Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa Bagian 3
yang harus kau ketahui, sampai sekarang pun aku
masih mencintaimu!"
Paras Dewi Bayang-Bayang seketika berubah.
Keningnya mengernyit. Sikapnya seperti orang salah
tingkah. "Dia mengatakan masih mencintaiku..." Apa ini
bukan akal bulusnya saja untuk menghindari kematiannya di tanganku...?"
"Nah, Dewi. Gongging Baladewa telah mengatakan masih mencintaimu. Apa kau tega menurunkan
tangan maut pada orang yang mencintaimu" Dan melihat perubahan padamu, maaf, kau pun tampaknya
masih menyayanginya! Tunggu apa lagi?"
"Anak ini benar-benar kurang ajar! Tapi katakatanya ada benarnya juga...," membatin Dewi
Bayang-Bayang dengan rona merah semakin meraupi
parasnya. Sementara Gongging Baladewa tampak mulai bisa tersenyum. Malah kerdipkan sebelah matanya
pada Pendekar Mata Keranjang 108. Yang dikerdipi balas mengerdip sambil menahan tawa, malah memberi
isyarat agar Gongging Baladewa mendekati Dewi
Bayang-Bayang. Meski dengan perasaan yang masih dilanda kebimbangan, Gongging Baladewa akhirnya melangkah
mendekati Dewi Bayang-Bayang. Yang didekati hanya
lirikkan sepasang matanya tanpa berusaha untuk
menghindar atau keluarkan ucapan yang mencegah,
membuat Gongging Baladewa meneruskan langkah.
"Rayi Seroja," panggil Gongging begitu agak dekat. "Percayalah. Perempuan yang
bersamaku dulu adalah adik seperguruanku! Dan kuharap kau mau
memaafkan sikapku yang membuatmu jadi salah paham, sekarang, untukmu kuserahkan segalanya...,"
seraya berkata, Gongging Baladewa tundukkan kepalanya seperti orang memberi hormat.
Dewi Bayang-Bayang laksana dicekat tenggorokannya, hingga untuk beberapa lama dia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah memejamkan sepasang matanya yang ternyata tampak berkaca-kaca,
akhirnya dia berkata-kata.
"Gongging.... Aku pun minta maaf atas sikapku
yang selama ini seperti anak-anak!"
Mendengar ucapan kedua orang ini, mau tak
mau Pendekar 108 tak dapat lagi menahan gelak tawanya. "Kata orang-orang tua benar adanya, bahwa badai pasti berlalu! Dan, masih
ada gerobak sapi terakhir!" katanya di sela tawa.
Gongging dan Dewi Bayang-Bayang sama-sama
palingkan wajah ke arah Pendekar Mata Keranjang
108. Paras kedua orang ini sama-sama merah saga.
Malah Dewi Bayang-Bayang tampak komat-kamitkan
mulut seakan hendak mengucapkan sesuatu. Namun
hingga lama tak ada terdengar suara dari mulutnya.
Sedangkan Gongging hanya mendelik dengan bibir senyum-senyum. "Rayi Seroja! Sebenarnya kau hendak ke mana?" tanya Gongging setelah ketiganya tidak ada yang buka suara.
"Anak kurang ajar ini. Setelah kepergiannya,
aku merasa tidak enak. Lalu aku mengejarnya. Ternyata dugaanku tidak meleset! Dan kau sendiri...?"
"Aku kebetulan lewat, dan kulihat anak ingusan ini sedang main guling-gulingan dengan Sarpakenaka. Lagi pula aku sebenarnya memang mencari anak
ini, karena kabar tentang Arca Dewi Bumi rupanya telah menggegerkan rimba persilatan. Aku berharap dia
yang bisa menyelamatkan arca itu!"
Dewi Bayang-Bayang angguk-anggukkan kepala. Bibirnya kini terus mengumbar senyum, entah karena senang dapat jumpa lagi dengan Gongging Baladewa atau memang itu sifat kebiasaannya.
"Anak kurang ajar! Kau telah dengar kata-kata
orang. Berarti kau harus mengerti, bahwa orang-orang
menaruh harapan besar agar kaulah satu-satunya
manusia yang dapat menyelamatkan arca itu! Jangan
kau kecewakan harapan orang banyak!"
"Aku mengerti, Dewi, Gongging! Dan aku tak
akan menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan padaku!"
"Bagus! Aku gembira kau sadar akan hal itu!"
ujar Gongging Baladewa. Lalu kepala ditengadahkannya. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu, namun diurungkan. Sementara itu, Dewi Bayang-Bayang
pun dongakkan kepalanya. Seperti Gongging, perempuan berterompah besar ini pun seperti hendak
ucapkan sesuatu, namun diurungkan juga.
Melihat sikap kedua orang ini, Pendekar 108
kernyitkan kening. Seolah ingin melihat apa yang ada
di atas dan membuat kedua orang di hadapannya
urungkan niat untuk ucapkan kata-kata, Pendekar
108 pun tengadahkan kepala.
Saat itu rembang petang memang telah turun
melingkupi pelataran bumi. Pancaran sinar mentari telah terkikis oleh gelapnya malam yang menjelang.
"Astaga! Rupanya malam telah menjelang.
Hm.... Aku mengerti sekarang. Mereka sebenarnya
hendak menyuruhku untuk melanjutkan perjalanan,
namun tampaknya mereka tak sampai hati...! Mungkin
mereka masih menganggapku berjasa menengahi masalah mereka. Padahal.... He... he... he...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas arahkan
pandangannya pada Gongging dan Dewi BayangBayang. "Gongging, Dewi! Aku akan melanjutkan perjalananku sekarang...!"
Masih sambil tengadah Gongging Baladewa
berkata. "Ah, nyatanya kau pintar. Sebelum diusir telah
berpamitan...!"
"Betul! Sebelum mendapat malu memang sebaiknya segera tinggalkan tempat ini...!" sambung Dewi Bayang-Bayang dengan
bibir tetap tersenyum.
"Sialan! Mereka tampaknya mengerjai diriku!
Hm...," kata Aji dalam hati. Lalu berkata.
"Sebelum aku pergi menunaikan tugas, ada satu permintaanku. Kuharap kalian tak menolak!"
Gongging Baladewa dan Dewi Bayang-Bayang
sama-sama luruskan kepalanya. Kedua orang ini saling berpandangan. Mungkin entah karena ingin segera
agar Pendekar 108 meninggalkan tempat itu, Dewi
Bayang-Bayang memberi isyarat dengan anggukan kepalanya pada Gongging Baladewa.
"Kau benar-benar anak kurang ajar! Lekas katakan apa permintaanmu!" bentak Gongging Baladewa.
Meski membentak, namun bibirnya sedikit mengulas
senyum. Pendekar 108 tampak menahan tawa. Lalu berkata. "Untuk menentramkan hatiku. Aku ingin melihat kepergian kalian berdua
dengan mata dan kepalaku. Ini untuk menyaksikan bahwa di antara kalian
berdua memang tak ada masalah lagi..."
"Kurang ajar!" maki Dewi Bayang-Bayang dengan rona memerah. Sementara Gongging Baladewa
pun tak ketinggalan memaki. "Kau benar-benar anak geblek!" "Kalau kalian tak mau
memenuhi permintaanku, aku pun tak akan tinggalkan tempat ini!" kata Pendekar
108 masih dengan coba menahan tawanya. Sebenarnya Pendekar 108 hanya ingin bercanda dengan
ucapannya itu, karena kalau pun permintaannya tak
dipenuhi dia akan segera tinggalkan tempat itu.
Sejurus kembali Dewi Bayang-Bayang dan
Gongging Baladewa saling pandang.
"Dia sedikit banyak telah berjasa pada kita. Apa salahnya kali ini kita turuti
permintaannya" Lagi pula aku sudah kangen jalan-jalan denganmu! Ayo...!" bisik
Gongging Baladewa.
Dewi Bayang-Bayang sejenak masih pandangi
laki-laki gemuk kekasihnya itu, lalu beralih pada Pendekar Mata Keranjang yang
mengawasinya dengan
menahan tawa. "Anak edan! Awas kau. Suatu saat kau pasti
kukerjai lebih dari ini...!" ujar Dewi Bayang-Bayang perlahan tanpa bisa
didengar Pendekar 108. Lalu dengan senyum menyungging tubuhnya berbalik dan melangkah menjajari Gongging yang ternyata telah mendahului. Begitu dilihatnya Dewi Bayang-Bayang ada
menjajari langkahnya, Gongging ulurkan tangan hendak menggandeng tangan Dewi Bayang-Bayang. Namun Dewi Bayang-Bayang segera tepiskan tangan
Gongging Baladewa.
"Kau jangan berbuat yang tidak-tidak di sini!
Anak kurang ajar itu masih mengawasi kita...!"
"Ha... ha... ha.... Dasar perempuan. Di hadapan
orang malu, tak ada orang mau!"
Habis berkata begitu, dengan gerakan cepat tangan Gongging Baladewa menyambar tangan kanan
Dewi Bayang-Bayang. Sebentar Dewi Bayang-Bayang
nampak berontak, namun tak lama kemudian diam
dalam pegangan tangan Gongging Baladewa.
"Cinta.... Oh, cinta.... Segalanya memang jadi
indah bila dilandanya. Tak peduli siapa dan di mana
orang itu...!" gumam Pendekar Mata keranjang 108
dengan tertawa tergelak-gelak melihat tingkah Dewi
Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa.
Namun tiba-tiba saja pendekar murid Wong
Agung ini terperangah. Sosok Gongging Baladewa dan
Dewi Bayang-Bayang lenyap dari pandangannya. Yang
terdengar kini hanyalah debuman bersahut-sahutan
yang makin lama menjauh sebelum akhirnya lenyap
dari pendengaran.
*** SEMBILAN SANG Surya baru saja merambat dari titik tidurnya. Titik-titik embun perlahan menguap lalu sirna tak berbekas. Nun jauh di
sebelah utara, tepatnya di
kaki Gunung Arjuna, seorang pemuda berbaju hijau
yang bukan lain Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108
tampak berdiri seraya pandangi julangan gunung yang
masih diselimuti awan kelabu.
Sejak berpisah dengan Dewi Bayang-Bayang
dan Gongging Baladewa beberapa hari lalu, Pendekar
108 memang meneruskan perjalanan untuk mencari
daerah Bajul Mati. Dan menurut beberapa orang yang
ditanyai, Pendekar 108 mendapat penjelasan bahwa
daerah itu ada di sebelah barat Gunung Arjuna.
Merasa begitu pentingnya perjalanan ini, Pendekar Mata Keranjang sengaja menuju Gunung Arjuna
dengan jalan berputar. Hingga seandainya ditempuh
dengan jalan tanpa berputar hanya memakan waktu
dua hari dua malam, kali ini Aji baru sampai kaki gunung setelah melakukan perjalanan tiga hari tiga malam. Namun kenyataanya, meski Pendekar 108 telah
menempuh perjalanan yang berputar-putar, dia masih
merasa diikuti seseorang. Yang membuat murid Wong
Agung ini tampak kesal dan geram, setiap kali dia melakukan penjebakan untuk memergoki sekaligus mengetahui siapa adanya orang yang mengikuti perjalanannya, orang yang akan dijebak seolah tahu dan begitu saja menghilang laksana masuk ke dasar bumi.
"Sialan betul! Siapa sebenarnya orang yang selalu mengikutiku ini..." Dia memiliki ilmu tinggi. Gerakannya selalu lebih cepat
dari gerakanku yang mencoba menjebaknya! Terpaksa aku harus menunda dulu
perjalananku sampai dapat kupastikan siapa adanya
orang ini!" membatin murid Wong Agung ini seraya pandangi Gunung Arjuna yang
perlahan-lahan menampakkan diri seiring lenyapnya kabut yang membungkus. Meski sepasang mata Pendekar 108 memandangi puncak gunung, namun telinganya dipasang
baik-baik. Malah tak jarang ekor matanya menerabas
tempat di sekitarnya.
Pendekar 108 menduga bahwa yang mengikutinya saat itu adalah Dayang Naga Puspa atau Dewi
Bayang-Bayang bersama Gongging Baladewa. Dugaan
itu muncul karena Dayang Naga Puspa jelas-jelas ingin mengetahui siapa
sebenarnya Pendekar Mata Keranjang 108. Sementara dugaan pada Dewi BayangBayang dan Gongging Baladewa mungkin kedua orang
ini masih mengkhawatirkan ada halangan yang bakal
ditemui murid Wong Agung dalam perjalanannya.
"Edan betul orang ini!" maki Pendekar 108 setelah sekian lama ditunggu tak juga
ada tanda-tanda
orang yang mengikutinya unjuk diri.
"Bagaimana aku harus menjebaknya...?" gumam Aji seraya kernyitkan dahi mencari jalan untuk
menjebak orang yang selalu mengikuti perjalanannya.
Selagi murid Wong Agung ini putar otak, mendadak dari arah belakang terdengar suara tawa nyaring. Sigap, murid Wong Agung ini segera alirkan tenaga dalamnya pada kedua
tangan, dan serta-merta balikkan tubuh dengan tangan siap kirimkan pukulan. Aji
merasa perjalanannya kali ini amat rahasia, hingga tak seorang pun boleh
mengetahuinya. Namun begitu berbalik, Pendekar Mata Keranjang 108 terperangah kaget, tak seorang pun terlihat.
Bahkan daun dan semak belukar pun tidak ada
yang bergerak akibat baru saja diinjak orang!
"Sialan! Dia tampaknya sengaja mempermainkan diriku!"
Selagi Pendekar 108 terbengong, kembali terdengar tawa nyaring dari arah belakangnya. Kembali murid Wong Agung balikkan tubuh. Namun lagi-lagi matanya tak menemukan seseorang!
Karena merasa jengkel dipermainkan, Pendekar
108 tengadahkan kepala dan berkata lantang.
Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa pun adanya kau, kalau tak mau disebut
seorang pengecut, tunjukkan dirimu!"
Bersamaan dengan lenyapnya suara Pendekar
108, sesosok bayangan terlihat melayang turun dari
sebuah pohon tak jauh dari tempat Pendekar 108 berdiri. "Kau...!" seru Pendekar Mata Keranjang setelah sosok itu berdiri tepat
lima langkah di hadapannya.
Bulu kuduk Pendekar dari Karang Langit ini sertamerta berdiri. Malah di kejap itu juga kakinya tersurut dua langkah ke belakang.
"Anak keparat! Ke mana langkahmu pergi, jangan harap bisa lolos dari pengawasanku!" bentak sosok di hadapan Pendekar Mata
Keranjang 108 dengan sepasang mata tak berkedip.
"Dayang Naga Puspa! Apa maumu sebenarnya..."!"
Sosok di hadapan Pendekar 108 yang bukan
lain memang Dayang Naga Puspa adanya, keluarkan
tawa mengekeh panjang.
"Aku hanya ingin mengetahui siapa kau sebenarnya!" "Itu sudah kukatakan padamu!"
"Anak tolol! Dengar baik-baik! Aku ingin tahu
apakah di tubuhmu ada sesuatu yang kuinginkan!" ka-ta Dayang Naga Puspa masih
dengan tak alihkan pandangan matanya.
"Jangkrik! Rupanya dia telah tahu banyak tentang rahasia Arca Dewi Bumi. Aku harus hati-hati!"
membatin Pendekar 108. "Aku harus dapat mempermainkan dia. Lalu pergi jauh-jauh. Terlalu banyak resiko meladeni orang seperti dia. Tapi kalau keadaan tidak memungkinkan, apa
boleh buat. Mengadu jiwa
pun jadilah...!" Lalu murid Wong Agung ini berkata seraya senyum-senyum.
"Dayang Naga Puspa! Meski aku anak tolol, namun aku dapat menebak arah bicaramu. Sesuatu yang
kau inginkan di tubuhku sudah pasti kupunya. Namun sayang sekali, sesuatu itu tidak boleh kau ambil!
Kalau cuma pegang-pegang saja silakan.... Tapi dengan syarat, jangan diremas
apalagi dipencet-pencet!"
Ucapan Pendekar 108 membuat perempuan di
hadapannya yang masih berwajah cantik ini merah
mengelam parasnya. Sepasang matanya semakin
membelalak. Mulutnya komat-kamit memperdengarkan suara yang tak jelas. Namun dapat ditebak jika
perempuan ini sedang marah besar.
"Mulutmu ternyata sama saja dengan laki-laki
lainnya! Jorok dan memandang rendah perempuan!
Cepat mendekat dan jangan coba-coba bergerak selama aku mencari sesuatu itu!"
"Dayang Naga Puspa! Kau terlalu berpura-pura
rupanya. Kau telah tahu letaknya barang yang kau cari. Kau tak usah mencari-cari lagi! Dan, seharusnyalah kau yang mendekat ke
arahku! Bukankah kau yang
menginginkan barang itu..."!"
"Setan alas! Tampaknya kau sengaja mengalihkan pembicaraan dan mempermainkan aku! Terimalah
ganjarannya!" teriak Dayang Naga Puspa. Tangannya serta-merta didorong ke depan!
Pendekar Mata Keranjang 108 yang walau sengaja mempermainkan Dayang Naga Puspa tapi kewaspadaannya tak mengendor, segera melompat ke
samping. Dari arah samping kedua tangannya pun cepat menyentak memapak serangan lawan.
Deeesss! Dua pukulan yang sama-sama dialiri tenaga
dalam bentrok di udara. Tubuh Dayang Naga Puspa
tampak sedikit terhuyung-huyung. Tapi setelah perempuan ini kerahkan tenaga dalam untuk menahan
huyungan tubuhnya, dia segera tegak kembali dengan
kokohnya. Pendekar 108 sendiri tampak tersurut satu
langkah ke belakang.
Dalam menghadapi Pendekar Mata Keranjang
108, Dayang Naga Puspa tampaknya tak berani keluarkan segenap tenaga dalamnya. Hal ini bisa dimaklumi karena perempuan ini masih penasaran ingin
menyelidiki apakah Aji benar-benar orang yang di tubuhnya terdapat guratan angka 108 sebagai salah satu
syarat orang yang kelak akan dapat mengambil Arca
Dewi Bumi. Dan hal ini diam-diam disadari murid
Wong Agung, hingga dia merasa sedikit lega meski sikap waspada tak hendak dikesampingkan.
"Jahanam! Aku serba salah dalam menghadapi
anak ini! Kalau aku berlaku keras, dan ternyata dia
memang orangnya, maka segala impianku mendapatkan arca itu hanyalah angan-angan kosong! Jika tidak berlaku keras, anak ini rupanya membandel!"
membatin Dayang Naga Puspa seraya gelengkan kepalanya perlahan.
"Dia mungkin tak akan bersungguh-sungguh
dalam menghadapiku. Karena dia khawatir aku cedera!
Ini kesempatan yang harus dapat kupergunakan!"
membatin Pendekar Mata Keranjang setelah sekilas
melihat serangan Dayang Naga Puspa.
"Dayang Naga Puspa!" kata Pendekar Mata Keranjang pada akhirnya setelah dilihatnya Dayang Naga
Puspa diam tak melakukan apa-apa. "Tampaknya kau hanya bergurau, sementara aku
ada pekerjaan yang
harus segera kuselesaikan. Selamat tinggal!" Pendekar 108 lantas balikkan tubuh
hendak berkelebat. Namun
gerakannya tertahan, karena tahu-tahu Dayang Naga
Puspa telah ada di sampingnya dan pukulkan tangan
kanannya pada kepala Pendekar 108.
Wuuttt! Karena tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar
108 untuk menghindari pukulan tangan Dayang Naga
Puspa, Pendekar Mata Keranjang 108 segera angkat
tangan kirinya sementara tangan kanannya siap kirimkan pukulan susulan.
Bukkk! Tubuh Pendekar 108 tiba-tiba laksana dihantam batangan pohon besar. Ternyata murid Wong
Agung ini salah perhitungan. Karena bersamaan dengan kirimkan pukulan tangan kanan, kaki kanan
Dayang Naga Puspa juga bergerak menghantam. Hingga tanpa bisa dielakkan lagi tubuh Pendekar 108 lantas meliuk dan jatuh di atas tanah!
Namun sebelum tubuh Pendekar 108 benar-benar jatuh, murid Wong Agung ini masih sempat kirimkan serangan dengan sentakkan tangan kanannya.
Dayang Naga Puspa yang tidak menduga, sedikit terkejut. Namun kesadarannya terlambat. Hingga
sebelum dia bergerak untuk menghindar, pukulan jarak jauh Pendekar Mata Keranjang 108 telah menghantam pundaknya!
Desss! Terdengar seruan tertahan dari mulut Dayang
Naga Puspa. Tubuhnya terjengkang dan jatuh terduduk juga di atas tanah!
"Jahanam rendah! Rupanya kau tak bisa diajak
baik-baik!" teriak Dayang Naga Puspa seraya bangkit.
Keinginannya semula yang tidak akan mencederai
Pendekar 108 terlepas dan tertindih amarah yang meluap. Hingga yang terpikir sekarang adalah mengadu
jiwa dan membunuh Pendekar 108!
Dayang Naga Puspa segera sibakkan jubah putihnya, tangan kanannya meraih Tombak Naga Puspa
sementara tangan kirinya terbuka di depan dada,
Mengetahui lawan tidak main-main lagi, Pendekar Mata Keranjang 108 pun tidak mau ambil resiko.
Tangan kanannya segera pula mengambil kipas ungu
di balik baju hijaunya, sementara tangan kiri siap kirimkan pukulan sakti 'Bayu
Cakra Buana' Didahului bentakan nyaring tinggi, Dayang Naga Puspa kelebatkan tubuhnya. Bersitan sinar hitam
berpencaran ke sana kemari bersamaan dengan bergeraknya tangan kanan Dayang Naga Puspa, sementara
dari tangan kirinya menyambar serangan angin dahsyat yang keluarkan suara menggemuruh!
Tahu jika serangan itu tak boleh hanya dihindari, Pendekar Mata Keranjang 108 cepat pula menyongsong dengan kelebatkan tubuh. Kipas di tangan
kanan dikibaskan dari arah kiri ke kanan, sementara
tangan kiri menghantam!
Bummmm! Gerak kelebat kedua orang ini sama-sama tertahan di udara. Sekejap kemudian terdengar ledakan
dahsyat saat terjadi pertemuan serangan keduanya.
Tubuh Dayang Naga Puspa mental balik ke belakang, dari mulutnya terdengar seruan tertahan. Setelah membuat gerakan salto
dua kali di udara, perempuan ini dapat mendarat di atas tanah. Namun karena
kakinya masih terluka akibat pukulan bambu Gongging Baladewa, hingga saat kakinya mendarat, kakinya
terlihat goyah. Dan saat itu juga tubuhnya melorot jatuh terduduk!
Pendekar Mata Keranjang sendiri tubuhnya melayang sampai dua tombak ke belakang. Namun murid
Wong Agung ini segera bisa kuasai keadaan, hingga
dengan kaki terpentang tubuhnya mendarat!
"Anjing kurap! Kubunuh kau!" teriak Dayang
Naga Puspa seraya bangkit. Kemarahan tidak dapat
disembunyikan lagi dari sikap dan ucapannya. Hal ini
tak lepas dari penglihatan Pendekar Mata Keranjang
108, hingga dia tampak lebih waspada dan hati-hati.
Dalam hatinya dia berucap.
"Dia marah besar, ini kesempatan. Karena serangannya tidak akan lagi terarah...! Dan...," Pendekar 108 tak meneruskan
ucapan hatinya, karena saat itu
juga tiba-tiba bersitan sinar hitam telah menggebrak
dari atas kepalanya, seakan hendak membelah tubuhnya dari kepala hingga perut!
Pendekar Mata Keranjang 108 membentak. Kipas ungunya diangkat sementara tangan kirinya diayun dari bawah.
Kilauan sinar keputihan yang menebar membentuk sebuah kipas menyambar ke atas.
Braakkk! Blaamm! Terdengar benturan dua benda, disusul kemudian dengan terdengarnya ledakan menggelegar.
Dayang Naga Puspa merasa tangan kanannya seakan
lunglai tak bertenaga. Sementara tangan kirinya bergetar hebat dan seolah
penggal! Untuk kesekian kalinya
dari mulut perempuan ini terdengar pekik tertahan
bersamaan dengan membumbungnya tubuh ke udara.
Mungkin karena kerahkan segenap tenaga dalamnya
saat melancarkan serangan tadi, hingga saat tubuhnya
kembali menukik dia tak bisa lagi menahan. Tak ampun lagi tubuhnya terjerembab mencium tanah! Darah
segar tampak meleleh dari sudut bibirnya, wajahnya
berubah pucat, sementara dari mulutnya tak hentihentinya terdengar makian panjang pendek!
Murid Wong Agung pun terdengar keluarkan
seruan tertahan. Bersamaan dengan bertemunya kipas
di tangan kanannya dengan tombak milik Dayang Naga
Puspa, Pendekar Mata Keranjang merasa sekujur tubuhnya seakan dipanggang bara! Dan ketika terjadi ledakan saat tangan kirinya memapak serangan tangan
kiri Dayang Naga Puspa, tubuh Pendekar 108 tampak
terpelanting ke belakang. Tubuhnya baru terhenti saat kakinya menyambar sebuah
batang pohon. Batang pohon yang tak begitu besar itu berderak roboh, namun
hal ini membuat tubuh murid Wong Agung ini terbanting dengan derasnya! Bahkan kepalanya terlebih dahulu menghantam tanah!
Seraya merambat bangkit, Pendekar Mata Keranjang 108 tampak pegangi dadanya yang berdenyut
sakit. Tangan kanannya terasa panas seolah dibakar!
Sambil mengusap-usap darah yang meleleh dari sudut bibirnya dengan lengannya, Dayang Naga
Puspa takupkan kedua tangannya di depan dada, tombaknya dikepit di antara takupan tangannya, sepasang
matanya memejam rapat, sedangkan mulutnya berkemik. Tampaknya Dayang Naga Puspa siapkan pukulan mematikan yang menjadi andalannya. Mendapati
hal ini, Pendekar 108 tak mau bertindak ayal. Dia pun pindahkan kipas ke tangan
kiri, sementara tangan kanan dibuka di depan dada. Rupanya pendekar murid
Wong Agung sedang siapkan pukulan sakti 'Bayu Kencana' yang didapatnya dari perempuan aneh tak bernama. (Tentang pukulan Bayu Kencana dan perempuan aneh tak bernama, baca serial Pendekar Mata
Keranjang 108 dalam episode: "Persekutuan Para Iblis"). Namun sebelum kedua
orang ini saling menyerang, terdengar seruan bersamaan berkelebatnya sesosok bayangan. "Tahan serangan!" ***
SEPULUH KARENA seruan sosok yang baru datang bukan
sembarang seruan, membuat konsentrasi Dayang Naga
Puspa maupun Pendekar Mata Keranjang 108 buyar.
Dengan wajah merah padam dan mulut terkancing rapat saling menggegat, Dayang Naga Puspa
buka kelopak matanya. Demikian pula Pendekar 108.
Sepasang mata kedua orang yang hendak saling menyerang ini bentrok sejenak. Lalu bersamaan mata keduanya memandang ke samping, di mana tampak seseorang telah berdiri dengan memandang silih berganti pada Dayang Naga Puspa dan
Pendekar 108. Sepasang mata Dayang Naga Puspa sekilas makin membesar, lalu menyipit, dari mulutnya mendadak
terdengar seruan.
"Kakang Jogaskara!"
Orang yang dipanggil Jogaskara sejenak masih
tak menyahuti sapaan Dayang Naga Puspa. Sepasang
matanya memperhatikan dengan seksama. Setelah
agak lama bibir orang ini sunggingkan senyum. Lalu
Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata. "Sarpakenaka...."
Dayang Naga Puspa melangkah mendekat. Yang
didekati hanya memandang seraya tersenyum. Dalam
hati, laki-laki yang mengenakan pakaian jubah panjang sebatas lutut berwarna biru muda ini berucap.
"Hmm.... Saatnya bagiku merebut Tombak Naga
Puspa dari tanganmu! Peduli kau adalah adik seperguruanku...!"
"Kakang, sudah lama aku mencarimu. Kau
baik-baik saja..."!" kata Dayang Naga Puspa seraya simpan tombak hitamnya karena
sejak tadi Jogaskara
selalu memperhatikan tombak itu.
"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja!
Hmm.... Siapa pemuda itu..." Dan ada masalah apa di
antara kalian..." Kulihat kau tadi hendak lancarkan
serangan berbahaya!"
Dayang Naga Puspa arahkan pandangannya
pada Pendekar 108 yang saat itu sedang memandang
tak berkedip pada Dayang Naga Puspa dan Jogaskara.
"Hmm.... Siapa laki-laki ini" Tampaknya mereka begitu akrab. Kekasihnya" Atau
saudara..." Sialan benar!
Pasti laki-laki yang dipanggil Jogaskara ini akan membantu Dayang Naga Puspa!"
"Kakang Jogaskara.... Hmm.... Kebetulan kita
dipertemukan di sini. Aku akan bicara terus terang
siapa adanya pemuda itu, meski aku sendiri belum yakin benar. Dengan begitu, dia pasti akan membantuku.
Namun setelah nanti Arca Dewi Bumi benar-benar di
depan mata, akan kuhabisi dia! Tak pandang dia adalah kakak seperguruanku. Itu kalau dia juga menginginkan Arca Dewi Bumi!" diam-diam Dayang Naga
Puspa berkata dalam hati saat arahkan pandangannya
pada Pendekar Mata Keranjang. Lalu dengan suara lirih, dia berucap.
"Kakang! Tentunya kau sudah dengar tentang
Arca Dewi Bumi yang saat ini sedang menggegerkan
rimba persilatan. Tapi apakah Kakang juga tahu tentang syarat untuk mendapatkannya...?"
"Meski aku telah tahu siapa pemegang arca itu
sekarang, namun aku memang belum tahu kalau ada
persyaratan lain untuk mendapatkan arca itu. Hmm....
Ini sebuah kesempatan aku mengetahuinya lebih lanjut. Dan sebaiknya aku memang tak menunjukkan
pengetahuanku tentang arca itu. Sarpakenaka tampaknya tahu banyak tentang rahasia arca itu! Dari nada bicaranya aku bisa menduga! Sementara ini aku
harus menyimpan rasa keinginanku pada arca itu,
sampai saatnya datang!" membatin Jogaskara lalu berkata. "Sarpakenaka! Aku tidak
begitu tertarik dengan segala macam arca. Apalagi yang belum tentu ada tidaknya. Jadi, aku pun tak tahu segala macam syarat
untuk mendapatkan arca!"
"Tapi, Kakang. Apakah Kakang mau membantuku?" "Sebagai kakak seperguruan, kepala pun akan kurelakan untuk membantu!"
Dayang Naga Puspa tersenyum. Namun dalam
hati sebenarnya dia masih meragukan ucapan kakak
seperguruannya.
"Aku belum percaya ucapannya. Mustahil jika
orang rimba persilatan tak menginginkan arca itu! Tapi itu urusan nanti, yang
penting dia mau membantuku
menangkap anak tengik itu!" batin Dayang Naga Puspa Jika Dayang Naga Puspa
meragukan kakak seperguruannya, lain halnya dengan kata hati Jogaskara.
"Dia tampaknya begitu menggebu, tak mustahil
jika segala sepak terjangnya sekarang ini pasti ada hubungannya dengan arca itu.
Dengan membantunya,
aku berarti mendapat pengetahuan tentang rahasia arca itu!" "Kakang! Menurut yang kuketahui, orang yang kelak dapat mengambil Arca
Dewi Bumi adalah seseorang yang di anggota tubuhnya terdapat guratan 108!
Dan orang yang tubuhnya terdapat angka 108 adalah
pemuda itu!" ujar Dayang Naga Puspa dengan arahkan pandangannya pada Pendekar
Mata Keranjang 108
yang tetap mengawasi dengan sikap waspada.
Meski terkejut, namun Jogaskara cepat menyembunyikan rasa terkejutnya dengan tersenyum lebar, hingga codet bekas luka di pipi kirinya seakan
hendak membuka kembali.
"Sarpakenaka! Apa kau tidak salah dengar dengan apa yang baru kau katakan" Dan kau yakin dengan berita itu"!" Jogaskara berkata demikian untuk memancing dari mana berita
itu didapat Sarpakenaka.
"Kakang. Eyang guru Dadung Rantak apakah
pernah berkata dusta?" Dayang Naga Puspa balik bertanya. "Jadi kau dengar hal
itu dari Eyang guru..."!"
Dayang Naga Puspa mengangguk-anggukkan
kepalanya perlahan. Sementara Jogaskara menarik
napas lega. Lalu manggut-manggut.
"Lalu bantuan apa yang kau minta dariku..."!"
"Kakang. Pemuda itu adalah manusia yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108! Dia berilmu tidak
cetek. Sekarang bantulah aku menangkapnya! Kalau
bisa tanpa mencederainya, karena dia kubutuhkan!"
"Hanya itu..."!"
"Untuk saat sekarang hanya itu. Namun setelah
ini tentunya aku masih butuh juga bantuanmu. Kau
masih bersedia membantuku untuk selanjutnya, bukan?" Jogaskara keluarkan suara tawa perlahan.
"Sarpakenaka. Demi adik seperguruan, sampai
kapan pun sekiranya aku bisa, aku akan membantumu!" "Terima kasih, Kakang...."
Kedua orang seperguruan ini lantas sama-sama
memandang pada Pendekar Mata Keranjang 108.
"Hmm.... Dugaanku tidak meleset. Dia pasti
akan membantu perempuan itu! Apa boleh buat. Akan
kuhadapi mereka berdua!"
Dayang Naga Puspa melirik pada Jogaskara.
Dua orang saudara seperguruan murid Dadung Rantak dari Lembah Rawa Buntek ini saling memberi isyarat dengan anggukan kepala masing-masing. Dan di
saat itu juga keduanya segera melompat ke depan dengan dorong kedua tangan masing-masing.
Empat bongkahan sinar hitam menyambar cepat ke arah Pendekar 108. Dua dari arah bawah dan
dua dari atas! Meski sedikit terkejut dengan paduan serangan
lawan, namun murid Wong Agung ini tak mau larut.
Tangan kirinya yang kini memegang kipas disabetkan
menyilang, sementara tangan kanannya kirimkan pukulan 'Bayu Cakra Buana'.
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara saling lirik.
Dan seakan tahu apa yang harus mereka lakukan, kedua orang ini lantas kerahkan tenaga dalam susulan
seraya melangkah maju. Namun kedua orang ini semakin melengak, karena meski keduanya telah lipat
gandakan tenaga dalam, kilauan sinar putih seakan tidak bisa ditembus, malah bongkahan sinar hitam perlahan bergerak membalik tertindih gerak kilauan sinar putih.
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara kembali lipat gandakan tenaga dalam. Namun tampaknya masih
tak bisa menerobos, malah ketika Pendekar 108 membuat gerakan jungkir balik dan sentakkan kipas serta
tangan kanannya, terdengar dua pekik tertahan, lalu
disusul dengan terjengkangnya tubuh Dayang Naga
Puspa dan Jogaskara di atas tanah!
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara cepat bangkit. Tak sadar, kedua orang ini sama-sama sibakkan
jubah masing-masing. Dan secara bersamaan pula
tangan kanan masing-masing menyahut senjata yang
ada di balik jubah.
Baik Dayang Naga Puspa maupun Jogaskara
saling pandang dan membeliakkan mata masingmasing. Namun pandangan mata masing-masing orang
ini terpaku pada senjata di tangan kanan orang lainnya. "Aku tadi belum jelas benar lihat bentuk tombak itu! Hm.... Benar-benar
aneh dan tentunya hebat!
Saatnya akan tiba untuk merebutnya!" membatin Jogaskara seraya terus pandangi
tombak di tangan Dayang Naga Puspa yang keluarkan bersitan hitam berkilat-kilat. "Baru kali ini aku melihat keris yang bentuknya
demikian rupa! Dari mana dia dapat" Dari Eyang guru..." Hmm.... Tentunya senjata yang sakti. Setelah Ar-ca Dewi Bumi berhasil
kudapatkan, tak sulit merebut
keris itu dari tangannya.... Dengan demikian, aku akan semakin ditakuti siapa
pun!" diam-diam Dayang Naga Puspa pun berkata dalam hati, dan pandangannya tak
berkedip menatapi keris bersisik berwarna hitam di
tangan kanan Jogaskara.
Namun kedua orang ini tak bisa berlama-lama
saling diam dan saling pandangi senjata, karena saat
itu juga dari arah depan menggebrak kilauan sinar putih menebar membentuk kipas sementara kilauan
lainnya menggebrak dengan keluarkan suara menggemuruh! Ternyata Pendekar Mata Keranjang 108 telah
lancarkan serangan susulan, hal ini dilakukan agar
kedua lawan tak ada kesempatan lagi untuk padukan
serangan, apalagi dilihatnya kedua orang lawan telah
keluarkan senjata masing-masing.
Jogaskara undurkan langkah tindak ke belakang, lalu serta-merta tangan kirinya menyentak, bersamaan dengan menyentaknya tangan, Jogaskara kelebatkan tubuh!
Sementara Dayang Naga Puspa geser tubuhnya
ke samping. Dan dari arah samping tangan kirinya
pun menghantam ke depan, memapak serangan Pendekar 108! Dan sehabis kirimkan serangan, tubuhnya
pun berputar dan lenyap dari pandangan!
Blaarrr! Blaarrrr!
Bumi laksana diguncang gempa dahsyat tatkala
tiga pukulan bertemu! Tanah tampak bergetar dan terbongkar, sementara semak belukar tercabut dari akarnya dan mengangkasa.
Tubuh Pendekar 108 tampak terseret ke belakang. Dan sebelum murid Wong Agung ini dapat menguasai diri, tiba-tiba dari arah samping menderu angin kencang lalu disusul
dengan berkelebatnya seberkas
sinar hitam dan merah!
Pendekar 108 merasakan udara di sekitarnya
mendadak panas membara. Lalu bersitan sinar hitam
dan merah datang mengarah pada pundaknya.
Wuuttt! Pendekar 108 terkejut, bukan hanya karena serangan mendadak itu, namun juga oleh hawa panas
yang menebar dari tangan Jogaskara yang memegang
Keris Papak Geni!
Untung Pendekar dari Karang Langit cepat miringkan pundaknya, hingga keris Jogaskara hanya
mampu menyerempet pakaiannya. Tapi tak urung
Pendekar 108 terbelalak. Pakaian yang terserempet keris Jogaskara tampak robek dan hangus, dan panasnya tetap membara di pundaknya!
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 terkesima
dengan apa yang baru saja dialami, mendadak dari
samping kiri berkelebat sinar hitam berkilat.
Wuutttt! Untuk kedua kalinya Pendekar Mata Keranjang
masih dapat menghindari serangan mendadak itu yang
ternyata dilancarkan Dayang Naga Puspa. Namun, tak
urung juga senjata tombak Dayang Naga Puspa sempat
menerabas pahanya sebelah kanan!
Seraya menahan huyungan tubuhnya yang baru saja menghindar dari serangan, Aji melirik pahanya yang terasa laksana
dipanggang api!
Murid Wong Agung tercekat. Bukan hanya karena melihat darah yang mulai meleleh dari pahanya,
namun karena kulit di pahanya perlahan-lahan mulai
berubah menghitam!
"Busyet! Racun jahat!" gumam Aji seraya melompat mundur menghindari serangan susulan.
Jogaskara yang mendarat terlebih dahulu melangkah maju hendak mendekat ke arah Pendekar 108.
Namun langkahnya tertahan ketika dari arah samping
Dayang Naga Puspa menjajarinya dan berkata.
"Kakang, dia telah terluka! Kita harus hentikan
serangan. Aku yakin, tanpa obat pemunah dariku, dia
tak akan tahan sampai tengah hari!"
"Lantas apa yang kita lakukan sekarang..."!"
"Kita tangkap dahulu dan kita sekap! Setelah
tiba waktunya, kita gunakan!"
Habis berkata, Dayang Naga Puspa mendahului
Jogaskara melangkah mendekati Pendekar Mata Keranjang 108. Sedangkan Pendekar 108 sendiri parasnya tampak memucat, tubuhnya sedikit bergetar. Kedua kakinya lantas goyah dan tak lama kemudian, tubuhnya
pun jatuh di atas tanah!
Begitu tubuhnya jatuh, murid Wong Agung ini
merasa matanya berkunang-kunang, tubuhnya panas.
Meski dia telah berusaha kerahkan tenaga dalam, namun tampaknya tak ada hasil. Tubuhnya sulit untuk
digerakkan dan lebih dari itu, sekujur tubuhnya seakan dipanggang di atas api!
"Celaka! Apa yang harus kulakukan?" gumam
Aji seraya pandangi Dayang Naga Puspa yang samarsamar tampak melangkah ke arahnya.
Saat itulah, mendadak sebuah bayangan berkelebat seakan menghadang gerak langkah Dayang
Naga Puspa. Bersamaan dengan berkelebatnya bayangan ini, serangkum angin deras menghantam pada
Dayang Naga Puspa.
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara kaget. Dayang Naga Puspa yang dekat dengan serangan segera
melompat ke samping seraya mengumpat.
Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** SEBELAS BANGSAT! Siapa berani ikut campur urusan
orang"!" bentak suatu suara yang sangat mengejutkan.
"Tak pantas menjatuhkan tangan pada orang
yang sudah tak berdaya!" sahut sosok yang baru saja berkelebat seraya menghadang
gerak langkah Dayang
Naga Puspa. Ternyata dia adalah seorang gadis muda
berparas cantik jelita. Mengenakan pakaian warna coklat bergaris-garis. Rambutnya panjang sebahu dengan
sepasang mata bulat berbinar.
Untuk beberapa saat lamanya baik Dayang Naga Puspa maupun Jogaskara mengawasi gadis yang
baru datang dengan tatapan menyelidik. Sementara
Pendekar 108 yang masih kebingungan untuk mencari
jalan keluar saat Dayang Naga Puspa hendak melangkah ke arahnya, sejenak mengernyitkan kening. Sepasang matanya membesar lalu menyipit.
"Sakawuni!" seru Pendekar 108 perlahan begitu mengenali siapa adanya gadis yang
telah berhasil menahan gerak Dayang Naga Puspa.
Setelah agak lama mengawasi, tampaknya baik
Dayang Naga Puspa maupun Jogaskara tak bisa mengenali siapa adanya sang gadis. Namun demikian,
Dayang Naga Puspa maklum jika gadis bermata bulat
ini punya kepandaian tinggi. Itu bisa dilihat dari kele-batannya saat menahan
langkahnya. "Gadis lancang! Siapa kau"!" bentak Dayang
Naga Puspa dengan sepasang mata berkilat merah. Sementara Jogaskara nampak memandangi seraya senyum-senyum aneh. Ternyata diam-diam Jogaskara
menaruh nafsu pada gadis bermata bulat yang bukan
lain memang Sakawuni adanya. Salah satu murid dari
Ageng Panangkaran (Mengenai Sakawuni baca serial
Pendekar Mata keranjang 108 dalam episode: "Malaikat Berdarah Biru").
Yang dibentak sepintas memandang pada Pendekar 108. Lalu beralih pada Dayang Naga Puspa dan
Jogaskara. Namun dari mulut sang Gadis tak keluar
suara jawaban, membuat Dayang Naga Puspa geram
dan memaki-maki dalam hati, apalagi dilihat tatapan
sang gadis pada Pendekar Mata Keranjang seperti pandangan orang yang lama terpisah mendadak bertemu!
"Gadis liar! Apa hubunganmu dengan pemuda
tolol itu"!" sambung Dayang Naga Puspa begitu pertanyaan pertamanya tak dijawab
oleh sang Gadis.
Sesaat sang gadis murid Ageng Panangkaran ini
masih diam. Namun begitu dilihatnya Dayang Naga
Puspa hendak membentak lagi, Sakawuni angkat bicara. "Siapa pun aku dan apa pun hubunganku dengan pemuda itu, tak layak kau ketahui. Yang layak
kau dengar adalah 'Lekas tinggalkan tempat ini'!"
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara serentak
tertawa bergelak-gelak.
"Kakang, kau dengar apa yang dikatakan gadis
bau kencur itu"! Dia mengusirku dari sini. Apa dikira ini tanah nenek moyangnya!
Hik... hik... hik...!"
"Sarpakenaka!" sahut Jogaskara. "Bagaimana kalau kita turuti saja permintaan
gadis ini. Tapi dia harus ikut denganku dahulu! Tak usah terlalu lama,
satu malam saja cukuplah!"
"Laki-laki codet! Jaga mulutmu jika tidak ingin
kurobek-robek!"
Dimaki demikian, Jogaskara bukannya marah,
sebaliknya tawanya semakin keras. "Sarpakenaka. Kau dengar, dia mengancamku!
Ha... ha... ha...!"
Namun mendadak saja Dayang Naga Puspa
hentikan tawanya.
"Gadis liar! Kali ini aku masih berbaik hati mau mengampunimu dengan tidak
menampar mulutmu
yang telah berani mengusirku. Lekas menyingkirlah
dari hadapanku!"
"Kalau aku berani mengusirmu, aku juga berani tak meninggalkan tempat ini! Kalian mau apa"!" tan-tang Sakawuni. Kedua
tangannya terlihat perlahanlahan diangkat ke atas. Sementara ekor matanya sesekali melirik pada Pendekar Mata Keranjang. Yang dilirik bukannya senang. Dia malah terlihat cemas. Bahkan sepertinya ingin berteriak agar Sakawuni meninggalkan tempat itu. Karena Aji yakin, Sakawuni pasti tidak akan mampu menghadapi
Dayang Naga Puspa
apalagi kini ada Jogaskara.
"Sarpakenaka. Dia tak mau meninggalkan tempat ini, rupanya dia memang ingin merasakan yang
semalam itu! Ha... ha... ha...!"
Dayang Naga Puspa tak menyambuti kata-kata
kakak seperguruannya. Kemarahannya pada Sakawuni
tampaknya sudah tak dapat dibendung lagi, hingga
tanpa bicara apa-apa lagi perempuan ini melesat ke
depan. "Kau rupanya ingin cari mampus!" teriaknya seraya hantamkan tangan
kanannya ke arah kepala Sakawuni. Sakawuni yang tampaknya telah waspada cepat
lesatkan diri ke samping. Begitu kakinya mendarat di
atas tanah, kedua tangannya bergerak kirimkan pukulan jarak jauh. Namun malang bagi Sakawuni, sebelum
tangannya benar-benar hantamkan pukulan, Jogaskara telah melesat dan tiba-tiba kakinya menyapu ke
arah dada Sakawuni. Mau tak mau Sakawuni urungkan niat untuk menghantam. Tangannya ditarik sedikit ke belakang lalu dipalangkan di depan dada!
Namun lagi-lagi murid Ageng Panangkaran ini
urungkan niat palangkan tangan, karena saat itu juga
Jogaskara tarik pulang kakinya dan serta-merta pukulkan tangan kanannya pada kepala Sakawuni, sementara tangan kirinya menyusup ke bawah ketiak!
Seraya membentak marah. Sakawuni angkat
tangan kanannya sementara tangan kirinya menyapu
dari arah bawah!
Praakkk! Praakkk!
Terdengar dua kali benturan keras. Sakawuni
keluarkan pekik kesakitan, tubuhnya tampak terhuyung mundur sampai beberapa langkah. Saat itulah
mendadak dari arah belakang Dayang Naga Puspa
berkelebat dan kirimkan serangan dengan kaki kanan
ke arah punggung!
Deesss! Untuk kedua kalinya Sakawuni terpekik. Tubuhnya kembali terhuyung ke depan. Kesempatan ini
tak disia-siakan oleh Jogaskara yang saat itu masih
berdiri di hadapannya. Laki-laki bercodet ini sertamerta kelebatkan kedua tangannya dari samping kanan ke kiri! Sakawuni tampak terkejut besar. Namun gadis
ini tak hendak diam begitu saja. Dengan kerahkan tenaga dalam penuh, tangan kanan kirinya diangkat
memapaki kedua tangan Jogaskara. Sayang, gerakan
Sakawuni sedikit terlambat. Hingga tanpa ampun lagi
tangan kanan Jogaskara menerabas masuk ke bahunya! Sementara tangan kirinya mental balik karena
berhasil ditangkis Sakawuni!
Tubuh Sakawuni berputar. Saat itulah Dayang
Naga Puspa melompat dan sapukan kaki kirinya.
Deesss! Jeritan lengking merobek langit keluar dari mulut Sakawuni. Tubuhnya terpelanting jauh dan terkapar di samping Pendekar 108.
"Sakawuni! Kau terlalu menganggap remeh mereka. Mereka adalah orang-orang sesat berilmu tinggi.
Kau tak apa-apa..."!" tanya Pendekar 108 dengan suara tersendat dan parau.
Seraya mengeluh, Sakawuni gelengkan kepalanya perlahan. Namun sepasang matanya tak beranjak
memandangi pemuda yang kini ada di sampingnya.
"Siapa mereka" Dan ada persoalan apa antara
kau dan mereka..."!" tanya Sakawuni seraya pegangi
dadanya yang berdenyut sakit. Pakaian bagian dada
itu tampak robek akibat terjangan kaki Dayang Naga
Puspa. "Nanti saja kuceritakan. Sekarang lebih baik kau tinggalkan tempat ini.
Selamatkan dirimu. Kau ta-hu, aku terluka. berarti sulit bagiku untuk menolongmu jika sampai terjadi apa-apa terhadap dirimu!"
Sejurus Sakawuni menatap bola mata pendekar
murid Wong Agung ini.
"Ah, rupanya dia masih begitu memperhatikan
diriku. Apakah dia juga tak pernah melupakanku, seperti aku yang tak pernah melupakannya...?" membatin Sakawuni. "Dia terluka. Hmm.... Tak mungkin aku tinggalkan dia sendirian
di sini! Apalagi dia terluka. Mati pun akan kulakukan untuk menghalangi kedua orang itu jika mereka benar-benar ingin membunuh Pendekar 108!"
"Sakawuni. Kau dengar kata-kataku bukan..."
Lekas tinggalkan tempat ini!" pinta Pendekar 108 saat dilihatnya Sakawuni tak
juga mencoba meninggalkan
tempat itu. Sakawuni menggeleng perlahan.
"Aji.... Aku akan tinggalkan tempat ini jika ber-samamu! Jika kau di sini, aku
pun akan tetap di sini!
Apa pun yang akan terjadi! Kau terluka. Aji! Aku akan melindungimu sampai titik
darah penghabisan!"
Pendekar Mata Keranjang 108 laksana disekat
tenggorokannya mendengar kata-kata Sakawuni.
"Ah, gadis ini benar-benar tabah dan tegar! Dia
rela mengorbankan dirinya demi aku! Hmm.... Sakawuni...." Pendekar 108 memandang lekat-lekat pada Sakawuni. Saat itu pun Sakawuni sedang memandang ke
arahnya. Dua orang yang sudah lama tidak jumpa ini
seakan melepas kerinduan hati masing-masing lewat
pandangan mata. Sebenarnya Pendekar 108 ingin sekali mendekat bahkan memberi kecupan di keningnya,
namun hal itu tak mungkin dilakukan. Karena pada
saat itu juga tiba-tiba Dayang Naga Puspa melangkah
ke arah keduanya dan berkata.
"Anak-anak ingusan! Cukup waktunya bagi kalian untuk berbasa-basi. Sekarang bersiaplah kalian
untuk menghuni alam baru! Terlebih-lebih kau, Perempuan liar! Kau harus menuju alam baru dahulu,
lantas baru pemuda tolol ini menyusul!"
"Sarpakenaka!" berkata Jogaskara seraya menjajari langkah Dayang Naga Puspa.
"Sebelum yang gadis menjadi penghuni alam yang baru, serahkan dahulu padaku! Sudah beberapa malam ini aku tidur berselimut dingin. Dia tampaknya cukup untuk menghangatkan dinginnya malam. Ha... ha... ha...!"
Walau Dayang Naga Puspa tampaknya tak suka
dengan tingkah kakak seperguruannya, namun dia tak
dapat mencegah. Apalagi dia masih mengharap bantuan dari kakak seperguruannya itu. Hingga tatkala
Jogaskara melangkah mendahului mendekat ke arah
Sakawuni, Dayang Naga Puspa hanya diam malah tersenyum sinis dengan alihkan pandangan.
"Manis! Kuharap kau suka dengan ajakanku.
Dan kalau pun kau nantinya masih ingin, aku tak keberatan menambah dua malam lagi! Ha... ha... ha...!"
seraya tertawa bergelak-gelak Jogaskara terus melangkah ke arah Sakawuni dan Pendekar Mata Keranjang. Sakawuni merah mengelam wajahnya. Tanpa
mempedulikan dadanya yang masih berdenyut sakit,
gadis ini bangkit dengan sepasang mata menyengat tajam. "Sakawuni! Kau harus berhati-hati!" Pendekar Mata Keranjang 108
mengingatkan gadis itu seraya kerahkan sisa tenaga dalamnya pada kedua tangannya
dan siap dipukulkan jika Jogaskara tak mengurungkan niat. Sepuluh langkah lagi Jogaskara sampai pada
Sakawuni, dan baik Sakawuni maupun Pendekar 108
telah siapkan pukulan masing-masing, mendadak terdengar suara orang tertawa mengekeh panjang. Belum
lenyap suara tawa, terdengar suara berdebum-debum
bersahut-sahutan seakan membuncah keheningan dan
ketegangan tempat itu. Di sela debuman-debuman terdengar orang bicara. Namun nada bicaranya seperti
orang sedang menyanyi.
"Sedang apa, sedang apa, sedang apa sekarang.
Sekarang sedang apa, sedang apa sekarang...?"
Siapa pun yang mendengar, pasti dapat menebak jika yang sedang memperdengarkan adalah seorang perempuan. Namun begitu suara nyanyian ini
habis tiba-tiba terdengar nyanyian lagi. Ini jelas suara seorang laki-laki.
"Sedang ngajak. Sedang ngajak sekarang. Sekarang ngajak apa, ngajak apa sekarang...?"
"Ngajak tidur, ngajak tidur, ngajak tidur sekarang. Sekarang tidur apa, tidur apa sekarang...?" kembali terdengar suara
perempuan yang tadi.
"Tidur paksa, tidur paksa, tidur paksa sekarang. Sekarang paksa apa, paksa apa sekarang...?"
Nyanyian itu tak ada sahutan lagi. Namun yang
terdengar kemudian adalah omelan sang perempuan.
"Dasar laki-laki! Maunya ngajak tidur melulu!
Tak lihat-lihat dulu, apakah yang diajak tidur dalam
keadaan sakit apa waras!"
Jogaskara hentikan langkahnya. Darahnya sirap oleh nyanyian yang tampaknya menyindir padanya. Dengan muka merah padam, ia cepat palingkan
wajah ke arah sumber suara.
Lain yang dialami Jogaskara, lain pula yang dirasakan Dayang Naga Puspa. Begitu terdengar suara
debuman bersahut-sahutan, kontan saja tengkuknya
merinding. Rupanya dia sudah dapat menebak siapa
adanya dua orang yang tadi memperdengarkan nyanyian. Dan sekarang, Pendekar 108 tampak menghela
napas lega, sementara Sakawuni tampak terbengong,
apalagi ketika diliriknya paras wajah Pendekar Mata
Keranjang berubah, malah sedikit tersenyum.
Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bersamaan dengan berpalingnya wajah Jogaskara, dari semak belukar tak jauh dari tempat itu
muncul dua orang. Laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki bertubuh gemuk besar, sementara yang perempuan kurus dengan pakaian agak gombrang.
Dan yang membuat Jogaskara melengak, ternyata debuman bersahut-sahutan tadi keluar dari ketukan-ketukan bambu kecil di ketiak laki-laki gemuk
besar yang digunakan sebagai penyangga tubuhnya,
karena laki-laki ini tak punya kaki! Sedangkan debuman yang lain keluar dari terompah besar berwarna hitam yang dikenakan oleh sang perempuan.
"Jahanam busuk! Siapa adanya dua makhluk
jelek ini" Mereka tampaknya mengerti tujuanku pada
gadis ini!"
Habis membatin begitu. Jogaskara dengan wajah masih merah padam segera menyongsong kedua
orang yang kini tampak melangkah acuh dengan pandangan beberapa mata di situ!
"Tua bangka keparat! Siapa kalian sebenarnya..."!"
Yang dibentak bukannya hentikan langkah
apalagi menjawab. Malah seraya terus melangkah ke
arah Pendekar 108, kedua orang ini yang bukan lain
adalah Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa
saling pandang lalu sama-sama tertawa mengekeh.
"Dewi, Gongging!" seru Aji perlahan.
Mendengar Pendekar Mata Keranjang berseru,
Sakawuni bungkukkan tubuh hingga rambutnya menjulai ke wajah Pendekar 108 yang masih tampak duduk. "Kau kenal mereka. Siapa mereka..."!"
"Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa.
Sahabat juga teman...!" jawab Pendekar Mata Keranjang 108 seraya sibakkan rambut
Sakawuni yang menutupi pandangannya. Namun sejenak kemudian, murid Wong Agung ini tampak mengendus-endus.
"Bau tubuhnya begitu harum...!"
"He.... Apa yang kau lakukan...?" seru Sakawuni dengan wajah heran.
Pendekar 108 tak menjawab. Malah hidungnya
semakin dikembang-kempiskan, membuat Sakawuni
jadi jengah, namun tak berusaha menjauh.
Sementara itu kemarahan Jogaskara telah di
ambang batas begitu melihat dua orang yang ditanya
tidak juga menjawab, malah tertawa-tawa.
"Kalian rupanya tua-tua keparat yang ingin cepat mampus!" teriak Jogaskara seraya hantamkan kedua tangannya kirimkan pukulan
jarak jauh! Tiba-tiba suara tawa lenyap. Jogaskara terperangah kaget dan heran. Karena serangannya menghajar angin! Sepasang mata laki-laki berjubah biru ini
terbelalak besar-besar, karena ternyata sosok kedua
orang yang diserang lenyap dari pandangannya!
"Anjing! Ke mana lenyapnya orang-orang tua
keparat itu!" maki Jogaskara dalam hati. Diam-diam hatinya didera rasa kecut.
Dia tampaknya sadar, kedua orang laki-laki dan perempuan tadi bukanlah
orang sembarangan. Kalau tidak, mungkin kedua
orang tadi sudah terhajar pukulannya, karena serangan itu dilakukan dari jarak dekat dan tenaga dalam
hampir separo. Selagi Jogaskara termangu mencari-cari, terdengar lagi suara tawa bersahut-sahutan panjang.
Berpaling ke samping, tampak Dewi BayangBayang dan Gongging Baladewa melangkah perlahanlahan, malah saling berpegangan tangan! Hebatnya,
debuman tadi tidak lagi terdengar baik dari ketukan
bambu penyangga tubuh sang laki-laki maupun terompah sang perempuan!
Merasa dipermainkan, Jogaskara makin naik
pitam. Tanpa berkata-kata lagi tubuhnya melesat ke
arah Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa.
Hampir sampai, kedua kakinya dipentangkan dan dihantamkan ke arah kepala Dewi Bayang-Bayang dan
kepala Gongging Baladewa. Bukan hanya sampai di situ, begitu kedua kakinya menghantam, kedua tangannya pun ikut menggebrak ke arah dada lawan
dengan jalan diputar ke belakang dan disusupkan lewat bawah kakinya!
Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa
hentikan langkah. Tangan mereka yang berpegangan
mereka lepas. Dan dengan gerak aneh, Dewi BayangBayang tampak rundukkan kepalanya, tubuhnya digeser ke depan dengan kedua tangan lurus ke depan.
Tahu-tahu kedua tangan Jogaskara yang hendak susupkan serangan dari bawah kakinya tercekal perempuan ini. Jogaskara tersentak kaget, namun belum lenyap rasa kagetnya, Gongging Baladewa yang juga
rundukkan kepala hindari terjangan kaki, angkat bahunya setinggi satu jengkal lalu disentakkan ke arah
kaki Jogaskara!
Wuuuttt! Deesss! Dessss!
Jogaskara terpekik tatkala kakinya terhantam
bambu Gongging Baladewa. Tubuhnya mental. Saat
itulah dengan tiba-tiba Dewi Bayang-Bayang sentakkan tangannya yang mencekal kedua tangan Jogaskara. Wuuttt! Jogaskara terkejut bukan alang kepalang. Namun dia tak bisa berbuat banyak. Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya terbanting keras di atas tanah dengan wajah dan dada terlebih dahulu!
Melihat hal ini, Dayang Naga Puspa yang telah
mengenal siapa Dewi Bayang-Bayang dan Gongging
Baladewa cepat berteriak memperingati.
"Kakang! Kita tinggalkan tempat ini!"
Mendengar teriakan Dayang Naga Puspa, Jogaskara yang nyalinya telah punah merambat bangkit
dengan tak berani lagi memandang Dewi BayangBayang maupun Gongging Baladewa yang masih tegak
seraya tertawa, sedangkan Dewi Bayang-Bayang tersenyum-senyum. Namun baru saja Jogaskara bangkit, Gongging
Baladewa gerakkan bambu di tangan kanannya, sementara Dewi Bayang-Bayang gerakkan kaki kirinya.
Meski Jogaskara telah berusaha mengelak, namun hentakan tangan Gongging Baladewa tampaknya
lebih kuat, hingga saat itu juga tubuh Jogaskara tampak menyusur setengah depa di atas tanah dengan kaki melangkah cepat karena terdorong oleh tenaga dalam Gongging Baladewa.
Saat tubuh Jogaskara menyusur hendak terjerembab, kaki kiri Dewi Bayang-Bayang yang ternyata
melepaskan terompahnya bergerak. Terompah hitam
besar itu melesat cepat menghajar punggung Jogaskara! Jogaskara kembali keluarkan pekik kesakitan.
Tubuhnya makin cepat menyusur dan tak lama kemudian terjerembab mencium tanah!
Mendapati hal demikian, Dayang Naga Puspa
cepat berkelebat dan dengan gerak cepat pula ditariknya tangan Jogaskara agar segera bangkit. Walau masih terasa sakit, Jogaskara menurut saja. Begitu tubuhnya telah bangkit, secepat kilat tangan Dayang Naga Puspa meraih tangan Jogaskara dan segera meninggalkan tempat itu.
"Ha... ha... ha.... Rupanya mereka ingin juga
bergandeng-gandengan tangan seperti kita!" kata
Gongging Baladewa tanpa memandangi kepergian
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara.
Dewi Bayang-Bayang palingkan wajah pada
Pendekar Mata Keranjang 108. Lalu pada Sakawuni.
Dahi perempuan ini berkerut.
"Dewi.... Untuk kesekian kalinya aku ucapkan
terima kasih!" kata Aji seraya menjura hormat. Sementara Sakawuni anggukkan
kepala seraya tersenyum,
karena dilihatnya sedari tadi Dewi Bayang-Bayang
memandang dengan bibir tersenyum!
"Rayi Seroja!" bisik Gongging Baladewa. "Tampaknya anak kurang ajar itu iri
melihat kita. Lihat, dia telah menggandeng seorang gadis. Cantik lagi! Dari
mana dia mendapatkannya..."!"
"Dasar laki-laki. Tua-tua masih usil tanyatanya!" bentak Dewi Bayang-Bayang dengan mata melotot, namun bibirnya tersenyum.
"Alah, apakah perasaan cemburu masih ada di
hatimu?" "Kau terlalu besar kepala jika dicemburui!"
"Jadi, kau sudah tak menyimpan rasa cemburu
padaku" Astaga! Berarti kau sudah tidak...," Gongging Baladewa tidak meneruskan
kata-katanya, karena De-wi Bayang-Bayang telah menyela dengan suara agak
keras. "Sudah! Jangan terus nyerocos soal yang bukan-bukan. Cepat tolong anak
kurang ajar itu! Dia
tampaknya terluka...!"
Meski masih menggerendeng tak karuan, Gongging cepat berkelebat ke arah Pendekar 108. Sekali melihat, laki-laki ini
ternyata sudah mengetahui di mana luka Aji.
"Gongging...! Aku...," belum selesai kata-kata Pendekar 108, Gongging Baladewa
telah berkata. "Simpan dulu basa-basi terima kasihmu! Rentangkan kakimu!" seraya berkata Gongging Baladewa memandang pada Sakawuni yang
diam di sebelah
Pendekar 108. Sakawuni mengangguk sambil tersenyum. Gongging Baladewa balas dengan senyum.
Begitu pendekar murid Wong Agung telah rentangkan kakinya ke depan, Gongging Baladewa ketukketukkan tongkat bambunya pada daerah sekitar luka
Pendekar 108. Pendekar Mata Keranjang 108 memekik kesakitan. Sementara Sakawuni pandangi dengan bibir saling menggigit. Begitu selesai ketukan-ketukan bambu. Gongging Baladewa tekankan bambu pada kulit dekat luka
Pendekar 108. Terjadi keanehan. Dari lobang luka
Pendekar 108 muncrat darah berwarna kehitamhitaman. "Rayi Seroja! Berikan obat itu!" kata Gongging Baladewa seraya ulurkan tangan
pada Dewi Bayang-Bayang yang ternyata telah dekat di situ.
Dari pakaian gombrangnya, Dewi Bayang-Bayang keluarkan kantong kecil berwarna merah. Lalu
diangsurkan pada Gongging Baladewa.
Gongging Baladewa membuka kantong dan
mengeluarkan dua butiran kecil berwarna putih. Diberikan pada Pendekar 108 dan disuruhnya telan.
Begitu butiran tertelan, rasa panas yang menyengat sekujur tubuh Aji perlahan-lahan sirna.
"Ini kau simpan untuk oleh-oleh!" kata Gongging Baladewa seraya memberikan
kantong merah pada
Pendekar Mata Keranjang.
"Terima kasih..., Gongging, Dewi...!"
"Gongging! Apa kau ingin ganti diusir anak kurang ajar ini" Lihat...! Kepalanya sudah tengadah berulang kali! Kita harus tahu
diri! Penyakit asmara tampaknya saat ini sedang bermekaran di mana-mana!"
"Astaga! Kenapa aku tak sadar!" sahut Gongging Baladewa seraya tepuk jidatnya.
"Bukankah orang yang sedang kasmaran hanya ingin berdua-dua tanpa
ada orang lain seperti kita muda dulu?" sambung
Gongging sambil arahkan pandangannya pada Dewi
Bayang-Bayang. "Bukan hanya ingin berdua-dua, tapi juga mencari tempat rimbun dan sepi-sepi..." sahut Dewi Bayang-Bayang seraya balikkan
tubuh dan berkelebat.
Gongging Baladewa tak tinggal diam, laki-laki bertubuh gemuk besar dan tak berkaki ini pun cepat berkelebat ke arah berkelebatnya Dewi Bayang-Bayang.
"Dewi.... Gongging...! Tunggu!" seru Pendekar 108 seraya bangkit. Namun kedua
orang tadi telah lenyap. Hanya debuman bersahut-sahutan yang masih
tertinggal. Begitu Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa telah tiada, Pendekar Mata Keranjang 108 berpaling pada Sakawuni yang tampak merona merah
mendengar kata-kata Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa. "Sakawuni.... Tak perlu kau ambil hati ucapan
orang-orang tadi!"
Sakawuni tersenyum dan memandang Pendekar Mata Keranjang dengan tatapan aneh. Lalu gadis
itu berkata. "Sekarang kau hendak ke mana...?"
"Ah, bagaimana ini" Apakah aku harus berterus terang padanya" Tidak! Masalah yang sedang kutempuh adalah sangat rahasia sekali. Siapa pun tak
boleh mengetahuinya sebelum aku berhasil!" Pendekar 108 tampak menarik napas
dalam-dalam, lalu berkata.
"Sakawuni! Untuk saat ini kuharap kau mengerti. Aku tak bisa mengatakan padamu ke mana aku
hendak pergi!"
Sakawuni kerutkan dahi, lalu sibakkan anak
rambut yang menghalangi pandangan matanya. Untuk
beberapa saat gadis cantik ini diam seraya mendugaduga. "Apa dia hendak mencari arca yang saat ini sedang menggegerkan rimba
persilatan itu..." Atau ada
perlu lain" Ah, sialnya aku. Kalau kepergiannya saja
dirahasiakan, tentunya dia juga tak membutuhkan
teman! Hmm.... Lama aku menginginkan bertemu dengannya, setelah bertemu, ternyata dia sedang tak ingin ditemui!"
"Sakawuni! Sebenarnya aku kecewa dengan
pertemuan ini. Karena aku harus segera pergi. Tapi
percayalah, kau masih tetap kuingat! Dan akan selalu
kuingat!" Ucapan Pendekar 108 membuat gadis di hadapannya berubah paras. Sebenarnya gadis ini mengharapkan bisa menjadi teman perjalanan. Namun tam
Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
paknya Pendekar 108 sedang tak ingin ditemani. Hingga seraya mengangguk perlahan Sakawuni berkata.
"Baiklah. Jika itu yang harus kau lakukan. Pergilah...."
Pendekar Mata Keranjang 108 pandangi gadis
di hadapannya lekat-lekat. Mulutnya membuka hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak sepatah kata
pun terdengar. Apalagi tatkala guliran air bening mulai menetes dari sudut kedua
mata Sakawuni. Dengan masih diselimuti berbagai perasaan,
Pendekar Mata Keranjang 108 balikkan tubuh dan
berkelebat meninggalkan tempat itu.
Sakawuni angkat kepalanya. Guliran air bening
semakin banyak keluar. Dan dengan tekap wajahnya
gadis ini pun meninggalkan tempat yang kini digenggam kesepian. SELESAI Ikuti kisah selanjutnya:
BADAI DI KARANG LANGIT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Peristiwa Bulu Merak 4 Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng Pedang Angin Berbisik 30
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama