Ceritasilat Novel Online

Darah Asmara Gila 1

Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 ANGIN mendung berhembus dari puncak gunung
membawa udara dingin. Hembusannya bagai sengaja
tercipta untuk menerpa dua sosok manusia yang saling berhadapan. Satu
mengepalkan tangan dengan kuat, satu lagi merenggangkan jemari tangan dengan
keras. Wajah mereka saling bertatap pandang menyemburkan api
permusuhan. Agaknya mereka sudah sejak tadi saling berbaku
hantam, terbukti dari basahnya tubuh-tubuh mereka oleh keringat kemarahan. Batubatu besar di sekitar mereka sudah banyak yang berhamburan, pecah karena pukulan
mereka yang salah sasaran. Bahkan di satu sisi lereng bukit itu, tampak sebatang
pohon yang masih berasap akibat terbakar oleh suatu pukulan dahsyat bertenaga
dalam. Dari kejauhan orang akan menduga mereka dua
pendekar sakti yang gagah perkasa. Tetapi setelah
didekati ternyata mereka adalah dua perempuan
bertubuh sekal dengan sikap dan wajah sama garangnya.
Kedua perempuan itu sama-sama mempunyai dada
montok yang bergerak naik turun akibat napas yang
terengah-engah dari suatu pertempuran sengit. Namun agaknya keduanya masih
mencoba bertarung dengan
tangan kosong, tanpa menggunakan senjata andalan
mereka masing-masing.
Perempuan yang berambut lurus sepanjang pundak
lebih sedikit itu berkata dengan nada menggeram.
"Kuingatkan sekali lagi, jangan coba-coba halangi aku kalau kau masih ingin
melihat rembulan muncul
petang nanti!"
"Justru aku yang perlu mengingatkan kamu agar hati-hati menjaga nyawamu, karena
sebentar lagi aku tak
segan-segan mencabutnya!"
Perempuan jelita yang berambut lurus dan
mengenakan ikat kepala dari semacam logam emas kecil dengan batuan merah delima
sebesar kacang tanah di
tengah dahinya itu, kembali berkata setelah
perdengarkan tawanya yang bernada sumbang.
"Kau pikir mudah menerjang jurus-jurusku"! Kalau saja aku tak ingin berurusan
panjang dengan perguruanmu, aku sudah merajang habis raga dan
nyawamu sejak tadi, Selendang Kubur!"
Rupanya perempuan yang satu itu adalah Selendang
Kubur, orang Perguruan Merpati Wingit yang sedang
terlibat urusan dengan murid si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting alias
Pendekar Mabuk itu. Dialah
perempuan yang sedang dicari-cari oleh Suto Sinting karena persoalan hilangnya
guci kecil yang disebut
Pusaka Tuak Setan (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak
Setan"). Jika perempuan yang berpakaian merah dadu dengan
selendang putih melilit di pinggangnya itu adalah
Selendang Kubur, lantas siapa perempuan yang
berambut lurus dan berpakaian kuning kunyit itu" Tokoh muda jelita itu ternyata
tidak mudah ditumbangkan oleh Selendang Kubur. Jelas dia punya ilmu cukup tinggi
juga. Berulang kali dia mampu menghindari pukulan
jarak jauhnya Selendang Kubur. Berulang kali dia
sengaja mengadu pukulan tenaga dalamnya dengan
pukulan jarak jauh Selendang Kubur, walau untuk itu ia terpaksa tersentak ke
belakang dan Selendang Kubur pun mengalami hal yang sama.
Tapi tokoh cantik bertahi lalat di sudut dagunya yang kanan itu bukan orang
asing lagi bagi Selendang Kubur.
Beberapa waktu yang silam Selendang Kubur pernah
bentrok dengan perempuan itu. Dan Selendang Kubur
masih mengingatnya, bahwa perempuan bermata mesum
itu tak lain adalah Peri Malam, yang konon mempunyai nama asli Sundari.
Dulu mereka terlibat bentrokan karena seorang
pemuda yang bernama Trenggono. Pemuda yang punya
mulut setajam pisau itu telah menyebar fitnah asmara, sehingga Selendang Kubur
dan Peri Malam saling
beradu kekuatan ilmunya. Tetapi setelah diketahui
bahwa Trenggono seorang pemuda yang gemar melihat
perempuan saling adu kekuatan, maka mereka berdua
segera menyerang Trenggono, dan tubuh pemuda itu
hancur di tangan mereka sendiri.
Tetapi, apakah sekarang mereka bertarung gara-gara
seorang pemuda juga" Termakan fitnah asmara juga"
"Selendang Kubur! Aku tak punya banyak waktu
untuk melayanimu!" seru Peri Malam. "Kalau memang kau masih punya dendam padaku
dengan persoalan masa lalu kita, sebaiknya sekarang juga kulenyapkan raga dan
nyawamu!" Selendang Kubur cepat menyahut sebelum Peri
Malam melepaskan satu pukulan tenaga dalam yang
pasti lebih berbahaya dari yang sudah-sudah.
"Peri Malam! Urusan kita kali ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
urusan kita tempo hari! Harap kau ketahui, kalau kali ini aku terpaksa
menghadang langkahmu itu karena aku ingin memaksamu agar
mengembalikan barang curianmu itu kepada pemiliknya!
Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan Trenggono!"
Peri Malam kendurkan urat tangan yang telah
mengencang, ia tersenyum sinis bermakna bengis.
"Kau pun harus sadar, apa yang kulakukan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan
pribadimu, Selendang
Kubur!" "Ada!" sentak Selendang Kubur.
"Apakah karena asmara kau melakukannya"!"
"Itu urusanku, kau tak perlu tahu, Peri Malam!"
"Hi hi hi hi...! Sudah kuduga, kau menaruh hati pada pemuda itu secara diamdiam! Kau ingin berjasa di
hadapannya! Kau ingin tunjukkan rasa cinta dan
kesetiaanmu kepadanya dengan merebut kembali benda
pusaka ini dari tanganku! Tapi ketahuilah, Selendang Kubur, tanganku tidak akan
bisa mekar kembali jika
sudah telanjur menggenggam benda yang kudapatkan!
Jangan kau mimpi dapat merebut Pusaka Tuak Setan ini dari tanganku, Selendang
Kubur. Bisa jadi nyawamulah yang menjadi tebusannya!"
"Pikiranku tak akan bisa berubah, Peri Malam! Sekali aku ingin menghancurkan
kepalamu, harus kulaksanakan secepatnya! Hiaaat..!"
Sentakan mendadak dari tangan kanan Selendang
Kubur membuat kain putih panjangnya berkelebat ke
depan. Dari ujung selendang keluarlah percikan api
seperti lidah-lidah petir yang mengarah ke tubuh Peri Malam. Tak ayal lagi Peri
Malam segera melompat ke
atas batu di belakangnya. Wussst..!
Peri Malam berdiri di atas batu tinggi. Tapi percikan lidah petir itu menghantam
batu tersebut. Blarrr...!
Batu itu terhantam sejenak, kemudian pecah
berhamburan pada saat dipakai sentakan kaki Peri
Malam yang meloncat di udara sambil melepaskan
pukulan ganda dari jarak jauh. Duub... dub...!
Pukulan itu membuat Selendang Kubur terpaksa
berguling di tanah untuk menghindarinya. Pukulan
ganda itu mengenai pohon yang berjarak antara delapan tombak di belakang
Selendang Kubur. Dan, pohon itu
pun bergetar nyaris tumbang. Ranting-ranting keringnya berjatuhan, sebagian daun
gugur terbawa angin. Suara gemuruh akibat guncangan dedaunan membuat hati
Selendang Kubur menjadi lebih tegang lagi. Ia bergegas bangkit ketika Peri Malam
sudah berdiri dengan kaki sedikit merentang tegar.
Pada saat itulah, tangan Peri Malam mengambil
sesuatu dari celah gundukan dadanya yang sekal dan
tampak sedikit menonjol mulus pada bagian atasnya.
Sesuatu yang diambilnya itu adalah sebatang bambu
berukuran satu jengkal. Bambu itu kecil, sebesar
kelingkingnya. Kemudian, bambu itu dimasukkan
sedikit ujungnya ke mulut. Peri Malam sentakkan napas melalui bambu berlubang
itu. Sluupp...! Zeett...!
Ada sesuatu yang melesat cepat dari dalam bambu
kecil itu. Selendang Kubur menggeragap karena kurang siap. Sesuatu yang melesat
itu amat kecil, tak mudah terlihat. Tetapi dalam sekejap hati Selendang Kubur
berseru, "Jarum beracun..."!"
Karena ia pernah melihat jarum itu melesat dari
semak dan menancap di leher Pujangga Kramat, pelayan si Gila Tuak itu. Maka,
serta merta Selendang Kubur melompat dan berguling di tanah menghindari jarum
beracun itu. Tetapi alangkah terkejutnya ia setelah tahu, arah jarum itu
membelok dan kembali mengejar ke
arahnya. Mau tak mau Selendang Kubur pun kembali
melompat dan berguling di tanah. Ternyata jarum itu
juga ikut membelok bagai memburu sasarannya.
Peri Malam perdengarkan tawanya yang mengikik
sambil berseru, "Tak akan mampu kau menghindari jarum iblis-ku, Selendang Kubur!
Ke mana pun kau lari akan diburunya! Kik kik kik kik...!"
Mau tak mau Selendang Kubur gunakan ilmu
peringan tubuhnya secara penuh. Dalam satu hentakan kaki ia telah melesat
terbang ke atas dan berjungkir balik satu kali untuk mencapai sebuah batu
setinggi tubuhnya sendiri, ia hinggap di atas batu itu. Ia melihat kelebat jarum
iblis itu menuju ke arahnya. Lalu, ia kibaskan selendang dengan cepat.
Wuuttt...! Blaarrr...! Ujung selendang menghantam benda kecil yang amat
berbahaya itu. Rupanya benda tersebut punya kekuatan tenaga dalam yang cukup
tinggi, sehingga ketika disabet ujung selendang menimbulkan ledakan cukup keras.
Namun jarum itu pun hancur tak berbentuk lagi.
Mata si Peri Malam terperanjat melihat jarumnya bisa dihancurkan oleh selendang
setipis itu. Maka, ia pun segera membatin,
"Edan! Selendang itu mampu menghancurkan jarum iblisku"! Hebat sekali kekuatan
selendang itu! Ternyata ilmu Selendang Kubur sudah jauh lebih maju dari dua
tahun sebelum ini!"
Sisa ledakan itu masih menggema samar-samar.
Gema itu pun segera hilang. Kemudian sunyi tercipta mencekam di lereng bukit
berbatu itu. Kedua sosok
perempuan tangguh berdiri dalam jarak sepuluh pijak.
Mata mereka saling pandang, mulut mereka saling
bungkam. Masing-masing hati mereka berkecamuk
memuji kehebatan ilmu lawan.
Sejurus kemudian, Peri Malam perdengarkan
suaranya yang masih bernada ketus dan bermusuhan.
"Kuakui kau punya jurus selendang yang cukup
lumayan, Selendang Kubur. Tapi itu tidak membuatku
kagum. Tidak pula membuatku jera untuk kemudian
menyerahkan benda pusaka ini. Sebaliknya, justru aku semakin kuat
mempertahankannya dan siap
mengorbankan nyawa demi tugas dari guruku!"
"Aku pun siap korbankan nyawa demi merebut
pusaka yang menjadi milik murid si Gila Tuak itu!"
"Bodoh!" ucap Peri Malam yang segera disusul dengan tawa mengikik pendek. Lalu,
katanya lagi. "Gunakanlah otak sehatmu, Selendang Kubur.
Sekalipun kau korbankan nyawamu untuk merebut
Pusaka Tuak Setan ini, tapi belum tentu murid si Gila Tuak tahu berterima kasih
padamu! Sangkamu dia
menaruh hati padamu juga" Hmmm...! Belum tentu!"
Peri Malam mencibir, memuakkan Selendang Kubur.
Lanjutnya lagi.
"Ingat, kita pernah mempertaruhkan nyawa demi
seorang pria. Tapi apa nyatanya" Pria itu hanya
mempunyai kebusukan. Dan setiap pria memang tak
lebih dari seonggok daging busuk yang patut
dilenyapkan!"
Selendang Kubur hanya membatin, "Dendamnya
kepada lelaki masih membekas di hati, sehingga wajar
dia berkata begitu. Tapi apakah benar pengorbananku ini akan sia-sia di mata
Suto" Apakah benar Suto tidak akan tahu balas budi padaku, walau aku siap mati
untuk merebutkan pusaka yang menjadi hak miliknya itu?"
Renungan itu segera dibuang jauh, karena kejap
berikutnya Selendang Kubur telah melihat Peri Malam berkelebat dan hinggap di
atas gugusan batu yang lebih tinggi dari batu-batu yang ada di situ. Perempuan
berpakaian kuning kunyit itu serukan kata,
"Pertimbangkan langkahmu, Selendang Kubur. Sudah benarkah kau siap korbankan
nyawa untuk lelaki yang mau membalas cintamu"! Sudah benarkah kamu siap
mati untuk sesuatu yang sia-sia ini" Pertimbangkanlah sebelum kau mengejarku,
Selendang Kubur! Jangan kita menjadi korban laki-laki lagi!"
Setelah berkata begitu, Peri Malam sentakkan kaki,
melesat pergi bagaikan angin senja. Hal itu membuat Selendang Kubur terkesiap,
ia tak mau kehilangan jejak orang yang membawa Pusaka Tuak Setan. Maka, ia pun
sentakkan kaki dan berkelebat pergi mengejar Peri
Malam. * * * 2 SETELAH semburkan tuaknya dari mulut ke bekas
luka di leher Pujangga Kramat, pelayan si Gila Tuak itu sedikit demi sedikit
mulai sadarkan diri. Suto
sunggingkan senyum lega di hatinya.
"Untung aku tidak terlambat," pikirnya. "Kalau saja aku sedikit telat muncul
dari dasar telaga itu, pasti nyawa Paman Giri tidak akan tertolong. Racun ini
cukup ganas, sama dengan racun yang masuk ke tubuh Dewi
Murka, teman seperguruan Selendang Kubur itu."
Pakaian Suto masih basah kuyup, demikian pula
rambutnya. Tapi saat Pujangga Kramat, orang yang tidak bisa bicara dengan bahasa
yang benar itu, kejapkan mata lalu melek menyipit, Suto berhenti kibaskan
rambutnya yang basah.
"Apa ada aku?" tanya Pujangga Kramat yang maksudnya; ada apa dengan diriku.
"Paman habis tertidur," jawab Suto sengaja tidak mengatakan yang sebenarnya,
supaya Pujangga Kramat
tidak menaruh dendam yang penasaran kepada orang
yang telah menyerangnya memakai jarum beracun.
"Benar tertidur aku apa?"
"Benar, Paman."
"Di mana lalu Guci Pusaka Setan Tuak itu?"
"Tuak Setan!" Suto membetulkan kalimatnya.


Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Tuak Setan! Pergi ke mananya?"
"Ke mana perginya!"
"Ya. Ke mana perginya, itu Setan, eh... itu Tuak!"
"Entah. Hilang dibawa orang," jawab Suto kalem, ia membuka bumbung tuak dan
menenggak beberapa
teguk. "Orang siapa yang bawa itu pusaka?"
"Aku tidak tahu."
Pujangga Kramat kerutkan dahi, sipitkan mata. Ia
renungkan diri bagai ada yang berusaha diingatingatnya. Lama ia termenung sampai akhirnya ia
berkata, "Celaka! itu pusaka dicari harus."
"Dicari ke mana" Sudah telanjur dibawa orang!"
"Perempuan!" sentak Pujangga Kramat tiba-tiba.
"Apa maksud Paman?"
"Ingat-ingatku, perempuan ada bersama aku. Di mana tapi dia" Siapa pula
perempuan orang itu. Aku ingat tidak!"
Badannya yang semula pucat membiru, kini cepat
berubah segar. Cara pengobatan dengan semburkan tuak telah membuat Pujangga
Kramat bisa berdiri tegak.
Dengan dahi masih berkerut dia bicara pada Suto yang kenakan bumbung tuak ke
punggungnya. "Itu pusaka cari kamu harus! Kalau tidak dicari harus, itu gurumu marah harus!
Dan kalau dia marah harus,
bahaya harus...."
"Harus, harus...!" sentak Suto rada jengkel. "Sudah, sekarang Paman pulang ke
Jurang Lindung. Kasih tahu sama Guru, aku sedang mengejar orang yang mencuri
Pusaka Tuak Setan."
"Baik. Kamulah hati-hati, Suto!" Pujangga Kramat tepuk pundak Suto kasih
semangat, "Itu orang curi yang pusaka, pasti ilmu orang tinggi. Sebab bisa dia
rubuhkan aku sekejap dalam."
"Ya ya ya...!" potong Suto merasa lelah sendiri mengartikan kata-kata pelayan
gurunya. "Berjuang selamat, Suto!"
"Ya," jawab Suto pendek. Kemudian ia segera melesat pergi tinggalkan Pujangga
Kramat di tepi telaga.
Orang yang ditinggalkan memandang dengan mata
berkedip bingung, karena Suto telah lenyap begitu saja bagai tertelan bumi.
Kalau bukan murid Gila Tuak, tak mungkin bisa lari sekejap itu.
Ke mana ia harus mencari Pusaka Tuak Setan, tak
tahu dengan pasti. Satu sasaran yang dimiliki Suto
adalah Selendang Kubur. Sebab pada waktu ia titipkan pusaka itu kepada Pujangga
Kramat, dan dia menyelam kembali ke dalam telaga untuk mengambil Cincin Manik
Intan, Selendang Kubur ada bersama Pujangga Kramat, walau jarak mereka tidak
berdekatan (Untuk jelasnya mengenai hal ini baca serial Pendekar Mabuk episode:
"Pusaka Tuak Setan").
Dan begitu Suto muncul di permukaan sendang,
Pujangga Kramat telah terjajar di tanah dalam keadaan tubuh pucat membiru tak
berkutik. Pusaka Tuak Setan tak ada di tangan Pujangga Kramat. Selendang Kubur
hilang dari tepian telaga. Tentu saja Suto mencurigai Selendang Kubur.
Satu arah yang memungkinkan bisa bertemu dengan
Selendang Kubur adalah menuju perguruannya. Suto
menduga Selendang Kubur pulang ke Perguruan Merpati Wingit. Sewaktu Suto masih
kecil, ia pernah melihat perguruan itu di tengah hutan yang mempunyai sungai
bertanggul tinggi. Di atas tanah tanggul itulah Perguruan Merpati Wingit berada.
Tetapi letak pintu gerbang
perguruan tidak menghadap ke arah sungai berbatu-batu
itu. Perguruan itu mempunyai bentuk bangunan yang
membelakangi sungai.
Tiga hari Suto menyusuri sungai berbatu-batu,
sampai akhirnya ia temukan bangunan besar berpagar
susunan batu tembok tinggi. Sebenarnya sangat mudah buat Suto untuk melompat
terbang melintasi pagar tinggi itu dari atas sebuah batu besar di sungai. Tapi
ia tidak mau mendapat penilaian jelek, masuk rumah orang lewat belakang. Maka,
Suto pun segera menuju ke arah pintu gerbang.
Di sana ia dihadang oleh dua penjaga pintu gerbang.
Kedua penjaga itu adalah perempuan berpakaian serba putih, masing-masing
bersenjatakan tombak. Suto
melangkah perlahan. Senyumnya berkembang indah di
bibirnya, ia memang tampan. Hati kedua penjaga
perempuan itu sama-sama mengagumi, sama-sama
berdebar menerima senyumannya. Tapi mereka samasama berlagak acuh tak acuh, buang muka dan saling
berlagak tak peduli. Padahal mestinya mereka akan
menegur setiap kemunculan orang asing di sekitar
wilayah perguruannya. Tetapi karena hati mereka takut lebih tergoda oleh
ketampanan Suto, keduanya justru tidak menyapa apa pun kepada Suto.
Suto nekat melangkah masuk ke pintu gerbang itu.
Namun tiba-tiba kedua tombak penjaga beradu
menyilang di depan langkah Suto. Kaki pemuda tampan itu diam. Mata memandang ke
kiri dan ke kanan. Kedua penjaga itu bertampang angkuh, berlagak acuh tak acuh
dengan ketampanan pria asing. Suto tahu kepura-puraan
itu. Suto tertawa tanpa suara. Kedua penjaga itu pun tetap acuh tak acuh.
"Bolehkah aku masuk?" sapa Suto bersikap ramah.
"Tidak!" tanpa disengaja kedua penjaga itu menjawab serentak.
"Mengapa aku tak boleh masuk" Aku punya niat
baik!" Penjaga berambut panjang berkata ketus, "Sebutkan niatmu!"
"Aku ingin bertemu Selendang Kubur."
Sejurus kedua perempuan itu saling pandang, lalu
kembali bersikap angkuh dan berlagak tegas. Yang
berambut pendek bertanya,
"Ada hubungan apa kau dengan Selendang Kubur?"
"Teman," jawab Suto dengan tegas tapi suaranya menawan.
"Teman baik atau teman jahat?" tanya yang berambut pendek lagi.
"Teman baik."
"Teman jauh atau teman dekat?" timpal yang berambut panjang.
"Teman dekat."
"Dekat sekali," jawab Suto sengaja memancing penasaran.
"Kekasih atau bukan?"
"Pilih sendiri salah satu. Aku tak punya banyak waktu. Izinkan aku bertemu
dengan Selendang Kubur."
"Tidak ada!" jawab yang berambut pendek bernada judes.
"Kalau begitu, aku mau bertemu dengan gurumu."
"Tidak ada!"
"Harus ada!" desak Suto.
"Beraninya kau mendesak kami, hah?" sentak yang berambut panjang berlagak galak,
matanya dilebar-lebarkan biar angker wajahnya. Tapi Suto hanya
tersenyum tipis, ia bahkan membuka tutup bumbung
tuak dan menenggaknya beberapa teguk. Bumbung
kembali ditutup dan diletakkan di punggung.
"Singkirkan tombak kalian. Biar aku masuk menemui guru kalian!"
"Siapa kamu sebenarnya, hah"!" bentak si rambut panjang lagi.
"Suto Sinting!"
"Hahh..."!" kedua perempuan itu terbelalak matanya, namun buru-buru meredupkan
kembali. Tak mau
kelihatan kaget. Yang berambut pendek menggumam
sambil menatap temannya di seberang.
"Pendekar Mabuk..."!"
Suto ganti bertampang angkuh dibuat-buat. Matanya
lurus ke depan, dadanya kian dibusungkan, dagunya
sedikit terangkat naik. Suaranya dibuat lebih tegas berwibawa.
"Buka pintu gerbang!"
Tanpa menjawab, kedua perempuan itu berebut
membukakan pintu gerbang. Kemudian, Suto melangkah
masuk dengan gagahnya. Pintu gerbang kembali ditutup oleh dua penjaga. Lalu,
kedua perempuan itu sama-sama menghempaskan napas panjang-panjang. Mereka ngosngosan, seperti habis menahan napas beberapa saat
lamanya. Mereka sama-sama bersandar di pinggir pintu kanan kiri dengan badan
lemas. "Tak kusangka...! Tak kusangka dia murid si Gila Tuak yang belakangan ini
dikabarkan sangat tampan
itu," kata si rambut pendek.
"Iya. Aku juga tak menyangka. Hampir saja mulutku tadi berteriak keras karena
kegirangan bisa bertemu dengan Suto Sinting. Oh, lututku jadi gemetar
keduanya."
"Lututku juga. Kepalaku jadi pusing. Pandangan mataku berkunang-kunang...."
"Apakah karena rasa kagumku terhadap
ketampanannya?"
"Kurasa bukan. Kurasa mataku berkunang-kunang
karena sejak tadi pagi aku belum sarapan. Tapi... tapi begitu habis melihat
Pendekar Mabuk itu, perutku jadi kenyang!" Keduanya mengikik geli.
Kehadiran Suto Sinting di Perguruan Merpati Wingit
menjadikan suasana menjadi heboh. Kasak-kusuk
terdengar di sana-sini seperti angin pagi menghembus dedaunan rumpun bambu.
Mereka saling membicarakan
pria tampan yang melintas menuju ruang pertemuan
yang berbentuk joglo itu. Setiap murid membentuk
kelompok kasak-kusuk sendiri-sendiri.
Bahkan ada yang tertegun diam bagaikan patung
bernyawa dengan mata melotot tak berkedip
memandangi Suto Sinting. Ada pula yang sedang
membawa piring berisi makanan sampai jatuh piringnya
tak terasa karena rasa kagum dan terpikatnya hati orang itu kepada kegagahan dan
ketampanan wajah Suto.
Sepuluh orang murid lainnya yang berseragam hitamhitam segera mengepung Suto ketika hendak mencapai
mulut joglo. Perintah mengepung itu keluar dari gerakan tangan Dewi Murka yang
memberi isyarat kepung.
Rupanya Dewi Murka sudah sampai di perguruan dua
hari sebelum Suto sampai di situ. Rupanya pula Dewi Murka menunjukkan sikap
wibawa dan tegas terhadap
sesuatu yang mencurigakan keselamatan perguruannya.
Dua orang murid berpakaian hitam-hitam itu menepi
ke kanan dan ke kiri. Dewi Murka diberi jalan untuk mendekati Suto dari arah
joglo ke pelataran di depannya.
Suto tersenyum kepada perempuan berpakaian hitam
dan bersenjata trisula di pinggangnya. Suto mengenali perempuan yang bernama
Dewi Murka itu, karena dia
pernah bertemu saat perempuan itu mengeroyok
Pujangga Kramat, dan saat perempuan itu ditolongnya karena racun dari jarum
penyerang gelap. Tetapi, Dewi Murka merasa asing kepada Suto, sebab setelah dia
sembuh dari pengaruh racun yang nyaris merenggut
nyawanya itu, ingatannya tentang Suto menjadi hilang.
Itulah sebabnya dia ngotot ingin bertemu dengan si Gila Tuak untuk menyampaikan
permintaan maaf atas sikap
Murbawati yang dianggap sebagai orang yang dicurigai (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Karena ingatannya lemah tentang Suto, Dewi Murka
hanya membatin, "Sepertinya aku pernah melihat orang
tampan ini. Tapi di mana dan kapan, aku tidak tahu!"
Dewi Murka menyipitkan mata dalam memandang
Suto. Wajahnya dibuat angkuh, supaya tidak diremehkan oleh tamu asingnya. Bahkan
suaranya pun dibuat sedikit ketus berwibawa.
"Sebutkan dirimu dan apa keperluanmu masuk ke
perguruan kami"!"
"Aku mau bertemu dengan Selendang Kubur," jawab Suto dengan kalem, ia pun sadar
bahwa Dewi Murka
telah lupa pada dirinya akibat pengobatan memakai cara sembur tuaknya itu. Kalau
bukan orang dekat dan
berilmu tinggi, orang itu akan lupa pada Suto jika habis diobati memakai
pengobatan sembur tuak.
"Siapa dirimu!" Dewi Murka setengah membentak, karena merasa pertanyaannya hanya
dijawab salah satu saja.
"Aku Suto, Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak.
Jelas"!" tandas Suto berkesan mengejek.
Mulut Dewi Murka terperangah. Seakan ia baru sadar
sedang berhadapan dengan siapa dirinya saat itu.
Mendengar suara Suto menyebutkan namanya, samarsamar ingatannya tentang peristiwa jarum beracun itu mulai menggerayangi
pikirannya. Sejurus kemudian,
ingatan itu kembali sempurna. Apa saja yang dialaminya bersama Selendang Kubur
dan Suto waktu di atas Jurang Lindu itu kembali teringat jelas dalam
bayangannya. Tak heran jika hati Dewi Murka menjadi berdebardebar dan membatin.
"O, ya...! Pemuda ini yang dulu membuatku
penasaran ingin melihat wajahnya. Pemuda ini yang dulu diceritakan Murbawati
tentang ketampanannya. Pemuda ini pula yang dulu pernah menyembuhkan lukaku dari
serangan sebuah jarum beracun. Aduh..., kenapa aku
baru ingat sekarang bahwa aku pernah jatuh rubuh di dadanya" Oh, indah sekali
kala itu. Sekarang pun hatiku berbunga indah berhadapan dengannya. Tapi...
mengapa yang ia cari Selendang Kubur" Mengapa bukan aku"
Atau Nyai Guru Betari Ayu..."!"
Dari satu sudut muncul seorang perempuan dengan
badan selangsing Selendang Kubur, tapi masih agak
sekal tubuh Selendang Kubur. Suto menatap ke arah
perempuan itu. Sangkanya perempuan itu Selendang
Kubur. Namun begitu perempuan itu makin mendekat,
Suto yakin bahwa perempuan itu bukan Selendang
Kubur. Tetapi perempuan itu terperanjat belalakkan matanya.
Bahkan saat itu ia berteriak bagai tak sadar.
"Oooh..."! Dia..."! Dia datang...!"
Perempuan yang kegirangan namun salah tingkah itu
tidak lain adalah Murbawati. Dialah perempuan pertama dari orang Perguruan
Merpati Wingit yang tergila-gila dan penasaran dengan ketampanan Suto. Tak heran
jika ia melonjak dan kehilangan sikapnya sebagai pendekar perempuan yang dua
tingkat di bawah Dewi Murka
ilmunya. "Ssst...!" Dewi Murka segera mendesis keras memberi peringatan kepada Murbawati
yang berucap kata tak beraturan karena salah tingkah kegirangannya.
Kemudian, dengan tetap berusaha menenangkan hatinya yang bergemuruh indah, Dewi
Murka bertanya,
"Ada apa kau mau bertemu dengan Selendang
Kubur?" "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan," jawab Suto, sengaja tidak menjelaskan
maksud kedatangannya yang berhubungan dengan hilangnya Pusaka Tuak Setan,
supaya hal itu tidak menyebar ke mana-mana dan
menjadi bahan buruan setiap orang.
"Selendang Kubur tidak ada. Dia belum pulang," kata Dewi Murka.
"Kalau begitu, aku mau bicara dengan gurumu!"
"Tidak perlu. Cukup kau bicara padaku!" Dewi Murka semakin memperbesar
ketegasannya untuk
menutupi hatinya yang berbunga-bunga saat itu.
"Tak bisa aku bicara denganmu. Aku perlu bicara dengan ketua perguruan ini!"
"Nyai Guru sedang sakit! Semua urusan diserahkan padaku!"
Tetapi, tiba-tiba dari arah belakang Dewi Murka
terdengar suara yang lebih bernada tegas dan berwibawa.


Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biarkan dia menemuiku, Dewi!"
Malu hati Dewi Murka melihat gurunya sudah ada di
belakangnya. Nyai Guru Betari Ayu kelihatan tenang
berkharisma tinggi. Dewi Murka menyisih, membuat
pandangan mata Suto ke arah Betari Ayu menjadi lebih jelas dan lebih langsung
lagi. Dalam hati Suto membatin,
"O, ini guru mereka" Cantik juga. Tapi tidak sebegitu menarik dengan kecantikan
Dyah Sariningrum, idaman
hatiku itu!"
Betari Ayu memerintahkan kepada Dewi Murka dan
Murbawati untuk membubarkan kepungan. Kemudian ia
berkata kepada Suto Sinting.
"Kalau tidak salah dengar telingaku, tadi kau
mengaku murid si Gila Tuak."
"Benar. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan padamu sebagai ketua perguruan di
sini." "Silakan masuk! Jangan bicara di pelataran."
"Harus di mana kita bicara" Di dalam kamar?"
Betari Ayu yang memang ayu itu tersenyum malu.
Ada bunga indah juga yang tumbuh di hatinya. Namun
segera ia memangkasnya, ia melangkah dan diikuti oleh Suto. Dari kejauhan Dewi
Murka dan Murbawati
memperhatikan antara curiga, iri, dan terpesona.
Rupanya Betari Ayu mengajak Suto ke taman di
bagian belakang bangunan joglo itu. Rupanya Betari
Ayu membangun taman indah di sana, yang cukup luas
untuk ukuran taman pribadi, dan mempunyai aneka
macam bunga warna-warni serta sebuah kolam ikan
berpancuran di bagian tengahnya. Satu hal yang
menakjubkan pada taman itu terletak pada kolam
berpancuran airnya. Air yang mancur dari tengah kolam itu tidak jatuh kembali ke
kolam, namun lenyap bagai berubah menjadi uap dan terbang terbawa angin. Padahal
bentuk air yang memancur itu seperti bunga terompet yang melengkung pada bagian
tepiannya. Mestinya pada bagian lengkung itu air jatuh ke kolam lagi, tapi
ternyata air menghilang lenyap.
Suto tersenyum memandang air mancur itu. Betari
Ayu pun tersenyum bangga, melihat Suto senang melihat air mancurnya. Karena
memang air mancur itulah yang dibanggakan oleh Betari Ayu jika ada tamu yang
diajak ke tamannya. Namun kedatangan tamu ke taman itu
belum tentu lima tahun sekali terjadi. Biasanya Betari Ayu hanya menerima
tamunya sampai di bangsal
patemon, sisi samping dari ruang joglo itu. Jika ada seorang tamu yang diajak
bicara di taman tersebut, itu pertanda Betari Ayu menganggap tamu itu adalah
tamu istimewanya. Sejauh mana keistimewaan tamu itu, hanya Betari Ayu yang bisa
mengukurnya. Di taman rindang bersuasana teduh itu ada empat
bangku marmer putih yang terletak di beberapa sudut.
Tapi Betari Ayu tidak mengajak Suto duduk di salah
satu bangku tersebut, ia berjalan menyusuri tanaman rumpun mawar yang beraneka
warnanya sambil
mengajak Suto bicara.
"Aku tak sangka kalau akan kedatangan tamu agung hari ini," sambil Betari Ayu
sunggingkan senyum dan menatap indah sekilas.
"Aku terpaksa datang kemari," kata Suto polos-polos saja.
"Bagaimana kabar gurumu?"
"Sehat-sehat saja. Kau kenal dengan guruku?"
"Sangat kenal. Hubunganku dengannya cukup baik.
Sayang sekali baru sekarang ini aku mendengar dia
punya murid tampan yang gagah dan menawan."
Betari Ayu menatap sambil hentikan langkah.
Senyumnya kembali mekar bak bunga-bunga di taman,
termasuk di taman hatinya. Suto pun pamerkan senyum indahnya. Tapi segera ia
meraih bumbung bambu
tuaknya dan ia menenggak tuak itu beberapa teguk, ia lakukan hal itu tanpa malu
dan sungkan-sungkan.
"Aku yakin si Gila Tuak menurunkan semua ilmunya padamu, termasuk kebiasaannya
minum tuak dan mabuk," kata Betari Ayu sambil melangkah lagi dengan santainya. Suto
perdengarkan tawa mirip orang
menggumam. Tapi suara tawanya itu cukup lembut
menyentuh hati.
"Aku datang kemari bukan untuk pamer ilmu, juga bukan untuk jualan tuak," kata
Suto. "Aku ingin bertemu dengan salah satu muridmu yang bernama Selendang
Kubur!" Langkah kaki berbetis indah itu terhenti. Perempuan berambut panjang dengan ikat
kepala tali merah
berbintik-bintik kuning emas itu memandang sedikit
heran kepada Suto.
"Apakah kau punya urusan pribadi dengan Selendang Kubur?"
"Ya," jawab Suto.
"Sangat pribadi"'
"Sangat pribadi."
"Menyangkut cinta?"
"Bukan."
Tampak perempuan berpakaian biru dengan jubah
sutera kuning itu menghela napas dengan lega. Ia
bagaikan terhindar dari satu ketegangan yang
menghimpit hatinya sesaat tadi.
"Selendang Kubur belum pulang sejak ia menyusul Dewi Murka untuk kuutus meminta
maaf pada gurumu."
"Apakah dia pergi ke suatu tempat"'
"Aku tak bisa pastikan tempat itu. Mungkin saja dia terpikat seorang lelaki dan
pergi bersama lelaki itu."
"Apakah dia punya kekasih"'
"Di sini tidak. Tapi di tempat lain, mungkin saja.
Karena dia seorang perempuan cantik yang tentu saja bisa mempunyai perasaan
cinta kepada seorang lelaki.
Kurasa kau tahu setiap perempuan punya perasaan
tertarik dan jatuh cinta pada seorang lelaki. Aku bisa berkata begitu, karena
aku pun seorang perempuan yang sama seperti Selendang Kubur."
"Juga punya kekasih di tempat lain?"
Senyum sipu mekar di bibir manis Betari Ayu, yang
meski sudah berusia tapi tetap awet muda dan cantik.
Hanya perempuan-perempuan berilmu tinggi yang
punya ilmu awet muda dan tetap cantik. Suto tahu hal itu dari bibi gurunya,
Bidadari Jalang.
Betari Ayu memetik setangkai mawar warna ungu.
Sebuah jenis mawar yang langka ada di setiap tempat.
Mawar ungu itu diserahkan kepada Suto sambil
perdengarkan kata lirihnya,
"Terimalah...."
Suto tersenyum sambil menerima setangkai mawar
ungu. Ia memandangi bunga itu dengan mengagumi
warnanya yang bagus. Bau harum mawar itu pun terasa lebih lembut dari mawar
lainnya. "Terima kasih, Nyai Guru Betari Ayu," ucap Suto mengutip nama yang didengar dari
kasak-kusuk tadi.
"Tapi apa artinya kau memberikan setangkai mawar ungu itu padaku?"
Betari Ayu alihkan pandang. Tangannya merapikan
letak ranting mawar yang kurang rapi sambil menjawab.
"Sebagai jawaban dari pertanyaanmu tadi, Suto.
Kalau aku menyerahkan setangkai bunga pada seorang
pria, itu berarti aku berkata bahwa aku belum punya kekasih di tempat lain,
maupun di sini. Dan kalau bunga itu berwarna ungu, itu pertanda pernyataanku
sangat jarang kuberikan kepada seorang pria. Karena, auh...!"
Betari Ayu sentakkan tangan. Jari telunjuknya
tertusuk duri mawar. Jari itu berdarah dan Betari Ayu gigitkan bibir menahan
sakitnya. "Ah, kau kurang hati-hati, Nyai...," kata Suto seraya raih tangan itu dan
menyedot darah yang keluar dari luka di jari telunjuk Betari Ayu. Perbuatan itu
dilakukan Suto tanpa ragu-ragu. Dan Betari Ayu tak bisa menolak,
karena ketika jari itu masuk ke mulut Suto untuk disedot darahnya, yang timbul
hanya rasa nikmat di sekujur
tubuh Betari Ayu. Rasa nikmat itu tak bisa ditahan, sampai akhirnya Betari Ayu
desiskan napas lewat mulut dengan mata terbeliak nikmat. Jantungnya kian
berdetak cepat dicekam rasa nikmat.
* * * 3 SEMAK belukar di dalam hutan bagai dihempaskan
oleh angin ribut, sementara alam berdiam tenang.
Hembusan angin sepoi-sepoi menghadirkan semilir
segar. Tapi dedaunan belukar itu menjadi rontok dan rubuh bagai dilanda topan
sejurus. Kecepatan seseorang berilmu tinggi dalam larinya
mampu membuat dedaunan gugur. Kecepatan orang
yang berlari ini ternyata masih ditambah lagi kecepatan orang yang mengejar di
belakangnya. Napas-napas
terengah berat terdengar jelas. Engahan napas itu
berhenti ketika orang yang berlari cepat tiba di tepian sungai berbatu-batu
terjal. Tubuh kurus bermata cekung dengan rambut panjang
acak-acakan itu akhirnya melompat dengan
menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Sungai yang
lebar itu dilaluinya dengan sekali bersalto, hingga di salah satu pucuk batu,
melenting lagi dan bersalto
kembali, hinggap di batu yang lain. Begitu seterusnya sampai orang kurus kering
berjenggot kelabu itu tiba di seberang sungai. Sampai di sana tubuhnya rubuh
juga karena kelelahan.
Sementara itu dari tempat munculnya orang kurus itu muncul juga orang sedikit
gemuk, berkumis tebal
dengan cambang tipis. Orang itu bermata kecil agak
sipit, namun berkesan bengis. Dia tak lain adalah Datuk Marah Gadai yang sedang
mengejar musuhnya yang
kurus kering itu, tak lain adalah Cadaspati.
Dari seberang sungai Datuk Marah Gadai berseru
lantang, "Cadaspati! Ke mana pun kau lari pasti akan kukejar dan kudapatkan! Ingat, kau
terluka oleh pukulanku dan tak akan sanggup berlari lebih jauh lagi! Sebaiknya,
serahkan saja benda itu padaku supaya aku bisa
menyembuhkan lukamu!"
Cadaspati yang disangka telah berhasil membawa lari Pusaka Tuak Setan itu hanya
menggeram dari tempatnya, ia mencoba bangkit dengan terhuyunghuyung karena menahan luka. Lalu, ketika ia melihat Datuk Marah Gadai memetik
dua lembar daun jati muda, mata Cadaspati semakin tegang.
Dua lembar daun jati yang masih muda itu
dilemparkan ke sungai. Datuk Marah Gadai segera
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, dan
melompat ke arah daun itu. Kini dua telapak kakinya berdiri di atas dua lembar
daun jati yang tetap
mengambang di air walau mendapat beban seberat tubuh Datuk Marah Gadai.
"Hiaaat...!" Datuk Marah Gadai sentakkan kaki kanannya dengan kedua tangan
mengeras diangkat ke
atas. Dua lembar daun jati itu meluncur terbang
melintasi sungai dengan membawa tubuh Datuk Marah
Gadai di atasnya. Wuusss...!
Melihat lawannya terbang cepat ke arahnya,
Cadaspati mengerahkan sisa tenaganya. Satu tangannya yang tidak ikut terluka,
yaitu tangan kirinya, merapat di ketiak dan telapak tangan itu menghadap ke
depan. Tangan tersebut dihentakkan dengan sebuah teriakan.
'"Guntur Colok Sukma'...!"
Dari telapak tangan itu meluncur keluar sinar merah membara yang sebenarnya
kumpulan dari jarum-jarum
yang menyala bara. Ratusan jarum merah itu melesat ke arah Datuk Marah Gadai.
Secepatnya kaki Datuk Marah Gadai sentakkan diri di atas lembar daun jati, lalu
tubuhnya melenting tinggi dan berjungkir balik di
angkasa. Wuugh, wuugh...!
Gerombolan jarum merah itu melesat menghantam
dua lembar daun jati yang telah kosong itu. Daun
tersebut hanya bergerak sedikit, lalu berubah menjadi serpihan-serpihan kering
tak berwarna hijau lagi,
melainkan abu-abu.
Ilmu 'Guntur Colok Sukma' milik Cadaspati melesat
dengan sia-sia. Sebab kejap berikutnya tubuh Datuk
Marah Gadai sudah berdiri di depan Cadaspati dengan berangnya. Meski kecil tapi
mata itu memandang
setajam pisau cukur, membuat Cadaspati yang
menyadari keadaannya terluka menjadi sedikit waswas.
"Cadaspati!" kata Datuk Marah Gadai dengan suara geram angker. "Tak akan ada
orang yang bisa
menyembuhkan lukamu selain aku. Jadi, sekarang juga serahkan Pusaka Tuak Setan
itu padaku. Kau akan
kusembuhkan!"
"Persetan dengan omonganmu, Datuk Marah Gadai!
Berulangkali sudah kukatakan, aku tidak memiliki
pusaka itu!"
"Kau telah menyelam di dalam Telaga Manik Intan!"
"Aku mandi di sana!"
"Adakah orang mandi tanpa melepas pakaian"!"
senyum sinis Datuk Marah Gadai membuat Cadaspati
menjadi semakin benci. Orang berpakaian abu-abu itu hanya membatin,
"Sial amat nasibku! Menyelam di telaga mencari sampai lama tapi pusaka itu tidak
kudapat. Sekarang malahan aku dituduh membawa Pusaka Tuak Setan itu!
Repotnya lagi, orang kuat ini tidak mau percaya dengan kata-kataku. Sepertinya
aku memang harus bertempur
habis-habisan dengannya untuk membuktikan bahwa
aku tidak membawa Pusaka Tuak Setan!"
Maka dari kantong jubahnya di bagian belakang,
Cadaspati pun mengeluarkan senjatanya yang berupa
cambuk tiga lidah. Cambuk itu terdiri dari tiga tali satu gagang. Setiap tali
mempunyai ujung bersenjata. Dua tali berujung senjata seperti pisau kecil, satu
tali berujung bola besi berduri berukuran sebesar jeruk
peras. Panjang masing-masing tali sama, tapi warna
talinya berbeda, yaitu merah, hitam, dan putih. Cambuk yang bertali putih itulah
yang berujung bola besi baja berduri.
"Datuk Marah Gadai!" geram Cadaspati dengan mata dinginnya. "Untuk membuktikan
kebenaran kata-kataku, aku siap bertarung denganmu sampai habis nyawaku!"
"Bagus!" kata Datuk Marah Gadai sambil tersenyum sinis. "Jangan sangka aku takut
melihat cambuk sapimu itu! Buktikan dengan nyawamu bahwa kau memang
tidak memiliki pusaka itu, biar puas hatiku."
"Bersiaplah menerima kematianmu sendiri, Datuk Busuk!" geram murid Malaikat
Tanpa Nyawa yang telah kehilangan ilmu 'Inti Neraka'-nya itu (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar").
Dengan gerakan amat cepat, tangan kiri yang
memegangi cambuk itu melecut ke depan, ke arah tubuh Datuk Marah Gadai. Satu
kali lecutan, tiga cambuk
mengeluarkan nyala api yang berbeda-beda. Nyala api itu memercik dan menimbulkan
suara menggelegar


Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagai hendak meruntuhkan langit. Blaarrr...!
Glegeerrr...! Tepian sungai berguncang bagai dilanda gempa
sekejap. Bebatuan retak dalam jarak sepuluh langkah dari tempat lecutan cambuk.
Tubuh Datuk Marah Gadai pun terpental ke samping membentur batu. Lengan
kirinya koyak dan berdarah. Bukan karena terkena
lecutan cambuk, melainkan karena robek terkoyak
pecahan batu runcing yang dijadikan tempat benturan tubuhnya.
"Jahanam...!" geram Datuk Marah Gadai dengan semakin beringas, ia pun segera
mencabut pedangnya
yang bersarung logam perak berukir itu. Pedang
sepanjang ukuran lengan orang dewasa itu dihunus
dengan gerakan cepat. Srettt...!
Duueerr...! Lepasnya pedang dari sarungnya saja sudah
menimbulkan suara ledakan menggelegar. Gerakan
mencabut pedang itu menimbulkan gelombang
bertenaga dalam cukup dahsyat, sehingga sebongkah
batu berukuran sebesar bocah usia sepuluh tahun itu terlempar ke arah Cadaspati
bersama batu-batu kecil lainnya.
Cambuk tiga lidah dilecutkan di udara, kilatan
cahayanya yang keluar dari masing-masing ujung
cambuk membentur batu yang melayang dan membuat
beberapa batu besar itu pecah tanpa suara. Tinggal
bebatuan kecil yang terus melayang dan menghujani
tubuh Cadaspati.
Orang kurus murid Malaikat Tanpa Nyawa itu
terdorong ke belakang beberapa tindak, karena batu-batu itu rupanya mempunyai
kekuatan tenaga dalam yang
lumayan, dan selain menerpa tubuh juga mendorong
tubuh ceking itu dengan satu sentakan beruntun. Tetapi dorongan itu tidak
membuat tubuh kurus Cadaspati
menjadi tumbang, ia masih bisa berdiri dan memandang ke arah pedang Datuk Marah
Gadai. Pedang itu seperti baru diangkat dari perapian.
Berpijar merah membara, dengan disertai bau hangus di sekelilingnya. Pedang yang
menyerupai besi mau
ditempa itu segera bergerak menebas ke arah leher
Cadaspati walau masih dalam jarak antara lima langkah.
Tapi sekalipun pedang itu tidak sampai menyentuh
tubuh Cadaspati, lelaki bermata cekung
itu berjumpalitan menghindari gelombang panas yang
menyerangnya dengan cepat. Wuuus...
"Ahgh...!" Cadaspati terpekik tertahan. Kakinya sempat tersapu hawa panas dari
kibasan pedang tersebut.
Kaki itu menjadi lembek bagai habis tersiram bubur besi
panas. Cadaspati menyeringai. Kekuatannya semakin
berkurang. "Kau masih tidak mau menyerahkan pusaka itu,
Cadaspati"!" Datuk Marah Gadai mengancam.
"Aku sudah tidak menganggap berurusan dengan
Pusaka Tuak Setan lagi. Aku sudah menganggap
berurusan denganmu karena aku harus menuntut balas
luka-lukaku, Bangsat! Hiaaat...!"
Blaaarrr...! Kembali tepian sungai diguncang gempa sekejap,
karena cambuk tiga lidah dilecutkan ke arah tubuh Datuk Marah Gadai. Tubuh itu
juga kembali terpental lima
tindak ke samping belakang. Brukkk...! Datuk pun rubuh dengan tangan masih
mencoba menopang badan di atas sebuah batu hitam.
Keadaan Datuk Marah Gadai yang setengah
tengkurap itu membuat Cadaspati mempunyai
kesempatan emas untuk melecutkan cambuknya ke
punggung Datuk Marah Gadai, Maka, dengan cepat
Cadaspati lecutkan cambuk itu ke arah punggung dalam satu pekikan membunuh.
"Hiaaaht...!"
Wuuuttt...! Blaarrr...!
Glegaarrr...! Gemuruh suara gempa di tepian sungai. Batu-batu
pecah dengan sendirinya, karena pada saat cambuk
melesat, Datuk Marah Gadai kibaskan pedangnya ke
atas. Tiga cambuk ditangkisnya. Benturan dua senjata itu menimbulkan gelegar
keras yang mengguncang bumi.
Tiga cambuk itu putus seketika oleh pedang milik Datuk Marah Gadai yang jarang
digunakan jika bukan dalam
keadaan sangat terpaksa. Putusnya cambuk tiga lidah itulah yang membuat
timbulnya gemuruh mengguncang
bumi. Tubuh kurus kering itu terlempar ke atas bagai
mendapat sentakan kuat sekali dari dasar bumi. Tubuh itu melayang dan berusaha
mendarat ke tanah dengan
kedua kakinya. Tetapi, Datuk Marah Gadai berteriak
keras dan panjang.
"Hiaaat...!"
Ia jejakkan kaki ke tanah, dan tubuhnya pun
melenting tinggi ke arah turunnya tubuh Cadaspati.
Dalam keadaan mengadu raga itu, Datuk Marah Gadai
sentakkan pedangnya ke depan. Wuuutttt...! Crasss...!
"Aaahg...!" terdengar suara pekik tertahan dari Cadaspati.
Bluukk...! Tubuhnya jatuh ke tanah seperti nangka
busuk jatuh dari atas pohon. Tubuh itu menyala merah bagaikan terpanggang api
yang amat panas. Bekas luka tusukan pedang di dadanya tampak menganga lebar dan
membara. Cairan yang keluar bukan seperti darah,
namun seperti magma gunung berapi.
Tubuh murid Malaikat Tanpa Nyawa itu tersentaksentak di tanah tanpa suara. Nyala bara yang bagai
membakar bagian dalam tubuh itu lama-lama meredup.
Lalu, hilang sama sekali. Yang tinggal hanya sisa
bangkai tak bernyawa, mengepulkan asap sisa
pembakaran. Namun pakaiannya masih utuh, tak ikut
terbakar atau terpanggang api sedikit pun.
Datuk Marah Gadai berdiri tegak di samping mayat
Cadaspati. Napasnya terengah satu kali. Pedangnya yang merah membara masih
digenggam di tangan kanannya.
Kemudian pedang itu segera dimasukkan ke dalam
sarungnya. Sreett...! Wuugh...! Bunyinya cukup
menggidikkan. Tanp menunggu lama-lama, Datuk Marah Gadai
segera menggeledah pakaian mayat yang hitam berasap itu. Sampai beberapa saat ia
menggeledah, akhirnya
menyentakkan makian dengan nada kemarahan.
"Jahanam busuk! Ternyata dia tidak mempunyai
Pusaka tuak Setan! Babi buntung! Kalau tahu dia benar-benar tidak membawa Pusaka
Tuak Setan, tak sudi aku mengejar-ngejarnya sampai mencabut pedang pusakaku!
Puih...!" Datuk Marah Gadai berdiri tegak sambil bertolak
pinggang dengan wajah memendam sejuta kekecewaan
yang bercampur kedongkolan hati. Ia memandang
sekeliling sambil berkata dalam batinnya.
"Kalau begitu, Pusaka Tuak Setan benar-benar masih ada di dalam telaga tersebut.
Atau, mungkinkah sudah diambil oleh murid si Gila Tuak yang masih ingusan
itu"! Hmmm... kalau begitu aku harus mencoba
mencarinya di dalam dasar telaga itu. Jika memang tidak kutemukan Tuak Setan di
sana, aku akan memburu
murid si Gila Tuak yang konyol itu!"
Datuk Marah Gadai melirik ke satu arah. Ada sesuatu yang ia curigai di balik
tiga batang pohon pisang di
bagian atas tanggul sungai, ia yakin di sana ada orang.
Maka, ia sentakkan tangannya ke sana, ia kirimkan
pukulan jarak jauhnya yang membuat tiga batang pisang itu jebol dan tumbang
berentakan dalam sekejap.
Dari balik tiga batang aisang yang tumbang itu
muncul sesosok tubuh yang melesat dengan lincahnya
menghindari pukulan tadi. Tubuh itu mendaratkan
kakinya tak jauh dari Datuk Marah Gadai, berjarak
antara tujuh langkah, ia berpakaian kuning kunyit dan berparas cantik menarik.
Siapa lagi kalau bukan paras cantik milik Peri Malam.
"Rupanya kau yang mau membokongku dari
belakang, Peri Malam!" tuduh Datuk Marah Gadai yang sudah mengenal perempuan
itu. "Jaga mulutmu, Datuk!" sentak Peri Malam. "Tak ada watak dalam diri Peri Malam
untuk membokong
seseorang dari belakang!"
"Jadi kau minta dari depan?" sambil senyum nakal Datuk Marah Gadai terlihat
jelas. Tapi mendapat
sambutan sinis dari Peri Malam.
"Tua bangka tak tahu adat!" geram Peri Malam tak takut sedikit pun. Mungkin
karena ia tahu, Datuk Marah Gadai pernah lari terbirit-birit ketika melawan
gurunya, jadi sikap Peri Malam pun menjadi sangat berani pada lelaki yang
usianya jauh lebih tua darinya itu.
"Lantas apa maksudmu mengintai dari balik pohon itu?"
"Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi di sini, sampai timbulkan guncangan hebat
pada bumi. Rupanya
kau sedang pamer ilmu dan kesaktianmu pada tikus
ceking ini!"
"Jadi, kau tak ada urusan apa-apa denganku?"
"Ada baiknya kita mengurus diri kita masing-masing, Datuk. Itu pun belum tentu
kita becus, apalagi mau
mengurus diri orang lain!" kata Peri Malam dengan ketusnya.
"Kalau begitu, aku pun harus pergi secepatnya, sebelum segalanya menjadi
terlambat!" Datuk Marah Gadai pun menjejakkan kakinya ke tanah dan kejap
berikutnya ia telah melesat bersalto naik dan sampai di tepi tanggul. Kemudian
ia melompat hilang tanpa peduli dengan seruan Peri Malam yang mengecamnya dengan
kalimat. "Tak akan bisa kau menguasai tanah Jawa, Marah Gadai...!"
Peri Malam mencibir sinis, ia tahu, bahwa Datuk
Marah Gadai sangat bernafsu sekali untuk menjadi
penguasa rimba persilatan di seluruh tanah Jawa. Tetapi Peri Malam yakin, citacita Datuk Marah Gadai itu tak akan berhasil, karena lelaki itu belum bisa
mengalahkan gurunya. Apalagi sebentar lagi Peri Malam akan
menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Sudah pasti semua orang sakti di
rimba persilatan tanah Jawa ini akan disapu habis oleh gurunya dengan kekuatan
maha dahsyat yang dinamakan kekuatan 'Napas Tuak
Setan'. Sebenarnya perempuan berhidung bangir dengan tahi
lalat di sudut dagu kanannya yang membuatnya cantik
itu ingin segera meninggalkan mayat hangus itu. Namun tiba-tiba langkahnya
terhenti karena tahu-tahu seorang lelaki tua berselempang kain putih dengan
rambut panjang putih meriap, telah berdiri dan menghadang
langkahnya. Orang tua renta berbadan kurus itu memandang sedih
pada mayat Cadaspati, kemudian memandang dendam
pada Peri Malam. Tongkatnya digenggam kuat-kuat
ketika ia berkata dengan nada datar.
"Perawan kencur! Cukup tinggi ilmumu sampai bisa menewaskan adikku Cadaspati!"
Peri Malam kerutkan dahi. Ia tidak kenal siapa orang itu. Ia tidak tahu, bahwa
orang tua berkumis tipis dengan badan kurus kering itu adalah kakak dari
Cadaspati yang bergelar Peramal Pikun. Peri Malam hanya tahu, bahwa orang yang
dihadapannya jelas tokoh tua yang tidak
enteng ilmunya. Namun Peri Malam tidak merasa gentar jika harus bertarung dengan
tokoh tua itu. "Siapa kau, Bandot"! Mengapa sikapmu bermusuhan denganku" Tidak tahukah kau
bahwa aku adalah murid
si Mawar Hitam yang tersohor itu"!"
"Aku tahu! Aku kenal si Mawar Hitam yang diam di Pulau Hantu. Dan aku tahu kau
adalah muridnya yang bernama Sundari, yang berjuluk Peri Malam!"
"Bagus kalau kau tahu semuanya!" kata Peri Malam.
"Lalu, apa maksudmu menghadang langkahku. Bandot Tua"!"
"Menuntut balas kematian adikku!"
"Buka matamu lebar-lebar, Bandot Tua! Buka juga
telingamu yang kopok itu! Jangan salah kau menuntut balas atas kematian tikus
sawah itu padaku!"
"Jaga mulutmu jika tak ingin kutumbuk dengan
tongkat ini! Hih...!"
Cepat sekali Peramal Pikun sentakkan ujung
tongkatnya ke mulut Peri Malam. Tapi tangan
perempuan itu pun tak kalah cepat kibaskan ke samping untuk menangkis tongkat
itu. Trrak...! Terdengar bunyi bagaikan kayu besi saling beradu.
"Boleh juga kekuatan tenaga dalamnya, sampai suara tongkatku gemeretak
ditangkisnya," batin Peramal Pikun. "Tangannya sudah terlatih menjadi baja dalam
serentak. Tak sia-sia gadis kencur ini menjadi murid si Mawar Hitam!"
Sementara itu, Peri Malam pun membatin, "Tinggi juga ilmu tenaga dalamnya. Pasti
yang ia salurkan lewat tongkatnya tadi hanya sebagian kecil. Kalau tidak ada
tenaga dalam tersalur di tongkatnya, pasti tongkat kayu itu telah patah!
Tanganku sempat merasakan linu sedikit di bagian pergelangannya."
Peramal Pikun masih tetap memandang dingin
dengan wajahnya yang biasanya cengar-cengir menjadi bengis. Itu pasti disebabkan
hatinya berkabung atas kematian adiknya. Bahkan dengan datar pula ia berkata
kepada Peri Malam.
"Jangan kau mengelak dari tuntutan dendamku, Peri Malam! Hutang nyawa harus
dibalas dengan nyawa.
Hutang darah dibalas dengan darah. Tak ada sempat lagi untuk tertawa, karena
sebentar lagi nyawa dan ragamu
akan terpisah."
Kata-kata itu disepelekan oleh Peri Malam. Bibir
manis itu mencibir, bikin hati Peramal Pikun makin
getir. "Jangan bikin persoalan denganku, kalau raga tuamu tak ingin dipatah-patahkan
oleh guruku!"
Genggaman tangan Peramal Pikun pada tongkatnya
semakin kuat dan gemetar, ia pun menggeram,
"Persetan dengan gurumu! Kalau perlu kutumbuk
lumat sekalian dengan tongkatku, hiaah...!"
Wuusss...! Tongkat dikibaskan menghantam kepala
Peri Malam. Tapi dengan cepat perempuan itu
tundukkan kepala. Tongkat menebas udara bebas. Peri Malam segera hantamkan
tangannya ke wajah Peramal
Pikun. Taapp...! Pukulan menggenggam yang dialiri tenaga
dalam oleh Peri Malam itu ditahan dengan telapak
tangan Peramal Pikun. Telapak tangan itu akan patah jika tanpa dialiri tenaga
dalam yang cukup tinggi.
Satu tangan Peramal Pikun yang memegang tongkat
siap menyodokkan tongkatnya ke perut Peri Malam.
Tapi tiba-tiba sekelebat bayangan coklat menerabas di pertengahan kedua tangan
yang saling beradu kekuatan tenaga dalam itu. Prasss...!
Kedua orang tersebut terjengkang ke belakang bagai
sama-sama habis diseruduk kerbau liar. Mereka sama

Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama bergegas bangkit dan siap saling adu tenaga dalam lagi. Tapi sebuah suara
berseru dari sisi samping mereka.
"Tahan!"
Keduanya saling palingkan wajah memandang
pemuda berpakaian coklat itu. Peri Malam terperanjat, namun cepat sembunyikan
rasa kaget. Peramal Pikun
menyipitkan mata dan berkata, "Lagi-lagi kamu mau ikut campur urusanku, Suto!"
Suto Sinting tersenyum menyeringai, lalu berkata,
"Mana imbang, tokoh tua seperti kamu melawan dara cantik macam dia, Peramal
Pikun"!"
"Peduli apa dengan cantiknya dia! Aku harus
menuntut balas atas kematian adikku di tangan dia,
Suto!" Peri Malam menukas kata, "Bukan aku
pembunuhnya!"
"Kalau bukan kau, siapa"! Yang ada di sini hanya kau dan mayat adikku!" sentak
Peramal Pikun. "Datuk Marah Gadai yang membunuh adikmu,
Bandot Tua! Aku hanya menjadi penonton saja! Dia
pergi ke selatan sebelum kau datang dari utara!" suara Peri Malam terdengar
lantang juga. "Nah, kau dengar sendiri, Peramal Pikun!" kata Suto.
Peramal Pikun agak sangsi, ia masih menatap tajam
pada Peri Malam. Lalu, ia perdengarkan suaranya yang kembali datar.
"Jangan kau coba-coba mengelabui pikiranku, Peri Malam!"
"Bangunkan mayat adikmu, dan tanyalah sendiri
padanya!" Setelah berkata begitu, Peri Malam sentakkan kaki.
Tubuhnya melesat tinggi dan bersalto satu kali. Dalam
kejap berikutnya dia sudah ada di atas tanggul sungai, kemudian melesat pergi
dengan satu lompatan bertenaga dalam yang membuatnya cepat menghilang dari
pandangan mata Peramal Pikun maupun Suto Sinting.
Setelah meneguk tuaknya dua kali, Suto pun berkata,
"Kurasa apa yang dikatakan memang benar, Peramal Pikun! Bukankah Datuk Marah
Gadai sejak dari tepi
telaga sudah mengejar adikmu yang kini jadi bangkai ini" Aku yakin bukan
perempuan itu yang membunuh
adikmu, Peramal Pikun."
"Kalau begitu, akan kucari Datuk Marah Gadai untuk bikin perhitungan pribadi
denganku!"
"Terserah kau, Peramal Pikun. Tapi tolong jelaskan padaku, siapa perempuan
beringas tadi, Peramal Pikun"
Kau pasti mengenalnya."
"Peri Malam," jawab Peramal Pikun. "Dia murid nenek peot yang bergelar si Mawar
Hitam, yang menguasai Pulau Hantu. Dia tokoh tua yang sedang
menunggu saat terbaik untuk membalas dendam dengan
musuh bebuyutannya yang bergelar Bidadari Jalang."
Suto terperanjat sekejap. Tapi ia bisa lekas tenangkan diri begitu mendengar
nama bibi gurunya disebutkan.
"Mengapa ia bermusuhan dengan Bidadari Jalang?"
tanya Suto dengan rasa ingin tahu.
"Bidadari Jalang melukai hati si Mawar Hitam
semasa nenek itu masih muda dan jelita. Suami dari
Mawar Hitam yang berjuluk Pendekar Tanduk Dewa
direbut oleh Bidadari Jalang. Perkawinan itu menjadi hancur karena ulah Bidadari
Jalang. Itu sebabnya,
Mawar Hitam punya dendam pada Bidadari Jalang. Tapi dendam itu tidak pernah
kesampaian, karena ilmu yang dimiliki Bidadari Jalang cukup tinggi, bahkan lebih
tinggi dibanding ilmu Mawar Hitam. Maka, Mawar
Hitam pun menyingkirkan diri dari rimba persilatan, ia hanya akan muncul lagi
jika sudah mendapatkan
kesaktian yang bisa menandingi Bidadari Jalang."
"Lalu, bagaimana dengan Pendekar Tanduk Dewa
itu?" "Dia patah hati, merasa dipermainkan cintanya oleh Bidadari Jalang, ia sudah tak
mau lagi kembali pada Mawar Hitam, ia mengasingkan diri di Gunung Tujuh
Batu, sampai sekarang tak pernah lagi muncul di
permukaan bumi."
Suto manggut-manggut mendengarkan penjelasan itu.
Semakin hari semakin banyak yang ia tahu tentang
kejelekan bibi gurunya, yang pada umumnya bertitik
tolak dari masalah cinta dan lelaki. Bahkan ia pun tahu bahwa bibi gurunya itu
punya urusan dengan Nyai Guru Betari Ayu yang pernah menceritakan penyakitnya
dan mendendam kepada Bidadari Jalang. Betari Ayu
menyebut bibi gurunya Suto dengan julukan Racun
Biadab! Tapi Suto tetap berlagak tidak tahu menahu
tentang Bidadari Jalang.
"Suto, tak ada waktu lagi bagiku untuk berbincang-bincang denganmu. Aku harus
mengejar Datuk Marah
Gadai!" "Tunggu sebentar, Peramal Pikun...!" cegah Suto.
"Aku tahu kau pandai meramal dengan bekal
pengetahuan dan pengalamanmu yang banyak. Tapi
bisakah kau mengetahui siapa perempuan yang bernama Dyah Sariningrum itu?"
Peramal Pikun sentakkan mata, jadi melebar tegas.
Wajahnya yang tampak terkejut itu tiba-tiba segera
mengendur dan berkata, "Aku tidak tahu siapa dia!"
Suto tersenyum. "Aku tahu kau dusta padaku,
Peramal Pikun. Tolong sebutkan di mana orang yang
bernama Dyah Sariningrum itu berada, Peramal Pikun!"
Wajah tua itu tampak menggeragap, walaupun pada
akhirnya ia bersikap tenang dan berkata,
"Aku tak kenal nama perempuan itu. Aku tak tahu di mana dia berada. Jangan
tanyakan padaku, Suto!"
"Tapi mengapa telingamu berdarah!"
Peramal Pikun semakin kaget, ia pegang telinganya.
Ternyata dari lubang telinganya itu mengalir darah
kental yang segar. Tak begitu banyak, tapi cukup
membuat wajahnya makin pucat. Ada rasa takut yang
bersembunyi di balik wajah tuanya itu. Peramal Pikun pun segera berkata, "Sekali
waktu kita akan bertemu, Suto!"
Setelah berkata begitu, Peramal Pikun melompat ke
atas tanggul sungai melalui pijakan batu di sampingnya.
Sebelum Suto bicara lagi, Peramal Pikun lenyapkan diri dalam pengejarannya
terhadap Datuk Marah Gadai.
Suto hanya membatin, "Apa sebab telinga Peramal Pikun berdarah" Apakah ia
mendapat serangan tenaga
dalam dari seseorang yang bersembunyi di sekitar sini"
Tapi menurut inderaku, tak ada orang di sekitar sini.
Hmmm... aku yakin, Peramal Pikun tahu persis siapa dan di mana Dyah Sariningrum
itu. Haruskah aku
mendesaknya" Oh, tidak! Aku tidak perlu mengejarnya dulu. Aku lebih tertarik
mengejar Peri Malam yang
cantik dan berdada sekal itu. Tapi... untuk apa aku mengejarnya" Hanya sekadar
menggoda kecantikannya
atau ingin bersahabat dengannya" Ah, tak tahu aku,
kenapa aku ingin mengejarnya!"
* * * 4 GEMURUH ombak di Pantai Karang Saru terdengar
bagai nyanyian pagi. Dinamakan Pantai Karang Saru,
karena di sana ada tebing karang yang memiliki gua
dengan lubang mulut yang memanjang ke atas. Di
samping lubang mulut gua itu ditumbuhi lumut-lumut
hijau kehitaman. Lumut itu tumbuh hanya di tepian
mulut gua, sedang di tempat lain tidak terdapat lumut sedikit pun. Itulah
sebabnya pantai itu dikenal dengan nama Pantai Karang Saru, alias karang kotor.
Di salah satu celah karang-karang tak jauh dari mulut gua itu, sebuah perahu
telah disembunyikan beberapa waktu lamanya, dan ditutup dengan belarak pelepah
daun kelapa. Menilik keadaan perahu yang
disembunyikan sebegitu rupa, pastilah seseorang telah menyiapkan perahu itu
untuk suatu keperluan penting.
Sebelum matahari sempat meninggi, belarak daun
kelapa itu disingkirkan oleh sepasang tangan berjari lentik dan berkulit sawo
matang. Tangan itu milik
seorang perempuan berambut lurus yang dililit rantai emas dengan batu merah
delima dibagian keningnya.
Siapa lagi perempuan yang bertahi lalat di dagu
kanannya kalau bukan Peri Malam, murid nenek keriput yang berjuluk Mawar Hitam.
Gerakan tangan menyingkirkan daun kelapa penutup
perahu itu tampak cepat, menandakan Peri Malam harus terburu-buru melakukan hal
itu. Pandangan matanya
yang sedikit nanar menandakan ada cemas yang
tersimpan di hati Peri Malam.
"Memang sinting pemuda itu," katanya dalam hati.
"Begitu kutatap dia punya mata, jantungku terasa terhenti sekejap. Pantas jika
Selendang Kubur
mempertaruhkan nyawa untuk merebutkan Pusaka Tuak
Setan ini. Rasa-rasanya memang tak rugi mati untuk pria setampan itu. Bukan
hanya tampan saja, tapi juga
mempunyai daya tarik yang bisa bikin hatiku kembali tertarik pada seorang
lelaki. Sejak tadi aku berusaha melupakannya, tapi tak pernah bisa."
Rupanya itu pula yang membuat hati murid Mawar
Hitam menjadi gelisah. Kecemasan yang hadir
menggelisahkan hati bukan karena rasa takut disusul oleh Selendang Kubur atau
Peramal Pikun, tapi takut jumpa lagi dengan pemuda berpakaian coklat tampan itu.
Maka, perahu pun segera didorongnya memasuki
perairan laut yang saat itu dalam keadaan surut. Dengan satu kekuatan dari
dalam, Peri Malam berhasil
mendorong perahu itu seperti mendorong sebatang
pelepah daun pisang.
Begitu perahu mulai meluncur di permukaan air laut
yang bergelombang tak terlalu besar itu, Peri Malam segera lompatkan diri ke
dalamnya. Dalam satu kali
sentakan kaki, ia sudah berhasil berada di dalam perahu dan segera raih kayu
pendayung. Sempat pula Peri Malam membatin, "Kalau debaran hati ini semakin parah, aku akan
minta izin kepada Guru untuk temui pemuda itu lagi. Kalau tuntutan indah di
jiwaku semakin tinggi, aku akan culik pemuda itu untuk kubawa lari ke Pulau
Hantu. Kurasa Guru akan izinkan hal itu sebagai hadiah dari keberhasilanku
mencarikan Pusaka Tuak Setan ini untuk beliau."
Peri Malam segera dayungkan perahunya. Cepatcepat tangannya mendayung seakan ingin segera sampai pada sang Guru dan segera
mintakan izin rencananya itu.
Dalam waktu singkat perahu itu sudah mencapai
kejauhan, sudah tinggalkan pantai lewat dari lima puluh tombak. Namun gerakan
tangan Peri Malam masih tetap cepat dalam mendayung, seakan tak mau lambat
sedikit pun. Untuk hindarkan sorot matahari yang terasa
menyengat kulit, Peri Malam mengambil tempat
membelakangi pantai dalam duduknya. Itu sebabnya
Peri Malam tidak menyadari kalau gerakan perahunya
makin lama semakin mendekati pantai, bukan semakin
menjauh. Ketika Peri Malam tengokkan kepala ke
belakang, ia terperanjat heran melihat perahu bukan
berjalan maju, tapi berjalan mundur.
"Sial! Perahu ini semakin mengikuti alunan ombak.
Terlalu ringannya perahu ini, sampai sang ombak
dengan mudah menahan dayungku dan mengalunkan
perahuku makin ke tepian. Harusnya perahu ini jangan dibuat dari kayu kapuk
randu, biar tak terlalu ringan dan terlalu mudah dipermainkan ombak!"
Peri Malam ambil satu dayung lagi. Dayung kedua
dimasukkan ke dalam kolong besi di tepian perahu.
Dengan cara begitu, ia dapat dayungkan perahu dengan gunakan dua dayung kanankiri. Gerakannya tambah
dipercepat. Peri Malam kerahkan tenaga buat membawa pergi perahunya. Tapi perahu
bergerak makin dekati
pantai. "Apakah gerakan dayungku salah?" pikir Peri Malam.
"Kurasa tidak salah. Justru kalau kubalik gerakannya, perahu ini akan melaju
mundur." Lebih cepat lagi Peri Malam gerakkan tangannya
untuk mendayung, lebih cepat juga perahunya menuju ke tepian pantai. Sampai satu
kejap berikutnya, terdengar suara, kraakkk...! Dayung kanan membentur batuan
karang di dalam air. Dayung itu menjadi patah. Ini
menandakan bahwa perahu mulai mencapai tempat
dangkal. Peri Malam palingkan wajah ke belakang,
ternyata pasir pantai tinggal beberapa langkah dari perahunya.
"Konyol!" sentak Peri Malam keras, ia marah pada perahunya sendiri. Peri Malam
segera bangkit dan
melompat turun. Perahunya ditarik ke tepian sambil
menggerutu, "Kurasa aku harus menunggu air pasang dulu dan arah angin menuju ke
barat. Jika arah angin menuju barat, maka gelombang ombak akan mendorong
perahuku ke arah barat pula."
Perahu kembali dimasukkan di celah bebatuan
karang. Talinya ditambatkan di salah satu bebatuan yang agak meruncing. Peri
Malam pun segera pergi ke bawah sebuah pohon mahoni yang berdaun rindang. Di
sana ada jajaran batu yang enak untuk duduk dan beristirahat.
"Haus sekali aku," pikirnya sebelum mencapai bawah pohon rindang itu. Peri Malam
dongakkan kepala
memandang buah kelapa hijau yang ada di pucuk pohon.
Kejap berikutnya ia dekati pohon kelapa itu dan dengan pejamkan mata sejenak,
Peri Malam hantamkan
tangannya memakai pangkal pergelangan tangan ke
pohon itu. Duugg...!
Maka satu buah kelapa yang dipilihnya dari bawah itu meluncur jatuh dari atas
pohon. Peri Malam senyumkan bibirnya sambil memandang jatuhnya buah kelapa itu.
Kejap berikut ia terperanjat karena buah kelapa itu pecah di udara sebelum
mencapai tanah. Praak...! Airnya muncrat ke mana-mana, serabut dan tempurungnya
pun terpental tak tentu arah.
Cepat-cepat Peri Malam palingkan wajah dengan
mata nanar. Pandangannya menyapu sekeliling sambil ia membatin,
"Rupanya ada orang usil ingin menggangguku.
Hmm... tahu aku sekarang. Gerakan perahuku yang
mundur ke pantai pasti bukan karena gerakan ombak,
tapi karena ada yang sengaja menariknya dengan
kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Bedebah!
Siapa orang yang berani betul mempermainkanku?"
Peri Malam kembali hantam pohon kelapa untuk
memancing persembunyian orang yang memecahkan
kelapa saat buah itu melayang turun. Tapi kali ini buah kelapa segar itu tidak
pecah di udara. Buah kelapa segar itu tetap meluncur ke bawah dan jatuh ke tanah
berpasir. Bluukkk...! Peri Malam kerutkan dahinya. Aneh melihat kelapa
tak lagi pecah di udara. Segera ia dekati kelapa itu. Saat Peri Malam mau ambil


Pendekar Mabuk 03 Darah Asmara Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelapa itu, tiba-tiba benda
tersebut bergerak menggelinding dengan cepat. Gerakan itu diikuti oleh pandangan
mata. Ternyata kelapa
tersebut berhenti karena terhadang satu kaki yang cepat menginjaknya.
Taapp...! Peri Malam pandangkan matanya mengikuti kaki itu.
Sedikit demi sedikit ia naikkan pandangan mata dari betis sampai ke paha, naik
ke perut, naik ke dada, dan akhirnya Peri Malam temukan seraut wajah lelaki di
sana. Melihat wajah pemuda berhidung bangir dan beralis
sedikit tebal itu, Peri Malam segera desiskan suara.
"Dia lagi...!"
Pemuda berpakaian serba hitam dengan ikat pinggang
hitam berukuran besar itu masih sunggingkan
senyumnya yang cukup menawan. Mata pemuda berikat
kepala kuning dan rambut sedikit panjang itu menatap
dengan lembut wajah Peri Malam. Di pinggang pemuda
itu terselip senjata berupa kapak dengan dua mata kanan-kiri. Kapak itu
mempunyai bagian ujung yang runcing berupa mata tombak. Gagang kapak itu tidak
panjang, kira-kira hanya berukuran dua jengkal tangan dewasa.
Peri Malam kenali kapak itu sebagai pusaka si pemuda yang konon bernama Kapak
Kebo Geni. "Kita jumpa lagi, Peri Malam," ucap pemuda itu sambil memungut kelapa yang tadi
diinjaknya. "Rupanya kaulah orangnya yang sejak tadi
menggangguku, Dirgo!"
"Benar. Karena aku ingin bicara denganmu, Peri Malam."
"Mengapa harus menahanku di pantai ini" Kau bisa datang ke Pulau Hantu dan
bicara denganku di sana,
Dirgo Mukti."
Pemuda itu menggeleng sambil mendekat. Tiga
tindak sebelum sampai di tempat Peri Malam berdiri, Dirgo Mukti hentikan
langkahnya. "Kalau aku datang ke Pulau Hantu, sama saja aku melanggar larangan dari guruku.
Aku tak berani melanggar larangan Guru. Jadi aku selalu tunggu
kemunculanmu di Pantai Karang Saru ini. Sebab di
sinilah aku jadi penguasa. Pantai Karang Saru adalah wilayah kekuasaanku, Peri
Malam. Siapa pun orangnya yang melewati daerah ini harus berurusan denganku,
tapi bukan berarti harus mengadakan pertarungan denganku."
Kalau tidak ingat larangan gurunya juga, Peri Malam sudah labrak pemuda itu
dengan garangnya. Sayang
sekali Mawar Hitam pernah wanti-wanti agar Peri
Malam jauhi Dirgo Mukti yang bergelar Manusia
Sontoloyo itu. Peri Malam tidak boleh bikin bentrokan dengan Manusia Sontoloyo.
Apa alasan sang Guru
mengeluarkan larangan itu, sampai saat terakhir Peri Malam berangkat, tak pernah
ada jawaban yang pasti.
Dirgo Mukti masih sunggingkan senyum manis bagai
seorang lelaki berwajah bersih itu. Buah kelapa hijau yang segar tetap ada di
tangannya. Dengan gerakan
cepat, Dirgo Mukti tusukkan jari telunjuknya ke
permukaan kulit kelapa beraerabut tebal itu. Cruuss...!
Dalam satu sentakan jari menusuk, kelapa itu telah berlubang dan bisa dipakai
untuk mengeluarkan air di dalam kelapa tersebut. Dirgo Mukti pun segera serahkan
kelapa kepada Peri Malam.
Peri Malam terima kelapa itu dengan wajah sinis dan hati muak. Kejap berikutnya,
Peri Malam menenggak
habis air kelapa muda itu. Saat kepalanya mendongak ke atas untuk menerima
curahan air kelapa, mata Dirgo
Mukti memperhatikan bentuk leher yang tampak halus
dan bersih tanpa luka sedikit pun. Ia tersenyum, ingin mencium leher Peri Malam.
Tapi saat ia bergerak
setindak, Peri Malam segera hentikan gerakan
meminum. Cepat ia memandang Dirgo Mukti dengan
sorot pandangan mata yang tidak bersahabat.
"Cantik sekali kau, Peri Malam!" kata Dirgo Mukti pelan.
"Aku tak butuh rayuanmu," ketus Peri Malam.
Dirgo Mukti tertawa agak keras. "Suatu saat kau akan
membutuhkannya, Peri Malam. Kau wanita yang punya
gairah. Jadi kapan saja kau bisa punya kebutuhan cinta.
Dan akulah satu-satunya orang yang siap melayani
cintamu nantinya, Peri Malam."
Makin muak hati Peri Malam. Terasa perut mual dan
ingin muntah mendengar ucapan Dirgo Mukti. Dia
sendiri merasa aneh, mengapa dia tak bisa tertarik
dengan pemuda yang cukup tampan dan gagah itu.
Hatinya seperti gunung es yang sulit mencair oleh
rayuan atau sikap Manusia Sontoloyo itu.
Malah ingin rasanya Peri Malam menghajar habis
mulut pemuda itu. Ingin rasanya ia mengadu ilmu dan kesaktian dengan Dirgo
Mukti. Tapi pesan dari gurunya membuat ia takut melakukan pelanggaran. Pernah ia
mendesak gurunya untuk minta diizinkan menyerang
Dirgo Mukti, tapi sang Guru tetap tidak mengizinkan.
"Apakah Dirgo Mukti lebih sakti dariku, Guru?"
tanya Peri Malam waktu itu. Sang Guru menjawab,
"Mungkin sama kuatnya kau dengan dia. Tapi bukan itu yang jadi masalah. Jika kau
berselisih dengan Dilgo, maka dunia akan kembali dilanda gegel besal," kata
Mawar Hitam yang cadel.
"Tapi aku muak sekali dengan keusilannya, Guru.
Aku ingin sekali menghajar mulutnya yang selalu bicara memuakkan!"
"Jangan. Kalau kamu ketemu dia, hindali saja dia.
Jangan sampai kamu teljadi bentlok sama dia."
"Izinkan aku menghajarnya satu kali saja, Guru. Satu kali saja!"
"Tidak. Ada saatnya kalau toh telpaksa halus bentlok sama dia. Tapi... sebaiknya
jangan. Usahakan jauhi
Dilgo dan jangan ada pelselisihan sama dia!"
Geram hati Peri Malam bila ingat larangan itu. Apa
lagi sekarang Dirgo Mukti semakin usil, mulai berani mau memegang pundak Peri
Malam. Cepat-cepat Peri
Malam kibaskan tangan menampik pergelangan tangan
Dirgo Mukti. Sebenarnya ia bisa menghindari saja, tapi untuk melampiaskan
perasaan dongkolnya yang sudah
lama terpendam, ia sengaja tepiskan tangan Dirgo Mukti dengan satu sentakan
keras. Tulang lengan beradu
dengan pergelangan tangan Dirgo. Trakkk...! Sama-sama keras bagai dua besi baja
saling beradu. "Jangan coba-coba bertindak lebih konyol lagi, Dirgo!" sentak Peri Malam dengan
mata menatap tajam, penuh sinar permusuhan.
"Sesungguhnya mulai hari ini kau tak bisa lepas lagi dariku, Peri Malam," kata
Dirgo Mukti dengan mata menahan kejengkelan hati.
"Apa maksudmu, hah"!" sentak Peri Malam.
"Hari ini juga kau harus kumiliki, Peri Malam. Aku tak sanggup lagi berjauhan
denganmu."
"Cuih...!" Peri Malam meludahi wajah Dirgo Mukti.
Tapi ludah itu sebelum sampai tempatnya sudah
membalik dan mengenai wajah Peri Malam sendiri.
Makin geram kemarahan Peri Malam. Makin merasa
dipermainkan dirinya.
"Hiaaat...!"
Peri Malam hantamkan tinjunya ke arah wajah Dirgo
Mukti. Tapi tubuhnya terpental pada saat kepalan
tinjunya bagai menghantam suatu lapisan yang bisa
memantulkan tenaga.
"Hup...!" Peri Malam cepat ambil sikap melompat, dalam kejap berikutnya sudah
berdiri tegap dalam jarak lima langkah dari Dirgo Mukti. Ia bungkamkan mulut
untuk sesaat, karena hatinya berkata,
"Dia punya lapisan menolak kekerasan. Pukulanku belum menyentuh wajahnya, tapi
terasa sudah menyentuh sesuatu yang menahan balik. Hampir saja
tubuhku terjungkal karena pukulan itu. Malu aku kalau sampai terjungkal akibat
tindakanku sendiri. Hmmm...
baiknya kucoba pakai pukulan jarak jauh saja!"
Wuuugh...! Tenaga dalam sedikit besar dilontarkan
dari telapak tangannya. Dan, orang yang diserangnya hanya tersenyum tipis dengan
kedua tangan terlipat di dada.
Weeeung...! Pukulan tenaga dalam itu membalik arah. Tubuh Peri
Malam tersentak dan terpelanting hingga berputar dua kali. Untung ia cepat
kendalikan keseimbangan
tubuhnya, hingga dalam kejap berikutnya Peri Malam
telah kembali berdiri tegak menghadap ke arah Dirgo Mukti. Jaraknya menjadi
delapan langkah dari Dirgo
Mukti. Saat itu, Dirgo berkata dengan sedikit berseru.
"Jangan melawan aku, Peri Malam. Kau akan mati oleh kekuatanmu sendiri.
Percayalah!"
"Persetan dengan kata-katamu, Dirgo! Kau telah mempermainkan aku dan memancing
kemarahanku!"
geram Peri Malam yang tambah penasaran itu. Maka,
serta-merta ia lancarkan pukulan tenaga dalamnya lebih besar lagi.
Wuungh...! Weuung...! Cepat sekali pukulan itu memantul balik. Tubuh Peri Malam terpental hingga dua
kakinya terangkat dari
tanah. Tubuh itu melesat ke belakang dan jatuh
membentur bongkahan batu karang.
"Uhhg...!" Peri Malam menyeringai sakit pada punggungnya. Napas Peri Malam
tertahan beberapa saat untuk menghalau rasa sakit. Setelah itu, napasnya
terhempas lepas.
Kucing Suruhan 11 Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw Naga Sasra Dan Sabuk Inten 40

Cari Blog Ini