Ceritasilat Novel Online

Pusaka Tuak Setan 3

Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan Bagian 3


Celananya juga hitam dan punya lilitan kain emas. Di pinggangnya terselip sebuah
pedang dengan sarung pedang warna perak. Sementara di bagian kepalanya ada kain
pengikat berwarna merah tua, membuat penampilannya kelihatan lebih ganas lagi.
Orang ini mempunyai kumis sedikit tebal dan cambang tipis yang menambah angker
wajahnya, yang berusia
antara empat puluh lima tahun.
Sedangkan orang kurus kering itu bermata cekung, berjenggot abu-abu dan rambut
acak-acakan tanpa ikat kepala. Pakaiannya serba biru dengan baju potongan jubah
yang tidak pernah dikancingkan bagian depannya. Dadanya terlihat tipis
bertonjolan tulang iga. Orang ini dalam keadaan basah kuyup, sepertinya habis
terendam air dalam telaga tersebut.
"Siapa mereka itu"! Ada persoalan apa sehingga mereka bertarung di tepi telaga"
Hmmm... sebaiknya aku tak perlu ikut campur urusan mereka. Lebih baik aku duduk
di balik semak ini sambi! menonton
pertarungan mereka," kata Suto dalam hatinya, la segera menggeser bumbung tuak
dari punggung, lalu menengadahkan kepala dan menenggak tuak sedikit.
Terdengar orang berpakaian serba hitam itu
berkata kepada lawannya, yang masih tegar berdiri dengan kedua tangan berkuku
panjang siap menyambut serangan.
"Satu gebrakan lagi kau akan rubuh dan nyawamu minggat! Kuperingatkan padamu,
menyerahlah! Selagi hatiku baik padamu, cepat serahkan benda itu dan selamatkan nyawamu dari
amukanku!"
Kata-kata itu ditertawakan oleh orang kurus
berpakaian serba biru. Rambutnya yang meriap di mata kanan dibiarkan saja
membuat wajah itu
semakin berkesan bengis dalam usia antara lima puluh tahunan.
"Kau salah alamat, Datuk Marah Gadai!" katanya,
"Benda yang kau cari itu tidak ada di tanganku."
"Omong kosong! Kau telah menyelam di dalam telaga itu dan pasti kau telah
memperoleh benda itu!"
sentak orang yang disebut Datuk Marah Gadai itu.
Dan sentakan itu kembali ditertawakan orang kurus yang kali ini berdiri dengan
tenang, sambil mengusap-usap jenggot abu-abunya.
Suto membatin, "O, orang yang berpakaian hitam itu bernama Datuk Marah Gadai.
Hi, hi, hi... lucu.
Mungkin dia kalau sedang marah mempunyai
kebiasaan menggadaikan barang-barangnya,
sehingga dijuluki Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi...!"
Suto cekikikan sendiri di balik persembunyiannya.
Matanya kembali menatap dua tokoh tua yang masih bersitegang tentang barang yang
harus diperebutkan.
Orang kurus kering itu berkata, "Aku memang telah menyelam di dalam telaga itu,
tapi di sana tidak ada apa-apa. Tidak ada yang kuperoleh dari dasar telaga
kecuali kekecewaan!"
"Puih! Mana ada orang yang mau percaya dengan mulut kotor murid Malaikat Tanpa
Nyawa"!" Datuk meludah. "Orang paling licik di seantero jagat adalah kau,
Cadaspati! Dan mulut orang licik selalu
menyemburkan kebohongan. Agaknya aku terpaksa harus memaksamu menyerahkan Pusaka
Tuak Setan dengan menghancurkan mulutmu lebih dulu,
Cadaspati!"
Suto terperanjat begitu mendengar Pusaka Tuak Setan disebut-sebut oleh Datuk
Marah Gadai. Hati kecilnya berkata,
"Rupanya mereka berebut Pusaka Tuak Setan"
Orang yang basah kuyup itu ternyata murid Malaikat Tanpa Nyawa, yang bernama
Cadaspati. Aku pernah mendengar kisahnya dari cerita Guru, dan aku ingat orang
kurus itulah yang semasa kecilku menyalurkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam
tubuhku, sehingga tubuhku seakan menjadi dirinya dan menyerang Bibi Guru dan
Kakek Guru sendiri. Hmmm... sekarang ilmu
'Inti Neraka' itu sudah menjadi milikku. Tiba saatnya aku membalas perbuatan
Cadaspati waktu itu."
Suto bergeser dari tempat persembunyiannya. la mencari tempat yang lebih leluasa
lagi untuk memandang daerah tepian telaga. Satu-satunya
tempat yang enak untuk bersembunyi adalah di atas pohon.
Maka, tubuh Suto pun segera melesat dengan
menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang cukup tinggi. Dalam sekali hentakan
kaki, tubuh itu telah hinggap di sebuah dahan dari pohon berdaun lebat.
Kakinya yang mendarat di dahan itu tidak
menimbulkan guncangan sedikit pun pada dedaunan pohon, tanpa suara dan tanpa
hempasan angin dalam gerakannya.
"Nah, dari sini lebih enak menonton pertarungan orang-orang bodoh itu," kata
Suto dalam hatinya.
"Sebaiknya kupelajari dulu, apakah benar Pusaka Tuak Setan itu sudah berhasil
jatuh di tangan Cadaspati atau belum. Kubiarkan dulu ia didesak oleh Datuk Marah
Gadai sampai pada pengakuan
terakhirnya. Hmmm... tapi bagaimana kalau ternyata yang terdesak justru Datuk
sendiri" Karena
kelihatannya ilmu yang dimiliki Cadaspati tidak bisa dianggap ringan oleh Datuk
Marah Gadai."
Pada saat itu Datuk Marah Gadai sudah siap
lancarkan pukulan jarak jauhnya. Kedua tangannya
terangkat sampai batas dada. Kemudian tangan itu saling menyilang dengan
gemetar. Telapak tangan yang mengembang kaku dengan jari-jarinya mengeras itu
mulai kelihatan berasap tipis.
Cadaspati tidak tinggal diam. la mengerahkan
tenaga dalamnya yang membuat setiap kuku
tangannya memercik-mercikkan bunga api. Seperti ada aliran tenaga yang
berlompatan dari kuku yang satu ke kuku yang satunya lagi.
"Hiaaat...!" Datuk Marah Gadai menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melambung
cepat di udara.
"Hiaaah...!" Cadaspati juga menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya bagaikan
terbang ke arah Datuk Main Gadai.
Begitu dua tubuh itu bertemu, dengan cepat
mereka saling menghantamkan pukulan masingmasing. Plak...! Plak...! Wugh... wuugh...!
"Hugh...!" keduanya sama memekik tertahan.
Tubuh mereka saling terpental ke belakang.
Datuk Marah Gadai hampir saja tersungkur masuk ke dalam telaga. la jatuh dalam
posisi terduduk di tepian telaga. Namun kakinya segera dihentakkan hingga ia
bangkit kembali. Sementara itu, Cadaspati setelah mengadu pukulan segera
bersalto ke belakang satu kali dan kakinya mendarat di tanah dengan rapi tanpa limbung
sedikit pun. Matanya yang cekung itu memantang penuh nafsu membunuh.
Rambutnya yang panjang tersingkap oleh angin
telaga. Datuk Marah Gadai menggeram ketika melihat
Cadaspati menyeringai bagai mengejek kekuatannya.
"Jahanam kau! Rupanya kau sudah bosan
bernapas. Cadaspati! Tak ada waktu lagi untuk
bermain-main denganmu! Sekaranglah saatnya
kucabut nyawamu! Hiaaat...!"
Datuk Marah Gadai menyentakkan kaki kanannya
ke depan dengan satu tendangan miring. Dari telapak kakinya berkelebat sinar
putih keperakan yang melesat ke arah Cadaspati. Sinar putih keperakan itu segera
dihindari oleh Cadaspati dengan satu
lompatan ke atas. Dan bersamaan dengan itu,
Cadaspati mengibaskan tangannya bagai merobek angin. Wuuusss...!
Lima berkas sinar meluncur dari kuku-kuku tangan kanan Cadaspati. Sinar merah
api itu begitu cepat menerjang tubuh Datuk Marah Gadai. Segera orang berpakaian
hitam itu berguling-guling ke samping dan akhirnya melesat bangkit dalam satu
hentakan tangan kuat. Kelima sinar merah api itu masuk ke dalam telaga hingga airnya
berguncang hebat.
Sebagian air ada yang muncrat ke tanah tepiannya.
Sisa kekuatan sinar merah api itu membuat
gelombang di permukaan air telaga. Telaga bagai ada yang mengguncang-guncangnya
dari dalam. Sementara itu, sinar putih perak dari kaki Datuk Marah Gadai tadi menghantam
gugusan batu, yang membuat gugusan batu itu sirna dalam sekejap.
Tinggal debu halus yang menggunduk sebagai tanda hancurnya gugusan batu
tersebut. "Rupanya keduanya sama-sama berilmu tinggi,"
pikir Suto dari atas pohon. la meneguk tuaknya kembali. Tanpa sadar ia
sebenarnya sudah dikuasai oleh keadaan mabuknya. Bahkan tak sengaja ia
melontarkan suara legukan satu kali.
"Huk...!"
Buru-buru Suto menutup mulutnya karena takut
suara cegukannya terdengar oleh kedua tokoh sakti
itu. Di hati Suto ada rasa waswas karena setelah suara cegukan satu kali itu,
Datuk Marah Gadai mulai memandang sekelilingnya penuh curiga.
"Celaka!" gumam Suto dalam hati. "Aku tak bisa meredam suara cegukanku ini!"
Cadaspati sendiri membatin, "Dia mulai lengah.
Dia mencari-cari sesuatu. Sebaiknya aku segera tinggalkan tempat ini dan tak
perlu melayani dia!"
Niat Cadaspati untuk kabur ternyata diketahui oleh Datuk Marah Gadai. Ketika
Cadaspati berbalik
memunggungi lawannya, Datuk Marah Gadai segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya
melalui telapak tangan. Wuuugh...! Beegh...!
"Huggh...!" tubuh Cadaspati melengkung ke belakang. Punggungnya terkena telak
pukulan jarak jauh Datuk Marah Gadai. la segera berbalik arah dengan wajah
semakin mendendam bengis. "Keparat kau, Datuk!"
"Mau lari ke mana kau, hah" Jangan lari dulu kau.
Selesaikan dulu urusan kita ini!" Mata cekung yang memandang bengis itu tibatiba berubah menjadi lunak, sayu dan kebengisannya pun berkurang. Datuk berkerut
dahi karena merasa heran. Ia berkata dalam hatinya.
"O, rupanya pukulanku tadi telah mengenai titik kelemahannya. la menjadi lemah
dan langkahnya mulai terhuyung-huyung. Hmmm... sekarang aku tahu di mana titik
kelemahan Cadaspati. Rupanya ada di bagian punggung! Kalau begitu, kugempur
habis punggungnya!"
Cadaspati memang berdiri dengan oleng.
Langkahnya pun terhuyung limbung. Bahkan
bicaranya bernada mengambang.
"Hei, Datuk... jangan terlalu lama kalau marah,
nanti barang-barangmu habis kau gadaikan, he, he, he...!"
Datuk diam, menatap dengan curiga dan semakin merasa aneh melihat sikap
Cadaspati. Kebengisannya menjadi hilang. Cahaya nafsu
membunuh tidak tampak sama sekali dari sorot mata cekungnya.
Cadaspati mencoba bersandar pada sebatang
pohon. Tapi sandarannya meleset dan ia jatuh
tergagap-gagap. la segera bangkit dan menggerutu sendiri.
"Siapa yang menaruh pohon tidak pas pada tempatnya"! Kurang ajar! Hai, Datuk...
kau yang menyingkirkan pohon ini waktu mau kusandari!
Sekarang pindahkan kembali ke tempatnya, biar aku bisa tepat bersandar di pohon
itu. Lekas!"
Datuk Marah Gadai tertawa sinis. "Aku tak mengerti arah bicaramu, Cadaspati!"
"Tidak perlu pakai arah!" sentaknya dengan suara mengambang. Matanya semakin
sayu, kelopak mata bagai menggantung. la menuding Datuk dengan
tangan lemas. Katanya lagi.
"Kau... sini! Kau ke sini, Datuk!"
Datuk masih diam, tapi ia membatin, "Hmm... ada yang tak beres dalam diri
Cadaspati. Kurasa bukan akibat pukulanku tadi. Pasti ada sesuatu yang telah
mengacaukan urusanku dengan Cadaspati."
Dugaan itu memang benar. Suto telah
menyusupkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam diri
Cadaspati. Gerak-gerik dan suaranya berubah
menjadi suara Suto. Hal ini dilakukan oleh Suto sebagai tindakan balas dendam
atas kelakuan Cadaspati semasa Suto masih kecil (baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Bocah Tanpa
Pusar"). Datuk Marah Gadai pun segera membentak,
"Siapa kau sebenarnya, hah"!"
"Apa kau lupa pada tampang gantengku, Datuk?"
Kalau saja kata-kata itu diucapkan oleh Suto
sendiri, mungkin bisa dimaklumi dan memang
pantas. Tetapi, kata-kata itu diucapkan oleh orang yang sudah cukup umur,
berkulit wajah keriput dengan tulang-tulang pipi bertonjolan, sungguh ungkapan
kata yang lucu jika wajah seperti itu dikatakan ganteng. Namun Datuk Marah Gadai
tidak mau tertawa lebar-lebar. la hanya tertawa sinis dan segera berkata kepada
Cadaspati. "Jangan kau campuri urusanku dengan Cadaspati!
Menyingkirlah! Atau kuremukkan kepalamu sekarang juga, nah?"
"Remukkanlah! Ini bukan kepalaku. He he he...!"
"Jahanam kau! Hiih...!"
Datuk Marah Gadai menghantamkan pukulan
tangan kosongnya ke wajah Cadaspati. Plook...!
"Uts...!" Cadaspati mundur selangkah, ia mendekap mulutnya. Sedikit bengkak
bibir atasnya. Untung saja pukulan itu pukulan tangan kosong yang tidak
mengandung kekuatan tenaga dalam. Andai saja
Datuk memukulnya dengan mengerahkan tenaga
dalamnya, pasti mulut itu akan hancur berantakan ke mana-mana giginya.
Cadaspati yang tadi menggeloyor, kali ini segera mendekat kembali dan berkata
sambil menuding-nuding dengan tangan lemas.
"Kamu jahat! Kamu tidak tahu kebaikan. Aku benci sama kamu, Datuk. Aku benci
sekali!" "Tutup mulutmu, hiiih...!"
Datuk Marah Gadai menghantam pukulan lagi ke
mulut Cadaspati. Kali ini bertenaga lebih kuat dari yang pertama. Tetapi,
Cadaspati segera menangkis pukulan itu dengan kelebatan tangan kanannya, lalu
punggung pergelangan tangan kanan itu disodokkan ke ulu hati Datuk.
Bukkk...! "Ugh...!" Datuk Marah Gadai tersentak kaget.
Pukulan punggung tangan itu terasa begitu keras bagai hantaman palu godam. Mata
Datuk Marah Gadai sempat terbeliak lebar. la segera mengeraskan perut dan menahan napas.
"Kurang ajar! Aku dibuat mainan seenaknya saja!"
geram Datuk Marah Gadai. Segera ia hentakkan
telapak tangan kirinya ke depan. Sebuah pukulan bertenaga dalam melesat dalam
jarak empat langkah darinya.
Wuuugh...! "Aaahg...!" Cadaspati terpekik, Pukulan itu mengenai dadanya. la tersentak ke
belakang. Melayang jauh, antara tujuh langkah. Kemudian tubuhnya jatuh di bawah pohon.
Punggungnya membentur akar pohon yang bertonjolan keras itu.
Pada saat itu, Suto melepaskan ilmu 'Inti Neraka'
dari tubuh Cadaspati. Kini keadaan Cadaspati
menjadi dirinya sendiri. Dan ia terkejut menyadari sudah terbaring di bawah
pohon dengan dada sakit dan tulang punggung bagai mau patah.
"Apa yang kualami tadi?" pikir Cadaspati. la berusaha untuk bangkit. Pelan-pelan
ia bangkit dan menyeringai menahan sakit. Melihat keadaan
Cadaspati mulai rapuh, Datuk Marah Gadai pun
segera memanfaatkan dengan melancarkan pukulan bertenaga dalam yang lebih besar
lagi.

Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiaaat...!" tangan kanan disentakkan ke depan
dengan otot lengannya mengeras. Pukulan itu
mempunyai gelombang panas yang mampu
membakar kulit pohon.
Cadaspati segera menghadang pukulan itu dengan sentakkan tangan kirinya. Namun,
agaknya kekuatan tangan itu tidak sebanding, sehingga pukulan hawa panas itu
menerjang telapak tangan kiri Cadaspati.
Tangan itu menjadi memar membiru, berkesan
hangus sampai di bagian ketiak dan dada sebelah kiri. Tubuh Cadaspati pun
terdorong keras hingga membentur pohon besar di belakangnya.
"Uughh...!" Cadaspati mengaduh tertahan. la menggeliat bangkit. Tetapi Datuk
Marah Gadai segera mengerahkan tendangan intinya yang mempunyai
kekuatan tenaga dalam mampu meleburkan gugusan batu tadi.
"Lebih baik matilah kau daripada tetap tak mau menyerahkan Pusaka Tuak Setan!"
seru Datuk Marah Gadai, lalu kaki kanannya pun dihentakkan
menendang ke depan. Sinar putih keperakan melesat dari kaki itu, mengarah cepat
ke tubuh Cadaspati.
Namun tiba-tiba sekilas sinar biru telah melesat cepat dan membentur sinar putih
keperakan itu. Benturan itu menimbulkan ledakan hebat yang
mengguncangkan pepohonan di sekitarnya.
Blarrr...! Datuk Marah Gadai belalakkan mata lebar-lebar.
Makin terkejut lagi ia begitu melihat sosok tua berambut putih yang muncul dari
balik semak belukar. Sosok orang berambut putih panjang tanpa ikat kepala itu tahu-tahu
sudah berdiri di antara Cadaspati dan Datuk Marah Gadai. Posisinya lebih dekat
ke Cadaspati. "He, he, he...," orang tua yang lebih kurus dari
Cadaspati itu tertawa terkekeh-kekeh. Tongkatnya yang berwarna putih itu
digenggam tangan kanan. la mengenakan celana hitam dan kain putih yang
diselempangkan lewat pundak kiri dan sebagian melilit di pinggang. Di pinggang
itu pun ia mengenakan sabuk besar dari kulit binatang warna hitam berbulu.
Dari tempat persembunyiannya Suto membatin,
"Siapa tokoh tua yang baru saja muncul ini"
Sepertinya ia ada di pihak Cadaspati."
"Selamat jumpa lagi, Datuk Marah Gadai. Kali ini kita jumpa dalam keadaan kau
sudah berhasil melukai adikku, Cadaspati!"
"Aku tidak ada urusan denganmu, Peramal Pikun!
Menyingkirlah. Biar nyawa tuamu tak jadi korban kemarahanku!"
"He, he, he.... Mana bisa aku menyingkir kalau kau ingin mencelakai adikku,
Datuk"! Bebaskanlah
adikku ini, supaya kita tidak punya persoalan lagi.
Bukankah persoalan kita sepuluh tahun yang lalu sudah kita selesaikan dengan
baik" Apakah kita harus bikin persoalan baru lagi, Datuk Marah Gadai?"
"Aku membutuhkan benda pusaka yang dibawa oleh adikmu itu! Tak akan kubiarkan ia
melangkah sejengkal pun sebelum Pusaka Tuak Setan itu
diserahkan kepadaku!"
Orang yang berjuluk Peramal Pikun itu segera
bertanya kepada Cadaspati, "Apakah kau membawa Pusaka Tuak Setan?"
"Tidak!" jawab Cadaspati sambil berdiri bersandar di pohon akibat luka pukulan
dari Datuk Marah Gadai tadi.
"Datuk, adikku tidak membawa Pusaka Tuak Setan. Jadi, tak ada yang bisa
diserahkan olehnya
kepadamu!"
"Omong kosong!" sentak Datuk Marah Gadai. Lalu, ia diam sebentar. Hatinya
berkata, "Sebenarnya aku sudah enggan bentrokan dengan Peramal Pikun ini.
Ilmunya sangat tinggi. Sepuluh tahun yang lalu aku melawannya gara-gara
persoalan perempuan. Hampir saja aku habis binasa diterjang ilmunya yang tinggi.
Untung waktu itu Rindani segera ketahuan bahwa dia pun punya lelaki simpanan
lainnya, sehingga kami memutuskan untuk menghentikan perselisihan dan membiarkan
Rindani dengan lelaki simpanannya.
Kalau waktu itu aku dan dia tidak mengambil
keputusan untuk melepaskan Rindani, pasti aku akan mati di tangannya. Dan
sekarang, ilmuku memang sudah bertambah. Tapi tentunya Peramal Pikun itu juga
semakin tinggi lagi ilmunya. Hmmm... haruskah aku melawannya lagi?"
"Hei, Datuk..., mengapa diam saja" Apakah bungkamnya mulutmu sebagai tanda kau
melepaskan adikku" Atau kita teruskan persoalan ini dengan cara kau menghadapiku
lebih dulu?" tantang Peramal Pikun.
Dari tempat persembunyiannya Suto membatin,
"Tokoh yang satu ini biar tua tapi masih punya nyali juga. Tapi dilihat dari
wajahnya, ia tidak mempunyai kesan bengis seperti wajah adiknya. Wajah itu malah
berkesan selalu ceria dan tersenyum."
Datuk Marah Gadai berkata dengan suara lantang,
"Aku tidak percaya kalau Cadaspati tidak memiliki Pusaka Tuak Setan. Aku melihat
sendiri ia muncul dari dalam telaga itu. Pasti dia sudah menemukan pusaka
tersebut!"
"Mengapa kau berkeyakinan begitu, Datuk Marah Gadai"! Apakah kau belum tahu,
bahwa Pusaka Tuak
Setan itu milik si Gila Tuak?"
Diam-diam Suto terkejut mendengar nama gurunya disebut-sebut. la tetap menutup
mulut supaya suara cegukannya tidak berbunyi.
"Aku memang tahu, pusaka itu milik si Gila Tuak.
Tapi dia sudah tidak mementingkannya lagi!" kata Datuk Marah Gadai. "Aku
mendengar percakapan si Gila Tuak dengan muridnya, bahwa pusaka itu akan
dihancurkan. Jadi sebelum dihancurkan, aku harus sudah lebih dulu mencurinya
dari tempat kuburan pusaka itu. Ternyata, adikmulah yang sudah
mendahului langkahku masuk ke dalam telaga ini!"
"He, he, he..., siapa tahu adikku masuk ke dalam telaga hanya sekadar mandi,
sebab bertahun-tahun ia tak pernah mandi sampai badannya bau terasi!"
"Tidak mungkin! Dia pasti telah memperoleh Pusaka Tuak Setan! Mungkin
disembunyikan di balik pakaiannya itu!"
Sekali lagi Suto membatin, "Iya. Kurasakan agak berat waktu ilmu 'Inti Neraka'
masuk ke raganya.
Bagian belakang pakaiannya yang mirip jubah itu sepertinya mempunyai kantong
untuk menyimpan
Guci Tuak Setan. Atau mungkinkah benda lain yang tak berharga yang ada di
kantong jubah belakangnya itu?"
Datuk Marah Gadai mengambil sikap siap
menyerang. Kedua tangannya mulai dinaikkan
sebatas dada. Tapi Peramal Pikun masih tetap tenang dan cengar-cengir saja.
"Peramal Pikun, terpaksa kau juga perlu kukirim ke neraka karena membela adikmu
yang punya urusan denganku!"
"Tunggu, tunggu...," Peramal Pikun tetap kalem.
"Bukan soal ke neraka yang kupikirkan, tapi kesiasiaan pertarungan ini yang kupertimbangkan. Sebab menurut ramalanku, Pusaka Tuak
Setan itu tidak akan jatuh ke tangan siapa-siapa, kecuali ke tangan murid
tunggalnya si Gila Tuak."
"Ramalanmu semakin tua semakin tak manjur!"
"Manjur atau tidak, tapi kenyataannya si murid Gila Tuak sudah siap mengambil
pusaka itu. Bahkan dia pun siap berhadapan denganmu, Datuk Marah
Gadai." "Persetan dengan murid si Gila Tuak. Yang kubutuhkan Pusaka Tuak Setan yang
sudah ada di tangan adikmu itu!"
"Murid si Gila Tuak tidak bisa dipersetankan, Datuk. Sekarang pun dia sudah
berada di sini."
Datuk Marah Gadai tampak sedikit waswas. la
melirik sekelilingnya.
"Ramalanmu tak ada artinya bagiku. Kau hanya ingin mengelabuiku, Peramal Pikun.
Tak ada orang lain di sini, kecuali kita bertiga! Jadi, bersiaplah untuk mati
bersama adikmu!"
Kaki Datuk Marah Gadai mulai bergeser
merendah. Tangannya mengeras bagai besi. Kaku.
Peramal Pikun masih kalem, melangkah maju dua tindak.
"Tunggu dulu, Datuk.... Siapa bilang di sini hanya ada kita bertiga" Di sini ada
empat orang. Ya, menurut ramalanku di sini ada empat orang, Datuk."
"Mana yang seorang lagi!" sentak Datuk Marah Gadai dengan suaranya yang besar.
"Ada di atas sana," jawab Peramal Pikun sambil tangannya seperti menebarkan
sesuatu namun sebetulnya menebarkan tenaga dalam yang melesat ke dalam tempat Suto
bersembunyi. Datuk Marah Gadai pun terkejut ketika memandang ke atas dan
melihat seorang pemuda bertengger di sana. Pemuda itu kini melompat turun dengan
dua kali salto, karena ia harus menghindari tenaga dalam yang dilemparkan oleh
Peramal Pikun. Tenaga dalam itu membentur dahan dan membuat dahan itu berderak,
lalu patah dan jatuh ke tanah.
Tepat pada waktu itu, Suto sudah berada di antara Datuk Marah Gadai dan Peramal
Pikun. Bukan hanya mata Datuk Marah Gadai yang terperanjat, namun mata Cadaspati
pun ikut terbelalak melihat kehadiran Suto.
* * * 8 MELIHAT sikap berdiri Suto yang tak bisa tegak, melihat bentuk mata Suto yang
sayu, dan melihat bumbung tuak yang masih dipegang dengan tangan kiri Suto,
Datuk Marah Gadai segera dapat
menyimpulkan, pemuda berpakain coklat inilah yang tadi mengganggunya dengan
menggunakan raga
Cadaspati. Pemuda yang mengenakan baju tanpa
lengan inilah yang mengendalikan Cadaspati
bertingkah seperti orang gila di hadapannya.
"Berarti dia sudah ada di atas sejak tadi!" geram Datuk Marah Gadai dalam
hatinya. Matanya pun
memandang lebih menyipit kepada Suto yang saat itu sedang cengar-cengir
memandang Peramal Pikun.
"Menurut ramalanku, kau yang bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak!" kata
Peramal Pikun. Suto menjawab, "Menurut ramalanku, kau
kakaknya Cadaspati yang berjuluk Peramal Pikun."
"Dari mana kau tahu?"
"Dari tadi!" jawab Suto dengan suara mabuknya yang sesekali cegukan itu. Bahkan
ketika Suto tertawa bersama Peramal Pikun, suara cegukannya masih sesekali
menyentak tubuh.
"Menurut ramalanku, kelak kau dijuluki orang Pendekar Mabuk! Kau akan menjadi
orang sakti. Bahkan jauh di masa tuamu nanti, kau bisa menjadi seorang tokoh yang bergelar
Tokoh Sinting. Tentu saja kau akan mempunyai murid yang sinting-sinting semua.
He he he he...!"
"Kalau... huk... kalau begitu, huk... aku buka perguruan, huk... perguruan
Sinting Teladan saja, huk...!" sambil Suto cegukan.
Datuk Marah Gadai membentak, "Ini bukan urusan ramal-meramal! Ini urusan Pusaka
Tuak Setan!"
"Sudah kubilang tadi, huk... Paman. Kalau kau, huk... minum tuak itu, huk...
maka kau akan... akan menjadi setan, huk!"
"Itu bukan urusanmu! Menyingkirlah, biar kuhancurkan dulu kedua orang tua itu,
Bocah ingusan!" "He he he...," Suto tertawa dan bicara kepada Peramal Pikun. "Dia mengatakan aku
sebagai bocah ingusan, huk...! Padahal aku cuma ingusnya bocah, huk... he he
he...!" Rupanya kesempatan itu digunakan oleh
Cadaspati untuk menelusup pergi. Dan dengan sisa tenaganya ia segera melarikan
diri dari arena pertarungan. Karena pada waktu itu Cadaspati
membatin. "Aku tak akan mampu menghadapi Datuk Marah Gadai dalam keadaan terluka begini.
Aku bisa mati di tangannya! Sebaiknya aku melarikan diri, biar masalah Datuk
diurus oleh Renggono, kakakku!"
Datuk Marah Gadai sempat melihat kelebatan
sosok Cadaspati yang meninggalkan tempatnya.
Maka ia pun segera berteriak.
"Hai, mau ke mana kau"! Jangan lari, Jahanam!"
Serta-merta Datuk Marah Gadai melompat untuk
mengejar Cadaspati. Namun, secepatnya pula
Peramal Pikun melompat dengan bersalto satu kali di udara. Tongkatnya dibabatkan
ke arah kepala Datuk Marah Gadai. Wungng...! Tongkat itu tidak mengenai sasaran,
namun membuat tubuh Datuk Marah Gadai bagaikan dihantam seribu topan. Tubuh yang
terkena kibasan angin tongkat itu terjerembab jatuh ke tanah dengan wajah
membentur semak-semak. Prosss...!
Peramal Pikun kembali berdiri tegak di tanah
dengan tongkat digenggam tangan kanan. la
menertawakan keadaan Datuk Marah Gadai, yang
segera berusaha bangkit dengan mengusap-usap
wajahnya. Wajah itu menjadi merah tergores-gores akibat duri semak yang
ditabraknya. "Keparat kau, Peramal Pikun! Terang sudah kau turut campur dengan urusanku!
Jelas sudah kau bikin persoalan baru denganku!" geram Datuk Marah Gadai dengan
wajah menampakkan kemarahannya.
"He he he... terpaksa aku bikin urusan lagi denganmu, karena kau mengancam nyawa
adikku!" Napas Datuk Marah Gadai terengah-engah.
Sekarang sedang berusaha diredakan. Pada saat itu, terucap dalam batin Datuk
Marah Gadai. "Angin pukulannya lebih hebat dari yang dulu.
Sekalipun aku bisa mengalahkan dia di sini, tapi aku akan kehilangan pusaka yang
sudah kuincar bertahun-tahun lamanya itu. Aku tak boleh larut melayani dia. Aku harus mencari
kesempatan untuk mengejar Cadaspati. Tak mungkin ia bisa berlari jauh
karena ia dalam keadaan terluka oleh pukulanku tadi."
Suto tidak ikut campur. la bahkan menenggak
tuaknya lagi. Diteguk sedikit, sebagai pembasah tenggorokan, kemudian duduk di sebuah batu sambil
menyaksikan pertarungan tersebut, sambil sesekali memperdengarkan suara
cegukannya. Mata Suto sempat terperanjat ketika Datuk Marah Badai tiba-tiba menghantamkan
pukulan jarak jauhnya ke telapak kaki Peramal Pikun yang punya nama asli Renggono itu. Pukulan
tersebut mampu membuat tanah tempat berpijak kaki Peramal Pikun tersentak naik
bersama tubuh di atasnya yang
terdorong ke belakang.
Broolll...! Wusss...! Tubuh Peramal Pikun bagai didorong
kuat dan dijumpalitkan ke belakang. Mau tak mau manusia keriput berambut putih
panjang itu bersalto satu kali.
Belum sampai kakinya memijakkan tanah lagi,
Datuk Marah Gadai telah kembali mengirimkan
pukulan tenaga dalamnya dengan menyentakkan
kedua tangannya ke depan. Wuuugh...! Angin besar melesat dari kedua tangan.
Peramal Pikun segera menghentakkan tongkatnya ke depan dalam keadaan berdiri.
Rupanya ia menahan pukulan Datuk Marah Gadai dengan tenaga dalam yang disalurkan melalui
kepala tongkatnya yang berbentuk kepala burung garuda itu.
Duub...! Dua tenaga dalam berilmu tinggi saling
berbenturan di pertengahan jalan. Satu benturan itu mengakibatkan tubuh Datuk
Marah Gadai tersentak ke belakang dan oleng ke kiri, lalu jatuh di atas kayu
runcing. "Aaauh...!" Datuk Marah Gadai memekik karena pantatnya tertusuk kayu runcing. la
segera bangkit dan mencabut ranting kayu yang terbawa pantatnya.
Pada saat itu, Suto tertawa geli melihat Datuk Marah Gadai seperti sedang
dipermainkan oleh
Peramal Pikun. Sedangkan Peramal Pikun sendiri hanya tersenyum-senyum dengan


Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh tetap berdiri pada tempatnya. la berkata kepada Suto.
"Pernah melihat beruang kecocok paku" Nah, lihatlah dia! Persis seperti beruang
kecocok paku!"
Suto yang ada di belakang Peramal Pikun itu
semakin tertawa terbahak-bahak dalam pengaruh mabuknya. Mendengar suara tawa
Suto, hati Datuk Marah Gadai semakin panas. Maka, ia pun segera mengangkat
kakinya dan menendang penuh kerahan tenaga dalam ke arah depan. Dari tendangan
kaki itu melesatlah sinar putih keperakan. Meluncur dengan cepat ke arah tubuh
Peramal Pikun. Dengan gerakan tua yang masih gesit, Peramal
Pikun melompat ke samping dan bersalto satu kali.
Akibatnya sinar putih keperakan itu melesat terus ke arah Suto yang sedang duduk
di batu. Melihat kilatan cahaya putih keperakan melesat ke arahnya, Suto segera
menyilangkan bumbung
tuaknya di depan wajah. Sinar itu tepat mengenai bumbung, namun tidak segera
meledakkan bumbung, juga tidak segera padam, melainkan justru berbalik melesat ke tempat
asalnya. Wusss...!
Kecepatannya melebihi kecepatan semula.
Datuk Marah Gadai tersentak kaget bukan
kepalang. Terpaksa ia segera melentingkan tubuh, menggunakan ilmu peringan tubuh
yang cukup tinggi, hingga dalam kejap berikutnya ia sudah berada di
atas sebuah pohon, ia terhindar dari sinar putih keperakan itu. Sinar tersebut
menghantam sebuah pohon lain. Pohon itu segera lenyap seketika, tinggal serpihan
bubuk yang menggunduk di tempatnya.
"Sinting betul bocah itu!" geram hati Datuk Marah Gadai. "Jurus 'Tapak Dewa'-ku
bisa dikembalikan sambil cengengesan! Baru sekarang aku melihat ada orang yang
bisa menangkis jurus 'Tapak Dewa'
dengan sebatang bambu dan mengembalikan ke
asalnya. Benar-benar sinting bocah itu!" Datuk Marah Gadai terheran-heran.
Sementara itu, Peramal Pikun pun sempat terkejut melihat Suto bisa mengembalikan
jurus 'Tapak Dewa'
yang terkenal dahsyat dan berbahaya itu. Jurus
'Tapak Dewa' adalah salah satu jurus andalan Datuk Marah Gadai. Peramal Pikun
tahu, jurus itu tak bisa ditangkis kecuali dihindari atau diadu dengan kekuatan
yang lebih dahsyat lagi.
Peramal Pikun pun ingat, bahwa dulu ketika
sepuluh tahun yang lalu ia melawan Datuk Marah Gadai, ia dibuat kelabakan
menghindari jurus 'Tapak Dewa' tersebut. Dulu, ia belum punya ilmu yang bisa
menandingi jurus 'Tapak Dewa'. Sekarang ia sudah mempunyai jurus tandingan
sehingga tadi ia bisa menyelamatkan Cadaspati dengan sinar merah dari kepala
tongkatnya, yang dinamakan jurus 'Patuk Garuda'.
Peramal Pikun mengakui, ia tak akan berani
menangkis jurus 'Tapak Dewa'. Karenanya ia sangat terheran-heran melihat Suto
dengan cengengesan menangkis jurus itu menggunakan bumbung tempat tuaknya.
Peramal Pikun pun membatin.
"Bumbung itu pasti bukan sembarang bumbung.
Dan ilmu anak ini sungguh telah mewarisi ilmunya si
Gila Tuak. Hanya si Gila Tuak-lah yang selama ini selalu bisa menangkis jurusjurus maut atau ilmu-ilmu sedahsyat apa pun. Hmmm... rupanya di dalam jiwa Suto
Sinting ini terpendam jiwa si Gila Tuak bersama seluruh kesaktiannya. Jika bukan
orang berilmu tinggi, mempunyai kesaktian tingkat atas, tak mungkin ia bisa
menangkis dan sekaligus
mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' itu. Aku berani bertaruh, bocah sinting ini
akan cepat dikenal namanya di rimba persilatan. Tapi, o, ya... aku sedang ada
urusan dengan Datuk Marah Gadai! Bukan
mengagumi kehebatan bocah sinting itu...!"
Kesadaran Peramal Pikun terlambat.
Pandangannya dilayangkan ke atas, ternyata tempat itu sudah kosong. Pohon yang
semula dipakai bertengger oleh Datuk Marah Gadai itu bagai
menelan tubuh sedikit gemuk milik Datuk Marah Gadai. Peramal Pikun mulai
bingung, la bertanya kepada Suto Sinting.
"Ke mana orang itu tadi?"
Murid si Gila Tuak menjawab, "Pergi. Lari ke sana!"
ia menunjuk ke arah perginya Cadaspati tadi.
"Mungkin dia mengejar adikmu, huk... yang bernama Kadaspati itu!"
"Cadaspati! Bukan Kadaspati!" sentak Peramal Pikun membetulkan ucapan Suto yang
keliru. Suto hanya tertawa sambil mengangguk.
"Mengapa kau tidak menahannya"!" kata Peramal Pikun, sepertinya menyalahkan
Suto. Murid Gila Tuak itu menjawab.
"Aku tidak ada urusan dengan dia! Jadi kubiarkan dia lari ke sana, huk...!"
"Tapi dia akan berhasil merebut Guci Pusaka Tuak Setan dari tangan adikku!"
"Kau bilang tadi, menurut ramalanmu, Guci Pusaka Tuak Setan akan jatuh ke
tanganku, huk...! Jadi, untuk apa aku menghalangi kepergiannya!"
"Memang akan jatuh ke tanganmu. Tapi kalau kau tidak merebutnya, tentu saja akan
jatuh ke tangan orang lain!"
"Berarti ramalanmu itu palsu!"
"Palsu atau tidak, itu tergantung anggapan orang.
Yang jelas, kau harus merebut Pusaka Tuak Setan itu dari tangan si Datuk Marah
Gadai!" "Dia, huk... dia tidak membawa Pusaka Tuak Setan. Yang membawa adalah adikmu!
Apakah kau ingin agar aku membunuh adikmu untuk merebut
Guci Pusaka Tuak Setan itu?"
"Itu berarti kau harus berurusan denganku Suto Sinting!"
"Aku malas berurusan denganmu! Bukan karena aku takut padamu, tapi aku segan
melawan orang lemah, huk!"
Tersinggung hati Peramal Pikun dikatakan sebagai orang lemah. Tapi ia menahan
diri untuk tidak melepaskan kemarahannya. la hanya berkata dalam hati.
"Kalau bukan karena aku sedang membutuhkan dia, sudah kuhajar habis mulutnya
yang mabuk itu!
Sayang aku harus membujuknya untuk ikut mengejar Datuk Marah Gadai, sebab ia
bisa kujadikan tameng dan menambah kekuatanku jika ia ada di pihakku.
Yang jelas, Datuk Marah Gadai jangan sampai
menemukan Cadaspati. Sebab aku tahu, Cadaspati terluka cukup parah. Dia tak akan
mampu lagi melawan Datuk Marah Gadai."
Suto berdiri dari duduknya dengan sempoyongan.
la berkata dengan suara mabuknya.
"Aku mau mandi, biar segar badanku!"
"Hei, bukankah tugasmu menghancurkan Pusaka Tuak Setan?"
"Dari mana kau tahu?"
"Kudengarkan percakapanmu dengan si Gila Tuak dari kejauhan."
"Oh, kalau begitu ilmumu tinggi juga, huk...! Aku mau mandi!"
"Bocah ini benar-benar sinting!" kata Peramal Pikun dalam hati. "Sebaiknya aku
segera menyusul Datuk Marah Gadai, sebelum ia menewaskan
Cadaspati!"
* * * 9 PERAMAL Pikun pergi dengan berkelebat bagaikan angin atau hantu siang hari. Suto
tidak peduli lagi dengan kepergian Peramal Pikun. Hasratnya untuk mandi begitu
kuat, tak bisa ditahan lagi. Bahkan dalam hatinya ia berkata.
"Siapa tahu habis mandi bisa bertemu dengan Dyah Sariningrum. Setidaknya bunga
rindu di hati yang belum pernah bertemu ini akan terpupus habis."
Suto mulai meletakkan bumbung tuaknya. Baru
sana ia mau membuka baju, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang berlari cepat
ke arahnya. Suto buru-buru merapatkan bajunya kembali dengan wajah
celingak-celinguk penuh curiga.
Dari kerumunan semak di seberang telaga, muncul sesosok tubuh berbaju merah dan
bercelana hitam.
Suto menghempaskan napas dan menggeram jengkel dalam hatinya.
"Kau membuatku terkejut, Paman Giri!"
Orang yang dipanggil sebagai Paman Giri itu tak lain adalah Pujangga Kramat,
manusia yang tak pernah benar dalam bicaranya. Orang tersebut segera mendekati
Suto dan berkata dengan napas masih terengah-engah.
"Itu perempuan desak aku! Desak aku itu
perempuan!"
"Paman ini mau ngomong apa kok desak-desakan sama perempuan?"
"Itu perempuan,..!"
"Perempuan itu?" Suto tertawa dalam suara tawa mabuknya yang terkekeh-kekeh.
"Mengapa wajahmu memar begitu, Paman" Ada apa, huk?"
"Ya, itu perempuan desak aku ketemu dia sama Guru."
"Maksud Paman Giri, ada perempuan mendesak Paman untuk bertemu dengan Guru?"
"Betul sangat!"
"Sangat betul!" Suto membenarkan susunan katanya. "Lalu, apa yang membuat Paman
menyusulku kemari, huk?"
"Bahaya itu perempuan. Ganas jago dan. Dia masuk nekat dalam ke gua. Ki Gila
Tuak ditantangnya pasti."
"Guru ditantang perempuan itu?"
"Begitu mestinya dugaanku. Dibunuh bisa guru olehnya."
"Guru bisa dibunuh olehnya" Ah, tak mungkin itu, Paman Guru pasti bisa mengatasi
seorang perempuan. Huk...!"
"Datang cepatlah bantu Guru selamatkan."
"Aku mau mandi."
"Dulu tundalah!"
"Tundalah dulu!" sentak Suto membetulkan kalimat.
"Iya. Dulu tundalah mandimu. Dari keganasan perempuan itu selamatkan gurumu!"
"Ah, pusing aku mengartikan bahasamu, Paman!
Aku mau mandi!"
"Tahanlah!"
"Huk..., tak bisa kutahan. Aku mau bertemu dengan Dyah Sariningrum. Malu aku,
huk... kalau tak segera mandi."
"Tega kepada kau Guru, hancurlah dia oleh perempuan itu"!"
"Tega tak aku Guru kepada dan... aduh, kenapa bahasaku jadi ikut-ikutan kacau
begini"!"
"Pergi cepatlah ke sana!"
"Aku mau mandi! Tahu..."!" sentak Suto merasa jengkel akhirnya. Sentakan itu
membuat Pujangga Kramat menjadi ciut nyali. Sentakan itu sepertinya mempunyai
kekuatan tersendiri yang bisa
mempengaruhi keberanian seseorang menjadi surut.
Jika bukan berilmu tinggi, orang itu akan menjadi penurut. Itulah kekuatan ilmu
'Sentak Bidadari' yang diturunkan oleh Bidadari Jalang kepada Suto.
Suto segera melepaskan bajunya dengan gerakan susah-payah karena mabuk. Pujangga
Kramat diminta untuk membantu menarikkan bajunya.
Karena keberanian yang surut, Pujangga Kramat menuruti perintah itu tanpa banyak
bicara. Tetapi pada saat itu Suto sempat mendengar
detak jantung di balik kerimbunan pohon. Mata Suto yang seperti orang mengantuk
itu segera melirik ke arah rimbunan pohon. Baju yang telah dilepaskan segera
dikenakan kembali. Pujangga Kramat
memandang dengan heran, tak mengerti maksud
Suto. la segera menghentakkan kaki kanannya ke tanah.
Hentakan kaki itu bukan sembarang hentakan.
Hentakan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam
yang bisa membuat air telaga di tepian sebelah seberang memercik ke arah
rimbunan semak yang dicurigai Suto. Crattt...!
"Auh...!" terdengar suara pekik dari rimbunan semak.
Pujangga Kramat terperanjat dan berkata, "Orang ada rimbunan semak dibalik."
"Aku tahu, ada orang di balik rimbunan semak.
Sebaiknya suruh keluar dia dari sana dan bicara padaku apa maunya!"
"Itu suara perempuan. Perempuan itu jangan-jangan mau yang lawan gurumu dan
bonyokkan mukaku." "Kau takut, Paman?" Suto tersenyum geli.
"Takut tidak. Jera iya."
Suto tertawa terkekeh, la berseru, "Perempuan di balik semak, keluarlah dari
sana! Aku tak jadi mandi.
Percuma kau tunggu aku di sana, tak bisa kau intip aku dari sana!"
Merasa persembunyiannya sudah diketahui,
perempuan yang ada di balik rimbunan semak itu pun akhirnya menampakkan wajah.
la keluar dari sana dengan satu lompatan tanpa menimbulkan suara
gemerisik daun. Padahal tubuhnya jelas menyentuh dedaunan.
"Aku tidak bermaksud mengintipmu, Suto!" kata perempuan itu setelah berdiri
dengan kaki tegak sedikit merenggang, tampak sigap dan tegar.
"Oh, rupanya kau, Selendang Kubur!" Suto memandang dengan mata merahnya yang
mirip orang mengantuk. Pandangan mata itu tertuju lekat ke sorot pandangan mata Selendang
Kubur. Pada saat itu, Pujangga Kramat berbisik,
"Ini perempuan bersama tadi dengan perempuan membonyokkan wajahku. Punya teman
dia masuk ke gua, temui Ki Gila Tuak."
"Hmmm... ya, ya. Aku paham dengan maksudmu,"
sambil Suto mengangguk-angguk. la biarkan
Selendang Kubur berjalan mendekat.
Suto segera berkata, "Selendang Kubur, temanmu mengamuk dan masuk ke tempat
istirahatnya guruku.
Tolong ingatkan padanya, aku segera datang dan akan menyeretnya keluar dari gua
dengan kasar!"
"Tidak. Dewi Murka tidak bermaksud jahat menemui gurumu. la masih tidak percaya
bahwa persoalan tadi sudah kita selesaikan. la bahkan tidak ingat bahwa ia telah
bertemu kamu. Jadi, ia nekat masuk ke dalam gua untuk menemui gurumu dan
meminta maaf atas sikap mencurigakan dari
Murbawati, teman kami."
"O, begitu?"
"Percayalah padaku, Suto! Dewi Murka tidak akan perbuat jahat kepada gurumu."
"Bagus kalau begitu! Huk...!" ia masih sesekali celukan. "Lantas mengapa dia
bikin bonyok wajah Paman Giri ini?"
"Barangkali Pujangga Kramat menghalangi niat baiknya hingga ia melakukan
kekerasan."
"O, begitu?"
"Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit tidak suka mencari persoalan dengan
orang lain."
"Bagus. Lalu, apa perlumu datang kemari?"
"Menjagamu," jawab Selendang Kubur sambil memalingkan pandangan mata ke arah
lain. "Jawabanmu sungguh lucu bagiku," Suto tertawa.
"Jawaban itu hanya alasan belaka yang dibuat-buat.
Aku tahu, kau kemari, huk... untuk mengintip aku mandi!"
Mata Selendang Kubur menyipit, tanda tak suka dengan tuduhan itu. la pun berkata
dengan tegas dan berkesan ketus.
"Kalau aku mau, tak perlu aku mengintipmu mandi. Cukup dengan keadaan seperti
ini, aku sudah bisa melihatmu telanjang."
"Hah..."l" Pujangga Kramat terkejut. la segera merapatkan kedua pahanya dan
menutupkan tangannya ke bawah.
Suto tidak demikian. Suto hanya tertawa pelan, setengah tidak percaya pada katakata Selendang Kubur. la berkata,
"Jangan menyombongkan ilmu di depanku,
Selendang Kubur."
"Aku tidak menyombongkan ilmu. Memang aku bisa melihat tubuhmu tanpa pakaian
walaupun kau mengenakan baju rangkap tujuh dari kulit kerbau sekalipun. Aku
mempunyai 'Candra Tembus Pandang'.
Dan hanya aku satu-satunya murid Perguruan Merpati Wingit yang menoleh ilmu
'Candra Tembus Pandang'."
Senyum Suto tipis dan masih berkesan tidak


Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percaya. "Kau mempunyai tahi lalat di bawah pinggulmu!"
kata Selendang Kubur setelah menatap Suto
beberapa saat. Suto terperanjat kaget, karena kata-kata itu
memang benar. Lebih terkejut lagi setelah Selendang Kubur berkata,
"Kau tidak mempunyai pusar, dan ada noda hitam semacam tompel kecil di atas
pahamu yang kanan,
dekat dengan tulang pinggul."
Menggeragap bingung Suto menghadapi
perempuan berhidung mancung dan bermata bundar itu. Salah tingkah ia
menyembunyikan dirinya, karena apa yang dikatakan Selendang Kubur mengandung
kebenaran semua. Suto jadi percaya bahwa
Selendang Kubur mampu mempunyai sorot mata
tembus pandang. Akibatnya, Suto segera
bersembunyi di belakang Pujangga Kramat. Tetapi Pujangga Kramat pun segera
bergeser berdirinya, pindah ke belakang Suto sambil merapatkan kaki dan kedua
tangan mendekap bagian bawah.
Suto kebingungan, maka ia segera berpindah
tempat kembali ke belakang Pujangga Kramat.
Karena malu dipandang, Pujangga Kramat lari dan bersembunyi di balik pohon
besar. Hanya kepalanya yang nongol dan berseru,
"Bersembunyi cepat pohon di balik!"
Buru-buru Suto mengambil bumbungnya dan lari
ke balik pohon. Selendang Kubur tertawa malu dan berbalik wajah, memunggungi
Suto. Dari sana ia berseru.
"Pohon itu pun masih bisa kutembus dengan pandanganku, Suto!"
"Celaka! Perempuan itu bikin aku susah berdiri saja"!" gerutu hati Suto. "Pantas
waktu jumpa di atas gua, dia bicara denganku memalingkan wajahnya, tak berani
menatapku. Rupanya dia punya kekuatan
tembus pandang, dan tak enak hati melihat tembus keadaan tubuhku saat itu.
Kupikir ia bersikap tidak sopan padaku."
Suto yang salah tingkah itu segera mengambil
keputusan untuk menceburkan diri ke telaga.
Setidaknya dengan begitu ia bisa menyembunyikan
tubuhnya dan bisa memanfaatkan waktu untuk
mandi. Maka, serta-merta Suto melompat dari balik pohon setelah melemparkan bumbungnya
ke tangan Pujangga Kramat. Lompatannya bersalto satu kali dan, byuurrr...!
Selendang Kubur terperanjat kaget dan segera
menatap ke arah telaga. la sedikit tegang dengan berseru kepada Pujangga Kramat.
"Apakah dia bunuh diri?"
"Tidak dia bunuh diri, mandi tapi," jawab Pujangga Kramat yang membuat Selendang
Kubur merenungkan arti kata sebenarnya. Setelah
memahami makna kata-kata itu, Selendang Kubur tampak lega. la segera melesatkan
tubuhnya dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, melompat
bagaikan terbang dan hinggap di atas sebuah pohon. Duduk di dahan berukuran
besar. la bagai seorang penjaga yang menunggu
majikannya sedang mandi. Matanya memandang
sekeliling, mengawasi kalau-kalau ada bahaya datang pada waktu Suto sedang
mandi. la siap menghalau bahaya itu sebelum bahaya mendekati Suto.
Semakin lama semakin berkerut cemas dahi
Selendang Kubur. Suto tidak timbul-timbul ke
permukaan air telaga. Hati Selendang Kubur menjadi cemas sekali, takut kalaukalau Suto tenggelam di telaga itu. Maka, ia pun berseru kepada Pujangga Kramat
yang masih bersembunyi di belakang pohon.
"Hai, Pujangga Kramat...! Apakah dia bisa berenang?"
"Entahlah!" jawab Pujangga Kramat. "Tak pernah melihatnya aku berenang, tak
pernah melihatnya aku tenggelam!"
Selendang Kubur tidak mengerti bahwa Suto
mempunyai kekuatan menahan napas cukup lama.
Suto yang punya niat untuk sekadar mandi itu
menjadi punya minat lain, yaitu ingin menyelam ke dasar telaga yang konon
menjadi kuburan Pusaka Tuak Setan. Suto ingin mengetahui apakah Cadaspati benar
sudah membawa lari Pusaka Tuak Setan, atau memang tidak menemukan apa-apa di
telaga itu. Air di pertengahan berwarna keruh, tapi di bagian mendekati dasar telaga
berwarna bening lagi. Mata Sumo sempat melihat benda yang separonya
terkubur tanah dasar telaga. Benda itu sangat mencurigakan. Letaknya tepat ada
di tengah dasar telaga. Suto bergegas berenang mendekatinya.
"Hei, itu seperti benda berbentuk guci"!" pikir Suto.
Lalu, ia menghentakkan tanah yang menimbun
separo benda itu. Dan, ternyata benda tersebut adalah guci berlumut, dibungkus
dengan anyaman pandan sebagai tempat guci yang juga berlumut, bahkan ada
beberapa rumah keong kecil-kecil
melekat di anyaman pandan.
"Inilah guci yang kulihat pada saat aku bersemadi di dalam gua. Berarti guci
inilah yang disebut Pusaka Tuak Setan"! Hmmm... kelihatannya keras sekali dan
sukar dihancurkan dengan tangan kosong. Sebaiknya kuhancurkan di darat saja. Aku
harus segera muncul ke permukaan!"
Suto bergegas berenang naik. Dalam hatinya ia sempat berkata, "Jadi, apa yang
direbutkan oleh Cadaspati dan Datuk Marah Gadai itu" Ternyata Cadaspati memang
tidak memiliki Pusaka Tuak
Setan!" Selendang Kubur merasa lega begitu melihat
kepala Suto muncul dari kedalaman air telaga. la
tidak segera mendekatinya, karena ia tahu hal itu akan membuat Suto malu dan tak
jadi naik ke darat.
Selendang Kubur hanya duduk diam di atas pohon.
Tapi pandangan matanya selalu tertuju pada tubuh Suto yang berpakaian basah
kuyup. Pandangan mata yang semula menemukan
keindahan dan membuat bibirnya menyunggingkan senyum itu, tiba-tiba berubah
menjadi sedikit tegang.
Rupanya pandangan mata perempuan berselendang putih di pinggangnya itu telah
menangkap sebuah benda berukuran kecil di tangan Suto. Benda itu berbentuk guci
kuno yang ukurannya sebesar
genggaman tangan Suto.
"Pusaka Tuak Setan!" gumam Selendang Kubur dengan hati berdebar-debar. "Tuak
itukah yang dikatakan sebagai Tuak Setan dan dapat
menimbulkan bencana besar jika disalahgunakan"
Seingatku Guru pernah menceritakan kehebatan tuak itu, yang dapat mendatangkan
badai topan lewat hembusan napas orang yang meminum tuak tersebut.
Oh, jelas orang itu akan menjadi sakti dan tak terkalahkan menghadapi lawan
manapun juga! Jelas orang tersebut menjadi raja di atas segala raja di tanah
Jawa ini. Hmmm...," Selendang Kubur masih tetap diam, hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Paman Giri, Pusaka Tuak Setan kutemukan!" kata Suto kepada Pujangga Kramat.
Orang berperut agak buncit itu memandang tak berkedip dengan perasaan kagum.
Hatinya berdebar-debar.
Sementara Guci Tuak Setan itu diperhatikan oleh Pujangga Kramat, Suto memikirkan
satu keanehan pada dirinya. la berkata dalam hati, "Rasa puyeng di kepalaku jadi
hilang" Hei... jalanku pun tadi tidak
limbung lagi. Apakah mabukku telah hilang akibat aku menyelam di air telaga itu"
Atau mabukku hilang akibat aku memegang Guci Tuak Setan ini?"
"Suto," kata Pujangga Kramat. "Satu ada lagi pusaka terkubur Tuak Setan
bersama!" "Maksudmu, ada satu pusaka lagi yang terkubur bersama Tuak Setan ini" Oh, ya...
aku ingat! Cincin Manik Intan."
"Ya. Ambillah. Ki Gila Tuak menyuruh
menghancurkan pusaka dua-duanya!"
Suto berpikir beberapa saat, kemudian kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya
mengeluarkan kata pelan.
"Ya, satu lagi pusaka milik Bibi Guru masih ada di dasar telaga. Sebaiknya
kuambil sekarang juga. Aku tadi melihatnya di sana!"
"Ambillah, orang lain sebelum mengambilnya!"
"Baik, Paman Giri. Bawalah dulu guci kuno ini, aku akan menyelam kembali ke
dasar telaga."
"Lama-lama jangan. Nanti hilang napasmu."
Suto segera melompat kembali ke dalam telaga.
Tindakannya itu membuat Selendang Kubur merasa heran dan perlu berkerut dahi.
"Mengapa ia kembali masuk ke dalam telaga?"
pikir Selendang Kubur. "Apakah dia meneruskan mandinya atau ada sesuatu yang
tertinggal di dasar kubur" Mungkin sebuah atau dua buah pusaka lagi yang masih
ada di sana. Hmmmm...! Sebaiknya
kutunggu saja hasilnya."
Pada saat Suto menyelam di dasar telaga kembali, tiba-tiba hatinya menjadi
gundah dan resah. Ada sesuatu yang membuat hatinya begitu. la berusaha melupakan
keresahan tersebut dan tetap mencari Cincin Manik Intan. Anehnya, cincin itu
tidak ditemukan. Suto mengorek tanah di tempat Pusaka Tuak
Setan tadi ditemukan, namun cincin itu tidak ada.
Suto bertambah gelisah karena tidak mudah
menemukan cincin itu. Hasratnya ingin naik ke permukaan air menjadi semakin
besar. Sampai-sampai timbul pertanyaan di batinnya.
"Ada apa di atas" Mengapa hasratku ingin muncul ke permukaan menjadi begitu
besar" Mengapa cincin itu sendiri hilang" Tadi kulihat kilau batuannya ada di
sini" Ke mana larinya cincin itu?"
Cukup lama Suto menahan kegundahan hati.
Cukup lama pula Suto menyelam mencari cincin itu.
Akhirnya ia tak tahan dengan keresahan hatinya, maka ia pun segera muncul di
permukaan telaga.
"Paman Giri, aku tidak...," kata-kata Suto terhenti seketika. Pandangan matanya
menemukan sesuatu yang amat mengejutkan. Mata Suto pun melebar. la segera
jejakkan kakinya yang ada di dalam air, dan tubuhnya melesat terbang dari
kedalaman air, lalu ia bersalto satu kali di udara. Kakinya mendarat dengan
tegar di samping sesosok tubuh yang terbujur kaku membiru.
"Paman Giri...!" Suto menyentakkan kata untuk membangunkan Pujangga Kramat.
Ternyata orang itu masih belum bisa membuka matanya. Sekujur
tubuhnya menjadi pucat kebiru-biruan. Di bagian lehernya ada jarum. Suto
mencabut jarum itu.
Diamatinya beberapa saat, dan ternyata jarum itu serupa dengan jarum beracun
yang mengenai punggung Dewi Murka.
"Celaka! Pusaka Tuak Setan tidak ada di tangan Paman Giri! Pasti ada yang telah
mencuri atau merebutnya dengan terlebih dulu merubuhkan Paman
Giri memakai jarum beracun. Hmmmm... Selendang Kubur... di mana dia" Mengapa
Selendang Kubur pun hilang" Benarkah Selendang Kubur yang merebut Pusaka Tuak
Setan itu?"
Suto bergegas mengambil bumbung tempat tuak
yang masih tetap bersandar di bawah pohon. Tapi dalam hatinya ia masih berkata,
"Jika benar Selendang Kubur telah mencuri Pusaka Tuak Setan dan meminum tuaknya,
maka dia adalah satu-satunya orang yang bisa menghancur leburkan tanah Jawa!
Keparat! Ke mana perginya Selendang Kubur" Pulang ke perguruannya" Hmmm... jelas
tak mungkin! Jadi, ke mana aku harus mencari
Selendang Kubur?"
SELESAI Segera menyusul!!!
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting
dalam episode: DARAH ASMARA GILA
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
Darah Dan Cinta Di Kota Medang 16 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Istana Kumala Putih 12

Cari Blog Ini