Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan Bagian 2
itu diteruskan akan membuat mereka sama-sama
tewas tanpa hasil. Alias mati konyol.
Namun apakah mereka mau berdamai jika pikiran mereka diliputi oleh kepentingan
pribadi masing-masing"
* * * 4 JIKA bukan orang berilmu tinggi, tak akan mampu menembus curah air hujan yang
begitu derasnya. Di dalam gua, di balik curah air terjun raksasa itulah Suto
digodok bertahun-tahun oleh si Gila Tuak. Anak itu tak akan bisa keluar dari gua
sebelum mencapai ilmu peringan tubuh dan tenaga dalam yang cukup kuat. Karena
tanpa kekuatan tersebut, Suto tak akan bisa menembus curah air terjun raksasa
itu. Gua di balik air terjun tersebut, bukan gua
sembarang gua. la memiliki mulut yang kecil, hanya cukup untuk satu orang dan
tak bisa terlihat dari luar
air terjun. Setiap orang yang melompat masuk
menembus air terjun itu harus tepat tiba di bibir mulut gua. Jika tidak, maka ia
akan jatuh tergelincir dan menjadi santapan batu-batu runcing di
bawahnya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa tidak semua orang bisa mencapai mulut
gua. Memang mulut gua itu sempit, namun di bagian
dalamnya cukup lega dan luas. Mempunyai lapisan tanah bersusun-susun. Mempunyai
kedalaman yang lebih dari seratus langkah terhitung dari mulutnya.
Dan mempunyai langit-langit yang tinggi, lebih dari sepuluh tombak tingginya.
Di setiap sisi dinding gua terdapat obor-obor penerang yang bahan bakarnya
terbuat dari minyak kelapa. Lebih dari tiga puluh obor mengelilingi dinding gua,
dan lebih dari dua puluh lampu minyak
berukuran kecil yang mengelilingi tanah datar sebagai tempat berlatih gerakan
jurus-jurus maut si Gila Tuak.
Tetapi kali ini Suto tidak melakukan gerakan jurus-jurus maut tersebut. Suto
dibiarkan duduk bersila dengan dikelilingi nyala dian kecil. Si Gila Tuak
sengaja duduk di sebuah balai-balai bambu sambil sesekali menenggak tuaknya.
Rupanya ia baru saja bangun dari tidurnya. Dan, rupanya sudah sejak tadi Suto
dibiarkan duduk bersila dengan kedua mata terpejam. Jelas hal itu sudah lama
dilakukan oleh Suto karena sekujur tubuhnya berkeringat. Baju yang dilepaskan
dari awal semadinya itu menampakkan punggung lebar dan
kekar itu berkilauan oleh butir-butir keringatnya.
Ada perasaan bangga di hati si Gila Tuak
memandang ketekunan muridnya. la terkekeh sendiri setelah meneguk tuaknya untuk
yang kesekian kali.
Dalam hatinya ia berkata,
"Tiga hari sudah kubiarkan dia duduk di situ.
Rupanya belum juga ia berhasil menyelesaikan
tugasnya. Tapi kulihat ada kemauan keras pada dirinya untuk memburu tugas yang
diberikan. Dia dalam kesulitan menyelesaikan tugasnya, namun dia tidak mau
menyerah. Sayang, keadaan tidak bisa menunggu menyerah dirinya. Aku harus
membangun semadinya!"
Serta-merta si Gila Tuak melemparkan sekeping logam bekas patahan ujung tombak.
Benda itu runcing dan meluncur cepat tak dapat terlihat oleh mata telanjang. Benda itu
akan menancap di
punggung Suto yang berkulit sawo matang. Zingng...!
Tappp...! Tangan Suto berkelebat ke belakang tanpa
berpaling sedikit pun. Benda yang melayang itu ditangkap dengan tangannya.
Kemudian tangan itu bergerak menyentak pelan, namun membuat benda yang
ditangkapnya kembali melesat lebih cepat dari gerakan terbangnya yang tadi.
Crangng! "Ait...!" si Gila Tuak melompat dari tempat duduknya. Hampir saja benda itu
mengenai pundaknya kalau tidak segera berkelit ke kiri dan melompat turun dari balaibalai bambu. "Konyol!" geram hati si Gila Tuak. "Dia selalu membalikkan seranganku. Lebih
cepat dari dugaanku semula. Dan, kali ini aku tak menyangka kalau dia akan
membalikkan benda itu. Untung sisa
kegesitanku masih ada, sehingga benda itu
menancap pada dinding batu. Kalau tidak, bisa jadi pundakku ditembus oleh benda
itu. Cukup bagus juga sentakan tenaga dalamnya. Dalam gerakan tangan pelan sudah
dapat membuat benda besi itu meluncur
melebihi kecepatan lemparanku tadi. Hmmm...
agaknya bocah tanpa pusar itu memang mempunyai kelebihan dalam kekuatannya.
Mungkin juga pengaruh jurus-jurus pernapasan yang diturunkan oleh Bidadari Jalang kepadanya,
sehingga menghasilkan kekuatan yang lebih besar dari
kekuatan yang ada adaku maupun pada Bidadari
Jalang." Dengan langkah seenaknya si Gila Tuak mendekati sang murid. Matanya memandang
tajam dan penuh curiga. Karena pada saat itu, Suto tidak segera menyelesaikan
semadinya, melainkan melanjutkan semadinya dengan cara memejamkan mata, dan
kedua tangan tetap terletak lurus di kedua lututnya yang bersila. Kedua tangan
itu sama-sama menggenggam walau tak terlalu kencang.
"Suto, berhentilah! Aku mau bicara padamu!"
Suto masih diam, sepertinya tidak mendengar
ucapan sang Guru. Tiga kali kata-kata itu dilontarkan dengan nada semakin keras,
tapi Suto tetap diam tak bergerak sedikit pun kecuali pernapasannya.
"Keras kepala kau ini, hah"!" bentak si Gila Tuak.
Suto masih tidak bergeming bagaikan patung batu.
Gila Tuak bergerak ke depan, jaraknya tujuh langkah dari tempat Suto bersila.
Dengan jengkel ia
lemparkan tongkatnya ke arah dada Suto. Tongkat itu meluncur dengan ujung bagian
bawahnya terarah ke dada Suto seperti anak panah.
Tiba-tiba Suto menggerakkan tangan kanannya.
Dua jari terbuka keras dan berhasil menahan ujung tongkat yang melesat cepat.
Tappp...! Tongkat tertahan dua jari Suto. Mata Suto tetap terpejam. Kemudian,
kedua jari itu bergerak menyentak ke depan dengan pelan. Wuugh...!
Tongkat melesat berbalik ke asalnya dalam
keadaan tetap mendatar di udara bagaikan anak panah. Namun kali ini gerakan
tongkat begitu cepatnya sehingga si Gila Tuak terperanjat terkesima.
la tak menyangka Suto akan mengembalikan
tongkatnya dalam satu sentakan jari yang pelan, namun menghasilkan kekuatan
tampar cukup besar.
Kepala tongkat meluncur ke arah dada Gila Tuak.
Mau tak mau sang Guru segera berkelit ke samping dan tongkatnya kembali
membentur dinding batu.
Duaaang...! Gua tersebut bagai ditabrak seribu banteng.
Berguncang menggetarkan semua obor dan bendabenda yang menempel di dinding. Salah satu obor jatuh. Obor itu ada di belakang
Gila Tuak. Apinya nyaris menyambar ujung jubah Gila Tuak. Cepat-cepat kakek
berjubah kuning itu melompat sambil berteriak antara kaget dan jengkel.
"Kucing Kurap! Semut Bunting!" makinya sambil mengibas-ngibaskan api yang hendak
membakar ujung jubahnya.
Getaran dinding gua berhenti. Obor yang jatuh dipasang kembali. Mata si Gila
Tuak memandang curiga kepada muridnya. Tongkatnya diambil dan digenggam dengan
tangan kiri. Hatinya berkata,
"Ada yang tidak beres pada dirinya. Hmmm... ada apa sebenarnya" Dia kusuruh
mencoba mencari
Pusaka Tuak Setan yang kusembunyikan, namun
kenapa sampai tiga hari belum selesai juga" Padahal seharusnya dia mempunyai
tali hubungan dengan Pusaka Tuak Setan, karena semua ilmuku sudah
kuturunkan padanya."
Si Gila Tuak tak berani mengganggu semadinya
Suto lagi. Tapi ia duduk di sebuah batu datar yang
ada di depan Suto, berjarak empat langkah darinya. la bakal menunggu sadarnya
Suto dari semadi. la duduk sambil sesekali menenggak tuak dari dalam guci besar
yang tadi diambilnya dari pembaringan bambu.
Beberapa saat lamanya setelah menunggu,
akhirnya si Gila Tuak membangunkan semadi Suto melalui suara batinnya.
"Suto, bangunlah. Buka matamu!" Maka, pelan-pelan Suto membuka matanya. Seketika
itu terperangah kaget wajah si Gila Tuak melihat kedua mata Suto berdarah. Darah itu
mengalir dari balik kelopak mata, membasahi pipi Suto bagaikan air mata seorang
lelaki. Dahi Gila Tuak berkerut tajam dengan mata tak berkedip memandangi
muridnya. "Apa yang terjadi, Suto!" sentak si Gila Tuak. Suto menarik napas panjang,
kemudian menjawab, "Tidak apa-apa, Kakek Guru," sambil ia mengusap air yang
meleleh dari matanya.
Tetapi, rupanya Suto sendiri tidak menyadari
adanya darah yang keluar dari kelopak matanya. la terkejut ketika melihat
tangannya berlumur darah setelah mengusap pipinya. Mata itu segera
memandang gurunya dengan tajam dan tegang.
"Apa yang terjadi pada diri saya, Guru"!" ia justru balik bertanya, membuat si
Gila Tuak menjadi
kebingungan menjawabnya.
Segera sang murid didekati. Gila Tuak memeriksa mata muridnya dengan bersimpuh
di depan sang murid. Darah yang keluar dari mata Suto
dipegangnya, diremas-remas dengan kedua jari, bahkan diciumnya sesaat. Kemudian,
tampak kepala si Gila Tuak mengangguk-angguk kecil seperti
menemukan sesuatu dalam hatinya.
"Guru, mengapa kedua mata saya mengucurkan
darah" Apakah saya terkena pukulan tenaga dalam dari luar gua?"
"Tidak! Kau menangis!" jawab si Gila Tuak sambil berdiri untuk mengambil kain
pembersih. Sementara itu, Suto menjadi terbengong mendengar jawaban tersebut.
"Saya menangis, Guru"!"
"Ya. Itu disebabkan karena perasaanmu telah bekerja sebegitu kuatnya, hingga
tangismu bukan lagi tangis air mata, melainkan tangis darah."
Gila Tuak mendekati kembali sambil melemparkan kain pembersih. Suto
menangkapnya, lalu
membersihkan darah dari wajahnya, juga dari kedua sudut matanya. Telinganya
masih mendengar gurunya berkata,
"Pasti kau telah melakukan pengembaraan sukma terlalu jauh. Kau hanya
kuperintahkan untuk mencari di mana Pusaka Tuak Setan itu kusembunyikan.
Tugas itu kuberikan padamu untuk mengetahui
apakah kau mempunyai tali hubungan dengan
pusaka leluhurku itu atau tidak. Jika kau punya hubungan batin dengan pusaka
itu, berarti kau akan mampu menghancurkan pusaka tersebut. Tetapi jika kau tidak
punya hubungan batin, kau tidak akan bisa menghancurkan pusaka Tuak Setan."
Gila Tuak duduk kembali ke batu yang tadi. Suto selesai mengeringkan darah dari
sudut matanya. Pandangan matanya tetap terang, tidak mengalami buram sedikit pun. Gila Tuak
berkata dengan tegas.
"Tapi rupanya sukmamu tidak mencari tempat persembunyian Pusaka Tuak Setan,
melainkan mengembara ke mana-mana! Itu aku tidak suka,
Suto! Aku kecewa dengan sikapmu!"
"Saya sudah menemukan di mana pusaka itu
disembunyikan Kakek Guru!" kata Suto juga dengan tegas.
"Di mana?" pancing Gila Tuak.
"Di sebuah telaga, di bagian dasar telaga itulah guci Tuak Setan terkubur!"
Mulut si Gila Tuak terbungkam. Hatinya berkata,
"O, kalau begitu dia memang sudah menemukan Pusaka Tuak Setan. Dia punya tali
hubungan batin.
Dialah yang bisa menghancurkan pusaka itu dengan kekuatan batinnya. Bagus kalau
begitu adanya!"
Terdengar suara Suto menuntut kepastian,
"Apakah penglihatan sukma saya salah, Kek?"
"Tidak. Sukmamu telah menemukan kuburan
Pusaka Tuak Setan itu. Tapi, mengapa kau sampai mencucurkan air mata berdarah,
Suto" Apa yang telah terjadi pada sukmamu?"
Suto bangkit, berjalan mendekati bumbungnya. la menenggak beberapa teguk tuak
dari bumbung tersebut. Setelah itu ia kembali mendekati gurunya sambil masih memegangi
bumbung dari bambu
pilihan itu. "Kakek Guru, sejujurnya saya katakan, sukma saya telah bertemu dangan seorang
wanita cantik yang sangat menarik hati. Wanita itu berwajah duka. Saya kasihan
sekali padanya. Tapi dia tidak mau
menyebutkan apa penyebab dukanya itu. Dia sempat menangis ketika jatuh dalam
pelukan saya, Kek. Dan saya biarkan dia menangis sambil menyandarkan kepalanya
di dada saya. Hati saya menjadi turut berduka, seakan merasakan kesedihan yang
lebih dalam dari kesedihan yang disandangnya. Apa artinya itu, Kek?"
Si Gila Tuak terkekeh-kekeh menertawakan kata-kata Suto. Sang murid menjadi
berkerut dahi ditertawakan demikian. Hatinya menjadi dongkol dan ingin berontak karena merasa
dilecehkan oleh sang Guru. Beberapa saat setelah sang Guru puas tertawa, ia pun
berkata, "Itulah perempuan yang bakal menjadi jodohmu kelak, Suto. Rupanya sukmamu yang
nakal menerobos sejarah hidupmu di masa mendatang,
dan menemukan wanita yang menjadi jodohmu."
"Begitukah?"
"Ya," jawab Gila Tuak sambil melirik ke samping, memandangi sang murid yang
termenung dengan
dahi masih berkerut.
"Siapa nama perempuan itu, Suto?" tanya Gila Tuak setelah menenggak tuaknya
kembali. "Namanya...?" Suto semakin mengerutkan dahinya, mengingat-ingat sebuah nama.
Sejurus kemudian ia pun menjawab dengan nada jelas. "Dyah Sariningrum, itu
namanya!" Sambil tetap tersenyum, si Guru menggumamkan nama itu,
"Dyah Sariningrum..."! Bagus sekali nama itu.
Cantik sekali!" Gila Tuak manggut-manggut.
"Wajahnya juga cantik, Kakek Guru. Lebih cantik dia daripada Bibi Guru Bidadari
Jalang." "Ssst...! Jangan keras-keras. Kalau kebetulan bibi gurumu ada di sekitar sini
dan dia mendengar, dia bisa melabrakmu! Dia tidak pernah mau
kecantikannya dikalahkan oleh perempuan mana pun juga!"
Suto hanya tersenyum malas-malasan. Ini
pertanda otaknya masih tertuju pada seraut wajah cantik yang ditemukan dalam
pengelanaan sukmanya tadi. Karena itu, Suto pun segera bertanya,
"Apakah benar Dyah Sariningrum itu calon jodoh saya, Kek" Apakah bukan sekadar
calon teman biasa?" "Jika ia calon teman biasa, tangismu tak akan berupa darah. Aku tahu, tangis itu
tangis kesedihan yang sesungguhnya milik Dyah Sariningrum. Jika sampai kau
mencucurkan air mata berdarah, itu pertanda kesedihan yang dialami Dyah
Sariningrum sungguh besar dan dalam sekali. Jika tak begitu besar kesedihan itu,
tak akan kau mencucurkan air mata darah, Suto."
Kepala pemuda tanpa pusar itu manggut-manggut sambil menggumam. Lalu, ia kembali
bertanya, "Di mana saya bisa menjumpainya, Kek?"
"Di suatu tempat. Tak ada yang tahu dengan pasti.
Hanya dirimu yang mengetahuinya. Tapi percaya saja padaku, tanpa kau cari dia
akan bertemu denganmu, karena dia adalah jodohmu."
Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi saya tak sabar ingin segera menemuinya, Kek!"
"Berlatih sabar adalah hal yang baik dalam hidupmu, Suto. Jangan memburu nafsu
pribadi. Itu justru akan mencelakakan dirimu," kata si Gila Tuak sambil menatap
tajam pada muridnya. Sambungnya lagi. "Sekarang tugasmu yang utama harus
menghancurkan Pusaka Tuak Setan itu! Musnahkan pusaka itu, supaya tidak menjadi
sumber bencana bagi sesama manusia, juga sesama makhluk ciptaan Yang Maha
Kuasa." "Baik. Saya sudah paham dengan maksud Kakek Guru. Tapi, di mana letak telaga
yang dipakai mengubur pusaka itu, Kek?"
"Namanya Telaga Manik Intan. Letaknya ada di sebelah barat pegunungan Suralaya."
"Ya. Saya paham, Kek. Tapi ada satu hal yang belum saya mengerti, tentang adanya
benda berkilauan yang terlihat oleh mata sukma saya ketika menemukan Tuak Setan itu.
Benda tersebut ada di samping Guci Tuak Setan. Benda apakah itu
sebenarnya, Kek?"
"Kau melihatnya dengan jelas?"
"Tidak terlalu jelas."
Si Gila Tuak mengangguk-angguk sambil
menggumam. "Benda itu milik bibi gurumu. Benda itu adalah sebuah cincin. Namanya; Cincin
Manik Intan, warnanya putih berkilauan. Batu cincin itu warisan dari guru bibi burumu yang
bernama Eyang Nini Galih.
Batu Cincin Manik Intan itu konon terbentuk dari tetesan air mata Bidadari yang
sedang memendam murkanya begitu hebat, hingga hanya bisa menangis."
"Apa keistimewaan batu itu, Kek?"
"Sangat berbahaya jika dipakai oleh orang yang tidak bisa mengendalikan nafsu
amarahnya. Batu itu bisa memancarkan kekuatan dahsyat hanya dengan menyalurkan
tenaga dalam melalui cincin tersebut.
Tenaga dalam sekecil apa pun jika tersalur lewat batu itu akan berubah menjadi
tenaga dahsyat yang
mampu melelehkan baja setebal satu depa."
"Dahsyat sekali!" gumam Suto kagum.
"Ya. Tapi dulu bibi gurumu pernah menggunakan cincin tersebut. Sayangnya dia
tidak bisa mengendalikan kemarahan. Cincin itu memancarkan kekuatan dahsyatnya tanpa
terarah pada saat bibi gurumu sedang memendam kemarahan. Ke mana
pun gerakan tangan yang mengenakan cincin itu telah mengeluarkan kekuatan
dahsyat dan menghantam apa saja yang ada di depannya. Banyak korban tak bersalah menjadi
sasaran tenaga dalam yang keluar melalui cincin tersebut."
"Lalu, mengapa Bibi Guru menguburnya di dasar telaga juga?"
"Aku membujuknya agar ia tidak memakai cincin itu lagi. Karena pada saat itu,
nyawaku sendiri hampir saja menjadi korban tak bersalah. Akhirnya, bibi gurumu
mau menguburkan cincin itu asalkan aku mau menguburkan satu-satunya pusaka andal
yang kumiliki. Kami pun bersepakat, aku menguburkan Tuak Setan dan bibi gurumu
menguburkan Cincin Manik Intan. Kedua pusaka itu sangat berbahaya bagi
keselamatan orang banyak. Aku sendiri tidak berani menggunakan Tuak Setan,
karena aku khawatir
malah nantinya menjadi penyebar bencana di seluruh pulau Jawa."
Alangkah hebatnya kedua pusaka tersebut.
Dengan menenggak habis Tuak Setan, napas orang yang meminumnya dapat
mendatangkan badai yang begitu dahsyatnya hingga bisa menyapu permukaan pulau
Jawa. Tentu saja kedua pusaka tersebut
menjadi bahan incaran para tokoh dunia persilatan, terutama tokoh-tokoh dari
golongan hitam.
Dugaan Suto itu memang benar. Sebab, pada saat percakapan itu terjadi,
sebenarnya ada beberapa pasang telinga yang mencuri dengar melalui kekuatan
telinga dalamnya. Mereka ada di luar gua, bahkan ada yang jauh dari gua, namun
dengan suatu ilmu kekuatan batin mereka mampu mendengar
percakapan tersebut.
Karena pada saat selesai berbicara tentang Cincin Manik Intan, tiba-tiba si Gila
Tuak menutup mulutnya sendiri. Wajahnya berubah menjadi tegang dan
cemas. "Ada apa, Guru?" tanya Suto.
"Ada yang mencuri percakapan kita," jawabnya
dengan pelan tapi mengandung ketegasan yang
menegangkan. Lalu, Gila Tuak berkata,
"Lekas, pergilah ke Telaga Manik Intan, hancurkan kedua pusaka itu sebelum
mereka lebih dulu
menemukannyal"
"Baik, Guru. Tapi bolehkah saya tahu, mengapa bukan Kakek Guru sendiri yang
turun tangan dalam hal ini?"
"Kalau aku yang menghancurkan pusaka Tuak Setan, aku akan mati. Karena itu
warisan untukku yang tidak kusukai. Tapi jika kau yang
menghancurkan, aku tetap hidup. Artinya, tidak mati karena hancurnya Pusaka Tuak
Setan. Ditambah lagi, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, tidak akan turun
ke rimba persilatan lagi jika aku sudah mempunyai murid tunggal. Aku hanya akan
turun kembali ke dunia persilatan jika dalam keadaan yang benar-benar terpaksa,
demi menyelamatkan banyak manusia. Jadi, kurasa sekaranglah saatnya kau muncul
di permukaan rimba persilatan untuk menjadi wakilku!"
"Saya mengerti, Guru!"
"Kerjakan!"
* * * E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
5 DUA perempuan itu bersalto ke belakang secara bersama-sama. Bukan karena
benturan pukulan
mereka melainkan karena adanya pukulan berbahaya yang dilancarkan dari jarak
jauh oleh lelaki bertubuh sedikit gemuk, mengenakan baju merah dan celana hitam
dengan ikat pinggangnya yang hitam juga itu.
Seperti diceritakan sebelumnya Dewi Murka dan Selendang Kubur sedang berkelahi
mempertahankan keinginan masing-masing untuk menemui si Gila Tuak.
Tetapi ketika mereka sedang bertempur, tiba-tiba saja mereka merasakan adanya
serangan dari pihak ketiga.
"Selendang Kubur, kurasa lebih baik kita bersama-sama menghadapi lelaki tambun
itu! Dan nanti kita bersama-sama saja menghadapi si Gila Tuak!" ujar Dewi Murka
mengajak berdamai.
"Aku mengerti, Dewi. Baiklah kalau kau
menghendaki kita bersatu."
Mereka berdua memang tidak menyangka jika
kehadirannya di Jurang Lindu akan disambut oleh sikap bermusuhan dari seorang
lelaki yang dikenal dengan nama julukan: Pujangga Kramat. Pelayan setia si Gila
Tuak itu adalah orang yang mudah curiga.
Tak satu pun manusia yang berada di sekitar wilayah air terjun itu yang luput
dari sasaran kecurigaan.
Bahkan seorang penggembala kambing pun
pernah menjadi sasaran kecurigaan, sehingga
penggembala kambing itu nyaris mati di tangan Pujangga Kramat. Dan, kali ini
kehadiran Selendang Kubur serta Dewi Murka pun dianggapnya suatu niat yang
jahat, walaupun di ujung pertemuan mereka berdua sudah menjelaskan akan bertemu
dengan si Gila Tuak. Tetapi, Pujangga Kramat itu berkata,
"Tak punya bertemu waktu si Gila Tuak kalian kepada!"
Mulanya Selendang Kubur dan Dewi Murka samasama ingin tertawa geli mendengar kata-kata
Pujangga Kramat. Tetapi mereka segera maklum, karena mereka pernah mendengar
cerita dari Guru mereka, bahwa Pujangga Kramat adalah manusia
yang tidak pernah benar dalam menggunakan tata bahasa. Kadang orang bingung
mengartikan tiap ucapan kata Pujangga Kramat, yang menurutnya
mempunyai seni sastra tersendiri.
"Kami datang dengan maksud baik," kata Dewi Murka.
"Peduli tak. Izin tak ada menerima tamu untuk si Gila Tuak dari," kata Pujangga
Kramat. Selendang Kubur berbisik kepada Dewi Murka,
"Apa maksudnya?"
"Tak peduli. Tak ada izin dari si Gila Tuak untuk menerima tamu!"
"Ooo...," Selendang Kubur manggut-manggut. "Jika begitu, kita desak saja dia
dengan rayuan."
"Lelaki macam dia sepertinya tak butuh rayuan wanita."
Belum sempat kedua perempuan itu berunding
lagi, Pujangga Kramat telah berkata dengan nada membentak.
"Ini tempat kalian tinggalkan segera! Di sekitar sini orang tak lain boleh ada.
Si Gila Tuak mendidik sedang muridnya. Kuusir paksa kalian kalau segera tak
pergi!" "Kami tak akan pergi sebelum bertemu dengan si Gila Tuak!" kata Dewi Murka.
Maka, menyeranglah Pujangga Kramat dengan
pukulan tenaga dalam dari kedua tangannya.
Berjumpalitanlah kedua perempuan itu ke belakang.
Kini, kedua perempuan itu sama-sama rentangkan tangan siap hantamkan pukulan
'Kepak Sayap Sepasang Merpati Liar'. Pujangga Kramat segera ambil sikap menyamping. Kedua
kakinya merenggang rendah dengan kedua tangan diangkat setinggi
pundak. Matanya tertuju tajam pada masing-masing perempuan yang bersebelahan
itu. Tiba-tiba kedua perempuan itu sama-sama
memutar tubuh satu putaran dan kedua tangan
mereka dihentakkan ke depan dengan keras.
Wuuggh...! Wuggh...!
Duubh...! Pukulan itu ditahan oleh Pujangga Kramat dengan menggunakan tenaga dalam dari
kedua tangannya.
Tetapi, agaknya pukulan 'Kepak Sayap Sepasang Merpati Liar' itu lebih besar
kekuatannya, sehingga tubuh yang sedikit gemuk dan agak pendek itu
terjengkang ke belalang, lima langkah jauhnya.
Brrukk...! Tubuh Pujangga Kramat bagai hendak terbenam di dalam tanah. Napasnya menjadi
sesak, matanya sempat mendelik. Namun buru-buru ia mengeraskan semua uratnya dan melesat cepat
dengan menggunakan ke dua kakinya. Kini ia sudah kembali berdiri dengan wajah memerah.
"Gila. Cukup hebat juga orang ini. Dia mampu berdiri lagi dengan cepat setelah
mendapat pukulan kita berdua!" kata Dewi Murka.
Selendang Kubur hanya tersenyum sinis. Segera ia melepas kain selendangnya
seraya berkata pelan kepada Dewi Murka.
"Biar kuhadapi dengan selendangku. Dia perlu
mendapat pelajaran yang layak dari selendang ini!"
Dewi Murka tidak memberi persetujuan lewat kata, namun ia melangkah mundur
beberapa tindak,
membiarkan Selendang Kubur maju ke depan. Pada saat itu, Pujangga Kramat
berkata, "Aku salahkan jangan, jika melayang kau punya nyawa! Lagi sekali kuingatkan
kamu, dari sini cepatlah pergi!"
Selendang Kubur sempat berpaling ke arah Dewi Murka dan bertanya, "Apa
maksudnya?"
"Entahlah. Tak perlu tahu, serang saja dia!"
Selendang Kubur mengangguk tanda setuju. la
melangkah maju tiga tindak. Pujangga Kramat pun melangkah maju dengan bersiap
mengirimkan pukulannya lewat kepalan tinjunya yang besar dan kekar. Namun sebelum tangan itu
sempat bergerak melancarkan pukulan tenaga dalamnya, selendang putih berkelebat
dengan cepatnya, bagai hembusan angin di siang hari bolong. Wusss...! Srettt...!
Kain selendang menjerat lengan Pujangga Kramat.
Kuat dan erat sekait lilitan kain selendang itu.
Pujangga Kramat mengerahkan tenaganya untuk
menarik selendang tersebut, sementara Selendang Kubur pun berusaha menarik
selendangnya kuat-kuat. Keduanya saling beradu kerahkan tenaga.
Keduanya sama-sama berkuda-kuda rendah dengan tangan gemetaran.
Selendang Kubur membatin, "Besar juga kekuatan orang ini. Biasanya tangan yang
terlilit selendangku akan patah dalam satu hentakan. Tapi agaknya
tangan orang ini cukup kokoh. Aku harus lebih mengerahkan tenaga lagi!"
Maka memekiklah Selendang Kubur dengan
suaranya yang nyaring. "Hiaaat....!"
la sentakkan tenaga lebih kuat lagi, dan tubuh Pujangga Kramat pun terlempar
maju bagaikan terbang ke arah Selendang Kubur. Perempuan itu segera menyongsongnya dengan satu
lompatan bertenaga. "Heaaah...!"
Plak, plak...! "Huggh.,.!"
Dua pukulan ganda dari tangan Selendang Kubur tepat telak di dada Pujangga
Kramat. Lelaki yang mengenakan baju komprang tanpa dikancingkan
bagian depannya itu tersentak mundur akibat
pukulan telapak tangan Selendang Kubur. la jatuh berdebam ke tanah dan
berguling-guling, seperti nangka busuk jatuh dari pohon.
Bluuugh...! Lelaki berikat kepala kulit rusa itu menyeringai kesakitan. Namun seringainya
hanya sebentar,
karena ia telah menarik napas dalam-dalam
menahannya beberapa saat. Rasa nyeri segera
teratasi. Tetapi ia terkesiap ketika melihat di dadanya membekas dua telapak
tangan merah memar, la
segera membatin.
"Hebat juga jurus perempuan itu! Kalau aku tidak mengerahkan tenaga perisaiku,
pasti dada ini sudah jebol sampai ke belakang."
Selendang Kubur sendiri berkata kepada Dewi
Murka saat berdiri di sampingnya.
"Dia punya pelapis di dalam dadanya. Pasti dia melapisi dengan suatu gelombang
berkekuatan baja.
Mestinya dia punya dada sudah hangus dan terbakar, tapi nyatanya hanya membekas
merah saja!"
"Apakah kau sudah menyerah?" tanya Dewi Murka berkesan mengejek. "Kalau kau
sudah kewalahan
menghadapi dia, biarlah aku yang maju!"
"Selendang Kubur tak pernah mengenal kata menyerah!" geram Selendang Kubur yang
mempunyai nama asli Larasati.
"Kalau begitu, silakan kau lanjutkan
pertarunganmu. Aku akan menjadi penonton yang baik."
Dewi Murka tersenyum sinis, meremehkan
kemampuan Selendang Kubur. Tetapi sikapnya itu tidak dihiraukan oleh Selendang
Kubur. Perempuan itu segera bergerak maju dengan selendang putih dikalungkan di
lehernya. "Pujangga Kramat, satu kali lagi kau menentang kemauanku bertemu dengan si Gila
Tuak, kupatahkan batang lehermu memakai selendang
kuburku ini!"
Pujangga Kramat tertawa sedikit keras. la bertolak pinggang, seakan memamerkan
dadanya yang tidak bisa dijebol oleh kekuatan pukulan lawannya. Lalu, Pujangga
Kramat pun berkata,
"Hebatnya apa selendang itumu"! Tak hebat adanya sama sekali!"
"Apakah kau tak melihat bekas telapak tanganku di dadamu?"
"Tak lihat kau pula bekas di tangan
pergelanganmu?"
Selendang Kubur sedikit bingung mengartikan
kata-kata itu, lalu ia berpaling kepada Dewi Murka dan bertanya, "Apa arti katakatanya?" "Lihat pergelangan tanganmu!" kata Dewi Murka.
Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh..."!" Selendang Kubur terpekik dalam hatinya, la melihat noda hitam
menghangus di pergelangan tangan kirinya. Ternyata pada waktu terjadi bentrokan
di udara tadi, Pujangga Kramat berhasil menotokkan
jarinya ke pergelangan tangan Selendang Kubur.
Tetapi totokan itu tidak mengenai jalan darah, sehingga tidak mengakibatkan apaapa kecuali bekas hangus, biru kehitam-hitaman pada kulit yang kuning langsat
itu. "Keparat!" geram hati Selendang Kubur. "Hampir saja jalan darahku terkena
totokannya. Jelas totokan itu bertenaga dalam cukup besar, sampai membuat bekas
seperti ini di kulit pergelangan tanganku.
Rupanya ia punya gerakan jari yang cukup cepat dan membahayakan jika tidak
diperhatikan!"
"He, he, he... diam mengapa, Selendang Kubur"
Anggap jangan enteng diriku. Bisa aku membuat jebol kepalamu, kau inginkan saja
kapan. Jadi, pergilah sebaiknya sekarang kau juga, sebelum kujebol pusar dan
lainnya pusarmu."
Geram hati Selendang Kubur bertambah
mengganas. Maka, ia pun segera menarik
selendangnya ke belakang dan melecutkannya
dengan kaki menghentak ke tanah satu kali.
Wusss...! Dueaarr...! Ujung selendang memercikkan api. Suara
menggelegar tersentak keluar dari kibasan angin selendang. Tubuh lelaki
bergelang akar bahar
terpental terbang, dan jatuh hampir mencapai tepian tebing sungai. Pukulan yang
bernama 'Selendang Petir' itu telah dilancarkan. Pujangga Kramat tidak menduga
akan mendapat serangan sehebat itu.
Sekujur tubuhnya bagai dihantam angin topan
berkekuatan besar.
Untung saja sikunya menghantam gugusan batu di tepi tebing sungai. Jika tidak,
ia pasti telah terjun ke tebing sungai itu. Napasnya sendiri terasa bagaikan
hilang dalam beberapa jurus. Ketika ia temukan lagi napasnya, ia terengah-engah
dengan mata berkunang-kunang. Sejenak ia kibas-kibaskan
kepalanya untuk membuang kunang-kunang dalam
penglihatannya itu.
"Samber gledek!" makinya dalam hati. "Untung ujung selendang itu tidak mengenai
kepalaku. Kalau saja tepat mengenai kepalaku, pasti kepalaku hancur disambar
ekor petir yang keluar dari ujung selendang keparat itu! Uuff...! Pusing juga
kepalaku jadinya! Aku harus memberi balasan kepadanya. Biar tahu
perempuan itu bagaimana rasanya orang disambar angin petir."
Pujangga Kramat segera bangkit, tidak
menampakkan kepusingannya. Namun ketika ia maju satu langkah, tubuhnya terasa
gontai. Agar tak kentara gontainya, ia berhenti dan tetap berdiri dengan kaki
tegak menghadap Selendang Kubur.
Sementara itu, Selendang Kubur pun mempunyai
kecamuk batin. "Orang ini manusia apa banteng"! Mestinya ia terluka dalam dan tak sadarkan
diri. Setidaknya rambutnya terbakar atau pakaiannya terbakar oleh percikan api
dari pukulan 'Selendang Petir'-ku tadi.
Tapi, kenyataannya ia dalam keadaan utuh! Berarti ia cukup mampu melapisi
dirinya dengan kekuatan
tenaga dalamnya yang cukup tinggi juga rupanya."
Dari arah belakang terdengar Dewi Murka berkata merendahkan ilmu yang digunakan
Selendang Kubur.
"Kau ini mau bertarung apa menari" Sejak tadi tak ada hasilnya sama sekali.
Buang-buang waktu saja!"
"Diamlah kau!" sentak Selendang Kubur, tanpa memandangi Dewi Murka.
"Minggirlah. Biar aku yang maju! Kau belajar dari
jurus-jurusku dalam merubuhkan lawan seperti dia!"
Selendang Kubur tidak mau mundur, la tidak
mempedulikan kata-kata Dewi Murka. la bahkan maju dua langkah dengan memutarmutarkan kain selendangnya di atas kepala.
Pujangga Kramat meletakkan kedua tangannya
kebelakang kepala. Dari sana kedua tangannya
mengeras, dan hanya dua jari di masing-masing tangannya yang mengembang lurus,
lalu kedua tangan itu segera berkelebat ke depan dalam satu sentakan kedua jari dari
masing-masing tangannya.
Wuugh...! Sebuah tenaga begitu besar melesat keluar dari keempat jari yang tertuding kaku
itu. Tenaga besar itu tidak menghantam, melainkan mendorong tubuh
Selendang Kubur. Tubuh tersebut pada mulanya
terdorong mundur mendekati Dewi Murka. Setelah itu, tubuh tersebut berputar di
atas tumitnya. Putarannya semakin kencang. Tubuh itu terangkat sedikit dari tanah. Bahkan tubuh
Dewi Murka pun ikut terangkat dan berputar dengan kuat. Wusss...
wuuss... wuusss...!
Kedua perempuan itu tidak bisa mengendalikan
diri. Mereka berdua sama-sama berusaha melawan kekuatan yang memutarkan tubuh.
Namun semakin dilawan terasa semakin cepat saja putaran tersebut.
Mereka bagai hanyut di dalam pusaran angin lesus yang cukup besar.
"Jangan dilawan! Pecah peredaran darahmu jika dilawan!" seru Selendang Kubur
kepada Dewi Murka yang tampak mau melawannya dengan kekuatan
tenaga dalamnya. Namun begitu mendengar katakata Selendang Kubur, hatinya membenarkan kata-kata itu. Maka ia tak jadi
melawan kekuatan dahsyat
yang telah membuatnya seperti baling-baling. Bahkan kini mereka bergerak
terlempar bersama-sama ketika tangan Pujangga Kramat menghentak ke samping,
bagai melemparkan sebuah benda dari jarak jauh.
Buuk... buukkk...! Kedua tubuh perempuan itu
berjatuhan saling tindih. Dewi Murka terkulai tak mampu bergerak untuk sesaat.
la ditertawakan oleh Pujangga Kramat. Dan tawa itu tiba-tiba berhenti melihat
Selendang Kubur telah berdiri tegak dalam sekejap.
"Edan! Perempuan itu tidak merasakan pusing sedikit pun"! Dia masih bisa
berjalan dengan lurus!"
Pujangga Kramat terkesiap melihat Selendang
Kubur tidak terbujur lemas seperti Dewi Murka.
Bahkan kini Selendang Kubur menyabetkan kain
selendangnya ke bagian kaki. Wuusss...! Sreett...!
Terperangkap sudah kedua kaki Pujangga Kramat, bagai terikat kuat dengan
selendang putih itu.
Brukkk...! Tubuh Pujangga Kramat jatuh karena selendang disentakkan oleh
pemiliknya. Lelaki bergeleng akar hitam itu sempat menggeragap
sebentar. Tubuhnya terasa mulai terseret tanpa mendapat pegangan apa pun. Lalu,
ia juga merasakan tubuhnya mulai melayang.
Selendang Kubur telah berhasil menarik tubuh itu dan kini sedang melayangkan
tubuh tersebut dengan cara memutarkan selendangnya. Tubuh pria berusia antara
empat puluh tahunan itu dipakai mainan, diputar-putar di udara dengan ringannya.
Semakin lama semakin cepat putarannya. Membentur pohon sedikit, pecah kepala
Pujangga Kramat itu.
Seandainya ikatan pada kakinya terlepas dari
selendang, maka tubuh itu akan meluncur cepat, terbuang entah ke mana dan jika
membentur benda
keras, sedikitnya akan ada tulang yang patah.
Bayangan itu yang membuat Pujangga Kramat
menjadi panik. la memekik dengan suara mirip gaung sejuta kumbang.
"Waooow...!"
Saat itu Dewi Murka mulai sadar dari rasa pusing yang memabukkan. la mulai bisa
melihat dengan jelas apa yang dilakukan Selendang Kubur. Maka dengan cepat ia
menghunus trisulanya. Gerakan tubuh Pujangga Kramat akan disongsong dengan
pucuk trisula. Jelas gerakan putar itu akan berhenti dan tubuh Pujangga Kramat
akan tertusuk ujung trisula.
Tetapi, ketika trisula itu dihunus dan hendak dihadangkan ke garis putaran tubuh
Pujangga Kramat, tiba-tiba ada angin baru yang berkelebat membuat trisula itu lenyap dari
tangan Gewi Murka.
Perempuan itu sempat terbengong melompong
melihat tangannya kosong.
Mata Dewi Murka kian terbelalak ketika melihat sesuatu yang berkelebat cepat
sekali itu telah membuat tubuh Pujangga Kramat lenyap. Tinggal selendang tanpa
bandul apa pun yang dibawa
berputar-putar oleh perempuan yang berjuluk
Selendang Kubur itu. Dewi Murka menahan tawa
keheranan melihat Selendang Kubur berputar-putar bersama selendangnya yang sudah
tanpa tubuh Pujangga Kramat itu.
"Selendang Kubur! Berhentilah! Mangsamu telah lenyap!" seru Dewi Murka. Dan
seruan itu didengar oleh Selendang Kubur.
"Hah..."!" Selendang Kubur terkejut melihat ujung selendangnya telah kosong.
Matanya terbelalak memandang sekeliling, kemudian sepasang matanya
itu menangkap sesosok tubuh yang berdiri dalam jarak antara tujuh langkah dari
tempatnya. Sosok yang ditangkap matanya itu berpakaian coklat tua dengan celana
putih. Rambutnya panjang sebatas punggung, lurus rapi, lembut gemulai.
Bersamaan dengan itu, mata Dewi Murka pun
menangkap kehadiran seorang pemuda berpakaian coklat dengan sebuah bumbung dari
bambu yang ada di bagian punggungnya, melintang miring bagaikan sebilah pedang
pusaka kebanggaan para pendekar.
Kedua perempuan itu memandang dengan mata
tak berkedip. Apalagi ketika pemuda itu sunggingkan senyum di bibirnya, hati
kedua perempuan tersebut menjadi berdesir, berdebar-debar penuh bunga-bunga
indah bermekaran membuai jiwa.
Dewi Murka berbisik kepada Selendang Kubur,
"Tak salah lagi, pasti dialah murid si Gila Tuak yang disebut-sebut Murbawati
dengan nama Suto Sinting itu!"
"Ya. Memang benar. Pasti dia. Ketampanannya sesuai dengan pujian yang selalu
meluncur dari mulut Murbawati," balas Selendang Kubur berbisik lirih sekali.
"Paman Sugiri," kata Suto kepada Pujangga Kramat, "Sebaiknya Paman kembali ke
tempat dan biarlah urusan ini saya yang selesaikan."
"Baiklah, Suto," jawab Pujangga Kramat dengan suara gemetar. la pun melangkah,
sambil sesekali berusaha menjaga keseimbangan tubuh yang mau
rubuh. Gerakannya itu menimbulkan perasaan geli di hati Suto, juga di hati kedua
perempuan itu. "Pasti dia pusing akibat kau putar-putarkan!" bisik Dewi Murka, tapi hanya
dijawab dengan gumaman pendek oleh Selendang Kubur, karena perhatian
Selendang Kubur telah kembali tertuju pada pemuda tampan itu.
Senyum Suto semakin mekar ketika ia sadar
dipandangi penuh kagum oleh kedua perempuan
berwajah cantik-cantik itu. Bahkan sekarang ia melangkah mendekati mereka dan
berhenti dalam jarak tiga langkah di depan mereka.
"Kaukah yang tadi mau membunuh Paman Sugiri, alias Pujangga Kramat itu?" katanya
kepada Dewi Murka.
"Hmmm... maksudku... maksudku...."
Belum selesai Dewi Murka bicara, tiba-tiba Suto yang masih menggenggam trisula
itu bergerak cepat menerjang tubuh Dewi Murka. Perempuan itu sempat terpelanting
nyaris jatuh ketika tangan kirinya berusaha menangkis pukulan tangan kiri Suto.
Sreppp...! Jliiggg...! Suto telah berdiri tegak membelakangi kedua
perempuan itu. Kepalanya berpaling menoleh ke belakang, senyumnya kembali mekar
indah mengguncang hati kedua perempuan yang nyaris tak sempat berkedip melihat gerakan
Suto yang begitu cepat. Bahkan Dewi Murka terbelalak kaget melihat trisulanya
sudah terselip di pinggangnya dengan rapi, persis pada tempat semula.
"Edan gerakannya! Melebihi angin menurutku.
Sampai tak terasa ia telah mengembalikan trisulaku pada tempatnya. Luar biasa!"
gumam hati Dewi Murka sambil mundur mendekati Selendang Kubur.
Suto berbalik arah. Kini ia berhadapan dengan kedua perempuan itu. Matanya yang
memancar indah dengan sedikit sayu akibat pengaruh tuak yang diminumnya di dalam
gua, telah membuat daya pikat
tersendiri di hati kedua perempuan itu.
"Siapa kalian berdua, dan ada urusan apa dengan Paman Sugiri sehingga kalian
saling bertempur melawannya?" tanya Suto sambil meraih bumbung tuaknya untuk
dilepas dari punggung.
"Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit,"
jawab Selendang Kubur. "Kami... kami... kami..,,"
ucapannya tak mampu dilanjutkan karena sepasang mata Suto menatap dengan
kelembutan yang
meneduhkan hati. Namun agaknya Selendang Kubur merasa malu jika tak bisa
melanjutkan ucapannya karena tatapan mata Suto, maka ia segera
mengalihkan pandangannya ke arah lain dan berkata lagi.
"Kami ingin bertemu dengan si Gila Tuak, untuk menyampaikan permohonan maaf dari
guru kami, Nyai Guru Betari Ayu, atas salah sangka tempo hari, yang membuat teman kami
menderita sakit akibat pukulan tenaga dalam dari Pujangga Kramat."
"Apakah temanmu itu juga seorang perempuan muda berkuda hitam?"
"Benar!" jawab Selendang Kubur.
"O, dia yang mencuri dengar percakapanku dengan guruku itu?"
"Buk... bukan... buk... bukan...,'' Dewi Murka ingin ikut bicara tapi menjadi
gagap karena hatinya berdebar-debar menikmati ketampanan seraut wajah lelaki
yang belum pernah ia jumpai di mana pun juga.
Jantungnya gemetar, sehingga ia tak bisa
melontarkan kata-kata dengan baik.
Tetapi, Selendang Kubur yang sengaja tak
memperhatikan Suto segera menjelaskan maksud
temannya, "Temanku itu bukan menyadap percakapanmu
dengan si Gila Tuak. Hanya secara kebetulan saja ia mendengar Pusaka Tuak Setan
sedang kalian bicarakan. Tapi sebenarnya temanku itu hanya...
hanya merasa tertarik padamu dan ingin melihat lebih jelas ketampananmu."
Suto selesai meneguk tuak, lalu tertawa terkekeh mirip orang tua, sambil
berkata, "Jadi dia hanya ingin mengintip ketampananku"
Apa benar begitu" Apa benar pula saat ini kalian juga ingin mengintip
ketampananku" Apakah kalian tidak bermaksud mencuri dengar pembicaraanku dengan
Guru?" "Tidak," jawab Selendang Kubur. "Kalau toh kami mendengar tentang Telaga Manik
Intan, itu suatu hal yang kebetulan saja. Tapi tujuan utama kami datang ke sini
untuk meluruskan salah duga antara pihak perguruanku dengan pihak si Gila Tuak."
Mata jeli Suto Sinting itu melirik ke pepohonan sebelah kanannya. Ada sesuatu
yang ia curigai di sana. Tetapi sesuatu itu telah pergi dengan melesat cepat tak
bisa ditangkap penglihatan bentuk dan wujudnya. Suto membiarkan hal itu berlalu,
karena ia merasa masih perlu bicara dengan kedua perempuan tersebut.
"Siapa namamu?" tanyanya kepada Selendang Kubur. Yang ditanya menatap, dan bola
matanya segera blingsatan karena hatinya makin berdebar pada saat beradu
pandang. la tak berani terlalu lama beradu pandang dengan Suto, karena ia tak
akan bisa bicara jika dalam keadaan beradu pandang.
"Namaku Selendang Kubur," jawab Selendang Kubur dengan mata menatap ke arah Dewi
Murka. Sambungnya lagi, "Dan ini saudara seperguruanku yang bergelar Dewi Murka."
"Bagus sekali. Nama kalian tak ada hubungannya dengan rupa ayu kalian. Tapi aku
tidak peduli. Yang perlu kujelaskan, aku mewakili pribadi guruku, si Gila Tuak,
telah menerima penjelasan dari pihak Merpati Wingit. Aku menyatakan tidak ada
urusan apa-apa lagi di antara kita."
"Kami memohon maaf jika sikap teman kami ini tidak berkenan di hati pihakmu,"
kata Selendang Kubur dengan mata sengaja memandang ke arah
Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gugusan batu di tanah lereng.
"Permintaan maaf kuterima," jawab Suto. "Tapi sikapmu bicara padaku masih kurang
sopan." "Harus bagaimana aku bicara padamu?"
"Pandanglah orang yang kau ajak bicara. Itu sikap yang sopan."
"Aku belum sanggup."
"Tapi temanmu yang bernama Dewi Murka ini, sejak tadi sanggup menatapku."
"Tapi ia tidak sanggup bicara apa-apa padamu."
Suto tertawa panjang. Tuaknya kembali ditenggak sedikit. Setelah itu ia berkata
lagi kepada Selendang Kubur.
"Persoalan sudah selesai. Kalian boleh pulang."
"Tid... tidak... tidakkah... kam... kami...," Dewi Murka tak pernah mampu
menyelesaikan kata-katanya, membuat Suto semakin tertawa geli.
"Apa maksudmu?"
"Kam... kam... kam...."
'Kambing?" sahut Suto menerka.
Dewi Murka menggeleng. Wajahnya makin pucat.
Napasnya tampak tidak teratur lagi. Badannya tidak bergerak, matanya masih
menatap Suto tak berkedip sejak tadi.
"Ak... ak... aku... aku...."
"Sudahlah, jangan bicara," potong Suto. "Napasku bisa putus mendengar bicaramu!
Sekarang, sebaiknya kalian lekas pergi dari sini, karena aku pun akan segera pergi."'
Selendang Kubur menatap sebentar, lalu
memalingkan pandangan ke arah lain, sambil
melontarkan pertanyaan.
"Ke mana kau akan pergi" Ke Telaga Manik Intan?"
"Kau tak perlu tahu."
"Ak... aku...," Dewi Murka mencoba bicara lagi.
"Ak... aku... aku dal... dal... dalam... ke... keadaan...
bah... bah...." . El
"Bahagia?" sahut Suto.
"Bah... bah... bahaya...."
Serentak wajah Selendang Kubur berpaling
menatap Dewi Murka. "Apa maksudmu, Dewi?"
Wajah Dewi Murka makin pucat walau mata tetap memandang Suto. la berkata gagap
lagi, "Tol...
tolong... ak... aku.... Di punggung...."
Suto berkerut dahi melihat perubahan wajah kian memucat. la segera membalikkan
tubuh Dewi Murka.
Ternyata punggung perempuan itu telah berdarah karena ditembus oleh sepucuk
jarum besi sepanjang kelingkingnya.
"Dewi..."!" sentak Selendang Kubur dengan sangat terkejut.
Dewi Murka rubuh ke dada Suto. Wajahnya kian
memucat. la telah menjadi salah sasaran dari
seseorang yang ingin menyerang Suto dengan
menggunakan jarum beracun.
* * * 6 PADA saat Suto menenggak tuak dengan
mendonggakkan kepalanya, pada saat itulah
seseorang di balik persembunyiannya melepaskan jarum beracun ke arah Suto.
Tetapi, bertepatan dengan itu pula tubuh Dewi Murka bergeser tanpa sadar menutup
jalannya jarum beracun, sehingga yang menjadi sasaran adalah punggungnya.
Rupanya perkataan Dewi Murka yang terputusputus itu bukan lantaran gugup melihat ketampanan Suto, melainkan karena
tertahan oleh racun dari jarum di punggungnya. Jarum itu yang membuat
napas Dewi Murka menjadi terputus-putus.
Sebenarnya sejak tadi ia sudah hampir rubuh, namun ia mencoba bertahan
mengeluarkan jarum itu melalui kekuatan tenaga dalamnya secara diam-diam.
Tetapi, usaha itu tidak berhasil.
"Ini perbuatan orang berilmu tinggi," kata Suto kepada Selendang Kubur. "Gerakan
jarumnya sampai tak sempat terdengar oleh telingaku. Entah kalau aku memakai
telinga guruku, mungkin mendengarnya."
"Tubuhnya semakin membiru. Tak bisakah kau berbuat sesuatu untuk menolong jiwa
temanku ini?"
"Biar saja begitu. Nasibnya sesuai dengan namanya. Sekarang jiwanya benar-benar
nungging."
"Begitukah ajaran si Gila Tuak" Tidak bisakah si Gila Tuak mendidik muridnya
untuk menjadi orang yang bijak dan suka menolong?"
"Coba kutanyakan pada guruku dulu, apakah dia mendidikku untuk menjadi orang
yang bijak atau orang yang pelit."
Suto mau melangkah, tetapi dengan cepat
Selendang Kubur berani menahan tangan Suto
sambil berkata,
"Tak perlu kau tanyakanl Aku akan segera pergi membawa temanku ini pulang ke
perguruan."
"Itu langkah yang bagus!" kata Suto, lalu kembali penenggak tuak dari bumbung
bambunya. "Manusia yang tak berperasaan adalah kamu, Suto!" geram Selendang Kubur dengan
mata memandang menyipit, memancarkan benci.
"Mengapa kau berkata begitu, Selendang Kubur?"
"Karena aku tahu kau bisa memberi pertolongan pada diri temanku, tapi kau tidak
mau melakukannya."
"Apakah kau percaya betul bahwa aku sanggup menolongnya?"
"Aku percaya!" sentak Selendang Kubur.
Suto terkekeh, mulai mabuk walau belum banyak.
"Kalau kau percaya, baiklah! Aku akan menolong menyembuhkannya."
Selendang Kubur menghempaskan napas, sedikit
merasa lega. Tapi kecemasan masih ada di hatinya, karena ia melihat wajah Dewi
Murka semakin membiru, parahnya benar-benar beku.
"Baringkan tubuhnya," kata Suto kepada Selendang Kubur.
"Bagaimana dengan jarum di punggungnya?"
"O, iya! Jarum itu harus dicabut dulu!"
Dengan satu kali sentak, jarum itu pun dicabut oleh tangan Suto. Cuuur...! Darah
hitam muncrat dari lubang bekas jarum. Suto menarik wajahnya supaya tidak
terkena semburan darah hitam. Setelah darah itu tidak memancar lagi dari lubang
luka, Suto segera meneguk tuaknya lagi. Kali ini tidak semua tuak ditelannya.
Sebagian disimpan di mulut. Kemudian, tuak di mulut itu disemburkan satu kali ke
punggung Dewi Murka. Bruusss...! Air tuak ada yang memercik ke wajah Selendang Kubur,
membuat perempuan itu menyentak berani.
"Kau mau mengobati temanku atau mau meludahi aku, hah"!"
Suto hanya tertawa sambil berkata, "Maaf, aku tidak sengaja, Kalau aku sengaja
meludahimu, wajahmu pasti hangus saat ini juga."
Tangan Selendang Kubur mengibas-ngibas wajah, mengusap air tuak yang melekat di
pipi dan rahangnya. la bersungut-sungut dongkol.
"Sudah, bawalah pulang dengan segera!" kata Suto.
"Pengobatan macam apa ini"! Baru disembur satu kali sudah disuruh membawanya
pulang!" "Kau percaya atau tidak kalau dia akan sembuh?"
"Yah, percaya!" jawab Selendang Kubur dengan bimbang.
"Kalau kau percaya, dia akan sembuh. Kalau kau tidak percaya, dia tetap akan
sembuh juga!"
Mata Selendang Kubur menatap Suto. Kali ini
debaran indah di hatinya tidak terlalu membuatnya gugup, sehingga ia berani
menatap agak lama.
Mungkin ia mulai terbiasa menerima debaran indah dari sorot pandangan mata itu,
sehingga ia pun dapat berkata dengan lancar, tidak segeragap tadi. "Apa maksud
kata-katamu sebenarnya?"
"Tidak ada maksud apa-apa," kata Suto sambil nyengir, matanya kian sayu, bagai
semakin memberat karena terlalu banyak tuak.
Tetapi Selendang Kubur segera terperanjat kaget melihat Dewi Murka mulai
menggerakkan tangannya, warna biru di wajahnya berkurang menjadi tipis. Hal itu
membuat mata Selendang Kubur tak mau
berkedip memperhatikan temannya. Semakin lama ia semakin tahu dengan jelas bahwa
racun dari jarum itu telah hilang. Karena wajah Dewi Murka pun sudah berkurang
dari pucatnya. Perempuan itu mulai
mengeluarkan keluhan kecil yang pelan sekali.
Dalam hati Selendang Kubur membatin, "Luar biasa caranya mengobati luka beracun.
Hanya dengan disembur memakai tuak dalam mulutnya,
racun itu cepat hilang. Dan, oh... ternyata bekas luka jarum pun cepat kering.
Jelas ini ilmu pengobatan yang cukup aneh dan cukup tinggi. Jarang dimiliki oleh
pendekar lain."
Wajah Dewi Murka menjadi semakin segar.
Bahkan kedua matanya mulai terbuka. Selendang Kubur sedikit lega melihat
temannya semakin
membaik. la segera berkata sambil berpaling ke arah Suto yang ada di
belakangnya. "Dia benar-benar telah...."
Selendang Kubur terperanjat. Suto sudah tidak ada di belakangnya. Suto telah
pergi tanpa meninggalkan suara apa pun. Selendang Kubur sama sekali tidak merasakan
kepergian Suto sebelum ia memandang ke arah belakangnya yang ternyata telah
kosong. Ada rasa kecewa tersembunyi di hati Selendang Kubur. Ada rasa tak yakin bahwa
dirinya telah ditinggal pergi oleh Suto Sinting itu. Maka, ia segera bangkit
dengan membaringkan kepala Dewi Murka di tanah. la segera memeriksa sekeliling.
Ternyata memang tak ada lagi Suto di sekitar tempat itu.
"Manusia itu mirip sekali dengan siluman! Pergi tanpa suara dan rupa, muncul
juga begitu! Ke mana perginya" Mungkinkah dia langsung menuju ke
Telaga Manik Intan?" pikir Selendang Kubur sambil
masih tetap mengawasi sekeliling. "Haruskah aku menyusulnya ke Telaga Manik
Intan" Atau kubawa pulang Dewi Murka kepada Nyai Guru?"
"Selendang Kubur," sapa Dewi Murka yang saat itu sudah berdiri dengan tegak,
seperti tidak pernah menderita luka berbahaya sedikit pun. Selendang Kubur
terkesiap melihat Dewi Murka dapat berdiri tegak.
"Apa yang telah terjadi pada diriku" Mengapa aku terbaring di tanah" Mengapa
punggungku terasa basah?"
Selendang Kubur makin berkerut dahi. la bertanya,
"Apakah kau tidak menyadari sesuatu yang telah menimpamu?"
"Aku merasa sedang tidur karena lelah. Tapi begitu aku bangun, ternyata aku
tidur di sini. Apa maksudmu membawaku kemari, hah?"
"Jangan salah sangka padaku, Dewi. Kau tadi terluka."
"Terluka" Omong kosong! Tidak ada orang yang bisa melukaiku!"
"Kau tadi disembuhkan oleh Suto."
"Suto..."! Siapa itu Suto?" Dewi Murka menampakkan keheranannya. Setelah hening
sejurus, Selendang Kubur berkata,
"Apakah kau tak ingat seorang pemuda tampan yang menjadi murid si Gila Tuak?"
"Ah, jangan dulu tergesa-gesa memuji
ketampannya sebelum kau melihat sendiri rupa
orangnya. Kau terpengaruh oleh kata-kata dari Murbawati!"
Selendang Kubur membatin, "Rupanya ada bagian ingatan Dewi Murka yang terhapus
karena penyembuhan Suto tadi. Hmmm... agaknya ia benarbenar tak ingat dengan pertemuannya bersama Suto.
Aneh sekali. Mengapa ia jadi begitu?"
Dengan sedikit menahan kesabarannya,
Selendang Kubur berkata, "Kau tadi benar-benar telah bertemu dengan si tampan
Suto itu! Kita berdua telah melihat ketampanannya yang menggiurkan
hati!" "Ah, omong kosong! Aku merasa tidak bertemu siapa-siapa kecuali Pujangga
Kramat." "Kita telah bertemu dengannya!" Selendang Kubur berusaha meyakinkan Dewi Murka,
tetapi perempuan itu tetap bersikeras mengatakan belum pernah
bertemu dengan Suto Sinting. Akhirnya Selendang Kubur berkata.
"Kalau begitu, ada baiknya jika kita susul dia ke Telaga Manik Intan. Dia ada di
sana dan kau mungkin bisa menemukan ingatanmu kembali tentang
ketampanan Suto."
"Tidak. Aku akan menemui si Gila Tuak untuk menyelesaikan urusan antara
perguruan kita dengan si Gila Tuak."
"Itu sudah kita lakukan saat kita bertemu Suto.
Sudah tidak ada persoalan lagi antara kita dengan pihak si Gila Tuak!"
"Aku tidak percaya! Kurasa itu hanya tipu dayamu untuk menutupi perasaan takutmu
bertemu Pujangga Kramat, seperti tadi."
Menjengkelkan sekali pendirian Dewi Murka.
Selendang Kubur menyadari, jika hal itu diteruskan maka perselisihan antara
dirinya dengan Dewi Murka akan terjadi lagi. Karena itu, Selendang Kubur tak mau
banyak bicara. la hanya berkata,
"Kalau kau tetap berkeras hati untuk menemui si Gila Tuak, temuilah sendiri! Aku
akan pergi ke Telaga
Manik Intan untuk menjaga kemungkinan Suto
dicelakai orang di sana! Kita berpisah di sini, Dewi...!"
Kalau saja Suto masih ada, maka Suto bisa
menjelaskan bahwa ketika ia menyemburkan tuak dari mulutnya ke luka di punggung
Dewi Murka, ada kekuatan yang menyertainya merasuk dalam jiwa Dewi Murka.
Kekuatan itu telah menghapus ingatan Dewi
Murka bertemu dengan Suto. Itu adalah salah satu akibat dari penyembuhan
menggunakan cara sembur.
Cepat sembuh, cepat kering, dan cepat pula hilang ingatannya tentang Suto.
Sayang sekali Suto sudah berkelebat pergi dengan kecepatan lari yang cukup
tinggi. la bukan semata-mata menuju Telaga Manik Intan, namun karena ingin
mengejar sesosok bayangan yang berkelebat di balik kerimbunan pohon. Suto yakin,
sosok yang berkelebat itu adalah orang yang mengirimkan jarum beracun itu.
Suto ingin tahu, apa alasan orang itu ingin
mencelakainya dengan jarum beracun.
Tetapi gerakan orang itu cukup gesit dan begitu cepatnya, sehingga Suto
kehilangan jejak. Akhirnya mau tak mau ia terbawa sampai di sebelah barat
pegunungan Suralaya. Rasa-rasanya orang yang
kemarin siang berkelebat dari Lembah Lindu itu juga lari menuju ke sebelah barat
pegunungan Suralaya itu.
"Apakah orang itu bermaksud membunuhku agar mudah memperoleh Pusaka Tuak Setan"!
Jika itu menjadi tujuannya, berarti orang itu telah menyadap percakapanku dengan
Guru, dan mungkin ia sudah cukup lama menunggu kabar tentang Pusaka Tuak Setan.
la pasti sudah sangat lama mengincar pusaka tersebut," pikir Suto.
Mendadak langkah Suto terhenti karena ia
mendengar suara pekik pertarungan. Arahnya ada di sebelah kiri. Suto segera
mengikuti arah suara pekik pertarungan itu.
Ketika ia berhasil menemukan daerah tempat
suara pekik pertarungan itu terdengar lantang, Suto jadi sedikit terperanjat.
Karena kedua orang yang sedang adu kesaktiannya itu berada di tepi sebuah danau
berair bening bagian atasnya, dan berair keruh di pertengahannya. Danau itulah
sebenarnya Telaga Manik Intan.
* * * 7 SEKALIPUN tubuhnya kurus kering, namun ketika sebuah pukulan menghantam
punggungnya dengan
keras, orang itu hanya tersentak sedikit. la masih tegak berdiri tanpa
mengeluarkan suara mengaduh sedikit pun. Hanya saja, beberapa saat kemudian ia
membuka mulutnya, dan mulut itu mengeluarkan
asap. Sepertinya ia sengaja menyentakkan asap supaya keluar dari dalam tubuhnya.
Dan asap itu adalah asap yang timbul akibat pukulan di
punggungnya tadi.
Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu lawannya yang tadi berhasil
memukul punggung dengan pukulan yang
mengandung tenaga dalam cukup besar, segera
mundur setindak dan berdiri dengan tegar. Matanya yang memang kecil terkesan
sipit itu menatap orang bertubuh kurus kering dengan tajam. Wajah dingin, tanpa
keramahan sedikit pun. Orang ini mempunyai tubuh sedikit lebih gemuk dari
lawannya. la mengenakan baju berlengan panjang kombor warna
hitam dengan bagian tepinya dililit kain kuning emas.
Pendekar Mata Keranjang 12 Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan Pedang Golok Yang Menggetarkan 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama