Dewa Arak 10 Tiga Macan Lembah Neraka Bagian 1
http://cerita-silat.mywapblog.com
Daftar judul cerita silat bagian 3121 harimau kemala putih122 Pendekar Riang123
Setan Harpa124 Pendekar Binal125 Si Racun Dari Barat126 Harpa Iblis Jari
Sakti127 Bentrok Rimba Persilatan128 Pedang Sesat Pisau Kematian129 Delapan
Kitab Pusaka Iblis130 Pedang Awan Merah131 Pendekar Baja132 Rahasia Mo-kau
Kaucu133 perguruan sejati134 Hikmah Pedang Hijau135 Hati Budha Tangan Berbisa136
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas137 RAHASIA 180 PATUNG MAS138 pendekar sakti139
Pendekar wanita baju merah140 pendekar bodoh141 pendekar remaja142 Pendekar
Sadis143 Dewi Maut144 Petualang Asmara145 Perkampungan Misterius146 Balada
Pendekar Kelana147 Harta Karun Jenghis Khan148 Siluman Goa Tengkorak149 Maling
Romantis150 Rahasia Ciok Kwan Im151 Peristiwa Burung Kenari152 Mayat Kesurupan
Roh153 Legenda Kelelawar154 Legenda Bunga Persik155 Legenda Bulan Sabit156
Asmara Berdarah157 Si Kumbang Merah (Ang Hong Cu)158 Jodoh Si Mata Keranjang159
Pendekar Kelana160 Bakti Binal161 Bahagia Binal162 Pukulan Naga Sakti163
Seruling Samber Nyawa164 Bukit Pemakan Manusia165 Pendekar Bloon Cari Jodoh166
Makam Asmara167 Pendekar Sejagat168 Pertarungan Dikota Chang An169 Panji Akbar
Matahari Terbenam170 WISMA PEDANG171 Puteri Es172 Renjana Pendekar173 Riwayat
Lie Bouw Pek174 Romantika Sebilah Pedang175 Rumah Judi Pancing Perak176 Pendekar
Sakti Dari Lembah Liar177 Sang Ratu Tawon178 Sarang Perjudian179 Sebilah Pedang
Mustika180 Sepasang Golok Mustika
Hari masih pagi. Matahari pun belum naik tinggi ketika tiga sosok tubuh
berkelebat mendaki Lereng Gunung Jawi.
Menilik dari gerakan mereka yang rata-rata gesit dan cepat, bisa diperkirakan
kalau tiga orang ini memiliki kepandaian tinggi.
Lincah dan ringan laksana kera, tiga sosok itu ber-lompatan ke sana kemari.
Gerakan mereka baru terhenti ketika tiba di sebuah tempat yang lapang.
"Benarkah di sini tempat tinggal tua bangka itu, Macan Tutul?" tanya salah
seorang dari mereka. Orang itu bertubuh kekar berkulit kuning. Pakaiannya berupa
rompi yang terbuat dari kulit macan loreng. Dunia persilatan men-julukinya Macan
Loreng Lembah Neraka.
Orang yang dipanggil Macan Tutul menganggukkan
kepalanya. Dia adalah seorang yang bertubuh pendek, gemuk, berkepala botak dan
berkulit merah. Pakaiannya serupa dengan Macan Loreng Lembah Neraka. Hanya saja
dari kulit macan tutul.
"Tapi, di sebelah mana, Macan Tutul?" tanya salah seorang lagi. Berbeda dengan
kedua orang tadi, orang ketiga ini bertubuh tinggi kekar, berkulit hitam legam.
Sepasang matanya jauh di dalam rongga. Pakaiannya
berupa rompi dari kulit macan kumbang. Julukan orang yang angker ini adalah
Macan Kumbang Lembah Neraka.
Dalam dunia persilatan, nama ketiga orang ini dikenal sebagai dedengkotdedengkot aliran hitam. Tiga Macan Lembah Neraka, begitu julukan mereka.
Macan Tutul Lembah Neraka mendongakkan kepalanya
menatap wajah Macan Kumbang. Baru setelah itu
tangannya yang gemuk dan pendek serta berkulit merah itu menuding ke arah
Selatan. "Di sanalah tempat tua bangka itu! Mari! Kita diburu waktu!" ajak Macan Tutul
Lembah Neraka. Setelah berkata demikian, Macan Tutul Lembah Neraka melesat. Lucu sekali
kelihatannya, seperti bukan seorang manusia yang tengah bertari. Melainkan
sebuah bola yang menggelinding. Tapi sungguhpun Macan Tutul Lembah
Neraka bertubuh pendek, sementara kedua rekannya bertubuh tinggi, tetap saja dia
mampu mengimbangi lari kedua rekannya.
Berkat ilmu meringankan tubuh mereka yang luar biasa, tak lama kemudian, tampak
oleh ketiga orang itu sebuah bangunan yang cukup besar.
"Itulah tempat tinggal si tua bangka!" teriak Macan Tutul Lembah Neraka seraya
menudingkan tangannya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara tubuh pendek Macan Tutul Lembah Neraka hinggap di depan pintu
gubuk itu. Hanya berjarak sekitar tiga tombak dari pintu. Macan Kumbang dan
Macan Loreng Lembah Neraka pun menghentikan larinya.
"Tapakjati! Keluar kau...!" teriak laki-laki pendek gemuk itu lantang. Suara
yang dikeluarkannya didorong dengan pengerahan tenaga dalam, membuat sekeliling
tempat itu bergetar hebat.
Macan Tutul Lembah Neraka menghentikan teriakannya. Ditunggunya beberapa saat jawaban dari dalam. Tapi sampai sekian lama
menunggu, tak juga didengar sahutan.
"Tapakjati! Keluar! Atau kubakar habis gubukmu!"
ancam laki-laki pendek gemuk itu lagi. Kulit wajahnya yang memang sudah merah,
menjadi kian merah tatkala
teriakannya sama sekali tidak digubris.
Kali ini teriakan Macan Tutul jauh lebih keras dari yang pertama. Tak pelak
lagi, teriakan itu menggema ke seluruh tempat itu. Gema yang bersahut-sahutan
terbawa angin. Terdengar suara gemeretak dari murut Macan Tutul
Lembah Neraka setelah sekian lamanya menunggu, tidak juga muncul orang yang
sejak tadi dipanggil-panggilnya.
Tapi baru saja dia hendak berbuat sesuatu, di ambang pintu gubuk telah berdiri
seorang kakek bertubuh kurus berkepala botak, berpakaian abu-abu. Kumis dan
jenggot yang menghias wajahnya berwarna dua, panjang sampai ke dada.
Seperti tidak mengetahui kemarahan ketiga orang di depannya, kakek kurus
berkepala botak itu menghampiri pelahan.
"Mengapa kalian berteriak-teriak memanggilku" Meskipun usiaku telah lanjut, tapi
aku belum tuli..." tenang-tenang saja kakek yang dipanggil Tapakjati itu
berkata. "Tidak usah berbasa-basi, Tapakjati!" sergah Macan Loreng Lembah Neraka keras.
"Kami datang untuk menagih hutang nyawa!"
"He he he...!" Tapakjati tertawa terkekeh-kekeh sehingga mulutnya yang sudah
ompong tidak bergigi terlihat.
"Sekarang kau boleh tertawa, Tapakjati! Tapi, sebentar lagi kau akan merintih
dan meratap minta dikasihani!"
ancam Macan Tutul Lembah Neraka.
"Aku tertawa karena merasa lucu mendengar ucapan kalian," sahut kakek kurus
berkepala botak itu. Suaranya masih terdengar tenang. Rupanya ancaman Macan
Tutul Lembah Neraka tidak membuatnya gentar sama sekali.
"Mana ucapan kami yang kau katakan lucu itu, Kakek Peot"!" sergah Macan Loreng
setengah membentak.
"Ucapan tentang maksud kedatangan kalian kemari."
Macan Tutul Lembah Neraka mengernyitkan alisnya.
"Menagih hutang nyawa yang kau anggap lucu,
Tapakjati?" tebak laki-laki pendek gemuk setengah tak percaya.
"He he he...!" hanya tawa terkekeh saja yang menyambut ucapan Macan Tutul Lembah
Neraka. "Keparat kau, Tapakjati!" maki Macan Loreng Lembah Neraka. "Di mana
letak kelucuannya"! Cepat katakan! Sebelum lehermu kupuntir!"
"He he he.... sungguh gagah sekali! Bukankah kau, Macan Loreng Lembah Neraka"!"
tebak Eyang Tapakjati sambil menatap tajam tubuh kekar dan berkulit kuning itu.
"Dan kalau aku tidak salah duga, kalianlah yang berjuluk Tiga Macan Lembah
Neraka"!"
"Rupanya matamu masih belum lamur, Tapakjati!
Memang kamilah yang berjuluk Tiga Macan Lembah
Neraka!" sahut Macan Tutul Lembah Neraka sambil tersenyum lebar. Memang sudah
menjadi kebiasaan di kalangan tokoh hitam, mereka akan merasa bangga
apabila ada orang yang mengenal nama atau julukannya.
"Nah, kalau kalian benar Tiga Macan Lembah Neraka, kapan aku berhutang nyawa
pada kalian"!" sambung Eyang Tapakjati lagi. "Seingatku, aku tidak pernah
berurusan dengan orang-orang Lembah Neraka! Apalagi sampai membunuh!"
"Kau memang tidak bersalah pada kami! Tapi orang yang ada hubungannya denganmu
telah membunuh sahabat kami!" selak Macan Kumbang Lembah Neraka.
Suaranya berat, penuh wibawa. Memang dibanding kedua saudaranya, laki-laki
berkulit hitam ini yang paling pendiam dan jarang sekali bicara. Prinsipnya
memang aneh. Pukul dulu, urusan bicara belakangan!
Eyang Tapakjati mengerutkan alisnya. Dia yang sudah lama menyepi di Lereng
Gunung Jawi, mana tahu lagi urusan dunia persilatan.
"Siapa sahabat kalian?" tanya kakek kurus berkepala botak ini. Suaranya tidak
lagi terdengar riang. Agaknya Eyang Tapakjati mulai menyadari keseriusan masalah
yang dihadapinya. Dia tahu betul sifat tokoh yang berjuluk Tiga Macan Lembah
Neraka ini. Mereka tidak akan mengusik orang yang tidak mempunyai urusan dengan
mereka. Tapi, apabila orang mempunyai urusan dengan mereka,
celakalah orang itu. Sampai kapan dan di mana pun, Tiga Macan Lembah Neraka ini
akan terus memburu!
"Sahabat kami yang berjuluk Raksasa Rimba Neraka!"
sahut Macan Tutul Lembah Neraka lantang.
"Raksasa Rimba Neraka?" gumam Eyang Tapakjati pelahan.
"Ya!" jawab Macan Tutul Lembah Neraka singkat.
"Lalu. siapa pembunuhnya yang kalian tuduh mempunyai hubungan denganku?" desak
Tapakjati ingin tahu.
"Dewa Arak," jawab Macan Loreng Lembah Neraka lambat-lambat penuh tekanan.
"Dewa Arak"!" ulang kakek kurus berkepala botak itu.
Dahinya berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang
dipikirkannya "Ya, Dewa Arak!" tegas Macan Tutul Lembah Neraka.
"Kau mengenalnya, kan?"
"Tidak!" sahut Eyang Tapakjati tegas.
"Bohong!" sentak Macan Tutul Lembah Neraka keras.
"Buat apa repot-repot berdebat segala, Macan Tutul.
Bunuh saja, habis perkara!" selak Macan Kumbang Lembah Neraka cepat.
Merah wajah Eyang Tapakjati mendengar ucapan yang
sangat merendahkan dirinya itu.
"Jangan kalian kira aku takut dengan kalian! Aku mengatakan tidak mengenal orang
yang berjuluk Dewa Arak, karena memang aku tidak mengenalnya! Bukan
karena aku takut pada kalian!" ucap kakek kurus berkepala botak itu menjelaskan.
Tegas dan mantap sekali kata-katanya.
Tiga Macan Lembah Neraka terdiam seketika. Mereka
mendengar adanya nada kesungguhan dalam suara itu.
Macan Tutul Lembah Neraka merayapi sekujur wajah
Eyang Tapakjati, seolah-olah dari situ dapat diketemu-kannya kebenaran ucapan
itu. "Benar kau sama sekali tidak mengenalnya, Tapakjati"!"
tanya laki-laki pendek gemuk ini mulai lunak suaranya.
Eyang Tapakjati menggelengkan kepalanya.
"Mendengar julukannya pun baru kali ini," jawab kakek kurus berkepala botak itu
jujur. "Hhh...! Kalau begitu, kami salah alamat..." desah Macan Tutul Lembah Neraka
pelan. "Mari kita pergi...!"
Setelah berkata demikian, Macan Tutul Lembah Neraka melangkahkan kakinya yang
pendek dan gemuk
meninggalkan tempat itu. Macan Loreng Lembah Neraka pun membalikkan tubuh dan
bersiap melangkah
meninggalkan tempat itu.
"Tunggu, Macan Tutul!"
Terdengar teriakan keras yang amat dikenal oleh Macan Tutul dan Macan Loreng
Lembah Neraka. Suara berat dan bergaung penuh wibawa itu hanya dimiliki oleh
Macan Kumbang Lembah Neraka!
"Ada apa, Macan Kumbang?" tanya Macan Tutul Lembah Neraka, seraya menghentikan
langkah, dan membalikkan tubuhnya. Macan Loreng Lembah Neraka pun menghentikan
langkah, dan membalikkan tubuhnya.
"Ada sesuatu yang kau lupakan, Macan Tutul," ucap laki-laki berkulit hitam itu.
"Apa?" tanya Macan Tutul Lembah Neraka ingin tahu.
Tapi Macan Kumbang Lembah Neraka tidak mempedulikannya. Pandangannya dialihkan, menatap sekujur wajah Eyang Tapakjati
lekat-lekat. Hal ini tentu saja membuat kakek kurus berkepala botak yang sudah
menarik napas lega, kembali merasa tidak enak.
Macan Tutul Lembah Neraka menahan perasaan mendongkolnya. Dialihkan perhatiannya pada Eyang Tapakjati.
Macan Loreng Lembah Neraka pun tidak ketinggalan.
"Tapakjati..."
"Hm..." hanya gumaman yang menyahuti panggilan Macan Kumbang Lembah Neraka.
"Kau kenal dengan Ki Wanayasa dan Pendekar Ruyung Maut?" tanya Macan Kumbang
Lembah Neraka dengan suaranya yang khas.
"Wanayasa aku kenal, tapi Pendekar Ruyung Maut aku tidak kenal," jawab Eyang
Tapakjati. "Apa hubunganmu dengan Wanayasa?" kejar Laki-laki berkulit hitam legam itu.
"Dia muridku..."
"Dan Pendekar Ruyung Maut?" desak Macan Kumbang Lembah Neraka lagi.
Merah wajah Eyang Tapakjati. Tulikah Macan Kumbang Lembah Neraka ini" Bukankah
sudah dikatakan kalau dia sama sekali tidak mengenal orang yang ditanyakan itu"
"Sudah kukatakan ladi. Aku sama sekali tidak
mengenainya! Titik!" sahut kakek kurus berkepala botak ini tanpa berusaha
menyembunyikan emosinya.
"Aneh...! Kau ini memang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, Tapakjati?"
tanya Macan Kumbang Lembah Neraka lagi. Secercah senyum sinis menghias wajahnya.
"Aku tidak sepengecut itu, Macan Kumbang!" sentak Eyang Tapakjati keras.
"Begitukah"!" ejek Macan Tutul Lembah Neraka yang kini sudah mengerti. "Mungkin
memang kau tidak tahu, Tapakjati. Tapi biarlah kuberitahu. Pendekar Ruyung Maut
itu adalah adik seperguruan Wanayasa."
"Mustahil!" sergah Eyang Tapakjati keras. "Wanayasa hanya mempunyai satu orang
adik seperguruan. Tribuana namanya!"
Macan Tutul Lembah Neraka tersenyum mengejek.
"Sekarang kau tentu sudah bisa memperkirakan siapa Pendekar Ruyung Maut itu,
Tapakjati"!"
Wajah Eyang Tapakjati berubah hebat.
"Maksudmu... dia..., Pendekar Ruyung Maut itu adalah Tribuana?"
"Tepat!" sahut Macan Tutul Lembah Neraka. "Apakah sekarang kau masih mau
mengatakan tidak mengenal
Pendekar Ruyung Maut alias Tribuana itu?"
"Aku tidak sepengecut itu, Macan Tutul! Kalau benar Pendekar Ruyung Maut adalah
Tribuana, jelas kalau
pendekar itu adalah muridku!" tandas Eyang Tapakjati.
"Sekarang masalahnya sudah jelas, Tapakjati! Mau tidak mau kau harus tersangkut
urusan ini. Kami harus menagih hutang nyawa sahabat kami!" tegas Macan Tutul
Lembah Neraka sambil menatap tajam wajah kakek kurus
berkepala botak itu.
Eyang Tapakjati membisu. Tidak membantah sedikit
pun. Benar atau tidak dia tersangkut masalah ini, tidak dipedulikan lagi. Harga
dirinya telah tersinggung. Sikap Tiga Macan Lembah Neraka begitu meremehkan
dirinya. Dan ini membuat amarahnya bergolak.
Agak heran hati Macan Tutul Lembah Neraka ketika
melihat kakek kurus berkepala botak itu diam saja.
"Perlu kau ketahui, Tapakjati. Dewa Arak adalah putra dari Tribuana, muridmu!"
"Apa"!" sepasang mata Eyang Tapakjati terbelalak lebar.
"Dewa Arak putra Tribuana"! Jadi..., Jadi... dia adalah cucu muridku!"
"Benar! Dan karena itulah, kami harus menagih hutang nyawa sahabat kami padamu,
Tapakjati!" tandas laki-laki bertubuh pendek gemuk itu keras.
"Akan kuturuti apa maumu, Macan Tutul! Aku malah bangga seandainya Dewa Arak
benar-benar cucuku! Dan seandainya benar, dia yang membunuh Raksasa Rimba
Neraka pun, aku akan membelanya! Karena dia berada di pihak yang benar!"
"Keparat! Kau cari mampus, Tapakjati!" selak Macan Tutul Lembah Neraka seraya
melompat menerjang. Cepat bukan main gerakannya sehingga yang terlihat hanyalah
bayangan hitam yang berkelebat ke arah Eyang Tapakjati.
Macan Tutul Lembah Neraka membuka serangan
dengan sampokan tangan kanan yang membentuk cakar
naga ke pelipis Eyang Tapakjati. Sementara tangan kirinya disilangkan di dada.
Bersiaga terhadap serangan balasan lawan.
Serangan itu datang begitu cepat, tapi masih lebih cepat lagi gerakan yang
dilakukan Eyang Tapakjati. Segera tubuhnya ditarik ke belakang, sehingga
sampokan itu menyambar lewat di depan mukanya. Tidak hanya sampai di situ saja,
yang dilakukan kakek kurus berkepala botak itu. Secepat kilat kaki kanannya
menyambar deras ke perut lawan.
Macan Tutul Lembah Neraka tentu saja tidak mau
Dewa Arak 10 Tiga Macan Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perutnya tertendang. Segera saja tangan kirinya yang disilangkan di dada,
dibacokkan ke bawah.
Takkk! Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi.
Akibatnya, baik Macan Tutul Lembah Neraka maupun
Eyang Tapakjati sama-sama terhuyung mundur satu
langkah. Dari hasil benturan ini dapat diketahui kalau tenaga dalam kedua tokoh
itu berimbang. Eyang Tapakjati terkejut juga mengetahui hal ini.
Memang sebelumnya laki-laki kurus berkepala botak ini pernah mendengar kelihaian
Macan Tutul Lembah Neraka.
Tapi sungguh di luar dugaannya kalau sampai selihai itu.
Kalau satu orang di antara mereka saja sudah begitu lihai, bagaimana kalau
mereka maju berbareng" Diam-diam
Eyang Tapakjati mengkhawatirkan nasib cucu muridnya bila terpaksa harus
berhadapan dengan mereka sekaligus.
Tapi kakek kurus berkepala botak ini tidak bisa berpikir lama-lama, karena
serangan dari Macan Tutul Lembah Neraka telah menyambar lagi. Tahu kalau lawan
memiliki kepandaian yang amat tangguh, Eyang Tapakjati pun
mengeluarkan ilmu andalannya, ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'!
Macan Tutul Lembah Neraka menggeram hebat.
Sepasang tangannya yang berbentuk cakar, menyambar-nyambar dahsyat mencari
sasaran. Eyang Tapakjati berusaha mempertahankan selembar
nyawanya dengan mengerahkan seluruh kemampuannya.
Kakek kurus kepala botak ini menyadari kalau lawan yang akan dihadapinya bukan
hanya Macan Tutul seorang, tapi masih ada dua lawan tangguh lagi yang
menunggunya. Kalau mengulur-ulur waktu, dia khawatir akan keburu lelah sebelum menghadapi
lawan yang lainnya.
Pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama sakti itu berlangsung cepat.
Sehingga dalam waktu sekejap saja, dua puluh jurus telah berlalu. Dan sampai
sejauh ini, belum nampak tanda-tanda ada yang akan terdesak.
Macan Tutul Lembah Neraka meraung. Laki-laki pendek gemuk ini marah bukan main.
Sungguh tidak disangka kalau lawannya begitu lihai, sehingga sampai sekian
lamanya dia belum mampu mendesak.
"Haaat..!"
Macan Tutul meraung murka. Tubuhnya melompat
menerjang Eyang Tapakjati. Dan selagi berada di udara, tubuhnya dibalikkan
seraya mengibaskan kaki kanannya.
Eyang Tapakjati bersikap tenang. Kibasan kaki yang mengancam kepalanya itu,
segera dibuat mati kutu dengan hanya merundukkan sedikit tubuhnya. Tapi, tak
disangka-sangka kalau mendadak tubuh Macan Tutul Lembah
Neraka berputar sekali lagi di udara. Dan dari atas, kedua tangan yang berbentuk
cakar itu menyampok ke belakang kepala lawannya.
Eyang Tapakjati terperanjat kaget. Namun tidak menjadi gugup. Buru-buru dia
melompat ke depan kemudian bergulingan menjauh.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki Macan Tutul Lembah
Neraka menjejak tanah. Dan secepat kedua kaki itu
mendarat, secepat itu pula laki-laki bertubuh pendek gemuk ini memburu tubuh
Eyang Tapakjati yang sedang bergulingan menjauh.
"Hih...!"
Macan Tutul Lembah Neraka memekik keras seraya
mengkelebatkan cakarnya ke arah tubuh Eyang Tapakjati.
Crab, Crab! Jari-Jari Macan Tutul Lembah Neraka amblas ke dalam tanah, ketika tubuh Eyang
Tapakjati telah bergulingan menghindar. Tapi laki-laki pendek gemuk ini tidak
putus asa. Kembali tubuh yang bergulingan itu dikejar, dan dihujani dengan
serangan-serangan cakarnya yang
menimbulkan desir angin bercicitan.
Beberapa saat lamanya terjadi adegan yang lucu dan menarik. Tubuh Eyang
Tapakjati terus bergulingan, mencoba melepaskan diri dari sambaran cakar Macan
Tutul Lembah Neraka yang terus mencecarnya bertubi-tubi.
"Hiyaaa...!"
Mendadak Eyang Tapakjati memekik nyaring. Belum lagi habis gema teriakan itu,
tahu-tahu tubuhnya sudah
melenting laksana seekor ikan.
"Hih...!"
Macan Tutul Lembah Neraka tentu saja tidak membiarkan lawannya lolos. Cepat dia pun melompat, mengejar tubuh Eyang Tapakjati
yang telah melenting lebih dulu.
"Hiaaat...!"
Seraya mengeluarkan bentakan nyaring, Macan Tutul
Lembah Neraka mengirim serangan ke arah ulu hati.
Kedua cakarnya, menyambar ganas menuju sasaran.
Eyang Tapakjati tidak punya pilihan lain lagi. Tubuhnya masih berada di udara.
Dan merupakan suatu hal yang mustahil bila harus mengelak selagi kedua kakinya
tidak mempunyai landasan untuk berpijak. Terpaksa dipapaknya serangan itu dengan
kedua tangan yang membentuk cakar.
Prattt...! Benturan antara dua pasang tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi itu tidak bisa terelakkan.
Dan akibatnya, tubuh kedua tokoh sakti itu sama-sama terjengkang. Rasa nyeri
merayapi sekujur tangan mereka.
"Hup...!"
Hampir bersamaan kedua tokoh itu mendarat di tanah.
Tampak jelas betapa Macan Tutul Lembah Neraka dan
Eyang Tapakjati sama-sama terhuyung, begitu kedua kakinya hinggap di tanah.
Macan Tutul Lembah Neraka meraung murka. Begitu
selesai memperbaiki posisi kuda-kudanya, seketika itu juga tangannya bergerak.
Dan entah dari mana, tahu-tahu sebuah ruyung terbuat dari perak telah tergenggam
di tangannya. "Hiyaaa...!"
Seraya mengeluarkan pekikan melengking, Macan Tutul Lembah Neraka berlari
menyerbu Eyang Tapakjati. Ruyung perak di tangannya diayunkan ke arah kepala
tokoh berusia lanjut itu.
Wuuuttt..! Angin berhembus keras mengawali tibanya serangan
ruyung. Tapi, Eyang Tapakjati tidak menjadi gugup. Segera dilempar tubuhnya ke
belakang, bersalto beberapa kali di udara. Dan begitu kedua kakinya menjejak
tanah, pada kedua tangannya juga telah tergenggam sepasang tongkat pendek
berwama hitam mengkilat. Tanpa ragu-ragu lagi, Eyang Tapakjati segera
menggunakan ilmu andalannya, ilmu 'Sepasang Tongkat Pembunuh Naga'!
Angin menderu-deru keras begitu Eyang Tapakjati menggerak-gerakkan sepasang
tongkat pendek di tangannya.
Kini dengan dua tongkat di tangan, kakek kurus berkepala botak ini menghadapi
serbuan Macan Tutul Lembah
Neraka yang menggunakan ruyung perak!
Pertarungan kembali berlangsung sengit. Dengan
senjata andalan di tangan, akibat yang ditimbulkan oleh pertarungan kedua tokoh
itu menjadi semakin dahsyat.
Debu mengepul tinggi ke udara. Tanah terbongkar di sana-sini.
Sebentar saja puluhan jurus telah berlalu. Dan sampai selama itu, belum ada
tanda-tanda siapa yang akan terdesak. Kepandaian kedua orang itu ternyata
berimbang. Baik dalam hal tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh.
Tapi menginjak jurus ke serarus dua puluh, napas Eyang Tapakjati mulai terengahengah. Maklum, usia kakek ini sudah sangat tua. Di samping itu, sudah lama
sekali tidak berlatih, kecuali hanya bersemadi. Itu pun hanya
seperlunya saja. Maka tidak aneh kalau saat ini kakek kurus berkepala botak itu
sudah kelelahan.
Seiring dengan rasa lelah yang timbul, gerakan-gerakan Eyang Tapakjati pun mulai
menjadi lambat. Tenaganya mulai merosot jauh. Serangan-serangannya sudah
berkurang, Beberapa kali sewaktu mengadu senjata, tubuh tokoh berusia lanjut ini
terhuyung-huyung.
Tentu saja hal ini membuat Macan Tutul Lembah Neraka menjadi girang. Seranganserangan ruyungnya pun semakin ditingkatkan. Karuan saja hal ini membuat Eyang
Tapakjati semakin kerepotan.
Pada jurus ke seratus tiga puluh satu, Macan Tutul Lembah Neraka mengayunkan
ruyungnya ke pelipis Eyang Tapakjati. Bergegas kakek kurus berkepala botak itu
mengangkat tongkatnya menangkis.
Trak! "Akh...!"
Eyang Tapakjati memekik tertahan. Kondisinya yang
sudah lelah, dan tenaganya yang sudah jauh berkurang, membuat tubuhnya
terhuyung-huyung sewaktu menangkis serangan itu. Tongkat pendek di tangannya pun
kontan terlepas dari genggaman. Dan sebelum kakek kurus itu sempat berbuat
sesuatu. Macan Tutul Lembah Neraka
kembali mengirimkan serangan susulan.
"Hiyaaa...!"
Senjata ruyung milik laki-laki pendek gemuk itu
menyambar bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati Eyang Tapakjati.
Buk! Buk! "Akh...!"
Kakek kurus itu memekik tertahan. Tubuhnya yang
sudah lelah membuatnya tidak mampu mengelak, sehingga dengan telak dan kerasnya semua sambaran
ruyung Macan Tutul Lembah Neraka bersarang di sasarannya. Seketika itu juga
tubuh Eyang Tapakjati terjungkal, dan jatuh berdebuk keras di tanah. Dari mulut,
hidung, dan telinganya mengalir darah segar.
"Ha ha ha....!"
Macan Tutul Lembah Neraka tertawa terbahak-bahak.
Sebuah tawa kemenangan. Ditatapnya wajah Eyang
Tapakjati yang sudah tak mampu bangkit lagi. Sekali pandang saja, laki-laki
bertubuh pendek gemuk ini tahu kalau kakek kurus itu tidak akan mampu bertahan
lebih lama lagi. Luka-luka yang dideritanya terlalu parah.
Setelah melepaskan pandang mata mengejek, Macan
Tutul Lembah Neraka lalu melangkah pelahan menghampiri kedua rekannya.
"Mari kita pergi." ucap laki-laki pendek gemuk ini pelan.
Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat dari situ.
Cepat bukan main gerakannya. Sungguh tidak sesuai
dengan potongan tubuhnya yang gemuk dan pendek.
Macan Kumbang dan Macan Loreng Lembah Neraka
pun melesat kabur dari situ. Mereka tak menyadari kalau sedari tadi ada sepasang
mata yang mengintip semua kejadian itu. Sepasang mata dari seorang pemuda
berwajah tampan, berpakaian merah muda!
*** 2 Sesosok bayangan ungu berkelebat cepat mendaki Lereng Gunung Jawi. Cepat bukan
main gerakannya. Rambutnya yang putih keperakan nampak berkibaran tersapu angin.
"Eh..."!"
Sosok bayangan ungu memekik kaget, ketika di sebuah tikungan hampir saja
bertabrakan dengan orang yang berpakaian serba hitam. Untung dia sempat menahan
langkahnya, kemudian kakinya dijejakkan sehingga tubuhnya melenting ke atas.
Sosok ungu itu lewat di atas kepala orang itu, berputar sekali di udara kemudian
hinggap ringan di belakang sosok serba hitam tadi
Sosok serba hitam, itu pun tidak kalah kagetnya
ketimbang sosok bayangan ungu tadi. Sosok hitam itu tentu saja tahu kalau tadi
hampir terjadi tabrakan, namun batal karena orang itu mampu mengelak dengan cara
yang luar biasa sekali!
Sosok serba hitam ini segera menghentikan langkahnya Tapi, salah seorang dari
dua rekannya segera memegang tangannya.
"Jangan cari perkara, Macan Kumbang," ucap rekannya yang bertubuh pendek dan
gemuk, yang ternyata adalah Macan Tutul Lembah Neraka.
Macan Kumbang Lembah Neraka mendengus.
"Aku hanya penasaran dan ingin tahu siapa orang itu.
Gerakannya sewaktu mengelakkan tubrukan, benar-benar mengejutkan hatiku."
"Lupakanlah...! Kita mempunyai urusan yang jauh lebih penting. Membalas dendam
kematian sahabat kita pada Dewa Arak!" selak Macan Loreng Lembah Neraka ikut
campur tangan. Tanpa berkata apa-apa, Macan Kumbang Lembah
Neraka segera melesat dari situ. Macan Tutul dan Macan Loreng Lembah Neraka
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak lama kemudian keduanya pun sudah
melesat, menyusul rekan mereka.
Bukan hanya Macan Kumbang Lembah Neraka yang
menghentikan larinya. Sosok bayangan ungu itu pun menghentikan larinya. Di bawah
jilatan sinar matahari yang cukup terik, tampak jelas sosok ungu itu. Sosok ungu
itu ternyata adalah seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut putih keperakan
tergerai sampai ke bahu. Sebuah guci arak perak tersampir di punggungnya. Siapa
lagi kalau bukan Arya Buana alias Dewa Arak!
Tapi hanya sejenak saja Dewa Arak menghentikan
larinya. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah kembali
melesat. Sungguhpun begitu, benaknya berputar keras.
Siapakah gerangan tiga sosok yang menitik dari gerakannya adalah orang-orang
yang berkepandaian tinggi" duga Arya dalam hati.
Tak lama kemudian, Arya pun tiba di tanah lapang yang luas. Sebelum tewas,
almarhum ayahnya telah memberitahu kepadanya tempal tinggal kakek gurunya.
Sehingga kini Arya tidak mengalami kesulitan untuk mencarinya.
Memang niat Arya mendaki Lereng Gunung Jawi ini
adalah untuk menengok kakek gurunya. Sekaligus memperkenalkan dirinya. Sudah
sejak lama sebenarnya Arya mempunyai maksud demikian, hanya saja selalu
tertunda-tunda, karena selama dalam perjalanannya selalu menjumpai berbagai
masalah. Sekarang kebetulan dalam pengembaraannya Dewa
Arak melewati Gunung Jawi, maka Arya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Segera saja ditunaikan niat yang telah lama tertunda, mengunjungi kakek gurunya.
Begitu tiba di tanah lapang yang luas ini, Dewa Arak kian mempercepat larinya.
Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau tidak lama lagi, dia akan tiba di
tempat kediaman kakek gurunya.
Apa yang diduganya memang tidak salah. Dari kejauhan, bangunan tempat tinggal
Eyang Tapakjati pun sudah
terlihat. Hati Arya berdebar tegang. Rasa gembira dan keinginan untuk segera
bertemu membuatnya, jadi agak gelisah.
Tapi kegembiraan yang melanda hati Arya lenyap
seketika. Mendadak pandangannya tertumbuk pada sosok tubuh yang tergolek di
tanah. Perasaan tidak enak pun berkecamuk dalam dada Dewa Arak.
Sesaat kemudian pemuda berambut putih keperakan ini telah berada di dekat tubuh
Eyang Tapakjati yang tergolek lemah tak berdaya.
Sepasang mata Dewa Arak membelalak lebar. Pelahan
tubuhnya membungkuk. Diperhatikannya raut sosok wajah yang tergolek Itu.
Ternyata ciri-ciri yang dimiliki kakek botak yang terbaring ini, persis seperti
yang diceritakan ayahnya.
Pelahan tangan Dewa Arak diulurkan. Dirabanya detak jantung dan denyut nadi
kakek kurus berkepala botak itu.
Ah, ternyata kakek itu belum mati! Sungguhpun begitu, sekali lihat saja Arya
telah mengetahui kalau Eyang Tapakjati tidak bisa diselamatkan lagi.
"Eyang...," panggil Arya. Pelahan sekali suaranya.
Memang pemuda berambut putih keperakan ini masih
kaget melihat kenyataan ini. Sungguh tidak disangkanya kalau perjumpaan pertama
dengan kakek gurunya adalah perjumpaan untuk yang terakhir kalinya. Perjumpaan
sekaligus perpisahan!
Mendadak kelopak mata Eyang Tapakjati yang semula
terpejam rapat, membuka. Tapi sorot mata itu begitu kosong, seolah-olah tidak
menampakkan sinar kehidupan.
"Siapa kau?" tanya Eyang Tapakjati dengan suara terputus-putus. Sepasang matanya
menatap wajah Dewa Arak lekat-lekat "Sepertinya aku pernah mengenalmu...."
Tentu saja Eyang Tapakjati merasa mengenal Dewa
Dewa Arak 10 Tiga Macan Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arak, karena wajah pemuda ini memang sangat mirip
dengan ayahnya, Tribuana.
"Aku Arya, Eyang. Arya Buana...," ucap pemuda berambut putih keperakan itu
memberitahu. "Arya Buana...?" gumam kakek kecil kurus itu mengulang.
"Ya, Eyang. Aku cucu murid Eyang, Ayahku Tribuana."
"Ahhh...! Jadi, kaukah yang berjuluk Dewa Arak?" tanya Eyang Tapakjati setengah
tidak percaya. "Benar, Eyang, Kini aku datang menemui Eyang. Katakanlah, siapa yang telah
melakukan semua ini pada
Eyang?" Kakek bertubuh kurus itu menggelengkan kepalanya.
"Lebih baik kau tidak usah mengetahuinya, Arya. Mereka adalah tokoh-tokoh yang
amat sakti. Cepatlah menyingkir dari sini. Mereka tengah mencarimu...."
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Mereka" Siapa mereka, Eyang" Mengapa mencariku?"
tanya Arya. Nada suaranya menyiratkan keingintahuan yang dalam.
Napas Eyang Tapakjati mulai tersengal-sengal.
"Mereka... hendak membalas dendam padamu, Arya,"
sahut kakek itu terputus-putus.
"Membalas dendam padaku?" tanya Arya meminta kepastian.
"Benar."
"Mengapa, Eyang?" desak Arya.
"Karena kau telah membunuh sahabat mereka," jawab Eyang Tapakjati memberi
penjelasan. Arya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Wajahnya menyorotkan ketidakmengertian yang amat sangat. Siapakah orang yang tengah mencari-carinya" Dan,
siapakah orang yang telah dibunuh-nya" Dua pertanyaan itu menggayuti benak Dewa
Arak. "Eyang tahu siapa sahabat mereka?" tanya Arya.
"Ya," sahut Eyang Tapakjati seraya menganggukkan kepalanya. "Mereka
mengatakannya."
"Siapa, Eyang?"
"Raksasa Rimba Neraka."
"Ahhh...!" seru Arya terkejut
"Kau mengenalnya, Arya?" tanya Eyang Tapakjati ketika dilihatnya Dewa Arak
terkejut begitu mendengar nama Raksasa Rimba Neraka.
Pelahan kepala Arya mengangguk.
"Benar kau yang telah membunuhnya?" tanya kakek bertubuh kurus itu lagi.
Kembali kepala Arya mengangguk.
"Kalau begitu, cepatlah kau menyingkir, Arya. Kalau perlu, cari paman gurumu.
Dan mintalah perlindungan padanya," saran Eyang Tapakjati. Raut wajahnya
memancarkan kecemasan.
Wajah Arya memerah mendengar ucapan itu.
"Maaf, Eyang. Bukannya aku tidak menghargai saran Eyang. Tapi, aku bukanlah
seorang pengecut, yang akan lari dari tanggung jawab. Lagi pula paman guru telah
tiada, Eyang."
"Apa katamu, Arya"!" tanya Eyang Tapakjati kaget.
"Paman gurumu telah tewas?"
"Benar, Eyang," sahut Arya sambil menganggukkan kepalanya.
Kemudian secara singkat diceritakannya tentang
kematian paman gurunya. Juga kematian ayahnya (Untuk jelasnya, bacalah serial
Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
"Hhh...! Sungguh tidak kusangka kalau umur mereka tenyata begitu singkat," keluh
Eyang Tapakjati. Suaranya terdengar kian lemah, bahkan napasnya pun tersengalsengal. Melihat hal ini karuan saja Arya menjadi khawatir.
Pemuda berambut putih keperakan ini takut, kakek kurus itu keburu tewas sebelum
memberitahukan siapa orang yang tengah mencarinya.
"Eyang, katakanlah! Siapa orang yang tengah mencari-cariku...?"
"Lebih baik kau tidak usah tahu, Arya. Mereka sangat sakti...."
"Tapi, Eyang. Bagaimana bisa aku menjaga diri kalau tidak tahu siapa orang yang
tengah mencariku," ucap Arya memberi alasan.
Eyang Tapakjati kontan termenung. Disadari kebenaran ucapan cucu muridnya itu.
"Mereka berjuluk Tiga Macan Lembah Neraka... akh...!"
kepala kakek itu pun terkulai.
"Eyang...!" seru Arya tersentak kaget Diguncang-guncangnya tubuh Eyang Tapakjati
yang telah tidak
bernyawa lagi. Tapi, betapa pun keras guncangan Arya, dan betapa pun keras
mulutnya menjerit-jerit memanggil kakek itu, tetap saja kakek itu diam tidak
menjawab. Diam untuk selama-lamanya.
Melihat hal ini, Dewa Arak pun sadar, tidak ada gunanya lagi dia berteriakteriak dan menguncang-guncangkan tubuh itu. Arya pun lalu membopong mayat Eyang
Tapakjati. Kemudian beranjak bangkit dan berjalan
pelahan meninggalkan tempat itu. Tapi, baru beberapa tindak melangkah, terdengar
suara bentakan nyaring.
"Pencuri keparat! Jangan lari kau...!"
Seketika itu juga Dewa Arak menghentikan langkahnya.
Dibalikkan tubuhnya, menghadap bangunan tempat tinggal kakek gurunya, tempat
asal suara bentakan itu. Dilihatnya seorang pemuda berlari cepat ke arahnya.
Dewa Arak pun berdiri menunggu. Ingin diketahuinya, siapa pemuda yang datang
dari rumah tempat tinggal kakek gurunya.
Tak lama kemudian, pemuda itu pun telah berada di
depan Dewa Arak, dalam jarak sekitar tiga tombak. Arya memperhatikan pemuda itu
dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Seorang pemuda bertubuh agak pendek,
berwajah tampan, berpakaian merah muda.
"Siapa kau, Kisanak" Dan mengapa menuduhku
pencuri?" tanya Arya. Nada suaranya terdengar agak ketus.
Pemuda ini tidak senang dimaki seperti itu.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Kisanak,"
sergah pemuda berbaju merah muda itu sinis.
Kalau saja saat itu Dewa Arak berada dalam keadaan biasa, mungkin emosinya masih
bisa dikuasai. Tapi karena perasaan pemuda berambut putih keperakan ini sedang
kacau, sikap pemuda baju merah muda itu membuat
amarahnya meledak.
"Tidak usah berbelit-belit, Kisanak!" potong Arya keras.
"Katakan, apa maksudmu sebenarnya?"
"Kau adalah pencuri!" tandas pemuda berbaju merah muda itu keras.
"Keparat! Jelaskan maksudmu, sebelum habis
kesabaranku!"
Pemuda berpakatan merah muda itu tersenyum sinis.
"Mayat yang kau bawa itu adalah mayat guruku! Apakah bukan pencuri namanya kalau
seseorang membawa kabur hak milik orang lain?"
Seketika itu juga kemarahan Dewa Arak mereda. Urat-urat syarafnya yang tadi
menegang kini mulai mengendur.
"Jadi, kau murid Eyang Tapakjati?" tanya Arya meminta kepastian.
Pemuda berbaju merah muda itu mengangguk.
Secercah senyuman sinis tersungging di mulutnya.
"Benar! Namaku Jayalaga!"
"Ah! Kalau begitu ada kesalahpahaman di sini," ucap Arya pelan, lebih mirip
desahan. Senyum sinis pemuda berpakaian merah muda yang
ternyata bemama Jayalaga semakin melebar.
"Kesalahpahaman"! Sandiwara macam apa lagi yang kau mainkan, Pencuri"! Ayo,
katakan siapa kau sebenarnya!"
Wajah Dewa Arak kembali memerah. Lagi-lagi dia
mendapat makian seperti itu. Kalau saja tidak ingat pemuda yang berdiri di
hadapannya ini adalah murid kakek gurunya, sudah sejak tadi diberinya hajaran.
Tapi, Arya menyabarkan diri.
"Aku bukan pencuri, Kisanak! Dan aku juga tidak sedang bersandiwara. Aku Arya,
Arya Buana. Ayahku, Tribuana adalah murid Eyang Tapakjati. Jadi, aku terhitung
cucu murid gurumu!" Jelas Arya panjang lebar.
Senyum sinis di wajah Jayalaga belum juga sirna,
kendati Dewa Arak telah memperkenalkan dirinya.
"Lalu, mengapa kau hendak mencuri mayat guruku?"
"Ehm...!" Dewa Arak berdehem untuk meredakan amarah yang bergelora di hatinya.
Murid kakek gurunya ini benar-benar keterlaluan. Diam-diam Arya bingung sendiri.
Tidak salahkah kakek gurunya ini mengangkat murid"
Mengapa sikapnya begitu kasar dan sombong" Tapi,
pemuda berambut putih keperakan ini menelan
kemarahannya. Biar bagaimanapun, pemuda di hadapannya ini masih terhitung paman
gurunya dan dia harus menghormatinya.
"Mungkin kau lupa. Bukankah tadi sudah kukatakan kalau aku bukan pencuri"!" ucap
Arya setengah memprotes. Perasaan tidak senangnya pada pemuda baju merah muda
ini membuatnya enggan untuk memanggil
Jayalaga, paman guru.
"Mana ada pencuri mengaku"!" dengus Jayalaga.
"Dengar dulu penjelasanku!" selak Arya agak keras.
"Ahhh...! Kau berani membentakku"! Aneh..! Mana ada murid keponakan bersikap
kurang ajar pada paman
gurunya! Sikapmu semakin membuatku yakin kalau kau ini adalah seorang pencuri!"
"Aku terpaksa bicara kasar karena kau tidak mau mendengar penjelasanku!" semakin
meninggi ucapan Dewa Arak.
Lagi-lagi Jayalaga tersenyum sinis.
"BaiKiah, kudengarkan alasanmu. Bicaralah!"
Terdengar suara gemeretak ketika seluruh tulang-tulang Dewa Arak berkerotokan.
Kemarahannya yang berkobar membuat tenaga dalamnya bergolak sendiri, dan membuat
tulang-tulangnya bergemeretakan.
Pemuda berbaju merah muda itu terkejut juga begitu mendengar suara berkerotokan
keras. Sesaat sepasang matanya menatap Dewa Arak penuh kekaguman, tapi di lain
saat sudah kembali seperti biasa, memandang penuh ejekan.
"Semula kukira almarhum Eyang Tapakjati tidak mempunyai murid lagi selain ayahku
dan Paman Wanayasa. Maka begitu kulihat dia telah tewas, kubawa dia pergi. Beliau akan
kukuburkan di tempat yang layak."
jelas Arya. "Pintar juga kau memberi alasan! Tapi, aku perlu bukti kebenaran ucapanmu!"
"Maksudmu?" tanya Arya masih belum mengerti.
"Kau harus membuktikan kalau kau benar cucu murid Eyang Tapakjati!" tandas
pemuda baju merah muda itu tegas.
"Bagaimana caranya?"
"Kita bertarung!" sahut Jayalaga tegas.
"Bertarung"!" Arya mengerutkan alisnya.
"Ya! Jaga seranganku! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan Dewa
Arak yang belum bersiap, dan juga tubuh Eyang Tapakjati yang masih berada dalam
pondongan Arya, Jayalaga telah menerjang. Tangan kanannya menyampok keras ke
arah pelipis. Wuukkk...! Angin berhembus keras sebelum serangan itu sendiri tiba.
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Perasaan heran kian menyelimuti hatinya. Benarkah
pemuda berbaju merah muda ini murid kakek gurunya" Kalau memang benar,
kenapa sikapnya mencurigakan sekali" Tindak-tanduknya mencerminkan sikap tokoh
persilatan beraliran hitam!
Menyerang pun tidak mempedulikan siap atau tidaknya Lawan.
Tapi, sungguh pun begitu, Dewa Arak tidak menjadi
gugup. Buru-buru tubuhnya didoyongkan ke belakang, sehingga serangan itu lewat
sejengkal di depan wajahnya.
Jayalaga menggeram keras tatkala mengetahui
serangannya begitu mudah dielakkan lawan. Tangan
kirinya pun segera menyusuli dengan sebuah sapuan dari bawah ke atas, ke arah
rahang Dewa Arak.
Melihat hal ini, kecurigaan Dewa Arak kian bertambah besar. Benarkah Jayalaga
ini murid kakek gurunya"
Rasanya mustahil! Tidak sadarkah pemuda itu kalau
serangan-serangan yang dilakukannya dapat mengenai gurunya sendiri"
Dewa Arak tidak punya pilihan lain. Mayat kakek
gurunya harus diselamatkan dulu. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak ingin
mayat kakek gurunya terkena sasaran serangan nyasar Jayalaga yang nampaknya
tidak mempedulikan mayat gurunya itu.
"Hih...!"
Dewa Arak melempar tubuhnya ke belakang, kemudian
bersalto beberapa kali di udara. Tapi, Jayalaga rupanya tidak ingjn memberi
kesempatan pada lawannya. Begitu dilihatnya tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu melenting ke udara, bergegas melompat menyusul seraya mengirimkan
serangan-serangannya.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki Arya menjejak tanah.
Tapi secepat itu pula, tubuhnya kembali dilempar ke belakang. Karena begitu
kedua kakinya mendarat, Jayalaga pun telah mendaratkan kedua kakinya, seraya
mengirimkan sebuah tendangan melingkar.
Wuuuttt..! Tendangan kaki Jayalaga mengenai tempat kosong,
karena tubuh Dewa Arak sudah tidak ada lagi di situ.
Pemuda berpakaian merah muda itu menggeram keras.
Sekilas dilihatnya Arya telah meletakkan mayat Eyang Tapakjati di tanah.
"Rupanya kau menginginkan nyawaku, Jayalaga,"
gumam Arya pelan, tapi terdengar cukup keras di telinga Jayalaga. Dalam
kedongkolannya, Arya tidak memanggil Paman Guru kepada Jayalaga. Tambahan lagi
memang Dewa Arak masih meragukan pengakuan pemuda itu.
Pelahan-lahan kakinya dilangkahkan menghampiri
Jayalaga. "Tidak usah banyak bacot, Pencuri Busuk! Keluarkan seluruh kemampuanmu, kalau
kau tidak ingin mati sia-sia di tanganku!"
"Orang sepertimu harus diberi pelajaran, Jayalaga! Agar kau sadar, bahwa tidak
hanya kau saja yang memlliki kepandaian di dunia ini!"
"Tutup mulutmu, Pencuri! Hiyaaa...!"
Jayalaga melesat menerjang Dewa Arak. Tubuhnya
meluncur cepat di udara, seraya melontarkan tendangan ke dada Arya.
Dewa Arak hanya tersenyum kecut. Pemuda berbaju
ungu ini ingin membuktikan pada Jayalaga kalau dia adalah cucu murid Eyang
Tapakjati. Maka segera
dimainkan ilmu yang telah diwarisi dari ayahnya, ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau', dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'.
Begitu serangan kaki itu telah menyambar dekat, segera Dewa Arak memapak dengan
kedua tangan terkepal
disilangkan di depan dada. Dewa Arak tidak bersikap main-main lagi. Segera
dikeluarkannya tiga perempat bagian tenaga dalamnya.
Bukkk! Suara benturan keras terdengar, begitu kaki dan tangan yang sama-sama dialiri
tenaga dalam tinggi itu beradu.
Seketika itu juga tubuh Jayalaga terpental kembali ke belakang. Sekujur kaki
yang tertangkis tangan Dewa Arak terasa sakit bukan main. Seolah-olah tulangtulangnya berpatahan.
Meskipun begitu, dengan sebuah gerakan indah dan
manis, Jayalaga mampu mematahkan tenaga yang
membuat tubuhnya terlempar ke belakang. Tubuhnya
berputar beberapa kali di udara, kemudian mendarat di tanah dengan agak
terhuyung-huyung. Tampak mulutnya menyeringai kesakitan. Rupanya kaki yang
tertangkis tangan Dewa Arak tadi masih terasa ngilu bukan maiin.
Jayalaga terperanjat kaget. Pemuda berbaju merah
muda ini pun sadar kalau lawan memiliki tenaga dalam yang jauh lebih kuat
darinya. Maka dia tidak mau bertindak bodoh untuk mengadu tenaga dalam lagi
dengan Dewa Arak. "Hiaaat...!"
Sambil memekik nyaring, Jayalaga kembali menyerang Dewa Arak. Kedua tangannya
yang bergerak cepat
Dewa Arak 10 Tiga Macan Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memainkan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga',
menyambar-nyambar mencari sasaran.
Jayalaga tidak tahu kalau lawan yang dihadapinya
adalah Dewa Arak. Maka meskipun telah dikerahkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya, mudah saja bagi Dewa Arak untuk
mengkandaskan semua serangan
Jayalaga. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang jauh berada di atas lawannya,
tidak sulit bagi Arya untuk mengelakkan setiap serangan.
Sebaliknya setiap serangan balasan Dewa Arak membuat Jayalaga kalang kabut. Bahkan beberapa kali
serangan Arya hampir mengenai sasaran. Hanya dengan terpontang-panting saja
pemuda baju merah muda itu berhasil mengelakkannya.
Pertarungan antara kedua orang yang menggunakan
jurus-jurus yang memiliki kemiripan satu sama lain itu berlangsung cepat. Tapi
pertarungan jadi kurang menarik, karena kedua belah pihak telah cukup mengenal
jurus masing-masing. Dan dengan sendirinya telah bisa
memperkirakan arah serangan yang dituju, dan ke mana arah serangan selanjutnya
akan dilancarkan.
Jayalaga mengerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya. Pemuda berbaju merah muda ini nampaknya bersemangat sekali untuk
bisa menjatuhkan lawannya.
Tapi, setelah pertarungan berlangsung tiga puluh lima jurus, pelahan namun pasti
murid Eyang Tapakjati ini terdesak.
Memang dalam hal mutu ilmu silat, Jayalaga tidak kalah.
Tapi dalam hal kekuatan tenaga dalam dan ilmu
meringankan tubuh, pemuda berbaju merah muda ini
berada di bawah lawannya. Maka tidak mengherankan
kalau pemuda ini segera saja terdesak. Berkali-kali, karena terpaksa dan tidak
ada jalan lain lagi, Jayalaga terpaksa menangkis serangan Dewa Arak. Dan
akibatnya sudah bisa diduga. Tubuhnya pun terjengkang ke belakang, dengan dada
terasa sesak. Tapi meskipun begitu, Jalayaga yang memang terhitung orang yang mempunyai sifat
keras hati, tidak mau
menyerah. Tetap saja dia menyerang semakin dahsyat.
Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak menjadi jengkel.
Jayalaga terhitung pemuda yang tidak tahu dikasih hati, pikirnya. Sungguh pun
pemuda yang ini, menilik ilmu-ilmu yang dimainkannya, benar murid kakek gurunya.
Dan dengan sendirinya terhitung paman guru Dewa Arak, perlu diberi pelajaran agar
tidak bersikap seperti itu lagi pada orang lain.
"Hiaaat..!"
Jayalaga mengirimkan serangan berupa tinju kanan ke arah dada Dewa Arak. Kali
ini Arya yang memang
bermaksud memberi hajaran, segera bertindak. Segera tubuhnya didoyongkan ke
kanan, seraya mengangkat
tangan kiri menangkis.
Wuuuttt..! Plakkk!
Untuk yang kesekian kalinya. Jayalaga menyeringai
kesakitan. Dan sebelum dia sempat berbuat sesuatu, kaki kanan Dewa Arak telah
melayang ke arah dada. Buru-buru diletakkan tangan kirinya ke bawah, menangkis
tendangan itu. Takkk! Bukkk...!
"Hugh...!"
Tubuh Jayalaga tenengkang ke belakang ketika
tendangan Dewa arak menghantam perutnya. Keras bukan main tendangan itu.
Sehingga beberapa saat lamanya, pemuda berbaju merah muda ini hanya mampu
membungkukkan tubuh sambil memegang perutnya
Diam-diam di dalam hati. Jayalaga takjub akan kejadian yang terjadi begitu
cepat. Sungguh tidak disangkanya kalau kaki pemuda berambut putih keperakan itu
mampu mengirimkan tendangan berantai yang begitu cepat. Begitu tendangannya ke arah
dada tertangkis, Dewa Arak menarik pulang kakinya sedikit. Dan secepat itu pula
menyusulinya dengan tendangan ke perut.
"Bagaimana?" tanya Arya seraya menghampiri Jayalaga yang masih membungkukkan
tubuh. "Masih perlukah bukti kalau aku termasuk cucu murid Eyang Tapakjati?"
Pelahan-lahan Jayalaga meluruskan kembali tubuhnya.
Mulutnya menyeringai, begitu merasakan sakit yang
mendera ketika tubuhnya diluruskan.
"Tidak, tidak perlu lagi. Kau memang jelas cucu murid guruku." sahut pemuda
berpakaian merah muda itu cepat.
Sejak tadi pun sudah diketahuinya kalau pemuda
berambut putih keperakan itu adalah cucu murid Eyang Tapakjati. Ilmu 'Sepasang
Tangan Penakluk Naga' yang dimainkan pemuda berambut putih keperakan itu telah
membuat persoalannya menjadi jelas.
*** 3 "Kalau begitu, mari kita urus mayat Kakek Guru dulu," usul Dewa Arak.
"Usul yang baik sekali." sahut Jayalaga cepat. Lega hati Dewa Arak melihat
sambutan pemuda berbaju merah
muda itu yang kini sudah tidak sinis seperti sebelumnya.
Sesaat kemudian. Arya segera beranjak menuju tempat mayat Eyang Tapakjatl
tergolek. Dengan mulut masih menyeringai, Jayalaga segera
melangkah di belakang Dewa Arak.
Arya membungkukkan tubuhnya, dan membopong
kembali mayat kakek gurunya. Dibawanya mayat itu ke sebuah tempat di bawah pohon
yang rindang. Tempat yang diperkirakannya cocok untuk menjadi peristirahatan
terakhir Eyang Tapakjati.
Setelah meletakkan mayat itu kembali di tanah, Dewa Arak mulai sibuk menggali
sebuah lubang di bawah
kerimbunan pepohonan yang lebat. Berkat tenaga
dalamnya yang memang sudah mencapai tingkatan tinggi, tidak sulit bagi Dewa Arak
untuk menggali.
Sesaat kemudian sebuah lubang untuk mengubur mayat manusia telah siap. Segera
Jayalaga menaruh mayat Eyang Tapakjati di dalam lubang itu. Kemudian Dewa Arak
bersama pemuda berpakaian merah muda itu bersama-sama menimbuninya dengan
gumpalan tanah dan batu-batu.
Dewa Arak menatap wajah Jayalaga tajam-tajam. Dalam jilatan cahaya matahari yang
sudah agak tergelincir ke Barat, dilihatnya pemuda itu tertunduk sedih. Bahkan
sepasang matanya merembang berkaca-kaca. Sepertinya kematian gurunya membuat
pemuda itu terpukul!
Kematian Eyang Tapakjatikah yang membuat sikap
pemuda berbaju merah muda ini jadi aneh" duga Dewa Arak dalam hati.
"Sudahlah, Paman. Kematian Eyang Tapakjati tidak perlu kita sesali. Yang sudah
berlalu biarkan berlalu.
Walaupun kita mengeluarkan air mata darah, yang telah mati tidak akan bangkit
kembali," hibur Dewa Arak. Kini pemuda berambut putih keperakan itu memanggil
Jayalaga dengan panggilan menghormat.
"Aku menyesal sekali, Arya. Kau bisa berkata begitu karena tidak melihat sendiri
kematian Eyang Tapakjati, sedangkan aku" Aku melihat dengan mata kepala sendiri
ketika salah satu dari tiga orang sakti itu membantainya!
Kalau saja tidak mengingat pesan Guru, sudah sejak tadi aku terjun ke kancah
pertempuran membantunya menghadapi orang-orang biadab itu!" bantah Jayalaga
keras. Memang Dewa Arak telah memberitahukan namanya
selagi mereka mengubur mayat Eyang Tapakjati.
"Jadi, Paman melihat semua kejadian itu?" tanya Arya terkejut.
"Yahhh ..." Jayalaga menganggukkan kepalanya.
"Paman kenal orang yang telah membunuh Eyang?"
tanya Arya lagi.
Agak ragu-ragu pemuda berpakaian merah muda itu
menganggukkan kepalanya.
"Aku hanya tahu kalau kedatangan mereka hendak mencari seorang pemuda yang
berjuluk Dewa Arak. Mereka berjuluk Tiga Macan Lembah Neraka. Kedatangan mereka
untuk menuntut balas atas kematian Raksasa Rimba
Neraka." Dewa Arak mengerutkan alisnya. Cerita Jayalaga sudah didengarnya dari mulut
Eyang Tapakjati.
"Apakah kau dapat mengingat ciri-ciri ketiga orang itu, Paman?" tanya Dewa Arak
lagi. "Aku ingat, Arya," sahut Jayalaga sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian
diceritakannya ciri-ciri ketiga orang yang berjuluk Tiga Macan Lembah Neraka
itu. "O ya, Paman. Aku masih belum mengerti dengan sikap Paman tadi," ucap Dewa Arak
tak kuat menyimpan perasaan itu.
"Hhh...!" Jayalaga menghela napas panjang. "Lupakanlah, Arya. Tadi aku masih
terpukul dengan kematian Eyang Tapakjati"
"Lalu sikap Paman yang menyerang tanpa mempedulikan mayat Kakek Guru tadi?" tanya Arya lagi.
Jayalaga tersenyum.
"Itu memang kusengaja, Arya. Aku hanya ingin
mengetahui kebenaran pengakuanmu. Kalau kau memang benar cucu murid Eyang
Tapakjati, tentunya kau akan melindungi mayat itu mati-matian. Tapi bila kau
hanya mengaku-aku saja, pasti kau tidak akan mempeduli-kannya," jelas Jayalaga.
"Ah...!" Dewa Arak berseru kaget. Kini baru dimengertinya mengapa pemuda
berpakaian merah muda ini menyerang kalang-kabut. Sesaat suasana pun menjadi
hening. "Kalau begitu, aku pergi dulu, Paman. Aku akan mencari mereka," ucap Arya tibatiba. "Tunggu dulu, Arya," cegah Jayalaga cepat "Kita pergi sama-sama. Setelah
kematian Guru, rasanya aku sudah tidak betah lagi tinggal di sini."
"Kalau begitu, cepatlah, Paman," sambut Dewa Arak tidak sabar.
"Tunggu sebentar, Arya."
"Ada apa lagi, Paman?"
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Arya."
"Apa itu, Paman?"
Jayalaga terdiam. Ditatapnya wajah Dewa Arak dalam-dalam.
"Apakah kau yang berjuluk Dewa Arak, Arya?" tanya pemuda berbaju merah muda itu.
Sejak tadi sewaktu Dewa Arak memberitahukan namanya, Jayalaga telah berpikir
keras. Mengingat-ingat di mana pernah didengamya nama itu. Dan baru sekarang
saja dia teringat kembali.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas dalam-dalam.
"Begitulah orang menjulukiku, Paman."
"Julukan yang aneh," desah Jayalaga sambil tersenyum.
Sepasang matanya menatap sekilas pada guci arak yang tersampir di punggung Dewa
Arak. "Mungkin karena aku selalu meminum arak sebelum bertarung," kilah Arya begitu
dilihatnya sepasang mata paman gurunya melirik ke arah guci arak di punggungnya,
"Mengapa begitu, Arya?" tanya Jayalaga lagi.
Pahlawan Dan Kaisar 12 Pedang Keadilan Karya Tjan I D Pertarungan Para Pendekar 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama