh sesat yang berjuluk Setan Kepala Besi. Saat itu kebetulan
Gumarang tidak berada di sana, sehingga kalau saja ayah tidak datang, Gambala
pasti sudah tewas.
Begitulah cerita masa lalu Ayah, Dewa arak," ucap Karmila menutup ceritanya.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dari cerita gadis berpakaian jingga itu, rasanya tidak mungkin kalau orang-orang
Perguruan Pedang Ular menyerbu Kalapati karena masalah lalu. Lagi pula, masalah
itu telah lama berlalu. Sudah belasan tahun.
"Lalu, sekarang apa yang akan kau lakukan, Dewa Arak?" tanya Karmila tiba-tiba.
"Memenuhi janjiku pada ayahmu, Karmila," sahut Arya. Mantap nada suaranya.
"Apa itu, Dewa Arak?" tanya gadis berpakaian jingga itu meskipun sebenarnya
telah didengarnya sendiri ucapan pemuda itu.
"Melindungimu dengan taruhan nyawaku, Karmila."
Belum sempat Karmila menjawab, tiba-tiba Dewa Arak memberi isyarat pada Karmila
agar diam. "Ada banyak langkah kaki menuju ke sini, Karmila,"
bisik Arya memberi tahu. "Mudah-mudahan saja hanya orang-orang yang sekadar
lewat" Karmila terpaksa membatalkan ucapan yang akan dikeluarkannya. Dia pun diam
menanti seperti halnya Dewa Arak.
Semakin lama derap langkah kaki itu terdengar semakin jelas. Tak lama kemudian
muncullah para pemilik langkah kaki itu. Seketika itu juga Arya dan Karmila
bergerak bangkit dari duduknya.
Di hadapan Karmila dan Dewa arak kini telah berdiri belasan sosok tubuh. Dan
sosok yang berdiri paling depan membuat kedua muda-mudi itu terkejut Orang yang
berdiri paling depan adalah Gambala, Ketua Perguruan Pedang Ular.
Menilik dari wajah mereka, Dewa Arak dan Karmila sudah bisa menduga kalau
belasan orang ini datang tidak dengan maksud baik. Dan dugaan kedua orang itu
beralasan. "Hm...," Gambala mendengus. Secercah senyum sinis tersungging di bibirnya.
"Sungguh tak kusangka kalau tokoh yang menggemparkan dunia persilatan dengan
julukan Dewa Arak, adalah pemuda mata keranjang yang langsung lupa daratan
begitu melihat dahi licin!"
Merah wajah Dewa arak mendengar ucapan keras bernada kasar itu. Seketika itu
juga rasa marah menggayuti hatinya. Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini
segera menekan amarahnya.
"Ha ha ha...! Kau benar, Gambala," sambut seorang berwajah gagah yang
bersenjatakan sepasang tombak pendek. Diam-diam orang ini merasa iri pada Arya
yang bisa begitu dekat dengan seorang gadis semolek Karmila. Menilik dari
potongannya, dia adalah seorang tokoh persilatan golongan putih.
"Kalau tidak ada apa-apa, mana mungkin Dewa Arak berani mempertaruhkan nyawa
untuk menolong perempuan liar ini. Setidak-tidaknya, mereka sudah...
ehm... ehm...."
Terdengar suara gemeletuk dari mulut Dewa arak mendengar ucapan bernada kotor
itu. Tanpa sadar kedua tangannya dikepalkan. Ada suara berkerotokan keras begitu
jari-jemari Arya mengepal. Dewa Arak memang marah bukan main. Penghinaan orang
yang bersenjatakan sepasang tombak pendek itu telah melewati batas!
Kalau Dewa Arak saja marah apalagi Karmila.
Wajah gadis berpakaian jingga ini merah padam
karena rasa malu dan terhina. Jari telunjuknya yang runcing, indah, dan halus
ditudingkan ke arah laki-laki gagah yang tadi mengeluarkan hinaan itu.
*** 7 "Manusia berpikiran kotor! Mulutmu yang menjijikkan itu memang harus dihajar!"
sergah Karmila.
Setelah berkata demikian, Karmila melompat menerjang. Tangannya menampar deras
ke arah mulut laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak pendek.
Wuttt..! Deru angin cukup deras mengawali tibanya
tamparan Karmila. Tapi lawan yang diserang gadis berpakaian jingga ini ternyata
memiliki kepandaian cukup tinggi. Sungguhpun dengan agak tergesa-gesa, tubuhnya
ditarik ke belakang sehingga serangan itu lewat setengah jengkal di depan
wajahnya. Pada saat yang bersamaan, tombak di tangan kanannya ditusukkan ke
leher Karmila. Wukkk...! "Ah...!"
Karmila memekik kaget. Buru-buru kakinya dilangkahkan ke belakang seraya
mendoyongkan tubuhnya. Serangan tombak itu tidak mengenai sasaran. Setengah
jengkal di depan lehernya.
Tapi baru saja mengelak, belasan orang yang menilik dari sikap dan pakaian
mereka adalah tokoh-tokoh persilatan aliran putih, telah meluruk menerjang
Karmila. Dan sekali menyerang, mereka semua telah menggunakan senjata. Seketika
itu juga hujan senjata berhamburan ke berbagai bagian tubuh gadis berpakaian
jingga itu. Teringat kalau gadis di hadapan mereka adalah putri Kalapati, tokohtokoh golongan putih itu tidak ragu-ragu melakukan pengeroyokan.
Tentu saja Karmila jadi kerepotan menghadapi serangan yang begitu gencar itu.
Apalagi lawan putri bekas datuk sesat ini bukanlah tokoh-tokoh rendahan. Masingmasing memiliki kepandaian cukup tinggi. Tak heran kalau gadis berpakaian jingga
ini jadi terpontang-panting mengelak setiap serbuan lawan-lawannya.
Melihat hal ini Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Segera pemuda berambut putih keperakan ini maju membantu Karmila. Tapi baru saja
beberapa tindak melangkah, tahu-tahu berkelebat sesosok bayangan kuning. Dan
sesaat kemudian, di hadapan Arya telah berdiri Gambala. Sebatang pedang
telanjang telah tergenggam di tangan kanannya.
"Tidak kusangka kalau kau bisa tersesat seperti ini, Dewa Arak! Tapi sebelum kau
semakin jauh tersesat, terpaksa aku harus menyingkirkanmu!"
tandas Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
"Menyingkirlah, Kek. Dan biarkan gadis yang tidak berdosa itu pergi," ucap Dewa
Arak tenang. "Ha ha ha...!" Gambala tertawa bergelak. Kakek bermata sayu ini menatap Arya
dengan sorot mata penuh ejekan. Senyum sinis pun tersungging di bibirnya. "Tidak
berdosa katamu, Dewa Arak! Dasar pemuda mata keranjang! Pikiranmu sudah tidak
waras lagi rupanya. Kau benar-benar sudah terpikat oleh kemolekan wanita iblis
itu!" "Mulutmu terlalu kotor, Kek," sambut Dewa Arak sambil mengangkat alisnya. Makian
Gambala telah membuat kemarahan Arya bergolak. Tapi meskipun begitu, pemuda
berambut putih keperakan ini mencoba menahannya.
"Aku hanya memperingatkanmu, Dewa Arak!"
tandas Gambala. "Aku tidak ingin nama besarmu rusak karena pembelaanmu yang
terlalu berlebihan pada wanita jalang itu! Kau tahu, Dewa Arak.
Sikapmu akan menimbulkan kesulitan bagi dirimu sendiri. Sekarang, hampir seluruh
orang persilatan golongan putih tengah memburu wanita itu. Dan kalau kau masih
bersikeras melindunginya, kau akan berhadapan dengan mereka!"
"Demi membela kebenaran, aku tidak akan gentar menghadapi apa pun juga! Perlu
kau ketahui, Kek.
Wanita itu bukanlah wanita jalang seperti yang kau tuduhkan!" tandas Dewa Arak
tegas. "Ah! Susah bicara denganmu, Dewa Arak! Kau sudah terjerat oleh kemolekan wajah
dan kemontokan tubuh gadis itu! Sekarang kau kuberi peringatan terakhir. Kau
tinggalkan gadis ini atau..., kau terpaksa berhadapan denganku!"
"Aku tidak memilih keduanya! Yang kupilih adalah menyelamatkan gadis itu!" tegas
pemuda berambut putih keperakan itu lagi.
"Kalau begitu kau harus berhadapan denganku, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, Gambala menerjang Dewa Arak. Pedang lentur di
tangannya bergetar dan menyambar ke arah dada Dewa Arak sambil mengeluarkan
suara mengaung.
Menghadapi serangan Gambala, Dewa Arak tidak berani mengelak tanpa menggeser
kaki. Pedang lawan yang lentur itu menyulitkan pemuda berambut putih keperakan
untuk memastikan arah tujuan serangan. Maka, segera Arya melangkahkan kakinya ke
kanan, seraya menyondongkan tubuh sehingga tusukan pedang lewat setengah jengkal
di samping kiri pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, tangan pemuda itu berkelebat cepat,
mengambil guci arak yang tersampir di punggungnya. Kemudian gucinya diangkat ke
atas kepala dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu melewati kerongkongan Dewa Arak. Sesaat
kemudian ada hawa hangat yang menyebar dari perutnya. Dan terus merayap naik ke
atas kepala. Baru saja Dewa Arak menurunkan gucinya,
serangan susulan dari Gambala meluncur tiba.
Pedang lenturnya bergetar aneh, kemudian
dibabatkan mendatar ke arah leher Arya.
Wunggg...! Tapi dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit bagi Dewi Arak untuk
mengelak. Dengan langkah terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Dewa Arak
berkelebat. Sesaat kemudian tubuh pemuda berpakaian ungu itu sudah lenyap dari
situ. Dan tahu-tahu telah berada di samping lawannya.
Gambala tidak kaget lagi. Beberapa hari yang lalu dia sudah pemah bertempur
dengan Dewa Arak.
Maka, kakek bermata sayu ini tidak menjadi heran begitu lawannya tahu-tahu
lenyap dari hadapannya.
Telah diketahuinya kalau Dewa Arak tidak berada di belakang, tentu berada di
sampingnya. Sesaat kemudian terjadilah pertarungan sengit Gambala mempergunakan jurus-jurus
'Pedang Ular'- nya yang aneh, dan Dewa Arak yang memainkan ilmu
'Belalang Sakti'.
Sebenarnya, kalau saja Dewa Arak mau
mengeluarkan seluruh kemampuannya, dan juga perhatiannya tidak terpecah pada
Karmila, tidak terlalu sulit bagi Arya untuk mengalahkan lawan.
Dewa Arak unggul dalam segala-galanya dibanding Gambala. Baik dalam ilmu


Dewa Arak 11 Memburu Putri Datuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meringankan tubuh, maupun dalam hal tenaga dalam.
Berkali-kali sepasang mata Dewa Arak dialihkan ke arah Karmila yang tengah
menghadapi belasan lawan. Nampak jelas kalau gadis berpakaian jingga itu
terdesak. Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini membiarkan saja.
*** Sementara itu Karmila mengamuk dahsyat. Gadis berpakaian jingga ini segera
mencabut pedangnya ketika melihat belasan orang mulai mengeroyoknya.
Pedangnya berkelebat cepat melakukan tangkisan-tangkisan. Tapi, sesekali sempat
juga putri Kalapati itu balas menyerang.
Karmila berusaha menyelamatkan selembar
nyawanya dengan mengerahkan seluruh kemampuannya.
Tapi karena jumlah lawan terlalu banyak, tetap saja gadis ini kewalahan. Dan
bahkan terdesak.
Gulungan pedangnya yang semula lebar, perlahan-lahan kian mengecil. Bahkan
serangan-serangan balasannya pun semakin jarang. Karmila lebih sering menangkis
dan mengelak daripada melancarkan serangan. Hujan serangan lawan tidak
memberinya kesempatan untuk balas menyerang.
"Haaat..!"
Laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak pendek menusukkan ujung senjata di
tangan kanannya ke arah dada Karmila. Padahal saat itu gadis berpakaian jingga
itu baru saja berhasil mengelak serangan salah seorang lawannya. Maka
tidak ada jalan lain bagi Karmila, kecuali menangkis serangan itu. Segera saja
pedangnya digerakkan menangkis. Dan....
Wuttt..! Tranggg...! Suara berdentang keras terdengar begitu kedua senjata itu beradu. Bunga-bunga
api memercik tinggi ke udara. Laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak
pendek memekik pelan. Tangan kanannya bergetar hebat sehingga hampir saja
genggaman tombaknya terlepas. Diakuinya kalau tenaga dalam miliknya masih kalah
bila dibandingkan tenaga dalam Karmila.
Bagi Karmila pun benturan antara kedua senjata itu bukannya tidak berakibat sama
sekali. Posisinya yang sangat tidak menguntungkan pada saat menangkis, membuat
tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Tepat pada saat itu, salah seorang
pengeroyoknya melancarkan tendangan cepat ke arah perut.
Wuttt..! Bukkk!
"Hugh...!"
Karmila mengeluh tertahan. Telak dan keras sekali tendangan itu mengenai
perutnya. Seketika itu juga tubuh gadis berpakaian jingga itu terjengkang ke
belakang. Rasa mual dan mules pun melanda perutnya.
Belum lagi Karmila berbuat sesuatu, sergapan-sergapan dari pengeroyok lainnya
datang bertubi-tubi.
"Akh...!"
Karmila menjerit tertahan. Gadis berpakaian jingga ini menyadari kalau kali ini
tidak mungkin lagi baginya mengelak. Maka dia hanya memejamkan kedua matanya,
menanti datangnya maut.
Di saat kritis bagi keselamatan putri Kalapati itu, Dewa Arak yang memang sejak
tadi tak lepas-lepasnya mengawasi Karmila, melesat cepat ke arah gadis itu.
Gambala tentu saja mengetahui maksud pemuda berambut putih keperakan itu. Buruburu dia memotong arus lompatan Dewa Arak. Bersamaan dengan itu, pedang lentur
di tangannya ditebaskan ke arah leher Arya.
Luar biasa! Dewa Arak yang melihat Gambala berusaha menghalanginya, hanya
menggeliatkan tubuhnya seraya tetap meneruskan gerakannya menuju ke arah
Karmila. Wusss...! Hati Gambala tercekat kaget. Sungguh tak
disangkanya kalau lawan mampu berbuat seperti itu.
Saking takjubnya, sepasang kelopak mata Ketua Perguruan Pedang Ular ini
terbelalak lebar!
Tentu saja bagi Dewa Arak gerakan itu bukan merupakan sesuatu yang aneh. Berkat
ilmu "Belalang Sakti''nya, tidak sulit bagi Arya untuk melakukan gerakan-gerakan
sulit dalam posisi apa pun.
"Hih...!"
Cepat bukan main gerakan Dewa Arak. Belum lagi senjata para pengeroyok itu
mengenai Karmila, tahu-tahu tubuh pemuda itu sudah berada di atas kepala gadis
berpakaian jingga itu. Dan sekali tangan Dewa Arak dikibaskan, para pengeroyok
Karmila bertebaran ke belakang laksana diterjang angin topan.
Terdengar pekikan-pekikan tertahan mengiringi tubuh-tubuh yang berpentalan itu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara Dewa Arak mendaratkan
kedua kakinya tepat di depan Karmila. Dan secepat kedua kakinya menjejak tanah,
secepat itu pula
kepalanya ditolehkan ke arah gadis berpakaian jingga itu.
"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya Dewa Arak seraya merayapi sekujur tubuh
putri Kalapati itu. Dan hatinya lega ketika melihat tidak ada luka berarti yang
diderita gadis itu.
Karmila menggelengkan kepalanya sambil tersenyum manis.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak.
Ahhh...! Aku hanya merepotkan dirimu saja.... Awas di belakangmu, Dewa Arak...!"
seru Karmila keras.
Tanpa diperingatkan pun, sebenarnya pemuda berambut putih keperakan itu
mengetahui adanya angin serangan yang menuju ke arahnya. Segera kepalanya
ditolehkan. Dilihatnya laki-laki gagah bersenjatakan sepasang tombak pendek
tengah menusukkan kedua tombaknya bertubi-tubi ke arah tengkuk dan pinggangnya.
*** 8 Begitu mengetahui siapa yang telah membokongnya, Dewa Arak jadi geram. Orang
inilah yang tadi telah mengucapkan kata-kata kotor padanya. Kini terbuka
kesempatan baginya untuk memberi pelajaran pada laki-laki bersenjatakan sepasang
tombak pendek ini.
Tapi hal ini Dewa Arak lakukan bukan karena menuruti kemarahan hatinya.
Melainkan untuk memberi pelajaran agar orang ini tidak sembarangan lagi
mengucapkan kata-kata kotor.
Setelah mengambil keputusan itu, Dewa Arak sengaja membiarkan saja serangan
tombak itu meluncur ke arahnya. Begitu mendekat, segera dikerahkan tenaga dalam
yang dimilikinya.
Tak, tak...! Terdengar suara keras ketika ujung mata tombak itu mengenai sasaran. Tapi
akibatnya, tombak itu sendiri yang membalik. Laki-laki gagah bersenjatakan
tombak pendek itu memekik tertahan. Kedua tangannya terasa lumpuh. Dan sebelum
dia sempat berbuat sesuatu, tangan kanan Dewa Arak telah berkelebat menampar
pipinya. Plak...! Telak dan keras sekali telapak tangan Dewa Arak mendarat di pipi laki-laki gagah
itu. Seketika itu juga di pipi orang itu tertera tanda merah bergambar telapak
tangan. Bahkan dari sudut-sudut bibirnya menetes darah segar. Masih untung
baginya, Dewa Arak hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalam yang
dimilikinya. Kalau tidak, tentu saat ini
laki-laki bersenjata sepasang tombak pendek itu sudah tewas dengan leher patah.
Gambala menggeram melihat Karmila berhasil diselamatkan Dewa Arak. Sambil
mengeluarkan pekikan nyaring, kakek bermata sayu ini melesat cepat mendekati
Dewa Arak. "Kau jangan ke mana-mana, Karmila," ucap Dewa Arak kepada gadis berpakaian
jingga itu. "Diamlah di tempatmu."
Karmila menganggukkan kepala pertanda
mengerti. Tapi Dewa Arak tidak melihat anggukannya karena saat itu serangan dari
Gambala telah tiba.
Segera sambaran pedang lentur itu dielakkan dengan melangkahkan kakinya ke
samping. Pada saat yang bersamaan, Arya membalas dengan serangan tak kalah
dahsyat. Karena Karmila berada di belakang Dewa arak, belasan pengeroyoknya tidak bisa lagi mencecar gadis itu. Maka kini mereka
berbondong-bondong berusaha memecahkan pertahanan Dewa Arak.
Tapi, meskipun menghadapi keroyokan belasan lawan, Dewa Arak sama sekali tidak
tampak terdesak.
Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tidak sulit baginya untuk mengelakkan
semua serangan.
Sebaliknya, setiap pemuda berbaju ungu itu balas menyerang, sudah dapat
dipastikan akan ada yang bertumbangan. Meskipun begitu, tidak ada satu pun di
antara mereka yang tewas.
Gambala menggertakkan gigi. Sudah belasan jurus berlalu, tapi dia belum juga
mampu mendesak lawannya. Padahal kakek bermata sayu ini telah dibantu oleh
belasan tokoh persilatan aliran putih.
Tapi tetap juga tidak bisa menguasai keadaan.
Bahkan perlahan namun pasti, pihaknya yang mulai
terdesak. Apalagi setelah satu persatu tokoh-tokoh persilatan yang membantunya
berguguran di tanah.
Tak lama kemudian, yang tinggal hanyalah
Gambala seorang. Tapi meskipun begitu, Ketua Perguruan Pedang Ular ini tidak
putus asa. Tetap saja kakek ini melakukan periawanan sengit
"Jangan khawatir, Gambala! Aku datang membantu...!"
Terdengar sebuah seruan keras. Dan seiring dengan lenyapnya seruan itu,
berkelebat sesosok bayangan coklat yang kemudian langsung memasuki kancah
pertempuran. Singgg...! Begitu tiba, orang yang baru datang ini langsung melancarkan serangannya.
Seleret sinar keemasan melesat cepat ke leher Dewa Arak.
Dari kilauan sinar keemasan yang mengiringi tibanya serangan pendatang itu, baik
Dewa Arak maupun Gambala mengetahui kalau si penyerang itu adalah si Golok Emas.
Ketua Perguruan Golok Maut.
Dewa Arak yang telah mengetahui kelihaian si Golok Emas, buru-buru mengelakkan
serangan itu. "Terima kasih, Golok Emas!" ucap Gambala.
"Untung kau cepat datang. Mari kita gempur pendekar murtad ini bersama-sama!"
Untuk kedua kalinya, Dewa Arak harus bertarung menghadapi dua orang ketua
perguruan yang sakti ini Kini, Arya harus menguras seluruh kemampuannya bila
ingin selamat. Gambala dan si Golok Emas yang telah
mengetahui kelihaian Dewa Arak, tanpa ragu-ragu lagi segera menguras segenap
kemampuan mereka.
Dengan adanya bantuan si Golok Emas, Gambala bisa memusatkan perhatiannya pada
permainan jurus-jurus "Pedang Ular'nya. Kini pertarungan ketiga tokoh itu berlangsung
lebih imbang. Pertarungan antara kedua belah pihak ini
berlangsung cepat. Sehingga tak terasa lima puluh jurus telah berlalu. Dan
sampai sejauh ini belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak.
Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Diam-diam dalam hati Gambala dan si Golok Emas kagum luar biasa pada kelihaian
Dewa Arak. Sungguh sama sekali tidak mereka sangka kalau orang semuda Dewa Arak
bisa memiliki kepandaian setinggi ini. Rasa-rasanya tingkat kepandaian pemuda
berambut putih keperakan ini tidak kalah dengan Kalapati.
Selagi pertarungan itu berlangsung seru, di tempat itu bermunculan kembali
belasan tokoh persilatan golongan putih. Semula mereka hendak membantu
mengeroyok Dewa Arak, tapi mereka segera
mengurungkan niatnya begitu melihat pertarungan masih berjalan imbang. Kini
belasan tokoh itu hanya menonton saja. Itu pun dari kejauhan.
Belasan tokoh golongan putih itu tidak berani mendekat lebih dari lima tombak.
Angin pukulan ketiga tokoh sakti yang tengah bertarung itu tidak dapat mereka
tahan. Jadi, jangankan ikut men-ceburkan diri dalam pertarungan, mendekat pun
harus mempertaruhkan nyawa!
Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak meng-hadapi Gambala dan si Golok Emas
berlangsung semakin sengit. Kini pertarungan mereka sudah menginjak jurus ke
seratus. Dan sampai sejauh itu, tetap belum terlihat siapa yang akan terdesak.
"Ha ha ha...!"
Mendadak saja terdengar tawa keras menggelegar yang didorong dengan pengerahan
tenaga dalam. Gema tawa itu terpantul ke seluruh tempat itu.
Kontan semua orang yang menonton pertarungan berpaling ke arah asal suara. Hanya
yang sedang terlibat pertarungan saja yang tidak terganggu dengan suara tawa
itu. Seiring dengan lenyapnya suara tawa itu, tahu-tahu di dekat arena pertarungan
telah berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan berotot kekar. Seluruh
otot-otot tangan, dada, dan perutnya tampak jelas bertonjolan. Orang yang baru
datang ini bertelanjang dada. Raut wajahnya yang kasar dan kepalanya yang botak
membuat penampilan orang ini semakin angker. Celananya yang sebatas lutut terbut
dari kulit beruang salju.
"Setan Kepala Besi...!" desis beberapa orang tokoh persilatan yang rupanya
mengenai orang ini.
Laki-laki tinggi besar yang tak lain dari Setan Kepala Besi, kembali tertawa
bergelak. Tapi, sepasang matanya tak lepas memandang ke arah pertarungan,
Mengawasinya beberapa saat.
"Ha ha ha...! Gambala, Golok Emas! Lawan terlalu kuat bagi kalian. Biar aku yang
menghadapinya!"
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini langsung menerjang Dewa
Arak. Setan Kepala Besi, adalah seorang yang amat cerdik. Setelah mengamati
beberapa saat, diketahuinya kalau Dewa Arak benar-benar seorang tokoh yang
tangguh bukan main.
Bahkan rasa-rasanya tidak kalah dengan Kalapati.
Maka kini diputuskannya untuk turun tangan membantu Gambala dan si Golok Emas,
menghadapi tokoh muda yang berkepandaian tinggi itu.
Bahkan bukan hanya itu saja kelicikan Setan
Kepala Besi. Sewaktu menyerang pun ditunggunya sampai Dewa Arak berada dalam
keadaan terjepit.
Begitu dilihatnya pemuda berambut putih keperakan itu sibuk menghadapi serangan
dua orang lawannya, Setan Kepala Besi melancarkan serangan.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Setan Kepala Besi menerjang ke arah Dewa Arak. Kedua
cakarnya melakukan sambaran bertubi-tubi ke arah kepala pemuda berambut putih
keperakan itu. Dewa Arak terkejut bukan main. Saat serangan Setan Kepala Besi tiba, dia baru
saja menangkis serangan kedua lawannya. Dengan sebisa-bisanya Arya berusaha
menangkis. Plak, plak, plak...!
Suara benturan keras terdengar berkali-kali, disusul dengan terjengkangnya Dewa
Arak ke belakang hingga terguling-guling di tanah. Kuda-kuda Arya memang berada
dalam posisi yang tidak menguntungkan saat itu. Tambahan lagi, sewaktu menangkis
tadi pemuda berambut putih keperakan ini belum sempat mengerahkan tenaga
dalamnya secara penuh.
"Dewa Arak...!"
Karmila menjerit keras begitu melihat pemuda berambut putih keperakan itu
terjengkang dan bergulingan di tanah. Cepat dia menghambur dan berdiri
membelakangi Arya yang masih berusaha bangkit. Darah segar menetes dari sudutsudut bibir Dewa Arak.
Setan Kepala Besi tertawa bergelak. Tanpa memberi kesempatan lagi, tubuhnya
melesat untuk menjatuhkan serangan maut pada lawannya. Tapi Karmila tetap tidak
bergeser dari tempatnya. Gadis
berpakaian jingga ini malah melintangkan pedangnya di depan dada. Bersiap-siap
menentang Setan Kepala Besi yang akan menjatuhkan tangan maut pada Dewa Arak
yang sudah terluka.
"Hentikan pertempuran...!"
Terdengar suara cegahan keras penuh wibawa.
Seketika itu juga, semua kepala menoleh ke arah asal suara itu. Tak terkecuali
Setan Kepala Besi.
Tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ, semua mengerutkan alis melihat
serombongan prajurit berkuda yang bersenjata lengkap bergerak mendekati mereka.
Berkuda paling depan adalah seorang wanita berwajah cantik jelita berpakaian
serba putih. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai di bahu.
"Melati...," desis Dewa Arak dalam hati begitu mengenali wanita berpakaian serba
putih itu. "Atas nama Prabu Nalanda, Raja Kerajaan Bojong Gading, kuharap kalian
menghentikan keributan dan segera meninggalkan tempat ini!" tandas Melati.


Dewa Arak 11 Memburu Putri Datuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suaranya tegas penuh wibawa.
Tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ saling berpandangan sejenak. Kemudian
serentak mengalihkan pandangan ke arah pasukan berkuda yang ternyata adalah
pasukan Kerajaan Bojong Gading.
Memang mereka tahu kalau daerah ini termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Bojong
Gading. "Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa bergelak.
"Kalau aku tidak mau?"
"Berarti kau menentang perintah Gusti Prabu. Kau akan dianggap pemberontak, dan
terpaksa aku akan menangkapmu!" sahut Melati tegas.
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian serba putih ini segera melompat dari
kudanya. Dan begitu melihat Melati turun, pasukan yang berada di
belakangnya pun berlompatan menyusul. Jumlah rombongan ini tak kurang dari tiga
puluh orang. Hati semua orang yang berada di situ terkejut begitu melihat gerakan pasukan
kerajaan itu. Rata-rata gerakan anggota pasukan itu ringan. Dan sepasang mata
mereka pun mencorong tajam. Hal ini memang wajar, mereka adalah pasukan khusus
Kerajaan Bojong Gading.
Sadar kalau keadaan tidak menguntungkan,
Gambala dan si Golok Emas tidak berani mencari penyakit. Sungguhpun mereka bukan
warga Kerajaan Bojong Gading, tapi mereka tahu kalau raja mereka mempunyai
hubungan yang amat baik dengan Raja Bojong Gading. Maka tanpa berkata apa-apa,
keduanya pun segera meninggalkan tempat itu.
Melihat Gambala dan si Golok Emas beranjak pergi, puluhan tokoh persilatan
golongan putih pun melangkah meninggalkan tempat itu.
Setan Kepala Besi menggeram begitu menyadari kalau tak ada gunanya dia berurusan
dengan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Maka, sambil mendengus kesal,
tubuhnya pun berkelebat meninggalkan tempat itu. Sebagai seorang datuk
persilatan, laki-laki tinggi besar ini mengetahui kalau gadis yang sepertinya
adalah pemimpin rombongan pasukan berkuda ini berkepandaian amat tinggi.
Sorot mata yang mencorong tajam dan bersinar kehijauan itu merupakan salah satu
buktinya. "Melati...," panggil Dewa Arak pelan. Sepasang matanya memandang gadis
berpakaian putih penuh kerinduan. Meskipun begitu, pemuda berambut putih
keperakan itu diam-diam agak heran kalau bisa bertemu Melati di tempat ini. Tapi
kerinduannya membuat Arya melupakan pertanyaan yang menggayuti benaknya itu.
Melati sama sekali tidak menyahuti panggilan Dewa Arak. Sinar mata gadis
berpakaian putih ini terlihat dingin ketika beradu pandang dengan Arya.
Sepasang mata bening dan indah itu menatap tajam Dewa Arak dan Karmila
bergantian. Pandangannya pada gadis berpakaian jingga itu menyorot penuh
kebencian. Gadis berpakaian putih itu tidak bisa menerima kenyataan kalau
tunangannya berjalan berduaan dengan gadis secantik Karmila.
"Melati...," panggil Dewa Arak lagi seraya melangkah menghampiri. Karmila hanya
berdiri mematung memandangi semua itu dengan wajah pucat.
Benak gadis berpakaian jingga ini bisa menduga adanya hubungan kkusus antara
Dewa Arak dengan gadis pemimpin pasukan Kerajaan Bojong Gading itu.
Dan seketika itu juga merayap rasa kenyerian yang amat sangat mendera hatinya.
Karmila perlahan-lahan menundukkan kepalanya.
Seketika itu juga ingatannya menerawang kembali pada ayahnya yang kini pasti
sudah tiada. Tak terasa ada air bening yang bergulir di pipinya yang putih halus
dan mulus itu. Baru saja berkurang kepedihan hatinya akibat pengorbanan ayahnya,
kini dia harus menerima lagi kepedihan yang lain.
Sementara itu, baru beberapa tindak Dewa Arak melangkah, mendadak Melati
membalikkan tubuhnya. Dan secepat kilat melompat ke punggung kudanya.
"Hup!"
Gadis berpakaian putih itu lalu menghentakkan tali kekang kudanya. Secepat kilat
binatang tunggangan itu pun melesat meninggalkan tempat itu.
Pasukan Kerajaan Bojong Gading yang sejak tadi
bersikap seolah-olah tak tahu apa-apa, segera bergerak melompat pula ke atas
punggung kuda. Orang-orang gagah itu cepat menggebah kudanya menyusul Melati. Sebelum berlalu,
tak lupa mereka memberikan penghormatan pada Dewa Arak.
Dewa Arak hanya dapat memandangi rombongan berkuda yang semakin bergerak menjauh
itu dengan wajah pucat. Sungguh sama sekali tidak disangkanya kalau pertemuan
kembali dengan tunangannya akan terjadi seperti ini.
"Melati..., ah Melati...," desah Arya lirih.
"Semua ini karena salahku, Dewa Arak," sahut Karmila dengan suara serak. "Lebih
baik aku pergi saja...."
Dewa Arak menoleh ke arah Karmila. Ditatapnya wajah cantik jelita yang terlihat
pucat itu lekat-lekat.
"Tidak, Karmila. Melati hanya salah paham. Nanti pun semua masalah akan menjadi
jelas," sahut Dewa Arak bernada menghibur.
"Kalau begitu, mari kita cari tempat untuk meng-obati lukamu," ucap Karmila
mengalihkan per-cakapan.
Dengan langkah lesu dan kepala tertunduk, Dewa Arak dan Karmila meninggalkan
tempat itu. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.
Sementara matahari sudah condong ke Barat. Dan hari pun perlahan mulai gelap
ketika tubuh Arya dan Karmila lenyap di kejauhan.
Berhasilkah Dewa Arak mengetahui pembunuh sebenarnya dari Jalasa dan Rupangki"
Dan bagai-manakah hubungan Waji dengan Setan Kepala Besi"
Benda apakah yang dicari oleh Setan Kepala Besi di gua tempat tinggal Kalapati"
Dan terakhir, mampu-kah Dewa Arak meyakinkan Melati kalau dia dan
Karmila sama sekali tidak ada hubungan apa-apa"
Untuk mengetahui jawabannya, silakan ikuti serial Dewa Arak dalam episode "Jamur
Sisik Naga".
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujifenkikagawa)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Sejengkal Tanah Sepercik Darah 4 Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak Kong Ciak Bi Siucai Karya Raja Kelana Rahasia Istana Terlarang 17

Cari Blog Ini