Ceritasilat Novel Online

Istana Karang Langit 3

Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit Bagian 3


"Jangkrik! Bodohnya aku...!" umpat Aji sambil manggut-manggut.
Memang, untuk sampai ke gundukan
tinggi menjulang di tengah laut, tak ada jalan lain kecuali harus mengarungi air
laut. Dan, bukankah selama empat purnama penuh ia selalu bergulat dalam air di
Kampung Blumbang"
"Ya...! Aku mengerti sekarang!
Orang tua itu sengaja merendam diriku
empat purnama, karena perjalanan
selanjutnya berhubungan dengan air!
Sial...! Kenapa sekarang kumengerti"
Bodoh..., bodoh...," rutuk Aji sambil tersenyum sendiri.
Maka Aji segera melepas baju hijau
ketatnya, lalu melipatnya. Kemudian
dimasukkannya baju itu dalam pakaian
dalamnya. Lantas dengan langkah-langkah lebar, pemuda itu mulai maju mendekati
ombak yang menuju ke arahnya.
Sebentar Aji berdiri kaku
memandangi gelombang. Seluruh
perhatiannya dipusatkan pada air di
depannya. Ketika merasa telah
benar-benar siap, kakinya menjejak ke
pasir pantai. Saat itu juga, tubuhnya
melesat menerjang gelombang.
Sebentar saja, tubuh Aji telah
timbul tenggelam membedah ombak yang
dahsyat menuju gundukan tinggi di tengah laut.
*** Matahari telah berwarna merah saga.
Sementara dua tombak di ujung barat Laut Utara, tampak sosok Aji menyembul dari
sela batu karang di tengah laut. Dan dengan sekali jejak, tubuhnya telah
berdiri kokoh di atas sebongkah batu
karang yang mengelilingi batu karang
yang menjulang tinggi, dan samar-samar mulai terselimuti kabut serta asap
putih. "Apakah aku di sini akan menemui
seseorang?" tanya Aji dalam hati.
Perlahan-lahan pemuda itu melangkah
ke pinggir batu karang. Matanya mulai
menebar ke sekeliling batu karang yang mulai tampak menghitam, seiring
memu-darnya sinar mentari. Namun hingga matanya lelah mencari, tak juga
ditemukan seseorang, kecuali batu-batu karang yang mulai tergenangi air laut
pasang. "Apakah di batu karang tinggi itu?"
tanya Aji seraya mengenakan kembali baju hijau ketat lengan pendeknya karena
udara dingin terasa mulai menusuk. "Akan kucoba kesana!"
Saat itu juga Aji berkelebat
melewati beberapa selat-selat kecil di antara batu-batu karang. Dan begitu
kakinya menginjak batu karang yang
berseberangan dengan batu karang yang
tinggi menjulang, mulutnya ternganga. Ia seakan tak percaya pada penglihatannya,
bahwa batu ka|rang tinggi yang
diselimuti kabut tipis dan tegak berdiri menjulang ternyata tanpa tonjolan dan
gundukan di sisi-sisinya. Sisi-sisi batu karang itu hanya berupa batu karang
yang lurus bagai tembok sebuah bangunan.
"Jangkrik!" serapah Aji. "Bagaimana aku harus sampai ke sana?"
Sejenak pemuda berpakaian hijau
ketat dengan pakaian dalam berwarna
kuning itu menarik-narik kuncir
rambutnya dan menakupkan kedua lengannya ke dada karena terkena hembusan angin
tengah laut. Lantas kembali matanya
memperhatikan batu karang menjulang di depannya.
"Mustahil mencari tali di tempat seperti ini!" gumam Aji sambil
geleng-geleng kepala.
Namun, tiba-tiba raut muka pemuda
itu berubah ceria. Dan tak lama kemudian kakinya ditarik tiga tindak ke
belakang. Lalu telapak tangannya dibuka serta
ditariknya dekat mulut.
"He...! Adakah orang di atas..."!"
teriak Aji dengan kepala mendongak.
Tak ada sahutan.
"He...! Adakah kau di atas..."!"
Kembali Aji berteriak lantang.
Namun belum juga ada jawaban. Bahkan
suaranya bagai lenyap begitu saja tanpa meninggalkan gema.
Mendapati teriakan-teriakannya tak
mendapat sambutan, wajah Aji kecut.
Kedua tangannya segera dijuntaikan ke
bawah. Kakinya lalu melangkah maju
mendekati sisi batu karang yang lurus
menjulang. Sejenak tangannya
meraba-raba sisi batu karang. Lalu,
kepalanya menengadah.
"Buntu!" dengus Aji.
Dengan tubuh lemas, pemuda itu
berbalik dan melangkah ke sebuah batu
karang yang menjorok ke laut. Sambil
bergerak duduk, dipandanginya laut lepas yang kini sudah tampak menghitam.
"Kalaupun tempat ini yang harus
kutuju, sebelumnya Eyang Selaksa sudah pasti mengukur batas kemampuanku.
Tapi..., apakah Eyang Selaksa belum
pernah ke tempat ini" Seandainya Eyang mengatakan begini tempatnya, mungkin aku
bisa mempersiapkan perlengkapan," batin Aji, sambil memasukkan tangan ke baju
dalamnya. Kala masuk ke saku, tangan Aji
menyentuh logam putih pemberian mendiang ibunya yang dititipkan pada Aki
Lempungan, Tak sadar diambilnya logam
putih itu. Selintas mata pemuda itu menerawang
jauh. Ingatannya terasa dibawa kembali ke seberang laut lepas. Ke bangunan tua
di lereng bukit, Aki Lempungan, dan
Gatra. Lalu, terbayang kembali
tubuh-tubuh bergelimpangan, lantas
beralih ke gadis cantik dan menantang
berbaju kuning, gadis anggun di Kampung Blumbang, dan Eyang Selaksa!
Begitu ingatannya pada orang tua
itu, Aji menundukkan kepala. Matanya
memandangi logam di tangannya. Ia
sedikit terlonjak, ketika
memperlihatkan lukisan di lempengan
logam. Tanpa sadar, kepalanya menoleh ke batu karang tinggi. Lalu, tatapannya
kembali ke logam di tangannya. Lantas
dibaliknya kepingan logam. Lagi-lagi,
Aji terkejut. "Hm.... Berarti ada hubungan antara Kampung Blumbang dengan batu karang
itu!" bisik Aji sambil memandang ke arah batu karang. Tapi apa"
Aji terus berpikir keras. Dicobanya
untuk merangkai semua peristiwa yang
pernah dialaminya. Sampai pada
akhirnya.... "Ah...! Kenapa aku masih juga
tolol"!" sentak Aji, tiba-tiba.
"Bukankah waktu terendam di
Blumbang aku harus berjuang mengangkat tubuhku ke atas" Agar tak mati sia-sia
kebanyakan minum air merah" Dan bukankah pijakan-pijakan di bawah air makin lama
makin dalam dan runcing" Dan..., ya! Aku tahu sekarang...! Aku harus berjuang
melewati sisi batu karang itu, dengan
menjejak batu karang di bawahnya yang tak beraturan. Bahkan tak jarang di
antaranya ada yang runcing!"
Aji lalu bangkit mendekati sisi batu
karang. Perlahan-lahan dijejak-jejak
batu karang di bawahnya. Dan pada jejakan ketiga, langsung dikerahkan tenaga
kuat-kuat. "Hup!"
Maka saat itu juga tubuh Aji
melentingke atas. Namun, lentingan
tubuhnya belum sampai setengah tinggi
sisi batu karang. Kala kakinya mendarat, kembali dijejakkan kuat-kuat. Tubuhnya
kembali mengudara, dan kali ini lebih tinggi dari semula.
Kini di bawah langit yang tak
bersinar rembulan, tampak tubuh pemuda berpakaian hijau ketat dengan pakaian
dalam berwarna kuning serta berkuncir
itu melenting-lenting di sisi batu
karang. Namun ketika kakinya menjejak batu
karang runcing....
Cras! "Aaakh...!"
Batu karang runcing itu memang tak
bisa dihindari lagi. Aji berdiri
sejenak, kakinya diangkat dan dibalik Tampak telapak kakinya robek dan
berlobang. Darah mulai merembes dari
lobang telapak kakinya. Raut wajahnya
sontak mengerut menahan sakit dan perih.
"Jangkrik! Untung kakiku telah
terbiasa dan terlatih empat purnama
dalam Blumbang. Kalau tidak..."!" omel Aji, seraya menggidikkan tubuhnya.
Kembali Aji menengadah, memandangi
batu karang. Dan entah dengan meringis atau senyum, kembali kakinya menjejak
batu karang. Dan sebentar kemudian,
tubuhnya telah kembali mengangkasa.
Hingga pada jejakan yang keenam
puluh dua, ujung sisi batu karang telah tergapai tangan Aji. Namun karena
pegangan tangannya belum begitu kuat,
akhirnya tubuhnya kembali meluruk ke
bawah. Dan pada saat itulah dengan
sisa-sisa tenaga, kakinya menjejak batu karang di bawah sekuat-kuatnya. Seketika
tubuhnya kembali membumbung dan..., sisi batu karang yang tinggi dan lurus itu
terlewati! Begitu kaki Aji berhasil mendarat di
pelataran batu karang yang tinggi dan
berkabut, tubuhnya limbung. Dan tak lama kemudian pemuda itu ambruk menggeloso
di atas batu karang.
*** 6 "Aku masih hidup?"
Pertanyaan tak terjawab ini keluar,
ketika sosok berpakaian hijau ketat
dengan pakaian dalam berwarna kuning
yang tak lain Aji membuka kelopak
matanya. Pandangan matanya masih
remang-remang. Kepalanya
menggeleng-geleng sambil bangkit duduk.
Ketika matanya sudah terbiasa lagi,
ditariknya napas panjang. Keceriaan
tampak terpancar dari wajahnya yang
kuyu. "Akhirnya aku sampai juga...,"
gumam Aji seraya menyapukan pandangan
matanya ke samping.
Terlihat laut lepas yang membiru dan
sesekali terhiasi lonjakan-lonjakan
putih yang menggulung dan menerjang
dahsyat. Dan ketika pandangannya
mengarah ke depan, Aji sedikit kaget.
Kira-kira tiga puluh tombak di depannya, tampak sebuah bangunan batu. Maka
buru-buru ia bangkit dan melangkah ke
depan. Namun tatkala Aji mulai melangkah
dan kakinya baru menginjak batu karang, tampak wajahnya meringis menahan sakit.
"Jangkrik! Aku lupa kalau kakiku terluka...," dengus Aji. Namun kakinya terus
melangkah kedepan meski dengan
terbungkuk-bungkuk dan
terpincang-pincang.
Ketika pemuda tampan dan perlente
itu berada lima tombak di depan bangunan batu, apa yang terlihat di depan
membuatnya terkesiap. Tepatnya di depan bangunan batu, tampak kepingan-kepingan
batu karang kecil yang berantakan.
Ketika memandang sedikit keatas,
terlihat atap bangunan batu bagian depan berlobang dan rengkah. Tiang penyangga
bangunan pun tak tampak. Hingga jika
bangunan itu bukan bikinan alam, mungkin telah ambruk.
"Apa yang terjadi dengan bangunan itu" Dan, siapa yang telah merusaknya"
Jangan-jangan...."
Serentak sepasang mata Aji melotot
ke samping kanan-kiri bangunan. Namun
tak ada tanda-tanda orang di sana.
Kakinya kemudian melangkah lebih dekat.
Kepingan-kepingan batu karang makin
banyak. Dan di antaranya ada yang
menghitam bagai baru terbakar.
"Melihat pecahan yang berserakan
begitu saja, ini pasti perbuatan tangan jahil manusia!" batin Aji.
Kemudian, pemuda itu bergerak
melongok ke dalam bangunan yang pintunya melompong dan rengkah-rengkah.
"He.... Adakah orang di dalam..."!"
teriak Aji manakala tak menemukan
seorang pun ketika kepalanya melongok.
Tak ada jawaban yang diharapkan.
Sunyi. Hanya pantulan gema suaranya yang kemudian disahuti gemuruh ombak di
bawah. Perlahan-lahan Aji melangkah dan
masuk ke dalam bangunan. Ternyata, dalam bangunan itu hanya berupa ruangan besar
tanpa ruangan kamar-kamar atau pajangan.
Aji terdiam sesaat. Sementara
matanya menyorot tajam memperhatikan
sekeliling. "Hm.... Di belakang tampaknya ada lobang pintu...," gumam Aji, seraya beranjak
ke arah belakang ruangan.
Begitu sampai depan lobang yang
ternyata tak berpintu, Aji kembali
berteriak. "He...! Adakah orang di dalam..."!"
Tapi kali ini jawaban itu juga tak
terdengar. Aji menggeleng-gelengkan
kepala dan menarik-narik kuncir
rambutnya. Karena lama tak juga ada
tanda-tanda munculnya seseorang,


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakinya melangkah memasuki lobang yang tak berpintu.
Baru selangkah masuk Aji terlonjak,
karena merasakan getaran-getaran hebat di balik lobang pintu. Buru-buru pemuda
itu menarik kembali tubuhnya keluar dari lobang pintu.
"Aneh!" batin Aji. "Di sini tak terasa getaran...!" Belum yakin, Aji kembali
masuk. Dan getaran-getaran itu ternyata masih ada. Ia kembali keluar.
Tak ada getaran!
"He...! Jawablah! Adakah orang di dalam..."!" teriak Aji lantang.
Baru saja kata-kata Aji lenyap....
"Sebagai tamu, berlakulah sedikit sopan...!"
Tiba-tiba terdengar suara berat
menyahut. Suaranya seperti diucapkan di samping telinga Aji. Sehingga tanpa
sadar, Aji mundur dua tindak ke belakang.
Matanya jelalatan, namun tak juga muncul orang yang memperingatkannya tadi.
"Di mana kau..."!" tanya Aji memberanikan diri, ketika orang yang
ditunggu-tunggu tak juga muncul.
"Jangan berteriak-teriak, Bocah!
Masuklah...!"
Terdengar lagi suara berat yang
memerintah. Namun belum juga tampak
sosoknya. Dengan wajah kaku dan dada berdetak
kencang, Aji akhirnya masuk ke lobang tak berpintu. Getaran-getaran masih ada.
Dan ternyata, di balik lobang pintu terdapat tangga ke bawah yang juga terdiri
dari tumpukan rapi batu karang.
Setindak demi setindak Aji mulai
menuruni tangga. Makin ke bawah,
getaran-getaran itu makin keras. Sehingga, ketika berada dua tangga paling bawah, tubuh Aji terhuyung-huyung. Dan
begitu kakinya menginjak sebuah ruangan, tubuhnya langsung ambruk.
Tapi anehnya, ruangan yang hanya
disinari sebuah obor dan ditancapkan
begitu saja pada dinding ruangan,
sepertinya tak terpengaruh.
Setelah dapat menguasai diri,
tiba-tiba pemuda tanggung berpakaian
hijau ketat dengan pakaian dalam
berwarna kuning serta rambut dikuncir
kuda itu terkesima. Dengan diterangi
cahaya obor, delapan tombak di depannya tampak sesosok tubuh duduk sambil
bersedekap di atas sebuah batu karang.
Sejenak Aji was-was. Perasaannya
bimbang dan bulu kuduknya merinding.
Adakah sosok di depannya itu manusia atau hantu batu karang!
"Bapak..., eh! Em.., Embah! Apakah Embah penghuni tempat ini?" tanya Aji.
Suaranya seperti menggantung di
tenggorokan. Namun, orang yang bersedekap itu tak
juga menjawab. Apalagi, menoleh!
Aji melangkah mendekati. Satu
tombak di depan orang tua bersila,
kakinya berhenti melangkah. Disinari
cahaya obor, kini tampak jelas wujud
orang yang bersila. Ternyata dia seorang tua yang berambut putih dan disanggul
ke atas. Jubahnya
ungu. Kumis dan
jenggotnya panjang, berwarna kemerahan.
Namun yang membuat pemuda itu heran,
sepasang mata orang tua berjubah
tersebut tertutup sepotong kulit yang
diikatkan ke belakang kepalanya.
Sementara jubah ungu yang dikenakan
tampak berbintik-bintik oleh noda darah yang sudah menggenang.
Menyaksikan orang di depannya tetap
diam, Aji setindak mendekati.
"Mbah...! Eyang...!" tegur Aji dengan memandang tak kesiap.
Tak ada jawaban. Orang tua berjubah
tetap diam bersedekap, bagai batu
karang. Sementara getaran-getaran di
ruangan tetap saja terasa, bahkan makin keras. Sehingga kembali tubuh Aji oleng
dan terduduk. "Eyang...!" tegur Aji kembali.
Kali ini suara pemuda itu sedikit
dikeraskan. Namun masih juga tak ada
sahutan dari orang tua di depannya. Aji merangkak mendekati. Namun saat itu juga
tubuhnya seperti dilemparkan ke samping.
Aji melotot tak percaya. Ternyata
getaran-getaran yang terasa di ruangan itu bersumber dari hembusan napas si
orang tua berjubah ungu ini!
"Edan...! Ini orang, apa...."
"Apa maksudmu datang ke Karang
Langit mengusik khusukku, Bocah..."!"
Belum habis kata-kata Aji, orang tua
berjubah ungu itu membuka mulut.
Suaranya berat dan menggema ke seluruh ruangan. Dan bersamaan dengan itu,
getaran-getaran di dalam ruangan
terhenti seketika.
Aji terlonjak, seakan tak
mempercayai kata-kata orang berjubah di depannya.
"Karang Langit" Berarti dia...
Wong...." "Kau belum jawab pertanyaanku,
Bocah...!" tegur orang berjubah manakala Aji belum habis membatin.
"Aku..., aku..., disuruh kemari
oleh...." "Oleh siapa..., Bocah...?" selak orang berjubah dengan suara berat namun
terdengar ramah.
"Eyang Selaksa...!" jawab Aji, cepat, ketika nada bicara orang tua
berjubah itu terdengar ramah.
"Maha Besar Tuhan. Akhirnya datang juga seorang penyelamat dunia
persilatan," desah orang tua berjubah ungu bersyukur.
"Hm.... Siapa namamu, Nak...?"
"Aji Saputra, Eyang...," sahut Aji sambil menjura hormat.
"Mana benda itu..."!"
Mendadak orang tua berjubah ungu
mengangsurkan tangan ke bawah.
Aji segera merogoh
pakaian dalamnya. Lalu, ditaruhnya logam
berwarna putih itu di tangan orang tua ini.
Sebentar kemudian, tampak orang tua
berjubah itu meraba-raba permukaan
logam. Lalu, bibirnya tersenyum seraya mengangguk-angguk.
"Hm..., kaulah orangnya.... Buka
ikatan rambutmu! Dan, mendekatlah
kemari...!"
Aji terkesiap mendengar ucapan
orang tua di atasnya. Matanya menatap
tajam, seolah ingin ketegasan.
"Apakah rupaku mirip hantu
karang..."!" kata orang tua berjubah, kala Aji lekat-Iekat menatapnya.
Mendengar sindiran itu, buru-buru
Aji melepas kain ikatan rambutnya.
Lantas dia merangkak mendekat. Ketika
telah berhadapan, orang tua berjubah
menjuntaikan tangan kanannya.
"Berbalik! Dan, tundukkan sedikit kepalamu...!" perintah orang tua itu.
Walau masih didera beberapa
pertanyaan, dengan wajah tegang dan kaku Aji melaksanakan perintah.
Perlahan-lahan Aji merasakan tangan
orang tua berjubah ungu meraba-raba
kulit rambut kepalanya. Hingga pada satu tempat, orang tua itu menekan agak
keras dan memijit-mijitnya.
"Hm.... Kaulah orangnya...," gumam orang tua berjubah perlahan, ketika
merasakan di dekat pusaran rambut pada bagian belakang kepala Aji terdapat
beberapa guratan angka.
Tak lama berselang, Aji merasakan
desir angin di atas kepala. Ia menoleh dan sedikit tengadah.
Tampak orang tua ini mengibaskan
tangannya, dan perlahan melempar logam itu. Ternyata logam itu melesat kencang,
lalu menumbuk dinding ruangan yang sedikit menonjol. Begitu logam menancap,
terdengar suara gesekan batu. Dan tak
lama kemudian, di bawah dinding yang
tertancap logam tampaklah sebuah lobang!
"Aji...! Kaulah orang yang berhak masuk ke sana...! Tentunya kau sendiri yang
juga harus memecahkan hal-hal di
dalamnya...!"
Aji membalikkan tubuh, lalu menjura
hormat. Lantas ia bangkit dan melangkah menuju lobang di bawah dinding yang
tertancap logam.
*** Lobang di bawah dinding ruangan yang
tertancap logam ternyata tak bertangga.
"Hm.... Terpaksa aku harus
terjun...," bisik Aji sambil memusatkan perhatian. Kakinya melangkah setindak,
lalu meloncat dalam lobang.
Begitu tubuh pemuda itu masuk
lobang, suasana gelap segera
menyambutnya. Aji memejamkan matanya
rapat-rapat. Tubuhnya seakan jungkir
balik di sepanjang lobang. Ketika
akhirnya tubuhnya terhempas di suatu
ruangan yang agak terang, sekujur
tubuhnya terasa diguyur es.
Ketika kedua matanya terbuka, Aji
terkejut bukan kepalang. Dari mulutnya terdengar suara tertahan. Dan tubuhnya
menggeser ke belakang.
Tak jauh di hadapan Aji, tampak
sosok manusia tak berdaging dengan sikap bersila dan tangan bersedekap. Di
sekitar sosok yang hanya berupa
tengkorak itu tampak rambahan sarang
laba-laba. Tangan sebelah kanan tampak menggenggam sesuatu berwarna hitam.
Hampir tak dapat dipercaya, ternyata
benda hitam itu sebuah kipas. Tapi yang membuat Aji terbelalak, tengkorak
manusia bersila itu ternyata mengambang di udara! Di bawahnya kira-kira satu
depa, tampak sebongkah batu karang yang
berbentuk seperti peti mayat dan
terbuka! "Siapa lagi yang ini..."!" gumam Aji. Keringat dingin segera membasahi
sekujur tubuh pemuda itu walau udara di ruangan itu dingin menusuk.
Dengan tubuh gemetar Aji menoleh ke
samping kanan. Tampak di dinding batu
karang terdapat lukisan. Sedikit melotot baru nama jelas gambarnya yang berupa
orang sedang memainkan jurus-jurus
silat. Lalu, Aji mengalihkan pandangan ke arah kiri. Tampak lobang menganga dan
deburan ombak. "Hm.... Rupanya ruangan ini
berhubungan dengan laut! Pantas, udara di sini dingin. Namun, aneh! Deburan
ombak itu tak terdengar di ruangan ini!
Apakah aku sedang bermimpi..."!" tanya Aji. Nada suaranya jelas mengisyaratkan
rasa tak percaya. Dicubitnya keras-keras sebelah tangannya. Tapi, mendadak ia
menjerit. Dengan tubuh menggigil antara takut
dan dingin, Aji melangkah ke arah
tengkorak manusia yang mengambang di
atas peti batu karang.
Sepuluh langkah di depan tengkorak
manusia, pemuda berpakaian hijau ketat dengan pakaian dalam berwarna kuning ini
kembali menyurut selangkah ke belakang.
Di sisi batu karang yang berbentuk peti, tertera tulisan bagai dipahat . "Ambil
Kipas! Lihat lukisan! Duduk di mulut lobang!"
Lama Aji memandangi tulisan itu.
"Apakah perintah itu ditujukan
padaku...?" bisik Aji, seraya menyisir rambutnya yang basah dengan jari-jari
tangan. "Tapi, di sini tak ada orang selain aku. Berarti, perintah itu
ditujukan padaku...!"
Aji mendekat tepat di hadapan
tengkorak manusia, tangannya diulurkan.
Namun tangannya bagai tertahan oleh
dinding yang kasat mata. Sebentar saja Aji mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Namun hanya sekejap. Saat itu juga
sikapnya berubah.
Dengan wajah sedikit tegang, pemuda
itu menakupkan kedua tangannya. Kedua
tangannya segera diangkat ke atas
kepala. Lalu tubuhnya melorot ke bawah.
Tiga kali Aji menjura, tak lama kemudian bangkit. Dan segera saja tangannya
diulurkan. Ternyata tangannya kini tak lagi tertahan dinding kasat mata.
Dengan tangan bergetar,
perlahan-lahan Aji mengambil kipas lipat yang tergenggam di tangan tengkorak
manusia. Dan seketika terjadi suatu
keanehan. Begitu kipas berpindah tangan, tengkorak manusia itu tiba-tiba luruh
ke bawah dan masuk ke dalam peti!
Mendapati kenyataan, buru-buru Aji
mundur tiga langkah, dan kembali
menjura. Tapi tatkala kepalanya
terangkat, kembali Aji tertegun. Pahatan tulisan di sisi peti batu karang
perlahan-lahan sirna. Sementara
cekungan tulisan kembali menutup,
terkena tekanan angin tengkorak manusia yang baru luruh.
Sejenak kemudian tampak Aji
memperhatikan kipas lipat di tangannya.
Kipas yang berwarna hitam itu ternyata terbuat dari besi, namun ringan bagai
kain. Diiringi degup jantung yang
mengeras dan tangan yang bergetar, Aji mulai membuka kipas. Dan ternyata,
lipatan kipas bagian dalam berwarna
merah menyala dengan gambar ombak yang menggulung dan angka 108.
Ketika kipas lipat itu telah terbuka
seluruhnya, tiba-tiba warna merah
menyala yang terpancar dari kipas melesat cepat ke dada Aji, pakaiannya
berkibar oleh hembusan angin di ruangan.
Saat itu juga Aji merasakan dadanya bagai jebol terkena hantaman hebat. Matanya
seketika berkunang-kunang. Namun cuma
sekejap, karena dadanya terasa biasa
kembali. Ketika matanya dibuka, ternyata kipas di tangannya telah berubah warna.
Seluruh dasar kipas itu kini
berwarna ungu, dihiasi lukisan ombak


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwarna biru. Dan di tengah-tengahnya tampak terdapat angka 108 berwarna
putih. Dan bersamaan itu pula angin yang berhembus dalam ruangan terhenti.
"Apa yang terjadi dengan diriku?"
tanya Aji dalam hati.
Namun jawaban itu tak juga
ditemukannya. Lantas, ditutupnya kipas di tangan. Maka angin dingin berhembus
kembali. Aji baru mengangguk-angguk.
Dimasukkannya kipas itu ke dalam saku
baju dalamnya. Dibiarkannya angin dingin berhembus dalam ruangan. Ia lantas
kembali menjura, sebelum bangkit dan
berbalik. Kakinya lantas melangkah ke
arah dinding yang berlukisan.
Lukisan di dinding itu ternyata
terdiri dari lima sap ke atas. Tiap sap terdapat garis yang memisahkan.
"Hm.... Berarti aku harus mulai dari sap yang paling bawah...!" pikir Aji,
mengamati lukisan pada sap yang paling bawah.
Sementara mata memperhatikan
lukisan, Aji menirukan gambar di dinding dengan gerak tubuhnya.
"Aku harus mulai sekarang...!" kata Aji sambil melepas pakaiannya.
Tak lama, Aji telah berjalan menuju
dinding ruangan samping kiri yang
berlobang dan tembus ke laut. Udara
dingin masih terasa. Namun, kini
tubuhnya sedikit pun tak goyah terkena hembusan angin yang menerpanya.
Di mulut lobang, Aji berdiri
menghadang ombak yang menggulung.
Lantas, diingatnya gerakan-gerakan yang ada pada lukisan dinding sap paling
bawah. Sebentar kemudian, tampaklah
pemuda tanggung dengan rambut
berkibar-kibar tertiup angin laut itu
memainkan gerakan-gerakan.
Begitu Aji selesai mencoba
gerakan-gerakan yang ada pada lukisan
dan kembali ke dinding, lukisan pada sap paling bawah telah sirna.
*** Lima purnama berselang....
Selama itu, di sebuah ruangan bawah
sebongkah batu karang di tengah Laut
Utara, tampak seorang pemuda yang tak
lain Aji membuat gerakan-gerakan.
Sesekali, tubuhnya menerjang ombak yang menggemuruh. Dan di lain kesempatan,
tubuhnya meliuk-liuk menghindari
gempuran ombak. Bahkan tak jarang
terlihat sebuah kipas ungu dihiasi warna biru berputar-putar dan terpentang.
"Aji...! Apakah segalanya telah
dapat kau selesaikan?"
Suatu saat, terdengar suara berat
dan berwibawa menggema di ruangan tempat Aji berlatih.
Aji yang pada saat itu sedang
bersemadi di pojok ruangan membuka
matanya. "Sudah, Eyang...!" jawab Aji pelan.
Ternyata suara pelan Aji memantul
keras. Bahkan hingga ruangan di atasnya, tempat seorang tua berjubah ungu yang
tak lain memang Wong Agung, sedang duduk
bersila di atas sebuah batu.
"Bagus! Kau memang anak yang cerdik!
Sekarang, tiba waktunya bagimu keluar
dari situ!"
Namun sebelum suara Wong Agung
lenyap, Aji telah melesat ke atas. Dan sekali kelebat pula, tubuhnya telah
tegak di hadapan Wong Agung. Sebentar
kemudian Aji menjura.
"Aji! Tiba saatnya bagimu turun ke dunia luar! Pergunakan sebaik-baiknya
apa yang telah kau dapatkan! Bersikaplah arif dan rendah hati. Tapi, jangan
cengeng! Dan jangan sungkan-sungkan
bertindak keras jika itu memang
diperlukan!" ujar Wong Agung.
"Ng..., boleh aku bertanya sesuatu, Eyang?" kata Aji dengan sedikit
membungkuk. "Hm.... Tanyalah...," sahut Wong Agung.
"Siapakah Eyang sebenarnya" Dan,
siapa tengkorak manusia di bawah sana
itu" Dan, kenapa mata Eyang ditutup
demikian rupa?" tanya Aji tanpa
bernapas. "Aneh...!" gumam Wong Agung.
"Apanya yang aneh, Eyang?" sela Aji sambil mengangkat kepala memandang Wong
Agung yang tampak sedikit tersenyum.
"Pertanyaanmu itu...! Kau tanya,
apa nyerocos" Tapi..., baiklah! Akan
kujawab pertanyaanmu satu persatu.
Mengenai aku dan tengkorak di bawah sana, tanyakan nanti pada Eyang Selaksa.
Mengenai mata yang kututup ini karena
terluka oleh perbuatan licik Sepasang
Iblis Pendulang Sukma...."
"Sepasang Iblis Pendulang Sukma"!
Eyang..., aku berjanji akan mengadakan perhitungan pada mereka!" seru Aji,
berapi-api. "Itu balas dendam, Aji! Dan itu
tidak bijaksana. Biarkanlah! Hal itu tak usah kau perhitungkan! Kalaupun kau
nanti berurusan dengan mereka, jauhkan rasa dendam di hatimu! Yang penting
utamakan ketenangan dan kedamaian umat manusia. Berbuatlah seperti yang tertera
dalam kipas milikmu!" papar Wong Agung, tenang.
Aji terangguk-angguk, berusaha
menelaah kata demi kata Wong Agung.
"Kau tahu makna yang tertera dalam kipas itu?" tanya Wong Agung.
Aji tak menjawab, kecuali
menggeleng perlahan.
"Kau ingin tahu...?"
Lagi-lagi Aji tak menjawab. Dan kali
ini kepalanya mengangguk.
"Hm... Baik! Keluarkan kipas itu.
Buka lipatannya! Dan, hadapkan
kemari...!" perintah Wong Agung.
Aji segera mengambil kipas dari saku
pakaian dalamnya. Lalu dibukanya kipas itu dan dihadapkan pada Wong Agung.
"Dengarlah!" ujar Wong Agung sambil menggam-paikan tangannya ke arah kipas.
Aji mulai memasang perhatiannya
sungguh-sungguh.
"Warna ungu
pada dasar kipas melambangkan cinta dan
kedamaian. Sedangkan lukisan ombak berwarna biru, melambangkan tantangan. Dan, angka 108
melambangkan Tuhan dan isi dunia. Jadi, cinta dan perdamaian adalah 'buah'.
Sedangkan jalan yang harus ditempuh,
adalah sebuah perjalanan panjang yang
saling terkait. Maksudnya, rasa cinta dan kasih yang ditujukan untuk
perdamaian, akan selalu mendapat
tantangan. Namun segala bentuk tantangan akan dapat diatasi jika seseorang
meresapi apa yang terkandung dalam angka 108. Yakni, seseorang harus tahu siapa
'dirinya'! Seseorang tak akan mengenai dirinya sendiri tanpa mengenai siapa
yang menciptakan. Yang menciptakan
itulah yang berada di atas sana. Maha
Tunggal. Inilah yang dilambangkan dengan angka 1. Sedangkan angka 0 terlihat
kosong, padahal sesungguhnya yang kosong itu ada. Semakin seseorang terlihat
kosong, sesungguhnya dia semakin berisi.
Itulah yang diharapkan darimu, Aji.
Semoga kau selalu berusaha mengosongkan diri, mawas diri, waspada terhadap
sekelilingmu. Sedangkan angka 8
melambangkan delapan unsur dunia yang
terdapat di alam ini, yakni: Udara, air, tanah, kayu, batu, rembulan, matahari,
dan api. Jadi jika mampu menelaah apa
yang tersirat dan tersurat dalam alam, lantas merenungkan dalam-dalam, di sana
kita akan menemukan kehidupan yang
sejati. Inti dari semuanya adalah,
kedamaian dan keselamatan manusia hanya tergantung pada sampai sejauh mana
manusia itu mengenai Tuhan dan dirinya
sendiri dalam mengaruhgi kehidupan-di
dunia ini. Nah, karena kipas itu
perlambang, maka kau sebagai pemilik
harus dapat melaksanakan apa yang
dilambangkan oleh milikmu!" jelas Wong Agung, mengakhiri keterangannya.
Aji kembali mengangguk-angguk
perlahan mencoba mengerti semua
penjelasan Wong Agung.
"Sekarang, turunlah! Temui Eyang
Selaksa! Mungkin masih ada yang harus kau perbuat...!" sambung Wong Agung
disertai senyum.
"Baik, Eyang.... Aku akan berusaha menjalankan apa yang Eyang katakan, dan
mempergunakan sebaik-baiknya apa yang
telah kuperoleh!"
*** 7 Memasuki kawasan hutan kecil yang
banyak ditumbuhi pohon besar dan semak belukar, Aji mempercepat larinya. Sampai
di perempatan jalan setapak, tubuhnya
menyelinap masuk di balik pohon besar.
Tubuhnya tegak mematung dengan mata
nyalang dan telinga ditarik ke belakang.
"Mata dan telingaku memang belum
terlatih betul. Namun sejak dari
seberang sungai dekat desa, aku merasa diikuti seseorang...!" bisik Aji.
Aji berlama-lama berdiri tegak.
Tapi hingga kedua kakinya terasa
pegal-pegal, tak ada tanda-tanda orang yang ditunggu akan muncul.
"Aku akan memutar dan kembali dari arah masuk kawasan ini!" gumam Aji.
Tubuh pemuda itu lantas berkelebat
keluar dari balik pohon besar. Tapi
hingga sampai di tempat menyelinap tadi, dia tak menemukan siapa-siapa. Aji
masih tak percaya. Ditunggunya sejenak. Ketika tak juga muncul seseorang,
perjalanannya diteruskan.
Hingga perbatasan keluar hutan, dan
telah melihat sebuah desa, Aji
menghentikan langkahnya. Kepalanya
menoleh ke arah kiri. Tampak Puncak
Gunung Semeru masih diselimuti awan.
"Aku akan menemui Eyang Selaksa,
seperti apa yang dikatakan Eyang di batu karang. Sekalian menanyakan kejelasan
akan hal-hal yang tak kumengerti selama ini."
Baru akan beranjak menuju arah desa
di depannya, tiba-tiba Aji mendengar
suara halus, yang lebih mirip erangan.
Tapi dari mana" Cepat Aji memusatkan
pendengarannya untuk menentukan sumber suara.
Ketika erangan itu terdengar lebih
menyayat, Aji yang telah yakin arah
sumber suara langsung berkelebat.
Karena suara erangan memang tak
begitu jauh, sebentar saja Aji telah
sampai. Pemuda itu sedikit kaget,
melihat di tempat itu bagai baru saja
terjadi pertempuran. Pohon-pohon agak
besar bertumbangan. Bahkan daun-daunnya tampak
mengering dan kulitnya
mengelupas. Semak belukar berserakan,
tercabut sampai ke akar-akarnya.
Begitu melihat ke samping kanan, di
bawah sebuah pohon tampak seorang
perempuan menggeletak. Tanpa menunggu
lama, Aji melangkah ke arah perempuan
yang menggeletak telungkup. Begitu
sampai Aji jongkok. Perlahan-lahan
dibaringkannya tubuh perempuan itu.
Sejenak Aji menahan napas.
Ternyata, pakaian perempuan yang
berwarna kuning muda itu telah koyak di sana sini. Hingga sebagian buah dada
yang tampak kencang membusung, dan paha yang berkulit putih itu jelas terlihat.
Dan ketika melihat wajah perempuan itu, ia terhenyak.
"Perempuan di kedai!"
Cepat Aji mengambil tangan sang
perempuan. Diperiksanya denyutan nadi
perempuan itu. Tak terasa ada denyutan.
Aji tampak bingung. Perempuan yang
berusia kira-kira dua puluh dua tahun itu tak juga bergerak. Dengan sedikit
menahan napas, telinganya diletakkan di antara buah dada terbuka perempuan ini.
"Masih ada detakan! Berarti gadis ini masih hidup!"
Aji cepat mengangkat tubuh gadis
berbaju kuning muda itu ke bawah sebuah pohon yang agak rindang. Ditariknya baju
bagian bawah gadis itu, hingga paha yang agak terbuka itu tertutup. Lantas
digoyang-goyangkan bahunya.
Perlahan-lahan terlihat dada gadis
itu bergerak-gerak. Napasnya mulai
berhembus satu-satu. Dan dari bibirnya yang bagus terdengar erangan halus dan mnyayat. Tak lama kemudian, terlihat gadis
itu membuka kelopak matanya. Tatapannya sayu.
"He...."
Gadis itu tak menjawab. Pandangan
matanya lurus ke atas. Lalu kepalanya
menoleh ke samping. Melihat Aji di
dekatnya, raut mukanya membersit
keterkejutan. Seketika alis matanya
dikernyitkan. "Kau..."!" desah gadis itu hampir tak terdengar.
"Ya, apa yang telah terjadi...?"
"Oh...!"
Tiba-tiba sang gadis membentangkan
kedua tangannya, lalu bangkit menubruk Aji yang duduk di sampingnya. Aji kaget.
Namun dibiarkannya kepala sang gadis
rebah di dadanya.
"Jangkrik! Dadaku terasa...."
Namun mendadak sang gadis
melepaskan rangkulannya. Segera
ditariknya kepalanya dari dada Aji.


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis ini beringsut mundur dengan dua
bola mata menatap tajam. Wajahnya tampak bersemu merah.
"Ngg.... Terima kasih atas
pertolonganmu...," kata gadis itu. Kali ini matanya tak berani menatap ke arah
Aji. Kepalanya menunduk, namun tiba-tiba terperangah. Buru-buru kainnya yang
koyak ditarik menutupi sebagian buah
dadanya yang tersembul.
"Apa yang terjadi dengan
dirimu...?" tanya Aji, mengalihkan perhatian.
Gadis ini tak menjawab. Sedikit
tubuhnya dimiringkan.
"Apakah rupaku menakutkanmu..."!"
tanya Aji, sedikit berkelakar.
Sang gadis menoleh. Wajahnya masih
bersemu merah. Bibirnya sedikit
tersenyum. "Ngg.... Aku, aku malu atas
tingkahku tadi...."
Aji tersenyum. Namun, matanya
sesekali melirik nakal.
"Melihat keadaanmu, sepertinya kau baru saja bentrok...!" duga Aji
menghilangkan kecanggungan.
"Benar! Tapi..., mereka memang
manusia licik! Manusia macam mereka
harus dimusnahkan dari muka bumi!"
dengus sang gadis. Wajahnya berapi-api.
"Siapa yang kau maksud dengan
mereka...?"
"Sepasang Iblis Pendulang Sukma!"
sahut gadis itu cepat.
"Sepasang Iblis Pendulang Sukma?"
ulang Aji meyakinkan.
"Ya. Kenapa...?" tanya gadis itu sambil melirik. Tampak terjadi perubahan pada
wajah Aji. Mendapati gadis itu melirik,
buru-buru Aji tersenyum menutupi rasa
keterkejutannya.
"Tidak, tidak apa-apa...," jawab Aji berkilah. "Ngg.... Namamu siapa?"
"Putri Tunjung Kuning...!" sahut gadis ini memperkenalkan diri.
"Aji...." Aji ikut-ikutan
menyebutkan nama.
Keduanya lantas saling
berpandangan, lalu sama-sama tersenyum.
"Siapakah Sepasang Iblis Pendulang Sukma itu?" tanya Aji, meneruskan katakatanya yang tadi terpotong.
"Dua orang licik yang berilmu
tinggi! Suatu saat nanti, aku akan
membalas atas perbuatannya ini!
Beruntung mereka tadi dapat kukelabui!
Aku pura-pura tewas!" jelas Putri Tunjung Kuning. Nada suaranya
menampakkan kegeraman.
"Ya! Ketenteraman memang tak ada, jika orang seperti mereka masih
berkeliaran...!" timpal Aji.
"Kau juga punya silang sengketa
dengan mereka?" Putri Tunjung Kuning balik bertanya.
Aji tak menjawab. Ragu-ragu. Namun
akhirnya kepalanya mengangguk.
"Berarti, kau pernah bentrok dengan mereka!" simpul Putri Tunjung Kuning.
Aji menggeleng, membuat raut wajah
gadis di sampingnya berubah.
"Lantas...?"
Sejenak Aji diam termangu.
"Aku tak pernah bentrok dengan
mereka. Tapi..., seseorang yang telah
kuanggap.... Kuanggap Eyangku, telah
mereka celakakan!"
"Eyangmu..." Astaga! Pasti orang
tua di Kampung Blumbang itu!" sentak Putri Tunjung Kuning.
Aji menatap gadis di depannya.
Ketika Putri Tunjung Kuning juga
menatapnya, Aji menggeleng.
"Jadi...?" desak Putri Tunjung Kuning.
"Eyang yang bermukim di sebuah batu karang di Laut Utara!"
Mulut Putri Tunjung Kuning sedikit
ternganga. "Wong Agung maksudmu...?"
tanya Putri Tunjung Kuning.
Kali ini Aji tak mengangguk dan tak
menggeleng. "Kau tahu tentang beliau...?" Aji balik bertanya.
"Sedikit!" ujar Putri Tunjung Kuning.
Sebentar gadis itu menarik napas
dalam-dalam, dan menghembuskannya
perlahan-lahan pula. Sementara, Aji
seperti tak sabar menunggu penjelasan
Putri Tunjung Kuning.
"Guruku pernah cerita, bahwa
beberapa puluh tahun yang lampau, hidup seorang yang teramat sakti bernama
Panembahan Gede Laksana. Dia mempunyai tiga orang murid. Dua laki-laki dan
seorang perempuan. Dua orang laki-laki itu masih ada hubungan darah. Meski
seluruh ilmu sang guru telah diturunkan pada ketiga muridnya, namun masih ada
yang tidak diwariskan. Sang guru
menyatakan, bahwa yang berhak
mewarisinya adalah seorang yang
mempunyai tanda-tanda khusus."
Sebentar Putri Tunjung Kuning menghentikan ceritanya, seperti tengah mengumpulkan ingatannya.
"Setelah ketiga muridnya turun
gunung, satu di antaranya ada yang paling menonjol. Karena, ia berhasil
menggeser kekuatan golongan sesat pada waktu itu.
Karena mukimnya di sebuah batu karang di tengah-tengah Laut Utara, orang-orang
lantas menjulukinya Wong Agung dari
Karang Langit. Namun, sejak kemunculan terakhirnya di jurang Gladak Perak, Wong
Agung tak terdengar lagi kabar
beritanya. Demikian juga gurunya. Dan
jika benar ucapanmu, bahwa orang yang
bermukim di batu karang itu Eyangmu,
berarti kau adalah orang beruntung!
Bahkan tak mustahil kau juga telah
bertemu Panembahan Gede Laksana! Karena menurut cerita guruku, Wong Agung adalah
murid yang paling disayangi di antara
ketiga murid Panembahan Gede Laksana,"
tutur gadis itu.
Mendengar pemaparan Putri Tunjung
Kuning, Aji termangu. Matanya menatap
jauh. "Ada sesuatu yang mengganjal di
hatimu..."!" tanya Putri Tunjung Kuning dengan menghadapkan tubuhnya ke arah
Aji. Namun kali ini, mata nakal Aji
seakan tak tertarik dengan pemandangan yang sepertinya disengaja.
"Kalau gurumu tahu cerita yang
begitu jelas, berarti ada hubungan atau dekat dengan salah satu dari tiga murid
Panembahan Gede Laksana." tanya Aji.
"Bukan hanya ada hubungan atau
dekat. Guruku adalah murid perempuan
dari Panembahan Gede Laksana!" jawab Putri Tunjung Kuning.
Mendengar kata-kata Putri Tunjung
Kuning, Aji terperanjat. Lantas matanya menatap tajam pada Putri Tunjung Kuning.
Kali ini, dengan sedikit mengangguk.
"He..., kenapa kau menatapku
begitu?" tanya Putri Tunjung Kuning, merasa jengah dipandangi seperti itu.
"Karena kau berarti kakakku...!"
jawab Aji cepat.
"Berarti tak salah dugaanku! Kau
adalah murid Wong Agung! Dan tak
mustahil, kau telah.bertemu Panembahan Gede Laksana, bukan..."!"
Meski Aji sendiri tak pernah bertemu
Panembahan Gede Laksana, setelah
mendengar keterangan Putri Tunjung
Kuning, tapi hatinya yakin bahwa
tengkorak manusia yang ditemukan di
Karang Langit itu adalah Panembahan Gede Laksana. Maka akhirnya kepalanya
mengangguk. Bersamaan dengan anggukan kepala
Aji, Putri Tunjung Kuning mendekat.
Mulutnya dibuka sedikit. Dadanya cepat ditempelkan pada dada Aji.
Aji jadi salah tingkah. Sekujur
tubuhnya bagai terpanggang bara. Tapi
begitu tangan Putri Tunjung Kuning
bergerak meraih lehernya, kakinya mundur ke belakang.
"Apa aku tidak begitu menarik
dihadapanmu...?" tanya Putri Tunjung Kuning dengan napas memburu.
"Ngg.... Maafkan, aku. Aku sebagai murid dari adik gurumu, tak pantas untuk
menyentuh tubuhmu yang bagus itu...!"
cegah Aji. Putri Tunjung Kuning tertawa lebar,
hingga dadanya lebih terbuka.
"Tapi kalau aku minta, bagaimana?"
tanya Putri Tunjung Kuning, tak diduga Aji.
"Jangkrik! Seandainya kau bukan
murid dari..," batin Aji.
"Kau maukan..."!" desak Putri Tunjung Kuning, kembali mendekatkan
tubuhnya kala dilihatnya Aji hanya diam termangu. "Maukan?" ulang Putri Tunjung
Kuning seraya tersenyum.
Aji Tampak ragu-ragu, namun ketika
Putri Tunjung Kuning lebih mendekat, dan tubuhnya menempel pada dada Aji, Aji
terhanyut. Tangan Aji Bagai terkena
arus, dan bergerak perlahan melingkar
pada pinggang Putri Tunjung Kuning.
Merasa Aji terseret, Putri Tunjung
Kuning menggerakkan tangannya melingkar pada leher Aji. Dan perlahan-lahan
ditariknya kepala Aji mendekat. Mata
Putri Tunjung Kuning sedikit meredup,
sementara dari mulutnya keluar erangan halus. Aji tambah terhanyut, hingga saat
hidung Putri Tunjung Kuning menyapu dagu Aji. Tanpa sadar Aji merendahkan
sedikit kepalanya, hingga kedua wajah mereka
saling berdekatan.
Dengan menghembuskan napas panjang,
Putri Tunjung Kuning perlahan
penempelkan wajahnya ke wajah Aji.
Bibirnya bergerak memagut bibir Aji.
Aji hanya diam, tak membalas pagutan
itu, namun saat kehangatan terasa mulai menjalari tubuhnya, perlahan membalas
pagutan itu. Beberapa saat lamanya, mereka
saling berpagutan. Namun ketika tangan Putri Tunjung Kuning mulai bergerak
melepas kancing-kancing baju Aji, Aji
tersentak. Dan segera mencekal bahu
Putri Tunjung Kuning.
"Jangan lakukan itu!" desis Aji, sedikit keras.
Perlahan-lahan Putri Tunjung Kuning
menarik kepalanya. Matanya menatap tajam bola mata laki-laki di depannya. Namun
sebentar kemudian, tangannya bergerak ke arah dada dan pahanya.
Bret! Bret! Pakaian gadis yang sudah terkoyak
itu kontan melebar. Sehingga dadanya
yang putih kencang dan menantang itu
terpentang tak tertutup lagi. Bahkan
paha yang mulus itu terlihat hingga
hampir pangkal.
"Di depan sana ada desa. Jika kau tak mau melakukannya, aku akan menjerit! Dan
kau akan tahu akibatnya!" ancam gadis itu.
"Ng.... Mintalah apa saja, dan akan kuturuti. Asal, jangan yang satu itu!
Kumohon...," kata Aji pelan, mengalihkan pandangannya.
"Benar begitu...?"
Pemuda ini mengangguk. Sementara
Putri Tunjung Kuning menyunggingkan
senyum. "Kau orang aneh! Dikasih yang paling bagus, malah orang disuruh minta yang
lain...!" Raut muka Aji berubah merah padam.
"Kalau itu maumu, baiklah!
Bagaimana kalau aku minta ditunjukkan
sesuatu yang telah kau peroleh dari
Karang Langit..."!"
Aji tiba-tiba ingat akan kipas
lipatnya! Cepat tangannya merogoh
pakaian dalamnya yang berwarna kuning.
Ia menarik napas lega, menyadari kipas itu masih ada.
"Bagaimana...?" ulang sang gadis.
Aji tak menjawab. Lalu dikeluarkannya
kipas lipatnya.
"Ini...!"
"Buka...!" perintah gadis itu.
Aji menuruti perintah. Perlahan
dibukanya kipas lipat di tangannya.
Sementara Putri Tunjung Kuning mengawasi dengan tak berkedip.
"Sebenarnya aku berbuat begitu
tadi, hanya ingin melihat kejujuran
kata-katamu...! Dan melihat tingkahmu
tadi, aku tahu, matamu memang nakal. Dan tak bisa melihat perempuan sedikit
bagus! Ngg.... Dan kalau melihat dari
kipas yang kau pakai berangka 108,
julukan yang cocok bagi Orang sepertimu adalah Pendekar Mata Keranjang 108. Tapi
Walau mata keranjang, nyatanya kau tak mudah tergoda! Jadi memang pantas kau
menjadi murid Wong Agung!" ucap Gadis itu seraya menatap tajam.
Sehabis berkata, Putri Tunjung
Kuning berbalik dan berkelebat.
Ditinggalkannya Aji yang masih tegak
terpaku. "Putri Tunjung Kuning! Tunggu...!"
seru Aji sambil mengejar gadis itu.
Namun, gadis itu telah lenyap cepat bagai ditelan bumi.
Tanpa diketahui Aji, di atas sebuah
dahan pohon yang tak begitu jauh,
seseorang sambil tiduran mengawasi


Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerak-gerik Aji. Jika diteliti, ternyata dia adalah seorang perempuan berparas
cantik. Kulitnya putih, rambut panjang tergerai, dan memakai baju kuning muda.
"Manusia tolol...! Hi... hi...
hi...!" Aji segera mencari datangnya suara.
Ia tercekat kala matanya menatap sosok tubuh yang tiduran di atas dahan pohon di
atasnya. "Putri Tunjung Kuning...!"
Perempuan berbaju kuning itu hanya
memandangi Aji. Belum habis rasa heran Aji, Putri Tunjung Kuning yang kini di
atas pohon telah berkelebat.
Tak lama kemudian, dari arah
perbatasan hutan kecil, terdengar suara tawa perempuan.
Aji segera berkelebat menuju arah
suara. Ia tertegun tak percaya melihat dua orang perempuan tengah berlarian dan
sama-sama berbaju kuning muda!
Namun hingga sampai di
perkampungan, Aji kehilangan jejak.
"Hm.... Pendekar Mata Keranjang
108" Ah, bisa saja Putri Tunjung Kuning menjulukiku Pendekar Mata Keranjang 108.
Apakah aku memang mata keranjang"!"
gumam Aji seraya melangkah keluar dari kawasan perkampungan. "Boleh juga sih
julukan itu. Terserah saja orang-orang nanti mau memanggilku Pendekar Mata
Keranjang 108, atau bukan. Yang penting, hm, rasanya cocok juga julukan itu
buatku...!"
*** Hari telah beranjak senja ketika Aji
memasuki kotapraja Lemah Ajang. Dan
pemuda itu segera memasuki sebuah kedai, ketika perutnya terasa minta diisi.
"Selama sepuluh purnama, kulihat
telah banyak perubahan di sini!" kata Aji dalam hati.
Setelah mengedarkan pandangannya ke
sekelihng, Aji duduk di sudut.
"Pak, makan sama tuaknya...," kata Aji begitu duduk.
Pemilik kedai mengangguk sambil
tersenyum. Ramah seperti dulu. Tapi, Aji menangkap raut keterkejutan pada wajah
pemilik kedai. "Kulihat di sini telah banyak
berubah ya, Pak...," kata Aji manakala sang pemilik kedai menghidangkan
pesanannya. "Bukan terlihat..., tapi...."
Belum selesai pemilik kedai
meneruskan kata-katanya, dua orang
laki-laki masuk. Keduanya kira-kira
berusia masih setengah baya. Salah
seorang mengenakan baju putih panjang.
Meski belum begitu tua, namun seluruh
rambut kepalanya tampak putih. Demikian juga alis mata dan bulu matanya. Tapi,
kumisnya yang lebat berwarna hitam
legam. Pada pipi kanan tampak codet bekas luka yang menggurat memanjang dari
bawah mata hingga dagu. Dari cara memandang, tampaknya orang itu cukup
menggiriskan. Sedangkan yang seorang lagi berbaju
hitam. Rambut kepala, alis dan bulu
matanya tampak hitam legam. Namun,
kumisnya tampak putih. Di sekujur
tubuhnya kecuali wajah, terlihat
bermacam-macam rajahan bergambar.
Melihat orang yang datang,
buru-buru pemilik kedai berlari
menyambut dengan tubuh agak gemetar dan membungkuk berkali-kali. Namun, kedua
laki-laki itu sepertinya acuh.
"Sediakan tuak yang pilihan...,"
kata salah seorang yang baru datang,
tanpa memandang.
Aji sejenak melirik. Tapi kala
melihat laki-laki berkumis hitam itu
memandang ke arahnya, lirikannya cepat dialihkan dan bersikap acuh. Segera
makanan di depannya disantap tanpa
mempedulikan empat mata tajam mengawasi dengan tak berkedip.
"Dugaanku benar! Undangan Sepasang iblis Pendulang Sukma pasti akan membawa kita
pada hidup lebih enak! Makan minum tersedia. Dan yang lebih enak masalah
perempuan, tinggal pilih! Ha... ha...
ha...!" kata salah seorang dengan suara keras.
Namun bukan kata-kata itu yang
membuat Aji harus sedikit menarik
tubuhnya dari meja santapan. Suara tawa itu terasa bagai bulu yang menusuk-nusuk
telinga. Hingga, pemilik kedai sejenak harus meletakkan hidangan dan menutup
telinganya yang terasa nyeri dengan
tajam. "Jangkrik! Rupanya mereka unjuk
kehebatan!" de-gus Aji perlahan sambil menahan napas. Langsung disalurkannya
hawa murni, untuk menangkis tenaga dalam yang keluar bersama suara tawa.
"Tapi, walau tidak diundang, kita juga hidup enak! Bukankah selama ini kita juga
makan dan minum tanpa bayar" Soal gadis, kita juga tinggal comot dan bawa!
Saat sekarang, siapa yang tidak mengenai kita" Diraja Kilatan Maut! Penduduk
akan ngacir bila nama kita disebut!" timpal laki-laki yang berbaju putih
panjang. Begitu tuak terhidang, laki-laki
berbaju putih dan berkumis hitam segera meneguk.
"Seandainya kita bisa muncul tiga puluh tahun yang lalu, mungkin kita akan lebih
terkenal! Karena aku yakin, kita akan bisa mencundangi si kentut Wong
Agung yang katanya berilmu tinggi! Ha...
ha... ha...!" tambah laki-laki berkumis hitam itu ketika tuak dalam mulutnya
belum seluruhnya masuk dalam
kerongkongannya.
Tak ayal, sebagian tuak yang masih
di mulut laki-laki itu bertebaran,
hingga meja tempat Aji duduk. Meja itu langsung mengepul dan retak!
Wajah Aji kontan merah padam. Jika
saja tak teringat kata-kata Eyang di batu karang, ingin rasanya mulut laki-laki
itu ditamparnya.
"Hei...! Tambah tuaknya!" perintah laki-laki berkumis hitam.
"Ngg.... Persediaannya habis,
Tuan...," jawab pemilik kedai menggigil.
"Keparat! Kenapa tidak kau tutup
saja kedai ini, he..."!" bentak
laki-laki berkumis hitam itu, sambil
membentak tangannya ke atas meja.
Brak! Kontan, meja kedai yang terbuat dari
kayu jati tebal itu terbelah. Sementara pemilik kedai sudah jatuh terduduk
ketakutan. "Gendeng!"
"He.... Bocah! Apa kau bilang..."!"
dengus laki-laki berkumis itu seraya
berkelebat ke arah Aji.
Tiba-tiba, orang berkumis hitam
telah tegak di samping Aji dengan mata menyengat. Aji tak menoleh, seakan tak
mendengar bentakan tadi.
Merasa tak digubris oleh pemuda
tanggung, laki-laki berkumis hitam ini langsung mengangkat kakinya, dan
menghentakkannya pada bangku tempat
duduk Aji. Bangku tempat duduk Aji pecah
berantakan. Namun tanpa diduga, pemuda itu masih tak acuh dengan keadaan duduk
tanpa bangku! "Maaf! Aku tak punya urusan dengan kalian...!" kata Aji ataupun yang dijuluki
Pendekar Mata Keranjang 108,
seraya bangkit. Lalu kakinya melangkah, tanpa
mempedulikan laki-laki di
sampingnya yang mengawasi dengan hawa
amarah. "Kurang ajar! Kau ingin merasakan tamparan Diraja Kilatan Maut
rupanya...!" bentak laki-laki berkumis hitam dengan gigi gemeletak. Sehingga,
rahangnya tampak mengeras.
"Gendeng! Siapa bilang mau
merasakan tamparan?" celetuk Aji, melangkah keluar kedai.
Tapi belum sampai langkahan ketiga,
sebuah tamparan deras meluruk dari
belakang Aji. Angin tamparan telah
sampai, sebelum tangan itu sendiri
mendarat. Cepat bagai kilat, Aji menekuk
lututnya sedikit, saat angin tamparan
terasa. Hingga tamparan deras yang
ternyata datang dari laki-laki berkumis hitam itu, melabrak angin sejengkal di
atas kepala. "Keparat!" rutuk laki-laki berkumis hitam, melihat tamparannya begitu mudah
dielakkan dengan acuh oleh pemuda
tanggung ini. Bersamaan dengan bentakannya,
laki-laki berkumis hitam kembali
menyerang. Kali ini, kakinya dihantamkan pada tubuh Pendekar Mata Keranjang 108
yang masih menekuk.
Wut! Terlambat. Ternyata Aji lebih cepat
mengangkat tubuhnya ke atas, sebelum
hantaman kaki menghajar tubuhnya. Bahkan begitu tubuhnya turun, tangan kanannya
dikibaskan. Laki-laki berkumis hitam
takmenduga. Karena berdiri masih dengan satu kaki, tak ayal tubuhnya terjajar ke
belakang terkena sambaran angin kencang kibasan tangan kanan Aji.
"Anak jahanam! Kubunuh kau...!"
teriak laki-laki berkumis hitam. Cepat diburunya Aji yang kini telah berada di
luar kedai. "Kita tak ada masalah! Biarkanlah aku pergi!" kata Aji sambil melanjutkan
langkahnya. Tapi setelah menjejak tanah, tubuh
laki-laki berkumis hitam ini melenting ke udara. Tubuhnya berputaran, sebelum
mendarat dua tombak di depan Aji.
Dari gerakannya, kali ini laki-laki
berkumis hitam tak lagi memandang enteng pemuda di hadapannya. Dengan tangan
terbuka, dia diam sejenak. Namun
tiba-tiba, kakinya menendang ke arah
Aji. Aji ataupun Pendekar Mata Keranjang
108 itu tak menyangka. Ia menduga,
laki-laki itu akan menyerang dengan
tangan. Maka dengan agak kaget, tubuhnya diangkat ke atas.
Pada saat itulah tiba-tiba
laki-laki berkumis hitam itu
menghantamkan tangannya. Aji tak bisa
lagi menghindar. Segera dipapaknya tapak tangan laki-laki berkumis dengan ayunan
kakinya. Prak! Terdengar benturan keras. Lelaki
berkumis hitam itu mundur setengah
langkah. Sedangkan Aji, karena tubuhnya masih di udara untuk menangkis serangan
tadi, keseimbangannya sedikit goyah.
Hingga akhirnya, ia jatuh menyuruk tanah dengan pantat lebih dahulu.
Bruk! Aji meringis kesakitan. Sementara
laki-laki berkumis hitam itu melangkah mendekati. Begitu dekat, tangannya
dihantamkan. Aji sedikit menunduk menghindar.
Namun kembali Aji salah duga. Karena
bersamaan dengan itu, laki-laki ini
menerjangkan kakinya ke arah dada.
Terlambat bagi Aji untuk
menghindar. Dan....
Bresss! Tubuh pemuda itu terbanting ke
samping dan terseret lima tombak. Darah merembes dari sela bibirnya.
"Jangkrik! Orang ini tak
main-main...! Apakah aku harus
menggunakannya sekarang..."!" tanya hati Aji.
Melihat lawannya terbanting,
laki-laki berkumis hitam ini menjejak
tanah. Dan sekejap saja, tubuhnya telah berada di hadapan lawannya yang mulai
bangkit. Dan sebelum pemuda itu sepenuhnya
tegak, laki-laki berkumis telah kembali menghantam bagian leher.
Kali ini Pendekar Mata Keranjang
mundur ke belakang. Dan pada saat itulah dibuatnya gerakan sambil merentangkan
tangan ke samping kiri dan kanan.
Laki-laki berkumis hitam itu tak
menunggu lama, maju dengan kepalan
tangan. Saat itulah tiba-tiba Aji
menarik tangan dan memutarnya ke depan.
"Hiaaah...!"
Laki-laki berkumis hitam itu
mendadak bagai terkena hembusan angin
keras dari belakang. Sehingga, gerak
majunya lebih cepat dari perkiraannya.
Dan belum sempat menghantamkan kepalan tangannya, Aji memapak dengan kaki ke
arah laki-laki itu.
Plak! Terjadi benturan kuat. Namun pada
saat yang bersamaan, tangan Aji cepat
membuka. Langsung didorongkan telapak tangannya ke depan perlahan-lahan.
Des! Tubuh laki-laki berkumis hitam
kontan terpelanting ke belakang sepuluh tombak, begitu terhantam deru angin dari
tangan Aji. "Bangsat! Kucincang kau!" dengus laki-laki berkumis hitam itu sambil
bangkit dan memegahgi dadanya.
Namun sebelum berdiri, laki-laki
itu kaget. Ternyata, lawannya telah tak ada lagi batang hidungnya. Pandangannya
segera menebar ke sekeliling. Namun tak juga tampak sosok pemuda yang dicarinya.
"Bocah edan itu telah pergi!"
Tiba-tiba terdengar dari pintu
kedai, menyentakkan lelaki berkumis
hitam. Begitu menoleh, tampak lelaki
berkumis putih dan tubuh dirajah keluar dari kedai.
Sementara tak begitu jauh dari
tempat itu tampak dua sosok sejak tadi telah memperhatikan pertarungan salah
satu dari Diraja Kilatan Maut melawan
seorang pemuda tampan berpakaian hijau ketat dengan pakaian dalam berwarna
kuning.

Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sunti! Kau tahu, siapa gerangan
pemuda tanggung itu?" kata sosok yang ternyata seorang laki-laki dengan mata
kanan buta dengan suara berat.
Perempuan yang dipanggil Sunti
menggeleng. "Kau tahu, gerakan kuda-kuda dan
kelitan-kelitan pemuda tanggung tadi?"
tanya laki-laki itu kembali.
Kembali perempuan itu menggeleng.
"Tak kuduga!"
"Apanya, Kakang...?"
"Gerakan dan kuda-kuda serta
kelitannya tadi persis dengan yang
diperagakan musuh besar kita Wong Agung!
Tapi, gerakan tangannya, baru kali ini kulihat!"
"Hm.... Apa berarti Wong Agung punya murid?" tanya Sunti.
"Tidak bisa kuduga...!" jawab laki-laki yang tak lain Sangsang.
Memang mereka adalah Sepasang Iblis
Pendulang Sukma yang sejak tadi
mengawasi jalannya pertarungan.
Sementara itu, Pendekar Mata
Keranjang terus memacu larinya. Begitu Kampung Blumbang terlihat, baru larinya
diperlambat. "Hm.... Aku akan melihat mata bulat Roro. Senyum, dan... bisik hati Aji
sambil tersenyum sendiri.
Begitu telah berada di depan gubuk,
Aji berhenti. "Eyang...," panggil Aji.
Tak ada sahutan.
"Eyang...! Ajeng Roro...!"
Aji agak mengeraskan suaranya kala
suasana terlihat sepi.
Tak juga ada jawaban. Aji curiga.
Segera dikitarinya gubuk itu. Namun tak juga menemukan siapa-siapa. Kakinya
segera melangkah memasuki gubuk dengan mendorong pintu.
Aji tercekat saat pintu gubuk
terbuka. Di dinding gubuk yang terbuat dari iratan-iratan bambu, terpampang
tulisan di atas daun lontar.
Kalau kau ingin menemui mereka
datang ke Jurang Guringring
SELESAI Tunggu episode Pendekar Mata
Keranjang 108 Selanjutnya:
BARA DI JURANG GURINGRING
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Muslihat Sang Ratu 3 Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk Jamur Sisik Naga 3

Cari Blog Ini