Ceritasilat Novel Online

Ratu Cendana Sutera 1

Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-AbuKeisel/511652568860978
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 PANTAI Karang Hantu masih berlangit cerah.
Beberapa orang tampak sedang menyusuri tepian pantai yang mempunyai gugusangugusan batu karang dalam
bentuk menyerupai beraneka ragam hantu. Mereka yang
menyusuri pantai adalah Resi Pakar Pantun, tokoh tua yang berpakaian abu-abu
dengan badan sedikit gemuk,
didampingi pelayannya si Kadal Ginting, dan seorang
gadis muda berpinjung penutup dada warna merah
beludru bersulam benang emas. Di tangan Bulan
Sekuntum tampak gadis kecil bagai manusia liliput, ia adalah Awan Setangkai yang
terkena 'Aji Surut Raga'
dari lawannya; Lantang Suri, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Geger di Selat Bantai"). Mereka menyusuri pantai Karang
Hantu untuk menemukan Suto
Sinting. Karena dalam perjalanan yang lalu dikisahkan bahwa Suto Sinting sedang
menjadi buronan Ratu
Cendana Sutera, si Penguasa Selat Bantai, untuk
dijadikan pria pembenih pada bulan kesuburan. Kala itu Suto Sinting dilarikan
oleh Angin Betina untuk hindari serangan Lantang Suri yang sedang berhadapan
dengan Merpati Liar, kakak Angin Betina.
Mereka belum tahu bahwa Suto Sinting sekarang
sudah berpisah dengan Angin Betina. Bahkan Suto
Sinting yang kala itu menjadi kecil seperti Awan
Setangkai, sekarang sudah menjadi besar seperti aslinya.
Mereka masih menyangka Suto Sinting bersama Angin
Betina yang diperkirakan bersembunyi di Pantai Karang Hantu.
"Jangan-jangan Suto diajak tenggelam oleh si Angin Betina," ujar Kadal Ginting
yang berjalan di samping Bulan Sekuntum.
Resi Pakar Pantun menyahut dalam pantun,
"Monyet pikun minum tuak luber,
main kecapi tangan kepintir.
Punya mulut jangan seperti ember,
salah ucap bisa disampar petir."
Kadal Ginting hanya nyengir sambil garuk-garuk
kepala. Bulan Sekuntum meliriknya dan sedikit
sunggingkan senyum. Tapi si Awan Setangkai yang
tingginya kurang dari sejengkal itu segera berkata,
"Aku pernah dibawa Pendekar Mabuk ke gua di
sebelah sana. Mungkin dia bersembunyi di sana bersama Angin Betina. Bagaimana
kalau kita periksa tebing
sebelah sana, Bulan Sekuntum?" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pemburu Darah Satria").
"Semua kemungkinan ada baiknya kita coba," ujar Bulan Sekuntum. Maka mereka
bergegas ke gua yang
dimaksud Awan Setangkai.
Tapi langkah mereka terpaksa terhenti karena
kemunculan seorang lelaki tua berusia sekitar enam
puluh tahun. Rambutnya berwarna merah seperti rambut jagung. Badannya kurus,
agak pendek seperti Kadal
Ginting. Ia tidak punya kumis, tapi punya jenggot
pendek yang warnanya juga seperti rambut jagung.
Tokoh itu mengenakan celana hitam dan baju tanpa
lengan warna biru. Ikat pinggangnya dari sabuk besar yang biasa dipakai oleh
seorang kusir dan berwarna
hitam. Di sabuknya itu terselip sebuah cambuk yang saat itu dalam keadaan
digulung. Cambuknya berwarna abu-abu dan mempunyai ujung dari serat tali merah.
Panjang sabuk itu tak lebih dari empat jengkal, jadi termasuk jenis cambuk
pendek. Mereka memandang heran kepada tokoh berambut
merah itu. Tapi Resi Pakar Pantun tidak merasa asing lagi dengannya. Rupanya
sang Resi sudah mengenal
tokoh bermata kecil dan alisnya turun itu. Karenanya, sang Resi menyapa lebih
dulu ketika tokoh tersebut
langsung cengar-cengir di depan mereka.
"Pujasera, si Kusir Hantu....
Monyet pikun beranak cumi-cumi,
hamil semalam beranak pagi.
Apa maumu menghadang langkah kami,
Jika hanya sekadar pamer gigi"
Bulan Sekuntum, Awan Setangkai dan Kadal Ginting
sama-sama membatin dalam hatinya, "Ooo.. dia punya nama Pujasera alias si Kusir
Hantu?" Tokoh berwajah lucu itu nyengir kembali, "Kakang Resi, pepatah mengatakan: 'Jauh
di mata dekat di hati.
Biar lama tak jumpa sekali jumpa tak lagi di udara!"
"Kau bicara apa sebenarnya Pujasera?" potong sang Resi.
"Aku ingin meminta bantuanmu, Kakang Resi Pakar Pantun."
Bulan Sekuntum berbisik, "Siapa dia, Resi?"
"Dia yang bernama Pujasera alias si Kusir Hantu. Dia sahabat lamaku yang tinggal
di Lembah Seram."
Kadal Ginting menimpali bisikan, "Dia orang jahat atau baik, Eyang?"
"Kadang jahat kadang baik. Kalau sedang tidak punya uang bisa jadi jahat. Kalau
sedang banyak uang sering berbuat baik. Memang begitulah watak manusia secara
umumnya." "Pepatah mengatakan," seru si Kusir Hantu tiba-tiba,
".... 'Duduk sama rendah berdiri sama tinggi, tidur sama siapa"'. Untuk apa
berunding terlalu lama dan kasak-kusuk, Kakang Resi" Jika ingin membantuku,
berilah bantuan secara apa adanya saja. Tak perlu dirundingkan seperti mau membangun
sebuah negeri."
"Dia memang ngomongnya begitu. Suka ngaco!"
bisik sang Resi kepada Bulan Sekuntum. Si kecil Awan Setangkai manggut-manggut.
"Bantuan apa yang kau harapkan dariku, Kusir
Hantu?" "Aku mencari seorang pemuda bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk.
Jika kau tahu, tolong
tunjukkan di mana dia. Jika tidak tahu, tolong harus tahu."
Bulan Sekuntum dan Awan Setangkai sedikit terkejut
mendengar Kusir Hantu mencari Suto Sinting. Resi
Pakar Pantun hanya nyengir sinis dan berkata dalam
sajak pantunnya,
"Monyet pikun berbiji jeruk,
jeruk dibuka berisi handuk,
Bicaramu memang terlalu empuk,
tapi sebenarnya pantas dikutuk."
Kusir Hantu tertawa seenaknya, "He, he, he, he...!
Aku hanya minta bantuanmu alakadarnya."
"Alakadarnya kok memaksa; harus tahu!" sang Resi bersungut-sungut. "Kalau kutahu
di mana Pendekar Mabuk, barangkali sekarang aku sudah tidak bertemu
denganmu. Karena kami sebenarnya sedang mencari di
mana murid sintingnya si Gila Tuak itu."
"Jangan berbohong padaku, Kakang Resi. Pepatah
mengatakan, 'Seberat mata memandang lebih berat
ketiban gajah', jadi sebaiknya tolong beri tahukan
padaku di mana Pendekar Mabuk."
Bulan Sekuntum menjadi dongkol mendengar nada
bicara Kusir Hantu yang bersifat memaksa itu. Maka ia pun menyapanya dengan
menyerahkan Awan Setangkai
lebih dulu kepada si Kadal Ginting.
"Kusir Hantu...!"
"Hai, manis...!" balas si Kusir Hantu sambil nyengir dan melambai sekejap.
"Kau jangan cari perkara dengan kami. Kami sedang pusing mencari di mana si
Pendekar Mabuk. Kalau kau
cari perkara dengan kami, maka aku yang akan
membungkam mulutmu, Kusir Hantu!"
"Sabar, nona manis. Tanpa kau bungkam pun aku
sudah pintar membungkam mulut orang," ujarnya sambil nyengir, lalu jarinya
berbunyi: klik..., seperti memanggil ayam.
"Siapa namamu, Nona manis"!" tanyanya kepada Bulan Sekuntum.
"Ehhmm... uuh, uuh... eeh, uuh...!" Bulan Sekuntum terkejut bukan kepalang.
Ternyata ia tak bisa bicara lagi.
Tenggorokannya terasa tersumbat sesuatu, hingga sukar keluarkan suara, ia
menjadi bisu dan membuat Awan
Setangkai serta Kadal Ginting terperanjat kaget.
"Bulan... Bulan Sekuntum, bicaralah padaku, Bulan!"
sambil Kadal Ginting mengguncang-guncang lengan
Bulan Sekuntum.
"Ah, uuh, huk, hak, puih, puah, puh, puh...!" Bulan Sekuntum benar-benar menjadi
bisu. Gadis itu menjadi marah. Serta-merta tubuhnya
melayang menerjang Kusir Hantu. Weess...! Kakinya
menendang ke arah wajah si Kusir Hantu dengan cepat.
Ploook...! Kusir Hantu jatuh terjengkang ke belakang dan
berguling-guling dua kali. Ia segera bangkit lagi, tapi baru separo berdiri
sudah diserang Bulan Sekuntum
dengan tendangan memutar balik. Wuees...!
Plook...! Wajah Kusir Hantu disabet kibasan kaki dengan telak
sekali. Ujung kaki Bulan Sekuntum kenai pelipis tokoh tua itu, dan tubuh kurus
si Kusir Hantu terlempar ke samping hingga membentur seonggok karang. Beehk...!
Kusir Hantu menyeringai kesakitan, ia duduk
bersimpuh sambil mengusap-usap wajahnya yang
terkena tendangan dua kali.
"Tendanganmu cukup lumayan, Nona," ujarnya dengan wajah dibuat memelas. "Tapi
sayang sekali kau belum tahu siapa aku."
Bulan Sekuntum ingin menyerang dengan suara
geram. Tiba-tiba langkah dan gerakannya terhenti.
Bahkan mendadak kedua tangannya pegangi wajah dan
ia mundur sambil mengaduh tertahan. "Uuh...!
Uuuuaaah...!"
Bulan Sekuntum terlempar dengan sendirinya. Ketika
ingin bangkit, tiba-tiba terpelanting ke samping dan berguling-guling, seperti
ada sebuah tenaga tak terlihat yang melemparkannya. Pada waktu itu, Kusir Hantu
sedang bangkit berdiri dan cengar-cengir memperhatikan Bulan Sekuntum.
"Pujasera! Hentikan permainanmu!" sentak Resi Pakar Pantun. Sang Resi buru-buru
hampiri Bulan Sekuntum dan membantunya untuk berdiri. Bulan
Sekuntum mengerang kesakitan sambil pegangi
wajahnya. "Bulan, kau belum tahu bahwa Kusir Hantu
mempunyai ilmu 'Timpal Rasa' yang jarang dimiliki
orang. Jika kau menendang wajahnya, maka kau yang
akan merasakan sakitnya. Jika kau memukul dadanya,
kau yang akan merasakan sakit di dada. Jangan serang dia, Bulan Sekuntum. Nanti
kau bisa celaka sendiri. Ilmu
'Timpal Rasa' tidak bisa dilawan dengan cara seperti tadi."
"Puh, puh, uah, au, au...!" sambil Bulan Sekuntum menuding-nuding mulutnya. Resi
Pakar Pantun paham
akan maksud ucapan gagunya itu, maka ia segera berkata kepada si Kusir Hantu,
"Lepaskan kebisuannya! Dia minta kau kembalikan suaranya!"
Klik...! Jari tangan Kusir Hantu menjentik bagai
memanggil ayam.
"Setan...!" langsung suara Bulan Sekuntum
membentak keras dengan mata melotot. "Aku tak takut kau punya ilmu apa pun!"
"Sss... sudah, sudah," bujuk Resi Pakar Pantun. Gadis itu pun bersungut-sungut
sambil mundur, hampiri Kadal Ginting yang memegangi tubuh kecil si Awan
Setangkai. Awan Setangkai berkata, "Jangan lawan dia dulu
untuk sementara. Kita harus curi kelemahannya dulu
kalau mau melawannya."
Bulan Sekuntum hanya mendengus sambil
membersihkan tubuhnya yang kotor oleh pasir pantai itu.
Matanya memandang tajam penuh permusuhan kepada
si Kusir Hantu. Tapi yang dipandang hanya cengarcengir bagai tak merasa bersalah sedikit pun.
"Pujasera...," ujar sang Resi. "Aku berkata yang sebenarnya, bahwa aku tak tahu
di mana Pendekar
Mabuk berada. Justru sekarang aku ganti bertanya
padamu, mengapa kau mencari Pendekar Mabuk?"
"Aku disewa oleh Cendana Sutera untuk menangkap dan membawa Pendekar Mabuk ke
istana Selat Bantai.
Pepatah mengatakan: 'Ada uang abang sayang, tak ada
uang abang mencuri'. Oleh sebab itu aku harus bisa
menemukan Pendekar Mabuk, Kakang Resi."
"O, jadi hanya demi upah kau mencari Pendekar
Mabuk" Serendah itukah harga dirimu sebagai
sahabatku, Pujasera?"
"Lho, aku kepepet!" sangkalnya. "Kalau tidak kepepet ya tentunya tidak serendah
itu harga diriku.
Biarpun Cendana Sutera pernah menyelamatkan cucuku,
walaupun sekarang akhirnya cucuku mati juga akhirnya, tapi aku ingin menebus
budi baiknya. Karena itu aku
tidak keberatan ketika Cendana Sutera menyuruhku
menangkap pencuri itu. Pepatah mengatakan: 'Setinggi-tinggi terbang bangau
akhirnya akan hinggap ke
pelaminan juga'."
"Tunggu dulu...!" sergah Resi Pakar Pantun. "Kau bilang tadi, kau disuruh
menangkap pencuri?"
"Memang begitulah perintahnya."
"Siapa yang kau sebut sebagai pencuri itu?"
"Siapa lagi kalau bukan Pendekar Mabuk."
Resi Pakar Pantun dan yang lainnya terperanjat. Sang Resi sempat memandang Bulan
Sekuntum, kemudian
kembali menatap Kusir Hantu saat si Kusir Hantu
berkata, "Pepatah mengatakan: 'Jauh di mata dekat di dosa', itulah pencuri!"
"Suto bukan pencuri!" seru Awan Setangkai dengan suara kecilnya.
"Aih, aih... adik kecil ikut bicara juga rupanya. Sudah umur berapa kau, Dik?"
Kusir Hantu mendekati Kadal Ginting. "Aduh manisnya... kalau tidur masih ngompol
apa tidak, Dik?"
"Cuih...!" Awan Setangkai meludah. Tapi ludahnya hanya sedikit dan tak sampai
kena wajah Kusir Hantu.
Ludah itu jatuh di tangan Kadal Ginting, lalu Kadal
Ginting mendengus kesal sambil menggerutu,
"Tak usah main ludah, malah bikin kotor tanganku saja!"
Bulan Sekuntum maju menghadang di depan Kusir


Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hantu. "Pendekar Mabuk bukan pencuri! Jangan bicara
seenak gigimu saja, ya?"
"Lho, menurut penjelasan yang kuterima dari
Cendana Sutera memang begitu; Suto Sinting alias
Pendekar Mabuk telah mencuri sebuah kitab pusaka
milik istana Selat Bantai. Lalu, aku dimintai bantuannya untuk menangkap
Pendekar Mabuk! Pepatah
mengatakan...."
"Pepatah, pepatah...! Lehermu itu yang patah!" sergah Resi Pakar Pantun dengan
bersungut-sungut. Kusir
Hantu nyengir sambil mengusap lehernya seakan takut
kalau benar-benar patah.
"Kau termakan fitnah, Kusir Hantu! Pendekar Mabuk memang dicari-cari oleh Ratu
Cendana Sutera, tapi
bukan karena mencuri kitab pusaka, melainkan karena
ingin dijadikan penabur benih bagi perempuanperempuan di sana selama masa sebulan kesuburan
datang. Bulan kesuburan itu datangnya seratus tahun
sekali. Selama sebulan kesuburan tidak datang, maka
perempuan Selat Bantal tak bisa mempunyai keturunan
alias mandul. Jadi karena sekarang bulan kesuburan
telah datang, maka Ratu Cendana Sutera mencari darah seorang ksatria untuk
menaburkan benih di rahim
mereka sebagal cikal bakal keturunan mereka."
Bulan Sekuntum menimpali, "Dan pria penabur benih yang dipilih mereka adalah
Pendekar Mabuk!"
Awan Setangkai ikut bicara, "Setelah itu Pendekar Mabuk akan dibunuh. Sebab
dengan membunuh pria
yang telah memberi benih keturunan maka anak-anak
mereka akan menjadi lebih perkasa dan menurut
kepercayaan, mereka akan panjang umur. Kesaktian si
penabur benih akan mengalir pada darah keturunan yang mereka kandung jika si
penabur benih dibunuh."
Kusir Hantu mengernyit dahi, "Kalau begitu, itu namanya fitnah!"
"Memang fitnah!" sentak Resi Pakar Pantun.
"Padahal pepatah mengatakan: 'Fitnah itu lebih kejam
daripada tidak difitnah', iya toh"!"
"Memang iya!"
"Lalu, mengapa kalian memfitnah Ratu Cendana
Sutera seperti itu?"
"Lho!.."!" sang Resi bingung, yang lain juga ikut bingung. Kusir Hantu jelaskan
maksudnya, "Sudah tahu kalau fitnah itu tidak baik, mengapa Kakang Resi memfitnah Cendana
Sutera dengan cerita
yang kalian karang bersama itu?"
"Yang memfitnah itu Cendana Sutera! Bukan kami!"
"Cendana Sutera itu seorang Ratu. Masa' Ratu kok memfitnah yang bukan Ratu" Mana
mungkinlah yaow...!" "Kau percaya padaku atau pada Cendana Sutera"!"
"Pepatah mengatakan...."
"Tak usah pakai patah-patahan!" sentak Resi Pakar Pantun dengan jengkel. "Yang
penting, aku tidak tahu di mana Pendekar Mabuk, dan Pendekar Mabuk tidak
mencuri kitab apa-apa dari Selat Bantai! Titik!"
Kusir Hantu garuk-garuk kepala, clingak-clinguk ke
sana-sini. "Kalau kami temukan Pendekar Mabuk dan kau akan menangkapnya, maka kami akan
bertindak menghalangimu, Kusir Hantu!" tegas Bulan Sekuntum bagai tak punya rasa takut
sedikit pun walau kepalanya masih terasa sakit.
"Baiklah," kata si Kusir Hantu kepada Resi Pakar Pantun. "... agaknya aku memang
harus mencari Pendekar Mabuk sendiri. Mana yang lebih dulu dapat:
kau atau aku. Kalau aku lebih dulu mendapatkan si
Pendekar Mabuk, maka aku akan menangkap dan
membawanya ke istana Selat Bantai. Tapi kalau kau
yang lebih dulu menemukan Pendekar Mabuk, maka aku
akan merebutnya dari tanganmu, Kang Resi!"
"Berarti kau menantang beradu nyawa denganku,
Pujasera"!"
"Demi membalas kebaikan si Cendana Sutera,
mungkin memang aku harus pertaruhkan nyawaku
dalam hal ini."
"Manusia picik!" geram sang Resi.
"Pepatah mengatakan: 'Gajah mati meninggalkan
belang, harimau mati meninggalkan gading, manusia
mati meninggalkan hutang'. Karenanya, aku harus
menebus hutangku kepada Cendana Sutera dengan
menangkap Pendekar Mabuk. Permisi!"
Weeesss...! Kusir Hantu lenyap begitu saja,
berkelebat secepat setan lewat. Mereka sama-sama
tertegun dalam kecemasan.
"Agaknya Kusir Hantu lebih mempercayai kata-kata Ratu Cendana Sutera, Eyang
Resi," kata Kadal Ginting.
"Memang, dan aku tak sangka kalau dia sebegitu bodohnya."
"Mungkin kebanyakan pepatah, membuatnya menjadi bodoh!" Kadal Ginting gelenggelengkan kepala.
* * * 2 SUDAH dua malam lewat, Suto Sinting masih belum
tertangkap Ratu Cendana Sutera, ia berada di pondok Ki Palang Renggo yang
beristri cantik serta muda: Nyai Sedap Malam, ia di sana karena membawa Elang
Samudera, sahabatnya, yang terluka dari pelariannya.
Sejak Suto Sinting berhasil selamatkan Elang Samudera yang melarikan diri dari
Istana Selat Bantai, ia tinggal di pondok Ki Palang Renggo.
Elang Samudera terluka parah dan penyembuhannya
cukup lambat. Seandainya saat itu bumbung tuak Suto
ada di tangannya, maka Elang Samudera dapat
disembuhkan dalam waktu beberapa kejap saja dengan
cara meminum tuak dari dalam bumbung sakti tersebut.
Tapi sayang bumbung tuak itu ada di tangan rombongan Resi Pakar Pantun, dibawa
oleh Kadal Ginting. Hal itu dilakukan demi menyelamatkan bumbung tuak tersebut
yang terpental jatuh pada saat Suto dan Awan Setangkai melawan Lantang Suri.
Selama dua malam bulan kesuburan, pihak Ratu
Cendana Sutera kebingungan mencari Pendekar Mabuk.
Padahal Nyai Ratu Cendana Sutera mempunyai Ilmu
yang dinamakan 'Kelana Iblis', yang dapat mengetahui di mana orang yang dicaricarinya berada. Tapi anehnya
selama dua malam kesuburan ini, Nyai Ratu bagaikan
kehilangan jejak Suto Sinting.
"Ilmu 'Kelana Iblis' membuat buronan Cendana
Sutera selalu tertangkap atau diketahui tempat
persembunyiannya," ujar Nyai Sedap Malam, istri Ki
Palang Renggo itu. "Tetapi jika kau mengenakan kalung
'Akar Minang', maka ilmu 'Kelana Iblis' tidak bisa
temukan di mana kau bersembunyi."
Pendekar Mabuk saat itu memang mengenakan
kalung dari 'Akar Minang', sebuah akar dari pepohonan yang tumbuh di hutan liar.
Akar tersebut berpengaruh dapat membingungkan langkah orang jika orang tersebut
melangkahinya secara tak sadar. Nyai Sedap Malam
yang memberikan akar itu kepada Suto Sinting, sebab
Nyai Sedap Malam mengetahui kelemahan ilmu 'Kelana
Iblis' tersebut.
Perempuan muda dan cantik serta montok itu berusia
sekitar dua puluh tujuh tahun, ia bekas prajurit Istana Selat Bantai. Tapi ia
telah keluar secara terusir dari wilayah Selat Bantai karena bersedia menikah
dengan Ki Palang Renggo yang usianya sudah mencapai enam
puluh tahun. Ki Palang Renggo adalah orang yang tidak setuju dengan pemerintahan
Ratu Cendana Sutera,
sehingga ia dianggap musuh bagi pihak Istana Selat
Bantai. Sedangkan Ki Palang Renggo adalah sahabat
dari gurunya Elang Samudera, yaitu, Pendeta Darah Api, dan sahabat gurunya Suto
Sinting; si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang.
Nyai Sedap Malam sendiri baru saja sembuh dari luka
pertarungan dengan Lantang Suri. Ki Palang Renggo
yang selamatkan dirinya itu, sehingga sekarang Nyai
Sedap Malam dan Ki Palang Renggo bekerja sama
mengobati Elang Samudera.
"Kalau saja bumbung tuakku ada dan tuaknya belum
habis, pasti Elang Samudera cepat sembuh, Nyai."
"Aku percaya, kau mempunyai bumbung tuak yang
sakti, sehingga beberapa orang ada yang menjulukimu
Tabib Darah Tuak. Tapi jika bumbung tuak itu tidak ada di tanganmu, apakah Elang
Samudera harus dibiarkan
mati" Biar pelan tapi lukanya akan sembuh dan
kesehatannya akan pulih kembali," ujar Nyai Sedap Malam.
"Rasa-rasanya aku perlu pergi mencari bumbung
tuakku dulu, Nyai. Setelah kutemukan bumbung tuakku, aku akan mencari Awan
Setangkai yang juga menjadi
kecil sepertiku dulu. Dengan tuak dari bumbung itu aku yakin Awan Setangkai
dapat pulih menjadi gadis dewasa seperti sediakala."
"Jika itu kemauanmu, aku tak bisa melarang. Hanya pesanku, berhati-hatilah...
terutama terhadap wanita cantik."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum malu.
"Mengapa Nyai bilang begitu?"
"Karena ketampananmu begitu sering membuat setiap perempuan lupa daratan,"
sambil mata Nyai Sedap Malam melirik suaminya yang sedang lakukan
kesibukan di pojok rumah. Lalu matanya melirik ke arah Suto Sinting dengan
senyum berkesan genit.
"Kusarankan, sebaiknya kau bersembunyi sampai
tujuh hari dan tak perlu menghadapi orang-orang Selat Bantai. Karena masa bulan
kesuburan berlaku hanya
sampai tujuh hari saja. lewat dari tujuh hari mereka akan menjadi perempuanperempuan mandul lagi. Tak akan
bisa punya keturunan sebelum seratus tahun kemudian, di mana masa Bulan
Kesuburan datang kembali."
"Aku akan berusaha menuruti saranmu. Nyai," ujar Suto, sebelum akhirnya ia pamit
pergi mencari bumbung tuaknya.
Pemuda gagah berbadan tegap yang memakai baju
tanpa lengan warna coklat dan celana putih kusam itu pergi sendirian menuju
tempat pertarungannya dulu.
Pendekar Mabuk masih ingat tempat itu, yaitu di sebuah lembah yang menuju ke
istana Selat Bantai. Kalung dari
'Akar Minang' masih dikenakannya dan membuat ia tak
bisa dipantau oleh Ratu Cendana Sutera. Sekelebat
bayangan tampak melintas, di depan Suto.
"Rasa-rasanya aku pernah kenal orang itu?" pikir Suto Sinting sambil hentikan
langkah dan pandangan
matanya ikuti gerakan lari orang tersebut.
"Mengapa ia lari seperti dikejar setan" Apa gerangan yang membuatnya lari
ketakutan begitu"! Hmmm...
sebaiknya kuikuti saja dia. Aku jadi penasaran ingin tahu apa yang terjadi pada
dirinya." Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
kecepatannya melebihi kecepatan anak panah lepas dari busurnya, Pendekar Mabuk
segera memotong jalan
menghadang orang tersebut. Tetapi ternyata sudah ada orang lain yang menghadang
orang itu, sehingga Suto
Sinting buru-buru bersembunyi di balik gerumbulan
semak. Orang yang menghadang itu adalah si Kusir
Hantu. Tetapi Suto masih merasa asing dengan si Kusir Hantu sebab memang ia
belum mengenalnya dan baru
kali ini melihat penampilan si Kusir Hantu.
Orang yang dihadang Kusir Hantu itu adalah seorang
lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun, celananya hitam dan memakai sabuk hitam
pula, tanpa mengenakan baju.
Sekujur badannya penuh dengan tato. Orang bertubuh
kekar dan berotot itu tak lain adalah si Raja Tato yang punya nama asli Ogawa
dari negeri Sakurata, Pendekar Mabuk pernah berhadapan dengan si Raja Tato
ketika ia harus membela Resi Pakar Pantun dalam perkara gadis
puteri Adipati yang bernama Muria Wardani alias di
Telaga Sunyi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Penguasa Teluk Neraka").
Melihat langkahnya dihadang oleh si Kusir Hantu,
Raja Tato terpaksa hentikan jangkah dan tangannya
mulai pegangi gagang samurai dan siap mencabutnya.
Matanya yang kecil tampak memandang tajam namun
juga berkesan bingung, seakan mencari tempat untuk
larikan diri. Agaknya Raja Tato sudah dihajar lebih dulu oleh si Kusir Hantu,
karena mata kirinya tampak biru lebam, dan bagian sudut bibir tampak berdarah.
"Siapa lawan si Raja Tato itu" Kelihatannya Raja Tato ketakutan berhadapan
dengan orang kurus yang tak punya tampang galak itu," Suto Sinting membantin
dari persembunyiannya. Telinganya dipasang baik-baik
untuk menyimak percakapan mereka.
"Mau lari ke mana lagi kau, Bocah bagus"!"
Kusir Hantu tampak kalem, seakan menghadapi
teman sendiri. Tapi si Raja Tato bagai tak ingin lengah sedikit pun. Ia
melangkah ke samping pelan-pelan
mencari kesempatan untuk menyerang, tapi mungkin
juga mencari kesempatan untuk kabur. Yang jelas ia
lebih tegang daripada si Kusir Hantu.
"Ke mana pun kau pergi akhirnya akan bertemu
denganku juga, Raja Tato. Selama hutang nyawa belum
kau balas, kau tetap akan diburu oleh dosamu sendiri.
Bagaimanapun juga cucuku yang tewas di tanganmu
tetap menuntutku agar membalaskan kematiannya.
Pepatah mengatakan: 'Hutang beras bayar beras, hutang nyawa bayar nyawa'. Tidak
ada hutang nyawa bayar
ubi!" "Nyawamu sendiri yang akan menjadi bayarannya,
Kusir Hantu! Jangan kau sangka aku lari karena takut padamu, tapi aku lari
karena mencari tempat yang lega."
"Itu alasan kuno!" sambil si Kusir Hantu nyengir seperti kuda kepang. "Pepatah
mengatakan: 'Tak ada tali akar pun berguna, tak ada nyali akal pun berguna'.
Jadi, tali dan akar itu seperti nyali dan akal!"
"Jangan banyak bicara!" bentak Raja Tato
menampakkan murkanya. "Sekarang apa maumu,
lakukanlah! Aku telah siap menyambut nyawamu!"
"He, he, he... jangan buru-buru, kita ngobrol-ngobrol dululah, Cing!" ujarnya
berseloroh, sangat meremehkan lawannya. Sang lawan menjadi semakin berang,
akhirnya Raja Tato menyerang lebih dulu dengan
mencabut samurainya begitu cepat.
Seeett...! Wuuutt, wuuutt...!
Samurai ditebaskan dua kali tapi tak pernah kenai
sasaran. Kusir Hantu hanya menghindar dengan cara
miring ke kiri atau ke kanan. Kakinya tetap tegak di tempat tanpa bergeser
sedikit pun. Itu menandakan Kusir Hantu punya gerakan lebih gesit dan lebin


Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat dari tebasan samurai.
Ketika Raja Tato hujamkan samurainya ke perut
Kusir Hantu, ujung samurai itu hanya dihindari dengan melengkungkan badan ke
belakang dan sedikit lakukan
lompatan. Wuutt...! Raja Tato maju selangkah dan
menusukkan samurainya lagi, Kusir Hantu melengkung
ke belakang dan sedikit lompat, wuuttt...!
Suut, wuut...! Suuut, wuutt...! Suuutt, wuuutt...!
Suto menutup mulutnya yang hampir saja tertawa geli
karena melihat Kusir Hantu seperti kodong kungkong
yang melompat mundur. Wajah si Kusir Hantu tak
kelihatan cemas atau gentar sedikit pun, bahkan tusukan samurai itu dihindari
dengan bibir tersenyum-senyum bagai mainan.
Tiba-tiba Raja Tato bergerak lebih cepat lagi.
"Heeeaat...!"
Samurainya dikibaskan beberapa kali ke kanan-kiri,
atas-bawah, sambil mendesak si Kusir Hantu.
Weess...! Raja Tato tetap lakukan tebasan kilat
membabi buta, padahal lawannya sudah tidak ada di
tempat, ia tak sempat melihat si Kusir Hantu pergi
tinggalkan tempat dan kini berada di belakangnya dalam jarak enam langkah.
"Perpindahan tempat dilakukan sangat cepat. Itu berarti orang yang bernama Kusir
Hantu mempunyai
ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi dan gerakan yang
menyerupai jurus 'Gerak Siluman -ku," pikir Suto sambil masih menjadi penonton
yang baik dan tak mau berbisik sedikit pun.
"Hei, Bocah bagus...! Mau menebas lalat atau
menebas nyamuk kau, Nak?" ejek si Kusir Hantu sambil cengar-cengir.
Raja Tato semakin marah karena merasa
dipermainkan. Begitu ia berbalik, langsung lakukan
lompatan cepat sambil menebaskan samurai seakan ingin membelah kepala si Kusir
Hantu. Wuuss...! Weeett...!
Graakk...! "Iih...!" Suto bergidik sambil pejamkan mata. Ia melihat jelas kepala si Kusir
Hantu terbelah oleh
samurai. Padahal ia sudah sering melakukan perlawanan hingga menewaskan
lawannya, tapi baru sekarang ia
bergidik merinding melihat kepala terbelah bagai
semangka tanpa biji.
"Lho... kenapa begitu"! Lho... lho..."! Wah, edan betul orang itu"!" Suto
Sinting lebarkan mata dengan rasa heran dan terkagum-kagum.
Ketika ia membuka matanya tadi, ternyata kepala
Kusir Hantu dalam keadaan utuh. Tanpa darah tanpa
luka sedikit pun. Bahkan tergores pun tidak.
Tapi sebaliknya, si Raja Tato mulai sempoyongan
dengan lemas. Samurainya jatuh dari genggaman.
Kepalanya berlumur darah dan tampak terbelah.
Akhirnya dengan mata mendelik si Raja Tato tumbang
tak bernyawa. "Kurasa yang bernama si Kusir Hantu mempunyai
jurus atau ilmu seperti jurus 'Alih Raga' seperti yang kumiliki. Buktinya, dia
yang dibelah kepalanya dengan samurai, tapi kepala lawan yang terbelah sendiri.
Diam-diam hebat juga ilmunya, nyaris seperti orang tak
berilmu," ucap Suto Sinting dalam hatinya. Pandangan mata masih tertuju pada si
Kusir Hantu yang sedang
geleng-geleng kepala pandangi mayat Raja Tato.
"Ogawa, Ogawa... ilmu masih seupil saja pakai bunuh cucuku. Apa kau tak tahu
kalau si Manis Jembatan Reot itu cucu kesayanganku" Mengapa kau bunuh"
Akibatnya, yaah... beginilah, kau harus kehilangan
nyawa untuk membayarnya. Pepatah mengatakan:
'Buruk cermin di muka, buruk pula orangnya', artinya biar bagaimanapun banyaknya
tatomu, tetap saja kau
berwajah buruk!"
Pendekar Mabuk tertawa tertahan. "Konyol juga dia orangnya."
Tapi tawa itu segera hilang dari batin Suto Sinting.
Wajah berseri pun tak ada lagi di permukaan rupa sang Pendekar Mabuk yang
sebenarnya sangat tampan itu.
Alis dan kulit keningnya menjadi berkeriput karena
mengerut. Hal itu disebabkan karena ia melihat si Kusir Hantu tiba-tiba
terpental oleh sebuah tendangan yang datangnya dari belakang.
Agaknya tendangan itu bertenaga dalam cukup tinggi,
karena Kusir Hantu bukan saja terlempar sejauh delapan langkah dan terbanting
dengan kerasnya, namun juga
membuat mulut si Kusir Hantu semburkan darah segar
dan hidungnya pun mengucurkan darah pula. Kusir
Hantu segera terkapar bagai tak berdaya lagi. Wajahnya menjadi biru, matanya
terbeliak-beliak. Tapi ia masih berusaha untuk bertahan, menyalurkan hawa
murninya untuk menahan luka dalam yang cukup parah.
Pendekar Mabuk yang semula jongkok, kini berdiri
karena melihat jelas siapa orang yang menyerang si
Kusir Hantu. Orang tersebut mengenakan kain kerudung hitam dari kepala sampai
kaki. Menggenggam sebuah
tongkat berujung pisau pemenggal berbentuk lengkung
mirip paruh bangau. Wajah orang di balik kerudung
hitam itu memancarkan kebekuan; dingin dan pucat
memutih, bibirnya berwarna biru. Kesan angkernya tak kentara, tapi melalui
pandangan matanya yang dingin ia tampak berhati bengis.
Orang tersebut tak lain adalah Siluman Tujuh Nyawa
yang bernama asli Durmala Sanca. Dia adalah musuh
utama Pendekar Mabuk, karena pengembaraan si
Pendekar Mabuk bertujuan memenggal kepala Siluman
Tujuh Nyawa. Tokoh sesat yang paling kejam dan
ditakuti oleh para tokoh golongan hitam itu bukan hanya berilmu tinggi, namun
juga licin bagaikan belut dan licik bagaikan ular.
Pendekar Mabuk menyipitkan mata pertanda mulai
bangkit nafsu pertarungannya melihat kehadiran
Siluman Tujuh Nyawa. Sayangnya ia tidak membawa
bumbung tuak saktinya. Namun haruskah ia takut
menghadapi tokoh sesat itu dalam keadaan tanpa
bumbung tuaknya"
* * * 3 KUSIR Hantu mempunyai cara penyembuhan sendiri
yang cepat melenyapkan luka dalamnya. Hanya saja,
Siluman Tujuh Nyawa ternyata tak mau membiarkan si
Kusir Hantu hidup sampai hari esok. Tokoh terkutuk itu segera menyabetkan
senjatanya yang diberi nama
Tongkat El Maut.
Weeess...! Tongkat itu bagaikan ingin membongkar
seluruh isi dada Kusir Hantu. Pada saat itu Kusir Hantu sedang bergerak untuk
bangkit dengan lemah. Ketika
datang sabetan tongkat tajam itu, ia nyaris tak bisa lakukan apa-apa.
Wuutt...! Tiba-tiba tubuh Kusir Hantu melayang
karena ada yang menyambarnya. Dalam sekejap si Kusir Hantu sudah berada di
seberang jauh dari Siluman Tujuh Nyawa.
"Keparat!" gumam Siluman Tujub Nyawa dengan nada datar bagai tak berperasaan.
Namun hatinya segera terperanjat setelah mengetahui siapa orang yang
menyambar Kusir Hantu. Tak lain adalah pemuda
tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala. Dia adalah Pendekar Mabuk,
lawan yang selalu membuatnya
nyaris mati itu.
Pendekar Mabuk segera letakkan tubuh Kusir Hantu
di bawah pohon belakangnya. Kemudian ia berdiri tegak dan sedikit busungkan dada
menghadap ke arah Siluman
Tujuh Nyawa. Mereka saling pandang dengan penuh
keberanian dalam jarak delapan langkah.
"Kau...!" ucap Siluman Tujuh Nyawa dengan pelan namun bernada benci.
"Ya, aku! Kenapa" Terkejut?"
Kusir Hantu sempat berkata dengan nada berat, "Nak, jangan layani dia. Kau akan
celaka dibuatnya.
Minggirlah...."
Pendekar Mabuk tak hiraukan anjuran si Kusir Hantu,
ia justru maju dua langkah sementara Siluman Tujuh
Nyawa tetap di tempatnya. Tongkatnya berkelebat
memutar dengan cepat, lalu diam di samping kirinya.
"Kita tentukan saatnya siapa yang tumbang
sekarang!" ujar Siluman Tujuh Nyawa.
"Berjanjilah untuk tidak melarikan diri lagi," balas Suto dengan nada tegas,
tapi tetap tenang.
Siluman Tujuh Nyawa sentakkan tongkat ke tanah.
Duuuhk...! Wuuurrrh...! Bumi berguncang, pohon-pohon bergetar, daun-daun
beterbangan. Bahkan ada beberapa pohon yang
kehilangan semua daunnya karena rontok. Batu-batu
besar pun tampak bergetar dan menghamburkan serpihan kecil.
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis walau
tadi ia sempat sempoyongan karena mau jatuh akibat
tanah yang dipijaknya berguncang. Sebagian tanah di
dekatnya menjadi retak walau tak seberapa parah.
"Apa maksudmu pamer ilmu seperti itu di depanku,
Durmala Sanca"!"
"Supaya kau tahu bahwa saat ini aku sedang
selesaikan urusan dengan si Kusir Hantu! Dia harus
serahkan nyawanya karena menghancurkan kuil
semadiku!"
"Ak.. aku tak sengaja menghancurkannya. Aku tak bermaksud melepaskan pukulan ke
arah kuilmu!" ujar Kusir Hantu dengan suara lemah dan terengah-engah.
"Selesaikan dulu urusanmu denganku, baru kau
berurusan dengan Pak Tua ini!" sambil Suto Sinting menuding si Kusir Hantu yang
masih ada di belakangnya, duduk bersandar pada pohon bagai orang kecakepan. Darah masih
keluar dari mulutnya dan
sesekali diusap dengan telapak tangan.
"Nak, pergilah cepat. Jangan layani orang gila itu!"
Kusir Hantu mencoba mengingatkan Suto lagi, tapi
pemuda tampan itu tetap tidak hiraukan kata-kata si
Kusir Hantu. Karena pada saat itu Siluman Tujuh Nyawa segera berkata,
"Kalau itu maumu, terimalah ajalmu sekarang juga!"
Buuss...! Asap mengepul dalam satu sentakan,
membungkus tubuh Siluman Tujuh Nyawa. Dalam
sekejap saja sosok manusia berkerudung hitam itu sudah berubah menjadi seberkas
sinar merah yang berpijar-pijar bagaikan bola berduri. Sinar merah itu segera
melayang cepat menerjang Suto Sinting. Weeess...!
Pendekar Mabuk gunakan jurus 'Gerak Siluman'
untuk berpindah tempat dalam waktu yang amat singkat.
Zlaaapp...! Sinar merah berpijar-pijar akhirnya
menghantam sebuah pohon sepuluh langkah dari tempat
si Kusir Hantu berada.
Blegaaarr...! Pohon itu hancur menjadi serpihan kayu yang
menyebar ke atas dan jatuh berhamburan bagaikan
hujan. Kusir Hantu pandangi kejadian itu dengan mata tak berkedip. Tapi sinar
merah berpijar-pijar itu masih melayang-layang di udara seakan mencari
kesempatan untuk menyerang Pendekar Mabuk lagi.
"Hmmm... rupanya dia punya ilmu baru," ujar si Pendekar Mabuk dalam hatinya.
"Aku pun akan
mencoba ilmu baruku pemberian dari Payung Serambi."
Buusss...! Asap menyembur dari tanah membungkus
tubuh Suto Sinting. Dalam sekejap asap itu lenyap dan Suto Sinting berubah
menjadi seberkas sinar hijau muda berekor panjang. Ilmu pemberian Payung Serambi
yang bernama ilmu "Dewatakara' itulah yang membuat Suto Sinting bisa berubah menjadi
sinar hijau, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Geger di Selat
Bantai"). Sinar hijau itu segera melesat pada saat sinar merah menyerangnya. Kedua sinar
tersebut akhirnya saling
bertabrakan di pertengahan jarak.
Blegaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan bumi
kembali. Benturan kedua sinar itu juga memancarkan
kilatan cahaya biru yang menyebar ke langit, membuat langit terang menjadi
redup. Kedua sinar tersebut sama-sama terpental dan jatuh
ke tanah. Buuusss...! Dua asap mengepul dari tanah
tempat jatuhnya sinar, lalu tampaklah wujud mereka
masing-masing dalam keadaan sama-sama berdiri saling berhadapan. Pendekar Mabuk
keluarkan darah dari
hidungnya. Wajah pun menjadi sedikit pucat.
Tetapi di pihak Siluman Tujuh Nyawa ternyata
keadaannya lebih parah sedikit dari Suto Sinting. Darah keluar dari hidung dan
kedua mata Siluman Tujuh
Nyawa. Darah itu kental dan mengalir perlahan-lahan.
Sedangkan kain kerudung hitamnya terbakar pada
bagian tepi hingga kepulkah asap samar-samar. Bau kain terbakar menyebar ke
mana-mana. Pendekar Mabuk menghapus darah dengan kain
ujung bajunya seperti anak kecil ingusan. Tiba-tiba
Siluman Tujuh Nyawa menggeloyor sendiri ke belakang
nyaris jatuh. Rupanya ia terluka cukup parah, tapi
ditahannya mati-matian, ia malu untuk jatuh di depan Pendekar Mabuk, maka buruburu menggunakan
tongkatnya untuk bertahan.
Melihat keadaan seperti itu, Pendekar Mabuk
semakin bersemangat untuk lakukan serangan
berikutnya. Dalam hati sang pendekar tampan itu
berkata, "Dia sudah mulai rapuh! Sekaranglah saatnya
menghabisi riwayat hidupnya!"
Tetapi baru saja Pendekar Mabuk mengangkat
tangannya untuk menggunakan jurus 'Manggala', tibatiba Siluman Tujuh Nyawa lakukan lompatan ke
samping. Blaass...! Tahu-tahu ia menghilang bagi masuk
ke dalam lapisan udara. Sluub...!
"Keparat!" geram Suto Sinting, "Ia lari ke alam gaib!
Aku harus mengejarnya selagi ia rapuh!"
Tapi ketika Suto Sinting mau mengejar ke alam gaib,
tiba-tiba Kusir Hantu sentakkan tangannya ke tanah dan tubuhnya melayang di
udara. Wuuuss...!
Brruukkk...! ia jatuh bersimpuh di depan Suto
Sinting, buru-buru mengangkat kedua tangannya dan
berkata, "Cukup, cukup...! Jangan kejar dia, Nak. Jangan kejar dia! Dia masuk ke alam
gaib dan kau tak akan bisa
mengejarnya."
Suto Sinting nekat mengejar lawannya dengan
lompati kepala Kusir Hantu. Tapi tangan Kusir Hantu


Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera berkelebat melepas pukulan tanpa sinar.
Wuuutt...! Deesss...!
"Uuhk...!" Suto Sinting tersentak dengan tubuh melengkung ke depan, lalu jatuh
berlutut. Pinggangnya bagai disodok dengan bambu keras. Sekujur tubuhnya
nyeri, tulangnya linu, dan sodokan itu bagai terasa sampai ke ulu hati. Pendekar
Mabuk akhirnya terengah-engah setelah bisa bernapas kembali dengan lega.
"Maaf," kata Kusir Hantu, "Terpaksa kulakukan demi keselamatanmu, Nak. Orang
yang kau hadapi itu iblis
yang paling iblis. Tak mungkin kau bisa
mengalahkannya. Kalau ia kabur melarikan diri, bukan karena dia takut padamu,
tapi karena dia mengatur siasat membuka jebakan untukmu. Kau bisa celaka tujuh
turunan jika mengejarnya. Pepatah mengatakan:
'Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketinggalan', artinya lebih baik naik
rakit pergi ke rumah penghulu, daripada cari penyakit ketinggalan nyawa."
"Sial! Percuma saja kukejar, dia pasti sudah jauh dariku," gerutu hati Pendekar
Mabuk. Akhirnya ia menarik napas untuk meredakan rasa nyeri akibat
sodokan tenaga dalam tadi.
Mereka berdua pindah ke tempat teduh. Suto Sinting
masih biarkan Kusir Hantu mengatasi luka dalamnya
dengan pengobatan pernapasannya. Sedangkan rasa sakit Suto sendiri tinggal bekas
memar di pinggang belakang, sebentar lagi akan hilang dengan sendirinya. Suto
tak hiraukan memar tersebut.
Beberapa saat setelah Kusir Hantu selesai lakukan
penyembuhan melalui napas murninya, Suto segera
menegurnya dengan memandangi beberapa saat.
"Mengapa kau punya urusan dengan iblis terkutuk tadi, Pak Tua?"
Kusir Hantu sunggingkan senyum sedikit sambil mata
memandang lurus bagai melamun. Lalu, terdengar
suaranya yang bernada rendah itu.
"Sebetulnya itu bukan salahku, tapi salah lawanku.
Ceritanya begini...," Kusir Hantu terbatuk sebentar, kemudian lanjutkan kata,
"Aku melepaskan pukulan kepada lawanku,
pukulanku melesat, lalu mengenai kuil tempat
semadinya. Kuil itu hancur dan dia terpaksa pindah
tempat. Berarti yang salah lawanku, bukan" Coba kalau dia tidak hindari
pukulanku, tentunya kuil si iblis laknat
itu tidak hancur toh" Atau mungkin salahnya sendiri
yang langsung menyangka aku bermaksud hancurkan
kuilnya. Mestinya dia tanya dulu padaku, mengapa
kuilnya hancur! Tapi, yah... pepatah mengatakan: 'Malu bertanya sesat di kamar'.
Mau tak mau dia jadi
seteruku!"
Suto Sinting sedikit sunggingkan senyum geli.
"Agaknya Pak Tua ini gemar bermain pepatah walau kadang tak ada sangkut pautnya
dengan apa yang
dikatakannya. Tapi... ada seninya juga bersahabat
dengan si Kusir Hantu ini!"
Kusir Hantu segera berkata, "Kau sendiri mengapa sampai berani menghadapi
Siluman Tujuh Nyawa"
Apakah kau tak sengaja menghadapi tokoh paling sesat itu atau memang kau ingin
coba-coba ilmumu" Sebab
kulihat, ilmumu boleh juga!" lalu ia manggut-manggut bagai membanggakan ilmu
Suto yang dilihatnya tadi.
"Aku... ah, aku kebetulan saja berhadapan
dengannya," ujar Suto Sinting, karena merasa tak perlu membeberkan masalah
sebenarnya kepada Pak Tua itu.
Menurutnya, terlalu lama jika bercerita tentang sejarah permusuhan dengan
Siluman Tujuh Nyawa. Apalagi jika
ia katakan bahwa kepala Siluman Tujuh Nyawa
merupakan mas kawin yang harus diserahkan untuk
melamar calon istrinya: Dyah Sariningrum, sang Ratu
Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu itu, pasti Pak Tua itu semakin bingung.
"Dan kalau tadi aku menyambarmu, itu lantaran aku tahu kau tak berdaya dan aku
harus lindungi orang
lemah tak berdaya dari tangan kotor Siluman Tujuh
Nyawa," sambung Suto Sinting.
"Terima kasih atas penyelamatanmu. Kupikir tadi aku sudah mati. Tapi, seandainya
ia tidak menyerangku dari belakang, belum tentu ia mudah menumbangkan diriku
lho, Nak,"
Suto Sinting tersenyum melihat Kusir Hantu
sombongkan diri. Ia hanya manggut-manggut di sela
senyumannya. Kusir Hantu sedikit kikuk dipandang
demikian, karena ia merasa bahwa ucapannya belum
tentu dipercaya oleh si anak muda tampan itu.
"Terus terang, aku kagum pada ilmu yang kau
gunakan untuk melawan sinar merahnya Siluman Tujuh
Nyawa tadi. Kusangka kau akan hancur saat bertabrakan di udara mirip bintang
nyasar itu," ujar Kusir Hantu.
"Hanya sekecil itu ilmu yang kumiliki, Pak Tua."
"Ah, ilmu segitu sudah termasuk tinggi, Nak, Kurasa kau bisa membantu
kesulitanku dengan ilmu seperti itu."
"Apa kesulitanmu, Pak Tua?"
"Aku harus melawan Pendekar Mabuk!" jawab Kusir Hantu polos sekali, ia tak
perhatikan bahwa anak muda yang diajak bicara itu terperanjat sepintas walau
segera berubah menjadi tenang kembali.
"Aku ingin membalas budi baik seseorang dengan
cara menangkap Pendekar Mabuk yang nama aslinya
Suto Sinting. Kudengar, yang namanya Pendekar Mabuk
itu orangnya ampuh, sakti, ilmunya gila-gilaan, makanya dinamakan Suto Sinting.
Tapi biar bagaimanapun, aku
harus bisa menangkap Pendekar Mabuk itu, walau
terpaksa meminta bantuan seseorang untuk menandingi
ilmunya. Itu seandainya ilmuku kalah sakti. Kalau
ilmuku tidak kalah sakti, ya kutangani sendiri. Pepatah mengatakan: 'Hemat
pangkal kaya, rajin pangkal pandai'.
Bukankah begitu, Nak" Iya, toh?"
Pendekar Mabuk hanya manggut-manggut dengan
wajah tetap tenang dan ramah.
"Apa kesalahan Pendekar Mabuk hingga kau ingin
menangkapnya?"
"O, dia itu pencuri lho! Betul kok. Pencuri berani nekat ya dia itulah orangnya.
Kitab pusaka milik Ratu Cendana Sutera dicurinya. Itu kan nekat namanya! Dia
belum tahu kalau Ratu Cendana Sutera itu perempuan
cantik yang berbahaya. Tindakannya bisa melebihi El
Maut sang pencabut nyawa."
Kusir Hantu berapi-api menceritakannya membuat
Suto Sinting gemas, ingin mengatakan siapa dirinya
sebenarnya. Tapi ia masih bisa menahan kedongkolan
dan kegemasan hati, bahkan berlagak menjadi pendengar yang baik dengan
memperhatikan setiap ucapan Kusir
Hantu. "Ratu Cendana Sutera itu penguasa Selat Bangkai, Nak. Aku punya hutang budi
padanya, karena ia pernah menyelamatkan nyawa cucuku; si Manis Jembatan Reot,
yang kemudian akhirnya mati di tangan Raja Tato,"
sambil melirik ke mayat Raja Tato di seberang sana.
Sambungnya lagi, "Cendana Sutera memanggilku dan meminta bantuanku untuk
menangkap Pendekar Mabuk
agar kitab pusakanya kembali ke tangannya. Kusanggupi
permohonannya itu demi membayar hutang budi baikku
kepadanya. Walaupun aku tahu. Pendekar Mabuk itu
berilmu tinggi, tapi aku yakin bisa menumbangkannya.
Tidak sekarang, ya besok, tidak besok, ya lusa, tidak lusa ya besoknya lagi.
Pepatah Jawa mengatakan: 'Alon-alon waton kelakon, gremat-gremet anunya Pak
Slamet'. Artinya: biar pelan-pelan asal selamat, daripada cepat-cepat sampainya ke
akhirat! Iya, kan?"
"Kurasa," kata Suto Sinting setelah diam sesaat,
"Batalkan saja niatmu menangkap Pendekar Mabuk itu, Pak Tua."
"Lho, Pendekar Mabuk itu sekarang sudah jadi
maling, Nak!" Kusir Hantu ngotot seakan anggapannya sendiri telah benar. "Kalau
tidak buru-buru ditangkap, nanti kebiasaan; bisa-bisa kau punya ayam dicurinya.
Itu kan memalukan rimba persilatan namanya. Seorang
pendekar kok mencuri, jijik kan!"
Lama-lama panas juga hati Pendekar Mabuk. Tapi ia
masih bisa menahan kesabaran. Setidaknya ia tahu ulah apa lagi yang dilakukan
Ratu Cendana Sutera dalam
upaya menangkapnya. Ternyata kali ini Nyai Ratu
Cendana Sutera meminjam tangan Kusir Hantu dengan
alasan jasa yang pernah dilakukannya. Si Kusir Hantu sendiri agaknya bodoh-bodoh
pintar, sehingga dengan
mudah mau mempercayai fitnah sang Ratu Cendana
Sutera. "Pencuri itu merugikan rakyat, Nak. Maka ia harus segera ditangkap dan diberi
hukuman. Pepatah
mengatakan: 'Kecil menjadi kawan, besar menjadi
lawan'. Artinya, kalau pencurinya hanya satu, ya harus kita tangkap. Kalau
pencurinya rombongan, kira-kira
berjumlah lima puluh orang, naah... barulah kita kabur saja!"
Gaya bicara yang jenaka itu membuat rasa dongkol
Suto Sinting bisa diredam baik-baik. Ia Ingin mengawali penjelasannya dengan
lebih dulu ajukan tanya,
"Kau sendiri sudah pernah bertemu dengan Pendekar Mabuk, Pak Tua?"
"Belum," Kusir Hantu menggeleng dengan wajah bego. "Tapi aku sudah tahu ciricirinya yang kudengar dari Ratu Cendana Sutera maupun dari mulut para tokoh
kenalanku. Pokoknya yang namanya Pendekar Mabuk
itu hanya punya satu ciri utama, yaitu ke mana saja
perginya tak pernah ketinggalan selalu membawa
bumbung tuaknya. Jika tidak membawa bumbung tuak,
berarti dia bukan Pendekar Mabuk."
Dalam hati, si murid sinting Gila Tuak itu berkata,
"Ooo... pantas ia tidak mencurigaiku sebagai Pendekar Mabuk, karena aku tak
membawa bumbung tuak. Rasa-rasanya biar aku ngotot sampai uratku keluar semua,
dia tidak akan percaya kalau aku memperkenalkan diri
sebagai Pendekar Mabuk."
"Ciri-ciri yang lainnya, biasa saja. Yaaah... seperti pemuda umumnya; ganteng,
tegap, gagah, lincah,
pokoknya seperti kau itulah! Namanya saja pemuda,
penampilannya pasti seperti kau, Nak. Pepatah
mengatakan...."
"Nasi telah menjadi bubur," ucap Suto Sinting bagai
menyambar ucapan Kusir Hantu, tapi sebenarnya
menyesali anggapan dan kepercayaan si Kusir Hantu
yang sudah telanjur percaya dengan fitnah Ratu Cendana Sutera. Tapi Kusir Hantu
menyangka Suto meneruskan
kata-katanya, sehingga ia pun tampak berseri saat
berkata, "Ya, begitu! Nasi telah menjadi bubur. Maksudnya, kalau masih muda sudah menjadi
pencuri maka tuanya
nanti ya tetap akan menjadi pencuri."
Pendekar Mabuk menarik napas. Agak sakit juga
dikatakan sebagai pencuri dan diramalkan sampai tua
tetap menjadi pencuri. Hanya saja, sekali lagi benak Suto mengingat kepolosan
dan kebodohan si Kusir Hantu,
sehingga ia mampu untuk tidak melampiaskan
kedongkolannya dengan kemarahan.
"Nak; bagaimana" Kau bersedia membantuku kalau
seandainya aku kalah melawan Pendekar Mabuk?" bisik Kusir Hantu dengan hati-hati
dan cengar-cengir.
"Tidak, Pak Tua. Aku tidak sanggup membantumu."
"Kenapa" Apakah perlu tawar-tawaran upah?"
"Tidak perlu," jawab Suto tegas. "Sebab setahuku Pendekar Mabuk itu bukan
pencuri kitab pusaka Ratu
Cendana Sutera. Pendekar Mabuk diburu oleh Ratu
Cendana Sutera karena ingin dijadikan penabur benih
bagi orang-orang Selat Bantai, supaya mereka punya
keturunan, termasuk sang Ratu sendiri biar bisa
beranak!"'
"Lho, kok malah kau memfitnah Ratu Cendana
Sutera?" ujar Kusir Hantu dengan wajah kecewa.
"Ini bukan fitnah, tapi kenyataan, Pak Tua!"
Kusir Hantu geleng-geleng kepala dengan wajah
sedih, lalu menggumam,
"Kasihan..... Rupanya banyak orang tak suka kepada Cendana Sutera, sehingga
banyak yang memfitnahnya.
Memang benar apa kata pepatah: Tak kenal maka tak
sayang, tak sayang maka tak punya uang'. Apakah...."
Kata-kata itu terhenti, karena tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara letusan kecil di sebelah timur.
Mereka berdiri serempak, karena semula mereka samasama duduk di atas akar besar.
Saat mereka berdiri, muncul seorang gadis yang
berlari dengan ketakutan. Weess...! Gadis itu melintasi mereka, tapi segera
hentikan langkah dan kembali
menghampiri mereka.
"Kakek...!" seru si gadis berwajah tegang.
Kusir Hantu yang disapanya juga ikut tegang.
"Cucuku..."! Ada apa kau lari-lari begitu, Pematang Hati"!"
"Kakek... aku dikejar-kejar oleh Hulubalang Iblis."
"Kurang ajar! Sini, sembunyi di belakangku!"
Suto Sinting masih diam dengan mulut melongo dan
mata tak berkedip pandangi si gadis berpakaian hijau.
Bajunya berpundak keras, panjang lengannya tak sampai siku, hanya separo kurang
dari siku ke pundak. Belahan depan baju hijau bergaris emas itu terbuka dan
hanya dikatupkan dengan kain penyambung di bagian dada.
Baju itu panjangnya sebatas perut, pusar si gadis tampak terbuka. Celananya
hijau ketat sebatas betis, juga
bergaris-garis benang emas di bagian depan dan
belakang, ia mengenakan sabuk hitam bermanik-manik
putih intan. Di sabuknya tergantung pedang perak
berukir. Gadis itu memang cantik. Wajahnya mungil
menggemaskan. Bibirnya kecil bikin lelaki geregetan, seraya ingin menggigitnya.
Hidungnya bangir, matanya bundar bening berbulu lentik. Rambutnya berpotongan
pendek seperti lelaki, bagian depannya meriap tipis
sebatas kening.
Gadis itu mengenakan anting merah delima tak
seberapa besar, ia juga mengenakan kalung dari tali
hitam, tapi bandulnya berupa ukiran perak berbentuk bunga dengan tiga batu merah
delima kecil sebagai
penghias bandul, ia mengenakan gelang emas berukir
ular melingkar. Mata ularnya terbuat dari batuan merah delima.
Tentu saja mata Pendekar Mabuk sukar berkedip,
karena selain wajah gadis itu amat cantik, dadanya juga montok walau tak terlalu
besar. Tubuhnya padat berisi, pinggulnya meliuk sekali seakan enak untuk
diremas. Gadis itu mempunyai betis indah yang dililit tali sandal kulitnya berwarna
coklat kehitaman.
"Nak, kenalkan... ini cucuku yang kedua, ia bernama si Manis Pematang Hati."
"Aad... ada... ada berapa cucumu, Pak Tua?"
"Delapan," jawab Kusir Hantu.


Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"See... se... seperti ini semua?" tanya Suto bagai orang pikun sambil menuding
Pematang Hati. "Masing-masing punya kecantikan yang berbeda,"
jawab Kusir Hantu sambil cengar-cengir karena tahu
maksud hati anak muda yang baru dikenalnya itu.
"Cucuku memang ada delapan, tapi sekarang tinggal dua. Yang lainnya tewas dengan
terhormat. Seperti
misalnya kakak si Pematang Hati ini, yaitu si Manis Jembatan Reot."
Gadis cantik bermata bening itu akhirnya berbisik
kepada kakeknya setelah lama pandangi Suto Sinting
dengan kekaguman yang tersimpan dalam hati.
"Kek, siapa pemuda ini" Kalau tak salah aku pernah melihatnya saat ia bertarung
melawan Peri Sendang
Keramat. Kalau tak salah dia yang bernama Suto
Sinting, Kek!"
"Husy! Jangan semberono kau, Pematang Hati!'
hardik Kusir Hantu. "Dia lebih sakti dari Suto Sinting.
Namanya... ah, tanyakanlah sendiri. Aku lupa
menanyakannya sejak tadi."
"Iya, Kek. Dia itu yang bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk. Aku masih ingat
wajahnya saat melawan Peri Sendang Keramat dulu!"
"Bukan! Jangan ngotot kau, nanti dia tersinggung,"
bisik Kusir Hantu, dan bisikan itu sempat terdengar di telinga Pendekar Mabuk.
Tapi sang pendekar diam saja, hanya sunggingkan senyum tipis yang menawan hati
si gadis. Rupanya Pematang Hati ikut hadir ketika mendengar
kabar Pendekar Mabuk akan digantung oleh Peri
Sendang Keramat, ia terselip di antara orang-orang yang
hadir di situ, hanya saja Suto tidak sempat melihat
kehadirannya, (Baca serial Pendekar Mabuk episode:
"Peri Sendang Keramat").
Sebenarnya Suto Sinting ingin membenarkan
pendapat si gadis berkulit kuning langsat mulus dan
berusia sekitar dua puluh dua tahun itu. Tetapi, niatnya membenarkan pendapat si
gadis terpaksa diurungkan
sebab tiba-tiba seberkas sinar datang menyerang mereka.
Sinar biru itu terdiri dari beberapa larik membentuk jala dan berkelebat dengan
sangat cepat. Weersss...! Wuuttt...! Suto Sinting sudah lebih dulu sentakkan
kakinya dan tubuh pun melesat tinggi, naik ke atas
pohon dan bertengger di sana. Sementara itu, Kusir
Hantu dan sang cucu cantiknya terkena sinar biru mirip jala itu.
Zuuurrb...! "Aaauh...! Uuhk...!"
"Kakk... kakek...! Aaaakh...!"
Kakek dan cucu mengalami nasib sial. Mereka tak
bisa bergerak bagai terjerat tali-tali kuat. Sinar biru itu mengelilingi mereka
tanpa menyentuh tubuh, namun
kekuatannya mampu melumpuhkan tenaga mereka
berdua. Suto Sinting memandang tegang keadaan
Pematang Hati yang mulai berwajah pucat pasi.
* * * 4 BEBERAPA saat setelah Kusir Hantu dan Pematang
Hati terperangkap sinar biru, muncullah sesosok tubuh tinggi-besar. Namun tak
sebesar raksasa. Badannya
kekar, kulitnya agak hitam, ia mengenakan rompi merah bertepian benang emas, dan
celana merah juga bertepian benang emas.
Wajah orang itu cukup sangar. Kepalanya gundul
licin, matanya lebar, hidungnya besar, ia berkumis tipis melengkung sampai ke
dagu yang tak berjenggot
selembar pun itu. Pada telinga kirinya menggantung
anting bundar berwarna putih mengkilat berbentuk
cincin. Sabuknya yang hitam terbuat dari kulit ular, berukuran besar yang
dipakai menyelipkan kapak dua
mata berujung mata tombak dan bergagang pendek.
Dari atas pohon Suto Sinting pandangi kemunculan
orang tersebut, ia yakin, bahwa orang itulah yang
mengejar-ngejar Pematang Hati dan yang di-sebut-sebut sebagai Hulubalang Iblis.
Orang yang kedua tangan
kekarnya dililit gelang kulit warna hitam bermanikmanik logam putih runcing bagaikan duri itu
memancarkan pandangan matanya begitu tajam ke arah
Kusir Hantu dan Pematang Hati.
Suaranya terdengar besar, seakan menggetarkan hati
bagi lawan yang bernyali kecil.
"Kalian tak akan bisa lepas dari jurus 'Jalasuma'-ku.
Tak sampai tengah hari, kalian akan mati terpotongpotong dengan sendirinya. Tapi jika kau, Pematang Hati, mau tunduk kepadaku dan
menikah denganku, maka kau
dan kakakmu akan selamat. Jurus 'Jalasuma' akan kutarik kembali!"
Kusir Hantu dan Pematang Hati semakin tak berkutik,
mereka seperti sedang menikmati masa-masa sekarat.
Pendekar Mabuk merasa tak bisa tinggal diam begitu
saja. Maka ia segera turun dari atas pohon dengan satu lompatan bersalto. Wut,
wuutt...! Tahu-tahu ia sudah berdiri di depan Hulubalang Iblis tanpa suara sedikit pun
ketika kakinya berpijak ke tanah.
Hulubalang Iblis terperanjat dan mulai mundur satu
langkah dengan wajah kian menyeramkan. Pandangan
matanya yang beralis tebal naik itu tertuju tajam pada wajah Pendekar Mabuk.
Untuk sementara Suto Sinting tidak layani dulu si
Hulubalang Iblis Itu. Ia segera lakukan sesuatu untuk selamatkan nyawa si Kusir
Hantu dan Pematang Hati,
Ia melepaskan 'Pukulan Gegana' untuk menghantam
sinar-sinar biru itu. Kedua jarinya disabetkan ke depan dan melesatlah sinar
kuning dalam keadaan patah-patah.
Slap, slap, slap, slap...! Blaarr...!
Sinar-sinar biru pecah bersama bunyi ledakan cukup
keras. Gelombang ledakan itu melemparkan tubuh Kusir Hantu dan cucunya ke semaksemak. Wuutt, brruuss...!
"Aaauh...!" Pematang Hati memekik kesakitan, namun agaknya mereka berdua segera
bisa bernapas walau harus menyeringai menahan sakit.
Melihat sinar-sinar birunya dihancurkan oleh Suto
Sinting, maka Hulubalang Iblis segera menggeram
dengan gigi menggeletuk penuh kemarahan.
"Biadab kau! Berani-beraninya kau menghancurkan Jurus 'Jalasuma'-ku hah"! Sudah
rangkap berapakah
nyawamu hei, bocah ingusan"!"
Dengan kalem, Pendekar Mabuk menjawab, "Aku tak punya nyawa rangkap. Nyawaku
hanya satu, yaitu
sebagai penggerak hidupku. Tapi hidupku tak sekeji
dirimu. Hidupku tak bisa dibiarkan melihat orang tak berdaya dalam keadaan
sekarat seperti tadi. Aku
terpaksa harus menolong mereka, walau antara kami tak punya hubungan apa-apa,
Tuan perkasa!"
"Gggrrrhh...!" Hulubalang Iblis menggeram kembali, kedua tangannya sudah
mengepak kuat-kuat hingga urat kekar di lengannya saling bertonjolan.
"Keparat busuk kau! Mencampuri urusanku sama saja mempercepat kematian, tahu"!
Hulubalang Iblis tak
pernah biarkan orang usil sepertimu hidup lebih dari setengah hari!" katanya
sambil menepuk dada sendiri.
Suto Sinting sunggingkan senyum tipis berkesan
menyepelekan sesumbar si Hulubalang iblis itu.
"Pergi kau dan jangan campuri urusanku lagi!" sentak si Hulubalang Iblis dengan
mata melotot. "Aku melindungi yang lemah. Jadi aku tak bisa pergi jika kau bermaksud
mencelakai mereka."
"Keparat! Heeeaaah...!"
Hulubalang Iblis sentakkan kakinya ke bumi.
Duhkk...! Tubuh Suto Sinting tersentak ke atas bagaikan lompat dengan
sendirinya, ia segera bersalto di udara sebagai tanda masih bisa kuasai
keseimbangan tubuhnya. Kejap berikutnya, ia turun dan mendaratkan kakinya kembali ke tanah
tanpa suara sedikit pun.
"Aneh..."!" gumam hati si Hulubalang Iblis dengan
rasa heran. "Biasanya lawan yang kubegitukan akan terpental tinggi dan melambung
jauh hingga jatuh di
tempat yang jauh pula. Tapi mengapa anak muda ini
hanya melambung sebentar dan tegak kembali di
tempatnya semula"!"
Saat Hulubalang Iblis berkecamuk begitu di dalam
hatinya, tiba-tiba Suto Sinting segera sentakkan kakinya ke bumi. Duhkk...!
Bleess...! Tubuh si Hulubalang Iblis terbenam di tanah sebatas
mata kaki. Orang itu terbelalak bingung dan kaget.
Sebelum rasa kagetnya hilang, Suto Sinting hentakkan kaki kembali ke tanah.
Jurus 'Telan Bumi' yang jarang dimiliki orang, itu membuat Hulubalang Iblis
terbenam ke dalam tanah sebatas betis.
Dukh, bless...!
"Grrrh...!" Orang besar itu hanya menggeram penuh murka. Matanya memandang
lebar-lebar ke arah Suto
Sinting. Agaknya ia ingin lepaskan pukulan jarak enam langkah itu. Tapi si
Pendekar Mabuk sudah lebih dulu sentakkan kaki ke tanah lagi.
Duuhk, bless...!
Duuhk, duhkk...! Blees, blees...!
Hulubalang Iblis makin terbenam. Kini keadaannya
terbenam ke dalam tanah sebatas dada. Suto Sinting
tetap tenang. Bahkan ia gedukkan kakinya ke tanah
sekali lagi dengan agak keras.
Duuhhhkk...! Bleeesss...! Tubuh si Hulubalang Iblis terbenam sampai batas
ketiak, ia menjadi, tambah tegang dan kebingungan.
Kedua tangannya tetap terangkat supaya tidak ikut
terbenam. Dan tangan kirinya segera menyentak ke
depan dalam keadaan jari-jarinya membentuk cakar yang keras dan kaku.
"Hhhgggrr...!" Wuuusss...!
Sinar merah terang sebesar genggaman orang dewasa
melesat menghantam dada Pendekar Mabuk. Tapi
dengan gerakan seperti orang limbung, Suto Sinting tiba-tiba juga sentakkan
tangan dalam keadaan telapak tangan terbuka. Wuutt...! Clapp...!
Sinar hijau keluar dari tangan Suto Sinting sebagai
perwujudan dari jurus 'Pecah Raga' yang cukup dahsyat itu. Sinar hijau tersebut
berbenturan dengan sinar
merahnya si Hulubalang Iblis, lalu meledak keras di
pertengahan jarak.
Jlegaaarrr...! Gelombang ledakan itu hasilkan sentakan cukup kuat
ke berbagai penjuru, sehingga tubuh Pendekar Mabuk
pun terlempar hingga delapan langkah jauhnya.
Weerr...! Brruuukk...!
Ia jatuh di semak-semak tanpa bisa menjaga
keseimbangan lagi. Sedangkan si Hulubalang Iblis
terpental pula akibat gelombang sentakan tersebut.
Tubuhnya terlempar menjebol tanah yang menguburnya
sebatas ketiak. Brruuulll...! Weeerrs...!
"Aaakh..!" Hulubalang Iblis berteriak kesakitan karena tubuhnya bagaikan dipaksa
dibetot dari dalam
tanah. Sedangkan tanah yang tadi membenamkan tubuh
besar itu menyebar ke mana-mana. Brrul...!
Kusir Hantu sudah bisa bangkit meski harus dengan
pegangi pinggangnya yang mirip terserang encok itu.
Pendekar Mabuk sendiri sempat kibaskan kepalanya
karena terasa pusing dan pandangan matanya agak
kabur, kemudian baru menggeliat bangkit. Tapi
langkahnya yang keluar dari semak-semak segera
ditahan oleh Kusir Hantu.
"Cukup, Nak. Biar aku saja yang menanganinya."
"Kau tidak apa-apa, Pak Tua?"
"Masih mampu tumbangkan sepuluh orang seperti si Hulubalang Iblis itu.
Istirahatlah dulu, dari tadi kau bertarung membelaku, lama-lama malu hati
sendiri aku, Nak."
Kusir Hantu segera maju sambil masih bungkuk
sedikit. Setelah Hulubalang Iblis berdiri dengan pakaian kotor dan wajah penuh
tanah, Kusir Hantu segera
tegakkan badan, seakan tak mau dipandang lemah oleh
lawannya. "Masih bisa bernapas, Dik?" ejek Kusir Hantu kepada Hulubalang Iblis.
Orang gundul bagaikan gundu raksasa itu menggeram
penuh kebencian, ia melangkah cepat dan berhenti
setelah mencapai jarak lima langkah dari Kusir Hantu.
Kapak dua mata segera dicabut dari pinggangnya,
gagangnya ditarik ke belakang, sraakk...! Ternyata kapak itu bisa bertangkai
panjang menyerupai tombak.
"Saatnya untuk memenggal kepalamu, Tua peot!"
Dengan tenang Kusir Hantu berkata, "Weeh..., sudah hampir mati kok masih mau
berlagak sakti. Pepatah
mengatakan: 'Jauh di mata dekat di hati', artinya, jauh di cinta dekat dengan
mati. Maksud hati memeluk gunung
apa daya gunungnya ada dua. Kalau kau mau kawini
cucuku si Manis Pematang Hati, berarti kau harus bisa mengirimku ke lembah
neraka, Dik!"
"Ggrrrhhhmm...!" Hulubalang Iblis menggeram sebentar, lalu melompat sambil
menebaskan kapaknya
dari kanan ke kiri. "Heeeahh...!"
Klik, klik...! Kusir Hantu menjentikkan jarinya
seperti memanggil ayam. Tiba-tiba Hulubalang Iblis
terjungkal ke belakang dalam gerakan melambung
jungkir balik. Wuuut...! Jlegg...! Ia bisa menapakkan kaki dengan tegak di
tanah. Tapi segera tersentak
mundur bagai ada tenaga pendorong yang sangat kuat.
Wut, wut, wut, wut...! Bheek...! Punggungnya menabrak pohon besar. Kepalanya pun
terbentur pohon tersebut.
Duuhk...! Bruuurrr...! Daun-daun berguguran, pertanda benturan itu cukup
keras dan bertenaga dalam besar. Hulubalang Iblis
tersentak mendelik, mulutnya ternganga dan semburkan darah segar. Buuuwwrrss...!
Tubuh itu menggeloyor bagai orang mabuk hingga
berputar satu kali. Tampak kepala bagian belakang
mengucurkan darah akibat benturan dengan pohon tadi.
Ia ditaburi daun-daun kecil bagai ditimpa hujan.
"Bocorlah sudah kepalamu yang mulus itu,
Hulubalang Iblis,' ujar Kusir Hantu. "Kurasa sebagai pelajaran sudah cukup


Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai bocor kepala saja.
Pelajaran tambahan akan kuberikan jika kau masih nekat mengganggu cucu
kesayanganku. Pepatah
mengatakan..,."
Belum sampai Kusir Hantu ucapkan pepatahnya,
Hulubalang Iblis sudah melesat kabur lebih dulu.
Wuuusss...! Kusir Hantu terpaksa berkata, "Pepatah mengatakan...
'Lebih baik kabur daripada babak belur', artinya...."
Ucapan itu terhenti setelah ia menengok ke belakang
melihat cucunya sedang dibantu berdiri oleh Suto
Sinting dengan cara memegang tubuh si gadis dari
belakang. Pendekar Mabuk segera menebah daun-daun
kering yang masih lekat di bagian punggung si gadis.
"Terima kasih atas bantuanmu," ujar Pematang Hati dengan suara pelan.
"Aku hanya sekadar melakukan kewajibanku saja,
menolong yang lemah. O, ya... bagaimana
pernapasanmu?"
"Masih... masih ada. Eh, maksudku... masih agak sesak sedikit."
"Tariklah napas panjang-panjang, lalu tahan di dada sampai sepuluh hitungan, dan
hembuskan lewat mulut
pelan-pelan. Cara itu akan melonggarkan pernapasan
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 18 Dewa Linglung 28 Selubung Awan Hitam Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 13

Cari Blog Ini