Ceritasilat Novel Online

Geger Di Selat Bantai 2

Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai Bagian 2


yang menyambar Suto Sinting ternyata seorang
perempuan berambut acak-acakan. Cantik, tapi berkesan liar dan ganas, ia
mengenakan pakaian ketat seperti
terbuat dari bahan karet lentur berwarna hitam, sehingga bentuk lekuk-lekuk
tubuhnya terlihat jelas. Perempuan itu berusia sekitar tiga puluh tahun, namun
masih kelihatan muda dan bentuk dadanya cukup indah.
Montok namun tidak sebesar Lantang Suri. Ia
menyandang pedang di punggung dengan gagang
pedang warna hitam.
Pendekar Mabuk sempat terperanjat ketika
mengetahui siapa orang yang menyambarnya itu. Ia
menyapa pelan dalam genggaman perempuan tersebut,
"Kau.... Angin Betina"!"
Angin Betina adalah murid mendiang Nyai
Pancungsari yang dulu bergabung dalam kelompok
golongan hitam. Sejak Angin Betina terpikat oleh
ketampanan Suto Sinting, ia menjadi tokoh muda
golongan putih. Sekalipun ia tahu cintanya tak terbalas, namun ia tetap tak rela
jika Suto Sinting dicelakai oleh pihak mana pun. Ia selalu tampil di depan sang
kekasih sebagai 'perisai' bagi Pendekar Mabuk, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Pedang Kayu Petir").
Angin Betina memandang tajam kepada Lantang Suri
yang saling belum mengenal. Masing-masing
memancarkan permusuhan yang sengit, dan sama-sama
tak punya rasa gentar sedikit pun. Lantang Suri tampak bernafsu sekali untuk
membunuh Angin Betina karena
kemesraannya merasa terganggu, sedangkan Angin
Betina pun berhasrat sekali membunuh Lantang Suri,
karena menyangka Suto telah dibuat kecil oleh Lantang Suri ketika Lantang Suri
hendak memperbesar keadaan
Suto. Angin Betina menyangka, saat itulah Suto Sinting terkena sebuah jurus dari
Lantang Suri yang membuat
Suto menjadi kecil, padahal justru saat itulah Lantang Suri ingin mengembalikan
keadaan Suto Sinting.
"Angin Betina," bisik Suto Sinting, "Lepaskan aku dan biarkan dia mengembalikan
keadaanku seperti
semula!" Angin Betina tidak hiraukan bisikan itu. Sorot
pandangan matanya tertuju tajam ke arah Lantang Suri dengan benak mencari
kesempatan untuk melepaskan
jurus maut yang akan mematikan Lantang Suri.
"Hei, Perempuan Busuk!" Lantang Suri mengawali teguran kasarnya. "Serahkan dia
padaku atau kukirim kau ke neraka sekarang juga, hah"!"
Angin Betina tenang tapi tetap kelihatan ganas.
"Kau bertanggung jawab atas nasib kekasihku ini!
Kau harus menebusnya dengan nyawamu hingga tujuh
turunan!" "Keparat! Berani betul kau menggertakku demikian"
Kau pikir siapa aku ini, hah"! Kalau kau belum
mengenalku, baiklah... terimalah salam perkenalanku
ini! Hiah...!"
Lantang Suri tebaskan kedua jarinya yang
memancarkan sinar merah berbentuk pedang itu. Sinar
merah tersebut berkelebat cepat dengan tujuan
memotong pundak kanan Angin Betina. Claas...!
Tapi tangan kanan Angin Betina segera mekar bagai
menyangga sesuatu dari bawah. Telapak tangan itu
keluarkan sinar putih perak melebar, sehingga sinar
putih perak itulah yang ditebas oleh sinar merah
berbentuk pedang. Slaap...!
Blaaar...! Ledakan cukup keras timbul bersama semburan
bunga api ke mana-mana. Angin Betina tersentak
mundur dua langkah, Lantang Suri limbung sedikit dan bergeser ke samping satu
langkah. Keduanya masih
sama-sama tegak dan memancarkan keberanian yang
tiada surutnya.
Suto Sinting yang ada dalam genggaman tangan kiri
Angin Betina merasa cemas dan jengkel sekali. Suara
gerutuannya yang kecil tak didengar sama sekali oleh Angin Betina.
"Uuh...! Gara-gara disambar seenaknya begini,
akhirnya aku tak jadi dipulihkan kembali oleh Lantang Suri! Dasar perempuan
pencemburu, galak, picik, tolol, dan... aauh...!"
Ia memekik ketakutan karena tiba-tiba tubuh Angin
Betina melayang di udara dan bergerak menerjang
Lantang Suri. Pedang di punggung telah dicabutnya siap membelah kepala Lantang
Suri. Tetapi Lantang Suri tak mau kalah cepat; ia mencabut pedangnya di pinggang
dan melesat tinggi di udara dalam gerakan menyambut
kedatangan lawan.
Bet, bet, bet, trang...! Tring, trang, trang...!
Mereka beradu kecepatan bermain pedang di udara.
Masing-masing tak ada yang terluka. Namun ketika kaki
mereka sudah sama-sama mendarat ke tanah, Lantang
Suri sedikit terperanjat melihat pedangnya yang putih telah berubah menjadi
hitam dan berasap.
"Gila! Pedang pusakaku bisa jadi terbakar begini"
Dan... oh, pedangnya masih utuh"! Benar-benar
perempuan iblis dia itu. Biasanya setiap senjata yang beradu dengan pedangku
akan patah atau hancur, tapi
sekarang justru pedangku yang berubah menjadi hitam
karena terbakar. Hmmm... memang kurasakan saluran
tenaga dalamnya cukup tinggi pada saat beradu pedang.
Tanganku hampir saja tak bisa menggenggam pedang
karena seperti kesemutan," celoteh batin Lantang Suri.
Angin Betina hanya diam bagai menunggu serangan
lawannya. Hatinya tak berkata apa pun kecuali hanya
satu kalimat, "Dia harus mati!"
Sekalipun pedangnya telah terbakar hangus, namun
Lantang Suri masih menggunakannya karena ia salurkan kekuatan tenaga dalamnya
pada benda yang mirip besi
bekas itu. Dengan sebuah lompatan cepat bagaikan kilat, Lantang Suri menebaskan
pedangnya ke arah Angin
Betina. Tetapi pada waktu itu Angin Betina segera
menggunakan jurus pedang andalannya yang bernama
jurus 'Pedang Bintang', pemberian dari tokoh tua jago pedang: Ki Argapura. Wut,
wut...! Wess...! Trang, tring, bet, bet, bet...! Tebasan kilat lima arah telah
dilakukan oleh Angin Betina. Hasilnya cukup mengejutkan
Lantang Suri. Selain pedangnya yang telah hangus
menjadi patah, ternyata salah satu tebasan pedang lawan telah membuat kutangnya
terbelah menjadi dua bagian
tepat di pertengahan dada. Tentu saja penutup dada itu menjadi terbuka dua arah
dan dua bukit yang ditutupinya itu tampak nongol jelas-jelas bagai ingin ikut
nonton pertarungan tersebut.
"Biadab! Bangsat kurap kau!!" geram Lantang Suri sambil mendelik lebar-lebar
setelah merasa dipermalukan. Angin Betina diam kembali dengan
pedang terangkat ke samping kiri melintang di depan
dadanya, ia dalam keadaan tanpa luka apa pun. Hal itu yang membuat Lantang Suri
semakin berang dan
murkanya kian besar.
Rompi jingga segera dirapatkan sebagai pengganti
penutup dadanya. Kemudian pedang yang telah buntung
itu dibuang sembarangan, dan ia mulai melepaskan
murkanya. Melihat lawannya tak berpedang, Angin
Betina pun segera memasukkan pedangnya ke sarung
pedang. Sreep...! Ia bersiap menghadapi lawan dengan tangan kosong. Slaap,
slaap, slaap, wut, wut, slap...!
Lantang Suri bergerak sangat cepat bagaikan
menghilang, ia sengaja berpindah-pindah tempat untuk membingungkan pandangan
mata Angin Betina. Dalam
sekejap muncui di samping kiri Angin Betina, kejap
berikutnya sudah di depan, kejap berikutnya lagi sudah di belakang, di samping,
di belakang... dan begitu
seterusnya. Wuuus...! Angin Betina melesat ke atas dan bersalto
mundur satu kali, lalu hinggap di atas sebuah pohon
berpijak ranting kecil. Hal itu ia lakukan untuk hindari kekacauan dalam
mengincar sasaran, dan ia tak mau
terjebak oleh serangan lawan yang dapat datang secara tiba-tiba dari arah mana
saja. Lantang Suri semakin geram, melihat lawannya telah
berpindah tempat. Langsung saja ia sentakkan tangan
kanannya dan dari telapak tangan itu keluar lima larik sinar biru yang pernah
mengenai tubuh Suto dan Awan
Setangkai. Claaaps...! Lima sinar biru yang dinamakan
'Aji Surut Raga' mengarah ke tubuh Angin Betina.
Kecepatan sinarnya yang luar biasa hampir saja
membuat Angin Betina menjadi kecil seperti Suto
Sinting. Tapi agaknya perempuan berambut acak-acakan berkesan liar itu masih
mampu menggunakan kegesitan jurusnya yang bagaikan angin itu. Ia melesat ke arah
depan dan bersalto beberapa kali dari atas pohon yang satu ke pohon yang lain.
Wuut, wuut, wuut, wuut, wuut...!
"Turun kau, Jahanaaam...!!" teriak Lantang Suri dengan marahnya, ia menghujani
Angin Betina dengan
lima sinar biru dan sinar merah patah-patah dari telapak tangan kirinya. Angin
Betina tak punya kesempatan
untuk menangkis atau mengadu kekuatan tenaga
dalamnya, ia hanya bisa lakukan gerakan menghindar
dengan melompat dari pohon yang satu ke pohon yang
lain. Claas, clap, clap, claas... clap, clap, claaass...!
Wers, wers, wers, wers...!
Suto Sinting yang ada dalam genggaman tangan kiri
Angin Betina semakin tak bisa berbuat apa-apa. Ia bagai dibawa terbang ke sanasini dengan hati berdebar ngeri.
Kedua mata pemuda kecil itu terpejam kuat-kuat karena tak tahan hembusan angin
pada saat dibawa terbang dari pohon ke pohon mengelilingi Lantang Suri yang
masih ada di bawah. Wees...! Prrak...!
"Aauuw...!!" pekik Lantang Suri mengejutkan Angin Betina sendiri. Gerakan
melayang dari pohon ke pohon dihentikan. Angin Betina bertengger di atas ranting
berdaun hijau muda. Ia menggunakan ilmu peringan
tubuh yang cukup matang, sehingga bisa berdiri di atas ranting kecil tanpa
jatuh. Matanya memandang ke bawah karena rasa ingin tahu, mengapa Lantang Suri
memekik keras-keras.
Oh, ternyata di bawah sana telah muncul tokoh lain yang langsung menyerang
Lantang Suri dengan
kekuatan pandangan mata yang dinamakan jurus
'Kendali Netra' itu.
Tokoh yang baru saja datang itu telah membuat tubuh
Lantang Suri terlempar dan kepalanya membentur pohon cukup keras. Hanya dengan
menggunakan pandangan
mata saja, Lantang Suri yang jatuh berlumur darah itu terangkat kembali dan
terlempar ke arah lain. Weess...!
Lalu kepalanya membentur pohon kembali. Prrak..!
"Aahhk...!"
Belum sampai tubuhnya menyentuh tanah, Lantang
Suri sudah terlempar lagi dengan kuat hingga
membentur seonggok batu yang menggugus bagaikan
bukit kecil. Brruus...!
Lantang Suri tak bisa kendalikan keseimbangannya
lagi. Wajah dan bagian depannya hancur karena
membentur batu yang besarnya menyamai seekor gajah
itu. Brruk...! Lantang Suri jatuh terkulai dengan mengerang
kesakitan. Lawan yang menggunakan kekuatan mata
untuk melemparkan Lantang Suri mendongak ke atas
memandang Angin Betina, lalu ia berseru dari
tempatnya, "Bawa pergi dia, lekas!"
Angin Betina mematuhi perintah si perempuan
bermata dingin, berhidung mancung, berambut
sepunggung yang saat itu sedang diriap tanpa tali
pengikat. Perempuan tersebut berpakaian biru terang, dari bahan lentur seperti
dari karet yang membentuk
tubuh karena ketatnya, ia perempuan cantik yang
bertubuh sekal dan berdada montok seperti Angin
Betina. Walau usianya tampak sedikit lebih tua dari
Angin Betina, namun ia mempunyai kecantikan yang
tidak kalah dengan Angin Betina.
Perempuan itu tak lain adalah Merpati Liar, kakak
Angin Betina yang juga menaruh hati kepada Suto
Sinting, namun tak mau berterus terang karena ia tahu adiknya pun menaruh hati
kepada Pendekar Mabuk.
Merpati Liar bertemu dengan Suto Sinting dalam
peristiwa perebutan pusaka Panji-panji Mayat karena ia memang ditugaskan oleh
mendiang gurunya; Nyai
Parisupit untuk menjaga pusaka tersebut agar jangan
jatuh ke tangan golongan hitam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Gadis Buronan").
Melihat kemunculan kakaknya yang sebenarnya
sudah beberapa waktu dicari-cari, Angin Betina terpaksa menyerahkan Lantang Suri
kepada sang kakak, ia
bergegas pergi menyelamatkan Suto Sinting tanpa
mengetahui perkara sebenarnya. Sedangkan Merpati Liar segera merampungkan
urusannya dengan Lantang Suri,
karena ia bertemu dengan Resi Pakar Pantun dan
mendengar kabar tentang Pendekar Mabuk yang sedang
menjadi buronan Ratu Cendana Sutera.
Merpati Liar tak mau bergabung dengan Resi Pakar
Pantun serta yang lainnya, ia bergegas mengikuti
nalurinya sendiri, ia terpaksa menunda perjalanannya menuju Lembah Sunyi untuk
temui Resi Wulung Gading
dan menanyakan keamanan pusaka Panji-panji Mayat.
Penundaan itu ia lakukan demi menyelamatkan Suto
Sinting agar jangan menjadi penabur keturunan bagi
orang-orang Selat Bantal.
Satu hal yang sudah diduga oleh nalurinya, ia berhasil temukan Lantang Suri dan
melihat Suto Sinting sudah
berada dalam genggaman Angin Betina. Maka tanpa
ampun lagi, Lantang Suri yang telah membuat Pendekar Mabuk menjadi manusia kecil
itu dihabisi dengan jurus
'Kendali Netra'-nya. Lantang Suri tak diberi kesempatan sedikit pun, sampai
akhirnya ia pun kehilangan nyawa karena terbanting ke sana-sini secara


Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyedihkan. Sedangkan kala itu Suto Sinting mengalami suatu
peristiwa aneh yang baru kali itu dialami. Dalam
keadaan masih berada di pucuk pohon, Angin Betina
menyentakkan tangan kanannya ke atas dengan jari
mengeras tegak. Dari dua jari itu keluar sinar putih yang melesat ke langit,
lalu menggumpal sebentar dan pecah menyebar menjadi berwarna-warni.
Sinar warna-warni itu bagaikan menyiram tubuh
Angin Betina secara keseluruhan. Zyuuurr...! Pandangan mata Suto Sinting yang
masih berada dalam genggaman
tangan kiri Angin Betina menjadi silau dan tak bisa
melihat apa-apa. Lalu
sinar warna-warni yang
menyilaukan itu pun pecah terasa menimbulkan
hentakan tanpa suara. Blaab...!
Byaaar...! Keadaan yang menyilaukan itu pecah dan
segera berubah menjadi terang benderang tanpa sesuatu yang menyilaukan lagi.
Tetapi Suto Sinting menjadi
terheran-heran melihat keadaan sekelilingnya. Ternyata ia sudah tidak berada
dalam genggaman Angin Betina.
Tubuhnya pun sudah dalam keadaan seperti semula;
tinggi, tegap, gagah, dan tampak kekar. Angin Betina ada di sampingnya, berdiri
dengan tenang memandanginya dalam iringan senyum tipis yang
mengagumkan, sekaligus mengherankan batin Pendekar
Mabuk. "Hei, aku sudah berubah menjadi besar seperti
sediakala"!" ujar Suto Sinting sambil meraba tubuhnya dan mengamatinya. Wajahnya
mulai tampak berseri-seri, dan Angin Betina melebarkan senyumnya sebagai tanda
ikut gembira. "Ternyata kau pun mampu mengubahku ke bentuk
aslinya!" ujar Suto Sinting dengan rasa bangga terhadap Angin Betina. Namun
perempuan itu gelengkan kepala
dan berkata dengan nada tegas.
"Aku tidak membuatmu berubah menjadi seperti
aslinya!" Pendekar Mabuk kerutkan dahi, "Tapi... tapi badanku sudah besar dan tinggi
tubuhku melebihimu. Bukankah
tadi aku bertubuh kecil dan tak punya badan sekekar ini"! Dan, oh..." Bumbung
tuakku ada di punggung"
Seingatku bumbung tuak itu tadi terlempar saat aku
bertarung melawan Lantang Suri, yang akhirnya
membuat tubuhku jadi kecil, sama seperti nasib si Awan Setangkai'!"
Dengan kalem tapi penuh ketegasan, Angin Betina
berkata, "Kau berada di masa lalu, sebelum bertemu dengan perempuan yang mengaku bernama
Lantang Suri itu."
Semakin tajam dahi Suto Sinting berkerut. Semakin
heran ia mendengar penjelasan Angin Betina.
"Aku... aku berada di masa lalu?"
"Kau telah kubawa lari ke masa lalu, tak jauh dari peristiwa yang akan kau alami
nanti, yaitu bertemu
dengan bertarung dengan Lantang Suri."
Pendekar Mabuk masih sedikit bingung memahami
penjelasan itu. Namun ia segera menyadari bahwa
mereka berdua berada di atas sebuah bukit tepi pantai.
Dari bukit itu Suto dapat memandang ke lautan lepas yang berpantai pasir putih.
Pantai itu mempunyai
gugusan-gugusan batu karang yang berbentuk aneh,
menyeramkan, seperti bentuk-bentuk hantu. Lalu, suatu ingatan menyelinap dalam
otak Suto Sinting.
"Hei, bukankah yang ada di bawah sana adalah Pantai Karang Hantu?"
"Menurut ciri-ciri karangnya yang seperti bentuk aneka hantu, kurasa memang
pantai itu bernama Pantai Karang Hantu."
"O, ya... sepertinya aku memang pernah berada di daerah ini dan...." Suto
Sinting tak jadi teruskan bicaranya, ia terperanjat melihat di pantai kejauhan
sana terjadi pertarungan antara seorang nenek renta yang
sedang dihajar oleh seorang perempuan muda berkutang hijau muda, sama dengan
warna celananya yang sebatas betis dengan bagian pinggulnya dilapisi kain merah.
Wanita tanpa jubah itu tampak cantik, dan kecantikan itu sangat dikenai oleh
Suto Sinting. "Sepertinya itu... itu adalah si Awan Setangkai"!"
"Mungkin saja memang kau kenal dengan gadis itu.
Hanya kau yang tahu peristiwa saat kau ada di sini."
"Oh, apa yang kau lakukan padaku sebenarnya,
Angin Betina" Mengapa aku jadi merasa hidup kembali
di masa yang pernah kulalui" Aku tahu perempuan yang bertarung itu adalah Awan
Setangkai, dan nenek yang
dihajarnya itu... itu adalah jelmaan dari dirinya sendiri.
Aku... aku pernah terjebak saat menolong nenek itu, dan aku... aku pernah
terluka oleh kukunya yang beracun berbahaya, lalu datang Elang Samudera yang
segera membawaku ke pondok Ki Palang Renggo dan Nyai
Sedap Malam. Oh, ya... aku ingat, peristiwa ini pernah kualami, Angin Betina!"
Perempuan berambut acak-acakan itu hanya
sunggingkan senyum tipis dan memandanginya dengan
tak berkedip. "Kau bisa mengawali perjalananmu dengan
menghindari kegagalanmu sampai kau bisa menjadi
kecil seperti liliput itu. Karena aku telah membawamu ke masa sebelum kau
menjadi manusia kecil dengan
menggunakan jurus 'Langkah Gaib'-ku."
"Apa itu jurus 'Langkah Gaib' yang kau maksud?"
"Kemampuan menembus waktu melalui lorong
zaman. Beginilah hasil yang kuperoleh selama
mempelajari Kitab Lorong Zaman. Aku menjadi
'manusia tembus waktu' yang tidak mudah dipercaya
oleh setiap orang karena memang tidak bisa dijangkau oleh akal sehat. Karenanya,
jurus ini kunamakan
'Langkah Gaib', bisa ke masa lalu dan bisa ke masa
depan!" "Manusia tembus waktu..."!" gumam Suto Sinting sambil termenung, lalu ia ingat
bahwa dulu ia pernah membantu Angin Betina mendapatkan sebuah kitab
pusaka yang sangat diidam-idamkan Angin Betina, dan
ternyata Angin Betina benar-benar mempelajari isi kitab itu hingga bisa
membawanya ke masa sebelum bertemu
dengan Lantang Suri, bahkan sebelum berkenalan
dengan Awan Setangkai, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Kitab Lorong Zaman").
"Apa maksudmu membawaku kemari, Angin
Betina?" "Jika kau ingin mengulang sejarah, kau bisa lakukan dengan lebih dulu telah
mengetahui kelemahan-kelemahan lawanmu atau, kelemahan dirimu sendiri.
Kau dapat mengetahui bahwa kau akan bertarung dengan Lantang Suri, dan Lantang
Suri akan menggunakan jurus yang dapat membuatmu menjadi kecil. Kau bisa hindari
jurus itu sebelum mencelakaimu. Kau mempunyai
kesempatan memperbaiki kesalahanmu, tapi kesempatan
ini hanya bisa dilakukan satu kali saja. Tak bisa diulang dua-tiga kali. Jika
dalam kesempatan satu kali ini kau gagal, maka kau tetap akan temui kegagalan
yang sama. Jadi manfaatkan sebaik mungkin kesempatan dalam
hidupmu yang sekarang ini."
Suto Sinting masih terbengong karena diliputi
perasaan heran dan kagum silih berganti. Setelah diam beberapa saat, suaranya
terdengar pelan bagai orang
menggumam, seakan bicara pada diri sendiri.
"Benarkah aku bisa belajar menjadi benar dari
kesalahan yang sudah kulakukan?"
"Setiap manusia akan menjadi benar jika mau
memanfaatkan kesalahannya sebagai pelajaran
termahal."
Pendekar Mabuk akhirnya manggut-manggut. "Tapi...
kurasa perjalanan mengulang sejarah terlalu lama, sebab Eiang Samudera
sebenarnya sudah ditawan oleh Ratu
Cendana Sutera. Nanti malam adalah malam bulan
kesuburan. Jika aku tak datang membebaskan Elang
Samudera, maka ia akan menjadi penggantiku."
"Pengganti dalam hal apa?"
"Menabur benih keturunan bagi sang Ratu dan orang-orang Selat Bantai!"
"Keparat! Jadi, orang-orang Selat Bantai memburumu untuk dijadikan pria penabur
benih keturunan"!"
Kemudian Suto Sinting menceritakan apa yang
didengarnya dari ucapan Awan Setangkai. Angin Betina tampak gusar karena menahan
kemarahan mendengar
Suto Sinting akan dijadikan pria pembenih di Istana
Selat Bantai. Rasa cemburunya bercampur kebencian
terhadap Ratu Cendana Sutera dan orang-orang Selat
Bantai. "Kalau begitu, memang sejarah perjalananmu
menjadi manusia kecil tak perlu diulang," katanya. "Toh jika kau salah
perhitungan lagi, peristiwa akan terjadi sama seperti yang pernah kau alami.
Sebaiknya kita kembali ke masa kau menjadi manusia kerdil. Aku ingin menantang pertarungan
dengan Ratu Cendana Sutera!"
"Tunggu dulu, Angin Betina. Masalah ini adalah
masalah pribadiku yang harus kuselesaikan secara
pribadi." "Tidak seorang pun boleh hidup jika ingin
memperlakukan dirimu dengan semena-mena. Aku akan
menjadi El Maut pencabut nyawa bagi siapa pun yang
memperlakukan dirimu seenaknya sendiri, seperti orang-orang Selat Bantai itu!"
"Tap... tapi... tapi ini persoalan pribadiku. Persoalan seorang lelaki yang...."
Suto Sinting belum selesai bicara, Angin Betina telah
lepaskan sinar putih ke langit. Lalu tubuh mereka
disiram aneka warna yang menyilaukan.
Bluub...! Mereka kembali lagi ke masa pertarungan Merpati
Liar dengan Lantang Suri.
* * * 6 TEMPAT pertarungan itu telah sepi. Suto Sinting
yang berubah kembali dalam keadaan kecil dalam
genggaman Angin Betina, kala itu sempat melihat mayat Lantang Suri tergeletak di
bawah gugusan batu hitam
berlumut samar-samar.
"Pasti ini perbuatan kakakmu; si Merpati Liar!" kata Suto dengan suara kecilnya.
Angin Betina hanya menarik napas panjang, lalu
memandang sekeliling mencari jejak kepergian
kakaknya. Suto Sinting mendengar Angin Betina
menggumam pelan,
"Ke mana perginya orang itu" Padahal sejak beberapa waktu yang lalu aku mencaricarinya karena ada
pembicaraan penting yang harus kulakukan dengannya.
Baru jumpa sebentar sudah lenyap lagi!"
Mereka tak tahu bahwa setelah lawannya tak
bernyawa lagi, Merpati Liar bergegas pergi mencari
Angin Betina yang membawa Suto kecil. Tetapi sebelum ia bergerak jauh, rombongan
Resi Pakar Pantun tiba di tempat itu. Sang Resi bersama Bulan Sekuntum dan
Awan Setangkai yang tetap dalam keadaan kecil segera mengajak Merpati Liar untuk
bergabung mengatur siasat penyerangan ke Selat Bantai.
"Kita harus segera membebaskan Suto Sinting dari cengkeraman Ratu Cendana
Sutera," ujar Resi Pakar Pantun dengan penuh semangat.
"Suto tidak di tangan Ratu Cendana Sutera!" sanggah Merpati Liar. "Dia bersama
adikku; Angin Betina. Tapi entah ke mana mereka sekarang. Aku baru saja ingin
mencari mereka!"
"Kalau begitu kita sisir tempat ini untuk mencari mereka," ujar Resi Pakar
Pantun. "Aku yakin, mereka belum jauh dari sini."
"Bagaimana kau bisa yakin begitu?" tanya Merpati Liar.
"Firasatku mengatakan demikian! Firasatku paling tajam di antara firasat para
tokoh tua sebayaku!"
Merpati Liar melengos, menampakkan rasa tidak
yakin terhadap apa yang dikatakan sebagai firasat Resi Pakar Pantun.
"Mungkin mereka bergerak ke pantai. Kita coba
mencari mereka di pantai!" usul Bulan Sekuntum yang telah berhasil disembuhkan
dari pengaruh 'Tendangan Kobra Binal' itu. Merpati Liar cenderung setuju dengan
usul Bulan Sekuntum, maka mereka pun bergegas
mencari Suto dan Angin Betina ke daerah pantai secara menyebar.
Angin Betina dan Suto Sinting terlambat beberapa
saat saja. Seandainya Angin Betina atau Suto Sinting
mengetahui arah langkah mereka lalu mengejarnya,
maka mereka akan menemukan rombongan Resi Pakar
Pantun. Tapi karena Angin Betina dan Suto Sinting tidak mengetahui hal itu, maka
mereka tidak buru-buru
meninggalkan tempat itu.
"Bagaimana dengan mayat Lantang Suri itu, Angin Betina" Apakah tak perlu
dimakamkan?"
"Sudi amat!" jawab Angin Betina dengan ketus.
"Kalau kau mau, kau saja yang memakamkan bangkai itu!"
"Kalau aku tidak dalam keadaan kecil begini, bisa saja aku menggali liang untuk
menguburnya. Ah...
sayang keadaanku kecil begini. Sayang juga bumbung
tuakku tak ada di sampingku," Pendekar Mabuk
merenung sedih, ia duduk di pundak kiri Angin Betina sehingga suaranya yang
kecil mudah didengar oleh
Angin Betina. "Bumbung tuakmu ada di mana?"
"Entahlah. Terpental dan tak tahu ada di mana
sekarang ini. Seandainya ada juga... juga sia-sia."
"Mengapa sia-sia?"
"Bumbung itu telah kosong. Tak ada tuak setetes pun.
Tuaknya telah ditenggak habis oleh Lantang Suri yang mengubah diri menjadi
seorang nenek berlagak terluka."
"Perempuan itu memang licik. Sebelum ia
menyerangmu ia sudah mengetahui kekuatanmu pada
tuak. Maka ia habiskan dulu tuakmu agar kau tak bisa memanfaatkan kesaktian tuak
tersebut."
"Seandainya bumbung itu ada yang mengisi tuak,
kurasa dengan meminum tuak dari bumbung saktiku itu
keadaanku bisa pulih menjadi seperti sediakala,
demikian pula keadaan Awan Setangkai."
"Kau masih ingat tempat pertarunganmu yang
pertama dengan Lantang Suri?"
"Hmmm... ya, masih ingat walau secara samarsamar." "Kalau begitu kita cari bumbung tuakmu di sekitar tempat itu!"
Zaaaab...! Sekelebat bayangan melintas cepat, Suto
Sinting sempat terperanjat melihat bayangan itu
bagaikan cahaya bintang jatuh, berwarna biru tua
bagaikan menyala. Bayangan itu menghilang di balik


Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerimbunan semak.
"Aku melihat sesuatu bergerak di sana," ujar Angin Betina dengan nada berbisik.
"Aku juga melihat bayangan biru."
"Ada seseorang yang mengintai kita rupanya."
"Apakah dia orang jahat?"
"Entah. Tapi akan kupancing keluar dari
persembunyiannya."
Angin Betina segera lepaskan pukulan jarak jauh
tanpa sinar. Wuuuk...! Seperti gumpalan angin melesat dari tangan Angin Betina
ke arah tempat hilangnya
bayangan biru itu. Bruuuss...! Zraaak...!
Semak belukar meluncur seketika dilanda gumpalan
angin besar. Bahkan dua batang pohon sempat patah dan tumbang karena hempasan
tenaga dalam tersebut. Tetapi bayangan biru yang melintas cepat tadi tidak
tampak lagi, keadaan tetap sunyi.
"Tak perlu hiraukan dia. Sebaiknya kita segera cari bumbung tuakku dulu!" ujar
Suto Sinting yang merasa tubuhnya lemah dan tulangnya linu-linu karena tak
menenggak tuak cukup lama.
Angin Betina berkata, "Bagaimana kalau kau
kusimpan di dalam dadaku?"
"Ah, jangan begitu. Nanti keadaannya jadi lain. Sama seperti saat aku dimasukkan
ke dalam kutang si Lantang Suri."
"Tak ada tempat aman untuk menyembunyikan
dirimu kecuali di dalam belahan dadaku, Suto. Aku
harus lakukan gerakan cepat jika si bayangan biru tadi terlihat di sekitar kita.
Apalagi jika ia menyerang kita, aku harus lakukan gerakan lebih cepat lagi dan
kau akan terpelanting jatuh jika duduk di pundakku "
Setelah diam beberapa saat, akhirnya Suto Sinting
berkata, "Baiklah, aku menuruti saranmu. Tapi jika hatimu berdebar-debar dan
darahmu berdesir-desir,
jangan salahkan diriku, ya?"
"Asal kau tak nakal di dalam situ, aku tak akan dibakar gairah! Kalau kau nakal,
kau kubuang ke semak-semak biar dimakan ular!"
Pendekar Mabuk tertawa kecil. Ia segera dimasukkan
ke dalam belahan dada montok Angin Betina, ia sempat berseru,
"Sesak! Aku sukar bernapas!"
"Tahanlah untuk beberapa waktu. Rundukkan
kepaiamu, jangan nongol begini!"
Suto Sinting bagai menyelam di sela belahan dua
daging yang empuk tapi hangat. Sebentar kemudian
kepalanya nongol lagi dan berkata, "Keringatmu asin, ya"!"
"Kurang ajar! Jangan dicicipi. Tolol!" sentak Angin Betina sambil menahan tawa
geli. Tangannya segera
menekan kepala Suto dan Suto Sinting tenggelam lagi
dalam gumpalan yang berkeringat.
Zaaab...! Bayangan biru itu melintas lagi dari arah kiri ke kanan, lalu lenyap
tak terlihat jejaknya sedikit pun. Angin Betina berlagak tidak tahu-menahu hal
itu. Ia sengaja memancing kesempatan dengan berlagak lengah
agar diserang dari belakang.
Tapi ternyata serangan justru datang dari depan. Dua bayangan berkelebat
menerjang secara tiba-tiba
Wurss...! Buhk, buhk...! Angin Betina sentakkan kedua tangannya secara
bersamaan. Pukulan tenaga dalam tinggi melesat dari kedua tangannya dan langsung
kenai dua bayangan yang menerjangnya.
Kedua orang itu terlempar ke belakang dan jatuh
terbanting dengan keras. Namun agaknya dua penyerang itu seperti tidak mempunyai
rasa sakit sedikit pun.
Dengan cepat mereka bangkit serempak dan lepaskan
pukulan jarak jauh bersama-sama. Wuuurrt...!
Gelombang hawa panas meluncur ke arah Angin
Betina. Dengan cepat Angin Betina sentakkan kaki ke
tanah dan tubuhnya melambung ke atas. Wuuut...!
Gelombang hawa panas itu berhasil dihindari. Dalam
keadaan masih melambung di udara, Angin Betina
lepaskan serangan bersinar putih perak lurus sebesar lidi.
Clap, claap...! Kedua sinar putih perak itu keluar dari jari tengah tangan
kanan-kiri. Gerakan sinar putih perak yang cepat menghantam
kedua lawannya yang ternyata adalah dua gadis
berwajah cantik dengan rambut pendek dan ikat kepala kain kuning serta merah.
Kedua gadis itu bukan orang lamban dalam bergerak. Mereka cukup lincah, sehingga
serangan dua sinar peraknya Angin Betina berhasil
dihindari dengan lakukah lompatan cepat ke samping.
Duaar, duaar...! Sinar perak itu menghantam tanah
dan tanah pun berhamburan ke udara. Dua lubang
menganga besar tercipta seketika itu pula dalam keadaan tanah masih mengepulkan
asap dan sebagian berwarna
hitam hangus. Andai saja yang terkena dua sinar perak itu adalah dua gadis
cantik itu, tentunya mereka akan hancur dalam keadaan hangus seperti tanah
tersebut. Angin Betina daratkan kakinya ke tanah dengan
kedua tangan siap lepaskan pukulan yang lebih dahsyat lagi. Tetapi dua gadis
cantik yang rata-rata berusia sekitar dua puluh dua tahun itu sama-sama hentikan
serangannya. Angin Betina pun tak mau lepaskan
pukulannya, ia perlu bicara untuk sesaat karena tak ingin terjadi
kesalahpahaman.
"Siapa kalian dan mengapa menyerangku secara tiba-tiba"!"
Yang berikat kepala kuning dengan mengenakan
rompi coklat muda itu menjawab, "Kau telah membunuh orang kami!" sambil
tangannya menuding ke arah mayat Lantang Suri yang masih berada tak jauh dari
mereka. "O, jadi kau orang Selat Bantai?"
"Benar!" jawab yang mengenakan rompi merah dengan ikat kepala merah juga. "Kau
harus menebus nyawa teman kami itu!"
"Bukan aku yang membunuhnya!" kata Angin Betina.
"Tapi jika kalian mau menuntut si pembunuhnya,
memang lebih baik menuntutku saja!"
Tanpa diduga-duga dari arah belakang Angin Betina
merasakan seperti diseruduk banteng jantan yang sedang mengamuk. Punggungnya
terkena pukulan jarak jauh
bersinar biru. Weet...! Deebb...!
"Uuhg...!" Angin Betina terpekik, tubuhnya terlempar ke depan dan Suto Sinting
yang ada di dalam belahan
dadanya itu ikut terpental keluar.
"Aaaow...! Tolooong...!" teriak Suto kecil ketakutan, karena dalam keadaan kecil
begitu ia tidak bernyali dan tidak mempunyai tenaga untuk melakukan perlawanan
apa pun. Tubuh kecil yang melayang itu segera disambar oleh
gadis yang mengenakan rompi coklat. Wuut, teeb...!
Dalam sekejap Suto Sinting sudah berada dalam
genggaman gadis berompi coklat.
Angin Betina yang jatuh tersungkur itu segera
menggeliat bangkit dengan sekujur tubuh bagai disayat-sayat senjata tajam. Perih
dan panas semua. Kulit
tubuhnya kuning menjadi merah bintik-bintik, ia
berusaha menyalurkan hawa dinginnya sambil merayap
dekati akar pohon yang bisa dipakai untuk merambat
bangun. "Hei, si kecil ini mempunyai ciri seperti Pendekar Mabuk!" seru gadis berompi
coklat. "Lepaskan...! Lepaskan aku!" Suto Sinting meronta-ronta. Tapi si gadis berompi
coklat menggenggamnya
lebih kuat lagi hingga Suto Sinting sukar bernapas.
"Jangan-jangan dia memang Pendekar Mabuk," ujar gadis berompi merah. "Mungkin
Lantang Suri telah berhasil melumpuhkan Pendekar Mabuk dengan 'Aji
Surut Raga', dan perempuan liar itu telah merebutnya dengan cara membunuh
Lantang Suri!"
"Dewi Sulam, lemparkan boneka itu padaku!" seru orang yang berjubah abu-abu.
Orang itulah yang tadi
melepaskan sinar biru kenai punggung Angin Betina.
Perempuan berjubah abu-abu itu tampak berusia lebih
tua dari kedua gadis tersebut, sekitar dua puluh tujuh tahun. Dilihat dari
gerakannya saat menangkap Suto
Sinting yang dilemparkan oleh si Dewi Sulam, ia
termasuk perempuan yang gesit dan tangkas. Wuuut...!
Suto Sinting dilemparkan dan langsung disambar oleh tangan kiri perempuan
berjubah abu-abu. Teeb...!
"Aaauh...! Sakiiit...!" seru Suto Sinting sambil meringis karena pinggangnya
seperti diremas oleh si
penangkapnya. "Lepaskan dia! Jangan ganggu dia kalau kalian ingin selamat!" gertak Angin
Betina sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Gertakan itu ditertawakan
oleh perempuan berjubah abu-abu karena ia tahu tentang Angin Betina telah
menjadi lemah akibat hantaman sinar birunya tadi.
"Dewi Sulam dan kau Rumaksi, hancurkan
perempuan liar itu, aku akan membawa si boneka kecil ini ke istana. Kurasa
memang si kecil inilah yang
berjuluk Pendekar Mabuk; Suto Sinting, yang ditunggu-tunggu oleh Nyai Ratu!"
Rumaksi yang memakai rompi dan ikat kepala merah
itu berseru, "Pergilah menghadap Nyai Ratu. Kami akan membereskan perempuan
busuk ini, Kanda Galih
Pinang!" Angin Betina kerahkan tenaga begitu melihat Galih
Pinang bergegas pergi membawa Suto Sinting.
"Berhentiii...! Lepaskan diaaa...!"
Wuuuut...! Angin Betina masih mampu berkelebat
menggunakan jurus 'Jejak Kilat' yang kecepatannya
hampir memadai dengan jurus 'Gerak Siluman' milik
Suto Sinting itu. Tetapi gerakannya segera dipatahkan oleh terjangan Rumaksi
yang juga mampu berkelebat
cepat menerjang Angin Betina.
Bruuus...! "Aaahk...!" Angin Betina terpental, tapi Rumaksi juga terpental. Bedanya, Angin
Betina memekik kesakitan
sedangkan Rumaksi bagaikan karet, begitu jatuh
langsung bangkit lagi tanpa rasakan sakit sedikit pun.
"Aaa...!" tiba-tiba terdengar suara pekikan keras dari Galih Pinang.
Rumaksi dan Dewi Sulam sama-sama terkejut
memandang ke arah Galih Pinang.
Tubuh Galih Pinang terlempar melayang ke udara
dalam keadaan telah berdarah. Tubuh itu jatuh terkapar tak jauh dari tempat
jatuhnya Angin Betina.
Brrruk...! "Aaahk...!"
Angin Betina melihat jelas, dada Galih Pinang
bagaikan digores dengan pedang tajam. Luka goresannya cukup dalam dan panjang
dari pundak kiri ke pinggang kenan. Tetapi tangan Galih Pinang sudah tidak
menggenggam Suto Sinting lagi.
"Uuuhk...!" Galih Pinang berusaha untuk bangkit walau harus menyeringai kuatkuat. Melihat keadaan itu, Angin Betina kerahkan sisa tenaganya untuk mencabut
pedang, kemudian pedang itu ditebaskan ke depan.
Beet...! Craas ..!
Galih Pinang tak berkutik lagi, langsung terkapar
dalam keadaan lehernya hampir putus. Kejadian itu
membuat Rumaksi dan Dewi Sulam sama-sama terpekik
kaget, lalu keduanya sama-sama berteriak penuh murka.
"Perempuan bejat kau.. !!"
"Manusia busuuk...! Hiaaah...!"
Dewi Sulam lepaskan pukulan jarak jauh berupa
cahaya biru bagaikan bola bekel yang melesat ke arah Angin Betina.
Slaaap...! Tapi pada waktu bersamaan, Rumaksi mencabut
pedang di punggungnya dan melompat ingin membelah
kepala Angin Betina. Lompatan tubuh Rumaksi itu tibatiba tersentak ke samping bagaikan ada tenaga yang
mendorongnya. Akibatnya tubuh itu yang terhantam
sinar birunya Dewi Sulam.
Blaarr...! Rumakssiiii...!"
Dewi Sulam berteriak sekuat tenaga melihat
pukulannya kenai teman sendiri. Tubuh Rumaksi pecah
menjadi serpihan daging yang menempel di beberapa
batang pohon. Sepotong jarinya jatuh tepat di depan kaki Angin Betina. Sungguh
mengerikan dan menjijikkan
sekali korban sinar birunya Dewi Sulam itu.
Dalam keadaan bingung mencari jasad temannya
yang tak bisa dibawa pulang, Dewi Sulam menangis
penuh penyesalan, ia bingung, tak tahu harus berbuat apa. Kemarahannya hanya
bisa menyesakkan dada serta
melahirkan tangis yang sulit diredakan.
Akhirnya gadis berompi coklat dengan ikat kepala
kuning itu tinggalkan tempat itu dengan satu kali
sentakkan kaki ke tanah. Duug..! Wuuus...! Asap
mengepul tebal dan tubuh terbungkus asap itu pun
segera lenyap. Angin Betina memandangi sisa kepulan asap dan ia
yakin betul bahwa Dewi Sulam sudah tidak ada di
tempat itu. Ia pun yakin bahwa Dewi Sulam pulang ke
Istana Selat Bantai untuk menghadap ratunya dan
melaporkan keadaan yang terjadi di tempat itu. Namun, Angin Betina yang masih
memegangi pedangnya walau
sudah mampu bangkit dengan sempoyongan itu masih
mencari-cari di mana si kecil Suto Sinting.
"Sutooo...!" teriaknya dengan suara agak parau.
"Sutooo...! Di mana kauuu...!"
Tak ada jawaban tak ada suara apa pun kecuali
hembusan angin dan gemerisiknya dedaunan. Angin
Betina segera membatin dalam hatinya,
"Aku yakin ada pihak yang ikut campur masalah ini!
Hmmm... siapa dia" Si Bayangan biru tadikah" Sebab
orang-orang Selat Bantai yang menyerangku itu tidak ada yang memakai pakaian
biru. Pasti si bayangan biru yang mengintaiku tadi telah menyerang Galih Pinang
dan merebut Suto Sinting. Aku yakin, Suto ada di tangan orang itu! Haram jadah,
di mana dia bersembunyi"!
Siapa dia sebenarnya"!"
Zaaaab...! Tiba-tiba mata Angin Betina menangkap
gerakan berkelebat sangat cepat. Bayangan biru melintas di sela pepohonan
sebelah timur. Angin Betina tak mau tinggal diam, ia buru-buru mengejarnya
dengan menggunakan sisa tenaga yang ada. Walau gerakannya
tak secepat biasanya, namun ia masih mampu mengikuti arah kepergian bayangan
biru yang tak bisa dilihat
dengan jelas karena kecepatan geraknya.
Blaaass, blaaass, blaaass...!
Angin Betina memeras tenaga yang terakhir kalinya
agar bisa menggunakan jurus 'Jejak Kilat'-nya. Wees, wees...! Bayangan biru itu
dikejarnya tanpa putus asa.


Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Luar biasa sekali gerakannya. Begitu cepat dan mampu menerjang pepohonan!
Hmmm... siapa dia
sebenarnya" Aku jadi sangat penasaran!" gumam Angin Betina dalam hatinya.
* * * 7 LANGIT senja mulai tampakkan cahaya merah
tembaga di ufuk barat. Pengejaran Angin Betina masih dilanjutkan. Bagi Angin
Betina, tak ada kata menyerah demi selamatkan jiwa pemuda yang dicintainya.
Sayang sekali untuk sesaat ia terpaksa kehilangan
arah. Bayangan biru itu lenyap dari pandangan matanya dan tak jelas bergerak ke
arah mana. Angin Betina
terpaksa hentikan langkahnya. Ia menyeringai menahan sakit karena luka di bagian
dalamnya. "Sebaiknya kupulihkan dulu tenagaku dengan
mengobati luka memakai hawa inti saktiku!" pikirnya sambil memandang ke arah
sekeliling. Sementara Angin Betina memulihkan keadaannya
dengan mengobati luka memakai hawa inti saktinya, si bayangan biru pun berhenti
di suatu tempat yang
sebenarnya tak jauh dari pemberhentian Angin Betina.
Hanya saja si bayangan biru itu berhenti di balik bukit cadas yang tak seberapa
tinggi, sehingga Angin Betina tidak bisa temukan orang tersebut.
Pendekar Mabuk yang sejak tadi pejamkan mata
karena dibawa lari begitu cepat oleh si bayangan biru, kini mulai berani membuka
matanya setelah diletakkan di atas sebuah batu datar yang ada di bawah pohon
rindang. "Buka matamu, Suto...," perintah sebuah suara yang dikenal sebagai suara
perempuan. Pendekar Mabuk akhirnya terperanjat setelah
membuka matanya dan memandang sesosok tubuh sekal
dengan wajah cantik sekali berdiri di depannya.
Perempuan muda yang kecantikannya menggetarkan hati
itu mengenakan jubah biru tanpa lengan. Pinjung
penutup dada montoknya berwarna kuning, sesuai
dengan warna celananya yang sebatas betis. Tapi celana itu dilapisi kain warna
merah yang terikat oleh sabuk hitam bermanik-manik putih intan. Sabuk itu juga
digunakan untuk menyelipkan pedang runcing yang
pernah dipakai menodong Suto Sinting saat Suto tertidur di bawah sebuah pohon.
Dilihat dari kecantikannya, gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun.
Entah usia sebenarnya lebih
banyak dari itu atau memang asli sekitar dua puluh tiga tahun, Suto belum pernah
menanyakannya. Yang jelas
gadis berjubah biru itu mempunyai rambut sepundak
lewat, warna hitam dan tampak lembut, ia mengenakan
ikat kepala dari kain merah yang simpulnya membentuk bunga mawar. Sepasang
giwang putih berlian
disematkan pada kedua telinganya. Gadis itu juga
mengenakan kalung emas berbatu merah delima sebesar
kacang tanah. Gadis itu tak lain adalah Payung Serambi, salah satu dari tiga utusan terpercaya
dari Istana Laut Kidul yang dikuasai oleh Nyai Ratu Kandita. Dalam suatu
peristiwa bangkitnya 'Malaikat Palsu', mereka pernah saling
bertemu, bahkan pernah saling bertarung dan akhirnya saling mengadu kekuatan
jurus pemikat. Ternyata
sampai sekarang keduanya masih dikuasai oleh jurus
pemikat masing-masing. Manakala mata mereka saling
beradu pandang, maka pengaruh jurus pemikat yang
pernah mereka lepaskan itu berpengaruh menguasai jiwa dan batin mereka kembali,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Misteri Malaikat Palsu").
"Masih ingat padaku, Suto?" bisik Payung Serambi dengan nada lembut. Sungging
senyum di bibirnya
cukup tipis, namun menambah daya pikat yang
menggetarkan hati Pendekar Mabuk.
"Payung Serambi, tak kusangka kau muncul dalam
saat keadaanku menjadi seperti ini. Oh, aku menjadi
malu padamu, Payung Serambi," Suto Sinting tundukkan kepala, sembunyikan wajah
malunya. "Aku datang justru karena kutahu keadaanmu
menjadi seperti ini, Suto."
"Dari mana kau tahu keadaanku menjadi begini?"
"Nyai Ratu yang memberitahukan bahwa sekelompok kaum wanita sedang mengejarngejarmu untuk dijadikan penabur benih keturunan bagi mereka. Aku merasa sakit
hati, karena aku cemburu, lalu aku diizinkan untuk
menemuimu!"
"Setelah menemuiku?" pancing Suto Sinting dengan senyum melebihi bocah kecil,
nyaris tak terlihat di mata Payung Serambi.
"Suto...," wajah Payung Serambi didekatkan. "Aku kangen padamu, Suto...," bisik
gadis cantik itu, bibirnya
tepat berada di depan wajah Suto. Namun Suto tak bisa mengecup bibir itu karena
terlalu besar. Bahkan bisa-bisa kepala Suto masuk ke dalam mulut perempuan
cantik itu jika mereka harus mengadu bibir seperti dulu lagi.
Suto Sinting hanya bisa membiarkan tangan Payung
Serambi mengusap-usap kepalanya. Walau merasa
seperti dibelai tangan raksasa, namun Suto
menghayatinya dengan bayangan mesra yang pernah
mereka lakukan tempo dulu. Terasa hati Suto Sinting
dibelai lembut oleh jemari lentik Payung Serambi.
"Kau tak rindu padaku, Suto?"
"Sangat rindu, tapi apa dayaku, aku dibuat menjadi sekecil ini oleh orang Selat
Bantai yang bernama
Lantang Suri," ujar Suto dengan nada menghiba hati sang gadis cantik itu. Bahkan
Pendekar Mabuk menambahkan kata bagai anak kecil menaruh harap
kepada orang dewasa,
"Kalau saja aku bisa kembali dalam wujud seperti semula, barangkali saat ini kau
sudah kupeluk, Payung Serambi. Aku ingin melepaskan rinduku dalam
pelukanmu, bahkan mungkin aku tak ingin
melepaskannya hingga fajar tiba esok hari."
Payung Serambi menarik wajah, memamerkan
senyumannya yang kalem tapi memancarkan daya pikat
cukup tinggi. Prajurit unggulan dari Istana Laut Kidul itu segera berkata,
"Percuma aku datang kemari jika tidak bisa
melepaskan kesulitanmu. Justru aku datang selain untuk
rindu, juga untuk mengembalikan wujudmu agar tak
selamanya menjadi sekecil ini."
"Lepaskanlah aku dari siksaan seperti ini, Payung Serambi. Kekuatanku hilang,
kesaktianku lenyap,
bahkan aku bagai seekor liliput yang tak mempunyai
kemampuan apa-apa."
"Tutuplah matamu," bisik Payung Serambi. Namun Suto Sinting masih kurang jelas
maksud si Payung
Serambi, ia menutup matanya dengan kedua tangan.
Payung Serambi tertawa geli tanpa suara.
"Tak usah memakai tangan, pejamkan saja matamu."
"Pejamkan..."!" gumam Suto Sinting dengan dahi berkerut. Namun ia segera lakukan
perintah itu. Kedua matanya dipejamkan. Blab...!
Baru saja memejam, Payung Serambi sudah berkata,
"Tak usah lama-lama nanti kau ketiduran. Bukalah matamu, Suto."
Suto Sinting pun membuka matanya dengan raguragu. Pikirnya, "Baru saja memejam sudah disuruh membuka mata" Apa dia
permainkan diriku?".
Tetapi alangkah kagetnya Suto Sinting setelah
mengetahui tangannya telah menjadi besar, kakinya juga besar, bahkan ia merasa
seperti berdiri di atas sebutir kerikil. Payung Serambi yang dalam keadaan
berdiri itu seperti berada di bawahnya. Suto Sinting memandangi Payung Serambi
dengan kepala menunduk.
"Ya, ampuuun..."! Aku menjadi seperti raksasa"!"
Payung Serambi sunggingkan senyum geli.
"Bukankah kau ingin menjadi besar?"
"Iya, tapi tidak menjadi raksasa begini! Kalau aku sebesar ini, kau tak akan
bisa bernapas jika aku
memelukmu, Ratih Kumala!" ujar Suto Sinting
menyebut nama asli Payung Serambi.
"Kebesaran ya?"
"Hi, hi, hi.... Bukan kebesaran lagi, tapi kelewat besar!"
"Hi, hi, hi... maaf. Kalau begitu, pejamkan lagi matamu!"
Suto baru mau memejam, Payung Serambi sudah
berkata, "Cukup!"
"Belum memejam!"
"O, belum" Hi, hi, hi.... Ya, sudah! Sekarang pejamkan matamu lagi."
Pendekar Mabuk pejamkan mata. Tak sampai satu
helaan napas sudah disuruh membuka mata kembali.
Byaak...! Suto Sinting terperangah girang. Tubuhnya
telah kembali seperti sediakala; tidak kecil, tidak juga besar seperti raksasa.
"Aneh! Hanya memejamkan mata tak sampai satu
helaan napas sudah bisa berubah menjadi seperti
semula"! Ilmu apa yang dimiliki si Payung Serambi ini"
Sakti sekali ilmu itu. Aku jadi ingin memilikinya," ujar Suto dalam hatinya.
Payung Serambi tersenyum ceria pandangi Suto
Sinting yang tampak gembira sekali melihat keadaannya telah pulih seperti
sediakala, ia gerakkan tubuh meliuk ke sana-sini, ternyata masih selincah dulu.
Bahkan ketika tangannya menyodok ke depan seperti orang
mabuk mau jatuh, sodokan itu masih mengandung
kekuatan tenaga dalam tanpa sinar. Tenaga yang terlepas dari sodokan tangan itu
menghantam dada Payung
Serambi. Untung gadis itu sigap, pukulan tersebut segera ditangkis dengan
menahan sodokan memakai dua ujung
jari tangannya. Teeb...!
"Aauh...!" Suto Sinting buru-buru menarik tangannya yang terasa ngilu sekujur
lengan akibat totokan dua jari Payung Serambi.
Mereka tertawa, lalu saling menghamburkan
kerinduan dalam sebuah pelukan erat. Payung Serambi
bagaikan tak sabar, ia mendesakkan bibirnya ke mulut Suto Sinting. Lalu, pemuda
tampan itu menangkap bibir pulen tersebut dengan sebuah kecupan hangat dan
lembut. Payung Serambi menggigit gemas bibir si
Pendekar Mabuk.
"Uuh...!" Suto Sinting meringis, Payung Serambi lepaskan sambil tertawa.
Pendekar Mabuk menyentil
hidung bangir Payung Serambi.
"Nakal...!" ucapnya dalam bisik bernada mesra.
"Sakitkah bibirmu?"
"Sakit!" jawab Suto Sinting berlagak sewot.
"Kalau begitu, diamlah... biar kuobati agar rasa sakitmu lenyap."
Kemudian Payung Serambi memagut bibir Suto
Sinting kembali. Lidah mereka saling bersilat tanpa
jurus, dan sukma mereka bagai terbuai terbang ke
awang-awang. Pada saat itulah pencarian Angin Betina sampai di
tempat tersebut. Mata perempuan berambut acak-acakan menjadi terbelalak tegang
karena terkejut melihat Suto Sinting dan Payung Serambi sedang berciuman mengadu
mulut. "Ooh..."!!"
Pekikan tak sengaja itu mengejutkan Pendekar
Mabuk dan Payung Serambi. Mereka segera lepaskan
pelukan dan pandangi Angin Betina.
"Oh, kau..."!" gumam Payung Serambi yang pernah bertemu dengan Angin Betina
dalam peristiwa 'Malaikat Malam' itu.
Suto Sinting salah tingkah dipandangi Angin Betina
dengan sorot pandangan mata yang amat tajam, ia dapat rasakan apa yang terjadi
di dalam dada Angin Betina.
Jelas pemandangan yang dilihat Angin Betina tadi
sangat menyakitkan hati gadis itu. Tapi Suto Sinting tidak sengaja menyakiti
hati Angin Betina dan tak tahu kalau bakal dipergoki oleh Angin Betina.
"Terima kasih atas bantuanmu, kau telah banyak melindungi Suto Sinting," kata
Payung Serambi kepada Angin Betina. Tetapi yang diajak bicara masih diam, tak
bergerak sedikit pun, kepalanya sedikit tertunduk, tapi matanya memandang lurus
ke depan dengan sangat
tajam. Payung Serambi segera mendekatinya dengan
kalem. "Kau cemburu rupanya?"
Suto Sinting menjadi cemas melihat Angin Betina
diam saja. Lebih cemas lagi setelah ia tahu Payung
Serambi semakin mendekati Angin Betina yang mirip
gunung mau meledak itu. Pendekar Mabuk bergegas
hampiri Payung Serambi dan menahan agar Payung
Serambi tidak lebih dekat lagi kepada Angin Betina.
Tetapi sebelum Suto Sinting berhasil meraih lengan
Payung Serambi, tiba-tiba Angin Betina sudah lebih dulu berkata sambil mencabut
pedangnya. Sreeet...! Pedang diacungkan tepat di depan dagu Payung Serambi.
"Suatu saat kita akan bertemu dan mengadu nyawa dengan pedang masing-masing!"
"Apa maksudmu bicara begitu padaku, Angin
Betina?" "Catat dalam otakmu, mulai hari ini kau adalah
musuh utamaku!"
Blaaasss...! Angin Betina pergi begitu saja dengan
kecepatan tinggi. Pendekar Mabuk ingin mengejarnya,
karena ia tahu Angin Betina terluka hatinya. Tetapi
tangannya segera disambar oleh Payung Serambi hingga gerakannya tertahan.
"Biarkan dia pergi!"
"Aku tak ingin kau dan dia saling bermusuhan!"
"Kalau hatinya sudah tidak panas lagi tentu dia juga akan melupakanku!"
"Tak mungkin. Aku tahu sifat Angin Betina, ia tetap akan menganggapmu sebagai
musuh utama, karena
hatinya terluka melihat kita berpelukan tadi."
"Mengapa hatinya terluka" Apakah kau suaminya?"
"Memang bukan, tapi... tapi dia sangat mencintaiku dan... dan...."
"Lupakan dulu soal Angin Betina! Aku dapat
menguasai murkanya. Ada hal yang lebih penting dari
kecemburuan Angin Betina."
Pendekar Mabuk hembuskan napas, seakan
membuang rasa kesal dan bingungnya.
Payung Serambi mengambil sesuatu dari balik
pinjung penutup dadanya. Sesuatu itu ternyata adalah selembar daun sirih yang
sudah digulung menjadi kecil.
Daun sirih itu diserahkan kepada Suto Sinting.
"Makanlah daun sirih ini, telan sampai habis. Jangan ada yang tersisa sedikit
pun." Tentu saja Pendekar Mabuk heran dan kerutkan
dahinya walau tetap menerima daun sirih tersebut.
"Apa maksudmu menyuruhku memakan daun sirih
ini, Ratih Kumala?"
Dengan sikap bagaikan acuh tak acuh, Payung
Serambi menjawab,
"Aku tahu hatimu ingin sekali memiliki ilmu seperti tadi; bisa mengubah diri
menjadi besar seperti raksasa.
Aku sudah persiapkan daun sirih itu. Di dalam daun sirih itu kutanamkan seluruh
kekuatan dan ilmuku, tentunya yang unggulan saja. Ilmu-ilmuku yang kecil tidak
kutanamkan di daun sirih itu, karena kau sudah memiliki ilmu kecil-kecil yang


Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersifat ringan. Jika kau makan daun sirih itu sampai habis, maka seluruh
kekuatan ilmuku yang unggulan akan menjadi milikmu juga. Kau
bisa berubah menjadi besar seperti raksasa, atau menjadi kecil seperti liliput,
dengan hanya kedipkan mata dan sentakkan batinmu sesuai keinginanmu!"
Gemetar tangan Suto Sinting memegangi daun sirih
itu setelah mendengar penjelasan tersebut. Tapi dalam
hatinya masih ada sedikit kebimbangan, karena ia sama sekali tak menduga kalau
akan mendapatkan daun sirih berkhasiat tinggi itu. Ia pandangi daun tersebut,
sementara Payung Serambi palingkan pandang
menatapnya dengan pancaran sinar berkharisma.
"Kuncinya ada di napas dan daya cipta! Tahan
napasmu dan timbulkan daya cipta dalam batinmu, maka apa yang kau ingin ciptakan
akan terwujud dalam
kenyataan!"
"Bbbe... betulkah begitu?" Suto Sinting semakin berdebar-debar.
"Itu yang dinamakan ilmu 'Dewatakara' yang dimiliki oleh prajurit-prajurit
unggulan dari Istana Laut Kidul!"
Suto Sinting masih diam, seperti tidak percaya
menerima daun sirih sehebat itu.
"Makanlah...."
Sirih itu akhirnya dimasukkan ke mulut lalu
dikunyahnya. Krrak...!
"Uuh ..!" Suto Sinting menyeringai, giginya terasa sakit. "Seperti menggigit
batu kristal!" ujarnya sambil pegangi rahangnya yang terasa sakit akibat
menggigit benda keras. Padahal yang dimakan adalah sehelai daun dalam lipatan
kecil, tapi kekerasannya bagai ingin
merontokkan gigi geraham.
"Makanlah terus, karena yang keras itu adalah
sekumpulan kekuatan tenaga dalam gaib yang
kupadatkan di dalam daun sirih itu. Makanlah, jangan berhenti...!"
Krak, kruk, krak, kriuuk, kraak, kruik, kriuk, kriuk...!
"Aku makan daun apa makan pecahan genteng"!"
gerutu Suto dalam hatinya. Namun ia tetap paksakan
mengunyah daun ajaib itu sampai akhirnya menjadi
lembut dan ditelannya habis.
"Ooh...!" ia tersentak kaget bahkan nyaris terlonjak.
Lengannya dipegangi dengan wajah menjadi tegang.
"Panas sekali! Tubuhku panas sekali! Uuuhh...!"
"Tahan, itu yang dinamakan 'rasukan inti gaib' yang menyatu dalam darah, daging,
dan tulangmu. Jiwa dan
rohmu telah menyatu dalam gaib di Laut Kidul."
Beberapa saat kemudian, tubuh Suto Sinting merasa
dingin kembali. Tapi keringatnya mengucur deras bagai berada di tepi kawah
gunung berapi. Rambutnya sampai basah seperti habis kehujanan. Pakaiannya pun
basah kuyup seakan bisa diperas bagai habis dicuci.
"Pandangan mataku menjadi terang sekali. Bening!
Oh, semua tanaman, daun, batu, apa saja tampak indah dalam pandangan mataku,
Ratih!" "Darah siluman telah melebur dalam ragamu.
Sekarang berangkatlah ke istana Selat Bantai! Seorang sahabatmu menunggu di
sana, mengharap bantuanmu
untuk membebaskan dirinya sebelum malam purnama
nanti tiba!"
"Elang Samudera!" geram Suto Sinting teringat sahabatnya yang diculik oleh Mega
Sendu dan Lantang Suri.
"Selamatkan Elang Samudera agar tak menjadi pria perahan orang-orang istana
Selat Bantai!"
"Apakah kau tak ikut ke sana?"
"Aku akan turut serta, tapi tidak akan turun tangan!"
"Mengapa?"
"Karena kau harus buktikan sendiri kehebatan ilmu
'Dewatakara' yang baru saja menyatu dalam jiwa ragamu itu."
Pendekar Mabuk manggut-manggut, paham betul
dengan maksud Payung Serambi. Rupanya gadis itu
ingin agar Suto Sinting mempunyai keyakinan akan
kedahsyatan ilmu 'Dewatakara', sehingga Suto dibiarkan menghadapi orang-orang
Selat Bantai yang terkenal
berilmu tinggi itu.
Ketika itu, senja semakin menua. Pendekar Mabuk
bergegas menuju Selat Bantai dengan diantar oleh
Payung Serambi. Gadis itu mengetahui tempat Istana
Selat Bantai, sebab ketika datang mencari Suto Sinting, sasaran utamanya adalah
Istana Selat Bantai. Tapi ia tak menemukan Suto di sana, sehingga terpaksa
mencarinya ke mana-mana, sampai akhirnya bertemu dalam keadaan
bersama Angin Betina tadi.
Namun ketika mereka memasuki perbatasan wilayah
Selat Bantai, tiba-tiba mereka berpapasan dengan
rombongan perempuan cantik yang berjumlah sembilan
orang. Mereka adalah perempuan-perempuan muda,
setinggi-tingginya berusia tiga puluh tahun. Wajah
mereka cantik-cantik, tubuh mereka meliuk indah,
menggairahkan setiap pria. Dada mereka montokmontok dengan pakaian yang seronok, seakan
memancing kenakalan mata lelaki.
Semblian perempuan cantik itu berkelebat cepat dan
membentuk barisan mengurung Pendekar Mabuk dan
Payung Serambi. Tetapi pada waktu itu, Payung Serambi cepat sentakkan tangannya
bagai membuang sesuatu ke
tanah. Bluub...! Buuuss...! Asap mengepul tebal
membungkus dirinya. Kejap berikutnya, asap itu lenyap terhembus angin senja dan
sosok Payung Serambi pun
hilang bagai ditelan bumi. Rupanya gadis itu benarbenar tak mau ikut campur urusan Suto Sinting dengan orang-orang Selat Bantai,
ia ingin Suto Sinting mampu mengatasi sembilan orang Selat Bantai itu dengan
menggunakan kekuatan ilmu 'Dewatakara', tanpa
mengandalkan bumbung tuaknya.
"Selamat datang di wilayah Selat Bantai, Pendekar Mabuk!'! sapa salah seorang
yang mengenakan jubah
hijau tua dengan bersenjata pedang di punggung.
"Siapa kau, mengapa bisa mengenaliku"!"
"Aku adalah Mega Sendu, yang menyaksikan
pertarunganmu dengan Penyamun Senja."
"O, jadi kau yang menculik sahabatku, Elang
Samudera?"
"Benar! Dan sekarang aku ditugaskan oleh Nyai Ratu untuk menjemput
kedatanganmu."
"Dari mana Ratu tahu kalau aku akan datang?"
Mega Sendu yang berwajah bulat telur itu
sunggingkan senyum tipis. Pandangan matanya
memancarkan daya penggoda cukup kuat. Tapi Pendekar
Mabuk mencoba mengatasinya dengan tidak terlalu
sering menatap pandangan matanya.
"Ke mana pun kau bersembunyi, Nyai Ratu akan
mengetahuinya, karena beliau mempunyai ilmu "Kelana Iblis' dapat menunjukkan di
mana orang yang sedang
menjadi buah pikirannya. Kau sangat dirindukan oleh
Nyai Ratu, sehingga Nyai Ratu mengetahui bahwa kau
sedang menuju ke wilayah kami."
Pendekar Mabuk manggut-manggut, karena ia pernah
mendengar tentang ilmu 'Kelana Iblis' yang memang
dimiliki oleh Nyai Ratu Cendana Sutera itu. Menurutnya hal itu tak perlu
dipersoalkan lagi. Maka ia pun berkata dengan tegas,
"Aku ingin Elang Samudera dibebaskan sekarang
juga!" "Tentu. Kami akan membebaskan Elang Samudera
sesuai permintaanmu. Tapi kau harus tinggal bersama
kami mulai malam ini dan seterusnya."
"Bagaimana jika aku menentang keinginan kalian
itu?" "Kami tak akan bebaskan Elang Samudera!" jawab Mega Sendu yang memang berwajah
sendu-sendu mesra
itu. "Kalau begitu aku harus merebutnya dari tangan kalian!"
"Kau tak akan mampu melakukannya. Pendekar
Mabuk. Apalagi kulihat kau datang tanpa membawa
bumbung tuakmu! Sangat mudah bagi kami untuk
menumbangkan dirimu."
Suto Sinting sunggingkan senyum tipis. "Rasarasanya aku terpaksa lakukan kekerasan karena kalian tak mau diajak berunding
baik-baik."
"Kami sudah siap bertindak kasar maupun halus."
"Jangan menyesal jika kau sendiri akan terluka oleh tindakanku, Mega Sendu!"
"Tak akan ada sesal di hati kami!"
Kemudian Mega Sendu memandang empat orang
anak buahnya yang ada di sisi kanan, ia anggukkan
kepala sedikit sebagai isyarat, lalu keempat orang itu maju secara serempak
menyerang Suto Sinting.
Wuuurrss...! Pendekar Mabuk gunakan jurus 'Jari Guntur' dengan
melakukan sentilan empat kali ke arah keempat
lawannya. Tes, tes, tes, tes...! Sentilan jari bertenaga dalam tinggi itu kenai
perut keempat lawannya, sebab kedatangan tenaga sentilan itu sangat tidak
diketahui oleh lawan. Akibatnya keempat lawannya terjungkal ke belakang dan
saling berjatuhan.
Brrruss ! Bruuuk...!
Empat orang di sebelah kirinya segera maju setelah
mendapat isyarat dari Mega Sendu. Mereka menyerang
dengan jurus bersinar merah. Empat sinar merah lurus datang serempak menerjang
Pendekar Mabuk. Zrraap...!
Wuuut...! Pendekar Mabuk tahu-tahu melambung
tinggi hingga tiga dari empat sinar merah itu justru kenai teman mereka sendiri.
Duar, duar, duaaar...! Tubuh ketiga teman mereka
menjadi hangus dan tumbang tak bernyawa lagi.
Satu sinar merah menghantam pohon, dan nasib
pohon itu sama dengan nasib ketiga orang yang baru saja bangkit dari jatuhnya
sudah harus menjadi hangus dan
tak bernyawa lagi.
Suto Sinting yang melambung tinggi itu lepaskan
serangan balasannya. Jurus 'Surya Dewata' digunakan; sinar ungu melesat dari
kedua tangan yang disentakkan ke depan. Claaap...! Sinar ungu itu sangat cepat
dan sukar dihindari. Akibatnya, pinggang salah seorang yang tadi lepaskan sinar
merah itu terkena jurus maut Suto Sinting.
Jraas...! Sinar ungu itu menembus tubuh orang
tersebut, lalu menghantam orang di belakangnya, dan
menembus lagi ke dada orang di belakangnya dan begitu seterusnya, sehingga dalam
sekali sentak empat orang pemilik sinar merah tadi terkapar tanpa nyawa lagi
karena ditembus sinar ungu. Bahkan sinar ungu itu
masih sempat menembus sebatang pohon yang ada di
belakang orang terakhir.
"Edan!" geram Mega Sendu melihat orang-orangnya tumbang dalam beberapa kejap
saja. Tinggal ia dan salah seorang yang tadi terkena sentilan jurus 'Jari
Guntur'-nya Suto Sinting itu.
"Panilam, lekas pulang dan beri tahu keadaan ini kepada Nyai Ratu! Aku akan
hadapi dia dengan terpaksa melukainya!" seru Mega Sendu.
Orang itu lekas larikan diri. Mega Sendu segera
serang Suto Sinting dengan andalkan kesaktiannya yang mampu berubah menjadi
raksasa. Bluub...!
Suto Sinting segera ingat ilmu yang baru saja
diberikan oleh Payung Serambi. Napasnya ditahan
sejenak, daya cipta batinnya diperkuat. Dan, bluubb...!
Pendekar Mabuk pun menjadi raksasa bertubuh besar,
sama seperti Mega Sendu.
Dua raksasa itu saling beradu pukulan bertenaga
dalam. Wuuut...! Blegaaar...!
Bumi berguncang bagai dilanda gempa. Gelombang
ledaknya menghasilkan getaran kuat yang menyebar ke
mana-mana menumbangkan lebih dari lima pohon besar,
belum termasuk pohon-pohon kecil lainnya. Dan
beberapa bongkah batu berukuran besar pun menjadi
retak atau hancur sebagian akibat getaran gelombang
ledak tadi. Rupanya pada waktu itu bertepatan dengan terjadinya
peristiwa gaduh di istana, Elang Samudera berhasil
loloskan diri dengan melompati benteng istana, ia
menjadi bahan kejar-kejaran bagi orang-orangnya Nyai Ratu. Sampai di tempat
pertarungan Suto Sinting, ia
dihadang oleh orang yang ditugaskan oleh Mega Sendu melaporkan keadaan di situ
kepada Nyai Ratu.
Elang Samudera yang tampak sudah terluka di
beberapa tempat masih mencoba menghadapi lawannya
dan menghindari kejaran tiga orang istana.
Pendekar Mabuk menyadari peristiwa yang
menegangkan Elang Samudera itu setelah akhirnya ia
berhasil menghantam dada Mega Sendu dengan jurus
pukulan 'Guntur Perkasa'. Sinar hijaunya menembus
sinar merah lawan dan mengenai dada Mega Sendu.
Sementara sinar merah lawan pecah di pertengahan
jarak, sinar hijau itu melesat terus ke dada Mega Sendu.
Blaaar...! Akibatnya, raksasa Mega Sendu tumbang dalam
keadaan memar membiru dan cepat membusuk.
Wujudnya berubah menjadi normal kembali, lalu
hembuskan napas terakhir dengan mulut ternganga.
Saat itulah Suto Sinting melihat Elang Samudera
terluka parah oleh serangan anak buah Mega Sendu.
Dalam keadaan masih berbentuk raksasa tinggi-besar, Pendekar Mabuk segera
melompat dan menendang
orang yang nyaris membunuh Elang Samudera. Beet...!
"Aaaa...!" Gadis itu memekik keras sambil tubuhnya melayang jauh dan jatuh di
semak-semak seberang sana.
Tiga pengejar yang datang dari istana tampak
melepaskan pukulan bersinar hijau ke arah Elang
Samudera. Pukulan sinar hijau itu dihantam dengan
pukulan sinar biru besar dari telapak tangan raksasa Suto Sinting.
Blegaaarrr...! Jurus 'Tangan Guntur' membuat tiga pengejar Elang
Samudera terlempar dalam keadaan berasap.
Elang Samudera sempoyongan, napasnya terengahengah. Akhirnya ia jatuh berlutut dengan bertopang
pedang. Pendekar Mabuk segera menyambar,
Wwwuuut...! "Aaaaa...!" Eiang Samudera berteriak keras karena ketakutan merasa disambar
raksasa mengerikan.
"Diamlah! Aku Suto Sinting...!"
Bluub...! Suto Sinting segera kembalikan keadaan
dirinya. Suuutt...! Tubuhnya menjadi seperti sediakala, kemudian ia berlari
memanggul Elang Samudera dengan
kekuatan tenaga peringan tubuhnya. Zlaaap... zlaaap ..!


Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam beberapa kejap saja ia sudah berada jauh dari
wilayah Selat Bantai.
Ia berhasil selamatkan Elang Samudera, tapi ia masih tetap menjadi bahan buruan
Nyai Ratu Cendana Sutera
dan orang-orang Selat Bantai lainnya. Sebelum masa
Bulan kesuburan yang lamanya tujuh hari itu habis, Suto Sinting tetap menjadi
bahan buruan mereka.
Mampukah Suto pada akhirnya mengalah kekuatan
Nyai Ratu Cendana Sutera"
"Itu urusan nanti," pikirnya. "Yang penting aku harus selamatkan Elang Samudera
dulu. Agaknya ia terluka
cukup parah!"
Ia berlari menuju pondok Ki Palang Renggo dan Nyai
Sedap Malam. SELESAI Segera menyusul:
RATU CENDANA SUTERA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-AbuKeisel/511652568860978
Pahlawan Dan Kaisar 22 Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Setan Selaksa Wajah 2

Cari Blog Ini