Ceritasilat Novel Online

Arca Ikan Biru 2

Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru Bagian 2


pula para anak buahnya. Mereka hanya tahu menjalankan perintah-perintah dari Arya Demung, si pemimpin yang menghidupi dan membiayai mereka dengan segala kebutuhan hidup. Yah, tak lain dari kebutuhan hidup. Kebutuhan lahiriah yang dapat dikenyam
dan dinikmati oleh inderawi. Sedang kebutuhan batin, oh, entahlah. Mungkin Arya
Demung tidak pernah me-nyinggung ataupun memikirkannya.
Maka pada keesokan harinya, Arya Demung telah
menyiapkan sahabat dan pengikutnya. Belasan ekor
kuda yang tampak segar-segar, sementara beberapa
anak buah Arya Demung tengah mengatur pelanapelana mereka serta bekal-bekal yang perlu dibawanya. Pada masing-masing lambung kiri orang-orang itu
tergantunglah sebuah golok panjang. Wajah-wajah mereka kelihatan keras dan tandus dengan dihiasi kumis ataupun jenggot yang lekat
dan menyeramkan pandangan.
Arya Demung tampak mengenakan baju dan celana
singset berwarna coklat, sedang kain di pinggangnya
berwarna merah berbunga-bunga besar. Tangannya
menggenggam sebilah golok lebar bertangkai sepanjang satu depa, sehingga
merupakan tombak pendek.
Si Mulut Bertudung mengenakan pakaian tenun halus lurik bersenjata sepasang pedang pendek yang ter-selip di kiri kanan
pinggangnya. Sedang si genit Teja Biru tampaknya tidak membawa senjata apa-apa,
kecuali ujung saputangan birunya yang terjuntai dari balik bajunya. Meskipun cuma selembar sapu tangan,
namun bagi Teja Biru telah merupakan satu senjata
ampuh yang tidak sedikit telah menjatuhkan korbankorban. Begitu juga Wasi Sableng tidak kelihatan membawa
senjata tajam di tangannya. Tapi para rekan-rekannya telah maklum bahwa pendekar
aneh angot-angotan
seperti dia, kadang-kadang mengeluarkan senjata aneh yang tak terduga-duga.
Seperti ia pernah bersenjata
tongkat kayu, batang ruas tebu, dan terakhir sewaktu bertanding dengan Teja
Biru, ia menggunakan seekor
ular weling sebagai senjatanya.
Nah, bukankah itu merupakan senjata yang aneh"
Pendekar aneh seperti Wasi Sableng sering pula mempunyai jurus-jurus asing yang sukar ditebak jenis dan macamnya. Pakaiannya
berwarna biru kehitaman.
Yang tampak seram adalah sepasang gelang hitam
berkilat berukuran tebal, menghias kedua pergelangan tangannya.
Di sebelahnya, sibuk menyiapkan kudanya, si Klenteng yang bertubuh pendek berkulit kehitaman. Ia bersenjata rantai logam yang dibelitkan pada
bahunya. "Ayo, kawan-kawan! Kita berangkat sekarang!" seru
Arya Demung beberapa saat kemudian, setelah ia melihat bahwa segenap rombongannya telah selesai bersiap-siap untuk berangkat. Dan sejurus itu pula ia meloncat ke atas punggung
kudanya. Wasi Sableng, Teja Biru, Si Mulut Bertudung dan
Klenteng menyusul dengan meloncat ke punggung kudanya masing-masing, begitu pula belasan anak buah
Arya Demung segera menyusulnya.
Tak antara lama, rombongan itupun meninggalkan
pintu gerbang batu karang dengan suara gemuruh dan
debu bergulung ke udara, menuju ke arah utara. Beberapa orang yang tetap tinggal menjaga di situ, pada
melambai-lambaikan tangannya, sebagai ucapan selamat jalan kepada rombongan yang telah berangkat itu.
BAGIAN III "APAKAH kau yakin bahwa di daerah terpencil itu
didiami oleh orang-orang seperti yang pernah kau lihat?" berkata sesosok
bayangan manusia yang mengendap di antara semak-semak kepada ketiga bayangan yang lain. Waktu itu cahaya sore dan senja mulai turun. Pohon-pohon menjadi tersapu oleh warna merah darah.
Sesekali terdengar suara ayam jantan berkokok di balik semak belukar yang telah gelap melekat.
"Inilah daerah di mana kita pernah dicegatnya, Kakang Wulung," ujar salah seorang yang tidak lain adalah Tungkoro. "Dua hari yang
lalu aku secara diamdiam telah memeriksa daerah ini, dan aku melihat beberapa orang asing yang belum pernah kujumpai dengan gelagat yang mencurigakan."
"Hmmm, memang daerah Demak selatan ini jarang
didiami oleh manusia," sambung Gagak Cemani di sebelah Mahesa Wulung. "Maka satu hal yang aneh bila
kita pernah diserang di daerah ini!"
"Aku merasakan sesuatu yang aneh di sini," ujar
Palumpang ikut mengutarakan isi hatinya. "Naluriku
seperti berkata bahwa kita tengah menghadapi sesuatu yang gawat!"
"Mungkin memang demikian," sahut Mahesa Wulung pula. "Hati-hatilah, Sobat. Mungkin kita tengah memasuki daerah sarang para
iblis dan hantu!"
Mereka berempat meneruskan langkahnya, mengendap-endap laksana empat ekor harimau yang lagi
mengincar korbannya ke arah selatan. Angin senja bertiup lembut tanpa menggoyangkan pepohonan, tapi
karenanya membuat suasana semakin tegang.
Pohon-pohon besar, seperti beringin, randu alas,
trembesi dan sebagainya berderetan bersela-sela tumbuh di sana dalam lindungan sinar senja, bagaikan
pagar-pagar hantu yang menakutkan.
"Heei, kita terlalu jauh meninggalkan kuda-kuda kita," bisik Palumpang kepada ketiga rekannya.
"Ooh, hampir kita melupakannya karena keasyikan
ini," sahut Mahesa Wulung. "Tolonglah Anda membawakannya kemari, Sobat Palumpang!"
"Baik," sahut Palumpang seraya berbalik mengendap ke arah utara untuk mengambil keempat ekor kuda mereka yang semula ditambatkan dekat semaksemak pohon salak.
Sebentar pula Palumpang telah mengambil kudakuda itu dan sementara ketiga rekannya tiba-tiba berbisik-bisik seraya menunjuk
ke arah selatan beberapa kali.
"Lihat, ada gerakan manusia di sebelah pohon beringin tua itu!" ujar Gagak Cemani. "Mereka duduk
bergerombol di sana."
"Barangkali satu rombongan orang-orang yang tengah dalam perjalanan ke suatu tempat," sambung Palumpang pula. "Mungkin mereka tengah beristirahat
karena hari telah gelap."
"Itu mungkin pula," Tungkoro berkata. "Tetapi aku
telah melihat mereka dua hari yang lalu. Jadi seandainya mereka beristirahat, masakan tiga hari ini belum selesai. Dan siapa tahu,
mungkin sebelum aku
melihat mereka, orang-orang itu telah bercokol di sa-na?"
Mahesa Wulung mengangkat dahi oleh pendapat
Tungkoro tadi. Tak dikiranya bahwa rekannya mempunyai pikiran sedemikian, setepat apa yang dipikirkannya pula. Karenanya iapun menjadi makin bercuriga terhadap orang-orang asing itu dan berkatalah ia,
"Mari kita mendekati mereka dengan diam-diam. Tapi
berhati-hatilah dengan kuda-kuda itu, Sobat Palumpang. Jangan sampai ia mengeluarkan ringkikan yang
mengejutkan orang-orang itu!"
"Jangan khawatir. Aku dapat menjaga mereka dengan baik," bisik Palumpang yang menggenggam keempat pasang tali kendali kuda-kuda itu.
Demikianlah, dengan gerakan hati-hati, Mahesa
Wulung berempat pelahan-lahan mendekati pohon beringin tua, tempat di mana segerombolan orang-orang
duduk berkeliling menghadapi api unggun yang telah
mulai mengecil, namun bongkah-bongkah bara api
masih cukup mengeluarkan hawa panas, cukup
menghangati tubuh-tubuh mereka.
Dan sesungguhnya memang mereka adalah orangorang yang tengah berkelana. Saat ini mereka lagi
mendengar keterangan-keterangan si pemimpin yang
duduk di tengah, di atas sepotong bongkah kayu besar. "Dengarlah baik-baik!" ujar si pemimpin yang bertubuh kekar. "Sebentar malam, dengan lenyapnya senja di pojok barat, kita akan segera menempuh perjalanan ke arah barat. Nah,
apakah dirimu telah menyiapkan untuk keperluan itu, Jimbaran?"
"Sudah, Guru," sahut Jimbaran kepada pemimpinnya, yakni Si Tangan Iblis. "Jika diijinkan, aku akan memeriksa sekali lagi."
"Boleh! Periksalah segala sesuatunya!"
Jimbaran si lengan tunggal itu lalu bangkit dengan
cekatan dan keluar meninggalkan gerombolan manusia
yang duduk berkeliling di dekat pohon beringin tua.
Tampaklah bahwa Jimbaran berjalan ke arah semaksemak dan masuk ke dalamnya.
Dalam pada itu, Mahesa Wulung berempat semakin
mendekati pohon beringin tua tersebut. Mereka dapat
melihat orang-orang duduk bergerombol di situ dari se-la-sela dedaunan semak di
sekitarnya. "Mereka lebih kurang sebanyak tiga puluh orang,"
bisik Mahesa Wulung kepada ketiga rekannya. "Satu
jumlah yang mencurigakan. Sayang kita tak mendengar pembicaraan mereka."
"Tapi untuk itu kita harus lebih mendekati!" sahut
Gagak Cemani menengahi. "Dan dengan kuda-kuda
ini, pasti tidak mungkin!"
"Andika berdua dapat mendekati mereka," Tungkoro
ikut berkata lirih. "Biarlah saya dan Sobat Palumpang tinggal di sini menjaga
kuda-kuda kita."
"Hmm, satu usul yang baik," gumam Mahesa Wulung. "Jarak kita dengan pohon beringin tua itu kira-kira sejauh lima belas
tombak, dan kita bisa mendekati mereka sampai sedekat lima tombak, asal tanpa
membuat suara."
"Bagus. Marilah kita kerjakan, Adi Wulung!" sahut
Gagak Cemani yang sudah tidak sabar lagi melihat
pemandangan di depannya. Ia ingin segera tahu, siapakah sebenarnya mereka itu" "Dan Sobat Palumpang
serta Tungkoro, haraplah berhati-hati."
"Terima kasih," jawab Palumpang berdua.
"Mari berangkat!" bisik Mahesa Wulung seraya menjentik pundak Gagak Cemari seraya menggenjotkan
kakinya ke tanah dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh. Sesaat itu pula Gagak Cemanipun melesat
menyusulnya. Mereka berdua berloncatan dari pohon-pohon tanpa
membuat suara gaduh, kecuali desir angin lembut
yang tak berarti. Gerakan mereka sangat ringan dan
gesit, ibarat dua ekor tupai berkejaran ke arah selatan.
Sementara itu Tungkoro dan Palumpang cuma
mengikuti kedua sahabatnya tadi dengan hati berdebar-debar. Selain kagum akan ilmu dan gerakan mereka, juga kemungkinan bahaya yang bakal ditemui oleh
Mahesa Wulung dan Gagak Cemani membuat hati Palumpang berdua menjadi berdebar-debar.
Sementara itu bulan yang separoh bulat telah terbit
di langit sebelah timur. Cahayanya tidak begitu terang, tapi cukuplah untuk
mengganti cahaya senja yang semakin menipis.
Daerah itu penuh pula ditumbuhi oleh semak pohon ilalang, menempati bagian-bagian yang tidak ditumbuhi oleh pohon-pohon besar, sehingga sangat cocok kiranya bila daerah tersebut ditempati sebagai sarang-sarang persembunyian.
Akan tetapi sangat cocok pula bagi Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani untuk mengintai si Tangan Iblis
dan segenap gerombolannya yang tengah berkumpul di
situ. Mereka hinggap di atas dahan pohon trembesi, tak
jauh dari beringin tua itu, kemudian turun ke bawah
dan bersembunyi di balik semak ilalang. Maka tak antara lama Mahesa Wulung dan Gagak Cemani dapat
lebih jelas melihat ke arah sasaran.
Tangan Iblis masih kelihatan bercakap-cakap dengan para pengikutnya dan tiba-tiba dari semak di sebelah selatan muncullah
Jimbaran yang langsung masuk
ke dalam gerombolan manusia itu dan berkatalah ia
kepada Tangan Iblis, "Guru, semua telah siap dan kuda-kuda kita telah pula dipelanai oleh orang-orang ki-ta!" "Yah, jika demikian
kita dapat berkemas sekarang,"
ujar Tangan Iblis seraya berdiri dari tempat duduknya.
"Hayo, anak-anak, berkemaslah! Dan padamkan api
unggun itu!"
Mahesa Wulung menjentik pundak Gagak Cemani,
dan keduanya telah memegang tangkai golok dan pedang mereka dengan eratnya. Mereka telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Tak dikira bahwa
saat mereka tiba di tempat itu, tepat pula Tangan Iblis dan gerombolannya siap
berkemas meninggalkan tempat itu. Hal ini sungguh di luar dugaan.
"Sttt, kita menunggu mereka?" desis Gagak Cemani.
"Ya, kita harus mengetahui, ke arah mana mereka
akan pergi," ujar Mahesa Wulung. "Inilah yang terpenting!"
"Heei, mereka memadamkan api unggun," bisik Gagak Cemani. "Lihatlah, Adi Wulung!"
Beberapa orang anak buah Tangan Iblis tampak
menyiram-nyiramkan pasir dan percikan air dari sisasisa air minum mereka. Akan tetapi Tangan Iblis sege-ra mencegah mereka dengan
nada keras, "Ahh, terlalu
lama! Biarlah aku matikan api unggun ini. Kalian boleh berkemas-kemas dengan kuda-kuda itu. Ayoo!"
Habis berkata, Tangan Iblis tiba-tiba mendorongkan
telapak tangan kanannya ke arah api unggun itu dan
terdengarlah suara letupan kecil disusul desisan panjang. Ssss....
Sungguh mengagumkan, bahwa seluruh bara api
itu telah padam menjadi arang dan tumpukan abu
memutih seolah-olah tersiram olah curahan air hujan.
"Lihatlah, Kakang Cemani," bisik Mahesa Wulung
perlahan. "Si pemimpin itu mempunyai tenaga dalam
yang hebat. Pukulan telapak tangannya sanggup me

Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

madamkan api!"
"Jika aku boleh berprasangka, orang itulah yang
membunuh kedua orang tawanan kita di daerah ini
beberapa hari yang lalu," ujar Gagak Cemani.
Mahesa Wulung terperanjat dan berdesis, "Jika perkiraan itu benar... berarti orang inilah yang bernama Tangan Iblis! Bukankah ini
kesimpulan yang kita
tunggu-tunggu?"
"Lihatlah, mereka telah berkemas-kemas!" berkata
pula Gagak Cemani. "Mereka mengeluarkan kudakudanya dari balik semak belukar di sebelah selatan."
Ternyata memang semak belukar di sebelah selatan
itu adalah tempat penambatan kuda yang tersembunyi
bagi gerombolan Tangan Iblis. Kini mereka telah menyiapkan diri, dan sesaat kemudian Tangan Iblis berseru kepada Jimbaran, "Jimbaran! Aturlah orangorang kita untuk berkuda dua-dua. Kita tidak melewati jalan umum, tetapi
menerobos semak-semak. Karenanya, tempatkanlah empat orang di sebelah depan
untuk merintis dan membuka jalan!"
"Baik, Guru Tangan Iblis! Kita telah siap," sahut
Jimbaran sekaligus meloncat ke punggung kudanya.
Demikian juga Tangan Iblis mencengklak ke atas
punggung kudanya dengan gerakan lincah dan sebat.
Sebentar itu pula si pemimpin ini mengacungkan
tangannya ke arah barat dan rombonganpun bergerak!
Dengan empat orang yang mendahului, barisan ini
mulai menempuh perjalanan yang tidak diketahui arah
tujuannya. Baik oleh Mahesa Wulung dan Gagak Cemani, maupun oleh para anak buah Tangan Iblis sendiri, kecuali bagi Tangan Iblis dan Jimbaran.
Yang terang rombongan itu bergerak ke arah barat,
menerobos semak belukar yang menggelap, dan hanya
sedikit sekali sinar bulan membantu mereka.
"Kita kembali ke utara," bisik Mahesa Wulung kepada Gagak Cemani. "Kita harus cepat-cepat mendapatkan Sobat Palumpang dan Tungkoro!"
"Tapi tunggu dulu!" cegah Gagak Cemani. "Biarkan
mereka berlalu semua dari tempat ini. Nah, mereka telah menerobos ke barat
sekarang." Demikian Gagak
Cemani berkata seraya terus-menerus mengawasi
rombongan Tangan Iblis yang telah berangkat.
Dengan sigap mereka menyelinap di balik dedaunan
semak ke arah utara, dan selanjutnya berloncatan bagaikan kijang berpacu keriangan. Cahaya senja, sementara itu telah lenyap sama sekali, tenggelam di ka-ki langit barat dengan
diratapi oleh kokok ayam hutan yang akan masuk ke dalam sarangnya.
Tungkoro dan Palumpang terkejut pula melihat Mahesa Wulung dan Gagak Cemani datang dengan sikap
tergopoh-gopoh sehingga mereka berseru mengajukan
pertanyaan, "Heei, kalian dikejar lawan!?"
"Tidak!" sahut Mahesa Wulung. "Bahkan kita yang
akan mengejar lawan! Bersiaplah dengan kuda kalian!"
Tanpa bertanya lebih banyak, Tungkoro dan Palumpang telah meloncat ke atas kudanya, disusul oleh
Mahesa Wulung dan Gagak Cemani. Merekapun menderapkan kudanya ke selatan ke arah jalan yang telah dikenal oleh Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani. Mereka berdua berpacu di sebelah depan lalu di belakangnya, adalah Tungkoro dan Palumpang. Beberapa
ekor kunang-kunang bersibak menghindarkan diri dari
depan mereka, seolah-olah bagaikan kilatan air laut
yang tersibak oleh haluan perahu.
Dengan hati-hati, Mahesa Wulung segera memberitahu kepada kedua rekannya yang berada di sebelah
belakang agar mereka melambatkan lari kudanya.
Karenanya, Tungkoro dan Palumpang dapat pula
memakluminya bahwa mereka berempat telah mulai
memasuki jalan rintisan yang menerobos semak belukar dan pepohonan yang lebat. Rupanya saja ini adalah jalan rintisan yang baru saja dilalui oleh Tangan Iblis dan rombongannya.
Sepanjang jalan itu, terlihat bekas-bekas dahan pohon yang putus, bekas ditebasi oleh senjata-senjata tajam. Pohon-pohon besar
tumbuh di kanan-kiri mereka,
dan kadang kala beberapa ekor burung yang terbangun dari tidurnya, seketika terkejut dan berkepakkepak menjauhkan diri.
Dalam pada itu Palumpang hampir saja terpekik
kaget, ketika ia melihat beberapa pasang mata bersinar bertengger di atas dahandahan pohon. Maka dengan
gerakan agak lucu, Palumpang cepat-cepat menutup
mulutnya dengan telapak tangannya. Melihat ini,
hampir-hampir Tungkoro mengeluarkan tawanya yang
berderai. "Sttt, mengapa, Sobat?" tanya Tungkoro.
"Itu...! Ah, aku kira hantu dedemit!" sahut Palumpang seraya menunjuk ke arah pasangan mata yang
mengkilap. "Kiranya adalah burung-burung hantu
yang lagi bercanda!"
"Heh, heh. Untunglah Anda tidak jadi berteriak! Kalau jadi... mungkin sayapun akan ikut berteriak ketakutan," ujar Tungkoro
setengah menggoda, membuat
Palumpang tersenyum kecut merasa malu.
Perjalanan semakin jauh menerobos ke arah barat,
seperti tak akan ada habisnya daerah yang tengah mereka lewati ini. Gagak Cemani yang berkuda di samping kiri senantiasa menggunakan ketajaman telinganya guna mendengarkan gerakan
ataupun suara-suara
yang datang dari sebelah depan.
Begitu pula Mahesa Wulung yang memiliki telinga
tajam, selalu waspada terhadap keselamatan mereka
berempat. Sebab tidak mustahil, bahwa tanpa disengaja akan kecepatannya, mereka dapat menyusul terlalu
dekat terhadap rombongan Tangan Iblis. Jika itu terja-di maka berbahayalah
akibatnya. Mungkin iringan terbelakang dari rombongan Tangan Iblis dapat mendengar akan derap langkah kaki-kaki kuda Mahesa Wulung berempat. Untuk ini, perlulah mereka menjaga jarak perjalanan.
Oleh sebab itu pula, tidak jarang mereka berempat
berkali-kali berhenti sejenak untuk mengatur jarak
tersebut. Hal ini sesungguhnya sangat membosankan
bagi para pemburu itu, namun hanya itulah satusatunya jalan yang paling baik, yang dapat mereka lakukan.
"Kemana kiranya mereka akan menuju" Kita belum
melihat tanda-tanda bahwa mereka akan berhenti!"
ujar Gagak Cemani dengan nada agak kaku.
"Kita tidak tahu!" sahut Mahesa Wulung. "Aku kira
mereka betul-betul menggunakan kesempatan malam
hari untuk menempuh perjalanan ini!"
"Dan lagi mereka memilih jalan yang belum pernah
dijamah oleh manusia," Gagak Cemani menyambung.
"Satu cara yang pandai dan penuh siasat."
"Mudah-mudahan kita akan segera tahu akan maksud dan tujuan mereka, Kakang Cemani," kata Mahesa
Wulung sambil menahan tali kekang kudanya ketika
kuda tersebut akan menderap lebih cepat.
Dalam saat yang sama....
Jauh di sebelah depan, rombongan Tangan Iblis
maju dengan cepatnya. Empat orang yang berjalan di
sebelah depan dengan golok dan pedangnya, menebasi
ranting-ranting yang menghalang di depan mereka.
Sungguh suatu pekerjaan yang tidak ringan, apalagi
dilakukannya dalam waktu malam. Namun ternyata
bahwa mereka sangat terlatih untuk pekerjaanpekerjaan yang demikian itu.
"Jimbaran," ujar Tangan Iblis seraya berpaling ke
kiri, di mana murid utamanya ini berkuda. "Apakah
kau merasakan bahwa perjalanan kita ini sangat sulit!?" "Bagi orang biasa memang sulit, Guru. Tetapi bagi
gerombolan Tangan Iblis, tak ada jurang yang dalam,
tak ada gunung yang tinggi," berkata Jimbaran dengan mantapnya.
Tangan Iblis tersenyum kecil oleh kata-kata bersemangat dari muridnya. Memang dia pandai mengambil
hati gurunya dan sesungguhnya pula kata-kata tersebut tidak jauh dari kebenaran yang ada.
Jauh waktu, sebelum Tangan Iblis membawa anak
buahnya sampai ke tempat itu, mereka telah digembleng dan dilantik untuk tugas-tugas tertentu yang
cukup berat. Karenanya, setelah mereka berhasil menyelesaikan latihan-latihan itu, tak ada lagi istilah sulit ataupun sukar di
dalam diri mereka.
Bersama pemimpinnya yang bergelar Tangan Iblis,
mereka sanggup menjelajah ke mana saja, tak memperdulikan hutan lebat, lereng yang curam, lembah
yang angker ataupun setan dedemit. Sedang menghadapi lawan-lawan sehebat apapun, mereka tidak menjadi gentar pula.
Namun, benarkah bahwa mereka tidak memiliki rasa gentar" Sedangkan Tangan Iblis sendiri telah sekelumit merasakan kegentaran
ini ketika tiba-tiba ia berkenalan dengan Pukulan Angin Bisu milik Mahesa Wulung beberapa waktu yang silam.
"Guru, apakah kita akan menghadapi tokoh-tokoh
yang tangguh?" bertanya Jimbaran.
Tangan Iblis mengerutkan dahinya oleh pertanyaan
si lengan tunggal itu, lalu katanya, "Aku kira begitu, Jimbaran. Apakah engkau
merasa cemas"!"
"Ooh, tidak Guru," sahut Jimbaran cepat. "Aku
memikirkan bahwa suatu saat Andika akan dapat menemukan lawan yang dahulu pernah diceriterakan oleh
Guru!" "Ya, ya. Aku masih ingat hal itu," sahut Tangan Iblis. Sesaat terkilaslah kenangan ketika ia diserang dengan Pukulan Angin Bisu
oleh seorang lawan di padang
rumput ilalang. "Justru merupakan suatu anugerah jika aku sampai berhasil menemukan orang itu!"
"Sudahkah Guru mengetahui nama orang itu?"
"Sayangnya memang belum. Tapi aku segera dapat
mengenal orang itu bila ia menggunakan ilmu pukulannya! Dan di saat itulah aku akan mengadu tenaga
dengan dia!"
Jimbaran tak berkata lagi dan membiarkan gurunya
bergelut dengan pikirannya sendiri tentang kemauan,
cita-cita dan sepak terjangnya. Maka rombongan itu
kembali sunyi, kecuali sesekali bunyi ringkikan kuda memecah kesepian, sedang di
barisan depan tetap terdengar bunyi tebasan-tebasan golok dan pedang yang
mematahkan ranting-ranting pepohonan serta semak.
Barisan berkuda itu tak ubahnya seekor ular hantu
yang menyelusup, menerobos hutan pekat di malam
hari dengan satu keberanian yang luar biasa. Mereka
terus bergerak ke barat.
BAGIAN IV DESA PETERONGAN dalam suasana ketenangan.
Sinar bulan yang separoh bulat, terbentang redup
oleh arak-arakan awan setipis kain sutera mengalir ke arah utara. Desa yang
terletak di sebelah tenggara dan termasuk dalam wilayah bandar Asemarang itu
selalu tampak tenang-tenang.
Beberapa rumah masih kelihatan menyalakan lampu minyaknya, menandakan bahwa penghuninya masih berjaga, dan bila orang menengok ke rumah Ki
Demang Cundraka, akan tahulah bahwa Ki Demang
pun masih berjaga dan tengah bercakap-cakap dengan
beberapa orang.
"Biarlah aku ikut bersamamu, Ayah!" ujar Tuntari
dengan suara bernada manja.
Demang Cundraka menatap ke arah puterinya.
"Perjalanan kali ini sangat berbahaya, Atun!"
"Tapi... tapi bukankah Atun sudah dapat menjaga
keselamatan diri sendiri...?"
"Benar, Nak. Namun lebih baik bila engkau tinggal
di rumah bersama ibu dan adikmu," sahut Ki Demang
Cundraka seraya menatap ke arah Nyi Demang yang
ikut berkumpul di ruang itu.
"Begitulah sebaiknya, Angger Tuntari," sambung Ki
Dunuk ikut berbicara, menumpangi tutur kata Demang Cundraka. Sebagai seorang tua yang dapat menangkap arti pandangan mata Ki Demang, Ki Dunuk
mengetahui bahwa Ki Demang tidak menghendaki puterinya mengikuti dalam perjalanan yang akan diadakan oleh Ki Demang Cundraka. "Angger dapat menjaga
ibu dan adikmu di rumah. Kiranya aku dan beberapa
orang kawan sudah cukup untuk mengawani dan
mengawal Kakang Demang."
"Tuntari," berkata pula Nyi Demang kepada puterinya, "turutlah akan kata-kata ayahmu dan pamanmu
Ki Dunuk itu, Ngger." Nyi Demang membujuk Tuntari
seraya mengelus-elus pundak anak gadisnya sebagai
curahan kasih sayang seorang ibu. "Aku menghargai
sekali akan tekadmu untuk mengawal ayahmu itu,
Ngger. Tetapi bila engkau tinggal di rumah, Anggerpun dapat mengawal ibu dan
adikmu. Bukankah kedua hal
itu sama pentingnya?"
Tuntari tak dapat menyangkal tutur kata ibunya,
maka iapun tertunduk diam, sementara hatinya berkata-kata sendiri, "Apa yang dikatakan Ibu dan Paman
Dunuk adalah benar. Ibu dan Ayah sama pentingnya
bagiku. Maka menjaga Ibu di rumah sama saja dengan
mengawal Ayah di dalam perjalanan. Bukankah mereka berdua adalah orang tuaku dan keduanya samasama aku sayangi tanpa perbedaan apapun."
"Ayah pun sudah maklum, bahwa perjalanan Ayah
untuk mengantar Arca Ikan Biru ke Demak ini banyak
bahayanya. Beberapa orang, seperti yang pernah kau
alami, ternyata telah mengincar benda tadi, sehingga dapat dipastikan bahwa
setidak-tidaknya mereka akan
berusaha kembali mencari benda tersebut. Akan tetapi jangan dikira bahwa mereka
akan begitu saja dengan
mudahnya untuk merampas benda itu dari tanganku!"
berkata Ki Demang Cundraka sambil menatap wajahwajah di sekelilingnya. "Benda yang bernama Arca Ikan Biru ini sangat penting
bagi kita semua, dan ia harus secepat-cepatnya kita serahkan ke Demak. Jika


Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai terlambat, pasti kota Asemarang bakal dilanda oleh bahaya!"
"Tuntari bersedia memenuhi perintah Ayahanda,"
ujar Tuntari dengan suara tenang, sebab ia banyak
mempertimbangkan segala persoalan. "Saya akan tinggal di rumah menjaga Ibu dan adik...."
Helaan napas lega terdengar dari hidung Ki Dunuk
dan Ki Demang Cundraka, sementara Nyi Demang tersenyum lebar seraya berkata, "Nah, engkau telah berpikir bijaksana, Nak. Biarlah Ayah berangkat bersama Ki Dunuk dan beberapa
pengawal. Aku percaya bahwa
ayahmu akan sanggup menanggulangi segala kesulitan
serta bahaya yang ada. Kita di rumah dapat membantu
dengan doa semoga ia sampai ke Demak dengan selamat." Sekali lagi Tuntari mengangguk pelan.
"Ayah akan berangkat pagi-pagi, Nak. Engkau boleh
menyiapkan bekal perjalanan bersama ibumu," ujar Ki
Demang Cundraka kepada Tuntari. Maka tidak antara
lama merekapun bekerja bersama Nyi Demang dan
Tuntari segera sibuk menyiapkan bekal bagi Ki Demang Cundraka untuk perjalanan yang cukup jauh
itu. Begitu pula Ki Dunuk membantu Demang Cundraka, melipat beberapa potong pakaian, memberesi senjata, dan yang paling penting adalah membungkus kotak kayu berukir yang berisi Arca Ikan Biru. Benda inilah yang telah melibatkan
mereka dalam tugas yang
berat dan menyulitkan.
Siapakah menyangkal bahwa benda tersebut mempunyai taruhan nyawa bagi orang yang menyimpannya. Telah terbukti bahwa Ki Saudagar Sungkana yang
menyimpan benda itu telah diserbu oleh Si Mulut Bertudung dan orang-orangnya, sampai akhirnya ia menderita luka-luka cukup parah. Seandainya ia tidak keburu ditolong oleh Tuntari,
Ki Dunuk dan Bikhu
Gandharapati, pastilah ia telah tewas di ujung senjata para penyerang itu.
(Periksalah seri Naga Geni 22 "Jejak Tangan Iblis")
Begitupun si pelaut tua, orang yang mula-mula
membawa Arca Ikan Biru dan ditugaskan oleh Ki Rikma Rembyak untuk menyampaikannya kepada Tangan
Iblis, kini telah mati. Ia dibunuh oleh kaki tangan
Rikma Rembyak, karena dia telah dianggap berkhianat, setelah ia menyerahkan Arca Ikan Biru tadi, justru kepada Ki Sungkana dan
bukan kepada Tangan Iblis.
Mengapa hal itu bisa terjadi"
Ternyata si pelaut tua itu dapat mengetahui, bahwa
benda tersebut merupakan benda yang gawat dan harus segera disampaikan ke Demak lewat Ki Sungkana.
Ia telah insyaf bila benda itu benar-benar jatuh kepada Tangan Iblis maka bandar
Asemarang akan diancam
malapetaka. Dengan mengingat persoalan-persoalan di atas, maka sekali lagi Ki Demang Cundraka semakin sadar
bahwa perjalanan yang bakal dilakukan ini sangat
berbahaya. Ia tak ingin melibatkan puterinya, Tuntari, dalam bahaya itu.
"Biarlah," demikian tekad Ki Demang Cundraka. "Bahaya itu akan kuhadapi sendiri
bersama Ki Dunuk dan beberapa orang pembantu."
Beberapa kali Ki Demang Cundraka masih menggosok-gosok mata pedangnya sambil merenunginya. Sudah beberapa lama ia tak menggunakan senjata itu
dan kini terpaksalah ia harus menghunusnya demi
memperjuangkan kebenaran.
Dalam pada itu, Ki Dunuk tak mau mengganggu
Demang Cundraka. Dibiarkannya sahabat kentalnya
itu membersihkan senjata dan bergelut dengan perenungannya, sementara ia sendiri tengah asyik menimang-nimang sebuah kapak bertangkai pendek, satusatunya senjata yang telah sekian lama tidak disentuhnya. Besok pagi senjata-senjata itu akan tergantung di pinggang mereka dan siap membela tuannya
dari segala marabahaya.
Pada keesokan harinya, tepat di saat ayam jantan
pertama berkokok, Ki Demang Cundraka telah bangun,
begitu pula dengan segenap isi rumah Ki Demang.
Dari gandok wetan, yakni rumah yang ditempati
oleh kelima pengawal Ki Demang, telah pula tampak
bersama-sama Ki Dunuk mengeluarkan tujuh ekor
kuda dari kandang di belakang rumah dan menyiapkannya di halaman pendapa.
Sang matahari perlahan-lahan menyorotkan sinarnya dari balik gumpalan pepohonan di pojok timur, diiringi oleh kicau unggas
yang beterbangan di udara
dengan riangnya untuk menyambut udara segar dan
bersih. Persiapan Ki Demang Cundraka telah selesai.
"Nah, Nyai. Tinggallah baik-baik di rumah. Tuntari
akan menjagamu," ujar Demang Cundraka kepada isteri dan anak puterinya, sedang adik laki-laki Tuntari masih belum kelihatan.
Agaknya ia masih nyenyak tidur di balik selimutnya.
Nyi Demang dan Tuntari masih melambailambaikan tangannya ketika Demang Cundraka, Ki
Dunuk, Linting dan empat orang lainnya telah berpacu meninggalkan halaman rumah,
menuju ke arah timur
laut dengan kencangnya.
"Aku merasakan, hatiku menjadi berdebar-debar
dengan keberangkatan Ayah, Bu!" ujar Tuntari seraya tidak melepaskan pandangan
matanya dari rombongan
ayahnya yang berkuda semakin jauh itu.
"Ah, engkau mencemaskan ayahmu, Atun!" ujar Nyi
Demang seraya merangkul Tuntari. "Apakah engkau
masih menyangsikan kesanggupan ayahmu dalam berolah senjata?"
"Bukan hal itu, Ibu...."
"Jadi apa yang membuatmu khawatir?"
"Tidak lain adalah orang-orang yang selalu mengincar Arca Ikan Biru di tangan Ayah! Bukankah Ayah
adalah orang ketiga yang menyimpan benda tersebut?"
"Elho, jadi apa hubungannya dengan orang pertama
dan kedua, Tuntari?" bertanya Nyi Demang.
"Orang pertama telah tewas karena benda itu. Sedang orang kedua yakni Paman Sungkana telah pula
cedera akibat benda itu pula. Aku khawatir..., aku...
khawatir..., bila Ayah..., bila Ayah...."
"Ahh, janganlah kau berpikir begitu, Atun. Itu tak
baik!" ujar Nyi Demang dengan menghela napas. "Janganlah berpikir yang buruk-buruk tentang ayahmu.
Pikirkanlah tentang keselamatan dan hal yang baikbaik, agar ayahmu memperoleh keselamatan serta kelancaran dalam perjalanan mereka itu!"
"Maaf, Ibu," keluh Tuntari seraya memeluk ibunya,
membuat Nyi Demang terharu pula, mengingat betapa
besar cinta kasih putera-puterinya kepada kedua
orang tuanya. Dan Nyi Demang ikut menjadi cemas ketika dirasanya bahwa kedua tangan Tuntari telah bergetar dan dingin.
Maka segeralah Nyi Demang membimbing Tuntari
masuk ke dalam pendapa sambil berkali-kali menasehatinya agar Tuntari beristirahat dan berpikir tenang.
"Beristirahatlah, Atun!" ujar Nyi Demang. "Barangkali engkau masuk angin, karena semalam engkau
berjaga sampai larut malam. Akan kubikinkan untukmu ramuan jamu pengusir angin jahat, Nak!"
"Terimakasih, Ibu," ujar Tuntari seraya merebahkan
badannya ke atas balai-balai di dekat jendela kamarnya dengan perasaan yang gundah. Betapapun ia berusaha menenangkan diri, tapi ternyata tidak semudah yang ia duga. Dan mungkin
kegelisahan Tuntari ini
merupakan satu firasat yang tidak mereka pahami,
bahwa sesungguhnya satu bahaya telah mengintai perjalanan Ki Demang Cundraka.
Bahaya itu tidak lain adalah berasal dari Arya Demung dengan gerombolannya yang selalu mengincar
Arca Ikan Biru!
Kembali ke daerah selatan Demak. Mahesa Wulung,
Gagak Cemani, Tungkoro dan Palumpang masih terus
membuntuti jejak Tangan Iblis yang bergerak ke arah
barat. Semalaman mereka terus berkuda.
Kini, matahari pagi telah mulai menampakkan diri,
dan sinarnya yang masih condong sekali itu menerobos sela-sela dedaunan menerangi kepekatan hutan di
sekeliling. Ternyata kini tampaklah pemandangan yang menyegarkan, berbeda sekali
dengan suasana di waktu
malam yang gelap pekat dan menyeramkan.
Bunga-bunga liar tumbuh di sana-sini dengan indahnya, sementara beberapa burung pemakan madu
dan kupu-kupu beterbangan di atas dedaunan.
Palumpang berdesis gembira ketika ia mendapatkan
buah-buah pisang hutan yang telah ranum dan masak. Buru-buru ia memetiknya dari pohon.
"Haa, lumayan buat sarapan pagi!" ujar Palumpang
seraya menyungir-nyungir. "Hmm, beberapa di antaranya telah berlobang! Dimakan burung atau tupai."
Mahesa Wulung bertiga tersenyum melihat kecekatan Palumpang memungut pisang-pisang hutan itu
dan mereka menerima bagian pisangnya dengan rasa
bersyukur. Dengan begitu mereka dapat sekedar mengisi perutnya yang telah mulai kosong, setelah semalaman mereka berkuda terus-menerus. Bagi mereka,
perjalanan ini dianggapnya biasa saja. Tetapi bagi
orang-orang biasa, ah, barangkali akan jatuh tertidur di atas pelana kudanya.
Atau barangkali malah terlempar jatuh di atas tanah, saking kelelahan dan kantuknya. "Kakang Cemani," ujar Mahesa Wulung lalu menoleh ke samping, "apakah Kakang ingin mengambil istirahat barang sejenak?"
"Sekarang belum perlu, Adi Wulung," sahut Gagak
Cemani pelan. "Nanti saja, menjelang tengah hari dan saat luhur, kita akan
beristirahat sebentar."
"Benar, Sobat Mahesa Wulung," sambung Palumpang pula. "Kita masih cukup segar untuk meneruskan perjalanan ini. Lihatlah, merekapun terus meninggalkan jejak yang baru!"
Mahesa Wulung melihat pula, beberapa ranting dan
semak belukar yang ditebas-tebas sebagai pembuka jalan. Bekas-bekas itu telah ditinggalkan oleh rombongan Tangan Iblis tanpa sedikitpun menduga bahwa
mereka dibuntuti oleh empat orang pendekar dengan
seksama. Akan tetapi benarkah bahwa pembuntutan itu akan
terus-menerus berjalan lancar" Suatu kejadian kecil
yang tak terduga dan sangat sepele telah merobah suasana itu. Hal itu bermula dari seekor kera kecil yang selalu duduk di atas
punggung kuda si Tangan Iblis.
Kera tersebut sudah sangat jinak dan berkali-kali ia
naik turun ke atas pundak Tangan Iblis tanpa rasa
sungkan-sungkan, sebab sebenarnya Tangan Iblispun
sangat menyayangi binatang kecil itu.
Namun tiba-tiba saja kera kecil itu telah mengangkat jidatnya, manakala dari sebuah cabang pohon terdengar jeritan-jeritan nyaring dan riuh.
Tangan Iblis, Jimbaran serta beberapa orang anak
buahnya ikut terkejut sesaat, namun kemudian tertawa bila suara riuh tadi berasal dari beberapa ekor kera besar-kecil yang
bertenggeran di atas pohon. Dengan
gerakan-gerakan yang lucu dan lincahnya, kera-kera
itu mencibir dan meringis-ringis ke arah kera kecil
yang bertengger pada pundak Tangan Iblis, seolah-olah menggoda ataupun mengajak
bergurau dengan si kera
kecil itu. "Heh, heh, heh. Lihatlah, Jimbaran! Si kecil ini
mendapat sambutan dari munyuk-munyuk itu," ujar
Tangan Iblis sambil tersenyum lebar.
"Barangkali ia menerima salam ucapan selamat datang dari mereka," ujar Jimbaran pula.
Akan tetapi mendadak saja semuanya pada terperanjat dan rupanya saja tafsiran mereka adalah keliru.
Si kera kecil tiba-tiba ikut berteriak dan menjerit-jerit dari atas pundak
Tangan Iblis. Bahkan sejurus kemudian ia meloncat pergi meninggalkan tuannya
dengan satu jeritan nyaring. "Nyitt... nguuk, nguuk, nguukkk!"
"Heeei" Dia pergi kepada mereka!" seru Tangan Iblis
kaget. "Hayo, Jimbaran. Kejarlah si munyuk kecil keparat itu! Sungguh nakal dia!"
Jimbaran segera meloncat turun dari atas punggung kudanya, lalu mengejar si kera kecil itu.
"Heei, kembali, Sireng! Kembali!" seru Jimbaran
sambil berloncatan mengejar. Namun si kera kecil
maupun rombongan kera-kera itu justru malah terkejut dan mereka berlarian ke arah timur dengan cepatnya. Jimbaran tidak mau menyerah dengan kera-kera
itu. Ia terus berloncatan gesit mengejar mereka. Bagaimanapun sukarnya, ia akan berusaha mati-matian
untuk menangkap si kera kecil yang nakal itu. Jimbaran telah tahu bahwa Tangan Iblis sangat menyayangi
kera kecil yang bernama Sireng tadi, karenanya ia harus selekas mungkin
menangkapnya kembali.
Dengan kepergian Jimbaran, rombongan Tangan Iblis terpaksa mengurangi kecepatan jalannya, untuk
menjaga supaya Jimbaran tidak ketinggalan terlalu
jauh bila ia kembali.
Tanpa menggubris akan segala rintangan, Jimbaran
berloncatan dari dahan pohon ke dahan yang lain.
Meski tangannya hanya sebelah saja, Jimbaran tidak
kehilangan kegesitannya untuk bergerak. Tubuhnya
bagaikan kijang melesat ke arah timur, di mana kerakera tersebut berlarian lewat dahan-dahan pohon.
Jimbaran menjadi semakin jengkel. Ternyata kerakera itu tidak mau begitu saja ditangkapnya. Setiap
kali hampir terjangkau oleh tangannya, setiap kali pula si kera kecil yang
bernama Sireng itu menambah kecepatan larinya. Sedang kera-kera lainnya ikut


Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlari di sampingnya, seolah-olah memberi semangat dan
membimbingnya, agar si kera kecil itu tidak kembali ke tangan manusia-manusia
itu. Terus saja Jimbaran berloncatan mengejar. Terus
dan terus ia memburu si kera kecil tadi tanpa mengingat-ingat telah seberapa
jauh ia meninggalkan barisannya. Tetapi tiba-tiba ia mengendap turun ke bawah dan menghentikan
pengejarannya terhadap kera-kera
tadi. Seperti seekor bunglon ia menyelinap dan mengintai
dari balik batang pohon. Kedua matanya menatap ke
arah timur. Dari arah sinar matahari pagi, terlihat empat sosok bayangan manusia berkuda.
"Hah, ada orang yang menuju kemari!" desis Jimbaran dengan hati tersontak kaget. "Mereka menuruti jejak yang dilalui oleh
pasukan kami! Hmm. Tegasnya,
mereka tengah membuntuti kami! Celaka, aku harus
cepat-cepat kembali, untuk melaporkan hal ini kepada Guru Tangan Iblis!"
Maka tanpa membuang waktu lagi, Jimbaran terus
berbalik dan meloncat kembali ke arah barat dengan
kecepatan yang luar biasa, seakan-akan ia dikejar oleh hantu mengerikan. Mungkin
bila diukur, akan terca-tatlah bahwa kecepatan geraknya jauh lebih tinggi bila
dibanding kecepatannya waktu ia berangkat.
Karenanya, Tangan Iblis menjadi terkejut tiba-tiba
ketika ia melihat Jimbaran berloncatan datang dengan napas yang terengah-engah.
"Heei, mengapa engkau, Jimbaran?" seru Tangan
Iblis. "Dikejar hantu!" Mana si kera nakal itu, ha?"
"Ampun, Guru. Saya mohon ampun sebesarbesarnya," ujar Jimbaran. "Saya mengaku bersalah...!"
"Edan kau rupanya!" sahut Tangan Iblis dengan luapan marahnya. "Ngomonglah dengan jelas! Belumbelum sudah mengaku salah... apanya yang salah!?"
"Ses... saya terpaksa membiarkan si kera kecil itu
kabur!" ujar Jimbaran dengan kepala menunduk kuyu.
"Goblok! Mengapa berbuat demikian?"
"Karena ada sesuatu yang lebih penting."
"Yang lebih penting"!" ujar Tangan Iblis seraya
mengguncang-guncang pundak Jimbaran. "Apa itu?"
"Saya... melihat empat orang asing mengikuti jejakjejak kita, Guru. Mereka berkuda pula."
"Haahh, itu berbahaya! Lekas kumpulkan beberapa
orang!" berseru Tangan Iblis. "Enam orang yang terdepan mendapat tugas baru
dengan dipimpin oleh Doyotan!" Orang yang bernama Doyotan segera turun dari
atas kudanya dan maju ke depan, begitu pula lima
orang di belakangnya segera berbuat sama Tokoh ini
memiliki perawakan gempal dengan otot darahnya
yang melilit-lilit melingkari tubuhnya bagaikan kawat-kawat tembaga yang kokoh.
Sedang dua orang yang
berdiri mengapit di kiri-kanannya bertubuh kekar pula. Mereka adalah Growong dan Bungkil, dua tokoh
yang boleh diandalkan kesaktian dan keberaniannya.
"Dengarlah, Anak-anak!" ujar Tangan Iblis. "Menurut Jimbaran, kita telah dibuntuti oleh empat orang
asing dari sebelah timur. Karenanya, kita harus menyesatkan perhatian mereka dan kemudian menghancurkannya!"
"Kami telah siap, Guru," kata Doyotan.
"Baik! Siasat kita begini. Doyotan berenam terus
membuat jejak lurus ke arah barat dengan tetap meninggalkan bekas-bekas tebasan semak belukar dan
ranting pepohonan. Sementara itu, aku dan yang lainlainnya akan merubah arah dengan serong ke utara,
tanpa meninggalkan jejak apapun. Nah, di saat orangorang asing itu tersesat, maka Doyotan berenam harus menghancurkannya! Cukup
jelas, bukan?" demikian
kata Tangan Iblis dengan singkat mengutarakan siasatnya. "Jelas, Guru!" ujar Doyotan seraya mengangguk.
"Biarlah orang-orang asing itu kami selesaikan. Mereka akan kami labrak sampai
hancur!" Tangan Iblis mengangguk puas dan bibirnya tersenyum lebar, katanya pula, "Sekarang juga kita mulai!
Doyotan dan rombongannya berjalan di sebelah belakang. Hayo!"
Selesai berkata, Tangan Iblis, Jimbaran dan rombongan besarnya telah bergerak kembali ke arah barat, sementara Doyotan berenam
berpindah tempat ke bagian paling belakang. Mereka terus berjalan beberapa saat, dan ketika rombongan
besar Tangan Iblis meng-hampiri sebatang pohon randu alas, ia segera memberi
tanda untuk merubah haluan. Dengan melewati samping pohon raksasa itu, mereka
membelok serong ke
arah utara, tanpa meninggalkan jejak apapun, menerobos hutan itu dengan diam-diam.
Sedang Doyotan bersama kelima temannya tetap
dalam arahnya yang lurus ke arah barat dengan meninggalkan jejak-jejak seperti semula.
Begitulah, dua rombongan itu mulai berpisah arah.
Doyotan dan kelima kawannya sesaat masih menatap
bagian ekor dari barisan besar Tangan Iblis yang melenyap di balik semak-semak,
bagaikan seekor ular yang menyelinap di antara dedaunan untuk menyelamatkan
diri. Doyotan tidak menjadi berkecil hati dengan perpisahan itu, sebab sesudah melaksanakan tugasnya,
mereka akan menyusul kembali ke arah utara untuk
kemudian bergabung lagi dengan rombongan besar
Tangan Iblis. Yang kini memenuhi ingatannya adalah orang-orang
asing, seperti yang dikabarkan oleh Jimbaran telah berani membuntuti gerombolan
mereka. "Hemm, aku ingin tahu, apakah maksud mereka
sebenarnya" Bukankah tindakan mereka ini ibarat
membuntuti seekor harimau ganas, setiap saat siap
mencaplok mereka!?" demikian pikir Doyotan. Rombongan yang dipimpinnya ini terus berjalan dengan
lancarnya, menerobos semak dan melewati pepohonan
yang besar-besar.
BAGIAN V HATI Mahesa Wulung mencelos kaget sewaktu tibatiba berloncatan beberapa ekor kera besar-kecil, men-cerecet berteriak-teriak di
atas dahan-dahan pohon.
Kera-kera tersebut berlarian dari arah barat dengan
gerakan yang cepat bercampur kepanikan, seperti yang tercermin dalam wajah-wajah
mereka itu. Gagak Cemani, Tungkoro dan Palumpang ikut terperanjat, lalu mendongak ke atas untuk melihat kerakera tersebut. "Sungguh aneh!" ujar Mahesa Wulung di dalam hatinya. "Firasat apakah yang diberikan oleh kera-kera itu" Mereka berlarian
seperti dikejar sesuatu."
"Lihatlah kera-kera itu, Adi Wulung!" ujar Gagak
Cemani. "Mereka tampak ketakutan...!"
"Ya benar, Kakang Cemani. Mereka seperti dikejar
oleh sesuatu dari arah barat!"
"Tepat sekali penyimpulanmu!" sahut Gagak Cemani pula. "Dengan begitu, akan berarti bahwa sebentar lagi kita akan dapat
melihat sesuatu yang muncul di
belakang kera-kera itu, yakni si pengejar mereka!"
Mahesa Wulung terpaksa kagum pula oleh keterangan Gagak Cemani tadi, lalu katanya pula, "Mengapa
di belakang kera-kera itu, Kakang Cemani" Itu kan berarti bahwa si pengejar
mereka berada di atas pepohonan!"
"Yah, memang begitu, Adi Wulung."
"Apakah tidak mungkin bila si pengejar itu berada
di sebelah bawah?" kembali Mahesa Wulung bertanya.
"Saya kira, jika si pengejar itu berada di bawah,
maka kera-kera tersebut tidak bakal berlarian secepat dan sepanik itu. Palingpaling mereka hanya berloncatan ke sana-kemari sambil memekik-mekik," ujar Gagak Cemani. Dengan mengangguk-angguk, Mahesa Wulung memahami pengupasan Gagak Cemani yang jitu tadi. Justru ia menjadi bergembira mempunyai sahabat kental
yang telah dianggapnya seperti saudara sendiri. Sementara itu satu rasa kecurigaan yang dihubungkan
dengan kera-kera tersebut telah muncul di dalam dada Mahesa Wulung. Tiba-tiba
saja ia merasa harus bersiaga untuk menghadapi segala sesuatu, karenanya
iapun berkata kepada sahabatnya, "Kakang Cemani,
sebaiknya kita berhenti sejenak!"
"Mengapa, Adik Wulung?"
"Aku ingin meyakinkan apakah perjalanan kita ini
baik-baik saja, tanpa sesuatu bahaya yang mengancam di depan kita," ujar Mahesa Wulung.
"Ya. Itu perlu juga," kata Gagak Cemani. "Bukankah
aku telah berkata pula tadi, bahwa sebentar lagi kita bakal melihat sesuatu yang
telah mengejar kera-kera
tersebut?"
"Aku masih ingat hal itu, Kakang Cemani!"
"Bagus. Karenanya akupun ingin melihat kenyataan
dari penyimpulanku tadi!" ujar Gagak Cemani. "Saya
kira, kera-kera tersebut tidak bakal berlarian tanpa sesuatu sebab."
Begitulah akhirnya, empat orang sahabat itu menghentikan langkah kudanya. Mahesa Wulung, Gagak
Cemani, Palumpang, dan Tungkoro masing-masing
memperhatikan suasana di sekelilingnya, terutama ke
arah barat, di mana bekas-bekas jalan yang dirintis
oleh gerombolan Tangan Iblis masih kelihatan dengan
jelasnya. Ranting-ranting yang patah, dedaunan yang
terbabat putus, kelihatan berserakan di sana-sini.
Beberapa saat, mereka berempat telah duduk termangu, masing-masing di atas punggung kudanya. Tetapi sampai sejauh itu tak sesuatu kejadian apapun
yang membuat mereka terlepas dari ketegangan ini.
"Tak terjadi apa-apa, Kakang Cemani," ujar Mahesa
Wulung. "Aneh, bukan?"
"Yah! Aku menjadi bercuriga sekarang!" menyahut
Gagak Cemani. "Baiknya kita mempersiapkan senjata."
Palumpang dan Tungkoro telah bersiap-siap pula.
Kini hutan di sekelilingnya menjadi sepi tampaknya,
seakan-akan diliputi oleh kebisuan dan ketegangan
yang mencekam. Dan memang sesungguhnya, suatu
ketegangan tengah menanti-nanti untuk meletup dengan hebatnya! Jauh sedikit di sebelah barat atau lurus di depan
rombongan Mahesa Wulung berempat, Doyotan bersama kelima orang pengikutnya telah berpencar di balik semak pepohonan ataupun tonjolan batu-batu.
Mereka terus-menerus mengintip keempat orang asing yang tidak lain adalah Mahesa Wulung, Gagak Cemani, Palumpang dan Tungkoro. Gerundal dan geraman tanda jengkel berkali-kali terdengar dari mulut
para pengintai itu.
"Hmmm, keparat! Mengapa mereka terhenti di sana?" kata Doyotan dengan jengkelnya.
"Barangkali mereka telah tahu tentang kita...!" desis Growong seraya menggenggam
lebih erat senjata sabitnya yang berantai panjang dan berkeredapan.
"Tak mungkin mereka tahu," sahut Bungkil yang
bermata kecil, sementara golok besarnya dicocokcocokkan ke atas tanah. "Kita kan bersembunyi di sini baik-baik, tanpa membuat
gaduh. Jadi dari mana mereka tahu?"
"Kita serang saja sekarang!" ujar ketiga orang teman lain yang bersembunyi di
belakang mereka. "Apa lagi
yang kita tunggu-tunggu?"
"Biar mereka bergerak lebih dekat kemari!" bisik
Doyotan. "Setelah itu barulah kita serang dengan tibatiba." "Hehh, tanganku sudah gatal untuk menarik senjataku ini!" geram si Growong yang berwajah angker. Pa-da dahinya terdapat bekas
luka yang cekung, dan
agaknya karena keanehan ciri tersebut maka ia dipanggil dengan nama Growong.
"Tahan dahulu, Sobat, janganlah berbuat gilagilaan. Akulah yang memimpin di sini!" desah Doyotan yang wajahnya tidak saja
angker, tapi keras bagaikan gumpalan batu karang. "Apapun yang terjadi di sini,
baik ataupun buruk, akulah yang bertangguh jawab!"
Sesaat Growong melirik tajam ke arah Doyotan dan
menggemeretakkan giginya. Baginya, Doyotan cuma
lebih tinggi setingkat ilmunya dari dirinya. Tetapi, karena ia telah diserahi
memimpin rombongan kecil ini
oleh Tangan Iblis, maka terpaksalah ia berada di bawah perintah Doyotan.
Itulah sekelumit gambaran tentang ketegangan yang
timbul di antara para pencegat. Baik ketegangan pribadi di antara mereka sendiri maupun ketegangan dalam menghadapi keempat orang asing yang tengah dinantinya! Terlihatlah betapa peluh mereka berbintik-bintik
menetes dari lobang kulit, selambat waktu yang dinantikan oleh mereka. Bahkan
terasa pula betapa rasa
gatal telah menyengat-nyengat permukaan kulitnya,
bagaikan belasan ekor semut yang tengah mengeroyoknya. Dalam pada itu, Mahesa Wulung, Gagak Cemani
dan kedua rekannya, juga merasakan saat-saat ketegangan yang timbul pada diri mereka.
"Sungguh aneh! Terasa sangat sepinya!" bisik Gagak
Cemani kepada Mahesa Wulung. "Bagaimana, Adik
Wulung" Apakah akan terus mengambil jalan ini,
ataukah kita berganti arah?"
"Kita tetap mengambil jalan ini, tapi terlebih dahulu aku ingin meyakinkan,
apakah di sana aman-aman sa-ja," begitu Mahesa Wulung berbisik ke arah Gagak
Cemani. "Aku akan melepaskan pukulan Angin Bisu ke
arah barat!"
"Heei, tapi bukankah hal ini bakal menerbitkan suara dan gerombolan mereka pasti akan segera mengetahui tentang diri kita?" gumam Gagak Cemani sedikit cemas.
"Mereka tak bakal tahu, Kakang Cemani. Palingpaling mereka hanya mengira adanya angin ribut yang
bertiup dari sebelah timur. Nah, dengan begitu, setidak-tidaknya mereka akan
menyerukan kepada teman

Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teman rombongan tentang datangnya angin ribut. Dari
situlah kita akan mengetahui apakah mereka masih
berada di sana atau tidak."
"Baiklah!" ujar Gagak Cemani singkat serta membiarkan Mahesa Wulung bersiaga lalu melancarkan
Pukulan Angin Bisu ke arah barat, yakni ke arah jalan rintisan yang berada di
depannya. Werrrr...! Angin ribut segera bertiup bersamaan terlontarnya Pukulan Angin Bisu dari Mahesa Wulung.
Dedaunan porak-poranda terombang-ambing, sementara ranting-ranting kecil segera berpatahan diiringi bunyi berderak-derak
membisingkan telinga.
Maka di saat itulah, Doyotan sudah tidak dapat
menahan marah dan kesabarannya, dan berserulah ia
kepada kelima orang kawannya, "Ayo, kita serang sekarang!" Enam sosok tubuh bersenjata muncul dari sela-sela
dedaunan semak yang terombang-ambing angin bagaikan enam ekor ular berbisa yang siap memagut lawannya. Seorang di antaranya berada di sebelah depan,
langsung menerjang ke arah Mahesa Wulung dengan
ganasnya. Senjatanya adalah tombak pendek yang
bermata kembar pada kedua ujungnya, berputar laksana baling-baling maut. Si penyerang ini yang berotot seperti kawat tembaga,
tidak lain adalah Doyotan!
Mahesa Wulung sangat terkejut mendapat serangan
tiba-tiba dari Doyotan. Namun tanpa kehilangan pengamatan ia segera memutar kudanya ke kiri sehingga
senjata tombak bermata kembar dari lawannya segera
dapat dielakkannya.
Dalam sekilas itu pula tampaknya si Doyotan bakal
terjungkal ke tanah, tetapi tiba-tiba saja ia telah melenting kembali ke atas
udara, sebab begitu kedua
ujung kakinya menyentuh bumi segera dihentakkannya ke situ sehingga tubuhnya mencelat bagaikan belalang. Sungguh mengagumkan!
Tanpa membuang waktu, Mahesa Wulungpun melesat dari atas punggung kudanya, langsung menyabetkan pedang di tangannya ke arah Doyotan,
Westt! "Heyaahh!" Doyotan menyambut serangan itu dengan tombaknya bermata kembar, sementara kaki kirinya menyapu kepala Mahesa Wulung dengan deras.
"Mampus kau!"
Trengng...! Plakk...! Mahesa Wulung lebih dulu menangkis kaki Doyotan dengan sabetan tangan kirinya
ke atas, sementara kedua senjata di tangan masingmasing telah beradu sampai bergetaran hebat! Kalau
Mahesa Wulung hanya terperanjat sedikit, maka Doyotan lebih banyak kagetnya karena hampir-hampir putaran senjatanya mental balik dan menyobek tubuhnya
sendiri! Tak ubahnya seekor tupai, Doyotan mendarat di
atas tanah, begitu pula Mahesa Wulung telah memijakkan kakinya ke bumi tanpa banyak suara, bagaikan
selembar daun kering. Melihat ini, Doyotan tercekat
kaget, dan batinnya, "Pantas, orang ini berani mengusik rombongan Tangan Iblis! Tak tahunya memang dia
mempunyai ilmu pula!"
"Heei, seranganmu kurang terkendali, Sobat!" ujar
Mahesa Wulung setengah mengejek. "Untunglah karenanya. Dadaku tidak jadi terlobang oleh senjatamu
itu!" "Eee, kau sudah bersombong diri, sedangkan seranganku tadi belumlah serangan yang sesungguhnya!"
seru Doyotan sambil meludah ke tanah. "Sebentar lagi kau akan mati di tanganku
ini. Barulah kau tahu siapa sesungguhnya yang bergelar Doyotan!"
"Heh, heh. Mahesa Wulung akan bersedia melayani
beberapa jurus seranganmu yang sehebat apapun!"
"Kurang ajar! Sombongmu sudah kelewat batas!"
"Silahkan ngomong sepuas mulutmu!" teriak Growong. "Sebab setelah ini, ia tak akan sempat lagi untuk berkata-kata!"
"Bagus! Aku memang sangat senang berhadapan
dengan musuh yang bersemangat seperti kamu!" sahut
Gagak Cemani. "Terlebih-lebih lagi dengan golok pusa-kaku ini!"
"Keparat! Sambutlah seranganku yang berikutnya!"
umpat Gowang Growong seraya memutar sabitnya
kembali, sampai bersiutan nyaring mengeluarkan
bunyi yang memedihkan telinga.
Gagak Cemani telah kenyang akan segala pengalaman peperangan yang beraneka coraknya. Menghadapi
senjata sabit berantai tersebut, buru-buru ia berseliweran di antara celah
belukar dan berharap agar senjata lawannya itu akan terkait pada dahan pohon serta macet di situ.
Akan tetapi pendekar bergolok hitam ini terperanjat
pula, sewaktu sabit berantai lawannya tetap menyambar-nyambar dan membuat putus segala semak belukar yang melindungi Gagak Cemani, sampai pendekar
berkumis runcing ini mengeluh kaget.
"Tobat!" desis Gagak Cemani. "Memang kesombongannya ternyata benar. Senjata sabitnya berantai itu sangat hebat!"
"Ha, ha, ha. Kau tahu sekarang bahwa senjataku ini
sangat hebat tak terlawankan. Hanya angin saja yang
kiranya sanggup menghadapinya!" ujar Gowang Growong seraya menarik serangannya. Seperti diketahui,
karena senjatanya itu berantai maka jarak serangannya dapat diperjauh tapi dapat pula diperpendek.
Belum lagi Gowang Growong selesai berkata, Gagak
Cemani telah lebih dahulu melesat menerjang ke depan. Golok hitam di tangannya menyambar laksana
sebuah taring naga dengan getaran hebat. Wusssss....
"Auuhh!" desis Gowang Growong seraya berjumpalitan ke samping, meski sedikit terlambat, karena ujung golok hitam Gagak Cemani
masih sempat menyentuh
pundaknya. "Keparat. Serangannya sangat cepat, secepat burung gagak menyambar mangsa. Rupanya
nama Gagak Cemani dihubungkan pula dengan kecepatan geraknya!"
Bagi Gowang Growong, luka kecil itu memang tidak
menimbulkan rasa sakit seperti. Sebagai seorang pendekar gemblengan dari Tangan Iblis, ia tak bakal menangis hanya disebabkan kulitnya terluka kecil oleh
senjata lawan. Namun yang membuat panas hatinya,
ialah kekalahan cepatnya dalam melukai seorang lawan. Ternyata Gagak Cemani belum cedera apa-apa,
sedang dia sendiri telah terluka pundaknya!
Oleh sebab itu Gowang Growong menjadi marah sekali. Senjatanya yang aneh tadi diputar kembali lebih hebat. Sebentar menyambar
sangat jauh, sebentar lagi menyambar dalam jarak yang lebih dekat, tak ubahnya
seekor ular berbisa yang siap mencari kelemahan lawan. Begitu lawannya terlengah, begitu cepat ia menyambar dan akibatnya jangan diragukan lagi. Pasti
ada kepala copot dari tubuh ataupun tubuh lawannya
bakal berbelah menjadi dua.
Gagak Cemani tidak pula secara gegabah menanggap serangan-serangan tersebut. Ilmu meringankan
tubuhnya yang telah matang segera ditrapkan dengan
sebaik-baiknya, sehingga tubuhnya terlihat mencelat
ke sana-ke mari dengan gerakan-gerakan ringan yang
lincah. Hingga selintas lalu tampaklah ia bergerak seperti burung gagak dengan
jubahnya yang berkibaran
di atas punggung.
Ia berselinapan di celah-celah hujan sambaran sabit
lawannya yang berputar seperti bolang-baling tanpa
kenal ampun. Sekali-sekali golok hitamnya menyambar
ke arah Gowang Growong, tetapi secepat itu pula lawannya mengelak.
Di sebelah lain, Palumpang menghadapi dua orang
lawan yang menyerangnya secara beruntun sambungmenyambung. Golok-golok mereka bersambaran dari
arah-arah yang tak terduga asalnya serta gesit.
Anehnya sampai sejauh itu, Palumpang tidak
menggunakan senjata apapun. Jadi dia cuma bertangan kosong selama itu. Tak heranlah bila kedua lawannya itu menjadi semakin panas hatinya, sehingga
salah seorang yang bertubuh kecil berseru keras, "Heei lekas kau gunakan
senjatamu, supaya matimu secara
terhormat pula!"
"Heh, heh. Kau berkata tentang kehormatan. Tetapi
mengapa kalian main keroyok!?" ujar Palumpang tajam. "Persetan! Kami tak ingin membiarkan seorang kawan cuma berdiri sebagai penonton selagi kawannya
sibuk bertempur. Karenanya, apa salahnya bila temanku ikut bertempur di sampingku?" seru si tubuh
kecil yang tidak lain adalah Bungkil. Senjata golok
berkali-kali menebas dengan angin maut yang menggiriskan hati. Tak terkira bahwa musuh Palumpang yang
bertubuh kecil itu sanggup menggerakkan golok besar
sehebat itu. Kiranya orang-orang yang kini menyerang rombongan Mahesa Wulung itu
terhitung sebagai jagoan-jagoan terpilih dari gerombolan Tangan Iblis!
Lain lagi dengan Tungkoro. Ia cepat-cepat menghunus pedangnya seraya menghantam kedua lawannya
yang bersenjata golok-golok panjang. Dengan begitu
segera terdengar bunyi gemerincing dan berdentang
dari benturan-benturan ketiga senjata mereka, diseling letupan asap panas yang
mengagumkan. Bagi Tungkoro, pertempuran ini betul-betul meminta perhatian yang lebih banyak, sebab kedua lawannya ini sangat bernafsu untuk
membunuhnya, seperti terlihat dari sorot mata mereka yang tajam dan penuh
kebencian. Segala ilmu pedang yang pernah dipelajari, ditumplak oleh Tungkoro dalam pertemuan ini, sehingga pedang Tungkoro tak henti-hentinya menyambar, mematuk dam membacok ke arah sasaran. Namun kedua
lawannya bukankah anak kemarin sore. Golok-golok
mereka selalu menyerang dari dua arah yang bertentangan. Kalau yang satu menyerang ke arah kaki, maka
yang satu lagi ke arah kepala. Agaknya mereka bermaksud mencegat gerakan-gerakan Tungkoro dan hal
ini sebenarnya cukup menyulitkan pula bagi Tungkoro.
Bagaimanapun juga menghadapi seorang orang lawan
lebih mudah daripada dua orang lawan, sebab ia harus membagi dua perhatian
sekaligus yang tidak sama.
Begitulah maka pertarungan ini berlangsung sangat
dahsyatnya di tengah hutan, merupakan tiga lingkaran pertarungan yang masingmasing penuh dengan ketegangan dan bentrokan-bentrokan maut.
"Heh" Jadi rombongan yang aku buntuti hanya terdiri dari enam orang ini saja"!" gumam Mahesa Wulung sedikit heran. "Pasti tidak! Aku yakin bahwa kee-nam orang ini ditugaskan
oleh mereka untuk mencegatku!" Dalam pada itu, Bungkil dan seorang kawannya
semakin hebat melancarkan serangan-serangan goloknya ke arah Palumpang yang bertangan kosong. Selama ini, pendekar lautan itu cuma berloncatan ke sana-ke mari menghindari
serangan dan kadang-kadang ia
melancarkan tendangan maupun jotosan ke arah kedua lawannya. Benar-benar gerakannya selincah ikan
cucut di atas permukaan air.
Akan tetapi Bungkil berdua terus-menerus melipatkan serangannya, sehingga akhirnya Palumpang
merasa sedikit kerepotan juga. Dan tiba-tiba saja Palumpang mencabut sesuatu
dari balik bajunya, membuat kedua lawannya surut ke belakang dengan tertegun. Pada tangan kanan Palumpang tergenggamlah
seuntai akar laur bercabang-cabang, berwarna hitam
kemerahan. Itulah salah satu senjata aneh Palumpang
yang terbuat dari Akar Bahar Api. Begitu akar tadi di-gerakkan oleh Palumpang,
segera terlihatlah batangbatang runcing merah hitam menyambar-nyambar
dengan bau air laut yang asin ke arah Bungkil dan
kawannya. Kedua lawan ini bertebaran menghindar
dengan memekik kecil saking kaget dan ngerinya. Mereka sadar bahwa akar tersebut sangat ampuh dan
berbisa. Tikamannya berarti maut, kecuali bagi pemiliknya yang memiliki obat penawar untuk menahan
dan menyembuhkan lukanya.
Hingga di sini selesailah ceritera "Arca Ikan Biru", seri Naga Geni yang kedua
puluh tiga. Segera akan
menyusul ke ruang Anda, seri Naga Geni 24 dengan
judul "PENDEKAR EMPAT SERANGKAI". Akan Anda
ketahui bagaimana dengan Demang Cundraka dan ke
mana tujuan Tangan Iblis" Apakah Tuntari tinggal
berpangku tangan di rumah" Tunggulah. Mungkin Panembahan Tanah Putih dan Pendekar Bayangan akan
muncul kembali.
TAMAT Titip salam buat Yan Mintaraga (Eres), G.M. Sudarta (Kompas), Jun Saptohadi
(Inter Vista) dan Mas Herman Pratikta (Bende Mataram).
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Document Outline
BAGIAN I BAGIAN II BAGIAN III BAGIAN IV BAGIAN V Pendekar Setia 13 Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan Karya Gu Long Dendam Sembilan Iblis Tua 2

Cari Blog Ini