Ceritasilat Novel Online

Istana Karang Langit 2

Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit Bagian 2


Namun tak terdengar jawaban dari
pemilik kedai, karena sudah meninggalkan Aji dengan terburu-buru.
"Kau tak akan pernah dapat jawaban jika kampung itu yang kau tanyakan...!"
Tiba-tiba gadis cantik yang duduk di
pojok menyela sambil mengerdipkan
sebelah mata ke arah Aji.
Aji menoleh ke arah gadis itu. Dan
matanya balas mengedip.
"Kau tahu tempat itu..."!" tanya Aji.
"Hm..., sedikit...!" jawab si gadis datar.
"Boleh aku tahu yang sedikit
itu..."!"
"Asal memenuhi syarat!"
"Apa itu...?" kejar Aji dengan sedikit dikeraskan suaranya.
Si gadis tak segera menyahut. Malah
tangannya diangkat, dan menunjuk ke arah Aji.
Aji kebingungan. Namun cuma
sekejap, karena gadis itu segera bangkit dan melangkah mendekati tempat duduk
Aji. Begitu dekat, gadis ini
membungkukkan badan. Sehingga rambutnya yang panjang tergerai menyentuh pundak
Aji. "Orang tampan, bayar sekalian
minumanku. Kutunggu kau di tikungan
menuju arah kediaman Tumenggung!" bisik gadis itu dekat di telinga Aji.
Lantas dengan sekali berkelebat,
tubuh gadis itu telah berada di pelataran luar kedai. Lalu ringan pula
berkelebat ke arah tikungan.
Tak sadar, Aji berdecak kagum.
Kepalanya menggeleng dengan mata melotot memandangi tingkah gadis tadi.
Setelah membayar minumannya dan
minuman gadis tadi, Aji segera beranjak keluar kedai. Pemuda itu berlarian ke
arah tikungan. Ketika langkahnya sampai, tampak bahunya turun naik mengikuti
tarikan napasnya yang memburu tak terat jr. Sekujur tubuh serta bajunya basah
kuyup terkena keringat. Namun, gadis
tadi tak tampak di sana.
"Sialan! Ke mana gadis cantik
itu...?" gumam Aji sambil mengusap kening dengan mata jelalatan.
"Hi... hi... hi...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa. Aji
cepat mendo-ngakkan kepala, ke arah
datangnya suara. Tampak gadis berbaju
kuning muda itu dengan enaknya tiduran di atas dahan kecil, dengan sebelah kaki
menjuntai. Dan belum sampai Aji menarik riapas, gadis itu telah meluncur turun
dan berdiri tegak di hadapan Aji.
"Apa perlumu ke Kampung Blumbang"!"
tanya si gadis sebelum rasa
terheran-heran Aji tuntas.
"Ngg...."
Aji tergagap kebingungan.
"Ngg.... Anu..., aku hanya ingin
tahu saja...!" jawab Aji sekenanya.
Bola mata sang gadis menatap lurus
ke arah Aji yang blingsatan. Hatinya
seperti tak mempercayai kata laki-laki di depannya.
"Apa kau membawa bekal...?" desak gadis ini dengan mata menyelidik menatap Aji
dari kepala hingga ke ujung kaki.
"Bawa bekal?" ulang Aji seperti hendak meyakinkan ucapan gadis itu.
"Ada apa dengan Kampung Blumbang
itu..." Aku jadi tak mengerti...!"
"Jika kau tak membawa bekal, berarti kau mengantar nyawa!"
Aji kontan terkesima mendengar
kata-kata gadis di depannya.
"Hm.... Rupanya kau bukan orang yang kuinginkan!" gumam gadis itu. "Tapi kalau
kau ingin mengantarkan nyawamu,
silakan pergi ke arah selatan. Berjalan dua hari dari sini, kau akan menemukan
Desa Sumber Kembar. Itulah satu-satunya desa yang menuju Kampung Blumbang!"
Begitu selesai dengan kata-katanya,
gadis itu berbalik. Dan sebelum Aji
sempat berkata, gadis itu telah
berkelebat dan menghilang di antara
rumah-rumah penduduk.
Tepat saat bulan merambat pelan di
ujung langit timur, Aji tiba di Desa
Sumber Kembar, seperti yang di-tuturkan gadis yang ditemuinya di kedai. Ketika
melewati sebuah rumah, dan terlihat
seseorang duduk di teras depan, Aji
menganggukkan kepala.
"Kalau boleh tanya, sebelah mana
Kampung Blumbang, Pak?" tanya Aji.
Laki-laki yang ditanya sedikit
terlonjak kaget. Lantas dipandanginya
Aji dengan mata tak percaya.
"Anak, orang baru, ya...?" sahut laki-laki setengah baya yang ditanya,
setelah agak lama termangu-mangu.
"Betul, Pak. Aku hendak ke Kampung Blumbang. Arah mana yang harus
kutempuh..."!"
Laki-laki setengah baya itu sejenak
melemparkan pandangan ke arah barat,
yakni salah satu bukit yang mengapit Desa Sumber Kembar.
"Apa Anak tahu, tempat apa itu?"
laki-laki itu malah balik bertanya.
"Tidak, Pak! Makanya aku ingin ke sana...," jawab Aji tak melihat
perubahan wajah orang yang ditanya.
"Pergilah ke lereng bukit sebelah barat itu. Dari sana, Anak akan melihat pagar
tembok segi empat yang ada di
tengah-tengah dataran berumput. Itulah Kampung Blumbang. Tapi kalau bisa,
urungkan saja niat Anak untuk ke
sana...," ujar laki-laki itu mengakhiri keterangannya.
"Terima kasih, Pak. Aku hanya ingin tahu saja...," ujar Aji seraya kembali
mengangguk. Lalu, pemuda itu segera berjalan ke
arah yang ditunjukkan laki-laki tadi.
"Aneh! Setiap orang yang mendengar Kampung Blumbang, pasti terkejut. Ada
apa sebenarnya..."!" batin Aji sambil matanya memandangi lereng bukit di
sebelah barat yang mengapit Desa Sumber Kembar.
Desa ini pun sangat sunyi. Nyanyian
unggas malam tak satu pun terdengar.
Dengan berdiri di atas sebongkah batu, Aji dapat melihat kawasan di bawahnya.
Pandangannya diarahkan lebih jauh.
Samar-samar diterangi cahaya bulan,
tampak sebuah gubuk kecil dan sebuah
pagar tembok berada di tengah-tengah
dataran berumput. Lama Aji memandang
dengan mata tak berkedip.
"Hm... Pasti itu Kampung
Blumbang...," gumam pemuda itu perlahan.
Hatinya sedikit lega, karena menemukan tempat yang dicari.
Mendadak ketika Aji akan beranjak
dari batu tempatnya berdiri....
"Hiaaat...!"
Tiba-tiba terdengar pekikan lantang
seorang wanita yang bagai membedah
kesunyian lereng bukit. Suara itu
sepertinya dekat sekali dengan tempat
Aji berada. Namun pemuda itu tak tahu di mana. Ketika matanya jelalatan
memandang sekeliling, yang ditemui jajaran pohon serta semak belukar. Tubuhnya
memakai baju warna hijau ketat dengan pakaian
dalam warna kuning berguncang. Dan
membuat tengkuknya merinding seketika.
"Apakah ini yang membuat
orang-orang selalu
melotot jika disebut Kampung Blumbang?" bisik Aji, seraya memegangi kakinya yang menggigil.
Namun ketika pekikan pertama
mendapat sahutan dari pekikan lainnya
yang tak kalah lantang serta mendirikan bulu roma, Aji segera memusatkan
pendengarannya.
"Hm.... Di bawah sana...," gumam Aji.
Segera pemuda itu turun dari batu
dan berjalan mengendap-endap di antara pohon dan semak belukar, menuju arah
datangnya suara.
Begitu sampai di bawah, Aji dihadang
dataran rumput. Dan ia seakan tak percaya pada penglihatannya ketika memandang
ke depan. Di bawah sinar bulan yang tak
terlindung awan secuil pun, di atas
padang rumput yang ternyata berwarna
merah darah, terlihat dua orang wanita sedang mengadu jiwa. Salah seorang yang
berpakaian kuning muda dengan rambut
panjang. "Perempuan di kedai!" pekik pemuda itu tertahan.
Sedangkan wanita satunya, Aji tak
mengenali. Rambut wanita itu dikuncir.
Wajahnya tertutup kerudung warna putih.
Bagai burung malam, wanita itu
gerakan-gerakannya tak kalah lincahnya dengan gadis berbaju kuning muda.
"Berhenti!"
Karena lama belum juga ada
tanda-tanda ada yang kalah, bahkan
serangan satu sama lain semakin
menggila, akhirnya Aji berteriak
lantang. Dua wanita yang saling bertempur
serentak menghentikan pertarungan. Dan secara bersamaan mereka menoleh ke arah
datangnya suara datar yang membentak.
"Ada apa" Dan kenapa kalian saling bertempur"!" tanya Aji agak keras, langsung
keluar dari balik pohon besar dan melangkah maju.
Namun baru saja
dua tindak melangkah, tepatnya ketika kakinya
menginjak padang rumput berwarna merah.... "Jangkrik! Rumput apa ini"!" teriak Aji seraya menarik pulang kakinya.
Dipandanginya kaki kanannya yang
mengeluarkan darah seperti tergores
benda tajam. Kedua wanita itu menatap nanar pada
Aji. Namun, tatapan mata wanita yang
berbaju kuning muda diiringi cibiran
melecehkan. Sedangkan wanita yang
berkerudung tampak menahan tawa.
"Kau...!" seru wanita berbaju kuning muda sedikit terkejut.
"Ya...! Kenapa...?" sahut Aji sambil memandang dengan sedikit
meringis, menahan sakit.
"He! Cepat katakan! Apa sebenarnya tujuanmu datang kemari!" bentak wanita yang
berbaju kuning.
"Ng..., dapatkah kau sedikit
mendekat"!" kata Aji, sambil melambai.
Wanita berbaju kuning beberapa saat
memandang lekat-lekat pada Aji. Rasa
curiga tampak terpancar dari raut
mukanya. Kemudian pandangannya
dilemparkan ke arah wanita berkerudung putih. Namun cuma sekejap. Kakinya
lantas melangkah tenang di atas rumput warna merah ke arah Aji.
Sementara, wanita berkerudung putih
mengawasi dengan lirikan tajam.
"Sontoloyo! Enak saja dia berjalan di atas rumput itu!" bisik Aji. Matanya tak
berkedip menyaksikan kaki putih
wanita berbaju kuning merabas rumput
menuju ke arahnya.
"Cepat katakan, apa maumu"!" desak wanita berbaju kuning bernada agak
tinggi, manakala telah dekat dengan
tempat Aji. "Katakan! Apa yang kau maksud dengan bekal tempo hari!" Aji ikut-ikutan bertanya
disertai senyum.
Namun wanita berbaju kuning tak
menjawab. Malah kakinya melangkah
setindak mendekati pemuda itu.
Sekonyong-konyong tangannya dikibaskan ke arah dada Aji.
Pemuda itu kaget, namun terlambat.
Tangan wanita itu telah merobek baju
bagian dalam Aji, tepat bagian dada.
Begitu kulit dada Aji terlihat,
wajah wanita itu berubah. Raut muka serta lenguhan napasnya mengisyaratkan rasa
kecewa. "Kau tak beda dengan perempuan itu!"
bentak wanita berbaju kuning ini melotot tajam bergantian ke arah Aji dan wanita
berkerudung putih.
"He.... Kau
belum jawab pertanyaanku...!" seru Aji, seraya meraih bajunya dan menutupi dadanya yang
terbuka. "Pertanyaanmu memang tak perlu
dijawab!" sahut wanita berbaju kuning itu ketus. Kemudian tubuhnya berkelebat
dan menghilang di antara pohon-pohon besar.
"Jangkrik! Apa arti semua ini?"
pikir Aji. Pandangan pemuda itu kini terarah
pada wanita berkerudung yang masih
berdiri tegak memandangi arah
berkelebatnya wanita berbaju kuning.
"Aku harus tanya padanya! Tinggal dia satu-satunya yang ada di sini! Tapi,
bagaimana aku harus berjalan ke arahnya"
Rumput-rumput itu.... Sial!"
Ketika wanita berkerudung putih
berbalik membelakangi, Aji tersentak.
"He.... Tunggu! Bisakah aku bicara sebentar"!" teriak Aji, buru-buru.
Wanita berkerudung putih itu segera
mengurungkan langkahnya.
"Bicaralah!" jawab wanita itu, tanpa menoleh.
Karena lama Aji tak juga bicara,
wanita berkerudung putih itu segera
melanjutkan langkahnya.
"Tunggu! Ng..., kenalkah kau dengan Aki Lempungan"!"
Wanita berkerudung tampak sedikit
kaget mendengar kata-kata Aji. Cepat
tubuhnya berbalik. Matanya yang bulat


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyengat tajam ke arah Aji.
"Siapa kau"!" tanya wanita itu dengan suara mengejutkan Aji yang
memandang sambil tersenyum-senyum.
"Aji Saputra! Aku..., diutus Aki
Lempungan ke sini!"
Wanita berkerudung putih itu lantas
berkelebat. Dan tahu-tahu, kini berdiri tegak di depan Aji. Maka pemuda itu kini
dapat dengan jelas melihat raut mukanya.
Bola mata wanita berkerudung itu
begitu bulat. Bulu matanya lentik. Bibir tipis. Hidungnya mungil, namun mancung.
Dalam terpaan sinar rembulan, wanita itu nampak anggun.
"Apa kau bawa sesuatu?" tanya wanita berkerudung.
"Sesuatu" Senjata maksudmu" Jelas bawa! Kemana-mana pasti kubawa...?"
jawab Aji, cengar-cengir.
Saat itu juga wanite berkerudung ini
memerah wajahnya dengan mata melotot.
"Ngg..., maaf, Ni...! Apa yang kau maksud..:?"
Aji menyusuli kata-katanya, jadi
merasa tak enak. Ucapannya memang seenak dengkul.
"He...! Cepat tunjukkan barang
itu!" bentak wanita itu.
"Barang" Barangku..."!" ulang Aji, meyakinkan.
"Barang dari Aki Lempungan!" sergah wanita berkerudung.
"Ooo...."
Aji mengangguk-angguk sambil
merogoh ke saku baju.
"Ini...!" lanjut Aji, menunjukkan kepingan logam warna putih.
Sesaat wanita itu memandangi Aji,
lalu beralih ke logam putih.
"Jadi kau yang dimaksud Eyang
Selaksa...," gumam wanita berkerudung dengan raut wajah mempesona.
"Eyang Selaksa..." Siapa pula,
dia?" "Jangan banyak bicara! Ayo, kuantar kau menemuinya...!"
Wanita berkerudung putih lantas
berbalik dan melangkah ke arah
rerumputan. "He..., tunggu! Aku tak bisa jalan di atas rumput itu...!"
Seketika wanita berkerudung putih
menghentikan langkahnya. Kerudung yang menutupi sebagian wajahnya segera
dilepas. Dengan sekali sentak, ujung
kerudung melesat ke arah Aji.
"Naiklah!" perintah wanita itu tanpa menoleh.
Sejenak Aji ragu-ragu. Namun
akhirnya memberanikan diri menginjak
kerudung dan berdiri di atasnya.
Sungguh, Aji seakan tak percaya.
Kerudung berwarna putih yang terbuat
dari kain itu ternyata bisa berubah keras bagai papan kayu. Dan kerudung itu
meluncur ke depan seiring langkah cepat wanita berkerudung dalam melewati
rumput-rumput merah di bawahnya.
"Eyang...! Orang ini mungkin yang Eyang tunggu!" panggil wanita
berkerudung kala mereka sampai di sebuah gubuk, di samping sebuah bangunan
tembok persegi agak tinggi dan tak berumput.
Tak berselang lama, dari dalam gubuk
keluar seorang laki-laki bercaping
lebar. "Kakek di kedai!" seru Aji dalam hati, begitu laki-laki tua bercaping
lebar itu berada di luar gubuk, tiga tombak di depan Aji.
"Apa betul, Roro?" tanya kakek bercaping ini pada wanita di depannya
yang ternyata bernama Roro.
"Betul, Eyang.... Dia membawa benda itu...," papar Roro sambil menjura.
Orang tua bercaping itu menoleh ke
arah Aji. Lalu dengan tangan kiri
diangkatnya ujung depan caping lebarnya.
Sehingga wajah yang setengah tertutup, kini tampak seluruhnya.
"Apa benar yang dikatakan Roro,
Bocah?" Kali ini mata laki-laki tua ini yang
berkilat lurus mengarah ke Aji.
"Benar, Eyang...," jawab Aji pelan, sambil menyodorkan logam warna putih ke
hadapan orang tua bercaping lebar yang dipanggil Eyang.
"Siapa namamu?"
"Aji Saputra, Eyang...."
Lama tak ada suara yang terucap dari
tiga sosok itu. Laki-laki bercaping
lebar itu masih mengamati benda bulat di tangannya. Sementara Aji hanya melirik,
dan sesekali berpaling ke arah Roro di sampingnya. Wanita itu hanya menunduk
dan tersenyum, kala matanya tertumbuk pada mata nakal Aji.
"Kalau Eyang sudi, bolehkah aku
ngg... berguru pada Eyang?" tanya Aji perlahan.
Laki-laki tua bercaping lebar itu
meluruskan pandangan matanya. Kerutan di wajahnya nampak mengencang.
Mendapati ucapannya membuat
perubahan pada wajah laki-laki tua itu, buru-buru Aji menjura sambil menundukkan
kepala. "Aku, Selaksa, tak mudah mengangkat seseorang menjadi murid!" sahut
laki-laki tua bercaping lebar yang
ternyata bernama Selaksa.
"Jadi..?"
"Harus melalui beberapa
persyaratan!" potong Eyang Selaksa masih dengan suara berat dan tanpa senyum.
"Akan kucoba, Eyang...."
"Baik! Sekarang istirahatlah!
Tapi..., di luar gubuk!"
Selesai berkata, Eyang Selaksa
berbalik dan melangkah masuk ke dalam
gubuk. Sementara wanita berkerudung
putih bernama Roro mengikuti dari
belakang. Namun sebelum menutup pintu, Roro
memandang ke arah Aji. Wajahnya nampak kecut, manakala orang yang dipandang
masih menunduk memandangi tanah bebatuan di bawahnya.
*** Kampung Blumbang, memang ternyata
tidak sesuai namanya. Karena
kenyataannya, memang jauh dari apa yang dinamakan Kampung. Kampung ini hanya
terdiri dari tempat mandi agak besar yang dikelilingi tembok setinggi dua
tombak. Letaknya, di tengah-tengah dataran
rumput yang membentang dan berwarna
merah serta tajam.
Dari tempatnya berada, serta jalan
yang harus dilalui, dapat dipastikan
kalau hanya orang-orang tertentu yang
dapat sampai dengan selamat.
Pagi itu Aji yang telah melepas baju
hijau lengan pendeknya dan pakaian dalam warna kuningnya tampak berdiri tegang
di depan pintu masuk Blumbang. Memang,
salah satu sisi tembok setinggi dua
tombak itu terdapat sebuah pintu.
Sementara di atas tembok, laki-laki
bercaping lebar, yang tak lain Eyang
Selaksa duduk menjuntai tanpa senyum.
"Aji! Kau harus naik-turun dalam air itu! Tanpa boleh berenang atau merapat.
Dan hal itu harus dilakukan selama empat bulan penuh!" perintah Eyang Selaksa.
Sebentar matanya memandang ke arah Aji, lantas menebar ke air di bawahnya.
"Sekarang bersiaplah!"
Dengan dada berdegup kencang,
pemuda itu mulai melangkah masuk ke dalam Blumbang. Sungguh! Kalau tidak karena
pesan mendiang ibunya serta kematian Paman Gurunya, dia akan segera pergi
meninggalkan tempat yang menyeramkan
itu. Betapa tidak" Ternyata, air yang ada dalam Blumbang berwarna merah!
Baru saja melewati pintu masuk,
tubuh Aji yang tidak kekar setelah
bertelanjang dada tampak bergetar.
Keringat dingin telah membasahi sekujur tubuhnya. Wajahnya pias. Matanya seakan
tak percaya, bahwa selain air itu
berwarna merah, dari dalamnya keluar
asap putih dan gelembung-gelembung udara bagai air mendidih!
"Buka mata! Tarik napas
dalam-dalam! Dan masuk!"
Terdengar lagi suara Eyang Selaksa.
"Pusatkan pikiran. Sehingga, tak
ada satu pun yang membersit di otakmu!"
sambung Eyang Selaksa begitu kaki Aji
telah berada di atas air.
Sejenak Aji ternganga, manakala
tubuhnya telah berada dalam air. Air
berwarna merah serta mengepul itu
ternyata dingin dan hanya sebatas lutut!
Sekejap segala ketegangan serta
kengerian pemuda itu pupus.
Namun hanya sekejap. Karena
sekonyong-konyong, pijakan kakinya di
dalam air bergerak-gerak. Dan belum
sempat dapat menduga, pijakan kakinya
telah oleng mengikuti gerakan di
bawahnya. Kontan Aji mengangkat tubuhnya ke atas, menghindari olengan yang
semakin keras. Tapi begitu tubuhnya
kembali ke bawah, pijakannya telah
lenyap. Sehingga untuk sementara seluruh tubuhnya masuk ke dalam air. Agak
dalam, mendadak kakinya kembali menyentuh
pijakan. Namun, kali ini menusuk bagai duri.
Menyadari dirinya perlu udara untuk
bernapas, mau tak mau Aji haru sekuat tenaga mengangkat tubuhnya kembali ke
atas, meski harus terlebih dahulu
menjejak sesuatu yang menusuk kakinya.
Demikianlah hal itu terus
berlangsung. Setiap tubuhnya masuk ke
dalam air, setiap kali itu pula pijakannya bertambah dalam. Hingga, tak ada
waktu untuk berpikir apa-apa, selain
menghindar dari kemasukkan air.
Lagi pula, Eyang Selaksa dalam
perintahnya tak memperbolehkan untuk
berenang ataupun merapat. Jadi, waktunya hanya digunakan untuk mengatur napas.
Syarat itu harus dijalani Aji mulai
terbit hingga ter-benamnya matahari,
selama empat purnama penuh.
*** 80 Seorang pemuda berambut dikuncir
ekor kuda, pakaiannya berwarna hijau
ketat dengan pakaian dalam warna kuning ini tampak duduk termangu memandang jauh
ke arah Puncak Gunung Semeru. Memang, dia tak lain dari Aji.
Tanpa terasa pemuda itu sudah empat
purnama berada di Kampung Blumbang.
Selama itu pula ia berjuang melawan
dingin dan panas serta penat. Bahkan tak jarang harus keluar dari Blumbang
dengan terhuyung-huyung dan sesekali pingsan.
"Aji...!"
Tiba-tiba sebuah suara berat
memanggil nama Aji. Anak muda yang duduk tercenung pandangi Puncak Gunung Semeru
itu tersentak. Kala menoleh, dua langkah di depannya telah tegak berdiri Eyang
Selaksa. "Ngg.... Eyang...," kata Sawung disertai
senyum, menutupi
keterkejutannya. Buru-buru tubuhnya
menjura. "Harimu telah berakhir di sini!
Perjalananmu harus diteruskan ke Laut
Utara! Di sana, kau akan menemukan sebuah batu karang tinggi, di tengahtengahnya! Itulah tujuanmu...!"
Aji terkejut mendengar penuturan
Eyang Selaksa yang tak terduga. Memang, selama empat purnama di Kampung
Blumbang, baru kali ini laki-laki tua itu berkata-kata padanya. Hari-hari
sebelumnya, Eyang Selaksa hanya menunggu tanpa bicara sambil mengawasi tanpa
senyum pada Aji yang tengah megap-megap kehabisan napas di dalam Blumbang yang
berair merah. "Laut Utara?" gumam Aji mengulangi kata-kata Eyang Selaksa.
"Ya! Dan, bawalah benda milikmu ini!
Pergunakan sebaik-baiknya bekal yang kau dapat selama berada di sini!"
Sejenak Aji masih tak mengerti
maksud kata-kata Eyang Selaksa. Dan
belum sempat Aji bertanya, Eyang Selaksa telah menoleh ke arah Ajeng Roro yang
melintas di samping gubuk.
"Roro! Antar Aji sampai di balik
bukit!" ujar lelaki tua itu.
Setelah berkata, Eyang Selaksa
tampak tersenyum. Sungguh! Itulah kali pertama Aji melihat Eyang Selaksa
tersenyum. Ketika Ajeng Roro mendekat, laki-laki tua ini berbalik dan
berkelebat masuk ke dalam gubuk.
"Ayo! Kuantar kau ke balik bukit!"
ajak Ajeng Roro mengejutkan Aji yang
masih memandangi kepergian Eyang
Selaksa. "Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Aji, saat keduanya mulai beranjak dari batu
dekat Blumbang.
Ajeng Roro tak menjawab, dan hanya
mengangguk-kan kepala.
"Siapa wanita yang sempat bertempur denganmu tempo hari?" tanya Aji.
Ajeng Roro mendadak mengangkat
kepalanya dan menoleh. Bola matanya yang bulat tampak menyipit, lalu kembali
membuka lebar-Iebar.
"Bukankah kau telah mengenalnya"
Kenapa tanya-tanya padaku?" jawab Ajeng Roro, ketus.
"Kau salah. Aku tak pernah mengenal wanita itu! Aku hanya pernah bertemu di
sebuah kedai. Aku berani sumpah!"
sanggakAji sambil mengibaskan
tangannya. Gadis itu menatap dalam-dalam mata
Aji. Namun cuma sekejap. Ia lalu
mengalihkan pandangan ke rumput di
depannya. Memang, sejak semula gadis itu
selalu tertunduk malu jika matanya
bertatapan dengan mata Aji. Sementara, Aji sendiri merasakan sesuatu yang sulit
dijabarkan, bila matanya bertumbukan


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan mata bulat Ajeng Roro di
sampingnya. Aji tak mengerti, perasaan apa yang telah menjalari relung
kalbunya. Hanya ia merasa senang dan
ingin berlama-lama bersama gadis anggun ini.
"Aku sendiri tak tahu. Dia hanya
sempat menyebutkan namanya, Putri
Tunjung Kuning!" jelas Ajeng Roro setelah diam agak lama.
"Tapi, kenapa kalian bertempur?"
"Ketika sedang sendirian di dekat padang rumput itu, aku melihat
seseorangberkelebat. Terlintas
keinginanku untuk mengetahui maksudnya.
Maka, diam-diam kuikuti. Namun, sial!
Rupanya dia memiliki kehebatan lumayan Buktinya, walau aku telah mengerahkan
tenaga agar tak diketahuinya, dia tahu juga. Malah, dia bertanya macam-macam
padaku, yang tak mungkin kujawab.
Karena, pertanyaannya menjurus pada
suatu yang sangat rahasia. Karena aku
mungkir, akhirnya terjadilah
pertarungan!" papar Ajeng Roro.
Gadis itu sejenak menghentikan
bicaranya. Kepalanya menoleh ke arah Aji yang mendengarkan penuh perhatian.
"Sebenarnya yang dia cari adalah
benda yang ada padamu!" ungkap Roro, mengakhiri ueapannya.
Sejenak Aji terkejut. Lantas
kepalanya mengangguk-angguk, meski
wajahnya menampakkan ketidak
mengertian. Sambil bercakap-cakap dan sesekali
berpandangan, tak terasa perjalanan
telah sampai batas padang rumput warna merah. Aji kembali bergetar. Ia ingat
saat pertama kali datang.
"Ngg.... Bisakah kau menolongku
sekali lagi?" tanya Aji, dengan muka ditekukkan.
Ajeng Roro menoleh. Bibirnya
mengembangkan senyum, hingga giginya
yang putih tampak.
"Kau sekarang, bukan lagi empat
purnama yang lalu!" jelas Ajeng Roro, saat wajah Aji berubah pucat.
"Apa maksudmu?"
"Anggap padang rumput itu seperti air di Blumbang!" papar Ajeng Roro, lantas
melesat cepat ke depan melewati padang rumput.
Tanpa pikir panjang, Aji
mengerahkan tenaga seperti saat-saat
berada dalam air Blumbang. Dan, sungguh sulit dipercaya. Tubuhnya kini
berputar-putar ringan bagai kapas di
atas padang rumput, mengikuti gerakan
Ajeng Roro. Dan hanya sekejap, tubuh mereka
telah berada di lereng bukit.
"Hanya sampai di sini aku bisa
mengantarmu! Selamat jalan!"
"Terima kasih, Roro...," gumam Aji perlahan, seraya menatap mata bulat
gadis di sampingnya. Hatinya berdebar.
"Apakah dia tahu apa yang kurasakan saat ini?" tanya hati Aji.
"Aji! Sebelum kau sampai di tempat tujuan, berhati-hatilah!" ujar Ajeng Roro.
"Apa maksudmu"!" sahut Aji cepat.
"Ngg.... Maksudku, kau kini menjadi incaran beberapa
orang! Bahkan beribu-ribu orang di sana menanti
kehadiranmu! Karena, keselamatan dunia persilatan kelak akan tergantung
padamu!" "Tergantung padaku" Apa
alasannya"!" "Waktulah yang akan menjawabnya...!" Setelah selesai bicara Ajeng
Roro berkelebat. Dan sebentar
kemudian, tubuhnya telah bergerak lincah melewati padang rumput.
Setelah tubuh gadis itu tak
kelihatan, barulah Aji berjalan ke arah yang ditunjuk Ajeng Roro. Sekali lagi
dijajalnya kemampuan yang kini ada pada dirinya. Dan nyatanya, kemampuan itu
tetap ada. Maka dengan serta-merta pemuda itu
melesat sambil meliuk-liuk di antara
pohon-pohon dan bebatuan kawasan bukit yang mengapit Desa Sumber Kembar.
Ketika tubuh Aji melenting-lenting
di udara, mendadak pandangannya melihat bayangan gelap. Perlahan-lahan bayangan
itu berubah jadi putih. Dan kini pandangannya jadi semakin jelas. Dia
melihat pohon-pohon, semak belukar,
bahkan desa terpencil di kaki gunung.
Untuk kedua kalinya Aji tak
mempercayai dirinya, bahwa pandangan
matanya mampu menembus tempat yang
demikian jauh. Bahkan tempat yang
terlindung oleh pepohonan.
*** Laut Utara! Apalagi yang akan
kutemui di sana" Orang aneh seperti Eyang Selaksa" Atau, gadis anggun seperti
Ajeng Roro..." Hm.... Semoga gadis
cantik saja yang akan kutemui...!"
bisik Aji, tersenyum sendiri.
"Eiii.... Hi.... Hi.... Hi...."
Tiba-tiba terdengar deraian tawa
seorang wanita, membuat langkah Aji
terhenti. Manakala mengarahkan matanya ke depan, Aji melihat seorang wanita
telah berdiri empat tombak dari
tempatnya. Menilik kemunculannya,
rupa-rupanya wanita ini sengaja
menghadang. Wanita itu masih sangat muda. Bahkan
mungkin masih gadis. Tubuhnya sedikit
gemuk, namun kencang. Pinggulnya besar dengan dada membusung. Ditambah pakaian
warna hitam ketat, penampilannya amat
menyolok dengan kulitnya yang putih.
Gadis kira-kira berusia dua puluh tahun ini benar-benar mengundang bibir
berdecak. Rambutnya yang panjangnya
sepinggang dan sebagian luruh ke pelipis dan dagu, ditingkah bibir merah serta
mata bundar, gadis ini mampu membuat dada setiap laki-laki bergetar.
Aji kontan mengerdip-ngerdipkan
sepasang matanya, manakala gadis di
depannya memandang dan tersenyum genit padanya.
"Hendak jalan-jalan ke mana, Orang Tampan" Bolehkah aku ikut?" tanya gadis
berbaju hitam disertai desahan manja dan melangkah maju.
"Boleh, boleh.... Dengan senang
hati pula...!" jawab Aji sambil
menyibakkan rambut bagian depan yang
menghalangi pandangan matanya.
"Mau ke mana, Orang Tampan?"
"Karena perutku dari tadi mulas, kau tentunya tahu ke mana tujuanku,
bukan..."!" sahut Aji dengan senyum menggoda.
"Ih! Jahatnya...!" seru gadis berbaju hitam itu, memberengut.
"Orang Tampan! Sebenarnya kau
hendak kemana..." Karena jika searah,
bukankah kita bisa jalan
bersama-sama..."!"
"Bagaimana ini" Tapi..., tidak! Aku tidak boleh memberitahukan tujuanku!
Roro bilang...."
"Bagaimana, Orang Tampan" Apa yang masih memberatkanmu" Apakah..., aku
begitu memalukan jika dijadikan teman
perjalanan!" desak gadis itu seraya menyibakkan rambut yang luruh di
dagunya. Sehingga, lehernya yang jenjang dan putih jelas tampak.
"Gadis Ayu! Sungguh sayang, untuk kali ini aku tak bisa mengajakmu! Bukan karena
malu. Bahkan aku merasa bangga
berjalan dengan gadis seayu kau.
Tapi..., tujuanku kali ini melewati
hutan yang banyak dihuni oleh bangsa
dedemit, jin, jerangkong...!"
Ih..., ih...!" cibir gadis itu
sambil menubrukkan tubuhnya ke tubuh
Aji. Tangannya langsung melingkar di
pinggang pemuda itu.
"Jangkrik! Ditakut-takuti, malah
begini jadinya!" rutuk Aji berbisik seraya melirik dan menarik napas
dalam-dalam. "He..., rambutmu
menggelikan pipiku!"
Perlahan-lahan gadis itu melepaskan
lingkaran tangannya pada tubuh Aji.
Dipandanginya pemuda itu dengan sinar
mata sayu dan bibir menyungging senyum.
"Sudahlah! Aku harus buru-buru!
Lain waktu aku akan mengajakmu
jalan-jalan ke mana kau suka!" kata Aji.
"Tidak! Aku minta sekarang...!"
sela gadis itu dengan suara keras.
"Tidak! Aku minta kapan-kapan...!"
Aji ikut-ikutan keras.
"Baiklah, kalau itu maumu, Orang
Tampan! Aku menunggu. Tapi untuk kali
ini, bagaimana kalau kau memberiku
sebuah tanda mata sebagai gantinya?"
"Dengar, Gadis Ayu! Aku seorang
pengelana jalanan yang tak ada arah
tujuan! Mana mungkin aku punya sesuatu yang pantas kuberikan padamu" Yang
kupunya hanyalah yang menempel di
tubuhku! Apa itu yang harus kuberikan
padamu..." Jangan ngaco, ah...! Kalau
pegang-pegang saja boleh. Asal, bukan
yang di bawah pusar! Tapi..., ya,
kapan-kapan saja! Aku janji deh...!"
"Omonganmu ngelantur!" dengus gadis itu sengit. Namun, raut wajahnya nampak
senang. "Aku tidak ingin yang
nempel-nempel! Dan kau punya itu! Boleh aku ambil" Kalau kau tak tahu, aku tahu
tempatnya...!"
Selesai bicara, gadis ini maju. Lalu
cepat pula tangan putihnya menyambar ke arah lipatan ikat pinggang Aji.
Melihat gelagat tak baik Aji sadar.
Cepat tubuhnya menghindar ke belakang.
Sehingga, tangan gadis itu hanya
menyentuh perut.
"Sontoloyo! Dia sepertinya
menginginkan logam ini!" batin Aji dengan sedikit mendelik.
Namun belum sempat pemuda itu
berpikir lebih jauh, gadis ini telah
maju. Kembali tangannya menyambar ke
arah saku baju dalam Aji.
Dengan sekuat tenaga, Aji
melesatkan dirinya ke belakang. Tapi,
gadis itu tak tinggal diam. Cepat
diburunya Aji yang kini tiga tombak di depannya.
Kali ini Aji tak menghindar. Pemuda
itu berdiri tegak sambil senyam-senyum.
Melihat hal ini serta-merta mata gadis itu berbinar. Maka dengan terburu-buru
tangannya merogoh ke saku baju dalam Aji.
Tapi sejenak kemudian, ditatap Aji
dengan raut wajah memberengut
membersitkan rasa kecewa. Merasa belum yakin digeledahnya sekujur tubuh Aji
tanpa meninggalkan sejengkal pun.
Aji hanya tegak diam sambil
sebentar-sebentar menggoyang-goyangkan tubuhnya. Sementara mulutnya meringis
menahan geli. "Wadouuu...! Biji itu jangan
dipencet-pencet begitu...!" teriak Aji tiba-tiba.
Gadis itu sejenak memandang. Ia
curiga. Maka sekali lagi tangannya
meraba sambil menggigit bibirnya.
"Wadouuu...! He...! Jangan gila!
Aku bisa kelenger jika bijiku pecah...!
Pegang boleh, tapi jangan kasar....
Pelan-pelan dong...."
Mendadak gadis itu melengos. Cepat
tangannya diangkat ke arah wajah Aji.
Sementara, Aji yang keenakan dengan mata terpejam kaget. Buru-buru kepalanya
ditundukkan. Dan seketika tubuhnya
melesat, meninggalkan gadis itu.
Sampai agak jauh, ternyata gadis itu
tak memburu. Maka, Aji segera
menghentikan langkahnya. Setelah
mengambil logam dari mulutnya, tubuhnya berbalik ke arah gadis yang tadi
ditinggalkannya.
"Hm.... Sekarang, aku harus lebih berhati-hati lagi. Peringatan Ajeng Roro benar
adanya. Dan melihat banyak orang menginginkan, berarti logam ini
berharga...," bisik Aji, kembali
berbalik. Lalu ia kembali meneruskan
perjalanannya. *** Senja terasa basah oleh hujan
seharian. Bumi jadi agak lembab. Angin berhembus pelan, seiring hilangnya
rintik hujan. Saat yang demikian, Aji sudah tiba
di kotapraja Kedung Langkap. Sebuah kota di Pesisir Laut Utara.
Sampai sejauh ini, pemuda itu tak
mengerti mengapa Eyang Selaksa
menyuruhnya meneruskan perjalanan ke
Laut Utara. Yang lebih sulit dimengerti, adalah ucapan Ajeng Roro ketika mereka
berpisah di lereng bukit. Katanya suatu saat ini Aji akan dihadang orang-orang
yang menginginkan logam di tangannya.
Di sebuah kedai yang terletak
diperbatasan kotapraja Kedung Langkap, Aji berniat mengisi perut yang telah
seharian penuh tak terisi apa-apa.
Ketika Aji masuk, pandanganya
segera beredar ke sekeliling. Tampak dua orang tua berpakaian dekil dan
awut-awutan duduk di sudut kedai.
"Ki, sediakan makan dan tuak dua
bumbung," ujar Aji sambil menyibakkan baju hijau ketatnya yang nge-lawir ke
bawah. Tak begitu lama Aji menunggu.
Sebentar kemudian pesanannya telah
datang diantarkan pemilik kedai yang
tampak ramah dan selalu tersenyum.
Namun begitu pemilik kedai baru saja
beranjak dari hadapan Aji, di luar kedai terdengar ringkikan kuda yang
melengking tinggi. Kedua kaki depannya yang
berladam menghentak dan menghujam tanah yang baru saja tersiram hujan seharian.


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sehingga tanah yang diinjaknya ambles
membentuk kubangan kecil.
Sebentar kemudian terlihat dua
orang berpakaian biru gelap memasuki
kedai dengan tampang begitu kasar. Wajah mereka yang hampir tak bisa dibedakan,
sedikit pun tak menampakkan guratan
keramahan. Rambut mereka yang jabrik,
dan dengan senjata kapak berwarna merah yang menyembul dari punggung menambah
keangkeran dua orang ini.
Aji yang duduk di samping pintu
terperangah sejenak. Sepertihya, dua
orang ini pernah dilihatnya. Tak salah lagi! Di kotapraja Lemah Ajang. Keduanya
ada di antara para rombongan berkuda yang menuju kediaman Tumenggung!
Saat dua orang ini masuk, buru-buru
Aji mengalihkan pandangan pada santapan di depannya. Sikapnya seperti tak peduli
pada tatapan dua orang ini yang seakan menyapu seluruh ruangan kedai.
"Kapak Kembar Berdarah!" bisik salah seorang tua yang berpakaian dekil dan awutawutan di sudut.
Aji sebentar melirik. Lantas
telinganya dipasang baik-baik. Dia
memang telah tahu, siapa dua orang yang baru datang ini. Tapi Aji belum tahu
sepak terjangnya. Dan, kenapa mereka
berada di sini"
"Jangan-jangan.... Ah, tak
mungkin!" Aji bertanya-tanya sendiri.
"Beruntung kita menemukan mereka di sini, Kakang Braja! Berarti kita tak usah
mencarinya jauh-jauh!" kata orang berpakaian dekil, yang terlihat agak
muda. Dahulu, tepatnya tujuh belas tahun
yang lalu Adipati yang memerintah
Kadipaten Pamotan mempunyai dua orang
tangan kanan. Bisa dipahami, kenapa dua orang tersebut dirangkul sang adipati.
Karena, mereka memang berkepandaian
tinggi. Lagi pula waktu itu rimba
persilatan dalam keadaan goncang,
setelah menghilangnya tokoh golongan
putih jajaran atas. Sehingga di
sana-sini muncul gerombolan-gerombolan liar yang menjarah dan membunuh
seenaknya. Untuk mengatasi hal-hal seperti
itulah sang adipati sengaja menjadikan dua orang tersebut sebagai tangan
kanannya. Konon, dua orang itu memang
punya ciri tertentu. Yakni, berpakaian dekil dan awut-awutan. Padahal wajah
keduanya sebenarnya tampan. Walau begitu dua orang ini sangatlah bengis dan
kejam. Mereka tak segan-segan membunuh,
meskipun terhadap orang yang melakukan kesalahan kecil dan remeh. Bahkan
terhadap orang yang sudah tidak berdaya.
Sehingga, mereka dijuluki Dua Utusan
Maut. Kini Braja dan Rekso yang berjuluk
Dua Utusan Maut itu muncul kembali.
Kemunculan mereka ke pelataran setelah mangkatnya sang adipati, adalah untuk
membalas dendam terhadap Kapak Kembar
Berdarah yang telah menewaskan guru
mereka. Setelah berbulan-bulan mencari,
akhirnya mereka mendapat keterangan
kalau Kapak Kembar Berdarah kini telah mengetuai tokoh-tokoh hitam di Pesisir
Laut Utara. Dan pencarian Dua Utusan Maut
rupanya tak stasia setelah keduanya
mendapati si Kapak Kembar Berdarah baru saja memasuki kedai.
Meski orang yang dicari-cari telah
ditemukan, rupanya Braja orang tertua
dari Dua Utusan Maut tak berani gegabah.
Hal ini bisa dimaklumi, karena orang yang telah berhasil menewaskan guru mereka
pasti tidak bisa dianggap sembarangan.
"Kita jangan
bertindak sembarangan Rekso. Mereka adalah tangan kanan Sepasang Iblis Pendulang Sukma,
yang telah berhasil mengobrak-abrik
seluruh perguruan silat dari utara
hingga selatan! Tentunya mereka bukan lawan enteng. Kita harus menunggu
sejenak! Bukan tak mungkin
sekonyong-konyong datang beberapa teman mereka! Jika hal itu terjadi, kita akan
gagal dalam membalas dendam! Karena bisa saja mereka main keroyok!" cegah Braja,
ketika melihat Rekso mulai menampakkan kemarahannya.
Ketika mendengar pembicaraan salah
seorang Dua Utusan Maut, Aji seketika
menghentikan kunyahannya.
Tenggorokannya bagai tersendat. Tanpa
sadar, sejenak ingalannya melayang pada hari kejadian pembantaian Perguruan
Samudera Putih. Ya, hari kejadian itu
tepat saat mereka berkunjung ke kediaman Tumenggung!
"Bisa jadi mereka yang berbuat keji terhadap Paman Guru!" batin Aji, sambil
tetap memasang telinga baik-baik.
Matanya menusuk tajam pada dua orang
berpakaian biru gelap yang baru saja
duduk. Meski dadanya terasa bagaikan
terhimpit bongkahan batu besar, Aji
masih saja belum berani bertindak
ko-nyol. Disadari, dirinya tak bisa ilmu silat. Sedangkan dibandingkan dengan
dua orang berambut jabrik itu tidak ada
apa-apanya"
"Tapi jika benar mereka yang
berbuat, suatu saat nanti aku akan
membuat perhitungan!" bisik Aji dengan napas memburu.
"Pak, sediakan kami tuak!" ujar salah seorang berpakaian biru, dengan
suara keras. Bibir orang yang baru saja bicara
tampak tersenyum sinis. Kemudian
menebarkan pandangan ke arah orang dalam kedai satu persatu.
"Kakang Braja! Kita harus bertindak sekarang!" ujar Rekso agak keras hingga
seluruh mata memandang ke arahnya.
"Tahan, Rekso! Kita tunggu mereka di luar!" cegah Braja dengan wajah
khawatir. Namun cegahannya
terlambat.... *** Rekso, salah satu dari Dua Utusan
Maut telah menjejak meja.
"Anjing busuk, Jabrik!" bentak Rekso.
Tubuh laki-laki itu meloncat, lalu
mendarat kokoh di samping meja Kapak
Kembar Berdarah. Matanya menembus tajam ke arah dua orang jabrik yang masih saja
tak mengacuhkan kehadiran dan
hardikannya. "Terimalah hari kematian kalian,
Anjing!" dengus Rekso sambil mengibaskan tangannya kebumbungtuak yang akan
disuguhkan pelayan kedai.
Seketika dua bumbung tuak itu
menukik tajam ke arah meja, langsung
menumpahkan isinya. Tapi
sekonyong-konyong, kedua benda itu
memantul cepat ke arah kepala Kapak
Kembar Berdarah.
Namun hanya memiringkan kepala ke
samping secara bersamaan, pantulan
bumbung tuak yang berisi tenaga dalam
tinggi itu berdesing menerpa angin,
empat jari di samping kepala Kapak Kembar Berdarah.
"He... he... he,..!"
Saat itu juga terdengar kekehan
salah satu orang berambut jabrik dari
Kapak Kembar Berdarah. Belum habis
kekehannya, kepalanya menunduk ke arah meja. Lalu tuak yang masih menggenang di
atas meja dijilatinya.
Belum setarikan napas, meja yang
baru saja tersentuh lidah salah seorang Kapak Kembar Berdarah langsung
mengepulkan asap. Bahkan lantas
mengelinting bagai kulit kayu yang
terbakar. Dan bersamaan dengan itu, tuak yang baru saja masuk ke mulut
disemburkan ke arah Rekso yang masih tegak di
sampingnya. Semburan tuak itu mendadak berubah
jadi gelembung-gelembung api, langsung melesat cepat ke arah Rekso. Beruntung
laki-laki dekil itu waspada. Sebelum
gelembung-gelembung api melabrak,
tubuhnya melesat ke atas. Setelah
membuat putaran beberapa kali, kakinya hinggap di salah satu meja.
Sementara gelembung-gelembung api
tak terben-dung melesat ke samping,
menerobos dinding kedai Seketika
beberapa bundaran sebesar buah Langsep itu menghiasi dinding kedai yang terbuat
dari bambu. Tempat itu terlalu sempit untuk
main-main, Jahanam! Keluarlah!" bentak Rekso, kemudian melesat di atas kepala
Aji dan menerobos keluar kedai.
"Gendeng!" umpat Aji sambil
memegangi kepala dan menunduk.
"Keluarlah, Anjing Kudis!" teriak Rekso, begitu kakinya menjejak pelataran kedai
Dengan wajah dingin serta mata
menyorot tajam, salah satu dari si Kapak Kembar Berdarah yang tadi me-nyemburkan
tuak melangkah keluar.
Tak lama kemudian, di pelataran
kedai tampak dua orang saling berhadapan dan siap menyerang.
Wajah Rekso tampak merah membara,
menyimpan dendam kesumat. Rahangnya
mengembang. Matanya tak berkedip
memandangi laki-laki berambut jabrik di hadapannya. Sedangkan laki-laki satu
dari Kapak Kembar Berdarah terlihat
tenang-tenang saja. Bibirnya tetap
menyunggingkan senyum dingin.
Memang, Kapak Kembar Berdarah
terdiri dari dua orang bersaudara kembar yang sangat terkenal keganasannya.
Dalam setiap menghabisi lawan-lawannya,
mereka tak pernah banyak bicara. Hanya senyum dingin saja yang selalu
mengiringi tebasan kapak mautnya.
Dulu, dua orang kembar yang
sebenarnya bernama Jurig dan Girig
adalah gelandangan kotapraja. Karena
lingkungan dan kebutuhan yang
menghimpit, akhirnya mereka menjadi
ketua begal di kotapraja. Mereka ber-dua sangat ditakuti penduduk karena
kekejian dalam setiap melakukan perampokan.
Namun setelah hadirnya Wong Agung
dan beberapa tokoh-tokoh putih waktu
itu, akhirnya dua orang itu harus
mengundurkan diri dari dunia begal.
Apalagi ruang gerak mereka telah
terjepit oleh munculnya tokoh-tokoh
golongan putih.
Konon setelah itu mereka pergi ke
Lembah Prangas. Sebuah lembah yang
dihuni seorang sakti bernama Rambujang yang juga berjuluk Jagal Prangas. Di
sana, kedua orang itu berguru. Dan
setelah merasa memiliki kepandaian
tinggi, mereka muncul kembali.
Mereka lantas memakai julukan Kapak
Kembar Berdarah! Karena di pinggang
masing-masing memang tak pernah lepas
dari senjata kapak berwarna merah. Dan tak tanggung-tanggung, mereka kini telah
bergabung, bahkan menjadi tangan kanan Sepasang Iblis Pendulang Sukma, sepasang
tokoh golongan sesat yang mulai
menguasai dunia persilatan.
Dalam upaya melebarkan sayap, Kapak
Kembar Berdarah tak segan-segan
membinasakan orang yang menolak
bergabung. Dan salah satu dari korban
mereka adalah guru dari Braja dan Rekso.
Sejauh ini, Rekso hanya mendengar
tentang ke-hebatan Kapak Kembar
Berdarah. Jadi, mereka belum pernah
sekalipun bertemu. Hingga saat
menemukannya, Rekso seakan tak sabar
ingin menjajal kehebatan-nya.
"Anjing busuk! Kenapa kalian tak
maju sekalian saja! Biar sekalian masuk kubur bersamaan"!" ujar Rekso tak sabar.
"Tua busuk! Untuk membuatmu mandi darah cukup dengan aku saja!" balas Jurig,
salah satu dari Kapak Kembar
Berdarah dengan senyum masih
tersungging. "Tapi sebelum kubuat berkubang darah, katakan dulu siapa
kau"! Dan, apa urusanmu hingga tiba-tiba menyerangku"!"
"Baik! Biar arwahmu tak penasaran, dengar baik-baik! Kami adalah Dua Utusan
Maut!" jawab Rekso, dengan suara
menggemuruh. Sementara Aji yang masih memandang
dari dalam kedai jadi ternganga. Pemuda itu memang baru kali ini mendengarnya.
Dan tanpa sadar pandangannya langsung
diarahkan pada orang yang masih duduk di sudut. Wajahnya memang telah tidak muda
lagi. Namun sam-baran matanya yang
menghujam tajam mengisyaratkan kalau
orang ini tampak kejam dan tak pandang bulu.
Jurig, salah seorang dari Kapak
Kembar Berdarah yang kini berada di luar kedai dan berhadapan dengan Rekso,
sejenak bergetar. Namun dia tetap
tenang. Bahkan lantas tangannya
mengusap-usap ujung senjatanya di
pinggang. "Senang sekali dapat berjumpa
orang-orang hebat macam kalian! Tapi apa gerangan yang membuat Dua Utusan Maut
tiba-tiba menyerang kami" Bukankah Kapak Kembar Berdarah tak pernah bersengketa
dengan Dua Utusan Maut?" tanya Jurig, kalem.
"Kau terlalu berbasa-basi! Dengar!
Kami hanya ingin menagih hutang atas
nyawa Randu Keling, guru kami!" jelas Rekso dengan mata melotot.
"Itu salah guru kalian sendiri!


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mengapa ia menolak ajakan kami" Kalian tahu bukan, imbalan sebuah ke-salahan
bagi kami" Nyawa!" kata Jurig tak kalah garang.
Dan tiba-tiba, wajah Jurig berubah
berseri. Senyum manis yang sebenarnya
lebih mirip seringai langsung terkembang di bibirnya.
"Namun..., untuk Dua Utusan Maut, kami masih punya perasaan! Kesalahan
kalian akan kuampuni, jika
mau bergabung dengan kami!" lanjut Jurig.
"Tahi kambing! Itu suatu penghinaan bagi kami! Kau tahu bukan, apa yang harus
dibayar jika menghina kami" Maut!"
bentak Rekso. Saat itu juga Rekso mendorong kedua
telapak tangannya. Maka terciptalah satu pusaran angin panas dari kedua telapak
tangan yang langsung melesat ke depan.
"Uts!"
Jurig segera mengibaskan tangan
kirinya ke samping, tepat ketika
tubuhnya miring menghadap ke samping
kanan. Begitu sambaran angin panas lewat dan amblas di sampingnya, tubuhnya
cepat berputar hingga seakan lenyap.
Dan sekonyong-konyong, sebuah
terjangan kaki menerobos masuk ke arah pinggang Rekso. Hampir saja terlambat,
kalau Rekso tidak cepat tarik badannya ke belakang. Namun tak urung kaki itu
menyambar kain dekil Rekso di bagian
pinggang. Kain itu sontak terkoyak
mengeluarkan bau sangit!
Mendapati serangannya tak mengenai
sasaran, bahkan serangan susupan yang
dilancarkan Jurig hampir saja
menjebolkan pinggangnya, Rekso maju
setindak. Lalu cepat kakinya menyapu ke leher Jurig yang masih jongkok, setelah
menyusupkan serangan.
Kali ini Jurig tak ada waktu lagi
untuk memutar tubuhnya. Maka disambutnya sapuan deras kaki Rekso
dengan tangan terpentang di atas leher.
Prak! Terdengar suara benturan keras si
tua dekil salah satu dari Dua Utusan Maut terhuyung ke belakang beberapa tindak.
Wajahnya yang telah mengeriput, mendadak menegang seiring ringisan bibirnya yang
menahan sakit luar biasa.
Sedangkan Jurig hanya goyah sedikit
ke samping. Namun tak urung tangannya
tampak membiru. Dan diiringi satu
dengusan keras, Jurig meloncat ke arah Rekso yang masih terhuyung-huyung ke
belakang dengan satu hantaman kepalan
tangan. Karena belum bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya, Rekso segera saja menyilangkan kedua tangannya untuk
menangkis serangan Jurig yang tak
terduga. Namun, begitu kepalan tangannya menghantam, Jurig juga memasukkan
terjangan kaki ke arah perut.
Kepalan tangan Jurig memang dapat
ditangkis tangan Rekso. Namun terjangan kaki yang datang bersamaan itu, tak bisa
lagi dihindarinya. Hingga....
Bres! "Aaakh...!"
Tubuh salah satu dari Dua Utusan
Maut itu kontan bergulingan di pelataran kedai disertai jerit kesakitan. Darah
terlihat mengucur dari mulutnya.
Sementara Jurig segera melangkah
mendekat. Tangannya cepat diangkat, siap membabat ke arah Rekso yang sudah tak
berkutik. Namun sebelum sambaran tangan Jurig menghujam, mendadak sebuah kibasan
angin kencang memapak tangannya.
Wet! Prak! Sebuah tpmparan keras mendarat
telak di bahu kiri Jurig. Tak ampun lagi tubuhnya terbanting ke samping beberapa
tindak. Namun, laki-laki berambut jabrik ini cepat bangkit berdiri dengan satu
lentingan indah.
Begitu menoleh ke samping, Jurig
melihat seorang laki-laki dekil yang
tadi duduk di kedai telah berdiri dengan seringai menggiriskan. Dia tak lain
memang Braja, satu dari Dua Utusan Maut lainnya.
"Setan alas! Pembokong keparat!"
geram Jurig. Sementara tanpa menunggu lama,
Braja segera melangkah maju kembali
tangannya menghantam ke arah Jurig. Saat itu juga terdengar deru angin serangan
seiring dengan melayangnya tangan Braja.
Jurig tak tinggal diam. Meski bahu
kirinya masih terasa nyeri, tentu saja kepalanya tak sudi menjadi sasaran
berikutnya. Cepat kepalanya menunduk
sedikit, lalu memiringkan tubuhnya. Saat hantaman keras lewat di atas kepala,
kakinya mendepak ke perut Braja.
Namun serangan itu telah lebih
dahulu dibaca Braja. Cepat bagai kilat kakinya diangkat tinggi-tinggi. Begitu
terangkat, kakinya diluruskan ke
belakang. Sejenak Braja bagai orang yang melayang, namun kaku! Maka, loloslah
serangan kaki Jurig yang tadi telah
merobohkan Rekso.
Bahkan begitu serangan itu lolos,
tak disangka-sangka kaki Braja yang
masih kaku di atasnya cepat terayun ke bawah. Padahal, saat itu Jurig sedang
menarik pulang kakinya.
Tak urung, kali ini Jurig terlambat
menghindar. Sehingga ayunan kaki Braja kontan menghantam punggungnya.
Bres! "Aaakh...!"
Tubuh Jurig langsung terpuruk ke
tanah lima tombak ke depan. Terdengar
lenguhan keras. Darah tampak menetes
dari lobang hidungnya. Namun Jurig
ternyata sangat tangguh. Cepat ia tampak bangkit. Bahkan tangannya diangkat
memberi isyarat pada Girig, saudara
kembarnya yang telah berdiri di luar
kedai untuk menahan langkahnya.
"Biar aku yang mengurus tikus ini!"
tukas Jurig kepada saudara kembarnya.
Setelah berkata dernikian, Jurig
tampak sedekap. Matanya dikerdipkan dua kali. Maka saat itu pula tangannya
dibuka dan didorong ke depan perlahan-lahan.
Seketika tercipta angin dingin menusuk melesat ke depan.
Menyaksikan hal itu, Braja segera
menjajarkan tangannya ke dada. Dan
secepat itu pula disentakkannya ke
depan, memapak serangan angin dingin
yang menuju ke arahnya. Dan....
Blar! Seketika terdengar dentuman
menggelegar, saat dua serangan itu
bertemu. Tanah di bawah berterr serangan tampak terbongkar.
Sementara Braja terhuyung-huyung ke
belakang. Sedangkan Jurig hanya terjajar dua tindak ke samping. Hal ini bisa
dimaklumi. Karena biarpun tenaga mereka sama-sama hebat, namun usia pula yang
telah membuat Braja harus mengakui
keunggulan satu dari Kapak Kembar
Berdarah ini. Ketika tubuh Braja
terhuyung-huyung, Jurig bersuit. Maka
sekonyong-konyong saudara kembarnya
langsung merangsek maju dengan hantaman keras ke dada Braja yang belum menguasai
keadaan. Maka....
Bres! Pada saat yang sama, Jurig juga
melenting dan berputar di udara. Saat
menjejak tanah, tubuhnya telah berdiri di samping Rekso.
Rekso kaget, namun terlambat.
Karena, ayunan kaki Jurig telah deras
menghantam ulu hatinya.
Des! Tak ayal, Dua Utusan Maut sama-sama
bergulingan di pelataran kedai.
Sebentar mereka berusaha bangkit.
Namun begitu menegakkan kepala, darah
segera tersembur dari mulut mereka.
Sebentar kemudian tampak Dua Utusan Maut meregang nyawa kaku, lalu diam tak
bergerak. Mati dengan tubuh hitam.
"Biadab! Seandainya aku punya
kekuatan, tak mungkin hal itu terjadi di depan mataku!" dengus Aji, menyaksikan
pertarungan yang sangat tidak enak
dipandang mata.
*** 5 Setelah berhasil menewaskan Dua
Utusan Maut, Kapak Kembar Berdarah pergi meninggalkan kedai. Dan diam-diam Aji
mengikuti dari belakang.
Aji terus melarikan kencang kudanya
di atas tanah yang becek. Sehingga,
setiap hentakan kaki kudanya menimbulkan kecipak. Namun Kapak Kembar Berdarah
terus menggebah kudanya kencang-kencang pula. Bahkan tak jarang kaki dua orang
itu dikepak-kepakkan di perut kuda
tunggangannya. Namun setelah sampai pada suatu
padang ilalang yang merangas
tinggi-tinggi, Aji menghentikan lari kudanya dengan kening berkerut. Ternyata,
pemuda itu kehilangan jejak Kapak Kembar Berdarah yang diikutinya. Aji coba
menebarkan pandangan, namun hanya padang ilalang yang terpampang di hadapan dan
kanan-ki-rinya. Dua orang berambut
jabrik itu bagai lenyap ditelan bumi.
"Jangkrik! Ke mana larinya mereka?"
rutuk Aji sendirian dengan mata tetap
jelalatan. Tanpa disadari Aji, ilalang yang
berada lima tindak di kanan kiri pemuda itu bergerak-gerak. Namun sebelum Aji
sempat melihat apa yang terjadi,
terdengar tawa terbahak-bahak, yang
disusuli oleh berkelebatnya dua bayangan biru.
Belum habis rasa terkejutnya, di
samping kanan dan kiri Aji telah berdiri dua orang berpakaian biru gelap dengan
rambut jabrik. Memang mereka tak lain
dari Kapak Kembar Berdarah.
"Bangsat! Apa perlumu mengikuti
perjalanan kami, he"!" bentak Jurig.
Aji terkesiap seketika. Wajahnya
sontak pias. Jantungnya terasa berhenti berdetak. Sungguh, hal ini di luar
dugaannya. Maka sambil mengusap-usap
jakun, kepalanya menoleh kanan-kiri.
"Mengikuti" Siapa mengikuti kalian"
Mungkin kita satu arah!" kilah Aji dengan suara bergetar. Keringat dingin tampak
mulai membasahi sekujur tubuh dan pakaian hijau ketatnya serta pakaian
dalamnya. "Penipu busuk! Beraninya kau bicara bohong pada kami! Kau kira kami tak tahu
tingkahmu, he"!" hardik Girig. Bersama Jurig, dia melangkah dua tindak ke arah
Aji. "Tahan! Mari kita bicara
baik-baik!" ujar Aji.
"Bocah! Lekas katakan, apa maksudmu mengikuti kami! Dan siapa kau
sebenarnya"!"
"Wah! Runyam ini masalah...," bisik Aji dalam hati.
Sebentar pemuda itu menatap Jurig.
Lalu tatapannya beralih pada Girig,
berganti-ganti. Sepertinya, Aji hendak meyakinkan salah seorang dari Kapak
Kembar Berdarah.
"Eh! Aku..., maksudku, namaku Aji.
Aku..., tak punya maksud apa-apa
terhadap kalian. Aku..., aku hanya ingin menyaksikan kehebatan kalian," kata Aji
dengan suara seperti menggantung di
tenggorokan. "Dusta!" hardik Girig. "Dari cara mengikuti, kau pasti punya maksud
tertentu! Cepat katakan!"
"Percayalah! Aku tak punya maksud apa-apa terhadap kalian!" ujar Aji dengan
suara sember. "Keparat!" dengus Jurig seraya melepaskan pukulan tangan kiri ke arah bahu kiri
pemuda tampan dan perlente.
Walau Aji tak mengerti ilmu silat,
namun nalurinya mengatakan harus
menyelamatkan diri. Maka saat pukulan
tangan Jurig sejengkal lagi akan
melabrak bahu, tubuhnya diangkat
semampunya ke atas untuk berkelit
menghindar. "Uts...!"
Maka tak ayal pukulan tangan Jurig
hanya menerpa angin. Sedang tubuh Aji
berputar di udara, lalu menjejak tanah lima tombak di belakang.
"Anjing kurus!" dengus Jurig geram.
Tubuhnya langsung berbalik, memandangi pemuda tampan dan perlente dengan sinar
mata tak percaya.
Aji sendiri juga tak percaya, bahwa
dirinya bisa selamat dari pukulan orang yang telah menewaskan salah satu dari
Dua Utusan Maut! Sejenak bahu kirinya
diraba. Legalah hatinya ketika menyadari bahu kirinya masih utuh.
"Heaaat...!"
Belum lama Aji menikmati
kelegaannya, satu ben-takan menggemuruh dengan kaki lurus melabraknya. Kali ini
datangnya dari Girig.
Aji tersentak, namun cepat kembali
berkelit dari terjangan kaki Girig
dengan melenting ke samping. Maka,
terjangan kaki dahsyat Girig hanya
menerpa tempat kosong.
Merasa dipermainkan bocah kemarin
sore, Kapak Kembar Berdarah naik pitam.
Sejenak mereka saling berpandangan.
"Bocah keparat ini tak bisa dibuat main-main, Kakang!" ungkap Jurig, langsung
merapatkan tangan di dada.


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tindakan itu juga dilakukan Girig.
Lantas keduanya tampak komat-kamit.
Kelihatannya, Kapak Kembar Berdarah
sedang mengerahkan jurus andalan.
Memang, sejak pertama kali muncul
kembali ke dunia persilatan, dua orang ini diketahui mempunyai sebuah jurus
yang sangat ditakuti lawan-lawannya.
Bahkan karena jurus itulah, mereka
disejajarkan dengan tokoh-tokoh tingkat atas. Jurus yang menitikberatkan pada
tenaga gabungan ini, dinamakan jurus
'Kapak Kembar Sapu Bumi'.
Tubuh Kapak Kembar Berdarah tampak
berputar-putar cepat, kemudian menyatu.
Lalu tubuh mereka tampak memisah,
sebelum akhirnya menyatu kembali sambil menyentakkan kedua tangan ke depan
kuat-kuat. "Hiaaa...!"
Seketika dua larik gelombang
disertai angin menderu kencang meluruk ke depan, ke arah Aji sedang berdiri
kebingungan. Melihat keadaan gawat, Aji segera
mengerahkan seluruh kemampuan untuk
menghindar. Agar dapat melesat ke atas lebih tinggi, kakinya menjejak kuat-kuat
tanah berilalang di bawahnya, saat dua larik gelombang berangin kencang meluruk
ke arahnya. Dan yang terj adi sungguh sulit
dipercaya Aji sendiri. Tanah yang
terjejak kakinya sekonyong-konyong
ambrol. Brulll! Maka seketika seluruh tubuh pemuda
itu terperosok ke dalam lobang tanah yang terjejak kakinya. Begitu kuat jejakan
kakinya, sehingga dalamnya lobang yang tercipta sampai satu tombak di atas
kepalanya. Sementara, dua larik gelombang
angin yang dahsyat itu hanya menerpa
ilalang yang merangas tak beraturan di sekitar lobang tempat Aji terperosok.
Akibatnya, ilalang itu kontan
terberangus sampai akar-akarnya
tercabut keluar dari tanah! Sedangkan
larikan gelombang angin terus meluncur, lalu menghantam hingga pecah berantakan
membentuk kepingan-kepingan kecil.
Menyadari dirinya terperosok ke
dalam tanah, tanpa pikir panjang Aji
menjejak tanah dalam lobang untuk
melenting ke atas. Tubuh pemuda itu
mendarat di tanah ilalang yang
terberangus, diiringi tatapan beringas Kapak Kembar Berdarah.
Sret! Sret! Dua kapak berwarna merah telah
tercabut dari pinggang Kapak Kembar
Berdarah. Maka tanpa bicara lagi
keduanya meluruk, mencecar tubuh Aji
dengan sabetan-sabetan kapak dan
sesekali dengan terjangan kaki.
Tampaknya kini Kapak Kembar
Berdarah tak mau bertindak sembrono.
Mereka menyadari, bocah tanggung itu
ternyata tidak bisa diremehkan.
Buktinya, jurus andalan mereka begitu
mudah dielakkan.
Sementara Aji sendiri masih
berusaha menghindar, walau sebenarnya
gerakan itu hanyalah gerakan naluri
untuk menyelamatkan diri.
Beberapa jurus telah dilancarkan
Kapak Kembar Berdarah dengan kapak
merahnya. Namun sejauh ini, hanya
mengandalkan kelitan atau kecepatan
geraknya, Aji masih mampu menyelamatkan diri. Walaupun, tak jarang
goresan-goresan kapak sesekali sempat
menyerempet kulit tubuhnya.
Begitu cepat serangan Kapak Kembar
Berdarah serta gerakan berkelit Aji.
Sehingga jika dilihat mata biasa, mereka bertiga hanya bagai kilatan-kilatan
warna merah yang melesat kian kemari
tanpa sosok yang terlihat.
Hingga pada satu kesempatan, Kapak
Kembar Berdarah yang telah dirasuki
amarah menggebu, menebaskan kapak secara berbarengan disertai tenaga dalam kuat.
"Uhhh...!"
Dengan sisa-sisa tenaga yang hampir
pupus, Aji melentingkan diri
tinggi-tinggi. Sehingga, kapak berwarna merah itu menerabas tanah di bawahnya
dan menancap tanpa bisa ditarik lagi.
Dan pada saat yang sama, tubuh Aji
meluncur ke bawah. Dan tanpa disadari
kakinya menjejak tubuh Kapak Kembar
Berdarah di bawahnya.
Des! Des! "Aaakh...!
Aaakh...!"
Terdengar dua pekikan menyayat,
sebelum dua tubuh berambut jabrik ambruk ke tanah dengan punggung menganga!
"Heh" Apa yang kulakukan" Jadi...,"
kata Aji terperangah, begitu meloncat
dan mendarat di tanah, setelah kedua
kakinya menjejak Kapak Kembar Berdarah.
Pemuda berpakaian hijau ketat
dengan pakaian dalam berwarna kuning itu melihat, kedua orang yang hendak
membunuhnya tampak sekarat dengan darah mengalir dari mulut masing-masing.
Mata dua orang berjuluk Kapak Kembar
Berdarah ini menatap sayu ke arah Aji, sebelum akhirnya melotot tak berkedip
selamanya! Aji masih termangu-mangu
menyaksikan semua ini. Sungguh sulit
dipercaya, bahwa gerakan tanpa sadar kakinya dapat menewaskan dua orang yang
disegani dunia persilatan saat ini!
Bagaimana hal itu bisa terjadi"
Ditingkahi deru angin kencang yang
mengiringi, gelombang Laut Utara tampak ganas dan bergulung-gulung. Udara tepi
pantai terasa panas menyengat, karena
mentari belum juga beranjak dari titik tengah.
Di tepi pantai, tepatnya di sebuah
batu besar yang menghadap Laut Utara, tampak seorang pemuda tanggung
berpakaian hijau ketat lengan pendek
dengan pakaian dalam berwarna kuning
lengan panjang serta rambut dikuncir
ekor kuda. Matanya yang menyorot tajam tampak memandangi debur ombak yang
menghempaskan buih-buih putih ke tepian.
Pemuda yang tak lain Aji itu seperti
tengah termangu. Dia tak habis pikir
tentang kejadian-kejadian yang baru saja dialami. Aji masih tak percaya, bahwa
kini bisa mengangkat tubuhnya dengan
ringan. Bahkan pandangannya kini bisa
jauh menerawang. Lebih-lebih dengan
hentakan kaki yang tak disengaja, Aji
bisa merontokkan Kapak Kembar Berdarah.
Padahal, semua itu mungkin hanya dapat dilakukan orang-orang yang berilmu
tinggi dan telah berpengalaman dalam
dunia persilatan. Sedangkan dia"
Sementara Aji belum bisa menjawab
keganjilan-keganjilan dalam dirinya,
kini dihadapkan pada hal yang juga tak bisa dimengerti. Tentang Eyang Selaksa!
Kenapa orang tua yang selalu bercaping dan tak pernah senyum itu menyuruhnya
pergi ke sini" Ke Laut Utara"
"Tapi..., tak mungkin orang tua itu menyuruh begitu saja tanpa ada
maksud-maksud tertentu!" gumam Aji.
Mengingat itu, pemuda ini lantas
beranjak dari batu besar. Matanya
memandang jauh ke tengah-tengah laut
yang bergelombang dahsyat. Lamat-lamat matanya melihat sebuah gundukan tinggi
menjulang di tengah laut.
"Hm.... Tempat itu mungkin yang
dimaksud Eyang Selaksa...," pikir Aji.
"Tapi, bagaimana aku harus ke sana?"
Lama Aji berdiri dengan tercenung.
Namun sekonyong-konyong kakinya
menghentak sambil menepuk jidatnya.
Romantika Sebilah Pedang 8 Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat Semerah Darah 2

Cari Blog Ini