Ceritasilat Novel Online

Tinju Penggetar Bumi 1

Dewa Arak 15 Tinju Penggetar Bumi Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com
daftar judul cersil bag 7 :361 Sepasang Naga Lembah Iblis362 Pendekar Pedang
Pelangi363 Pembakaran Kuil Thian Lok Si364 Pendekar Tongkat dari Liongsan365
Wanita Iblis Pencabut Nyawa366 Sakit Hati Seorang Wanita367 Pendekar Dari Hoa
San368 Pendekar Wanita Baju Putih369 Rahasia Iblis Cantik370 Pusaka Negeri
Tayli371 Manusia Serigala372 Pedang Kiri Pedang Kanan373 Rahasia Gelang
Pusaka374 Si Dungu375 Irama Suling Menggemparkan Rimba Persilatan376 Misteri
Elang Hitam377 Iblis Ular Hijau378 Badai Awan Angin379 Naga Dari Selatan380 Heng
Thian Siau To381 Kisah Membunuh Naga382 Pendekar Pedang Sakti383 Anak Harimau384
Harimau Mendekam Naga Sembunyi385 Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun386 Tamu Aneh
Bingkisan Unik387 Pendekar Patung Emas388 Eng_Djiauw_Ong389 Imam Tanpa
Bayangan390 Pusaka Rimba Hijau391 Pendekar Misterius392 Bunga Ceplok Ungu393
Pedang Sakti Tongkat Mustika394 Dendam Dan Prahara Di Bhumi SRIWIJAYA395 Naga
Bumi I Jurus tanpa Bentuk396 Naga Bumi II Buddha, Pedang dan PenyamunTerbang397
Naga Bumi III KITAB ILMU SILAT KUPU KUPUHITAM398 Perang Ilmu Gaib399 Sepak
Terjang Hui Sing Murid PerempuanCheng Ho400 Sepasang Pedang Pusaka Matahari
danRembulan401 SUMA HAN DI MINAHASA402 Omega Swordsman403 Kehidupan Para
Pendekar404 Rimba dan Gunung Hijau405 Sembilan Pusaka Wasiat Dewa406 Pusaka
Golok Iblis Dari Tanah Seberang407 Munculnya Jit Cu Kiong (Istana
MustikaMatahari)408 Hancurnya Sian Thian San409 Panggung Penghukum Dewa410
Perang Bangsa Naga411 Sengatan Satu Titik Bag 1412 Sengatan Satu Titik Tamat413
Pendekar Elang Salju414 Istana Tanpa Bayangan 1415 Istana Tanpa Bayangan 2416
Senopati Pamungkas 1417 Senopati Pamungkas 2418 Wisang Geni - Pendekar Tanpa
Tandingan419 Manusia Harimau420 Manusia Harimau Merantau Lagi
PENGGETAR BUMI Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit Aji Saka
Serial Dewa Arak
dalam episode: Tinju Penggetar Bumi 128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Wusss! Angin berhawa panas membawa debu
berhembus kencang. Saat itu hari
memang sudah agak siang. Matahari telah cukup terik membakar kulit
Sebuah iring-iringan kereta yang
dikawal oleh rombongan berkuda tampak melalui sebuah jalan tanah di kaki Gunung
Campa. Tampak dalam kereta kuda itu
duduk seorang bangsawan, atau paling tidak pembesar kerajaan. Ini
dibuktikan oleh sebuah tangan yang terbungkus baju dari bahan indah dan mewah.
Tangan itu menyeruak tirai yang menutupi pintu kanan kereta.
"Masih jauh Desa Kujang itu, Cakar Pengejar Sukma?"
Seorang laki-laki bertubuh kurus
dan bermuka pucat kekuningan menoleh.
Ditatapnya sejenak raut wajah yang menyembul dari balik tirai yang
tersingkap itu. Kudanya segera diper-lambat dan disejajarkan di samping kereta
kuda itu. "Tidak begitu jauh lagi, Gusti Adipati," jawab laki-laki kurus yang rupanya
berjuluk Cakar Pengejar Sukma.
"Aku agak khawatir, Cakar
Pengejar Sukma," desah orang yang berada dalam kereta itu. Dia ternyata adalah
laki-laki pendek gemuk berusia
sekitar lima puluh tahun. Kulit
wajahnya yang putih semakin terlihat putih, dalam pakaiannya yang berwarna
gelap. Dari tanda di baju bagian
leher, tampaknya dia memang seorang adipati.
"Apa yang dikhawatirkan Gusti Adipati?" tanya Cakar Pengejar Sukma pelan.
Kudanya tetap dijalankan
perlahan agar tidak meninggalkan
kereta yang bergerak tertatih-tatih, karena keadaan jalan yang buruk itu.
"Sering kudengar, di daerah ini banyak terjadi perampokan, Cakar
Pengejar Sukma...."
"Gusti Adipati tidak perlu
khawatir. Jauh-jauh hari, semua ini sudah kuperhitungkan. Bukankah rekanku yang
berjuluk Lutung Tenaga Raksasa telah kuajak untuk ikut mengawal
Gusti" Apabila dia ikut bersama kita, kujamin tidak ada perampok yang berani
mencari penyakit mencegat rombongan Gusti!" tegas Cakar Pengejar Sukma yakin.
"Apalagi masih ada pasukan Gusti sendiri."
Setelah berkata demikian, Cakar
Pengejar Sukma mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang iring-iringan kereta
itu dikawal serombongan
prajurit berkuda di kanan, kiri,
depan, dan belakang. Sementara di kanan kereta, ada Cakar Pengejar
Sukma. Sedangkan di kiri kereta,
tampak seorang laki-laki tinggi besar dan kekar. Kulitnya hitam legam. Di
telinga kirinya nampak bergantung sebuah anting-anting sebesar gelang terbuat
dari baja hitam. Dialah yang berjuluk Lutung Tenaga Raksasa.
Laki-laki pendek gemuk yang
menjabat adipati itu menganggukanggukkan kepalanya. Lenyap sudah kecemasan yang tadi membayang di
wajahnya. Kembali tangannya digerakkan
untuk menutup tirai pintu kereta.
Sesaat kemudian suasana kembali
hening. Yang terdengar hanyalah derak roda kereta yang menggilas jalan tanah
berkerikil tajam.
Tak lama kemudian, iring-iringan
itu mulai menempuh jalan yang agak mulus. Di kanan kirinya terpampang dinding
batu yang menjulang tinggi ke langit.
Cakar Pengejar Sukma mengawasi
sekitar tempat itu. Sebagai orang yang telah mempunyai wawasan luas, dia tahu
kalau tempat ini menguntungkan sekali bagi perampok untuk menjalankan
niatnya. Rombongan perampok tinggal menghujani mereka yang berada di bawah
dengan batu-batu besar dan kecil.
Kemudian, menyerang dari arah belakang dan depan. Maka tidak ada jalan lolos
bagi rombongan itu.
Meskipun yakin kalau julukan
rekannya ditakuti kaum perampok, Cakar Pengejar Sukma masih tetap merasa
khawatir juga. Tapi ternyata kekhawa-tirannya sama sekali tidak terbukti.
Ketika hampir tiba di ujung dinding yang terpampang di kanan kiri jalan, tidak
terjadi hal yang dikhawatirkan.
Baru setelah kira-kira sepuluh
tombak lagi keluar dari kungkungan dinding tebing batu yang tinggi, hati Cakar
Pengejar Sukma agak tercekat.
Tampak agak jauh di depannya, berdiri seorang laki-laki setengah tua
berpakaian coklat. Rambutnya merah, dan digelung. Kakek ini berdiri
bertolak pinggang di tengah-tengah jalan sempit itu.
"Dewa Rambut Merah...," desis Cakar Pengejar Sukma. Keterkejutan yang amat
sangat menghias wajahnya.
Memang laki-laki berwajah pucat
kekuningan ini kenal betul pada kakek berpakaian coklat itu.
Srattt, srattt..!
Sinar-sinar terang berkilauan
langsung berpendar, begitu para
prajurit yang berada di bagian depan menghunus senjata masing-masing.
"Tahan...!"
Para prajurit yang sudah bersiap
segera menghentikan gerakan, begitu mendengar cegahan. Mereka mengenal betul,
siapa pemilik suara itu. Cakar
Pengejar Sukma! Orang kepercayaan junjungan mereka, Adipati Kalingga, penguasa
Kadipaten Campa. Sebentar kemudian, Cakar Pengejar Sukma
melompat turun dari punggung kudanya.
"Hup!"
Ringan sekali gerakannya. Jelas,
ilmu meringankan tubuhnya telah cukup tinggi. Secepat kedua kakinya menjejak
tanah, secepat itu pula Cakar Pengejar Sukma melangkah maju. Sementara iringiringan kereta langsung berhenti.
Ternyata bukan hanya Cakar
Pengejar Sukma saja yang melangkah maju. Lutung Tenaga Raksasa pun
melompat turun dari punggung kuda, lalu melangkah maju. Dan bersama-sama
rekannya, dia berjalan menghampiri kakek berpakaian coklat itu. Langkah mereka
berhenti begitu telah berjarak sekitar empat tombak dari Dewa Rambut Merah.
"Kalau mataku tidak salah lihat, bukankah sekarang aku tengah
berhadapan dengan Dewa Rambut Merah?"
sapa laki-laki berwajah pucat
kekuningan itu. Nada suaranya
terdengar lembut dan sopan.
"Kalau betul, memangnya kenapa, Anjing Kecil"!" sahut kakek berpakaian coklat
itu kasar. Wajah Cakar Pengejar Sukma
seketika berubah merah. Kemarahan yang hebat mulai membakar hati orang
kepercayaan Adipati Kalingga ini.
Dengan baik-baik dia bertanya, tapi jawaban yang diterima benar-benar
menyakitkan! Terdengar geram kemarahan dari
mulut Lutung Tenaga Raksasa. Bahkan bukan hanya laki-laki tinggi besar ini saja.
Malah prajurit-prajurit yang masih bersikap waspada pun
menggertakkan gigi, geram melihat pemimpin mereka dihina.
Meskipun kemarahan hebat melanda
hatinya, Cakar Pengejar Sukma masih berusaha bersabar. Rasa khawatir akan
keselamatan Adipati Kalinggalah yang menyebabkan penghinaan itu ditelan mentahmentah. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskan kuat-kuat, untuk
meredakan kemarahan yang
bergejolak dalam dadanya.
"Mengapa kau menghadang jalan jami, Ki" Tidak tahukah kalau yang berada dalam
kereta itu Adipati
Kalingga?" suara Cakar Pengejar Sukma sudah tidak selembut sebelumnya.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba tawa kakek yang
diyakini Cakar Pengejar Sukma sebagai Dewa Rambut Merah meledak. Keras
sekali tawanya, dan pasti dikerahkan lewat tenaga dalam penuh.
Kaki seluruh prajurit nampak
gemetar. Bahkan Cakar Pengejar Sukma dan Lutung Tenaga Raksasa terpaksa
mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh suara tawa, yang membuat dada
bagai diguncang-guncang. Telinga
mereka pun terasa sakit bukan main.
Untunglah Dewa Rambut Merah tidak meneruskan suara tawa. Dengan
demikian, para prajurit, Cakar
Pengejar Sukma, serta Lutung Tenaga Raksasa tidak menderita terlalu lama.
"Kau kira aku takut pada Adipati Kalingga, Kuda Buduk"! Ha ha ha...!
Lucu! Jangankan hanya adipati. Biar raja sekalipun, aku tidak takut!"
sambung Dewa Rambut Merah lagi setelah tawanya selesai. Nada kesombongan nampak
jelas, baik dalam raut wajah mau pun suaranya.
"Jadi, apa maumu sebenarnya, Dewa Rambut Merah?" tanya Cakar Pengejar Sukma.
Hati laki-laki bermuka pucat itu
marah bercampur tegang, karena sudah bisa memperkirakan apa yang akan
terjadi. Dia benar-benar marah, karena sudah dua kali dihina Dewa Rambut Merah.
"Hanya sepele saja...," jawab Dewa Rambut Merah, bernada ringan.
"Apa itu?" Cakar Pengejar Sukma masih mencoba bersabar.
"Nyawa kalian semua."
Tetap kalem jawaban kakek
berpakaian coklat itu. Seolah-olah,
yang diucapkannya hanya suatu masalah yang sama sekali tidak ada harganya.
"Keparat!"
Terdengar geraman keras dari
mulut Lutung Tenaga Raksasa. Kema-rahannya tidak bisa ditahan lagi.
Meskipun bukan dirinya yang mengalami penghinaan, tapi baginya Cakar
Pengejar Sukma sudah lebih dari
seorang saudara. Maka tangannya pun bergerak cepat. Sebatang tongkat
berwarna coklat dari kayu pohon daru-daru, diputar-putarkan di atas kepalanya.
Wuk, wuk...! Suara mengaung keras terdengar
begitu tongkat itu berputar cepat laksana gasing. "Hiyaaa...!"
Seraya mengeluarkan teriakan
melengking nyaring, laki-laki tinggi besar berkulit hitam ini melompat
menerjang. Tongkat yang digenggam dalam kedua tangan, dibabatkan ke arah kepala
Dewa Rambut Merah.
Wuttt! Desir angin keras hingga
menimbulkan suara mengaung, mengiringi kedatangan serangan tongkat. Jelas,
tenaga dalam yang terkandung dalam ayunan tongkat ini begitu kuat. Hal ini tentu
saja tidak aneh, mengingat julukan yang disandang laki-laki
tinggi besar berkulit hitam ini.
Lutung Tenaga Raksasa!
"Hhh...."
Dewa Rambut Merah hanya
mendengus. Kemudian kaki kanannya ditarik selangkah ke belakang, seraya menarik
kepala. Maka serangan itu lewat setengah jengkal di depan
wajahnya. Belum juga kakek berpakaian
coklat ini berbuat sesuatu, serangan dari Cakar Pengejar Sukma menyambar tiba.
Laki-laki berwajah pucat
kekuningan ini tahu kalau bukan
tandingan Dewa Rambut Merah. Maka, tanpa ragu-ragu lagi segera membantu Lutung
Tenaga Raksasa.
Dan sekali menyerang, Cakar
Pengejar Sukma sudah langsung
menggunakan senjata andalan. Sepasang cakar besi yang bentuk dan panjangnya sama
seperti tangan manusia, mulai dari sikut sampai ke jari-jari.
Cuittt, cuittt...!
Suara bercuitan nyaring dari
udara yang terobek gerakan cakar besi itu mengiringi tibanya serangan Cakar
Pengejar Sukma. Yang kanan menyampok keras ke atas kepala, sementara yang kiri
menyilang di depan dada.
Cepat dan mendadak sekali tibanya serangan itu. Tapi masih lebih cepat lagi
gerakan yang dilakukan Dewa
Rambut Merah. Tubuh kakek berpakaian coklat ini segera merunduk sehingga
serangan itu lewat di atas kepalanya.
Hembusan angin dingin sampai terasa ke kulit kepala Dewa Rambut Merah, karena
cakar itu begitu dekat lewat di atas kepalanya.
Baru saja serangan itu berhasil
dielakkan Dewa Rambut Merah, kembali serangan Lutung Tenaga Raksasa
meluncur. Rupanya, kakek berpakaian coklat ini sama sekali tidak diberi
kesempatan untuk balas menyerang.
*** Walaupun kedua orang lawannya
sama sekali tidak memberi kesempatan untuk melancarkan serangan balasan, namun
Dewa Rambut Merah tak mengalami kesulitan untuk mengelak. Memang
selama beberapa jurus pertama kakek berpakaian coklat ini seperti
terdesak. Dihimpit dan dicecar terus-menerus. Tapi menginjak jurus ke lima, Dewa
Rambut Merah mulai unjuk gigi.
Meskipun hanya bertangan kosong,


Dewa Arak 15 Tinju Penggetar Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kedua lawannya menggunakan senjata andalan masing-masing, Dewa Rambut Merah
ternyata mampu menahannya.
Bahkan perlahan namun pasti mulai dapat mendesak.
"Haaat..!"
Sebelum Lutung Tenaga Raksasa berbuat sesuatu, tangan kiri Dewa Rambut Merah
telah bergerak cepat Tappp...! Tongkat kayu itu sudah tertangkap.
Lutung Tenaga Raksasa kaget bukan main. Dia berusaha sekuat tenaga menarik
tongkatnya kembali, tetapi tongkat itu sama sekali tidak bergeming!
Di jurus ke enam, Lutung Tenaga
Raksasa berteriak keras menggelegar laksana guntur. Kemudian tongkat di
tangannya ditusukkan cepat ke arah tenggorokan lawan.
Melihat hal itu, Dewa Rambut
Merah segera memiringkan sedikit
kepalanya, sehingga sodokan itu lewat sejengkal di sebelah lehernya. Dan,
sebelum laki-laki tinggi besar
berkulit hitam itu berbuat sesuatu, tangan kirinya telah cepat bergerak.
Tappp...! Tongkat kayu kuat dan berat yang
terbuat dari batang pohon daru-daru itu tertangkap.
Lutung Tenaga Raksasa kaget bukan main melihat hal ini. Segera saja seluruh
tenaga yang dimiliki
dikerahkannya untuk menarik kembali tongkatnya. Tapi kali ini, dia salah duga.
Tongkat itu sama sekali tidak bergeming. Padahal seluruh tenaganya telah
dikerahkan, sehingga seluruh urat di wajahnya bertonjolan keluar.
Sementara Dewa Rambut Merah terlihat tenang-tenang saja. Tidak nampak
tanda-tanda kalau kakek itu
mengerahkan tenaga.
Pada saat yang gawat itu, Cakar
Pengejar Sukma melompat menerjang. Dan dari atas, cakar besinya disabetkan ke
arah kepala Dewa Rambut Merah.
Cuittt...! "Hih!"
Dewa Rambut Merah menggertakkan
gigi. Sedangkan tangannya yang
menggenggam tongkat, bergerak
mencengkeram. Terdengar suara
berkeretakan pelan, disusul hancurnya tongkat pada bagian yang dicengkeram.
Karuan saja, hal ini membuat tubuh Lutung Tenaga Raksasa terhuyung-huyung ke
belakang. Berbarengan dengan itu, tubuh
kakek berpakaian coklat ini merendah sehingga serangan Cakar Pengejar Sukma
lewat di atas kepala. Tidak hanya itu saja. Tangannya segera bergerak cepat
menyambitkan patahan tongkat yang ada di genggaman ke arah Lutung Tenaga Raksasa
yang tengah terhuyung-huyung terbawa tenaga tarikan tongkatnya sendiri.
Singgg...! Suara mendesing nyaring terdengar, begitu potongan tongkat
meluncur. Cepat bukan main lesatannya, tak kalah dengan anak panah yang lepas
dari busur. Dalam keadaan demikian, rupanya
Lutung Tenaga Raksasa tidak mampu berbuat sesuatu. Matanya hanya
mendelik, menyiratkan ketakutan.
Maka.... Cappp! Telak dan keras sekali potongan
tongkat itu menghunjam ubun-ubun
Lutung Tenaga Raksasa sehingga amblas ke dalam kepalanya. Cairan merah
kental bercampur keputihan langsung muncrat-muncrat dari ubun-ubunnya yang
pecah. Seketika Lutung Tenaga Raksasa
meraung keras sambil memegangi
kepalanya. Tapi hanya sesaat saja, karena kemudian tubuhnya ambruk dan tidak
bergerak lagi. Cakar Pengejar Sukma kaget bukan
main melihat kejadian yang menimpa rekannya. Perasaan marah dan sedih langsung
bergejolak dalam dada. Dan perasaan yang bercampur aduk itu
dilampiaskan dengan amukan membabi buta terhadap Dewa Rambut Merah.
Pada kenyataannya, kepandaian
laki-laki kurus itu memang jauh di bawah kepandaian Dewa Rambut Merah.
Maka tidak heran kalau setiap
serangannya dapat dipatahkan dengan mudah oleh kakek berpakaian coklat itu.
"Hiyaaa...!"
Kembali pada jurus ke sembilan,
cakar besi di tangan Cakar Pengejar Sukma menyambar deras ke arah pelipis Dewa
Rambut Merah. Lagi-lagi kakek berpakaian coklat itu mendoyongkan tubuhnya ke
belakang, tanpa menggeser kaki. Maka serangan itu lewat di depan wajahnya.
Dan sebelum Cakar Pengejar Sukma
sempat berbuat sesuatu, kaki kiri Dewa Rambut Merah telah bergerak cepat.
Wuttt..! Bukkk! Suara berderak keras dari tulang
patah, terdengar begitu kaki kakek berpakaian coklat itu mengenai
pinggang Cakar Pengejar Sukma. Memang telak dan keras sekali, sehingga tubuh
laki-laki berwajah pucat kekuningan itu terjengkang ke belakang.
Dan belum lagi Cakar Pengejar
Sukma berbuat sesuatu, Dewa Rambut Merah sudah menghentakkan kedua tangan dengan
jari-jari terbuka ke depan.
Wusss! Bresss! Terdengar jeritan menyayat dari
mulut Cakar Pengejar Sukma. Tubuhnya seketika kembali melayang jauh ke belakang.
Darah segar seketika keluar dari mulut, hidung, dan tetinganya.
Pengawal kepercayaan Adipati Kalingga ini pun tewas seketika, tanpa mampu
bergerak lagi. Tentu saja kematian dua orang
andalan itu membuat prajurit-prajurit pengawal Adipati Kalingga kaget bukan
main. Bahkan Adipati Kalingga yang melihat kejadian dengan melongokkan kepala
dari pintu kereta, begitu
terperanjat Tapi hanya sebentar saja
keterkejutan yang melanda para
prajurit itu. Yang tinggal kini
hanyalah kemarahan bergelora. Maka sambil berteriak melengking nyaring, seluruh
prajurit yang berjumlah dua
belas orang itu menerjang Dewa Rambut Merah dengan senjata terhunus.
Singgg, singgg, singgg...!
Suara berdesing nyaring terdengar mengiringi tibanya serangan. Tapi, Dewa Rambut
Merah sama sekali tidak kelihatan gugup. Tubuhnya enak saja berkelebatan di
antara hujan serangan para pengeroyoknya. Memang dengan ilmu meringankan tubuh
yang berada amat jauh di atas lawan-lawannya, bukan merupakan kesulitan untuk
mengelakkan semua serangan.
Sebaliknya setiap kali dia
melancarkan serangan balasan, sudah dapat dipastikan akan ada sosok tubuh yang
roboh dalam keadaan tidak
bernyawa lagi. Jerit kematian terdengar saling
susul, mengiringi setiap tubuh
bergelimpang tanpa nyawa. Sesaat
kemudian, tidak ada lagi seorang
prajurit pun yang tersisa. Semuanya telah roboh bergeletakan di tanah.
"Ha ha ha...!"
Dewa Rambut Merah tertawa
bergelak. Ditatapnya sejenak mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah.
Kemudian dengan langkah-langkah lebar, dihampirinya kereta.
Tapi sekitar tiga tombak dari
kereta, langkahnya dihentikan. Tampak seorang laki-laki setengah tua
bertubuh pendek gemuk sudah membuka
pintu kereta dan melompat keluar. Di tangannya sudah tergenggam sebatang pedang.
Rupanya, Adipati Kalingga juga berniat mengadakan perlawanan.
"Ha ha ha...!"
Tawa Dewa Rambut Merah kembali
meledak. Sama sekali tidak dipedulikan sikap adipati dari Kadipaten Campa ini.
Kakinya terus melangkah
menghampiri. "Haaat...!"
Adipati Kalingga memekik
melengking nyaring, kemudian meluruk ke arah Dewa Rambut Merah. Seketika pedang
di tangannya dibabatkan ke arah leher.
"Hmh...!"
Dewa Rambut Merah mendengus.
Sekali lihat saja, kakek ini sudah tahu tingkat kepandaian Adipati Kalingga.
Dengan gerakan sembarangan, tangan kirinya digerakkan untuk
menangkis. Takkk! Terdengar suara berderak keras,
seolah-olah yang berbenturan dengan pedang bukan tangan manusia, melainkan dua
batang logam yang amat keras.
Adipati Kalingga menyeringai.
Seketika sekujur tubuhnya bergetar hebat. Bahkan tangan yang menggenggam pedang
pun terasa lumpuh seketika. Tak pelak lagi, senjata yang digenggamnya pun
terlepas dan jatuh ke tanah.
Di saat itulah tangan kanan Dewa
Rambut Merah menotok cepat ke arah leher. Adipati Kalingga terkejut bukan main.
Sebisa-bisanya, dia berusaha mengelak. Tapi....
Tukkk! Telak dan keras sekali, totokan
tangan kakek berpakaian coklat itu menghantam sasarannya. Seketika itu juga,
sepasang mata laki-laki bertubuh pendek gemuk ini mendelik. Beberapa saat
Adipati Kalingga mampu berdiri, kemudian ambruk tak bergeming lagi.
"Ha ha ha...!"
Untuk yang kesekian lakinya,
meledaklah tawa dari mulut Dewa Rambut Merah. Sepertinya sebuah tawa
kemenangan. Sesaat kemudian tubuhnya melesat dari situ, tanpa menghentikan
tawanya. Dia terus berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Suara tawa kakek berpakaian
coklat itu semakin lama semakin pelan.
Seiring dengan tubuhnya yang semakin menjauh, suara tawa itu semakin sayup-sayup
terdengar. 2 "Aneh...," desah seseorang bertubuh kekar dan berpakaian abu-abu, pelan.
Sepasang matanya menatap lekat-lekat ke depan. Dahinya nampak berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang membuatnya bersikap begitu.
Menilik dari keadaan rambut,
kumis, dan jenggotnya yang telah
memutih, bisa ditebak kalau orang itu telah berusia lanjut. Tapi anehnya, kulit
wajahnya tidak menunjukkan kalau dia telah berusia lanjut. Kulit wajahnya masih
kencang, tidak terlihat kendor ataupun keriput.
Kakek berpakaian abu-abu itu
masih tetap melayangkan pandangannya ke depan, meskipun kedua kakinya terus saja
melangkah. "Tidak salahkah penglihatanku?"
gumam kakek itu perlahan. "Bukankah itu burung-burung pemakan bangkai"
Tapi, mengapa berkeliaran di sana"
Apakah ada sesuatu yang menarik perhatian binatang-binatang itu?"
Sambil berkata demikian, kakek
berpakaian abu-abu itu menyipitkan sepasang kelopak matanya untuk
memperjelas pandangan. Memang jauh di depannya, di udara nampak titik-titik
hitam berkeliaran dan berputar-putar di tempat itu.
"Ah, benar! Tidak salah lagi! Itu adalah burung-burung pemakan bangkai!"
cctus kakek itu lagi. "Pasti ada sesuatu yang menarik perhatian
binatang itu."
Setelah yakin akan dugaannya,
mendadak gerakan kakek berpakaian abuabu ini berubah. Semula hanya
melangkah perlahan-lahan saja, tapi kini tubuhnya melesat cepat laksana kilat ke
depan. Ternyata kakek berpakaian abu-abu ini bukan orang sembarangan. Terbukti, sekali
kakinya bergerak tubuhnya sudah berada sekitar sembilan tombak di depan. Dan
sesaat kemudian, yang
teriihat hanyalah kelebatan bayangan yang melesat cepat ke depan. Gerakan kakek
ini cepat bukan main, karena ditunjang ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkat tinggi. Dan sesaat kemudian, dia sudah mendekati tempat burung
pemakan bangkai
berkerumun. "Ah...!"
Terdengar desah keterkejutan dari mulut kakek berpakaian abu-abu itu, begitu
melihat pemandangan yang ada di depannya. Tampak belasan mayat
bergelimpangan di tanah, bermandikan darah.
Kakek berpakaian abu-abu ini
semakin mempercepat langkahnya. Dan semakin dekat jaraknya, semakin
jelaslah keadaan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah itu. Dahi kakek
berpakaian abu-abu ini
berkernyit begitu melihat sebagian besar mayat itu berseragam prajurit Terdengar
suara gemeretak dari
mulut kakek berjenggot dan berambut
putih itu begitu melihat burung-burung pemakan bangkai tengah sibuk berpesta
pora. Segera kedua tangannya diputar di depan dada, dengan arah gerakan dari
luar ke dalam. Hebat akibatnya! Dari kedua
tangan yang berputaran itu berhembus angin keras ke arah burung-burung pemakan
bangkai. Seketika binatang-bmatang itu berkaokan keras, kemudian buyar
beterbangan kembali ke udara walaupun masih tetap terbang
berputaran di atas mayat-mayat itu.
Rupanya kelompok burung itu tidak rela meninggalkan makanan empuk yang sudah
terhidang di hadapan mereka.
"Biadab...!" seru kakek berpakaian abu-abu itu, geram. "Hanya iblis sajalah yang
bisa berbuat sekeji ini!"
Sambil mengomel panjang pendek,
diperiksanya mayat-mayat yang
tergeletak satu persatu. Sesekali, dia terpaksa mengirimkan serangan jarak jauh
ketika burung-burung pemakan bangkai rupanya masih penasaran untuk menyambar
'makanan mereka'.
Pada sosok tubuh salah seorang
prajurit, wajah kakek berpakaian abu-abu ini berubah. Ada secercah
kekagetan di wajahnya. Betapa tidak"
Prajurit itu ternyata belum mati!
Begitu mengetahui hal ini,
semangatnya timbul kembali. Kakek itu
berpikir, tentu tidak hanya satu orang saja yang selamat.
Tapi betapa kecewa hatinya,
begitu mengetahui kalau tidak ada lagi yang selamat. Semuanya telah tewas,
kecuali satu orang prajurit tadi.
Diperhatikannya wajah prajurit itu.
Masih muda dan cukup tampan. Tampak sebaris kumis tipis menghiasi atas bibirnya.
Anehnya, prajurit itu tidak mengalami luka yang berarti, dan hanya pingsan saja.
Kakek berpakaian abu-abu itu lalu mengeluarkan sebuah kendi kecil dari buntalan
kain yang tersandang di
bahunya. Dibukanya mulut kendi itu, kemudian didekatkan ke hidung prajurit yang
pingsan.

Dewa Arak 15 Tinju Penggetar Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ohhh...!"
Terdengar keluhan lirih dari
mulut prajurit itu. Rupanya uap yang kehiar dari kendi itu keras sekali,
sehingga mampu membuat laki-laki
berkumis tipis itu siuman dari
pingsannya. Beberapa saat lamanya prajurit
itu menggoyang-goyangkan kepalanya.
Sepasang kelopak matanya pun mulai mengerjap-ngerjap.
"Siapa kau?" tanya prajurit itu tatkala pandangannya tertumbuk pada sepasang
mata kakek berpakaian abu-abu yang berjongkok di hadapannya.
"Aku sudah tidak ingat namaku lagi, Anak Muda," sahut kakek itu.
Mulutnya tampak menyunggingkan senyum lebar. "Tapi..., orang-orang mengenal-ku
sebagai Dewa Obat Tangan
Delapan...."
"Ah...!"
Sepasang mata laki-laki berkumis
tipis itu membelalak lebar. Rasa
terkejut yang amat sangat nampak jelas memancar di wajahnya. Ucapan kakek itulah
yang membuatnya terkejut. Siapa yang tidak kenal julukan Dewa Obat Tangan
Delapan" Tokoh itu adalah satu di antara datuk-datuk dunia
persilatan. "Jadi..., kau adalah datuk yang terkenal itu, Kek?"
"Tidak usah memusingkan hal itu, Anak Muda," sergah kakek berpakaian abu-abu
yang ternyata berjuluk Dewa Obat Tangan Delapan. Pelan dan lembut suaranya.
"Yang penting, ceritakan.
Apa yang terjadi di tempat ini?"
Ucapan Dewa Obat Tangan Delapan
membuat prajurit itu teringat kembali pada kejadian yang menimpa kawan-kawannya.
"Ohhh...!"
Ada nada keluhan dari mulut
prajurit itu melihat keadaan junjungan dan rekan-rekannya telah tewas.
Sepasang matanya beredar berkeliling, sementara wajahnya pucat pasi.
"Mereka semua telah tewas," ucap Dewa Obat Tangan Delapan dengan suara ditekan.
Dan memang, sebenarnya hati kakek ini sedih sekali. Sebagai orang yang berjuluk
Dewa Obat, tidak ada
kesenangan lain baginya kecuali bisa mengobati orang lain sampai sembuh.
Sebisa-bisanya akan diusahakan untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Tapi, kini
di depannya bergeletakan belasan sosok tanpa nyawa. Bagaimana hati kakek ini
tidak menjadi sedih"
"Biadab...!" prajurit itu berteriak memaki.
"Tidak ada gunanya semua ini disesali, Anak Muda," hibur kakek berpakaian abuabu itu pelan. "Mayat-mayat ini harus kita kuburkan sebelum menjadi santapan
burung-burung pemakan bangkai itu."
Kepala prajurit itu mendongak,
mengikuti arah tudingan telunjuk Dewa Obat Tangan Delapaa Memang tampak, banyak
sekali burung berwarna hitam berkaokan keras, beterbangan di
sekitar tempat itu.
Sekali lagi prajurit itu menatap
ke arah mayat-mayat yang
bergelimpangan tak tentu arah,
kemudian beralih pada kakek berpakaian abu-abu itu. Pandangannya
tampak menyiratkan kebingungan.
"Sampai kapan kita dapat mengubur mayat sebanyak ini?" tanya prajurit itu pelan.
"Lagi pula tanah di sini sangat keras. Paling tidak membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk membuat sebuah lubang yang cukup besar...."
Dewa Obat Tangan Delapan sama
sekali tidak menyahuti ucapan bernada putus asa dari prajurit itu. Bibirnya
hanya tersenyum saja, kemudian kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
Tentu saja hal ini membuat
prajurit itu kaget bukan main.
''Tunggu sebentar, Dewa Obat!"
teriak prajurit itu seraya berlari mengejar.
"Ada apa lagi Anak Muda?" Dewa Obat Tangan Delapan menghentikan
Iangkah, seraya membalikkan tubuhnya.
"Nggg..., maaf.... Kau mau ke mana, Dewa Obat?" tanya laki-laki berkumis tipis
itu. "Mencari tempat yang cocok untuk mengubur mayat-mayat ini," jawab kakek
berpakaian abu-abu itu. ''Tunggu saja di sana. Jaga mayat teman-temanmu dari
gangguan binatang-binatang keparat itu."
Seketika wajah prajurit itu pun
memerah. Malu. Hatinya telah menyangka yang tidak-tidak pada Dewa Obat Tangan
Delapan. Tanpa berkata apa-apa, tubuhnya dibalikkan dan segera kembali ke tempat
semula. "Burung keparat!" maki prajurit itu begitu melihat beberapa ekor
burung yang bergerak turun. Seketika itu juga dipungutnya sebuah batu
sebesar kepalan tangan, kemudian
dilemparkannya ke arah kerumunan
burung itu. Wusss! Batu itu tidak mengenai sasaran
karena burung-burung itu telah lebih dulu terbang kembali sambil
mengeluarkan suara berkaokan nyaring.
Dewa Obat Tangan Delapan hanya
tersenyum saja. Kemudian kakinya
kembali melangkah, dan baru terhenti ketika menemukan sebuah tempat yang cukup
baik untuk menguburkan mayat-mayat itu. Letaknya dekat pohon-pohon.
Jauh dari jalan, namun tidak jauh dari tempat mayat-mayat berada.
Kakek berpakaian abu-abu itu
melangkah mundur tiga tindak. Dia berdiri tegak dengan sepasang mata mencorong
tajam, memandang ke tanah.
Kemudian.... "Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan teriakan
nyaring, kedua tangannya dihentakkan ke depan.
Wusss! Angin berhembus keras menyambar
ke depan. Dan....
Blarrr...! Terdengar ledakan keras begitu
angin pukulan yang dilancarkan Dewa Obat Tangan Delapan menghantam
sasaran. Batu-batu kecil berpentalan, debu mengepul tinggi ke udara. Dan begitu
debu itu lenyap, terlihat
sebuah lubang yang cukup besar. Hal itu terus dilakukannya berkali-kali sampai
terbentuk dua buah lubang
besar. *** "Hhh...!"
Prajurit berkumis tipis menghela
napas berat, kemudian perlahan-lahan bangkit dari bersimpuhnya. Memang sudah
agak lama dia berlaku seperti itu, di depan dua buah gundukan tanah besar,
berisi mayat rekan-rekan dan junjungannya.
Prajurit itu kemudian
melangkahkan kakinya menghampiri Dewa Obat Tangan Delapan yang sejak tadi hanya
berdiri saja mengawasi.
"Hampir saja aku lupa. Siapa namamu, Anak Muda?"
"Ganda, Kek," jawab prajurit itu.
Terpaksa panggilannya pada Dewa Obat Tangan Delapan dirubah, karena kakek itu
merasa keberatan jika dipanggil julukannya.
"Bisa kau ceritakan, mengapa semua ini bisa terjadi, Anak Muda?"
tanya Dewa Obat Tangan Delapan lagi.
Suaranya terdengar pelan dan lembut.
Tidak ada nada desakan di dalamnya.
Prajurit yang ternyata bernama
Ganda, tampak lesu. Kemudian
diceritakan semua yang terjadi,
dialami, dan didengarnya.
"Kalau saja tengkukku tidak
terkena hantaman gagang tombak yang nyasar hingga membuatku pingsan,
mungkin aku sudah tewas juga," ucap Ganda mengakhiri ceritanya.
Wajah Dewa Obat Tangan Delapan
berubah hebat. "Tidak mungkin!" bantah kakek itu. Raut wajah dan nada suaranya menyorotkan
ketidakpercayaan.
"Apanya yang tidak mungkin, Kek?"
tanya Ganda, merasa heran melihat keterkejutan Dewa Obat Tangan Delapan.
"Pelaku pembunuhan ini."
"Maksudmu, Kek?" laki-laki berkumis tipis ini belum mengerti.
"Aku tidak percaya kalau Dewa Rambut Merah yang melakukan semua ini!"
"Tapi, nama itulah yang kudengar
dari mulut Cakar Pengejar Sukma, Kek.
Dan, aku yakin kalau dia tidak mungkin salah mengenali orang!"
"Hhh...!"
Dewa Obat Tangan Delapan hanya
mendesah pelan.
"Kek...."
"Hm...," kakek berpakaian abu-abu itu menggumam, seraya menolehkan
kepalanya. "Aku tidak bisa berlama-lama di sini, Kek. Semua peristiwa ini harus
kuberitahukan pada anak Gusti Adipati di Desa Kujang. Kuucapkan banyak
terima kasih atas pertolonganmu."
Dewa Obat Tangan Delapan hanya
mengangkat bahunya saja. Sama sekali ucapan laki-laki berkumis tipis itu tidak
disahuti. Menilik dari kernyit pada dahi dan sepasang mata yang
menatap lurus pada sebuah titik, dapat diketahui kalau kakek ini tengah
berpikir keras.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Ganda segera melangkah menghampiri kereta kuda. Untung dengan adanya kereta,
kuda-kuda itu tidak bisa
melarikan diri seperti kuda lainnya.
Dengan agak terburu-buru, kedua
kuda itu dilepaskan dari keretanya.
Yang satu ditambatkan di pintu kereta.
Barangkali saja Dewa Obat Tangan
Delapan ingin memakainya. Sementara yang lain dituntunnya.
"Hup...!"
Dengan sebuah gerakan indah dan
manis, Ganda melompat ke punggung kuda. Dan secepat tubuhnya sudah
berada di punggung kuda, secepat itu pula tali kekang kudanya dihentakkan,
seraya mulutnya berdecak pelan.
Seketika itu juga, kuda itu melesat cepat ke depan.
Debu mengepul tinggi ke udara
begitu kuda itu berlari cepat
meninggalkan Dewa Obat Tangan Delapan.
Kakek itu masih saja termenung dengan dahi berkernyit. Sama sekali kepalanya
tidak menoleh hingga Ganda lenyap ditelan jalan. Bahkan ucapan terima kasih
laki-laki berkumis tipis yang dilontarkan sekali lagi tidak
dihiraukan sama sekali.
Beberapa saat kemudian kakinya
melangkah menghampiri kuda yang
tertambat di kereta, lalu melepaskan tali ikatan binatang itu. Kemudian dengan
sebuah gerakan indah dan manis, kakek ini melompat naik ke punggung kuda. Dewa
Obat Tangan Delapan lalu menghentakkan tali kekang kudanya.
Suara derap langkah kuda terdengar mengoyak keheningan yang menggigit
*** "Hiya...! Hiya...!"
Ctarrr...! Ganda melecutkan pecutnya
berkali-kali ke bagian belakang tubuh kuda, memaksa agar berlari secepat
mungkin. Laki-laki berkumis tipis itu secepatnya ingin memberitahukan berita
yang menggemparkan ini pada anak
Adipati Kalingga.
Suatu keuntungan bagi Ganda.
Ternyata kuda itu adalah seekor kuda pilihan yang kuat dan kencang larinya.
Sehingga keinginannya agar kuda
berlari kencang, terkabul.
Kecepatan lari kuda itu tetap
tidak berubah ketika memasuki tembok batu batas Desa Kujang. Ganda tetap memacu
kudanya. Bahkan pecutnya pun berkali-kali menjilat bagian belakang tubuh kuda
itu. Karuan saja beberapa orang yang
kebetulan berada di jalan utama desa itu, bergegas menyingkir. Beberapa di
antara mereka ada yang menyumpah-nyumpah. Namun makiannya segera
dihentikan sambil menyelinap kabur begitu melihat pakaian yang dikenakan Ganda.
Tapi laki-laki berkumis tipis
yang tengah kalap itu, tidak
mempedulikan apa pun lagi. Yang ada di benaknya hanya satu. Menyampaikan kabar
secepatnya kepada putra Adipati Kalingga di Desa Kujang.
Beberapa saat kemudian, rumahrumah penduduk semakin jarang
terlihat. Semakin lama semakin
sedikit, sampai akhirnya tidak ada sama sekali.
"Hooop...!"
Ganda menarik tali kekang
kudanya. Dan seketika, binatang
tunggangan itu menghentikan larinya.
"Hup!"
Laki-laki berkumis tipis ini
melompat turun dari kuda. Kemudian, ditambatkannya kuda berwarna coklat putih
itu di sebatang pohon. Baru setelah itu kakinya melangkah menuju pondok.
Kriiit..! Terdengar suara berderit tajam,
disusul dengan terbukanya daun pintu pondok itu ketika jarak antara Ganda dengan
pintu itu masih ada lima
tombak. Dan begitu daun pintu itu terbuka lebar, nampak seraut wajah tua muncul di balik
pintu. Seorang kakek bertubuh tinggi kurus bagai bambu. Pakaiannya putih.
Wajahnya juga beralis putih.
Tidak ada kumis, atau jenggot yang menghias wajahnya.
Ganda segera membungkukkan
tubuhnya sedikit.
"Maaf, Kek. Bisakah aku bertemu Dewa Angin Puyuh?" tanya Ganda sopan.
"Aku sendiri orang yang kau cari itu, Anak Muda," sahut kakek beralis putih yang
ternyata berjuluk Dewa Angjn Puyuh. "Kau siapa" Dan apa keperluanmu mencariku?"
"Aku pasukan Kadipatan Campa, Kek. Namaku Ganda. Maksud kedatanganku kemari,
ingin menyampaikan sebuah berita."
"Ah...!"
Dewa Angin Puyuh berseru kaget.
Bergegas dipersilakannya laki-laki berkumis tipis itu masuk ke dalam dengan
tergopoh-gopoh. Memang, tadi kakek beralis putih ini sudah
mempunyai sebuah dugaan begitu melihat pakaian prajurit yang dikenakan Ganda.
Mungkinkah prajurit ini yang akan menjemput pulang putra Adipati
Kalingga" Tapi, dugaan itu segera dibuang
jauh-jauh begitu teringat kalau
Adipati Kalingga akan datang sendiri menjemput putranya. Sekaligus, hendak
bertemu kembali dengan sahabat lama.
Memang Adipati Kalingga dan Dewa Angin Puyuh merupakan sahabat kental sejak
kecil.

Dewa Arak 15 Tinju Penggetar Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini, begitu mendengar ucapan
Ganda, kakek beralis putih ini jadi cemas. Dewa Angin Puyuh menduga, ada
kejadian buruk yang menimpa rombongan Adipati Kalingga. Sikap dan keadaan
prajurit yang bernama Ganda lebih memperkuat dugaannya.
"Di mana Raden Palageni?" tanya prajurit Kadipaten Campa itu begitu duduk di
sebuah kursi di ruangan
dalam. "Ada di belakang," sahut kakek beralis putih itu. Kemudian, bibirnya berkemikkemik tapi tidak ada suara yang keluar. Ganda memandangnya penuh keheranan.
"Apa yang telah dilakukan kakek ini?" tanya laki-laki berkumis tipis ini dalam
hati. Sama sekali prajurit Kadipatan
Campa ini tidak tahu kalau Dewa Angin Puyuh tengah memberitahukan pesan pada
Palageni yang tengah berada di kebun belakang. Inilah ilmu 'Mengirim Suara dari
Jauh'. Tak lama kemudian, dari ruang
dalam melangkah tenang seorang pemuda tampan, berkulit putih, dan beralis tebal
dan hitam. Pakaiannya terbuat dari bahan sederhana dan berwarna kuning.
"Orang ini adalah anggota pasukan ayahmu, Palageni," jelas Dewa Angin Puyuh
bernada memberi tahu.
Pemuda berbaju kuning yang
ternyata bernama Palageni itu segera mengulurkan tangan pada Ganda. Agak
bergegas, laki-laki berkumis tipis ini menyambut uluran tangan itu setelah
terlebih dahulu memberi hormat dan memperkenalkan namanya.
"Mana Ayah, Ganda" Mengapa kau hanya datang sendiri?" tanya Palageni tak
sabaran. "Sabar, Palageni. Duduklah dulu.
Ganda ingin menceritakannya. Itulah sebabnya, aku memanggilmu," Dewa Angin Puyuh
menenangkan muridnya.
Pemuda berbaju kuning itu pun
duduk. Sedangkan Ganda kini mengerti,
mengapa kakek beralis putih ini tadi komat-kamit tanpa ada suara yang
keluar dari mulutnya. Rupanya kakek itu tengah memanggil muridnya.
Meskipun demikian, tetap saja laki-laki berkumis tipis ini tidak
mengetahui, bagaimana hal itu bisa terjadi.
"Nah! Sekarang ceritakanlah, Ganda," ujar Dewa Angin Puyuh lagi.
Ganda menarik napas panjangpanjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat sebelum memulai ceritanya.
Sebentar ditatapnya wajah Palageni dengan perasaan khawatir. Dia takut kalau
batin pemuda itu terguncang.
Palageni bukan orang bodoh. Malah sebaliknya, pemuda berbaju kuning ini begitu
cerdik. Maka saat melihat
kedatangan Ganda seorang diri tanpa ayahnya, dan pasukan pengawal lainnya, dia
sudah mempunyai dugaan buruk.
Kini dengan hati berdebar tegang, ditunggunya ucapan yang akan keluar dari mulut
prajurit berkumis tipis itu.
Ganda lalu menceritakan semuanya.
Seperti yang telah diceritakannya pada Dewa Obat Tangan Delapan.
"Begitulah kejadiannya, Kek, Den Palageni," ucap Ganda menutup ceritanya.
"Jahanam!" Palageni memekik keras begitu Ganda menyelesaikan ceritanya.
Wajah pemuda berbaju kuning ini merah padam. Sepasang bola matanya berkilatkilat penuh kemarahan. Terdengar suara berkerotokan keras
ketika putra Adipati Kalingga ini mengepalkan kedua tangannya. Napasnya pun memburu
dahsyat. Bukan hanya Palageni saja yang
dilanda perasaan terkejut yang bukan alang kepalang. Bahkan Dewa Angin Puyuh pun
mengalami hal yang sama.
Adipati Kalingga adalah sahabat
kentalnya sewaktu kecil. Tapi berbeda dengan muridnya, kakek yang telah kenyang
pengalaman hidup ini mampu mengendalikan perasaannya. Sehingga kekagetan itu
tidak nampak pada
wajahnya, kecuali desahan napas berat yang keluar dari mulutnya. Sementara
dahinya berkernyit dalam. Kakek ini seperti juga Dewa Obat Tangan Delapan, tidak
mempercayai berita yang
didengarnya. "Dewa Rambut Merah! Tunggulah pembalasanku!" desis Palageni tajam dan bergetar.
Jelas kalau ucapan itu keluar
dari hati yang bergolak menahan amarah yang meluap-luap. Ada ancaman maut
terkandung dalam suaranya.
Dewa Angin Puyuh menatap wajah
muridnya tajam-tajam. Tampak jelas kalau tatapan kakek beralis putih ini
mengandung teguran.
"Tahan dulu amarahmu, Palageni,"
ujar kakek itu bernada menasihati.
"Tapi, Guru. Bagaimana mungkin
aku mendiamkan saja semua kekejaman ini! Ayahku dan semua pengawal dibunuh
secara kejam. Haruskah aku tinggal diam begitu saja?" bantah pemuda berbaju
kuning itu agak keras.
"Aku tidak menyuruhmu
membiarkannya, Palageni," sahut Dewa Angin Puyuh kalem. "Aku hanya menyuruhmu
menahan amarah. Kita harus selidiki dulu kebenarannya...."
"Apa lagi yang harus diselidiki, Guru?" Palageni masih membantah.
"Sudah jelas kalau pembunuhnya adalah Dewa Rambut Merah."
"Jangan terburu-buru yakin akan kebenarannya, Palageni," suara Dewa Angin Puyuh
kini terdengar agak keras.
"Hhh...!"
Palageni menghela napas berat.
Kedua tangannya ditekapkan ke
wajahnya. Pemuda berbaju kuning ini tidak lagi membantah, karena merasakan
adanya tekanan dalam ucapan gurunya yang terakhir. Ucapan yang tidak
menghendaki ada bantahan darinya.
"Lalu, sekarang apa yang harus kulakukan, Guru?" tanya Palageni setelah beberapa
saat lamanya berusaha menenangkan amarah yang meledak-ledak.
"Bukan kau," ralat Dewa Angin Puyuh.
"Bukan aku?" dahi pemuda berbaju kuning itu berkernyit. "Lalu siapa, Guru?"
"Kita...."
"Kita?"
Palageni masih belum
mengerti. Peristiwa yang didengarnya dari mulut Ganda membuat otaknya
buntu. Tidak bisa digunakan untuk berpikir.
"Ya. Kau dan aku," tandas kakek beralis putih itu tegas.
"Mengapa begitu, Guru?"
"Karena kalau benar pelakunya adalah Dewa Rambut Merah, meskipun aku yakin kalau
pelakunya bukan dia, kau tidak akan mampu menghadapinya."
Palageni terdiam. Barulah disadari kebenaran ucapan gurunya. Dewa Rambut Merah adalah salah seorang dari
datuk-datuk persilatan, seperti juga gurunya, Dewa Angin Puyuh.
"Kalau begitu, aku pamit saja, Kek, Den," pamit Ganda sambil bergerak bangkit
dari duduknya. "Tidak ikut bersama kami, Ganda?"
kata Dewa Angin Puyuh menawarkan.
"Terima kasih, Kek. Aku harus
kembali dulu ke kadipaten."
Kali ini kakek beralis putih itu
tidak menahan lagi. Dibiarkannya saja prajurit berkumis tipis itu melangkah ke
luar. 3 Cuaca siang ini panas sekali.
Matahari memancarkan sinarnya seperti hendak membakar permukaan bumi. Tapi, hal
itu seperti tidak dirasakan dua sosok tubuh yang tengah bergerak cepat menuju
puncak Gunung Caringin. Dua sosok tubuh itu ternyata Dewa Angin Puyuh dan
Palageni. "Guru...," sambil tetap mengayunkan kakinya, Palageni membuka suara.
"Hm...," Dewa Angin Puyuh hanya bergumam pelan untuk menyahuti
panggilan muridnya.
"Dari mana Guru mengetahui tempat tinggal Dewa Rambut Merah?" tanya Palageni.
"Hhh...!"
Dewa Angin Puyuh menghela napas
panjang sebelum menjawab pertanyaan itu. Sementara Palageni menunggu
dengan sabar. Diam-diam hati pemuda berbaju kuning itu heran juga melihat sikap
gurunya yang tidak biasanya seperti ini. Tampaknya, Dewa Angin Puyuh tengah
dilanda kebingungan yang amat sangat.
"Aku kenal betul siapa Dewa
Rambut Merah itu, Palageni," sahut Palageni setebh beberapa saat lamanya
termenung. "Ahhh...!" Palageni terperanjat.
Bukan ucapan itu yang membuat
Palageni terkejut. Tapi nada suara yang tersembunyi di dalamnya terdengar begitu
getir dan kering.
"Kau terkejut, Palageni?" tanya Dewa Angin Puyuh.
Kakek beralis putih itu menoleh.
Sepasang matanya menatap wajah
muridnya lekat-lekat
Pemuda berbaju kuning itu menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang
mendadak kering. Perlahan-lahan kepalanya terangguk.
"Kalau boleh kutahu, sampai
seberapa jauh Guru mengenalnya?" desak Palageni, serak.
"Aku mengenalnya seperti mengenal diriku sendiri...," sahut Dewa Angin Puyuh.
Pelan suaranya, lebih mirip desahan.
Palageni terperangah, sampaisampai langkahnya dihentikan. Dewa Angin Puyuh juga ikut berhenti. Ucapan itu
memberi petunjuk, betapa dekat hubungan gurunya dengan Dewa Rambut Merah.
"Oleh karena itulah, Palageni,''
sambung Dewa Angin Puyuh lagi. "Terus terang kukatakan padamu, aku tidak percaya
kalau pembunuhan itu dilakukan oleh Dewa Rambut Merah...."
Pemuda berbaju kuning itu pun
terdiam seketika. Sementara Dewa Angin Puyuh tidak lagi melanjutkan ucapannya. Maka kini, keheningan menyelimuti mereka.
Keduanya lalu melanjutkan langkah tanpa berkata kata lagi. Sepasang kaki mereka
berlompatan ke sana kemari, mempergunakan ilmu meringankan tubuh sehingga tak
lama kemudian telah
terlihat sebuah pondok berdinding bilik. Kontan langkah kedua orang ini pun
semakin dipercepat. Dan kini
mereka telah berhenti sekitar tiga tombak di depan pondok bilik.
"Dewa Rambut Merah...! Aku,
sahabatmu datang berkunjung...!" seru Dewa Angin Puyuh memanggil.
Karena dikerahkan dengan tenaga
dalam, maka seruan itu jadi terdengar sampai jauh. Gemanya terdengar
bersahut-sahutan, terbawa angin.
Dewa Angin Puyuh berdiri diam
menunggu. Sepasang matanya beredar memandangi sekelilingnya, kemudian dialihkan
kembali ke pintu pondok yang tertutup.
Sesaat kemudian, daun pintu
pondok itu bergerak terbuka perlahan-lahan. Dan dari baliknya menyembul seorang
kakek berpakaian coklat.
Rambutnya berwarna merah, dan digelung ke atas.
"Ah...! Kiranya kau, Dewa Angin Puyuh...!" seru kakek yang ternyata Dewa Rambut
Merah. Bergegas kakinya melangkah menghampiri.
Dewa Angin Puyuh pun melangkah
maju. Sikapnya kelihatan begitu
tenang. Tanpa berkata apa-apa lagi, Palageni ikut melangkah. Pemuda
berbaju kuning ini telah menyerahkan semua urusan pada gurunya.
"Apa yang mendorongmu mengunjungi tempatku, Dewa Angin Puyuh?" tanya Dewa Rambut
Merah sambil mengulurkan tangan. Dewa Angin Puyuh bergegas menyambut dan
menggenggamnya erat-erat.
Wajah kedua kakek ini tampak
berseri-seri. Maklum, sudah belasan tahun tidak berjumpa.
"Ah.... Hanya sekadar menjumpai kawan lama," sahut kakek beralis putih itu
kalem. "Hanya itu?" desak Dewa Rambut Merah sambil melepaskan genggamannya.
Nada suaranya menyiratkan
ketidakpercayaan.
Dewa Angin Puyuh mengernyitkan
dahinya. "Tidak juga," sahut Dewa Angin Puyuh masih tetap tenang. "Aku membawa sebuah
persoalan yang menyangkut
dirimu, Dewa Rambut Merah."
"Hm.... Sudah kuduga," kakek berambut merah mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ditatapnya wajah Palageni sejenak. "Siapa anak muda ini, Dewa Angin
Puyuh?" "Muridku...," jawab Dewa Angin Puyuh. "Palageni namanya."
Dewa Rambut Merah menganggukanggukkan kepala. Sementara matanya menatap sekujur tubuh Palageni dari ujung
rambut sampai ujung kaki.
"Dan..., persoalan yang kubawa menyangkut diri muridku, Dewa Rambut Merah...,"
sambut Dewa Angin Puyuh lagi. Nada suaranya terdengar mulai bersungguh-sungguh.
"Hei..."! Mengapa bisa begitu, Dewa Angin Puyuh"!" seru Dewa Rambut Merah,
terkejut. "Persoalan yang menyangkut diriku dengan muridmu"
Aneh...!" "Kalau mendengar ceritaku
selanjutnya, kau pasti tidak akan menganggapnya aneh," sambung Dewa Angin Puyuh
buru-buru. Dewa Rambut Merah melirik sekilas ke arah Palageni
"Kemarin, ada seorang prajurit kadipaten yang mengunjungiku."
Dewa Angin Puyuh memulai
ceritanya seraya menatap wajah Dewa Rambut Merah, untuk melihat
tanggapannya. Tapi tidak nampak ada perubahan pada wajah kakek berambut merah
itu. Wajahnya tetap biasa, tak menunjukkan kekagetan.
"Prajurit itu bercerita, bahwa rombongannya diserang seseorang.
Adipati Kalingga dan seluruh pengawal
yang menyertainya dibantai. Hanya prajurit itu yang berhasil selamat, dan
langsung memberitahukannya
padaku." "Hm.... Kenapa prajurit itu
memberitahukannya padamu, Dewa Angin Puyuh?" tanya Dewa Rambut Merah tidak
mengerti. "Karena rombongan Adipati
Kalingga memang tengah menuju ke
tempatku," jelas kakek beralis putih itu.
"Heh..."! Apa keperluan adipati itu mengunjungimu?" tanya Dewa Rambut Merah.
Lagi-lagi dengan perasaan
terkejut. Memang cerita yang didengar, belum dimengertinya.
"Membawa pulang putranya."
"Membawa pulang putranya"! Aku jadi semakin tidak mengerti, Dewa Angin Puyuh."
''Putranya bernama Palageni...."
"Palageni"!" Dewa Rambut Merah meminta kepastian. Sepasang matanya membelalak
lebar, menatap pemuda
berbaju kuning itu. "Jadi..., pemuda ini...."
Dewa Angin Puyuh yang sudah
dapat. menduga kelanjutan ucapan kakek berambut merah itu menganggukkan
kepalanya. "Dia adalah putra Adipati
Kalingga."
"Ah...!" Dewa Rambut Merah mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang aku mengerti
urusan yang kau maksud itu, Dewa Angin Puyuh."
"Hm...," kakek beralis putih itu hanya bergumam tidak jelas.
"Yang dimaksud prajurit itu aku, kan"!" duga Dewa Rambut Merah langsung pada
sasaran.

Dewa Arak 15 Tinju Penggetar Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakek berambut merah itu langsung menatap wajah Dewa Angin Puyuh. Kakek beralis
putih balas menatap. Sesaat lamanya dua pasang mata saling tatap.
Kemudian perlahan-lahan kepala Dewa Angin Puyuh terangguk.
"Dan kau percaya?" desak Dewa Rambut Merah ingin tahu.
"Tidak," pelan suara Dewa Angin Puyuh, tapi cukup tegas juga.
"Mengapa kau begitu yakin, Dewa Angin Puyuh?" desak Dewa Rambut Merah.
"Aku mengenalmu seperti mengenal diriku sendiri...." Jawaban kakek beralis putih
seperti memutar.
"Lalu, mengapa kau tetap datang ke sini?" tanya Dewa Rambut Merah lagi, setelah
beberapa saat lamanya terdiam.
Dewa Angin Puyuh terdiam sejenak.
"Hanya untuk membuat urusan ini menjadi jelas, dan sekaligus
memberitahukanmu, Dewa Rambut Merah."
Dewa Rambut Merah menganggukanggukkan kepala pertanda mengerti.
"Aku yakin, ada orang yang telah memfitnahmu, Dewa Rambut Merah,"
sambung Dewa Angin Puyuh lag.
"Hm.... Lalu?" desak Dewa Rambut Merah tanpa gairah sama sekali.
Sepasang alis Dewa Angin Puyuh
seketika bertautan. Sebab, sambutan rekannya benar-benar di luar dugaan.
Padahal, sudah diperkirakannya kalau Dewa Rambut Merah akan kalap bukan kepalang
begitu mendengar berita itu.
Tapi kini yang terlihat, benar-benar membuatnya terkejut bukan main. Kakek
berambut merah itu sepertinya tidak peduli, dan acuh-acuh saja.
"Apakah kau tidak ingin tahu orang yang telah mengotori nama
besarmu itu, Dewa Rambut Merah?" tanya kakek beralis putih, tak percaya.
Kakek berambut merah itu
menggeleng kepala. Secercah senyum sabar tampak tersungging di bibirnya.
"Mengapa?" desa Dewa Angin Puyuh karena perasaan yang tidak menentu.
"Aku sudah tidak ingin terlibat lagi dalam kekerasan dunia persilatan, Dewa
Angin Puyuh. Aku sudah jenuh!"
"Tapi ini menyangkut nama baikmu, Dewa Rambut Merah!" Dewa Angin Puyuh masih
berusaha menasihati. Malah, nada suaranya terdengar mulai meninggi.
"Biarlah, Dewa Angin Puyuh. Aku sudah tidak mempedulikan lagi nama baikku.
Biarlah orang itu berbuat
sekehendak hatinya. Aku percaya, dia akan menerima balasannya sendiri."
"Kau melupakan kami, Dewa Rambut Merah," selak Dewa Angin Puyuh.
"Maksudmu?" tanya Dewa Rambut Merah dengan dahi berkernyit
Dewa Angin Puyuh terdiam sejenak.
Pertanyaan itu tidak langsung
dijawabnya. Sebaliknya, dia malah menarik
napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kua.t Jelas ada sesuatu yang merisaukan hati kakek ini.
"Kau jangan memandang hal itu untuk kepentingan dirimu saja, Dewa Rambut Merah,"
sergah Dewa Angin Puyuh beberapa saat kemudian.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Dewa Angin Puyuh." Kening kakek berambut merah ini
nampak berkerut dalam.
"Hhh...!"
Dewa Angin Puyuh menghela napas
berat sebelum menjelaskan pertanyaan Dewa Rambut Merah.
Sementara, kakek berambut merah
itu menunggu jawabannya dengan
perasaan tidak sabar.
"Maksudku sudah jelas. Bukan hanya kau saja yang menderita kerugian dengan
adanya fitnahan itu. Tapi, aku dan Dewa Obat Tangan Delapan pun akan tercemar.
Aku yakin, julukan kita
bertiga sebagai Tiga Dewa Sungai Naga akan terbawa rusak."
"Jadi, kau ingin agar aku terjun kembali dalam kerasnya dunia
Gelang Kemala 7 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Golok Bulan Sabit 7

Cari Blog Ini